Roro Centil 9 - Misteri Sepasang Pedang Siluman(1)







Hawa dingin yang luar biasa di pagi subuh itu
menyelimuti sekitar lereng perbukitan. Di mana kabut
tampak masih tebal. Di antara keremangan cuaca dan
tebalnya kabut, tampak terlihat sebuah bangunan be-
sar. Ternyata sebuah kuil. Kuil itu bernama KUIL IS-
TANA HIJAU. Memanglah sebenarnya kuil itu amat be-
sar dan luas, hingga menyerupai sebuah istana saja
layaknya. Di sekeliling kuil itu dikelilingi oleh pagar
tembok tebal, yang tampak luas. Bagian depannya ter-
dapat pintu gapura dengan daun pintu dari terali besi.
Sedangkan bangunan itu sendiri keseluruhannya ber-
cat hijau. Kecuali atap gentingnya.
Cuaca yang remang-remang itupun berangsur-
angsur terang. Sementara kabut sedikit demi sedikit
mulai lenyap. Akan tetapi dalam hawa yang sebegitu
dinginnya ternyata telah ada orang yang keluar rumah.
Bahkan tanpa selimut menutupi tubuhnya. Dia seso-
sok tubuh yang berpinggang ramping, berambut pan-
jang beriapan.
Dalam keremangan kabut yang semakin meni-
pis, sudahlah dapat diterka kalau sosok tubuh itu ada-
lah sosok tubuh seorang wanita.
Angin yang bertiup sepoi di pagi remang itu te-
lah membawa bau amisnya darah. Hingga menyebar
sampai ke sebuah desa, yang terletak sejauh kurang
lebih enam belas kali lemparan tombak dari kuil Istana
Hijau.
Hal tersebutlah yang membuat wanita itu telah
keluar dari rumah. Dan berlari cepat menuju arah an-
gin bertiup. Tepat di saat keremangan mulai lenyap,
sosok tubuh itu telah tiba di satu tempat berdataran
tinggi. Di hadapannya adalah sebuah perbukitan yang
memanjang. Dan tak jauh dari lereng perbukitan itulah
terlihat berdiri dengan megahnya dari kejauhan ban-
gunan kuil Istana Hijau.

Siapakah gerangan Wanita itu? Dia ternyata tak
lain dari si Pendekar Wanita Pantai Selatan, alias RO-
RO CENTIL.
Baru saja ia menginap  semalam di desa yang
bernama Lubuk Batang itu, Kedatangannya adalah
atas undangan seseorang dari kalangan Rimba Hijau,
yang berjulukan si Bangau Putih. Roro sendiri heran,
karena ia tidak mengenal akan nama itu. Namun men-
gingat dirinya sudah dikenal orang Persilatan, ia men-
duga si pengundang tentu membutuhkan bantuan.
Karena di samping si Pendekar Wanita ini seorang
yang gemar berpetualang, juga undangan itu dianggap
kesempatan baik untuk mengetahui ada hal apakah
gerangan, maka ia telah diundang melalui surat raha-
sia, juga ia berkeinginan mengetahui siapa gerangan
adanya si Bangau Putih itu. Sejak senja kemarin ia te-
lah tiba di tempat tujuan. Akan tetapi menunggu keda-
tangan si Bangau Putih di sebuah penginapan yang te-
lah ditentukan, harus-nya menggunakan kesabaran.
Kesempatan itu tidak di sia-siakan
Roro Centil, untuk melihat-lihat keadaan desa
yang ramai itu. Ternyata desa Lubuk Batang terletak di
sisi sebuah sungai, di sisi bukit. Rumah-rumah pen-
duduk berderet-deret memanjang di sisi sungai yang
berair jernih itu. Sampan dan jukung berseliweran di
permukaan air. Ada yang sekedar bermain perahu. Ada
juga yang memang mempunyai keperluan tertentu.
Bahkan di antaranya ada yang menggunakan sampan
untuk berdagang. Ternyata di samping rumah-rumah
yang berdiri di daratan, ada juga rumah-rumah yang
berdiri di atas air. Setelah puas melihat-lihat, Roro
kembali ke penginapan.
Tempat yang digunakan untuk bermalam ada-
lah sebuah rumah penginapan yang hanya satu-
satunya di tempat itu. Jendela kamarnya menghadap

ke arah tepian sungai yang di belakangnya adalah ba-
risan bukit yang memanjang. Pemandangan di tempat
itu memang indah.
Hingga sampai malam ia mondar-mandir keluar
kamar. Namun tak terlihat adanya orang yang men-
gundangnya. Diam-diam gadis pendekar ini tersenyum
sendiri. Mengapa ia tak menanyakan saja pada si pe-
milik penginapan, barangkali saja ia mengenal si Ban-
gau Putih.
Segera ia temui pemilik penginapan yang pada
saat itu tengah duduk di belakang mejanya. Laki-laki
tua ini tampak tengah asyik menikmati asap temba-
kaunya. Sambil duduk bertumpang kaki di kursi ma-
las. Sementara sepasang matanya seperti mengantuk.
"Maaf paman....!  Apakah paman  mengenal se-
seorang yang menyebut dirinya si Bangau Putih...?"
bertanya Roro.
Laki-laki ini membuka sepasang kelopak ma-
tanya. keningnya dikernyitkan. Segera kepalanya men-
dongak untuk menatap si penanya.
"Apakah maksud nona si paderi Kuil Istana Hi-
jau itu...?" Balik bertanya si pemilik penginapan. Roro
yang memang tak mengetahui, cepat-cepat saja men-
ganggukkan kepala. Tapi diam-diam Roro terkejut, tapi
juga bersyukur. Yang akhirnya mengetahui siapa
adanya si Bangau Putih itu.
"Kalau dia yang nona tanyakan, sayang sekali
orangnya sudah berangkat pergi. Memang sudah sejak
tiga hari yang lalu, paderi itu menginap di sini. Tam-
paknya ia tengah menunggu seseorang. Apakah nona
yang sedang ditunggunya?" Ujar laki-laki tua, seraya
bertanya. Sementara kembali ia menghisap dalam-
dalam pipanya. Dengan kelopak mata yang dika-
tupkan. Sikapnya seperti santai saja dalam berbicara.
Terpaksa Roro mengangguk. Walau sebenarnya ia tak

ingin berterus terang, dan berkata:
"Benar, paman.... Sejak kapan dia pergi? Dan di
manakah letaknya Kuil Istana Hijau itu....?"
Tanya Roro. Si pemilik penginapan itu buka
kembali kelopak matanya, dan hembuskan asap tem-
bakaunya dengan mendesis.
"Baru tadi pagi....! Sayang pertanyaan nona
mengenai di mana adanya Kuil Istana Hijau itu aku
tak mengetahui. Karena aku memang tak pernah ke
mana-mana selain duduk di kursi kawan setia ku ini,
ditemani pipa cangklong ku. Di rumah penginapan mi-
likku ini memang banyak disinggahi para tetamu dari
pelbagai kalangan Rimba Hijau. Aku dapat mengeta-
huinya tentu saja dari buku tamu...!" Ujar laki-laki tua
ini, seraya tepukkan tangannya memanggil seorang
pegawainya yang duduk di belakang meja yang berada
di sudut ruangan. Sang pegawai laki-laki itulah yang
telah mencatat nama-nama setiap pendatang yang
mau menginap, juga termasuk nama Roro Centil.
"Coba kulihat buku tamu itu sebentar...!" Ber-
kata si pemilik penginapan, ketika si pegawainya telah
bergegas datang. Laki-laki itu kembali beranjak pergi
untuk segera mengambilnya. Dan tak lama kemudian
telah menyerahkan buku catatan yang besar itu pa-
danya. Roro Centil cuma bisa berdiri diam berpeluk
tangan. Si pemilik penginapan merogoh saku bajunya
untuk mengeluarkan sebuah kaca mata. Setelah ber-
sihkan kacamata bulatnya dengan ujung baju, segera
ia mulai membuka lembaran buku tamu.
"Nah, kau lihat...! Di sini tertera nama si Ban-
gau Sakti paderi Kuil Istana Hijau. Yang orangnya su-
dah berangkat pergi. Dan pada malam ini yang telah
menginap adalah: Barong Segoro si Naga Hitam, Sito
Resmi si Dewi Rembulan. Dan yang terakhir adalah
nona sendiri .... Apakah nona bernama Sakuntala...?"

Ujar laki-laki tua itu seraya lakukan pertanyaan pada
Roro. Tentu saja Roro Centil mengangguk sambil ter-
senyum. Orang tua itu pun manggut-manggut seraya
menutup lagi buku tamunya.
Roro cepat-cepat menghaturkan terima kasih
seraya berlalu untuk kembali ke kamarnya. Sementara
diam-diam gadis ini tersenyum sendiri, karena ia me-
mang sengaja memakai nama palsu yang ditulis di bu-
ku tamu penginapan itu. Tapi telinga gadis ini telah
menangkap suara bisikan si pegawai penerima tamu
pada majikannya. Yang membisiki bahwa kedua ta-
munya si Naga Hitam dan Dewi Rembulan, juga telah
berangkat pergi tadi siang. Roro Centil kerutkan alis-
nya, dan masuk kamar untuk segera menutupnya
kembali dan sekaligus menguncinya. Gadis ini jatuh-
kan tubuhnya di pembaringan. Sepasang matanya
berkedap kedip, seperti tengah memikir serius. Akhir-
nya Roro mengambil keputusan untuk tidur. Dan esok
pagi akan berangkat mencari di mana adanya Kuil Is-
tana Hijau. Ia menduga si Bangau Sakti tentu telah
kembali ke tempatnya. Karena menduga tamu undan-
gannya tak datang.
Sayang aku terlambat datang kemari...! Ternya-
ta sudah tiga hari si Bangau Putin menginap di tempat
ini...! Menggumam Roro dalam hati. Tapi satu hal lagi
membuat Roro harus merenung sebelum berangkat ti-
dur. Yaitu memikirkan adanya dua orang tokoh Rimba
Hijau yang juga telah menginap di sini.
Apakah si Naga Hitam dan Dewi Rembulan itu
juga datang atas undangan si paderi Kuil Istana Hijau,
si Bangau Putih itu? Pikir Roro Centil. Ia tak bisa men-
jawab pertanyaannya sendiri. Dan karena merasa tak
perlu memikirkan siapa orang-orang yang belum dike-
nalnya itu, juga telah berangkat pergi, Roro Centil se-
gera pejamkan mata dan tarik selimutnya untuk tidur.

Tengah malam ketika si Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan itu tengah pulas, sesosok tubuh berendap-
endap mendekati pintu kamarnya. Dengan mengguna-
kan kunci, bayangan sosok tubuh itu berhasil mem-
buka pintu kamar Roro. Akan tetapi mendengar suara
menggeram seekor harimau, orang yang menggunakan
topeng wajahnya itu kembali mundur. Dan cepat-cepat
keluar lagi, seraya mengunci kembali pintu kamar itu.
Serta bergegas menyelinap pergi. Dan menghi-
lang di balik tembok rumah. Kiranya Roro Centil telah
waspada. Ia telah menyuruh binatang siluman yang te-
lah tunduk padanya itu yaitu si Macan Tutul untuk
menjaganya di muka pintu kamar.
Kala menjelang pagi dinihari, Roro. Centil su-
dah terbangun. Setelah mencuci muka, ia kembali ke
kamar untuk membuka jendela. Hidung si pendekar
Wanita ini mencium bau amisnya darah yang terbawa
angin. Di tengah hawa dingin yang menyeruak masuk
ke dalam kamar. Udara masih remang-remang. Dan
kabut terlihat menutupi pemandangan di seberang
sungai.
Roro merasa perlu untuk menyelidiki dari mana
sumber bau amis darah itu. Sebagai seorang pendekar
gemblengan beberapa guru yang berilmu tinggi, Roro
Centil semakin dewasa dalam berfikir. Nalurinya yang
tajam mengatakan ada sesuatu telah terjadi. Segera,
setelah membenahi buntalan pakaiannya yang disang-
kutkan rapi di belakang punggung. Ia sudah melompat
dari jendela. Namun tak lupa Roro Centil telah sedia-
kan beberapa keping uang perak di atas meja, sebagai
pembayaran sewa kamarnya. Melalui jalan kecil di sisi
penginapan, Roro berindap-indap meninggalkan tem-
pat penginapan itu. Selanjutnya ia telah pergunakan
kelihaian ilmu meringankan tubuh untuk melompat ke
atas genting. Dan seterusnya berlompatan dari satu

wuwungan ke wuwungan lain. Sekejap antaranya Roro
telah jauh tinggalkan penginapan itu.

***

Kini di hadapannya adalah hamparan hijau dari
padang rumput, yang masih samar tertutup kabut Ga-
dis pendekar ini pergunakan ilmu lari cepat untuk me-
nyongsong arah angin. Bau amis darah itu semakin
santar setelah lewat beberapa belas kali lemparan
tombak dari rumah penginapan itu, kini terlihat sudah
di hadapannya sebuah bangunan besar yang mirip is-
tana. Dengan membaca ukiran huruf pada pintu gapu-
ra bangunan itu, segera ia mengetahui kalau itulah
bangunan Kuil Istana Hijau.
Apa lagi kini terlihat nyata tiang-tiang dan Kuil
serta keseluruhan bangunan itu yang berwarna hijau.
Sementara saat itu kabut sudah menipis sekali.
"Hm, inilah kiranya Kuil Istana Hijau....!", Bau
amis darah agaknya berasal dari sini. Ada apakah ge-
rangan yang telah terjadi..?". Desis suara Roro perla-
han. Sementara ia sudah melangkah masuk melalui
pintu gapura. Dan tiba-tiba saja sepasang mata Roro
telah melihat sosok-sosok tubuh yang bergelimpangan,
berserakan di sekitar halaman, dan tangga batu unda-
kan kuil ini. Tercenung Roro seketika. Sang Pendekar
Wanita ini telah berkelebat cepat untuk memeriksa
dengan menghampiri sesosok mayat yang melintang di
tangga batu undakan. Ternyata mayat seorang paderi.
Beberapa mayat ditelitinya. Ternyata juga paderi-
paderi yang telah tewas dengan mengerikan, yaitu den-
gan dada terbelah robek, bagai disayat benda tajam.
Keadaan di sekitar itu sunyi mencekam. Roro Centil
kembali tercenung sejenak. Apakah gerangan yang te-
lah terjadi...? Siapa yang telah membunuh paderi-

paderi ini? Gumam Roro dalam hati. Seraya kemudian
Roro melesat untuk memasuki ruangan demi ruangan
di dalam kuil itu. Kembali ia melihat pemandangan
yang mengharukan. Karena di dalam ruangan pun pe-
nuh dengan mayat yang bergelimpangan. Bau amis da-
rah semakin santar pada ruangan dalam ini. Benar-
benar membuat Roro bergidik. Ia menduga telah terjadi
satu pertarungan di Kuil Istana Hijau ini.
Akan tetapi yang amat di  herankan, tak satu-
pun ia menjumpai sosok tubuh yang bergeletakan itu
dari orang lain, selain para paderi.
"Aku harus mencari salah seorang yang masih
hidup, untuk bisa memberi keterangan mengenai pe-
ristiwa ini.. !" Desis Roro.
Heh! Jangan-jangan si Bangau Putih pun telah
turut tewas! Kukira paderi itu sengaja mengundangku
untuk aku membantunya. Namun aku terlambat da-
tang! Entah siapa orangnya, dan dari kelompok mana
gerangan yang telah membantai para paderi Kuil Ista-
na Hijau ini...! Gumam Roro dalam hati. Seraya ia su-
dah segera meneliti setiap ruangan. Dan memerik-
sanya, kalau-kalau ada terdapat orang yang masih hi-
dup, untuk diajak bicara.
Saat itu juga Roro Centil kembali berkelebatan
di dalam ruangan Kuil besar itu. Setiap ada tubuh
yang menggeletak, tentu diperiksanya. Akan tetapi
keadaan paderi itu sudah tidak bisa ditanya lagi. Kare-
na orangnya telah tewas. Bahkan darah yang mengalir
dari dada yang robek tersayat itu telah kental, hampir
mengering. Menandakan kematian paderi-paderi itu
sudah dalam waktu satu hari satu malam. Di tengah
ruangan yang paling besar juga terdapat beberapa
mayat yang tergeletak. Gadis Pendekar ini layangkan
pandangannya memeriksa sekitar ruangan. Ternyata di
altar paling depan itu terdapat sebuah arca Budha

yang telah hilang kepalanya. Berwarna kuning keema-
san. Roro kelebatkan tubuhnya ke sana. Arca Budha
ini tingginya hampir dua kaki. Ketika Roro memerik-
sanya, ternyata terbuat dari perunggu yang dilapisi
emas. Aneh...! Menggumam Roro. Kalau ada arca yang
hilang kepalanya, sudah pasti ada yang merusak. Pi-
kirnya. Dan Roro memang melihat jelas adanya bekas-
bekas benda tajam yang masih baru pada bagian leher
arca. Semakin yakin hati Roro, bahwa kepala arca itu
telah copot orang dengan paksa. Tapi memikir bahwa
arca itu terbuat dari perunggu yang dilapis emas, buat
apa orang mencurinya? Demikian fikir gadis Pendekar
ini.
Tersirat di hati Roro bahwa adanya mayat-
mayat di dalam dan di luar kuil itu adalah karena para
paderi bertarung melawan pencuri arca Budha itu, dan
berusaha mempertahankannya. Pada saat itu tiba-tiba
terdengar bentakan hebat disusul berkelebatnya se-
buah bayangan yang menghantamkan pukulan ke
arah Roro.
"Pencuri busuk..! Pembunuh keparat! Mampus-
lah kau...!". Gadis ini tak sempat untuk menoleh lagi,
karena angin pukulan telah bersiur di belakangnya….
BLAK...! Terpaksa ia gunakan lengannya untuk
serangan bokongan itu. Tampak tubuh Roro Centil
terhuyung dua tindak ke belakang. Roro terkejut juga
mengetahui tenaga dalam si penyerang begitu besar.
Ternyata si penyerangnya adalah sesosok tu-
buh dari seorang paderi yang memakai jubah kuning.
Paderi inipun terkejut bukan main ketika merasakan
lengannya seperti beradu dengan besi panas saja. Dan
tenaga tolakan dari bantu ran lengan itu telah mem-
buat tubuh laki-laki ini terjengkang dua tombak.
Roro sudah balikkan tubuh dan melompat ke
hadapan si penyerangnya. Dan menatap tajam paderi

itu.
"Kau orang tua seharusnya bertanya dulu! Jan-
gan main tuduh  sembarangan...! Aku baru saja me-
masuki ruangan Kuil ini, dan lihat mayat-mayat berge-
limpangan. Bagaimana mungkin aku kau anggap pen-
curi dan membunuh...?". Bentak Roro berang. Paderi
itu segera bangkit berdiri, dan mengusap-usap jubah-
nya yang kotor. Seraya menatap pada Roro.
"Apakah omongan mu bisa dipercaya? Aku per-
lukan bukti, baru aku bisa mempercayaimu...!", Mem-
bentak lagi si paderi tua ini, yang usianya sekitar 50
tahun. Wajahnya menampilkan ketidakpuasan. Kumis
dan jenggotnya yang cuma sedikit itu bergerak-gerak
kala berbicara. Sementara sepasang matanya yang
masih tajam itu membersitkan hawa kemarahan pada
Roro. Sejenak Roro Centil tercenung mendengar kata-
kata si Paderi tua itu. Segera saja terpikir kalau ia
menggembol buntalan. Pasti disangkanya kepala arca
Budha yang disembunyikan.
"Hm! Baiklah kalau kau perlu bukti! Kau orang
tua tentu mencurigai isi buntalan di belakang pung-
gungku ini, bukan...?. Nah! Segera akan ku  tunjuk-
kan!" Berkata Roro seraya dengan cepat melepaskan
buntalan di punggungnya, serta membukanya di ha-
dapan si paderi berjubah kuning.
Sepasang mata paderi itu menatap isi buntalan
itu dengan seksama. Tentu saja ia jadi melengak, ka-
rena isi buntalan itu adalah beberapa perangkat pa-
kaian wanita. Juga sehelai selimut tebal. Selesai me-
nunjukkan isi buntelannya, Roro Centil kembali mera-
pikannya, dan sangkutkan lagi di belakang punggung-
nya. Seraya sebentar kemudian ia telah bangkit berdiri
lagi. Tampaknya urusan sudah selesai. Akan tetapi si
paderi ternyata masih belum puas, terbukti dengan se-
pasang matanya melirik ke arah benda yang terbung-

kus kain sutera hitam, yang tergantung di pinggang
Roro.
"Apakah selain kepala Arca Budha yang kau
curigai aku yang mencurinya, masih kau khawatir aku
mencuri benda lain di kuil ini?"., Bertanya Roro. Se-
raya tanpa menunggu jawaban ia telah lorot benda
yang tergantung di pinggangnya. Dan keluarkan isinya.
Melengak si paderi jubah kuning seraya berucap;
"Benda apakah gerangan itu?" Walau-suaranya
lirih, namun Roro cukup jelas mendengarnya.
"Inilah sepasang senjataku, orang tua..!' Senja-
ta yang kunamakan si Rantai Genit! Apakah anda juga
menyangka senjata ini barang curian...?", Tanya Roro
lagi.
"Tentu tidak, nona...! Paderi-paderi Kuil Istana
Hijau tak memiliki, atau menyimpan benda aneh se-
macam itu!" Berkata si paderi dengan suara datar.
Namun tampaknya ia sudah tak mencurigai Roro lagi.
"Baiklah ...! Aku percaya kau bukan si pembu-
nuh dan pencuri kepala Arca Budha itu. Kau telah
memeriksa semua ruangan, apakah menjumpai salah
seorang paderi yang masih hidup?. Aku perlukan kete-
rangan siapa yang melakukan perbuatan keji ini...!".
Berkata si paderi tua itu seraya menghela napas. Se-
mentara lengannya bergerak untuk mengelus jenggot-
nya yang sudah berwarna dua.
Roro selipkan kedua senjata di pinggang, dan
lepaskan bungkusan kain sutra hitam, yang segera
diselipkan ke balik pakaiannya. Seraya kemudian ia
menyahuti;
"Sayang! Aku tak menjumpai seorang pun yang
masih hidup. Bolehkah aku tahu siapa gerangan pa-
man yang terhormat ini?" Ujar Roro.
"Aku bernama Sapta Dasa Griwa, yang mendu-
duki tempat sebagai ketua dua di Kuil Istana Hijau ini.

Kepergianku untuk suatu urusan tiga hari yang lalu,
ternyata telah membawa bencana tanpa kuketahui di
kuil ini. Benar-benar membuat aku menyesal setengah
mati. Aku akan cari pembunuh keji dan pencuri itu
untuk kucincang sampai lumat...!". Tutur si paderi tua
itu yang diakhiri dengan rasa geram pada manusia
yang telah merusak binasakan kuil, dan para penghu-
ninya. Roro Centil manggut-manggut, dan termenung
sesaat seperti tengah berfikir. Lalu katanya:
"Siapakah Ketua satunya, maksudku Ketua
Utama di Kuil Istana Hijau ini?".
"Ketua Utama adalah Ki Dharma Setha ...!"
Menjawab Paderi Sapta Dasa Griwa. "Itulah yang aku
sesalkan...! Ki Dharma Setha memang untuk sementa-
ra menyerahkan tampuk pimpinan padaku, sejak ke-
berangkatannya ke pulau Kelapa. Berkenaan dengan
kunjungannya ke beberapa Kuil di daerah tanah Jawa
itu. Justru di saat beliau tidak ada telah terjadi musi-
bah besar seperti ini...!". Berkata paderi Ketua Dua ini
dengan nada sedih, seraya tundukkan wajahnya mena-
tap lantai. Genangan darah terlihat di  mana-mana.
Bau amis dari darah manusia menyebar menusuk hi-
dung. Pada saat itu terdengar suara rintihan dari seso-
sok tubuh yang bergelimpangan itu dari sudut ruan-
gan. Terkejut Roro Centil. Tapi baru ia akan bergerak
untuk melihat, paderi Sapta Dasa Griwa telah mence-
lat terlebih dulu ke sana. Terlihat seorang paderi beru-
saha bangkit dengan keadaan tubuhnya yang terluka
parah. Paderi Ketua Dua itu telah segera menanyainya.
Lengannya bergerak mencengkram jubah di bagian da-
da paderi itu.
"Katakan cepat...! Apa yang telah terjadi? Siapa
yang melakukan pembunuhan keji dan pencurian ke-
pala arca Budha?". Berkata Sapta Dasa Griwa dengan
keras. Suaranya berkumandang ke seluruh ruangan

yang sunyi mencekam itu. Roro Centil cepat membu-
runya untuk melihat. Akan tetapi begitu ia tiba, paderi
yang terluka parah itu justru telah terkulai kepalanya.
Nafasnya telah putus. Dengan sepasang mata yang me-
lotot seperti kematiannya penuh dengan kekecewaan.
"Dia sudah tak kuat hidup lagi...!". Berkata pa-
deri berjubah kuning itu seraya melepaskan cekalan
pada jubahnya. Dan iapun bangkit berdiri, menatap
Roro dengan tatapan kosong. Terdengar suaranya
menghela napas.
"Kita tak punya saksi hidup yang bisa ditanyai
untuk menjelaskan kejadian ini. Apakah nona bersedia
membantu kami untuk menyelidiki siapa gerangan
manusia terkutuk yang telah melakukan pembantaian
keji ini...?". Bertanya sang paderi Ketua Dua. Roro ce-
pat anggukkan kepala seraya berkata:
"Tentu...! Ini adalah masalah kemanusiaan.
Siapa pun akan tergerak hatinya untuk menangkap si
pelakunya. Sebenarnya kedatanganku adalah atas un-
dangan seorang paderi yang berjulukan si Bangau Pu-
tih. Yang menurut apa yang kudengar ternyata adalah
paderi dari Kuil Istana Hijau ini. Apakah kau orang tua
mengenal akan paderi itu?"
"Bangau Putih...? Hm...! Aku tak mengenalnya!
Aku sebagai wakil pimpinan di Kuil ini tentu mengenali
semua para paderi bawahanku. Akan tetapi paderi
yang bergelar si Bangau Putih itu, baru aku menden-
garnya?". Berkata Sapta Dasa Griwa.
Aneh...!?. Desis Roro dalam hati. Tetapi si pemi-
lik penginapan itu mengatakan si paderi Bangau Putih
itu adalah paderi Kuil Istana Hijau...! Bahkan namanya
pun tertulis di buku tamu! Demikian fikir si gadis Pen-
dekar Pantai Selatan yang jadi kerutkan alisnya.
Seperti dapat membaca fikiran Roro saja, si pa-
deri Ketua Dua Kuil Istana Hijau itu sudah berkata la-

gi;
"Siapapun dapat mengaku dirinya sebagai seo-
rang paderi. Nona belum mengenal siapa orangnya,
mengapa mudah saja mempercayai? Siapa tahu manu-
sia yang menamakan dirinya si Bangau Putih itu ada
kaitannya dengan peristiwa ini...!".
Roro tak dapat menjawab. Akan tetapi masalah
ini adalah masalah yang memang serius untuk diseli-
diki. Dan Roro Centil telah bertekad untuk menyelidi-
kinya.
"Oh, ya...! Nona telah mengetahui siapa adanya
aku, bolehkah aku orang tua mengetahui siapa no-
na...? Tentunya seorang Pendekar yang punya nama di
Rimba Hijau...!". Bertanya paderi Ketua Dua, Sapta
Dasa Griwa.
"Ah, anda bisa saja...! Namaku Roro Centil."
Sahut Roro, tanpa menyebutkan julukan yang diberi-
kan kaum Rimba Hijau padanya. Akan tetapi ternyata
si Paderi Ketua Dua Kuil Istana Hijau itu justru telah
melengak. Dan serta merta telah segera menjura hor-
mat pada Roro.
"Ah.....!?. Kiranya sang Pendekar Wanita Pantai
Selatan yang punya nama harum semerbak. Maafkan
aku orang tua yang tak mengetahuinya sama sekali.
Aku memang sudah menduga sebelumnya, tapi tak ra-
gu. Karena belum pernah bertatap muka. Sepak ter-
jang anda terhadap kaum penjahat, dan golongan se-
sat yang merajalela, yang berhasil anda tumpas, mem-
buat aku orang tua amat kagum. Pantas tenaga dalam
nona Pendekar amat hebat. Jarang aku menjumpai
gadis seusia nona mempunyai kehebatan tenaga dalam
yang luar biasa. Ternyata di atas langit masih ada lagi
langit...!". Berkata Sapta Dasa Griwa dengan tampak-
kan wajah berseri.
Roro Centil jadi tersipu melihat penghormatan

orang, segera iapun merendahkan diri. Demikianlah...
Akhirnya Roro Centil berjanji akan membantu untuk
menyelidiki, atau membekuk siapa pelaku keji di Kuil
Istana Hijau, yang juga telah mencuri kepala arca
Budha itu. Kemudian si Pendekar Wanita Pantai Sela-
tan segera mohon diri. Serta sebelumnya akan usaha-
kan mencari orang untuk membantu penguburan para
jenazah.

*****

Roro Centil berkelebat meninggalkan Kuil Ista-
na Hijau .... Sementara hati si Pendekar wanita itu di-
liputi bermacam pertanyaan. Siapakah gerangan
adanya si Bangau Putih? Ada rahasia apakah pada ke-
pala arca Budha yang dicuri orang itu? Namun Roro
sudah injakkan kaki di satu perkampungan terdekat
Segera
ia sebarkan berita mengenai malapetaka di Kuil
Istana Hijau. Yang sebentar saja penduduk berdatan-
gan ke sana untuk melihat, serta membantu mengang-
kuti jenazah. Sementara Roro Centil yang memang tak
kuat mencium amisnya darah, segera berkelebat lagi
menuju arah hutan rimba. Ternyata itulah arah ke sisi
bukit. Kira-kira waktu sepenanak nasi, Roro hentikan
langkahnya. Tempat itu cukup tenang. Dengan suasa-
nanya yang dapat menenangkan hati. Ada sungai be-
rair jernih mengalir di bawah lereng bukit Roro sudah
gerakkan kakinya melompat ke sana. Sebentar kemu-
dian ia telah berada di tepian sungai yang berbatu-
batu. Suara gemericiknya air membangkitkan gairah
sang gadis Pendekar ini untuk menyiram tubuhnya. Ia
sudah lepaskan buntalan pakaiannya dari punggung,
dan letakkan dekat kakinya
"Tutul...! Adakah kau di sampingku .. ?". Berbi-

sik Roro pada makhluk siluman yang telah tunduk pa-
danya. Dan terdengar suara menggeram di belakang-
nya.
"Bagus...! Tolong kau jagai pakaianku...!". Ujar
Roro dengan suara lirih. Segera saja terlihat asap tipis
mengepul, lalu menjelma seekor anak harimau tutul
sebesar kucing. Yang segera mendekam di sela akar
pohon. Roro tersenyum, seraya lepaskan pakaiannya
satu persatu. Dan lemparkan ke atas akar pohon rin-
dang di  sisi sungai itu. Selanjutnya Roro segera me-
langkah turun dan melompat ke atas batu besar di
tengah sungai. Gadis yang ayu rupawan ini memang
memiliki potongan tubuh yang semampai serta padat
berisi. Terdengar suara berdebur, ketika Roro  terjun-
kan tubuhnya  ke permukaan air. Selanjutnya, ia su-
dah berkecimpung di air sungai yang jernih itu. Tam-
pak ia lepaskan kedua benda dari logam tipis warisan
Gurunya si Manusia Banci dari kedua tempat di tu-
buhnya. Dan letakkan kedua benda itu di atas batu.
Selanjutnya ia telah kembali menyelam ke dalam air.
Dan tak lama kemudian sudah tersembul lagi. Air sun-
gai tidak begitu dalam. Bahkan hanya sebatas dada.
Sementara sepasang mata telah memperhatikan dari
seberang sungai. Itulah sepasang mata dari seorang
seorang laki-laki  berperawakan kurus seperti kurang
gizi. Wajahnya melengkung ke dalam. Hingga tampak
dahinya lebih menonjol. Tentu saja ia tak mengetahui
adanya seekor anak harimau tutul yang menjaga pa-
kaian Roro. Karena letak seberang sungai itu kira-kira
dua puluh tombak. Namun untuk melihat kemulusan
tubuh wanita muda di hadapannya kiranya tak luput
dari sepasang matanya yang berbinar-binar.
"Luar biasa...!" Mendesis suara laki-laki itu per-
lahan, yang keluar tanpa disadari. Sementara kepa-
lanya bergerak untuk terangkat lebih tinggi. Karena

ada ranting pohon yang menghalangi pandangannya.
Akan tetapi gerakan itu justru telah membuat Roro
Centil mengetahui adanya orang yang bersembunyi
mengintai di seberang sungai.
Tiba-tiba Roro Centil menyelam lagi. Kali ini
lama timbulnya. Tapi sebenarnya, ia tengah berenang
di dalam air untuk enjot tubuhnya ke seberang sungai.
Lalu sembulkan kepala dengan pelahan ke sisi batu
besar. Segera saja terlihat kepala seorang laki-laki
yang berambut sudah dua warna, tengah pentang ma-
ta ke seberang.
Inilah manusianya yang suka iseng terhadap
wanita yang sedang mandi...! Menggumam Roro dalam
hati. Tiba-tiba lengan Roro sudah bergerak menangkap
seekor kepiting di seta batu. Binatang itu ia lemparkan
ke arah laki-laki yang mata keranjang itu. Terdengar
suara mengaduh, tatkala sang kepiting yang meluncur
deras itu memasuki celah bajunya. Yang rupanya
langsung saja mencapit kulit yang tipis di antara tu-
lang iga yang bersembulan itu. Segera ia sudah lompat
berdiri. Dan tampak kelabakan membuka pakaiannya.
Binatang itu masih menempel di kulit dada. Lengannya
sudah bergerak menyambar binatang itu, dan dengan
menyeringai kesakitan ia melemparkannya entah ke
mana. Binatangnya telah lenyap, tinggal capitnya yang
masih menempel kuat. Karena saking kerasnya men-
capit, ketika dicengkeram untuk segera dilemparkan,
ternyata bahkan capitnya putus. Kembali ia kiprat-
kipratkan lengannya menampar dada. Hingga si capit
kepiting itu pun terlepas. Namun kulit dadanya sudah
terluka mengeluarkan darah. Melihat kejadian yang lu-
cu itu, Roro tak dapat menahan gelinya. Sehingga ia
sudah tertawa terpingkal-pingkal.
Adapun si laki-laki yang berusia sekitar 50 ta-
hun itu jadi melengak. Namun seketika wajahnya su-

dah berubah merah. Dilihatnya gadis yang sedang di
intipnya itu justru berada di dekatnya. Keruan saja,
sepasang matanya jadi melotot lebar menatap Roro.
Merasa dipergoki, dan bahkan di jaili oleh si gadis, se-
gera saja ia telah angkat langkah seribu melarikan diri.
Roro Centil tambah terpingkal-pingkal mener-
tawakan larinya yang lucu.
Selang sesaat, Roro sudah kembali beranjak
naik, setelah kenakan kembali dua benda penutup tu-
buhnya. Dan dengan menggunakan ilmunya Roro Cen-
til telah langsung melompat kembali ke darat. Roro
memberi isyarat pada si anak harimau Tutul itu untuk
melenyapkan diri. Yang segera tak lama kemudian
makhluk jejadian itupun lenyap. Segera Roro Centil
membuka buntalannya, dan keluarkan isinya. Ditarik-
nya keluar seperangkat pakaian yang berwarna kuning
emas. Lalu dikenakannya. Pakaian ini mempunyai so-
bekan atau belahan panjang sebatas paha. Yaitu pa-
kaian yang pernah dipergunakan menyamar menjadi si
Kupu-kupu Emas. Yaitu si wanita istri Dewa Tengko-
rak yang telah tewas.
Dengan pakaian ini memang Roro tampak se-
perti seorang gadis genit yang nakal. Setelah selesai
membenahi diri, Roro kembali rapikan buntalannya,
dengan memasukkan pakaian kotor Roro ke dalamnya.
Lalu sangkutkan lagi ke belakang punggungnya. Sepa-
sang senjata si Rantai Genit tergantung di sisi ping-
gang kirinya, dengan kedua bandulannya yang satu
agak tinggi dan satu lagi lebih rendah. Lalu si sepa-
sang Rantai Genit ini telah ditutupi lagi oleh secarik
kain sutra hitam. Setelah merenung sejenak Roro su-
dah kelebatkan diri pergi dari tempat itu.

*****


Sesosok tubuh berjubah putih tampak berjalan
tergesa-gesa  di  tengah padang  rumput yang menghi-
jau. Sebentar bentar tampak ia menoleh ke belakang.
Ternyata ia seorang laki-laki berusia setengah abad.
Laki-laki ini memakai tudung lebar di  kepalanya.
Hingga sepintas ia memang mirip dengan petani desa.
Wajahnya menampakkan rasa cemas, Seperti khawatir
ada orang yang mengejarnya.
Sementara itu matahari telah jauh condong ke
sebelah barat. Padang rumput itu telah dilaluinya
hampir separuhnya. Tinggal separuh padang rumput
lagi, ia akan tiba di hutan lebat. Tinggal kira-kira jarak
sepuluh atau dua belas kali lemparan tombak yang ha-
rus ditempuhnya. Kini ia tengah melewati jalan seta-
pak, yang di kiri kanannya tumbuh rumput alang-
alang setinggi dada.
Ketika baru beberapa belas tindak ia melang-
kah, tiba-tiba laki-laki ini merandek untuk hentikan
langkahnya. Keningnya tampak berkerut, dengan se-
pasang alisnya yang segera menyatu. Tiba-tiba saja se-
sosok tubuh telah bersembul dari rumput alang-alang
di hadapannya yang langsung saja menerjang laki-laki
itu dengan sabetan padang yang menyambar ganas.
Disertai bentakan keras.
TRANG...! Satu benturan keras dari beradunya
sepasang senjata segera terdengar di tengah kesunyian
padang rumput. Ternyata si laki-laki bertudung telah
mencabut keluar senjatanya. Dan berhasil menangkis
serangan mendadak itu.
Tubuhnya sudah melompat bersalto ke bela-
kang. Kini di hadapannya bersembulan tiga sosok tu-
buh yang memakai topeng berwarna hijau, yang mem-
bungkus seluruh kepalanya.
"Kau tak dapat melarikan diri, Bangau Putih...!
Kecuali kau tinggalkan nyawamu!" Membentak salah

seorang. Segera saja ketiga sosok tubuh itu mengu-
rung si laki-laki bertudung. Mengetahui penyamaran-
nya sudah ketahuan, si laki-laki bertudung segera
membuka tudung lebarnya. Dan lemparkan ke sisi. Ki-
ni terlihat wajah laki-laki itu lebih jelas. Kiranya ia seo-
rang paderi yang berkumis dan berjenggot pendek.
Ketiga orang yang mengurungnya itu rata-rata
menggunakan pedang. Sedangkan si laki-laki yang ber-
juluk si Bangau Putih itu terlihat memakai senjata
yang berbentuk ruyung, dengan berujungkan kepala
burung bangau yang berparuh tajam, Senjata itu ter-
buat dari baja putih. Yang memancarkan sinar berkila-
tan, terkena cahaya Matahari. Serentak ketiga laki-laki
bertopeng hijau itu menerjang dengan berbareng. Pe-
dang-pedang telanjang telah berkelebatan meluruk un-
tuk memanggangnya, disertai bentakan-bentakan ke-
ras yang merobek keheningan.
Terpaksa si Bangau Putih berkelit ke sana-
kemari menyelamatkan nyawanya, Berkali-kali terden-
gar suara berdentingan ketika senjata-senjata saling
beradu.
Kemanapun si Bangau Putih melompat, tentu
pedang-pedang telanjang itu akan memburunya. Rum-
put alang-alang setinggi dada itu sudah porak-poranda
terkena tabasan dan injakan kaki.
"Bukalah topeng-topeng kalian,  biar aku men-
getahui siapa kalian...!". Berteriak si Bangau Putih, se-
raya pergunakan ruyungnya menangkis dua serangan
berbahaya.
TRANG...! TRANG...! Kali ini laki-laki paderi itu
mulai unjukkan tenaga dalamnya. Tampak dua orang
bertopeng itu terkejut, karena nyaris saja pedang-
pedangnya terlepas dari tangan mereka,
"Kalau kau sudah mampus, baru akan kubuka
topeng wajah kami...!". Membentak salah seorang se-

raya mengirim dua serangan beruntun.
PRAS! PRASS..! Alang-alang tebal itu yang kena
terbabat putus beterbangan, karena si Bangau Putih
telah melompat tinggi tiga tombak. Begitu turun, telah
gerakkan senjatanya menghantam kepala lawan.
WUUTTT...! Nyaris kepala si laki-laki bertopeng
itu bonyok, bila ia tak segera jatuhkan diri bergulin-
gan. Selanjutnya dua orang kawannya telah menerjang
lagi dengan tabasan-tabasan ke arah kaki dan dada.
"Keparrrat...!". Memaki si Bangau Putih. Kali ini
ia telah putarkan senjatanya, setelah berhasil loloskan
diri dari dua serangan berbahaya.
Ketiga orang lainnya yang telah kembali men-
gurung itu, tampak renggangkan lagi kurungannya,
karena mereka tampaknya agak jerih melihat senjata si
Bangau Putih, yang berputar bagai baling-baling. Tiba-
tiba tampak putaran senjata si Bangau Sakti, berubah.
Kini berkelebatan dengan arah yang simpang siur.
Hingga yang tampak adalah kepala bangau berparuh
runcing itu berkelebatan mematuk, mencecar ketiga
laki-laki bertopeng itu. Tampaknya gerakan menyilang
itu agak membingungkan lawan. Karena  serangan-
serangan si Bangau Putih seperti berserabutan.  Tiba-
tiba si Bangau Putih telah keluarkan bentakan keras.
Hal itu digunakan untuk membuat gentar lawan. Be-
nar saja! Di  saat mereka tengah berfikir untuk me-
nembus bentengan si Bangau Putih yang kuat itu, ta-
hu-tahu patukan-patukan ruyung berkepala bangau
itu  telah membuat gerakan-gerakan menukik dengan
cepat
CRAS! CRAS! PRRAKKK...! Dua patukan telak
yang meluncur deras, serta satu hantaman yang terla-
lu cepat, sudah tak dapat mereka hindarkan lagi. Sege-
ra terdengar teriakan-teriakan ngeri. Disusul dengan
robohnya ketiga pengeroyok itu. Darah segar bermun-

cratan membasahi rerumputan........
Si Bangau Putih ini sudah segera memburu tu-
buh salah seorang dari mereka. Dan membuka topeng
laki-laki yang sudah tewas itu. Tampak terlihat paderi
ini terkejut karena ternyata laki-laki bertopeng itupun
seorang paderi dari Kuil Istana Hijau. Segera ia berge-
rak melompat untuk membuka topeng yang lainnya.
Yang kemudian dapat diketahuinya ketiga manusia itu
paderi-paderi Kuil Istana Hijau.
Sejenak tercenung si Bangau Putih. Keningnya
terlihat semakin berkerut Lalu ia membungkuk untuk
bersihkan ujung senjatanya. Dan selipkan lagi dibalik
jubahnya. Selanjutnya ia telah teruskan langkahnya
tinggalkan tempat itu.
Kali ini ia pergunakan ilmu lari cepat. Hingga
tak berapa lama kemudian telah tiba di ujung padang
rumput Segera saja ia berkelebat untuk memasuki hu-
tan.  Tapi, lagi-lagi ia merandek, seraya mencabut  ke-
luar lagi senjatanya.
"Keluarlah Kalau kalian mengingini jiwaku. Dan
bertarung secara ksatria!" Membentak si Bangau Putih
dengan sepasang matanya menatap lurus ke depan.
Terdengar suara tertawa gelak-gelak, yang disusul
dengan berkelebatnya dua sosok tubuh di hadapan-
nya, dari balik semak belukar.
Ternyata keduanya adalah seorang laki-laki dan
wanita. Yang seorang memakai baju dari kulit Serigala.
Berusia sekitar 40 tahun. Bertubuh kekar, dengan wa-
jah penuh dengan cambang bauk yang lebat. Sedang
seorang lagi ternyata seorang wanita yang berparas
cukup cantik. Berusia sekitar 35 tahun. Rambutnya
dililit oleh benang sutera warna keemasan. Wanita ini
mengenakan pakaian berwarna ungu, dengan kem-
bang-kembang berwarna putih. Sepasang matanya
membersitkan sinar tajam menatap si paderi bergelar

Bangau Putih. Tampak iapun tertawa, memperlihatkan
sebaris giginya yang tidak rata. Wanita inilah yang di-
juluki si Dewi Rembulan di Rimba Hijau. Sedang yang
seorang lagi, yaitu laki-laki berbaju kulit Serigala ada-
lah Barong Segoro, alias si Naga Hitam. Perlu diketahui
kedua tokoh ini pernah menginap di penginapan di de-
sa Lubuk Batang. Di mana Roro pernah menginap juga
di sana.
"Hi hi hi... Kami hanya bertugas menawan mu!
Kalau mau membunuhmu pun kami kira tidaklah su-
kar. Sebenarnya kalau kami tidak terlambat datang,
sudah dapat membekuk mu di penginapan itu. Sayang
kau sudah berangkat pergi! Sebaiknya kau serahkan
dirimu saja Bangau Putih...! Agar cepat selesai tugas
kami...!". Berkata Sito Resmi, alias si Dewi Rembulan.
"Benar...! Biar kami bisa segera mengaso, bu-
kankah begitu Dewiku.. ?". Berkata si Naga Hitam. Se-
raya lirikkan matanya pada si wanita di  sebelahnya,
yang jadi tersenyum genit. Tapi sudah menyambar bi-
cara lagi yang ditujukan pada si Naga Hitam.
"Hm...! Baru kenal dua hari sudah mulai ganjen
kau Barong Segoro...! Siapa sudi mengaso bersama-mu
lagi?. Ternyata kau bukan orang baik-baik...!" Kata  -
kata itu membuat si laki-laki jambros ini tertawa ber-
kakakan, seraya ujarnya;
"Ha ha ha... Barong Segoro bukanlah si Naga
Hitam, kalau tak berhasil menundukkan Rembulan...!
Kau lihat saja nanti, apakah kau bisa betah tidur sen-
dirian?. Ha ha ha.. ". Kembali si Naga Hitam tertawa
gelak-gelak. Akan tetapi sekejap telah berhenti. Sepa-
sang matanya menatap pada si Bangau Putih, dan ter-
dengar suaranya membentak keras.
"Bangau Putih...! Kalau kau membangkang un-
tuk serahkan dirimu, terpaksa aku akan lakukan ke-
kerasan padamu...!". Seraya berkata, Barong Segoro te-

lah gerakkan lengannya ke atas dan ke bawah. Segera
terlihat oto-ototnya yang bersembulan. Dan perdengar-
kan suara berkrotakan. Ternyata ia tengah menyalur-
kan tenaga dalamnya. Dengan segera sepasang len-
gannya berubah menghitam.
Kini dengan sepuluh jari yang sudah terentang,
ia siap melakukan serangan. Adapun si Bangau Putih
ternyata tak mau menyerahkan diri begitu saja, Diam-
diam uap halus berwarna putih. Sementara si Dewi
Rembulan cuma berpeluk tangan saja.  Bahkan telah
berkata;
"Hm, ku  ingin lihat apakah kau mampu me-
nangkapnya hidup-hidup, Barong Segoro! Biarlah se-
mentara aku jadi penonton dulu. Hihi... hi... hi..."
Ucapnya seraya tertawa.
"Sebelum aku kalian tangkap, bolehkah aku
tahu siapa yang telah membayar kalian untuk peker-
jaan ini?". Tiba-tiba si Bangau Putih ajukan perta-
nyaan.
"Heh! Kau akan lihat dan ketahui sendiri, nanti
setelah kau kubawa menghadap padanya...!". Menya-
hut si Naga Hitam. Tampak si paderi berusia 50 tahun
ini, termenung sejenak, seperti tengah mempertim-
bangkan usul untuk menyerahkan diri. Tapi ia berfikir,
toh akhirnya ia akan mati di hadapan orang yang telah
diketahuinya.
Hal tersebut adalah sia-sia belaka, Pikirnya la-
gi. Berfikir demikian, si Bangau Putih segera berkata;
"Baik...! Kau boleh tawan aku kalau sudah tiada ber-
daya...!". Tentu saja kata-kata itu membuat si Naga Hi-
tam jadi plototkan matanya.
"Bagus...! Kalau begitu bersiaplah untuk meng-
hadapiku...!" Seraya berkata, Naga Hitam sudah lan-
carkan serangan dengan sepasang lengannya bergerak
mencengkeram ke arah leher si Bangau Putih. Tentu

saja paderi ini sudah hantamkan senjatanya mengha-
lau serangan. Sepasang lengan yang meluncur deras
dengan sepuluh jari terbuka itu telah bergerak teren-
tang. Akan tetapi tiba-tiba merubah serangan menjadi
terpecah dua jurusan. Yang satu meluncur untuk me-
nangkap senjata Ruyung, sedang satu lagi mengarah
untuk menyambar dada. Terkejut si Bangau Putih. Ce-
pat-cepat ia tarik kembali senjatanya. Dan secepat ki-
lat telah mengenjot tubuh untuk melambung dua tom-
bak.
Ruyung berkepala bangau itu kini digunakan
menghantam ke arah kepala si Naga Hitam. Membersit
suara senjatanya, disertai kilatan sinar perak melun-
cur deras ke arah kepala Naga Hitam perdengarkan
suara di hidung. Tiba-tiba telah gunakan lengannya
untuk menangkis serangan. THAK...! Terdengar suara
seperti menghantam benda keras. Tubuh si Bangau
Putih terpental ke atas lagi satu tombak, Paderi in! ter-
kejut bukan main, karena senjatanya seperti meng-
hantam basi saja layaknya. Bahkan tenaga dalamnya
terasa mental balik menghantam kembali ke tubuhnya,
Sehingga ia terlempar ke atas. Namun dengan gesit, ia
telah lakukan salto di udara, dan kembali jejakkan ka-
ki ke tanah. Melihat orang terkejut. Si Naga Hitam
agaknya mengetahui. Tampak ia perlihatkan sikap
angkuh. Seraya berkata;
"Heh...! Kiranya si Bangau Putih mulai tahu
siapa adanya si Naga Hitam! Sebaiknya kau lekas-
lekas serahkan dirimu, sebelum kau jadi rusak ca-
cat...!".
Tampak wajah si paderi jadi berubah merah.
Tiba-tiba ia telah berteriak keras, seraya putarkan sen-
jata Ruyungnya. Terdengar suara bersiutan. Sinar pe-
rak berkelebatan di  hadapan si Naga Hitam. Sekejap
kemudian telah menerjang ke arah laki-laki kekar itu.

Tampaknya si Bangau Putih telah bertindak kepalang
basah. Kini dialah yang merangsak hebat. Kepala ban-
gau dari Ruyungnya berkelebatan mematuk, mengarah
tempat-tempat yang berbahaya. Disertai hantaman-
hantaman deras. Bahkan sebelah lengan si Bangau
Putih pun turut pegang peranan menghantam dengan
tenaga dalam yang telah dikeluarkan lebih dari sepa-
ruhnya.
Naga Hitam terkejut juga. Dan terlihat mulai
kewalahan. Tangkisan-tangkisan lengannya ternyata
selalu dihindari oleh paderi itu. Hal mana membuat ia
jadi memaklumi kelihayan lawan. Namun sukar bagi si
Naga Hitam untuk menembus benteng lawan, yang
lindungi tubuhnya dengan kelebatan sinar perak. Seo-
lah benteng baja yang sukar ditembus. Dalam pada itu
tiba-tiba terdengar suara tertawa si Dewi Rembulan.
Tubuhnya telah mencelat untuk sambarkan tali Jerat
Suteranya ke arah kaki si Bangau Putih.
RRRTT...! Bangau Putih tak menyangka sama
sekali si Dewi Rembulan akan menyerang ke arah kaki.
Karena saat itu ia tengah lancarkan serangan  berun-
tun ke arah si Naga Hitam. Karena ia terpengaruh ge-
rak luncuran Jerat Sutera si Dewi Rembulan, tentu sa-
ja serangan beruntunnya agak lamban. Saat itu diper-
gunakan oleh si Naga Hitam untuk menangkap senjata
si paderi hingga terlepas ketika disentakan.
Belum lagi si Bangau Putih menyadari kela-
laiannya, tali Jerat Sutera Sito Resmi telah membelit
kakinya. Bahkan telah meluncur lagi tali Jerat Sutera
yang dilepas oleh wanita itu. Tak ampun lagi sebelah
lengannya pun telah kena terbelenggu. Hingga sekejap
kemudian tahu-tahu tubuhnya telah meluncur deras
ke arah depan, dibetot oleh si Dewi Rembulan, yang
gunakan tenaga dalam untuk menariknya.
Pada saat itulah si Naga Hitam lakukan totokan

telak. Hingga tubuh si Bangau Putih terjerembab ke
tanah untuk tak bisa. berkutik. Dewi Rembulan ter-
nyata telah bekerja cepat. Hingga sekejap, kaki dan
tangan si Bangau Putih kena diringkus tali Jerat Sute-
ranya
"Bagus...! Kalau sejak tadi kau membantuku,
tentu aku tak payah-payah keluarkan tenaga, Dewi
ku...!"
"Huuu ...! Naga Hitam ternyata terlalu lamban,
membuat aku tak sabar meringkus bangau kurus ini!
Orang macam kau mau taklukkan Rembulan?. Hi hi
hi..." Berkata si wanita, dengan tertawa mengejek laki-
laki di sebelahnya. Akan tetapi bukannya marah, si
Naga Hitam, bahkan tertawa bergelak. Seraya berkata;
"Ha ha ha.. ha ha... Aku akan taklukkan rem-
bulan bukan dengan kekerasan dengan pertarungan
seperti ini. Tapi akan kugunakan cara hebat, yang
akan membuat kau kagum dan bertekuk lutut menye-
rah tanpa syarat...!"
"Hm, sudahlah...! Ayo kau panggul dia! Dan
bawa pergi dari sini...!". Teriak si Dewi Rembulan, se-
raya sudah mendahului melangkah. Naga Hitam tak
berayal lagi, segera ia sudah angkat tubuh si Bangau
Putih, untuk seterusnya diletakkan di atas pundaknya
yang lebar. Kemudian dibawanya berlari mengejar Sito
Resmi, alias si Dewi Rembulan...
Saat itu satu bayangan kuning telah berkelebat
mengikutinya. Gerakannya lincah sekali. Bagaikan
seekor kijang saja, yang membuntuti kedua manusia di
hadapannya. Ketika bayangan itu berhenti sejenak un-
tuk melihat ke arah mana kedua orang yang dikuntit-
nya, segera diketahui siapa gerangan dia. Kira-nya tak
lain dari Roro Centil, si Pendekar Wanita Pantai Sela-
tan. Tampak ketika berjongkok, belahan panjang putih
mulus. Wajahnya tampilkan senyum di bibir. Pertanda

hatinya senang. Karena Roro Centil mulai mengetahui
siapa adanya si Bangau Putih. Pelacakan mencari jejak
pelaku peristiwa di Kuil Istana Hijau mulai terungkap,
sedikit demi sedikit. Sengaja ia tadi tak turun tangan
menolong si paderi yang telah mengundangnya itu. Ka-
rena Roro inginkan keterangan lebih jelas mengenai
penyelidikannya. la mengambil kesimpulan, bahwa da-
ri kedua orang yang berjulukan si Dewi Rembulan dan
Naga Hitam itu akan banyak membantunya menying-
kap tabir misteri pembantaian di Kuil Istana Hijau.
Demikianlah sehingga Roro segera terus membuntu-
tinya. Kini dilihatnya kedua orang di  hadapannya
membelok ke sisi kiri untuk mendaki bukit.
"He? Kau akan ke mana...?. Kita harus menuju
terus ke barat, bukan ke selatan". Terdengar si Dewi
Rembulan berkata.
"Haha.. ha ha... Tenang sajalah Dewiku...! Aku
ada cara lebih baik untuk mendapat keuntungan me-
lebihi hadiah yang bakal kita terima Paderi tolol ini
akan membawa keberuntungan buat kita...! Bertanya
ia. Namun kakinya terus melangkah untuk mengikuti
si Naga Hitam.
"Ikuti saja aku. Sebentar lagi kita sudah sam-
pai...!". Menyahut si Naga Hitam. Yang sudah segera
menuruni bukit. Di bawah terlihat ada air sungai men-
galir berair jernih. Ternyata di situ ada terdapat se-
buah terowongan. Yaitu pada kelokan sungai. Tak la-
ma kemudian mereka sudah tiba di sebuah goa yang
tersembunyi.
"Hm. Tempat ini masih belum berubah, seperti
tiga tahun yang lalu. Agaknya memang tak pernah ada
orang mengetahui kalau di sini ada tempat persembu-
nyian yang aman...!".
"Kau pernah singgah kemari...?". Bertanya Sito
Resmi.

"Sering..!". "Sudah berapa kali...?". Tanya lagi si
Dewi Rembulan.
"Yah...! Mungkin sudah belasan kali. Aku lupa
lagi, tak sempat menghitungnya!" Menyahut si Naga
Hitam seraya hentikan langkahnya. Dan  lemparkan
tubuh si Bangau Putih ke sudut goa. Sementara ia su-
dah mendongak untuk melihat cahaya merah di langit
sebelah barat.
"Sebentar lagi malam tiba. Sengaja kubawa kau
singgah di tempat kenangan ku ini. Kita bisa bermalam
di sini. Menunggu besok, untuk mengambil keputusan.
Apakah perlu kita antarkan si paderi tolol ini, atau kita
bunuh mampus saja sekalian...!" Berkata si Naga Hi-
tam. Sementara ia sudah segera jatuhkan pantatnya
untuk duduk di atas batu. Dewi Rembulan lagi-lagi
melengak. Sepasang alisnya jadi bergegas menyatu.
Akan tetapi ia sudah berkata;
"Terserahlah! Kalau hal itu lebih baik dan
menghasilkan keuntungan lebih besar, aku akan man-
dah saja...! Eh, ya... Kau sering kemari belasan kali,
apakah keperluanmu? Tiba-tiba si Dewi Rembulan su-
dah bertanya lagi ingin tahu.
"Ah, aku hanya melatih diri untuk menggerak-
kan Otot-Otot tubuhku. Waktu itu baru bisa mengua-
sai beberapa jurus silat yang ku peroleh dari mencuri.
"Mencuri...? Bagaimana caranya...?" Bertanya
lagi si Dewi Rembulan.
"He hehe... Caranya ialah dengan mengintip
orang bermain silat!". Menegaskan si Naga Hitam.
Tampak Sito Resmi manggut-manggut.
"Apa kau tak punya guru?". Tanyanya lagi.
Akan tetapi si Naga Hitam sudah garuk-garuk kepa-
lanya yang tidak gatal seraya ujarnya;
"Wah, wah, wah...Pertanyaanmu tiada hentinya.
Nantilah kita teruskan bercakap-cakap kalau mau ti-

dur. Kini carilah persiapan untuk merebahkan diri. Ti-
dur beralas tanah begini mana enak. Bisa gatal kulit
tubuh!".
"Carilah sendiri untukmu, aku tak akan ti-
dur...!" Berkata si  Dewi Rembulan. Tampaknya ia se-
perti menggoda si Naga Hitam. Laki-laki ini cuma ter-
senyum, tapi sudah beranjak melompat keluar goa se-
raya berkata;
"Baiklah...! Tolong kau jaga si paderi tolol itu,
jangan sampai ia bisa lepaskan diri...!". Dewi Rembu-
lan tak memberi sahutan. Menunggu tak berapa lama,
si Naga Hitam sudah kembali lagi dengan membawa
daun-daun asam di pundaknya. Sebentar kemudian ia
telah jadikan dedaunan itu alas tubuh yang empuk.
Sementara cuaca pun berubah berangsur-
angsur menjadi gelap. Untunglah ada cahaya rembu-
lan yang sebentar lagi akan terlihat sinarnya yang
memantul di air. Sementara si Bangau Putih cuma bi-
sa berdiam diri tanpa dapat berbuat apa-apa. Bahkan
bersuarapun ia tak dapat.
Dewi Rembulan melangkah ke sisi sungai. Dan
bersihkan muka dan anggota tubuhnya dengan sira-
man air sejuk. Sebentar kemudian ia telah kembali
duduk di atas batu.
"Eh, bagaimana caranya kau akan mengambil
keuntungan pada si paderi tolol ini?". Tiba-tiba ia su-
dah bertanya lagi.
Naga Hitam segera menghampiri wanita ini, se-
raya berkata;
"Caranya adalah soal yang gampang, dan bisa
belakangan dilakukan, akan tetapi keuntungannya bi-
sa dilakukan sekarang...?". Tentu saja si Dewi Rembu-
lan lagi-lagi melengak. "Bagaimana caranya...?". Ta-
nyanya lagi secara tak sadar, karena lagi-lagi ia laku-
kan pertanyaan yang tak ada putusnya

"Caranya adalah... begini...!". Si Naga Hitam te-
lah menyahuti, seraya tiba-tiba gerakkan lengannya
menotok tubuh si Dewi Rembulan. Tentu saja gerakan
tak terduga itu membuat ia tak bisa elakkan diri. Wa-
nita ini mengeluh perlahan, dan sekejap ia sudah tak
bisa berkutik lagi. Bahkan ketika lengan si Naga Hitam
telah terjulur menelusuri setiap lekuk dibagian tubuh-
nya, ia cuma bisa mandah saja. Tapi sepasang
matanya telah melotot gemas pada si Naga Hi-
tam. Seraya bibirnya keluarkan suara perlahan tapi
penuh kemendongkolan. Beruntung laki-laki itu tak
menotok urat suaranya. Naga Hitam! Beginikah me-
nundukkan ku...? Apakah tak ada cara lain yang lebih
baik?" "Segudang cara ada padaku...! Dan yang ini
adalah salah satu cara untuk membuatmu berhenti
bertanya...! Ha ha... Bukankah dengan sekejap aku te-
lah dapat membuatmu tunduk padaku...!" Naga Hitam
menyahut seenaknya, tanpa hentikan remasan Cakar
Naganya di kedua bukit lunak berlapis kain sutera itu.
Karena merasa tak ada gunanya bertarung bi-
cara dengan manusia yang mau menang sendiri, ak-
hirnya si Dewi Rembulan sudah tak memperdulikan-
nya lagi. Bahkan sudah katupkan kelopak matanya.
Tahu-tahu si Dewi Rembulan sudah rasakan tubuhnya
seperti melayang. Lalu meluncur turun perlahan, dan
mendarat di atas hamparan dedaunan.
Terasa dengusan nafas yang membersit di telin-
ganya. Sementara si Naga Hitam sudah singkirkan se-
gala sesuatu yang menghalangi pandangan mata.
Cuaca semakin remang di luar goa. Akan tetapi
cahaya bulan sudah segera membersitkan pantulan-
nya dari atas permukaan air.
"Setan alas...!" Memaki Roro Centil di tempat
persembunyiannya. Lalu palingkan wajah untuk me-
mandang ke lain arah.

Roro Centil masih berada di tempat persembu-
nyiannya, kesabaran seorang wanita memang berbeda
dengan laki-laki. Demi mencari keterangan yang lebih
lengkap, mengenai hal-ikhwal kejadian di Kuil Istana
Hijau, terpaksa Roro tak meninggalkan tempat per-
sembunyiannya Sementara si Bangau Putih, cuma bisa
pejamkan mata, tanpa bisa menghalangi pendenga-
rannya. Tentu saja segala desah angin dan gemericik-
nya air sungai yang mengalir tak luput dari pendenga-
rannya Secara diam-diam ia telah mencoba lepaskan
diri dari pengaruh totokan. Akan tetapi selama sekian
saat itu, usahanya sia-sia belaka.
Naga Hitam baringkan tubuhnya di samping si
Dewi Rembulan. Sepasang matanya terlihat mengatup.
Seperti ia enggan untuk bangun. Rasanya sudah mau
terus tidur saja, karena terasa tubuhnya lelah sekali.
Sementara si Dewi Rembulan bahkan bangkit berdu-
duk. Tiba-tiba lengannya terjulur ke tubuh si Naga Hi-
tam. Tapi secepat kilat, laki-laki itu sudah menangkap
pergelangan tangannya Seraya langsung menariknya
dengan cepat, hingga sekejap si Dewi Rembulan sudah
kembali berada dalam dekapannya. Naga Hitam terta-
wa menyeringai.
"Ha ha ha... kau mau balas menotok ku, bu-
kan...? Sudahlah Dewiku... Naga Hitam sudah tun-
dukkan Rembulan. Dia telah temukan pasangannya
yang serasi. Rembulan dan Naga harus bersatu...! Ka-
lau kelak sudah berhasil dengan tujuannya, pastilah
akan merupakan pasangan yang hebat...!" Ujar si Naga
Hitam seraya lengannya membelai sang Rembulan.
Tampaknya  Rembulan benar-benar telah tunduk pada
si Naga Hitam. Ia memang harus mengakui kejantanan
si Naga Hitam yang telah menunaikan janjinya.
Selanjutnya yang terdengar adalah bisikan-
bisikan mesra saja, bagi kedua insan yang memadu

kasih. Roro Centil tetap bersabar menunggu tersing-
kapnya tabir pembantaian dan pencurian kepala arca
Budha di Kuil Istana Hijau.
Selang beberapa saat si Naga Hitam sudah ra-
pikan lagi baju kulit Serigala. Kini ia bangkit berdiri
untuk segera menghampiri si Bangau Putih.
Sementara Sito Resmi beranjak menuju sungai.
Ternyata di malam yang dingin itu, justru ia mandi ke-
ringat. Hingga ia merasa perlu membasuh tubuhnya
dengan siraman air sejuk. Lengan si Naga Hitam sudah
bergerak membuka totokan. Hingga si paderi ini kelua-
rkan suara keluhannya. Sepasang matanya menatap
pada si Naga Hitam.
"Apa yang kau inginkan dariku, Naga Hitam?
Mengapa tak kau bawa aku menghadap Ketuamu...?"
Bertanya si Bangau Putih.
"Hm...! Aku mau ajukan pertanyaan padamu.
Siapakah orang yang kau undang untuk datang ke
Penginapan? Dan apa hubunganmu dengan si Ketua
Utama Kuil Istana Hijau?"
"Apakah aku perlu memberitahukannya pada-
mu?" Tanya lagi si paderi.
"Jelas...! Kau jawablah dulu dua pertanyaan-
ku!" Ucap si Naga Hitam, seraya gerakkan lengannya
membuka totokan di tubuh si Bangau Putih. Hingga
tampak si paderi tua ini bisa beranjak duduk dengan
menyandar di dinding batu goa. Sementara kaki dan
tangannya masih tetap terikat dengan tali Jerat Sutera.
"Baiklah...! Kuberikan atau tak kuberitahu toh
sama saja. Akhirnya aku akan mati juga! Kalau tidak
di tanganmu, tentu di tangan si manusia yang mempe-
ralat mu!" Berkata si Bangau Putih seraya menghela
nafas. Akan tetapi Naga Hitam jadi tertawa gelak-gelak,
seraya berkata;
"Heh! Aku merasa tak diperalat oleh siapapun.

Aku bekerja sendiri demi untuk satu keuntungan. yai-
tu mencari SEPASANG PEDANG SILUMAN. Kabarnya
senjata Pusaka itu disimpan di dalam arca Budha.
Sayang aku datang terlambat. Karena cuma bisa men-
jumpai mayat-mayat yang berserakan dari para paderi
Kuil Istana Hijau.
Sepasang Pedang Siluman telah lenyap dicuri
orang terlebih dulu, dengan memotong kepala arca.
Bahkan potongan kepala area itu sendiripun lenyap
entah kemana...!"
Bangau Sakti jadi kerutkan alisnya. Saat itu si
Dewi Rembulan telah datang menghampiri dan berdiri
bertolak pinggang di belakang si Naga Hitam.
Paderi ini menatap wanita itu. Seraya berkata;
"Lepaskan tali Jerat Sutera mu nona...! Aku
berjanji tak akan mencoba melarikan diri. Seandainya
kulakukan toh aku tak bisa lepas dari cengkeraman
kalian!"
Tampak si wanita saling tatap dengan si Naga
Hitam, yang sudah segera mengangguk. Selanjutnya si
Dewi Rembulan segera saja membuka ikatan tali Jerat
Suteranya. Hingga si Bangau Putih bisa menarik nafas
lega. Kini ia dapat duduk dengan enak menyandar di
dinding batu. Dengan sepasang lengan terjalin kesepu-
luh jarinya.
"Sebenarnya aku tak tahu-menahu dengan
adanya Sepasang Pedang Pusaka itu, yang berada di
dalam arca Budha. Ki Dharma Setha si Ketua Utama
Kuil Istana Hijau meminta kesedian  ku untuk bantu
menjaga Kuil, sebulan yang lalu. Berkenaan dengan
kepergiaannya ke Pulau Jawa. Ki Dharma Setha ada-
lah saudara tuaku. Tentu saja aku membawa surat
bukti dari Ketua Kuil Istana Hijau untuk bisa diterima
para paderi di sana. Terutama pada paderi Ketua Dua,
Sapta Dasa Griwa. Karena dia tak mengenaliku. Sapta

Dasa Griwa baru menjabat di sana sekitar dua tahun
yang lalu. Sedang aku sudah lebih dari lima tahun
tinggalkan Kuil Istana Hijau. Dan membangun Kuil
sendiri di pantai pesisir sebelah timur. Tepatnya di
Tanjung Kait, dekat ibukota Kerajaan Sriwijaya.
Diperjalanan aku mendengar berita adanya ke-
kacauan di Kuil Istana Hijau. Dan desas-desus lolos-
nya seorang tawanan dari penjara besi. Tawanan itu
adalah bekas seorang paderi, yang ketahuan berbuat
kejahatan. Hingga Ki Dharma Sheta telah memenjara-
kannya. Bahkan dialah si pencipta, yang membuat ar-
ca Budha dari perunggu berlapis emas di Kuil Istana
Hijau itu. Entah siapa yang telah melepaskannya. Aku
menduga adanya kerjasama dengan orang dalam. Da-
lam perjalanan itu aku mendengar khabar adanya seo-
rang gadis bernama Roro Centil yang bergelar Pende-
kar Wanita Pantai Selatan. Gadis Pendekar itu pernah
menjadi sahabat baik Paderi Jayeng Rana, yaitu seo-
rang paderi asal Nepal yang pernah mendirikan Kuil di
Lereng Gunung Wilis.
Bahkan pernah juga ia menjadi murid Paderi
Sakti itu, dan menumpas tiga orang paderi cabul yang
mencemarkan nama baik paderi-paderi Kuil Welas
Asih di Lereng Gunung Wilis. Oleh swab itulah aku
mengundangnya, dengan melalui surat rahasia. Aku
berangkat terlebih  dulu, dan menunggunya di Pengi-
napan desa Lubuk Batang. Tentu saja maksud undan-
ganku kesatu; Aku ingin berkenalan dengan Pendekar
Wanita yang terkenal itu yang sepak terjangnya adalah
membasmi kaum penjahat. Kedua aku memerlukan
bantuannya untuk mengatasi kerusuhan di Kuil Istana
Hijau...!" Demikian tutur si paderi Bangau Sakti Yang
kemudian hentikan penuturannya untuk menyeka ke-
ringat di dahinya.
"Apakah kau mengetahui siapa pencuri arca

Budha itu, dan juga pembantaian para paderi di Kuil
istana Hijau ...?" Bertanya Dewi Rembulan.
"Samasekali tidak! Dalam keadaan kacau demi-
kian yang sudah kudengar, aku tak berani masuki
Kuil. Cuma aku telah lakukan penyamaran sebagai pe-
tani desa, dan dari luar pintu sudah kulihat mayat-
mayat bergelimpangan!" Menjelaskan si Bangau Putih.
"Mengenai lenyapnya kepala arca Budha dan lenyap-
nya sepasang Pedang Siluman di dalam arca itu mana
aku mengetahui...?" Sambungnya lagi, seraya mengu-
sap-usap jenggotnya.
"Apakah kau mengetahui seluk-beluk Kuil Ista-
na Hijau...?" Bertanya lagi Sito Resmi. Pertanyaan itu
telah membuat si Bangau Putih jadi menghela nafas.
Tapi tetap menyahuti. Seraya ujarnya;
"Memang pada lima tahun yang lalu di bawah
Kuil ada ruangan rahasia. Akan tetapi telah ditutup
oleh Ki Dharma Sheta. Bahkan melihatpun aku belum
pernah. Karena aku cuma mendengarnya saja dari Ke-
tua Utama Kuil Istana Hijau, Ki Dharma Sheta. Men-
genai keadaan sekarang mana aku mengetahui? Kare-
na walaupun aku masih ada pertalian saudara, akan
tetapi aku sudah termasuk tidak mengurusi keadaan
di dalam dan di luar kuil Istana Hijau. Boleh dibilang
sekarang aku adalah termasuk orang yang tidak tahu
apa-apa...! Tampak Dewi Rembulan seperti sudah tak
ingin lakukan pertanyaan lagi. Sementara si Naga Hi-
tam termenung sesaat, seperti berfikir. Bangau Putih
ternyata telah menyambung bicara lagi.
"Sudahlah...!, Kukira tak ada gunanya kalian
menawan ku lama-lama. Aku memang sedang bernasib
sial. Mengundang orang untuk bisa membantu ku,
ternyata orangnya pun tak kelihatan batang hidung-
nya. Sebaiknya kau bunuh saja sekarang. Toh sama
saja...! Sekarang mati, nanti pun akan mati di tangan

Ketua kalian yang tak kuketahui siapa!" Berkata si
Bangau Putih seraya lagi-lagi mengusap dahinya yang
berkeringat. Akan tetapi si Naga Hitam telah tertawa,
seraya berkata;
"Heh! Justru aku tak akan membunuhmu. Ka-
rena kupikir kau bisa kuajak bekerja sama. Aku akan
selidiki siapa gerangan si Topeng Perunggu, yang telah
bersedia memberikan upah 100 tail perak untuk me-
nawan mu. Aku menduga kuat kalau si Topeng Pe-
runggu itu adalah si pencuri sepasang Pedang Silu-
man. Kukira nilai pedang pusaka itu lebih tinggi dari
100 tail perak...!".
"Apa rencanamu, Naga Hitam...?" Bertanya De-
wi Rembulan.
"Ha ha ha... Kurasa dengan kekuatan kita ber-
tiga, akan dapat merobohkan dan menawan si Topeng
Perunggu. Aku percaya kau akan berhasil meringkus-
nya dengan Jerat Sutera mu?" Dengan memaksanya
untuk bicara, kita akan tahu siapa gerangan dia. Dan
kalau ternyata pedang pusaka itu ada padanya, bu-
kankah satu keuntungan di depan mata? Dan.... ha ha
ha... kita berdua akan menguasai Sepasang Pedang Si-
luman dengan mudah. Setelah itu adalah Urusan si
Bangau Putih untuk membekuknya. Kalau ternyata
dia manusianya yang melakukan pembantaian, tinggal
meringkusnya saja...!
Adapun mengenai urusan di Kuil Istana Hijau
selanjutnya, bukan urusan kita untuk mencampuri
...!" Tampak si Dewi Rembulan tersenyum, dan mang-
gut-manggut. Tapi seperti penasaran atau memang tak
mengerti, sudah bertanya lagi;
"Jadi bagaimana caranya...?". Naga Hitam jadi
mendongkol, tapi segera menjawab.
"Memang wanita di manapun selalu cerewet.
Nah, dengarkan...! Si Bangau Putih ini pura-pura jadi

tawanan kita. Lalu kita bawa menghadap pada si To-
peng Perunggu. Bereslah urusannya...!" Barulah si
Dewi Rembulan manggut-manggut.
"Mau tanya lagi Rembulan.. ?" Naga Hitam su-
dah mendahului bicara.
"Cukuplah! Aku sudah benar-benar mengerti
sekarang...!" Menyahut si wanita seraya beranjak un-
tuk duduk di atas batu kira-kira lima-enam langkah
dari situ. Akan tetapi pada saat itu telah terdengar su-
ara tertawa berkakakan diiringi kata-kata bernada din-
gin.
"Hoa ha ha... ha ha... Bagus! Naga Hitam! Kau
rupanya mau berkhianat! Hm! ketahuilah setiap perin-
tang ku tak ada lain jalan, selain Kematian...!" Begitu
suaranya habis, satu bayangan hitam telah berkelebat
ke hadapan si Naga Hitam. Kejadian itu terlalu cepat,
karena belum lagi si Naga Hitam ini menyadari, se-
rangkum senjata rahasia segera meluruk ke arahnya.
Terkesiap laki-laki ini. Secepat kilat ia segera bergulin-
gan menyelamatkan diri. Ia berhasil lolos dari serangan
tiba-tiba itu, akan tetapi rangkuman jarum berbisa itu
terus meluncur ke arah si Bangau Putih. Tampaknya
paderi itu tak akan mampu menghindari. 
Akan tetapi satu bayangan kilat telah menyam-
bar tubuh paderi itu. Dan membawanya berkelebat
dengan cepat. Entah bayangan siapa, karena Roro
Centil pun ternyata masih berada di tempat persem-
bunyiannya. Adapun sosok tubuh berjubah hitam ini,
cuma bisa terpaku saja. Tapi ia tak segera mengejar
karena sepasang matanya ditujukan pada si Naga Hi-
tam. Terkejut laki-laki itu melihat sosok tubuh di ha-
dapannya.
"Hah!?... To...Topeng Perunggu...!" Teriak si Na-
ga Hitam dengan suara tertahan. Tiba-tiba lengannya
sudah bergerak mencekal lengan si Dewi

Rembulan, seraya berbisik;
"Hayo, cepat kita kabur...! Akan tetapi sungguh
di luar dugaan, justru si Dewi Rembulan secepat kilat
telah ulurkan tangan menotoknya. Terkesiap si Naga
Hitam. Namun tubuhnya sudah roboh terguling. Ter-
dengar si Dewi Rembulan tertawa mengikik. Seraya be-
ranjak mendekati si Topeng Perunggu, lalu sandarkan
punggungnya pada si Jubah Hitam itu.
"Hi hi hi... Naga Hitam! Ternyata kau tak dapat
tundukkan Rembulan. Kau adalah laki-laki yang pal-
ing bodoh di Dunia ini!". Seraya berkata, tiba-tiba ia te-
lah luncurkan Jerat Sutranya, yang segera membelit
kaki si Naga Hitam. Detik berikutnya tubuh si laki-laki
itu telah melayang ke udara. Terdengar suara tulang
yang remuk, ketika tubuh si Naga Hitam beradu den-
gan langit-langit batu Goa. Diiringi suara jeritan ngeri,
tubuh laki-laki itu jatuh berdebuk ke tanah. Tampak
tubuhnya menggeliat sejenak, lalu mengejang untuk
tidak bergerak lagi. Ternyata kepalanya telah remuk
dengan darah bermuncratan dua warna.
"Hm, bagus...! Kau memang wanita yang cerdik
dan hebat, bibi...!" Berkata si Topeng Perunggu dengan
memuji.
"Hi hi hi... manusia macam begini memang su-
dah selayaknya mati! Bukankah demikian Tugangga
...!" Berkata si Dewi Rembulan seraya menggamit len-
gan si Topeng Perunggu.
Topeng Perunggu hanya mendengus di hidung.
Lalu pegang pinggang si Dewi Rembulan. Sekejap ke-
mudian telah berangkat pergi dengan berkelebat. Ma-
sih terdengar suara cekikikan si wanita itu dari kejau-
han.
"Wanita kejam!" maki Roro Centil perlahan. Be-
tapa ia jadi mendongkol melihat si wanita itu yang ter-
nyata seorang yang kejam dan telengas. Tiba-tiba ia-

pun kelebatkan tubuhnya untuk cepat menguntit. Ro-
ro Centil merasa mempunyai kesempatan untuk men-
getahui di mana sarang si Topeng Perunggu itu.
Ternyata si Topeng Perunggu telah memondong
si wanita itu. Bahkan dalam perjalanan itu topengnya
telah dilepaskan oleh si Dewi Rembulan. Tampak sete-
lah beberapa kali berkelebat, si Topeng Perunggu hen-
tikan langkah larinya. Dan dua buah kepala itu sudah
saling pagut dalam keremangan sinar Rembulan.
Selang sesaat... si laki-laki yang telah tak men-
genakan topeng itu. telah turunkan tubuh si Dewi
Rembulan dari pondongannya. Ternyata ia seorang la-
ki-laki berusia sekitar 30 tahun. Bertubuh jangkung,
dengan rambut lurus yang agak gondrong. Bermata le-
bar dan terlihat jalang. Hidungnya agak pilih meleng-
kung. Mereka segera duduk di rumput saling berdeka-
tan. Sinar bulan yang agak hampir bulat itu cukup
menerangi sekitar tempat itu.
"'Aku cemburu dengan si Naga Hitam itu, bi-
bi...! Aku menyangka bibi benar-benar mencin-
tainya...." Berkata laki-laki bernama Tugangga itu, se-
raya sudah kembali mendekap wanita itu ke dadanya.
Terdengar si Dewi Rembulan tertawa kecil, seraya
menggamit leher laki-laki itu dan menggelendot manja.
"Hi hi... Sudah lah jangan  ingat dia lagi. Toh
orangnya sudah mampus! Kini apa rencanamu setelah
kau berhasil keluar dari penjara si paderi tua Dharma
Sheta". Berkata si Dewi Rembulan seraya jatuhkan ke-
palanya ke pangkuan si laki-laki Topeng Perunggu.
Sementara lengannya bergayut di leher.
"Apakah kau akan menguasai Kuil Istana Hijau,
atau akan malang melintang lagi di Rimba Hijau den-
gan Sepasang Pedang Siluman...?" Sambung si Dewi
Rembulan dengan suara berbisik. Karena dilihatnya
Tugangga tetap termenung belum menjawab. Selang

sesaat baru laki-laki itu tertawa seraya ujarnya,
"Ha ha ha... Mungkin juga aku akan malang
melintang lagi di Dunia Persilatan. Selama tiga tahun
dipenjarakan di Penjara Besi oleh Ki Dharma Sheta,
aku telah menciptakan Dua belas jurus ampuh dari
Sepasang Pedang Siluman. Namun tanpa bantuan bibi
mungkin aku belum bisa keluar dari Penjara Besi yang
telah mengurung ku. Tentu saja sekali lagi aku meng-
haturkan terimakasih atas pertolongan itu..."
"Hi hi... Tanpa aku bekerja sama dengan si Pa-
deri    Sapta Dasa Griwa, mungkin aku tak tahu di
mana kau dipenjarakan. Biarkan dia dengan kemelut-
nya sendiri. Cuma sangat kusesalkan lolosnya si Ban-
gau Putih. Aku menduga orang yang telah menolong-
nya itu orang kosen yang berkepandaian tinggi. Atau
jangan-jangan dia pula yang telah mengirim berita-
berita pada si Bangau Putih. Apakah kau punya du-
gaan siapa gerangan dia...?" Bertanya si Dewi Rembu-
lan.
"Heh! Kalau ku berniat mengejarnya, tentu su-
dah ku bekuk dia hidup-hidup. Akan tetapi waktu itu
aku sedang cemburu padamu, bibi...! Mana aku ber-
niat  mengejarnya, selain untuk menguliti si Naga Hi-
tam di depan matamu...!".
"Hi hi hi... lagi-lagi kau cemburu! Kau memang
mirip pamanmu dulu sewaktu masih hidup. Sayang ia
menemui kematiannya dengan cara yang menyakitkan!
Aku telah bersumpah akan menuntut balas kematian-
nya. Cuma waktu itu aku harus bersabar menunggu
waktu. Si Pendekar Gentayangan itu kini usianya telah
mencapai 100 tahun. Kabarnya ia mempunyai seorang
murid laki-laki yang usianya hampir seusia mu!" Ujar
si Dewi Rembulan bernama Sito Resmi itu. Sepasang
matanya memancarkan dendam yang tak pernah kun-
jung padam. Mendengar demikian Tugangga segera

menghiburnya.
"Sabarlah bibi...! Waktunya untuk membalas
dendam sudah dekat! Kita tinggal menunggu khabar
tibanya si paderi Ketua Dharma Sheta. Sementara kita
menetap dulu di Ruang Bawah tanah Kuil Istana Hi-
jau. Biar si paderi Sapta Dasa Griwa menguasai Kuil
dan berbuat seperti tak ada kejadian apa-apa.
Paderi itu telah berjasa pada kita. Seandainya
ia menjadi Pimpinan Utama Kuil itu kelak, tentu akan
menjadi salah seorang dari rekan kita. Akan mudah
bagi kita kelak bila sewaktu-waktu memerlukan perto-
longan. Selain itu pula kita harus bertindak tak kepa-
lang, untuk menghancurkan setiap perintang. Teruta-
ma membantu si paderi Sapta Dasa Griwa mele-
nyapkan Ki Dharma Sheta...!" Ujar si Manusia Topeng
Perunggu. Lalu lanjutkan lagi, setelah termenung se-
saat.
"Sebenarnya menghilangnya aku dari Rimba Hi-
jau, adalah karena menyelamatkan diriku dari kejaran
musuh-musuhku. Dengan menyamar sebagai seorang
yang tolol, aku diterima sebagai paderi di Kuil Istana
Hijau oleh Ki Dharma Sheta. Dengan Kepala gundul
plontos, aku tak akan dikenali lagi oleh setiap musuh-
ku. Terutama oleh si Pewaris Sepasang Pedang Silu-
man. Karena mereka tetap memburu ku...!"
"Siapakah si Pewaris Sepasang Siluman itu...?"
Tanya Sito Resmi.
"Dialah yang bernama GIRI MAYANG alias si
Kelabang Kuning. Aku mencurinya dari ruang pusaka
di Rumah Perguruan Tri Mukti. Ternyata adalah milik
si Ketua Perguruan itu. Dan merupakan sepasang
benda keramat yang berusia lebih dari 100 tahun.
Ketua Perguruan itu bernama TUN PARERA,
yaitu guru dari si Kelabang Kuning, alias Giri Mayang.
Begitu aku jadi buronan, segera aku menyamar jadi

paderi di Kuil Istana Hijau. Ternyata kepandaianku da-
lam membuat arca mendapat pujian dari Ki Dharma
Sheta. Hingga ia telah meminta ku membuat kan se-
buah Arca Budha dari Perunggu berlapis Emas. Peng-
ganti arca lama yang telah rusak, yang terbuat dari ba-
tu. Tapi diam-diam telah ku  sembunyikan Sepasang
Pedang Siluman di dalam arca itu, dengan harapan
suatu saat akan dapat kuambil lagi. Ternyata perbua-
tanku selama menjadi paderi yang kuperbuat dengan
sembunyi-sembunyi, telah membuat murka -Paderi Ke-
tua Ki Dharma Sheta. Hingga aku dipenjarakan di Pen-
jara Besi di ruang bawah tanah. Hal itu adalah sudah
menjadi rencanaku. karena dengan
demikian, aku dapat mempelajari 12 Jurus Il-
mu Pedang, yang terdapat tulisannya pada dua gulung
kertas kulit di dalam kedua gagang pedang. Dengan
masing-masing enam jurus pada setiap gulungnya. Ki-
ni aku telah menguasai ke 12 Jurus Ilmu Pedang itu.
Dan saatnya aku munculkan diri lagi di Rimba Hijau
...!". Ujar Tugangga, seraya tertawa puas.
Sementara itu Roro Centil telah mendengarkan
dari tempat  persembunyiannya. Dan kini terungkap-
lah sudah misteri peristiwa di Kuil Istana Hijau. Ter-
nyata hilangnya potongan kepala arca Budha itu me-
mang benar ada hubungannya dengan Sepasang Pe-
dang Siluman, seperti yang telah diungkapkan oleh si
Naga Hitam. Saat itu si Dewi Rembulan telah mende-
kap tubuh si manusia bertopeng perunggu, yang to-
pengnya telah dilepaskan dan tampak tergeletak di de-
katnya. Terdengar wanita yang ternyata menggandrun-
gi keponakannya sendiri itu berbisik dengan suara
berdesis....
"Bagus Tugangga. Kau bisa balaskan sakit ha-
tiku pada si Pendekar Gentayangan. Kau belum beri-
kan jawabanmu mengenai siapa kira-kira yang telah

menolong si Bangau Putih itu. Agaknya kita harus
waspada setiap saat. Karena akan banyak para Pende-
kar yang membantu si Bangau Putih untuk mencari si
pembantai para paderi di Kuil Istana Hijau! Kudengar
si Bangau Putih itu meminta bantuan pada seorang
yang bernama Roro Centil, yang bergelar si Pendekar
Wanita Pantai Selatan. Entah orangnya apakah yang
pernah menginap di Penginapan desa Lubok Batang
...? Karena dari mata-mata yang kupasang di sana, ga-
dis itu mencari si Bangau Putih. Sayang mata-mataku
datang memberitahu setelah gadis itu berangkat pergi.
Ia katakan gadis itu amat aneh, karena ketika pada
malam hari, saat ia menggerayangi ke kamar, telah
melihat seekor harimau Tutul yang amat besar yang
menjaganya Cepat-cepat ia mengunci lagi pintu kamar.
Lalu bergegas untuk menyembunyikan diri....!". Tutur
si Dewi Rembulan dengan serius.
Laki-laki ini termenung. Tapi segera keluarkan
pendapatnya,
"Mengenai si penolong paderi Bangau Putih itu,
aku kurang bisa mengira-ngira siapa adanya dia. Tapi
kalau gadis yang kau katakan tadi, aku mengambil ke-
simpulan adalah si Pendekar Wanita itu ...!". Ujar Tu-
gangga.
"Mengenai harimau Tutul itu, aku mengira, ga-
dis pendekar itu mempunyai semacam ilmu hitam ...!"
Ujar Tugangga lagi.
"Mungkin juga! Justru itu kita harus lebih hati-
hati lagi, karena bukan mustahil kita akan banyak
menghadapi banyak musuh". Berkata si Dewi Rembu-
lan.
"Sudahlah...! Itu urusanku nanti. Kini apa ren-
canamu? Apakah  kita bermalam di ruang bawah ta-
nah, ataukah akan bermalam di sini..,? Tampaknya
bibi terlalu lelah setelah berpacu tadi!". Kata-kata Tu-

gangga terdengar seperti menyindir. Tentu saja mem-
buat si Dewi Rembulan jadi merah wajahnya. Syukur
tak kentara, karena cuaca memang tak begitu terang
seperti pada siang hari.
"Ih, laki-laki kau cemburu ..! Seandainya si
manusia tolol itu tak menotok ku, mana mungkin aku
bisa mandah saja... Walau bagaimana aku tetap bera-
da di urutan paling atas Tugangga. Aku masih sanggup
untuk melayanimu sepuluh jurus!",
"Ha haha... bibi memang hebat! Aku akan
membuktikannya!". Ujar Tugangga, seraya bersiap pa-
sang kuda-kuda. Sementara jubahnya telah ia lempar-
kan ke rumput.
"Aku akan buktikan kehebatanku! Kau baru
meyakini...!" Ujar si Dewi Rembulan, Seraya sibakkan
perintang-perintang yang menghalangi pertarungan.
Sepasang mata Tugangga cuma bisa berkilatan me-
mandang daun-daun pohon penghalang yang berjatu-
han.
"Bibi benar-benar masih mampu melayani be-
berapa jurusku?". Ujar Tugangga seraya tertawa me-
nyeringai.
Sementara itu Roro Centil lagi-lagi harus mem-
buang muka melihat pertarungan gila yang bakal ter-
jadi. Akan tetapi pada saat itu gadis ini mengeluh, ka-
rena saat ia dalam keadaan tak waspada, sesosok tu-
buh telah berindap-indap mendekati. Gerakannya ba-
gaikan kucing mengintai mangsanya. Dan tahu-tahu
telah gerakkan tangan menotok. Hingga tak ampun la-
gi tubuh Roro terkulai. Selanjutnya satu bekapan sapu
tangan, telah membuat ia tak mampu keluarkan sua-
ra.
Dan saat selanjutnya Roro cuma rasakan kepa-
lanya pusing, karena bau harum dari saputangan yang
menempel pada hidungnya. Hingga sekejap, gadis ini

sudah terkulai tak sadarkan diri. Roro cuma rasakan
tubuhnya seperti melayang... Dan ia tak menge-
tahui kalau ketika itu ia tengah dibawa berkelebat oleh
sesosok tubuh, yang memondongnya.

*****

Sementara itu pertarungan yang boleh diang-
gap "latihan" oleh kedua manusia di atas rumput di si-
si bukit itu, segera akan berlangsung.
"Keluarkan jurus-jurus yang kau pelajari sela-
ma ini, Tugangga! Aku akan melayani sepenuh hati,
agar kau benar-benar tak kecewa...!".
"Ha ha ha... walau dua tahun aku disekap, tapi
untuk jenis jurus-jurus selain 12 Jurus Ilmu Sepasang
Pedang Siluman, aku mempunyai bermacam jurus,
yang segera kau akan mengetahuinya...!", Berkata Tu-
gangga, seraya sudah hantamkan pukulannya ke arah
kaki. Menghadapi permainan yang menarik ini, tam-
paknya si Dewi Rembulan begitu senang. Segera ia
lompat ke udara tiga tombak. Gerakannya indah,
mempertontonkan bentuk liukkan yang mempesona.
Tugangga berseru kagum. Sepasang matanya berbinar.
Tiba-tiba ia sudah melompat cepat di bawah si Dewi
Rembulan. Sepasang lengannya terpentang. Terkejut si
Dewi Rembulan, lihat Tugangga berada di bawahnya.
Dan saat itu tubuhnya telah meluncur turun. Namun
dengan segera ia telah merobah posisi dengan sepa-
sang kaki terpentang untuk menjepit leher.
"Awas! Jaga leher mu, Tugangga...!" Teriak Dewi
Rembulan. Tugangga menyeringai. Ternyata ia tak be-
rusaha mengelak. Namun sepasang lengannya
berhasil menangkap sepasang lengan si Dewi
Rembulan. Jepitan sepasang kaki itu ternyata tak
mampu membuat untuk melepaskan cekalan pada

lengannya. Bahkan kini si Dewi Rembulan yang kelua-
rkan Suara keluhan. Tubuhnya segera bergelinjan-
gan.....
Saat itu seekor kelelawar yang telah berhasil
menggondol buah masak, telah melumat dan menyan-
tapnya dengan rakus. Terlalu sulit untuk menikmati,
segera ia bawa dan tempelkan ke batang pohon. Dan di
sana ia menikmati kelezatannya.
Pada jurus pertama itu, setelah bergulat untuk
mencoba lepaskan diri, akhirnya si Dewi Rembulan
berhasil jejakkan kaki ke pundak Tugangga. Sementa-
ra lengannya telah berhasil menangkap dahan pohon.
Laki-laki itu jatuh bergulingan. Namun dengan sebat
sambil bergulingan di rumput, lengannya berhasil me-
raih Jerat Sutera si wanita itu. Belum lagi si Dewi
Rembulan sadar akan serangan selanjutnya dari si
Manusia Topeng Perunggu, tahu-tahu jerat sutera itu
telah menyambar kakinya. Mengeluh si Dewi Rembu-
lan. Ia tak menyangka kalau keponakannya ini, ternya-
ta berwatak kasar. Tapi ia memang ingin menguji sam-
pai di mana kehebatan Tugangga.
Ia segera lepaskan pegangan tangannya pada
dahan. Akan tetapi justru tubuhnya roboh terguling,
karena sebelah kakinya telah kena Jerat Suteranya
sendiri. Detik berikutnya, satu totokan telah membuat
ia tak berkutik. Tahu-tahu ia rasakan tubuhnya telah
melayang naik lagi. Ternyata Tugangga telah melompat
ke atas dahan pohon, dan menarik Jerat Suteranya,
hingga tubuhnya menggelantung di dahan pohon den-
gan kaki terikat. Detik selanjutnya kedua kakinya te-
lah terikat kuat dengan terentang di dahan pohon. De-
wi Rembulan cuma bisa ternganga... karena gerakan
Tugangga begitu cepat. Tahu-tahu ia sudah tergantung
di dahan pohon, dengan kepala berada di bawah.
"Tugangga! Apa yang kau mau lakukan? Kau

mau menguliti aku?". Teriak si Dewi Rembulan. Diam-
diam wanita ini ngeri juga. Karena Tugangga ternyata
lebih buas dari si Naga Hitam. Khawatir juga ia kalau-
kalau laki-laki itu berubah fikiran, dan membunuhnya.
Karena sejak beberapa tahun ia baru berjumpa dengan
keponakannya ini. Akan tetapi wanita ini segera terse-
nyum, karena dari tingkah laku Tugangga dan sepa-
sang matanya yang liar, ia mengetahui laki-laki kepo-
nakannya ini cuma melampiaskan kemendongkolan
hatinya saja. Seolah-olah iapun sanggup menunduk-
kannya. Seperti melebihi kesanggupan si Naga Hitam,
yang telah tewas.

*****

Cahaya purnama tampak semakin tinggi. Ber-
sitkan sinar yang menyebar rata ke seluruh perbuki-
tan. Tugangga berdiri bertolak pinggang dengan mena-
tap pada si Dewi Rembulan yang tergantung jungkir
balik. Sepasang matanya menelusuri perbukitan dan
lembah-lembah ilalang di hadapannya Lalu tertawa
menyeringai.
"Aku bukan akan menguliti  mu, bibi...! Tapi
akan tunjukkan satu jurus Kelelawar mencaplok Rem-
bulan. Satu jurus istimewa dari jurus-jurus yang ba-
nyak aku pergunakan dulu. Kala aku masih jadi pe-
tualang dari lembah ke lembah...!".
Seraya berkata ia sudah segera beranjak meng-
hampiri. Namun diam-diam Dewi Rembulan telah ber-
hasil bebaskan diri dari pengaruh totokan. Saat itu
seekor kelelawar kembali telah menyambar buah-buah
yang bergelantungan. Buah buahan yang ranum di su-
suri dengan moncongnya. Angin malam berdesir agak
keras mengguncang seekor kelelawar betina yang
menggantung itu hingga bergelinjangan. Tatkala mon-

cong kelelawar yang susuri buah-buah ranum itu te-
mukan buah yang masak, segera merengkuhnya den-
gan lahap. Dua ekor kelelawar itu bagai bergelut untuk
saling merengkuh. Sementara desis angin malam bagai
kan nafas yang mendesah desah menerpa.... Kelelawar
jantan ternyata mulai semakin bernafsu melihat buah-
buah  yang ranum itu. Segera terbang ke atas dahan
yang lebih tinggi. Dan dengan menggelantung di da-
han, lengannya sudah mencengkeram. Sementara
moncongnya merengkuh buah-buah yang ranum itu
berganti-ganti. Kelelawar betina cuma bisa ngangakan
moncongnya dengan suara cicitnya yang seperti men-
desis. Seperti masih ingin ia melumat yang sudah ter-
lepas dari moncongnya. Sementara kelelawar jantan te-
lah keluarkan kepandaiannya melumat apa yang bera-
da di depan moncongnya.
Sementara itu segera Tugangga telah keluarkan
suara berdesis di telinga. "Inilah jurus-jurus dari Kele-
lawar mencaplok Rembulan...!". Satu pukulan perla-
han itu ternyata telah membuat si Dewi Rembulan,
menggelinjang dengan keluhan keluar dari bibirnya. Ia
telah menangkis dengan sepenuh hati. Namun bebera-
pa kali serangan  beruntun itu, telah membuat ia se-
perti rasakan tubuhnya jadi bergetaran.
Kedua tubuh kelelawar yang bergantung itu te-
rayun-ayun, kala angin bertiup mendesah-desah. Se-
pintas tampaknya seperti tengah bercanda. Karena
sayap-sayapnya saling rangkul dengan kuat. Terdengar
suara cicitnya di antara desah angin yang menerpa...
Dan selang sesaat mereka sudah seperti tidur lelap,
karena kekenyangan menyantap... Saat itu memang
Tugangga telah mengakhiri jurus-jurus yang di pertun-
jukkannya pada si Dewi Rembulan.
"Jurus-jurusmu memang hebat Tugangga...!.
Aku memang tak mampu mengungguli mu ...!" Berkata

Sito Resmi seraya buka kelopak matanya. Seraya ter-
tawa, Tugangga letikkan tubuh untuk kembali melom-
pat ke atas dahan. Lalu dengan cepat membuka kem-
bali tali Jerat Sutera yang melilit kaki Sito Resmi. Lalu
tarik tubuh si Dewi Rembulan ke atas. Selanjutnya su-
dah berada kembali disamping Tugangga dengan du-
duk di dahan menyandar di dada laki-laki itu.
"Kekuatan tenaga dalammu luar biasa Tugang-
ga. Tenagaku sampai tersedot habis ..!" Keluh si Dewi
Rembulan, Tugangga hanya tertawa, lalu tempelkan te-
lapak tangannya di punggung Sito Resmi. Hingga tak
lama kemudian Sito Resmi sudah merasa segar lagi.
Rembulan semakin tinggi menggantung di lan-
git. Malam terus merayap, kala dua sosok tubuh itu
tinggalkan lereng bukit, untuk berlalu dari tempat
yang telah menguras tenaga itu. Akan tetapi mereka
tampak dalam kepuasan dalam pertarungan barusan
Siapakah sosok tubuh yang telah menotok Roro Centil,
dan membuat ia tak berdaya itu? Mari kita ikuti siapa
gerangan dia.......
Sosok tubuh itu mengenakan topeng hitam pa-
da wajahnya. Bertubuh kekar, dengan rambut awut-
awutan. Setelah beberapa saat lamanya berlari-lari
dengan cepat. Sosok tubuh itupun hentikan larinya. Di
hadapannya adalah sebuah rawa-rawa. Seandainya
orang yang belum tahu jalan, sudah pasti akan terje-
rumus ke dalam rawa yang dalam itu. Ternyata ia
mengambil jalan memutar. Lalu temukan jalan lurus
berbatu-batu. Seperti memang jalan yang sengaja di-
buat untuk menyeberangi rawa itu. Meniti jalan lurus
itu, segera sudah terlihat sebuah bangunan di tengah
rawa. Di atas tanah ketinggian, kira-kira tiga kali lem-
paran tombak lagi.