Pedang Pusaka Dewi Sri Tanjung 7 - Rahasia Dewa Asmara(1)


Dalam cerita “Tersiksa Seperti di Neraka” telah 
menceritakan kekecewaan Dewi Sritanjung setelah ber-
temu dengan orang tua dan keluarganya, karena apa 
yang terjadi tidak seperti yang ia harapkan. 

Akibat kekecewaannya ini maka kemudian ia mela-
rikan diri. Celakanya, di dalam hutan ia bertemu den-
gan Rudra Sangkala. Ia menjadi korban racun wangi, 
dan menyebabkan Dewi Sritanjung dapat ditawan oleh 
pemuda itu. Masih untung sebelum terjadi sesuatu 
atas diri gadis ini, telah berhasil diselamatkan oleh 
Mpu Anusa Dwipa. 
Di samping menceritakan Dewi Sritanjung yang ke-
cewa, pada cerita tersebut di atas juga menceritakan 
kekecewaan yang diderita oleh kakak beradik Sarindah 
dan Sarwiyah, cucu si Tangan Iblis karena harus hi-
dup sebagai gelandangan. 
Dalam keadaan seperti ini, kemudian Sarindah 
memutuskan untuk membagi tugas. Sarwiyah diperin-
tahkan menuju Blambangan guna mencari dan minta 
bantuan calon suaminya, Warigagung maupun calon 
mertuanya, Julung Pujud, guna menuntut balas kepa-
da Gajah Mada. Sebab bukan saja orang tuanya yang 
sudah mati oleh tokoh Majapahit itu, tetapi juga ka-
keknya baru saja tewas setelah berhadapan dan berke-
lahi dengan Gajah Mada. 
Setelah Sarwiyah pergi, maka kemudian Sarindah 
menuju Gunung Lawu, untuk mencari bantuan Kakek 
Madrim, seorang juru tenung. Maksudnya tidak lain 
adalah minta bantuan kakek itu agar mau mengirim-
kan tenung untuk membunuh Gajah Mada. 
Berhasilkah usaha kakak beradik itu? Silakan Anda 
menyimak sendiri cerita yang disajikan dalam buku 

“Rahasia Dewa Asmara” ini, dan selamat membaca. 

*** 
11  

“Siapakah orang yang kau maksudkan itu?” tanya 
Madrim. 
“Gajah Mada.” 
“Ahhh...!” kakek ini berseru kaget. “Gajah Mada 
yang kedudukannya sebagai Mahapatih Majapahit itu? 
Uah berat..., berat....” 
“Apakah sebabnya berat? Apakah kakek tidak sang-
gup?” Sarindah agak khawatir. 
“Siapa yang tak sanggup?” bentak kakek ini dan 
matanya mendelik. “Siapa pun bisa aku bunuh dengan 
tenung, apabila aku menghendaki.” 
“Tetapi apakah sebabnya Kakek tadi bilang berat?” 
“Yang berat itu adalah tebusan dan syarat tenung 
itu sendiri. Nak, karena tenung itu harus ditujukan 
kepada Mahapatih Gajah Mada, maka aku bisa mela-
kukannya, asalkan engkau bersedia memenuhi persya-
ratan yang diperlukan untuk itu.” 
“Katakanlah Kek, apakah syaratnya?” 
Namun diam-diam Sarindah yang sudah menden-
gar, diam-diam berdebar hatinya. 
“Anak manis, dengarlah baik-baik. Tenung itu men-
genal jenis pula, seperti kita ini. Jika orang yang akan 
dibunuh dengan tenung itu laki-laki, maka tenung 
yang melakukannya harus perempuan. Sebaliknya ka-
lau yang akan dibunuh perempuan, maka tenung yang 
menjalankannya harus laki-laki. Tenung perempuan 
tidak setabah tenung laki-laki. Dalam melaksanakan 
tugas, tenung perempuan minta kawan.” 

“Kakek tentunya dapat mengusahakan kawan itu.” 
“Tentu saja, Nak. Akan tetapi tenung itu tidak mau 
diberi kawan sembarangan. Kawannya harus orang 
yang minta pertolongan tenung itu sendiri.” 
“Aku? Mengapa sebabnya harus diriku?” Sarindah 
kaget. 
“Sabarlah Nak, dengarkan baik-baik. Engkau harus 
tahu, baik tenung laki-laki maupun tenung perempuan 
yang akan melakukan tugas itu semuanya menghuni 
dalam tubuhku. Jadi, antara aku dan engkau, syarat-
nya harus rukun seperti suami dan istri.” 
Sekalipun ia sudah tahu akhirnya kakek ini akan 
mengucapkan kata-kata seperti itu, tidak urung ha-
tinya terkejut juga. Memandang pun ia jijik dan kalau 
tidak dalam keadaan terpaksa, duduk berhadapan ini 
pun tidak kuat lama. 
Bau kakek ini tengik sekali dan napasnya hampir 
sesak. Akan tetapi apabila dirinya menolak, tentu ka-
kek ini tidak sedia menolong. Hingga yang ia maksud 
akan gagal dan perjalanan jauh tidak ada artinya lagi. 
“Kakek,” katanya kemudian setelah menguatkan 
hati, demi tercapainya maksud itu, “tentu saja aku se-
tuju. Aku bersedia sebagai kawan tenung itu. Teta-
pi....” 
“Tetapi apa...?” 
“Kerjakan dahulu tenung itu, kemudian aku meme-
nuhi persyaratan itu....” 
Sarindah mengucapkan kata-kata ini dengan te-
nang dan mantap, sebab ia sudah mempunyai rencana 
bulat. Kakek ini dua belah kakinya lumpuh. Apakah 
sulitnya menyerang dan membunuh, setelah kakek ini 
mengerjakan apa yang ia minta? 
Kakek Madrim terkekeh gembira. Lalu, “Heh heh 
heh heh, bagus! Mari, saksikanlah aku akan membu-

nuh Gajah Mada dengan tenung.” 
Kakek Madrim mempersiapkan kain putih selebar 
saputangan, lalu ia bentangkan di depan kakinya. Di 
atas kain putih itu kemudian ia isi tujuh batang jarum 
berkarat, tujuh batang paku berkarat, ijuk, pecahan 
kaca, duri pohon salak dan beberapa macam benda 
lain yang jumlahnya serba tujuh! 
Setelah semua itu siap di atas kain putih, Kakek ini 
berkemak-kemik. Agak lama kakek ini berkemak-
kemik dan Sarindah memperhatikan. Berkat ketaja-
man telinganya, ia dapat mendengar pula kata-kata 
kakek ini, tetapi ia tidak tahu maksudnya. Bahasanya 
demikian asing dan tidak ia mengerti sama sekali. Ma-
ka diam-diam Sarindah menduga, agaknya kakek ini 
seorang pendatang, dan bukan penduduk asli. 
Masih sambil berkemak-kemik mengucapkan man-
tra dan jampi-jampinya, kakek ini sudah menggulung 
kain putih itu. Sarindah terbelalak ketika melihat kain 
putih tadi dibentuk seperti sesosok mayat yang di-
bungkus dengan kain putih, dan talinya berjumlah tu-
juh buah pula. 
Tiruan mayat ini kemudian diletakkan di atas tela-
pak tangan kiri. Kakek Madrim masih meneruskan 
berkemak-kemik agak lama. Kemudian Sarindah ham-
pir berteriak kaget. Sebab secara ajaib sekali, tiruan 
mayat itu sudah melesat dari telapak tangan seperti 
terbang. Dan hanya sesaat saja mayat tiruan itu sudah 
lenyap dan hilang. 
Dan berhasilkah usaha Sarindah mengirim tenung 
kepada Gajah Mada ini? Kalau tenung itu ditujukan 
kepada orang biasa, kiranya akan berhasil. Tetapi ditu-
jukan kepada Gajah Mada yang sakti mandraguna itu, 
tenung ini tidak mampu untuk menyerang. Tenung ti-
dak sanggup menyerang Gajah Mada, dan akhirnya 

kembali ke Kakek Madrim. 
Tetapi Sarindah yang tidak tahu, tentu saja menjadi 
puas sekali dan merasa pasti Gajah Mada akan segera 
mampus. Mendadak Sarindah meloncat berdiri dan 
dengan kecepatan luar biasa sudah mencabut pedang. 
Ia mendelik dan membentak lantang, “Terima kasih 
atas pertolonganmu. Tetapi aku tidak sudi menjadi is-
trimu. Huh, kakek cabul yang menjijikkan. Sekarang 
engkau harus mampus dalam tanganku!” 
Siutt... wuuttt.... Cap...! 
Sarindah terbelalak kaget. Pedangnya tak dapat ia 
tarik kembali, terjepit oleh jari tangan Kakek Madrim. 
Dan walaupun ia sudah mengerahkan seluruh tena-
ganya, pedang itu tidak juga bergerak. Dan seakan pa-
da pedang itu sudah tumbuh akar dalam jari tangan 
kakek itu. 
Dengan sepasang mata yang menyala marah, Sa-
rindah menatap Kakek Madrim. Caci makinya sengit, 
“Setan tua! Jahanam busuk, cabul dan keparat! Le-
paskanlah pedangku!” 
Akan tetapi justru tatapan pandang mata Sarindah 
ini justru merupakan kesalahan dan kekeliruan. Gadis 
ini tidak menyadari sama sekali, Kakek Madrim ini bu-
kanlah kakek sembarangan. Dia adalah seorang kakek 
ahli ilmu hitam dan menguasai secara baik pula ilmu 
sihir. 
Karena  bertatap pandang, pengaruh ilmu sihir itu 
tak dapat dibendung lagi. Dan itu pula sebabnya maka 
banyak wanita yang menyerah dengan rela kepada ka-
kek jorok dan menjijikkan ini, diperlakukan sebagai is-
trinya. 
Kakek Madrim tersenyum, lalu katanya lirih, “Di-
ajeng sayang, aku Dewa Asmara! Aku seorang pria 
tampan, dan wajahku menyinarkan cahaya gemilang 

bagai bulan di angkasa. Aku adalah seorang pria yang 
masih amat muda, masih jejaka dan sebaya dengan 
kau. Maka marilah kesempatan sebaik ini tidak kita 
sia-siakan. Perkenalan kita sekarang ini harus kita 
perkekal sebagai sepasang kekasih, sebagai suami is-
tri. Marilah kita sekarang berbulan madu dalam ista-
naku yang semuanya dari emas murni. Aku mempu-
nyai tempat tidur yang berbau harum sekali seperti 
taman bunga, bertabur mutiara. Sebagai tilam, selem-
bar kain beludru hijau yang amat menyejukkan hati, 
hingga membuat orang yang tidur di atasnya akan 
nyaman. Diajeng, apakah engkau akan menyia-
nyiakan kesempatan yang baik ini?” 
Tiba-tiba saja Sarindah memekik lirih. Pedangnya 
lepas dan sepasang matanya terbelalak. Ia tidak tahu 
sebabnya, tetapi yang jelas ia merasa sudah berdiam di 
dalam sebuah kamar yang bersinar sejuk. Tembok dan 
pintu maupun jendela bersinar-sinar redup dari emas 
murni. Tempat tidur yang tidak jauh dari  tempatnya 
berdiri, berkilauan pula oleh hiasan mutiara dan per-
mata mahal. 
Dan sekarang di depannya telah berdiri pemuda 
yang wajahnya amat tampan dan menawan. Mata pe-
muda itu bersinar redup, amat menyejukkan pandang 
matanya, tetapi mempunyai daya tarik dan daya pikat 
yang kuat sekali, sehingga membuat dirinya terpesona. 
Baru sekarang ini sajalah Sarindah terpesona oleh 
seorang pemuda yang belum pernah ia kenal, dan me-
nurut pandang matanya, di dunia ini tidak ada pemu-
da tampan seperti yang berada di depannya ini. Seo-
rang pemuda yang sulit dicela kebagusannya, kegan-
tengannya, daya pikatnya, dan seakan ia dalam mimpi. 
Tetapi ia sadar tidak mimpi karena tidak tidur. Ma-
lah ketika mencubit lengannya sendiri ia merasa sakit. 

Mendadak saja jantungnya berdegup lebih  cepat 
dan darah dalam tubuhnya bergolak. Sepasang mata 
pemuda ini mempunyai daya tarik yang kuat sekali 
dan seakan dapat menjenguk isi dadanya, yang kemu-
dian kuasa menimbulkan rasa gandrung (cinta). Kare-
na itu Sarindah menundukkan kepalanya, rasa dalam 
dadanya tidak keruan, terangsang oleh keinginan 
menggelegak seperti bendungan mau ambrol karena 
tidak kuat menahan desakan air. 
Akan tetapi Sarindah masih sadar kedudukannya 
sebagai seorang gadis dan masih suci pula. Sekalipun 
dalam dadanya menggelegak keinginan yang hampir 
tidak dapat ia bendung, namun ia tidak sudi untuk 
memulai. 
“Diajeng Sarindah, engkau tidak perlu ragu. Akulah 
Dewa Asmara. Akulah suamimu. Dalam istanaku ini 
engkau akan hidup tenteram dan tenang di samping 
bahagia. Manisku, engkau adalah istriku tersayang. 
Marilah aku bimbing menuju bulan madu, kita bersa-
ma mengarungi lautan kasih sayang. Bukankah eng-
kau sendiri juga mengharapkan curahan kasih dan 
sayangku, kasih sayang seorang suami yang mencintai 
engkau sepenuh hati?” 
Rayuan Dewa Asmara ini menambah kuatnya deba-
ran jantung dan mengalirnya darah dalam dada. Keti-
ka itu ia kemudian membiarkan lengannya ditarik dan 
dibimbing oleh Dewa Asmara. Hatinya berdebar aneh 
sekali dan ia juga tidak memberontak ketika lengan 
kanan Dewa Asmara melingkar di atas pundaknya. 
Kemudian ia juga tidak berusaha menghindar dan me-
larang ketika tangan kiri pemuda itu meraba dada. La-
lu diikuti pula kecupan mesra pada bibir. 
“Diajeng, kau cantik sekali,” puji Dewa Asmara. 
Atas pujian ini Sarindah bangga dan bahagia sekali. 

Hatinya tidak kuat lagi, tiba-tiba gemetar, menubruk 
dan memeluk Dewa Asmara, disusul menyembunyikan 
wajahnya pada dada sang pemuda tampan. 
Tercium bau yang semerbak harum dari pakaian 
maupun tubuh Dewa Asmara yang tampan ini dan 
menyebabkan perasaannya semakin tidak karuan. 
Kemudian gadis yang biasanya galak ini tidak mem-
berontak ketika dirinya ditarik oleh Dewa Asmara, lalu 
didudukkan di atas pangkuannya. Dan sejenak kemu-
dian gadis ini menjerit lirih dan tubuhnya gemetaran 
ketika tiba-tiba Dewa Asmara mengecup bibirnya. Pada 
saat ini Sarindah merasakan sesuatu yang aneh dan 
memabukkan, hingga ia tidak dapat memberontak 
maupun berusaha melepaskan bibirnya dari pagutan 
itu, malah kemudian matanya terpejam menyerah! 
Rasa bangga dan bahagia merayapi sekujur tubuh 
Sarindah, karena pada akhirnya dirinya dapat bertemu 
dengan Dewa Asmara yang tampan dan kemudian 
menjadi kekasihnya ini. Padahal Dewa Asmara seorang 
pemuda tampan yang tidak tercela kegantengannya. 
Menurut penilaiannya, di bumi ini dirinya tidak 
mungkin dapat menemukan pria lain yang segagah 
dan setampan Dewa Asmara. Pada kemudian hari, di-
rinya akan dapat mengejek kepada Sarwiyah yang 
hanya mempunyai kekasih bernama Warigagung, pe-
muda yang kegemarannya hanya bermain-main den-
gan ular, kelabang, kalajengking dan beberapa macam 
binatang berbisa lainnya yang amat menjijikkan. 
Hatinya semakin bangga, dirinya kehilangan keka-
sih bernama Tanu Pada, namun akhirnya menda-
patkan ganti seorang pemuda lebih tampan dan lebih 
menawan hatinya. Kelak kemudian hari apabila dapat 
bertemu kembali dengannya, ia akan mengejek adik-
nya itu dengan maksud agar Sarwiyah menjadi iri ke-

pada dirinya. 
Saking  gandrung  (tergila-gila) akan kegagahan dan 
ketampanan Dewa Asmara, maka Sarindah membiar-
kan saja perlakuan pemuda ini kepada dirinya. Sarin-
dah yang dalam keadaan mabuk kepayang serasa me-
layang-layang di udara, di angkasa raya dan melihat 
pemandangan yang serba indah. Sesuatu yang baru, 
sesuatu yang asing, tetapi menyebabkan hatinya sejuk. 
Rasanya Sarindah tak ingin meninggalkan  istana 
yang serba emas dan indah ini, yang dihiasi oleh per-
mata dan mutiara mahal. 
Tempat tidur yang empuk dan harum itu menye-
babkan Sarindah makin lama menjadi semakin mabuk 
birahi. Ia bercengkerama dengan Dewa Asmara dalam 
lautan madu, mereguk tanpa bosan karena manis dan 
wangi. 
Pada akhirnya Sarindah tidak kuasa lagi menahan 
kantuknya, lalu tertidur pulas seperti bayi baru lahir. 
Entah sudah berapa lama Sarindah tertidur. Ketika 
merasakan tubuhnya dingin, ia membuka mata. Ia 
hampir menjerit kaget ketika mendapatkan dirinya da-
lam keadaan seperti bayi. Namun untung jeritan ini 
kuasa ditahan dalam mulut, ketika tiba-tiba hidung-
nya terangsang oleh bau yang apek dan tengik. 
Kemudian matanya melihat seorang kakek jorok 
dan menjijikkan tidur di sampingnya, juga dalam kea-
daan seperti dirinya sekarang ini. 
Walaupun kaget setengah mati, Sarindah adalah 
seorang gadis cerdik. Ia segera dapat menduga apa 
yang sudah terjadi atas dirinya. Sedang di samping itu 
suara dan gerakannya akan bisa membangunkan Ka-
kek Madrim yang kepayahan, kendati sekarang ini ka-
kek itu tidur telentang di atas tikar kotor dan pulas. 
Secara hati-hati Sarindah bangkit lalu melihat pe-

dangnya yang menggeletak tak jauh dari tempatnya ti-
dur. Dengan hati berdebar pedang itu ia sambar dan 
kemudian dengan mengerahkan seluruh tenaga yang 
ada, ia menikam dada kakek itu. 
Crott...! 
Sarindah melompat ke samping untuk menghindari 
percikan darah yang muncrat dari dada Kakek Madrim 
yang sekarang berlubang tembus punggung. 
“Aduhhh...!” pekik tak jelas terdengar dari mulut 
Madrim. 
Sepasang matanya terbelalak, tangannya bergerak 
untuk berusaha mencabut pedang yang menancap pa-
da dada. Akan tetapi tenaga yang sudah terkuras se-
malam bergumul dengan Sarindah, menyebabkan saat 
ini seperti habis. Ia tidak kuasa mencabut pedang yang 
menembus punggungnya dan menancap ke tanah itu. 
“Uhh... uh...!” dari mulut kakek yang lumpuh dua 
kakinya ini terdengar suara tidak jelas. 
Namun ketika pandang matanya tertumbuk kepada 
Sarindah yang masih bugil seperti bayi, bibir tua itu 
tiba-tiba tersenyum. Kemudian berubah menjadi keta-
wa yang terkekeh, entah mengapa sebabnya. 
“Heh heh heh heh.... heh heh heh heh...!” 
“Aku, aku puas sekalipun harus menebus dengan 
nyawaku yang tua ini, Sarindah. Karena terbukti eng-
kau masih perawan suci. Bagaimanapun engkau ada-
lah istriku, maka engkau jangan penasaran. Tetapi.... 
uh uh.... jika engkau tahu perjalanan hidupku, engkau 
tentu bisa mengerti dan sekaligus memaafkan perbua-
tanku ini.... Cah Ayu. Aku.... aku.... ya, aku sekarang 
hidup sebagai seorang lumpuh. Tetapi lumpuhnya ka-
kiku ini sebagai akibat perbuatan seorang perempuan 
yang menjadi... istriku.... Ahh..., betapa sakit hatiku 
ketika melihat... istriku berbuat serong dengan laki-

laki lain... di depan mata dan kepalaku sendiri....” 
Sarindah masih berdiri tegak seperti patung. Gadis 
ini menjadi lupa akan dirinya, yang belum memakai 
kembali pakaiannya. Entah mengapa sebabnya, timbul 
perasaan ingin untuk mendengar kisah perjalanan hi-
dup Kakek Madrim ini, di saat dalam sekarat. 
“Uh... uh...!” Madrim mengeluarkan keluhan, dan 
wajahnya menjadi pucat sebagai akibat banyak menge-
luarkan darah. “Terjadilah kemudian perkelahian seru 
antara aku dengan laki-laki itu. Akhirnya aku dapat 
membunuh laki-laki hidung belang itu, tetapi akhirnya 
aku sendiri harus menderita rugi, karena dua kakiku 
ini... uh uh... kena serangan jarum beracun. Sudah 
aku usahakan untuk menyembuhkannya, tetapi gagal. 
Nyawa dapat aku selamatkan namun kakiku sudah 
terlanjur lumpuh. Dalam keadaan yang lumpuh itu 
kemudian aku mempelajari segala macam ilmu pengo-
batan dan mantra gaib yang lain. Uh... uh....” 
Kakek itu batuk-batuk dan dari mulutnya menyem-
prot darah merah. “Aku banyak memberi pertolongan 
kepada orang. Tetapi sakit hatiku yang menyebabkan 
kaki lumpuh, menyebabkan aku menjadi benci kepada 
setiap laki-laki yang tidak cacat, karena iri hati. Oleh 
sebab itu... kalau tidak kubunuh, laki-laki itu tentu 
kubikin lumpuh kakinya. Akan tetapi jika yang datang 
itu perempuan, tidak peduli tua, muda, gadis, janda, 
nenek-nenek, cantik atau tidak, mereka selalu aku te-
rima dengan tangan terbuka dan senang hati. Namun 
mereka yang datang dan minta pertolongan kepadaku, 
harus memenuhi yang aku tentukan. Dia harus mau... 
menjadi istriku... barang sehari semalam... uh uh....” 
Madrim semakin menjadi pucat wajahnya.  Napas-
nya semakin menjadi sesak dan lemah. Akan tetapi 
kakek ini masih berusaha mempertahankan nya-

wanya. Agaknya ia ingin sekali dapat menceritakan 
perjalanan hidupnya secara lengkap, sehingga kea-
daannya menjadi seperti sekarang ini. 
“Uh uh.... engkau harus mau mendengar ceritaku 
sampai selesai, Anak. Uh uh..., aku tadi sudah bilang, 
setiap perempuan yang datang padaku akan aku teri-
ma dengan senang hati, tidak peduli muda atau nenek-
nenek. Semua... aku perlakukan sama harus menjadi 
istriku.... Uh uh... mengapa aku berbuat seperti itu? 
Uh uh.... aku sakit hati kepada perempuan. Coba eng-
kau pikir, aku sangat mencintai istriku. Namun ter-
nyata.... uh uh.... istriku sampai hati berbuat serong 
dengan laki-laki lain. Karena itu hatiku menjadi sakit 
dan menganggap setiap perempuan tidak perlu dihar-
gai. Itulah sebabnya mereka aku permainkan, karena 
kalau aku cintai, tidak urung meremehkan laki-laki... 
uh uh....” 
Madrim yang sudah kehilangan banyak darah itu 
keadaannya menjadi semakin lemah. Sarindah masih 
berdiri seperti patung, dalam keadaan yang masih po-
los bugil. Ia terpaku mendengar kisah hidup singkat 
laki-laki lumpuh ini. 
Akan tetapi terhadap pendapat kakek ini bahwa se-
tiap perempuan tidak perlu dihargai dan dicintai, Sa-
rindah tidak senang. Itu merupakan pendapat  dan 
pandangan yang salah dan picik. Mengapa yang bersa-
lah hanya seorang saja, kemudian semua wanita di-
anggap sama? Sebaliknya apakah dirinya harus ber-
pendapat, karena Kakek Madrim tidak menghargai pe-
rempuan, apakah setiap laki-laki tidak perlu mendapat 
cinta? 
“Pendapatmu terlalu picik, Kakek Madrim. Mengapa 
yang bersalah hanya seorang, hanya istrimu, engkau 
lalu menganggap setiap perempuan jahat dan tidak se-

tia?” 
“Heh heh heh heh... uh uh....” karena Madrim ter-
tawa, darah merah menyembur lagi dari mulutnya. 
Dan mulut itu masih bergerak, tetapi keadaannya ti-
dak mengizinkan, hingga suaranya tidak keluar. Di-
rinya sudah terlalu lemah akibat hampir kehabisan da-
rah. 
Kemudian kakek itu meregang sebentar, lalu nyawa 
melayang. 
Sarindah memandang tubuh tanpa busana yang 
sudah tak bernyawa itu beberapa saat. Kemudian Sa-
rindah baru menjerit lirih, lalu dua belah tangannya 
berusaha menutupi dada dan selakangnya. Agaknya ia 
merasa malu pula sekalipun tidak ada seorang pun 
yang melihat. 
Kemudian ia melompat dan menyambar pakaian-
nya. Ia memakai cepat-cepat. Dan setelah selesai ia 
melangkah mendekati tubuh Madrim yang sudah mu-
lai dingin dan kaku itu. Lalu pedangnya ia cabut, ia 
bersihkan dengan pakaian Kakek Madrim sendiri. 
Masih sambil memegang pedang, Sarindah berkata, 
“Huh, kalau saja aku tidak ingat engkau sudah mam-
pus, tentu aku cincang tubuhmu. Kesalahanmu dan 
kebiadabanmu terhadap aku tidak bisa diampuni lagi. 
Engkau telah merenggut kegadisanku. Huh... aihh...!” 
Akan tetapi kemudian gadis ini ingat akan apa yang 
sudah terjadi. Sarindah masih ingat benar, kemarin 
siang dirinya berhadapan dengan seorang pemuda 
tampan sekali, mengaku bernama Dewa Asmara. Apa-
kah sebabnya pemuda itu lenyap tiba-tiba dan me-
ninggalkan dirinya? Dan mengapa pula Dewa Asmara 
pergi tanpa pamit dan yang tinggal sekarang hanyalah 
Kakek Madrim yang lumpuh? 
Tiba-tiba saja timbul rasa malu kepada dirinya sen-

diri. Lalu sambil memekik nyaring ia melompat dan 
meninggalkan pondok Kakek Madrim. Ia tidak dapat 
menuduh Madrim telah memperkosa dirinya, sebab 
yang terjadi, dirinya sendiri juga menyambut dengan 
hangat akan uluran cinta kasih Dewa Asmara yang 
tampan itu. Dirinya sendiri yang tergila-gila kepada ke-
tampanan dan  kegagahan Dewa Asmara. Di samping 
itu masih terkesan amat dalam, dalam hatinya, betapa 
mesra sekali pemuda itu ketika membelai dan merayu 
dirinya. Dan masih terkenang pula keharuman tempat 
tidur maupun kamar yang serba emas. 
Sarindah tidak lama berlarian. Kemudian ia menja-
tuhkan diri dan duduk pada akar pohon rindang. Ia 
duduk berdiam diri dan beberapa kali menghela napas. 
Dalam benak gadis ini sekarang timbul semacam ke-
kacauan pikiran dalam membayangkan apa yang baru 
terjadi. Ia tidak mimpi! Ia benar-benar dalam keadaan 
sadar, telah bertemu dengan Dewa Asmara yang gagah 
dan tampan. Kemudian dirinya jatuh hati dan merasa 
bahagia sekali mempunyai kekasih Dewa Asmara itu. 
Lalu Dewa Asmara membimbing dirinya masuk ke da-
lam kamar yang harum, dan di dalam kamar ini di-
rinya menyerahkan milik satu-satunya yang paling 
berharga, ialah kesucian. Ia masih ingat kemudian 
berbulan madu dengan Dewa Asmara, tidak bedanya 
suami istri. 
Tetapi... tetapi... mengapa setelah dirinya membuka 
mata, mendadak Dewa Asmara sudah lenyap berikut 
istana dan kamar emas itu? Kemudian yang tidur ber-
dampingan dengan dirinya malah Kakek Madrim yang 
jorok dan lumpuh? Sarindah sungguh tidak habis 
mengerti, terjadinya perubahan yang seperti bumi dan 
langit itu. 
“Mengapa.... mengapa aku ini...?” Sarindah mengge-

lengkan kepalanya, seakan mau mengusir kenangan 
yang tidak menyenangkan itu. 
Sarindah memang tidak sadar, dirinya berhadapan 
dengan seorang kakek yang mahir ilmu sihir. Ia ter-
pengaruh oleh kekuatan sihir Kakek Madrim sehingga 
pandang matanya berubah, mengira pondok Kakek 
Madrim sudah berubah menjadi istana emas yang ge-
merlapan dan berbau harum. Kakek Madrim yang 
lumpuh itu pun berubah menjadi seorang pemuda 
tampan menurut pandang mata Sarindah, dan menga-
ku bernama Dewa Asmara. 
Kasihan sekali gadis ini, telah menjadi korban ilmu 
bernama Aji Netra Luyub. 
“Tidak... aku tidak mimpi...!” jeritnya lirih. 
Dan beberapa saat kemudian ia merintih, “Ka-
kang.... oh, Kakang Dewa Asmara.... aku cinta pada-
mu. Ke manakah engkau.... Kakang.... oh.... Kakang 
Dewa Asmara....” 
Dalam keadaan merintih semacam ini, tiba-tiba ia 
seperti mendengar suara Dewa Asmara yang memuji 
kecantikannya, “Diajeng sayang, engkau amat cantik 
bagai bidadari. Aku.... aku cinta padamu.... Sayang-
ku.... Manisku.... cinta kasih kita ini ibarat api dan 
asapnya. Karena itu takkan mungkin berpisah lagi se-
lama hayat dikandung badan. Sarindah.... Manisku, 
cinta kasih kita ini murni. Dan Diajeng, bibirmu manis 
bagai madu. Sepasang matamu bening cemerlang ba-
gai bintang pagi dan penuh daya pikat. Ahh, Sarindah, 
istriku terkasih, aku... kehabisan kata-kata guna me-
lukiskan kecantikan dan keindahan ragamu....” 
“Kakang Dewa Asmara....” rintih Sarindah mengge-
letar, memanggil nama jantung hatinya. 
“Sarindah, aku Dewa Asmara. Apa yang terucapkan 
oleh bibirku ini, adalah pencerminan hati. Percayalah 

Diajeng, cintaku hanya kepada kau seorang. Ketahui-
lah Dewata Yang Agung sudah mempertemukan kita 
untuk menjadi kekasih, untuk menjadi suami istri. 
Manisku, berikan bibirmu....” 
Sarindah memejamkan matanya. Bibirnya bergerak-
gerak sejenak kemudian mengeluh panjang. Menurut 
perasaannya, saat sekarang ini bibirnya sedang dike-
cup mesra penuh perasaan oleh Dewa Asmara, yang 
membuat dirinya mabuk kepayang. 
“Kakang.... ohhh...!” mulutnya merintih dan kemu-
dian matanya terbuka. 
Namun kemudian gadis ini kaget sekali, karena di 
depannya tidak ada apa-apa. Ia memalingkan mu-
kanya memandang sekeliling, tetapi Dewa Asmara te-
tap tidak ada. 
“Kakang.... Kakang Dewa Asmara... ke manakah 
engkau...?” Jeritnya lirih, lalu menggunakan dua tela-
pak tangannya memegang kepala. 
Pada saat seperti itu lalu terdengar lagi suara Dewa 
Asmara yang merayu, “Diajeng Sarindah, istriku yang 
cantik, mengapa sebabnya engkau menjerit? Mengapa 
sebabnya engkau malu? Dalam kamar istana emasku 
ini tidak seorang pun hadir. Semua hamba sahaya ti-
dak seorang pun berani masuk maupun mendekati 
kamar ini tanpa izinku. Diajeng Sarindah.... sayangku, 
rambutmu yang hitam ikal ini semerbak harum. Sung-
guh, jantungku berdebar ketika pandang mataku ber-
tatap pandang pertama kali dengan kau. Serasa jan-
tung ini mau copot. Ahh.... apakah sebabnya kau men-
cibirkan bibir? Apakah engkau tidak percaya? Hemm, 
jika benar engkau tidak percaya, ini dadaku! Perguna-
kanlah pedangmu untuk membelah dadaku dan jen-
guklah jantungku. Nah.... sayangku, bukankah engkau 
dapat melihat apa yang tersimpan dalam dadaku?” 

“Kakang.... ohhh....” rintih Sarindah. 
“Itulah Diajeng sayang, engkau tidak perlu cemas 
maupun khawatir. Dunia ini milik kita berdua dan ke-
bahagiaan hanyalah milik kita pula.” 
Sarindah kembali mengeluh dan merintih perlahan, 
“Kakang.... oh.... kau.... kau....” 
Akan tetapi setelah ia sadar kembali, tidak ada apa-
apa dan siapa pun, dan akibatnya Sarindah mengeluh. 
Namun sejenak kemudian gadis ini menangis teri-
sak-isak. Bayangan khayal tentang pemuda tampan 
bernama Dewa Asmara itu demikian mengesankan da-
lam lubuk hatinya. Dan karena itu ia merasa tersiksa 
sekali, mengapa Dewa Asmara meninggalkan dirinya 
tanpa memberi tahu lebih dahulu? 
Hal ini kemudian menimbulkan guncangan dalam 
jiwa gadis ini. Apalagi ia teringat betapa kasih sayang 
Dewa Asmara kepada dirinya hingga dirinya merasa 
amat bahagia dan merintih-rintih manja. Namun ke-
mudian apabila teringat kekasih itu meninggalkannya, 
ia lalu mengeluh dan kecewa. 
Guncangan jiwa merupakan gejala terganggunya ji-
wa seseorang. Maka apabila Sarindah terus-menerus 
tergoda oleh bayangan dan kenangan indah pada saat 
memadu kasih dengan Dewa Asmara, pada akhirnya 
Sarindah akan menjadi gila. 
Kasihan juga gadis itu, dalam usahanya dapat 
memberikan dharma baktinya kepada orang tua, ia 
menjadi korban laki-laki tidak bertanggung jawab. 
Cukup lama Sarindah menangis dan menyesali De-
wa Asmara yang meninggalkan dirinya. Untung sekali 
saat ini ia dalam hutan sehingga tidak seorang pun da-
tang mengganggu. 
Dan untung juga tak lama kemudian gadis ini 
memperoleh kesadarannya kembali. Teringatlah ke-

mudian kepada Kakek Madrim yang baru saja ia bu-
nuh. Kakek itu seorang ahli ilmu hitam, tentunya ka-
kek itu mempunyai catatan-catatan tentang ilmu ke-
saktian yang amat penting. Teringat kemungkinan ini, 
timbullah pikirannya betapa untung yang ia peroleh 
apabila dapat menemukan catatan itu. 
Kemudian Sarindah meloncat bangun. Gerakannya 
cepat sekali ketika Sarindah berlarian kembali menuju 
pondok Kakek Madrim. Ia tidak sanggup memandang 
tubuh Kakek Madrim yang sudah tanpa nyawa itu. 
Kemudian ia menggeledah pondok secara teliti. 
Walaupun hawa di tempat ini dingin dan lembab, 
namun sekujur tubuh Sarindah basah oleh peluh, aki-
bat bekerja keras dalam usaha menemukan catatan 
itu. Dan hampir saja gadis ini putus asa ketika pondok 
yang kecil ini secara teliti sudah ia geledah, namun ti-
dak juga menemukan apa-apa. 
Sarindah berhenti bekerja dan menyeka keringat 
yang membasahi dahi dan leher. Pada saat menyeka 
keringat ini kemudian teringatlah ia kepada pakaian 
Kakek Madrim. Mungkinkah catatan yang ia butuhkan 
itu disimpan dalam saku? 
Baju yang kotor itu segera ia ambil dan ia mual ser-
ta hampir muntah, karena baju itu menyebarkan bau 
keringat yang memuakkan. Namun demikian Sarindah 
memaksa diri. Baju itu ia bawa ke luar pondok dan 
oleh hembusan angin yang kuat menyebabkan bau ba-
ju itu berkurang. 
Dengan cekatan ia memeriksa semua saku baju 
yang kotor dan apek itu. Kemudian bibir gadis ini me-
rekah senyumnya, ketika ia mendapatkan seikat kulit 
kambing yang tipis. Sebab pada kulit kambing ini ter-
dapat sederetan huruf tulisan tangan yang berbunyi: 
Catatan macam-macam mantra. 

Baju yang kotor dan apek itu segera ia buang. Dan 
ia sendiri segera berlarian meninggalkan tempat ini. 
Ketika itu matahari tepat berada di tengah jagad. 
Sinarnya amat terik, walaupun hawa di pinggang Gu-
nung Lawu ini dingin. Perutnya terasa lapar melilit-
lilit, sedangkan tenggorokannya terasa kering. Tidak 
mengherankan karena sejak kemarin siang ia tidak 
makan, setelah dirinya terpengaruh oleh Aji Netra 
Luyub dari Kakek Madrim, dan tenggelam dalam lau-
tan madu dengan Dewa Asmara. 
Sarindah memperhatikan sekeliling mencari sumber 
air. Pada tempat yang dingin ini memang tidak sulit 
menemukan sumber air. Maka tak lama kemudian ga-
dis ini sudah menemukan sumber air yang jernih yang 
berdekatan dengan bata berserakan. 
Setelah membasahi tenggorokannya, baru kemu-
dian ia memikirkan mencari pengisi perut. Pada saat ia 
sedang berdiri memperhatikan keadaan, tiba-tiba ia 
melihat munculnya dua ekor kelinci gemuk. Ia me-
mungut sebutir batu. Dan ketika tangannya bergerak, 
terdengar pekik si kelinci. Yang seekor sempat lari dan 
menyembunyikan diri, sedang yang seekor menggele-
tak terkapar mati. 
Bibirnya menyungging senyum. Secepatnya kelinci 
itu diambil, disembelih, dikuliti dan setelah dicuci den-
gan air, ia mengumpulkan kayu kering. Tak lama ke-
mudian mengepullah asap dari api unggun kecil yang 
menyala. 
Sarindah segera memberi bumbu pada daging ke-
linci itu, menyusul kemudian ia sibuk memanggang 
daging. Bau yang gurih dan wangi segera menyebar ke 
sekitarnya, menyebabkan perutnya tersiksa oleh bau 
sedap itu. Karena tak kuasa menahan laparnya lagi, 
maka sekalipun daging itu baru setengah masak, su-

dah mulai ia gerogoti. 
Pada saat ia sedang sibuk dengan daging kelinci 
gemuk ini, telinganya yang peka mendengar suara 
orang dari jarak cukup jauh. 
“Uah, bau daging yang gurih sekali. Daging apakah 
ini?” 
Suara yang lain menyahut, “Entahlah! Tetapi bau 
menyiksa perutku yang sudah lapar. Ohh, dari sanalah 
asap itu mengepul. Marilah kita cepat ke sana. Tentu 
pemburu atau penduduk desa yang sedang membakar 
daging itu.” 
“Mau apa kita ke sana?” 
“Untuk apa lagi kalau tidak minta bagiannya?” 
“Uah, enak saja kau bicara. Jika dia tidak mau 
memberi, apa yang akan engkau lakukan?” 
“Kita rampas saja. Perut ini sudah lapar sekali dan 
minta diisi. Orang yang pelit kalau perlu harus kita 
bunuh.” 
“Bagus, heh heh heh heh. Aku setuju dengan pendi-
rianmu. Marilah kita cepat ke sana, dan kalau perlu 
kita gunakan kekerasan.” 
Mendengar suara dua orang itu, Sarindah menge-
rutkan alis. Saat sekarang ini guncangan jiwanya se-
dang mereda. Kecerdasan otaknya bisa ia gunakan un-
tuk berpikir dan berbareng itu merasa heran. Dari la-
gak dan lagu bicaranya, ia merasa kenal suara itu. Te-
tapi ia lupa, kapan ia kenal dengan suara itu? 
Oleh gerakannya yang gesit dan hati-hati, Sarindah 
sudah melompat sambil membawa paha kelinci yang 
sudah matang. Kemudian ia menyembunyikan diri di 
celah-celah batu besar sambil menggerogoti daging ke-
linci itu. Sedang daging yang lain sengaja ia tinggalkan 
guna memancing perhatian orang. 
Tak lama kemudian muncullah dua orang laki-laki 

muda berpakaian sederhana. Melihat orang ini Sarin-
dah hampir melompat dari tempatnya bersembunyi 
dan langsung menyerang dua orang itu. Tetapi untung 
rasa kesabarannya menang dan ia menahan diri sam-
bil mengintip dari celah batu. 
Tidaklah mengherankan apabila Sarindah kaget dan 
ingin menyerang dua orang yang baru datang ini, se-
bab mereka adalah bekas murid kakeknya yang ber-
nama Sangkan dan Kaligis. Dua orang murid 
pengkhianat, yang sudah membunuh Tanu Pada yang 
ia cintai, juga Kebo Pradah dan Ananto. (Tentang 
pengkhianatan dua orang pemuda ini, baca buku ber-
judul “Si Tangan Iblis”). 
Setelah tiba, Sangkan mendesis, “Heran! Api masih 
menyala dan daging mentah masih ada, mengapa tidak 
tampak seorang pun?” 
“Hemm, perlu apa memikirkan orang? Perut lapar 
minta isi. Lebih enak segera kita panggang daging ini 
dan mengisi perut!” sambut Kaligis dan dengan gopoh-
nya sudah menyambar sepotong daging lalu memang-
gang di atas api. 
Akan tetapi sebaliknya Sangkan seorang pemuda 
cerdik, licin dan selalu hati-hati. Ia curiga melihat kea-
daan ini. Orang yang tadi membakar daging kelinci, je-
las bukan penduduk biasa. Sebab, ketika mereka da-
tang orangnya sudah tidak tampak. Maka apabila Kali-
gis tidak peduli langsung memanggang daging, Sang-
kan tidak. Dengan gesit ia melompat guna menyelidik 
ke belakang batu besar. 
Tetapi justru perbuatannya inilah yang malah me-
nyebabkan dirinya celaka. Sarindah yang sejak tadi 
sudah siap dengan beberapa butir batu, menyambut 
Sangkan dengan sambitannya, di saat tubuh pemuda 
itu masih melayang. 

Tak tak.... 
“Aduhh...!” 
Brukk.... 
Sungguh sial pemuda bernama Sangkan ini. Pada 
saat dirinya mengapung di udara, tentu saja serangan 
yang tidak terduga itu tidak gampang dihindari. Berkat 
kecepatannya bergerak ia memang dapat memukul 
dua butir bata yang menyerang ke arahnya. Tetapi ce-
lakanya ia tidak berhasil menyelamatkan lututnya oleh 
benturan batu yang menyusul. 
Saking kaget ia berteriak. Sialnya lagi, oleh doron-
gan tenaganya sendiri, ia jatuh membentur sebuah ba-
tu. Kepalanya sakit sekali seperti mau pecah dan pan-
dang matanya tiba-tiba menjadi gelap lalu pingsan. 
Kaligis yang waktu itu sibuk membakar daging 
menjadi kaget, melompat bangun sambil mencabut pe-
dang. Ia membentak nyaring tetapi karena mulut pe-
nuh daging kelinci, bentakannya tidak jelas. 
“Hai.... siapo di sitooo...?!” 
Sarindah hampir tidak kuasa menahan ketawanya 
saking geli, mendengar suara tak jelas dari mulut yang 
penuh makanan itu. Kenapa Kaligis tak mau mem-
buang daging itu dulu, kemudian baru membentak? 
Akan tetapi Sarindah tidak segera keluar dari tem-
patnya bersembunyi. Ia cukup kenal watak Kaligis 
yang kasar dan sembrono. Karena itu ia menunggu ke-
sempatan baik, sehingga dirinya tidak perlu mem-
buang tenaga melawan pemuda ini. 
Karena tidak ada jawaban, Kaligis segera melangkah 
perlahan dan pedangnya siap menyerang. Sepasang 
matanya liar menyelidik dan dengan hati-hati menjen-
guk di belakang batu. Namun ia tidak melihat seorang 
pun, maka hatinya bertanya ke manakah orang yang 
sudah menyerang Sangkan dan bersembunyi? 

Pada saat daging yang memenuhi mulutnya sudah 
berhasil ditelan, ia membentak lagi, “Hai! Jika jantan 
sejati, jangan bersembunyi dan menyerang orang seca-
ra curang. Keluarlah dan hayo berkelahi dengan aku!” 
Akan tetapi Sarindah tidak menjawab dan tidak ju-
ga muncul. Ia tetap sembunyi pada celah-celah batu 
dan tangan kanan sudah mempersiapkan beberapa 
butir batu untuk menyambit. 
Serangan ini dari jarak kurang dari satu depa dan 
disambitkan oleh gadis berilmu cukup tinggi, apalagi 
dari arah belakang pula. Maka sambitan ini tidak me-
nerbitkan angin maupun suara, tahu-tahu dua lutut-
nya sudah terpukul dan menyusul punggungnya. 
Tak.... tak.... tak.... 
“Aduhhh...!” Kaligis berteriak nyaring. 
Byuuurrrr.... 
Kemudian Kaligis jatuh masuk ke dalam sumber 
air. Pemuda ini gelagapan dan berusaha menggerak-
kan tangannya supaya tidak kelelap dalam air. Usa-
hanya memang berhasil, lalu dengan sulit ia berusaha 
merembet ke atas. 
Sebabnya, karena dua kaki sudah lumpuh dan sulit 
untuk bergerak dan punggung pun terasa sakit. Kaligis 
meringis kesakitan sambil berusaha merangkak men-
jauhi sumber air. Namun kemudian mata pemuda ini 
terbelalak, wajahnya pucat seperti melihat setan. 
“Aduhh.... Adi Sarindah.... aduhhhh, ampunilah 
aku!” ratap Kaligis yang sudah ketakutan setengah 
mati, ketika melihat Sarindah telah muncul dan berdiri 
di depannya. 
Sepasang mata gadis ini menyala menandakan ma-
rah. Jangankan kakinya dalam keadaan lumpuh, da-
lam keadaan sehat pun ia takkan dapat menandingi 
gadis ini. Untuk menyelamatkan nyawa tak ada jalan 

lain kecuali meratap dan minta ampun. 
“Hi hi hik, enak saja engkau bicara!” ejek Sarindah 
sambil terkekeh. “Dahulu engkau dapat lari menyela-
matkan diri. Akan tetapi sekarang, tahu rasa, huh! 
Engkau harus mati dalam tanganku sekarang juga!” 
Setelah berkata demikian, kaki Sarindah bergerak 
dan menendang kepala Kaligis. 
“Aduhhhhh....” hanya jerit itu saja yang keluar dari 
mulut Kaligis. Kemudian pemuda itu terlempar bebe-
rapa depa jauhnya, pingsan! 
Dalam keadaan dada penuh rasa gemas, penasaran 
dan jengkel ini, Sarindah berubah menjadi manusia 
kejam. Ia segera menarik rambut Kaligis, kemudian 
tanpa kesulitan menyeret tubuh tinggi besar itu ke de-
kat Sangkan yang masih pingsan. Dan gadis ini terse-
nyum seperti iblis wanita kelaparan. 
Apalagi saat sekarang ini jiwanya sedang dalam 
keadaan terguncang akibat khayalannya dengan Dewa 
Asmara kambuh kembali. Maka tiba-tiba saja tubuh 
dua orang muda yang masih pingsan itu ia seret ke se-
batang tonggak. Kemudian dengan kasar dua orang 
pemuda ini ia ikat pada tonggak. Ia mengikat kuat-
kuat dengan tali kulit kayu dari kaki sampai leher. Da-
lam keadaan seperti sekarang ini, walaupun dua orang 
muda itu sadar kembali, tidaklah mungkin dapat 
memberontak dan meloloskan diri lagi. 
“Hi hi hik, aku tunggu sesudah kamu sadar kemba-
li!” desisnya, lalu melangkah meninggalkan mereka 
kembali  ke api unggun dan daging kelinci yang tadi 
terpaksa ia tinggalkan. 
Api unggun itu hampir mati, maka ia terpaksa me-
nambah dengan ranting kayu kering. Sarindah ber-
sungut-sungut karena daging kelinci itu sekarang jum-
lahnya berkurang karena kelancangan Kaligis. 

“Kurang ajar! Mengambil milik orang lain tanpa 
minta izin lebih dahulu!” gerutunya sambil kembali si-
buk memberi bumbu pada daging yang akan dipang-
gang. 
Karena perutnya amat lapar, maka setiap daging itu 
matang, dalam waktu singkat saja sudah lenyap dan 
masuk dalam perut. 
Tak lama kemudian semua daging kelinci itu sudah 
habis masuk dalam perut. Gadis ini merasa puas, lalu 
menuju sumber air untuk minum. Air yang masuk ke 
dalam tenggorokannya terasa segar sekali. 
Setelah perut kenyang, barulah ia ingat kembali ke-
pada Sangkan dan Kaligis. Dua orang muda yang su-
dah tidak berdaya lagi itu terikat pada tonggak. Ia me-
natap ke arah dua pemuda itu dengan sepasang mata 
bersinar. 
“Hemm, aku harus menunggu setelah mereka sadar 
kembali!” desisnya. “Baru kemudian aku nanti meng-
hukum dengan pukulan ranting bambu berduri sam-
pai mampus. Huh, rasakan pembalasanku.” 
Siksaan terhadap dua orang ini memang harus da-
pat menimbulkan derita yang hebat, dengan maksud 
agar hatinya menjadi puas. 
Sarindah segera berlarian ke rumpun bambu berdu-
ri. Dengan pedang ia mematahkan dua ranting bambu 
berduri tajam dan kuat. Kemudian sambil tersenyum 
puas ia kembali menghampiri Sangkan dan Kaligis 
yang terikat pada tonggak dan belum sadar itu. Guna 
menunggu dua pemuda itu sadar, ia kemudian duduk 
di atas batu sambil memeluk lutut. 
Sarindah tidak terlalu lama menunggu. Kaligis sa-
dar lebih dahulu, membuka mata sambil mengeluh 
panjang. Kemudian pemuda ini kaget sekali ketika 
mendapatkan dirinya tidak dapat bergerak dan seluruh 

tubuhnya terikat oleh tali yang kuat sekali. Sekarang 
ini yang dapat ia gerakkan hanya kepala melulu, na-
mun tidak dapat secara leluasa untuk memandang se-
keliling. 
Mendadak saja wajah pemuda ini tambah pucat, ke-
tika melihat Sarindah duduk di atas batu, dan me-
mandang dirinya tidak berkedip. Tahulah ia sekarang, 
dirinya terikat seperti sekarang ini adalah perbuatan 
gadis itu. Maka tiba-tiba saja tubuhnya menggigil, ke-
ringat dingin membasahi sekujur tubuhnya, dan ia 
pun dapat menduga apakah arti dirinya terikat seperti 
sekarang ini. 
“Aduh.... Adi Sarindah, berilah ampun...!” ratapnya 
setengah menangis. Dan seterusnya pemuda ini men-
gucapkan kata-katanya lirih, “Adi Sarindah.... ohh, 
engkau tak tahu betapa besarnya rasa cinta dan ka-
sihku kepadamu. Namun engkau tidak pernah mau 
memperhatikan aku. Hemm, hatiku tersiksa jadinya, 
lalu mata ini menjadi gelap....” 
Sarindah mendelik dan menatap tajam kepada Kali-
gis. Katanya mengejek, “Hi hi hi, enak saja engkau 
minta ampun. Engkau manusia busuk sebusuk-
busuknya dalam dunia ini. Hayo, katakan lekas! Apa-
kah kesalahan Kakang Tanu Pada hingga engkau bu-
nuh secara curang?” 
“A.... a.... aku.... ah.... aku.... tidak...!” saking ta-
kutnya Kaligis terbata-bata, sulit menjawab. 
Ketika itu Sangkan justru sudah mendapat kesada-
rannya. Mendengar ucapan Kaligis ini dan melihat si-
kapnya yang meratap-ratap, ia menjadi tidak senang. 
“Kaligis!” bentaknya. “Mengapa engkau menjadi seo-
rang penakut seperti ini? Lebih baik hadapi saja ke-
nyataan dengan mantap dan tabah. Sebab sekalipun 
mohon ampun, tidak juga dia mau memberi ampun.” 

Kaligis menjadi marah dan membentak, “Sangkan! 
Engkau setan keparat dan jahanam busuk. Oleh buju-
kanmulah aku menjadi seperti ini. Engkau pulalah 
yang sudah mendorong Ananto sehingga jatuh ke da-
lam jurang. Dan engkau pulalah yang mempengaruhi 
aku  mengajak bersekutu membunuh Tanu Pada dan 
Kebo Prada. Huh, aku menyesal sekali mengapa sam-
pai terpengaruh oleh bujukan iblismu, sehingga sam-
pai hati membunuh saudara seperguruan sendiri.” 
Tiba-tiba saja Sangkan tertawa mengejek, “Sekali-
pun aku membujuk dan  mempengaruhi seribu kali, 
kalau dirimu teguh tidak mungkin bisa berhasil. Yang 
jelas engkau sendiri sudah tergila-gila kepada Sarin-
dah. Harapanmu itu tidak mungkin bisa terkabul tan-
pa jalan melenyapkan pemuda yang menjadi saingan-
mu, ha ha ha ha, heh heh heh heh, lucu! Laki-laki pe-
nakut macam engkau ini memang sudah sepantasnya 
mendapat hukuman seperti ini. Ha ha ha ha, tak lama 
lagi engkau akan mampus sambil berdiri, terikat pada 
tonggak ini, ha ha ha ha!” 
“Tutup mulutmu yang busuk!” teriak Kaligis marah. 
“Kalau aku mati di tonggak ini, apakah engkau tidak 
mampus pula? Huh, mulutmu berbisa, dan sepantas-
nya aku remukkan kepala dan mulutmu itu.” 
Kemudian Kaligis memandang Sarindah. Lanjutnya 
sambil beriba, “Adi Sarindah, sudilah engkau mele-
paskan aku barang sebentar. Berilah aku kesempatan 
untuk meremukkan mulut Sangkan yang berbisa ini. 
Dan hatiku belum puas sebelum aku dapat menghan-
curkan dia!” 
Sangkan terkekeh mengejek, “Heh heh heh heh, 
manusia dungu tidak tahu malu! Sudah hampir mam-
pus masih juga berlagak jagoan. Jika diberi kebebasan 
untuk memukul aku, apakah aku pun tidak bisa minta 

diberi kebebasan untuk menghajar engkau? Coba saja 
jika aku bisa bebas. Kita akan mengukur kesaktian, 
siapakah antara kita yang akan mampus, huh!” 
Sarindah hanya tersenyum mengejek, mendengar 
perbantahan dua orang pemuda itu dan bekas murid 
kakeknya pula. Ia masih belum bergerak dari tempat-
nya duduk. Ia sengaja mengulur waktu guna menyiksa 
perasaan Kaligis maupun Sangkan. Ia ingin memua-
skan hatinya untuk membalas dua orang pemuda ini 
yang sudah bersekutu membunuh pemuda yang ia cin-
tai. 
“Bangsat busuk! Setan Alas! Sangkamu aku takut 
menghadapi kau?!” bentak Kaligis penasaran. 
Sangkan hanya tertawa mengejek. Ia tidak mau lagi 
berbantahan dengan Kaligis. Apakah faedahnya harus 
bersitegang leher kalau keadaan sudah seperti seka-
rang ini? Tubuh sudah tidak dapat bergerak dan ting-
gal menunggu apa yang akan terjadi dan dilakukan 
oleh Sarindah. 
Pemuda ini merasa dirinya sudah banyak berdosa. 
Jika sekarang harus berhadapan dengan Sarindah, ia 
tidak perlu meratap-ratap minta ampun. Sebab ia sa-
dar hal ini tidak ada gunanya dan Sarindah tidak 
mungkin mengabulkan. 
Karena Sangkan tidak menggubris lagi, Kaligis pun 
diam. Sesaat kemudian barulah terdengar suara Kali-
gis yang beriba, “Adi Sarindah,  dengarkanlah permo-
honanku ini. Ampunilah aku....” 
Mata gadis itu menyala. Bentaknya nyaring, “Ja-
wablah yang jelas! Siapakah yang sudah membunuh 
Kakang Tanu Pada?!” 
Kaligis tambah pucat wajahnya. Bibirnya bergerak 
tetapi tidak terdengar suaranya. 
Karena Kaligis tidak cepat menjawab, maka Sang-

kan terkekeh mengejek, “Heh heh heh heh, akuilah te-
rus terang. Mengapa kau ragu? Kalau aku yang men-
dapat pertanyaan, siapa yang sudah membunuh Kebo 
Pradah, aku akan cepat memberi jawaban. Akulah 
orangnya yang sudah membunuh orang itu. Heh heh 
heh heh, laki-laki macam apa kau ini, berani berbuat 
tidak berani bertanggung jawab?” 
Nampaknya saja apa yang terucapkan oleh Sangkan 
ini, hanyalah kata-kata sederhana. Kata-kata yang 
mengingatkan kepada Kaligis, agar kembali menjadi 
seorang pemuda yang bertanggung jawab. 
Namun sebenarnya ucapan ini mengandung mak-
sud yang lebih dalam. Sebagai seorang pemuda yang 
licik, licin dan cerdik, sasaran ucapannya sudah jelas. 
Ia ingin memberitahu kepada Sarindah, bahwa Kaligis-
lah orangnya sebagai pembunuh Tanu Pada. Padahal 
Tanu Pada adalah pemuda yang mencintai Sarindah. 
Dengan demikian, sasaran kemarahan gadis ini tentu 
terarah kepada Kaligis. 
Namun setelah Kaligis hampir mampus, ia akan 
menggunakan kepandaian lidahnya, memungkiri per-
buatannya, dan ia akan melimpahkan semua kesala-
han ke pundak Kaligis. 
Baik Ananto, Kebo Pradah maupun Tanu Pada, se-
muanya adalah Kaligis yang bertanggung jawab. Di-
rinya tidak melakukannya, dan siapa tahu dengan da-
lih serta kepandaiannya bersilat lidah, ia dapat mem-
pengaruhi kekerasan hati Sarindah lalu gadis ini 
memberi ampun? 
Karena sudah didahului oleh Sangkan, maka Kaligis 
tidak dapat mungkir lagi. Sahutnya gagap, gugup dan 
terpatah-patah, “Aku.... ohhh.... ampunilah aku.... Be-
nar.... aku sudah membunuh Tanu Pada.... aduh.... 
ampun....” 

Plak...! 
“Aduhhh.... ampunnnnn...!” 
Plak...! 
Kaligis belum selesai memberikan jawaban, Sarin-
dah sudah bergerak. Tangannya menampar pipi Kali-
gis, sehingga pemuda ini berkaok-kaok minta ampun. 
“Kubunuh kau.... kubunuh kau!” desis Sarindah 
disertai sepasang mata yang beringas. 
Kaligis semakin ketakutan berhadapan dengan Sa-
rindah. Dua kali pukulan yang bersarang pada pipinya 
tadi ia rasakan sakit sekali. Kepalanya mendadak pen-
ing dan terasa pula sesuatu yang asin di dalam mulut-
nya. Ia sadar pipi bagian dalam pecah. Namun ia tidak 
berani meludah dan memaksa diri menelan darahnya 
sendiri. 
“Ampuuuuunnnn.... ampuuuuunnnnn.... Sarin-
dah.... ampunilah aku...,” ratap Kaligis dengan tubuh 
gemetaran. 
Dada Sarindah berombak oleh kemarahan dan pe-
nasaran. Kemudian ia menatap Sangkan, bentaknya, 
“Dan siapa yang sudah membunuh Kebo Pradah?” 
Pemuda licik dan licin ini mendadak tergagap. Cela-
ka, semua rencananya berantakan. Mengapa secepat 
ini Sarindah mengalihkan perhatian kepada dirinya? 
Saking bingung dan khawatir, Sangkan tidak dapat 
cepat menjawab. 
Kaligis mempergunakan kesempatan ini sebaik-
baiknya untuk membalas. Katanya, “Hai Sangkan! Ke-
napa mulutmu bungkam? Mengapa tidak kau lekas 
menjawab? Akuilah terus terang saja, engkaulah yang 
sudah membunuh Kebo Pradah juga sudah menjeru-
muskan Ananto ke dalam jurang.” 
Mendengar ucapan Kaligis ini Sarindah tak sabar 
lagi menunggu jawaban, “Nih rasakan pukulanku, 

huh!” 
Plakkk.... plakkkkk...! 
“Aduhhh...!” 
Setelah dua pukulan keras berturut-turut mendarat 
ke pipinya, tidak tercegah lagi mulut Sangkan meme-
kik nyaring. Kemudian dari mulutnya menyembur da-
rah merah, berikut dua biji giginya tanggal. 
Sarindah menatap Sangkan dengan mata berapi. 
“Huh, Sangkan. Engkau pemuda biadab. Engkau pe-
muda tak pandai membalas budi. Kakek telah mendi-
dik engkau bertahun-tahun, ternyata engkau malah 
berkhianat. Huh, tahukah engkau betapa adikku Sar-
wiyah menjadi sedih oleh perbuatanmu? Dan apakah 
kesalahan Ananto, sehingga engkau sampai hati men-
jerumuskan ke jurang?” 
Kaligis merasa terhibur, kemarahan Sarindah bera-
lih kepada Sangkan. Walaupun mulutnya masih terasa 
sakit, ia dapat tersenyum dan hatinya mengejek, Rasa-
kan sekarang. Mudah-mudahan Sarindah menghajar 
kau sampai mampus. 
Ternyata harapan Kaligis terkabul. Sarindah sudah 
melesat dan memungut ranting bambu berduri yang 
sudah siap. Sambil memegang ranting bambu yang 
berduri ini, Sarindah menuding. 
“Sangkan!” bentaknya. “Tahukah kau, akibat per-
buatanmu, keluargaku menjadi berantakan? Dan tahu 
pulakah engkau, Kakekku sudah tewas?” 
“Ahhh...!” jerit Kaligis. “Guru.... Guru tewas? Hu 
huuuuuu.... Guruuuuu....” 
Sarindah menatap Kaligis sekilas. Kemudian perha-
tiannya kembali tertuju kepada Sangkan. Mulut Sang-
kan bungkam tidak mengucapkan sesuatu. Sekalipun 
demikian tiba-tiba dari sudut matanya telah menitik 
air mata. Ternyata kabar tewasnya sang guru itu pen-

garuhnya kuat sekali dalam dada pemuda ini hingga 
menangis. 
Akan tetapi menitiknya air mata Sangkan ini malah 
menyebabkan kemarahan Sarindah meledak. Bentak-
nya lantang, “Tidak perlu engkau pura-pura menangis. 
Air matamu adalah air mata buaya. Huh, engkau pura-
pura menangis, tetapi dalam hatimu bersorak girang. 
Huh, murid macam apa engkau ini? Jika engkau tidak 
berkhianat, Kakek tentu tidak berkelahi melawan Ga-
jah Mada dan tewas. Huh, rasakan pukulanku dengan 
bambu berduri ini!” 
Plakkk.... 
“Aduhhh....” 
Plak plak...! 
“Aduhhhh...!” 
Plak plak...! 
“Ampunnn...!” 
Setiap ranting bambu berduri itu memukul tubuh-
nya, oleh kuatnya pukulan dan tajamnya duri, tubuh 
itu segera terluka dan darah memercik keluar dari lu-
ka, diikuti oleh jerit kesakitan dari mulut Sangkan. 
Lima kali Sarindah memukul segera terdapat lima luka 
pada tubuh Sangkan. 
Akan tetapi Sarindah sudah seperti kerasukan se-
tan. Tangan yang memegang ranting bambu berduri 
itu segera bergerak-gerak cepat sekali memukul. Kalau 
pada mulanya Sangkan masih bisa menjerit dan men-
gaduh, setelah pukulan itu bertubi-tubi, banyak luka 
yang timbul pada tubuhnya, pemuda ini pingsan. 
Melihat Sangkan pingsan, kepalanya terkulai dan 
darah merah menetes dari luka pada kepala, muka, 
leher dan tubuh, Sarindah menghentikan pukulannya. 
Gadis ini tersenyum dan menyeringai puas. 
Akan tetapi sebaliknya Kaligis tersiksa setengah ma-

ti dan sudah hampir pingsan pula sebelum dihajar. 
Gilirannya kemudian jatuh kepada Kaligis. Bentak-
nya, “Engkau membunuh Kakang Tanu Pada. Apakah 
maksudmu?” 
“Ampunnn.... ampunilah aku.... Adi Sarindah...,” 
Kaligis meratap dan wajahnya tambah pucat, sedang 
tubuhnya menggigil. “Aku mengaku terus terang.... 
Asalkan engkau mau memberi ampun. Adi Indah.... 
apakah engkau tidak merasa bahwa aku amat mencin-
taimu?” 
“Cuh!” Sarindah meludah ke tanah. “Engkau men-
cintai aku? Huh, siapa yang sudi engkau cintai? Pan-
tasnya kau ini hanya kupergunakan sebagai pembersih 
kakiku yang kotor oleh lumpur.” 
“Tetapi....  tetapi...,” Kaligis tak bisa meneruskan 
ucapannya, saking takut. 
“Tetapi apa?!” bentak Sarindah. “Hayo katakanlah 
lekas!” 
“Tetapi.... sungguh mati.... Adi Indah, aku jatuh cin-
ta kepada engkau. Uhh.... celakanya engkau tidak mau 
peduli.... engkau memilih Tanu Pada....” 
“Huh huh! Lalu kau membunuh secara curang?” 
Kaligis terdiam, tak sanggup menjawab. 
Agaknya Sarindah sudah gemas. Tiba-tiba tangan-
nya bergerak. 
Plak...! 
“Aduhhh...! Ampuuuunnnn...!” 
Setiap kali ranting bambu berduri memukul tubuh-
nya, segera terdengar jerit Kaligis yang kesakitan. Tiga 
kali sabetan tiga tempat terluka dan mengucurkan da-
rah merah. Rasanya nyeri dan panas, maka Kaligis 
minta ampun. 
Akan tetapi manakah Sarindah mau menggubris la-
gi? Dasar jiwanya sudah terguncang oleh peristiwa 

yang  ia alami, sekarang ia berhadapan dengan orang 
yang amat ia benci. Maka tangan itu dengan ringan 
sekali sudah menyiksa Kaligis tanpa peduli lagi yang ia 
siksa berkaok-kaok minta ampun. Beberapa saat ke-
mudian setelah tidak kuasa lagi menahan rasa sakit 
pada seluruh tubuhnya, Kaligis pingsan seperti Sang-
kan. 
Sarindah menghentikan pukulannya, menatap dua 
orang pemuda yang pingsan itu dengan hati puas. Te-
tapi dalam hati gadis ini kemudian timbul perasaan 
belum puas, sebelum dapat membunuh mereka. Maka 
kemudian.... 
Sring.... 
Pedang sudah tercabut dari sarung. Lalu desisnya, 
“Huh, kamu manusia-manusia busuk. Hari ini kamu 
harus mampus oleh pedangku!” 
Siut.... tiang.... 
“Aihhh...!” 
Sarindah memekik nyaring saking kagetnya, ketika 
pedang yang sudah ia sabetkan ke arah leher Kaligis 
itu mendadak menyeleweng. Batang pedang itu terben-
tur oleh sebutir batu yang kemudian menyebabkan 
lengannya tergetar hebat seperti lumpuh. 
Pada saat Sarindah kaget ini, tiba-tiba muncullah 
seorang pemuda yang gagah dan tampan, tetapi pa-
kaiannya sederhana. Pemuda ini gerakannya ringan 
sekali, dan tanpa ragu sudah menghampiri Sarindah. 
Pemuda ini membungkuk sopan memberi hormat ke-
pada Sarindah. Bibirnya tersenyum manis dan tidak 
kurang ajar. 
“Nona, apakah kesalahan dua orang ini, sehingga 
Nona sampai hati menyiksa sedemikian rupa?” tegur-
nya halus, 
Sarindah tidak cepat memberi jawaban, malah se-

pasang matanya terbelalak dan mulutnya sedikit ter-
buka. Sederet gigi yang putih mengkilap tampak di se-
la-sela bibir yang merah merekah. Tubuh gadis ini 
mendadak saja gemetaran, dan tanpa terasa pedang-
nya sudah runtuh. 
Beberapa saat kemudian, terdengar suara gadis ini 
yang menggeletar, “Kau.... kau Kakang Dewa Asma-
ra.... Aduhhh.... aku mencari engkau setengah mati.... 
ternyata aku dapat bertemu di sini..” 
“Ahhh...!” pemuda ini berteriak kaget, ketika Sarin-
dah sudah menubruk. Tetapi oleh gerakannya yang ge-
sit, tubrukan Sarindah luput. 
Karena tidak menduga tubrukannya akan dihindari 
orang, maka Sarindah terdorong oleh tenaganya sendi-
ri, sehingga terhuyung dan hampir terjerembab. 
Untung pemuda itu waspada. Dengan gesitnya telah 
berhasil menangkap lengan Sarindah, hingga urung ja-
tuh. 
Namun kemudian pemuda ini memekik tertahan, 
“Aihhh...!” 
Pemuda ini memang tidak pernah menduga, setelah 
gadis ini dapat ia tolong, tahu-tahu sudah memeluk 
pinggangnya erat sekali, dan wajah ayu itu tiba-tiba 
bersembunyi pada dada. 
Sarindah menangis terisak, kemudian terdengar su-
aranya yang tidak lancar, “Aduhhh..., Kakang Dewa 
Asmara. Akhirnya aku dapat bertemu lagi dengan kau. 
Hu hu huuu.... Tetapi..., tetapi..., mengapa engkau ta-
di.... hu hu huuuu... menghindar ketika aku memeluk? 
Hampir.... hampir saja aku jatuh terjerembab.... hu hu 
huuu....” 
Pemuda tampan ini melongo saking heran. Sebagai 
pemuda yang umurnya baru sekitar 22 tahun,  tentu 
saja jantungnya menjadi dag dig dug, dipeluk gadis 

ayu, sedang dada yang lunak lembut menekan perut-
nya. Akibatnya tanpa sesadarnya, jari tangannya su-
dah terangkat lalu membelai rambut yang hitam itu. 
Akan tetapi untung sekali, pemuda ini cepat menja-
di sadar. Ia menjadi malu sendiri, karena perbuatan ini 
memang tidak patut. Maka cepat-cepat ia menarik jari 
tangannya, lalu menggunakan dua tangannya mendo-
rong pundak gadis ini dengan halus. Katanya, “Nona, 
kenapa engkau ini...?” 
Oleh debaran jantungnya, tidak urung pemuda 
tampan ini ucapannya tidak lancar. 
Sarindah memeluk erat sekali, tidak juga mau me-
lepaskan pelukannya sekalipun pundaknya terdorong. 
Kemudian Sarindah mengangkat wajahnya dan me-
nengadah. Dua pasang mata bertatap pandang. Sepa-
sang mata Sarindah menatap dengan mesra dan pe-
nuh penyerahan, sebaliknya pandang mata pemuda ini 
penuh tanda tanya. 
Pemuda ini dalam hati mengakui, gadis yang meme-
luk sekarang ini cantik dan menggairahkan. Tetapi di-
rinya bukanlah pemuda yang suka main perempuan, 
dan iapun tidak mau menggunakan kesempatan dalam 
kesempitan. 
Dalam hati pemuda ini penuh rasa kesadaran, tentu 
gadis yang sekarang memeluknya ini sudah salah 
mengenal orang. Mungkinkah dirinya mirip dengan 
pemuda lain yang namanya disebut Dewa Asmara? 
Pada saat pemuda ini sedang heran dan bertanya-
tanya ini, tanpa terasa Sarindah sekarang sudah me-
lingkarkan lengannya ke leher. Kemudian dengan se-
tengah memaksa agar pemuda itu merendah, disusul 
oleh bibir Sarindah sudah menciumi bibir pemuda ini 
penuh kasih dan mesra. 
Ciuman ini mengejutkan si pemuda tampan. Kecua-

li ia seorang pemuda yang belum pernah kenal dengan 
perempuan dan sekalipun ia merasakan kehangatan 
bibir gadis yang menciumnya ini, namun ia cepat 
mendorong pundak Sarindah. 
“Nona!” tegurnya agak keras. Sekalipun demikian 
teguran ini bermaksud baik untuk menyadarkan  
orang dari kekeliruan. “Apa maksudmu berbuat seperti 
ini terhadap diriku? Pandanglah yang jelas, aku bukan 
orang yang engkau sebut Dewa Asmara itu.” 
Sarindah terbelalak oleh teguran pemuda ini. Lalu 
tanpa sesadarnya lengan yang melingkar pada leher itu 
lepas. Sarindah sekarang berdiri berhadapan, sedang 
matanya meneliti, menelusuri tubuh dan wajah pemu-
da ini. 
Namun tiba-tiba Sarindah menubruk lagi dan me-
meluk pinggang. Dan pemuda ini tidak sampai hati un-
tuk menghindar, takut kalau gadis ini terjerembab. 
Umurnya masih muda tetapi pandangannya cukup 
jauh. Ia bisa menduga, agaknya gadis ini kesepian dan 
rindu kepada kekasihnya bernama Dewa Asmara. Da-
lam keadaan seperti ini menyebabkan gadis ini sudah 
salah mengenal orang. 
“Tidak salah! Tidak salah! Kakang.... oh, Kakang 
Dewa Asmara!” rintih Sarindah. “Ohh, engkau jangan 
merusak hatiku. Kakang.... ohh, jangan tinggalkan aku 
lagi. Kakang.... aku cinta padamu. Engkau.... engkau 
adalah suamiku.... oh, aku tak dapat berpisah lagi 
dengan kau....” 
Jantung pemuda ini berdegup lebih keras menden-
gar pengakuan “engkau suamiku”. Jadi perempuan 
muda ini istri orang? Maka dengan halus, tetapi ia 
lambari tenaga yang ia perhitungkan, pemuda ini 
mendorong supaya lepas dari pelukan. 
Ia berbuat demikian adalah untuk mencegah orang 

salah duga, karena perempuan ayu ini sudah bersua-
mi. Ia takut, apabila di luar tahunya, laki-laki yang 
bernama Dewa Asmara dan suami perempuan ini tiba-
tiba muncul. Dirinya tidak ingin orang menuduh 
mengganggu istri orang. Di samping itu iapun sadar, 
kalau terlalu lama berhadapan dengan perempuan 
yang ayu dan berani ini, dan sikapnya mesra penuh 
penyerahan, dirinya bisa lupa daratan. 
Untuk menjaga hal-hal yang tidak ia harapkan, ia 
sengaja mengucapkan kata-kata kasar yang menusuk 
perasaan, “Siapa engkau, yang sudah lancang men-
ganggap aku suamimu?” 
Sarindah terbelalak. Katanya, “Kau.... kau... men-
gapa sekasar ini, Kakang...? Apakah engkau lupa ke-
padaku? Bukankah aku ini Sarindah, istrimu? Kakang 
Dewa Asmara.... engkau jangan sekejam ini. Lupakah 
engkau pada saat kita sedang bercumbu dan berbulan 
madu dalam kamar indah dan berbau harum itu? 
Engkau merayu diriku.... dan sambil menciumi, eng-
kau menyanjung diriku sebagai wanita tercantik di 
dunia ini.... Dan engkau malah bersumpah.... hanya 
aku seorang, wanita yang engkau cintai. Tetapi.... teta-
pi.... mengapa secepat ini sikapmu berubah?” 
Wajah pemuda ini merah padam. Dirinya masih je-
jaka thing thing, orang menuduh sudah merayu dan 
menciumi, maka diam-diam ia menjadi malu. Namun 
demikian ia masih tetap sadar, perempuan ini sudah 
salah mengenal orang. 
Karena itu demi untuk menyadarkannya tidak ada 
jalan lain kecuali terpaksa harus mengucapkan kata-
kata kasar lagi, “Hai Sarindah! Engkau jangan lancang 
mulut dan mengaku sebagai istriku. Aku bukan Dewa 
Asmara! Namaku bukan itu, tetapi Sinom Pradopo. 
Hemm, kenal pun aku belum dengan kau, tetapi kena-

pa kau bisa menjadi istriku? Huh, perempuan lancang, 
kau jangan ngawur!” 
Sepasang mata Sarindah terbelalak mendengar 
ucapan pemuda ini. Ia mengerutkan alis, tetapi sesaat 
kemudian pandang matanya kembali sayu, redup dan 
mesra penuh penyerahan. Katanya, “Kakang Dewa 
Asmara! Kenapa kau ini...? Kau.... kau.... sekejam itu-
kah kepada diriku yang sudah menyerahkan diri den-
gan segenap jiwaku? Kakang.... engkau jangan ma-
rah.... Hatiku hancur, ah.... betapa rindu hatiku kepa-
da Kakang Dewa Asmara, dan marilah kita kembali 
memadu kasih.” 
“Cukup!” bentak Sinom Pradopo menggeledek, me-
motong ucapan Sarindah yang belum selesai. “Aku bu-
kan Dewa Asmara. Aku bukan suamimu! Aku adalah 
orang lain bernama Sinom Pradopo. Hayo, lekas enyah 
dari tempat ini sebelum aku marah!”