Roro Centil 8 - Si Cantik Berdarah Dingin(2)




bisnya meluruk, walaupun ia sudah berkelebatan
menghindar. Hingga tak urung betisnya kena juga ter-
panggang anak panah. Tak ampun lagi wanita berbaju
hitam itu perdengarkan teriakan tertahan. Dan roboh
terguling, dari atas wuwungan. Tak sempat lagi ia me-
lompat ke dinding tembok untuk melarikan diri. Segera
saja terdengar sorak-sorai gemuruh. Dan belasan so-
sok, tubuh berkelebatan keluar memburunya Sesosok
tubuh sudah melompat kehadapannya seraya melem-
parkan jala untuk meringkusnya. 
Akan tetapi tiba-tiba asap hitam telah mem-
bumbung dihadapannya. Namun jala sudah dilempar.
Tak urung juga si wanita berbaju hitam itu sudah ter-
jerat dalam kurungan jala. Sorak-sorai semakin men-
jadi. Lebih dari tiga puluh prajurit bersenjata tombak
dan panah mengurung sang korban yang telah masuk
perangkap jala. Akan tetapi mereka semua jadi terbela-
lak matanya, karena menyaksikan yang masuk pe-
rangkap jala itu bukannya seorang manusia, akan te-
tapi seekor harimau tutul yang tubuhnya hampir sebe-
sar kerbau. Binatang siluman itu perdengarkan suara
menggeram dahsyat. Tentu saja jala sudah dilepas se-
ketika. Dan berhamburanlah para prajurit itu dengan
ketakutan. Sekonyong-konyong angin berdesir keras.
Dan hampir semua obor-obor yang terpasang telah pa-
dam dengan mendadak. Keadaan menjadi gempar. Tak
seorangpun berani mendekati tempat tahanan itu.

Saat itu terdengar suara bentakan, yang memerintah-
kan untuk memasang obor baru. Berkelebatanlah para
prajurit untuk melaksanakan tugas. Sebentar kemu-
dian keadaan kembali terang. Bahkan puluhan obor
telah terpasang. Namun alangkah kecewanya, mereka
melihat jala telah kosong. Dan serentak mereka me-
nyebar untuk mencari si wanita buronan. Akan tetapi
sia-sia. Ketika memeriksa tempat tahanan, ternyata
tawanan mereka pun telah lenyap tak berbekas. Hanya
tergeletak rantainya saja. Dengan keadaan putus...
"Bodoh...!* Wanita itu telah pergunakan ilmu
sihir..! Mengapa tak kalian bunuh mampus saja hari-
mau itu..!" Memaki Lembu Sura Sedangkan Datuk Ra-
ja Gur cuma bisa garuk-garuk kepala dengan wajah
sebentar pucat sebentar merah, terkena cahaya api
obor.
"Semua tolol..!" Teriaknya menimpali Lembu
Sura. Semua para prajurit cuma menunduk Dan satu
persatu ngeloyor pergi....

* * *

Roro Centil berkelebat cepat meninggalkan ge-
dung itu melalui jalan belakang. Gerakan lengannya
yang mengeluarkan angin keras, telah menghembus
padam api-api obor yang menerangi sekitar halaman
rumah tahanan itu. Hingga dalam keadaan gelap gulita
itu telah membawa lari si wanita buronan itu yang te-
lah ditotoknya. Bantuan si Tutul Siluman Harimau
yang telah tunduk padanya itu berhasil baik. Hingga
yang kena diringkus jala, bukanlah wanita buronan
itu. Melainkan asap hitam yang kemudian membentuk
menjadi harimau Tutul. Sedangkan si wanita buronan
itu telah disambar Roro Centil, bersamaan dengan ki-
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com

basan lengan Roro memadamkan api-api obor. Dan se-
lanjutnya sudah menggondolnya pergi.
Malam pun terus merayap... tampaknya waktu
memang berlalu dengan cepat Karena tak berapa lama
kemudian cuaca pun berangsur-angsur menjadi te-
rang. Keadaan di atas perbukitan itu tampak sunyi.
Tapi sepagi itu sudah ada asap mengepul di atas per-
bukitan itu tampak sunyi. Tapi sepagi itu sudah ada
asap mengepul dibalik batu tebing. Terlihatlah seorang
gadis ayu tengah asyik memanggang daging Menjangan
kecil dengan seruas bambu. Gadis ayu itu tak lain dari
Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Semen-
tara dibalik batu tebing yang agak menjorok keluar,
tampak tergolek sesosok tubuh wanita di bawahnya.
Tampaknya wanita itu masih pulas mendengkur lirih.
Roro Centil cuma sekali-sekali meliriknya. Baru harum
dari panggang Menjangan itu agaknya membuat pela-
han-lahan si wanita muda berbaju hitam itu membuka
kedua kelopak matanya. Kiranya wanita muda itu tak
lain dari si wanita buronan yang bernama Laras Jing-
ga. Roro telah  membawanya ke tempat tersembunyi
itu;
"Oh... kau... kau... telah menolongku..?!" Gu-
mam si wanita buronan itu. Sementara ia sudah ge-
rakkan tubuhnya untuk bangkit. Akan tetapi sedikit-
pun ia tak dapat gerakkan tubuhnya. Roro palingkan
wajahnya, dan menatapnya sekilas. Lalu teruskan
memanggang daging Menjangan.
"Harap kau bersabar dulu untuk tidak berge-
rak. Kau telah mengalami keracunan akibat panah
yang mengena di kakimu. Aku telah membuang racun
itu, dan kau masih dalam pengaruh totokanku..!"
"Hm..! Apa maksudmu menolongku..! Dan siapa
kau sebenarnya..," Tanya Laras Jingga. Suaranya ter-

dengar ketus. Akan tetapi Roro menyahuti seenaknya.
"Aku Roro Centil..! Seorang pengembara dari
seberang pulau. Tepatnya dari tanah Jawa atau pulau
Kelapa..! Kau tanya aku begitu, akupun bisa juga ber-
tanya; Apa maksudmu menolongku.. ? Bukankah kau
terus menguntit, ketika aku dijadikan tawanan?" Ber-
kata Roro seraya lirikkan matanya. Wanita muda ini
terdiam. Lalu menghela napas. Seperti merasa mele-
paskan beban yang menghimpit dadanya.
"Entahlah..! Aku sendiri tak tahu, mengapa aku
mau menolong orang yang bukan kawan atau sanak
keluarga yang kukenal. Cuma aku merasa berdosa, ka-
lau membiarkan orang yang tidak bersalah dijebloskan
dalam penjara...!" Berkata lirih si wanita buronan. Se-
mentara tiba-tiba matanya telah menjadi basah. Diam-
diam Roro Centil terkejut juga, melihat si gadis buro-
nan itu tiba-tiba menangis dengan sepasang mata me-
natap ke depan dengan pandangan kosong.
"Sudahlah... Mengenai hal itu kita lupakan sa-
ja. Orang yang masih punya rasa berdosa, tentu masih
punya hati bersih..! Kehidupan ini memang pahit. Adik
tentu punya rahasia terpendam yang sukar di utara-
kan! Kita bisa bersahabat, kalau kau sudi menerimaku
sebagai sahabatmu..! Mungkin kau memerlukan seo-
rang teman untuk mengadukan nasib atau masalah
yang kau hadapi..!" Berkata Roro seraya letakkan
panggangan ke atas batu. Sementara api unggun itu
masih dibiarkannya menyala. Segera Roro mendekati
wanita muda itu yang telah terisak-isak menahan tan-
gis yang kian menjadi. Roro tercenung sesaat. Lalu ge-
rakkan lengannya membuka totokan di tubuh wanita
itu. Laras Jingga bangkit berduduk. Ia sudah menyeka
kedua belah pipinya sudah bersimbah air mata. Na-
mun agaknya ia mulai dapat menahan perasaannya.

Roro Centil segera meraih panggangahnya. Daging
Menjangan kecil itu cukup untuk menangsal perut
berdua. Segera ia belah menjadi dua bagian.
"Makanlah..! Aku lapar sekali! Tentu kaupun
lapar..!" Berkata Roro, seraya julurkan lengannya ke
depan si Wanita. Laras Jingga menatap sejenak pada
potongan daging panggang Menjangan itu, lalu mena-
tap Roro. Sepasang matanya tampak berkaca-kaca.
"Ayolah..! Bukankah kita telah bersahabat..!" Ujar Ro-
ro, seraya tampilkan senyum manis. Tentu saja Laras
Jingga yang berwajah dingin itu seketika tersenyum
cerah, dan menyambuti pemberian itu.
Tak ayal lagi sudah segera menyantap daging
panggang yang baunya harum itu. Tampaknya benar
dugaan Roro. Wanita itu lapar sekali, sampai terdengar
perutnya berkruyukan.
Roro agaknya tak mau membuat wanita itu ter-
ganggu, segera ia beringsut untuk duduk di atas batu
tak berapa jauh dari situ. Sejenak ia menatap langit,
lalu sudah pentang mulut untuk mengganyang daging
panggang Menjangannya.
Matahari sudah keluar dari balik perbukitan.
Cahaya emasnya membersit menerangi alam sekitar-
nya. Kedua wanita ini membasuh wajah, dan rambut
serta kaki dan tangannya di air yang memancur keluar
dari sela-sela batu. Laras Jingga bersingsut untuk se-
gera duduk di atas batu dekat air pancuran. Ia tak da-
pat bergerak bebas. Karena sebelah kakinya masih te-
rasa ngilu. Roro memang telah membalut lukanya den-
gan kain sobekan ikat kepalanya.
"Mari kita kembali..!" Ajak Roro. Seraya mem-
bimbing Laras Jingga untuk naik dari tempat batu-
batu yang terletak agak ke bawah bukit itu. Wanita
muda berbaju hitam ini tersenyum, ketika telah sam-

pai di atas.
"Terima kasih...!" Ucapnya. "Disini tempatnya
indah. Bagaimana kalau kita duduk disini saja sambil
bercakap-cakap.. ?" Sambung Laras Jingga, seraya ta-
tap wajah Roro, dengan sepasang mata redup.
"Baiklah, adik Laras..! Akupun  ingin sekali
mendengar kisah hidupmu..!" Sahut Roro. Seraya
menggeser sebuah batu, untuk duduk berhadapan.
Demikianlah... Laras Jingga ceritakan riwayat hidup
nya yang kelabu. Hingga ia menjadi seorang pembenci
laki-laki.
"Apakah belakangan ini kau sudah berjumpa
lagi dengan ibumu..?" Tanya Roro. Laras Jingga ge-
lengkan kepalanya. Tapi ia sudah berkata lagi...
"Mungkin ibuku akan marah besar, karena aku
telah mencuri catatan Ilmu Silat yang kutemukan di
kamarnya..! Aku memang perlu untuk menjumpainya,
untuk menanyakan tentang ayahku. Apakah Panglima
Kerajaan yang dikatakan selir Raja Bantar Alam seba-
gai ayahku yang sebenarnya itu masih hidup..?"
Terkejut Roro Centil. Tapi ia tidak tertarik men-
genai perihal ayah gadis itu. Melainkan mengenai cata-
tan ilmu silat yang telah dicuri dari kamar ibunya
"Catatan Ilmu Silat...?" Tanya Roro dengan sua-
ra mendesis. Sepasang alisnya tampak bergerak naik.
"Bolehkan aku melihatnya..? Jangan khawatir.
Aku tak berniat mempelajarinya". Ujar Roro Centil
sambil tersenyum. Laras Jingga tampaknya tak merasa
keberatan. Segera sudah buka lipatan bajunya. Dan
menarik keluar selembar kertas yang sudah agak lu-
suh. Segera diberikannya pada Roro.
"Aku baru mempelajarinya sampai jurus keli-
ma...!" Tutur Laras Jingga. Sengaja benda ini ku sem-
bunyikan dari mata guruku. Karena aku khawatir ma-

nusia hidung belang itu merampasnya..!" Roro tak
menjawab, tapi cuma angguk-anggukkan kepala se-
raya membuka lipatan kertas kulit itu. Terkejut Roro,
karena pada catatan itu yang tertera adalah jurus-
jurus si Dewa Tengkorak. Yaitu apa yang pernah ia pe-
lajari dari dalam gagang Tombak Pusaka Ratu Sima,
milik mendiang si Dewa Tengkorak, di dasar tebing
pantai Selatan. Itulah kesepuluh Jurus Pukulan Kema-
tian. Hal itu sudah berlalu sekitar empat tahun yang
silam. Semasa Gurunya masih hidup. Walau Roro
tampak terkejut, tapi ia tak menampakkan pada raut
wajahnya. Ia sudah melipat lagi benda itu dan berikan
pada Laras Jingga.
"Sudah berapa lama kau pelajari...?" Tanya Ro-
ro.
"Baru sekitar dua bulan ini. Itupun aku pelajari
dengan sembunyi-sembunyi, tanpa setahu guruku..!"
" Siapakah gurumu.. ?" Tanya Roro lagi. Senga-
ja ia tak tergesa-gesa untuk menyelidiki lebih lanjut
tentang ibunya.
"Beliau bernama Boma Kasura!" Roro manggut-
manggut, seraya mengingat nama itu. Kemudian ber-
tanya lagi;
"Ibumu tadi kau katakan bernama Dewi Melur.
Tentunya juga seorang kaum persilatan. Karena memi-
liki catatan ilmu silat yang hebat, yang telah kau curi
itu. Siapakah gelar ibumu di kalangan Rimba Hijau..?"
Kali ini pertanyaan Roro Centil sudah mengarah pada
sasarannya. Diam-diam hati si Pendekar Wanita Pantai
Selatan agak berdebar. Namun buru-buru Roro mene-
nangkan lagi perasaannya. Tapi jawabannya membuat
hati Roro jadi mencelos..
"Aku tak begitu akrab dengan ibuku..! Sayang
sekali, aku tak mengetahui banyak tentang itu. Mung-

kin orang yang mengaku paman ku itu mengetahui
siapa julukan ibuku!" Wajah Roro tampak kembali ce-
rah. Ia sudah cepat bertanya;
"Siapakah orang yang mengaku pamanmu
itu..?"
"Dia bernama Warakas..!" Selesai menjawab
pertanyaan, tiba-tiba tampak sepasang mata Laras
kembali memancar tajam bagai membersit sinarnya
seperti sepasang mata serigala. Tampaknya Roro me-
nyadari hal itu. Segera ia alihkan pembicaraan pada
hal-hal lain bahkan jauh menyimpang dari sasaran.
Karena Roro ceritakan masa kanak-kanaknya yang pe-
nuh kelucuan.
Hingga terkadang Laras Jingga tertawa geli,
bahkan sampai terpingkal-pingkal. Entah cerita sebe-
narnya, entah Roro cuma mengarang saja. Tapi si Pen-
dekar Wanita ini memang pandai menghibur hati
orang. Tanpa disadari Laras Jingga sudah melupakan
kesedihannya. Kira-kira setanakan nasi, percakapan
mereka tampaknya sudah terasa cukup. Tiba-tiba Roro
teringat akan luka bekas terkena anak panah pada be-
tis si wanita itu. Roro memang pandai dalam hal pen-
gobatan, karena ia pernah belajar dari seorang pendeta
asal Nepal di lereng Gunung Wilis, yaitu Paderi Jayeng
Rana. Ia segera beranjak bangkit dari duduknya, se-
raya berkata;
"Eh, adik Laras..! Maukah kau tunggu aku se-
bentar. Aku akan mencari daun-daun obat untuk ra-
muan. Luka di kakimu dapat cepat sembuh, nantinya.
Kau percayakanlah padaku untuk ku mengobatinya..!"
Laras Jingga cuma mengangguk, sambil terse-
nyum. Dan setelah menatap sejenak pada wanita mu-
da itu, Roro segera berkelebat pergi. Sebentar saja te-
lah lenyap dibalik tebing batu yang menonjol dihada-

pannya.
Roro berlari-lari menuju sisi hutan di lereng
perbukitan itu. Sementara sepasang matanya berkelia-
ran memandang tempat-tempat rimbun, untuk menca-
ri dedaunan, yang dapat dipergunakan untuk ramuan
obat luka.
Akan tetapi pada saat itu telah terdengar suara
bentakan-bentakan suara seorang wanita dikejauhan.
Terkejut Roro Centil, karena suara itu datangnya dari
arah dimana ia meninggalkan Laras Jingga. Tampak
Roro kerenyitkan alisnya.
"Suara siapakah..?" Gumam Roro. Dan sekejap
kemudian ia telah melompat dan berkelebat kembali ke
tempat Laras Jingga menunggu.
Sesaat antaranya dari balik batu besar, ia telah
melihat adanya seorang wanita di dekat gadis itu.
Tampak dilihatnya wanita muda itu duduk menekuk
tubuhnya di hadapan seorang wanita berbaju sutera
warna biru. Wanita itu usianya sekitar 40 tahun.
Rambutnya tersanggul rapi. Cuma sedikit saja yang
terlepas beriapan di belakang lehernya. Didengarnya
wanita itu membentak dengan kata-kata kasar;
"Anak tak tahu diri..! Sejak kapan kau belajar
mencuri.? Aku tak merasa mengajarimu untuk jadi
maling! Hm, kudengar dari paman  mu Warakas, kau
telah berguru dengan si Boma Kasura. Kau ke mana-
kan catatan ilmu silat itu! Apakah kau berikan pada si
tua Bangka Gila itu..?!" Terdengar Laras Jingga berka-
ta lirih dengan suara gemetar...
"Ibu..! Memang ibu tak pernah mengajari ku
mencuri..! Tapi selama ini apakah ibu mengurus diri-
ku? Aku anakmu! Aku butuhkan kasih sayang mu..!
Tapi yang kudapatkan adalah cuma kehinaan bela-
ka..!"

"Apa maksud ucapanmu, Laras..? Kau berani
berkata begitu pada ibu yang telah melahirkan mu.. ?"
Membentak wanita itu. Tapi jawaban Laras memang di
luar dugaan. Wanita muda itu tiba-tiba tertawa. Suara
tertawanya mirip rintihan pedih. Walau bibirnya terta-
wa, tapi sepasang matanya telah bersimbah air mata.
"Hi hi hi... Apakah bila seorang ibu telah mela-
hirkan anaknya, sudah cukup tanpa harus mengurus
dan merawatnya..? Kelihatannya lucu sekali! Adakah
seorang ibu yang rela memberikan kehormatan anak
gadisnya, pada seorang laki-laki hidung belang yang
mengaku ia adalah pamannya..?
Ternyata semua itu adalah atas dasar imbalan
jasa..! Betapa terkutuknya seorang manusia bila
mengharap jasa, tapi cuma untuk memenuhi hawa
nafsunya belaka..! Dan ternyata orang yang seharus-
nya kuhormati, ternyata juga bukan manusia..! Jasad-
nya manusia, tapi hatinya adalah iblis! Dia telah beri-
kan kehormatan dirinya, juga kehormatan anak gadis-
nya pada manusia terkutuk bernama Warakas itu..!
Sedang aku sendiri adalah anak hasil dan hubungan
gelap! Anak yang sampai dewasa begini tak mengenal
siapa ayahnya. Aku lahir dalam keluarga nista...! Se-
muanya nista..!" Sampai disini si wanita ibu dari Laras
Jingga ini sudah tak kuat menahan kemarahannya.
Plak...! Satu tamparan keras telah hinggap di
pipi gadis itu, yang segera roboh terjungkal. Masih un-
tung sang ibu tak menggunakan pukulan dengan te-
naga dalam. Hingga pipi gadis itu cuma merah bengap
saja Laras Jingga bangkit untuk duduk, seraya men-
gusap pipinya. Dan Dewi Melur sudah membentak lagi
dengan kata-kata makian... "Bocah keparat..! Mulutmu
terlalu lancang..!"
Apa yang terjadi kemudian di hadapan mata

Roro Centil? Laras Jingga telah bangkit berdiri. Rasa
sakit pada luka dibetisnya itu seperti sudah tak dira-
sakan lagi. Sepasang matanya tampak berapi-api me-
natap pada wanita dihadapannya. Tiba-tiba ia telah ge-
rakkan tangannya ke dalam lipatan bajunya. Dan ke-
luarkan secarik kertas kulit. Benda itu sudah disodor-
kan pada ibunya seraya berkata;
"Inilah catatan ilmu silat yang ku curi itu, ibu..!
Aku tak memerlukannya lagi!" Dewi Melur menatap se-
jenak pada perubahan wajah anak perempuannya. La-
lu gerakkan tangan untuk meraih benda di tangan La-
ras Jingga. Akan tetapi pada saat itu juga berkelebat
sebuah bayangan, dan sekejap saja lipatan kertas itu
telah lenyap bagai di sambar alap-alap. Bukan saja
Dewi Melur yang jadi terkesiap. Akan tetapi Roro Centil
juga terkejut Segera terlihat siapa yang telah menyam-
barnya. Ternyata seorang laki-laki berbaju dan berce-
lana warna gelap. Bertubuh jangkung. Wajahnya me-
nampilkan senyum, yang seperti tak pernah berubah
walaupun dalam keadaan marah. Tulang pelipisnya
agak menonjol keluar. Laki-laki ini tanpa kumis.
Hanya ada sedikit jenggot didagunya. Mirip jenggot
seekor kambing.
" Ha ha ha... ha ha... Catatan ilmu silat ini ka-
lau sudah tak diperlukan anak perempuanmu, biarlah
kupinjam dulu, Dewi Melur..!" Terbeliak sepasang mata
wanita setengah umur itu. Ia sudah lantas memben-
tak.
"Setan keparat..! Boma Kasura..! Kembalikan
benda itu!" Seraya berkata, Dewi Melur sudah melom-
pat untuk merampas kembali catatan ilmu silat itu.
Akan tetapi laki-laki bernama Boma Kasura itu sudah
melesat ke dekat Laras Jingga.
"Ha ha ha.. Sudahlah Dewi Melur. Aku toh cu-

ma meminjam saja. Toh aku tak akan pergi kemana-
mana..!" Selesai berkata, ia berpaling pada Laras Jing-
ga.
"Eh, muridku..! mengapa kau tak bilang-bilang
padaku kalau kau menyimpan catatan ilmu silat ini?
Bukankah aku bisa membantumu kalau kau mau
mempelajari...?" Laras Jingga cuma bisa terdiam, tan-
pa berkata apa-apa. Melihat sebelah pipi gadis ini tam-
pak merah bekas kena tamparan, Boma Kasura sudah
berkata lagi.
"Aiii... Kau memang keterlaluan Dewi Melur.
Aku amat menyayangi muridku ini. Masakan kau
ibunya demikian tega menamparnya? Kukira tiada sa-
lahnya kalau anakmu ingin mempelajari ilmu silat wa-
risan si Dewa Tengkorak ini. Akupun dapat mem
bantu Laras Jingga mempelajari...!" sambil ber-
kata, Boma Kasura perlihatkan sikap tersenyum. Se-
mentara Dewi Melur cuma plototkan matanya saja. Ta-
pi ia sudah membentak.
"Tidak..! Benda itu tak boleh jatuh ke  tangan
siapa-siapa. Walaupun anakku sendiri.. !"Teriaknya se-
raya kembali melompat tiga tombak ke depan laki-laki
bernama Boma Kasura ini. Akan tetapi Boma Kasura
bahkan tertawa terbahak-bahak.
"Haha haha... ha ha ha... Sudah terlambat Peri
Gunung Dempo..! Laras Jingga telah menguasainya
walaupun mungkin belum sempurna! Ilmu warisan
kekasihmu itu memang ilmu yang hebat. Jurus-
jurusnya amat mengerikan. Cuma sayangnya ia masih
terlalu muda, dan belum banyak pengalaman. Kini
anakmu ada dalam bahaya..! Disamping ia menjadi
buronan orang Kerajaan. Ia juga jadi incaran manusia-
manusia yang mengejar hadiah, bagi yang dapat ma-
nangkapnya hidup atau mati..! Kalau aku mau hadiah

besar, dengan mudah saja aku membawanya pada
Panglima Agung Tunggal Sewu Seta di Kota Raja. Akan
tetapi aku justru mau melindunginya..!" Tentu saja ka-
ta-kata itu membuat Dewi Melur jadi terkesiap, menge-
tahui keadaan anak perempuannya.
"Ada permusuhan apakah anakku dengan
orang-orang Kerajaan?" Tanya Dewi Melur.
"Ha ha ha... Ia telah membunuh dua orang je-
jaka muda, anak Panglima Agung Tunggal Sewu Seta.
Persoalannya tanyakan saja pada Pembesar Kerajaan
Sriwijaya itu. Atau kalau perlu kau dapat
mohonkan pengampunan  buat anak perem-
puan mu..!" Selesai berkata, Boma Kasura tiba-tiba ge-
rakkan lengannya untuk menotok Laras Jingga. Dan
sekejap kemudian telah memondongnya, untuk dibawa
melesat pergi. Terpaku Dewi Melur, hingga tak tahu
akan apa yang harus dilakukannya Sementara lapat-
lapat masih terdengar suara...
"Peri Gunung Dempo..! Kau tak perlu khawatir
pada Laras Jingga. Aku akan melindunginya. Sebaik-
nya kau fikirkan keselamatan dirimu. Karena kuden-
gar ada seorang Pendekar Wanita dari Pulau Jawa
yang telah lama mencari jejak mu..!" Lagi-lagi Dewi Me-
lur terkesiap. Jantungnya jadi berdetak keras. Hatinya
sudah  lantas bertanya... Siapakah pendekar wanita
dari pulau Jawa itu..? Akan tetapi wanita ini jadi terke-
jut bagai disambar geledek ketika tiba-tiba terdengar
sebuah suara yang dingin bagaikan es.
"Akulah yang tengah mencarimu itu, Peri Gu-
nung Dempo...!" Dewi Melur balikkan tubuhnya. Dan
tak terasa kakinya telah mundur dua tindak. Sepasang
matanya telah menatap sesosok tubuh dihadapannya.
Sosok tubuh seorang wanita muda yang berwajah ayu.
Berbaju sutera, warna merah muda. Rambut dan ikat

kepalanya yang cuma sesobek kain kecil itu berkibaran
ditiup angin pegunungan
"Siapakah kau..!? Bentak Dewi Melur. Sementa-
ra jantungnya berdetak semakin keras. Yang ditanya
cuma tampilkan senyuman di bibir. Tapi sepasang ma-
tanya menatap tajam, seperti mau menembus jantung
manusia dihadapannya.
"Aku Roro Centil. Yang dijuluki kaum Rimba
Hijau si Pendekar Wanita Pantai Selatan! Hi hi hi...
Akhirnya dapat juga kutemukan manusia pengecut,
yang telah mengeroyok Guruku hingga menemui ajal-
nya..!"
Terkejut Dewi Melur mendengar kata-kata  itu.
Tapi ia sudah segera tersenyum sinis.
"Hm, jadi kaulah murid si Manusia Aneh Pantai
Selatan itu... ? Heh! Bagus..! Tapi dari mana kau bisa
mengetahui aku telah mengeroyok gurumu. Tanya De-
wi Melur alias si Peri Gunung Dempo. Roro Centil per-
dengarkan dengusan di hidung.
"Perbuatan busuk macam apapun pasti akan
tercium. Yang ingin kutanyakan, apakah kesalahan
Guruku, yang sudah menutup diri dari dunia Rimba
Hijau...?" Tanya Roro tanpa harapkan pertanyaan
orang. Walaupun sebenarnya ia tak mengetahui sendiri
pengeroyokan itu di pantai Selatan, karena dapat den-
gar dari Joko Sangit, sahabatnya.
"Kalau hal itu yang kau tanyakan, jawabannya
mudah saja. Gurumu adalah manusia tidak normal!
Lelaki bukan perempuan bukan. Sejak aku ma-
sih berdiam di Pulau Jawa aku memang telah mengen-
al  gurumu. Si Dewa Tengkorak adalah boleh dibilang
suamiku. Walaupun dia memang mempunyai banyak
istri. Yang kukenal adalah si Kupu-kupu Emas dan
Dewi Tengkorak. Tapi suamiku itu banyak menyimpan

rahasia. Diantaranya ialah ada berita dari si Kupu-
kupu Emas, bahwa si Dewa Tengkorak menyimpan
harta karun, terdiri dari perhiasan emas dan permata.
Disamping itu juga ada berita ia telah
menyimpan catatan rahasia mengenai ilmu silat
di dalam gagang Tombak Pusaka Ratu Sima. Berita
lain yang kudengar dari kalangan Rimba Hijau adalah
si Dewa Tengkorak telah tewas..! Kami tiga orang is-
trinya segera bergabung. Akhirnya mendengar berita
dari salah seorang anggota Partai Pengemis di sisi Kota
Raja Kerajaan Medang, yang mengatakan kematian si
Dewa Tengkorak adalah akibat diperdayai oleh seorang
wanita di Pantai Selatan. Wanita itu sakit hati, karena
cintanya ditolak oleh si Dewa Tengkorak, hingga ia
mendendam sampai bertahun-tahun. Tentu saja kami
jadi gusar. Wanita yang berdiam di Pantai Selatan wak-
tu itu tak ada lain, selain si manusia banci itu. Nah,
kami telah berhasil membalas dendam  mu..! Apakah
hal itu dapat disalahkan...?" Demikian tutur si Peri
Gunung Dempo, yang diakhiri dengan pertanyaan yang
seolah membela akan kebenaran tindakan mereka.
Akan tetapi Roro telah membentak keras."
"Dusta..! Dewa Tengkorak tewas di depan mata
ku sendiri, ketika ia bertarung dengan si Pendekar
Bayangan. Kematiannya memang dikehendakinya sen-
diri. Ia mempergunakan kesepuluh jurus ciptaannya
yang keji itu. Namun jurus kesepuluh dari 10 Jurus
Pukulan Kematian telah menewaskannya sendiri. Aku
yang menguburkannya di Bukit Kera. Tombak Pusaka
itu memang berada di tangan Guruku. Tapi beliau cu-
ma menyimpannya. Aku memang telah mempelajari
sedikit dari ilmu pukulan 10 Jurus "Pukulan Kema-
tian" itu... Tapi mengenai adanya ia menyimpan harta
karun aku tak mengetahuinya..!"

Tampaknya penjelasan Roro seperti tak digu-
bris oleh Dewi Melur.
"Heh! Kau kira akupun dapat percaya dengan
penjelasan mu itu...? Sudahlah! Hal itu sudah berlalu.
Kini kau mencariku apakah mau membalas den-
dam..?"
"Kalau dikatakan memang demikian, mungkin
terlalu kasar. Tapi jelasnya, kau harus mempertang-
gung jawabkan perbuatanmu..!"
"Baik...' Aku akan layani kau. Hm. Kau kira
aku khawatir untuk bertarung dengan bocah kemarin
sore semacam kau..? Walaupun kau telah pelajari ilmu
10 Jurus Pukulan Kematian, aku tak akan mundur
untuk melarikan diri..!" Ujar Dewi Melur dengan suara
dingin.
"Bagus..! Aku tak akan menggunakan sejurus-
pun dari ilmu si Dewa Tengkorak! Pergunakanlah 10
Jurus Pukulan warisan suamimu itu..! Atau akan per-
gunakan jurus-jurus lainnya yang lebih ampuh..? Hi hi
hi... Terserahlah-.!" Berkata Roro  Centil. Dewi Melur
alias si Peri Gunung Dempo tertawa hambar.
"Baik..! Kau telah berjanji tak akan mengguna-
kannya! Jangan menyesal kalau kau siang-siang akan
mampus..!" Seraya berkata Peri Gunung Dempo telah
lakukan serangan kuat menghantam Roro dengan te-
lapak tangannya.
Roro Centil sudah waspada, Ia sudah segera
menghindar dengan melompat ke atas batu besar. An-
gin pukulan si Peri Gunung Dempo menghantam tem-
pat kosong. Wanita itu mendengus dan tampakkan se-
nyum sinis. Tiba-tiba ia telah tarik keluar dari dalam
lipatan bajunya dua buah benda bulat. Ternyata dua
buah cermin kecil.
Diam-diam Roro membatin.. Apakah yang akan

dilakukan wanita pembunuh gurunya itu.. ? Namun
Peri Gunung Dempo telah kembali melompat ke arah-
nya. Dan lakukan serangan-serangan tangan kosong.
Gerakannya amat cepat. Kedua lengannya meluncur
ke beberapa tempat mengarah ke tubuh Roro, dengan
jari-jari lengan terkatup.
Inilah jurus Bangau Sakti, yang telah dipergu-
nakan si wanita itu. Gerakan-gerakan patukan itu
memang berbahaya Karena membersitkan cahaya me-
nyilaukan  mata. Barulah Roro mengerti. Kiranya cer-
min kecil yang tergenggam di bawah lengannya itulah
yang membuat ia silau. Roro Centil memang agak ke-
walahan. Dan ia bertarung sambil mundur dengan
pergunakan kegesitannya mengelakkan setiap seran-
gan. Lagi-lagi cahaya silau itu menyambar ke arah ma-
tanya. Roro kembali melompat mundur. Tapi tiba-tiba
ia telah keluarkan bentakan keras. Tubuhnya mencelat
setinggi lima tombak. Dan telapak tangannya telah
menyambar ke bawah. Membersit angin keras melun-
cur ke arah si Peri Gunung Dempo. Wanita ini berge-
rak lincah menghindari. Hingga batu dan pasir beter-
bangan didekatnya.
Roro sudah jejakkan kakinya lagi ke tanah. Ta-
pi lagi-lagi cahaya menyilaukan itu menyambar ma-
tanya. Terpaksa ia gunakan lengannya untuk menutu-
pi matanya, sambil bergerak melompat ke kiri dan ka-
nan. Melihat orang sibuk berlompatan itu, si peri Gu-
nung Dempo tertawa mengikik. Dan mengejek.
"Hi hi hi... Mana kehebatanmu Pendekar Wani-
ta Pantai Selatan..?" Dan kata-katanya sudah barengi
dengan berkelebatan tubuhnya mengimbangi gerakan
Roro. Sementara kedua cermin itu selalu mengincar
sepasang mata Roro Centil. Keruan Roro jadi men-
dongkol. Tapi justru ia menjadi lengah. Karena tiba-

tiba...
BHUK..! Ia telah terkena hantaman tendangan
kaki si Peri Gunung Dempo pada punggungnya. Tak
ampun lagi, Roro sudah jatuh terbanting. namun Pen-
dekar yang sudah cukup banyak pengalaman, Roro
Centil jatuhkan diri dengan cepat berjumpalitan. Hing-
ga sekejap ia sudah dapat berdiri. Beruntung ia sudah
waspada sejak semula. Hingga tendangan kilat itu cu-
ma menghantam kulit punggungnya saja. Sedang ge-
rakan berjumpalitan itulah cara yang dipergunakan
Roro untuk menghindari kilatan cahaya yang me-
nyambar matanya. Selama bertarung itu, diam-diam
Roro memikirkan bagaimana caranya menghindari ca-
haya cermin yang selalu menyambar ke arah matanya
itu. Dan segera ia sudah dapatkan caranya. Pertarun-
gan pun kembali berlangsung dengan seru. Roro Centil
telah putarkan sebuah Rantai Genitnya. Suaranya
mendesing bagai ratusan tawon. Gerakan Roro masih
seperti tadi. Yaitu dengan tubuh selalu terhuyung, se-
perti mau jatuh. Sementara sepasang mata telah me-
nyaksikan pertarungan seru itu sejak tadi. Kiranya si
manusia bulat Alias si Dewa Angin Puyuh. Entah men-
gapa sejak pernah bertemu dengan Roro, dan melihat
gadis Pendekar itu tertawan, si manusia bulat ini jadi
simpati pada Roro. Diam-diam ia telah siapkan kipas
bututnya. Saat itu si Pergi Gunung Dempo tengah lan-
carkan lagi jurus-jurus si Dewa Tengkorak. Tubuhnya
berkelebat menerjang Roro Centil. Tiga serangan dah-
syat kembali mengarah pada tempat-tempat berba-
haya. Roro Centil berseru keras. Tiba-tiba ia telah pa-
paki ketiga serangan itu. Gerakan itu membuat kek-
hawatiran si Peri Gunung Dempo. Karena ia sudah
mengetahui akan tenaga dalam lawan yang member-
sitkan angin panas. Keragu-raguan itu tentu saja men-

guntungkan Roro. Padahal Roro sendiri sudah menge-
tahui kalau tiga serangan itu adalah jurus ke enam
yang ia sudah tahu arahnya serta juga mengetahui ke-
lemahannya. Ia hanya gunakan gertak sambal belaka.
Tiba-tiba Roro telah rubah gerakan memapaki itu den-
gan gerakan "Ikan Hiu Menyambar Bayangan". Tubuh
Roro  tiba-tiba meletik indah ke arah samping kanan
dan kiri. Lalu semakin maju mendekati sang lawan Se-
konyong-konyong bergerak memutar. Dan saat itulah
ia lancarkan serangan Rantai Genitnya Benda itu me-
luncur menggubat kaki si Peri Gunung Dempo. Sedang
sebuah  lagi membersit keras bagai dengungan kum-
bang, meluncur deras ke arah kepala lawan. Terkesiap
Dewi Melur. Ia sudah segera menarik serangan Tiba-
tiba tubuhnya mencelat ke belakang, dengan berjum-
palitan di udara. Itulah jurus Naga Siluman Mengge-
liat. Satu Jurus menyelamatkan diri yang hebat. Akan
tetapi terkesiap sang Peri Gunung Dempo.
Karena ia yang sedianya sudah dapat melompat
jauh tiga tombak, tapi entah dari mana datangnya...
tahu-tahu segelombang angin puyuh telah membuat
tubuhnya oleng, dan terbawa lagi melayang ke depan.
Tak ampun lagi Roro Centil sudah menghantam de-
ras...
BLUG! KRAK...! KRAK...!
Tiga serangan beruntun dari si Rantai Genit tak
dapat terelakkan lagi olehnya. Tak ampun lagi terden-
gar jerit si Peri Gunung Dempo. Tubuhnya terlempar
lima enam tombak, dengan dada kena dihantam ban-
dulan si Rantai Genit dengan telak Dan kedua betisnya
terhantam sekaligus hingga remuk, hancur. Kedua po-
tongan kakinya entah melayang kemana.
Roro Centil sendiri sudah melengak. Ia merasa
ada hal yang tidak beres. Akan tetapi ia sudah tak da-

pat lagi. Karena. gerakan reflek itu telah terjadi dengan
cepat. Tubuh si Peri Gunung Dempo telah terbanting
keras ke atas tanah hingga sampai hampir melesak di
tanah yang agak becek itu. Ia menyeringai menahan
sakit yang amat sangat. Saat itu tiba-tiba terdengar
suara tertawa berkakakan. Dan si manusia bulat alias
si Dewa Angin Puyuh telah melejit keluar dari balik ba-
tu. Melengak Roro Centil. Ia sudah segera membentak;
"Dewa Angin Puyuh..! Siapa suruh kau ikut
campur urusan orang..?" Namun si manusia bulat ini
sambil cengar-cengir mengipasi dadanya yang telan-
jang dengan kipas bututnya, seraya berkata;
"Ha ha ha... Aku memang sebal dengan si wani-
ta tengik itu. Biasanya ia selalu menyambangiku. Tapi
sejak ia menyimpan seorang pemuda gagah yang ma-
sih punya tenaga kuda, ia mulai melupakan diriku. Ka-
lau aku ikut campur rasanya juga tak dapat disalah-
kan..!" Sambil bicara, sebelah mata si manusia bulat
itu selalu memain pada Roro, dengan dikedipkan. Si-
kapnya memang genit, tapi boleh juga di katakan lucu.
Karena dengan potongan tubuh yang bulat bagai bola
itu, masih juga bermata keranjang pada wanita yang
bukan timpalannya.
Sementara itu si Peri Gunung Dempo menam-
pakkan wajah yang menyeramkan. Sepasang matanya
membeliak, karena gusarnya. Giginya telah ditekan
kuat pada bibirnya hingga mengalirkan darah Sepa-
sang lengannya tampak terentang ke arah Roro dan si
Dewa Angin Puyuh. Tampak asap tipis bagai menguap
dari sepasang lengannya.
Terkejut Roro Centil, karena itulah jurus kese-
puluh dari ilmu pukulan si Dewa Tengkorak. Belum
lagi ia sempat berkedip, Dewi Melur alias si Peri Gu-
nung Dempo telah lancarkan serangan dahsyat itu ke

arahnya. Dalam pada itu si Dewa Angin Puyuh dalam
keadaan membelakangi.
BHLARRRR...! Terdengar suara menggeledek
Tanah tempat Roro berpijak telah menyemburat ke
atas. Debu mengepul tebal. Batu-batu beterbangan ke
udara. Terdengar seketika suara-suara teriakan terta-
han. Tubuh Roro Centil dan si manusia bulat melam-
bung tinggi ke udara. Ketika asap tebal itu perlahan-
lahan lenyap, segera terlihat keadaan yang mengeri-
kan. Tubuh si Peri Gunung Dempo masih dalam posisi
menekuk lutut. Dengan sepasang betis yang putus
hancur. Wajahnya menyeringai menyeramkan. Dengan
sepasang lengannya terpentang kaku. Namun wanita
itu sudah tak menampakkan gerak kehidupan. Roro
Centil telah berdiri di atas tempat ketinggian. Di hada-
pan wanita itu tampak sebuah lubang besar dan da-
lam. Dengan tanah sekelilingnya menghitam- hangus.
Suasana tampak sepi mencekam. Perlahan-lahan Roro
Centil mendekati si Peri Gunung Dempo. Akan tetapi
wanita memang sudah tak bergerak-gerak lagi. Kea-
daannya dalam keadaan posisi menyerang. Tahulah
Roro, kalau si Peri Gunung Dempo telah tewas. Dalam
keadaan tercenung itu, sebuah benda bulat mengge-
lundung kehadapannya Ternyata si  Dewa Angin
Puyuh. Kiranya manusia bulat ini sudah berhasil me-
nyelamatkan diri dengan melompat tinggi ke atas. Dan
hinggap di dahan pohon pada jarak lima tombak dari
tempat itu.
Laki-laki bulat inipun cuma memandang pada
si wanita yang telah menjadi mayat itu dengan sepa-
sang mata seperti tak berkedip. Akan tetapi sudah ter-
dengar suaranya dibarengi dengan helaan napas.
"Hebat..! Tapi amat mengerikan..! Jurus dari
ilmu pukulan itu telah menyedot seluruh tenaga dalam

dan nyawanya. Agaknya kematian baginya memang le-
bih baik. Seandainya ia dapat hidup pun, akan menja-
di manusia yang tanpa daksa. Yang cuma membuat ia
menderita..!" Berkata si Dewa Angin Puyuh.
Agaknya Roro Centil malas memberi komentar.
Ia cuma lirik laki-laki bulat itu. Setelah simpan
sepasang senjatanya, Roro telah segera berlalu... Dewa
Angin Puyuh sudah cepat palingkan kepalanya, seraya
berteriak;
"Heiiii..!? Nona Pendekar! Tungguuuu...!" Na-
mun Roro terus berkelebat tanpa menoleh. Dewa Angin
Puyuh terus mengintil di belakang Roro. Agaknya ia
seperti benar-benar kepincut hatinya pada si Pendekar
Wanita Pantai Selatan itu.

* * *

Laras Jingga dengan sepasang mata menatap
hampa cuma manda saja, ketika tubuhnya dibawa
berkelebat oleh Boma Kasura Selang tak berapa lama,
segera saja sudah terlihat tempat tinggal sang Gurunya
itu. Yaitu sebuah pondok  ditengah-tengah hutan jati.
"Muridku yang cantik..! Tampaknya kau telah
terluka pada kakimu. Sebaiknya kau menetap saja dis-
ini..!" Berkata Boma Kasura setelah lepaskan totokan-
nya Mereka sudah duduk di lantai papan, dalam ruan-
gan tengah. Laras Jingga hanya anggukkan kepala
tanpa membuka suara. Selang sesaat, ia sudah rebah-
kan tubuhnya di lantai papan dengan berbantalkan
lengannya. Sepasang matanya dipejamkan.
"Yah..! Sebaiknya kau beristirahat dulu. Aku
akan cari makanan. Tak ada kau di tempat ini, sega-
lanya menjadi sepi. Tak ada yang menemaniku untuk
bercakap-cakap..!" Boma Kasura lanjutkan  kata-

katanya, seraya beranjak bangkit. Dan langkahkan
kaki ke ruang belakang. Tak berapa lama telah kembali
lagi sambil membawa setandan pisang.
"Makanlah, untuk menangsal perutmu. Seben-
tar lagi malam tiba. Sebentar aku buatkan kau ramuan
obat untuk mengobati luka di  kakimu..!" Ujar Boma
Kasura, ketika melihat Laras Jingga membuka kelopak
matanya. Gadis muda ini bangkit berduduk. Dan ge-
rakkan tangannya untuk memotes buah pisang yang
baru masak itu. Mengupasnya, lalu masukkan ke da-
lam mulutnya untuk segera mengunyahnya perlahan-
lahan. Boma Kasura tersenyum memandang. Tampak-
nya ia begitu amat memperhatikan akan keadaan sang
murid wanitanya.
Laki-laki berusia sekitar 50 tahun ini tampak
sudah bangkit lagi beranjak untuk membawa sekendi
air minum, serta dua buah cangkir kosong. Ia letakkan
di hadapan Laras Jingga. Seraya mengisi kedua cang-
kir kosong. Ia letakkan di hadapan Laras Jingga Se-
raya mengisi kedua cangkir kosong itu, ia kembali ber-
kata;
"Sudahlah muridku. Jangan kau fikirkan sikap
ibumu. Aku telah lama mengenal ibumu, dan menge-
tahui wataknya. Dia memang beradat keras sepertimu.
Besok kita pelajari catatan ilmu silat ini. Bukankah
kau belum menamatkannya?"
"Aku tak berniat mempelajarinya lagi. Cukup-
lah sudah apa yang telah kumiliki!" Tiba-tiba Laras
Jingga buka suara, seraya lengannya bergerak me-
nyambar cangkir dihadapannya. Dan segera meneguk-
nya habis. Boma Kasura kerutkan alisnya. Tapi ia su-
dah tak berikan komentarnya. Iapun meneguk habis
isi cangkirnya.
Malam itu suasana agak mencekam perasaan.

Karena dikejauhan terdengar suara lolong srigala, yang
sayup-sayup terbawa angin. Jengkerik dan binatang-
binatang malam sebangsanya seperti membisu atau
agak enggan membunyikan suaranya. Walau sesekali
terkadang kedengaran di tempat kejauhan. Sementara
suara burung hantu di atas dahan jati menyibak len-
gannya sang malam. Terkadang membaur dengan sua-
ra kepak sayap-sayap kelelawar dikerimbunan pohon
jambu, di belakang pondok terpencil itu. Boma Kasura
duduk ditikar bersih di lantai papan ruangan tengah.
Sepasang lengannya membolak-balik lipatan kertas
kulit itu, dengan sepasang matanya memperhatikan
setiap tulisan yang tertera disana. Sementara sesekali
biji matanya bergerak melirik ke sisi tirai kain yang
tersingkap di ruangan kamar disebelahnya.
Duduknya tampak gelisah. Tulisan yang tertera
di secarik kertas kulit itu seperti tak terlihat jelas. Bo-
ma Kasura memang tengah mempelajari gerakan-
gerakan dari jurus-jurus ilmu pukulan si Dewa Teng-
korak. Tapi yang terbayang dipelupuk matanya adalah
jurus-jurus ciptaannya sendiri. Jurus demi jurus yang
diciptakan melalui otaknya, semakin menggebu untuk
segera disatukan dengan indra tubuhnya. Selang tak
lama ia keluarkan desahan nafasnya. Lalu melipat lagi
kertas kulit itu dan selipkan disaku bajunya. Lalu
bangkit berdiri. Kakinya melangkah tiga tindak men-
dekati meja. Sementara  sepasang matanya menatap
cangkir berisi obat ramuan yang tadi telah ia sediakan
buat muridnya. Senja tadi ia telah balurkan tumbukan
daun-daun obat dibetis si cantik, muridnya Dan sedia-
kan pula secangkir ramuan untuk di minum menjelang
tidur. Sudah diminumkah..? Bertanya hatinya Ia su-
dah gerakkan kepalanya melongok ke atas cangkir itu.
Ternyata isinya sudah kosong.

Bagus..! Berkata hatinya. Seakan-akan terden-
gar lagi suara kata-katanya senja tadi... "Kau harus
cepat sembuh, muridku..! Ramuan ini akan menghan-
gatkan tubuhmu. Juga mampu menolak setiap racun
yang masih tersisa di  setiap saluran darah..!" Laras
Jingga telah pasrah dalam penantian. Sepasang kelo-
pak matanya setengah terkatup. Ia seperti sudah men-
dambakan kehadirannya sang matahari. Bibirnya se-
tengah terbuka keluarkan desahan-desahan kecil. Ra-
sa sakit pada luka dibetisnya sudah tak terasa. Akan
tetapi pengaruh minuman yang telah diminumnya,
membuat tidurnya seperti gelisah. Hawa dingin di ma-
lam sepi itu seperti sudah berubah menjadi panas. Se-
kujur tubuhnya sudah terbasuh oleh peluh. Di luar
masih terdengar suara lolong  srigala, yang suaranya
seperti tangisan yang merintih. Tapi Laras Jingga se-
perti sudah terhanyut dalam mimpi.
Ramuan pemberian Boma Kasura telah mem-
biusnya, hingga ia terbawa dalam mimpi aneh yang
menakutkan. Jelas kini dilihatnya di pembaringan
yang alas  kainnya sudah kusut masai itu, tergolek
sang Guru seperti seorang bayi lemah yang menunggu
sang ibu untuk menyelimutinya Sekujur ku88 lit tu-
buhnya bermandikan peluh. Sepasang matanya terpe-
jam. Hidungnya terlihat kembang kempis dengan sua-
ra napas yang menggeros. Sadarlah Laras Jingga,
bahwa ia telah berikan kehangatan tubuhnya pada
manusia di hadapannya itu, untuk yang kesekian ka-
linya. Betapa ia amat membencinya. Betapa nistanya.
Betapa terkutuknya..! Tiba-tiba Laras sudah rasakan
dirinya bagai seekor raja rimba yang buas. Dan dengan
menggerung keras, ia telah menerkam manusia diha-
dapannya. Sepasang lengannya meluncur deras ke
arah leher Boma Kasura Terdengarlah suara...

KRRAAKKK.! Darah segera saja memuncrat
memercik ke bantal dan tilam.
Boma Kasura perdengarkan suara bagai kerbau
digorok. Sepasang matanya membeliak, seperti mau
melejit keluar dan kelopaknya. Lidahnya terjulur men-
gerikan. Sementara sepasang kakinya menggelinjang
berkelojotan. Sekejap antaranya tubuh Boma Kasura
telah diam tak bergeming. Nyawanya telah berpindah
ke alam akhirat. Dengan sepasang mata tak berkedip.
Laras saksikan kematian gurunya tanpa berubah sedi-
kit mimik wajahnya. Tampak wanita muda ini lepaskan
cengkeramannya, pada leher Boma Kasura yang telah
hancur.
Setelah memandang sejenak pada sepasang
lengan yang kesepuluh jarinya bersimbah darah, Laras
Jingga segera menyekanya dengan kain selimut.
Selanjutnya ia telah kenakan kembali pakaian-
nya... Suara lolong srigala dikejauhan telah berhenti.
Namun suara burung hantu masih sesekali ter-
dengar, namun semakin menjauh. Lalu lenyap. Cuma
desah angin malam yang menyibak dedaunan dan
membuat beberapa helai daun Jati itu rontok jatuh ke
tanah. Tetapi dalam senyapnya malam, sesosok tubuh
sudah keluar dari pondok terpencil ditengah hutan jati
itu dengan berjingkat-jingkat. Lalu lenyap di kegelapan
malam...

* * *

Beberapa pekan kemudian sejak kejadian di-
tengah hutan jati itu... tiga sosok tubuh tampak men-
datangi sebuah rumah dikelokkan jalan desa Sekar
Wangi. Ketiganya tampak berjalan dengan bergegas.
Salah seorang yang diapit oleh kedua orang yang ma-

sih muda-muda itu adalah Kepala Desa Sekar Wangi.
Laki-laki berusia sekitar 45 tahun itu bernama Klobot.
Sedang kedua orang yang mengapitnya adalah dua
orang yang berpakaian seperti perwira Kerajaan.
Sebentar saja mereka telah tiba di depan pintu,
di bawah anak tangga rumah panggung itu. Salah seo-
rang sudah segera melangkah menaiki tangga unda-
kan. Dan pergunakan tangannya mengetuk pintu.
Akan tetapi tiba-tiba pintu itu telah menjeblak keluar
bagai diterjang dari dalam sampai engselnya terlepas.
Tak ampun lagi si perwira Kerajaan itu telah terlempar
menggelinding ke bawah tangga batu, disertai teriakan
mengaduh kesakitan. Dan sebuah bayangan hitam te-
lah melompat keluar dari dalam... Kepala Desa berna-
ma Klobot itu jadi terkejut dan ternganga. Sementara
perwira Kerajaan yang seorang lagi di bawah tangga
sudah mengejar bayangan itu.
"Haiiii..! Berhenti..!" Teriaknya seraya melompat
mengejar. Akan tetapi bayangan hitam itu sudah le-
nyap dibalik semak. Perwira ini sudah segera tiba di
tempat itu. Pedangnya segera dicabut keluar dari se-
rangkanya di  pinggang. Berindap-indap ia mendekati
semak lebat itu. Sementara Klobot pak Kepala Desa
cuma memperhatikan dari depan rumah panggung.
Perwira Kerajaan yang sial itu  sudah bangkit berdiri
sambil memegangi kepalanya yang serasa pecah ter-
hantam daun pintu. Tampak keningnya benjol sebesar
telur angsa Laki-laki inipun sudah pentang sepasang
matanya melihat ke arah kawannya. Sang Perwira Ke-
rajaan yang sudah mencabut pedangnya itu terus me-
langkah hati-hati dengan sepasang matanya jelalatan
mencari jejak bayangan hitam itu. Jelas sekali bayan-
gan itu adalah sesosok tubuh wanita.
"Keluarlah kau wanita ss... si... siluman..!?"

Bentakan si Perwira Kerajaan ini jadi kendur separoh
suaranya. Karena dihadapannya telah berdiri orang
yang dicarinya. Tapi dalam keadaan membugil bagian
atas tubuhnya. Sehingga sepasang benda yang menon-
jol mulus itu membuat sepasang matanya jadi terbe-
liak. Satu suara dingin bagaikan es telah terdengar...
"Kau mau membunuhku Perwira Kerajaan..?
Atau kau mau menangkapku hidup-hidup? Hi hi hi...
Hayo! Kau tangkaplah aku..!" Seraya berkata wanita
cantik yang menggiurkan itu telah melangkah meng-
hampiri. Anehnya si Perwira Kerajaan itu Cuma terpa-
ku di tempatnya menatap si wanita, yang sepasang
matanya membersit tajam seperti sepasang mata sriga-
la yang mau menerkam mangsanya.
Detik selanjutnya secepat kilat, tahu-tahu se-
pasang lengan si wanita cantik itu telah terjulur men-
cengkeram lehernya. Terdengar seperti suara  tulang
yang remuk. Darah segar sudah memuncrat memba-
sahi semak. Perwira ini tak sempat bersuara lagi. Keti-
ka tiba-tiba tubuhnya telah terlempar keluar dari se-
mak belukar, dan jatuh berdebuk di tanah. Selanjut-
nya tampak sang tubuh berkelojotan sejenak, lalu di-
am terkulai. Terkejut si Kepala Desa dan perwira ka-
wannya itu. Mereka sudah berlompatan menghampiri.
Namun dapatkan si Perwira Kerajaan itu telah tewas.
Pucatlah seketika wajah keduanya. Si Perwira Kerajaan
ini sudah melangkah ke belakang dua tindak. Dan su-
dah cabut pedangnya di pinggang. Namun sekonyong-
konyong angin keras telah menyambar tengkuknya.
Dan kembali terdengar suara tulang leher yang remuk.
Ketika itu juga ia sudah keluarkan teriakan parau.
Namun sebentar kemudian tubuhnya telah jatuh ber-
debuk, disertai lenyapnya si bayangan itu. Tinggal si
Kepala Desa yang terpaku dengan sepasang mata ter-

belalak menyaksikan tubuh si Perwira Kerajaan, yang
berkelojotan bagai ayam yang baru disembelih. Namun
sekejap kemudian Perwira itu pun tewas. Sang Kepala
Desa ini sebentar saja telah putar tubuhnya, untuk
angkat langkah seribu. Keringat dingin sudah mengu-
cur deras di sekujur tubuhnya. Sementara si wanita
berbaju hitam itu telah berkelebat pergi dengan cepat.
Sekejap antaranya bayangan tubuhnya telah
lenyap.  Rumah panggung dikelokkan jalan desa itu
kembali sunyi mencekam. Namun tak berapa lama
kemudian telah datang dua orang Perwira Kerajaan la-
gi dengan mengendarai kuda. Segera mereka sudah
hentikan kedua kudanya di depan rumah panggung
itu. Sigap sekali gerakannya. Salah seorang sudah me-
lompat menghampiri kedua mayat Perwira bawahan-
nya yang tergeletak bersimbah darah Kematiannya
amat mengerikan, bagai habis diterkam binatang buas.
Sementara seorang lagi telah melompat masuk dengan
menjebolkan daun pintu. Terdengar suara bergedubra-
kan. Dan seraya mencabut senjata nya Perwira atasan
itu telah melompat ke tengah ruangan.
"Wanita siluman..! Keluarlah kau..! Aku Lembu
Sura yang akan mencincang tubuhmu..!" Akan tetapi
setelah menanti sekian lama tak ada tanda-tanda
mencurigakan kalau wanita yang dicarinya berada di
dalam ruangan kamar. Sementara si Datuk Raja Gur
telah pula melompat masuk. Tampaknya ia bernyali
besar. Karena dengan berani ia telah langsung menen-
dang pintu kamar, yang segera menjeblak terbuka.
Dan ia sudah melompat ke dalam, diikuti Lembu Sura.
Akan tetapi kedua perwira ini jadi keluarkan teriakan
tertahan.  Kedua pasang mata mereka jadi terbeliak
dan mulut ternganga Karena melihat sesosok tubuh
membugil tergeletak di pembaringan dalam keadaan

terlentang tak bernyawa, dengan keadaan tulang leher
remuk. Dan darah kental menggenang bermuncratan
membasahi bantal dan tilam. Keadaannya sangat men-
gerikan. ternyata sosok tubuh yang sudah menjadi
mayat itu tak lain dari Warakas.
"Kita terlambat datang, kanda Lembu Sura..!
Laki-laki bernama Warakas ini, sudah tewas dibunuh
si wanita cantik berdarah dingin itu..!"
"Heh..! Sial! Kita tak bisa tahu asal usul wanita
siluman itu. Karena hanya Warakas yang mengeta-
hui..!" Berkata Lembu Sura.
"Ha ha ha... Jangan keburu putus asa, kanda
Lembu Sura! Masih ada wanita yang tahu siapa
adanya si wanita berdarah dingin itu. Yaitu Roro Cen-
til, si Pendekar Wanita Pantai Selatan..!" Tutur si Da-
tuk Raja Gur. Lembu Sura kerutkan alisnya.
"Heh! Pendekar itu bersekongkol dengan wanita
siluman itu. Mana mungkin ia bisa memberitahu..?
Lagi pula mencari wanita pengembara itu amatlah su-
lit!" Ujar Lembu Sura seraya beranjak keluar dari ka-
mar yang timbulkan bau anyir darah. Tiba-tiba terden-
gar satu suara wanita di luar...
"Hi hi... Tak perlu mencari Roro Centil. Wanita
itu adalah bagianku untuk membunuhnya..! Kalau
mau mengetahui siapa adanya si wanita berdarah din-
gin itu, akupun dapat menceritakannya..!" Keruan saja
kedua Perwira Kerajaan Sriwijaya itu jadi terkejut, dan
segera sudah melompat keluar. Segera di lihatnya seo-
rang wanita berusia antara 40 tahun. Memakai ikat
kepala berwarna kuning. Bahkan pakaiannya pun
berwarna kuning keemasan. Lembu Sura segera ber-
tanya;
"Siapakah anda..? Kami akan berterima kasih
bila anda mau membantu kami..!"

"Aku dijuluki si Kupu-kupu Emas..! Marilah ki-
ta cari tempat yang enak dan teduh. Agar aku dapat le-
luasa bercerita.." Menyahuti si wanita.
Tentu saja kedua perwira Kerajaan Sriwijaya itu
mengangguk gembira. Dan segera tuntun kudanya,
untuk mengikuti di belakang si Kupu-kupu Emas. Tak
berapa lama mereka sudah dapatkan tempat teduh,
dan duduk di bawah pohon rindang, beralaskan rum-
put tebal. Di hadapan mereka adalah sebuah danau
kecil berair jernih.
"Nan, kalian dengarkanlah ceritaku..." Berkata
si Kupu-kupu  Emas  memulai pembicaraan. Selanjut-
nya si Kupu-kupu Emas telah ceritakan bahwa wanita
berdarah dingin itu bernama Laras Jingga. Ibunya
bernama Dewi Melur, permaisuri dari Kerajaan Bungo
Mambang yang masih berdaulat pada Kerajaan Sriwi-
jaya.
Sang Raja yang bernama Bantar Alam, mem-
punyai beberapa orang selir. Namun baik permaisuri
dan para selirnya tak mempunyai keturunan. Hingga
ada berita kehamilan sang Permaisuri yang ternyata te-
lah hamil bukan oleh baginda Raja Bantar Alam, me-
lainkan oleh seorang Panglima Kerajaan bernama Pan-
glima Sobrang..! Lahirlah Laras Jingga. Akan tetapi ia
lahir di tempat pengungsian. Karena sewaktu hamil,
sang permaisuri telah disuruh bunuh oleh dua orang
prajurit Kerajaan. Akan tetapi salah seorang prajurit
bernama Warakas itu telah melindunginya. Hingga ter-
jadi pertengkaran dengan kawannya yang bernama
Renggana Pati, yang diakhiri  dengan pertarungan
Renggana Pati terluka putus sebelah lengannya, na-
mun ia berhasil melarikan diri ke istana. Baginda Raja
Bantar Alam gusar, dan perintahkan mencari sang
permaisuri dan perwira Kerajaan itu. Akan tetapi me-

reka tak dapat ditemukan. Laras Jingga terperangkap
dalam janji ibunya, untuk membalas jasa pada Wara-
kas. Hingga ia diserahkan kehormatan anak gadisnya
pada Warakas yang telah menolongnya. Bahkan ia
sendiri sudah berhubungan sejak lama dengan sang
Prajurit itu.
Ternyata sang Permaisuri bernama Dewi Melur
itu bukan wanita baik-baik. Ia tak pernah mengurus
anak gadisnya. Hingga Laras Jingga tubuh dan dibe-
sarkan dalam lingkungan yang tidak baik. Bahkan ia
telah berguru dengan seorang yang juga bejat moral-
nya, yang juga menodainya sebagai imbalan yang di
tuntutnya. Hal tersebut telah membuatnya membenci
pada laki-laki. Hingga setiap lelaki hidung belang pasti
di bunuhnya. Dengan memberikan lebih dulu kehan-
gatan tubuhnya Demikianlah, hingga ia menjadi buro-
nan orang Kerajaan Sriwijaya. Ia memang telah mem-
pelajari ilmu keji yang hebat, dari catatan ilmu silat
milik ibunya. Hingga ia menjadi seorang gadis buronan
yang sukar ditangkap. Bahkan gurunya sendiri telah
dibunuhnya. Kini menyusul Warakas, orang yang pal-
ing dibencinya. Demikianlah si Kupu-kupu Emas tu-
turkan perihal si wanita buronan itu. Kedua perwira
Kerajaan itu jadi manggut-manggut mendengarnya
"Mengenai Roro Centil si Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan itu, tak ada hubungannya sama sekali den-
gan tindakan si wanita buronan bernama Laras Jing-
ga...! Harap kalian dari pihak kerajaan membebaskan-
nya dari segala tuduhan..! Dia adalah bagian ku! Aku
yang akan membunuhnya dengan tanganku sendiri..!"
"Persoalan apakah gerangan yang terjadi den-
gan anda..?" Tanya Lembu Sura. Akan tetapi si wanita
bergelar Kupu-kupu Emas itu cuma perdengarkan ter-
tawanya.

"Hal itu adalah rahasia pribadiku..!" Sahutnya
datar. Lembu Sura kembali manggut-manggut Tapi ia
sudah cepat berkata;
"Baiklah..! Mengenai urusanmu aku tak akan
ikut campur. Akan tetapi aku perlu bantuanmu me-
nangkap wanita buronan itu. Kalau bisa menangkap-
nya hidup-hidup. Karena ada perintah mendadak dari
Panglima Agung Tunggal Sewu Seta, untuk tidak
membunuhnya..! Mengenai hal itu tentu saja ada im-
balannya. Harap anda tidak perlu khawatir..!"
"Hm! Tentang itu dapat ku  pikirkan nanti.
Sampaikan saja salamku pada atasanmu itu..!" Ujar si
Kupu-kupu Emas. Kemudian segera sudah bangkit
berdiri.
"Nah! Aku tak dapat berlama-lama disini! Kau
tunggu saja kelak kedatanganku..!" Selesai berkata,
wanita bergelar Kupu-kupu Emas itu sudah segera
berkelebat pergi. Dan sekejap saja sudah lenyap dian-
tara pepohonan. Kedua perwira Kerajaan ini cuma bisa
menatapnya kagum. Tapi mereka pun segera beranjak
menuju kuda-kudanya. Kemudian tak berapa lama an-
taranya kedua perwira itu pun sudah tinggalkan tem-
pat itu. Sementara si Kupu-kupu Emas telah perguna-
kan lari yang luar biasa. Hingga yang terlihat adalah
sinar kuning keemasan. Berkelebat melewati beberapa
dusun. Selang tak berapa lama wanita ini sudah hen-
tikan larinya, dan berjalan tak begitu cepat. Agaknya ia
sudah hampir tiba di tempat yang dituju. Sebuah tugu
perbatasan pun dijumpai. Disana ada tiga jalanan ber-
cagak. Wanita ini hentikan langkahnya untuk menen-
tukan pilihan arah jalan yang bakal ditujunya. Setelah
termenung sesaat, ia mengambil arah jalan yang sebe-
lah kanan. Dan teruskan melangkah. Ternyata si Ku-
pu-kupu Emas ini seorang wanita yang bertubuh pa-

dat dan sempurna. Disamping  pakaiannya yang me-
nonjolkan bentuk tubuhnya, juga memperlihatkan se-
bagian pahanya, bila melangkah. Karena baju berwar-
na kuning keemasan itu mempunyai sobekan atau be-
lahan memanjang di bagian sisi pinggangnya. Ram-
butnya hitam berkilat, panjang terjuntai sampai ke
punggung. Walaupun wajahnya menampakkan kelan-
jutan usianya, akan tetapi wanita ini memang masih
mempunyai kulit yang lembut dan mempesona.
Tiba-tiba dari kejauhan telah terlihat tiga orang
mendatangi. Ternyata ketiganya adalah laki-laki yang
tampak masih muda-muda. Salah seorang sudah ber-
kata;
"Selamat datang sang Ratu Kuning..!" Seraya
ketiganya menjura hormat. Wanita ini mengangguk
jumawa, dan tatap ketiga pemuda dihadapannya. Se-
mentara langkah si wanita ini tiba-tiba menjadi gontai
seperti mau jatuh. Tentu saja hal itu membuat ketiga
pemuda itu jadi terkejut.
"Kenapakah kau Ratu..?" Bertanya salah seo-
rang seraya maju setindak seperti mau jatuh. Tentu
saja hal itu membuat ketiga pemuda itu jadi terkejut.
"Kenapa kau Ratu..?" Bertanya salah seorang
seraya maju setindak seperti mau membantu meno-
long.
"Ah..! Tidak apa-apa. Aku hanya terluka da-
lam... Tapi baru terasa sekarang..! Tapi... aku perlu
bantuan kalian untuk memondong  ku sampai ke  ru-
mah..!" Berkata si Kupu-kupu Emas alias Sang Ratu
Kuning. Tentu saja dengan sigap si pemuda yang maju
setindak itu sudah bicara, dengan wajah menampilkan
kekhawatiran.
"Oh..!? Biarlah aku yang memondong  mu Ra-
tu..!" Seraya berkata, pemuda yang bertubuh tegap ini

sudah melompat ke hadapan si Kupu-kupu Emas. Dan
dengan  sedikit bungkukkan tubuh, sepasang lengan-
nya sudah terjulur untuk meraih pinggang wanita itu.
Sesaat kemudian sang Ratu Kuning sudah dalam pon-
dongannya.
"Ayo, kita kembali..!" Berkata si pemuda tegap
itu pada kedua kawannya. Dan ia sudah mendahului
berjalan cepat setengah berlari, kembali ke arah bela-
kang. Kedua pemuda kawannya segera saja mengikuti
dengan menampakkan wajah cemas.
Sebentar saja di hadapannya mereka telah ter-
lihat sebuah bangunan gedung yang cukup besar.
Wuwungan terbuat dari genting yang sudah berlumut.
Tampaknya gedung itu sudah dibangun sejak lama. Di
kiri  kanan bangunan itu terdapat empat buah area.
Memang mirip sebuah tempat pemujaan. Akan tetapi
gedung itu ternyata ditempati sebagai tempat berdiam.
Memasuki ruangan gedung itu, dua orang  penjaga
memberinya jalan untuk lewat seraya menatap dengan
terkejut pada. wanita dalam pondongan. Langsung saja
pemuda tegap itu membawanya meniti tangga batu, ke
bawah, ditengah ruangan. Sedang kawannya berhenti
di pintu depan Di bawah bertemu lagi dengan dua pen-
jaga. Yang setelah menjura, dengan terkejut salah seo-
rang sudah mengikuti. Untuk selanjutnya mendahului
berlari ke arah sebuah ruangan. Di ruangan ini terda-
pat sebuah kamar yang pintunya tertutup. Segera ia
membukanya. Sementara sepasang matanya menatap
dengan terkejut pada si wanita.
"Kenapa sang Ratu..!" Bertanya penjaga ini.
"Beliau terluka dalam.." Menyahuti si pemuda
kekar. Seraya langsung memasuki kamar. Dan rebah-
kan tubuh sang Ratu di pembaringan.
"Apakah titah  Ratu selanjutnya?" Bertanya si

pemuda. Sang Ratu membuka kelopak matanya, dan
tatap wajah si pemuda itu. Tubuhnya tiba-tiba bagai
diserang demam hebat. Dan tampak menggigil seperti.
kedinginan. Pemuda ini terkejut. Lengannya sudah
bergerak meraba sekujur tubuh sang Ratu, yang terasa
panas. Wanita ini tiba-tiba mengeluh seraya pegangi
kepalanya
"Oh..! Pergilah  tinggalkan aku. Eh..! Siapa na-
mamu..?" Tanya sang Ratu tiba-tiba "Hamba... Kata
Bendana..!" Sahut si pemuda seraya kerutkan
alisnya. Agak aneh ia melihat sikap sang Ratu,
yang tak mengenali siapa dirinya. Akan tetapi ia sadar
kalau sang Ketuanya sedang dalam keadaan terluka
yang kelihatannya parah, hingga mempengaruhi jalan
fikirannya. Apa lagi sejak tadi ia lihat wajah ratunya
yang tampak pucat sekali.
"Aih..! Aku sampai lupa. Kau tak perlu khawa-
tir, malam nanti aku sudah bisa sembuh. Cuma inga-
tanku mendadak jadi sukar mengingat. Agaknya hawa
pukulan musuhku mengandung uap beracun, yang
mempengaruhi syaraf ku...!
"Hm! Kala Bendana. Coba kau sebutkan siapa-
siapa saja orang yang menghamba padaku..! Terkejut
Kala Bendana. Baru ia sadar kalau keadaan otak sang
Ratu sedang kacau. Segera saja ia sebutkan satu-satu
dari semua penghuni gedung itu
"Kesemuanya ada delapan belas orang. Yang te-
rakhir menghamba adalah seorang pemuda bernama
Gumarang. Mungkin Ratu memang belum mengeta-
huinya, karena pemuda itu baru sebulan yang lalu di-
antarkan oleh sahabat baik Ratu. Yaitu yang berjulu-
kan Peri Gunung Dempo. Memang beliau ada mena-
nyakan Ratu. Tapi telah hamba katakan bahwa Ratu
berada di Kota Raja..!" Tutur Kala Bendana. Si Kupu-

kupu Emas ini manggut-manggut, seraya bertanya la-
gi.
"Bagaimana dengan pemuda Gumarang itu?
Apa ia baik-baik saja?"
"Ia kami penjarakan sementara di ruang bawah
tanah. Dia dalam keadaan baik. Karena Peri Gunung
Dempo perintahkan kami untuk menjaganya sampai
kedatangan Ratu..!" Ujar Kala Bendana.
"Bagus..! Sebentar senja, kau bawa ia mengha-
dap padaku..!" Perintah si Kupu-kupu Emas. Lalu pe-
rintahkan Kala Bendana keluar, karena ia akan segera
memulai bersemadi untuk memulihkan luka dalam-
nya. Pemuda itu menjura hormat, lalu beranjak keluar
kamar, serta tutupkan pintunya. Kemudian terdengar
langkahnya berlalu menjauh. Sementara si Kupu-kupu
Emas telah bangkit untuk duduk. Terdengar suara he-
laan napas lega dari mulutnya. Sang Ratu gerakkan
sepasang tangannya untuk meraba wajahnya. Lalu
singkapkan rambut. Dan entah apa yang dilakukan-
nya, ketika tiba-tiba ia telah sentakan jari-jari tangan-
nya... Aneh! Kulit wajahnya telah terbawa mengelupas.
Dan tersembulah sebuah wajah ayu... Siapa lagi kalau
bukan Roro Centil. Ternyata ia telah menyaru sebagai
si Kupu-kupu Emas. Dan berhasil memasuki sarang-
nya. Apa yang terjadi dengan si Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan ini? Baiklah kita putar  kisah belakangan
ini... Kiranya waktu Roro berlalu tinggalkan mayat si
Peri Gunung Dempo yang dalam keadaan tewas den-
gan posisi menyerang, ia terus dibuntuti si Dewa Angin
Puyuh. Ternyata diam-diam Roro Centil mengetahui,
namun membiarkan saja si manusia bulat itu mengi-
kutinya. Ternyata kemudian Roro menjumpai sebuah
kuil tua yang tak berpenghuni. Disana Roro sengaja
berhenti untuk duduk beristirahat. Dewa Angin Puyuh

tentu saja sudah segera melompat menyusul... dan se-
kejap ia sudah tiba di depan kuil.
"Nona Pendekar..! Harap sudilah kau bersaha-
bat denganku, si Dewa Angin Puyuh..! Aku bukan dari
golongan hitam. Tapi aku juga bukan golongan kaum
putih, karena tak pernah orang menyebutku sebagai
Pendekar. Walaupun sesekali aku juga suka menolong
orang..! He he he..." Tak angin tak hujan, si Dewa An-
gin Puyuh sudah pentang  suara dengan lebih perke-
nalkan dirinya.
"Hm! Siapa yang melarang orang untuk bersa-
habat? Di dunia ini mencari sahabat amat sulit. Seper-
ti mencari jarum di dalam laut..!" Ujar Roro tanpa me-
noleh.
"Bagus! Bagus! Betul begitu..! Ah, senang sekali
kalau nona menerimaku..!" Berteriak si Dewa Angin
Puyuh dengan wajah girang. Cuma saja ia tak ber-
jingkrakan saking senangnya dapat mendekati sang
Pendekar Wanita yang ayu rupawan.
"Tapi sahabat sejati amat sukar dicari. Banyak
orang mengaku sahabat, bila dirinya memang amat
membutuhkan orang itu. Atau tepatnya ada maunya..!
Hal itulah yang aku tak ingin. Biasanya sahabat sema-
cam itu bagaikan seekor musang berbulu ayam. Bila
ayam lengah, si musang bisa menerkamnya..!" Berkata
lagi Roro Centil dengan kata-kata yang tanpa tedeng
aling-aling. Tentu saja kata-kata itu membuat si ma-
nusia bulat jadi melengak. Tapi ia sudah berubah wa-
jah jadi tersenyum.
"He he he... Jangan Khawatir, nona Pendekar.
Orang semacam ku bukan semacam... semacam ayam
yang berbulu mu... mu..? Eh, maksudku Musang yang
berbulu Ayam..!" Ujar si Dewa Angin Puyuh agak ki-
kuk. Dan lanjutnya lagi.

"Aku memang termasuk manusia segala doyan.
Akan tetapi aku bisa lihat-lihat mana yang brengsek
dan mana yang tidak brengsek..!"
"Kalau yang brengsek itu yang bagaimana..?"
Tanya Roro.
"Yang brengsek adalah yang mempermainkan
cinta laki-laki..!" Jawab si manusia bulat. "Kalau yang
tidak brengsek... ?" Tanya Roro lagi.
"Yang tidak brengsek adalah yang cintanya su-
ci. Dan ditujukan pada satu orang saja..!" Ujar si Dewa
Angin Puyuh, seraya keluarkan kipasnya. Dan sambil
meram-melek ia duduk menyandar di tiang penyangga
wuwungan Kuil. Roro Centil kerutkan alisnya.
"Jadi aku, kau masukkan dalam golongan yang
mana.. ?" Bertanya Roro.
"Entahlah..! Rasanya diantara kedua golongan
itu, nona tidak termasuk dalam kamus catatan di
otakku..!" Roro tersenyum, manggut-manggut. Agak-
nya ia mengerti.
"Hm! Jadi kau baru bisa menilai, kalau aku su-
dah meladeni kau seperti seorang istri terhadap sua-
minya... Begitukah maksudmu..?" Tanya Roro seraya
palingkan wajahnya pada si manusia bulat, yang ma-
sih enak-enak duduk bersandar sambil mengipasi da-
danya dengan kipas bututnya.
"He he he... Betul! Betul..!" Jawab si Dewa An-
gin Puyuh.
"Tapi kalau aku tidak bertepuk sebelah tan-
gan..!" Sambungnya lagi, dengan senyum simpul. "Ba-
gaimana kalau kau bertepuk sebelah tangan? Apakah
akan kau batalkan persahabatan  mu dengan ku..?"
Tanya Roro menegasi. Si manusia bulat itu terdengar
menghela napas, namun wajahnya menampilkan ke-
gembiraan... "Yah..! Apa boleh buat, karena sudah ter-

lanjur..!" Ia telah menjawab seenaknya. Tapi entah
mengapa dalam bertukar jawab itu, si Dewa Angin
Puyuh tampak senang. Karena baru kali ini ia temui
seorang dara cantik dan ayu yang kenes dan pintar bi-
cara. Membuat ia betah untuk mengobrol. Bahkan se-
lanjutnya si Dewa Angin Puyuh jadi merasa sungkan,
ia menghormati si Pendekar Wanita itu. Dan semakin
bersimpati manusia yang berwatak agak ugal-ugalan
itu terhadap Roro.
Demikianlah... Beberapa hari kemudian, tam-
pak keduanya sudah akrab. Bahkan selama itu dima-
na ada Roro, pasti ada si Dewa Angin Puyuh. Sepintas
orang menebaknya sebagai seorang paman dengan ke-
ponakannya. Ternyata Roro pun telah memanggilnya
dengan sebutan paman terhadap si Dewa Angin Puyuh
itu. Yang tampaknya mempunyai rasa kebahagiaan
tersendiri bagi si manusia bulat itu. Siapa yang tak
bangga punya keponakan secantik dan seayu Roro
Centil, yang selalu menjadi incaran mata kaum muda-
muda bahkan tua bangka yang mata keranjang...
Hal itu memang terjadi, ketika suatu ketika si
Dewa  Angin Puyuh mengajak Roro memasuki desa
yang ramai. Dan mengajaknya singgah di  sebuah  ru-
mah makan yang paling laris dikunjungi orang. Den-
gan bangga si manusia bulat telah sebutkan Roro se-
bagai keponakannya, bila bertemu dengan setiap orang
yang dikenalnya.
Dari si Dewa Angin Puyuh itulah, Roro Centil
mengetahui tentang siapa adanya wanita kaum Rimba
Hijau yang bernama julukan si Kupu-kupu Emas. Se-
perti diketahui si Kupu-kupu Emas adalah orang yang
tengah dicarinya. Dan terlibat dalam pengeroyokan
atas gurunya, si Manusia Aneh Pantai Selatan Yang
berakhir dengan kematian sang Guru yang dicintainya

itu. Berita itu ia dapatkan dari Joko Sangit, sahabat
baiknya.
Ternyata si Dewa Angin Puyuh juga suka ber-
hubungan dengan Sang Ratu Kuning, alias si Kupu-
kupu Emas itu. Bahkan ia memiliki topeng kulit ma-
nusia, yang sering dipakai wanita Rimba Hijau itu. En-
tah bagaimana si Dewa Angin Puyuh berhasil mencu-
rinya. Demikianlah. Hingga Roro Centil dapat menge-
tahui sarang si Kupu-kupu Emas, dan bahkan dapat
mengelabuhi ketujuh belas orang-orang bawahannya,
yang mengabdi padanya. Bahkan tanpa sengaja usaha
mencari Gumarang, laki-laki muda suami Retno Wulan
yang hilang tak tentu rimbanya itu dapat diketahui ka-
lau ternyata berada di sarang si Kupu-kupu Emas. Se-
telah entah beberapa bulan disekap oleh si Peri Gu-
nung Dempo untuk melayani wanita cabul itu memua-
skan hawa nafsunya.

* * *

Senja telah tiba, ketika pintu kamar Roro Centil
diketuk orang. Roro cepat-cepat pergunakan cadar dari
saputangannya untuk menutupi wajahnya. Hingga
yang tampak adalah sepasang matanya saja.
"Masuklah..!" Berkata Roro Centil, seraya bu-
kakan pintu. Dan seorang pemuda diantar dua pen-
gawal, segera melangkah masuk. Ternyata Kala Ben-
dana tak ada bersamanya. Pemuda bernama Guma-
rang ini berhenti untuk menatap pada Roro yang wa-
jahnya terlihat sepasang matanya saja berkilatan me-
mandangnya. Roro sudah segera tutupkan kembali
pintu kamarnya. Gumarang melangkah lesu... Kea-
daannya amat mengenaskan. Karena tubuhnya tam-
pak agak kurus. Dengan sepasang mata yang agak ce-

kung ke dalam. Wajahnya tak menampilkan gairah hi-
dup. Tapi Roro harus mengakui akan ketampanan wa-
jahnya. Pantas si Peri Gunung Dempo menggilainya,
karena Gumarang memang punya daya tarik luar bi-
asa untuk digandrungi kaum wanita. Demikian pikir
Roro dalam hati. Tiba-tiba laki-laki muda ini balikkan
tubuhnya, seraya berkata dengan suara parau.
"Kaukah sang Ratu Kuning itu..? Hm! Lebih
baik kau bunuh saja aku..! Aku telah tak punya gairah
untuk wanita-wanita cabul macam kalian. Sudah cu-
kup aku tersiksa oleh si Peri Gunung Dempo, wanita
siluman itu, mengapa kau masih memelihara aku
sampai saat ini..? Dan baru sekarang kau panggil aku
untuk menghadap?" Seraya berkata itu, sepasang mata
Gumarang tampak menyorot tajam berapi-api. Betapa
ia sudah merasa bosan hidup dalam tawanan. Dan ki-
ni lagi-lagi harus berhadapan dengan manusia-
manusia bermoral bejat Yang tak pernah  merasa
puas..! Akan tetapi tiba-tiba Roro Centil telah membu-
ka cadar penutup wajahnya. Dan tempelkan jari telun-
juknya di atas bibir. Tentu saja Gumarang jadi terke-
jut. Dan isyarat itu membuat Gumarang kerutkan
alisnya hingga menyatu. Roro sudah tarik pemuda itu
ke sisi pembaringan.
"Masih ingatkah kau padaku..? Aku wanita
yang telah kalian anggap Dewi Laut itu..?" Tanya Roro
bersisik. Gumarang bagai tak berkedip menatap Roro.
Dan segera teringat ia akan peristiwa setahun lebih
yang lalu, ketika ia dan Retno Wulan dalam keadaan
dicengkeram maut. Karena ketika sepasang sejoli ini
melarikan diri dengan menggunakan perahu berlayar
di laut lepas, tahu-tahu perahunya telah bocor berlu-
bang. Ternyata adalah perbuatan begundalnya Tirta
Menggala.

Saat Tirta Menggala muncul dengan perahu be-
sar menyusulnya, mereka berdua cuma bisa menanti-
kan datangnya maut Karena perahunya semakin
membenam, tanpa seorangpun berniat menolong. Apa
lagi Tirta Menggala memang menginginkan kematian
mereka. Karena ia memang menginginkan Retno Wu-
lan, sang kekasihnya itu untuk jadi istrinya. Tapi dito-
lak oleh sang gadis. Dan gadis itu melarikan diri ber-
samanya.
Pada saat kegaduhan di perahu besar yang di
tumpangi Tirta Menggala. karena sekonyong-konyong
perahu Tirta Menggala berderak bagai dihantam benda
keras. Dan sekejap sudah miring mau tenggelam. Ka-
rena dinding perahunya telah jebol. Saat itulah, se-
buah bayangan merah jambu berkelebat menyambar
Gumarang dan Retno Wulan. Ternyata Roro Centil
yang telah menyelamatkan jiwanya. Dan dibawa mele-
sat ke arah pantai. Yang akhirnya mereka terhindar
dari kematian ditelan ombak. Gumarang tak dapat
berkata apa-apa selain bersujud di hadapan Roro Cen-
til, namun mendesis juga ucapannya perlahan...
"Pendekar Wanita Pantai Selatan... Nona Roro
Centil..! Aku masih mengenalimu. Oh, maafkan aku
yang salah menyangka..!" Namun Roro sudah segera
angkat bahunya dan bisikkan beberapa kalimat ten-
tang kedatangannya. Gumarang mengangguk-angguk
mengerti. Lalu sekejap kemudian Roro telah salurkan
hawa hangat ke  sekujur tubuh Gumarang, dengan
menempelkan telapak tangannya pada punggung pe-
muda itu. Selang sesaat Kekuatan Gumarang telah pu-
lih kembali. Bahkan tenaga dalamnya telah ditambah
oleh Roro Centil, dengan menyalurkannya. tanpa
sungkan-sungkan.
Segera saja Roro pakai lagi kedok mukanya.

Dan beranjak keluar diikuti Gumarang. Tentu saja ke-
dua penjaga cuma tundukkan kepala dengan menjura
hormat pada Roro. Akan tetapi, sekali lengan wanita
ini bergerak kedua penjaga itu telah berdiri kaku den-
gan keadaan tubuh tertotok juga tanpa dapat kelua-
rkan suara lagi. Cuma sepasang matanya saja yang
menatap lantai dengan berkedip-kedip keheranan.
Selanjutnya beberapa penjaga semuanya telah
juga ditotok oleh Roro. Bahkan tiga orang yang datang
kehadapannya, termasuk Kala Bendana, telah juga
mengalami nasib yang sama. Tentu saja, dengan mu-
dah mereka segera keluar dari gedung tempat sarang si
Kupu-kupu Emas itu. Akan tetapi ketika mereka tiba
di pelataran, telah terdengar bentakan disertai terjan-
gan hebat dari dua sosok tubuh. Roro Centil perguna-
kan sepasang lengannya untuk menyambuti. Terden-
garlah suara teriakan tertahan. Dan dua sosok tubuh
itu telah terpental tiga tombak ke belakang. Segera da-
pat dilihat siapa adanya kedua orang itu. Ternyata me-
reka adalah dua orang wanita. Yang satu seorang wa-
nita muda berbaju hitam, yang tak lain dari si wanita
buronan Laras Jingga. Sedang yang seorang lagi ada-
lah seorang wanita berusia sekitar 40 tahun. Wajahnya
mempunyai bekas tanda luka menggores. Akan tetapi
dapat diakui wanita ini dulunya berwajah cantik. Wa-
nita ini bangkit berdiri, seraya gulung lengan bajunya,
yang berwarna kuning keemasan, hampir mirip dengan
pakaian Roro.
"Manusia kurang ajar..! Buka topengmu..!" Ben-
taknya. Seraya cabut senjatanya dari balik pakaian.
Yaitu sebuah kipas tipis dari baja berkilat, berwarna
kuning emas, berbentuk sayap kupu-kupu. Tahulah
Roro Centil, kalau wanita dihadapannya ini adalah si
Kupu-kupu Emas. Segera ia telah tarik robek kedok

mukanya.
Sepasang mata si Ratu Kupu-kupu Emas itu
mendelik gusar. Ia memang sudah mengetahui kalau
orang yang menyaru dirinya itu adalah Roro Centil.
Akan tetapi baru kali ini ia melihat wajahnya. Adapun
si wanita buronan, Laras Jingga jadi terkesiap. Tapi
juga merasa kebetulan. Wajahnya tampak menampil-
kan kemarahan luar biasa terhadap Roro. "Manusia
keparat Roro Centil! Bagus! kiranya kau berada disini.
Kau harus tebus kematian ibuku dengan nyawamu..!"
Bentakannya telah diiringi terjangan hebat ke arah Ro-
ro. Ternyata ia telah pergunakan jurus-jurus si Dewa
Tengkorak. Akan tetapi dengan pergunakan jurus Ta-
rian Bidadari Mabuk Kepayang, Roro Centil sudah
berhasil menghindari. Bahkan tampaknya Roro tak
mau berlama-lama untuk menjatuhkan lawan. Ia su-
dah maklumi kemarahan Laras Jingga akan kematian
ibunya alias si Peri Gunung Dempo. Tiba-tiba tubuh
Roro telah berkelebat lenyap dari pandangan wanita
muda itu. Akan tetapi tahu-tahu Laras Jingga kelua-
rkan keluhan pendek. Tubuhnya roboh terkulai kena
ditotok Roro. Dan dengan sigap, Roro telah menyambu-
tinya. Kemudian dengan memondongnya, Roro cepat
melompat ke arah Gumarang. Kejap berikutnya, ia te-
lah berikan gadis yang telah tertotok pingsan itu untuk
dipondong si pemuda.
Betapa gusarnya si Kupu-kupu Emas. Memang
ia telah mengetahui adanya Roro Centil dari kedua
orang Perwira Kerajaan Sriwijaya, yaitu Lembu Sura
dan Datuk Raja Gur. Yaitu adanya orang yang menya-
ru dirinya. Ia baru saja keluar dari gedung Panglima
Agung Tunggal Sewu Seta. Yang memang ada hubun-
gan baik padanya. Saat ia lakukan pembicaraan seje-
nak dengan Panglima itu, muncullah Lembu Sura dan

Datuk Raja Gur.  Mereka segera laporkan pertemuan-
nya dengan si Kupu-kupu Emas. Tentu saja Panglima
Agung Tunggal Sewu Seta jadi terkejut. Terlebih-lebih
si wanita itu, karena Kupu-kupu Emas adalah dirinya
sendiri.
Pada saat itulah muncul si Dewa Angin Puyuh,
yang mengatakan bahwa si Kupu-kupu Emas itu ada-
lah samaran dari Roro Centil, yang tengah menyatroni
sarangnya. Kiranya si manusia bulat itu memang sen-
gaja memancing wanita musuh besar Roro itu untuk
kembali ke sarangnya. Bahkan si Dewa Angin Puyuh
yang telah berpihak pada Roro, berpura-pura mau
membantu wanita itu. Segera saja mereka minta diri.
Dan berdua dengan si Dewa Angin Puyuh, mereka se-
gera angkat kaki untuk segera berangkat menuju tem-
pat Kediaman si Kupu-kupu Emas.
Diperjalanan mereka bertemu dengan Laras
Jingga. Lantas saja si Kupu-kupu Emas mengajaknya
turut serta, serta merasa kebetulan sekali mendapat
teman untuk menempur Roro Centil. Karena Laras
Jingga memang tengah mencari pendekar wanita itu,
untuk membalas dendam atas kematian ibunya. Ter-
nyata semua itu adalah hasil rencana si Dewa Angin
Puyuh. Yang sudah mengatur adanya pertemuan itu.
Demikianlah... Ketika terjadi pertarungan, dan
berakhir sekejapan saja Laras Jingga kena tertotok
oleh Roro Centil. Saat itu si Dewa Angin Puyuh, cuma
asyik duduk menyandar di dahan pohon sambil men-
gipas dengan kipas bututnya. Kupu-kupu Emas sudah
berteriak membentaknya...
"Hei! Manusia bola..! Mengapa  kau tak turun
tangan membantuku..?!" Teriaknya. Akan tetapi si ma-
nusia bulat itu bahkan pentang mulutnya lebar-lebar,
alias menguap. "Hoaeeemmm... Aku mengantuk sekali,

Kupu-kupu Emas. Sebaiknya aku tidur dulu. Nanti bi-
la kau terdesak, dan sudah dekat mau mampus, kau
bangunkanlah aku..!" Berkata si Dewa Angin Puyuh,
seraya kipas bututnya sudah diselipkan disela jubah-
nya. Kemudian setelah menguap sekali lagi, sudah se-
gera pejamkan matanya untuk tidur mendengkur.
"Setan..! Kunyuk..!" Memaki si Kupu-kupu
Emas, seraya sudah arahkan senjata kipas bersayap
Kupu-kupu itu ke atas tempat si manusia bulat men-
dengkur. Tiba-tiba dari batang kipasnya telah mem-
bersit belasan batang jarum halus. Itulah senjata ra-
hasia yang mengandung racun. Akan tetapi, dengan
cepat si manusia bulat itu tarik keluar lagi kipas bu-
tutnya, seraya berkata keras-keras...
"Hoaeeemmm..! Panasnya bukan main..!" Hebat
akibatnya. Karena bam dengan gerakan mengeluarkan
kipasnya saja, belasan batang jarum itu telah buyar
kena hempasan angin kipas bututnya. Dan ketika mu-
lutnya menguap. Belasan batang jarum itu sudah ter-
hembus lenyap. Selanjutnya ia sudah mengipas lagi.
Anehnya selama ia menghantam buyar senjata-senjata
rahasia itu, ia tak pernah membuka kelopak matanya.
Kupu-kupu Emas sudah tak memperdulikan
lagi manusia bulat itu. Akan tetapi ia telah palingkan
kepala pada Roro Centil seraya membentak dengan
suara dingin.
"Bagus..! Kiranya murid si Manusia Aneh alias
si banci gila asmara itu, memang mencariku untuk
membalas dendam..! He he he... kau hanya mengantar
nyawa saja, bocah bau kencur..!"
Dan kata-katanya telah dibarengi bentakan
dahsyat. Tubuhnya berkelebat ke arah Roro, dengan
kelebatkan senjata kipas Kupu-kupunya. Membersit
senjata yang bersisi tajam itu. Bahkan ujungnya me-

matuk ke arah leher. Roro Centil sudah berkelebat
menghindar. Tentu saja ia telah waspada akan adanya
jarum di ujung gagang kipasnya. Tampaknya Roro
Centil ingin mencoba menggunakan jurus pemberian si
Mayat Hidup. Yang cuma terdiri dari tiga jurus. Ketiga
jurus ilmu pemberian si Mayat hidup itu adalah ber-
nama jurus Kucing Kurus Sambar Ikan Asin. Segera
saja Roro lakukan lompatan-lompatan bagai seekor
kucing. Ternyata membawa hasil memuaskan Jurus-
jurus si Kupu-kupu Emas selanjutnya semakin hebat.
Dan Roro Centil selalu dapat menghindar dengan lom-
patan-lompatannya.
Membuat wanita ini jadi jengkel. Tiba-tiba ki-
pasnya bergerak menyambar, menimbulkan hempasan
dahsyat. Berbareng dengan kelebatan tubuhnya me-
mutari Roro. Dan di saat yang sudah ditentukan, ja-
rum-jarum mautnya sudah membersit berkali-kali me-
luruk ke arah Roro. Namun dengan kibaskan rambut-
nya, Roro berhasil menghalaunya.
Tiba-tiba Roro gerakkan tubuh untuk menyam-
bar kaki. Lagi-lagi ia pergunakan jurus Kucing Kurus
Sambar Ikan Asin warisan si Mayat Hidup. membuat si
Kupu-kupu Emas melompat dua tombak. Namun ge-
rakan Roro sudah mendahului. Karena ia telah men-
duga kalau si wanita itu akan berbuat demikian. Dan
begitu tubuh si Kupu-kupu Emas tiba didekatnya, se-
kali lengan Roro bergerak... lepaslah senjata Kipas Ku-
pu-kupu si wanita itu. Untuk selanjutnya sebuah ge-
rakkan dari jurus Ikan Hiu Menampar Ombak. Tak
ampun lagi wanita itu sudah perdengarkan teriakan-
nya. Karena sebuah tendangan telak telah menghan-
tam punggungnya di udara. Tubuh Roro sudah kemba-
li  menjejak tanah. Sementara tubuh lawannya baru
saja menyentuh ke bumi, Roro Centil telah lemparkan

deras senjata kipas Kupu-kupu itu ke arah si pemilik-
nya. Terkesiap si Ratu Kuning itu. Namun sudah ter-
lambat... Karena benda itu telah menabas langsung ke
arah dadanya, hingga lenyap tak kelihatan lagi. Dan
tanpa dapat berteriak lagi, si Kupu-kupu Emas cuma
menggeliatkan tubuhnya. Dan nyawanya pun me-
layang seketika. Senjata Kipas Kupu-kupu itu telah
membelah dadanya dan terus melesak amblas ke da-
lam tanah. Pertarungan maut itupun berakhir sudah.
Si Dewa Angin Puyuh tertawa gelak-gelak. Dan
melompat turun dari atas dahan. Sementara cuaca
semakin gelap. Karena malam akan segera tiba.

* * *

Menjelang beberapa hari kemudian, tampak ti-
ga sosok tubuh berlari dengan tak tergesa-gesa, di atas
perbukitan yang menghijau itu. Mereka adalah Roro
Centil, Gumarang dan si Dewa Angin Puyuh. Ketiganya
dalam perjalanan menuju ke tempat tinggal si Mayat
Hidup. Kiranya mereka baru saja membereskan uru-
sannya menyerahkan si wanita buronan alias Laras
Jingga, si cantik berdarah dingin itu pada Panglima
Agung Tunggal Sewu Seta. Ternyata di dalam ruangan
gedung itu tengah ada tetamu dari Kerajaan Bungo
Mambang. Diantaranya terdapat Raja Bantar Alam ser-
ta putra mahkota Pangeran Kandaga. Serta juga seo-
rang panglima yang putus sebelah tangannya, berna-
ma Renggana Pati. Terbukalah tirai terselubung di hati
Panglima Agung Tunggal Sewu Seta. Karena sebenar-
nya ia adalah seorang panglima di Kerajaan Bungo
Mambang, bernama Sobrang. Yang sebenarnya bukan
dihukum mati oleh Raja Bantar Alam. Melainkan di-
pindahkan ke Kerajaan Sriwijaya. Dan menjadi Pan-

glima di Kerajaan besar itu.
Laras Jingga adalah puteri angkatnya yang te-
lah dicuri oleh Warakas. Sedang kehamilan Dewi Melur
adalah perbuatan Warakas. Anak hasil perbuatan me-
reka, ternyata tak berumur panjang. Dan meninggal
ketika dilahirkan. Warakas akhirnya dapat diketahui
tempat persembunyiannya. Namun ketika Panglima
Sobrang alias Panglima Agung Tunggal Sewu Seta itu
menyuruh menangkapnya. Ternyata telah  tewas oleh
Laras Jingga. Adapun kedua orang anak pembesar Ke-
rajaan itu, yang bernama Lingga dan Linggih, adalah
tipuan belaka. Karena Linggah dan Linggih sebenarnya
tak ada hubungan apa-apa dengan si Panglima. Perin-
tah membunuh mati itu ternyata dihembuskan oleh
Warakas. Karena ia khawatir wanita berdarah dingin
itu menyusahkannya kelak.
Tentu saja penuturan dari semua orang-orang
Kerajaan Bungo Mambang itu telah menguak kisah ri-
wayat hidup Laras Jingga. Si cantik berdarah dingin
ini memeluk ayah angkatnya dengan terharu dan mo-
hon maaf pada Roro Centil, yang telah dianggapnya te-
lah membunuh ibunya. Padahal Dewi Melur alias si
Peri Gunung Dempo itu tidaklah ada hubungannya
sama sekali dengannya. Akhirnya setelah mereka sa-
ma-sama saling maafkan, Roro, Gumarang dan si De-
wa Angin Puyuh berangkat untuk mengunjungi tempat
si mayat hidup. Akhir kisah, Roro Centil dan si Dewa
Angin Puyuh cuma bisa memandang terharu atas per-
temuan Gumarang kembali dengan istrinya, Retno Wu-
lan.
"Dewa Angin Puyuh..! Kapan kau akan kawin..?
Apa kau belum bosan membujang sampai tua..!" Ber-
kata si Mayat Hidup.
Manusia bulat ini hanya menyengir, sambil

mengipas dengan kipas bututnya. Ia sudah lantas me-
nyahuti; Seraya tertawa gelak-gelak...
"He he he... ha ha ha... Kawin sih aku sudah
sering...! Cuma menikah yang aku belum merasakan-
nya..!" Tentu saja semua jadi tertawa geli. Roro Centil
sudah menggamit pundak si manusia bulat itu seraya
berkata,
"Bagaimana kalau kau kawin saja denganku..!"
"Ha...?" Si Dewa Angin Puyuh jadi plototkan
matanya pada Roro. Tapi sudah menyahuti; "Boleh..!
Boleh..! Tapi aku ingin tahu dulu apa mas kawin-
nya..?" Sambil tersenyum Roro menjawab;
"Tak perlu pakai mas kawin..! Kalau kau mau
menungguku sampai 100 tahun, biarlah kuterima la-
maranmu..!" Tentu saja si manusia bulat ini sudah ter-
tawa terbahak-bahak. "Ha ha ha... Saat itu kau sudah
jadi nenek-nenek bungkuk, dan aku sudah jadi maka-
nan cacing di dalam kubur! Ha ha ha..." Kembali si
Dewa Angin Puyuh tertawa gelak-gelak. Diikuti semua
orang. Adapun tiba-tiba wajah Roro jadi cemberut.
"Aku jadi nenek-nenek bungkuk..? Huh! Siapa
bilang kalau aku sudah tua akan jadi nenek-nenek
bungkuk..?" Sambil berkata dengan wajah cemberut,
Roro Centil sudah balikkan tubuh untuk berlalu. Ter-
kejut si Dewa Angin Puyuh. Segera ia sudah mengejar,
dan berkata;
"Aiih... Keponakanku yang manis, sudahlah,
jangan marah..!"
"Tidak sudi! Aku memang marah..!" Ujar Roro.
Keruan saja si Dewa Angin Puyuh jadi garuk-
garuk kepala, yang tidak gatal. Akan tetapi ia sudah
berkata dengan suara agak keras. 
"Marah, ni yeeee.....!".


TAMAT