Roro Centil 5 - Setan Cebol Peyebar Maut(2)




Itulah kisah pertemuannya dengan Ki Rek-
sa Permana, Si Pendekar Pedang Sakti Bermata
Delapan yang kini telah tiada. Tampak si gadis
Pendekar itu menghela napas. Terasa trenyuh ha-
tinya, mengingat akan kisah hidup Pendekar Tua
itu, yang akhirnya menemui kematian dengan ca-
ra yang amat mengenaskan. Perjalanan yang ditu-
junya adalah mencari tempat tinggal Ki Reksa
Permana, yang seperti telah diceritakan oleh al-

marhum, ia mempunyai seorang puteri hampir
sebaya dengannya, bernama Sumirah. Walaupun
sang Pendekar Tua itu tak meninggalkan pesan
disaat kematiannya, Roro bermaksud mencari ta-
hu tentang Sumirah itu, apakah ia berada disana,
ataukah juga telah tewas. Karena memang dida-
pati ada seorang wanita yang juga tewas dengan
keadaan yang mengerikan. Namun wanita itu ti-
daklah dapat dikatakan masih sebayanya. Dan
tentu saja untuk memberikan pedang Pusaka Ki
Reksa Permana itu pada si gadis, sebagai pewaris
pusaka orang tuanya...
Bulan sepotong yang seperti menempel di-
langit itu masih tetap seperti tadi, ketika si Pen-
dekar Wanita Pantai Selatan mulai gunakan ilmu
larinya mencari jalan, untuk dapat menjumpai
sebuah desa. Seeker kelelawar tampak terkejut di
sebuah pohon rimbun, dan mengepakkan sayap-
nya untuk terbang menjauh, tatkala Roro berlalu
dibawahnya...
Padepokan Cemara Kandang yang cuma
tinggal dua  belas orang itu, tampak berkumpul
disatu ruangan. Masih terdengar suara orang ber-
cakap-cakap dengan perlahan. Namun kesemua-
nya tampaknya dilanda kegelisahan.
"Tak ada seorangpun dari murid utama
yang kembali pulang... Apakah mereka telah da-
pat membekuk si makhluk Cebol itu, ataukah te-
lah tewas..?" Berkata salah seorang dengan suara
berdesis perlahan. Salah seorang yang paling ter-
tua menyahuti.
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com

"Yah, kita hanya dapat berdo'a saja akan
keselamatannya. Kasihan Jatmiko... anak dan is-
trinya jadi korban si makhluk biadab itu. Aku
berkeyakinan, mereka pasti telah tewas. Kare-
na..." Tampaknya si murid tertua itu tak tega un-
tuk menceritakannya. Dan sekonyong-konyong
rasa takut menghantuinya.
"Hm... Sudahlah, jangan fikirkan yang su-
dah terjadi. Sebaiknya kita tunggu saja kedatan-
gan Guru kita, atau Jeng Sumirah... yang tengah
melacak kemana perginya si makhluk keji itu."
Dan semua pun terdiam. Suasana kembali men-
cekam, membuat kedua belas pemuda yang ber-
kumpul satu ruangan itu saling berdesak dengan
wajah yang gelisah.
"Sampurasuuuun..!" Terdengar suara
memberi salam diluar.
"Rampeees..!" Hampir berbareng kedua be-
las sisa murid di Padepokan itu menyahuti salam
itu. Salah seorang sudah berkata pada kawannya:
"Siapa? Jeng Sumirah kah..?" 
"Entahlah! Tak biasanya Jeng Sumirah
mengucapkan salam demikian..!" Menyahuti ka-
wannya.
Sementara beberapa orang sudah segera
membukakan pintu ruangan, dengan hati was-
was. Segera terlihat sesosok tubuh yang telah
berdiri di depan Padepokan. Sinar cahaya bulan
dan terangnya cahaya lampu yang menyorot ke-
luar dari dalam ruangan itu, segera dapat melihat
siapa adanya yang datang.

"Siapa gadis ini..?" Salah seorang cepat
berbisik pada kawannya. 
"Ssst. Diamlah..!" Menyahuti sang kawan
yang bertubuh agak jangkung. Lalu dengan sege-
ra menghampiri si wanita itu, yang tak lain dari
Roro Centil. Tanpa menunggu pertanyaan Orang,
Roro segera berucap :
"Maaf... Boleh aku tahu, apakah disini
tempat tinggal Ki Reksa Permana?" Terkejut si
jangkung dan juga beberapa kawannya karena
sang tetamu ternyata mengenai nama Guru me-
reka. Si murid tertua yang juga turut keluar, se-
gera menjawab pertanyaan itu...
"Benar, nona..! Padepokan Cemara Kan-
dang ini adalah tempat tinggal beliau. Dan Ki
Reksa Permana adalah Guru kami. Siapakah no-
na..? Bolehkah hamba tahu, dan ada keperluan
apakah anda datang kemari..." Jawaban si murid
tertua dibarengi dengan pertanyaan pula, dengan
menatap wajah sang tamu tajam-tajam, seperti
tengah menegasi wajah orang.
"Aku ada membawa berita tentang Guru
kalian. Dan selain itu juga untuk menyampaikan
benda ini pada puterinya yang bernama Sumi-
rah..!" Berkata Roro Centil sambil menunjukkan
pedang tipis Ki Reksa Permana. Terkejutlah me-
reka seketika. Dan serta merta mempersilahkan
Roro untuk masuk. Sementara beberapa orang
murid segera berdesakan untuk mengetahui beri-
ta itu, juga ingin melihat siapa adanya si gadis
cantik yang datang itu. Demikianlah, Roro Centil

segera perkenalkan dirinya. Dan menceritakan
kejadian yang telah dijumpainya. Setelah sebe-
lumnya menceritakan perjalanannya hingga sam-
pai dapat menjumpai Padepokan Cemara Kan-
dang...

5

TAK ada peristiwa lain yang amat menye-
dihkan  selain  kesedihan mendengar berita ten-
tang tewasnya Guru mereka yang amat mereka
cintai. Adapun mengenai Sumirah, puteri sang
Guru almarhum mereka sendiri tak dapat mem-
berikan keterangan. Karena menurut dugaan,
pasti puteri sang Guru mereka itu telah menyusul
ayahnya mencari jejak si makhluk Cebol itu. Da-
lam suasana haru itu, Roro Centil termenung...
Yang akhirnya terdengar menghela napas. Ia juga
turut berduka cita  dengan tewasnya Ki Reksa
Permana. Namun sebagai seorang tetamu, juga
seorang Pendekar yang telah kebal dengan pende-
ritaan, Roro tak menampakkan kedukaannya.
Bahkan memberi semangat pada murid-murid
mendiang Ki Reksa Permana agar tetap tabah
menghadapi cobaan berat yang telah menimpa
mereka. Karena bukan mereka saja yang menga-
lami kesedihan. Penduduk desa dan masyarakat
juga telah banyak yang mengalami musibah besar
semacam itu. Kehilangan anak dan istri, serta
lain-lain musibah, sejak kemunculan makhluk

Cebol gentayangan itu... Bahkan semua ini ada-
lah tanggung jawab mereka semua, yaitu para
pendekar penegak hukum, pembela si tertindas,
penolong yang lemah, dari segala macam kekejian
yang berada diatas permukaan bumi ini untuk
menumpasnya.
Namun sebagai orang yang telah cukup ju-
ga dengan pengalaman, Roro Centil dapat mema-
hami akan sia-sianya pengorbanan mereka. Kare-
na telah dapat diduganya si makhluk Cebol itu
berkepandaian amat tinggi dan telengas. Hingga
dengan segala senang hati Roro Centil menerima
usul mereka untuk menetap dulu selama bebera-
pa hari di Padepokan itu. Sambil mencari kabar
mengenai berita dimana adanya Sumirah, juga
mencari tahu jejak si manusia iblis penyebar
maut itu.
Berdiamnya Roro Centil di Padepokan itu
ternyata membuat murid-murid mendiang Ki
Reksa Permana tampak timbul lagi semangatnya.
Apalagi mengetahui Roro Centil adalah seorang
tokoh yang pernah diceritakan kehebatan ilmunya
oleh mendiang Gurunya pada mereka. 
Berita yang mengejutkan terjadi di sekitar
desa. Tampaknya seperti tenang-tenang saja. Ka-
bar tentang Sumirah yang telah dilacak ke perba-
gai desa oleh murid-murid mendiang si Pendekar
Tua itu tak membawa hasil. Sumirah lenyap tak
berbekas. Roro Centil tak dapat berdiam lebih la-
ma... Akhirnya iapun mohon diri untuk mening-
galkan  Padepokan Cemara Kandang, dengan tu-

juan mencari jejak Sumirah. Demi rasa tanggung
jawabnya, dan rasa simpati sebagai sesama pen-
dekar.
Demikianlah... Dengan hati berat, kedua
belas murid Ki Reksa Permana itu melepas keper-
giannya. Bahkan ada diantara mereka  yang ber-
sedia ikut bersama mencari jejak puteri Gurunya
itu. Namun dengan halus Roro Centil mengu-
capkan terima kasih. Dan menyuruh mereka te-
tap berada didesa. Menjaga dari segala hal atau
kemungkinan yang bisa saja terjadi kericuhan.
Walaupun bukan perbuatan si makhluk Cebol itu. 

6

RORO CENTIL langkahkan kakinya untuk
segera meninggalkan Padepokan Cemara Kan-
dang... Dan sesaat kemudian telah berkelebat le-
nyap dari pandangan kedua belas murid-murid
mendiang Ki Reksa Permana. Yang jadi ternganga
kagum. Matahari pagi itu bersinar cerah... Dere-
tan awan-awan putih bagaikan kapas terlihat di-
ujung cakrawala. Semilir angin bersyiur lembut
dari arah utara terasa membuat tubuh menjadi
sejuk. Namun tidaklah membuat sejuknya hati
Roro Centil, yang entah mengapa amat mengkha-
watirkan nasib Sumirah. Beruntung Roro telah
dapat mengetahui akan tanda-tanda dan raut wa-
jah si gadis yang tengah dicarinya itu, dari penje-
lasan yang ia dapati. Sehingga ia akan dapat

mengenali seandainya dapat menjumpainya.
Roro Centil telah tiba pada sebuah tempat
yang berpemandangan indah. Bunga-bungaan
disekitar situ terawat dengan rapi... Hampir dis-
etiap tempat terdapat rumpun bambu kuning,
yang berkelompok-kelompok yang juga terawat
dengan baik. Beberapa kolam kecil berair jernih
terdapat juga disekitar tempat itu.
Tempat apakah ini..? Seperti sebuah taman
saja layaknya..! Berfikir Roro. Sementara kakinya
terus melangkah melalui jalan kecil yang mengeli-
lingi taman berpagar bambu kuning yang tampak
semakin rapat dibagian depan. Tiba-tiba dikejau-
han terdengar suara orang bercakap-cakap. Roro
kerutkan alisnya, dan cepat menyelinap ke balik
semak disebelah kiri jalan. Sementara sepasang
matanya menatap ke ujung jalan. Tak berapa la-
ma segera terlihat siapa yang tengah bercakap-
cakap itu.  Yaitu seorang wanita setengah tua,
dengan dandanan yang amat menyolok. Wajahnya
masih boleh dikatakan cukup cantik. Tiga untai
kalung mutiara tergantung pada lehernya. Wanita
ini berkulit putih. Memakai sanggul diatas kepala,
dengan tusuk konde emas terselip pada sanggul-
nya. Sedangkan lawannya bercakap-cakap adalah
seorang laki-laki yang agak bungkuk. Kepalanya
agak besar, yang mengenakan ikat kepala bersu-
lam benang emas. Berbaju dan celana yang ber-
warna hitam, yang juga tersulam dengan benang
emas. Kain sarungnya terbuat dari sutera yang
indah berwarna biru langit. Mengenakan ikat

pinggang yang besar. Laki-laki yang agak bung-
kuk ini membawa sebuah pipa cangklong yang
panjang, terbuat dari gading. Bergagang perak,
yang tampak berkilat. Sebentar-sebentar ia
menghisap pipanya, dan menghembuskan asap
tembakau dari mulutnya. Usianya sekitar lima
puluhan tahun. Dapat dipastikan orang ini ada-
lah seorang bangsawan atau hartawan.
"Apakah kau sudah yakin aku akan panuju
dengan orang barumu itu..?" Terdengar suara bi-
caranya dengan nada angkuh. Wanita setengah
tua disebelahnya tampak tersenyum sambil lirik-
kan matanya yang agak genit.
"Aku tak tahu pasti, tapi menurutku kau
tak akan kecewa..!" Berkata si wanita itu. Tampak
si bangsawan bungkuk itu hisap pipa cangklong-
nya dalam-dalam, dan hembuskan asap tebal dari
mulut dan hidungnya ke udara.
"He he he... walaupun sudah tua begini,
aku Raden Mas Guntoro sudah banyak pengala-
man, tak akan dapat kau dustai untuk yang ke-
dua kalinya...!" Kata-kata itu membuat si wanita
jadi tersenyum masam, namun segera terdengar
suara tertawanya yang disambung dengan kata-
kata :
"Hi hi hi... Yang sudah lalu itu pasti tak
akan terulang lagi, Ndoro..!" Tampak si wanita itu
sengaja menyanjungnya dengan kata-kata seperti
seorang abdi pada majikannya. Dan selanjutnya
yang terdengar adalah suara cekikikan dan terta-
wa terkekeh, kekeh dari keduanya. Tiba-tiba si

bungkuk bercangklong itu hentikan suara terta-
wanya. Sebelah lengannya sekonyong-konyong
bergerak ke arah semak disebelah kirinya, seraya
membentak :
"Siapa disitu..!" Dan serangkum angin ke-
ras menyambar ke semak-semak, membuat daun-
daun semak itu buyar dan beberapa batangnya
rebah. Roro Centil telah melesat dari tempat per-
sembunyiannya. Ia heran juga, yang si orang
bungkuk itu mengetahui adanya ia disitu. Namun
akhirnya Roro dapat mengetahui, yaitu sinar pe-
dang tipis yang cahayanya terpantul kena sorotan
Matahari itulah yang menyebabkan orang menge-
tahui tempat persembunyiannya. Baru saja ia
menjejakkan kakinya ke tanah, sudah terdengar
lagi bentakan keras. Dan berkelebatannya seso-
sok bayangan, yang tak lain dari si wanita genit
itu.
"Kuntilanak..! Apa yang kau kerjakan di-
tempat ini..!" Sebentar saja Roro telah lihat si wa-
nita itu berada dihadapannya. Sepasang matanya
menatap tajam padanya. Sementara kedua len-
gannya bertolak pinggang. Si orang bungkuk ber-
cangklong panjang itupun telah melompat ke
tempat itu. Tapi, tiba-tiba wajahnya jadi berubah
menyeringai...
"He he he... Kalau macam begini sih ra-
sanya aku amat penuju sekali. Eh, Walet Kenca-
na! Apakah kaupun tidak mengenalnya..?" Ber-
tanya si bungkuk itu, sementara sepasang ma-
tanya telah merayapi setiap lekuk tubuh Roro dari

kepala sampai kekaki. "Aku sih tidak kenal, tapi
mungkin salah seorang muridku mengenalnya..!"
Selesai berkata tiba-tiba ia telah masukkan dua
jarinya kebawah lidah. Dan terdengarlah suara
suitan panjang keluar dari mulutnya. Selang be-
berapa saat terdengar suara gaduh dari beberapa
orang wanita. Dan selanjutnya telah muncul lima
orang murid wanita yang segera menjura hormat
pada si wanita yang dijuluki si Walet Kencana.
Adapun Roro Centil begitu mendengar nama Wa-
let Kencana itu, segera teringat akan si wanita
pembegal yang telah kena dipecundangi. Dan di-
telanjangi bulat-bulat untuk diumpankan pada
ratusan semut rangrang beberapa bulan yang la-
lu. Wanita pembegal itu bernama julukan si Elang
Alap-alap, yang menyebut-nyebut nama Walet
Kencana sebagai gurunya.
"Eh, murid-muridku..! Apakah salah seo-
rang dari kalian mengenal perempuan di hada-
panku ini.. ?" Salah seorang dari mereka ternyata
ada yang telah menatap amat tajam dari balik ca-
dar tipis yang dikenakannya. Wajahnya tampak
terpulas dengan bedak tebal. Namun tetap saja
bekas luka-luka gigitan semut rangrang pada wa-
jah dan seluruh tubuhnya masih menampakkan
bintik-bintik kecil yang menghitam. Ia sudah lan-
tas berkata :
"Guru..! Kalau guru dapat memaklumi ke-
bodohanku, kuntilanak inilah yang telah mengga-
galkan pekerjaanku. Dan telah menyiksaku den-
gan perbuatan kejinya..." Tampak sang Guru alias

si Walet Kencana itu cuma tersenyum.
"Hm, tak usah kau berkecil hati. Kalau kau
ingin balas menyiksanya, baiklah akan kutang-
kapkan ia dihadapanmu. Namun sebelumnya kau
harus mengalah dulu pada paman Guntoro Kecut
ini. Setujukah...?" Si wanita bercadar itu men-
gangguk. Roro segera dapat mengenalinya kalau
wanita itu tak lain dari si Elang Alap-alap.
"Kau pernah ceritakan padaku kalau si Wa-
let Kencana, ialah aku telah dihina sedemikian
rupa oleh budak ini yang mengatakan aku akan
tunduk bersujud dihadapannya. Nah, gadis can-
tik, cobalah kau perbuat aku untuk tunduk pa-
damu..!" Sambil berkata ia kembali palingkan wa-
jah pada Roro Centil. Tiba-tiba berkelebat sesosok
tubuh berbaju kuning ke tempat itu, yang sudah
lantas berkata santar :
"Kakak..! Bolehkah aku bicara sebentar
dengan si Pendekar wanita ini..?" Si wanita seten-
gah tua itu sudah palingkan kepalanya pada si
pendatang. Namun ia hanya perdengarkan den-
gusan hidungnya.
"Ken Wangi..! Jangan kau mencampuri
urusanku. Sudah kukatakan hitam tetaplah hi-
tam. Aku tak mau lihat mukamu lagi, walau kau
adalah adikku sendiri!" Semua mata jadi beralih
menatap pada wanita berbaju kuning itu. Namun
si wanita baju kuning itu tersenyum sinis, dan
dengan monyongkan mulutnya ia menyahuti.
"Huh! Siapa yang sudi akui kau kakak kandung-
ku lagi.. ? Namun perbuatanmu semakin brutal

tetap akan kutentang. Kalau tidak, akan habislah
gadis-gadis suci yang cantik-cantik kau umpan-
kan pada para hidung belang macam si Raden
Mas Guntoro Kecut itu.." Tampak wajah si Walet
Kencana berubah merah padam. Tiba-tiba ia pa-
lingkan kepala pada kelima muridnya.
"Murid-muridku..! Segeralah kau usir dia
dari tempat ini. Atau kalau perlu kau bunuh
mampus!" Mendengar perintah gurunya itu, sege-
ra kelima orang wanita itu mengurungnya.
"Heh! Lima orang kuntilanak kau suruh
menggempurku.. ?! Apakah tidak sekalian kau
suruh keluar semua orang-orangmu untuk mem-
bunuhku!" Berkata si wanita berbaju kuning yang
bernama Ken Wangi itu. Namun kata-katanya su-
dah segera terhenti, karena dengan berbareng ke-
lima wanita itu telah menerjang untuk mering-
kusnya. Sebentar saja di taman itu telah terjadi
pertarungan seru. Suasana yang tadi sunyi men-
dadak jadi ramai oleh suara bentakan-bentakan
keras. Adapun Roro Centil segera berkelebat men-
jauh. Ia tak mau jadi sasaran pukulan dari mere-
ka, yang bertarung didekatnya.
"Tunggu..! Kau tak dapat pergi dengan be-
gitu saja. Penghinaanmu terhadap muridku, dan
meremehkan pada diriku, harus kau pertanggung
jawabkan!" Membentak si Walet Kencana, seraya
berkelebat mengejar ke arah Roro.
"Aiiii..?! Siapa yang mau melarikan diri..?
Bukankah kau ingin menangkapku hidup-hidup,
untuk kau serahkan pada si tua bangka bungkuk

itu. Nah, tangkaplah aku, siapa tahu aku dapat
membuktikan kata-kataku membuat kau bersu-
jud mencium kakiku. Hi hi hi...." Berkata Roro
Centil dengan seenaknya. Saat itu si Raden Mas
Guntoro Kecut sudah berlari mendatangi.
"Walet Kencana! Awas, jangan sampai kau
lukai tubuhnya... Aku pasti akan membayar
mahal untuknya..! Teriak Raden Mas Guntoro Ke-
cut, sambil menghisap pipa cangklongnya. Si Wa-
let Kencana cuma tersenyum jumawa seraya ber-
kata :
"Jangan khawatir Ndoro, hamba pasti per-
sembahkan seutuhnya buat Ndoro tanpa cacat
secuilpun..!" Namun sebelum si wanita itu bertin-
dak lebih lanjut, Roro telah berlalu ke arah si
Bangsawan bungkuk itu. Langkahnya seperti
orang yang tak merasa khawatir sedikitpun. Ten-
tu saja si orang bungkuk bercangklong panjang
itu jadi ternganga, karena gerakan langkah Roro
amat memikat hatinya. Memang Roro Centil sen-
gaja berjalan dengan goyangkan pinggul, yang
membuat orang jadi tercengang.. Apalagi bagi si
hidung belang macam Raden Mas Guntoro Kecut.
Hal itu telah membuatnya amat kagum, seraya
geleng-gelengkan kepala dan leletkan lidah, den-
gan mata yang nyalang merayapi indahnya tubuh
gadis dihadapannya.
"Kalau tak ingin membuat tubuhku menja-
di lecet, sebaiknya tak usah kau payah-payah un-
tuk menangkapku Walet Kencana. Lebih bagus
biar Ndoro mu Raden Mas Guntoro Kecut ini saja

yang menangkapku...!" Mendengar kata-kata itu
tentu saja si bangsawan bungkuk itu jadi terbe-
liak matanya, dan tiba-tiba telah tertawa terke-
keh-kekeh hingga sampai terbatuk-batuk.
"He he he., he he... Bagus! Bagus! Bocah
ayu..! Mengapa tidak sedari tadi kau katakan?
Tentunya aku tak akan keluar biaya mahal untuk
menyuntingmu..!" Sambil berkata tiba-tiba sepa-
sang lengannya telah memeluk tubuh sang gadis
dihadapannya. Roro Centil yang memang berwa-
tak aneh sukar diterka itu, ternyata membiarkan
tubuhnya dipeluk orang. Bahkan ia tersenyum
manja sambil menggelendot di dada si bangsawan
tua itu. Adapun hal itu telah membuat si Walet
Kencana jadi garuk-garuk kepala tidak gatal. Dis-
amping rasa mendongkol, namun juga aneh yang
amat luar biasa.
Apakah perempuan ini memang agak tidak
waras..? Berfikir si Walet Kencana. Belum lagi ia
banyak berfikir melihat sikap orang yang aneh
itu, Roro Centil telah berkata dengan suara ber-
nada memerintah :
"Walet Kencana, segera kau suruh orang-
orangmu menyediakan kamar yang bersih untuk
aku menginap beberapa malam bersama Ndoro-
mu ini..." Tentu saja si wanita setengah tua yang
menjadi majikan ditempat ini, jadi melengak.
Orang luar dihadapannya telah berani berkata
sedemikian enaknya. Seolah-olah dialah majikan-
nya. Namun tetap saja ia menyahuti, karena me-
mandang pada si orang Bangsawan bungkuk itu

yang juga tengah menatap padanya.
"Kamar yang bersih sudah selalu tersedia
setiap saat. Atau baiklah aku periksa lagi akan
kebersihannya..!" Berkata ia sambil segera mele-
sat lebih dulu ke arah depan. Ketika sesaat ia
menoleh kebelakang, segera terlihat Raden Mas
Guntoro Kecut telah memondong si gadis cantik
yang aneh itu. Benar-benar ia seperti tidak mem-
percayai penglihatannya. Muridnya mengatakan
gadis itu adalah yang berjulukan si Pendekar Wa-
nita Pantai Selatan. Dengan telah berhasil menga-
lahkan si Elang Alap-alap dan dapat menggagal-
kan pekerjaannya membegal barang upeti yang
berharga, sudah dipastikan ia berilmu tinggi. Wa-
laupun terasa aneh akan sikap orang, namun te-
tap saja ia bercuriga pada Roro. Hingga diam-
diam ia telah mengatur rencana untuk dapat
membekuknya. Cuma saja ia harus mengalah du-
lu pada tetamunya Raden Mas Guntoro Kecut,
yang akan memberi pinjaman uang, juga salah
seorang yang menjadi sumber pemasukan yang
tidak kecil. Sebentar saja Roro Centil sudah diba-
wa berlari dengan cepat, mengikuti di belakang si
Walet Kencana. 
Sebuah rumah gedung mungil segera tam-
pak dibagian depan. Sedangkan dibelakang ge-
dung itu ada terlihat juga satu wuwungan yang
memanjang. Ternyata dikatakan mungil, gedung
itu amat luas dibagian dalamnya. Selang sesaat
Roro sudah berada didalam ruangan gedung yang
amat bersih dan rapi  itu. Temboknya  berwarna

kuning, sedang bagian bawahnya berlantai mar-
mer yang indah. Didepan pintu ruangan wanita
itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya. Seraya me-
natap pada Roro yang masih berada dalam pon-
dongan sang tamu.

"Hm, Aku agak sangsi dengan sikapmu,
nona..! Sebaiknya agar tidak menaruh kecuri-
gaanku, harap kau lepaskan benda-benda yang
membelit dan tersangkut di pinggangmu..!" Roro
kerutkan alisnya dan berfikir sejenak, lalu sudah
lantas berkata, sambil menoleh pada orang yang
memondongnya.
"Bagaimana pendapatmu, sayang..? Aku
sih terserah padanya!" Berkata Roro sambil pa-
lingkan wajah menatap lagi pada si Walet Kenca-
na.
"He he he... Jangan khawatir, apakah
orang macam aku, masih perlu kau beri peringa-
tan? Siang-siang aku telah menotoknya. Walau-
pun ia hanya pura-pura saja toh sudah tak ber-
daya apa-apa..." Seraya berkata ia telah lepaskan
pondongannya. Hingga tak ampun lagi tubuh Ro-
ro Centil jatuh terlentang diatas lantai. Masih un-
tung bagian atas tubuhnya tidak dilepaskan,
hingga hanya kaki dan pantatnya saja yang
menggasruk ke lantai. Tampak Roro perlihatkan
wajah meringis. Namun sekejap sudah berpindah
lagi dalam pondongan Raden Mas Guntoro Kecut.
Melihat kenyataan didepan mata, wajah si Walet
Kencana tampak perlihatkan wajah berseri, se-

raya berucap :
"Hi hi hi... Bagus! Silahkan kalian berse-
nang-senang. Aku akan menyelesaikan urusanku
dengan adik keparatku dulu. Ingat, jangan kau
coba-coba buka totokanmu, Raden Mas Guntoro
Kecut...!" Dan setelah berkata demikian, ia segera
melesat keluar gedung. Sementara si Bangsawan
tua itu sudah pondong tubuh Roro ke dalam ka-
mar. Namun saat berikutnya yang terdengar ada-
lah suara keluhan Raden Mas Guntoro Kecut.
Yang disusul dengan terdengar suara tempat ti-
dur yang berderit, ketika tubuh si bangsawan itu
jatuh ke pembaringan. Sementara Roro Centil
berdiri di sisi pembaringan tengah menatap laki-
laki bungkuk itu sambil tersenyum.
"Kau..? Ka.. kau...." Terdengar suara Raden
Mas Guntoro Kecut, tapi hanya desisnya saja
yang keluar di tenggorokan. Sedangkan sepasang
matanya menatap Roro dengan melotot gusar, ju-
ga heran. Karena sekonyong-konyong ia telah ra-
sakan tubuhnya jadi kaku. Bukannya ia yang
lemparkan tubuh gadis itu diatas kasur, bahkan
ia sendiri yang terlempar ke atas pembaringan.
Itulah akibat ulah perbuatan Roro Centil, yang te-
lah gerakkan tangannya untuk menotok didalam
pondongan. Bukan saja menotok tubuh orang, ju-
ga menotok urat suara si bangsawan bungkuk
itu, hingga tak bisa mengeluarkan suara. Dalam
keadaan kaku begitu, Roro sudah segera merosot
dari pondongannya. Dan dorong tubuh laki-laki
tua itu ke pembaringan. Mengapa tiba-tiba Roro

dapat terlepas dari totokan si Raden Mas Guntoro
Kecut itu? Kiranya sewaktu berjalan dengan
goyangkan pinggulnya ke arah si bangsawan tua
itu tadi, diam-diam Roro telah salurkan tenaga
dalam ke seluruh tubuh untuk menjaga dari be-
berapa kemungkinan yang tak terduga. Sebagai
pewaris ilmu si Manusia Aneh Pantai Selatan,
tentu saja Roro mewarisi keanehan watak Gu-
runya. Bahkan Roro telah bertambah lagi il-
munya, ketika ia berjumpa dengan seorang laki-
laki bernama Joko Sangit. Yang mengajarinya il-
mu mengeluarkan racun dengan suara tertawa....
Demikianlah, disaat si bangsawan bungkuk itu
menotoknya dengan diam-diam melalui gerakan
tangan ketika memeluknya, Roro Centil telah ter-
hindar dari pengaruh totokan... Rupanya Roro
Centil telah berani menempuh jalan lain yang cu-
kup berbahaya, dari pada bertempur. Karena
dengan demikian ia bisa leluasa bergerak untuk
menyelidiki dimana adanya Sumirah. Seperti te-
lah didengarnya tadi dari si wanita pendatang
bernama Ken Wangi, yang ternyata adik kandung
si Walet Kencana sendiri... Sang kakak ternyata
seorang Germo, yang boleh dibilang penculik ga-
dis-gadis cantik. Yang tentu saja untuk kepentin-
gan usahanya. Juga didengarnya dari percakapan
si Walet Kencana dengan si bangsawan tua, yang
menyinggung-nyinggung tentang adanya seorang
gadis yang telah dipersiapkan untuk di persem-
bahkan pada si bungkuk hidung belang itu. Ma-
kanya Roro telah mengambil jalan yang cukup

unik, namun dengan perhitungan yang sudah di-
pikir masak masak.
Demikianlah dengan cepat ia telah keluar
kembali dari kamar. Ruangan tengah itu tampak
sunyi... Hingga tanpa mengalami kesulitan ia ber-
hasil memasuki setiap ruangan untuk mencari
dimana adanya si gadis Sumirah. Dengan gerakan
cepat, namun dengan sembunyi-sembunyi. Tanpa
ragu-ragu Roro membukai setiap pintu yang ter-
tutup, dan melongok ke arah kamar yang terbu-
ka. Akan tetapi pada salah sebuah pintu kamar
yang tertutup, terdengar suara laki-laki dan wani-
ta. Untung pintu tak terkunci. Segera saja ia buka
pintu kamar dengan cepat, dan melompat ke da-
lam. Tampak satu pemandangan yang membuat
darahnya berdesir... Karena dua orang manusia
berlainan jenis bagaikan dua orang bayi yang ba-
ru dilahirkan dari perut ibunya, saling berangku-
lan di pembaringan. Walaupun pemandangan itu
membuat darahnya tersirap, namun mengingat
waktu sangat sempit, Roro telah berkelebat cepat
untuk segera menotoknya, hingga kedua manusia
itu tak dapat berkutik lagi. Dan serta-merta telah
perhatikan wajah si wanita. Namun tampaknya ia
sudah melompat lagi keluar kamar, dan tutupkan
pintu. Kembali ia berkelebat ke lain ruangan. Pa-
da sebuah ruangan yang terbuka ia dapat dengar
suara beberapa wanita... Segera ia merandek un-
tuk mendengarkan.
"Cepatlah kau melarikan diri...! Mumpung
belum terlambat..! Nyonya majikanku tengah ber-

tarung dengan adik kandungnya, bersama kelima
orang murid-muridnya....'" Terdengar berkata sa-
lah seorang wanita.
"He...? Kau mau mati? Pergilah kalau me-
mang sudah tak inginkan hidup! Si Walet Kenca-
na tak akan membiarkan orang bawahannya un-
tuk kabur begitu saja. Hmh, rupanya diam-diam
kau mau jadi penghianat, ya! Awas kau Laras..!
Akan aku adukan perbuatanmu pada Ndoro Pu-
tri!" Ancam seorang wanita yang suaranya terden-
gar agak santar.
"Huh, kau memang keterlaluan Katrijah.
Aku hanya merasa kasihan padanya kalau sam-
pai ia jadi korban bangsawan hidung belang. Jadi
pemuas hawa nafsu manusia-manusia yang su-
dah tak mengenal batas kesusilaan..! Apakah tak
tersirat dihatimu untuk juga lepaskan diri dari
tempat terkutuk ini..?" Menyahuti lagi wanita
yang bernama Laras itu dengan tak kalah sengit-
nya. Dan kata-katanya sudah terdengar disam-
bung lagi...
"Apakah kalian semua juga sudah betah
berdiam ditempat najis seperti ini..?"
Tampak sejenak suasana jadi hening. Ter-
dengar salah seorang menghela napas, entah sia-
pa.
"Sebenarnya bukan kami tak mau mening-
galkan tempat maksiat ini, tapi kami takut untuk
melarikan diri. Kami takut tertangkap lagi. Dan
akan besar akibatnya. Bukankah pernah salah
seorang teman kita yang coba-coba melarikan di-

ri, telah kau lihat sendiri penyiksaan atas dirinya.
Yang akhirnya menemui kematian..!" Kembali se-
mua terdiam, namun salah seorang terdengar
berkata dengan suara lemah :
"Aku tak dapat tinggalkan pembaringan-
ku... Tubuhku terasa lemah tak bertenaga ...! Aku
memang lebih baik mati dari pada berdiam di-
tempat celaka ini..!" Suara itu dibarengi dengan
suara isak tersendat. Tersentak seketika Roro
Centil. Segera ia sudah dapat menebak siapa
adanya wanita itu... Dengan segera ia sudah ge-
rakkan tubuh melompat masuk ke dalam kamar.
Kemunculan Roro membuat beberapa sosok tu-
buh melangkah mundur. Dan beberapa pasang
mata-mata yang jeli menatap tajam ke arahnya.
Roro sudah lantas berkata :
"Aku akan menolong kalian semua keluar
dari neraka ini. Segera bersiaplah untuk minggat
tinggalkan tempat celaka ini..!" Dan kata-katanya
telah dibarengi dengan melangkah cepat ke arah
seorang gadis yang terbaring di pembaringan.
Yang juga tengah menatap padanya.
"Apakah kau yang bernama Sumirah..?
Bertanya Roro. Gadis ini segera berusaha bangkit
untuk duduk. Tampak memang tubuhnya lemah
sekali. Segera Roro ulurkan tangan memban-
tunya. Bahkan dengan gerakan-gerakan tangan-
nya ia telah mengurut di beberapa tempat bagian
tubuh gadis itu. Tampak si gadis tampilkan wajah
girang. Ia segera telah dapat bangkit berdiri. Dan
dengan memandang kagum pada orang dihada-

pannya, tanpa ragu-ragu ia telah peluk tubuh Ro-
ro sambil linangkan air mata.
"Be., benar! Aku Sumirah..! Siapakah ka-
kak..?" Bertanya ia sambil lepaskan pelukannya.
Roro tampak menarik napas lega.
"Aku Roro Centil, sahabat ayahmu Ki Rek-
sa Permana.." Tutur Roro sambil tepuk-tepuk
pundak gadis itu dengan terharu.
"Oh... ?! Andakah Pendekar Wanita Pantai
Selatan yang diceritakan ayahku itu?" Sumirah
belalakkan sepasang matanya dengan mulut
ternganga. Roro angguk-anggukkan kepalanya.
Dan tiba-tiba ia telah loloskan pedang tipis Ki
Reksa Permana dari pinggangnya, serta berikan
benda itu pada si gadis.
"Cepatlah kau terima pedang pusaka
ayahmu ini. Jangan banyak bertanya..! Ayo, sege-
ra ikuti aku..!" Selanjutnya ia telah tarik lengan si
gadis keluar dari kamar. Sembilan wanita yang
berdesakan dikamar itu tanpa dikomandokan lagi
turut mengikuti dibelakang. Cuma salah seorang
yang bernama Katrijah itu tiba-tiba hentikan tin-
dakannya. Ia agak ragu untuk turut melarikan di-
ri. Namun salah seorang telah menarik lengan-
nya, hingga terpaksa iapun berlari menyusul yang
lainnya.
"Aku tahu pintu keluar yang baik..!" Teriak
Laras. Yang segera mendahului ke arah depan
Roro, yang tidak gunakan gerakkan terlalu cepat,
karena harus menunggu wanita-wanita lain dibe-
lakangnya. Dengan sebat Laras sudah berlari un-

tuk menuju ke arah pintu belakang. Dua orang
pembantu terperanjat melihat orang-orang diha-
dapannya berlarian, hingga ia berdiri dengan wa-
jah kebingungan.
"Sssst, Awas kau! Jangan berani laporkan
kepergian kami..!" Laras cepat tempelkan jari te-
lunjuk pada bibirnya, sambil plototkan mata pada
kedua pembantu itu. Namun sekali Roro berkele-
bat, kedua pembantu itu sudah perdengarkan ke-
luhannya dan jatuh menggeloso, tanpa bisa kelu-
arkan suara lagi. Kira-kira sepeminum teh, sete-
lah rombongan wanita-wanita itu melewati pintu
belakang gedung, suasana di gedung itu kembali
sunyi. Kedua pembantu itu cuma bisa gerakkan
kepalanya saling berpandangan. Namun sama se-
kali ia tak dapat menggerakkan tubuhnya. Apala-
gi bersuara. Karena Roro telah menotok urat sua-
ranya.
Pertarungan antara si wanita pendatang
bernama Ken Wangi itu dengan kelima orang mu-
rid wanita, merangkap primadona di gedung ber-
taman indah milik si Walet Kencana itu, tampak
berjalan dengan seru. Suara bentakan dan teria-
kan-teriakan terdengar santar, diantara bera-
dunya senjata-senjata tajam. Tiga wanita pergu-
nakan pedangnya untuk menusuk dengan berba-
reng... Namun si wanita berbaju kuning alias Ken
Wangi itu cuma mendengus, dan putarkan tong-
katnya untuk menyampok mental terjangan ke
arahnya. Dua wanita yang satu gunakan sabuk
sutera untuk belitkan pada tongkat Ken Wangi,

sedang satu lagi adalah si Elang Alap-alap, yang
sudah gerakan tangannya menyerang dengan pa-
ku-paku beracun, senjata rahasia andalannya.
"Perempuan-perempuan bejat..!" Teriak
Ken Wangi. Dengan tiba-tiba ia telah sentakkan
tongkatnya dengan keras, hingga tubuh si wanita
yang telah berhasil menggubat tongkatnya itu me-
luncur ke arahnya. Hal yang diluar dugaan itu te-
lah membuat si wanita bersabuk sutera terkesiap,
terlebih-lebih si Elang Alap-alap... Karena saat itu
telah meluncur tiga paku beracun ke arah depan.
Namun sudah terlambat. Segera saja terdengar je-
rit si wanita bersabuk sutera itu yang roboh ter-
sungkur. Tampak tubuhnya berkelojotan bagai
ayam baru disembelih. Namun sekejap kemudian
telah terkulai tewas. Kiranya tiga paku beracun
itu telah mengenai leher dan punggungnya. Tiga
wanita berpedang melompat mundur, seraya pa-
lingkan muka ke arah si Elang Alap-alap.
"Kau...!?" Hampir berbareng mereka berteriak
sambil plototkan mata pada si Elang Alap-alap,
yang seketika wajahnya berubah pias.
"Aku tak menyangkanya, akan terjadi de-
mikian..!" Berkata si wanita bercadar tipis itu
membela diri. Dan tiba-tiba ia telah berkelebat ke
arah Ken Wangi untuk menempurnya dengan ter-
jangan-terjangan kaki dan tangannya. Pada saat
itulah muncul si Walet Kencana, yang segera ke-
luarkan bentakan keras.
"Menyingkir semua..! Biar aku yang meng-
hajar bocah kurang ajar ini.,!" Serentak ketiga

wanita berpedang yang telah siap untuk kembali
menempur itu, melompat ke belakang begitu li-
hat, munculnya sang guru mereka. Si Elang Alap-
alap pun segera melompat mundur. Namun se-
saat sudah kembali melesat untuk memondong
mayat saudara seperguruannya. Dan dibawa me-
nyingkir ke sisi.
"Murid-murid kerocomu itu baiknya kau
ajari memasak Walet Kencana..! Mengapa hanya
kau ajari membunuh orang dan melayani laki-laki
hidung belang saja...?" Merah padam wajah si
Walet Kencana.
"Kuntilanak..! Hitam kataku tetap hitam.
Kau sudah bunuh orangku, maka tak salah jika
aku turunkan tangan keji terhadapmu..!" Dan se-
kejap ia sudah lompat menerjang... Kedua belah
tangannya telah bergerak menghantam ke arah
Ken Wangi. Tersentak wanita itu, yang segera
berkelebat menghindar, namun tak urung samba-
ran angin panas itu telah membuat kulitnya kena
terserempet.
Busss! 
Tanah tempatnya berpijak muncrat ber-
hamburan, dan tampak berubah hitam, hangus.
Sementara sebelah lengan Ken Wangi telah jadi
melepuh, akibat serempetan hawa panas yang
menyambar dahsyat itu.
"Keparat! Arwah orang tua kita pasti me-
nangis, bila dapat melihat kekejianmu Walet Ken-
cana! Manusia sepertimu, sudah tak mengenal la-
gi akan jalan yang benar. Kau mau turunkan tan-

gan keji untuk membunuhku? Baik! Aku akan
adu jiwa denganmu...!" Segera saja terdengar te-
riakan santar Ken Wangi, yang dengan beringas
telah menerjang dengan tongkatnya.
Wuss! Wuss! Dua hantaman keras secara
beruntun meluncur ke arah tenggorokan dan ke-
pala si Walet Kencana. Namun wanita setengah
tua ini cuma keluarkan dengusan di hidung. Dan
dengan sedikit mengegos ia berhasil menghin-
dar...
Plak!
Sebuah hantaman telapak tangan dengan
telak telah mengenai dada Ken Wangi. Yang sege-
ra perdengarkan teriakannya. Tubuhnya terlem-
par beberapa tombak... Begitu menyentuh tanah
telah menggelogok darah kental berwarna hitam,
keluar dari mulutnya. Terlihat baju kuningnya te-
lah berubah jadi hitam hangus. Segera saja kain
itu menjadi serpihan lapuk ketika lengan Ken
Wangi merabanya. Terpaksa Ken Wangi biarkan
payudaranya terbuka, yang tampak kedua da-
gingnya menjadi berubah kehitaman. Betapa sa-
kitnya Ken Wangi merasakannya, namun lebih
sakit lagi hatinya... Perlahan-lahan ia sudah
bangkit lagi. Tongkatnya telah kembali disilang-
kan ke depan dada. Sepasang matanya menatap
tajam bersinar-sinar pada kakak kandungnya,
yang telah tega berbuat sedemikian pada adiknya
sendiri.
"Kau terlalu mencampuri urusanku, Ken
Wangi! Sudah kukatakan sejak dulu. Jangan kau

sok menasihati aku. Ambillah jalanmu sendiri.
Dan biarkan aku mengambil jalan yang kutem-
puh sendiri..!"
"Keparat! Begitu hina dan rendahnya jalan
fikiranmu! Mana aku bisa berpeluk tangan meli-
hat laku lampahmu...? Kau bukan lagi manusia.
Ken Huma..! Kau memang ibliiiiiss..!" Dan dengan
berteriak keras ia telah kembali menerjang. Kali
ini tongkatnya telah diputar sedemikian rupa
hingga sesaat Walet Kencana agak sulit menya-
rangkan pukulannya untuk menangkis putaran
tongkat. Namun senjata sang adik tiba-tiba telah
berubah ganas. Tolakan dari tangkisan itu mem-
buat putaran tongkatnya terhenti. Namun gera-
kan selanjutnya bahkan lebih hebat. Setiap puku-
lan mengandung tenaga dalam. Batu dan ranting
beterbangan hancur, terkena sambaran tongkat
Ken Wangi. Ia sudah tak menghiraukan lagi akan
nyawanya... Serangan-serangan ganas itu sudah
saling susul menghantam si Walet Kencana.
Plak! Plak!.... Buk!
Kembali terdengar teriakan kesakitan dari
Ken Wangi. Tubuhnya telah terlempar lagi bergul-
ing-guling. Kali ini bajunya pada bagian pung-
gung yang terlihat hangus. Menampakkan serpi-
han-serpihan kain yang hancur, menyingkapkan
kulit punggung wanita itu yang terlihat mengelu-
pas. Dengan menahan rasa perih pada pung-
gungnya, juga tanpa menghiraukan darah yang
mengalir hitam dari bibirnya.... Kembali ia bang-
kit untuk menerjang. Namun Ken Huma alias si

Walet Kencana sudah menerjangnya kembali den-
gan hantaman yang sudah dipastikan akan me-
renggut nyawa sang adik... Akan tetapi pada saat
dan detik yang membawa maut itu, telah terden-
gar bentakan keras.
"Iblis keji..!" Dan bersyiurlah angin keras
yang menggelombang, menghantam balik pukulan
si Walet Kencana. 
"Aiiiiii..!? Terdengar si Walet Kencana me-
mekik. Segera ia sudah lemparkan tubuhnya ber-
gulingan.
Bhusss..! Batu dan semak dibelakangnya
buyar berantakan disertai jeritan ketiga murid si
Walet Kencana yang tak sempat menghindar. Ter-
nyata hantaman angin yang bergelombang dah-
syat itu telah menghantam balik pukulan dahsyat
si Walet Kencana. Tak ampun lagi ketiga murid-
nya telah perdengarkan jerit kematian, karena se-
ketika tubuhnya telah berubah hangus... Terbe-
liak sepasang mata si Walet Kencana, menyaksi-
kan ketiga murid wanitanya berkelojotan mere-
gang nyawa. Ternyata ia telah mengumbar hawa
amarahnya untuk menghancur leburkan tubuh
Ken Wangi. Hingga ia hantamkan kedua telapak
tangannya dengan menyalurkan tenaga dalamnya
dengan tenaga penuh. Akibatnya yang menjadi
korban adalah ketiga orang muridnya sendiri. Wa-
jahnya seketika berubah pias bagai kertas, ketika
sesosok tubuh tahu-tahu telah muncul dihada-
pannya. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil. Ki-
ranya setelah mengamankan wanita-wanita seka-

pan didalam gedung maksiat itu, ia kembali ke
taman... Karena tiba-tiba ia teringat akan seorang
pendatang wanita berbaju kuning yang tengah
bertarung dengan kelima wanita murid si Walet
Kencana. Memang ia telah mendengar si wanita
pendatang itu bernama Ken Wangi yang entah
akan bicara apa padanya... Disamping mengkha-
watirkan keselamatan dirinya. Dari kata-katanya
ia sudah mengambil kesimpulan bahwa Ken Wan-
gi berada di pihak yang benar. Yang telah menda-
pat tantangan keras dari sang kakak.
Ken Wangi tampakkan wajah gembira me-
lihat kedatangan Roro, ia sudah segera mau ber-
gerak menghampiri... namun tiba-tiba kembali ia
muntahkan darah hitam kental dari mulutnya.
Sekonyong-konyong ia rasakan matanya berku-
nang-kunang. Pandangan matanya menjadi gelap.
Dan dengan keluhan lemah, ia jatuh terjungkal...
Namun sebelum hal itu terjadi, Roro telah berke-
lebat untuk menyangganya. Dilain kejap ia telah
pondong tubuh Ken Wangi ke tempat yang aman.
"Celaka..? Keadaan tubuhnya luka pa-
rah..!" Menggumam Roro, dengan suara berdesis.
Sepasang alisnya mengkerut ke bawah. Dan tak
ayal lagi ia gunakan tenaga dalamnya untuk me-
nyalurkan hawa hangat, pada tubuh Ken Wangi.
Namun napas Ken Wangi tinggal satu-satu... De-
tak jantungnya kian melemah. Tiba-tiba wanita
itu telah buka kelopak matanya, menatap pada
Roro.
"An... anda kah si Pendekar... Wanita Pan-

tai Selatan i... itu...?" Dengan megap-megap wani-
ta itu berusaha buka suara. Sementara wajahnya
tampak semakin memucat. Aliran tenaga dalam
Roro cuma mampu membuat dia bertahan bebe-
rapa saat. Karena begitu Roro Centil mengang-
gukkan kepala dengan memandang terharu, tam-
pak si wanita malang itu tersenyum padanya.
Tangannya tiba-tiba bergerak menggapai lemah...
Segera Roro cepat menangkapnya dan terasa pilu
hatinya ketika dengan kekuatan terakhir Ken
Wangi mencekal keras tangannya, seperti tengah
menjabat tangan tanda gembiranya akan perte-
muan yang pertama kalinya dengan sang Pende-
kar Wanita itu tetapi juga pertemuan yang terak-
hir... Karena cekalan tangannya perlahan-lahan
mengendur. Dan kembali jatuh terkulai bersama
hembusan nafasnya yang terakhir. Ken Wangi te-
lah wafat dengan bibir tersungging senyuman, di-
hadapan Pendekar Wanita Pantai Selatan, Roro
Centil.
Menitik air mata sang Pendekar ini. Betapa
banyak orang harus berkorban jiwa, hanya demi
tegaknya kebenaran... Apakah kebhatilan yang
harus tegak dimuka bumi ini..? Teriak hati Roro.
Tapi sudah tersentak lagi hatinya untuk memban-
tah. Tidak..! Kebhatilan harus punah dari muka
bumi ini! Setan Cebol masih hidup bergentayan-
gan. Dan kini sejenisnya tengah menanti dengan
penuh kebencian untuk menghancurkan kebena-
ran. Tiba-tiba terdengar suara lengkingan panjang
dari Roro Centil. Pertanda ia melepaskan kejeng-

kelannya, akan manusia-manusia yang hanya
membuat kericuhan diatas jagat ini... Dan detik
itu juga tubuh Roro telah melesat ke arah dimana
si Walet Kencana berada. Wanita itu telah bangkit
berdiri. Wajahnya memerah menandakan kegusa-
rannya, melihat ketiga muridnya yang telah tewas
akibat munculnya orang yang telah menyela-
matkan jiwa Ken Wangi. Baru saja ia mau gerak-
kan tubuh untuk melesat ke arah Roro Centil.
Namun sudah keburu si gadis itu yang berkelebat
kehadapannya. Ia sudah keluarkan bentakannya :
"Heh!? Kiranya kau si bocah aneh itu! Su-
dah kuduga, kau hanya berpura-pura saja..! Wa-
laupun ilmumu setinggi langit, jangan harap kau
dapat  lolos  dari kematian. Benarkah kau yang
bernama Roro Centil itu?" Kata-katanya sudah
disambung dengan pertanyaan. Seperti juga ku-
rang yakin akan penglihatannya.
"Kalau kukatakan benar, apakah kau mau
terus berlutut mencium kakiku...?" Balik bertanya
Roro dengan lagak yang masih bernada jumawa.
Terbeliak mata si Walet Kencana karena gusar-
nya, dan tiba-tiba saja ia telah perdengarkan te-
riakan keras, untuk segera lancarkan serangan.
Plak! Terdengar benturan kedua telapak
tangan. Tubuh Roro hanya tergeser beberapa
langkah. Namun si Walet Kencana telah memekik
keras, karena arus balik tenaganya sendiri yang
menyerangnya. Terhuyung-huyung ia mundur
beberapa langkah ke belakang. Tampak ia telah
pegangi dadanya. Sementara darah kental me-

netes dari bibirnya. Ternyata Roro tak mau ba-
nyak gunakan waktu untuk bertempur, dan telah
gunakan jurus Ikan Hiu Balikkan Ekor. Jurus
langka yang diwarisinya dari Pantai Selatan. Se-
hingga tenaga dalam serangan si Walet Kencana
berbalik menyerang sendiri. Lagi-lagi si Walet
Kencana dibuat tak habis mengerti. Ia pandangi
orang dihadapannya masih tenang-tenang saja
seperti tak terjadi apa-apa. Sementara ia segera
kerahkan tenaga dalam untuk menormalkan
kembali keadaan tubuhnya. Dilain kejap, ia telah
loloskan sabuk Kencana yang membelit pada
pinggangnya. Inilah senjata ampuh yang telah
membuat ia terkenal dengan nama julukan si Wa-
let Kencana. Senjata ini memang ada dibalik pa-
kaian tertutup baju. Benda yang panjangnya satu
meter lebih itu adalah logam yang lemas, yang
panjangnya mempunyai tiga ruas. Terbelit oleh
sebuah rantai berbentuk bulatan. Sedang bagian
kepalanya berbentuk burung walet yang tengah
membentangkan sayapnya. Warnanya kuning
emas. Ketika benda panjang itu diputarkan, sege-
ra membersit suara seperti burung walet yang
mencicit tiada hentinya.
Melihat orang keluarkan senjata pusa-
kanya. Roro dengan senyum masih menghias bi-
bir, segera loloskan sepasang Rantai Genit dari
pinggangnya. Dan segera saja iapun memutar se-
buah senjatanya, sedang sebuah lagi tetap terpe-
gang ditangan kiri. Detik selanjutnya segera ter-
dengar suara mendengung bagaikan suara ratu-

san tawon yang menandingi suara cicit burung
walet.
"Bocah jumawa..! Kau rasailah kehebatan
Sabuk Kencana ku...!" Dan berbareng dengan su-
ara bentakannya, si Walet Kencana telah mener-
jang ke arah Roro Centil. Hebat dan ganas seran-
gan itu, segera saja bagai ratusan walet yang ber-
kelebatan. Ujung Sabuk Kencana  si wanita ber-
nama Ken Huma itu telah mengurung Roro. Se-
bentar sebentar walet-walet yang bercicitan itu
mematuk ke setiap jalan darah yang berbahaya
ditubuh sang Pendekar Wanita. Hal mana mem-
buat Roro Centil juga terkesiap, tak menyangka
akan kehebatan senjata lawan. Dengan berteriak
keras ia segera putar tubuh dan berkelebatan un-
tuk menghindar. Sementara ia sudah gunakan
sepasang senjatanya untuk menangkis setiap da-
tangnya serangan.
Tring! Tring! Tring! 
Tiga patukan yang mematikan telah berha-
sil ia tangkis dengan si Rantai Genit. Tampak si
Walet Kencana gertak gigi, dan dengan menden-
gus ia telah robah gerakan senjatanya. Kali ini se-
rangannya membuat gerakan menyilang yang
membingungkan lawan. Ratusan walet segera
berserabutan menyerang Roro dari berbagai arah.
Terkadang menukik dengan tiba-tiba. Atau me-
luncur deras mengarah tenggorokan. Senjata Sa-
buk Kencana ini memang aneh, bisa menjadi le-
mas seperti ular, tapi bisa juga menjadi keras ba-
gaikan sebatang tombak. Nyaris saja dadanya ter-

koyak oleh sepasang sayap walet yang tiba-tiba
mencicit dengan menukik tajam. Untung ia telah
pergunakan gaya orang mabuk. Sehingga loloslah
serangan berbahaya itu. Gerakan orang mabuk
itu ternyata banyak menolongnya. Sehingga se-
rangan menyilang yang serabutan itu bisa terha-
lau dengan mudah. 
Tampak si Walet Kencana seperti kehabi-
san akal. Tiba-tiba ia memekik keras, seraya len-
gannya yang sebelah telah mencabut sebuah se-
ruling yang pendek. Dan detik berikutnya sudah
terdengar suara yang melengking tinggi rendah
membisingkan telinga. Roro Centil leletkan lidah.
Baru untuk kesekian kalinya ia menjumpai
orang-orang lihai, yang kali ini harus berlaku ha-
ti-hati. Salah-salah nyawanya bisa terbang ke Ak-
hirat. Melihat orang sudah keluarkan senjata lagi,
yang ternyata cukup mempengaruhi konsentra-
sinya, Roro pergunakan cara lain, inilah memang
cara yang aneh. Cara yang jarang dipunyai oleh
sembarang tokoh persilatan... Karena akal yang
cerdik saja yang bisa mempergunakannya. Tiba-
tiba saja Roro telah melompat mundur tiga-empat
tombak. Dan begitu ia sudah dapat menarik na-
pas untuk istirahat sejenak, tiba-tiba terdengar
suara  tertawa Roro yang mengikik geli. Tertawa
yang terpingkal-pingkal itu membuat si Walet
Kencana jadi melengak, dan membuatnya ber-
tanya-tanya dalam benaknya.
Ada apakah yang lucu..? Pikir si Walet
Kencana. Sementara tanpa disadari tiupan serul-

ing pendeknya jadi berhenti. Demikian juga ter-
jangannya mendadak ia hentikan. Hal itu juga
membuatnya mengambil keuntungan. Karena na-
pasnya memang sudah Senin-Kemis akibat terlalu
gencar menyerang. Apalagi ia telah terluka dalam
akibat balikan tenaga pukulannya sendiri...
"Hi hi hi... Mengapa berhenti menyerang
Walet Kencana..? Apakah kau sudah menyerah
kalah..! Kalau begitu bukankah dengan baik-baik
segera bersujud mencium kakiku..! Atau aku ha-
rus perintahkan kau untuk melakukannya..? Hi
hi hi... hi hi.." Kembali ia tertawa mengikik geli.
Merah seketika wajah si Walet Kencana. Bocah
Centil dihadapannya benar-benar membuatnya
menjadi bertambah jengkel. Belum lagi ia mem-
bentak, Roro sudah menyambung lagi kata-
katanya: "Baiklah! Mungkin sepasang sepatuku
ini sudah bau, hingga kau tak berani mencium
kakiku. Nah, tunggulah kubuka dulu..!" Seraya
berkata, ia telah cepat buka sepatu rumputnya.
Dan saat berikutnya sepasang sepatu Roro benar-
benar telah dibuka.
"Uhh..." Pantas, baunya amit-amit..!" Roro
sudah lantas mencium ujung sepatunya. Dan ti-
ba-tiba telah ia lemparkan ke atas.... seraya ber-
kata sambil mendongak.
"Nah! Terbanglah yang tinggi wahai sepa-
tuku yang sudah butut..!" Aneh, memang... Men-
gapa tahu-tahu si Walet Kencana ikut-ikutan
mendongak ke atas. Padahal sudah sedari tadi ia
gregetan pada si gadis, yang sudah mau dilabrak-

nya itu, namun ia agak merasa ngeri akan akal li-
cik yang dipergunakannya. Makanya dengan sa-
bar ia menahan kemarahannya, juga ingin tahu
apa yang akan diperbuat si orang aneh dihada-
pannya. Sepasang sepatu meluncur ke atas demi-
kian tinggi... Namun tanpa menunggu kembali
benda itu jatuh, si Walet Kencana sudah tak sa-
bar untuk membentak. Namun alangkah terke-
jutnya begitu ia lihat ke depan, ternyata tubuh si
centil dihadapannya telah lenyap.
"Bocah keparat..!" Memaki si Walet Kenca-
na. Ia segera putar tubuh untuk mencari dimana
adanya si gadis yang menyebalkan itu. Tapi tak
menampak batang hidungnya. Bahkan yang ter-
dengar adalah suara tertawa yang mengikik geli,
seperti ada di berbagai tempat. Tentu saja ia tak
dapat melihat Roro, karena jika si Walet Kencana
putar tubuh ia segera mengikuti dibelakangnya.
Pada saat itulah sebuah benda tiba-tiba berkele-
bat disebelahnya. Membentak si Walet Kencana,
seraya menghantamnya.
Brak..! Benda itu hancur jadi beberapa
keping, yang ternyata hanya sebuah batu.
"Tampakkan dirimu bocah keparat..!" Te-
riak si Walet Kencana. Akan tetapi kembali melu-
ruk deras dari atas dua buah benda ke arah kepa-
lanya.
"Edan..!" Ia segera mendongak ke atas un-
tuk menyampok jatuh benda itu. Tapi terkesiap
ia, karena dua benda itu adalah sepasang sepatu
Roro yang tadi dilemparkan ke atas, dan baru ja-

tuh setelah sekian lama... Pada saat itulah ter-
dengar suara.
Tring! Tring! Dan tanpa disadarinya sepa-
sang senjata si Rantai Genit, telah menyambar ke
arah kedua senjatanya. Yang tak ampun lagi se-
gera terlepas dari genggamannya. Sabuk Kencana
itu terlempar seketika, yang mau tak mau telah
dilepaskan karena getaran hebat yang menggetar-
kan tangannya hingga menjadi kesemutan. Se-
dangkan suling pendeknya telah jadi remuk, dan
juga terlepas dari genggamannya. Belum lagi hi-
lang rasa terkejutnya, sebuah hantaman keras te-
lah mendarat di kepalanya. Seketika matanya jadi
berkunang-kunang. Tubuhnya sekonyong-
konyong jadi limbung. Dan jatuhlah ia dengan
menekuk lutut. Ia tak dapat lagi melihat sekeli-
lingnya karena pandangan matanya telah menjadi
gelap.
"Nah! Kau ciumlah kakiku..! Bagus! Hi hi
hi... Mengapa tak sedari tadi kau lakukan..?" Ter-
dengar suara Roro Centil dihadapannya. Yang te-
lah membuat hampir hilang sukmanya. Tahu-
tahu kepalanya telah ditekan kebawah, hingga
benar-benar ia terasa mencium sepasang kaki
yang masih ada sisa bau kecutnya.
"Bocah keparat..!" Bentak si Walet Kenca-
na. Namun tiba-tiba ia telah perdengarkan jeritan
ngeri, karena saat itu juga Roro telah gerakkan
kakinya untuk mencongkel tubuh si Walet Ken-
cana, hingga sang tubuh melambung ke udara.
Pada saat itulah terdengar bentakan yang mem-

buat terkejut Roro Centil. 
"Bocah Centil..! Penipu tengik! Kubunuh
kau..! Sebuah sambaran benda panjang bersyiur
dibelakang Roro. Itulah serangan mematikan yang
mengarah kepala dari sebuah pipa cangklong si
bangsawan bungkuk alias Raden Mas Guntoro
Kecut. Ternyata ia telah berhasil melepaskan diri
dari pengaruh totokan Roro Centil. Dengan gera-
kan secepat kilat, Roro Centil gulingkan tubuhnya
ke tanah. Tak ada jalan lain selain mengambil ke-
putusan dengan cepat. Saat itulah sebelah kaki
sang Pendekar Wanita itu telah bergerak me-
nyampok mental pipa cangklong. Itulah gerakkan
reflek yang ia telah lakukan. Namun dengan sam-
pokan yang telah ia perhitungkan dengan cermat.
Karena itulah jurus ilmu Meninju Tongkat Memu-
kul Anjing. Salah satu jurus dari gurunya si Mal-
ing Sakti dari lereng Gunung Rogojembangan.
Akibatnya memang amat fantastis, karena segera
terdengar jerit mengerikan,  ketika dengan deras
pipa cangklong itu meluncur untuk segera me-
nembus tubuh si Walet Kencana yang masih be-
rada di udara... Dan selanjutnya detik berikutnya,
tubuh wanita yang sial itu jatuh berdebuk ke bu-
mi. Kejadian itu begitu cepat, hingga membuat
Raden Mas Guntoro Kecut jadi terbeliak. Dilihat-
nya si Walet Kencana menggeliat untuk kembali
bangkit. Sepasang matanya terlihat seperti merah
menyala, menatap Roro.
"Bocah kepar... rrrratt..." Hanya itu yang
bisa ia ucapkan, karena selanjutnya ia sudah ter-

kulai  lagi untuk segera melepaskan nyawanya.
Melihat kematian si Walet Kencana. Si bangsawan
bungkuk itu jadi menggigil ketakutan. Bukannya
menerjang ke arah Roro yang sedang membela-
kangi, tapi dengan diam-diam ia berusaha kabur
untuk mengambil langkah seribu. Akan tetapi Ro-
ro Centil sudah perdengarkan suara tertawanya.
Dan tiba-tiba sebuah benda yang tak lain dari si
Rantai Genit, telah meluncur deras ke belakang si
manusia berakhlak bejat itu.
Prak! Terdengar suara kepala yang beradu
keras dengan bandulan Rantai Genit itu... Dan
terdengar teriakan keras, disertai terjungkalnya
tubuh Raden Mas Guntoro Kecut. Dan tanpa ber-
kelojotan lagi si bangsawan bungkuk hidung be-
lang itu sudah tewas dengan batok kepala pecan.
Roro sudah enjot tubuhnya untuk kembali me-
nyambar senjatanya. Setelah bersihkan pada baju
sang mayat ia sudah segera gerakkan tangannya
untuk menyelipkan kembali sepasang Rantai Ge-
nit nya pada kedua sisi pinggangnya.
"Hmh, orang semacam kau lebih bagus
siang-siang pulang ke akherat, sebelum bertam-
bah lagi dosamu..! Menggumam Roro.


7

MATAHARI semakin tinggi diatas kepala...
burung-burungpun seperti enggan untuk me-
nampakkan diri, di panas terik itu. Mereka ber-

lindung di balik dedaunan yang rimbun sambil
membentangkan sayapnya. Yang terkadang men-
gibas-ngibas untuk membersihkan kotoran yang
melekat pada bulu-bulunya. Sementara beberapa
ekor merpati itu tampak tengah asyik mencari ku-
tu-kutu dengan paruhnya...
Roro Centil rebahkan tubuhnya terlentang
dibawah pohon itu. Semilir angin sesekali mem-
buat kesejukan pada tubuhnya. Ia sudah pejam-
kan matanya, dengan berbantalkan lengan. Se-
lang sesaat saja ia telah terlena pulas, karena di-
hembus angin yang sepoi-sepoi membuat sepa-
sang matanya jadi mengantuk. Sehingga tanpa ia
ketahui sepasang mata dengan tajam penuh ke-
bencian, memandang ke arahnya.... Itulah sepa-
sang mata si wanita bercadar tipis, alias si Elang
Alap-alap. Wanita yang telah menjadi sakit hati
terhadapnya. Tampak ia telah bertindak dengan
pelahan-lahan menghampiri, tapi sebentar kemu-
dian ia merandek sejenak... Ia sudah keluarkan
tiga buah paku beracun. Dan digenggam erat pa-
da tangannya. Namun tampaknya ia urungkan
niatnya... dan masukkan lagi senjata rahasia itu
ke dalam sakunya. Sepasang matanya beralih pa-
da sebuah batu besar didekatnya.
"Aku ingin lihat dia mati menggeletak den-
gan kepala hancur..!" Terdengar ia berdesis den-
gan amat pelahan sekali. Dan saat selanjutnya
batu besar itu, diangkatnya dengan pelahan-
lahan. Cukup berat untuk meremukkan kepala
orang yang amat dibencinya itu. Berfikir ia dalam

hati. Dan kembali ia melangkah dengan langkah
hampir tak terdengar. Kini ia telah berada di ba-
gian ujung kepala Roro Centil yang masih tak ter-
lihat bergeming. Hanya napasnya saja yang keli-
hatan turun naik. Sepasang matanya masih ter-
katup rapat... Inilah saatnya kau mampus..! Ber-
sorak hati si Elang Alap-alap. Dan ia telah angkat
batu besar itu tinggi-tinggi diatas kepala Roro...
Namun wanita itu lupa, bahwa pasir-pasir halus
yang berjatuhan dari bawah batu itu telah melun-
cur turun mengenai wajah, dan pelupuk mata Ro-
ro dibawahnya. Dan hal itulah yang telah mem-
buat Roro Centil membuka matanya. Nalurinya
yang peka telah mengatakan bahwa ada apa-apa
terjadi diatas kepalanya. Tepat pada detik itu, ba-
tu besar itu telah melayang turun ke arah kepa-
lanya. Terkesiap Roro Centil bukan kepalang me-
lihat bahaya didepan matanya... dengan berteriak
tertahan ia telah gulingkan tubuhnya ke samping.
Buk! Terdengar batu besar itu jatuh berde-
bum menimpa tanah. Namun Roro Centil sudah
selamat dari maut... Adapun si Elang Alap-alap
tak menyangka sama sekali akan hal yang ber-
langsung begitu cepat. Saat ia terpaku, tiba-tiba
sepasang lengan telah mencengkeram kakinya.
Disertai bentakan Roro yang bagaikan geledek
disiang hari terdengar santar ditelinganya. "Pen-
gecut licik...!" Dan tahu-tahu tubuhnya telah ja-
tuh terbanting, tepat diatas batu besar yang baru
saja berhenti menggelinding... Terdengarlah teria-
kan ngeri dari mulut si Elang Alap-alap. Karena

dengan keras, kepalanya telah menghantam batu
besar itu. Tak ampun lagi ia telah jatuh mengge-
loso. Namun ia masih berusaha untuk bangkit,
walau terlihat ada darah mengalir dari belakang
kepalanya. Pandangan matanya memang telah
berkunang-kunang, dan rasa sakit pada kepa-
lanya terasa ngeri bukan kepalang. Tapi sebelum
ia dapat gerakkan tubuhnya, entah apa yang ter-
jadi, karena tahu-tahu batu besar itu telah meng-
gelinding ke tubuhnya. Dan terdengarlah pekik
mengerikan disertai terdengarnya suara remuk-
nya tulang dada, dan tengkorak kepala yang ber-
krotakan. Terlihat sepasang kaki si Elang Alap-
alap mengejang, dan bergerak-gerak... Namun se-
kejap kemudian gerakkan kaki itu terhenti untuk
selamanya.
Sang Pendekar Wanita Pantai Selatan sege-
ra tinggalkan tempat itu dengan wajah murung...
namun membersitkan rasa bersyukur pada Tu-
han atas keselamatannya. Seperti terlihat pada
wajahnya yang kembali tampakkan kecerahan,
ketika ia mendongak ke langit sambil pejamkan
mata. Semilir angin sepoi-sepoi yang berhembus,
membuat leganya hati dan sejuknya perasaan...
Dan detik selanjutnya sudah terdengar suara
lengkingan Roro Centil, seperti melepaskan kele-
gaan hatinya. Dan detik selanjutnya ia telah ber-
kelebat cepat sekali, yang sesaat antaranya sosok
tubuh Pendekar Wanita itupun lenyap... 

***


"Dalam sepekan ini aku perlukan empat
orang wanita atau gadis, tentu saja yang bertu-
buh mulus, dan berwajah cukup cantik..! Terden-
gar suara bernada serius dari balik air terjun itu.
Yang sudah ditimpali dengan suara kata-kata se-
perti suara burung gagak, namun agak besar se-
dikit.
"Benar! Wanita yang bertubuh mulus, pasti
jantung dan hatinya pun akan mulus! Sudah tiga
hari ini aku tak makan sarapan yang amat men-
guatkan tubuh itu, apakah tidak sebaiknya kau
berangkat mencarinya, dan membawanya kema-
ri..? Aku khawatir, jangan-jangan aku bisa mengi-
lar untuk mengorek hati dan jantungmu, Dewi
Tengkorak!" Itulah suara si Setan Cebol dan si Ib-
lis Tertawa dihadapan seorang wanita yang cuma
bisa tampakkan wajah murung. Sejurus anta-
ranya wanita ini yang tak lain dari si Dewi Teng-
korak adanya, berdiam tanpa buka suara. Tiga
hari ditempat sekapan yang tersembunyi itu
membuat ia tak bisa berkutik apa-apa. Dan sela-
ma tiga hari itu, tenaganya hampir habis, karena
harus melayani kehendak si Iblis Tertawa, dan si
Setan Cebol berganti-ganti. Membuat ia mau me-
larikan diri saja dari sarang kedua iblis dan setan
itu... Namun apalah artinya..? Dua butir pel yang
telah dijejalkan pada mulutnya, membuyarkan
keinginannya. Walaupun ia bisa saja tinggalkan
pergi tempat itu, namun ia amat membutuhkan
obat penawar dari racun yang sudah masuk pe-

rutnya... Untuk membunuhnya adalah terlalu su-
lit. Apalagi pengaruh rasa takut akan kematian,
membuat ia hilang semangatnya. Dan terpaksa ia
harus menerima tugas dari kedua iblis dan setan
jahat itu, mencarikan korban yang dimauinya.
"Baiklah, demi obat penawar itu, aku akan
turuti perintah kalian. Namun aku khawatir aku
cuma dijadikan budakmu saja. Dan nanti bila te-
lah tiba saatnya satu bulan, aku kau biarkan
mampus keracunan..!" Berkata si Dewi Tengko-
rak. Meledaklah tertawa si Setan Cebol, diikuti si
Iblis Tertawa, yang terdengar berkakakan didalam
ruangan goa dibalik air terjun itu.
"Ha ha ha., ha ha... Kami berdua tak akan
berdusta, dan pasti akan kau terima obat pemu-
nahnya sebelum waktu satu bulan..! Jangan
khawatir nona manis..! Bukankah begitu sobat
Setan Cebol..!?"
"He he he... Benar! Kalau aku sedang tidak
malas, buat apa aku menyuruhmu? Aku hanya
tengah mengajar adat padamu, agar jangan terla-
lu sombong jadi manusia..! Ha ha he he he..!" Ujar
si Setan Cebol, yang kembali tertawa berkakakan.
"Baiklah, aku akan berangkat sekarang..!"
Berkata si Dewi Tengkorak, seraya bergerak ke
arah pintu goa.
"Bagus..! Agak cepatlah sedikit. Hati-hati,
buaya-buaya di rawa itu suka naik ke darat. Aku
khawatir kau dicaploknya..! Teriak si Iblis Terta-
wa. Namun Dewi Tengkorak, sudah tak menghi-
raukan lelucon yang tidak lucu itu. Ia segera me-

langkah keluar dari ruang Goa dibalik air terjun
itu. Tapi dasar wanita yang sudah matang, dan
berpengalaman, ia tidak terus berangkat pergi...
melainkan berdiri disamping batu Goa. Telin-
ganya dipasang untuk mendengarkan suara dis-
ebelah dalam. Benarlah apa yang telah didu-
ganya. Karena segera terdengar suara tertawa si
Muka Bocah alias si Iblis Tertawa itu...
"Ha ha ha...ha ha... Kalau saja ia tahu te-
lah aku bohongi, pasti siang-siang ia sudah ming-
gat tak balik lagi. Pel yang kujejalkan dimulutnya
itu adalah obat perangsang yang pengaruhnya
hebat luar biasa..! Buktinya ia mampu berperang
tanding sampai menggebu-gebu melawanku! He
he he... ha ha ha..." Terkejutlah si Dewi Tengko-
rak. Namun juga diam-diam ia bergirang hati
yang telah dapat mendengar celoteh si Iblis Ter-
tawa. Segera ia sudah melesat cepat untuk ting-
galkan Goa yang telah membuat ia tersiksa seten-
gah mati itu. 
Huh! Buat apa aku turuti keinginannya..
Lebih bagus aku kabur dari daerah kekuasaan
kedua setan dan iblis keparat itu! Berkata si Dewi
Tengkorak dalam hati. Dan dengan beberapa kali
ia mengenjot tubuh, sebentar saja sudah lenyap
dari tempat yang sunyi mencekam itu.
Menjelang malam baru saja merangkak,
Roro Centil sudah berada lagi dimuka pintu Pa-
depokan Cemara Kandang. Belum lagi ia mengu-
capkan salam, telah berteriak seorang gadis, yang
telah memburunya keluar. Dialah si gadis Sumi-

rah itu.
"Kakak Pendekar Roro Centil..! Aiii..!? Se-
lamat datang ditempat kediamanku!" Dan sang
gadis itu sudah lantas memeluknya. Roro pun
sudah balas memeluk si gadis itu dengan terharu.
Tampak terdengar suara isak tersendat dari mu-
lut Sumirah. Dan terasa air hangat membasahi
lengan Roro, ketika ia tengah membelai wajahnya.
"Kakak Roro... Mengapa semua ini terjadi
pada diriku? Pada kami orang-orang Padepokan
Cemara Kandang..? Benarlah dugaanku, ayah
pasti tak akan mampu melawan si Iblis Cebol
itu..?" Terdengar kata-katanya yang tersendat.
"Sudahlah dik Sumirah. Segalanya me-
mang sudah takdir Tuhan. Buat apa kau tangisi
kematian orang yang sudah tiada? Sebaiknya ta-
wakallah. Dan jangan terlena oleh kesedihan. Aku
berdiam di rumahmu sampai keadaan menjadi
kembali aman..!" Sumirah tiba-tiba lepaskan pe-
lukannya, dan tatap wajah Roro dalam-dalam.
Wajahnya kembali menampilkan kecerahan.
"Benarkah demikian kakak Roro..? Oh, te-
rima kasih! Aku amat senang sekali..!" Dan selan-
jutnya ia telah bimbing lengan Roro Centil untuk
diajak masuk ke dalam ruang padepokan. Semen-
tara beberapa murid laki-laki mendiang Ki Reksa
Permana tampak berdatangan menyambutnya
sambil menjura hormat.
Malam semakin larut... namun masih juga
terdengar suara orang bercakap-cakap didalam
ruang Padepokan itu. Ternyata mereka berdua

tengah saling menceritakan pengalaman hidup-
nya. Dengan didengarkan pula oleh ke dua belas
orang murid laki-laki di Padepokan itu. Hingga
saat menjelang tengah malam, barulah Rumah
Besar Padepokan Cemara Kandang kembali sunyi
senyap. Semua orang telah tertidur. Hanya Roro
Centil, yang masih duduk dihadapan Sumirah
yang telah menggeros kelelahan. Tidurnya demi-
kian pulas. Sampai nyamuk yang hinggap di pi-
pinya sudah tak terasa lagi. Roro jentikkan jari te-
lunjuknya untuk membuat terpental mati sang
nyamuk itu. Dan dengan bersidakep, Roro pejam-
kan matanya... Ia tidak tidur, walaupun matanya
meram. Karena ia tengah bersemadi memulihkan
kekuatannya lagi. Pertarungan tadi siang telah
banyak menguras tenaganya...
Demikianlah, malam berganti siang. Dan
siang berganti malam... Roro tinggal atau mene-
tap di Padepokan itu. Dengan diam-diam telah
pula melatih ilmu pedang Sumirah. Dan turunkan
beberapa jurus ilmu ampuh padanya. Bahkan ke-
dua belas murid laki-laki di padepokan itupun
mempelajari juga beberapa jurus ilmu yang ia da-
pati dari Paderi Jayeng Rana. Hari kedua dan ke-
tiga Roro Centil tak mendapat berita mengenai si
makhluk Cebol Itu. Tapi pada hari keempat, dua
orang murid Ki Reksa Permana, tampak berlari-
lari menghadap pada sang Pendekar Wanita Roro
Centil.
"Ada apakah yang terjadi..?" Bertanya Roro
yang telah melompat kehalaman Padepokan.

Tampak terlihat kedua orang pemuda itu teren-
gah-engah. Sekujur tubuhnya bercucuran kerin-
gat.
"Celaka, Guru... Makhluk Cebol itu tengah
mengamuk dan membantai penduduk dan orang-
orang Ki Demang, di desa Duren Sawit... Bersama
seorang kawannya, yang telah menawan tiga
orang gadis..!" Terkesiap seketika Roro Centil.
Jantungnya berdetak keras karena terkejutnya.
Saat itupun muncullah Sumirah, dengan sepa-
sang Trisula dipinggang dan pedang tipis terbelit
dipinggang. Ternyata iapun baru saja masuk dari
pintu belakang Padepokan.
"Guru..! Mari kita berangkat ke Desa Duren
Sawit sebelum makhluk Cebol dan kawannya itu
kabur dengan membawa korban..!" Roro Centil
palingkan kepalanya.
"Kaupun baru pulang menyelidiki?" Ber-
tanya Roro. Sumirah anggukkan kepalanya. Roro
tatap kedua murid laki-laki itu seraya berkata :
"Kalian tetaplah berada disini. Kemana
yang lainnya?" Bertanya Roro Centil.
"Empat orang berada disana, yang lainnya
entah. Guru. Mungkin berada dilain tempat..!"
Menyahut salah seorang.
"Baiklah. Kalau mereka kembali, jangan
menyusul kesana. Tetaplah berdiam di Padepo-
kan!" Perintah Roro, yang ternyata telah diangkat
sebagai Guru oleh murid mendiang Ki Reksa Per-
mana dan Sumirah. Yang mau tak mau terpaksa
Roro menerimanya. Selesai ia berkata, segera ia

berpaling pada Sumirah yang tampaknya seperti
tak sabar menunggu sang Guru lagi.
"Ayo Sumirah, kita berangkat...!" Dan ber-
kelebatlah dua tubuh dengan gerakan cepat me-
ninggalkan Padepokan Cemara Kandang...
Saat itu di Desa Duren Sawit tengah terjadi
pertarungan seru. Beberapa sosok tubuh tampak
telah tergeletak mandi darah. Itulah orang-
orangnya Ki Demang Gombal Manik, yang telah
menyerbu kedua iblis itu. Ternyata di desa itu
dengan diam-diam telah dipasang beberapa mata-
mata utusan Ki Demang. Dan bahkan ada pula
dua orang pendekar suami istri yang mau turut
membantu menumpas si Setan Cebol yang ka-
barnya semakin tersiar luas. Hingga keadaan dis-
ekitar Gunung Merbabu sebenarnya telah diper-
kuat dengan penjagaan dari beberapa golongan
kaum Pendekar. Termasuk juga orang pemerinta-
han, yang  dipimpin langsung oleh Ki Demang
Gombal Manik. Gerakan rahasia itu memang di-
atur secara diam-diam dan dipasang di beberapa
tempat yang rawan. Hingga ketika terjadi penculi-
kan dan pembunuhan oleh kedua tokoh persila-
tan yang keji itu. Berita segera tersebar  dengan
cepat. Dan terkurunglah si Setan Cebol bersama
kawannya itu, yang tak lain dari si Iblis Tertawa
yang amat rakus pada wanita cantik. Dikurung
rapat sedemikian rupa, kedua manusia keji itu
bahkan tertawa-tawa, dan tampak senang dapat
membunuhi setiap orang yang menerjangnya.
Hingga korban-korban pun jatuh bergelimpangan.

Betapa gusarnya dua orang pendekar sua-
mi istri yang melihat kekejian dua makhluk itu.
Terlebih-lebih si makhluk Cebol itu, yang sambil
memanggul seorang gadis, mulutnya tak pernah
berhenti mengunyah jantung dan hati manusia
yang telah dibunuhnya... Sedangkan si Iblis Ter-
tawa dengan tertawa berkakakan juga mengepit
sesosok tubuh wanita yang sudah terkulai ping-
san. Sementara sebelah tangannya menghantam
para penyerangnya yang ragu-ragu  karena kha-
watir mengenai tubuh wanita yang dikepitnya itu.
Tampak seorang yang bersenjatakan tombak itu
roboh terjungkal dengan perdengarkan jerit kema-
tian.
"Iblis Pengecut..! Lepaskan wanita itu! Ha-
dapilah pedangku. Jangan kau buat ia sebagai
perisai..!" Bentak seorang wanita berbaju merah,
yang sudah melompat turun dari kudanya.
"Ha ha ha... he he... Payah-payah aku
mencarinya, masa mau kulepaskan begitu saja.
Jangan khawatir, aku akan menjaganya jangan
sampai mengenai pedangmu, nona..!"
"He...! Muka Bengkak! Berikan padaku...
Jangan khawatir kau tak kebagian. Aku telah
simpan tiga orang di Goa..! Biar itu bagianku..!"
Berteriak si Setan Cebol. Dan serta merta ia telah
lemparkan gadis di pundaknya. Ternyata keadaan
wanita itu telah membuat orang berteriak ngeri.
Karena isi perutnya telah terburai keluar. Semen-
tara sebelah lengannya telah mengunyah sesuatu
yang penuh berlepotan darah.

"Baik! Terimalah ini..!" Teriak si Iblis Ter-
tawa seraya lemparkan korbannya. Namun sebe-
lum si Setan Cebol menyambutnya, telah berkele-
bat sesosok tubuh dengan kecepatan kilat, yang
menyambar tubuh sang wanita. 
"Iblis keji..!" Terdengar satu bentakan. Dan
sesosok tubuh berbaju putih telah menyerangnya
dengan pedang, disaat si Setan Cebol ternganga...
Sret! Tergoreslah punggungnya. Walaupun
ia telah lompat menghindar. Segera ia dapat meli-
hat siapa penyerangnya. Yang tak lain dari Sumi-
rah adanya.
"Iblis  keparat...! Kau telah bunuh dengan
keji ayahku..! Kini terimalah kematianmu..!" Te-
riak si gadis, yang kemudian telah menerjang
dengan gerakan pedang yang menyambar-
nyambar. Namun si Setan Cebol telah waspada.
Dengan muka meringis ia telah berkelebat meng-
hindar, dan lompat menjauh tiga tombak.
"Bagus..! Kiranya kau anaknya si Pedang
Sakti Bermata Delapan...! He he he... Beruntung
sekali aku. Terkabullah niatku untuk menumpas
habis keluarga manusia yang telah membunuh
Guruku..! Namun amat disayangkan kalau kau
harus mati siang-siang...'" Berkata si Setan Cebol,
dengan sepasang matanya berbinar-binar mena-
tap Sumirah. Betapa marahnya Sumirah melihat
manusia yang menatapnya sambil terus mengu-
nyah jantung dan hati manusia itu. Ia sudah me-
lompat lagi untuk menerjang. Tapi kali ini si Se-
tan Cebol telah gerakkan tangannya memukul

pergelangan tangan Sumirah. Terlepaslah pedang
tipis itu. Saat berikutnya sepasang tangannya te-
lah bergerak untuk menotok dan merangkul gadis
itu. Terdengarlah keluhan Sumirah. Tubuhnya te-
lah terkulai, dan sekejap kemudian telah berpin-
dah ke atas pundaknya.
"He he he... Ayo manis, kita tinggalkan saja
tempat ini..!" Berkata si Setan Cebol, dan saat be-
rikutnya ia telah berkelebat pergi dengan cepat.
"Kejaaar!" Teriak Ki Demang yang menga-
wasi pertarungan. Beberapa orang yang mengejar
itu cuma bisa melongo saja karena si Setan telah
lenyap dengan cepat sekali...
Sesosok tubuh kerdil yang memanggul tu-
buh seorang wanita itu, telah memasuki Goa di
sela air terjun... Itulah si Setan Cebol, yang den-
gan tertawa berkakakan telah membawa korban-
nya, yaitu si gadis Sumirah. Tak banyak cerita ia
sudah lemparkan tubuh gadis itu ke pembarin-
gan. Sumirah perdengarkan keluhannya. Ia cuma
bisa tatap orang yang telah membunuh ayahnya
itu, tanpa ia bisa berbuat apa-apa.. Berteriakpun
ia sudah tak sanggup. Harapan hidupnya sudah
punah. Namun hati baja sang gadis telah mem-
buat ia menguatkan seluruh perasaannya agar ti-
dak menjatuhkan air mata. Biarlah aku mati, ka-
lau memang sudah ditakdirkan untuk mati. Pikir
gadis itu... Bukankah demikian wejangan sang
Guru barunya si Pendekar Wanita Roro Centil?
Kematian memang tak perlu ditakutkan. Berkata
ia didalam hati. Apalagi sudah didepan mata. Ke-

tabahan untuk menghadapi kematian secara keji
memang telah terpampang di depan mata Sumi-
rah. Namun ia benar-benar tabah, karena ia ber-
pendapat dengan kematiannya tak mungkin kalau
para pendekar akan membiarkan kebhatilan terus
merajalela dimuka bumi. Suatu saat akan datang
masa kehancurannya. Karena memang tidak
layak kebhatilan itu berdiam diatas bumi ini...
Bret! Bret! Bret! Terdengar sobekan kain
pakaian yang dikenakan Sumirah, ternyata si Se-
tan Cebol telah melakukannya tanpa berlama-
lama lagi. Sumirah pejamkan matanya. Ia sudah
tak hiraukan lagi akan dirinya. Semuanya ia pa-
srahkan pada Yang Maha Kuasa. Sepasang tan-
gan yang dingin telah menyelusuri sekujur tu-
buhnya yang terasa dingin dan panas berganti-
ganti. Keringat dingin telah mengucur deras di-
kening dan punggungnya. Namun tetap ia pejam-
kan mata dan gigit bibirnya agar tidak menjerit
ketakutan. Terasa benda berat telah menindih tu-
buhnya... dengan dengus napas yang terasa me-
nyambar wajahnya. 
"He he he... Selesai ini segera akan kuma-
kan jantungmu, nona manis... Mumpung belum
datang si Muka Bengkak itu, yang telah aku bo-
hongi..!" Saat yang akan menghancurkan pera-
saan itu sekejap lagi akan tiba. Tapi apalah ar-
tinya... Karena semua itupun akan diiringi den-
gan kematiannya..? Berfikir Sumirah. Terdengar-
lah si Setan Cebol itu tertawa lagi terengah-engah
karena menahan nafsu yang menggelora, namun

anehnya tubuh yang telah menindihnya itu bah-
kan menggelinding ke sisi disertai keluhannya.
Ketika ia buka kelopak matanya. Terbelalaklah
sepasang matanya, karena disitu telah berdiri
sang Pendekar Roro Centil. Ternyata Roro telah
menotok tubuh si Setan Cebol itu, yang telah
muncul bagaikan malaikat saja...
Plak! Sebuah hantaman telah membuat tu-
buh si Setan Cebol terguling ke bawah.
"Uuuuh..!? Sss.. sssiapa ka.. kau..?" Berka-
ta si Setan Cebol dengan meringis. Kepalanya te-
lah dibuat bertambah benjolannya. Hingga pada
kepala yang rambutnya bagai ijuk itu telah ada
dua benjolan.
"Hi hi hi... Aku orang yang akan mengirim
nyawamu ke Neraka..! Kebiadabanmu telah be-
rakhir Setan Cebol!" Seraya berkata Roro telah
tempelkan telapak tangannya pada punggung si
Setan Cebol. Terlihatlah asap tipis yang menge-
pul. Menjeritlah si manusia terkutuk ini. Tulang-
tulangnya terdengar berkriutan, dan lenyaplah
kekebalan tubuhnya. Punahlah segala kekuatan-
nya. Karena Roro telah pergunakan jurus keji dari
Sepuluh Jurus Kematiannya si Dewa Tengkorak.
Si Setan Cebol ini memang hebat. Ia masih beru-
saha untuk merangkak. Sepasang lengannya ber-
gerak mengulur dengan kesepuluh jarinya untuk
mencengkeram kaki Roro Centil. Namun tena-
ganya memang telah punah... Kembali sepasang
lengan itu terkulai. Dan terlihat napas yang
memburu. Tapi sepasang matanya masih terlihat

merah menyala seperti menahan dendam yang
amat sangat pada orang dihadapannya. Roro Cen-
til sudah bergerak lagi untuk membebaskan toto-
kan pada tubuh Sumirah. Gadis ini menatapnya
dengan sepasang mata terbelalak seolah tak per-
caya akan apa yang terlihat dihadapannya. Dan
sekonyong-konyong ia sudah memekik dengan
isak tersendat. Pekik girang haru yang tak terlu-
kiskan lagi. Seolah-olah Roro Centil adalah bukan
siapa-siapa lagi. Seolah ibunya sendiri yang ten-
gah menatapnya.
"Guruuuuu..!" Dan tenggelamlah ia dalam
pelukan sang Guru yang mengelus-elus pung-
gungnya dengan penuh kasih sayang. Tampak air
bening yang menetes dari pelupuk sang Pendekar
Wanita Pantai Selatan ini. Roro Centil memang
seorang Pendekar Wanita yang aneh. Melihat Su-
mirah roboh tertotok, dan jatuh ke tangan si Se-
tan Cebol. Ia tampak tenang-tenang saja. Karena
ia telah mendengar dan mengetahui bahwa tak
mungkin si Setan Cebol akan membunuhnya
dengan sekejap mata. Apalagi ia telah mendengar
kata-katanya tadi, yang mengatakan adanya tiga
wanita lagi yang telah ia sekap didalam Goa. Ma-
kanya ia biarkan saja si Setan Cebol itu mening-
galkan tempat itu. Tapi dengan diam-diam ia te-
lah menguntitnya. Adapun pedang tipis yang ter-
pental dari tangan Sumirah, dengan cepat ia me-
nyambutinya. Demikianlah... Hingga ia berhasil
memasuki Goa dengan diam-diam. Ia memang
mengetahui si Setan Cebol itu pasti berilmu san-

gat tinggi. Namun seperti wejangan Gurunya si
Manusia Aneh Pantai Selatan, yang telah menga-
takan bahwa: Tingginya suatu ilmu adalah tak
ada batasnya. Karena diatas langit masih akan
ada lagi langit. Tapi "kecerdikan" adalah diatas
segalanya. Oleh sebab itulah ia telah pergunakan
kecerdikannya untuk menjatuhkan si manusia ib-
lis Setan Cebol. Hingga berakhirlah kebiadaban-
nya.
Sejenak Roro Centil menatap pada Sumi-
rah, yang telah membenahi lagi pakaiannya. Lalu
beralih menatap pada si manusia kerdil itu yang
tampak amat menjijikkan. Tubuh telah tak berte-
naga lagi, bagaikan seonggok daging yang sudah
tak bertulang... tengah menatap padanya dengan
mata bersinar mengandung kebencian. Sementara
giginya yang runcing-runcing itu tampak menye-
ringai mengerikan. Mengeluarkan suara geraman
seperti seekor serigala.
"Sebaiknya manusia ini diberikan huku-
man yang setimpal atas kebiadabannya..!" Berka-
ta Roro Centil. Dan setelah berfikir sejenak, sege-
ra ia berkata pada Sumirah, seraya palingkan wa-
jahnya pada gadis itu.
"Ayolah, kau ikuti aku... untuk menyaksi-
kan hukuman apa yang akan aku berikan pada
manusia iblis ini..!" Selesai berkata Roro telah
jambak rambut si Setan Cebol, dan menggusur-
nya keluar dari goa itu. Ternyata Roro Centil telah
membawa tubuh si Setan Cebol pada sebuah
tempat ketinggian, dimana dibawahnya terdapat

rawa-rawa yang diairi serta menyambung dengan
air sungai disebelahnya. Belasan ekor buaya tam-
pak berkeliaran dibawahnya. Ada yang tengah
berjemur diri pada panas Matahari dengan men-
gangakan mulutnya. Ada yang tengah saling kejar
dengan kawannya. Serta terlihat pula yang baru
saja naik ke darat, dan merayap ke tengah-tengah
rawa-rawa yang amat luas itu.
Ketika mereka menatap pada si Setan Ce-
bol, tampak seketika pucat dan pias wajahnya.
Berteriak-teriaklah si manusia biadab ini ketaku-
tan, melihat beberapa ekor buaya yang telah
mengangakan mulutnya ke arah mereka. Ru-
panya bau manusia telah membuat buaya-buaya
ini berkerumun dibawah tempat ketinggian itu.
Roro dan Sumirah saling berpandangan, dan sa-
ma-sama tersenyum. Dan tanpa menunggu waktu
lama lagi Roro telah lemparkan tubuh si Setan
Cebol ke arah makhluk-makhluk melata itu, yang
segera saja telah menyerbunya dengan moncong-
moncong yang menganga memperlihatkan giginya
yang runcing-runcing. Terdengar jeritan si Setan
Cebol yang menyayat hati. Dan hanya sesaat, ka-
rena segera tubuhnya telah diterkam dan diren-
cah dengan rakus oleh binatang-binatang buas
itu yang tampak saling berebutan. Hingga sekejap
saja tubuh manusia kerdil itu telah terbeset jadi
beberapa bagian...
Sumirah palingkan wajahnya untuk tidak
melihat kejadian itu, terasa ngeri ia memandang-
nya. Namun sesaat kemudian Roro telah tarik

lengan gadis itu untuk diajak berlalu dari tempat
itu... Segera saja tampak kedua tubuh wanita itu
berkelebatan dengan tidak terlalu cepat mening-
galkan rawa-rawa yang telah mengubur mayat si
manusia iblis penyebar maut itu didalam perut
buaya-buaya penghuni rawa itu. Ternyata keda-
tangannya telah disambut oleh Ki Demang Gom-
bal Manik dengan suka cita. Juga pendekar sua-
mi istri itu, yang tak lain dari Sentanu dan Roro
Dampit. Kiranya si Iblis Tertawa itupun ternyata
telah menemui kematiannya ditangan sepasang
pendekar itu yang ternyata telah bertambah il-
munya. 
Suasana di lereng Gunung Merbabu kini
telah menjadi cerah. Petani dan pedagang sibuk
dengan pekerjaannya seperti biasa, tanpa harus
mengkhawatiri akan adanya manusia Iblis yang
akan mengganggu ketentraman disetiap desa di
lereng gunung itu. Ki Demang Gombal Manik
menjamu tamu-tamunya dengan gembira, Bah-
kan sampai beberapa hari Roro dan Sumirah ser-
ta sepasang pendekar suami istri itu berada di-
rumah besar Ki Demang. Hingga suasana pun
kembali sepi, ketika satu persatu mohon diri, un-
tuk kembali pulang ketempatnya masing-masing.
Roro Centil terpaksa memenuhi permin-
taan Sumirah untuk menetap sementara di Pade-
pokan Cemara Kandang. Gadis manis itu ternyata
telah tampak bergairah lagi dalam hidupnya, ber-
kat adanya Pendekar Wanita Pantai Selatan itu.



TAMAT