Roro Centil 12 - Bcah Siluman Penghuni Makam Tua(2)




pemuda ke Pesanggrahannya si wanita baju hijau itu.
Sedang wanita itu sendiri telah berkelebat lenyap dari
tempat itu.
Sementara itu kita lihat satu kejadian di Kota
Raja... Tampak pagi itu puluhan manusia berkerumun
di sudut pinggiran kota. Kesemuanya memandang ke
atas sebuah dahan pohon dengan pandangan ngeri.
Apakah gerangan yang terjadi? Kiranya tiga sosok tu-
buh wanita telah tergantung di sana dengan keadaan
telanjang bulat. Lidah terjulur dan sepasang mata
membeliak mengerikan. Tak ada seorang pun dari ke-
rumunan wanita dan laki-laki yang bergerak turun
tangan untuk menurunkan ketiga mayat wanita yang
tergantung itu.
Sementara kira-kira tiga puluh kaki dari tempat
kejadian terhalang sebuah sungai yang membelah le-
reng perbukitan, dibatasi oleh deretan pohon-pohon
kelapa, tampak sebuah kedai sederhana berlantai pa-
pan tengah dikunjungi  beberapa orang tetamunya.

Ternyata sebuah kedai tuak (arak). Beberapa orang la-
ki-laki dan tiga orang gadis berada di tempat itu. Hari
itu adalah hari kesepuluh, sejak diadakan pengangka-
tan Permaisuri NAWANGSIH, yang tadinya selir bagin-
da Raja Prabu Gurawangsa. Rakyat sekitar Kota Raja
memang masih dalam keadaan pesta. Akan tetapi di
luar Kerajaan, ternyata banyak terjadi kericuhan.
Hingga diam-diam Raja memerintahkan Senapati SA-
TRYO menjaga keamanan. Ternyata diam-diam Ki Pa-
tih BUNTARAN telah pula mengerahkan beberapa
orang kaum Rimba Hijau untuk berjaga di setiap tem-
pat. Siang itu panas amat teriknya. Namun kedai Tuak
di seberang sungai itu tampak ramai di kunjungi bebe-
rapa orang, yang ternyata adalah orang-orang Kaum
Rimba Hijau.
"Hahahehe...hehe... Pelayan! Tambah lagi tuak-
nya! Aku sanggup menghabiskan sepuluh kendi lagi...!
Berkata seorang laki-laki brewok bertampang gagah.
Dadanya yang bidang dan berbulu itu dibiarkan terbu-
ka., Bajunya berlengan buntung sebatas bahu. Terbuat
dari bahan kulit binatang. Berambut gondrong tak te-
rurus. Sedang ikat pinggangnya terbuat dari kulit ha-
rimau, dengan celana pangsi warna hitam. Semua
orang yang berada di tempat itu telah mengenal siapa
adanya laki-laki gagah itu. Dialah si JOKO SANGIT
adanya. Yaitu murid si Pendekar Gentayangan  Ki Ja-
gur Wedra. Tiga wanita di dalam kedai adalah tiga dara
baju merah yang berwajah cantik dan genit. Dua orang
ada dalam pelukan seorang laki-laki gendut bermata
sipit. Dialah yang bernama Raden Mas CUCAK IJO.
"Hehehe...hehe...Pelayan! Berikan pesanannya
Semua ini tanggungjawab ku!" Berkata laki-laki beru-
sia 40 tahun ini, sambil sebelah lengannya meremas
dua bukit daging di dada si wanita baju merah.
"Hihihi... Laki-laki muda itu apa sanggup
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com

menghabiskannya, Gusti Raden!?" tanya si  wanita di
sebelahnya, yang lengannya tak mau diam memijit-
mijit bahu Raden Mas Cucak Ijo itu. Sementara ping-
gangnya dalam pelukan lengan laki-laki gendut itu.
Akan tetapi matanya menatap pada gadis baju merah
di sebelah kiri laki-laki gendut, yang tengah mengge-
liat-geliat manja menyumpalkan kepalanya di dada
Raden Mas Cucak Ijo. Kalau dalam keadaan siang be-
gini dan di tengah orang ramai, Raden Mas Cucak Ijo
berani berbuat demikian, tentulah dia seorang yang
berpengaruh. Tampaknya dia memang tengah menja-
mu laki-laki bernama JOKO SANGIT itu.
Hehe... pergilah kau bantu membawakan 10
kendi tuak kepadanya!" Berkata Cucak Ijo pada wanita
yang bertanya tadi, seraya mendorong tubuhnya. Den-
gan melenggang genit, wanita itu "ngeloyor" ke arah
ruang tempat penyimpanan Tuak.
Memang sudah dilihatnya si pelayan itu tengah
sibuk membawa 10 kendi tuak. Segera dia membantu
membawa beberapa kendi. Dan tak lama di hadapan
Joko Sangit telah berjajar lagi 10 kendi tuak. Sedang
beberapa botol kosong di hadapannya segera diangkat
untuk disingkirkan.
"Hahaha...haha bagus! bagus! Terima kasih so-
bat Cucak Ijo!" Ayoh, siapa yang mau bertanding den-
ganku, menghabiskan 10 kendi tuak ini! Biarlah lima
kendi untukku, dan lima kendi untuk lawanku!" teriak
Joko Sangit.
Empat orang laki-laki berkulit putih  dengan
empat pedang di belakang punggung, tampak saling
pandang. Mereka adalah Empat Hantu Gunung Ci-
reme. Akan tetapi tampaknya mereka tak berniat un-
tuk maju seorang pun. Tiba-tiba lengan si Joko Sangit
menarik lengan gadis baju merah itu ke dekatnya.
"Hahaha... cantik juga kau! Siapa namamu?

tanya Joko Sangit. Sementara dengan giginya dia telah
mulai membuka gabus penutup kendi tuak.
"Aku... Pintani...!Apakah anda yang bernama
Joko Sangit...?" tanya gadis itu. Seraya meneguk tuak-
nya, Joko Sangit menyahuti yang sebelumnya meneng-
gak habis satu kendi arak itu dengan beberapa kali te-
gukkan.
"Heh heh heh... betul! Aku datang ke kota Raja
ini mencari seorang yang telah mencuri kitab pusaka-
ku...!" sahutnya. Sementara sepasang matanya tampak
sudah memerah akibat pengaruh tuak. Padahal tadi
sudah tiga kendi arak yang diminumnya. Kini ditam-
bah satu kendi lagi, jadi kesemuanya sudah empat
kendi masuk ke perut pemuda itu. "Kitab pusaka...!?
tanya gadis itu, sambil melirik pada Cucak Ijo. Tampak
laki-laki gendut itu memberi isyarat dengan anggukan
kepala.
"Oh, kau mulai mengaco agaknya, sobat Joko
Sangit! Sebetulnya kau tak usah habiskan tuak-tuak
itu! Aku bisa membawamu untuk beristirahat!". Bisik
si wanita di telinga laki-laki itu. Namun juga telah
tempelkan hidungnya di pipi Joko Sangit. Akan tetapi
lengan pemuda itu sudah bergerak menyingkirkan ga-
dis itu ke tepi.
"Hehehahaha... siapa yang mengaco? Aku ma-
sih sanggup minum, tapi manusia-manusia di sini ru-
panya keroco semua! Tak seorangpun yang berani me-
nerima tantanganku! Huh...!" ujarnya dengan berdiri
dari duduknya.
Tentu saja kata-kata itu tampaknya membuat
panas seorang laki-laki berbaju kuning yang duduk di
sudut ruangan kedai. Dia adalah yang berjulukan si
Setan Muka Kuning sedangkan tiga orang lagi yang
berpakaian hitam-hitam dengan memakai topi tudung
yang disebut capil itu adalah si Tiga Petani Gunung

Kumbang. Tiga tokoh ini adalah para perantau yang
juga telah berada di wilayah Kota Raja atas undangan
Ki Patih Buntaran di Kerajaan Matsyapati ini. Tentu
saja kata-kata adanya si pemuda bernama Joko Sangit
itu yang tengah memburu orang pencuri Kitab Pusaka
miliknya, cukup menjadi perhatian mereka.
Setelah saling mengangguk, salah seorang tam-
pak segera bangkit berdiri. Namun keduluan dengan si
Setan Muka Kuning yang sudah melompat ke depan
meja Joko Sangit. Karena itu terpaksa dia duduk lagi.
"Eh, sobat Joko Sangit! Dugaanmu salah kalau
di sini cuma orang-orang keroco saja yang ada!
Entahlah kalau mereka-mereka ini...!" ujar si
Setan Muka Kuning, seraya memutar wajah menatap
pada semua orang Terutama pada si Tiga Petani Gu-
nung Kumbang.
Kembali pada Raden Mas Cucak Ijo itu saja si
Siluman Muka Kuning menjura. Tentu saja membuat
si Tiga Petani Gunung Kumbang jadi melotot gusar.
Ketiganya sudah melompat ke depan meja Joko Sangit.
"Huh! Siluman, Muka Kuning! Kami si tiga Pe-
tani Gunung Kumbang pun bukan manusia-manusia
keroco! Aku sanggup menerima tantangan si anak mu-
da ini!". Berkata salah seorang yang agaknya menjadi
orang tertua dari kedua saudara seperguruannya. "he-
hehe...Baiknya sebelum kalian melawan aku! Kalian
cobalah. berdua mengadu kekuatan dulu? dan siapa
yang kalah baru lawan aku?" berkata Joko Sangit. Ke-
dua orang itu sekejap saling berpandangan.
"Baik! Akan tetapi bukan mengadu minum
tuak! Aku kepingin lihat, apakah Tiga Petani Gunung
Kumbang ini sudah boleh diandalkan kelihayannya
untuk bantu menangkap penjahat...?"
"Alangkah sombongnya kau, Muka Kuning! Wa-
lau Kami belum pernah bertarung, akan tetapi kami

sudah mengenalmu! Juga sepak terjangmu! Hari ini
mungkin akan lenyap kesombonganmu...!" ujar si Tiga
Petani Gunung Kumbang yang sudah mendahului ke-
luar melompat dari dalam kedai. Siluman Muka Kun-
ing tertawa jumawa, seraya  turut melompat keluar.
Dan selanjutnya mereka sudah berdiri berhadapan.
"Majulah kalian bertiga! Aku sih memang ke-
mana-mana selalu sendiri!". Mendelik mata si ketiga
lawannya, yang tak ayal segera lancarkan serangan
dengan berbareng. Hingga sebentar saja pertarungan-
pun terjadi dengan seru. Beberapa tetamu kedai itu
pun dengan sendirinya menonton pertarungan itu.
Kecuali Joko Sangit, yang masih berdiri di de-
pan mejanya. Sementara gadis bernama Pintani itu
sudah mendekatinya, seraya menggelendot manja di
dada laki-laki itu.
"Kakang Joko Sangit! Gara-gara kau, mereka
jadi bertarung...! Apakah tak sebaiknya kau beristira-
hat saja ke Pesanggrahan tempat tinggalku? Kau tam-
paknya sudah mabuk sekali...!" ujarnya. Seraya len-
gannya merayap membelai dada berbulu laki-laki ga-
gah itu. Laki-laki itu tak menjawab, akan tetapi cuma
mendesis dengan tubuh terhuyung. Sementara diam-
diam di hati Joko Sangit sudah mengeluh. Celaka...!
Aku memang benar-benar mabuk! Apakah dalam arak
telah diberi racun? Pikirnya dengan mengambang.
Namun pada saat itu tiba-tiba lengan si wanita telah
bergerak menotok tubuhnya. Karena dalam keadaan
mabuk luar biasa, juga ditambah totokan si gadis baju
merah itu, Joko Sangit tak mampu berbuat apa-apa
selain jatuh menggeloso. Namun sudah disangga si
wanita itu pada pundaknya. Selanjutnya melalui jalan
belakang kedai, segera membawanya
lenyap dibalik pondok. Adapun Raden Mas Cu-
cak Ijo, telah perdengarkan suara lirih, seraya bangkit

berdiri, Si pelayan kedai itu adalah ternyata pemilik
kedai itu sendiri. Tampak; dia berbisik-bisik pada Ra-
den Mas Cucak Ijo. Lalu buru-buru menutup kedainya,
dan menghilang di belakang pondok menyusui dua
wanita baju merah yang membuntut di belakang Cu-
cak Ijo. Sementara pertarungan berlangsung semakin
seru.
Setan Muka Kuning ternyata bukan tokoh sem-
barangan. Disamping licik juga telengas. Tiga serangan
beruntun si Tiga Petani dapat dihindari dengan mem-
bungkus tubuhnya oleh putaran senjata anehnya yang
berbentuk Tongkat pendek berkepala Tengkorak.
Tengkorak di ujung tongkatnya itu adalah sen-
jata yang amat berbahaya. Karena pada bagian kepala
tengkorak terdapat sebuah liang yang sewaktu-waktu
bisa keluarkan asap beracun, tapi bisa juga member-
sitkan belasan jarum berbisa. Dua puluh jurus berlalu.
Tiba-tiba terdengar bentakan si Setan Muka Kuning.
Gerakannya berubah jadi cepat sekali. Dengan lengan
sebelah menghantamkan tongkat, sebelah lagi memu-
kul dengan kepalan, yang bisa berubah jadi cakaran
maut. Jelas terlihat lengan orang ini, yang kehitaman
sebatas pergelangannya. Dapat diduga cakar lengan-
nya itupun mengandung racun.
Tiga petani mainkan senjata tiga cangkul kecil
yang  menyerang ganas. Namun menghadapi peruba-
han gerakan silat si Setan Muka Kuning memang tam-
pak ketiganya terdesak. Di saat mereka ayal atau len-
gah, asap hitam telah menerjang muka mereka mem-
buat ketiganya terhuyung mundur. Namun mau tak
mau asap racun sudah terhisap. Pandangan mata me-
reka mendadak jadi gelap oleh asap. Dan di saat itulah
terdengar tiga rangkaian jeritan maut. Karena setelah
berdesir senjata jarum berbisa menghujam ke tubuh
mereka, telah dibarengi pula oleh tiga rangkaian han-

taman telak yang membuat kepala mereka berbunyi
rengat. Tak ampun lagi, ketiga tubuh si Petani terjung-
kal berkelojotan. Namun sekejap kemudian tewas, me-
lepaskan nyawa. Terkejut si Empat Hantu Gunung Ci-
reme. Mereka sudah melompat menghadang di depan
si Setan Muka Kuning.
"Mohon penjelasan! Mengapa anda membunuh
mereka...? Bukankah mereka kawan sendiri?" akan te-
tapi si Setan Muka Kuning tertawa terkekeh.
"Heh heh heh... Mereka justru harus dibunuh
mampus! Mereka adalah mata-matanya Senapati SA-
TRYO...!" Melengak seketika si Empat Hantu Gunung
Cireme.

***

EMPAT

Kita tunda dulu keadaan di muka kedai di se-
berang sungai itu, untuk melihat apa yang terjadi di
tempat orang berkerumun tadi. Yaitu di tempat adanya
tiga orang wanita digantung di atas dahan pohon den-
gan keadaan tubuh telanjang. Tampak dan sosok tu-
buh berkelebat ke arah tempat itu....
"Hah!??? Benar-benar perbuatan biadab! He!?
Kalian semua tak ada yang berani naik untuk menu-
runkan mayat...? Keterlaluan...!" Bentak laki-laki ber-
pakaian Perwira Kerajaan itu, yang ternyata tak lain
dari Senapati SATRYO..
Si Pendekar Wanita Pantai Selatan, RORO
CENTIL. Entah bagaimana kisahnya sampai Roro ada
bersama sang Senapati Satryo itu. Melihat keadaan ti-
ga wanita yang digantung sedemikian sadisnya, bah-
kan dengan keadaan yang memalukan, membuat Roro

harus cepat bertindak menurunkan. Lengannya berge-
rak menjumput sebutir batu kecil, yang segera disam-
bitkan ke arah tambang pengikat leher wanita di atas
dahan tinggi itu. TES...! Tambang putus. Dan tubuh
wanita itu meluncur ke bawah dengan deras. Selanjut-
nya Roro sudah bergerak untuk menangkapnya. Selan-
jutnya dua butir batu kerikil kembali melesat sekaligus
memutuskan tambang-tambang yang lainnya. Roro ce-
pat menyambar salah satu tubuh wanita itu, sedang
yang seorang lagi sang Senapati Satryo lah yang me-
nyangga.
"Lepaskan sarung kalian...!" membentak Roro
Centil, yang tiba-tiba berkelebat ke arah tiga orang la-
ki-laki yang cuma berdiri saja di tempat yang agak
jauhan.
Tentu saja membuat ketiganya jadi terkejut, ka-
rena datangnya mendadak, dan bentakannya pun ti-
dak disangka. Terburu-buru mereka melepaskannya.
Sekejapan saja sebelum tubuh tiga wanita tanpa aurat
itu dapat dipentang orang banyak, Roro Centil telah
menutupinya. Adapun sung Senapati Satryo jadi ter-
henyak menatap salah seorang dari wanita itu, yang
tak lain dari istrinya sendiri. Berbarengan dengan ditu-
tupinya tubuh perempuan itu, terdengar suara jeritan
Senapati Satryo.
"Pratini...!?? Pratinii...!? kau...kau...eehh...hh..."
menangislah  laki-laki  ini  terisak-isak, setelah meng-
guncang-guncang tubuh mayat wanita muda itu. Dan
memeluknya dengan bersimbah air mata. Tentu saja
membuat semua orang jadi terpaku, terkejut dan bela-
lakkan mata. Termasuk Roro Centil. Sungguh dia tak
menduga kalau salah seorang dari mayat wanita itu
adalah istri sang Senopati itu sendiri. Tiba-tiba tampak
sekejap laki-laki itu telah tengadahkan lagi kepalanya.
Wajahnya tampak membesi. Lengannya bergerak  me-

nyeka air mata yang membasahi kedua pipi. Sementa-
ra bibirnya telah digigit kencang hingga berdarah. Sang
Senapati telah berusaha menahan tangis kesedihannya
dengan sekuat tenaga. Kini yang ditatap adalah mayat
kedua wanita itu, yang tak jauh diletakkan Roro di de-
kat mayat istri Senapati Satryo. Perlahan dia bangkit,
dan melangkah mendekati. Tiba-tiba kembali berjong-
kok. Wajahnya menunduk haru.
"Oh!? aku tak mengerti! Mengapa hal ini dapat
terjadi? Namun seandainya memang bisa terjadi men-
gapa istriku juga harus jadi korban...?" Gumam Sena-
pati Satryo. Roro cuma termangu-mangu mendengar
kata-kata gumaman laki-laki orang Kerajaan itu.
Mengapa Roro Centil dapat sampai ke tempat
ini...?
Dan juga mengenal pada Senapati Satryo...?
Cukup panjang kisahnya. Akan tetapi akan dipapar-
kan sedikit riwayat mengenai perjalanannya.
Perbuatan jahat, licik juga keji, ternyata me-
mang selalu membuat Roro Centil membencinya. Apa-
lagi terhadap rakyat jelata. Penduduk desa yang le-
mah, yang diperlakukan sewenang-wenang oleh orang-
orang yang berkuasa". Membuat kepala si gadis Pen-
dekar Selatan ini jadi seperti gatal tanpa kuku. Kalau
belum membuat mampus atau  menyiksanya sampai
setengah mati lalu menyuruhnya bertobat, tentu tak
akan puas hatinya. Bahkan kalau sudah kehilangan
sabar sang Pendekar Wanita beradat aneh ini, jangan
harap kalau bisa diberi hidup...! Paling untuk dibuat
miring otaknya, atau kehilangan salah satu anggota
badannya. Itulah watak aneh Roro Centil, si Pendekar
Wanita Pantai Selatan.
Akan tetapi satu peristiwa belakangan ini nya-
ris saja membuat dia terkurung seumur hidup di da-
lam kerangkeng gaib, yang tak dapat Roro melepaskan

diri. Roro jumpai seorang laki-laki tua-renta terkapar
di tengah jalan. Panas terik yang membakar bumi
membuat orang itu akan mati haus, karena kepana-
san. Nalurinya yang tajam mengatakan pasti ada apa-
apa yang tidak beres di daerah ini. Segera Roro tanpa
berayal menolongnya. Kebetulan sepasang senjata
RANTAI GENlT-nya baru saja diisi oleh air pancuran di
kaki gunung yang tadi dilewati.
Cepat ditariknya sebuah Bandulan aneh ber-
bentuk bulat macam payudara itu ditimbang-
timbangnya sejenak, lalu ujung putiknya diputar. Ke-
mudian dengan tanpa laki-laki tua itu yang tengadah-
kan kepala laki-laki tua itu yang kepalanya diletakkan
di atas pangkuannya. Ketika bandulan si RANTAI GE-
NIT itu dibalikkan dan ujung putiknya dijejalkan pada
mulut laki-laki tua itu, maka mengucurlah airnya.
Tentu saja dengan lahap, sang kakek malang itu me-
minumnya, hingga sampai megap-megap. Tak lama
Roro sudah simpan lagi "buah dada" nya ke balik ping-
gang.
Akan tetapi terkejut Roro Centil ketika meme-
riksa tubuh orang tua itu, ternyata tulang-tulang
iganya telah patah lima buah. Juga tulang lutut yang
hancur. Bahkan kedua lengannya sudah patah sama
sekali. Akan tetapi tiada darah setetes pun keluar dari
tubuh atau anggota badan laki-laki itu.
Sementara di sebuah pondok, tak jauh dari mu-
lut desa Lamtoro, tengah terjadi satu pemandangan
yang membuat bulu tengkuk meremang. Karena di da-
lam rumah besar itu tengah  terjadi kebiadaban dari
manusia-manusia yang bermartabat rendah, berhati
binatang dan bernafsu setan. Empat wanita tergeletak
dalam keadaan dikerubuti lebih dari sepuluh orang la-
ki-laki yang sudah bagaikan harimau yang lepas kulit-
nya. Akan tetapi pada saat itu tampak sebuah bayan-

gan berkelebat masuk melalui jendela. Gerakannya
ringan bagaikan bayangan tanpa mengeluarkan suara.
Tiba-tiba terdengarlah suara jeritan-jeritan menyayat
hati, dan teriakan-teriakan parau menggema bersahu-
tan. Dibarengi suara berderak dan bergedubrakan ba-
gaikan ada angin prahara mengamuk di dalam rumah
panggung itu. Apakah yang terjadi? Sukar diceritakan
kejadian di dalam rumah panggung milik kepala desa
itu. Karena dari luar yang terlihat adalah terlemparnya
beberapa sosok tubuh menembus wuwungan rumah.
Menjebol atap genting, yang diiringi suara berderakan.
Genting- genting rumah itu hancur beterbangan.
Dan delapan sosok tubuh jatuh berdebuk ke
tanah, dengan keadaan hancur seluruh tulang-
belulangnya, dan mati seketika. Bahkan ada pula yang
membentur batang pohon kelapa, dengan tubuh ber-
puncratan darah.
Tampak dua orang laki-laki berlari jatuh ban-
gun, setelah melompat keluar dari salah sebuah jende-
la yang tertutup. Ditabraknya hingga daun jendelanya
lepas berpentalan. Tampaknya dua orang ini berhasil
meloloskan diri. Akan tetapi ketika tiba dijalan desa,
telinga kedua ini mendengar suara berdengung di be-
lakangnya. Terkejut bukan main kedua laki-laki ini ke-
tika melihat sesosok tubuh dengan rambut beriapan
berada di belakangnya. Tahu-tahu salah seorang dari
laki-laki itu telah menjerit, ketika sebuah benda meng-
hantam  kepalanya.  Tampak laki-laki itu berkelojotan
memegangi kepalanya yang mengepulkan asap putih.
Tak lama sudah jatuh terduduk, dengan mata mende-
lik, dan lidah terjulur mengalirkan air liur yang tiada
hentinya mengucur. Tentu saja membuat laki-laki ini
jadi gemetaran, menatap kawannya. Sudah sejak tadi
dia jatuh terjerembab, dan belum sempat bangun, ka-
rena kedua lututnya seakan telah lumpuh tak bertena-

ga. Kini dilihatnya  seorang gadis cantik dengan sepa-
sang mata bagaikan mata serigala menatap ke arah-
nya. Sementara sebelah lengan wanita cantik berbaju
hitam itu memutar-mutarkan sebuah benda berantai
yang mengeluarkan suara bagaikan ratusan tawon
yang berdengung. Itulah Roro Centil, yang barusan sa-
ja menghantamkan bandulan si Rantai Genit ke kepala
kawan laki-laki ini. Setelah mengamuk di dalam ru-
mah panggung tadi Roro telah mengejar kedua orang
ini. Tak seorang pun dari para manusia biadab itu di-
biarkan meloloskan diri.
"Am.. ampuuun..! Ampun..! ja.. jangan bunuh
aku, no.. nona..!Aku tak ikut-ikutan memperkosa!
Aku... cuma membunuh seorang nenek-nenek saja..
ohh.. hh.. hhh ..."
Membeliak sepasang mata Roro Centil. Lengan-
nya bergerak menyambar rambut laki-laki itu, yang
sudah dicengkeramnya hingga tubuhnya terbawa ber-
diri.
"Setan alas...? Dan sekali sentak, rambut kepa-
la lelaki itu telah terlepas jebol dari kulit kepalanya.
Tubuh laki-laki itu terhuyung ke depan, dan ja-
tuh ngusruk, diiringi jerit kesakitan. Selanjutnya dia
sudah berjingkrakan meraung-raung memegangi kepa-
lanya yang botak berlumuran darah pada bagian atas
ubun-ubunnya. Roro lemparkan gumpalan rambut di
tangannya yang dibanting ke tanah sampai melesak
lenyap. Tiba-tiba lengannya sudah bergerak menjewer
telinga laki-laki itu, yang kembali terbawa berdiri.
"A... aaammpuuuun..! ampuuunn..! aduuuh..
aku tobat tak mau ikut-ikutan berbuat kejahatan lagi!
Ampunilah nyawaku, no.. nona pendekar..." rintihnya
dengan wajah menyeringai ketakutan.
"Hm, katakan siapa pemimpin kalian! Dan apa
yang terjadi sebenarnya di desa ini..! Kalau kau tak

menjelaskan, terpaksa akan ku kuliti tubuhmu dengan
segera!" ancam Roro dengan wajah sengit.
"Kami... kami anak buahnya Raden Mas Cucak
Ijo, nona pendekar! Kami memang bertindak keterla-
luan... tapi... tapi aku cuma terbawa-bawa, saja...". tu-
tur laki-laki itu. Roro Centil naikkan alisnya.
"Siapa Raden Mas Cucak Ijo itu..!" bentak Roro
lagi.
"Be.. beliau adalah ket.. ketua kami, nona pen-
dekar! Ya, ket... ketua kami..."
"Setan alas..! Aku sudah tahu dia itu ketuamu,
goblok! Maksudku apakah dia penguasa di sini, atau
kepala rampok, atau orang suruhan dari Kerajaan,
atau..." 
WHUSSSS..! Roro sudah lemparkan orang. itu
ke atas genting sebuah rumah. Dan... BRAKK! Tubuh,
laki-laki itu langsung menjeblos menembus genting,
hingga tak nampak lagi. Cuma kedengaran suara men-
gerangnya tapi sesaat kemudian lenyap tak kedenga-
ran suara apa-apa lagi.
DES...! Kaki Roro telah melayang lagi menen-
dang pantat laki-laki yang seorang. Laki-laki yang se-
dang duduk dengan kepala mengepulkan asap, dan li-
dah terjulur mengalirkan air liur ini terjungkal jatuh
bergulingan. Akan tetapi tendangan itu tak mengguna-
kan tenaga dalam. Hingga laki-laki itu dapat bangkit
kembali dengan tubuh terhuyung-huyung, namun
keadaannya jadi seperti orang tidak waras. Karena
tampak setelah menjerit  kesakitan, lalu  tertawa-tawa.
"Hehehe... hehe... Pangkatku Perwira Kerajaan!
Si Komang dan Kempot jadi pengawal istana...! Haha-
ha... hehe... Kanjeng Gusti Patih menjadi Raja! Hoho-
ho... aku mau cari bini yang bahenol! Anak bangsawan
yang kaya..! Kalau gadisnya menolak lamaranku, he-
hehe... akan kugorok batang lehernya..! Haha.. haha-

ha..." Sambil mengoceh tak keruan, laki-laki yang su-
dah rusak otaknya itu tertawa dan menari-nari sambil
terpincang-pincang meninggalkan tempat itu. Tentu
saja membuat Roro jadi tersenyum, dan manggut-
manggut sendiri. Mengertilah dia kini.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ter-
tawa terkekeh-kekeh menyeramkan membuat Roro
Centil tersentak kaget. Namun segera dia sudah was-
pada menghadapi apa yang bakal terjadi. Sebuah
bayangan warna hijau berkelebat, dan tahu-tahu seo-
rang nenek bongkok telah berada di hadapannya.
"Hihih. hihi..! bocah cantik! Siapa namamu,
wong manis? Senjatamu aneh dan lucu! Coba pinjami
aku sebentar..!". Seraya berkata lengannya bergerak
menyambar ke arah lengan Roro yang masih mencekal
sebuah senjata dari sepasang Rantai Genitnya. Terke-
jut Roro Centil. Segera saja tubuhnya bergerak mem-
buat satu gerakan dari jurus aneh yang dimilikinya,
yaitu jurus Langkah Bidadari Mabuk. Ternyata gera-
kan terhuyung itu mampu membuat sambaran lengan
si nenek bongkok itu luput. Akan tetapi satu sedotan
kuat dari lengan si nenek bongkok itu membuat Roro
terkejut. Nyaris saja si Rantai Genit terlepas, kalau tak
buru-buru Roro Centil gunakan Ajian Sari Rapet.
Hingga senjatanya seperti melengket kuat dari ceka-
lannya tanpa bisa terlepas lagi. Namun tentu saja Roro
tak dapat menahan tubuhnya yang ikut tersedot oleh
tenaga dalam si nenek bongkok yang amat kuat. Se-
mentara satu serangan melalui batinnya telah mem-
pengaruhi Roro. Tenaga batin nenek bongkok ini
punya daya aneh, yang membuat Roro sukar mela-
wannya.
"Hihihi... kau pasti muridnya si Manusia Banci
dari Pantai Selatan. Hehehehe... ayo, kemarilah anak
manis!" Setengah sadar Roro terpaksa membiarkan tu-

buhnya terbawa sedikit demi sedikit. Dan melangkah
semakin dekat. Namun di saat hampir mendekat, Roro
Centil kembali sadar. Tersentak Roro Centil ketika ta-
hu-tahu terasa tubuhnya dibelit oleh seutas tali gaib
yang tak kelihatan. Tahu-tahu Roro rasakan tubuhnya
tak mampu bergerak lagi. Ketika itulah lengan si nenek
bongkok telah bergerak menotoknya. Roro cuma bisa
mengeluh.
Tamatlah riwayatku! Sentaknya dalam hati.
Pandangan Roro sekonyong-konyong menjadi gelap.
Ingatannya mengabur. Dan Roro cuma bisa rasakan
tubuhnya dibawa berkelebat cepat sekali di atas pun-
dak si nenek bongkok itu. Ketika dia sadarkan diri lagi,
Roro terkejut, karena kini tubuhnya telah berada di sa-
tu ruangan berbau pengap. Di manakah aku? Pikir Ro-
ro. Setelah diteliti ternyata berada dalam satu ruangan
goa yang luas. Di atas langit-langit goa terdapat satu
lubang besar. Dari lubang itulah cahaya matahari ma-
suk. Cuma lubang itu terlalu tinggi, hingga tetap saja
hawa di situ berbau pengap. Namun Roro kini rasakan
tubuhnya sudah tak terbelenggu lagi. Aneh, kemana-
kah nenek bongkok itu? Mengapa membawaku ke
tempat ini?. Pikir Roro dalam benaknya. Setelah mene-
liti setiap dinding, Roro menampak sebuah lubang
yang tertutup batu.
"Heh! Itu pasti sebuah pintu keluar!" Desis Roro
perlahan, seraya beranjak melangkah. Akan tetapi...
tiba-tiba... DUK! Terkejut Roro karena kepalanya te-
rantuk oleh sebuah benda. Beruntung dia cuma me-
langkah, kalau dia melompat, bisa berakibat fatal pada
kepalanya. Atau setidak-tidaknya kepalanya benjol.
Namun anehnya di tempat kepalanya terantuk, tak ada
apa-apa. Sedangkan dinding goa masih jauh belasan
langkah lagi di hadapannya. Penasaran telah membuat
Roro meraba ke arah depan. Terkejutlah sang gadis

Pendekar ini, karena rasa lengannya menyentuh terali
besi.
"Aneh!?" Gumam Roro. Karena setelah merayapi
keadaan di sekitarnya dengan rabaan tangannya. Roro
Centil berada dalam sebuah kerangkeng besi yang tak
kelihatan oleh mata. Itulah kerangkeng gaib agaknya.
Karena sama halnya dengan keadaan Roro sewaktu
tubuhnya terkena jeratan tali gaib, yang juga tak terli-
hat mata. Semakin mengeluh Roro Centil, karena ter-
nyata kekuatan tenaga dalamnya telah punah. Apapun
yang dilakukan tak membawa hasil untuk menerobos
keluar dari kerangkeng gaib itu. Bahkan bagian atas-
nya pun dipagari terali aneh itu.
"Celaka...! Siapakah nenek bongkok itu?. Apa
maksudnya menawan ku di tempat ini?. Mengapa tak
membunuhku sekalian?. Dan yang membuat Roro
Centil terkejut adalah, sepasang senjatanya si Rantai
Genit telah lenyap dari lengan dan  belitan pinggang-
nya. Akhirnya gadis Pendekar itu cuma bisa jatuhkan
pantatnya untuk duduk di tanah.

***

LIMA

Entah berapa lama Roro tak mengetahui. Tapi
keadaan di dalam ruangan itu berangsur-angsur men-
jadi gelap. Tahulah Roro kalau malam akan segera ti-
ba.
"Keparat! Setan Alas!" Memaki Roro dengan
kesal. Akan tetapi tiba-tiba Roro mendengar suara
menggeram di arah sudut goa. Tersentak Roro Centil.
Seketika wajahnya menampilkan perobahan girang.
Dan cepat berseru dengan menggunakan suara melalui

batin.
"TUTUL! Di mana kau? Tolonglah aku. Aku ratu
mu yang sedang dalam bahaya...!". Akan tetapi suara
menggeram itu tetap tak terdengar mendekati. Bahkan
tak juga menampak tubuh Harimau Tutul di hadapan-
nya.
"Celaka..! Jangan-jangan si Tutul pun terjerat
dalam kerangkeng gaib seperti aku!" Desis Roro. Kem-
bali Roro Centil terpaku dan tercenung memegangi te-
rali gaib yang amat kuat sekali. Tak mampu dia men-
dobraknya.  Jalan satu-satunya adalah menunggu
sampai si nenek bongkok itu muncul. Entah ada uru-
san apakah si nenek peot itu usil padaku! Pikir Roro
dengan wajah jengkel.
Selang kira-kira sepenanak nasi. Karena kesal-
nya Roro Centil telah menjerit sekuat-kuatnya. Bahkan
di antara jeritannya itu dibarengi pula dengan suara
tertawa aneh. Dan lengannya kembali bergerak ke kiri
kanan, menghantamkan pukulan-pukulannya untuk
mendobrak kerangkeng gaib itu.
"Haiiii...! nenek bongkok yang sudah mau ma-
suk liang kubur! Keluarlah kau! Mayo mengadu kesak-
tian sampai seribu jurus! Aku Roro Centil mengantar
nyawamu ke liang Akhirat!!". Teriak Roro Centil.
WHUUK! WHUK! WHUK! WHUK! Bunyi angin
pukulan dan tendangan Roro Centil terdengar santar.
Akan tetapi kerangkeng gaib itu mana mampu dihan-
curkan, karena kekuatan gaib tak bisa dilawan dengan
kekuatan wujud. Walaupun tenaga dalam si Pendekar
Wanita Pantai Selatan ini tidak punah sekali pun, tak
ada gunanya. Akhirnya setelah berteriak-teriak dan
tertawa aneh yang histeris itu, kembali Roro terdiam.
Tiba-tiba di kejauhan terdengar lapat-lapat satu suara
lirih, yang menyusup ke telinganya.
"Roro.! Kekuatan apa pun yang dimiliki seseo-

rang walaupun teramat tingginya tetap akan ada ba-
tasnya. Dan pasti ada kelemahannya. Dan kecerdikan
akan mengalahkan segalanya! Mengapa tak kau guna-
kan kecerdikan mu untuk melepaskan diri dari kekua-
tan gaib yang telah membelenggu  mu? Di atas langit
memang masih ada langit! Tingginya suatu ilmu tak
ada batasnya! Kekuatan lawan bisa bertambah berlipat
ganda, dengan kepanikan  mu dalam menghadapi ke-
nyataan yang menimpamu! Lembar ke tujuh belas dari
17 lembar daun lontar yang kutitipkan padamu mela-
lui pemuda bernama JOKO SANGIT, murid si Pendekar
Gentayangan alias Ki Jagur Wedha rupanya belum se-
lesai kau pelajari. Di lembar ke tujuh belas itu ada
makna kata-kata yang belum sempat kau pecahkan!
Aku percaya kau bukanlah seorang murid yang akan
membuat kecewa gurumu! Karena itulah setiap sepak
terjang mu aku selalu mengikuti! Nah! kukira kau pa-
ham mendengar penjelasanku, bukan? Kini berusaha-
lah sebisa akalmu. Aku percaya, walau pun kau ada-
lah seorang bocah yang tolol, tapi ...cerdik!"
Terperangah seketika Roro Centil. Jelas sekali
kalau suara gurunya si manusia banci. Akan tetapi dia
sudah mendengar berita dari Joko Sangit, laki-laki sa-
habatnya itu, bahwa sang guru telah tewas. Apakah
yang bicara adalah arwahnya..? Sentak hati Roro Cen-
til. Seketika tanpa sadar Roro sudah berteriak keras.
GURUUU..!!. Cepat sekali, tiba-tiba air matanya telah
membersit keluar membasahi pipinya. Akan tetapi tak
ada sahutan lagi. Keheningan mencekam sekitar lu-
bang goa yang mulai remang-remang. Suara kepak ke-
lelawar dan cicitnya terdengar ramai di sudut goa. Dis-
ertai beterbangannya binatang itu keluar melalui lu-
bang di atas goa. Saat malam sebentar lagi akan tiba,
dan binatang-binatang itu sudah masanya keluar un-
tuk mencari makanan. Tercenung Roro Centil. Jelas

tadi adalah kata-kata gurunya. Kalau ada suaranya
pasti ada orangnya. Demikian Roro Centil. Akan tetapi
suara itu telah lenyap kembali. Mungkinkah arwah
orang yang sudah mati bisa bicara padanya? Tanya
Roro pada dirinya sendiri. Namun kesedihannya men-
dadak jadi sirna ketika kembali diingat-ingatnya kata-
kata sang guru tadi.
Cepat-cepat di hapusnya air matanya. Roro ma-
sih ingat akan kata-kata pada lembar ke tujuh belas
dari 17 lembar daun lontar warisan gurunya itu, yang
maknanya memang belum terpecahkan. Kali ini adalah
satu-satunya jalan untuk memecahkan makna kata-
kata itu. Memikir demikian, segera Roro Centil bersi-
dakep mengosongkan fikiran. Menyempurnakan dirt ke
alam batin, dengan satu tujuan, adalah mengingat pa-
da Yang Maha Esa. Selang beberapa saat, tampaklah
satu ketenangan yang amat luar biasa pada Roro. Dia
tidak lagi mengkhawatirkan nasib dirinya. Mengapa
harus khawatir? Bukankah setiap nasib manusia ada
pada kekuasaanNYA?. Manusia boleh berusaha, akan
tetapi Tuhan yang menentukan segalanya. Kini Roro
tidak lagi gelisah. Ketenangan telah berhasil dikua-
sainya dengan secara total. Barulah Roro segera me-
mulai untuk mengingat kata-kata makna pada  daun
lontar di lembar ke tujuh belas itu.

Bidadari membuka perutnya.
Tangis bayi mengumbar suara.

Dua bait kata-kata itu seperti sebuah sajak,
akan tetapi mengandung arti yang amat dalam.
Tercenung Roro Centil memikirkan maksudnya.
Setelah berfikir bolak-balik tak menemukan juga mak-
na dari kata-kata itu, akhirnya Roro mencoba mencari
ilham dari apa yang dapat dilihatnya. Segera sepasang

matanya jelalatan memutari sekitar gua yang remang-
remang itu. Akan tetapi cuma satu dinding batu melu-
lu. Cuma satu dinding yang celahnya agak renggang,
dan Roro merasa yakin kalau itulah pintu keluar dari
goa, yang ditutupi sebongkah batu.
"Heh, akan ku coba untuk menghancurkan ba-
tu itu dengan jarak jauh!" Bergumam Roro dengan se-
pasang mata menatap tajam pada bongkah  batu itu.
Akan tetapi baru tersadar Roro, kalau tenaga dalam-
nya telah punah. Aku harus memulihkan terlebih dulu
tenaga dalamku, mudah-mudahan bisa kembali seperti
semula! Pikir Roro. Segera saja Roro mulai mengerah-
kan hawa murni dari tubuhnya. Sulit sekali menghim-
pun hawa murni, yang bertitik pusat pada pusar itu.
Karena berkali-kali Roro menemui kegagalan. Akan te-
tapi tekadnya sudah bulat. Kembali dia mencoba, dan
mencoba.. hingga peluhnya bercucuran di sekujur tu-
buh. Pada saat itulah Roro Centil teringat akan kata-
kata di daun lontar lembar ke tujuh belas itu, yang ada
pada bait kedua. Yaitu kata-kata: Tangis bayi  men-
gumbar suara. Heh?! Apakah aku harus menangis se-
perti seorang bayi?. Pikir Roro. Justru mengingat de-
mikian membuat Roro jadi terpingkal-pingkal geli sen-
diri. Guruku memang aneh! masakan aku harus berte-
riak-teriak seperti seorang bayi! pikirnya. Tapi Roro
Centil tak menyadari. Justru di saat dia tertawa tadi,
hawa murni tengah memutar kencang di sekitar pusar.
Dan ketika tertawa terpingkal-pingkal itulah hawa
murni dalam tubuhnya bergolak membuka jalan-jalan
darah yang telah mampat di sekujur tubuh. Hingga be-
gitu Roro berhenti tertawa, segera rasakan perubahan
pada tubuhnya. Eh..!? Aneh! Aku seperti telah berhasil
menghimpun hawa pada pusar! Sentak Roro di hati.
Memang tadi dia telah rasakan pergolakan hawa di se-
kujur tubuh. Dan Ketika kembali mencoba menghim-

pun hawa murni untuk yang ke sekian kalinya ternya-
ta mudah saja bagi Roro melakukan-nya. Hingga seke-
jap saja Roro telah berhasil menghimpun kembali ha-
wa murni, yang segera dengan mudah disalurkan pada
kedua telapak tangannya. Akan tetapi baru saja dia
berniat menghantam batu pengganjal lubang di hada-
pannya, tiba-tiba Roro urungkan niatnya. Kini dia ber-
pikir lagi. Hm, untuk apa membuka lubang itu, kalau
toh aku tak bisa lepas dari kerangkeng gaib ini?
Memikir demikian, segera Roro mengulang lagi
kata-kata dua bait mirip syair itu untuk dipecahkan
maknanya. Setelah berfikir beberapa saat, tiba-tiba Ro-
ro Centil tertawa mengikik geli tiada henti. Seraya
menggumam sendiri, bahkan memaki-maki dirinya.
"Hihihi... hihihi... hihi... tolol!! dasar aku me-
mang tolol! Kalau begitu syair itu maknanya demikian?
Hihihi... pasti demikian! Heh! Akan ku coba sekarang".
Tak berayal Roro Centil benar-benar membuka ba-
junya. Bahkan lepaskan pula celananya. Kecuali B.H.
dan celana dalam dari besi aneh yang memang mirip
persis dengan orang yang tak berpakaian sama sekali.
Karena mempunyai bentuk yang telah dirancang oleh
seorang manusia banci. Hingga tidak aneh lagi bila dia
bisa ciptakan benda aneh sedemikian rupa. Kecuali
pada sisi celana dalam besi itu yang terdapat beberapa
gelang rantai, sukarlah bagi orang membedakan kalau
tidak dengan meraba. Ada pun B.H. penutup payudara
demikian juga halnya, karena amat mirip dengan buah
dada. Kecuali pada bagian belakangnya, yang terdapat
rantai. Namun tentu saja takkan terlihat, karena tertu-
tup dengan rambutnya yang panjang terurai. Selanjut-
nya Roro benar-benar membuat gerakan menari. Tentu
saja yang dipergunakan adalah tarian Bidadari Mabuk
Kepayang. Sementara dalam menari itu, Roro Centil
sebarkan hawa murni ke seluruh tubuh. Hingga tam-

pak seluruh tubuhnya mengeluarkan uap putih, ba-
gaikan uap yang ke luar dari batu es. Bahkan dari mu-
lut sang gadis ini yang terbuka dan tengah mengelua-
rkan suara tertawa itupun mengeluarkan uap  putih.
Bayi diibaratkan adalah hawa murni itu. Karena jelas
seorang bayi adalah seorang yang masih murni. Se-
dangkan tarian itu adalah membuat terbukanya lu-
bang pori-pori, hingga hawa murni dapat keluar me-
nyebar. Dan ketika Roro gerakkan tangannya mereka
ke sekeliling kerangkeng, seketika saja setiap jeruji be-
si yang tak kelihatan itu musnah bagaikan kertas yang
dimakan api. Hingga hawa murni yang keluar dari tu-
buh Roro Centil telah berhasil membuat kerangkeng
gaib itu lenyap musnah. Kini Roro sudah melompat da-
ri tempat di mana kakinya berpijak. Dan selanjutnya
lengannya bergerak menggeser batu besar penutup lu-
bang. Hawa segar segera masuk dari lubang yang telah
menganga sebesar dua kali tubuh manusia itu. Akan
tetapi baru saja Roro mau melompat pergi, tiba-tiba
terdengar suara menggeram si harimau Tutul. Terkejut
Roro Centil ketika teringat akan nasib harimau silu-
man sahabatnya itu.
"Tutul! Tampakkanlah dirimu..!". Selesai Roro
berkata, segera terlihat seekor harimau Tutul yang ber-
tubuh sebesar kerbau berada disudut goa dalam kea-
daan tak bisa berkutik kaki tangannya karena telah
terkena jeratan tali gaib si Nenek Bongkok. Tak ayal
lagi Roro sudah melompat untuk menolongnya. Tentu
saja ketika tubuhnya membentur kerangkeng gaib, se-
ketika kerangkeng aneh itu lenyap musnah, dan segera
saja sudah berhasil melepaskan tali gaib yang membe-
lit sekujur tubuh si harimau Tutul. Dan sekejap ke-
mudian sudah terbebas kembali. Demikianlah
Roro Centil langsung menuju Kota Raja. Namun
di tengah perjalanan telah berpapasan dengan seorang

bocah yang ditaksir Roro berusia sekitar antara lima
enam tahun. Seorang bocah laki-laki berkulit hitam, 
berambut tebal kaku, dengan sepasang mata yang
memancar menyeramkan. Bocah hitam itu tengah
mempermainkan dua buah benda berantai. Terkejut
Roro Centil, karena mengetahui kedua benda itu ada-
lah sepasang senjatanya si Sepasang Rantai Genit. Tak
berayal dengan sekali menggerakkan tangan, Roro te-
lah menyambar kembali senjata si Rantai Genit itu,
yang kembali berada dalam genggaman tangannya.
Tampak wajah si bocah hitam itu menampilkan kegu-
saran. Akan tetapi ketika Roro menyapa dan mena-
nyakan namanya, bocah hitam itu tiba-tiba berkelebat
cepat bagaikan seekor rusa hitam saja, yang segera se-
kejap kemudian lenyap di balik semak belukar. Terke-
jut Roro Centil, dan karena rasa ingin tahu segera
mengejarnya. Dengan pergunakan kelincahan serta il-
mu melompat tingginya, Roro Centil melompat dari da-
han ke dahan mengejar dan mencari jejak bocah aneh
itu.
Akhirnya  dapat diketahui ke mana larinya bo-
cah hitam itu, yang ternyata menuju ke sebuah bukit.
Diam-diam Roro Centil terus membuntuti hingga sam-
pai ke atas bukit, yang ternyata kemudian lenyap di
balik pohon angsana besar di sekitar makam tua, Ber-
putar-putar Roro Centil mencari kemana lenyapnya si
bocah aneh itu di sekitar makam, namun tetap tak di-
jumpai. Entah kemana lenyapnya si bocah hitam itu.
Terasa keadaan di sekitar tempat itu amat sunyi men-
cekam, membuat tengkuk Roro terasa dingin dan
membangunkan bulu roma. Akhirnya Roro melesat
pergi meninggalkan bukit aneh yang menimbulkan
hawa seram itu. Dan kembali teruskan tujuannya ke
Kota Raja Hingga kemudian berjumpa dengan Senapati
SATRYO. Dan tanpa liku-liku, Roro Centil telah berke-

nalan pada laki-laki Perwira Tinggi Kerajaan Masyapati
itu. Tentu saja Roro Centil ceritakan kejadian yang di-
alaminya. Juga tentang kata-kata seorang anak buah
Raden Mas Cucak Ijo yang jadi gila akibat hantaman
bandulan si Rantai Genit-nya Roro Centil. Diam-diam
Senapati Satryo amat bersimpati pada Roro. Apalagi
setelah mengetahui kalau Roro adalah seorang tokoh
Rimba Hijau yang sudah terkenal nama dan julukan-
nya di setiap penjuru. Membuat Senapati Satryo me-
merlukan bantuannya untuk mengatasi kericuhan di
Kota Raja. Karena mengkhawatirkan akan terjadinya
pemberontakan terselubung. Dan berita dari Roro me-
mang telah membuat sang Senapati semakin bercuriga
pada Ki Patih BUNTARAN. Karena selalu mengambil
cara sendiri tanpa diperintah Raja. Bahkan terhadap
dirinya seperti tak memandang mata. Seolah mere-
mehkan bahwa penjagaan ketat yang dipimpinnya ber-
sama para laskar  kerajaan tak punya kekuatan apa-
apa.
Kini jelaslah kalau Ki Patih BUNTARAN mau
berkhianat. Bahkan sengaja mempersenjatai diri den-
gan mengumpulkan para tokoh hitam dan kaum Rim-
ba Hijau untuk memperkuat pertahanannya. Tentu sa-
ja. sang Patih mengatakan pengumpulan para  tokoh-
tokoh  itu,  adalah demi menjaga keutuhan Kerajaan
dari bahaya pembunuhan misterius yang tengah terja-
di di Kota Raja. Bahkan yang membuat aneh, adalah
setelah menghilangnya Permaisuri Durgandini, bebe-
rapa pekan kemudian lenyap pula NAWANGSIH, sang
selir Raja, yang baru beberapa hari ini diangkat men-
jadi Permaisuri secara syah, membuat Baginda Raja
Prabu Gurawangsa jadi semakin tenggelam dalam ke-
kalutan.
Hingga secara tak langsung, sang Patih Bunta-
ran lah yang pegang peranan.

Demikianlah singkat cerita dari kisah Roro yang
berlalu di belakang peristiwa ini. Kini Roro tengah ter-
paku menatap pada sang Senapati Satryo yang tengah
tercenung menatap kedua mayat wanita di  hadapan-
nya.
"Mayat siapa pulakah ini, sobat Senapati...?".
Tanya Roro. Senapati Satryo membisik lirih. Keduanya
adalah selir dari baginda Raja...!" Baru saja habis uca-
pan sang Senapati, tiba-tiba terdengar suara orang
berteriak.
"Ada keributan....! Ada keributan di seberang
sungai! Lihatlah tengah terjadi pertarungan di sana!"
Berteriak seorang tukang sampan, yang masih
memegang sebuah dayung di bahunya. Tak ayal, Roro
Centil sudah berkelebat untuk melesat ke arah yang
ditunjuk orang itu... Tak lama Roro menjadi dua telah
mengikuti jalannya pertarungan antara si Tiga Petani
Gunung Kumbang dengan si laki-laki berjulukan Setan
Muka Kuning sejak dia menyelinap ke sana. Bahkan
sempat pula sesosok tubuh dipayang di dalam kedai
oleh seorang wanita baju merah yang berusaha meno-
toknya. Tentu saja Roro segera mengenali siapa adanya
laki- laki itu. Yaitu si pemuda jembros yang bernama
Joko Sangit. Roro melihat pula adanya seorang laki-
laki gendut yang diapit oleh dua orang gadis cantik
berbaju merah, yang dengan terburu-buru segera me-
nyelinap ke ruang belakang kedai. Kemudian dilihat-
nya juga si pelayan atau si pemilik kedai itu dengan
tergesa-gesa menutup pintu kedainya. Dan juga den-
gan terburu-buru segera menyelinap ke ruang bela-
kang kedainya. Semua itu Roro perhatikan dari sebuah
jendela kecil yang tak sempat si pelayan kedai itu me-
nutupnya. Sementara Roro sudah palingkan kepala la-
gi untuk menatap ke arah pertarungan. Akan tetapi
tak berapa lama sudah terdengar jeritan maut si Tiga

Petani Gunung Kumbang yang kena serangkaian se-
rangan keji, setelah terlebih dulu si Setan Muka Kun-
ing menghembuskan asap beracunnya dari tongkat
pendek berkepala Tengkorak yang juga bersitkan pu-
luhan jarum berbisa.

***

ENAM

"Hehehehe…  Mereka justru harus dibunuh
mampus! Mereka adalah   mata-matanya Senapati SA-
TRYO...! Berkata si Setan Muka Kuning, sebagai jawa-
ban atas pertanyaan si Empat Hantu Gunung Cireme.
Melengak keempat tokoh Rimba Hijau itu. Pada saat
itulah terdengar suara bentakan keras, disertai berke-
lebatnya dua sosok tubuh. "Bangsat keparat! Kiranya
kalian begundal-begundalnya Ki Patih Buntaran...!".
Dan sesosok tubuh berjubah telah berada di tempat
itu. Yang tak lain dari Resi Jenggala Manik. Sementara
yang seorang lagi adalah Tangan Kilat adanya. Roro
yang sudah mau turun tangan terpaksa batalkan niat-
nya.
"Heh heh heh...! Selamat jumpa Resi Jenggala
Manik, dan anda si Tangan Kilat!" Berkata Si Setan
Muka Kuning. Tampak wajahnya berubah agak pucat.
Akan tetapi dengan mengumbar tertawa dan
kata-kata, dia telah menutupi rasa terkejutnya..
"Iblis keparat!... Jangan harap kau dapat du-
duk enak di Kerajaan! Aku telah mengetahui
pengkhianatan Patih Buntaran!" Tiba-tiba terdengar
satu suara. Disertai munculnya Senapati Satryo. Ter-
kejut si Setan Muka Kuning, akan tetapi sudah men-
gumbar kembali tertawa nya.

"Heh he he... Senapati gagah! Mengapa tak kau
ratapi dulu kematian istrimu yang sudah kukirim
nyawa nya ke Akhirat, bersama kedua selir Rajamu
itu?"
"Iblis...! Jadi kaulah yang telah melakukan per-
buatan terkutuk itu?". Bentak Senapati  Satryo. Dan
tubuhnya sudah berkelebat ke arah si Setan  Muka
Kuning, seraya dibarengi dengan ditariknya keluar pe-
dangnya dari pinggang.
WUTIWUT! Dua kilatan pedang menabas ke
arah pinggang dan leher manusia itu. Akan tetapi....
TRANG! Buk! Satu tangkisan dan hantaman telapak
tangan membuat, yang mengenai dada Perwira Tinggi
Kerajaan itu membuat tubuh laki-laki itu terlempar ti-
ga tombak. Akan tetapi di saat Setan Muka Kuning
mau  menghantamkan tongkat, dengan berkelebat
memburu sang Senapati Satryo. Akan tetapi Resi
Jenggala Manik mana mau membiarkan muridnya ke-
na dihantam tongkat si Setan Muka Kuning.
WHUUK...! Kakek berjubah putih ini telah ki-
rimkan serangan tenaga dalam ke arah tubuh si Setan
Muka Kuning. Terkejut manusia ini, namun segera
lontarkan tongkatnya disertai mengepulnya uap bera-
cun dari ujung tongkat berkepala tengkorak.
Namun dengan kebutuhan ujung lengan ju-
bahnya, uap beracun telah disampok buyar seketika.
Sementara  itu si Empat Hantu Gunung Cireme mas-
ing-masing telah cabut senjata mereka dari balik
punggung. Ternyata adalah empat buah pedang yang
mempunyai gerigi pada kiri kanannya. Pedang ini pun
mengandung racun jahat. Karena sesuai dengan julu-
kan mereka si Empat' Hantu Gunung Cireme. yang da-
tang atas undangan Ki Patih Buntaran. Tentu saja
dengan janji akan mendapat kedudukan istimewa,
atau setidak-tidaknya imbalan yang bukan sedikit bila

usaha pemberontakan itu menemui keberhasilan, Se-
rentak setelah saling memberi isyarat, mereka segera
lakukan pengeroyokan pada Resi Jenggala Manik. Em-
pat pedang beracun  segera meluncur dari beberapa
penjuru mengarah ke tubuh sang Resi. Hal demikian
membuat Roro tak dapat tinggal diam. Sekejap dia su-
dah loloskan sepasang Rantai Genit-nya. Dan....  tu-
buhnya sudah berkelebat seraya putarkan senjatanya
yang berdengung bagai ribuan tawon.
Trang! Trang! Trang.,.! Tiga pedang berhasil di
sampok mental. Namun yang sebuah lagi rupanya te-
lah keburu ditangkis oleh sang Resi Jenggala Manik.
Bret! Beruntung hanya lengan jubah kakek itu
saja yang kena terserempet. Terkejut si Empat Hantu
Gunung Cireme melihat kemunculan Roro Centil. Apa
lagi telah berhasil menyampok mental pedang-pedang
beracun mereka. Ternyata orangnya adalah seorang
gadis cantik yang bersenjata aneh mirip sepasang
payudara. Mereka saling memberi isyarat, dan kini
keempat orang itu telah berbalik menerjang Roro. Ada-
pun si Tangan Kilat yang memang telah mengetahui si
dara perkasa itu berada di pihaknya tak segan-segan
segera turut membantu.
"Tahan! Aku si Tangan Kilat harap diberi bagian
menggebuk manusia-manusia panggilan gila pangkat
ini!" Teriaknya, seraya menerjang maju. Kedua lengan-
nya adalah senjata andalannya. Karena bisa di pergu-
nakan menabas tubuh lawan menjadi dua potong BET!
BET! BET! WHUT... DUK! Tiga hantaman telah dilan-
carkan memapaki serangan Tiga di antara si Empat
Hantu Gunung Cireme itu, seraya mengelakkan seran-
gan. Akan tetapi tak urung perutnya kena dihantam
oleh tendangan orang keempat. Membuat  dia menga-
duh, dan terlempar bergulingan. Pada saat itulah si Se-
tan Muka Kuning yang tengah bertarung dengan Resi

Jenggala Manik lancarkan serangan tiba-tiba, menge-
prak kepala si Tangan Kilat. Untung Ki Jenggal Manik
cepat mengirim serangan telapak tangannya hingga se-
rangan itu mencong ke sisi. Tapi tak dinyana belasan
jarum berbisa telah terlebih dulu meluruk ke tubuh
Tangan Kilat. Hingga tak ampun laki-laki dari Lembah
Tengkorak itu menjerit ngeri. Tubuhnya berkelojotan,
lalu tewas dengan seluruh kulit tubuh berubah hitam.
"Manusia laknat!" Membentak sang Senapati
Satryo. Seraya lakukan serangan dari belakang pung-
gung si Setan Muka Kuning. Akan tetapi lagi-lagi dia
harus menghindar dari asap beracun yang dikebutkan
ke arahnya.
"Mundurlah muridku! Biar aku yang memberi
hajaran manusia andalan Ki Patih Buntaran ini!" Ber-
bareng dengan kata-katanya tubuh Resi Jenggala Ma-
nik telah berkelebatan bagaikan bayangan putih, yang
berada di simpang siurnya asap beracun. Namun...
PRAKK...! Lengan sang Resi telah berhasil  membuat
kepala tongkat beracun itu hancur terkena pukulan
tenaga dalamnya yang dahsyat. Dan saat berikutnya
laki-laki berpakaian serba kuning itu telah keluarkan
teriakan ngeri, karena satu hantaman lagi membuat
kepalanya seketika rengat.
Kini ganti si Setan Muka kuning yang berkelojo-
tan, berteriak-teriak meregang nyawa. Dan pada saat
itulah tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh hitam   yang
mencengkeram perutnya. BRROLLL...! Menggeliat si
Setan Muka Kuning. Lalu sekejap kemudian tewas.
Terkejut sang Resi maupun Senapati Satryo. Sesosok
tubuh hitam itu adalah seorang bocah kecil berkulit hi-
tam yang kini menata keduanya dengan sepasang ma-
ta mendelik liar., Kedua lengannya bersimbahkan da-
rah. Adapun Roro Centil agak terkejut melihat datang-
nya makhluk kecil itu, karena mengingatkan pada pe-

ristiwa belakangan, ketika dia menemukan sepasang
senjatanya berada pada bocah hitam itu. Namun ke-
sempatan itu rupanya telah dipergunakan keempat
Hantu Gunung Cireme itu untuk melesat kabur. Bu-
kan main mendongkolnya Roro. Tiba-tiba lengannya
telah meraih segenggam batu kerikil. Dan... SERRR...!
Belum lagi jauh si Empat Hantu Gunung Cireme itu,
telah terdengar suara teriakan paraunya. Tubuh
keempat orang itu jatuh ngusruk, untuk segera berke-
lojotan. Namun tak lama sudah menggeliat untuk se-
gera lepaskan nyawa. Karena masing-masing pung-
gung dan lehernya telah tertembus batu-batu kerikil
yang dilontarkan Roro, yang langsung membawa nya-
wanya ke akhirat.
BRET..! Tahu-tahu si bocah hitam itu sudah
menyerang sang Resi Jenggala Manik, yang jadi terke-
jut. Kelitan tubuhnya tak berhasil dihindarkan. Karena
bahunya sudah kena dicengkeram kuku si bocah hi-
tam itu, hingga jubahnya robek sampai melukai kulit
pundaknya. Terperangah sang Resi dan Roro maupun
Senapati Satryo. Sang Senapati ini sudah melompat ke
hadapan gurunya.
"Awas! Hati-hati sobat Senapati! Biar aku yang
menghadapi!" Teriak Roro. Dan tubuhnya sudah berke-
lebat ke arah bocah aneh itu.
"He!? Siapakah namamu, anak kecil? Siapa
ibumu... dan siapa ayahmu?" tanya Roro. Ini adalah
pertanyaan  yang kedua kali dilakukannya sejak Roro
menemukan bocah hitam itu. Akan tetapi jangankan
menyahut, mendesis pun tidak bocah hitam ini. Cuma
sepasang matanya saja yang mendelik menatap Roro
Centil. Terutama pada senjata sepasang Rantai Genit
di tangan sang Pendekar wanita itu. Pada saat itulah
berkelebat sesosok tubuh disertai suara tertawa yang
mencekam hati. Dan diiringi munculnya sesosok tubuh

wanita yang berambut beriapan.
"Hihihi... hihi... anakku! Ke sinilah sayang!"
ujar wanita berambut beriapan itu.  Terkejutlah sang
Senapati karena mengetahui wanita itu adalah DUR-
GANDINI, alias permaisuri Baginda Raja Kerajaan Mat-
syapati, yaitu Prabu Gurawangsa. Yang membuat aneh
adalah wanita itu menyebut anak pada si bocah hitam
itu. Sekali berkelebat, si bocah hitam itu sudah men-
dekati Durgandini.
Apakah sebenarnya yang terjadi dengan Dur-
gandini? Mengapa secepat itu telah mempunyai seo-
rang anak yang ditaksir berusia sekitar lima enam ta-
hun?
Kiranya sudah menjadi kenyataan bagi Dur-
gandini, yang harus segera melahirkan dalam waktu
yang amat singkat. Cuma beberapa pekan saja dia
mengandung. Dan tiga-empat hari kemudian selisih-
nya sejak lenyapnya NAWANGSIH, sang selir yang su-
dah diresmikan sebagai Permaisuri Raja, Durgandini
telah melahirkan seorang bayi aneh. Karena keluarnya
dengan bentuk asap, yang kemudian menjelma menja-
di seorang bocah berkulit hitam, namun mirip seperti
bocah yang berusia lima-enam tahun.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, di
mana ketika kepala TRI AGNI yang putus telah me-
layang dari Lembah Tengkorak, kembali ke bukit Ma-
kam Tua. Lalu masuk ke dalam tubuh Durgandini dan
bersenyawa dengan sang anak perempuannya itu. Saat
itulah Durgandini telah kemasukan segala kesaktian
yang dipunyai Tri Agni ibunya. Dan Ajian DASA JIWA
dengan sendirinya berpindah padanya. Durgandini
langsung merasakan dirinya mengidam. Akan tetapi
mengidamnya adalah keinginannya untuk menghirup
darah manusia. Demikianlah, ketika itu juga tubuhnya
berkelebat untuk mencari darah. Dan seorang petani

menjadi korbannya, yang dibunuhnya di tengah sa-
wah. Lalu dihisap darahnya.
Demikianlah, beberapa hari selanjutnya Dur-
gandini selalu mencari korban penduduk desa yang di-
lakukan dengan sembunyi-sembunyi. Hingga selang
beberapa pekan kemudian perutnya semakin membe-
sar. Walaupun Durgandini amat heran karena baru
berjalan mengidam selama tiga hari, tahu-tahu keeso-
kan hari di hari keempat, perutnya sudah kelihatan
menggembung kecil. Semakin hari semakin membesar.
Dan selama itu Durgandini selalu menyantap makanan
yang sudah tidak asing lagi baginya. Tentu saja setelah
membunuhnya, terlebih dulu mengambil sejumput
jantung dan paru-paru. Bila sudah berhasil mencuri,
tentu sisa-sisa tubuh bayi yang sebagian sudah ber-
pindah dalam perutnya itu, dilemparkan wanita itu
dimana saja. Hingga tak jarang di setiap tempat ba-
nyak ditemukan mayat-mayat bayi yang sudah tidak
utuh lagi. Hal mana membuat penduduk di beberapa
tempat jadi ketakutan. Berita adanya makhluk pema-
kan daging manusia dan peminum darah telah terse-
bar ke desa-desa terdekat. Terutama berita itu dibawa
dari desa asal kejadian, yaitu desa dimana adanya seo-
rang jagoan desa bernama Bendot. Namun beberapa
pekan sejak Bendot dan beberapa kawannya mencari
jejak si pembunuh keluarga seorang penduduk desa,
Bendot dan kawan-kawannya tak pernah muncul lagi.
Tentu saja membuat para keluarganya menjadi resah.
Penduduk nekat mencari mereka. Pencarian yang be-
lum tentu membawa hasil bahkan ketika mereka yang
dipimpin oleh kepala desa itu berangkat, desa Lamtoro
telah kemasukan manusia-manusia begundalnya Ra-
den Mas Cucak Ijo. Seperti diketahui Raden Mas Cu-
cak Ijo itu adalah manusia cecunguk yang jadi orang
kepercayaannya Ki Patih Buntaran.

Manusia-manusia bejat itu enak saja melaku-
kan pemerkosaan para wanita di desa yang hampir ko-
song itu. Bahkan rumah kepala desa dijadikan tempat
"pertarungan" di atas pusar dan tubuh-tubuh mulus
sang perawan desa. Seperti telah diceritakan, Roro
Centil telah mengamuk di dalam rumah panggung mi-
lik kepala Desa itu. Dan melenyapkan nyawa belasan
manusia bejat yang tengah berpesta-pora dengan sega-
la kebrutalannya.
Beberapa pekan kemudian perut Durgandini
semakin besar. Dan akhirnya pada suatu malam yang
mencekam. Rembulan tak menampakkan diri. Angin
membersit keras disertai hawa  dingin yang menusuk
ke tulang sumsum. Durgandini berjalan tertatih-tatih
di malam gelap itu. Sementara di angkasa berkali-kali
membersit ,cahaya kilat menyibak gelapnya malam.
Tenaga Durgandini entah mengapa seperti hilang le-
nyap.
"Oh, aku harus cepat tiba di Makam Tua..!"
gumam Durgandini. Sementara dia tengah melangkah
terhuyung melewati satu kebun jagung milik seorang
petani. Perutnya terasa semakin mulas. Dan tubuhnya
gemetaran, disertai hawa panas yang bergolak di da-
lam perutnya. Apakah bayiku akan segera lahir? Ber-
kata Durgandini dalam hatinya. Wanita ini mencoba
mengerahkan kekuatan pada kakinya untuk berjalan
lebih cepat,
atau kalau mungkin mengerahkan tenaga un-
tuk melesat dengan  ilmu kesaktian yang telah dimili-
kinya. Akan tetapi tenaganya memang telah punah.
Dia cuma bisa melangkah dengan kaki tersaruk-saruk
dan tubuh terhuyung.
Dalam pada itulah Durgandini mendengar sua-
ra-suara mendekati ke arahnya. Dan puluhan obor se-
gera menyala, diiringi dengan tersembulnya beberapa

sosok tubuh yang segera mengurungnya dengan senja-
ta-senjata terhunus. Kiranya mereka adalah orang-
orang desa yang telah lama mengincarnya. Karena
lambat laun toh diketahui juga kalau banyaknya terja-
di bayi-bayi yang hilang, yang mendapatkan sudah
mati dengan keadaan tubuh sudah tidak utuh lagi,
adalah perbuatan seorang wanita hamil yang gen-
tayangan ke beberapa desa.
"Kau tak dapat lagi melarikan diri, wanita se-
tan..!w bentak salah seorang yang tiba-tiba melompat
ke arah depan.
"Oh, apa salahku..?" bela Durgandini. Padahal
hatinya berdebaran keras, karena dia merasa telah tak
berdaya. Bahkan telah berkali-kali dipanggilnya sang
ibu yang telah menyusup sukmanya ke dalam tubuh-
nya, akan tetapi tak ada tanda-tanda sang ibu menya-
huti kata-katanya.
"Bedebah! Aku lihat sendiri kau menculik seo-
rang bayi, ketika bertamu ke rumah pak Suko! Bukan-
kah kau menumpang menginap di rumah Carik Desa
itu? Pak Suko yang kasihan melihat wanita hamil ber-
jalan sendirian di sisi desa untuk pulang ke rumahnya
yang jauh, segera mempersilahkan kau menginap! Dan
tidur dengan istri pak Carik! Tapi paginya kedapatan
istri Pak Suko telah mati! Dan bayinya lenyap! Malam
itu aku meronda sampai pagi! Dan aku memergoki kau
si wanita setan tengah memakan mayat bayi itu..!"
berkata laki-laki bertubuh jangkung itu, yang bernama
Sentul. Memang dialah yang telah memergoki Durgan-
dini ketika tengah menyantap makanan yang sudah
menjadi santapannya kebiasaannya itu. Seketika pucat
piaslah wajah Durgandini.
"Bunuh saja...! Sudah, jangan banyak buang
waktu, cincang sampai lumat"! teriak salah seorang
yang sudah tak sabar lagi.

"Ya! Bunuh! Jelas dia bukan manusia...!" teriak
seorang lagi yang kain sarungnya kedodoran. "Tapi,
kakinya kenapa menginjak tanah! Tuh, lihat...!" "gi-
tuan"nya anakmu yang sering nongkrong di pinggir
kebun masih jelas terbawa di kakinya!" berbisik seseo-
rang pada kawannya. Segera menyahut seorang yang
pipinya tembam. "Iya, ya... Tapi kalau manusia men-
gapa doyan makan daging bayi...? Hiii... perempuan ini
jelas sebangsa si... siluman...!? eh, ssi..."
"Si Mulan sih keponakanku, monyong...!? Kalau
yang ini adalah SILUMAN!" menjelaskan kawannya
yang bermata juling. "Oh, ya... si Mulan" kata si pipi
tembam. Tapi dilihatnya si mata juling justru nyengir-
kan mulutnya. Seraya ujarnya.
"Si... lu... man! Begitu monyong! yang barusan
salah kau menyebutkan!"
"Ya, ya... sekarang aku tahu! Jadi jelasnya dia
ini wanita Si.. lu.. man yang gentayangan cari korban?"
kata si pipi tembam, seraya menatap pada kawannya
agak ragu-ragu takut kalau sebutannya salah di
ucapkan.
Mendelik mata si laki-laki mata juling, dan se-
gera menyambar berkata lagi.
"Bodoh! Lagi-lagi salah menyebutnya! Si.. Mu-
lan! Begitu yang betul! Masakan menyebut si.. mat..
mul.. ng.. uud..? Simalmulan."
"Ya, ya... terserah kamulah!?" ujar si pipi tem-
bam yang sudah mengaku bodoh. Karena mendadak
kepalanya jadi pusing memikirkan sebutan itu. Semen-
tara salah seorang di depannya telah mengangkat go-
lok tinggi-tinggi untuk menebas kepala Durgandini.
Akan tetapi diantara rombongan itu ada yang berteriak
mencegah.
"Jangan dibunuh dulu! Siapa tahu dia manusia
biasa. Sebaiknya ditangkap saja! Dan kita bawa ke Ko-

ta Raja! Siapa tahu dialah penyebab kerusuhan di sa-
na! Selain kita berhasil meringkus wanita keji ini, kita
juga bakal dapat penghargaan dari pihak kerajaan!"
"Benar! Kita antarkan ke rumah Tumenggung
Ki Meranggi! Aku tahu rumahnya!" berkata salah seo-
rang lagi yang wajahnya cemong kena asap obor. Akan
tetapi pada saat itu terdengar suara tertawa mengikik
menyeramkan. Muncullah seorang nenek-nenek bong-
kok, yang tahu-tahu sudah berkelebat menyambar tu-
buh Durgandini. Dan membawanya berkelebat lari.
Tentu saja mereka terkejut bukan main, dan serentak
segera mengejar. Beberapa batang tombak sudah me-
luncur deras ke belakang punggung si nenek bungkuk
itu. Akan tetapi dengan sebat si nenek bungkuk sudah
melesat ke arah hutan, lalu lenyap di kegelapan ma-
lam.
Demikianlah, Durgandini malam itu melahirkan
bayinya dengan didukuni si nenek bongkok itu. Dan
melahirkan bayi aneh, yang keluar dari dalam rahim
adalah darah yang berbau busuk dan asap hitam yang
mengepul. Lalu menjelma jadi seorang bocah yang ber-
kulit hitam. Demikianlah, ketika beberapa hari kemu-
dian Roro menjumpai si bocah hitam itu tengah me-
mainkan sepasang senjatanya si Rantai Genit, yang
kemudian dirampas kembali oleh Roro. Dan ketika di-
kejar, bocah hitam itu lenyap di atas bukit dimana ter-
dapat Makam Tua. Mengenai si nenek bongkok itu te-
lah lenyap lagi entah ke mana, setelah memberikan
"mainan" aneh itu pada si bocah hitam anak Durgan-
dini.
"Durgandini...!?" sentak Resi Jenggala Manik.
Akan tetapi tiba-tiba sang Resi sudah membentak ke-
ras. "Nini BLENGOH...! Iblis siluman bongkok Gunung
Setan! Kiranya kau..!" Dan... WHHUKKK..! Sang Resi
telah menerjangnya dengan angin pukulan keras. Se-

gelombang angin panas menerjang Durgandini. Ada-
pun Durgandini cuma mengikik tertawa, seraya me-
mapaki serangan sang Resi.
BUNGGH..! Dua tenaga dalam hebat yang amat
tinggi telah sating beradu dengan timbulkan hawa pa-
nas dan suara berdentum keras. Tampak sang Resi
terhuyung delapan tindak. Sedangkan Durgandini me-
nyurut ke belakang lima-enam tindak. Akan tetapi se-
kejap tubuh Durgandini telah berubah menjadi si Ne-
nek Bongkok yang pernah menawan Roro Centil den-
gan tali jerat gaib, dan membelenggunya di kerangkeng
gaib di dalam goa. Terkejut seketika Roro Centil. Ada-
pun Senapati Satryo jadi belalakkan sepasang ma-
tanya.
"Hah!? teriak Senapati Satryo.
"Hihihik.. hik hik hik... Satryo! Satryo..! Dur-
gandini sudah mampus. Setelah melahirkan bayi silu-
man ini! Bahkan Ilmu DASA JIWA milik ibunya kini te-
lah berpindah pada bocah ini! Hihihi... dia adalah bo-
cah andalanku, karena aku telah menguasainya...!"
berkata si Nenek Bongkok alias Nini BLENGOH itu.
Terkejut Senapati Satryo. Juga Sang Resi Jeng-
gala Manik maupun Roro Centil. Roro memang sudah
mendengar adanya Ilmu DASA JIWA yang dimiliki seo-
rang wanita pada puluhan tahun yang silam bernama
TRI AGNI. Tapi dia tak menyangka kalau ilmu itu be-
rada pada Permaisuri yang lenyap pertama kali itu,
yaitu Durgandini. Bahkan menurut si Durgandini pal-
su, kini Ilmu Dasa Jiwa telah berpindah pada tubuh si
bocah hitam, yang ternyata adalah anak Durgandini.
Roro yang mengetahui dari Senapati Satryo akan man-
dulnya Permaisuri Durgandini, jadi terkejut,  karena
Durgandini telah melahirkan bayi, alias si bocah hitam
itu Sedangkan orangnya sendiri menurut si nenek
Bongkok telah tewas sejak melahirkan bayinya.

"Mengapa begitu cepat?" desis Roro. Tak masuk
akal di benak Roro Centil. Karena diketahuinya dari
Senapati Satryo, kalau Durgandini baru beberapa pe-
kan ini lenyap dari istana. Begitupun dengan Satryo
dan Resi Jenggala Manik, yang tahu betul pada Dur-
gandini. Akan tetapi memang tak ada kesempatan un-
tuk mencari bukti bahwa bocah itu anak Durgandini.
Karena  tiba-tiba si nenek Bongkok telah menerjang
dengan pukulan lengannya. Seraya berujar pada bocah
hitam. "Hihihik... bikin mampus mereka, cucuku!" ten-
tu saja Resi Jenggala Manik harus hati-hati mengha-
dapi si nenek bongkok, yang sudah jelas bertenaga da-
lam di atasnya. Namun Resi Jenggala Manik pun bu-
kan tokoh Rimba Persilatan golongan rendah. Ilmu ba-
thin yang dimiliki telah sedemikian tinggi, hingga tak
berhasil si nenek bongkok menipu pandangan matanya
dengan tubuh Durgandini.
Adapun Roro Centil segera berkelit ketika tahu-
tahu si bocah siluman itu menerjangnya. Senapati Sa-
tryo tabaskan pedangnya. CRAS...! CRAS...! CRAS...!
Gerakan kejutan yang dilancarkannya membawa hasil
secara cepat dan memuaskan. Tubuh si bocah siluman
itu terpental jadi tiga potong Roro juga agak terkejut,
karena tak menyangka Senapati Satryo bertindak ce-
pat dengan melompat ke samping. Mengirim serangan
pedangnya dengan gerakan kilat. Potongan tubuh si
anak hitam jatuh berdebuk di tanah. Akan tetapi se-
lang sekejap Roro dan Sang Senapati jadi belalakkan
matanya. Karena bukannya ketiga potongan tubuh itu
menyambung lagi, akan tetapi tiga potongan tubuh itu
berubah menjadi tiga tubuh bocah hitam. Hingga kini
di hadapan mereka ada tiga orang bocah siluman yang
menatap tajam dengan tiga pasang matanya yang ber-
kilatan. Terperangah Roro Centil. Seumur hidupnya
baru mengetahui ada tiga potong tubuh yang telah pu-

tus bisa menjelma lagi. "Bocah Iblis...!" bentak Roro
Centil. Dan senjata Rantai Genitnya berkelebat... Akan
tetapi sudah terdengar satu bentakan keras.

***

TUJUH

Sementara kita beralih pada si Dewa Linglung,
yang sudah jatuhkan pantatnya di atas kasur empuk.
Bahkan beberapa kali dia gerak-gerakkan tubuhnya
hingga mumbul-mumbul di kasur kapuk bertilam kain
sprei merah jambu. Pembaringan yang berbau harum
semerbak kembang Melati.
"Heeii! Nona-nona pelayan! Mana pakaian
pengganti untukku?" bentak si Dewa Linglung. Karena
sejak tadi ditunggu-tunggu di kamar Pesanggrahan itu,
tak juga muncul satu pun dari, enam pelayan baju me-
rah yang tadi mengantarkan ke tempat mandi. Tubuh
pemuda ini hanya terbungkus kain selimut saja. Dan
dalam kamar itu tak ada sebuah pun lemari pakaian.
Buntalan pakaiannya yang berisi dua stel pakaian ko-
tor yang sudah bau itu pun entah di mana adanya. Se-
dangkan baju yang tadi dipakai sudah dibawa oleh pe-
layan baju merah untuk direndam. Kesal si Dewa Lin-
glung menanti sekian lama tak ada orang yang mun-
cul. Dasar pemuda linglung, sampai-sampai dia tak
tahu di mana dia telah menaruh pedangnya. Kini si
pemuda yang boleh dikatakan tolol itu cuma bisa non-
gkrong di pembaringan menunggu sang pelayan datang
bawakan pakaian salin untuknya. Ketika hampir habis
kesabarannya, tiba-tiba pintu kamar Pesanggrahan
terbuka berderit. Dan yang muncul bukannya para pe-
layan, baju merah, akan tetapi si dara cantik baju hi-

jau... Tertegun si pemuda itu. Karena si dara baju hi-
jau setelah rapatkan pintu kamar, segera loloskan pa-
kaiannya.
"Kau... kau ... bukankah mau mandi...?" tanya
si Dewa Linglung.
"Ya...! tentu saja Dewa  ku yang gagah perka-
sa...! Aii..? hari rupanya sudah menjelang malam! Se-
gera akan ku  ambilkan pakaianmu...!". Menyahuti si
dara, yang segera menyambar handuk. Dan tak lama
segera melangkah berlenggang keluar pintu kamar
yang barusan dibukanya. Wajahnya masih sempat
berpaling. Dan sepasang  matanya berikan kerlingan
genit pada si Dewa Linglung. Sedang sang bibir mungil
itu telah sunggingkan senyum penuh arti. Senyum
yang mengandung madu, namun madu itupun men-
gandung pula racun.
Pesanggrahan itu telah dikepung ketat oleh
laskar  Kerajaan di  bawah pimpinan Senapati Satryo
dan Tumenggung Ki Meranggi. Beberapa pentolan
kaum golongan hitam berhasil ditumpas, yang se-
dianya akan dipergunakan Ki Patih Butaran untuk
niatnya memberontak merebut kerajaan  Matsyapati.
Akan tetapi diluar dugaan sarang komplotan Ki Patih
Buntaran telah dicium jejaknya oleh beberapa tokoh
golongan putih yang berpihak pada Kerajaan. Ternyata
diantara para tokoh itu terdapat juga Ki Jagur Wehd-
ha, guru Joko Sangit. Tentu saja si laki-laki itu kena
damprat habis-habisan oleh gurunya. Yang sudah tak
mempunyai kaki lagi. Akan tetapi tokoh yang bergelar
Pendekar Gentayangan itu masih hebat luar biasa, wa-
lau usianya telah lebih dari 100 tahun.
Sementara itu para gadis baju merah segera di
tawan. Dan Ki Patih Buntaran tak bisa berkutik lagi
menyerahkan diri. Ternyata otak dari pembunuhan-
pembunuhan keji itu adalah akibat dari ulah perbua-

tannya, yang dibantu oleh tokoh-tokoh kaum Rimba
Hijau dari golongan hitam. Sementara itu pertarungan
seru melawan bocah siluman ternyata dapat segera be-
rakhir dengan munculnya sang guru Roro Centil. Alas
si manusia BANCI. Alias si Manusia Aneh Pantai Sela-
tan. Namun kemunculannya tetaplah menjadi teka-teki
bagi Roro. dan bagi semua kaum Rimba Hijau. Karena
menurut berita yang tersebar, adalah wanita Banci itu
telah tewas oleh ketiga istri si Dewa Tengkorak di sa-
rangnya sendiri... Roro Centil walaupun bergirang,
namun juga bersedih. Karena tak dapat bertemu muka
dengan gurunya. Kemunculan "wanita" kosen itu cuma
kelebatan tubuhnya saja, dan suara bisikan pada te-
linga Roro agar dengan tekun terus memperdalam il-
munya. Karena bertambah banyak tokoh-tokoh kosen
dari golongan hitam yang terus bermunculan. Adalah
menjadi tugas kewajibannya menegakkan keadilan dan
kedamaian di atas jagat ini.
Cuma ada satu hal. Yaitu ke manakah lenyap-
nya Nawangsih, selir Baginda Raja Prabu Gurawangsa
itu? Mungkin anda pernah mendengar nama GIRI
MAYANG? Dialah orangnya. Wanita itu bisa membuat
perutnya menjadi gembung seperti mengandung tiga
bulan atau lebih. Dia telah melenyapkan diri karena
mengetahui kemunculan Roro Centil. Giri  Mayang
mempunyai dendam sakit hati pada Roro sedalam lau-
tan. Namun belum masanya untuk dia bertarung me-
lawan si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu. Dan dia
melenyapkan diri dalam keadaan kerajaan menjadi ga-
duh. Namun dia sudah rasakan nikmatnya menjadi
seorang permaisuri Raja.

***

Adapun si pemuda tolol yang digelari si DEWA

LINGLUNG itu tahu-tahu sudah lenyap dari kamar Pe-
sanggrahan. Dia tak akan pernah tahu kalau wanita
baju hijau itu adalah Giri Mayang. Dan tak akan per-
nah tahu kalau wanita baju hijau 
itu adalah NAWANGSIH. Karena orangnya su-
dah melenyapkan diri, menghilang tak tentu rimbanya.
Ketika panas terik kembali membakar bumi,
tampak pemuda itu tengah berjalan dengan tubuh
sempoyongan. Dan anehnya dia sudah tak menyan-
dang lagi pedang dan buntalannya. Karena dia me-
mang sudah linglung lagi, tak tahu kalau pedangnya
sudah lenyap. Melewati satu lembah yang berumput
tebal, sesosok tubuh telah berkelebat melompat,
menghadangnya. Kiranya Roro Centil.
"Eh!? Kau... kau... bukankah GINANJAR...?"
tanya Roro dengan wajah kaget, dan girang. Ginanjar
adalah saudara seperguruan Roro Centil, yang telah
dikenalnya sejak Roro berguru pada si Maling Sakti
alias Jarot Suradilaga, di lereng gunung Rogojemban-
gan. Dan Ginanjar adalah murid mertuanya Jarot,
yang juga gurunya si Maling Sakti itu. Jadi boleh dibi-
lang masih satu saudara seperguruan. Namun Roro
Centil memang banyak mengalami peristiwa dan pen-
galaman hidup hingga sejak berpisah sudah mempu-
nyai bayang guru terutama si Manusia Aneh Pantai Se-
latan alias si Manusia Band. Bahkan pernah menjadi
murid paderi asal Nepal bernama Paderi Jayeng Rana
di lereng gunung Wilis. Mengetahui ada gadis cantik
mencegat di hadapannya dan memanggil dengan sebu-
tan nama yang terasa asing baginya itu, membuat dia
tetap wajah orang lekat-lekat.
"Hahaha... apakah namaku Ginanjar, aku sen-
diripun tak ingat! Tapi wajah nona seperti kukenal! Ya,
wajah itu sering berada dalam mimpi  ku...! Kau me-
mang gadis satu-satunya yang kucintai di Dunia ini.

Tak aku tak tahu lagi namamu! Eh, nona cantik, keka-
sihku ,! Juwita ku...! Sebutkanlah siapa namamu,
atau... ya, gelarmu pun boleh! Tapi Oh, sebaiknya dua-
duanya! Namamu dan gelarnya sekaligus! Haha...
hehe... hehe... baru aku puas!" ujar si pemuda linglung
itu.
Terkejut seketika Roro Centil. Jelas sudah tak
mungkin salah, kalau pemuda ini adalah Ginanjar.
Akan tetapi mengapa kelakuannya jadi sedemikian
aneh? Apakah yang terjadi? Pemuda itu sudah tak in-
gat akan dirinya sendiri. Dan tak lagi mengenali siapa
gadis di hadapannya. Namun ingat kalau wajah di ha-
dapannya sering muncul di alam mimpi. Roro terpe-
rangah seperti tak percaya.
"Ginanjar...! sadarlah, aku.. aku RORO! Aku
Roro Centil! Masakah kau tak ingat aku? Aku dijuluki
orang si Pendekar wanita Pantai Selatan! Aku RORO.!.!
aku RORO...!" berkali-kali Roro Centil menyebutkan
nama dirinya. Akan tetapi si Pemuda sudah benar-
benar linglung. Dia tampak tercenung lama, memikir.
"Rorro,..?" ucapnya dengan lidah terasa aneh
untuk mengucapkannya.
"Apakah benar kekasihku yang dulu itu berna-
ma... RO...RO...?" gumannya sendiri, Akhirnya si pe-
muda itu berkata, seperti mengeluh.
"Entahlah! Aku tak mampu mengingatnya lagi!"
ucapnya. Terkejut Roro Centil. Diam-diam Roro geli ju-
ga, akan tetapi memang lebih banyak anehnya. Justru
Roro sendiri tak menyadari kalau dirinya juga terma-
suk orang yang aneh. Tiba-tiba Roro Centil tertawa
mengikik geli, bahkan terpingkal-pingkal.
"Hihih...hih...hihihi... Mengapa kau jadi lin-
glung begini?"
"Hei!? baru kuingat...aku...akulah si DEWA
LINGLUNG! Ya, aku dijuluki demikian oleh orang Rim-

ba Persilatan!" Tentu saja membuat Roro hentikan ter-
tawanya. Sepasang matanya menatap tajam-tajam pa-
da pemuda itu. Tapi kini sepasang mata itu telah ber-
kaca-kaca. Sebentar lagi tentu akan turun mengalir air
bening dari kelopak mata gadis Pendekar ini, kalau tak
buru-buru dia palingkan wajahnya.
Namun sebelum air mata itu turun, tubuh sang
dara itu sudah berkelebat lenyap dari hadapan si Dewa
Linglung. Saat itu rupanya barulah membuat si pemu-
da tersadar. Dan mendadak ingatannya pulih. Sayang
dia sudah kehilangan jejak orang yang selalu dirin-
duinya itu, namun lupa namanya. Akhirnya dia balik-
kan tubuh mengejar, seraya terdengar suara teriakan-
nya.
"ROROOO...! ROROOOOOOOOO...!” suaranya
terdengar berkumandang ke setiap penjuru. Akan te-
tapi Roro Centil sudah berkelebat jauh sekali. Dan di-
antara desah angin ketika tubuhnya berlari, air mata
gadis itu pun sudah menitik terbang terbawa angin.
Masih terdengar si Dewa Linglung.
"Rorooooooooo...! Aku mencintaimu...! aku
mencintaimu....!" aku mencintaimu.....!" Namun suara
teriakan pemuda itu pun lenyap juga akhirnya. Dan
Roro Centil cuma bisa menghela napas. Sementara ha-
tinya berbisik. Roro! Entah kapan kau mau mencintai
seorang laki-laki? Dan dari relung hatinya yang paling
dalam ada jawaban. Entahlah! Mungkin 10 tahun lagi,
mungkin juga 100 tahun, atau mungkin juga 1000 ta-
hun lagi, aku tak tahu: Ya, aku memang tak mengeta-
hui.....
Tapi ada satu bisikan dari hati yang sadar, na-
mun begitu trenyuh...
"Dewa Linglung...! ah, betapa malangnya nasib
mu..."


TAMAT