Roro Centil 3 - Rahasia Kitab Ular(1)









1

TIGA orang gadis itu masih
berjongkok di sisi sebuah kuburan yang
masih baru ... Keadaan di tempat itu
kembali sunyi hening mencekam. Tukang-
tukang gali kubur sudah berangkat pulang
dengan membawa cangkulnya masing-masing,
dengan girang karena persenannya hari itu
cukup besar. 
"Gadis yang baju merah itu royal
sekali ... Upah untuk kita bertiga ini
cukup untuk kita makan dua pekan" ...
Salah seorang berkata. "Ha ha ha ...
Benar  Kang, agaknya ia membawa banyak
uang!" Menyahut kawannya yang berhidung
melengkung bagai paruh burung betet.
Sementara yang seorang lagi agaknya sudah
tidak sabar untuk menerima pembagian
upahnya. "Sudahlah kita bagi di sini
saja, aku mau terus pulang menemui anak
istriku ...!" 
Yang memegang uang hasil upah
mereka bertiga itu tiba-tiba palingkan
kepalanya pada kawannya, sambil ter-
senyum. "Aha ... Rupanya si Jasiman sudah
kangen betul pada maknya si Blotong di
rumahnya...!"  Katanya sambil picingkan
mata pada si hidung betet di sebelahnya
yang jadi tertawa ngakak. Keruan saja
muka Jasiman yang bertubuh kurus itu jadi
merah padam dan terasa panas mendengar

dirinya ditertawakan. "Sudahlah cepat
Gento, kau berikan jatahnya... kasihan
kan, nanti kalau memble di sini kan bisa
gawat! Ha ha ha ... ha ha ... "
Si hidung betet kembali menggoda.
Tampaknya si pemegang uang yang bernama
Gento itu pun tidak mau menggoda lebih
jauh. Segera ia berikan jatah buat
kawannya itu.
"Nah, ini bagianmu Jasiman,
cepatlah pulang, dan ... eh tunggu dulu
... " Tiba-tiba Gento sudah berteriak
lagi ketika Jasiman  dengan cepat
menyambar uang upahnya itu, dan sudah mau
ngeloyor pergi. "Kencangkan dulu tali
celanamu jangan sampai kedodoran di
jalan,  nanti di rumah baru pelan-pelan
kau lepaskan! Ha ha ha... ha ha...".
Jasiman tampak mendongkol sekali, segera
tanpa  perdulikan ejekan itu ia sudah
putar tubuh dan bergegas pergi tanpa
menoleh lagi, diikuti suara tertawa kedua
kawannya itu yang terbahak-bahak...
Seekor kuda berjalan dengan
perlahan meniti jalan setapak itu...
dengan penunggangnya seorang laki-laki
tampan dan gagah, namun wajahnya menam-
pilkan  kemurungan. Pakaiannya berwarna
putih dan terbuat dari bahan yang kasar.
Ketika melihat kedua orang diha-
dapannya, ia segera percepat jalan
kudanya. Sementara kedua tukang gali

kubur yang belum beranjak pergi dari
situ, jadi arahkan mata untuk melihat
kedatangannya.
"Maaf pak. Apakah jalan ini bisa
terus tembus ke Makam...?" Ia segera
bertanya setelah memberhentikan langkah
kudanya. "Oh, benar Den,...! Berjalanlah
terus. Nanti di ujung jalan ini
membeloklah ke kanan. Makam itu segera
akan terlihat ...!" Menyahuti si hidung
betet, dan segera minggir untuk memberi
jalan.
"Terima kasih, pak.... tapi..."
Laki-laki ini tidak terus langkahkan
kudanya, karena sambil berkata ia telah
melompat turun dari kudanya. "Namaku
Sentanu...!" Ternyata ia telah perkenal-
kan dirinya pada kedua orang itu, yang
segera menyambuti uluran tangannya.
"Apakah Raden masih sanak famili
yang meninggal ... ?" Bertanya lagi si
hidung betet. 
"Oh, bukan ... aku hanya sahabatnya
... !" Kata laki-laki itu, yang segera
sudah menyambung kata-katanya lagi.
"Maaf, pak. Harap tidak memanggilku
Raden. Aku orang biasa saja seperti juga
bapak-bapak".
Si hidung betet mengangguk-angguk,
diikuti oleh Gento ketika mata Sentanu
singgah pada wajahnya. "Apakah bapak-
bapak baru saja selesai menggali

kubur...?" Bertanya lagi si penunggang
kuda itu. Kedua orang itu dengan
berbareng sama-sama anggukkan kepala.
"Oh, ya ... maaf! Masih adakah orang di
sana ...?" Bertanya lagi ia, yang segera
disahuti oleh Gento cepat. "Masih ki
sanak! Ada tiga orang wanita lagi di
sana. Sedang yang dua orang sudah
berangkat pergi... !"
"Apakah kedua orang yang pergi itu
wanita juga?". Tanyanya lagi.
"Rasanya sih laki-laki dan wanita.
Kata orang yang wanita itu adalah si
Pendekar Wanita Pantai Selatan, yang
bernama Roro Centil". Menjelaskan Gento.
Laki-laki bernama Sentanu ini
tampak kerenyitkan alisnya, sementara
bibirnya menggumam perlahan... "Pendekar
Wanita Pantai Selatan ... ?". Namun ia
sudah cepat-cepat bertanya. "Dari manakah
bapak-bapak mengetahuinya?"
Gento agak aneh juga didesak dengan
pertanyaan-pertanyaan itu, namun ia tak
mau mengecewakan orang muda di hadapannya
itu. Segera ia menyahuti. "Aku mendengar-
nya secara kebetulan saja dari dua orang
yang sedang bercakap-cakap ketika lewat
di sebelah kami...! Mereka berbisik-bisik
membicarakan gadis yang di sebelah pemuda
itu, ketika keduanya tengah mengantar
jenazah untuk dibawa ke Makam...!" 
Kini berbalik Sentanu yang manggut-

manggut sambil berkata: "Baiklah...!
Terimakasih atas penjelasan bapak-bapak
berdua!" Laki-laki itupun meminta diri
dan segera melompat ke atas punggung
kudanya yang segera mencongklang cepat
dari situ. Si kedua tukang gali kubur itu
tampak berbisik-bisik dan tak lama
kemudian menyelinap pergi ... 
"Gagal...!" Terdengar samar-samar
suara Gento dari kejauhan. Ketika
mendengar suara kaki kuda memasuki makam
itu, ketiga gadis yang berada di sisi
kuburan yang masih baru tersebut menoleh,
dan mengarahkan pandangan matanya pada
Sentanu. Laki-laki ini segera tinggalkan
kudanya di sisi makam, dan menghampiri
mereka. Yang dua orang segera berdiri
menyambut. Sedangkan yang seorang lagi
masih berjongkok di sisi gundukan tanah
itu. Tampak sepasang matanya masih
merembeskan air mata. Si laki-laki ini
tampak menjura terlebih dulu sambil
berkata; "Maafkan aku datang terlambat
sehingga tak sempat menghadiri pemakaman
nya!" Dan kata-katanya itu telah
disambungnya lagi dengan memperkenalkan
diri pada kedua gadis itu, yang dibalas
dengan anggukan kepala oleh si baju
merah.
Dan lantas katanya; "Kami memang
tengah menanti kedatangan anda sobat
Sentanu ... " 

Terkejut juga laki-laki tampan ini,
namun si gadis baju merah itu telah
menyambung kata-katanya sambil melirik
pada gadis yang masih berjongkok di situ
seperti tengah terhanyut dengan kesedi-
hannya. "Tentu saja kami mendengar pesan
almarhum itu ... semoga anda dapat
menjaganya dengan baik. Kami yakin anda
pasti tidak ingin almarhum kecewa di alam
baka bukan ...?"
Ucapan itu sudah dibarengi dengan
deheman yang membuat Marni gadis itu
segera menoleh, dan wajah yang baru
dilanda kesedihan itu jadi berubah merah.
Ia memang sudah mengetahui keda-
tangan laki-laki itu, namun mana ia tahu
pesan kakaknya Mandra almarhum sebelum
ajal tiba, kecuali kedua gadis itu yang
merahasiakannya. Tentu saja kata-kata itu
telah membuatnya mengerti.
Marni memang telah mengenal Sentanu
yang pernah berdiam di desa Karang
Sembung, selama beberapa bulan. Laki-laki
yang pernah difitnah oleh ayah angkatnya
bahwa telah menodai dirinya ... Padahal
ayah angkatnya sendirilah yang telah
mengumpankannya pada Bupati Daeng Panuluh
dengan imbalan uang.
Kini ia hidup sebatang kara. Kakak
kandungnya Mandra telah tewas oleh ketiga
paderi cabul yang mengaku dari Gunung
Wilis.

Dari kata-kata si gadis baju merah
ia segera mengetahui bahwa kakaknya telah
berpesan untuk menjaga dirinya, entah
sebagai adik atau sebagai istri. 
Apakah kedatangan Sentanu adalah
untuk mewujudkan pesan kakaknya Mandra
almarhum?. Berfikir Marni, sementara
kesedihan nya belum lagi sirna.
Tiba-tiba terbersit di hatinya
perasaan malu pada laki-laki bernama
Sentanu. Marni merasakan dirinya bukanlah
seorang gadis lagi. Ia takut bila Sentanu
mau mengambilnya sebagai seorang istri
hanya karena terpaksa. Apakah mungkin
Sentanu dapat merasa puas beristrikan
nya? Rasa malu itu bergelut dalam
jiwanya, dan sekonyong-konyong ia merasa
rendah diri... Tiba-tiba Marni bangkit
berdiri, dan tanpa berpaling lagi ia
telah berlari cepat dari tempat itu
sambil menutup wajahnya.
Hal demikian yang tiba-tiba itu
telah membuat mereka bertiga jadi
terpaku. Lebih-lebih Sentanu yang jadi
tak mengerti apa sebabnya. Tiba-tiba ia
sudah bergerak mau mengejarnya. Namun si
gadis baju merah telah berkata: "Rasanya
tak perlu anda mengejarnya sobat Sentanu,
itu akan menambah luka di hatinya".
Selanjutnya si  gadis baju merah
menjelaskan akan sifat seorang wanita
yang bila telah bersikap demikian,

berarti ia merasa rendah diri untuk
berhadapan dengan seorang laki-laki yang
telah berniat untuk menjaganya. Kata-kata
menjaga itu tentu saja mempunyai arti
yang amat dalam 
Sejurus Sentanu jadi termenung dan
serba salah. Tiba-tiba pada saat itu adik
seperguruan  si gadis baju merah yang
bernama Surti ini berkata; "Kak Roro
Dampit, biarlah aku menyusulnya, kasihan
ia. Aku akan menemaninya atau mungkin
juga menjaganya sebagai adikku sendiri.
Karena nasibnya adalah tidak berbeda
dengan nasibku sendiri ... " 
Si gadis baju merah yang ternyata
bernama Roro Dampit ini tercenung
sejenak, tapi kemudian; "Pergilah Surti!
Agaknya kita pun harus berpisah. Aku tak
dapat menemanimu karena aku punya urusan
sendiri seperti kau juga. Guru kita telah
tiada, dan kaupun cuma saudara seper-
guruan denganku. Mulai hari ini kita
ambil jalan sendiri-sendiri... Setujukah
kau?"
Tentu saja ucapan itu membuat Surti
jadi terhenyak ... namun ia segera dapat
membaca fikiran orang. "Hm, baiklah kalau
kau menginginkan demikian, kak Roro
Dampit. Asal saja kau tak melupakanku
kalau berjumpa di jalan ..." Jawab Surti
sambil sudut matanya bergerak sekilas
melirik pada Sentanu yang masih tercenung

di situ mendengarkan pembicaraan orang.
Si gadis baju merah ini tiba-tiba
tertawa hambar dan katanya; "Aih adik
Surti, siapa yang mau melupakan orang...?
Walau bagaimanapun kita masih satu
saudara seperguruan... !"
Dan sambungnya lagi; "Pergilah
susul dia, nanti kau kehilangan jejak."
Surti anggukkan kepalanya, dan
tatap wajah kakak seperguruannya, kemu-
dian mengalihkannya pada Sentanu yang
cuma anggukkan kepala ... Dan selanjutnya
ia sudah balikkan tubuh, lalu tubuhnya
berkelebat cepat menyusul ke arah mana
Marni berlari. Kini tinggal mereka berdua
di tempat itu.
Hening kembali mencekam... Si gadis
baju merah dan Sentanu sama-sama membisu.
Sentanu sendiri seperti bingung akan apa
yang akan ia lakukan. Tiba-tiba Roro
Dampit terdengar berkata memecah kehe-
ningan; "Kemanakah tujuan anda sobat
Sentanu...?" 
Laki-laki ini seperti baru tersadar
dari lamunannya, ia cepat-cepat menjawab
... "Entahlah ... mungkin juga aku akan
pergi jauh...!"
"Mengembara...?" Si gadis bertanya
lagi sambil kerutkan alisnya. Sentanu
anggukkan kepalanya, dan terdengar ia
menghela napas.
"Apakah anda telah tak punya sanak

famili lagi ... ?" 
"Ada! Seorang paman". Sahutnya.
"Siapa...? Tinggal di mana? Mengapa
anda tak ke sana saja ... ?" Tanya gadis
itu beruntun. 
Tiba-tiba Sentanu angkat wajahnya
menatap gadis baju merah itu "Kuharap
janganlah membicarakannya!" Katanya
dengan nada agak ketus.
Tentu saja hal itu membuat Roro
Dampit jadi terhenyak, dan tundukkan muka
ke tanah. "Maafkan kalau hal itu
menyinggung perasaanmu. Aku tak tahu ada
ganjalan apa anda dengannya. Dan akupun
tak akan menanyakan lagi... "
Tiba-tiba kini Sentanu yang balik
bertanya; "Dan anda akan ke mana... ?"
"Entahlah, aku sendiri tak tahu!"
Si gadis menjawab seenaknya.
Selang sejenak tiba-tiba Sentanu
berkata "Baiklah, maaf aku pergi dulu..."
Dan ia sudah melangkahkan kakinya
menuju ke tempat kudanya menunggu.
"Bolehkah aku ikut dengan anda...?
Akupun ingin merantau. Alangkah senangnya
kalau ada teman seperjalanan". 
Laki-laki ini tak menjawab, dan ia
sudah segera melompat ke atas  punggung
kudanya. Tampak ia seperti sedang
mempertimbangkan. Tapi belum lagi ia
mengambil keputusan, si gadis tiba-tiba
telah melompat ke atas punggung kuda dan

enak saja telah duduk di belakangnya.
Terkesiap juga ia akan keberanian
gadis baju merah itu yang belum mendapat
jawaban sudah berani taruh pantat
seenaknya di belakang punggungnya. Belum
lagi ia tarik kendali kudanya untuk
memutar, si gadis telah hentakkan kakinya
pada perut kuda sambil berteriak; 
"Heaaa! Ayoh cepat kak Sentanu, aku
sudah ingin segera meninggalkan tempat
seram ini...!" Keruan saja sang kuda jadi
terkejut dan angkat kedua kakinya tinggi-
tinggi sambil perdengarkan suara
ringkikan panjang. Kalau Roro Dampit tak
cepat memeluk tubuh laki-laki itu tentu
ia sudah terlempar dari punggung kuda.
Segera Sentanu dapat menguasai binatang
tunggangannya itu, yang segera diputar
arah. Dan sang kuda sudah mencongklang
cepat meninggalkan makam itu melalui
jalan setapak... Sentanu geleng-gelengkan
kepalanya. Agak mendongkol juga ia atas
kenakalan gadis baju merah itu. Namun
hatinya jadi berdebar karena merasakan
dua benda lembut menempel pada
punggungnya. Ternyata gadis itu telah
memeluknya erat sekali.




2

Senja sebentar lagi akan lewat dan
berganti dengan malam ... Telaga yang
berair jernih itu menampakkan dua
bayangan sosok tubuh, namun tidak jelas
karena air telaga bergoyang-goyang
terkena hembusan angin. Ternyata sang
angin terus menghembus ke darat dan
menyibak  segerumbul  rumput alang-alang
yang segera terdengar bunyi berkeresekan.
Kedua sosok tubuh itu ternyata
berada di tempat itu, terlindung semak
lebat yang banyak tumbuh di sisi
telaga... Keduanya dalam jarak yang dekat
sekali, sehingga saling menempel tubuh
yang satu dengan lainnya.
"Ayolah, buka pakaianmu ... "Salah
seorang berbisik. "Tunggu  dulu sampai.
agak gelap, aku takut ada orang melihat
kita. Menyahut yang seorang. 
"Aih ... Percayalah, tempat ini
tersembunyi. Tak kan ada orang yang
melihat kita!" Yang seorang agaknya sudah
tak sabar lagi menunggu, dan segera
membukai pakaiannya ... Terpaksa iapun
menuruti membuka pakaiannya satu persatu.
Dan tak lama kemudian kedua sosok
tubuh itu sudah dalam keadaan bugil.
Sementara cuaca semakin gelap. Rembulan
sisa kemarin malam belum lagi muncul.
Terdengar yang seorang mendesah ... "Oh,

dinginnya". 
"Hmm... nanti setelah kita berenang
pasti akan menjadi hangat, percayalah!"
Berkata sosok tubuh yang disebelahnya.
Dan sebelum kata-kata itu disahuti, sosok
tubuh yang berada di sebelahnya telah
berkata; "Lihatlah...!".
Sebuah benda hitam panjang meluncur
ke luar dari balik semak! Bergerak-gerak
dedaunan yang kena tersenggol benda
tersebut. Mata sosok tubuh yang melihat
keluarnya benda itu jadi menatap tak
berkedip. Dan tak lama kemudian ... 
"Ayo... doronglah sedikit lagi,
tekan agak kuat... ! Nah, begitu... !"
Terdengar suara. Dan terlihatlah dengan
jelas sebuah rakit melaju ke tengah
telaga yang dikemudikan oleh seorang
wanita setengah umur dengan mempergunakan
sebatang bambu panjang untuk pengayuhnya.
Dari seberang telaga itu terdengar
lagi suara seorang wanita; "Cepat kau
tarik rakit itu ke pinggir, dan ikatkan
yang kuat dengan rakitmu!"
Si wanita itu tak menyahuti karena
sibuk menancapkan batang bambu panjang
itu ke dalam air. Bila telah menyentuh
dasar, segera menekannya dan mendorong
rakitnya yang diarahkan pada rakit yang
terapung di tengah telaga itu.
Sebentar kemudian kedua rakit itu
telah merapat. Segera si wanita itu

mengikatnya kuat-kuat pada ujung kedua
rakit itu dengan tali yang telah
disediakan. Dan selanjutnya ia sudah
mengayuh lagi rakitnya untuk kembali lagi
ke seberang telaga ...
Terdengar si wanita itu menggumam
sendiri.
"Heran?! Entah rakit siapa yang
hanyut sampai ke mari... !".
Sementara kedua sosok tubuh yang
telah membugil itu jadi saling pandang
dan garuk-garuk kepala. "Huh!? Pembantu-
pembantu tua itu telah menggagalkan
rencana kita!" Berkata yang seorang. "Ini
semua adalah gara-garamu, yang tidak
mengikat rakit dengan kencang, hingga
hanyut ke tengah...!". Kata yang seorang
lagi mendesis. Ternyata kedua orang itu
adalah si tukang gali kuburan, yaitu
Gento dan si hidung betet. Yang sudah
mengatur rencana untuk menyeberang dengan
rakit yang telah disembunyikan di balik
semak, namun ikatannya terlepas dan
hanyut ke tengah telaga.
Si hidung betet tak bisa menjawab,
namun hatinya diam-diam memikir; Rasanya
sudah ku ikat cukup kuat... tapi
entahlah! Karena waktu itu aku tergesa-
gesa takut dilihat orang. Dan entah galah
bambunya itu hanyut ke mana. Berfikir
lagi ia.
Rasa sakit pada pangkal pahanya dan

gatal-gatal pada punggungnya membuat si
hidung betet berteriak tertahan; "Aduh!"
Dan terdengarlah suara Plak! Plok! ketika
lengannya bergerak ke sana-kemari
memukuli tubuhnya. Ternyata nyamuk-nyamuk
rawa telah menggigit tubuhnya yang
telanjang bulat... Dan mulai menyerbu
menyantap darah yang dihidangkan
untuknya...
Segera saja cepat-cepat ia
mengenakan pakaiannya lagi dengan
terburu-buru. Begitu juga Gento yang
mulai diserbu binatang-binatang penghisap
darah itu, segera sambar pakaiannya ...
Sementara mulutnya terus menggerutu
mempersalahkan kawannya. Belum lagi dua
pekan kedua sahabat itu yang kerjanya
cuma sebagai kuli suruhan orang, telah
tidak mempunyai uang lagi.
Rupanya Gento mempunyai kelakuan
yang tidak baik, yang telah menyeret si
hidung betet... untuk mencuri pada salah
sebuah rumah gedung di seberang telaga
itu. Rakit bambu sudah sejak siang-siang
mereka sediakan untuk menyeberang.
Rencana sudah diatur matang sejak tadi
siang. Gedung itu memang di samping
letaknya agak terpencil, juga bagian
belakangnya sudah bolong-bolong. Hingga
mengundang orang untuk berniat jahat.
Mereka sengaja menyeberang tidak terlalu
malam, karena di belakang gedung itu ada

tempat untuk bersembunyi, sambil melihat
situasi untuk segera mereka melaksanakan
niatnya nanti malam. Tapi apa lacur sang
rakit telah hanyut ke tengah... Mereka
sudah membukai pakaiannya untuk dibawa
berenang ke sana, ternyata telah keduluan
munculnya pembantu-pembantu rumah gedung
itu yang kini tengah menarik rakitnya
dibawa langsung ke seberang. Gagallah
rencana jahatnya... Tak berapa lama
kemudian keduanya sudah kembali menyuruk
ke semak-semak untuk segera meninggalkan
tepian telaga tersebut.
Ketika kedua bayangan sosok tubuh
kedua tukang gali kubur itu sudah lenyap
di kejauhan, sesosok tubuh muncul dari
balik pohon di tempat yang agak
ketinggian itu. Ternyata dia Roro
Centil...
Terlihat senyumnya yang menawan
tatkala sang gadis Pendekar Pantai
Selatan itu menatap rakit terapung yang
sudah ditarik sampai ke seberang... Dan
terdengar gumamnya puas. "Heh! Biar kau
rasakan kegagalanmu maling-maling picisan
..." 
Ternyata yang melepaskan rakit
kedua tukang gali kubur itu adalah hasil
perbuatan Roro, yang rencananya telah ia
ketahui.
Ternyata pertemuannya dengan
Ginanjar telah menambah pengalamannya ...

Roro makin teliti dengan keadaan ling-
kungannya.
Beberapa keping uang pemberian Pak
Ronggo Alit cukup untuk makan tidur
beberapa pekan, dan membeli satu setel
pakaian laki-laki bekas di pasar loak.
Entah akan dipergunakan untuk apa.
Roro Centil baru saja kembali dari
Kota Raja ... entah mengapa ia ingin
sekali mengetahui di mana tempat tinggal
pemuda itu yang masih terhitung saudara
seperguruannya. Ternyata orang yang
bernama Ronggo Alit itu, seorang yang
amat ramah tamah. Berumur kira-kira lima
puluh tahun. Di rumah pak Ronggo Alit
itulah Ginanjar tinggal selama ini. Usaha
pak Ronggo Alit ternyata amat maju pesat
sebagai penjual obat-obatan.  Toko nya
yang besar itu dilengkapi dengan beberapa
orang pembantu. Menurut penuturannya baru
setahun inilah usaha itu dikembangkan.
Gadis bernama Kasmini itu yang pernah
ditolongnya, ternyata berada di sana.
Juga bekerja sebagai pelayan di toko itu
...
Banyak kisah menarik yang Roro
dengar dari tokoh bekas pejuang dari
Partai Pengemis, yang bersahabat baik
dengan Ki Bayu Seta atau si Pendekar
Bayangan almarhum.  Dan tentu saja iapun
menceritakan tentang kematian Pendekar
Besar itu, yang masih termasuk Guru Roro,

karena iapun mewarisi beberapa jurus ilmu
kepandaiannya.
Hampir dua pekan ia berada di
gedung sederhana tempat tinggal pak
Ronggo Alit itu ... selama berada di sana
banyak berita baik yang didengarnya.
Yaitu ditumpasnya Partai Pengemis Baru
yang telah muncul dan mengacau oleh pihak
Kerajaan. Partai Pengemis lama pun telah
dibubarkan ... agar tidak terjadi lagi
hal-hal yang dikhawatirkan akan menim-
bulkan kericuhan.
Kini orang-orang Partai Pengemis
lama yang pernah bersatu padu dengan
pihak Kerajaan Medang dalam menumpas
pemberontak, dapat bernapas lega ...
Sekembalinya dari Kota Raja, Roro
menginap pada sebuah penginapan sederhana
di dekat pasar... Malam baru saja
merayap... Ketika Roro kembali ke
tempatnya. Udara panas, seperti mau turun
hujan. Rembulan pun terlihat dari sela-
sela jendela agak meredup tertutup
awan... Begitu tiba di kamarnya ia sudah
lemparkan tubuhnya ke pembaringan empuk
itu, yang segera berderit mengusik
kelengangan.
Seperti biasa ia tak lupa untuk
berserah diri pada Tuhan ... dan segera
pejamkan mata. Rasa panas mulai berkurang
ketika ada angin bertiup di luar. Kamar
bagian atas tepat Roro bermalam itu cuma

ada tiga kamar. Dan kebetulan malam itu
tak ada lagi tamu yang menginap selain
Roro. Dapat dilihat olehnya tadi sewaktu
melewati kedua kamar itu yang terlihat
kosong ... Iapun dapat bernafas lega,
karena sebagai seorang wanita selalu ada
saja rasa khawatir terhadap keselamatan
dirinya ...
Suara burung Perkutut yang telah
dikerek persis dekat jendela kamarnya itu
membuat ia segera mendusin ... Ternyata
hari sudah agak siang. Karena jelas
terlihat sorot panas matahari yang
menyemprot dari sela-sela jendela.
Bergegas ia bangun dan gerakkan
tubuh untuk memulihkan lagi otot-otot
yang kendur, dan melancarkan darah serta
pernafasannya melalui beberapa gerakan
khusus, mirip sebuah tarian yang
diajarkan oleh si manusia banci Gurunya.
Selesai itu ia pun bergegas turun
untuk mandi, setelah membuka terlebih
dahulu jendela kamarnya, serta melirik
sekejap pada seekor Perkutut yang sedang
asyik manggung. Namun tersentak dan
terhenti sejenak, karena terkejut melihat
jendela yang sekonyong-konyong terbuka...




3

Makam yang berada di sebelah barat
daerah  Karang Sembung adalah makam yang
paling lama, dan paling jauh ...
Sehingga karena lamanya orang
kadang-kadang tidak ingat lagi kalau di
sana ada terdapat sebuah makam kuno.
Kuburan di makam itu tidak banyak.
Cuma aja beberapa belasan gunduk tanah,
yang nisannya terlihat sudah banyak yang
lapuk dimakan usia dan rayap. Namun bila
diperhatikan dan disengaja untuk
menghitung, maka akan terlihat ada tujuh
buah kuburan yang sungkup dan nisannya
terbuat dari batu.
Bentuk ketujuh kuburan itu hampir
mirip satu sama  lain baik sungkup dan
batu nisannya. Sayang, karena lamanya dan
sudah tidak dirawat lagi, banyak semak
belukar yang tumbuh rapat hingga sukar
bila orang datang mau berziarah ke makam
tersebut... Ternyata makam tua yang
hampir sudah tak di ingat orang lagi itu,
masih ada juga yang mau mengunjunginya...
Dua sosok tubuh tampak mendatangi
ke arah makam. Gerakannya ringan sekali.
Yang seorang bertubuh langsing berbaju
dan berpakaian serba hitam. Ternyata ia
seorang wanita, yang dari kerut dan
potongannya ia bekas seorang yang cantik.
Berkulit sawo matang, dengan usia sekitar

empat puluh tahun. Namun tidaklah
mengurangi kecantikannya, yang memang
dapat dilihat bahwa ia seorang wanita
yang pandai merawat tubuh dan merias
diri.
Yang seorang lagi adalah laki-laki
dengan perawakan sedang, tinggi tidak,
pendekpun tidak. Usianya sudah dapat
dipastikan adalah lebih muda si laki-laki
itu, yang kelihatannya dari golongan
bangsawan atau orang-orang berada.
Ketika tiba di ujung makam, si
wanita baju hitam sudah hentikan lang-
kahnya yang ringan dan cepat. Tak berapa
lama disusul oleh si laki-laki bangsawan
itu yang tertinggal jauh di belakang.
Begitu si laki-laki bangsawan itu
tiba di belakang si wanita kira-kira
sepuluh langkah lagi, ia sudah jatuhkan
pantatnya ke tanah; dengan napas yang
memburu dan wajah penuh keringat. Si
wanita cuma melirik saja sambil
tersenyum, sedangkan ia tampaknya tak
merasa lelah sama sekali...
Akan tetapi tiba-tiba si laki-laki
bangsawan itu telah perdengarkan seruan
tertahan; "Hah!? Apa-apaan kau istriku
... masakan mengajak aku jalan-jalan ke
kuburan!?". Dan seketika saja wajahnya
telah berubah menampilkan perasaan takut.
Memang suasana makam tua itu terlihat
agak menyeramkan ...

Namun si wanita baju hitam cuma
tertawa saja. Sengaja suara tertawanya ia
bikin keras yang mengikik panjang. Keruan
saja bulu tengkuk si laki-laki bangsawan
yang memang pengecut itu jadi terbangun
semua. Tubuhnya terasa berubah jadi panas
dingin, karena suara tertawa sang istri
persis suara Kuntilanak. Hingga bukannya
takut  terhadap setan, tapi takut pada
istrinya sendiri, yang memang kebetulan
berpakaian serba hitam, dan rambutnya
beriapan — kusut. Sedangkan berdirinya di
pojokan dekat sebuah batu nisan yang
sudah doyong di bawah pohon ... Persis
Hantu kuburan!
Tiba-tiba si wanita menghentikan
tertawanya dan berkata "Katanya kau cinta
banget padaku ... Cinta yang dulu kau
katakan sangat ngebet! Kau berkata bahwa
akan sehidup semati.... Tapi nyatanya
baru dibawa jalan-jalan ke kuburan aja,
kau sudah ketakutan setengah mati,
suamiku... ! Hi hi hi... hi hi... "
Kembali disambung dengan suara
mengikik yang tertahan.
"Sudahlah, jangan kau tertawa lagi,
aku benar-benar takut mendengar suara
tertawamu itu!" Sang suami berkata dengan
hati amat mendongkol pada istrinya.
"Oooo, jadi kau  takut padaku ya,
bukan pada setan penunggu makam tua
ini!?". Bertanya sang istri dengan ketus.

Tentu saja suaminya jadi kelabakan untuk
menjawabnya ... "Bu ... bukan ... ! Yang
kutakutkan suaramu, mirip ... "
"Mirip setan, begitu!?" Sang istri
sudah menyambung  kata-kata  gagap
suaminya yang dirasa terlalu lambat
bicara. Tampak sang suami mengangguk-
angguk, agaknya penyakit gagapnya sudah
mau kumat lagi, hingga mulutnya saja yang
menganga tapi yang menjawab adalah
anggukan kepala.
Tiba-tiba istrinya telah berdiri
bertolak pinggang di hadapannya dengan
wajah cemberut, dan berkata; "Jadi
jelasnya kau takut aku apakah takut
setan...?!".
"Ya takut setan...?" Jawabnya
dengan lancar. 
"Apa? Buktinya kau takut aku!"
Berkata lagi ia dengan ketus. "A ... aku
... a... a... a... " 
"Hm, kumat lagi ... !" Gerutu si
wanita baju hitam kesal. Akhirnya ia
berkata "Sudahlah, tak usah kita teruskan
debat. Menunggu bicaramu selesai saja
kesabaranku rasanya sudah mau naik sampai
kepala...! Saking kesalnya menunggu bisa-
bisa aku  benar-benar jadi setan karena
pegalnya hatiku!".
Si wanita sudah lanjutkan lagi
bicara; "Dengarlah suamiku ... Makam tua
ini dulunya adalah bekas istana raja-raja

pulau seberang yang berkuasa di tanah
Jawa. Kerajaan-kerajaan kecilnya banyak
tersebar di seluruh Jawa, kecuali Madura.
Tapi tetap berdaulat pada kerajaan besar
yaitu Kerajaan Medang, yang pernah
dikuasai berpuluh tahun... "
Sang suami manggut-manggut mende-
ngar penuturan itu. Diam-diam hatinya
memuji kepintaran pengetahuan sang istri,
yang mengerti sejarah. "Aku mengetahui
dari ayahku, karena ayahku adalah orang
tanah seberang... Namun ayah tidak
terlibat dengan urusan kerajaan. Di waktu
terjadi peperangan besarpun ayah tetap
berdiam di sini. Karena kedatangannya ke
tanah Jawa adalah karena ingin merantau."
Demikianlah, tanpa dipinta sang
istri telah bercerita mengenai
keluarganya. Kalau ditinjau dari kata-
katanya dan juga gerak-gerik suaminya
yang lebih muda, tampaknya mereka belum
lama menjadi suami istri, dan terbukti
dengan kata-katanya; "Suamiku, aku ingin
kau adalah suami yang terakhir ... Kalau
kau sudah janji padaku janji sehidup
semati, ya sudah... Dan kau harus benar-
benar buktikan kata-katamu itu ... !"
Sejurus si wanita baju hitam itu berhenti
bicara dan menatap wajah suaminya yang
mirip adik atau bahkan anak sendiri
Yang ditatap jadi cengar-cengir dan
manggut-manggut sambil berkata; "Baiklah

istriku sayang.. aku kini tidak takut
setan lagi. Walaupun kau ajak aku untuk
masuk ke lubang kuburan sekalipun aku
akan turuti kau demi cintaku padamu...!".
Mendengar kata-kata suaminya itu
bukan main girangnya si wanita baju
hitam. Segera ia tarik lengan suaminya
dan kepit dengan ketiaknya sebelah kiri,
sehingga mirip tengah di rangkul dari
belakang. Sementara lengannya sendiri pun
menyeruak mencari  jalan dari belakang
baju sang suami, dan berhenti di pinggang
kanannya. Dengan saling berangkulan
begitu mereka memasuki makan tua tersebut
... Sudah tentu sang suami menurut saja
ke mana ia "diseret" sang istri.
Makin ke dalam...  dan makin ke
dalam lagi.  Kini rangkulannya telah
mereka lepaskan karena jalanan sempit dan
penuh semak belukar. Namun cekalan tangan
sang suami tak mau lepas dari tangan
istrinya. Bahkan mencekal makin kuat.
Sementara hatinya berdebar-debar. Namun
rasa takut itu tak ditampakkan pada
istrinya. Bahkan ia berkata; "Wah, kalau
kita membangun gedung di tengah makam ini
orang pasti akan memuji keberanian
kita...!
"Hm, itu sih belum seberapa... Aku
maunya membangun di dalam kuburan... !"
"Hah... !?". Tentu saja jawaban
sang istri membuat ia mati kutu tak bisa

bicara lagi. Untung saja ia tak bicara.
Kalau ia berani teruskan, niscaya
penyakit gagapnya akan kumat lagi.
"Eh, ngomong-ngomong kau mau ajak
ke mana aku ...?" Berkata ia sambil
menahan perasaan takutnya yang sudah 
sedari tadi menggelutinya.
"Mengajakku untuk masuk ke dalam
kuburan...!" Dengan tenang saja si wanita
baju hitam menyahuti. Namun sudah membuat
hati si bangsawan itu jadi kebat-kebit,
dan tubuhnya sudah mulai panas dingin.
Istrinya kalau becanda keterlaluan?
Pikirnya. 
"Kau tunggu di sini...!" Tiba-tiba
ia kibaskan lengannya dari pegangan
tangan sang suami. Dan segera enjot
tubuhnya ke tengah makam. Lalu dengan
berhati-hati ia meneliti setiap gunduk
kuburan yang mempunyai sungkup atau tutup
lubang serta nisannya dari batu.  Tiba-
tiba ia telah berkelebat lagi ke sisi
makam. Di sana ia berhenti. Setelah
meneliti tempat sekitarnya, ia segera
melangkah menuju semak. Dengan menyingkap
semak sebuah batu berbentuk kerucut yang
tertutup semak belukar itu segera
terlihat olehnya. Sementara si laki-laki
bangsawan masih berdiri di sana.
Di hadapan sebuah kuburan tua yang
batu-batunya penuh berlumut. Ia benar-
benar tak mengerti apa yang tengah

dilakukannya istrinya. Ketika tiba-tiba
kuburan yang berada di hadapannya
bergerak tergetar... 
"Hah!? ... To ... to ... tto ...
ttttto ..." Gagapnya langsung saja kumat
lagi. Ketika bersamaan dengan menjeblos-
nya kuburan batu itu ke bawah, terdengar
bunyi Blug! Ketika si wanita baju hitam
menoleh... ternyata sang suami telah
jatuh pingsan, karena takutnya melihat
kejadian yang berlangsung di depan
matanya. Kiranya ketika batu berbentuk
kerucut itu diputar, justru yang bergerak
adalah kuburan batu yang berada di
hadapan suaminya ...
Segera saja ia berkelebat ke sana.
Ia jadi garuk-garuk kepala yang tidak
gatal melihat sang suami yang terkapar di
sisi kuburan ...
Namun ia segera sudah alihkan
matanya memandang ke lubang kuburan yang
sudah menganga itu. Tadinya ia sudah mau
melompat ke lubang, kalau saja ia tidak
kasihan pada sang suami. Namun ia segera
urungkan niatnya. Segera ia sudah
melompat lagi ke sisi makam. Langsung
masuk ke semak, dan menyingkap batu
kerucut itu serta memutarnya lagi. Maka
segera saja batu sungkup kuburan itupun
mumbul lagi ke atas.
Segera ia kembali lagi... Ia
pandang sejenak suaminya dengan diam-diam

ia membatin. Seandainya ia tidak pingsan
tentu ia sudah ketakutan setengah mati
kalau tahu ia benar-benar mau dibawa
masuk ke dalam kuburan!
Memikir demikian ia benar-benar
bersyukur dengan kejadian itu.
Segera ia seret sang suami dan
letakkan di atas batu kuburan. Dengan
tubuh  menyender  pada batu nisan yang
cukup besar itu. Dan dengan cepat ia
melesat kembali ke sisi makam. Memutar
batu kerucut itu ...
Dan perlahan-lahan tubuh si laki-
laki bangsawan itu turut amblas ke dalam
lubang. Sementara ia sudah segera kembali
ke tempat itu.
Tak berapa lama iapun melesat masuk
ke dalam ... Saat selanjutnya kira-kira
sepeminuman teh, tiba-tiba sungkup batu
kuburan itu telah naik ke atas, dan
kembali seperti sedia kala.
Suasana makam tua itu kembali sunyi
lengang dan misterius ...

4

Roro Centil kembali ke kamarnya...
ia sudah merencanakan untuk mengurus
kotak perhiasannya yang dicuri di jongos
tua Tonga, yang bersembunyi di kuburan
misterius di makan tua itu. Kalau
dibiarkan terlalu lama ia khawatir benda-

benda warisan Gurunya itu akan lenyap.
Hal itu akan membuatnya kecewa, disamping
rasa jengkelnya pada si pencuri...
Berfikir demikian ia segera berkemas-
kemas ... Namun alangkah terkejutnya ia
ketika di atas meja ada tergeletak sebuah
kertas yang dilipat. Sebuah suratkah...?
Siapa yang meletakkannya... Pikir Roro.
Segera ia menyambarnya... membuka
lipatannya, dan membacanya.
Ternyata surat itu ditujukan
padanya, yang tulisannya berbunyi: "Nona
Pendekar! Sudilah anda datang ke lereng
Gunung Wilis. Kedatangan anda sangat kami
harapkan. Kami menanti di biara Welas
Asih". Dan pada bagian bawahnya ada
tertulis kata-kata: Ketua biara; Paderi
Jayeng Rana.
Tercenung seketika Roro membaca
surat itu. Siapakah yang telah menaruhnya
di sini? Berfikir ia.  Namun segera ia
lipat kembali kertas itu dan selipkan
pada BH-nya yang baru saja dipakainya.
Tiba-tiba terdengar suara orang naik ke
atas, dan berhenti tepat di depan pintu
kamarnya. Suara ketukan segera terdengar,
dibarengi dengan satu suara; "Kakak, tadi
ada seorang laki-laki di bawah yang telah
memberikan sepucuk surat, dan suruh aku
mengantarkan pada kakak. Karena kuketahui
kakak sedang mandi, aku telah menaruhnya
di atas meja...!" 

Segera Roro mengetahui ia anak si
pemilik penginapan ini. Cepat ia
menyahuti dari dalam; "Oh, ya ... sudah
kutemukan, ... ng ... Terimakasih dik!"
Terdengar lagi suara mengiyakan, lalu
suara langkah kaki pun terdengar
melangkah turun dari atas loteng itu ...
Dan Roro Centil meneruskan berkemas.
Cepat benar sang waktu ... Sebentar
saja hari sudah menjelang tengah hari.
Pak Wiro si pemilik penginapan itu merasa
agak aneh pada tamunya, karena sampai
siang begini tak keluar dari kamarnya.
Juga tak terdengar suara apa-apa di
loteng kamarnya. Padahal hanya ia seorang
yang berada di atas.
Apakah tidur lagi sehabis mandi...?
Berfikir ia.
Apakah ia tidak lapar... dan
memesan makanan? Kembali ia memikir.
Karena biasanya setiap tamunya pasti
makan atau minum di tempatnya, karena
selain menyewakan tempat bermalam ia juga
menyediakan makanan. Sebab di bawah
dipergunakan juga untuk berjualan nasi
serta lauk-pauknya.
Segera ia panggil anak gadisnya
untuk melihat. "Coba nduk, lihat tetamu
kita...! Tampaknya kok aneh. Tak ada
kedengaran suaranya. Apakah ia tidur,
atau... mungkin sakit...!? Tapi tadi pagi
habis mandi, dan tampaknya segar

bugar..." Menyahut sang anak.
Segera sang anak bergegas naik ke
loteng ... Namun tak lama kemudian sudah
kembali lagi, dan mengatakan bahwa
tamunya sudah tak ada di kamarnya. Dan di
atas meja ditemukan beberapa keping uang
receh sebagai pembayaran uang sewa
menginap. Segera ia berikan uang itu pada
ayahnya.
Pak Wiro jadi geleng-geleng kepala
karena baru sekali ini mendapat tamu yang
aneh. Dari mana ia keluarnya...? Demikian
pikirnya. Apakah ia melompat dari jendela
kamar yang setinggi itu ...? Membatin ia.
Namun ia tak dapat untuk terus
memikirkannya karena beberapa orang telah
datang ke warungnya. Ia segera cepat-
cepat melayani para langganannya ...

* * * *

Suara kecapi yang dimainkan oleh
seorang kakek berkulit hitam di bawah
pohon di sisi jalan itu amat enak sekali
kedengarannya.
Berdenting-denting mengalunkan ira-
ma tembang yang mengasyikkan, membuat
orang yang lewat pasti akan menoleh dan
kagum. Karena belum pernah didengarnya
irama kecapi yang seindah itu, yang
dimainkan dengan enak saja oleh si kakek.
Jari-jarinya yang lincah itu bergerak

kesana-kemari seperti sudah punya mata
saja, karena memainkannya tanpa dilihat
lagi.
Tiba-tiba empat orang laki-laki
berpakaian putih hitam muncul di tikungan
jalan. Agaknya suara kecapi yang enak
didengar itu telah membuat mereka pergi
mencari dari mana sumber suara itu.
Segera terlihat oleh mereka adanya
seorang kakek yang berumur kira-kira enam
puluhan tahun. Berwajah seperti orang
yang mengantuk. Dengan rambut separuh
putih, namun amat tipis, bahkan pada
bagian atasnya sudah boleh dikatakan
botak. Kumisnya pun tipis terjuntai bagai
ekor tikus. Tulang pelipisnya menonjol
keluar, dengan kulit muka yang kasar.
Dialah yang dijuluki si "Kecapi
Maut". Seorang tokoh persilatan dari
Pantai Utara. Entah angin apa yang telah
meniupnya hingga ia datang jauh-jauh ke
daerah yang hampir dekat ke Pantai
Selatan ini ... Keempat laki-laki itu
tampaknya dari satu perguruan, karena
warna dan potongan-potongan pakaiannya
sama. Sebentar saja mereka telah sampai
ke bawah pohon, di mana sang kakek tengah
asyik memainkan kecapinya. Melihat yang
memainkannya seorang kakek kumal dengan
pakaian rombeng yang bertambal di sana-
sini itu, salah seorang sudah buka suara
...

"Eh, kakek.... coba perdengarkan
padaku lagu dengan irama yang lain...
Lagu itu membuat mataku jadi mengan-
tuk...!" Katanya, sambil segera merogoh
sakunya mengeluarkan sekeping uang receh,
dan dilemparkan ke hadapan si kakek.
Kepingan uang logam itu persis jatuh di
papan Kecapi yang tengah asyik dimainkan.
Suara Klotak! pun terdengar. Dan
sekonyong-konyong suara dentingan tali
kecapi itu terhenti
Namun mata si kakek kumal itu masih
tetap seperti tadi, terbuka pun tidak.
Melihat orang tetap berdiam, yang seorang
berkata; "Eh, kakek tua! Bukalah matamu.
Apakah uang sedekah itu kurang... ?
Mainkanlah dulu. Nanti kalau lagunya enak
didengar aku yang tambahi ... !". Tiba-
tiba terdengar suara tertawa dari kedua
temannya ... "Ha ha ha ... he he he ...
Kau mau tambahi pakai batu...? Macam kau
mana pernah pegang uang...! Ha ha ha..."
Salah seorang berkata, dan ditimpali
suara tertawa yang memperolok-olokkannya.
Tiba-tiba si kakek telah membuka
matanya yang memang sipit, hingga masih
mirip orang meram saja. Terdengar
suaranya  yang  serak; "Siapakah kalian
ini...?" 
Yang melempar uang itu segera
berkata dengan membusungkan dadanya;
"Hmm... Agaknya kau belum tahu?...  Kami

adalah murid-murid dari perguruan Gelap
Ngampar!  Yang di daerah ini punya nama
disegani orang...! Nah, petiklah keca-
pimu, kakek!" 
Si kakek tampak manggut-manggut dan
tersenyum, tapi senyumnya adalah senyum
sinis. Terdengar ia bertanya  lagi;
"Siapakah Guru kalian?". 
Si laki-laki yang melempar uang
tadi tiba-tiba jadi plototkan matanya.
"Apakah kami harus memperkenalkan juga
pada seorang pengamen tua macam kau...!"
Berkata ia.
"Baiklah, akupun tak begitu ingin
untuk mengetahuinya...! Nih! Ambil lagi
uangmu!" Si kakek pemetik Kecapi ini
tiba-tiba goyangkan peti Kecapinya...
Hebat akibatnya. Uang logam receh
di atas peti itu sekonyong-konyong
melesat ke arah laki-laki itu, yang jadi
terkejut. Untung ia bermata awas. Sekali
lengannya bergerak ia telah dapat
menangkap kembali uang logam recehnya.
Seketika keempat murid-murid pergu-
ruan "Gelap Ngampar" itu jadi terkesiap.
Sadarlah mereka bahwa si  kakek pemetik
Kecapi itu bukanlah orang sembarangan.
Belum sempat mereka buka suara, si
kakek berkulit hitam itu telah perdengar-
kan suara kata-katanya; "Baiklah! Akan
kuperdengarkan pada kalian sebuah lagu
yang lain dari pada yang lain!" Dan

selanjutnya suara dentingan tali-tali
Kecapi telah berkumandang di telinga
mereka.
Iramanya memang terdengar lain,
ketika jari-jari sang kakek kembali
menari-nari di atas tali Kecapinya. Nada
itu terkadang rendah dan tiba-tiba
berubah meninggi dengan suara yang makin
keras... Tapi tahu-tahu merendah lagi
dengan suara yang hampir tak terdengar.
Lalu sekonyong-konyong beralih lagi
dengan nada tinggi yang keras. Tiba-tiba
nadanya berubah makin cepat... dan
semakin cepat, tapi suaranya sudah tak
beraturan lagi. Keempat laki-laki itu
tampak kerutkan alisnya. Suara itu tidak
enak didengar... bahkan membuat telinga
terasa sakit.
Salah seorang tampak sudah menutup
telinganya, sementara yang tiga orang
lagi berteriak-teriak agar si kakek
segera menghentikan permainannya.
Jari-jari si kakek berhenti
menari..., Namun akibatnya ternyata lebih
fatal, karena suara dentingan yang kacau
tadi seperti berdengung-dengung di teli-
nga mereka.
Tahu-tahu tubuh mereka telah
sempoyongan limbung. Dan alangkah terke-
jutnya keempat murid-murid perguruan
Gelap Ngampar itu karena mengetahui
masing-masing telinganya telah menge-

luarkan darah...
"Kurang ajar kau....!" Salah
seorang segera melangkah maju, siap
mengirim tendangan pada si pemetik
Kecapi...  Tapi pada saat itu ...
TINGNGNG! Satu petikan bernada keras
telah terdengar. Apakah akibatnya?...
Keempat laki-laki itu tiba-tiba berteriak
keras, dan terjungkal roboh. Setelah
meregang nyawa, beberapa saat kemudian
tubuh keempat murid perguruan Gelap
Ngampar itu telah tergeletak tak
bergeming lagi. Kematian yang dialaminya
ternyata amat aneh dan menggiriskan,
karena dari telinga, mata dan hidungnya
telah mengalirkan darah segar. Kejadian
itu ternyata tidak luput dari mata
seorang laki-laki bertudung yang menyan-
dang buntalan di punggungnya, dengan tali
buntalan yang diikatkan erat pada dadanya
melalui pundak dan bawah ketiaknya.
Diam-diam laki-laki ini jadi
terkesiap mengetahui ilmu permainan
kecapi yang mengandung maut itu. Dalam
jarak satu lemparan tombak ia dapat
mengetahui kalau si pemetik Kecapi itu
seorang kakek berpakaian kumal yang penuh
tambalan di sana-sini, dengan kepala yang
hampir tidak berambut.
Dalam jarak sejauh itu ternyata
suara dentingan tali-tali Kecapi itu
telah membuat ia terkesiap, karena

mengandung tenaga dalam yang hebat, yang
dikirimkan  melalui suara petikan
Kecapinya. Segera ia satukan panca indra-
nya, hingga suara Kecapi itu seperti tak
terdengar olehnya.
Namun alangkah terkejutnya ia
melihat kejadian yang dialami keempat
orang itu. Siapakah kakek pemetik Kecapi
itu? Pikirnya. Namun tampaknya ia tak mau
berurusan dengan orang. Segera ia
berkelebat pergi, angkat kaki dari situ.


5

Beberapa saat kemudian ia telah
memasuki sebuah desa. Laki-laki bertudung
yang wajahnya hampir tak terlihat karena
seperti terbenam oleh tudungnya yang
lebar itu tampak celingukan ke beberapa
arah. Dan pandangan matanya terhenti pada
sebuah kedai di tengah desa. Segera ia
melangkah ke sana... Kiranya sebuah kedai
nasi yang ditujunya. Terdengar suaranya
yang serak ketika ia memesan makanan.
"Dibungkus  nang...?" Terdengar
suara warung berkata dengan nada heran.
Yang segera disahutinya pendek. "Tampak-
nya anak mau melakukan perjalanan
jauh...?" Berkata lagi ia sambil
membungkus nasi dan lauk pauk pesanan itu

dengan rapi, serta sekalian mengikatnya.
"Benar mbok...!" Menyahut si laki-
laki bertudung itu. 
"Kemanakah tujuan anak ... ?"
"Ke... ,Gunung Wilis! Apakah simbok
dapat menunjukkan aku ke mana arah yang
menuju ke sana?". Jawaban itu tentu saja
membuat si tukang warung jadi terkejut,
dan tatap wajah orang seperti tak
percaya. "Anak mau Ke sana....?" Tanyanya
lagi mengulang seperti ingin jelas. 
"Ya.... Apakah jalan ke sana jauh,
mbok?" Sambungnya lagi. Perempuan tua itu
tampak menggeleng-gelengkan kepala sambil
berkata; "Oalaaaah nang...! Bukannya jauh
lagi, tapi terlalu jauuuuh sekali! Ada
keperluan apa anak jauh-jauh mau ke sana
... ?"
Tanyanya lagi, sambil memberikan
bungkusan nasi yang telah rapi diikatnya.
"Ke tempat famili... !" Sahut laki-laki
itu pendek. Dan balikkan tubuh untuk
segera berjongkok, dan buka ikatan ujung
buntalannya di dada. Selanjutnya meraih
bungkusan nasi itu dan selipkan pada
buntalannya.
Tak berapa lama kemudian ia sudah
keluar lagi dari kedai nasi itu. Tiba-
tiba ia merandek karena mendengar suara
di belakangnya; "Berjalanlah lurus sampai
ke ujung desa ini. Lalu membelok ke
kiri... Itulah arah timur. Bila mau ke

Gunung Wilis teruslah menghadap ke timur.
Setelah melewati dua buah gunung, maka
Gunung ketiga itulah gunung Wilis yang
berdekatan dengan sebuah gunung, yang
bernama Gunung Liman. Tapi jangan
salah... karena Gunung Wilis tidaklah
setinggi Gunung Liman, dan berada di
sebelah selatan Gunung Liman ... !".
Ternyata yang berkata adalah
seorang laki-laki setengah tua tanpa
membalikkan tubuhnya. Dan tanpa menoleh
lagi ia telah bergegas pergi dengan
langkah lebar menuju ujung desa.
Sebentar saja ia telah tiba di sana
... Ketika membelok ke kiri tiba-tiba ia
hentikan langkahnya merandek sejenak.
Karena di hadapannya telah berdiri seekor
kuda putih yang kekar, lengkap dengan
pelana dan tali kendalinya.
"Aneh...!? Kuda siapakah?" Terde-
ngar ia bergumam. Tampak ia palingkan
kepalanya ke perbagai arah. Ternyata di
situ tak ada sepotong manusia dan sebuah
pondok pun. Tersentaklah hatinya. Apakah
kuda itu diperuntukkan buat dirinya...?
Tiba-tiba  terdengar suara yang
mendesis dari bibirnya. "Setan alas! Aku
sudah menyamar, toh masih ketahuan...!"
Dan sekonyong-konyong ia telah lemparkan
topi tudungnya. Segera saja terurai
rambutnya yang panjang ... Dan ketika
lengannya bergerak ke arah wajahnya, ia

telah menarik selembar kulit tipis yang
melekat pada wajahnya. Terlihatlah wajah
aslinya... Sepasang mata yang bulat indah
dengan bulu matanya yang lentik panjang.
Hidung yang tidak terlalu mancung dengan
bibir tipis bagaikan busur panah yang
melengkung  kemerahan. Wajah yang amat
cantik dari seorang gadis muda yang baru
meningkat dewasa... Siapa lagi kalau
bukan Roro Centil, si Pendekar Wanita
Pantai Selatan.
Segera ia simpan kedok kulit muka
itu, dan terdengar suara tertawanya yang
merdu. Tiba-tiba sekali berkelebat ia
telah melesat ke dekat kuda putih itu
berdiri. Setelah lepaskan tali kendali
yang mengikat binatang itu pada sebatang
pohon kecil, ia sudah enjot tubuhnya
melayang ke atas punggung kuda.
Ternyata kuda putih itu seekor kuda
yang jinak. Binatang itu perdengarkan
ringkikan perlahan dan berputar-putar di
situ. Roro baru sadar kalau ia baru
sekali ini naik kuda. Dengan hati-hati ia
mencoba tarik dan kendurkan tali
kendalinya. Biarlah! Hitung-hitung sambil
belajar naik kuda. Pikirnya.
"Hus! Hus! Heaaaaaa ... !" Ia coba
berteriak sambil hentakkan kakinya pada
perut kuda, dan keprakkan tali kendali
ketika sang kuda telah menghadap ke arah
timur.

Dan dengan segera binatang itu
bergerak lari ke arah itu ... tapi tiba-
tiba Roro telah tarik kendalinya.
Sekonyong-konyong binatang itu segera
tahan larinya, dan terdengar ringkikan-
nya. Ketika berhenti, sepasang kaki
depannya tiba-tiba terangkat ke atas ...
Nyaris Roro terjungkal ke belakang.
Untung tubuhnya tertahan oleh tali
kendali yang menyangkut pada mulut bina-
tang itu.
Setelah berputar-putar beberapa
kali mengelilingi pohon kecil itu dengan
berulang-ulang menarik ke kiri dan ke
kanan ... Roro pun fahamlah caranya untuk
mengendalikan kuda dengan baik.
Selanjutnya ia telah keprak tali
kendalinya sambil berteriak; "Heaaa-
aaaaa!" Dan sang kuda dengan patuh segera
mencongklang dengan cepat ke arah timur.
Tubuh Roro Centil tampak terangguk-angguk
di atas punggung si Putih yang
mencongklang dengan cepat. Tapi tampaknya
Roro sudah lengket pantatnya di atas
pelana.  Ia tinggal mengikuti saja
gerakan-gerakan punggung binatang itu
tanpa kikuk lagi. Debu mengepul yang
ditinggalkannya makin menipis... dan
akhirnya punggung Roro sudah tak
kelihatan lagi karena sudah semakin jauh 
Di tepi sebuah sungai tampak
terlihat seekor kuda hitam yang bulunya

berkilat-kilat ditimpa cahaya matahari
sore yang cerah, tertambat pada sebatang
pohon tua yang tumbuh di tepi sungai yang
berair jernih. 
Seonggok pakaian berwarna merah
tampak tidak jauh dari kaki kuda itu,
berada di atas sebuah batu di tepi
sungai.
Sepasang kaki tersembul dari
permukaan air, bersamaan dengan terlihat-
nya sepasang betis yang berkulit halus...
terdengar suara air menyibak muncrat.
"Kang Sentanuuuu...! Apakah kau tidak
ingin mandi? Oh, segar sekali rasa-
nya...!" Satu suara merdu segera terde-
ngar dari tengah sungai yang berair tidak
terlalu dalam itu. Ternyata itu adalah
suara Roro Dampit yang tengah
berkecimpung di air sungai mempertun-
jukkan kebolehannya berenang, pada
seorang laki-laki tampan yang tampak
menuruni tepi  sungai yang berbatu-batu.
Namun ia tidaklah menoleh pada suara itu,
melainkan terus membasuh wajah serta
tangan dan kakinya ketika tiba di tepi
air. Tiba-tiba persis di hadapannya
sebuah kepala tersembul di permukaan air.
Diselingi suara tertawa ... dan sebagian
tubuhnya segera tersembul semua. "Idiiih,
nggak mandi! Malu ah..." Demikian kata
Roro Dampit sambil menutupi sebagian
tubuhnya yang entah disengaja entah

tidak, ujung dua bukit kembar itu sedikit
terlihat. Membuat mata Sentanu mau tak
mau merayap ke sana...
Seketika laki-laki ini cepat-cepat
palingkan wajahnya, sementara jantungnya
kembali berdegup cepat. Ia akui memang
akan kecantikan orang, namun justru
ingatannya bahkan tertumpu pada Ratu Laut
Nyai Roro Kidul. Yang pernah digandrungi
setengah mati. "Puaskanlah mandimu,
sebentar lagi setelah istirahat kita
lanjutkan perjalanan!" Berkata ia sambil
balikkan tubuh, dan melangkah pergi dari
situ. Ternyata yang ditujunya adalah ke
bawah sebatang pohon rindang. Di sana ia
menjatuhkan pantatnya untuk duduk di akar
pohon.
Sementara pandangan matanya tertuju
lagi pada tempat di mana gadis itu mandi
berkecimpung ... Terdengar suara helaan
napasnya yang berat seperti ia tengah
berusaha melepaskan tekanan perasaan
dalam dadanya.
Bukannya wajah Roro Dampit yang
berkelebatan pada wajahnya. Tapi wajah si
Pendekar Wanita Pantai Selatan, yaitu
Roro Centil. Yang akhirnya barulah
disadari bahwa Ratu Dongeng Nyai Roro
Kidul itu bukanlah seorang Dewi lautan,
melainkan seorang wanita Pendekar yang
berilmu tinggi. Hingga sampai-sampai ia
tak percaya bahwa seorang manusia dapat

bermain di atas ombak dengan gelombang
yang besar-besar itu. Betapa tingginya
ilmu pendekar wanita yang menamakan
dirinya Roro Centil itu. Membatin
hatinya.
Pantas kalau ketika paderi cabul
Gunung Wilis itu berhasil ditumpasnya.
Demikianlah sambil duduk di akar pohon
itu, sebentar pikirannya tertumpu pada si
gadis pendekar itu, namun sebentar
tertuju pada gadis yang asyik mandi di
hadapannya... yang sama-sama mempunyai
nama depan yang sama yaitu RORO.  Cuma
berbeda pada ujungnya saja.
Sesaat ia teringat akan dirinya
yang tak mempunyai kepandaian apa-apa,
cuma sekedar ilmu yang boleh dikatakan
tak berarti bila dibandingkan dengan para
pendekar yang pernah didengar namanya,
seperti; si Maling Sakti atau Pendekar
Bayangan. Memikir demikian ia merasa
menyesali kebodohannya selama ini
Saking jauhnya ia melamun, sampai-
sampai ia tak menyadari kalau si gadis
teman seperjalanannya itu telah selesai
mandi. Dan telah pula selesai mengenakan
pakaiannya kembali. Bahkan langkah-
langkah tindakan kaki di belakangnya ia
tak mendengarnya karena memang si gadis
baju merah itu dengan berjalan memutar,
telah berada di belakang Sentanu. Dan
dengan langkah hati-hati ia menghampiri

laki-laki itu. Sentanu yang tak menyadari
tiba-tiba jadi terkejut karena sepasang
lengan yang dingin telah merangkul
lehernya dari belakang... Dibarengi
terdengarnya suara "Kak Sentanu, kau
melamun saja... apa sih yang
dilamunkan...?"
Tentu saja ia jadi gelagapan. Untuk
meronta adalah hal yang sulit rasanya
karena tak sesuai dengan hatinya yang
lembut dan mengerti perasaan orang.
Terpaksa ia mandah saja ketika sepasang
benda lunak yang lembut menindih pada
punggungnya, dan ketika benda yang
menimbulkan rangsangan itu menggeser ke
atas, pipi yang terasa dingin namun
hangat itu telah menempel pada pipinya...
Terdengarlah bisikan lembut pada
telinganya "Kak Sentanu... aku... aku
cinta padamu... " 
Suara yang mendesis pada telinganya
itu benar-benar membuat hatinya terge-
tar... Jantungnya berdetak lebih cepat.
Rangsangan yang kuat itu mulai
mempengaruhi jiwanya. Apa lagi di goda
terus menerus selama beberapa hari dalam
perjalanan yang tak menentu itu, yang
Sentanu tak mengetahui arahnya. Bahkan si
gadis baju merah itulah yang menunjuki
arah ke mana ia membawa kudanya. Alhasil
ia cuma pegang tali kendali, namun urusan
berhenti, belok kiri atau belok kanan

adalah atas perintah dan keinginan si
gadis di belakang punggungnya, yang ia
tinggal menuruti saja ke mana yang
dimauinya!
Rasa benci pada pamannya Senapati
Wira Pati itu, dan rasa sedih dengan
kematian ibunya membuat ia ingin pergi
sejauh-jauhnya entah ke mana ia tak tahu
...
Memang selama ini ia selalu
berusaha menjauhi hal-hal yang
bertentangan dengan hati kecilnya. Ia
menyadari betapa tidak baiknya berjalan
dengan seorang gadis. Apalagi teman
seperjalanannya berada pada satu kuda. Di
samping menarik perhatian orang, juga
kurang leluasa baginya karena walaupun
bagaimana ia mengkhawatirkan hal-hal yang
tak diingininya.
Pernah ia hampir berniat mening-
galkan gadis baju merah itu dengan diam-
diam, di saat malam menjelang, dan mereka
bermalam pada sebuah pondok petani. Roro
Dampit dengan berani telah mengatakan
bahwa mereka berdua adalah suami istri
yang kemalaman di jalan. Tentu saja ia
jadi melengak. Seandainya  ia tidak
diserobot  lebih dulu untuk memberikan
penjelasan, tentu tak akan terjadi mereka
berdua menginap dalam satu kamar.
Untunglah malam demi malam selama dalam
perjalanan itu Sentanu selalu dapat

menguasai diri ... Namun tindakan Roro
Dampit semakin berani ... dan yang
terakhir ini lebih berani lagi, dengan
membisikkan kata-kata cinta yang sudah
dikatakannya dengan terang-terangan,
tanpa malu-malu lagi. Bahkan kali ini
sang gadis telah jatuhkan tubuhnya pada
pangkuan Sentanu .. . Laki-laki ini cuma
bisa  pejamkan mata menahan gejolak
hatinya yang memburu ... Tiba-tiba saja
ia sudah tak bisa berfikir jernih lagi,
ketika lengan-lengan halus Roro Dampit
mulai merayapi wajahnya ... lalu turun ke
bawah mengusap lehernya ... ke bawah lagi
... mengusap dadanya. Bukan itu saja
bahkan mulai membukai kancing-kancing
bajunya.
Bagaikan seekor ular saja lengan
yang halus dan jari-jari yang lembut itu
merayapi hampir sekujur tubuhnya. Tubuh
Sentanu bagian atasnya entah bagaimana
telah terbuka seluruhnya ... Entah cara
apa yang dilakukan ular-ular lembut itu,
hingga pakaian atas si laki-laki itu bisa
merosot ke bawah. Kelanjutannya ... ular-
ular lembut itu merayap lagi ke atas. Dan
berhenti menggantung pada lehernya. Bagai
seekor kerbau yang dicocok hidungnya
dengan tali, ia merendah saja akan apa
yang dilakukan gadis itu padanya...
Sentanu tak dapat menahan kepalanya untuk
menunduk dalam-dalam, karena sepasang

ular lembut itu telah mengganduli
lehernya dengan berat. Tahu-tahu ia
merasa bibirnya telah dipagut oleh seekor
ular yang mendesis-desis bagaikan mau
menyantap bibirnya dan menelannya bulat-
bulat hingga ia rasakan napasnya sesak,
karena hidungnya tertindik benda lunak
yang mengeluarkan angin mendesah-desah...
Dan rasa hangat segera merayapi sekujur
tubuhnya ketika sepasang benda lunak yang
lembut itu menempel erat menindih
dadanya, seperti mau menutup bunyi degup
jantungnya yang semakin cepat berdetak...
Dua ekor anak anjing yang terpisah
dari induknya yang berada di seberang
sungai itu tiba-tiba tampak saling terkam
dan saling gigit dengan seru ... bahkan
ketika salah seekor jatuh terguling,
kaki-kaki yang sigap dari salah satu
anjing itu telah kembali menerkam. Dan
moncongnya telah dipergunakan menggigit
leher kawannya yang meronta-ronta manja
dengan keluarkan keluhan-keluhan.
Tak lama gigitannya pun terlepas...
dan keduanya bergumul semakin seru...
Saling tindih dan saling terkam...
Selang beberapa saat tampak seekor
kupu-kupu yang hinggap pada ranting kayu
telanjang ... telah keluarkan telurnya
yang melekat pada ranting yang d hinggapi
nya. Dengan harapan atau memang tak
begitu dirisaukannya si telur mau menetas

atau tidak... Sementara kedua anjing di
seberang sungai itu rupanya tergeletak
saling tindih, dengan napas yang terendah
engah. Namun "perkelahian" itu benar-
benar mencapai kepuasan bagi keduanya ...

6

Matahari makin condong ke arah
barat. Ketika seekor kuda putih mencong-
klang cepat, namun terkadang harus
berhenti untuk membelok atau memutar,
dikarenakan jalan yang dilaluinya banyak
rintangan.
Tiga sungai telah dilintasi, yang
terpaksa harus mencari air yang agak
dangkal untuk melintasinya... Sementara
cuaca semakin meredup, karena sang
mentari seolah tertutup rimbunnya
pepohonan.
Si punggung kuda putih itu tak lain
dari Roro Centil.
Yang dalam perjalanannya  menuju ke
Gunung Wilis. Surat yang dikirim padanya
dengan melalui seseorang yang tak
diketahuinya itu, telah membuat ia harus
menempuh perjalanan yang teramat jauh
itu. Semata-mata karena terdorong rasa
kewajiban untuk datang karena undangan
aneh yang tak diketahui maksudnya itu.
Disamping rasa ingin tahu pada si
pengundangnya, yang menurut yang tertera

di surat adalah dari ketua Biara "Welas
Asih". Di lereng Gunung Wilis, yang
bernama; Paderi Jayeng Rana. Siapakah
paderi Jayeng Rana itu, dan apakah
hubungannya dengan si Tiga paderi Gunung
Wilis yang telah ditumpasnya itu?...
Serta satu hal yang membuat ia ingin tahu
adalah ada permusuhan dan persoalan
apakah  paderi-paderi Gunung Wilis itu
dengan Gurunya, yang menurut penuturan
sang Guru adalah beliau terluka terkena
pukulan beracun dari Paderi-Paderi Gunung
Wilis.
Namun apakah sebabnya ia tak boleh
membalas dendam... itulah yang ia ingin
ketahui ... Sedangkan tiga paderi Gunung
Wilis itu nyata-nyata telah ditumpasnya.
Mengapa masih ada lagi paderi Gunung
Wilis yang lain ... ? Manakah yang benar?
Itulah yang membuat Roro terpaksa menunda
pengejarannya pada si jongos tua yang
telah melarikan atau mencuri kotak
perhiasannya. Namun telah diketahui
tempat persembunyiannya...
Di hadapannya kini telah melintang
lagi sebuah sungai... entah sungai yang
keberapa kali yang harus dilintasi. Namun
sebentar lagi hari akan gelap, maka Roro
urungkan niatnya untuk menyeberang. Dan
mencari saja tempat bermalam, sambil
bersantap. Karena khawatir nasi yang
telah dibelinya itu jadi mubazir tak

termakan... Segera ia putar kudanya untuk
mencari jalan ke arah desa terdekat...
yang ia yakin pasti ada di sekitar situ.
Benarlah, tak berapa lamanya
setelah menempuh jarak kurang lebih dua
lemparan tombak. Dari jauh, dilihatnya
ada asap mengepul. Pasti sebuah pondok.
Pikir Roro. Dan bergegas ia ke sana. Dan
yang tampak ternyata benar-benar di luar
dugaan, karena di situ, hanya terdapat
sebuah gubuk tanpa dinding. Sedangkan di
bawah atap itu terlihat dua sosok tubuh,
laki-laki dan wanita tengah asyik
memanggang sesuatu entah daging apa...
yang baunya sedap dan wangi sekali.
Sedangkan pada tiang gubuk itu tertambat
seekor kuda hitam yang tengah asyik makan
rumput.
Segera Roro dapat mengetahui kalau
yang wanita itu adalah murid si Naga
Seribu Racun. Sedangkan yang laki-laki ia
dapat mengenalinya yaitu laki-laki yang
telah menemukan kalungnya. Benda itu
sudah tergantung di lehernya, namun
dengan orangnya baru hari ini dapat ia
jumpai lagi...
Melihat si gadis baju merah cuma
sendiri, tanpa adiknya... dan kini di
tempat sunyi begini telah berdua-dua
dengan laki-laki. Segeralah Roro mengerti
pasti ada apa-apa dengan kedua orang itu.
Mendengar langkah-langkah kuda

mendekati, tentu saja kedua orang yang
tengah asyik dengan panggangannya itu
jadi menoleh, dan terkejut melihat siapa.
Orang yang menunggangnya. 
"Nona Pendekar Roro Centil... !?
Oh, angin apa yang telah membawa anda
sampai kemari...?" Berseru si wanita baju
merah itu, sambil bangkit berdiri, dan
menghampiri lebih dulu.
Sentanu pun cepat-cepat bangkit....
segera ia tatap wajah orang, yang
ternyata dua pasang mata telah bentrok,
karena saat itupun Roro tengah menatap
padanya.
Adegan sekilas itu tak luput dari
mata Roro Dampit... Walaupun cuma
sekilas, namun mempunyai arti yang
mendalam bagi pandangan hatinya. Memang
bisa dimaklumi bagi seorang wanita yang
sedang dimabuk cinta seperti dirinya.
Namun ia tak perdulikan semua itu,
dan cepat menyalami Roro yang baru saja
melompat turun dari kudanya.
Sentanu pun segera keluar dari
gubuk, dan menjura hormat pada si
pendatang yang pernah digandrungi dan
disangka Peri atau Dewi laut Pantai
Selatan. Tak dikisahkan obrolan mereka
bertiga, yang sama-sama terkejut karena
dapat berjumpa dengan tidak sengaja di
tempat itu.
Selanjutnya terlihat mereka asyik

bersantap dengan nikmatnya daging kelinci
yang baru saja ditangkap oleh Roro
Dampit. Dan disaat daging matang, muncul
Roro yang memang membawa bekal nasi yang
cukup banyak beserta lauknya.
Tentu saja suatu kebetulan yang
jarang ada. Maka ketiganya terus saja
bersantap. Tak dikisahkan malamnya, dan
obrolan-obrolan Roro Centil dan Roro
Dampit, yang tidur satu selimut berdua.
Kedua Roro itu dapat tidur pulas ... cuma
Sentanu yang jadi serba kikuk. Hingga
semalam-malaman ia tak dapat memicingkan
matanya. Kegelisahan membuat ia cuma
duduk menghadap api unggun sampai
menjelang pagi. Roro Dampit dapat tidur
nyenyak karena ia telah mengetahui jelas
tentang hubungan Roro Centil pada
Sentanu. Yang tenyata tak ada hubungan
apa-apa. Cuma mengenai seuntai kalung
yang telah ditemukan Sentanu sepuluh
tahun yang lalu. Yang ternyata adalah
milik Roro Centil. Dan Roro cuma ingin
bertemu muka saja pada orang yang telah
menemukannya, tanpa ada embel-embel yang
lainnya, apalagi kisah asmara. Karena
ucapan terimakasih akan terasa lebih
akrab bila dengan menjumpai orangnya.
Bila dilihat usia, agaknya Roro
Centil lebih muda dibandingkan dengan
umur Roro Dampit. Namun Roro Centil
ternyata mempunyai kelebihan kecerdasan

dibanding Roro Dampit. Dan perbedaan
watak kedua wanita itu adalah; Roro
Dampit lebih mementingkan diri sendiri.
Sedangkan Roro Centil lebih cenderung
mementingkan urusan orang lain ketimbang
dirinya. Roro Centil tahu diri orang
sedang dimabuk cinta, makanya pagi-pagi
sekali ia sudah berkemas untuk segera
meneruskan perjalanan.
Namun Roro Dampit dengan memelas
memohon agar jangan berangkat dulu...
Heran juga Roro Centil, mengapa si gadis
baju merah begitu berkeras untuk
menahannya...? Pada sat itu Sentanu
muncul. Rupanya ia baru saja selesai
mandi di sungai yang memang tidak berapa
jauh. Melihat munculnya Sentanu, tiba-
tiba lengan Roro Centil segera ia tarik
untuk menjauh dari gubuk itu.
Tentu saja membuat si Pendekar
Wanita Pantai Selatan ini jadi makin
keheranan. Ia cuma bisa mandah saja tanpa
bicara apa-apa. Sekalian ingin  tahu ada
rahasia apakah di antara mereka berdua
yang tak boleh diketahui Sentanu...?
Roro Dampit mengajaknya duduk di
bawah sebatang pohon. Dan selanjutnya ia
sudah berbicara dengan suara perlahan.
Sementara Sentanu cuma melirik kelakuan
kedua wanita itu,  seolah tak memper-
dulikan atau juga berpura-pura tak
mengetahui. Ia melangkah mendekat kudanya

yang bernama Antasena itu. Dan
membersihkan bulu-bulu binatang kesaya-
ngannya itu dengan tangannya.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa
Roro Centil yang agak keras. Suara merdu
yang membuat Sentanu menoleh. Lapat-lapat
di dengarnya suara si Pendekar Wanita
itu. Sementara Sentanu pasang telinga
baik-baik sambil pura-pura membersihkan
sepatu kaki kudanya... 
"Jadi aku mau kalian jadikan
Penghulu untuk menikahkan kalian? Hihihi
... alangkah lucunya!" 
Sentanu terkejut juga mendengar
kata-kata yang didengarnya lapat-lapat
itu. Telinganya segera ia pasang lagi
baik-baik. "Aku tak tahu caranya
menikahkan orang... Sebaiknya kalian cari
saja orang yang mengerti ... " Terdengar
lagi suara Roro Centil.
"Tidak ... ! Aku ingin kau yang
menjadi Penghulunya nona Pendekar...! Aku
sudah yatim piatu, dan dia ... dia juga
sama halnya denganku. Kurasa tak ada
halangannya kau menikahkan kami nona
Pendekar ... Kasihanilah aku!" Terdengar
Roro Dampit menyahuti dan berkata seperti
meratap. Trenyuh juga hati Sentanu
mendengarnya. Ia telah merasa berbuat
kekhilafan, dan ia harus bertanggung
jawab atas perbuatannya. 
Cuma saja ia masih teringat akan

pesan Mandra, sahabatnya yang telah
memohon padanya untuk menjaga adiknya,
Marni. Yang kini tak diketahuinya di
mana, karena memang bukan kesalahannya
untuk tidak menepati janji atau pesan
terakhir itu, melainkan Marni yang telah
mendahului pergi karena tak mau berjumpa
dengannya. Kini semua itu bukanlah
masalah... Ia harus tunjukkan dirinya
sebagai laki-laki yang bertanggung jawab!
Demikian pikirnya dengan matang.
Memikir demikian, tiba-tiba ia
bangkit berdiri..., pandangan matanya ia
arahkan pada kedua wanita yang tengah
bersitegang itu.
Yang satu mohon dengan memaksa,
sedangkan yang satu menolak dengan
mengarahkan pada jalur yang benar.     
Sentanu merasa ia harus berpihak
pada Roro Dampit yang dilihatnya begitu
memelas mengharapkan si Pendekar Wanita
Pantai Selatan itu untuk menikahkan
mereka. Segera ia langkahkan kaki ke sana
dengan cepat...
Melihat kedatangan Sentanu Roro
Dampit sudah tutup mulutnya berhenti
bicara. Roro Centil cepat bangkit
berdiri, diikuti Roro Dampit, yang
memandang wajah Sontanu segera menunduk.
Sentanu segera menjura... dan
berkata; "Maafkan, aku telah mengganggu
pembicaraan kalian berdua ... !" 

"Oh, tidak mengapa, kami hanya
membicarakan...
"Aku sudah dengar apa yang kalian
bicarakan." Sentanu memotong pembicaraan
orang. Agaknya ia sudah tak sabar untuk
memulai berkata.
Roro  Centil yang memang sengaja
agak mengeraskan suara tadi, cuma
tersenyum. Ia memang sudah menyangka
pasti Sentanu akan mendengar pembica-
raannya.
"Maaf aku telah memotong kata-
katamu, nona Pendekar ... " Kembali Roro
Centil tersenyum dan lirikan matanya pada
Roro Dampit yang masih tundukkan
wajahnya.
"Ah, tak mengapa... Silahkan anda
bicara, biarlah aku dan kak Roro Dampit
yang ganti mendengarkan". Sela Roro
Centil, dengan kata-kata yang menghargai
orang.
Segera Sentanu ungkapkan perasaan
hatinya yang ada bersamaan dengan
keinginan Roro Dampit, yang ia bersedia
menyuntingnya, serta tak lupa
mengemukakan alasan-alasannya. Tentu saja
pernyataan itu kembali membuat Roro
Centil jadi geleng-gelengkan kepala, dan
berkata; "Aiiiii ... Kalian ini agaknya
telah sepakat  untuk mengangkatku menjadi
wali, juga penghulu kalian berdua...
Entah kapan berundingnya...?"

Lain halnya dengan Roro Dampit,
yang begitu mendengar kata-kata Sentanu
yang ternyata di luar dugaan adalah laki-
laki yang berani bertanggung jawab. Ia
telah menjadi kegirangan setengah mati.
Tadinya ia mengira Sentanu pasti tidak
akan menghiraukannya kalau ada terjadi
apa-apa terhadap dirinya. Kecemburuannya
pada Marni sudah pasti ada, karena ia
menduga Sentanu kelak akan mencari juga
di mana adanya Marni, demi menunaikan
janjinya pada Mandra disaat pesan
terakhirnya sebelum tewas. Ketika
mendengar penjelasan bahwa ia kelak cuma
akan menjaga Marni sesuai dengan
janjinya, namun tidak sebagai istri...
melainkan sebagai adik angkatnya.
Tentu saja ia girang bukan main...
karena ia benar-benar amat mencintai
Sentanu. Itulah sebabnya tadi ia sengaja
diam-diam minta dinikahkan cepat-cepat
pada sang Pendekar Wanita. Dengan harapan
Sentanu tidak akan menyeleweng lagi bila
telah menikah. Apa lagi dinikahkannya 
oleh Pendekar  Wanita Pantai Selatan,
sudah pasti Sentanu akan mati kutu ...
Kini segalanya telah menjadi
terang. Sentanu pun justru ingin cepat-
cepat menikah demi menghindari dosa yang
ditakutkan akan berkelanjutan.
Mendengar Sentanu pun menginginkan
si wanita Pendekar  itu menjadi wali

mereka sekaligus menikahkannya, Roro
Dampit segera bergerak memeluk Sentanu,
yang balas memeluknya sambil mengusap-
usap rambutnya. Sekonyong-konyong kedua-
nya telah berjongkok memberikan
penghormatan pada Roro Centil. Bahkan
Roro Dampit telah bersujud mencium
kakinya. Keruan saja si Pendekar Wanita
ini jadi terkesiap. Buru-buru ia angkat
bahu orang dengan satu hentakan tenaga
dalam, karena ia yakin keduanya pasti
akan susah untuk dibangunkan.
"Bangunlah, tak layak kalian
berbuat begitu...! 
Usiaku masih sangat muda, bahkan
kalian berdua justru lebih tua. Kita
bicaralah yang baik. Marilah..." Satu
kekuatan tenaga dalam telah membuat
keduanya unjuk rasa kaget, karena bagai
disedot oleh besi sembrani mereka tahu-
tahu telah bangkit berdiri. Segera Roro
Centil bimbing mereka ke dalam gubuk.
"Seperti telah kukatakan tadi, aku
tetap tak bisa menikahkan  kalian . ...
karena aku tak tahu cara menikahkan
orang. Biarlah aku menjadi saksi saja
atas pernikahan kalian nanti. Sedangkan
untuk mengesyahkan kalian menjadi suami
istri, aku akan carikan orang yang memang
kerjanya menikahkan orang..." Dan lanjut-
nya lagi; "Kalian tunggulah di sini. Aku
akan cari di beberapa desa, dan bawa

kemari untuk menikahkan kalian dengan
resmi. Bagaimanakah... Apakah kalian
setuju?" Kedua sejoli itu tak keluarkan
sepatah kata selain mengangguk-angguk.
Sementara Roro Dampit sudah basahi
pelupuk matanya dengan genangan air mata.
Entah air mata sedih atau bahagia... Roro
Centil segera berdiri dan beranjak keluar
gubuk ... Akan tetapi pada saat itu
terdengar satu suara...
"Kalau cuma untuk menikahkan saja
mengapa harus cari orang jauh-jauh? Aku
pun sanggup...!".
Tentu saja suara itu membuat
ketiganya jadi terkejut. Roro Centil
segera pasang mata, dan pusatkan panca
indra untuk mengetahui di mana adanya
sumber suara itu. Sedangkan Roro Dampit
tiba-tiba bangkit berdiri sambil mengha-
pus air matanya, dan melompat keluar
gubuk sambil palingkan kepalanya ke sana
kemari dengan mata liar menatap ke
beberapa arah.
Sementara Roro Centil telah
mengetahui di mana adanya orang yang
bersuara itu, dan tentu saja ia jadi
terkesiap karena yang terlihat adalah
ujung sebuah peti kayu ... "Hah!? Si
pemetik Kecapi Maut...!" Roro keluarkan
desisan dari bibirnya. Dan pada saat itu
juga telah berkumandang suara petikan
tali-tali kecapi dengan lagu yang enak

sekali bernada lembut membuat orang akan
segera terkenang masa yang si-lam...
Wajah Roro Dampit tampilkan senyum girang
... segera ia sudah melompat ke arah mana
suara Kecapi itu.
Roro Centil tak dapat mencegah
karena orang sudah cepat sekali memburu
ke balik pohon di belakang gubuk itu.
Sementara Roro Dampit telah berada di
hadapan si pemetik kecapi itu yang segera
telah menghentikan permainannya. Melihat
seorang kakek berkulit hitam yang entah
dari mana datangnya dan tahu-tahu sudah
berada di situ, Roro Dampit terkejut
juga. Namun mengetahui orang bisa menjadi
penghulu untuk menikahkannya, Roro Dampit
sudah cepat-cepat buka suara; "Oh...
Benarkah kakek bisa menikahkan kami...?"
Si kakek pemetik kecapi itu dengan
terkekeh-kekeh tertawa segera menjawab;
"Jangankan untuk menikahkan manusia di
dunia, menikahkan manusia untuk di
Akhirat pun aku bisa...!"
Roro Dampit melengak juga mendengar
kata-kata itu, namun ia tak begitu
memperdulikan ucapan yang seperti bernada
sombong itu. Karena pikirannya  sudah
tertuju pada resminya pernikahan mereka
berdua, ia sudah sambung kata-kata si
kakek; "Aku yang akan menikah Kek, kami
memang tengah mencari orang yang pandai
dan mengerti akan hal itu. 

Saksinya pun sudah ada. Beliau
adalah Pendekar Wanita Pantai Selatan,
Roro Centil..." Ketika mengucapkan
demikian Roro Dampi bicara dengan nada
bangga, dan palingkan kepala melirik pada
Roro Centil yang masih berdiri di samping
gubuk dengan hati kebat-kebit. Ia agak
menyesal kesembronoan Roro Dampit yang
telah memperkenalkan dirinya dengan nama
sanjungan itu
Sementara Sentanu sudah mau
bergerak menyusul ke sana... namun Roro
segera menahannya karena sudah terdengar
lagi suara Roro Dampit "Mari kek,
kupersilahkan anda ke gubuk. Di sana enak
kita dapat duduk bercakap-cakap..."
Segera Roro Dampit melangkah lebih dulu.
Dan tampak sang kakek sudah angkat peti
kecapinya dan sangkutkan di pundaknya. 
Namun alangkah terkejutnya ketiganya
ketika mengetahui si pemetik kecapi tidak 
berdiri, melainkan berjalan dengan
menggunakan kedua lengannya untuk
melompat dari balik pohon itu.
Ternyata kedua kakinya buntung
sebatas paha, yang tertutup oleh jubahnya
yang berwarna abu-abu. Roro Centil
kerutkan kening, dan dalam hati ia diam-
diam  berdoa  agar tak terjadi sesuatu,
betapa ia amat memikirkan nasib kedua
sejoli itu ....
Tak dikisahkan lagi bagaimana

upacara berlangsung. Akhirnya resmilah
pernikahan kedua sejoli itu, dengan
disaksikan oleh sang Pendekar Wanita
Pantai Selatan. Tampak Roro Dampit
kucurkan air mata bahagia. Segera Sentanu
peluk istrinya dengan terharu ... 
Roro Centil menundukkan wajahnya...
Entah apa yang terasa di hatinya... tapi
yang jelas iapun turut merasakan
kebahagiaan mereka berdua.
Sementara si pemetik kecapi sudah
lantas buka suara, dan palingkan
kepalanya pada Roro Centil, yang segera
angkat wajahnya.
"Upacara sudah selesai... Kini
suruhlah sepasang pengantin ini cepat-
cepat pergi, karena kini tinggal lagi
urusan "Kita" yang belum lagi
diselesaikan...!" Terkesiap seketika Roro
Centil mendengar kata-kata itu. Urusan
apakah? sentak hatinya. Ia merasa tak
punya urusan apa-apa dengan kakek pemetik
kecapi ini? Demikian hatinya bertanya-
tanya. Namun dalam saat-saat suasana
bahagia seperti itu, Roro tak mau
mengusik kebahagiaan sepasang sejoli yang
sedang bertangisan itu. Iapun diam-diam
memuji kebaikan hati sang kakek yang
tidak mau melibatkan sepasang sejoli yang
baru jadi pengantin itu. Segera ia
bangkit berdiri, dan berkata; "Sobat
Sentanu, dan Roro Dampit... maaf,

bukannya aku mengusir kalian, tapi
kumohon dengan sangat karena sudah
selesainya urusan pernikahan kalian;
segeralah kalian teruskan perjalanan
seperti rencana tujuan kalian semula..."
Roro hentikan bicaranya sebentar,
dan melangkah keluar dari gubuk... itulah
isyarat agar kedua mempelai mengikutinya.
Segera sepasang sejoli ini turut
bangkit berdiri sejenak keduanya saling
tatap. Namun segera melangkah keluar
gubuk mengikuti sang Pendekar Wanita
Pantai. Selatan itu ...
Roro Centil telah berdiri disamping
kuda putihnya. Dan saat kedua mempelai
itu tiba, segera ia angkat bicara lagi;
"Aku tak dapat memberikan apa-apa untuk
tanda mata atau kado buat kalian
berdua... tapi harap kalian tak menolak
jika kuberikan kudaku ini sebagai hadiah
untuk kalian...!"
Roro Dampit sudah lantas peluk Roro
Centi dengan tiba-tiba, sambil berkata