Roro Centil 13 - Dendam Si Manusia Palasik(2)





menjaga anak, diajeng! Ah, maafkanlah aku!
Gembira sekali kalau kita bisa jalan bersama-
sama! Jadi teringat lagi pada masa kita remaja!
Sayangnya aku tak berjodoh denganmu!" Ujar
Bayu Wijaya sambil tersenyum. Namun tak urung
air matanya pun membersit keluar.

***

Pada pertengahan musim kemarau seorang
penunggang kuda tampak mendatangi sebuah
perkampungan di daerah utara itu. Laki-laki itu
berpakaian sederhana. Ikat kepalanya yang ter-

buat dari bahan kasar berwarna kuning, tampak
berkibaran tertiup angin. Kudanya berbulu coklat
dan tampak kekar. Tiba di mulut desa, laki-laki
ini hentikan lari kudanya dan berjalan perlahan.
Sementara sepasang matanya merayapi keadaan
sekitar daerah itu.
Ternyata laki-laki ini tak lain dari Satryo, be-
kas Senapati Kerajaan Matsyapati yang sudah
punah. Satryo memang telah mengembara menu-
rutkan sepembawa kakinya. Nama desa yang dis-
inggahinya itu pun dia tak tahu. Empat bulan su-
dah waktu berlalu, dengan kuda tunggangannya
yang tak pernah berpisah darinya. Tiba-tiba laki-
laki ini hentikan langkah kudanya, karena telin-
ganya segera menangkap suara jeritan, dan suara
orang berteriak. Bahkan tak lama terdengar se-
perti suara orang bertarung, dengan diiringi ben-
takan-bentakan keras. Apakah yang terjadi? Sen-
tak hatinya. Dan tanpa ayal lagi dia sudah keprak
kudanya untuk mencongklang cepat ke arah ten-
gah desa.
Sesosok mayat wanita membugil tampak ter-
juntai di pintu rumah panggung, dan seorang
pemuda bertelanjang dada, tampak tengah meng-
hadapi serangan dua orang laki-laki yang mener-
jang hebat dengan golok-golok telanjang.
"Bocah keparat! Kau berani main gila dengan
anak menantuku? Kubunuh kau bangsat!" Orang
tua itu menerjang kalap. Goloknya menebas ke
kiri-kanan dan membacok ganas ke tubuh si pe-
muda. Akan tetapi dengan tertawa-tawa pemuda
itu telah melompat-lompat menghindar. Gerakan

mengelakkannya ternyata santai saja, namun se-
rangan-serangan ganas laki-laki tua itu ternyata
luput dengan mudah. Sementara laki-laki yang
hampir seumur dengannya itu melompat mener-
jang dengan bentakan keras, dan berteriak-teriak
kalap. Agaknya dialah suami wanita bugil yang
terjuntai di pintu rumah panggung.
"Aku akan adu jiwa denganmu, setan pemer-
kosa wanita!" Dan dengan menggerung keras dia
sudah lakukan terjangan hebat dengan golok pan-
jangnya.
"Ahahaha... aku tidak memperkosa! Boleh
kau tanyakan pada istrimu! Kami melakukannya
mau sama mau!" Ujar pemuda itu dengan menge-
lak dari sambaran ganas golok panjang si laki-laki
suami wanita itu. Dan...
BLUGH...! Dia telah kirimkan satu hantaman
telak di dada orang. Tak ampun laki-laki itu ter-
lempar keras hingga menabrak ke anak tangga
bambu rumah panggung itu.
BRRAKK...! Tangga bambu itu patah berde-
rak. Dan laki-laki itu meringis menyeringai kesa-
kitan. Dia masih berusaha bangkit, namun segera
terbatuk-batuk, dan darah kental berwarna hitam
menggelogok keluar dari mulutnya.
"Hahaha... sebaiknya kau menyusul istrimu
ke Alam Baka! Bukankah kematiannya adalah di
tanganmu sendiri? Siapa suruh kau membunuh-
nya...?" Berkata pemuda itu dengan tertawa me-
nyeringai.
"Iblis keparat...! Kau... kau..." Membeliak se-
pasang mata laki-laki itu. Akan tetapi sebelum dia

dapat bangkit berdiri, tubuhnya telah terhuyung
limbung. Dan kata-katanya terputus, karena se-
ketika nyawanya sudah melayang. Ambruklah tu-
buh laki-laki itu dengan tidak bergeming lagi. Pu-
kulan keras pada dada laki-laki itu ternyata telah
mengantarkannya pada jalan kematian. Dan dia
memang benar-benar tewas menyusul istrinya,
yang telah dibunuhnya.
Laki-laki itu mendapat laporan dari salah seo-
rang kawannya tentang adanya seorang pemuda
yang bertamu ke rumahnya di saat dia tidak be-
rada di rumah. Dan sang istri ternyata menerima
tetamu nya itu untuk menghormati. Tak dinyana
telah terjadi satu perbuatan mesum di rumahnya.
Hal mana diketahui oleh sang kawan yang telah
mengintip perbuatan mereka. Tentu saja dengan
kemarahan meluap dia berlari pulang. Di jalan
berjumpa dengan ayahnya. Secara singkat dia ce-
ritakan pada sang ayah. Dan melompat geram ke
arah rumahnya. Golok panjang yang selalu diba-
wanya itu dipakai menoreh pintu jendela yang ter-
tutup. Dan segera terpampang jelas di depan ma-
tanya sang istri yang tengah bercumbu dengan
pemuda asing itu. Melompatlah dia ke dalam.
Sementara si pemuda asing sudah merapihkan
sebagian pakaiannya, dan melompat keluar. Laki-
laki ini muncul di kamar istrinya. Dilihatnya sang
istri bukannya ketakutan melihat suaminya me-
mergoki perbuatannya, bahkan tersenyum-
senyum menatap padanya dengan rambut awut-
awutan, dan tubuh telanjang bulat.
Betapa geramnya dapat dibayangkan hati

sang suami. Dia berpikir sang istri sudah keterla-
luan. Dan sengaja memanasi hatinya. Tak ampun
lagi dia sudah seret tubuh istrinya, keluar pintu.
Dan golok panjangnya "berbicara" menghabisi
nyawa wanita itu.
Bocah iblis...! Kau telah bunuh anakku...?
Kucincang tubuhmu manusia  edan...!" Dan si
orang tua itu sudah menerjang beringas dengan
goloknya. Tubuh laki-laki tua ini menggeletar he-
bat. Betapa dengan kejam si pemuda asing itu te-
lah membunuh anak laki-lakinya.
WUT! WUT! WHUT...! Kembali serangan-
serangan ganas itu dielakkan dengan mudah, se-
raya berkata dengan wajah cengar-cengir. "Ah,
sudahlah pak tua! Kau urusi saja mayat anak dan
menantumu aku malas membunuhmu...!" Akan
tetapi mana mau si laki-laki tua itu diamkan ma-
nusia pembunuh itu di depan matanya? Kembali
dia menerjang bringas. Goloknya membabat dan
menabas kepala pemuda konyol di hadapannya.
"Heh, kau rupanya memilih mampus! Baiklah!
Jangan sesalkan aku...!" Tiba-tiba tubuh pemuda
itu berkelebat melompat, lengannya bergerak
menghantam kepala laki-laki tua itu...
WHHUUKK... DHESS...! Terkejut pemuda  itu
ketika merasai angin bersyiur ke arah punggung-
nya. Dan belum lagi dia sempat menghantamkan
lengannya, tubuhnya telah terlempar beberapa
tombak. Namun dengan lincah si pemuda ini ber-
jumpalitan di udara, dan jatuhkan kakinya men-
ginjak tanah. Hatinya memikir. Siapa yang telah
menyerangnya?

Untunglah dia sudah lindungi tubuhnya den-
gan hawa sakti yang dengan cepat disalurkan ke
punggung. Hingga hantaman telak itu tak mem-
buatnya cidera. Saat itu juga telah berkelebat se-
buah bayangan tubuh manusia. Dan seorang la-
ki-laki gagah berpakaian sederhana telah berada
di situ. Ternyata Satryo yang barusan menggagal-
kan serangan maut pemuda konyol itu.
"Manusia dari manakah yang telah tega ber-
buat keji, dan bertindak semaunya mengumbar
kelakuan jahat...!" Ujar Satryo dengan kedua len-
gan terentang. Sepasang matanya menatap pada
pemuda yang juga telah menatapnya. Sementara
diam-diam Satryo terkejut juga karena hantaman
angin pukulannya tadi ternyata tak membuat pe-
muda itu cidera. Atau setidak-tidaknya luka da-
lam. Pemuda bertelanjang dada itu bahkan masih
bisa berdiri dengan keadaan segar bugar.
"Bapak tua! Menyingkirlah kau! Manusia keji
ini bukan lawanmu...!" Berkata Satryo. Sementara
di belakangnya terdengar suara ringkikan ku-
danya. Tak ayal si laki-laki tua itu sudah me-
nyingkir, dan berlari menubruk mayat anak laki-
lakinya dengan menangis bagai anak kecil. Se-
dangkan keadaan di lingkungan desa itu, seketika
menjadi ramai dengan berdatangannya orang-
orang desa melihat kejadian.
"Aha...! Ada jagoan rupanya yang datang ber-
kuda! Hahaha... satu kehormatan buatku untuk
menjajal kepandaian!" Berkata pemuda itu den-
gan tertawa jumawa. Dan melangkah lebar men-
dekati Satryo.

"Heh! Siapakah kau, sobat! Apa kesalahan ke-
luarga rumah ini, hingga kau turunkan tangan
keji!" Ujar Satryo dengan kening berkerut mena-
tap orang.
"Hm, aku tak pernah menyembunyikan  na-
maku. Namaku RAKA RUMPIT! Dan mengenal
urusanku, kau tak perlu ikut campur! Kecuali
memang mau menjajal ilmu! Bukankah telah kau
lihat sendiri kalau ternyata pukulanmu barusan
tak berarti apa-apa padaku! Ahahaha... Baiknya
kau pulang dulu untuk berguru pada kakekmu!
Barulah boleh berlagak jadi pahlawan!" Ucap pe-
muda yang tak lain dari Raka Rumpit itu adanya.
"Manusia sombong!" Mendengus Satryo. Se-
lama hidupnya baru dia menjumpai seorang pe-
muda yang keterlaluan dan bertingkah konyol be-
gitu. Akan tetapi Satryo dapat menahan kesaba-
rannya. Sementara diam-diam Raka Rumpit su-
dah membaca mantera dengan bibir berkemak-
kemik. Sepasang matanya menatap tajam pada
Satryo. Terkejut bekas Senapati itu, karena mera-
sai tatapan mata Raka Rumpit telah bersitkan si-
nar tajam yang mempengaruhi bathinnya. Selang
sesaat, tampak dalam pandangannya tubuh Raka
Rumpit berubah jadi segumpal asap hitam. Dan
gumpalan asap itu membentuk sesosok tubuh hi-
tam berbulu dengan wajah menyeramkan.
"Hah!? Edan...! Manusia apakah si Raka
Rumpit ini?" Desis Satryo tersentak kaget. Ter-
paksa dia gunakan kekuatan bathinnya untuk
menindih kekuatan lawan yang mempengaruhi
pandangannya. Akan tetapi sia-sia. Makhluk hi-

tam berbulu itu semakin dekat melangkah. Satryo
mundur dua tindak.

***

DELAPAN

AKAN TETAPI PADA SAAT ITU... terdengar sa-
tu bentakan keras, dengan diiringi berkelebatnya
dua sosok tubuh ke hadapan mereka.
"Bocah keparat...! Akhirnya berhasil juga ka-
mi menjumpaimu!" Raka Rumpit hentikan lang-
kahnya, serata tatap wajah kedua orang penda-
tang itu. Ternyata yang muncul tak lain dari Bayu
Wijaya dan si Pendekar Lembah Bunga.
"Walah... siapakah kalian ini, datang-datang
memaki orang?" Tanya Raka Rumpit. Pemuda ini
tak menampakkan perubahan tubuhnya dalam
pandangan kedua orang tokoh persilatan itu. Se-
mentara Satryo tersentak lagi, karena segera me-
lihat tubuh makhluk hitam berbulu dengan wajah
menyeramkan itu berangsur-angsur melenyap,
dan kembali berubah dalam bentuk aslinya.
"Heh? Ilmu Hitam...!" Desisnya tertahan.
"Setan tengik! Hm, bocah...!  Kau sembunyi-
kan di mana anak gadisku yang bernama Mahe-
sani! Kau... kau telah menculiknya ketika dia ten-
gah melatih para anak buahku hampir empat bu-
lan yang lalu di lereng bukit Karang Tunggal. Bu-
kankah kau bernama RAKA RUMPIT...?" Bentuk
Bayu Wijaya si Pendekar Trisula Emas. Tercenung

sejenak Raka Rumpit. Namun segera perdengar-
kan tertawanya.
"Oh, hahaha... haha... kalau begitu kaukah
yang bergelar si Pendekar Trisula Emas, ketua
Perguruan Trisula Dewa itu...?"
"Benar! Perbuatan terkutukmu ini benar-
benar menghinaku, bocah! Kau ke manakan anak
gadisku itu! Dan siapakah gurumu?" Bentak lagi
Bayu Wijaya. Baru saja Raka Rumpit mau men-
jawab, tiba-tiba telah menelusup ke lubang telin-
ganya satu suara halus.
"Raka Rumpit...! Kau pulanglah...! Ada hal
penting yang akan aku katakan padamu! Aku te-
lah kedatangan tetamu istimewa...! Kedatangan-
mu amat kuharapkan secepatnya...!" Terkejut
pemuda ini karena itulah suara sang guru, si Ne-
nek Bongkok Muka Tengkorak.
"Hm, maafkan aku para Pendekar Tua! Aku
tak bisa menjawab sekarang! Aku harus kembali
secepatnya!!" Seraya berkata tubuh Raka Rumpit
sudah berkelebat melesat. Dan melompat pergi
dari situ.
"Kurang ajar...! Hei? Kau tak dapat melarikan
diri lagi manusia tengik!" Membentak Rukmina si
Pendekar Lembah Bunga. Tubuhnya mencelat
menyusul bayangan tubuh Raka Rumpit. Tiba-
tiba lengannya bergerak mengibas.
WHUSSSSS!
Ser! Ser! Ser...! Enam kuntum bunga kering
meluncur deras ke arah belakang punggung Raka
Rumpit, yang telah tersusul tiga tombak di bela-
kangnya. Hebat senjata bunga kering yang dilon-

tarkan wanita Pendekar Lembah Bunga ini. Kare-
na mengarah keenam bagian jalan daerah lawan.
Bila salah satu saja yang mengena, tentu akan
membuat lawan tertotok roboh.
"Edan...! Bocah itu punya ilmu siluman! Pan-
tas kalau anakmu si Mahesani bisa dikalah-
kan...!" Desis Rukmita si Pendekar Lembah Bun-
ga.
"Keparrrat...! Entah siapa guru si bocah edan
itu...!" Memaki Bayu Wijaya. Di lengannya telah
tergenggam senjata Trisula Emas-nya. Akan tetapi
belum lagi dipergunakan, pemuda penculik anak-
nya itu sudah merat menjadi segumpal asap. Sa-
tryo mendehem seraya mendekati kedua orang
itu. Lalu menjura hormat ketika keduanya meno-
leh.
"Paman Bayu Wijaya...! Apakah anda masih
mengenalku?" Bertanya Satryo. Terkejut laki-laki
tua ini. Seraya mengelus jenggotnya, dia menatap
pada laki-laki dewasa di hadapannya dengan kre-
nyitkan keningnya. Diperhatikan demikian, Sa-
tryo tersenyum. Lalu segera perkenalkan diri.
"Ah, agaknya anda pangling, sobat Bayu Wi-
jaya! Aku Satryo!"
"Hah!? Anda... anda Senapati Satryo...? Oh,
maafkan mata tuaku ini, Senapati!" Ucap Bayu
Wijaya dengan tersipu. Dan segera beranjak ulur-
kan lengannya menjabat tangan laki-laki itu.
"Ah, jangan panggil aku Senapati lagi, paman
Bayu Wijaya. Kerajaan Matsyapati sudah punah!
Dan aku telah berhenti dari jabatanku!" Ucap Sa-
tryo pendek. Laki-laki tua yang masih bertubuh

kekar itu tercenung sejenak, lalu manggut-
manggut mengerti. Agaknya berita diambil alihnya
kekuasaan  Kerajaan Matsyapati yang sudah di-
tinggal pergi oleh Rajanya itu telah sampai juga ke
telinganya. Selang sesaat, tiba-tiba Bayu Wijaya
berkata:
"Oh, adik Senapati... eh, Satryo...!" Berkata
Bayu Wijaya seraya menatap berganti-ganti pada
Rukmita dan Satryo.
"Aku bernama Rukmita, yang digelari si Pen-
dekar Lembah Bunga! Kami masih saudara seper-
guruan...!" Ucap si Pendekar Lembah Bunga
mendahului bicara, karena tampaknya Bayu Wi-
jaya agak tergagap untuk memperkenalkan di-
rinya pada laki-laki bekas Senapati itu. Laki-laki
tua ini cuma manggut-manggut dengan terse-
nyum. Dan cepat-cepat Satryo menjura lagi.
Secara singkat Bayu Wijaya ceritakan tentang
musibah yang telah menimpanya pada Satryo.
Dan mereka berdua memang tengah mencari jejak
pemuda bernama Raka Rumpit itu, di samping
mencari ke mana lenyapnya Mahesani, anak ga-
disnya.
"Kakang Bayu, aku akan coba cari jejak pe-
muda edan itu, kukira tak berapa jauh di sekitar
sini...!" Seraya berkata Rukmita telah berkelabat
melompat tanpa menunggu lagi jawaban si Pen-
dekar Trisula Emas. Melengak laki-laki tua ini,
seraya berteriak:
"Diajeng Rukmita! Tungguuu...!" Dan dia su-
dah palingkan lagi wajahnya menatap Satryo.
"Maaf, adik Satryo, aku... aku harus segera mem-

bekuk manusia jahanam itu sebelum dia berlari
jauh!" Satryo cuma terpaku dan cepat mengang-
guk. Dan tak ayal Bayu Wijaya sudah berkelebat
menyusul si Pendekar lembah Bunga. Satryo cu-
ma menatap dengan  tercenung. Dan terdengar
suara helaan napasnya.
"Pemuda bernama Raka Rumpit itu memiliki
ilmu siluman...! Ah, Rimba Hijau ternyata di pe-
nuhi orang-orang muda yang berilmu tinggi!
Sayang dipergunakan untuk menyebar kejaha-
tan...!" Gumam laki-laki bekas Senapati ini. Dan
dia pun segera berkelebat untuk menjemput ku-
danya. Tak lama sudah mencongklang cepat me-
ninggalkan desa yang dilanda musibah itu...
Sementara itu sesosok tubuh berkelebat cepat
menuju ke arah bukit.  Dan meniti tebing dekat
muara sungai di bawahnya. Tak lama sesudah
memasuki sebuah lubang goa. Terdengar suara
tertawa mengekeh, dan di dalam ruangan goa itu
telah berdiri sesosok tubuh bongkok, yang tak
lain dari si nenek bongkok bermuka tengkorak.
"Hihihi... si Rumpit bocah edan itu benar-
benar keterlaluan! Membuat aku cemburu seten-
gah mati! Rasanya menunggu sampai tamatnya
pelajaran ilmu yang kuberikan, aku sudah tak
sabar lagi...!" Menggumam si nenek bongkok se-
raya duduk di atas batu di tengah goa. Tak lama
dia sudah beranjak bangkit dan melangkah me-
nuju ke ruangan kamar tempat samadinya. Akan
tetapi belum lagi lebih dari lima langkah, sudah
terdengar di kejauhan suara tertawa mengakak,
dan saat berikutnya tahu-tahu si pemuda murid-

nya itu telah muncul di mulut goa. Terhenyak si
nenek bongkok.
"He!? Begitu cepat kau datang...?" Berkata si
nenek. Dia agak heran karena tak mendengar su-
ara pemuda muridnya itu dari kejauhan. Bi-
asanya telinga si nenek bongkok sudah dapat
menangkap dari kejauhan, kalau anak muda mu-
ridnya itu akan pulang. Bahkan walau masih be-
rada di kaki bukit. Akan tetapi kedatangannya ki-
ni adalah memang di luar dugaannya. Dia tadi te-
lah sengaja berdusta dengan mengatakan ada te-
tamu istimewa di goa tempat tinggalnya.
"Hahaha... bukankah aku telah mempelajari
ilmu ASAP SETAN! Mana kau mampu mengetahui
kedatanganku lagi, nenek manis..!" Ucap Raka
Rumpit dengan tertawa, dan memasuki goa den-
gan langkah lebar.
"Bocah gendeng..." Memaki si nenek. Akan te-
tapi seperti baru tersadar dia berkata. "He!? Apa
katamu tadi? Kau telah berhasil menguasai ilmu
ASAP SETAN...?"
Pemuda ini mengangguk sambil nyengir ter-
tawa, dan lengannya menggaruk-garuk dadanya
yang telanjang berkeringat. Rambutnya yang se-
makin gondrong tanpa ikat kepala itu dikibas-
kibaskannya seperti mengusir hawa panas dalam
goa. Melengak si nenek bongkok. Sepasang ma-
tanya membeliak. Tiba-tiba saja dia sudah angkat
tongkatnya menunjuk,
"Kau... kau... Jadi kau sudah berhasil mena-
matkan pelajaranmu...? Bocah gendeng...! Pantas
aku tak mendengar suara kedatanganmu! Dan...

sejak kapan kau telah menguasai ilmu ASAP SE-
TAN itu?" Tiba-tiba si nenek bongkok ajukan per-
tanyaan.
"Baru dua-tiga hari belakangan ini, guru! Aku
memang sengaja tak memberitahukan padamu!"
Jawab Raka Rumpit dengan melompat mendekati
si nenek.
"Ha...?! Aiii... dasar bocah edan! Aku sudah
menyangka kau tak akan mampu menguasai se-
cara cepat karena kulihat otakmu bebal! Dugaan-
ku dalam sepekan lagi baru kau bisa mengua-
sai..." Ujar wanita muka tengkorak ini tertegun.
Akan tetapi tiba-tiba sang guru sudah keluarkan
bentakan.
"Bocah edan! Coba kau tunjukkan padaku...!"
Agaknya si nenek bongkok merasa kurang yakin.
"Hm, baiklah, nenek manis.!" Ucap Raka
Rumpit. Dan segera mulutnya berkemak-kemik
membaca mantera. Seluruh kekuatan bathinnya
sekejap sudah tersalur untuk membentuk daya
khayal yang berada di otaknya. Tak berapa lama
tampak tubuh pemuda itu berubah jadi segumpal
asap hitam. Namun sekejap gumpalan asap itu te-
lah membentuk sesosok tubuh yang merangkak
di tanah itu. Dan... 
"GRRRRRRAUUUUMMMHHH...!"
Sekejap tubuh Raka Rumpit telah berubah
jadi seekor harimau belang yang luar biasa be-
sarnya. Binatang ini membuka mulutnya menam-
pakkan gigi-gigi dan taringnya yang runcing ta-
jam. Terperanjat si nenek bongkok dengan mata
terbelalak. Akan tetapi tiba-tiba telah mengkikik

tertawa.
"Hihihi... hihi... hebat! hebat...! bagus sekali!
Kau benar-benar telah menguasainya dengan
baik, bocah edan! Ooooh, mengapa kau baru
mengaku sekarang?"
"Grrrrh...! Hahaha... aku memang sengaja
mau membuat kejutan, guru! Berkata si harimau
jejadian itu dengan mendengus-dengus serta
mendekam mengejap-ngejapkan matanya. Nenek
bongkok muka tengkorak julurkan tongkat hi-
tamnya mengetuk tubuh sang macan.
"Sudahlah! Pergilah kau mandi! Bukankah
kau mau kupertemukan dengan seorang tamuku
yang istimewa?" Berkata si nenek.
"He, ya...! Mana dia tetamunya?" Bertanya
Raka Rumpit, yang sekejap telah berubah kembali
menjadi manusia asalnya.
"Sudah kukatakan! Pergilah mandi, bersihkan
tubuhmu! Bukankah kau baru mengotori tubuh-
mu dengan keringat wanita? Aku tak suka tu-
buhmu bau wanita...!"

***

SEMBILAN

SEMENTARA Raka Rumpit pergi mandi, baik-
nya kita menengok dulu kelain tempat. Udara ce-
rah hari itu... seorang gadis berbaju ungu tampak
berjalan santai memasuki sebuah Padepokan,
atau rumah perguruan yang tampak agak sunyi

itu. Sementara di sepanjang jalan yang dilaluinya
beberapa pasang mata telah menatapnya dengan
mata tak berkedip. Mereka adalah beberapa orang
anak buah perguruan Trisula Dewa. Akan tetapi
mereka cuma menatap dengan aneh, karena me-
lihat  perobahan pada gadis muda itu yang tak
mengenalnya. Bahkan telah pula bertanya di ma-
na adanya sebuah Perguruan Silat bernama Tri-
sula Dewa.
Tentu saja dengan tergagap mereka menun-
jukkan Perguruan Trisula Dewa yang tak sebera-
pa jauh dari situ. Bahkan nama Ketuanya pun di-
tanyakan. Adalah aneh, kalau seorang gadis yang
menjadi puteri dari Ketua Perguruan Trisula De-
wa menanyakan rumah perguruan tempat ting-
galnya, dan menanyakan ayahnya sendiri, seperti
orang yang belum mengenal sama sekali.
Dengan langkah lebar gadis itu melewati pen-
jaga pintu padepokan yang tak sempat menegur,
karena mulutnya sudah ternganga dengan tubuh
kaku. Karena entah apa salahnya, ketika tahu-
tahu laki-laki penjaga yang sudah siap menyam-
butnya dengan girang itu mendadak ditotok pada
bagian lehernya. Sekejap tubuhnya jadi berdiri
kaku dengan mulut ternganga dan sepasang mata
membeliak. Tampak dari mata, mulut dan hi-
dungnya mengeluarkan tetesan darah. Ternyata
belum lagi sempat berteriak, nyawanya sudah me-
layang.
Melihat  munculnya  seorang gadis di depan
pintu ruangan pendopo padepokan itu, semua
yang berada di dalam terkejut Beberapa orang

anak buah Bayu Wijaya sudah berteriak seraya
melompat berdiri.
"Ah, Den Ayu Mahesani...! anda... anda sudah
datang...?". Serentak berlompatanlah mereka
dengan wajah girang disertai sorak-sorai  kawan-
kawannya. Akan tetapi bersamaan dengan itu
terdengar satu bentakan keras disusul dengan
berkelebatannya tiga sosok tubuh berkepala gun-
dul.
"Wanita iblis! Kiranya kau anaknya si Bayu
Wijaya...? Heh jangan harap kau dapat melo-
loskan diri...! Hadapi kami si Tiga Paderi Kuil Na-
ga...!" Terperangah semua anak buah Bayu Wi-
jaya. Serentak mereka telah menghambur mengu-
rung tiga paderi itu.
"Hei, tiga orang botak! Apakah kesalahan pu-
teri Ketua kami? Kalian melabrak seenaknya me-
masuki rumah perguruan tanpa permisi lagi!"
Bentak seorang murid dari tingkat utama Pergu-
ruan Trisula Dewa ini.
Tiga paderi ini rata-rata masih muda. Berpa-
kaian jubah warna kuning. Pada punggungnya
masing-masing terselip sebuah tongkat kayu jati
yang lebar pipih.
"Heh, kalian serahkan gadis siluman ini un-
tuk mempertanggung jawabkan perbuatannya di
hadapan ketua kami! Dia telah main gila dengan
lima orang saudara seperguruanku. Dan membu-
nuhnya dengan melemparkan mayat-mayat sau-
dara seperguruan kami di belakang kuil. Perbua-
tan keji itu harus kami balas dengan setimpal,
yaitu dengan menghukumnya! Mengenal urusan

hukuman itu tergantung ketua kami! Akan tetapi
kami memang telah diperintahkan untuk mem-
bawanya hidup atau mati!" Berkata salah seorang
yang lebih tua dari ketiga paderi muda itu.
Terperangah semua anak buah Bayu Wijaya.
Mereka seperti tak percaya mendengar keterangan
si paderi muda. Karena tak mungkin hal itu dila-
kukan oleh anak gadis puteri Ketua mereka.
Sementara Mahendra yang berada di antara
murid-murid perguruan itu jadi terpaku tak ber-
geming. Baru saja dia melihat tampang sang ca-
lon istrinya itu, ternyata sudah mendengar berita
demikian. Tentu saja membuat wajahnya menjadi
merah tanpa bisa bicara apa-apa.
"Hihihi... paderi-paderi tengik macam kau ini
mengapa memfitnah orang seenaknya? Aku be-
lum pernah mengunjungi Kuil Naga! Letak tem-
patnya pun aku tak mengetahui! Kau telah bikin
malu aku di hadapan anak-anak buah ayahku...!"
Saat itu beberapa orang anak buah Perguruan
yang tadi berada di luar telah masuk ke pelataran
dengan menggotong mayat penjaga pintu.
"Hah, apa yang terjadi?" Melompat seorang
kawannya yang turut mengurung ketiga paderi
itu.
"Kimung telah tewas! Entah siapa yang mem-
bunuhnya...!" Menyahut kawan yang memondong
mayat si penjaga pintu Padepokan.
"Huh! Siapa lagi yang telah membunuh, kalau
bukan tiga kunyuk gundul ini?" Tiba-tiba Mahe-
sani berkata dengan suara dingin.
"Hayo, kalian bunuhlah pengacau-pengacau

ini! Mengapa didengar ocehannya yang mengaco
itu? Masakan aku dituduh seenaknya saja!". Sua-
ra Mahesani yang bernada aneh, dan agak asing
itu memang membuat murid-murid perguruan itu
agak memikir sejenak. Akan tetapi perintah itu
seperti punya pengaruh, karena memang mereka
amat mematuhi setiap perintah putri ketuanya
ini. Serentak beberapa orang sudah menghunus
senjata. Dan tak ayal lagi beberapa orang sudah
menerjang dengan bentakan-bentakan keras.
Trang! Trang! Trang!
Terdengar suara beradunya senjata-senjata.
Karena ketiga paderi muda itu masing-masing te-
lah mencabut tongkat kayu jatinya. Ternyata
tongkat mereka adalah berisikan sebatang pe-
dang, yang dari luar hanya mirip tongkat biasa.
Segera saja terjadi pertarungan seru. Tiga paderi
ini mau tak mau memang harus melayani seran-
gan gencar mereka, kalau tak ingin nyawa mereka
melayang.
Adapun Mahesani dengan senyum di bibir se-
gera melompat ke dalam. Mahendra berkelebat
menyusul ......
"No.. nona Mahesani...!" Berteriak Mahendra
memanggil. Dan sang gadis segera menoleh  se-
raya hentikan langkahnya.
"Siapakah kau...?" Bertanya Mahesani, yang
sebenarnya adalah Tri Agni. Yaitu si manusia se-
tengah siluman yang menitis pada badan kasar
Mahesani yang telah mati dicekik Raka Rumpit,
akibat pengaruh kekuatan ghaib gurunya.
"Aku... aku Mahendra! Masih ingatkah kau?

Kita pernah bertemu semasa masih kanak-kanak!
Ibu ku bergelar si Pendekar Lembah Bunga! Apa-
kah ayahmu tak pernah bercerita tentang aku?"
Tutur Mahendra seraya menatap wajah orang Ga-
dis baju hijau bernama Mahesani itu memang ga-
dis yang cantik. Bertubuh mulus, berkulit putih
dengan perawakan tubuh semampai. Rambutnya
hitam bergelombang. Mahesani menggeleng se-
raya tatap wajah pemuda di hadapannya. Tentu
saja membuat Mahendra jadi melengak, karena
sedikit pun gadis itu tak ingat akan dirinya.
"Kemanakah ayahku?" Bertanya Mahesani
dengan suara kaku. Segera Mahendra bercerita
singkat tentang ibunya, dan ayah gadis itu yang
pergi mencari jejak penculik serta mencari tahu di
mana adanya sang gadis.
"Sudah hampir empat bulan ini beliau tak
kembali, juga ibuku!" Eh, kita harus membantu
mengusir tiga paderi itu! Aku khawatir akan ba-
nyak korban  berjatuhan!" Tiba-tiba Mahendra
berkata, seraya berpaling ke arah pintu ruangan,
didengarnya suara-suara jeritan terdengar dari
kalangan pertarungan. Akan tetapi sekali lengan
Mahesani bergerak, lengan Mahesa sudah dice-
kalnya.
"Aku amat rindu padamu... ngng... Mahen-
dra!" Tiba-tiba Mahesani ucapkan kata-kata den-
gan suara lirih mendesis. Lengan Mahesani berge-
rak mengibas. Dan tahu-tahun pintu ruangan di
mana mereka berada menutup terhempas terkena
sambaran angin yang bersyiur dari kibasan len-
gannya. Dan.... ketika jari-jemari lentik Mahesani

bergerak lincah, tahu-tahu baju bagian atas dara
itu sudah tersibak menyembulkan sepasang buah
dadanya yang putih ranum membuntat padat,
dengan kedua buah putiknya yang memerah jam-
bu kecoklatan.
AHH...? Tersentak Mahendra dengan sepa-
sang mata membeliak. Tubuhnya tergetar hebat.
Dan napasnya sekonyong-konyong jadi memburu.
Mahesani sandarkan punggungnya di dind-
ing, dan lengannya sudah menggamit leher pe-
muda itu, serta sebelah lagi membelai rambutnya.
Dan tahu-tahu kepalanya sudah ditekan ke arah
dada. Sekejap saja wajah Mahendra sudah me-
nempel di kedua buah benda lembut itu. Dengus
napasnya semakin memburu, berdesahan me-
mantul balik dari hidungnya. Dan mau tak mau
bibirnya yang sudah bersentuhan dengan putik
memerah yang lunak itu, segera menganga terbu-
ka. Dan.... tanpa harus disuruh lagi direngkuh-
nya benda lunak itu untuk dilumat. Bergelinjan-
gan tubuh sang dara itu dengan keluarkan desa-
han dari mulutnya.
Sementara di luar, pertarungan semakin men-
jadi dengan serunya. Dua orang anak buah Per-
guruan itu telah roboh terkena tebasan pedang si
tiga paderi muda. Ternyata permainan ilmu pe-
dang si tiga paderi muda itu cukup hebat. Mereka
bertarung dengan tempelkan rapat punggung
masing-masing, dan menghadapi terjangan-
terjangan gencar dari belasan anak buah Bayu
Wijaya. Namun tak urung mereka juga sudah ter-
luka terkena goresan pedang lawan, karena lawan

yang dihadapi lebih banyak. Dan juga bukannya
orang-orang keroco, karena didikan dari seorang
tokoh persilatan yang cukup terkenal dan berilmu
tinggi
Pertumpahan darah mungkin akan bertam-
bah lagi, seandainya tak datang berkelebat seso-
sok tubuh semampai, berambut panjang terurai.
Dan satu bentakan nyaring bersuara merdu ter-
dengar....
"Hentikan...!". Suara teriakan itu amat ber-
pengaruh, karena seperti menusuk ke ulu hati,
mendebarkan jantung. Serentak mereka sudah
sama-sama  melompat untuk hentikan pertarun-
gan. Segera terlihatlah siapa yang datang. Ternya-
ta seorang gadis muda yang amat rupawan. Ber-
baju sutera tipis berwarna hitam gemerlapan. Ikat
pinggangnya terbuat dari kulit  ular, di mana di
kedua sisi pinggangnya tergantung dua buah
benda mirip "payudara", dengan dua utas rantai
yang membelit pinggang. Itulah senjata si Rantai
Genit. Dan siapa lagi si pemilik senjata aneh yang
mempunyai bentuk lucu itu, kalau bukan RORO
CENTIL.
Gadis ini tatap mata semua yang berada di si-
tu dengan pandangan tajam.
"Hm, boleh aku tahu ada persoalan apakah
kalian bertarung?" Tanya Roro dengan bertolak
pinggang. Segera tiga paderi muda melompat ke
hadapan dara ini seraya salah seorang berkata;
"Nona Pendekar Roro Centil! Oh, beruntung
sekali anda datang...!" Dan ketiga paderi muda itu
segera menjura hormat

"Hm, kalian bukankah murid-murid si manu-
sia bulat Kipas Angin Puyuh?" Tanya Roro ketus.
"Ada apa kalian mengamuk di sini? Kalau ku-
adukan pada gurumu, tentu telinga kalian akan
dijewer sampai putus!" Bentak Roro.
Roro Centil memang sudah mengenali dari ju-
bah warna kuning dengan strip hitam di bagian
sisinya, bahwa ketiga paderi muda itu adalah mu-
rid-murid  dari Kuil Naga. Ketua Kuil Naga yang
bergelar si Dewa Angin Puyuh memang sudah di-
kenalnya ketika masih berada di Pulau Andalas.
Ternyata pada beberapa bulan belakangan ini Ro-
ro telah menjumpainya berada di sebuah Kuil
yang baru beberapa bulan dibangun di sebelah
selatan daerah wilayah utara Pulau Jawa ini.
Tentu saja pertemuan itu membuat si Dewa
Angin Puyuh girang setengah mati. Karena me-
mang sejak mereka pernah berjumpa dan bersa-
habat di Pulau Andalas, paderi bertubuh gemuk,
pendek dan boleh dikata bulat itu pernah sama-
sama turut menumpas musuh. Yaitu seorang wa-
nita cabul dari tokoh Rimba Hijau dari Golongan
Hitam, bergelar si Kupu-kupu Emas. (baca: Kisah
Dara Cantik Berdarah Dingin).
Dengan mengumbar tawa bergelak si Dewa
Angin Puyuh menyambut kedatangan Roro Centil,
yang menyebut si paderi bulat itu dengan sebutan
paman. Karena memanglah keinginan si Dewa
Angin Puyuh demikian, bahkan telah mengakui
Roro Centil sebagai keponakannya. Tinggal di sa-
na beberapa hari, Roro dijamu makan minum
oleh paderi Ketua Kuil Naga yang baru didirikan-

nya itu. Bahkan telah memesan pada tukang jahit
pakaian yang khusus didatangkan, dan mengu-
kur tubuh Roro. Ternyata sang Pendekar Wanita
Pantai Selatan ini di beri seperangkat pakaian su-
tera warna hitam, yang gemerlap bagai ditaburi
permata.
Tentu saja selama itu Roro telah mengenal
dengan murid-murid si Dewa Angin Puyuh. Na-
mun baru beberapa hari saja dia meninggalkan
Kuil Naga, ternyata melihat satu pertarungan di
sebuah padepokan. Dan amat terkejut ketika
mengetahui tiga orang paderi muda murid-murid
dari Kuil Naga, tengah bertarung dengan belasan
orang anak-anak buah sebuah Perguruan.
Roro menatap wajah ketiga paderi muda itu
dengan satu pertanyaan, yaitu persoalan apakah,
hingga ketiga paderi melabrak ke Perguruan
orang.
"Kami mengejar si pembunuh orang-orang
kami di Kuil Naga!" Ujar salah seorang, dan sege-
ra beberkan peristiwanya dengan singkat. Dan ce-
ritakan bahwa ketika kejadian itu, guru mereka
sedang tak berada di tempat.
"Wanita itu ternyata anak gadis si Ketua Per-
guruan Trisula Dewa ini! Dia... dia bukan manu-
sia! Seandainya manusia tentu berilmu iblis, ka-
rena kelima saudara kami telah dilempar mayat-
nya dalam keadaan membugil. Dan masing-
masing lehernya terluka bekas gigitan. Darahnya
telah tersirap habis!" Berkata si paderi paling tua
dengan suara agak keras. Terperanjat semua
orang dari anak buah Perguruan  Trisula Dewa

yang turut mendengar penuturan paderi muda
itu. Sedangkan Roro Centil sendiri pun terkejut
mendengarnya.
"Tidak mungkin...! Dusta! Kau paderi sialan
telah mengaco seenak perutmu menuduh orang!
Nona Mahesani puteri Ketua kami bukan sebang-
sa manusia siluman yang doyan menghisap darah
orang! Dan tak mungkin dia melakukan perbua-
tan keji itu yang tak wajar dilakukan manusia!"
Membentak salah seorang anak buah Bayu Wi-
jaya.
"Mau apa aku mendustai kenyataan itu? Huh!
Kukira tak ada untungnya!" Membentak lagi si
paderi muda yang paling tua itu, dengan mata
melotot tajam. Akan tetapi pada saat itu, Roro
Centil  sudah palingkan wajahnya menatap pada
semua anak buah Padepokan itu. Sementara be-
berapa orang anak buah Padepokan tampak ten-
gah kasak-kusuk membicarakan tingkah yang
aneh dengan keadaan Mahesani, puteri sang Ke-
tua mereka.
"Hm, baiklah! Kini aku mau bertemu dengan
nona kalian itu, bisakah kalian panggil keluar?"
Tanya Roro.
"Kami tak berani..! Beliau sedang bersama...
raden Mahendra!" Berkata salah seorang. Karena
dia memang melihat Mahendra masuk ruangan,
menyusul Mahesani.
"Siapakah Mahendra itu?" Tanya Roro dengan
kesal.
"Dia... dia TUNANGANNYA!" Menyahut si mu-
rid tertua Perguruan itu dengan tegas, akan tetapi

dia juga merasa aneh dengan sikap Mahesani.
Kenapa justru meninggalkan mereka bertempur
tanpa memunculkan diri, Roro yang tak sabar,
segera berucap.
"Heh! kalau begitu biar aku yang memeriksa!
Kalian boleh ikut aku!" Berkata Roro seraya me-
nunjuk pada tiga orang di hadapannya. Tiga
orang itu mengangguk, seraya berlari mengikuti
Roro, yang sudah berkelebat melompat ke ruan-
gan pendopo.
BRRAAKKK...! Sebuah pintu yang tertutup di
terjangnya hingga menjeblak terbuka Dan...
terkejutlah ketiga orang anak buah Bayu Wijaya
maupun Roro. Karena segera terlihat satu pe-
mandangan menjijikkan. Dua sosok tubuh berte-
lanjang bulat saling bergelutan... Ternyata Mahe-
sani dan Mahendra yang tengah bergelinjangan di
lantai. Akan tetapi segera terlihat wajah Mahen-
dra menyeringai kesakitan. Sementara wajah Ma-
hesani terbenam ke leher pemuda itu. Nyaris Roro
Centil tinggalkan  ruangan itu, kalau tak melihat
darah mengalir dari leher si pemuda itu. Dan ke-
tika si wanita mengangkat kepalanya, tampak
mulutnya menyeringai penuh darah.
Tersentak Roro Centil, hingga tak terasa ka-
kinya sudah menindak dua langkah ke belakang.
Tiba-tiba Mahesani gerakkan lengannya memukul
ke depan. Bersyiur angin keras menerjang ke arah
Roro dan ketiga anak buah Bayu Wijaya yang be-
rada di muka pintu ruangan. Roro Centil gerak-
kan cepat lengannya mendorong tubuh ketiga
orang murid Perguruan Trisula Dewa itu hingga

terpental jatuh, sedangkan tubuhnya sudah ber-
gerak melompat menghindari terjangan angin ke-
ras.
WHUUK...!
BRRAAAKK...!
Angin deras bertenaga dalam itu lewat di ba-
wah kaki Roro dan langsung menghantam tiang
pendopo di luar ruangan hingga patah berderak.
"Manusia iblis penghisap darah! Kiranya be-
narlah kau adanya...!" Membentak Roro Centil,
seraya melompat ke atas  berpegang pada tiang
penglari. Namun pada saat itu si gadis titisan wa-
nita setengah siluman itu telah bangkit berdiri.
Lengannya bergerak menyambar pakaiannya, dan
berkelebat keluar dengan perdengarkan tertawa
mengikik menyeramkan. Sementara itu Mahendra
tengah berkelojotan meregang nyawa. Dari leher-
nya yang terluka menganga, mengucur darah
yang menggelogok. Setelah beberapa saat meng-
geser-geser tubuh laki-laki itupun mengejang, dan
diam tak bergeming. Karena nyawanya telah me-
layang saat itu juga.
Roro Centil cuma menatap sekilas, tubuhnya
sudah melesat turun dari tiang penglari, dan me-
lompat mengejar keluar. Namun Mahesani sudah
lenyap dengan perdengarkan suara tertawa
mengkiknya di kejauhan.
Ketiga paderi muda itu tercengang sesaat ke-
tika sesosok tubuh telanjang bulat melompat ke-
luar dari dalam ruangan Padepokan. Jelas sudah
itulah Mahesani. Dan tentu saja belasan or ang
murid-murid Padepokan yang melihat kenyataan

itu jadi terperangah dengan mata terbelalak lebar.
Karena kini telah jelas bahwa Mahesani puteri Ke-
tuanya itu memang amat memalukan, dan meng-
herankan sekali. Tubuh telanjang bulat itu begitu
tiba di luar langsung melesat cepat meninggalkan
pelataran Padepokan. Lalu lenyap dengan perden-
garkan suara tertawa mengikik yang jelas bukan
suara Mahesani.
Ketiga paderi muda itu cuma bisa terpaku
dengan palingkan wajahnya menatap semua mu-
rid-murid Perguruan Trisula Dewa. Salah seorang
mendengus dengan wajah mendongkol. Lalu beri-
kan isyarat pada kedua kawannya. Dan ketiga
paderi muda itupun berkelebatan meninggalkan
tempat itu tanpa menoleh lagi... Sementara Roro
Centil cuma menatap saja dari ruang Pendopo.
Sedangkan ketiga orang yang  terpental didorong
Roro segera cepat-cepat menjura mengucapkan
terima kasih. Roro Centil cuma mengangguk, lalu
tatapkan mata pada para murid Perguruan Trisu-
la Dewa dengan senyum sinis.
"Nah! Kini kalian lihat buktinya, bahwa nona
besar kalian itu ternyata seorang manusia iblis
penghisap darah! Dia telah menjadi manusia PA-
LASIK!" Ucap Roro dengan suara keras. “Kawan-
mu yang di dalam itu telah mati, dengan keadaan
sama seperti kematian lima orang paderi kawan
ketiga paderi tadi! Kalian lihatlah sendiri...!" Lan-
jut Roro seraya beranjak meninggalkan Padepo-
kan itu dengan langkah lebar. Keruan saja semua
para murid Perguruan Trisula Dewa segera berla-
rian memasuki ruangan Padepokan. Dan terpe-

rangah mereka dengan berteriak tertahan, karena
segera menjumpai keadaan Mahendra yang telah
membugil menjadi mayat, dengan leher terkoyak
bekas gigitan.
Roro Centil sudah tak perdulikan  lagi kea-
daan para murid Padepokan itu, dan segera kele-
batkan tubuhnya tinggalkan tempat itu.

***

RORO CENTIL memang telah mendengar
adanya manusia palasik penghisap darah, yang
sejak beberapa pekan ini bergentayangan mencari
mangsa. Kemunculannya adalah memang untuk
menguntit si manusia Palasik yang menggempar-
kan itu. Akan tetapi Roro telah kehilangan jejak
lagi setelah diketahuinya siapa adanya si manusia
palasik itu. Berkelebatan tubuh Roro menuju ke
arah barat. Roro hanya menduga-duga saja men-
cari kemana arah wanita penghisap darah itu
perginya.
Sementara di balik semak belukar itu adalah
terdapat dua orang berlainan jenis yang tengah
berkasih-kasihan.
"Kakang Bayu...! Benarkah kau... kau men-
cintaiku?" Terdengar suara seorang wanita den-
gan suara pelahan hampir tak terdengar disela
rintihannya.
"Mengapa kau ragu, diajeng...? Apakah kau
malu kalau kita menikah?"
"Ya...! Kita sudah tua! Dan aku sudah hampir
keriput begini, apakah tak akan malu dengan

orang-orang muda? Terutama anakku Mahendra!
Dan kita belum juga berhasil menjumpai Mahe-
sani! Apakah tak sebaiknya kita pulang?" Desis
suara wanita itu lagi, seraya lengannya memeluk
kencang laki-laki tua bertubuh kekar yang meng-
himpit tubuhnya.
"Kau masih cantik, diajeng! Dan... ah, sudah-
lah..." Terdengar laki-laki itu menyahuti lirih se-
raya menggerakkan tubuhnya, membuat dahan
dan ranting  kecil di sebelahnya berguncangan.
Sementara suara desah napas terdengar santar
bercampur rintihan kecil yang terdengar pelahan
sekali. Namun tak lama segera melenyap, seperti
semak belukar itu tiada yang menghuni. Selang
beberapa saat, tampak sebuah lengan terjulur
menggapai seonggok pakaian yang tergeletak di
rerumputan. Dan suara-suara tertawa kecil pun
terdengar dibarengi timpalannya suara laki-laki
yang terdengar agak parau.
Roro Centil sembulkan kepalanya di satu se-
mak yang agak lowong. Sepasang matanya jadi
membelalak. Setan Alas! Memaki gadis Pendekar
ini dalam hati. Dan dia sudah palingkan wajah-
nya yang memerah. Tiba-tiba terdengar suara ter-
tawa mengikik di kejauhan. Roro cepat-cepat me-
nyelinap. Tak berapa lama segera muncul sesosok
tubuh berpakaian warna ungu, dengan rambut
terurai beriapan. Hampir melejit mata Roro, kare-
na melihat sosok tubuh itu pasti tak salah lagi si
wanita Palasik penghisap darah. Baru saja dia
berniat melompat keluar. Ternyata sudah didahu-
lui dua orang di balik semak itu yang berkelebat

berlompatan.
Sekejap kemudian telah menghadang di de-
pan wanita palasik itu. Seolah tak percaya laki-
laki tua itu yang tak lain dari Bayu Wijaya, mena-
tap pada si wanita muda di hadapannya. Dan sa-
tu suara tergetar segera terlompat dari bibirnya.
"A...anakku... Ma.. .Mahesani! Kaukah
adanya? Oh, betapa aku amat mengkhawatirkan
nasibmu...!" Bayu Wijaya menatap wanita muda
di  hadapannya dengan mata tak berkedip. Akan
tetapi gadis muda itu bahkan mengikik tertawa
dengan suara aneh yang amat asing didengarnya.
"Hihihi... siapakah kau? Eh, ya... kau ayahku!
Aku memang Mahesani, anakmu! Kalian sedang
apa di sini ayah? Dan siapa wanita jelek ini?"
Tentu saja kata-kata demikian tak pernah di-
ucapkan oleh Mahesani sebenarnya. Dan mem-
buat Bayu Wijaya jadi ternganga heran. Sementa-
ra si wanita tua yang tak lain dari si Pendekar
Lembah Bunga itu jadi terkejut dengan wajah te-
rasa panas.
Apakah yang telah terjadi dengan anakku?
Mengapa sikapnya jadi berubah demikian...? Sen-
tak hati Bayu Wijaya. Dan dia sudah saling tatap
dengan Rukmita si Pendekar Lembah Bunga itu.
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara derap lang-
kah kaki kuda mendekat. Tak lama segera terlihat
empat orang berpakaian pengawal-pengawal Kera-
jaan. Ternyata salah seorang adalah Tumenggung
Meranggi, yang telah berpakaian perwira kerajaan
Mataram. Kiranya sang Tumenggung itu tak mau
menganggur begitu saja begitu lepas dari jabatan

dengan punahnya Kerajaan Matsyapati, yang di-
ambil alih kekuasaannya oleh Kerajaan Pusat.
Yaitu Mataram. Segera dia memasuki keperwiraan
di Kerajaan Mataram, yang kemudian bertugas
justru masih berada di sekitar bekas kekuasaan
Kerajaan Matsyapati.
Begitu hentikan kuda-kudanya, keempat
orang perwira itu berlompatan turun dari ku-
danya.
"Manusia iblis! Kau tak akan dapat melarikan
diri lagi!" Membentak Ki Meranggi seraya menca-
but keluar Keris Pusakanya. Terkejut Bayu Wijaya
juga si Pendekar Lembah Bunga, karena tahu-
tahu keempat Perwira Kerajaan Mataram itu telah
mengurung.
"Tunggu...!" Teriak Bayu Wijaya, yang tiba-
tiba telah bergerak melompat seraya mengangkat
kedua belah tangannya. Tubuhnya memutar den-
gan sepasang mata menatap pada keempat perwi-
ra Kerajaan itu.
"Apakah gerangan yang telah terjadi, hingga
kalian menuduh anakku sebagai iblis keji?". Te-
riak Bayu Wijaya dengan ketus. Ki Meranggi plo-
totkan matanya. Segera dia sudah mengenali laki-
laki itu.
"Huh! Kiranya perempuan ini anak gadismu,
sobat Bayu Wijaya?  Kami petugas penjaga ling-
kungan di wilayah Kerajaan Mataram ini merasa
berhak menangkap atau membunuhnya, karena
dia telah melakukan pengacauan di beberapa
tempat! Bahkan dia telah membunuh bekas Raja
Kerajaan Matsyapati Prabu Gurawangsa di Goa

Kiskenda!" Terperanjat Bayu Wijaya bukan kepa-
lang, dan dengan mata terbelalak menatap pada
anak gadisnya.
"Aku adalah bekas Tumenggung Kerajaan
Matsyapati! Masih ingatkah kau padaku Bayu Wi-
jaya? Aku Ki Meranggi, yang kini sudah menjadi
orang Kerajaan Mataram!"
"Ya!  Aku dapat mengenalimu Tumenggung!
Akan tetapi benarkah tuduhanmu itu? Anakku ini
baru saja kutemukan setelah menghilang selama
empat bulan! Dia diculik seorang pemuda yang
mengaku bernama Raka Rumpit, selagi aku se-
dang tidak ada!"
"Hihihi... Dia memang anakmu, Bayu Wijaya,
akan tetapi telah kemasukan roh jahat! Dia telah
menjadi iblis wanita penghisap darah! Dia telah
menjadi manusia palasik!" Tiba-tiba Roro Centil
berkelebat keluar dengan mengumbar kata-kata.
Terkejut semua orang yang segera berpaling ke
arah gadis Pendekar itu. Dan Ki Meranggi tiba-
tiba berteriak girang.
"Nona Pendekar Roro Centil!.... Ah, kebetulan
sekali anda datang...!" Bekas Tumenggung Kera-
jaan Matsyapati ini memang telah mengenal Roro
ketika dia diperkenalkan oleh Senapati Satryo di
Ksatrian. Roro Centil waktu itu memang banyak
membantu pihak Kerajaan Matsyapati, di saat ter-
jadinya pengkhianatan Patih Buntaran.
Menampak dirinya telah dikepung sedemikian
rupa, Mahesani jadi tertawa mengikik.
"Hihihi... hihi.... aku memang bukannya Ma-
hesani! Raga kasar gadis ini kutemukan sudah

mampus, setelah habis diperkosa seorang pemu-
da! Mungkin dialah si pemuda bernama Raka
Rumpit itu! Dan aku... hihihi... aku adalah TRI
AGNI! Masih ingatkah kau Tumenggung, ketika
kau membunuhku dengan keris pusakamu itu?"
Terperangah seketika Ki Meranggi. Sepasang ma-
tanya jadi menatap pada Mahesani dengan terbe-
lalak. Sementara tampak satu kejadian aneh, ka-
rena samar-samar wajah Mahesani memudar dan
berganti rupa dengan wajah Tri Agni, si wanita se-
tengah Siluman itu.
"Hihihi... kau masih hapal dengan wajahku?
Kini aku inginkan nyawamu, Meranggi!" Wajah
dan kepala Tri Agni pun kembali berubah menjadi
kepala Mahesani lagi. Sementara si Pendekar
Lembah Bunga dan Bayu Wijaya jadi terperanjat
melihat kejadian itu. Barulah mereka percaya ka-
lau wanita itu bukan lagi Mahesani.
Pada saat itu Roro telah menimbrung bicara.
"Hm, sobat Bayu Wijaya! Wanita palasik ini telah
masuk ke dalam Rumah Perguruanmu! Dan dia
juga telah meminta korban membunuh kekasih-
nya sendiri, dengan menghisap darahnya! Menu-
rut yang kudengar kekasihnya itu bernama MA-
HENDRA!"
"Hah...! dia... dia membunuh a... anakku!??.
Bedebah! Iblis keparat! Kau harus ganti nyawa
anakku!" Teriak Rukmita si Pendekar Lembah
Bunga, dan seraya menggerung keras segera me-
nerjang  si wanita setan itu. Sepasang lengannya
bergerak menghantam.
BUK! BUK!

Tubuh Mahesani terlempar terhuyung-
huyung, dan saat itu keempat perwira Kerajaan
Mataram segera gerakkan senjatanya menerjang.
Keris Ki Meranggi telah keluarkan sinar berwarna
biru bergerak menabas. Dan ketiga tombak si tiga
Perwira Kerajaan meluruk dengan berbareng.
CRAS...!
BLES! BLES! BLES!
Sekejap saja keadaan telah berubah jadi men-
gerikan, karena tubuh Mahesani telah terpang-
gang oleh tiga tombak perwira menembus pung-
gung dan dada. Sedangkan Keris Pusaka Ki Me-
ranggi telah menabas kepala Mahesani hingga
terpisah dari tubuhnya...
"Ahhh...!?" Berteriak Bayu Wijaya dengan ma-
ta membeliak. Walau bagaimana pun dalam pan-
dangannya tubuh anak gadisnyalah yang telah
terbunuh dengan cara mengerikan seperti itu.
"Mahesaniiii...!" Dan dia sudah memburu tu-
buh tanpa kepala itu dengan wajah pucat. Akan
tetapi diluar dugaan kepala Mahesani yang jatuh
menggelinding itu telah melayang ke arah Bayu
Wijaya dengan cepat.
Dan.....
Terkesiap semua orang, karena sekejap tam-
pak Bayu Wijaya telah berkelojotan meregang
nyawa. Karena kepala Mahesani telah berubah
menjadi kepala Tri Agni yang berwajah menye-
ramkan dengan rambutnya yang berwarna putih
beriapan. Kiranya kepala makhluk itu telah me-
nyusup ke leher Bayu Wijaya dan ngangakan mu-
lutnya, serta menggigit leher laki-laki tua itu.

BRELL ...! Kepala Tri Agni menyentak. Dan...
darah segera menyembur dari leher laki-laki ma-
lang itu. Sesaat setelah bergelinjangan, tubuh
Bayu Wijaya pun terkulai lepaskan nyawa...
"Iblis...! Kuhancurkan kepalamu...!" Memben-
tak Rukmita. Lengannya bergerak melemparkan
bunga-bunga keringnya ke arah kepala Tri Agni.
Akan tetapi makhluk itu gerakkan kepalanya
memutar. Rambut putihnya tiba-tiba bergerak
menghantam bunga-bunga kering hingga terhem-
pas jatuh. Tahu-tahu kepala makhluk itu menyu-
sup ke bawah, bergerak memutar ke belakang si
Pendekar Lembah Bunga. Terpekik wanita tua itu,
karena segera lehernya kena dicengkeram mak-
hluk kepala itu. Berguling-gulingan tubuh Rukmi-
ta, lengannya berusaha bergerak untuk mele-
paskan diri dari gigitan wanita setan itu. Namun
kepala Tri Agni telah berhasil merobek leher
Rukmita dengan gigitannya. Darah pun menyem-
burat memancur. Dan tubuh si Pendekar Lembah
Bunga itu berkelojotan meregang nyawa, namun
sesaat kemudian terkapar tak berkutik lagi.
Terperangah Ki Meranggi dan ketiga Perwira.
Mereka sudah melompat mundur dengan senjata
siap dipergunakan.
"Hihihi... Meranggi! Pergunakan lagi keris Pu-
sakamu itu! Hehehihi... hihi..." Selesai berkata,
tiba-tiba kepala Tri Agni bergerak ke arah tubuh
Mahesani dan melekat lagi pada tubuh tanpa ke-
pala itu. Sekejap kemudian kepala dan tubuh itu
telah menyatu kembali. Dan... saat berikutnya
Mahesani telah bangkit berdiri. Sementara pela-

han-lahan kepala wanita setengah siluman  itu
kembali berganti wujud menjadi kepala Mahesani
lagi.
Ki Meranggi memberi isyarat untuk mener-
jang pada ketiga kawannya. Namun saat itu Roro
Centil  sudah mendahului mengirimkan tendan-
gan kakinya. Dhesss...! Tubuh Mahesani terlem-
par bergulingan beberapa  tombak. Keempat Per-
wira Kerajaan itu segera memburunya. Akan teta-
pi Mahesani telah kembali berdiri dengan lengan
terentang. Sepasang matanya menatap pada
keempat Perwira Kerajaan itu, lalu terhenti pada
Ki Meranggi. Sementara Roro Centil tercenung se-
saat Benaknya memikir. Heh! wanita siluman ini
akan sulit dimusnahkan, karena sama saja den-
gan melawan siluman.
"Siluman harus dilawan dengan siluman...!"
Desis Roro. Dan segera bibirnya berbisik me-
manggil sahabatnya si Harimau Tutul. Segera saja
segumpal asap hitam muncul di hadapan Roro.
Gumpalan asap itu melenyap, dan membentuk
sesosok tubuh Harimau Tutul sebesar kerbau.
Binatang ini mendengus dan keluarkan suara
menggerung mengaum. Tampakkan gigi-gigi dan
taringnya yang runcing-runcing. Lalu mengibas-
ngibaskan ekornya mengelilingi Roro Centil me-
nunggu perintah. Namun pada saat itu sudah
terdengar jeritan Ki Meranggi. Ketika Roro Centil
menatap. Ternyata laki-laki Perwira Kerajaan Ma-
taram itu dadanya telah terkena cengkeraman
lengan Mahesani, yang menembus sampai ke
punggung.

Darah menyemburat keluar ketika lengan
Mahesani disentakkan. Dan tubuh Ki Meranggi
berkelojotan meregang nyawa. Lalu sekejap ke-
mudian tewas. Ketiga Perwira ini menerjang den-
gan tombaknya. Percuma saja, karena sekali
menggerakkan tangan tiga batang tombak terlem-
par. Dan di saat ketiga tubuh Perwira itu ter-
huyung, Mahesani alias Tri Agni telah berkelebat
menerjang.....
Akan tetapi Roro Centil sudah mendahului ki-
rimkan hantaman lengannya. Kali ini pukulan
berhawa panas menerjang Tri Agni, si wanita se-
tan itu.
WHUSSSS...! Terpekik wanita setan itu. Seke-
tika tubuhnya terbakar hangus. Namun pada saat
itu dari dalam tubuh yang terbakar itu telah me-
lesat ke luar dua gumpal asap hitam. Dan, bukan
kepalang terkejutnya Roro Centil, karena dua
gumpal asal itu telah menjelma menjadi dua so-
sok tubuh. Sosok tubuh yang satu adalah seorang
bocah kecil berkulit hitam. Sedangkan sosok tu-
buh yang satunya adalah seorang wanita yang be-
rambut hitam beriapan. Ternyata mereka itulah si
Bocah Siluman, cucu si wanita setan itu. Dan si
wanita satunya adalah ibu bocah berkulit hitam
itu, yaitu DURGANDINI.

***

Raka Rumpit baru saja selesai mandi. Dan
dengan bernyanyi-nyanyi kecil dia memasuki goa,
lalu beranjak ke ruangan kamarnya. Baru saja

dia mau bergerak masuk ke pintu, sudah terden-
gar suara tertawa kecil sang guru.
"Hihihi... hihi..  silahkan masuk, muridku
yang gagah!" Satu suara lembut terdengar. Itu
memang suara gurunya. Akan tetapi amatlah
aneh, dan asing pada pendengaran pemuda ini,
karena tak biasanya sang guru berkata selembut
itu. Mengapa tidak pakai bocah edan! atau bocah
gendeng? Bisik hati Raka Rumpit. Dan segera saja
terpampang di matanya sesosok tubuh mulus
berselimutkan kain sutera tipis. Berwajah cukup
cantik, walaupun tidak seperti gadis muda. Ram-
butnya tergerai hitam di antara sebelah dadanya.
Tubuh wanita itu dalam keadaan setengah terbar-
ing di pembaringannya.
Ternganga Raka Rumpit menatap wanita itu.
Wajahnya jelas bukan wajah gurunya, akan tetapi
suaranya memang mirip suara sang guru, alias si
nenek bongkok yang galak itu.
"Guruku kah kau ini...?" bertanya Raka Rum-
pit.
"Ataukah kau... tetamu guruku si nenek
bongkok muka tengkorak?" Tambahnya lagi den-
gan tertegun menatap wanita itu, serta matanya
merayapi ke sekujur tubuh yang setengah terbar-
ing itu.
"Hihihi... aku memangnya si nenek bongkok
gurumu itu, tapi juga tetamu yang akan me-
nyambut mu!" Berkata wanita itu dengan terse-
nyum perlihatkan giginya yang putih berderet, se-
raya bangkit berdiri.
"Kau lihatlah! Apakah tubuhku kini masih

bongkok? Dan kulitku keriput, juga wajahku mi-
rip tengkorak?" Berkata lirih si wanita itu.
"Aku selama ini memakai alat-alat ini!" Ujar si
wanita itu, seraya meraih sebuah bungkusan
yang segera dibukanya. Segera terlihat kelotokan
kulit muka semacam topeng, serta kulit-kulit tipis
lainnya yang membungkus seluruh tubuh wanita
itu. Ternyata diam-diam di saat Raka Rumpit per-
gi mandi, si nenek bongkok telah "mengupas" ku-
lit muka dan seluruh kulit pembungkus tubuh-
nya. Hingga bagaikan ular yang baru berganti ku-
lit, si nenek tua renta itu kembali menjadi muda.
Ada pun rambut putihnya adalah tetap memutih.
Namun dia telah gunakan cairan hitam dari obat
ramuan yang telah lama disediakan untuk me-
nyemir kembali rambutnya. Hingga dalam bebe-
rapa saat saja si nenek telah berubah kembali
menjadi muda. Dan segera sambar pakaian tipis-
nya untuk segera masuk ke kamar sang murid.
Raka Rumpit barulah percaya kalau wanita
itu gurunya sendiri. Melihat keadaan sang guru
itu tentu saja Raka Rumpit agak jengah, namun
sebagai manusia tetap saja tak luput dari hawa
nafsu. Hingga ketika sang guru menggamitnya
untuk dibawa merebahkan diri ke pembaringan,
dia memang tak dapat menolak. "Aku telah beri-
jab-kabul, muridku... bahwa kalau kau telah ber-
hasil menamatkan pelajaranmu, kau harus men-
jadi suamiku! Ya, aku amat mencintaimu, bocah
gagah. Kau pinjamkanlah Cincin batu Combong-
mu...! Aku ingin memakainya! Sudah lebih dari
sepuluh tahun aku tak pernah mengenakan cin-

cin warisan guruku ini!" Seraya berkata lengan
sang guru bergerak menjelari dadanya yang bi-
dang dan mempermainkan bulu-bulu dadanya.
Raka Rumpit cuma tersenyum mengangguk
dan segera copotkan cincinnya untuk berikan
benda itu. Sang guru julurkan jari-jari lengannya
dan segera saja sang murid memasukkannya ke
jari lengan sang guru.
Sinar biru yang membersit dari cincin aneh
itu ternyata telah menimbulkan hawa rangsangan
hebat padanya. Kalau dulu adalah wanita yang
tergila-gila pada Raka Rumpit, namun kini dia
sendirilah yang di mabuk asmara.
Tiba-tiba dari dalam ruangan kamar di dalam
goa itu, terdengar suara teriakan tertahan, seperti
suara yang tersangkut di tenggorokan.
"Aaaaakh...! Aaaarkkh...! Hek! Ahh...! uuh.!"
BLAG..!
BUKK!BRRAKKK...!
"Huaaaaakh...! Terdengar suara-suara berge-
dubrakan setelah terdengar sebelumnya suara ke-
luhan dan pekik kesakitan  tersendat di kerong-
kongan. Terakhir adalah suara  teriakan Raka
Rumpit. Apakah yang terjadi di ruangan kamar
dalam goa itu? Kiranya satu pergumulan tengah
terjadi. Sekonyong-konyong Raka Rumpit telah
mencekik leher gurunya sendiri. Meronta-ronta
sang guru dengan berteriak julurkan lidah. Len-
gan sang murid itu dengan ganas telah menceng-
keram lehernya.

***

DUA BELAS

TERENGAH-ENGAH sang guru memperta-
hankan nyawanya dari cekikan maut lengan si
murid. Akhirnya satu hantaman lengan sang guru
telah berhasil membuat terlempar anak muda itu.
Tubuhnya membentur dinding goa, yang segera
ambrol dengan suara bergedubrakan.
"Ka... kau... kau... bocah edan!" Teriak si wa-
nita jelmaan si nenek bongkok. Tubuhnya bangkit
dari pembaringan dengan terhuyung. Sebelah
lengannya mencekal lehernya yang mengucurkan
darah.
"Kubunuh kau... bocah gendeng! Kau... kau
mau membunuh dirimu sendiri?" Akan tetapi ti-
ba-tiba Raka Rumpit telah tertawa bergelak, se-
raya bangkit berdiri.
"Hahaha... haha... kau memang harus kule-
nyapkan, guru! Aku tak memerlukan kau lagi!"
Tiba-tiba wajah Raka Rumpit telah berubah jadi
bengis. Dan ... sekonyong-konyong tubuhnya be-
rubah jadi segumpal asap hitam. Dan segera saja
menjelma menjadi makhluk hitam berbulu. Ber-
mata besar, lidah terjulur dan mulut menyeringai
menampakkan giginya yang runcing-runcing.
"Edan...!" Memaki sang guru, dan dengan
bentakan menggeledek dia telah melompat mener-
jang makhluk itu. Sedangkan makhluk berbulu
itu pun sudah menerjang dengan suara mengge-
ram menyeramkan. Sekejap saja terjadilah per-
gumulan seru. Tubuh sang guru yang dalam kea-

daan membugil itu seketika hampir lenyap dalam
pelukan ketat si makhluk berbulu. Hantaman-
hantaman lengannya seperti tak dirasakan mak-
hluk itu. Hingga saat berikutnya pergumulan di-
lakukan dengan bergulingan. Sementara darah
terus mengalir dari leher si wanita jelmaan si ne-
nek bongkok itu yang terluka bekas cekikan. Se-
lang sesaat terdengar lagi suara jeritan menyayat
hati. Taring-taring si makhluk berbulu itu telah
membenam lagi di lehernya. Bergelinjangan tubuh
polos itu menghentak-hentak. Sepasang kakinya
terpentang menjejak ke sana ke mari. Namun te-
riakannya semakin melirih. Dan gelinjangannya
semakin melemah. Akhirnya terkulai... tak berte-
naga lagi. Ketika makhluk berbulu itu mele-
paskan cengkeraman taring-taringnya, darah se-
perti membasuh wajahnya. Dengan kakinya si
makhluk itu balikkan tubuh si wanita gurunya,
yang ternyata telah tewas.
Makhluk berbulu itu tampakkan suara meng-
geram senang, lalu berubah menjadi suara gelak
terbahak. Dan beberapa kejap antaranya mak-
hluk berbulu itu pun kembali berubah menjadi
Raka Rumpit.
"Hahaha... hahaha... haha... Kini aku bebas!
Tak ada yang harus kuturuti perintahnya! Dan
aku bebas bergerak ke mana aku suka! Hahaha...
terima kasih, guru atas warisan ilmu hitammu!
Semoga kau tenang di alam baka!"
Selesai berkata, Raka Rumpit menghampiri
tubuh gurunya, dan segera membungkuk untuk
mencopot kembali cincin batu Combong itu dari

jari tangan sang guru. Tak lama dia sudah kena-
kan lagi di jari tangannya. Setelah kenakan pa-
kaiannya beberapa saat antaranya Raka Rumpit
sudah beranjak keluar dari dalam kamar ruangan
goa yang  sudah berantakan itu. Sejenak Raka
Rumpit memandang ke ruangan goa itu. Tiba-tiba
sepasang lengannya bergerak menghantam langit-
langit ruangan batu goa itu.
BRRUAAAS...!
BLAARRRR...! Sekejap saja ruangan atas goa
itu  sudah ambruk meruntuhkan batu-batu ba-
gaikan hujan, berdebukan jatuh menguruk ruan-
gan kamar itu berikut tubuh gurunya. Sedangkan
pemuda edan itu ternyata telah melesat keluar
goa sebelum goa menjadi ambruk tertutup batu-
batuan. Keadaan lereng tebing itu kini sudah be-
rubah berantakan, karena hampir sebagian melu-
ruk ke bawah, menimbun goa di bawahnya.
Sedangkan Raka Rumpit saat itu sudah ber-
kelebatan mendaki tebing, dan sekejap kemudian
melesat lenyap meninggalkan suara tertawa ber-
kakakan...

***

"Bocah siluman...?!" Desis Roro dengan wajah
tegang. Tentu saja Roro terkejut, karena beberapa
bulan berselang dia baru saja menghadapi mak-
hluk kecil yang buas ini. Pada waktu itu telah
muncul sebuah bayangan mirip sekali dengan
guru Roro Centil yaitu si Manusia Banci, yang di-
dahului dengan mengikiknya suara tertawa tokoh

Rimba Hijau itu. Bayangan itu mirip arwah saja
dan menghantam buyar ke empat makhluk kecil
berkulit hitam itu yang berubah jadi gumpalan
asap. Lalu melenyap sirna. (pada waktu itu tubuh
si bocah siluman telah memecah menjadi empat,
setelah tertabas tubuhnya menjadi empat potong
oleh pedang Senapati Satryo).
Kini Roro Centil terkejut sekali dengan bisa
muncul dan menjelma lagi si bocah siluman itu.
Bahkan bersama seorang wanita yang berkulit
putih bagaikan kapas. Kedua makhluk itu meng-
hampiri Roro. Sementara ketiga Perwira cuma bi-
sa menatap dengan terperangah dan mata mem-
beliak. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara
ringkik kuda, dan derap mendatangi. Dan mun-
cullah Satryo. Laki-laki ini hentikan kudanya
dengan cepat, lalu melompat turun.
"Nona Pendekar Roro Centil! Anda berada di
sini..?". Teriak laki-laki itu. Roro tersenyum se-
raya mengangguk cepat, dan berkata;
"Bagus! Kau bantulah aku menumpas kedua
makhluk ini!"
"Dia bukan lagi manusia, Satryo...!" Tiba-tiba
terdengar suara lirih disusul dengan berkelebat-
nya sebuah bayangan putih. Dan di tempat itu te-
lah berdiri seorang tua berjenggot dan berkumis
panjang terjuntai. Ternyata tak lain dari Resi
Jenggala Manik.
"Resi Guru...!" Teriak Satryo dengan wajah gi-
rang. Satryo sudah mau beranjak melompat ke
arahnya. Akan tetapi sang Resi mengangkat sebe-
lah lengannya.

"Sudahlah, Satryo! Tak usah banyak perada-
tan! Kita hadapi kedua makhluk siluman ini!" Se-
lesai berkata, laki-laki tua berjubah putih ini pe-
jamkan sepasang matanya. Bibirnya berkemak-
kemik seperti membaca do'a pada Yang Maha Ku-
asa. Sekejap kemudian tampak tubuh sang Resi
bergoncangan. Kedua lengannya, yang menyilang
di depan dada itu tiba-tiba bergerak terbuka. Se-
pasang matanya menatap pada kedua makhluk
itu. Kedua makhluk itu tampak mundur beberapa
langkah, seperti tak kuat menahan tatapan mata
sang Resi. Sementara itu Roro Centil  sudah tak
sabar, dan perintahkan si Tutul yang barusan
melenyap untuk menerjang kedua makhluk silu-
man itu. Segera segumpal asap hitam meluncur
ke arah si bocah siluman dengan suara mengge-
ram dahsyat. Dan selanjutnya yang terlihat ada-
lah tubuh anak hitam itu jatuh bergulingan, tapi
tubuhnya seperti tak menyentuh tanah. Tak lama
segera ujud sang Harimau Tutul pun terlihat. Dan
tengah menerkam ganas dengan kuku dan ta-
ringnya.
Sementara tengah terjadi pergumulan seru itu
antara sama-sama makhluk siluman, Durgandini
yang telah menjadi makhluk halus itu tiba-tiba
menerjang Satryo... Terkejut laki-laki ini yang se-
gera menghindar melompat ke samping. Resi
Jenggala Manik telah berkelebat dari tempatnya.
Bibirnya telah membacakan MANTERA SUCI. Ke-
dua lengan sang Resi menghantam ke arah mak-
hluk wanita bekas permaisuri


Raja Matsyapati itu, seraya berucap.
"Maaf, Durgandini! Kembalilah kau ke "Alam"
mu! Tak layak lagi kau muncul di alam fana!".
Terdengarlah suara meletup dahsyat.
BHUSSSSS...!
Dan tubuh Durgandini lenyap jadi gumpalan
asap, yang kemudian sirna. Sementara itu perta-
rungan sang Harimau Tutul dengan si bocah si-
luman masih berlangsung seru. Namun tak bera-
pa lama kepala si anak hitam itu sudah lenyap
menjadi asap ketika sang Harimau Tutul berhasil
membuka mulutnya, dan merencah kepala mak-
hluk kecil itu. Selang sesaat seluruh tubuh si bo-
cah siluman itupun sudah melenyap menjadi
asap, lalu sirna tanpa bekas.
Sang Harimau Tutul perdengarkan suara au-
mannya, lalu melompat kembali ke arah Roro
Centil. Kemudian melenyapkan diri. Satryo yang
melihat kejadian itu cuma tertegun dengan mulut
ternganga, sedangkan ketiga Perwira Mataram se-
dari tadi cuma bisa menyaksikan pertarungan
semacam itu.
Tiba-tiba pada saat itu juga cuaca berubah
gelap. Angin keras membersit bersiutan dan di
angkasa terlihat kilatan-kilatan petir yang kemu-
dian terdengar suaranya yang menggelegar.
Terperangah semua orang yang berada di si-
tu. Akan tetapi Resi Jenggala Manik tetap tenang.
Dia  mengangkat kedua belah tangannya, teren-
tang ke arah langit. Bibirnya komat-kamit mem-
baca do'a.
THARRRRRR...! Satu kilatan petir menyambar

tubuh Mahesani yang sudah hangus terkapar di
tanah. Tubuh wanita itu lenyap jadi gumpalan
asap putih. Dan sekonyong-konyong menjelma
menjadi kepala Tri Agni, si manusia palasik. Ke-
pala tanpa tubuh yang berambut putih beriapan
itu membumbung naik ke atas, dengan perden-
garkan suara tangisan pilu menyeramkan. Tiba-
tiba segumpalan asap hitam bergerak memutar di
atasnya. Lalu meluncur turun menyambar kepala
wanita setan itu. Dan dibawahnya naik lagi ke
atas. Gumpalan asap hitam itu semakin mem-
bumbung terus ke atas, diterangi cahaya kilatan
petir yang berkredepan. Sementara angin keras
terus membersit tak kunjung henti.
Sekejap antaranya asap hitam itupun mele-
nyap. Angin yang meniup keraspun mulai terhen-
ti, kembali sepoi-sepoi. Dan cuaca lambat laut be-
rubah  kembali menjadi terang-benderang. Mata-
hari yang sudah menggelincir ke arah barat kem-
bali tampakkan sinarnya. Mereka segera dapat
melihat kembali satu sama lain. Terlihat sang Re-
si sudah menurunkan lengannya, dan mengu-
sapkan ke wajahnya tiga kali. Terdengar  kemu-
dian suara menghela napas laki-laki pertapa itu.
"Hm, sukurlah bahaya bagi umat manusia telah
bisa teratasi. Mudah-mudahan makhluk siluman
itu takkan kembali lagi mengacau di dunia!" Ber-
kata sang Resi dengan suara lirih. Semua yang
berada di situ menarik napas lega. Sementara itu
ketiga Perwira Kerajaan Mataram sudah melom-
pat ke depan mereka. Lalu menjura pada sang
Resi dan Roro Centil. Juga pada Satryo. Seraya

salah seorang berucap:
"Terima kasih atas usaha kalian semua mem-
bantu kami melenyapkan kerusuhan yang telah
mengganggu wilayah Kerajaan Mataram ini! Jasa
dan bantuan kalian yang amat tak ternilai  ini
akan kami sampaikan pada baginda Raja Mata-
ram!" Dan belum lagi sang Resi atau Roro dan Sa-
tryo menyahut, ketiga Perwira Kerajaan Majapahit
itu sudah balikkan tubuh, untuk segera beranjak
ke arah mayat Ki Meranggi bekas Tumenggung
Kerajaan Matsyapati yang sudah punah itu. Den-
gan menggotongnya bertiga, segera beranjak pergi
tinggalkan tempat itu. Tak lama sudah terdengar
suara ringkik kuda, dan derapnya yang semakin
menjauh. Dan cuma menampak punggung-
punggung ketiga Perwira Kerajaan itu yang men-
gendarai kudanya tinggalkan itu.

***

Tak dikisahkan perpisahan ketiga tokoh itu.
Namun sekitar tempat pertarungan tadi sudah
bersih  dari  mayat-mayat. Cuma tinggalkan sisa-
sisa percikan darah di rerumputan.
Ketika matahari mulai membenam di lereng
gunung, tampak sesosok tubuh melangkah perla-
han meniti lereng bukit. Baju sutera warna hi-
tamnya masih terlihat gemerlapan terkena cahaya
layung warna merah. Dialah Roro Centil sang
Pendekar Wanita Pantai Selatan, yang sudah me-
nyelesaikan tugasnya sebagai Pendekar Penegak
Keadilan. Entah pengalaman apa lagi yang akan

dihadapinya di hari mendatang Kita serahkan sa-
ja pada Pengarangnya. O. K.


TAMAT


Abu keisel




convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com