Roro Centil 4 - Siluman Hitam(2)





seorang telah menyanggapnya ... dan memon-
dongnya diatas bahu, serta membawa tubuhnya
entah kemana. Kedua orang itu larinya tak berapa
cepat. Karena wajahnya tertutup topeng, cuma
matanya saja yang tersembul dari kedua lubang
di bagian depan itu, Roro tak dapat mengetahui
wajah orang. Mereka berdua tak mengeluarkan
suara, hanya memakai bahasa isyarat saja. Akan
tetapi Roro dapat mengetahui orang yang me-
manggul tubuhnya itu, seorang wanita. Tiba-tiba
ia mendengar suara bentakan keras... dan tahu-
tahu tubuhnya telah jatuh bergulingan. Entah
apa yang terjadi. Kiranya pada saat itu muncul
lagi sesosok tubuh, yang juga bertopeng dan ber-
pakaian serba hitam. Dan telah menyerang kedua
orang bertopeng itu. Mengapa mereka saling ter-
jang... ? Pikir Roro, yang dapat melihat dari sela-
sela jala. Tubuh wanita yang memanggul tubuh-
nya itu tampak telah berdiri lagi. Ternyata orang
bertopeng yang tadi menyerang kedua orang yang
menolongnya, adalah yang tadi telah menjebak
Roro. Dapat diketahuinya dari ujung topengnya
yang lancip seperti kukusan.
"Heh! Kalian kira dapat mengelabui mataku
dengan menyamar sebagai anggota Siluman Hi-
tam..?" Terdengar si Topeng lancip menggertak
dengan suara keras. Kedua orang yang tadi meno-
longnya itu tampak telah saling beradu pung-
gung, siap dengan senjata ditangan.
"Kita telah ketahuan..." Terdengar salah
seorang berdesis.

"Benar, buat apa kita memakai topeng..!"
Kata salah seorang, yang suara keduanya itu se-
perti berbisik-bisik. Dan serentak saja mereka ti-
ba-tiba melepaskan kedua topengnya. Terkejut
Roro Centil ketika mengetahui siapa adanya ke-
dua orang itu. Yang ternyata adalah, Sentanu dan
Roro Dampit. Kiranya mereka telah menyaru se-
bagai orang dari komplotan Siluman Hitam. Sepa-
sang suami isteri itu tampaknya tidak merasa
gentar dengan orang bertopeng lancip dihadapan-
nya. Tidak menunggu terlalu lama lagi Roro Dam-
pit telah lakukan serangan menerjang orang di-
hadapannya, dengan pedang telanjang.
Plak! Des! 
Hanya dua kali gerakkan tangan, pedang
ditangan Roro Dampit telah terlempar... Sedang-
kan sebuah pukulan telah membuat tubuh Roro
Dampit terlempar lima enam tombak. Sentanu
cepat memburunya dengan terkejut. Ia yang il-
munya masih jauh dibawah isterinya, mana
mungkin menghadapi orang sakti dihadapan-
nya...? Roro pun mengerti akan laki-laki itu, yang
boleh dikatakan tidak memiliki tenaga dalam,
hanya kepandaian biasa saja. Kelebihan Sentanu,
adalah keberaniannya, serta kepandaiannya da-
lam taktik bertempur. Karena memang Sentanu
bekas seorang prajurit Kerajaan, dan anak seo-
rang Senapati. Tapi menghadapi si manusia ber-
topeng lancip, yang telah berhasil menjebak Roro
Centil itu, rasanya akan bisa bernasib naas. Oleh
sebab itulah diam-diam Roro Centil mengirim su-
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com

ara melalui tenaga dalamnya ke telinga kedua
orang suami isteri itu.
Mendengar peringatan Roro, dari dalam ja-
la sutera, seketika keduanya saling berpandan-
gan.
"Ssst! Kak Sentanu, sebaiknya kita turuti
saja usulnya. Melawanpun tak guna. Aku yakin
Pendekar Roro Centil dapat membebaskan diri...!"
Berbisik Roro Dampit. Sentanu hanya anggukkan
kepala. Dan sekejap kemudian keduanya telah
bergerak melompat menyelamatkan diri. Tampak-
nya si topeng lancip yang tak lain dari ketua Si-
luman Hitam itu, tak berniat mengejar. Ia hanya
perdengarkan dengusan hidungnya. Dan berkele-
batlah ke arah dimana Roro Centil masih mering-
kuk di dalam jala dengan keadaan tertotok. Sekali
sambar ia telah angkat tawanannya ke atas pun-
dak, dan dibawa melesat pergi.

***

Tumenggung Harya Anabrang larikan ku-
danya dengan cepat. Penduduk desa Tepus cuma
bisa tatapkan matanya saja, melihat  sang Tu-
menggung yang membawa pulang anak laki-
lakinya dalam pangkuannya. Tinggalkan derap
kaki-kaki kuda yang semakin menjauh. Wajahnya
tampak merah padam. Kuda dipacu bagai dikejar
alap-alap dengan tujuan Sulang. Sementara Pra-
setyo cuma bisa berdiam diri  dengan menahan
sakit pada kakinya yang putus.

Tak dikisahkan dalam perjalanan. Gedung
sang Tumenggung telah kelihatan dari kejauhan
berada di tengah desa. Ketika derap kaki-kaki
kuda terdengar memasuki halaman gedung, bebe-
rapa orang sudah berlari menyambutnya.
"Selamat datang Kanjeng Gusti..." Salah
seorang sudah berikan kata-kata penyambutan
dengan hormat. Namun segera terkejut melihat
keadaan Prasetyo.
"Hah..!? Apakah yang telah terjadi..?" Ber-
teriak salah seorang dari penjaga-penjaga gedung
itu. Yang dengan segera menurunkan dan me-
mayang tubuh pemuda itu, untuk selanjutnya di-
bawa masuk ke dalam gedung. Tumenggung
Harya Anabrang sudah berikan perintahnya. 
"Kalian rawatlah, dia...." Berkata ia dengan
wajah masih tampilkan kelelahan. Dan selanjut-
nya ia telah melangkah cepat ke dalam gedung.
Pertama yang ia temui adalah seorang pembantu
wanita tua, yang cepat-cepat membungkukkan
tubuh di hadapannya memberi hormat.
"Mana Ndoromu..." Bertanya sang Tumeng-
gung. Yang dijawab dengan suara tergagap oleh si
pembantu wanita tua itu.
"Hamba... hamba tidak mengetahui kema-
na perginya Kanjeng Gusti..."
Terbeliak mata sang Tumenggung menden-
gar jawaban itu. Segera saja ia telah melangkah
cepat memeriksa kedalam kamar. Dan terlihatlah
keadaan pembaringan yang berantakan dengan
kasur dan bantal serta sprei yang tidak beratu-

ran. Terbersit satu dugaan yang membuat wajah-
nya semakin merah, dan terasa panas. Tiba-tiba
ia telah bergerak melangkah ke arah tempat me-
nyimpan perhiasan. Ternyata kotak berukir itu te-
lah terbuka diatas rak dinding. Sedangkan isinya
telah lenyap... Begitu pula uang perak dan emas
di bawah kasur telah ludes. 
"Keparrat...!" Teriaknya geram. Tiba-tiba ia
telah melompat keluar. Segera saja ia telah ceng-
keram sang pembantu pada baju di tengkuknya,
dan membentak keras.
"He...!? Mbok Kinah..! Apa kau benar-benar
tak mengetahui...?" Tentu saja hal itu membuat
sang pembantu ketakutan setengah mati. Tiba-
tiba belum sempat sang pembantu itu menjawab.
Telah terdengar satu teriakan dari kamar Pra-
setyo. Sang Tumenggung terkejut, ia sudah mau
bergerak melompat. Namun segera ia batalkan
maksudnya karena memikir tentu anaknya pasti
tengah sedang diobati lukanya. Namun alangkah
terkejutnya ketika melihat sang pembantu yang
baru saja dilepaskan cekalannya itu telah terkulai
dilantai dengan mulut keluarkan busa... Dan tu-
buhnya menggoser-goser ditanah, seperti tengah
sekarat. Ketika Tumenggung Harya Anabrang
memeriksa dan mengguncang-guncang tubuhnya,
ternyata pembantu wanita tua itu telah tewas. Ki-
ranya ketika tadi sang Tumenggung memeriksa
kamarnya, sang pembantu wanita tua itu telah
masukkan sesuatu pada mulutnya. Rupanya itu-
lah pel racun. Terkesiap seketika sang Tumeng-

gung Harya Anabrang. Kepanikan yang luar biasa
terbayang pada raut wajahnya. Bagaikan gila, ia
telah kembali melompat ke kamar Prasetyo dan
tendang pintu yang tertutup. Namun yang dili-
hatnya adalah benar-benar membuat ia hampir
gila saking terkejutnya. Pemuda yang putus ka-
kinya itu tampak tergeletak dengan kepala terjun-
tai disisi pembaringan. Sedangkan darah segar
tampak mengalir dari mata, mulut dan hidungnya
yang masih terus mengucur ke lantai.
"Prasetyooo...!" Berteriak Harya Anabrang
menyaksikan kejadian itu. Segera ia telah melom-
pat untuk memeluk anaknya. Dan mengguncang-
guncangkan tubuhnya. Namun seperti juga sang
pembantu tua itu, Prasetyo telah tewas. Gemuruh
detak jantung sang Tumenggung seperti mau me-
ledak dadanya. Rasa terkejut, sedih dan murka
bertumpuk menjadi satu. Kali ini tak ada air mata
mengalir turun dari pelupuk matanya. Namun se-
ketika wajahnya telah berubah menjadi beringas
menakutkan. Sekonyong-konyong ia telah berte-
riak sekeras-kerasnya. Suaranya terdengar serak
menakutkan. Dan tiba-tiba ia telah mencabut ke-
ris berlekuk tujuh dari pinggangnya. Dan ia su-
dah melompat dari jendela yang terbuka itu.
Tampak olehnya beberapa sosok tubuh baru saja
menyelinap dari sisi gedung. Bagaikan seekor sin-
ga terluka ia telah berkelebat mengejar. Dan yang
tampak, adalah orang-orangnya sendiri, alias
pengawal-pengawal yang ia percayakan untuk
menjaga gedung sepeninggalnya.

"Iblis-iblis keparat...! Jangan harap kalian
dapat tinggal hidup didepan mataku, kubunuh
kalian semua...!" Berteriak ia bagaikan halilintar.
Dan menerjang beringas dengan kerisnya. Tak
ampun lagi terdengar jeritan ngeri dari para anak
buahnya sendiri itu. Ketika dengan melompat ba-
gaikan kilat, ia telah dapat mencegat ke arah me-
reka yang mencoba menyelamatkan diri. Tiga so-
sok tubuh itu terjungkal. Gerakan Tumenggung
Harya Anabrang memang di luar dugaan, karena
dengan cepat telah mengejar ke arah ujung tem-
bok, dimana mereka lenyap... namun tiba-tiba ia
lompat kembali ke belakang. Dan sekali enjotkan
tubuh ia telah berada di atas tembok pagar ge-
dung. Dugaannya tepat. Mereka ternyata mem-
pergunakan cara main kucing-kucingan, dan
kembali lagi ke arah semula di samping tembok.
Tak dinyana Tumenggung Harya Anabrang telah
berpengalaman. Ia sudah putar tubuh terlebih
dulu... dan dari atas tembok pagar itu ia dapat li-
hat tegas orang-orangnya sendiri yang bergegas
menyelamatkan diri. Saat itulah ia telah kelua-
rkan bentakan menggeledek. Dan bagaikan seekor
kucing yang menerkam mangsanya, keris berle-
kuk tujuh yang telah telanjang itu segera dis-
arungkan ke setiap leher dan dada para iblis-iblis
pembunuh itu. Saat selanjutnya ia telah melom-
pat lagi keatas tembok pagar  gedung, dan putar
kepala untuk melihat sekelilingnya. Tiba-tiba
tampak olehnya beberapa sosok tubuh berkeleba-
tan disekitar gedung. Sosok-sosok tubuh hitam

itu terlihat mengenakan topeng pada wajahnya.
Terkesiap hatinya seketika. Dan teringat ia akan
ucapan Punta sebelum tewas.
"Keparat...! Mereka pasti komplotan Silu-
man Hitam itu. Apakah mereka telah menculik is-
terinya dan juga yang telah menguras harta ben-
daku...?" Desisnya dengan wajah pucat. Baru saja
mau melompat turun tiba-tiba berkelebat sesosok
bayangan hitam, sambil melemparkan sesuatu
yang menancap pada tembok dibawah kakinya.
Ternyata sebuah paku, yang pada ujungnya ter-
dapat lipatan kertas. Sosok tubuh itu telah lenyap
lagi ketika ia palingkan wajahnya. Cepat ia ber-
jongkok untuk mencabut paku itu.  Kembali ia
tersentak, karena paku panjang itu adalah senja-
ta rahasia yang telah membunuh Punta. Tanpa
pikir panjang ia telah melompat turun. Segera ia
buka lipatan kertas itu. Ternyata isinya sebagai
berikut :

"Tumenggung Harya Anabrang! Rasakanlah
kehancuranmu...! Isteri dan "anak" gadismu bera-
da d Gunung Butak! Mereka akan segera jadi kor-
ban-korban persembahan untuk Dewa Api! Silah-
kan datang untuk menyaksikan upacaranya..!"

"Keparrraaat!" Berteriak sang Tumenggung
karena marahnya. Tiba-tiba saja ia telah melihat
adanya api yang menyala dari dalam ruangan ge-
dung. Dan berturut-turut di beberapa tempat te-
lah berkobar api, yang membakar gedung milik-

nya di beberapa penjuru. Tersentak lagi hati sang
Tumenggung. Segera ia berkelebat masuk melalui
pintu belakang. Tampak beberapa sosok bayan-
gan hitam berseliweran di antara ruangan, dan
kembali menghilang tanpa bekas.
Brak!
Sesosok bayang hitam yang telah melompat
dari sebuah ruangan, menabrak jendela. Segera ia
melompat mengejar. Dan terjadilah kejar-kejaran
yang  mengelilingi setiap penjuru gedung. Geram
luar biasa Tumenggung, karena yang dikejarnya
benar-benar bagaikan bayangan siluman. Seben-
tar lenyap dibalik pintu. Tahu-tahu muncul di be-
lakangnya. Ia kejar ke belakang, telah lenyap lagi,
dan muncul di samping jendela. Gemeretak gigi
Harya Anabrang dibuatnya. Sementara itu api te-
lah kian membesar melalap tiang-tiang bangunan
gedung yang merambat terus ke atas wuwungan.
Tak berapa lama setiap kamar, dan ruangan telah
dikelilingi api. Tersentak hati Tumenggung Harya
Anabrang, ketika ia ingat akan jenazah Prasetyo,
ia sudah gerakkan tubuh untuk melompat ke
arah kamar puteranya. Akan tetapi sekonyong-
konyong terdengar suara tertawa berbareng di be-
lakangnya. Cepat ia palingkan kepala. Dan terli-
hatlah delapan sosok tubuh telah berdiri berbaris
di belakang gedung. Kesemuanya bertopeng dan
berpakaian serba hitam.
"Keparat....! Kuhancurkan kalian iblis-iblis
laknat..!" Ia sudah melompat lagi mengejar. Tapi
sekali bergerak, mereka telah kembali berpencar.

Namun kali ini ia telah menggerung keras, bagai
singa terluka.
"Moddar..!" Teriaknya, ketika itu juga keris
berlekuk tujuh itu telah minta korban lagi 
Brug...!
Salah seorang dari manusia-manusia ber-
topeng itu cuma perdengarkan teriakan pendek,
ketika tubuhnya roboh terjungkal. Dan ternyata
punggungnya telah tertancap keris sang Tumeng-
gung. Segera ia berkelebat melompat ke arah ro-
bohnya orang itu. Ia putarkan dulu kepalanya ke-
beberapa arah di samping gedungnya. Dan den-
gan cepat telah mencabut kembali kerisnya. Tiba-
tiba dengan gerak cepat ia telah buka topeng wa-
jahnya, dan betapa terkejutnya ia melihat siapa
adanya orang itu, yang tak lain dari salah seorang
tamtama yang mengawalnya tadi siang. Ia dapat
mengenalinya dari sebuah tompel sebesar jempol
di bawah pipinya.
Kedua tamtama itu memang dititah oleh Ki
Demang Pamotan untuk mengawalnya.
"Setan laknat...!" Berteriak Harya Ana-
brang. Ia benar-benar tak mengerti akan semua
ini. Saking kesalnya ia telah sambar tengkuk
mayat itu. Tak dinyana tenaganya terlalu besar,
sehingga baju hitam si orang bertopeng itu koyak
terbuka. Lagi-lagi ia dibuat terkejut, karena meli-
hat sebuah "tato" pada punggung si tamtama. Yai-
tu yang menggambarkan lambang kepala tengko-
rak. Itulah lambangnya dari para perompak-
perompak di Tanjung alap-alap. Yang belum lama

berselang dan baru beberapa pekan ini ia baru
kembali dari menumpas para komplotan pemba-
jak tersebut disarangnya.
Tak habis pikir Tumenggung Harya Ana-
brang, akan kenyataan-kenyataan semua ini.
Namun ia tak dapat berfikir lebih jauh, karena ia
jadi terkesiap melihat api yang telah berkobar se-
makin membesar membumbung tinggi, memba-
kar gedungnya. Detik itu juga ia segera teringat
akan jenazah Prasetyo. Ia sudah segera akan me-
lompat ke sana. Namun terlambat sudah... Api
yang kian membesar itu telah menambus seluruh
ruangan, termasuk kamar Prasetyo. Terkesiap ha-
ti sang Tumenggung. Seketika dengkulnya terasa
lemas. Tatapan matanya dialihkannya ke tanah.
Sementara dua tetes air mata telah menitik turun
membasahi pipinya. Harapannya untuk menye-
lamatkan jenazahnya saja sudah punah. Apalagi
nyawanya. Yang telah melayang terlebih dulu.
"Oh. Tuhan... Apakah dosaku geran-
gan...?!" Berteriak ia sekuat-kuatnya. Namun sua-
ranya seperti tersekat di kerongkongan. Laki-laki
perkasa ini tertunduk menggebrak tanah. Ia cuma
bisa pandangi api... dan api! Yang melulu terlihat,
dengan suara gemeretak melalap atap gedungnya.
Hawa panas yang luar biasa terasa membuat tu-
buhnya seperti terpanggang. Keringat mengucur
semakin deras membasahi sekujur tubuhnya. Lu-
luh lantak hatinya... dan hancur lebur perasaan-
nya, seolah ia sudah tak berpijak lagi di atas bu-
mi, memandang kenyataan itu. Isteri... anak..

harta benda... Dan semua yang jadi kebanggaan-
nya telah punah dalam sekejap mata...! Langit se-
perti berubah merah, karena cahaya merah dari
kobaran api, yang tengah melalap habis gedung
sang Tumenggung. Percikan lelatu seperti ribuan
kunang-kunang yang berterbangan di udara. Na-
mun sang Tumenggung sudah tak memperhati-
kan itu lagi. Ia balikkan tubuhnya untuk melang-
kah pergi. Entah mungkin seandainya orang-
orang bertopeng itu muncul menyerangnya, ia
pun tak akan lagi mengetahui, juga memperduli-
kannya. Karena tatapan matanya adalah tatapan
hampa. Langkahnya adalah langkah gontai. Keris
berlekuk tujuh ditangannya sudah jatuh tanpa ia
mengetahuinya lagi.
Beberapa pasang mata penduduk yang
berkerumun melihat kebakaran besar itu, sudah
tak diperhatikan lagi. Seekor kuda tiba-tiba mun-
cul dari balik semak di sisi jalan yang dilalui...
yang ringkikkan sang kuda itu seperti menyadar-
kan ia akan dirinya. Nyaris saja menabrak sang
Tumenggung. Akan tetapi pada saat itu terdengar
suara teriakan seseorang.
"Aiiiii..!" Ia telah menabrak jatuh sang Tu-
menggung, yang lagi-lagi bernasib sial. Tampak si
dara jadi terkejut, dan cepat menghampiri untuk
menolong membangunkan orang. Seraya berucap
dengan kata-kata tergagap:
"Oh, maaf... aku tak sengaja... Ka..Kanjeng
Ttt... Tu. Tumenggung...!" Segera ia sudah men-
gusap-usap pakaian sang Tumenggung, dan men-

gebutinya dengan selendang yang ia tarik dari le-
hernya. Kemudian tampak si dara montok itu
kembali menjura beberapa kali, sambil sang-
kutkan kembali selendangnya pada leher. Dan tak
ayal sudah putar tubuh untuk mengejar kudanya
yang mencongklang lari. Sang Tumenggung hanya
pandangi punggung si dara itu dengan geleng-
gelengkan kepala, sedang dihatinya ia memba-
thin. Mengapa berturut-turut ia bernasib naas.

6

PENJARA BERTALI itu cukup luas. Berde-
ret memanjang menghadap ke dalam ruangan goa
yang luas itu. Dinding-dinding wanita di dalam
kerangkeng besi itu, cukup membuat mereka ber-
jejalan, karena dua ruangan masih kosong. Me-
mang ada tiga kerangkeng di dalam ruangan itu,
yang cuma terpisah oleh jeruji besi. Masing-
masing satu pintu, dengan rantai gembok yang
membelit pada setiap pintu. Empat orang berto-
peng tiba-tiba masuk ke dalam ruangan goa, di-
ikuti seorang lagi yang membawa sesosok tubuh
terbungkus jala. Ketika tiba dimuka kerangkeng,
segera keempatnya terpecah menjadi dua bagian.
Dengan dua ke sisi kanan, dan dua ke sisi kiri,
seperti memberi jalan pada orang bertopeng yang
berada di belakangnya. Salah seorang yang berdi-
ri dekat sisi kerangkeng itu cepat bergerak untuk
membukakan pintu terali besi itu dengan kunci

yang selalu dipegangnya.
Orang yang memanggul sosok tubuh ter-
bungkus jala itu bertindak masuk, dan segera
melemparkan tubuh orang yang terbungkus jala
itu ke dalam kerangkeng. Selanjutnya telah ber-
tindak keluar lagi. Dan kembali si penjaga penjara
itu merantai pintu, dan menguncinya. Roro tahan
sakit pada tubuhnya yang menggabruk ke lantai
batu di dalam kerangkeng itu. Sementara belasan
pasang mata dari kerangkeng di sebelahnya me-
natap kearahnya. Perlahan-lahan Roro putar ke-
palanya untuk memandang keadaan sekeliling-
nya. Terkejut ia melihat gadis-gadis seusia den-
gannya tampak tengah tatapkan pandangan kea-
rahnya. Mata yang memancarkan harapan kosong
yang gemerlapan terkena cahaya api obor dari ke-
dua sudut dinding ruangan, dimuka kerangkeng
itu. Belum beberapa lama antaranya telah di-
panggul lagi masuk sesosok tubuh yang terbung-
kus di dalam jala. Upacara dilakukan seperti tadi,
yaitu masuk terlebih dulu empat orang bertopeng,
yang memberi jalan lalu sang penjaga penjara
membukakan pintu kerangkeng. Selanjutnya su-
dah melemparkan lagi sosok tubuh yang terbung-
kus jala itu. Dan kembali sang penjaga meran-
tainya. Roro Centil pentang mata melihat siapa
orang yang terbungkus jala seperti dirinya itu.
Yang persis menggabruk di sebelah depan tubuh-
nya. Membelakangi kerangkeng di hadapannya.
Ternyata orang itupun tengah pentang mata me-
natapnya. Begitu orang-orang bertopeng itu be-

ranjak pergi, tiba-tiba tubuh orang disebelahnya
itu gulingkan tubuhnya lebih dekat pada Roro,
seraya terdengar bisikannya.
"Sssst... Aku akan menolongmu... nona Ro-
ro..!"
Tapi yang diajak bicara cuma kerutkan
alis, karena Roro memang tak mengenal gadis
disebelahnya. Walaupun ia coba mengingat-ingat
sekian banyak wajah yang dikenal akrab maupun
di jalanan. Memang ada sekilas ia teringat akan
seseorang, yang wajahnya hampir mirip dengan-
nya. Apakah ia saudaranya..? Berfikir sesaat Roro
Centil, namun ia sudah perlihatkan senyumnya
sambil manggut-manggut dan menyahuti sambil
berbisik.
"Terimakasih... Eh, siapakah anda...?" Roro
sambung bisikannya dengan pertanyaan. Namun
gadis di hadapannya sudah tempelkan telunjuk di
bibirnya sebagai jawaban, karena pada saat itu ia
telah melihat seorang bertopeng yang berujung
lancip di bagian atas kepalanya. Entah dari mana
munculnya telah berada di ujung ruangan, dide-
pan kerangkeng dengan tongkat kepala tengkorak
di tangannya. Itulah sang ketua komplotan Silu-
man Hitam. Namun Roro belum mengetahui akan
siapa adanya orang itu. Pelahan digerakkan kepa-
la untuk melihat ke arahnya dari sela-sela benang
jala. Sepintas memang sang Ketua itu mirip den-
gan hantu saja layaknya. Karena dengan jubah
yang serba hitam, serta topeng yang menutupi
dan membungkus seluruh kepala sampai keram-

but yang cuma tongolkan kedua matanya saja da-
ri kedua lubang pada bagian muka. Tampak ia te-
lah ketukkan tongkatnya pada batu tiga kali, dan
terdengar suaranya yang serak bernada bengis.
"Mengapa tawanan yang paling istimewa
belum juga dibawa masuk...?!" Suara yang santar
itu terdengar sampai ke luar goa. Lapat-lapat ter-
dengar seperti suara orang menggerutu, yang di-
dengar oleh Roro dari sebelah dinding bagian be-
lakang penjara. Suasana memang hening, yang
tadinya agak ramai dengan suara keluhan dan
tangis kecil dari penjara disebelahnya, begitu me-
lihat adanya orang bertopeng lancip ini.
"Apakah yang dimaksud Ketua, tawanan
yang ini...? " Terdengar suara lapat-lapat itu.
"Mungkin juga... kenapa tak dibawa masuk
sekalian, malah ditinggal ke belakang!" Gerutu
suara lapat-lapat itu.
"Paling-paling dia kebelet untuk pergi
buang air, makanya ia tinggalkan tawanannya
disini, bikin kerjaan buat orang saja..!" Gerutu
dari salah seorang lagi. Kemudian kembali hen-
ing. Dan selang beberapa saat, tampak salah seo-
rang dari orang bertopeng itu memasuki ruang
goa dengan memanggul tubuh seorang gadis lagi.
Sudah tentu diawali dengan keempat orang ber-
topeng yang lebih dulu masuk. Dan seperti tadi
upacaranya gadis yang tertotok pingsan itupun
dilemparkan masuk ke dalam ruangan atau pen-
jara disebelahnya, yang masih kosong. Inikah ta-
wanan yang dikatakan istimewa itu...? Berfikir

Roro. Yang segera ia mengetahui gadis itu tak lain
dari Sawitri adanya. Tentu saja hal itu membuat
Roro Centil jadi terkejut, dan keluarkan desisan
dari mulutnya. "Aiiih... Dia pun tertangkap oleh
siluman-siluman keparat di Gunung Butak ini.
Entah bagaimana nasib si Tumenggung, dan pe-
muda bernama Prasetyo itu.." Roro Centil yang
memang masih belum dapat membebaskan pen-
garuh totokan ditubuhnya, segera cepat berfikir.
Dan selanjutnya telah berbisik lagi pada si gadis
disebelahnya.
"Katanya kau mau menolongku... Cepatlah
kau bebaskan totokanku...!"
"Aku... aku... hihi.. hi..." Tiba-tiba si gadis
di sebelahnya itu malah tertawa cekikikan.
"He...? Kenapa kau? Apanya yang lucu...?"
Berkata Roro dengan suara perlahan. Sementara
alisnya berkerut, tiba-tiba ia merasa agak menge-
nali suara tertawa itu. Gadis terbungkus jala itu
sudah menyahuti.
"Aku memang mau menolongmu, tapi aku
sendiri perlu pertolonganmu..." Berbisik si gadis
itu. Tentu saja kata-kata itu membuat Roro jadi
mengkal hatinya. Mau menolong orang, tapi ia
sendiri perlu pertolongan orang! Adalah sama
dengan bohong...! Memaki Roro dalam hatinya.
Akan tetapi ia sudah ajukan pertanyaan.
"Hmm, tadi kau belum jawab pertanyaanku
siapakah kau sebenarnya, dan dari siapa kau ta-
hu namaku..?!" Desis Roro dengan suara mende-
sis, karena takut terdengar oleh sang penjaga.

Sementara ia dapat lihat si orang bertopeng lancip
yang memakai jubah, dengan tongkat kepala
tengkorak itu sudah tak kelihatan lagi. Gadis dis-
ebelahnya itu cuma tersenyum saja, dan tidak
lantas menjawab. Ternyata ia adalah si dara mon-
tok yang tengah mengejar kudanya yang terlepas,
tadi siang... Dan menabrak jatuh sang Tumeng-
gung Harya Anabrang, di Sulang. Saat itu me-
mang dapat dikatakan sudah menjelang sore.
Namun keadaan di dalam ruangan goa itu, masih
tetap terang benderang, karena cahaya dari api-
api obor, tetap menyala di kiri-kanan dinding
ruangan goa.
Waktu makin terus merayap.... Pegunun-
gan Kapur seperti raksasa yang tengah tidur pu-
las, disinari cahaya mentari yang sudah mulai
condong. Keadaan di ruang atas yang tertutup
dengan pintu batu itu, ternyata masih tampak se-
perti tadi. Tubuh sang gadis itu telah terkulai.
Sementara sepasang mata sejak tadi telah terus
mengikuti dari sebuah ruang, tepat didepan sang
korban untuk sang Dewa api. Itulah sepasang
mata dari seorang wanita, yang berumur kira-kira
35 tahun. Tampak ia seperti turut tersiksa den-
gan melihat kejadian di depan matanya. Tiba-tiba
sebuah lubang persegi empat yang panjang dan
lebarnya sama telah terbuka dari balik dinding
ruangan dimana ia berada. Sesosok tubuh tiba-
tiba muncul dari dalam lubang di dinding itu,
yang orang hanya dapat masuk dengan mem-
bungkukan tubuh terlebih dulu. Itulah sang Ke-

tua Siluman Hitam yang bertopeng lancip dengan
sebuah tongkat berkepala tengkorak berada di
tangannya.
"Bagaimana dengan persembahan untuk
sang Dewa Api itu, nyonya Tumenggung...? Suatu
pertunjukkan yang sangat menarik bukan? Ha ha
ha., ha.... ha.... Itu baru pertunjukkan yang bi-
asa. Masih ada kelanjutannya. Nanti disaat ia su-
dah mau sekarat, akan ada lagi satu pertunjuk-
kan yang lebih menegangkan!" Berucap sang Ke-
tua dengan diselingi tertawa sinis. Ternyata wani-
ta di dalam ruangan itu adalah isteri Tumenggung
Harya Anabrang. Didalam ruangan itu penuh ber-
ceceran uang emas, dan perak. Bahkan tumpu-
kan-tumpukan buntalan dengan berbagai macam
perhiasan berserakan di tempat itu. Agaknya
ruangan itu adalah tempat penyimpanan Harta
Rampokan
"Nah, waktunya telah tiba...! Dewa Api se-
bentar lagi akan menerimanya sebagai korban!"
Berkata sang Ketua. Entah apa yang telah dilaku-
kannya, karena tahu-tahu telah menganga lagi
sebuah lubang di dinding ruangan itu. Dan segera
saja ia telah melompat ke celah pintu batu yang
bergerak itu. Dan selanjutnya, pintu batu itu
kembali menutup.
Kini sang Ketua Siluman Hitam telah bera-
da di ruangan tempat gadis itu terkulai dengan
tangan dan kaki terikat rantai belenggu. Tampak
wajah wanita itu terbelatak lagi lebih lebar. Kare-
na dilihatnya sang Ketua Siluman Hitam telah

buka jubahnya. Tampak punggungnya yang ber-
tato kepala Tengkorak. Dan ketika ia lepaskan to-
peng wajahnya, kemudian balikkan tubuhnya.
"Hah..!? Kau... kau..." Terdengar suara wa-
nita itu yang seperti terkejut.
"Benar...! Aku...! Aku adalah sang suami
yang telah kau tinggalkan! Kau tinggalkan, kare-
na aku orang yang miskin dan hina dina. Sehing-
ga tak berharga lagi aku dimatamu...! Dimata seo-
rang terhormat. Dimana kau adalah anak seorang
Pendekar Besar...! Aku tak dapat membahagia-
kanmu, makanya kau pergi delapan belas tahun
yang silam. Pergi tanpa kabar berita! Ternyata be-
nih dariku itu kau berikan pada si Maling Sakti.
Hingga ia tak menyangka kalau anaknya yang la-
hir adalah anakku...!" Rupanya kau kurang puas
juga dengan suamimu. Entah apa yang membuat
kau kurang puas, hingga kudengar kau tinggal-
kan lagi suamimu. Lima betas tahun aku menca-
rimu, ternyata kau sudah hidup senang dengan
suamimu yang baru. Yaitu si Harya Anabrang!
Heh! Seandainya ia tak merusak usahaku di Tan-
jung Awar-awar beberapa pekan yang lalu, mung-
kin aku telah dapat melupakan dendam yang
berkecamuk belasan tahun itu di dadaku. Aku
adalah Ketua dari Komplotan Bajak Laut yang
sudah menguasai daerah pesisir pantai Utara itu.
Gunung Butak adalah markas besarku..! Aku da-
pat berbuat apa saja tanpa ada yang dapat mena-
hanku. Aku sudah suruh bakar habis Gedung
kebanggaan suamimu. Dan Prasetyo anak dari

hasil pelarianmu dengan si Tumenggung itu juga
sudah kuterima laporannya. Ia sudah dibunuh
dan terbakar mayatnya. Lihatlah... Aku banyak
harta. Aku sepuluh kali lipat lebih hebat dari su-
amimu itu. Ha ha ha... ha ha..." Tampak wajah
sang Ketua itu merah padam.
"Lihatlah kini sang Dewa Api akan meneri-
ma korbannya...!" Berkata laki-laki itu yang su-
dah seperti bayi yang baru dilahirkan. Saat selan-
jutnya ia telah geluti sang korban. Panas api se-
perti menjilat-jilat tubuhnya namun Siluman Hi-
tam tampak tarikan tari maut, diantara peluh dan
darah. Manusia dapat lebih kejam dari pada see-
kor binatang, yang paling buas hanya karena
dendam dan sakit hati. Tiba-tiba terdengar teria-
kannya.
"Keparat..!" Dan sebelah lengannya meng-
hantam ke arah lubang di dinding ruangan. Ter-
dengar suara mengerikan. Dan dua sosok tubuh
terjungkal kebawah. Sebentar saja ia telah benahi
jubahnya. Dan melesat untuk melongok ke lu-
bang jendela. Terlihatlah di bawah sana dua so-
sok tubuh terkapar di bawah dinding batu Gu-
nung.
Pada saat itu terdengar suara hiruk pikuk
di ruangan bawah. Sang ketua ini cuma perden-
garkan dengusan di hidung. Sejenak ia tatap kor-
bannya yang sudah tak bergeming, karena nya-
wanya telah terbang dari jasadnya. Tanpa berkata
apa-apa, ia telah buka belenggu rantai di tangan
dan kaki sang korban. Untuk selanjutnya segera

ia pondong, dan lemparkan ke dalam lubang ber-
hawa panas itu. Terdengar si wanita terpekik nge-
ri, melihat kebiadaban orang di hadapannya.
Tampak sepasang mata wanita itu sudah bersim-
bah peluh dan air mata. Bibirnya terkatup. Bah-
kan ia sudah gigit bibirnya sampai berdarah. Per-
nyataan laki-laki dihadapannya itu benar-benar
mengguncang perasaannya. Terasa ia hampir gila
mendengar disebutnya Prasetyo sudah tewas di-
bunuh, dan dibakar mayatnya berikut gedung su-
aminya. Tiba-tiba ia berteriak histeris.
"Syiwo Langit! Kau bunuhlah aku...! Biar
kau puas. Jangan kau siksa aku di ruangan ini...!
Bunuhlah aku Syiwo Langit...!" Namun sang Ke-
tua Siluman Hitam itu hanya tertawa sinis. Sepa-
sang matanya memancarkan dendam yang amat
luar biasa.
"Justru aku tak akan membunuhmu. ka-
rena aku akan tunjukkan lagi di depan matamu
satu pertunjukkan serupa...! Aku ingin lihat apa-
kah, kau lebih cinta harta, atau lebih cinta anak-
mu... Sawitri...!"
"Hah!? Apa yang akan kau lakukan lagi
dengan anak itu...?" Terkesiap si wanita itu seke-
tika. Ia merasa benar-benar tengah berhadapan
dengan seorang iblis. Namun lagi-lagi sang Ketua
yang dipanggil Syiwo Langit itu sudah kenakan
lagi topeng wajahnya. Dan dengan segera ia su-
dah gerakkan besi panjang di sisi pintu batu. Se-
gera saja bergerit pintu itu terbuka, dan terlihat
undakan batu dibawahnya.

***

Sementara itu keadaan di ruang goa diba-
wa, tangga batu yang tiga ratus undakan itu telah
terjadi kericuhan. Kericuhan itu tak lain dari para
tawanan wanita yang terkumpul satu kerangkeng.
Kiranya seorang tawanan wanita, kembali telah
dimasukkan ke penjara berterali besi itu. Walau
tidak adanya Sang Ketua. Upacara untuk mema-
sukkan sang tawanan tetap didahului oleh empat
orang bertopeng. Hanya gerakan dan susunan ba-
risan orang bertopeng itu amat berbeda dengan
yang tadi. Kalau tadi dua orang dari keempat
orang pengawal itu kesisi kiri, dan dua lagi ke sisi
kanan. Kini keempatnya berdiri berbaris ke sisi
kiri semua. Memberi jalan pada seorang kawan-
nya lagi yang memondong seorang gadis berbaju
merah. Terkejut Roro, dan awasi wanita itu.
"Ah!? Roro Dampit telah tertawan juga..!?"
Berkata Roro Centil dalam hati. Sang penjaga
penjara agaknya tak memperhatikan akan ke-
janggalan itu, ia sudah beranjak dari tempatnya
berdiri, dan cepat membuka rantai gembok pada
pintu penjara yang terisi ke tiga belas wanita itu.
Namun begitu si pembawa tawanan memasuki
pintu, tiba-tiba keempat orang pengawal itupun
turut masuk. Salah seorang dengan gerakan ce-
pat telah merampas kunci di tangannya.
Brug..!
Sang penjaga tersungkur kedalam karena
di dorong oleh salah seorang dari para pengawal

itu, yang telah merampas kuncinya. Akibat keja-
dian itu, tentu saja telah terdengar jeritan ketaku-
tan dari para tawanan wanita sehingga menim-
bulkan kegaduhan. Salah seorang dari pengawal
itu kembali menutup pintu dengan cepat, namun
tidak menguncinya. Dan kembali menyuruk ma-
suk ke dalam sehingga kembali terdengar jeritan
beberapa wanita. Suasana segera menjadi gaduh.
Namun keempat orang pengawal itu, juga si pem-
bawa tawanan dan si penjaga penjara, Sudah ter-
lindung tubuhnya dari luar, oleh karena tertutup
oleh ketiga belas wanita itu.
Pada saat riuh itu, Roro tiba-tiba dibisiki
oleh si dara montok, yang menggulingkan tubuh-
nya lebih dekat pada Roro Centil.
"Sssst...! Cepat kau tolong aku dulu. Nanti
aku akan menolongmu melepaskan totokan di tu-
buhmu..!" Berbisik si dara montok. Lagi-lagi Roro
Centil dibuat heran dengan kelakuan orang. Na-
mun sang dara montok itu telah berkata lagi.
"Apakah jari-jari tanganmu dapat kau ge-
rakkan..." Roro cepat menjawab.
"Kalau jari tangan, aku masih bisa untuk
menggerakkannya. Namun kalau tangan dan kaki
aku tak dapat menggerakkan. Karena pengaruh
totokan orang bertopeng yang menawanku amat
aneh. Bahkan aku sedang mencari jalan untuk
membukanya..!" Si dara montok sudah menjawab
lagi.
"Bagus. Yang lainnya tidak begitu perlu.
Cepatlah kau gerak-gerakkan jari tanganmu un-

tuk menggelitik tubuhku pada bagian ping-
gang...!"
"Haa...?" Ternganga Roro, mendengar kata-
kata si dara montok. Segera saja ia sudah dapat
menerka siapa dara montok di hadapannya.
"Jadi... jadi kau Joko Sangit...?" Bertanya
Roro dengan belalakan matanya. Si dara montok
cuma cengar-cengir sambil berkata:
"Kalau kau sudah tahu ya sudah... Hi hi
hi..." Tertawa sang "dara" yang kenes ayu itu.
Tampakkan giginya dari sela-sela jala.
"Pencuri kau ya... ? BH ku kau curi. Dan
kotak perhiasanku pun kau bawa lari. Kemana
kau sembunyikan buntalan pakaianku...? Awas,
kalau tidak kau kembalikan tahu rasa kau." Ber-
kata lagi Roro Centil sambil perengutkan wajah-
nya.
"Aiiiiii... Kau sabarlah, sayangku... Semua
ini akan ku kembalikan. Tapi cepatlah kau turuti
perintahku, kalau kau tak mau dijadikan korban
buat si Dewa Api..!" Namun Roro sudah gerakkan
jari-jarinya untuk mencubit punggung orang.
"Adoooow..! Bukan kusuruh cubit, nona
manis... Tapi di gelitik!" Berkata si "dara" montok
itu, yang tak lain dari Joko Sangit adanya. Dan
detik selanjutnya sudah terdengar sang "dara
ayu" itu telah tertawa cekikikan karena pinggang-
nya di gelitik Roro Centil. Tentu saja suara terta-
wa gelinya tak begitu kentara, karena disebelah-
nya tengah terjadi kegaduhan. Kiranya si penjaga
penjara itu tengah dikerubuti oleh para wanita

tawanan itu sambil berteriak-teriak histeris. Be-
berapa orang sudah mengetahui kalau kerang-
keng itu tidak terkunci lagi, dan sudah berdesa-
kan untuk keluar. Akan tetapi pada saat itu.
Enam penjaga ruangan telah berkelebat ke depan
penjara. Mereka telah mengetahui akan adanya
warga Siluman Hitam palsu yang membuat keri-
cuhan. Segera salah seorang telah keluarkan ben-
takan.
"Heh! Penyaru-penyaru busuk! Kalian telah
masuk ke sarang siluman. Akan sulit bagi kalian
untuk bisa pergi dengan selamat...!" Namun ga-
dis-gadis tawanan itu sudah menyerbu keluar
dengan teriakan-teriakan riuh. Mereka berusaha
menyelamatkan diri untuk berlari keluar ruan-
gan. Akan tetapi dengan mudah, keenam penjaga
ruangan itu telah bergerak untuk menangkap
kembali para tawanannya. Pada saat itulah
keempat penyaru itu sudah lepaskan topeng pada
wajahnya. Dan menerjang ke enam pengawal
pengawal itu. Segera terjadi pertempuran. Semen-
tara si penjaga penjara itu tampak telah tewas.
Karena lehernya di jepit oleh sepasang ruyung-
nya. Dalam kerusuhan itu, ternyata telah mem-
buat kesempatan Joko Sangit yang telah memper-
gunakan ilmu tertawanya, dapat terlepas dari
pengaruh totokan. Yang segera saja dengan cepat
ia menjebol jala yang membungkus tubuhnya.
Dan cepat ia bergerak untuk membebaskan toto-
kan di tubuh Roro Centil. Yang segera turut meni-
ru Joko Sangit, menjebol jala sutera. Beruntung

tidak menemui kesukaran. Roro segera perguna-
kan tenaganya untuk membuka paksa pintu pen-
jara, dengan menendang pintu terali itu. Yang
langsung jebol dengan suara yang berisik. Roro
Dampit sudah terdengar berteriak:
"Adik Pendekar...! Syukurlah kau telah ter-
bebas..!" Dan iapun menerobos ke luar kerang-
keng dengan cepat. Roro Centil cepat menghampi-
ri. Dan akan halnya Roro Dampit, sudah segera
memeluknya dengan terharu seraya berbisik.
"Adik Pendekar..! Rindu sekali aku pada-
mu, adik.." Roro tepuk-tepuk pundak sahabat
baiknya, seraya berucap.
"Mana Sentanu...?" Yang segera Roro Dam-
pit palingkan kepala pada pertarungan. Satu sui-
tan nyaring telah ia perdengarkan, dengan mema-
sukkan dua jari tangan kemulutnya. Dan tiba-
tiba salah seorang dari orang-orang yang berpa-
kaian hitam itu, segera melompat ke arah mereka.
Orang itu memang Sentanu adanya.  Segera ia
menjura hormat pada Roro Centil. Akan tetapi be-
lum lagi Roro membalas, ia sudah gerakkan tan-
gan untuk menghajar jatuh seorang pembokong
di belakangnya. Terdengar teriakan ngeri, diba-
rengi dengan ambruknya tubuh di belakang laki-
laki itu. Jerit dari para wanita yang berhamburan
menyelamatkan diri itu, ditambah dengan beri-
siknya suara beradunya senjata, dan suara ben-
takan-bentakan, membuat suasana amat gaduh.
Dilain saat si dara montok itu, tiba-tiba telah me-
lompat ke dalam ruang yang agak gelap dimuka

penjara, dimana di sana ada anak tangga yang
menuju ke atas. Namun sebelumnya sempat bi-
sikkan kata-kata pada Roro Centil.
"Aku akan lihat ke ruangan atas. Apakah
dua orang kawanku berhasil masuk kesana dari
luar dinding gunung..!" Roro Centil cuma ke-
rutkan alis, tapi belum ia mengangguk, orangnya
sudah melesat ke sana. Akan tetapi, yang Roro li-
hat adalah telah terjadi ledakan tepat di hadapan
si Joko Sangit, dimana ledakan itu telah menim-
bulkan asap tebal. Sehingga keadaan di ruangan
itu dipenuhi asap kabut, yang membuat tidak ter-
lihatnya lagi sosok-sosok tubuh. Dan pada saat
selanjutnya terlihat oleh Roro dari kesamaran
asap kabut itu, yang bergerak ke arahnya. Orang
itu sudah berkata seperti memberi perintah atau
petunjuk.
"Hayo cepat kau tolongi wanita-wanita yang
lainnya untuk mengeluarkan dari ruangan ini..!
Aku akan menyelamatkan Sawitri...!" Berkata
orang itu. Tersentak Roro Centil begitu melihat
orang yang dikenal itu, ialah yang bernama Tung-
gul. Yaitu yang telah menyelamatkan Sawitri dan
Prasetyo. Sementara itu tanpa ada yang mengeta-
hui, sesosok tubuh dengan diam-diam telah me-
nyelinap masuk ke dalam sebuah ruang gelap di
dinding goa. Ia telah lepaskan topeng wajahnya,
karena mengganggu penglihatan matanya. Dida-
lam ruang itu segera ia dapat lihat sebuah lubang
yang hanya pas untuk meloloskan tubuh satu
orang. Tampak ia celingukan, sejenak seperti ta-

kut perbuatan diketahui orang. Dari seberkas ca-
haya sinar obor yang menempel di dinding goa
itu, yang samar-samar agak menerangi wajahnya,
diantara asap  yang mulai agak menipis, segera
dapat diketahui siapa adanya orang itu. Yang tak
lain dari Pragola. Pragola adalah salah seorang
dari ketujuh orang bertopeng yang selamat dari
pembantaian orang-orang Siluman Hitam, yang
dilakukan oleh Tunggul. Yaitu kawannya sendiri
yang telah berkhianat. Setelah dirasa keadaan
aman, cepat ia loloskan tubuhnya pada lubang
sempit itu. Yang segera tampak kembali menutup.


7

RORO CENTIL kali ini tak terkecoh. Ia se-
gera payang dua orang wanita untuk dibawa ke-
luar ruangan. Asap memang kian menipis. Lalu
kembali lagi untuk menyambar lagi dua wanita,
yang dengan gerakan sebat kembali ia bawa me-
lompat keluar. Sementara Roro Dampit baru saja
terbebas dari asap yang menghalangi matanya.
Begitu lihat Roro Centil, segera turut berbuat se-
perti ia. Yang kemudian dituruti juga oleh Senta-
nu. Segera masing-masing telah dapat mengenali
siapa kawan dan siapa lawan. Entah apa yang
terjadi. Karena dalam kekacauan itu, sang lawan-
pun ada juga yang turut membawa seorang gadis
untuk dibawa keluar. Tentu saja Roro Centil ke-

rutkan keningnya. Dan biarkan orang lewat di de-
katnya. Namun kakinya sudah memain. Dengan
sedikit julurkan ujung kakinya, si pembawa gadis
itu jatuh tersungkur. Namun sebelum tubuhnya
menggabruk mencium tanah, ia telah menyambar
tubuh sang gadis terlebih dulu. Keruan saja si
pengawal, alias orang Siluman Hitam itu jatuh
tersungkur sendirian. Dan ketika ia berusaha un-
tuk bangkit. Dengan satu jejakan kaki Roro Centil
membuat tubuhnya terlempar keluar beberapa
tombak, dengan  perdengarkan teriakan keras.
Saat itu Sentanu dan Roro Dampit muncul den-
gan masing-masing menenteng dua orang wanita
pada kedua lengannya. Segera Roro Centil men-
dahului keluar. Dan lepaskan tubuh gadis di len-
gannya. Begitu mereka berdua tiba didekatnya
Roro Centil segera berkata:
"Terimakasih atas bantuan kalian berdua.
Namun kumohon, segeralah kalian selamatkan
dulu sebahagiaan dari para tawanan ini ke tempat
yang aman. Sementara biar aku yang mengurusi
yang lainnya...!" Kedua orang suami isteri itu
anggukkan kepala. Dan terus berkelebat keluar.
Sentanu setengah menyeret dua orang gadis yang
diselamatkan itu. Untuk selanjutnya mereka se-
perti tengah menggiring ternak saja layaknya,
menarik dan mengajak mereka untuk selamatkan
diri ke tempat yang aman. Gadis-gadis atau wani-
ta-wanita yang tampak kesemuanya masih muda-
muda itu, segera berlarian ke satu arah yang di
pelopori oleh kedua suami isteri itu. Adapun Roro

Centil kembali berkelebat masuk. Tampak dua
orang telah bertarung melawan empat orang ber-
topeng. Sedangkan dua orang lagi telah terkapar
bermandikan darah, bercampur dengan tubuh-
tubuh beberapa lawan yang berkaparan. Roro
yang mengetahui kalau ada empat orang kawan
dari Roro Dampit dan Sentanu yang menyamar
sebagai anggota komplotan Siluman Hitam itu se-
gera dapat mengenalinya dari topeng yang tak di-
kenakannya lagi. Namun baru saja ia mau bertin-
dak membantu, sudah didengarnya teriakan si
dara montok, yang tak lain dari si Joko Sangit.
"Hai Roro, cepat kejar si penculik itu...!" 
"Siapa....?" Roro sudah berkelebat ke dekat
Joko Sangit.
"Penculik siapa...?!" Roro Centil mengulangi
pertanyaan.
"Penculik gadis bernama Sawitri itu...!" Ja-
wab si "dara montok" dengan cepat. Dan ia sudah
bergerak mendahului memasuki sebuah celah di
dinding goa itu, yang entah sejak kapan telah ter-
buka. Roro Centil berkelebat mengejar Joko San-
git, dan turut loloskan tubuh pada celah dinding
goa. Segera ia sudah lihat kawan di arah depan.
"Haiii! Tunggu dulu..!" Teriak Roro.
Joko Sangit menoleh sambil hentikan tin-
dakan kakinya.
"Apa maumu nona manis...!?" Berkata Joko
Sangit, dengan menatap keheranan. Adapun yang
ditatapnya juga tampilkan wajah heran. Yang se-
gera saja Roro berujar:

"Sawitri telah diselamatkan oleh seseorang
bernama Tunggul! Dia adalah kawan, bukan la-
wan. Karena aku tahu, dia adalah yang pernah
menyelamatkan Sawitri dari para penculik gadis
itu. Ia memang orang komplotan dari Siluman Hi-
tam. Tapi telah berbalik memusuhi mereka!" Ka-
ta-kata Roro terdengar tegas.
Membuat Joko Sangit kerutkan keningnya.
Tampak ia palingkan kepala ke arah yang akan
mengejar. Namun sudah terdengar ia menggeru-
tu.
"Huuu..! Makhluknya pun sudah lenyap!"
Katanya seperti orang mengeluh.
"Kau tidak tahu.. dialah yang telah melem-
parkan benda yang mengeluarkan asap itu, ketika
aku akan ke ruang atas...!" Berkata lagi Joko
Sangit. Terhenyak seketika Roro Centil, sejenak ia
berfikir dengan kerutkan alis. Lalu berujar: "Se-
baiknya kita menyelamatkan dulu wanita-wanita
yang lainnya. Dan membantu pertarungan ka-
wan-kawan si wanita berbaju merah itu." Roro
hentikan kata-katanya sebentar, dan cepat me-
lanjutkan:
"Eh... apakah kau telah mengenal wanita
baju merah itu?" Bertanya Roro.
"Maksudmu kedua suami isteri itu...?" Sa-
hut Joko Sangit. Roro Centil anggukkan kepala,
dengan menatap wajah orang. Karena menduga ia
telah mengetahui kedua sejoli itu. Sementara Jo-
ko Sangit telah jatuhkan pantatnya diatas batu.
"Aku sebenarnya tidak mengenal suami is-

teri itu, tapi mengetahui rencana yang telah dis-
usunnya. Yaitu mengajak empat orang kawannya
untuk menyaru sebagai komplotan Siluman Hi-
tam. Dengan berpura-pura membawa tawanan.
Padahal yang dibawa sebagai tawanan itu adalah
istrinya sendiri, oleh sang suami. Aku memang
ada punya maksud tertentu dengan melibatkan
diri masuk ke dalam sarang komplotan Siluman
Hitam. Sengaja aku  umpankan diri untuk bisa
tertawan... Tak dinyana yang menawanku bukan
saja menjeratku ke dalam jala, bahkan menotok
jalan darah pada tubuhku, hingga aku benar-
benar tak dapat berkutik..." Bertutur Joko Sangit.
Tapi segera ia sudah sambung kata-katanya.
"Oh, ya... Kukembalikan dulu benda mi-
likmu ini..!" Ujarnya, seraya merogoh celah ba-
junya, dan mengambil sesuatu yang terselip pada
ikat pinggangnya, pada bagian perut. Roro plen-
goskan wajahnya, karena Joko Sangit memang
agak keterlaluan, yang menyibak belahan bajunya
dari dada sampai ke bawah pusar, untuk mero-
goh benda itu. Yang rupanya agak merosot ke
bawah. Bahkan sepasang penutup payudara itu-
pun terlihat olehnya. Yang karena bentuknya
memang mirip dengan yang asli, mau tak mau
Roro sempat juga tersenyum. Dalam hatinya di-
am-diam membathin, pantas ia tidak mengena-
linya, karena disamping wajahnya memang berpo-
tongan bulat telur, juga berkulit putih dan halus.
Tentu saja mirip wanita. Apalagi ditambahi den-
gan gincu pemulas bibir, dan warna hitam untuk

penambah alis. Juga dengan dada yang montok
menonjol. Entah rambut palsunya ia dapat dari
mana. Karena setahu Roro, Joko Sangit berambut
tidak terlalu panjang.
Segera Joko Sangit berikan benda itu, yang
ternyata adalah kotak perhiasannya, yang me-
mang lenyap berikut buntalan pakaiannya. Keja-
dian itu adalah ketika kapal pesiar yang ditum-
pangi Roro dan Joko Sangit, diserang oleh para
perompak di Tanjung Awar-awar. Bahkan ia men-
duga benda miliknya itu sudah hilang tenggelam,
atau turut dirampok oleh para perompak laut
waktu itu. Tidak tahunya dicuri, atau mungkin
juga diselamatkan oleh Joko Sangit. Tadi sewaktu
di dalam kerangkeng, sengaja ia menggertak laki-
laki itu, dengan menuduhnya telah mencuri bun-
talan pakaiannya. Karena berdasarkan Joko San-
git telah memakai BH pemberian Gurunya, yang
entah mengapa ia agak malas memakainya. Ter-
nyata benarlah apa yang diduganya, tentu saja
diam-diam ia bersyukur, dapat menemukannya
kembali.
"Yang ini aku tak dapat mengembalikannya
sekarang..!" Berkata Joko Sangit, sambil menun-
juk ke dadanya.
"Nanti aku kembalikan semuanya, dan ku-
ceritakan peristiwanya, hingga kau tidak menu-
duhku sebagai pencuri... Mau kannnn..?" Lanjut-
nya, sambil kedipkan sebelah matanya pada Roro
Centil.
"Iiih... Genitnya minta ampun! Amit-amit..."

Berkata Roro Centil sambil tersenyum. Dan den-
gan cepat tanpa harus periksa lagi isinya. Roro
Centil selipkan kotak perhiasan itu ke balik ba-
junya. Tiba-tiba Joko Sangit cepat berdiri, dan
berkata:
"Ayo, kita bantu menyelamatkan wanita-
wanita itu...!" Seraya beranjak untuk kembali ke
celah dinding batu gunung itu. Roro yang me-
mang tadi berniat demikian, jadi teringat kalau
pekerjaannya tertunda. Segera merekapun berge-
rak ke sana.
Roro Dampit dan Sentanu membawa para
tawanan wanita itu, yang telah dapat disela-
matkan ke tempat yang aman. Yang ditujunya
adalah desa terdekat. Ketika melewati sebuah
tempat, mata si wanita baju merah yang jeli itu
dapat melihat sesuatu di sebelah kanannya kira-
kira tujuh delapan tombak. Ia yang memang be-
rada di bagian belakang, dalam iring-iringan wa-
nita itu, segera bisikkan perintah pada seorang
gadis didepannya.
"Cepatlah kalian berjalan. Sebentar lagi
sudah tiba di desa yang aman!" Yang segera gadis
itu kembali berlari menyusul yang lainnya. Se-
mentara ia sendiri berkelebat mendahului, mem-
buru ke tempat Sentanu yang berada di bagian
depan. Sebentar kemudian ia telah tiba disana.
"Kak Sentanu... Kau teruslah bawa mereka
ke tempat yang aman dimuka sana...! Aku akan
mengurusi sesuatu dulu. Sebentar aku akan me-
nyusul." Berkata Roro Dampit. Sentanu tampak

kerutkan keningnya tapi segera mengangguk. Wa-
lau tadinya ia mau bertanya tentang urusan yang
akan di selesaikan isterinya itu. Segera saja tu-
buh Roro Dampit berkelebat cepat kembali ke be-
lakang. Ketika tiba ditempat tadi, ia mengambil
jalan memutar dengan mata tetap ia arahkan pa-
da sesuatu yang tergeletak disana, pada jarak tu-
juh atau delapan tombak itu. Keadaan ditempat
itu memang tidak rata, karena ada tempat yang
rendah dan tinggi. Ditambah, hari sudah hampir
gelap. Tempat tergeletaknya benda dari sesuatu
yang mencurigakan itu adalah di bawah lamping
batu terjal, sedang pada bagian bawahnya tempat
lebat oleh semak dan pepohonan. Dengan gerak
kucing mengintai tikus, ia telah tiba di tempat itu,
yang dengan merayap sedikit, ia telah raih benda
itu. Itulah secarik kain yang sobek. Ia segera pa-
lingkan kepala ke beberapa tempat. Dan kembali
terlihat sobekan pakaian, di sebelah agak ke ba-
wah. Cepat, namun tanpa menimbulkan suara ia
merangkak kesana. Dan benarlah dugaannya. Ka-
rena dibalik lamping batu itu sudah terdengar
dengus napas yang seperti suara orang habis di-
kejar setan. Dan memanglah orang itu sendiri se-
tannya. Karena seekor srigala yang tengah men-
dengus liar tengah menyantap korban. Sepasang
kakinya yang berbulu lebat itu bergerak-gerak,
membuat Roro Dampit tahan napasnya. Pelahan
lahan ia sudah cabut keluar sepasang ruyungnya.
Sementara darahnya seperti mendidih melihat
kebiadaban makhluk srigala dihadapannya.

Tiba-tiba terdengar teriakan yang lemah la-
lu sepasang kaki pelanduk yang kecil itu tampak
bergerak mengejang, lalu terhentak-hentak seper-
ti tengah menahan kesakitan yang amat sangat,
atau juga tengah menghadapi sekarat. Tersentak
Roro Dampit, ketika melihat sepasang kaki pelan-
duk itu terkulai. Dan sang srigala tampak bangkit
dengan gigi dan taring-taringnya berlepotan darah
segar.
"Biadab..!" Terdengar teriakan keras Roro
Dampit. Dan.... 
Crep...!
Sepasang ruyungnya telah meluncur deras
dan menancap kedua-duanya pada tengkuk dan
punggung sang srigala buas itu hingga menembus
ke leher dan dada. Terdengar suara menggerung
keras. Hanya sekejap Roro Dampit telah menca-
but kembali sepasang ruyungnya. Maka terden-
garlah lengkingan sang serigala yang suaranya
terdengar bagai mau menembus langit. Dibarengi
dengan ambruknya tubuh sang srigala, dengan
darah segar berhamburan memuncrat... memer-
cik ke atas batu dan semak. Tampak sepasang
mata Roro Dampit telah kucurkan air mata, yang
meleleh di pipinya. Tapi alangkah terkejutnya ke-
tika tiba-tiba ia mendengar suara tertawa di bela-
kangnya.
Segera ia palingkan kepala untuk melihat.
Tampak tiga orang yang berpakaian dan berto-
peng hitam telah berdiri berjajar seperti tengah
menyaksikan kejadian yang seru itu, dan mem-

biarkannya berlangsung di depan mata. Salah
seorang sudah berkata dengan mendengus, tata-
pan matanya berkilat-kilat.
"Heh...! Singa betina ini agaknya lebih baik
dibanding dengan seekor kancil yang kemarin kita
dapatkan...!"
"Betul, sobat..! Aku setuju bila kita ingin
permainan yang unik dengan singa liar ini..! Setu-
juu...?" Berkata seorang lagi sambil membuka to-
peng wajahnya. Ternyata ia seorang bertampang
seram, karena dari bibirnya tersembul dua buah
gigi yang mencuat ke atas. Yang dua orang lagi
segera ikut membuka topengnya. Segera terlihat.
Yang seorang hidungnya somplak sebelah. Sedang
seorang lagi lebih seram. Karena ada goresan me-
lintang dari pipi sampai ke ujung dahi. Seperti
bekas luka bacokan senjata tajam. Tembusan lu-
ka itu sampai melewati biji matanya, yang tampak
melejit keluar. Roro Dampit bergidik ngeri melihat
wajah-wajah ketiga orang itu. Ia sudah bersiap-
siap dengan sepasang ruyungnya untuk mengha-
dapi segala kemungkinan. Tampak si gigi men-
cuat mengeluarkan sebuah cambuk dari kulit
kerbau. Sedang yang dua orang, satu mengelua-
rkan tambang yang digulung beberapa lingkaran,
dan satu lagi mengeluarkan clurit, yang tampak
berkilat terkena cahaya matahari di ujung bukit.
Karena jalan ke atas telah tertutup oleh ketiga
orang seram itu, Roro Dampit segera putar tubuh
untuk melompat ke bawah. Namun ketiga orang
itu dengan serempak telah berkelebatan menge-

jarnya.
"He he he... Mau lari kemana kau singa
liar...!" Si hidung somplak yang bersuara di hi-
dung itu lebih dulu mengejarnya. Tiba-tiba gulun-
gan tambangnya meluncur bagaikan tali laso saja
yang dipergunakan untuk menjerat kuda liar.
Rrrrrt...! 
Roro Dampit tak menyangka kalau tali itu
yang telah meluncur. Karena jalan yang menurun
itu agak curam, ia tak bisa leluasa untuk melom-
pat menghindar. Sehingga cuma sebentar saja ia
sudah kena terjerat tambang. Dan tanpa ampun
lagi tubuhnya telah terbanting ke tanah bergulin-
gan. Ketiga orang itu bagai baru menangkap see-
kor binatang buruan mengejar hasil buruannya
dengan suara tertawa yang tak enak untuk diden-
gar.
"Hebat, kau Ludira! Ayo cepat kau ringkus
dia..!" Berteriak si gigi mencuat sambil melompat
lebih dulu. Roro Dampit dengan menggertak gigi
berusaha bangkit, untuk lepaskan tali yang men-
jerat tubuhnya. Namun satu sabetan cambuk te-
lah membuat ia kembali terjungkal dengan peki-
kan menyayat
"Iblis keparat..! Lepaskan aku..!" Berteriak
Roro Dampit, sambil ayunkan ruyungnya mem-
babat kaki si gigi mencuat. Namun sekali ia lom-
pat, ia telah dapat menghindar. Tiba-tiba....
Rrrrrt..! 
Kembali tambang laso si hidung somplak
menyambar lengannya. Tak ampun lagi Roro

Dampi terpekik karena sebelah lengannya yang
memegang ruyung  telah kena terjerat lagi. Ter-
nyata tambang itu mempunyai dua penjerat pada
kedua ujungnya. Belum sempat ia berbuat sesua-
tu, si hidung somplak telah berkelebat turun un-
tuk selanjutnya ia telah berhasil meringkus Roro
Dampit, yang cuma bisa berteriak-teriak  dengan
wajah pucat pias. Selanjutnya ia telah pondong
tubuh sang korban meluncur turun ke bawah, di-
ikuti si muka codet yang tertawa berkakakan. Pa-
da sebatang pohon dibawah lamping bukit itu Ro-
ro Dampit di ikat dengan tangan ke belakang.
Dan kaki terpentang. Seperti orang tengah men-
jagal seekor kambing saja layaknya.
Bret! Bret! 
Dua kali tangan si codet bergerak ia telah
merobek pakaian si pengantin, yang baru berbu-
lan madu itu.
"Tidak..! Tidaaak..! Lepaskan aku!?... Le-
paskaaaan..!" Roro Dampit berteriak dengan wa-
jah pias. Sementara jantungnya berdetak keras.
Ia sudah tahu apa yang bakal terjadi dengan di-
rinya. Segera saja air matanya membanjir mem-
basahi kedua pipinya. Tampak ia seperti menyes-
al, mengapa ia tak menjadi seorang yang berke-
pandaian tinggi...? Mengapa...? Mengapa...?! Me-
mekik hatinya. Namun semua itu sudah terlam-
bat. Kenyataan itu telah ia hadapi.
Brat..! 
Kembali satu sentakan tangan si muka co-
det, telah membuat segala yang menghalangi

menjadi agak cerang. Dan satu sentakan sekali
lagi, dua bukit yang tegak menjutang melambai
untuk dijamah petani. Tangan si muka codet su-
dah mau bergerak lagi untuk membabat habis
ranting penghalang. Namun saat itu telah terden-
gar suara si gigi mencuat untuk menahannya.
"Tunggu dulu sobatku..! Cukup dulu sam-
pai di sini. Aku mau lihat kekuatan singa liar ini.
He he he., he he..."
Segera si muka codet menyingkir. Dan si
gigi mencuat telah putar-putarkan cambuknya di
udara. Selanjutnya...
Ctarrrr...! 
Terdengar suara keras yang memekakkan
telinga. Roro Dampit menjerit  histeris, ketika
ujung cambuk itu menjilat tubuhnya.
Ctarrrr...! 
Kembali ia menggeliat menahan sakit. Dua
garis memanjang tampak terlihat memerah dari
leher sampai ke bawah dada dan sebuah lagi me-
nyilang ke sisi... Terdengar si gigi mencuat terta-
wa berkakakan diikuti kedua kawannya.
"Aduuh... kau keterlaluan Trimbil, masa
batu pualam yang mahal harganya ini kau coret-
coret begini..? Biarlah aku yang menghapusnya..!"
Berkata ia sambil leletkan lidah. Roro Dampit ter-
pekik dengan belalakkan mata. Lidah yang terju-
lur itu ternyata benar-benar telah menghapus
semua impian indahnya bersama Sentanu.
"Tidaaak..! Tidaaak..! Tidaaak..!" Teriakan
Roro Dampit bagaikan auman seekor singa yang

mengerung kesakitan. Saat selanjutnya sudah
terdengar lagi suara iblis-iblis yang tertawa ber-
kakakan. Diiringi menggeletarnya suara ujung
cambuk yang menyentuh kulit.


8

Pekik mengerikan segera terdengar ketika
tubuh Pragola terlempar dari jendela diatas
ruang, yang tingginya tiga ratus undakan itu. Wa-
laupun tubuhnya terlapis dengan pelat baja tipis,
yang anti bacokan senjata tajam. Namun ia tak
dapat menahan terbangnya sang nyawa karena
sekejap saja batu-batu terjal dibawah dinding gu-
nung itu telah memangsa tubuhnya yang bagai-
kan mengkremus mentah-mentah tulang-
tulangnya. Tunggul memandang ke bawah dengan
geram. Sementara matanya menatap ceceran
uang emas dan perak, yang nyaris saja ludes di-
gondol si pencuri licik, yang memang sudah lama
mengincar "harta karun" di ruangan itu. Sean-
dainya ia tak memakai jalan-jalan rahasia, yang
dapat mencapai arah ke ruang atas, tak nantinya
ia dapat memergoki Pragola, yang telah berada di
ruangan itu. Dan tengah bergegas mengumpulkan
benda-benda berharga! Sementara wanita isteri
Tumenggung Harya Anabrang, cuma terpaku ba-
gai patung, berdiri di sudut ruangan.
Betapa terkejutnya si wanita ini tadi, ketika

mendengar pintu batu berderit. Dan sesosok tu-
buh telah bergerak masuk ke dalam ruangan
tempat ia terkurung, ia mengira yang datang ada-
lah Syiwo Langit. Tapi di luar dugaan, yang mun-
cul itu seorang laki-laki berambut keriting, yang
tak lain dari Pragola. Ia tak mengenal laki-laki itu,
yang hanya sekejap saja menatap padanya, tapi
selanjutnya sepasang matanya telah beralih pada
tumpukan harta benda, dan ratusan keping uang
mas, yang tercecer dalam ruangan itu. Sepasang
mata Pragola jadi bersinar gemerlapan. Bagaikan
mau melejit saja biji matanya keluar, ketika kila-
tan-kilatan uang logam emas dan perak dan tum-
pukan permata mutu manikam yang menyilaukan
pandangannya itu, seperti telah menyihirnya un-
tuk segera meraih dengan tangannya. Seperti hi-
lang akal ia segera meraup keping-keping berhar-
ga itu dengan tangan gemetaran... Dan jejalkan
pada saku bajunya. Setumpuk perhiasan yang
gemerlapan itu cepat ia raup dengan kedua tan-
gannya yang sebelum ia masukkan ke dalam ba-
junya, telah ia pandang terlebih dulu, seperti ten-
gah mengagumi akan keindahannya. Sehingga ia
tak mengetahui kalau pada saat itu sesosok tu-
buh telah muncul di pintu batu yang masih ter-
buka. Sesosok tubuh yang memanggul seorang
gadis. Yang tak lain dari seorang laki-laki berna-
ma Tunggul. Pelahan-lahan ia kembali menyeli-
nap dari pintu batu itu. Tapi hanya sesaat... ka-
rena sudah muncul lagi. 
Namun tanpa si gadis pada pundaknya. Ti-

ba-tiba sebelah lengannya terjulur menyambar
tengkuk Pragola, yang jadi tersentak kaget bagai-
kan orang terkena Strom saja layaknya. Namun
hanya sekejap. Karena sebelah lengan Tunggul
kembali telah bergerak untuk menotoknya, se-
hingga Pragola hanya mampu berteriak tergagap,
dengan tubuh tergetar hebat. Seluruh persendian
tubuhnya telah lemah lunglai.
Brug..! 
Ia telah bantingkan tubuh Pragola ke lan-
tai, yang sudah tak dapat berkutik lagi dan jatuh
menggeloso bagai sehelai kain. Sementara sang
isteri Tumenggung cuma bisa katupkan bibir,
dengan tubuh gemetar berdiri di  sudut ruang.
Tampak tubuh Tunggul telah menyelinap kembali
ke pintu batu. Yang sekejap kemudian telah kem-
bali lagi dengan memanggul tubuh gadis tadi,
yang tak lain adalah Sawitri. Sekali ia mengge-
rakkan tangan untuk menggeser sebuah batu
persegi yang menempel di dinding ruangan, pintu
itu kembali menutup. Tiba-tiba wanita ini perden-
garkan suaranya yang menggeletar menatap siapa
gadis yang telah digeletakkan di hadapannya itu,
oleh Tunggul. Yang segera ia merangkulnya den-
gan isak tertahan sementara air matanya mulai
lagi menetes, mengalir dari pipinya. Tiba-tiba ia
dongakkan kepalanya pada laki-laki berkumis
dan berjenggot hitam legam itu untuk menatap-
nya seraya berkata:
"Syiwo Langit...! Apa yang kau mau laku-
kan pada anakku....?"

"Hm...! Kau dapat melihatnya nanti nyonya
Tumenggung...!"
Seraya berkata ia telah kembali gerakkan
tangan untuk membuka sebuah lubang pada
dinding ruangan. Sebuah lubang yang hanya
muat untuk masuk tubuh manusia dengan me-
rangkak. Selanjutnya ia telah seret tubuh Pragola,
yang berteriak-teriak bagai orang kesurupan.
Namun laki-laki berhati keras, dan berdarah din-
gin ini mana mau mendengar teriakannya...? Ge-
merincing uang mas dan perak berhamburan ke-
luar dari saku baju Pragola, yang terus diseretnya
hingga ke bawah jendela di dinding ruangan yang
berhawa panas itu. Pragola menangis bagai anak
kecil... Sesambat memohon ampun. Namun ba-
gaikan seorang yang tuli, Tunggul telah mengang-
kat tubuh Pragola keatas jendela. Dan tanpa ber-
kedip, ia telah lemparkan tubuhnya keluar. Ter-
dengar teriakan yang menyayat hati. Tubuh Pra-
gola melayang, meluncur deras dari tempat ke-
tinggian itu untuk segera menemui kematiannya.
Demikianlah... peristiwa yang tadi telah
terjadi. Dan saat berikutnya Tunggul sudah me-
langkah lagi untuk masuk, dan merangkak keda-
lam ruangan.
"Tidak..! Tidaaak..!? Jangan kau lakukan
itu pada anakku...! Jangaaaaaan..!" Berteriak wa-
nita itu sekuat-kuatnya sambil memeluki tubuh
Sawitri yang tergolek pingsan. Tunggul cuma per-
dengarkan suara di hidung. Sepasang matanya
menatap perempuan itu tak berkedip. Tiba-tiba ia

telah perdengarkan suara tertawanya.
"Ha ha ha... ha ha ha.... Mengapa kau me-
larang apa yang akan aku lakukan...? Bukankah
kau lebih menyayangi harta dari pada anakmu..?
Kau titipkan Sawitri pada orang lain tanpa kau
mau mengakui ia adalah anakmu..! Apakah kau
merasa telah membesarkannya dengan sumban-
gan-sumbangan pangan yang kau berikan selama
ini dengan hartamu...? Dengan harta suamimu,
yang kau bangga banggakan itu...? Heh..! Tidak!
Ia besar dan tumbuh dengan sendirinya. Walau-
pun kau tak berikan sumbangan sepeserpun! Ka-
rena Tuhan yang telah membesarkannya..! Ia
memang tumbuh karena ia masih ditakdirkan un-
tuk hidup dan menjadi besar..! Tapi ia tumbuh
tanpa kasih sayang. Kasih sayang seorang ibu
kandung yang telah menyisihkannya dari geli-
mang kemewahan. Dan juga telah menyisihkan-
nya dari ayah kandungnya. Semua itu kau laku-
kan karena ayahnya telah jadi seorang hina papa,
sejak musibah menimpa kehidupannya..! Apakah
dia harus menyalahkan perang...? Menyalahkan
keadaan tanah air..? Menyalahkan Kerajaan..?!
Menyalahkan manusia-manusia rakus yang me-
rampok seluruh harta bendanya... hanya karena
ia dianggap pemberontak! Padahal semua itu ada-
lah fitnah keji dari seorang pembesar Kerajaan
yang berhati srigala berbulu domba. Yang mem-
pergunakan siasat memancing ikan di air keruh,
dengan mencari kesempatan dalam kesempitan.
Mempergunakan pangkat hanya untuk memper-

kaya diri sendiri..." Suara Tunggul menggema
santar di ruangan itu. Dengan nada yang semakin
parau, karena iapun tengah menahan kepedihan
yang teramat sangat. Kepedihan dari penderitaan,
yang telah merobahnya menjadi seorang yang
berhati keras bagaikan batu, dan merobah ji-
wanya menjadi seorang yang berdarah dingin.
"Aku sadar, kalau kau hanya mengejar ke-
mewahan! Mengejar duniawi yang tak ada kepua-
sannya. Kau bukan mencintai diriku, tapi men-
cintai hartaku..! Kau tinggalkan aku setelah aku
tak punya apa-apa lagi! Kau bawa lari benih dari-
ku untuk kau berikan pada seorang laki-laki yang
juga kau cintai karena hartanya. Laki-laki itu Ja-
rot Suradilaga alias si Maling Sakti. Hingga lahir-
nya anak yang telah kau beri nama Sawitri....
Anak yang dianggap oleh ayahmu si Pendekar
Bayangan yang bernama Bayu Seta adalah cu-
cunya, yang mutlak dari hasil pernikahanmu
dengan Jarot. Padahal benih itu berasal dariku..!
Kau dustai Jarot...! Kau dustai ayahmu..! Kau
dustai dirimu sendiri...! Kau tutup rahasia pada
Sawitri, siapa ayahnya... siapa ibunya..! Juga kau
tutup rahasia itu pada Prasetyo anakmu, hasil
dari suamimu si Tumenggung itu. Sehingga kedua
bocah itu hampir saja terjerumus untuk saling
mencinta..! Kini semua ape yang kau banggakan
itu sudah musnah! Suamimu sudah jatuh mela-
rat! Aku telah memberinya berita untuk datang
kemari ternyata ia belum memunculkan diri.
Akan kusuruh ia saksikan upacara pengorbanan

isteri dan anak gadisnya walaupun anak itu ada-
lah anakku. Namun aku tahu ia amat menyayangi
Sawitri. Aku tahu semua itu dari Punta. Sayang
Punta turut campur urusanku, sehingga terpaksa
aku membunuhnya..!" Sampai disini Tunggul
hentikan kata-katanya lagi. Tampaknya sepasang
matanya merah seperti menyala. Wajahnya yang
kaku itu seperti menampilkan kekerasan hatinya.
Sementara suara isak tersendat terdengar dari
wanita isteri Tumenggung itu yang masih tun-
dukkan wajah dengan memeluk anak gadisnya.
Air matanya sejak tadi terus mengalir membasahi
pipi, dan jatuh ke dada sang anak. Tiba-tiba
Tunggul alias Syiwo Langit telah berkata lagi: "Ki-
ni pilihan diantara dua.... Apakah kau lebih cinta
anakmu, ataukah lebih mencintai harta benda...?
Akan kuberikan semua harta yang ku kumpulkan
ini semuanya untukmu. Kau boleh cari lagi si
Tumenggung itu, untuk kau teruskan hidup ba-
hagiamu dengannya. Tanpa harus kau takutkan
aku mengganggumu. Karena aku tak akan meng-
ganggu walau selembar rambut kalian! Nah beri-
kanlah anakmu. Dan biarkanlah ia kuperbuat se-
suka hatiku. Karena dia adalah darah daging-
ku..!" Berkata Tunggul sambil membungkuk un-
tuk meraih tubuh Sawitri. Akan tetapi si wanita
itu telah menjerit histeris.
"Tidaaak..! ? Tidaaaak...! Jangan kau sen-
tuh dia..! Jangan kau pisahkan ia dari sisiku lagi,
Syiwo Langit. Ampunilah kasalahanku... Ampuni-
lah dosaku..! Dia anakku...! Dia darah dagingku..!

Dia.. dia... anak kita...! Sawitri anak kita..!" Tam-
pak Tunggul kembali berdiri, dan tegak bagai ar-
ca, tak bergeming. Kata-kata itu seperti nyanyian
indah yang membisik di telinganya. Begitu menye-
jukkan.... Begitu meresap ke dalam kalbu. 
Alangkah indahnya kata-kata itu..! Membi-
sik hatinya. Kata-kata yang ia dambakan hampir
separuh dari hidupnya. Kata-kata yang membuat
jiwanya yang panas menggelegak, seperti tersiram
air sejuk.
"Dia anak kita...! Sawitri anak "KITA"...!"
Suara yang menghiba itu amat menyayat hati,
dan berulang-ulang menggema di telinganya. Te-
gakah ia berbuat senaib itu pada darah dagingnya
sendiri...? Tegakah ia lakukan perbuatan terku-
tuk itu hanya karena untuk membuktikan keke-
rasan jiwanya. Membuktikan bahwa iapun seo-
rang laki-laki. Yang dapat berbuat apa saja, di
hadapan bekas isterinya, yang masih syah seba-
gai isterinya! Yang semua itu harus ditebus oleh
pengorbanan sang anak. Pengorbanan yang tidak
mutlak. Pengorbanan yang akan membawa murka
Tuhan. Karena perbuatan itu adalah perbuatan
yang amat terkutuk. Tampak ada air bening me-
netes dari pelupuk mata Tunggul. Air mata suci
yang keluar dari dorongan hati nurani yang masih
bersih. Seekor binatang yang paling buas sekali-
pun tak akan memangsa anaknya sendiri. Namun
bila hal itu bisa juga terjadi.... Maka manusia itu
lebih rendah martabatnya dari pada seekor bina-
tang...! Padahal manusia diciptakan Tuhan ada-

lah sebagai insan yang paling mulia. Melebihi
makhluk-makhluk lain yang telah diciptakanNya.
Hanya karena dorongan hawa nafsu sajalah, yang
membuat manusia lupa akan harkat kemanu-
siaannya. Hawa nafsu yang datangnya dari Sye-
tan! Dari Iblis...! Yang merasuk pada hati manu-
sia. Menguasai akal sehatnya. Sehingga manusia
terbuai oleh bisikan-bisikan nafsu lahiriahnya
yang sudah ditunggangi oleh para Syetan dan Ib-
lis!
Tubuh Tunggul tampak tiba-tiba tergetar
hebat. Ia seperti sebuah arca yang sudah mau
runtuh ke bumi. Kekerasan hati dan jiwanya
tampak luluh. Tulang-tulang persendian lemah,
seperti sudah tak kuat untuk menyangga sang
tubuh untuk terus berdiri tegak. Dan tiba-tiba sa-
ja tubuh Tunggul meluncur turun untuk jatuh
menekuk lutut. Kepalanya tertunduk dengan se-
pasang mata yang terpejam namun penuh ber-
simbah air mata. Ada suara yang didengarnya.
Suara dari seorang wanita yang telah kembali sa-
dar akan kesalahan dan dosanya. Suara yang
lembut penuh kasih sayang...
"Kakang Syiwo Langit...! Maafkan segala
kesalahanku yang telah membuat kau menderita.
Membuat jiwa jadi berubah kejam, karena me-
mendam sakit hati dan dendam karena ulahku....
Maafkanlah aku kakang..." Dan terasa oleh Tung-
gul tubuhnya telah dipeluk orang. Karena me-
mang wanita isterinya itu telah memeluknya den-
gan menciuminya pada wajahnya, sehingga air

mata mereka bercampur menjadi satu. Ternyata
bukan hanya air mata mereka saja yang menjadi
satu, tapi hati merekapun telah kembali bersatu.
Tunggul biarkan wajahnya diciumi sepuas hati.
Dan biarkan wajahnya menjadi basah bersimbah
air mata. Karena ia telah menenangkan segala pe-
rasaannya menenangkan hatinya yang berkeca-
muk oleh berbagai perasaan. Bahagiakah ia? Se-
dihkah ia...? Tunggul tak tahu akan semua yang
ia harus ia ungkapkan. Namun Tunggul bukanlah
Tunggul yang berhati bagai batu karang lagi. Bu-
kan pula yang berjiwa telengas dan kejam lagi.
Karena semua itu seperti telah terpupus dengan
kenyataan yang tak dapat ia bantah. Ia masih
mencintai wanita itu. Ia masih mendambakan ka-
sih sayang... dan kehidupan bahagia bersama
anak yang dikasihinya Sawitri. Dan sekonyong-
konyong Tunggul balas memeluknya. Sementara
tanpa mereka mengetahui, sang anak sudah sejak
tadi pentang mata untuk melihat kejadian di de-
pan matanya. Telinganya sudah sejak tadi men-
dengar apa yang telah diungkapkan oleh ayahnya.
Namun Sawitri memang berhati keras ia bertahan
untuk tidak bergeming, dengan menahan pera-
saan hatinya. Kini melihat kedua orang dihada-
pannya tengah saling berangkulan, bertangisan.
Gadis ini yang sudah sejak tadi melelehkan air
mata, tiba-tiba telah perdengarkan teriakannya.
"Ibuuuuu.! Ayaaaaah..!" Dan serta merta ia
telah bangkit untuk segera memeluk kedua orang
tuanya. Yang segera saja ramailah suara orang

bertangisan di dalam ruangan itu. Sawitri seperti
juga baru sadar dari sebuah mimpi. Karena baru
untuk pertama kalinya ia merasakan pelukan dari
kedua ayah dan ibunya, yang menangisinya den-
gan penuh keharuan. Sementara di luar langit
yang terlihat dari jendela di dinding ruangan itu
tampak memerah... Terlihat begitu indah. Ru-
panya sang matahari sebentar lagi akan tengge-
lam.... seolah untuk sejenak beristirahat. Yang
segera menggantikan datangnya malam. Untuk
kembali bersinar pada esok pagi. Dimana ia akan
berikan sinarnya untuk kehidupan. Untuk keten-
traman pada semua makhluk diatas dunia...


9

JERITAN-JERITAN parau disengaja itu
membuat burung-burung yang sudah mencari
tempat untuk tidur didahan-dahan dan ranting
pepohonan jadi buyar berhamburan... dan berter-
bangan dengan ketakutan. Suara jeritan itu da-
tangnya dari lamping bukit terjal itu. Tampak tiga
orang berpakaian serba hitam dengan wajah wa-
jah seram itu telah terjungkal roboh bermandikan
darah. Ternyata saat-saat yang mengerikan buat
Roro Dampit, telah terhapus sekejap mata. Den-
gan munculnya Roro Centil pada saat yang tepat.
Sehingga perbuatan terkutuk yang akan menimpa
dirinya itu dapat di gagalkan. Roro Centil mema-

pah tubuh Roro Dampit dengan terharu. Berun-
tung Joko Sangit mau memberikan pakaian wani-
tanya pada wanita malang itu. Sehingga mereka
dapat segera meneruskan langkah untuk menuju
desa. Menyusul Sentanu. Dari jauh terlihat Sawi-
tri mengejar mereka. Wajahnya tampak cerah, se-
cerah langit yang masih tampakkan sinar merah-
nya. Sambil berjalan ia ceritakan pada Roro Centil
bahwa keluarganya telah kembali bersatu. Ia te-
lah menemukan kedua orang tuanya yang sebe-
narnya. Dan ia ada mendengar bahwa harta yang
amat banyak, yang dikumpulkan ayahnya yang
bernama Tunggul itu akan di bagi-bagikan untuk
orang-orang miskin. Tentu saja Roro Centil terta-
wa gelak-gelak... dan peluk tubuh Sawitri. Ia su-
dah dengar semua kejadian di atas ruangan goa
itu dari balik pintu batu. Ia dengarkan bersama
Joko Sangit... Yang tadinya berniat mengangkangi
harta itu. Namun bukannya segera merampas
harta, bahkan menangis cucurkan air mata. Ma-
sih untung ia tidak menangis dengan keluarkan
suara. Kalau itu terjadi, bisa jadi Roro bertepuk
tangan menyoraki. Walaupun Roro Centil sendiri
sudah basah semua pipinya mengalirkan air ma-
ta. Karena ia segera tahu siapa mereka. Siapa
Sawitri. Yang tak lain adalah masih cucunya si
Pendekar Bayangan. Yaitu mertua Gurunya di le-
reng Gunung Rogojembangan. Namun kini ia
mengetahui kalau Sawitri adalah bukan anak dari
si Maling Sakti, Gurunya. Melainkan anak dari
Tunggul alias Syiwo Langit. Seorang bekas kepala

perompak yang bermarkas di Gunung Butak.
"Nanti ayah dan ibu akan menyusul kema-
ri, katanya sih besok pagi..!" Berkata Sawitri.
Yang disahuti oleh Joko Sangit dengan pren-
gutkan wajahnya.
"Aiiih, rupanya sang Dewa Api mau bera-
duhai dulu dengan sang permaisuri, sehingga ia
buru-buru suruh anak gadisnya menyusul ki-
ta...!" Tentu saja semua jadi tertawa... Tiba-tiba
Roro Centil ajukan pertanyaan pada Sawitri
"Eh, adik..! Bagaimana kalau tiba-tiba ada
seorang "jejaka tua" yang mau melamarmu...?
Apakah kau terima...?" Berkata Roro Centil sam-
bil melirik pada Joko Sangit. Tentu saja yang dili-
rik jadi plototkan matanya pada Roro Centil, den-
gan wajah marah... Karena ia tahu orang tengah
menyindirnya. Namun di luar dugaan Sawitri
dengan polos telah menyahuti:
"Kalau orangnya baik, dan mengerti hati
wanita, aku sih penuju saja..." Karuan saja wajah
Joko Sangit semakin merah bagai kepiting dire-
bus. Dan kembali terdengar suara tertawa geli,
bahkan Roro Dampit yang baru saja terlepas dari
musibah ikut tersenyum. Saat selanjutnya mere-
ka sudah mempercepat perjalanan. Sementara
beberapa wanita yang sudah terbebas dari ceng-
keraman orang-orang komplotan Siluman Hitam
itu tampak bergegas untuk cepat kembali mene-
mui sanak keluarganya.
Beberapa pekan sudah berlalu, sejak le-
nyapnya komplotan Siluman Hitam di daerah

Tambak Boyo dekat Tuban, tampak terlihat seo-
rang laki-laki tua yang berambut kusut dan pa-
kaian compang-camping terlihat sering mondar-
mandir di tepi pantai. Orang sudah tak menge-
nalnya lagi kalau ia adalah bekas seorang bang-
sawan ternama yang berpangkat Tumenggung.
Karena penduduk di sekitar pantai cuma menge-
nalnya sebagai orang yang sudah hilang ingatan.
Yang sering duduk-duduk di tepi pantai.... atau
kadang-kadang berlari-lari seperti tengah mema-
cu kudanya, dengan mempergunakan pelepah
daun kelapa sebagai tunggangannya. Dan berte-
riak-teriak seperti tengah menyerbu musuh. Teta-
pi kadang-kadang ia tertawa dan menangis seperti
anak kecil. Atau berteriak-teriak, dengan berlari-
tari di tapi pantai.
"Api... api.... Cepat selamatkan dirimu
anakku..! Cepat lari...! Lari..!" Demikian ia berte-
riak-teriak, seperti melihat laut bagaikan telah be-
rubah menjadi lautan api. Entah siapa anaknya
yang selalu diingatnya itu, tak ada yang tahu. Bila
ia sekejap kembali sadar. Ia duduk bersimpuh di-
atas pasir sambil menangis. Namun sebentar ke-
mudian telah tertawa-tawa kembali seperti orang
yang baru menang dalam peperangan. Dialah
Tumenggung Harya Anabrang. Seorang manusia
yang juga jadi korban dari apa yang namanya
Cinta. Korban dari api dendam yang telah mem-
bakar Cinta. Dari seorang anak manusia. Takdir
adalah takdir...! Yang manusia tak mampu untuk
menolaknya. Apapun bisa terjadi di atas dunia

ini, selama masih adanya nafsu. Namun nafsu
pun tak akan pernah sirna di atas jagat ini seperti
juga Cinta. Karena nafsu memang  dibutuhkan
oleh manusia. Seperti juga manusia membutuh-
kan Cinta...! Tapi bagi manusia yang mengerti,
dan dapat mempergunakan akalnya ia akan dapat
selalu mengendalikan hawa nafsunya. Karena da-
ri nafsu yang terkendali, manusia dapat mewu-
judkan Cinta Kasih yang murni... Yan bebas dari
pengaruh hawa nafsu yang telah di tunggangi
Syetan. Tiada peperangan yang lebih besar, selain
peperangan melawan hawa nafsunya sendiri. Ka-
rena Syetan akan terus menggoda hati manusia
agar terus mengikuti hawa nafsunya, sampai ia
terseret semakin jauh semakin jauh...! Hingga ter-
jerumus ke dalam jurang yang paling dalam.



TAMAT