Roro Centil 7 - Siluman Kera Putih(2)




sedemikian itu. Ditambah lagi, bermacam-macam fiki-
ran selalu membayang di matanya, hingga ia tak bisa
tenang. Hari ketiga... hampir-hampir ia berlari mening-
galkan tempat semedinya karena ia ditemani oleh dua
ekor kera yang hampir sebesar manusia. Namun ia be-
rusaha bersemedi dengan baik. Karena khawatir Gu-
runya menjadi marah terhadapnya. Hari ke empat dan
ke lima ia mulai bisa bersemadi dengan baik. Walau-
pun terkadang kedua ekor kera itu mengganggunya
dengan meraba-raba sekujur tubuhnya. Hari keenam,
pandangan matanya mulai berkunang-kunang, karena
selama itu ia tidak makan. Kecuali hanya minum sege-
las air putih dalam setiap harinya. Hari ke tujuh... Ke-
dua ekor kera itu dalam pandangannya sudah bukan
kera lagi, karena seperti sudah berubah jadi dua orang
gadis cantik dengan tubuh yang polos, dan mulus
menggiurkan. Entah pengaruh air yang diminumnya,
ataukah pengaruh hawa lapar... 
Karena Tirta Menggala memang sebenarnya
seorang pemalas. Apa lagi selama puluhan tahun ker-
janya cuma berfoya-foya saja. Arak dan wanita cantik
seperti sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Be-
runtunglah pada hari ketujuh itu, Tirta Menggala tidak
sampai menjadi batal dengan semedinya. Otaknya ma-
sih cukup waras, karena ia masih dapat membedakan
mana suara orang, dan mana suara kera.
Tapi hari ke sepuluh. Tirta Menggala sudah tak

mengetahui lagi antara suara kera dan suara manusia.
Dan entahlah apa yang terjadi selanjutnya pada hari
itu, karena tubuh Tirta Menggala sudah tidak duduk
bersemadi lagi. Melainkan saling bergumul dengan ke-
dua kera itu, silih berganti.
Hari ke lima belas, tampak sepasang mata Tirta
Menggala berubah menjadi merah. Tubuhnya semakin
kurus, karena kurang makan. Hari ketiga puluh, Tirta
Menggala sudah tidak ingat siapa lagi dirinya. Bahkan
suaranya pun sudah meniru-nirukan suara kera. Dan
kedua kera itu sama sekali tak pernah menolak untuk
diajak meladeninya....
Dalam waktu selama tiga puluh hari itu, sang
kakek sering menempelkan telapak tangannya pada
punggung Tirta Menggala. Dan  sudah dilakukannya
sebanyak lima belas kali. Dan pada waktu kira-kira
sepenanakan nasi.
Itulah suatu penyaluran tenaga dalam dari tu-
buh sang kakek pada muridnya. Yang di lakukan seca-
ra bertahap, sedikit demi sedikit. Setelah genap waktu
tiga puluh hari, Tirta Menggala diberi makan buah-
buahan yang banyak terdapat di hutan belantara di
lembah ngarai itu. Tampaknya Tirta Menggala amat
rakus sekali memakannya. Maklum, sudah sebulan
penuh tak mengenal yang namanya makanan pengisi
perut. Dan anehnya kelakuannya kini lebih mirip den-
gan binatang kera. Demikianlah. Hari demi hari berla-
lu. Selama itu ia telah diberi ilmu-ilmu aneh. Tirta
Menggala memang telah tak mengenal dirinya lagi. Se-
lama di  dalam goa itu tiba-tiba saja ia telah mempu-
nyai tenaga dalam yang amat tinggi. Hingga batu gu-
nung pun bila di cengkeramnya, pasti hancur jadi bu-
buk. Dalam waktu tiga bulan saja Tirta Menggala telah
mempunyai gerakan selincah kera. Walaupun pada tu-
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com

buhnya tak ditumbuhi bulu. Juga tak berekor. Namun
kelakuannya memang amat mirip kera. Karena sehari-
hari bergaul dengan ratusan ekor kera. Melompat dari
cabang-cabang pohon, bukan rintangan lagi baginya.
Bila terdengar suitan nyaring dari mulut si kakek aneh
yang bergelar Dewa Siluman Kera itu, maka bergerom-
bol-gerombol binatang-binatang itu berdatangan.
Diantaranya terdapat Tirta Menggala. Yang
memang sudah bagaikan hewan saja, tanpa mengena-
kan secuil pakaianpun. Kumis dan jenggotnya kian
bertambah lebat. Mulutnya selalu tampak menyeringai.
Sepasang matanya bersinar-sinar. Dengan biji ma-
tanya yang seperti tak mau diam. Mengerling kesana-
kemari. Sebentar-sebentar mendengus, dan mengga-
ruk-garuk kepalanya. Atau terkadang melompat-
lompat sambil berteriak-teriak mirip suara kera. Bila
dilihat keadaannya memang sangat mengenaskan. Su-
atu malam di bulan purnama, 
Dewa Siluman Kera telah menciptakan 100
ekor kera dengan ilmu sihirnya. Tirta Menggala me-
mang tengah diuji kesaktiannya. Seratus ekor kera itu
telah menyerangnya dari segala jurusan. Hebat sekali
gerakan Tirta Menggala. Tubuhnya sendiri ternyata te-
lah berubah jadi berpuluh-puluh banyaknya. Dan den-
gan lincahnya berkelebatan diantara bayangan-
bayangan ratusan ekor kera itu. Sementara Tirta
Menggala dengan kekuatan anehnya, telah menggem-
pur setiap penyerang yang datang. Hingga dalam bebe-
rapa kali gebrakan saja ia telah membuat seratus kera
ciptaan itu jadi kacau balau. 
Setiap terkena pukulan Tirta Menggala, tubuh
kera-kera ciptaan itu punah, dan lenyap jadi gumpalan
asap. Diam-diam si Dewa Siluman Kera tersenyum
puas. Demikianlah... tanpa  terasa telah enam bulan

lamanya Tirta Menggala berdiam di dasar jurang yang
dalam itu. Dan selama itu tentu saja ilmu-ilmunya te-
lah semakin hebat. Karena Dewa Siluman Kera me-
mang telah menurunkan hampir semua ilmunya den-
gan waktu yang amat singkat. Cuma saja dalam waktu
tiga bulan belakangan ini, banyak peristiwa terjadi
akibat cara-cara keji si Dewa Siluman Kera dalam
memberikan ilmu-ilmu hitamnya. Hingga banyak kor-
ban terjadi di beberapa desa. Memang Tirta Menggala
selalu diberi umpan untuk setiap latihan dengan ilmu
sesat. Tentu saja hal itu membuat Tirta Menggala jadi
ketagihan. Bahkan wataknya pun telah berubah men-
jadi telengas dan kejam. Umpan-umpan itu memang
sesuai dengan keinginan hatinya. Dan si Dewa Silu-
man Kera yang mengetahui tentang watak muridnya
itu, segera menyalurkan dan memanfaatkannya seba-
gai bahan latihan amat digemari sang murid. Juga me-
rupakan tontonan yang amat mengasyikkan buatnya.

***

Lenyapnya Tirta Menggala membuat gelisah be-
berapa orang istrinya Apa lagi setelah ditunggu sampai
beberapa bulan, sang suami tak pernah muncul. Se-
hingga mereka berpendapat bahwa ia telah tewas. Ka-
rena ada berita juga, tentang karamnya perahu yang
ditumpangi Tirta Menggala beserta beberapa anak
buahnya, di tengah laut. Berita itu membuat sebagian
anak-anak buah Tirta Menggala menjadi gelisah. Kare-
na mereka hanya mengandalkan gaji dari majikannya
itu. Akan tetapi sebagian lagi diam-diam mengambil
kesempatan baik itu. Yaitu mengambil alih kekuasaan
atasannya. Beberapa orang telah membentuk kelom-
pok-kelompok sendiri-sendiri. Tentu saja dalam hal ini

mereka melibatkan orang luar yang berkepandaian
tinggi.
Puluhan perahu-perahu nelayan milik Tirta
Menggala telah dikuasai oleh tiga kelompok bekas
anak-anak buahnya. Bahkan perkebunan cengkeh dan
palawija pun sudah mereka ambil alih. Tidak jarang
terjadinya pemerasan yang kian menjadi bisa diperas,
kini semakin mengeluh lagi para nelayan dan pegawai-
pegawai perkebunan. Adapun beberapa penduduk di
sekitar tempat itu yang tanah perkebunannya tadinya
telah dirampas, atau dipaksa untuk dijual dengan har-
ga murah oleh Tirta Menggala, mulai memberontak.
Begundal-begundal bekas anak buah Menggala tentu
saja tak dapat tinggal diam. Tak jarang pembunuhan
dan pemerkosaan terjadi. Kejahatan tampak semakin
merajalela.
Dan para penduduklah yang jadi korbannya.
Belum lagi dari komplotan Perguruan Burung Hantu,
yang mulai merajalela, mengadakan aksi perampokan
di setiap tempat. Walaupun si Ketua Perguruan Bu-
rung Hantu ini agak takut untuk mengganggu daerah-
daerah  milik si hartawan Datuk Sutan Benggala De-
wa, namun sasaran lain masih banyak yang ia jadikan
korban. Para penduduk di setiap desa semakin resah.
Apalagi banyak berita aneh, tapi lama-kelamaan men-
jadi semakin nyata. Yaitu lenyapnya beberapa  orang
gadis, yang menurut kabar adalah gadis-gadis yang hi-
lang itu adalah akibat murkanya Dewa Siluman kera.
Karena kurangnya dalam memberi sesajen dalam se-
tiap panen. Memang masih sangat disayangkan, pada
waktu itu keadaan manusia belum mengenal adanya
Tuhan. Sehingga banyak di antara mereka menyembah
dan memuliakan para Dewa atau Siluman sebagai se-
sembahan mereka.

Namun dalam beberapa pekan ini wajah-wajah
para penduduk agak cerah, karena dapat mendengar
berita adanya seorang Pendekar Wanita (dari tanah se-
berang pulau, yang mulai memberantas kejahatan di
setiap tempat itu. Pendekar Wanita itu selalu memba-
wa serta seekor anak harimau belang sebesar kucing.
Tentu saja tersiarnya berita itu segera menyebar ke se-
tiap tempat, karena dibawa orang dari mulut ke mulut.
Sementara di kalangan persilatan lain lagi. Ka-
rena disamping adanya berita munculnya seorang
Pendekar Wanita yang kabarnya bernama Roro Centil.
Berasal dari daerah pulau Jawa. Dan bergelar Siluman
Kera Putih.
Usaha Roro Centil mencari Peri Gunung Dempo
ternyata tak membawa basil Bukan s tak bertemu
orangnya, akan tetapi kabar tentang dimana adanya
Peri Gunung Dempo tak pernah didengarnya. Selama
beberapa bulan ia telah mengitari, dan menetap di de-
sa-desa lereng Gunung Dempo, untuk mendengar beri-
ta tentang wanita pembunuh Gurunya itu. Selama itu
pula si Belang kecil selalu menemaninya dengan setia.
Terkadang makhluk itu tak  menampakkan diri. Tapi
bila Roro memanggilnya, maka akan segera muncul
sahabatnya itu di dekatnya.
Dalam masa pengembaraannya itu Roro telah
dapat berkenalan dengan beberapa tokoh golongan pu-
tih. Diantaranya yang bergelar Pendekar Selat Karima-
ta. Atau banyak orang menamakannya dengan julukan
si Bujang Nan Elok. Memang pendekar ini seorang pe-
muda yang tampan, dan gagah. Disamping berperangai
halus dan ramah, juga se orang berkepandaian tinggi.
Julukan Bujang Nan Elok itu memang itu memang be-
rarti Pemuda Yang Tampan.
Si Pendekar Selat Karimata itu mempunyai seo-

rang adik perempuan yang bernama Sedayu. Gadis
manis ini memang seperti pinang dibelah dua dengan
kakaknya. Dan  tampaknya si Bujang Nan Elok amat
menyayangi dan memanjakannya. Saat perkenalan
mereka adalah ketika Roro Centil memasuki pasar.
Rupanya hari itu adalah hari pasaran. Hingga pembeli
dan pedagang berlimpah ruah. Sehabis mengisi perut-
nya, Roro bermaksud kembali ke penginapan. Akan te-
tapi jadi terkejut ketika mendengar suara orang berte-
riak-teriak. Dan suasana menjadi gaduh. Beberapa
orang berlarian mengejar tiga sosok tubuh yang mela-
rikan seorang wanita dalam pondongan salah seorang
dari kawanan penculik itu. Dua orang yang berilmu
cukup tinggi mengejar. Dan berhasil mencegat keti-
ganya. Segera saja ketiga penculik wanita itu meng-
hentikan larinya.
"Bangsat rendah..! Berikan gadis itu, atau ka-
lian akan rasakan pedangku..!" Teriak salah seorang.
Sementara keduanya telah mencabut senjatanya. Dua
dari penculik itu tampak mendengus. Wajahnya  ber-
tampang seram. Kumisnya melintang sebesar cerutu.
Tiba-tiba keduanya telah membentak keras seraya me-
nerjang dengan dua kapaknya yang berkilatan.
Trang! Trang! Terdengar suara beradunya
empat senjata. Kiranya kedua laki-laki berpe-
dang itu telah menangkisnya.
"Heh....! Sebutkan siapa ketuamu penculik pici-
san... Kami Dua Pendekar Bukit Rusa akan memberi-
mu pelajaran..!" Teriak salah seorang dari laki-laki
berpedang itu dengan nada  jumawa. Kedua penculik
itu tampaknya gusar main dikatakan penculik picisan.
Salah seorang sudah lantas membentak;
"Keparat..! Tak perlu kau tahu guruku, atau ke-
tua kami segala. Pendekar tengik yang masih bau ken-

cur macam kalian cuma besar mulut saja; Terimalah
kematianmu...!"
Disertai bentakan keras. Keduanya telah berge-
rak kembali menabas dengan kedua kapaknya. Namun
dengan gesit kedua laki-laki itu berhasil menghindar.
Segera terjadilah pertarungan seru yaitu satu lawan
satu. Sedang salah seorang dari si penculik itu, masih
tetap berdiri memanggul tubuh seorang gadis. Namun
sebelah tangannya telah menyiapkan senjatanya.
Agaknya sang gadis dalam keadaan tertotok, dan ping-
san tak sadarkan diri. Tampak mulutnya telah dijejali
sapu tangan. Sementara itu beberapa orang sudah
berkerumun. Melihat demikian kawannya yang me-
manggul gadis korbannya itu segera berteriak:
"Cepatlah  bereskan  kawan-kawan. Jangan
sampai banyak rintangan..!" Mendengar teriak itu, ke-
dua penculik segera merobah gerakan kapaknya Tam-
pak berkelebatan kedua senjatanya mengurung lawan.
Tiba-tiba salah seorang jatuhkan  diri dengan disusul
kawannya.
Serrr..! Serrr..! Serangkum jarum-jarum berbisa
telah meluruk ke arah tubuh ke dua Pendekar Bukit
Rusa... Terkejut bukan main kedua Pendekar itu. Na-
mun tak ada kesempatan untuk meloloskan diri. Saat
kematian beberapa detik lagi akan tiba. Tapi di detik
yang menegangkan itu, telah bersyiur angin keras
menghantam buyar jarum-jarum beracun itu. Bahkan
meluruk kembali pada penyerangnya.
Tak ampun lagi segera terdengar teriakan dari
kedua penculik itu. Kedua kapaknya telah terlepas.
Tubuh itu berkelojotan meregang nyawa. Na-
mun beberapa saat kemudian telah tewas, dengan wa-
jah, dada dan lehernya  mengeluarkan cairan berwarna
hitam. Kedua Pendekat Bukit Rusa sudah melompat

mundur. Keringat dingin sudah mengalir deras di se-
kujur tubuh. Mereka jadi ternganga ketika itu juga
Ternyata di hadapannya telah berdiri sesosok tubuh
wanita. Berbaju merah muda. Rambutnya terurai pan-
jang. Dan sepasang lengannya bertolak pinggang. Ter-
nyata Roro Centil telah bertindak cepat sebelum ter-
lambat. Nyaris maut menjemput kedua Pendekar muda
itu.
Adapun kawan si penculik itu jadi terperanjat.
Hingga sampai-sampai ia terkesima melihat kejadian
yang begitu cepat itu. Dilihatnya di hadapannya telah
berdiri seorang wanita cantik, ayu. Dengan mata me-
natap tajam padanya Sepasang alisnya terjungkit me-
lengkung ke atas, bagai bulan sabit. Sementara bibir-
nya telah bergerak, dan keluarkan bentakan keras.
"Apakah kau mau buru-buru pulang ke Akhi-
rat!? Mengapa tidak cepat kau tinggalkan gadis itu..?"
Bentak Roro. Seperti dipagut ular saja, kawan si pen-
culik itu jadi tersentak. Dan cepat-cepat letakkan gadis
yang dipanggulnya ke tanah. Selanjutnya sudah berlari
sipat kuping, tanpa menoleh lagi. Akan tetapi tiba-tiba
berkelebat sesosok bayangan. Dan tahu-tahu laki-laki
itu telah roboh terjungkal dengan jeritan menyayat ha-
ti.
Ternyata dadanya telah tertembus pedang. Dan
seorang pemuda tampan telah berada disana. Tampak
pemuda gagah itu menatap si penculik yang sudah tak
berkutik lagi di tanah. Lalu dengan cepat ia telah se-
lipkan pedangnya kembali ke dalam kerangka di pung-
gungnya, setelah terlebih dulu membersihkan di baju
si penculik. Saat selanjutnya orang itu sudah paling-
kan wajah pada kerumunan orang banyak itu. Dengan
dua kali mengenjot tubuh, pemuda tampan itu telah
berada di hadapan Roro. Selanjutnya sudah menjura

hormat pada Roro Centil. Melihat demikian si Dua
Pendekar Bukit Rusa pun cepat-cepat menghaturkan
hormat seraya berucap.
"Terima kasih atas pertolongan anda, nona
Pendekar. Bolehkah kami yang rendah ini mengetahui
dengan siapakah kami berhadapan..?" Seraya kedua
pemuda itu kembali mengangkat mukanya dan mena-
tap Roro dengan tersenyum.
"Aiii..! Aku hanya kebetulan saja bisa mengusir
jarum-jarum beracun itu. Aku tidak bermaksud mem-
bunuhnya..! Aku seorang pengembara rusa dari Pantai
Selatan. Dan bukan penduduk asli Pulau Andalas ini.
Karena aku adalah dari seberang lautan. Atau Pulau
Jawa. Kaum Rimba hijau menyebutku Roro Centil.
Pendekar Wanita Pantai Selatan..!" Demikian ujar Ro-
ro. Memang sengaja Roro perkenalkan diri. Karena sia-
pa tahu kabar adanya ia di daerah ini, akan membuat
musuh besarnya muncul menampakkan diri suatu
saat. Selesai berkata itu Roro melirik pada si pemuda
yang telah membunuh penculik barusan.
Akan tetapi orangnya telah menubruk gadis
yang tergolek pingsan itu, seraya berteriak... "Sedayu..!
Oh! Kasihan kau..!" Dan ia sudah segera berupaya me-
nyadarkan wanita itu, yang ternyata ialah adiknya. Ro-
ro kerutkan alisnya. Segera ia melompat mendekati.
Dan dengan beberapa kali mengurut punggung dan
leher si gadis, terbebaslah sudah ia dari pengaruh to-
tokan. Dan juga sekaligus sadarkan diri. Gadis itu me-
rintih, sepasang matanya terbuka, dan sudah mau
berteriak. Akan tetapi si pemuda itu telah berkata;
"Sedayu..! Tenanglah! Kau sudah selamat. Nona
Pendekar inilah yang telah menolongmu. Hayo, lekas
kau ucapkan terima kasih padanya..!" Gadis itu segera
tatap Roro Centil, dan serta merta mengucapkan teri-

ma kasih dengan gugup. Dan disambung oleh ucapan
pemuda kakaknya itu, yang langsung perkenalkan diri.
"Aku yang rendah perantau dari Selat Karima-
ta, mengucapkan terima kasih atas pertolongan anda,
nona... Pendekar Pantai Selatan!" Berkata pemuda ga-
gah itu.
"Terpaksa aku membunuh kawan si penculik
itu. Manusia-manusia berbudi rendah semacam itu tak
layak hidup di depan mataku..!" Lanjutnya lagi.
Roro cuma tersenyum mengangguk-angguk.
Mendengar pemuda itu adalah Pendekar dari Selat Ka-
rimata, segera saja si Dua Pendekar Bukit Rusa men-
jura hormat. Dan saling perkenalkan diri. Adapun Roro
sudah berkelebat pergi.
"Haiii..! Tunggu..!" Teriak si Pendekar "Selat Ka-
rimata. Dan ia sudah menyambar lengan adiknya, un-
tuk selanjutnya mengejar ke arah Roro Centil. Terpak-
sa Roro menahan lompatannya. Saat berikutnya orang-
orang yang berkerumun itu cuma bisa melihat berke-
lebatnya lima tubuh para pendekar itu. Yang selanjut-
nya lenyap.
Demikianlah asal mula perkenalan dengan
Pendekar Selat Karimata. Namun selama sebulan ia
menetap di gedung tempat tinggal si pendekar muda
itu. Telah terjadi kericuhan. Kiranya diam-diam si Bu-
jang Nan Elok telah jatuh cinta pada Roro. Sedang Ro-
ro yang selalu bersikap manis terhadap siapa saja
membuat salah seorang sahabat si Pendekar Selat Ka-
rimata tak canggung-canggung bercakap-cakap atau
terkadang bercanda dengan Roro.
Pemuda sahabat baik si Bujang Nan Elok tak
lain adalah Rahwanda. Rahwanda seorang yang pe-
riang. Berperawakan kekar Dan gagah. Memelihara
cambang bauk yang lebat. Berbeda dengan si Pendekar

Selat Karimata, yang berkulit putih. Berwajah halus
bagaikan wanita. Tanpa kumis dan jenggot. Entah
mengapa kedua sahabat itu jadi agak tegang. Dan ja-
rang berkumpul] bersama. Terlebih-lebih sejak adanya
Roro. Sedayu adik si Bujang nan Elok itu jadi seperti
memisahkan diri. Roro jadi serba salah. Akhirnya ia-
pun mengetahui sebabnya. Kiranya Rahwanda adalah
tunangan Sedayu. Dan suatu saat yang amat membuat
Roro terkejut adalah si Pendekar Selat Karimata telah
mengadakan pertemuan empat mata dengan Rahwan-
da. Pertemuan empat mata itu diadakan di pesisir Tan-
jung Lumut. 
Tentu saja Roro dapat mengetahui, karena ke-
tika malam itu ia melihat adanya si Bujang Nan Elok
bersikap agak aneh. Sebentar-sebentar ia menatap bu-
lan. Roro pura-pura sudah mengantuk. Dan segera be-
ranjak menuju kamarnya. Senja itu biasanya Rahwan-
da datang. Tapi entah apa sebabnya laki-laki periang
itu tak melihat batang hidungnya. Roro yang memang
tidur satu kamar dengan Sedayu, dapat melihat gadis
itu sudah rebahkan dirinya sejak sore tadi.
Akan tetapi baru saja ia merebahkan diri, tiba-
tiba Sedayu balikkan tubuh, dan berbisik di telin-
ganya.
"Kakak Roro Centil! Apakah kau mencintai ka-
kakku..?" Tentu saja pertanyaan itu membuat Roro ja-
di melengak.
"Apakah maksudmu adik Sedayu? Mengapa
kau jadi bicarakan soal cinta? Aku hanyalah bersaha-
bat saja, tak lebih dari itu. Hi hi hi... Belum terpikirkan
oleh ku untuk bercinta-cintaan. Ada apakah adik Se-
dayu? Tampaknya ada yang tidak beres..!" Berkata Ro-
ro dengan suara perlahan. Akan tetapi Sedayu sudah
tempelkan telunjuknya di bibir, seraya katanya;

"Ssssst..! Jangan terlalu keras bicara. Nanti
akan di dengar kakakku. Dia masih berada di ruang
depankah..?" Bertanya Sedayu. Roro mengangguk.
"Dengarlah kakak Roro Centil. Apakah kau juga
tidak mencintai Rahwanda..?" Tanyanya lagi dengan
wajah serius. Roro kerutkan alisnya. Lalu dengan tegas
kembali gelengkan kepala. Tampak Sedayu balikkan
kepala menengadah. Menatap langit-langit kamar. Dan
terdengar ia menghela napas. Lalu kembali balikkan
wajah menatap pada Roro. Kali ini wajahnya tampak
cerah. Namun juga seperti bersedih. Ia sudah berbisik
lagi. "Kakak Roro Centil! Kini aku sudah jelas. Namun
aku butuh pertolongan mu, kakak.."
"Apakah itu..?" Bisik Roro. Tiba-tiba Sedayu
memeluk tubuh sahabatnya itu.
"Tolonglah aku, juga mereka..! Telah terjadi ke-
salahan faham diantara mereka. Rahwanda adalah tu-
nanganku. Kami memang telah mengikat janji. Akan
tetapi sikap Rahwanda terhadap Kakak Roro Centil te-
lah membuat kakakku menjadi kesal. Aku pun tak
mengetahui, apakah Rahwanda tiba-tiba berbalik men-
cintai kakak Roro..? Hal itu telah
membuat kakakku jadi panas hati. Dia seolah-
olah merasa dipermainkan oleh Rahwanda. Dan malam
Purnama nanti, kakakku akan mengadakan perte-
muan empat mata dengan Rahwanda. Tempatnya ada-
lah di Tanjung Lumut. Berada di pesisir pantai sebelah
barat dari tempat ini."
"Pertemuan empat mata.. ? Aneh! Apakah yang
akan dibicarakan..? Dan aku harus dengan cara ba-
gaimana aku menolongmu, atau menolong mereka. . ?"
Roro sudah potong kalimat Sedayu. Karena ia merasa
heran akan persoalan mereka yang telah melibatkan
dirinya. "Begini, kakak Roro Centil! Pertemuan itu bu-

kan sekedar pertemuan. Karena akan diakhiri dengan
pertarungan di ujung senjata! Yang akan kumintakan
tolong pada kakak adalah: Agar kakak Roro Centil da-
pat menengahi mereka, dan menggagalkan pertarun-
gan adu jiwa itu. Yang sudah pasti akan membawa
korban. Dan kedua-duanya adalah orang-orang yang
kucintai. Itulah yang ku mohon padamu, kakak Pen-
dekar..!" Tercenung Roro mendengar penuturan Se-
dayu. Akan tetapi tampaknya Roro belum mengerti.
Entah pura-pura tidak mengerti. Karena ia sudah me-
lakukan pertanyaan lagi;
"Mengapa bisa terjadi pertarungan..? Bukankah
masalah itu bisa didamaikan di rumah ini. Dengan
menjelaskan persoalan..! Ujar Roro dengan berbisik.
Akan tetapi Sedayu cepat-cepat gelengkan kepala.
"Tidak! Persoalan itu sukar didamaikan tanpa
diselesaikan di ujung senjata..!"
"Mengapa..?" Tanya Roro.
"Karena kakakku telah jatuh cinta padamu,
kakak Roro Centil. Itulah sebabnya, kau harus je-
laskan pada mereka. Dan mau tidak mau, memang
penjelasan dari kakak Pendekar adalah amat meme-
gang peranan penting, sebelum terjadi pertumpahan
darah!" Terkejut Roro Centil. Barulah ia mengerti akan
sebabnya. Diam-diam dalam hati, Roro membatin...
“Aiiih! Mengapa aku jadi terseret dalam kancah
percintaan  macam begini?” Akan tetapi Roro sudah
manggut-manggut tanda mengerti. Dan katakan akan
kesanggupannya menyelesaikan persoalan ini. Sedayu
tersenyum gembira. Tapi sudah berkata lagi perlahan...
"Kakak Roro Centil! Seandainya kau menjadi
kakak iparku... Oh! Alangkah bahagianya hatiku.. Roro
balas tersenyum, dan peluk tubuh Sedayu yang segera
menyumpal dalam dekapan.

***

Deburan-deburan ombak di pantai Tanjung
Lumut, malam purnama itu seperti musik yang beri-
rama syahdu. Angin malam berdesir tidak terlalu ke-
ras... Udara memang amat dingin. Terasa menusuk ke
tulang sumsum.
Akan tetapi sesosok tubuh sejak tadi telah ber-
diri dengan dada telanjang di atas pasir. Ternyata ada
lah Rahwanda. Si pemuda yang memelihara cambang
bauk, sahabatnya si Bujang Nan Elok. Purnama telah
berada di tengah antara kedua tepi langit. Seperti ada
yang tengah dinantinya Memang! Dan yang ditunggu,
tunggu itu dalang juga akhirnya. Sesosok tubuh telah
berkelebat dengan gerakan ringan dan hinggapkan ka-
ki di atas pasir. Sesosok tubuh telah berkelebat dengan
gerakan ringan. Dan hinggapkan kaki di atas  pasir.
Tepat di hadapan pemuda itu. Dialah si Bujang Nan
Elok. Alias si Pendekar Selat Karimata. Laki-laki tam-
pan ini berdiri menatap Rahwanda. Tali sutera di
ujung gagang pedangnya berkibaran tertiup angin.
Pemuda tampan ini memang menyoren pedang di
punggungnya. Sementara Rahwanda juga menatapnya
dengan wajah kaku. Pendekar Selat Karimata telah
langsung menyapa;
"Sudah lamakah kau menanti, sobat Rahwan-
da..?"
"Cukup lama, Pendekar Selat Karimata. Apakah
pertemuan empat mata ini sudah dapat dimulai...?"
Jawab Rahwanda, seraya lakukan pertanyaan. Si Bu-
jang Nan Elok tersenyum, seraya menghampiri tiga
tindak. Tampaknya ia tak sedikitpun menampilkan
permusuhan. atau dendam pada sahabatnya itu. Tapi
sepasang matanya tak dapat didustai. Karena panca-

ran sinar mata itu membersit tajam. Seolah-olah mau
menembus jantung orang di hadapannya.
"Baiklah..! Aku akan memulainya. Pertama-
tama yang akan kutanyakan adalah... ke terus teran-
gan mu, Rahwanda..! Yaitu mengenai hubungan mu
dengan adikku Sedayu. Apakah sudah ada rencana ka-
lian untuk segera menikah ?" Bertanya si Pendekar Se-
lat Karimata ini. Sedayu memang telah berhubungan
cukup lama dengan Rahwanda. Akan tetapi pemuda
ini selalu mengelak apabila didesak untuk kapan akan
melangsungkan pernikahannya dengan adiknya. Tam-
paknya Rahwanda tersenyum dan akhirnya tertawa
terbahak-bahak. Lalu berkata;
"Sobatku, kita telah bersahabat cukup lama.
Dan telah mengerti akan keadaanku. Mengapa tam-
paknya kau kurang percaya padaku? Apakah kau ta-
kut aku mempermainkan adikmu? Seraya berkata
Rahwanda palingkan wajahnya menatap laut.
"Hm... di depan mataku sendiri kau sengaja
menyakiti hati adikku, apakah hal itu tidak membuat
kurangnya kepercayaan ku padamu..?" Rahwanda ter-
kejut juga  kelihatannya. Tapi sudah kembali tertawa,
seraya manggut-manggut.
"Kalau aku dianggap menyakiti hati adikmu
apakah alasannya? Aku jadi tidak mengerti..! Apakah
karena gadis Pendekar Pantai Selatan itu..? Tanya
Rahwanda.
"Kalau sudah tahu mengapa tak sedari kemarin
kau minta maaf padanya?" Membentak si Bujang Nan
Elok. Sementara dadanya tampak berombak-ombak
menahan kemendongkolan hatinya.
"Dia selalu memisahkan diri. Bagaimana aku
harus bicara? Dan kau juga menyingkirkan diri. Hing-
ga aku jadi serba salah. Apakah aku bersalah kalau

bercakap-cakap dengan gadis Pendekar itu? Apakah
aku sudah jadi suami resmi Sedayu? Aku punya hak
untuk bicara dan bergaul pada siapa saja?" Berkata
Rahwanda dengan nada keras.
"Tapi kau keterlaluan..." Bentak si Pendek; Se-
lat Karimata.
"Jadi apa maumu sekarang..!" Tanya Rahwan-
da.
Yang seketika jadi naik darah. Tiba-tiba si Bu-
jang Nan Elok ini telah mencabut pedangnya. Seraya
membentak keras.
"Heh! Dalamnya laut dapat diduga. Tapi dalam-
nya hati siapa yang tahu..?
Kini kita tentukan siapa diantara kita yang ma-
sih bisa berdiri tegak di atas pasir malam ini!" Men-
dengar kata-kata itu tampak wajah Rahwanda jadi be-
rubah sinis. Dan dengan wajah kaku, iapun mencabut
senjatanya yang terselip pada ikat pinggang di pung-
gungnya. Ternyata adalah tiga ruas ruyung besi. Yang
masing-masing ruas panjangnya sejengkal. Ketiga ruas
ruyung besi itu dihubungkan satu dengan lainnya
dengan seutas rantai, yang panjangnya juga sejengkal
pada masing-masing rantai. Senjata ruyung berantai
ini direntangkan di  depan dadanya yang bidang. Se-
raya berucap;
"Kalau kau menghendaki demikian mana aku
berani menolak..? Silahkan kau memulai! Aku sudah
siap. Memang akupun ingin sekali melihat kehebatan,
dan ketajaman mata pedang dari seorang Pendekar Se-
lat Karimata..!"
WUTTT! WUTTT! Si pemuda tampan ini sudah
menerjang dengan dua serangan maut. Menabas ping-
gang dan dada. Rahwanda gerakkan tubuh menghin-
dar dengan dua kali lompatan salto. Akan tetapi seran-

gan ketiga terpaksa ia papaki dengan ruyung rantai
besinya. Trang..! Trang..! Trang..!
Ternyata si Bujang Nan Elok telah mengguna-
kan jurus serangan ketiga kalinya itu dengan jurus
Aksara Maut. Yaitu gerakan pedangnya bagai tengah
menulis aksara, akan tetapi adalah serangan hebat.
Karena satu serangan mendadak bisa berubah menjadi
tiga serangan. Yang kesemuanya adalah menjurus ke
arah tempat-tempat berbahaya. Wajah Rahwanda tam-
pak berubah merah dan panas terasa. Tiga serangan
berbahaya itu nyaris mencabut nyawanya. Beruntung
ia dapat memainkan senjata ruyung rantai besinya
dengan lihai. Ternyata pedang si Pendekar Selat Kari-
mata adalah senja pusaka. Sehingga gompal pun tidak
mata pedangnya. Bahkan rantai dan ruyung Rahwan-
da tampak lecet-lecet dan tergores pedang laki-laki ca-
lon iparnya itu.
Keparat..! Memaki Rahwanda dalam hati. Tiba-
tiba ia melompat mundur tiga tindak. Dan senjatanya
telah diputar kesana kemari. Hingga terdengar sua-
ranya bagai angin ribut Dan tubuh Rahwanda tertutup
sudah oleh baling-baling putaran senjatanya. Membuat
si Bujang Nan Elok sukar mencari tempat untuk me-
nyarangkan pedangnya ke tubuh lawan. Tiba-tiba ter-
dengar suara suitan dari mulut Rahwanda. Disusul
dengan meluncurnya ruyung-ruyung berantai itu ba-
gaikan tak ada habisnya. Menyerang dan menghantam
ke arah tubuh dan kepala si Pendekar Selat Karimata.
Hal mana membuat si pemuda tampan ini jadi
terkesiap. Terpaksa ia putarkan pedangnya melindungi
kepala dan tubuhnya. Dan terdengarlah suara bera-
dunya senjata bagai tak ada hentinya.
Trang..! Trang..! Trang...! Trang..! Hebat se kali
serangan Rahwanda. Karena sebentar saja si Pendekar

Selat Karimata telah dibuat sibuk, menangkis dan me-
lompat kesana kemari. Hingga di  malam yang dingin
itu ia telah bercucuran keringat, yang mengalir deras
di  sekujur tubuh. Dalam menyerang dengan gencar
itu. Rahwanda tak henti-hentinya keluarkan suara se-
perti orang bersuit. Selang beberapa saat tiba-tiba
tampak tubuhnya melejit ke  atas tiga tombak. Dan
hantamkan telapak tangannya. Pendekar Selat Karima-
ta terkejut. Terpaksa dengan lutut ditekuk, ia pun me-
nahan hantaman keras itu dengan sebelah lengannya.
Segera saja dua pukulan tenaga dalam beradu.
Plak..! Dan.. Blug..! Blug..! Keduanya telah ter-
lempar masing-masing lima-enam tombak. Tubuh
masing-masing jatuh ke  atas pasir. Ternyata tenaga
dalam mereka berimbang. Tampak Rahwanda bangkit
lagi dengan gagah. Akan tetapi terlihat ada darah me-
netes dari sudut bibirnya. Sedang si Pendekar Selat
Karimata juga sudah bangkit berdiri. Wajahnya tam-
pak pucat, nafasnya memburu. Dari mulutnya juga
mengalirkan darah... Tampaknya mereka sudah akan
saling gebrak lagi. Tapi pada saat itu juga berkelebat
sesosok tubuh ke tengah-tengah mereka. Terkesiaplah
seketika kedua pemuda itu. Karena orang di hadapan-
nya itu tak lain dari Roro Centil, Sang Pendekar Wanita
Pantai Selatan. 
Ternyata Roro sudah sejak tadi berada di tem-
pat itu. Tapi sengaja tak munculkan diri. Karena me-
mang ingin sekali melihat kepandaian masing-masing
dari kedua pemuda itu. Namun tetap berjaga-jaga den-
gan segala kemungkinan yang akan terjadi... Roro su-
dah berkata sambil tepuk-tepukkan kedua belah tan-
gannya.
"Hebat...! Hebat..! Ternyata Sobat Pendekar Se-
lat Karimata dan Sobat Pendekat Ruyung Naga sama-

sama hebatnya. Mengapa kalian berlatih malam-
malam begini tidak mengajak aku.. ? Aiiih.. Sebaiknya
kita berlatih bersama-sama. Bukankah lebih baik..!"
Berkata Roro Centil sambil menjura pada kedua pe-
muda itu. Keruan saja Si Bujang Nan Elok dan Rah-
wanda jadi melengak. Tapi cepat-cepat si Pendekar Ka-
rimata berkata;
"Ah, Nona Roro Centil. Kami merasa tingkat ke-
pandaian kami merasa jauh sekali jika dibandingkan
dengan kehebatan dan ketinggian ilmu kedigdayaan
anda. Makanya kami berlatih secara sembunyi-
sembunyi..! Bukankah begitu adik Rahwanda?" Keruan
saja Rahwanda yang dijuluki Pendekar Ruyung Naga
itu jadi merubah wajahnya menjadi senyum. Dan su-
dah menjawab;
"Benar sekali kata kakak Sambu Ruci. Ma-
kanya kami sengaja mencari tempat rahasia untuk
berlatih..!" Seraya berkata ia sudah melompat ke sisi
untuk menyambar bajunya di  atas batang pohon ro-
boh. Lalu cepat mengenakannya kembali. Adapun si
Bujang Nan Elok pun sudah masukkan lagi pedangnya
dalam serangka di punggung. Lalu melangkah mende-
kati Roro. Sementara masih sempat ia menyeka darah
yang mengalir dari bibirnya itu dengan lengannya.
Sedang tak lama Rahwanda sudah kembali me-
rapat diantara keduanya.
"Eh...!? Apakah nona Roro datang bersama adik
Sedayu?" Tanya Rahwanda, seraya tatap wajah Roro.
Roro Centil gelengkan kepalanya.
"Adik manis itu sudah tidur, mana berani aku
mengganggunya. Oh, ya... apakah kalian telah selesai
berlatih?" Tanya Roro lagi selesai menjawab perta-
nyaan si pemuda bercambang bauk itu, seraya mena-
tap pada kedua pemuda itu. Tampak keduanya saling

pandang. Lalu berkata berbareng.
"Sudahlah! Kami kira cukup. Kami hanya seke-
dar menguji sampai dimana tingkat kemajuan ilmu ke-
pandaian kami..!" Sambung si Pendekar Selat Karima-
ta.
"Bagus..!" Berkata Roro. Dan lanjutkan lagi ka-
ta-katanya. "Kita kaum golongan pendekar yang men-
junjung tinggi kebenaran, memang harus selalu was-
pada. Kelemahan kita membuat kaum golongan jahat
akan semakin tenang berbuat keonaran. Akhir-akhir
ini aku mendengar adanya tokoh keji yang menamakan
dirinya Siluman Kera Putih. Siluman Kera Putih ini se-
lalu mengincar gadis-gadis cantik untuk dijadikan kor-
bannya. Disamping itu pula kebuasan tokoh Hitam
yang berjulukan si Burung Hantu telah mulai tersiar.
Dengan mengadakan aksi perampokan di setiap tem-
pat Juga banyak penjahat-penjahat lainnya. Seperti ti-
ga orang penculik wanita yang telah menculik adik Se-
dayu. Guru ketiga penculik itu takkan tinggal diam.
Tentu ia akan melakukan balas dendam mencari ke-
lengahan kita. Bukan tidak mungkin mereka kaum hi-
tam akan bergabung untuk menguasai kaum putih,
dan menumpasnya habis. Tugas kita amat berat. Ka-
rena setiap saat nyawa kita bisa  melayang..! Nah! Oleh
sebab itulah aku kemari. Karena sudah  saatnya aku
berpamitan. Masih banyak urusan yang belum ku se-
lesaikan. Aku berterima kasih sekali pada saudara
Sambu Ruci, alias Pendekar Selat Karimata. pada so-
bat Rahwanda. Karena selama ini amat baik terha-
dapku. Semoga kelak kita bisa jumpa lagi. Dan persa-
habatan kita dapat tetap terjalin demi tegaknya panji-
panji kebenaran dimuka bumi ini..! 
Kedua pemuda itu jadi melengak, dan terkejut
mendengar kedatangan Roro ternyata adalah untuk

berpamitan. Akan tetapi Roro sudah kembali berkata;
"Nah! Untuk perpisahan kita. Mari kita ikrarkan
tali persahabatan kita..!" Seraya berkata, Roro telah
ajak berjabat tangan pada si Bujang Nan Elok. Yang
bagaikan berat mengangkat tangannya, Pendekar Selat
Karimata ini segera menyambutinya. Roro menoleh pa-
da Rahwanda. Tampaknya pemuda ini pun mengerti.
Segera turut berjabat tangan. tiga tangan mereka ber-
satu. Lama sekali lengan-lengan mereka saling cekal.
Namun diam-diam Roro Centil telah salurkan hawa
hangat dari tenaga dalamnya, untuk membantu me-
nyembuhkan luka dalam akibat  benturan tenaga da-
lam tadi. Tiba-tiba Roro sudah menyambar berkata la-
gi, lengan-lengan mereka berlepasan.
"Aku yakin kalian akan menjadi saudara yang
baik. Oh ya...! Sobat Rahwanda! Jangan kau sia-siakan
cinta suci adik Sedayu..! Sebaiknya kalian cepat meni-
kah. Dan sampaikan salamku padanya..!" Rahwanda
tersenyum dan tertawa lebar.
"Tentu saja, nona Roro..! Aku memang telah
merencanakan pernikahan itu satu bulan mendatang.
Oh ya... selamat jalan. Semoga anda selalu dalam ke-
selamatan..!" Si Pendekar Selat Karimata pun mengu-
capkan salam perpisahan pada Roro. Sementara diam-
diam hati pemuda ini jadi malu. Ternyata Rahwanda
tidaklah seburuk sangkaannya. Setelah mengucapkan
selamat tinggal. Berkelebatlah Roro Centil dari tempat
itu. Dan sebentar saja telah lenyap tak kelihatan lagi.
Keduanya cuma bisa terpaku. Tapi selang sesaat, si
Pendekar Selat Karimata telah memeluk pundak Rah-
wanda. Tampak terdengar ia menghela napas. Dan
berkata lirih...
"Adik Rahwanda..! Marilah kita pulang..!" Pe-
muda bercambang bauk itu mengangguk. Dan sesaat

antaranya kedua tubuh itu telah tinggalkan pantai
Tanjung Lumut Yang kembali sunyi. Hanya tinggal de-
buran ombak saja yang terdengar. Sementara rembu-
lan semakin menukik ke arah cakrawala.

***

"Gumaraaaang..!" Terdengar suara teriakan dari
sebuah lembah. Suara itu mirip suara wanita. Suara
teriakan itu kembali menggema, memantul dari dind-
ing-dinding terjal itu. Seorang wanita tampak berlari-
lari dengan tubuh terhuyung. Sementara kepalanya se-
lalu bergerak ke  kiri dan kanan. Seperti mencari-cari
orang yang dipanggilnya. Wajahnya tampak kusut. Pe-
luh telah bercucuran dari sekujur tubuhnya.
"Gumaraaaang..!" Kembali ia berteriak. yang
terdengar adalah suara pantulan dari teriakannya sen-
diri. Tampaknya wanita ini semakin cemas. Dan den-
gan tertatih-tatih ia berusaha mendaki tebing itu. Akan
tetapi kembali merosot turun. Siapakah wanita itu..?
Ternyata tak lain dari Retno Wulan adalah Ga-
dis yang enam bulan yang lalu telah melarikan diri dari
rumahnya bersama kekasihnya. Keadaannya kini telah
berubah.  Karena Retno Wulan tampak seperti tengah
mengandung. Entah apa yang terjadi dengan wanita
yang dalam keadaan hamil muda ini, hingga berada di
dasar lembah ngarai yang curam itu..?
Usahanya untuk mendaki tebing itu sia-sia be-
laka. Dan tampak ia jatuhkan diri menggelepoh di ta-
nah. Sambil mengelus-elus perutnya yang terasa sakit.
Kelopak matanya tampak mulai basah. Dan
sudah terdengar ia terisak-isak menangis. Sepasang
bibirnya tampak tergetar. Dan desiskan kata-kata...
"Gumarang..! Dimanakah kau..? Mengapa tiba-

tiba aku berada di tempat ini..? Apakah yang telah ter-
jadi sebenarnya..?" Demikian desisnya, tak lebih dari
pertanyaan-pertanyaan yang tiada berjawab. Memang
sudah nasib kedua sejoli ini yang selalu menemui rin-
tangan dalam pelariannya. Sejak menemukan tempat
bermalam di desa tak berpenghuni itu, mereka berdua
lanjutkan perjalanan tanpa arah tujuan. Semata-mata
hanya menghindari dari kejaran Tirta Menggala, dan
anak-anak buahnya. Hingga tibalah mereka pada tepi
sebuah danau. Disana mereka beristirahat untuk  ke-
sekian kalinya. Agaknya Gumarang berpendapat untuk
tinggal saja di tempat itu.
Beruntung darah itu adalah dekat air. Guma-
rang dapat bercocok tanam disekitar danau itu. Pikir
Retno Wulan. Dan keputusan itupun disepakati. Gu-
marang memang berhati keras bagai karang. Baginya
kehidupan yang bagaimanapun akan ia lakukan demi
kebahagiaan mereka berdua. Mulailah Gumarang me-
nebang kayu, untuk membuat tempat berteduh. Retno
Wulan menganyam bambu untuk dinding pondok me-
reka. Sedang daun-daun kelapa dapat dipergunakan
untuk atapnya. Dalam waktu sebulan lebih, selesailah
pondok sederhana itu Dan mereka segera mendiami
tempat yang baru itu dengan gembira.
Bila pagi menjelang, Gumarang mengail ikan di
danau. Dan membakarnya untuk bersantap. Guma-
rang juga telah mulai menanam umbi-umbian atau se-
jenis ketela lainnya. Bahkan juga menanam  padi hu-
ma, yang entah bibitnya ia dapatkan dari mana. Tam-
paknya mereka bahagia sekali. Sayang mereka belum
menikah. Namun kandungan Retno Wulan tampak
semakin membesar. Hal tersebut membuat Gumarang
agak malu. Dan terkadang  sering melamun sambil
mengail ikan. 

Suatu hari datanglah seorang kakek singgah di
pondoknya. Entah dengan cara bagaimana, sang kakek
ternyata amat kasihan pada kedua sejoli itu. Akhirnya
disaksikan sang kakek, mereka meresmikan pernika-
hannya. Barulah hati Gumarang merasa lega. Ternyata
sang kakek itu bukanlah orang biasa. Karena diketa-
huinya adalah seorang yang berilmu tinggi. Terbukti,
hanya dengan menggerakkan telapak tangannya saja,
ikan-ikan di danau itu telah berlompatan ke darat Se-
perti ada tenaga aneh yang menyedotnya keluar dari
permukaan air.
Hal mana membuat Gumarang merasa terkejut
dan girang sekali. Hingga tanpa ragu-ragu ia mohon di-
jadikan muridnya. Tampaknya sang kakek ini setuju
dengan Gumarang. Dan segera menerima  keinginan
laki-laki muda itu. Jadilah Gumarang murid si kakek
itu. Yang ternyata sang kakek bernama Ki Candra Lu-
gita. Yang di rimba persilatan terkenal dengan julukan
si Mayat Hidup. Memang wajah sang kakek itu amat
menyeramkan, mirip manusia yang tinggal tulang. Tu-
buhnya kurus jangkung. Berkepala gundul plontos.
Cuma kumis dan jenggotnya saja yang panjang terjun-
tai.
Dalam waktu empat bulan saja Gumarang su-
dah bukan Gumarang yang dulu lagi Karena ia telah
memiliki ilmu kepandaian yang boleh diandalkan. Apa
lagi ia telah diwarisi tenaga dalam yang hebat, oleh Ki
Candra Lugita. Alias si Mayat Hidup. Sayang sang ka-
kek itu cuma tinggal selama empat bulan di tempat itu.
Karena sebagai orang rimba persilatan, jarang dapat
berdiam di satu tempat. 
Namun Gumarang sudah cukup puas. Ia ting-
gal memperbanyak latihan saja. Dan memecah jurus-
jurus ilmu silat yang telah dikuasainya. Sedikit banyak

dengan ilmu di punyainya, akan berguna untuk meno-
long diri dari bahaya. Demikianlah. Selama hampir sa-
tu bulan, Gumarang selalu rajin melatih diri memper-
dalam ilmu kepandaiannya.
Suatu ketika Gumarang tengah berperahu ke
tengah  danau mencari ikan. Retno Wulan tinggal di
pondok sendirian. Seperti biasanya, setelah selesai
dengan pekerjaannya, Retno Wulan selalu duduk-
duduk di balai-balai ruangan depan. Memang pondok-
nya menghadap ke danau. Dan pada tempat keting-
gian. Hingga dengan mudah ia dapat layangkan pan-
dangan ke  tengah danau. Bahkan Gumarang, sua-
minya dapat terlihat berada di  atas perahu di  tengah
danau.
Ketika itu entah dari mana datangnya. Tahu-
tahu seorang wanita telah berada di depan pintu pon-
dok. Wanita ini memang tampak cantik. Akan tetapi je-
las terlihat kecantikannya adalah karena tebalnya pu-
lasan pada wajahnya. Bibirnya merah. Dengan alis ma-
ta buatan melengkung ke atas. Terjungkit lancip ham-
pir menyentuh rambut di sisi dahi. Retno Wulan jadi
terkesiap. Ia sudah menganggap wanita itu bukan se-
bangsa manusia. Melainkan seorang peri. Karena da-
tangnya saja tanpa bersuara. Akan tetapi barulah ia
yakin kalau wanita itu manusia biasa. Karena sepa-
sang kakinya menginjak tanah. Tentu seorang wanita
persilatan yang berilmu tinggi..! Pikir Retno Wulan. Ia
sudah menyapa wanita itu. Akan tetapi aneh... Sedi-
kitpun wanita itu tak menyahutinya Bahkan menatap
wajahnya tajam-tajam Lalu layangkan pandangan pa-
da suaminya di tengah danau. Tiba-tiba terdengar
mengikik tertawa. Dan palingkan wajahnya lagi mena-
tap padanya. Lalu tiba-tiba telah berkelebat lenyap.
Retno Wulan jadi terpaku di tempatnya. benar-

benar tak mengerti, siapakah wanita itu..?. Demikian-
lah Ketika Gumarang pulang. la segera menceritakan
tentang wanita itu. Gumarang terkejut. Karena ia me-
rasa tidak mengenalnya. Namun Retno tidak percaya.
Akhirnya mereka bertengkar. Namun dengan berkata
sungguh-sungguh dan menyakinkan pada istrinya,
akhirnya Retno Wulan pun yakin bahwa Gumarang
memang tak mengenal akan wanita itu. Apa lagi wanita
itu bila dibandingkan dengan dirinya adalah jauh lebih
tua. Mungkin sudah dua kali lebih tua dari umurnya.
Tak mungkin Gumarang berniat main gila. Pikirnya.
Malam itu sepasang suami istri itu menikmati kebaha-
giaannya. Sementara keadaan di luar gelap pekat. An-
gin bersyiur agak keras. Namun kedua insan itu telah
tidur lelap, tanpa mengetahui apa-apa lagi Pada malam
itulah terjadi keanehan...
Karena di saat Retno Wulan terbangun dari ti-
durnya, ia jadi terkejut Karena dapatkan dirinya terge-
letak di rerumputan. Gumarang sudah tak berada lagi
di sisinya. Dengan serta merta ia bangun berdiri. Dan
pandang sekitarnya. Ternyata ia berada di sebuah nga-
rai yang dalam.  Di  sekelilingnya adalah tebing-tebing
batu yang menjulang tinggi.
Sedang di bagian sisi lain tampak hutan rimba
yang lebat. Hingga akhirnya Retno Wulan pagi itu telah
berteriak-teriak memanggil suaminya. Keadaannya
sangatlah menyedihkan. Karena sudah sekian kali be-
rusaha memanjat tebing, untuk keluar dari ngarai
yang dalam itu. Namun tetap tak berhasil. Karena sela-
lu merosot turun kembali. Hingga banyak luka-luka
kecil di kulit tubuhnya.
Retno Wulan duduk menggelepoh sambil teri-
sak-isak. Dan terbayanglah semua apa yang telah di
alaminya sejak lari bersama orang yang dicintainya.

"Mengapa nasibku malang benar..? Oh Ayah..,
Ibu..! Maafkanlah anakmu ini..! Gumarang..! Guma-
raaang..! Di manakah kau gerangan.. ?" Demikianlah,
Retno Wulan meratapi nasibnya. Akan tetapi tiba-tiba
ia jadi terkejut bukan main ketika tiba-tiba sesosok
makhluk berada di hadapannya, disertai suara terke-
keh-kekeh bagai suara kera. Ketika ia mendongak. Ia
jadi menjerit kaget Begitu takutnya Retno Wulan, dan
terkejut yang amat sangat melihat sosok tubuh menge-
rikan di hadapannya. Hingga ia seketika jatuh pingsan.
Ketika sadarkan diri lagi ia tengah digumuli
oleh seekor kera besar. Tentu saja Retno Wulan jadi
menjerit-jerit ketakutan. Dengan sekuat tenaga ia be-
rusaha melepaskan diri. Namun alangkah terkejutnya
ia, ketika mengetahui kera besar itu tak lain dari Tirta
Menggala. Wanita ini melompat mundur begitu berha-
sil lepaskan diri dari dekapan "kera" besar itu. Tapi
dengan sekali melompat ia telah berada didepannya la-
gi seraya menyeringai. 
Tampaknya Tirta Menggala masih mengenali
Retno Wulan, yang pernah akan dipinangnya beberapa
bulan yang lalu. Tiba-tiba ia menggeram bagai kera.
"Grrr... kau ... nguk! nguk! grrr... kau Retno Wulan..?
He he he.... bagus! Bagus..! Kau harus layani aku baik-
baik..! He he he... Grrr..!" Tiba-tiba....
Bret! Bret! Brreeettt...!
"Auuuuww...! Tolooong! Tidak! Tidak! Tidaaak!"
Retno Wulan berteriak-teriak. Namun apa daya. Mak-
hluk itu telah menerkamnya. Dan mencabik-cabik pa-
kaiannya. Dan sebuah tamparan keras membuat wani-
ta itu kembali tak sadarkan diri lagi. Hingga dengan le-
luasa Tirta Menggala menggagahinya. Sementara pu-
luhan ekor kera tampak berjingkrak-jingkrak mengeli-
linginya. Dengan keluarkan teriakan gaduh. Kelakuan

Tirta Menggala memang sudah bagaikan binatang liar
saja. Karena bibirnya tampak sering mencibir. Dan hi-
dupnya mengendus-endus di  sekujur tubuh korban-
nya. Semua perbuatan itu selalu diperhatikan oleh di
Dewa Siluman Kera Seperti menyenangi tontonan se-
macam itu. Tiba-tiba terdengar bentakan keras meng-
geledak. Dan... WHUUUUT...!
Tirta Menggala telah perdengarkan teriakannya
Dan terlempar delapan tombak, terguling-guling. Dan
kera-kera yang mengelilinginya seketika buyar dan ja-
tuh bergelimpangan. Sesosok tubuh mirip mayat, telah
berada di tempat itu.
"Mayat hidup..!" Teriak si Dewa Siluman Kera.
Dan ia sudah berkelebat ke tempat itu. "Keparat..! Mau
apa kau turut campur urusan muridku, Tua bangka..!
Grrrr..! Kukira kau sudah mampus..! Kau berani me-
nyatroni kemari apakah mau mengantarkan nyawa..?"
Bentak si Dewa Siluman Kera. Kiranya si kakek Can-
dra Lugita, guru Gumarang itu yang telah muncul di
situ. Tampaknya si Mayat Hidup tak merasa ciut nya-
linya. Bahkan ia sudah berkata dengan nada dingin
bagaikan es.
"Heh! Nyawaku masih ada harganya, ketimbang
nyawa manusia-manusia binatang macam kau dan
muridmu itu..! Hari ini aku tak mau melayani kau ber-
tarung. Tunggulah satu bulan lagi. Aku pasti datang
untuk bertarung denganmu sampai seribu jurus..!"
Berkata si Mayat Hidup. Seraya menyambar tubuh
Retno Wulan... Dan secepat kilat telah membawanya
pergi.
Dewa Siluman Kera tampaknya tidak berniat
mengejar. Akan tetapi hanya keluarkan dengusan di
hidung. Lalu kelebatkan tubuh ke arah muridnya Tirta
Menggala, alias Siluman kerah putih. Sementara Tirta

Menggala tampak meringis-ringis menahan sakit. Ia
sudah  bangkit duduk. Tapi tampaknya terluka parah
akibat pukulan tenaga dalam si Mayat Hidup. Darah
segar mengalir dari mulutnya. Segera si kakek mene-
kan telapak tangannya pada punggung muridnya.
Tampak uap tipis mengepul keluar dari telapak tan-
gannya. Hanya sekejapan saja sang murid telah kem-
bali melompat bangun. Dan berjingkrakan seraya ber-
teriak-teriak menggeram-geram. Tampaknya ia amat
kesal sekali pada orang yang telah
mengganggunya.
Akan tetapi Dewa Siluman Kera telah menjewer
telinganya. Dan menyeret masuk muridnya ke  dalam
goa.

***

Roro Centil telah memasuki lagi sarang pergu-
ruan Burung Hantu. Langkahnya tidak terlalu cepat.
Bahkan jalannya tampak melenggang seenaknya. Se-
mentara dua orang penjaga di belakangnya, tampak
masih tetap berdiri seperti biasa. Seolah tak terjadi
apa-apa. Akan tetapi sebenarnya kedua tubuhnya te-
lah tertotok kaku. Cuma kedua pasang matanya saja
yang berkedip-kedip. Dan mulut-mulut mereka yang
tak bisa mengeluarkan suara.
Tiga orang penjaga yang sedang berdiri berca-
kap-cakap, tiba-tiba menoleh. Dan salah seorang su-
dah berteriak.
"Celaka..! ? Wanita yang kusangka tetamu dulu
itu datang lagi kemari...!" Dan ia sudah lari kuping
tinggalkan kedua kawannya...Sedangkan kedua ka-
wannya itu malah cengar-cengir melihat seorang gadis
cantik mendatangi. Dengan langkah gemulai.

"Ahii... Si tolol itu mengapa jadi bodoh? Ada" te-
tamu tak diundang datang, eh... malah lari..! "Berkata
salah seorang yang bertubuh agak pendek.
"Mana cantik dan seksi lagi..! Ck ck ck... "Bodi"
nya mek..! Selangit..!" Mendesis suara kawannya. Se-
mentara sepasang matanya sudah merayapi sekujur
tubuh Roro Centil, yang semakin mendekat ke arah-
nya.
Salah seorang yang bertubuh kekar, segera
mendekati. Tampak ia sedikit bergaya, dengan merapi-
kan rambut dan ikat kepalanya terlebih dulu.
"Selamat datang nona..! He he he"... Apakah
nona mencari aku?" Bertanya ia. Yang ditanya ternyata
cuma tersenyum... Dan melangkah terus. Tentu saja
senyuman itu telah membuat ia semakin berani. Se-
perti mendapat angin. Bahkan tanpa ragu-ragu me-
rendenginya berjalan.
"Mau bertemu aku atau ketua, nona..? Kalau
Ketua rasanya sedang sakit encok. Percuma mene-
muinya..! Lebih baik dengan aku saja. He he he... po-
koknya siiip..!" Berkata lagi si orang bertubuh kekar
ini. Seraya mengurut-ngurut kumisnya, yang besar
melintang. Adapun makanya ia berani menyapa demi-
kian, karena dalam sepekan selalu ada langganan yang
datang ke rumah perguruan itu untuk menemui sang
ketua. Tentu saja si laki-laki berkumis tebal itu me-
nyangka Roro salah seorang langganan Ketuanya. Se-
mentara Roro sudah perlambat langkahnya.
Ternyata semakin berani si kumis tebal ini. Dan
sebelah lengannya telah merangkul pinggang Roro dari
belakang. Tampaknya Roro tak reaksi untuk mene-
piskan lengannya. Merasa bujukan dan rayuannya
berhasil, si Kumis Tebal telah mengajaknya membelok
ke sisi jalan. Dimana di bagian sisi jalan itu adalah

semak lebat yang amat rimbun dan gelap. Roro hanya
menuruti saja apa maunya sang penjaga itu. Tiba-tiba
si kumis tebal telah palingkan kepalanya pada sang
kawan yang masih ternganga di tempatnya.
"Ssssssttt.!" Ia sudah berikan kode pada si pen-
dek untuk tidak melapor pada sang Ketua. Tampak
sang kawan  manggut-manggut. Seraya iapun diam-
diam langkahkan kakinya untuk menguntit. Tentu saja
untuk mengintip perbuatan kawannya.
Sementara diam-diam hatinya memaki.. Sia-
lan..! Si kunyuk telah untung besar! Aku tak me-
nyangka kalau ia se jinak itu..!
Lama juga si pendek ini mencari tempat men-
gintip yang aman. Karena rimbunnya semak-semak.
Namun akhirnya ia sudah dapat lihat dari celah-celah
daun. Segera ia pentang mata untuk melihat lebih le-
bar. Dan yang tampak adalah kedua kepalanya saja.
Tubuhnya belum terlihat. Segera ia kuak lebih lebar
semak yang menghalangi...
"Hah..!?" Ia sudah keluarkan desisan perlahan
dari mulutnya Yang seketika jadi ternganga. Dan sepa-
sang matanya terbeliak makin lebar. Ternyata si kumis
tebal tengah di  bukai pakaiannya satu persatu. Len-
gan-lengan yang halus itu seperti dua ekor ular yang
bergerak lincah kesana-kemari. Dan sebentar saja ber-
sihlah "bulu-bulu" yang melekat di tubuh si kumis
tebal. Sayang... belum lagi ia mengetahui kelanjutan-
nya, telah terasa ada yang menarik-narik celananya,
dari belakang. Ketika ia menoleh. Terkesiaplah ia ba-
gaikan melihat malaikat maut saja Karena pada semak
belukar di belakangnya tersembul kepala seekor hari-
mau yang amat besar. Dan tengah menggigit-gigit kain
celakanya, dengan gigi-gigi taringnya yang runcing dan
tajam, Seketika saja pucat piaslah wajahnya. Ia sudah

berteriak keras sekali. Namun suaranya bagaikan le-
nyap di tenggorokan. Sekejapan saja keringat dingin
sudah mengucur deras. Dan entah mengapa, seko-
nyong-konyong nya bulu kuduknya sudah merasa me-
remang. Pandangan matanya jadi gelap. Tubuhnya
gemetaran bagaikan kena stroom. Dan selanjutnya ia
sudah jatuh pingsan menggelosoh. Kepala harimau
itupun lenyap.
Sementara itu penjaga yang tadi berlari ketaku-
tan  itu telah kembali lagi Ternyata telah turut bersa-
manya sang Ketua. Yaitu si Burung Hantu. Tampak
sang Ketua putarkan kepala dan tubuh ke beberapa
arah untuk mencari sang tetamunya yang tak di un-
dang. Sedang laki-laki, anak buahnya itupun sudah
layangkan pandangan kesana-kemari mencari-cari.
Tapi baik sang tetamu yang tak di undang, maupun
kedua kawannya; kesemuanya tak ada sepotongpun
yang terlihat.
"Tad... tad... tadi disini, Pak Ketua! Kemanakah
mereka..?" Berkata si penjaga dengan suara gemetar.
Tiba-tiba terdengar suara berkrosakan dari arah sisi
jalan. Dan tersembullah sosok tubuh di kumis tebal.
Keadaannya amat memalukan. Karena ia dalam kea-
daan membugil. Ia sudah menghampiri kedua orang di
hadapannya. Aneh..! Tampaknya si kumis tebal seperti
tiada takut akan perbuatannya pada sang Ketua. Bah-
kan sambil tertawa cengar-cengir ia sudah bicara nga-
wur.
"Kurang ajar..! He, Bendot..! Apa kau sudah tak
menghargai aku lagi? Kemana tamu wanita itu? Apa
yang telah kau lakukan.. ?" Akan tetapi yang di bentak
dan dicekal keras lengannya itu cuma meringis-ringis.
Ketika dilepaskan. Kembali tertawa geli, dan bahkan
segera berlalu sambil bernyanyi-nyanyi

tak keruan. Tentu saja hal itu membuat si Bu-
rung Hantu jadi melengak. Tiba-tiba ia sudah kelua-
rkan bentakan keras... 
"Keparat..! Memalukan..!" Dan ia sudah han-
tamkan telapak tangannya ke batok kepala anak
buahnya. Yang seketika jadi hancur berantakan. Dan
tanpa dapat berteriak lagi tubuh si kumis tebal yang
sudah hilang ingatan itu ambruk ke bumi. Detik selan-
jutnya ia telah kelebatkan tubuhnya ke balik semak.
Dan kembali hantamkan telapak tangannya pada so-
sok tubuh yang terlihat kakinya dibalik semak.
Tubuh itu terlempar berikut semak belukar
yang tersemburat bagai diterjang badai. Akan tetapi
terkejutlah si Burung Hantu. Karena tubuh yang ter-
kena dihantamnya adalah tubuh anak buahnya sendi-
ri. Pucat piaslah wajah sang Ketua ini. Seketika bulu
tengkuk Burung Hantu jadi meremang.
"Hi hi hi... hi hi hi... Burung Hantu. Mengapa
kau bunuh anak buahmu sendiri..?" Aneh..! Suara ter-
tawa terdengar, tapi orangnya belum menampakkan
diri. Membuat si Burung Hantu jadi gusar, walaupun
agak ciut juga nyalinya. Apakah yang dilakukan Roro,
di saat di dalam semak belukar itu? Kiranya si Pende-
kar Wanita Pantai Selatan itu telah menotok tubuh si
kumis tebal yang kurang ajar itu. Dan setelah melucuti
pakaiannya. Segera keluarkan senjata Rantai Genit-
nya. Dengan menyalurkan tenaga dalamnya yang su-
dah mencapai kesempurnaan itu, Roro dapat membuat
benda aneh, yaitu bandulan senjatanya yang berben-
tuk payudara itu menjadi lunak
bagaikan karet. Namun jadi kepulkan asap ti-
pis. Tiba-tiba Roro telah menghantamkan bandulan si
Rantai Genitnya pada kepala si penjaga yang kurang
ajar itu. Roro memang hanya bermaksud untuk mem-

buatnya kelengar saja. Akan tetapi di luar dugaan. Ke-
pala si kumis tebal itu amat kuat Bukannya jatuh
menggelosoh. Bahkan tetap berdiri tegak. Ketika Roro
melepaskan totokannya, laki-laki itu segera saja jadi
hilang ingatan. Dan ngeloyor keluar semak dengan
mulut mengaco tak keruan. Kiranya pukulan pada ke-
pala itu telah membuat ia jadi gegar otak.
Mengapakah Roro Centil menyatroni sarang da-
ri  komplotan si Burung Hantu ini ? Kiranya berita-
berita perampokan dan pembunuhan serta pemerasan
yang dilakukan oleh si Burung Hantu dan anak-anak
buahnya serta konco-konconya semakin santar ter-
dengar. Keresahan para penduduk semakin banyak di-
dengar, dan dilihat oleh Roro. Tentu saja hal itu mem-
buat si Pendekar Wanita Pantai Selatan ini merasa
berdosa kalau berdiam diri saja melihat kebatilan  di
depan matanya. Itulah sebabnya maka Roro berniat
menumpas habis kejahatan dengan menyatroni mar-
kas si Burung Hantu.
Kemanakah Roro gerangan Hingga tak menam-
pakkan diri? Kiranya ia berada di atas wuwungan ru-
mah perguruan. Sementara belasan orang telah men-
gurungnya di bawah. Kabar bahwa adanya seorang
pendekar wanita yang berilmu tinggi dari daerah Pulau
Jawa, ternyata telah menyebar ke setiap pelosok. Dan
nama Roro Centil sudah bukan rahasia lagi. Melihat
anak-anak buahnya berkerumun mengurung di sekitar
salah sebuah rumah perguruannya, si Burung Hantu
segera mengetahui orang yang dicarinya berada dis-
ana. Segera dengan berkelebat cepat ia telah tiba di
bawah atap wuwungan
"Turunlah sobat, Pendekar Wanita..! Lebih baik
kita bicara baik-baik! Apa maksudmu mendatangi ke
markas tempat tinggalku..? Persoalan dapat dibicara-

kan baik-baik..!"
"Hi hi hi... persoalan telah terlihat jelas! Menga-
pa harus dibicarakan lagi.. ? Kejahatanmu harus di-
hentikan. Kalau tidak maka akan kacaulah dunia ini..!
Dan akan ku taruh dimana mukaku, kalau aku tetap
biarkan saja kekejianmu yang kian merajalela itu, Bu-
rung Hantu.. ?" Berkata Roro Centil dengan suara lan-
tang.
Sementara itu diam-diam dua belas anak buah
si Burung Hantu telah bergerak dari salah sebuah ru-
mah perguruan di belakang Roro. Dua belas busur pa-
nah telah terentang. Dan dua belas anak panah den-
gan sasaran yang telah diincar baik-baik segera saja
meluruk bagaikan hujan ke arah Roro. Namun pada
saat itu membersit angin deras. Dan kedua belas anak
panah itu sudah buyar berantakan. Ternyata Roro
Centil telah putarkan senjata Rantai Genitnya untuk
melindungi tubuh.
Akan tetapi di  luar dugaan kedua belas anak
panah itu telah kembali lagi meluncur ke arah para
penyerangnya. Tak ampun lagi segera terdengar pekik-
kan dan teriakan-teriakan ngeri. Dan sembilan orang
dari para pembokong itu telah terjungkal tewas. Den-
gan dada dan leher terpanggang anak panahnya sendi-
ri... Ternyata Roro telah barengi dengan kebutan ram-
butnya untuk mengembalikan anak-anak panah itu.
Serangkum angin segera bersyiur. Dan anak-anak pa-
nah itu bagaikan dikendalikan, telah meluncur kemba-
li ke bawah. Si Burung Hantu jadi terkesiap kaget, juga
gusar bukan kepalang. Segera saja ia telah cabut sen-
jatanya yaitu senjata yang bernama Cakar Hantu. Roro
sudah melompat ke bawah. Beberapa anak buahnya
yang coba-coba cari penyakit, membokong Roro den-
gan serangan golok dan tombak. Akan tetapi telah ro-

boh terjungkal. Hanya dengan Roro kibaskan lengan-
nya. Namun angin bertenaga dalam yang panas itu te-
lah membuat mereka  berkelojotan. Dan tewas seketi-
ka. Semakin piaslah wajah si Burung Hantu. Dan ia
sudah membentak keras...
"Minggir..! Biar aku yang menghadapi gadis se-
berang pulau yang tengik ini..!" Merasa Roro Centil tak
dapat diajak kompromi, si Burung Hantu jadi nekat,
dan segera sudah dikirimkan serangan pukulannya.
Dibarengi dengan serangan senjata Cakar Hantunya
Tring! Tring! Tring..!
Tiga rantai berujung cakar besi telah terpental
balik ke arah penyerangnya. Sementara pukulan tan-
gan si Burung Hantu menemui tempat kosong. Roro te-
lah lengkungkan tubuhnya sedemikian rupa. Dan gu-
nakan si Rantai Genit menghantam balik serangan itu.
Keruan saja si Burung Hantu terkesiap. Namun den-
gan menjatuhkan tubuh, serangan balik senjatanya
dapat ia hindari.
Burung Hantu telah cepat melompat bangkit.
Dan kali ini ia sudah melompat ke belakang tiga tom-
bak. Tiba-tiba tertawa keras sekali hingga suaranya
terdengar berpantulan. Roro kerenyitkan keningnya.
Entah apa yang akan dilakukan si Burung Hantu ini.
Pikirnya. Tiba-tiba ia sudah hentikan lagi tertawanya,
seraya berkata;
"Nona Pendekar..! Sebaiknya kita berdamai..|
Aku sudah mengetahui dimana adanya orang kau ca-
ri..? He he he... si Peri Gunung Dempo itu aku tahu sa-
rang tempat tinggalnya! Percayalah! Aku akan tunjuk-
kan padamu asalkan kau mau kuajak berdamai..! Aku
memang sudah berniat merobah jalan hidupku, nona
Pendekar. Apakah kau tak ingin memberi kesempatan
padaku untuk kembali insyaf.. ?" Mendengar kata-kata

si Burung Hantu Roro Centil telah berkelebat lenyap.
Tentu saja membuat laki-laki pendek berwajah empat
persegi, yang berhidung bagai paruh burung itu jadi
melengak. Dan belum lagi ia sempat putar tubuh, telah
terdengar bentakan di belakangnya.
"Bagus, Burung Hantu..! Hayo. cepat kau tun-
jukkan dimana sarang wanita keparat itu! Tapi jangan
coba-coba kau berani mendustai ku..!" Serasa hampir
terbang nyawanya. Karena senjata Rantai Genit Roro
Centil telah menggubat lehernya dalam sekejap.
"Bbbb... ba... baik...! Baik..! Akan ku beritahu!
Sudahlah, simpan senjatamu. Mari kita pergi bersama
ke sarangnya..!" Menjawab si Burung Hantu.
Sementara keringat dingin sudah merembes di
sekujur tubuh. Tak berayal, Roro sudah lepaskan gu-
batan senjatanya di leher si Kokok Beluk itu. Tampak
si Burung Hantu paksakan diri untuk tersenyum. Ke-
mudian cepat-cepat simpan senjatanya ke balik pung-
gung. Yang sebentar saja sudah lenyap tertutup man-
tel bulu burungnya. Kemudian si Burung Hantu men-
jura pada Roro Centil, seperti sudah tak menganggap-
nya musuh lagi. Lalu berkata;
"Nona Pendekar Roro Centil..! Marilah kita be-
rangkat kesana!"
"Hm... Baik..!" Jawab Roro. Dan si burung Han-
tu segera beranjak lebih dulu berkelebat Lalu Roro
menyusul dari belakang. Sebentar saja dua tubuh
tampak berkelebatan melintas hutan. Menembus rim-
ba. Bahkan meniti jalan-jalan setapak. Juga melewati
beberapa anak sungai... Sementara itu tanpa setahu
Roro dua sosok tubuh terus mengikuti di  belakang,
pada jarak dua puluh tombak. Kira-kira perjalanan te-
lah ditempuh hampir sepertiga hari. Akhirnya si Bu-
rung Hantu hentikan larinya. Di hadapan mereka tam-

pak sebuah tebing batu yang tinggi menjulang. Tam-
paknya si Burung Hantu ingin beristirahat dulu ba-
rang sejenak. Roro sudah bertanya seraya gerakkan
tangan ke atas dahan pohon.
"Masih jauhkan sarang si Peri Gunung Dempo
itu? Aku sudah tak sabar untuk melihat tampang wa-
jahnya..!" Berbareng dengan pertanyaan sudah terden-
gar suara...
Whuutt..! Dan tampak dahan pohon di atas Ro-
ro Bergoyang. Maka meluruklah jatuh berdebukkan
buah pohon itu Lengan Roro sudah bergerak menang-
kapnya. Dan tak lama telah asyik mencicipi mangga
mengkal itu. Si Burung Hantu naikkan alisnya, lalu
tersenyum melihat pada Roro.
"Tidak berapa lama lagi kita akan segera sam-
pai..!" Menyahut si Burung Hantu. Seraya memungut
mangga dekat kakinya. Dan iapun segera mengga-
nyangnya. Tak berapa lama Roro sudah bangkit berdi-
ri, dari duduknya.
"Ayolah, cepat kita teruskan perjalanan..!" Ber-
kata Roro seraya melemparkan biji mangga yang da-
gingnya telah  habis digerogoti. Ternyata lemparan se-
perti seenaknya itu, berakibat mengejutkan bagi kedua
sosok tubuh yang menguntitnya. Nyaris saja leher si
penguntit dibalik semak kena terhantam, ketika biji
mangga itu menerobos belukar. Untung dapat terhin-
dar. Kiranya kedua sosok tubuh di tempat persembu-
nyiannya itu tak lain dari si Gajah Dungkul, dan si
wanita bertongkat ular alias si Ular Kobra Mata Merah.
Tak banyak cerita segera si Burung Hantu mendekati
tebing batu... Sebuah batu besar telah ia geser  meng-
gelinding. Dan terbukalah sebuah lubang...
"Silakan Nona Pendekar memasukinya. Inilah
pintu masuk ke sarang si Peri Gunung Dempo!" Berka-

ta si Burung Hantu. Roro kerutkan alisnya. Tampak-
nya ia tengah menimbang-nimbang akan kebenaran
kata-kata si Kokok Beluk itu.
"Mengapa tak kau antarkan aku sampai kesa-
na..?" Bertanya Roro. Tapi si Burung Hantu telah ber-
kata dengan senyum jumawa.
"Bagi seorang Pendekar yang termasyhur seper-
ti anda, kukira memang pantas untuk mencurigaiku..!
Akan tetapi apakah tidak melunturkan nama besar
anda?.... Kalau sampai didengar kaum persilatan bah-
wa si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil ter-
nyata takut memasuki lubang tikus..! He he he... Apa-
kah tidak malu?" Tentu saja kata-kata itu membuat
Roro Centil merah wajahnya. Dan ia sudah menyahuti.
"Baik..! Kau kira aku takut untuk kau jebak di
dalam lubang? Hi hi hi... Justru aku kepingin lihat ada
jebakan apakah di dalam..?" Berkata Roro Centil, se-
raya sudah melompat masuk. Akan tetapi pada saat
itu juga kaki si Burung Hantu telah menendang se-
buah batu empat persegi di dekatnya. Seraya mende-
sis;
"Heh..! Mampuslah kau di bawah sana..!" Pada
saat itupun terdengar teriakan kaget Roro Centil. Ka-
rena tahu-tahu batu dasar lubang yang diinjaknya te-
lah menjeblos ke bawah. Maka tak ampun lagi seketika
tubuhnya sudah meluncur deras ke bawah. Roro tak
dapat melihat apa-apa lagi, karena keadaan sekeliling-
nya gelap. Sementara itu di luar goa, sudah berkelebat
menghampiri si Gajah Dungkul dan si Ular Kobra Mata
Merah.
"Bagus..! Dengan jatuhnya si Pendekar Wanita
itu ke tangan si Dewa Siluman Kera. Maka akan aman-
lah kita beroperasi kemana saja. Karena si Dewa Silu-
man Kera pasti akan membantu setiap usaha kita,

dengan berjasanya kita mengantarnya wanita Pendekar
itu padanya. He he he..." Berkata  si Gajah Dungkul
sambil tertawa menyeringai. Si Wanita bertongkat ular
itupun tersenyum. Akan tetapi telah desiskan sua-
ranya bernada mengolok-olok.
"Apakah kalian tak merasa kecewa, membiar-
kan gadis secantik itu jatuh ke tangan si Dewa Silu-
man Kera dan muridnya yang dijuluki si Siluman Kera
Putih itu..?" Si Burung Hantu dan Gajah Dungkul jadi
tertawa gelak-gelak. Dan si Burung Hantu sudah men-
gerlingkan mata pada kawannya yang bertubuh tinggi
besar itu.
"He he he... Agaknya Ular Kobra yang cantik
kawan kita ini jadi cemburu...?" "Apakah sobat Gajah
Dungkul alias si Iblis Sembilan Nyawa tak berbaik hati
untuk memberikan sedikit nafkah batin padamu, nona
Ular Kobra Mata Merah..?" Ujar si Burung Hantu lagi,
seraya palingkan wajah pada si wanita bertongkat.
Tentu saja kata-kata si Burung Hantu membuat wajah
si wanita semakin merah. Sementara Gajah Dungkul
tiba-tiba sudah berkata dengan wajah serius.
"Sebaiknya aku menyusul ke bawah... Siapa
tahu si Dewa Siluman Kera memerlukan bantuan..!".
Dan tanpa menunggu jawaban, ia sudah kelebatkan
diri pergi dari situ. Ternyata Gajah Dungkul mengam-
bil jalan memutari tebing. Dan disana ada jalan yang
menurun ke arah lembah ngarai itu. Si Burung Hantu
cuma tertawa menyeringai. Tiba-tiba lengannya sudah
menggamit pinggang si Ular Kobra Mata Merah. Yang
tampaknya tidak menolak ketika si Burung Hantu me-
narik tubuhnya ke balik batu cadas. Selanjutnya...
cuma dengus-dengus nafas si Burung Hantu saja yang
terdengar.


***
PRAKK..! Disertai dengan keluhan panjang.
Benda bulat panjang itu menggelinding, tinggalkan
bercak-bercak darah.
Tubuh si Burung Hantu dan si Ular Kobra Mata
Merah tampak menggelinjang beberapa saat, lalu di-
am... Dan sesosok tubuh telah meloncat dari atas teb-
ing itu. Ternyata dia Roro Centil. Tampak si Pendekar
Wanita Pantai Selatan ini menatap ke dua tubuh yang
saling tindih dengan keadaan mengerikan. Karena ke-
dua kepalanya telah hancur. Dan otaknya berhambu-
ran muncrat bercampur darah, yang tampak berlepo-
tan di dinding batu tebing itu.
"Manusia licik dan berakhlak bejat macam ka-
lian memang sudah selayaknya mampus siang-siang,
sebelum bertambah lagi dosa kalian..!" Berkata Roro,
dengan suara mendesis. Lalu kelebatkan tubuh memu-
tari tebing batu itu..
Apakah yang terjadi dengan Roro Centil? Ki-
ranya ketika ia rasakan tempat pijakan kaki menjeblak
ke bawah. Tubuh Roro memang telah terbawa menjeb-
los. Akan tetapi kira-kira sedalam dua kali tubuh ma-
nusia, Roro gunakan kaki dan lengannya untuk mene-
kan sisi-sisi dinding lubang rahasia itu. Yaitu dengan
merentangkan keempat anggota tubuhnya. Sementara
batu tempatnya berpijak tadi, terus meluncur deras ke
bawah Yang dalamnya entah berapa kaki. Demikianlah
ia menunggu sesaat. Dan sementara itu telinganya te-
lah mendengar pembicaraan ketiga manusia di luar lu-
bang goa. Ketika si Burung Hantu menggamit pinggang
si wanita tongkat ular itu, kemudian tak terdengar lagi
suaranya. Barulah Roro naik ke atas. Ternyata ia tak
keluar lagi dari tempat semula. Tapi meneruskannya
menyusuri lorong gelap di dalam goa itu. Yang ternyata

menembus sampai ke tebing. Dari atas tebing itulah ia
dapat melihat si Burung Hantu tengah saling berasyik
masyuk dengan si wanita bertongkat, hingga dengan
rasa kesal bercampur sebal, ia telah hantam keduanya
dengan batu bulat panjang yang cukup besar dari atas
tebing. Maka tak ampun lagi keduanya tewas.
Roro telah tiba di lembah ngarai yang curam
itu, setelah menuruni lereng terjal dari tebing batu
yang menjulang tinggi itu. Kini di hadapannya adalah
rimba luas yang terbentang... Ketika memandang ke
belakang, hanyalah tebing batu yang untuk melihat
ujungnya harus dongakkan kepala lebih dulu.
"Betapa curamnya lembah ini..! Apakah benar
di lembah ini tempatnya si Dewa Siluman Kera yang
mempunyai murid bergelar si Siluman Kera Putih itu..
?" Berkata lirih Roro seorang diri. Sementara diam-
diam ia jadi mendongkol pada si Burung Hantu yang
telah menipunya.
Sementara diam-diam Roro telah mencari arah
tembusan tempat lubang rahasia di bawah tebing itu.
Akhirnya ia menemukan juga lubang goa di celah batu
tebing. Akan tetapi ia jadi terkejut, karena belasan
ekor kera telah mengelilinginya. Berlompatan ke arah-
nya. Roro mulai bertindak waspada. Tiba-tiba entah
dari mana telah terdengar suara suitan panjang ber-
kumandang bagai membela bukit. Suara suitan itu
berpantulan berkali-kali. Ketika tiba-tiba ratusan ekor
kera tampak berbondong-bondong keluar dari dalam
rimba di hadapannya. Seekor kera yang lebih mirip
manusia, berkulit putih, tanpa bulu dan ekor, telah
melompat ke hadapannya, seraya tertawa menyeringai.
Keadaannya membuat Roro melengak. Karena kera itu
memang bukan kera sebenarnya, melainkan manusia
yang mirip kera.

Apakah ini si Siluman Kera Putih itu..? Sentak
Roro dalam hati. Si Kera Putih ini sudah menggeram-
geram melihat Roro. Tiba-tiba ia telah mencengkeram
untuk menerkamnya. Gerakannya gesit, Roro cepat
berkelit Akan tetapi di luar dugaan sang "kera" telah
berjumpalitan cepat sekali. Dan kembali menyambar
tubuhnya Tersentak juga Roro melihat kegesitan mak-
hluk itu.
"Grrrr... nguk! Nguk...!" Sang kera putih sudah
kembali perdengarkan suara anehnya, seraya men-
gangkat-angkat tangannya tinggi-tinggi. Dan melom-
pat-lompat. Entah itu suatu isyarat. Entah memang
kelakuannya demikian... Akan tetapi tiba-tiba ratusan
kera lainnya telah menyerbu dengan suara riuh ren-
dah. Terpaksa Roro hantamkan lengannya ke kiri dan
kanan. Terdengar jeritan-jeritan binatang itu. Dan be-
lasan ekor kera terlempar tewas. Namun bagai tak ada
habisnya, kera-kera itu kembali mengerubuti Roro,
Terpaksa Roro tarik keluar senjata Rantai Genitnya.
Dan tubuhnya berkelebat kian kemari. Maka yang
tampak adalah kera-kera itu jatuh bertumbangan ba-
gai diterjang oleh amukan bayangan yang tak keliha-
tan. Segera saja bertumpuk-tumpuk puluhan bangkai
kera berserakan.
Melihat demikian si kera putih tampak gusar
sekali. Iapun maju merangsak. Dan turut menerkam
Roro dari segala jurusan. Tiba-tiba berkelebat pula ke-
sana sesosok tubuh yang tak lain dari si Gajah Dung-
kul. Tokoh hitam yang bertubuh tinggi besar itu tam-
pak terkejut sekali melihat Roro berhasil lolos dari da-
lam jebakan. Tentu saja ia sudah turut membantu
mengerubuti si Pendekar Wanita itu. Tiba-tiba terden-
gar suara...
Brengngngng..! Brengngngng..! Brengngng..!

Ternyata ia telah bunyikan senjata anehnya. Yaitu dua
buah piling baja tipis. Yang mengeluarkan suara me-
mekakkan  telinga, akibat diadukannya kedua piring
baja tipis itu. Kera-kera lainnya segera berlompatan
menjauh. Tubuh Roro tampak bergoyang-goyang mau
jatuh. Suara keras itu seperti telah membuatnya jadi
terpengaruh. Saat itu dua terjangan senjata piring baja
itu sudah menghunjam ke arah dada dan leher. Mem-
bersit suaranya bagai ular mendesis... Namun si Gajah
Dungkul jadi terkesima, karena ia tadinya sudah me-
rasa girang yang serangannya tak bakal lolos. Tapi
dengan gerakan seperti orang mabuk, Roro berhasil
menghindar. Sementara cengkeraman si Siluman Kera
Putih kembali mencengkeram angin. Karena Roro telah
gerakkan jurus Tarian Bidadari Mabuk Kepayang. Sa-
lah satu jurus aneh warisan dari gurunya.
Gajah Dungkul kembali menerjang dengan ke-
cepatan kilat Sepasang senjatanya bergerak menyilang
ke arah leher. Sedang satu lagi mendesing untuk
membeset selangkangan. Serangan pertama lolos, tapi
sudah disusul oleh serangan berikutnya. Hingga Roro
tampaknya kewalahan. Dan bergerak sempoyongan
kesana-kemari. Tapi bagi orang yang mengerti, akan
memuji kagum. Karena itulah jurus yang langka di
Dunia Persilatan. Dalam mempergunakan jurus itu ti-
dak sembarangan orang dapat melakukan. Karena ha-
ruslah orang nekat yang mempergunakannya. Karena
cuma mengandalkan perasaan saja. Sedang sepasang
mata tidak dipergunakan untuk melihat Namun semua
terjangan maut dapat ia hindarkan dengan baik. Tiba-
tiba terdengar suara melengking tinggi dari mulut Roro
Centil. Tahu-tahu tubuhnya lenyap... Dan pada detik
berikutnya, terdengar jeritan si Gajah Dungkul. Tu-
buhnya terlempar dengan sepasang lengannya hancur

remuk. Sedang senjatanya terlempar entah kemana...
Kiranya Roro telah hantamkan senjata Rantai Genitnya
menabas lengan lawan.
Tampak si Gajah Dungkul terperangah menye-
ringai. Wajahnya pucat bagai mayat Keringat dingin
sebesar-besar jagung mengalir di dahinya. Rasa sakit
yang amat sangat itu membuatnya jadi kalap. Tiba-tiba
ia telah kembali bangkit dan menerjang hebat, disertai
teriakan paraunya. Ternyata Gajah Dungkul keras se-
perti besi. Hal itu tidak membuatnya bergeming. Gajah
Dungkul telah pergunakan kekuatan Gajah Sakti
Menggempur Bukit Sekejap ia telah putar tubuh, dan
bagaikan bayangan telah menerjang Roro seperti su-
dah kesetanan. Roro coba menahan dengan telapak
tangannya. Akan tetapi lengannya terpental terkena
serudukan si Gajah Dungkul.
"Gila..!? Tenaganya tampak semakin kuat."
Berdesis suara Roro Centil. Berkali-kali Roro menghan-
tam kepala si Gajah Dungkul dengan si Rantai Genit.
Namun hasilnya tetap membuat ia semakin kehera-
nan. Karena sedikit pun tidak luka, atau benjol... Apa
lagi hancur..! Bahkan tampaknya kepala si Gajah
Dungkul semakin atos alias keras. Sementara si Silu-
man Kera Putih terus mencoba mencari kesempatan
untuk mencengkeram Roro. Ketika itu dua terjangan
telah meluruk ke arah si Pendekar Wanita Pantai Sela-
tan. Sepuluh jari lengan si manusia kera itu tampak
kepulkan uap putih. Dan lancarkan sergapan kilat Se-
dang si Gajah Dungkul menerjang dahsyat Roro jatuh-
kan tubuhnya miring ke samping. Tiba-tiba sebelah
kakinya menendang pantat si Gajah Dungkul. Tak am-
pun lagi tenaga serudukannya semakin bertambah.
Hingga batu tebing itulah yang terseruduk hancur.
Akan tetapi di bawah tubuhnya terjepit si Siluman Ke-

ra Putin, yang sudah benamkan kesepuluh jari tan-
gannya mencengkeram jantung tubuh yang menindih-
nya. Terdengarlah teriakannya laksana membelah lan-
git Tubuh manusia tinggi besar itu roboh ambruk. Dan
berkelojotan meregang nyawa. Namun sesaat kemu-
dian telah terkulai... untuk lepaskan "sembilan" nya-
wanya... Manusia berjulukan Iblis Sembilan Nyawa itu
ternyata tak dapat mempertahankan nyawanya, yang
ternyata hanya cuma satu-satunya...!
"Grrrrhh..!? Nguk..! Nguk...! Grrrrhhh..!" Tirta
Menggala alias si Siluman Kera Putih itu menyeringai.
Sepasang matanya berbinar-binar menatap Roro. Se-
mentara sepasang lengannya terentang bersimbah da-
rah. Tampaknya ia terkejut sekali, karena kematian si
Gajah Dungkul adalah di tangannya sendiri. Pada saat
itulah terdengar suara di kejauhan...
"Hebat..! Hebat..!" Dan tahu-tahu sudah mele-
sat ke hadapan Roro sesosok tubuh berambut putih
beriapan. Jenggot dan kumisnya terjuntai bagai sapu.
"Siapakah anda..?" Roro sudah lantas memben-
tak. Tampaknya si kakek pendatang itu bukannya ma-
rah. Bahkan tertawa menyeringai. Hingga yang terlihat
adalah dua buah giginya saja yang tinggal bersemayam
dalam mulutnya.
"Heh heh heh... he he... Akulah si Dewa Silu-
man Kera..! Ternyata Pendekar Wanita Pantai Selatan
Roro Centil seorang wanita yang cantik bagai bidada-
ri..!" Ujarnya. "Sayang kalau buru-buru nyawanya ku
pulangkan ke akhirat..! Ilmu kepandaian mu ternyata
boleh juga, bocah manis..! He he he... sebaiknya kau
tinggal dulu bersama kami di "istana" kediamanku..!
Heh heh heh heh he he.." Sambungnya lagi. Dan men-
gekeh tertawa menyeramkan. Akan tetapi tiba-tiba saja
wajah menyeringainya seketika lenyap. Dan sebaliknya

kini, wajahnya jadi berubah kaku. Sepasang matanya
menatap Roro seperti mengeluarkan cahaya biru yang
membersit tajam. Sepasang matanya menatap Roro se-
perti
mengeluarkan cahaya biru yang membersit ta-
jam. Roro agak terpengaruh. Namun segera sadar ka-
lau dirinya ada dalam bahaya. Ia sudah mau satukan
segenap kekuatan batinnya untuk menolak kekuatan
hebat dari sepasang mata si Dewa Siluman Kera.. Akan
tetapi terlambat sudah. Si Dewa Siluman Kera telah
membentak...
"ROBOH..!" Dan aneh... Tiba-tiba Roro menge-
luh pendek. Dan jatuh lemas menggeledak. Untuk se-
lanjutnya telah tak sadarkan diri. Tampak wajah si
Dewa Siluman Kera kembali menyeringai. Dan tertawa
kembali terkekeh-kekeh. Kemudian terdengarlah suara
memerintah pada muridnya.
"Hehe... he he...he he... Ayo muridku..! Kau ba-
walah ia ke dalam..! Masih banyak waktu luang untuk
membunuhnya nanti..!" Dan si Dewa Siluman Kera su-
dah kelebatkan tubuhnya terlebih masuk ke dalam
goa. Lalu disusul oleh sang murid, dengan memondong
tubuh Roro yang telah tak berdaya itu. Akan tetapi pa-
da saat itu Roro telah buka kembali matanya. Tiba-tiba
gerakkan kepalanya. Sekonyong-konyong rambutnya
telah meluncur, menggubat leher si Siluman Kera Pu-
tih. Selanjutnya lengan Roro telah bergerak cepat me-
notok di beberapa tempat. Sekejap saja tubuh Tirta
Menggala telah berubah kaku. Sementara rambut Roro
telah membuat leher si manusia kera itu tercekik. Ak-
hirnya meneteskan darah. Terdengarlah bunyi...
Krraaakkk..! Dan ketika rambut si Pendekar
wanita Pantai Selatan bergerak menyentak. Kepala si
Siluman Kera Putih telah terlempar menggelinding ke

tanah. Roro sudah melompat dari pondongan si manu-
sia kera itu. Tubuhnya telah kembali berkelebat me-
nyambar sepasang senjatanya yang tergeletak di ta-
nah. Lalu balikkan tubuh menghadap ke lubang Goa...
Segera saja sudah terlihat senyumnya diantara kedua
belah bibirnya yang mungil. Tampak ia tersenyum
puas melihat Siluman Kera Putih yang tewas dalam
keadaan berdiri. Tanpa kepala... Tiba-tiba terdengarlah
suara tertawanya yang mengikik geli terpingkal-
pingkal. Dan sekejap tubuhnya telah berkelebat lenyap
dari dasar tebing itu. Namun suara tertawa itu masih
tersisa. Menggema berpantulan di dasar lembah ngarai
yang penuh peristiwa itu. Sementara burung-burung
bangkai telah bertebaran mengitari lembah penuh mis-
teri itu, dengan suaranya berkiak-kiak... Roro Centil
sudah tak menengok ke belakang lagi. Masih banyak
waktu untuk menumpas si Dewa Siluman Kera. Apa
lagi si Pendekar Wanita Pantai Selatan ini rasakan ke-
lelahan sekali pada sekujur tubuhnya. Ia memang be-
lum berhasrat pulang kembali ke Tanah Jawa. Karena
masih belum ditemuinya juga manusia pembunuh Gu-
runya. Yaitu Peri Gunung Dempo, dan si kupu-kupu
Emas. Yang tak diketahuinya berada di daerah mana.
Sambil berkelebatan itu, Roro masih sempat memang-
gil sahabatnya yang penuh misterius.
"TUTUL..! Adakah kau mengikutiku..?" Dan se-
bagai jawabannya terdengar suara menggeram di sebe-
lahnya. Roro Centil berseru lagi...
"Bagus..! Hi hi hi... kau memang sahabatku
yang setia..!" Tiba-tiba Roro hentikan tindakan ka-
kinya, seraya berucap;
"Tutul...! Tampakkanlah wujud mu. Aku penat
sekali..! Bawalah aku kemana kau suka.." Selesai Roro
berkata. Segera saja seekor harimau tutul yang tubuh-

nya hampir sebesar kerbau, tampakkan diri.
Dan., bila mentari senja mulai menggelincir ke
balik bukit, terlihatlah si Pendekar Wanita Pantai Sela-
tan sudah berada di atas punggung seekor harimau
Tutul yang amat besar... Yang bergerak melompat ba-
gaikan angin. Entah kemana si Pendekar Wanita itu
dibawanya... Tapi yang jelas ia akan muncul lagi dalam
kisah petualangannya yang lain.
Sementara para pendekar lainnya di atas bumi
ini, tetap berjuang, tegakkan panji-panji kebenaran.
Tegakkan keadilan bagi kaum lemah yang tertindas..
Namun entah kapan kejahatan itu dapat lenyap dari
muka bumi ini? Walaupun demikian semangat per-
juangan dari kaum Pendekar, tetap menyala sepanjang
zaman.



TAMAT