Roro Centil 13 - Dendam Si Manusia Palasik(1)


SATU

Laki-laki itu bernama RAKA RUMPIT. Ram-
butnya gondrong sebatas bahu. Berperawakan te-
gap, dan berwajah tampan. Mempunyai sepasang
alis yang tebal hitam dengan sepasang mata yang
agak sipit. Tebing di mana laki-laki yang ditaksir
masih berusia muda itu adalah tebing batu bukit
terjal. Di bagian bawahnya mengalir anak sungai
yang bercabang dua. Persis di bagian atas muara
sungai itulah, si pemuda bernama Raka Rumpit
ini berdiri untuk memandang ke sekitar. Dan di
bawah kakinya itu adalah tempat tinggalnya, di
mana terdapat sebuah goa batu yang menghadap
ke arah sungai. Barusan saja dia naik ke atas bu-
kit dengan pergunakan kelincahannya mendaki.
"Rumpiiiit...! Kau kembalilah dulu, bocah
gendeng! Atau aku hajar pantatmu dengan tong-
kat ini!" Terdengar suara teriakan suara seorang
wanita yang parau dari bawah tebing. Pemuda ini
tampak menampilkan senyuman melebar, seraya
menoleh ke bawah.
"Hahaha... haha... Aku malas turun lagi, ne-
nek peot! Kau sajalah naik ke atas! Aku sudah
hampir bosan tinggal di dalam sarang tikus yang
berbau pengap itu!" Pemuda ini menyahuti see-
naknya saja, tanpa perdulikan kalau yang me-
manggil adalah gurunya.
"Bocah kurang ajar! Aku segera akan naik ke
atas! Dan jangan harap kau dapat selamatkan
pantatmu dari gebukan tongkatku...!" Teriak sua-

ra dari bawa seperti bernada gusar. Akan tetapi si
pemuda ini cuma cengar-cengir mendengarnya.
Sebuah bayangan berkelebat dari bawah bu-
kit. Dan sekejapan saja di atas lamping bukit ba-
tu itu sudah berdiri seorang nenek tua renta yang
bungkuk. Berwajah menyeramkan, karena me-
mang mirip dengan tengkorak. Di lengannya ter-
cekal sebuah tongkat hitam legam yang meleng-
kung bagai ular  meliuk. Melihat kemunculan si
nenek bongkok itu, si pemuda ini cuma nyengir
sambil garuk-garuk kepala. Si nenek bongkok
tampilkan wajah gusar. Sepasang matanya mem-
bersitkan sinar tajam menatap si pemuda murid-
nya itu.
"Eh, bocah gendeng! Apa kau bilang tadi? Kau
sudah bosan tinggal di lubang tikus tempatku
ini...?" Ujarnya dengan suara lantang. Tentu saja
pemuda ini jadi gelagapan karena dilihatnya sang
guru seperti benar-benar marah dan tersinggung
mendengar kata-katanya. Segera dia buru-buru
menjawab.
"Bukan begitu, nenek... Akan tetapi aku me-
mang memerlukan menghirup udara segar di
luar! Maksudku... aku... aku ingin turun gunung
barang sebentar!" Ucap Raka Rumpit dengan ter-
senyum nyengir, dan garuk-garuk kepala yang ti-
dak gatal. Memandang tingkah si pemuda murid-
nya itu yang agak lucu, rupanya mengundang ra-
sa geli si nenek bongkok. Membuat dia jadi terse-
nyum, dan tertawa mengikik.
Akan tetapi suara tertawanya kembali hilang,
karena kembali dia keluarkan suara bentakannya

dengan sepasang mata melotot menatap si pemu-
da.
"Bocah edan! Aku mau tanya, apakah kau te-
lah menggeratak ke tempat tidurku...? Ada satu
barang yang hilang! Kalau benar kau yang men-
curi, aku tak akan puas kalau belum menggebuk
pantatmu!" Berkata si nenek bongkok.
"Apanya yang hilang, nek...? Pantatmu...?
Eh... ma... maaf! Maksudku anu... apa yang telah
hilang dari wilayah tempat tidurmu...?" Tanya
Raka Rumpit latah.
"Whoalah! Bocah edan! masih muda sudah la-
tah!" memaki si nenek bongkok.
"Aku telah kehilangan salah satu barang pu-
saka! Yaitu sebuah cincin perak berbatu "com-
bong", apakah kau telah mengambilnya?" Ta-
nyanya.
Pemuda itu jadi cengar-cengir, dan teruskan
garuk-garuk kepalanya. Akan tetapi dia memang
telah mengakui perbuatannya.
"Hahaha... benar, nek! Kalau itu yang kau ta-
nyakan, aku yang mengambilnya! Pas benar di ja-
ri tanganku! Aku menyenanginya, dan memang
sudah ada niatku untuk memintanya!" Ujar Raka
Rumpit seraya memperlihatkan cincin yang dipa-
kainya. "Kapan kau berniat memintanya?" "Ya...
sejak aku mencurinya...!" Sahut si pemuda den-
gan nyengir.
"Bocah ganjen! Kalau begitu pantatmu me-
mang patut dihajar...!" Berteriak si nenek bong-
kok dengan geram, dan sudah mengangkat tong-
katnya.

"Ampun, nek... Ampuuun...! Jangan gebuk
pantatku!" Berteriak Raka Rumpit sambil berlon-
cat-loncatan memegangi pantatnya. Tentunya
dengan wajah cengar-cengir menggoda sang guru.
"Bocah edan...!" Teriak si nenek gemas. Dan
tubuhnya berkelebat....
"Ampun, nek! Jangan gebuk pantatku...!" Te-
riak si pemuda seraya kembali pasang wajah cen-
gar-cengir.
"Bocah edan! Kau kira kau akan berhasil me-
nyelamatkan pantatmu yang tepos itu? Hehe-
hehe... jangan mimpi!" Mendengus si nenek bong-
kok.
Tiba-tiba tongkatnya diangkatnya tinggi-
tinggi. Sementara bibirnya berkomat-kamit mem-
baca mantera. Sedangkan sepasang matanya me-
natap tajam pada si pemuda muridnya itu, seperti
telah menahan tubuh sang murid agar tetap ber-
diam di tempat. Terkejut Raka Rumpit. Karena
tahu-tahu kakinya seperti terasa berat untuk di-
gerakkan. Seolah lengket dengan tanah yang dipi-
jaknya. Sementara hatinya jadi mencelos melihat
tongkat yang diangkat tinggi-tinggi oleh sang
guru, bergerak memutar dan meluncur ke arah-
nya.
"Ah, celaka...!? Aku tak berhasil menolong
pantatku lagi!" Desis si pemuda.
Benarlah apa yang dikhawatirkan pemuda
itu, karena tahu-tahu tongkat si nenek bongkok
sudah menukik ke belakang tubuhnya. Dan....
Plak! Plok! Plak! Plok!... Plak! Plok! Plak! Plok!
Berteriak-teriaklah si  pemuda itu dengan me-

nyengir-nyengir kesakitan, ketika merasai tongkat
itu menggebuki pantatnya.
"Ampun, nek! ampuun... guru! Adoow! kena
bisulnya tuh!? sudah, nek! sudaaah...! adududu-
duh ... aduuh..."
Aneh! dan amat menakjubkan sesekali, kare-
na tampak si  nenek bongkok cuma gerak-
gerakkan tangannya saja di kejauhan. Sedangkan
tongkatnya bagaikan mempunyai mata dan bagai
bernyawa saja, telah menggebuki pantat Raka
Rumpit beberapa kali. Dan pukulan terakhir ada-
lah mengarah sepasang kaki anak muda itu, yang
tak ampun membuat tubuh si anak muda jatuh
terjengkang.
Mengeluh pemuda ini, akan tetapi si  nenek
bongkok justru tertawa mengekeh dan ber-
jingkrakan kegirangan.
"Hehehehe... hehehe... asyiiik! Baru kau tahu
rasa, bocah edan!" Tampak lengan si nenek bong-
kok seperti bergerak untuk menarik kembali te-
naga anehnya. Dan tongkat hitam yang mirip ular
meliuk itu memutar ke atas, lalu meluncur kem-
bali ke arahnya. Sekejap sudah kembali tercekal
di lengannya.
Setelah mengusap-usap pantatnya, pemuda
ini bangkit melompat berdiri. Diam-diam hati ber-
syukur, karena gebukan tongkat yang dilakukan
gurunya itu tak seberapa keras. Dan cuma gebu-
kan biasa saja. Seandainya sang guru memper-
gunakan pukulan bertenaga dalam, bukan mus-
tahil kalau sang pantat akan hancur luluh. Di
samping  mendongkol, tapi diam-diam dia juga

bergidik ngeri. Karena khawatir sang guru ketele-
pasan tangan. Entah cincin perak bermata batu
"combong" itu apakah khasiatnya, hingga tampak
si nenek jadi sewot dan uring-uringan mengetahui
"barang"-nya lenyap dicuri sang murid.
"Aku akan kembalikan cincin milikmu ini,
nek...!" Berkata Raka Rumpit. Seraya melompat
ke hadapan si nenek bongkok. Dan pergunakan
tangannya untuk membuka kembali cincin batu
combong yang dipakainya. Akan tetapi si nenek
tampak menahannya seraya berkata;
"Sudahlah! Kalau kau memang senang me-
makainya, pakailah! Kau memang ada bakat jadi
pencuri, bocah ganjen! Hehehehe... suatu saat,
bukan benda lagi yang kau curi, pasti banyak
wanita akan kau curi hatinya...!" Ucap si nenek
dengan tertawa mengekeh hingga sampai terselak,
dan batuk-batuk dengan hebat.
"Jadi... jadi benda ini boleh aku pakai, nek?"
Tanya Raka Rumpit seperti kurang percaya.
"Bocah kolokan! Aku sudah bilang pakai, pa-
kailah! Mengapa masih banyak tanya segala?"
Bentak sang guru dengan plototkan matanya.
"Hahaha... haha... terima kasih! terima kasih,
nenek! Kau memang guruku yang paling manis,
paling lihay, dan... paling pe... eh, paling cantiiik
sekali!" Berkata Raka Rumpit. Tadinya dia sudah
mau katakan paling peot, akan tetapi segera di-
urungkan, karena khawatir si nenek menjadi ma-
rah lagi. Dan bahkan tahu-tahu....
CPLOK! CPLOK...! Sang murid telah mengha-
diahi ciuman pada kedua pipi si guru. Tentu saja

membuat sepasang mata nenek bongkok itu jadi
membeliak tertegun. Akan tetapi segera terdengar
suara tertawanya mengekeh.
"Hehehe... hehe... bocah ganjen! Kalau mau
pergi, pergilah! Tapi jangan berlama-lama! Bebe-
rapa bulan lagi kau harus sudah menamatkan pe-
lajaran mu! Apakah kau tak ingin menguasai ilmu
menggebuk pantat dengan tongkat...?" Ujar si ne-
nek.
"Tentu saja mau, guru...! Baiklah! Aku berjan-
ji tak akan lama turun gunung! Nah aku berang-
kat, nenek manis...!" Berkata Raka Rumpit. Se-
raya perlihatkan senyumannya, dan berkelebat
cepat tinggalkan tempat itu. Si nenek bongkok
cuma menatapnya dengan sinar mata memancar
tajam.
"Aiiih, tak kusangka bocah edan itu membuat
aku jadi gregetan! Dan... dan aneh! Mengapa aku
sudah jatuh cinta padanya?" Tak terasa dia sudah
kembali tertegun seraya mengusap-usap ke-
dua belah pipinya bekas ciuman sang murid yang
konyol itu.
"Aiiih, Rumpit! Rumpit...! Mungkin bukan hati
para gadis saja yang akan kau taklukkan, tetapi
hatiku pun nyatanya sudah kau taklukkan...!"
Desis suara si nenek perlahan. Dan amat perla-
han hampir tak terdengar. Namun tak lama tu-
buhnya sudah berkelebat kembali menuruni teb-
ing. Dan melesat masuk lagi ke dalam goa "lobang
tikus"-nya....

***

DUA

Prabu GURAWANGSA masih termangu-
mangu duduk di kursi  kebesarannya. Wajahnya
menampilkan  kesedihan, walaupun dalam bebe-
rapa hari ini baru saja usai mengadakan pesta
meriah menyambut para tamu undangan. Tentu
saja dalam rangka "selamatan" atas   terhindar-
nya  Kerajaan  MATSYAPATI dari bencana kehan-
curan. Karena berhasilnya ditangkap biang keladi
kerusuhan di Kota Raja, dan terbukanya kedok
pengkhianatan Patih BUNTARAN. Para tamu un-
dangan itu tak lain dari para Pembesar Kerajaan,
dan tokoh-tokoh kaum Rimba Hijau yang turut
membantu menumpas kaum perusuh.
Kesedihan baginda Raja tak lain karena pe-
nyesalannya telah menyia-nyiakan Permaisuri
Durgandini. Bahkan telah mengutus pula orang-
orang bayaran untuk membunuh sang Permaisu-
ri. Semua itu adalah atas hasutan Patih Bunta-
ran. Dengan dalih akan membahayakan Kerajaan.
Karena dengan adanya sang Prabu Gurawangsa
mengambil tiga selir sekaligus, dan satu di anta-
ranya telah hamil. Sang Permaisuri Durgandini
telah melarikan diri dari Istana, tanpa ketahuan
ke mana perginya. Entah mati atau masih hidup
sampai kini masih menjadi teka-teki bagi sang
Prabu Gurawangsa.
Calon bayi yang akan lahir dari selir bernama
NAWANGSIH itu adalah yang kelak berhak meng-
gantikan sebagai pengganti Raja keturunan Prabu

Gurawangsa. Akan tetapi ternyata Nawangsih
adalah seorang wanita penipu, yang cuma menga-
caukan keadaan di dalam keluarga sang Raja.
Nawangsih adalah SRI MAYANG, alias si Kelabang
Kuning. Seorang toko Rimba Persilatan yang cu-
ma mengingini kehidupan sebagai selir Raja. Ke-
hamilannya adalah cuma permainan belaka, ka-
rena Sri Mayang memang punya keahlian meng-
gembungkan perut.
Di saat Kerajaan dalam kalut atas terjadinya
pembunuhan-pembunuhan terhadap orang-orang
pihak Kerajaan, bahkan dua orang selir baginda
Raja pun tewas digantung berikut istri Senapati
SATRYO, saat itulah Sri Mayang unjukkan dirinya
bahwa dia tidak mengandung. Tentu saja mem-
buat Prabu Gurawangsa terperanjat.
"Hihihi... suamiku! Aku adalah wanita petua-
lang! Terima kasih atas kesediaanmu selama ini
memperhatikan diriku, namun aku memang ha-
rus pergi dari sisimu. Aku sudah cukup puas me-
rasakan bagaimana rasanya menjadi selir seorang
Raja. Kerajaanmu saat ini ada dalam ambang ke-
hancuran, Prabu Gurawangsa! Pengkhianatnya
tak lain adalah Patihmu sendiri! Nah, selamat
tinggal!"
Setelah mengucap demikian Nawangsih alias
Sri Mayang berkelebat pergi dan lenyap dari
ruang Istana. Terperangah Prabu Gurawangsa,
seperti petir menyambar di siang hari mendengar
pengakuan wanita selirnya itu. Namun kenyataan
pahit itu memang telah dialaminya. Dalam kea-
daan kalut itulah muncul Satryo, sang Senapati

yang menghadap dengan membawa berita kema-
tian kedua selir. Juga istri sang Senapati Satryo
sendiri turut jadi korban. Tertegun sang Prabu
Gurawangsa. Namun dengan bekal pengakuan
dari Nawangsih alias Giri Mayang, Baginda Raja
telah mengetahui biang kerusuhan itu. Dan perin-
tahkan menangkap Patih Buntaran.
Demikianlah, dengan bantuan Kaum Rimba
Hijau yang bermunculan, para Tumenggung dan
Senapati
Satryo beserta lasykarnya berhasil membekuk
Patih Buntaran, si pengkhianat Kerajaan itu. Dan
menewaskan para pembantunya, yang terdiri dari
para kaum Rimba Hijau golongan Hitam yang te-
lah diundangnya.
Kini para tokoh itu sudah meninggalkan Kota
Raja. Kerusuhan sudah usai. Dan pelaksanaan
hukuman gantung pada Patih Buntaran telah se-
lesai. Bahkan sudah dilaksanakan sejak tertang-
kapnya. Tinggallah kini sang Baginda Raja Kera-
jaan MATSYAPATI ini memikirkan calon pengganti
Patih di Kerajaannya. Juga beberapa jabatan
pembantu Kerajaan yang perlu diadakan peng-
gantian dan perombakan.
Namun agaknya Kerajaan Matsyapati sudah
mendekati di ambang kehancuran. Karena Prabu
Gurawangsa sendiri ternyata meninggalkan Ista-
na. Setelah beberapa hari termenung tanpa men-
gambil keputusan musyawarah dengan para Pen-
gagung Istana, Prabu Gurawangsa dengan diam-
diam telah menyediakan perbekalan seperlunya.
Dan tengah malam sang Raja yang dalam kea-

daan hati kalut tanpa berhasrat meneruskan Pe-
merintahannya, telah mengendarai kudanya me-
ninggalkan Istana. Entah ke mana perginya. Tak
seorang pengawal pun diberitahu atau mengeta-
huinya.
Senapati SATRYO perintahkan para Tumeng-
gung  mencarinya. Namun sampai beberapa hari
tak membawa hasil. Ya, Prabu Gurawangsa telah
lenyap tanpa bekas. Wilayah Istana menjadi sepi.
Namun atas perintah Senapati Satryo, Istana di-
jaga ketat. Apa mau keadaan yang memang sudah
kacau itu ternyata membuat kesempatan para
Pembesar Kerajaan yang tak mau mengundurkan
diri dengan tangan hampa, mencari keuntungan.
Orang-orang dalam dan dibantu kaum penjahat
bayaran segera menggerayangi Istana. Terjadi 
pertempuran-pertempuran kecil, perampokan pa-
da sisa-sisa harta milik Kerajaan. Dan bermacam
kekalutan terjadi di Kota Raja. Siapa yang dapat
menguasai kekalutan demikian? Karena masing-
masing mencari keuntungan pribadi tanpa mau
tahu urusan orang. Dalam keadaan kacau itulah
Senapati Satryo melarikan kudanya menuju Ma-
taram. Dan melaporkan kejadian pada Raja
Agung Kerajaan Mataram, yang baru saja memin-
dahkan pusat Pemerintahannya ke Jawa Timur.
Segera berdatangan para Tumenggung dan Sena-
pati utusan Raja Agung Kerajaan Mataram untuk
membersihkan kerusuhan. Dan untuk sementara
Kerajaan Matsyapati diambil alih oleh Kerajaan
Pusat yang berkuasa penuh di seluruh Pulau Ja-
wa waktu itu; yaitu Kerajaan Mataram. Dan sejak

saat itu pulalah Kerajaan Kecil bernama MAT-
SYAPATI itu dinyatakan punah. Dalam arti tidak
lagi berfungsi sebagai pusat pemerintahan di wi-
layah itu. Segalanya diatur oleh Penguasa dari
Kerajaan Mataram.
Istana bekas Kerajaan Matsyapati diperguna-
kan sebagai gedung atau Istana tempat peristira-
hatan Baginda Raja Agung Kerajaan Mataram.
Dan tertutup buat siapa saja.
Ke manakah gerangan perginya Raja yang lari
dari singgasananya itu? Tak seorang pun menge-
tahui. Akan tetapi pagi itu seekor kuda dengan
penunggangnya seorang laki-laki berpakaian se-
derhana berwarna putih, dengan ikat kepala
membungkus hampir seluruh rambutnya, yang
juga berwarna putih, tampak mendatangi sebuah
tempat sunyi di lereng perbukitan sebelah utara.
Suara derap langkah kaki kuda yang memang ja-
rang terdengar di sekitar tempat itu, membuat
empat orang laki-laki berjubah abu-abu segera
menyongsongnya untuk melihat siapa yang da-
tang. Sebentar saja si penunggang kuda telah
hentikan binatang tunggangannya di hadapan
keempat laki-laki itu.
"Siapa anda? Dan dari mana...? Serta ada ke-
perluan apakah kiranya mengunjungi pertapaan
Goa Kiskenda?" Tanya salah seorang setelah men-
jura hormat. Laki-laki berusia lima puluhan ta-
hun itu melompat turun dari punggung kuda.
"Apakah anda murid-murid Resi Jenggala
Manik?" Tanya laki-laki itu, tanpa menjawab per-
tanyaan salah seorang dari empat laki-laki berju-

bah itu.
"Benar!" Sahut mereka hampir serempak. La-
ki-laki ini melirik ke arah pintu Goa yang tampak
resik dan sedap dipandang mata. Tampak wajah
laki-laki ini tampilkan senyuman. Seperti tak sa-
bar dia sudah berkata:
"Beritahukan pada sang Resi, ada tamu dari
Istana...!" Ujarnya. Terbelalak keempat pasang
mata laki-laki murid Resi Jenggala Manik, dan se-
rentak sudah menjura. Seraya salah seorang ber-
kata:
"Maafkan hamba Raden! Kami tak mengeta-
hui kalau anda tetamu Agung guru kami...!" Dan
selesai berkata keempat murid sang Resi itu su-
dah beranjak untuk memasuki pintu Goa. Akan
tetapi pada saat itu sang Resi sudah muncul di
pintu Goa. Suaranya terdengar ramah menyam-
but kedatangan laki-laki itu.
"Selamat datang di Pertapaan Goa Kiskenda
Kanjeng Gusti Prabu...! Ah, sungguh satu kehor-
matan besar, Kanjeng Gusti mau menginjakkan
kaki datang ke tempat sunyi ini...!" Ujar pertapa
tua itu yang telah membungkuk menjura hormat.
Melengak keempat murid sang Resi. Karena sege-
ra mengetahui kalau yang datang adalah Baginda
Raja Prabu Gurawangsa. Raja Kerajaan Matsya-
pati. Cepat-cepat mereka duduk bersimpuh ketika
laki-laki itu dengan menuntun kudanya beranjak
menghampiri.
"Ah, selamat jumpa Resi...! Aih, bangunlah
kalian adik-adikku! Aku tak layak menerima
penghormatan berlebih-lebihan! Justru aku ini

sudah menjadi orang biasa! Kedatanganku ada-
lah...."
"Silahkan anda berbicara di dalam, Kanjeng
Gusti Prabu...!" Ujar Ki Jenggala Manik memotong
kata-kata Prabu Gurawangsa. Keempat murid
sang Resi cepat menuntun kuda untuk ditam-
batkan. Dan Raja Kerajaan Matsyapati ini men-
jumput perbekalannya, lalu mengikuti sang Resi
memasuki ruangan Goa.
Tak lama mereka sudah berada di dalam Goa,
dan duduk berkeliling untuk bercakap-cakap.
Ternyata keempat murid sang Resi telah dipersi-
lahkan Prabu Gurawangsa untuk turut menden-
garkan percakapan mereka.
Terkejut Resi Jenggala Manik mengetahui
sang Prabu Gurawangsa akan menetap di perta-
paan Goa Kiskenda. Dan menuturkan bahwa dia
berkeinginan untuk menjadi pertapa. Berbagai
nasihat yang diberikan sang Resi pada Prabu Gu-
rawangsa untuk kembali memimpin Kerajaan,
ternyata tak mampu melunturkan keinginan sang
Raja ini. Keinginannya sudah bulat untuk me-
ninggalkan kepemimpinannya, dan menjadi Per-
tapa. Tiada lagi gairah di hatinya untuk mene-
ruskan memerintah Kerajaan.
Demikianlah, akhirnya Resi Jenggala Manik
tak dapat mencegah keinginan Prabu Gurawangsa
untuk menjadi pertapa. Dan menetap di Goa
Kiskenda. Tentu saja Prabu Gurawangsa telah
berpesan wanti-wanti agar merahasiakan tentang
adanya dia di pertapaan Goa Kiskenda, tempat
tinggal sang Resi itu. Sang Resi dan keempat mu-

ridnya cuma bisa manggut-manggut tanpa dapat
berbuat apa-apa. Beberapa pekan berselang Se-
napati Satryo singgah di pertapaan Goa Kiskenda.
Tentu saja kedatangannya adalah untuk me-
nyambangi gurunya. Seperti diketahui sang Resi
Jenggala Manik adalah guru dari Senapati Satryo,
semasa belum menduduki jabatan Senapati.
Terkejut Senapati Satryo mengetahui sang
Baginda Raja Prabu Gurawangsa berada di perta-
paan. Akan tetapi bekas Raja itu menyambutnya
dengan gembira, mendengar penuturan Satryo
atas Kerajaan Matsyapati yang diambil alih oleh
Kerajaan Mataram.
"Senapati...! Aku merasa lebih tenteram bera-
da di pertapaan ini. Jauh dari kemelut kehidu-
pan. Jauh dari keruwetan mengatur rakyat. Dari
ketidakpuasan yang terkadang membuat mata
menjadi gelap. Aku adalah contoh, satu dari pu-
luhan Kerajaan Kecil yang gagal meneruskan ke-
pemimpinannya. Namun aku sadar, bahwa keten-
teraman dalam rumah tangga amat besar artinya
bagi keutuhan sebuah Kerajaan.
Aku sadar, bahwa sudah gagal segala-
galanya. Aku merasa kurang layak memegang
tampuk kepemimpinan. Apalagi tanpa adanya ke-
turunan! Itulah yang membuat aku enggan mene-
ruskan kepemimpinanku!" Ujar Prabu Gurawang-
sa, yang kini bergelar Resi Netra Wangsa sejak
memutuskan menjadi pertapa di Goa Kiskenda.
"Akupun telah mengundurkan diri dari jaba-
tan Senapati. kakang Netra Wangsa...!" Ujar Sa-
tryo yang memanggil kakang serta gelar barunya,

menurutkan keinginan Prabu Guriawangsa sendi-
ri.
"Walau dari pihak Kerajaan Mataram telah
menawarkan jabatan untukku, namun rasanya
aku pun ingin memulai kehidupan sebagai rakyat
jelata lagi!"
"Apakah kau pun akan menetap di sini....?"
Tanya sang Resi Jenggala Manik hampir berba-
reng
"Tidak, kakang Resi, dan Resi Guru...! Hamba
akan pergi mengembara entah ke mana, menu-
rutkan ibu jari kaki hamba! Ya, mungkin mencari
di mana adanya ketentraman hati! Hamba hanya
akan menurutkan perasaan dan kemauan hati
hamba!" Sahut Satrya  dengan suara terdengar
hambar. Cahaya matanya seperti memudar. Ke-
dua Resi itu memaklumi, karena Satryo baru ha-
bis kematian istrinya. Pemberontakan Patih Bun-
taran telah merobah segalanya.

***

TIGA

SATRYO memacu kudanya meninggalkan Per-
tapaan Goa Kiskenda.... Sejenak dia berhenti, dan
putar kudanya. Lalu lambaikan tangan pada ke-
dua Resi dan empat orang murid Pertapaan. Me-
reka segera balas lambaikan tangan pada laki-laki
ini. Sepasang mata Satryo tampak seperti berka-
ca-kaca. Entah mengapa tiba-tiba hati laki-laki ini

jadi terasa trenyuh memandang sang Resi Netra
Wangsa. Bekas Senapati ini merasa kejadian telah
berubah begitu cepat. Dari seorang Raja telah
menjadi seorang Resi pertapa. Dan dirinya yang
tadinya mempunyai jabatan Senapati yang men-
guasai pimpinan dua ratus lasykar Kerajaan, kini
telah menjadi rakyat biasa.
Semua itu karena pengunduran diri sang
Prabu Gurawangsa sebagai Raja. Akan tetapi dia
memang tak dapat menyalahkannya. Benar seper-
ti kata Prabu Gurawangsa, rumah tangga ternyata
mempunyai pengaruh besar dalam sebuah Kera-
jaan. Raja Kerajaan Matsyapati tak tahan dengan
kemelut dalam rumah tangganya. Dan kehadiran
seorang Putera Mahkota yang didambakannya
ternyata sia-sia. Hal tersebut menimbulkan keen-
ganannya meneruskan tampuk kepemimpinan.
Dan sang Raja meninggalkan kekuasaannya. Me-
mang amat Tragis! Tapi hal yang seperti ini jan-
ganlah menjadi contoh untuk ditiru Kerajaan lain.
Walau bagaimana pun manusia tetaplah manu-
sia, yang di samping punya kekuatan, akan tetapi
banyak kelemahannya. Dan kepunahan sebuah
Kerajaan adalah semata cuma kejadian yang lo-
gis. Karena memang kelanggengan tidaklah selalu
menyertai seterusnya dalam setiap Kerajaan.
Laki-laki ini putarkan lagi kudanya, dan sege-
ra keprak tali kendalinya untuk seterusnya me-
macu cepat meninggalkan pertapaan .... Burung-
burung elang di atas bukit berseliweran, seperti
mengantar kepergian laki-laki penunggang kuda
bekas Senapati itu.

***

TRISULA DEWA yang tengah berlatih di lereng
bukit Karang Tunggul, cuma bisa ternganga meli-
hat putri sang Guru mereka yang dilarikan orang.
Mereka tak menyangka kalau pagi itu akan men-
dapat musibah. MAHESANI putri sang Ketua Per-
guruan Trisula Dewa, sudah hampir sepekan ini
mewakilkan sang guru mereka melatih ilmu silat.
Kepergian Ketua Perguruan Trisula Dewa berke-
naan dengan urusannya, telah mewakilkan pada
putri tunggalnya yang sudah mewarisi hampir
semua ilmu kedigjayaan sang ayah untuk melatih
kedua puluh para murid Perguruan tersebut. Tak
dinyana pada latihan baru saja dimulai, telah
muncul seorang laki-laki muda berambut gon-
drong berbaju hitam.
Begitu muncul langsung menghampiri Mahe-
sani. Gadis berusia 20 tahun itu jadi naikan alis-
nya menatap pada laki-laki muda yang meng-
hampiri dengan unjukkan wajah cengar-cengir.
"Eh, sobat...! Siapakah anda? Apakah ada
urusan dengan aku...?" Tanya Mahesani. Semen-
tara dalam hati gadis ini amat mendongkol meli-
hat sikap pemuda berambut gondrong itu. Walau
bertampang gagah, namun sikapnya yang kurang
ajar membuat orang tidak senang. Apalagi mene-
mui orang di kala sedang latihan.
"Hahaha... namaku RAKA RUMPIT! Tentu saja
kedatanganku untuk mengenal lebih dekat siapa
adanya gadis cantik berilmu tinggi macam kau
yang punya murid segini banyaknya. Membuat

aku jadi kagum! Bolehkah aku tahu namamu,
nona...? Dan apa gerangan nama dari Perguruan
ini?" Tanya pemuda murid si nenek bongkok ber-
muka tengkorak itu, yang ternyata kepergiannya
turun gunung telah menyambangi ke tempat
rombongan orang berlatih ini.  Walau kata-
katanya memang cukup sopan, akan tetapi hal
tersebut sudah membuat para anak buahnya sal-
ing berbisik-bisik. Agaknya merasa tak senang
dengan kedatangan orang yang mengganggu ja-
lannya latihan. Dengan agak mendongkol Mahe-
sani menyahuti juga.
"Maaf, sobat! Sebenarnya anda telah mem-
buat, latihan kami menjadi terganggu, akan tetapi
tak apalah, aku jawab pertanyaanmu!" Ujar Ma-
hesani.
"Aku bernama MAHESANI! Perguruan ini ber-
nama Trisula Dewa, yang dipimpin oleh ayahku
BAYU WIJAYA, bergelar si Pendekar Trisula Emas!
Aku adalah putri tunggalnya, yang sementara
mewakilkan beliau mengajar beberapa jurus ilmu
dari apa yang aku bisa, dan telah aku pelajari da-
ri ayahku...!" Raka Rumpit tampak manggut-
manggut sambil cengar-cengir dan garuk-garuk
kepala.
"Oh, oh... amat mengagumkan...! Tapi amat
disayangkan sekali, karena ... apakah nona Ma-
hesani  tak menyayangkan kulitmu yang mulus,
dan wajah yang cantik itu kena goresan senjata
tajam? Kukira pelajaran ilmu silat adalah pelaja-
ran keras yang dikhususkan buat kaum laki-laki!
Sebaiknya kau berhenti saja jadi wakil ayahmu!

Aku Raka Rumpit amat berkenan padamu! Ba-
gaimana kalau aku melamar mu untuk jadi istri-
ku...? Apa kira-kira kau menolak? Hahaha... ku-
kira aku cukup tampan untuk menjadi suami-
mu...!" Berkata Raka Rumpit. Seraya berkata len-
gannya bergerak untuk menggamit dagu mungil
sang gadis.
Tentu saja sikap kurang ajar, dan kata-kata si
pemuda itu menimbulkan kemarahan Mahesani.
Ketika lengan pemuda itu bergerak menggamit
dagunya, dengan cepat lengannya sudah bergerak
menepis, dibarengi bentakannya.
"Sobat! Mulutmu terlalu kurang ajar! Dan bu-
kan tempatnya kau berkata demikian! Kami se-
dang berlatih! Menyingkirlah, sebelum anak-anak
buah kami menjadi marah! Dan aku sendiri pun
bisa bertindak keras, kalau kau tak menghargai
orang!" Ujar Mahesani, dengan menahan sabar.
Sepasang matanya mendadak menjadi menatap
tajam pada pemuda di hadapannya itu. Diam-
diam hatinya menggumam. Pemuda dari mana-
kah gerangan yang amat berani, dan kurang ajar
ini...? Sementara wajah gadis ini sudah memerah
karena mau tak mau sikap kurang ajar tersebut
telah membuatnya malu. Apalagi dilakukan di
hadapan para anak buahnya. Kalau dia tak mem-
beri pelajaran pada pemuda kurang ajar ini di ha-
dapan para murid ayahnya, rasanya memang
amat penasaran. Namun  sebisa-bisa sang gadis
mencoba menahan diri. Mengingat tugasnya be-
lum selesai.
"Hahaha... baiklah, aku akan menyingkir ka-

lau kau bisa menjatuhkan aku dalam tiga jurus!
Sekalian menguji apakah nama besar Perguruan
Trisula Dewa bukannya nama kosong belaka...!"
Ucap si pemuda dengan cengar-cengir menatap
pada Mahesani. Habislah sudah kesabaran sang
gadis putri Ketua Perguruan Trisula Dewa ini.
"Den ayu...! Biarkan aku yang menghajar ma-
nusia edan ini!" Tiba-tiba berkelebat seorang anak
buahnya ke hadapan Raka Rumpit.
"Wahaha... hahaha... kau bukan tandingan-
ku, anak mas...!" Berkata Raka Rumpit tanpa
memandang sedikitpun. Tentu saja membuat la-
ki-laki itu menggertak gigi karena geramnya. Ke-
dua lengannya bergerak terpentang, lalu kembali
menyatu. Terlihat otot-ototnya bersembulan. Wa-
jahnya menampilkan kemarahan luar biasa. Laki-
laki ini bernama Gasir Ireng. Dia adalah murid
Perguruan Trisula Dewa pada tingkat pertama.
Bertenaga besar, dan juga memiliki
tenaga dalam yang tak boleh dianggap enteng.
Karena Perguruan Trisula Dewa menitik beratkan
juga pada kekuatan tenaga dalam, sebagai dasar
kekuatan inti.
"Jangan menyesal dengan kesombonganmu,
manusia tengik!" Berkata Gasir Ireng dengan dada
menggembung. Dan dibarengi dengan bentakan
keras, kedua lengannya bergerak beruntun
menghantam dada dan kepala Raka Rumpit.
WHUT...! PLAK...!
BRRUUKKK...! Tubuhnya tepat menimpa ka-
wan-kawannya yang tengah berkumpul hingga ja-
tuh bangun beberapa orang yang kena tertimpah

tubuh sang kawannya ini. Gasir Ireng mengerang
parau, dan muntahkan darah segar menggelogok
dari mulutnya. Lalu menggeliat, dan tubuhnya di-
am tak bergeming.
"Iblis...! Kau... kau... telah membunuhnya...!?"
Teriak beberapa orang hampir berbareng.
"Hahaha... mengapa salahkan aku? Bukan-
kah dia sendiri yang mengantarkan nyawa...?"
Berkata Raka Rumpit dengan bertolak pinggang.
Pada saat itu Mahesani sudah membentak keras:
"Manusia keparat! Kau sungguh keterla-
luan...!" Dan diiringi bentakannya Mahesani su-
dah lompat menerjang.
"Aha...! Masih dua jurus lagi, adik manis...!
Silahkan pakai senjata! Dan pilih kulitku yang
empuk!" Berkata pemuda itu menantang. Semen-
tara diam-diam Mahesani sudah menyiapkan satu
jurus andalan dari perguruan Trisula Dewa. Tiba-
tiba tubuh gadis itu berjumpalitan ke arahnya,
tahu-tahu kakinya meluncur mengarah leher la-
wan. Inilah jurus Naga Sakti Menggulung Awan.
Terkejut Raka Rumpit, karena serangan itu me-
mang tak terduga, juga amat cepat. Tadinya len-
gannya sudah bergerak untuk memapaki seran-
gan, akan tetapi khawatir membuat gadis ini ter-
luka, dia kelitkan tubuh ke belakang. Saat itulah
satu terjangan sepasang lengan sang gadis me-
luncur, dengan tenaga dalam keras. Segelombang
angin menerjang terlebih dulu. Dibarengi dengan
meluncurnya kedua ujung telapak lengannya
mengarah ulu hati dan lambung.
Tenaga dalam Mahesani yang sudah dikerah-

kan di kedua lengan itu luar biasa ampuhnya.
Karena seandainya mengena pada batu karang,
niscaya batu itu akan amblas tertembus lengan.
Merasa hawa angin menggulung tubuhnya, Raka
Rumpit telah keluarkan ilmu hitamnya yang baru
dipelajari. Yaitu Tameng Iblis. Hebat akibatnya,
karena tiba-tiba tubuh pemuda itu seketika telah
terbungkus dengan asap hitam. Ketika kedua len-
gan Mahesani menembus asap, terdengar suara
teriakan tertahan gadis ini, karena bagai menum-
buk bayangan hitam, yang membuat tubuhnya
menggigil. Dalam pandangannya pemuda itu su-
dah berubah menjadi makhluk hitam berbulu,
yang terkena hantaman tangannya tak bergeming
sama sekali.
Namun dia masih sempat meronta, dan terle-
pas dari cekalan tangan makhluk hitam berbulu
itu. Lengannya sudah bergerak mencabut senjata
Trisula di pinggang. Didahului hantaman lengan-
nya bertenaga dalam sepertiga bagian. Senjata
Trisulanya berkelebat menusuk. Aneh, makhluk
itu tak berupaya mengelak. Bahkan terlihat ter-
tawa menyeringai perlihatkan gigi-giginya yang
runcing. Sepasang matanya merah menyala se-
perti mempengaruhi dan mematikan daya kekua-
tan sirkuit otaknya. Seketika syaraf dara perkasa
ini tegang, dan dia memang kehilangan daya na-
lurinya. Gerakan menusuknya berubah lambat.
Selanjutnya Mahesani sudah tak mengetahui
lagi apa yang terjadi. Ketika tahu-tahu tubuh si
pemuda itu sudah berkelebat menepiskan senja-
tanya. Dan sepasang lengan yang kuat telah me-

notok, dan meraih pinggangnya. Sekejap kemu-
dian tubuh Mahesani sudah berada di pundak
Raka Rumpit. Terpaku semua anak buah sang
gadis itu menyaksikan kejadian
aneh itu, dan di saat mereka tersadar, tubuh
putri Ketua mereka itu telah dibawa berkelebat
lenyap di balik hutan rimba di arah sana.
"Celaka...! Kejaaar...! Kejaaaarrr...!" Teriak sa-
lah seorang yang baru tersadar dari pengaruh
yang membuatnya bagai kena tenung. Serentak
berlompatanlah mereka mengejar. Akan tetapi
sudah kasip. Karena orang yang diburuhnya su-
dah tak kelihatan batang hidungnya dengan
membawa kabur putri Ketuanya.

***

EMPAT

Matahari yang baru saja menggelincir naik itu
tampak agak meredup sinarnya, karena segumpal
awan hitam telah menutupnya. Dari balik bukit
itu tiba-tiba meluncur sebuah titik hitam. Makin
lama tampak semakin membesar, dan semakin je-
las kelihatan apakah adanya benda yang me-
layang keluar dari belakang bukit itu.
Kiranya adalah sebuah kepala tanpa tubuh.
Ya, kepala dari seorang wanita yang berambut
panjang beriapan. Itulah kepala dari si manusia
setan Tri Agni. Ketika melayang ke atas sebuah
bukit yang permukaannya agak datar, kepala

tanpa tubuh itu bergerak memutari bukit itu be-
berapa kali, lalu menukik turun. Itulah kiranya
bukit di mana adanya MAKAM TUA Persis di ma-
na tumbuh sebatang pohon Angsana besar di atas
bukit itu, si kepala tanpa tubuh berhenti tepat di
bawah pohon rindang itu. Lalu meluncur perla-
han semakin ke bawah dan tepat di atas akar ke-
pala itu berhenti. Di sana dia diam untuk bebera-
pa saat. Dan tak lama tampak sepasang mata
makhluk itu yang tadinya membelik biji matanya,
kini terkatup dengan wajah agak merunduk. Ter-
lihat bibirnya berkemak-kemik entah membaca
mantera apa.
Selang sesaat, tiba-tiba angin keras member-
sit merontokkan dedaunan. Langit menjadi gelap.
Kilat menyambar-nyambar. Tak berapa lama se-
gera terlihat di atas pohon Angsana tua itu seben-
tuk asap hitam yang memutari pohon bergulung-
gulung. Sementara kepala wanita setengah silu-
man itu masih tetap merunduk dengan mata ter-
katup, dan bibir komat-kamit.
WHHUUUUSSS...! Asap hitam yang bergu-
lung-gulung itu menjelma menjadi makhluk rak-
sasa. Yaitu seekor ular yang amat besar. Mulut-
nya menganga, dan keluarkan suara mendesis
yang amat dahsyat. Tampak wanita kala putus itu
membuka kelopak matanya. Wajahnya segera
bersitkan senyuman girang, senyum menyeringai.
"Oh, Selamat datang Gusti Junjungan hamba!
Hamba membawa berita duka Gusti Junjungan!
Yaitu kematian cucuku, si bocah hitam! Mungkin
kau dapat merasakan betapa hancurnya hatiku!

Setelah anakku Durgandini melahirkan bayinya
atas anugerah darimu, dia kemudian mati! Kini
giliran cucuku...! Baru sedang senang-senangnya
memperoleh cucu, ternyata mati oleh musuh-
musuhku...! Tolonglah hamba Pukulun...! Apakah
Ilmu Dasa Jiwa itu sudah punah, bila tubuh
makhluk apapun yang memiliki telah terkena
MANTERA SUCI...?" Berujar Tri Agni, si wanita se-
tengah siluman itu.
"Sedangkan niat anakku adalah mempunyai
seorang anak yang dapat membalaskan dendam
dan sakit hatinya..." Tolonglah hamba Gusti Jun-
jungan! Masih banyak manusia musuhku yang
belum kubunuh! Bahkan kini bertambah lagi,
dengan musnahnya cucuku pemberianmu itu,
Pukulun...!"
"Hoahahaha... hahaha... cucumu si bocah hi-
tam itu masih bisa menjelma lagi, hambaku Tri
Agni! Bahkan anakmu si Durgandini itupun ma-
sih dapat kubangkitkan lagi kalau kau mengingi-
ni! Cuma harus ada beberapa syarat yang harus
kau  penuhi! Adapun MANTERA SUCI memang
dapat memusnahkan ilmu Dasa Jiwa yang kau
miliki, yang telah berpindah pada cucumu si bo-
cah hitam melalui anakmu Durgandini! Itulah se-
babnya cucumu pemberianku, terpaksa aku tarik
lagi ke alam ghaibku!" Terdengar suara ular besar
itu yang perdengarkan suaranya bagai mendesis.
Sementara kilatan petir tak hentinya menyambar
di angkasa yang telah berubah menjadi gelap pe-
kat.
Tri Agni tampak manggut-manggut mengerti,

lalu ujarnya:
"Apakah yang harus hamba perbuat Puku-
lun...? Dendamku belum terlampiaskan! Dan te-
lah menjadi satu dengan dendam anakku Dur-
gandini...! Hamba belum puas mengharungi kehi-
dupan di dunia ini, Pukulun...! Ingin hamba me-
rasakan menjadi Ratu yang sakti dengan segala
kekuasaannya! Namun keadaan hamba telah se-
perti ini! Apakah Pukulun dapat meluluskan per-
mohonan hamba...?" Berujar Tri Agni dengan na-
da sedih. Bahkan air matanya sampai bercucuran
keluar.
"Hoahaha... hahaha... sabarlah hambaku!
Tanpa dapat kau melenyapkan si pemilik MAN-
TERA SUCI, kau tak akan tenang mengharungi
kehidupan yang kau inginkan! Karena kau sudah
bukan manusia wajar lagi, kau memang takkan
mampu berbuat sekehendakmu! Akan tetapi kau
dapat melakukan kehidupan baru dengan men-
gadakan "penitisan"...! Akan tetapi penitisan itu
hanya dapat kau lakukan di saat seorang manu-
sia tengah dirasuk dendam kesumat! Namun
apabila manusia itu telah kembali sadar, kau
akan merasakan panasnya api yang amat luar bi-
asa! Itulah saatnya kau tinggalkan jasad manusia
titisanmu!" Terdengar lagi suara mendesis parau
dari mulut sang ular raksasa. Tampak Tri Agni
beliakkan sepasang matanya lebih besar lagi.
Alisnya mencuat ke atas. Penjelasan dari semba-
hannya si Raja Siluman Ular itu telah membuat
dia amat girang akan tetapi juga terkejut.
"Oh, terima kasih Pukulun, Junjungan Ham-

ba! Kini hamba mengerti! Akan tetapi apakah Il-
mu Dasa Jiwa itu masih dapat hamba miliki?"
"Menitislah kau pada salah seorang tubuh
manusia yang baru mati! Dan bertapa selama se-
ratus hari! Untuk bekal tapamu tentu kau me-
merlukan darah untuk kehidupanmu! Bahkan
untuk selanjutnya memang kehidupanmu harus
memerlukan darah!"
Nah! Kukira sudah cukup penjelasanku! Apa-
kah masih ada keinginanmu yang lain...?" Ber-
tanya si Ular Raksasa penjelmaan Raja Siluman
Ular. Tercenung sejenak Tri Agni, namun tak la-
ma dia sudah berkata cepat-cepat.
"Ada, Pukulun...! Hamba masih menginginkan
penjelmaan anakku Durgandini! Dan juga cucuku
si bocah hitam itu!" Ujar Tri Agni. Tampaknya dia
amat berhasrat sekali dengan permintaannya
yang terakhir ini.
"Hohoho... Hosssy! Hosssy! Untuk permin-
taanmu itu, kau laksanakanlah dulu tapamu dan
kesempurnaan jasadmu! Kelak keinginanmu itu
akan terlaksana!"
"Oh, hamba mengerti! Terima kasih Pukulun!
Terima kasih atas kesediaanmu menolong diri-
ku...!" Ucap Tri Agni. Dan bersamaan dengan itu
sang Ular Raksasa itu pun lenyap! Barulah men-
jadi segumpal asap hitam, yang selanjutnya kem-
bali berputar-putar bergulung-gulung. Semakin
lama semakin meninggi, dengan menimbulkan
suara bergemuruh dan desis menyeramkan. Tak
lama kemudian gumpalan asap hitam itu pun sir-
na. Kilat sambung-menyambung di angkasa, di-

barengi dengan bertiupnya angin keras.
Namun tak lama cuaca pun berangsur-angsur
kembali terang benderang. Angin keras kembali
sirna, dan petir yang berkilatan di angkasa pun
melenyap. Keadaan kembali seperti sedia kala.
Wanita kepala tanpa tubuh ini tersenyum menye-
ringai. Dan bahkan tertawa mengikik hingga sua-
ranya terdengar ke sekitar perbukitan Makam Tua
itu. Tak lama kepala tanpa tubuh Tri Agni melesat
keluar dari bukit
Makam Tua, dan melenyap...

***

"Bocah edan itu sudah kembali lagi...?" Ter-
dengar suara menggumam dari dalam sebuah goa
di bawah tebing dekat muara sungai itu. Seorang
nenek tua yang bongkok berwajah mirip tengko-
rak, tampak tengah duduk bersila di dalam ruan-
gan. Tempat di mana dia  duduk adalah sebuah
batu persegi. Di sebelah kirinya ada lubang batu
di dinding goa, hingga sinar matahari menerangi
ruangan itu. Kepalanya agak dimiringkan seperti
tengah mendengarkan lebih jelas suara orang
yang datang. Ternyata sepasang matanya masih
mengatup, dan bahkan hebatnya, adalah orang
yang didengarnya datang itu ternyata masih be-
rada jauh sekali di bawah bukit. Menandakan
pendengaran si nenek bongkok ini amat luar bi-
asa.
"Hahaha... sabarlah manisku, aku akan cari-
kan tempat yang sejuk dan nyaman! Tentu akan

aku buka totokanku bila kau tidak rewel!" Semen-
tara gadis yang berada di atas pundaknya itu cu-
ma bisa menggigit bibir menahan geram. Akan te-
tapi dia sudah mengeluh, karena tak mampu ber-
buat apa-apa.
"Hm, goa tempat tinggalku terlalu pengap!
Juga aku tak mau si nenek peot itu mengganggu
ku!" Desis suara si pemuda. Tiba-tiba Raka Rum-
pit sudah melompat cepat ke arah sebelah timur
perbukitan seraya perdengarkan desisannya.
"Ahay... aku tahu tempat yang nyaman...!"
Seraya selanjutnya sambil bernyanyi-nyanyi
kecil, dia sudah tiba di satu tempat. Di bawah pe-
pohonan rimbun di sisi sungai itu, Raka Rumpit
hentikan langkah kakinya. Lalu jatuhkan beban-
nya ke atas rumput tebal yang banyak tumbuh di
sekitarnya.
Kini sepasang mata pemuda ini sudah menja-
di liar menelusuri wajah dan sekujur tubuh gadis
bernama Mahesani itu. Butiran-butiran keringat
mengalir turun dari dahi sang gadis, bahkan se-
kujur tubuhnya sudah mandi keringat. Akan te-
tapi keringat itu adalah keringat dingin. Karena
hawa takut yang amat luar biasa. Keputusasaan
telah terpampang di wajah Mahesani. Tak ada
daya lagi dia untuk dapat melepaskan diri dari
cengkeraman pemuda bernama Raka Rumpit ini.
Sementara lengan si pemuda sudah mulai
nakal menelusuri setiap lekuk liku di tubuh sang
dara.
BRET...!  BRET! BREETT...! Sekonyong-
konyong lengannya sudah bergerak merobek pa-

kaian ketat si gadis. Terperangah seketika Mahe-
sani. Dan cuma dengan berapa kali menyibak sa-
ja dia sudah rasakan hawa dingin dari sekujur
tubuhnya. Karena sekejap apa yang melekat di
tubuhnya sudah lenyap;
Terpekik dara ini dengan suara tersekat di
tenggorokan. Tentu saja, karena Raka Rumpit te-
lah menotok pula urat suaranya. Hingga Mahesa-
ni tak dapat mengeluarkan suara kecuali desisan.
"Iblis keparat! Lepaskan aku! Tidak! Tidaak...!
Akan kubunuh kau Iblis! Kau... kau manusia
edan!" Teriak suara desisnya. Akan tetapi suara
itu. memang tak keluar. Desisnya tersangkut di
tenggorokan. Cuma terlihat napasnya yang turun-
naik dengan cepat. Dan sepasang mata yang ter-
beliak, serta bibir setengah terbuka. Usahanya
untuk meronta membebaskan diri dari pengaruh
totokan, cuma sia-sia belaka. Sementara lengan
Raka Rumpit mulai menelusuri sekitar perbuki-
tan dan lembah. Pandangan matanya semakin
liar. Bahkan desah napasnya mulai seperti orang
dikejar setan.
Akan tetapi tiba-tiba pemuda ini terpandang
pada cincin peraknya yang berbatu "combong".
Hm, apakah kegunaan khasiat cincin ini untuk
menaklukkan hati wanita? Pikir Raka Rumpit.
Tak terasa dia sudah tarik kembali lengannya.
"Akan kucoba!" Desis suara Raka Rumpit. Ka-
rena segera teringat akan kata-kata gurunya. Su-
atu saat bukan benda lagi yang kau curi! Pasti
banyak wanita akan kau curi hatinya! Pasti kata-
katanya mempunyai maksud yang berhubungan

dengan benda ini! Bisik hatinya. Dan... tiba-tiba
dia mulai  salurkan kekuatan bathinnya untuk
menatap pada cincin bermata batu Combong itu.
Pemuda gemblengan si nenek bongkok ini ternya-
ta mempunyai kelebihan dalam hal kekuatan
bathing. Tidaklah aneh, karena gurunya sendiri,
si Nenek Bongkok Muka Tengkorak itu dengan
kekuatan bathinnya mampu membuat tongkatnya
bergerak memukul pantat sang murid.
Selang tak lama batu cincin di jari tangannya
itu keluarkan sinar berwarna biru. Terkejut Raka
Rumpit. Akan tetapi wajahnya sudah menampil-
kan  kegirangan. Mendadak dia sudah hentikan
kekuatan tenaga batin  yang disalurkan melalui
pancaran matanya. Kini dia berbalik menatap pa-
da Mahesani. Lengannya yang berbatu cincin
combong itu bergerak ke arah wajah gadis itu.
Tentu saja sinar biru yang memancar dari batu
cincin Raka Rumpit amat menarik perhatian Ma-
hesani. Sepasang matanya menatap sinar biru
yang terpancar di jari tangan si per muda. Dan...
tampak satu perubahan mendadak, terjadi pada
gadis di hadapannya. Kalau tadi Mahasani mena-
tap dengan wajah ketakutan pada Raka Rumpit.
Dengan sepasang mata membeliak marah serta
bibir menganga gelisah.
"Ahaha... ahaha... ahahay... si bocah edan
ternyata telah berhasil menaklukkan hati wanita,
guru...! Terima kasih nenek manis atas pemberian
"jimat"-mu ini!" Berkata pemuda itu dengan men-
gakak tertawa girang. Sementara lengannya su-
dah bergerak membuka totokan pada tubuh sang

gadis. Begitu merasa totokannya terbuka, dan tu-
buhnya dapat digerakkan lagi, segera Mahesani
melompat bangun. Dan... tiba-tiba saja sepasang
matanya sudah berubah menjadi liar. Bibirnya
berdesahan, dengan napas menggebu. Tahu-tahu
sudah memeluk Raka Rumpit dengan gairah ber-
kobar.

***

"Bocah edan...!" Terdengar suara lirih memaki
di balik semak. Dan sebuah kepala seorang nenek
bermuka tengkorak tersembul di antara dedau-
nan. Sepasang matanya berbinar-binar melihat
adegan di depan matanya. Tampak tubuhnya ber-
getar seperti menahan satu gejolak rangsangan
yang amat kuat menghimpit dadanya. Terasa ada
sesuatu yang membuat napasnya menjadi sesak.
Betapa tidak, lebih dari 10 tahun dia tak pernah
disentuh oleh laki-laki. Dan sejak tiga tahun dia
mengambil Raka Rumpit menjadi murid. Selama
itu dia sudah menekan perasaannya. Terkadang
tatapan mata si pemuda muridnya itu seperti
menghunjam ke lubuk hati.
Dan... entah mengapa tiba-tiba  di benaknya
timbul rasa mengiri, atau boleh disebut rasa cem-
buru yang begitu besar.
Tiba-tiba nenek bongkok itu pejamkan sepa-
sang matanya. Bibirnya berkemak-kemik seperti
membaca mantera. Tak lama terjadilah keanehan.
Dari ubun-ubun kepalanya tersembul segumpal
uap putih. Akan tetapi tak lama telah berubah

menjadi hitam. Uap hitam itu menjulur menem-
bus semak belukar, dan meluncur ke arah kedua
orang yang tengah tenggelam dalam gelimang bi-
rahi.
Uap hitam itu sekonyong-konyong menelusup
ke ubun-ubun kepala Raka Rumpit.... Saat mana
si pemuda tengah mengecupi leher sang "keka-
sih"nya yang kembali membuat dirinya terang-
sang. Bergelinjangan tubuh Mahesani yang dalam
keadaan telanjang bulat itu menghimpit tubuh-
nya. Pemuda ini mendengus bagai kerbau yang
mulai kembali liar. Sepasang matanya mulai
membinar. Dan... kepalanya sudah menelusup di
antara belahan sepasang benda lembut berputik
kemerahan. Mendesah-desah sang gadis merasa-
kan kenikmatan.... Serta segera balikkan tubuh-
nya menghimpit kuat-kuat tubuh Mahesani di
bawahnya. Terperangah wanita muda ini. Tubuh-
nya seketika bergelinjangan merasakan nikmat
bercampur rasa sakit yang menyesakkan jalan
pernapasannya. Meronta-ronta gadis itu dalam
himpitan Raka Rumpit, dan sia-sia lengannya
menepiskan cengkeraman jari-jari tangan pemuda
itu yang telah mencekik lehernya....
Tubuh mulus tanpa sehelai benang itu meng-
geliat meregang nyawa. Suara teriakannya telah
tersangkut di tenggorokan, yang telah menyumbat
pernapasannya. Akhirnya setelah beberapa saat
meregang maut dalam membaurnya kenikmatan,
tubuh dara itu pun terkulai lemah untuk tak ber-
kutik lagi. Lidahnya terjulur memanjang, dengan
sepasang mata yang membeliak. Dia telah mati

dicekik si pemuda bernama Raka Rumpit itu.
"Bocah edan...! Kau pulanglah! Aku tak akan
menggebuk  pantatmu...!" Terkejut pemuda ini,
karena segera mengetahui kalau itu adalah suara
gurunya si nenek bongkok muka tengkorak. Sege-
ra dia bergegas memakai pakaiannya. Tak lama
sudah melompat pergi dari sisi sungai itu. Sesaat
matanya masih sempat menatap mayat sang ga-
dis, akan tetapi dia memang sudah tak menga-
cuhkannya lagi.
"Ah, ah...! Mahesani! Agaknya umurmu terla-
lu pendek untuk menjadi isteriku!" Dan berkele-
batlah tubuhnya menuju arah ke tempat tinggal-
nya, yaitu goa "lobang tikus" yang berbau pengap
dan sudah amat menjemukan hatinya itu. Tiupan
angin lirih mengiringi kepergiannya.
Sementara itu di mana dua sosok tubuh ber-
kelebat, yang satu adalah si nenek bongkok yang
mendahului berkelebat kembali menuju goanya,
sedang yang satu lagi adalah tubuh Raka Rumpit.
Saat itulah muncul sebuah kepala tanpa tubuh
yang baru menampakkan diri. Dengan mulut ter-
senyum menyeringai kepala si manusia setengah
siluman itu melayang mendekati tubuh Mahesani.
"Hihihi... hihi... bagus! Beruntung sekali aku
menjumpainya! Mayat gadis ini masih segar, dan
baru saja mati!" Mendesis suara Tri Agni, dan ke-
palanya bergerak memutari tubuh telanjang bulat
yang terbujur itu.
"Aii, sungguh seorang gadis yang cantik dan
masih amat muda! Hihihi... walau baru habis di-
perkosa tak apalah...! Wah, wah... sungguh mulus

tubuhnya! Entah siapa nama gadis ini, akan teta-
pi inilah saatnya aku menitis padanya!" Selesai
berkata tiba-tiba kepala Tri Agni melenyap sirna,
dan tanpa terlihat oleh mata biasa, secercah sinar
putih melesat cepat memasuki gua  garba  Mahe-
sani melalui ubun-ubun kepalanya. Mendadak
terjadi keanehan pada alam sekitar, karena tiba-
tiba cuaca berubah menjadi gelap. Angin bersyiur
keras merontokkan dedaunan. Di langit tampak
kilat sambung-menyambung membersitkan si-
narnya disertai suara ledakan-ledakan keras.
Dan... pada saat itu juga tampak sesuatu telah
terjadi pada mayat Mahesani. Mayat si gadis re-
maja itu tiba-tiba telah bergerak bangun. Tak la-
ma sudah berdiri dengan perdengarkan suara ter-
tawa aneh. Karena Mahesani tidak bersuara de-
mikian. Itulah suara Tri Agni si manusia setengah
siluman, yang telah menitis padanya.
"Hihihi... hihi... ow, enak sekali tubuh ini di-
pakainya! Aku dapat menggerakkan lagi lengan
dan kaki! Dan aiih, benar-benar menyenangkan!
Kini aku sudah mempunyai tubuh putih mulus,
dan montok! Buah dadaku pun masih padat beri-
si! Pinggangku ramping, dan pinggul... ow! Be-
saar! Paha dan betis amat serasi! Jari tangan dan
kaki lentik memanjang...! Dan... dan... hmm le-
batnya...!"
Tri Agni tersenyum-senyum menatap tubuh-
nya, seraya berjalan melenggang-lenggok. Ram-
butnya dibiarkan terurai. Namun tak lama dia
sudah hentikan tingkahnya. Kini merenung seje-
nak, seperti memikir akan apa yang harus diper-

buatnya.
"Hm, aku harus mencari pakaian penutup tu-
buh ku! Ya, dengan mencuri tentunya!" Gumam-
nya perlahan. Dan Mahesani yang sudah berbeda
nyawa itu pun beranjak dari tepian sungai itu.
Ternyata gerakannya amat gesit, seperti Tri Agni
ketika masih
bertubuh utuh beberapa bulan yang lalu.
Dengan berjumpalitan di udara, Mahesani sudah
melesat menyeberangi sungai dan tiba di sebe-
rang. Injakkan kaki dengan ringan di atas tanah.
Seekor babi hutan yang tersesat ke sisi sun-
gai, mengguik dan berlari ketakutan masuk ke
rumpun lebat. Mahesani tertawa mengikik, lalu
palingkan wajahnya ke arah depan. "Hm, di hilir
sungai ini pasti banyak orang mencuci pakaian!"
Desisnya agak santar. Dan berkelebatlah dia me-
lompat-lompat lincah menyusuri tepian sungai.

***

ENAM

"Sudah selesai kau mencucinya, Tantri...?"
"Ah, belum, yu... masih dua potong lagi!" Sa-
hut gadis muda berkulit putih ini, seraya meno-
leh. Sementara lengannya masih bekerja cepat
menggilas pakaian di atas batu. Gadis ini menge-
nakan selembar kain yang dilipat ujungnya seba-
tas dada, sementara tubuhnya terendam air seba-
tas pinggang. Wanita kawannya ini lebih tua sedi-

kit usianya, yang tampaknya sudah selesai men-
cuci. Dan segera pergi mandi. Tak terlalu lama,
dia sudah beranjak naik, dengan menyambar pa-
kaiannya yang diletakkan di atas batu. Tampak-
nya dia bergegas mengenakan pakaiannya. Seben-
tar-sebentar memandang ke atas melihat langit.
Matahari tampak tertutup awan hitam. Dan hari
memang sudah menjelang sore, karena bayangan
tubuh yang samar-samar itu sudah memanjang.
Tak berapa lama dia sudah selesai berpakaian,
dan merapikan rambutnya dengan menggelung-
nya ke atas.
Sementara gadis muda bernama Tantri itu te-
rus mencuci, namun dipercepat karena melihat
kawannya sudah rapi berpakaian.
"Cepatlah, Tantri...! Kukira sudah mau turun
hujan! Tadi kulihat cuaca gelap sekali! Petir berki-
lauan  di arah hulu sungai! Tapi... tapi memang
aneh? Tahu-tahu cuaca kembali terang bende-
rang! Dan kini lihatlah! Awan hitam sudah menu-
tupi matahari lagi!" Ujar wanita itu. Dia bernama
Tomblok.
"Aiih, yu Tomblok! Mengapa kau tampak ke-
takutan sekali!? Tak seperti biasanya! Kalau kau
mau pulang duluan, pulanglah...! Akupun masih
bisa pulang sendiri! Pakaian suamiku ini masih
kotor! Dakinya terlalu tebal! Kau tahukan sifat
suamiku? Dia akan mengomel kalau aku mencuci
tak bersih!" Sahut Tantri ketus.
"Tapi... tapi aku memang takut, Tantri...!" Sa-
hut Tomblok yang tampaknya memang agak geli-
sah. Entah mengapa hatinya jadi berdebaran.

Dan tengkuknya sudah meremang sejak tadi.
"Takut apa...?" Tanya Tantri seraya menatap
pada kawannya.
"Anu... takut... takut kehujanan!" Sahut wani-
ta ini tergagap.
"Hihihi... hihi... yu Tomblok! yu Tomblok...!
Kau ini memangnya sebangsa kambing, atau ma-
sih keturunan kambing? Masakan takut sama
hujan! Hawa begin! mana mungkin hujan? Hm,
sudahlah, kau pulanglah lebih dulu! Kau memang
cari-cari alasan saja!" Ujar Tantri seraya teruskan
lagi mencuci.
"Kalau begitu baiklah! Aku pulang duluan, ya
Tantri!" Ucap Tomblok seraya menyambar bakul
cuciannya, lalu tanpa menoleh lagi sudah beran-
jak menaiki tanjakan berbatu-batu di sisi sungai
itu. Langkahnya terlihat amat tergesa. Gadis ber-
kulit putih ini cuma mendengus, dengan wajah
cemberut. Hatinya amat mendongkol pada kawan
mencucinya itu. Diam-diam bibirnya mendesis
seperti memaki.
"Huh, dasar janda sudah gatel! Bilang saja
sudah tak sabar menemui Kangmas barunya...!"
Mencuci sendiri di sungai dengan situasi sepi
mencekam seperti itu memang tidak enak. Di
samping ada rasa was-was, juga tidak tenang pe-
rasaan rasanya. Namun apa mau dikata, dengan
hati mendongkol wanita muda ini teruskan peker-
jaannya.  Akan tetapi kini sudah mulai terasa
adanya hawa aneh, yang membuat tengkuknya
meremang. Dan dia baru merasakan-nya, bebera-
pa saat setelah kawannya berangkat pulang. Eh,

aneh...! Tak seperti biasanya hawa begini dingin!
Tadi tak terasa apa-apa padaku! Hm, apakah cu-
ma  perasaanku  saja...?  Gumam si wanita muda
dalam hati.
Dan makin bergegaslah dia menyelesaikan
pekerjaannya. Bahkan niatnya untuk mandi pun
telah diurungkan. Pakaian yang masih belum
bersih digilasnya itu, cepat-cepat diperasnya. Lalu
dilemparkan ke dalam bakul. Untuk selanjutnya
mencopot kain penutup tubuhnya. Diperasnya
pada bagian yang basahnya saja. lalu cepat dima-
sukkan ke bakul cucian. Selanjutnya lengannya
sudah bergerak untuk menyambar pakaian ke-
ringnya yang bersih, di atas batu.
Akan tetapi belum lagi lengannya menjamah,
tahu-tahu bersyiur angin keras.... Dan onggokan
pakaiannya telah lenyap.
"Hah!?" Tersentak wanita muda ini. Sepasang
matanya membeliak lebar. Tak ketahuan ke mana
"terbang"nya sang pakaian, karena tahu-tahu su-
dah lenyap begitu saja dari atas batu di hadapan-
nya. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba
terdengar suara tertawa mengikik yang tak keta-
huan di mana arahnya. Serasa berdiri semua
rambut di kepalanya, wanita ini menjerit ketaku-
tan. Dan tak ayal sudah melompat ke darat, lalu
lari jatuh bangun dengan keadaan tubuh telan-
jang bulat. Semakin gencarlah suara tertawa
mengikik itu, seperti terpingkal-pingkal. Namun
tak berapa lama satu bayangan sudah berkelebat
muncul, dan suara tertawa mengikik itu pun ter-
henti.

Terperangah wanita muda ini, karena tiba-
tiba di hadapannya telah berdiri sesosok tubuh
telanjang bulat. Dan seonggok pakaian miliknya
telah berada di cekalan lengan gadis tanpa busa-
na itu.
"Hihihi... hihi... jangan pergi adik manis...!
Aku amat memerlukanmu...! Hihihi... ya, memer-
lukan darahmu!" Berkata Mahesani.
"Hah!? Toloong! Tidaaak...! Ja... jangaaan...!"
Berteriak wanita ini dengan wajah pucat ketaku-
tan. Dan dia sudah putar tubuh untuk melarikan
diri. Akan tetapi sekali Mahesani mengangkat
tangan, segelombang angin keras bersyiur mener-
pa tubuh wanita itu. Sekejap saja dia sudah ro-
boh dengan mengeluh.
Selanjutnya ketika Mahesani membungkuk-
kan tubuh... terdengarlah jeritan wanita muda
itu. Tubuhnya berkelojotan meregang nyawa. Ter-
nyata Mahesani telah menerkam lehernya dengan
giginya, menggigit leher sang korban. Darah me-
nyemburat memancur, dan dengan lahap Mahe-
sani telah menghisapnya. Tak berapa lama tubuh
wanita muda yang telanjang bulat itu sudah ter-
kulai lemah. Sepasang matanya membeliak. Dan
sesaat antaranya Mahesani sudah lepaskan ceng-
keramannya, lalu bangkit berdiri. Tampak wajah-
nya menyeringai menyeramkan. Karena wajah
cantik gadis itu penuh berlumuran darah pada
bagian mulutnya.
"Hihihi... darahmu manis, seperti orangnya...
hihihi... hihi..." Mahesani gerakkan lengannya
menyeka mulut. Sementara sepasang matanya

menatap menjalari sekujur tubuh polos si wanita
muda yang sudah tak bergeming lagi. Karena
nyawanya telah lepas meninggalkan tubuhnya.
Tak berapa lama, setelah selesai mengenakan
pakaian yang dirampasnya, Mahesani alias Tri
Agni segera berkelebat pergi tinggalkan tempat itu
dengan diiringi suara tertawa mengikik yang me-
nyeramkan.

***

Sebulan sudah sejak kejadian lenyapnya Ma-
hesani, puteri Ketua Perguruan Trisula Dewa. Le-
reng bukit tempat berlatih para anak buah Pergu-
ruan tersebut sudah tak dipakai lagi untuk berla-
tih. Rumah Perguruan Trisula Dewa tampak di-
landa kemuraman. Tiada lagi gelak tawa dan can-
da dari para anak buahnya. Sedangkan sang Ke-
tua Perguruan yang bergelar si Pendekar Trisula
Emas tampak jarang keluar dari kamarnya. Ber-
ganti-ganti diutus dari para anak buahnya untuk
mencari jejak si pemuda bernama RAKA RUMPIT
yang melarikan Mahesani. Akan tetapi tak mem-
bawa hasil.
Hari itu tampak rumah Perguruan Trisula
Dewa kedatangan dua orang tamu. Mereka adalah
seorang wanita berusia sekitar 50 tahun dan seo-
rang pemuda dewasa yang kira-kira berusia lebih
dari dua puluh tahun. Si wanita tua itu memakai
pakaian persilatan, bertubuh agak pendek, den-
gan rambut digelung di atas, memakai tusuk
konde emas, berbaju sutera warna jingga. Se-

dangkan laki-laki remaja itu memakai pakaian
warna abu-abu, dengan ikat kepala berwarna me-
rah. Di punggungnya terselip sebatang tombak
pendek bermata tiga. Yaitu di kiri kanan dua ma-
ta kapak, dengan bagian tengahnya mata tombak.
"Katakan pada Ketuamu,  bahwa Pendekar
Lembah Bunga datang bertamu...!" Berkata si
wanita tua itu dengan suara gagah. Penjaga yang
menyambut kedatangannya itu mengangguk
hormat, lalu bergegas beranjak untuk memberi
laporan. Sementara belasan anak buah lainnya
hanya menatap dari kejauhan, sambil bertanya-
tanya siapakah tetamu dia orang
yang datang menyambangi padepokan mere-
ka? Tak berapa lama....
"Ah, selamat datang di tempatku, sobatku
Pendekar Lembah Bunga...!" Dan diiringi suara
kata-katanya, segera muncul sang Ketua Pergu-
ruan Trisula Dewa yang bernama Bayu Wijaya itu.
"Ahihi... mana anak gadismu, si Mahesani?
Tentunya sudah berubah jadi gadis dewasa yang
cantik rupawan!" Berkata si wanita tua Pendekar
Lembah Bunga. Tercenung sesaat, Bayu Wijaya.
Mendadak wajahnya menjadi muram. Akan tetapi
cepat-cepat dia menjawab dengan tersenyum,
bahkan perdengarkan tertawanya yang hambar.
"Hahaha.... Diajeng Rukmita...! Agaknya kau
sudah terlalu rindu, hingga sudah menanyakan-
nya! Ehm, apakah anak muda ini muridmu yang
pada belasan tahun yang lalu itu masih kecil dan
bandel?" Tanya Bayu Wijaya mengalihkan pembi-
caraan di luar Padepokan itu.

"Tentu saja! Siapa lagi kalau bukan si Ma-
hendra! Anakku ini tak pernah berguru pada sia-
pa-siapa selain ibunya sendiri...!" Menyahuti si
Pendekar Lembah bunga seraya berkata:
"Hayo, anakku segera beri hormat pada calon
mertuamu ini...!" Pendekar Lembah Bunga lan-
jutkan kata-katanya seraya menoleh pada sang
anak.
Tentu saja si pemuda bernama Mahendra itu
cepat-cepat menjura dengan membungkuk di ha-
dapan Bayu Wijaya seraya mencium tangan orang
tua itu. Akan tetapi cepat-cepat Bayu Wijaya me-
nepuk pundaknya.
"Sudahlah, anak mas...! Jangan terlalu ba-
nyak peradatan! Marilah kalian segera masuk!
Tempatku masih begini saja tanpa perobahan!"
Ujar Bayu Wijaya merendah. Sementara wajahnya
sebentar pucat sebentar merah. Hatinya berdeba-
ran, akan bicara bagaimanakah dia nanti di ha-
dapan calon besannya ini? Seperti telah direnca-
nakan, memang sejak masih sama-sama berusia
tujuh-delapan tahun, Mahesani dan Mahendra te-
lah ditunangkan. Akan tetapi dia memang tak
menyangka kalau kedatangan Rukmita alias si
Pendekar Lembah Bunga ini akan datang mene-
pati janji. Dan kedatangannya sudah pasti untuk
melamar anak gadisnya. Namun kedatangan sang
calon besan ini sudah terlambat karena Mahesani
telah lenyap entah ke mana.
Mau tak mau Bayu Wijaya memang harus
menceritakan apa yang telah terjadi.... Tentu saja
membuat si Pendekar Lembah Bunga jadi terpe-

ranjat. Bahkan seketika menjadi lemas sekujur
tubuhnya.
"Menurut yang kudengar, pemuda itu berna-
ma RAKA RUMPIT! Entah dari mana kedatangan-
nya! Justru waktu terjadinya penculikan itu aku
sedang tak ada di tempat! Latihan para murid
kami memang setiap sepekan sekali mengadakan
latihan di lereng bukit Karang Tunggal, tak sebe-
rapa jauh dari sini!" Ujar Bayu Wijaya dengan na-
da sedih. "Telah kuutus beberapa kelompok un-
tuk menyebar, mencari jejak Mahesani, akan te-
tapi sia-sia! Mereka pulang tanpa membawa hasil!
Pencarian jejak itu sudah sampai sebulan ini! Aku
memang sudah hampir putus asa Diajeng...!

***

TUJUH

Termenung si Pendekar Lembah Bunga, wa-
jahnya menampilkan kekecewaan hatinya. Akan
tetapi jelas membuat kemarahan luar biasa pada
si pemuda bernama Raka Rumpit, yang telah
menculik calon menantunya. Sementara Mahen-
dra cuma bisa termangu-mangu tanpa bisa berka-
ta apa-apa. Melihat pun wajah tunangannya sejak
sama-sama dewasa, dia belum pernah. Masa kecil
dalam usia sekitar tujuh-delapan tahun adalah
masa di mana belum bisa mengingat wajah orang,
walaupun mereka pernah saling jumpa.
Selama itu Mahendra hanya mengetahui seki-

tar
lembah, yang dinamakan Lembah Bunga. Di
mana dia digembleng oleh sang ibu yang merang-
kap sebagai gurunya. Setelah terdiam sejurus,
akhirnya Pendekar Lembah Bunga memohon
tinggal sementara di Padepokan Trisula Dewa, se-
kalian menyelidiki di mana adanya si pemuda
penculik bernama Raka Rumpit, dan mencari je-
jak Mahesani. Tentu saja Bayu Wijaya tak meno-
laknya. Bahkan dengan adanya Mahendra di pa-
depokan, dia dapat leluasa mencari anak gadis-
nya.
Demikianlah, hari itu juga Mahendra diperke-
nalkan pada seluruh dari anak buah Perguruan
Trisula Dewa. Bahkan beberapa hari di padepo-
kan itu, ternyata Mahendra amat disenangi dalam
pergaulan. Bahkan terjadi saling menguji ilmu.
Kedua calon besan itu cuma memandang sambil
tersenyum.
"Diajeng...! Tampaknya jurus-jurus ilmu Lem-
bah Bunga amat hebat! Kaukah yang telah men-
ciptakan jurus-jurus baru itu?"
"Hm, benar! Sebenarnya masih serumpun
dengan jurus-jurus dari ciptaan guru kita! Aku
hanya mengadakan perombakan, dan menambah
beberapa jurus baru hasil ciptaanku!" Sahut si
Pendekar Lembah Bunga. Bayu Wijaya tersenyum
seraya manggut-manggut. Sementara diam-diam
hatinya agak tergetar berdekatan dengan wanita
yang pernah menjadi saudara seperguruannya
itu. Sudah sejak lama Bayu Wijaya hidup mendu-
da, sejak istrinya minggat bersama laki-laki lain,

dan entah ke mana perginya. Meninggalkan Ma-
hesani sejak masih kanak-kanak. Rumah tang-
ganya memang tidak harmonis, dan mengalami
perpecahan, karena sang istri ternyata seorang
wanita yang tak mengenal puas.
Sedangkan si Pendekar Lembah Bunga adalah
juga seorang janda, yang ditinggal mati suaminya.
Dan tidak berhasrat menikah lagi. Sebagai dua
orang dari satu guru, mereka tetap bersahabat.
Dan masing-masing telah mengetahui akan ri-
wayat hidup rumah tangganya, yang sama-sama
berantakan. Entah, apakah di hati Rukmita alias
si Pendekar Lembah Bunga itu masih ada cinta?
Bayu Wijaya tak dapat menduganya. Namun nya-
tanya hati Bayu Wijaya memang sudah kena ter-
jerat asmara, di masa tua ini. Seakan ingin dia
mengembalikan masa remajanya yang sudah le-
wat puluhan tahun.
Sayang kemelut lenyapnya anak gadisnya
membuat Bayu Wijaya lebih banyak menekan pe-
rasaannya. Adapun si Pendekar Lembah Bunga
seperti tak mengetahui apa yang terkandung di
hati saudara seperguruannya itu.
"Ah, seandainya jurus-jurus Lembah Bunga
dipadukan dengan jurus dari Perguruan Trisula
Dewa, tentu akan merupakan kombinasi yang he-
bat!" Berkata perlahan Rukmita. "Jurus-jurus cip-
taanmu pun tak kalah hebatnya, kakang Bayu...!"
Lanjut ucapannya.
"Yah. kukira memang bisa jadi! Akan tetapi
aku merasa jurus-jurus ciptaanku teramat lemah!
Terbukti anakku Mahesani tak mampu menja-

tuhkan pemuda bernama RAKA RUMPIT itu da-
lam tiga jurus! Dan bahkan dapat diculik begitu
saja...!" Berkata Bayu Wijaya dengan wajah mu-
ram, seperti menyesali kebodohannya. Rukmita
berpaling menatap wajah Bayu Wijaya. Laki-laki
yang ditatapnya tundukkan kepala. Sementara ja-
ri-jari lengannya bergerak memilin jenggotnya
yang masih hitam berkilat.
"Kakang Bayu...!" Ucap wanita tua itu lirih.
Seraya kembali berpaling mengarahkan pandan-
gan ke pelataran Padepokan.
"Kukira kau akan sependapat, kalau kita
mencari Mahesani berdua! Urusan di Padepokan
Trisula Dewa kita serahkan saja pada murid ter-
tuamu! Bukankah ada Mahendra, yang bisa
membantu bekerja dan turut menjaga untuk se-
mentara!" Berkata Rukmita dengan kata-kata lirih
serius. Tercenung Bayu Wijaya, seolah tak per-
caya, karena justru dia memang amat mengha-
rapkan hal demikian. Akan tetapi Bayu Wijaya tak
menampakkan wajah girangnya. Bahkan terden-
gar menghela napas, seolah mengkhawatirkan se-
suatu.
"Akupun berpendapat demikian, diajeng...!
Namun apakah tak menjadi gunjingan orang, ka-
rena kita sama-sama duda dan janda...?"
"Hm, mengapa harus berpikir sejauh itu? Kita
adalah pernah menjadi saudara seperguruan! Dan
layak  kalau kita pergi bersama untuk mencari
Mahesani, sekalian menyelidiki siapa adanya bo-
cah kurang ajar yang telah menculiknya...! Perse-
tan dengan segala macam gunjingan!" Ucap Ruk-

mita dengan kata-kata tegas.
"Kalau begitu, baiklah...! Bilakah kita akan
berangkat?" Tanya Bayu Wijaya.
"Mengapa harus buang waktu? Lebih cepat
adalah lebih baik!"
"Sampai berapa waktu kita mencarinya...?"
"Heh! Ya, sampai ketemu...! Aiiih, kakang Bayu!
Apakah kau akan mandah saja anak gadismu di-
jadikan permainan orang? Walau entah apa yang
terjadi dengan anakmu itu, aku tetap tak mero-
bah keputusan untuk menjodohkannya dengan
Mahendra!" Ucapnya tegas. Dan kata-kata si Pen-
dekar Lembah Bunga itu memang tidak main-
main, karena terlihat jelas di sudut matanya
menggenang setitik air bening. Dan sepasang  ma-
tanya sudah berkaca-kaca... Akhirnya wanita itu
pun tundukkan wajahnya seraya menahan isak
yang tersendak di dadanya.
"Aku memang seorang ayah yang tak becus