Roro Centil 6 - 5 Wajah 1000 Dendam(1)





Lima Wajah Seribu Dendam

 * Copyright naskah ini di tangan penerbit LOKAJAYA,
hak cipta pengarang dilindungi undang-undang.
* Dilarang mengutip, tanpa seizin penerbit.
* Menterjemahkan karya ini dalam bahasa Asing, ha-
rus seizin penerbitnya lebih dahulu.


 1

PELANGI di ujung bukit itu seperti melukis lan-
git setengah lingkaran... Mega-mega telanjang meman-
dang terpukau akan keindahannya. Mentari mengorak
senyum di lereng gunung, dengan sinarnya yang mulai
melemah. Sesaat lagi ia akan kembali keperaduan-
nya... Sementara lenguh kerbau-kerbau pak tani ter-
dengar di kejauhan. Beriring-iringan menuju pulang ke
kandang. Untuk esok kembali bekerja membajak sa-
wah. Kerja keras yang hanya berupa seonggok rumput,
namun cukup membuat mereka senang. Dan bekerja
giat membantu sang majikan. Gembala-gembala kecil
itu dengan tubuh lesu dan penat tiduran di atas pung-
gung kerbaunya. Sekali-kali masih terdengar canda
dan tawanya. Sementara jauh di belakang, orang-orang
tua mereka menyandang pacul, dan alat bajak, me-
langkah lunglai. Namun dengan semangat terpencang
di dada. Esok atau lusa kelak berharap panen akan le-
bih baik lagi.
Sebuah telaga kecil berair jernih di sisi sungai
yang berbatu-batu itu masih terdengar suara beberapa
gadis bersenda gurau. seperti enggan untuk beranjak
dari tempat mandi yang berair sejuk itu.
"Aku sudah ah, nanti kemalaman sampai di
rumah. Bisa-bisa aku kena marah..!" Berkata salah
seorang dari kelima gadis itu. Dan serta merta beran-
jak untuk menyambar pakaiannya. Gadis itu bernama
Sekar Tanjung. Gadis yang paling cantik di antara me-
reka. Melihat itu, yang lainnya pun bergegas naik ke
darat.
"Benar..! Terlalu asyik kita mandi sampai tak
sadar hari hampir gelap..!" Berkata salah seorang yang

terlihat lebih tua diantara mereka. Yang dua orang ter-
nyata masih juga bercanda, hingga salah seorang ber-
teriak :
"Awas, siapa yang paling belakang tentu akan
digondol hantu Sendang. Siapa yang dapat menolong?"
Terkejutlah keduanya, dan dengan berteriak sambil si-
lih pegangan mereka cepat-cepat beranjak ke darat.
Sampai-sampai salah seorang lupa dimana menaruh
pakaiannya. Tentu saja gadis-gadis lainnya jadi terta-
wa cekikikan saking lucunya melihat sang kawan yang
bertelanjang bulat, sibuk kesana-kemari mencari ba-
junya.
"Wah..! Pasti bajumu disembunyikan hantu
Sendang..!" Teriak kawannya.
"Ah, jangan main-main kau. Aku takut! Siapa
yang sembunyikan? Awas nanti kuhajar pantatnya..!"
Teriaknya sambil berjongkok kedinginan.
"Aku tidak tahu..!" Menyahut salah seorang.
"Aku juga tidak..! Berani sumpah. aku tidak
menyembunyikan! Berkata kawannya yang seorang la-
gi. Dan berturut-turut semuanya tak ada yang menge-
tahui dimana kawannya ini meletakkan pakaiannya.
Sekar Tanjung ternyata telah bergegas berangkat lebih
dulu setelah mengenakan pakaiannya. Empat pasang
mata segera beralih padanya.
"Eh... Sekar! Tunggu dulu. Apakah kau tahu
dimana Serandil meletakkan pakaiannya. Atau kau te-
lah menyembunyikannya..?!" Teriak Siti Jenang, gadis
yang paling tua itu. Sekar Tanjung menoleh, dan hen-
tikan tindakan kakinya.
"Aiii!  Kalian jangan sembarangan menuduh
orang. Apa tidak terhanyut terbawa air..?" Menyahut
Sekar Tanjung.
"Aku benar-benar tak menyembunyikannya..!"

Tambahnya lagi. Sementara itu Serandil sudah mau
menangis. Tubuhnya sudah menggigil kedinginan. Pa-
da saat itulah terdengar suara benda tercebur ke da-
lam air telaga atau Sendang. Semuanya jadi terkesiap.
Dan salah seorang berbisik:
"Celaka..!? Jangan-jangan hantu Sendang yang
mengganggu..!" Dan ia sudah mendahului lari dengan
wajah pucat bagai kertas. Tentu saja yang lainpun ber-
lari bubar ketakutan, tanpa menghiraukan lagi pada si
gadis yang masih bertelanjang bulat itu. Serandil ber-
teriak-teriak sambil menangis, berlari kesana kemari
kebingungan. Sementara kawan-kawannya sudah tak
kelihatan lagi. Akhirnya Serandil cuma bisa menelung-
kup menutup wajahnya dengan terisak-isak. Tak tahu
akan apa yang harus diperbuatnya.
Senja terus merayap... Cuaca berangsur-angsur
menjadi gelap. Beberapa orang laki-laki termasuk seo-
rang lelaki tua yang berada di bagian paling depan,
tampak berjalan dengan tubuh layu... Wajahnya me-
nampilkan kebingungan. Lelaki tua itu membawa se-
perangkat pakaian wanita. Tampaknya ia ayah dari si
gadis bernama Serandil itu.
"Aku bukan mengkhawatirkan akan adanya
hantu Sendang itu." Berkata laki-laki tua bernama Ke-
bo Pawon itu. Dan lanjutnya:
"Tapi yang ku khawatirkan adalah ulah perbua-
tan pemuda atau laki-laki iseng. Siapa tahu ia memang
bermaksud buruk terhadap anakku..!"
"Siapa kira-kira orang yang bapak curigai..!
Jangan khawatir, pasti akan kuberi hajaran dia.." Ber-
kata salah seorang bertubuh tegap. Usianya sekitar ti-
ga puluh tahun. Dialah yang bernama Telo Moyo. Bo-
leh dikatakan juga seorang jagoan di desa Blimbing
Wuluh itu. Namun laki-laki tua itu hanya terdiam. Pi-

kirannya telah terbenam dalam keruwetan. Serandil
tak dapat dijumpai di sisi telaga. Bahkan sudah seke-
liling tempat itu diperiksa. Setiap semak lebat di sing-
kap dan dibabat, oleh keempat laki-laki muda yang tu-
rut serta bersamanya. Namun sosok tubuh Serandil
tak kelihatan. Ada dugaan ia tenggelam di telaga, na-
mun tak ada yang berani untuk menyelam. Ditambah
hari sudah gelap, dan suasana di tepi Sendang itu
memang agak seram. Akhirnya mereka pulang dengan
tangan hampa. Serandil lenyap tak berbekas...
Sepekan sudah berita tentang lenyapnya seo-
rang gadis di tepi telaga itu sudah menyebar ke pelba-
gai pelosok desa Blimbing Wuluh. Bahkan sampai pula
ke desa-desa lainnya. Serandil memang hilang secara
misterius. Bahkan mayatnya pun tak kelihatan. sean-
dainya ia tenggelam ke dalam Sendang. Dugaan se-
mentara orang adalah pada seorang pemuda bernama
Jembawan. Karena berbareng dengan lenyapnya Se-
randil. Pemuda bernama Jembawan, yang berasal dari
desa Nongko Jajar, yang tak berapa jauh dari desa
Blimbing Wuluh itupun ternyata lenyap. Beritanya ba-
ru diketahui oleh penduduk Blimbing Wuluh dua hari
kemudian... Telo Moyo beranggapan bahwa Jembawan-
lah yang telah membawa lari si gadis bernama Serandil
itu. Rasa simpatinya pada Kebo Pawon, membuat ia
bersama tiga orang kawannya segera melacak ke ber-
bagai tempat. Mencari jejak Jembawan dan Serandil.
Hampir setiap desa yang di jumpai mereka. tentu dita-
nyakan akan adanya sepasang sejoli yang menghilang
itu. Namun hampir semua yang ditanyai menggeleng-
kan kepala... Ketiga orang kawannya mengusulkan un-
tuk kembali saja. Terpaksa Telo Moyo tak dapat meno-
lak keputusan itu walaupun hatinya masih penasaran.
Namun ketika kembali ke desa Belimbing Wuluh. beri-

ta baru membuat mereka terkejut. Yaitu lenyapnya Se-
kar Tanjung, seorang gadis anak seorang Kuwu kem-
bali lenyap dengan misterius... Gemparlah keadaan de-
sa Belimbing Wuluh. Beberapa pemuda desa dikerah-
kan untuk melacak ke pelbagai tempat. Pak Kuwu
sendiri memimpin pelacakan itu. Pertama-tama yang
dituju adalah desa Nongko Jajar. Karena disana dike-
tahui seorang laki-laki bernama Jembawan, yang juga
telah menghilang tak berbekas. Tentu saja kedatangan
pak Kuwu yang bernama Bendoro Kelud itu, mendapat
sambutan yang kurang baik dari orang tua Jembawan.
Walaupun Jembawan adalah anak angkat, namun te-
tap sudah menjadi bagian dari kehidupannya.
"Maaf. pak Kuwu..! Aku sendiri tak mengetahui
kemana anak itu pergi. Akupun tak mengetahui ten-
tang hubungannya dengan gadis-gadis dari desa Be-
limbing Wuluh. Apakah ada hubungannya peristiwa
hilangnya dua gadis itu dengan anakku..?" Aku sendiri
tak mengetahui..! Tapi janganlah asal menuduh saja
pada anak orang. Karena biarpun aku orang miskin,
aku punya harga diri. Aku mengenal betul watak
anakku. Kalau dia bersalah pasti aku yang akan
menghajarnya. Aku sendiri telah mengirim orang un-
tuk melacak kemana perginya si Jembawan itu..!" De-
mikianlah ujar Sugita. Tampak wajah laki-laki tua
yang berumur lima puluhan tahun itu merah padam.
Bendoro Kelud tak dapat berbuat apa-apa. Memang ia
tak mempunyai tuduhan kuat untuk dapat menyangka
Jembawanlah yang telah melarikan kedua gadis dari
desa Belimbing Wuluh itu. Dengan agak malu, segera
Bendoro Kelud meninggalkan desa Nongko Jajar. di
ikuti pemuda-pemuda desanya. Disaksikan beberapa
penduduk dengan bibir mencibir.
"Enak saja menuduh anak orang. Memangnya

anak orang apaan..?" Berkata salah seorang tetua di
desa itu sepeninggal pak Kuwu. Sementara Sugita sen-
diri tercenung dengan wajah murung. Ia sendiri sedang
memikirkan nasib Jembawan. Kemanakah gerangan
perginya anak itu..? Gumamnya dalam hati.

2

Tiga pekan sudah berlalu. Dan pencarian ketiga
orang itupun menemui jalan buntu. Tak seorangpun
yang mengetahui kemana lenyapnya satu pemuda dan
dua gadis dari dua desa itu...
Puncak Mahameru yang tersembul dibalik
awan itu bagaikan kepala raksasa yang tegak menju-
lang dengan megahnya. Mentari pagi masih merah di
ufuk timur. Pancarkan sinarnya yang masih lemah.
Namun sesaat demi sesaat terus menggelinding ke atas
dengan sinarnya yang kuning keemasan. Kicau bu-
rung-burung tampak semarak menyambut munculnya
si Raja Siang itu. Petani mulai  kembali berangkat ke
sawah memanggul paculnya. Walaupun kekalutan itu
masih menghantui desa itu. namun mereka tetap ha-
rus bekerja demi hidupnya. Di kejauhan tampak seo-
rang gadis berjalan seenaknya. Pakaiannya berbeda
dengan pakaian gadis-gadis desa umumnya. Karena ti-
dak umum dikenakan oleh seorang gadis biasa. Baju
atasannya berwarna merah jambu. berlengan panjang.
Dengan ikat kepala yang juga berwarna merah jambu.
melambai-lambai ditiup angin pegunungan. Sedang
kan bagian bawahnya memakai celana pangsi berwar-
na hitam. Dengan sabuk terbuat dari kulit ular. Pada
kedua belah pinggangnya tampak tergantung dua
buah benda berbentuk aneh. Yaitu bentuknya seperti

payudara, yang tergantung pada seutas rantai pada
kedua belah pinggangnya. Sepasang kakinya memakai
sepatu rumput yang terbelit dengan seutas tali menja-
lin betisnya hingga sampai ke ujung celana pangs hi-
tam itu. Yang juga dibeliti oleh tali dari sepatu rumput
itu. Sepintas saja orang dapat mengenalnya, kalau ga-
dis itu adalah orang dari kalangan Rimba Persilatan.
Wajah gadis itu ternyata amat cantik. Walaupun tanpa
dipulas oleh pupur atau gincu. Alisnya lentik menju-
lang ke atas. Melengkung bagai bulan sabit. Wajahnya
bulat telur, dengan sepasang mata yang bening. Hi-
dung yang tak terlalu mancung. Sedangkan sepasang
bibirnya bagaikan gondawa. Dan seperti menampak-
kan senyuman menawan... Wajahnya menampilkan
seperti seorang gadis yang lugu. Namun ayu, dan
luwes. Sepintas saja orang memandang pasti tak akan
puas untuk memperhatikan lagi. Rambutnya panjang
terurai berwarna hitam legam. dan ikal bak mayang te-
rurai... Ternyata dialah RORO CENTIL si Pendekar
Wanita Pantai Selatan. Yang telah menginjakkan ka-
kinya didaerah itu. Langkahnya tidak terlalu cepat.
Bahkan kadang-kadang berhenti untuk melihat dan
mengagumi pemandangan alam disekitarnya. Angin
gunung yang lembut itu sesekali menyibak rambutnya,
membuat ikat kepala dan ujung bajunya melambai-
lambai diterpa angin.
"Roroooo..!" Sebuah suara telah memanggilnya
dari kejauhan. Segera ia palingkan wajahnya ke arah
suara itu. Tampak alisnya agak menyatu melihat seso-
sok tubuh dikejauhan yang bergerak mendatangi. Da-
lam beberapa kejap saja orang itu telah tiba di-
hadapan Roro Centil. Dan sudah lantas berkata lagi.
"Roro,! Kau ada disini..? Ujarnya dengan wajah
berseri-seri. Pemuda itu berwajah tidak terlalu tampan.

Memakai pakaian warna putih, tapi berperawakan ga-
gah. Sepasang matanya membersit tajam menatap Ro-
ro Centil.
"Haii..! Kau rupanya Ginanjar..! Angin apa yang
meniupmu sampai kemari..?" Bertanya Roro dengan
menampilkan wajah terkejut, juga kelihatan senang
sekali.
"Kaupun angin apa yang meniupmu sampai
kemari..?" Balik bertanya pemuda murid mendiang si
Pendekar Bayangan Bayu Seta itu, dengan mata tak
lepas menatap wajah ayu dihadapannya. Seperti ingin
rasanya ia untuk membelainya. Roro cuma tersenyum.
Diam-diam iapun menatap dan memperhatikan wajah
orang. Hingga dua pasang mata beradu saling tatap.
Ternyata sepasang mata si pemuda bernama Ginanjar
itu kalah dalam hal tatap-menatap. Karena sekonyong-
konyong hatinya jadi berdebaran tak keruan rasa.
Tenggorokannya entah mengapa, tahu-tahu terasa se-
perti kering. Ia cepat mengalihkan pandangannya ke
arah lain seraya alihkan pembicaraan.
"Pemandangan disini indah-indah, tentu saja
telah menarik perhatianmu untuk datang kemari, bu-
kankah begitu Roro? Karena akupun amat mengagumi
keindahan, makanya juga datang kemari.." Ujar Ginan-
jar, memancing pembicaraan. Karena ia tiba-tiba juga
kaku untuk bicara apa. Roro Centil kembali menam-
pakkan senyumnya. Tapi kali ini bibirnya terbuka le-
bar hingga menampakkan sederetan gigi yang putih
bersih bak sederet mutiara. Roro Centil tertawa kecil
sambil manggut-manggut dan berkata:
"Benar! Aku memang tertarik melihat peman-
dangan indah didaerah ini. Tapi juga tertarik dengan
kisah aneh yang beritanya terdengar dari desa sekitar
Gunung Slamet ini..!" Ginanjar palingkan kepalanya

menatap lagi pada si cantik.
"Kisah apakah itu..?" Berkata si pemuda den-
gan wajah serius.
"Kisah hilangnya dua orang gadis dan seorang
pemuda secara misterius dari kedua desa..!" Ujar Roro.
Sementara sepasang matanya memandang sekitarnya.
"Nah..! Itu ada sebuah dangau tempat mene-
duh. Mari kita kesana untuk mengobrol..!" Kata-
katanya sudah dibarengi dengan gerakkan tubuhnya
yang melesat ke arah bawah. Ginanjar segera mengiku-
tinya dengan rasa ingin tahu. Sebenarnya ia baru saja
tiba setelah berjalan semalam suntuk dari Lebak Ba-
rang mencari obat-obatan. Karena susahnya pengina-
pan dan desa. Ia terpaksa menginap diperjalanan. Na-
mun karena ingin cepat-cepat tiba di tempat yang ditu-
ju,  ia telah melakukan perjalanan semalam suntuk.
Pagi subuh baru ia tiba di desa Baturaden. Beruntung
ada orang yang baik hingga ia bisa menumpang tidur
dalam beberapa kejap. Dan di saat ia keluar, matahari
baru menggelincir dari lereng Gunung Slamet. Saat ia
keluar untuk menghirup udara segar itulah, ia men-
jumpai Roro Centil.
Sebentar saja. kedua orang muda-mudi itu te-
lah duduk berhadapan di bawah gubuk kecil tempat
beristirahat para petani atau peladang itu. Segera Roro
Centil menuturkan apa yang telah didengarnya dari
seorang penduduk di sebuah desa, mengenai peristiwa
aneh itu.
"Aku beranggapan hal itu adalah bukan perbu-
atan pemuda bernama Jembawan itu. Pasti ada orang
lain yang memang sengaja memancing kekeruhan..!"
Tutur Roro Centil dengan pasti. Sementara Ginanjar
manggut-manggut dengan penuh perhatian. Tampak-
nya ia serius benar untuk mendengarkan penuturan

Roro itu namun sesungguhnya fikirannya entah mene-
rawang kemana. Karena bukan cerita itu yang ia dala-
mi, namun ia cuma memperhatikan gerak-gerik gadis
ayu dihadapannya. Dan bibir mungil itu yang terbuka
dan terkatup mempesonakan... Bahkan sekali-sekali
Ginanjar menelan ludah saking terpesonanya. Entah
dari mana tahu-tahu seekor lalat telah mampir ke mu-
lut pemuda itu, yang agak setengah terbuka.
"Ahk! Ahk!... Kurang ajar..!? Setan alas..!" Me-
maki Ginanjar sambil terbatuk-batuk. Namun rupanya
sang lalat telah masuk tertelan kedalam tenggorokan-
nya. Karuan saja Roro Centil jadi mengikik geli, hingga
terpingkal-pingkal saking lucunya. Wajah Ginanjar jadi
tampak merah karena malunya. Dan tiba-tiba saja ia
telah muntah-muntah karena tak tahan menahan rasa
mual diperutnya.
"Hi hi hi... hi hi.. Lucu sekali..! Makanya jangan
terlalu lebar buka mulutnya, jadi.. jadi... Hi hi hi... hi
hi...." Kembali Roro terpingkal-pingkal. Hingga gubuk
kecil itu bergoyang-goyang. Dasar memangnya dangau
itu sudah tua, maka tiba-tiba saja terdengar suara
berkreotan. Dan...
Brruaaak..! Robohlah dangau tua itu dengan
seketika. Roro Centil sudah melompat keluar. Namun
Ginanjar yang sedang mengurut-ngurut perutnya itu,
tak sempat lagi untuk memikirkan akan kejadian
mendadak itu. Hingga tak ampun lagi ia sudah tertin-
dih oleh tiang-tiang bambu dan atap alang-alang.
"Celaka..!?" Terpekik pemuda itu. Namun sudah
terlambat. Tubuhnya sudah teruruk oleh alang-alang.
Ketika muncul lagi wajahnya hampir tak terlihat kare-
na penuh dengan jerami. Karuan saja Roro Centil ter-
pingkal-pingkal saking lucunya. Menyadari akan kebo-
dohannya. tiba-tiba Ginanjar melesat cepat dari tempat

itu. Hingga sebentar saja ia sudah tak kelihatan. Roro
Centil segera hentikan tertawanya Mendadak kelucuan
itu segera sirna, melihat kepergian laki-laki dihada-
pannya.
"Aih. Roro..! Kau terlalu sekali sih menertawa-
kannya..!" Gumam Roro Centil.
Habis lucu sekali..! Aku terpaksa tak dapat me-
nahan tertawa..! Bantah hatinya. Akhirnya Roro cuma
bisa menatap ke arah mana kepergian pemuda yang
masih saudara seperguruannya itu ketika di lereng Ro-
gojembangan. Roro Centil menduga bahwa Ginanjar
pasti akan marah atau malu untuk menjumpai dia la-
gi, karena ditertawakan sampai keterlaluan. Sampai
nasib sial pagi-pagi sudah menyambangi. Sudah terte-
lan lalat, kerobohan atap gubuk lagi... Biarlah, nanti
aku akan cari dimana ia menginap. Aku yakin ia tidak
pergi buru-buru dari sekitar daerah ini. Dan aku akan
minta maaf..! Berfikir Roro Centil. Memikir demikian
Roro segera beranjak dari tempat itu.
Hari sudah menjelang tengah hari ketika Roro
tiba disebuah pasar. Sengaja ia berputar-putar di seki-
tar daerah itu untuk menyelidiki keadaan. Entah bebe-
rapa desa ia masuki. Untuk mencari dengar adanya
tanda-tanda yang dapat memberi petunjuk tentang hi-
langnya ketiga orang desa yang misterius itu. Ketika
menampak adanya sebuah rumah makan. Ia segera
memasuki. Rumah makan itu cukup besar. Dan agak-
nya hari itu banyak pengunjungnya. Sepasang mata
Roro mencari-cari tempat yang masih kosong. Tampak
ia tersenyum, karena disudut ruangan itu, masih ada
sebuah meja dengan dua kursi yang masih kosong. Se-
gera ia sudah beranjak kesana. Menampak adanya
pengunjung yang berwajah  ayu ini, beberapa pasang
mata sudah lantas melotot kagum. Sampai-sampai

terdengar suara orang batuk-batuk, karena terselak
oleh sayur pedas yang masuk hidung. Keruan saja be-
berapa lelaki jadi berceloteh dengan kata-kata yang tak
enak.
"Hati-hati bung..!" Makanya mata jangan terlalu
lebar kalau melihat orang..!" Dan bermacam kata-kata
lainnya lagi, yang diselingi gelak tawa. Sedang kan Ro-
ro Centil sudah menggeser bangku untuk duduk, den-
gan diiringi seorang pelayan yang segera mendatangi
mejanya.
"Mau pesan apa nona..?" Berkata sang pelayan.
Tapi belum lagi Roro menyahut telah terdengar suara
dari meja sebelah depan.
"Eh, pelayan, kau keterlaluan... Coba kesini du-
lu..!" Pelayan tua itu cepat menoleh. Ternyata seorang
laki-laki brewok tengah menggapainya. Karena yang
menggapainya itu tampak melotot, tentu saja ia buru-
buru meninggalkan meja tamunya, untuk segera ter-
buru-buru beranjak. Namun masih sempat juga berka-
ta:
"Maaf, nona... Sebentar aku datang lagi..!"
"Coba kau lihat meja ini! Masak kotornya bu-
kan main. Apa begini caranya kau melayani tamu... ?"
Berkata si brewok dengan keras, sambil menunjuk pa-
da mejanya. Tentu saja tiga lelaki disekelilingnya jadi
senyum-senyum ditahan. Karena mereka tahu, si bre-
wok sengaja menumpahkan nasi dan sedikit sayur
yang diacak-acak di atas meja. "Apakah tadi kau tak
mengelap mejanya? Kalau aku tidak merasa lapar se-
kali sejak tadi aku tak mau duduk disini..!" Sambung-
nya lagi.
"Oh, maaf... Dan, aku tak melihatnya..!" Berka-
ta si pelayan, dan cepat-cepat mengambil kain untuk
mengelapnya. Tapi diam-diam hatinya memikir: Ra-

sanya ada sesuatu yang aneh? Sementara si brewok
sudah lantas beranjak dari bangkunya.
"Biarlah aku pindah saja ke tempat yang lebih
baik..!" Berkata si brewok seraya berpesan untuk
membawakan minuman baru lagi ke  pada sang pe-
layan. Tentu saja kata-kata itu dengan bisikan perla-
han. Roro tak palingkan wajahnya sedikitpun. Tapi di-
am-diam ia tersenyum. la sudah mengetahui akal
orang. Dan benar saja ternyata saat itu si brewok tam-
pak mendatangi mejanya. Menyeret kursi dan duduk
dibangku kosong dihadapan Roro Centil.
"Boleh aku duduk disini, ngng... nona..?" Ber-
kata si brewok sambil tersenyum-senyum. Sementara
sepasang matanya merayapi wajah orang dihadapan-
nya. Roro anggukkan kepala sambil matanya menatap
tajam pada si brewok. Laki-laki ini walaupun tam-
pangnya kasar, tapi cukup hormat juga dan tidak ku-
rang ajar.” Berfikir Roro.
"Pesan apa..?" Bertanya lagi si brewok setelah
berfikir sebentar.
"Belum sempat..!"
"Ooooh..!?" Laki-laki brewok itu menyongkan
mulutnya, hingga kumisnya yang berbulu kasar itu ja-
di ikut terbawa kedepan. Roro sengaja menahan dari
rasa gelinya, karena ia melihat orang itu agak lucu.
"Pelayan..!" Ia sudah keluarkan bentakannya
dengan suara keras. Hingga semua orang jadi menoleh
padanya. Tergopoh-gopoh sang pelayan yang memang
tengah melangkah kesana, jadi mempercepat jalannya
seperti setengah berlari. Namun kembali memperlam-
bat jalannya, kalau tak ingin gelas yang berisi kopi pa-
nas itu menjadi tumpah. Tampak si brewok geleng-
gelengkan kepala. seraya berkata:
"Kalau jadi jongos harus kerja dengan cepat

dan gesit. Jadi pengunjung tak kecewa..!" Si pelayan
tua itu hanya angguk anggukkan kepala.
"Non... nona pesan apa..?" Berkata si pelayan
setelah meletakkan segelas kopi yang dibawanya itu
dihadapan si lelaki brewok.
"Pesanlah apa saja yang kau mau, nona. Biar
nanti aku yang bayar..!" Si brewok sudah mendahului
berkata. Sementara tiga orang kawannya dimeja depan
terdengar tertawa geli tertahan. Tiba-tiba entah dari
mana telah terdengar suara suitan. Si brewok ini agak
melengak dan wajahnya berubah merah. Belum lagi ia
berbuat sesuatu telah terdengar tepukan ramai dari
meja disudut kanan, disertai teriakan...
"Hidup, Warok Brengos, si Pisau Terbang dari
Madura...!" Dan suara riuh tepukan tangan pun kem-
bali terdengar.
"Sayang pisaunya cuma tinggal satu..! Tumpul
lagi..!" Terdengar suara teriakan santar dengan suara
nyaring, dibarengi dengan suara mengikik tawa dari
dua orang wanita yang baru turun dari ruang atas. Ke-
ruan saja semua mata tertuju pada kedua wanita itu.
Mata Warok Brengos seperti mau melompat keluar me-
lihat siapa adanya kedua wanita itu.
"Perempuan-perempuan tengik itu selalu cari
gara-gara..." Menggumam si brewok, tapi ia kembali
duduk. Walaupun banyak orang tertawa mendengar
kata-kata yang agak kurang sopan itu.
"Maaf, nona... Rupanya disini banyak kecoa-
kecoanya yang mengganggu aku. Nanti selesai minum
akan kuberi pelajaran orang yang telah kurang ajar
itu..!" Eh.. Mana pelayan itu..? Apakah kau sudah pe-
san makanan, nona..?" Bertanya Warok Brengos den-
gan terkejut. Karena ia tak melihat ada pelayan disitu.
"Sudah..! Aku sudah pesan sejak tadi!" Menya-

hut Roro. Rupanya di saat suara teriakan den tepukan
macam-macam itu. Roro sudah bisiki ditelinga si pe-
layan untuk membawakan pesanannya. Dan sang pe-
layan segera pergi. Namun karena merasa mendongkol
pada para pengunjung di  dalam kedai itu, ia sampai
tak melihat lagi kalau si pelayan sudah ngeloyor lewat
dihadapannya. Sementara itu, begitu dua wanita itu
turun. Segera saja dua buah kursi dikosongkan orang.
Dan seorang laki-laki yang usianya sekitar empat pu-
luh tahun, berpakaian mewah, tampak mengajaknya
bercakap-cakap. Diselingi gelak tawa cekikikan kedua
wanita itu... Dua orang yang ternyata adalah murid la-
ki-laki itu segera beranjak keluar. Diam-diam Roro
Centil terkejut juga. Sekilas saja ia sudah dapat perha-
tikan bahwa para pengunjung restoran atau boleh dibi-
lang kedai besar itu, adalah kebanyakan dari orang-
orang kaum Rimba Persilatan. Ada apakah mereka bi-
sa berkumpul di tempat ini..? Membatin Roro Centil.
Sambil menunggu hidangan, Warok Brengos sengaja
mengajak bercakap-cakap pada Roro dengan suara
agak keras. Dan lagak si laki-laki brewok ini mendadak
berubah seperti tak perduli pada semua orang yang
berada di situ.
"Nona pesan apa? Ko' lama sekali..? Berkata
Warok Brengos.
"Tentu saja, aku pesan seratus tusuk sate... Sa-
tu gelas kopi susu, dan dua piring nasi putih..!"
"Ha..! ?" Seratus tusuk.. ?! Apakah kau bisa
habiskan sebanyak itu... atau kau mau bawa pulang,
nona..?" Berkata Warok Brengos dengan kaget, hingga
sampai terlonjak dari kursinya. Diam-diam ia menghi-
tung uang dalam saku di  benaknya. Mati aku..! Ua-
ngku tak cukup untuk membayar sebanyak itu..! Ber-
kata ia dalam hati. Roro agaknya telah memaklumi

akan kegelisahan orang. Maka ia sudah lantas mau
berkata.. tapi sudah terdengar suara orang yang berka-
ta:
"Jangan khawatir nona..! Aku yang bayar se-
mua termasuk kawanmu itu. Ha ha ha... baru seratus
tusuk sate sih bukan apa-apa..!" Dan terdengar geme-
rincing bunyi uang dalam kantung yang diguncang-
guncang. Ternyata yang berkata adalah laki-laki ber-
pakaian mewah disudut dekat tangga itu. Yang duduk
bertiga dengan dua wanita tadi. Wajah Warok Brengos
merah padam. Ia merasa terhina sekali. Apalagi diden-
garnya suara dua orang wanita yang tertawa cekikikan.
Membuat telinga si brewok jadi panas. Saat itu si pe-
layan telah datang dengan tergopoh-gopoh membawa
pesanannya. Dan dengan cepat segala pesanan Roro
sudah terhidang di atas meja.
Warok Brengos menelan ludahnya. Bau sate
kambing yang sedap itu telah merangsang hidungnya,
hingga terlihat kembang-kempis.
Roro meneguk sedikit kopi susunya. Lalu ber-
kata berbisik pada si brewok:
"Eh, sobat Warok..! Ayo kau santap makanan
gratis ini. Aku memang sengaja memesan sebanyak ini
untuk kita berdua.." Tentu saja suara Roro tak terden-
gar oleh siapa-siapa, karena Roro telah memperguna-
kan tenaga dalamnya, hingga cuma si brewok itu yang
mendengarnya. Mata si brewok jadi mendelik kaget,
karena hal itu di luar dugaannya. Tapi Roro sudah ke-
dipkan mata untuk jangan sungkan-sungkan. Tam-
paknya si brewok ini mengerti dengan tanda itu. Dan
tanpa komentar lagi ia sudah seret kursinya lebih de-
kat. Mencuci tangannya. Mengelapnya dengan serbet.
Dan tak ayal lagi langsung mengganyang santapan itu
tanpa malu-malu. Terdengarlah suara riuh tepuk tan-

gan, dan teriakan-teriakan Disertai oleh gelak tawa
terpingkal-pingkal dari sekelilingnya. Namun Warok
Brengos sudah tak perduli lagi.
Setelah kenyang sampai beberapa kali berta-
hak. Warok Brengos mengurut-urut perutnya yang
buncit, terdengar ia berkata keras:
"He he he... Terimakasih sobat Guriswara..! Ka-
lau tidak karena nona ini, tak nantinya kau mentraktir
aku. Ha ha he he he..!" Terdengar beberapa orang me-
muji pada sikap si Brewok itu yang tanpa malu-malu
menyantap makanan yang justru tadinya ia yang mau
mentraktir orang... malah kini berbalik di traktir oleh
si laki-laki berpakaian mewah itu. Sementara ketiga
kawan si Brewok yang tadi semeja dengannya, tampak
seperti mengiri akan nasib orang. Yang sebentar saja
tampak sudah akrab dengan gadis cantik yang lugu
itu.
"Eh, terimakasih atas jasamu itu, nona..! Ngng..
kau sudah tahu namaku, tapi aku sendiri belum men-
genalmu. Kalau boleh tahu siapakah nona ini? Dan
akan kemana tujuannya?" Berbisik Warok Brengos.
"Ah, namaku sangat jelek. Apa perlu diberita-
hu..?" Berkata. Roro. Sementara suara teriakan yang
hingar bingar itu sudah lenyap lagi. Dan beberapa
orang sudah tampak keluar dari kedai besar itu.
"Memangnya kenapa ?" Apa khawatir aku
mengkambing hitamkan namamu ? Aku tak ada ber-
maksud jahat padamu nona. Percayalah! Aku orang
baik-baik..!" Berbisik si Brewok. Sementara sudut ma-
tanya menatap ke arah laki-laki bernama Guriswara.
yang mentraktir sate itu. 
"Tapi kau harus hati-hati pada orang yang
membayarkan makananmu. Dia sudah kesohor hidung
belang terhadap wanita cantik..!" Bisik lagi Warok

Brengos. Roro cuma mengangguk-anggukkan kepala
sambil leletkan lidah. Dan basahkan bibirnya dengan
beberapa teguk air putih. Lalu keluarkan sapu tan-
gannya, untuk mengelap sepasang bibir mungil itu.
"Namaku Roro Centil..!" Segera Roro perkenal-
kan namanya dengan singkat.
"Tujuanku adalah mencari tahu tentang peris-
tiwa lenyapnya dua orang gadis dan satu pemuda ber-
nama Jembawan. Ketiga orang itu telah hilang secara
misterius... Sambung Roro dengan perlahan. Tampak
wajah Warok Brengos berubah kaget, dan tampaknya
ia terkejut sekali.
"Hah? Ja.. jadi nona adalah si Pendekar Wanita
Pantai Selatan itu..? Oh... Maafkan aku yang bodoh
ini, nona Pendekar. Tak tahu kalau Gunung Mahame-
ru berada didepan mata..!" Berkata Warok Brengos
sambil menjura hormat.
"Aih... sobat Warok, mengapa kau terlalu me-
nyanjung namaku? Aku jadi malu hati menerima hor-
matmu..! Tukas Roro dengan wajah tersenyum, namun
diam-diam ia terkejut juga karena nama Roro Centil
ternyata telah dikenal disetiap pelosok. Pada saat itu
ketiga dari kawan Warok Brengos telah menghampiri.
Sambil cenger-cengir merubung di kiri kanan dan be-
lakang si Brewok.
"He..Warok! Bagi-bagi aku kalau dapat rejeki,
jangan dimakan sendiri..!" Berbisik yang dibelakang.
Sementara yang dua orang tampak melihat Roro den-
gan kagum, seperti memandang sebuah boneka saja.
Tiba-tiba saja si Brewok bangkit dari kursinya, seraya
memberi isyarat untuk segera mengikutinya. Tentu sa-
ja ketiganya jadi terheran, dan dengan cepat mengiku-
tinya. Ketika tiba-tiba diluar...
"Hm, dengarlah kalian sobat-sobatku. Bicara-

mu jangan terlalu kurang ajar. Apakah kau tak menge-
tahui kalau nona yang ada didekatku itu adalah si
Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil..?!" Ter-
nyata Warok Brengos telah bicara dengan suara keras.
"Hayo, segera kau minta maaf padanya..! Ber-
kata Warok lagi. Adapun ketiga orang kawannya jadi
terkejut bukan main mendengar penjelasan itu. Dan
tak lama kemudian mereka segera kembali ketempat
duduk Roro... Akan tetapi mereka jadi terkejut, karena
tahu-tahu bangku disudut itu telah tak ada orangnya.
Alias kosong. Sang Pendekar Wanita Pantai Selatan itu
ternyata telah lenyap tak berbekas.
"Heh..?! Kemana nona Pendekar itu..? Wah!
Wah! Tentu sudah pergi dengan diam-diam. Agaknya
tak ingin banyak orang melakukan penghormatan pa-
danya. Enam orang yang berada dimeja sebelah kanan,
juga telah menghampiri. Ternyata keenamnya juga
termasuk kawan-kawan Warok Brengos.
"Apa kalian tak lihat kemana perginya Pendekar
Roro Centil, yang tadi duduk bersamaku..?" Bertanya
si Brewok.
"Entahlah... Tadi begitu kau keluar kami semua
melihat kearahmu. Ketika kami berpaling lagi, nona itu
telah lenyap..!" Menuturkan salah seorang.
"Hah..? Jadi dia Pendekar Wanita yang kesohor
aneh dan berkepandaian tinggi itu..? Menyesal tak se-
dari tadi kami tahu..." Berkata kedua dari enam orang
kawan si Warok Brengos. Gemparlah semua orang
yang berada direstoran. Masing-masing membicarakan
nona pengunjung yang telah lenyap itu. Bahkan ada
juga yang bercerita sempai berlebih-lebihan mengenai
kehebatan si Pendekar Wanita Pantai Selatan, Roro
Centil. Kemanakah perginya Roro Centil..? Ternyata di
saat Warok Brengos meninggalkan mejanya. Sebuah

benda melayang cepat sekali ke arah Roro Centil, dari
arah jendela. Dengan terkejut Roro menyambar cepat
dengan gerakan tangannya. Ternyata benda itu adalah
segulung kertas kecil yang bertulisan. Roro belum
membuka seluruhnya, tapi tubuhnya telah bergerak
melesat keluar dari jendela. Masih terlihat siapa yang
telah melemparkan benda itu. Yaitu sesosok tubuh
yang berkelebat cepat ke ujung pasar. Dan membaur
dengan simpang siurnya manusia yang berbelanja. Ro-
ro agak susah untuk menyusulnya. Dan ia benar-
benar telah kehilangan jejak. ketika lorong-lorong bun-
tu membuatnya kikuk untuk mengambil arah. Akhir-
nya ia melompat ke atas genting sebuah bangunan.
Dari sana ia dapat memandang ke sekelilingnya. Na-
mun tak ada tanda-tanda mencurigakan. Segera ia me-
lompat lagi kebawah. Dan berkelebat ketempat yang
agak sunyi. Disana ia perhatikan dulu keadaan seki-
tarnya. Baru ia membuka kertas kecil bertulisan itu.
Dan apa yang tertulis dikertas itu membuat ia terkejut.

RORO...! Aku telah menemui jejak tiga orang
aneh yang mencurigakan.
Pergilah ke arah sebelah barat. Disana dapat kau jum-
pai sebuah kuburan kuno yang besar.
Dihadapannya ada terdapat patung katak raksasa.
Hati-hatilah...!
GINANJAR

Demikianlah isi surat dikertas kecil itu. Roro
kerutkan keningnya. Dan segera remas surat kecil itu.
Hatinya membatin: Hm... Kiranya Ginanjar masih mau
juga turut membantuku. walaupun tak mau bertemu
muka. Tampak wajah Roro menampilkan senyuman-
nya. Dan tiba-tiba ia sudah berkelebat cepat mening-

galkan tempat itu.

3

Kuburan kuno di lereng Mahameru itu memang
sebuah tempat yang tersembunyi. Rimba belantara
dan bukit terjal terdapat disekelilingnya. Pelataran ku-
buran kuno itu ternyata amat luas. Berlantai putih.
namun agak kotor tak terawat. Sedang pada sisi sebe-
lah kanan terdapat patung seekor katak besar yang
tengah mengangakan mulutnya. Tiga sosok tubuh
tampak duduk bersila dihadapan patung katak yang
tampak menyeramkan itu. Dua orang wanita, yang sa-
tu adalah seperti seorang gadis yang sudah kadalu-
warsa, alias perawan tua. Sedang yang seorang lagi
adalah seorang gadis yang berwajah pucat. Sedangkan
orang ketiga adalah seorang pemuda yang cukup tam-
pan, umurnya sekitar dua puluh lima tahun. Ketiganya
tampak tengah bersemadi dengan khusuknya... Se-
mentara itu dari kejauhan tampak terlihat dua orang
telah berkelebat mendatangi kuburan kuno itu. He-
bat..! Ternyata kedua orang itu adalah orang cacad.
Yang seorang sebelah kakinya putus sebatas paha.
Dan pergunakan sebuah tongkat kayu untuk me-
nyangga tubuhnya. Namun ternyata dapat berlari den-
gan cepat seperti itu adalah luar biasa. Sedangkan
yang seorang lagi kedua belah lengannya yang bun-
tung. Tapi gerakan larinya tidak merasa menjadi ham-
batan baginya. Sebentar saja kedua sosok tubuh itu
telah tiba di pelataran makam yang luas itu. Ternyata
kedua manusia itu berwajah amat buruk, seperti bekas
terluka, Atau terkena goresan goresan senjata tajam.
Bahkan yang seorang lebih menyeramkan lagi. Karena

lubang hidungnya sudah growong. dan bibirnya terbe-
lah dua. Mendengar ada orang mendatangi, ketiga
orang yang tengah bersemadi itu segera membuka ma-
tanya. Si gadis kadaluwarsa  itu terlebih dulu berdiri
dan menjura hormat pada kedua pendatang itu. Serta
beranjak menghampiri seraya berkata:
"Ah! Kakang Kala Munget dan Kala Wesi..! Ba-
gaimana dengan pengintai si pencari rumput itu? Apa-
kah kalian berhasil membunuhnya?" Salah seorang
tampilkan wajah kecewa, dan berkata dengan kesal:
"Bocah keparat itu berhasil lolos! Dia telah me-
nerjunkan dirinya ke sungai, hingga kami yang tak da-
pat berenang, terpaksa membiarkan ia melarikan diri
keseberang. Huh! Setan alas..!"
Tampak si gadis kedaluwarsa itu naikkan alis-
nya, dan menghela napas.
"Sayang..! Aku khawatir dia dapat membocor-
kan tempat rahasia kita... sebelum waktunya!" Berkata
si gadis kedaluwarsa itu.
"Hm, kapan kau bisa dapatkan kulit yang cocok
dengan kami? Rasanya aku sudah tak sabar lagi..!"
Berkata si bibir terbelah alias Kala Wesi. Tampak si
gadis kedaluwarsa itu tersenyum, dan sahutnya:
"Sabarlah, kakang! Tidak terlalu mudah menca-
ri ukuran wajah, dan darah yang sama seperti yang di
inginkan! Hari ini aku akan pergi mencarinya. Tapi aku
harus menunggu perintah ketua dulu..!"
"Aku harus segera menghadap beliau. Hal ini
harus kulaporkan dengan segera!" Berkata Kala Mun-
get yang berwajah seperti dicakar kuku-kuku tajam
tak keruan rupa.
"Ah! ? Jangan dulu, kakang Kala Munget..! Be-
liau sedang.. sedang.." Si gadis kadaluwarsa ini tak te-
ruskan kata-katanya, karena sekonyong-konyong wa-

jahnya berubah merah.
"Sedang apa..?" Bertanya Kala Munget. Semen-
tara si bibir terbelah Kala Wesi tampak menyeringai
mulutnya. dan berkata:
"Sudahlah! Aku tahu..! Pokoknya sedang "Ber-
semadi". begitu! Iya  kan..?" Si gadis kadaluwarsa ini
manggut-manggut dan menjelaskan lebih jauh bahwa
sang Ketua tidak mau diganggu. Pada saat itu kedua
laki-laki dan wanita yang duduk bersemadi itu telah
melompat menghampiri. Keduanya memang cukup
tampan dan cantik. Membuat  Kala Munget dan Kale
Wesi jadi mengiri.
"Hm! Siti Jenang..! Kau harus dapatkan wajah
yang tampan untuk aku, dan adik Kala Wesi ini..! Ber-
kata Kala Munget.
"Hi hi hi... Jangan khawatir. Pasti tak lama lagi
akan kudapatkan. Asal kalian mau bersabar menung-
gu..!" Menyahuti si gadis kadaluwarsa, yang bernama
Siti Jenang. Selanjutnya mereka duduk bercakap-
cakap dengan suara perlahan. Entah apa yang dibica-
rakan. Namun sekali sekali Siti Jenang selalu merah
mukanya. Dan ketiga orang itu tertawa. Sementara itu
dibalik semak, enam sosok tubuh tengah mengintai
keempat orang yang sedang duduk bercakap-cakap
itu. Ternyata tak lain dari Telo Moyo. Jagoan dari desa
Belimbing Wuluh, bersama lima orang lainnya. Tapi
yang kedua orang tampaknya bukan orang sembaran-
gan. Karena  kedua laki-laki itu memang dua tokoh
persilatan yang cukup punya nama dikalangan Rimba
persilatan. Sedangkan yang tiga orang lagi adalah
Bendoro Kelud. alias pak Kuwu desa Belimbing Wuluh.
Kebo Pawon. Dan Sugita, dari desa Nongko Jajar. Ter-
nyata pelacakan tentang lenyapnya tiga orang pendu-
duk desa Belimbing Wuluh dan desa Nongko Jajar te-

rus dilakukan. Dua tokoh persilatan yang berilmu
tinggi itu adalah sahabat baik Telo Moyo. Yang sengaja
disambangi untuk mencari jejak ketiga orang yang hi-
lang secara misterius itu. Karena adanya berita baru
dari seorang penduduk yang membuka dua  mayat te-
rapung disungai. Sayang mayat itu kulit mukanya te-
lah terkelupas mengerikan. Hingga tak dapat dipasti-
kan siapa adanya...
Telo Moyo yang penasaran segera mengajak tiga
orang  yang kehilangan anak itu untuk membuktikan
siapa kedua mayat tersebut. Tapi dengan terlebih dulu
menghubungi kedua tokoh persilatan itu. Sayang, me-
reka tak dapat menemukan kedua mayat tersebut,
yang mungkin telah terhanyut. Namun pelacakan te-
rus dilakukan  hingga ke hulu sungai, di lereng Gu-
nung. Kedua laki-laki tokoh Rimba Persilatan itu ter-
nyata mempunyai pendengaran yang hebat. Ia dapat
mengetahui adanya orang yang tengah berlari tak jauh
dihadapannya. Ternyata benarlah. Ketika ia berkelebat
untuk melihat. Ternyata seorang laki-laki dengan pa-
kaian basah kuyup tengah berlari tidak terlalu cepat
mendatangi. Orang itu ternyata Ginanjar adanya. Yang
baru saja berhasil meloloskan diri dari kejaran Kala
Munget dan Kala Wesi. Mengetahui orang-orang itu
adalah hendak mencari jejak tiga orang penduduk desa
yang hilang misterius, Ginanjar jadi terkejut. Karena ia
memang telah melihat ciri-ciri yang  diberitahukan Ro-
ro mengenai ketiga orang yang hilang itu. Dan dua di-
antaranya ia dapat mengenali. Sayang pengintaiannya
telah diketahui oleh Kala Munget dan Kala Wesi... Gi-
nanjar yang memang tengah mencari rumput-rumput
obat-obatan di lereng Gunung itu. secara tak sengaja
telah menemukan sebuah kuburan kuno di  tempat
tersembunyi itu. Kedua tokoh persilatan itu yang ter-

nyata berjulukan Pendekar Kembar, jadi terkejut men-
dengar penuturan Ginanjar. Dan tanpa dapat dicegah
lagi. mereka berniat menyelidiki. Sedangkan Ginanjar
yang memang berniat menghapus malu terhadap Roro
Centil, menemukan jalan yang bagus. Ia segera menca-
ri si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu. Dan berhasil
menjumpainya. Dan melalui jendela rumah makan itu,
ia melemparkan surat petunjuk padanya.
Demikianlah... Hingga keenam orang itu berha-
sil menemukan kuburan kuno di tempat yang tersem-
bunyi itu. Dan beberapa pasang mata segera meneliti
wajah-wajah kelima orang yang tengah duduk berca-
kap-cakap dipelataran makam kuno itu, dekat sebuah
patung seekor katak besar. Yang terlebih dulu bicara
adalah Kebo Pawon.
Sepasang matanya tak lepas dari wajah seorang
wanita yang duduk dekat si gadis kadaluwarsa itu.
"Ah..! ? Benar, tak salah. Gadis itu wajahnya
mirip benar dengan Serandil anak gadisku yang hilang
itu... Tapi, apakah benar dia..?" Desis Kebo Pawon per-
lahan. Sedangkan Sugita yang dari desa Nongko Jajar,
ternganga mulutnya karena ia telah melihat adanya
Jembawan. Anak  laki-lakinya yang duduk bercakap-
cakap. Adapun Telo Moyo terkejut bukan main, karena
melihat adanya Siti Jenang, si gadis kadaluwarsa alias
perawan tua. Yang ternyata juga berada diantara me-
reka. Dan pak Kuwu alias Bendoro Kelud tampak ke-
cewa, karena tak dapat melihat adanya anak gadisnya
yang bernama Sekar Tanjung, di antara kelima orang
itu. Pendekar Dewa Kembar memberi isyarat pada
keempat orang kawannya agar hati-hati berbisik. dan
tidak terlalu gaduh. Akan tetapi Kebo Pawon sudah tak
dapat menahan sabarnya lagi... Tiba-tiba ia telah me-
lompat keluar dari tempat persembunyiannya seraya

berteriak:
"Serandiiiil! Oh! Serandil anakku..!" Dan den-
gan berlari-lari jatuh bangun ia merosot turun dari
tempat ketinggian itu untuk mendatangi kelima orang
itu. Pendekar Dewa Kembar dan yang lainnya jadi ter-
kejut. Namun sudah terlambat. Kebo Pawon telah tiba
di pelataran Kuburan Kuno itu. Tentu saja kelima wa-
jah yang sedang bercakap-cakap itu jadi terkesiap.
Dan serentak sudah melompat bangun.
"He!? Orang tua dari mana kau bisa datang ke
tempat ini?!" Bentak Kala Wesi. Namun Kebo Pawon
tak menghiraukan bentakan itu. Ia sudah berlari un-
tuk menubruk gadis  disebelahnya Siti Jenang, berte-
riak dengan air mata bercucuran.
"Serandil..! Kau ada disini anakku..?" Tapi tiba-
tiba laki-laki tua itu jadi terhenyak. Dan menahan
langkahnya. Wajahnya menampakkan keraguan.
"Tubuhmu tampak berbeda anakku..? Dan mu-
ka mu agak pucat! Apakah kau bukan Serandil? Tapi..
tapi.." Kebo Pawon tak dapat meneruskan kata-
katanya. karena satu tendangan keras membuat tu-
buhnya terjungkal keluar pelataran. dengan teriakan
ngeri... Kurang ajar! Kau harus dibunuh mampus, be-
rani menginjakkan kaki ketempat ini..!" Bentak Kala
Wesi. Ternyata ia telah mengayunkan kakinya ke arah
dada laki-laki tua itu. Akibatnya ternyata amat menge-
rikan. Kebo Pawon terkapar ditanah dengan darah me-
nyembur dari mulutnya. Namun ia masih berusaha
bangkit. Bibirnya menyeringai menahan sakit sepasang
matanya mendelik menatap kelima orang di hadapan-
nya. Namun tak berapa lama ia sudah roboh kembali
ke bumi, untuk melepaskan nyawanya. Terkejutlah si
Pendekar Kembar dan ketiga orang di tempat persem-
bunyiannya. Perbuatan keji yang berlangsung didepan

mata itu, benar-benar membuat mereka tersentak ka-
get. Tentu saja hal demikian membuat kelima orang di
pelataran makam itu segera mengetahui adanya bebe-
rapa orang yang mengintai. Terdengarlah bentakan da-
ri Kala Munget. Tubuhnya sudah berkelebat cepat ke
arah tempat persembunyian mereka. Tidak itu saja.
Keempat orang kawannya sudah berkelebatan ketem-
pat itu. Kini lima pasang mata dari penghuni Kuburan
Kuno itu telah menatap dan menyapu wajah wajah
orang dihadapannya. Melihat Kala Munget dan Kala
Wesi yang bertubuh cacad, dan bertampang buruk itu,
terkejutlah si Pendekar Kembar. Sedari tadi iapun ten-
gah mengingat-ingat akan siapa adanya kedua orang
bertampak buruk yang menyeramkan itu. Adapun Su-
gita, laki-laki tua berbaju putih dari desa Nongko Jajar
segera terpekik melihat adanya Jembawan ditempat
itu.
"Jembawan..! Apakah kau tidak mengenali ayah
mu lagi, anakku..?" Teriaknya, walaupun sepintas ia
agak aneh menatap sikap anak laki-lakinya yang tam-
pak pucat itu. Lengannya menunjuk pada laki-laki
berbaju hitam yang tampan itu. Yang ditanya terse-
nyum kaku. Terdengar dengusan dari hidungnya.
Agaknya ia tak mau memberikan jawaban. Tapi pa-
lingkan wajahnya pada Siti Jenang disebelahnya.
"Hi hi hi... Agaknya kau orang tuanya laki-laki
yang bernama Jembawan..!" Berkata Siti Jenang. Dan
sambungnya lagi:
"Wajah kawanku ini memang mirip dan sama
dengan Jembawan anakmu, orang tua. Tapi sayang..
dia bukan Jembawan!" Telo Moyo melompat kedepan
dengan menghunus golok besar yang dibawanya. Wa-
jahnya menampilkan kemarahan Dan ia sudah mem-
bentak dengan suara keras...

"Siti Jenang..! Jangan kau main sandiwara. Apa
artinya semua ini..? Kau kira aku tak dapat mengena-
limu! Aku memang agak curiga dengan tindak tan-
dukmu..! Bukankah kau anak angkatnya Manguni ?
Asal-usulmu tidak jelas. Kau pernah akrab dengan pa-
ra gadis remaja. Dan sering mengajak mandi di Sen-
dang, di desa Belimbing Wuluh. Aku yakin kau pasti
terlibat dengan hilangnya tiga orang penduduk dari
kedua desa. Kini dua diantara orang yang hilang itu
ada disini..! Tapi adalah aneh kalau sampai keduanya
tak mengenali lagi kedua orang tuanya. Apakah artinya
semua ini..?"" Mulut Telo Moyo nyerocos tak terben-
dung. Memang orangnya berwatak kasar, dan bekas
seorang penjahat yang sudah kembali sadar. Siti Je-
nang tampak perlihatkan wajah tenang. Namun Kala
Wesi sudah membentak dan melangkah tiga tindak.
Clik! Clik! Dua buah pisau berkilatan telah ter-
sembul dari masing-masing ujung sepatunya, yang
terbuat dari besi. Tapi Siti Jenang telah cepat-cepat
berkata:
"Biarlah kuberikan penjelasan pada manusia
manusia yang bakal mampus ini, Kala Wesi.." Kala
Wesi palingkan kepala pada Siti Jenang. Terdengar ia
mendengus, namun segera melangkah lagi mundur
dua tindak.
"Hm. baik..! Aku akan jelaskan kalau kalian in-
gin mengetahui..! Aku memang telah menculik ketiga
orang dari dua desa di bawah bukit itu. Dua dianta-
ranya telah ku kuliti mukanya. Dan seperti kalian li-
hat. Kulit-kulit wajah kedua laki-laki dan wanita itu te-
lah terpasang pada orang-orang disebelahku.! Hi hi
hi.." Tutur Siti Jenang dengan suara tegas. Penjelasan
itu membuat semua orang dari pihak pelacak itu jadi
terkesiap. Adapun Sugita, orang tua Jembawan dari

desa Nongko Jajar itu seketika jadi mendeprok lemas.
Lututnya gemetaran. Sepasang matanya memancar be-
rapi-api. Dan tampak air bening mengalir turun dari
sepasang matanya yang sudah mulai menggayut ke-
bawah. Bendoro Kelud alias pak Kuwu tiba-tiba berte-
riak:
"Perempuan iblis..! Kau.. kau apakan anakku
Sekar Tanjung..?! Kau juga telah menguliti wajah-
nya..?!" Tubuh laki-laki yang masih tampak keker ini
tergetar hebat. Ia sudah melangkah dua tindak mena-
tap Siti Jenang.
"Hi hi hi... Sekar Tanjung tak akan dikuliti. Ka-
rena ia teramat cantik, dan diingini Ketua kami! kin se-
lama beliau masih menyukai, akan tetap hidup. Entah
kalau sudah bosan... Mungkin segera menyusul yang
lainnya ke Akhirat..!"
"Keparat..! Jadi dua mayat yang mengambang
di sungai itu adalah mayat dari Jembawan dan Seran-
dil..?!" Teriak si Pendekar Kembar hampir serentak.
"Hm..! Sudah kuduga. Aku memang mencurigai
asal-usulmu Siti Jenang. Entah kau ini sebangsa ma-
nusia ataukah iblis, dapat berbuat sekeji itu..!" Berkata
Telo Moyo. Dan ia sudah memberi isyarat pada si Pen-
dekar Kembar untuk menerjang.
"Hi hi hi... Aku hanya menjalankan perintah..!
Kami memang para iblis yang sebentar lagi akan men-
cabut nyawa kalian..!" Ujar Siti Jenang dengan wajah
sinis. Telo Moyo tak dapat menahan kemarahannya,
Dengan menggerung bagai harimau ia telah menerjang
si gadis kedaluwarsa itu. Disertai teriakannya...
"Kucincang tubuhmu perempuan setan..!" Dan
golok besarnya berkelebat membabat pinggang Siti Je-
nang. Namun sepasang tangan dari laki-laki berwajah
Jembawan itu telah bergerak menangkap. Terdengar-

lah suara berdenting keras.
Trang..! Golok besar Telo Moyo bagai menghan-
tam benda keras. Hingga pada bagian yang tajamnya
telah gompal alias somplak lebar.
"Hah!?" Telo Moyo tersentak kaget. Dan mun-
dur dua tindakan. Sepasang matanya berganti-ganti
menatap senjatanya dan sepasang tangan laki-laki
berwajah Jembawan itu. Segera dapat diketahui kalau
sepasang tangan lawan, sebatas sikunya terbuat dari
besi. Yang memang mirip dengan tangan manusia,
namun agak kaku.
"He he he... Aku dijuluki si Kelelawar Besi! Dulu
kedua lenganku ini telah dihancurkan orang dari go-
longan putih. Aku tak dibunuh, tapi telah disiksa se-
tengah mati, yang menjadikan aku orang cacad seu-
mur hidup..! Dendamku takkan pernah habis sebelum
melenyapkan setiap golongan kaum putih. Dan orang
pertama akan kubunuh adalah kau Telo Moyo. Aku
mengenalmu dulu sebagai seorang perampok. Tapi
nyatanya kau telah berpindah golongan. Bagus.! Aku
akan buat kau menderita terlebih dulu seperti aku,
yang telah kehilangan kedua lenganku, dan rusaknya
wajahku..! He he he.." Berkata si laki-laki berwajah
Jembawan. Adapun Telo Moyo jadi terperanjat. Seketi-
ka wajahnya berubah pias.
"Hah!?" Apakah kau Sawunggeni..?" Teriak Telo
Moyo dengan suara tertahan.
"He he he... Benar! Nah! Bersiaplah kau untuk
segera merasakan saat sekaratmu!" Dan kali ini si ke-
lelawar Besi telah mendahului menerjang Telo Moyo
dengan terjangan ganas. Kakinya menjejak tanah, dan
tubuhnya melesat dengan lengan terpentang menyam-
bar tubuh laki-laki bekas perampok itu.
Trang! Trang! Telo Moyo melompat kesisi sambil

hantamkan dua serangan goloknya sekaligus Namun
lagi-lagi goloknya terpental balik. Dan kembali bertam-
bah gompalnya.
Saat ia gugup itu, tiba-tiba sebuah kepalan tin-
ju besi telah menghantam dadanya. Terbeliak Telo
Moyo bagaikan tak percaya, karena lengan si Kelelawar
Besi itu dapat mulur satu setengah depa. Ia tak sem-
pat berkelit lagi. Dan roboh terjungkal. Telo Moyo per-
dengarkan keluhannya. Namun sekejap ia telah bang-
kit lagi dengan terhuyung-huyung... Dan otot-ototnya
kembali tegang. Ia telah. dapat menahan dan memu-
lihkan lagi kekuatannya. Walau terasa dadanya agak
nyeri sedikit.
"He he he... Telo Moyo! Lebih baik kau serahkan
saja sepasang lenganmu itu untuk kuhancurkan..! Ke-
lelawar Besi mengejek dengan senyum iblis.
"Keparraaat!" Teriak Telo Moyo. Dan kembali ia
menerjang bagel kemasukan setan. Goloknya memba-
bat kiri dan kanan menabas pinggang lawan. Namun
kemana saja senjatanya berkelebat, selalu dapat ter-
tangkis oleh sepasang lengan besi si Kelelawar. Semen-
tara itu Pendekar Kembar telah mencabut pedangnya
dengan serentak. Dua sinar hijau segera terlihat dari
kedua benda ditangan si Pendekar Kembar. Kedua
manusia cacad berwajah buruk itu melompat mundur
tiga tumbak. Sepasang matanya menatap kedua pe-
dang bersinar hijau ditangan laki-laki berwajah hampir
serupa itu.
"Heh! Pedang Mustika Hijau..!" Desis Kala Mun-
get yang berkaki satu.
"Benar..! Sepasang pedang itulah yang telah
membuat cacad kaki dan tangan kita..! Desis Kala We-
si yang kedua tangannya buntung.
"He he he... bagus! Kalian pasti murid si Sepa-

sang Rajawali Putih. Pucuk di cinta ulam tiba..! Kami
tak jauh-jauh lagi mencari musuh yang telah membuat
kami cacad seumur hidup!" Teriak Kala Wesi dengan
wajah semakin seram. Saat itu terdengar desisan sua-
ra Siti Jenang: dibarengi dengan gerakan tubuhnya
yang melompat mendekati kedua orang cacad itu.
"Awas hati-hati dengan lawanmu, kakang Kala
Munget dan Kala Wesi. Aku dapat lihat sepintas. tam-
paknya kedua wajah pendekar ini cocok dengan uku-
ran wajah kalian. Hati-hati jangan sampai rusak. Dan
jangan sampai terbunuh. Siapa tahu darahnya cocok
dengan darah kalian. Hi hi hi... Aku jadi tak payah-
payah mencarinya..!" Kala Munget dan Kala Wesi
manggut-manggut, dan tampak tersenyum menyerin-
gai.
"Ha ha ha... Boleh juga! Cukup tampan dan ke-
lihatan gagah!" Bisik Kala Munget pada saudaranya.
"Dan sepasang Padang Mustika Hijau itu bisa
jatuh ketangan kita..!" Bisik Kala Munget lagi. Wajah-
nya berseri girang.
"Betul! Hayo kita menangkapnya hidup-hidup!"
Berkata Kala Wesi. Dan ia sudah tarik keluar kedua
lengan jubahnya, yang terbelit dipinggang. Sementara
si Pendekar Kembar telah melompat dua tombak keha-
dapannya.
"Dua  Siluman buntung..! Kiranya kalianlah
yang telah membantai habis orang-orang perguruan
Rajawali di Gunung Suket. Kami Gambir Anom dan
Gambir Sepuh memang murid dari Sepasang Rajawali
putih. Sayang kau terlalu pengecut. Dan bertindak keji
selagi tak ada kedua Guruku. Bagus..! Hari ini jangan
harap kau berdua dapat meloloskan diri..!" Akan tetapi
kata-kata si Pendekar Kembar tersebut telah disambut
dengan gelak tawa  terpingkal-pingkal oleh Kala Mun-

get dan Kala Wesi.
Sementara itu telah terdengar teriakan dari Telo
Moyo disebelah sana. Keadaan amat mengerikan. Ka-
rena kedua lengannya telah hancur terkena cekalan te-
lapak tangan besi si Kelelawar Besi.
"He he he... Kini biji matamu akan kukorek ke-
luar. Biar kau rasakan sakitnya..!" Teriak Sawunggeni
yang berwajah Jembawan itu. Dan kedua lengan be-
sinya terjulur ke arah Telo Moyo yang terkapar menge-
rang kesakitan. Tapi pada saat itu, telah berkelebat si-
nar hijau menyambar sepasang lengan keji itu.
Whusss! Sambaran pedang salah seorang dari si Pen-
dekar kembar itu menemui tempat kosong. Karena si
Kelelawar Besi telah menarik lagi sepasang lengannya.
Di lain pihak, Kala Wesi dan Kala Munget masing-
masing telah bergerak ke arah Pendekar Kembar. Men-
dengar bersyiurnya angin dibelakang punggung, Gam-
bir Anom yang baru saja menggagalkan niat keji si Ke-
lelawar Besi itu, segera balikkan tubuh. Ternyata Kala
Wesi telah pergunakan lengan jubahnya menyambar
pinggang. Dengan berteriak keras ia menghantam den-
gan pedang Hijaunya.
"Wesss! Kilatan sinar hijau berkelebat bagai
bayangan kilat. Namun lengan jubah Kala Wesi telah
berubah arah menyambar kaki. Kembali Gambir Anom
sambarkan pedangnya, sambil melompat tiga tombak.
Sebelah lengannya telah ia arahkan ke kepala Kale
Wesi. Segera menyambar angin keras yang disertai te-
naga dalam hebat. Kala Wesi cuma perdengarkan den-
gusan di hidung. Dan gunakan lengan jubahnya men-
gebut ke arah serangan pukulan lawan. Akibatnya ter-
dengar teriak tertahan Gambir Anom. Tenaga dalam-
nya ternyata jauh di bawah Kala Wesi dua tingkat. Tak
ampun lagi tubuhnya terlempar beberapa tombak.

Namun dengan berjumpalitan di udara, ia berhasil
menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Sementara itu
Gambir Sepuh telah menyambuti serangan tongkat
bercagak Kala Munget. Hebat serangan Kala Munget.
Karena nyaris saja kedua kaki Gambir Sepuh terbabat
putus, kalau ia tak cepat menyelamatkan diri. Demi-
kianlah... sebentar saja suasana pertarungan berjalan
dengan seru dan tegang. Akan halnya Sugita dan Ben-
doro Kelud, mengetahui keadaan gawat. Segera diam-
diam menyelinap untuk menyelamatkan diri. Tak ada
keberanian dari kedua penduduk desa itu untuk maju
turut menempur. Karena tanpa kepandaian yang be-
rarti, samalah dengan mengantarkan nyawa saja. Akan
tetapi tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh kurus langs-
ing ke arah mereka. Dan kedua laki-laki tua itu per-
dengarkan teriakan ngeri... Tubuhnya terjungkal dua
tombak. Dan saat berikutnya kedua orang yang ma-
lang itu telah tewas seketika. Dengan kulit punggung
hangus bergambar telapak tangan. Ternyata si gadis
berwajah Serandil itu yang telah menghantamnya dari
belakang.
"Bagus adik Rimba Wengi.! Hi hi hi... Kalau tak
dibinasakan akan bertambah wabah ditempat kita ini."
Berkata Siti Jenang, yang juga telah kelebatkan tu-
buhnya ke tempat itu.
Sementara itu di  dalam sebuah ruangan yang
remang-remang. Tampak dua sosok tubuh manusia
bergerak-gerak di atas sebuah batu persegi, beralas ti-
kar pandan. Yang berada di bagian atas ternyata ada-
lah sesosok tubuh wanita, berambut panjang. Walau-
pun keadaannya tidak begitu terang. Namun dapat ter-
lihat kalau wanita itu bertubuh padat dan berparas
cantik. Rambutnya terjuntai ke bawah. Ketika mengge-
rek-gerakkan kepala dan tubuhnya... Sementara yang

berada di bagian bawah adalah sesosok tubuh laki-laki
yang boleh dikatakan seperti orang tak berdaya. Kare-
na hanya tampak menggeliat geliat saja bagai merasa-
kan sesuatu. Sementara keluhan-keluhan terlontar da-
ri mulutnya dengan suara yang samar tidak begitu je-
las. Akan tetapi anehnya wanita di atasnya itu terisak-
isak hingga air matanya sampai bercucuran menetes
deras. Selang beberapa saat tampak gerakan tubuhnya
semakin perlahan... Dan jatuhlah ia terjerembab diser-
tai keluhannya. Sekonyong-konyong sepasang lengan
telah mendekapnya erat, hingga ia terasa sukar berna-
pas. Dan detik selanjutnya kedua tubuh itu telah sa-
ma-sama terdiam. Hanya desah menggebu itu yang
terdengar kian melirih.
Semilir angin dari lubang dinding ruangan yang
agak pengap itu menyeruak masuk. Hawa pengap itu
berubah agak sejuk. Perlahan-lahan wanita itu mero-
sot dari tubuh yang tergolek seperti mati itu. Seonggok
pakaian yang berada disudut batu persegi itu telah
disambarnya. Dan dengan cepat telah dikenakannya
kembali.
"He he he... Hebat! Jarang aku menjumpai ke-
hebatan semacam ini..! Kau cukup memuaskan hatiku
bocah ayu..!" Terdengar suara serak bercampur tawa
terkekeh. Dan laki-laki berkumis serta berjanggut yang
hampir semuanya memutih itu. bangkit dari batu per-
segi. Ternyata sepasang kakinya buntung sebatas lu-
tut. Tapi lebih aneh lagi adalah sepasang matanya mi-
rip mata  Serigala. Dengan pinggiran yang cekung me-
nyipit. Melihat laki-laki itu telah bangun duduk. Si
wanita cepat mendekati. Tampak ia sempat menyeka
air matanya, dengan lengan bajunya.
"Sudahlah... Jangan menangis! Aku tak akan
membunuhmu selama kau mau melayaniku. Kelak

kau boleh tinggalkan tempat ini kalau aku sudah tak
membutuhkanmu lagi..!" Berkata laki-laki itu dengan
suara dingin. Sementara dengan menahan isaknya si
wanita memakaikan jubah si laki-laki itu, yang seperti
manja saja. Suara teriakan dan bentakan dari orang
yang bertarung diluar ruangan seperti tak dihiraukan-
nya. Kiranya mereka berada didalam ruangan bawah
tanah di Kuburan Kuno itu. Laki-laki ini adalah yang
berjulukan si Mata Iblis. Ketua dari kelima orang yang
tengah bertarung diluar itu.
"Heh heh heh... Murid-muridku dalam beberapa
gebrakan saja akan dapat menumpas tikus-tikus bu-
suk yang coba menyatroni kemari..!" Terdengar gu-
mamnya seorang diri.

4

Beralih sejenak pada perjalanan Roro Centil,
yang setelah mendapat petunjuk dari Ginanjar telah
berkelebat pergi dengan cepat. Namun baru antara tiga
puluhan kali kakinya menyentuh tanah. Pada sebuah
tempat yang datar. sesosok tubuh telah berkelebat
menghadang. Terpaksa Roro Centil hentikan tindakan-
nya. Dan segera dapat melihat siapa yang mengha-
dang. Ternyata tak lain dari si orang yang berpakaian
mewah, yang telah mentraktirnya makan sate bersama
Warok Brengos. Dari kata-kata si Brewok tadi ia dapat
mengetahui orang ini bernama Guriswara. Baru ia da-
pat menegasi wajahnya. Yang ternyata ia seorang laki-
laki seusia 40 tahun. Berkulit putih. Wajahnya licin
tanpa cambang bauk. Namun alisnya hitam tebal.
Dengan sepasang mata yang agak kemerahan menyo-
rot tajam. Bibirnya agak lebar. Dan wajahnya hampir

persegi empat. Anehnya laki-laki ini memakai kalung
mutiara seperti wanita. Bahkan juga sebelah anting
anting di telinganya. Ketika membuka ,segera tampak
barisan giginya yang besar-besar. Walau usianya su-
dah cukup larut. namun ia kelihatan masih sangat
muda.
"Ha ha ha... Kita belum sempat berkenalan,
mengapa anda terburu-buru untuk pergi nona Pende-
kar Pantai Selatan..?" Berkata Guriswara.
"Aku Guriswara..! Kaum persilatan memberiku
gelar si Pemabuk Dermawan..!" Boleh aku mengenalmu
lebih dekat, nona.. ngng... Roro Centil?" Berkata
Guriswara dengan kata-kata yang terdengarnya
amat memikat hati.
"Mengapa tidak boleh..? Julukanmu si Pema-
buk, apakah kau tukang mabuk?" Bertanya Roro.
Tampaknya Roro sengaja meladeni apa maunya orang.
Guriswara tertawa terbahak-bahak dan menyahuti:
"Ah..! Itu hanya julukan saja. Eh agaknya nona
Roro Terburu-buru. Apakah ada yang memang penting
harus ditemui..?" Bertanya Guriswara.
"Cukup penting juga. Tapi boleh aku menanya-
kan sesuatu pada anda, sobat Pemabuk?" Tampak si
Pemabuk Dermawan kerutkan alisnya. Sejenak benak-
nya memikir. Pertanyaan apakah yang akan diajukan
oleh nona Pendekar ini? Tapi ia sudah lantas berkata:
"Silahkan! Silahkan! Tanya apapun boleh..! Pas-
ti kujawab...!"
"Baiklah! Yang akan kutanyakan adalah masa-
lah sederhana? Yaitu.. Aku telah melihat di rumah
makan tadi banyak tokoh-tokoh persilatan. Entah dari
golongan mana saja? Dan ada apakah maka sampai
bisa berkumpul di  tempat itu..?" Tanya Roro Centil.
Mendengar pertanyaan itu si Pemabuk Dermawan ter-

tawa agak hambar.
"Hm... Sebenarnya pertemuannya itu masih la-
ma. Masih kira-kira satu bulan lagi. Namun beberapa
tokoh hitam maupun putih, telah berdatangan. Karena
hal yang menarik itu tentu saja mengundang perhatian
kaum  persilatan..!"
"Pertemuan apakah..? Dan apanya yang mena-
rik..?" Tanya Roro dengan penasaran.
"Di puncak Gunung Mahameru akan diadakan
pertandingan adu kekuatan. Menurut berita yang
sampai ke telingaku. Pertandingan itu adalah untuk
menentukan siapa di antara kaum persilatan yang pal-
ing kuat. Dialah yang akan dijadikan pemimpin dari
kaum persilatan. Dengan tak mengecualikan golongan
apa saja. Hal semacam ini memang selalu diadakan se-
tiap dua puluh tahun sekali. Ketua dari kaum rimba
persilatan yang lama adalah Ki Dharma Tungga. Seo-
rang dari golongan kaum putih. Namun tak ada lagi
kabar beritanya sama sekali. Bahkan tak seorangpun
dari kaum rimba persilatan yang mengetahui dimana
dan kemana adanya Tokoh Sakti yang pernah menjadi
ketua kaum Rimba Persilatan itu. Sebagian orang
mengatakan Ki Dharma Tungga telah wafat." Roro
manggut-manggut mendengar penuturan si Pemabuk
Dermawan.
"Apakah masa jabatan Ketua Ki Dharma Tung-
ga telah habis, hingga diadakan lagi pertemuan untuk
pemilihan Ketua yang Baru..? Dan siapakah yang me-
nyelenggarakan untuk mengadakan pertemuan kaum
rimba Persilatan ini..?" Tanya Roro.
"Mengenai hal itu, aku tak mengetahui sama
sekali. Undangan itu disebarkan secara misterius dis-
ertai ancaman. Seandainya tidak hadir, tidak akan di-
akui sebagai orang Rimba Persilatan serta dianggap

pengecut! Dan bila tidak ada yang datang, maka si pe-
nyelenggara akan mengangkat dirinya menjadi ketua
Rimba Persilatan yang baru..!" Tutur Guriswara.  Dan
selama memberikan penjelasan itu sepasang matanya
dengan rajin menatap setiap lekuk liku pada tubuh
sang Pendekar Wanita Pantai Selatan. Roro Centil ter-
pukau mendengar berita aneh itu, yang benar-benar ia
baru mendengarnya. Diam-diam ia membathin... Gila..!
Hal itu benar-benar bukan pertemuan resmi, karena
merupakan tantangan serta penghinaan terhadap
kaum Rimba Persilatan. Apa lagi si penyelenggara tak
mau memperkenalkan namanya... Pantas saja banyak
orang yang jadi penasaran untuk  berdatangan kema-
ri..!? Pikir Roro.
"Baiklah. Terima kasih atas penjelasan anda
sahabat Pemabuk Dermawan..." Roro sudah akan me-
lanjutkan kata-katanya, namun Guriswara telah cepat
cepat memotong. "Ngng.. Nona Pendekar Pantai Sela-
tan... Nama besar anda telah membuat aku yang ren-
dah ini menjadi kagum. Ternyata lebih kagum lagi
memandang orangnya!" Mendengar kata-kata itu Roro
tersenyum. Ia sudah menduga akan hal itu. Dan su-
dah mengetahui siapa adanya Guriswara, dari peringa-
tan yang telah dibisikkan oleh Warok Brengos.
"Aih, sahabat Guriswara..! Anda terlalu meren-
dah. Apalah artinya kepandaianku? Orang terlalu me-
lebih-lebihkan diriku. Padahal aku sendiri merasa tak
enak hati..." Roro Centil menyahuti dengan suara da-
tar. Akan tetapi baru saja putus bicaranya sudah ber-
kelebat dua sosok tubuh ramping kehadapannya. Ter-
nyata yang datang adalah dua orang wanita. Yang satu
berbaju hijau dengan rambut dikepang dua. Sedang
yang seorang lagi bersanggul, dengan tusuk konde
yang berbentuk kipas. Berbaju ungu. Anehnya kedua

orang wanita itu menatap Roro seperti wajah orang
cemburu...
"Hm, inikah gerangan sang Pendekar Wanita
Pantai Selatan itu..? Ternyata cukup cantik juga..! Tapi
sayangnya bermata keranjang! Begitu muncul sudah
berkata tajam si wanita berbaju ungu itu. Sepasang
matanya bersinar tajam, dengan bibir tersenyum sinis.
Sedangkan yang berambut dikepang terus saja me-
nimpali.
"Baru saja kenalan sama si brewok Brengos. eh!
sekarang sudah mau menggaet lagi orang lain..!" Se-
mentara Guriswara tampaknya jadi serba salah, dan
menggaruk-garuk kepala. Adapun Roro Centil melihat
gelagat tidak baik itu bukannya membela diri. bahkan
tertawa mengikik geli.
"Hi hi hi... hi hi... Siapakah yang melarang
orang jatuh cinta..? Apakah kalian ini istri-istrinya si
Pemabuk Dermawan..?" Bertanya Roro. Hampir berba-
reng keduanya menyahuti:
"Kalau benar, mengapa kau tak lekas-lekas
menyingkir..?" Tukas si baju ungu.
"Apakah mengandalkan nama besar yang cuma
digembar-gemborkan pada cecunguk itu, telah mem-
buat kau besar kepala..?! Dan lantas dengan seenak-
nya saja sambar kiri sambar kanan..? Huh! Benar-
benar tak ada muka..!" Sambar si baju hijau yang
rambutnya dikepang dua. Roro terdiam sejenak seperti
berfikir, sementara ia lihat Guriswara tengah menatap
padanya. Tiba-tiba Roro Centil tersenyum dan ke-
dipkan matanya pada si laki-laki berbaju mewah itu.
Keruan saja kedua wanita itu jadi jengkel setengah ma-
ti.
"Heh! Sekarang aku tahu. Rupanya bukan
gayung yang mendekati gentong air, tapi gentong air

yang mendekati gayung. Pantas ia sampai melupakan
kami berdua. Rupanya kau telah memeletnya..!" Berka-
ta si baju hijau berkepang dua, dengan wajah semakin
memerah. Namun pada saat itu Roro Centil sudah be-
rujar:
"Sudahlah, kalau kalian menginginkan aku
menyingkir. Akupun secepatnya akan pergi..!" Sambil
berkata demikian Roro sudah langkahkan kaki untuk
beranjak dari situ. Tak dikira kedua wanita itu telah
membentak dengan garang.
"Tunggu..! Enak saja kau bicara! Sudah berte-
mu dan main mata pada laki orang. mana bisa urusan
bisa habis sampai disini..?!" Dan sekejap kedua wanita
itu telah melorot senjatanya dari pinggang.
"Kami si Dua Dewi Kenari ingin mencoba keli-
hayan senjata si Rantai Genit, yang katanya kesohor
itu..! Hi hi hi... Melihat dari sepasang senjatamu yang
menggiurkan mata laki-laki itu, sudah dapat dipasti-
kan kau seorang wanita kotor..!" Teriak si baju ungu
yang telah putarkan senjatanya. Yaitu tiga buah roda
bergigi. sebesar piling yang amat tipis. Terbuat dari ba-
ja putih yang berkilat-kilat. Akan tetapi pada saat ka-
ta-kata si Dewi Kenari baru saja habis, telah terdengar
makian dengan suara keras.
"Hai! Dewi Kenari! Apakah kalian berdua men-
ganggap diri sendiri orang baik-baik, dan bukan orang
kotor..?!" Teriakan itu dibarengi dengan munculnya se-
sosok tubuh yang berkelebat ketempat itu. Kedua wa-
nita ini melengak. dan palingkan kepala. Segera terli-
hat Warok Brengos, laki-laki brewok yang tadi berada
di rumah makan. Ternyata ia telah juga menyusul
sampai ketempat itu. Namun yang dipandang bahkan
membuang muka, dan tampak terlihat tampilkan wa-
jah girang melihat Roro Centil.  seraya menjura dan

ucapkan kata...
"Nona Pendekar Roro, sebaiknya tak usah men-
gotorkan tangan, meladeni manusia-manusia macam
begini..!"
"Monyet sebrang pulau! Menyingkirlah kau...!"
Teriak salah seorang dari Dewi Kenari. Dan bersamaan
dengan bentakannya,  sebuah kilatan menyambar ke-
pala. Ternyata roda baja itu telah menyerangnya.
TRINNG..! Lengan Warok Brengos bergerak. Ia
telah menangis dengan gagang pisau yang telah di ca-
butnya, seraya miringkan kepala ke samping. Senjata
itu terhantam balik. Dan sekejap telah disambut kem-
bali oleh si Dewi Kenari. Pada saat itu Roro Centil telah
berkelebat sepuluh tumbak. Begitu akhirnya mengin-
jak tanah, telah terdengar bentakan si Dewi Kenari,
yang telah juga melesat untuk menyusul.
"Mau kemana kau Roro Centil! Hayo mengadu
kekuatan denganku..!"
"Baik! Kalau kau memang menginginkan. Mana
kawanmu? Bertarung melawan sebelah Dewi mana
enak..! Bukankah kalian berjuluk Dua Dewi Kenari..?"
Ujar Roro. Seorang dari Dewi Kenari yang berkepang
itu ternyata tengah menerjang pada Warok Brengos.
Senjata yang dipergunakan adalah sebuah kipas baja,
berujung runcing. Namun agaknya si Brewok enggan
melayaninya. Hingga yang terlihat laki-laki itu cuma
mengelak saja kesana-kemari. Hal demikian ternyata
membuat si kepang dua yang bernama Sawur Seri itu
jadi membentak keras. Gerakan kipasnya jadi semakin
gencar. Terpaksa Warok gunakan pisaunya untuk me-
nangkis setiap serangan. Sementara Guriswara telah
lenyap entah kemana... Pada saat itu si Dewi Kenari
berbaju ungu yang bernama Kili Cantrik sudah menye-
rang Roro Centil dengan roda-roda bajanya.

"Awas serangan..!" Bentaknya. Dan dua buah
roda bergigi itu meluncur deras menyambar leher dan
pinggang.
Wessss! Wessss! Bersyiur angin tatkala kedua
benda itu dapat dielakkan Roro, dengan sedikit menge-
gos miringkan tubuh. Tapi tak urung beberapa lembar
rambut Roro terbabat putus. Terkejut juga si Pendekar
Wanita Pantai Selatan. Ia memang tak menyangka ka-
lau roda-roda baja itu dapat terhalau. Adapun puku-
lan-pukulan tangan kosong si Dewi Kenari, sengaja ia
papaki dengan mempergunakan sepertiga tenaga da-
lamnya untuk memapaki. Namun hal itu ternyata di-
luar dugaan membuat Roro terhuyung beberapa tin-
dak.
"Hi hi hi... Baru sebelah Dewi saja kau sudah
sempoyongan. Apalagi kalau kami maju bersama!"
Berkata Kili Cantrik dengan jumawa. Sementara se-
rangan-serangannya semakin gencar mengurung Roro.
Tapi diam-diam si Dewi Kenari ini terkejut dan kagum
juga, karena tampaknya Roro Centil dengan mudah sa-
ja dapat mengelakkan serangan ganasnya. Tapi ia ber-
girang hati juga, karena tenaga dalam lawan berada
dibawahnya. Berfikir Dewi Kenari.
"Ayo tunjukkan senjata Rantai Genit  mu yang
lucu itu. Apakah kau mampu menghalau serangan-
ku..?" teriak Kili Cantrik. Tiba-tiba Roro Centil melom-
pat mundur tiga tombak. Sepasang matanya menatap
tajam pada si Dewi Kenari. Otaknya bekerja cepat saat
itu. Hm, jangan-jangan kejadian ini sudah diatur agar
memperlambat tujuan ke Kuburan Kuno itu. Berfikir
Roro. Karena sedari tadi tak menampak adanya Guris-
wara. Kalau ia berniat menyudahi pertarungan, den-
gan meninggalkannya... bisa saja ia perbuat. Tapi ia
akan mencoba sampai dimana kesombongan si Dewi

Kenari ini, dengan senjata Roda Bajanya. Saat itu Roro
sudah berkata keras:
"Baik! Agar kau tidak menyesal dan penasaran,
akan kupergunakan senjata si Rantai Genitku. Tepi
dengarlah kata-kataku Dewi Kenari..! Aku bukan dari
jenis manusia kotor seperti kalian!" Roro sudah melo-
loskan sebuah Rantai Genitnya, seraya berteriak: "Li-
hat serangan..!" Dan tubuhnya telah berkelebat ke
arah si Dewi Kenari. Sedang senjatanya diputar keras.
hingga menimbulkan suara berdengung seperti ratu-
san tawon. Dewi Kenari agak terkesiap. Tapi segera
lancarkan serangan kilat ke arah pinggang dan leher.
Sedang satu lagi ia pakai menerjang maju. Sebelah
lengan menghantam, sebelah lagi menyerang dengan
senjatanya... Aneh akibatnya. Dua roda Baja itu seperti
sehelai kertas melayang ke samping semua
seperti berkejaran. Dan terjangan Dewi Kenari
menemui tempat kosong, karena dengan berteriak ke
arah Roro kelebatkan tubuh. mengejar kedua roda.
Dengan melangkahi kepala Dewi Kenari setinggi tiga
tombak. Ternyata roda baja bergerak memutar kebela-
kang sang majikan. Namun sebelum si Dewi Kenari ba-
likkan tubuh untuk menangkap. Roro Centil telah
menghantam kedua benda itu dari atas.
TINGNG! TINGNG..! dan Bles! Hampir berba-
reng kedua roda itu telah meluncur kebawah. Dan am-
blas kedalam tanah. Dewi Kenari balikkan tubuh, dan
terkejutlah melihat senjatanya lenyap. Tiba-tiba ia me-
lompat mundur lima tombak. Begitu menjejakkan kaki,
ia segera berteriak:
"Sawur Sari..! Hayo kita pergi dari sini..!" Dan ia
sudah mendahului berkelebat. Sawur Sari yang tengah
menerjang Warok Brengos segera hentikan serangan.
Dan berkelebat menyusul kakaknya. Warok Brengos

tatap kedua wanita itu yang berkelebat pergi.
"Nona Roro...! Aiiih..!?" Teriak Warok Brengos
terkejut. Karena batu saja ia menoleh. Ketika melihat
ke arah Roro Centil, ternyata sudah tak ada ditempat-
nya lagi.

5

"ROROOOOOOO...!" Suara itu terdengar dike-
jauhan lapat-lapat... Roro kertak gigi untuk segera
mempercepat larinya bagai terbang. Namun tetap saja
ia tak mampu menyusul sosok tubuh itu, yang berke-
lebat cepat bagaikan melebihi kecepatan angin. Namun
tetap Roro Centil semakin penasaran untuk menyusul.
Aku tak boleh sampai kehilangan jejak..! Gumamnya
mendesis. Beruntung ia telah mewarisi ilmu lari si
Pendekar Bayangan Bayu Seta. Hingga tanpa rasa le-
lah, tubuhnya terus meluncur bagai enak panah men-
gejar sosok tubuh dihadapannya... Ternyata dikala si
Dewi Kenari melarikan diri, Roro Centil tak mau ber-
lama-lama untuk segera meneruskan perjalanannya ke
lereng Gunung. Mencari kuburan Kuno, seperti yang
dikatakan Ginanjar dalam surat. Akan tetapi betapa
terkejutnya Roro, ketika melihat pemuda itu tengah
bertarung seru melawan seorang kakek tua renta, yang
berpakaian  mirip pengemis. Roro tadinya berniat
membantu pemuda itu, tapi segera ia urungkan. Kare-
na sudah sejak lama sekali ia tak mengetahui, sampai
dimana kemajuan ilmu kedigjayaan saudara sepergu-
ruannya itu. Sang kakek pengemis tua renta itu me-
makai jubah putih yang sudah bertambalan di sana-
sini. Bahkan dibeberapa bagian telah sobek saking tu-
anya. Kelihatannya bagai orang yang tak bertenaga

sama sekali. Tapi ternyata mampu mengelakkan setiap
serangan pedang Ginanjar. Bahkan jenggotnya yang
putih memanjang terjuntai didagunya, dapat dibuat
sebagai senjata. Karena sekonyong-konyong dapat me-
negang. Serta mampu menghantam balik pedang pe-
muda itu. Hebat! Memuji Roro dalam hati dari tempat
persembunyiannya. Kini terlihatlah kehebatan permai-
nan pedang Pendekar lereng Rogojembangan itu. Roro
menahan napas ketika melihat segulung sinar perak
membungkus tubuh Ginanjar menjaga serangan si ka-
kek pengemis yang telah pergunakan tiga batang lidi
aren untuk menyerang lawan. Suara bersiutan terden-
gar semrawut mengacaukan telinga. Terlihat Ginanjar
mulai terpengaruh oleh suara yang mengganggu itu.
Tiba-tiba ia berteriak keras. Sebelah lengannya meng-
hantam dada sang kakek. Dapat dipastikan dada yang
tipis, dengan seketika akan remuk dihantam lengan
kekar pemuda Ginanjar. Namun aneh. Begitu meng-
hantam dada, terdengar Ginanjar keluarkan keluhan.
Sedang pedangnya yang telah siap membelah kepala
lawan itu jadi berhenti ditengah jalan. Apa yang terja-
di..? Kiranya tubuh Ginanjar telah berubah jadi kaku
dengan posisi menyerang... Segera saja tubuh itu lim-
bung untuk ambruk ke bumi. Roro Centil keluarkan
teriakan tertahan dan melompat keluar. Namun ber-
samaan dengan bergeraknya tubuh Roro. Sang kakek
telah menyambar tubuh pemuda itu. Dan sekejap telah
berada di atas bahunya.
"Hm, kau pasti si Roro Centil, bocah Pantai Se-
latan itu...! Mengapa tak sedari tadi kau bantu ka-
wanmu ini..?" Bertanya sang kakek tanpa palingkan
kepalanya. Terkejut Roro, belum melihat orangnya, ta-
pi telah mengetahui siapa dirinya. Aneh..!? Menggu-
mam Roro. Tapi ia sudah melompat untuk mengha-

dang dihadapan pengemis itu.
"Kakek pengemis..! Apakah kesalahannya maka
ia kau totok sedemikian rupa ? Dan akan kau bawa ke
mana dia..?!" Bentak Roro. Melihat sang kakek itu su-
dah mau angkat kaki. Tapi sang kakek itu dengan wa-
jah tak berubah telah menyahuti:
"Huh! Apa perdulimu dengan segala urusanku?
Apakah dia kekasihmu...? Mengapa kau begitu
mengkhawatirkan sekali padanya..?" Tanya si kakek
pengemis. Seketika wajah Roro jadi berubah merah.
"Dia... dia.. saudara seperguruanku! Mengapa
kau harus melarangku, kalau aku mau mencegah mu
untuk membawanya!?" Ujar Roro dengan wajah meng-
kal.
"He he he... Dia mau ku kawinkan dengan cucu
perempuanku..! Nah! Kalau dia bukan kekasihmu,
minggirlah! Beri aku jalan..!" Berkata si pengemis tua
renta.
"Tidaaak! Aku tak mau kau kawinkan dengan
cucu perempuanmu!! Lepaskan aku..!" Tiba-tiba Gi-
nanjar berteriak. Namun tetap saja ia tak dapat ber-
geming sedikitpun. Terkejut Roro Centil mendengar-
nya. Entah mengapa hatinya jadi seperti orang kehi-
langan. Dan detak jantungnya terasa berdegup lebih
keras. Mau dikawinkan..? Sentak Roro dalam hati.
Disamping agak lucu. tapi juga aneh. Pikirnya... Men-
gapa mau mengawinkan cucu orang harus memaksa
orang untuk jadi menantunya..? Gila! Maki Roro di ba-
thin.
"Roroooo..! Tolonglah kau bunuh pengemis bau
ini! Aku tak mau kawin dengan cucu perempuannya.
Bisa-bisa aku ketularan bau..!" Teriak Ginanjar lagi.
Dalam hati Roro agak geli juga mendengar ucapan Gi-
nanjar. Tapi tampaknya pemuda itu benar-benar keta-

kutan sekali. Sang kakek tiba-tiba tertawa terkekeh-
kekeh geli sekali. Hingga sampai tubuhnya terguncang
guncang.
"He he he... he he... Cucu perempuanku cantik
sekali. Dibanding dengan gadis didepanmu masih se-
belas kali lebih cantik. Kalau masalah bau sih sudah
umum. Pokoknya kau tak akan penasaran..!" Berkata
sang kakek sambil kembali terkekeh-kekeh. Panes hati
Roro Centil. Wajahnya tampak semakin merah hingga
melebihi merah bajunya. Tiba-tiba Roro gerakkan tan-
gan bertolak pinggang seraya berkata keras dengan
nada pedas:
"He! Kakek tua renta yang sudah mau masuk
liang kubur..! Apakah kau tidak dengar kalau dia tidak
mau? Walau cucu perempuanmu cantiknya 212 kali
lebih cantik dari diriku, kalau dia tetap tidak mau
apakah harus kau paksa..?!" Mendengar kata-kata Ro-
ro, Ginanjar berteriak lagi.
"Bagus Roro, dia memang tidak tahu malu.
Memaksa orang untuk kawin seenaknya. Aku tak akan
pernah jatuh cinta pada gadis lain Roro..! Karena aku..
aku hanya mencintaimu..!"
"Hah..! ?" Tersentak Roro Centil mendengar ka-
ta-kata Ginanjar. Seketika wajahnya menjadi dingin
bagai disiram air es... Tapi hatinya mendadak jadi ber-
gemuruh tak keruan rasa. Akan tetapi pada saat itu
terdengar suara sang kakek: