Roro Centil 3 - Rahasia Kitab Ular(2)







"Oh, terimakasih... terima kasih...! Kami
merasa senang sekali adik Pendekar... Aku
akan rawat kuda pemberian ini baik-baik,
dan akan selalu ingat akan kebaikan budi
adik pendekar...!" Roro Centil berusaha
tekan perasaannya, dan berkata sambil
lepaskan pelukan si wanita murid Naga
Seribu Racun yang telah tewas itu...
"Pergilah berangkat... ! Ucapkan
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com

terimakasih pada kakek yang telah berjasa
menikahkan kalian..." Sambil berkata Roro
juga menatap Sentanu, yang segera
anggukkan kepala dengan hormat. Segera ia
bimbing lengan istrinya...
Tak dikisahkan lagi kelanjutannya.
Sepasang pengantin baru itu tampak telah
meninggalkan gubuk itu dengan langkah
kuda perlahan.
Betapa serasinya pasangan pengantin
baru itu dengan menunggang kuda, yang
satu berwarna hitam pekat, sedang yang
satu lagi putih bersih; dengan penung-
gangnya seorang wanita muda yang cantik
berbaju merah. Didampingi seorang laki-
laki yang gagah dan tampan. Roro Dampit
putarkan tubuhnya, dan sebelah lengannya
telah diangkat tinggi-tinggi melambaikan
tangan pada sang Pendekar Wanita Pantai
Selatan yang menatap dengan terharu.
Tak berapa lama kemudian kedua kuda
itu telah mencongklang dengan cepat...
dan lenyap di balik tikungan jalan;
sementara derapnya masih saja terdengar
dari kejauhan... namun kemudian suasana
kembali sunyi...
Tak terasa setitik air bening
tersembul di pelupuk mata Roro Centil.
Air mata terharu juga bahagia, melihat
kebahagiaan sepasang pengantin itu ...
 


7

Tingngng...! Satu suara  membuat ia
tersentak, dan sadar akan dirinya yang
belum ketahuan nasibnya. Roro Centil
lihat si kakek pemetik Kecapi masih duduk
menyender pada tiang gubuk. Di hadapan
papan kecapinya... sementara sebelah
lengannya tampak asyik mengelus-elus
jenggotnya yang cuma beberapa lembar... 
Segera ia tatap wajah orang tajam-
tajam seraya berkata Roro Centil "Maaf
kakek yang terhormat, sebelumnya akupun
berterima kasih atas pertolonganmu
menikahkan kedua sahabatku tadi... Kini
ingin sekali aku mengetahui ada urusan
apakah anda denganku...? Sedangkan aku
pikir, aku merasa tak punya permasalahan
apa-apa dengan anda...! Dan bolehkah
kiranya aku yang rendah mengetahui siapa
anda?..."
Tingngng...! Terdengar lagi suara
dentingan tali kecapi.    
Roro Centil yang bersikap waspada
sejak tadi mengetahui betapa kehebatan
irama Kecapi mautnya si kakek berkulit
hitam ini. 
Dan terdengarlah suaranya yang
serak parau, suara yang amat berbeda
dengan yang tadi; "Hmm. Nama Roro Centil,
Pendekar Wanita Pantai Selatan itulah
yang membuat  aku jauh-jauh datang dari

pantai Utara untuk mencarimu. Kematian
Empat Iblis Kali Progo dengan cara yang
amat mengerikan itu, beritanya telah
bertiup sampai ke Pantai Utara. Tentu
saja aku si Kecapi Maut ingin sekali
berkenalan dengan Pendekar Wanita yang
hebat dan keji itu. Tapi tak dinyana,
ternyata yang aku jumpai adalah seorang
bocah perempuan yang baru melek, dan baru
lepas susu dari ibunya.... Huh! Benar-
benar membuat aku jadi kesal ... !"
Terkejutlah Roro Centil, ia tak menyangka
akan hal yang sudah  berlangsung lewat
setahun yang lalu itu, akan berbuntut
panjang
Si kakek pemetik kecapi sudah
lanjutkan lagi bicaranya; "Bukan
kematiannya yang aku sesalkan, karena
siapa pun bisa saja mati. Entah dia
seorang penjahat atau bukan. Tapi cara
kematiannya itu yang sampai ke telingaku,
sehingga aku perlu mengetahui dan
hubungan apakah kau dengan si Dewa
Tengkorak... Itulah yang perlu
kutanyakan. Dan apakah si iblis keji itu
masih hidup? Apakah kau adalah
muridnya...?!" Pertanyaan itu sudah tentu
dengan nada yang ditekan, karena dapat
dilihat dari wajahnya, betapa ia amat
membencinya.
Roro Centil menarik napas dalam-
dalam... segera ia teringat akan kejadian

setahun yang lalu, di mana di saat
pertarungan dengan si Empat Iblis Kali
Progo ia telah mempergunakan jurus keji
dari si Dewa Tengkorak, yang dipelajari
dari Gurunya si Manusia Aneh Pantai
Selatan yaitu salah satu dari "10 Jurus
Pukulan Kematian", yang cuma dikuasainya
tujuh jurus pukulan saja.
Segera ia menjawab dengan suara
datar seadanya; "Baiklah kakek, akan
kujelaskan... Si Dewa Tengkorak telah
mati sejak tiga tahun yang lalu.
Kematiannya adalah dengan sebab akibat
dari 10 jurus Pukulan Kematian yang ia
lontarkan sendiri disaat bertarung dengan
Pendekar Bayangan...! Aku bukanlah
muridnya, walau aku telah menguasai
beberapa jurus ilmunya...!" Demikian
jelas Roro polos.
Namun tiba-tiba terdengarlah suara
si kakek pemetik kecapi... "Bagus...!
Bagiku sama saja. Langsung atau tidak
langsung kau adalah tetap murid si iblis
tua itu...! Karena kau telah mewarisi
ilmu-ilmu kejinya! Karena dengan ilmu
kejinya itulah aku sampai kehilangan
kedua belah kakiku ini...!".
"Tapi tapi... " Belum habis Roro
berkata satu sambaran angin keras telah
menyerangnya dengan bersyiur dahsyat.
Ternyata si kakek telah mengibaskan
jubahnya yang lebar itu. Terkejut Roro

bukan main ketika rasakan sambaran
dahsyat yang mau menghantam dada...
segera ia keluarkan teriakan keras
tertahan, dan tubuhnya melesat ke atas
menghindari serangan yang datang. Dan
dengan beberapa kali berjumpalitan di
udara ia kembali turun kira-kira jarak
beberapa tombak.
Namun hebat akibat dari kibasan
lengan  jubah itu. Karena baru saja Roro
turun menjejakkan kakinya ke tanah,
terdengarlah suara bergedebukan.
Ternyata gubuk itu telah ambruk
terkena hempasan angin dari kibasan jubah
si pemetik Kecapi, yang telah melesat
keluar dengan melompat cepat.
Dan dengan sekali enjot ia telah
tiba di hadapan Roro dalam jarak tidak
terlalu jauh. Belum sempat Roro buka
suara untuk bicara lagi, telah terdengar
petikan tali kecapi dengan nada nyaring
yang menembus kesunyian di tempat itu...
Roro terkesiap, dan cepat salurkan
tenaga dalamnya pada telapak tangan. Ia
tahu orang mau membunuhnya... Maka dengan
berteriak keras ia telah mengirim satu
pukulan ke arah si kakek kulit hitam itu.
Terdengar suara tertawa menghindar dari
si kakek dan sebelah lengannya ia
pergunakan menangkis serangan itu.
DEZZ...! Dua tenaga dalam yang hebat
telah saling beradu.

Roro terhuyung tiga-empat
langkah... sedangkan si kakek hampir
terjengkang.... namun sambil  berdiri
dengan dengkulnya ia telah kibaskan lagi
kedua lengan jubahnya ... Syiuut
Syiuuut!... Angin keras yang mengandung
tenaga dalam yang hebat menerjang ke arah
Roro. Terasa bersyiur angin panas. Cepat
ia pergunakan jurus Ikan Hiu Balikkan
Ekor, dan memapaki kedua serangan itu
dengan tenaga dalam Inti Es... Hebat
akibatnya. Sambaran angin panas yang
dahsyat itu tiba-tiba berbalik menerjang
ke arah si pemetik Kecapi.
Terkejut si kakek ini bukan
kepalang. Segera ia sambar peti Kecapinya
untuk menangkis, namun tiba-tiba ia
urungkan, dan jatuhkan tubuh bergulingan
sambil memeluk peti Kecapinya. Terasa
angin panas dan dingin lewat bersyiur.
BRAAAKKK! Terdengar suara keras.
Ternyata pohon besar di belakangnya telah
hancur lumat kena hantaman angin
tenaganya sendiri.
Keringat dingin terasa mengalir di
sekujur tubuh si pemetik kecapi. Ia tahu
tenaganya sendiri yang hebat, seandainya
ia tangkis dengan peti kecapinya sudah
pasti akan hancur. Karena saat itu ia
belum lagi menghimpun tenaga dalam...
Roro Centil sudah  cepat buka suara;
"Kakek Kecapi maut! Urusanmu dengan si

Dewa Tengkorak adalah urusan yang tak ada
hubungan dan sangkut pautnya dengan aku.
Mengapa kau jadi berbalik mau membunuh
ku...?". Jawabannya adalah Tingng!
Tringng! Tingng!... Dan seterusnya telah
terdengar nada santar yang membawa maut,
berkumandang dengan irama yang keras
tinggi, lalu merendah dengan cepat, lalu
meninggi lagi... Dan akhirnya yang
terdengar adalah nada-nada yang kacau.
Roro tersentak. Segera ia tutup indra
pendengarannya, ketika rasakan darahnya
terasa bergolak mendengar irama yang
mengandung tenaga dalam, yang menyerang
melalui pendengaran yang mengacau sirkuit
otaknya itu.
Sementara ia telah keluarkan senja-
tanya sepasang "Rantai Genit".
Ia berfikir lawan tidaklah enteng,
sedangkan  perjalanannya jadi tertunda
gara-gara mengurusi si Kecapi Maut ini.
Yang bisa-bisa membuat ia cuma tinggal
nama saja di dunia ini...
Sementara si kakek pemetik Kecapi
terus membunyikan senjata ampuhnya,
dengan nada-nada keras, rendah dan tinggi
... namun sudah tentu irama yang kacau
dan tak enak untuk didengar.
Tahu orang masih asik menari-
narikan jari tangannya pada tali-tali
kecapinya, Roro Centil segera goyangkan
pinggulnya dan gerak-gerakkan tubuhnya

meliuk-liuk dengan cepat, terkadang
gemulai... seolah  tengah mengikuti irama
yang kacau ini dengan tarian yang
disuguhkannya.
Sementara sepasang senjatanya ia
putar-putar sehingga terdengar suara
mendengung mirip suara ratusan lebah.
Jika saja Roro mengetahui akibat dari
putaran si sepasang Rantai Genitnya,
tentu ia akan kagum. Karena sesungguhnya
suara berdengung itu telah membuat
serangan tenaga dalam, melalui petikan
tali kecapi itu menjadi buyar... tersapu
angin putaran kedua benda itu.
Hal itu telah membuat si Kecapi
Maut jadi melengak. Matanya yang sipit
itu jadi melotot agak lebar, melihat di
hadapannya si Pendekar Wanita Pantai
Selatan tengah menari-nari dengan tubuh
meliuk-liuk sambil memutar-mutar kedua
benda di kedua lengannya.
Tingng! Tingng! Tringng!
Ia pentil tali kecapinya dengan
keras, dan kemudian tiba-tiba berhenti.
Segera ia tunggu reaksinya... Namun
tunggu punya tunggu, Roro Centil masih
terus menari-nari dengan lincah, dan
terkadang gemulai... membuat ia jadi
terheran-heran. Akhirnya tahulah ia bahwa
serangan mautnya itu ibarat batu yang
kecemplung ke laut.
Tiba-tiba terdengar ia berseru

keras... dan tubuhnya yang tinggal tiga
perempat bagian itu telah melesat ke arah
Roro. Peti kecapi mautnya telah di pakai
menerjang menghantam orang.
Namun bagai tidak melihat serangan
orang Roro telah berhasil membuat
serangan itu lewat ke tempat kosong.
Makin gusar si kecapi maut. Beberapa
serangan ia lancarkan menyerang leher,
dada dan perut. Tapi itu pun lolos, cuma
dengan melangkah melenggang-lenggok
meliuk ke sana-kemari, atau ke atas dan
ke bawah...
"Bocah Keparat...!" Teriaknya. Dan
ia sudah menerjang dengan serangan-
serangan hebat yang mematikan. Roro
terkejut juga lihat serangan-serangan
yang berbahaya itu. Ternyata kecapi telah
sedari tadi berhenti bermain... Segera ia
buka indra pendengarannya sambil tetap
pergunakan jurus istimewa ciptaan Gurunya
itu, yang diberinya nama jurus "Bidadari
Mabuk Kepayang".
Hasilnya memang mengagumkan, karena
serangan-serangan si kakek selalu saja
lolos. Karena yang diperhatikan Si
pemetik kecapi itu adalah tubuh lawannya
saja ia tak mengetahui ketika tahu-tahu
senjata si Rantai Genit tiba-tiba
meluncur deras ke kepalanya. Terkesiap
seketika si kakek ini. Ia segera
pergunakan peti kecapinya menangkis

melindungi kepalanya... Inilah yang
diinginkan Roro Centil. BRAK! Terdengar
suara keras dari peti Kecapi Maut si
kakek yang hancur.
Belum sempat si kakek melompat,
sudah menyambar lagi bandulan "Genit"
itu... BRAKK! Nyaris bandulan itu
menembus peti yang bisa langsung mengenai
kepala... kalau tidak cepat-cepat ia
lepaskan peti kecapinya, yang somplak dan
hancur tak terpakai lagi itu...
Dengan berteriak tertahanlah ia
cepat menggelinding menjauh, tatkala satu
sambaran lagi kembali menyusul menyerang
punggungnya. Rantai Genitnya Roro Centil
seperti punya mata saja yang terus ber-
gerak meluncur saling susul.
Brukk! Kecapi Mautnya sudah ter-
lempar dalam keadaan rusak berat, dengan
tali-tali senarnya yang sudah kusut
hampir putus semua.
Tiba-tiba terdengar teriakan Roro
yang nyaring merdu, dan yang terlihat
oleh si kakek berkulit hitam itu adalah
berkelebatnya bayangan putih... yang
kemudian lenyap.
"Hah!?" Tersentak hatinya. Karena
tubuh sang gadis itu benar-benar lenyap
tak berbekas ...
Ketika tiba-tiba... Rrrrt! Secercah
sinar kuning telah berkelebat di bawah
hidungnya, dan terasa  ada benda yang

menjerat lehernya.
Terkesiap ia bukan buatan, ketika
mengetahui itulah senjata aneh si
Pendekar Wanita Pantai Selatan. Sementara
di atas kepalanya terdengar suara mende-
ngungnya ratusan tawon.
Kiranya Roro Centil telah berada di
belakang si pemetik Kecapi Maut, dengan
sepasang senjatanya yang siap mencabut
nyawa...
Terasa terbang sukma si kakek
tatkala ia mengetahui dirinya sudah
dibawah kekuasaan lawannya. Dan pada saat
itu juga terdengarlah suara yang merdu
namun dengan nada menggertak... "Hai
kakek yang sudah mau masuk liang kubur!
Apakah kau masih juga mau menjatuhkan
kesalahan padaku...?! Betapa tadinya aku
amat mengagumi kepandaianmu memetik
Kecapi, tapi alangkah kecewanya ternyata
irama kecapimu adalah untuk membunuh
orang...! Sungguh amat disayangkan, anda
yang telah setua ini masih memperturutkan
nafsu. Padahal nafsu itulah yang akan
menghancurkan dirimu...! Bukankah tadi
kau katakan siapapun dapat saja mati.
Tapi kalau mau mati, maka matilah yang
baik! Bukan mati konyol karena memper-
turutkan hawa nafsu ..."
Tampak tubuh si kakek Kecapi Maut
itu tergetar hebat. Tubuhnya sekonyong-
konyong jadi lemah lunglai, dan jatuh

terduduk. Terlihat ada air bening menetes
turun membasahi jubahnya... Getaran
tubuhnya makin terlihat tatkala sepasang
lengan si kakek itu tiba-tiba bergerak
menggeletar dengan jari-jari yang
terbuka.
Tiba-tiba sepuluh jari tangan itu
dipertemukan seperti orang mau memberi
hormat. Namun apakah kelanjutannya?...
sepasang lengan yang tergetar itu tiba-
tiba bergerak, dan ... Krakk! Krrakk!
Terdengar suara tulang yang berklotakan.
Roro Centil terkejut bukan main...
kiranya si pemetik Kecapi Maut telah
meremas hancur kesepuluh jari-jari
tangannya.
Segera ia kendurkan dan lepaskan
Rantai genitnya pada leher si kakek...
dan melangkah ke samping dua tindak.
Tampak keadaan kedua telapak tangan
sang kakek yang dalam keadaan yang
mengerikan karena serpihan tulang-tulang
yang hancur itu bersimbah darah, dan air
mata yang seperti membanjir deras dari
kelopak matanya.....
"Kakek!?... kau...  kau..." Hanya
itu yang keluar dari kerongkongan Roro,
tatkala terdengar suara si kakek yang
parau terputus-putus menahan gejolak
perasaan dan rasa sakit yang tak
terhingga... 
"Inilah... yang patut kulakukan...

Jari-jari... tanganku ini telah banyak
membunuh orang!"
Tampak si pemetik Kecapi Maut
berhenti berkata sebentar... untuk
menyeka air matanya. Dengan mengangkat
pangkal lengannya, dan dengan memper-
gunakan kain jubah yang dipakainya ia
menyapu wajahnya.
Sebentar kemudian ia telah menerus-
kan kata-katanya... "Bocah Pendekar,
betapa aku orang tua merasa malu... malu
karena harus dinasihati oleh seorang
bocah yang pantas menjadi cucuku ...
namun telah membuka mata hatiku untuk
menyadari akan kekeliruanku... Benar,
bocah Pendekar, menurutkan hawa nafsu
adalah takkan ada habisnya selama manusia
belum masuk ke liang kubur. Kecuali
orang-orang yang dapat mengendalikan hawa
nafsunya... Dia takkan terbawa arus
gelombang nafsu yang melandanya, karena
pada jiwanya telah tertanam benih-benih
kesadaran dan iman yang teguh..." Kembali
ia berhenti sejenak untuk mengangkat
kedua lengannya yang terasa nyeri. Dan ia
sudah meneruskan kata-katanya;        
"Kini aku serahkan segalanya pada
nasib...! Kalau kau mau bunuh aku
silahkan bunuh! Kalau kau mau mengampuni
aku, aku sungguh-sungguh bersyukur pada
Tuhan. Biarlah penderitaan ini aku
jalani, dan kurasakan sebagai penebus

atas segala dosaku... Aku telah merasa
bersalah telah berniat membalas dendam
pada orang yang justru tak ada sangkut-
pautnya dengan urusan dendamku. Dan aku
harus menyadari bahwa dendam itu adalah
sesuatu yang harus dihilangkan pada diri
manusia... "
Sampai di sini si kakek pemetik
Kecapi Maut berdiam menutup mulut dan
mengatupkan kelopak matanya, menunggu
tindakan apa yang akan diambil gadis
Pendekar yang ada di hadapannya...
Selang sesaat terdengar Roro Centil
menghela napas. Dan terdengar kata-kata
seperti terharu... "Kakek...! Aku
bukanlah orang telengas yang kejam.
Memang aku pernah gunakan jurus telengas
si Dewa Tengkorak itu ketika menumpas ke
empat Iblis Kali Progo. Tapi percayalah
...! Hal itu di luar kesadaranku... Aku
masih terlalu hijau untuk berkecimpung di
dunia persilatan, dalam meneruskan
perjuangan Guru-Guruku... menegakkan
keadilan di atas bumi ini. Baiklah, aku
berjanji tak akan mempergunakan jurus
keji itu lagi... dan tentu saja aku
hargai kesadaran yang telah kau temukan
itu, kakek... Nah... rasanya aku tak
dapat berlama-lama di sini, karena aku
tengah dalam perjalanan memenuhi undangan
orang dan perjalanan yang kutempuh amat
jauh sekali... Selamat menempuh duniamu

yang baru... kakek, dan selamat
tinggal...!"
Setelah berkata demikian Roro
Centil berkelebat pergi..... tapi ketika
itu juga ia teringat akan buntalan
pakaiannya. Segera ia melesat ke gubuk
yang sudah roboh itu... Tak terlalu sukar
ia sudah menemukan kembali buntalannya,
dan selanjutnya tanpa menoleh lagi ia
sudah enjot tubuhnya, dan berlalu dari
tempat itu...

8

Biara "Welas Asih" di lereng Gunung
Wilis adalah sebuah biara yang tidak
begitu dikenal orang...
Namun penduduk sekitar Gunung Wilis
mengetahui kalau di biara itu terdapat
tiga orang paderi yang bersaudara... yang
dikenal sebagai para tabib yang pandai
mengobati orang
Namun sepandai-pandainya manusia...
ada saja kelemahannya. Oleh sebab itulah
tak semua orang yang datang dapat
disembuhkan penyakitnya...
Manusia hidup memang tak luput dari
pelbagai  masalah, juga tak dapat
menghindari yang namanya takdir.
Juga mati hidupnya manusia, adalah
sudah ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha
Esa. Sudah hampir 9 tahun paderi Jayeng

Rana meninggalkan kuil atau biara Welas
asih, yang sudah berpuluh tahun
dibinanya, kini telah berada kembali di
biara Welas Asih, di lereng Gunung Wilis.
Ia memang seorang paderi yang
berasal dari Nepal. Entah mengapa ia amat
senang mengembara di masa mudanya. Hingga
ia tiba di suatu daerah yang amat subur
dengan tumbuh-tumbuhannya. Terutama
kelapa. Akhirnya ia menganggap bahwa
daerah atau pulau yang diinjaknya itu
adalah pulau Kelapa.
Di  Lereng  Gunung Wilis itulah ia
mendirikan sebuah kuil atau biara yang
diberinya nama Welas Asih, yang berarti;
kasih sayang ...
Memang sebenarnya watak dan pribadi
dari paderi Jayeng Rana adalah watak yang
tiada cela. Peramah, baik hati, rendah
hati juga kasih sayang terhadap siapa
saja. Pribadinya menarik, membuat orang
akan merasa segan bila berbicara atau
bertatap muka dengannya.
Sedikit kepandaian yang ia miliki
ternyata dapat berguna bagi masyarakat.
Menolong yang sakit, atau memberi bantuan
pada yang susah adalah dasar dari
kehidupan yang ditujunya...
Jarang orang menemui manusia
semacam paderi Jayeng Rana ini, karena
kebanyakan manusia pada kenyataannya
adalah menitik beratkan pada kepentingan

pribadinya saja, tanpa mau mengetahui
keadaan orang lain. Apakah susah...?
Apakah perlu dibantu...? Apakah perlu
ditolong...? Dan lain sebagainya. Padahal
bagi orang yang mengerti apa arti dan
maknanya kehidupan; pasti menyadari
betapa Tuhan menciptakan manusia ini tak
lain dan tak bukan adalah untuk dapat
hidup saling berkasih sayang dengan
sesamanya, dan hidup saling tolong
menolong. Demikianlah... berpuluh tahun
paderi Jayeng Rana bermukim di biara
Welas Asih, di Lereng  Gunung Wilis, ia
memang membawa tiga orang murid, yang
telah mewarisi ilmu kepandaiannya.
Sejak ia kembali ke Nepal 9 tahun
yang lalu, biara Welas Asih diserahkan
pada ketiga orang muridnya. Yang telah
dapat dipercaya untuk meneruskan cita-
citanya yaitu beramal bakti pada masya-
rakat, disamping harus bekerja keras
untuk hidup. Karena manusia yang baik
ialah, yang hidup tanpa harus mengandal-
kan belas kasih orang  lain, Atau
mengharap-harap hujan emas yang jatuh
dari langit.
Tuhan takkan merobah nasib setiap
manusia, kalau tidak manusia itu sendiri
yang merobahnya... Demikian ia selalu
camkan pada murid-muridnya. Demikian juga
dengan akhlak dan budi pekerti manusia...
apakah Tuhan akan merobah watak manusia

yang sesat sekonyong-konyong menjadi
orang baik yang berakhlak mulia? Tidak!
Karena watak jahat akan tetap saja jahat,
tak akan berubah menjadi baik apa bila
tidak manusia itu sendiri yang berusaha
merobahnya.
Juga watak yang baik, tentu saja
tidak akan selamanya baik. Kalau manusia
itu tidak terus memupuknya; ibarat kita
memelihara tanaman... kalau tidak dirawat
dan disirami setiap hari akan layulah
tanaman itu.
Bermacam nasihat telah ditanamkan
di hati ketiga paderi muridnya itu oleh
paderi Jayeng Rana si pendiri biara Welas
Asih.
Ternyata kembalinya ke Nepal adalah
untuk memperdalam ilmu ketabibannya di
sana. Dalam waktu beberapa tahun ia
berhasil menambah ilmu kepandaiannya
dalam hal ilmu pengobatan itu, yang
memang sudah menjadi cita-citanya.
Hingga paderi Jayeng Rana berhasil
membuat sebuah kitab, yang berisikan
ilmu-ilmu tersebut. Tentu saja dibuatnya
kitab itu adalah untuk dapat diamalkan
dan dipelajari kelak oleh ketiga orang
murid-muridnya. Demikianlah setelah
selang beberapa tahun kemudian, paderi
Jayeng Raya berangkat kembali ke pulau
Kelapa dengan membawa kitab yang telah
diciptakannya itu... Namun karena satu

dan lain hal ia terpaksa tidak bisa
langsung ke gunung Wilis. Perjalanan jauh
yang ditempuhnya itu amatlah melelah-
kannya.
Dan ia memang tidak berniat lagi
tinggal di pulau Kelapa itu, karena ingin
menghabiskan sisa umur menjelang hari
tuannya itu di tanah kelahirannya.
Ia menitipkan Kitab Pusaka itu pada
seorang bekas pembantunya yang setia di
pesisir pantai Pulau Kelapa (Pulau Jawa).
Pembantu yang setia itu tak lain
dari seorang laki-laki berkebangsaan
India. Dialah yang bernama Gurnam Singh.
Yang sejak kedatangannya dari Nepal
sampai ke Pulau Kelapa dan mendirikan
biara Welas Asih, selalu turut ber-
samanya.
Gurnam Singh menikah dengan seorang
gadis dari lereng Gunung Merapi. Dan
menetap di pesisir pantai Pulau Kelapa.
Setelah menitipkan Kitab Pusaka
tersebut untuk diberikan pada ketiga
muridnya di biara Welas Asih... Paderi
Jayeng Rana kembali ke Nepal.
Niat yang baik itu ternyata banyak
sekali rintangannya; karena kitab yang
sedianya akan segera diantarkan itu telah
dicuri oleh seorang sahabat Gurnam Singh.
Tentu saja betapa kecewanya sang pembantu
yang setia itu...
Berbulan-bulan ia mencari, dan

mencari... ke mana perginya sahabat licik
yang pandai berpura-pura itu. Yang
bersifat bagaikan musang yang berbulu
ayam. Tak dapat dibayangkan betapa
masygulnya hati Gurnam Singh. Hilangnya
Kitab Pusaka itu adalah tanggung jawabnya
untuk dapat menemukannya kembali. Sahabat
Gurnam Singh itulah yang bernama Tonga.
Tonga memang seorang yang berwatak licik.
Bila orang melihat perawakannya tentu
akan timbul rasa iba. Wajah yang memelas,
serta tubuh kecil yang kurus dan bentuk
muka yang lancip... Rasanya akan sulitlah
orang untuk menebak atau menyangka Tonga
orang bejat. Karena penampilannya
bagaikan seorang yang berakhlak amat
baik. Inilah salah satu dari keanehan
manusia di dunia.
Tonga telah membawa kitab itu pada
Gurunya, yang juga berakhlak sama
bejatnya dengan muridnya. Sang Guru
ternyata orang dari Nepal juga. Yang
berilmu tinggi namun sesat. Kitab curian
itu ternyata tidaklah menarik
perhatiannya. Bahkan telah timbul suatu
ilham bejat setelah membaca isi Kitab
yang menerangkan tentang ilmu-ilmu
ketabiban itu... Dengan ilham yang
didapat dari Kitab Pusaka itu ia telah
berhasil menciptakan suatu ilmu sesat
yang hebat. Yang bila dipelajari dan
dikuasai orang... maka akan rusaklah

akhlak orang itu, walaupun ilmu
kedigjayaannya tinggi.
Ilmu-ilmu sesat hasil gubahannya
dari Kitab Pusaka ilmu ketabiban itu
telah dituangkannya dalam sebuah kitab
ciptaannya.
Sang Guru si laki-laki bernama
Tonga itu benar-benar merasa puas telah
berhasil menciptakan sebuah kitab yang
luar biasa sesatnya itu.
Bahkan saking gilanya, kulit luar
dari kitab itu dibuat serupa dengan kitab
ilmu ketabiban tersebut. Yaitu terbuat
dari kulit ular.
Sayang... manusia berakhlak rendah
itu tak menyadari bahwa hakekatnya umur
manusia Tuhanlah yang menentukan. Manusia
boleh sakti tapi janganlah lari dari
kenyataan... Karena sesakti-saktinya
manusia sakti di dunia ini yang
kesemuanya pun akhirnya MATI! Karena
hakekatnya manusia hidup itu adalah untuk
mati!
Itulah sebabnya bagi orang yang
memahami akan arti hidup; ia akan
berusaha sebaik-baiknya mencari bekal
orang yang memahami akan arti hidup; ia
akan berusaha sebaik-baiknya mencari
bekal untuk mati. Karena setelah
kematian, akan ada lagi kehidupan yang
lebih sempurna dan kekal untuk selama-
lamanya. Yaitu kehidupan Akhirat.

Sayang sang Guru si laki-laki
bernama Tonga itu meninggal dunia sebelum
sempat bertobat dan menanam amal dalam
kehidupannya.
Kini Tonga yang menguasai kedua
Kitab Ular itu.
Kematian Gurunya dianggap wajar
saja. Dan ia berniat untuk mempelajari
kedua kitab itu.
Ia tidaklah seperti gurunya yang
fanatik. Karena ia berpendapat lebih
banyak ilmu adalah lebih baik. Tanpa mau
tahu apakah ilmu itu sesat atau ilmu yang
bermanfaat.
Sayang... belum lagi ia sempat
mempelajari, telah muncul Gurnam Singh
yang telah mencarinya sekian lama itu
akhirnya dapat mengetahui jejak tempat
persembunyiannya. Dan merampas kembali
kitab yang telah dicurinya. Bahkan kedua
Kitab Ular itu berhasil dibawa kabur.
Tentu saja Tonga dapat mengetahui
ke mana Gurnam Singh membawanya... yang
tentu saja ke biara Welas Asih di lereng
gunung Wilis ...
Dugaan Tonga tidak salah. Gurnam
Singh si pembantu paderi Jayeng Rana yang
setia itu memang membawanya ke kuil atau
biara Welas Asih.
Di sana ia berikan kedua kitab itu
yang ia tak tahu mana yang asli pada si
ketiga paderi dan juga menceritakan

kejadian yang dialaminya, hingga ia
terlambat memberikan Kitab Pusaka titipan
paderi Jayeng Rana guru mereka.
Setelah meneliti kedua kitab itu
segera mereka dapat mengetahui mana yang
asli... Namun alangkah terkejutnya ia
ketika mengetahui kitab  yang satu lagi
adalah kitab yang berisikan ilmu-ilmu
kedigjayaan yang sesat, dan amat jahat.
Mereka segera kembalikan pada
Gurnam Singh, namun ditolaknya... dan
mengatakan agar kitab itu sementara
dititipkannya di biara tersebut. Lalu
iapun kembali ke pesisir pantai pulau
Kelapa.
Tonga menyusul ke biara Welas
Asih... Dan dengan segala macam akal, ia
berhasil tinggal di biara itu sebagai
seorang pembantu atau jongos.
Tentu saja ia berpura-pura dirinya
adalah seorang yang berakhlak baik.
Padahal diam-diam ia berniat mencuri lagi
kitabnya yang segera dapat diketahui
berada di ruangan tempat kitab.
Tak disangka telah terjadi
peristiwa... yaitu munculnya tiga orang
yang berkepandaian tinggi yang mau
merebut kitab pusaka paderi Jayeng Rana,
yang disangkanya adalah kitab ilmu
kedigjayaan yang amat tinggi.
Ternyata khabar Gurnam Singh
mencari seorang pencuri kitab telah

tersiar ke setiap tempat... Dan ketiga
penjahat itu mencium jejak Gurnam Singh,
yang telah berhasil menemukan kitab
titipan paderi Jayeng Rana itu kembali.
Ketiga penjahat tak dikenal itu
merusak biara dan mengobrak-abriknya,
karena sudah tentu mereka tak dapat
memberikan kitab warisan guru mereka...
Pertarungan terjadi. Namun ketiga
Paderi tak ada daya untuk dapat menang
dalam pertarungan itu... Ketiganya
terjungkal mandi darah.
Tonga yang cari kesempatan baik
dalam kekeruhan itu, berhasil masuk ke
ruangan kitab... Namun ia harus sembunyi
di belakang lemari mengetahui ketiga
penjahat itu memasuki ruangan.
Ketika keadaan sudah sepi, Kitab
Ular yang tengah diincarnya itu telah
lenyap. Dengan segala daya upaya, Tonga
akhirnya dapat mengetahui di mana adanya
si ketiga penjahat itu, yang telah
mencukur gundul kepalanya...
Mereka adalah Kuti, Kebo Ireng dan
Lembu Alas. Ternyata Kuti pun orang
Nepal, yang sudah lama berdiam di tanah
Jawa ini... Ketika mengetahui ketiga
paderi palsu itu ada berhubungan dengan
Bupati Daeng Panuluh di daerah Karang
Sembung; dengan modal wajahnya yang
memelaskan hati, ia berhasil mendekati
Bupati Daeng Panuluh untuk dapat bekerja

di Gedung kuno tempat kediaman si tiga
paderi Gunung Wilis yang palsu itu.
Permohonannya dikabulkan. Dan ia
pun berhasil menjadi jongos di sana.
Demikianlah hingga akhirnya ia
berhasil lagi merebut Kitab Ular yang
berisikan ilmu-ilmu sesat dari Gurunya
itu, dari tangan Roro Centil...
Rusaknya biara "Welas Asih" membuat
terkejut paderi Jayeng Rana, yang tidak
disangka-sangka muncul lagi di Lereng
Gunung Wilis bersama Gurnam Singh. Betapa
trenyuh hatinya menyaksikan keadaan yang
menyedihkan itu.
Dijumpainya cuma tinggal seorang
muridnya yang masih tersisa... Itupun
dalam keadaan cacat jasmani akibat dari
ketelengasan dari si ketiga penjahat,
yang juga diketahui salah seorangnya
berasal dari Nepal.
Sudah beberapa hari ia berada di
biara itu lagi. Datangnya seorang tetamu
yang tak diundang, telah membuat paderi
yang sudah lanjut usia ini telah
menitahkan Gurnam Singh untuk membawa
sepucuk surat undangan, untuk diberikan
pada seorang Pendekar Wanita agar segera
datang ke biara Welas Asih, di lereng
gunung Wilis...
Sementara yang ditunggu-tunggu
masih dalam perjalanan... Dialah Pendekar
Wanita Pantai Selatan... alias Roro

Centil.
Tujuh buah sungai dan dua buah
Gunung telah ia lewati. Yang satu adalah
gunung Merapi yang di sebelah utaranya
terdapat juga sebuah gunung  yang tidak
terlalu jauh yaitu Gunung Merbabu, sedang
yang kedua adalah Gunung Lawu.
Ternyata tanpa memakai kuda
perjalanan Roro lebih cepat beberapa kali
lipat. Karena dengan ilmu lari yang
mengandalkan tenaga dalam yang tinggi itu
lebih mudah ketimbang naik kuda, yang
harus mencari jalan lebih dulu, karena
sukarnya perjalanan yang harus ditempuh.
Kedua puncak Gunung Wilis dan
Gunung Liman telah kelihatan.
Hati Roro Centil berdebar girang...
Segera ia enjot tubuh untuk segera tiba
di sana. "Gunung Wilis adalah yang berada
di sebelah selatan Gunung Liman. Aku akan
segera tiba di sana sebelum tengah
hari...!" Guman Roro dengan suara
mendesis dari bibirnya. Sementara uap
putih tampak keluar dari hidung dan mulut
si Pendekar Wanita ini. Hawa memang
teramat dingin. Apa lagi dengan
mempergunakan ilmu lari cepat itu Roro
telah pergunakan sepenuh tenaganya.
Lewat tengah hari ia telah tiba di
lereng Gunung Wilis. Roro kendurkan
larinya untuk mengatur napas. Perjalanan
sejauh ini baru pertama kali ia alami

entah mungkin saat-saat dimuka mungkin
akan lebih jauh lagi... Pikir Roro
Centil, yang segera hentikan larinya
ketika ia telah menemukan sebuah desa.
Ternyata tidaklah sukar untuk menanyakan
di mana adanya biara "Welas Asih", karena
hampir semua penduduk desa itu menge-
tahuinya.
Alangkah girang hatinya setelah
mendaki agak lebih ke atas lagi, ia telah
melihat ada sebuah bangunan yang bentuk
dan potongannya lain dari pada yang lain.
Itukah biara Welas Asih...?. Desis Roro
dalam hati. Baru saja ia menginjakkan
kakinya di  halaman biara, ia sudah
terkejut mendengar satu suara yang
bernada lemah, namun terdengar jelas di
telinganya. 
"Omitohud...! Ah... Selamat datang
di biara kami yang rusak nona pendekar
Pantai Selatan...! Selamat datang di
lereng Gunung Wilis! Ternyata Tuhan
meramahmati kedatangan anda dengan
selamat...!" 
Segera Roro gerakkan tubuhnya
melesat ke arah pintu biara yang lebar
dengan temboknya yang banyak terdapat
ukiran-ukiran.
Dan terlihatlah seorang kakek ber-
jubah putih. Kepalanya licin plontos
dengan kumis yang terjuntai hampir
menyatu dengan jenggotnya yang putih,

yang panjangnya sebatas dada. Roro segera
balas penghormatan orang, sementara
matanya yang tajam dapat segera melihat
adanya dua orang paderi yang tengah
berduduk di lantai di atas sehelai tikar
permadani ...
Segera ia sudah berkata; "Andakah
yang bernama Paderi Jayeng Rana... Ketua
biara Welas Asih ini...?" Kakek berjubah
putih yang berkepala licin plontos itu
kembali menjura sambil menyahuti;
"Omitohud...! Benar nona Pendekar...
silahkan masuk...!" Sambil berkata
demikian ia telah membuka pintu biara
lebar-lebar.
Roro langkahkan kaki untuk
bertindak masuk... dan duduk di atas
tikar permadani. Di hadapannya adalah dua
orang paderi yang usianya di bawah paderi
Jayeng Rana. Bahkan tampak jauh lebih
muda lagi dibanding keadaan paderi ketua
biara itu. Keduanya terlihat menjura, dan
Roro segera balas dengan anggukkan
kepala. Namun sekilas Roro sudah
perhatikan keadaan orang...
Yang seolah adalah paderi yang
cacad jasmani, bahkan bekas luka masih
tampak belum sembuh benar pada bagian
leher yang menggurat panjang. Sementara
matanya tertutup oleh sehelai kain
pembalut berwarna putih bernoda darah
yang sudah mengering. Sedang sebelah

lengannya putus sebatas siku. Tubuhnya
berperawakan kekar.
Berbeda jauh dengan paderi di
sebelahnya yang kecil kurus dengan muka
yang lancip, dan tulang pelipis menonjol.
Kepalanya licin plontos sekali seperti
baru habis dicukur. Pelupuk matanya
separuh tertutup, seperti agak enggan
memandang wajah tetamunya. Terkejut juga
Roro, ia seperti pernah melihat wajah
itu. Sementara itu paderi Jayeng Rana
tampak terus masuk ke dalam setelah
mempersilahkan tetamunya untuk duduk. Dan
tak lama kemudian telah keluar lagi
sambil membawa sesuatu yang terbungkus
kain.
Apa yang akan dilakukan paderi
ini...? Pikir Roro. Sementara ia sudah
kembali meneliti wajah si paderi kurus
itu. Roro jadi terkesiap bukan main
ketika akhirnya ia mengenali siapa paderi
kurus itu. "Pencuri keparat! Kiranya kau
sembunyi di sini?" Teriak Roro dalam
hati. Karena ia segera mengetahui paderi
itu adalah si jongos tua Tonga yang telah
mencuri kitab dalam buntalannya berikut
kotak perhiasannya. Akan tetapi ia segera
tahan diri ketika paderi Jayeng Rana buka
suara; "Nona Pendekar Pantai Selatan...
harap anda maafkan aku yang telah jauh-
jauh mengundang anda datang ke biaraku
ini. Tak lain dan tak bukan adalah

untuk..." Paderi Jayeng Rana tak
meneruskan kata-katanya karena segera
buka buntalan di hadapannya. Terkejutlah
Roro melihat isi buntalan kain itu tak
lain adalah sebuah kitab yang bersampul
dengan kulit Ular berikut sebuah kotak
kecil terbuat dari perak. Itulah kitab
yang dicuri oleh si jongos tua Tonga juga
termasuk benda miliknya itu. Ketika ia
pandang paderi kurus itu ternyata paderi
itu makin menundukkan mukanya dalam-
dalam. Paderi Jayeng Rana tahu keadaan
orang. Segera cepat-cepat ia perkenalkan
paderi kurus itu pada Roro; "Oh, ya ...
ini adalah seorang paderi baru di sini,
mungkin nona Pendekar telah
mengetahuinya. Namun kumohon sudilah nona
Pendekar mendengar penuturanku...!"
Terpaksa Roro Centil manggut-
manggut sambil kerutkan alis tak
mengerti. Paderi Jayeng Rana segera
menuturkan bahwa tujuannya mengundang
Roro Centil datang, tak lain adalah untuk
mengambil kembali benda miliknya, yang
telah dicuri oleh paderi baru bernama
Tonga itu.
Dituturkannya bahwa beberapa hari
yang lalu, ketika ia baru saja mengasoh
sejak tiba dari Nepal, telah kedatangan
tamu. Yaitu seorang laki-laki yang datang
sambil bercucuran air mata. Ia telah
mengaku terus terang akan segala dosanya.

Dan ingin bertobat untuk kembali ke jalan
yang benar.
Lalu dituturkannya semua riwayat
asal kejadian tentang musibah yang telah
menimpa biara "Welas Asih". Hingga sampai
akhirnya diungkapkan tentang tiga orang
paderi palsu yang telah mengaku dari
gunung  Wilis yang telah membawa lari
Kitab Ular.
Yang sebenarnya paderi-paderi itu
adalah penjahat-penjahat terkutuk, yang
telah merusak kewibawaan biara Welas Asih
yang telah puluhan tahun dibinanya. Kitab
Ular yang dirampas ketiga penjahat itu
adalah kitab Ular yang palsu. Yang berisi
ilmu-ilmu sesat, ciptaan seorang tokoh
jahat yang bergelar si Setan Arak.
Paderi Jayeng Rana telah lama
mengenal  tokoh  asal Nepal itu, yang
menjadi guru si paderi baru Tonga.
Beruntunglah Tonga dapat sadar dan cepat-
cepat datang ke biara Welas Asih untuk
memberikan kitab ini, berikut sekalian
mengembalikan kotak perhiasan milik si
Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Tujuannya paderi Jayeng Rana adalah
memohon bantuan akan keselamatan biaranya
juga keselamatan si paderi Tonga dari
kejaran orang-orang yang telah mengetahui
ia mewarisi kitab sesat itu dari si Setan
Arak gurunya.
"Nah, oleh sebab itu aku mengundang

anda untuk datang kemari..." Demikian
keterangan paderi Jayeng Rana. Dan
sambungnya lagi; "Inilah kotak perhiasan
milik anda, terimalah...!". Roro segera
menerima benda itu, dan periksa isinya.
Ternyata tak ada yang kurang.
Segera ia masukkan benda itu ke dalam
buntalannya, seraya berkata; "Terimakasih
kakek Paderi Jayeng Rana...!" Dan iapun
palingkan kepala menatap paderi Tonga,
lalu palingkan lagi wajahnya menatap
Paderi Jayeng Rana. "Hm, apakah anda
percaya penuh bahwa dia benar-benar akan
bertobat... ?" Berkata Roro dengan wajah
sinis.
Terlihat air muka Tonga dijalari
rona merah. Belum sempat si ketua kuil
biara Welas Asih menjawab, paderi baru
itu telah mendahului biara . "Jika aku
berdusta biarlah aku tak diberi hidup
lagi...!" Katanya tegas.
Namun Roro cuma perdengarkan suara
di hidung. "Heh! Kebanyakan orang baru
sadar setelah dirinya kepepet. Dan di
saat sudah longgar biasanya lalu berbalik
melawan arus seperti Klambang! Apakah di
balik dinding bisa diketahui ada
cecaknya, kalau tak ada bunyi...!".
Sengaja Roro ingin tahu isi hati orang
sebenarnya.
Wajah Tonga kian memerah... tapi
pada saat itu paderi Jayeng Rana telah

berkata "Sudahlah hanya Tuhan yang tahu
apa yang ada di dalam dada... Paderi baru
Tonga telah membawa kitab pusaka warisan
gurunya ini adalah untuk dimusnahkan di
hadapanku juga di hadapan nona pendekar.
Maka sudilah nona Pendekar menjadi saksi
akan kebenaran dan ketulusan hati paderi
Tonga untuk benar-benar bertobat. Karena
dengan musnahnya kitab Ular yang sesat
ini, maka akan tertolonglah bahaya pada
masyarakat khususnya dan pada umat
manusia umumnya...!"
"Kalau untuk menjadi saksi saja sih
aku tak keberatan...!" Berkata Roro
Centil. "Omitohud...! Terimakasih...!
Terimakasih...!" Wajah paderi Jayeng Rana
menampilkan kegembiraan; ia sudah segera
mau menyuruh paderi baru Tonga untuk
segera  memusnahkan  kitab yang berada di
hadapannya.
Namun sekonyong-konyong ia teringat
pada Gurnam Singh yang belum menampakkan
batang hidungnya.
Ia segera berkata; "Maaf, mungkin
upacara peleburan Kitab Ular yang sesat
ini harus ditunda dulu, karena menunggu
seorang pembantuku Gurnam Singh yang
belum datang".
"Apakah dia yang mengirim undangan
padaku...?" Bertanya Roro Centil.
"Benar!" menyahut paderi Jayeng
Rana. "Apakah anda tak memakai kuda

tunggangan?" ia balik bertanya. Roro
tersenyum dan menjawab; "Aku memang ada
disediakan kuda, tapi kudanya telah
kuhadiahkan pada sahabatku yang baru
melangsungkan pernikahannya...!". 
"Oooh...!?" Terdengar suara paderi
Jayeng Rana. Keningnya tampak dikerutkan
dan kemudian terlihat ia manggut-manggut
sambil mengelus jenggotnya.
"Apakah anda mendapat petunjuk
jalan...? Tiba-tiba paderi Jayeng Rana
bertanya lagi. "Cuma di sebuah desa...
seseorang telah memberitahukan arah ke
lereng gunung Wilis ini! Eh, ya apakah
orang, yang memberi petunjuk itu adalah
Gurnam Singh...?" Roro berbalik tanya
lagi pada paderi itu.
"Benar, tidak salah...! Dia adalah
seorang pembantuku yang paling setia dan
bertanggung jawab!" Menyahut paderi
Jayeng Rana.
Sekonyong-konyong Roro Centil
teringat akan Gurunya (si Manusia Aneh
Pantai Selatan) yang pernah menceritakan
bahwa ia telah terkena pukulan beracun
oleh ketiga paderi gunung Wilis. Segera
ia menanyakan tentang itu, juga apa
persoalannya. "Omi tohud...! Itu bukan
pukulan! Apakah sampai sekarang guru nona
masih menderita keracunan? Di manakah dia
adanya...?"
Roro Centil segera tuturkan keadaan

Gurunya, dengan panjang lebar.
Terkejutlah paderi Jayeng Rana,
mendengar si Manusia Aneh itu telah
menjadi seorang tuna rungu dan menutup
diri di Pantai Selatan.
Segera ia ceritakan persoalannya.
Bahwa kira-kira dua belas tahun yang
silam telah datang seseorang dari Pantai
Selatan. Memang susah menerka orang
itu... dikatakan laki-laki bukan, perem-
puan pun bukan. Kedatangannya adalah
untuk meminta tolong  mengobati
penyakitnya, yaitu ia mengalami keracunan
hebat, akibat telah salah makan ramuan
dari bermacam rumput, yang ternyata
mengandung racun.
Kisah yang dituturkan paderi Jayeng
Rana itu adalah kisah dari ketiga orang
paderi muridnya, yang telah menceritakan
padanya.
Sementara si paderi berlengan
buntung itu manggut-manggut mendengarkan
kisah yang akan diceritakan itu. Si
ketiga paderi dengan suka rela telah
menolong mengobatinya dengan segala
usaha. Ternyata racun amat ganas, yang
rasanya sulit untuk dibrantas dalam waktu
cepat. Menurut pengamatan si ketiga
paderi muridnya, racun itu akan cepat
bisa terberantas seandainya ia disamping
mengobati racun juga mengobati jiwanya.
Maksudnya mengobati jiwanya  adalah

menyadari akan takdir yang telah
dialaminya sebagai manusia yang tidak
normal. Karena ia telah membeberkan isi
hatinya pada ketiga paderi tentang
keinginannya yang menggebu-gebu untuk
menjadi  seorang wanita tulen. Hal itu
telah merasak jiwanya.  Sehingga racun
merembes ke hati ... Tidak dinyana kata-
kata si ketiga paderi telah "Memukul"
perasaannya. Karena rasa cintanya yang
telah berurat berakar  pada si Dewa
Tengkorak, tak dapat dihilangkan begitu
saja. Bahkan semakin ia berusaha untuk
menghilangkannya, semakin menggebu-gebu
menyerang dirinya. Sehingga ambisinya
untuk menjadi seorang wanita tulen telah
membuat ia mempergunakan cara-cara aneh.
Pernah suatu kali ia datang lagi ke
biara  Welas Asih dengan memperlihatkan
bentuk tubuh kewanitaannya.
Hal itu membuat si tiga paderi
berucap bahwa perbuatan semacam itu
justru akan lebih mempercepat kema-
tiannya. 
Itulah satu "Pukulan" hebat yang
telah mengena di jiwa si manusia aneh
Pantai Selatan, yang telah menganggapnya
sebagai satu "pukulan beracun". Demikian-
lah, paderi Jayeng Rana mengutarakan
kisah yang diceritakan muridnya beberapa
tahun yang silam. Di mana belum terjadi
musibah yang menyedihkan ini, dan ketiga

paderi Gunung Wilis masih komplit.
Kini ketiga paderi gunung Wilis
sudah hancur... cuma tinggal seorang pun
sudah cacad, akibat perbuatan penjahat-
penjahat keji yang merusak biara, merusak
penghuninya, juga merusak nama baiknya.
Roro  Centil manggut-manggut me-
ngerti  dan terdengar ia  menghela napas
lega. Lega karena teka-teki kata-kata
Gurunya telah terpecahkan.
"Pantas Guru telah pesan wanti-
wanti padaku agar aku tak membalaskan
dendam pada ke Tiga Paderi Gunung Wilis,
yang telah mencelakainya dengan pukulan
beracun. Ternyata pukulan  beracun itu
adalah "Pukulan" kata-kata, yang telah
mengena pada jiwanya dan telah melukai
perasaannya". Menggumam Roro dalam hati.
Dapat dimakluminya bahwa sang Guru
sampai setua itu usianya masih saja
tergila-gila pada si Dewa Tengkorak. Dan
di saat orang yang dicintainya itu tewas
di depan matanya, barulah reda api asmara
yang menggebu-gebu dalam dadanya.
"Oh... Guruku yang malang..." Desis
hatinya dengan haru.
Tiba-tiba Roro menatap wajah paderi
Jayeng Rana dan berkata; "Terima kasih
atas penuturan itu kakek paderi Jayeng
Rana. Baru aku mengerti akan arti makna
kata-kata Guruku...". Roro berhenti
berkata sebentar untuk melirik si paderi

Tonga. Dan lanjutnya kata-katanya. "Soal
itu sudah kuanggap selesai, tinggal kini
kita kembali kepada soal peleburan kitab
Ular ini. Rasanya bisa dilaksanakan
sekarang saja, tanpa harus menunggu
kedatangan Gurnam Singh, yang mungkin
akan terlambat datang... dapat dimaklumi
karena dalam perjalanan yang jauh
tidaklah mungkin terhindar dari adanya
rintangan di tengah jalan. Sehingga
membuat ia terlambat datang... Dan bukan-
kah paderi Tonga hanya ingin agar aku
dapat menyaksikan... ?" Tampak paderi
Tonga manggut-manggut dengan wajah
berseri.
Sedang paderi cacad di sebelahnya
tak memberi reaksi apa-apa selain
menundukkan kepala. Lain halnya dengan
paderi Jayeng Rana, yang mengelus-elus
jenggotnya sambil berkata; "Omi tohud...!
Aku yang tua dan tak berpengalaman hanya
menuruti saja apa yang dirasa baik bagi
nona Pendekar. Walau anda berusia muda
sungguh aku menghargai usul itu...!"
"Terimakasih kakek paderi Jayeng
Rana, namun..." Roro sudah berkata lagi.
Dan setelah berhenti sebentar untuk
menatap Kitab Ular, ia teruskan kata-
katanya; "Alangkah baiknya kalau aku
melihatnya terlebih dulu sebelum
dimusnahkan...!". Sayang aku tak mengenal
huruf-huruf yang seperti cakar ayam

itu... dan sayang kitab yang berkulit
sebagus itu ternyata isinya adalah amat
sesat...!" Kata Roro lanjutkan ucapannya.
Paderi Jayeng Rana tak menjawab
melainkan menatap paderi Tonga yang sudah
lantas mengangguk dan ucapnya; "Aku yang
memiliki kitab itu, tentu saja aku yang
memberi izin... Silahkanlah periksa kitab
itu. Atau aku yang hina ini akan sangat
berterimakasih kalau nona Pendekar yang
memusnahkannya...!"
Kata-kata paderi Tonga terdengar
tandas dan amat terasa  akan keikhlasan-
nya. Paderi Jayeng Rana manggut-manggut
mendengarnya, dan terdengar kata-katanya
yang lirih; "Omitohud....! Sungguh
keikhlasan hati itu adalah mutiara dalam
kehidupan manusia... ". Setelah ucapan
kata-katanya paderi Jayeng Rana segera
berikan Kitab Ular pada Pendekar Wanita
Pantai Selatan.
Roro balik-balik dan buka lembaran-
lembaran kitab yang tak tahu apa isi dan
arti tulisannya. Selang sesaat ia
berkata; "Hmm... baiklah kalau aku yang
diberi izin untuk memusnahkannya...".
Dan begitu selesai kata-katanya,
tiba-tiba kedua telapak tangannya
bergerak meremas Kitab Ular, yang sekejap
saja terdengar suara Krrrssssss!
Dan di lain kejap Kitab Ular itu
telah hancur jadi serpihan kecil-kecil

yang meluruk jatuh dari tangannya.
Terdengar paderi Tonga menghela napas,
seperti merasa lega, dengan lenyapnya
kitab sesat warisan dari Gurunya si Setan
Arak. 
Akan tetapi pada saat itu juga
terdengar suara bergedubrakan di bagian
belakang gedung kuil. Semua yang berada
di dalam ruangan jadi terkejut.
Roro Centil sudah sangkutkan
kembali buntalannya dan ikatkan di
punggung. Segera berdiri pasang indranya.
Diikuti paderi Jayeng Rana dan paderi
Tonga. Cuma paderi cacad yang kedua
matanya terbalut kain itu masih tetap
duduk, walau ia kelihatan gelisah karena
tak dapat mengetahui apa yang terjadi.
Dalam keadaan mereka tengah terkesima
itu, paderi Tonga mendahului melompat ke
arah suara yang bergedubrakkan di
belakang Gedung ...
Namun saat paderi Jayeng Rana dan
Roro Centil segera akan bergerak juga ke
sana, tiba-tiba  terdengar satu ledakkan
keras di ruangan itu, hampir bersamaan
dengan satu teriakan keras yang
memperingati, namun terlambat sudah...
Ruangan biara itu telah ambrol dengan
suara yang bergemuruh. Puing-puing
beterbangan disertai runtuhnya tembok dan
atap ruangan yang meluruk ambruk ke
bawah...

Pada saat itu terlihat tubuh
seorang laki-laki di luar Biara berdiri
dengan kedua lututnya, menatap ke arah
ruangan depan biara yang baru saja
hancur, dengan mata terbelalak dan tubuh
gemetar mandi darah. Ternyata dialah
Gurnam Singh adanya.
"Keparraaat! Jangan lari kau iblis
keji..." Tiba-tiba terdengar ia berteriak
keras ketika melihat sesosok tubuh
berkelebat dari samping tembok rerun-
tuhan. Dan tubuhnya dengan sempoyongan
mengejar sosok tubuh itu.
"Perempuan iblis busuk...! Pengecut
jahanam, berhenti kau...!" Teriak Gurnam
Singh. Kira-kira sejauh dua lemparan
tombak sosok tubuh berpakaian serba hitam
itu tiba-tiba menghentikan larinya.
Gurnam Singh sudah lantas enjot tubuh dan
tiba di hadapannya...
Si wanita berpakaian serba hitam
itu ternyata adalah, wanita yang beberapa
hari di belakang berada di Makam Tua
bersama suaminya si bangsawan yang
berpenyakit gagap itu. Ia telah
perdengarkan suara tertawanya yang merdu.
Tatapan matanya yang genit memandang pada
Gurnam Singh.
"Sudahlah... mengapa kau masih juga
mengejarku...? Segalanya sudah terlambat.
Mereka semua sudah pada mampus... kukira
tak ada lagi persoalan. Kitab Ular

musnah, berikut semua orang-orang yang
berada di dalam gedung itu. Tapi "Peta
Rahasia" Harta karun si Setan Arak ada
bersamaku...! Hi hi hi... Aku amat
memimpikan punya seorang suami berkebang-
saan India, yang khabarnya... Hi hi hi...
hi hi... " Wanita yang boleh dikatakan
sudah hampir menjelang usia tua itu tidak
meneruskan kata-katanya, karena telah
tertawa geli mengikik sambil menutupi
mulutnya. 
Wajah Gurnam Singh bersemu merah.
Tiba-tiba ia sudah berteriak keras dan
menerjang dengan melancarkan pukulan dan
tendangan-tendangan, menjejak tubuh si
wanita baju hitam. Yang segera bekele-
batan menghindari. Plak! Ia menangkis
satu tendangan kilat yang mengarah leher,
dengan sepasang lengannya. Tampak tubuh
si wanita terhuyung dua tindak, sementara
dengan berjumpalitan di udara Gurnam
Singh kembali menjejakkan kakinya ke
tanah.
Ia sudah bersiap akan melancarkan
serangan lagi, tatkala si wanita angkat
sebelah tangannya dan berkata "Tunggu
dulu...! Harap kau berfikir dulu baik-
baik. Untuk membunuhmu bagiku adalah
tidak terlalu sukar. Tapi aku sangat
menyayangkan nyawamu kalau mati siang-
siang. Lebih baik kau bersatu padu
denganku. Peta harta karun si Setan Arak

ini kita selidiki bersama"... Katanya
sambil mengeluarkan selembar kulit yang
tipis dari balik bajunya. Dan segera
lanjutkan ucapannya; "Terus terang, aku
amat mendambakan pelukan dan belaian
tanganmu, Gurnam Singh... Kita akan
bahagia, kita akan kaya kelak dengan
harta yang tak akan habis sampai tujuh
turunan...!" Demikian kata-kata rayuan
yang terdengarnya amat muluk itu: Namun
dengan kata-kata yang serius penuh
harapan agar Gurnam Singh benar-benar
kepincut hatinya.
Namanya saja manusia... siapa yang
tak inginkan harta? Kalau wanita masih
bisa dicari dengan mudah tapi kalau
harta... sungguhlah amat sulit untuk
mencarinya. Tampak Gurham Singh laki-laki
kekar dan tegap asal India itu terdiam
sejenak. Walaupun  boleh dikata iapun
sudah hampir memasuki usia tua, namun
dari wajah dan perawakann tubuhnya masih  
boleh ditaksir oleh wanita-wanita pencari
suami. Karena di samping tampan wajahnya,
penampilannya pun tidak mengecewakan.
Hidungnya yang mancung, dengan
jambang bauknya yang selalu tercukur
bersih itu tampak menambah ganteng wajah-
nya. Apa lagi melihat bulu-bulu dada yang
tumbuh lebat yang terlihat dari celah
bajunya yang terbuka... ck ck ck... amat
menggairahkan bagi perawan-perawan tua

yang genit yang sudah  tujuh puluh kali
bulan purnama belum laku-laku...
Namun apakah jawaban Gurnam Singh?
"Iblis perempuan Bejat! Siapa sudi jadi
piaraanmu... ?! Aku tak inginkan harta
karun apa pun. Yang aku inginkan adalah
nyawa iblismu, jahanam! Kau telah bunuh
semua orang-orang yang aku hormati...!
Kuhancurkan kau...!!" Dan ia sudah
kembali menerjang dengan beringas.
Sambaran-sambaran kaki Gurnam Singh
menyambar deras menghujani tubuh si
wanita baju hitam yang agak repot juga
menangkis dan mengelakkannya.
Tampak terlihat betapa geramnya si
wanita telengas ini, terhadap laki-laki
yang telah membuyarkan impian dan hasrat
kewanitaannya.
Dari menangkis dan mengelak, kini
telah berubah untuk balas menyerang...
dengan bertubi-tubi. Hantaman tangan kiri
dan kanan si wanita itu tak dapat
dianggap main-main, karena mengandung
tenaga dalam hebat.
Angin pukulannya membersit mengarah
ulu hati dan kepala, disertai suara
desisan dari mulutnya bagaikan seekor
ular yang mau memagut mangsanya... Plak!
Plak! Terdengar suara beradunya tangan
dan kaki yang setiap beradu selalu
kepulkan uap hitam. Terkejutlah Gurnam
Singh... karena ia segera menyadari

dirinya dalam bahaya. Ia lihat telapak
tangan wanita itu telah berubah jadi
hitam. Ketika sebuah pukulan beruntun
dilancarkan ke arahnya, segera  menyambar
uap hitam. Terpaksa dengan berteriak
tertahan dan gulingkan tubuh ia
selamatkan diri tanpa berani menangkis.
"Heh! Segeralah kau menyusul mereka
ke alam baka...!" Teriak wanita itu, yang
segera memburu ke arah Gurnam Singh.
Hssssss ... ! Hussssss ! Terdengar suara
mendesis ke arahnya. Tampak kedua lengan
si wanita meluncur bagaikan ular sendok
mengarah leher disertai keluarnya uap
hitam yang keluar dari  telapak
tangannya. Terkesiap Gurnam Singh seke-
tika... Karena kedua kakinya yang telah
beberapa kali beradu dengan lengan wanita
itu telah keracunan dan menggeletar tak
bisa digerakkan. Ia sudah nekat untuk
menangkis serangan maut itu...
Akan tetapi pada saat itu juga
sebuah bayangan berkelebat, dan... Plakk!
terdengar satu jeritan panjang dari mulut
wanita itu. Tubuhnya terlempar beberapa
tombak dan jatuh ke tanah dengan suara
berdebuk.
Sementara sesosok bayangan telah
memburu berkelebat ke arah wanita itu,
dan sekejap kemudian sudah jejakkan kaki
di hadapan wanita itu lagi.
Tampak si wanita baju hitam

berusaha bangkit,... namun ketika baru
saja ia angkat kepalanya, sudah terdengar
suara.... "Bangunlah isteriku yang
setia!". Terkesiap seketika hati si
wanita itu mendengar suara dan melihat
orangnya... Ternyata di hadapannya telah
berdiri seorang laki-laki muda berpakaian
mewah.
Siapa lagi kalau bukan si laki-laki
bangsawan yang punya penyakit gagap itu,
alias suaminya sendiri. Entah bagaimana
asalnya sampai sang suami telah dapat
menyusulnya sampai ke gunung Wilis.
Terbeliak mata si wanita yang
kelopak matanya penuh dengan pulasan
berwarna biru tua itu. Dan terjungkit
alisnya yang hitam legam karena ditambahi
dengan langes pantat dandang... "Hah...!?
Kau... kau..." Teriak wanita itu seperti
tak percaya pada penglihatannya. 
Tiba-tiba si pemuda bangsawan yang
punya penyakit gagap itu jadi tertawa
terbahak-bahak... "Ha ha ha ha... ha
ha... ha ha ha... ".
Baru saja ia berhenti tertawa, eh
nambah lagi; "Ha ha ha... ha ha ha...
nana... ha ha". Dan "Ha ha ha... nana...
nana... ha ha ha... "
Tentu saja membuat si wanita
terheran-heran. Bahkan seribu heran
berada di benaknya... "Apakah yang
terjadi?" Menggumam si wanita istri si

laki-laki bangsawan itu. Baru saja ia mau
bangkit berdiri sebuah bayangan hijau
tiba-tiba berkelebat di hadapannya. Tahu-
tahu telah berdiri sesosok tubuh yang
padat gempal dan berpinggang langsing,
dengan buntalan kecil yang menggemblok di
punggungnya. Siapa lagi kalau bukan Roro
Centil adanya...
Sekali gerakkan tangan pada tubuh
laki-laki itu, segera saja suara terta-
wanya berhenti. Dan tubuhnya jatuh
menggelosor ke tanah.
Ternyata urat ketawanya telah
ditotok orang, hingga si laki-laki itu
tertawa tak henti-hentinya. Kalau dibiar-
kan terus bisa putus nyawanya.  
Saat itu si wanita baju hitam telah
bangkit berdiri. Dan sekali enjot tubuh
ia sudah bergerak untuk melarikan diri.
Namun pada saat itu Roro sudah
berkelebat menghadang. "Mau kabur ke mana
kau siluman licik...!" Teriak Roro.
Betapa gemasnya ia pada perempuan ini.
Kalau saja ia tak cepat menyelamatkan
diri, tentu tubuhnya telah hancur lumat
oleh ledakan dahsyat yang meruntuhkan
ruangan biara tadi.
Kiranya sebelum mendengar suara
bergedubrakkan di belakang gedung kuil,
Roro sudah waspada sejak jauh-jauh karena
indranya yang peka dapat menangkap adanya
suara ledakan yang jauh di bawah lereng.

Selang beberapa saat terdengar lebih
jelas suara orang berlari saling kejar.
Dan ketika terjadi suara bergedubrakan di
belakang  gudang, ia semakin waspada...
Pada saat itulah ia lihat Tonga beranjak
cepat untuk melihat ke belakang.
Sekelebat ia lihat sekilas adanya
bayangan yang berkelebat ke sebelah kanan
tembok, yang terlihat bayangannya dari
atas langit-langit ruangan. Tiba-tiba
dari lobang angin yang terdapat di sisi
tembok itu telah meluncur sebuah benda
yang mendesis mengeluarkan asap.
Terkesiap Roro melihat benda yang
jatuh menggelinding tepat di sebelah
paderi cacad itu, yang mengeluarkan asap
makin banyak. Sekelebat hatinya menduga
itu adalah asap racun. Tak sempat ia
berfikir lagi, bahkan untuk mengingat
paderi cacad itu pun tak sempat... Hanya
saja sekilas ia ingat akan bunyi ledakan
dikejauhan tadi yang didengarnya lapat-
lapat.
Nalurinya mengatakan akan terjadi
bahaya... Dan bersamaan dengan terjadinya
ledakan itu, ia telah melompat cepat dari
ruangan itu sambil lengannya menyambar
jubah paderi Jayeng Rana... Dan jatuh kan
diri bergulingan sambil peluk tubuh
paderi Jayeng Rana, hingga sampai ke
kolong meja di ruangan dapur.
Hebat akibat ledakan itu. Separuh

gedung biara itu telah hancur... Ambruk.
Sedangkan ruangan depan biara sudah tak
berbentuk lagi, karena tertutup oleh
reruntuhan puing-puing.... Dapat diba-
yangkan bagaimana nasib si paderi cacad
itu yang masih berada di ruangan depan
itu...?.
Selang sesaat... Roro lihat
bayangan tubuh orang dari arah ruangan
belakang yang terhalang oleh selarik
tembok memanjang. Segera ia beri isyarat
pada paderi Jayeng Rana agar jangan
bergerak.
Bersyukur Roro karena tempat mereka
menyelamatkan diri, terlindung di bawah
meja hingga tidaklah nampak oleh sosok
tubuh itu. Yang ternyata adalah paderi
Tonga. Kecurigaan Roro pada orang ini
makin besar, karena dengan langkah tenang
seperti tak pernah terjadi apa-apa ia
melangkah terus melewati ruangan dapur.
Dan di tengah ruangan yang sudah hancur
itu, ia berhenti menatap reruntuhan
tembok yang telah menguruk ruangan biara
bagian depan... yang tampak masih
mengepulkan debu. Terdengar suara mende-
sis dari mulutnya; "Heh! Mampuslah kalian
semuanya! Pekerjaan si Ular Beracun
berhasil dengan baik namun hampir saja
nyawaku ikut melayang... He he he... he
he... "
Belum habis suara tertawanya, tahu-

tahu tubuh si paderi Tonga sudah
terjungkal roboh, dengan keluarkan
teriakan parau yang cuma sesaat saja
dibarengi dengan muncratnya darah segar
merah putih.
Ternyata kepalanya telah hancur
bonyok, hingga sampai otaknya berhamburan
keluar. Kiranya saking kesalnya pada si
jongos licik itu, Roro Centil telah
rasakan kepalanya berdenyutan... entah
mengapa tiba-tiba di luar kesadarannya ia
telah berkelebat cepat dari kolong
meja... Dan sekali lengannya bergerak, ia
telah hantam batok kepala orang dengan
telapak tangannya sepenuh tenaga.
Tamatlah riwayat manusia licik yang
pandai berpura-pura itu.
Segera Roro lap tangannya, bersih-
kan darah di jubah Tonga yang matinya
menelungkup itu. Rasa penasaran membuat
ia merogohi jubah dalam si paderi bohong
itu setelah balikkan mayatnya. Ternyata
telah ditemukan lembaran-lembaran kulit
tipis, yang bertuliskan tak terbaca oleh
Roro. Saat itu paderi Jayeng Rana telah
menghampiri di belakangnya. Cepat Roro
berdiri dan pandang wajah paderi itu
seraya berkata; "Coba kakek paderi
periksa, apakah ini bukan lembaran-
lembaran isi Kitab Ular?"
Paderi Jayeng Rana raih lembaran-
lembaran kulit tipis itu dari tangan Roro

sesaat antaranya ia berucap dengan wajah
menampilkan kemarahan... "Omi tohud...!
Benar!... Heh!? Orang ini sungguh
licik...! Ia telah mengelabui kita dengan
menukar isi kitab itu terlebih dulu,
sedangkan isinya telah ia copot dan
selipkan pada jubahnya. Pembunuhan ini
telah ia rencanakan terlebih dulu dengan
orang yang berjulukan si Ular Beracun
itu...! Omiitohud...! Sungguh hati
manusia sukar diduga...!".
Bukan main geramnya hati Roro. Ia
raih kembali lembaran-lembaran kitab ular
ciptaan si Setan Arak itu, dan remas
hancur sampai jadi bubuk.
Kemudian dengan sekali berkelebat
ia telah keluar dari ruangan itu.
Akan halnya paderi Jayeng Rana pada
saat itu juga teringat akan seorang sisa
muridnya, yang tadi tak sempat
menyelamatkan diri... Seketika wajahnya
berubah pucat. Serta merta ia sudah
memburu ke arah tumpukan puing-puing
reruntuhan itu, dan membongkarnya...
Namun ia hanya dapatkan keadaan tubuh
sang murid yang telah hancur luluh...
"Omiitohud...! Segera ia angkatkan kedua
lengannya, dan panjatkan do'a untuk
arwahnya pada Tuhan.
Sementara dua tetes air bening
mengalir turun membasahi kedua pipinya
yang telah keriput dimakan usia...

Begitulah di saat ia keluar dari
sisa reruntuhan biara itu... dikejauhan
ia telah dengar suara orang bertempur.
Kembali ia berkelebat ke sana... Sebentar
saja telah melihat seorang wanita berbaju
hitam tengah melancarkan pukulannya, pada
seorang laki-laki yang segera dapat
mengetahui yaitu Gurnam Singh.
Baru saja ia mau gerakkan tubuh...
sekonyong-konyong telah berkelebat
sesosok tubuh yang memapaki serangan itu,
hingga ia batalkan niatnya.
Dari ucapan si laki-laki berpakaian
mewah itu, segeralah ia tahu kalau kedua
orang itu suami istri. Ia lihat keadaan
Gurnam Singh yang tampak parah... Segera
ia berikan pertolongan. Yang ternyata
kedua kakinya telah keracunan... Terkejut
Roro... dalam keadaan bingung karena tak
tahu cara mengobati orang, tanpa pikir
panjang ia telah robek celana orang
hingga sampai sebatas paha. Segera ia
lihat kakinya yang matang biru kehitam-
hitaman.
Roro memang belum banyak penga-
laman, namun otaknya cerdik. Memikir
orang keracunan ia berpendapat harus
mengeluarkan darah orang yang terkenal
racun itu.
Tiba-tiba saja tanpa pikir panjang
ia telah gigit kedua jempol kaki Gurnam
Singh yang tampaknya sudah tak dapat

rasakan rasa nyeri lagi.
Begitu darah mengucur ia segera
pencet kaki orang dan urut ke bawah
dengan salurkan hawa dingin melalui
telapak tangannya. Segera saja darah
membeku... karena kemudian yang terlihat
keluar melalui luka yang digigitnya itu
adalah darah kental yang kehitam-hitaman.
Melihat usahanya berhasil, segera
ia lakukan seperti tadi pada kaki Gurnam
Singh yang sebelah lagi. Maka selesailah
pertolongan pertama itu. Racun tidak akan
terus mengalir naik, karena sudah membeku
di kaki. Kalau tak dikeluarkan paling-
paling cuma kakinya yang busuk. Namun
jiwa orang sudah dapat tertolong.
Baru  saja Roro menarik napas lega
sudah terdengar suara tertawa yang tak
henti-hentinya itu, ternyata si laki-laki
berpakaian mewah itulah yang tertawa tak
putus-putus... Segera Roro mengetahui
orang telah menotok urat ketawanya. Namun
di situ cuma ada dua orang suami istri
itu. Siapakah orang ketiga...! memikir
Roro. Tak banyak ayal lagi ia telah
berkelebat membebaskan totokan pada tubuh
laki-laki bangsawan itu... Demikianlah...
di saat si wanita berbaju serba hitam itu
mau melarikan diri, Roro Centil sudah
menghadangnya. "Kaulah pasti yang
berjulukan si Ular Beracun...! Hmm,
jangan harap kau dapat lolos setelah kau

gunakan kekejianmu untuk membinasakan
kami di biara...!"
Si Ular Beracun tatap wajah orang
dengan wajah pucat... tiba-tiba ia telah
keluarkan selembar kulit tipis dari balik
bajunya... sambil mundur dua tindak ia
berkata dengan tergagap, "Ja... janganlah
kau bunuh aku no... nona Pendekar.
Biarlah kuberikan peta harta karun ini
padamu...! Namun berjanjilah kau akan
mengampuni nyawaku...". 
Terkejut juga Roro Centil. Peta
harta karun siapakah? pikir Roro. Namun
dengan suara keren ia sudah membentak
dengan sinis. "Heh! Kau mau tukar nyawamu
dengan harta karun orang lain... ? Bagus
sekali...!".
"Tidak! Harga Karun itu adalah
milik paman angkatku sendiri, si Setan
Arak. Aku... aku terpaksa melakukan
perbuatan jahat itu karena... karena
suruhan orang. Percayalah nona
Pendekar...!" Kembali dengan terbata-bata
si Ular Beracun berkata menjelaskan.
"Hmmm..." Roro kerutkan alisnya.
"Benarkah demikian...?" Bertanya  Roro.
"Percayalah nona Pendekar... aku berani
bersumpah! Aku tidak berdusta...!"
Menyahuti si Ular Beracun dengan wajah
kusut seperti mau menangis.
"Darimana kau dapatkan peta itu dan
siapa yang telah menyuruhmu untuk

membunuhku bersama paderi-paderi kuil
Welas Asih...!  " Tanya lagi Roro dengan
serius. "Peta ini ada di dalam Kitab
Ular... Aku telah menyobeknya lebih dulu,
karena khawatir dikuasai murid paman
angkatku, yaitu yang bernama..."
"Lalu siapakah yang telah
menyuruhmu melakukan perbuatan keji
itu...?" Bertanya lagi Roro dengan tidak
sabar. Sementara otak Roro yang cerdas
sudah memikir akan adanya satu
kejanggalan.
Tampak si Ular Beracun tidak cepat
cepat menyahuti... tiba-tiba ia berkata
dengan cepat; "Itulah orangnya yang
berada di belakang nona Pendekar...!"
Roro cepat balikkan tubuh untuk melihat
ke belakang... Namun pada saat itu dengan
cepat si Ular Beracun telah meroboh
"sesuatu" dari balik bajunya, dan dengan
cepat menggigit tali yang tergantung pada
benda itu.
Detik berikutnya ia telah lemparkan
benda itu ke arah Roro Centil sambil
gulingkan tubuh menjauh... Terdengarlah
suara berdentum keras... Tanah dan batu-
batu berhamburan bercampur serpihan tubuh
manusia yang hancur lumat menjadi
serpihan-serpihan yang menyemburat ke
udara...
Pada saat itu juga terdengar suara
teriakan paderi Jayeng Rana yang memburu

ke arah di mana terjadi ledakan dahsyat
itu, dan berucap; "Omiitohud...!". Dan
dari arah lain juga berkelebat sesosok
tubuh yang keluar dari tempat
persembunyiannya, dan berdiri terpaku
memandang ke tempat ledakan dahsyat itu.
Debu mengepul membumbung ke udara,
sementara di dekat lubang yang hitam
bekas terjadinya ledakan tampak serpihan-
serpihan serta potongan tubuh manusia
yang telah hancur, berserakan... bercam-
pur dengan cairan-cairan darah yang sudah
menghitam.
Paderi Jayeng Rana terpaku
memandang apa yang terlihat di depan
matanya.
Pandangan matanya adalah pandangan
yang hampa.
Sementara Gurhan Singh yang berada
tidak jauh dari ledakan itu tampak
perlahan-lahan bangkit dengan terhuyung-
huyung mendekati paderi Jayeng Rana yang
segera memburunya untuk memeluknya.
Tampak paderi yang telah berusia lanjut
itu linangkan air mata seraya berucap;
"Gurnam... kau selamat...? Omiitohud...
Syukurlah." Dan pandangan paderi tua itu
kembali pada bekas ledakan yang asap
hitamnya mulai menipis, diikuti oleh
Gurhan Singh yang melihat semua yang
terlihat di hadapannya itu, terasa bagi
bayangan fatamorgana yang menghunjam ke

ulu hatinya.
Mengapa ini harus terjadi...?
Mengapa... Mengapa?!... Pekik hatinya.
Tiba-tiba laki-laki setia yang
perkasa inipun titikkan air mata.
Sekonyong-konyong hatinya menjerit;
"T i d a a a a a a a a a k...!".
Entah mengapa ia merasakan adanya
satu ketidakadilan yang terasa menghimpit
dada... ia merasa takdir itu bukanlah
suatu keharusan...  Haruslah...?! Tapi
akhirnya ia sadar. Inilah kehidupan.
Inilah alam Fana...!
Wajahnya pun tertunduk... Hatinya
kembali cair. Dan gemuruh yang membludak
dalam dadanya pun sirna. Batin bersihnya
pun membisik... "Tuhan berkuasa atas
segalanya...!".
Senyap yang mencekam itu
berlangsung beberapa saat...... ketika
tiba-tiba satu suara merdu menyibak
kesenyapan yang mencekam. "Kakek paderi,
paman Gurnam Singh... janganlah kalian
khawatirkan diriku. Aku tak apa-apa...!".
Terkejut bukan main kedua orang ini
ketika melihat si Pendekar Wanita Pantai
Selatan dengan tersenyum-senyum keluar
dari balik sebongkah batu besar, dan
dengan berjalan santai mendekati
keduanya.
Yang bagaikan melihat seorang Dewi
yang baru turun dari langit, menatap tak

berkedip dengan mulut ternganga kehe-
ranan.
Bahkan sesosok tubuh yang tadi
keluar dari balik semak itu pun tengah
menatap padanya. Siapakah gerangan
dia...?
Gerakan sosok tubuh yang mendekati
ke arah mereka bertiga itu membuat
ketiganya berpaling... Kalau tadi yang
terkejut adalah paderi Jayeng Rana dan
Gurnam Singh ketika melihat kemunculan
Roro Centil, tapi kini Roro Centil lah
yang terkejut melihat kemunculan sosok
tubuh itu, yang tak lain adalah si laki-
laki berpakaian mewah yang berpenyakit
gagap itu.
Tentu saja Roro tak mengetahui akan
penyakitnya. Yang ia ketahui adalah laki-
laki itu suami si Ular Beracun yang telah
tewas termakan oleh senjatanya sendiri...
Kiranya sewaktu Roro Centil
menengok ke belakang untuk melihat siapa
orang  yang di belakangnya ... Ia telah
waspada akan gerak-gerik si Ular beracun
yang kata-kata dan penjelasannya jelas
ngawur. Namun ia pura-pura tak begitu
memperhatikan.
Begitulah... ketika si Ular Beracun
melempar granat tangannya ia sudah
waspada. Ketika terasa sesuatu bergerak
melayang ke arahnya,  dengan gerakkan
lengan ke belakang ia sudah menghantam

balik benda itu dengan angin pukulannya.
Dan tentu saja sebelum si Ular
beracun sempat jauh bergulingan untuk
menghindari ledakan, benda itu telah
lebih dahulu mengenai tubuhnya... dan
meledak.
Sedang  Roro Centil begitu habis
menghantam balik benda pembawa maut itu
telah berkelebat cepat ke balik sebuah
batu besar.
Karena begitu cepatnya... sampai-
sampai paderi Jayeng Rana yang melihat
dari kejauhan, juga Gurnam Singh, tak
dapat melihat gerakan tubuhnya. Karena
bersamaan dengan terjadinya ledakan
dahsyat itu.
Adapun si laki-laki bangsawan itu
ternyata hanya berpura-pura saja tertawa
sampai terpingkal-pingkal, yang disangka
Roro adalah terkena totokan orang.
Padahal dengan tertawa sedemikian gelinya
itu  adalah untuk menyalurkan tenaga
dalam, untuk mencegah menjalarnya racun
pada kedua tangannya,
Akibat benturan keras dengan lengan
si Ular Beracun yang di papaknya di saat
menyelamatkan nyawa Gurnam Singh.
Adapun di saat terjadi ledakan
dahsyat itu, tentu saja sebelumnya ia
sudah mengetahui karena membaui asap
mesiu... Segera ia berkelebat ke semak-
semak bersamaan dengan berkelebatnya

tubuh Roro ke balik batu. Hingga keduanya
sama-sama tak melihat gerakan orang
karena tengah berupaya menyelamatkan
nyawa masing-masing pada detik yang
kritis itu...
Penjelasan dari si laki-laki
bangsawan itu diungkapkan dalam perja-
lanan meninggalkan lereng gunung Wilis.
Tampak keduanya dengan mempergunakan ilmu
lari cepat, bercakap-cakap sepanjang
jalan yang dilaluinya.
Tentu saja yang bertindak sebagai
penunjuk jalan adalah si laki-laki
bangsawan itu, karena entah mengapa Roro
agak simpati pada laki-laki yang masih
boleh disebut pemuda itu, karena usianya
baru sekitar dua puluh limaan tahun.
Dibanding dengan Roro Centil hanya
berbeda atau berselisih sekitar tujuh-
delapan tahun saja...
Roro yang memang ingin menambah
pengalamannya, makanya ketika si laki-
laki itu mengajaknya pergi ke suatu
tempat, ia tak menolaknya.
Ternyata laki-laki bangsawan itu
bernama Joko Sangit. Sebuah nama  yang
aneh... Pikir Roro. Karena nama itu kalau
diterjemahkan berarti Pemuda Bau.
Joko adalah jejaka atau pemuda;
sedang sangit artinya gosong atau hangus.
Jadi namanya mengartikan; seorang pemuda
atau jejaka yang sudah hangus. Roro

adalah Roro yang selama  ia masih
penasaran, ia tak akan berhenti menye-
lidiki. Tentu saja ia ingin mengetahui
riwayat dan asal-usul si Joko Sangit,
yang telah menempur istrinya sendiri
yaitu si Ular Beracun, dengan
menyelamatkan nyawa Gurnam Singh, si
pembantu paderi Jayeng Rana yang setia
itu.
Bahkan kematian istrinya yang
tragis itu membuat ia senang setengah
mati. Melihat orang mempunyai ilmu aneh,
yaitu mengusir racun dengan suara tertawa
agar racun tak menjalar ke tempat yang
berbahaya Roro memikir untuk mengenalnya
lebih dekat. Juga untuk menambah pengala-
mannya di dunia persilatan. Keanehan-
keanehan telah banyak ia alami dengan
mengenal gurunya yang juga aneh luar
biasa. Lalu tokoh hitam si Dewa
Tengkorak, yang wataknya pun aneh. Kini
ia dapat berkenalan dengan seorang yang
menamakan dirinya Joko Sangit, yang
menurut pengamatannya juga seorang yang
mempunyai keanehan...
"Ilmu lari cepatmu hebat juga...
Til!" Bertanya Joko Sangit sambil
mengimbangi kecepatan lari Roro Centil.
"Hus!? Panggil namaku Roro saja...!
Aku tak biasa dipanggil orang dengan
sebutan demikian..." Berkata Roro dengan
kerutkan alisnya.

"Oh, begitu...... Kalau aku sih
sebenarnya cari panggilan yang gampang
saja... Kalau kau senang dipanggil  
Roro,  baiklah aku akan memanggilmu Roro
...
"Masih jauhkah perjalanan kita...?"
Bertanya Roro, menyambung pembicaraan
Joko Sangit. "Rasanya tidak...!" Menyahut
Joko Sangit.
"Apakah sekarang ini kita sedang
menuju ke Tuban?" Tanya Roro lagi.
"Oh, tidak... aku belum ingin
kembali ke sana. Nantilah, pasti kau akan
kuajak ke Tuban setelah selesai urusanku
..." Sahut Joko Sangit berikan
penjelasan. Selesai berkata, Joko sangit
tambah kecepatan larinya. Tentu saja Roro
segera berkelebat menyusul. Dan bayangan
tubuh kedua orang muda-mudi itu melesat
cepat bagai anak-anak lepas dari
busurnya.
Hingga dalam waktu setengah hari,
sejak keberangkatannya pada pagi hari
dari biara Welas Asih di lereng Gunung
Wilis; keduanya telah tiba di dataran
yang berbukit-bukit...
Beberapa saat kemudian Joko Sangit
menghentikan larinya seraya berteriak;
"Stop! Kita berhenti di sini...!". Segera
Roro pun menghentikan larinya.
Setelah teliti daerah sekitarnya,
tampak Joko Singit mengeluarkan sebuah

benda dari balik bajunya. Yang ternyata
adalah selembar kulit tipis.
Tersentak hati Roro, ketika melihat
benda yang tengah  diteliti oleh Joko
Sangit adalah selembar peta, yang mirip
dengan peta si Ular Beracun. Yaitu peta
harta karun milik si Setan Arak.
Roro tak banyak bertanya, cuma
berfikir akan satu keanehan. Bukankah
peta di tangan si Ular Beracun itu telah
turut hancur berikut tubuh wanita itu...?
Pikirnya.
"Inilah pegunungan Kendeng...!"
Berkata Joko Sangit. Dan lanjutnya;
"Kalau aku yang lebih dulu menemukan
harta Karun si Setan Arak itu, sudah
pasti kaupun akan kebagian, Roro... Ha ha
ha. "Mari ikuti aku!" Lanjutnya lagi.
Agaknya ia telah dapat mengetahui
tanda-tanda pada peta itu.
Berkelebat tubuh Joko Sangit
diikuti Roro yang bagaikan bayangannya
mengintil terus di belakang Joko Sangit.
Setelah mendaki, menurun, membelok
ke kanan dan ke kiri serta seterusnya...
Tiba-tiba Joko Sangit angkat lengannya
untuk berhenti.
Di bawah sana tampak ada satu
dataran yang curam... di bawah lereng-
lereng batu bukit yang terjal. Untuk
menuruni bukit terjal itu kalau tidak
orang yang berkepandaian cukup tinggi,

akanlah kesulitan untuk mencapai ke
bawah.
Mengerti Joko Sangit akan menuruni
lembah yang curam itu, Roro Centil sudah
berkata; "Kita bersusah payah turun ke
bawah, apakah sudah dipastikan harta itu
masih ada...? Karena kulihat peta itu
bukan hanya berada di tanganmu saja, tapi
istrimu si Ular Beracun itu pun
memilikinya. Namun tentu saja sudah
hancur lumat!" Joko Sangit hanya
mendengus. "Perduli...! Apakah peta harta
itu ada seratus pun aku tetap akan
menyelidiki...!" Berkata ia dengan ketus.
Mengingat ia tak mungkin membatalkan niat
karena sebentar lagi mereka dapat lihat
buktinya, siapa yang lebih cepat dialah
yang dapat. Begitu pendapat Joko Sangit.
Dan segera ia bergerak untuk
menuruni lereng terjal yang curam itu.
Sedikit tergelincir, akan tamatlah
riwayatnya sebagai manusia, karena di
bawah sana menunggu batu-batu lancip yang
bisa menembus tubuh mereka ...
Namun bagi kedua orang muda yang
berkepandaian tinggi itu tidak berarti
apa-apa. Karena dalam beberapa saat saja
keduanya telah tiba dengan selamat sampai
di bawah sana ...
Namun alangkah terkejutnya Roro
Centil maupun Joko Sangit mengetahui di
bawah dataran yang diinjaknya, di sekitar

tempat itu banyak bergelimpangan mayat-
mayat.... Apakah yang telah terjadi...?
Berfikir Roro.
Ia segera bertindak lebih ke dalam.
Di mana di sebelah dalam ada terdapat
goa.
Di sini bangkai-bangkai manusia
bercampur dengan bangkai srigala. Yang
terlihat berpuluh-puluh banyaknya.
Dalam keadaan terpukau itu tiba-
tiba berkelebat sesosok tubuh. Yang
membuatnya terkejut tentu saja karena
sosok tubuh itu tak lain dari paderi
Jayeng Rana.
Melengak seketika Roro maupun Joko
Sangit. Akhirnya sadarlah Joko Sangit,
bahwa paderi Jayeng Rana ternyata berilmu
tinggi. Begitupun Roro Centil. Karena
iapun seperti tak menduga kalau ternyata
paderi Jayeng Rana lebih maklum akan
kelicikan orang yang menjadi tamunya.
Rahasia Tonga telah diketahui sang
paderi Jayeng Rana dari Gurnam Singh.
Bahkan peta rahasia itu adalah akal
licik yang sudah dipersiapkannya untuk
membunuh para jago-jago Persilatan dengan
menjerumuskannya ke dalam lembah yang
akan membuat mereka tak dapat kembali
pulang dengan masih bernyawa.
Sekejap ketiganya saling berpan-
dang-pandangan... Dan tiba-tiba Roro
Centil berteriak sambil menyebut Guru

pada kakek tua paderi Jayeng Rana ... Dan
serta merta menjatuhkan diri berlutut di
hadapannya. "Kakek paderi Jayeng Rana...
Terimalah aku sebagai murid...!".
Paderi Jayeng Rana tersenyum sendu
... sambil mengelus-elus jenggotnya yang
panjang, seraya berkata; "Omiitohud...!
Siapa yang dapat menolak keberuntungan
untuk dapat memariskan ilmunya pada
seorang pendekar wanita yang berbudi dan
cantik di depan mata... ?"
Dan paderi Jayeng Rana segera
bimbing lengan kedua orang muda itu untuk
dibawa melesat ke atas bukit, keluar dari
lembah maut yang cuma menjadi kuburan
bagi orang yang rakus dan tamak akan
harta duniawi... Betapapun harta dan
benda tidaklah dapat membuat orang
berbahagia, selama manusia belum terlepas
dari hawa nafsu. Hanya orang-orang yang
berhasil mengendalikan hawa nafsunya
sajalah yang akan merasakan kebahagiaan
dalam keadaan bagaimanapun juga...


T A M A T