Roro Centil 12 - Bcah Siluman Penghuni Makam Tua(1)


  
SATU

DESAH angin malam itu semakin semilir me-
nyentuh kulit. Udara semakin dingin menembus ke tu-
lang. Gelapnya cuaca malam itu sesekali menyibak,
menampakkan cahaya terang gemerlapan, manakala
kilat menyambar membelah langit. Selang tak lama
anginpun membersit semakin keras. Batang-batang
pohon bergoyangan menghempas-hempas, terbangkan
daun-daun kering yang berhamburan. Suara guruh
mulai terdengar sahut menyahut, yang sesekali diwar-
nai dengan menyambarnya halilintar.
Gluduk...gIuduk...gluduk...!THARRRR...! Alam
telah berubah gegap-gempita. Titik-titik air mulai tu-
run membasahi bumi, yang tak lama berselang hujan
pun turun seperti dicurahkan dari langit.
Di antara desah angin yang menghempas-
hempas dan siraman hujan lebat, tampak sesosok tu-
buh berlari-lari menerjang lebatnya hujan dan badai.
Bila kilatan-kilatan petir berkredepan menyibak
kegelapan, terlihat jelas sosok tubuh yang ternyata
adalah seorang wanita, rambutnya panjang terurai. Ja-
tuh bangun dia berlari tersaruk-saruk menembus pe-
katnya malam. Pakaiannya sudah basah  kuyup dan
belepotan lumpur. Namun tanpa perdulikan semua itu,
dia terus berlari dan berlari... Terkadang harus me-
rangkak mendaki tanah becek berlumpur, meraih
akar-akar pepohonan, merayap ke tempat ketinggian.
Untuk kemudian terus berlari  dengan tubuh sem-
poyongan.
"Ibuuu..! ibuuu...! Aku telah dihinakan ibuuu...!
Aku sakit hati..! Aku... aku... hu.. hu.. hu...hu..." Ter-
dengar ratap tangisnya yang memilukan. Kemanakah
gerangan yang ditujunya? Ternyata wanita itu menuju

ke arah sebuah Makam Tua. Makam Tua di atas bukit
itu. Makam yang sejak 10 tahun yang lalu tak pernah
dikunjungi orang. Ke  sanalah dia menuju dengan
langkah yang tertatih-tatih semakin lemah. Ketika tiba
di hadapan segunduk tanah berumput tebal dengan
nisan dari kayu yang sudah keropos, dia jatuhkan diri
berlutut seraya menangis terisak-isak.
"Ibuuu...! ibuuu..! hu... hu... hu..." kembali dia
mengangguk dalam tangis yang teramat pilu. Air ma-
tanya yang bersimbah sudah bercampur dengan air
hujan. Di  pelukinya kuburan itu dan diremas-
remasnya rumput dan tanah yang basah, serta yang
sesambat, seperti orang yang sudah hilang akal.
"Ibu! Tak dengarkah kau suaraku? Tak dengar-
kah kau ratapan ku? Aku telah dihina, Ibu...! Aku tak
rela, aku tak kuat mendengarnya...! Bangkitlah ibu da-
ri tidurmu! Bangkitlah ...!!!" Teriak wanita itu sambil
menghentak-hentakkan lengannya menggebuki gun-
dukan tanah itu. Kelakuannya  sudah seperti orang
yang kurang waras. Kembali dia mengguguk dalam
tangis pilu. Namun lama-kelamaan tangisnya semakin
lirih, semakin perlahan... dan akhirnya berhenti sama
sekali. Wanita itu telah jatuh pingsan karena tak kuat
menahan gejolak perasaannya serta keletihan yang
amat sangat. Sementara hujan terus mengguyur tu-
buhnya tiada henti. Sesekali petir menyambar menam-
pakkan kilatan-kilatan di langit.
Tiba-tiba satu kilatan dari langit menyambar ke
arah gundukan tanah itu,  perdengarkan suara keras...
THARRRR...! Wanita itu terkejut ketika rasakan
tanah kuburan terguncang bergetar. Sementara asap
membumbung di hadapannya. Kiranya kilatan petir te-
lah mengenai patok kayu lapuk itu yang seketika han-
gus terbakar disertai menyemburnya tanah berlubang
di hadapannya.

Terperangah wanita ini, dengan sepasang mata
terbeliak lebar. Seketika saja dia sudah tersadar dari
pingsannya.
Tiba-tiba dia bangkit berdiri. Hawa dingin
membuat tubuhnya gemetaran menggigil. Tapi dia su-
dah berkata lantang...
"Ibu...;! Kalau kau tak maju bangkit dari tidur-
mu, biarlah..! Akan tetapi katakanlah, apakah kau
pernah melahirkan aku! Aku dihina, ibu...! Aku dis-
isihkan dari suamiku! Karena aku tak mampu mela-
hirkan anak! Aku dikatakan mandul! Dan tak akan
pernah mempunyai anak sampai ubanan, karena aku
adalah keturunan dari seorang perempuan setengah
siluman! Benarkah itu, ibu? Ujar wanita itu dengan te-
risak. Suaranya menggeletar menahan kesedihan serta
dinginnya tubuh. Lalu lanjutnya lagi.
"Ibu...! Aku sakit hati mendengar fitnah keji itu!
Aku tak ada harapan punya anak. Dan suamiku Prabu
Gurawangsa telah mengambil tiga orang selir! Mereka
amat diperhatikan oleh suamiku. Terutama yang ber-
nama Nawangsih! Karena wanita itu kini tengah men-
gidam. Dia bakal punya anak, yang kelak akan meng-
gantikan kedudukan Prabu Gurawangsa sebagai Raja
Kerajaan MATYSPATI.
Kalau ibu adalah manusia setengah siluman,
dan aku keturunannya, apakah ayah seorang silu-
man..?" Berkata wanita itu dengan suara serak parau.
Betapa batinnya amat tertekan. Sementara dia sudah
kembali jatuhkan air mata. Hujan masih turun mem-
basahi bumi, dan malam semakin melarut. Tubuh
sang wanita semakin menggigil kedinginan. Namun dia
tetap berdiri tegak sambil menutupi wajahnya yang
bergoyang-goyang.
Tak ada sahutan secuilpun dari dalam kuburan
itu. Akan tetapi wanita ini tetap membandel untuk te-

tap berdiri di situ.
"Ibu...!" Ujarnya lagi.
"Aku tak dapat menerima penghinaan ini. Den-
dam  ku telah bersatu dengan PETIR dan GUNTUR!
Aku tak akan mengingini lagi kebahagiaan di Istana.
Aku cuma ingin punya anak! Aku ingin sekali hamil,
dan merasakan bagaimana rasanya  orang mengidam!
Bagaimana rasanya aku melahirkan anak...! Aku iri..!
Iriiii...! Mengapa aku mandul hingga sampai sepuluh
tahun tak dikaruniai keturunan seorangpun!"
THARRRR...! Kilatan petir kembali menyambar,
nyaris mengenai tubuhnya. Tanah disebelahnya han-
gus terbakar, menimbulkan lubang besar. Akan tetapi
wanita itu tetap berdiri tegak tak bergeming.
Lapat-lapat terdengar suara tanpa ujud menyu-
sup ke telinganya.
"Durgandini...! Kau tak layak berkata demikian!
Kau menentang takdir Tuhan! Sadarlah apa yang akan
kau inginkan! Bertawakallah dengan cobaan yang kau
terima!"
Akan tetapi wanita ini sudah berteriak.
"Tidaaaak...! Aku tak dapat menerima takdir
itu. Ibu...! Bukankah kau manusia setengah siluman
seperti yang kudengar. Tolonglah aku! Bantulah
aku...!"
THARRRR...! Kembali kilatan petir menyambar
dahsyat membuat kilatan yang menerangi alam semes-
ta. Selanjutnya guruh terdengar sahut menyahut di
angkasa. Di antara kilatan cahaya petir itu tampak se-
sosok tubuh berjubah putih kira-kira sepuluh tombak
di belakang si wanita itu. Ternyata seorang kakek tua
renta. Tampak  bibirnya berkemak-kemik membuat
kumis dan jenggotnya yang putih terjuntai itu berge-
rak-gerak. Aneh dan amat menakjubkan, karena jubah
sang kakek sedikitpun tak basah oleh siraman hujan.

Sementara di telinga si wanita itu telah terden-
gar lagi suara tanpa ujud. Itulah sebenarnya suara si
kakek misterius yang aneh itu.
"Durgandini! Cucuku...! Kembalilah dari kese-
satan hatimu! jangan kau ingkari takdir Tuhan!".
Tiba-tiba dia telah balikkan tubuhnya. Dan se-
pasang matanya telah dapat melihat kakek berjubah
putih itu di hadapannya.
"Siapa kau..?"'Bentaknya dengan suara keras.
Wajah wanita itu tampak kaku menatap dengan tajam.
Sementara hujan sudah mulai menipis. Dan cuaca
yang gelap sudah berangsur-angsur menjadi terang.
"Aku Resi JENGGALA MANIK dari Pertapaan
GOA KISKENDA. Masih termasuk kakek mu. Panggil-
lah aku Eyang...!" Sahut sang kakek berjubah putih.
"Hm, bagus...! Kalau kau masih termasuk ka-
kekku, tentu kau dapat menolongku, Eyang Resi! Men-
gapa kau justru menyuruhku kembali pulang? Itu ar-
tinya sama saja membiarkan aku menderita! Tidak!
Aku sudah muak tinggal di istana! Aku benar-benar te-
lah sakit hati! Aku dihina, disisihkan, dan aku telah
memendam sejuta dendam di hatiku!". Teriak si wanita
dengan suara lantang.
"Aku tak berdaya menentang takdir Tuhan, cu-
cuku...! Bersabarlah! Itu jalan yang terbaik dan berta-
wakal serta berdo'a kepadaNYA. Perjalanan hidup ma-
nusia teramat pendek. Hilangkanlah dendam di hati-
mu!" Ujar sang Resi.
"Tidak! Aku akan meminta pertolongan Siluman
atau  setan! Mereka tentu dapat mengabulkan kehen-
dakku...!". Teriak wanita itu.
Mendadak cuaca kembali gelap gulita. Petir
menyambar-nyambar di langit. Bumi terasa bergon-
cang. Terkejut sang Resi Jenggala Manik. Wajahnya
berubah pucat.

"Celaka..!? Cucuku bertobatlah! Jangan kau
tersesat seperti ibumu...!" Akan tetapi wanita itu bah-
kan tertawa mengikik. Seraya katanya.
"Hihihi...Kau tahu tentang ibuku? Bagus!
Aku memang mau mengikuti jejaknya! Aku
bahkan menyesal, mengapa ibu tak mewariskan il-
munya padaku...?" Pada saat itu juga satu kilatan petir
telah menyambar tepat mengenai kuburan itu.
THARRRR...! Ledakan keras itu telah disusul dengan
membumbungnya asap hitam ke udara, lalu lenyap.
Namun satu keajaiban telah terjadi. Tiba-tiba
tampak kuburan itu bergetar keras, terguncang. Se-
mentara si wanita  cuma tertegun melihatnya dengan
mata tak berkedip. Dan.... segera saja terjadi sesuatu
yang hampir tak masuk di akal. Karena tiba-tiba tanah
kuburan itu merengkah... dan dari dalam lubang ku-
buran tersembul sesosok tubuh yang mengerikan. Itu-
lah tubuh dari jenazah TRI AGNI yang telah kembali
bangkit dari dalam kubur. Tubuh dari seorang wanita
yang berwajah kaku mengerikan,
"Ibuuu...!? Jerit Durgandini, dengan sepasang
mata terbelalak menatap sosok tubuh mengerikan itu.
Terbeliak sepasang mata sang Resi, sementara bibirnya
telah berkomat-kamit membaca mantera.
"TRl AGNI...! Kau tak layak hidup lagi! Kau su-
dah mati..! Kembalilah! Kembalilah ke alammu...!".
Terdengar satu suara halus, lirih mengandung kekua-
tan hebat untuk mencegah kebangkitan yang menye-
ramkan itu. Akan tetapi mayat wanita yang berbau bu-
suk itu telah tertawa menyeringai.
"Hihihi... hihi... paman Jenggala Manik, kau lu-
pa! Aku menguasai aji RAWARONTEK. Kau dengarlah
kata-kata anakku? Dendamnya telah bersatu dengan
PETIR dan GUNTUR! Kau tak dapat menghalangi ke-
bangkitan ku...! Menyingkir-lah!"

Terperangah Resi Jenggala Manik. Tampak wa-
jah kakek tua renta itu berubah pucat pias. Seluruh
kekuatannya dikerahkan untuk mencegah kebangkitan
manusia Setan itu. Akan tetapi sia-sia. Wanita seten-
gah siluman itu  telah menerkam tubuh Durgandini,
dan membawanya berkelebat pergi dari situ. Terhenyak
seketika sang Resi, dan memandang dengan wajah pu-
cat. Tapi tak lama berkelebat tinggalkan Makam Tua
itu. Terdengar suaranya yang menggumam lirih terba-
wa angin. "Celaka..! Akan banyak korban berjatuhan,
kelak..! Aku tak berdaya mencegahnya. Makam Tua di
atas bukit itu kembali sunyi mencekam.
"Ibu...! Mau di bawah kemanakah aku...?" Ber-
tanya Durgandini yang dipanggul di pundak wanita se-
tan itu.
"Hihihi.... tenanglah anakku,  kau lihat pohon
besar di depan itu? Kita akan ke sana,..". Cuma bebe-
rapa saat saja si wanita setan telah tiba di bawah po-
hon angsana yang besar dan rindang itu. Ternyata po-
hon yang dimaksud adalah masih berada di atas bukit
di mana 'Makam Tua itu berada.
"Kau tidak takut padaku, anakku?". Bertanya si
wanita setan, seraya tersenyum menyeringai tampak-
kan giginya yang runcing-runcing. Ternyata Tri Agni
seorang wanita berperawakan tubuh semampai. Ram-
butnya putih beriapan, akan tetapi wajahnya terlihat
tak begitu tua. Cuma yang mengerikan adalah sepa-
sang matanya yang seperti sudah tak mempunyai bu-
latan hitam lagi di bagian tengahnya. Kulit wajah serta
tubuhnya tampak pucat kaku seperti tak dialiri darah.
Sementara lengannya berkuku panjang-panjang, juga
kuku di kakinya, keadaannya memang amat mengeri-
kan. Karena di samping pakaiannya yang sudah tidak
utuh. lagi, tubuhnya juga menyebarkan bau busuk
yang memuakkan.

Durgandini menggelengkan kepalanya, menatap
pada wajah wanita setan itu.
"Tidak, bu,..! Aku tidak takut! Aku gembira ibu
bisa bangkit lagi dari kubur!" Selanjutnya Durgandini
sudah kembali terisak-isak dengan mengalirkan air
mata yang membasahi pipi.
"Kau tak perlu menangis lagi. Durga! anakku!
Katakanlah apa yang telah terjadi, tentu aku akan be-
rusaha untuk menolongmu..!". Ujar Tri Agni dengan
suara dingin. Durgandini cepat-cepat menyeka air ma-
tanya, lalu dengan bersitkan wajah girang, ia berkata.
"Terima kasih, bu...! Benarkah kau akan mem-
bantuku..?". Tanyanya.
Sang ibu mengangguk dengan senyum menye-
ringai. Dan segera saja dengan panjang lebar Durgan-
dini, ceritakan lagi kejadian yang menimpanya seperti
yang telah dikatakannya di bagian depan.
"Begitulah, bu! Aku sudah tak berhasrat lagi
menginginkan hidup di Istana. Aku sakit hati pada su-
amiku, juga pada ketiga selirnya. Terutama pada wani-
ta yang bernama Nawangsih, selir yang paling di
sayangnya, karena kini dia tengah mengidam. Aku iri
dengan para wanita lain, bu? Mengapa aku mandul?
Mengapa aku tak bisa mempunyai keturunan? Kata-
kanlah, bu! Bagaimana caranya agar aku bisa boleh
keturunan..! Hanya, itu, bu...! Aku ingin anakku kelak
yang membalas penghinaan ini! Mereka, menghinaku,
bu...! Juga menghinamu, yang mengatakan ibu adalah
wanita yang 'setengah manusia' dan setengah siluman!
Benarkah itu, ibu...?". Setelah menuturkan panjang le-
bar, sang ibu dihujani bertubi-tubi dengan pertanyaan,
yang seperti bergemuruh di dada sang ibu yang men-
dengarkannya.
"Hihihi...benar, anakku! Tuduhan mereka tidak
salah! Aku boleh dikatakan manusia setengah silu-

man, karena aku memiliki aji Dasajiwa. Sepuluh tahun
aku terkubur di makam ini tanpa dapat lepaskan diri
dari "kematian semu", yang membuat aku terpaksa ha-
rus tidur sepanjang tahun! Beruntung kau datang,
anakku! Dan telah menjadi penyebab kebangkitan ku
lagi!". Ujar wanita setan itu seraya tersenyum menye-
ringai. Lalu teruskan kata-katanya. "Tetapi.."
"Tuduhan bahwa kau bukanlah anakku; dan
bukan lahir dari rahim  ku adalah salah! Kau darah
daging ku! Cuma kau lahir di luar pernikahan. Ayah-
mu adalah guruku sendiri, yang sudah ku bunuh
mampus ketika kau berusia lima tahun..?"
Terkejut Durgandini.
"Oh! Apakah kesalahannya, ibu...?" Tanya Dur-
gandini.
"Karena dia tak menyetujui aku menuntut ilmu
dari aji Dasajiwa".
"Lalu bagaimanakah kelanjutannya, ibu?"
Tanya Durgandini penasaran. Akan tetapi sang ibu
cuma tertawa mengikik, seraya membelai rambut Dur-
gandini.
"Hihihi... kelak akan kuceritakan selengkapnya.
Kini aku mau bertanya padamu! Apakah kau benar-
benar ingin mempunyai anak?" Tanya Tri Agni, seraya
tatap wajah anak perempuannya itu dengan sepasang
matanya yang seperti putih polos.
"Tentu, ibu.. Aku amat mendambakannya seka-
li!!". Ujar Durgandini girang. Tercenung sang ibu seje-
nak, tapi sudah lantas berkata.
"Asalkan kau sanggup menderita, serta meme-
nuhi syarat-syarat, kukira cita-cita mu akan terlaksa-
na..!".
"Sanggup, ibu..! Aku akan menyanggupi semua
syarat apa pun yang dibebankan padaku, asalkan ter-
kabul keinginanku...".

"Bagus...! Hihihi.. aku tak mengetahui syarat-
syarat apa yang harus kau penuhi untuk mewujudkan
keinginanmu itu, anakku! Akan tetapi aku cuma bisa
mengantarmu ke satu tempat, di mana kau bisa pa-
parkan niatmu itu pada Junjunganku!"
"Baik! bawalah aku ke sana, ibu..! Aku sudah
bulatkan niatku itu, ibu!".
"Kau tak akan menyesal, kelak anakku...?" "Ti-
dak!". Sahut Durgandini dengan pasti. "Walau kau ke-
lak akan masuk ke Neraka..?". Tanya sang ibu.      '!
"Ya! Walau harus masuk Neraka sekalipun...!",
jawab Durgandini lantang.
"Yah! Apa boleh buat! Agaknya keturunan  ku
telah mengikuti jejak  ku! Aku telah jadi orang sesat,
karena mempersekutukan Tuhan, tak dinyana kau
pun akan meneruskan jejak ku! Baiklah!
Ibu akan menurunkan Aji Dasajiwa padamu...!
"Oh? Begitulah, bu? Ah, te...terima kasih, bu... Teri-
makasih!".
"Nah, kini pejamkan kedua matamu! Jangan
kau buka sebelum  aku menyuruhmu membukanya!
Dan kau tak boleh Berkata apa-apa bila melihat suatu
keanehan!".
"Baik, ibu...!". Lanjut Durgandini, seraya segera
memejamkan matanya.
Durgandini rasakan tubuhnya seperti melayang
entah ke mana, ketika sang ibu selesai berkomat-kamit
membaca entah mantera apa yang tak begitu jelas di-
dengarnya. Tampak asap kabut bergulung-gulung di
hadapannya, yang dilihatnya dalam pandangan mata
batin. Karena sepasang matanya masih terpejam.
Ketika asap kabut itu lenyap, segera terlihat di
hadapannya sebuah Kerajaan yang amat asing ba-
ginya. Di manakah ini? Oh? Kerajaan apa ini...? Sentak
hatinya. Akan tetapi Durgandini tak berani bertanya.

Terasa lengannya digamit oleh sang ibu, untuk diajak
beranjak meniti sebuah jalan lurus yang amat panjang.
Jalanan yang lurus panjang itu adalah jalan menuju
ke Istana Misterius yang aneh itu. Terkejut Durgandini
ketika bertemu dengan penjaga yang berwajah menye-
ramkan. Setelah di persilahkan masuk. Segera sang
ibu menggamit lengannya untuk terus memasuki ha-
laman istana. Hingga tak lama muncul dua orang pen-
jaga kembali menghadang. Sang ibu tampak memberi
isyarat pada penjaga akan maksud kedatangannya
menghadap, yaitu dengan menunjuk dirinya. Tak lama
salah seorang penjaga masuk untuk memberi laporan
pada Baginda Raja tentunya.
Tak lama sudah keluar lagi, seraya menyilah-
kan dia dan ibunya masuk. Segera tanpa ayal kedua
wanita itu memasuki pintu gapura ruangan kerajaan.
Tak lama kemudian sudah berada di hadapan seorang
Raja yang amat menakutkan. Karena tak lain dan tak
bukan sang Baginda Raja di Alam Gaib itu adalah se-
sosok mahluk yang menyerupai seekor ular besar yang
duduk melingkar di singgasana.
Sang ibu mengajaknya duduk bersimpuh di
hadapan sang Raja. Dan terdengar suara ibunya ber-
kata.
"Ampunilah hamba Gusti Junjungan hamba,
hamba datang untuk menghadap...!"
"Apakah maksud kedatanganmu, Tri Agni...?"
Ujar sang Baginda Raja yang berujud ular besar
itu. Suaranya seperti desis yang bernada parau. Se-
mentara Durgandini terperangah, hatinya membatin.
Raja yang aneh!? Apakah ini Kerajaan Silu-
man...? Sentak hatinya. Namun ia sudah tundukkan
wajahnya dengan peluh terasa merembes dari sekujur
tubuh. Tri Agni sudah menyentuh lengannya seperti
menyuruh Durgandini bicara, memaparkan maksud-

nya. Tampaknya Durgandini mengerti maksud sang
ibu. Kemudian dengan suara gemetaran, segera dipa-
parkan maksud tujuannya pada sang Raja Siluman.
"Hahaha..hah... Syaratnya amat berat anak
manusia..! Akan tetapi kalau kau menyanggupi tak ter-
lalu sukar bagiku untuk mengabulkan permintaan-
mu...!". Berkata sang Raja Siluman dengan suara pa-
rau berdesis bagai ular.
"Aku sanggup memenuhi syarat-syarat apapun,
Gusti Junjungan...! Asalkan aku peroleh keturunan.
Yaitu seorang anak laki-laki yang aku idam-idamkan!".
"Baiklah!". Ujar sang Raja Siluman. Lalu beri-
kan persyaratan pada Durgandini, yang tanpa banyak
perhitungan lagi telah menyanggupi beberapa syarat
yang telah diberikan pada sang Raja Siluman Ular.
"Nah, kini kembalilah, kalian pulang! Kelak bila
ada satu keanehan menimpa dirimu janganlah kau be-
rani menolaknya!" Ujar sang Raja Siluman Ular.
"Terima kasih Gusti Junjungan...!" Ujar Dur-
gandini, yang secara tak sadar telah membuka ma-
tanya. Akan tetapi alangkah terkejutnya dia tatkala
dapatkan dirinya berada dalam satu lubang yang lem-
bab. Hawanya amat menyesakkan napas. Bermacam-
macam binatang berbisa dari sebangsa Kala, Kelabang,
ular, tampak berserakan di sisi-sisi relung lubang. Pu-
luhan ular-ular menggelantung di sana-sini. Dalam
keadaan terkejut, sang ibu telah menggamitnya untuk
meninggalkan tempat itu. Aneh, tampaknya Tri Agni
berjalan biasa saja menempuh jalan yang lurus pan-
jang tanpa kesukaran. Namun sebaliknya Durgandini
terpaksa harus merangkak di dalam liang berhawa
lembab, serta penuh dengan binatang-binatang yang
berbisa. Tentu saja keadaannya amat menyengsarakan
sekali. Setelah sekian lama memasuki lorong-lorong
sempit yang membuat sesak pernapasan, akhirnya tiba

juga di mulut lubang. Terasa napas Durgandini sudah
megap-megap kepayahan. Kakinya sudah lemas tak
bertenaga, dan jatuh terduduk. Dalam keadaan demi-
kian terdengar suara sang ibu.
"Anakku, Durga! Nah, sekarang kau boleh buka
matamu...!". Akan tetapi Durgandini memang tak perlu
membuka lagi matanya, karena mereka sudah sampai
ke tempat tadi setelah meniti jalan melalui liang di be-
lakang  pohon Angsana. Tampaknya wajah sang ibu
tampilkan perobahan, melihat keadaan Durgandini
yang kepayahan.
"He!? Apakah yang terjadi? Apakah kau telah
membuka matamu sebelum kuperintahkan...?". Tanya
Tri Agni.
"Benar, ibu...! Oh, tubuhku terasa sakit se-
mua...!" Keluh Durgandini, seraya menarik napas lega.
Walau bagaimanapun dia telah berhasil ke luar dari
lubang sempit yang menyesakkan pernapasan itu.
"Aih! Mengapa tak kau turutkan larangan ibu-
mu...?". Gumam sang ibu menyesali. Tak lama hari
pun menjelang pagi. Suara burung berkicauan, di da-
han-dahan pohon. Durgandini menyandarkan tubuh-
nya di batang pohon. Tampaknya dia tengah tertidur
pulas kelelahan. Sementara si wanita setan itu diam-
diam tinggalkan tempat itu dengan berkelebat menu-
runi bukit, tempat Makam Tua itu.
Bau busuk segera menyebar, tatkala si Wanita
Setan Tri Agni memasuki sebuah desa terdekat. Den-
gan berindap-indap Tri Agni mendekati sebuah pondok
yang berada paling ujung. Terdengar suara bunyi me-
nangis di pagi subuh itu. Cuaca masih tampak re-
mang-remang.


***

"Bangunlah, kang....! Tolong masakkan air! Aku
menyusukan anakmu ini dulu...!" Terdengar suara seo-
rang wanita berkata. Tercekat si wanita setan.
"Nanti, ah! Aku masih dingin...!" Ujarnya.
"Uuuu...dasar pemalas! Bukan anaknya yang
kolokan, eh, bapaknya..!" Ujar sang istri.
Akan tetapi si wanita tiba-tiba mencium bau
busuk yang menusuk hidung.
"Hoak..! Uuuh, bau busuk apa ini? Adduuuh,
nggak tahan baunya...!"
"Uh!? benar...! baunya bukan main! Apakah
bukan bau bangkai tikus...?". Tanya sang suami. "En-
tahlah...!" ho...ho... hoaaak..!". Kembali si wanita mau
muntah. Dan akhirnya benar-benar muntah. Si laki-
laki cepat bangkit berdiri, dan bergegas ke luar kamar.
Hidungnya ditekannya kuat-kuat, terasa tak sanggup
dia menahan bau busuk yang menyebar di dalam ka-
mar. Pada saat itulah terdengar suara...
BRAKKK....! Daun jendela kamar itu telah pe-
cah berantakan. Dan sesosok tubuh melompat masuk.
Lalu terdengarlah jeritan seorang wanita menyayat ha-
ti, menyibak keheningan di pagi buta, Si laki-laki sua-
mi ibu muda itu jadi terkejut. Dia baru mau menyala-
kan api di dapur untuk memasak air. Sementara be-
naknya bertanya-tanya, entah bau busuk dari mana di
dalam kamar, yang membuat kepalanya pusing dan
perutnya mual mau muntah. Ketika sekonyong-
konyong mendengar suara gaduh dalam kamar. Dan
selanjutnya terdengar jeritan istrinya.
HAH? Apakah yang terjadi...? Sentak hatinya.
Bergegas laki-laki itu kembali ke kamar. Alangkah ter-
kejutnya laki-laki itu ketika melihat sesosok  tubuh
wanita berambut putih, berwajah menyeramkan ten-
gah mencengkeram dada mulus istrinya. Belum lagi
dia sempat mencegah, sudah terdengar suara...

JROSSS...BREL! Darah segera memuncrat ke
luar dari dada sang istri, disertai jeritan menyayat hati.
Ternyata si wanita setan telah benamkan lengannya
yang  berkuku panjang-panjang itu ke tubuh si ibu
muda. Dan ketika kembali mencabutnya, darah me-
nyembur keluar. Sementara di lengannya telah meme-
gang segumpal hati yang masih segar.
"Oh!? Tidaaak! tidaaaak..!". Teriaknya seraya
menghambur ke arah istrinya dengan jantung terasa
berhenti berdenyut. Akan tetapi ...BUK...!
BRRUAKK..! Tubuhnya sudah terpental kembali
menabrak dinding papan kamar yang pecah beranta-
kan, ketika kaki si wanita setan telah menjejaknya.
Menggelegak darah kental dari mulut laki-laki ini. Se-
pasang matanya mendelik.
"Iblis...! kka...kau bunuh is...tri...ku...!?
Aakh...hh...h..". Hanya sampai di situ teriakannya
yang tersangkut di tenggorokan. Selanjutnya laki-laki
itu sudah terkulai lepaskan nyawa.
Terdengar suara tertawa mengikik yang mem-
buat bulu tengkuk meremang. Suara tangis bayi yang
terjaga dari tidurnya mendadak berhenti. Selang tak
lama tubuh si wanita setan itu telah melesat ke luar,
meninggalkan bau busuk yang menyengat hidung me-
nyebar ke mana-mana.
Gemparlah seketika penduduk se isi desa itu,
ketika mengetahui di rumah  salah seorang penduduk
dijumpai tiga sosok tubuh terkapar tak bernyawa den-
gan keadaan tubuh yang sudah tak karuan. Siapa
yang tak bergidik melihat kekejaman luar biasa itu, ka-
rena wanita ibu muda yang baru saja menjelang 40 ha-
ri kelahiran bayinya telah tewas dengan keadaan da-
danya jebol bersemburan darah. Tubuh suaminya ter-
kapar tak bernyawa. Juga perutnya jebol. Dan tubuh si
jabang bayi yang tak berdosa itu dalam keadaan tidak

utuh lagi anggota badannya.
"EDDAN! Gila..! Benar-benar bukan perbuatan
manusia...! Siapakah yang telah melakukan pembu-
nuhan keji ini...?". Teriak seorang laki-laki bertubuh
kekar. Dadanya berbulu lebat, dengan cambang bauk
serta kumis melintang tebal di bawah hidungnya. Laki-
laki ini adalah jagoan di desa itu. Bernama BENDOT.
"Apakah bukan perbuatan binatang buas...!?.
Mak...maksudku anu...ma... macan!". Berkata salah
seorang kawan Bendot dengan tergagap. Wajahnya
tampak pucat pias. Ngeri sekali melihat keadaan tubuh
ketiga mayat itu.
"Tidak mungkin..! Di daerah sini tak ada macan
atau anjing serigala". Ujar Bendot dengan keras. Se-
mentara sepasang matanya mencari-cari jejak di ta-
nah. Tiba-tiba terdengar dia berteriak.
"Coba lihat! Ada tapak bekas kaki...!" Beberapa
orang segera memeriksa.
"He...? Benar! Ini bekas telapak kaki manusia!
Akan tetapi aneh!?".
"Apanya yang aneh..?" Tanya salah seorang
yang masih berkerudung sarung.
"Kau lihat! Kalau tapak kaki manusia tidak se-
panjang ini! Dan pada bagian ujungnya tampak mem-
bekas lima guratan panjang, seperti bekas kuku!"
Seketika semua orang tertegun. "Benar..!" Ujar
Bendot. Dengan penasaran dia mengikuti bekas-bekas
telapak kaki itu hingga lenyap di semak-semak. Teka-
teki adanya makhluk aneh yang telah meminta korban
tiga jiwa di desa itu tak terpecahkan. Namun mereka
segera bergegas mengurusi ketiga jenazah keluarga
yang making itu. Sementara yang lainnya sibuk men-
gurusi ketiga jenazah,
Bendot segera mengumpulkan beberapa orang
kawannya yang berani, untuk diajak menyelidiki jejak

makhluk pembunuh keji itu. Segera saja sembilan
orang telah mengiringi di belakang Bendot, dengan
senjata siap di tangan ada yang membawa tombak, go-
lok, dan belencong. Rata-rata yang turut dalam penye-
lidikan itu adalah orang-orang muda yang nyalinya be-
sar.
"Kita tak boleh membiarkan kejadian ini, begitu
saja! Aku mengkhawatirkan makhluk aneh itu akan da
tang lagi untuk meminta korban lainnya!" Berkata
Bendot.
"Betul..! Kalau bertemu, akan kucincang sam-
pai jadi lembuuuut sekali...!" Berkata Karta dengan
gemas.
"Kalau sudah lembut buat apa, Ta...?" Tanya
Werid kawan baiknya, yang bertubuh agak pendek.
"Hehehe.... akan kubuat perkedel, lalu... ku jejalkan ke
dalam mulutmu!" Sahut Karta mendongkol. "Setan,
kau..!" Teriak Werid seraya meludah. Dan sekonyong-
konyong. "HOAAAKK..!". Werid serasa perutnya jadi
mual, sementara hidungnya sudah mencium bau bu-
suk.
Beberapa orang tertawa melihat Werid yang
mendelik-delik matanya, mau muntah. Akan tetapi se-
ketika mereka pun merasakan perutnya menjadi mual.
Kiranya bau busuk semakin santar tercium hidung.
Cepat-cepat beberapa orang sudah menekan hidung-
nya masing-masing.
"Celaka, bau apa ini..? Hoaaakh..! Cuah...!" Te-
riak salah seorang disamping Bendot. Sementara laki-
laki tegap itu telah perhatian sekitarnya. Dalam pela-
cakan mencari jejak makhluk pembunuh keji itu, me-
reka telah sampai ke sebuah tempat yang banyak
tumbuh pohon Angsana. Tidak seperti lainnya Bendot
dapat menahan napas tanpa menekap hidung. Tampak
Bendot memperhatikan dari mana datangnya arah an-

gin.
"Ssssst....! Tahan napas kalian! Kita  berputar
ke arah timur! Ayo, ikut aku!" Bisik Bendot. Seraya
sudah mendahului berjalan di antara semak belukar.
Ke sembilan kawan-kawannya segera mengikuti di be-
lakang Bendot yang telah menyusup ke semak-semak.
Setelah memutar ke arah timur, bau busuk sudah
berkurang, dan lenyap. Ternyata Bendot menghindari
arah angin. Kini di  hadapan mereka adalah sebuah
bukit. Sebuah pohon Angsana yang besar tampak ter-
lihat di tempat ketinggian itu.
Bendot memberi isyarat agar berhati-hati. Se-
mentara sepasang matanya tak lepas menatap berkali-
kali ke arah bukit. Sementara salah seorang sudah
berbisik di telinga Bendot.
"Eh, Kang Bendot! Apa kau mau mengajak kami
naik bukit itu? Hiii...aku tak berani. Di atas bukit itu
adalah tempat sebuah Makam Tua yang sudah tak
pernah dikunjungi orang! Katanya tempat itu ang-
ker...!"
"Bodoh!" Desis Bendot. Laki-laki kekar bertam-
pang seram itu plototkan sepasang matanya.
"Justru kita mau mencari jejak makhluk pem-
bunuh keji itu! Siapa tahu bersembunyi di Makam Tua
itu! Aku curiga dengan bau busuk yang menyebar! Aku
mengira datangnya dari arah bukit itu!"
Bejo tiba-tiba menghampiri, dan menimbrung.
"Benar, kakang Bendot! Aku baru ingat kalau
telah mencium bau busuk yang serupa, ketika aku
pertama melihat keadaan di dalam rumah Gempol!".
Ujarnya serius.
"Kalau begitu kita atur siasat! Separuh dari ka-
lian dari arah selatan, dan separuh lagi mengikutiku
dari arah utara. Kita merayap naik ke atas!". Bisik
Bendot. Semua mengangguk tanda setuju. Segera tak

lama kemudian mereka berpencar dengan menyusup
hati-hati di antara semak belukar.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar wanita setan ini
mendengus di hidung. Ternyata dia telah mengetahui
akan kemunculan beberapa orang yang mendaki bukit
Makam Tua itu.
Tiba-tiba berhamburanlah beberapa sosok tu-
buh yang segera mengurung mereka dengan memben-
tak keras. Bendot sudah tak tahan menyaksikan ke-
biadaban manusia di depan matanya. "Manusia, atau
ibliskah kalian...? Kiranya bersembunyi di sini...!"
Teriakan Bendot diiringi dengan berlompatan
beberapa tubuh kawan-kawannya yang bermunculan
dengan golok dan tombak terhunus. Sekejap saja me-
reka sudah mengurung kedua wanita itu.
"Hihihi... hihi..! Kiranya kalian mau mengan-
tarkan nyawa datang kemari? Terdengar suara tertawa
si wanita setan, diiringi dengan suara dingin yang
membuat bulu tengkuk meremang. Tri Agni sudah
berdiri dari duduknya. Sementara Durgandini jadi ter-
kejut. Sepotong jari lengan bayi itu terlepas lagi dari
mulutnya yang berlepotan darah.
"Iblis-iblis terkutuk! Biadab! Kubunuh ka-
lian...!". Teriak Bendot seraya lompat menerjang ke
arah Durgandini. Goloknya yang besar itu berkelebat
menabas tubuh Durgandini. Wanita ini terkesiap, den-
gan sepasang mata terbeliak. Akan tetapi sebelum go-
lok itu berhasil menabas tubuh Durgandini, terdengar
laki-laki kekar itu berteriak parau, karena sekonyong-
konyong sebuah batu kecil telah menghantam golok-
nya.
TINGNG...! Terkejut Bendot, ketika rasakan
lengannya tiba-tiba kesemutan. Dan golok besarnya te-
lah lepas terpental.
BUK... Tahu-tahu rasakan dadanya kena ben-

turan keras. Tak ampun lagi Bendot terjungkal dengan
berteriak kaget, dan jatuh ngusruk mencium tanah be-
cek. Glogok!...! glogok...! Dia sudah muntahkan darah
kental dari mulutnya.
Seketika wajahnya berubah pucat. Namun
Bendot sudah mampu bangkit lagi seraya menyambar
lagi  goloknya yang terlempar di dekatnya. Sementara
tiga orang kawan Bendot telah perdengarkan jeritan
ngeri ketika tubuh si wanita setan itu berkelebatan
menghantam dengan terjangan kakinya yang amat ge-
sit. Bahkan sekali hantam telah membuat dada seo-
rang kawannya ambrol, perdengarkan suara berderak
tulang rusuk yang patah-patah.
Tiga prang kawan Bendot segera saja berkelojo-
tan meregang nyawa, yang tak lama kemudian telah
melepaskan nyawa.
Ternyata Karta, Werid dan Bejo telah melayang
nyawanya ke Akhirat dengan sekejapan saja. Bringas-
lah wajah Bendot. WHUK! WHUK! WHUK! Laki-laki ja-
goan desa itu telah menerjang, dan babatkan goloknya
yang menimbulkan suara angin.
"Hihihi... kau masih belum kapok rupanya! Bu-
kannya lekas-lekas menyingkir selamatkan jiwa...!"
Ujar Tri Agni dengan suara dinginnya. Tiga serang-
kaian serangan Bendot luput mengenai sasaran. Se-
mentara empat orang kawan laki-laki kekar telah ne-
kad menerjang Durgandini yang cuma terpaku mena-
tap pertarungan itu.
Terkejut si wanita Setan. Mana dia mau biar-
kan anak perempuannya jadi mangsa senjata keempat
orang desa itu?. Tri Agni mengetahui kalau Durgandini
tak mampu berbuat apa-apa, karena dia memang tak
menurunkan ilmu kedigjayaan pada sang anak, Tiba-
tiba wanita setan itu membentak keras. Tanpa menghi-
raukan serangan Bendot, lengannya bergerak menga-

rah pada keempat orang itu.
DWESSS..! Serangan angin keras bergelombang
dahsyat telah menghantam ke arah mereka. Tak am-
pun lagi terdengar suara. teriakan-teriakan ngeri, keti-
ka tubuh ke empat orang itu terlempar beberapa tom-
bak..Suaranya lenyap ketika tubuh-tubuh mereka ber-
jatuhan dari atas bukit Makam Tua. Akan tetapi Tri
Agni tak dapat menghindari tabasan kilat golok Ben-
dot,
DES..! DES...! DES...!
"Ibuuu...?" Teriakan Durgandini menyibak lagi,
ketika dengan sepasang  mata terbelalak dia melihat
kedua lengan sang ibu berpentalan putus. Bahkan te-
basan yang ketiga kalinya dari golok besar Bendot te-
lah memapas pinggang si wanita setan itu, hingga tu-
buhnya ambruk menjadi dua potongan. Darah segar
bermuncratan di tanah becek, di atas bukit itu. Tam-
pak Bendot menyeringai buas, seraya menatap hasil
serangan hebatnya. ...
"Hehehe...he... he... modarlah kau sekarang
manusia iblis!". Tiba-tiba dia sudah palingkan kepa-
lanya pada Durgandini. Tampak golok besarnya ber-
lumuran darah wanita itu. Terperangah Durgandini.
Wajahnya berubah pucat pias.
"Bagus, kang Bendot! Tinggal satu lagi wanita
iblis ini! Yang mampus itu mungkin ibunya! Kita balas
dendam kematian kawan-kawan kita...!". Teriak salah
satu dari dua orang kawan Bendot yang masih tinggal
hidup. Empat orang kawannya terlempar ke bawah
bukit tak dapat dipastikan lagi mati hidupnya. Seren-
tak kedua orang kawannya ini melompat ke arah
samping kiri dan kanan Durgandini. Satu memegang
tombak, satu mencekal blencong.
"Sikat kang Bendot! Bikin tubuhnya jadi empat
belas potong..!" Teriak sang kawan dengan gigi berke-

reot menahan geram. Bendot tertawa menyeringai, dan
melompat ke hadapan wanita permaisuri Raja itu. Go-
lok besarnya yang sudah berubah menjadi merah tersi-
ram darah itu dipegang dengan kedua tangan. "He-
hehe... hahaha... ha.. ha.. ha.." Bendot tertawa menga-
kak.
"Hari ini Bendot si Raja Golok akan mena-
matkan dua manusia iblis yang telah menyebar maut!"
Berkata laki-laki kekar berwajah penuh cambang bauk
itu, seraya kembali melangkah dua tindak. Sementara
Durgandini gemetaran menatap ke arah Bendot. Len-
gan bayi yang jari-jarinya sudah ludas dikremusnya itu
masih dipegangnya.
"Tidak! tidaaak!? Jangan bunuh aku...!
Ja...jangan...!" Akan tetapi mana Bendot mau men-
gampuni nyawa manusia yang telah banyak membuat
korban itu? Apalagi jelas manusia di hadapannya ada-
lah manusia setan, yang doyan daging manusia. Sege-
ra saja Bendot sudah kibaskan golok besarnya untuk
merencah tubuh wanita itu jadi belasan potong. Akan
tetapi tiba-tiba berkelebat sebuah  bayangan, disertai
bersyiurnya angin busuk. Tahu-tahu laki-laki kekar itu
terjungkal roboh, dengan teriakan parau. Sementara
goloknya telah berpindah tangan. Darah menyembur
dari punggungnya yang ambrol, ditembus sebuah len-
gan berkuku runcing. Siapa lagi kalau bukan perbua-
tan wanita setan Tri Agni. Tanpa berkelojotan lagi Ben-
dot langsung tewas tertelungkup di atas batu. Piaslah
seketika kedua orang kawan Bendot. Sepasang mata
mereka masing-masing terbeliak menatap pada manu-
sia di hadapannya. Seperti tidak. percaya pada pengli-
hatannya, mereka mengucap-ucak matanya.
"Hah..!? Dia... di... dia hidup la... lagi...??"
Teriak salah seorang dengan suara gemetar.
Sementara kedua lututnya mendadak jadi lemas. Un-

tungnya yang seorang cepat sadar, dan menggamitnya.
"Celaka..!? Cepat kita lari selamatkan jiwa....!"
Berkata sang kawan seraya menarik lengan
kawannya. Akan tetapi baru saja mereka beranjak
membelakangi, Tri Agni telah lepaskan pukulan tan-
gannya.
BLUG..! Terlemparlah kedua tubuh orang sial
itu ke bawah tebing, dengan perdengarkan  teriakan
menyayat hati. Lalu lenyap suaranya di bawah sana.
"Ibuuuu...!?? Oh!? kau...kau...". Teriak Durgan-
dini terperangah bercampur girang. Seraya berlari un-
tuk kemudian memeluk kaki sang ibu.
"Hihihi.. hihi...bangunlah, anakku! Tak usah
terkejut inilah kehebatan Ajian Dasajiwa!" Ujar
Tri Agni dengan tersenyum menyeringai.
"Oh, betapa hebatnya ilmu itu, ibu...!". Berkata
Durgandini seraya bangkit berdiri. "Hm, sabarlah
anakku! Kelak aku akan wariskan 'ilmu itu padamu,
bila urusanku sudah selesai...!". Berkata si wanita Se-
tan dengan nada angker.
"Oh, terima kasih, ibu...!" Sahut Durgandini
dengan tersenyum. Sementara matanya telah menatap
pada lengan bayi yang belum habis dimakannya.
"Nah, teruskan memakan...! Bukankah kau in-
gin merasakan mengidam, mengandung dan punya
anak?". Ujar sang ibu seraya beranjak untuk duduk di
akar pohon.
"Tentu, ibu...! Aku sudah tidak merasa jijik la-
gi...!".
"Hihihi... bagus! Sebentar malam aku akan ber-
semadhi untuk memohon pada Gusti Junjungan agar
mempercepat terkabulnya keinginanmu..!" Durgandini
mengangguk-angguk seraya mengkremus lagi sepotong
lengan bayi itu, dan mengunyahnya tanpa segan-
segan.

Malam mulai menyelimuti alam sekitarnya.
Tri Agni duduk di bawah pohon Angsana besar
itu dengan bersidakep tak bergeming. Tampak bibirnya
berkemak-kemik membaca mantera. Kiranya dia ten-
gah memohon pada Sang Raja Siluman Ular untuk
mengabulkan permohonannya, mempercepat kehami-
lan anaknya. Durgandini duduk bersimpuh di hadapan
sang ibu. Tundukkan wajahnya, dengan hati yang su-
dah dikosongkan. Dia telah jalani syarat utama yang
merupakan jalan untuk diterimanya permohonan itu.
Syarat-syarat selanjutnya adalah di belakang had bila
kelak sudah terkabul dan terlaksana apa yang diidam-
idamkannya. Sepotong bulan mengambang di langit
kelam. Beberapa ekor kelelawar terbang melewati bukit
tempat Makam Tua itu. Selang tak lama, tiba-tiba an-
gin berhembus keras merontokkan dedaunan. Hawa
sekonyong-konyong berubah jadi dingin mencekam.
Dan sepotong bulan itu tiba-tiba lenyap tertutup kabut
hitam. Durgandini tak berani membuka matanya.
Dengan tekun tetap dia duduk bersimpuh mengosong-
kan pikirannya.
Tiba-tiba terdengar suara di atas kepala Dur-
gandini. Terkesiap wanita ini. Tadinya dia sudah mau
melihat ke atas, akan tetapi diurungkan. Karena sege-
ra teringat akan kata-kata Sang Raja Siluman, agar dia
tak perlu terkejut bila menghadapi satu keanehan.
Saat itu di atas kepala Durgandini, kira-kira jarak lima
kaki tampak asap hitam bergulung-gulung melakukan
beberapa kali putaran. Putaran asap hitam itu sema-
kin cepat, dengan diiringi suara berdesis Ular Siluman.
Lama-kelamaan asap itu pun membentuk seekor ular
raksasa. Tiba-tiba ekornya menjulur ke bawah...
Dan selanjutnya telah membelit tubuh Durgan-
dini. Saat berikutnya, dengan sekali  sentakan tubuh
Durgandini telah melayang ke atas. Lalu disambut lagi

oleh belitan Ular Raksasa itu, yang kemudian kembali
berubah menjadi asap hitam yang berputar-putar. Lalu
lenyap. Dan bersamaan itu, sepotong bulan di langit
kembali menampakkan diri. angin berhenti meniup,
dan cuaca kembali berubah seperti sediakala...
Tri Agni pelahan-lahan membuka matanya, dan
melihat Durgandini sudah tak berada lagi dihadapan-
nya. Tampak wanita setan ini tampilkan senyuman
menyeringai. Dan terdengar suara helaan napasnya,
disertai suara bergumam lirih.
"Ohh..! Sukurlah! permohonanku terkabul. Te-
rima kasih, Gusti Junjungan...!''. Tak berapa lama dia
sudah bangkit berdiri. Wajahnya mengadah menatap
ke langit, lalu alihkan pada rembulan sepotong. Ter-
dengar suara tertawanya mengikik. Tak lama dia su-
dah berkelebat pergi, melesat cepat menuruni bukti
Makam Tua itu. Dan tubuhnya lenyap di keremangan
malam....

***

DUA

Kita ikuti dulu satu kejadian mengerikan di se-
buah lembah yang terletak di wilayah sebelah barat
Kerajaan MATSYAPATI. Burung-burung elang tampak
berseliweran di angkasa. Di mana di bawahnya ada se-
buah lembah yang luas. Inilah yang bernama Lembah
Tengkorak. Ternyata keadaan di lembah itu tengah
berlangsung satu pertarungan seru yang telah mem-
bawa banyak korban jiwa.
Hampir tiga puluh orang terdiri dari beberapa
belas orang kaum persilatan, dan sisanya adalah
laskar dari pasukan Kerajaan telah banyak yang tewas.

Sisa-sisanya tinggal belasan orang saja. Mayat-mayat
bergelimpangan di sana-sini. Sementara belasan orang
tampak tengah mengurung sesosok tubuh berambut
panjang beriapan, yang bila sepasang lengannya berge-
rak, akan membawa korban. Siapa gerangan manusia
sakti yang demikian tangguh itu? Ternyata tak lain da-
ri TRI AGNI, si wanita setan yang memiliki Ajian RA-
WARONTEK. Sejak kebangkitannya kembali, Tri Agni
menyebar maut di mana-mana. Kedatangannya ke
Lembah Tengkorak adalah mencari si TANGAN KILAT,
yang pada 10 tahun belakangan telah berhasil mem-
bunuhnya. Namun Tri Agni masih bisa hidup berkat
Ajian RAWARONTEK yang dimilikinya. Ternyata si
Tangan Kilat tak menyangka akan menjumpai wanita
setan itu lagi, karena dia sudah mendengar kabar ke-
matian Tri Agni. Bahkan sudah lebih 10 tahun dia hi-
dup tenang di lembah itu. Dan bahkan si Tangan Kilat
sudah mendirikan sebuah Perguruan yang cukup be-
sar dan terkenal di lembah Tengkorak, dengan mem-
punyai belasan orang murid. Tak dinyana saat laki-laki
berusia 50 tahun itu tengah melatih tenaga dalam di
ruang padepokan, didengarnya beberapa orang anak
buahnya tengah ribut-ribut dengan seseorang. Terak-
hir didengarnya beberapa teriakan ngeri. Ketika dia
melompat keluar, ternyata tiga orang anak buahnya te-
lah tewas terkapar.
Hihihi... hihi... Tangan Kilat! Aku datang untuk
menagih nyawamu...!". Terkejut Ketua Perguruan Lem-
bah Tengkorak ini, ketika mengenali TRI AGNI si wani-
ta setan itu. Celaka..!? Sentak hatinya Segera saja dia
telah keluarkan suitan keras memanggil para anak
buahnya. Sebentar saja belasan anak-anak buahnya
sudah berdatangan. Dan tanpa diberitahu sudah sege-
ra mengurung  Tri Agni, karena tiga orang mayat ka-
wannya yang menggeletak mandi darah sudah menan-

dakan adanya pembunuhan. Kalau di tempat itu ada
sesosok tubuh yang kedua lengannya berlepotan da-
rah, siapa lagi kalau bukan wanita itu pembunuhnya.
Belasan senjata segera terhunus. Dan serentak
saja terjadilah pertarungan yang membawa banyak
korban bergelimpangan. Pada saat terjadi pertarungan
itu, kebetulan melintas di jalan ke lembah itu sepasu-
kan Kerajaan yang dipimpin oleh seorang Tumeng-
gung. Kiranya adalah Tumenggung dari Kerajaan
MATSYAPATI, yang bernama KI MERANGGI. Sang Tu-
menggung adalah utusan dari Kerajaan, yang kedatan-
gannya ke lembah itu adalah untuk menjumpai si Tan-
gan Kilat. Yaitu untuk meminta bantuan tokoh Rimba
Hijau itu untuk menjaga keamanan di Kota Raja. Ka-
rena Kota Raja dalam keadaan genting. Ki Meranggi
adalah saudara tua si Tangan Kilat yang menjadi orang
Kerajaan. Tak dinyana kedatangannya bertepatan den-
gan kejadian itu. Segera saja Tumenggung Meranggi
perintahkan lasykarnya membantu meringkus wanita
yang mengamuk dan telah banyak menewaskan anak
buah si Tangan Kilat. Demikianlah, hingga terjadi per-
tarungan maut di lembah itu yang meminta banyak
korban jiwa. "Wanita iblis, rasakan tanganku...!".
WHUT!
WHUT! WHUT! Tiga serangan beruntun mema-
pas bagaikan kilat ke arah tubuh Tri Agni. Namun
dengan perdengarkan suara tertawa dingin tubuh Tri
Agni memutar keras, dan...
BLUK! Satu tendangan mengenai punggung si
Tangan Kilat. Laki-laki bertubuh agak pendek itu men-
geluh, disertai terhuyungnya sang tubuh. Akan tetapi
hal itu tak membuatnya cidera. Tenaga dalamnya telah
terlatih, dan semakin tua semakin berisi. Segera si
Tangan Kilat pasang jurus-jurus andalan yang selama
ini telah diperdalam di Lembah Tengkorak- Sementara

Ki Meranggi telah membaca  mantera.  Tiba-tiba keris-
nya berubah memancarkan sinar berwarna biru.
Selesai berkomat-kamit, laki-laki Tumenggung
ini membuat satu lompatan ke atas tubuh Tri Agni, in-
ilah satu jurus dari lima jurus sakti yang dimilikinya.
Yaitu jurus Gagak Dewa mematuk Naga. Keris bersinar
biru itu membuat kilatan yang menyilaukan mata Tri
Agni. Dan rasakan kelumpuhan pada syarafnya. Se-
mentara tujuh kali kilatan di depan mata itu, salah sa-
tunya berhasil menancap di mata Tri Agni. CRASS...!
Darah segar menyemburat, dan biji mata wanita setan
itu tersontek mental. Pada saat yang bersamaan si
Tangan Kilat telah lompat menerjang dengan memutar
ke arah belakang, seraya lancarkan serangan jurus Li-
dah Kilat Menyambar.
"HUSSSSH...! Punggung Tri Agni robek hangus.
Tubuhnya terpental bergulingan delapan tombak, ber-
bareng dengan melejitnya sebelah biji matanya.
Pada saat tubuh Tri Agni terlempar bergulingan
itu, tiba-tiba si Tangan Kilat telah bergerak melompat
menyusulnya. Lengannya menyambar sebilah golok
yang tergeletak di tanah. Dan....
GRAS! CRAS! CRAS! CRAS!.....CRAS! Entah be-
rapa kali dia membacok. Nyatanya tubuh si wanita si-
luman telah di  cincangnya sampai lumat, hingga tak
berbentuk lagi. Tidak sampai di situ saja. Tiba-tiba tu-
buhnya berkelebat ke arah samping, dan menyambar
sebuah batu gunung yang besarnya sepemeluk. Selu-
ruh tenaganya dikeluarkan untuk mengangkat batu
besar itu, hingga sampai otot-ototnya bersembulan.
Dan selanjutnya, sudah beranjak cepat mendekati
mayat Tri Agni.
BRUGG!!! Enam orang laskar  Tumenggung Ki
Meranggi dan tiga orang anak buah si Tangan Kilat pa-
lingkan wajahnya, tak kuat melihat adegan ngeri itu.

Karena kepala si wanita setan itu telah hancur luruh
tak kelihatan lagi, membenam ke  dalam tanah. Se-
dangkan batu besar itu sendiri hampir separuhnya
melesak.
"Hehehe... hehehe... modarlah kau perempuan
siluman!". Terengah-engah si Tangan Kilat menatap
mayat lawannya. Tenaganya seperti terkuras habis.
Diam-diam laki-laki ini menyadari akan keletihan tu-
buhnya, karena perbuatan barusan telah dilakukan-
nya dengan penuh emosi. Hingga mengeluarkan ba-
nyak tenaga berlebihan. Namun dia tampak puas, dan
bersyukur dapat melumatkan tubuh si wanita setan,
yang telah bangkit kembali sejak 10 tahun kematian-
nya. Sementara Ki Meranggi sudah melompat mende-
katinya.
"Alangkah berbahayanya wanita keji ini!. Sia-
pakah dia adikku..?". Tanya Tumenggung Ki Meranggi.
"Dialah wanita siluman TRI AGNI yang pernah
kuceritakan beberapa tahun yang silam padamu, ka-
kang..!
"Hah!? Wanita itulah ibunya Permaisuri DUR-
GANDINI yang lenyap entah kemana! Aku baru menge-
tahui setelah diceritakan oleh Senapati SATRYO..!".
Sentak sang Tumenggung, wajahnya seketika berubah
pucat. "Apakah dia tak akan bangkit lagi?"
"Mudah-mudahan tidak!" sahut si Tangan Kilat
terengah.
"Kedatanganku adalah justru man mengabari
kau agar segera datang ke Kota Raja, atas perintah Ba-
ginda!". Tutur Ki Meranggi.
"Ada kerusuhan apa di Kota Raja..?". Tanya si
Tangan Kilat, seraya duduk mendoprok. Tampak dia
berusaha menghilangkan keletihannya. Dan seko-
nyong-konyong perutnya terasa sakit. Cepat-cepat dia
mengatur pernapasan untuk menghimpun kembali te-

naga dalamnya yang terkuras habis. Ki Meranggi ke-
rutkan keningnya, dan masukkan kembali kerisnya ke
dalam kerangka di belakang punggungnya. Segera dia
berjongkok, dan bantu memulihkan kekuatan si Tan-
gan Kilat, adiknya itu. Namun cepat-cepat laki-laki itu
menolaknya.
"Sudahlah, aku tak apa-apa, kakang..! Cerita-
kanlah. ada kejadian apa di Kota  Raja....!". berkata si
Tangan Kilat.
"Kejadiannya sukar diceritakan! Yang jelas, ba-
nyak kejadian pembunuhan tanpa diketahui siapa
pembunuhnya!" Ujar sang Tumenggung.
"Akan tetapi... nantilah aku ceritakan. Kita ha-
rus mengebumikan dulu para korban ini!". Ujar sang
Tumenggung, yang telah layangkan pandangan ke se-
putar tempat itu. Memandang mayat-mayat dari para
anak buah si Tangan Kilat dan belasan lasykarnya
yang berserakan tumpang tindih. Segera Ki Meranggi
menggapai pada sisa enam orang anak buahnya yang
bersatu mengumpul dengan tiga orang anak buah
adiknya itu. Lalu perintahkan mereka bantu menggali
lubang. Kira-kira pada gelincir Matahari sore barulah
selesai pekerjaan mengebumikan para jenazah itu,
yang dipendam dijadikan satu dalam sebuah lubang
besar.
Tampak wajah Tumenggung Ki Meranggi me-
nampilkan keharuan. Walau bagaimanapun mereka
adalah pahlawan-pahlawan yang sudah gugur dalam
menjalankan tugas. Pekerjaan terakhir adalah memba-
kar mayat TRI AGNI si wanita setan itu, yang ternyata
memang tak mampu untuk bersatu kembali jasad yang
sudah hancur cerai berai itu. Bahkan bagian kepa-
lanya telah remuk redam terhantam batu besar itu,
yang melesak amblas ke dalam tanah. Sisa-sisa tu-
buhnya yang kelihatan  itulah yang dibakar musnah,

menimbulkan bau sangit yang menyengat hidung. Se-
lang tak lama, mereka segera tinggalkan Lembah
Tengkorak, untuk menuju ke Kota Raja. Lenyap sudah
satu masalah, dengan musnahnya Tri Agni si wanita
setan itu. Akan tetapi mereka akan banyak menghada-
pi masalah lain, yaitu munculnya pembunuh misterius
yang menggegerkan wilayah Kota Raja.
Akan tetapi mereka tak akan pernah menyang-
ka kalau sesuatu yang sudah dianggapnya tak mung-
kin terjadi, ternyata telah terjadi lagi. Lembah Tengko-
rak yang dianggapnya adalah tempat yang menjadi ku-
buran kematian Tri Agni si wanita setan itu, ternyata
masih menimbulkan bencana. Karena di saat api dan
asap yang membakar serpihan-serpihan tubuh Tri Agni
padam, angin telah berhembus kencang ke arah lem-
bah itu. Udara mendadak menjadi gelap. Petir mengge-
legar di angkasa, memancarkan lidah-lidah yang ber-
kredepan. Tiba-tiba batu besar itu terguncang-
guncang, seperti terungkit keluar dari dalam tanah,
Batu yang melesak hampir separuhnya itu tiba-tiba
benar-benar terungkit. Dan menggelinding dari lubang
bekas melesaknya.
Apakah yang terjadi? Ternyata kepala TRI AGNI
yang sudah hancur lumat itu menyatu kembali. Bah-
kan selembar rambut pun tak ketinggalan untuk kem-
bali melekat di kulit kepala manusia setan itu. Semen-
tara di bekas pertarungan tadi telah melesat cepat se-
kali sesuatu yang bergerak. Ternyata adalah sebelah
biji mata Tri Agni yang tadi tercongkel keris bertuah
sang Tumenggung. Lalu kembali menyatu, membenam
lagi dalam kelopak mata wanita setan itu. Cuma sisa-
sisa tubuhnya yang terbakar itu sajalah yang tetap tak
dapat kembali ke asal. Sekejap antaranya sebuah ke-
pala sebatas leher telah meluncur keluar dari dalam
lubang itu. Tampak kepala wanita setan itu berputar-

putar mencari bagian-bagian tubuhnya yang lain.
Akan tetapi tak ditemukan.
"Keparat...! Mereka telah membakar tubuhku!
Tunggulah pembalasanku Tangan Kilat, dan kau Tu-
menggung serta penghuni Istana Kerajaan MATSYAPA-
TI....! Hihihi.....hihi.... termasuk juga manusia-manusia
yang telah menghancurkan kebahagiaan anakku....!"
Selanjutnya kepala si manusia setan itu sudah melesat
cepat meninggalkan lembah Tengkorak. Sementara cu-
aca kembali seperti sediakala.
Kita lihat kembali keadaan di atas bukit di ma-
na terdapat Makam Tua.... Durgandini ternyata telah
berada lagi di bawah pohon Angsana besar itu.
"Eh, kemanakah gerangan ibu....?H. Gumam-
nya seraya palingkan wajahnya ke sana ke mari. "Hihi-
hi... ibu pasti sedang mencarikan makanan  untukku
lagi! Tapi aku... aku sudah tak sabar rasanya! Aneh,
mengapa aku jadi mengilar untuk meminum darah?
Apakah aku tengah mengidam.?". Desisnya lirih. Tiba-
tiba di kejauhan dia melihat sebuah benda melayang
ke arahnya. Cepat sekali menukik ke bukit Makam Tua
itu. Dan segera telah tiba di hadapan Durgandini Ter-
nyata adalah kepala si wanita  setan TRI AGNT..
Keduanya jadi sama-sama terkejut. Durgandini
hampir tak percaya melihat siapa adanya kepala putus
yang melayang di hadapannya, dan berhenti menggan-
tung di udara menatap ke arahnya.
"I... ibu...??! Kau... kau...?!? Apakah yang telah
terjadi dengan mu itu?!" Teriak Durgandini tergagap,
juga terperangah melihat sang ibu yang sudah tak ber-
tubuh lagi itu.
Bukannya menjawab, sang ibu bahkan mena-
tap dengan bercucuran air mata.
"Ibu! Katakanlah! Siapa manusianya yang telah
memperlakukan kau hingga demikian?". Teriak Dur-

gandini dengan sepasang mata linangkan  air mata.
Namun tak lama si wanita setan ini sudah tertawa
mengikik, seraya berkata.
"Nantilah ibu ceritakan! Kau sudah kembali
anakku?" Tanya Tri Agni seraya tampilkan wajah gi-
rang.
"Sudah ibu...! bahkan aku rasanya seperti ten-
gah mengidam?". Sahut Durgandini dengan senyum
dipaksakan. Sementara dia sudah buru-buru menyeka
air matanya yang menitik.
"Oh,  syukurlah! Sesuai dengan janji  ku, ibu
akan mewariskan Ilmu Ajian RAWARONTEK pada mu,
anakku...!". Ujar Tri Agni dengan menatap tajam pada
sang anak.
"Se...sekarang, ibu...?". Tanya Durgandini kehe-
ranan, tapi juga girang.
"Ya! Sebentar, ibu harus memohon petunjuk le-
bih dulu pada Gusti Junjungan...!". Ujar Tri Agni, se-
raya kepalanya melayang ke balik pohon Angsana. La-
lu lenyap. Sementara Durgandini cuma terpaku bin-
gung. Banyak sudah keanehan telah dialami. Sejak dia
dibawa melayang oleh Raja Siluman Ular ke alam yang
penuh kegaiban. Dan Durgandini memang harus me-
lakukan persanggamaan dengan seekor ular besar
yang diperkirakan adalah Raja Siluman Ular itu sendi-
ri. Tak memakan waktu lama, karena tahu-tahu Dur-
gandini telah berada kembali di bawah pohon Angsana
besar itu menjelang siang hari. Dan dapatkan ibunya
telah tak berada di tempatnya lagi.
Juga satu keanehan yang dirasakan Durgandi-
ni adalah dia telah merasakan dirinya mengidam. Ya!
mengidam untuk minum darah. Terasa menggebu-
gebu untuk segera melampiaskan keinginannya yang
sukar tertahankan. Tengah Durgandini termangu-
mangu itu tiba-tiba dari balik pohon Angsana besar itu

membersit keluar sebuah cahaya merah. Cahaya itu
meluncur ke arahnya... Dan tahu-tahu lenyap. Namun
anehnya Durgandini rasakan tubuhnya jadi berubah.
Seperti ada sesuatu yang menjelma dalam gua gero-
baknya. Cahaya apakah itu? Pikir Durgandini. Akan
tetapi tak lama berselang dia sudah mendengar satu
suara halus. Halus sekali. Itulah suara ibunya, yang
membisik di relung hatinya.
"Durga, anakku! Sukma ibumu telah berada
dalam tubuhmu...! Berarti kau telah memiliki segala
kesaktian ibu! Dan ilmu Ajian Dasa Jiwa dengan sen-
dirinya telah berpindah ke dalam tubuhmu! Lakukan
apa yang menjadi kehendakmu..! Jangan  khawatir!
Kau takkan kehilangan ibumu! Karena sewaktu-waktu
ibu bisa keluar kalau kau memerlukan bantuan ibu!
Hihihi...hihi.. nah! bukankah kini kau tengah mengi-
dam, bukan? Carilah apa yang kau hasrat kan itu! Ke-
lak tentu ibu akan membimbingmu untuk mele-
nyapkan manusia-manusia yang kau benci, untuk me-
lepaskan sakit hati dan dendam kesumatmu! Hihi-
hi...hihi..."
Terkesiap Durgandini akan tetapi juga girang
dan terharu. Dengan suara menggelegar menahan ke-
haruan perasaannya Durgandini menyahuti suara di
relung hatinya itu.
"Terima kasih, ibu...! Oh, terima kasih juga pa-
da Gusti Junjungan...!". Selesai berujar, tiba-tiba Dur-
gandini tertawa mengikik yang membuat bulu tengkuk
meremang. Tak lama tubuhnya sudah berkelebat dari
atas bukit Makam Tua itu. Melesat cepat bagaikan
hembusan angin.


***


TIGA

Seorang pemuda berbaju putih yang kumal,
tampak tengah berjalan di satu lereng bukit. Peman-
dangan di sekitar tempat itu memandang indah. Po-
hon-pohon nyiur berderet-deret di sepanjang jalan. Me-
lihat dari tampangnya, pemuda ini baru berusia sekitar
dua puluh tahun. Wajahnya tidak terlalu tampan,
akan tetapi memang boleh dibilang tak sedap dipan-
dang. Karena penuh daki tak terurus. Namun juga tak
bisa dibilang jelek. Cukup gagah walau pakaiannya lu-
suh. Dari sikapnya yang sering memandang berkelil-
ing, sudah dapat diduga kalau pemuda ini seorang pe-
rantau yang baru datang ke daerah ini.
Bahkan sebuah buntalan yang terbuat dari ba-
han kasar yang sudah bertambal tergantung di sebelah
bahunya. Namun dapat dipastikan pemuda ini bukan-
lah pemuda biasa, karena pada bahu sebelah kanan-
nya tersembul keluar sebuah gagang pedang. Rambut-
nya yang agak ikal itu dibalut dengan ikat kepala war-
na putih yang juga sudah kumal. Panas terik yang
membakar bumi siang itu membuat kepala si pemuda
beberapa kali menengadah ke atas, ke puncak pohon
kelapa. Membersit keluar air liurnya. Namun kakinya
terus juga melangkah. Kini sudah memasuki sebuah
jalan yang rata.
"Heh, jalan ini pasti menuju ke desa! Halusnya
bukan main...! Entah siapa pemilik kebun kelapa
ini...!" Menggumam pemuda ini, seraya memandang
pada deretan pohon-pohon kelapa yang berjajar di kiri-
kanan jalan. Ketika tiba-tiba... Bulk! Sebutir buah ke-
lapa telah jatuh di dekatnya.
"Ha!?" Kebetulan! Hashanah...! Sentak pemuda
itu dengan wajah membersit girang. Seraya beranjak

melompat untuk mengambilnya. Mudah-mudahan ke-
lapa muda! Pikirnya. Nasib baik rupanya, karena kela-
pa yang jatuh itu memang kelapa muda yang masih hi-
jau. Tentu saja girangnya bukan kepalang. Segera saja
dia telah mencabut pedang yang tersoren di punggung.
Dan... Cras! Cras! Cras! Cepat sekali gerakan pedang-
nya mengupas sebagian buah kelapa muda itu. Dan
sebentar kemudian ujung pedangnya sudah dipergu-
nakan untuk membolongi bagian yang sudah terkelu-
pas  kulitnya itu. Kemudian masukkan kembali pe-
dangnya dalam kerangka di punggungnya. Dan tak ay-
al, segera sudah menenggaknya sampai ludas.
"Haahaheheh... segar!" Ujarnya, seraya melem-
parkan buah kelapa yang sudah tak berair itu ke tepi
jalan. Akan tetapi pada saat itu sudah terdengar ben-
takan keras, diiringi berkelebatnya beberapa sosok tu-
buh dari balik semak.
"Kurang ajar! Enak saja kau mencuri buah ke-
lapa! Memangnya milik bapak moyangmu?". Teriak sa-
lah seorang yang berada di hadapan pemuda itu. Lima
orang laki-laki berpakaian hitam dengan wajah-wajah
seram, dan kumis melintang telah mengurung pemuda
itu. Masing-masing menyoren senjata di pinggang. Me-
lihat dirinya dikurung sedemikian, si pemuda ini tam-
paknya tidak terkejut. Bahkan dengan tertawa-tawa
dia berkata, sambil lirikkan matanya kekiri dan kanan.
"Hahaha...hahaha... apakah memungut kelapa
yang jatuh sama dengan mencuri?". Tanya pemuda itu
sambil berpeluk tangan.
"Mana ada kelapa muda yang jatuh dari pohon?
Otakmu kurang waras barangkali anak muda! Kalau
ada kelapa muda yang jatuh, berarti ada yang meme-
tiknya!". Teriak orang-orang yang berada di sebelah kiri
jalan. Laki-laki ini bertubuh jangkung dengan baju hi-
tam dan celana lurik. Di pinggangnya terselip sebuah

golok yang bergagang ukiran kepala burung.
"He!? benar juga! Tapi toh aku tidak mencuri...!
Aku cuma memungutnya di tanah!" Berkata si pemuda
membela diri.
"Tidak bisa! Kau telah mencuri juga walaupun
memungut di tanah atau di atas pohon!" Bentak laki-
laki di hadapan si pemuda itu yang berkumis baplang.
"Ketahuilah, kebun kelapa ini adalah milik Ra-
den Mas Cucak Ijo!". Ujarnya lagi dengan wajah bengis.
Tampak si pemuda jadi melengak.
"Siapakah Raden Mas Cucak Ijo Itu...?". Kata si
pemuda dengan wajah seperti orang tolol.
"Beliau adalah penguasa di daerah ini! yang te-
lah mendapat kepercayaan dari Gusti Patih BUNTA-
RAN!" Sahut laki-laki berkumis baplang alias tebal itu.
"Ooo..." Ujar si pemuda dengan manggut-
manggut. Akan tetapi seperti tak perduli siapa pemilik
kebun kelapa itu, dia sudah menyahut seenaknya.
"Hm, kalau begitu biarkanlah aku lewat! kata-
kan pada Gusti Patih kalian bahwa aku telah memun-
gut kelapanya sebutir!" ujarnya.
Terjungkat alis si kumis tebal. Berani benar
anak muda ini bicara sembarangan?
"Tunggu! Kau sebutkan dulu siapa namamu!
Mulutmu terlalu lancang bicara, anak muda! Punya
andalan apakah kau di daerah ini! Majikan kami Ra-
den Mas Cucak Ijo telah kau anggap sepi, bahkan be-
rani lancang bicara untuk laporkan pada Gusti patih
segala...!". Berkata si kumis tebal. Kiranya dia inilah
yang tadi telah pergunakan sebutir batu kecil me-
nyambut gagang kelapa muda di atas pohon. Tentu sa-
ja si pemuda ini telah mengetahui sejak tadi. Juga
adanya beberapa sosok tubuh yang sembunyi di balik
semak. Namun tampaknya dia hanya berpura-pura ti-
dak mengerti. Karena jelas kalau mereka ini memang

sengaja mencari gara-gara.
"Hahaha... sudahlah, aku mau lewat! Katakan
pada Patih atau pada si majikanmu Cucak Ijo sama sa-
ja! Apakah memungut sebutir kelapa bisa mendapat
hukuman penggal leher!?". Ujar si pemuda dan me-
langkah seenaknya, tanpa rasa takut dan perdulikan
orang yang menghadang di depan.
"Kunyuk dekil ini rupanya mau mampus! Tak
perlu jauh-jauh untuk kau mengantarkan kepalamu!
Akulah yang akan memenggal lehermu..!" Bentak laki-
laki berkumis tebal itu, yang ternyata adalah pemim-
pin dari lima orang anak buahnya. Dan segera saja la-
ki-laki itu telah mencabut golok tipisnya dari pinggang.
"Heh, agaknya kau punya nyali juga, anak mu-
da! Sebutkan siapa namamu, dan apa keperluanmu
memasuki daerah terlarang ini!". Bentaknya kasar. La-
ki-laki pemimpin kelima orang itu adalah yang berna-
ma Jebul Ireng. Seorang yang berilmu tinggi yang men-
jadi pengawas di perkebunan kelapa itu.
Sementara kelima orang yang mengurung pe-
muda itu pun masing-masing sudah mencabut keluar
senjatanya, yang rata-rata adalah sebilah golok.
"Aii, apakah namaku cukup berarti buat ka-
lian?!" Tanya si pemuda yang segera menahan  lang-
kahnya.
"Hehehe... dari gagang pedangmu yang terukir
bagus itu, sudah dapat kulihat kau tentu bukan orang
sembarangan! Juga tadi telah kulihat kau mengupas
kelapa, bahwa pedangmu itu memang bukan pedang
biasa! Kalau kau mau serahkan pedangmu sebagai ja-
minan, aku akan perkenankan kau lewat! Kelak bila
telah selesai urusanmu, silahkan kembali ke mari un-
tuk kau mengambil kembali!". Ujar si kumis tebal ber-
nama Jebul Ireng.
Lagi-lagi pemuda itu naikkan alisnya. Bagi seo-

rang petualang  rimba Persilatan hal demikian adalah
termasuk satu penghinaan. Karena pedang dan pemi-
liknya adalah ibarat kulit dengan daging. Kalau tadi
wajah pemuda ini tampak biasa-biasa saja, akan tetapi
kini sepasang matanya membersit tajam menatap
orang di hadapannya. Seraya tiba-tiba keluarkan suara
tertawa dingin. ,
"Hahaha... bagus! Aku sudah tak ingat namaku
sendiri! Dan aku memang tak punya gelaran apa-apa!
Kalau kalian semua menginginkan pedang pusaka ini,
silahkan ambil dari tanganku!" Berkata  si pemuda.
Aneh, sura itu seperti mengandung satu kekuatan te-
naga dalam, yang terdengarnya bagaikan membuat
jantung seperti tergetar. Diam-diam Jebul Ireng terke-
jut juga. Akan tetapi mana jagoan ini mau unjukkan
wajah kaget di hadapan seorang pemuda dekil yang be-
lum diketahui namanya? Bahkan menimpali dengan
kata-kata sebagai jawabannya.
"Hahahehe...tak tahunya cuma seorang pemu-
da linglung yang kesasar dari kuburan! Gembel sema-
cammu masih berani jual lagak di depan tuan besarmu
Jebul Ireng si Lutung Dewa...!" Hahehehehe.. benar-
benar keterlaluan..!" Kata-kata ejekan itu tentu saja
membuat kawan-kawan lainnya jadi tertawa berkaka-
kan. Akan tetapi bukannya  marah, justru si pemuda
itu tiba-tiba ikut tertawa.
"Hohahaha...hahaha.. ya! ya! kini aku baru in-
gat siapa gelaranku! Itulah si DEWA LINGLUNG! Orang
Rimba Hijau menyebutku demikian!". ujar si pemuda
dengan wajah menampilkan kegirangan. Tentu saja
semua yang tertawa jadi terdiam seketika bagaikan su-
ara jengkerik terinjak. Sementara Jebul Ireng jadi me-
lengak. Karena dia merasa berhadapan dengan seorang
pemuda tolol yang aneh. Jangan-jangan orang sinting
yang ku ladeni ini! Pikir Jebul Ireng.

"Hahaha...haha terima kasih, terima kasih! Kau
telah mengingatkan kembali julukanku, Lutung
Ireng...!". Merah seketika wajah Jebul Ireng, karena
Lutung Dewa telah dirubah seenaknya saja menjadi
Lutung Ireng. Namun agaknya laki-laki ini masih bisa
menahan sabar. Dan bahkan memberi isyarat pada
anak buahnya untuk bertindak terlebih dulu.
"Eh, Dewa Linglung yang nyasar dari kuburan!
Boleh ku coba merebut pedangmu itu!?" Teriak salah
seorang dari anak buah Jebul Ireng, seraya mene-
baskan goloknya ke arah pinggang. Akan tetapi cepat
sekali gerakan pemuda itu, ketika tahu-tahu...
Tuk! seraya diiringi kata-kata. "Hahaha... boleh!
boleh...!Namun tiba-tiba si penyerang itu mendadak
tebaskan goloknya seraya menjerit kesakitan, Lalu ber-
jingkrakan memegangi lengannya yang jadi terkulai
sebatas pergelangannya. Ternyata telah terlepas sam-
bungan tulangnya. Tentu saja sakitnya bukan main.
Tampak tadi dengan cepat sekali si pemuda miringkan
tubuhnya, seraya gerakkan sebelah lengannya meno-
tok pergelangan si penyerang itu.
Melihat demikian keempat kawannya segera
maju berbarengan mengirim serangan goloknya mas-
ing-masing, diiringi, bentakan-bentakan  keras. Akan
tetapi sekali si pemuda itu putarkan tubuh, ke empat
penyerang itu kembali perdengarkan jeritan keras den-
gan masing-masing goloknya terlempar berpentalan.
Kali ini bukan masing-masing lengan mereka
yang lepas sambungannya, akan tetapi masing-masing
gigi mereka yang rontok berhamburan. Karena dengan
gerakan memutar tubuh itu, lengan dan kaki si pemu-
da itu telah bergerak cepat sekali menghantam dagu ke
empat penyerang itu. Hingga tak ampun lagi mereka
jatuh bergulingan ke empat penjuru. Betapa terkejut
dan gusarnya si Lutung Dewa melihat kejadian itu.

Dengan bentakan keras menggeledek tubuhnya men-
dadak melompat ke arah pemuda itu, diiringi serang-
kaian tebasan golok tipisnya yang bersuara bersiutan.
WHUT! WHUT! WHUT! WHUT! Akan tetapi
semua serangan itu menemui tempat kosong.
Karena tubuh si Dewa Linglung ini ternyata telah ber-
kelebatan cepat sekali menghindari terjangan-
terjangan beruntun itu.
Ser! Ser! Ser! Serangkum senjata rahasia segera
dilepas si Lutung Dewa. Akan tetapi tampak pemuda
itu kibaskan buntalan buntutnya, yang seketika mem-
buat belasan paku-paku beracun itu berseliweran ke
beberapa arah. Bahkan selanjutnya telah terdengar
suara teriakan-teriakan parau dari tiga orang anak
buahnya yang jadi sasaran paku-paku berbisa si Lu-
tung Dewa. Tentu saja ketiga orang anak buahnya itu
berkelojotan bagai ayam dipotong. Lalu sekejap kemu-
dian tewas. Melihat demikian membeliak sepasang ma-
ta Lutung Dewa. Sementara sisa-sisa anak buahnya
tanpa diperintah lagi, sudah kabur angkat langkah se-
ribu.
"Keparat! Kau cari mampus anak muda!" teriak
si Lutung Dewa. Tiba-tiba saja dia telah keluarkan sa-
tu senjata berupa cambuk berduri dari pinggangnya.
WHUK! WHUT! WHUT...! Lutung Dewa telah segera
lancarkan serangan.
"Huh! mengurusi orang semacammu membuat
aku malas saja!" Bentak si Dewa Linglung. Tiba-tiba...
Whuusss...! ZBUK! PRAKK...! Terdengarlah jeritan pa-
rau menyayat hati. Tubuh si Lutung Dewa telah ter-
jungkal 10 tombak bergulingan. Lalu terkapar tak ber-
kutik lagi. Ternyata kepalanya telah remuk dan da-
danya ambrol dengan beberapa tulang iganya yang pa-
tah. Darah merembes ke tanah menggelogok dari balik
pakaiannya. Ternyata si Dewa Linglung telah kelua-

rkan pukulan angin bertenaga dalam yang membuat si
Lutung Dewa jadi gelagapan, dan cambuknya me-
layang entah ke mana. Saat tubuhnya terhuyung-
huyung itulah si Dewa Linglung lancarkan dua seran-
gan sekaligus. Satu jejakkan kaki dan sebuah tinju
menghantam dada dan kepala. Hingga nyawa Jebul
Ireng tak ketolongan lagi.
"Hahahahahehe... hehe... Kunyuk! Setan! Bede-
bah! Manusia-manusia kentut semacam kalian tak
pantas jadi begundal! Mengganggu orang lewat saja...!"
Memaki si Dewa linglung dengan berteriak-teriak. Na-
mun selang tak lama tubuhnya sudah berkelebat me-
masuki wilayah perkebunan kelapa itu. Namun ketika
menempuh jalan  di tengah perkebunan kira-kira se-
perminuman teh, di ujung jalan menampak seekor ku-
da tengah berdiri dengan penunggangnya di tengah ja-
lan. Pemuda ini terkejut, dan segera memperlam-
batkan langkahnya.
"He!? Seorang wanita...? Siapakah...? Ah, bu-
kan...! bukan  dia...!" Gumamnya lirih. Sesaat dia su-
dah tiba di hadapan Wanita itu.
"Siapa anda...? Mengapa menghalangi jalan
tempat orang lewat?". Si Dewa Linglung sudah ajukan
pertanyaan. Sementara di atas punggung kuda, seo-
rang wanita duduk bertolak pinggang menatap  si pe-
muda dengan sunggingkan senyuman. Ringan sekali
gerakan wanita muda yang cantik itu, melompat dari
kudanya. Pakaiannya dari sutera yang mahal, rambut-
nya tergerai ke depan. Terhiasi bunga cempaka merah
jambu yang terselip di sisi telinganya. Ketika melang-
kah membuat paha sang wanita itu menyingkap dari
celah belahan kainnya.
"Selamat datang di wilayah tapal batas Kera-
jaan MATSYAPATI, sobat muda!" Sapa wanita itu, se-
raya menatap dengan pandangan kagum. Ada pun si

pemuda ini jadi jengah sendiri, karena jelas dari wanita
itu tak menampakkan sikap permusuhan. Bahkan se-
perti seolah menyambut tetamu terhormat. Siapakah
wanita genit ini? Pikir Si Dewa Linglung. Namun cepat,
cepat dia menjura, walau sebenarnya ada rasa; malu
menghadapi wanita. Atau memang itulah rupanya ke-
lemahan di Dewa Linglung ini. Karena hatinya sudah
berkata... Aih, seandainya Wanita ini adalah DIA...ah,
betapa girangnya aku...! Akan tetapi dia sudah cepat-
cepat berkata.
"Eh, aku tak mengenal anda? Mengapa me-
nyambut aku seperti menyambut kedatangan keka-
sih?". Enak saja pemuda itu bicara. Namun kata-
katanya adalah wajar dan apa adanya. Karena me-
manglah demikian apa yang telah diperlakukan oleh si
wanita itu dalam menyambutnya. Sambil mengerling
genit si wanita itu menyahuti.
"Ah, sobat muda yang tampan begini mana
mungkin kalau tak diperlakukan sebagai seorang ke-
kasih! Apalagi aku sudah lihat kehebatanmu membu-
nuh si Jebul Ireng alias si Lutung Dewa. Makin kagum
dan simpati saja aku pada anda, sobat muda!" Melen-
gak si pemuda kumal ini. Edan! Mukaku tak keruan
begini, bahkan sudah tiga hari aku tak mandi-mandi.
Di tambah pakaianku yang dekil, kumal dan baunya
bikin orang mabok...eh, masih dibilang tampan? be-
nar-benar dunia sudah terbalik! Gerutunya dalam hati.
Akan tetapi diam-diam pemuda ini terkejut juga kare-
na wanita ini mengetahui kejadian tengah jalan perke-
bunan kelapa tadi, Heran!? Dia telah mengetahui keja-
dian tadi, mengapa tidak menyambut ku dengan sikap
bermusuhan?" Apakah anda putrinya atau mungkin
juga istrinya si Raden Cucak Ijo itu?".  Serampangan
saja Pemuda ini bicara. Tentu saja membuat wanita itu
jadi tertawa cekikikan.

"Hihihi... tebakanmu salah, sobat muda! Aku
adalah aku! Nanti pun kau akan mengetahuinya. Kini
kau telah jadi tetamu  ku! Walau kau punya urusan
lain, tapi karena telah memasuki wilayah yang juga di
bawah pengawasanku, kuharap kau tak menolak un-
tuk kuajak mampir ke tempatku......”  Ujar wanita itu
dengan pandangan mata yang berbinar-binar menatap
si pemuda. Sementara diam-diam di hati wanita ini
membatin. Ah, seandainya wajahnya tak kotor berde-
bu, sudah dapat dipastikan dia seorang pemuda yang
gagah. Bertubuh kekar berisi, penuh berotot, dan ber-
tenaga kuat...! Apa lagi tampaknya bukan pemuda
sembarangan. Sudah kulihat sendiri kehebatan ilmu
silatnya. Tanpa mencabut pedangpun telah sanggup
membuat kematian si Jebul Ireng. Seandainya  ku
manfaatkan tentu banyak gunanya...!
Demikian pikir si wanita-  Hingga tanpa sadar
dia telah menatapnya dengan tak lepas-lepas.
Tampaknya si pemuda dekil ini berfikir sejenak,
namun tak lama sudah tertawa terbahak-bahak, se-
raya selanjutnya berkata;
"Hahaha...Baik...!baik! aku setuju! Apakah di
rumahmu ada tempat mandi? Aku sekalian mau man-
di, dan..."
"Mengganti pakaianmu yang bau apek itu, bu-
kan? Hihihi... jangan khawatir semuanya sudah terse-
dia...!" Ujar wanita itu sambil tampilkan senyuman
menawan, Tak aral lagi si wanita sudah balikkan tu-
buh seraya menyambar tali les kuda, dan berkata:
"Apakah kau ingin naik kuda, atau jalan ber-
sama sambil menuntun kuda? Kita bisa berjalan sam-
bil bercakap-cakap...!"
Ujar si wanita, seraya palingkan wajahnya.
"Silahkan anda terlebih dulu ke Pesanggrahan
ku, sobat muda! Senja nanti kalau aku menemuimu,

tentu kau sudah segar, bersih dan tidak bau lagi. Hi-
hihi..." Berkata si wanita dengan suara halus, akan te-
tapi  terdengarnya seperti meniup di telinga pemuda
itu. Sadarlah si Dewa Linglung kalau wanita baju hijau
itu bukan wanita sembarangan. Namun hal demikian
justru amat menarik sekali, membuat pemuda itu in-
gin mengetahui kelanjutannya.
"Hahaha...baik! Baik...! Hus! Hus...! Hayo, ce-
patlah sedikit larinya! Tubuhku sudah gatal-gatal  ra-
sanya kepingin mandi, dan salin pakaian!" ujarnya, se-
raya menghentakkan kaki ke perut kuda. Keruan saja
kuda itu berlari lebih cepat mendahului si gadis yang
memegang tali les. Namun dengan satu teriakan halus,
si dara itu sudah kelebatkan tubuh mengikuti, bahkan
mampu mengendalikan ke mana arah yang dituju.
Demikianlah, keenam dara baju merah itu membawa si