Roro Centil 4 - Siluman Hitam(1)








1

FAJAR baru saja menyingsing. Matahari
tampakkan dirinya. Cahaya yang memancarkan
kehidupan buat manusia, mulai memancar dari
balik perbukitan yang menghijau. Alangkah in-
dahnya karena bukit-bukit itu seperti terkena ca-
haya emas. Memancar indah cemerlang di pagi
yang baru saja tersingkap, dari gelapnya malam.
Terpukau kagum manusia akan dirinya, akan si-
fat dan kesetiaannya. Dia berikan sinarnya untuk
manusia... tanpa mengharapkan balas jasa. Dia
selalu tepati janjinya demi kesejahteraan manu-
sia. Walau mendung tebal menghalangi, ia akan
tetap bersinar terus, dan.... terus...! Sampai men-
dung kucurkan air untuk kehidupan, untuk kese-
jahteraan yang semua itu untuk makhluk di bu-
mi. Untuk manusia.
Alangkah indahnya kalau manusia    seper-
ti matahari.
Alangkah mulianya manusia bila seperti
Matahari. Memiliki akhlak nya yang terpuji. Me-
nepati janji yang telah diucapkannya diatas sum-
pah. Dan berjuang, bekerja tanpa pamrih demi
kesejahteraan dan tercapainya kemakmuran. Bu-
kan untuk memperkaya diri sendiri. Bukan untuk
berdiri diatas penderitaan orang lain. Juga bukan
untuk kepentingan sepihak atau segolongan. Me-
lainkan untuk kepentingan bersama. Untuk kese-
jahteraan bersama. Karena kebersamaan adalah

kunci dari adanya kehidupan. Tanpa adanya ke-
bersamaan, manusia akan hancur. Bukankah
alam telah memberikan contoh pada manusia.
Bumi, air, udara, bulan bintang, matahari
dan bermacam planit di luar angkasa yang tak di-
ketahui manusia.... kesemuanya bekerja sama.
Lihatlah! Alangkah patuhnya mereka. Andai saja
salah satu dari mereka tidak mematuhi aturan,
dan berbuat semaunya apakah yang akan terja-
di...? Akan adakah kehidupan...? tentunya tidak!
Karena alam akan menjadi hancur..! Itulah se-
babnya kebersamaan adalah kunci dari kehidu-
pan, dan demi perintah dari Yang Maha Kuasa.
Karena mereka juga adalah makhluk-makhluk
ciptaan Nya.
Sayang manusia tidaklah bisa seperti Ma-
tahari atau benda-benda alam lainnya, yang sela-
lu patuh pada perintah Nya. Berbeda dengan ma-
nusia. Yang diberi Tuhan nafsu untuk pelengkap
kehidupannya. Dan diberinya  pula akal untuk
dapat berfikir.
Namun betapa banyak manusia menjadi
lupa diri. Karena hanya memperturutkan hawa
nafsunya saja. Mencari kesempatan dalam ke-
sempitan. Bertindak sewenang-wenang dengan
kekuasaannya. Tanpa memikirkan hak-hak azazi
yang mutlak dimiliki setiap manusia. Nikmat yang
telah diberikan Tuhan itu, telah dipergunakan
pada jalur yang salah dan sesat.
Hingga hilanglah harkat kemanusiaannya.
Dan nafsu akan terus menyeretnya semakin da-

lam. Bila sudah demikian, manusia akan lebih ja-
hat dan lebih buas dari pada seekor binatang!
Trang! Trang!...... Trang!
Suara benturan dan beradunya senjata-
senjata tajam terdengar santar dari bawah tebing
di ujung perkampungan itu. Delapan manusia
bertopeng hitam tampak tengah bertempur mela-
wan belasan orang yang bersenjata macam-
macam. Ada yang mempergunakan tombak, ada
yang bersenjatakan pedang atau golok. Bahkan
ada yang menyerang dengan teriakan seorang
wanita yang terikat, dan tengah meronta-ronta
dalam pondongan salah seorang dari kedelapan
manusia bertopeng hitam itu.
Dua orang tampak dengan tombak dan pe-
dang terhunus, mengejar nekat menerobos bari-
san keempat si manusia bertopeng, yang sambil
bergerak ke sana kemari berusaha menahan ter-
jangan dari belasan orang tersebut.
"Hm! Tahan mereka...!" Berteriak salah seo-
rang dari manusia-manusia pemakai topeng itu.
Trang! Trang! Terdengar dua benturan senjata.
Ketika dengan sekali bergerak, senjata di tangan
kedua orang itu terlepas. Ternyata mereka adalah
orang-orang yang berkepandaian tinggi. Mereka
satu sama lain amat sukar dibedakan. Karena se-
luruh tubuhnya terbungkus dengan pakaian ser-
ba hitam. Cuma sepasang matanya saja yang ter-
lihat. Mereka rata-rata bersenjata pedang. Namun
hanya bertahan saja, sambil terus mundur sema-
kin jauh. Barisan dibagi menjadi dua bagian. Em-

pat orang menahan di muka, dan empat orang la-
gi di bagian belakang, dengan dua di muka dan
satu di belakang. Sedangkan yang paling bela-
kang, adalah yang memondong tubuh wanita
yang terikat. Kedua orang yang berhasil menero-
bos barisan dimuka itu, dengan berteriak keras,
kembali menerjang maju. Namun kali ini pedang
salah satu dari kedua manusia bertopeng itu te-
lah berkelebat cepat, dan melukai mereka. Agak-
nya kenekatan mereka sudah membuat mereka
tak menghiraukan bahaya lagi. Dengan mengge-
rung keras, kembali merangsak maju. Disertai te-
riakan pada gadis yang tengah meronta-ronta itu,
"Sawitriiiii...!". Dan dengan mengamuk membabi
buta ia berhasil menerobos barisan kedua orang
bertopeng itu. Sementara luka-luka di tubuhnya
telah bertambah lagi di tiga tempat. Namun tanpa
menghiraukan berkelebatnya pedang ia terus me-
rangsak maju. Sedangkan yang dua orang ini,
tampak dengan repot berusaha menghindari dari
serangan-serangan beberapa pihak lawan yang te-
rus menerjang dengan golok dan paculnya.
Laki-laki tua yang tadi menerjang berdua
lebih dulu itu, tiba-tiba terpekik dan roboh ter-
jungkal di barisan kedua. Pedang salah seorang
dari orang bertopeng itu telah menembus da-
danya. Namun ia masih sempat berteriak "Sawi-
triiii.... a.. anakku...." Dan, jatuh tertelungkup.
"Ayaaaaaaah...! Terdengar pekik gadis da-
lam pondongan si manusia bertopeng yang paling
belakang melihat laki-laki tua itu tersungkur ja-

tuh, tak berkutik lagi. Dua orang topeng hitam
melompat menahan tiga orang penyerbu yang ma-
ju menerobos. Den pertarungan pun berlangsung
dua lawan tiga. Akan halnya si orang bertopeng
yang berada di barisan kedua, salah seorang yang
tanpa sengaja telah tembuskan pedang ke tubuh
laki-laki tua itu, sekonyong-konyong jatuh kan
tubuh berjongkok untuk mendekati laki-laki tua
itu  tampak buka pelupuk matanya, dan tatap
orang di hadapannya dengan sayu. Tiba-tiba ia te-
lah kuatkan tubuhnya untuk bertahan. Luka di
dada itu terlalu parah dan banyak mengucurkan
darah. Namun suara itu seperti dikenalnya.
"Siapa... kk... kau....?" Bertanya ia dengan
suara terputus. Sementara pertempuran masih
terus berlangsung di belakang mereka. Orang ber-
topeng itu tiba-tiba telah buka topeng wajahnya,
dan tatap laki-laki itu dengan wajah masygul.
Terdengar desis tertahan keluar dari bibirnya.
"Kakang.... maafkan aku.....aku tak senga-
ja...".
Laki-laki tua itu tiba-tiba bentangkan ma-
tanya lebih lebar seperti tak percaya. Tubuhnya
tampak menggeletar menahan kemarahan di da-
lam dadanya.
"....T..Terkutuk...." Desahnya geram. Dan
sehabis mengucapkan kata-kata makian itu, tu-
buh laki-laki tua itupun terkulai untuk tak berku-
tik lagi, karena nyawanya telah putus. Tiba-tiba ia
palingkan kepala mendengar teriakan dua orang
di belakangnya yang kembali terjungkal oleh ke-

dua pedang kawannya. Darah memuncrat me-
nyembur ke bumi.
"Keparat...! Jangan membunuh!" Teriak-
nya. Sementara kedua kawannya itu hanya men-
dengus mengeluarkan suara di hidung. Ujung pe-
dangnya tampak basah berlumuran darah. "Kau
sendiri baru saja membunuh!"
"Aku tak sengaja ..!" Tangkis laki-laki itu
dengan palingkan muka ke arah para penyerbu,
yang masih riuh berteriak teriak mencoba mene-
robos pertahanan empat manusia bertopeng di
barisan pertama. Tiba-tiba saja ia terkejut bukan
main, dan tampak terlihat wajahnya menjadi pu-
cat. Segera dengan sebat ia telah kembali menya-
rungkan topeng hitam yang masih terbuka itu un-
tuk menutupi wajahnya. Akan tetapi sudah ter-
lambat. Karena beberapa orang telah mengenali.
"Bodoh!" Maki salah seorang dari kedua
kawannya pada laki-laki itu.
"Hai!? Dia....." Teriak salah seorang dari pa-
ra penyerbu. Namun suaranya terputus, karena
tubuhnya telah terjungkal roboh dengan teriakan
ngeri. Salah seorang yang baru saja mundur, ke-
tika kedua kawannya roboh, sudah menyerang
pemuda itu dari belakang, seraya berteriak.
"Musang berbulu ayam, kubunuh kau...!"
Goloknya berkelebat menabas punggung, namun
iapun cuma mengantar nyawa saja. Sekali men-
gegos berkelit, pedang ditangannya telah melun-
cur cepat ke arah leher. Dan terdengar teriakan
parau.... disertai terjungkalnya sang tubuh, un-

tuk berkelojotan sekarat. Melihat itu yang lainnya
kembali menyerbu dengan tombak, pacul dan
blancong. Tampak si orang bertopeng itu berkele-
bat menyelinap dari sela setiap tubuh penyerang-
nya. Sementara pedangnya telah bekerja.
Sret! Sret! Bles! Bles! Dan tampak keempat
tubuh penyerangnya itu keluarkan teriakan ngeri,
satu per satu tubuh mereka ambruk ke bumi,
dengan darah memancur dari leher dan dada.
Kurang lebih masih sisa tujuh atau dela-
pan orang dari para penyerbu, yang berada di ba-
risan depan dan tengah, segera melompat mun-
dur dengan keluarkan teriakan kaget. Namun dua
orang dari mereka, tak dapat menahan serangan
pedang yang berkelebat dari kawanan orang ber-
topeng itu. Yang jadi ikut-ikutan membunuh. Dua
orang itu terjungkal roboh mandi darah. Si laki-
laki palingkan kepalanya untuk melihat kejadian
itu.
"Berilah kami bagian, sobat! Jangan kau
serakahi semua...! " Teriak salah seorang, yang
saling berpandangan dengan kedua kawannya
sambil tersenyum.
"Ini semua sudah di luar perhitungan. Kita
sudah menyalahi aturan dan perintah ketua!" ka-
ta yang satu lagi.
"Benar, ini semua gara-gara kau mendahu-
lui membunuh. Dan kau telah membuka topeng,
hingga mereka dapat mengenali wajahmu!" Me-
nimpali seseorang yang berada di barisan tengah.
Ia adalah orang yang tadi diperingati olehnya.

"Setan…! Apa kau tuli? Sudah kukatakan
aku tak sengaja...!" Teriaknya. Tiba-tiba ia paling-
kan wajah ke arah para penyerbu yang sisa lima
orang lagi, dan tampak sudah melompat mundur
menyelamatkan diri.
Celaka..!? Sentak hatinya. Mereka tak bo-
leh ada seorangpun yang hidup. Pekik hatinya.
Dan tiba-tiba saja ia telah berkelebat untuk men-
gejar. Dengan dua tiga kali lompatan ia telah
menghadang di hadapan mereka. Dan tanpa ha-
rus mengulur waktu lagi pedangnya telah berke-
lebat cepat, disertai berkelebatan tubuhnya yang
menyelip gesit ke setiap sela tubuh mereka.
Ketika laki-laki itu munculkan tubuh di be-
lakang kelima orang para penyerbu, yang tak
sempat untuk berbuat apa-apa itu. Terdengar te-
riakan ngeri di belakangnya, dan tubuh mereka
saling susul terjungkal roboh, dengan memun-
cratkan darah dari setiap leher dan dada... Bluk!
Bluk! Bluk! Hanya beberapa detik saja tubuh me-
reka berkelojotan, lalu diam tak berkutik lagi.
Empat orang bertopeng yang berada di barisan
depan jadi terpaku sejenak, dengan pentangkan
mata lebar. Melihat perbuatan kawannya yang
membunuh habis semua penyerbu. Namun cuma
sebentar, segera salah seorang putar tubuh untuk
diikuti kawan-kawannya. Namun baru saja mere-
ka membelakangi. Di luar dugaan, dan tak masuk
diakal, ketika tahu-tahu tubuh laki-laki bertopeng
itu berkelebat kearahnya. Dan detik selanjutnya
terdengar jeritan ngeri saling susul dari keempat

orang itu. Dan hampir berbareng tubuh empat
orang itupun roboh terjungkal.
Ternyata ia telah membantainya dari bela-
kang sekaligus. Dua kawannya, yang tadi sudah
lebih dulu berbalik untuk mengejar barisan ba-
gian depan, jadi terkesiap ketika menoleh kebela-
kang. Namun tanpa bisa berteriak lagi, keduanya
telah roboh ambruk ke bumi dengan dada tertem-
bus pedang.
Sementara itu di bagian depan tampak
tinggal dua manusia bertopeng lagi. Yang seorang
tengah berusaha menghadang pemuda itu, yang
berhasil lolos dari barisan kesatu dan kedua. Se-
dang satu lagi di depannya, dengan memondong
gadis itu. Tubuhnya telah mandi darah, penuh
luka. Namun bagaikan harimau yang terluka, ia
terus menerjang setiap penghalangnya.
Nampaknya sisa dari orang bertopeng ini
sudah tak mematuhi peraturan lagi. Apalagi ia
dapat lihat apa yang terjadi di belakangnya. Sege-
ra saja ia mengirim tusukan maut.
Sret...!!
Pedangnya cuma menyerempet tubuh ba-
gian sebelah kiri pemuda penyerbu itu, namun te-
lah merobek dan mengiris daging tubuhnya. Na-
mun tidaklah membuat gadis itu patah semangat.
Iapun balas menerjang dengan pukulan dan ten-
dangan, yang boleh dikatakan tak berarti
Cras ...! 
Terdengar teriakan pemuda itu, ketika
dengan sekali tebas, pedang ditangan orang ber-

topeng itu telah menabas putus kakinya. Darah
memuncrat membasahi tanah, dan tubuh pemu-
da yang telah parah itu menggoser-goser mena-
han sakit. Namun ia sudah mau bangkit lagi, be-
gitu dengar teriakan gadis yang berada dalam
pondongan orang bertopeng dihadapannya.
"Prasetyoooo..!?" Gadis dalam pondongan
itu menjerit histeris, melihat pemuda itu tersung-
kur mandi darah.
"Sa.. Sawitriiiiiiii..!" Teriaknya parau. Len-
gannya tampak terulur menggapai lemah. Namun
pada saat itu, pedang si orang bertopeng telah
meluncur deras ke arah leher. Tusukan kilat yang
akan segera menghabisi nyawa pemuda itu.
Akan tetapi pada detik yang kritis itu, telah
berkelebat cepat sesosok bayangan hitam.
Trang...!
Pedang si orang bertopeng terpental keras,
dan menancap ke dinding celah bukit itu. Dan de-
tik berikutnya, ia sudah perdengarkan teriakan
ngeri dan terjungkal roboh dengan semburkan
darah segar dari lehernya. Ternyata si pemuda
bertopeng itu telah bertindak cepat untuk menye-
lamatkan nyawa orang
Cuma sesaat ia pandang tubuh kawannya
yang tak berkutik lagi itu, dan kembali enjot tu-
buh untuk mengejar seorang kawannya lagi, yang
memondong gadis terikat itu.
"Berhenti...!" Satu bentakan terdengar dari
mulut laki-laki itu, yang telah kelebatkan tubuh
untuk menghadang. Tentu saja sang kawan ini

merandek terkejut.
"Berikan dia padaku..! Cepaaaat...!" Ben-
taknya dengan mata mendelik tajam. Melihat ge-
lagat tidak menguntungkan, ia segera lemparkan
tubuh dalam pondongannya, pada orang dihada-
pannya. Sementara hatinya bertanya-tanya, apa
yang terjadi...? Ketika ia menoleh kebelakang,
terkesiaplah ia melihat tak sepotongpun ada tu-
buh kawan-kawannya yang masih berdiri. Semua
terkapar berserakan disepanjang celah tebing ba-
tu bukit itu. Namun hanya sekejap. Karena iapun
terpekik ngeri, ketika tahu-tahu pedang sang
"kawan" telah menembus dadanya. Terbeliak se-
ketika kedua biji matanya, menatap laki-laki di-
hadapannya.
"K... Kau bu... bunuh kawan se.... ssendi-
ri...?" Terputus ia berkata. Namun sesaat tubuh-
nya telah menjadi limbung, dan tatapannya jadi
memudar. Ketika si pemuda bertopeng itu me-
nyentakkan pedangnya yang masih menempel itu,
terdengar jerit kematiannya, dan tubuhnya ter-
jungkal menggabruk ke bumi. Darah segar pun
berhamburan memancur. Dengan posisi masih
berdiri memanggul tubuh sang gadis pada pun-
dak kirinya, ia menatap tubuh kawannya itu den-
gan tatapan tak berkedip.
Namun hanya sesaat, ia segera bersihkan
ujung pedang dengan baju sang kawan, dan cepat
sarungkan kembali dipinggang. Dan dengan cepat
ia sudah melesat kesisi tebing, untuk segera me-
nyelinap pergi dengan memanggul tubuh sang ga-

dis.
Setelah mendaki, ia telah tiba ditempat ke-
tinggian, dan berhenti kira-kira dua lemparan
tombak dari tempat kejadian itu.
Ternyata si gadis telah pingsan sejak tadi.
Sejak melihat darah berhamburan dari kaki pe-
muda bernama Prasetyo, yang putus terpapas pe-
dang si orang bertopeng. Dengan hati-hati ia gele-
takkan tubuh sang gadis diatas batu. Kemudian
tatap wajahnya dalam-dalam.... Sesaat  terdengar
ia menghela nafas. Tiba-tiba ia seperti tercenung
dan palingkan kepala untuk menatap kebawah
bukit diantara sela-sela pepohonan
"Masih hidupkah dia...?" Terdengar ia
menggumam. Dan detik selanjutnya ia telah kem-
bali berkelebat, untuk menuruni lereng bukit.
Akan tetapi ia tak mengetahui, disaat ia mendaki
tadi salah seorang dari tubuh-tubuh manusia
bertopeng yang berkaparan di celah tebing itu, te-
lah bangkit berdiri, dan bersihkan tubuhnya yang
berlepotan darah. Terlihat ia tersenyum sinis sen-
diri.. Goresan pedang "kawan" nya, yang jadi ber-
balik menyerang kawan sendiri itu, hanya mero-
bek baju pada lambung kanannya saja. Sedang-
kan kulit dan dagingnya tidak terluka sama sedi-
kitpun.
Ternyata ia memakai perisai baja yang sela-
lu dipakainya. Yaitu lempengan plat baja yang
amat tipis sekali. Itulah pakaian dalam pelindung
tubuhnya. Yang seandainya ia tak memakai baju
wasiat itu, tentu siang-siang nyawanya sudah pu-

lang ke alam Baka. Adapun darah yang berlepo-
tan itu adalah darah palsu, yang memang selalu
ia  persiapkan untuk menipu lawan. Akan tetapi
baru saja ia mau bergerak, batu-batu kerikil dari
atas tebing yang meluruk jatuh beberapa gelintir,
membuat ia sadar akan adanya orang menuruni
lereng tebing. Segera ia jatuhkan kembali tubuh-
nya menelungkup dengan cepat. Dan berbuat seo-
lah ia telah tak bernyawa lagi.
Orang bertopeng itu ternyata mencari pe-
muda yang telah diselamatkan nyawanya, yang
ternyata pemuda putus kaki itu, telah pingsan tak
sadarkan diri. Segera ia mau menolongnya. Na-
mun tiba-tiba berkelebat  kebelakang dengan be-
berapa lompatan. Apakah yang akan dilakukan-
nya...? Ia telah perhatikan semua mayat, berun-
tung yang ia hampiri adalah mayat yang agak di
ujung sana. Si orang bertopeng yang pura-pura
mati itu sempat juga memperhatikan dengan hati
kebat-kebit, dengan lirikan matanya. Kiranya
yang dilakukannya adalah membuka pakaian
mayat yang tergeletak itu, bahkan seluruhnya.
Kemudian....
Bret! Bret! suara robekan baju terdengar.
Ternyata ia telah merobek pakaiannya yang serba
hitam itu. Kemudian cabikan-cabikan pakaiannya
ia lemparkan jauh kesisi tebing batu. Selanjutnya
ia mulai mengenakan pakaian penggantinya. Se-
galanya itu dikerjakan dengan cepat. Dan tak la-
ma kemudian ia telah kembali ke tempat pemuda
putus kaki itu. Dan pondong tubuh orang untuk

sampirkan pada pundaknya. Dan saat berikutnya
ia telah kembali beranjak dari situ. Mendaki le-
reng tebing, dan lenyap dibalik dedaunan.
Akan halnya si orang bertopeng yang pura-
pura mati itu, cepat bangkit berdiri kemudian
ikuti jejak "kawan"nya itu dengan hati-hati, dan
cepat mendaki lereng dengan gerakan gesit. Kea-
daan di celah bukit itupun kembali lengang tak
lagi nampak adanya tanda-tanda kehidupan.
Mayat-mayat berserakan disana-sini. Keadaannya
sungguh amat menyedihkan.
Sementara itu si orang bertopeng telah le-
takkan tubuh pemuda itu ditanah. Tak jauh dari
tubuh si gadis yang masih tak sadarkan diri di-
atas batu, tampak ia palingkan kepala kebela-
kang, dan lihat bekas-bekas darah sepanjang ja-
lan. Seandainya ia tak mengenakan topeng yang
membungkus kepalanya sampai menutupi wa-
jahnya itu, akan terlihat ia mengkerenyitkan ke-
ningnya. Memandang luka orang yang alirkan da-
rah tak berhenti itu, segera ia telah lepaskan to-
pengnya. Dan kain hitam itu ia pakai untuk
membalut kaki orang yang putus. Dan selanjut-
nya ia kembali berdiri untuk pandang kedua tu-
buh yang tak bergeming itu. Hanya terlihat na-
pasnya saja yang naik turun perlahan. Ternyata
ia seorang laki-laki yang bertubuh kekar. Dengan
wajah yang berkulit kecoklatan dan agak kasar.
Alisnya tebal menghitam, wajahnya menampilkan
kekerasan pada jiwanya. Sedangkan kumis dan
jenggotnya sama lebat, dan sama hitam dengan

rambutnya. Umurnya sekitar empat puluh tahun.
Tiba-tiba ia membungkukkan tubuhnya untuk
meraih tubuh pemuda yang putus kaki itu dan
sangkutkan pada pundaknya. Lalu dengan cepat
ia telah pula sambar tubuh gadis diatas batu itu
dengan tangan kanannya.
Dengan memanggul serta mengepit tubuh
gadis dibawah lengannya itu, ia bergegas tinggal-
kan tempat itu. Ternyata ia mempunyai tenaga
besar, sehingga dengan membawa  kedua tubuh
itu, ia tampaknya tak merasa terhambat untuk
berjalan atau berlari cepat. Dan sebentar saja ia
telah lenyap di balik pepohonan dan semak di
atas tebing, tanpa mengetahui kalau ada sesosok
bayangan yang terus mengikuti ke arah mana ia
pergi.
Tapi si penguntit itupun tak mengetahui
kalau dirinya dikuntit orang di belakangnya, yang
mempunyai gerakan gesit bagaikan tupai. Perbu-
kitan yang memanjang dekat daerah yang sudah
termasuk wilayah utara, didaratan pulau Jawa
itu, tampak memutih dan agak kehijauan. Itulah
Pegunungan Kapur Utara. Yang pada bagian
hampir di ujung dari perbukitan itu ada terdapat
sebuah gunung, yang bernama Gunung Butak.
Sedangkan di sebelah Utara Gunung Butak agak
ke pesisir pantai berdiri tegak Gunung Lasem.
Yang agak lebih tinggi sedikit dari Gunung Butak.
Disekitar daerah Gunung Butak itulah ki-
sah ini terjadi. Tumenggung Harya Anabrang baru
saja kembali dari Pamotan, setelah menemui seo-

rang Demang yaitu, Cendak Kagil. Untuk mengu-
rus sesuatu yang berkenaan dengan tugasnya.
Sudah lebih dari dua bulan ia berada di Slukan,
daerah pesisir pantai Utara Pulau Jawa. Daerah
yang rawan itu ternyata telah dijadikan sarang
perampok, yang mencari untung di perairan. Te-
rutama yang menjadi incarannya adalah kapal-
kapal dari Tuban yang melewati perairan dekat
Gunung Lasem.
Tumenggung Harya Anabrang bukanlah
orang sembarangan. Karena disamping ia menjadi
abdi Kerajaan. Iapun seorang yang berkepandaian
tinggi. Tak heran kalau dalam waktu singkat telah
berhasil menumpas, dan membuat kocar-kacir
para perampok laut di sarangnya itu. Pengejaran
pada para penjahat itu berakhir di Gunung La-
sem. Yang walaupun tidak semuanya dapat ter-
tumpas, namun dapat dikatakan berhasil dengan
menggembirakan. Iring-iringan para tawanan dan
harta hasil rampasan itu sampai di Pamotan.
Yang selanjutnya adalah urusan Demang Pamo-
tan yaitu Cendak Ragil, untuk mengirim berita ke
Kadipaten. Memang ia ada mendengar berita
adanya sisa-sisa perampok laut itu yang melari-
kan diri sampai ke Gunung Butak, di perbukitan
pegunungan Kapur Utara itu. Namun berita tidak
resmi itu tidaklah membuat Tumenggung Harya
Anabrang, terkejut. Karena sisa-sisa perampok
laut itu seandainya berita itu benar, tidak begitu
dirisaukan. Karena tidak lagi membahayakan.
Menurut perkiraannya paling hanya tinggal bebe-

rapa gelintir manusia saja. Itupun hanyalah kero-
co-keroconya saja. Karena beberapa pentolan-
pentolan dari mereka telah dapat tertumpas, dan
tertawan. Hasil yang memuaskan itu juga berha-
silnya ia menyita sebuah kapal dagang. Namun
dapat diketahui kapal tersebut milik saudagar di
Tuban. Dan dengan mengirim orang-orangnya, ia
mengembalikan kapal tersebut ke Tuban. Serta
tak lupa ia menyertakan tanda bukti dirinya pada
Bupati Tuban. Tak heran bila Tumenggung Harya
Anabrang mempunyai nama harum yang tersebar
ke tiap pelosok daerah utara itu. Hubungan baik
dari para Bupati dan hartawan membuat ia sering
mendapat upeti yang tidak sedikit. Hingga dis-
amping sebagai Tumenggung Kerajaan yang ber-
tugas di daerah utara itu, ia juga seorang bang-
sawan yang kaya raya. Sebuah gedung besar telah
ia bangun di Sulang. Dengan menempatkan bebe-
rapa orang orangnya. Ia memang belum berniat
menemui Bupati Jaga Raksa di Kudus. Pengem-
balian para prajurit atau tamtama, serta urusan
para tawanan, juga mengenai harta rampasan, ia
serahkan pada seorang perwira Kerajaan. Yang ia
tugaskan sebagai wakil untuk menghadapi Bupa-
ti....
Demikianlah... Setelah menginap dua hari
di Pamotan. Tumenggung Harya Anabrang be-
rangkat dengan kudanya menuju Sulang tempat
tinggalnya, dengan membawa serta dua  orang
tamtama. Akan tetapi ditengah perjalanan telah
bertemu dengan seorang pembawa berita. Yaitu

anak buahnya, yang justru memang akan mene-
muinya. Berita yang datang dari Sulang itu tentu
saja membuatnya jadi terkejut. Tak ada berita
lain yang lebih mengejutkan selain berita tentang
diculiknya anak gadisnya, yang bernama Sawitri.
Sawitri memang bukan anak kandungnya.
Karena ia menikah dengan seorang janda, yang
membawa seorang bayi perempuan tujuh belas
tahun yang lalu. Namun untuk menghindari hal-
hal yang tak diinginkan. Istrinya telah menitipkan
sang bayi pada seorang Kliwu, di sebuah desa
yang tak jauh dari Sulang. Dan hal itu terjadi se-
tahun yang lalu, sejak kepindahannya dari Amba-
rawa, dan menetap didaerah pegunungan Kapur
utara ini, berkenaan dengan tugasnya. Sebenar-
nya bukanlah keinginannya untuk memisahkan si
jabang bayi yang baru berumur setahun itu da-
rinya. Melainkan keinginan isterinya, yang
mengkhawatirkan akan ketidak harmonisan da-
lam rumah tangga. Karena pada saat itu, benih
yang tertanam sejak lama itu telah menghasilkan
buah. Lahirnya seorang anak laki-laki dari hasil
perkawinan mereka membuat sang isteri amat re-
pot, serta mengkhawatirkan hal-hal yang tak di
inginkan di kemudian hari. Itulah sebabnya ia
menitipkan sang bayi yang dibawanya untuk di-
rawat oleh seorang Kuwu di desa Tepus. Bahkan
pak Kuwu disuruhnya menganggap anak titipan
itu sebagai anak kandungnya sendiri. Tentu saja
bantuan pangan dan sebagainya selalu di cu-
kupkan, demi perawatan si jabang bayi. Hingga

sang bayi perempuan itu kini telah tumbuh men-
jadi seorang gadis yang cantik seperti ibunya.
Tentu saja anak kandung dari hasil perkawinan
mereka berdua pun telah seusia dengan anak ga-
dis yang dititipkan itu. Jejaka muda kebanggaan-
nya itu diberinya nama Prasetyo. Seorang pemuda
yang tampan dan bertubuh tegap. Tubuh yang
tumbuh subur, seperti juga kehidupan Tumeng-
gung Harya Anabrang yang maju pesat. Kini ia
sudah tidak tinggal lagi di rumah sederhana. Me-
lainkan di sebuah Gedung besar yang boleh dika-
takan mewah. Sayang tugas dan kewajibannya
sebagai Abdi Kerajaan, membuat ia jarang berada
di rumah. Tugas terkadang membuat ia sering
meninggalkan isteri dan anaknya. Namun Harya
Anabrang adalah seorang yang setia. Setia pada
pimpinannya, juga setia pada keluarganya.
Mendengar berita yang disampaikan itu
bukan kepalang terkejut dan marahnya Harya
Anabrang. Karena menurut Punta, penculik-
penculik itu adalah sekomplotan penjahat yang
berada di wilayah Gunung Butak. Komplotan ter-
selubung yang bergeraknya amat misterius. Den-
gan geram Tumenggung Harya Anabrang memacu
kudanya, diikuti oleh kedua tamtama dan si pem-
bawa berita. Semak dan rintangan diterjang, desa
demi desa telah terlewati. Empat penunggang ku-
da itu memacu kudanya bagai dikejar setan. Se-
lang kira-kira setanakan nasi, tiba-tiba si pemba-
wa berita perdengarkan suitan keras. Ia memang
berada di belakang kedua tamtama pengawal Tu-

menggung Harya Anabrang. Mendengar suara sui-
tan itu, sang Tumenggung segera angkat sebelah
tangannya untuk memberi tanda berhenti pada
kedua tamtama di belakangnya. Dan segera ia
menghentikan kudanya. Tampak si pembawa be-
rita segera mendatangi dengan cepat.
"Ada apakah Punta?" segera ia bertanya
pada si pembawa berita itu, yang adalah seorang
laki-laki yang berusia antara tiga puluh lima ta-
hun.
"Maaf Kanjeng Tumenggung, apakah Kan-
jeng akan terus ke Sulang, ataukah menuju ke
Desa Tapus...? Berita memang berasal dari Su-
lang, tapi kejadiannya di desa Tapus. Karena para
penculik itu ada dua kelompok..." Bertutur Punta.
"Hah...!?" Tumenggung Harya Anabrang,
ngangakan mulutnya dengan mata terbeliak ter-
kejut.
"Mengapa tak kau katakan tadi kalau para
penjahat itu juga ke Sulang?"
"Maaf, Kanjeng Tumenggung... hamba...
hamba sedang panik..!" Menyahut Punta sambil
tundukkan kepalanya.
"Apakah yang terjadi di Sulang? Bagaimana
dengan isteriku? Dimana anakku Prasetyo...?"
Bertanya Tumenggung Harya Anabrang dengan
wajah pucat pasi.
"Menurut kabar. Den Prasetyo ada di desa
Tepus. Bahkan sejak keberangkatan Kanjeng Tu-
menggung, Den Prasetyo sudah berada di sana.
Cuma sekali-sekali pulang ke Sulang. Berita itu

hamba dengar dari orang desa Nagasari, yang
masih saudara angkat Pak Kuwu...." Dengan sa-
bar Punta berikan penjelasan satu persatu.
"Siapa orang Nagasari itu?"
"Seseorang yang bernama Tunggul..!" Sa-
hut Punta.
"Ada hubungan apa kau dengan saudara
angkat pak Kuwu itu...?" Tanya Harya Anabrang.
Dengan nada curiga pada si pembawa berita.
Tampak wajah Punta agak marah mendengar per-
tanyaan itu, yang seperti menyelidiki dirinya. Se-
bagai orang kepercayaan, yang sudah bekerja le-
bih dari 10 tahun mengabdi pada keluarga Tu-
menggung itu, masih juga dicurigai. Benar-benar
keterlaluan! Pikir Punta dengan hati mengkal.
Namun tentu saja ia tak menampakkan kemang-
kelan hatinya itu pada junjungannya.
"Maaf Kanjeng Tumenggung... harap Kan-
jeng mengerti akan kedudukan hamba, yang
hanya sebagai abdi dalem pada keluarga Kanjeng
Tumenggung. Tunggul telah memberikan infor-
masi mengenai keadaan di Sulang dan desa Te-
pus, adalah karena ia mengetahui hamba sebagai
orang kepercayaan Tumenggung. Mengenai hu-
bungan hamba, apakah hamba harus ceritakan
juga..?" Tampaknya wajah Punta agak berubah.
Namun ia sudah lanjutkan kata-katanya. "Mung-
kin Ndoro Putri lebih mengetahui siapa adanya
Tunggul.... Hamba benar-benar tak mau meli-
batkan diri pada urusan rumah tangga orang lain.
Tunggul cuma menceritakan tentang hubungan

Sawitri dengan Den Prasetyo, lain tidak...!" Tam-
pak wajah Tumenggung Harya Anabrang sebentar
pucat, sebentar merah. Namun penuturan Punta
itu, telah berhasil mengorek sedikit keterangan
yang cukup berarti.
"Bagaimana dengan keadaan di Sulang?
Apakah ada terjadi sesuatu....?" Bertanya lagi
Harya Anabrang, mengulang pertanyaan yang ta-
di.
"Beribu maaf, Kanjeng Tumenggung...
hamba tak dapat menceritakan apa yang hamba
tidak ketahui...." Menyahut Punta. Selang sesaat
setelah Harya Anabrang termangu, tampak laki-
laki yang berumur sudah lima puluh tahun, na-
mun masih tampak gagah itu manggut-manggut
sambil perdengarkan suara helaan napas. Wajah-
nya tiba-tiba tampilkan senyum, dan mendekati
Punta. 
"Hm... Baiklah Punta..! Terimakasih atas
beritamu. Aku percaya kau adalah seorang abdi
setiaku, yang telah lama bekerja mengabdi diri
pada keluargaku. Aku sudah mendengar berita
kau baru saja dikaruniai seorang anak kudengar
kabar itu sebelum keberangkatanku dua bulan
yang lalu, betulkah...?"
"Ah.... Benar Kanjeng..." Punta jadi tersipu
ketika sekonyong-konyong Junjungannya mena-
nyakan hal yang di luar urusan itu. Walaupun
agak heran dengan pertanyaan yang di luar du-
gaan itu, namun diam-diam Punta memuji sang
majikan yang dalam suasana tegang itu masih bi-

sa menguasai diri.
"Oh, ya... aku mengucapkan selamat..!"
Tumenggung Harya Anabrang berkata sambil me-
nepuk-nepuk pundak Punta.
"Terimakasih Kanjeng...!" Berucap Punta
dengan wajah berseri. Tiba-tiba sang Tumenggung
merogoh saku bajunya, mengeluarkan sebuah ko-
tak kecil yang panjangnya kira-kira sejengkal,
dengan lebar sepanjang jari telunjuk, setebal dua
jari tangan. Tampak dengan tersenyum ia mem-
buka kotak kecil itu, serta menarik keluar isinya.
Seuntai kalung rantai dari emas yang gemerlapan
terkena sinar matahari. Terbeliak mata Punta
mendengar kata-kata Junjungannya.
"Ambillah ini untuk isterimu, sebagai tanda
dari suka citanya hatiku."
"Ah... hamba tak berani menerimanya Kan-
jeng Gusti." Berkata Punta dengan suara gemetar,
namun dengan hati bertanya-tanya, mimpi apa-
kah gerangan ia semalam, hingga hari itu ditawari
hadiah yang ia belum pernah memakaikannya
pada isterinya?
"Ambillah Punta, aku belum pernah mem-
berikan apa-apa buatmu, seperti kau ketahui aku
terlalu banyak urusan. Hingga lupa mengingat
akan seorang abdiku yang setia! Namun jarang
mendapat perhatian dariku. Ayo... Punta, ambil-
lah..!"
Terpaksa Punta menerima benda itu den-
gan tangan gemetar. Belum sempat ia mengu-
capkan terimakasih, sudah berkata lagi Tumeng-

gung Harya Anabrang. Yang setelah menutup ko-
tak perhiasan, dengan cepat telah mengeluarkan
sebuah buntalan kecil, yang sambil membuka
ikatannya ia sudah berkata duluan.
"Dan ini untukmu." Seraya tak lama ke-
mudian ia telah memberikan pada Punta bebera-
pa keping uang perak.
"Ah... terimakasih Kanjeng Gusti..!" Punta
menerimanya dengan wajah berseri. Dan segera
membenahinya ke dalam saku bajunya. Setelah
merenung sejenak, Tumenggung Harya Anabrang
berkata :
"Aku telah mengambil keputusan untuk
pergi ke desa Tepus terlebih dulu. Bukankah kau
mengatakan anakku Prasetyo berada disana dan
Sawitri diculik" 
"Benar Kanjeng Gusti...!" Menyahut Punta
dengan segera. Sekali lagi ia memuji dalam hati
akan pribadi Junjungannya, yang lebih memen-
tingkan keselamatan anak gadisnya yang diculik
itu. Walaupun Punta mengetahui kalau Sawitri
bukanlah anak hasil dari perkawinannya.
"Nah, pulanglah kau ke Sulang dengan se-
gera. Sampaikan berita pada Ndoromu bahwa aku
ke desa Tepus, menyusul Sawitri dan Prasetyo.
Mudah-mudahan tak ada kejadian apa-apa dis-
ana! Cepatlah berangkat" Perintah Harya Ana-
brang.
"Daulat Kanjeng Gusti, hamba berang-
kat...!" Dan setelah berkata demikian, Punta pu-
tar kudanya untuk segera dipacu dengan cepat.

Detik berikutnya ia sudah berangkat pergi me-
ninggalkan tempat itu.
Sejurus antaranya Tumenggung Harya
Anabrang berpaling pada kedua tamtama, yang
masih terpaku ditempat itu menunggu perintah
selanjutnya.
"Tadinya aku mau mengajak kalian berse-
nang-senang dirumah kediamanku, eh, apa mau
keadaan jadi begini. Di Sulang pun aku tak tahu
ada kejadian apa. Makanya aku terpaksa batal-
kan untuk mengajak kalian. Kini kupersilahkan
kalian kembali saja ke Pamotan. Bergabung den-
gan yang lainnya, atau kalau semua pasukan su-
dah berangkat, kalian dapat segera menyusul ke
Kadipaten. Aku akan segera kesana setelah sele-
sai mengurus persoalan ini!"
"Daulat Kanjeng Tumenggung, namun apa-
kah anda tidak memerlukan bantuan kami untuk
menangkap, atau menumpas penculik-penculik
itu?" Berkata salah seorang dari tamtama itu.
"Apa yang kurasa baik, mungkin baik bagi-
ku dan bagi kalian. Berangkatlah. Biar aku men-
gurus sendiri persoalanku, dan terimakasih atas
kesediaanmu..!" Menyahuti Tumenggung Harya
Anabrang, seraya memberikan dua genggam uang
perak hasil rampasannya dari perampok-
perampok laut itu, pada kedua tamtama. Yang
serta merta menerimanya dengan mengucapkan
terimakasih. 
"Baiklah Kanjeng Tumenggung, hamba be-
rangkat...!" Kedua tamtama segera memberi hor-

mat, yang dibalas dengan anggukan kepala. Sege-
ra tak lama kemudian kedua tamtama segera ke-
prak kudanya, yang  segera mencongklang cepat
meninggalkan tempat itu. Tumenggung tatap
punggung kedua anak buahnya yang semakin
jauh. Dan saat berikutnya ia pun sudah hentak-
kan kaki keperut kuda, dan memacu cepat menu-
ju kedesa Tepus.

***

"Bodoh...! Sudah kukatakan jangan mem-
bunuh...! Perintah tetaplah perintah yang harus
dijalankan! Tahukah kau, bahwa mereka adalah
orang-orang desa yang tak berkepandaian apa-
apa...!" Terdengar satu suara santar menggeledek
karena marah. Sementara seorang laki-laki berto-
peng hitam, juga pakaian yang seluruhnya serba
hitam itu, tertunduk di hadapan seseorang yang
memakai jubah serba hitam dengan sebuah tong-
kat berkepala tengkorak tergenggam ditangannya.


2

RUANGAN GOA itu cukup luas... dengan
diterangi api-api obor di beberapa penjuru. Si
pembicara itupun memakai topeng serupa. Hanya
bedanya topeng yang dipakainya itu berujung
lancip seperti ujung kukusan penanak nasi.

"Maaf Ketua...! Kami memang tidak saling
mengenal selagi bertugas... Pembunuhan berasal
dari salah seorang kawan disebelah kami. Kami
segera mengenalinya karena ia membuka topeng
wajahnya. Dia adalah Tunggul..." Tutur orang ber-
topeng yang duduk bersimpuh di hadapan si
orang berjubah hitam yang memegang tongkat
berkepala tengkorak itu. Dan lanjutnya.
"Menurut apa  yang hamba dengar ia tak
sengaja membunuh, karena yang terbunuh itu ju-
stru orang yang dikenalnya. Namun orang-orang
desa telah mengetahui siapa dirinya, karena ia
lupa mengenakan lagi topengnya. Karena takut
rahasianya terbongkar, dan demi nama baiknya,
ia terpaksa berbuat tak kepalang tanggung dan
membantai semua para penyerbu itu. Penjelasan-
nya terpotong oleh bentakan sang ketua. "Hah!
Kesalahan satu orang berarti kesalahan semua!
Aku tak mau tahu alasan-alasan yang kau kemu-
kakan. Hm, buka topengmu kalau bicara dengan-
ku!"
"Maaf Ketua... hamba Pragola..!" Berkata
laki-laki bertopeng ini sambil membuka topeng
yang dikenakannya. Ternyata ia seorang laki-laki
yang masih muda. Rambutnya keriting, dengan
wajah tanpa kumis dan jenggot.
"Nah teruskan penuturanmu..!" Sang ketua
sudah perintah untuk bicara lagi. Dan si rambut
keriting Pragola segera teruskan penuturannya.
"Tak dinyana Tunggul berbalik menyerang
kami, hamba pun baru tahu ia berilmu tinggi.

Semua kawan-kawan habis dibantai, dan gadis
bernama Sawitri itu dibawa kabur, hanya hamba
seorang yang dapat menyelamatkan diri terhindar
dari maut." Demikianlah, Pragola mengakhiri pe-
nuturannya setelah memberitahukan tentang di-
mana adanya Tunggul menyembunyikan gadis
Sawitri dan seorang pemuda putus kaki yang te-
lah ditolong oleh Tunggul.
"Hah..!? Jadi demikian adanya..!" Berteriak
kaget sang ketua. Tiba-tiba ia telah bertepuk tan-
gan dua kali. Dan tampak dua orang pengawal
yang juga berpakaian dan bertopeng hitam, ber-
gegas menghampiri.
"Panggil mata-mata itu suruh mengha-
dap..!" Ujarnya. Yang segera keduanya melompat
pergi keluar goa. Tak berapa lama kemudian telah
kembali lagi dengan membawa seorang tinggi ku-
rus, mirip orang desa, yang segera bersimpuh di
hadapan sang Ketua. Yang segera ajukan perta-
nyaan pada orang itu.
"Kau katakan yang terbunuh semua adalah
dari pihak para penyerbu, yang kesemuanya
orang desa penduduk Desa Tepus. Tapi kenya-
taannya enam orang dari pihak kita telah tewas...
Apakah beritamu benar...?" Tentu saja si mata-
mata jadi terkejut, karena ia melihat sendiri,
bahwa tak ada seorangpun mayat yang bergeli-
mangan itu yang berpakaian dan bertopeng serba
hitam. Segera ia jelaskan apa yang dilihatnya tadi
pada sang Ketua. Tampak si Ketua itu termenung
sesaat. Tiba-tiba terdengar desisnya yang penuh

kemarahan... Dan tongkatnya berkepala tengko-
rak itu terlihat dihentakannya ke batu.
"Kurang ajar...! Pasti telah ada seseorang
yang telah mencopoti semua pakaian dan topeng
orang-orang kita..!" Teriaknya geram. Terkejut
semua yang ada disitu. Hanya sejenak mereka
terperanjat. Karena sang ketua segera perintah-
kan si mata-mata untuk kembali keluar... Segera
kedua pengawal itu membawa kembali si mata-
mata keluar dari ruangan goa itu. Dan sesaat te-
lah kembali lagi ketempat tadi mereka berdiri.
"Hm, Pragola, silahkan kau tinggalkan aku,
berjaga-jagalah akan adanya kemungkinan yang
di luar dugaan. Sarang kita telah dimasuki penja-
hat yang mungkin masih ada diantara kita yang
berkhianat!" Perintah sang Ketua dengan tegas.
Dan lanjutnya.
"Hari ini bila terjadi sesuatu kejanggalan,
segera beri laporan padaku...!"
"Siap Ketua! Tapi bagaimana dengan gadis
bernama Sawitri yang dibawa lari si Tunggul
itu...?" Tampaknya sang Ketua terdiam sejenak.
Lalu ujarnya.
"Hmm... mereka tidak akan lari jauh. Biar
aku yang akan mengurungi anak gadis si Tu-
menggung itu berikut si Tunggul pengkhianat!"
Pragola anggukkan kepalanya, dan setelah kem-
bali menutup topeng wajahnya, iapun beranjak
keluar dari ruangan itu. Tak lama sepeninggal
Pragola, sang Ketua kembali tepukkan tangan
dua kali, yang selanjutnya kedua pengawal itu se-

gera dengan cepat menghampiri. Entah apa yang
diperintahkan. Karena sesaat ketika kedua pen-
gawal itu pergi, telah kembali lagi dengan menye-
ret seorang gadis, yang baru saja di keluarkan da-
ri dalam kerangkeng. Mata sang ketua tampak ke-
luarkan sinar berkilat menatap gadis dihadapan-
nya. Sebelah lengannya segera bergerak memberi
tanda. Dan ia sendiri telah melangkah memasuki
sebuah lorong yang ada selarik undakan yang
menuju keatas. Segera kedua pengawal menyeret
si gadis tawanan itu untuk mengikuti sang Ketua.
Tentu saja gadis itu meronta-ronta dengan berte-
riak teriak.
"Tidak!?... Tidaaak! Lepaskan aku... lepas-
kaaaaan...!" Teriaknya. Namun apa artinya ron-
taan itu, karena tenaga kedua pengawal itu amat
kuat dan dengan segera ia sudah diseret keatas,
melalui undakan batu di lorong tersebut. Semen-
tara tanpa diketahui oleh pengawal-pengawal
lainnya yang berada disetiap sudut ruangan goa
itu, sepasang mata tampak mengintip dari celah
batu, didinding goa. Sepasang mata yang menam-
pakkan  sinar kemarahan. Sementara teriakan-
teriakan di ruangan atas terus terdengar. Dan tak
berapa lama antaranya, kedua pengawal tadi te-
lah tampak menuruni tangga batu itu, yang ke-
mudian kembali berjaga di tempat semula.

***

Sepasang mata itu tiba-tiba lenyap, dari

lubang kecil pada dinding goa itu. Sesosok tubuh
dengan gerakan lincah tampak menyelinap dari
batu ke batu di lereng bukit itu... lalu berhenti di
tempat yang tersembunyi. Terdengar suara desi-
san dari mulutnya "Komplotan Siluman Hitam itu
bersarang  di Gunung Butak ini rupanya. Heh!
Benar-benar biadab..!"
"Roro...!" Satu suara terdengar di bela-
kangnya dengan teriakan halus yang tidak begitu
keras. Segera ia menoleh. Sebuah kepala tersem-
bul dari balik sebongkah batu besar. Ia jadi terke-
jut melihatnya, dan cepat melompat kesana.
"Kak Sentanu... kau menyusul kemari?
Aiii... berbahaya..!" Berkata ia dengan suara per-
lahan. Sedang yang ditatap cuma tersenyum.
"Aku mengkhawatirkan keselamatanmu, is-
triku..." Menyahuti laki-laki tampan yang berku-
mis kecil dihadapannya. Ternyata mereka adalah
sepasang suami istri, yang amat saling mencinta.
"Ah, kak Sentanu... Aku Cuma menyelidik
saja, tanpa bertindak apa-apa, tapi senang juga
kau datang, suamiku..." Ucap wanita muda yang
cantik berbaju merah itu sambil menggelendot
manja. Dan.... Cup! Sebuah ciuman di pipi ia be-
rikan pada sang suami. Kiranya wanita itu tak
lain dari Roro Dampit. Perkawinan mereka baru
berlangsung beberapa bulan, tentu saja sepasang
sejoli itu masih berbulan madu. Sebentar saja ke-
dua insan itu sudah berpelukan erat di balik batu
tanpa menyadari kalau mereka berada ditempat
yang berbahaya.

"Kau kangen sepekan tak bertemu!"
"Tentu saja...!"
"Kau cuma balas kecup pipiku saja, tidak
bibirku!"
"Kau mau...?" 
"Hmmm... hhhmmm..."
Dan selanjutnya cuma suara nafas saja
yang terdengar saling pacu disertai keluhan-
keluhan manja penuh nikmat. Dunia saat itu cu-
ma milik mereka berdua. Selang sesaat...
"Eh..? Buntalan apa yang kau sembunyi-
kan dibelakangmu...?" Bertanya Roro Dampit.
Agaknya ia baru menyadari kalau di belakang
punggung suaminya ada tergeletak sebuah bunta-
lan kain berwarna hitam.
"Sssst..! Nanti aku ceritakan, ayo kita ting-
galkan tempat berbahaya ini! Dan saat berikutnya
sepasang sejoli itu dengan berindap-indap berke-
lebat dari batu ke batu, dan dari semak-ke semak
menuruni lereng perbukitan Kapur. Sementara
Gunung Butak di belakangnya tegak berdiri den-
gan segala kemisteriusannya.
Dua ekor kuda ditempat yang tersembunyi
dibawah bukit itu masih berada di sana dengan
aman. Tampak kedua sejoli itu segera mendekati
dan dengan sebat telah mencemplak kudanya
masing-masing.
"Ayo, Antasena... kita berangkat pulang..!"
Berkata Sentanu pada kuda hitam kesayangan-
nya. Sedangkan Roro Dampit telah berada di
punggung kuda putihnya, pemberian Roro Centil

si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Saat berikut-
nya kedua kuda putih dan hitam itu telah dipacu
cepat untuk segera tinggalkan tempat itu. Namun
sepasang mata yang bersinar telah mengetahui
adanya kedua sejoli yang menyelundup, dan be-
rangkat pergi dengan kedua kuda itu.

***

Sepasang mata yang terpancar, dari se-
buah lubang menganga di dinding Gunung Butak
itu. Itulah sepasang mata dari si ketua dari kom-
plotan "Siluman Hitam". Sebuah komplotan terse-
lubung yang misterius. Lorong dari bawah goa di
sisi Gunung itu ternyata menembus sampai kea-
tas, kira-kira tiga ratus undakan dari batu. Ter-
nyata di sana ada lagi sebuah ruang, dengan be-
berapa lubang jendela di celah dinding Gunung.
Gadis itu tampak berdiri dengan tangan dan kaki
terpentang, terikat oleh rantai, yang menempel di
dinding ruangan. Kedua pengawal tadi baru saja
turun kembali melalui undakan batu itu. Sang
Ketua tampak mendekati gadis itu yang perli-
hatkan wajah ketakutan. Seluruh tubuhnya telah
bercucuran dengan peluh, sementara lengan dan
kakinya meronta-ronta berusaha melepaskan diri
dari belenggu rantai itu. Namun semua itu tak be-
rarti apa-apa... Akhirnya gadis itu cuma pasrah
dengan nasib apa yang akan menimpanya. 
Bret! Bret! Bret!
"Aaaahh..!? Aaauuuu..! Aaaauuuu...!" Ga-

dis itu perdengarkan teriakannya, ketika lengan
sang ketua telah mencabik dan merobek seluruh
pakaiannya.
Dalam keadaan demikian itu, sepasang
lengan segera saja merayapi lehernya. Ia cuma be-
lalakan matanya saja, yang kemudian terpejam...
betapa takutnya ia melihat wajah berselubung to-
peng hitam dihadapannya. Ia sudah tak kuasa
menanti akan apa yang bakal terjadi. Namun
sang ketua sudah kembali melangkah kesisi dind-
ing. Dicelah batu terlihat sebuah besi hitam, yang
panjangnya dan besarnya sebesar lengan manu-
sia. Tampak lengan sang Ketua mencekal benda
itu dan menggerakkannya kebawah. Tiba-tiba si
gadis buka kedua matanya dengan terbelalak, ka-
rena batu disebelah sisi dekat kakinya tiba-tiba
bergeser terbuka, sebuah lubang segera mengan-
ga. Yang kemudian terasa hawa panas keluar dari
dalam lubang itu. Itulah hawa dari kobaran api
yang berasal dari bawah lubang. Keringat segera
saja mengucur kian deras ke sekujur tubuhnya.
Gadis itu terkulai lemah, dan makin lemah... se-
lanjutnya ia sudah tak sadarkan diri lagi. Saat se-
lanjutnya sang ketua telah melangkah lagi keluar
ruangan. Sebuah besi sepanjang lengan, kembali
ia gerakkan. Dan terdengar suara gemuruh dari
sebuah pintu batu yang bergeser dan menutup
ruangan itu, memisahkan dirinya dari ruangan
itu yang segera tertutup rapat.
Saat berikutnya sang Ketua segera beran-
jak pergi menuruni kembali anak tangga atau un-

dakan dari batu itu, dan kembali ke ruangan se-
mula. Kembali ia bertepuk tangan dua kali. Dan
dua pengawal segera datang kehadapannya.
"Perintahkan untuk bunyikan tanda. Bah-
wa upacara pengorbanan pada Dewa Api tengah
berlangsung..." Kedua pengawal mengangguk, dan
segera berangkat pergi. Tak berapa lama kemu-
dian terdengar suara mengaum panjang dari atas
Gunung Butak yang terdengar jauh sampai ke se-
kitar tempat itu. Itulah tanda dari berlangsung-
nya upacara Korban persembahan untuk Dewa
Api. Yang di anut oleh para komplotan "Siluman
Hitam". 

3

TUMENGGUNG HARYA ANABRANG mema-
suki desa Magasari. Para penduduk tampak ber-
larian keluar mendengar derap langkah kuda di
jalan desa. Segera saja seseorang telah datang
menyambut kedatangannya.
"Selamat datang Ndoro Gusti Tumeng-
gung... hamba Kilaras Podang, Carik desa. Silah-
kan ke pondok hamba..!" Berkata laki-laki yang
sudah menginjak usia tua itu. Pakaiannya dari
batik lurik bergaris-garis hitam. Memakai celana
pangsi biru dengan sarung yang berbelit pada
pinggangnya. Sebuah blangkon batik melekat di
kepalanya. Tumenggung Harya Anabrang tanpa
berkata sepatah kata cuma anggukkan kepala,

dan mengikuti laki-laki Carik desa itu. Sementara
beberapa penduduk sudah saling bisik-bisik, me-
lihat kedatangannya, yang segera memberi peng-
hormatan ketika sang Tumenggung lewat. Wajah
para penduduk yang tadinya sudah berseri gem-
bira itu, mendadak lenyap lagi cahaya cerah pada
wajahnya, ketika mengetahui Tumenggung hanya
datang seorang diri, tanpa pasukan. Selang sesaat
tampak Tumenggung Harya Anabrang berbin-
cang-bincang dengan Carik Kilaras Podang di ru-
mahnya. Namun tidak terlalu lama, sang Tu-
menggung kembali keluar dan melompat lagi ke
atas kudanya. Serta memacunya cepat ke arah
timur dengan dipandangi pasang mata penduduk
desa Nagasari. Mereka pun tahu kalau sang Tu-
menggung tengah menuju ke desa Tepus. Harya
Anabrang memacu kudanya dengan cepat. Penje-
lasan yang datang dari Carik desa Nagasari men-
guatkan dugaan pada orang bernama Tunggul tu-
rut terlibat perkara penculikan anak gadisnya.
Bukan saja anak gadis bernama Sawitri itu saja
yang membuat ia amat khawatir. Tapi juga kese-
lamatan anak kandungnya sendiri, yaitu Prasetyo.
Namun apa yang dijumpainya di desa Tepus ada-
lah hal yang di luar dugaan karena dirumah tem-
pat kediaman pak Kuwu banyak orang berkeru-
mun. Ia keprak kudanya dengan cepat untuk me-
nuju ke sana. Kerumunan orang, disertai suara
tangis yang amat memilukan itu benar-benar
membuat hatinya terpukul. Karena beberapa
mayat tertutup tikar telah berjejer didepan rumah

pak Kuwu. Dengan wajah pucat pias ia menero-
bos, menyeruak dari kerumunan orang-orang de-
sa, yang segera memberinya jalan, begitu menge-
tahui akan kedatangan Tumenggung Harya Ana-
brang. Satu persatu tikar penutup mayat segera
dibuka. Tersentak ia melihat mayat pak Kuwu
ada diantaranya. Bahkan Mbok Kuwu tengah me-
nangis disisi jenazah suaminya. Paniklah ia seke-
tika.
"Apakah yang terjadi.. ?! Apa yang telah
terjadi...! Dimana Sawitri! Dimana anakku Pra-
setyo...?!" Berteriak Tumenggung dengan mata
memancar tajam, menyapu pada semua pendu-
duk yang berada ditempat itu. Namun semua ter-
diam sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mere-
ka tak ada yang mengetahui dimana anakku...?
Gila! Sentak hati Tumenggung. Tiba-tiba ia sudah
berkata lagi dengan nada santar.
"Siapa diantara kalian yang mengetahui
dimana adanya Tunggul..!?" Apakah kalian juga
tidak mengetahui...?!" Namun jawabannya hanya-
lah gelengan kepala. Semua yang tertatap ma-
tanya oleh sang Tumenggung terus menunduk.
Suasana tiba-tiba menjadi hening. Harya Ana-
brang terdiam beberapa saat, lalu katanya dengan
nada suara yang mengendur.
"Baiklah! Kini ceritakanlah apa yang telah
terjadi...!   Kemana  penculik-penculik  itu  mela-
rikan diri..!" Kembali matanya mengitari orang-
orang disekelilingnya. Mereka mulai kasak kusuk,
rupanya tak ada yang berani bicara, atau men-

gantarkan sang Tumenggung ke arah perginya
sang penculik-penculik itu. Namun pada saat itu
seseorang di ujung kerumunan orang-orang desa,
tampak memberi isyarat dengan gerakan tangan.
Segera saja ia bergerak untuk mengikuti orang
itu, yang tanpa menunggu kedatangannya, telah
mendahului bergerak dengan langkah cepat. Ter-
paksa sang Tumenggung tinggalkan kudanya dan
bergerak cepat untuk terus menyusul si pemberi
isyarat. Dengan penasaran sang Tumenggung te-
rus mengikuti orang itu, yang setelah melewati
beberapa tombak, tampak si pemberi isyarat
menghentikan larinya, untuk menunggu kedatan-
gannya. Dari jauh ia sudah dapat menebak orang
pemberi isyarat itu, seorang wanita. Walaupun ia
memakai  topi capil atau tudung kepala, untuk
membungkus rambutnya. Dan benar saja. Ia se-
gera dapat melihat adanya seorang wanita muda,
yang boleh dikatakan seorang gadis cantik telah
berdiri dihadapannya. Siapa lagi gadis cantik itu
kalau bukan Roro Centil adanya.
"Aku dapat memberikan sedikit informasi,
yang mungkin berguna buat anda..!" Berkata Roro
mendahului. Sambil jatuhkan pantatnya untuk
duduk di atas sebuah batu yang segera diikuti
oleh Tumenggung Harya Anabrang, yang segera
menggeser sebuah batu agak besar, untuk duduk
berhadapan dengannya.
"Boleh aku mengetahui siapa anda nona...
?" Bertanya Harya Anabrang dengan menatap ta-
jam orang dihadapannya.

"Mengapa tidak..? Aku boleh anda panggil
dengan nama Roro...Centil!" Menyahut Roro den-
gan mata menatap jauh ke atas bukit Kapur di-
hadapannya. Tampak Tumenggung Harya Ana-
brang manggut-manggut. Namun tiba-tiba sepa-
sang alisnya yang hampir separoh memutih itu
bergerak ke atas, ketika ia mengernyitkan da-
hinya... seraya berkata, "Hah...? Apakah aku ber-
hadapan dengan Pendekar Wanita Pantai Sela-
tan?"
"Ahh... itu hanya julukan dari orang, orang
yang terlalu menyanjung namaku!" Berkata Roro
Centil merendah. Memang sebenarnya ia sendiri
agak heran, mengapa banyak orang mengenal
nama julukan yang diberikan orang padanya itu?
Namun Tumenggung Harya Anabrang sudah lan-
tas menjura memberi hormat, seraya katanya lagi.
"Oh, beruntung sekali aku dapat berkena-
lan dengan anda, nona Pendekar. Nama anda
yang harum, yang telah banyak menumpas tokoh-
tokoh jahat pengganggu keamanan, telah tersiar
di daerah pesisir Utara. Jangan-jangan yang telah
turut menumpas para pembajak si Slukan adalah
anda?!"  
"Ah... bantuan sekecil itu, mana berani aku
menyombongkan diri di hadapan seorang Tu-
menggung yang hebat, dan berilmu tinggi seperti
anda?" Berkata Roro Centil sambil balas menjura.
"Hebat! Tak dinyana Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan, bukan saja seorang yang berilmu
tinggi, namun juga seorang yang amat rendah ha-

ti dan ternyata adalah seorang gadis yang masih
muda dan cantik!" Memuji Harya Anabrang. Dipu-
ji sedemikian rupa Roro Centil jadi merah wajah-
nya. Namun hanya sesaat, karena wajahnya kem-
bali telah serius, untuk segera mulai mencerita-
kan apa yang sebenarnya telah terjadi. Dengan
mengawalinya dari kisah dirinya hingga sampai
ketempat itu, dan dapat mengetahui adanya
komplotan "Siluman Hitam" yang menjadi momok
di desa sekitarnya.

***

Kiranya setelah beberapa bulan ia berguru
pada si paderi Jayeng Rana asal Nepal, di lereng
Gunung Wilis... Roro berangkat seorang diri den-
gan tujuan ke Tuban. Perpisahannya dengan pa-
deri Jayeng Rana amat mengharukan, karena pa-
deri yang telah berusia lanjut itu merencanakan
akan kembali ke Nepal. Namun ia telah merasa
puas dapat mewariskan sedikit ilmu kedigjayaan,
dan ilmu ketabiban pada sang Pendekar Wanita
Pantai Selatan, Roro Centil. Biara Welas Asih ru-
panya harus punah, karena tak adanya lagi pene-
rus yang dapat meneruskan cita-citanya di pulau
Kelapa yang subur makmur itu. Dan sudah tentu
Gurnam Singh pun sudah kembali ke pesisir pan-
tai selatan Pulau atau Pulau Jawa, karena disana
tempat kediaman anak dan isterinya.
Adapun Joko Sangit, hanya sebulan berada
disitu, karena ia kurang penuju dengan ilmu ke-

tabiban sang Paderi. Dan ia berangkat ke Tuban
terlebih dulu. Demikianlah, Roro Centil tetap ber-
diam di lereng Gunung Wilis menunggu sampai
selesai ia menamatkan ilmu-ilmu ketabiban yang
di pelajarinya, dan berjanji akan mampir ke Tu-
ban untuk menyambangi tempat kediaman Joko
Sangit.
Joko Sangit mengajaknya pesiar kemana-
mana, kesetiap tempat. Tuban adalah kota pela-
buhan  yang ramai. Saudagar-saudagar kaya ba-
nyak terdapat di sana. Yang rata-rata mempunyai
kapal-kapal dagang, sampai kapal pesiar yang in-
dah. Puas juga Roro diajak berkeliling pulang ba-
lik sampai ke selat Madura. Pantai dan laut
menghidupkan kenangannya kembali ketika se-
lama tiga tahun ia berada di pantai Selatan, di-
masa ia berguru dengan si Manusia Aneh Pantai
Selatan.
Suatu ketika mereka menumpang sebuah
kapal pesiar milik seorang saudagar... Ketika me-
lewati Tanjung Awar-awar telah diserang oleh se-
gerombolan perompak, yang menggunakan kapal
berbendera Hitam dengan simbul kepala tengko-
rak. Terjadilah pertarungan seru... Ternyata di
tempat itu adalah sarang dari pada perompak-
perompak laut yang ganas. Sudah banyak korban
yang lenyap tanpa ada yang kembali hidup. Ru-
panya itu adalah hari naas, bagi  sang saudagar,
yang kapalnya ditumpangi Roro... Disaat kekaka-
cauan itu Joko sangit terpisah dengannya. Karena
kebetulan pada saat itu tengah terjadi juga perta-

rungan di darat, dimana Tumenggung Harya Ana-
brang baru saja menyerbu ke sarang perompak.
Banyak korban jiwa terjadi, karena perompak-
perompak itu rata-rata berkepandaian tinggi. Na-
mun berkat adanya Roro, mereka berhasil di
tumpas, dan beberapa orang dapat tertawan.
Dengan mempergunakan ilmu sakti warisan Gu-
runya, Roro dapat berjalan atau berlari di atas
air. Dan turut membantu pertarungan didarat.
Roro Centil memang bekerja sembunyi-sembunyi.
Gerombolan para perompak terpukul buyar. Dan
berlarian sampai ke Gunung Lasem. Pengejaran
terus dilakukan oleh Tumenggung Harya Ana-
brang. Dan ia sendiri tidak terus ikut bergerilya,
karena disamping turut serta membantu para
prajurit Tumenggung itu, iapun berusaha mencari
jejak Joko Sangit. Hingga ia mengembara sampai
kepelosok-pelosok.
Hingga akhirnya ia sampai beberapa pekan
tinggal di desa-desa. Dan mengetahui adanya se-
kelompok Komplotan terselubung yang membuat
resah penduduk desa sekitar Gunung Butak.

***

Seperti telah diceritakan di bagian depan,
ketika salah seorang dari komplotan Siluman Hi-
tam, telah membantai para penyerbu yang terdiri
dari para penduduk desa Tepus. Yang mengejar
para penculik gadis, bernama Sawitri itu. Namun
kemudian berbalik menyerang, dan membantai

kawan kawannya sendiri. Orang itu tak lain dari
pada Tunggul adanya ternyata berbalik menyela-
matkan gadis Sawitri, dan seorang yang putus
kakinya, yaitu Prasetyo.
Namun tanpa diketahuinya salah seorang
dari ketujuh kawannya yang dibantai itu, yang
ternyata tidak tewas, telah menguntitnya. Yaitu
yang bernama Pragola. Saat itulah Roro yang da-
tang terlambat hingga terjadinya pertumpahan
darah yang tak diketahuinya itu, berhasil mem-
buntuti Pragola. Dan dapat mengetahui dimana
adanya Tunggul dan Sawitri serta laki-laki yang
putus kakinya. Selanjutnya Roro telah menguntit
Pragola hingga mengetahui dimana adanya sarang
komplotan Siluman Hitam itu.
"Kalau yang anda cari adalah seorang gadis
dan seorang pemuda, aku dapat menunjukkan.
Namun mengenai benar tidaknya ia bernama Sa-
witri dan Prasetyo, aku tak mengetahui...!" Demi-
kianlah Roro Centil mengakhiri penuturannya.
Tercekat hati Tumenggung Harya Anabrang, men-
dengar Roro mengetahui jejak disembunyikannya
seorang gadis, dan seorang pemuda yang putus
kakinya oleh seseorang di satu tempat. Ia sudah
dapat menduga gadis itu Sawitri adanya. Namun
mengenai pemuda yang putus  kaki itu ia masih
ragu-ragu kalau ia Prasetyo, walaupun diam-diam
hatinya berdebar kencang. Segera saja ia berucap.
"Terimakasih atas penuturan anda Nona
Pendekar, baiknya sekarang saja anda mengan-
tarku kesana. Aku ingin tahu, siapa orang yang

telah berbalik menyelamatkan gadis korban pen-
culikan itu, yang ternyata adalah orang dari go-
longan komplotan Siluman Hitam itu sendiri....!"
"Kalau begitu marilah kita kesana..." Ber-
kata Roro, sambil segera bangkit berdiri. Diikuti
oleh Tumenggung Harya Anabrang. Dan beberapa
saat kemudian dua sosok tubuh mereka, telah
berkelebatan meninggalkan tempat itu.


4

SAWITRI   menangis   tersedu-sedu,   meli-
hat orang yang dikasihinya masih tergeletak ping-
san tak sadarkan diri. Sementara sebelah kakinya
yang putus itu dipandanginya dengan penuh kei-
baan.
"Prasetyo... Ah, Prasetyo... kau berkorban
demi aku. Kalau orang tuamu tak mengizinkan
kita menikah, biarlah aku rela pergi jauh bersa-
mamu. Asal selalu bersamamu...". Menggumam si
gadis itu dengan air mata bercucuran. Sementara
tangannya membelai-belai rambut pemuda itu.
Tak berapa lama Tunggul telah muncul lagi den-
gan membawa segenggam dedaunan. Ia melirik
sesaat ke arah Sawitri, yang segera hentikan be-
laiannya dengan tersipu Tunggul meletakkan de-
daunan yang dibawanya diatas batu dan menum-
buknya dengan sebuah batu kecil. Yang tak bera-
pa lama kemudian, telah beranjak lagi mengham-

piri ke tempat Sawitri dan Prasetyo yang masih
pingsan itu. Tanpa mengucapkan sepatah kata-
pun, ia segera buka balutan luka pada kaki yang
putus sebatas betis. Sawitri palingkan wajahnya,
dengan menahan isak yang memenuhi dadanya.
Tak kuasa ia melihat darah yang masih mengucur
dari bekas tebasan itu. Tunggul membalurkan
tumbukan daun-daun obat itu pada sekitar luka,
dan kemudian kembali membungkusnya dengan
hati-hati. Lalu beranjak lagi untuk duduk diatas
batu. Tampak Prasetyo menggeliat... Agaknya rasa
perih dari baluran pada lukanya itu, membuat ia
segera tersadar dari pingsannya. Pelupuk mata
Prasetyo tampak kelihatan bergerak, dan pelupuk
matanya terbuka. Ia gerakkan kepalanya untuk
menatap kesekelilingnya, dengan tatapan ma-
tanya yang berkilatan. Dan terdengar desis lirih
keluar dari bibirnya, ketika melihat gadis itu yang
berada di dekatnya.
"Sawitri... kau selamat..!?"
"Ya... Prasetyo..! Aku selamat, dan kaupun
selamat..." Ucap Sawitri yang segera alihkan tata-
pan pada Tunggul.
"Kita telah ditolong oleh Kang Tunggul.
Ayo, ucapkan terima kasih padanya..." Sambung
Sawitri dengan wajah cerah, namun titik air ma-
tanya turun membasahi pipinya. Prasetyo paling-
kan kepala untuk menatap Tunggul, dan gerak-
kan tubuhnya untuk bangkit duduk. Sesaat ia
pandang kakinya yang putus, seperti ia baru me-
nyadari. Lalu alihkan lagi pandangannya pada

Tunggul, yang masih duduk berdiam diatas batu.
Sementara ia mengernyitkan alisnya, seperti ten-
gah mengingat-ingat kejadian yang baru saja di-
alaminya.
"Seingatku, salah seorang dari komplotan
bertopeng itulah, yang telah menolongku. Apakah
orang itu kau adanya kakang Tunggul?" Berkata
Prasetyo dengan nada heran. Sedangkan yang di-
tanya hanya tundukkan kepalanya, lalu paling-
kan wajahnya ke lain arah. Dan terdengar ia
menghela napas. Sesaat ia sudah berkata dengan
lirih.
"Benar, Prasetyo...! Aku adalah salah seo-
rang dari komplotan bertopeng itu, yang telah
membunuh semua kawan-kawanku, dan juga
semua para penyerbu dari desa Tepus.... kecuali
kau, Prasetyo...!" Pernyataan Tunggul membuat
kedua muda-mudi itu belalakan matanya. Terle-
bih-lebih Sawitri. Ia hampir tak percaya akan ka-
ta-kata Tunggul, karena ia memang tak melihat
apa yang telah terjadi. Yang ia ketahui cuma pak
Kuwu, ayahnya, yang terjungkal roboh mandi da-
rah, tanpa ia ketahui siapa yang telah membu-
nuh, juga pembantaian yang lain-lainnya.
"A., apakah yang membunuh ayahku, ka...
kau juga...?!" Bertanya Sawitri dengan penasaran.
"Benar, Sawitri... tapi aku sungguh-
sungguh tak sengaja. Bahkan perintah dari sang
Ketua, adalah tidak diperkenankannya kami
membunuh. Kecuali, menculikmu!" Sawitri tun-
dukkan kepalanya dengan wajah kembali tampil-

kan kesedihan yang luar biasa. Sementara Tung-
gul sudah lanjutkan lagi kata-katanya.
"Pak Kuwu bukanlah ayahmu, Sawitri..!
Dan ibumu adalah ibu Prasetyo. Kalian adalah
saudara satu ibu. Aku mengetahui kalian saling
mencinta. Hal itu tak boleh terjadi..! Apakah ka-
lian telah mengetahui...?" 
Terperanjatlah Sawitri dan Prasetyo laksa-
na disambar petir, karena ia sama sekali tak me-
nyangka akan hal itu. Kedua muda-mudi itu se-
ketika saling bertatapan, namun kemudian sama-
sama menunduk.
"Jadi siapakah ayahku...?" Bertanya Sawi-
tri. Namun belum lagi pertanyaannya dijawab,
Tunggul tiba-tiba berkelebat cepat, dengan bebe-
rapa kali lompatan ia sudah lenyap dari tempat
itu. Membuat Sawitri dan Prasetyo jadi ternganga.
Belum lagi hilang terkejutnya, sekonyong-
konyong telah berkelebatan dua sosok tubuh ke
tempat yang tersembunyi itu. Hal mana membuat
Prasetyo segera keluarkan teriakan kaget dari
mulutnya.
"Ayah...!?" Dan dibalas dengan teriakan pu-
la oleh sosok tubuh dihadapannya.
"Prasetyo.....!? Kau... kau..." Hanya bebera-
pa patah kata yang diucapkannya. Sosok tubuh
itu yang tak lain dari pada Tumenggung Harya
Anabrang, segera melompat ke arah pemuda itu,
memeluknya. Dan terdengar lagi suaranya yang
menggeletar menahan perasaan.
"Anakku... apa yang terjadi denganmu...?

Siapa yang melakukan semua ini?! Katakan
anakku! Akan kucincang sampai lumat tubuh-
nya...! Oh, Prasetyooo...." 
Selanjutnya sang Tumenggung telah ku-
curkan air mata, bahkan terharu dan terpukul
hatinya melihat keadaan anaknya yang tergolek
menggelepoh ditanah, dengan sebelah kakinya
yang putus. Sementara Sawitri memandang sang
Tumenggung, dan Prasetyo berganti-ganti. Ia tak
tahu apa yang harus ia lakukan. Tiba-tiba ia pa-
lingkan kepalanya pada sesosok tubuh yang juga
berada disitu, yang saat itu tengah memandang
kepadanya. Siapakah lagi gadis cantik dihada-
pannya ini? Berfikir Sawitri. Yang ditatap ternyata
telah bergerak menghampirinya.
"Kaukah yang bernama Sawitri...?" Ber-
tanya Roro Centil sambil berjongkok dihadapan-
nya. Sawitri mengangguk, sambil lebih perhatikan
wajah orang.
"Kemanakah orang yang telah menolong-
mu...?" Tanya Roro lagi. Sawitri palingkan wajah-
nya ke arah belakang tubuh Roro, sambil beru-
cap.
"Dia baru saja berangkat pergi"
"Apakah kau mengetahui siapa yang telah
menolongmu?" Tiba-tiba Tumenggung Harya Ana-
brang turut bertanya, sambil palingkan kepala
kearahnya. Sawitri anggukkan kepala dan kata-
kan dengan tegas!
"Dia orang yang kami kenal, bernama
Tunggul..!" Tiba-tiba sang gadis balik ajukan per-

tanyaan pada Harya Anabrang.
"Paman Tumenggung, seharusnya paman
berterus terang mengenai diriku, atau setidak-
tidaknya paman menceritakan pada Prasetyo
bahwa kami bersaudara... Walaupun aku tidak
lagi diakui oleh ibuku, atau ibu Prasetyo, namun
tidaklah harus menutupi rahasia itu pada semua
orang agar aku tak mengetahui siapa diriku. Apa-
kah hal ini adalah kemauan paman Tumenggung,
atau keinginan ibuku..?" Pertanyaan disertai pen-
gungkapan yang diucapkan Sawitri, benar-benar
membuat Harya Anabrang terkejut. Ia baru me-
nyadari akan kesalahannya, juga menyesali tin-
dakan isterinya yang tak menutup rahasia itu.
Hingga  saat ia tercenung, ketika teringat kata-
kata Punta. Rasanya tidak aneh kalau Tunggul
menceritakan hubungan Den Prasetyo dengan
Sawitri. Ia segera menyadari, kalau keteledoran-
nya, juga kesalahan isterinya itu telah berakibat
fatal.
"Maafkan paman, Sawitri... dan juga kau
anakku..!" Berkata Harya Anabrang dengan suara
rendah. Dan lanjutnya.
"Kesalahan ini ada pada pihak kami berdua
walaupun yang merahasiakan semua ini adalah
ibu kalian. Namun aku merasa hal ini termasuk
kesalahanku juga. Aku terlalu banyak bertugas,
hingga tak mengetahui dan kurang memperhati-
kan kalian. Walaupun kau, Sawitri... bukanlah
hasil dari perkawinanku dengan ibumu, aku telah
menganggap kau adalah anakku. Sayangku pa-

damu sama dengan sayangku pada Prasetyo. Na-
mun kesemuanya kurang mendapat perhatian da-
riku, disebabkan terlalu banyak aku mengurusi
pekerjaanku..." Tumenggung Harya Anabrang ter-
diam sejenak... sementara Roro Centil anggukkan
kepala beberapa kali.
"Syukurlah telah ada yang memberitahu-
kan hal ini pada kalian karena aku telah menge-
tahui kalian saling mencinta. Apakah si Tunggul
itu pula yang memberitahukannya...?" Tiba-tiba
sang Tumenggung telah ajukan pertanyaan lagi,
dengan menatap pada Sawitri dan Prasetyo. Ke-
duanya sama-sama mengangguk. Dan bersamaan
dengan anggukan kedua muda-mudi itu, tiba-tiba
sesosok bayangan tampak berkelebat, dengan
mengeluarkan suara berkrosokkan. Tentu saja
hal itu membuat mereka terkejut. Roro Centil ti-
ba-tiba gerakkan tubuhnya melompat dari tempat
itu, dan cepat berkelebat mengejar ke arah suara
itu, dengan dibarengi bentakan.
"Haiii! Jangan lari...!" Dan terlihatlah oleh
Roro sesosok bayangan yang berkelebat cepat me-
larikan diri. Kembali ia enjot tubuh untuk me-
lompat cepat, mengejar sosok tubuh itu yang
hanya terlihat bentuk tubuhnya, yang keseluru-
hannya hitam. Kini diatas perbukitan Kapur itu
tampak dua sosok bayangan berkelebatan, seperti
tengah main kejar-kejaran. Roro Centil dengan
hati penasaran terus mengejar sosok tubuh hitam
itu. Ia sudah menduga kalau orang itu adalah sa-
lah seorang komplotan Siluman Hitam. Gerakan

larinya memang benar-benar mirip siluman. Se-
bentar kelihatan, sebentar hilang. Juga karena
berkelebatannya bayangan tubuh itu selalu mem-
belok ke kiri atau ke kanan... yang kadang-
kadang memutar, membuat Roro susah untuk
mengejarnya. Tiba-tiba Roro Centil punya akal.
Ketika sosok tubuh itu membelok kekiri, dan hi-
lang diantara pepohonan dan semak. Ia bahkan
sengaja membelok kekanan. Dan pergunakan
lompatannya untuk cepat tiba di tempat yang ber-
jarak sama. Benar saja dugaannya, karena segera
tubuh si bayangan hitam itu tersembul disitu.
"Bangsat licik..!" Teriak Roro Centil sambil
arahkan telapak tangan, dan menghantam den-
gan pukulan jarak jauh.
Plak!
Terdengar beradunya kedua pukulan yang
ternyata sosok tubuh hitam itupun telah berbalik
dengan terkejut, dan gunakan tangannya untuk
menangkis.
Bruk!......
Tubuh siluman hitam itu terlempar bebe-
rapa tombak dan jatuh ke semak-semak. Segera
Roro berkelebat ke arah dimana terjatuhnya so-
sok tubuh itu. Sebelah lengannya telah disiapkan
untuk melakukan serangan lagi, menjaga dari se-
gala kemungkinan. Akan tetapi terkejut Roro Cen-
til, karena tubuh siluman hitam itu tak kelihatan
disitu. Sedang ia terkesima tiba-tiba bayangan itu
muncul lagi bersiur di sebelah kirinya. Segera ia
hantamkan pukulannya.  Namun tak mengenai

sasaran.
Brak...! 
Batang pohon disebelahnya tumbang kena
hantaman angin pukulan Roro, yang jengkel
hingga keluarkan tenaga semaunya. Segera ia li-
hat bayangan hitam itu berkelebat masuk ke da-
lam hutan bambu.
"Pengecut licik...! Kau kira  dapat melo-
loskan dirimu...!" Teriak Roro dengan kesal. Dan
kelebatkan tubuh mengejar. Kembali terjadi kejar-
kejaran seperti tadi... Tiba-tiba tampak olehnya
sosok tubuh itu terjatuh bergulingan.
"Bagus..!" Desis Roro Centil. Dan sekali
lompat ia kejar kesana. Tapi... apakah yang terja-
di ketika ia menginjakkan kakinya...?
Brrussss..! 
Roro perdengarkan seruan kaget. Namun
sudah terlambat. Karena kakinya telah menyen-
tuh serat-serat halus. Ketika tiba-tiba tubuhnya
terangkat lagi ke atas... ia sudah terjerat dalam
sebuah jala yang membungkus tubuhnya. Belum
sempat ia berbuat apa-apa, tubuh hitam itu telah
berkelebat cepat menotoknya, hingga ia tak ber-
kutik lagi di dalam jala sutera itu. Tubuhnya te-
rayun-ayun setinggi tubuh manusia tergantung
dengan seutas tali pada ujung batang bambu.
"Ha., ha., ha.... Selamat beristirahat nona
yang sok usil dengan urusan orang.... Tunggu,
nanti aku akan menjemputmu!" Terdengar sua-
ranya yang serak. Dan selanjutnya ia sudah kele-
batkan diri pergi dari situ.


5

SEMENTARA itu seperginya Roro Centil
mengejar sosok tubuh hitam tadi, telah muncul
lagi sesosok tubuh berperawakan tidak begitu
jangkung, memakai topeng tengkorak pada wa-
jahnya. Tentu saja kedatangannya yang secara ti-
ba-tiba itu telah membuat Tumenggung Harya
Anabrang terkesiap. Hingga Sawitri perdengarkan
jeritannya. Namun orang itu telah berkata dengan
cepat.
"Sebaiknya anda segera tinggalkan tempat
ini Tumenggung..! Putrimu dalam bahaya. Ia mau
dijadikan korban buat Dewa Api...!"
"Hah..!? Siapakah anda...?" Bertanya Harya
Anabrang dengan wajah pias. Namun baru saja ia
berkata, tiba-tiba si orang berkedok tengkorak itu
perdengarkan teriakan ngeri. Tubuhnya terjung-
kal roboh. Bukan main terkejutnya Harya Ana-
brang, ia putar kepalanya berkeliling namun tak
terlihat ada bayangan tubuh si penyerang. Ketika
ia periksa mayat orang itu, segera diketahuinya si
orang berkedok tengkorak itu telah terkena senja-
ta rahasia pada leher dan punggungnya. Cepat ia
balikan tubuh itu, dan buka kedok mukanya.
Terkejutlah Tumenggung Harya Anabrang, karena
sosok tubuh dihadapannya itu tak lain dari pada
Punta. Abdi dalem pembawa berita, alias orang
kepercayaannya, yang sudah dititahkan untuk

berangkat ke Sulang.
"Gila...! Benar-benar gila! Ada apakah den-
gan semua ini...? Aku benar-benar tidak menger-
ti." Desis Harya Anabrang dengan wajah pucat.
Segera saja tanpa membuang waktu ia telah ang-
kat tubuh Prasetyo, dan palingkan kepala pada
Sawitri, seraya berkata.
"Sawitri... cepatlah kau ikuti aku! Kita ting-
galkan tempat berbahaya ini..!" Namun baru saja
Tumenggung Harya Anabrang membelakangi tu-
buh gadis itu, tiba-tiba terdengar teriakan Sawitri.
Karena sekonyong-konyong tubuhnya telah dis-
ambar oleh sesosok bayangan hitam, yang berke-
lebat cepat sekali. Dan ketika Harya Anabrang
menoleh, ia cuma dapat melihat tubuh sang gadis
yang dilarikan oleh sesosok bayangan hitam... Ce-
laka..! Sentak hati sang Tumenggung. Ia tak sem-
pat lagi untuk bergerak mengejar. Karena sekele-
batan saja sosok tubuh hitam itu telah berkelebat
lenyap dibalik semak lebat, tertutup pepohonan.
Entah beberapa lama Roro Centil terayun-
ayun di dalam jala sutera ia tak mengetahui lagi.
Ketika tahu-tahu tubuhnya meluncur ke bawah
dan terasa ada yang menyanggapnya. Cuaca yang
agak gelap, membuat ia pentang mata lebar-lebar
tanpa dapat berbuat apa-apa. Totokan itu ternya-
ta amat hebat. Baru kali ini Roro terkena perang-
kap aneh, dan tak berdaya tanpa dapat berbuat
apa-apa. Terlihat lagi dua sosok tubuh bertopeng,
dan berpakaian serba hitam, setelah membabat
putus tali yang menggantung tubuhnya. Salah