Roro Centil 10 - Orang-orang Lembah Terkutuk(2)




tubuhmu. Hampir sehari semalam kau tak sadarkan
diri. Tubuhmu panas sekali. Tapi aku telah meminum-
kan kau akar obat. Kesehatanmu dalam waktu tak la-
ma akan pulih kembali. Untunglah tenaga dalammu
sangat tinggi, hingga kau tak sampai tewas! Orang-
orang lembah terkutuk itu sangat tinggi ilmunya. Kau
pasti terluka dalam. Tapi kalau kau mau memban-
tunya dengan menyalurkan hawa murni dari bagian
pusar, maka luka dalam itu akan cepat sembuh kem-
bali...!"
Tak sampai menunggu lagi, Roro melompat
bangkit dari pembaringan. Dan dia telah jatuhkan tu-
buhnya berlutut di depan orang tua itu, seraya berka-

ta.
"Ki Sembulur...! terimakasih atas pertolongan
mu. Aku yang bodoh dan kurang pengalaman ini ber-
hutang budi padamu..."
"Ah... bangunlah, cah ayu...! Jangan banyak
peradatan. Cepat ikuti petunjuk ku. Kau harus segera
menyembuhkan luka dalammu! Gunakan cara seperti
yang kukatakan tadi!" kata Ki Sembulur. Laki-laki tua
itu  mengangkat bangun Roro Centil. Roro yang me-
mang saat itu merasa ada rasa nyeri
Di bagian dalam dadanya, segera duduk bersila,
dan pusatkan kekuatan batinnya untuk menyalurkan
hawa murni dari pusar dan menyebarkan ke segenap
saluran darah. Lalu mengurut beberapa kali pada ba-
gian yang sakit. Tampak keringat dingin membasahi
punggung dan keningnya. Selang tak lama gadis itu
melompat bangun berdiri.
"Sekali lagi aku ucapkan terimakasih padamu
Ki Sembulur...!" kata Roro. Kemudian melanjutkan ka-
ta-katanya.
"Kau  tentu telah mengetahui siapakah adanya
manusia-manusia gila yang bercokol di lembah itu?"
tanya Roro, yang telah merasa agak enakan, karena
rasa nyeri pada dadanya sebelah dalam sudah agak
berkurang.
Ki Sembulur menghela napas, lalu menyuruh
Roro duduk kembali. Sedangkan dia sendiri menyeret
sebuah bangku beralas kulit binatang, dan duduk dis-
udut ruangan pondok itu.
"Sebenarnya aku sudah mendapat firasat bu-
ruk akan adanya malapetaka pada hampir setahun
yang lalu..." katanya membuka kisah lama. Roro terce-
kat hatinya. Telinganya dipasang untuk mendengarkan
penuturan Ki Sembulur.
"Apakah kau mengetahuinya sebelum lembah

itu dihuni orang-orang edan itu, Ki Sembulur...?" Laki-
laki tua itu mengangguk. Kemudian diapun menutur-
kan peristiwa lama itu, yaitu sejak kemunculan se-
buah arca batu hitam yang membawa maut...
Seperti dituturkan di bagian depan, arca batu
pesanan Kebo Duwung lenyap entah kemana, dan Ki
Sembulur mencari-cari ke seluruh pelosok perbukitan
tapi tak menjumpai ada manusia di sekitar tempat itu.
Akhirnya diapun pergi dengan hati penuh kemasygu-
lan, bersama elang peliharaannya.
Firasat laki-laki tua itu memang benar! Kenya-
taannya dua orang telah menjadi korban gara-gara ar-
ca aneh itu. Bagaimana sampai Ki Sembulur mengeta-
hui adanya pesanan membuat patung demikian yang
dipesan oleh Kebo Duwung? Ternyata jauh sebelum itu
dia telah mendengar berita adanya seseorang dari se-
berang lautan Hindia yang mengakui dari kaki gunung
Himalaya, telah membawa sebongkah batu hitam un-
tuk dijadikan sebuah arca.
Belakangan baru dia mengetahui kalau orang
itu telah menjadi tetamu Kebo Duwung. Ki Sembulur
tahu siapa Kebo Duwung dan orang macam apa ma-
nusia itu. Dalam dunia Rimba Persilatan Kebo Duwung
adalah manusia yang rakus akan kesenangan duniawi.
Tak pandang bulu kalau bertindak.
Boleh dibilang dia seorang tokoh yang disebut
putih bukan putih, disebut hitam bukan hitam. Asal
kesenangan terpenuhi maka pekerjaan apapun dia
mau melakukannya.
Ternyata atas bantuan Raden Gayo muridnya,
telah berhasil diketemukan seorang pemahat bernama
MANGUNTO. Dan terciptalah patung batu hitam yang
rupanya sampai saat ini dia tak mengetahui. Sayang
dia datang terlambat, dan muncul setelah arca itu se-
lesai dibuat. Jauh sebelum arca pembawa maut itu
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com

muncul, dia telah mendapat firasat  dari hasil semad-
hinya. Bahwa kelak akan muncul huru-hara yang dis-
ebabkan dengan munculnya sebuah arca. Wangsit itu
membisik di telinganya di saat dia hampir tertidur da-
lam semadi yang dilakukan di saat dia menyepi diri.
Patung itu lenyap dengan memakan korban dua
manusia, yaitu Kebo Duwung sendiri dan muridnya
Raden Gayo yang saling bunuh karena persoalan yang
sebenarnya sangat sepele. Tapi dari situ dapat diambil
kesimpulan bahwa suatu keanehan telah terjadi, di-
mana Raden Gayo tak mampu menahan dorongan ge-
jolak hawa nafsu amarah, hingga dia menyerang gu-
runya sendiri...
Sejak dia pergi meninggalkan bukit dimana ter-
jadinya pertumpahan darah itu, tak ada berita lagi di-
dengarnya dimana adanya arca batu hitam itu.
Tapi beberapa bulan kemudian dia mendengar
ada seorang begal picisan bernama BRONCO yang
mengatakan bahwa kawan sejalannya telah berubah
menjadi sakti setelah terkena sorotan cahaya aneh
yang keluar dari mata patung batu hitam. Ternyata pa-
tung batu hitam itu telah dicuri oleh dua orang begal
picisan itu. Kawan begal yang terkena sorotan cahaya
aneh itu bernama DOKOH SIMBURU.
"Aku menduga Dewa suci yang dipuja-puja dan
setiap bulan selalu meminta korban darah seorang ga-
dis yang masih suci di lembah terkutuk itu, adalah ar-
ca batu hitam itu!" kata Ki Sembulur mengakhiri penu-
turannya. Sesaat lamanya Roro tercenung. Kisah yang
dituturkan Ki Sembulur kedengarannya sangat aneh.
Tapi tentu saja hal itu membuat Roro penasaran kalau
tak membuktikannya.
"Apakah rencanamu Ki Sembulur? Apakah kita
akan membiarkan perbuatan gila itu terus berlanjut?
Sebagai orang yang telah banyak pengalaman dan cu-

kup usia kukira kau bisa menyusun rencana untuk
menumpas manusia-manusia lembah edan itu!" kata
Roro.
Cetusan kata-kata Roro yang polos dan lugu
sesuai dengan pembawaannya itu membuat Ki Sembu-
lur tersenyum.
"Aku memang telah lama mencari jalan untuk
menyelidiki. Akan tetapi aku butuh bantuan
seorang yang berani. Ternyata kau cocok untuk turut
membantuku!" kata laki-laki tua ini.
"Baiklah! kukira tak perlu tergesa-gesa. Seka-
rang istirahatlah dulu. Hm, dan kau tak usah khawa-
tir. Tempat ini aman. Kita berada di lereng gunung.
Pondok ini sudah hampir sebulan ku diami.
Kau beristirahatlah, aku akan membuatkan
makanan untukmu..."
Sebelum melangkah ke ruang belakang pondok,
sesaat dia menoleh dan berkata.
"Senjatamu sepasang benda yang berbentuk
aneh. Kau tentu Roro Centil, si Pendekar wanita Pantai
Selatan itu...!"
"Ah...? kau telah..." sentak Roro. Tapi Ki Sem-
bulur telah lenyap di pintu dapur...

***

SEMBILAN

SATU BENTAKAN MENGGELEDEK merubah
senyum Roro Centil menjadi ternganga terkejut. Kare-
na berbarengan dengan bentakan itu terdengar suara
bergedubrakan. Ruangan belakang pondok itu hancur
berantakan seperti dihantam petir. Roro terlompat dari

duduknya. Dan berkelebat melompat keluar dari jende-
la.
Tubuh Ki Sembulur terlempar keluar pondok
bercampur kepingan kayu. Laki-laki ini cepat bangkit
dengan terhuyung. Lalu berkelebat masuk ke  dalam
pondok. Tak lama telah melompat lagi dengan mencek-
al tongkatnya yang sejak tadi disandarkan disudut
ruangan.
Keadaan Ki Sembulur tampak sangat menge-
naskan. Hampir seluruh jubahnya robek-robek dan
tampak hangus. Di saat itulah dua sosok tubuh berke-
lebat dari balik tumpukan kayu. Yang seorang adalah
laki-laki tua berjubah putih dengan garis hitam.
Bertubuh kurus jangkung, berkumis bagai mi-
sai. Melihat laki-laki tua ini Ki Sembulur terkejut, ka-
rena dia mengenali orang itu.
"BARAMANTRA...!" sentaknya dengan suara
berdesis. Ketika melihat laki-laki yang satunya, sorot
mata laki-laki berjubah kelabu berkepala botak dengan
seutas tasbih dibelitkan pada kepala itu seperti meng-
hunjam jantung. Siapa adanya laki-laki pendek itu dia
tak mengenali.
Tapi seketika hatinya menyentak. "Ah, apakah
dia DOKOH S1MBURU? salah seorang begal yang telah
mencuri patung batu hitam belasan bulan yang lalu?"
Saat itu si kakek jangkung kurus berkumis bagai misai
itu telah membentak dengan suara dingin.
"Bagus! setelah menyelamatkan gadis kurang
ajar yang telah berani mengotori tempat suci kami di
lembah Dewa Suci, apakah kau bisa menyelamatkan
jiwamu sendiri, Ki Sembulur?"
"Baramantra! Sejak kapan jadi pengikut orang-
orang lembah terkutuk?" Balas membentak Ki Sembu-
lur. Walaupun keadaan tubuhnya tampak sangat men-
genaskan, karena di beberapa tempat pada tubuhnya

mengeluarkan darah, tapi laki-laki tua ini bernyali ma-
can. Bahaya yang sudah di depan mata itu tampaknya
sudah tak diacuhkan lagi karena sudah kepalang
tanggung, dan dia tak mau dianggap manusia penge-
cut.
"Mulutmu terlalu lancang, tua bangka rudin!"
bentak Baramantra dengan mata mendelik. Akan teta-
pi dia segera menyambung kata-katanya dengan terta-
wa. "Haha...haha... tapi biarlah! Toh tak lama lagi kau
bakal mampus! Sebelum kau menemui kematian baik-
lah kukatakan tentang diriku. Aku memang telah ber-
gabung dengan orang-orang Lembah Dewa Suci, sejak
aku membenci orang-orang Kerajaan! Karena partai
yang akan kami dirikan kelak akan menghancurkan
pihak Kerajaan. Dan tentu saja aku bakal mempunyai
kedudukan yang lebih lumayan setelah kekuasaan Ke-
rajaan jatuh ke tangan partai kami!"
Hampir meledak rasanya dada Ki Sembulur
mendengar keterangan Baramantra yang membongkar
rahasia pribadi orang itu sendiri. Akan tetapi laki-laki
ini justru tertawa tergelak-gelak. Suara tertawa yang
terdengar sangat menggiriskan hati. Karena Ki Sembu-
lur tertawa tak sewajarnya. Itulah suara tertawa cetu-
san dari kemarahan hatinya.
"Haha...haha...haha... sudah kuduga hatimu
tak lebih busuk dari bangkai yang paling busuk! Keti-
ka kau memorot uang kas Kerajaan dari seorang pem-
besar Kerajaan yang menjadi kaki tanganmu, dan kau
banyak menikmati kesenangan, kau sering memuji dan
menyanjung Raja. Memuji tata pemerintahannya. Men-
gatakan rakyat  hidup makmur dan lain sebagainya.
Tapi setelah kelicikan dan kebusukan itu terbongkar,
dan pembesar kaki tanganmu ditangkap dan dihukum,
kini kau membenci orang-orang Kerajaan. Dan kau
bergabung dengan manusia-manusia pengkhianat

yang mau menghancurkan Kerajaan. Menindas, meni-
pu dan menganiaya penduduk, dengan Dewa pal-
sunya! Sudah lama aku mencium kebiadaban itu, ter-
nyata kau termasuk diantara manusia-manusia biadab
itu! Kau benar-benar manusia terkutuk!"
Berubahlah paras muka Baramantra. Akan te-
tapi ketika dia mau menerjang, laki-laki berjubah ke-
labu di sebelahnya berkata dengan suara dingin.
"Serahkan manusia tengik ini padaku! Biar aku
yang mengantar nyawanya ke Akhirat! Dan... kau
tangkaplah gadis kurang ajar itu. Tapi jangan sampai
kau lukai. Aku menginginkannya!"
Baramantra mengangguk. Tubuhnya berkelebat
dari samping laki-laki pendek jubah kelabu itu.
Saat itu Roro yang tengah memperhatikan me-
reka dan pasang telinga serta. waspada untuk meng-
hadapi segala kemungkinan, sejak tadi sudah tak sa-
bar untuk menerjang kedua manusia itu.
Akan tetapi dengan menyabarkan hati, justru
dia dapat mengetahui siapa adanya manusia bernama
Baramantra itu. Walau hatinya tercekat dan lebih ba-
nyak memperhatikan si laki-laki pendek jubah kelabu.
Sinar matanya tampak aneh, seperti ada kekuatan
yang membuat jantung berdebar bila beradu tatap
dengannya.
Kini melihat si laki-laki jangkung Baramantra
berkelebat ke arahnya, Roro segera siap untuk meng-
hadapinya.
"Haha.. nona cantik! Nyalimu sungguh luar bi-
asa berani memasuki tempat suci kami di lembah De-
wa Suci. Ternyata kau punya cukup kepandaian dari
tidak mengecewakan! Dua orang kami telah tewas,
maka sebagai gantinya ikutlah padaku secara baik-
baik. Mudah-mudahan ketua partai kami mau men-
gampuni perbuatanmu!" berkata Baramantra dengan

tertawa menyeringai. Laki-laki tua hidung belang ini
sambil berkata, matanya menjuluri sekujur lekuk-
lekuk tubuh gadis di hadapannya. Ketika melihat se-
pasang senjata aneh yang tergantung di pinggang Ro-
ro, sesaat dia tertegun.
"Cuih...!" Roro meludah.  Matanya menatap
Baramantra dengan sorot tajam. Mendadak so-
rot mata Roro berubah lunak. Hal ini disebabkan ka-
rena Roro merencanakan suatu siasat, karena menda-
dak dia teringat sesuatu. Yaitu mengenai diri kawan-
nya Jabo Lalengga.
"Hm, di saat aku terkena hantaman keras dan
terlempar keluar goa di  lembah itu, sebelum aku tak
sadarkan diri, aku mendengar suara teriakan Jabo La-
lengga yang memburu ke arah-ku. Tapi kemudian sua-
ra itu berganti dengan suara keluhan, kemudian aku
tak ingat apa-apa lagi.... Aku menduga pemuda itu te-
lah ditawan oleh orang- orang lembah itu. Kalau aku
berpura-pura menyerah, maka aku bisa mengetahui
keadaan pemuda itu. Dan aku bisa mengetahui kele-
mahan mereka. Juga siapa-siapa yang telah terlibat
komplotan ini. Di samping itu jalan untuk menumpas
bisa lebih sempurna..."
Di  saat dalam keadaan terdesak begitu, Roro
memang tak punya jalan lain. Akan tetapi dia tak bisa
membiarkan Ki Sembulur bertarung sendirian. Tekad-
nya sudah bulat untuk menghancurkan komplotan itu.
Dan satu hal akan dilakukannya adalah memusnah-
kan arca batu hitam yang di dewa-dewakan di lembah
Dewa Suci, yang disebut olehnya sebagai lembah ter-
kutuk.
Melihat gadis itu diam terpaku, Baramantra
kembali maju selangkah.
"Bagaimana, nona? apakah telah kau pertim-
bangkan usulku?" katanya dengan suara besar. Tapi

jawabannya adalah suara tertawa Roro yang terkikik,
membuat laki-laki ini melengak heran.
Saat itu Ki Sembulur telah menyilangkan tong-
katnya  di depan  dada. Wajahnya tampak membesi.
Lawannya si laki-laki jubah kelabu itu tersenyum si-
nis. "Kau masih kuberi kesempatan untuk satu pena-
waran yang bagus. Kalau kau bisa memilih mana yang
terbaik, tentu usiamu bisa panjang. Tapi kalau kau sa-
lah memilih, maka haha... silahkan berdo'a sebelum
kau mampus!" berkata laki-laki kepala gundul berju-
bah kelabu itu.
"Huh! katakan siapa sebenarnya kau ? Apakah
kau yang bernama DOKOH SIMBURU?" bentak Ki
Sembulur tanpa menghiraukan ucapan laki-laki itu
dengan segala macam penawaran.
"Bagus! aku memang Dokoh Simburu! Dan ka-
lau kau mau lebih jelas, akulah yang telah mencuri
area batu hitam pada belasan bulan yang silam. Arca
itu kini menjadi Dewa yang kami puja, karena dengan
perantaraannya-lah aku bisa memiliki ilmu dan kesak-
tian. Dan kalau kau mau mengetahui, akulah ketua
Partai Dewa Suci yang akan menumbangkan kekua-
saan Raja. Lebih dari dua puluh tokoh Rimba. persila-
tan telah bergabung dengan kami di lembah Dewa Su-
ci!"
Tentu saja keterangan laki-laki pendek itu
membuat Ki Sembulur tertegun. Jantungnya melonjak
keras. "Gila! Jadi firasat  ku benar! Wangsit yang ku-
dengar dalam semadi ku itu hampir mendekati kenya-
taan. Arca batu hitam itu benar-benar pembawa mala-
petaka!" berkata Ki Sembulur dalam hati. Saat itu Do-
koh Simburu, laki-laki bekas begal picisan itu telah
meneruskan kata-katanya.
"Nah! kesempatanmu untuk memperpanjang
hidupmu masih terbuka.

kalau kau mau bergabung dengan kami, maka
ku ampuni kesalahanmu!" Akan tetapi Ki Sembulur te-
lah menggembor keras dengan kemarahan meluap...
Sebelah lengannya merentang menghamburkan angin
pukulan berhawa dingin. Dan tongkatnya menyambar
dengan dahsyat...
"Kau lebih mengingini kematian rupanya!"
membentak dingin Dokoh Simburu. Tubuhnya melesat
dua tombak menghindari sambaran pukulan lawan.
Jubahnya mengibaskan menghantam tongkat Ki Sem-
bulur.
Plak!
Laki-laki tua itu terhuyung ketika sambaran
lengan jubah Dokoh Simburu mengenai tongkatnya.
Nyaris saja senjatanya terlepas dari genggaman tan-
gan. Akan tetapi dengan menggeram, dia melompat ke-
belakang. Kini  senjatanya digunakan untuk menusuk
ke arah leher. Gerakan selanjutnya yang dilakukan la-
wan adalah miringkan tubuhnya ke  samping. Seraya
membentak sebelah kaki paderi itu menghantam kese-
langkangan Ki Sembulur. Tersentak kaget Ki Sembu-
lur.
Dia merasai sambaran berhawa panas me-
nyambar ke  arah bagian bawah tubuhnya. Namun
dengan gesit dia jatuhkan tubuhnya berguling ke arah
kanan. Sementara tongkatnya digunakan menusuk ke
arah lambung lawan.
Di luar dugaan si paderi justru memapaki den-
gan sambaran ujung lengan jubahnya. Terkejut Ki
Sembulur. Sambaran keras itu membuat dia menarik
serangan, dan berguling ke samping. Di saat yang sa-
ma sebelah lengan Dokoh Simburu menghantam den-
gan pukulan maut. Cahaya biru meluncur deras me-
rambas udara. DHESS!
Mau tak mau Ki Sembulur segera menangkis

serangan dengan kedua lengan. Hampir separuh tena-
ga dalamnya digunakan untuk memapaki serangan
maut itu.
BHUMM...!
Uap putih dan ungu merambah udara. Ki Sem-
bulur perdengarkan jeritan panjang. Tubuhnya terlem-
par berjungkalan. Tongkatnya terlepas dari tangannya.
Sebat sekali Dokoh Simburu berkelebat menyambar
senjata yang melayang itu. Dan dengan kecepatan tak
terduga, begitu tongkat itu berada dalam cekalan tan-
gannya, melesatlah benda itu ke arah Ki Sembulur
dengan kecepatan kilat!
Roro tersentak kaget. Tubuhnya berkelebat dari
tempatnya berdiri. Ternyata diam-diam dia telah mem-
perhatikan jalannya pertarungan. Hatinya mencelos
melihat tongkat di tangan paderi itu melesat ke arah Ki
Sembulur yang tampak dalam keadaan terlentang...
Roro sempat hamburkan pukulan jarak jauh
hingga membuat tongkat maut itu terhantam, dan lu-
putlah laki-laki tua itu dari maut.
Akan tetapi detik itu pula Baramantra melihat
kesempatan baik yang tak disia-siakan. Dengan kece-
patan kilat lengannya menotok tubuh dara pantai sela-
tan itu...
Roro tersentak kaget, tapi terlambat! Tubuhnya
jatuh terguling dengan sekujur tubuh menjadi kaku.
Dara ini mengeluh.
"Celaka..."
Sebelum tubuhnya menyentuh tanah, lengan
Baramantra dengan cepat telah terulur menangkap
pinggangnya.
"Haha... ternyata menangkap gadis pendekar
gagah ini sangat mudah." kata Baramantra dengan wa-
jah girang. Ketika menoleh ke arah pertarungan, dia
melihat sang ketua tengah hantamkan pukulan susu-
lan yang mengakhiri pertarungan. Ki Sembulur tak

sempat untuk berteriak lagi. Kepalanya rengkah terke-
na hantaman pukulan maut yang menghabisi jiwanya.
"Ketua! aku telah berhasil menawan gadis ini
tanpa cidera, sesuai dengan keinginan mu !"
"Haha... bagus! Mari kita tinggalkan tempat ini!"
Kedua sosok tubuh itu berkelebat bagaikan
bayangan meninggalkan lereng gunung.

***

SEPULUH

JABO LALENGGA pentang mata lebar-lebar ke-
tika sadar dari pingsannya. Dia tersentak kaget meli-
hat dirinya berada dalam sebuah ruangan pengap ber-
dinding batu. Sadarlah dia dimana dia kini berada.
"Celaka! aku tertawan di sarang manusia-
manusia lembah...!" keluh pemuda ini sambil meraba
kepalanya yang terasa sakit berdenyutan.
Jabo Lalengga teringat, ketika dia melompat
memburu gadis bernama Roro yang dilihatnya terkapar
di depan altar, tahu-tahu kepalanya seperti dihantam
benda keras, dan dia tak ingat apa-apa lagi.
Jabo Lalengga merangkak mendekati jeruji besi
di bagian depan ruangan tahanan. Dia melihat banyak
sekali lorong-lorong di dalam goa.
Tahulah pemuda ini kalau dirinya berada da-
lam goa dimana tempat itu dijadikan markas segolon-
gan orang-orang lembah yang dinamakan lembah De-
wa Suci itu.
Sesaat dia tercenung ketika memikirkan nasib
gadis kawannya itu.
"Di manakah saat ini dia? Apakah dia dalam
keadaan hidup atau tewas...?" berkata pemuda ini da-

lam hati. Tiba-tiba telinganya mendengar suara orang
bercakap-cakap dan suara langkah mendekat. Cepat-
cepat dia melompat ke sudut ruangan dimana dia tadi
menggeletak. Lalu baringkan tubuhnya seperti semula
seolah-olah dia belum sadar dari pingsannya. Suara
bercakap-cakap itu semakin mendekat.
"Haha... gadis pendekar itu menurut dugaanku
tak salah lagi, dialah Roro Centil yang digelari si Pen-
dekar Wanita Pantai Selatan. Belakangan ini berita
mengenai kemunculan gadis gagah itu telah santar.
Pantaslah kalau dalam segebrakan saja dia telah me-
newaskan dua orang kita!"
Yang bicara ternyata Baramantra, sedangkan
kawan bicaranya tak lain dari Dokoh Simburu, si pa-
deri pendek jubah kelabu.
"Bagus! Dengan demikian orang-orang partai
kita telah bertambah lagi satu orang! Hm, apakah to-
tokanmu cukup kuat, Baramantra? Aku khawatir dia
bisa melepaskan diri sebelum aku membawanya ke
kamar suci!"
"Jangan khawatir, ketua! ilmu totokanku dapat
bertahan selama dua hari! Malam ini juga ketua bisa
membawanya!" sahut Baramantra. Pembicaraan mere-
ka terhenti ketika tiba di depan ruang tahanan tempat
menyekap Jabo Lalengga.
"Bagaimana dengan pemuda ini, ketua? Apakah
dia bisa dijadikan pembantu perjuangan kita?" kata
Baramantra. Matanya menatap ke arah Jabo Lalengga
yang terlentang disudut ruang tahanan.
"Hm, biarkan dulu! Aku akan melihat gadis
pendekar gagah itu lebih dulu...!" sahut Dokoh Simbu-
ru. Kedua orang itupun lewat dan lenyap di lorong ge-
lap dalam ruangan goa itu.
Ternyata Roro disekap di ruangan tersendiri,
yaitu pada ruangan bawah tanah. Dari sebuah lubang

persegi sebesar satu jengkal tangan di atas ruangan
tahanan itu, mereka melihat gadis itu masih tertelung-
kup tak bergerak.
"Berikan kunci kamar tahanan itu padaku, dan
tinggalkan aku sendiri!" kata Dokoh Simburu pada Ba-
ramantra.
"Baik ketua!" sahut laki-laki ini. Setelah mem-
berikan serenceng anak kunci, Baramantra segera me-
ninggalkan lorong itu.
Dokoh Simburu beranjak menuruni anak tang-
ga  batu. Tak lama dia telah berada di  depan ruang
tempat menyekap Roro. Setelah membuka gembok la-
ki-laki ini beranjak masuk, lalu melangkah mendekati
Roro. Kira-kira tiga langkah di dekat tubuh Roro terte-
lungkup, dia hentikan tindakan kakinya. Sepasang
matanya menatap tubuh wanita itu menjalari dengan
tatapan mata membinar dari ujung rambut sampai ke
ujung kaki.
"Bagus! alangkah beruntungnya aku dapat
mencicipi kehangatan tubuh seorang dara perkasa
yang punya nama besar, dan semulus ini. Haha... Do-
koh Simburu kini dapat berbuat semaunya. Sang
JUTYA KALAMANDHU telah memberikan segala-
galanya padaku. Aku harus segera membawa ke kamar
suci!" berdesis Dokoh Simburu dengan air liur menetes
melihat kepadatan tubuh si dara pantai selatan, dan
kemulusan tubuh gadis itu, hingga dia tak sabar un-
tuk menanti datangnya malam.
Roro mengutuk dalam hati karena beberapa
kali dia berusaha membuka totokan pada tubuhnya,
tetap saja dia tak mampu membukanya. Tentu saja dia
mendengar suara desis Dokoh Simburu. Tanpa diketa-
huinya laki-laki jubah kelabu bertubuh pendek kekar
itu telah membaca mantera-mantera. Entah mantera
apa. Yang jelas, tahu-tahu Roro merasakan tubuhnya

bagai dihembus hawa aneh yang membuat tubuhnya
menggigil.
Dokoh Simburu rentangkan kedua lengannya
dengan kedua telapak tangan terbuka ke arah Roro.
Dari kedua telapak tangannya muncul uap biru yang
membungkus tubuh dara perkasa pantai selatan itu.
Ternyata hawa dingin itu timbul dari akibat meram-
basnya uap biru tersebut yang membungkus tubuh-
nya.
Selanjutnya Roro merasa sekujur tubuhnya le-
mah tak bertenaga sama sekali. Dia tersentak kaget,
tapi dia cuma mampu mengeluh dalam hati. Karena
sesaat kemudian tubuhnya telah di pondong oleh laki-
laki itu.

***

SEBELAS

GADIS INI TELAH BEBERAPA KALI SADAR, dan
beberapa kali pula pingsan karena mengingat keadaan
dirinya. Kini untuk yang keempat kalinya dia kembali
siuman. Sepasang matanya basah bersimbah air mata.
Dia mendekapkan kedua lengannya menutupi bagian
terlarang tubuhnya dengan terisak-isak. Dalam be-
naknya masih teringat ketika laki-laki berkepala gun-
dul bertubuh pendek kekar itu membuka pakaiannya
dengan paksa. Dan... dia tak berdaya ketika tubuh
yang berat itu menghimpitnya. Dia cuma mampu men-
jerit dalam hati, betapa dia  harus dinodai laki-laki
yang menjijikkan itu? Mengapa dia tak dikorbankan
dan dibunuh sekalian untuk persembahan Dewa ber-
kepala kambing itu? Dia sudah rela untuk memasrah-
kan jiwanya, demi lenyapnya wabah penyakit di desa

sekitar lembah Dewa Suci itu. Dan karena tak kuasa
menentang keputusan pak KUWU yang menetapkan
dirinya sebagai calon korban pada bulan ini.
Pembangkang keputusan hanya akan menam-
bah korban sia-sia. Karena seluruh keluarga calon
korban yang telah ditetapkan akan tewas secara aneh
dan mengerikan. Seolah-olah kematian itu direnggut
oleh para iblis, yang mencabut nyawanya dengan men-
jadi gila terlebih dulu, lalu membentur-benturkan ke-
pala hingga tewas. Hal itu sudah diketahuinya dengan
mata kepala sendiri. Dia sudah berniat meninggalkan
tempat kediamannya bersama keluarganya. Tapi ter-
lambat! Pak Kuwu telah menentukan dirinya sebagai
calon korban berikutnya. Selama hampir satu bulan
dia disekap di tempat tahanan dalam goa tersembunyi
dengan dijaga ketat oleh orang-orang lembah.
Dia tak mengetahui lagi nasib ayah dan ibunya.
Ketika dia dibawa ke dalam lembah dengan di usung
dalam tandu, dia sudah pasrahkan nasibnya karena
tiada daya yang bisa diperbuatnya. Akan tetapi ketika
tandu digotong masuk dia masih sempat mendengar
suara seorang laki-laki yang dikenalnya. Yaitu suara
kakeknya. Dengan mengintip dari tirai tandu dia meli-
hat kakeknya tewas dengan kepala terpisah dari tu-
buhnya. Dia cuma melihat satu bayangan berkelebat,
dan sang kakek terlempar dengan leher terpotong pu-
tus.
Mengingat kejadian itu dia kembali menangis
terisak-isak. Kini dia disekap dalam kamar sempit ber-
dinding batu. Entah apa lagi yang bakal terjadi pada
dirinya? Tapi tangisan sedihnya segera lenyap. Toh
semua itu tak ada artinya..!
Sementara itu di satu ruangan lain yang lebih
besar, diterangi dua buah obor di kiri kanan ruangan,
tampak enam orang gadis dalam keadaan menge-

naskan. Wajah-wajah pucat dan sepasang mata yang
hampir setiap saat selalu basah itu memandang keluar
jeruji besi di depan ruangan dengan pandangan ham-
pa. Baru tadi malam seorang kawan mereka dibawa
keluar kamar tahanan untuk dikorbankan pada Dewa
sesembahan orang-orang lembah.
Biasanya beberapa hari kemudian penghuni
ruang tahanan itu akan bertambah seorang gadis lagi
sebagai pengganti gadis yang telah dikorbankan. De-
mikianlah, mereka tak ubahnya bagaikan sekawan
hewan yang dikurung dan diberi makan, tapi suatu ke-
tika akan datang saat mereka untuk menerima giliran
dipotong, atau dibunuh untuk persembahan sang De-
wa sesembahan orang-orang lembah itu.
Di saat itulah mereka mendengarkan suara
aneh dari dinding ruang tahanan. Suara seperti itu be-
rulang-ulang, sepertinya dinding itu dipalu dari sebe-
lah luar. Apa yang menjadi keheranan para gadis itu
ternyata adalah di ruangan sebelahnya Jabo Lalengga
tengah menghantamkan lengannya untuk menjebol
tembok yang terlihat retak di sebelah belakang tempat
dia berbaring.
Dua tiga kali menghantam dia berhenti untuk
melihat apakah ada penjaga yang muncul. Akan tetapi
lorong itu tetap sunyi setelah dua orang yang lewat ta-
di lenyap entah kemana. Kembali dia menghantam
dengan pergunakan kekuatan tenaga dalamnya. Dan...
BRAAK!
Tembok ruangan itu ambrol. Terdengar suara
jeritan tertahan dari dalam ruangan di sebelahnya.
Alangkah terperanjatnya Jabo Lalengga ketika mene-
robos keluar dari rongga tembok yang ambrol itu, me-
lihat beberapa orang wanita disekap pula dalam ruan-
gan tersebut.
"Ah, kiranya ruangan tahanan bersebelahan

dengan ruangan tempat tahanan para gadis ini?" sen-
tak pemuda ini dengan melengak. Niatnya untuk ka-
bur dari tempat terkutuk itu jadi lumer, karena tetap
saja dia masih terkurung di  dalam ruangan  tahanan
lain.
Cepat-cepat dia memberi isyarat pada gadis-
gadis itu dengan jari telunjuknya.
"Sssst! tenanglah! Aku orang sendiri...! Aku di-
tawan di ruangan sebelah. Kita harus mencari  jalan
untuk meloloskan diri dari tempat gila ini!"
"Namaku...JABO...!"  kata Jabo Lalengga mem-
perkenalkan diri dengan nama singkat. Mata pemuda
ini menatap keenam gadis itu. Dia mencari-cari Roro.
Tapi tak ada diantara mereka.
Saat itu terdengar ada langkah mendekat, seke-
tika pucatlah wajah keenam gadis itu. Mereka saling
tatap, dan tatapan terakhir ditujukan pada Jabo La-
lengga.
"Cepat kau sembunyi diantara kami!" kata ga-
dis yang tadi memberi keterangan, dengan berbisik pa-
da pemuda itu. Jabo Lalengga cepat berjongkok menu-
tupi lubang. Keenam gadis itu cepat menutupi tubuh
pemuda itu dengan sikap masing-masing, seolah-olah
tak terjadi apa-apa. Yang muncul ternyata Baraman-
tra. "Aku mendengar suara gaduh, dan kalian berte-
riak... ada apakah?" tanya laki-laki tua itu dengan me-
natap tajam.
"Tak ada apa-apa, Gusti..." sahut salah seo-
rang. Untunglah cahaya dalam goa itu tak seberapa te-
rang. Lampu obor memang sudah mengecil. Cahaya
lampu itu tak cukup untuk melihat jelas dari jarak
yang cukup jauh. Apalagi mata Baramantra memang
sudah mulai agak mengabur.
"Heh! jangan bikin gaduh! Nanti akan kuperin-
tahkan pada penjaga untuk mengawasi kalian!" ancam

Baramantra dengan bersungut. Lalu beranjak pergi.
Jabo Lalengga menghela napas. "Untunglah dia
tak memeriksa ruangan tempat menyekapku." berkata
dia dalam hati. Keenam gadis itu sama menghela na-
pas lega. Akan tetapi ancaman Baramantra membuat
mereka gelisah. Karena tak lama lagi bakal ada penja-
ga muncul yang diperintahkan laki-laki tua itu untuk
mengawasi mereka.

***

SEMENTARA ITU.... Dokoh Simburu dengan
napas memburu dan hawa nafsu menggelegak, me-
mondong tubuh Roro Centil memasuki sebuah ruan-
gan khusus. Itulah ruangan yang disebut sebagai tem-
pat suci baginya.
Tempat ini bersebelahan dengan tempat mena-
ruh arca batu hitam yang pada bagian depannya tam-
pak sebuah pedupaan mengepulkan asap harum.
Dokoh Simburu letakkan tubuh Roro di pemba-
ringan yang ada disudut ruangan. Sesaat dia menatap
wajah dan sekujur tubuh si dara pantai selatan yang
dalam keadaan tak berdaya. Dengan dengus napas
memburu laki-laki pendek kepala gundul ini lepaskan
jubahnya. Tampak tubuhnya yang berkulit hitam pe-
nuh otot.
"Haha...hehe...he... nona cantik! Kau tenan-
glah...! Aku akan membuat sesuatu yang menyenang-
kan hatimu...!" berkata laki-laki ini dengan suara ber-
desis. Dan... lengannya mulai menjulur untuk merabai
sekujur tubuh Roro. Di saat itu Roro pejamkan ma-
tanya. Saat yang menentukan bagi nasibnya hanya ter-
letak pada pemusatan pikiran pada satu titik. Yaitu
menyatukan kekuatan batin untuk memusnahkan ke-
kuatan gaib yang telah membuat sekujur tubuhnya

lemah tak berdaya. Selain itu pula Roro masih belum
bisa melepaskan diri dari pengaruh totokan Baraman-
tra.
BRET...!
Dokoh Simburu telah mencabik pakaian atas
Roro. Sepasang benda kuning langsat tersembul di ha-
dapannya. Laki-laki ini tersenyum menyeringai. Ma-
tanya membinar. Dan lengannya yang kasar segera
merabanya. Tubuh Roro tergetar... "Keparat...! Paderi
palsu terkutuk!" makinya dalam hati. Ketegangan da-
lam diri Roro telah membuat dia buyar menyatukan
kekuatan batinnya.
Akan tetapi wajah Dokoh Simburu berubah.
Benda yang dirabanya ternyata begitu kerasnya seperti
dia memegang besi. Tahulah dia kalau gadis itu men-
genakan pembungkus payudara yang sangat mirip
dengan bentuk aslinya.
"Sial! kau benar-benar pendekar wanita aneh!
tapi membuat aku semakin geregetan padamu wong
ayu..!" desis Dokoh Simburu. Sekali lengannya berge-
rak, dia telah membalikkan tubuh gadis pendekar itu.
Lengannya mencengkeram rantai  pengikat benda itu.
Roro sudah hampir putus asa. Akan tetapi di detik itu-
lah dia teringat pada sahabat gaibnya si Harimau tu-
tul. Batinnya cepat membisik,
"TUTUL..! aku dalam bahaya..! Bantulah aku..!"
Baru saja Dokoh Simburu akan menyentakkan
rantai pengikat BH Roro. Laki-laki itu terperanjat keti-
ka mendengar suara menggeram di belakang pung-
gung. Secepat kilat dia balikkan tubuhnya.
Alangkah terperanjatnya Dokoh Simburu ketika
melihat seekor harimau tutul tahu-tahu telah berada
di hadapannya.
Sebelum sempat dia sadar akan bahaya, hari-
mau yang luar biasa besarnya melebihi harimau biasa

itu telah menerkamnya.
"Grrrrr....!" CRAP...!
Dokoh Simburu memekik panjang. Dia tak
sempat lagi mengelakkan terkaman sang harimau itu.
BRRAK...!
Pintu kamar hancur berkeping diterjangnya,
ketika dengan laki-laki itu berusaha melepaskan diri
dari cengkeraman binatang itu.
Cengkeraman  lepas. Akan tetapi tengkuknya
bersimbah darah, dan punggungnya terluka mengelua-
rkan darah terkena guratan dalam dari kuku-kuku si
harimau tutul. Terperangah Dokoh Simburu. Terkejut-
nya tak alang kepalang.
Ketika harimau itu menerkam lagi, cepat dia
guling tubuhnya ke samping. Lengannya menghantam
dengan pukulan bertenaga dalam penuh. BRASSH!
Harimau itu lenyap berubah jadi segumpal
asap. Mata Dokoh Simburu terbelalak lebar.
Bulu tengkuk laki-laki ini meremang. Dia me-
lompat mendekati arca batu hitam, sang Dewa Suci
yang di pujanya. Akan tetapi tahu-tahu suara geraman
telah berada di belakangnya. Lagi-lagi harimau itu
menjelma, dan tahu-tahu telah menerkam punggung.
Berteriak Dokoh Simburu dengan wajah pucat. Tu-
buhnya terguling ke tangga batu, tepat di depan arca.
Di saat itulah cahaya aneh berwarna ungu me-
nyorot dari mata arca. Harimau tutul meraung kesaki-
tan. Tubuhnya terlempar bagai dihempas oleh suatu
kekuatan gaib yang amat hebat. Binatang itupun me-
lenyapkan diri menjadi gumpalan asap.
Napas Dokoh Simburu terengah-engah. Rasa
takut setengah mati nampak jelas terlihat pada wajah-
nya yang pias. Barulah selama hidup dia melihat ada
makhluk menyerupai harimau yang demikian ganas
menyerangnya.

"Harimau siluman...?" sentaknya dalam hati.
Dengan tubuh luka-luka bersimbah darah dia
melompat ke depan arca berbentuk manusia berkepala
kambing itu, lalu menyembah dengan bersimpuh di
depan arca.
"Dewa Suci...! tolonglah aku!" katanya dengan
suara bergetar.
"Kau telah melanggar aturan dan pantangan,
Dokoh Simburu! Aku telah mencabut kesaktian yang
kau miliki!" terdengar suara tanpa rupa. Dan tampak
patung batu hitam itu bergetar. Dari bagian mulutnya
keluar uap putih. Sepasang matanya memancarkan
cahaya merah menyala. Sebentar terang sebentar pa-
dam.
Membelalak mata Dokoh Simburu mendengar
kata-kata tanpa ujud itu. Sekujur tubuhnya bergetar.
Jantungnya melonjak keras. Tahulah dia kalau Dewa
Suci yang di pujanya telah murka.
Sebelum dia sempat mengetahui bahaya maut
yang mengancam jiwanya. Tiba-tiba dari mata arca ba-
tu itu menyembur cahaya merah merambas tubuh Do-
koh Simburu.
Laki-laki menjerit panjang mengerikan. Tubuh-
nya berkelojotan di tangga altar. Dalam waktu tak la-
ma tampak si paderi palsu yang memang berasal dari
seorang begal picisan itu terkapar tak bergeming lagi,
dengan kulit tubuh mengelupas menyembulkan tulang
belulangnya.




***


DUA BELAS

RORO CENTTL membelalakkan mata melihat
kejadian di depan mata itu. Ternyata Roro telah berha-
sil menyatukan kekuatan batin dan melepaskan diri
dari semua pengaruh yang meluluhkan segenap keku-
atan tubuhnya.
Bergidik hati Roro melihat keadaan tubuh laki-
laki pendek kepala gundul itu yang nyaris memperko-
sanya. Ada perasaan aneh, mengapa sang Dewa yang
dipuja orang-orang lembah itu malah  membunuh ke-
tua itu sendiri? Namun walau bagaimanapun arca ba-
tu itulah yang telah menimbulkan bencana dan mala-
petaka. Roro salurkan segenap kekuatan tenaga da-
lamnya pada sepasang lengannya. Dan dengan mem-
perdengarkan suara teriakan melengking panjang, da-
ra pantai selatan ini menghantam arca batu hitam itu.
GLARRR!
Arca aneh berkepala kambing bertubuh manu-
sia itu seketika hancur lumat menjadi serpihan batu
kecil, dan sebagian menjadi bubuk halus yang berteba-
ran dalam ruangan goa itu.
Saat itulah terjadi getaran pada dinding-dinding
batu dalam goa itu, seakan-akan telah terjadi gempa.
Roro tersentak kaget. Segera dia teringat akan nasib
Jabo Lalengga yang telah diketahuinya ditawan di da-
lam goa itu. Cepat dia berkelebat memasuki lorong.
Sementara itu di dalam lorong dalam goa... Ja-
bo Lalengga tersentak merasai getaran pada dinding
ruangan tahanan. Batu-batu kecil tampak meluruk
berjatuhan dari langit-langit. Para gadis ini tersentak
kaget. Wajah-wajah mereka pucat pias dan tampak
mereka sangat ketakutan.
"Apakah yang terjadi! Apakah terjadi gempa?"

sentak pemuda ini. Sementara goncangan-goncangan
semakin keras. Enam gadis dalam kamar tahanan itu
mulai menjerit dan menangis. Jabo Lalengga melompat
ke terali besi. Matanya melihat kesana-kemari khawa-
tir ada penjaga yang datang. Apa yang dilihatnya ter-
nyata beberapa orang di dalam lorong justru berlari-
lari menerobos keluar dari lorong dengan serabutan.
Sadarlah dia bahwa terjadi gempa.
"Celaka! kita bisa mati tertimbun! Goa batu ini
akan runtuh!" Tanpa sadar Jabo Lalengga berteriak.
Makin ramailah para gadis itu menjerit dan menangis.
Jabo Lalengga berkali-kali menghantam gem-
bok dan membetot memutus rantai, akan tetapi tak
berhasil. Dicobanya merenggangkan jeruji besi. Tapi
besi tebal itu bergemingpun tidak. Di saat dia hampir
putus asa itu, seseorang berkelebat di depan ruangan
penjara. Apa yang dilakukannya begitu cepat. Sebelah
lengannya menghantam berturut-turut. Lalu sekali
mendorong, robohlah jeruji besi penutup ruangan itu.
"Cepat ikut..!" teriaknya. Orang itu  tak keliha-
tan wajahnya, karena tertutup kain hitam.
Jabo Lalengga cepat ucapkan terimakasih. Lalu
dengan cepat membantu gadis-gadis itu agar cepat ke-
luar dari ruangan itu. Dengan mengikuti orang berto-
peng itu sebentar saja mereka telah menerobos keluar
dari dalam goa.
Menghirup udara segar di dasar lembah mem-
buat mereka menarik napas lega. Gadis-gadis itu ber-
larian dengan wajah girang. Akan tetapi si penolongnya
telah lenyap entah kemana....
Jabo Lalengga segera membawa keenam gadis
itu ke tempat yang aman. Sementara guncangan pada
dinding batu cadas di dasar lembah itu semakin
menghebat. Beberapa paderi telah berlompatan keluar
tanpa menghiraukan apapun, asalkan dirinya sela-

mat...
BARAMANTRA terperanjat ketika baru saja mau
melampiaskan nafsu bejatnya pada  gadis berada di
ruangan terpisah itu, tiba-tiba mendengar suara ber-
gemuruh. Dinding ruangan bergetar. Dia terlonjak ka-
get. Di saat itulah pintu ruangan yang tak terkunci itu
menjeblak terbuka. Dan sesosok tubuh yang  menutu-
pi wajahnya dengan selembar kain hitam telah melom-
pat ke dalam ruangan itu.
"Siapa kau?" bentaknya, seraya melompat dari
pembaringan, dan menyambar pakaiannya. Orang
yang dibentak tertawa dingin. Melihat benda aneh yang
tergantung di pinggang orang itu, segera dia mengenali
siapa adanya orang di hadapannya.
"Kau.. kau..?" sentaknya dengan wajah pias.
Akan tetapi terlambat. Si orang bercadar itu telah me-
lepas pukulan maut dengan tenaga dalam penuh. Tak
ada kesempatan lagi baginya untuk menghindarkan di-
ri. Menjerit setinggi langit Baramantra. Tubuhnya ter-
lempar membentur dinding ruangan. Terdengar suara
tulang berderak. Dan tubuh itu meluruk jatuh ke lan-
tai batu dengan tulang remuk, dan nyawa melayang.
Gadis tanpa busana itu membelalakkan ma-
tanya. Roro cepat balikkan tubuh.
"Lekas tutupi tubuhmu..! Dan cepat ikut aku
keluar dari neraka ini kalau kau tak mau tertimbun re-
runtuhan batu!" kata Roro. Gadis itu adalah gadis
yang disekap Dokoh Simburu. Tak berayal lagi dia se-
gera menyambar pakaian seadanya. Lalu berlari men-
gikuti orang yang telah menolongnya. Lurukan batu di
bagian depan membuat langkah mereka terhambat,
karena jalan lorong dalam gua itu tertimbun.
Orang ini hantamkan lengannya ke dinding se-
belah kanan.
BRRAAK!

Segera terbuka sebuah lubang akibat hancur-
nya dinding tersebut. Orang ini tampaknya melihat si-
tuasi kian gawat. Sekali sambar, dia telah meraih
pinggang gadis itu. Lalu cepat memondongnya dan
membawanya melompat keluar dari lubang itu....
TEBING BATU ITU RUNTUH... bagaikan digon-
cang oleh tangan raksasa. Puluhan paderi yang tak
sempat melarikan diri lenyap ditelan reruntuhan. Ta-
nah sebelah timur retak, dan hampir sebagian tebing
itu melesak ke dalam tanah.
Di dalam lorong, belasan tokoh persilatan yang
dikurung dalam ruang bawah tanah nyaris teruruk.
Untunglah mereka menemukan sebuah terowongan
rahasia. Ketika gempa dahsyat itu sudah berlalu, me-
reka bersembulan dari sebuah lubang, dua puluh tom-
bak dari tanah yang rengkah dan tumpukan batu yang
menggunung.
Tak urung beberapa orang mengalami luka-
luka, dan dua orang tewas teruruk reruntuhan. Orang
bercadar hitam berkelebat kesana kemari mencari ka-
lau-kalau ada orang yang bisa ditolong.
Di saat itulah sesosok bayangan putih berkele-
bat bagaikan angin dan muncul di hadapan orang ber-
cadar itu.
"Siapa kau?" bentak orang bercadar hitam den-
gan sikap waspada. Yang berdiri di  hadapannya ter-
nyata seorang laki-laki berjilbab besar. Jenggot dan
kumisnya menyatu dengan cambang bauknya yang le-
bat.
Laki-laki ini berkulit hitam, hingga tampak jelas
antara kulit dan jubahnya yang putih.
"Akulah yang bernama FAKIH AL GHAULAM!
Asalku dari kaki gunung Himalaya! Aku penganut ilmu
gaib yang datang ke wilayah ini untuk mencari seorang
yang menamakan dirinya KI SONGGO BHUWONO!

Akulah pembawa batu hitam yang pada belasan bulan
yang lalu dipahat menjadi sebuah arca! Kemudian arca
itu dijadikan sebagai sesembahan oleh seorang yang
bernama Dokoh Simburu, bekas seorang begal karena
dia terkena sorotan cahaya aneh dari mata arca. Hing-
ga tiba-tiba dia menjadi seorang yang sakti.
Akan tetapi dengan kesaktiannya dia telah me-
nawan banyak kaum pendekar, dan melakukan hal
yang sesungguhnya bukan atas kehendak arca yang di
dewa-dewakan itu..! Semua itu dilakukan untuk me-
lampiaskan hawa nafsunya belaka!" "Tunggu!" orang
bercadar itu membentak nyaring.
Sekali lengannya menarik, maka lepaslah cadar
penutup wajahnya. Orang bercadar ini sudah dapat di-
terka dari suara maupun sepasang benda aneh yang
tergantung di pinggangnya. Dia tak lain dari si dara
perkasa pantai selatan Roro Centil.
Sementara itu belasan pendekar  telah berlom-
patan ke tempat itu. Diantaranya terdapat pula Jabo
Lalengga si pemuda sahabat Roro. "Kalau kau orang
yang membawa batu hitam itu, berarti kaulah manusia
yang telah membawa bibit malapetaka! Siapa lagi
orangnya yang telah memberi kekuatan gaib pada ma-
nusia bejat bernama Dokoh Simburu itu kalau bukan
kau! Karena dengan ilmu gaib mu, bisa saja kau ber-
buat sekehendak mu, memberi kegaiban pada arca ba-
tu hitam itu!"
Kata-kata Roro yang tandas itu telah membuat
wajah laki-laki brewok berkulit hitam, bertubuh tinggi
besar itu mendelikkan mata.
Dengan pandangan matanya yang tajam dia
memang telah mengetahui siapa orang bertopeng itu.
Untuk itulah dia munculkan diri di depan gadis itu.
Akan tetapi sesaat kemudian Fakih Al Ghaulam
tertawa terbahak- bahak.

"Haha... haha... pantaslah kau menjadi murid
si Manusia Banci, si nenek Pantai Selatan! Watak mu
tak sabaran, ugal-ugalan dan centil!"
Diam-diam Roro terkejut karena orang itu men-
getahui gurunya. Dia menjawab dengan ketus.
"Mau ugal-ugalan atau centil, itu bukan urusan
mu! Apakah dengan kau mengenal guruku, lalu kau
bisa mencuci dosa, melepaskan diri dari kesalahan?
Hm, menghancurkan kejahatan harus sampai ke akar-
akarnya. Kau tak akan kubiarkan lolos lagi. Dan ka-
mi..." kata Roro seraya menoleh pada belasan para
pendekar yang selamat dari bencana. "Kami siap mem-
pertaruhkan jiwa untuk menumpas kejahatan!"
Kata-kata Roro itu disambut dengan seruan
kaum pendekar. Dan sekejap kemudian mereka telah
berlompatan mengurung laki-laki itu.
"Tahan dulu! Jangan menambah korban! Aku
belum habis berbicara!" bentak Fakih Al Ghaulam.
Kemudian dengan suara dingin dan tampak tenang,
dia meneruskan kata-katanya.
"Aku memang penganut ilmu gaib, tapi bukan
untuk kejahatan! Hal ini di luar keinginanku. Ada roh
jahat yang telah memasuki arca batu hitam itu! Roh
jahat itu telah kukalahkan! Itulah sebabnya Dokoh
Simburu kubunuh. Dan aku menggunakan arca yang
di dewa-dewakan itu untuk membunuh manusia pe-
nyembahnya sendiri!"
Sebagai seorang gadis yang berotak cerdas, Ro-
ro dapat menarik  kesimpulan dengan kata-kata itu.
Mau tak mau dia membenarkan hal itu. Suatu hal,
yang tak mungkin kalau tiba-tiba arca yang menjadi
sesembahannya itu bukannya menolong dirinya, tapi
justru melenyapkan jiwanya.
"Nah! seperti kataku, tujuanku adalah untuk
mencari seseorang yang bernama Ki Songgo Bhuwono.

Orang itu telah meminjam benda gaib yang tak dapat
ku jelaskan pada kalian. Karena mencari orang hingga
aku tak mengetahui kalau batu hitam yang kutitipkan
pada seseorang yang bernama Kebo Duwung, telah sa-
lah dipergunakan. Dan dibentuk sebuah arca tanpa
sepengetahuanku! Kebo Duwung tak kutemui di tem-
pat tinggalnya, dan kudengar berita dia telah tewas
bertarung dengan muridnya sendiri karena saling me-
nyalahkan karena lenyapnya arca batu hitam itu.
Akhirnya aku mendengar berita adanya sebuah
arca aneh yang di dewa-dewakan di lembah Dewa Suci.
Hingga akhirnya aku mengetahui apa yang telah terja-
di. Dan aku bersyukur padamu gadis pantai selatan,
karena kau telah menghancurkan penyebab malapeta-
ka itu...!"
Sampai disini lenyaplah keraguan para pende-
kar, juga Roro pada laki-laki bernama Fakih Al Ghau-
lam itu. Selagi semua terpaku, tahu-tahu tubuh laki-
laki yang mengaku dari kaki gunung Himalaya itu ber-
kelebat lenyap dari hadapan mereka. Roro terperan-
gah. Dia hanya dapat melihat sosok bayangan putih
yang melayang ke atas tebing. Sedangkan jauh di arah
sana tampak sesosok tubuh berjubah ungu berdiri di
atas batu tebing.
Roro gunakan kekuatan matanya untuk meli-
hat dari jarak jauh. Segera terlihat siapa adanya orang
berjubah ungu itu. Dan diam-diam gadis ini segera
berkelebat menyusul.
"Nona Roro! Tunggu..!" Teriakan di belakangnya
membuat Roro berhenti.
"Jabo Lalengga! Mari ikut aku! kata Roro. Tak
berayal lagi pemuda itu segera berlari menyusul dara
pantai selatan yang meneruskan gerakan tubuhnya
berlari cepat mendaki tebing.
"KI SONGGO BHUWONO...!"

Suara Fakih Al Ghaulam terdengar berat me-
nyibak udara. Sekejap dia telah berada di hadapan la-
ki-laki tua berjubah ungu itu. "Sobat Fakih Al Ghau-
lam...! kau mencari-cari ku?" menyahut kakek tua ren-
ta itu dengan suara datar.
"Haih! kau telah menyusahkan aku, Songgo
Bhuwono! Aku mau meminta kain sutera hitam yang
kau pinjam. Jauh-jauh aku datang kemari untuk men-
carimu. Mengapa tak kau antarkan kembali setelah le-
wat waktunya? Benda itu harus kukembalikan ke
asalnya, karena aku khawatir akan membuat malape-
taka! Apakah kau telah mengetahui kalau diriku nyaris
jadi korban gara-gara orang-orang lembah terkutuk
itu?" Laki-laki tinggi besar ini menggerutu.
"Maafkan aku, sobat Fakih! Usiaku sudah terla-
lu tua. Mungkin juga sifat pikun telah mulai muncul
pada diriku. Aku melupakan barang itu kalau aku te-
lah meminjamnya padamu, dan juga harus  mengem-
balikannya. Sekali lagi harap kau memaafkan ku..."
Ki Songgo Bhuwono adalah si kakek pemahat
yang telah mengajari Mangunto memahat batu mem-
buat arca. Kakek ini tampaknya menerima akan kesa-
lahannya.
Fakih Al Ghaulam geleng-gelengkan kepala me-
nyesali dirinya sendiri, juga keteledoran sahabatnya.
Tapi apakah dia bisa menyalahkan?
"Sudahlah....! Mana benda itu!" katanya memu-
tus.
Ki Songgo Bhuwono menoleh ke belakang. Lalu
berkata.
"Mangunto! keluarlah kau dari situ!"
Seorang laki-laki melompat keluar dari balik
batu besar di belakang kakek itu. Dialah si pemahat
patung batu hitam.
"Berikan padaku kain sutera hitam yang kuti-

tipkan padamu!" ujarnya pada Mangunto. Laki-laki ini
segera mengeluarkan lipatan kecil kain sutera hitam
itu pada Ki Songgo Bhuwono.
"Apakah sampai saat ini kau telah mengetahui
kegunaan kain yang kutitipkan ini padamu?" tanya Ki
Songgo Bhuwono. Mangunto tertegun tak mengerti,
dan menggelengkan kepala.
"Aku selalu membawanya kemana pergi sejak
aku pergi mengembara.
Dan sampai saat ini aku tak mengetahui apa-
kah kegunaannya? Aku tak berani mengganggunya ka-
rena benda ini adalah kenang-kenangan yang kau be-
rikan padaku....!" sahut Mangunto. Wajah laki-laki tua
itu tampak lugu dan polos.
Ki Songgo Bhuwono tersenyum. Dia menghela
napas.
"Tak apalah..! Kau memang tak perlu mengeta-
hui..!" ujar kakek ini. Kemudian mengambil benda itu
dari tangan Mangunto, dan menyerahkannya pada Fa-
kih Al Ghaulam. Laki-laki dari kaki gunung Himalaya
itu geleng-gelengkan kepala. Tapi bibirnya tersenyum.
Begitu kain hitam itu diterimanya, maka tubuh laki-
laki itupun gaib, sirna dari pandangan mata.
Ki Songgo Bhuwono menoleh pada Mangunto
yang membelalakkan mata melihat orang tinggi besar
berkulit hitam itu lenyap dari hadapannya.
"Nah! Mangunto..! kukira akupun harus segera
pergi. Terimakasih atas kesetiaanmu menjaga barang
titipan itu. Untunglah kau tidak pikun seperti aku.
Aku punya firasat kau akan menemukan kebahagiaan.
Nah, selamat tinggal Mangunto..."
Selesai berkata, tubuh Ki Songgo Bhuwono gaib
untuk kedua kalinya sejak gaib pertama kali setelah
memberikan kain sutera hitam belasan tahun yang la-
lu.

Mangunto termangu-mangu. Kata-kata Ki
Songgo Bhuwono terngiang di  telinganya yang di-
ucapkan sebelum lenyap dari hadapannya tadi.
"Aku akan menemukan kebahagiaan! Aneh! Ah,
Gusti Allah! Seandainya benar, betapa senangnya ha-
tiku. Kebahagiaan macam apakah yang akan ku jum-
pai?" berdesis laki-laki ini.
Di saat itulah Roro melompat keluar dari balik
sebongkah batu diikuti oleh Jabo Lalengga. Mangunto
baru saja melangkahkan kaki untuk menuruni lereng
tebing. Ketika tiba-tiba dia mendengar suara orang
memanggil.
"Bapak tua...tunggu dulu!" teriak Roro.
"Siapakah kalian cah ayu dan anak muda ga-
gah?" tanya Mangunto seraya menatap Roro dan Jabo
Lalengga dengan terheran.
"Aku Roro, dan ini kawanku Jabo Lalengga!"
sahut Roro memperkenalkan diri, kemudian menge-
nalkan pemuda sahabatnya.
"Bolehkah aku mengetahui apa hubunganmu
dengan kakek sakti bernama Ki Songgo Bhuwono itu?"
Roro langsung mengajukan pertanyaan.
Laki-laki tua yang lugu ini menjawab setelah
sesaat menatap dara itu.
"Dialah seorang yang baik hati, dan orang yang
telah menghidupkan hatiku sejak aku bagaikan gila
dan hampir putus asa mencari anakku yang hilang tak
tentu rimbanya belasan tahun yang lalu. Dia telah
mengajari aku cara memahat batu membuat arca.
Dengan memiliki kepandaian memahat akhirnya terhi-
bur hatiku, hingga aku melupakan kesedihan hatiku.
Di bulan Suro pada kurang lebih empat tahun yang la-
lu sebelum pergi Ki Songgo Bhuwono memberikan se-
helai kain sutera hitam padaku. Kain itu kusimpan
dengan baik, tanpa  aku berani menggunakannya...!

Kini kain sutera hitam yang dititipkan padaku itu telah
dipinta kembali oleh pemilik yang sebenarnya..." tu-
turnya seraya menghela napas.
Roro manggut-manggut, kemudian sambil ber-
kata dengan tersenyum.
"Marilah kita bercakap-cakap sambil berjalan,
pak tua...!"
Mangunto mengangguk. Wajahnya tampak ber-
seri gembira. Kepergian Ki Songgo Bhuwono membuat
dia merasa kesepian lagi. Tentu saja munculnya dua
orang muda itu membuat dia gembira dan agak terhi-
bur hatinya dari kesedihan hati yang kembali mengge-
rogoti perasaan dan jiwanya. Demikianlah, sambil me-
nuruni tebing mereka bercakap-cakap. Mendadak Jabo
Lalengga bertanya.
"Kudengar bapak tadi menceritakan tentang
kehilangan seorang anak. Siapakah nama anakmu,
dan berapa usianya?"
Mangunto menghela napas.
"Dia hilang ketika berusia tujuh tahun. Anakku
bernama Praguno! Seorang bocah laki-laki yang lucu
dan nakal..! Ah, kalau anakku saat ini masih hidup
tentu sudah sebesar kau, anak muda...!" sahut Man-
gunto seraya menatap pemuda itu dengan pandangan
tajam. Sebaliknya Jabo Lalengga pun menatap lekat-
lekat wajah laki-laki tua itu.
"Benarkah nama anakmu itu PRAGUNO, pak
tua?" tanya pemuda ini.
"Ya! Nama itu kuberikan padanya agar dia bisa
menjadi orang yang berguna di kelak kemudian hari...!
Ada apakah dengan nama itu, anak muda?" selesai
menjawab, Mangunto balik bertanya.
"Praguno adalah namaku, pak tua! Itulah nama
yang diberikan seorang laki-laki ayahku, yang lenyap
tak ada beritanya.

Ketika terjadi peperangan, ibuku kudapatkan
tewas... Dan aku pergi tak tentu arah tujuan. Kemu-
dian aku berjumpa dengan seorang laki-laki yang
sampai saat ini kuanggap sebagai ayahku. Saat itu aku
masih berusia kurang lebih tujuh tahun. Kemudian
namaku diganti dengan JABO LALENGGA..!"
Tentu saja penuturan pemuda itu membuat
Mangunto tersentak kaget.
"Siapa nama ayahmu, anak muda?" tanyanya
dengan wajah agak memucat.
"Beliau bernama Mangunto..." sahut Jabo La-
lengga.
"Kalau begitu..?" sentak Mangunto dengan wa-
jah berubah kaget.
Akan tetapi dia segera berkata.
"Apakah kau memiliki tanda goresan bekas lu-
ka sepanjang satu jari di atas pusar?" tanya Mangunto
dengan tatapan tak lepas merayapi sekujur tubuh dan
wajah pemuda itu:
Tak menunggu dua kali, Jabo Lalengga segera
sibakkan bajunya.
Mata Mangunto membelalak lebar hampir tak
percaya melihat tanda guratan bekas luka itu memang
benar berada di atas pusar pada bagian tubuh Jabo
Lalengga.
"Tak salah lagi...! kaulah anakku...! Kaulah
PRAGUNO, anakku yang hilang itu...!" teriak Mangunto
dengan wajah berubah girang. Seketika  air matanya
mengembang di pelupuk mata.
Jabo Lalengga menatap wajah laki-laki itu den-
gan mata berkaca-kaca, dan bibir bergetar mengelua-
rkan kata-kata.
"AYAH..!"
Dan keduanya segera saling rangkul berpelu-
kan dengan erat dan dengan terisak-isak. Mangunto

menciumi wajah pemuda itu dengan air mata mengu-
cur deras. Tapi air mata adalah air mata kebahagiaan.
"Anakku...! Benarlah seperti yang dikatakan Ki
Songgo Bhuwono. Aku benar-benar menemukan keba-
hagiaan seperti firasatnya..."
"Ayah..! kita tak akan berpisah lagi, bukan?"
Mangunto mengangguk dengan terharu, dan
dipeluknya lagi pemuda itu dengan air mata bersimbah
di pipinya yang mulai keriput.
Di saat pertemuan yang mengharukan itu ter-
jadi, Roro Centil telah berkelebat meninggalkan tempat
itu.....



TAMAT