Roro Centil 6 - 5 Wajah 1000 Dendam(2)




"Kurang ajar..! Kalau kau membandel akan ku
biarkan tubuhmu kaku sampai 100 tahun. Nah ming-
girlah bocah Centil..! Aku tak dapat merobah keputu-
sanku..! Sebelah lengan si kakek pengemis itu berge-
rak perlahan mendorong tubuh Roro. Tapi hebat aki-
batnya. Karena terdengar Roro Centil berseru kaget.
Tubuhnya telah terdorong mental sampai sepuluh
tombak. Dan bersamaan dengan itu, sang kakek telah
berkelebat pergi dengan cepat sekali.
"Roroooooooo..!" Teriak Ginanjar, dalam dukun-
gan si kakek pengemis. Namun tubuhnya telah di
bawa berkelebat bagai anak panah, melesat
semakin jauh. Terkesiap bukan main Roro melihat ke-
jadian itu. Serta merta tanpa harus berfikir lagi, Roro
Centil mengejar sang kakek berjenggot panjang itu...
Demikianlah! Hingga sampai Matahari condong ke se-
belah barat, Roro tetap tak dapat menyusul si kakek
pengemis itu. Yang jaraknya antara lima puluh tombak
dihadapannya. Entah berapa bukit dan lereng Gunung
telah terlewati. Namun sang kakek tidak juga memper-
lambat larinya. Dan Roro Centil tetap mengejar dibela-
kang.. Tetapi pada sebuah lereng curam, di mana di-
bawahnya mengalir sungai yang lebar. Kakek pengemis
itu menghentikan larinya. Bagus! Teriak Roro dalam
hati. Dan menambah kecepatan, Roro berkelebat me-
nyusul. Seraya berteriak.
"Kakek tua renta, akhirnya kau menyerah ju-
ga..!" Roro yang memang telah dapat menduga. pasti
sang kakek pengemis itu berhenti. Karena sungai lebar
telah berada didepan mata, dengan tepiannya yang cu-
ram. Sungai dihadapan itu adalah terusan sungai yang
tadi telah dilewati. Akan tetapi betapa terkejutnya Ro-
ro... Karena tahu-tahu bagaikan terbang tubuh si ka-
kek kurus itu melayang dari atas tebing curam itu ba-
gaikan seekor burung saja. Ringan bagaikan sehelai
bulu. Dan hinggap diseberang dengan selamat. Begitu
tubuh Roro melesat ketempat itu. Ia hanya dapati tem-
pat yang kosong.
"Heh heh heh... Ayo. Susul kemari! Masa murid
si Manusia Aneh Pantai Selatan tak mampu untuk ter-
bang..?" Ejek si kakek pengemis, di sisi seberang teb-
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com

ing. Wajah Roro tampak merah padam. Dipandangnya
kebawah, dimana air sungai deras mengalir. Dan tak
jauh dari kakinya terdengar suara bergemuruh tak
hentinya. Kiranya air sungai itu meluncur deras keba-
wah ketempat yang makin curam. Air terjun..!? Desis
Roro terkejut. Ketika ia pandang ke seberang, ternyata
tubuh sang kakek telah tak kelihatan lagi.
"Mampukah aku "terbang" kesana..?" Berkata
Roro pada dirinya sendiri. Murid si manusia Banci dari
Pantai Selatan ini sejenak tercenung... Tapi tiba-tiba
tertawa mengikik geli sekali.
"Hi hi hi... dasar bocah tolol.!" Roro memaki di-
rinya sendiri. Dan tiba-tiba tubuh Roro Centil telah
melayang "terbang" keseberang sungai yang bergaris
tengah kurang lebih delapan puluh tombak itu. Akan
tetapi baru sampai sepertiganya, atau kira-kira 50
tombak. tenaga lompatan Roro mengendur... Dan tak
ampun lagi melayanglah tubuh sang Pendekar Wanita
ini kebawah, yang berkedalaman 100 kaki dari atas
tebing. Dalam beberapa kali putaran tubuh di udara
itu segera sesaat lagi tubuh Roro yang meluncur deras
itu akan terbenam menghantam ke permukaan air
sungai.
BWUARRRRRRR..! Air menyemburat keras ke
atas. Menyibak permukaan dengan menimbulkan ge-
lombang dahsyat. Tubuh Roro terdorong balik ke atas.
Pada saat itulah Roro gunakan tenaga letikan tubuh-
nya untuk mengarah keseberang. Dengan beberapa
kali berjumpalitan diudara, ia akan segera tiba disebe-
rang dengan selamat. Akan tetapi tiba-tiba .... angin
dahsyat telah menghantam tubuhnya hingga kembali
ke tengah dan meluncur kebawah dengan deras. Han-
taman itu telah membuat seketika tulang persendian
tubuhnya menjadi lemas. Apa lagi ia telah mengelua-

rkan hampir seluruh tenaga dalamnya menghantam
permukaan air. Hingga Roro tak tahu lagi ia melayang
kemana... Tahu-tahu terasa tubuhnya sudah amblas
kedalam air. Dan suara mengguruh itu sekonyong-
konyong lenyap. Air sungai yang deras itu sekejap saja
telah menyeret tubuhnya masuk ke dalam air terjun
tanpa dapat di cegah lagi. Sekejap saja tubuh sang
Pendekar Pantai Selatan itu sudah tak kelihatan mun-
cul lagi dipermukaan air di bawah sana... Sementara
gemuruh air terjun tak putus-putusnya mengguruh
bagai suara angin Saloka. Dan diantara suara gemu-
ruh air terjun itu lapat-lapat terdengar suara tertawa
melengking tinggi. Tertawa puas atas kemenangannya.
"Hi hi hi... hi hi... Mampuslah kau Roro Centil!
Kini julukan Pendekar Wanita Pantai Selatan telah le-
nyap..! Tak ada lagi wanita yang akan menyaingi diri-
ku..! Hi hi hi.." Dan sesosok tubuh tersembul dari balik
batu di atas tebing. Seorang wanita berbaju hitam den-
gan simbul tengkorak didada, melihat kebawah tebing
dimana air terjun mengalir deras di bawahnya. Sebuah
Tombak berwarna hitam tergenggam ditangannya.
Kembali si wanita tertawa gelak-gelak diiringi kata-
kata, mendesis dari mulutnya.
"Hihi.. hihi.. hi hi... Dengan tombak Ratu Sima
di tanganku ini, aku pasti akan dapat menjadi Ketua
Kaum Rimba Persilatan. Benda ini memang lebih cocok
berada ditangan wanita seperti aku. Dan nama besar
Dewi Tengkorak akan menjulang tinggi di mata kaum
rimba hijau..!" Selesai berkata ia telah tancapkan ben-
da itu di sisinya. Sementara tangannya bertolak ping-
gang menatap air terjun yang mengguruh dibawahnya.
Seperti juga masih belum puas untuk melihat tempat
kematian sang Pendekar Wanita Pantai Selatan. Ter-
dengar ia menggumam perlahan.

"Hm. jurus pukulan yang telah kupergunakan
adalah jurus ke sembilan dari 10 Jurus Pukulan Ke-
matian si Dewa Tengkorak bekas suamiku..! Walaupun
ilmunya setinggi langit, tak nantinya ia dapat lolos dari
kematian..!" Terdengar si wanita menghela napas lega.
Tapi baru saja ia mau beranjak untuk meninggalkan
tempat itu...
"Oh... Saraswati..! Kucari-cari kemana saja kau
istriku..? Sebulan penuh aku rindu setengah mati.
Sampai tidur susah, karena belum mengantuk. Dan
makanpun tidak kepingin, karena belum lapar..! Kau
baik-baik saja istriku...?" Suara itu munculnya dari se-
sosok tubuh yang muncul dibelakang si Dewi Tengko-
rak. Secepat kilat si wanita telah balikkan tubuhnya.
Dan segera terlihat seorang laki-laki ganteng berusia
antara dua puluh enam tahun. Tengah mendatangi
dengan langkah lebar. Di bibirnya yang terbuka itu
tampak sebaris gigi yang putih rata. Ah..? Benar-benar
seorang laki-laki yang tampan... Membisik dihati si
Dewi Tengkorak. Tapi aneh sekali, mengapa ia me-
manggilku Saraswati dan menganggapku istrinya???....
Aneh! Apakah wajahku mirip dengan istrinya itu..? Pi-
kir si wanita. Tapi dengan sekali bergerak, ia telah tiba
dihadapan pemuda itu. terdengar bentakan dari mu-
lutnya:
"Pemuda sinting..! Aku bukan istrimu..!" Tom-
baknya meluncur deras ke arah leher pemuda itu.
Akan tetapi sedikitpun pemuda itu tak menggerakkan
tubuhnya untuk mengelak. Membuat si Dewi Tengko-
rak terkesiap. Dan sebelum ujung tombak itu menem-
bus kulit leher orang, tiba-tiba ia telah menahannya
kembali. Tampak si Dewi Tengkorak kerutkan kening-
nya. Sedangkan si pemuda dihadapannya cuma terta-
wa: "Ha ha ha... Adatmu masih saja tak berubah Sa-

raswati. Walau tubuhku hancur luluhpun aku akan te-
tap mencintaimu. sampai dilobang kubur... Tapi aku
sudah tahu isi hatimu. Tak mungkin kau tega mem-
bunuhku. Kau hanya pura-pura saja!" Berkata si pe-
muda. Makin terngangalah mulut si Dewi Tengkorak.
Yang memang sejak tadi telah terbuka bibirnya.
"Eh, pemuda gagah..! Siapakah namamu? Bu-
kalah kedua matamu lebar-lebar. Aku bukan istrimu.
Aku si Dewi Tengkorak, bukan Saraswati..!" Teriak si
wanita dengan dada agak tergetar. Tatapan mata pe-
muda dihadapannya itu benar-benar menaklukan ha-
tinya. Akan tetapi jawabannya benar-benar membuat
ia tak bisa bicara apa-apa.
"Ha ha ha... Saraswati! Walau seribu kali kau
berganti nama, dan seribu kali kau mau menipuku,
kau tetaplah Saraswati. Sudahlah sayang... Lupakan
peristiwa lalu. Wajahmu yang ayu itu tak akan dapat
menipuku. Mana bisa kau katakan kau Dewi Tengko-
rak, atau peri marakahyangan segala..?Aku sudah tak
kuat menanggung rindu..." Dan tiba-tiba sebelum Dewi
Tengkorak menyadari akan apa yang bakal terjadi, len-
gan pemuda itu telah menyambar tubuhnya. Dan se-
bentar saja telah berada dalam pondongan pemuda
aneh itu. Tadinya si Dewi Tengkorak mau berontak,
tapi getaran hatinya telah mengalahkan semuanya.
Apa lagi tahu-tahu sepasang bibirnya telah disergap
cepat oleh si pemuda. Dan dilumat sampai ia megap-
megap. Hawa rangsangan yang sudah terpendam sejak
tadi itu segera saja ia salurkan... Dan iapun kembali
balas melumat sampai terpejam matanya karena nik-
mat...




6

Mengguruhnya suara air terjun yang tak hen-
tinya itu menimbulkan gelombang besar di bawah sa-
na. Dimana tubuh Roro Centil terjerumus dalam kea-
daan mengkhawatirkan. Karena hantaman angin pu-
kulan yang dilancarkan si Dewi Tengkorak, telah
membuat tubuhnya lemas. Seluruh persendian tubuh-
nya lemah tak bertenaga. Hingga tanpa ampun ia ter-
benam dalam air yang bergulung-gulung. Dalam kea-
daan dibawa pusaran air itu, Roro benar-benar tak
berdaya... Saat kematian telah terpampang di  depan
matanya. Pada saat itulah Roro teringat pada kisah
yang ia alami empat tahun yang lalu. Dimana ia juga
mengalami hal yang serupa. Yaitu megap-megap di da-
lam air. Dihempas gelombang dahsyat, di pantai Laut
Kidul. Dimana ombak Pantai Selatan telah menggulung
tubuhnya, saat ia terjatuh dari atas tebing karang...
Seketika membersit di hatinya, untuk berpantang mati
sebelum ajal. Ia harus berusaha menentang renggutan
maut sebelum kasip. Segera ia salurkan tenaga dalam-
nya dengan seksama keseluruh anggota tubuh. Walau
tiga-empat teguk air telah masuk ketenggorokannya.
Sedapat mungkin ia menahan pernapasannya agar ti-
dak menghirup air. Hingga dadanya terasa mau mele-
dak. Gelembung-gelembung air mulai keluar dari mu-
lutnya. Terpaksa ia menelan lagi dua teguk air... Tapi
ia telah berhasil memulihkan lagi kekuatan tubuhnya.
Dan dengan semangat baja ia telah enjot tubuhnya un-
tuk melambung ke atas permukaan. Akhirnya tersem-
bul juga Roro ke atas permukaan air bergelombang itu.
Segera ia tarik napas dalam-dalam. Lega nian pera-
saannya. Kesegaran kembali timbul. Dadanya yang sa-

sak itu telah lenyap seketika. Dan berenanglah Roro
Centil menepi, terbawa hanyut agak ke hilir. Disana ia
menemukan tempat yang dangkal. Segera ia tiba ke
darat. Tampak Roro Centil duduk bersila di atas batu.
Menyempurnakan kekuatannya dengan bantuan tena-
ga dalam. Hingga selang beberapa saat. seluruh kekua-
tannya telah kembali pulih seperti sedia kala... Roro
bangkit berdiri. Dan tatap sekelilingnya. Gemuruh air
terjun itu masih terdengar. Dan memang tidak begitu
jauh. Terpaan angin dari arah bukit itu membuat ba-
junya berkibaran. Ternyata pakaiannya juga telah
kembali kering. Bersamaan dengan kepulihan kekua-
tan tubuhnya. Roro pandang air dihadapannya yang
mengalir deras. Seolah-olah terbayanglah kembali air
gelombang Pantai Selatan dihadapannya. Tiba-tiba bi-
birnya tampakkan senyumannya. Wajahnya berubah
cerah, bagaikan sekuntum bunga mawar dipagi hari...
Dan saat itu juga ia telah melesat ke tengah sungai, di-
iringi suara tertawa geli. Yang selanjutnya bagaikan
seorang Peri, Roro berlari-lari di atas air. Kembali me-
nuju ke hulu sungai. Sepasang kakinya cuma sekali
sekali menginjak permukaan air. dibarengi dengan
berkelebatnya tubuh sang dara, yang melompat-lompat
dengan gerakan ringan bagai sehelai daun... Ketika ti-
ba dekat air terjun itu. Roro Centil membelok kesisi.
Dari sana ia segera meniti tebing batu untuk naik ke
atas. Dan selang beberapa saat antaranya ia  telah
kembali tiba di atas tebing. Suasana tampak lengang.
Hanya gemuruh air terjun itu saja yang terdengar di-
bawahnya.
"Heh! Siapakah yang telah membokongku itu..?
Apakah si kakek pengemis? Tapi suara tertawa
seorang wanita ada kudengar. Apakah yang menye-
rangku itu cucu perempuannya si kakek pengemis

itu.." Menggumam Roro. Sementara pandangan ma-
tanya menatap ke beberapa arah. Dan dilain kejap, ia
telah gerakkan tubuhnya untuk melesat kesatu arah
dihadapannya...
Saat itu senja menyelimuti alam sekitarnya.
Desah angin semilir yang menerjang daun-daun berin-
gin yang tak begitu tinggi, membuat hawa sejuk me-
nyentuh kulit. Sementara sang Mentari, tampak malu-
malu mengintip dari celah-celah dedaunan. Dikejau-
han terdengar suara Tekukur, yang sekali sekali me-
nyibak kelengangan....
Namun semua itu tak mengusik kedua insan
berlainan jenis yang tengah menikmati indahnya alam.
Gemuruh air terjun cuma samar-samar terdengar di
kejauhan. Yang sesekali tersamar dengan keluhan see-
kor kerbau milik petani, di lereng bukit. Sementara si
empunya kebun, tengah menancapkan sebuah tonggak
kayu yang roboh itu. Serta menekannya perlahan-
lahan... Kembali terdengar lenguh sang kerbau. Lalu
miringkan tubuhnya. Kemudian diam untuk tidur me-
ram. Dengan dengus napasnya seperti saling sahut-
sahutan...
Roro Centil berdiri bertolak pinggang. Sebentar-
sebentar ia palingkan kepala, tapi tatapannya tak per-
nah lepas dari hadapannya. Walaupun wajahnya se-
bentar merah sebentar kembali memutih. Tempat itu
memang tak berapa jauh dari tebing. Dari telapak kaki
yang masih ada bekas-bekasnya, ia dapat mengetahui.
kalau tak jauh dari situ ada dua manusia yang me-
nyembunyikan diri dibalik semak. Dibawah pohon
yang rindang... Aku harus tahu siapa kedua kunyuk
yang berada di bawah pohon itu..! Berfikir Roro Wa-
laupun yang tampak hanyalah dua pasang kaki yang
saling tumpang tindih. Namun cukup untuk membuat

wajahnya jadi terasa panas, seperti dipanggang mata-
hari sore. Tapi sepasang matanya jadi terbeliak lebar,
karena sebuah benda hitam panjang itu seperti men-
gingatkannya pada Pantai Selatan.
"Ah. itukah Tombak Pusaka Ratu Sima milik si
Dewa Tengkorak..?" Mendesis keluar suara dari mu-
lutnya tanpa disadari. Saat itulah kedua manusia di-
balik semak itu saling berlompatan keluar. Masing-
masing bergerak untuk menyambar pakaiannya. Tapi
Roro memanglah Roro. yang berwatak aneh... Sekali
lengannya bergerak. maka melayanglah tumpukan pa-
kaian itu untuk terbang jauh. Dan menyangsang dibe-
berapa ranting pohon yang tinggi. Kedua manusia itu
saling tatap. Dan alihkan pandangan pada Roro Centil
yang cuma senyum sinis menatap mereka. Bahkan be-
gitu lihat tampang si laki-laki, segera terdengar suara
tertawanya yang mengikik geli.
"Hi hi hi... Kiranya sobat Joko Sangit! Apakah
kau juga akan mengatakan wanita itu istrimu..?" Ber-
tanya Roro Centil. Adapun matanya tak lepas dari
tombak hitam yang tertancap itu. Tiba-tiba terdengar
suara tertawa si laki-laki. begitu lihat siapa dihada-
pannya. Dan sekonyong-konyong tubuhnya meluncur
"terbang" keudara. Dengan sekali berjumpalitan, ia te-
lah tiba didahan pohon. Dan selanjutnya telah me-
nyambar kembali pakaiannya. Sekejap ia telah me-
layang turun, dan lenyap dibalik semak. Diam-diam
Roro memuji kehebatan ilmu lompat Joko Sangit. Tapi
ketika ia berpaling ke arah si Dewi Tengkorak, ternyata
wanita itu telah berkelebat pergi menyelinap kebalik
pohon dengan menyambar cepat tombak hitamnya.
Roro keluarkan dengusan dihidung. Dan gerakkan tu-
buh untuk menyusulnya.


"He! Pencuri..! Kembalikan tombak Pusaka itu..!
Dan kau harus ceritakan darimana kau perolehnya..!"
Bentak Roro sambil berkelebat. Akan tetapi jawaban-
nya adalah sebuah hantaman itu amat serupa dengan
hantaman yang membuat tubuhnya terlempar ke air
terjun. Ia segera bergerak untuk mengelak. Dua batang
pohon sebesar paha dibelakangnya, roboh kena han-
taman angin pukulan dahsyat itu. Tak pelak lagi, pas-
tilah wanita ini yang telah mencelakaiku! Sentak Roro
dihati. Kasihan wanita itu. Tampaknya ia serba salah
karena tak dapat berdiri bebas dihadapan sang lawan.
Karena harus menutupi bagian-bagian tubuh terten-
tunya. Akan tetapi Roro Centil mana mau perduli?
Pendekar aneh ini lebih mengkhawatirkan nasib gu-
runya, Si Manusia Aneh Pantai Selatan. Yang telah
menutup diri di ruang Gua didasar tebing karang, Ti-
ba-tiba ia telah membentak:
"Hei! Manusia tengik! Apa yang kau lakukan
terhadap Guruku. Dan dari mana kau peroleh benda
itu..?Hmm... Kau rupanya yang telah membokongku,
ya..? Bagus! Kini dapat kau rasakan pembalasan dari
ku! Namun aku takkan membunuhmu sebelum kau
terangkan dulu apa yang telah terjadi..!" Setelah berfi-
kir sejenak, rupanya si Dewi Tengkorak mulai berani
untuk berdiri bebas tanpa harus malu-malu lagi. Kese-
lamatan jiwanya adalah lebih penting...! Dan dihada-
pan manusia sejenis, mengapa harus ragu-ragu atau
malu segala... Pikirnya. Segera ia lintangkan tombak
hitam di depan dada. Wajahnya tampilkan rasa benci
yang mendalam pada Roro. Dan ia sudah berkata den-
gan lantang.
"Huh! Roro Centil..! Mengapa kau tuduh aku
pencuri..? Benda ini adalah milik suamiku si Dewa
Tengkorak. Yang kudengar dari sementara orang, ada-

lah kematiannya ditangan Gurumu. si Manusia Aneh
Pantai Selatan. Karena manusia banci itu memang ter-
gila-gila pada lelaki milikku itu. Tapi tak mendapat
sambutan si Dewa Tengkorak! Apakah dapat disalah-
kan kalau aku membalas dendam..? Dan kau murid si
banci tak tahu malu itu memang telah lama aku men-
carimu, untuk melenyapkannya dari dunia ini..!" "Dan
nama Dewi Tengkorak yang akan kembali tegak di
permukaan bumi ini. Menghapus nama besarmu sela-
ma ini...! Sambungnya lagi. Sampai disini Roro tak da-
pat menahan getaran hatinya untuk bertanya. dengan
wajah pucat pias.
"Jadi... Kau telah membunuhnya...?" Teriak Ro-
ro.
"Hihi..hihi... hi hi.. Bukan saja kubunuh mam-
pus orangnya. Tapi juga telah kurampas lagi benda
pusaka ini! Dan perlu kau ketahui... Ilmu-ilmu sakti
dari dalam tombak hitam inipun telah berhasil kupela-
jari dan ku kuasai sepenuhnya..!" Terkesiap Roro Cen-
til. Entah mengapa sekonyong-konyong terdengar jeri-
tan melengking tinggi, mengumandang keudara keluar
dari mulutnya. Lengkingan dari pedihnya hati yang
tiada terkira. Karena Gurunya yang amat dicintainya
itu, didengarnya telah tewas oleh manusia dihadapan-
nya. Hebat teriakan melengking panjang itu. karena si
Dewi Tengkorak harus menutup telinga kalau tak mau
pecah gendang telinga yang dimilikinya. Suasana kem-
bali lengang... Dan tampak sang Pendekar Wanita ter-
tunduk layu. menatap bumi. Beberapa tetes air bening
meluncur turun mengenai ujung jari kakinya. Akan te-
tapi pada saat itu. bersyiur angin deras menyambar
kepalanya.. Ternyata si Dewi Tengkorak telah lancar-
kan serangan ganas. Tombak hitamnya hanya bebera-
pa senti lagi di atas kepala.

PLAK..! Roro Centil telah menghantamkan tela-
pak tangannya dengan tenaga dalam yang hampir se-
paruh ia salurkan. Hebat akibatnya. Karena tampak si
Dewi Tengkorak berteriak tertahan. Tubuhnya terbawa
memutar beberapa kali. Walaupun benda itu tak terle-
pas dari tangannya, namun telapak tangannya telah
mengeluarkan darah...
"Kurang ajar..!" Teriak si Dewi Tengkorak. Na-
mun ia jadi terkejut karena sang lawan tak berada lagi
di hadapannya. Tiba-tiba terdengar suara mengikik se-
ram di sekelilingnya. Terlihat bayangan merah jambu
berkelebatan mengelilinginya. Namun sama sekali ia
tak dapat melihat bentuk tubuhnya. Sedangkan suara
tertawa mengikik menyeramkan itu bagai mendesing-
desing di daun telinganya. Entah mengapa tiba-tiba te-
rasa gentar hati si Dewi Tengkorak. Detak jantungnya
semakin cepat. Seirama dengan putaran kelebatan
bayangan merah jambu yang juga semakin lama se-
makin cepat. Dalam keadaan panik itu, ia telah lan-
carkan serangan semuanya. Berserabutan, menghajar
si bayangan... Hingga bertumbangan pohon-pohon se-
besar betis dan paha di  sekelilingnya. Ketika tiba-
tiba...
Plak! Lengannya tergetar hebat. Dan tombak
pusaka itu telah terpental jauh menancap di sebatang
pohon. Terkejut bukan main Dewi Tengkorak. Baru sa-
ja ia gerakkan tubuh untuk menyambarnya. sekelebat
bayangan merah jambu itu telah mendahului me-
nyambar benda pusaka itu. Segera ia hantamkan tela-
pak tangannya. Namun cuma mengenai tempat ko-
song... Dan terdengar suara sesaat antaranya, ketika
dengan gerakan ringan Roro Centil jejakkan kaki tak
jauh di hadapannya.
"Hi hi hi.. Benda ini tak boleh jatuh ke tangan

siapa-siapa.! Ia milik Guruku.!" Berkata Roro. Yang
tampak wajahnya seperti orang bangun tidur. Ram-
butnya telah awut awutan. Sepasang matanya tampak
sayu... Dan senyumnya adalah senyum yang menggi-
riskan hati. Karena ternyata Roro tampak seperti orang
yang kurang waras. Pipinya bersimbah air mata. Na-
mun bibirnya tersenyum... Tampak aneh dan membuat
orang akan takut, karena mirip orang yang kesurupan.
Dewi Tengkorak mundur dua tindak, ketika dengan
tubuh terhuyung sang Pendekar Wanita Pantai Selatan
itu melangkah ke depan. Angin senja bersyiur agak ke-
ras, membuat rambut Roro menyibak berseliweran di-
dahinya. Roro memang tidak dapat dikatakan gadis
yang lugu dan ayu lagi saat itu. Karena ia memang
amat mirip dengan hantu perempuan yang cantik.
Namun amat menyeramkan. Bahkan ketika melangkah
lagi untuk mendekati si Dewi Tengkorak, tubuhnya
bergoyang-goyang bagai hantu arwah... Keringat dingin
mengalir deras di  sekujur tubuh si wanita itu. Entah
mengapa ia jadi gentar. Bahkan untuk menggerakkan
kaki dan tangannya saja, terasa kaku bagai terbeleng-
gu. Pada saat itulah berkelebat bayangan putih. Yang
segera jejakkan kaki tiga tombak di sebelah kiri Roro.
Ternyata Joko Sangit. Kiranya sejak tadi ia telah men-
gikuti jalannya pertarungan. Tampaknya ia amat
mengkhawatirkan keadaan Roro Centil.
"Roro... Kau telah terluka dalam! Berikanlah
tombak pusaka itu padaku. Benda itu memang tak bo-
leh jatuh  ketangan siapa-siapa. Aku akan memberi-
kannya pada Baginda Raja Kerajaan Medang. Karena
Sudan sepatutnya benda bersejarah itu menjadi milik
Kerajaan..! Percayalah! Walau kelakuan ku jelek, yang
suka main perempuan. Tapi aku tak dapat untuk ber-
buat kejahatan lain. Aku selalu menghormatimu sam-

pai kapanpun. Berikanlah padaku Roro... Kelak bila
sudah beres urusan di puncak Mahameru, aku punya
banyak kisah yang menarik untuk kau dengarkan..!"
Berkata Joko Sangit dengan lemah lembut. Tampak
Roro Centil mengerutkan alisnya. Lalu tertawa.
"Apakah kau akan berikan lagi pada istrimu?
Atau untuk kau kangkangi sendiri benda ini.." Ber-
tanya Roro tanpa palingkan kepala.
"Ha ha ha... Joko Sangit tidak kemaruk pada
segala macam pusaka! Mengenai istriku ini. terserah-
lah kalau kau mau bikin mampus! Mana aku sudi me-
nolonginya." Berkata Joko Sangit, sambil tersenyum
pada si Dewi Tengkorak, yang tampak plototkan mata
saking gusarnya. Ternyata ia benar-benar telah kena
dikibuli si laki-laki ganteng bernama Joko Sangit itu.
Hingga ia mau menyerahkan tubuhnya bulat-bulat.
Tapi siapa mau salahkan? Karena ia juga mau. Men-
dengar kata-kata itu Roro Centil tertawa mengikik,
hingga sampai tubuhnya terguncang-guncang... Bah-
kan sampai-sampai Joko Sangit mundur beberapa
langkah. Gentar juga hatinya melihat Roro, yang seper-
ti setan perempuan dengan wajah beku bagai es. Dan
rambut yang beriapan. Roro memang telah bagaikan
seorang yang tidak waras. Tiba-tiba Sang Pendekar
Wanita ini perdengarkan. teriakan melengking pan-
jang... Membuat si Dewi Tengkorak terperangah. Tu-
buhnya yang tanpa busana itu tergetar hebat. Tapi ia
tak berusaha menutupi telinganya. Karana getaran su-
ara itu telah menggetarkan jantungnya. Hingga serasa
hilang sukmanya. tanpa ia tahu harus berbuat apa.
Dan pada saat itulah Roro Centil telah pentangkan se-
puluh jari tangannya. Menghantam ke  depan. Bagai
dihempas angin taufan yang amat dahsyat. terdengar
teriakan tertahan si Dewi Tengkorak ketika tahu- tahu

tubuhnya terpental ke belakang lima tombak.
"Buk...! Tubuh bugil itu meluncur deras meng-
hantam batang pohon di  belakangnya, dengan keki
terpentang ke atas. Dan pada detik itu juga. Meluncur
deras sebuah benda hitam panjang ke arah si Dewi
Tengkorak.
JROT..! Terdengar pekik panjang mengerikan,
ketika tombak pusaka Ratu Sima yang meluncur deras
itu, telah menancap tepat di  pangkal paha si Dewi
Tengkorak. Joko Sangit cuma bisa menatap dengan
mulut ternganga. Kejadian itu begitu cepat. Dan di luar
dugaan sama sekali... Ketika ia berpaling ke arah Roro
Centil, ia hanya dapat melihat berkelebatnya bayangan
merah jambu. Yang dalam beberapa kejap saja telah
lenyap di kesamaran senja yang temaram.. Namun la-
pat-lapat masih terdengar suara di telinganya yang di-
barengi dengan gelak tertawa cekikikan yang memban-
gunkan bulu roma.
"Hi hi hi... hi hi... Silahkan kau bawa tombak
Pusaka itu. Joko Sangit! Tapi kalau kau coba-coba
mendustaiku, jangan harap aku akan membiarkan di-
rimu bergentayangan lagi di muka bumi ini..! Dan jan-
gan anggap lagi aku sahabatmu..." Joko Sangit terpaku
tak bergeming ditempatnya. Sukmanya seolah terbawa,
dengan kepergian si Pendekar Wanita Roro Centil.
Yang tak dapat dipastikan apakah ia sudah menjadi
orang yang tidak waras lagi. Selang sesaat terdengar
laki-laki itu menarik napas panjang. Seolah baru saja
terlepas dari amukan prahara  badai taufan yang me-
nyesakkan dada. Ketika ia palingkan wajah ke arah si
Dewi Tengkorak, seketika bergidik tubuhnya. Karena
tubuh wanita bugil itu masih tergantung menempel di-
batang pohon, disangga tombak pusaka yang telah
memakunya di situ. Sedangkan posisi tubuhnya masih

tetap seperti tadi, yaitu dengan keadaan kaki teren-
tang. Sementara darah kental merembes turun dari se-
la-sela yang telah tertutup rapat oleh batang tombak
hitam... Walaupun seketika wajah Joko Sangit agak
memerah, dan terasa
panas, namun diam-diam ia ngeri juga dibuat-
nya. Di samping ia agak bingung. dengan cara bagai-
mana ia mencabut benda pusaka yang menancap begi-
tu..?

7

"ROROOOOOOOOO..! Tolonglah aku... Be-
baskan aku.. Bunuh si kakek pengemis bau ini! Aku
tak mau kawin dengan anak gadisnya. Aku tak akan
mau kawin dengan siapapun kalau tidak denganmu,
Roro..! Aku telah lama mencintaimu..." Ginanjar berte-
riak-teriak kalap. Tangan dan kakinya bergerak-gerak
menghantam kiri dan kanan. Akan tetapi amat kasi-
han bila melihatnya. Karena ia cuma bisa gerakkan ibu
jari kaki dan tangannya saja. Sedangkan dalam bayan-
gannya, ia telah mengamuk dan meronta dengan he-
bat... Pemuda itu terbaring pada sebuah pembaringan
dari batu beralas rumput kering dan jerami. Di atas
sehelai tikar yang sudah lusuh. Matahari yang tersem-
bul dari balik bukit itu. cuma mampu pancarkan sinar
menembus langit-langit kamar. Dan menerangi sedikit
bagian dalam ruangan Goa yang tersembunyi itu. Mu-
lut Goa yang cuma sedikit menganga itu agaknya pintu
masuk dari luar. Tapi di bagian. sebelah dalam, setelah
melewati lorong yang hanya muat untuk satu tubuh
manusia, terdapat ruangan yang luas. Bahkan disini
udara masuk cukup banyak. Karena tiga buah lubang

agak besar, menganga di setiap dindingnya. Kalau kita
coba melongok keluar lubang, akan ngeri melihatnya.
Karena di bawah sana adalah jurang yang amat dalam
sekali. Goa itu ternyata terletak di lereng tebing curam.
Untuk mendatangi Goa itu, tentu saja amat sulit bagi
manusia biasa. Atau bahkan orang yang ilmunya be-
lum mencapai tingkat tinggi, tak akan mampu me-
rayap kesana. Namun aneh... si pemuda Ginanjar itu
ternyata telah berada di dalam Goa misterius tersebut.
Siapa lagi yang membawanya kalau bukan si kakek
pengemis aneh itu.
Tebing terjal itu memang amat curam, dengan
di kiri dan kanannya jurang luas yang dalam terben-
tang luas. Burung-burung walet tampak berbondong-
bondong keluar dari lubang-lubang batu tebing. Sua-
ranya riuh bercicitan. Sedang di lubang lain binatang-
binatang ini berseliweran keluar masuk lubang dengan
suara berisik. Ketika mendengar suara teriakan pemu-
da itu, sesosok tubuh julurkan kepalanya dari sebuah.
Dan terdengar suaranya:
"Eh, bocah bandel! Kalau kau mau bersabar,
aku akan lepaskan kau..! Tapi kalau kau sanggup me-
nerima syaratnya!" Ginanjar berhenti berteriak. Kata-
kata itu terdengar bagai mendengung di telinganya. Ke-
tika ia membuka matanya, ia bagaikan orang linglung.
Karena sama sekali ia tak mengetahui ada di mana.
Ternyata ia telah mengigau. Karana barusan saja ia
terbangun dari tidurnya setelah semalam suntuk ia
terbaring di pembaringan itu. Keringatnya mengucur
deras dari dahinya. Setelah memulihkan ingatannya,
Ginanjar menyahuti:
"Berikan syaratnya kakek pengemis. Aku pasti
akan laksanakan, asal tak kau kawinkan aku dengan
cucu perempuanmu! Teriak Ginanjar. Akan tetapi ter-

dengar suara tertawa si kakek geli sekali, terkekeh-
kekeh.
"He he heh heh heh. he he... Siapa yang punya
cucu perempuan? Kalaupun ada tak nantinya ku ka-
winkan denganmu. Tapi kau tetap takkan kubebaskan
sebelum kau penuhi janjimu..! Berkata si kakek. Men-
dengar kata-kata itu terbeliak sepasang mata
Ginanjar. Karena ternyata sang kakek aneh itu
cuma bergurau saja. Siapakah gerangan kakek aneh
yang berilmu tinggi itu..? Berfikir Ginanjar dengan se-
juta pertanyaan di benaknya. Tetapi diam-diam ia ber-
doa semoga si kakek itu bukan tokoh dari golongan ja-
hat.

8

Beberapa pekan berlalu sudah... Puncak Ma-
hameru telah banyak didatangi tokoh-tokoh persilatan
dari berbagai pelosok. Mereka belum berkumpul se-
mua di atas puncak yang terasa berhawa panas itu.
Yang ditimbulkan dari hawa kawah itu Beberapa ke-
lompok tampak membuat tenda-tenda atau tempat
bermalam, di lereng-lereng gunung... Tentu saja tidak
semua dari mereka itu datang hanya untuk menonton
jalannya pertandingan. Apalagi undangan itu datang-
nya tidak resmi. Dan tak diketahui siapa yang telah
mengundangnya. Akan tetapi. tetap saja banyak yang
datang, karena disamping ingin mengetahui siapa ge-
rangan manusia yang telah bermulut besar itu. Yang
dengan berani, telah menyelenggarakan pertemuan be-
sar yang aneh itu. Juga kedatangan mereka adalah
mencari tahu tentang Ketua Rimba Hijau Ki Dharma
Tungga. Yang tak ada kabar beritanya sejak beberapa

tahun belakangan ini... Bahkan menurut perkiraan
beberapa tokoh tua kaum persilatan. yang sudah men-
gundurkan diri dari dunia Rimba Hijau, bahwa masa
jabatan Ketua Ki Dharma Tungga masih belum habis.
Dan segala sesuatunya haruslah seizin, atau sepenge-
tahuan sang Ketua atau wakil darinya. Yang tentunya
akan diadakan pertemuan diantara para tokoh pent-
ing, bilamana ada sesuatu perubahan mengenai hal-
hal memilih ketua baru sebelumnya. Tapi hal seperti
ini adalah benar-benar keterlaluan. Bahkan mengenai
siapa yang telah menyelenggarakan upacara saja, tak
diketahui. Sebenarnya untuk tidak datangpun tak ada
persoalan. Karena siapa tahu kalau hal itu adalah un-
tuk memancing kekacauan belaka. Namun sebagai
kaum Rimba Hijau, yang amat peka dengan segala se-
suatu kejadian aneh.. Membuat banyak juga yang ber-
datangan ke puncak Mahameru... Ternyata pada pun-
cak gunung itu, di lereng kawah ada terdapat tanah ra-
ta. Dimana di  sekelilingnya telah tertancap tonggak-
tonggak kayu yang berbentuk melingkar. Walaupun
tak ada tanda-tanda bendera atau lambang. Namun
mereka dapat memastikan akan terbukti juga bahwa si
pengundang itu tidak main-main. Karena telah menye-
diakan tempatnya. Atau arena untuk suatu pertarun-
gan. Perhitungan waktu yang ditetapkan adalah den-
gan melihat bulan. Dimana di saat munculnya selarik
garis dilangit. Menandakan itulah waktunya diadakan
pertandingan untuk menentukan calon Ketua. Dan se-
belum masa bulan muncul itu, mereka harus sudah
berkumpul. Pertarungan cuma diadakan satu pekan.
Bila lewat waktu yang ditentukan, maka pemilihan ke-
tua telah berakhir. Saat waktu yang ditentukan tinggal
tiga hari lagi. Semua kaum persilatan yang datang,
menanti dengan hati berdebar. Ingin sekali mereka me-

lihat siapa gerangan tokoh Rimba Hijau. yang telah be-
rani sembrono untuk mengadakan penyelenggaraan
pertemuan besar-besaran yang misterius itu.. Namun
dihari berikut, di saat waktu tinggal dua hari lagi.
Menjelang pagi, telah tertancap disekeliling tanah rata
itu berpuluh-puluh bendera MERAH dengan simbol li-
ma ekor Serigala. Kelima ekor Serigala-Serigala itu
cuma bergambar kepalanya saja. Dan berwarna putih.
Berbaris sepanjang bendera. namun di atas dasar war-
na hitam. yang berbentuk Serigala utuh dengan tu-
buhnya. Dan menjelang satu hari lagi. Di tengah tanah
rata itu telah terbentang sebuah kemah tertutup. Ber-
warna hitam. Sedangkan di atas kemah itu telah berdi-
ri tiang yang tinggi. Dengan bendera yang terlihat se-
puluh kali lebih besar, dari bendera-bendera yang ter-
dapat disekeliling tanah rata. Tak ada seorangpun dari
para pengunjung yang berani mengganggu atau me-
masuki tenda hitam itu. Bahkan kapan berdirinya ke-
mah itu saja tak ada yang tahu. Seandainya mungkin
ada, sudah pasti akan tutup mulut. Karena disamping
harus waspada akan setiap keributan. Karena diseke-
liling mereka bukan dari golongan lurus saja. Tokoh-
tokoh kaum hitam pun banyak yang berdatangan.
Khawatir. salah-salah sebelum di  adakannya pertan-
dingan, nyawa sudah melayang siang-siang... Menje-
lang malam, di hari esok yang bakal dipastikan di ada-
kannya pertarungan untuk pemilihan Ketua. Hampir
semua dari pengunjung, tak ada yang berani tidur.
Bahkan tak bisa tidur. Karena mereka mengkhawatir-
kan akan hal-hal yang bisa saja terjadi setiap saat.
Menjelang tengah malam sekonyong-konyong terden-
gar suara melengking tinggi. Berkumandang di udara.
Seperti suara jeritan arwah yang mati penasaran. Atau
mirip raungan serigala... Membuat beberapa kelompok

dari para pengunjung, terperangah. Dengan puluhan
pasang mata melotot tak berkedip, menatap ke arena
yang sunyi lengang itu. Bahkan gelapnya malam mem-
buat mereka tak dapat melihat apa-apa di  hadapan-
nya. Sesosok tubuh telah berkelebat cepat sekali me-
masuki tenda hitam, tanpa menimbulkan suara. Dan
selang sesaat, telah disusul oleh lima sosok bayangan
lainnya. Namun gelap pekatnya malam, membuat tak
seorangpun yang melihat. Suasana tetap sepi lengang
tak berubah. Hanya kepak sayap kelelawar, sekali se-
kali terdengar. Membuatnya terkesiap. dengan jantung
berdetak keras. Tapi mereka cuma bisa terdiam dan
memaki dalam hati.
Fajar pun menyingsing... Seakan-akan lama
sekali malam itu berlalu. Namun yang dinanti sebentar
lagi akan tiba. Tampak beberapa kelompok yang terpi-
sah-pisah itu mulai bergeser beringsut lebih dekat lagi,
ke sisi tanah datar yang dikelilingi bendera merah ke-
cil-kecil itu. Seperti tak sabar untuk segera melihat
siapa yang bakal muncul ditengah arena. Tenda hitam
itu masih tetap tertutup rapat. Tanpa seorangpun tahu
apa dan siapa didalamnya. Hingga Matahari mulai
menggelincir naik, suasana masih belum berubah.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan salah seorang
dari pengunjung yang agaknya sudah tak sabar lagi.
"Hoooiiiiii...! Yang berada di dalam tenda hitam!
Tampakkanlah siapa dirimu..! Agar kami tahu siapa
gerangan yang telah menyelenggarakan pertemuan gila
ini..!" Demikian teriakannya. Dan disambut dengan
gemuruh suara-suara di sekelilingnya. Seperti menye-
tujui tindakan berani yang telah diperbuatnya. Tapi
tampaknya tak ada seorangpun yang berani mengelua-
rkan suara.
Selang sesaat, tiba-tiba kain tenda hitam ter-

singkap. Dan dua sosok tubuh melompat keluar. Ke-
dua orang itu mengenakan jubah berwarna hijau. Wa-
jahnya tampak gagah dan masih muda-muda. Kedua-
nya menjura ketiga jurusan. Ternyata kedua orang itu
masing-masing bertubuh cacad. Yang seorang putus
sebelah kakinya. Dan yang seorang lagi putus kedua
tangannya. Salah seorang sudah buka suara:
"Saudara-saudara kaum Rimba Persilatan. Ka-
mi menghaturkan terima kasih atas kedatangan kalian
kemari. Hehe hehe... he he.... Mengenai hal pemilihan
Ketua, yang memang dirahasiakan ini, kami sanggup
menunjukkan bukti. Bahwa pertemuan yang kami
adakan bukanlah pertemuan gila..!" Selesai berkata,
kedua tubuh itu kembali melompat ke belakang. Dan
berdiri tegak di kiri kanan tenda. Detik berikutnya me-
lompat lagi dua sosok tubuh, laki-laki dan wanita. Dan
setelah menjura ketiga jurusan, kedua orang muda in-
ipun melompat mundur. Dan berdiri berjajar di  kiri-
kanan tenda. Beberapa puluh pasang mata menatap
wajah-wajah keempat orang itu dengan tak berkedip.
Selang sesaat, telah melompat lagi keluar tenda. Kali
ini hanya seorang... Dia seorang wanita yang menyan-
dang dua pedang di belakang punggungnya. Dan sete-
lah menjura ketiga jurusan, wanita ini berkata lantang:
"Nah..! Adakah diantara kalian yang akan men-
gatakan bahwa pertemuan ini adalah pertemuan gi-
la...?" Tampak ia palingkan kepala ketiga penjuru. Tapi
tampaknya tak ada seorangpun yang berani mengelua-
rkan suara. Selang sesaat si wanita sudah berkata lagi:
"Nah! Kalau begitu pertandingan akan segera di
mulai..! Silahkan siapa yang berani maju terlebih dulu!
Kami adalah terdiri dari lima orang. Bila diantara ka-
lian ada yang ingin maju seorang demi seorang. Akan
kami layani. Tetapi haruslah dapat mengalahkan kami

satu persatu. Yaitu dengan menembus pertahanan ba-
risan kelompok dari "Lima Serigala Malaikat". Sean-
dainya tak ada yang berani maju dengan seorang diri,
silahkan maju dengan sekelompok. Tapi tidak boleh le-
bih dari sepuluh orang. Nah. waktu telah tiba..!" Teriak
si wanita berpedang dua itu. Dan tiba-tiba ia telah ke-
luarkan sebuah benda dari saku bajunya. Benda itu
disulut dengan api. Setelah mundur lima tindak. Terli-
hat benda itu berbunyi mendesis, serta mengeluarkan
asap. Dan beberapa detik kemudian...
Whusssss...! Benda yang panjangnya sejengkal
itu meluncur keudara menimbulkan percikan api dan
asap tebal. Kira-kira 100 tombak terdengar bunyi leda-
kan keras.
DHUARRRR...! Benda itu telah meledak di ang-
kasa. Menimbulkan cahaya berwarna-warni sebesar
lingkaran tanah datar di bawahnya. Kemudian si wani-
ta itupun melompat mundur. Dan berdiri berjajar di
sebelah keempat kawannya. Beberapa saat mereka
menunggu orang pertama yang akan maju ke tengah
arena. Masing-masing para pengunjung tampak ter-
dengar bersuara riuh. Kepala-kepala mereka bergerak
kekiri-kekanan seperti ingin melihat siapa yang berani
maju. Tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh ke  tengah
arena. Ternyata seorang laki-laki tua bertubuh gemuk.
Dengan perutnya yang buncit menggembung. Laki-laki
ini memakai jubah berwarna putih. Pada lehernya ter-
gantung seuntai tasbih dari perak. Dia lantas menjura
ke hadapan kelima wajah di hadapannya seraya berka-
ta:
"Maaf, kami datang mewakilkan diri dari partai
kami yaitu Partai Giri Manuk. Aku sendiri bergelar si
Tasbih Perak. Kedatanganku adalah ingin menanya-
kan, apakah dalam pertandingan ini tak disediakan

beberapa orang juri..? Karena mana mungkin suatu
pertandingan diadakan, tanpa adanya juri. Jadi siapa
yang dapat menentukan kalah menangnya..?" Suara si
gendut Tasbih Perak ini terdengar lantang, walau tam-
paknya ia berkata biasa saja. Pertanda ia bukan seo-
rang tokoh sembarangan. Apa lagi Partai Giri Manuk
sudah tersyiar keharuman namanya di Rimba Hijau.
Mendengar kata-kata si gendut itu, serentak terdengar
suara teriakan ramai, yang membenarkan ucapan atau
sanggahan itu. Akan tetapi kelima orang di hadapan-
nya telah melompat berbareng ke depan. Dan sekaligus
membentuk barisan pertahanan. Berbentuk kerucut.
Dengan paling depan adalah si wanita berpedang dua.
Terdengar ia berkata:
"Heh! Tasbih Perak! Penentuan juri adalah oleh
pihak kami sendiri. Tak usah pakai macam-macam
urusan rumit. Kalau kau sanggup menembus barisan
kami, dan menumbangkan kami satu persatu. Kau bo-
leh angkat dirimu menjadi Ketua..!" Si Tasbih Perak
tampak kerutkan kening. Sepasang alis lebat yang
hampir memutih semua itu mencuat ke atas. Ia sudah
lantas berkata: "Mana bisa ada peraturan begitu..? Ba-
gaimana kalau kalian berlaku curang...? Hal semacam
ini tak bisa dibenarkan!" Akan tetapi Siti Jenang telah
membentak.
"Segala keputusan adalah di tangan kami. Se-
mua pengunjung dapat dijadikan saksi. Kalau ada hal
kecurangan. kalian boleh memprotes..!"
"Huh! Benar-benar peraturan gila..!" Memaki si
Tasbih Perak. Dan ia sudah akan bergerak untuk me-
lompat keluar arena. Akan tetapi. sekali lompat si wa-
nita telah melompat menghadang. Seraya pentang ke-
dua tangannya, diiringi bentakan keras. "Tunggu Tas-
bih Perak! Kau sudah masuk ke dalam arena. Berarti

kau harus menghadapi kami. Bila kau mau keluar, si-
lahkan tinggalkan nyawamu..!" Dan keempat kawan
dari Lima Serigala Malaikat segera telah mengurung-
nya. Melengak si Tasbih Perak. Sepasang matanya jadi
mendelik gusar. Memandang sekeliling ia dapati wajah
wajah kaku yang menatap tajam padanya. Dan ketika
menatap si dua manusia cacad itu, hati si Tasbih Pe-
rak jadi tersentak. Wajah itu ia mengenalnya. Dan ia
sudah lantas berkata:
"He..!? Bukankah anda berdua si Pendekar
Kembar adanya..?" Terdengar suara tertawa sinis. Si
kaki buntung sebelah menyahuti.
"Wajah kami memang wajah si Pendekar Kem-
bar. Akan tetapi kami adalah Dua Siluman Gunung
Kawi, yang akan menumpas seluruh golongan kaum
putih. Kami telah menguliti kulit muka si pendekar
kembar tolol itu..!" Mendesis suara Kala Munget. Ter-
beliak mata si Tasbih Perak. Wajahnya menampilkan
kemarahan hebat.
"Kalau begitu kalian si Kala Munget dan Kala
Wesi adanya. Sungguh perbuatan biadab yang kalian
lakukan!" Dan ia sudah mencabut keluar Tasbih Pe-
raknya. Namun ia sudah membentak lagi dengan sua-
ra lantang:
"Baik. Lima Serigala Malaikat! Bentuklah bari-
san kalian! Aku orang pertama yang akan mewakili
perguruan dari Partai Giri Manuk. Tapi bukan untuk
menduduki jabatan Ketua, melainkan untuk menum-
pas lima iblis tengik yang gila pangkat..!" Tadinya Kala
Wesi sudah mau menerjang  karena sudah tak sabar
untuk menghabisi orang. Akan tetapi telah diberi isya-
rat oleh Siti Jeneng. Karena hal itu akan di anggap pa-
ra pengunjung sebagai tindakan tak beraturan. Segera
saja telah berlompatan kelima Serigala Malaikat untuk

membentuk barisan.  Kali ini susunan berubah. Kele-
lawar Besi berada didepan. Bagian belakang dua
orang, yaitu Kala Munget dan Kala Wesi. Dan dua
orang lagi agak melebar di  belakang, adalah Siti Je-
nang dan Rimba Wengi. Siti Jenang telah mencabut
keluar sepasang pedang hijaunya, milik si Pendekar
Kembar Gambir Anom dan Gambir Sepuh. Kini semua
mata terpantang lebar di luar arena, untuk menyaksi-
kan pertarungan seru. Dengan hati berdebar. Si gen-
dut Tasbih Perak telah mundur dua tindak. Sepasang
matanya tampak merah bagai biji saga, ia sebagai seo-
rang tokoh tua kaum putih, benar-benar merasa terhi-
na kalau tak turun tangan menumpas kelima wajah ib-
lis di  hadapannya. Segera saja ia berteriak keras, se-
raya menerjang dengan gerakan kilat. Tasbihnya ber-
kelebat menghantam. Sedangkan sebelah lengannya
bergerak memukul si Kelelawar Besi terdengar men-
dengus. Sepasang lengannya meluncur ke arah dada.
Sedang pukulan tasbihnya ia elakkan dengan miring-
kan kepala. Sementara pukulan sebelah lengannya ia
tak mengurusi, karena di  belakang ada Kala Munget.
Terkejut bukan main si Tasbih Perak. Segera ia gerak-
kan tubuh menghindar ke samping. Kakinya bergerak
menyambut pukulan kedua lengan si Kelelawar. Ada-
pun hantaman Tasbih Peraknya mengenai tempat ko-
song. Namun pukulan lengannya telah disambut oleh
Kala Munget dengan gubatan ujung lengan jubahnya.
Kala Munget memang tak mempunyai lagi kedua len-
gan. Yang sudah putus sebatas siku. Namun dengan
ujung lengan jubahnya, ia telah mampu menahan se-
rangan lawan bahkan dapat menggubat lengan lawan.
Pada saat itulah si Kelelawar yang serangannya lolos,
mendapat sambutan terjangan kaki. Maka cepat bagai
kilat. Sepasang lengan besi itu telah berhasil menceng-

keram kaki lawan. Terdengar teriakan parau si Tasbih
Perak. Dan di saat teriakannya belum lagi habis. Tu-
buhnya telah terlempar ke  belakang barisan. Dalam
keadaan kaki hancur, tubuh si Tasbih Perak meluncur
deras, terbawa oleh sentakan lengan jubah Kala Mun-
get. Dibawah Siti Jenang telah menanti dengan sepa-
sang pedang hijaunya. Dan Rimba Wengi sudah siap
menghantam dengan telapak tangannya. Perlu diketa-
hui Rimba Wengi adalah yang dijuluki Siluman Tela-
pak Darah. Bila pukulannya mengenai dada atau
punggung, maka jangan harap manusia dapat berta-
han hidup. Karena sebelah lengannya telah mengan-
dung racun yang amat hebat. Dan juga bukan lengan
asli. Yaitu sebuah lengan palsu terbuat dari perunggu,
yang telah terendam dengan air racun selama bebera-
pa tahun. Dalam keadaan luka parah. karena sebelah
tulang kakinya hancur, si Tasbih Perak dapat melihat
berkelebatnya dua pedang hijau mengarah perut. Dan
di  sebelah kiri telah siap sebuah lengan dengan tela-
paknya berwarna hitam untuk menghantam dada.
Terperangah ia seketika. Tiba-tiba ia gunakan tubuh-
nya untuk bersalto di udara. Kedua lengannya segera
ia gerakkan untuk menghantam. Terpaksa Rimba
Wengi berkelit menghindar. Dan Siti Jenang melompat
dua tindak. Detik berikutnya, dengan menggelinding-
kan tubuhnya berjungkir balik... ia telah berhasil lolos
dari serangan kelima Serigala Malaikat. Walaupun Kala
Wesi tak punya kesempatan untuk menyerang. Dengan
berdiri pada kedua lutut, si Tasbih Perak sudah siap
menanti serangan-serangan selanjutnya. Akan tetapi
sudah terdengar suara teriakan dari para pengunjung
diluar arena yang menyatakan kemenangan si Paderi
Tasbih Perak. Belum lagi reda suara riuh itu tahu-tahu
Tasbih Perak telah roboh terjungkal, untuk tidak ber-

kutik lagi. Seketika suara riuh itu terhenti. Terdengar-
lah suara Siti Jenang dengan lantang diiringi suara
tertawanya.
"Hi hi hi... Apakah kalian mau mengangkat
orang mati untuk menjadi Ketua..!?" Dan serentak lima
orang dari luar arena masuk ke tengah, dengan ber-
lompatan. Kelima Serigala Malaikat menyingkir ke tepi.
Dan biarkan mereka menghampiri si Tasbih Perak
yang masih tertelungkup dengan sebelah kaki hancur.
Segera mereka memeriksa tubuh si paderi gendut itu.
Dan tampak seketika wajah mereka berubah pias. Ter-
nyata si Tasbih Perak benar-benar telah tewas... Tak
berayal lagi segera mereka menggotongnya cepat ke-
luar arena. Suara riuh kembali terdengar. ketika bebe-
rapa orang diluar arena mengerumuni mayat si Tasbih
Perak. Namun kelima orang yang mengangkutnya, se-
gera menggotong untuk meninggalkan arena.
Berturut-turut berkelebat delapan orang tokoh
persilatan maju ketengah arena, rata-rata mereka me-
nyandang pedang. Tanpa ayal lagi segera si Lima Seri-
gala kembali membentuk barisan. Dan saat berikutnya
kembali terjadi pertarungan seru. Delapan orang itu
adalah dari Partai Rajawali. Tentu saja mereka datang
bukan atas keinginan merebut kursi Ketua Rimba Hi-
jau. Karena mereka datang untuk membalas dendam.
Mereka adalah orang-orang atau murid utama dari
Partai Rajawali. Yang diutus oleh kedua gurunya si Se-
pasang Rajawali Putih. Untuk mengecek kebenaran
adanya pertemuan besar itu. Semua orang menahan
napas, ketika kelima Serigala Malaikat menerjang den-
gan ganas. Melancarkan serangan-serangan keji. Dua
orang menjerit tatkala lengan si Kelelawar Besi men-
cengkeram hancur sebelah kaki, dan sebelah lengan
dari kedelapan peserta. Di lain tempat, satu orang ber-

teriak ngeri, karena dadanya tertembus tongkat berca-
gak Kala Wesi. Dan seorang terjungkal dengan kepala
remuk, oleh Rimba Wengi, dengan dada terpanggang
oleh dua bilah pedang hijau. Hanya dalam waktu tak
berapa lama, kedelapan murid utama Partai Rajawali
telah roboh. Serentak kelima Serigala Malaikat melom-
pat kedua sisi. Berarti telah mempersilahkan orang un-
tuk mengambil mayatnya. Segera beberapa orang maju
melompat, tapi bukan untuk mengambil mayat. Me-
lainkan menggempur kelima Serigala Malaikat.
"Iblis-iblis keji...! Bukan begini caranya untuk
pemilihan Ketua..!" Berteriak salah seorang. Ternyata
Warok Brengos yang telah maju melompat, diikuti
sembilan orang kawannya. Segera terjadi pertarungan
hebat. Mereka menerjang tanpa mau perduli lagi den-
gan segala macam aturan. Tapi hanya sekejap... Kare-
na telah terdengar teriakan-teriakan ngeri. Beberapa
tubuh telah terjungkal untuk tidak berkutik lagi.
Hanya tinggal lagi Warok Brengos dan dua kawannya.
Kematian beberapa kawannya itu memang aneh. kare-
na kelima Serigala belum melakukan pukulan, dan
cuma berkelebatan saja melompat untuk menyingkir.
Hal mana membuat Warok Brengos agak curiga den-
gan keadaan di  dalam tenda. Tiba-tiba si Pisau Ter-
bang dari Madura itu telah kelebatkan tiga buah pi-
saunya. Membersit tiga benda halus menyambar tiga
buah pisau. Yang segera ketiga benda itu meluncur ba-
lik dengan cepat ke arah tiga orang itu. Dua dari ka-
wan Warok Brengos terjungkal roboh. Namun si Bre-
wok berhasil menangkap kembali senjatanya. Wajah-
nya seketika berubah pucat. Dan ia telah keluarkan te-
riakannya...
"Iblis-iblis licik..! Kalian sembunyikan orang di
dalam tenda untuk main bokong!" Akan tetapi sebelum

ia melompat keluar arena, si Brewok telah keluarkan
jeritan ngeri... Karana dua buah pedang hijau telah
menembus punggungnya. Seketika tubuhnya roboh
terguling. Dan berkelebatlah Siti Jenang. untuk kem-
bali mencabut senjatanya yang telah tertancap amblas
itu. Dan ia sudah berkata lantang...
"Saudara-saudara..! Manusia ini telah berani
memfitnah. Dan bertarung dengan tak beraturan! Su-
dah selayaknya kami membunuhnya mampus..!" Dan
teriaknya lagi.
"Nah..! Silahkan kalau ada yang mau maju la-
gi..!" Akan tetapi belasan orang tampak telah bergerak
meninggalkan arena. Bahkan juga diiringi dengan te-
riakan caci maki. Wajah-wajah mereka menampakkan
kegusaran. Akan tetapi pada saat itu berkelebat dua
sosok tubuh. Kedua orang itu berpakaian putih putih.
Ternyata kedua orang itu laki-laki dan wanita. Melihat
kemunculan kedua orang ini, Siti Jenang berkelebat
melesat tiga tombak di  hadapannya. Seraya berkata
dengan nada dingin:
"Bagus..! Kiranya Sepasang Rajawali Putih ber-
kenan juga datang kemari! Hi hi hi... Apakah kalian
mengenali sepasang Pedang Mustika Hijau ini..?!" Ber-
kata Siti Jenang, seraya menunjukkan kedua bilah pe-
dang di kedua lengannya. Terkesiap sepasang Rajawali
Putih. Ia segera mengetahui benda itu milik siapa.
"Keparat..! Apa yang telah terjadi dengan kedua
murid kembar ku itu..?" Teriak si wanita. Sedang si la-
ki-laki tertegun menatap sepasang pedang hijau itu.
"Hihi... hihi... hi hi... Kedua murid kembar mu
si Pendekar Kembar itu telah kami kuliti kulit wajah-
nya. Dan orangnya telah kami bunuh mampus!" Teriak
Siti Jenang. Dan kembali melompat  ke belakang.
"Setan laknat..!" Teriak si wanita. Dan ia sudah

hendak melompat menerjang. Akan tetapi telah diha-
langi oleh si laki-laki.
"Sabarlah istriku..! Jangan bertindak gegabah!
Mereka telah membentuk kelompok dari lima orang
yang berkepandaian tinggi!" Berkata si laki-laki. Akan
tetapi telah terdengar teriakan Siti Jenang kembali,
sementara kelima manusia berjulukan si Lima Serigala
Malaikat itu semakin maju mendekati.
"Hi hi hi... sepasang Rajawali Putih ternyata ra-
gu-ragu. Lebih baik serahkan saja jiwa kalian! Pende-
kar-pendekar macam kalian hanya menjadi perintang
saja bagi kami..!"
"Setan-setan laknat..! Majulah..!" Teriak si wa-
nita. Dan ia telah keluarkan senjatanya sepasang ca-
kar basi berbentuk kaki burung Rajawali. Adapun si
laki-laki mencabut keluar sebuah pedang tipis, beru-
jung melengkung bagai paruh burung.
"Hm... Hati-hatilah istriku..! Didalam tenda ada
manusia yang dapat pergunakan senjata rahasia un-
tuk membokong kita. Jangan kau sampai terpancing
olehnya..!" Wanita ini anggukkan kepala. Ia tidak lang-
sung menerjang, namun bersuit keras. Tiba-tiba mun-
cul seekor burung Rajawali raksasa, yang besarnya ti-
ga kali tubuh manusia. Ia sudah lantas memberi perin-
tah.
"Putih..! Kau hancurkan tenda itu. Dan kacau
barisannya..!"

9

Sesosok tubuh berlari cepat sekali bagaikan
anak panah lepas dari busurnya... beberapa anak sun-
gai telah dilompatinya. Bahkan lereng terjal dan lem-

bah ngarai ia turuni, untuk kembali mendaki. Seperti
tak ada rasa lelah sama sekali tampaknya. Sosok tu-
buh itu susah dilihat bentuknya. Karena hanya bayan-
gan putih saja yang terlihat meluncur pesat... Ketika
tiba di lereng Mahameru. tampak ia berhenti. Ternyata
ia tengah mengatur pernapasan sejenak. Dengan ber-
tolak pinggang ia menatap ke arah puncak Mahameru.
Ternyata ia seorang pemuda gagah. Menyandang pe-
dang di pinggangnya. Siapa lagi kalau bukan Ginanjar,
si pemuda murid mendiang Pendekar Bayangan Bayu
Seta. "Aku harus  tiba di  puncak sebelum terlambat,
dan banyak korban berjatuhan!" Mendesis keluar sua-
ra dari mulutnya. Tiba-tiba ia menyibak bajunya. Sege-
ra terlihat memancar sinar kemilau berwarna pelangi
dari sebuah benda yang tergantung di  dadanya. Ter-
nyata benda itu adalah sebuah Medali Bentuknya bu-
lat sebesar piring kecil. Dengan ukiran indah dari emas
murni. Bertatahkan intan berlian di sekelilingnya. Se-
dang pada bagian tengahnya adalah batu pualam ber-
warna putih. Yang berkilatan terkena cahaya sinar ma-
tahari. Ginanjar perhatikan benda di tangannya. Sete-
lah menghela napas sejenak, segera ia tutup lagi ba-
junya. Kembali ditatapnya puncak Mahameru. Walau-
pun tampak keringat mengucur deras membasahi se-
kujur tubuhnya. tampak semangat tetap menyala di
sinar matanya. Dan kembali ia menggenjot tubuh un-
tuk berlari lagi mendaki lereng... Tapi baru tujuh-
delapan kali kakinya menindak, telah terdengar benta-
kan. Dan tiga sosok tubuh telah muncul di hadapan-
nya.
"Berikan benda itu pada kami, sobat muda..!
Dan silahkan kau teruskan perjalananmu..! Kami yang
akan mengantarkannya pada wakil Ketua Rimba Hi-
jau!" Ginanjar hentikan tindakannya. Sepasang ma-

tanya menyapu wajah tiga manusia dihadapannya.
Ternyata yang mencegat adalah si Dua Dewi dan Gu-
riswara si Pemabuk Dermawan. Tentu saja Ginanjar
jadi melengak. Menyesal ia telah mengeluarkan benda
itu dari balik bajunya. hanya untuk memandang akan
keindahannya.
"Hm. siapakah wakil dari Ketua Rimba Hijau..?"
Balik bertanya Ginanjar. Setelah terdiam sejenak, Gu-
riswara menyahuti.
"Kau akan dapat mengetahuinya nanti. Benda
itu tak boleh sampai orang dari lain golongan menge-
tahui, karena amat berbahaya. Aku  mengkhawatirkan
keselamatannya. hingga akan mencemarkan nama wa-
kil dari Ketua Rimba persilatan lama..!" Ginanjar ke-
rutkan alisnya. Kata-kata itu sama juga dengan batu
yang tercebur ke laut, karena Ginanjar telah mengeta-
hui persoalan mengenai urusan pemilihan Ketua kaum
Rimba Hijau sampai ke akar-akarnya. Ia sudah lantas
berkata:
"Heh..! Begitukah..? Justru akulah wakil dari
Ketua kaum Rimba Hijau. Dan benda di tanganku ini
sebagai tandanya..!" Melengak seketika ketiga wajah
dihadapannya. Akan tetapi si Dewi Kenari telah mem-
bentak:
"Bagus..! Kalau begitu kau harus mampus ter-
lebih dulu..! Dan kami yang akan menggantikan seba-
gai wakilnya..!" Kata-katanya  telah dibarengi dengan
terjangan dua Roda Baja yang meluncur deras ke arah
Ginanjar. Terkesiap pemuda ini, namun ia telah was-
pada. Sebelum kedua benda itu menyentuh tubuhnya,
ia telah berkelebat menghindar. Namun Sawur Sari te-
lah menerjang dengan pedangnya. Ginanjar gertak gi-
ginya. Alisnya naik ke atas. Wajahnya menampilkan
kemendongkolan hatinya. Namun sekejap ia telah ca-

but pedang pusakanya dari pinggang. Berkelebat sinar
perak...
Trang!. Terdengar teriakan tertahan si wanita.
Dan melompat mundur tiga tombak. Sambaran pedang
Ginanjar yang telah dibarengi dengan tenaga dalam
itu, ternyata telah membuat pedangnya terlempar pu-
tus. Pada saat itu juga telah melompat Guriswara. Ter-
nyata ia telah pergunakan dua kapak tipis, yang ia ke-
luarkan dari belakang punggung. Dua sinar berkelebat
menyilang kearahnya, dengan suara bersiutan. Terke-
jut juga Ginanjar. Dan gunakan pedang untuk me-
nangkis.
Trang..! Ginanjar terhuyung tiga langkah. Se-
dang Guriswara terpental tiga tombak. Ternyata kedua
senjata sama-sama senjata pusaka. Dan tenaga dalam
keduanya berbeda satu tingkat. Terkejut Guriswara.
karena tak menyangka tenaga dalam lawan berada di-
atasnya. Tak berayal lagi segera ia isyaratkan kedua
wanita untuk bantu mengurung. Ginanjar  curahkan
perhatiannya. Selama satu bulan ia sudah mendapat
gemblengan dari si kakek pengemis, ternyata telah
membuat ilmu kepandaiannya maju pesat. Bahkan te-
naga dalamnya bertambah dua kali lipat. Ketiga manu-
sia itupun telah menerjang dengan berbareng. Dua ro-
da baja meluncur deras ke arah tenggorokan dan dada.
Dibarengi berkelebatnya dua kapak menyambar kaki.
Sawur Sari melompat tiga
tombak seraya lepaskan segenggam jarum be-
racun. Keringat dingin seketika merembes keluar dari
tengkuk si pemuda. Tubuhnya berputar bagai gasing
menimbulkan angin dahsyat. Seperti juga sekonyong-
konyong di hadapan ketiga penyerang itu telah terjadi
angin puyuh, yang membuat serangan senjata rahasia
Sawur Sari buyar. Kedua roda baja Kili Cantrik terpen-

tal balik. Adapun serangan kedua kapak Guriswara
menemui kegagalan, karena tubuhnya jadi terhuyung
kebelakang. Dan terpaksa ia meramkan sepasang ma-
tanya, karena debu dan pasir yang bergulung-gulung
itu menyambar muka. Ketiganya bergulingan mundur
dua tiga tombak. Ketiganya sudah berdiri lagi untuk
kembali menerjang... Akan tetapi tiba-tiba terdengar je-
ritannya... Tahu-tahu ketiga tubuh itu telah terjungkal
roboh. Ginanjar masih berdiri terpaku ditempatnya
dengan memandang heran. Tampak tiga tubuh itu
berkelojotan bagai ayam di sembelih. Lalu terdiam un-
tuk melepaskan nyawa... Pemuda ini putar kepala dan
tubuh ke beberapa arah. Akan tetapi ia tak melihat
siapa-siapa. Ketika ia coba memeriksa ketiga tubuh
itu, ternyata tiga buah lidi aren telah tertancap dimas-
ing-masing tenggorokannya. Tahulah ia bahwa orang
yang telah menolongnya adalah si kakek pengemis.
Alias Ki Dharma Tungga. Yang ternyata tiada lain dari
si Ketua Kaum Rimba Hijau.
"Guru..!" Teriak Ginanjar. Akan tetapi tak ada
sahutan disekelilingnya. Namun lapat-lapat terdengar
suara yang menitahkan agar cepat naik ke puncak
Mahameru. Pemuda ini tampilkan wajah girang... Dan
tak berayal lagi segera ia enjot tubuh dan segera berke-
lebat naik meniti lereng untuk selanjutnya lenyap dike-
rimbunan pepohonan...

10

Prak..! Prak..! Terdengar suara hantaman ke-
ras, seperti suara segenggam sapu lidi yang dihantam-
kan ke pohon. Tampak berkelebat sebuah bayangan
merah jambu berseliweran di hutan pinus itu. Yang

sebentar-sebentar diiringi dengan bunyi keprekkan ke-
ras menghantam batang-batang pohon. Terdengar ter-
tawa cekikikan dimana bayangan merah jambu itu
berkelebatan. Sesosok tubuh itu tak terlihat jelas. Tapi
gerakannya cepat sekali. Hingga yang terlihat hanya
bayangan pakaiannya saja, berseliweran bagaikan
hantu siluman. Suara tertawanya membuat orang ber-
gidik seram, dan membangunkan bulu roma... Selang
sesaat tampak bayangan merah jambu itu keluar dari
rimbunnya pohon-pohon pinus. Dan melesat cepat ke
atas sebuah batu besar. Berbarengan dengan keluar-
nya sang tubuh itu, terdengarlah suara berkeriutan.
Disusul dengan gemuruh pepohonan yang tumbang.
Ternyata hutan pinus itu hampir separuhnya bertum-
bangan roboh... Suaranya bergemuruh. Tempat itu ba-
gaikan tengah dilanda gempa. Hanya beberapa kejap
saja tempat yang rimbun itu telah menjadi terang se-
paruhnya. Batang-batang pohon telah menjadi rebah.
bertumpangan saling tindih. Bagaikan baru saja di-
amuk oleh tangan raksasa. Ternyata pada setiap po-
hon, akan terlihat batang bagian tengahnya hancur...
Sosok tubuh di atas batu besar itu berdiri menatap
dengan tampilkan senyum aneh. Angin keras yang
membersit dari atas perbukitan, membuat rambutnya
yang panjang berkibaran tertiup angin. Tampaknya
wajah itu belum juga merasakan kepuasan. Dan tiba-
tiba saja ia telah melompat turun dari batu besar itu.
Tubuhnya membungkuk. Sepasang lengannya tiba-tiba
bergerak untuk mengangkat batu besar itu. Luar bi-
asa. Dan hampir tak masuk di akal. Karena gadis ber-
tubuh agak kurus, dengan pinggang yang ramping itu,
ternyata mampu mengangkat batu yang besarnya
hampir sebesar kerbau... Terdengar suara teriakan me-
lengking panjang. Dan tahu-tahu batu besar itu telah

melayang ke atas, kira-kira sepuluh kali tinggi manu-
sia. Saat selanjutnya di luar dugaan tubuh si gadis te-
lah meluncur pula, di saat batu besar itu berhenti se-
saat di udara... Berkelebat bayangan merah jambu ce-
pat sekali. Dan tiba-tiba...
PRAKK...! Ia telah gerakkan kepalanya untuk
menghantam batu besar itu dengan rambutnya. Selan-
jutnya melesat turun bagai anak panah. Begitu ia je-
jakkan kaki lagi, batu besar itu meluncur turun...
Akan tetapi telah menjadi hancur begitu jatuh kembali
ke  tempat semula. Berubah menjadi serpihan serbuk
kecil-kecil. Barulah terdengar suara tertawa panjang
yang nyaring. Melengking tinggi membuat getaran-
getaran hebat. Hingga tampak bergoyang-goyang berja-
tuhan.... Ternyata gadis itu tak lain dari Roro Centil.
Sang Pendekar Wanita Pantai Selatan. Tingkah la-
kunya memang aneh. Akan sukar orang menjajaki ji-
wanya. Terkadang tampak wajahnya tampilkan ke-
gembiraan. Tapi terkadang juga menampilkan kesedi-
han yang amat luar biasa. Agaknya Roro telah menga-
lami goncangan jiwa yang amat hebat. Dan memang
demikianlah adanya... Sejak ia berlalu dari lereng teb-
ing dekat air terjun itu. Roro Centil bagaikan kesuru-
pan berlari cepat menuju Pantai Selatan. Meninggal-
kan Joko Sangit yang kebingungan untuk mencabut
Tombak Pusaka Ratu Sima yang menempel di tubuh si
wanita Dewi Tengkorak. Ia berlari dan berlari dengan
kecepatan bagai melebihi kecepatannya angin. Siang
berganti malam tanpa kenal istirahat. Dan tatkala de-
buran ombak Pantai Selatan itu telah samar-samar
terdengar di telinganya, barulah ia perlambat langkah-
nya. Pagi itu cuaca tak begitu bagus. Sedari pagi angin
keras dari laut, tak berhenti meniup. Ia singgah di se-
buah desa, untuk menangsal perut. Masih tersisa be-

berapa keping uang di  sakunya. Adapun selebihnya
adalah tinggal sebuah Cincin berbatu merah delima
dan sepuluh buah gelang emas bertatahkan intan
permata. Dua cincin dan beberapa untai kalung lain-
nya peninggalan Gurunya itu, telah tak bersisa. Ia cu-
ma periksa sejenak kotak perhiasannya, lalu kembali
menyimpannya kebalik pakaian. Warung kecil diham-
piri. Dan menangsal perut seadanya. Pantai Selatan
memang sudah dekat. Namun semakin dekat, semakin
perlahan langkah Roro. Seolah ia merasa tak kuasa
untuk melangkah... Karena sudah terbayang jenazah
sang Guru yang sudah hampir setahun itu ia tinggal-
kan. Jenazah wanita yang sudah berusia lanjut. na-
mun masih tampak muda. Wanita itulah yang telah
menggemblengnya dengan segala keanehannya. Wa-
laupun sang Guru adalah manusia aneh. Karena ia
bukan laki-laki dan bukan juga  perempuan, namun
Roro amat menghormati dan menyayanginya. Apa lagi
sejak ditinggalkan, sang Guru telah berniat menutup
diri di dalam ruang Goa di dasar tebing pantai selatan
itu. Dan dalam keadaan yang mengenaskan. Karena si
manusia aneh itu telah mencocok kedua lubang telin-
ganya, dengan kedua jari tangannya sendiri. Dan telah
keluar ucapan dari mulutnya untuk tidak mau men-
dengar, dan mencampuri lagi urusan Dunia Rimba Hi-
jau. Sang Guru cuma berteman dengan sebuah benda,
yaitu sebuah tombak hitam. Tombak Pusaka Ratu Si-
ma. Tapi benda itu telah ia lihat sendiri berada di tan-
gan si Dewi Tengkorak. Dan menurut keterangan wani-
ta yang telah dibunuhnya itu, sang Guru telah dibu-
nuhnya. Hancur luluh seketika perasaannya. Remuk
redam hatinya. Hingga dalam keadaan seperti kurang
waras, Roro berlari dan berlari... Namun semakin de-
kat nyatanya semakin lamban ia melangkah. Masih

terngiang kata-kata sang Guru yang mengatakan agar
tidak usah kembali lagi ke Pantai Selatan. Empat ta-
hun yang lalu sejak ia menutup lubang rahasia yang
menuju ke Ruangan Goa di bawah tebing karang itu.
Roro pun telah berniat untuk tak kembali lagi. Walau
kepergiannya juga dengan hati remuk redam. Roro
Centil memang bukan laki-laki. Sebagai seorang wani-
ta, tentu saja lebih peka dengan perasaannya. Hal itu-
lah yang membuat ia kembali berhenti melangkah.
Dan termangu-mangu menatap ke arah tebing pantai
Selatan. Akhirnya jatuh terduduk di atas batu. Lama ia
termangu di situ. Sementara air matanya tak hentinya
menetes, mengalir di kedua pipinya. Ternyata ia telah
terhanyut oleh kesedihan yang luar biasa. Tapi seketi-
ka ia jadi tersentak dari lamunannya. Ketika lapat-
lapat terdengar suara memanggilnya.
"Roro..!" Dan tampak sesosok tubuh berlari
mendatangi. Makin lama sosok tubuh itu semakin de-
kat. Dan beberapa kejap kemudian telah berada di ha-
dapannya. Ternyata yang datang tak lain dari Joko
Sangit adanya. Laki-laki itu menatap Roro dengan wa-
jah memelas. Terlihat ia memegang tombak hitam itu
di lengannya. Roro masih tetap membisu. Seperti tak
perduli akan kedatangan sahabatnya itu.
"Roro..! Sudah kuduga pasti kau akan ke Pantai
Selatan. Aku telah sejak pagi berkeliling di setiap teb-
ing pantai. Untuk mencarimu..! Ternyata kau berada
disini..." Berkata lirih Joko Sangit. Akan tetapi Roro
masih membisu, tak bergeming. Pandangannya mena-
tap kosong ke arah depan. Joko Sangit tahu orang se-
dang terpukul hatinya, segera mendekati lebih dekat.
Kembali ia berucap lirih...
Roro, aku memang mencarimu untuk memba-
wa pesan dari Gurumu, si Manusia Aneh itu..!" Men-

dengar kata-kata itu barulah Roro menoleh, dan tatap
wajah orang dalam-dalam.
"Pesan dari Guruku..?" Bertanya Roro dengan
kerutkan alisnya. Suaranya lirih agak serak. Namun
membersitkan rasa terkejut. Joko Sangit mengangguk.
Dan seraya berkata melanjutkan.
"Beliau aku temui dalam keadaan luka dalam
yang parah tiga bulan yang lalu. Sudah ku coba usa-
hakan menolong jiwanya. Namun sia-sia... Beliau te-
was dengan keadaan yang menyedihkan. Perlu kau ke-
tahui Roro... Beliau adalah adik seperguruan Guruku.
Guruku bernama Ki Jagur Wedha... Yang bergelar
Pendekar Gentayangan..!" Kembali Roro Centil melen-
gak. Baru sekarang Joko Sangit membuka riwayat di-
rinya. Tentu saja penuturan itu membuat Roro berha-
srat sekali mendengarnya. Joko Sangit meneruskan ce-
ritanya.
"Menurut penuturan beliau, yang telah menge-
royoknya adalah tiga orang wanita. Yang kesemuanya
adalah istri-istri si Dewa Tengkorak. Yang menurut ka-
bar telah tak ada di dunia ini lagi. Aku memang tengah
mencari Gurumu, karena mendapat tugas dari Guru-
ku. Yaitu mengundang beliau. untuk menghadiri per-
jamuan sederhana. Yaitu genap 100 tahun usia Guru-
ku Ki Jagur Wedha, di Gunung Kumbang. Walaupun
bergelar si Pendekar Gentayangan, ternyata  guruku
sudah lebih dari sepuluh tahun tak pernah berjumpa
dengan gurumu si Manusia Aneh Pantai Selatan. Hing-
ga tak mengetahui kalau beliau telah mengangkat seo-
rang murid wanita, sejak empat tahun belakangan ini.
Yaitu kau sendiri. Aku pun baru mengetahui tentang
kau setahun yang lalu..." Tampak Joko Sangit menye-
ka peluhnya sebentar dan kembali meneruskan:
"Sayang aku terlambat datang dan hanya men-

jumpai beliau dalam keadaan tak berdaya. Namun ia
masih bisa memberi penjelasan tentang siapa yang te-
lah mengeroyoknya. Yaitu diantaranya si Dewi Tengko-
rak, yang telah berhasil kau bunuh..! Aku sendiri me-
mang tengah menyelidiki kemana perginya tiga wanita
itu. Dan kebetulan dapat menjumpai si Dewi Tengko-
rak. Memang akupun berniat untuk melenyapkan wa-
nita keji itu... namun, aku memang tak dapat terburu-
buru.." Sampai disini wajah Joko Sangit berubah me-
rah. Dan Roro cuma tersenyum sambil mencibirkan
bibir. Cepat-cepat Joko Sengit teruskan ceritanya...
"Gurumu wafat setelah memberikan pesan pada
mu..!" Sampai disini Joko Sangit tatap wajah Roro da-
lam-dalam. Hingga yang ditatap jadi kikuk.
"Apakah pesannya..?” Bentak Roro tiba-tiba.
Wajahnya membersitkan rasa ingin tahu. Akan tetapi
Joko Sangit telah menelan lagi kata-katanya. Terlalu
sukar ia untuk mengatakan. Dan cepat-cepat ia berka-
ta:
"Pesan itu tak dapat kukatakan sekarang..! Ma-
sih banyak waktu lain untuk aku mengatakannya pada
mu! Tapi dia ada memberikan sesuatu padamu.! Ber-
kata Joko Sangit. Dan keluarkan sebuah bungkusan
kecil dari kain sutera hitam.
"Aku tak tahu apa isinya...!" Katanya lagi, se-
raya memberikan benda itu pada Roro Centil. Segera
Roro sambuti benda itu. Dan buka isinya... Ternyata
adalah seikat daun lontar kering yang panjangnya se-
jengkal. Roro Centil tak mengerti apa artinya dengan
seikat daun lontar yang polos tanpa ada tanda-tanda
benda itu mengandung tulisan. Joko Sangit pun ke-
rutkan keningnya. Tapi ia telah tersenyum sambil ber-
kata:
"Gurumu adalah orang aneh..! Lain orang mana

bisa tahu akan keanehan Gurunya kalau bukan mu-
ridnya sendiri..!" Dan ia sudah bangkit berdiri. Serta
lanjutkan kata-katanya.
"Baiklah Roro, selesai sudah tugasku untuk
memberitahukan hal ini! Jenazah Gurumu telah ku
kebumikan di lubang dasar tebing karang itu juga..! Si-
lahkan kalau kau mau menengoknya. Tapi kulihat tadi
air laut telah pasang. Mungkin tempat itu terendam
air..! Nah, aku tak dapat berlama-lama. Karena harus
cepat-cepat mengantarkan benda pusaka ini ke Kera-
jaan Medang..!" Selesai berkata Joko Sangit segera be-
ranjak meninggalkan Roro Centil. Akan tetapi tiba-tiba
sudah terdengar suara gadis itu:
"Tunggu..! Kau belum beritahukan padaku,
siapa kedua orang lagi istri-istri si Dewa Tengkorak...!
Teriak Roro. Terhenyak Joko Sangit. Tapi sudah lantas
menyahuti.
"Keduanya bukan orang tanah Jawa! Mereka
orang dari seberang pulau... Kalau tak salah berjuluk
si Kupu-kupu Emas, dan seorang lagi adalah Peri Gu-
nung Dempo. Keduanya adalah orang-orang dari Pulau
Andalas...!" Selesai berkata. Joko Sangit telah berkele-
bat. Dan sekejap kemudian telah tak kelihatan lagi.
Roro termangu-mangu memandang ke depan. Kedua
nama itu akan selalu diingatnya. Untuk kelak suatu
saat ia akan pergi  mencarinya. Kini ia termangu-
mangu memandangi setumpuk daun lontar itu. Dan
membolak-baliknya berulang-ulang. Namun tetap ia
tak dapat menemukan rahasia apa didalamnya. Kepin-
gan daun lontar itu terdiri dari tujuh belas ruas, Yang
kesemuanya polos. Lama ia  termangu untuk meme-
cahkan rahasia tujuh belas daun lontar itu. Akhirnya
tiba-tiba ia teringat akan kata-kata Gurunya. Seolah-
olah kembali terngiang di telinganya... "Roro... kau

memang seorang bocah tolol, tapi cerdik..!" Kata-kata
sang Guru itu membuat Roro tersenyum. Tapi juga
menampilkan wajah sedih. Karena sejak saat itu ia su-
dah kehilangan orang yang amat dicintainya. Benda itu
digenggamnya kuat-kuat. Seolah menggenggam lengan
Gurunya. Setetes air mata kembali jatuh berderai.
Membasahi daun lontar yang digenggamnya. Dipan-
danginya daun-daun itu dengan air mata bercucuran...
Akan tetapi tiba-tiba ia jadi terkejut. Ketika melihat
pada lembar teratas dari daun lontar yang basah oleh
air matanya, telah tersembul huruf-huruf kecil.
"Ah..!?" Tersentak Roro Centil. Dan tiba-tiba ia
telah berteriak kegirangan.
"Sekarang aku tahu..! Sekarang aku tahu..!"
Dan berkelebatlah tubuhnya meninggalkan tempat itu.
Diiringi suara tertawa aneh yang membangunkan bulu
roma.
Itulah kisah satu bulan belakangan ini. Dan ke-
tika sang Pendekar Wanita Roro Centil muncul lagi.
Ternyata ia telah menguasai satu ilmu hebat, dari sa-
lah satu jurus kepretan rambut yang luar biasa. Tentu
saja dari hasil mempelajari tulisan kecil-kecil, pada ke
tujuh belas daun lontar warisan gurunya itu. Yang diti-
tipkan Joko Sangit padanya...
Memandang pada batu sebesar kerbau yang
hancur berantakan itu Roro telah tertawa dengan sua-
ra nyaring. Suara tertawa yang telah menggetarkan
daun-daun hingga berjatuhan meluruk kebawah. Tapi
tiba-tiba ia telah hentikan tertawanya. Kembali tampak
ia tersenyum hambar. Karena telah timbul kesadaran
dihatinya, bahwa di atas langit, masih ada langit. Un-
tuk mencari kedua orang musuh besarnya di seberang
pulau tak dapat dilakukan terburu-buru. Karena ia be-
lum menamatkan pelajaran dari ke tujuh belas daun

lontar itu. Masih memerlukan beberapa waktu lagi un-
tuk mempelajarinya. Demikian pikir Roro Centil. Dan
segera saja ia teringat akan adanya pertemuan kaum
Rimba Hijau di puncak Mahameru. Sekelebat ia terin-
gat dengan pemuda Ginanjar. Akan tetapi ia merasa
yakin si kakek aneh itu bukanlah orang jahat. la mera-
sa yakin akan hal itu. Dan mengenai akan dikawin-
kannya si pemuda dengan cucu perempuannya, ia
berharap bukan bersungguh-sungguh. Saat selanjut-
nya tubuh Roro Centil telah berkelebat cepat sekali,
meninggalkan tempat itu. Hingga yang tampak hanya
bayangan merah jambu saja yang berkelebatan. Me-
mang Roro baru saja beristirahat, setelah menempuh
jarak jauh beberapa hari dari pantai Selatan. Puncak
Mahameru telah kelihatan dari kejauhan. Dan tampak
mengepulkan asap tipis yang membumbung ke langit.

11

Kembali pada keadaan di puncak Mahameru.
Di mana seekor burung Rajawali telah menerjang ke
arah tanda hitam. Bersiyur angin deras laksana tau-
fan. Hingga kemah hitam itu roboh. Dan barisan keli-
ma Serigala Malaikat itu porak poranda. Sesosok tu-
buh wanita menyeruak keluar dari belakang tenda.
Ternyata seorang gadis cantik yang tadi membawa
nampan berisikan Medali. Wanita itu tak lain dari Se-
kar Tanjung. Yaitu gadis yang telah ditawan oleh si Ke-
tua misterius alias di Mata Iblis. Ketua dari si Lima Se-
rigala Malaikat. Yang belum juga menampakkan diri.
Wanita ini lari jatuh bangun. Sementara beberapa pa-
sang mata telah memperhatikannya. Empat orang ber-
baju coklat tiba-tiba telah menyergapnya. Dan mem-

bawanya keluar dari belakang arena, dengan cepat.
Gadis itu dilemparkan ke semak belukar. Dan sekejap
saja empat bilah pedang telah dicabut keluar dari ke-
rangkanya. Wanita itu ternganga... Dan ia jadi terpe-
rangah ketika keempat bilah pedang itu telah melun-
cur deras ke arahnya... akan tetapi empat butir batu
kecil telah membuat pedang keempat orang berbaju
coklat itu terpental. Sebuah bayangan merah jambu
berkelebat. Dan telah berada di hadapan keempat laki-
laki itu.
"Kurang ajar..! Mengapa kau tak membiarkan
kami membunuh manusia licik ini?"
"Dialah yang telah berbuat curang, membokong
para peserta dari dalam tenda..!" Dua bentakan ter-
dengar dari kedua orang berbaju coklat itu. Yang ter-
nyata adalah Empat Pendekar Kali Serayu. Akan tetapi
sosok tubuh di hadapannya cuma tersenyum, dan ber-
kata:
"Gadis ini bukanlah orang persilatan. Mana kin
ia dapat melepaskan bokongan segala macam.. ?" Dan
sambungnya lagi.
"Boleh kalian periksa, apakah dia menyimpan
senjata rahasia..?" Ternyata sosok tubuh berbaju me-
rah jambu itu tak lain dari Roro Centil. Adapun si ga-
dis itu tiba-tiba telah bangkit berdiri dan berkata sam-
bil terisak...
"Aku telah diculik dijadikan tawanan si manu-
sia buntung itu..! Oh, tolonglah aku, kakak..! Aku ta-
kut dibunuhnya..!" Gadis ini segera berlutut dihadapan
Roro, sambil menciumi kakinya. Roro cepat angkat tu-
buh si wanita, seraya berkata.
"Tenanglah, adik! Bukankah kau yang bernama
Sekar Tanjung, yang telah lenyap dua bulan yang lalu
dari desa Belimbing Wuluh..?" Wanita itu mengangguk.

"Kemana dua kawanmu lainnya?" Tanya Roro
lagi. Wajah gadis ini seketika jadi berubah pucat, dan
menyahuti.
"Keduanya telah... telah dikuliti wajahnya..!
Dan telah dibunuh oleh mereka. Hanya aku saja yang
tak dibunuh, karena aku dipaksa melayani nafsu iblis
si manusia buntung di dalam tenda itu..!" Suara gadis
itu terdengar gemetaran. Terkesiaplah wajah keempat
laki-laki pendekar Kali Serayu itu. Juga Roro Centil.
Pada saat itu terdengar suara teriakan di belakangnya.
"Roro.... Syukurlah kalau Pendekar Wanita
Pantai Selatan Roro Centil juga telah datang kemari.
Oh, gembira betul hatiku..!" Seorang pemuda baju pu-
tih
melompat ke  tempat itu. Ternyata Ginanjar.
Adapun mendengar kata-kata Ginanjar yang baru tiba
itu, seketika wajah keempat Pendekar Kali Serayu jadi
pucat. Dan serentak saja mereka menjura dalam-
dalam pada Roro. Seraya salah seorang berkata:
"Mohon maaf sebesar-besarnya, nona Pendekar!
Kami empat Pendekar Kali Serayu menghaturkan hor-
mat. Kami sungguh-sungguh bermata buta, tak dapat
melihat kalau anda adalah nona Roro Centil, Mutiara
dari Pantai Selatan..!" Roro segera balas menjura. Akan
tetapi sesaat kemudian telah berkata:
"Empat Pendekar Kali Serayu, kalau kalian ber-
sedia. Tolonglah antarkan gadis ini pada orang tuanya,
di desa Belimbing Wuluh. Di kaki bukit di bawah le-
reng Gunung ini..!" Segera saja keempat Pendekar Kali
Serayu mengangguk hormat. Mereka tampak gembira,
karena dengan datangnya Pendekar Wanita Pantai Se-
latan ini, kericuhan pasti akan diakhiri. Dan segera sa-
ja mereka mohon diri, untuk segera membawa sang
gadis menuruni puncak Mahameru...

Setelah membuat roboh tenda, sang burung Ra-
jawali kembali menjauh. Sementara itu kedua orang
yang bergelar si Sepasang Rajawali Putih, segera me-
nempur kelima Serigala Malaikat. Terjadilah pertarun-
gan hebat. Ternyata keduanya juga mendapat bantuan
dari beberapa orang pendekar, untuk menerjang keli-
ma wajah seribu dendam itu. Akan tetapi tiba-tiba me-
luruk ratusan jarum berbisa ke arah para penerjang
itu. Tak ampun lagi beberapa batang tubuh roboh ter-
jungkal dengan teriakan ngeri.
"Keparat..! Awas! Hati-hati istriku..!" teriak laki-
laki pasangan si Rajawali Putih. Sang istri segera me-
lompat mundur. Dan kelima Serigala Malaikat kembali
membentuk barisan. Segera melesat sesosok tubuh
bertongkat aneh. Dengan ujung tongkatnya terdapat
berbentuk telapak Serigala sebesar piring. Dengan
enak saja ia telah hinggap di depan barisan kelima Se-
rigala Malaikat. Dialah si Mata Iblis. Ketua dari lima
wajah yang punya seribu dendam itu. Dengan enak sa-
ja ia duduk di atas telapak kaki Serigala di ujung tong-
katnya. Sebelah lengannya mengeluarkan sebuah ben-
da bersinar. Itulah sebuah Medali merah. Lambang
atas kekuasaan Ketua Rimba Hijau. Ia sudah kelua-
rkan bentakan keras.
"Kurang ajar..! Kalian mengapa tak mematuhi
peraturan..? Apakah mata kalian telah buta untuk ti-
dak menghargai lagi Lambang Ketua Rimba Hijau
ini...?!" Si Sepasang Rajawali Putih tersentak, dan
mundur ke  belakang tiga tindak. Beberapa pendekar
lainnya dari tokoh putih yang berada dib elakang ke-
dua Tokoh Gunung Suket ini juga terperangah melihat
benda itu. Adapun sedari tadi sepasang mata si Sepa-
sang Pendekar selalu memperhatikan dua orang yang
bercacad kaki dan tangannya. Wajahnya amat mirip

dengan kedua orang muridnya. Yaitu Gambir Anom
dan Gambir Sepuh. Dan sepasang pedang Mustika Hi-
jaunya ada ditangan wanita tadi. Saat mereka terpe-
rangah itulah. Kala Wesi dan Kala Munget telah me-
nerjang kedua orang dihadapannya. Dan ketiga kawan
lainnya melompat dari kiri dan kanan. Kala itu juga
mendesir angin merah jambu, dan bayangan putih. Ke-
lima Serigala Malaikat terpental mundur tiga tombak.
Dan tongkat aneh si Mata Iblis bergoyang-goyang mau
roboh. Segera si Mata Iblis bergerak melompat mundur
satu tombak. Dengan tetap duduk di atas tongkatnya.
Semua mata segera dapat melihat siapa adanya kedua
sosok tubuh yang telah berada disitu. Tak lain, dan tak
bukan adalah Ginanjar dan Roro Centil.
"Pendekar Roro Centil dari Pantai Selatan..!?"
Terdengar suara dari beberapa orang dibela-
kang si Sepasang Rajawali Putih. Tentu saja hal itu
membuat si Mata Iblis dan Kelima Serigala Malaikat
jadi terkesiap. Lebih-lebih si Mata Iblis. Karena pende-
kar wanita di  hadapannya inilah yang telah membu-
nuh si Setan Cebol muridnya.
"Bagus..! Sudah kuduga semua pentolan golon-
gan putih akan datang. Biarlah kelima orang murid ku
itu menumpas mu Sepasang Rajawali Putih! Aku akan
meremukkan kepala si bocah keparat ini..!"
WHUSSS..! Ia telah menerjang Roro dengan
tongkat telapak Serigala. Sang Pendekar Wanita hanya
tertawa sinis dan lompat ke samping delapan tombak.
Si Mata Iblis sudah menggerakkan tubuh untuk men-
gejar. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan
Ginanjar.
"Mata Iblis..! Ketua lama Rimba Hijau telah
memberi surat perintah kepada seluruh golongan
kaum putih untuk menangkapmu, beserta kelima Se-

rigala Malaikat..!" Melotot  mata si Mata Iblis. Namun
Ginanjar telah lemparkan segulung kain bertulisan ke-
hadapan si Mata Iblis. Sekali lengannya berkelebat.
benda itu telah disambarnya. Dan cepat dibaca. Selang
sesaat tampak kulit wajahnya jadi berubah merah.
"Kurang ajar..!" Jari tangan si Mata Iblis mere-
mas kain bertulisan itu, hingga hancur jadi bubuk.
Tapi belum lagi ia membentak Ginanjar... pemuda itu
telah keluarkan sebuah benda yang berkilauan... Itu-
lah Medali lambang kekuasaan Ketua Rimba Hijau
yang asli. Kini semua mata kembali terperangah meli-
hat ke arah benda yang dicekal pemuda itu. Tiga tokoh
tua tak dikenal berkelebat kedepan, seraya berkata:
"Kalau lambang ini aku kenal. Inilah lambang yang as-
li. Tak sembarangan Ki Dharma  mencari wakil di-
rinya...!" Akan tetapi si Mata Iblis malah membentak,
seraya keluarkan Medalinya...
"Tidak..! Inilah lambang yang asli..!" Akan tetapi
pada saat itu meluncur deras sebuah lidi aren, tanpa
ada seorangpun yang mengetahui. dan...
Prak...! Medali di  tangan si Mata Iblis hancur
berantakan. Dan satu suara terdengar berkumandang.
"Mata Iblis..! Aku telah mengangkat bocah itu
jadi wakil ku! Apakah kau masih mau coba mengelabui
mata kaum Rimba Hijau dengan Medali Palsu mu..?"
Terkesiap si Mata Iblis dan kelima Serigala Malaikat.
Seketika masing-masing putarkan kepala den tubuh
untuk melihat ke beberapa arah. Suara itu tak salah
lagi adalah suara Ki Dharma Tungga, Ketua Rimba Hi-
jau. Bukan itu saja, karena semua yang berada di
tempat itu juga terkesiap. Karena tak menyangka ka-
lau Ki Dharma Tungga masih hidup.
"Persetan..! Aku tak perduli siapa wakilmu
Dharma Tungga! Keluarlah! Aku akan adu jiwa dengan

mu..!" Teriak si Mata Iblis. Akan tetapi telah terdengar
suara tertawa nyaring, berkumandang, membuat telin-
ga jadi terngiang-ngiang. Suara yang mengandung te-
naga dalam hebat Hingga beberapa orang sudah menu-
tup telinganya. Dan terdengarlah suara lantang Roro
Centil:
"Mata Iblis..! Hayo hadapi aku. Bukankah kau
ingin remukkan kepalaku..?" Sepasang mata serigala si
Mata Iblis jadi menatap bersinar kearahnya. Sinar
yang mengandung kebencian hebat. Dan tubuhnya te-
lah berkelebat ke arah Roro.
"Bagus..! Aku hampir melupakanmu setan beti-
na..! Kau telah membunuh muridku si Setan Cebol!
Maka jangan harap kau dapat meloloskan diri lagi dari
tanganku!" Dan ia sudah menerjang Roro dengan
menggeram bagai serigala. Adapun si Lima Serigala
Malaikat telah buyar barisannya, karena Ginan-
jar dan sepasang Rajawali putih telah menerjang. Kala
Wesi dan Kala Munget berhadapan dengan sepasang
pendekar Gunung Suket itu.
"He he he... Sepasang Rajawali..! Mengapa kau
menempur muridmu sendiri?" Teriak Kala Munget, se-
raya kibaskan lengan jubahnya menyambar kepala la-
wan.
"Iblis terkutuk...! Kuhancurkan kepalamu. Bu-
kalah wajah muridku itu. Agar kami puas untuk
menghancurkan mukamu..!" Teriak si wanita Rajawali
Putih. Segera ia miringkan kepalanya, dan senjata Ca-
kar Rajawali nya meluncur mengarah jantung lawan.
Akan tetapi Kala Wesi dan Kala Munget telah meng-
hantamkan tongkat bercagaknya...
Trang..! Kedua senjata beradu. Dan keduanya
sama-sama terhuyung dua langkah kebelakang. Kala
Wesi segera berkata:

"Baiknya kau melawanku saja nyonya Rajawali
Putih. Aku ingin sekali membuntungi paha kakimu.
Siapa tahu bisa dibuat menyambung lagi sebelah kaki-
ku yang putus ini... He he he..!" Merah padam wajah si
wanita. Namun ia sudah harus menghadapi serangan
serangan Kala Wesi. Adapun Kala Munget segera me-
nerjang si laki-laki Rajawali Putih. Dan bersamaan
dengan itu berkelebat dua sinar hijau yang turut nim-
brung untuk membabat dari arah samping. Kiranya Si-
ti Jenang telah sambarkan dua bilah pedang hijaunya.
Namun Rajawali Putih bukan tokoh sembarangan. Ia
sudah putar tubuh untuk menghantam dengan angin
pukulan tangannya. Terpentalah kedua pedang itu.
Terkejut Siti Jenang. Segera ia berkelebat melompat
untuk menyambar kembali kedua senjatanya. Akan te-
tapi saat itu telah meluncur sebuah lidi aren yang me-
nyambar leher si wanita itu.
Tak ada daya untuk dapat mengelak lagi. Kare-
na datangnya tak mengeluarkan suara. Dan teramat
cepat. Terdengarlah jeritan Siti Jenang. Suaranya me-
leng king seperti mau menembus langit. Dan jatuhlah
ia ke bumi, dengan berkelojotan. Dan hanya sesaat...
Karena tak berapa lama ia sudah tak dapat memperta-
hankan nyawanya lagi. Tewaslah si wanita keji itu. Me-
lihat kematian mendadak itu Kala Munget dan Kala
Wesi jadi menggerung keras, dan mempergencar lagi
serangannya. Terjadilah pertarungan yang amat seru...
Sementara itu Ginanjar melayani si Kelelawar Besi
alias Sawung Geni. Dan seorang lagi adalah Rimba
Wengi alias Siluman Telapak Darah. Sebelah tangan
palsunya yang terbuat dari perunggu mengandung ra-
cun itu. menghantam ubun-ubun Ginanjar. Sedang si
Kelelawar Basi merentang sepasang lengannya. Hebat,
Sepasang lengan Kelelawar Besi bagaikan terlepas, me-

luncur satu setengah depa. Serangan ditujukan pada
sepasang kakinya. Lengah sedikit saja. akan hancurlah
tulang kaki pemuda itu. Akan tetapi Ginanjar telah
sampok kedua lengan itu hingga terpental balik. Se-
mentara lengan perunggu Rimba Wengi, dapat dielak-
kan dengan miringkan kepalanya. Dan sebelah ka-
kinya bantu menyampok serangan lengan ganas itu,
dengan pedangnya. Agaknya Rimba Wengi tak mau
adakan benturan. Segera ia tarik kembali serangan-
nya. Sementara Ginanjar segera membungkus tubuh-
nya dengan putaran pedangnya. Hingga yang tampak
hanyalah kilatan-kilatan sinar pedangnya saja. Namun
dengan serempak keduanya terus mengurung mencari
kelengahan lawan. Kita beralih pada Roro Centil, yang
tengah bertarung dengan si Mata Iblis. Roro Centil te-
lah keluarkan sepasang senjatanya si Rantai Genit.
Mendelik  mata si Mata Iblis. Senjata yang berbentuk
payudara itu, tentu saja membuat sepasang mata laki-
laki hidung belang akan tertarik untuk memperhati-
kan. Beberapa terjangan dengan tongkat telapak Seri-
galanya telah berhasil dihindari sang lawan yang ma-
sih berusia muda itu. Walau di hatinya agak malu un-
tuk menghadapi seorang gadis. Apa lagi seorang gadis
yang tampaknya seperti orang mengantuk itu. Namun
setiap mengelakkan serangan dibarengi ejekan, atau
tertawa cekikikan. Benar-benar membuat darahnya ja-
di bergolak saking jengkelnya. Tiba-tiba tampak sepa-
sang mata si Mata Iblis mengeluarkan sinar merah.
Dan tubuhnya melangkah kebelakang dua tindak. Ro-
ro memang belum melakukan serangan selain menge-
lakkan setiap serangan yang datang. Kini melihat si
Mata Iblis menatap  padanya dengan sinar mata me-
mancar merah. Terkesiap juga Roro Centil. Ia agak ter-
pengaruh, dan terpaku menatap sang lawan. Mata Iblis

gunakan kesempatan itu untuk membentak...
"Bocah tengik Roro Centil, berikan kedua senja-
ta itu padaku. He he he... Benda sebagus itu tak patut
di tanganmu. Itu senjata untuk permainan laki-laki..!"
Aneh... Tampaknya Roro tak berdaya. Sepasang ma-
tanya menatap tak berkedip pada si Mata Iblis. Tapi ia
tak julurkan kedua senjatanya. melainkan dijatuhkan
dekat kaki di hadapannya. Seraya berkata:
"Ambillah..! itu senjata palsu. Seperti juga Me-
dali yang kau tunjukkan tadi. Apakah kau tak ingin
sepasang senjata yang asli..?" Bertanya Roro. Dan
sambil tertawa mengikik ia telah buka belahan baju
bagian depannya. Segera saja terlihat dua buah bukit
kembar dengan tonjolan kedua putik pada ujungnya.
Itulah B.H. warisan gurunya, yang memang mirip den-
gan payudara asli. Ternganga mulut si Mata Iblis. Dan
tak terasa ia telah maju melompat tiga tindak.
"Kau mau yang ini..?" Nah..! Majulah lebih de-
kat..!" Berkata Roro Centil. Sementara sepasang ma-
tanya tetap menentang tatapan si Mata Iblis. Ternyata
diam-diam keduanya tengah mengadu ilmu bathin.
Dengan masing-masing saling tatap. Tampaknya si
Mata Iblis berusaha menahan pengaruh yang luar bi-
asa, yang tanpa disadari jantungnya berdetak keras.
Dan tampak ia berusaha untuk tidak melangkah maju.
Diam-diam sebelah lengannya telah ia siapkan untuk
menyerang dengan jarum-jarum beracunnya. Tiba-
tiba.. ia telah gerakkan tangannya merogoh saku ba-
junya. Dan detik berikutnya ia telah lepaskan ratusan
jarum berbisa ke arah Roro. Meluruk seketika benda-
benda halus itu bagaikan hujan ke arah tubuh Roro
yang bagian dadanya terbuka. Akan tetapi tiba-tiba
Roro telah gerakkan kepalanya. Segera menyambar
rambut Roro menghantam buyar jarum-jarum berbisa

itu, yang meluruk kembali ke arah si Mata Iblis. Terke-
siap bukan main si Mata Iblis Tentu saja ia tak me-
nyangkanya sama sekali. Dengan berteriak keras ia te-
lah kibaskan lengan jubahnya. Ratusan benda itu se-
ketika buyar. Tapi tak urung beberapa batang jarum
telah menembus sebelah lengannya. Terpekik si Mata
Iblis. Ia sudah melompat mundur tiga tombak. Tampak
tubuhnya tergetar hebat. Sekejap saja sebelah lengan-
nya telah menjadi terkulai tak dapat dipergunakan la-
gi. Wajahnya tampak menyeringai pucat. Akan tetapi ia
telah segera berteriak keras laksana guntur. Tongkat
telapak Serigalanya meluncur deras mengarah dada
lawan yang terbuka.
Roro cepat mengambil tindakan. Segera ia mi-
ringkan tubuh ke samping sampai melengkung ke be-
lakang. Loloskan sambaran itu. Akan tetapi sebelah
kakinya telah bergerak menyambar ke bawah pangkal
paha lawan.
Des..! Terdengar teriakan tertahan si Mata Iblis.
tubuhnya terlempar ke udara tiga tombak. Saat itulah
Roro telah sambar lagi sepasang senjatanya. Dan...
Swing..! Swing..! Kedua Rantai Genit telah ber-
gerak menyambar tubuh si Mata Iblis. Akan tetapi pa-
da saat itu berkelebat dua bayangan menerpa...
Trang! Trang! Serangan Roro berhasil digagal-
kan. Kiranya sepasang lengan si Kelelawar Besi yang
telah menyambar dengan cepat. Terkejut Roro Centil.
Ia rasakan benturan keras itu menggetarkan lengan-
nya. Segera ia melompat mundur dua tombak. Sepa-
sang lengannya telah selipkan kembali senjatanya ke-
sisi pinggang. Begitu tubuh si Mata Iblis hinggap di ta-
nah, ia telah gerakkan kedua telapak tangan menghan-
tam dengan pukulan tenaga dalam. Terlemparlah tu-
buh si Mata Iblis ke depan. Menyambar deras ke arah

si Kelelawar, yang tengah bentangkan sepasang len-
gannya. Saat itulah Roro berteriak.
"Tangkap..!" Aneh..! Getaran suara Roro telah
membuat Kelelawar Besi jadi terpengaruh. Dan secepat
kilat gunakan lengannya yang terbentang itu menang-
kap pinggang si Mata Iblis. Tapi bukannya menangkap.
melainkan mencengkeram. Terdengarlah saat itu juga
teriakan parau si Mata Iblis. Darah segar tampak
muncrat dari tubuhnya. Dalam keadaan tubuh seten-
gah terangkat. si Mata Iblis berkelojotan. Karena kedua
belah pinggangnya telah dicengkeram hancur. Tentu
saja tanpa sadar karena rasa sakit yang amat sangat,
senjata si Mata Iblis bergerak bagai kilat menghantam
kepala si Kelelawar Besi. Hingga tanpa ampun lagi re-
muklah kepala manusia itu. Namun sepasang lengan
besinya justru semakin kuat mencengkram kaku.
Hingga menembus robek pada bagian tengah perut si
Mata Iblis. Terpekik si Mata Iblis dengan suara bagai-
kan raungan serigala. Pekikkan itu dibarengi dengan
robohnya kedua tubuh itu saling tindih. Namun pekik
itu adalah pekik untuk yang terakhir. Karena seketika
tubuh si Mata Iblis terkulai. Dan menghembuskan na-
pas yang penghabisan. Menyusul si Kelelawar Besi
yang telah berangkat ke Akhirat terlebih dahulu... Ter-
dengar suara Roro Centil berteriak melengking tinggi.
Sementara di lain pihak, Kala Wesi telah terkapar tak
berkutik lagi. Dengan isi parut terburai, termakan sen-
jata Cakar Rajawali si wanita  dari Sepasang Rajawali
Putih. Sedang Kala Munget menggeletak dengan leher
hampir putus... Adapun Ginanjar baru saja menan-
capkan Pedang Pusakanya di leher Rimba Wengi. Wa-
nita itu berkelojotan sejenak lalu tewas. Keadaan jadi
sunyi sejenak. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara te-
riakan bergemuruh. Ternyata puluhan pengunjung te-

lah bersorak gegap gempita. Bahkan ada yang tengah
menari-nari kegirangan. Dan beberapa orang telah
membukai pakaiannya. Kemudian dilempar-lemparkan
ke udara. sambil berteriak-teriak gembira.
"Hidup Ki Dharma Tungga. Ketua Besar Kaum
Rimba Hijau..!"
"Hidup sepasang Rajawali Putih..! Sedang pada
kelompok lain terdengar...
"Hidup Roro Centil Pendekar Wanita Pantai Se-
latan..!" Saat itu juga angin bersyiur keras. Dan seekor
burung Rajawali telah turun menukik. Burung besar
ini mendarat di hadapan sepasang Rajawali Putih. Ber-
samaan dengan berkelebatnya sesosok tubuh kurus
kering. Yang tak lain dari si kakek Pengemis. Ginanjar
segera berteriak...
"Guru..!" Dan ia sudah melompat cepat keha-
dapan sang kakek. Semua orang jadi melengak. Karena
tak menyangka kalau pemuda wakil Ki Dharma Tung-
ga itu adalah murid dari si Kakek pengemis yang se-
lipkan segenggam sapu lidi aren di punggung. Bahkan
Roro pun jadi kerutkan alisnya. Tiga orang kakek
hampir seusia pengemis itu berlompatan seraya men-
jura hormat padanya.
"Maafkan kami yang tak mengetahui kedatan-
gan Ketua Rimba Hijau Ki Dharma Tungga ke tempat
ini..! Walau kami telah mengundurkan diri, namun te-
rimalah hormat kami..!" Berkata salah seorang. Tentu
saja semua yang hadir pun segera berlompatan meng-
hampiri, dan saling berebut menjura. Apa lagi bagi ge-
nerasi baru, yang belum pernah melihat wajah sang
Ketua Rimba Hijau itu. Seperti tak percaya dan tak
akan menyangka kalau orangnya adalah yang seperti
pengemis itu. Si Sepasang Rajawali Putih pun tak ke-
tinggalan untuk menghaturkan hormat. Namun Roro

Centil tetap tak beranjak dari tempatnya. Ternyata se-
pasang mata si kakek ini amat jeli. Ia sudah menyapa
Roro dengan tertawa.
"Heheheh... heh heh..heh...Bocah Centil..! Hayo
kita teruskan adu lari kita tempo hari! Aku berani ber-
taruh, sampai hari Kiamat pun kau tak akan dapat
mengejar untuk menyusulku..!" Dan tiba-tiba saja ia
telah totok tubuh Ginanjar. Keruan saja pemuda yang
tak menduganya itu jadi terkejut. Namun  apa daya,
seketika saja tubuhnya telah berubah jadi kaku. Tahu-
tahu sepasang lengan telah menyambar tubuhnya, dan
dilarikan dengan cepat menuruti lereng Gunung.
"Tolooong..! Toloooong..! Roro! Tolonglah aku..!
Aku tak mau dikawinkan dengan cucu perempuan-
nya..!" Ginanjar telah berteriak-teriak. Roro sudah be-
ranjak akan mengejar. Akan tetapi tiba-tiba munculah
Joko Sangit, yang sudah lantas berkata:
"Roro..! Apakah kau sudah siap untuk menden-
garkan pesan mendiang Gurumu..?" Roro Centil meno-
leh sejenak pada Joko Sangit. Akan tetapi Cuma seje-
nak, karena tubuhnya sudah berkelebat menyusul si
kakek pengemis, yang membawa lari Ginanjar. Joko
Sangit jadi seperti terkesima. Dengan mulut ternganga
menatap ke arah berkelebatnya tubuh Roro Centil,
yang sebentar saja sudah lenyap. Akan tetapi lapat-
lapat masih terdengar di telinganya...
"Joko Sangit..! Simpanlah dulu pesan Guruku
itu. Aku belum siap untuk mendengarkannya.!" Pemu-
da ini jadi garuk-garuk kepala, dengan wajah tampak
bersemu merah. Tapi disudut bibirnya tersungging se-
nyuman. Ia pun segera menyelinap pergi. Semua yang
hadir cuma bisa tersenyum sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya. Seorang kakek sudah lantas
berkata:

"Haiiih..! Ternyata Dunia Persilatan adalah
tempatnya segala macam manusia, dengan pelbagai
watak yang aneh aneh..!" Senja pun tiba. Prahara telah
berlalu Tampak seekor burung Rajawali meluncur pe-
sat meninggalkan puncak Mahameru. Dengan sepa-
sang penunggangnya, yang tampak arahkan pandan-
gan ke bawah. Puncak Mahameru masih tetap kepul-
kan asap tipis yang menjulur naik ke langit. Namun
agaknya sang Raksasa ini dapat bernapas lega. Karena
manusia-manusia yang telah mengganggu tidurnya itu
berangsur angsur pergi meninggalkannya. Ia memang
tampak amat lelah. Dan ia akan tidur lagi sampai 1000
tahun...



T A M A T