Pedang Pusaka Dewi Sri Tanjung 6 - Tersiksa Seperti di Neraka(2)



Rudra Sangkala tidak melayani 
serangan lawan dan hanya berlompatan 
jauh menghindar sambil terkekeh 
mengejek, “Heh heh heh heh, engkau 
takkan dapat menang melawan aku!” 
Gadis ini menjadi amat khawatir 
setelah kepala pening dan pandang 
matanya kabur. Sadarlah gadis ini, 
racun sudah terlanjur masuk ke paru-
paru. 
Sayang sekali Dewi Sritanjung 
sadar sudah terlambat. Kesadarannya 
yang terlambat ini tidak dapat 
menolong dirinya, karena racun wangi 
dapat bekerja cepat sekali. Maka 
kemudian terdengar keluhan Dewi Sri-
tanjung, disusul tubuhnya yang 
terhuyung-huyung lalu roboh. 
Untung sebelum roboh Rudra 
Sangkala sudah melompat dan menyambar. 
Dan gadis ini sekarang sudah dalam 
pondongan pemuda itu. 
Rudra Sangkala menyeringai se-
perti iblis kelaparan. Kemudian ia 
tertawa terkekeh, membuktikan sekarang 
ini ia gembira sekali, pada akhirnya 
dapat merobohkan gadis ayu ini. Dan 
saking tak kuasa menahan hasrat ia 
lalu menunduk dan mencium bibir mungil 
dan merah itu. 
Dengan hati-hati ia menyarungkan 
pedangnya sendiri. Lalu ia memungut 
pedang Dewi Sritanjung yang bersinar 
biru itu. Pedang ini ditimang-timang 
sebentar, diamati agak lama, dan 
setelah puas ia meringis. 
“Diajeng, kekasihku yang ayu, 
sekarang engkau harus mengakui 
keunggulanku? Heh heh heh heh. Engkau 
harus menjadi kekasihku, dan engkau 
harus menurut menjadi isteriku.” 
Kemudian ia menundukkan kepalanya 
lagi, menggunakan ujung hidungnya 
mencium pipi yang halus dan montok 
itu. 
“Pedangmu ini amat bagus. Tetapi 
aku tidak ingin merampas, maupun 
memiliki. Bukankah setelah kita men-
jadi kekasih, menjadi suami-isteri, 
aku dan kau sama-sama membutuhkan 
senjata yang ampuh? Engkau dengan 
pedang pusakamu sendiri dan aku dengan 
pedang pusakaku pula, akhirnya akan 
menjagoi seluruh dunia ini. Heh heh 
heh heh, semua orang akan tunduk dan 
kita dapat memerintah mereka sesuka 
hati.” 
Rudra Sangkala berhenti dan 
memberikan ciumannya lagi. Sejenak 
kemudian sambungnya, “Sesudah semua 
orang tunduk dan di bawah pengaruh 
kita berdua, huawaduh.... kita akan 
hidup terhormat. Kemudian Diajeng, 
kita kumpulkan semua kekuatan itu, dan 
kita gunakan untuk memukul Kerajaan 
Majapahit. Diajeng, dengan bantuan 
guruku, percayalah akan dapat 
menundukkan semua tokoh Majapahit. 
Huh, Mahapatih Gajah Mada harus 
dicincang, biar tubuhnya hancur 
berkeping-keping. Lalu  Mpu Nala yang 
terkenal gagah perkasa itu, kita hukum 
rangket dengan sapu kawat berduri 
sampai mampus. Huh, kemudian 
Adityawarman yang sombong itu, aku 
memang benci sekali. Untuk dia hukuman 
yang aku berikan harus lain. Maka 
semua orang kita perintahkan agar 
menghukum dengan sengatan api rokok. 
Heh heh heh heh, hukuman yang amat 
menyenangkan, bukan? Dan Adityawarman 
baru mampus setelah amat menderita 
oleh siksaan itu.” 
Membayangkan kemungkinan yang 
bisa dicapai kemudian hari, pemuda ini 
ketawa terkekeh nyaring. 
Akan tetapi tiba-tiba timbul rasa 
khawatirnya, kalau gadis ini sampai 
memberontak. Jika sampai terjadi 
demikian, semua harapannya akan sia-
sia, apabila gadis ini nanti sudah 
diberi penawar racun. 
Ia memang bisa main paksa dan 
menggunakan kekerasan. Namun dengan 
cara demikian apalah dirinya dapat 
mengharapkan cinta kasih dan kesetiaan 
dari gadis ini? 
Ia menunduk lagi dan memandang 
wajah perawan ayu dalam pondongannya 
ini. Wajah ini sungguh-sungguh ayu dan 
mempesona. Dan walaupun dalam keadaan 
pingsan, namun tidak bedanya dengan 
orang sedang tidur. Mulut mungil dan 
bibir yang merah merekah itu 
menyungging senyum seperti menantang. 
Hatinya tidak kuat lalu ia mengecup 
agak lama. 
Mengamati wajah ayu ini dan 
memeluk tubuhnya yang hangat, darah 
dalam tubuhnya bergolak dan membe-
rontak. Rasanya tak kuat lagi harus 
menahan diri, dan ingin memperisteri 
perawan ayu ini sekarang juga. 
Akan tetapi tiba-tiba terde-
ngarlah suara hatinya yang mencegah, 
“Jangan! Engkau jangan melakukannya, 
jika ingin terkabul cita-citamu dapat 
menguasai bumi nusantara ini, dan 
apabila engkau ingin menjadi Raja 
Majapahit. Sebab dengan perbuatanmu, 
perawan ayu ini bukannya mencintai 
engkau, tetapi malah semakin benci 
kepada engkau.” 
“Persetan dengan cita-cita. 
Persetan dengan kedudukan sebagai Raja 
Majapahit,” bantah keinginannya. “Aku 
tak kuat lagi menahan hasrat. Gadis 
ini demikian cantik dan menggairahkan, 
menyebabkan aku tergila-gila. Makin 
cepat aku memperisteri gadis ini, 
berarti akan mengurangi rasa 
gandrungku.” 
“Bodoh kau! Lupakah engkau bahwa 
di dunia yang luas ini tidak terhitung 
jumlah wanita cantik jelita? Setelah 
engkau berhasil menjadi Raja 
Majapahit, apa yang engkau kehendaki 
takkan seorang pun berani melawan dan 
membantah. Dengan kekuasaanmu engkau 
dapat memerintahkan punggawa  untuk 
menangkap dan merampas perawan ayu 
maupun isteri orang, jika engkau 
memang membutuhkan. Pendeknya engkau 
akan dapat mengumpulkan perempuan 
berapa saja yang kau suka.” 
“Tetapi, aku tidak dapat menahan 
keinginan.” 
“Huh, engkau memang bandel. Yang 
engkau pikirkan hanyalah mencari 
pemuas nafsu melulu, tanpa memikirkan 
cita-cita. Pendeknya engkau harus 
tunduk kepadaku. Sekarang juga kita 
bawa pergi gadis ini menemui ibu. 
Dengan bantuan ibu, percayalah gadis 
ini pada akhirnya akan bisa kau 
tundukkan. Apakah engkau tidak senang 
apabila kemudian gadis cantik ini 
menjadi isterimu yang setia dan 
penurut?” 
Akhirnya sang keinginan itu sadar 
dan tunduk. Mulut Rudra Sangkala ter-
kekeh nyaring, dan wajahnya berseri. 
“Bagus, heh heh heh heh. Aku 
harus membawa pulang perawan ayu ini 
secepatnya. Aku harus minta per-
tolongan Ibu, agar gadis ini menjadi 
tunduk dan menjadi kekasihku.” 
Ia menunduk sambil memandang 
wajah ayu itu, dan sejenak 
melanjutkan, “Diajeng, walaupun engkau 
menolak toh akhirnya engkau akan 
tunduk juga kepadaku. Guruku wanita 
sakti disamping cerdik. Jika lewat 
bujukan halus engkau tidak juga 
tunduk, guruku akan menggunakan ramuan 
racun untuk menundukkan engkau. Heh 
heh heh heh, marilah kita sekarang 
pulang Manis, tetapi ehh, berikan dulu 
upah memondong dengan bibirmu yang 
bagai madu itu.” 
Ia menunduk. Sekali lagi ia 
mengecup bibir yang mungil dan merah 
itu. Dan sejenak kemudian ia sudah 
berlompatan meninggalkan tempat yang 
sudah bosah-basih itu. 
Cepat sekali gerakan dan lari 
pemuda ini. Hanya dalam waktu singkat 
ia sudah menghilang dalam rimbunan 
daun hutan. 
Dada yang terpenuhi oleh rasa 
gembira yang meluap ini, menyebabkan 
gerakannya makin lama semakin menjadi 
cepat. Beban tubuh Dewi Sritanjung 
dalam pondongannya itu, seakan tidak 
mempengaruhi gerakannya.  Dan seakan 
gadis cantik berumur delapan belas 
tahun ini hanyalah boneka yang amat 
ringan. 
*** 
Rudra Sangkala berlarian cepat 
menuju ke selatan. Ia memilih jalan 
yang jauh dari pedesaan dan jalan 
umum. Dan ia memilih menerobos hutan 
belantara dan perbukitan. Sebab 
apabila bertemu dengan orang, tidak 
urung orang akan curiga dan salah-
salah perjalanannya terganggu. Maka 
walaupun sedikit jauh dan memutar, 
jalan yang ia tempuh sekarang ini akan 
aman dan ia akan dapat mencapai Lodaya 
tanpa gangguan. 
Akan tetapi ketika pemuda ini 
sudah berada di tepi hutan yang tidak 
jauh lagi dengan Desa Pringsewu, 
pemuda ini menjadi kaget disamping 
keheranan. Ia menghentikan larinya dan 
mendadak sepasang matanya terbelalak. 
Apa yang sudah terjadi? 
Tiba-tiba saja gadis ayu dalam 
pondongannya itu sudah lenyap seperti 
dapat menghilang. Walaupun ia tidak 
merasakan perawan ayu itu jatuh dan 
lepas dari tangannya, namun ia 
celingukan juga mencari ke sekitarnya. 
Namun sungguh celaka, yang dicari 
tetap tidak ada. 
“Adakah setan yang sudah berani 
mengganggu diriku?” desisnya, bertanya 
kepada diri sendiri. 
Namun pertanyaan itu kemudian ia 
sendiri yang menjawab, “Tidak mungkin! 
Untuk apa setan merebut calon 
isteriku?” 
Pemuda ini kemudian menghela 
napas panjang. Hatinya menjadi bingung 
dan serba salah. Apabila bukan setan, 
lalu siapakah yang dapat merebut gadis 
ayu itu dari pondongannya, dan dalam 
keadaan dirinya lari cepat? Telinganya 
sudah amat terlatih dan peka. Setiap 
gerakan orang yang halus sekalipun ia 
akan dapat mendengar, padahal ia tadi 
tidak mendengar suara apa-apa. 
Di samping itu ia juga sudah 
celingukan ke sekeliling, tetapi ia 
tidak melihat seorang pun. 
Pemuda ini mengerutkan alis dan 
kemudian berpikir, mengingat-ingat, 
apakah yang terjadi sebelum Dewi 
Sritanjung lenyap dari pondongannya. 
Sesudah menenangkan hati dan 
mengingat-ingat, kemudian pemuda ini 
ingat kembali apa yang terjadi. Tadi, 
ia merasakan sambaran angin yang amat 
halus. Dan berbareng dengan menyambar-
nya angin yang halus itu, lenyaplah 
Dewi Sritanjung dari pondongannya. 
Jika demikian halnya tentu gadis ayu 
itu sudah direbut orang. Tetapi yang 
menjadi pertanyaan, bagaimanakah orang 
itu bisa merebut dari tangannya? Dan 
sekarang orang itu bersembunyi di 
mana? 
Untung juga ia seorang pemuda 
cerdik. Ia dapat menduga, seseorang 
yang sudah merebut gadis itu tentu 
bersembunyi di pohon. Karena itu tiba-
tiba ia menengadahkan kepalanya. 
“Ahhhh....!” Tidak tercegah lagi 
dari mulut pemuda ini terdengar seruan 
kaget 
Apakah yang ia lihat? 
Ternyata perawan ayu yang 
digandrungi dan tadi ia pondong itu, 
sekarang sudah tergantung di bawah 
dahan pohon yang cukup tinggi. Kepala 
gadis itu di bawah dan kaki di atas. 
Aneh sekali! Ia hampir tidak percaya 
kepada pandang matanya sendiri. 
Mungkinkah bisa terjadi? 
Kalau secara aneh gadis yang tadi 
ia pondong itu dalam waktu singkat 
sudah tergantung seperti itu, jelas 
memang ada setan yang sudah mengganggu 
dirinya. Jika dirinya berhadapan 
dengan manusia yang berani mengganggu, 
tentu ia akan sanggup melawan dan 
berkelahi. Tetapi apabila setan yang 
bisa menghilang, diam-diam tengkuknya 
merinding. Mungkinkah dirinya dapat 
melawan makhluk halus yang tidak kasat 
mata (dapat dipandang)? 
Betapapun rasa sayang memenuhi 
dada, dan betapa kecewa kehilangan 
perawan ayu ini, ia terpaksa harus 
pergi sambil gigit jari. Maka kemudian 
ia sudah melompat dan lari ketakutan. 
“Heh heh heh heh... lucu!” 
Rudra Sangkala kaget mendengar 
suara tertawa terkekeh yang nadanya 
menghina dirinya itu. Kemudian ia 
membalikkan tubuh, tetapi celakanya ia 
tidak melihat seorang pun. Padahal ia 
tadi tidak salah dengar dan jelas ia 
mendengar suara orang ketawa terkekeh. 
Apakah bukan manusia? Apakah 
suara setan? Rudra Sangkala bukan 
pemuda penakut. Karena itu ia 
menebarkan pandang matanya dan menye-
lidik. Pada saat ia sedang mencari-
cari itu, mendadak ia mendengar suara 
air gemericik dari atas pohon. Dan 
ketika ia melihat ke arah turunnya 
air, ia mengerutkan alis. Dari manakah 
air terjun yang kecil itu? Dan kalau 
terjadi hujan mengapakah di tempat itu 
melulu yang jatuh hujan? 
Tetapi sejenak kemudian pemuda 
ini berjingkrak. Kemarahannya meledak. 
Sekarang ia baru sadar bahwa air 
terjun itu berasal dari seorang kakek 
gendut berjubah putih yang jongkok di 
atas dahan pohon, tidak jauh dari 
tempat gadis itu tergantung secara 
terbalik itu. 
Sekarang Rudra Sangkala bisa 
menduga, kiranya kakek gendut berjubah 
putih itulah yang sudah mengganggu 
dirinya. Kakek itu telah merebut calon 
korbannya. Dan tentu pula kakek gendut 
itu kebetulan harus membuang air kecil 
karena tidak sempat turun dari pohon. 
“Jahanam  keparat! Setan alas 
bangkotan. Hayo, cepatlah turun jika 
engkau memang tidak ingin aku sambit 
dari bawah. Hayo cepat, lepaskan 
gadisku.” 
Sambil mencaci-maki dan mengancam 
ini, Rudra Sangkala sudah memper-
siapkan pisau kecil sebagai senjata 
rahasia, berjumlah enam buah. Ia sudah 
memutuskan apabila kakek gendut 
berjubah putih itu tidak tunduk 
perintahnya, ia akan segera menyerang 
dengan pisau yang sudah ia persiapkan. 
Akan tetapi celakanya kakek 
gundul berjubah putih itu tidak takut. 
Kakek itu masih tetap nongkrong di 
dahan sambil ketawa terkekeh-kekeh. 
“Heh heh heh heh, siapakah yang 
mau percaya, gadis ini milikmu? 
Buktinya engkau sudah menggunakan 
racun untuk merobohkannya. Heh heh heh 
heh, itulah sebabnya sekarang gadis 
ini aku gantung secara terbalik, kaki 
di atas dan kepala di bawah. Dengan 
cara ini, aku harapkan racunmu akan 
dapat terusir dari tubuhnya.” 
Betapa kaget pemuda ini sulit 
terlukiskan. Jika kakek gendut itu 
secara tepat sudah dapat mengetahui 
rahasianya, jelas sekali kakek gendut 
ini bukanlah tokoh sembarangan. 
Namun demikian diam-diam ia 
menjadi geli. Manakah mungkin racun 
yang menyebabkan Dewi Sritanjung 
pingsan itu dapat dipunahkan hanya 
dengan digantung seperti itu? Gurunya 
seorang sakti dan ahli racun. Racun 
wangi itu takkan dapat diusir tanpa 
obat pemunah dan yang hanya dirinya 
sendiri yang memiliki, di samping juga 
gurunya. 
Rudra Sangkala terkekeh mengejek, 
“Heh heh heh heh, kakek tua bangka 
yang tidak tahu malu. Huh, kakek yang 
masih suka daun muda!” 
“Hai, apa katamu?!” bentak kakek 
itu sambil mendelik, tetapi masih 
tetap nongkrong di dahan pohon. 
“Engkau sudah kakek-kakek 
termakan usia, namun engkau masih juga 
berbuat curang, merebut gadis calon 
isteriku. Apakah ini tidak berarti 
engkau seorang kakek yang masih suka 
makan daun muda?” ejek Rudra Sangkala 
yang merasa geli. “Dan sangkamu, hanya 
dengan engkau gantung seperti itu, 
racun yang sudah masuk dalam tubuhnya 
menjadi punah?” 
“Uah ha ha hah, seorang maling 
tanpa melalui pemeriksaan berbelit-
belit, sekarang sudah mengaku sendiri. 
Nah, bukankah dugaanku benar belaka, 
gadis ini pingsan oleh racunmu? 
Nyatalah kau seorang pemuda curang, 
pemuda licik. Huh, sungguh memalukan 
karena di samping engkau curang dan 
licik, engkau pun seorang muda yang 
sombong. Huh, untuk mengajar sopan 
bagi kau, sekarang aku ingin bertanya, 
apakah yang aku pegang ini bukan obat 
pemunah racunmu itu?” 
Sambil tetap nongkrong di atas 
dahan, kakek gendut ini lalu 
memamerkan kantung kecil terbuat dari 
kain hijau. 
Rudra Sangkala berjingkrak kaget. 
Karena pemuda ini segera dapat 
mengenal kantung kain hijau miliknya 
itu, dan merupakan tempat menyimpan 
obat pemunah racun wangi. Tetapi 
apakah sebabnya secara ajaib kantung 
itu sudah di tangan si kakek? Ahh, 
sekarang Rudra Sangkala baru sadar, 
bukan saja kakek itu sudah merebut 
Dewi Sritanjung, tetapi juga secara 
pandai sekali sudah mencuri pula obat 
pemunah racun. 
Dari kaget pemuda ini menjadi 
amat marah. Tiba-tiba ia sudah 
menggeram keras dan tangannya bergerak 
menyambut. Enam batang pisau kecil 
yang tadi sudah ia persiapkan itu 
menyambar seperti tatit. Lima batang 
pisau langsung menyerang kakek gendut 
sedang yang sebatang mengarah ke tali 
yang menggantung Dewi Sritanjung. 
Gerakan Rudra Sangkala ini di 
samping cepat juga mengagumkan. Desir 
angin yang kuat mendahului datangnya 
pisau  dan sudah tentu sungguh 
berbahaya bagi kedudukan si kakek 
gendut yang nongkrong di atas dahan 
pohon itu. 
“Haitt.... uahh.... hayaaaa...!” 
seru kakek gendut itu seperti gugup. 
Rudra Sangkala tersenyum menge-
jek. Ia sudah memastikan, sambaran 
lima batang pisaunya akan menancap 
tepat pada tubuh kakek gendut itu, 
sedang yang sebatang tentu akan dapat 
memutuskan tali yang menggantung Dewi 
Sritanjung. 
Dan tali itu memang putus oleh 
sambaran pisau. Namun Rudra Sangkala 
menjadi kaget merasa kecewa dan hampir 
tidak  percaya kepada pandang matanya 
sendiri. 
Kakek gendut itu yang semula ia 
duga akan terpanggang oleh pisaunya, 
ternyata belum mati. Entah bagaimana 
cara kakek ini menyelamatkan diri. 
Yang jelas semua pisau sudah menancap 
pada dahan dan batang pohon. Sedang 
kakek itu sendiri kemudian dengan 
gerakan yang mengagumkan, sudah mela-
yang turun sambil mengepit tubuh Dewi 
Sritanjung yang masih pingsan. 
Namun demikian rasa kagetnya 
hanya sebentar saja menghuni dalam 
dadanya. Tangannya kembali bergerak 
dan tujuh sinar berkeredap telah 
menyambar ke arah si kakek yang sedang 
meluncur turun. 
“Hayaaaa...!” 
Kakek itu mengebutkan lengan 
jubahnya dan tujuh batang pisau 
terbang itu secara ajaib sudah ter-
tangkap oleh lengan jubah. Dan ketika 
tangan kakek itu bergerak, wutt.... 
tujuh batang pisau itu menyambar ke 
bawah. 
Saking kaget dan tidak pernah 
menduga, Rudra Sangkala seperti 
terpaku di tanah. Tetapi justru per-
buatannya yang tidak sengaja ini malah 
menyelamatkan dirinya dari maut Sebab 
pisau itu telah menancap di sekitar 
kakinya, dan yang tampak tinggal 
hulunya saja. 
Kakek gendut berjubah putih dan 
gundul ini tidak lain tokoh yang kita 
kenal. Seorang tokoh sakti berhati 
emas, yang selalu ringan tangan 
menolong orang, tanpa mengharapkan 
pamrih untuk pribadi. 
Kakek itu sekarang sudah berdiri 
di tanah dan Dewi Sritanjung dikepit 
pada ketiak kiri. Ia menatap Rudra 
Sangkala dengan sepasang mata 
bersinar-sinar, lalu menegur, “Hai 
bocah! Mengapa sebabnya engkau 
demikian kejam? Aku toh sudah tua, 
tanpa engkau bunuh pun, tidak lama 
lagi aku akan mati dengan sendirinya, 
sesuai dengan takdir Dewata. Tetapi 
apakah sebabnya engkau seperti tidak 
sabar menunggu saat Dewata memanggil 
aku pula?” 
“Tetapi engkau sendiri yang cari 
perkara. Jika Kakek tidak mengganggu 
aku, tentu saja aku takkan mengganggu 
kau.” 
“Orang muda, hati-hati sedikit 
kau bicara. Siapakah yang sudah 
mengganggu?” 
Rudra Sangkala mendelik saking 
penasaran. Sudah jelas kakek ini 
mengganggu dirinya, mengapa masih juga 
bertanya dan tidak mau mengaku? Karena 
itu bentaknya lantang, “Kakek tua 
bangka! Huh, engkau jangan menggunakan 
kepandaianmu bersilat lidah. Sudah 
jelas engkau yang mengganggu diriku, 
mengapa engkau masih juga menyangkal?” 
“Heh heh heh heh,” kakek itu 
terkekeh geli. “Engkau sudah memutar-
balikkan kenyataan, bocah! Engkau 
sendiri yang lancang tangan, engkau 
malah menuduh orang lain telah 
mengganggumu. Kalau saja engkau tidak 
main curang merobohkan gadis ini 
dengan racun, siapakah yang sudi 
mencampuri urusanmu?” 
“Akan tetapi gadis itu tidak 
mempunyai hubungan apa pun dengan 
kau!” 
“Siapa bilang? Hayo, siapa yang 
bilang tidak mempunyai hubungan? Bocah 
ini masih saudaraku.” 
“Apa? Saudaramu? Apakah engkau 
tahu nama gadis ini?” 
“Hemm, aku tak tahu namanya. 
Tetapi jelas gadis ini saudaraku, maka 
menjadi kewajibanku untuk menyelamat-
kan dari tanganmu yang jahat. Tetapi 
sebaliknya engkau pun masih mempunyai 
hubungan saudara pula. Apakah engkau 
tidak tahu?” 
“Kakek tua bangka yang tidak tahu 
malu, engkau jangan mengacau. Siapakah 
yang sudi mempunyai saudara macam 
engkau?” 
“Heh heh heh heh, jika engkau 
tidak sudi tidaklah apa. Tetapi yang 
jelas semua manusia yang hidup di atas 
bumi ini mempunyai hubungan saudara. 
Sebab manusia pertama yang diciptakan 
oleh Dewata Agung itu hanya dua orang 
saja. Yang seorang laki-laki bernama 
Adam dan yang seorang perempuan dengan 
nama Hawa.” 
Dada Rudra Sangkala seperti mau 
meledak saking marahnya. Kiranya 
dirinya sekarang ini berhadapan dengan 
seorang kakek sinting. Kalau tidak 
sinting mana mungkin bicara seperti 
ini? Saking tak kuat lagi menahan 
marahnya, pemuda ini sudah membentak 
lantang. 
“Kakek tua bangka! Engkau jangan 
memancing kemarahanku. Hayo, cepat 
kembalikan obat pemunah racun milikku 
dan juga gadis itu.” 
“Heh heh heh heh, orang muda, 
ketahuilah bahwa diriku bukan orang 
serakah. Aku hanya memerlukan sebutir 
obat pemunah racun ini. Nah, yang lain 
aku kembalikan. Nih!” 
Benar juga! Kakek gendut ini 
hanya mengambil sebutir obat saja. 
Obat yang sebutir itu langsung ia 
masukkan ke mulut Dewi Sritanjung. 
Sedangkan kantung hijau yang penuh 
obat pemunah racun itu segera 
dilemparkan kepada Rudra Sangkala. 
Dengan gagah Rudra Sangkala 
segera menyambar kantung yang dilem-
parkan itu. Akan tetapi betapa kaget 
pemuda ini ketika lemparan yang 
nampaknya perlahan itu, mengandung 
tenaga dahsyat yang tidak nampak. 
Kendati Rudra Sangkala itu sudah 
mengerahkan kekuatannya, tidak urung 
masih terhuyung beberapa langkah ke 
belakang. 
Setelah menyimpan kembali kantung 
obat pemunah racun itu, sambil men-
delik Rudra Sangkala sudah membentak, 
“Kakek busuk! Apakah engkau sengaja 
menghina orang muda?” 
“Hemm, bocah! Siapa yang 
menghina? Aku tidak menghina siapa 
pun, baik yang tua, maupun yang muda. 
Baik yang gemuk maupun yang kurus, dan 
baik yang belum ubanan maupun yang 
sudah ubanan. Juga baik kepada orang 
waras maupun kepada orang gendeng.” 
Sring.... 
Tahu-tahu seleret sinar kuning 
kemilauan sudah siap pada tangan 
kanan. “Kakek busuk! Jika kau tetap 
membandel, aku Rudra Sangkala, murid 
tunggal Ibu Murti Sari, akan membunuh 
kau dengan pedang ini.” 
Sebenarnya memang ada maksud 
tertentu dari Rudra Sangkala, menyebut 
nama gurunya ini. Maksudnya agar kakek 
ini menjadi kaget dan mau mengalah. 
Akan tetapi celakanya, Mpu Anusa 
Dwipa tidak takut. Kakek ini malah 
tersenyum, lalu jawabnya, “Tanpa 
engkau beritahu pun, sesungguhnya aku 
sudah tahu jika engkau murid Murti 
Sari, perempuan yang galak itu. Huh, 
ketahuilah bocah, di dunia ini hanya 
seorang saja yang menggunakan racun 
wangi sebagai senjata, ialah gurumu. 
Sudahlah bocah, sebaiknya engkau 
mengalah saja padaku. Relakanlah gadis 
ini untuk  aku. Bocah, aku sudah tua 
tentu saja sulit bagi diriku untuk 
memperoleh gadis yang lebih muda dan 
secantik ini. Berbeda dengan engkau 
toh masih muda. Tanpa memaksa pun 
tentu banyak gadis yang suka kepada 
engkau.” 
Rudra Sangkala mendelik mendengar 
jawaban  Mpu Anusa Dwipa ini dan 
matanya seperti menyinarkan api. 
Ternyata dugaannya benar belaka, kakek 
gendut ini memang ‘bandot tua’ yang 
masih suka daun muda. Karena sudah tua 
dan tidak ada lagi gadis yang mau 
mendekati, lalu menggunakan kesempatan 
merebut dari  tangan orang lain. 
Sungguh tidak tahu malu, bandot tua 
seperti ini harus ia bunuh. 
“Huh, bandot tua kurang ajar! 
Engkau tidak bisa mencari gadis, 
tahumu hanya merebut milik orang. 
Sekarang harus mampus dalam tanganku.” 
Sambil membentak ia sudah 
menerjang  maju, memilih jurus ilmu 
pedangnya yang paling hebat dan berba-
haya. Ia sadar sekarang ini berhadapan 
dengan kakek sakti mandraguna. 
Dugaannya ini ia mendasarkan teba-
kannya yang tepat tentang gurunya 
Murti Sari. 
Sadar menghadapi kakek sakti ia 
tidak berani sembrono. Karena itu 
dalam serangannya ini ia tidak 
tanggung-tanggung lagi. Di samping 
menggunakan pedang pusaka, tangan 
kirinya sudah membantu dengan menye-
barkan racun wangi untuk mengalahkan 
lawan. 
Siut wut.... tik tik.... 
“Hayaaaaa...!” 
Gerakan Rudra  Sangkala memang 
cepat sekali. Tetapi gerakan Mpu Anusa 
Dwipa lebih cepat lagi dalam menghin-
darkan diri. Hingga semua serangan 
Rudra Sangkala luput. 
Tiba-tiba kakek gendut ini 
menggerakkan cuping hidungnya dan mem-
bentak, “Kurang ajar! Kau menggunakan 
racun wangi untuk mengalahkan aku? 
Huh, kalau saja bukan murid Murti 
Sari, engkau tentu sudah aku pukul 
mampus!” 
Sambil bicara Mpu Anusa Dwipa 
sudah menggerakkan lengan jubah yang 
panjang itu. Lengan jubah yang terbuat 
dari kain itu sekarang berubah seperti 
hidup. Seakan sudah berubah menjadi 
seekor ular yang sedang marah. Dan 
sambaran lengan jubah ini menerbitkan 
angin kuat sekali. 
Mendadak saja Rudra Sangkala 
kaget sekali. Ia sudah menggunakan 
kecepatannya bergerak dan mengerahkan 
seluruh tenaganya. Tetapi sungguh 
celaka sekali, di luar kemauannya 
lengan yang memegang pedang itu 
seperti tidak berdaya, dan secara 
mendadak pula tubuhnya sudah ikut 
berputar mengikuti gerak arah putaran 
angin yang menyambar dari lengan 
jubah. 
Makin ia mengerahkan tenaga untuk 
melawan, putaran itu justru semakin 
bertambah kuat. Kemudian tubuhnya 
berputar seperti gasing, dan sama 
sekali tidak dapat melawan lagi. 
Sebagai akibatnya kepala menjadi 
pusing, dada sesak dan pandang mata 
kabur. Ia sadar putaran angin ini amat 
berbahaya, tetapi usahanya melawan 
sia-sia belaka. Apabila keadaan ini 
berlangsung terus, jiwanya tentu 
terancam. Namun untuk berteriak minta 
ampun, ia pun tidak sudi karena malu. 
Makin lama Rudra Sangkala semakin 
payah. Ia sudah tidak bisa melawan 
lagi, dan tinggal mengikuti angin 
putaran yang semakin lama bertambah 
dahsyat. 
Tiba-tiba saja ia merasakan 
dirinya seperti terbang. Kakinya tidak 
menginjak bumi lagi dan beberapa 
batang pohon berseliweran di bawah 
kakinya. Sebagai seorang pemuda yang 
sudah cukup pengalaman ia sadar 
dirinya sekarang sudah terlempar oleh 
kekuatan maha dahsyat. Maka yang bisa 
dilakukan sekarang tidak lain hanya 
menjaga keseimbangan tubuh agar tidak 
jatuh ke tanah tidak terbanting. 
Blung.... 
“Aduhhh...!” pekik Rudra Sangkala 
yang nyaring, kemudian ia menangis 
kesakitan. 
Ternyata walaupun ia sudah 
berusaha menjaga keseimbangan tubuh-
nya, agar tidak sampai terbanting, 
harapannya sia-sia belaka. Ia 
terbanting keras sekali di tanah 
dengan pantat lebih dahulu. 
Maka kita tidak aneh apabila 
pemuda ini mengaduh-aduh kesakitan, 
meringis, dan tidak cepat dapat 
berdiri, dan ia terpaksa mengusap-usap 
pantat dan tengah selakangnya. 
Rasa nyeri, kiut-miut,  cekot-
cekot, panas dan senut-senut  campur 
aduk menjadi satu. Karena pada saat 
dirinya terbanting tadi, tengah 
selakangnya terbentur oleh tonggak 
kayu yang menonjol. Maka tidak 
terbayangkan betapa sakit dan derita 
pemuda ini, kecuali bagi orang yang 
sudah pernah mengalami sendiri, tengah 
selakangnya terjepit. 
Dan kepala pemuda ini pun terasa 
lebih pening dan pandang matanya 
semakin kabur, sedang jari tangan 
masih tetap sibuk mengelus-elus tengah 
selakangnya. Ketika rasa pening sudah 
banyak berkurang dan rasa cekot-cekot 
tengah selakang hampir tak terasa 
lagi, ia memandang ke depan. Tetapi 
kakek gundul berjubah putih itu sudah 
tidak tampak lagi. 
“Huh, bangsat tua cabul! Pada 
saatnya nanti aku tentu akan dapat 
membalas kekurang-ajaranmu!” desisnya 
sambil bangkit berdiri. 
Setelah memungut pedangnya yang 
tadi terlempar dan disarungkan 
kembali, ia meninggalkan tempat itu 
dengan hati masygul dan kecewa. 
Mpu Anusa Dwipa sekarang sudah 
duduk di rerumputan, dan Dewi 
Sritanjung didudukkan di depannya, 
disandarkan pada batang pohon. Kakek 
gendut ini matanya berkedip-kedip 
mengamati wajah ayu Dewi Sritanjung, 
sedang mulutnya beberapa kali 
menyeringai. 
Ternyata ia tidak terlalu lama 
menunggu gadis ini, karena sudah mulai 
bergerak dan kemudian membuka matanya. 
Gadis ayu ini kaget lalu melompat 
berdiri, ketika mendapatkan dirinya 
bersandar pada batang pohon, sedang di 
depannya duduk seorang kakek gendut 
pendek yang mulutnya menyeringai dan 
belum pernah ia kenal. 
Pada mulanya gadis ini menduga, 
kakek gendut ini bukan manusia. Karena 
dalam keadaan duduk ini kakek itu 
pendek sekali dan hampir bundar bagai 
bola. 
“Kakek tua, engkau apakan aku 
ini?” tegurnya penuh curiga, ber-
hadapan dengan kakek belum ia kenal. 
“Heh heh heh heh, apakah sebabnya 
engkau malah bertanya kepadaku? 
Mestinya engkau tanyakan kepada dirimu 
sendiri, engkau sudah aku apakan?” 
Jawaban Mpu Anusa Dwipa ini 
barang tentu menyebabkan Dewi Sri-
tanjung kaget sekali. Gilakah kakek 
ini? Kalau dirinya tahu sebabnya, 
tentu saja tidak bertanya. Tetapi 
mengapa kakek ini malah menganjurkan 
bertanya kepada diri sendiri? 
Hampir saja Dewi Sritanjung 
marah. Namun mendadak ia teringat 
kepada apa yang tadi sudah dialami. Ia 
ingat berkelahi melawan seorang 
pemuda. Namun kemudian pandang matanya 
menjadi kabur dan selanjutnya ia tidak 
ingat apa-apa. Tahu-tahu sekarang 
dirinya sudah berada di depan kakek 
ini. 
“Kek, terangkanlah. Di manakah 
pemuda kurang ajar yang tadi berkelahi 
dengan aku?” 
Mpu Anusa Dwipa tidak cepat 
menjawab dan masih tetap saja duduk 
tidak bergerak. Hanya sepasang matanya 
saja yang membuktikan bahwa masih 
hidup, berkedip-kedip seperti bintang 
di langit. 
Karena mengira kakek ini belum 
mendengar, ia mengulangi lagi, “Kek, 
terangkanlah. Di manakah pemuda kurang 
ajar tadi yang telah berkelahi dengan 
aku? Dan mengapa pula sebabnya aku 
sampai di tempat ini?” 
Tiba-tiba Mpu Anusa Dwipa 
terkekeh sebelum menjawab. Kemudian, 
“Hemm, engkau tadi roboh di tangan 
pemuda itu, bukan? Kemudian engkau 
ditawan dan akan dibawa pergi. Tetapi 
ketika pemuda itu lewat di sini, dia 
aku hadang. Kemudian engkau kurebut 
dari tangan dia.” 
“Ohh....!” Tiba-tiba saja Dewi 
Sritanjung menjatuhkan diri dan 
berlutut, memberi hormat kepada kakek 
gendut yang masih duduk itu. Sebab 
sadarlah ia sekarang, kakek gendut ini 
adalah penolongnya, hingga dirinya 
dapat selamat dari bahaya. 
Setelah berlutut, gadis ini 
kemudian berkata, “Kakek, terima kasih 
atas pertolonganmu.” 
“Heh heh heh heh, siapakah yang 
menolong engkau? Aku merebut dari 
tangan bocah tadi, karena aku sendiri 
memang butuh engkau.” 
Betapa kaget Dewi Sritanjung 
hingga ia sudah melompat berdiri 
dengan tangan kanan sudah siap pada 
hulu pedang pusaka Tunggul Wulung. 
Sepasang mata gadis ini mendelik dan 
kemudian membentak. 
“Kau.... kau tua bangka masih 
ingin perempuan muda? Huh, bandot tua! 
Apakah engkau tidak malu kepada 
tubuhmu sendiri yang sudah hampir 
mampus?” 
“Heh heh heh heh, apakah 
bedanya?” Mpu Anusa Dwipa terkekeh 
tetapi masih tetap duduk. “Aku juga 
laki-laki seperti pemuda tadi, dan 
laki-laki seratus prosen. Sedang tua 
dan muda itu bukankah hanya oleh 
perbedaan umur saja?” 
Kakek ini berhenti dan memandang 
Dewi Sritanjung mencari kesan. Setelah 
berkedip-kedip, ia meneruskan, “Hai 
bocah, dengarlah. Bukankah tentang 
manusianya toh sama saja? Di dunia ini 
laki-laki selalu butuh perempuan, dan 
sebaliknya perempuan butuh laki-laki. 
Hayo, katakanlah, apakah engkau tidak 
membutuhkan laki-laki dan selama hidup 
engkau  akan hidup sendirian sebagai 
perawan?” 
“Jahanam. Setan alas! Kakek tua 
bangka yang cabul!” bentak Dewi 
Sritanjung yang cepat tersinggung dan 
marah mendengar ucapan Mpu Anusa 
Dwipa. 
Tetapi sekalipun demikian, dalam 
hati ia juga menyesal, mengapa dirinya 
ini sial bertumpuk-tumpuk? Dan mengapa 
pula dirinya harus berhadapan dengan 
laki-laki berwatak buaya? Yang muda 
apa lagi sedangkan yang tua pun masih 
tidak malu berburu perempuan. 
Dan Mpu Anusa Dwipa masih tetap 
saja duduk, menjawab, “Heh heh heh 
heh, engkau  boleh memaki apa saja 
kepada diriku, Cah Ayu! Pendeknya aku 
ini seorang laki-laki dan engkau gadis 
yang ayu. Hayo, mau apa lagi kalau 
sudah begitu?” 
“Setan alas! Babi, celeng, 
anjing, kunyuk, bedebah busuk! Kau 
bandot tua yang ingin mampus...!” 
Dada Dewi Sritanjung berombak 
saking marahnya. Tetapi celakanya 
kakek gendut ini, mendapat caci maki 
masih saja duduk santai. Malah mata 
kakek ini berkedip-kedip sedang 
mulutnya menyeringai. 
“Cah Ayu, teruskanlah caci-makimu 
itu. Hayo, apa lagi? Sebutlah semua 
binatang yang kotor dan boleh pula 
engkau menyebut diriku dengan jahanam 
busuk. Heh heh heh heh.” 
“Jahanam busuk!” Tanpa sesadarnya 
Dewi Sritanjung menirukan. 
Dan kakek itu, perutnya yang 
gendut bergerak-gerak, terkekeh geli. 
“Teruskanlah. Hayo, teruskanlah, heh 
heh heh heh.” 
“Keparat! Kakek tua bandot dan 
jahanam busuk. Cacing busuk, babi 
kudisan, bandot bangkotan! Sepasang 
matamu seperti kucing melihat ikan 
asin. Mulutmu menyeringai seperti kera 
makan trasi. Huh, setan alas! Hayo 
berdirilah dan hayo berkelahi melawan 
aku jika engkau memang berani.” 
“Ha ha ha ha.” Mpu Anusa Dwipa 
ketawa bekakakan. “Apakah sekarang kau 
sudah puas mencaci-maki aku? Dan 
sekarang kau akan membunuh aku dengan 
pedangmu?” 
“Manusia macam kau, bandot tua, 
babi gila, celeng sinting, kenapa 
tidak dibunuh mampus saja, agar dunia 
ini tidak kotor? Hayo bersiaplah. Aku 
tidak mau menyerang orang yang tidak 
mau melawan.” 
Sring...! 
Pedang yang menyinarkan cahaya 
biru segera tercabut dari sarung, dan 
gadis ini sudah siap menghadapi segala 
kemungkinan. Walaupun belum banyak 
pengalaman, Dewi Sritanjung sudah 
dapat menduga, kakek ini bukan orang 
sembarangan. 
Tetapi celakanya Mpu Anusa Dwipa 
masih tetap duduk dengan santai, dan 
jawabannya malah seenaknya, “Jika mau 
membunuh aku, kenapa pedangmu tidak 
lekas kau sabatkan ke leherku? Berdiri 
juga bakal mati, duduk pun akan mati. 
Tentu saja aku lebih suka duduk saja 
seperti sekarang ini.” 
Perut gadis ini menjadi panas dan 
dadanya seperti mau meledak merasa 
direndahkan orang. 
“Rasakan pedangku. Kepalamu akan 
segera berpisah dengan lehermu!” 
bentaknya nyaring. 
Siuutt.... wuuuttt.... 
“Aih....!” 
Dengan kecepatan luar biasa, 
seleret sinar itu berkelebat dan 
bergulung-gulung ke sekitar kakek 
gendut itu. Tetapi tiba-tiba gadis ini 
terbelalak kaget, sebab setelah ia 
menghentikan serangan, kakek itu sudah 
lenyap. 
Dewi Sritanjung celingukan. Ia 
tidak percaya begitu saja orang dapat 
lenyap secara tiba-tiba maupun 
menghilang. Dalam hati gadis ini 
menduga, tentu kakek gendut cabul itu 
sekarang bersembunyi. 
“Hai tua bangka cabul!” teriaknya 
lantang. “Apakah sebabnya engkau 
bersembunyi? Hayo, jika engkau memang 
laki-laki sejati dan gagah perwira, 
keluarlah dari tempat persembunyianmu. 
Inilah Dewi Sritanjung, murid tunggal 
Kiageng Tunjung Biru.” 
Tiba-tiba ia mendengar suara 
ketawa terkekeh dari atas, “Heh heh 
heh heh, kenapa tidak engkau sebut 
sekalian embah gurumu dan juga moyang 
gurumu? Ha ha ha ha, sangkamu apabila 
sudah memperkenalkan diri sebagai 
murid Kiageng Tunjung Biru, aku 
menjadi ketakutan seperti melihat 
gendruwo?” 
Dewi Sritanjung menengadah. Ia 
melihat kakek gendut itu sekarang 
sudah nongkrong dan berjongkok di atas 
dahan pohon yang cukup tinggi. 
Melihat itu diam-diam gadis ini 
kagum. Dalam keadaan duduk kemudian 
dapat melesat setinggi itu membuktikan 
kakek ini benar-benar seorang kakek 
sakti mandraguna. Tetapi sekarang ini 
ia dalam keadaan marah, maka gadis ini 
tidak peduli. Ia mengerahkan 
kepandaiannya meloncat tinggi sambil 
menyerang dengan pedangnya. 
Siutt.... wutt.... sing.... 
Sebagai murid Kiageng Tunjung 
Biru, begitu menjejak tanah, tubuhnya 
sudah meluncur ringan sekali ke atas. 
Pedangnya menyambar dahsyat tetapi 
kemudian gadis ini memekik kaget, 
ketika tiba-tiba kakek gendut itu 
terjatuh ke bawah dengan kepala di 
bawah dan kaki di atas. Karena itu ia 
menduga,  kakek itu tentu lepas dari 
pegangannya kemudian terpeleset dan 
akan mati dengan kepala hancur. 
Dewi Sritanjung sudah meluncur 
turun kembali ke tanah. Tetapi 
kemudian gadis ini terbelalak kaget. 
Ia bagai mimpi, menghadapi peristiwa 
yang cukup aneh ini. Pada  saat 
tubuhnya sendiri meluncur ke bawah 
ini, ternyata tubuh kakek gendut itu, 
yang sudah jatuh ke bawah dengan 
kepala lebih dahulu, tahu-tahu sudah 
membal lalu duduk di tempat semula. 
“Heh heh heh heh, apakah sebabnya 
engkau tidak jadi membunuh aku yang 
sudah tua ini?” ejek Mpu Anusa Dwipa. 
“Apakah engkau menginginkan si kakek 
bangkotan yang cabul ini masih hidup 
terus di dunia?” 
Sulit terbayangkan betapa marah 
gadis ini, diejek seperti itu. Jelas 
ia tadi sudah menyerang dengan maksud 
membunuh. Namun ternyata usahanya 
gagal, dan bagaimanakah cara kakek itu 
menyelamatkan diri, ia tidak tahu. 
Saking gemasnya gadis ini sudah 
membantingkan kakinya. 
Kemudian ia melengking nyaring 
lalu kembali menyerang kakek itu yang 
sekarang duduk di dahan pohon. Dan ia 
sudah siap sedia apabila kakek itu 
meluncur ke bawah, akan ia hajar 
dengan pedang pusakanya. 
Akan tetapi gadis ini lagi-lagi 
terbelalak kaget berbareng keheranan. 
Sebab tiba-tiba saja kakek gendut itu 
secara mendadak sudah lenyap. Dan 
ketika ia meluncur kembali turun ke 
bumi, ia menengadah. Tetapi ternyata 
ia tidak melihat kakek gendut itu tadi 
dan entah sudah pergi ke mana. 
“Heran! Ke manakah dia?” desisnya 
perlahan. 
Tetapi pada saat gadis ini sedang 
kebingungan dan mencari-cari, tiba-
tiba dari tempat yang agak jauh, ia 
mendengar suara halus masuk dalam 
rongga telinganya. 
“Cah Ayu, anak baik, cepatlah 
engkau pergi dari tempat ini. Sebab 
apabila pemuda yang menawan engkau 
tadi datang kembali bersama gurunya, 
aku tidak berani menanggung lagi 
keselamatanmu.” 
Mendengar suara halus ini, dan ia 
kenal suara si kakek gendut tadi, ia 
menjadi heran dan mengerutkan alis. 
Namun mendadak saja gadis ini 
menjatuhkan diri berlutut ke arah 
suara. 
“Aduh.... kakek yang baik...,” 
teriaknya. “Maafkanlah aku yang 
seperti buta ini. Terima kasih atas 
segala pertolongan Kakek. Akan tetapi, 
apakah sebabnya Kakek tidak sudi 
memperkenalkan diri?” 
Dan dari tempat yang jauh ia 
mendengar suara jawaban yang halus, 
“Anak baik, sudah seharusnya manusia 
di dunia ini saling tolong. Tetapi 
anak baik, sebutan menolong ini ada 
dua macam. Menolong secara ikhlas 
tanpa pamrih dan menolong tidak secara 
ikhlas dan berarti mempunyai pamrih. 
Ketahuilah Anak baik, jika ada orang 
menolong tetapi mengandung pamrih 
untuk mencari keuntungan diri, itu 
jelas bukan pertolongan namanya. Sebab 
apabila sebagai dasar memberi 
pertolongan itu mengandung pamrih, 
jelas sekali apabila pamrih yang 
dimaksud tidak diperoleh, orang itu 
takkan mau mengulurkan tangan dan 
memberi pertolongan. 
Sebaliknya yang kedua, menolong 
itu harus ikhlas, tanpa pamrih untuk 
kepentingan diri. Ia mengulurkan 
tangannya tiada lain hanya bermaksud 
menolong. Ia tidak mengharapkan 
sesuatu Nah, inilah yang baru bisa 
disebut pertolongan itu. 
Sekarang tentang namaku, mengapa 
sebabnya engkau repot? Bukankah 
sebenarnya nama itu hanyalah sebutan 
guna pengenal diri? Manusia hidup di 
dunia ini yang penting bukanlah nama 
dan kedudukan, tetapi adalah per-
buatan. Sebab walaupun manusia itu 
bernama mentereng, kedudukannya ting-
gi, berpangkat, kaya raya, apabila 
perbuatannya tidak patut, ia adalah 
manusia yang memalukan. Karena itu 
bagiku, Anak baik, engkau boleh 
menyebut dengan nama apa saja apabila 
ketemu kembali. Kau boleh menyebut 
kakek gendut, boleh juga kakek cabul, 
babi, cacing busuk dan apa lagi, heh 
heh heh heh.” 
“Ahhhh...!” Dewi Sritanjung 
memekik lirih dan ia menjadi amat 
menyesal. 
Ia menyesal mengapa tadi tanpa 
meneliti lebih dahulu, ia sudah curiga 
dan menduga yang bukan-bukan. Padahal 
ia tadi sudah mencaci-maki habis-
habisan, dan akibatnya tidak bisa lain 
kecuali minta maaf penuh penyesalan. 
Berhadapan dengan kenyataan yang 
aneh ini, Dewi Sritanjung baru menjadi 
ingat kepada petunjuk gurunya yang 
mengatakan, di dunia ini banyak tokoh 
sakti yang aneh. Dan kiranya kakek 
gendut itu tadi termasuk di dalamnya, 
termasuk tokoh aneh itu. Dia sudah 
memberi pertolongan namun tidak 
membanggakan pertolongannya, hingga 
dirinya salah duga, dan celakanya 
walaupun ia mencaci maki kalang kabut 
tidak ditanggapi. 
Namun demikian ia tidak berani 
terlalu lama di tempat ini. Peringatan 
kakek itu patut ia patuhi, sebab kalau 
pemuda itu benar kembali lagi dengan 
gurunya, tidak mungkin dirinya sanggup 
melawan. Oleh karena itu ia cepat 
menyarungkan pedangnya lalu secepatnya 
meninggalkan tempat itu. 
Tetapi sekalipun demikian benak 
gadis ini  masih terliputi pertanyaan 
yang menyesak dada. Siapakah kakek 
gendut berjubah putih dan gundul 
seperti pendeta itu? Ia tidak 
menyadari sama sekali telah bertemu 
dengan tokoh sakti berhati emas, Mpu 
Anusa Dwipa. Seorang kakek yang selalu 
mendekatkan diri kepada kebajikan, 
suka menolong orang yang sedang dalam 
kesulitan tanpa mengharapkan pamrih 
untuk pribadi. 
*** 
Dua orang gadis berumur duapuluh 
dua dan duapuluh satu tahun, duduk di 
atas batu di tepi Bengawan Solo yang 
mengalir dengan tenang. Di tempat 
mereka duduk sekarang ini merupakan 
tebing curam, terlindung oleh rim-
bunnya pepohonan. 
Wajah dua gadis itu tampak muram, 
pakaian mereka kusut, dan merupakan 
suatu keanehan dari sikap gadis. Sebab 
biasanya gadis akan selalu memper-
hatikan kerapian pakaian maupun 
perawatan diri agar selalu tampak 
cantik. 
Mereka cukup lama duduk ter-
menung, dan mata mereka mengamati air 
sungai yang mengalir dan jernih itu. 
Sedang keindahan alam dan sinar 
matahari pagi yang hangat itu seakan 
tidak ada artinya bagi mereka. 
Dua gadis ini sebenarnya kakak 
beradik. Yang tua bernama Sarindah dan 
yang muda bernama Sarwiyah, sedang 
wajah mereka tergolong gadis cantik. 
Kecantikan yang khas bagi para gadis 
desa dan kecantikannya itu merupakan 
kecantikan asli pemberian alam. 
Tetapi sekalipun demikian sinar 
matanya mencerminkan watak antara dua 
gadis ini. Yang tua sinar matanya 
mencerminkan watak keras, galak dan 
cerewet. Sebaliknya yang muda sinar 
matanya mencerminkan kelembutan, 
keibuan dan kehalusan seorang wanita. 
Tiba-tiba terdengar Sarindah 
menghela napas panjang. Sarwiyah 
mengangkat muka dan menatap kakaknya. 
Namun hanya sebentar, kemudian ia 
menundukkan kepalanya kembali tanpa 
membuka mulut. Lalu ia pun menghela 
napas panjang tetapi tidak terdengar 
jelas. 
“Wiyah, apakah kita harus hidup 
bergelandangan seperti ini terus?” 
tanya Sarindah mengandung penyesalan 
dalam. 
“Tentu saja aku pun tidak 
menginginkan, Mbakyu,” sahut Sarwiyah 
sambil menatap wajah kakaknya dengan 
sinar mata sayu. “Tetapi apa yang 
harus dikata, apabila keadaan memang 
menghendaki?” 
“Tetapi kita tidak boleh hanya 
menggantungkan diri kepada nasib 
melulu, Wiyah.” 
“Lalu, bagaimanakah maksudmu?” 
“Bagaimanapun kita berdua harus 
berusaha sekuat tenaga.” 
Sarindah menghela napas panjang 
lagi. Lalu terdengar gerutunya yang 
bernada gemas. “Huh, semua ini tidak 
lain adalah gara-gara jahanam busuk 
Gajah Mada! Huh, kelak kemudian hari 
akan datang saatnya pembalasanku!” 
Sarwiyah keheranan. Kemudian ia 
memandang kakaknya sambil bertanya, 
“Mbakyu, apakah maksudmu, dan mengapa 
pula engkau menyalahkan Gajah Mada?” 
“Mengapa tidak? Dialah biang 
keladi hidup kita yang tidak beruntung 
ini!” desis perempuan ini dengan nada 
gemas. “Lupakah engkau, ayah kita 
dibunuh mati oleh jahanam itu? Dan 
yang masih segar dalam ingatan kita, 
bukankah kakek pun tewas dalam tangan 
jahanam itu?” 
Untuk sejenak Sarwiyah memandang 
kakaknya dengan pandang mata heran. 
Kemudian gadis ini berkata, “Tetapi 
Mbakyu, Kakek tewas secara wajar. Dia 
dikalahkan dalam perkelahian melawan 
Mahapatih Gajah Mada. Mengapa harus 
kita sesalkan? Dan tentang ayah kita, 
Mbakyu, apakah engkau lupa kepada 
penjelasan Mahapatih Gajah Mada sesaat 
sebelum berkelahi dengan Kakek? Waktu 
itu Gajah Mada sedang menyelamatkan 
Raja Jayanegara, dalam kedudukannya 
sebagai Bekel Bhayangkara Majapahit.” 
Gadis ini berhenti mengambil 
napas. Lalu, “Ayah merupakan salah 
seorang anggota pasukan Bhayangkara 
penyelamat Raja itu. Tetapi ternyata 
Ayah kemudian minta diri dengan alasan 
menjenguk keluarga. Ketika itu Gajah 
Mada curiga, maka Ayah kita dibunuh, 
demi  keselamatan Raja. Tindakan itu 
tidak bisa kita salahkan dan kita 
sesalkan Mbakyu, sebab Gajah Mada 
sedang membela Raja. Apalagi kemudian 
terbukti, ayah kita termasuk salah 
seorang sekutu Bendara Kuti yang 
memberontak, maka....” 
“Wiyah!” bentak Sarindah lantang 
memotong ucapan adiknya yang belum 
selesai itu, dan sepasang mata gadis 
ini menyala, pertanda marah. “Engkau 
adalah anak ayah dan cucu kakek macam 
apa ini? Sebagai seorang anak ayah dan 
seorang cucu Kakek si Tangan Iblis 
yang dibunuh orang, mengapa sebabnya 
engkau tidak membela ayah dan kakekmu, 
malah engkau menyalahkannya? Apakah 
engkau akan memusuhi keluargamu sen-
diri dan membela musuh?” 
Bentakan kakaknya ini menyebabkan 
Sarwiyah terdiam, sekalipun sebenarnya 
apa yang ia ucapkan tadi beralasan, 
sebagai ungkapan kejujuran hati yang 
mengakui bahwa ayah dan kakeknya 
memang pada pihak bersalah, dan 
mengapa harus membela? 
Akan tetapi dasar seorang gadis 
yang berperasaan halus dan selalu 
tunduk pada kakaknya, maka selama 
hidup ia tidak pernah sanggup 
berbantahan dan bertengkar dengan 
mbakyunya ini. Dan selamanya ia selalu 
bersikap mengalah, sekalipun sebe-
narnya pada pihak yang benar. 
Sarindah masih menatap tajam 
adiknya. Lalu, “Wiyah! Jika aku tidak 
mengingat engkau adalah adikku, tentu 
sudah aku hancurkan  kepalamu, tahu?! 
Ucapanmu itu merupakan pengkhianatan 
terhadap keluarga yang tidak tanggung-
tanggung. Wiyah, engkau harus ber-
pendirian tegas. Apapun alasannya, 
kematian Ayah dan Kakek harus kita 
balas dan tanpa bisa ditawar-tawar 
lagi. Mengerti?!” 
Sarwiyah terpaksa mengangguk 
juga, jawabnya, “Mengerti, Mbakyu.” 
Sekalipun demikian anggukan dan 
jawaban ini bertentangan dengan isi 
hatinya, ia terpaksa melakukannya 
juga. 
“Nah, jika engkau sudah mengerti, 
engkau adalah adikku yang baik. Engkau 
anak Ayah dan engkau cucu Kakek yang 
dapat membalas budi kebaikan orang 
tua. Hemm, betapa menyesal Ayah maupun 
Kakek di alam sana dan akan mengutuk 
dirimu, apabila kau berkhianat.” 
Sarindah berhenti sejenak mencari 
kesan. Kemudian ia melanjutkan, 
“Engkau harus mengerti, Wiyah. Gara-
gara Gajah Mada yang jahat itu, kita 
mengalami hidup seperti sekarang ini. 
Kita terpaksa harus hidup bergela-
ndangan karena takut pulang ke Tosari. 
Takut kalau-kalau Gajah Mada memerin-
tahkan orang-orangnya untuk menangkap 
kita. Apakah engkau tidak menginginkan 
bisa hidup tenteram seperti dulu?” 
(Tentang terbunuh matinya si 
Tangan Iblis atau kakek dari dua gadis 
ini, silakan baca buku Seri Dewi 
Sritanjung, berjudul “Mencari Ayah 
Kandung”, oleh pengarang yang sama.) 
“Tentu saja, Mbakyu. Sebab hidup 
seperti sekarang ini hati amat 
tersiksa.” 
“Itulah soalnya. Sekarang kita 
harus berusaha. Kita sekarang harus 
mau memeras pikiran dan tenaga. 
Bukankah engkau masih ingat juga, 
usaha mencari adik bungsu Sentiko, 
sampai sekarang belum juga berhasil?” 
Sarwiyah tambah muram teringat 
kepada adiknya, Sentiko. Padahal 
Sentiko adalah adik laki-laki satu-
satunya. Adik bungsu! Namun bocah itu 
pergi diam-diam, kemudian hilang dan 
sampai sekarang belum terdengar 
tentang kabar beritanya. Rasa dada 
gadis ini terhimpit teringat Sentiko. 
Dan Sarwiyah sekarang menjadi ingat, 
tugas yang ia hadapi cukup berat. 
Bukan saja tuntutan membalas sakit 
hati keluarga, tetapi masih pula harus 
mencari Sentiko sampai ketemu. 
“Lalu, bagaimanakah menurut 
pendapatmu, Mbakyu?” 
Untuk beberapa  saat lamanya 
Sarindah tidak menjawab. Wajah yang 
semula murung itu sekarang agak 
berseri dan kemudian jawabnya, “Wiyah, 
jika engkau bersedia menuruti perin-
tahku, usaha kita tentu berhasil.” 
“Katakanlah Mbakyu, apa yang 
harus kulakukan?” desaknya sambil 
memandang kakaknya. 
“Tugas yang harus kau lakukan, 
engkau harus mencari calon suamimu. 
Warigagung.” 
“Ahh...!” gadis ini berseru 
tertahan. “Mengapa harus mencari dia? 
Tidak, Mbakyu. Aku malu! Aku adalah 
gadis dan tak sampai hati apabila aku 
harus mengejar dia.... sekalipun dia 
calon suamiku. Apakah aku harus 
menurunkan martabatku sebagai wanita 
di mata laki-laki?” 
Sarindah mengerutkan alis tidak 
senang. Lalu katanya agak kasar, 
“Wiyah! Engkau harus mengerti, baik 
Warigagung maupun gurunya, Julung 
Pujud, ada dua orang yang bisa kita 
harapkan bantuannya. Padahal Wari-
gagung adalah calon suamimu dan Julung 
Pujud adalah calon mertuamu yang sudah 
mendapat persetujuan Kakek. Kenapa 
engkau harus merasa malu dan merasa 
mengejar laki-laki? Tidak! Engkau 
bukan mengejar,  tetapi merupakan 
kewajibanmu untuk membicarakan masalah 
kita ini kepada mereka. Maka aku 
percaya Warigagung maupun gurunya akan 
mengerti alasanmu, mengapa kau mencari 
mereka.” 
Sarindah berhenti, menghela napas 
pendek. Sejenak kemudian ia mene-
ruskan, “Kalau dahulu Kakang Tanu Pada 
yang aku cintai dan Kebo Pradah yang 
engkau cintai belum jelas kabar 
beritanya, memang waktu itu aku 
mengerti, engkau masih bimbang dan 
ragu. Tetapi Kebo Pradah sekarang 
sudah tewas oleh kecurangan Kaligis 
dan Sangkan. Huh, bangsat itu apabila 
bertemu dengan aku, tentu kuremukkan 
kepalanya. Sayang, waktu itu kita 
lengah sehingga sesudah tertangkap, 
mereka dapat melarikan diri.” 
Ia berhenti lagi dan sejenak 
kemudian lanjutnya, “Sudahlah Wiyah, 
pendeknya kau harus mencari Warigagung 
guna minta bantuannya.” 
“Dan Mbakyu menyertai keper-
gianku?” 
“Goblok! Mengapa aku dan engkau 
harus selalu begini terus? Engkau 
sudah dewasa dan ilmu kesaktianmu 
tidak mengecewakan. Maka sudah waktu-
nya engkau harus dapat hidup dan 
berdiri sendiri. Engkau jangan 
khawatir, aku pun akan berusaha sekuat 
kemampuanku. Sekarang aku harus pergi 
dan mencari bantuan. Sedang ke mana 
tujuanku, aku sendiri belum tahu 
pasti.” 
“Tetapi Mbakyu, apakah tidak 
lebih baik apabila kita ini terus 
berdua saja? Perlunya kita akan dapat 
bekerja sama setiap berhadapan dengan 
kesulitan.” 
“Wiyah, mengapa engkau ini 
sekarang menjadi penakut? Tidak! 
Pendeknya mulai sekarang ini kita 
harus berpisah. Engkau pergi mencari 
Warigagung dan aku akan mencari 
bantuan kepada orang lain. Marilah 
kita sekarang berpisah dan melakukan 
tugas masing-masing.” 
“Mbakyu, ahhh.... mengapa harus 
sekarang juga? Kita akan berpisah dan 
tak tahu kapan bisa bertemu kembali. 
Maka dari itu, kita gunakan waktu ini 
untuk persiapan perpisahan itu agar 
hati kita tidak demikian kosong.” 
“Wiyah! Waktu amat berharga bagi 
kita sekarang ini. Sudahlah, kita 
harus berpisah sekarang juga. Hayo, 
lekaslah kita berangkat. Dan aku pun 
akan menempuh perjalanan ke arah 
lain.” 
Sarwiyah sudah amat kenal watak 
dan sifat kakak perempuannya ini, yang 
tidak bisa dibantah kemauannya. Maka 
walaupun terasa berat ia harus 
berpisah, dan akhirnya Sarwiyah ban-
gkit juga lalu pergi. Ketika sudah 
melangkah agak jauh, ia membalikkan 
tubuh dan memandang ke arah Sarindah 
yang masih duduk di atas batu. 
Melihat kebimbangan adiknya, 
Sarindah berteriak lantang, “Lekaslah 
pergi, Wiyah! Engkau jangan menoleh 
lagi kemari. Saat kita akan berpisah 
memang berat. Namun sesudah dilakukan 
takkan terasa lagi.” 
Sarwiyah membalikkan tubuh tanpa 
menjawab, tetapi yang jelas gadis ini 
berusaha menyembunyikan air matanya 
yang mengalir turun. Gadis ini merasa 
juga betapa beratnya berpisah dengan 
kakaknya, sehingga gadis itu menangis. 
Ketika Sarwiyah sudah tidak 
tampak bayangannya lagi, Sarindah 
menghela napas panjang. Terbayanglah 
kini semua perjalanan hidupnya. Bebe-
rapa bulan lalu dirinya, Sarwiyah dan 
kakeknya masih hidup terhormat di 
Tosari dan juga mempunyai beberapa 
orang murid laki-laki. Dan di antara 
murid laki-laki itu, ia mencintai 
pemuda pendiam bernama Tanu Pada. 
Sedangkan Sarwiyah mencintai Kebo 
Pradah. Namun ternyata kemudian dua 
orang pemuda itu harus tewas dalam 
tangan Kaligis dan Sangkan yang 
curang. 
Sekarang bukan saja dirinya 
kehilangan pemuda yang ia cintai, 
tetapi juga kakeknya tewas dalam 
tangan Gajah Mada.  Sekarang terpaksa 
hidup tidak menentu sebagai gadis yang 
bergelandangan. 
Tetapi Sarindah tidak lama duduk 
termenung di tempat ini. Kemudian ia 
bangkit dan melangkah cepat menuju ke 
barat. Ia sudah mempunyai rencana 
tetap. Sarindah akan minta bantuan 
seorang sakti yang pernah ia dengar, 
bertempat tinggal di Ngaglik, lereng 
Gunung Lawu. 
Di sana menurut keterangan yang 
pernah ia dengar, hiduplah seorang 
kakek yang telah lumpuh dua kakinya. 
Kakek ini menurut keterangan baru 
berumur sekitar empat puluh lima 
tahun. Tetapi sebagai akibat lumpuhnya 
kaki itu menjadi tampak lebih tua dan 
kakek itu pun menjadi jorok. 
Terhadap masalah joroknya kakek 
itu sebenarnya Sarindah tidak peduli. 
Sebab yang penting bagi dirinya 
sekarang, bukankah kakek bernama 
Madrim itu mempunyai keahlian yang 
amat ia butuhkan? 
Kakek Madrim itu seorang ahli 
ilmu hitam. Dia dapat membunuh orang 
dengan jampi-jampi dan mantra gaib. 
Maka dalam usahanya membalas dendam 
kepada Gajah Mada, kiranya hanya 
dengan sarana itu sajalah yang paling 
tepat. Namun yang menyebabkan gadis 
ini agak ragu adalah syarat untuk 
meluluskan permintaannya itu, dan 
tiba-tiba saja bulu kuduknya meremang 
dan tubuhnya gemetaran merasa ngeri. 
Menurut keterangan yang sudah ia 
peroleh, syarat kakek itu aneh! 
Berhubungan dengan lumpuhnya itu ia 
menjadi benci kepada setiap laki-laki. 
Maka apabila ada laki-laki yang berani 
datang ke pondoknya, orang itu tentu 
mati terbunuh oleh Kakek Madrim. Atau 
kalau hati Kakek Madrim sedang riang, 
maka laki-laki yang berani datang ke 
pondoknya tentu  menjadi lumpuh dua 
kakinya oleh tangan kakek itu. 
Mungkin, siksaan itu mempunyai maksud 
agar sama dengan dirinya yang lumpuh. 
Apakah watak seperti itu tidak 
aneh? Orang tidak bersalah, kakek itu 
sanggup membunuh dan atau menyiksa. 
Mungkinkah hal seperti ini merupakan 
suatu penyakit yang menghinggapi jiwa 
Kakek Madrim sesudah kakinya lumpuh? 
Karena dirinya menderita lumpuh maka 
kakek ini menjadi iri dan tidak senang 
kepada setiap laki-laki yang tidak 
cacat? 
Sebaliknya, kakek itu akan 
menerima dengan senang hati dan tangan 
terbuka, mulut tertawa dan wajah 
berseri, apabila orang yang datang 
berkunjung ke pondoknya itu seorang 
perempuan. Lebih lagi apabila yang 
datang itu gadis atau perempuan muda 
yang cantik wajahnya. Kakek Madrim 
akan menyambut kedatangan tamu itu 
dengan sikap amat manis. Dan semua 
permintaan tamu-tamu perempuan ini, 
akan dilayani dengan senang hati. 
Dia akan melayani orang minta 
obat untuk penyakit ringan sampai 
kepada penyakit yang sudah parah. 
Kemudian orang yang patah hati karena 
cinta, maupun sampai kepada guna-guna 
untuk menundukkan orang yang tidak mau 
membalas cintanya. Demikian pula 
tentang masalah yang disebut tenung, 
kakek itu sanggup memberinya. 
Dan menurut kabar, orang yang 
tertenung oleh Kakek Madrim itu dalam 
waktu mendadak akan mati didahului 
dengan muntah darah yang bercampur 
dengan jarum karatan, ijuk, paku dan 
beberapa benda yang lain. 
Akan tetapi sebagai sarana bagi 
setiap orang yang minta bantuan itu, 
syarat Kakek Madrim selalu aneh dan 
tidak lumrah. Sebab perempuan yang 
datang dan minta pertolongan itu harus 
mau menyerahkan diri sebagai “isteri” 
tanpa nikah, sedikitnya satu hari satu 
malam. 
Tiba-tiba Sarindah menghentikan 
langkahnya, dan tubuhnya tampak 
gemetaran, bulu kuduk berdiri teringat 
syarat semacam itu. Haruskah dirinya 
yang selama ini selalu menjaga 
kesuciannya sebagai perawan, secara 
mudah menyerah kepada Kakek Madrim 
yang lumpuh dan jorok itu? 
Akan tetapi kemauannya membalas 
dendam menggebu-gebu. Maka walaupun 
dirinya harus menjadi korban, semua 
itu merupakan pengorbanan suci demi 
keluarga. Demi ayahnya maupun kakeknya 
yang sudah tewas di tangan Gajah Mada. 
“Tidak, tidaaaakkkk!” pekiknya. 
“Manakah mungkin harus menerima begitu 
saja syarat yang gila-gilaan itu? 
Tidak sudi.... tidak sudiiii...!” 
Sarindah menjatuhkan diri dan 
duduk pada sebuah batu di bawah pohon 
rindang. Ia menghela napas berat, lalu 
merenung. Sedang keringat yang 
membasahi leher dan tubuhnya ia 
biarkan saja mengalir pada kulit yang 
halus dan lumar itu. 
“Hemm, tetapi apakah dayaku?” 
desisnya. “Hanya dengan jalan minta 
pertolongan Kakek Madrim itu sajalah, 
jalan termudah bagiku untuk dapat 
membalaskan sakit hati keluargaku. Dan 
tanpa lewat tenung itu, manakah 
mungkin aku dapat mengalahkan orang 
yang kedudukannya setinggi itu? Dia 
selalu dikawal keselamatannya oleh 
prajurit. Dua puluh tahun lagi belum 
tentu aku dapat mencapai cita-citaku 
tanpa bantuan orang lain.” 
“Tetapi pertolongan Madrim itu 
hanya diberikan apabila engkau 
bersedia menjadi isterinya tanpa nikah 
sehari semalam,” teriak hatinya yang 
marah.  “Semurah itukah harga diriku, 
dan harus menyerahkan kehormatan dan 
harga diriku kepada kakek lumpuh?” 
“Engkau jangan sembarangan 
bicara!” bentak kemauan. 
“Huh, engkau jangan menuduh aku 
semurah itu kawan. Aku sudah berumur 
dua puluh dua tahun, tetapi aku tetap 
pandai menjaga kesucianku. Kalau seka-
rang terpikir olehku untuk menyerahkan 
diri kepada kakek itu, tidak lain demi 
kepentingan kita semua. Demi membalas 
sakit hati orang tua,” sambung si 
pikiran. 
“Nah, engkau benar!” sambut 
kemauan. “Pengorbanan satu hari satu 
malam itu tentu saja masih murah 
apabila dibanding dengan tercapainya 
cita-cita dalam waktu singkat. Gajah 
Mada akan mampus oleh tenung. Apakah 
engkau tidak mau mengerti, hai hati.” 
“Hu hu huuuuu...,” tiba-tiba si 
hati menangis. “Engkau bisa berkata, 
tetapi tidak tahu betapa deritaku oleh 
peristiwa seperti itu. Engkau, hai 
kemauan dan pikiran, akan memperoleh 
keuntungan tanpa penderitaan. Dan 
engkau tubuh, setelah engkau lepas 
dari pelukan Kakek Madrim tidak akan 
merasakan apa-apa lagi. Tetapi aku 
ini, selama hidup akan menderita. Aku 
akan terkenang terus peristiwa 
terkutuk itu. Engkau tahu? Hu hu 
huuuu.... belum terjadi saja aku sudah 
ngeri. Aku sudah ketakutan setengah 
mati!” 
“Matikanlah rasamu itu, hai 
hati!” bujuk kemauan. “Derita itu 
hanya bersemayam dan tak mau pergi, 
jika engkau selalu mengenang. Akan 
tetapi jika engkau tidak mengenang dan 
tidak merasakannya, apa yang disebut 
suka dan duka maupun derita itu tidak 
ada lagi. Dan semuanya akan berlalu 
seperti tertiup angin. Nah, anggap 
saja belum pernah terjadi. Bukankah 
pada saat kita harus berdiam di pondok 
Kakek Madrim itu, tidak seorang pun 
tahu apa yang sudah terjadi?” 
Tiba-tiba saja otaknya tertawa. 
Katanya, “Ha ha ha ha, sudahlah! 
Kalian jangan bersitegang dan ber-
tengkar. Pendeknya sekarang kita harus 
pergi ke sana. Biarkan kakek itu 
menuntut persyaratan segila itu. 
Sanggupilah! Terimalah! Aku yang akan 
mengatur semuanya nanti. Percayalah 
oleh siasatku, maksud kita bakal 
tercapai, tetapi kita tetap selamat.” 
“Benarkah itu?” teriak hati. 
“Engkau berani menanggung kita ini 
selamat?” 
“Kenapa tidak? Aku yang ber-
tanggung jawab!” sahut si otak dengan 
mantap. “Apakah engkau masih kurang 
percaya akan kemampuanku? Sudahlah, 
mari kita berangkat dan tidak perlu 
ragu maupun takut!” 
Setelah bagian tubuhnya saling 
bantah beberapa saat lamanya, bibir 
Sarindah tersenyum sekali. Hatinya 
menjadi mantap. Tekadnya menjadi 
bulat, dan rencananya pasti berhasil. 
“Huh, engkau akan tahu rasa Kakek 
Madrim, berhadapan dengan gadis cerdik 
seperti aku!” desisnya. “Huh, kakek 
jorok, cabul dan biadab. Engkau akan 
ketemu batunya!” 
Dengan gerakan yang mantap dan 
penuh percaya diri, Sarindah menuju 
Gunung Lawu. Dan ketika tiba di kaki 
Lawu, Sarindah mandi pada air kali 
yang airnya jernih sekali. Ia perlu 
berganti pakaian bersih. Dan rambut 
yang sudah beberapa hari lamanya 
dibiarkan kusut dan awut-awutan itu, 
sekarang disisir rapi dan disanggul 
demikian menarik. Dasar rambutnya 
subur dan hitam, maka setelah menghias 
diri tampak menjadi semakin cantik. Ia 
sengaja mematut diri  dan sengaja 
memikat perhatian laki-laki. Seakan 
saat ini dirinya sedang menuju ke 
rumah laki-laki yang dicintai untuk 
ngunggah-unggahi  (untuk menyerahkan 
diri ). 
Ketika ia bercermin pada sebuah 
kubangan yang airnya amat jernih, ia 
tersenyum bangga melihat kecantikannya 
sendiri. Ia makin percaya, setiap 
laki-laki akan terpesona. 
Tetapi sekalipun demikian, tidak 
urung ia menghela napas dalam pula, 
ketika teringat Madrim itu kakek 
lumpuh. Sekarang dirinya harus ke 
sana, minta pertolongannya untuk 
membunuh Gajah Mada dengan tenung. 
Akan tetapi sesudah itu dirinya harus 
menyerah diperlakukan sebagai is-
terinya. 
Bergidik juga gadis ini sekalipun 
ia sudah mempunyai rencana matang. 
Apakah di rumah kakek itu siasat yang 
akan dilakukan dapat berjalan dengan 
baik? Ia belum tahu! Namun demikian ia 
percaya, akan berusaha sesuai dengan 
kemampuannya. 
Demikianlah dengan hati yang 
bulat ia sudah mendaki pinggang Lawu 
dengan cepat. Ia kemudian terpaksa 
harus bertanya kepada penduduk desa 
yang ia jumpai. Dan ketika Sarindah 
menyatakan akan ke Ngaglik menemui 
Madrim, penduduk desa yang mendengar 
terbelalak. 
“Anak mau pergi ke sana?” tanya 
perempuan tua seakan kurang percaya. 
“Benar, Bibi! Aku akan ke sana 
minta pertolongan.” 
“Mengapa harus minta pertolongan 
ke sana? Kasihan engkau Nak, kau masih 
muda lagi cantik. Di dunia ini masih 
banyak dukun peng-pengan  dan dapat 
menolong orang. Mengapa kau tidak 
memilih dukun lain saja? Jika Anak 
menginginkan, aku bisa memberi 
petunjuk dukun sakti, rumahnya di 
Matesih.” 
Sarindah tersenyum, jawabnya, 
“Terima kasih Bibi atas perhatianmu. 
Tetapi aku akan tetap datang ke pondok 
Kakek Madrim. Dia terkenal sebagai 
dukun manjur dan aku percaya. 
Tetapi.... apakah sebabnya Bibi tak 
rela aku ke sana?” 
Kendati ia sudah mendengar syarat 
aneh dan gila-gilaan dari Kakek 
Madrim, namun ia masih mencoba 
bertanya. 
“Anak, Kakek Madrim itu lumpuh 
tetapi gila perempuan. Maka setiap 
perempuan yang datang ke sana, harus 
memenuhi persyaratan, mau diperisteri 
tanpa nikah beberapa hari lamanya.” 
“Dan perempuan-perempuan itu juga 
bersedia?” tanyanya. 
Perempuan itu mengangguk. 
“Apakah segala yang diminta orang 
itu pasti terkabul?” 
Perempuan itu menggeleng. 
Jawabnya, “Belum tentu, Nak. Buktinya 
ada pula perempuan yang sudah menye-
rahkan diri, tetapi toh permintaannya 
tidak terkabul.” 
“Apakah yang diminta?” 
“Macam-macam. Dari soal pela-
risan, susuk dan cinta.” 
Namun akhirnya kemauan Sarindah 
tidak bisa berkurang oleh pengaruh. 
Katanya dalam hati, “Persetan dengan 
keadaan kakek itu. Sekalipun 
keadaannya menjijikkan kalau kakek itu 
dapat menolong membunuh Gajah Mada, 
apakah salahnya? Aku bukan perempuan 
tolol. Sebelum kakek itu dapat men-
jamah tubuhku, kakek itu akan mampus 
lebih dulu oleh pedangku ini.” 
Di depan pondok, Sarindah 
berteriak, “Kulanuwun.., kulanuwun...” 
Lalu terdengar suara seperti 
kaleng pecah dari dalam pondok. 
“Masuklah Anak, apakah engkau 
mencari Kakek Madrim?” 
“Benar.” 
Ketika masuk gadis ini tidak lupa 
sopan santun. Ia membungkuk memberi 
hormat ke arah suara, karena pondok 
itu gelap sekali. Dan baru setelah 
beberapa lama dapat membiasakan diri, 
tiba-tiba saja gadis ini bergidik dan 
bulu kuduknya berdiri, melihat keadaan 
Kakek Madrim yang duduk bersila di 
atas tikar usang tanpa bergerak. 
Karena benar, kakek itu jorok dan 
menjijikkan. Agaknya sebagai akibat 
kelumpuhannya menyebabkan kakek ini 
jarang menyentuh air. 
“Duduklah!” 
Sarindah sadar lalu membungkuk 
memberi hormat. Kemudian ia duduk di 
atas tikar yang kotor, yang 
dibentangkan di tanah. Gadis ini 
terpaksa menundukkan kepala karena 
merasa ngeri bertatap pandang dengan 
kakek itu. Namun sekalipun menunduk, 
Sarindah mengintip dari celah bulu 
matanya untuk melihat kakek itu. Dan 
ia melihat mata kakek itu berkedip-
kedip dan mulut menyeringai seperti 
iblis kelaparan. 
“Anak, engkau siapa dan datang 
dari mana?” 
Sarindah mengangkat mukanya se-
kilas, menatap Madrim, lalu jawabnya, 
“Saya bernama Sarindah, dan datang 
dari Madiun.” 
“Apakah maksudmu datang kemari? 
Adakah engkau minta syarat agar lekas 
memperoleh jodoh? Hemm, engkau cukup 
cantik, sesungguhnya tanpa syarat 
apapun banyak laki-laki yang suka 
kepadamu.” 
Kalau saja sekarang ini dirinya 
tidak memerlukan bantuan kakek ini, ia 
tentu sudah marah dan memukul kakek 
yang dianggap lancang. 
“Tidak, Kek. Bukan itu. 
Kedatanganku agar Kakek mau membantu 
aku membunuh orang, dengan tenung.” 
“Hai...! Aku harus membunuh orang 
dengan tenung? Apakah sebab engkau 
mempunyai permintaan seperti itu, Nak? 
Engkau jangan main-main dengan 
tenung.” 
“Tetapi..., aku benci dengan 
orang itu. Dia sudah membunuh seluruh 
keluargaku.” 
“Ohhh.... keluargamu dibunuh 
orang? Kasihan....” 
Sarindah mengangguk. “Itulah 
sebabnya aku mohon pertolongan Kakek, 
agar orang itu dapat mati dengan 
tenung.” 
“Siapakah orang yang kau maksud 
itu?” 
“Gajah Mada.” 
“Ahhh...!” Kakek itu kaget. 
“Gajah Mada sebagai Mahapatih Maja-
pahit itu? Uah, berat... berat....” 
“Apakah sebabnya berat? Apakah 
Kakek tidak sanggup dan tidak bisa?” 
“Apa katamu? Siapakah yang tidak 
bisa?” bentak kakek itu. “Siapa pun 
aku bisa membunuh dengan tenung 
apabila aku menghendaki.” 
“Tetapi apakah sebabnya  Kakek 
tadi bilang berat?” 
“Yang berat itu tebusan dan 
syarat perlengkapan tenung itu 
sendiri. Karena tenung itu ditujukan 
kepada Gajah Mada, maka aku bisa 
melakukan asal saja engkau memenuhi 
syarat yang diperlukan untuk itu.” 
“Katakanlah Kek, apakah 
syaratnya?” 
“Anak, tenung yang akan membunuh 
Gajah Mada tenung betina atau perem-
puan. Karena tenung perempuan maka 
membutuhkan kawan.” 
“Tentunya kakek dapat mengusaha-
kan kawan itu.” 
“Tentu saja, Nak. Tetapi tenung 
tadi tidak mau diberi kawan samba-
rangan. Kawannya harus orang yang 
minta tenung itu sendiri.” 
“Aku? Mengapa?” Sarindah kaget. 
“Sabarlah Nak, dengarkan baik-
baik. Engkau harus tahu, baik tenung 
laki-laki maupun perempuan yang akan 
melakukan tugas itu, semuanya menghuni 
dalam tubuhku. Jadi antara aku dan 
engkau, syaratnya harus rukun tidak 
bedanya suami dan isteri.” 
Sekalipun ia sudah tahu akhirnya 
kakek ini akan mengucapkan kata-kata 
seperti itu, tidak urung hatinya 
tercekat juga. Memandang pun sudah 
jijik, dan kalau tidak dalam keadaan 
terpaksa, duduk berhadapan ini pun 
tidak kuat lama. 
Bau kakek ini tengik sekali, dan 
napasnya hampir sesak. Tetapi 
sebaliknya kalau dirinya menolak, 
tentu kakek ini tidak mau menolong, 
dan cita-citanya akan gagal. 
“Kek, demi tercapainya maksud 
itu, aku setuju. Aku bersedia menjadi 
kawan tenung itu. Tetapi....” 
“Tetapi apa?” 
“Kerjakan dahulu tenung itu. 
Kemudian aku akan memenuhi persyaratan 
itu.” 
Sarindah mengucapkan kata-katanya 
dengan tenang dan mantap. Sebab ia 
sudah mempunyai rencana bulat, kakek 
ini lumpuh dan ia akan menyerang dan 
membunuh sebelum kakek ini dapat 
menjamah tubuhnya. 
*** 
TAMAT 
Sala, Medio Maret 1987 
Maaf, hanya sampai di sini kita 
terpaksa berpisah dahulu, dan kita 
akan bertemu kembali dalam cerita 
berjudul “Rahasia Dewa Asmara”. Anda 
akan bertemu kembali dengan tokoh kita 
Sarindah, Dewi Sritanjung, Sarwiyah 
maupun yang lain. Sudah tentu lebih 
menarik dan mendebarkan. 
Dan juga Anda akan bertemu dengan 
Sarindah di pondok Kakek Madrim yang 
ingin membunuh Gajah Mada dengan 
tenung. Berhasilkah dia membunuh Kakek 
Madrim setelah menolong dengan tenung? 
Jawabnya terbeber jelas dalam cerita 
“Rahasia Dewa Asmara”. 
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Clickers 
http://duniaabukeisel.blogspot.com/ 
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com