Roro Centil 8 - Si Cantik Berdarah Dingin(1)







DUA PULUH TAHUN yang lalu.... Sebuah Kera-
jaan kecil di Pulau Andalas bernama Bungo Mambang
tegak berdiri. Tentu saja kerajaan ini berdaulat pada
Kerajaan Sriwijaya. Yang memang adalah sebuah Kera-
jaan yang paling besar pada masa itu. Raja yang ber-
kuasa disana bernama Sri Baginda Bantar Alam.
Kekuasaannya meliputi tiga wilayah. Yaitu an-
tara sekitar Gunung Kerinci, gunung Sumbing dan gu-
nung Talang. Raja Bantar Alam memang seorang yang
bertindak adil terhadap rakyatnya. Sehingga rakyat
amat menyukainya. Bantar Alam mempunyai seorang
permaisuri dan beberapa selir. Sayang, permaisuri Ra-
ja bijaksana itu tak mempunyai keturunan. Bahkan
dari selir-selirnya sekalipun. Sang permaisuri agaknya
merasa takut tersisihkan oleh Raja, karena lagi-lagi
Raja telah menambah lagi selirnya, seorang gadis can-
tik asal lereng Gunung Kerinci. Terbersit di  hati per-
maisuri untuk mencari akal agar dapat cepat beroleh
keturunan. Tentu saja hal yang ditempuhnya adalah
jalan kotor. Diam-diam ia berhubungan dengan seo-
rang panglima Kerajaan.  Hal itu berlangsung terus
tanpa setahu Raja. Hingga akhirnya benih yang terta-
nam di tubuh permaisuri, tumbuh dengan subur. Per-
maisuri bernama Dewi Melur itupun hamil...
Hal mana tentu saja membuat Raja jadi bergi-
rang hati. Tapi bersamaan dengan itu selir terakhir da-
ri Raja Bantar Alam pun tengah mengandung.
Baginda Raja berpendapat, anak dari permaisu-
ri yang pertamalah yang berhak menggantikannya se-
bagai Raja kelak. Namun sayang... rahasia hubungan
permaisuri dengan Panglima Sobrang tercium oleh Ra-
ja. Marahlah Raja Bantar Alam.. dan serta merta
menghukum Panglima Sobrang dengan hukuman mati.
Dan Dewi Melur diusir keluar dari istana, serta dipe-

rintahkan untuk dibunuh di  tengah hutan belantara.
Dua orang perwira Kerajaan segera membawanya den-
gan mengendarai kuda. Dewi Melur tak berdaya. Dan
pada malam yang sunyi itu telah tiba di tengah hutan
belantara. Namun salah seorang dari perwira Kerajaan
tak tega untuk menjalankan tugas. Apalagi Dewi Melur
dalam keadaan hamil. Tentu saja hal itu salah seorang
dari perwira Kerajaan itu menjadi serba salah... Na-
mun kawannya tetap mengambi1 keputusan untuk
membunuh wanita itu. Terjadilah pertengkaran, yang
kemudian beralih menjadi pertarungan seru Karena
masing-masing berlainan pendapat. Salah seorang ter-
luka putus lengannya oleh pedang kawannya. Segera
laki-laki bernama Warakas itu berniat membunuhnya.
Sayang kawan perwira yang terluka itu sempat melari-
kan diri. Dan kembali ke istana... Warakas terpaksa
bertindak mengambil keputusan nekat.
Kembali berarti mati. Dan membunuh Dewi Me-
lur pun sudah terlambat, juga tak mungkin ia tega un-
tuk melakukannya. Maka segera Warakas membawa
Dewi Melur untuk menyembunyikan diri. Raja Bantar
Alam gusar bukan main, mendengar  berita itu. Dan
perintahkan lasykarnya untuk mencari kedua orang
itu hidup atau mati. Namun Warakas dan Dewi Melur
telah lenyap bagai ditelan bumi.
Delapan belas tahun kemudian.. Raja Bantar
Alam sakit keras: Agaknya tak ada pilihan lain bagi Ra-
ja untuk mengangkat Kandaga, putera dari selir terak-
hirnya menjadi Raja bagai penggantinya. Kandaga ada-
lah pemuda gagah, yang berparas tampan. Berkulit
coklat dan bertubuh kekar. Dan keputusan pun tak
dapat lagi dibantah! Kandaga memegang tampuk pe-
merintahan di Kerajaan Bungo Mambang! mengganti-
kan ayahandanya. Hal mana sudah berlangsung bebe-

rapa bulan. Bantar Alam ternyata masih berumur pan-
jang. Namun ia memang sudah mengundurkan diri da-
ri kepemimpinannya...

* * *

Senja itu berkelebat sesosok tubuh langsing.
Gerakannya amat cepat sekali bagaikan burung walet.
Dan sebentar saja ia telah berada di halaman istana.
Karena ... tubuh itu memasuki halaman dari sisi tem-
bok  pagar istana yang tidak terjaga. Maka pengawal-
pengawal Kerajaan tak seorang pun melihatnya.
Sayang... baru saja ia mau berkelebat masuk ke pintu
samping. Dua orang penjaga telah melihatnya.
"Haiii...!" Siapa kau...?" teriak salah seorang se-
raya melompat menghadang dengan tombak dan pe-
dang terhunus. Ternyata sosok tubuh itu adalah seo-
rang wanita alias gadis cantik. Hidungnya mancung.
bermata agak sipit. Beralis mata indah melengkung ke
atas. Wajahnya memang boleh dikatakan cantik, den-
gan tahi lalat di  bawah hidungnya. Cuma sepasang
matanya tampak bersinar aneh..! Karena tatapannya
mengandung hawa seram. Seperti seakan mau me-
nembus jantung kedua penjaga istana itu.
"Heh..! Aku mau mencari si Kandaga..! Akan
kucincang tubuhnya sampai lumat..!" Mendesis suara
wanita itu. Tentu saja hal itu membuat kedua penjaga
itu jadi terkesiap. Dan sudah lantas membentak.
"Kurang ajar...! Kau mau membunuh baginda
Raja..?! Keparat..! Mampuslah kau..!" Dan segera saja
keduanya telah melakukan serangan. Tombak dan pe-
dang sudah meluncur deras untuk memanggang tu-
buhnya. Akan tetapi...
Plak..! Plak..! Kedua terjangan itu telah disam-

buti dengan hantaman sepasang lengannya. Dan aki-
batnya tombak dan pedang sang penjaga itu sudah
terpental, karena sekonyong-konyong si wanita berbaju
hitam itu telah menggerakkan tangannya cepat sekali.
Belum lagi hilang terkejutnya, si kedua penjaga itu te-
lah perdengarkan teriakan ngeri. Dan sekejap kedua
tubuh itu roboh terjungkal. Dengan leher di cengkeram
kesepuluh jari-jarinya... Darah segar menyembur
muncrat. Dan dengan tubuh berkelojotan, kedua pen-
jaga itu telah tewas seketika.
Mendengar kegaduhan di  halaman istana, be-
berapa penjaga lainnya sudah berdatangan. Dan
alangkah terkejutnya menyaksikan dua orang kawan-
nya tewas secara mengerikan. Segera saja mereka
mengurung si wanita cantik berbaju hitam itu. Tam-
paknya si gadis ini tak merasa gentar. Bahkan dengan
tersenyum sinis memandang orang-orang di sekeliling-
nya. Adapun para penjaga istana sudah segera berte-
riak membentak, dan menerjang manusia di hadapan-
nya. Berkelebatlah tubuh si wanita menghindari. Ge-
rakannya gesit sekali. Hingga yang terlihat hanyalah
bayangan tubuhnya saja. Lagi-lagi terdengar teriakan-
teriakan santar, diiringi ambruknya beberapa penjaga
istana itu. Masing-masing dengan leher kena dicengke-
ram hancur. Hingga beberapa orang sudah tampak
melompat mundur dengan keluarkan keringat dingin,
dan pandangan menatap ngeri. Hati mereka jadi men-
celos terkejut. Melihat betapa tingginya ilmu wanita di
hadapannya itu. Tiga orang panglima Kerajaan sudah
melompat ke hadapan wanita itu.
"Ada permusuhan apakah anda mengamuk di
Kerajaan kami..? Kalau memang ada yang perlu dibica-
rakan, mengapa tidak bicara dengan baik-baik saja...?"
Bertanya salah seorang. Yang tampaknya seorang laki-

laki yang berusia sekitar 45 tahun. Wanita ini menatap
pembicara itu dengan wajah sinis. Senyum dari sepa-
sang bibirnya yang tipis itu bagaikan sepasang mata
pedang yang mau mengiris jantung.
"Heh..! Aku mau bertemu dengan Rajamu! Ma-
na si Kandaga itu..!" Berkata si wanita dengan suara
tajam membersit.
"Ada perlu apakah anda menemui beliau..?
Sayang baginda sedang tidak ada. Boleh kami tahu
siapa anda..?" Bertanya lagi panglima tua itu dengan
sabar. Sementara diam-diam hatinya berdebar keras.
Ia tak dapat memastikan siapa adanya wanita itu.
Akan tetapi sinar-matanya mengandung dendam yang
amat hebat. Wanita ini tiba-tiba tertawa mengikik. Su-
aranya membuat getaran yang mempengaruhi jantung.
Dan ia  sudah berkata dengan suara dingin bagaikan
es.
"Hi hi hi... Kandaga anak dari selir baginda Raja
Bantar Alam. Mengapa dia bisa diangkat menjadi pute-
ra mahkota? dan menjadi pengganti Baginda Raja Ban-
tar Alam..? Hi hi hi... Aku adalah puteri Baginda Raja
Bantar Alam dari Permaisuri Dewi Melur. Akulah yang
berhak menjadi Raja, atau Ratu pengganti ayahku,
bukan dia..!" Terkejut ketiga perwira itu. Lebih-lebih si
panglima tua Karena panglima itulah yang bernama
Renggana Pati. Dua puluh tahun yang silam ialah yang
diperintahkan oleh Raja Bantar Alam untuk membu-
nuh permaisuri di tengah hutan. Ketika itu permaisuri
Dewi Melur tengah hamil. Akhirnya ia berselisih den-
gan Warakas, kawannya. Yang waktu itu mereka ma-
sih prajurit. Renggana Pati tak terasa memegang sebe-
lah lengannya yang putus sebatas siku. Warakas ber-
hasil menabas putus sebelah lengannya. Namun tak
berhasil membunuhnya. Renggana Pati melarikan diri

kembali ke istana, dan melaporkan kejadian itu pada
Raja Bantar Alam. Namun Dewi Melur dan Warakas,
lenyap tak berbekas, walaupun telah dicari ke  setiap
penjuru tempat. Kini seorang gadis mengakui adalah
puteri dari permaisuri baginda Raja Bantar Alam. Ten-
tu saja hal itu membuat Renggana Pati jadi terkesiap.
Pada saat itulah muncul seorang wanita berparas can-
tik, walaupun usianya telah sekitar empat puluhan ta-
hun. Si wanita itu sudah lantas membentak,
"Kurang ajar..! Iblis perempuan dari mana kau.
datang-datang mengamuk membunuhi orang istana..?
Hai! Para panglima..! Mengapa kalian tidak segera me-
ringkus perempuan ini..!?" Teriak wanita itu seraya
menatap tajam pada ketiga perwira dan si gadis ber-
ganti-ganti. Mendengar kata-kata itu si gadis cuma ter-
tawa sinis. Sepasang matanya membersit tajam mena-
tap wanita di hadapannya.
"Hi hi hi... kau pasti selirnya ayahku, Baginda
Raja Bantar Alam. Dan ibunya si Kandaga..!" Berkata
wanita berbaju hitam itu dengan suara dingin.
"Benar..! Anakku Pangeran Kandaga berhak
penuh atas kerajaan Bungo Mambang ini! Bukan kau.
! Ketahuilah..! Ibumu si Dewi Melur  telah main gila
dengan Panglima Sobrang, beberapa tahun yang silam.
Mengapa kau mengakui dirimu anak keturunan Ra-
ja..? Sudah jelas ayahmu si Sobrang itu secuilpun kau
tak ada hak untuk menjadi pewaris Kerajaan..!" Berka-
ta sang selir, yang tampaknya jadi naik darah melihat
kemunculan wanita muda itu. Tentu saja perkataan itu
membuat si wanita berbaju hitam menjadi pucat wa-
jahnya. Tampak wajahnya sebentar pucat sebentar
merah. Tubuhnya seperti menggigil bahwa gusarnya
mendengar penghinaan ini. Namun ia tak dapat ber-
tindak apa-apa selain tiba-tiba menutup mukanya. 

Dan sekonyong-konyong berlari dengan tubuh ter-
huyung-huyung. Dari kejauhan masih terdengar suara
isak tertahan. Dan sesaat kemudian sang gadis itu te-
lah berkelebat lenyap... Ketiga panglima yang menatap
tampak sama-sama menghela nafas. Sementara wanita
istri Bantar Alam itu sudah kembali memasuki istana.
Wanita bernama Gendari itu sudah menjadi ibu suri di
istana Kerajaan Bungo Mambang.
"Untung baginda Pangeran Kandaga sedang ti-
dak ada..!" Berkata salah seorang panglima. Renggana
Pati mengangguk-angguk, lalu beranjak masuk, sete-
lah diperintahkan beberapa pengawal mengurus jena-
zah para penjaga istana yang tewas. Selesai para pen-
gawal membersihkan halaman istana dari ceceran da-
rah, Renggana Pati memerintahkan segenap prajurit
untuk menambah kewaspadaan, dan memperketat
penjagaan.

* * *

Wanita berbaju hitam itu berlari dan berlari...
dengan hati serasa remuk redam. Sementara hatinya
seperti ditusuk-tusuk oleh jarum. Betapa sakit dan
malunya ia, dikatakan bahwa ia adalah anak hasil dari
perbuatan serong ibunya terhadap seorang panglima
Kerajaan bernama Sobrang.
"Benarkah demikian..? Benarkah aku bukan
anak dari Baginda Raja Bantar Alam?" Mendesis suara
tersendat dari kerongkongannya. Bibirnya bergerak-
gerak menahan tangis. Sebaris  giginya sudah  segera
menggigitnya hingga berdarah. Aku harus tanyakan
pada paman Warakas peristiwa sebenarnya. Atau aku
harus menunggu sampai ibu datang dari seberang..!
Berkata si gadis dalam hatinya. Segera tubuhnya ber-

kelebatan cepat meninggalkan tempat itu. Sementara
malam mulai merayap. Di  langit cuma ada sepotong
bulan.
Rumah yang ditujunya telah kelihatan. Akan
tetapi gadis ini tidak segera pulang. Disana ia terpaku
menata bulan. Ternyata di hatinya telah timbul pepe-
rangan hebat.
Aku tidak mengerti... manakah yang benar?
Penjelasan paman Warakas, ataukah kata-kata selir
baginda Raja Bantar Alam...? Kalau benar aku anak
seorang panglima Kerajaan bernama Sobrang, lalu di
manakah ayahku.. ? Apakah aku harus menjumpai
baginda Raja Bantar Alam untuk memohon penjelasan
ini..? Tapi aku telah menanam permusuhan, dengan
membunuh beberapa prajurit Kerajaan. Mana sudi ia
bicara padaku..? Beberapa pertanyaan memenuhi be-
nak si gadis cantik. Akhirnya pelahan-lahan ia bangkit
berdiri, dan beranjak dari situ.
"Ah... seandainya ibu sudah datang." Gumam-
nya. Sampai disini ia sudah berkelebat cepat untuk
mendatangi rumah panggung di  kelokan jalan itu.
Akan tetapi lagi-lagi ia hentikan langkahnya. Karena
didengarnya ada suara-suara perlahan terdengar dari
balik dinding. Segera ia pasang telinga. Bahkan, sudah
dapat melihat keadaan di  dalam kamar tempat tidur
pamannya.
Suara seorang wanita..! Ibukah..? Sepasang
matanya sudah terbentur dengan dua sosok tubuh
yang tengah bicara perlahan. Benarlah..! Kedua ibu
dan pamannya. Namun keadaannya bukanlah seperti
dua orang saudara kandung. Atau dua orang kakak
beradik. Karena kedua tubuh mereka saling berhimpi-
tan. Kalau saja dalam keadaan siang hari, tentu akan
terlihat wajah si gadis ini berubah menjadi merah.

Tidak salahkah penglihatannya...? Tapi kenya-
taannya itu memang sudah terpampang di depan ma-
tanya. Segera sudah ia tutup kelopak matanya. Dan
ada terdengar lagi suara lirih ibunya... "Warakas...?
Kau dapat apa yang kau inginkan... sebagai balas jasa
atas pertolonganmu padaku. Sebenarnya aku amat
bersedih, karena walau bagaimana Laras Jingga tetap-
lah anakku..!" Terkejutlah gadis yang sedang menden-
garkan memasang telinga itu. Jantungnya berdetak ke-
ras. Dan ia sudah mendengarkan lagi dengan menahan
nafas.
"Ha ha ha... kau memang bekas seorang per-
maisuri yang tahu membalas budi Bukan dirimu saja
yang kau berikan padaku. Tapi bahkan anak gadismu
sendiri juga kau korbankan demi balas jasa...! Aku be-
nar-benar mengagumimu, Dewi Melur." Berkata Wara-
kas. laki-laki bekas prajurit itu Yang kini telah mengin-
jak usia sekitar 40 tahun. Tubuhnya tegap dengan da-
da berbulu. Ia memang seorang laki-laki yang gagah,
berkumis tebal, rambutnya sudah terdapat dua warna,
putih dan hitam. Dewi Melur yang berusia sekitar 35
tahun itu memang masih sangat cantik. Sepasang len-
gan Warakas membelai rambut dan wajah Dewi Melur.
Wanita ini tampak pejamkan matanya. Tiba-tiba ia su-
dah berkata lagi seraya menghela napas.
"Semua itu adalah karena perjanjian yang telah
aku ikrarkan delapan belas tahun yang lalu. Demi
nyawaku. Dan demi anak dalam kandungan ku. Walau
kau adalah bekas hamba sahayaku, seorang prajurit
yang seharusnya menghormatiku sebagai seorang
permaisuri Raja. Akan tetapi aku memang harus men-
gakui kelicikanmu, Warakas..! Dan kau memang telah
membuatku jatuh, walau syarat yang kau berikan itu
amat berat. Kini semuanya telah kau dapatkan. Bu-

kankah kau telah puas..?" Tiba-tiba Warakas memeluk
kencang seraya bisikkan di  telinga Dewi Melur "Yah
aku telah puas...! Akan tetapi aku sulit menjatuhkan
Laras Jingga. Ia seorang gadis berhati keras..! Kejatu-
hannya yang pertama itu tanpa disadari olehnya. Tapi
ia mulai menjauhi diriku..! Walau tak berani menu-
duhku..! Aku memang telah berjanji membuka rahasia
siapa dirinya sebenarnya. Aku telah katakan padanya
bahwa ia seorang puteri raja yang berhak atas Kera-
jaan Bungo Mambang. Bukankah kau pun mengingin-
kan ia menjadi pengganti baginda Raja Bantar Alam,
dan melenyapkan musuh-musuhmu..?" Berkata Wara-
kas seraya hentikan gerakannya. Dewi Melur sempai
kerutkan keningnya Akan tetapi sepasang lengannya
sudah mencengkram punggung laki-laki itu, seraya
desiskan suara dari bibirnya..
"Ah... sudahlah. jangan bicara lagi kepadaku,
aku pusing. Aku baru saja kembali.." Bisik Dewi Melur
lirih. Dan ucapnya lagi. "Aku rindukan kau Warakas..."
Selanjutnya suara wanita itu sudah lenyap. Karena ia
sudah memagut leher Warakas untuk membenamkan-
nya ke dadanya. Sementara ia sudah perdengarkan ke-
luhan mendesis. Matanya setengah terpejam...
Laras Jingga sudah berlari meninggalkan ru-
mah panggung itu. Hatinya terasa remuk redam meli-
hat apa yang didengar dan dilihatnya... Dunia ini sera-
sa gelap. Ia berlari dan berlari... tanpa arah tujuan,
menyibak kelamnya malam. Tubuhnya berkelebat ce-
pat sekali, hingga yang tampak hanya bayang-bayang
hitam menembus di kegelapan.
Entah beberapa saat ia berlari-lari... hingga ke-
tika rasakan kakinya lelah, barulah ia berhenti. Se-
mentara air matanya tak hentinya bersimbah mengalir
di pipinya. Tempat itu adalah sebuah tebing batu. na-

mun di  sebelah baratnya terdapat sebuah bangunan
gedung tidak seberapa besar. Namun tampak gelap gu-
lita. Segera ia berkelebat kesana.
Setelah diperhatikan ternyata adalah sebuah
kuil yang kosong tak   berpenghuni. Mendapat tempat
untuk beristirahat, Laras Jingga merasa kebetulan.
Dan ia sudah duduk menggabruk di sudut lantai. Lan-
git-langit bagian depan kuil itu terbuat dari tembok
tebal. Dengan empat buah tiang beton menyangganya.
Dengan menyandarkan tubuhnya di tiang beton, Laras
Jingga termenung memikirkan nasibnya. Seolah ter-
dengar lagi kata-kata pamannya. Kata-kata yang
membuat darahnya jadi bergolak, dan luapkan kema-
rahan yang tak terhingga.
Kini terbuka sudah bahwa Warakas bukanlah
pamannya, melainkan bekas seorang prajurit. Entah
pertolongan apa pada ibunya hingga sampai Warakas
menuntut janji. Dan sang ibu rela memberikan kehor-
matannya pada Warakas. Bukan itu saja, bahkan rela
berikan kehormatan anak gadisnya pada si prajurit
bernama Warakas itu.
Pelupuk mata gadis kembali menjadi basah...
Diantara kelopak matanya masih terbayang jelas keti-
ka  sang paman menggaulinya. Saat yang menge-
naskan, dan di  malam yang buruk itu, Laras Jingga
seperti biasa meneguk minuman dalam air kendi di
atas meja di dalam kamarnya. Air itu memang tidak
bening seperti biasanya. Akan tetapi ia tidak bercuriga.
Dan karena rasa dahaganya, ia sudah meminumnya
sampai segelas habis. Dan selanjutnya ia sudah re-
bahkan diri di pembaringan. Begitu cepatnya, ia terle-
lap... hingga sudah tak tahu apa-apa lagi. Cuma dian-
tara sadar dan tiada, Laras Jingga rasakan benda be-
rat menindih tubuhnya. Selanjutnya ia cuma rasakan

seperti dalam mimpi. Beberapa saat berlalu, ketika ia
sadarkan diri ia rasakan kelainan pada tubuhnya. Sa-
darlah Laras Jingga akan apa yang terjadi. Dari balik
pintu kamar ia mengintip ke  dalam ruangan depan.
Terlihat sang paman masih enak-enak duduk seperti
tak pernah terjadi apa-apa. Laras Jingga bantingkan
tubuhnya ke  tempat tidur, dan terisak-isak menekap
wajahnya di bantal. Dan malam itu juga ia telah pergi
dari rumah itu. Ia memang tak dapat berbuat apa-
apa.... Namun hatinya jadi membenci sang paman.
Dan diam-diam ia mengancam akan mengadukan hal
itu pada ibunya bila kembali. Kejadian itu berlangsung
setengah tahun yang lalu. Dan sejak saat itu ia jarang
pulang ke rumah. Ternyata diam-diam Laras Jingga te-
lah mempelajari ilmu kedigjayaan dengan seseorang,
yang belakangan telah pula menjerumuskannya pula
ke dalam dekapan sang Guru.
Laras Jingga sudah tak tahu lagi akan dirinya.
Apa lagi sejak ia berusia sepuluh tahun, sang ibu me-
mang jarang berada di rumah. Selama itu memang ia
tak mengenal siapa ayahnya. Untuk kedua kalinya ter-
paksa Laras Jingga menerima kehadiran Warakas.
Dengan janji akan memberitahukan siapa dirinya se-
benarnya. Hingga ia melabrak ke Kerajaan Bungo
Mambang. Di sana ia menumpahkan kejengkelan ha-
tinya. Kini diketahuinya bahwa sang ibu bahkan me-
mang bersedia mengorbankan anak gadisnya, juga se-
mata-mata karena janji memberikan imbalan.
Benar-benar terkutuk...! Jerit hatinya. Betapa
ia telah dilahirkan secara hina... Dari seorang ayah
yang tidak syah menurut hukum. Selama ini yang ter-
pampang di  depan mata tak lain dari lingkungan
orang-orang terkutuk. Warakas, ternyata manusia be-
jat Ibunya Dewi juga bukan wanita baik-baik, walau-

pun bekas seorang permaisuri Raja. Gurunya tak lebih
dari manusia durjana, yang memberi ilmu, namun
mengharapkan imbalan..! Gila..! Benar-benar gila..!
Memekik hati Laras Jingga. Dan tiba-tiba di  malam
yang sunyi kelam itu ia telah menjerit sekeras-
kerasnya. Hingga bergetaran suaranya seperti mau
meruntuhkan tembok tebal kuil itu. Selanjutnya ia su-
dah kembali menangis terisak-isak menekap wajahnya.
Sepotong bulan yang masih mengambang di  langit,
cuma terdiam, seperti juga turut merasakan kekalutan
hati dan hancurnya perasaan si wanita muda itu. Se-
mentara desir angin malam membuat tubuh  agak
menggigil. Malampun terus melarut. Laras Jingga ma-
sih tetap duduk terpaku di teras depan kuil seperti ar-
ca.

* * *

Pertarungan di dasar lembah yang penuh den-
gan kera itu berlangsung seru... Dua sosok tubuh sa-
ma-sama berjenggot dan berkumis panjang, yang ter-
juntai memutih itu saling gebrak dengan hebatnya. Pu-
luhan ekor kera telah bergeletakan di sekelilingnya tak
bernyawa. Sementara sisa-sisanya melarikan diri ma-
suk hutan. Pasir dan debu beterbangan. Batu-batu di
sekitarnya hancur luluh terkena terjangan dari mas-
ing-masing serangan. Tampaknya kekuatan mereka
hampir berimbang. Bentuk tubuh kedua manusia itu
memang agak mirip. Cuma bedanya yang seorang ke-
palanya gundul plontos. Dan seorang lagi berambut
panjang bagai wanita.
Saat itu sesosok tubuh berkelebat di atas teb-
ing, dan berhenti untuk memandang ke  bawah. Ter-
nyata dia seorang wanita muda. Dengan rambut pan-

jang terurai. Wajahnya amat cantik dan ayu rupawan.
Dengan pakaian dari sutera merah jambu. Bermata jeli
dengan alis mata yang melengkung bagai busur panah.
Siapa lagi gadis muda itu kalau bukan Roro Centil. Si
Pendekar Wanita Pantai Selatan. Dari atas  tebing itu
Roro perhatikan jalannya pertarungan. Segera ia men-
getahui siapa yang bertempur di bawah sana itu. "Ba-
gus..! Jarang aku menyaksikan pertarungan dua orang
tokoh Rimba Hijau kaum tua seperti ini..! Aku bisa
menontonnya dengan asyik!" Desis Roro seraya berke-
lebat turun. Gerakannya lincah, bagai seekor burung
seriti. Yang berkelebat dari ujung-ujung batu tebing
yang menonjol, melompat-lompat seperti tidak merasa
gamang atau ngeri tergelincir. Tentu saja bagi Roro hal
semacam itu bukanlah hal yang aneh lagi. Karena se-
bagai seorang yang berkepandaian tinggi, jurang da-
lam, bukit dan gunung bukanlah merupakan rintan-
gan lagi baginya.
Sebentar saja ia  telah mendapat tempat yang
cocok untuk menikmati pertarungan hebat yang jarang
ada itu. Si kakek berambut panjang berjubah putih
itu, Roro Centil telah mengenalnya. Yaitu si Dewa Si-
luman Kera. Sedang yang seorang lagi, yaitu si kakek
yang bertubuh kurus dan berkepala gundul plontos itu
memang Roro baru mengenalnya sebulan yang lalu.
Yaitu di saat ia singgah di sebuah danau. Dimana Roro
melihat seorang kakek kurus tengah mengail ikan. Ca-
ra mengail yang aneh itu tentu saja telah menarik per-
hatian Roro. Karena hanya mempergunakan sebuah
bambu kecil, tanpa tali. Tapi bila disentakkan akan
terbawa beberapa ekor ikan meluncur kepermukaan
air. Dengan sebat, ia sudah menangkapnya. Dari meli-
hat keanehan itu Roro sudah dapat pastikan bahwa
kakek aneh itu seorang yang  berilmu tinggi. Diam-

diam ia menguntit si kakek aneh itu. Yang membawa
serenceng ikan segar, sambil berkelebat dengan cepat.
Ternyata sang kakek sudah waspada kalau di-
rinya dikuntit orang. Segera ia balikkan tubuh. Dan
tahu-tahu dua ekor ikan telah melesat menyambar Ro-
ro. Terkejut melihat kecepatan dua ekor ikan itu yang
menyambar ke arahnya. Namun dengan kecepatan ki-
lat, ia telah menangkap kedua ekor ikan itu. Seraya
berucap.
"Hi hi hi... Terima kasih atas pemberian dua
ekor ikan segar ini, kakek..! Aku memang sedang la-
par. Dan memang berniat meminta beberapa ekor ikan
ini, untuk dipanggang. Tentu akan terasa sedap, dan
dapat mengurangi rasa lapar  ku..!" Akan tetapi jawa-
bannya adalah sebuah serangan hebat menghantam
Roro. Kali ini adalah satu angin pukulan yang berhawa
panas menyambar ke arah sang pendekar Wanita. Ter-
kejut juga Roro, karena angin pukulan itu belum tiba,
hawa panasnya telah menyerang terlebih dulu. Akan
tetapi lagi-lagi Roro berhasil menghindar dengan letik-
kan tubuhnya. Dan angin pukulan itu lewat di bawah
kakinya. Terdengarlah suara seperti ledakan...
DHERRRR...! Hantaman dahsyat itu tepat
menghantam pohon di  belakangnya. Yang seketika
tumbang hangus. Baru saja ia jejakkan kakinya, telah
datang lagi serangan. Akan tetapi anehnya tidak di tu-
jukan padanya. Melainkan pada batang pohon yang
tumbang hangus itu. Terdengar suara mengguruh dan
batang pohon itu telah terbakar hangus. Timbulkan
api besar. Roro Centil jadi keheranan.
tapi ketika ia berpaling, si kakek aneh itu telah
lenyap berkelebat. Dalam keheranan itu lapat-lapat
terdengar suara di kejauhan...
"Bocah ayu... Silahkan kau panggang ikan mu.

Kalau kau sudah kenyang menikmati, silahkan datang
ke tempat ku di gubuk reyot, di kaki bukit sebelah ba-
rat..!" Tentu saja Roro jadi melengak. Tapi tiba-tiba ia
telah kirim kembali suaranya dengan jarak jauh den-
gan mempergunakan tenaga dalamnya.
"Hi hi hi... Terima kasih sekali lagi kakek
aneh..! Aku pasti akan datang menyambangimu..!"
Disamping bergirang hati, namun diam-diam Roro ter-
kejut juga. Karena seandainya ia kena terhantam, da-
pat dibayangkan bagaimana rupa dan bentuk tubuh-
nya. Namun tak berayal lagi ia sudah bersihkan dua
ekor ikan mas yang cukup besar itu. Dan dengan se-
buah ranting, ia sudah mulai memanggang ikannya.
Tak berapa Roro sudah duduk menikmati santapan le-
zatnya. Hingga sampai meram-melek karena nikmat-
nya. Sayang ia belum punya mertua.. Berfikir Roro.
Seandainya sudah pun pasti tak akan ditawari. Karena
memang lezatnya amat luar biasa. 
Selesai bersantap, Roro segera beranjak untuk
bangun. Terasa kenyang perutnya. Namun ketika te-
ringat akan janjinya untuk singgah ke tempat si kakek
aneh itu, tanpa tunggu lama-lama lagi Roro sudah ce-
pat tinggalkan tempat itu. Demikianlah... Roro Centil
dapat berkenalan dengan si kakek aneh itu yang ter-
nyata berjulukan si Mayat Hidup. Ternyata di pondok
kecil itu menetap pula seorang wanita muda yang baru
saja melahirkan seorang jabang bayi. Dan baru berusia
beberapa hari. Terkejut Roro karena mengenali wanita
muda itu lak lain dari gadis yang pernah ditolongnya,
yaitu Retno Wulan. Tentu saja mereka menjadi sangat
akrab. Walaupun Retno Wulan memang sudah agak
lupa siapa penolongnya itu. 
Kedatangan Roro seperti memang tengah diha-
rapkan. Karena ia dapat membantu merawat atau

menjaga sang bayi. Yang bagi gadis muda itu belumlah
pandai untuk mengurusnya. Maklum bayi yang perta-
ma kalinya. Dari Retno Wulan itulah Roro mendengar
kisah aneh yang dialami si wanita itu. Hingga mem-
buat Roro Centil tercenung. Kiranya kisahnya demi-
kian... Retno Wulan telah kehilangan seorang suami
bernama Gumarang, di saat kandungannya baru berja-
lan beberapa bulan. Dimana ketika siang hari ia seper-
ti biasa duduk dimuka pondoknya yang menghadap ke
arah danau Sang suami tengah mencari ikan dengan
berperahu di tengah danau itu. Tiba-tiba telah datang
seorang wanita berbaju putih tahu-tahu muncul di-
muka pintu pondok. Retno Wulan terkejut sekali. Dan
menanyakan siapa adanya ia, serta apa keperluannya.
Akan tetapi si wanita itu tak menyahutinya. Bahkan
menatap tajam padanya. Lalu alihkan tatapannya ke
arah danau. 
Setelah perdengarkan tertawanya si wanita itu-
pun kembali lenyap. Retno Wulan benar-benar tak
mengerti siapa adanya wanita itu. Walaupun hatinya
merasa was-was, ia bersyukur karena si wanita aneh
itu tak mengganggunya. Ketika Gumarang ( suaminya )
pulang, Retno menceritakan serta menanyakan ten-
tang wanita itu. Ternyata Gumarang pun tak menge-
nalnya. Sampai jauh malam Retno Wulan tak dapat ti-
dur. Tapi akhirnya ia pulas juga tertidur sampai agak
kesiangan. Akan tetapi alangkah terkejutnya Retno
Wulan ketika mengetahui dirinya telah berada di  se-
buah lembah yang curam. Sedang suaminya sama se-
kali tak kelihatan. Retno Wulan cuma bisa menangis,
karena setelah berusaha keluar dari lembah itu, tak
membawa hasil. Hingga tahu-tahu ia telah ditawan
oleh seorang yang mirip kera. Bahkan nyaris saja ia
jadi korban manusia kera itu kalau tak datang si ka-

kek yang bergelar si Mayat Hidup itu menolongnya.
Demikianlah hingga sampai melahirkan bayinya. Na-
mun sampai saat ini suaminya belum juga dapat dite-
mukan. Walaupun si kakek Mayat Hidup sudah beru-
saha mencarinya. Gumarang lenyap tak berbekas. Dan
anggapan Retno Wulan, suaminya sudah tak ada lagi
di dunia ini...
Terenyuh juga hati Roro mendengarnya. Tapi
diam-diam Roro berfikir lain tentang wanita si penculik
aneh itu. Karena bisa saja yang melakukan adalah sa-
lah seorang dari musuh besarnya yang tengah dica-
rinya. Karena wanita penculik itu berkepandaian ting-
gi... Demikianlah, sampai satu bulan Roro menetap di
pondok kecil itu, sambil membantu Retno Wulan men-
gurus bayinya. Dan ia berjanji pada Retno Wulan kelak
akan membantu mencari suaminya bernama Guma-
rang, yang telah lenyap secara misterius itu. Ternyata
si kakek berjuluk si Mayat Hidup itu telah pula berbaik
hati mewariskan tiga jurus ilmu pada Roro. Ternyata
mendengar Roro Centil adalah pernah menjadi murid
Ki Bayu Sela alias si Pendekar Bayangan, orang tua itu
amat simpati padanya. Karena almarhum si Pendekar
Bayangan pernah menjadi sahabatnya ketika semasa
hidupnya puluhan tahun yang silam ketika si Mayat
Hidup masih mengembara di tanah Jawa alias Pulau
Kelapa.
Entah mengapa hari itu si Mayat Hidup berpe-
san agar turut menjaga Retno Wulan. Atau setidak-
tidaknya mencarikan tempat yang aman baginya. Si-
kapnya agak aneh. Membuat Roro jadi kepingin tahu.
Ternyata benarlah... ada suatu rahasia yang disembu-
nyikan si kakek itu. Yaitu perjanjian dengan si Dewa
Siluman Kera, untuk bertarung sampai seribu jurus di
lembah yang penuh dengan kera itu. Diam-diam Roro

menguntit. Agaknya si Mayat Hidup tak ingin urusan-
nya dicampuri Roro. Namun Roro Centil mana bisa
berdiam diri. Sifat ingin tahunya membuat ia berhasil
mengetahui tempat pertarungan itu. Walaupun keda-
tangannya agak terlambat. Karena pertarungan kedua
kakek sakti itu telah berlangsung ratusan jurus. Di
tempat persembunyiannya Roro menyaksikan kedua
tokoh tua Rimba Persilatan itu saling baku hantam.
Satu pukulan telak rupanya tak dapat dihin-
darkan oleh si Dewa Siluman Kera. Ketika di  saat si
Dewa Siluman Kera menghantam tempat kosong, hing-
ga batu-batu berhamburan, Pada saat si Mayat Hidup
menerjang dengan dua hantaman sekaligus. Tampak si
Dewa Siluman Kera bergulingan menghindar. Akan te-
tapi ia kecele, karena dua hantaman pukulan itu ada-
lah gerak tipu saja. Dan si Mayat Hidup sudah mendu-
ga Dewa Siluman Kera akan bergerak ke samping. Se-
gera saja jurus Halilintar menyambar Bukit ia pergu-
nakan menghantam tubuh si Dewa Siluman Kera. Aki-
batnya pukulan telak itu tak dapat dihindarkan lagi.
Namun Tubuh si Dewa Siluman Kera memang kuat
bagai dilindungi selapis perisai baja.  Hantaman itu
hanya membuat tubuhnya terlempar bergulingan dua
puluh tombak. Akan tetapi telah kembali berdiri den-
gan sebat. Gerakannya bagai seekor kera yang berge-
rak lincah. Tampak si Mayat Hidup melengak. Ia sudah
mengharapkan akan cepat menyudahi pertarungan itu
tak berapa lama lagi. 
Karena sekujur tubuhnya telah lelah, dan men-
gucurkan keringat Akan tetapi anehnya si Dewa Silu-
man Kera bahkan semakin lama semakin kuat. Kini
dengan sepasang mata beringas menatap tajam pada
sang lawan, Dewa Siluman Kera perdengarkan suara
menggeram bagai gorila. Sepasang lengannya tiba-tiba

bergerak memutar. Bibirnya berkemak-kemik bagai
membaca mantera. Roro sendiri tertegun melihatnya.
Diam-diam ia sudah membatin... Ilmu apakah geran-
gan yang akan dilakukannya..? Berfikir Roro Centil.
Dilihatnya si Mayat Hidup cuma mengawasi dengan
sepasang matanya yang cekung. Tiba-tiba terdengar
bentakan dahsyat, seperti mau membelah bukit layak-
nya. Segelombang asap hitam bergulung-gulung me-
nyebar disekeliling tubuh si Dewa Siluman Kera yang
tahu-tahu gelombang asap hitam itu meluncur ke arah
si Mayat Hidup yang jadi seperti terpaku di tempatnya.
Sebentar saja lenyap sudah tubuh si Mayat Hidup se-
perti dibungkus gelombang asap hitam itu. Terdengar
si Dewa Siluman Kera berteriak santar...
"HUJAN...! TAUFAN...! PETIR...!" Disertai teria-
kan-teriakan itu, tubuh si Dewa Siluman Kera tiba-tiba
sudah amblaskan kakinya sampai sebatas betis. Inilah
tenaga dalam yang paling hebat yang tengah ia kum-
pulkan.
Sepasang lengannya bergerak bergetaran. Ki-
ranya tenaga dalam itu bercampur dengan saluran il-
mu batin yang sudah mencapai tingkat tinggi. Yang te-
lah disalurkan melalui asap hitam dan lengan serta
suara bentakannya, untuk mempengaruhi si Mayat
Hidup. Hebat akibatnya. Tampak si Mayat Hidup se-
perti terperangah, tubuhnya seperti sudah tak berte-
naga lagi. Roro Centil tiba-tiba telah melompat bangun
dan keluar dari tempat persembunyiannya. Tampak ia
katupkan sepasang matanya agak merapat, setengah
terbuka. Roro tengah menyalurkan segenap ilmu ba-
tinnya untuk menolak kekuatan batin si Dewa Siluman
Kera. Sekejap saja tubuhnya telah berubah kepulkan
uap putih. Hingga sampai ke ubun-ubun rambutnya.
Sepasang kakinya pun telah amblas ke  dalam bumi.

Sementara sepasang lengannya disilangkan ke  depan
dada. Dan tampak bergetaran dengan hebat. Tiba-tiba
terdengar suara teriakan Roro Centil melengking tinggi.
Dan disusul dengan hentakan hebat yang berkuman-
dang ke sekeliling lembah.
"HUJAN LENYAP...! PETIR LENYAP...!
TAUFAN...!" Hebat sekali kekuatan batin Roro Centil
yang disalurkan melalui getaran suara itu. Seketika
angin taufan yang menghembus. Hujan yang deras dan
petir yang menyambar-nyambar tubuh si Mayat Hidup
itu lenyap. Tampaknya si Mayat Hidup telah tertolong.
Dan ia sudah menyadari akan keadaan dirinya yang
dalam  keadaan berbahaya. Tiba-tiba ia sudah mem-
bentak keras, seraya menghantam buyar asap hitam
yang mengelilingi tubuhnya. Terkejut bukan main si
Dewa Siluman Kera. Akan tetapi segenap tenaga dalam
telah ia salurkan pada kedua lengannya. Sebelum si
Mayat Hidup menyadari, ia sudah lakukan hantaman
hebat, disertai lompatan tubuhnya ke arah sang lawan.
Akan tetapi pada saat itu berkelebat sebuah bayangan
merah jambu. Yang telah memapaki hantaman tenaga
pukulan si Dewa Siluman Kera. Terdengarlah suara...
BHLARRRRR.....! Asap tebal berwarna putih
dan hitam tampak membumbung ke udara. Terdengar
dua teriakan yang hampir bersamaan. Dan dua sosok
tubuh terlempar belasan tombak. Dewa Siluman Kera
terpental ke belakang dengan deras. Akibatnya fatal...
Karena tepat di belakangnya adalah dinding tebing ba-
tu. Hingga tak ampun lagi terdengar suara...
PRAKKK...!
Dan terlihat darah merah dan putih kental,
memuncrat seketika. Dibarengi dengan ambruknya tu-
buh si Dewa Siluman Kera ke bawah. Yang tanpa ber-
kelojotan lagi tubuh si manusia kera itu sudah meng-

geloso bagai sehelai kain, tak berkutik. Ternyata batok
kepalanya telah pecah berantakan... Sedangkan  Roro
Centil terlempar beberapa tombak lalu jatuh bergulin-
gan. Tubuh si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu ma-
sih bisa bergerak untuk bangkit, tapi detik berikutnya
kembali roboh terkapar.
Adapun si Mayat Hidup terkejut bukan main. Ia
sudah segera memburu ke  arah tubuh Roro. Sekilas
saja ia telah dapat mengetahui bahwa yang telah me-
nolong jiwanya adalah si gadis pendekar itu. Karena ia
telah melihat bayangan merah jambu berkelebat me-
nahan serangan dahsyat yang tak terduga, dan terlalu
sulit untuk ia dapat menghindar.
"Bocah ayu...!?" Ia sudah bergerak melompat
untuk memburunya. Akan tetapi ia sendiri sudah ter-
jungkal, karena sekonyong-konyong baru terasa tu-
buhnya menjadi terhuyung limbung. Cepat-cepat si
Mayat Hidup bangkit kembali dan duduk
bersila. Sebentar kemudian ia telah kembali
normal. Agaknya pengaruh ilmu batin yang dilontar-
kan si Dewa Siluman Kera telah termakan pada seku-
jur tubuhnya. Beruntung ia mendengar bentakan-
bentakan menggeledek, yang membuat serangan hebat
itu seketika punah. Terbersit seketika di hatinya bah-
wa yang menolong dirinya dari pengaruh serangan il-
mu batin si Dewa Siluman Kera itu juga si bocah wani-
ta di hadapannya. Kali ini si Mayat Hidup sudah putih
kembali tubuhnya Dan sekejap ia telah berada di ha-
dapan Roro Centil. Tak ayal sang kakek tua ini segera
memeriksa pernafasannya. Tampak ia menghela na-
pas. Wajah pucat si kakek ini kembali agak cerah.
"Dia cuma pingsan..! Akan tetapi bisa memba-
hayakan jiwanya. Aku harus cepat menolongnya sebe-
lum terlambat..!" Desis si Mayat Hidup. Dan sudah

pondong tubuh Roro Centil pada pundaknya. Sepasang
matanya masih sempat melihat ke tubuh si Dewa Si-
luman Kera. Bergidik tubuh si Mayat Hidup, melihat
batok kepala Tokoh Hitam itu yang sudah hancur tak
berbentuk lagi. Sedang di sekelilingnya tampak berge-
limpangan bangkai-bangkai kera yang sudah tak terhi-
tung banyaknya. Binatang-binatang itu adalah korban
terjangan si Mayat Hidup. Karena si Dewa Siluman Ke-
ra mempergunakan binatang-binatang itu sebagai la-
sykarnya.
Sesaat antaranya si kakek Mayat Hidup itu su-
dah berkelebat tinggalkan lembah yang telah memba-
wa kisah tragedi kematian si Dewa Siluman Kera, guru
si Siluman Kera Putih. Beberapa kedip berikutnya so-
sok tubuh sang kakek yang memanggul tubuh Roro,
sudah lenyap tak kelihatan lagi Lembah itu kembali
mencekam... Sementara burung-burung pemakan
bangkai berputar-putar di udara membaui bau amis-
nya darah yang memang sangat menusuk hidung....

* * *

Roro tergolek di balai-balai bambu di pondok si
Mayat Hidup. Kakek tua itu menggeleng-gelengkan ke-
palanya seraya menggumam.....
"Hebat..! Bocah aneh...!? Dalam usia begini
muda, tetapi telah mempunyai kekuatan tenaga dalam
berlipat ganda. Benar-benar luar biasa...!" Laki-laki tua
ini menatap wajah gadis dihadapannya, yang tampak
mulai mempunyai kekuatan tenaga
yang tampak mulai mengeluarkan butiran-
butiran keringat. Tersenyum si Mayat Hidup. Tadi ia
sudah salurkan tenaga dalam berhawa hangat untuk
membantu memulihkan pernafasan. Tampak nafas Ro-

ro mulai turun naik dengan teratur. Ia sudah suruh
Retno Wulan memasak akar Ginseng. Dan ramuan ob-
at itu sudah disiapkan dalam mangkuk. Sesaat anta-
ranya Roro Centil sudah mengeluh, dan perlahan-
lahan buka kelopak matanya
"Kakek.. kau selamat...!?" Berkata Roro dengan
suara lirih. Dan bibirnya tersungging senyuman, meli-
hat laki-laki tua itu berada dihadapannya. Mayat Hi-
dup mengangguk dengan tak terasa setitik air mata
menggenang di pelupuk matanya. Siapa yang tidak
trenyuh hatinya. Karena gadis dihadapannya itu bu-
kan memikirkan keadaan dirinya, akan tetapi bahkan
masih juga mengkhawatirkan nasib orang lain lagi.
Suara tangis bayi Retno Wulan membuat ia tertawa
kecil, Ia berusaha untuk bangun... Akan tetapi ia men-
geluh, dan rebahkan lagi tubuhnya.
"Jangan banyak bergerak dulu, bocah ayu....!
Tubuhmu masih lemah. Kau perlu beristirahat lebih
banyak. Sebentar lagi perutmu harus segera diisi den-
gan bubur hangat. Kini minumlah ini dulu..." Ujar si
Mayat Hidup, seraya meraih mangkuk berisi ramuan
akar gingseng. Dan memberikan pada Roro. Sebelah
tangan si kakek itu bergerak membantu mengangkat
punggung Roro. Dan tanpa ayal atau sungkan-
sungkan segera Roro meneguk ramuan akar itu. bau
harum obat itu terasa menyegarkan.  Hingga sampai
habis Roro menghirupnya. Selesai  minum, perlahan-
lahan Roro kembali rebahkan tubuhnya dibantu oleh
si Mayat Hidup.
Selang tak lama antaranya Retno Wulan masuk
membawa semangkuk bubur hangat. Tampaknya Roro
sudah mulai kuat untuk berbangkit. Dan dibantu Ret-
no Wulan, Roro hanya mandah saja ketika wanita itu
menyuapinya. Bahkan meniupi bubur hangat itu lebih

dulu sebelum disuapkan ke dalam mulutnya. Diam-
diam Roro Centil jadi merasa geli sendiri. Persis seperti
anak bayi saja aku ini..! Berkata Roro dalam hati. Se-
mangkuk bubur hangat telah masuk perut Roro. Retno
Wulan menemaninya duduk sambil membawa bayi
mungilnya. Sementara si kakek Mayat Hidup telah
ngeloyor ke belakang dengan senyum girang terlukis di
wajahnya. Agaknya Roro Centil sudah mulai merasa
pulih lagi kesehatannya. Tubuhnya telah terasa kege-
rahan. Ia pun sudah segera bangkit duduk. Bahkan
berdiri. Lalu gerak-gerakkan tubuhnya, hingga terden-
gar tulang-tulangnya berbunyi klatak-klutuk. Selang
sesaat Roro sudah berjingkrak kegirangan. Ia benar-
benar telah merasa sehat sama sekali. "Eh, adik Ret-
no..! Mari aku yang gendong bayimu, hi hi hi... lu-
cunya..!" Berkata Roro seraya mau meraih si bayi dari
lengan ibunya. Akan tetapi si bayi sedang menyusu Ke-
tika bibir mungilnya terasa copot dari pentil susu sang
ibu, sudah lantas menangis. Akan tetapi cepat-cepat
Roro menghiburnya.
"Aiiiih,  adik manis...   diamlah sayang..
Aduuuh, kasihan sekali..! Nang ning nang ning ning
guuuung...! Lekas besar lekas jangkung! Sudah besar
jangan murung. Biar jadi orang beruntung..! Hi hi hi..."
Dinyanyikan sedemikian rupa, agaknya si bayi seperti
mengerti lalu terdiam. Dan selanjutnya sudah tertawa
lucu digoda Roro. Sementara Retno Wulan turut  ter-
senyum. Tapi tak terasa sudah linangkan air mata. Ka-
rena sekonyong-konyong ia teringat pada sang suami.
Ah..! seandainya ada Gumarang! betapa akan terasa
bahagianya..! Bisik wanita muda ini dalam hati. Na-
mun cepat-cepat ia sembunyikan kesedihannya. Den-
gan buru-buru seka air matanya. Namun tak urung
Roro sempat melihat

"Kau menangis... adik Retno.. ?" Bertanya Roro
dengan kerutkan alisnya.
"Ah..! Tidak kakak Roro..! Aku hanya girang
dan terharu sekali, kau telah kembali sembuh. Tadinya
aku amat khawatir akan keadaanmu. Tahukah kau be-
rapa saat kau tak sadarkan diri...?" Tukas Retno Wu-
lan seraya perlihatkan wajah gembira.
"Berapa lama aku tak sadar diri..?" Tanya Roro
kepingin tahu. Retno Wulan tersenyum, lalu menja-
wab;
"Hampir satu hari satu malam..!" Roro Centil
terkejut. Sampai-sampai ia jadi ternganga keheranan.
Selama itukah..?Pikirnya. Dan ia dapat membayang-
kan tentu selama itu akan membuat orang menjadi re-
pot mengurusnya. Roro jadi geleng-geleng kepala tapi
diam-diam amat bersyukur sekali dirinya telah sehat
kembali....
Demikianlah... tinggal selama beberapa hari di
tempat terpencil itu, Roro benar-benar merasa keseha-
tannya telah pulih benar-benar. Dari si kakek  Mayat
Hidup, Roro dapat mengetahui bahwa si Dewa Siluman
Kera telah tewas, akibat benturan tenaga dalam den-
gannya. Tapi seandainya di belakang si Dewa Siluman
Kera bukan dinding batu tebal, belum dapat dipasti-
kan kematian tokoh hitam yang hebat itu. Agaknya
memang sudah ajal dan hari naas si manusia kera itu
untuk tewas dengan kepala pecah, karena terhantam
batu. Roro cuma menghela nafas panjang... Entah
mengapa ia  terlalu berani bertindak demi menyela-
matkan si Mayat Hidup. Padahal belum tentu ia mam-
pu menahan serangan dahsyat itu, mengukur akan
tingkat ilmu tenaga dalamnya yang ia tak tahu mengu-
kur kekuatan lawan. Waktu itu Roro memang bertin-
dak tanpa mau tahu resikonya. Akan tetapi ia sendiri

keheranan, karena toh akhirnya sang lawan si Mayat
Hidup bisa tewas. Barulah ia sadar, bahwa kematian
dan kehidupan manusia adalah di tangan Tuhan. Se-
tinggi-tingginya ilmu manusia, tidaklah ia dapat mela-
wan takdir. Dan tiada seorangpun yang mampu mela-
wan ajal, bila Tuhan telah menghendaki kematian-
nya...

* * *

PAGI ITU CUACA CERAH.... Mentari pagi men-
gorak senyum. Butir-butir embun menghias dedaunan,
penaka butiran intan yang berkilauan terkena cahaya
sinar sang Surya. Burung-burung terdengar berkicau
menyambut hadirnya si Raja Siang.
Kala itu Roro Centil sudah lakukan lagi perja-
lanannya. Rasa penasarannya untuk mencari tahu di-
mana adanya si Peri Gunung Dempo dan si Kupu-
Kupu Emas, tetap menggebu di dadanya. Disamping
itu ia perlu mencari dimana adanya Gumarang. Si laki-
laki yang pernah ditolongnya itu. Laki-laki gagah dan
tampan yang diharapkan kehadirannya oleh Retno Wu-
lan.
Setengah hari sudah Roro lakukan perjalanan.
Dua desa telah ia singgahi, namun tak ada tanda-
tanda kedua orang musuh besarnya di tempat itu. Ak-
hirnya Roro memutuskan untuk mengunjungi Kota Ra-
ja, ia punya dugaan, bahwa bagi orang persilatan yang
senang hidup bermewah-mewahan, tentu akan memi-
lih tempat yang banyak keramaian. Karena bermacam
hiburan terdapat disana.
Segera ia sudah berkelebat meninggalkan desa
terakhir yang disinggahinya. Akan tetapi baru bebera-
pa kali ia berkelebat, telinganya mendengar suara te-

riakan-teriakan santar dari ujung perkampungan.
Roro kerutkan alisnya, dan secepat itu juga su-
dah memburu ke arah suara itu.
Terkejut Roro Centil melihat seorang gadis ber-
baju hitam tengah dikurung oleh belasan orang ber-
senjata pedang dan golok. Rata-rata para pengurung-
nya adalah laki-laki berambut gondrong. Tampaknya
wanita itu tak bersenjata sama sekali. Akan tetapi su-
dah terlihat dua orang tergeletak tak bernyawa ber-
simbah darah, tak jauh dari kaki si gadis muda itu.
Roro menyelinap ke balik pohon dengan cepat. Kini ter-
lihat wajah gadis itu. Ia seorang gadis yang masih mu-
da. Berumur antara 18 tahun. Wajahnya cukup cantik,
tanpa pemoles muka. Dengan sebuah tahi lalat di ba-
wah hidungnya. Ternyata gadis itu adalah Laras Jing-
ga. Entah mengapa sampai terjadi hal demikian ini.
Baiklah kita tengok kisah di belakangnya...
Kiranya sewaktu Laras Jingga semalam-
malaman duduk terpaku di depan kuil tak berpenghu-
ni itu, sepasang mata telah memperhatikannya. Seso-
sok tubuh yang memperhatikan itu sudah lantas ber-
kelebat lenyap. Namun kembali lagi dengan membawa
serta dua orang pemuda. Tampaknya kedua pemuda
itu laki-laki ceriwis dan berhidung belang. Melihat wa-
nita cantik duduk sendirian, tentu saja jadi berniat
mengganggu. Adapun infonya ia dapatkan dari seorang
anak buahnya. Setelah memberitahu, si pembawa info
sudah cepat-cepat angkat kaki. Tentu saja ia telah me-
nerima persen yang lumayan.
Kala itu hari malam memang semakin melarut.
Tapi cuaca tidak begitu gelap. Kedua pemuda itu su-
dah segera melompat ke hadapan si gadis. Salah seo-
rang sudah menyapa dengan wajah berseri dan se-
nyum menghias bibir.

"Selamat malam, nona..! Aih... kasihan sekali.
Mengapa nona bermalam di tempat seram begini.. ?
Kami adalah dua bersaudara Linggah dan Linggih. Se-
nang sekali kalau kami dapat mengajak nona berma-
lam di tempat penginapan kami. Jangan khawatir, ka-
mi adalah orang-orang terhormat. Tentu nona akan
mendapat perlindungan dari kami. Tampak Laras
Jingga palingkan wajahnya. Segera ia sudah dapat me-
lihat wajah kedua pemuda dihadapannya. Walaupun
dalam kesamaran cahaya bulan. Tak dinyana si pemu-
da itu mendapat sambutan. Gadis cantik itu bangkit
berdiri seraya berkata;
"Terima kasih... Kalau anda berdua menawar-
kan jasa baik, mengapa harus kutolak?" Terhenyak se-
ketika kedua pemuda Lingga dan Linggih. Benar-benar
mereka bernasib mujur malam itu. Karena dapat me-
mancing seorang gadis muda yang cantik, untuk pe-
muas nafsunya. Tentu saja Lingga yang tadi menyapa
jadi girang sekali.
"Bagus..! Siapa yang mau menolak ajakan dua
orang pangeran muda, yang punya kedudukan ter-
hormat..? Ha ha ha... Mari..! Mari nona. Kita segera be-
rangkat..!" Berkata Lingga seraya saja sudah merang-
kul pinggang Laras Jingga, yang tak menolaknya keti-
ka pemuda itu membimbingnya untuk meninggalkan
tempat itu. Dalam beberapa saat saja se
telah memasuki desa Segera terlihat sebuah
penginapan yang masih buka. Tempat itu memang ti-
dak jauh dan pusat kota. Dan merupakan jalan hidup
yang paling ramai. Apa lagi malam itu adalah malam
panjang. Banyak para laki-laki iseng yang berkantong
tebal, mencari hiburan. Kedua orang pemuda itu ada-
lah dua orang anak pembesar Kerajaan. Yang sudah
terkenal sebagai orang-orang yang disegani. Karena be-

rurusan dengan mereka, berarti sama dengan mencari
penyakit.
Ketika kedua tuan muda ini kembali memasuki
penginapan, dengan membawa serta seorang gadis
cantik, segera sebuah meja telah cepat dikosongkan.
Kiranya di malam yang sudah larut itu masih banyak
para pengunjung penginapan, yang juga membuka res-
toran sederhana di bagian depannya.
Bau arak dan minuman keras sudah segera
menyambar hidung. Meja kosong itu segera mereka isi.
Seorang pelayan sudah segera menghampiri.
"Berikan dua botol arak Dan... Nona pesan
apa...?" Tanya Lingga seraya memagut lengan Laras
Jingga. Yang seperti orang melamun.
"Apapun bolehlah..." Sahutnya. Lingga dan
Linggih tertawa.
"Bagus! Tapi aku khawatir nona... eh, siapa?
Sedari tadi aku sampai lupa menanyakannya...!" Ujar
Lingga. Sementara sepasang mata pemuda ini, tak
hentinya menatap sang gadis dihadapannya.
"Panggil saja Laras..!" Sahut si gadis dengan
suara datar. Seperti tiada berperasaan apa-apa atas
segala sikap kedua pemuda itu.
"Baiklah... ngng... nona Laras, aku khawatir
nona tak menyukai arak. Biarlah ku pesan saja susu
hangat untukmu. Dan juga sediakan makanan kecil
buat kami..!" Ujar si pemuda seraya menatap pada
sang pelayan. Tapi ia sudah kedipkan mata pada laki-
laki pelayan itu.
"Baik..! Baik tuan muda..! Tunggulah. Sebentar
kami antarkan..!" Menyahuti si pelayan. Seraya ang-
guk-anggukkan kepalanya. Tentu saja ia mengerti
akan isyarat Lingga Karena bukan hal aneh lagi ba-
ginya Kedua anak pembesar Kerajaan Sriwijaya itu su-

dah menuang araknya pada gelas masing-masing. Se-
lanjutnya sudah meneguknya. Tak berapa lama sang
pelayan sudah membawa segelas susu hangat dan
makanan kecil. Tanpa ragu-ragu Laras sudah meng-
hangatkan perutnya, menghirup air suguhan dan me-
makan hidangan kecil yang ada di atas meja.
Selang beberapa saat, tetamu satu persatu mu-
lai berkurang. Tapi ada yang menginap di tempat pen-
ginapan itu. Tampaknya Laras Jingga sudah mulai
mengantuk. Karena sudah beberapa kali menguap.
Tentu saja Lingga segera bimbing gadis itu ke kamar-
nya. Sementara Linggih tetap berada di kursinya. Ling-
gih yang mengerti akan isyarat kakaknya hanya perli-
hatkan senyum serta angggukan perlahan. Dan ia te-
ruskan menghirup araknya hingga sepasang matanya
tampak mulai merah.
Kira-kira sepenanak nasi.... tiba-tiba Laras
Jingga muncul dengan wajah pucat, dan rambut kusut
masai. Sepasang matanya setengah terpejam. Dengan
terhuyung ia menghampiri meja Linggih,  pemuda itu
tersenyum, dan sudah bertanya;
"Aii... nona Laras..! Kau belum tidur? Mana ka-
kakku Lingga...!" Bertanya Linggih seraya menuang la-
gi araknya pada dua gelas kecil.
"Ah..! Kakakmu itu sudah tidur pulas di ka-
marnya. Biarlah jangan diganggu. Aku belum lagi
mengantuk. Oh, dinginnya malam ini...'" Berkata Laras
Jingga seraya membetulkan baju di dadanya yang ter-
singkap. Sepasang mata Linggih telah melirik sekilas.
Dan perlihatkan sorot mata binal.
"Kau minumlah arak ini... untuk penghangat
tubuh..!" Berkata Linggih, seraya menyodorkan segelas
arak yang baru dituangkannya. Gadis cantik ini tanpa
segan-segan menyambutnya. Dan langsung memi-

numnya. Ternyata isi gelas kecil itu cuma sekali teguk
sudah kosong. Terkejut juga Linggih. Serta merta ia
sudah mengisinya lagi. Dan hal yang sama pun teru-
langi. Tampaknya Laras Jingga cukup kuat untuk mi-
num beberapa gelas. Hal itu membuat Linggih semakin
girang. Hingga beberapa gelas sudah si gadis meneguk
minuman yang ia suguhkan.
"Ha ha ha... Jangan khawatir, nona Laras..!
Uangku masih cukup banyak utuh membeli beberapa
botol arak! Agaknya nona Laras juga menyukai minu-
man keras ini..!" Segera si pemuda tepukkan tangan,
memanggil pelayan. Dan pesan lagi dua botol arak. Se-
dang kedua botol arak dihadapannya telah kosong tak
berisi sama sekali. Si pelayan mengangguk. Dan cepat
beranjak pergi. Tak berapa lama telah kembali mem-
bawa dua botol arak baru. Tak ayal lagi Linggih segera
membuka tutupnya. Dan langsung tuangkan isinya.
"Ha ha ha... silahkan nona Laras..!" Ujar Ling-
gih. Laras Jingga dengan sepasang mata semakin me-
redup, menyambar gelas arak yang sudah penuh berisi
itu. Dan langsung menghirupnya, serta menegaknya
sampai habis. Kini tampaknya gadis dihadapannya ini
mulai merasakan kepalanya berdenyutan. Gerakan
lengannya sudah agak gemetar. Dan celotehnya mulai
ngawur. Tapi ia sudah sodorkan lagi gelas kosongnya,
seraya berkata;
"Tambah lagi... hi hi hi... nikmat sekali..! Oh..!
Kau memang hebat Lingga..!" Pemuda bernama Linggih
ini kerutkan alisnya, tapi sudah segera menuangkan
lagi isi botol, yang segera memenuhi gelas kosong itu.
Tapi belum lagi Laras Jingga mengangkat gelasnya,
arak dalam gelas itu telah tumpah membasahi meja.
Tampaknya Laras sudah tak kuat untuk menahan tu-
buhnya yang telah terhuyung ke kiri dan kanan.

"Sudahlah, nona Laras.... Sebaiknya kau beris-
tirahat..!" Berkata Linggih, seraya bangkit dari kur-
sinya. Dan meraih pinggang Laras Jingga. Untuk se-
lanjutnya sudah dipapah menuju kamar di ruangan
dalam. Satu isyarat kepala membuat si pelayan yang
telah mengerti, segera beranjak ke dalam terlebih dulu
untuk menyediakan kamar. Tentu saja Linggih bergi-
rang hati, karena ternyata masih ada kamar kosong
untuknya. Dan sesaat antaranya mereka sudah me-
masuki ruangan kamar, yang berhadapan agak jauh
dengan kamar tempat Lingga menginap.  Memang ta-
dinya mereka menginap berdua dalam satu kamar
dengan kakaknya.
Laras Jingga biarkan Linggih menggerayangi
tubuhnya. Bahkan ketika ia rasakan bibirnya dipagut,
tidaklah Laras Jingga menolaknya.
Detik demi detik terus berlalu... Laras Jingga
cuma dapat mendengar degup jantung Linggih yang
semakin memburu. Terasa hembusan-hembusan angin
bagai mengguruh di telinganya. Sementara samar-
samar dari arah ruangan tamu, terdengar suara orang
mendengkur. Dengan nafasnya yang panjang pendek
mendesah-desah.
Satu persatu benda-benda yang menjadi peng-
halang telah mereka singkirkan. Laras Jingga bagaikan
seekor kuda putih yang jinak namun binal. Pandangan
matanya yang meredup seperti membakar birahi si
pemuda anak pembesar Kerajaan itu.
CRASS..! Kesepuluh jarinya telah membenam
ke dalam leher si pemuda bernama Linggih itu. Tam-
pak pemuda itu beliakkan sepasang matanya. Tubuh-
nya meronta menahan rasa sakit yang luar biasa. Se-
pasang kakinya menggelinjang seperti berusaha mena-
han sesuatu yang mau meronta keluar dari raganya.

Lidahnya sudah segera terjulur. Tidak berapa lama ge-
rakan kaki dan gelinjang tubuhnya mulai mengendur...
dan selanjutnya sudah semakin lemah. Sesaat kemu-
dian tubuh itupun terdiam tak bergeming untuk sela-
ma-lamanya. Laras Jingga lepaskan terkaman jari-jari
tangannya di leher Linggih. Segera memancur deras
darah merah bagaikan menggelegak tiada henti. Seke-
jap saja bantal dan tilam itu telah menjadi merah ber-
simbah darah. Bibir wanita muda ini tampilkan se-
nyum dingin. Wajahnya tak berubah sedikit pun. Ke-
mudian dengan cepat ia sudah beringsut turun dari
pembaringan. Dan sambar kain selimut untuk mem-
bersihkan jari-jari lengannya. Sebat sekali ia telah ra-
pihkan kembali pakaiannya. Lalu berdiri dan bereskan
rambutnya. Kelambu sutera segera ia tutupkan menu-
tupi tubuh Linggih yang sudah menjadi mayat itu. Ke-
mudian setelah tatap sebentar tubuh  laki-laki itu, ia
segera beranjak menghampiri jendela kamar. Dengan
gerakkan tangannya, jendela sudah segera terbuka.
Sekejap kemudian tubuh wanita muda itu telah berge-
rak melompat keluar, dan berkelebat lenyap dikere-
mangan malam yang semakin melarut...

* * *

Menjelang pagi di penginapan itu telah terjadi
kegaduhan. Karena pelayan penginapan telah da-
patkan Lingga dan Linggih kedua anak pembesar Kera-
jaan itu, telah tewas menjadi mayat, dengan keadaan
mengerikan. Dengan leher berlubang serta tulang yang
remuk. Seperti dicengkeram jari-jari tangan. Berita se-
gera menyebar ke setiap pelosok. Betapa gusarnya
sang pembesar kerajaan mengetahui kematian kedua
anak laki-lakinya. Segera menitahkan kepada pengaw-

al Kerajaan untuk menangkap gadis yang ciri-cirinya
telah diketahui. Beberapa maklumat tertulis dengan
huruf-huruf besar untuk menangkap hidup atau mati
wanita bernama Laras  Jingga. Yang ciri-cirinya dida-
patnya dari si pelayan penginapan itu. Bahkan bebera-
pa orang yang menginap di penginapan itupun telah
mengenal siapa adanya wanita berbaju hitam itu. Ten-
tu saja ada imbalan besar bagi siapa yang dapat mem-
bawa hidup-hidup atau bangkainya sekalipun.
Demikianlah... Hingga tatkala Roro Centil meli-
hat seorang wanita tengah di kurung oleh belasan
orang bersenjata telanjang itu, Laras Jingga memang
sedang di incar nyawanya demi merebut hadiah bagi
siapa yang dapat menangkap hidup-hidup atau mem-
bawa bangkainya... untuk dipersembahkan pada sang
Pembesar Kerajaan Sriwijaya. Empat orang tampak
mulai menerjang maju. Golok dan pedang meluncur
deras dari beberapa jurusan. Akan tetapi gerakan si
wanita itu memang lincah. Dengan wajah kaku dan
sepasang mata seperti tak berkedip. ia mengegos kesa-
na-kemari. Dibarengi gerakan lengannya berkelebat.
Sekejap saja terdengar teriakan-teriakan ngeri... Dan
keempat penyerangnya telah roboh terjungkal dengan
leher-leher kena dicengkeram hancur. Dalam sesaat
saja keempat penyerangnya itu telah berkelojotan me-
regang nyawa.
"Hebat..!" Mendesis Roro Centil dengan suara
perlahan. Gerakan wanita berbaju hitam itu membuat
ia terkejut, karena seperti ia telah mengenal gerakan
dari jurus keji itu. Karena itu adalah salah satu dari
jurus si Dewa Tengkorak. Yaitu pecahan dari "Sepuluh
Jurus Pukulan Kematian".
Ada hubungan apakah wanita muda ini dengan
si Dewa Tengkorak.? Berkata Roro dalam hatinya.

Ia sudah menduga bahwa si wanita itu adalah
salah seorang dari musuh besarnya. Karena siapa lagi
yang diwarisi jurus-jurus keji itu kalau bukan gundik-
gundiknya si Dewa Tengkorak..?
Tapi Roro memang berfikir agak panjang. Kare-
na melihat gadis itu masih berusia sangat muda, Roro
jadi ragu. Sekiranya ia adalah salah satu dari gundik si
Dewa Tengkorak, sudah pasti usianya dua kali lipat
usia gadis dihadapannya ini. Mungkin pula gadis ini
murid salah satu gundiknya si Dewa Tengkorak. Tapi
belum dapat dipastikan kalau guru gadis itu adalah
pembunuh dan pengeroyok gurunya. Demikianlah...
Roro Centil belumlah bertindak untuk keluar dari tem-
pat persembunyiannya. Ia cuma perhatikan dari balik
pohon.
Sementara itu, melihat lagi-lagi empat orang
kawan dan para pengeroyok itu roboh dan tewas seca-
ra mengerikan, yang lain-lainnya mulai merasa gentar.
Akan tetapi sebaliknya si gadis berbaju hitam itulah
yang menerjang mereka seraya keluarkan bentakan-
bentakan keras yang menggetarkan jantung... Hebat
akibatnya Karena ketujuh orang pengeroyokannya itu
jadi seperti terkesima. Dan belum lagi mereka sadar
akan apa yang terjadi, tahu-tahu tubuh si wanita itu
telah berkelebatan menerjang kesana-kemari. Dan tak
ampun lagi, terdengarlah teriakan-teriakan ngeri yang
berkumandang di siang hari itu. Batang-batang tubuh
mereka bertumbangan bagai batang-batang pohon
yang ditebang. Dan jatuh berkelojotan meregang nya-
wa. Darah memuncrat disana-sini. Di mana bayangan
hitam itu berkelebat, pasti akan terdengar pekik men-
gerikan. Hingga dalam beberapa saat saja, ketujuh
orang pengeroyoknya sudah bergelimpangan tak ber-
nyawa.

Roro terpaku di tempatnya. Diam-diam hatinya
membatin... Ada permusuhan apakah si wanita muda
ini dengan para pengeroyoknya..? Aku dapat berpihak
pada siapa-siapa, karena belum mengetahui persoa-
lannya..! Demikian berfikir Roro Centil. Akan tetapi
pada saat itu menoleh ke belakang. Tampak debu
mengepul dari kejauhan. Semakin lama semakin de-
kat. Tiba-tiba sekali memutar tubuh, si gadis berbaju
hitam itu sudah berkelebat pergi ke arah sebelah ti-
mur. Roro Centil melompat untuk mengejar. Tapi su-
dah terdengar bentakan, dan disusul oleh berhambu-
rannya anak-anak panah meluruk ke arahnya. Ter-
paksa Roro menggunakan kibasan rambutnya meng-
hantam jatuh puluhan anak-anak panah itu. Yang se-
gera berhamburan terpental, patah-patah.
"Kurang ajar..! Jangan harap kau dapat melari-
kan diri, perempuan siluman..!" Terdengar bentakan
keras. Dan disusul oleh berkelebatnya dua sosok tu-
buh menghadang di depan Roro.
Kedua orang itu berpakaian perwira Kerajaan.
Yang seorang bertubuh tinggi kekar, dengan kumis
tebal menutupi mulutnya. Seorang lagi berwajah ber-
sih, tanpa kumis dan jenggot. Usianya sekitar 40 ta-
hun. Salah seorang sudah mencabut senjatanya, yaitu
sebuah tombak pendek, dengan ujungnya seperti se-
buah golok tipis, yang pada bagian sisinya terdapat ti-
ga lekukan berujung runcing, mirip mata gergaji, se-
dang pada bagian sebelahnya lagi berbentuk meleng-
kung pipih. Itulah bagian yang tajamnya. Pada pang-
kalnya terdapat seuntai benang-benang merah. Itulah
senjata yang dinamakan Tombak Naga Dewa. Si pemi-
liknya bernama Lembu Sura, seorang panglima kera-
jaan Sriwijaya yang termasyhur. Laki-laki tanpa kumis
dan jenggot, bertubuh jangkung kurus itu sudah

membentak dengan suara dingin.
"He..! Bocah perempuan..! Pantas kau sudah
punya nyali macan. Rupanya ada berilmu juga kau!
Hmm... sebutkan siapa dirimu, sebelum kau kutang-
kap untuk mempertanggungjawabkan perbuatan do-
samu..!" Sementara si kumis tebal itupun sudah men-
geluarkan senjatanya sebuah kebutan, yang bergagang
runcing. Sedang kebutan itu sendiri panjang dan te-
balnya sangat mirip dengan ekor kuda. Orang inipun
bukan orang sembarangan. Karena ialah yang dijuluki
si Kebutan Dewa Maut. Namanya sendiri adalah Datuk
Raja Guru. Roro Centil agaknya ingin tahu juga akan
kedua orang perwira Kerajaan ini. Tentu saja ia tidak
takut, karena tak merasa bersalah. Ia sudah lantas
berkata; "Aku yang rendah bernama Roro Centil..!
Kaum rimba Hijau menyebutku Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan..! Ada urusan apakah gerangan kalian
orang-orang Kerajaan memusuhi ku...? Herannya aku
sendiri tak mengetahui apa kesalahanku..!" Tentu saja
kedua orang dihadapannya itu jadi melengak.
Sementara itu sepuluh orang prajurit berpanah,
telah mengurung Roro, dengan panah-panah siap dile-
paskan dari busurnya. Mereka membentuk lingkaran,
dengan masing-masing berada di atas punggung kuda.
Roro Centil cuma palingkan sedikit kepalanya ke kiri
dan kanan. Dan tampak ia perlihatkan senyum juma-
wa. Lembu Sura yang bersenjatakan tombak Naga De-
wa itu tampak kerutkan alisnya, seraya berujar...
"Roro Centil Pendekar Wanita Pantai Selatan.. ?
Hm..." Tampak Lembu Sura manggut-manggut. Dan
teruskan kata-katanya. Juga perkenalkan siapa di-
rinya. "Aku Lembu Sura dan kawanku ini Datuk Raja
Gur...!"
"Kau dari tanah Jawa, bukan..? Aku banyak

mengetahui nama-nama di pulau Kelapa itu. Tapi aku
jadi tetap curiga padamu, nona..! Jangan-jangan kau
bersekongkol dengan iblis perempuan yang kucari itu.
Memang dari tanda-tandanya, kau bukanlah wanita
buronan yang sedang dicari hidup atau mati itu. Akan
tetapi kecurigaan ku beralasan..!"
"Apakah alasannya.. ?!" Tanya Roro memotong
kalimat.
"Di tempat ini hanya ada kau seorang. Dan
bangkai-bangkai manusia ini sudah suatu bukti besar
untuk menuduh mu. Karena mereka ini adalah orang-
orang yang diutus oleh Panglima Kerajaan Sriwijaya,
itu Panglima Agung Tunggal Sewu Seta. Kalau bukan
kau pembunuhnya, bisa juga wanita buronan itu, yang
sengaja kau sembunyikan di belakangmu..!" Berkata
Lembu Sura.
Roro Centil jadi melengak juga mendengar tu-
duhan itu. Tapi ia tetap bersabar untuk lakukan per-
tanyaan. Karena akal cerdik Roro segera berkembang.
Keadaan yang membahayakan dirinya itu, justru akan
diambilnya keuntungan hingga ia dapat mengetahui
persoalan sebenarnya.
"Hi hi hi... Alasan itu memang dapat diterima.
Mencurigai orang itu memang boleh. Akan tetapi jan-
gan menuduh dulu sebelum terbukti. Bolehkah aku
tahu, apakah kesalahan wanita buronan itu..?" Tanya
Roro.
"Hm... kabar sudah santar terdengar. Masakan
kau tak mengetahuinya ? Wanita itu telah membunuh
dua orang pemuda bernama Lingga dan Linggih. Kedu-
anya adalah putera Panglima Agung Tunggal Sewu Se-
ta...!" Menyahuti Datuk Raja Gur alias si Kebutan De-
wa Maut. Lembu Sura manggut-manggut, seraya tatap
wajah Roro dengan tajam. Adapun Roro Centil agaknya

belum merasa puas dengan jawaban itu.
"Membunuh orang, tentu ada alasannya. Seper-
ti kalian juga yang mau menangkapku, tentu memakai
alasan atau dalih atas kesalahan dari orang yang akan
kalian tangkap. Tentunya tuan-tuan yang terhormat
dapat membeberkan dengan dalih apakah maka sam-
pai terjadi pembunuhan itu..!" Berkata Roro dengan
tandas dan tegar. Tentu saja wajah kedua orang perwi-
ra Kerajaan itu jadi merah. karena mana mungkin me-
reka menceritakan peristiwa di penginapan itu.
Yang tentunya akan menjatuhkan nama pan-
glima Agung Datuk Sewu Seta. Pada saat itulah ter-
dengar suara serak bagai tempayan rengat, diiringi
dengan suara tertawa terkekeh-kekeh.
"He he he... he he... Siapa yang tidak kepincut
melihat seekor kuda putih bertahi lalat di bawah hi-
dung, untuk menungganginya.. ? Dua orang pemburu
yang gagah berani itu telah mengajaknya berlayar ke
pulau Nirwana. Kalaupun harus membayarnya dengan
nyawanya, rasanya juga tidak penasaran...'"
Tentu saja kedua perwira Kerajaan itu jadi ter-
kejut bukan main. Ketika mereka palingkan kepala,
ternyata seorang kakek bertubuh bulat mirip bola se-
dang enak-enak duduk ongkang-ongkang kaki di atas
dahan pohon yang tinggi.
Roro memang sudah mengetahui adanya ma-
nusia di atas pohon itu, sejak ia sembunyi dibalik po-
hon tadi. Akan tetapi ia pura-pura tak mengetahui.
Tapi diam-diam sudah waspada. Ada di pihak mana-
kah si manusia yang nangkring di atas dahan itu. Pi-
kirnya. Lembu Sura sudah keluarkan bentakannya.
Walaupun diam-diam hatinya jadi mencelos... karena
ia tak mengetahui akan adanya manusia di atas pohon
didekatnya. Seandainya seorang musuh, dan membo-

kongnya, tentu ia tak dapat berbuat apa-apa. Tapi di-
am-diam ia memaki juga dalam hati, akan ketidak je-
lian mata ke sepuluh prajurit yang di bawahnya, yang
sejak siang-siang juga tak mengetahuinya.
"Kurang ajar...! Turunlah kalau mau bicara...
sobat...!" Tampak Lembu Sura mengangkat tangannya.
Dan serentak sepuluh anak panah berlepasan melun-
cur bersiutan ke atas dahan. Manusia bulat itu meng-
gelinding jatuh bagai nangka busuk dari atas pohon.
Akan tetapi bagaikan bola karet, sepasang kakinya te-
lah menotol tanah... dan di lain kejap ia sudah berdiri
tegak dihadapannya. Dengan melompati dua orang
prajurit berkuda. Sementara kesepuluh anak-anak pa-
nah itu menancap di batang pohon. Roro perhatikan
wajah manusia bulat itu yang memakai jubah warna
hijau, dengan dada terbuka. Menampakkan daging di
dadanya yang menggembung bagai payudara. Ternyata
orang ini berusia sekitar lima puluhan tahun. Kepa-
lanya hampir disebut gundul, karena cuma ada bebe-
rapa helai rambut yang melekat di kulit kepalanya. Ro-
ro tak menyangka kalau si bulat ini menampilkan wa-
tak laki-laki hidung belang. Terbukti sebelah matanya
dikerenyitkan genit pada Roro. Namun Roro Centil me-
nanggapinya dengan tersenyum. Sementara itu diam-
diam Roro Centil mengucapkan terimakasih dalam ha-
ti, yang si manusia bulat ini telah membeberkan masa-
lah pembunuhan itu.
"Siapa kau..!? Mengapa kau berani bicara sem-
barangan..!" Bentak Lembu Sura. Si manusia bulat ini
cuma cengar-cengir seraya keluarkan kipas butut clan
anyaman bambu, dan sambil mengipas, ia menjawab
seenaknya.
"Ah, aku orang tak penting..! Mengapa harus di-
tanya nama segala. Akan tetapi memandang kipas bu-

tut dan anyaman bambu itu Lembu Sura dapat menge-
tahui siapa orang bertubuh bulat bagai bola itu.
"Hm... kiranya anda yang berjulukan si Dewa
Angin Puyuh itu? Bagus..! Aku ingin bertanya. Apakah
yang membuat anda mencampuri urusan ini..?" Tanya
Lembu Sura. Yang ditanya cuma tersenyum jumawa,
seraya sahutnya;
"Ah, sebenarnya bukan aku mau mencampuri
urusan tuan-tuan sekalian. Akan tetapi mulutku telah
jadi gatal untuk bicara, dan menjelaskan hal yang se-
benarnya. Apakah fakta yang aku katakan tadi menya-
lahi undang-undang? Hal seperti itu sudah tidak aneh
lagi. Jangan kata baru anak seorang Pembesar Kera-
jaan. Walaupun anak Raja sekalipun bisa saja terjadi
berbuat hal yang memalukan. Mengapa harus ditutup-
tutupi..? Mengenai tuduhanmu pada gadis ayu ini,
adalah tidak beralasan tepat menurut pendapatku!
Aku tidak berpihak pada siapa-siapa. Tapi berdasar-
kan fakta dari apa yang kulihat. Karena sedikitpun ga-
dis ini tak ada hubungannya dengan wanita buronan
bernama Laras Jingga itu. Kalau aku mau sejak tadi
sudah kutangkap gadis berdarah dingin yang jadi bu-
ronan pihak Kerajaan itu. Akan tetapi aku memang tak
mau mencampuri urusan siapa-siapa saja. Aku orang
bebas, tak berhak seorang pun mengatur aku. Seperti
juga sesuai dengan nama julukanku si Dewa Angin
Puyuh. Angin puyuh bebas bergerak. Tidak terikat oleh
apapun juga... He he he..!" Melengak Lembu Sura
mendengar kata-kata si Dewa Angin Puyuh. Tampak-
nya Lembu Sura tak mau berurusan dengan manusia
bulat ini. Ia sudah berkata tegas.
"Baik..! Ku cabut tuduhanku..! Akan tetapi ha-
rus ada syarat yang harus dipenuhi!"
"Apakah itu ..?" Bertanya Roro, yang sedari tadi

cuma jadi pendengar saja. Perwira Kerajaan ini berpal-
ing menatap Roro Centil.
"Syarat itu ialah, kau harus buktikan bahwa
kau tidak bersekongkol dengan wanita buronan itu.
Yaitu dengan bertarung melawan kami sampai sepuluh
jurus. Kalau dalam sepuluh jurus itu kau dapat jatuh-
kan senjata kami, barulah kau kuanggap bebas dari
segala macam tuduhan. Dan hal ini tak boleh ada
orang lain yang ikut campur..!" Berkata Lembu Sura.
Ternyata dalam hal main politik, perwira Kerajaan ini
sudah terkenal licin dan lihai. Sehingga pantas saja
kalau ia menjadi orang terkenal. Yang dengan senja-
tanya yang bernama Tombak Naga Dewa itu, pernah
ditakuti lawan, dan dikagumi kawan. Entah berapa
nyawa sudah melayang di dalam setiap peperangan...
"Wah..!? Syarat itu terlalu berat, apakah tidak
bisa diganti..?" Berkata si manusia bulat alias si Angin
Puyuh. Akan tetapi Roro Centil sudah menyahuti.
"Baiklah! Aku terima syarat itu..!". Si Dewa An-
gin Puyuh jadi garuk-garuk kepala tanpa bisa berbuat
apa-apa. Lembu Sura perlihatkan senyum dingin, se-
raya berkata;
"Bagus..! Tapi ingat, nona..! Kalau kau tak da-
pat lulus dari persyaratan ini, kau harus jadi tawanan
kami. Dan bersedia dibawa ke Kota Raja untuk diha-
dapkan pada Panglima Agung Tunggal Sewu Seta..!"
"Baik...!" Menyahut Roro Centil. Dan segera ia
sudah melompat mundur dua tindak. Lingkaran diper-
besar. Bahkan si manusia bulat Dewa Angin Puyuh
pun melompat ke sisi.
"Bersiaplah, Nona..!" Berkata Lembu Sura. Dan
ia sudah memberi isyarat pada Datuk Raja Gur alias si
Kebutan Dewa Maut. Yang segera bersiap dengan sen-
jatanya.

"Awas serangan..!" Teriak Lembu Sura. Dan
senjata Tombak Naga Dewa telah meluncur deras men-
garah leher. Sedang si Datuk Raja Gur menerjang den-
gan kebutan mautnya. Roro Centil pergunakan keta-
jaman indranya. Serangan mengarah leher itu dapat ia
egoskan dengan lekukkan tubuhnya ke belakang. Tapi
di belakang telah menyambar kebutan si Datuk Raja
Gur. Terpaksa Roro doyongkan tubuh ke samping.
Dengan gerak tarian "Bidadari Mabuk Kepayang". Dan
serangan jurus pertama itu gagal. Tapi di luar dugaan
sambaran kebutan si Datuk Raja Gur meluncur lagi
membersit ke arah pinggang. Ujung-ujung dari kebu-
tan ekor kuda itu sekonyong-konyong jadi mengeras
bagai kawat-kawat baja. Merasai adanya angin bersiut
disamping tubuhnya, Roro Centil telah gerakkan kepa-
lanya. Seketika saja rambutnya yang panjang itu telah
menyambar bahkan langsung menggubatnya. Datuk
Raja Gur perlihatkan senyumnya. Ia memang telah li-
hat kehebatan rambut Roro sewaktu menghantam
buyar anak-anak panah. Ia sengaja biarkan gubatan
pada kebutannya. Akan tetapi tiba-tiba ia telah sen-
takkan senjata kebutannya. Ia merasa yakin akan da-
pat menarik jatuh tubuh Roro. Akan tetapi alangkah
terkejutnya. karena justru ia sendiri yang kena ditarik.
Tentu saja ia tak mau lepaskan kebutannya. Hingga
detik itu juga tubuhnya telah terbawa melayang me-
mutar. Lembu Sura ternganga Tombak Naga Dewanya
segera membabat ke arah kaki Roro.
WESSS..! Terpaksa Roro lepaskan gubatan
rambutnya, untuk segera melompat menghindar. Pin-
tar juga si Lembu Sura ini..! Berfikir Roro Centil. Kare-
na kalau ia tak lepaskan gubatan rambutnya pada ke-
butan si Datuk Raja Gur, bisa-bisa ia jatuh terbanting.
Karena terbawa putaran... Mengetahui gubatannya le-

pas, si Datuk Raja segera imbangi tubuhnya yang me-
layang itu untuk dapat segera jatuh dengan kaki men-
jejak tanah terlebih dulu. Si manusia bulat Dewa An-
gin Puyuh menahan napas. Bahkan kesepuluh prajurit
itu seperti terkesima akan pertarungan tegang baru-
san.
"Hebat..!" Desis Lembu Sura. Ia sudah mengi-
rim lagi beberapa serangan beruntun. Ujung mata
tombaknya bagaikan kilatan-kilatan petir yang me-
nyambar, mengurung Roro. Sementara kawannya su-
dah melompat lagi ke tengah kancah pertarungan. Ro-
ro tampaknya agak terdesak, diserang sedemikian ru-
pa. Tubuhnya doyong ke kiri dan ke kanan menghin-
dari rangsakan hebat itu. Tapi anehnya setiap seran-
gan tak ada yang mengena pada tubuhnya. Sementara
si manusia bulat itu diam-diam jadi memuji kagum.
Karena ia sudah mengetahui kalau yang di lakukan
Roro adalah satu jurus tarian yang amat langka. Dan
baru kali ini ia melihatnya. Melihat si gadis itu berge-
rak sempoyongan tentu saja membuat girang si Datuk
Raja Gur. Ia sudah sambarkan kebutannya untuk me-
notok  dua kali. Tampaknya Roro tak mampu menge-
lak.  Dan ia sudah terkena totokan kebutan itu yang
sekonyong-konyong ujung kebutan itu menyatu. Ter-
dengar suara Roro Centil berteriak...
"Tahan..! Aku mengaku kalah..!" Tentu saja
Lembu Sura menghentikan serangan Juga kawannya
si Kebutan Dewa Maut.
"Bagus..! Kini kau tak dapat menolak untuk
menjadi tawanan kami..!" Teriak Lembu Sura. Sedang
si Datuk Raja Gur tertawa terbahak-bahak, seraya ka-
tanya...
"Ha ha ha... ha ha ... kiranya hanya demikian
saja kehebatan bocah perempuan bernama Roro Cen-

til. Julukannya sih bukan main... Pendekar Wanita
Pantai Selatan..! Tak tahunya dengan totokan Kebutan
Maut ku sudah mengaku menyerah. Ha ha ha... Sean-
dainya aku tak kasihan, dan mematuhi undang-
undang hukum, Pasti sudah kutotok jalan darah ke-
matianmu..!" Sambil sesumbar demikian si Kebutan
Dewa Maut ini bertolak pinggang di  hadapan Roro.
Dan ia sudah lantas berpaling pada para prajurit ber-
kuda itu. "Hayo! Tunggu apa lagi..! Ringkus dia..!" Se-
rentak saja dua orang melompat dari atas punggung
kuda. Salah seorang membawa tali laso. Dan selanjut-
nya Roro sudah diborgol tangannya ke belakang.
Si manusia bulat cuma bisa bengong, menyak-
sikan semua itu. Tadinya ia sudah memuji kehebatan
jurus aneh yang dipertunjukkan gadis ayu itu, akan
tetapi mengapa jadi berbalik ia kena totok dengan mu-
dah..? Ia jadi tak mengerti. Sementara Lembu Sura
cuma mendengus melihat si manusia bulat itu. Dan
tanpa berkata apa-apa segera giring Roro Centil untuk
dinaikkan ke atas kuda. Dan selanjutnya sudah ter-
dengar aba-aba. Derap kaki-kaki kuda segera terden-
gar. Kesepuluh prajurit Kerajaan itu bergerak memutar
kuda-kudanya, mengikuti salah seorang prajurit, yang
naik berdua dengan Roro, yang berada di bagian depan
dengan lengan terikat erat. Lembu Sura dan Datuk Ra-
ja Gur mencemplak kudanya masing-masing. Kemu-
dian memacunya untuk menyusul dari arah samping.
Dan mengapit Roro dari kiri-kanan. Si manusia bulat
itu cuma bisa menatap rombongan pasukan Kerajaan
itu dengan terpaku. Terdengar suaranya mendesis...
"Sayang... sungguh sayang..!" Namun tak bera-
pa lama kemudian si Dewa Angin Puyuh itupun sudah
berkelebat lenyap entah kemana...
Matahari semakin condong ke arah perbukitan,

ketika iring-iringan itu tiba di pintu gapura gedung be-
sar. Ternyata itulah gedung tempat tinggal Panglima
Agung Tunggal Sewu Seta. Roro sudah dibawa masuk
menghadap sang pembesar Kerajaan Sriwijaya itu. Se-
mentara sepuluh orang prajurit itu telah turun dari
kuda-kudanya, untuk beristirahat. Dengan diapit oleh
kedua perwira Kerajaan itu, Roro digiring masuk ruan-
gan. Dua orang penjaga memberinya jalan. Seraya me-
lakukan penghormatan, pada keduanya. Tak berapa
lama Roro sudah berhadapan dengan pembesar Kera-
jaan itu.
"Hmm! Bagus..! Inikah gerangan Iblis perem-
puan itu...?? Tanya si Pembesar Kerajaan. Sikapnya
tampak garang. Wajahnya merah padam seperti terba-
kar panas matahari.
"Duli tuan ku Panglima..! Hamba belum dapat
memastikan apakah wanita ini pembunuh berdarah
dingin itu. Akan tetapi hamba curiga padanya. Maka
terpaksa hamba tangkap dan kami bawa menghadap
tuan ku Panglima..!" Sepasang alis pembesar Kerajaan
berkerut menyatu. Ia sudah melangkah dua tindak un-
tuk memperhatikan wajah Roro.
Tiba-tiba ia bertepuk tangan tiga kali. Segera
saja seorang pengawal datang menghadap. "Pengawal..!
Coba bawa kemari tahanan sementara itu!" Berkata
sang Pembesar.
"Duli tuan  ku..." Dan pengawal itupun cepat
beranjak ke  ruang dalam. Tak berapa lama sudah
kembali dengan membawa seorang laki-laki berusia
sekitar 35 tahun Ternyata laki-laki ini adalah si pe-
layan penginapan itu
"He..! Pelayan penginapan..! Coba kau lihat dan
perhatikan baik-baik. Apakah wanita ini yang mengi-
nap di tempat penginapan mu..?" Tanya si Pembesar

Kerajaan. Tampak laki-laki itu menghampiri Roro. Lalu
dengan seksama memperhatikan wajahnya. Selang tak
berapa lama ia bungkukkan tubuh pada Panglima
Agung Tunggal Sewu Seta, seraya berkata;
"Ampun tuan ku...! Wanita ini bukanlah orang-
nya..! Hamba berani bersumpah dan bersedia menda-
pat hukuman bila hamba berdusta..!" Sang Pembesar
Kerajaan ini menatap Lembu Sura dan Datuk Raja
Gur, kedua bawahannya itu. Akan tetapi Lembu Sura
sudah melangkah tiga tindak menghampiri si Pembe-
sar Kerajaan, seraya berbisik perlahan. Tampak Pan-
glima Agung Tunggal Sewu Seta manggut-manggut. La-
lu perintahkan membawa kembali saksi tahanan se-
mentara itu. Lalu ia perintahkan dua orang pengawal
untuk memasukkan Roro ke dalam kamar tahanan.
Segera Roro Centil diapit untuk digusur ke kamar ta-
hanan. Diam-diam Roro Centil perhatikan setiap ruan-
gan yang dilewatinya. Sementara kedua perwira Kera-
jaan itu segera menuturkan jalannya penangkapan
atas tawanan itu. Ternyata Lembu Sura punya rencana
yang sudah diaturnya. Tampak si atasannya itu mang-
gut-manggut sambil tersenyum, dan menepuk-nepuk
bahu Lembu Sura seraya berujar;
"Bagus..! Bagus...! Kau memang berotak cerdas,
Lembu Sura. Baik..! Sebentar senja segera atur renca-
na itu. Dan aku serahkan semua pekerjaan ini pada-
mu..!"
"Hamba yakin pasti akan menampak hasil-
nya..!" Berkata Lembu Sura. Sang Panglima manggut-
manggut sambil tersenyum. Dan kedua perwira itupun
mohon diri.
Dalam keadaan lengan masih terikat. Roro di-
jebloskan dalam penjara. Gadis pendekar ini tampak-
nya tetap tenang-tenang saja. Ruang penjara itu bera-

da di bagian samping gedung. Dan punya wuwungan
terpisah. Namun sekelilingnya adalah tembok tebal
yang tinggi. Menjelang malam, tampak obor-obor mulai
dipasang.
Sementara diam-diam Roro membatin. Hm...
Aku yakin si wanita buronan bernama Laras Jingga itu
akan datang kemari..! Agaknya apa yang aku fikirkan
matang-matang itu, ternyata sama dengan rencana
yang diatur si Lembu Sura, perwira Kerajaan itu. Dan
ia sudah mempersiapkan kedatangannya untuk me-
nangkap wanita buronan itu. Tapi aku terpaksa harus
melindunginya. Karena kalau sampai ia tewas, akan
sulitlah aku mencari jejak musuh besar ku..! Titik-titik
terang sudah kudapatkan. Dan wanita buronan itu
adalah harapanku..! Demikian kata hati Roro.
"TUTUL..! Adakah kau disini..?" Desis suara Ro-
ro. Dan terdengar suara menggeram di belakangnya.
Roro tersenyum, dan berkata perlahan;
" Bagus...! Kelak aku memerlukanmu..! Kini bi-
arlah kau tak perlu menampakkan diri..!" Seraya ber-
kata, Roro sudah salurkan tenaga dalamnya pada ke-
dua lengan. Dan sekejap rantai belenggu yang mengi-
kat tubuhnya sudah putus. Kiranya tali laso yang
mengikat Roro telah diganti dengan rantai besi agar ti-
dak khawatir ia terlepas. Tapi nyatanya, sudah diganti
pun masih percuma saja.
Keadaan di luar tampak sunyi. Seperti seolah
tak ada seorangpun penjaga di tempat itu. Saat itulah
melesat sebuah bayangan hitam. Yang dengan berin-
dap-indap mendekati rumah tahanan tempat Roro
Centil disekap. Gerakannya ringan bagai burung
walet. Kiranya benarlah, yang datang itu tak
lain dari Laras Jingga, si wanita buronan itu. Tampak-
nya gadis muda ini merasa aman melihat situasi seki-

tar tempat itu. Akan tetapi begitu ia injakkan kaki di
pekarangan yang berhadapan dengan pintu kamar ta-
hanan. Tiba-tiba berhamburanlah anak-anak panah
meluruk ke arahnya.
Keruan saja Laras Jingga jadi terkesiap. Ia su-
dah segera bergerak melompat menyelamatkan diri.
Akan tetapi anak-anak panah itu bagaikan tiada ha-