Roro Centil 5 - Setan Cebol Peyebar Maut(1)



SETAN CEBOL PENYEBAR MAUT


*Copyright naskah ini ditangan penerbit
LOKAJAYA, hak cipta pengarang dilindungi
undang-undang.

*Dilarang mengutip, tanpa seijin pener-
bit.

*Menterjemahkan karya ini dalam bahasa
asing harus seijin penerbitnya telebih da-
hulu.

 1

PERTENGAHAN musim panas itu, tampak
Puncak Merbabu keluarkan asap tipis yang men-
galun ke atas. Seolah tengah menjulurkan suk-
manya diantara mega yang bertebaran dilangit....
Pada sebuah lereng yang terjal, dimana di-
bawahnya mengalir sungai yang dalam, berliku-
liku diantara celah bukit dan lamping batu-batu
terjal, yang penuh dengan pohon-pohon serta se-
mak belukar disekelilingnya... tampak satu pe-
mandangan yang membuat bangun bulu roma.
Sesosok makhluk yang masih bisa dikata-
kan manusia, walaupun sebenarnya apa yang
tengah diperbuatnya sudah tak lazim lagi sebagai
perbuatan manusia. Makhluk itu bertubuh kecil,
atau cebol. Apa yang terlihat adalah hal yang
amat mengerikan, karena ia tengah mengorek se-
suatu dari dalam tubuh seorang wanita yang isi
perutnya telah terburai berantakan. Sementara
seorang bayi mungil tergeletak di sisinya, dan
tengah perdengarkan tangisannya. Namun tam-
paknya si orang kerdil itu sama sekali tak meng-
hiraukannya, cuma menoleh sejenak untuk ter-
tawa menyeringai. Sementara tangannya bekerja
cepat untuk menarik sesuatu yang kemudian
berhasil ditemukannya.
"Nah ini yang aku maui.... He he he...."
Terdengar ia bicara sendiri, dan tertawa gelak-
gelak. Ternyata yang telah ditarik keluar dari isi

perut mayat wanita itu, adalah  sebuah jantung
dan hati. Yang selanjutnya segera sudah masuk
ke dalam mulutnya, untuk segera dikunyah den-
gan mata merem melek. Tiba-tiba pada saat itu
berkelebat sesosok tubuh tinggi besar yang per-
dengarkan tertawa berkakakan...
"Ha ha ha... ha ha ha... Setan Cebol! Agak-
nya kau sudah tak sabar untuk bersantap, se-
hingga dapat rezeki dimakan sendiri...!" Yang da-
tang ternyata adalah seorang laki-laki berkepala
botak. Bermuka mirip seperti wajah kanak-kanak.
Tubuhnya tinggi besar. Dengan telinga yang lebar
dan panjang. Pakaiannya mirip orang kedodoran.
Karena baju dan celananya memang agak gom-
brong. Melihat adanya kemunculan orang ini, si
mahluk kerdil itu cuma plengoskan wajah, seraya
berkata :
"Eh, muka bengkak... Apa kau juga doyan
makan jantung dan hati manusia...? Kalau me-
mang kau suka ambillah ini untukmu..!" Seraya
berkata ia telah lemparkan bayi dihadapannya
pada si tinggi besar yang dijulukinya si muka
bengkak itu. Tentu saja ia jadi terkejut bukan
main, karena lemparan itu adalah juga sebuah
serangan yang dilancarkan terhadapnya.
"Aaaahh..!?" Si muka bocah ini perdengar-
kan teriakan kaget, untuk menangkap adalah tak
mungkin. Untuk menyampok tubuh sang bayi itu
juga ia tak tega, akhirnya ia cuma bisa elakkan
diri.
Weesssss..!

Tubuh sang bayi itu meluncur deras ke be-
lakang, ketika dengan cepat si muka bocah
menghindar dengan membungkukkan tubuh-
nya.... segera ia palingkan kepala untuk melihat
ke arah belakang. Ia sudah dapat pastikan tubuh
sang bayi itu akan remuk terbentur batang pohon
atau terbentur batu. Namun pada saat yang amat
mengerikan itu, telah berkelebat sesosok tubuh
dibelakangnya untuk menangkapnya. Gerakan
yang cepat itu kelanjutannya dibarengi dengan
bersaltonya tubuh itu di udara... Dan detik beri-
kutnya disitu telah tegak berdiri seorang wanita
yang keluarkan suara tertawa cekikikan. Semen-
tara pada pinggangnya tergantung sebuah benda
dengan seutas rantai yang terbelit pada ping-
gangnya. Ternyata bandulan itu adalah sebuah
besi hitam, yang besar dan bentuknya mirip den-
gan kerangka tengkorak kepala manusia.
"Hi hi hi... hi hi.... sayang-sayang seorang
bayi yang manis seperti ini jadi bangkai tak ber-
guna. Siapa tahu ia bertulang baik, dan bisa nan-
ti kelak jadi muridku! Hi hi hi...." Tiba-tiba si
pendatang yang aneh ini menatap sejenak pada si
Setan Cebol yang masih asyik mengunyah tanpa
memperdulikan keadaan di depannya. Hal ini
membuat si wanita itu kerutkan alisnya, ketika
terpandang pada sesosok tubuh wanita yang telah
berantakan isi perutnya itu. Terdengar ia kelua-
rkan suara dengusan di hidung, seraya berkata :
"Hah..! Walaupun aku juga bukan wanita
baik-baik. Tapi memandang kepada kaumku yang

diperlakukan demikian oleh seorang setan jelek,
tentu saja membuat aku jadi sebal...! Apakah tak
ada lagi makanan yang lebih enak dari hati dan
jantung manusia.... ?" 
Sementara si tinggi besar bermuka bocah
itu cepat berkelebat ke atas sebuah batu untuk
segera duduk dengan angkat sebelah kakinya.
Seperti juga telah mengetahui bakal adanya terja-
di suatu pertarungan seru, dan ia sudah siap-siap
untuk menontonnya.... 
Mendengar ucapan yang bertanya dengan
nada menyindir itu, serta terang-terangan untuk
ungkapkan ketidak senangannya, si Setan Cebol
tiba-tiba telah lemparkan sisa jantung dan hati
itu pada si wanita, seraya membentak:
"Apa perdulimu dengan apa yang  aku la-
kukan perempuan jalang...?" Tentu saja lemparan
itu akan mengena, kalau saja si wanita itu tidak
cepat menyampoknya. Yang segera gerakkan len-
gannya dengan cepat sehingga potongan hati dan
jantung itu tahu-tahu meluncur ke arah si muka
bocah yang tengah asyik angkat sebelah kaki di-
atas batu. Tenaga sampokan dari angin pukulan
wanita itu ternyata sama kuatnya dengan tenaga
lemparan dari si Setan Cebol. Karuan saja si mu-
ka bayi jadi kelabakan, karena ia tak menyangka
kalau akan kena getahnya. Namun kali ini agak-
nya ia tak mengelak, bahkan monyongkan mulut-
nya untuk meniup ke arah datangnya serangan
benda itu. Hebat tenaga tiupan si muka bocah,
karena segera saja tenaga lemparannya agak

mengendur. Dan si muka bocah cepat menganga-
kan mulutnya... sehingga dengan tak mengalami
kesukaran, potongan hati dan jantung itu telah
masuk ke dalam mulutnya yang lobar. Saat beri-
kutnya ia sudah asyik meneruskan mengunyah
dengan meram melek. Tentu saja hal itu membuat
sepasang mata si wanita itu jadi mendelik.
Phuih! 
Ia segera mendengar suara si Setan Cebol
yang telah bangkit berdiri menatapnya dengan
menyeringai. Tampak ia melirikkan matanya pada
si muka bocah yang tengah asyik mengunyah sisa
santapannya.
"Eh, muka bengkak..! Rupanya nasibmu
hari ini amat mujur. Masih kebagian juga sisa
makanan enak itu. Apakah kau tidak berhasrat
cari tambahan...? Mungkin juga bisa terlaksana
tanpa jauh-jauh mencari! He he he..." Adalah
aneh. Kalau tadi orang yang tinggi besar, berwa-
jah seperti seorang bayi atau bocah, sedangkan si
orang kerdil yang dijuluki si Setan Cebol itu ada-
lah sebaliknya berwajah seperti orang tua, dengan
tulang pelipis yang menonjol. Kumis dan jenggot-
nya cuma beberapa helai. Kepalanya ada tumbuh
daging atau benjolan, tepat pada keningnya. Ber-
mata menonjol keluar. Deretan giginya terlihat
runcing-runcing ketika menyeringai. Sedangkan
rambutnya tegak berdiri bagaikan injuk, dengan
tubuh bagian atas yang telanjang, hitam legam.
Hanya selembar cawat yang dikenakannya.
"Kurang ajar. Kalian kira hati dan jantung-

ku berharga murah...? Agaknya mulut kotormu
perlu diberi hajaran..!" Dan sebentar saja Dewi
Tengkorak telah loloskan senjatanya. Sementara
dengan cepat ia telah menunda sang bayi diba-
wah pohon. Dan saat selanjutnya, benarlah seper-
ti apa yang telah diramalkan si muka bocah. Den-
gan berteriak keras, si wanita yang berpakaian
memamerkan pahanya itu, sudah menerjang den-
gan senjatanya. Bersyiur bandulan besi mirip
tengkorak kepala manusia itu, menghantam ke-
pala si Setan Cebol. Namun dengan senyum
menghina ia telah berkelebat melesat, sehingga
serangannya menemui tempat kosong. Gerakan si
Setan Cebol memang amat cepat dan gesit. Na-
mun si wanita itupun bukan lawan enteng... Se-
hingga sebentar saja keduanya sudah saling ter-
jang untuk saling menjatuhkan lawan. Si wanita
yang berpakaian seksi itu adalah yang dijuluki
kaum persilatan sebagai si Dewi Tengkorak. En-
tah ada hubungan apa dengan si Dewa Tengkorak
yang sudah pulang ke akherat terlebih dulu itu.
Tapi tampaknya ia ada memiliki beberapa
jurus andalan si Dewa Tengkorak. Dilihat dari
usia ia sudah mencapai hampir empat puluh ta-
hun. Namun masih memiliki kecantikan yang
mengagumkan. Kepala tengkorak besi kembali
menyambar... Si Setan Cebol jatuhkan tubuh ber-
gulingan. Sementara mulutnya tak henti hentinya
mengejek.
"Jantung wanita  yang sudah kawakan
mungkin juga rasanya kurang memuaskan. Apa

lagi sudah sering berdebar, karena kebanyakan
yang di gandrungi... He he he..!"
"Tutup mulutmu setan jelek! Aku toh tidak
menggandrungi kau..!"
"Bagaimana kalau menggandrungi aku sa-
ja...?" Si muka bocah sudah lantas berteriak. Dan
kata-katanya tidak sampai disitu...
"Aku lebih penuju dengan tubuhmu, ke-
timbang hati dan jantungmu, Dewi Tengkorak!" 
Wajah si Dewi Tengkorak tampak gerah,
panas hatinya diejek demikian. Tiba-tiba saja ia
telah lancarkan serangan ke arahnya. 
Dherr..!
Batu tempat ia duduk kena dihajar hancur,
oleh senjata bandulan besi berkepala Tengkorak
itu. Namun orangnya sudah mencelat pergi.
Buk..!
Satu hajaran keras dari serudukan kepala
si Setan Cebol tepat menghantam punggungnya.
Tak ampun lagi si Dewi Tengkorak terpekik ngeri
dan jatuh bergulingan. Namun percuma ia dijulu-
ki si Dewi Tengkorak. Karena sambil bergulingan
ia telah hantam tubuh si Setan Cebol, yang baru
saja menggelinding, dengan senjatanya...
Krak..! Batang pohon itu kena dihajar han-
cur. Masih untung bukan batok kepala si Setan
Cebol. Namun pada detik itu si Setan Cebol sudah
lompat menjauh, karena pohon besar itu telah
tumbang dengan suara yang berisik. Kalau si De-
wi Tengkorak tak segera bergulingan, iapun su-
dah pasti kena kejatuhan pohon yang dihantam-

nya sendiri itu. Namun ia harus mengakui ketele-
dorannya, karena terpancing oleh kata-kata eje-
kan si Muka Bocah, hingga ia tak dapat menge-
lakkan srudukan kepala si Setan Cebol yang de-
mikian keras.... Untung saja ia telah menyalurkan
tenaga dalamnya pada punggungnya. Hingga da-
pat menahan terjangan hebat itu dengan tidak
begitu membahayakan. Namun ia jadi terkesiap,
ketika mengetahui bayi yang ia letakkan dibawah
pohon itu, telah tak dapat diselamatkan lagi.
Dalam keadaan ia terpaku itulah si Muka
Bocah tiba-tiba telah berkelebat, dan gerakkan
tangannya untuk menotok si Dewi Tengkorak.
Hingga tubuhnya benar-benar jadi terpaku tanpa
dapat bergerak.
"Keparat kau..!?" Mulutnya memaki, na-
mun ia sudah tak berdaya lagi.
"He he he... he he he... Bagus! bagus sobat
muka bengkak..! Biar aku yang korek jantungnya
untuk kau..!" Sambil berkata ia telah gerakkan
tangannya ke arah perut si Dewi Tengkorak. 
Celaka! Matilah aku hari ini...! Memekik
hati si Dewi Tengkorak. Ia sudah pejamkan mata
menunggu kematian. Tapi pada detik itu sudah
terdengar teriakan si Muka Bocah.
"Tunggu..! Tak baik kita pakai cara itu pa-
da kawan sendiri...!" Terpaksa si Setan Cebol
urungkan niatnya. Bergidik ngeri si Dewi Tengko-
rak, seandainya jari-jari tangan si Setan Cebol itu
yang bagaikan cakar iblis, dengan kuku yang
panjang-panjang itu mencengkeram kulit perut-

nya.... Sudah pasti akan terburai isi perutnya. Di-
am-diam ia bersyukur pada si Muka Bocah itu,
yang ia ketahui berjulukan si Iblis Tertawa itu
yang telah membatalkan niat kejinya. Walaupun
ia mengetahui totokan pada dirinya juga si Iblis
Tertawa itu pula yang melakukannya. Tampak si
Iblis tertawa bisikkan kata-kata pada si Setan Ce-
bol, tentu saja dengan membungkukkan tubuh-
nya. Si manusia kerdil ini kerutkan  keningnya,
hingga benjolan pada dahinya itu terlihat ikut
naik  ke  atas. Tapi sebentar kemudian ia men-
gangguk-angguk sambil tersenyum yang tak enak
dilihat. Saat berikutnya si Iblis tertawa telah pon-
dong tubuh si Dewi Tengkorak untuk dibawa per-
gi. Namun baru saja si Setan Cebol mau gerakkan
tubuh untuk mengikuti, tiba-tiba ia teringat akan
korban yang dibawanya. Yaitu seorang bayi, yang
seingatnya tadi diletakkan oleh si Dewi Tengkorak
dibawah pohon.
"Walah...? Sudah tergencet pohon tum-
bang..." Berkata ia sendirian, dan segera berkele-
bat ke sana. Masih untung rupanya sang bayi itu
tidak sampai remuk. Namun ternyata benar su-
dah tak bernyawa lagi, ketika ia menariknya ke-
luar dari sela-sela dahan pohon. Agak kecewa si
Setan Cebol, namun agaknya masih bisa diman-
faatkan. Tiba-tiba saja kelima jari tangannya itu
telah ia gerakkan untuk segera saja sudah terbe-
nam pada ubun-ubun sang korban. Dan dengan
tertawa iblis ia telah hirup dan sedot cairan putih
itu dengan rakus. Bahkan cairan yang melekat

pada kelima jari tangannya itu pun ia bersihkan
dengan lidahnya. Benar-benar ia bukan manusia.
Walaupun tubuhnya berujud manusia. Baru saja
ia melemparkan mayat yang mengerikan dari
sang bayi itu, tiba-tiba terdengar suara bentakan
hebat dari belakangnya.
"Iblis keji...'" Dan  serangkum angin ber-
syiur dibelakang kepalanya... Itulah serangan dari
seorang laki-laki bertubuh kekar. Yang telah me-
nerjangnya dengan sebuah kapak yang cukup be-
sar, bergagang panjang. Namun dengan mengge-
lindingkan tubuhnya, si Satan Cebol telah meng-
hindari serangan maut itu.
Crak..!
Mata kapak amblas menghunjam ke tanah.
Namun sekejap sudah kembali terangkat, untuk
siap menerjang lagi. Si Setan Cebol yang tingginya
hanya separuh tubuh manusia itu, segera dapat
lihat orang yang menerjangnya:
"He..? Siapakah kau! Datang-datang me-
nyerang orang... Apakah kau mau mengantarkan
nyawamu..?!"
"Iblis Keparat...! Kau memang bukan ma-
nusia. Kau culik dan kau bunuh anak isteriku,
apakah ada alasan kalau aku akan mencincang-
mu  sampai lumat..?" Tiba-tiba dengan berteriak
santar ia telah kembali menerjang dengan samba-
ran kapaknya. Tampak berkelebat kilatan cahaya
dari benda itu yang menyambar kepala si Setan
Cebol. Namun kembali tubuh kerdil itu mengge-
lundung dengan gesit, ke arah samping yang su-

dah diterjang lagi dengan sambaran kapak beri-
kutnya. Ternyata si laki-laki itupun memiliki ke-
lincahan dalam bertarung. Gerakan kapaknya
berseliweran mengejar kemana arah tubuh si Se-
tan Cebol menggelinding dan berkelebat. Percuma
ia dijuluki si Kapak Sakti dari lereng Merbabu.
Laki-laki ini tengah berada di Padepokan Cemara
Kandang. Dimana sang guru yang bernama gelar
Ki Reksa Permana tengah berembuk mengenai
beberapa kejadian yang didengarnya akhir-akhir
ini.... Ketika tiba-tiba seorang penduduk desa
Sentul dimana ia berdiam, tampak terlihat berla-
ri-lari mendatangi Padepokan. Dan dengan dian-
tar oleh seorang murid, telah segera menghadap
pada Ki Reksa Permana. Tentu saja yang terkejut
adalah Jatmiko si Kapak Sakti. Karena yang dila-
porkan adalah mengenai keluarganya. Kejadian
itu adalah beberapa saat sepeninggalnya. Dengan
rasa terkejut luar biasa ia menerima yang ditu-
turkan penduduk desa Sentul itu, bahwa istri dan
anaknya diculik oleh sesosok makhluk bertubuh
kerdil.
Ia segera dapat menduga bahwa makhluk
itu adalah si Setan Cebol. Yang ia tengah run-
dingkan oleh sang Guru Ki Reksa Permana, ten-
tang kemunculannya di sekitar daerah gunung
Merbabu, dengan beberapa murid utama dari Pa-
depokan Cemara Kandang. Ki Reksa Permana
tampak terkejut. Namun sebelum ia memberi pe-
ringatan akan berbahayanya menghadapi si Setan
Cebol yang bergentayangan itu, Jatmiko alias si

Kapak Sakti telah berkelebat untuk segera berlari
ke arah desa Sentul. Betapa ia mengkhawatirkan
keselamatan anak dan istrinya. Kemarahannya
tak terkendalikan lagi. Begitu sampai kerumah-
nya ia cuma mendapati orang-orang yang tengah
berkerumun mendengarkan cerita dari beberapa
orang yang mengetahui.
Demikianlah, dengan petunjuk salah seo-
rang penduduk yang mengetahui kemana arah si
makhluk Cebol itu pergi... Jatmiko segera mela-
cak kemana jejak si penculik. Hingga akhirnya ia
dapat menemukannya. Yang hampir saja ia ter-
lambat, karena baru saja si Setan Cebol mau be-
rangkat pergi. Melihat sesosok tubuh tergeletak
dengan keadaan yang amat mengerikan, Jatmiko
sudah mengenali bahwa itu adalah tubuh is-
trinya. Dan dilihatnya sesosok tubuh kerdil ten-
gah menghisap cairan putih dari ubun-ubun ke-
pala seorang bayi, dan baru saja dilemparkannya.
Terkesiap bukan main Jatmiko. Dengan beringas
ia telah menerjang si iblis kerdil itu, hingga terja-
dilah pertarungan yang seru. Kemarahannya yang
meluap-luap, karena melihat kesadisan iblis Ce-
bol itu membuat ia menerjang dengan membabi-
buta....
Satu teriakan dari kejauhan terdengar
memperingati laki-laki ini, namun sudah terlam-
bat. Karena disaat itu satu serudukan kepala si
Setan Cebol, telah membuat ia jatuh terlentang...
Dan pada saat itu pula sepasang lengan si Setan
Cebol dengan kesepuluh jari-jarinya, telah me-

nancap pada perutnya. Terdengar pekikan menge-
rikan dari si Kapak Sakti, ketika dengan sekali
sentakan isi perut laki-laki itu terburai keluar.
Tampak tubuh Jatmiko berkelojotan bagai ayam
yang disembelih... dan sesaat kemudian diam un-
tuk selama-lamanya. Kapak Sakti tewas seketika
dengan keadaan yang mengerikan.
"Iblis keji...!" 
"Biadab...!" Terdengar dua teriakan dengan
berbareng. Dan pada detik itu juga dua tubuh te-
lah berkelebat menerjang dengan pedang terhu-
nus. Kedua sambaran pedang itu menabas tubuh,
dan mengarah punggung.... Namun si Setan Cebol
sudah balikkan tubuh untuk menangkis dengan
tubuh sang korban. Tak ampun lagi tubuh si Ka-
pak Sakti terpapas putus jadi dua bagian. Adapun
yang seorang segera dapat menahan serangannya.
"Keparat... Kau... kau...?! Terbeliak mata si
pemuda yang menerjangnya. Dan melompat
mundur tiga tindak. Sementara si Setan Cebol
tertawa berkakakkan melihat kedua orang diha-
dapannya, seraya berkata :
"Bagus...! Agaknya kalian juga mau men-
gantar nyawa siang-siang dengan berdatangan
kemari...? Ha ha ha... Kalian cari penyakit sendi-
ri...!" Namun pada saat itu pula terdengar suara
dibelakang kedua murid dari Padepokan Cemara
Kandang ini....
"Minggirlah kalian murid-muridku...!" Ter-
nyata yang datang adalah Ki Reksa Permana sen-
diri, sang Guru mereka. Segera saja kedua murid

ini melompat mundur. Sementara si Setan Cebol
yang melihat kemunculan seorang lelaki tua ber-
jubah putih, dengan wajahnya yang menampilkan
kewibawaan, telah melangkah ke arahnya.
"Hm... Andakah yang bergelar si Setan Ce-
bol itu?" Bertanya Ki Reksa Permana dengan me-
natap tajam pada mahkluk cebol yang juga ten-
gah mendelik ke arahnya.
"Heh, kalau sudah tahu aku si Setan Cebol,
mengapa masih bertanya pula..?"
Melengak Ki Reksa Permana mendengar
jawaban itu. Namun ia masih berusaha terse-
nyum sambil berkata :
"Rasanya memang tidak keliru ucapan an-
da... Tapi anda telah keliru karena  mempunyai
kepandaian tinggi hanya untuk mengumbar nafsu
membunuh! Apakah tak ada ilmu lain yang lebih
baik dari pada ilmu membunuh orang dengan
tindak semena-mena?" Tampak si Setan Cebol
mendengus mendengar kata-kata itu.
"Aku memang membutuhkan hati dan jan-
tung manusia untuk kekuatan tubuhku, juga aku
menyukainya sebagai santapanku..! Apakah da-
pat disalahkan kalau aku membunuh untuk
itu...?" Pertanyaan itu memang aneh, seolah-olah
pendapatnya adalah benar. Membuat Ki Reksa
menjadi kerutkan alisnya. Ia sadar bahwa ia ten-
gah berhadapan dengan orang yang sudah tak
punya lagi rasa peri kemanusiaan. Entah siapa
yang mendidik manusia Cebol ini untuk berbuat
yang tak lumrah dengan manusia itu..? Berfikir Ki

Reksa Permana. Sementara ia sudah dengar te-
riakan dari kedua muridnya...
"Guru..! Manusia iblis ini bukan lagi ma-
nusia! Biarkan kami mencincangnya!" Namun
sang Guru angkat sebelah tangannya untuk men-
cegah. Dan berkata pada si Setan Cebol:
"Sobat! Bolehkah aku tahu asal-usulmu
hingga anda dapat melakukan perbuatan yang
kami anggap keji itu..?" Tapi pertanyaan Ki Reksa
Permana hanya dijawab dengan bentakan gusar...
"Heh..! Apa perdulimu dengan segala asal-
usul diriku..? Mau kau anggap keji atau tidak aku
tak mau tahu. Yang penting apa yang kuperbuat
adalah tak ada  seorangpun yang berhak mela-
rangnya..!" Agaknya kata-kata itu sudah tak da-
pat membuat Ki Reksa Permana menahan diri la-
gi. Dengan berteriak keras ia sudah lakukan han-
taman telapak tangannya pada si Setan Cebol.
"Kalau begitu kau harus dilenyapkan dari muka
bumi ini..!" Bentaknya. Dan serangkum angin
yang dahsyat telah menerjang si Setan Cebol,
yang segera pergunakan kelincahannya untuk
menghindar.
"Bagus..! Hayo suruh maju kedua muridmu
itu, biar kuhabisi sekalian..!" Berteriak si Setan
Cebol dengan berkelebat menghindar. Pada saat
itu berkelebat sesosok tubuh ke arah si Setan Ce-
bol, dibarengi bentakan "Manusia Iblis macam be-
gini memang patut dilenyapkan..!" Dan sebuah
tombak panjang telah menghantam tepat batok
kepala si Setan Cebol. Terjangan mendadak yang

dilancarkan orang yang belum diketahui siapa
adanya itu memang tepat mengenai sasarannya.
Tampak si Setan Cebol terlempar bergulingan.
Namun alangkah kagetnya si penyerang yang ter-
nyata adalah seorang wanita berumur delapan be-
las atau sembilan belas tahun itu, karena dengan
tak mengalami cidera sedikitpun makhluk kerdil
itu telah bangkit lagi sambil memandang si pe-
nyerang.
" Anakku... Pulanglah..! Jangan kau cari
penyakit. Dia bukan lawanmu... Biar ayah yang
menghadapinya..!" Berkata Ki Reksa Permana.
Namun si gadis berbaju kuning itu cuma menja-
wab kata-kata ayahnya dengan serius :
"Apakah aku dapat berdiam diri melihat ib-
lis yang mau membunuh ayahku..? Tidak! Biar-
kan aku turut bertarung mengadu nyawa..!" Dan
kata-katanya sudah dibarengi dengan teriakan
keras, yang kemudian ia kembali menerjang den-
gan tombaknya. Melihat kemunculan sang gadis
puteri Guru mereka, kedua orang murid utama Ki
Reksa Permana sudah segera melompat untuk tu-
rut membantu. Dan sebentar saja telah terdengar
teriakan-teriakan santar dari keduanya. Baru saja
si Setan Cebol mengelak dari serangan tombak
sang gadis, sudah datang serangan pedang dari
kedua pemuda itu. Namun dengan mendengus si
makhluk kerdil itu segera berkelebat untuk
menghindari mata pedang... Tiba-tiba saja tubuh
si Setan Cebol telah berada di belakang salah seo-
rang dari pemuda itu. Ia baru menggerakkan tan-

gannya untuk mencengkeram punggung, segera
sebuah serangan tombak menyambar kepalanya
yang dilancarkan oleh si gadis. Segera ia urung-
kan niatnya, dan berbalik menyambar ujung tom-
bak... Dilain saat tubuh si gadis sudah terlempar
ke udara dengan teriakan tertahan. Karena tena-
ga yang kuat dari si Setan Cebol, yang telah hen-
takkan ujung tombak itu, hingga akibatnya ceka-
lan pada senjatanya terlepas... Dan melayanglah
tubuh si gadis ke udara. Beruntung sang ayah se-
gera menyambuti tubuh puterinya. Namun pada
saat itu terdengar dua teriakan sekaligus... tam-
paklah kejadian yang mengerikan terpampang
dimata Ki Reksa Permana, karena kedua lengan si
Setan Cebol telah menjebol isi perut kedua orang
muridnya. Dan saat selanjutnya kedua tubuh
sang murid telah terlempar ke arahnya dengan isi
perut berhamburan....
Bruk! Brug! Kedua tubuh itu jatuh kebumi,
dan sesaat menggeliat-geliat... namun sekejap
kemudian telah tak berkutik lagi. Karena kedua-
nya segera tewas. Terbeliak sepasang mata Ki
Reksa Permana, dan sang gadis puterinya. Tiba-
tiba ia telah keluarkan bentakan pada puterinya :
"Sumirah..! Kau adalah anakku satu-
satunya. Tiada lagi harapanku selain kau..! Kalau
kau sayang pada ayahmu, pergilah cepat, tinggal-
kan tempat ini..!" Namun jawaban sang gadis
yang sepasang matanya telah bersimbah air mata
itu, benar-benar membuat ia melengak...
"Tidak ayah..! Biarlah kita mati bersama..!

Aku tak dapat meninggalkan ayah seorang diri
untuk menemui kematian!" Dan gadis ini telah
mencabut sepasang Trisula dari belakang pung-
gungnya. Dengan sepasang mata berapi-api ia te-
lah berusaha menahan jatuhnya air mata mena-
tap tajam pada si Setan Cebol.
"Bodoh..!? Ayahmu belum tentu mati. Ka-
lau toh harus menemui ajalnya, masih ada kau
yang akan dapat membalaskan dendam ini ke-
lak..! Apakah keluarga kita harus tumpas semua
di tangan si iblis Cebol itu..?!" Berbisik sang ayah,
namun dengan nada membentak.
"Cepatlah berangkat pergi sebelum terlam-
bat..!" Perintah sang ayah. Tampak si gadis ber-
nama Sumirah itu gertak gigi menahan geram,
dan kepedihan hatinya. Kedua pemuda itu wa-
laupun hanya murid ayahnya, namun telah se-
perti saudara sendiri. Dan amat akrab dengan-
nya. Kini mereka telah tewas. Dan ayah akan
menghadapi si Setan Cebol yang telengas dan
berkepandaian tinggi itu? Tak tega rasanya ia
membiarkan ayahnya menempur sang iblis sendi-
rian. Namun ia sudah terpaksa melangkahkan
kakinya, ketika dengan mengibaskan jubahnya
sang ayah telah mendorong tubuhnya tiga tindak.
Sesaat setelah ia menatap si Setan Cebol
dengan sorot mata mengandung dendam, ia sege-
ra balikkan tubuh untuk berlalu... Masih terden-
gar suara ayahnya sesaat sebelum ia bertindak.
"Ingat, anakku Sumirah..! Jangan kau me-
nampakkan diri. Pergilah jauh, sampai kau temu-

kan tempat yang aman. Bila aku berhasil me-
numpasnya, aku pasti akan mencarimu..!" Sang
gadis hanya anggukkan kepala, dan dengan me-
nekan segala perasaannya ia telah berkelebat per-
gi. Terdengar si Setan Cebol tertawa berkakakan.
Dan ujarnya :
"Ha ha ha ... Anakmu itu lebih baik ditukar
saja dengan nyawamu, orang tua. Aku agak penu-
ju dengan wajahnya. Jangan kau khawatirkan
akan kumakan hati dan jantungnya. Kalau ia da-
pat menjadi istriku. Bukankah dengan memungut
mantu orang yang hebat macam aku, namamu
kelak akan lebih terkenal, dan ditakuti orang..?
Ha ha ha..."
"Tutup mulut busukmu iblis Cebol..! Siang-
siang aku mau mengampunimu, tak dinyana ma-
lah kau inginkan kematianmu! Siapa sudi ber-
mantukan iblis macam kau..?!" Membentak Ki
Reksa Permana. Sengaja ia keluarkan kata-kata
gertakan, untuk menahan getaran jantungnya.
Karena ia maklum orang yang dihadapinya adalah
seorang tokoh golongan hitam yang amat keji dan
telengas. Ilmu kepandaiannya sudah dapat diper-
kirakan diatas ilmu kepandaiannya. Namun seba-
gai seorang yang sudah kawakan, adalah tidak
mungkin memperlihatkan kelemahan hatinya.
Mendengar sesumbar sang lawan, si Setan Cebol
tampak merah mukanya. Sepasang alisnya naik
ke atas berikut benjolan pada dahinya. Tiba-tiba
ia sudah menggerung keras bagai suara mengge-
ramnya sang macan, atau harimau. Dan detik be-

rikutnya ia sudah menerjang terlebih dulu dengan
sepasang lengan terbentang menampakkan sepa-
sang cakar yang siap untuk mencengkeram... 
Ki Reksa Permana sekonyong-konyong te-
lah loloskan jubahnya, dan dengan gerakan tak
kalah cepat, telah lemparkan pada si Setan Cebol,
sambil elakkan diri ke samping. Sekejap saja tu-
buh si Setan Cebol telah lenyap terbungkus oleh
jubah itu. Pada saat tubuh sang lawan yang den-
gan gelagapan itu meluncur ke bawah, ia telah ge-
rakkan telapak tangan untuk menghantamnya. 
Buk..!
Tak ampun lagi tubuh si makhluk yang
terbungkus itu telah terlempar menggelinding be-
berapa tombak. Dan dengan gerakan cepat ia te-
lah mengejar ke sana. Satu hantaman lagi ia
arahkan pada si Setan Kerdil itu, yang telah terle-
pas dari bungkusan jubah itu, yang jadi hancur
terkena pukulan dahsyat Ki Reksa Permana. Na-
mun diluar dugaan, si Setan Cebol dapat meng-
hindari serangan kedua dengan bergulingan dan
mencelat dengan cepat. Dan sesaat kemudian te-
lah berdiri lagi dengan sepasang kakinya yang
tampak kuat mencengkram tanah.
Gila..!? Apakah tubuh manusia iblis ini
terbuat dari karet...?! Sentak hati Ki Reksa Per-
mana. Karena jangankan luka dalam, atau seti-
dak-tidaknya remuk salah satu bagian tubuh-
nya... Namun cedera sedikitpun tidak. Hal terse-
but tentu saja membuat wajah Ki Reksa Permana
jadi pucat pias. Lebih dari separuh tenaga dalam

yang ia pergunakan untuk menghantam tubuh
sang lawan, dengan harapan akan dapat menum-
pasnya dengan cepat. Ternyata tak membawa ha-
sil.  Bahkan si Setan Cebol tampak masih segar-
bugar dengan tertawa menyeringai...
"Ha ha ha... ha ha... Percuma kau pergu-
nakan akal lihaimu untuk menjatuhkan aku. Ka-
rena berkat hati dan jantung manusia, telah
membuat tubuhku menjadi kebal!" Dan saat beri-
kutnya ia telah kembali menerjang dengan berin-
gas. Namun kali ini ia mempergunakan tipuan se-
rangan. Sehingga Ki Reksa Permana kelebatkan
tubuhnya kian-kemari menghindari serangan-
serangan kosong yang dipergunakan untuk men-
cari kelengahan lawan. Hal itu membuat Ki Reksa
Permana tiba-tiba berseru keras. Dan melesat
tinggi beberapa tombak, untuk menjauh. Ketika
turun ke bumi lagi, ia telah cabut senjatanya. Yai-
tu sebuah pedang tipis yang ia belitkan pada
pinggangnya. Senjata inilah yang telah mengang-
kat namanya sebagai seorang yang terkenal bebe-
rapa puluh tahun yang silam. Memandang pada
senjata lawan, tampak si makhluk cebol ini ke-
rutkan alisnya.
"Hm, kaukah yang bergelar si Pedang Sakti
Bermata Delapan...?" Bertanya ia dengan suara
santar.
"Kalau bukan aku, siapa lagi...? Lebih baik
kau serahkan jiwamu Setan Cebol. Atau kau akan
rasai ketajaman pedang ini...? Walaupun kulitmu
sekeras baja, tak nantinya kalau tak dapat men-

goyak kulit kepalamu..!" Ki Reksa Permana kelua-
rkan gertakannya. Namun lagi-lagi ia cuma men-
dengus dan berkata dengan nada jumawa... "Ba-
gus..! Tidak usah jauh-jauh aku mencari orang
yang telah membunuh saudara seperguruanku,
dan mencelakai guruku... Akhirnya sudah datang
sendiri didepan mata." 
Terkejut juga Ki Reksa Permana. Dengan
heran ia sudah lantas bertanya :
"Siapa Gurumu, dan siapakah saudara se-
perguruanmu itu..!" Sambil bertanya diam-diam
ia bersyukur, akhirnya akan dapat mengetahui
riwayat si manusia kebal ini. Dan diam-diam ia
telah salurkan tenaga dalamnya pada gagang pe-
dang, hingga terlihat mata pedang berubah me-
rah.
"Ha ha ha... ha ha... jauh-jauh guruku su-
dah persiapkan satu ilmu yang dapat menandingi
kehebatan ilmu pedang bermata delapan yang
kau miliki. Hilangnya kedua belah kaki, dan se-
pasang mata beliau kiranya akan tertebus hari
ini! Apakah kau belum juga menyadari ketelenga-
sanmu belasan tahun yang silam..?" Berkata si
Setan Cebol dengan mata memerah, yang pancar-
kan sinar berkilatan. Tampak si Pendekar Pedang
Sakti Bermata Delapan alias Ki Reksa Permana,
kerutkan alisnya seperti tengah mengingat peris-
tiwa yang telah lalu itu. Tiba-tiba tampak ia ber-
kata seperti menggumam...
"Apakah dia si Sepasang Mata Iblis...?"
tampak Ki Reksa Permana agak berubah pucat

wajahnya. Akan tetapi si Setan Cebol telah terta-
wa menyeringai dan berkata :
"Ha  ha ha... Tidak salah terkaanmu, Pen-
dekar tua bangka. Pernahkah kau melihat seo-
rang budak hitam yang waktu itu berumur sepu-
luh tahun, dan tengah berlari ketakutan melihat
Gurunya yang terluka parah, dan seorang kakak
seperguruannya tewas oleh pedang mautmu
itu...?" Tercenung sejenak Ki Reksa Permana... Ki-
sah puluhan tahun yang silam itu tentu saja ma-
sih terbayang dibenaknya.

2

SI SEPASANG MATA IBLIS itu sebenarnya
adalah sahabatnya sendiri... Sayang, ternyata di-
am-diam sang sahabat itu, yang telah dianggap-
nya sebagai saudaranya sendiri. Bahkan berbalik
menjadi musuhnya, gara-gara ia telah memaksa
mengajak main serong pada istrinya. Saat itu ia
tengah pergi berdagang, yang memakan waktu
dua pekan. Reksa Permana tak menaruh curiga
pada orang yang telah dianggapnya saudara sen-
diri itu. Apa lagi si Sepasang Mata Iblis yang wak-
tu itu belumlah bergelar demikian, adalah seo-
rang yang ramah tamah, dan amat sopan serta
menghormatinya. Hingga terjalin kecocokan dian-
tara mereka. Hingga tak segan-segan Reksa Per-
mana  mengangkatnya sebagai saudara. Keper-
giannya berdagang, tidak membuat ia bercuriga

sama sekali, hingga ia ada berpesan agar dapat
menjaga sang kakak perempuan, bila terjadi se-
suatu dirumah. Tak dinyana sekembalinya dari
pergi berdagang, ia dapati istrinya tengah menan-
gis tak henti-hentinya dengan mata yang sembab.
Terkejut bukan buatan Reksa Permana, mengeta-
hui bahwa Sugriwo sang saudara angkat telah
memaksa sang istri untuk berbuat tidak senonoh
dengannya. Bahkan mengancam akan membu-
nuh istrinya bila berani mengadu pada Reksa
Permana. Tak alang kepalang marahnya Reksa
Permana, segera ia mencari kemana perginya Su-
griwo... Namun Sugriwo telah angkat kaki dari
rumah itu dan pergi tak diketahui dimana rim-
banya.
Untuk menghilangkan rasa malu, terpaksa
Reksa Permana meninggalkan desanya, dan pergi
hijrah ke daerah lain. Dengan dendam yang amat
luar biasa teramat di dadanya... Beberapa tahun
berselang lahirlah puterinya, yang diberinya nama
Sumirah. Tak disangka ancaman Sugriwo benar-
benar dibuktikan. Ketika menjelang anaknya be-
rusia lima tahun. Terjadi lagi hal serupa disaat ia
sedang tak ada dirumah. Sugriwo mengulangi
perbuatannya. Sumirah dijadikan sandera agar ia
dapat melampiaskan nafsu bejatnya. Sementara
sang pembantu dikunci mulutnya dengan mem-
berikannya sejumlah uang. Kemarahan Sugriwo
pada istrinya, yang diungkapkan pada sang pem-
bantu adalah, karena sang istri telah mengatakan
bahwa ia telah mengadukan hal itu pada sua-

minya. Pertengkaran pun terjadi... Dan saat itu-
lah Sugriwo dengan kejam telah membunuh sang
ibu dari seorang bocah perempuan, yang masih
mengharapkan belas kasihnya.
Reksa Permana hanya dapat menjumpai
jenazah sang istri yang telah dikebumikan. Beta-
pa hancur luluh perasaannya mendapat cobaan
hidup yang demikian tragisnya. Apalagi si kecil
yang amat disayanginya itupun telah dibawa pergi
oleh Sugriwo entah kemana rimbanya. Reksa
Permana malang melintang tak tentu tujuan.
Dengan pedang tipisnya ia mengembara kemana-
mana. Ternyata disamping mencari jejak Sugriwo,
Reksa Permana juga telah pergunakan kepan-
daiannya untuk menolong kaum tertindas dari
cengkeraman golongan-golongan yang perguna-
kan kekuasaannya dengan sewenang-wenang...
Banyak dari tokoh-tokoh jahat yang telah ia tum-
pas. Hingga sebentar saja telah terdengar keha-
ruman namanya sebagai seorang Pendekar Pem-
bela Kebenaran, yang dijuluki Si Pendekar Pedang
Sakti Bermata Delapan.
Berita tentang kemunculan seorang tokoh
hitam yang berjulukan si Mata Iblis, yang telah
bertindak diluar perikemanusiaan. Disamping
merampok harta benda penduduk, membunuh
juga pemerkosa gadis-gadis... Telah mengundang
kemarahannya untuk mencarinya. Akhirnya ia
dapat menjumpai sarang tokoh jahat itu, setelah
sekian lama menyelidiki jejaknya...


• • •


Kemarahannya yang pertama adalah meli-
hat adanya seorang bocah kecil berusia antara 10
tahun, tengah berusaha membujuk seorang bo-
cah perempuan yang masih berusia di bawah
umur, yaitu sekitar enam tujuh tahun untuk di-
lakukan dengan tidak senonoh. Yang kemudian
terjadilah kekerasan. Karena si bocah yang beru-
mur 10 tahun itu telah bertindak menghajar si
gadis cilik itu untuk menuruti perbuatannya.
Reksa Permana terkejut bukan alang kepalang,
karena ia mengetahui si gadis cilik itu adalah pu-
trinya sendiri, alias Sumirah... Yang tengah dica-
rinya sekian lama. Tanpa pikir panjang, pedang-
nya telah berkelebat menabas batang leher si bo-
cah itu, hingga tewas seketika. Saat itulah mun-
cul si Mata Iblis... yang ternyata telah membuat-
nya terkejut, karena si Mata Iblis itu tak lain dari
Sugriwo adanya.
Pertarungan pun terjadi, hingga ia berhasil
menabas putus kedua belah kaki Sugriwo. Karena
dendamnya yang teramat sangat, Reksa Permana
telah pula membutakan kedua matanya.... Pada
saat itulah ia melihat seorang bocah hitam yang
berlari ketakutan.. yang ternyata tak lain dari si
Setan Cebol ini, yang pada waktu itu ia masih be-
rusia 10 tahun. Kiranya ia murid si Mata Iblis,
yang telah berhasil dipecundangi. Sengaja ia tak
membunuh orang tak berdaya. Karena dengan

demikian ia bisa puas telah membalas sakit ha-
tinya.
Sekelebat ingatan pada puluhan tahun
yang silam itu telah lenyap seketika begitu Reksa
Permana mendengar bentakan hebat dari si Setan
Cebol. Yang dengan kecepatan kilat, telah mener-
jang ke arahnya... Ki Reksa Permana memang te-
lah siap dengan pedang tipisnya. Yang telah me-
merah bagai bara untuk segera menabas, bersi-
utan ke arah si Setan Cebol. Hebat gerakan si
makhluk kecil yang berkulit hitam itu.
Terjangan itu adalah suatu gerak tipu be-
laka. Dengan gesit ia telah putar tubuh untuk
mengelilingi Ki Reksa Permana, bagaikan bayan-
gan hitam yang berkelebatan kian kemari. Semen-
tara pedang sakti bermata delapan itu, benar-
benar bermata delapan... Karena terus mengejar
ke arah mana tubuh si Setan Cebol berkelebat.
Dari kejauhan yang tampak bayangan putih dan
hitam saja yang berkelebatan saling terjang... Ki
Reksa Permana memang masih mengenakan pa-
kaian putih yang singsat, dibalik jubahnya yang
telah ia lemparkan untuk menyerang si Setan Ce-
bol. Kira-kira sepuluh jurus sudah Ki Reksa Per-
mana menggunakan ilmu pedangnya yang lihai
itu, tiba-tiba ia telah merobah gerakannya. Tiba-
tiba tubuhnya lenyap terbungkus bayangan pu-
tih. Membuat si Setan Cebol terkejut seketika.
Hingga ia agak lamban bergerak. Dan pada saat
itulah delapan mata pedang tipis itu telah melun-
cur mengarah mata, leher dan dada. Kecepatan

tak terduga yang dilancarkan Ki Reksa Permana
adalah salah satu jurus ampuh dari ilmu pedang-
nya. Terdengar si Setan Cebol keluarkan teriakan
tertahan. Ia cepat gulingkan tubuhnya dengan
cepat... namun tak urung pedang tipis itu telah
menggores dadanya. Dengan melempar tubuhnya
bergulingan beberapa tombak, ia segera bangkit
berdiri lagi. Tampak ia menyeringai menahan pe-
rih pada goresan didadanya yang mengucurkan
darah. Terasa panas dan perih. Disamping terke-
jut, karena kulit tubuhnya yang kebal itu, ternya-
ta benar-benar dapat dilukai oleh pedang tipis Ki
Reksa Permana.

***

Sementara kita beralih dulu pada lain hal...
yaitu kemana dibawa perginya si Dewi Tengkorak
yang telah tertotok itu, oleh si muka bocah yang
bergelar Iblis Tertawa... Dengan tertawa senang si
tinggi besar memondong wanita yang sudah tak
berdaya itu berkelebat melompati tebing-tebing
terjal. Selang kira-kira semakanan nasi, ia telah
menghentikan larinya. Dan tampak melompat ke
sisi air terjun dilereng gunung. 
Daerah sekitar tempat itu memang tampak
menyeramkan. Karena belasan ekor buaya tam-
pak bergentayangan di sungai yang mengalir dis-
ekitarnya, pada sebelah depan air terjun itu. Me-
mang dihadapan lereng itu terdapat rawa yang
luas, yang menyatu dengan air sungai. Dengan

melompati batu-batu berlumut, ia tiba disebelah
belakang air terjun itu. Yang ternyata ada sebuah
ruangan goa, yang tak terlihat dari luar. Agaknya
disinilah tempat persembunyian atau sarang si
Setan Cebol dan si Iblis Tertawa... Segera ia su-
dah geletakkan si Dewi Tengkorak diatas balai-
balai bambu. Sementara sepasang mata wanita
itu tampak melotot tajam menatap laki-laki ber-
tubuh tinggi besar itu.
"Apa yang kau mau lakukan.. muka ban-
ci..?" Berkata si Dewi Tengkorak, dengan nada
gusar. Si Iblis Tertawa cuma mendengus menden-
garnya, dan tersenyum penuh kemenangan.
"He he he... he he... Apapun yang akan aku
lakukan adalah sudah bukan urusanmu lagi. Bu-
kankah seorang tawanan hanya dapat mandah
saja diperlakukan apapun. Kecuali kau dapat me-
lepaskan totokanku yang hebat itu, silahkan kau
loloskan diri dari tanganku...!" Sambil berkata
demikian lengan si Iblis Tertawa telah menyelu-
sup ke semak belukar di ujung lamping bukit ba-
tu yang tampak halus memukau itu. Si Dewi
Tengkorak berusaha menggerakkan tubuhnya un-
tuk bangkit, dengan wajah merah... namun ter-
nyata untuk bergerak memutar tubuh saja terasa
sulit.
"He he he... Sudahlah! Tak usah berlagak
jadi perawan pingitan. Apakah begini kekarnya
tubuhku masih kau ragukan untuk bertarung
denganmu..? Kujamin kau akan mencariku se-
panjang pekan untuk kau ajak bertarung lagi. He

he he..." Tiba-tiba sebelah lengan si Iblis Tertawa
telah bergerak menyelusup ke saku bajunya. Se-
buah tabung kecil telah ia keluarkan, dan tuang
isinya di telapak tangan. Tampak lagi-lagi sepa-
sang mata si Dewi Tengkorak terbeliak menatap
ke arah si Iblis Tertawa. "Apa lagi yang kau mau
lakukan. Berkata si Dewi Tengkorak dengan
naikkan alisnya ke atas. Dua butir pel telah ia si-
sakan diatas telapak tangannya. Sedang yang
lainnya kembali ia masukkan pada bumbung ke-
cil itu, dan masukkan lagi pada saku bajunya.
Begitu selesai... tahu-tahu sebelah tangannya te-
lah bergerak cepat memencet mulut si Dewi Teng-
korak, hingga ternganga. Wanita ini berusaha me-
lepaskan diri dengan menggeleng-gelengkan kepa-
lanya. Namun ia sama sekali tak mampu berkutik
lagi. Hingga ketika pel ditangan si Iblis Tertawa
dijejalkan dalam mulutnya ia tak mampu untuk
menolaknya. Ditambah dengan hembusan yang
bercampur air liur dari mulut si muka bocah itu.
Membuat kedua butir pel yang dijejalkan itu sege-
ra masuk ke dalam tenggorokannya... Dan seke-
jap ia sudah melepaskan lagi cekalannya.
"He he he... Itu adalah pel racun, yang ker-
janya amat lambat. Namun dalam jangka waktu
satu bulan, segera kau akan menemui kema-
tian...!" Berkata si Iblis Tertawa dengan suara di-
tekan.
"Hah..!? Kau mau aku mati, mengapa tak
kau bunuh aku dengan seketika..?" Namun kem-
bali si Muka Bocah ini tertawa gelak-gelak.

"Macam kau ini mana mungkin aku mem-
bunuh dengan sekejap. Apa kau kira nyalimu be-
gitu hebat untuk menantang kematian..? Kau
masih menyayangi nikmatnya hidup di dunia,
mana kau tega meninggalkannya..?" Menyahuti si
Iblis Tertawa. Diam-diam si Dewi Tengkorak juga
membenarkan kata-kata itu. Siapa yang mau mati
siang-siang..? Pikirnya. Ia cuma menggertak saja.
Walaupun hatinya kebat-kebit. Sementara si Iblis
Tertawa sudah berkata lagi :
"Kalau kau mau obat pemunahnya, tentu
saja kau tak berkeberatan untuk memberikan
imbalan padaku. He he he..."
"Dasar iblis, ya tetap iblis..!" Memaki si
Dewi Tengkorak, dengan plototkan matanya. "Kau
yang telah beri aku racun, kini aku yang suruh
berikan imbalannya? Benar-benar kau seorang
yang paling licik...!" Lanjut kata-katanya.
"Itulah kelebihan dari seorang iblis sema-
cam aku. Tapi itu tak seberapa dibandingkan si
Setan Cebol. Dia bukan saja inginkan tubuhmu,
tapi bisa-bisa jantung dan hatimupun akan diin-
gininya pula!" Meringkuk juga bulu tengkuk si
Dewi Tengkorak, mendengarnya. Walaupun tadi
ia telah berani menyombong namun pada kenya-
taannya ia telah kena dipecundangi oleh kedua
manusia yang saling berkawan itu. Terpaksa ia
cuma mandah saja akan apa yang diperbuat si Ib-
lis Tertawa terhadap dirinya. Segera sudah terasa
sesuatu yang bergerak untuk membuka tirai-tirai
penghalang. Dan selanjutnya ia sudah rasakan

sebuah beban yang berat menindih tubuhnya...
yang membuat ia megap-megap hampir tak bisa
bernapas... Sementara dibalik air terjun itu ter-
dengar dengusan liar, dan rintih yang sayup-
sayup tersamar dengan suara gemericiknya air
yang mengalir... 

Sementara di lain tempat, terdengar suara
isak tangis seorang wanita, yang lari jatuh ban-
gun meninggalkan lereng Gunung Merbabu. Di-
alah Sumirah adanya... Yang berlari dengan
membawa kepedihan hati yang tak terkira. Betapa
tidak. Karena ia harus membiarkan kematian seo-
rang ayah yang amat dicintainya. Entah mengapa
ia sudah menduga demikian? Karena detak jan-
tungnya sudah terasa, dan firasat buruk itu su-
dah menghantui benaknya. Ia amat yakin sang
ayah, yaitu Ki Reksa Permana tak akan dapat me-
lawan keganasan si Setan Cebol.
Sepasang Trisulanya masih tergenggam di-
kedua  kepalan tangannya. Namun senjata itu
adalah senjata yang tak berarti lagi. Karena tak
dapat dipergunakan untuk menempur musuhnya.
Rambutnya yang terurai panjang itu berkibaran
terkena derasnya hempasan angin.. karena ia te-
lah berlari... dan berlari dengan  sekencang-
kencangnya untuk pergi sejauh-jauhnya. Napas-
nya sudah terasa tersengal-sengal, namun ia ma-
sih juga berlari. Yang terkadang ia harus sekejap
ia sudah bangkit lagi untuk segera meneruskan
larinya. Hingga akhirnya tanpa ia ketahui kakinya

telah menginjak tempat kosong... Terkesiap ia se-
ketika memandang apa yang ada dihadapannya...
Namun sudah terlambat, karena sekejap saja tu-
buh sang gadis telah terjungkal jatuh, untuk se-
gera melayang ke dasar jurang yang amat dalam...
Pekik ngeri segera terdengar mengoyak kehenin-
gan, menyibak kelengangan... yang kemudian su-
ara teriakan itupun sesaat kemudian telah kem-
bali lenyap. Hanya desahan angin yang semilir
menyibak rumput alang-alang di pinggir jurang...
"Aiiiiiiih..!?" Terdengar satu teriakan diba-
wah jurang yang terjal itu, dan sesosok tubuh
berkelebat cepat untuk segera menyangga jatuh-
nya tubuh sang gadis... Dan selamatlah ia dari
kematian. Yang sudah dipastikan tubuh gadis itu,
akan hancur remuk tulang-tulangnya. Karena di-
bawah jurang yang terjal itu batu-batu lancip ten-
gah menantinya. Namun sang gadis sudah tak
mengetahui keadaan dirinya lagi, karena ia telah
tak sadarkan diri lagi.
Entah berapa saat ia pingsan, dan ketika ia
siuman, didapati dirinya telah berada dalam se-
buah kamar yang bersih dan terang. Segera ia
mau bergerak untuk bangkit... namun kembali ia
rebahkan tubuhnya, karena dirasakannya tubuh-
nya lenyap tak bertenaga.
Dimanakah aku..? Berfikir sang gadis. Se-
mentara benaknya segera mengingat-ingat akan
apa yang telah terjadi pada dirinya. Kakinya telah
menginjak tempat kosong, ketika ia tengah berlari
dengan tak melihat jalan lagi. Dan masih terlihat

olehnya jurang curam yang terbentang dibawah-
nya ketika dengan deras ia melayang jatuh... Dan
selanjutnya ia sudah tak ingat apa-apa lagi. Keti-
ka itulah beberapa wanita yang cantik-cantik
dengan dandanan yang amat menyolok terlihat
mendatangi dari pintu kamar.
"Ah, sayang-sayang... Gadis secantik ini
mengapa sampai mau bunuh diri..?" Berkata sa-
lah seorang yang tampak cukup cantik. Dengan
suara yang terdengar merdu sambil menatap pa-
danya.
"Benar..! Dunia kan tidak sedaun kelor. Ka-
lau patah hati cari saja gantinya..." Menimpali
yang seorang lagi. Yang dandanannya kelewatan
hingga sampai hampir seluruh payudaranya terli-
hat. Sedangkan bagian bawahnya memakai gaun
yang menyibak sampai ke atas, hingga tersingkap
betis dan pahanya... Sementara yang dua orang
lagi tampak memandanginya seperti tengah mene-
liti wajah orang. Akan tetapi pada saat itu terden-
gar suara dari arah pintu...
"Setan-setan kuntilanak...! Siapa yang su-
ruh kalian masuk ke dalam kamar..?" Dan selan-
jutnya telah muncul dipintu seorang wanita se-
tengah tua yang juga berdandan dengan pupur
dan bedak tebal. Tiga buah kalung permata yang
gemerlapan tampak tergantung dilehernya. Tu-
buhnya agak jangkung, dengan alis melengkung.
Mengenakan pakaian yang ketat berwarna kun-
ing. Rambutnya tersanggul rapi ke atas. Dan se-
buah tusuk konde dari emas terselip pada sang-

gulnya.  Melihat kedatangan wanita ini, segera
wanita-wanita yang lainnya segera bungkukan
tubuh dengan  hormat, dan tampak takut. Dan
saat berikutnya satu-persatu segera beranjak ke-
luar...
"Maaf adik...! Mereka tentu mengganggu-
mu. Syukurlah kau sudah siuman. Tahukah kau,
bahwa sudah beberapa waktu hingga sampai hari
ini menjelang malam begini, kau baru sadarkan
diri...?" Berkata si wanita dengan senyum yang
ramah tamah. Tentu saja hal itu membuat si ga-
dis bernama Sumirah itu jadi kerutkan alisnya.
Tahulah ia bahwa wanita dihadapannya inilah
yang telah menyelamatkan jiwanya... Segera saja
ia kuatkan tubuh untuk bangkit duduk, namun si
wanita telah menahannya, seraya berkata...
"Janganlah kau banyak bergerak dulu,
adik..! Kau baru saja mengalami goncangan pada
jantungmu. Beristirahatlah dulu. Sebentar aku
akan bawakan kau bubur nasi yang hangat. Kau
makanlah nanti. Baru kita bercakap-cakap..!"
Sumirah pandang wajah orang dihadapannya itu
dengan tatapan penuh rasa terima-kasih. 
"Kakakkah yang telah menolongku...?"
Berkata si gadis dengan suara lemah. Si wanita
itu menatapnya sambil anggukan kepalanya.
"Te... terima kasih atas pertolonganmu
kak..." Ucapnya dengan memaksa bibirnya untuk
tersenyum. Wanita itu anggukkan kepalanya
sambil membalas dengan senyuman manis. Tera-
sa begitu akrab dan tulus, terlihat oleh sang ga-

dis. Namun ia tak mengetahui siapa sebenarnya
wanita itu. Karena yang ia ketahui adalah si wani-
ta itu berkepandaian tinggi, dan telah selamatkan
jiwanya dari kematian...

3

SENJA baru saja berlalu... Alam terasa
agak tenang, karena tak ada tanda-tanda mau tu-
run hujan. Walaupun angin gunung terasa semilir
menerpa tubuh. Sepotong bulan tampak men-
gambang di langit. Cukup untuk menerangi jalan
yang dilalui seorang gadis berambut panjang te-
rurai, yang melangkah dengan gontai... Sejak sen-
ja tadi ia baru angkat tubuhnya untuk bangkit
berdiri dari duduknya, diatas batu itu. Terasa le-
mah sekali tubuhnya, karena baru saja ia selesai
sore tadi menguburkan beberapa jenazah ditem-
pat itu. Jenazah yang ditemuinya dalam keadaan
mengerikan. Tak sampai hatinya untuk membiar-
kan tubuh-tubuh yang berserakan ditempat  itu
untuk dimakan binatang buas. Gadis berambut
panjang itu tak lain dari Roro Centil. Kedatan-
gannya ke tempat itu adalah secara kebetulan sa-
ja, disamping mau menjelajahi sekitar daerah gu-
nung Merbabu, yang konon kabarnya ada dihuni
oleh sesosok mahkluk Cebol, yang gentayangan
mencari mangsa...
Memang sejak berita dari beberapa desa
yang disinggahinya, berita itu tampaknya bukan-

lah berita bohong. Karena selalu ada terdengar
pembicaraan orang mengenai adanya mahkluk
Cebol yang datang untuk menyebar maut. Seba-
hagian penduduk ada yang berpendapat sosok
tubuh  kerdil yang pernah dijumpainya, adalah
sebangsa siluman jahat. Yang gentayangan men-
curi bayi dan membunuh wanita... Hal yang amat
ganjil itu membuat Roro Centil berhasrat untuk
menyelidiki. Kenyataan itu benar-benar terjadi di-
depan matanya. Ketika ia mendengar suara orang
bertempur dengan hebat diatas lamping bukit ter-
jal. Namun ia terlambat datang, sehingga hanya
menjumpai sesosok tubuh yang baru saja berke-
lojotan meregang nyawa. Keadaannya amat men-
gerikan. Karena isi perutnya telah terburai ke-
luar... Ia hanya sempat melihat sesosok tubuh
kerdil yang hitam berkelebat lenyap dari lamping
bukit itu. Tak ada kesempatan ia untuk mengejar,
karena segera memburu ke arah orang yang ter-
kapar meregang nyawa itu. Ternyata itulah tubuh
Ki Reksa Permana. Kiranya pertarungan diatas
tebing terjal itu berakhir dengan kematiannya.
Yaitu disaat si Setan Cebol terluka kena goresan
pedang tipis Ki Reksa Permana, telah membuat si
Setan Cebol gusar bukan main.... Tiba-tiba ter-
dengar ia berteriak keras. Kedua lengannya tiba-
tiba telah digerakkan dengan cepat sekali sehing-
ga tampak oleh Ki Reksa Permana, lengan si Se-
tan Cebol telah berubah menjadi berpuluh-puluh.
Sambil mengelilingi lawannya, si Setan Cebol te-
lah mengeluarkan ilmu sihirnya yang mempenga-

ruhi mata sang lawan hingga yang tampak oleh Ki
Reksa Permana adalah tubuh si Setan Cebol telah
berubah jadi berpuluh-puluh banyaknya. Hal itu
tampaknya membuat Ki Reksa Permana terke-
siap. Segera ia pusatkan ilmu bathin untuk me-
lawan  pandangan mata tipuan itu. Pedang tipis
segera ia gerakkan memutar bagai baling-baling
melindungi tubuhnya. Dengan suara yang bersi-
utan segera menerjang untuk menabas kiri dan
kanan. Sehingga lemahlah tenaganya karena te-
rus-terusan berkelebatan ke arah sekelilingnya.
Namun yang kena ditebas adalah hanya bayangan
belaka... Hingga lama-kelamaan pandangan ma-
tanya mulai mengabur. Pada saat itulah si Setan
Cebol dengan satu terjangan kilat telah berhasil
membuat tubuhnya terjungkal kena hantaman
srudukan kepala pada perutnya. Terlemparlah
pedang tipisnya... Dan dilain kejap ia telah per-
dengarkan teriakan mengerikan, karena sepasang
cakar si Setan Cebol telah terhunjam pada perut-
nya, yang langsung disentakkan. Hingga terburai-
lah isi perut si Pendekar Pedang Sakti Bermata
Delapan. Terdengar suara tertawa si Setan Cebol
yang berkakakan, dan sekejap ia sudah berkele-
bat pergi dan lenyap... Pada saat itulah muncul
Roro Centil yang segera memburunya. Namun
sudah terlambat. Luka parah yang telah membu-
raikan isi perutnya itu, membuat sang Pendekar
yang sudah kawakan itu tak dapat memperta-
hankan nyawanya lagi. Dan tewaslah ia dihada-
pan Roro Centil yang hanya dapat menyaksikan

kematiannya...
Kini dengan melangkah gontai ia tinggal-
kan tempat itu. Sementara terlihat pada ping-
gangnya terbelit pedang tipis milik Ki Reksa Per-
mana yang ia temui disela-sela batu. Sedangkan
senjata si Rantai Genit hanya terlihat ujungnya
saja, pada kedua sisi pinggangnya. Karena tertu-
tup oleh bajunya.
"Aku harus segera mencari tempat tinggal
Ki Reksa Permana untuk memberikan pedang pu-
saka ini pada puterinya yang bernama Sumirah
itu..!" Setelah merenung sejak tadi, rupanya Roro
Centil baru teringat yang pernah berjumpa den-
gan Ki Reksa Permana. Bahkan sempat pula ber-
tarung beberapa jurus dengan si Pendekar Pedang
Sakti Bermata Delapan itu, akibat salah faham...
Yang nyaris saja Roro Centil mati konyol karena
diserang oleh beberapa prajurit Kerajaan Medang
yang berilmu tinggi.
Namun akhirnya setelah segalanya menjadi
beres. Ia dapat berkenalan dengan si Pendekar
Pedang Bermata Delapan yang bernama Ki Reksa
Permana. Dan bahkan sempat pula si Pendekar
Tua itu menceritakan kisah hidupnya. Tentu saja
kematian Tokoh yang dikagumi itu telah mem-
buat Roro Centil jadi bersedih... Ternyata terlalu
banyak manusia keji  yang selalu membuat keri-
cuhan di alam kehidupan ini...

4


KEJADIAN beberapa bulan yang lalu itu ia-
lah ketika iring-iringan kereta kuda dari Wono
Segoro yang membawa upeti menuju ke Kerajaan
Medang telah dibegal oleh seorang perampok wa-
nita  yang berkepandaian tinggi. Wanita itu me-
makai cadar diwajahnya sehingga tak dikenali...
beberapa pengawal pengawal kereta kuda yang
membawa upeti dari Bupati Wono Segoro itu jadi
terkejut melihat sesosok tubuh meloncat ke da-
lam kereta yang tengah dikawalnya dari jarak be-
berapa belas tombak dari mereka. Karena menga-
lami kesulitan jalan, terpaksa mereka mengambil
jalan memutar. Tak dinyana ditempat yang sunyi
mencekam itu telah dihadang oleh beberapa
orang begal. Tiga orang pengawal dibagian depan
segera lakukan pertarungan. Sementara dibagian
tengah ternyata lebih berbahaya, karena benda-
benda berharga atau upeti itu berada dikereta
yang berada ditengah. Empat orang pengawal
menjerit roboh, ketika senjata-senjata rahasia
mengenai tepat pada jantungnya... Dan sesosok
tubuh yang dikenalinya adalah seorang wanita,
telah melompat ke atas kereta untuk segera
menggondol beberapa buntalan berisikan sepeti
uang dan perhiasan kiriman dari Bupati Wono
Segoro. Empat penunggang kuda yang melihat ke-
jadian itu dari belakang  kereta, segera lakukan
pengejaran...
"Berhenti keparat..!" Teriak salah seorang
dari mereka. Dan dengan cepat mengejar dengan

kudanya. Sementara tiga pengawal lainnya segera
berpencar untuk mengurung si pembegal.
Terdengar ringkikkan kuda sang pengawal
yang segera roboh terkena senjata rahasia si wa-
nita misterius itu. Namun si penunggangnya da-
pat menyelamatkan diri, dengan melompat cepat.
Dan dengan tombak siap ditangan ia sudah akan
segera menerjang si pembegal. Melihat itu tiga
orang pengawal lainnya segera turun dari ku-
danya untuk segera bantu mengepungnya. Meli-
hat dirinya sudah terkepung sedemikian rupa,
tampaknya si pembegal itu tak menjadi ciut nya-
linya. Segera saja keempat pengawal menerjang
dengan senjata masing-masing. Dua orang meng-
gunakan pedang, sedang dua orang lagi memper-
gunakan tombak. Hebat ternyata gerakan wanita
bercadar itu, dengan gerakan lincah ia segera
berkelebat kian kemari untuk menghindar.
Plak!
Sebuah hantaman telapak tangan masih
sempat ia lontarkan, sementara sebelah lengan-
nya telah bergerak untuk melakukan serangan
dengan senjata-senjata rahasianya. Namun
keempat pengawal ini adalah pengawal-pengawal
pilihan. Dengan segera telah menyampok mental
senjata-senjata rahasia itu dengan memutarkan
pedangnya. Sementara yang terkena hantaman
telapak tangannya terjungkal beberapa tombak,
tampak ia agak menyeringai kesakitan. Namun
masih dapat untuk kembali bangkit. Dan kembali
raih tombaknya yang terlempar. Terjadilah serang

dan terjang dari keempat pengawal dan si pem-
begal wanita itu. Sementara itu ketiga pengawal
yang berada didepannya tampaknya agak kewala-
han, karena kelima begal laki-laki yang mereka
hadapi ternyata adalah bukan begal-begal pici-
san... Namun walau demikian mereka berhasil ju-
ga membunuh tewas seorang begal. Seorang pen-
gawal terpaksa lepaskan senjatanya karena terlu-
ka pada pergelangan tangannya. Dua pengawal
terkejut, segera mempergencar serangan... Namun
empat begal itu bukanlah tandingannya. Tombak
dan pedang mereka terlepas karena masing-
masing terluka oleh golok dan blencong yang te-
rus-menerus mencecarnya. Keduanya segera me-
lompat mundur... Pada saat itulah salah seorang
dari pengawal yang terluka telah melompat ke
atas kudanya untuk segera memacunya dengan
cepat. Sedang kedua kawannya yang terluka sege-
ra berlari ke belakang untuk membantu menye-
lamatkan upeti. Namun sudah terlambat, karena
sudah sejak tadi upeti berharga itu lenyap. Dan
mereka hanya menjumpai empat pengawal yang
sudah tergeletak tewas. Dan dikejauhan ia meli-
hat adanya pertarungan hebat dari keempat pen-
gawal yang berada dibelakang kereta dengan seo-
rang wanita yang berilmu tinggi. Dalam keadaan
yang tak terduga keempat orang pembegal itu te-
lah menerjang ke atas kereta...
"Keparat..! Sudah ada yang menggondol-
nya..!?" Berteriak salah seorang. Kemarahannya
beralih pada si dua pengawal itu. Yang kembali

mereka gempur dengan terjangan golok dan blen-
cong. Hingga akhirnya kedua orang pengawal itu
perdengarkan teriakan ngeri ketika senjata-
senjata dari para begal itu menebas dada dan
menggorok leher. Kiranya perampokan itu dilaku-
kan oleh orang-orang yang tidak saling kenal. Yai-
tu kelompok pembegal dan si wanita bercadar itu,
yang mengambil keuntungan lebih cepat, disaat
terjadinya pertarungan. Kelima begal itu adalah
yang dijuluki si Lima Iblis Gentayangan. Yang
terkenal amat kejam, dan berkepandaian tinggi.
Melihat seorang wanita bercadar yang telah ber-
hasil menggondol barang upeti itu, dan tengah
bertarung dengan serunya dengan keempat pen-
gawal. Segera saja ia turun tangan membantu.
Beruntunglah si wanita bercadar itu sehingga ia
dapat bernapas lega. Segera ia sudah sambar ke-
dua buntalan rampasannya, sambil berkata :
"Lima Iblis Gentayangan...! Jangan khawa-
tir, aku akan selamatkan benda upeti ini dulu.
Nanti aku akan kembali untuk membantu kalian
melenyapkan kacung-kacung Bupati ini...! Hi hi
hi..." Dan sesaat kemudian ia telah berkelebat
menerobos dari kepungan keempat pengawal,
yang jadi terkesiap seraya berteriak salah seo-
rang... "Setan betina! Tinggalkan barang itu..!"
Plak!
Sebuah lemparan tombak telah berhasil ia
halau dengan kibasan lengannya, dan tanpa me-
noleh lagi ia sudah melesat kabur. Akan halnya si
keempat pembegal itu tak ada jalan lain selain

menerjang keempat pengawal itu. Dan terjadilah
pertarungan seimbang, yaitu empat lawan empat.
Namun keempat pengawal karena mengkhawatir-
kan keselamatan barang upeti itu, jadi kurang
bergairah untuk bertarung, sehingga tampak ter-
desak.
Dengan menarik napas lega si wanita ber-
cadar itu berkelebat cepat untuk mencari tempat
yang aman, bagi barang upeti rampasannya itu.
Agaknya ia tak terlalu tamak untuk mengangkan-
gi sendiri. Segera saja ia telah mendapatkan tem-
pat persembunyian yang aman. Dibalik sebong-
kah batu besar yang tertutup rumpun bambu
yang hanya satu-satunya rumpun bambu yang
terdapat disitu, ia segera sembunyikan  kedua
buntalan benda berharga itu. Terdengar ia meng-
gumam :
"Tempat ini mudah di ingat..! Biarlah aku
menolong membantu si Lima Iblis Gentayangan
itu. Mereka bisa diajak kerja sama, untuk mem-
begal lagi dilain saat..!" Akan tetapi baru saja ia
balikkan tubuh, terkejutlah ia karena dihadapan-
nya telah berdiri seorang gadis cantik dengan
rambut terurai panjang. Seuntai kalung berukiran
huruf " R " pada bandulannya yang berbentuk ha-
ti, tampak tergantung di lehernya  yang jenjang.
Sepasang matanya yang bak bintang kejora, terli-
hat menatap padanya dengan tatapan tajam.
"Siapa kau..!" Bertanya si wanita bercadar
dengan suara bentakan. Namun yang ditanya
dengan dibentak begitu rupa, malah tertawa geli

sekali membuat si wanita bercadar jadi terpaku
heran.
"Hi hi hi... hi hi... Dari kecil sampai begini
dewasa baru aku lihat ada pencuri yang malah
membentak petugas keamanan... Apakah tidak
salah..?" Berkata di gadis berbaju hijau yang tak
lain adalah Roro Centil. Mendengar balasan kata-
kata itu tentu saja membuat si wanita bercadar
jadi melengak.
"Kalau begitu kau harus mampus..!" Ben-
tak si wanita bercadar, yang tak mau mengulur
waktu, dan segera menerjangnya. Dua hantaman
yang ia lancarkan hampir bersamaan itu adalah
sebuah jurus yang mematikan. Satu mengarah
tenggorokan, dan satu lagi mengarah dada.
"Jurus yang bagus..!" Teriak Roro Centil.
Dan ia hanya gunakan ujung rambutnya menge-
prak datangnya sambaran tangan ke arah tenggo-
rokan dengan gerakkan kepala ke arah samping.
Sedangkan sambaran ke arah dadanya ia biarkan,
sengaja ia menguji kekuatan tenaga lawan.
Buk! Prak!
Terdengar hantaman pada Roro Centil,
namun akibatnya si wanita bercadar perdengar-
kan teriakan kaget. Tubuhnya terpental ke bela-
kang beberapa tombak. Terasa ia telah memukul
benda keras, yang menolak balik pukulan tan-
gannya. Sedangkan keprakkan ujung rambut Ro-
ro, tak sempat ia mengelakkannya. Sehingga
tampak ia meringis menahan pedasnya jari-jari
tangannya, yang menampakkan guratan-guratan

merah. "Edan..! Sebutkan siapa namamu sebelum
aku bertindak lebih jauh. Kau kira si Walet Ken-
cana akan membiarkan kau turut campur uru-
sanku..?" 
Roro Centil naikkan alisnya dengan juma-
wa, sambil menggendong tangannya ke belakang
ia sudah lantas berkata :
"Siapakah Walet Kencana itu..? Paling-
paling begitu melihatku ia sudah segera bertekuk
lutut. Apakah kau muridnya..?"
"Hm, kau belum rasai kelihaian ilmu-
ilmuku, sudah mau menyombong. Tak perlu gu-
ruku yang datang. Aku si Elang Alap-alap masih
mampu memindahkan nyawamu ke alam Akhi-
rat..! Menggertak si wanita bercadar itu. Kembali
Roro Centil mengikik tertawa seraya berkata :
"Hi hi hi... Memang nyawaku sudah sering
pulang pergi ke Akhirat, mengapa harus payah-
payah kau mau memindahkan...?" Dan setelah
kembali mengikik geli Roro sudah menyambung-
nya lagi :
"Baiklah aku beri tahu namaku... Apa kau
belum dengar nama Roro Centil? Nah itulah
aku..!" Berkata Roro sambil tersenyum. Agaknya
nama yang barusan itu pernah juga didengarnya.
Namun belum pernah lihat orangnya. Mengetahui
orang yang dihadapannya itu adalah si Pendekar
Wanita Pantai Selatan, tampak si wanita bercadar
mendengus dan berkata tajam.
"Huh! Rupanya seorang gadis yang masih
ingusan saja..! Rupanya orang terlalu menggem-

bar-gemborkan namamu yang berjulukan si Pen-
dekar Wanita Pantai Selatan itu terlalu melebih-
lebihkan saja. Bagus...! Aku mau rasai keheba-
tanmu, sobat..!" Selanjutnya ia telah perdengar-
kan teriakan keras, dan berkelebat menerjang
dengan serentetan pukulan, yang menggelombang
bagaikan air bah, tanpa memberi kesempatan se-
dikitpun untuk Roro Centil berdiam sejenak. Na-
mun dengan tertawa-tawa sang lawan bahkan
menari-nari dihadapannya, dengan gerakan yang
mempesona. Tapi alangkah terkejutnya si Elang
Alap-alap, mengetahui setiap hantaman pukulan-
nya telah dapat terelakkan. Hingga tiba-tiba ia
berteriak keras untuk merubah gerakannya. Kali
ini sepasang kakinya bergerak menyambar ke
arah dada dan perut. Dibarengi dengan hantaman
telapak tangan yang telah dialiri tenaga dalam
penuh. 
Wus ! Wus!
Dua terjangan kaki dan tangan lolos dari
sasaran. Terpaksa ia pergunakan senjata rahasia
andalannya untuk menyerang lawan. Berhambu-
ranlah belasan paku-paku beracun menyerang
Roro. Yang cukup terkejut, karena serangan men-
dadak itu dibarengi dengan gerakan pukulan tan-
gan menyilang, dan terjangan tipuan ke arah
samping. Sehingga ketika ia melompat kekanan,
saat itulah paku-paku beracun si Elang Alap-alap
meluruk deras ke arah delapan bagian tubuhnya.
Roro Centil berteriak keras... dan tiba-tiba telah
gerakkan sepasang lengannya untuk menyampok

jatuh beberapa paku beracun itu. Namun tak
urung dua paku beracun kena juga menancap
pada kakinya. Segera ia melompat mundur. Se-
mentara si wanita bercadar itu tersenyum sinis.
Dilihatnya sang lawan jatuh dengan menekuk lu-
tut. Dan tampak menyeringai kesakitan... Melihat
orang sudah tak berdaya, ia menjadi sombong.
Tiba-tiba perdengarkan tertawanya, seraya mem-
buka topeng cadarnya.
"Hi hi hi... Pendekar Wanita Pantai Selatan
ternyata hanya nama yang digembar-gemborkan
belaka. Buktinya, tanpa guruku Walet Kencana...
kau sudah bertekuk lutut dihadapanku! Hi hi hi...
Kau boleh rasakan kehebatan racun paku yang
amat jahat itu. Dalam waktu sepeminuman teh,
kedua kakimu akan lumpuh tak terpakai lagi.
Alangkah sayangnya...!"
Namun yang ditertawakan ternyata balik
tertawa lagi dengan geli sekali. Tertawanya Roro
Centil ternyata berkepenjangan, hingga sampai-
sampai si Elang Alap-alap mengerahkan kekuatan
bathinnya untuk melawan getaran pada jantung-
nya yang sekonyong-konyong terasa bergetar. Tak
ia ketahui bahwa suara tertawa itu adalah diper-
gunakan Roro untuk mengusir racun untuk sege-
ra mengalir keluar lagi, dari bekas luka senjata
rahasia dikakinya. Yang tanpa ia ketahui, kedua
paku beracun yang mengena pada kaki sang la-
wan, telah dicabut kembali. Darah hitam segera
merembes keluar.
"Hentikan tertawamu bocah centil..! Kau

pasti akan cepat mampus..!" Terdengar bentakan
keras, dibarengi dengan terjangan kedua telapak
tangan yang menghantam Roro dengan tenaga
penuh. Namun pada saat itu, Roro Centil sudah
mencelat ke atas tiga tombak. Dan ketika menu-
kik dengan beberapa kali jumpalitan ia telah ge-
rakkan tangannya untuk meluncur deras ke arah
tubuh sang lawan. Yang segera si wanita bercadar
perdengarkan teriakan atau keluhannya, dibaren-
gi dengan ambruknya sang tubuh. Karena seko-
nyong-konyong ia rasakan tubuhnya menjadi ka-
ku dan limbung. Ternyata ia telah terkena totokan
lengan si Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Ketika ia coba palingkan kepalanya, terli-
hat olehnya sang lawan tengah cekikikan mena-
tap padanya... Seraya melemparkan paku bera-
cun yang telah sejak tadi berada  dalam gengga-
mannya, Roro Centil berujar: "Hi hi hi... Siapa bi-
lang kakiku akan menjadi lumpuh..? Mungkin ju-
ga sepasang kakimu yang akan kubikin sate saat
ini..!" Keringat dingin segera mengucur deras di
tubuh si Elang Alap-alap. Dalam keadaan demi-
kian ia tak mampu untuk berkutik lagi. Ia cuma
pejamkan mata dengan hati kebat-kebit. Tiba-
tiba... 
Bret! Bret! Bret! Dengan senyum-senyum
Roro Centil telah gerakkan tangannya untuk me-
robek pakaian orang. 
"Auuuw..! Apa yang kau mau lakukan..!?"
Berteriak si wanita itu yang sudah terbuka cadar-
nya. Wajahnya segera tampak pucat pias melihat

apa yang dilakukan si Pendekar Centil ini.
"Hm, lebih baik mulutmu dikunci saja,
agar tidak terlalu cerewet!" Berkata Roro Centil
sambil gerakkan tangannya, hingga sekejapan sa-
ja si wanita itu, cuma bisa ngangakan mulutnya
tanpa bisa keluarkan suara. Setelah ditelanjangi
sampai bersih, Roro Centil angkat tubuh orang ke
tengah semak belukar. Sementara matanya jelala-
tan mencari-cari sesuatu, ke atas dahan pohon
dan ke beberapa tempat  dibawah. Tiba-tiba ia
menampakkan senyumnya sekilas... Dan berkele-
batanlah tubuhnya ke semak-semak. Tampak di-
bawahnya ratusan semut rangrang yang tengah
berkerumun diatas rerumputan, seperti tengah
membuat sarang.
Bruk! Ia sudah jatuhkan tubuh si wanita,
yang sudah bagaikan pisang yang dikupas kulit-
nya itu. Tak ampun lagi ratusan semut rangrang
segera mengerubutinya, untuk segera menye-
rangnya dengan gigitan-gigitannya. Adapun si
Elang Alap-alap cuma meringis-ringis kesakitan
tanpa dapat menggerakkan tubuhnya atau berte-
riak. Sehingga ia cuma bisa menggeliat-geliat se-
bisanya tanpa bisa menangis. Apalagi tertawa...
Roro cuma pandangi orang dihadapannya dengan
senyum-senyum. Seraya berkata :
"Nah kau rasakanlah akibat dari ketama-
kanmu. Barang upeti itu akan kukembalikan lagi
pada yang berhak membawanya ke Kerajaan..!"
Setelah ucap-kan kata-kata itu, segera Roro Cen-
til berkelebat kembali ke tempat tadi. Pakaian-

pakaian si wanita itu ia raih dan lemparkan.
Hingga menyangsang didahan pohon tinggi. Se-
lanjutnya ia sudah berkelebat ke arah dimana si
Elang Alap-alap menyembunyikan buntalan ba-
rang upeti itu. Yang sebentar saja telah berpindah
ketangan Roro.
"Aku harus cepat antarkan kembali ba-
rang-barang berharga ini..! Menggumam ia, sam-
bil gerakkan tubuh untuk tinggalkan tempat itu.
Memang ia telah melihat adanya perampokan itu.
Yaitu pertarungan antara si wanita itu dengan
keempat para pengawal. Ketika ia mau bergerak
untuk membantu, telah keburu datang si empat
dari Lima Iblis Gentayangan yang turut menem-
pur keempat pengawal itu. Sementara si wanita
bercadar itu membawa kabur barang rampasan-
nya. Roro Centil segera menguntitnya. Hingga ter-
jadi pertarungan, yang berakhir dengan keunggu-
lannya. Namun baru saja ia jejakkan kakinya.
Enam orang perwira kerajaan telah mengurung-
nya, yang muncul dari beberapa penjuru.
"Pembegal tengik..! Kau tak dapat lari lagi!
Hayo serahkan barang rampasanmu!" Teriakan
itu telah dibarengi dengan berkelebatnya pedang
dari arah samping dan belakang. Terpaksa Roro
gerakkan tubuh untuk menghindar. Namun ia
sudah terkepung oleh enam pengawal yang tak
mengerti akan hal ikhwalnya. Segera saja empat
orang maju merangsak dengan teriakan sengit,
menabas dan menusuk dari berbagai arah. Ter-
paksa Roro Centil kembali bergerak untuk sela-

matkan jiwanya. Kedua buntalan itu telah ia le-
paskan. Dan dengan mengegos ke kiri dan kanan
ia hindari terjangan-terjangan keempat pengawal.
Wah...!? Celaka besar..! Aku yang dianggap
pembegal tengik itu...!" Berkata Roro dalam hati.
Agaknya Roro Centil tak mau berlama-lama un-
tuk  mengakhiri pertarungan. Tiba-tiba ia berte-
riak keras dengan suara yang melengking pan-
jang. Inilah suara yang baru pertama kali diden-
gar oleh keenam pengawal yang baru datang itu.
Walaupun mereka adalah pengawal-pengawal an-
dalan yang berkepandaian tinggi, namun kini su-
dah dibuat terkesima dengan lengkingan yang
panjang itu. Lengkingan suara yang mengandung
tenaga dalam hebat, hingga keenam pengawal itu
berdiri terpaku dengan diluar kesadarannya. Pada
saat itulah tiba-tiba tubuh wanita dihadapannya
berkelebatan dengan cepat karena masing-masing
senjata yang dicekalnya telah terlepas dan ter-
lempar dari tangannya, dengan suara yang ber-
klontangan. Saat selanjutnya bayangan tubuh
Roro Centil tampak berkelebat lagi ke tengah-
tengah arena pertarungan. Dan sekejap telah ber-
diri lagi dekat buntalan barang upeti yang tergele-
tak dekat kakinya. Sedangkan dikedua belah len-
gannya tergantung senjata si Rantai Genit... Meli-
hat kejadian yang hampir dapat dikatakan seke-
jap mata itu, keenam pengawal itu jadi ternganga.
Namun Roro Centil sudah lantas berkata dengan
suara keras :
"Kalian telah salah alamat..! Aku bukanlah

si pembegal tengik yang menginginkan barang
upeti macam begini! Pergilah ambil barang-barang
ini..!" Sambil berkata demikian Roro telah meng-
gerakkan ujung kakinya mengungkit kedua bun-
talan itu. Segera kedua buah buntalan barang
berharga itu melayang ke arah dua orang pen-
gawal, yang segera menyambutinya. Sementara
keempat orang pengawal, yang tadi bertarung
dengan keempat begal dari si Lima Iblis Gen-
tayangan, telah  berkelebat ke tempat itu. Tapi
kemunculannya diikuti seorang tua berjubah pu-
tih. Roro tetap berdiri tegak ditempatnya. Adapun
kemunculan keempat pengawal itulah yang telah
menolongnya dari kesalah fahaman. Karena sege-
ra mereka mengenali akan si pembegal. Rupanya
dari pakaian yang dipakai si pembegal wanita itu
mereka dapat membedakannya. Kalau tadi yang
dikepungnya adalah wanita yang bercadar hitam
pada wajahnya, dan berbaju kuning. Akan tetapi
Roro Centil adalah berpakaian hijau. Adapun se-
pasang senjatanya yang berbentuk aneh itu, me-
nandakan ia bukanlah si pembegal yang tadi...
Segera saja keempat pengawal menjura hormat
pada Roro Centil. Salah seorang pengawal telah
memeriksa isi kedua buntalan itu, yang masih
utuh gemboknya pada peti upeti yang dikawalnya.
Keenam pengawal lainnya pun segera menjura
hormat sambil menyatakan maafnya atas kekeli-
ruan mereka...
Sementara si orang tua berjubah putih itu,
segera memperkenalkan dirinya yang ternyata

bernama Ki Reksa Permana. Yang berjulukan si
Pedang Sakti Bermata Delapan. Segera Roro men-
gambil kesimpulan bahwa kawanan pembegal tadi
pasti telah tewas. Karena kedatangan si Pendekar
Tua itu bersama keempat pengawal yang tadi ber-
tempur. Sudah dipastikan si Pendekar Tua berju-
bah putih itu turut membantu keempat pengawal.
Dalam waktu singkat mereka telah saling berke-
nalan... Roro Centil segera beritahukan tentang si
pembegal wanita yang telah dilucuti  pakaiannya
dan kini tengah merasakan siksaannya digigiti
tubuhnya oleh semut-semut rangrang. Tentu saja
penuturan itu membuat semua pengawal jadi ter-
tawa. Adapun si Pendekar Tua bernama Ki Reksa
Permana itu ternyata telah mengajaknya saling
menjajaki kepandaian masing-masing. Terutama
sekali sang Pendekar Tua ini ingin mengetahui
kehebatan senjata si "Rantai Genit" nya Roro Cen-
til. Terpaksa Roro pertunjukkan kelihaiannya
memainkan senjata itu. Yang ternyata telah me-
nambah pengalamannya bertempur. Karena Ki
Reksa Permana telah pergunakan senjata anda-
lannya yang telah membawa harum namanya itu,
yaitu Pedang tipis yang luar biasa lemasnya.
Hingga bila senjata itu digunakan, akan terlihat
mata pedang yang berubah jadi delapan mata pe-
dang. Roro Centil sendiri tak menyangka kalau
permainan sepasang senjata si Rantai Genit itu
ternyata dapat mematahkan serangan pedang Ki
Reksa Permana. Dengan berseru kagum sang
Pendekar Pedang Sakti Bermata Delapan tiba-tiba

melompat mundur. Seraya berucap :
"Cukup..! Cukup..! Sepasang senjata yang
hebat!" Memuji Ki Reksa Permana. Adapun kese-
puluh pengawal, jadi dibuat ternganga menyaksi-
kan pertarungan kedua tokoh ternama itu. Yang
satu adalah seorang Pendekar Tua yang sudah
kawakan, sedang yang seorang lagi adalah tokoh
persilatan yang masih amat muda. Seorang gadis
cantik yang tampaknya tidak punya ilmu kepan-
daian, tapi ternyata telah membuat mata mereka
terbuka. Bahwa sudah muncul lagi seorang pen-
dekar muda, yang sukar dicari tandingannya di
abad itu. Demikianlah... dengan rasa terima kasih
tak terhingga pada kedua pendekar, kesepuluh
pengawal itupun mohon diri. Untuk segera men-
gurus para jenazah, dan meneruskan perjalanan
membawa kiriman upeti ke Kerajaan Medang. Se-
dangkan Roro Centil tampak masih bersama si
Pendekar Tua itu meneruskan bercakap-cakap.
Ternyata Ki Reksa Permana banyak bercerita ten-
tang kisah hidupnya...