Roro Centil 7 - Siluman Kera Putih(1)





Camar-camar laut itu beterbangan di atas air,
dengan suaranya yang bercuit-cuit.....Sepasang sayap-
nya terbentang lebar. Melayang bersimpang siur seper-
ti bosan-bosannya mengintai ikan kecil-kecil yang ter-
sembul di permukaan air. Sesekali burung-burung laut
itu tampak menukik, untuk menyambar mangsa. Ge-
rakannya amat gesit. Bila telah melayang lagi ke atas,
tentu akan terlihat ikan kecil terselip diantara paruh-
nya.
Sementara itu beberapa ekor bangau menukik
turun, dan hinggap di pasir berair. Ombak sesekali da-
tang menyambar kaki-kaki kecil yang panjang itu. Be-
berapa ekor berlarian di pasir. Dan di atas batu karang
bergerombol burung-burung lain pemakan ikan.
Ketika batu kecil meluncur ke arahnya, terden-
gar suara riuh. Dan beterbanganlah mereka menjauh.
Sang bangaupun pentang sayap untuk meluncur ter-
bang disertai pekik ketakutan. Sebentar saja tempat
itu menjadi sunyi kembali. Karang-karang telanjang itu
cuma membisu. Sementara itu deburan-deburan om-
bak tiada henti menghantamnya. Memuncratkan air
dan buih, yang seperti menari-nari di bawahnya. Dua
sosok tubuh tampak berjalan mendekati pantai. Sema-
kin dekat. semakin jelas siapa mereka. Ternyata ada-
lah dua orang muda. Seorang laki-laki cukup tampan,
dan seorang gadis berwajah manis. Tampak si pemuda
membungkuk, untuk kembali mengambil sepotong ba-
tu kecil. Dan lemparkan ke sisi laut.
"Apakah kau sudah bulatkan tekadmu untuk
pergi dari rumah orang tuamu..?" Bertanya si pemuda.
Seraya palingkan kepala pada gadis di sebelahnya. Ga-
dis berbaju putih itu mengangguk. Akan tetapi si pe-
muda sebaliknya tampak jadi serba salah. Sebatang
kayu rebah di tepi pasir itu dihampirinya. Dan dengan

wajah menghadap laut, ia sudah duduk disana.
Terdengar suaranya menghela napas. Dan ada
kata-kata lagi mendesis dari mulutnya. "Aku khawatir
akan terjadi hal yang bakal berbuntut panjang kelak,
bila suatu saat kita diketahui telah berdua..!" Berkata
si pemuda. Gadis manis itupun duduk di sampingnya.
Sejurus ia termenung, lalu berkata;
"Siapakah sudi bersuamikan tua bangka beri-
stri banyak itu..? Apakah kau akan biarkan aku jatuh
dalam pelukan kambing tua itu, Gumarang...?" Tanya
si gadis.
"Tentu saja tidak Wulan..? Akan tetapi aku tak
dapat memaksa kalau kau memang harus menuruti
kehendak orang tuamu. Kupikir kawin lari adalah ti-
dak baik. Bukankah anak yang berbakti pada orang
tua kelak akan hidup bahagia? Menolak keinginan
orang tua itu durhaka, Wulan..?"
"Huh..! Perduli! Aku tak dapat dipaksa. Aku bi-
sa memilih orang yang kucintai! Mengapa tampaknya
kau ragu, Gumarang..?" Tanya si gadis. Sementara su-
dah mengalir air mata di kedua belah pipinya.
Buru-buru pemuda itu memeluknya. Dan den-
gan jari-jarinya ia menyeka air mata si gadis.
"Aku tidak ragu-ragu, Wulan..! Kalau kau su-
dah tetapkan niatmu. Aku akan membawamu pergi.
Akupun tak dapat berpisah denganmu, sayang..! Na-
mun banyak resiko harus kita hadapi. Hubungan kita
telah diketahui oleh begundalnya si Tirta Menggala. Ki-
ta harus secepatnya meninggalkan tempat ini..!" Ber-
kata si pemuda.
"Kita berangkat sekarang..?" Bertanya gadis
yang bernama Retno Wulan itu. Gumarang terdiam se-
jenak, lalu anggukkan kepala.
"Tak banyak lagi waktuku untuk pulang men-

gambil pakaian. Tapi aku ada bawa bekal cukup untuk
menyewa perahu. Kau sendiri bagaimana? Apakah ada
rencana lain?" Tanya Gumarang dengan menatap ta-
jam pada si gadis.
"Tidak! Justru aku kemari selagi ada tetamu
datang..! Aku lewat jalan belakang". Berkata Wulan.
"Apakah si Tirta Menggala  itu..?" Tanya lagi
Gumarang. Gadis ini cuma gelengkan kepala dan ber-
kata;
"Entahlah! Aku tak tahu pasti..!" Ujar Wulan
dengan datar. Sementara ia sudah cekal lengan keka-
sihnya erat-erat.
"Sudahlah..! Ayo kita berangkat pergi..! Aku
khawatir ada orang menyusul kemari!" Sambung si ga-
dis. Gumarang menatap gadis di  hadapannya tajam-
tajam. Namun kali ini sudah terlihat ketegasan di wa-
jahnya.
"Mart Wulan! Dan ia sudah segera berdiri. Se-
pasang matanya menatap sejenak ke belakang, lalu ke
sekelilingnya.
"Kita kesana..!" Berkata Gumarang sambil men-
gangkat telunjuknya. Dan bergegaslah keduanya be-
ranjak tinggalkan tempat itu. 
Di muara sungai itu seorang tukang perahu ba-
ru saja mengikat perahunya, ketika tiba-tiba ia paling-
kan kepalanya untuk menoleh. Dilihatnya dua orang
muda berlarian ke  arahnya. Laki-laki berusia sekitar
lima puluh tahun ini kernyitkan keningnya.
Sebentar saja keduanya telah berada di  hada-
pannya, Gumarang langsung berkata
"Bapak! Sudilah kau mengantarkan kami ke pe-
labuhan besar..?" Ujar Gumarang sambil tatap wajah
si tukang perahu. Dan laki-laki itupun menatap tajam
pada mereka berganti-ganti.

"Kami akan berikan sewanya.  Asalkan bapak
dapat cepat mengantar kami kesana..!" Berkata Retno
Wulan menambahi. Setelah terdiam sejenak, laki-laki
tua ini menyahuti.
"Sebenarnya akan kemanakah anak..?" Ber-
tanya si tukang perahu. Tampak Gumarang jadi men-
dongkol sekali. Mengapa harus mengetahui kemana
tujuan orang? Pikirnya. Namun dengan sabar ia mem-
beri jawaban.
"Ah..! Kami hanya akan pesiar saja. Bukankah
disana banyak  tempat-tempat yang indah untuk dili-
hat!" Ujar Gumarang sambil tersenyum. Akan tetapi si
tukang perahu itu sudah mendengus, sambil berkata;
"Hm..! Bagiku uang sewa adalah soal mudah!
Akan tetapi aku tak dapat mengantar kalian kesana.
Karena Raden Tirta Menggala yang berkuasa di sekitar
pantai sini, telah melarang siapapun untuk mengan-
tarkan sepasang sejoli keluar dari daerah pantai ini..!
Aku tak tahu apa maksudnya. Namun larangan itu
amat keras. Dan berlaku sejak dua hari ini..!" Terkejut
Gumarang dan Retno Wulan, mendengar penuturan
itu. Diam-diam Gumarang sudah dapat menduga siapa
adanya si tukang perahu ini.
"He ? Begitukah..? Kalau demikian berikan saja
perahu mu. Aku akan membelinya. Berapa kau mau
jual ?" Berkata Gumarang dengan bertolak pinggang.
"Ha ha ha... ha ha... Apa kau punya banyak
uang untuk membayar perahu ku?" Kata si Tukang pe-
rahu dengan tertawa lebar.
"Apakah perlu kutunjukkan uangku..?" Tanya
Gumarang kesal. Tapi ia tetap tak menurunkan tan-
gannya dari kedua pinggang.
"Baiklah..! Kau boleh bayar perahu ku sepuluh
ringgit perak! Murah bukan? Tapi kau hanya boleh

pergi seorang diri. Tinggalkan gadis itu..! Berkata si
tukang perahu. Gumarang jadi pelototkan sepasang
matanya, dan menatap gusar.
"Kurang ajar..! Kau orang tua memang tak pa-
tut dihormati orang-orang muda! Apa hubungannya
kami berdua dengan si Tirta Menggala itu, bah..!" Me-
maki Gumarang.
"Ha ha ha... Kura-kura dalam perahu, pura-
pura tidak tahu..! Apakah kau belum dengar kalau ga-
dis yang kau mau bawa kabur ini telah dipinang oleh
Raden Tirta  Menggala..?" Ujar si tukang perahu. Men-
dengar kata-kata orang tua itu, wajah Retno Wulan ja-
di pucat pias. Ia sudah ajukan pertanyaan.
"Dia sudah meminang ku..?! Apakah telah di te-
rima pinangannya oleh ayahku..?" Tanya Retno Wulan.
"Kalau tidak diterima mana beliau mau usil
dengan kalian..?" Sahutnya. Tapi Gumarang sudah
membentak keras.
"Mana boleh jadi melamar orang bisa di terima,
kalau orang yang akan di tanyainya tidak ada, dan tak
pernah mendengarnya. Dan boleh kau tanyakan pada
gadis ini... Apakah jawabannya tentang lamaran itu..!
Hingga kau tak beranggapan aku membawanya ka-
bur..!" Si tukang perahu balik menatap Retno Wulan.
"Bisakah kau sedikit bercerita, anak..? Aku in-
gin mendengar lebih jelas mengenai lamaran Raden
Tirta itu..!" Berkata si tukang perahu. Retno Wulan tak
banyak berayal, segera sedikit menceritakan tentang
keluarganya.
"Aku memang bisa dianggap durhaka. Karena
melawan kehendak orang tua, tapi... bisakah aku me-
nerima pinangan itu? Aku belum memberi jawaban.
Ayahku diberi waktu satu bulan. Selama itu aku mera-
sa selalu diawasi oleh orang-orangnya Tirta Menggala.

Seandainya ayahku telah menyetujui sekalipun, aku
tetap menolak. Karena cinta tak dapat dipaksakan.
Cinta bukan barang dagangan, yang bisa dibeli dengan
uang dan harta benda..! Apakah sebagai manusia, aku
tak berhak mencintai seseorang dengan bebas? Keba-
nyakan manusia memandang harta dan kekuasaan itu
sebagai perisai, yang dengan mudah mendapatkan apa
saja yang ia ingini. Tetapi hal itu adalah sebagai tindak
kekerasan... Nah! Biarkan kami pergi! Kami rasa bapak
pernah muda. Dan mengerti bagaimana perasaan kami
menghadapi hal semacam ini..!" Kata-kata gadis itu
terdengar lantang dan tegas. Pertanda ia tetap akan
pergi dengan orang yang ia cintai. Walaupun harus
menghadapi banyak rintangan sekalipun. Tampak si
tukang perahu menatap kedua sejoli itu silih berganti.
Ternyata pada wajahnya terlihat rasa belas kasih. Dan
hal itu adalah di luar dugaan Gumarang. Setelah
menghela napas sejenak, si tukang perahu ajukan per-
tanyaan pada kedua sejoli itu. 
"Apakah kalian benar-benar saling jatuh hati,
dan sudah bertekad bulat menempuh resikonya..?"
Tanya orang itu dengan menatap pada kedua wajah di
hadapannya. Hampir berbareng keduanya mengang-
guk. Bahkan sudah terlihat tangan keduanya saling
mencekal erat. Seperti sudah tak mau untuk dile-
paskan lagi.
"Baiklah..! Kalau begitu. Biarlah kau bawa saja
perahu ku. Terserah mau dibayar berapa olehmu. Asal
cukup untuk ku membeli perahu lagi." Berkata si tu-
kang perahu. Wajah Gumarang berseri gembira. Demi-
kian juga Retno Wulan. Sesungging senyum tersungg-
ing pada bibirnya. Segera saja Gumarang mengelua-
rkan sepuluh ringgit uang perak, dan memberikannya
pada si tukang perahu.

Orang tua itu menerimanya tanpa berkata apa-
apa. Dan selanjutnya sudah tinggalkan keduanya.
Adapun Gumarang dan Retno Wulan setelah mengu-
capkan terima kasih, segera berlari ke perahu. Debiran
ombak menerjang kaki-kaki mereka. Gumarang telah
lepaskan tali yang menambatkan perahu. Retno Wulan
segera lompat ke dalamnya. Gumarang kerahkan tena-
ga sedikit untuk mendorong... Dan bergeraklah perahu
meluncur ke tengah menerjang ombak. Selanjutnya
pemuda itu sudah bekerja cepat. Dan tak lama kemu-
dian sudah melaju ke tengah gelombang....
Layar segera dipasang. Maka perahu kecil itu
telah tinggalkan pantai, melaju pesat makin maju jauh.
Ketika mereka layangkan pandangan ke tepi pantai,
orang tua tukang perahu itu sudah tak kelihatan lagi.
Perahu kecil itu meluncur terus membelah ge-
lombang. Angin darat meniup keras membuat mereka
tak perlu lagi menggunakan dayung lagi. Gumarang
memainkan kemudi di buritan perahu.
Sedang Retno Wulan duduk di bagian depan,
menghadap pada pemuda itu. Hatinya merasa lega.
Akhirnya mereka dapat meninggalkan pantai itu. Wa-
laupun ada rasa haru dan pedih meninggalkan kam-
pung halamannya.
"Apakah di pelabuhan besar kita tak menemui
halangan nanti, Gumarang.. ?" Tanya Retno Wulan.
Sementara jari-jari tangannya memainkan air, yang be-
riak di sisi perahu. Pemuda itu cuma tersenyum, dan
berkata;
"Kita telah membeli perahu ini, mengapa harus
ke pelabuhan besar? Kita akan pergi kemana saja,
yang penting tidak seorangpun dari penduduk desa
mengetahui  tempat kita..!" Tentu saja kata-kata itu
membuat Retno Wulan jadi naikkan alis. Tapi ia sudah

tertawa kecil dan berteriak memuji...
"Hi hi hi.... Bagus! Kau memang kekasihku
yang pintar. Dan juga tampan..!"
"Kalau tidak tampan, mana kau bisa jatuh hati
padaku..?" Sahut Gumarang. Dan keduanya sama-
sama tertawa. Tapi Gumarang juga berkata;
"Dan kau... Retno Wulan! Kau pun seorang ga-
dis yang berhati keras. Tapi juga cantik bagai bidada-
ri..! Makanya aku jatuh hati padamu.."
"Ah., kau...!" Selanjutnya Retno Wulan sudah
alihkan pandangan ke laut lepas. Hatinya terasa baha-
gia sekali. Siapa yang tak bahagia dipuji oleh kekasih
hatinya? Akan tetapi kebahagiaan itu seketika sirna.
Wajah Retno jadi pucat pias, ketika matanya menatap
ke bawah. Air yang dingin telah merendam jari-jari ka-
kinya. Tampak air. laut bergolak masuk dari sela-sela
papan di bawah perahu.
"Oh..!? Celaka..! Perahu kita bocor!" Teriak Ret-
no Wulan. Seketika wajah Gumarang pun berubah pu-
cat. Ia sudah melompat ke tengah perahu dan meme-
riksanya. Ia pun berteriak kaget.
"Benar..! Kurang ajar! Tukang perahu itu telah
sengaja melubanginya, agar kita tak dapat pergi
jauh..!"
"Atau agar kita mati tenggelam..!" Teriak Retno
Wulan. Keadaan segera berubah. Kini keduanya tam-
pak panik. Gadis itu telah mendekap si pemuda keka-
sihnya itu erat-erat. Air matanya telah menitik jatuh.
"Tenanglah Wulan..! Kita harus cari akal agar
dapat segera menepi..." Akan tetapi tak sedikitpun di
tempat itu terlihat daratan, selain air. Dan melulu air.
"Kita tak punya harapan Gumarang!  Biarlah
kalau kita harus mati. Aku rela asal kan mati ber-
dua...!"Berkata Retno Wulan dengan terisak. Sementa-

ra air makin naik hingga setengah badan perahu. Pe-
rahu kecil itu kini mulai tersendat jalannya. Pada saat
itulah tiba-tiba muncul di kejauhan sebuah perahu
layar besar. Berseri wajah Retno  Wulan. Ia sudah le-
paskan pelukannya pada Gumarang, seraya berte-
riak... "Kita selamat..! Kita akan selamat. Tapi seko-
nyong-konyong wajahnya kembali pias. Dan terdengar
suara mendesis dari bibirnya.
"Tapi... tapi perahu itu apakah bukan perahu si
Tirta Menggala..?" Gumarang tak dapat menjawab. Ta-
pi cuma tertegun menatap pada perahu besar itu yang
makin melaju mendekat. Benarlah dugaan Retno Wu-
lan. Perahu itu milik Tirta Menggala. Dan manusianya
telah terlihat berdiri di atas geladak bagian depan. Pa-
da saat itu juga terdengar suara tertawa berkakakah.
"Hua ha ha ha., haha... Anak muda..! Mau kau
bawa kabur kemana calon istriku itu? Ha ha ha.. Ter-
nyata kaulah rupanya biang kerok yang punya nyali
besar untuk menggagalkan rencanaku..?" Bagus! Ba-
gus! Ingin kulihat apakah kau mampu menyelamatkan
nyawa gadismu..?" Teriak Tirta Menggala. Perahu besar
itu tidak terlalu mendekat. Akan tetapi berhenti. Dan
menurunkan layar kira-kira dua puluh kaki di hada-
pannya. Gumarang menggertak gigi. Betapa geram ha-
tinya pada laki-laki di perahu itu. Akan tetapi Retno
Wulan telah berteriak;
"Manusia jahanam..! Licik. Kau rupanya telah
mengatur rencana busuk untuk menjebak kami. Dapat
menolongku atau tidak, bukan urusanmu..! Apakah
kaupun dapat menolong dirimu sendiri bila kau dalam
keadaan seperti kami..!?"
Keadaan perahu kecil itu semakin kritis. Kare-
na buritan perahu sudah mulai tenggelam. Kedua mu-
da-mudi ini memang tak berdaya. Akan tetapi pada

saat itu terdengarlah teriakan keras dibalik perahu Tir-
ta Menggala. Dan dibarengi dengan olengnya perahu
besar itu. Beberapa anak buah Tirta Menggala telah
keluarkan teriakan kaget.
"Celaka..!? Perahu kita bocor besar..!" Dan pa-
niklah seketika kelima orang anak buah Tirta Mengga-
la. Sedang laki-laki itu sudah melompat di sisi perahu
untuk melihat .Betapa terkejutnya melihat air mengalir
deras dari sebuah lubang dinding perahu. Ternyata
dinding perahunya telah berlubang sebesar kepala
manusia. Seketika iapun jadi panik. Wajahnya beru-
bah pucat.
"Celaka..!? Cepat putar kemudi..! Pasang
layar..! Kita kembali sebelum tenggelam..!" Segera ber-
lompatanlah anak-anak buahnya untuk menjalankan
perintah. Ketika ia alihkan pandangannya pada perahu
kecil itu, ternyata telah tenggelam tak ada bekas-
bekasnya. Piaslah wajahnya seketika. Ia teringat akan
kata-kata si gadis tadi. Mampukah kau menyela-
matkan dirimu sendiri, seandainya kau dalam keadaan
seperti kami.. ? Keringat dingin seketika saja telah ber-
cucuran di sekujur tubuhnya. Kini terlihatlah perahu
besar Tirta Menggala berlayar pulang dalam keadaan
oleng. Akibat kebocoran besar itu. Entah selamat en-
tah tidak, karena pada saat itu gelombang besar telah
menghantamnya. Dan perahu itu telah tak kelihatan
lagi...
Gumarang dan Retno Wulan cuma dapat me-
mejamkan mata karena sekonyong-konyong angin ke-
ras menerpa wajahnya. Terasa ada sepasang tangan
menyambar pinggangnya dan di  saat perahu mereka
tenggelam, mereka terpaksa menutup kedua mata. An-
gin kencang membersit menerpa tubuh dan wajah me-
reka dari bagian depan. Dan selang beberapa saat me-

reka telah rasakan kakinya menginjak pasir. Baru me-
reka membuka matanya ketika terasa lengannya aneh
itu melepaskan pinggangnya. Terkejutlah Retno Wulan
dan Gumarang, menatap sesosok tubuh telah berdiri di
hadapan mereka. Yaitu seorang gadis cantik berbaju
sutera merah jambu. Sepasang matanya bak bintang
Kejora. Bibirnya menampakkan senyum menawan. Se-
dang rambutnya beriapan tertiup angin. Ternyata ke-
dua sejoli itu telah tiba di darat.
"Sss... ssiapakah anda..? Apakah anda yang te-
lah menyelamatkan jiwa kami.. ?" Bertanya Gumarang
hampir berbareng dengan Retno Wulan. Gadis di ha-
dapannya itu tertawa kecil, hingga tampak sebaris gigi
yang putih rata.
"Hihi... hi., hi... Aku manusia biasa. Nah kalian
telah selamat..! Silahkan teruskan perjalanan kalian..!"
Berkata gadis aneh itu. Akan tetapi kedua remaja itu
telah segera berlutut di atas pasir. Gumarang berucap
dengan suara gemetar.
"Anda pasti bukan seorang manusia... Anda
pasti Dewi Laut..! Oh terimakasih atas pertolongan mu
sang Dewi..!" 
Melihat kedua sejoli itu jatuhkan dan berlutut,
si gadis berbaju sutera merah jambu itu cepat-cepat
angkat pundak kedua orang muda itu. Aneh... Guma-
rang hanya rasakan pundaknya disentuh telapak tan-
gan halus... Tahu-tahu tubuhnya telah terangkat naik.
Dan memaksanya  berdiri lagi. Demikian juga
Retno Wulan. Yang hampir tak bisa mempercayai. Apa
lagi sosok tubuh di hadapannya itu amat cantik luar
biasa. Dengan dapat menyelamatkan jiwanya dari ten-
gah samudra tanpa sebuah perahu pun, adalah bukan
perbuatan manusia... Pikirnya. Akan tetapi kembali
gadis itu berkata. Kali ini suaranya terdengar santar.

"Hm..! Sudah kukatakan, aku adalah manusia
biasa..! Mengapa kalian tak mempercayai? Kalian lihat-
lah! Apakah sepasang kakiku tidak menginjak ta-
nah..?" Kedua pasang mata segera  menatap   tubuh
gadis itu. Dan benarlah..! Sepasang kaki sang peno-
longnya benar-benar menginjak tanah. Berarti si peno-
long adalah manusia biasa. Seketika mata mereka jadi
menatap tak percaya. Dan gadis baju sutera merah
jambu itu sudah berkata lagi;
"Namaku Roro Centil..! Aku datang dari sebe-
rang pulau. Apakah ini yang namanya pulau Anda-
las..!" Tertegun sepasang muda-mudi itu. Tapi Guma-
rang segera menjawab;
"Be... benar... Nono... nona... jadi... jadi...?"
"Hi hi hi... hi hi hi... Terima kasih..!" Belum lagi
Gumarang meneruskan kata-katanya, sosok tubuh di
hadapannya telah berkelebat lenyap.
Tentu saja hal itu membuat Gumarang dan
Retno Wulan jadi melongo alias ternganga. Mereka
hanya dapat melihat bayangan warna merah jambu.
Dan sekejap sudah lenyap.
Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai Selatan,
injakkan kaki di padang rumput yang menghijau. 
Padang rumput itu amat luas. Sedang jauh di
bagian depan terlihat perbukitan yang memanjang, se-
perti tak ada putusnya. Dikelilingi rimba lebat
"Kurasa diantara perbukitan itu pasti terdapat
gunung..!" Berbisik Roro.
"Entah yang manakah gunung Dempo?..." De-
sisnya lagi. Sementara ia sudah mempercepat jalan-
nya, melewati padang rumput itu. Nampaknya Roro
tak begitu tergesa-gesa. Namun bagi orang biasa, lang-
kah kaki Roro memang termasuk cepat. Sementara itu
tanpa diketahui oleh sang Pendekar, dua sosok tubuh

berbaju hijau tampak mengintai dari balik pepohonan.
Keduanya adalah dua orang laki-laki yang bertampang
seram. Ikat kepalanya berbentuk lancip pada bagian
sisinya. Keduanya tampaknya bukan orang desa biasa.
Karena terlihat pada masing-masing pinggangnya ter-
sembul gagang golok.
Begitu kira-kira jarak sepuluh tombak, kedua
orang itu berkelebatan keluar. Roro Centil tampaknya
tidak terkejut. Karena sebagai orang Rimba hijau yang
telah cukup berkecimpung lama di dunia persilatan,
telah dapat mengetahui sebelumnya. Kedua orang itu
segera menjura hormat, dengan bungkukkan tubuh.
Dan salah seorang sudah berkata; "Anda pasti salah
seorang undangan dari Ketua kami, Selamat datang di
daerah kekuasaan Perguruan 'Burung Hantu". Markas
besar kami berada di bagian dalam. Silahkan anda ja-
lan terus..!"
Roro Centil jadi melengak. Akan tetapi ia sudah
mengangguk setelah membalas hormat. Tampak dari
kedua wajah orang itu tak menampilkan kecurigaan
buat Roro. Sehingga diam-diam ia membatin... Aneh..!
Datang-datang ke negeri orang, sudah disambut baik.
Dan dianggap tetamu undangan. Siapakah gerangan
Ketua dari Perguruan Burung Hantu itu..? Pikir Roro.
Entah ada pertemuan apakah? Pikirnya lagi. Namun
justru keanehan itu membuat Roro jadi kepingin tahu.
Dan tanpa banyak bicara ia sudah melangkah masuk
melewati kedua orang penjaga itu. Ternyata pada kira-
kira tiga tombak, terlihat ada dua tugu di kiri kanan
jalan. Roro segera menduga kalau itulah pintu masuk
ke dalam markas Burung Hantu. Tak berayal lagi Roro
sudah kelebatkan tubuh kesana.

***


Tirta Menggala dalam keadaan panik... ketika
sebuah ombak besar tiba-tiba menghantam pera-
hunya. Tak ampun lagi tiang layar itu roboh tumbang
karena perahu sudah miring. Teriakan-teriakan dari
para anak buahnya pun terdengar... Tirta Menggala
mengeluh putus asa. Tubuhnya segera terjungkal ma-
suk laut. Akan tapi di detik itu juga berkelebat sebuah
bayangan bagai kilat, menyambar tengkuk Tirta Meng-
gala. Dan tahu-tahu tubuhnya telah melayang di atas
air. Cepat sekali rasanya ketika angin deras menerpa
wajahnya. Dan beberapa saat kemudian, ia telah tiba
di darat. Tersentak laki-laki berusia lima puluh tahun
ini, ketika melihat siapa yang telah menolongnya. Serta
merta segera ia bersujud dengan khidmat.
"Guru..! Terima kasih, atas pertolonganmu..!"
ucapnya dengan suara tergetar girang, namun juga
terkejut sekali. Sosok tubuh yang berdiri di hadapan-
nya itu ternyata seorang kakek tua renta, bertubuh
kurus jangkung. namun agak bungkuk. Akan tetapi
anehnya seluruh tubuhnya berbulu. Walaupun tidak
terlalu lebat. Namun bulu-bulu itu panjang-panjang
pada beberapa bagian tubuhnya, berwarna pu-
tih. Pada bagian wajahnya, hanya kening dan hidung
serta sedikit kedua belah pipinya saja yang tak terda-
pat bulu.
Wajahnya menampilkan usia yang sudah lan-
jut. Alisnya tebal menyatu. Kumis dan jenggotnya ter-
juntai panjang sampai melebihi pusar. Hidungnya agak
melebar. Sinar matanya menatap bagai mengeluarkan
cahaya berwarna biru. Kakek tua renta ini memakai
selapis jubah putih yang cukup tebal. Ternyata ram-
butnya juga panjang memutih. Terurai sampai ke
punggung. Terdengar si kakek berkata. Suaranya mirip

dengan suara kera. Ternyata giginya masih utuh, dan
menampakkan taring di kiri kanannya.
"Muridku..! Kau terlalu gegabah..! Apakah kau
tidak melihat bayangan merah jambu yang berkelebat
mendekati perahu mu? Bayangan merah jambu itulah
yang telah menghantam dinding perahu mu, sehingga
mengalami kebocoran besar. Dan Bayangan merah
jambu itu pula yang telah menyelamatkan kedua orang
muda itu dari bahaya kematian.. Mendengar kata-kata
itu tentu saja Tirta Menggala jadi terkesiap. Ia sudah
segera bertanya;
"Siapakah bayangan merah jambu itu Guru...?"
Si kakek tua renta berbulu itu keluarkan suara bag
menggeram.
"Gut... Menurut berita dari Peri Gunung Dem-
po, di seberang pulau ada seorang tokoh persilatan
terkenal yang berilmu tinggi. Sayang Peri Gunung
Dempo tak berhasil menjumpainya ketika empat bulan
yang lalu kesana. Namun Peri Gunung Dempo berhasil
membunuh gurunya. Yaitu Manusia Aneh Pantai Sela-
tan. Bayangan merah jambu itu sudah pasti muridnya
yang bernama Roro Centil, alias si Pendekar Wanita
Pantai Selatan. Pasti..! Karena ia seorang wanita. Dan
mempunyai ilmu berjalan di atas air..!" 
Terkejut  Tirta Menggala mendengar penuturan
gurunya Ternyata sejauh itu sudah ada manusia lain
yang berilmu hebat. Pada hal gurunya sendiri sudah di
anggap sebagai Dewa Siluman Kera, yang pergi dan da-
tangnya bagaikan angin. Kini Tirta Menggala menden-
gar lagi adanya seorang wanita yang memiliki ilmu
yang hebat. Hampir-hampir ia tidak percaya.
"Guru..! Ada apakah manusia dari seberang
lautan itu datang kemari…?" Tanya Tirta Menggala.
"Entahlah..! Tapi dugaanku adalah mencari Peri

Gunung Dempo. Karena telah membunuh Gurunya.
Tapi itu juga sebuah tantangan berat bagiku. Karena
Pendekar Wanita itu termasuk manusia  yang suka
mencampuri urusan orang..!" Berkata si kakek. 
Melengak Tirta Menggala. Tapi saat itu sang
guru sudah berkata lagi.
"Menggala..! Sebaiknya kau tinggalkan dulu ke-
sibukan mu. Kau menetap dulu di  kediaman ku. Ku
kira kekuasaanmu tak dapat kau pertahankan, bila
kau tak mempunyai secuil pun kepandaian..!" Ujar si
kakek dengan sorot matanya yang tajam menatap Tirta
Menggala. "Tapi... tapi.. Guru..! Aku perlu bantuanmu
dulu untuk... untuk..." Tirta Menggala tak dapat mene-
ruskan kata-katanya karena tubuhnya sudah disam-
bar oleh si kakek aneh itu untuk dibawa melesat pergi.
Masih terdengar hardikannya lapat-lapat;
"Bocah goblok..! Sejak dulu-dulu sudah ku pe-
ringatkan. Pelajarilah ilmu-ilmuku..! Kau cuma pikir-
kan kekuasaan dan perempuan saja..!"

***

Gumarang dan Retno Wulan meninggalkan
pantai itu untuk segera mendaki bukit. Melalui jalan
setapak yang berputar-putar, mereka tiba di sebuah
desa terpencil di tengah hutan bambu.
"Kemana tujuan kita kini Gumarang..!" Ber-
tanya Retno Wulan. Tampaknya ia sudah lelah sekali.
Tubuhnya terasa penat. Dan kakinya terasa pegal bu-
kan main.
"Kita singgah dulu di desa ini beristirahat. Mu-
dah-mudahan disini tak ada terdapat orang-orang si
Tirta Menggala..!" Jawab Gumarang. Sementara len-
gannya membimbing kekasihnya yang tampak sudah

sempoyongan.
"Sayang kita gagal untuk pergi yang jauh seka-
li... Tapi kita harus bersyukur pada Tuhan, karena
wanita aneh bernama Roro Centil itu telah menyela-
matkan nyawa kita..!" Kata Gumarang lagi.
"Tapi kita cukup jauh dari desa tempat ting-
galmu, Wulan. Aku berharap kau tak terlalu cemas.
Selesai istirahat kita susuri bukit barisan, dan pergi
jauh terus ke utara..." Hiburnya lagi.
"Apakah si kambing tua itu tak akan dapat me-
nyusul kita lagi, Gumarang?"
"Percayalah sayang..! Aku akan menjaga mu
dengan taruhan jiwa raga ku! Seandainya manusia ke-
parat itu dapat menyusul kita. Eh!? Rasanya aku meli-
hat di kejauhan perahu si Tirta Menggala itu seperti
oleng, dan bergerak tak menentu..." Berkata Guma-
rang. "Bagus! Biarlah dia mati tenggelam di dasar
laut..!" Maki Retno Wulan dengan kesal.
Sebuah pondok yang paling dekat mereka ham-
piri. Gumarang sudah mengucapkan salam. Aneh Tak
ada orang menyahuti dari dalam. Pintu depan memang
tak terbuka sedikit. Daun jendela yang berada di si-
sinya bahkan terbuka separuh, namun tampak miring.
Tak ada tanda-tanda ada penghuninya di dalam. Hing-
ga sampai Gumarang mengucapkan salam tiga kali, te-
tap saja tak ada yang menyahut.
Yakinlah mereka kalau rumah itu kosong, alias
tak berpenghuni. Terbukti adanya sarang laba-laba
pada pintu yang setengah terbuka. Juga pada jendela
yang terbuka itu. Agak takut keduanya untuk mema-
suki. Terpaksa Gumarang membimbing Retno Wulan
untuk mencari pondok lainnya. Beberapa rumah ia
hampiri. Namun kesemuanya kosong melompong.
"Ternyata desa terpencil ini sebuah desa mati..!"

Desis Gumarang. Retno Wulan kerutkan alisnya. Ia
tampak mengeluh. Dan jatuhkan tubuhnya ke tanah.
Penatnya bukan main. Dan ia sudah tak sanggup ber-
diri lagi. Sementara saat itu keadaan semakin mere-
mang. Pertanda hari sudah menjelang senja. Terpaksa
Gumarang mengambil keputusan.
"Baiknya kita menginap di pondok kosong ini
saja untuk bermalam. Aku khawatir ada binatang buas
yang dapat menyusahkan kita..!" Ujar Gumarang. Dan
ia sudah segera masuk ke dalam salah satu pondok
kosong itu.
"Tunggulah sebentar Wulan. Aku akan meme-
riksa keadaan di dalam..!" Kate Gumarang. Sambil
menoleh sejenak pada Retno Wulan, yang seperti su-
dah tak dapat bicara lagi. Gumarang cepat memasuki
kamar demi kamar. Tampak pemuda ini bersitkan wa-
jah girang. Ternyata masih ada balai-balai kayu leng-
kap dengan tilamnya. Serta bantal dan guling... Wa-
laupun banyak debu di atasnya, tak menjadi soal. Se-
gera ia beranjak ke ruang belakang. Sebuah dapur.
Yang ternyata masih komplit dengan perabotannya.
Ah, beruntung aku..! Desis Gumarang. Tapi aneh..!?
Mengapa pondok-pondok ini mereka tinggalkan..? Ber-
fikir Gumarang. Ah, perduli..! Yang penting kami dapat
bermalam disini, walaupun cuma satu malam. Menga-
pa harus pusing-pusing memikirkannya..? Desis pe-
muda ini dalam hati. 
Segera ia kembali ke  kamar dan bersihkan
tempat tidur. Sementara itu dengan berjalan tertatih-
tatih Retno Wulan beranjak memasuki pondok. Guma-
rang muncul dari ruang tengah. Ketika dilihatnya Ret-
no Wulan, cepat ia melompat menghampiri.
"Wulan..! Aku baru bersihkan kamar dan tem-
pat tidur. Mari ku pondong..!" Berkata Gumarang se-

raya peluk tubuh sang kekasih, dan pondong ke da-
lam.
"Kita tak perlu khawatir dengan keadaan disini.
Binatang buas masih dapat dihindari, dari pada ma-
nusia jahat yang akan mengganggu kita..!" Ujar pemu-
da itu. Dan tak lama ia sudah baringkan tubuh Retno
Wulan di pembaringan.
"Kau jangan kemana-mana Gumarang..! Aku
takut sendirian..!" Teriak Retno Wulan seraya tarik
kembali lengan laki-laki itu. Dan sudah didekapnya
erat-erat. Terasa oleh pemuda itu detak jantung gadis
bergemuruh.
"Tenanglah, sayang ku..! Jangan khawatir. Aku
takkan meninggalkanmu. Aku mau menutup pintu du-
lu..!" Berkata lirih Gumarang, seraya lengannya mem-
belai rambut dan mencubit hidung Retno Wulan. Ke-
mudian segera beranjak cepat keluar ruangan. Terden-
gar daun pintu bergerit, dan tak lama kemudian Gu-
marang telah kembali masuk. Pemuda itu segera du-
duk di sisi pembaringan. Kepalanya bergerak untuk
meneliti ruangan, dengan sepasang matanya yang
mencari-cari sesuatu. Di atas meja disudut ruangan
itu tergeletak sebuah lampu usang. Gumarang beran-
jak menghampiri.
"Bagus, masih ada minyaknya sedikit. Lumayan
untuk penerangan. Sebentar lagi malam akan tiba. Se-
baiknya aku pasang sekarang. Cuaca gelap, seperti
mau turun hujan lebat..!" Berkata Gumarang. Segera
ia merogoh sakunya. Dan nyalakan lampu dengan ba-
tu geretan.
Sebentar kemudian ruangan kamar itu menjadi
terang benderang. Kemudian ia kembali duduk di sisi
Retno Wulan. Kini yang ia tatap adalah wajah gadis
itu. Retno Wulan telah pejamkan matanya. tampak ke-

ringat mengalir dari dahinya. Segera Gumarang seka
peluh itu dengan ujung bajunya. Dan dekap wajah itu
dengan sepasang lengannya. Satu ciuman telah men-
darat di dahi gadis itu.
"Kau lapar tidak, Wulan..?" Bertanya Guma-
rang. Gadis itu gelengkan kepala. Dan perlahan buka
kelopak matanya. Sepasang mata sang gadis menatap
redup wajah pemuda yang dicintainya itu. Terdengar-
lah suara si gadis lirih. Sementara lengannya sudah
bergerak memeluk tubuh Gumarang.
"Gumarang..! Oh... jangan kau tinggalkan aku
untuk selamanya..!" Desisnya lirih. Gumarang de-
katkan lagi wajahnya, dan bisiki si gadis di telinganya.
"Tidak sayang ku..! Aku tak akan tinggalkan
kau selama hayat dikandung badan. Aku akan selalu
dekat padamu..!" Dan keduanya pun tenggelam dalam
buaian asmara yang bergejolak. Sementara d luar, po-
hon-pohon bambu terangguk-angguk terkena tiupan
angin, yang mendesah. Gemerisik bunyi daun-daun
bambu yang  saling bergesekan. Gumarang rebahkan
tubuhnya di sisi sang gadis. Yang segera lingkarkan
lengannya dada Gumarang. Terdengar laki-laki muda
ini menghela napas. Seperti merasa lega setelah bergu-
lat dengan berbagai rintangan tadi siang.
Api pelita itu tampak bergoyang-goyang terkena
hembusan angin malam yang masuk dari sela-sela
dinding. Hujan rintik-rintik mulai turun. Suasana
memang agak dingin, hingga Retno Wulan semakin le-
lap mendekap tubuh Gumarang.
Napas pemuda ini terlihat agak memburu. Te-
rasa sulit baginya untuk menahan gejolak kelaki-
lakian nya. Apa lagi dalam keadaan berdua-dua demi-
kian itu, tanpa ada seorang pun yang tahu.. Benda-
benda lembut terasa menekan kuat tubuhnya. Terasa

desah napas Retno Wulan seperti meniup-niup daun
telinganya.
"Wulan..!"  Gumarang berbisik perlahan. Dan
miringkan tubuh. Untuk kemudian menggamit ping-
gang sang gadis. Dan tenggelamlah mereka dalam ke-
rinduan. Tiba-tiba terdengar petir menggelegar.
Namun tampaknya mereka seperti tenggelam
dalam keasyikan memadu rintihan. Tanpa perdulikan
sekitarnya. Tanpa perdulikan apa-apa. Seperti juga in-
gin menghabiskan malam itu sepuas-puasnya....

***

Roro Centil mengendus bau-bauan aneh di
ruangan kamarnya. Bau asap kemenyan, entah dari
mana datangnya bau orang membakar kemenyan itu.
Malam  itu Roro Centil memang menjadi tetamu yang
istimewa bagi si Ketua Perguruan Burung Hantu. Ia
menempati sebuah kamar yang bersih. Berdinding dan
berlantai papan. Ternyata si Ketua seorang yang ra-
mah tamah. Walau sepasang matanya memancarkan
sinar yang membersit tajam. Mirip mata Burung Han-
tu.
Rumah Perguruan Burung Hantu ternyata ter-
diri dari beberapa wuwungan. Dan Roro menempati di
sebuah rumah yang paling besar. Ternyata di samping
kedatangan Roro masih ada berdatangan lagi tiga
orang tetamu. Yaitu seorang wanita, dan dua orang la-
ki-laki. Dapat dilihat sepintas oleh Pendekar Wanita
Pantai Selatan, ketiganya bukanlah orang-orang yang
biasa-biasa saja. Karena dari setiap gerakannya me-
nunjukkan ketiganya berilmu tinggi. Ternyata si Bu-
rung Hantu itu telah mengundang rekan-rekannya un-
tuk mengadakan pertemuan dengan menyebar undan-

gan.
Adapun Roro yang bukan termasuk salah satu
undangannya, ternyata tidak masuk hitungan. Ketika
di adakannya pertemuan empat pasang. mata. Sengaja
Roro diberi ruang terpisah. Anehnya si Burung Hantu
sedikitpun tidak menanyakan hal ihwal  Roro. Mem-
buat Roro agak merasa aneh.
Sementara malam terus berlalu merayap, Roro
tak bisa pejamkan mata. Bau asap kemenyan itu
benar-benar membuat ia merasa terganggu. Dia
diam ia telah membuka jendela, dan melompat ke luar.
Keadaan di luar tampak sunyi. Jarak antar tiap-tiap
rumah kira-kira tiga puluh tombak. Pada bagian de-
pannya dipasangi dua obor. Roro bergerak menyelidiki
setiap dinding kamar. Telinganya dipasang tajam-
tajam. Demikianlah Roro mencoba curi dengar dimana
adanya pertemuan empat pasang mata antara si Bu-
rung Hantu dengan ketiga tetamunya. Sementara se-
pasang biji matanya selalu bergerak lincah. Karena
mengkhawatirkan ada penjaga yang melihatnya.
Sayang di rumah besar itu tak ada tanda-tanda
mencurigakan. Malam memang sudah larut. Segera
Roro berkelebat ke rumah-rumah berikutnya. Dan pa-
da sebuah rumah yang bentuknya agak berbeda den-
gan yang lain itu, lapat-lapat dapat didengarnya suara
orang bercakap-cakap. Walaupun suaranya tidak terla-
lu keras, namun pada malam yang sunyi itu, dapat
terdengar oleh Roro dengan merapatkan telinganya ke
dinding rumah.
"Sebentar lagi di saat ayam mulai kukuruyuk,
kita sudah segera bergerak kesana!" Terdengar suara
sang Ketua Perguruan Burung Hantu. Yang memang
berjulukan si Burung Hantu. Roro bergerak perlahan
tanpa menimbulkan suara, mencari celah yang dapat

ia pergunakan untuk mengintip. Dan sudah dite-
muinya celah kecil di dinding papan bangunan rumah
itu. Segera saja terlihat keempat orang duduk berkelil-
ing. Sang Ketua membelakangi
Roro. Sedang dua laki-laki tetamunya duduk
berhadapan dengan si Ketua. Dan wanita satunya du-
duk di sebelah kiri si Burung Hantu. Dari pembicaraan
rahasia yang didengarnya, Roro segera dapat mengeta-
hui ketiga tetamu si Burung Hantu itu. Kedua laki-laki
itu adalah yang berjulukan Dua Iblis Sembilan Nyawa.
Yang masing-masing bernama Gajah Dungkul dan Ka-
la Dungga. Gajah Dungkul berperawakan tinggi besar.
Telinganya panjang dan bermuka lebar. Sepasang ma-
tanya sipit dengan alis yang tebal terjungkit ke atas.
Hidungnya agak melengkung, dan berbibir tebal. Laki-
laki ini mengenakan pakaian berwarna abu-abu. Tam-
pak di sisinya tergeletak senjatanya sepasang piring ti-
pis, yang berbentuk mirip tutup panci, mempunyai pe-
gangan pada bagian tengahnya.
Sedang yang bernama Kala Dungga ternyata
seorang laki-laki berkulit hitam. Berkepala lonjong.
Rambutnya hanya tebal bagian atasnya saja. Hidung
dan mulutnya berdekatan sekali. Giginya agak men-
cuat keluar. Dengan sepasang mata yang besar. Kumis
dan jenggotnya tidak rata. Usianya hampir sebaya
dengan si Gajah Dungkul. Yaitu sekitar lima puluh ta-
hun. Orang ini memakai jubah kuning. Senjatanya tak
terlihat di dekatnya. Sedangkan si wanita mengenakan
baju warna merah. Dengan wajah cukup cantik. Ber-
kulit sawo matang. Sebuah tongkat hitam mirip ular
berada di pangkuannya. Wanita ini sebentar-sebentar
tersenyum, kalau diajak bicara si Burung Hantu. 
Dan duduknya pun agak berdekatan dengan si
tuan rumah. Ternyata si wanita ini bergelar si Ular Ko-

bra Mata Merah. Sedang si Burung Hantu sendiri, Roro
telah mengenal wajahnya. Yaitu seorang laki-laki yang
bertubuh agak pendek. Berwajah empat persegi. Ber-
hidung bagai paruh burung. Alisnya kereng dan tebal
hampir menyatu. Telinganya kecil, hampir tak keliha-
tan tertutup rambutnya. Malam itu mengenakan man-
tel bulu burung yang tampak berwarna hitam... Ada-
pun Roro terus mendengarkan pembicaraan keempat
orang itu.
"Hmm, sobat Burung Hantu..! Apakah kau ya-
kin penyergapan kita malam ini tak akan gagal. Apa-
kah kita perlu membunuhnya mampus saja. Dan kita
kuras harta bendanya..!" Berkata Kala Dungga, si ju-
bah kuning.
"Benar..! Sebaiknya demikian. Aku khawatir ka-
lau kita hanya menculik anak gadisnya saja untuk
minta tebusan, akan membahayakan kita. Terutama
perguruanmu. Bisa saja si hartawan itu melaporkan
pada pihak Kerajaan untuk menggulung markas mu."
Berkata Gajah Dungkul. Sedang si wanita alias si Ular
Kobra Mata Merah cuma tinggal diam. Karena usul
pertama itu dialah yang memberikan. Adapun si Bu-
rung Hantu jadi tersenyum mendengar saran-saran
kedua kawannya.
"He he he... Kalau cuma mau menculik anak
gadisnya sih, aku sendiri juga dapat melakukannya!
Makanya kupanggil kalian, karena aku akan menum-
pasnya sekaligus. Kekuasaannya akhir-akhir itu
semakin meluas. Dan kudengar si hartawan itu
juga menyewa orang-orang persilatan untuk melindun-
gi kekuasaannya. Agaknya ia mau menyaingi si Tirta
Menggala..!" Berkata si Burung Hantu dengan suara
agak ditekan.
"Tirta Menggala.. ? Hm, kurasa diapun tak mau

disaingi begitu saja..! Apalagi manusia itu pernah men-
jadi murid seorang pertapa tua, yang berjulukan Dewa
Siluman Kera! Bila orang sakti itu turun tangan, dalam
sekejap saja akan hancurlah kekuasaan si hartawan
yang bekas pembesar kerajaan Sriwijaya itu..!" Tiba-
tiba si Ular Kobra Mata Merah ikut buka suara.
"Dan bila itu terjadi, kita bisa kalah cepat kalau
tak buru-buru bertindak..!" Menimbrung lagi Kala
Dungga. Si Burung Hantu jadi tertawa bergelak-gelak.
"He he he... he he... Tak usah terlalu mengkha-
watirkan si Tirta Menggala. Manusia itu cuma tergila-
gila dengan wanita. Untuk menjatuhkan
manusia semacam itu tidaklah sulit. Kita tak
perlu saling jatuhkan. Bahkan kita bisa bekerja sama
dengannya. Karena kita-bisa-bisa berurusan dengan si
pertapa sakti Siluman Kera Putih. Bisa-bisa akan te-
rancamlah jiwa kita..!"
"Benar..! Benar! Saran mu itu bagus sekali Bu-
rung Hantu..! Kita, sesama golongan hitam tak perlu
saling gontok-gontokan!" Ujar Gajah Dungkul.
"Akan tetapi mengenai rencana kita, baiknya
aku ambil kepastian. Nah dengarkan baik-baik..!"
Sambung si Burung Hantu lagi. Kemudian me-
reka pun mulai mengatur rencana dan siasat... Semen-
tara Roro mendengarkan dari balik dinding. Selesai
menetapkan keputusan, tiba-tiba salah seorang dari
tamunya itu, yaitu si wanita baju merah. Tiba-tiba ber-
tanya;
"Eh... kulihat sobat kita ini sudah punya sim-
panan khusus... Cantik juga. Bolehkan aku mengeta-
hui lebih dekat siapa wanita piaraan mu itu?" Tentu
saja Roro Centil jadi merah wajahnya. Diam-diam ia
memaki dalam hati... Setan alas..! Aku di anggap wani-
ta piaraan si Ketua Kokok Beluk ini! Sialan..!"

Adapun si Burung Hantu baru sadar dan mera-
sa diingatkan oleh si wanita, mengenai seorang ta-
munya.
"Aku sendiri belum mengetahui siapa dia
adanya..!" Berkata si Burung Hantu. Tentu saja ketiga
orang undangan itu jadi melengak.
"Kau ini aneh, Burung Hantu..! Bagaimana ka-
lau wanita itu ternyata seorang mata-mata yang bisa
merusak rencana kita?" Berkata Gajah Dungkul.
"Tampaknya ia bukan wanita sembarangan..!
Apakah tak ada rencanamu untuk mengikut sertakan
dalam penyergapan kita?" Tanya kala Dungga. Si Bu-
rung Hantu ini tampak menghela napas, lalu berkata
perlahan... Dan tuturkan asal mulanya hingga ia keda-
tangan tetamu yang tak diundang.
"Sebenarnya ada rencanaku untuk mengetahui
lebih jauh tentang siapa dirinya, akan tetapi, datang-
nya sudah di luar dugaan. Mana aku mampu menolak,
karena ia telah juga menjadi tamuku? Aku telah tem-
patkan ia di rumah besar. Ada dua orang pembantu
wanita disana untuk melayaninya. Sengaja aku mena-
hannya agar menginap selama beberapa hari. Tam-
paknya ia juga seperti orang yang aneh..! Kalau ia tak
merasa diundang mengapa mau saja datang untuk
menjadi tamuku?" Tutur si Burung Hantu.
"Apakah kau tak lihat adanya tanda-tanda
mencurigakan pada sikapnya?" Tanya Kala Dungga la-
gi. Si Burung Hantu tampak terdiam sejenak. Lalu me-
nyahuti.
"Rasanya tidak! Tampaknya ia bukan pendu-
duk asal daerah kita. Seperti berlogat bahasa dari se-
berang pulau. Mungkin juga ia perantau dari Pulau
Jawa. Itulah sayangnya... karena kedatangannya ju-
stru bertepatan dengan pengaturan rencana kita, ma-

ka terpaksa ia ku tahan dulu agar tinggal beberapa ha-
ri disini. Karena aku tak mau melibatkan urusan ini
dengannya..! Baiknya kita tunggu saja sampai sele-
sainya urusan kita malam ini. Besok kita menemuinya
untuk lebih dekat mengenalnya..!" Burung Hantu beri-
kan penjelasannya.
"Bagaimana kau bisa menahannya, kalau cuma
ada dua pembantu wanita di rumah besar tempat ia
menginap? Dia toh punya kaki. Kapan waktu bisa dia
bisa berangkat pergi..!" Menimbrung si wanita bertong-
kat ular. Akan tetapi si Burung Hantu cuma menyerin-
gai, dan berkata perlahan.
"He he he., mengenai itu adalah urusanku! Si
Burung Hantu bukan anak kemarin sore yang harus
diberi petunjuk!" Jawabnya, dan segera menyambar
gelas arak untuk selanjutnya sudah menenggaknya
habis. Sementara yang lainnya pun menuruti, mene-
guk sisa minumannya.
Tampaknya Roro sudah cukup untuk mencuri
dengar. Segera ia berkelebat pergi tanpa menimbulkan
suara. Sebentar kemudian ia telah kembali memasuki
kembali kamarnya dengan lewat jendela. Kemudian
menutupnya rapat-rapat. Roro Centil jatuhkan tubuh-
nya di pembaringan. Dan tercenung memikirkan apa
yang telah didengarnya: Nama-nama yang diingatnya
adalah Tirta Menggala, murid kakek pertapa Siluman
Kera Putih. Entah bagaimana rupanya si kakek yang
kabarnya sakti itu. Dapat diketahui Tirta Menggala
adalah seorang laki-laki yang doyan dengan wanita
cantik. Adapun Hartawan yang disebut-sebut itu ter-
nyata bekas orang Kerajaan. Tentu saja kerajaan Sriwi-
jaya di tanah seberang ini. Bahkan yang pernah menja-
jah kerajaan Medang dan menguasai Pulau Jawa ham-
pir selama satu abad.

Sebenarnya ia tak mau turut campur dengan
urusan si Burung Hantu, yang ternyata juga bukan
orang baik-baik. Sayang percakapan mereka tak me-
nyebut-nyebut tentang Peri Gunung Dempo. Tampak-
nya Roro agak bingung untuk mengambil putusan.
Apakah berdiam di rumah ini, atau membuntuti mere-
ka yang akan melakukan penyergapan malam ini? Ka-
lau membuntuti mereka, berarti Roro jadi telah ikut
campur urusan orang. Dan akan membela siapakah
ia? Berfikir Roro. Seandainya terjadi ia menguntit si
Burung Hantu, apakah tidak ada yang lebih baik selain
ia menjadi penonton saja? Tapi... Berfikir lagi Roro
Centil. Mana ia tega membiarkan orang dibunuh se-
mena-mena. Sudah jelas yang jahat dan salah adalah
si Burung
Hantu dan ketiga konconya. Walaupun si har-
tawan itu adalah bekas seorang pembesar Kerajaan
yang pernah menjadi musuh Kerajaan Medang di ta-
nah airnya. akan tetapi menolong orang bukanlah
menjadi halangan. Apa lagi hal ini bukanlah menyang-
kut urusan Kerajaan. Tapi adalah urusan kemanu-
siaan. Berfikir demikian Roro sengaja tak picingkan
mata untuk mendengar dimana suara kokok ayam ter-
dengar, ia akan segera keluar untuk menguntit mere-
ka. Akan tetapi ia juga ingin tahu akan kata-kata si
Burung Hantu. Yang mengatakan akan mampu mena-
hannya di rumah besar ini sampai mereka kembali.
Diam-diam Roro Centil tersenyum sendiri. Dan mem-
batin dalam hati.. Buktinya aku sudah keluar jendela,
tanpa ada yang mengetahui. Kalau benar ia dapat me-
nahanku mengapa tak ia sediakan penjaga untuk
mengawasi aku..?
Tiba-tiba ia baru sadar lagi kalau bau keme-
nyan itu semakin santar menusuk hidung. Timbul

keinginannya untuk memeriksa setiap ruangan. Bu-
kankah rumah ini cuma ditempatkan dua pembantu
wanita? Berfikir Roro. Akan tetapi baru saja ia akan
beranjak bangun, tiba-tiba pintu kamarnya menguak
terbuka. Angin dingin terasa menyelusuri sekitar tu-
buhnya. Benar-benar aneh. Roro dibuatnya tertegun.
Dan sekonyong-konyong hawa terasa mencekam. Dan
membuat bulu-bulu kuduk Roro jadi bangun berdiri.
Sepasang matanya tak lepas menatap ke pintu kamar
yang terbuka. Hampir tak masuk di akal Roro, ketika
dilihatnya dari dalam ruangan tengah itu terdengar
suara menggeram. 
Sesosok bayangan hitam tiba-tiba muncul di
pintu kamar. Entah bayangan apa. Karena tidak ber-
bentuk. Sementara Roro cuma bisa terpaku duduk di
pembaringan. Sepasang matanya menatap tak berke-
dip pada bayangan hitam di hadapannya. Tiba-tiba
bayangan aneh yang membersitkan rasa seram itu be-
rubah jadi asap hitam yang bergumpal-gumpal. Dan
detik selanjutnya, gumpalan asap itu telah berbentuk
menyerupai seekor harimau yang besar, hampir sebe-
sar kerbau. Terkesiap Roro bukan buatan. Sampai-
sampai ia beringsut karena terkejutnya.... Selama hi-
dupnya baru pertama kali ini ia melihat kejadian aneh
seperti ini. Ia sudah gerakan tangan untuk menghan-
tam makhluk Harimau Tutul itu. Akan tetapi tena-
ganya terasa hilang musnah. Mengangkat lengan saja
ia sudah tak sanggup lagi. Sementara sepasang mata
si Harimau Tutul, pancarkan sinar matanya yang se-
perti menyala menatap  Roro. Akan tetapi anehnya
makhluk jejadian itu tidak mengganggu. Ia cuma me-
langkah tiga-empat tindak
dan duduk di bawah di dekat jendela. Dengan
menghadapkan kepala pada Roro Centil. Sedang sepa-

sang matanya terus menatap sang Pendekar wanita
Pantai Selatan tak berkedip. Roro tampaknya dapat
bernapas lega. Akan tetapi ia benar-benar tak dapat
berkutik. Pada saat itulah terdengar suara orang me-
langkah mendekati pintu kamar Roro dari ruangan da-
lam. Seraya terdengar suaranya;
"Mengapa pintu kamarmu dibuka, nona..? Ada-
kah kau di dalam..?" Dan tersembul sesosok tubuh
yang tak lain dari pembantu wanita di rumah besar
itu. Begitu melihat Roro Centil masih duduk di pemba-
ringan dengan sepasang matanya, masih terbuka, ia
segera bicara lagi;
"Agaknya nona belum mengantuk..! Tidurlah!
hari sudah jauh malam. Tak baik bagi kesehatan..!
Daun pintu kamarmu jangan sekali-kali dibiarkan ter-
buka tengah malam..!" Sambungnya lagi seraya balik-
kan tubuh untuk kembali keluar. Dan menutupkan
kembali daun pintu kamar Roro. Lalu terdengar suara
langkahnya menuju ruangan dalam. Agaknya seperti ia
baru terbangun dari tidur, setelah siangnya merasa le-
lah bekerja.
Roro cuma bisa mengangguk, ketika si pemban-
tu wanita bertanya. Selebihnya ia cuma bisa tetap du-
duk terpaku tanpa bisa berbuat apa-apa. Anehnya,
pembantu wanita itu tidak melihat dan mengetahui
adanya seekor Harimau Tutul yang amat besar di ka-
mar itu. Tentu saja hal itu membuat Roro keluar ke-
ringat dingin. Benar-benar aneh..!? Pikir Roro Centil.
Apakah mahkluk ini yang diutus Burung Hantu untuk
menjaganya..? Demikian berkata hatinya. Menyesal ju-
ga Roro kembali lagi ke kamar ini. Kalau sudah begini,
Roro jadi benar-benar mati kutu. Sementara tubuhnya
benar-benar seperti di lolosi tulang belulangnya. Lemas
sekali. Bahkan otaknya pun tak dapat berfikir jernih.

Akhirnya dengan beringsut-ingsut ia rebahkan tubuh-
nya lagi di pembaringan. Dengan menyandarkan pung-
gungnya pada bantal, ia tetap selalu memperhatikan si
makhluk itu. Khawatir tiba-tiba menyerangnya. Tapi
diam-diam ia berusaha menyatukan segenap ilmu ba-
tinnya. Untuk memulihkan kembali keadaan tubuhnya
yang menjadi lemah tak bertenaga.
Malam itu adalah malam yang paling tidak
enak buat Roro. Karena harus diawasi sesosok mak-
hluk yang besar dan menyeramkan....
Selang beberapa saat berlalu, suara kukuruyuk
ayam jago pun terdengar. Keadaan di Perguruan Bu-
rung Hantu sunyi mencekam. Akan tetapi empat sosok
tubuh telah berkelebat keluar dari salah sebuah ru-
mah. Dan selanjutnya kembali lenyap di ujung jalan
desa. Gerakannya seperti hati-hati agar tak menimbul-
kan suara. Ternyata keempat sosok tubuh itu tak lain
dari si Burung Hantu dan ketiga konconya. Yang me-
mang telah tiba saatnya untuk berangkat pergi, sesuai
rencana.
Gedung tempat tinggal si hartawan bekas pem-
besar Kerajaan itu berada di daerah Gunung Putri. Ge-
dung baru yang baru beberapa bulan diisinya, sejak ke
pindahannya dari tempat tinggalnya yang lama. Si Har-
tawan itu bernama Datuk Sutan Benggala Dewa. Ia
memang baru saja menambah beberapa areal perke-
bunan merica dan kopi. Dan menangani  urusan per-
dagangan besar dengan orang asing. Tentu saja usaha
itu mendapat izin dari pihak Kerajaan, karena ia juga
bekas seorang pembesar yang banyak membantu di
masa jabatannya. Dan Datuk Sutan Benggala Dewa
juga orang yang tahu diri, hingga tak lupa mengirim
upeti pada Raja setiap tahunnya.
Malam itu tampak empat sosok tubuh menyeli-

nap masuk ke dalam pekarangan Gedung yang luas
itu. Salah seorang bergerak memutar, ke arah samping
kiri gedung. Sedang seorang lagi dari samping kanan.
Di tempat yang luas itu ada terdiri dari tiga wuwungan
rumah. Dan rumah gedung yang paling besar itulah
tempat tinggal sang Datuk Sutan Benggala Dewa. Se-
dang yang dua orang masuk dari bagian depan dengan
gerakan hati-hati. Ternyata ketuanya adalah si Burung
Hantu dan si Wanita bergelar Ular Kobra Mata Merah.
Si Burung Hantu sudah membisiki dengan melompat
menghampiri rekannya;
"Ssst..! Apa tidak sebaiknya kau naik ke atas
membongkar genting..?" Si wanita baju merah itu tam-
pak kerutkan alis sejenak, lalu menyahuti.
"Baiklah… Dan ia segera akan bergerak untuk
melompat ke atas genting, ketika tiba-tiba terdengar
bentakan keras;
"Pencuri laknat..! Jangan harap kalian dapat
pulang dengan selamat..!" Dan tiba-tiba dari sebelah
sisi rumah petak itu telah bermunculan tiga sosok tu-
buh. Rata-rata mereka berbaju hitam. Sekejap saja te-
lah mengurung keduanya. Si Burung Hantu cuma
memandang dengan senyum menghina pada para pen-
gurungnya. Sekilas ia lirik si wanita rekannya yang
tampak tersenyum padanya. Lalu anggukkan kepala.
Sementara ketiga orang itu telah menerjang maju. Sen-
jata-senjata yang dipergunakannya adalah sebuah go-
lok besar, dan dua bilah pedang. Melihat hal demikian
si Burung Hantu segera berkelebat menghindar, seraya
perdengarkan dengusan di hidung, dan cabut senja-
tanya.
Trang! Trang! Dua serangan pedang telah di
sampok mental balik. Ternyata yang ia pergunakan
adalah sebuah senjata aneh, yaitu berbentuk sepasang

ruyung. Akan tetapi pada bagian ujungnya terdapat ti-
ga buah rantai. Dengan masing-masing pada bagian
ujungnya terdapat tiga buah cakar besi mirip cakar
burung. Senjata hebat inilah yang dinamakan si Cakar
Hantu. Kedua orang penjaga yang menyerang si Bu-
rung Hantu itu terkejut sekali, karena rasa tangan-
tangan mereka tergetar akibat sampokan senjata Ca-
kar Hantu itu, dan kedua pedang hampir terlepas dari
pegangan tangan masing-masing. Akan tetapi segera
mereka maju menerjang lagi. Kali ini tampak hati-hati.
Karena ketika si Burung Hantu menyambut dengan
senjatanya, segera keduanya menarik lagi serangan-
nya. Ternyata adalah Cuma serangan dengan gerak ti-
puan. Adapun si wanita dengan senjata tongkat ular-
nya cuma melayani si penyerang bersenjata golok be-
sar itu dengan senyum-senyum. 
Beberapa serangan sang penjaga itu cuma di-
anggap tak berarti. Dan dengan mudah ia selalu dapat
mengelakkannya. Selang sepuluh jurus, tiba-tiba si
Burung Hantu keluarkan suara mirip burung Kokok
Beluk, tiga kali. Agaknya si wanita rekannya itu men-
gerti. Dan tampak tongkat ularnya bergerak memutar
bagai baling-baling... Si penjaga bergolok besar itu ter-
kejut  karena rasakan sampokan angin keras mener-
jang tubuhnya. Ia sudah melompat tiga tombak men-
jauh. Akan tetapi bagaikan bayangan, tongkat si wani-
ta mengejar. Terpaksa ia menghantam dengan golok
besarnya, disertai bentakan. 
Terdengar si wanita tertawa sinis. Tahu-tahu
tubuhnya berkelebat lenyap dari hadapan si penjaga.
Dan di lain saat terdengarlah teriakan ngeri sang pen-
jaga itu. Ternyata lehernya telah ditembus oleh tongkat
ular si wanita. Darah segar menyembur mengerikan.
Dan ketika si Ular Kobra Mata Merah menarik kembali

senjatanya, maka robohlah si penjaga dalam keadaan
tewas mengerikan. Dalam pada itu si Burung Hantu
tengah melancarkan serangan maut pada kedua la-
wannya. Kedua pedang ternyata telah di sampok men-
tal, hingga terlepas dari tangan sang lawan.  Kini ba-
gaikan alap-alap menyambar mangsa, ketiga buah Ca-
kar Hantu itu bagaikan tangan-tangan setan saja me-
luncur deras mengarah leher dan dada kedua penjaga.
Salah seorang tak dapat mengelakkan  diri lagi. Maka
terdengarlah jeritan ngerinya, ketika cakar Hantu itu
berhasil mencengkeram jantungnya, hingga daging-
dagingnya tercongkel keluar. D
an darah muncrat seketika, dan robohlah si
penjaga itu. Adapun yang seorang lagi ternyata berha-
sil mengelakkan serangan pada lehernya, dengan
membuang tubuh ke samping. Dan dengan berjumpa-
litan berhasil menjauh. Wajahnya jadi pucat pias. Se-
gera ia enjot tubuh untuk melarikan diri. Tampaknya
ia akan segera berhasil menyelamatkan diri. Akan te-
tapi pada saat itu juga, berkelebat tongkat si wanita.
Meluncur bagai seekor ular terbang. Dan terdengar te-
riakan sang penjaga bernasib naas itu. Punggungnya
telah tertembus tongkat ular bermata merah... Am-
bruklah seketika ia, dan tampak berkelojotan sebentar,
tewas seketika itu juga.
Mendengar ribut-ribut di luar itu tentu sang
hartawan alias Datuk Sutan Benggala Dewa jadi ter-
bangun. Tampak ia gelagapan. Dan berlari kesana-
kemari dengan kebingungan. Ia dapat segera menyada-
ri bahwa gedungnya telah disatroni penjahat Segera
saja ia berteriak-teriak...
“Rampooook! Rampooook..!" Dan ia sudah ber-
lari lagi ke ruangan depan. Tapi tak lama kemudian
kembali lagi ke kamar. Sementara sang istri cuma bisa

ketakutan menggulung tubuhnya dengan selimut,
dengan tubuh menggigil gemetaran. Tiba-tiba di kamar
sebelah terdengar suara bergedubrakkan. Disertai sua-
ra jeritan wanita. Terkejut si Hartawan. Ketika itu juga
ia teringat akan anak gadisnya.
"Ratna Dewi anakku..!" Teriak si Hartawan. Ia-
pun berlari ke kamar anaknya. Sementara istrinya pun
tiba-tiba melompat dari tempat tidur, dan berlari ke
kamar putrinya. Akan tetapi pada saat itu juga jendela
samping telah dicongkel terbuka. Dan Kala Dungga
melompat ke dalam. Sekejap saja telah terdengar jeri-
tan ngeri wanita istri hartawan itu. Lehernya hancur di
cengkraman manusia telengas itu, di sertai robohnya
sang tubuh ke lantai. Si Hartawan terkejut bukan
main. Saat itu juga ia memekik keras. Dan ia sudah
melompat menyambar sebuah tombak di sudut dind-
ing ruangan. Wajahnya menampilkan kemarahan luar
biasa, melihat tubuh sang istri telah tergeletak di lan-
tai bersimbah darah. Akan tetapi pada saat itu juga
berkelebat Gajah Dungkul dari dalam ruangan kamar
anak gadis hartawan. Sebelah lengannya telah berge-
rak, dan tahu-tahu tubuh laki-laki berusia enam pu-
luh itu sudah roboh dengan perdengarkan keluhannya.
Ternyata si Gajah Dungkul telah menotoknya. Di lain
saat, terdengar suara pintu yang pecah bergedubrak-
kan. Disertai melompatnya si Burung Hantu dan si
Ular Kobra Mata Merah. Melihat rekan-rekannya ber-
hasil masuk, Gajah Dungkul tersenyum.
Bagus..! Hayo kalian geledah seluruh isi kamar!
Anak gadisnya si tua bangka ini telah ku totok! Ru-
panya hanya tiga orang penjaga saja yang diandalkan
untuk menjaga gedungnya. He he he..." berkata Gajah
Dungkul sambil tertawa. Dan ia pun sudah berkelebat
masuk ke kamar. Ketika keluar lagi sudah memondong

seorang gadis yang berteriak-teriak. Tapi sudah tak bi-
sa menggerakkan tubuhnya lagi. Si Burung Hantu
hanya nyengir, sambil segera berkelebat memasuki
kamar. Disana ia mengobrak-abrik lemari pakaian.
Bahkan kasur dan bantal di aduk-aduk. Sedangkan si
Ular Kobra Merah memasuki kamar anak gadis harta-
wan itu. Disana iapun menggerayangi setiap tempat.
Sementara Kala Dungga mendekati si gadis dalam
pondongan Gajah Dungkul. Wajahnya tampak cengar-
cengir melihat gadis cantik.
"Eh, kakak, berikan  aku yang memondong-
nya..!" Berkata Kala Dungga seraya melompat mende-
kati. Gajah Dungkul tertawa menyeringai, serta berka-
ta;
"Boleh! Tapi ingat, jangan kau beri sisa mu..!"
Dan segera lemparkan gadis dalam pondongannya itu.
Yang segera disambuti Kala Dungga.
"Ha ha ha... Cantik juga anak gadis si tua
bangka ini.." Dan ia sudah mendaratkan ciuman di pi-
pi gadis bernama Ratna Dewi itu.
Adapun sang gadis itu sudah menjerit-jerit ke-
takutan. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Ketika
tiba-tiba ia melihat ibunya yang tergeletak bersimbah
darah, tanpa bergerak-gerak lagi... seketika ia menjerit
panjang. Lalu jatuh pingsan. Sementara si Hartawan
itu cuma bisa meringis pedih melihat apa yang terjadi
di depan matanya. Tiba-tiba ia telah keluarkan benta-
kan;
"Iblis-iblis keparat..! Lepaskan anak gadisku!
Jangan kau ganggu dia..! Katakan apa mau kalian?!
Mengapa kalian lakukan semua ini? Aku merasa tak
bersalah apa-apa terhadap kalian..!" Teriak Datuk Su-
tan Benggala Dewa. Sementara diam-diam hatinya
mengutuk panjang pendek orang-orang bayarannya

yang tak bisa diandalkan. Gajah Dungkul tertawa ter-
kekeh sambil acungkan senjata piring tipisnya di leher
si hartawan.
"He he he... kami mau kepalamu tuan besar!
juga harta, dan... dan... anak gadismu yang cantik
itu..!" Berkata Gajah Dungkul dengan wajah jumawa,
sambil lirikan mata pada anak gadis laki-laki itu yang
berada dalam pondongan adiknya. Sementara itu si
Burung Hantu sudah melompat keluar. Wajahnya me-
nampakkan kekecewaan. Seraya berkata;
"Kurang ajar! Aku tak dapat menemukan tem-
pat menyimpan uang dan harta benda si kunyuk ini!
Hayo, Gajah Dungkul! Kau paksa dia agar menunjuk-
kan tempat menyimpan harta bendanya..!" Gajah
Dungkul melengak. Dan saat itu si Ular Kobra Mata
Merah juga telah melompat keluar.
"Aku cuma menemukan ini..!" Desisnya. Seraya
menunjukkan seuntai kalung emas bermata berlian.
Tiba-tiba ia sudah berkelebat ke arah jenasah
istri si hartawan. Tampaknya ia membungkuk. Dan
menyambar kalung emas, serta membuka beberapa ge-
lang di tangan jenazah wanita malang itu. Kemudian
membungkusnya dengan sapu tangan. Dan selipkan
pada celah bajunya. Lalu melompat lagi ke dekat tiga
rekannya.
Datuk Sutan Benggala Dewa cuma bisa pejam-
kan mata. Tampak ada setitik air bening mengalir ke-
luar dari sudut pelupuk matanya. Tiba-tiba sudah ter-
dengar bentakan lagi. Ia rasakan kepalanya terangkat
naik. Rambutnya terasa pedas sekali. Ternyata si Ga-
jah Dungkul telah menjambak rambutnya.
"Kunyuk..! Kau mau pura-pura pingsan! Hayo
katakan dimana kau menyimpan harta benda mu...!
Atau kau mau kutebas batang lehermu? Teriaknya. Se-

raya tekan piring tipisnya ke leher si Hartawan, yang
segera meringis kesakitan. Terlihat ada sedikit darah
mengalir dari kulit lehernya Tapi Datuk Sutan Bengga-
la Dewa tetap membungkam. Membuat Gajah Dungkul
jadi berang.
"Ku hitung sampai tiga. Kalau kau tetap tak
membuka mulut. Kepalamu akan segera menggelind-
ing dalam sekejap..!" Bentak Gajah Dungkul, seraya
menjambak rambut si hartawan lebih keras. Hingga
laki-laki itu meringis lagi kesakitan. Akan tetapi Kala
Dungga sudah menyambar bicara;
"Kalau dengan cara demikian, bisa-bisa ia me-
milih mati. Atau bisa juga berdusta. Sebaiknya kita
gunakan cara yang aku pakai ini..!" Seraya berkata
demikian, ia telah letakkan gadis yang pingsan itu di
lantai. Dan tanpa ragu-ragu sudah membukai pa-
kaiannya...
"He he he... Bagus! Bagus! Adikku..! Biarkan
aku  yang mencicipinya dulu. Baru kau..! Atau kalau
sobat Burung Hantu kepingin, berikan gilirannya buat
dia..!" Tak berayal lagi Gajah Dungkul segera akan
membuka juga pakaiannya. Sementara si Ular Kobra
Mata Merah plengoskan wajahnya dengan wajahnya
dengan wajah bersemu merah. Akan tetapi pada saat
itu juga si hartawan sudah berteriak;
"Jangan kalian ganggu anakku...! Akan kuberi-
tahukan tempat menyimpan uangku..!" Pakaian si ga-
dis yang baru dibuka separuhnya itu sudah lantas di
tutup lagi.
"Bagus..! Berkata Kala Dungga. Nah dimana
kau simpan uang dan harta benda mu, tuan besar..!"
Berdesis si Gajah Dungkul. Sementara si Burung Han-
tu cuma jadi penonton saja. Pada saat itu juga tiba-
tiba terdengar suara mengeram. Yang membuat semua

yang berada di tempat itu jadi melengak. Dan tahu-
tahu di ruangan itu telah menjelma seekor Harimau
Tutul yang hampir sebesar kerbau, dengan didahului
keluarnya asap hitam yang tebal. Tentu saja keempat
manusia jahat itu jadi terkesiap. Terlebih-lebih si Bu-
rung Hantu. Karena Harimau belang jejadian itu ada-
lah mahluk suruhannya, yang telah disuruhnya men-
jaga Roro Centil.
Segera kesemuanya melompat mundur. Se-
dangkan Burung Hantu segera berkata dengan suara
gemetar;
"Datuk Siluman Raja Hutan..!Kau..kau bukan-
kah telah disuruh menjaga wanita itu di rumah besar,
melalui perantara nenek dukun yang telah ku-
panggil di rumahku.. ?" Akan tetapi sebagai jawaban-
nya sang harimau jejadian itu bahkan menggeram le-
bih dahsyat. Hingga seluruh ruangan itu terasa bergo-
lak. Akan halnya si Dua Iblis Sembilan Nyawa alias Ka-
la Dungga dan Gajah Dungkul, jadi kesal dan men-
dongkol dengan adanya harimau jejadian itu. Walau-
pun ia memang agak ngeri dan membuat bulu kuduk-
nya berdiri. Tampak kedua kakak beradik itu segera
memberi isyarat. Dan dengan berbareng telah mener-
jang dengan senjatanya. Gajah Dungga menebas leher
sang harimau itu dengan sebuah piring tipis yang ter-
buat dari baja berkilat itu. Dan Kala Dungga telah ke-
luarkan senjatanya dari balik punggung, yaitu sebuah
garpu sebesar lengan dengan lima buah ujungnya yang
tajam. Dengan kecepatan kilat, Kala Dungga menusuk
kepala makhluk itu.
Akan tetapi seketika makhluk itu lenyap. Dan
yang membuat terkejut adalah si Kala Dungga, karena
tiba-tiba saja ia berteriak-teriak kesakitan sambil me-
megangi lehernya. Tampak, seperti ia tengah berusaha

melepaskan cengkeraman pada lehernya. Namun tak
kuasa... Hingga akhirnya ia berkelojotan meregang
nyawa. Melihat demikian si Ular Kobra Mata Merah ja-
di gemetar. Dan keluarkan keringat dingin pada seku-
jur tubuhnya. Dan tanpa menunggu lagi, segera me-
lompat pergi dari ruangan itu, menerobos jendela, dan
melesat kabur menyelamatkan diri. Si Burung Hantu
jadi serba salah. Iapun tak dapat menahan diri lagi un-
tuk segera melarikan diri, sipat kuping. Meninggalkan
gedung si Hartawan itu. Sementara Gajah Dungkul
mencoba menarik tubuh adiknya dengan mencekal ke-
dua kakinya, untuk dibawa keluar ruangan. Akan te-
tapi tiba-tiba terdengar suara menggeram... dan ia ter-
lempar jatuh bangun menabrak pintu. Yang seketika
jadi jebol, dengan papan-papan berantakan. Terkesiap
seketika laki-laki berperawakan tinggi besar ini. Dan
dengan mengurutkan punggungnya, terpincang-
pincang ia melarikan diri... Tanpa mau tahu lagi akan
nasib adiknya. 
Hingga dalam sekejapan saja, ruangan kembali
menjadi sunyi. Kala Dungga tergeletak di lantai tak
berkutik lagi. Keadaan tubuhnya tampak mengerikan.
karena dari mata, telinga serta hidungnya tampak
mengalirkan darah yang menganak sungai... Sedang-
kan makhluk  Siluman yang menyeramkan itu telah
menjelma lagi menjadi seekor harimau tutul yang amat
besar.
Pada saat itu berkelebat sesosok tubuh ramp-
ing berbaju merah jambu. Sekejap ia telah berdiri di
dalam ruangan itu. Ternyata tak lain dari Roro Centil
adanya. Melihat kedatangan Roro, tiba-tiba harimau
tutul itu menghampirinya. Dan tampak menggeram-
geram seperti melihat tuannya, serta mengelilingi Roro.
Segera saja Roro memeluknya, dan mengelus-elus be-

lakang kepalanya.
Si Tutul cuma kedip-kedipkan sepasang ma-
tanya, dan menciumi lengan Roro serta menggeser-
geserkan kepalanya dengan manja. Tapi sebentar ke-
mudian Roro Centil segera bangkit berdiri seraya ber-
kata;
"Tutul..! Tunggulah di luar. Aku akan mengu-
rusi orang-orang di dalam ini. Terima kasih atas ban-
tuanmu, Tutul..!" Tampaknya sang harimau itu men-
gerti, dan dengan patuh sekali ia melesat cepat keluar
pintu, dan lenyap.
Roro Centil segera membebaskan totokan pada
tubuh si hartawan. Yang seketika sudah menekuk lu-
tut di hadapan Roro, seraya berucap...
"Oh..! Te... terima kasih atas pertolongan anda,
nona..!" Roro Centil cuma tersenyum dan mengangkat
bahu laki-laki tua itu.
"Tak usah banyak peradatan, paman..! Lebih
baik kau urusi anak gadismu..!" Mendengar demikian
si hartawan itu sudah lantas memburu ke arah anak
gadisnya, seraya berteriak...
"Ratna Dewi... Ratna Dewi...!" Dan ia sudah
mengguncang-guncang tubuh gadis yang tergolek
pingsan itu. Beberapa saat kemudian si gadis tampak
siuman kembali. Ia melompat bangkit. Dan yang per-
tama-tama disebutnya adalah nama ibunya! "Ibuuu..!
Ibuuuu..!" Dan wajahnya dipalingkan ke beberapa
arah. Ketika terpandang akan tubuh ibunya yang ter-
golek bersimbah darah itu. Tiba-tiba ia perdengarkan
jeritannya. Seraya berlari menubruk tubuh wanita
yang telah tewas itu.
"Ibuuuuuuu...!" Dan selanjutnya ia sudah me-
nangis tersedu-sedu memeluki, dan mengguncang-
guncang tubuh ibunya. Laki-laki itu perlahan-lahan

menghampirinya. Seraya bersimpuh di hadapan jena-
zah sang istri, disamping anak gadisnya.
"Sudahlah anakku..! Ibumu sudah tenang di
alam  Baka. Jangan kau iringi dengan air mata. Kita
harus relakan kepergiannya..!" Berkata lirih Datuk Su-
tan Benggala Dewa, sambil mengangkat bahu anak ga-
disnya. Sebelah tangannya membelai-belai rambut si
gadis yang amat disayanginya itu.
Sementara itu telah berdatangan para pegawai
sang hartawan dan beberapa penduduk desa. Yang se-
gera memburu masuk ke dalam gedung. Suasana pun
menjadi gaduh. Adapun si hartawan, ketika menoleh
pada penolongnya, ternyata telah lenyap, tak kelihatan
lagi. Kiranya hari telah menjelang pagi. Keremangan
malam itu perlahan-lahan berubah menjadi terang.
Gedung Datuk Sutan Benggala Dewa pagi itu jadi ra-
mai oleh kerumunan penduduk Yang segera memban-
tu menggotong mayat-mayat di halaman. Beberapa
orang sudah memayang Ratna Dewi, untuk dibawa ke
rumah gedung di sebelah. Sementara beberapa orang
lagi sibuk mengangkat jenazah istri si hartawan itu.
Jauh dari rumah Gedung Datuk Sutan Bengga-
la Dewa, tampak berkelebat sebuah bayangan merah
jambu cepat sekali. Mata manusia biasa akan sulit
mengetahui bayangan apa itu. Tapi bagi mata orang
berkepandaian tinggi, segera dapat mengetahuinya.
Karena bayangan merah. jambu yang berkelebatan
menjauh itu, adalah bayangan tubuh Roro Centil. Si
Pendekar Wanita Pantai Selatan. Sungguh suatu hal
yang amat menakjubkan. Karena Roro Centil ternyata
tengah menunggang di atas tubuh seekor harimau tu-
tul yang amat besar. Makhluk itu bergerak cepat seka-
li. Larinya bagaikan angin. Entah kemana yang ditu-
junya...

Apakah gerangan yang telah terjadi dengan Ro-
ro Centil, sehingga dapat bersahabat dengan sang ha-
rimau jejadian itu? Dan bahkan tampaknya sang ha-
rimau siluman itu telah tunduk sama sekali padanya!
Baiklah kita kembali sejenak ke belakang.
Ketika Roro Centil dalam keadaan serba sulit
karena ditunggui oleh seekor macam siluman yang
menakutkan itu, Roro tengah berusaha menyatukan
segenap ilmu batinnya. Pada saat-saat yang mena-
kutkan itulah, Roro Centil teringat, dan tiba-tiba ter-
bayang akan wajah Gurunya. Si Manusia Aneh Pantai
Selatan. Dan entah suara Gurunya juga entah suara
batinnya. Karena pada saat itu ada suara membersit  
hatinya.
"Roro... Muridku! Kau memang bocah tolol| Ta-
pi cerdik! Kalau kau menemui keanehan, mengapa tak
kau lawan dengan keanehan pula. Demikian suara itu
seperti terdengar berkali-kali. Dan terus terngiang-
ngiang di telinganya.
Roro berfikir bolak-balik. Apakah gerangan
makna yang telah membersit di hatinya itu, berulang
kali terngiang-ngiang di telinganya...
Segera ia pusatkan pikirannya untuk mendapa-
ti keanehan apakah gerangan yang harus diperguna-
kan untuk melawan makhluk siluman di hadapannya
itu. Lama dan lama ia mengingat-ingat. Sampai peluh
peluh di sekujur tubuhnya bercucuran. Roro benar-
benar sulit untuk membuka tabir
keanehan dari suara yang membersit di lubuk
hatinya. Gurunya tak memberi bekal keanehan apa-
apa! Demikian pikirnya. Roro tampak hampir putus
asa, karena tak juga berhasil memikirkan makna kata-
kata itu. Hingga terdengar sudah suara ayam berkuku-
ruyuk... Dimana si Burung Hantu dan ketiga rekannya

sudah berangkat pergi. Roro mulai agak gelisah. Beru-
lang kali ia tatap mata si harimau siluman itu. Yang
selalu tak berkedip menentang wajah kepadanya. Ka-
rena hawa aneh yang menyeramkan itu seperti telah
melolosi tulang belulangnya... Akan tetapi pada saat
itu juga Roro Centil teringat akan kotak perhiasan mi-
lik Gurunya yang selalu dibawanya. Yang masih tersisa
adalah sepuluh buah gelang emas, bertatahkan ber-
lian. Dan sebuah cincin bermata batu Merah Delima.
Mengingat akan cincin itu, Roro Centil berfikir
sejenak. Dan diam-diam berkata dalam hatinya...
Eh...!? Batu Merah Delima yang berada pada cincin ku,
amat mirip sekali dengan sepasang mata si makhluk
siluman ini. Merah bersinar! apakah keanehannya ada
pada benda itu..? Demikian Roro berfikir bolak-balik.
Dan perlahan-lahan ia sudah keluarkan kotak
perhiasan itu dari balik pakaiannya. Dibukanya kotak
kecil itu. Segera saja membersit keluar cahaya merah
dari batu cincin itu. Juga gemerlapan permata-
permata berlian dari kesepuluh gelang warisan gu-
runya. Sebaiknya kupakai saja semuanya! Pikir Roro.
Dan tanpa ayal lagi Roro masukkan lima buah gelang
pada lengan kirinya. Dan lima buah lagi di lengan ka-
nannya. Lalu pasangkan cincin emas bermata batu
Merah Delima itu di  jari manisnya. Aneh..! Kesemua
benda di lengannya itu jadi lenyap sinar gemerlapnya.
Juga sinar merah dari batu Merah Delima itu. Roro ja-
di penasaran. Tapi inilah keanehannya. Memang...! Ro-
ro Centil sudah menemukan keanehannya. Akan tetapi
harus berfikir seribu kali untuk memecahkan keane-
han itu. Tampak Roro sudah tak sabar lagi. Diam-diam
ia kerahkan tenaga dalamnya pada sepasang lengan-
nya. Ia berpendapat kalau ia berhasil menghimpun te-
naga dalam, maka sekali bergerak untuk menghantam,

tamatlah riwayat si macan siluman itu. Tampaknya
Roro berhasil... Akan tetapi terkesiap ia ketika tahu-
tahu batu Merah Delima pada cincinnya telah kembali
menyala, dan menyorot langsung ke mata siluman ha-
rimau itu. Bahkan sepuluh gelang bermata berlian itu-
pun bergemerlapan lagi memancarkan cahaya yang
amat mempesona.
Aneh...! Sang harimau jejadian itu tiba-tiba
mundur, dan menggeram lemah seperti ketakutan. Me-
lihat demikian timbullah nyali Roro. Segera saja ia te-
lah melompat bangkit. Sang harimau siluman itu se-
makin mengkerutkan tubuhnya ketakutan. Sinar ma-
tanya tampak semakin memudar. Dan akhirnya le-
nyaplah cahaya merah dari sepasang matanya. Tiba-
tiba tubuh makhluk itu bergoyang-goyang...
Dan satu keajaiban segera terjadi lagi. Tubuh
makhluk itu tiba-tiba berubah mengecil. Semakin ke-
cil... dan terus mengecil, hingga sebesar seekor kucing.
Suaranya pun telah berubah bagai suara kucing. Na-
mun tetap tak berubah warnanya. Roro jadi melengak.
Ia sudah mengucak-ucak sepasang matanya, karena
hampir-hampir ia tidak percaya pada penglihatannya.
Hingga tanpa ia sadari kakinya telah melang-
kah mundur beberapa tindak. Dan terhenyak duduk di
tepi pembaringan. Sementara sepasang matanya Map
mengawasi perubahan aneh dari makhluk di hadapan-
nya. Pada saat itulah "kucing aneh" itu tiba-tiba me-
lompat ke pangkuannya, seraya perdengarkan suara
mengeong.
Terasa copot jantung Roro. Namun aneh..! ter-
nyata harimau kecil itu sudah bagaikan seekor kucing
saja. Tampaknya jinak sekali. Bahkan tampak men-
gendus-endus lengan Roro serta menjilat-jilat lengan-
nya. Lenyaplah kekhawatiran Roro seketika. Dan den-

gan beranikan diri ia mengelus-elus tubuh sang hari-
mau kecil itu. Tampaknya si" Kucing Aneh" itu mera-
sakan belaian halus lengan Roro. Dan memejamkan
sepasang matanya, seraya mengeong perlahan.
"Aneh..!?" Desis Roro perlahan. Namun sepa-
sang bibirnya sudah tampak senyum. Dan tiba-tiba sa-
ja  ia telah peluk harimau kecil itu, seraya menci-
uminya dengan penuh kasih sayang. Entah mengapa
telah membersit di hati Roro semacam ada daya tarik
untuk menganggapnya sebagai sahabatnya. Selang be-
berapa saat, tiba-tiba pintu kamar Roro kembali terbu-
ka. Dan  sosok tubuh yang tak lain dari si pembantu
wanita di rumah itu sudah berdiri diambang pintu. Be-
gitu sepasang matanya melihat ke arah Roro, tiba-tiba
ia jadi beliakkan matanya. Dan serta merta sudah ja-
tuhkan diri berlutut di hadapan sang Pendekar Wanita
Pantai Selatan. Seraya berucap dengan suara geme-
tar...
"Oh..!? Ampunilah hamba Paduka Ratu Peri,
Hamba telah berbuat lancang terhadap Paduka! Hu-
kumlah hamba Paduka Ratu Peri. Hukumlah hamba..!
Hamba telah pergunakan makhluk piaraan Paduka Ra-
tu untuk berbuat kejahatan selama ini..!" Tampak tu-
buh si pembantu wanita yang telah berusia lanjut itu
gemetar. Seluruh tubuhnya telah mengeluarkan kerin-
gat dingin. Berkali-kali ia bersujud. Dan terdengar
isaknya tersendat-sendat. Ada pun Roro Centil jadi ter-
tegun tak mengerti. Lagi-lagi keanehan..! Pikirnya. Ti-
dak angin tidak hujan, tahu-tahu ia sudah dianggap
Ratu Peri. Sungguh aneh! Demikian berfikir Roro. Na-
mun sekejap Roro Centil sudah berfikir untuk meman-
faatkan kesempatan ini. Ia harus berpura-pura benar-
benar seorang Ratu Peri, seperti yang telah dianggap
oleh si pembantu wanita itu. Yang sebenarnya wanita

itu tak lain dari seorang dukun Yang telah dipanggil
datang oleh si Burung Hantu untuk membantunya Ro-
ro segera berujar, dengan suara dibuat keren, berwi-
bawa.
"Hm...! Sebenarnya kau harus dihukum berat,
tetapi biarlah aku ampuni..! Kini segera katakan pada
makhluk piaraan ku ini, agar kembali menurut pada-
ku! Aku khawatir, karena sudah sering kau suruh dia
berbuat kejahatan, lalu tidak menurut lagi  padaku..!"
Tampak wajah sang pembantu alias dukun panggilan
ini, jadi berseri gembira. Dan ia sudah merangkul kaki
Roro seraya menciuminya berulang-ulang.
"Oh..! Te... terima kasih paduka Ratu Peri..!"
Sesaat ia sudah segera berdiri lagi. Sepasang matanya
yang bersimbah air mata itu menatap si harimau kecil,
dan berkata;
"Tutul..! Kini aku tak dapat mengasuh mu la-
gi..! Majikanmu sesungguhnya adalah paduka Ratu
yang memangku mu ini..! Taatlah pada perintahnya.
Dan jangan sekali-kali kau membangkangnya..!" Sele-
sai berkata, tampak si wanita tua ini membelai-belai
kepala harimau kecil itu. Lalu kemudian palingkan wa-
jah pada Roro.
"Paduka Ratu... hamba mohon diri untuk me-
ninggalkan tempat ini..!" Ujarnya seraya membung-
kukkan tubuh dalam-dalam. Roro Centil tersenyum.
"Pergilah..! Tinggalkan tempat ini sejauh-
jauhnya. Dan jangan kembali lagi!" Berkata Roro Centil
dengan suara tegas. Sepasang matanya menatap tajam
pada si pembantu wanita tua ini. Walau diam-diam da-
lam hati, Roro merasa ngeri, dan bergidik seram meli-
hatnya. Karena sekonyong-konyong tampak perubahan
pada bentuk tubuh sang pembantu wanita itu. Wajah-
nya jadi berubah semakin tua, berkeriput. Dan tubuh-

nya pun jadi berubah bungkuk. Dengan suara bergetar
sang dukun itu berucap;
"Terima kasih, Paduka Ratu. Hamba akan turu-
ti semua perintah Paduka..!" Dan tak berlama-lama la-
gi, nenek tua itu sudah ngeloyor pergi. Tak diketahui
kemana jalannya. Karena tahu-tahu sudah lenyap...
Demikianlah peristiwa aneh yang telah dialami
Roro Centil. Hingga tanpa disengaja, ia telah menjadi
majikan  sang harimau siluman itu. Ternyata pulau
Andalas adalah pulau aneh yang penuh misteri..! Ber-
kata Roro dalam hati. Sementara si Tutul semakin
jauh meluncur pesat. Dengan tujuan barunya yaitu
Gunung Dempo.

***

Tirta Menggala tak tahu lagi lamanya dalam
perjalanan, karena ia cuma pejamkan mata saja tanpa
berani membuka... Ketika dirasakan angin yang me-
nerpa wajahnya telah berhenti, segera buka matanya.
Ternyata mereka telah sampai pada sebuah
Goa batu yang penuh ditumbuhi akar-akar. Sepasang
telinganya sudah menangkap suara-suara kera, di se-
keliling tempat itu. Ketika ia palingkan kepalanya ke
beberapa arah. Ternyata berpuluh-puluh ekor kera
bergelayutan di dahan-dahan pohon. Suaranya tampak
riuh. Dan beberapa ekor sudah berloncatan ke hada-
pan Tirta Menggala. Tiba-tiba terdengar suara suitan
nyaring yang diperdengarkan oleh si kakek. Dan seke-
japan saja ratusan ekor kera bermunculan. Suara-
suara binatang itu jadi semakin riuh rendah. Hingga
Tirta Menggala jadi terpaku tempatnya. Segera ia terin-
gat pada dua puluh tahun lebih yang lalu, ketika ia
tinggal di tempat ini. Kera-kera itu tak sampai demi-

kian banyaknya. Tapi kini sudah mencapai ratusan
jumlahnya. Ketika ia melihat adanya orang baru yang
dibawa majikannya, segera kera-kera itu berjingkrakan
mengurungnya.  Kesemuanya menampakkan wajah
bermusuhan. Tiba-tiba si kakek itu berteriak-teriak
dan menggeram mirip kera-kera itu, sambil melompat-
lompat dan menunjuk pada Tirta Menggala. Aneh..!
Sekejapan saja ratusan kera itu jadi menggelepoh di
tanah. Dan tundukkan kepala. Tampaknya mereka se-
gera mengerti kalau orang baru itu adalah sahabat ma-
jikannya. Wajah Tirta Menggala yang semula berubah
pucat itu, kini kembali cerah. Dan ia benar-benar amat
kagum dengan wibawa gurunya. Tiba-tiba terdengar
lagi suitan nyaring... Kera-kera itu segera tengadahkan
kepalanya. Dan terlihat sang majikan gerakkan tong-
katnya tiga kali ke atas.
Sekejap saja binatang-binatang itu berlompatan
lagi, masuk ke dalam hutan, dengan suara riuh. Hing-
ga tinggal beberapa ekor saja yang tampak masih ber-
keliaran di depan goa.
Sang kakek aneh itu sudah segera beranjak
masuk ke dalam goa. Melihat gurunya masuk, terpak-
sa Tirta Menggala pun menurutinya. Di pintu goa ma-
sih sempat ia menengok keluar. Tapi kemudian iapun
cepat-cepat masuk, dan tak kelihatan lagi.
Goa itu terletak pada sebuah lembah ngarai
yang amat curam adalah tebing-tebing batu yang tinggi
menjulang ke langit. Ternyata di dasar jurang itu ada
terdapat hutan rimbanya yang amat luas. Di sanalah
kera-kera itu berdiam. Hari pertama Tirta Menggala
sudah harus menjalani bersemadi dengan tubuh tanpa
mengenakan pakaian secuilpun. Tampaknya Tirta
Menggala tak dapat tenang dalam bersemadi. Karena
hatinya selalu berkata-kata... Celaka!? Beberapa bulan

saja aku disini, bisa-bisa aku berubah menjadi kera
Oh!? Matilah aku..! Seluruh tubuhku akan tumbuh
bulu..! Dan... dan akan tumbuh pula ekor di belakang-
ku..! Hiiiiii..!" Laki-laki ini bergidik seram. Hingga pe-
luh dingin membasahi sekujur tubuhnya.
Hari kedua, semedinya tampak semakin goyah.
Karena ia tidak betah kalau harus bertelanjang bulat