Sementara Roro Centil masih
terkulai dalam
pondongan orang itu. Dengan
keluar suara tertawa li-
rih, segera ia telah enjot tubuh
untuk melompat.
Hebat tenaga lompatan itu,
karena dengan dua
kali melompat, ia telah tiba di
sisi tanah ketinggian di
tengah rawa. Ternyata ia hams
mengambil ancang-
ancang lagi untuk melompat. Di
hadapannya dalam ja-
rak satu tombak lagi, terdapat
kolam yang melingkari
tanah bangunan mirip pendopo.
Segera ia telah enjot tubuhnya
sekali lagi, dan
mendarat di undak-undakan batu.
Selanjutnya ia telah
melangkah untuk naik. Dan
sekejap kemudian telah
tiba di muka pintu gedung
pendopo. Tubuh Roro da-
lam pondongan telah dipindahkan
ke atas bahu. Se-
mentara sebelah tangannya
membuka pintu dengan
kunci yang ia keluarkan dari
saku bajunya. Tak lama
si Pendekar Wanita itu sudah
dibawa masuk ke dalam
gedung pendopo itu. Dan lenyap
ketika pintu kembali
tertutup kembali. Di malam yang
disinari rembulan itu
ternyata telah banyak peristiwa
telah terjadi.
Ketika sadarkan diri, Roro
Centil berada dalam
sebuah ruangan yang luas.
Terkejut Pendekar wanita
ini ketika dapatkan dirinya
dalam keadaan berdiri teri-
kat kaki dan tangannya oleh
rantai. Dengan kaki serta
tangan terpentang pada palang
besi. Lebih-lebih terke-
jutnya Roro Centil, ketika
mengetahui pakaiannya te-
lah lenyap. Beruntung masih ada
dua penghalang yang
menutupi bagian-bagian
terpenting di tubuhnya.
Saat itu matahari telah menyorot
masuk dari
jendela berdinding batu, sebelah
atas. Kepala Roro
bergerak memutar untuk meneliti
ruangan. Ia segera
dapat menduga, ruangan itu
berada di bawah tanah.
Karena dindingnya tampak rembes
oleh air. Dan terli-
hat ada beberapa tulang
tengkorak manusia bersera-
kan di lantai lembab. Tempat
apakah ini...? Dan siapa-
kah yang telah menotok ku.. ?
Berkata Roro dalam ha-
ti. Segera teringat kejadian
semalam, tatkala ia tengah
akan menyaksikan pertarungan
gila si Dewi Rembulan
dan Topeng Perunggu. Tahu-tahu
tubuhnya telah dito-
tok orang, dalam keadaan lengah.
Dan sebuah sapu
tangan berbau harum telah
menyumpal hidungnya.
Selanjutnya ia sudah tak
sadarkan diri. Ketika sadar
tentu saja Roro jadi terkejut
karena mengetahui ia da-
lam keadaan terikat sedemikian,
Diam-diam ia coba kerahkan
tenaga dalamnya,
untuk mencoba memutuskan rantai.
Akan tetapi lagi-
lagi ia terkesiap karena
tenaganya telah punah. Hal
tersebut ternyata membuat murid
si manusia Banci ini
mendongkol. Dan segera saja
keluar adat anehnya. Ti-
ba-tiba Roro Centil telah
perdengarkan suara tertawa
mengikik geli, hingga
terpingkal-pingkal. Hingga selu-
ruh ruangan itu seperti penuh
suara tertawa yang ber-
pantulan tak ada putusnya.
Seolah di dalam ruangan
itu ada sepuluh wanita yang
sama-sama tertawa.
Tentu saja hal itu telah membuat
sebuah pintu
batu menjeblak terbuka dari
atas. Dan sesosok tubuh
telah melompat ke bawah.
Ternyata seorang laki-laki
yang mengenakan topeng di
wajahnya. Yaitu laki-laki
yang telah menotoknya, dan
menawan Roro di tempat
ini.
"Hentikan tertawamu Wanita
Pendekar...!" Sen-
taknya, seraya berkelebat
melompat ke hadapan Roro.
Yang dibentak ini ternyata
bukannya berhenti tertawa,
bahkan semakin keras suara
tertawanya. Kali ini diba-
rengi kata-kata....
"Hi hi hi... hi hi... Aku
sudah tahu siapa kau,
mengapa masih juga menutupi
wajahmu...? Lebih baik
kau lekas-lekas minta ampun
padaku, dan lepaskan
aku! Kalau tidak, roh ku akan
keluar untuk mencabut
nyawamu...! Hi hi hi... hi hi...
Terkejut laki-laki berto-
peng ini, Kata-kata itu tentu
saja membuat ia ragu.
Apakah benar orang yang di
tawanya ini telah menge-
txt oleh
http://www.mardias.mywapblog.com
tahui dirinya? Agaknya mendengar
gertakkan Roro itu,
nyali si manusia bertopeng ini,
jadi kendur menyusut.
Ia menduga gadis itu mempunyai
ilmu hitam. Namun
tiba-tiba wajahnya jadi berubah
sinis. Dan bentakkan
kata-kata;
"Huah...! Kau kira aku bisa
kau gertak demi-
kian? Walau kau sudah tahu siapa aku, tak menjadi
persoalan. Apakah kau bisa
lepaskan diri dari rantai
belenggu itu!?" Selesai
berkata ia telah lepaskan topeng
wajahnya. Ternyata dia tak lain
dari Paderi Ketua Dua,
dari Kuil Istana Hijau. Yaitu
Santa Dasa Griwa. Diam-
diam Roro Centil bergirang hati,
karena usahanya un-
tuk mengetahui manusia yang
menawannya membawa
hasil. Roro yang sudah
mengetahui gerakan di bawah
tanah paderi yang bekerja sama
dengan si Topeng Pe-
runggu itu, sudah tak heran lagi
kalau manusia ini
mau mencelakai.
"He! Paderi pengkhianat!
Apakah kau memang
inginkan roh ku mencabut
nyawamu?" Teriak Roro ti-
ba-tiba dengan nada suara tinggi
yang diiringi tertawa
mengikik.
"Ha ha ha ... silahkan
rohmu keluar untuk
membunuhku...! Aku ingin lihat,
apakah kau mampu
pergunakan ilmu
hitammu...!" Ujar paderi Sapta Dasa
Griwa sinis.
"Kau memang tak pantas jadi
seorang paderi.
Perbuatanmu bisa mencemarkan
nama paderi lainnya.
Apa yang kau inginkan dengan
menawan ku demikian
rupa?"
"Memang aku tak berniat
menjadi paderi, nona
pendekar perkasa...! Aku justru
ingin merobah Kuil Is-
tana Hijau untuk menjadi
Kerajaan kecil yang ber-
naung di bawah Kerajaan Sriwijaya! Tentu saja kau
harus menyingkirkan setiap
perintangnya, terutama
kau sendiri, yang telah ikut
campur dalam urusan
ini...! Menyusul si Bangau
Putih, dan yang te-
rakhir adalah si Ketua Utama Ki
Dharma Sheta...!
Tempat ini memang sebuah ruang
penyiksaan, Sebe-
lum dibunuh mati setiap tawanan
yang berada di
ruangan ini harus menjalani
siksaan lebih dulu. Tentu
saja aku menawan
mu, adalah untuk menyiksamu
sampai setengah mati. Baru
kubunuh dengan ini...!"
Seraya berkata, Dasa Sapta Griwa
telah mengeluarkan
sepasang pedang pendek yang
melengkung dari balik
jubahnya. Pedang itu berwarna
hitam. Roro Centil jadi
melengak dengan sepasang mata
membelalak. Kini di-
lihatnya, paderi itu sudah
mendekatinya dengan terse-
nyum sinis. Adapun Roro Centil
segera lakukan perta-
nyaan.
"Hm... Apakah itu Sepasang
Pedang Silu-
man...?" Tanya Roro tanpa
rasa gentar ketika Sapta
Dasa Griwa mendekatinya.
"Benar...! Sepasang pedang
ini dapat membuat
punah segala macam ilmu Hitam. Dan
kau boleh kelu-
arkan ilmu hitammu untuk
membunuhku! He he he..."
Seraya berkata lengannya telah
bergerak, dan tempel-
kan ujung pedang di leher Roro.
Gadis ini cuma meli-
riknya dengan tersenyum. Agaknya
Roro memang ber-
sikap aneh. Dan hal itu adalah
kelebihan Roro dari se-
tiap orang. Karena ia seperti
tak takut menghadapi
kematian. Tapi yang membuat
heran Roro, adalah se-
pasang pedang pusaka ini,
mengapa bisa berada di
tangan si paderi? Karena memang
tidak mengetahui,
dengan serampangan saja Roro
telah berkata;
"Menurut yang kudengar,
Sepasang pedang itu
adalah milik TUN PARERA, Ketua
Perguruan TRI
MUKTI. Kalau benda ini ada di
tanganmu sudah pasti
kau pemiliknya yang
asli...!" Diterka demikian, wajah
si paderi jadi berubah merah.
Diam-diam ia membatin
dalam hati. Gadis Centil ini
apakah punya ilmu nujum,
bisa segala tahu...? Terpaksa ia
tak bisa sembunyikan
lagi siapa dirinya. Apa lagi ia
berpendapat si Pendekar
Wanita itu sudah dalam
kekuasaannya. Buat apa ia
menyembunyikan rahasia lagi?
Memikir demikian, ia
sudah lantas berkata;
"Benar...! Akulah TUN
PARERA, Ketua Pergu-
ruan Tri Mukti. Gerakanku adalah
lebih awal dari si
Tugangga manusia Topeng Perunggu
itu. Karena dalam
aku menguntit pencuri sepasang
pedang pusaka lelu-
hur ku itu,
akupun telah menyamar menjadi paderi,
dan diterima oleh Ki Dharma
Sheta. Bahkan mendapat
kepercayaan menjadi wakil,
sebagai paderi Ketua Dua
di Kuil Istana Hijau. Di samping
ingin merebut kembali
sepasang pedang pusaka
leluhur ku, akupun ingin
menguasai Kuil Istana Hijau.
Ternyata kesempatan
itupun berhasil. Aku bertindak
tatkala sudah berhasil
menghasut lebih dari sepertiga
paderi. Bahkan hampir
separuhnya. Mengenai Sepasang Pedang Siluman,
memang sejak aku menyelidiki,
baru kuketahui telah
disembunyikan si Tugangga ke
dalam arca Budha.
Namun berkat banyaknya para
paderi yang pro padaku
dan membantu dengan
sembunyi-sembunyi, melalui
ruang bawah tanah, aku berhasil
menjebol bawah ar-
ca. Dan mengambil sepasang
senjata Pusaka itu"
"Mengapa harus bertindak
dengan sembunyi-
sembunyi?" Tanya Roro.
"Ha ha ha... Dengan
demikian, si Paderi Ketua
Dharma Sheta tak mencurigaiku.
"Waktu itu adalah di
saat si Tugangga dipenjarakan
karena ketahuan telah
membawa wanita, dan
memperkosanya di ruangan su-
ci. Hukumannya amat berat Karena
harus menjalani
hukum penjara selama tiga
tahun...!"
"Apakah kau telah
menukarnya dengan yang
palsu?" Tanya Roro lagi.
Tersenyum Tun Parera seraya
menyontek dagu Roro untuk
mendongak, oleh ujung
pedang.
"Otakmu cerdik, Roro
Centil. Benar...! Aku telah
membuat yang palsu. Dan
memerlukan waktu cukup
lama untuk membuatnya. Yaitu
selama hampir satu
tahun.
"Apakah ke Dua Belas jurus
Ilmu Sepasang Pe-
dang Siluman yang dipelajari
Tugangga di penjara juga
palsu?." Bertanya Roro
dengan menatap tajam Tun Pa-
rera.
"Hm! Kalau ke Dua Belas
jurus itu tetap yang
asli. Karena manusia itu telah
mengambilnya terlebih
dulu gulungan kertas kulit yang
berada di dalam ga-
gang Pedang. Kau pasti dapat
mengetahui tentang ke
Dua Belas jurus ilmu pedang itu,
dari hasil kau men-
curi dengar saat kau mengintip
mereka...!" Berkata
Sapta Dasa Griwa alias Tun
Parera dengan mende-
katkan wajahnya pada Roro. Roro
tak sempat menja-
wab. Dan memang tak perlu
menjawab. Terpaksa ia
cuma mandah saja ketika hidung
si paderi itu berkali-
kali mendarat di pipinya. Dalam
hati Roro memaki ka-
lang kabut. Akan
tetapi ia memang harus bersabar
untuk bisa le-
paskan diri. Sementara otaknya
mulai bekerja. Mencari
jalan untuk bisa membebaskan
diri.
"Tunggu dulu Tun Parera...!
Mengapa tak kau
ajak aku bekerja sama
denganmu?." Desis Roro den-
gan tatapan mata mengandung daya
tarik. Sejenak si
paderi hentikan ciumannya. Lalu
putarkan tubuh
membelakangi Roro. Tampaknya
seperti sedang berfi-
kir. Tak lama ia tengah masukkan
kedua pedang ke
dalam sarungnya di kedua sisi
pinggang sebelah dalam
jubah. Lalu balikkan lagi
tubuhnya dengan sepasang
mata menatap pada Roro.
"Aku belum bisa mempercayaimu
nona Pende-
kar Roro Centil. Keadaan sudah
mendesak. Dalam be-
berapa hari lagi aku dapat kabar
dari mata-mataku, Ki
Dharma Sheta akan segera tiba.
Laporan dari mata-
mataku, kapal yang ditumpangi
paderi Ketua Utama
telah merapat di bandar pelabuhan.
Kalau kau tak ku
sekap di tempat tawanan yang tersembunyi ini, aku
khawatir akan lebih banyak
perintang ku untuk mele-
nyapkan Ki Dharma Sheta
...!"
"Baiklah! Kini apa yang
akan kau lakukan ter-
hadap ku, segera lakukanlah
...!" Roro justru menan-
tang dengan suara mantap. Karena
rasa ingin tahu apa
yang akan dilakukannya terhadap
dirinya yang sudah
tak berdaya itu. Sepasang mata
Tun Parera jadi terbe-
liak menatap Roro. Bahkan jadi
geleng-geleng kan ke-
pala melihat ketabahan gadis
pendekar itu.
"Ha ha ha... gadis
semacammu memang langka!
Kau punya watak aneh...! Tadi
menakut-nakutiku
dengan roh mu yang akan
membunuhku, dan suruh
aku minta ampun padamu. Kini kau
pasrahkan dirimu
mentah-mentah...!" Seraya
berkata ia telah beranjak ke
sisi palang besi. Di situ
tergantung sebuah cambuk da-
ri kulit. Segera ia raih benda
itu.
"Baiklah...! Aku memang
punya kesenangan
menyiksa wanita, sebelum aku
mengingininya untuk
menghangatkan tubuhku! Ingin
kulihat tarianmu di
ujung cambuk ini!" Segera
dengan sekali lompat ia te-
lah menjauh, kira-kira lima tombak. Dan ulur tali
cambuknya yang memanjang sampai
ke tanah. Roro
Centil kertakkan gigi. Kini baru
diketahuinya kalau si
paderi ini berhati binatang.
Sepasang mata Tun Parera
telah berbinar-binar merayapi
sekujur tubuh Roro
yang mulus terpentang itu.
Sebenar lagi ia akan meli-
hat tubuh gadis di hadapannya
akan meliuk-liuk bagai
ular. Dan rintihan yang
menggairahkan itu sudah se-
perti terdengar di telinganya.
Dengan tertawa menyi-
ringai buas. Tun Parera telah
putar-putarkan cambuk-
nya di udara. Roro Centil
menatap tak berkedip. Bibir-
nya tampak seperti bergumam
lirih. Ketika itu ujung
cambukpun meluncur ke tubuh Roro
untuk menyen-
tuh kulit sang Pendekar Wanita
yang putih mulus ini.
Akan tetapi tiba-tiba Roro
Centil telah gerakkan kepa-
lanya ke bawah. Apa yang
terjadi? Rambut telah ber-
juntai menyambar untuk mengeprak
ujung cambuk.
Hingga sebelum tubuhnya terkena
hantaman. Ujung
cambuk itu telah menjadi hancur
luluh. Terkejut Tun
Parera. Betapa ia tak menyangka
akan bisa terjadi hal
itu. Tampak ia melompat ke depan
satu tombak. Dan
kini hantamkan lagi cambuknya.
Lagi-lagi Roro ke-
prakkan lagi rambutnya dengan
menggerakkan kepa-
lanya. Kembali ujung cambuk
menjadi hancur beran-
takan. Dua kali paderi Sapta
Dasa Griwa hantamkan
cambuknya. Dan kali juga ujung
cambuknya menjadi
hancur. Hingga kini cambuk itu
tinggal lagi dua depa.
Sepasang mata laki-laki berusia
50 tahun ini jadi
membeliak melihat kehebatan
serangan rambut Roro
Centil.
"Bagus...! Rupanya aku tak
perlu menyiksamu
lagi. Kini terimalah kematianmu,
Pendekar wanita!" Ia
sudah gerakkan lengannya
melempar cambuknya. Dan
sekejap telah mencabut keluar
sepasang Pedang Silu-
man. Ketika itu Tun Parera sudah
segera melabrak Ro-
ro dengan berteriak keras.
Sepasang senjatanya berke-
lebat timbulkan hawa dingin yang
merasuk ke jantung.
Berdebar Roro Centil. Seluruh
indranya telah dipa-
sang. Sayang Roro belum bisa
lepaskan diri dari rantai
belenggu. Dan detik itu kedua
ujung pedang sudah
meluncur ke arah dada dan leher.
Akan tetapi pada de-
tik berbahaya itu segumpal asap
hitam telah melin-
dungi Roro. Bahkan terus
menerjang memapaki ter-
jangan Tun Parera. Terkesiap
laki-laki ini, karena ra-
sakan satu cengkeraman yang
menerkam dadanya.
Dan membuat tubuhnya jatuh
bergulingan. Asap hi-
tam itu terus meluruk ke arahnya
diiringi suara meng-
geram seekor harimau. Seketika
Tun Parera jadi terke-
sima. Sepasang pedangnya bergerak
menabas ke arah
depan. Buyarlah asap hitam, dan
lenyap. Namun suara
menggeram itu tahu-tahu berada
di belakangnya. Se-
cepat kilat ia balikkan tubuh.
Kini terlihatlah se ekor
Harimau Tutul yang tubuhnya
hampir sebesar kerbau
tengah perlihatkan taringnya,
dan sudah bersiap un-
tuk menerkam.
Gila...!? Makhluk ini dari mana
munculnya...!?
Teriak Parera dalam hati. Namun
sudah melangkah
mundur tiga tindak. Sementara
keringat dingin telah
mengembun di kening dan
lehernya. Bulu tengkuknya
tiba-tiba meremang. Belum lagi
ia menyadari, sang ha-
rimau Tutul telah melompat
menerkam. Terpaksa ia
pergunakan lagi sepasang
pedangnya menabas bebe-
rapa kali. Tapi semua itu bagai
menabas angin belaka.
Karena tubuh si Harimau Tutul
bagai bayang-bayang.
WUT! WUT! WUT! Beberapa serangan
beruntun
telah ia sarangkan ke sasaran.
Sang harimau Tutul ke-
luarkan suara menggeram dahsyat.
Dan lolos ke depan
bagai segumpal asap. Tahu-tahu
telah terjadi satu hal
yang aneh. Karena tampak Tun
Parera telah berkelojo-
tan tubuhnya. Sepasang pedangnya
telah terlepas. Kini
ia seperti berusaha melepaskan
terkaman yang men-
cengkeram leher. Sepasang
lengannya meronta, den-
gan memegangi lehernya. Dengan
keadaan wajah yang
mengerikan. Karena sepasang matanya
mendelik den-
gan mulut ternganga, dan lidah
terjulur keluar. Sedang
air liurnya bersemburan
bercampur darah. Tubuhnya
bergetar hebat. Kakinya menyepak
ke sana-kemari...
Yang akhirnya roboh terguling.
Selanjutnya ia seperti
tengah meregang nyawa, dan
keluarkan jeritan-jeritan
parau yang menyayat hati. Namun
selang tak lama,
tubuh Tun Parera alias si paderi
Ketua Dua Kuil Istana
Hijau telah terkulai untuk tak
berkutik lagi. Saat itu
Roro Centil telah kembali pulih
tenaga dalamnya. Dan
tengah kerahkan kekuatan
lengannya memutuskan
rantai belenggu. Terdengar suara
mendesis dari mu-
lutnya. Asap tipis tampak
mengepul keluar dari setiap
anggota tubuh yang terbelenggu
rantai. Sekejap kemu-
dian terlihat rantai-rantai itu
telah meleleh bagai ter-
kena bara api yang panas
membara. Seluruh tubuh
Roro telah keluarkan keringat
yang menetes. Inilah te-
naga Inti Api yang luar biasa.
Yang dipergunakan Roro
untuk melepaskan belenggu.
Tenaga dalam Roro yang
telah diwarisi si Dewa Tengkorak
secara penuh, ternya-
ta dapat menghimpun hawa panas
yang disalurkan ke
tempat tertentu. Kini dengan
sekali sentakan berba-
reng, Roro Centil telah dapat
melepaskan diri dari be-
lenggu. Dan lompat menghampiri
di mana tubuh Tun
Parera menggeletak. Roro segera memeriksanya.
Ter-
nyata Tun Parera si Ketua
Perguruan TRI MUKTI alias
paderi Ketua Dua Kuil Istana
Hijau yang bernama Sap-
ta Dasa Griwa telah tewas secara
mengerikan. Dari
mulut, hidung dan telinganya
tampak mengalirkan da-
rah kental. Dara ini menghela
nafas. Dan bersyukur ia
bisa terhindar dari
ketelengasannya. Segera ia periksa
jubah orang. Dan tarik keluar
sepasang sarung pe-
dang. Lalu sepasang matanya
dialihkan mencari kedua
Pedang Pusaka. Selanjutnya
segera benahi lagi kedua
pedang itu untuk dimasukkan
dalam serangkanya. Si
Tutul ternyata telah menjelmakan
diri menjadi seekor
anak harimau sebesar kucing.
Segera Roro beranjak
berlari ke dekat ruang atas yang
menjeblak tadi, sete-
lah tatap sejenak si anak
harimau Tutul dengan bibir
tersenyum. Kemudian sekali enjot
tubuh, Roro Centil
sudah melompat naik. Kini ia
berada di ruang atas.
Sementara si Tutul pun sudah
melompat mengikuti.
Roro Centil selanjutnya
memeriksa setiap ruangan.
Dan temukan lagi pakaiannya,
serta buntalan pakaian
yang masih utuh isinya. Senjata
Rantai Genitnya ter-
nyata tergantung di sisi
pembaringan Tun Parera.
Tak banyak ayal lagi, segera
Roro Centil kena-
kan lagi pakaiannya. Serta
rapikan buntalannya untuk
disangkutkan lagi pada
punggungnya. Selanjutnya su-
dah segera melompat untuk keluar
gedung. Terpaksa
Roro pergunakan lengannya
menghantam daun pintu.
Yang segera jebol berantakan.
Sekali enjot tubuh, ia
sudah melesat keluar gedung. Dan
perhatikan sekitar-
nya. Ternyata memang tak ada
penghuni lain, selain
Tun Parera yang telah tewas.
Gadis ayu ini berdiri te-
gak untuk mencari arah, Sepasang
senjata anehnya
yaitu si Rantai Genit telah
terselip lagi pada pinggang-
nya. Batu warna kuningnya
berkilauan kena sorot ca-
haya Matahari. Tampaknya Roro
agak bingung, Karena
ia dibawa kemari dalam keadaan
tak sadarkan diri.
Roro tak mengetahui ia berada di
daerah mana. Dan
baru mengetahui kalau rumah
pendopo yang dibuat
sebagai tempat tawanan dirinya
adalah sebuah gedung
terpencil di tengah rawa. Segera
Roro beranjak untuk
menuruni undakan batu. Kini di
bawah kakinya ada-
lah kolam air yang bergaris
tengah sepertiga lemparan
tombak. Terkejut juga RORO
CENTIL mengetahui ko-
lam yang memutari tempat
ketinggian di bawah unda-
kan, ternyata penuh dengan lintah. Begitu membaui
darah manusia, segera merubung
dekat kaki Roro.
"Gila...! Tempat ini
sungguh tak menyenang-
kan! Mari kita tinggalkan tempat
ini Tutul...!" Seraya
berkata Roro sudah bergerak
melompati kolam. Pan-
dangan matanya segera dapat
melihat adanya jalan lu-
rus berbatu-batu yang
menyeberang rawa-rawa. Seke-
jap antaranya Roro Centil sudah
berkelebat tinggalkan
tempat itu...
*****
Siapa gerangan yang menolong si
Bangau Pu-
tih...? Mari kita lihat di sebuah
pondok tersembunyi di
dalam hutan bambu. Tempat itu
adalah tak jauh dari
sebuah muara sungai. Yaitu
diantara tiga sungai yang
saling bertemu, Tempat ini
sering disebut Lubuk Mua-
ra Seronok. Karena memang tempat
yang diapit oleh
dua bukit itu, merupakan tempat
yang indah. Akan te-
tapi memang sebuah tempat yang
hampir jarang di-
kunjungi orang. Karena untuk
dapat tiba di tempat ini,
adalah melalui jalan yang sukar
ditempuh. Pondok ter-
sembunyi ini wuwungannya terbuat
dari atap rumbia.
Dengan dinding dari anyaman
bambu. Tapi adalah se-
buah pondok yang bersih. Serta
tempat sekeliling yang
teratur rapi. Ditutup hutan
bambu yang rapat itu, seo-
lah di alamnya tak terdapat
pondok dan manusia......Di
ruang bagian depan itu ternyata
telah ada dua orang
lelaki tua yang tengah duduk
bercakap-cakap. Kiranya
mereka adalah si Bangau Putih.
Dan yang seorang lagi
ternyata seorang tua yang
berjubah aneh. Yaitu jubah-
nya bertambalan dengan bermacam
warna. Selain ter-
buat dari bahan yang mahal, tapi
juga bersih. Sehing-
ga tak menampilkan kemesuman.
Rambut orang tua
itu memakai gelung terbungkus
kain sutera warna hi-
tam. Kedua ujung kain suteranya
terjuntai sepanjang
satu jengkal. Bertubuh jangkung,
dan berkulit muka
putih. Rambut dan jenggotnya pun sudah sama me-
mutih. Laki-laki ini tanpa
kumis. Hanya jenggotnya sa-
ja yang ia pelihara sepanjang
dua jengkal. Wajahnya
menandakan seorang tua yang
telah banyak makan
asam garam di Dunia Rimba Hijau.
Dialah kiranya si
PENDEKAR GENTAYANGAN dari Gunung
KUMBANG.
Yang nama aslinya adalah Ki
Jagus Wedha.
Perlu diketahui bahwa Gunung
Kumbang ada-
lah sebuah gunung di Pulau Jawa.
Dengan adanya me-
reka di Pulau Andalas, dapat
dipastikan ada sesuatu
hal yang amat penting untuk
datang ke tempat ini.
"Sekali lagi aku yang
rendah si Bangau Putih
mengucapkan terimakasih atas
pertolongan anda me-
nyelamatkan nyawaku...!"
Berkata paderi itu. Ki Jagur
Wedha tersenyum sambil mengelus
jenggotnya yang
panjang terjuntai.
"He he he... Sudahlah!
Mengapa harus berkali-
kali menghaturkan terimakasih?
Kita adalah sesama
manusia, yang memang membutuhkan
tolong meno-
long dengan sesamanya" Ujar
Ki Jagur Wedha. Bangau
Putih pun tersenyum sambil
manggut-manggut
"Sungguh aku menjadi malu,
karena dalam
usia anda yang sudah mencapai
100 tahun, ternyata
masih
punya kegesitan luar biasa.
Entah ada urusan
apakah gerangan hingga anda
berkunjung ke Pulau
Andalas ini?" Bertanya
Bangau Putih.
"Hm! Anda terlalu memujiku paderi Kuil Tan-
jung Kait. Sebenarnya aku memang
sudah pantas un-
tuk pensiun dari Rimba Hijau,
akan tetapi kiranya ma-
sih ada saja urusan yang harus
ku benahi. Sebenarnya
kedatanganku kemari bersama
Ketua Kuil Istana Hi-
jau. Yaitu Ki Dharma Sheta. Kami
telah singgah ke
Kuil anda di Tanjung Kait, untuk
melihat keadaan di
tempat anda. Karena sebagaimana
Ki Dharma Sheta
mengatakan, bahwa anda tengah
dimohonkan ban-
tuannya menjaga Kuil Istana
Hijau...!"
"Bagaimanakah keadaan di
Tanjung Kait?" Ber-
tanya Bangau Putih memotong
pembicaraan. Ki Jagur
Wedha tersenyum dan menjawab.
"Tidak terjadi apa-apa.
Bahkan para paderi me-
nyambut dengan baik..."
"Apakah Ki Dharma Setha
membatalkan kun-
jungannya ke beberapa kuil di
tanah Jawa? Laki-laki
berusia 100 tahun ini menjawab
dengan menghela na-
fas.
"Seorang paderi dari Kuil
Istana Hijau telah
menyusul Ki Dharma Sheta. Dia
melaporkan ada hal-
hal yang tidak beres di dalam
Kuil. Kebetulan aku
menjumpainya di sebuah
penginapan. Dan mengajak-
nya untuk kembali secepatnya.
Aku memang sudah
lama tak gentayangan lagi di
Rimba Hijau. Hal tersebut
membuat aku ingin sekali turut
mengatasi kemelut di
dalam Kuil Istana Hijau. Karena
kudengar paderi Ke-
tua Dua, Sapta Dasa Griwa yang
telah dipercayainya,
melakukan gerakan bawah tanah.
Menghasut para pa-
deri hampir separuhnya. Satu hal
lagi adalah kudengar
tentang lolosnya seorang tahanan
Ki Dharma Sheta
dari Penjara Besi. Menurut Ki
Dharma Sheta baru di-
ketahui belakangan kalau paderi
yang tengah menja-
lani hukumannya itu adalah
seorang penjahat yang te-
lah mencuri sepasang Pedang
Siluman. Hal itu me-
mang baru didengarnya beberapa
pekan ini, karena
berita itu belumlah bisa
dipercaya. Akan tetapi begitu
kami injakkan kaki di Pulau
Andalas, sudah dengar
berita yang lebih hebat Yaitu
pembantaian para paderi
Kuil Istana Hijau. Bahkan nyaris
kami temui kematian,
karena serangan mata-mata yang
memang telah dipa-
sang si paderi Sapta Dasa Griwa.
Dari mata-mata yang
berhasil kutangkap, segera
diketahui kalau si paderi
Sapta Dasa Griwa mau berkhianat.
Dan berniat men-
guasai Kuil. Karena ia memang
bercita-cita menjadikan
Kuil itu sebuah istana Kerajaan
Kecil. Yang akan ia di-
rikan, dan bernaung di bawah
panji Kerajaan Sriwi-
jaya. Kami telah tiba dengan
waktu yang lebih diperce-
pat. Dan kini Ki Dharma Sheta
berada disatu tempat
yang aman menunggu instruksi
dariku. Die memang
menyerahkan urusan ini padaku.
Karena mengang-
gapku adalah seorang yang sudah
berpengalaman un-
tuk menumpas komplotan penjahat...!" Demikian Ki
Jagur Wedha akhiri
penuturannya. Bangau Putih
manggut-manggut mendengar
penuturan itu. Dan ia-
pun ceritakan pula pengalamannya
sejak ia ditugaskan
Ki Dharma Sheta untuk menjaga
Kuil Istana Hijau. Di
mana ia menemui kesulitan
sehingga tertawan oleh si
Naga Hitam dan Dewi Rembulan.
"He he he... si Dewi
Rembulan itu istri mudanya
si Petir Dahana. Tokoh keji
kepala perampok itu telah
kukirim nyawanya ke Neraka empat
atau lima tahun
yang lalu. Ketika ku menolongmu
dari serangan si To-
peng Perunggu yang akan
membunuhmu sekaligus
dengan si Naga Hitam, aku
sekilas melihat seorang da-
ra berbaju kuning tak jauh dari
tempat itu. Apakah dia
si Roro Centil itu...?"
Tanya Ki Jagur Wedha. Bangau
Putih kerutkan alisnya, seraya
menjawab; "Entahlah...!
Aku tak mengetahuinya. Karena
sejak aku mengun-
dangnya, sekali pun aku belum
pernah bertemu muka.
Dan aku sama sekali tak
mengetahui adanya orang di
tempat itu...!"
"He he he... ternyata kita
orang-orang tua su-
dah jauh ketinggalan dengan para
pendekar muda.
Cuma mereka belum begitu banyak
pengalaman. Begi-
tu menolongmu, aku segera
kembali lagi kesana. Dan
dapatkan si Naga Hitam telah
tewas. Aku mencari-cari
di sekitar tempat itu, ternyata
si Dewi Rembulan ten-
gah main gila dengan si Topeng
Perunggu. Sedangkan
dara berbaju kuning itu entah
kemana, tak kulihat ba-
tang hidungnya! Tadinya aku mau
turun tangan mem-
bekuk dua manusia itu.... Akan
tetapi sebagai seorang
tua yang sudah menjauhi segala
macam urusan orang-
orang muda, aku lebih baik
tinggalkan tempat itu. Ma-
sih banyak waktu untuk
membekuknya...!" Ujar Ki Ja-
gur Wedha. Bangau Putih
terdengar menghela nafas.
Dan berucap pula....
"Memang...! Keadaan dunia
telah semakin se-
mrawut! Itulah sebabnya aku
memilih menjadi seorang
paderi. Tapi tak nyana, akhirnya
masih juga aku harus
jadi seekor kambing tua yang
dungu. Karena kebodo-
han ku...!" Paderi ini
teringat akan kelakuan gila si Na-
ga Hitam dan Dewi Rembulan, yang
enak saja men-
gumbar nafsu di hadapannya... "Apakah anda tahu
siapa gerangan si Topeng
Perunggu itu...?". Tanya si
Bangau Putih.
"He he he... Dia tak lain
dari si manusia yang
telah lepaskan diri dari Penjara
Besi di Kuil istana Hi-
jau! Kiranya si Dewi Rembulan
itulah yang telah meno-
longnya keluar dari tahanan, Dia
bernama TU-
GANGGA...! Yaitu keponakan dari
si Petir Dahana yang
telah mampus di tanganku...!" Menyahut Ki Jagur
Wedha. Akan tetapi tiba-tiba
laki-laki berusia satu ab-
ad ini telah berteriak dengan
suara keras...
"Hooiiii...! Tetamu yang
di luar. Mengapa tak
segera masuk?. Tak baik
mendengarkan percakapan
dengan
sembunyi-sembunyi...!" Melengak si Bangau
Putih. Karena telinga Ki Jagur
Wedha ternyata amat
tajam pendengarannya. Ia sudah
melongok keluar jen-
dela. Dan pada saat itu juga
berkelebat masuk sesosok
tubuh ramping berbaju kuning
emas, yang tak lain da-
ri si Pendekar Wanita Pantai
Selatan Roro Centil.
"Aiii.... calon menantuku
kiranya...! Silahkan
duduk! Silahkan duduk...!"
Berkata Ki Jagur Wedha
dengan wajah berseri. Adapun
Roro Centil jadi melen-
gak heran. Tahu-tahu disambut
orang dengan me-
manggilnya calon menantu. Roro
segera menjura pada
kedua orang tua itu. Karena
sudah dipersilahkan du-
duk segera Roro pun mengambil
tempat duduk di tikar
dekat pintu.
"Siapakah adanya kakek?
Mengapa menye-
butku calon menantumu...?"
Bertanya Roro Centil. Ki
Jagur Wedha langsung menjawab;
"He he he... Dari melihat
sepasang senjatamu
yang sudah terkenal itu, aku
orang tua si Pendekar
Gentayangan sudah mengetahui
kalau kau adalah Ro-
ro Centil. Bukankah Gurumu si
Manusia Aneh Pantai
Selatan...?" Tanya Ki Jagur
Wedha. Roro Centil naik-
kan alisnya, tapi segera
mengangguk.
Aku memang muridnya. Dan kalau tak salah
anda adalah saudara angkat
Guruku. Juga guru si Jo-
ko Sangit, benarkah
demikian...?" Roro Centil balik
bertanya, karena dari nama
julukan itu, Roro segera
teringat akan penjelasan Joko
Sangit, sahabatnya.
Yang mengatakan ketika memberi
kabar tentang kema-
tian Gurunya si Manusia Banci
telah tewas, kala Joko
Sangit akan mengundangnya untuk
menghadiri Ulang
Tahun si Pendekar Gentayangan
ini. Yaitu pada usia
ke 100 tahun. Di mana akhirnya
berkelanjutan Roro
mencari kedua orang pembunuh Gurunya di Pulau
Andalas ini. Ki Jagur Wedha
manggut-manggut seraya
tertawa terkekeh-kekeh
membenarkan.
"He he he... Apakah kau
belum berkenalan
dengan paman ini? Beliau adalah
paderi dari Tanjung
Kait, yang bergelar si Bangau
Putih!" Roro Centil segera
menjura pada laki-laki berusia
50 tahun itu, Seraya
berkata;
"Maafkan keterlambatan ku
memenuhi undan-
gan mu, paman Bangau Putih!
Kiranya baru sekarang
kita berjumpa muka..."
"Ha ha ha... tak mengapa
nona Roro Centil. Aku
sudah gembira akhirnya toh kita
bisa berjumpa. Sung-
guh aku telah mendengar akan
kehebatan sepak ter-
jang mu selama ini. Dan aku
orang tua cuma bisa ge-
leng kepala melihat munculnya
para generasi baru dari
Kaum Muda, yang berjuang
menegakkan panji-panji
keadilan. Ternyata kami orang
tua sudah tak mengenal
lagi tingginya ilmu tingkatan
masa kini...!"
"Ah, anda terlalu
merendahkan diri paman
Bangau Putih. Justru kepandaian
yang ku peroleh
adalah warisan dari para kaum
tua....!" Berkata Roro
Centil merendahkan diri.
Selanjutnya mereka sudah
tertawa dengan gembira.
Tiba-tiba Roro Centil ajukan
pertanyaan tadi. Yaitu mengenai
panggilan sang kakek
padanya yang mengatakan
kata-kata "Calon Menantu"
padanya. Kembali Ki Jagur Wedha
tertawa gelak-gelak,
seraya ujarnya;
"He he he... Muridku yang
sudah tak betah di
rumah itu tampaknya sering
sekali membicarakan ten-
tang dirimu, Roro Centil. Aku
berpendapat ia telah ja-
tuh cinta padamu. Kalau ada
hubungan asmara dian-
tara kalian berdua mana aku
mengetahui...?" Merah
seketika wajah Roro karena malu,
juga karena merasa
tak punya soal-soal asmara
dengannya. Dengan tersi-
pu ia segera menjawab.
"Kami memang pernah akrab.
Akan tetapi sedi-
kitpun aku tak mengetahui apa
yang namanya asma-
ra...!" Ujar Roro Polos.
Tentu saja kata-kata itu mem-
buat kedua tokoh tua itu jadi
terpingkal-pingkal.
"Baiklah! Baiklah...!
Mengenai urusan orang
muda, aku tak akan mencampuri.
Aku sendiri juga
pernah muda. Sayangnya aku
laki-laki, jadi tak menge-
tahui isi hati wanita...!"
Berujar si Pendekar Gentayan-
gan yang disambut oleh si Bangau
Putih dengan
manggut-manggut.
Karena diminta menceritakan
riwayat hidup-
nya, terpaksa Roro
menceritakannya. Bahkan juga ten-
tang kematian Gurunya si Manusia
Aneh Pantai Sela-
tan. Dan kedatangannya ke Pulau
Andalas ini tak lain
untuk mencari dan berhasil
menumpas kedua musuh-
nya. Yaitu kedua istri si Dewa
Tengkorak. Si Peri Gu-
nung Dempo dan si Kupu-kupu
Emas. Tampaknya si
Pendekar Gentayangan terkejut
mendengar kematian
adik angkatnya itu. Wajahnya
jadi kelihatan bersedih.
"Aiii...!? Aku tak
menyangka kalau dia sudah
mendahuluiku...! Benar-benar
membuat aku seperti
enggan hidup di atas jagat ini.
Begitu banyak keme-
lut...! Tapi memang sudah
menjadi suratan takdir. Se-
mua yang hidup toh akan mati
juga ...!" Kata-kata Ki
Jagur Wedha akhirnya bernada
biasa lagi, seraya
menghela nafas. Karena sejauh
manapun umur manu-
sia, toh akan menemui ajalnya
juga tanpa diharap-
harap atau tanpa disadari...!
Mendengar Roro telah berhasil
membalaskan
sakit hatinya, si Pendekar
Gentayangan cuma mang-
gut-manggut Karena masalah Dunia
Rimba Hijau me-
mang tak pernah ada putusnya.
"Sakit hati dan balas
dendam adalah tidak terpuji
kalau melakukan balas
dendam...!" Demikian
sedikit pengarahan yang di uta-
rakan Ki Jagur Wedha pada Roro
Centil. Gadis Pende-
kar ini cuma manggut-manggut
membenarkan.
Selanjutnya Roro Centil pun
ceritakan kejadian
tadi malam dan barusan, sejak ia
disekap dalam ruang
tahanan. Dan berhasil menewaskan
paderi Ketua Dua,
Sapta Dasa Griwa, yang ternyata
adalah bernama TUN
PARERA, Kedua dari Perguruan Tri
Mukti. Ia juga me-
miliki Sepasang Pedang Siluman.
Juga dikisahkan ba-
gaimana Tun Parera mengelabui Ki
Dharma Setha. Se-
hingga berhasil memalsukan
sepasang pedang yang di-
curi Tugangga. Kemudian berniat
menguasai Kui! Ista-
na Hijau. Lalu dengan tak
melewatkan apa yang diden-
gar dan dialaminya, Roro Centil
segera beberkan ki-
sahnya.
Ki Jagur Wedha jadi
manggut-manggut menger-
ti. Dan ia sungguh tak menyangka
kalau Paderi Sapta
Dasa Griwa adalah Tun Parera.
"Berarti si pencuri itu tak
mengetahui kalau
benda yang berada di tangannya adalah barang pal-
su...?" Berkata Ki Jagur
Wedha sambil mengelus jeng-
gotnya.
"Benar! Akan tetapi mereka
tetap berbahaya.
Karena Tugangga alias si Topeng
Perunggu memiliki
Dua Belas Jurus ampuh dari
Sepasang Pedang Silu-
man...!" Yang telah
dipelajarinya sejak ia disekap da-
lam Penjara Besi!" Ujar
Roro Centil.
"Hm! Kini kita harus
mengatur siasat untuk bi-
sa menumpas si Tugangga dan Dewi
Rembulan!" Ber-
kata Ki Jagur Wedha seraya
membuka bungkusan
kain sutera hitam yang dipakai
menyembunyikan Se-
pasang Pedang Siluman yang asli.
Akan tetapi pada
saat itu sebuah benda
menggelinding ke dalam ruan-
gan. Terkejutlah mereka, karena
benda itu mengelua-
rkan asap berbau mesiu. Serentak
mereka sudah ber-
lompatan menghindarkan diri.
Pendekar Gentayangan
berteriak memperingati
"Awas...! Bahan Peledak. Sela-
matkan diri kalian...!"
Begitu mereka berlompatan,
justru sebuah
bayangan berkelebat masuk dari
pintu belakang ke da-
lam ruangan itu. Dan secepat kilat
telah menyambar
sepasang pedang Pusaka yang baru
dibuka pembung-
kusnya oleh Ki Jagur Wedha. Dan
detik selanjutnya,
sudah berkelebat lagi untuk
sesaat kemudian lenyap
dibalik rumpun bambu. Tetapi
Roro Centil telah berge-
rak cepat mengejarnya. Namun
sayang ia kehilangan
jejak. Sementara Bangau Putih
dan si Pendekar Gen-
tayangan setelah menunggu sekian
saat, ternyata tak
ada suara ledakan. Dengan
menggerutu ia melompat
kembali ke dalam. Ternyata benda
itu cuma keluarkan
asap saja tanpa meledak. Kedua
tokoh tua ini jadi me-
rasa tertipu. Pada saat itu Roro
Centil sudah berkele-
bat kembali ke depan pondok.
"Manusianya tak berhasil
kutemukan. Benda
apakah itu tadi...?" Tanya
Roro.
"Kita telah tertipu. Tak ada ledakan apa-apa
Bahkan asap itupun tak
mengandung racun. Tentu ia
memang tak bermaksud mencelakai
kita, cuma mau
merampas sepasang pedang itu
saja rupanya...!" Ber-
kata Ki Jagur Wedha dengan rasa
mendongkol, karena
dapat dipecundangi orang.
"Aku menduga dia si Giri
Mayang alias si Kela-
bang Kuning. Yang kuketahui
menurut pengakuan si
manusia Topeng Perunggu. Dia adalah muridnya si
Tun Parera, alias paderi tiruan
Sapta Dasa Griwa.
Kalau memang benar dia adanya.
Memang ia
yang berhak mewarisi Sepasang
Pedang itu. Kita tak
perlu mengejarnya. Kini kita
alihkan pembicaraan pa-
da cara mengatur rencana
selanjutnya, sehingga Kuil
Istana Hijau bisa kembali
putih...!" Berkata Roro Cen-
til.
"Akan tetapi kita tak bisa
bicara di sini, kita
perlu berembuk dengan Ki Dharma
Sheta. Karena dia
yang mengetahui seluk beluk Kuil
Istana Hijau...!" Ujar
si Bangau Putih. "Benar!
Sebaiknya kita berangkat ke
sana sekarang! "Membenarkan
Ki Jagur Wedha. Roro
Centil tiba-tiba ajukan
pertanyaan pada si Jagur Wed-
ha.
"Maaf, Kakek Pendekar
Gentayangan. Pondok
ini milik siapakah...?" Ki
Jagur Wedha kernyitkan ke-
ningnya menatap Roro.
"He he he... tempat ini aku
tak mengetahui sia-
pa pemiliknya. Tapi sudah dua
hari aku berada di sini,
tak pernah datang pemiliknya...!"
"Aneh...!? Kalau begitu
marilah kita berangkat!"
Berkata Roro Centil. Dan selang
beberapa saat, mereka
segera tinggalkan tempat hutan
bambu itu. Sementara
dibenak Roro telah terlintas
bahwa pondok itu tentu
ada rahasianya. Karena kemunculan
orang yang me-
rampas pedang tak diketahuinya
sama sekali.
Jangan-jangan pondok tempat
sarang si Kela-
bang Kuning. Alias Giri Mayang.
Fikir Roro, tapi Roro
hanya dapat menduga saja.
Sementara, ia terus men-
gikuti ke mana Ki Jagur Wedha
kelebatkan tubuhnya.
Dalam perjalanan itu mereka tak
lagi bercakap-cakap.
*****
Saat itu matahari semakin tinggi
menggelincar.
Burung-burung elang tampak
beterbangan di udara.
Sesekali perdengarkan suaranya
ketika melintas di
atas bukit. Tampaknya seperti
memberi tanda akan
adanya satu pertarungan yang
bakal meminta banyak
korban... Siapakah gerangan yang
telah menyambar
kembali Sepasang Pedang
Siluman...? Dugaan Roro
Centil ternyata tidak salah!
Karena begitu mereka ber-
kelebat tinggalkan tempat itu.
Sesosok tubuh yang
berbaju mirip rahib wanita dan
berwarna Kuning telah
berkelebat lagi muncul dari
balik rumpun bambu. Dan
sekejap telah berada di depan
pondok.
Ternyata seorang wanita yang
berusia sekitar
25 tahun. Beralis lurus mirip
laki-laki berwajah agak
lonjong, dengan dagu agak
panjang. Raut wajahnya
cukup cantik. Akan tetapi sinar
matanya tampak me-
mancarkan dendam yang teramat
hebat. Dialah GIRI
MAYANG alias si Kelabang Kuning.
Tampak ada bekas
air mata yang telah mengering
di pipinya. terlihat bi-
birnya bergetar menahan perasaan
yang menggebu da-
lam dadanya. Terdengar suaranya
lirih mendesis...
"Roro Centil! Tunggu
saatnya aku akan adu ji-
wa denganmu...! Aku memang tak
mencampuri urusan
guruku, akan tetapi hutang jiwa
harus dibayar dengan
jiwa...! Kau telah pergunakan
ilmu siluman untuk
membunuh Guruku TUN PARERA.
Kelak sepasang Pe-
dang Siluman ini akan mengorek
jantung mu...!" Sele-
sai berkata, iapun berkelebat
dengan cepat menuju ke
arah sebelah barat.
*****
Dua hari berselang sejak
kejadian-kejadian di
luar Kuil Istana Hijau, tampak
di pagi buta tiga sosok
tubuh berkelebat melintas
perbukitan. Kira-kira sepe-
nanak nasi, mereka hentikan
tindakan kakinya. Lalu
bergerak untuk memecah menjadi
tiga jurusan. ternya-
ta di hadapan mereka telah
terlihat Kuil Istana Hijau.
Mereka adalah Roro Centil, si
Bangau Putih dan si ka-
kek berusia 1 abad, Pendekar
Gentayangan, alias Ki
Jagur Wedha.
Kiranya Roro
bertugas untuk masuk melalui
lubang rahasia di belakang
Gedung Kuil. Karena sudah
mendapat penjelasan tentang tanda-tanda tempat
menuju ke lubang rahasia di
bawah tanah. Roro Centil
segera temukan tempatnya. yaitu
sebuah arca Budha
dari batu dengan ukuran kecil di
mana terdapat di
ujung sebuah tugu, di belakang
gedung Kuil. Setelah
meneliti keadaan sekitar, segera
ia melompat mende-
kati. Dengan hati-hati ia
putarkan arca itu menghadap
ke timur. Tiba-tiba terdengar
suara batu bergeser. Ki-
ranya sebuah lantas persegi di
dekatnya telah bergeser
terbuka. Roro Centil melongok ke
dalam, kiranya ada
tangga batu yang menurun.
Secepat itu juga Roro su-
dah bergerak melompat ke dalam
ruang. Lalu tanpa
ragu, segera meniti undakan
untuk terus turun ke da-
lam. Tangga batu yang memanjang
itu membelok ke
sebelah kiri. Terkejut Roro
Centil, karena dapatkan sa-
tu ruangan luas di dalam lubang.
Baru ia mau menin-
dak, terdengar suara orang
bercakap-cakap yang me-
nuju di mana Roro berdiri
dibalik dinding. Ternyata
dua orang paderi. Saat mereka lewat, segera lengan
Roro bekerja.
Dua kali lengannya berkelebat,
paderi-paderi
itu sudah keluarkan suara
keluhan perlahan, dan ro-
boh tak sadarkan diri. Tersenyum
gadis Pendekar ini.
Lalu dengan cepat ia sudah
gotong kedua paderi untuk
disembunyikan di tempat gelap
disudut dinding. Selan-
jutnya ia telah berkelebat
dengan hati-hati, dan kini
masuki lagi satu ruangan kosong.
Di sini cuma terlihat
mesin-mesin penggerak
pintu-pintu rahasia. Saat itu
Roro bekerja cepat. Sebuah besi
lempengan yang bera-
da di paling ujung, segera ia
gerakkan ke bawah.
Sementara itu, si Bangau Putih
yang berada di
satu ruangan depan Kuil Istana
Hijau segera melihat
adanya satu lubang terbuka.
"Bagus...! Roro Centil
telah berhasil memasuki
ruangan alat-alat rahasia!
Berkata dalam hati si paderi
ini. Dan tanpa berayal ia telah
bergerak melompat un-
tuk memasuki lubang. Lalu
tempelkan tubuh ke sisi
dinding, Sementara itu Ki Jagur
di luar Kuil. Dengan
sebelah lengan bertolak
pinggang. Sedangkan sebelah
lagi mencekal tongkat sebatang
ranting bambu, tiba-
tiba telah perdengarkan suaranya
berteriak santar.
Suaranya berkumandang ke seluruh
ruangan.
"Hoooooiiiii...! Para
pengkhianat di bawah ta-
nah...! Kalian telah terkurung!
jangan harap dapat me-
loloskan diri. Tugangga! Dewi
Rembulan...! Keluarlah
untuk menghadapiku. Atas nama
paderi Ketua Utama
Ki Dharma Sheta menyerahlah
untuk mempertang-
gungjawabkan perbuatanmu! Para paderi yang berk-
hianat akan diberi ampun,
kecuali bila kalian memang
membandel, akan tahu rasa
akibatnya...!"
Setelah menanti sejenak.
Tampaknya tak ada
tanda-tanda orang yang keluar
dari dalam ruang ba-
wah tanah. Ki Jagur Wedha
berfikir sejenak.
"Pintu rahasia cuma ada
tiga. Keduanya telah
di jaga oleh Roro Centil dan
Bangau Putih. Kini tinggal
satu pintu disudut ruangan yang
pasti mereka akan
keluar dari sana...!"
berfikir demikian, kembali Ki
Jagur Wedha ber-
teriak keras-keras.
"Hoooiiiii...! Kalau
ku hitung sampai tiga, tak
ada yang keluar untuk serahkan
diri segera ruangan
bawah tanah akan ku
ledakkan...!" Mengancam kakek
tua ini. Lalu lanjutkan dengan
berteriak.
"Ketahuilah, pemimpin
gerakan kalian si paderi
Ketua Dua, Sapta Dasa Griwa
sudah kami kirim ji-
wanya ke Akhirat!"
Agaknya kata-kata ini membawa
pengaruh. Ka-
rena segera beberapa paderi
berduyun-duyun bersem-
bulan keluar dari satu lantai
yang telah bergeser ter-
buka. Segera Ki Jagur Wedha
sudah berkelebat ke sa-
na. Sembilan orang paderi tampak
masing-masing
memegangi kepalanya, tanpa
senjata keluar satu per
satu. Begitu melihat Ki Jagur
Wedha segera berjongkok
di atas lantai.
"Semua berkumpul di
sana!" Berkata Ki Jagur
Wedha dengan nada membentak.
Kesembilan itu cuma
bisa menurut. Dan duduk berjajar
dengan menekap
kepalanya masing-masing. Saat
itu kakek tua ini ki-
baskan lengan jubahnya. Segera
bersyiur angin keras.
Yang membuat kesembilan paderi
itu keluarkan kelu-
han. Tahu-tahu mereka jadi
terkejut, karena seluruh
tubuhnya telah tak bisa
digerakkan lagi, karena telah
terkena totokan dari syiuran
angin yang melumpuhkan
anggota tubuhnya. Mereka cuma
bisa keluarkan kerin-
gat dingin dengan hati
kebat-kebit.
Saat itu di pintu rahasia si Bangau
Putih telah
terjadi pertarungan. Karena lima
orang paderi telah
mengetahui adanya Bangau Putih
didinding ruangan
lorong rahasia. Mereka segera
menerjang dengan se-
rentak. Terpaksa Bangau Putih
keluarkan jurus Ban-
gau Mematuk. Walaupun ia sudah
tak bersenjata lagi,
akan tetapi jurus itu amat
hebat. Karena tampak ber-
kelebat bayangan putih
berseliweran diantara kelima
paderi di tingkat ketiga ini.
Tahu-tahu tubuh mereka
telah terkena totokan lihai si
Bangau Putih. Dan den-
gan perdengarkan keluhannya
segera roboh terjungkal.
Dengan tiga kali lompatan paderi
ini tiba di ruang ba-
gian bawah. Kembali ia
menyelinap di sudut ruangan.
Sepasang matanya mengawasi
keadaan di dalam ruan-
gan.
Saat itu Roro Centil telah berkelebat
ke setiap
ruangan. Tentu saja dengan
gerakan hati-hati. Tampak
tiga belas paderi yang rata-rata
memakai ikat kepala
pembungkus berwarna hitam.
Mereka tengah berem-
buk di dalam ruangan, Keluar
takut, berdiam di dalam
pun tak ingin. Roro Centil sudah
segera melompat ke
hadapan mereka.
"Hihi hihi... Mengapa
kalian tak segera keluar?
Apakah mau mati terkubur di
tempat ini...!" Berkata
Roro Centil.
Melengok ketiga belas paderi
itu. Menatap Roro
yang memang berpakaian dengan
paha tersembul dari
belahan gaunnya.
"Kau siapakah
nona...?" Bertanya salah seo-
rang. Roro tersenyum. Lalu
menjawab;
"Aku bisa juga dewi
penyelamat nyawa kalian.
Akan tetapi bisa juga jadi
malaikat pencabut nyawa."
Berkata Roro seraya tarik keluar
sepasang senjatanya
si Rantai Genit dari pinggang.
Melihat sepasang senja-
ta yang berbentuk lucu itu,
mereka jadi melengak. Dan
melototkan mata dengan senyum
menyiringai.
Sementara dua orang yang
bertubuh jangkung
saling bisik dengan kawannya.
Lalu melompat maju ke
hadapan Roro.
"Hm! Nona...! Baiklah kami akan keluar, asal
kau dapat antarkan kami jalan
keluar yang selamat.
Aku tak mengetahui keadaan di
atas. Bisa-bisa kami
cuma temui kematian. Roro
kerutkan alisnya.
"Baiklah! Bersamaku kalian
akan aman. Ikuti-
lah aku...!" Seraya berkata
Roro Centil balikkan tu-
buhnya untuk segera keluar dari
ruangan. Akan tetapi
pada saat itu keempat paderi itu
telah menyergapnya
dari belakang. Dua orang
mencekal lengan di kanan.
Dan dua orang mencekal di kiri.
Terkejut Roro Centil. Kakinya
sudah bergerak
untuk lakukan tendangan. Akan
tetapi tiba-tiba dua
orang lagi telah melompat
menubruk ke arah kaki.
Dan segera saja lengan-lengan
kekar telah berhasil me-
ringkus sepasang kaki Roro.
"Bagus...!" Terdengar
satu suara keras di ruan-
gan itu. Dan sesosok tubuh
berkelebat. Ternyata Dewi
Rembulan. Cepat bawa ke lorong
rahasia!" Teriaknya.
Ia sudah mendahului beranjak
kesatu ruangan. Di sa-
na ia gerakkan sebuah alat. Dan
segera terbuka satu
lubang besar di dinding. Dalam keadaan
tak berdaya,
Roro Centil digotong
beramai-ramai memasuki lubang
rahasia itu. Ternyata adalah
satu lorong di bawah ta-
nah. Sementara si Dewi Rembulan
bertindak cepat
memberi isyarat pada para paderi
pengikutnya untuk
memasuki lorong itu. Beberapa
belas paderi segera
berlarian memasukinya.
Kemanakah Tugangga...?"
Bertanya Dewi Rem-
bulan. Seraya lengannya bergerak
menyambar jubah
seorang paderi yang dengan
terburu-buru masuk me-
nyusul kawannya.
"Be... beliau ada di ruang
wanita...!" Berkata
gagap si paderi itu.
"Gila...! Bukannya lekas
bertindak, mengapa
masih enak-enak berada di
sana?" Desisnya mendong-
kol. Benak wanita ini bekerja
cepat. Lalu bertindak le-
kas menutup kembali ruangan
rahasia itu.
"Hm. Ruangan ini adalah
satu lorong yang me-
nembus ke luar lereng bukit.
Satu-satunya jalan untuk
meloloskan diri! Wanita-wanita
sekapan itu tak perlu
diurusi. Mengapa dalam situasi
seperti ini Tugangga
tak bertindak cepat....? Berkata
Dewi Rembulan dalam
hati. Tapi baru ia mau beranjak
untuk berkelebat ke
ruangan paling ujung, telah
terdengar bentakkan di
belakangnya.
"Dewi Rembulan...! Kau
menyerahlah!" Ternyata
yang membentak adalah paderi
Bangau Putih. Wanita
ini segera balikkan tubuhnya.
"Kunyuk tua, kiranya kau
turut dalam penyer-
buan ini? Bagus! Kau rasakanlah
kematianmu!" Teriak
Sito Resmi. Seraya kelebatkan
Jala Suteranya me-
nyambar si Bangau Putih. Paderi
tua ini segera pergu-
nakan kegesitannya menghindar.
Lolos satu serangan,
segera si Dewi Rembulan
sambarkan lagi sebuah lagi
jala sutera.
WUT! WUT! Dua serangan beruntun
menyam-
bar. Bangau Putih segera
gerakkan tubuhnya bersalto
dua kali di udara. Ia pernah
kena dipecundangi wanita
ini, akan tetapi mana mau
dipecundangi kedua ka-
linya? Segera ia pergunakan
jurus-jurus bangau Putih
mematuk. Kedua lengannya ke
tekuk sedemikian rupa
menyerupai kepala bangau. Lalu
bergerak menyambar
tubuh si Dewi Rembulan. Tiga
serangan berantai dapat
dielakkan wanita itu. Dan segera
lindungi tubuhnya
dengan putarkan jala suteranya.
Ternyata ia bertarung
sambil mundur. Akalnya yang
cerdik telah membuat
perangkap buat si Bangau Putih.
Paderi tua ini terus
mencecar dengan Patukan-patukan
Bangaunya tanpa
menyadari kalau akan masuk
perangkap. Dalam bebe-
rapa jurus saja mereka
bertarung, ternyata telah tiba
pada ruangan paling ujung. Saat
itulah si Dewi Rem-
bulan berteriak.
"Tugangga...! Bantu aku
membunuh Bangau
Tua ini...!" Terkejut
Bangau Putih. Sepasang mata pa-
deri ini melirik ke arah pintu
kamar yang tertutup.
Dugaannya benar, karena
tiba-tiba pintu kamar terbu-
ka. Dan melompat sesosok tubuh
yang bertelanjang
dada. Dialah Tugangga. Yang
dalam sekejap telah ber-
diri tegak di depan pintu.
Tampak pada wajahnya pe-
rasaan mendongkol pada
kedatangan orang yang
mengganggunya. Tiba-tiba ia
telah cabut sepasang pe-
dang pendek melengkung dari
belakang punggungnya.
"Minggir bibi....!"
Teriaknya. Dan berkelebatlah
tubuh Tugangga menerjang ke arah si Bangau Putih.
Sepasang pedang Hitamnya
berkelebat tak terlihat.
WUK! WUK Dua serangan kilat yang
telah kelu-
arkan syiuran angin dingin,
membuat si Bangau Putih
hams gulingkan tubuhnya ke lantai. Keringat dingin
mengembun di tengkuk laki- laki
tua ini. Tugangga te-
lah beranjak lagi melangkah
mendekati paderi ini.
"Heh! Kau telah berhasil
lolos dari kematian!
Kini kau hanya antarkan nyawa
saja kambing tua...!"
Akhir kata-katanya telah disusul
dengan terjangan ki-
lat menabas Sakti Pentang Sayap.
Tubuhnya tiba-tiba
melambung ke atas. Sepasang
kakinya terpentang, se-
dang lengannya mengibas. Satu
angin dahsyat segera
menerjang si manusia Topeng
Perunggu itu, yang su-
dah tak memakai lagi topengnya.
Tapi kedua pedang telah diputar
bagai baling-
baling untuk menangkis serangan
balasan si Bangau
Putih. Segera terjadi bentrokan
angin santar. Bangau
Putih terlempar keras ke belakang. Tubuhnya mem-
bentur tembok di belakangnya.
Terdengar suara keras,
ketika tembok itu jebol
berantakan. Bangau Putih me-
ringis menyeringai menahan,
sakit pada punggungnya.
Tampak darah segar menetes
keluar dari sudut bibir-
nya. Kiranya tubuhnya telah
menjebol ke satu ruangan
lain yang tertutup. Segera
terasa ada hawa segar ma-
suk ke tempat itu.
Tugangga menatap pada Dewi
Rembulan lalu
berkata;
"Bibi...! Kau bunuhlah
dia...! Ia sudah tak ber-
daya!" Kemudian laki-laki
itu melompat lagi ke dalam
kamar. Dan menutup daun pintu
dengan suara keras.
Sito Resmi kerutkan alisnya.
Lagi-lagi tampak bibirnya
cemberut. Namun ia sudah segera
menerobos untuk
menerjang si Bangau Putih. Dua
serangan dari kedua
Jala Sutera menerjang si Bangau
Putih. Hebat terjan-
gan itu, karena kedua Jala sutera itu sekonyong-
konyong telah berubah kaku bagai
dua batang tombak.
CRAK...! CRAK...! Bangau Putih
perdengarkan teriakan
tertahan. Namun ia masih sempat
berguling- guling
menghindari maut lantai batu
bekas kedua hantaman
itu tampak hancur berkepingan.
Bangau Putih rasakan
tubuhnya lemah lunglai. Akan
tetapi lengannya telah
menapak pada batu undakan yang
menuju ke ruangan
atas. Kekuatannya timbul lagi.
Ia harus menyela-
matkan diri...! Pikirnya. Dan
dengan kuatkan tubuh,
segera ia bangkit berdiri. Dan
secepat itu juga tanpa
berayal, segera mendaki undakkan
batu ke atas, Saat
itu si Dewi Rembulan yang memang
sedang mendong-
kol pada Tugangga. Jadi kian
bertambah mendongkol,
karena buruannya telah angkat
kaki melarikan diri.
Segera ia enjot tubuh melompat
untuk mengejar.
Agaknya Bangau Putih sudah tak
kuasa mendaki
tangga batu undakan itu.
Tubuhnya sudah beberapa
kali tersuruk jatuh. Sedang si
Dewi Rembulan sudah
mengejar kian dekat. Kini
jerat suteranya telah kembali
meluncur ke arah
tubuhnya. Tak ada tenaga bagi si
Bangau Putih untuk
menghindarkan diri lagi ....
Namun pada saat itu telah
bersyiur satu angin keras, yang
menghantam balik ke-
dua jala sutera. Loloslah si
Bangau Putih dari maut.
Sebuah ranting bambu telah
menyambar jubahnya.
Dan segera melayang ke atas. Ketika paderi ini
buka
matanya, ternyata si Pendekar
Gentayangan yang telah
menolongnya.
Melihat serangannya gagal, dan
bahkan mem-
buat tubuh si Dewi Rembulan ini
terlempar ke bela-
kang, segera wanita ini berbalik
lagi menuruni tangga
batu. Lalu berkelebat masuk lagi
ke dalam jebolan
tembok. Dari sebelah dalam ia
mengintai siapa geran-
gan orang yang bertenaga besar,
yang telah mengga-
galkan serangannya.
*****
Segera terlihat sesosok tubuh
jangkung, ber-
janggut putih, yang panjangnya
dus jengkal. Tanpa
kumis. Rambutnya digelung di
atas kepala yang ter-
bungkus kain sutera hitam.
Berjubah bertambalan
dengan bermacam warna. Seketika
piaslah wajah si
Dewi Rembulan. Akan tetapi sinar
matanya meman-
carkan dendam yang
berkobar-kobar pada Ki Jagur
Wedha. Karena orang itulah yang
telah membunuh su-
aminya. Padahal bagi manusia
yang berakal budi, ten-
tulah mengetahui sebab-sebab
kematian sang suami.
Yang nyata-nyata ada di jalur
jalan sesat. Kalau harus
terbunuh adalah lumrah, karena
kejahatan sang sua-
mi sudah melebihi takaran.
Karena selain menjadi ke-
pala perampok yang kejam. Entah
berapa nyawa orang
tak berdosa yang telah diambil hartanya dan
dibunuh
pemiliknya. Tetapi wanita ini
mana mau tahu urusan
itu? Bahkan dendamnya telah ia
simpan di dada lak-
sana api dalam sekam. Kini ia
cuma mengandalkan
Tugangga, yang bisa ia mintai
pertolongan. Bukankah
PETIR DAHANA adalah paman
Tugangga...? Pikir si
Dewi Rembulan. Kalau mereka
berdua bertarung den-
gan maju bersama, tak mungkin si
Pendekar Gen-
tayangan akan bisa
mempertahankan nyawanya. Apa
lagi Tugangga telah menguasai
Dua Belas jurus Ilmu
Pedang dari Sepasang Pedang
Siluman...! Demikian pi-
kir si Dewi Rembulan dalam
benaknya. Memikir demi-
kian, ia telah berkelebat ke
muka pintu kamar. Di ma-
na Tugangga berada di dalam.
Karena waktu mende-
sak, terpaksa ia terjang daun
pintu hingga terbuka.
Sekelebat ia melihat adegan yang
membuat sepasang
matanya membeliak. Akan tetapi
cuma beberapa detik
saja.... Karena tiba-tiba telah
membersit serangkum ja-
rum menyambar tubuhnya. Serangan
tak terduga itu
mimpi pun tidak si Dewi
Rembulan. Segera saja ia te-
lah keluarkan jeritan menyayat
hati. Tubuhnya ter-
jengkang ke belakang. Dan
berkelojotan. Sepasang ma-
tanya mendelik menatap Tugangga
yang juga tengah
menatap padanya dengan
terkesiap.
"Kkka...
kau...kau...?!...Mmemm... bunuh...
ku... Bbo... ddoh...
h..hh..." Hanya kata-kata terputus
itu yang ia dapat ucapkan.
Karena sekejap kemudian,
tubuhnya telah terkulai. Tapi
sekejap kembali bergelin-
jangan sekarat. Lidahnya
terjulur dengan sepasang
mata membeliak putih. Setelah
mengerang parau, ba-
rulah hembuskan nafas
penghabisan. Sebentar saja
tampak wajahnya telah berubah
kehitaman. Dan bela-
san jarum beracun telah menancap
di sekujur tubuh-
nya.
Adapun Tugangga seperti tak
percaya pada
penglihatannya. Karena
disangkanya yang menerjang
daun pintu adalah musuh yang
memang sedang ia
tunggu. Tak tahunya adalah
bibinya sendiri, si Dewi
Rembulan, alis Sito Resmi. Tentu
saja wajah laki-laki
ini jadi berubah pias karena
terkejut. Tugangga me-
mang seorang laki-laki yang
berani. Dalam keadaan
demikian gawat, ternyata masih
sempat menggauli
seorang gadis. Birahinya yang
telah disimpan selama
dua tahun dalam Penjara Besi,
ternyata telah diumbar
keluar semaunya. Gadis di
pembaringan itu adalah ga-
dis tawanan yang baru didapatnya
semalam. Dalam
saat menjelang pagi ternyata
Tugangga belum mampu
menundukkan hati sang gadis.
Karena Tugangga me-
mang inginkan kewajaran. Bukan
pak-
saan...Seandainya ia mau
memaksa. Amatlah mudah
baginya melakukan apa saja. Akan
tetapi laki-laki ber-
watak aneh ini telah mulai
hilang kesabarannya. Rasa
jengkel pada sang gadis telah
membuat ia segera me-
notoknya. Akan tetapi keinginan
yang belum kesam-
paian itu telah terganggu dengan
teriakan-teriakan da-
ri luar, dan kepanikan di dalam
ruangan bawah tanah.
Namun Tugangga tetap tak
beranjak dari kamarnya.
Ketika akhirnya terdengar suara
pertarungan. Dan te-
riakan si Dewi Rembulan.
Terpaksa ia buka daun
pintu. Serta umbar amarahnya
pada si Bangau
Putih. Akan tetapi Bangau Putih
dapat mematahkan
beberapa serangannya. Hingga
terakhir beradanya dua
angin keras bertenaga dalam. Dan
paderi Bangau Pu-
tih terlempar tubuhnya menjebol
dinding ruangan di
sebelahnya. Melihat si Bangau
Putih sudah terluka da-
lam, Tugangga perintahkan Dewi
Rembulan membu-
nuhnya. Tak dinyana, kalau si
Bangau Putih justru
dapat meloloskan diri dari maut.
Dan ia memang tak
menyangka kalau yang menerjang
daun pintu kamar
adalah sang bibi sendiri. Hingga
berakhir dengan ke-
matian si Dewi Rembulan.
Hal tersebut membuat Tugangga
jadi menyesal
setengah mati. Hingga saking
kesalnya, ia telah tebas
leher si gadis yang mau di nodainya itu dengan pe-
dangnya. Darah segar muncrat
berhamburan. Gadis
tanpa busana itu tewas
mengerikan, tanpa dapat ber-
teriak lagi. Detik selanjutnya
ia telah sambar jubahnya
untuk dikenakan dengan cepat.
Lalu melompat ke su-
dut ruangan. Telinganya telah
mendengar ada seseo-
rang mendekati tembok berlubang
bekas tempat jebol-
nya si Bangau Putih.
Sementara itu rombongan para
paderi yang
menyusuri lorong dalam ruang
bawah tanah, hampir
tiba ke tempat tujuan. Roro Centil bagaikan boneka
kayu saja di gotong beramai-ramai meniti lorong.
Hampir tiga puluh paderi
berbondong-bondong me-
nyusuri lorong gelap yang
panjang itu. Sementara si
gadis pendekar ini tetap seperti
tak berdaya. Salah seo-
rang yang berada paling depan
telah berkata dengan
suara agak keras. Tentu saja
suaranya terdengar sam-
pai ke belakang, berkumandang
dalam lorong.
"He! Kawan-kawan...! Ujung
lorong ini tinggal
sedikit lagi. Kita akan segera
bebas sampai di luar. Kita
telah berbuat kesalahan. Dan
kalian tahu, dengan kita
menyerahkan diri pada Ketua,
berarti akan mendapat
hukuman berat. Jadi jalan
sebaik-baiknya adalah kita
melarikan diri....!"
Selesai ucapannya telah terdengar
riuh tanda mereka menyetujui.
"Bagaimana dengan gadis
ini...? Apakah tidak
sebaiknya kita manfaatkan saja
di tempat ini? Sayang
kalau kita tinggalkan. Atau kita
bunuh saja setelah
masing-masing mendapat
bagian...! Setujukah...?"
"Setuju...!
Setuju...!1" Teriak beberapa orang
yang berada di belakang.
Akan tetapi ada juga yang
menyahuti.
"Aku tak setuju...! Kita
sedang dalam keadaan
gawat. Nyawa kita saja belum
ketahuan. Mengapa ha-
rus mengumbar nafsu demikian?
Ban aku jalan untuk
pulang kembali!" Teriak
seorang yang berada di tengah.
Paderi ini masih berusia muda.
Selesai berkata ia telah
menyeruak ke belakang untuk
kembali ke lorong se-
mula.
"Bodoh....!" Teriak
beberapa paderi. Akan tetapi
tanpa menghiraukan teriakan, ia
telah menyeruak un-
tuk kembali kebagian belakang
lorong.
"Tunggu...! Kami
ikut...!" Berteriak salah seo-
rang yang berada dibagian
belakang. Dan segera enam
orang telah buyar untuk menyusui
paderi yang seo-
rang ini.
"Bagus! Kita harus bersikap
ksatria! Kita telah
membuat kesalahan! Seandainya
tidak di bunuh-pun
sudah bagus. Lebih baik kita
menyerah! dan mengakui
kesalahan...! Mengenai hukuman
yang bakal dijatuh-
kan Ketua pada kita adalah
urusan nanti. Walaupun
berat, mengapa kita tak rela
menerima...?" Berkata pa-
deri muda itu dengan gagah.
Mendengar demikian
tampak beberapa paderi mulai
sangsi untuk terus me-
larikan diri. Akhirnya beberapa
paderi kembali putar
tubuh, untuk kembali ke arah
belakang.
"Kami ikut...! Kami akan
menyerahkan diri!" Te-
riak salah seorang. Dan lebih
dari dua belas paderi se-
gera berhamburan ke belakang
menyusul yang lain-
nya. Hingga belakangan tinggal
delapan paderi saja
yang tetap berpendirian salah.
Bahkan salah seorang
telah berkata;
"Bagus...! Lebih sedikit,
lebih baik! Kini siapa
yang berani lebih dulu untuk
menundukkan wanita
ini...! Aku Durgala adalah orang
pertama yang punya
rencana ini, jadi aku yang
berhak menjamah tubuh
gadis ini terlebih dulu!
Selainnya boleh belakan-
gan...!1" Keempat orang
yang mencekal anggota tubuh
Roro Centil segera meletakkan
tubuh itu ke bawah,
tanpa melepaskan cekalannya.
Sementara dua orang
lagi coba melepaskan sepasang
senjata Roro, dari ke-
dua genggaman tangan. Akan
tetapi kerasnya bukan
main. Durgala melangkah ke
depan, seraya menotok
tubuh Roro pada dua tempat di
pangkal lengan. Akan
tetapi tetap saja senjata itu
tak dapat terlepas dari
genggaman tangan.
"Sudahlah biarkan saja.
Kami akan mencekal
kaki dan tangannya! Silahkan kau
bekerja...!" Berkata
seorang paderi yang mencekal kaki
Roro.
Sepasang mata pendekar wanita
ini masih ter-
katup kelopak matanya. Sementara
Durgala telah le-
paskan jubahnya. Sepasang
matanya berbinar melihat
paha yang tersingkap. Sepasang
kaki yang terpentang,
dan tubuh yang padat gempal
membuat nafsu seriga-
lanya seperti sudah tak
tertahankan. Akan tetapi pada
saat lengannya mau menjamah
payudara gadis pende-
kar itu, tiba-tiba Roro buka
kelopak matanya. Bibirnya
tersenyum dan tiba-tiba tertawa
mengikik. Sehingga
Durgala urungkan niatnya.
"Hi hi hi... kau belum
siap, mengapa sudah tak
sabar? Sebaiknya kau siapkan
dulu dirimu?" Berkata
Roro. Melengak paderi ini. Tapi
segera tertawa menye-
ringai.
"He he he... betul! Aku
terburu buru...!" "Aiii...!
Tak ku sangka aku akan mendapat
pelayanan yang is-
timewa darimu, nona
manis...!" Seraya berkata ia telah
bangkit berdiri untuk meniadakan
sesuatu yang men-
jadi penghalang. Akan tetapi
terkejut keempat orang
yang mencekal kaki dan tangan
Roro, karena tiba-tiba
tubuhnya melambung ke atas bagai
disentakkan satu
tenaga kuat sekali. Dan
terdengarlah empat jeritan
menyayat, berbareng dengan suara
berderaknya tulang
yang remuk terhantam batu di
atas lorong.
PROK! PROK! KRAAK! KREKK! Dan
disusul
dengan berjatuhannya keempat
paderi itu kembali ke
bawah. Namun detik itu Roro
Centil telah gulingkan
tubuhnya menyambar kaki Durgala
yang segera ter-
banting ke tanah. Tentu saja
jatuhnya tubuh Durgala
berbarengan dengan jatuhnya
keempat paderi tadi. Be-
lum lagi Durgala sadar akan apa
yang terjadi, tahu-
tahu tengkuknya telah disambar
lengan Gadis Pende-
kar ini.
Kini dilihatnya keempat kawannya
yang tadi
memegangi tangan dan kaki si
gadis, tengah berkelojo-
tan bagaikan ayam yang baru
disembelih. Tak lama
kemudian keempat paderi sial
itupun tewas dengan tu-
lang-tulang hancur. Termasuk
batok kepala yang pe-
cah berantakan. Melihat kejadian
mengerikan yang se-
kejap mata itu, ketiga paderi
yang lainnya segera ba-
likkan tubuh melarikan diri.
Namun Roro Centil mana
mau mengampuni mereka. Segera
saja lengannya ber-
gerak. Dan tubuh Durgala
tiba-tiba meluncur dengan
deras ke arah mereka. Tak ampun
lagi bertumbangan-
lah ketiga paderi itu, dengan
teriakan-teriakan menge-
rikan. Tenaga lemparan Roro
Centil ternyata telah
mempergunakan lebih dari separuh
tenaga dalamnya.
Hingga tubuh-tubuh ketiga paderi
terlempar bergulin-
gan. Dengan derak dari
tulang-belulang yang patah.
Dan jerit kesakitan yang
menyayat hati.
"Hlhi hihi hi hi... Baru
kalian rasa, manusia-
manusia terkutuk...!" Roro
beranjak tinggalkan mereka
untuk kembali berlari dalam terowongan menyusui
paderi-paderi lainnya yang akan
menyerahkan diri.
Ternyata mereka tak dapat
membuka pintu te-
rowongan. Karena alat penggerak
berada di dalam.
Dan telah ditutupkan lagi oleh
si Dewi Rembulan.
Melihat kedatangan Roro, mereka
terkejut ka-
rena gadis itu telah dapat
melepaskan diri. Sadarlah
mereka akan apa yang terjadi
dengan nasib kawan-
kawannya yang telah mengumbar
nafsu hingga mem-
buat celaka sendiri.
"Ampunkan nyawa kami, nona
Pendekar...!
Kami menyerah, dan akan serahkan
diri pada Ketua
Kuil untuk menerima
hukuman...!" Berkata salah seo-
rang dengan suara gemetar.
"Bagus...!! Minggirlah!
Biar aku yang membuka
pintu untuk kalian bisa keluar
dari lorong ini...!" Sege-
ra Roro langkahkan kaki ke
depan, para paderi me-
nyingkir. Dan terdengarlah suara
berderak keras.
Dinding batu penutup lorong
hancur berkepingan. Ke-
tika lengan Roro bergerak
menghantamnya.
Lebih dari dua puluh pasang mata
paderi mu-
rid-murid Kuil Istana Hijau itu
jadi terbeliak menatap
kagum akan kehebatan tenaga
dalam Roro. Serentak
mereka berhamburan keluar. Pada
saat itu di tempat
ruangan ini tengah terjadi
pertarungan hebat antara Ki
Jagur Wedha dengan Tugangga.
Roro Centil meman-
dang sejenak pada pertarungan.
Juga para paderi-
paderi murid Kuil Istana Hijau
ini jadi menonton perta-
rungan seru itu. Namun Roro
Centil segera berkata;
"Kalian semua teruskan naik
ke atas, berkum-
pul dengan yang lainnya...!" Serentak para paderi itu
dengan dipimpin paderi muda,
berbaris menuju ke
ruang atas, dengan meniti tangga
batu undakan. Di
belakang mereka adalah Roro
Centil. Begitu kepala
mereka bersembulan ke atas,
segera telah melihat
adanya sesosok tubuh berdiri
di dekat lubang bawah
tanah. Siapa lagi kalau bukan Ki
Dharma Sheta.
Ketua Kuil Istana Hijau.
Serentak saja mereka
jatuhkan diri berlutut, dengan
memegangi kepalanya,
seraya beberapa orang telah
menangis tersedu.
"Guru...! Ampunilah
kesalahan kami, yang te-
lah kena bujukan iblis, hingga
mau mengkhianati
sumpah paderi...! Berikanlah
hukuman pada kami...!"
Berkata si paderi muda,
mewakilkan yang lainnya.
Seorang paderi yang bertubuh
jangkung telah menan-
gis tersedu-sedu, dengan
berlutut di hadapan paderi
Ketua Kuil itu.
"Benar, Guru...! Asalkan
Guru ampuni nyawa
kami, biar menerima hukuman
seberat apapun... akan
kami jalani!" Berkata
paderi jangkung ini dengan wajah
pucat pias. Akan tetapi wajahnya
membersitkan jiwa
ksatria, yang mau mengakui
kesalahannya. Ki Dharma
Sheta mengelus jenggotnya, lalu
menyapu dengan
pandangan tajam pada semua
paderi muridnya. Wa-
jahnya membersitkan kemarahan
yang luar biasa. Tu-
buhnya tergetar menahan gejolak
darahnya yang men-
didih. Betapa bimbingannya
selama ini telah seperti
tiada artinya. Akan tetapi
selang sesaat, kemarahan
hatinya mulai mereda. Terdengar
ia menghela nafas,
dan berkata;
"Semua manusia mempunyai
kesalahan...!"
Ujarnya dengan pandangan mata menatapi
keluar
Kuil. Dan lanjutkan lagi
kata-katanya...
"Akan tetapi kesalahan itu
tidak boleh terulang
lagi! Aku menghargai jiwa
ksatria kalian yang mau
mengakui kesalahannya!
Berjanjilah untuk tidak men-
gulangi segala perbuatan yang
tidak terpuji ini...!"
"Kami berjanji
Guru...!" Serentak bersama-sama
para paderi itu mengucapkan
janji sumpahnya beru-
lang ulang sampai tiga kali.
Saat itu Roro Centil sudah
berkelebat lagi menuruni undakan
batu. Hatinya ter-
cekat melihat pertarungan hebat
di ruangan bawah
Kuil. Ia mengkhawatirkan nasib
si Pendekar Gentayan-
gan yang tengah bertarung dengan
Tugangga.
Sementara itu pertarungan tengah
berjalan se-
ru.... Tugangga tengah lancarkan
jurus keenam dari 12
jurus andalannya, dari jurus
istimewa Sepasang Pe-
dang Siluman. Ternyata Ki Jagur
Wedha menghada-
pinya cuma dengan sebuah ranting
bambu kecil. Hal
mana membuat Roro melengak.
Karena saat ia me-
nyaksikan, betapa ranting bambu
itu mampu menang-
kis tajamnya mata pedang. Bahkan
belum lagi me-
nyentuh ranting, sepasang pedang
di tangan Tugangga
telah terpental balik. Akan
tetapi Tugangga telah main
kan jurus-jurus yang
membingungkan lawan. Karena
kilatan pedangnya hampir tak
kelihatan saking cepat-
nya.
Tampak pada jurus kedelapan ini,
Tugangga
merubah gerakan sepasang pedang.
Kini kedua mata
pedang mengarah ke kaki.
Berkali-kali Ki Jagur Wedha
terpaksa gunakan rantingnya
untuk menangkis. Diser-
tai terkadang melompat
menghindar. Akan tetapi dice-
car sedemikian terus-menerus,
tampaknya orang tua
ini semakin lemah tenaganya.
Ditambah usia yang su-
dah amat lanjut. Nafasnya
terdengar menggeros. Wa-
laupun ia mempunyai tenaga dalam
yang hebat, na-
mun lambat laun akan habis
tenaganya.
Hingga kali ini ranting bambunya
tak lagi
mampu menangkis mata pedang.
Segera ranting senja-
tanya putus. Melihat tenaga
dalam lawan telah men-
gendur. Tugangga girang hatinya.
Tiba-tiba ia mem-
bentak keras. Dan pergunakan
jurus kesembilan. Ju-
rus ini dinamakan jurus Setan
Hitam Menyambar
Mangsa. Kedua pedangnya
sekonyong-konyong seperti
lenyap terbungkus kabut hitam,
yang berseliweran
dengan mengeluarkan hawa dingin.
Sepasang mata Ki
Jagur Wedha memang sudah kurang
awas. Apa lagi
bertarung dalam ruangan yang
tidak begitu terang.
Hingga ia cuma mengandalkan
pendengaran dan nalu-
rinya saja. Saat itu tiba-tiba
ia berteriak tertahan, se-
raya lompat bergulingan. Akan
tetapi tetap saja ujung
sepasang pedang telah memapas
putus ujung jubah-
nya.
SRET! SRET! Melayang dua potong
ujung ju-
bahnya yang bertambalan bermacam
warna itu, nyaris
saja sebelah kaki dan sebelah
lengannya terpapas pu-
tus.
"Hebat...! Jurus yang luar
biasa...!" Teriak Ki
Jagur Wedha. Secepat kilat ia
telah melompat berdiri
lagi. Tugangga tertawa mengejek.
Sebuah senjatanya
dipakai menunjuk kakek tua itu.
"Hei! Pendekar
Gentayangan...! Kini saatnya
kau benar-benar bergentayangan
arwahmu di alam
Akhirat! Kau telah menewaskan
paman ku PETIR DA-
HANA. Dan kini saat hutang jiwa
harus dibayar lagi
dengan jiwa...! Aku adalah
keponakannya yang akan
membalaskan kematian paman ku...!" Berteriak Tu-
gangga dengan sepasang mata
menyorot tajam seolah
mau menembus jantung Ki Jagus
Wedha. Akan tetapi
sang kakek yang telah berusia
100 tahun ini cuma ter-
tawa hambar.
"Heh heh heh... Pamanmu
seorang kepala pe-
rampok yang kejam, dan telah
banyak membunuh
orang tak berdosa! Kematiannya
pun belum bisa me-
nebus dosanya. Kini kau justru
mau memberatkan do-
sa pamanmu pula. He he he...
Kalau nyawaku sih me-
mang sudah kujual murah. Asal
kau sanggup membe-
linya! Tapi kau lihat di
belakangmu. Apakah kalau aku
dapat kau bunuh sebagai
pelampiasan dendam mu,
kau dapat selamatkan diri...?
Dara cantik itu mana bi-
sa mengampuni nyawamu...? He he
he..." Ujar Ki Jagur
Wedha seraya kembali tertawa
terkekeh-kekeh.
Sementara Tugangga telah
palingkan kepalanya
untuk melihat ke belakang.
Segera sepasang matanya
beradu tatap dengan Roro Centil.
Gadis Pendekar ini
mengerling si Pendekar Gentayangan dengan terse-
nyum. Lalu berkata;
"Aiii...! Kakek Pendekar
Gentayangan...! Siapa
yang mau membiarkan kau mati
dibunuh manusia ta-
hanan ini...? Siang-siang pun
aku akan sudah dapat
membekuknya, untuk diserahkan
pada paderi Ketua
Kuil Istana Hijau. Demi mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Sepasang Pedang Siluman yang palsu
itu rupanya belum kenyang
menghirup darah para pa-
deri. Kini sudah mau dipakai
lagi membantai orang!"
Ki Jagur Wedha jadi tertawa
lagi.
"He he he...benar Roro
Centil! Kalau aku mam-
pus duluan, siapa nanti yang
akan jadi mertua mu?
Lebih baik kau ringkus saja dia
cepat-cepat calon me-
nantuku...!" Wajah Roro
Centil seketika jadi merah da-
du. Akan tetapi ia sudah segera
melompat ke hadapan
Tugangga. Adapun laki-laki ini
jadi melengak ketika
Roro mengatakan bahwa sepasang
Pedang Siluman
yang ada padanya adalah yang
palsu. Segera ia sudah
ajukan pertanyaan.
"Eh, nona! Agaknya kau yang
berjulukan si
Pendekar Wanita Pantai Selatan!
Bagus! Aku bisa ken-
al dengan orangnya. Ingin ku
lihat kehebatan sepasang
senjatamu yang aneh itu. Akan
tetapi aku ada perta-
nyaan .Mengapa kau katakan Sepasang Pedang Silu-
man di tanganku adalah senjata
yang palsu?" Menden-
gar pertanyaan itu Roro cuma tersenyum.
Lalu dengan
sikap seperti tak memandang mata
pada laki-laki itu,
ia menyahuti.
"Benar! Bisanya kukatakan
demikian, karena
yang asli ada di tanganku.
Kudapatkan dari paderi Ke-
tua Dua, Sapta Dasa Griwa, yang
sebenarnya bernama
TUN PARERA. Bukankah sepasang
pedang itu milik-
nya? Tun Parera telah lama
menguntit mu, sejak sepa-
sang pedang pusaka itu kau curi
dari Rumah Pergu-
ruan TRI MUKTI. Saat kau
dipenjarakan, dia telah ber-
hasil mengetahui di mana adanya
sepasang pedang itu
aku sembunyikan. Dan dengan
tanpa kesukaran, ia
berhasil mendapatkannya kembali
dari dalam arca
Budha yang telah dikorek bagian
bawahnya dari ruang
bawah tanah. Kemudian telah
menggantinya dengan
yang palsu. Benda itu sengaja
dibuat seperti aslinya.
Jadi bukankah yang kau miliki
itu adalah Sepasang
Pedang Siluman yang
palsu...?" Ujar Roro Centil men-
jelaskan.
Akan tetapi penjelasan itu
justru membuat Tu-
gangga jadi tertawa
terbahak-bahak saking gelinya.
Tentu saja membuat Roro dan Ki
Jagur Wedha jadi ke-
rutkan alis tak mengerti. Dan
disela tawanya itu, Tu-
gangga telah berkata;
"Ha ha ha... Kalau begitu
yang tolol adalah si
Tun Parera. Ia sudah bisa
menyaru menjadi paderi un-
tuk mengambil kembali Sepasang
Pedang Siluman.
Lantas berniat lagi menguasai
Kuil istana Hijau. Dia
tak tahu kalau sebelumnya aku
tidak bodoh. Justru
yang ku sembunyikan di dalam arca Budha itulah
yang palsu. Seandainya ia
memalsukan lagi, dengan
membuat duplikatnya, tentu di
saat ini ada tiga pasang
Pedang Siluman di Rimba
Persilatan. Ha ha ha... Sepa-
sang Pedangku ini justru yang
aslinya! Kalau kau ingin
kubuktikan, kau
lihatlah...!" Seraya berkata, Tugangga
telah kerahkan tenaga dalamnya
pada sepasang pe-
dang. Diam-diam Tugangga telah
mainkan pada jurus
kesepuluh dan sebelas, dari 12
jurus Sakti Sepasang
Pedang Siluman. Tampak sepasang
lengannya bergetar
hebat. Satu pedang ujungnya ditujukan ke langit-
langit ruangan. Satu lagi ke
arah samping, di mana
terdapat tembok tebal pembagi
ruangan. Getaran se-
pasang lengannya semakin keras.
Ketika tiba-tiba ke-
dua lengan Tugangga telah
bergerak memutar, seperti
membuat lingkaran. Satu di atas
langit-langit. Satu la-
gi di samping kirinya.
Pendekar Gentayangan dan Roro
Centil mena-
tap tak berkedip. Selang sesaat,
tiba-tiba terdengar
bentakan keras Tugangga.
Lingkaran pedang di samp-
ing kiranya secara mendadak
diarahkan pada Ki Jagur
Wedha. Disertai bentakan keras
menggeledek. Sege-
lombang tenaga yang tak
kelihatan tiba-tiba telah me-
nerjang kedua arah. Terdengar
suara tembok yang
ambrol. Pendekar Gentayangan
telah berlaku ayal, ka-
rena tak menduga. Cuma tahu-tahu
ia rasakan gore-
san sinar yang membuat sepasang kakinya menjadi
perih. Beruntung ia segera
jatuhkan diri bergulingan.
Akan tetapi laki-laki tua itu
sudah berteriak ngeri, ka-
rena sepasang kakinya telah
tertabas putus. Dan ber-
samaan dengan membersitnya sinar
pedang Siluman
yang telah menjebolkan tembok
di belakangnya. Ada-
pun Roro Centil cuma ternganga
melihat dinding lan-
git-langit ruangan itu tiba-tiba
ambrol berbentuk ling-
karan. Pada saat itu pula tubuh
si manusia Topeng Pe-
runggu telah melesat ke atas
lubang. Terkesiap Roro
Centil. Segera ia sudah
palingkan kepala melihat ke
arah Ki Jagur Wedha. Laki-laki
tua ini tengah bergu-
lingan bersimbah darah. Dengan
mengerang hebat. Ki-
ranya sepasang kakinya telah
putus sebatas lutut.
"Kakeeeek...!"
Berteriak Roro Centil. Dan segera
ia sudah memburu Pendekar Tua
itu. Belum lagi Roro
sempat berfikir, telah terdengar
suara keras lagi. Ki-
ranya tembok langit-langit
kembali berhamburan ke
bawah dengan berlubang besar di
beberapa bagian di
sekelilingnya.
"Cepat! Selamatkan dirimu..
! Jangan hiraukan
diriku...!" Teriak Ki Jagur
Wedha dengan wajah pucat.
Akan tetapi mana Roro mau
biarkan sang kakek ter-
kubur di ruangan bawah tanah
itu? Segera ia sambar
tubuh si Pendekar Tua, dan
sebelah lengannya menje-
bol dinding. Begitu ia melompat
masuk. Ruangan tadi
telah roboh bergemuruh.
"Ha ha ha... ha ha ha...
Mampuslah kalian para
Pendekar sombong!"
Terdengar teriakan Tugangga di-
antara derak gemuruh tembok
langit-langit yang jebol
dengan suara gaduh. Debu
mengepul membuat pan-
dangan menjadi samar. Roro
Centil mencari akal un-
tuk dapat loloskan diri dari
kurungan tembok di ruan-
gan bawah tanah itu. Sementara
Tugangga tak hen-
tinya menyerang dari atas.
Dalam keadaan gawat itu, Roro
Centil teringat
akan si Tutul, Harimau setianya.
Segera ia perintahkan
untuk menampakkan diri,
"Tutul! Tumpaslah manusia
keji itu!" Teriak Ro-
ro Centil. Menggeram si Harimau
Tutul yang bertubuh
hampir sebesar kerbau itu. Dan
bagaikan angin telah
melompat menerjang ke atas. Saat
itu Tugangga ten-
gah tertawa terbahak-bahak
dengan sambarkan Sinar
senjatanya. Ketika tiba-tiba
terdengar geraman sang
harimau di belakangnya. Tahu-tahu ia telah rasakan
tengkuknya dicengkeram kuku-kuku
yang tajam.
Meronta laki-laki ini dengan
berteriak parau.
Sepasang pedangnya menebas ganas
ke tubuh sang
harimau Tutul. Terdengar suara
menggeram. Sang ha-
rimau Tutul ternyata telah
lepaskan cengkeramannya.
Merasa sepasang pedangnya amat
bertuah, Tugangga
pasang wajah sinis. Tiba-tiba
berkelebat melompat un-
tuk menjauh dengan beberapa kali
lompatan hingga ia telah berada
di halaman
Kuil. Saat itu sang Ketua Utama
Kuil Istana Hijau telah
melompat ke hadapannya Sedang paderi-paderi mu-
ridnya cuma bisa memandang
dengan mata membeliak
tak berkedip.
"Penipu busuk...! Kau harus
pertanggungja-
wabkan perbuatanmu!" Teriak
Ki Dharma Sheta seraya
menarik keluar tasbihnya.
Tugangga tertawa menye-
ringai.
"Ha ha ha... Paderi Ketua!
Sebenarnya aku tak
mencampuri urusan tentang
pengkhianatan para pa-
deri, yang dipimpin oleh Sapta
Griwa! Aku cuma num-
pang sembunyi di Kuil
mu...!"
"Akan tetapi kau telah
melakukan pembantaian
pada para paderi...!"
Teriak Ki Dharma Sheta. Wajah-
nya menampilkan kegusaran pada
laki-laki di hada-
pannya. Tiba-tiba Tugangga
kembali tertawa berkaka-
kan, seraya ujarnya;
"Ha ha ha... Kemanakah
gerangan si paderi Ke-
tua Dua, Sapta Dasa Griwa?
Dialah yang telah memin-
jam tanganku untuk
kepentingannya. Aku sendiri
memang tak menyangka kalau dia
adalah TUN PARE-
RA, si Pemilik Sepasang Pedang
Siluman yang telah ku
curi!"
"Orangnya telah tewas!
Walau bagaimana kau
tetap bersalah besar! Karena
secara utuh kaulah yang
telah lakukan pembantaian
itu...!" Berkata Ki Dharma
Sheta dengan nada dingin. Pada
saat itu terdengarlah
suara seorang wanita dibarengi
dengan melompatnya
sesosok tubuh ramping. Kiranya
Roro Centil.
"Akulah yang telah
membunuhnya...!" Berkata
Roro dengan menatap tajam pada
laki-laki di hada-
pannya. Sementara itu, Ki Jagur
Wedha tengah dike-
rumuni oleh para paderi yang
telah memberikan perto-
longan pada laki-laki tua itu.
Diantaranya terdapat ju-
ga si Bangau Putih. Kiranya Roro
Centil berhasil keluar
dari ruang rahasia di bawah
tanah dengan memondong
tubuh Ki Jagur Wedha. Yang
muncul di lubang terbu-
ka dekat para paderi murid-murid
Kuil yang tengah
berkumpul. Segera saja mereka
memberi pertolongan,
diantaranya terdapat juga si
Bangau Putih.
Selanjutnya telah melompat ke
hadapan si ma-
nusia Topeng Perunggu, alias
TUGANGGA. Tentu saja
mendengar pengakuan gadis itu,
Tugangga jadi melen-
gak. Akan tetapi kembali
perdengarkan tertawanya.
"Ha ha ha... Bagus!
Bagus...! Kalau orangnya
sudah mampus, ya sudah! Aku
sebenarnya enggan
meneruskan pertarungan. Cuma
gara-gara kalian yang
datang menyerbu, aku telah
kehilangan bibiku si Dewi
Rembulan. Yang membuat aku
terkecoh tak lain si
pembunuh paman ku itu. Yaitu si
Pendekar Gentayan-
gan! Ha ha ha...Biarlah kelak
kapan-kapan aku akan
membunuhnya! Pelajaran dariku
itu cukup menjadi-
kan peringatan baginya...!"
Seraya berkata Tugangga
melirik pada Ki Jagur Wedha yang
tengah meringis
menahan sakit pada kedua kakinya
yang putus, telah
dibalut oleh para paderi.
Ki Dharma Sheta terkejut juga
melihat keadaan
sahabatnya itu. Tiba-tiba dengan
mendengus geram ia
berkata;
"Tugangga...! Kau tak bisa
meloloskan diri lagi.
Hukumanmu kini adalah
Kematian!". Seraya berkata
paderi Ketua ini telah
menerjangnya dengan hantaman
telapak tangan bertenaga dalam.
Sedang tasbihnya
berkelebat menyambar leher. Akan
tetapi Tugangga te-
lah keluarkan jurus ke 12 dari
Sepasang Pedang Silu-
man. Sinar hitam berkelebat
menyambar ke arah Ki
Dharma Sheta. Terkejut paderi
Ketua ini. Akan tetapi
pada saat itu berkelebat Roro
Centil menangkis dengan
senjatanya si Rantai Genit.
WHUK! WHUK! Asap hitam terpental
balik
menghantam ke arah si
penyerangnya. Terkejut Tu-
gangga. Untung ia cepat lompat
bergulingan. Kiranya
Roro pergunakan Jurus Ikan Hiu
balikkan ekor. Selan-
jutnya Roro Centil sudah
putarkan sepasang senja-
tanya untuk menerjang ke arah
Tugangga. Laki-laki ini
terkejut ketika rasakan hawa
panas menerjangnya.
Suara bagaikan ratusan bahkan
seperti ribuan tawon
yang mengamuk meluruk ke
arahnya. Namun dengan
gerakan kilat sepasang pedangnya
telah menabas. Ro-
ro Centil terkejut. Beruntung ia
segera tarik serangan-
nya dengan pergunakan langkah
"Bidadari Mabuk Ke-
payang".
Seraya mengelakkan serangan
pedang, Roro
Centil telah pergunakan
rambutnya memukul ke arah
kepala Tugangga. Sambaran tak
terduga itu membuat
laki-laki tahanan itu terkesiap.
Segera ia berjumpalitan
di udara, dengan bersalto sejauh
tiga tombak. Kini se-
pasang pedangnya bergerak
melingkar. Roro Centil cu-
kup faham. Sepasang matanya
mengawasi kemana
arah ujung pedang menghadap.
Sementara ia telah ke-
rahkan tenaga dalamnya pada
kedua lengan. Tampak
tiba-tiba sepasang bandulan si
Rantai Genit jadi me-
merah bagai bara api. Saat itu
segulung sinar hitam ti-
ba-tiba membersit ke arah Roro.
Sedang segulung lagi
dengan tak terduga telah meluncur
ke arah Ki Dharma
Sheta. Terkesiap paderi Ketua
itu. Tasbihnya segera
dipakai memapaki serangan. Akan
tetapi seketika itu
juga untaian tasbih hancur
luluh.
Sinar hitam terus meluncur
menghantam tiang
penyangga ruangan depan Kuil,
yang seketika patah
berderak. Beruntung tidak
menjadikan robohnya tiang
panglari. Karena masih ada tiga
tiang lagi yang me-
nyangga.
Adapun si Ketua Kuil Istana
Hijau terpaksa ja-
tuhkan diri bergulingan
menghindari serangan dahsyat
yang aneh itu. Sedangkan Roro
Centil begitu melihat
serangan, segera memapaki dengan
senjatanya. Terse-
nyum Tugangga, Karena itulah
jurus terakhir dari 12
Jurus sinar hitam Sepasang
Pedang Siluman yang luar
biasa. Jangankan senjata terbuat
dari besi. Walaupun
dari baja sekalipun akan hancur
luluh terkena sinar
hitam yang dahsyat itu.
Akan tetapi Roro Centil memang
bernasib baik,
karena tiba-tiba telah membersit
sebuah sinar merah
yang menyala. Itulah sinar dari
batu itu telah menyala.
Itulah sinar dari batu cincin
Merah Delima, warisan
Gurunya. Tanpa sengaja sinar
dari batu itu telah me-
nyala, akibat Roro salurkan
tenaga dalam pada len-
gannya. Begitu kedua sinar
beradu, terdengarlah suara
keras... bagaikan api tersiram
air.
BHUSSSSH...! Roro Centil
terhuyung tiga tin-
dak. Sedangkan Tugangga
terhuyung lima tindak. Tu-
buhnya tampak bergetar bagai
diserang kekuatan
aneh, yang membuat tulang-tulang
tubuhnya terasa
lumpuh. Sedangkan sepasang
pedang di kedua len-
gannya tiba-tiba lenyap jadi segumpal
asap hitam yang
membubung.
Terbeliak sepasang mata
laki-laki ini. Juga Roro
Centil menatap kejadian itu
seperti tak masuk akal.
Saat itu terdengar suara Harimau
mengaum dahsyat.
Dan sebuah bayangan kuning telah
berkelebat bagai-
kan angin menyuruk ke arah tubuh Tugangga. Laki-
laki ini kembali menggeliat
dengan berteriak parau.
Namun pada saat itu berkelebat
sesosok tubuh kurus
kering ke arah Tugangga. Dengan
sekali mengibaskan
lengan, Harimau Tutul
terjengkang ke belakang, lalu
lenyap jadi segumpal asap.
Tampak keadaan Tugangga
seperti sebuah kain lapuk yang
sudah tak bertenaga
lagi. Dan jatuh menggeloso
dengan bibir dan telinganya
mengeluarkan tetesan darah.
Kakek tua renta bertubuh kurus
kering itu ber-
diri di hadapan Tugangga.
Sebelah lengannya tiba-tiba
terjulur. Dengan jari-jari
tangannya menyambar men-
jewer daun telinga laki-laki
itu. Yang segera telah me-
maksanya untuk bangkit berdiri.
Terdengar sura kata-
kata kakek kurus kering itu
seperti mengomel...
"Bocah...! Kau terlalu
ugal-ugalan! Sepasang
Pedang itu telah kembali lagi ke
asalnya! Kau tak ber-
hak memilikinya...!"
Selesai berkata, sang kakek
kurus kering itu te-
lah menyeretnya pergi dari situ.
Roro Centil cuma bisa
menatap kepergian kakek kurus itu
dengan membeliak
tak berkedip. Keadaan di tempat itu seperti dicekam
keheningan. Semua menatap ke
arah Tugangga yang
seperti sudah tak punya tenaga
lagi untuk melangkah.
Hingga terseret-seret ia
mengikuti kemana tubuh si
kakek membawa, dengan menjewer
telinganya. Hingga
sampai kedua tubuh itu lenyap di
balik kabut yang
menghalangi lereng bukit,
barulah terdengar suara Ki
Dharma Sheta berkata perlahan.
"Siapakah orang tua kurus
itu...?". Roro Centil
cuma menggeleng, seraya menarik
nafas panjang. Dan
memang nyatanya semua orang tak
ada yang tahu.
Termasuk si Bangau Putih dan Ki
Jagur Wedha si Pen-
dekar Gentayangan.
Cuma diam-diam dibenak Roro
Centil tersirat
sedikit ingatan, melihat wajah
dan perawakan kakek
kurus itu. Tak lain adalah kakek
tua renta yang per-
nah mengintipnya dari seberang
sungai, ketika Roro
mandi. Terbayang di mata gadis
pendekar ini ketika ia
menggodanya, dengan melemparkan
seekor kepiting
yang masuk ke celah baju kakek
mata keranjang itu.
Tersenyum Roro Centil. Akan
tetapi juga terke-
jut, karena kakek itu bukan
orang sembarangan. Ter-
bukti si Tutul telah dapat
terlempar dengan sekali
menggerakkan lengan. Roro dapat
menduga kelak
akan lebih banyak lagi perintang
yang harus ia hadapi
di hari mendatang. Karena mulai
bermunculan tokoh-
tokoh aneh, yang berilmu tinggi.
Sementara tanpa ada seorangpun
yang menge-
tahui, seorang wanita muda sejak
tadi telah memper-
hatikan jalannya pertarungan,
Dialah GIRI MAYANG
adanya. Pada lengannya tergenggam
dua pasang pe-
dang. Yang amat mirip dengan
Sepasang Pedang Silu-
man. Kini melihat bahwa pedang
Siluman yang asli te-
lah lenyap, sirna tanpa bekas,
ia jadi termangu-mangu
menatap kedua pasang pedangnya.
Ternyata kedua
duanya adalah Dua pasang Pedang
Siluman yang pal-
su!
Dengan kesal ia telah berkelebat
pergi dari
tempat itu. Ketika melewati
sebuah danau, kedua pa-
sang senjata itu sudah ia
lemparkan ke tengah danau
yang sekejap kemudian tenggelam
untuk tak timbul
lagi.......
Giri Mayang menatap pandangannya
ke tengah
danau, Sepasang matanya kembali
terlihat meneteskan
air bening. Di tengah isaknya
itu terdengar suara kata-
kata yang mendesis.
"Roro Centi!! Tunggulah
pembalasan dendam
ku kelak! GIRI MAYANG alias si
Kelabang Kuning tak
akan pernah membiarkan dirinya
terhina! Suatu saat
kita akan bertemu untuk
bertarung. Pertarungan yang
kelak akan menentukan siapakah
yang masih berhak
meneruskan kehidupan di Jagat
Raya ini...!" Desis su-
ara kata katanya yang mengandung
dendam sedalam
lautan, seperti terbawa desahnya
angin lalu. Yang
menghempas hempas dedaunan
menimbulkan suara
gemerisik seperti suara para
iblis yang tertawa. Men-
tertawakan akan kebodohan
seorang gadis yang terje-
rumus, dalam kancah dendam yang
menggelegak.
Yang telah membius dirinya untuk
memusuhi para
pendekar pembela keadilan.
Sementara langit semakin suram.
Angin keras
kian menderu-deru. Hawa telah
berubah menjadi din-
gin. Beberapa saat antaranya
kilat pun saling me-
nyambar. Membersitkan cahaya
seperti hendak mem-
belah langit...!
Suara petir pun segera terdengar
menggele-
gar...! Bergemuruh sahut
menyahut. Alam seperti amat
murka, melihat manusia yang
semakin bertindak se-
maunya....
Gadis ini berlari dan berlari...
dengan air mata
bercucuran. Ia memang sudah tak
perduli akan kega-
nasan alam. Tujuannya telah
menjadi satu dalam da-
rah dan dagingnya. Tak akan bisa
terpupus dengan
apa pun kecuali dengan darah
yang mengalir. Darah
yang akan membuat ia akan merasa
puas......
Akan tetapi manusia lupa bahwa
takkan ada
kepuasan di dunia ini, tanpa
adanya dasar pada jalan
lurus. Karena kesesatan
selamanya akan tetap merajai
hati sanubari. Jika manusia itu
tak berusaha mengha-
launya. Itulah sebabnya Rimba
Hijau tetaplah sebuah
Rimba yang di dalamnya penuh
dengan dendam yang
seperti tak pernah ada habisnya.
Walau seribu Pende-
kar menumpas, menentang
kezaliman, namun sejuta
kemelut akan tetap mereka
hadapi! Yang tak jarang
memerlukan pengorbanan jiwa,
Akan tetapi semangat
para pendekar penegak keadilan
memang tak pernah
lenyap terpupus oleh ganasnya
Tirani. Walau sejuta
kemelut mereka hadapi! Namun
semangat perjuangan
menegakkan keadilan tetap
berkobar di dada. Tak la-
puk oleh hujan, tak lekang oleh
panas! Walau tahun
dan abad terus menjelang. Namun
sejarah perjuangan
kaum pendekar, serta keharuman
namanya, tetaplah
abadi sepanjang masa.........
TAMAT
Emoticon