Roro Centil 11 - Pembalasan Si Setan Cengkrong(2)





"Bagus...! Ketahuilah, ayahmu Ki Demang telah
tewas, juga ibumu...! Kasihan orang tua itu, karena ga-
ra-gara kau membunuh Adipati Banu  Rekso, mereka
telah dijatuhi hukuman gantung oleh Tumenggung
Kadipaten...!". Ujar si orang bertudung.
"Oh...!? Ayah, ibu.... !?" Terkesiap Ratih Dewi.
Seketika wajahnya berubah pucat. Kemudian terden-
garlah isaknya tersendat. Betapa hancur hatinya men-
dengar berita itu. Selang beberapa saat setelah tangis-
nya mereda gadis ini dongakkan wajahnya menatap
sang guru, seraya berkata.
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com

"Guru...! Ajarilah aku ilmu kepandaian. Aku...
aku..." Tak mampu Ratih Dewi meneruskan kata-
katanya, karena kembali dia terisak, dengan air mata
bercucuran.
"Kau mau menuntut balas, bukan?. Hahaha...
Bagus! Kau memang anak yang berbakti pada kedua
orang tua! Nah, tinggallah di sini sampai kau berhasil
mempunyai ilmu kepandaian. Jangan khawatir, aku
SILUMAN MUKA SERIBU akan menurunkan ilmu-ilmu
yang hebat padamu...!". Ujar si orang bertudung den-
gan suara berwibawa.
"Oh, terima kasih, guru! Terima kasih...!". Te-
riak Ratih Dewi dengan girang, seraya jatuhkan diri la-
gi untuk berlutut beberapa kali.

000O000

E M P A T

TIGA TAHUN berlalu sudah, sejak kejadian di
dalam goa itu. Di pertengahan musim kemarau... langit
tampak amat bersih membiru tak berawan. Udara
siang itu amat cerah. Seorang gadis cantik tampak
berdiri di ujung bukit. Di bawahnya mengalir sebuah
sungai berair jernih berbatu-batu. Itulah sungai yang
bernama Kali Kendil. Sedang bukit yang dipijaknya
adalah dataran tinggi di mana jauh di sebelah sana te-
gak menjulang Gunung Bromo dengan megahnya. An-
gin pegunungan yang menerpa membuat rambut si ga-
dis ayu tersibak beriapan. Dia memakai pakaian persi-
latan berwarna hijau lumut. Ikat pinggangnya terbuat
dari kulit ular. Sementara ikat kepalanya yang terjun-
tai juga berkibaran, yang juga berwarna hijau.
Siapa lagi gadis ayu yang bertubuh semampai

itu kalau bukan RORO CENTIL adanya. Seulas senyum
tampak terlihat pada bibirnya yang merah ranum keti-
ka menatap ke arah sungai yang mengalir di bawah
bukit. Lain pandangan matanya beralih ke sebelah ba-
rat sungai, di mana terlihat satu dua wuwungan ru-
mah penduduk di sela-sela pepohonan. Pasti di bagian
sebelah dalamnya terdapat perkampungan. Berkata
sang Pendekar Wanita Pantai Selatan ini dalam hati.
Sesaat kemudian tubuhnya sudah berkelebatan
menuruni bukit. Bagi mata manusia biasa yang tak
mempunyai kekuatan ilmu batin, akan merasa aneh
melihatnya.  Karena sang gadis Pendekar ini tampak-
nya seperti tengah duduk dengan kaki terjuntai, tapi
tubuhnya meluncur pesat ke bawah bukit yang seke-
jap saja sudah tiba di tepian sungai. Padahal bagi yang
dapat melihat dengan mata batin, akan mengetahui
kalau gadis ini telah menunggang seekor macan Tutul
yang amat besar yang tak tampak oleh mata biasa. Itu-
lah si TUTUL sahabatnya Roro Centil, yang selalu setia
menemani kemanapun majikannya pergi. Tapi satu
keanehan si makhluk siluman ini, adalah tak bisa ber-
tindak sendiri tanpa diperintah. 
Kini Roro Centil sudah tak gunakan kata-kata
biasa lagi untuk menitahnya kalau sedang diperlukan.
Akan tetapi mempergunakan kata-kata batin yang tak
diucapkan dengan mulut, melainkan dengan hati yang
disalurkan lewat kekuatan batin. Roro Centil tatapkan
sepasang matanya ke arah  seberang sungai. Tampak
ada tiga buah pondok yang jarak antara satu dengan
lainnya tak begitu jauh. Tiba-tiba gadis pendekar ini
kerutkan alisnya. Nalurinya yang peka telah mengata-
kan ada sesuatu terjadi di seberang sungai. Kejap se-
lanjutnya adalah, tubuh sang gadis sudah melesat un-
tuk melompat ke seberang sungai.
Sementara itu di dalam sebuah pondok yang

berada paling ujung, memang telah terjadi sesuatu
yang mengerikan. Tampak empat sosok tubuh terkapar
bersimbah darah... Sekejap Roro sudah berada di mu-
ka pondok. Terkejut bukan main gadis ini. Sekali ber-
gerak melompat, dia sudah tiba di dalam. Roro tegak
berdiri di depan mayat-mayat, memasang telinganya
untuk mengetahui ada tidaknya orang di dalam. Tapi
ternyata sudah kosong ketika Roro memeriksanya. Se-
lanjutnya dia segera periksa keempat mayat, yang ter-
nyata sudah tewas cukup lama. "Apakah yang sudah
terjadi? Siapakah pembunuh mereka ini...?". Desis Ro-
ro.
Sekejap Roro sudah melompat keluar lagi. Kini
tubuhnya sudah memasuki lagi pondok-pondok di se-
berang sungai itu. Ternyata di sini pun banyak mayat-
mayat berserakan. "Gila...! Apakah di dalam perkam-
pungan pun semua penduduk tewas?". Desis
Roro, seraya berkelebat terus semakin masuk
ke dalam daerah yang merupakan perkampungan pen-
duduk di wilayah sekitar kaki bukit itu.
Tiga-empat rumah penduduk kembali dijumpai.
Tidak semua terdapat mayat, karena ada juga yang
sudah kosong melompong. Tampak Roro keluar den-
gan wajah lesu. Dia berdiri di depan pondok. Kepa-
lanya mendongak ke atas, dengan sepasang mata  ter-
pejam.  Sementara hatinya bergemuruh menahan lon-
jakan-lonjakan kuat dari dalam dadanya. Rasa gusar,
marah, sedih berkumpul menjadi satu. Dia harus te-
mukan si pelaku pembantaian ini. Tiba-tiba terdengar
suara tertawa gadis Pendekar ini. Tertawa yang mengi-
kik geli. Semakin lama semakin keras, dan terdengar
seperti berkumandang di beberapa tempat dan arah.
Bahkan seperti ada ratusan orang yang tertawa, kare-
na suara tertawa itu tak putus-putusnya berpantulan.
Tapi anehnya, dalam tertawa ini tampak air mata si

dara bercucuran. Inilah satu kekuatan tenaga dalam
yang amat hebat menakutkan. Karena akibat suara
itu, keadaan sekitar tempat itu telah jadi berubah...
Beberapa buah genting telah merosot dari atas
wuwungan rumah yang berada di belakang Roro. Bu-
rung-burung kecil yang sembunyi di daun-daun po-
hon, serentak beterbangan dengan suara bercuit-cuit
ketakutan. Kira-kira hal itu berlangsung tiga kali se-
peminuman teh hangat, tiba-tiba terdengar suara ben-
takan keras dari ujung jalan desa. "Kurang aja ...! Ber-
henti! Hentikan tertawa itu bocah keparat...!" Disusul
dengan  munculnya  sesosok tubuh yang berjalan den-
gan sempoyongan, menekan kedua daun telinganya.
Itulah tubuh seorang laki-laki berjubah, hitam. Di len-
gannya tercekal sebuah tongkat yang ujungnya berca-
gak. Tiga buah gigi yang besar-besar menonjol keluar
dari mulutnya. Sebelah matanya tak berbiji lagi.
Roro sudah hentikan tertawanya. "Hi!? Bocah
cantik, siapa kau?" Bentaknya dengan garang. Wajah-
nya menampakkan kegusaran. Roro perhatikan orang
sekilas, tapi tiba-tiba sudah berlalu tinggalkan orang
itu. Melengak si laki-laki berjubah, yang tak lain dari si
SETAN HITAM adanya. Sebagai tokoh yang sudah ka-
wakan, dan punya nama besar, serta ditakuti di seki-
tar wilayah tempat itu, tentu saja perbuatan Roro itu
seperti menghinanya. Di samping heran, karena justru
suara tertawa yang membuat telinganya menjadi sakit,
tak lain dari suara tertawa seorang gadis cantik jelita.
Dari pengaruh yang dirasakannya jelaslah ka-
lau gadis itu berilmu tinggi dan bertenaga dalam hebat,
karena getarannya mengandung kekuatan hebat yang
menggetarkan jantung dan syaraf. Laki-laki tua jubah
hitam ini sudah julurkan lengannya menyambar teng-
kuk orang, disertai bentakan keras.
Gerakan menyambar ini bukan sembarangan,

karena jangankan tubuh manusia, batu pun akan
hancur kena cengkeraman tangannya. Inilah salah sa-
tu jurus kejinya si Setan Hitam, yang sengaja di per-
gunakan untuk menyerang lawan yang berilmu tinggi.
Tenaga dalam yang tersalur dalam tangannya bisa me-
remukkan tulang leher Roro, kalau gadis ini tak guna-
kan rambutnya mengepret ke belakang.
Terkejut si Setan Hitam, namun segera dia bu-
ru-buru tarik kembali serangannya. Dilihatnya gadis
itu menolehpun tidak kepadanya, membuat wajah si
Setan Hitam jadi semakin merah dan panas. Jelas ga-
dis yang berilmu tinggi! Pikir si Setan Hitam. Tapi ting-
kah lakunya yang aneh itu justru membuat dia jadi
semakin penasaran. Apalagi melihat caranya berjalan
untuk berlalu tinggalkan tempat itu, seperti santai saja
kelihatannya.
"Hihihi... banyak mayat yang kujumpai di tiap
rumah, ternyata cara pembunuhannya kurang kejam!
Entah setan atau iblis mana yang memperbuatnya?.
Benar-benar membuat malu aku si Ratu Segala
Iblis!".
"Hei! Perempuan sinting! Baru aku mendengar
ada julukan Ratu Segala Iblis! Kalau kau benar orang-
nya, coba tunjukkan padaku cara bagaimana membu-
nuh orang dengan kejam?!". Roro hentikan tindakan
kakinya. Sepasang matanya memang tidak terbuka se-
luruhnya, karena mirip orang mengantuk. Seperti la-
gak orang baru bangun tidur, Roro kucak-kucak ma-
tanya yang masih mengembang bekas air mata.
"Siapakah yang bertanya...?". Tanyanya juma-
wa. Justru dia tak memandang sama sekali pada si
kakek jubah hitam di hadapannya. Diam-diam Setan
Hitam mendongkol bukan main. Rasanya sudah mau
menghantamkan tongkatnya saja ke kepala gadis aneh
itu. Akan tetapi dengan menahan sabar, dia menjawab.

"Heh! Ketahuilah, aku si SETAN HITAM yang
bercokol dan menguasai di lima wilayah ini! Harap kau
buka lebar-lebar matamu, untuk melihatku! Agar kau
ketahui yang bagaimana wajah si Setan Hitam!". Akan
tetapi setelah mendengar penjelasan orang^ justru Ro-
ro Centil malah tertawa geli.
"Hihihi... hihi... Pantas! pantas! Setan Hitam
keroco yang baru kenal kejahatan kemarin sore, mana
bisa menandingi ketelangasan ku, si Ratu Segala Iblis?
Hi hi hi... hihi...". Tentu saja merah wajah si Setan Hi-
tam bagaikan kepiting direbus. Tubuhnya tampak ter-
getar hebat. Tiba-tiba dia berteriak keras. Lengannya
bergerak menghantam tanah di hadapannya, yang se-
ketika jadi hangus. Lalu hantamkan lagi ke kiri dan ke
kanannya. Terdengar suara batang-batang pohon yang
batangnya patah berantakan, dan roboh dengan suara
gemuruh.
Melihat orang unjuk kepandaian di depan ma-
tanya, Roro cuma perhatikan dengan mata meram me-
lek, dan bibir unjukkan senyum tipis.
"Kau tunggulah di sini, akan kutunjukkan ke-
kejaman ku di hadapanmu". Teriak si Setan Hitam. Ti-
ba-tiba tubuhnya berkelebat lenyap. Apakah yang dila-
kukannya?. Ternyata  dia telah  berkelebatan meng-
hantami semua pondok penduduk di sekitar tempat itu
dengan pukulan dahsyatnya, yang membuat kobaran
api segera membakar setiap wuwungan atau dinding
rumah. Hingga sebentar saja api berkobar di setiap
penjuru. Membakar dan menambus mayat-mayat yang
banyak berkaparan di dalamnya. Selang sesaat sudah
kembali lagi ke hadapan Roro. Tapi kini di lengannya
sesosok tubuh kecil dari seorang anak laki-laki yang
dijambak rambutnya.
"Hehehe... hehe... kau lihat! Aku akan beset-
beset bocah ini sampai jadi tiga belas bagian. Apakah

aku si Setan Hitam masih kurang kejam?. Seraya ber-
kata lengannya sudah bergerak untuk membeset tu-
buh anak kecil itu menjadi dua bagian. Akan tetapi
pada saat itu sudah terdengar bentakan halus.
"Tunggu...!". Suara bentakan itu datangnya dari
mulut Roro. Gadis pendekar yang aneh ini tolak ping-
gang di depan si Setan Hitam. Suara bentakan itu cu-
kup berpengaruh untuk urungkan niat keji si Setan
Hitam.
"Heh. Bukankah kau mau aku tunjukkan ca-
ranya berbuat kejam?. Cara kekejamanmu untuk
membeset tubuh bocah itu jadi tiga belas bagian ada-
lah cara kuno! Mana bisa dikatakan kejam?. Bisa-bisa
aku tertawa sampai terkentut-kentut! Apakah kau mau
ku anggap sebagai penjahat keroco?, atau iblis kema-
rin sore...?". Berkata Roro. Selanjutnya dia sudah lan-
jutkan kata-katanya.
"Berikan padaku bocah itu! Segera akan kutun-
jukkan bagaimana caranya berbuat yang paling ke-
jam!". Dengan sebelah mata melotot, si Setan Hitam
lemparkan bocah itu pada Roro. Diam-diam hatinya
semakin mendongkol, karena tetap saja apa yang di-
perbuatnya tidak merupakan kekejaman yang berhasil
membuat si gadis aneh itu mengambil perhatian.
"Nah, aku akan melemparkan bocah ini sejauh-
jauhnya. Sebelum tubuhnya menyentuh tanah, aku
akan menghantam dengan pukulanku yang sekaligus
akan membuat tubuh bocah ini hancur berserpihan.
Itu baru yang kuanggap kejam. Asalkan kau sanggup
lebih dulu menghantam, bukan saja aku mengakui ke-
kejamanmu, akan tetapi juga menganggapmu bukan
sebangsa iblis keroco yang baru lahir kemarin sore!
Sanggupkah kau?". Berkata Roro, setelah menyambuti
tubuh si bocah itu.
"Baik...! Hehehe... agaknya kau menganggap

aku tak mampu. Kau teramat meremehkan aku, bocah
perempuan!" Berkata si Setan Hitam dengan mendong-
kol.
SIUUUUT...! Roro sudah melemparkan tubuh
anak kecil itu, yang segera saja meluncur ke udara.
Dan berkelebatanlah dua tubuh itu mengejar... Akan
tetapi terkejut si Setan Hitam, karena tahu-tahu bocah
itu lenyap. Bukannya bocah itu saja yang lenyap, ka-
rena si gadis aneh itu pun lenyap entah ke mana.
Merah padam wajah orang tua berjubah ini. Dia
benar-benar merasa dipecundangi. Bukan saja dia te-
taplah sebagai seorang iblis keroco, tapi juga sudah di-
buat malu yang luar biasa oleh gadis aneh yang men-
gaku berjulukan si Ratu Segala Iblis.
"Haiiii...! Ratu Segala Iblis! Tampakkan diri mu.
Akan kubuat tubuhmu lumat menjadi tiga  belas ba-
gian...!" Teriaknya dengan marah. Namun tetap saja
Roro tak menampakkan diri. Akhirnya dia pun berke-
lebat tinggalkan tempat itu.
Ke manakah gerangan Roro Centil? Dan ke ma-
na lenyapnya bocah kecil itu?. Baiklah kita ikuti apa
yang terjadi sebenarnya. Kiranya sewaktu bocah itu di-
lemparkan, Roro Centil telah bisikkan kata-kata, mela-
lui batinnya. Yaitu perintahkan si Tutul menyela-
matkan nyawa bocah itu. Hingga ketika si bocah itu
melayang dalam jarak lemparan sekitar dua puluh
tombak di atas pepohonan, detik itu pula si harimau
siluman telah menyambarnya terlebih dulu. Dan mem-
bawanya berkelebat lenyap. 
Sementara Roro Centil ternyata langsung berge-
rak menuju ke setiap rumah yang terjadi kebakaran.
Dengan pergunakan hantaman telapak tangan yang
berhawa dingin, sekejap api-api yang baru menjilati
wuwungan setiap rumah segera punah padam. Berke-
lebatanlah tubuh pendekar wanita yang aneh itu un-

tuk memusnahkan api di setiap tempat.
Dalam pada itu sesosok tubuh telah memper-
hatikannya dengan sepasang mata menatap terbelalak.
Itulah sepasang mata dari sesosok tubuh, laki-laki
yang berdiri di ujung jalan desa. Sepasang mata pe-
muda ini mengagumi kehebatan ilmu pukulan
Roro, juga kecantikannya yang membuat dia
terpesona.
Akan tetapi di satu tempat, sepasang mata jeli
juga tengah menatap pemuda itu dengan tatapan Ke-
cemburuan yang amat besar. Dialah si gadis bernama
Ratih Dewi. Di samping cemburu, tapi juga tertegun.
Karena tak menyangka dia dapat menjumpai pemuda
itu lagi, yang disangkanya sudah tak ada di dunia ini
lagi.
Tiga tahun sudah Ratih Dewi berguru dengan si
orang laki-laki bertudung yang misterius, yang dijum-
painya di saat memberikan pelajaran ilmu padanya.
Selama itu Ratih Dewi telah melupakan PRAMANA, ke-
kasihnya. Sang kekasih yang sudah dilupakannya, se-
jak dia mencari dan mencari di mana ada kesempatan.
Namun tak pernah dijumpai... kini tahu-tahu telah be-
rada di depan mata. Berdiri dengan gagah. Menyoren
pedang di punggung.
Oh, Pramana, aku masih mencintai dirimu
sampai kapan pun! Kau adalah milikku! Dan kau tak
boleh jatuh ke tangan lain wanita, sejak ku menjumpai
mu! Desis Ratih Dewi dalam hati. Wajahnya member-
sitkan kecemburuan, betapa pemuda itu menatap den-
gan kagum pada gadis aneh berbaju hijau itu. Akan te-
tapi dia tak mau buru-buru bertindak. Ingin dilihatnya
apakah yang akan dilakukan si Pramana  itu setelah
menatap pada dara baju hijau itu? Pikir Ratih Dewi.
"Siapakah anda, sobat berpedang....? Tampak-
nya ada sesuatu yang aneh padaku. Mengapa kau me-

natapku tak lepas-lepas...?". Tanya Roro dengan berja-
lan melangkah ke hadapannya. Tentu saja gerakan
langkah seenaknya. Namun hal demikian itu justru
membuat sepasang mata Ratih Dewi jadi melotot kian
lebar. Gadis Centil... ! Makinya dalam hati.
Laki-laki itu menjura hormat. Sikapnya amat
sopan sekali. Lalu terdengar suaranya berkata;
"Ah, maafkan kelancanganku, nona Pendekar!
Namaku WIRATMANA...! Entah siapakah gerangan no-
na yang berilmu tinggi ini...!".
Roro Centil naikkan alisnya. Segera saja bibir-
nya terulas satu senyuman manis. Melihat penampilan
orang di hadapannya amat sopan santun, Roro tak te-
ga untuk mempermainkan. Apa lagi dari wajah pemu-
da di hadapannya itu menampakkan kejujuran hati,
serta sikap yang gagah berwibawa.
"Aih, anda terlalu memujiku, sekedar ilmu pen-
jinak api yang tak berarti itu mengapa pujianmu bu-
kan main? Hihihi... namaku Roro!". Ujar Roro Centil
singkat. Selanjutnya mereka telah tampak akrab berbi-
cara. Terutama mengenai keadaan di tempat itu yang
penuh dengan mayat-mayat manusia.
"Nona Roro, terus terang aku datang ke wilayah
ini adalah karena mendengar berita dari beberapa ke-
luarga yang telah berhasil melarikan diri dari "neraka"
di tempat ini, bahwa adanya seorang tokoh keji yang
menguasai wilayah ini. Dia berbuat semaunya  saja.
Membunuh, merampas, menganiaya, memperkosa wa-
nita, dan lain-lain perbuatan kejam. Seperti kau lihat
sendiri banyak mayat berserakan di pelbagai tempat.
Di rumah-rumah penduduk, di sawah, di kebun atau
di sembarang tempat akan terjumpai satu dua mayat.
Kalau tidak yang masih baru, tentu yang sudah mem-
busuk. Semua itu adalah ulah perbuatan Manusia keji
itu... ".

"Apakah tokoh keji itu kau maksudkan si SE-
TAN HITAM?" Tanya Roro dengan kerutkan keningnya.
"Ah, rasanya bukan...? Menurut yang kudengar
adalah bergelar si SETAN CENGKRONG!" Ujar Wirat-
mana. Tentu saja Roro Centil jadi tercenung. Tadi dia
lihat sendiri si Setan Hitam membakari rumah dengan
ilmu pukulan hawa panasnya yang mengeluarkan api.
Juga di hadapannya telah siap membeset  tubuh seo-
rang anak kecil menjadi tiga belas bagian. Kakek ber-
jubah hitam, berwajah seram itu sudah dipastikan Ro-
ro, kalau semua perbuatan kejam itu adalah perbua-
tannya. Karena ketika Roro Centil mengaku bergelar si
Ratu Segala Iblis, manusia itu menampilkan kekeja-
man di hadapan matanya dengan tanpa kenal peri ke-
manusiaan. Kini mendengar di  sebutnya satu tokoh
bergelar si Setan Cengkrong, adalah baru didengarnya.
Hal mana membuat Roro jadi terheran dan melengak.
Sementara di tempat persembunyiannya Ratih
Dewi mendengarkan pembicaraan.
Sayang Ratih Dewi tak begitu memperhatikan
saat si pemuda  itu memperkenalkan namanya tadi.
Kata-kata Wiratmana kedengaran olehnya adalah
PRAMANA. Siapakah sebenarnya laki-laki bernama Wi-
ratmana itu?. Dialah saudara kembar Pramana yang
justru kemunculannya adalah di samping mencari si
Setan Cengkrong, juga mencari jejak adiknya yaitu
Pramana, di manapun dia jejakkan kakinya. Adanya
berita kejahatan di wilayah itu yang menurut yang di-
dengarnya adalah perbuatan si Setan Cengkrong,
membuat dia merasa penasaran untuk mengetahui
manusia keji yang membuat keonaran itu. Adapun Ro-
ro Centil rupanya telah mengetahui adanya sesosok
tubuh yang sembunyi mendengarkan pembicaraan.
Segera dia berkata;
"Di manakah adanya penginapan yang paling

besar di tempat ini?". Tanya Roro setelah manggut-
manggut. Mendengar penuturan Wiratmana tentang
tokoh yang bernama Setan Cengkrong itu.
"Apakah anda mau menginap di sana?. Kebetu-
lan akupun menginap di tempat itu. Penginapan itu
cukup jauh dari sini. Kalau anda bersedia mari kuan-
tar. Kita bersama-sama ke sana. Kukira kita bisa ber-
cakap-cakap dengan leluasa.  Ada tiga orang kawanku
di sana. Mereka bergelar si Tiga Pendekar Ular Mas!".
Setelah, berfikir sejenak, Roro Centil menjawab.
"Sebenarnya aku masih punya urusan lain.
Tunjukkan saja di arah mana letaknya, aku akan ke
sana menjelang senja nanti!".
"Baiklah, kalau begitu! Silahkan anda berjalan
ke utara. Tak jauh dari batas wilayah Kadipaten, anda
menjumpai satu penginapan yang lumayan besarnya.
Penginapan itu bernama Penginapan Sindu Rejo". Ujar
Wiratmana menjelaskan.
"Ya, ya...! Aku akan mencarinya nanti! Nah so-
bat, kukira aku harus tinggalkan tempat ini. Kelak kita
jumpa di penginapan tersebut... !".
Selesai berkata Roro Centil kelebatkan tubuh-
nya dengan cepat. Dan sekejap kemudian segera le-
nyap di balik pepohonan. Wiratmana menatap ke arah
lenyapnya tubuh Roro, dengan pandangan kagum.
Tampak bibirnya menggumam lirih.
"RORO...! Ah, nama yang indah seindah orang-
nya...!".
Akan tetapi baru saja dia mau balikkan tubuh-
nya untuk berlalu, tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh
ramping di hadapannya dari arah samping.
Terkejut Wiratmana, karena lagi-lagi muncul
seorang gadis yang cukup cantik. Berbaju kembang-
kembang sewarna daun. Rambutnya berkepang dua,
yang satu dengan lainnya diikat menjadi satu di bela-

kang. Mengenakan pita berwarna kuning. Di ping-
gangnya tersoren pedang yang tak seberapa panjang,
namun melengkung bagai bulan sabit. Siapakah ge-
rangan gadis ini? Pikir Wiratmana.
Sementara sang dara telah menatapnya dengan
tajam. Bibirnya tampak bergetar seperti mau mengu-
capkan kata-kata. Dan satu keanehan adalah dari se-
pasang matanya yang nampak galak itu, tampak ber-
kaca-kaca memandang kepadanya.
"Eh, siapakah anda nona? Apakah ada yang
anda cari.. ?". Tanya si pemuda. Dengan suara gemetar
Ratih Dewi menjawab, sementara wajahnya sudah me-
nunduk seperti menyembunyikan air matanya yang
mulai menggenang.
"Kau... kau sudah tidak mengenali diriku lagi,
PRAMANA... ?". Sahutnya pendek. Pramana...? Kata-
kata itu hampir membuat si pemuda itu telonjak kare-
na terkejutnya. Jelas itu adalah nama adik kembarnya.
"Aku... aku..." Pemuda ini berkata tergagap. Ta-
dinya dia mau menyebut kata-kata bahwa dirinya ada-
lah bukan Pramana. Akan tetapi tiba-tiba diurungkan
lagi. Karena rasa ingin tahu siapa gerangan sang dara
ini. Juga Wiratmana ingin mendengar di mana geran-
gan adik kembarnya itu. Sementara dia sudah punya
dugaan kalau adiknya berada di sekitar wilayah ini.
Tak dinyana kalau tiba-tiba sang gadis sudah
berlari ke arahnya, dan tahu-tahu sudah memeluknya.
Mendekapnya erat-erat sambil terisak-isak bersimbah
air mata.
"Pramana...! Kau... oh, betapa aku menang
gung rindu padamu, kasihku! Aku sengsara lahir ba-
tin. Aku ingin mati saja di hadapanmu, Pramana...!".
Tercenung Wiratama. Dalam keadaan serba salah, ter-
paksa dia biarkan saja gadis itu memeluki dan menci-
umi wajahnya. Hingga air mata sang gadis membasahi

wajah pemuda berbaju putih itu. Perlahan-lahan Wira-
tama mendorong tubuh gadis itu, sesaat setelah isak-
nya agak mereda. Gadis ini lepaskan pelukannya dan
berdiri membelakangi pemuda itu. Terdengar suara he-
laan nafasnya lirih di antara isaknya yang tinggal satu-
satu.
"Kuakui Pramana,... kau agak canggung karena
aku bukan lagi Ratih Dewi kekasihmu yang dulu. Aku
telah jadi istri Adipati Banu Rekso, walau cuma sema-
lam dan walau tanpa berhasil aku digagahi, karena
aku telah membunuh suamiku. Membunuhnya dengan
kejam! Aku telah membantainya dengan keri pusa-
kanya sendiri! Tak ada seorang pun yang mengetahui.
Kukira hanya dugaan orang saja yang mengira aku te-
lah membunuhnya. Juga dugaan-dugaan lain yang te-
lah membuat kau disangka yang melakukan perbuatan
keji itu, dan melarikan aku.
Aku banyak berdosa pada semua orang...! Ke-
pada suamiku, kepada kedua orang tuaku, juga kepa-
da orang-orang Perguruan ELANG PUTIH! Karena se-
mua mereka tewas di tangan Rekso Jiwo...!". Berkata
Ratih Dewi dengan wajah tertunduk. Sebelah lengan-
nya bergerak mengusap air matanya, dan dia sudah
duduk mendeprok di tanah. Wiratmana tercenung
mendengarkan. Tiba-tiba dia sudah memberanikan diri
bicara.
"Siapakah Rekso Jiwo itu...?". Ujarnya lirih.
Sementara pelahan dia sudah mendekati sang dara
dan ikut duduk di sebelahnya.
"Rekso Jiwo adalah anak Adipati Banu Rek-
so...!". Sahutnya. Dan segera Ratih Dewi ceritakan
panjang lebar tentang nasib dirinya hingga jatuh ke
tangan seorang tokoh sakti misterius yang bernama ge-
lar si IBLIS MUKA SERIBU.
Wiratmana semakin berani bertanya panjang

lebar pada sang dara, yang ternyata tetap belum men-
getahui kalau laki-laki di sebelahnya itu bukanlah
Pramana. Sayang Wiratmana tak mengetahui kalau di
belakangnya telah berdiri sesosok tubuh  berwajah
mengerikan mirip tengkorak. Rambutnya putih beria-
pan. Memakai jubah warna ungu. Keadaan tubuhnya
ternyata tidak sempurna, alias cacat.
Sebelah lengannya melengkung kaku menekuk
ke bawah, dengan jari-jari terentang. Dan sebelah ka-
kinya putus sebatas lutut. Lengannya yang satu me-
megang sebuah tongkat kayu. Tiba-tiba saja telah ge-
rakkan tongkatnya menotok tubuh Wiratmana, yang
selanjutnya sudah disambar untuk dibawa berkelebat
pergi. Tentu saja membuat Ratih Dewi terkejut melen-
gak. Dia melompat untuk mengejar seraya membentak
keras.
"Heiii...! Berhenti keparat ...!". Namun gerakan
si manusia cacat itu amat cepat, Ratih Dewi perguna-
kan ilmu larinya mengejar. Akan tetapi sia-sia, karena
manusia cacat itu punya gerakan secepat angin yang
sekejap saja sudah lenyap tak kelihatan lagi.
Dalam keadaan dibawa berlari cepat itu, Wi-
ratmana benar-benar terperanjat, karena tak mengeta-
hui siapa adanya orang yang telah menotoknya. Na-
mun masih sempat lakukan pertanyaan dengan suara
tergagap.
"Eh, siapakah kau, mengapa menotok ku?. Mau
dibawa ke mana aku ini...?". Orang itu cuma menden-
gus di hidung tak menjawab pertanyaan Wiratmana.
Bahkan mempercepat larinya yang berkelebat bagai-
kan terbang.
Sementara Ratih Dewi berdiri tertegun menatap
ke depan. Hatinya jadi mencelos karena dia sudah da-
pat menduga siapa adanya manusia cacat itu. Benar
saja! Karena tiba-tiba telinganya telah mendengar satu

suara menyusup ke telinganya yang dilontarkan dari
jarak jauh, dengan menggunakan kekuatan tenaga da-
lam.
"Eh, nona manis istri Adipati Banu Rekso, si-
lahkan datang ke Bukit Kelelawar kalau kau inginkan
kekasihmu ini tetap hidup... ! Aku si Setan Cengkrong
menanti kedatanganmu...!".
"Benar.... . ! Dia si Setan Cengkrong!" Desis Ra-
tih Dewi. Dan tak ayal ia sudah gerakkan kaki untuk
tinggalkan tempat itu.
Sementara itu sesosok tubuh berbaju hijau te-
lah berkelebat mengejar si manusia cacat itu, dan
membuntutinya dengan diam-diam. Ternyata adalah
Roro Centil adanya. Hati gadis pendekar ini tercekat
untuk terus mengikuti si manusia cacat itu hingga
sampai mengetahui  siapa gerangan orangnya. Bagai-
mana Roro Centil bisa mengetahui munculnya si Setan
Cengkrong itu?. Kiranya sewaktu Roro berkelebat pergi
tinggalkan Wiratmana, Roro telah bergerak memutar.
Tujuannya adalah ingin mengetahui siapa adanya wa-
nita yang mengintai di belakang Wiratmana. Hingga
akhirnya dia berhasil mengutip pembicaraan kedua-
nya. Satu keanehan adalah si gadis itu telah mengang-
gap Wiratmana adalah PRAMANA. 
Tengah Roro menduga-duga apa latar bela-
kangnya sang gadis menyebut sang pemuda demikian,
tiba-tiba bersyiur angin halus di sebelahnya. Dan ta-
hu-tahu telah menotok Wiratmana, serta membawanya
berkelebat pergi. Tentu saja Roro mengetahui keadaan
tubuh orang yang cacat itu. Cuma karena membela-
kanginya, Roro tak dapat lihat jelas wajahnya. Dan di
saat Wiratmana dilarikan, Roro sudah berkelebat men-
gikutinya...
Bukit Kelelawar ternyata adalah sebuah bukit
yang sudah terkenal di wilayah itu, karena memang di

sana banyak kelelawar bergelantungan di siang hari
pada pepohonan. Agaknya memang merupakan tempat
yang menjadi sarang binatang-binatang itu.
Wiratmana sudah berada di dalam goa, saat si
manusia cacat itu membuka totokannya. Kini dengan
sepasang mata terbeliak, dia memandang pada orang
di hadapannya. "Apa yang kau inginkan diri ku, dan
siapakah kau ini... ?". Tanya Wiratmana.
"Hm, aku adalah orang yang tengah kau cari
itu, sobat! Orang yang kau tuduh melakukan kejaha-
tan. Bukan saja kau, akan tetapi semua pendekar ten-
gah mencariku, karena khabar cerita amat santer
bahwa aku adalah orang yang telah melakukan berma-
cam perbuatan keji...!". Ujar si manusia cacat.
"Jadi kau... kau si SETAN CENGKRONG itu?".
Tanya Wiratmana terkejut.
"Benar! Aku memang yang dijuluki demikian,
akan tetapi semua perbuatan itu bukan perbuatan
ku!"
"Tidak mungkin...!" Bentak Wiratmana. Len-
gannya sudah bergerak mencabut pedangnya yang ter-
soren di punggung, dan sudah menghunusnya dengan
wajah tegang. Pada saat itu tiba-tiba berkelebatan be-
berapa sosok tubuh memasuki mulut goa, disertai ben-
takan-bentakan keras menggema. Sebentar saja lebih
dari dua puluh orang telah mengurung si Setan
Cengkrong. Rata-rata mereka telah menghunus senja-
tanya yang bermacam-macam.
"Hahaha... Setan Cengkrong! Kali tak dapat me-
larikan diri! Kau telah terkepung! Tak ada jalan keluar
lagi bagimu selain kematian...". Teriak seorang yang
bersenjatakan tombak bermata tiga. Dialah yang diju-
luki si Tombak Malaikat. Sementara dua orang yang
berpakaian kulit harimau berkepala botak adalah si
Dua Macan Kembar. Dan tiga orang lagi yang berpa-

kaian warna merah adalah yang berjulukan Tri Tung-
gal Cemeti Alam. Senjata yang dipergunakan adalah
cambuk yang ujungnya berduri-duri. Serta beberapa
tokoh lainnya yang tak begitu terkenal. 
Ruangan goa Kelelawar memang sangat luas,
namun kini sudah dipadati oleh puluhan manusia,
membuat jadi penuh sesak. Masing-masing mulai be-
ranjak membuat lingkaran. Hingga tak memungkinkan
si Setan Cengkrong dapat meloloskan diri. Karena
ruangan goa itu cuma mempunyai satu pintu, akan
sukarlah kiranya si Setan Cengkrong meloloskan diri.
Namun hal itu tak membuat si manusia cacat ini jadi
gentar, bahkan tak terlihat wajahnya berubah pucat
sedikitpun.
Sementara Wiratmana sudah melompat mun-
dur. Ternyata si Setan Cengkrong membiarkannya saja
tanpa menoleh.
"Biarlah kami yang akan meringkusnya terlebih
dulu...!". Teriak salah seorang dari para pendekar yang
berbaju merah. Dan berkelebatlah tiga sosok tubuh ke
hadapan si Setan Cengkrong. Memang bila dilihat se-
pintas adalah tak masuk akal kalau seorang manusia
yang sudah cacat, dengan sebelah lengan melengkung,
sebelah kaki putus dan tubuh yang agak membungkuk
itu harus dikepung sedemikian rupa. Akan tetapi ke-
nyataannya adalah demikian.
"Setan Cengkrong... ! Kami Tri Tunggal Cemeti
Alam, cuma menjalankan perintah untuk menangkap
mu dari Adipati Rekso Jiwo! Tetapi entah kawan-
kawanku akan mengampuni nyawamu atau tidak, aku
tak mengetahui...! Kalau kau menyerah secara suka-
rela adalah hal yang memungkinkan akan memperpan-
jang umurmu untuk beberapa waktu! Pertimbangkan-
lah baik-baik, sebelum terlambat..!" Berkata salah seo-
rang dari Tri Tunggal Cemeti Alam yang tertua.

Akan tetapi yang ditanya cuma berdiam diri
termenung. Kalau saja mau diperhatikan lebih jelas,
akan tampak setitik air bening yang tersembul di su-
dut mata yang cekung itu. Akan tetapi wajahnya me-
mang tak menampakkan perubahan.
Terdengar bibirnya berkemak-kemik, entah apa
yang digumamkan. Akan tetapi Wiratmana telah men-
dengarnya, karena itulah suara si Setan Cengkrong
yang khusus ditujukan padanya.
"Wiratmana...! Tampaknya sulit bagiku menje-
laskan pada semua orang, karena kau sendiripun tak-
kan mempercayai kata-kataku. Tak apalah, namun
seandainya aku panjang umur, kelak kau akan keta-
hui semuanya... Ya, semuanya...!".
Tercenung Wiratmana. Sepasang matanya me-
natap pada wajah si Setan Cengkrong yang menunduk
menatap tanah. Ketika dia palingkan wajahnya ke seki-
tar, terlihat wajah-wajah garang yang sudah siap men-
gantarkan kematian si manusia cacat itu.
"Setan Cengkrong! Kesabaran ada batasnya!
Rupanya kau lebih ingin memilih cepatnya kematian
mu! Baiklah, jangan kau menyesal...!". Seraya berkata,
si orang tertua dari tiga pendekar ini sudah melu-
ruskan cambuk berdurinya.
Selanjutnya mereka memutari si Setan
Cengkrong yang masih berdiri terpaku tak bergeming.
Dan... tiga utas cambuk berduri itu sudah meluncur
meluruk ke arah si tubuh cacat. CTARRR...!
CTARRR...!
CTARRR...! Hampir berbareng suara keras
menggema memekakkan telinga. Tubuh si Setan
Cengkrong tiba-tiba berkelebat menghindar. Gerakan-
nya ternyata amat tak terduga, karena seperti bayan-
gan putih yang melesat ketiga arah. Sementara lingka-
ran semakin diperbesar, hingga masing-masing orang

hampir merapat ke dinding goa. Namun kini sudah tak
beraturan lagi, karena harus siap menjaga kemungki-
nan si Setan Cengkrong meloloskan diri.
Dalam enam jurus saja keadaan sudah beru-
bah Kini si Setan Cengkrong merubah gerakannya. Ki-
ni tubuhnya bergelindingan cepat di antara kaki-kaki
ketiga orang lawannya. Tiba-tiba terdengar suara te-
riakan tertahan, ketika tiba-tiba satu persatu dari keti-
ga tokoh bercambuk duri itu keluarkan teriakan terta-
han, dan masing-masing roboh terguling. Kiranya
tongkat si Setan Cengkrong telah menghantam tulang
keringnya. Beruntung hantaman itu tidak terlalu ke-
ras, hingga mereka cuma meringis kesakitan meme-
gangi tulang keringnya yang benjol sebesar telur ang-
sa. Otomatis ketiga cambuknya terlepas. Bahkan den-
gan satu gerakan aneh, ketiga cambuk si Tri Tunggal
Cemeti Alam telah di sampok mental ke arah puluhan
orang yang mengelilinginya. Keruan saja keadaan jadi
berubah kacau.
Akan tetapi pada saat itu berkelebat dua orang
berbaju macan loreng. Mereka adalah si Macan Kem-
bar, yang berkepala gundul klimis alias botak. Lang-
sung saja menerjang si Setan Cengkrong dengan sepa-
sang lengan masing-masing yang memakai kuku besi
sepanjang satu jengkal.  Kuku-kuku ini mengandung
racun yang mematikan. Dibarengi bentakan keras, me-
reka gunakan cakar besinya untuk menyerang si Setan
Cengkrong.
"BRET....! BRET...! Dua serangan dengan men-
dadak itu membawa hasil cukup mengejutkan, karena
jubah si Setan Cengkrong kena dijambret hingga robek
hampir separuhnya. Menggerung keras si Setan
Cengkrong. Tubuhnya melejit naik dengan tongkat
menempel di tanah. Tiba-tiba si Setan Cengkrong ge-
rakkan tubuh memutar bagai gasing. BUK! BUK! Se-

rangan mendadak itu membuat si Macan Kembar ter-
perangah, tak sempat lagi mereka mengelakkan diri.
Kedua dada manusia ini terkena hantaman kaki si Se-
tan Cengkrong dengan telak. Tak ampun lagi keduanya
jatuh ngusruk menubruk kawan-kawannya. Keadaan
kembali gaduh dan kacau.
Dengan gunakan kegesitan tubuhnya yang me-
lompat-lompat, disertai sambaran tongkatnya yang
terkadang berputar bagai baling-baling, dia terus me-
rangsak hebat. Tiga pedang yang meluruk ke arahnya
terpental ke atas, bahkan salah satunya menancap di
pundak salah seorang yang mengepungnya. Terdengar
suara teriakan di sana-sini, disertai beberapa tubuh
terlempar keluar goa. Pada saat itu si Setan Cengkrong
telah gelindingkan tubuhnya dengan cepat menerobos
kepungan.
Namun begitu kakinya menjejak di tanah, bebe-
rapa sosok tubuh sudah lompat menghadang. Kini gili-
ran si Tombak Malaikat yang menerjang terlebih dulu.
Ujung tombak. bermata tiganya menghunjam
ke dada, nyaris menembus jantungnya, kalau dia tak
cepat menangkis dengan tongkatnya yang disilangkan
di depan dada.
"Kau tak akan dapat  meloloskan diri Setan
Cengkrong...!" Membentak si Tombak Malaikat. Senjata
tombak bermata tiganya mencecar terus si Setan
Cengkrong yang dalam keadaan rebah di tanah, segera
putarkan tongkatnya.
TRANG...! Terkejut si Tombak Malaikat. Tom-
baknya terpental balik. Telapak tangannya terasa ter-
getar. Kiranya yang menangkis adalah Wiratmana. Pe-
muda ini tak tega membiarkan si Setan Cengkrong da-
lam keadaan mengkhawatirkan sedemikian rupa. Be-
debah! Kau menolongnya...?". Teriak si Tombak Malai-
kat. Sepasang matanya mendelik gusar.

"Berilah kesempatan dia untuk bicara!" Teriak
Wiratmana dengan suara santar berwibawa. Pemuda
ini berdiri dengan gagah melintangkan pedang di atas
tubuh si Setan Cengkrong. Lalu berputar ke sekeliling-
nya.
"Aku Wiratmana akan melindungi jiwanya, dan
membunuh mampus siapa yang menolak untuk diajak
berdamai. Orang ini telah mengatakan padaku bahwa
semua perbuatan keji yang terjadi selama ini di bebe-
rapa wilayah adalah bukan perbuatannya!" Melengak
semua orang yang berada di situ, yang segera mereng-
gang beberapa langkah, serta saling pandang dengan
kawannya. Wiratmana sudah menatap kembali pada si
Setan Cengkrong seraya berkata.
"Bangunlah sobat! Bicaralah...! Kau dapat beri-
kan bantahan atas tuduhan mereka, dan berikan ala-
sanmu..!".
Namun pada saat  itu terdengar suara tertawa
terbahak-bahak, disertai munculnya sesosok tubuh.
"Hahaha.. .haha... Iblis perusuh sudah tertangkap dan
terkepung, mengapa tak dibunuh mampus segera?".
Semua kepala segera berpaling ke arahnya. Ternyata
yang datang adalah Adipati Rekso Jiwo.
Terkejut semua orang, dan serentak mundur
memberi jalan seraya menjura hormat Wiratmana pun
menjura, seraya berkata.
"Maaf, Gusti Adipati. Bukan hamba mau mem-
bela penjahat, akan tetapi orang ini telah lakukan pe-
nyangkalan atas dirinya yang tidak bersalah. Hamba
kira ada baiknya kita memberi kesempatan untuk dia
membela diri..."
Termenung sejurus sang Adipati. Semua jadi
hening ketika sang Adipati tengah merenung. Lalu ter-
dengar bicaranya.
"Sebenarnya aku takkan pernah menerima sa-

ran  dari siapa pun, tapi kali ini biarlah. Kau berani
melindungi tentu punya hubungan baik dengan manu-
sia ini. Berikan padaku pedangmu, kau kini jadi san-
dera ku. Dan kuberi waktu si Setan Cengkrong untuk
membela diri!". Seraya berkata lengan sang Adipati su-
dah terjulur cepat merampas pedang di tangan Wirat-
mana.
Tentu saja gerakan tak terduga itu yang dila-
kukan dengan cepat, membuat Wiratmana terkejut.
Namun! pedangnya sudah kena dirampas. Dan satu
tenaga keras tahu-tahu telah mendorong tubuhnya
terhuyung ke belakang. Pada saat itu terdengar benta-
kan keras sang Adipati.
"Ringkus dia...!". Serentak saja tiga orang su-
dah bergerak menangkap kedua lengan Wiratmana.
Bahkan selanjutnya sang Adipati sudah lemparkan
seutas tali untuk mengikat tubuh pemuda itu. Tak ayal
segera saja Wiratmana sudah diikat erat. Namun di
saat semua mata mengarah pada Wiratmana, tiba-tiba
si Setan Cengkrong bergerak melompat. Sebelah ka-
kinya telah digunakan menghantam dada sang Adipati.
BUK..! Terjangan kaki itu telak mengenai dada Adipati
Rekso Jiwo, yang membuat tubuhnya terhuyung. Tapi
dengan cepat pedang di lengannya sudah dipakai me-
nabas. WUT..! Sayang serangan dalam keadaan tubuh
limbung itu tak membawa hasil. Karena si Setan
Cengkrong sudah menggelinding cepat. Sebelah  len-
gannya menyambar sebuah  tombak di tangan salah
seorang yang sedang terpukau, dan selanjutnya den-
gan gesit sudah gunakan tombak itu untuk melompat
pergi.
"Kejarrrr...!" Teriak Adipati Rekso Jiwo dengan
gusar. Sementara sebelah lengannya masih memegangi
dadanya yang terasa sesak akibat hantaman kaki si
Setan Cengkrong. Namun semua orang masih terpaku

melihat kecepatan serta kegesitan manusia cacat  itu.
Saat mana si Setan Cengkrong sudah berkelebat le-
nyap.
"Bodoh...!". Maki sang Adipati. Akan tetapi pada
saat itu terdengar satu suara menyusup ke telinganya.
"Rekso Jiwo...! Manusia licik, pengecut! Aku
sudah tahu! Semua perbuatan keji itu kau dan guru-
mu si Setan Hitam yang melakukan! Tunggulah pem-
balasanku..."
"Hehe, Setan Cengkrong! Kuberi waktu kau se-
lama tiga hari, seandainya kau tak datang, sahabatmu
ini akan kubunuh mampus! Datanglah ke Goa Lembah
Pelangi, aku akan nantikan kau untuk menerima tan-
tanganmu...!"
Terkesiap si Setan Cengkrong. Tampak manu-
sia cacat ini menggeram amat. marahnya. Akan tetapi
dia sudah berkelebat pergi tinggalkan tempat keting-
gian itu. Akan halnya kata-kata dalam pengiriman su-
ara jarak jauh itu, tak seorangpun dari kaum tokoh-
tokoh persilatan yang mendengarnya. Namun ternyata
Roro Centil telah mendengar dengan jelas. Tentu saja
si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu bisa mendengar,
karena secara kebetulan dia berada tak jauh dari si Se-
tan Cengkrong di tempat persembunyiannya. Karena
ketika terjadi pertarungan hebat di dalam goa, Roro
berada di tempat itu, hingga sampai kelanjutannya
muncul sang Adipati Rekso Jiwo.
"Hm, jelaslah sudah! Kalau begitu biang kerok-
nya adalah si Setan Hitam dan Rekso Jiwo! Setan
Cengkrong cuma jadi korban kelicikan adipati itu. En-
tah ada permusuhan   apakah dengan kedua manusia
itu...!". Desis Roro perlahan.
Sementara itu sang Adipati telah perintahkan
Wiratmana segera dibawa, sebagai tawanan. "Bawa dia
ke Kadipaten! Dia merupakan jaminan nyawa si Setan

Cengkrong.!", Tiga orang anak buah sang Adipati sege-
ra menggusurnya jalan. Sedangkan Adipati Rekso Jiwo
yang berilmu tinggi itu, sekali berkelebat segera lenyap
dari situ. Para kaum Rimba Hijau yang lainnya pun se-
gera angkat kaki, dengan wajah-wajah yang menam-
pilkan kekecewaannya.
Ratih Dewi berjalan cepat menuju bukit Kelela-
war. Sementara hatinya berdebar tak keruan karena
mengkhawatirkan keselamatan Wiratmana, yang di
sangkanya Permana. Akan tetapi Ratih Dewi menemui
kesulitan untuk mencari bukit itu, karena disamping
dia jarang turun gunung sejak selama tiga tahun ber-
guru dengan si manusia misterius yang berjulukan Ib-
lis Muka Seribu, dia juga belum hafal situasi daerah
itu. Tujuan yang sebenarnya adalah membawa tugas
dari gurunya si Iblis Muka Seribu untuk mengambil
perbekalan yang telah disediakan, di desa Atas Angin.
Hal demikian memang sering dilakukan satu bulan se-
kali.
Sekalian untuk menguji ilmu kekuatan lari ce-
pat yang dipelajarinya. Dan juga merupakan ujian bagi
dirinya, apakah akan melarikan diri atau merasa betah
berdiam di goa tersembunyi itu. Perjumpaan dengan
gurunya boleh dibilang hanya berkisar dalam pelajaran
ilmu kedigjayaan saja, yang dilakukan secara aneh.
Yaitu Ratih Dewi diperintahkan menghapal se-
tiap gerakan. Dan pada menjelang malam dia harus
sudah siap menerima serangan mendadak dari sesosok
tubuh yang tak diketahuinya apakah gurunya, atau-
kah orang lain. Demikianlah hingga selama tiga tahun
itu Ratih Dewi tak pernah mengetahui wajah gurunya.
Terkadang dia menduga sang guru adalah seorang
yang cacat mukanya, hingga tak ingin menampakkan
wajahnya.
Demikianlah, hingga ketika giliran mengambil

perbekalan, Ratih menjumpai banyak mayat bergelim-
pangan di mana-mana. Hal tersebut menimbulkan per-
tanyaan dirinya. Sebulan yang lalu dia memang telah
mendengar adanya tokoh persilatan yang berjulukan si
Setan Cengkrong. Ratih Dewi memang punya dugaan
kalau hal itu perbuatan si Setan Cengkrong, yang me-
nurut apa yang didengar dari gurunya bahwa ada to-
koh golongan hitam yang sengaja membuat keonaran.
Padahal Ratih Dewi sendiri tak mengetahui entah Gu-
runya dari golongan mana? Bila melihat dari julukan-
nya, tentu akan menyangka tokoh golongan hitam, tapi
tindak-tanduk terhadap dirinya amat baik. Itulah ke-
misteriusan si Iblis Muka Seribu yang memang amat
misterius.
Sementara diam-diam hati sang dara ini sema-
kin kebat kebit. Disamping mengkhawatirkan nasib
sang kekasihnya, juga takut kalau kepergok sang guru
karena menyeleweng dari tugasnya.
Kekhawatirannya menjadi kenyataan, ketika ti-
ba-tiba terdengar suara tanpa ada orangnya. "Ratih
Dewi..! Sebaiknya kalau kau memang mau menunda
tugasmu tak menjadi soal. Akan tetapi urungkan
niatmu ke bukit Kelelawar. Kembalilah segera...!". Ter-
kejut bukan main Ratih Dewi, seketika wajahnya beru-
bah pucat Akan tetapi dia sudah menyahut...
"Ba... baik guru!". Dan tak ayal lagi dara ini su-
dah putar tubuh untuk selanjutnya tancap kaki berlari
cepat tinggalkan tempat itu. Sementara hatinya sema-
kin kebat-kebit. Entah hukuman apa yang akan dite-
rimanya nanti. Perjalanan yang ditempuh cukup jauh
dan melelahkan, namun dia terus berlari, dan berlari,
untuk segera sampai di tempat tujuan.
Tak dikisahkan perjalanannya... Ratih Dewi te-
lah sampai di mulut goa di mana selama ini menetap.
Ternyata sang guru sudah berada di dalam goa, duduk

di atas batu seperti biasa dengan topi tudung yang
menutupi wajahnya. Suara si Iblis Muka Seribu sudah
terdengar bernada dingin mencekam.
"Silahkan masuk, muridku. Dan kembali ke
kamar...!". Ratih Dewi mengangguk dan beranjak ma-
suk dengan wajah menunduk. Dara ini rebahkan tu-
buhnya di pembaringan dengan tubuh letih lesu. Se-
mentara hatinya berdebaran tak keruan rasa. Hawa
panas yang cukup membuat tubuh sang dara ini man-
di keringat, membuat dia lepaskan pakaian luarnya,
untuk duduk sambil mengipas. Saat itulah terdengar
satu suara yang tak asing lagi baginya, yaitu suara
sang guru yang didengarnya di balik dinding kamar.
"Ratih Dewi, kau tahu hukuman apa bagi mu-
rid yang menyeleweng dari tugasnya?" Pucat seketika
wajah dara ini. Segera dia menyahuti dengan suara
bergetar.
"Aku memang bersalah, guru! Silahkan beri
hukuman padaku! Aku ... aku akan menerimanya!".
"Bagus ..Sahut sang guru, yang tahu-tahu so-
sok tubuhnya sudah berdiri di depan pintu ruangan
kamarnya.
Terperangah Ratih Dewi, ketika baru untuk
pertama kalinya dia melihat wajah sang guru adalah
ternyata seorang laki-laki yang gagah dan cukup tam-
pan.
"Hukumanmu adalah melayani gurumu murid
ku...! Tiga tahun waktu yang cukup untuk aku mendi-
dikmu menjadi pewaris ilmu-ilmuku. Kau pernah ber-
janji tak menolak syarat-syarat yang ku  ajukan. Ini
adalah salah satu syarat itu, yang merupakan juga
hukuman atas penyelewengan mu...! Apakah kau be-
rani menolaknya...?". Tanya si Iblis Muka Seribu. Pu-
cat pias wajah Ratih Dewi, akan tetapi dia sudah men-
jawab dengan suara tergetar.

"Ti... tidak, guru...!". Tersenyum si Iblis Muka
Seribu seraya berucap.
"Bagus! Kau memang seorang murid yang ber-
bakti terhadap gurumu...".
Sementara di luar goa telah terdengar suara
orang tertawa terkekeh-kekeh yang sudah berkelebat
masuk. Ternyata tak lain dari si Setan Hitam.
"Hehehe... hehe... Iblis Muka Seribu, aku bawa
seekor kelinci putih yang montok. Apakah kau tak
mengilar untuk menyantapnya?". Berkata si Setan Hi-
tam. Kakek jubah hitam ini memang membawa seekor
kelinci di tangannya, yang segera beranjak masuk ke
dalam. Akan tetapi karena tak ada sahutan, dia sudah
berkata sendirian seraya membawa kelincinya ke bela-
kang.
"Hmm...! Biarlah aku akan memasaknya, kau
tinggal menyantapnya saja nanti, hehehe...."
Dasar orang kejam dan telengas, si Setan Hitam
bukannya memotong dulu kelinci itu, baru menguli-
tinya. Akan tetapi langsung saja menguliti tanpa me-
motong terlebih dulu. Keruan saja binatang itu menci-
cit-cicit setengah mati. Keadaan di belakang goa ter-
nyata adalah sebuah bukit yang penuh tumbuh rum-
put ilalang. Cuaca tidak begitu bagus. Angin sesekali
berhembus menyibak daun-daun ilalang. Agaknya sen-
ja sudah tiba. Mentari mulai membenam di ufuk barat,
si Setan Hitam dengan tertawa-tawa menyeringai asyik
dengan pekerjaannya....
Selang tak lama sudah tercium bau wangi dari
sedapnya daging kelinci panggang. Ketika sosok tubuh
si Iblis Muka Seribu muncul di muka pintu ruang be-
lakang, kelinci itu sudah matang keseluruhannya. "Ah,
kebetulan...! Boleh aku mencicipinya, guru...?" Berkata
si Iblis Muka Seribu yang tak lain adalah Rekso Jiwo
alias sang Adipati.

"Hehehe... silahkan! silahkan...". Berkata si Se-
tan Hitam, seraya angkat daging kelinci dari pang-
gangnya. Selanjutnya sudah membelahnya menjadi
dua bagian. Dan tak berapa lama mereka sudah meng-
gayamnya panas-panas.

* * *

Mentari sudah hampir masuk ke peraduannya,
ketika di lembah dekat lereng perbukitan yang menghi-
jau itu terjadi kegaduhan. Enam belas orang bergerak
mengejar sesosok tubuh semampai yang berambut
panjang beriapan. Di pundaknya memanggul  sesosok
tubuh yang kedua lengannya terikat. Sosok tubuh itu
tak lain dari RORO CENTIL adanya. Kiranya ketika
sang adipati berkelebat meninggalkan anak buah dan
kaum persilatan, Roro melihat Wiratmana diseret dan
didorong oleh tiga anak buah sang adipati itu untuk
dibawa ke Kadipaten. Diam-diam Roro mengikuti. Tapi
ternyata bukan Kadipaten yang dituju, melainkan ada-
lah Lembah Pelangi. 
Di tengah perjalanan dekat sebuah candi pe-
ninggalan Kerajaan Sriwijaya telah dijemput oleh tiga
belas orang yang berpakaian rata-rata berwarna gelap.
Ternyata adalah orang-orangnya Adipati Rekso Jiwo.
Dua orang yang menunggang kuda menaikkan Wirat-
mana ke punggung salah seekor kuda, lalu memba-
wanya lebih dulu melalui satu lembah rumput. Semen-
tara yang lainnya mengiringi di belakang. Perjalanan
tidak begitu cepat, sehingga ke empat belas orang lelu-
asa mengikuti di belakang. Tentu saja Roro sudah
mengetahui kalau tujuannya adalah ke Lembah Pelan-
gi. Namun karena tak mengetahui di mana adanya
lembah tersebut, sengaja Roro menguntitnya. 
Menjelang cuaca agak redup di mana matahari

mulai terbenam mereka sudah tiba di Lembah Pelangi.
Terkejut Roro Centil melihat situasi keadaan di lembah
tersebut dari kejauhan. Karena nampaknya di tempat
itu seperti keadaan di dalam kota tua. Terlihat banyak
prajurit-prajurit lengkap dengan tombaknya, mondar-
mandir di depan sebuah goa yang sekilas mirip sebuah
bangunan gedung yang ada undakan tangga batu di
bagian depannya.
Mengetahui keadaan akan lebih gawat, bila
sampai Wiratmana tertawan di Goa Lembah Pelangi,
segera Roro bertindak menyelamatkan Wiratmana...
Sementara Roro Centil terus tancap kaki den-
gan  kerahkan ilmu lari meninggalkan kawasan Lem-
bah Pelangi. Selang tak lama segera hentikan larinya,
ketika memasuki mulut sebuah desa. Segera Roro Cen-
til lepaskan ikatan pada lengan si pemuda. Sementara
Wiratmana sudah hampir tak sadarkan diri, karena
sepanjang jalan sesekali tangan-tangan  iseng sering
melayang ke arah tubuh dan kepalanya. Sepasang ma-
tanya sudah berkunang-kunang. Ketika tahu-tahu te-
rasa ada sebuah lengan yang menyambar tubuhnya,
dan melarikannya dengan cepat.
Terkejut Wiratmana, karena dirinya telah dito-
long oleh dara yang baru beberapa saat dikenalnya.
Dengan sepasang mata menatap seperti hampir tak
percaya, dia melihat dara jelita itu tersenyum padanya
seraya berucap.
"Sobat Wiratmana. Sukurlah aku bisa menye-
lamatkan dirimu. Hingga kau bukan lagi sandera yang
dapat dipermainkan seenaknya saja oleh si Adipati
itu...!".
"Oh, terima kasih atas pertolongan anda, nona
Roro! Aih, membuat aku jadi malu karena laki-laki di-
tolong oleh seorang wanita...!".
"Hihihi... hihi... memangnya kenapa?" Roro ter-

tawa mengikik tampakkan sebaris giginya yang putih.
Membuat hati Wiratmana tergetar. Oh, indahnya wa-
jahnya, dan kedua lesung pipit di pipi itu...
Roro yang memang berniat mengunjungi pengi-
napan Sindu Rejo, yaitu tempat di mana Wiratmana
menginap, segera mengajak pemuda itu ke sana. Tentu
saja Wiratmana setuju, bahkan berlega hati, karena di
sana dia bisa menjumpai ketiga orang kawannya yang
tengah menantinya. Yaitu yang bergelar si Tiga Pende-
kar Ular Mas.
Penginapan Sindu Rejo adalah satu-satunya
penginapan di daerah itu, yang amat ramai baik siang
mau pun malam. Memang rata-rata penginapan selalu
menyediakan ruang untuk makan, yang dijadikan res-
toran di bagian bawahnya. Begitu juga pada siang hari
itu. Penginapan Sindu Rejo tampak ramai dikunjungi
orang. Terutama pada restorannya. Karena letaknya di
kota yang ramai, tak jarang dari para pengunjung yang
datang adalah orang-orang terpandang, pembesar
pembesar Keraton dan juga tak sedikit para kaum per-
silatan. Juga rakyat biasa. 
Dua meja makan yang berada di sudut ruangan
tampak telah terisi oleh lima orang tokoh persilatan.
Mereka tak lain dari si Tiga Pendekar Ular Mas, Roro
Centil, dan Wiratmana. Kelima orang itu asyik dalam
pembicaraan yang dilakukan tidak terlalu keras mem-
buka suara. Semua kursi telah penuh. Cuma ada satu
bangku kosong di belakang Wiratama, yang sengaja
kursinya ditarik mendekat dengan para sahabatnya
untuk mengobrol sambil menikmati hidangan.
Ketika tiba-tiba masuk seorang laki-laki berusia
kira-kira 40 tahun lebih, diikuti delapan orang kawan-
nya. Laki-laki ini tak lain dari Sentani. Kedatangannya
disambut oleh si pemilik restoran dengan terbungkuk-
bungkuk menjura.

"Oh, selamat datang Kanjeng Tumenggung.
Aduuh, sayang sekali tak ada meja yang kosong. Harap
maafkan. Mungkin sebentar lagi...."
Belum lagi habis bicara si pemilik Restoran,
sudah terdengar bentakan keras, dibarengi dengan
disambarnya baju di dada orang tua itu.
"Aku bukan mau makan di restoran  mu, tua
bangka! Tapi akan menyita rumah Penginapan ini be-
rikut semua isinya...!"
"Hah!?". Terkejut si pemilik Restoran. Wajahnya
jadi pias berubah pucat, dan tubuhnya gemetaran.
Dengan tergagap-gagap orang tua itu berkata...
"Oh, apakah kesalahanku Kanjeng Tumeng-
gung...! Me... mengapa bisa demikian...?".
"Kau telah menyembunyikan penjahat di Pengi-
napan mu! Kesalahan ini tak dapat diampuni!".Bentak
Sentani, seraya menghempaskan si Pemilik Restoran
itu, hingga jatuh ngusruk mencium lantai. Ketika
bangkit lagi mulutnya mengucurkan darah. Ternyata
giginya sudah tanggal dua buah. Tentu saja kejadian
itu membuat panik para tetamu yang sedang makan.
Tiba-tiba dua orang dari orang-orang bawahannya te-
lah menunjuk pada Wiratmana dan Roro Centil. Seraya
salah seorang berteriak.
"Itulah dia manusianya! Keduanya memang
sembunyi di tempat ini...!".
Ke delapan orang itu sudah mengurung mere-
ka, seraya mencabut pedang dari pinggang dan meng-
hunusnya. Sementara si pemilik restoran sudah me-
nyingkir dengan wajah pucat ketakutan.
Roro Centil maju ke tengah seraya menjura pa-
da Sentani.
"Maaf, apakah anda Tumenggung yang mengu-
asai wilayah ini?". Tanya Roro.
"Pakai tanya-tanya segala! Menyerahlah kau,

nona! Kau telah melindungi dan membawa lari sandera
Adipati Rekso Jiwo! Aku bawa surat perintah dari Kan-
jeng Sultan. Beliau memerintahkan kami untuk me-
nangkapmu berdua!".
Melengak Roro Centil dan Wiratmana. Adapun
si Tiga Pendekar Ular Mas tampak tampilkan wajah
pias, dan saling pandang pada kawannya. Juga mena-
tap
Roro dan Wiratmana. Tumenggung Sentani
mengeluarkan segulung kertas dari balik bajunya.
Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan putih
memasuki Restoran. Tahu-tahu terdengar bentakan
keras...
"Surat Palsu ...!". Begitu terdengar bentakan
itu, tahu-tahu Tumenggung Sentani membeliak sepa-
sang matanya. Karena tiba-tiba punggungnya telah ter-
tembus tongkat kayu hingga ke dadanya. Selanjutnya
sudah roboh dengan berkelojotan meregang nyawa.
Delapan orang lainnya terkejut, dan serentak paling-
kan kepalanya. Akan tetapi ke delapan orang itu ham-
pir serentak bertumbangan satu persatu ketika tong-
kat si pendatang itu berkelebatan menabas leher me-
reka. Seketika ramai-lah suara teriakan dari orang-
orang yang sekarat. Bergelinjangan tubuh-tubuh itu
meregang nyawa. Namun sesaat mereka sudah tewas
dengan darah membanjir menganak sungai.
Ternyata di hadapan mereka telah berdiri seso-
sok tubuh dengan satu kaki, dan sebelah lengannya
melengkung ke dada. Wajahnya mengerikan mirip
tengkorak. Siapa lagi kalau bukan si Setan Cengkrong
adanya. Terkejut Wiratmana, juga Roro dan si Tiga
Pendekar Ular Mas. Sebelum mereka ucapkan kata-
kata, si Setan Cengkrong telah mendahului bicara.
"Tumenggung yang kubunuh mampus ini ada-
lah Tumenggung palsu! Mereka semua adalah begun-

dalnya si Rekso Jiwo!". Selesai berkata, sepasang mata
si Setan Cengkrong tiba-tiba beralih menatap pada Wi-
ratmana. Di balik wajahnya yang kaku menyeramkan
itu, sepasang mata si Setan Cengkrong seperti mem-
bersitkan sinar aneh. Lalu alihkan menatap pada Roro,
dan si Tiga Pendekar Ular Mas.
"Sukurlah, kalian telah menyelamatkan
,sahabat ku itu dari sandera si Rekso Jiwo. Ketahuilah,
Adipati palsu itu sebenarnya tengah dalam kejaran
Gusti Kanjeng Sultan Hadibowo dari Kasepuhan. Dia
tak berhak menggantikan ayahnya, Adipati Banu Rek-
so yang tewas dibunuh! Karena dia cuma anak angkat
dari istri pertamanya. Namun dia telah memanfaatkan
jabatan sebagai Adipati selama hampir tiga tahun,
tanpa memberi laporan pada Kanjeng Sultan!". Tutur si
Setan Cengkrong. Akan tetapi pada saat itu, terdengar
bentakan keras.
"Setan Cengkrong! Manusia keparat...! Berani
kau memalsukan diriku?! Keluarlah untuk menerima
kematian...!". Terkejutlah lima pasang mata dari para
pendekar ini, termasuk Roro Centil. Karena di luar ter-
lihat pula manusia cacat yang bertubuh dan berwajah
serupa dengan Setan Cengkrong yang berada di dalam.
"Kaulah yang memalsukan diriku, manusia be-
jat!". Teriak Setan Cengkrong yang berada di dalam.
Dan sekejap saja dia sudah berkelebat keluar. Tak ayal
Roro Centil-pun menyusul melompat keluar di susul si
Tiga Pendekar Ular Mas dan Wiratmana.
Tiba-tiba si Setan Cengkrong yang tadi berada
di luar telah tarik keluar sebilah pedang berwarna hi-
tam legam. Itulah Pedang Setan. Tentu saja membuat
sekonyong-konyong si Tiga Pendekar Ular Mas terke-
siap. Seraya sudah maju melompat dengan berbareng
ke tengah kalangan.
"Darimana kau dapatkan Pedang Setan itu!".

Bentak salah seorang yang paling tua dari kedua ka-
wannya.
"Hahaha... aku merampasnya dari gurunya si
Setan Cengkrong palsu itu!".
Melengak si Tiga Pendekar Ular Mas. Seraya
sudah balikkan tubuh menatap si Setan Cengkrong sa-
tunya lagi.
"Gurunya adalah yang berjulukan si SETAN HI-
TAM!". Setan Cengkrong lanjutkan kata-katanya.
"Bedebah! Laknat...! Itulah gurumu... manusia
setan!". Teriak si Setan Cengkrong yang satu ini. Se-
mentara diam-diam hatinya mengeluh. Bedebah laknat
ini sengaja mau mengkambing hitamkan aku lagi! Ce-
laka, semua orang telah terpedaya dengan pengaruh
ilmu SIHIR HITAMNYA! Memikir demikian si Setan
Cengkrong yang satu ini terpaksa mengambil keputu-
san untuk menyelamatkan diri, karena bisa-bisa se-
mua kaum pendekar yang berada di situ akan mem-
bunuhnya. Segera saja dia berkelebat  melompat ke
samping rumah penginapan, dan lenyap.
Saat itu si Setan Cengkrong sudah keluarkan
bentakannya untuk selanjutnya melompat mengejar.
Akan tetapi sebelum kakinya bergerak, sudah berkele-
bat ke hadapannya sesosok tubuh ramping. Ternyata
Roro Centil.
Dengan tertawa genit, Roro Centil sudah angkat
sebelah lengannya, seraya berkata.
"Maaf...! aku menahan anda sebentar, sobat Se-
tan Cengkrong!".
Tentu saja melenguk si Setan Cengkrong yang
baru ini. Akan tetapi melihat yang menghadang adalah
seorang gadis  muda yang amat cantik, membuat dia
sejenak tertegun. "Apakah keperluanmu, adik manis?
Ah, gara-gara kau menahanku si manusia yang me-
nyaru diriku itu bisa kabur!". Ujar si manusia cacat

ini.
Akan tetapi kata-kata itu justru membuat Roro
jadi tertawa terpingkal-pingkal. Membuat si Setan
Cengkrong jadi plototkan matanya dengan tatapan
aneh.
"Eh, adik! Siapakah kau adanya? Mengapa kau
tertawa geli...?". Tanyanya.
"Hihihi... hihi... kau mengatakan bahwa dia te-
lah menyamar sebagai dirimu! Itulah yang membuat
ku tertawa! Kau adalah seorang manusia yang bertu-
buh normal, mengapa kau katakan dia menyaru seba-
gai dirimu? Bukankah aneh..!". Berkata Roro. Tentu
saja hal itu membuat si Setan Cengkrong ini jadi ter-
kesiap. Hatinya segera membatin. Celaka! Gadis ini te-
lah memunahkan ilmu SIHIR HITAM KU!???.
Terkejut bukan main si Setan Cengkrong palsu
ini, yang dirinya tak lain adalah Rekso Jiwo adanya.
Kekuatan ilmu SIHIR HITAM yang luar biasa
hebatnya, ternyata telah berhasil menyaru menyerupai
si Setan Cengkrong yang sebenarnya.
Bahkan telah pula merubah wajah dan perawa-
kan menjadi seorang tokoh persilatan yang berjulukan
si Iblis Muka Seribu. Seperti diketahui Iblis Muka Seri-
bu telah menjadi guru Ratih Dewi, yang sampai kini
dara itu sedikitpun tak mengetahui kalau gurunya
sendiri itu adalah musuh besarnya. Karena kedua
orang tuanya, yaitu Ki Demang Harya Winangun dan
istrinya telah dibunuh mati oleh Rekso Jiwo, alias gu-
runya sendiri.
Kekuatan ilmu SIHIR HITAM itu cuma berlaku
sampai satu pekan, atau tujuh hari. Beberapa bulan
belakangan ini Rekso Jiwo telah meminjam wajah dan
perawakan si manusia cacat, yang sebenarnya berju-
lukan si Cengkrong. Karena sejak kemunculannya be-
berapa bulan yang lalu, si orang cacat yang berilmu

tinggi itu banyak berbuat kebajikan menolong orang.
Rekso Jiwo segera dapat mengetahui siapa adanya
orang cacat itu, yang tak lain adalah PRAMANA. Seper-
ti yang pernah diceritakan, Pramana adalah kekasih
Ratih Dewi, juga salah seorang murid Penambahan Ga-
lih Kumitir, yang telah tewas dibunuhnya, berikut ke-
lima belas murid-muridnya. Cuma Pramana yang dibe-
rinya hidup, dan dibuatnya menjadi orang cacat tanpa
daksa. Saat Rekso Jiwo mengetahuinya adalah dengan
menguntitnya, ketika pemuda itu berhasil menggagal-
kan maksudnya merampok kereta kuda berisi barang
upeti yang diperuntukkan buat kerajaan Medang yang
sudah berganti dengan nama MATARAM.
Dengan mengetahui siapa adanya si manusia
cacat yang dijuluki si Cengkrong itu, serta mengetahui
pula siapa gurunya, maka Rekso Jiwo pergunakan il-
mu sesatnya menyaru sebagai Pramana. Hingga ber-
macam kejahatan itu jatuhkan nama si manusia cacat
alias Pramana yang terakhir dijuluki si SETAN
CENGKRONG. Demikianlah, terkadang Rekso Jiwo
menjadi Adipati, terkadang menjadi si Setan
Cengkrong. Juga terkadang menjadi guru Ratih Dewi
yang bergelar si Iblis Muka Seribu......
Kini mengetahui adanya seorang gadis yang tak
terkena pengaruh ilmu SIHIR HITAMnya, membuat
Rekso Jiwo jadi terkejut bukan main. Padahal Roro
sendiri sebenarnya tetap dalam pengaruh ilmu Sihir
Hitam Roro Centil memang sudah berusaha menggu-
nakan kekuatan batinnya untuk melihat siapa ujud
asli si Setan Cengkrong yang belakangan ini.
Itulah sebabnya Roro Centil bisa mengatakan
bahwa tubuh si "Setan Cengkrong" di hadapannya itu
normal. Sungguh tak dinyana kata-kata Roro itu seka-
ligus membuat punahnya ilmu SIHIR HITAM-nya Rek-
so Jiwo. Terlihat secara nyata tubuh si Setan

Cengkrong berangsur-angsur berubah ujud. Dan kem-
bali ke asal ujudnya sebagai Rekso Jiwo yang memang
bertubuh Normal. Sayangnya hal itu tak disadari oleh
Rekso Jiwo sendiri. Tentu saja kejadian aneh itu mem-
buat semua mata jadi terbeliak, termasuk juga Roro
Centil. Juga tak kurang dari dua puluh pasang mata
dari orang-orang yang menonton mengelilingi dari tem-
pat yang agak jauh, melihat perubahan aneh itu.
"Oh, maafkan aku, sobat Setan Cengkrong! Aku
hanya main-main saja. Kakimu memang cacat, kok...!
Siapa yang bilang kau orang normal...? Hihi hi... hi-
hi..." Seraya berkata, tiba-tiba Roro Centil telah gerak-
kan kakinya menghantam kaki Rekso Jiwo hingga ber-
derak hancur.... Dan dua kali lengannya bergerak se-
cara hampir berbareng membuat Rekso Jiwo terlempar
lima tombak, dengan perdengarkan jeritannya.
Keadaannya lebih parah lagi dari si Setan
Cengkrong yang sebenarnya. Karena berkali-kali Rekso
Jiwo berdiri, berkali-kali jatuh lagi. Sebabnya karena
telah terlepas sambungan tulang lututnya, hingga tak
bisa berdiri lagi walau dengan satu kaki. Saat Rekso
Jiwo tengah berjingkrakan jatuh bangun itulah berke-
lebat sesosok tubuh menghantam dada Rekso Jiwo
dengan telak. 
Laki-laki itu kembali berteriak parau. Kali ini
kekuatan tenaga dalamnya telah punah sebagian,
hingga dia terjungkal dengan semburkan darah  dari
mulutnya. Si penerjang itu tak lain dari Setan
Cengkrong, yang telah kembali muncul secara tiba-
tiba. Ternyata Setan  Cengkrong memang masih sem-
bunyi di sekitar tempat itu. 
"TAHAN...!" Satu teriakan menggema ketika si
Setan Cengkrong gerakkan tongkatnya disertai lompa-
tan tubuhnya, menusuk dada Rekso Jiwo.
Akan tetapi teriakan itu terlambat sudah...

Tongkat si Setan Cengkrong telah meluncur deras tak
tertahankan lagi. Dan menembus amblas ke dada Rek-
so Jiwo. Terdengar lagi teriakan mengerikan Rekso Ji-
wo. Tubuhnya menggeliat dengan wajah me nyeringai
kesakitan. Sementara kedua lengannya telah mencekal
tongkat yang amblas ke dadanya. Ternyata yang berte-
riak adalah Ratih Dewi.
"Guruuu...!". Teriaknya, seraya melompat ke-
hadapan Rekso Jiwo. Sepasang mata gadis ini bersim-
bahkan air mata. Ternyata Rekso Jiwo belum tewas.
Melihat kemunculan Ratih Dewi sepasang matanya
bersinar kembali. Bahkan masih sempat dia memak-
sakan diri untuk tersenyum. Dan berkata dengan sua-
ra lirih.
"Murid... ku! Aku me...nyesal mem... bunuh ke-
dua... orang... tua...mu..."
Selesai mengatakan demikian, terkulailah kepa-
la Rekso Jiwo. Nafasnya telah putus dan kembali
menghadap Tuhan. Tentu saja kata-kata itu bak petir
yang menggelegar didengar Ratih Dewi. Hatinya tak ke-
ruan rasa. Gurunya sendiri ternyata adalah pembunuh
ke dua orang tuanya
Pada saat itulah tiba-tiba berkelebat sebuah
bayangan hitam ke arah mayat Rekso Jiwo. Ternyata
tak lain dari si Setan Hitam. Tampak lengannya men-
cabut tongkat kayu di tubuh Rekso Jiwo dengan cepat.
Dan di  luar dugaan telah melemparkannya ke arah
Pramana. Terkejut bukan main  Roro Centil yang tak
sempat memperhatikan lemparan mendadak itu. Saat
itu Pramana memang tengah membelakangi si Setan
Hitam. Akan tetapi di saat yang amat gawat itu, Ratih
Dewi telah berseru keras. Dibarengi dengan berkele-
batnya sang tubuh ke arah Pramana.
"Awas!. Serangan gelap!". Tujuan Ratih yang
memperingati Pramana, yang tadinya bermaksud men-

dorong tubuh pemuda itu, ternyata membawa kema-
tian pada dirinya sendiri. Karena sekejap antaranya
Ratih Dewi perdengarkan jeritan menyayat hati, ketika
tongkat kayu milik Pramana alias si Cengkrong  itu
menghunjam tepat ke jantungnya.....
Sukar untuk diceritakan bagaimana Ratih Dewi
meregang nyawa di saat sekarat itu. Semua orang jadi
terkesima. Sementara Roro Centil telah keluarkan ben-
takan keras mengejar si Setan Hitam, yang telah me-
nyambar tubuh Rekso Jiwo untuk dibawa berkelebat.
Di lain kejap si Tiga Pendekar Ular Mas juga telah ber-
kelebatan mengejar.
"Berhenti.. !" Bentak Roro Centil yang sudah
melompat menghadang di depan si Setan Hitam.
"Hihihi... hihi... kita ketemu lagi Setan Hitam
eh, Setan Hitam! Mau kau bawa kemana rongsokan
itu? Dijualpun takkan laku!". Ujar Roro seenaknya.
Melotot mata si kakek tonggos ini. Namun juga terke-
jut, karena tak menyangka kalau mereka bisa berjum-
pa lagi di tempat ini. Di samping mendongkol, akan te-
tapi juga hatinya kebat-kebit. Karena dilihatnya sang
dara genit itu telah keluarkan sebuah pedang dari be-
lakang punggungnya. Itulah Pedang Setan miliknya.
Yaitu Pedang yang berada di tangan Rekso Jiwo
sang murid. Pedang Pusaka yang telah didapatnya
dengan susah payah itu kini berada di tangan seorang_
dara cantik yang berjulukan Ratu Segala Iblis. Roro
Centil memang pernah mempergunakan julukan demi-
kian pada si Setan Hitam, ketika mereka saling berte-
mu.
Melihat benda pusaka itu, si Setan Hitam su-
dah berkata bengis.
"Berikan padaku pedang itu! Itu punyaku...!"
Sebelah lengannya bergerak dengan telapak tangan
tertelentang ke arah Roro. Sementara Roro Centil ter-

kejut bukan main karena tahu-tahu pedang yang dice-
kalnya itu seperti tersedot keras sekali oleh segelom-
bang tenaga yang tak terlihat.
Akan tetapi sebagai tokoh yang sudah cukup
lama berkecimpung di Rimba Hijau, Roro Centil segera
keluarkan ilmu dari lembar daun lontar, warisan gu-
runya. Yaitu ilmu tenaga dalam yang dinamakan Ajian
Sari Rapet.
Apakah yang terjadi?....
Kalau tadinya Roro Centil tampak agak kewala-
han menahan pedangnya agar jangan sampai kena ter-
sedot, tapi kini tampak tenang-tenang saja. Sementara
genggaman tangannya semakin rapat seperti sudah
menempel saja menjadi satu dengan gagang pedang.
Tentu saja melihat sang dara tampaknya enak saja
menahan kekuatan tenaga dalam yang menyedot dah-
syat itu, si Tiga Pendekar Ular Mas jadi menatap ka-
gum. Ternyata Ketiga Pendekar itu sudah berhasil me-
nyusul keduanya yang tengah adu kekuatan, menarik
dan menahan.
Dilihatnya si Setan Hitam sampai keluarkan air
liur dari mulutnya yang tonggos alias giginya tersem-
bul keluar. Kekuatannya ditambah lagi seperempat ba-
gian. Namun Roro tetap tenang-tenang saja. Membuat
si Setan Hitam jadi terheran-heran, tetapi juga penasa-
ran. Saat itu dengan sebelah lengannya yang lain, Roro
Centil loloskan sebuah senjata Rantai Genitnya. Tentu
saja hal itu tak luput dari sepasang mata tuanya yang
masih tajam.
Terkejut juga aneh, si Setan Hitam melihat
ujung rantai yang terdapat bandulan bentuknya mirip
payudara wanita. Belum lagi dia mampu menarik Pe-
dang Setan, selanjutnya Roro telah memutarkan si
Rantai Genit di atas kepala. Segera saja mengeluarkan
suara yang berdengung bagaikan suara ratusan atau

ribuan tawon. Hal mana amat mengganggu konsentrasi
si Setan Hitam. Namun dengan kerahkan kekuatan
menyedot tenaga yang ditambah secara tiba-tiba, dia
berhasil membuat pedang di tangan Roro terlepas.
Akan tetapi terkejutnya bukan alang kepalang, karena
justru Pedang Setan terlalu deras meluncur ke arah
tubuhnya. Mana mampu dia menangkapnya dengan
tenaga yang terlalu berlebihan demikian?
Kecepatan jari-jari tangannya untuk menang-
kap, ternyata lebih cepat sang Pedang Setan yang me-
luncur deras ke arah lambungnya, Tak ampun lagi pe-
dang pusaka itu telah lewat nyeplos menembus tu-
buhnya. Menyembur darah segar dari lambung dan
punggung si manusia berjubah hitam itu. Sementara
Pedang Setan yang nyeplos itu telah menancap amblas
di batu gunung sampai tak kelihatan lagi.
Bersamaan dengan robohnya tubuh si Setan
Hitam itu, teriakan parauhya pun terdengar santar.
Tubuh manusia itu berkelojotan meregang
nyawa yang jatuhnya saling tindih dengan mayat Rek-
so. Saat itu si Tiga Pendekar Ular Mas cuma bisa ter-
paku saja melihat kejadian yang berlangsung begitu
cepat.
Akan tetapi di luar dugaan si Tiga Pendekar
Ular Mas telah hantamkan lengannya dengan berba-
reng ke batu gunung di belakang si Setan. Hitam yang
tengah sekarat. Terdengar suara bagai ledakan.
Saat mereka menunggu asap menipis seraya
menjauh untuk memperhatikan ke mana melayangnya
sang pedang, saat itu pula Roro Centil sudah berkele-
bat lenyap. Ketika mereka melihat ke tempat kejadian
pertarungan, cuma dapatkan tubuh si Setan Hitam
yang sudah kaku tak bergeming. Sementara sang dara
yang bernama Roro itu sudah tak kelihatan lagi batang
hidungnya.....



T A M A T