1
FAJAR baru saja menyingsing.
Matahari
tampakkan dirinya. Cahaya yang
memancarkan
kehidupan buat manusia, mulai
memancar dari
balik perbukitan yang menghijau.
Alangkah in-
dahnya karena bukit-bukit itu
seperti terkena ca-
haya emas. Memancar indah
cemerlang di pagi
yang baru saja tersingkap, dari
gelapnya malam.
Terpukau kagum manusia akan
dirinya, akan si-
fat dan kesetiaannya. Dia
berikan sinarnya untuk
manusia... tanpa mengharapkan
balas jasa. Dia
selalu tepati janjinya demi
kesejahteraan manu-
sia. Walau mendung tebal
menghalangi, ia akan
tetap bersinar terus, dan....
terus...! Sampai men-
dung kucurkan air untuk
kehidupan, untuk kese-
jahteraan yang semua itu untuk
makhluk di bu-
mi. Untuk manusia.
Alangkah indahnya kalau
manusia seper-
ti matahari.
Alangkah mulianya manusia bila
seperti
Matahari. Memiliki akhlak nya
yang terpuji. Me-
nepati janji yang telah
diucapkannya diatas sum-
pah. Dan berjuang, bekerja tanpa
pamrih demi
kesejahteraan dan tercapainya kemakmuran.
Bu-
kan untuk memperkaya diri
sendiri. Bukan untuk
berdiri diatas penderitaan orang
lain. Juga bukan
untuk kepentingan sepihak atau
segolongan. Me-
lainkan untuk kepentingan
bersama. Untuk kese-
jahteraan bersama. Karena
kebersamaan adalah
kunci dari adanya kehidupan.
Tanpa adanya ke-
bersamaan, manusia akan hancur.
Bukankah
alam telah memberikan contoh
pada manusia.
Bumi, air, udara, bulan bintang,
matahari
dan bermacam planit di luar
angkasa yang tak di-
ketahui manusia.... kesemuanya bekerja
sama.
Lihatlah! Alangkah patuhnya
mereka. Andai saja
salah satu dari mereka tidak
mematuhi aturan,
dan berbuat semaunya apakah yang
akan terja-
di...? Akan adakah kehidupan...?
tentunya tidak!
Karena alam akan menjadi
hancur..! Itulah se-
babnya kebersamaan adalah kunci
dari kehidu-
pan, dan demi perintah dari Yang
Maha Kuasa.
Karena mereka juga adalah
makhluk-makhluk
ciptaan Nya.
Sayang manusia tidaklah bisa
seperti Ma-
tahari atau benda-benda alam
lainnya, yang sela-
lu patuh pada perintah Nya.
Berbeda dengan ma-
nusia. Yang diberi Tuhan nafsu
untuk pelengkap
kehidupannya. Dan diberinya pula akal untuk
dapat berfikir.
Namun betapa banyak manusia
menjadi
lupa diri. Karena hanya
memperturutkan hawa
nafsunya saja. Mencari
kesempatan dalam ke-
sempitan. Bertindak
sewenang-wenang dengan
kekuasaannya. Tanpa memikirkan
hak-hak azazi
yang mutlak dimiliki setiap
manusia. Nikmat yang
telah diberikan Tuhan itu, telah
dipergunakan
pada jalur yang salah dan sesat.
Hingga hilanglah harkat
kemanusiaannya.
Dan nafsu akan terus menyeretnya
semakin da-
lam. Bila sudah demikian,
manusia akan lebih ja-
hat dan lebih buas dari pada
seekor binatang!
Trang! Trang!...... Trang!
Suara benturan dan beradunya
senjata-
senjata tajam terdengar santar
dari bawah tebing
di ujung perkampungan itu.
Delapan manusia
bertopeng hitam tampak tengah
bertempur mela-
wan belasan orang yang
bersenjata macam-
macam. Ada yang mempergunakan
tombak, ada
yang bersenjatakan pedang atau
golok. Bahkan
ada yang menyerang dengan
teriakan seorang
wanita yang terikat, dan tengah
meronta-ronta
dalam pondongan salah seorang
dari kedelapan
manusia bertopeng hitam itu.
Dua orang tampak dengan tombak
dan pe-
dang terhunus, mengejar nekat
menerobos bari-
san keempat si manusia
bertopeng, yang sambil
bergerak ke sana kemari berusaha
menahan ter-
jangan dari belasan orang
tersebut.
"Hm! Tahan mereka...!"
Berteriak salah seo-
rang dari manusia-manusia
pemakai topeng itu.
Trang! Trang! Terdengar dua benturan
senjata.
Ketika dengan sekali bergerak,
senjata di tangan
kedua orang itu terlepas.
Ternyata mereka adalah
orang-orang yang berkepandaian
tinggi. Mereka
satu sama lain amat sukar
dibedakan. Karena se-
luruh tubuhnya terbungkus dengan
pakaian ser-
ba hitam. Cuma sepasang matanya
saja yang ter-
lihat. Mereka rata-rata
bersenjata pedang. Namun
hanya bertahan saja, sambil
terus mundur sema-
kin jauh. Barisan dibagi menjadi
dua bagian. Em-
pat orang menahan di muka, dan
empat orang la-
gi di bagian belakang, dengan
dua di muka dan
satu di belakang. Sedangkan yang
paling bela-
kang, adalah yang memondong
tubuh wanita
yang terikat. Kedua orang yang
berhasil menero-
bos barisan dimuka itu, dengan
berteriak keras,
kembali menerjang maju. Namun
kali ini pedang
salah satu dari kedua manusia
bertopeng itu te-
lah berkelebat cepat, dan
melukai mereka. Agak-
nya kenekatan mereka sudah
membuat mereka
tak menghiraukan bahaya lagi.
Dengan mengge-
rung keras, kembali merangsak
maju. Disertai te-
riakan pada gadis yang tengah
meronta-ronta itu,
"Sawitriiiii...!". Dan
dengan mengamuk membabi
buta ia berhasil menerobos
barisan kedua orang
bertopeng itu. Sementara
luka-luka di tubuhnya
telah bertambah lagi di tiga tempat.
Namun tanpa
menghiraukan berkelebatnya
pedang ia terus me-
rangsak maju. Sedangkan yang dua
orang ini,
tampak dengan repot berusaha
menghindari dari
serangan-serangan beberapa pihak
lawan yang te-
rus menerjang dengan golok dan
paculnya.
Laki-laki tua yang tadi
menerjang berdua
lebih dulu itu, tiba-tiba
terpekik dan roboh ter-
jungkal di barisan kedua. Pedang
salah seorang
dari orang bertopeng itu telah
menembus da-
danya. Namun ia masih sempat
berteriak "Sawi-
triiii.... a.. anakku...."
Dan, jatuh tertelungkup.
"Ayaaaaaaah...! Terdengar
pekik gadis da-
lam pondongan si manusia
bertopeng yang paling
belakang melihat laki-laki tua
itu tersungkur ja-
tuh, tak berkutik lagi. Dua
orang topeng hitam
melompat menahan tiga orang
penyerbu yang ma-
ju menerobos. Den pertarungan
pun berlangsung
dua lawan tiga. Akan halnya si
orang bertopeng
yang berada di barisan kedua,
salah seorang yang
tanpa sengaja telah tembuskan
pedang ke tubuh
laki-laki tua itu,
sekonyong-konyong jatuh kan
tubuh berjongkok untuk mendekati
laki-laki tua
itu tampak buka pelupuk matanya, dan tatap
orang di hadapannya dengan sayu.
Tiba-tiba ia te-
lah kuatkan tubuhnya untuk
bertahan. Luka di
dada itu terlalu parah dan
banyak mengucurkan
darah. Namun suara itu seperti
dikenalnya.
"Siapa... kk...
kau....?" Bertanya ia dengan
suara terputus. Sementara
pertempuran masih
terus berlangsung di belakang
mereka. Orang ber-
topeng itu tiba-tiba telah buka
topeng wajahnya,
dan tatap laki-laki itu dengan
wajah masygul.
Terdengar desis tertahan keluar
dari bibirnya.
"Kakang.... maafkan
aku.....aku tak senga-
ja...".
Laki-laki tua itu tiba-tiba
bentangkan ma-
tanya lebih lebar seperti tak
percaya. Tubuhnya
tampak menggeletar menahan
kemarahan di da-
lam dadanya.
"....T..Terkutuk...."
Desahnya geram. Dan
sehabis mengucapkan kata-kata
makian itu, tu-
buh laki-laki tua itupun
terkulai untuk tak berku-
tik lagi, karena nyawanya telah
putus. Tiba-tiba ia
palingkan kepala mendengar
teriakan dua orang
di belakangnya yang kembali
terjungkal oleh ke-
dua pedang kawannya. Darah
memuncrat me-
nyembur ke bumi.
"Keparat...! Jangan
membunuh!" Teriak-
nya. Sementara kedua kawannya
itu hanya men-
dengus mengeluarkan suara di
hidung. Ujung pe-
dangnya tampak basah berlumuran
darah. "Kau
sendiri baru saja
membunuh!"
"Aku tak sengaja ..!"
Tangkis laki-laki itu
dengan palingkan muka ke arah
para penyerbu,
yang masih riuh berteriak teriak
mencoba mene-
robos pertahanan empat manusia
bertopeng di
barisan pertama. Tiba-tiba saja
ia terkejut bukan
main, dan tampak terlihat
wajahnya menjadi pu-
cat. Segera dengan sebat ia
telah kembali menya-
rungkan topeng hitam yang masih
terbuka itu un-
tuk menutupi wajahnya. Akan
tetapi sudah ter-
lambat. Karena beberapa orang
telah mengenali.
"Bodoh!" Maki salah
seorang dari kedua
kawannya pada laki-laki itu.
"Hai!? Dia....."
Teriak salah seorang dari pa-
ra penyerbu. Namun suaranya
terputus, karena
tubuhnya telah terjungkal roboh
dengan teriakan
ngeri. Salah seorang yang baru
saja mundur, ke-
tika kedua kawannya roboh, sudah
menyerang
pemuda itu dari belakang, seraya
berteriak.
"Musang berbulu ayam,
kubunuh kau...!"
Goloknya berkelebat menabas
punggung, namun
iapun cuma mengantar nyawa saja.
Sekali men-
gegos berkelit, pedang
ditangannya telah melun-
cur cepat ke arah leher. Dan
terdengar teriakan
parau.... disertai terjungkalnya
sang tubuh, un-
tuk berkelojotan sekarat.
Melihat itu yang lainnya
kembali menyerbu dengan tombak,
pacul dan
blancong. Tampak si orang
bertopeng itu berkele-
bat menyelinap dari sela setiap
tubuh penyerang-
nya. Sementara pedangnya telah
bekerja.
Sret! Sret! Bles! Bles! Dan
tampak keempat
tubuh penyerangnya itu keluarkan
teriakan ngeri,
satu per satu tubuh mereka
ambruk ke bumi,
dengan darah memancur dari leher
dan dada.
Kurang lebih masih sisa tujuh
atau dela-
pan orang dari para penyerbu,
yang berada di ba-
risan depan dan tengah, segera
melompat mun-
dur dengan keluarkan teriakan
kaget. Namun dua
orang dari mereka, tak dapat
menahan serangan
pedang yang berkelebat dari
kawanan orang ber-
topeng itu. Yang jadi
ikut-ikutan membunuh. Dua
orang itu terjungkal roboh mandi
darah. Si laki-
laki palingkan kepalanya untuk
melihat kejadian
itu.
"Berilah kami bagian,
sobat! Jangan kau
serakahi semua...! " Teriak
salah seorang, yang
saling berpandangan dengan kedua
kawannya
sambil tersenyum.
"Ini semua sudah di luar
perhitungan. Kita
sudah menyalahi aturan dan
perintah ketua!" ka-
ta yang satu lagi.
"Benar, ini semua gara-gara
kau mendahu-
lui membunuh. Dan kau telah
membuka topeng,
hingga mereka dapat mengenali
wajahmu!" Me-
nimpali seseorang yang berada di
barisan tengah.
Ia adalah orang yang tadi
diperingati olehnya.
"Setan…! Apa kau tuli?
Sudah kukatakan
aku tak sengaja...!"
Teriaknya. Tiba-tiba ia paling-
kan wajah ke arah para penyerbu
yang sisa lima
orang lagi, dan tampak sudah
melompat mundur
menyelamatkan diri.
Celaka..!? Sentak hatinya.
Mereka tak bo-
leh ada seorangpun yang hidup.
Pekik hatinya.
Dan tiba-tiba saja ia telah
berkelebat untuk men-
gejar. Dengan dua tiga kali
lompatan ia telah
menghadang di hadapan mereka.
Dan tanpa ha-
rus mengulur waktu lagi
pedangnya telah berke-
lebat cepat, disertai
berkelebatan tubuhnya yang
menyelip gesit ke setiap sela
tubuh mereka.
Ketika laki-laki itu munculkan
tubuh di be-
lakang kelima orang para
penyerbu, yang tak
sempat untuk berbuat apa-apa
itu. Terdengar te-
riakan ngeri di belakangnya, dan
tubuh mereka
saling susul terjungkal roboh,
dengan memun-
cratkan darah dari setiap leher
dan dada... Bluk!
Bluk! Bluk! Hanya beberapa detik
saja tubuh me-
reka berkelojotan, lalu diam tak
berkutik lagi.
Empat orang bertopeng yang
berada di barisan
depan jadi terpaku sejenak,
dengan pentangkan
mata lebar. Melihat perbuatan
kawannya yang
membunuh habis semua penyerbu.
Namun cuma
sebentar, segera salah seorang
putar tubuh untuk
diikuti kawan-kawannya. Namun
baru saja mere-
ka membelakangi. Di luar dugaan,
dan tak masuk
diakal, ketika tahu-tahu tubuh
laki-laki bertopeng
itu berkelebat kearahnya. Dan
detik selanjutnya
terdengar jeritan ngeri saling
susul dari keempat
orang itu. Dan hampir berbareng
tubuh empat
orang itupun roboh terjungkal.
Ternyata ia telah membantainya
dari bela-
kang sekaligus. Dua kawannya,
yang tadi sudah
lebih dulu berbalik untuk
mengejar barisan ba-
gian depan, jadi terkesiap
ketika menoleh kebela-
kang. Namun tanpa bisa berteriak
lagi, keduanya
telah roboh ambruk ke bumi
dengan dada tertem-
bus pedang.
Sementara itu di bagian depan
tampak
tinggal dua manusia bertopeng
lagi. Yang seorang
tengah berusaha menghadang
pemuda itu, yang
berhasil lolos dari barisan
kesatu dan kedua. Se-
dang satu lagi di depannya,
dengan memondong
gadis itu. Tubuhnya telah mandi
darah, penuh
luka. Namun bagaikan harimau
yang terluka, ia
terus menerjang setiap
penghalangnya.
Nampaknya sisa dari orang
bertopeng ini
sudah tak mematuhi peraturan
lagi. Apalagi ia
dapat lihat apa yang terjadi di
belakangnya. Sege-
ra saja ia mengirim tusukan
maut.
Sret...!!
Pedangnya cuma menyerempet tubuh
ba-
gian sebelah kiri pemuda
penyerbu itu, namun te-
lah merobek dan mengiris daging
tubuhnya. Na-
mun tidaklah membuat gadis itu
patah semangat.
Iapun balas menerjang dengan
pukulan dan ten-
dangan, yang boleh dikatakan tak
berarti
Cras ...!
Terdengar teriakan pemuda itu,
ketika
dengan sekali tebas, pedang
ditangan orang ber-
topeng itu telah menabas putus
kakinya. Darah
memuncrat membasahi tanah, dan
tubuh pemu-
da yang telah parah itu
menggoser-goser mena-
han sakit. Namun ia sudah mau
bangkit lagi, be-
gitu dengar teriakan gadis yang
berada dalam
pondongan orang bertopeng
dihadapannya.
"Prasetyoooo..!?"
Gadis dalam pondongan
itu menjerit histeris, melihat
pemuda itu tersung-
kur mandi darah.
"Sa..
Sawitriiiiiiii..!" Teriaknya parau. Len-
gannya tampak terulur menggapai
lemah. Namun
pada saat itu, pedang si orang
bertopeng telah
meluncur deras ke arah leher.
Tusukan kilat yang
akan segera menghabisi nyawa pemuda
itu.
Akan tetapi pada detik yang
kritis itu, telah
berkelebat cepat sesosok
bayangan hitam.
Trang...!
Pedang si orang bertopeng
terpental keras,
dan menancap ke dinding celah
bukit itu. Dan de-
tik berikutnya, ia sudah
perdengarkan teriakan
ngeri dan terjungkal roboh
dengan semburkan
darah segar dari lehernya.
Ternyata si pemuda
bertopeng itu telah bertindak
cepat untuk menye-
lamatkan nyawa orang
Cuma sesaat ia pandang tubuh
kawannya
yang tak berkutik lagi itu, dan
kembali enjot tu-
buh untuk mengejar seorang
kawannya lagi, yang
memondong gadis terikat itu.
"Berhenti...!" Satu
bentakan terdengar dari
mulut laki-laki itu, yang telah
kelebatkan tubuh
untuk menghadang. Tentu saja
sang kawan ini
merandek terkejut.
"Berikan dia padaku..!
Cepaaaat...!" Ben-
taknya dengan mata mendelik
tajam. Melihat ge-
lagat tidak menguntungkan, ia
segera lemparkan
tubuh dalam pondongannya, pada
orang dihada-
pannya. Sementara hatinya
bertanya-tanya, apa
yang terjadi...? Ketika ia menoleh
kebelakang,
terkesiaplah ia melihat tak
sepotongpun ada tu-
buh kawan-kawannya yang masih
berdiri. Semua
terkapar berserakan disepanjang
celah tebing ba-
tu bukit itu. Namun hanya
sekejap. Karena iapun
terpekik ngeri, ketika tahu-tahu
pedang sang
"kawan" telah menembus
dadanya. Terbeliak se-
ketika kedua biji matanya,
menatap laki-laki di-
hadapannya.
"K... Kau bu... bunuh kawan
se.... ssendi-
ri...?" Terputus ia
berkata. Namun sesaat tubuh-
nya telah menjadi limbung, dan
tatapannya jadi
memudar. Ketika si pemuda
bertopeng itu me-
nyentakkan pedangnya yang masih
menempel itu,
terdengar jerit kematiannya, dan
tubuhnya ter-
jungkal menggabruk ke bumi.
Darah segar pun
berhamburan memancur. Dengan
posisi masih
berdiri memanggul tubuh sang
gadis pada pun-
dak kirinya, ia menatap tubuh
kawannya itu den-
gan tatapan tak berkedip.
Namun hanya sesaat, ia segera
bersihkan
ujung pedang dengan baju sang
kawan, dan cepat
sarungkan kembali dipinggang.
Dan dengan cepat
ia sudah melesat kesisi tebing,
untuk segera me-
nyelinap pergi dengan memanggul
tubuh sang ga-
dis.
Setelah mendaki, ia telah tiba
ditempat ke-
tinggian, dan berhenti kira-kira
dua lemparan
tombak dari tempat kejadian itu.
Ternyata si gadis telah pingsan
sejak tadi.
Sejak melihat darah berhamburan
dari kaki pe-
muda bernama Prasetyo, yang
putus terpapas pe-
dang si orang bertopeng. Dengan
hati-hati ia gele-
takkan tubuh sang gadis diatas
batu. Kemudian
tatap wajahnya dalam-dalam....
Sesaat terdengar
ia menghela nafas. Tiba-tiba ia
seperti tercenung
dan palingkan kepala untuk
menatap kebawah
bukit diantara sela-sela
pepohonan
"Masih hidupkah
dia...?" Terdengar ia
menggumam. Dan detik selanjutnya
ia telah kem-
bali berkelebat, untuk menuruni
lereng bukit.
Akan tetapi ia tak mengetahui,
disaat ia mendaki
tadi salah seorang dari
tubuh-tubuh manusia
bertopeng yang berkaparan di
celah tebing itu, te-
lah bangkit berdiri, dan
bersihkan tubuhnya yang
berlepotan darah. Terlihat ia
tersenyum sinis sen-
diri.. Goresan pedang
"kawan" nya, yang jadi ber-
balik menyerang kawan sendiri
itu, hanya mero-
bek baju pada lambung kanannya
saja. Sedang-
kan kulit dan dagingnya tidak
terluka sama sedi-
kitpun.
Ternyata ia memakai perisai baja
yang sela-
lu dipakainya. Yaitu lempengan
plat baja yang
amat tipis sekali. Itulah
pakaian dalam pelindung
tubuhnya. Yang seandainya ia tak
memakai baju
wasiat itu, tentu siang-siang
nyawanya sudah pu-
lang ke alam Baka. Adapun darah
yang berlepo-
tan itu adalah darah palsu, yang
memang selalu
ia persiapkan untuk menipu lawan. Akan tetapi
baru saja ia mau bergerak,
batu-batu kerikil dari
atas tebing yang meluruk jatuh
beberapa gelintir,
membuat ia sadar akan adanya
orang menuruni
lereng tebing. Segera ia jatuhkan
kembali tubuh-
nya menelungkup dengan cepat.
Dan berbuat seo-
lah ia telah tak bernyawa lagi.
Orang bertopeng itu ternyata
mencari pe-
muda yang telah diselamatkan
nyawanya, yang
ternyata pemuda putus kaki itu,
telah pingsan tak
sadarkan diri. Segera ia mau
menolongnya. Na-
mun tiba-tiba berkelebat kebelakang dengan be-
berapa lompatan. Apakah yang
akan dilakukan-
nya...? Ia telah perhatikan
semua mayat, berun-
tung yang ia hampiri adalah
mayat yang agak di
ujung sana. Si orang bertopeng
yang pura-pura
mati itu sempat juga
memperhatikan dengan hati
kebat-kebit, dengan lirikan
matanya. Kiranya
yang dilakukannya adalah membuka
pakaian
mayat yang tergeletak itu,
bahkan seluruhnya.
Kemudian....
Bret! Bret! suara robekan baju
terdengar.
Ternyata ia telah merobek
pakaiannya yang serba
hitam itu. Kemudian
cabikan-cabikan pakaiannya
ia lemparkan jauh kesisi tebing
batu. Selanjutnya
ia mulai mengenakan pakaian
penggantinya. Se-
galanya itu dikerjakan dengan
cepat. Dan tak la-
ma kemudian ia telah kembali ke
tempat pemuda
putus kaki itu. Dan pondong
tubuh orang untuk
sampirkan pada pundaknya. Dan
saat berikutnya
ia telah kembali beranjak dari
situ. Mendaki le-
reng tebing, dan lenyap dibalik
dedaunan.
Akan halnya si orang bertopeng
yang pura-
pura mati itu, cepat bangkit
berdiri kemudian
ikuti jejak "kawan"nya
itu dengan hati-hati, dan
cepat mendaki lereng dengan
gerakan gesit. Kea-
daan di celah bukit itupun
kembali lengang tak
lagi nampak adanya tanda-tanda
kehidupan.
Mayat-mayat berserakan
disana-sini. Keadaannya
sungguh amat menyedihkan.
Sementara itu si orang bertopeng
telah le-
takkan tubuh pemuda itu ditanah.
Tak jauh dari
tubuh si gadis yang masih tak
sadarkan diri di-
atas batu, tampak ia palingkan
kepala kebela-
kang, dan lihat bekas-bekas
darah sepanjang ja-
lan. Seandainya ia tak
mengenakan topeng yang
membungkus kepalanya sampai
menutupi wa-
jahnya itu, akan terlihat ia
mengkerenyitkan ke-
ningnya. Memandang luka orang
yang alirkan da-
rah tak berhenti itu, segera ia
telah lepaskan to-
pengnya. Dan kain hitam itu ia
pakai untuk
membalut kaki orang yang putus.
Dan selanjut-
nya ia kembali berdiri untuk
pandang kedua tu-
buh yang tak bergeming itu.
Hanya terlihat na-
pasnya saja yang naik turun
perlahan. Ternyata
ia seorang laki-laki yang
bertubuh kekar. Dengan
wajah yang berkulit kecoklatan
dan agak kasar.
Alisnya tebal menghitam,
wajahnya menampilkan
kekerasan pada jiwanya.
Sedangkan kumis dan
jenggotnya sama lebat, dan sama
hitam dengan
rambutnya. Umurnya sekitar empat
puluh tahun.
Tiba-tiba ia membungkukkan
tubuhnya untuk
meraih tubuh pemuda yang putus
kaki itu dan
sangkutkan pada pundaknya. Lalu
dengan cepat
ia telah pula sambar tubuh gadis
diatas batu itu
dengan tangan kanannya.
Dengan memanggul serta mengepit
tubuh
gadis dibawah lengannya itu, ia
bergegas tinggal-
kan tempat itu. Ternyata ia
mempunyai tenaga
besar, sehingga dengan
membawa kedua tubuh
itu, ia tampaknya tak merasa
terhambat untuk
berjalan atau berlari cepat. Dan
sebentar saja ia
telah lenyap di balik pepohonan
dan semak di
atas tebing, tanpa mengetahui
kalau ada sesosok
bayangan yang terus mengikuti ke
arah mana ia
pergi.
Tapi si penguntit itupun tak
mengetahui
kalau dirinya dikuntit orang di
belakangnya, yang
mempunyai gerakan gesit bagaikan
tupai. Perbu-
kitan yang memanjang dekat
daerah yang sudah
termasuk wilayah utara,
didaratan pulau Jawa
itu, tampak memutih dan agak
kehijauan. Itulah
Pegunungan Kapur Utara. Yang
pada bagian
hampir di ujung dari perbukitan
itu ada terdapat
sebuah gunung, yang bernama
Gunung Butak.
Sedangkan di sebelah Utara
Gunung Butak agak
ke pesisir pantai berdiri tegak
Gunung Lasem.
Yang agak lebih tinggi sedikit
dari Gunung Butak.
Disekitar daerah Gunung Butak
itulah ki-
sah ini terjadi. Tumenggung
Harya Anabrang baru
saja kembali dari Pamotan,
setelah menemui seo-
rang Demang yaitu, Cendak Kagil.
Untuk mengu-
rus sesuatu yang berkenaan
dengan tugasnya.
Sudah lebih dari dua bulan ia
berada di Slukan,
daerah pesisir pantai Utara
Pulau Jawa. Daerah
yang rawan itu ternyata telah
dijadikan sarang
perampok, yang mencari untung di
perairan. Te-
rutama yang menjadi incarannya
adalah kapal-
kapal dari Tuban yang melewati
perairan dekat
Gunung Lasem.
Tumenggung Harya Anabrang
bukanlah
orang sembarangan. Karena
disamping ia menjadi
abdi Kerajaan. Iapun seorang
yang berkepandaian
tinggi. Tak heran kalau dalam
waktu singkat telah
berhasil menumpas, dan membuat
kocar-kacir
para perampok laut di sarangnya
itu. Pengejaran
pada para penjahat itu berakhir
di Gunung La-
sem. Yang walaupun tidak
semuanya dapat ter-
tumpas, namun dapat dikatakan
berhasil dengan
menggembirakan. Iring-iringan
para tawanan dan
harta hasil rampasan itu sampai
di Pamotan.
Yang selanjutnya adalah urusan
Demang Pamo-
tan yaitu Cendak Ragil, untuk
mengirim berita ke
Kadipaten. Memang ia ada
mendengar berita
adanya sisa-sisa perampok laut
itu yang melari-
kan diri sampai ke Gunung Butak,
di perbukitan
pegunungan Kapur Utara itu.
Namun berita tidak
resmi itu tidaklah membuat
Tumenggung Harya
Anabrang, terkejut. Karena
sisa-sisa perampok
laut itu seandainya berita itu
benar, tidak begitu
dirisaukan. Karena tidak lagi
membahayakan.
Menurut perkiraannya paling
hanya tinggal bebe-
rapa gelintir manusia saja.
Itupun hanyalah kero-
co-keroconya saja. Karena
beberapa pentolan-
pentolan dari mereka telah dapat
tertumpas, dan
tertawan. Hasil yang memuaskan
itu juga berha-
silnya ia menyita sebuah kapal
dagang. Namun
dapat diketahui kapal tersebut
milik saudagar di
Tuban. Dan dengan mengirim
orang-orangnya, ia
mengembalikan kapal tersebut ke
Tuban. Serta
tak lupa ia menyertakan tanda
bukti dirinya pada
Bupati Tuban. Tak heran bila
Tumenggung Harya
Anabrang mempunyai nama harum
yang tersebar
ke tiap pelosok daerah utara
itu. Hubungan baik
dari para Bupati dan hartawan
membuat ia sering
mendapat upeti yang tidak
sedikit. Hingga dis-
amping sebagai Tumenggung
Kerajaan yang ber-
tugas di daerah utara itu, ia
juga seorang bang-
sawan yang kaya raya. Sebuah
gedung besar telah
ia bangun di Sulang. Dengan
menempatkan bebe-
rapa orang orangnya. Ia memang
belum berniat
menemui Bupati Jaga Raksa di
Kudus. Pengem-
balian para prajurit atau
tamtama, serta urusan
para tawanan, juga mengenai
harta rampasan, ia
serahkan pada seorang perwira
Kerajaan. Yang ia
tugaskan sebagai wakil untuk
menghadapi Bupa-
ti....
Demikianlah... Setelah menginap
dua hari
di Pamotan. Tumenggung Harya
Anabrang be-
rangkat dengan kudanya menuju
Sulang tempat
tinggalnya, dengan membawa serta
dua orang
tamtama. Akan tetapi ditengah
perjalanan telah
bertemu dengan seorang pembawa
berita. Yaitu
anak buahnya, yang justru memang
akan mene-
muinya. Berita yang datang dari
Sulang itu tentu
saja membuatnya jadi terkejut.
Tak ada berita
lain yang lebih mengejutkan
selain berita tentang
diculiknya anak gadisnya, yang
bernama Sawitri.
Sawitri memang bukan anak
kandungnya.
Karena ia menikah dengan seorang
janda, yang
membawa seorang bayi perempuan
tujuh belas
tahun yang lalu. Namun untuk
menghindari hal-
hal yang tak diinginkan.
Istrinya telah menitipkan
sang bayi pada seorang Kliwu, di
sebuah desa
yang tak jauh dari Sulang. Dan
hal itu terjadi se-
tahun yang lalu, sejak
kepindahannya dari Amba-
rawa, dan menetap didaerah
pegunungan Kapur
utara ini, berkenaan dengan
tugasnya. Sebenar-
nya bukanlah keinginannya untuk
memisahkan si
jabang bayi yang baru berumur
setahun itu da-
rinya. Melainkan keinginan
isterinya, yang
mengkhawatirkan akan ketidak
harmonisan da-
lam rumah tangga. Karena pada
saat itu, benih
yang tertanam sejak lama itu
telah menghasilkan
buah. Lahirnya seorang anak
laki-laki dari hasil
perkawinan mereka membuat sang
isteri amat re-
pot, serta mengkhawatirkan
hal-hal yang tak di
inginkan di kemudian hari.
Itulah sebabnya ia
menitipkan sang bayi yang
dibawanya untuk di-
rawat oleh seorang Kuwu di desa
Tepus. Bahkan
pak Kuwu disuruhnya menganggap
anak titipan
itu sebagai anak kandungnya
sendiri. Tentu saja
bantuan pangan dan sebagainya
selalu di cu-
kupkan, demi perawatan si jabang
bayi. Hingga
sang bayi perempuan itu kini
telah tumbuh men-
jadi seorang gadis yang cantik
seperti ibunya.
Tentu saja anak kandung dari
hasil perkawinan
mereka berdua pun telah seusia
dengan anak ga-
dis yang dititipkan itu. Jejaka
muda kebanggaan-
nya itu diberinya nama Prasetyo.
Seorang pemuda
yang tampan dan bertubuh tegap.
Tubuh yang
tumbuh subur, seperti juga
kehidupan Tumeng-
gung Harya Anabrang yang maju
pesat. Kini ia
sudah tidak tinggal lagi di
rumah sederhana. Me-
lainkan di sebuah Gedung besar
yang boleh dika-
takan mewah. Sayang tugas dan
kewajibannya
sebagai Abdi Kerajaan, membuat
ia jarang berada
di rumah. Tugas terkadang
membuat ia sering
meninggalkan isteri dan anaknya.
Namun Harya
Anabrang adalah seorang yang
setia. Setia pada
pimpinannya, juga setia pada
keluarganya.
Mendengar berita yang
disampaikan itu
bukan kepalang terkejut dan
marahnya Harya
Anabrang. Karena menurut Punta,
penculik-
penculik itu adalah sekomplotan
penjahat yang
berada di wilayah Gunung Butak.
Komplotan ter-
selubung yang bergeraknya amat
misterius. Den-
gan geram Tumenggung Harya
Anabrang memacu
kudanya, diikuti oleh kedua
tamtama dan si pem-
bawa berita. Semak dan rintangan
diterjang, desa
demi desa telah terlewati. Empat
penunggang ku-
da itu memacu kudanya bagai
dikejar setan. Se-
lang kira-kira setanakan nasi,
tiba-tiba si pemba-
wa berita perdengarkan suitan
keras. Ia memang
berada di belakang kedua tamtama
pengawal Tu-
menggung Harya Anabrang.
Mendengar suara sui-
tan itu, sang Tumenggung segera
angkat sebelah
tangannya untuk memberi tanda
berhenti pada
kedua tamtama di belakangnya.
Dan segera ia
menghentikan kudanya. Tampak si
pembawa be-
rita segera mendatangi dengan
cepat.
"Ada apakah Punta?"
segera ia bertanya
pada si pembawa berita itu, yang
adalah seorang
laki-laki yang berusia antara
tiga puluh lima ta-
hun.
"Maaf Kanjeng Tumenggung,
apakah Kan-
jeng akan terus ke Sulang,
ataukah menuju ke
Desa Tapus...? Berita memang
berasal dari Su-
lang, tapi kejadiannya di desa
Tapus. Karena para
penculik itu ada dua
kelompok..." Bertutur Punta.
"Hah...!?" Tumenggung
Harya Anabrang,
ngangakan mulutnya dengan mata
terbeliak ter-
kejut.
"Mengapa tak kau katakan
tadi kalau para
penjahat itu juga ke
Sulang?"
"Maaf, Kanjeng
Tumenggung... hamba...
hamba sedang panik..!"
Menyahut Punta sambil
tundukkan kepalanya.
"Apakah yang terjadi di
Sulang? Bagaimana
dengan isteriku? Dimana anakku
Prasetyo...?"
Bertanya Tumenggung Harya
Anabrang dengan
wajah pucat pasi.
"Menurut kabar. Den
Prasetyo ada di desa
Tepus. Bahkan sejak
keberangkatan Kanjeng Tu-
menggung, Den Prasetyo sudah
berada di sana.
Cuma sekali-sekali pulang ke
Sulang. Berita itu
hamba dengar dari orang desa
Nagasari, yang
masih saudara angkat Pak
Kuwu...." Dengan sa-
bar Punta berikan penjelasan
satu persatu.
"Siapa orang Nagasari
itu?"
"Seseorang yang bernama
Tunggul..!" Sa-
hut Punta.
"Ada hubungan apa kau
dengan saudara
angkat pak Kuwu itu...?"
Tanya Harya Anabrang.
Dengan nada curiga pada si
pembawa berita.
Tampak wajah Punta agak marah
mendengar per-
tanyaan itu, yang seperti
menyelidiki dirinya. Se-
bagai orang kepercayaan, yang
sudah bekerja le-
bih dari 10 tahun mengabdi pada
keluarga Tu-
menggung itu, masih juga
dicurigai. Benar-benar
keterlaluan! Pikir Punta dengan
hati mengkal.
Namun tentu saja ia tak
menampakkan kemang-
kelan hatinya itu pada
junjungannya.
"Maaf Kanjeng Tumenggung...
harap Kan-
jeng mengerti akan kedudukan
hamba, yang
hanya sebagai abdi dalem pada
keluarga Kanjeng
Tumenggung. Tunggul telah
memberikan infor-
masi mengenai keadaan di Sulang
dan desa Te-
pus, adalah karena ia mengetahui
hamba sebagai
orang kepercayaan Tumenggung.
Mengenai hu-
bungan hamba, apakah hamba harus
ceritakan
juga..?" Tampaknya wajah
Punta agak berubah.
Namun ia sudah lanjutkan
kata-katanya. "Mung-
kin Ndoro Putri lebih mengetahui
siapa adanya
Tunggul.... Hamba benar-benar
tak mau meli-
batkan diri pada urusan rumah
tangga orang lain.
Tunggul cuma menceritakan
tentang hubungan
Sawitri dengan Den Prasetyo,
lain tidak...!" Tam-
pak wajah Tumenggung Harya
Anabrang sebentar
pucat, sebentar merah. Namun
penuturan Punta
itu, telah berhasil mengorek
sedikit keterangan
yang cukup berarti.
"Bagaimana dengan keadaan
di Sulang?
Apakah ada terjadi
sesuatu....?" Bertanya lagi
Harya Anabrang, mengulang
pertanyaan yang ta-
di.
"Beribu maaf, Kanjeng
Tumenggung...
hamba tak dapat menceritakan apa
yang hamba
tidak ketahui...." Menyahut
Punta. Selang sesaat
setelah Harya Anabrang termangu,
tampak laki-
laki yang berumur sudah lima
puluh tahun, na-
mun masih tampak gagah itu
manggut-manggut
sambil perdengarkan suara helaan
napas. Wajah-
nya tiba-tiba tampilkan senyum,
dan mendekati
Punta.
"Hm... Baiklah Punta..!
Terimakasih atas
beritamu. Aku percaya kau adalah
seorang abdi
setiaku, yang telah lama bekerja
mengabdi diri
pada keluargaku. Aku sudah
mendengar berita
kau baru saja dikaruniai seorang
anak kudengar
kabar itu sebelum
keberangkatanku dua bulan
yang lalu, betulkah...?"
"Ah.... Benar
Kanjeng..." Punta jadi tersipu
ketika sekonyong-konyong
Junjungannya mena-
nyakan hal yang di luar urusan
itu. Walaupun
agak heran dengan pertanyaan
yang di luar du-
gaan itu, namun diam-diam Punta
memuji sang
majikan yang dalam suasana
tegang itu masih bi-
sa menguasai diri.
"Oh, ya... aku mengucapkan
selamat..!"
Tumenggung Harya Anabrang
berkata sambil me-
nepuk-nepuk pundak Punta.
"Terimakasih
Kanjeng...!" Berucap Punta
dengan wajah berseri. Tiba-tiba
sang Tumenggung
merogoh saku bajunya,
mengeluarkan sebuah ko-
tak kecil yang panjangnya
kira-kira sejengkal,
dengan lebar sepanjang jari
telunjuk, setebal dua
jari tangan. Tampak dengan
tersenyum ia mem-
buka kotak kecil itu, serta
menarik keluar isinya.
Seuntai kalung rantai dari emas
yang gemerlapan
terkena sinar matahari.
Terbeliak mata Punta
mendengar kata-kata
Junjungannya.
"Ambillah ini untuk
isterimu, sebagai tanda
dari suka citanya hatiku."
"Ah... hamba tak berani
menerimanya Kan-
jeng Gusti." Berkata Punta
dengan suara gemetar,
namun dengan hati
bertanya-tanya, mimpi apa-
kah gerangan ia semalam, hingga
hari itu ditawari
hadiah yang ia belum pernah
memakaikannya
pada isterinya?
"Ambillah Punta, aku belum
pernah mem-
berikan apa-apa buatmu, seperti
kau ketahui aku
terlalu banyak urusan. Hingga
lupa mengingat
akan seorang abdiku yang setia!
Namun jarang
mendapat perhatian dariku.
Ayo... Punta, ambil-
lah..!"
Terpaksa Punta menerima benda
itu den-
gan tangan gemetar. Belum sempat
ia mengu-
capkan terimakasih, sudah
berkata lagi Tumeng-
gung Harya Anabrang. Yang
setelah menutup ko-
tak perhiasan, dengan cepat
telah mengeluarkan
sebuah buntalan kecil, yang
sambil membuka
ikatannya ia sudah berkata
duluan.
"Dan ini untukmu."
Seraya tak lama ke-
mudian ia telah memberikan pada
Punta bebera-
pa keping uang perak.
"Ah... terimakasih Kanjeng
Gusti..!" Punta
menerimanya dengan wajah
berseri. Dan segera
membenahinya ke dalam saku
bajunya. Setelah
merenung sejenak, Tumenggung
Harya Anabrang
berkata :
"Aku telah mengambil
keputusan untuk
pergi ke desa Tepus terlebih
dulu. Bukankah kau
mengatakan anakku Prasetyo
berada disana dan
Sawitri diculik"
"Benar Kanjeng
Gusti...!" Menyahut Punta
dengan segera. Sekali lagi ia
memuji dalam hati
akan pribadi Junjungannya, yang
lebih memen-
tingkan keselamatan anak
gadisnya yang diculik
itu. Walaupun Punta mengetahui
kalau Sawitri
bukanlah anak hasil dari
perkawinannya.
"Nah, pulanglah kau ke
Sulang dengan se-
gera. Sampaikan berita pada
Ndoromu bahwa aku
ke desa Tepus, menyusul Sawitri
dan Prasetyo.
Mudah-mudahan tak ada kejadian
apa-apa dis-
ana! Cepatlah berangkat"
Perintah Harya Ana-
brang.
"Daulat Kanjeng Gusti,
hamba berang-
kat...!" Dan setelah
berkata demikian, Punta pu-
tar kudanya untuk segera dipacu
dengan cepat.
Detik berikutnya ia sudah
berangkat pergi me-
ninggalkan tempat itu.
Sejurus antaranya Tumenggung
Harya
Anabrang berpaling pada kedua
tamtama, yang
masih terpaku ditempat itu
menunggu perintah
selanjutnya.
"Tadinya aku mau mengajak
kalian berse-
nang-senang dirumah kediamanku,
eh, apa mau
keadaan jadi begini. Di Sulang
pun aku tak tahu
ada kejadian apa. Makanya aku
terpaksa batal-
kan untuk mengajak kalian. Kini
kupersilahkan
kalian kembali saja ke Pamotan.
Bergabung den-
gan yang lainnya, atau kalau
semua pasukan su-
dah berangkat, kalian dapat
segera menyusul ke
Kadipaten. Aku akan segera
kesana setelah sele-
sai mengurus persoalan
ini!"
"Daulat Kanjeng Tumenggung,
namun apa-
kah anda tidak memerlukan
bantuan kami untuk
menangkap, atau menumpas
penculik-penculik
itu?" Berkata salah seorang
dari tamtama itu.
"Apa yang kurasa baik,
mungkin baik bagi-
ku dan bagi kalian.
Berangkatlah. Biar aku men-
gurus sendiri persoalanku, dan
terimakasih atas
kesediaanmu..!" Menyahuti
Tumenggung Harya
Anabrang, seraya memberikan dua
genggam uang
perak hasil rampasannya dari
perampok-
perampok laut itu, pada kedua
tamtama. Yang
serta merta menerimanya dengan
mengucapkan
terimakasih.
"Baiklah Kanjeng
Tumenggung, hamba be-
rangkat...!" Kedua tamtama
segera memberi hor-
mat, yang dibalas dengan
anggukan kepala. Sege-
ra tak lama kemudian kedua
tamtama segera ke-
prak kudanya, yang segera mencongklang cepat
meninggalkan tempat itu.
Tumenggung tatap
punggung kedua anak buahnya yang
semakin
jauh. Dan saat berikutnya ia pun
sudah hentak-
kan kaki keperut kuda, dan
memacu cepat menu-
ju kedesa Tepus.
***
"Bodoh...! Sudah kukatakan
jangan mem-
bunuh...! Perintah tetaplah
perintah yang harus
dijalankan! Tahukah kau, bahwa
mereka adalah
orang-orang desa yang tak
berkepandaian apa-
apa...!" Terdengar satu
suara santar menggeledek
karena marah. Sementara seorang
laki-laki berto-
peng hitam, juga pakaian yang
seluruhnya serba
hitam itu, tertunduk di hadapan
seseorang yang
memakai jubah serba hitam dengan
sebuah tong-
kat berkepala tengkorak
tergenggam ditangannya.
2
RUANGAN GOA itu cukup luas...
dengan
diterangi api-api obor di
beberapa penjuru. Si
pembicara itupun memakai topeng
serupa. Hanya
bedanya topeng yang dipakainya
itu berujung
lancip seperti ujung kukusan
penanak nasi.
"Maaf Ketua...! Kami memang
tidak saling
mengenal selagi bertugas...
Pembunuhan berasal
dari salah seorang kawan
disebelah kami. Kami
segera mengenalinya karena ia
membuka topeng
wajahnya. Dia adalah
Tunggul..." Tutur orang ber-
topeng yang duduk bersimpuh di
hadapan si
orang berjubah hitam yang
memegang tongkat
berkepala tengkorak itu. Dan
lanjutnya.
"Menurut apa yang hamba dengar ia tak
sengaja membunuh, karena yang
terbunuh itu ju-
stru orang yang dikenalnya.
Namun orang-orang
desa telah mengetahui siapa
dirinya, karena ia
lupa mengenakan lagi topengnya.
Karena takut
rahasianya terbongkar, dan demi
nama baiknya,
ia terpaksa berbuat tak kepalang
tanggung dan
membantai semua para penyerbu
itu. Penjelasan-
nya terpotong oleh bentakan sang
ketua. "Hah!
Kesalahan satu orang berarti
kesalahan semua!
Aku tak mau tahu alasan-alasan
yang kau kemu-
kakan. Hm, buka topengmu kalau
bicara dengan-
ku!"
"Maaf Ketua... hamba
Pragola..!" Berkata
laki-laki bertopeng ini sambil
membuka topeng
yang dikenakannya. Ternyata ia
seorang laki-laki
yang masih muda. Rambutnya
keriting, dengan
wajah tanpa kumis dan jenggot.
"Nah teruskan
penuturanmu..!" Sang ketua
sudah perintah untuk bicara
lagi. Dan si rambut
keriting Pragola segera teruskan
penuturannya.
"Tak dinyana Tunggul
berbalik menyerang
kami, hamba pun baru tahu ia
berilmu tinggi.
Semua kawan-kawan habis
dibantai, dan gadis
bernama Sawitri itu dibawa
kabur, hanya hamba
seorang yang dapat menyelamatkan
diri terhindar
dari maut." Demikianlah,
Pragola mengakhiri pe-
nuturannya setelah
memberitahukan tentang di-
mana adanya Tunggul
menyembunyikan gadis
Sawitri dan seorang pemuda putus
kaki yang te-
lah ditolong oleh Tunggul.
"Hah..!? Jadi demikian
adanya..!" Berteriak
kaget sang ketua. Tiba-tiba ia
telah bertepuk tan-
gan dua kali. Dan tampak dua
orang pengawal
yang juga berpakaian dan
bertopeng hitam, ber-
gegas menghampiri.
"Panggil mata-mata itu
suruh mengha-
dap..!" Ujarnya. Yang
segera keduanya melompat
pergi keluar goa. Tak berapa
lama kemudian telah
kembali lagi dengan membawa
seorang tinggi ku-
rus, mirip orang desa, yang
segera bersimpuh di
hadapan sang Ketua. Yang segera
ajukan perta-
nyaan pada orang itu.
"Kau katakan yang terbunuh
semua adalah
dari pihak para penyerbu, yang
kesemuanya
orang desa penduduk Desa Tepus.
Tapi kenya-
taannya enam orang dari pihak
kita telah tewas...
Apakah beritamu benar...?"
Tentu saja si mata-
mata jadi terkejut, karena ia
melihat sendiri,
bahwa tak ada seorangpun mayat
yang bergeli-
mangan itu yang berpakaian dan
bertopeng serba
hitam. Segera ia jelaskan apa
yang dilihatnya tadi
pada sang Ketua. Tampak si Ketua
itu termenung
sesaat. Tiba-tiba terdengar
desisnya yang penuh
kemarahan... Dan tongkatnya
berkepala tengko-
rak itu terlihat dihentakannya
ke batu.
"Kurang ajar...! Pasti
telah ada seseorang
yang telah mencopoti semua
pakaian dan topeng
orang-orang kita..!"
Teriaknya geram. Terkejut
semua yang ada disitu. Hanya
sejenak mereka
terperanjat. Karena sang ketua
segera perintah-
kan si mata-mata untuk kembali
keluar... Segera
kedua pengawal itu membawa
kembali si mata-
mata keluar dari ruangan goa
itu. Dan sesaat te-
lah kembali lagi ketempat tadi
mereka berdiri.
"Hm, Pragola, silahkan kau
tinggalkan aku,
berjaga-jagalah akan adanya
kemungkinan yang
di luar dugaan. Sarang kita
telah dimasuki penja-
hat yang mungkin masih ada
diantara kita yang
berkhianat!" Perintah sang
Ketua dengan tegas.
Dan lanjutnya.
"Hari ini bila terjadi
sesuatu kejanggalan,
segera beri laporan
padaku...!"
"Siap Ketua! Tapi bagaimana
dengan gadis
bernama Sawitri yang dibawa lari
si Tunggul
itu...?" Tampaknya sang
Ketua terdiam sejenak.
Lalu ujarnya.
"Hmm... mereka tidak akan
lari jauh. Biar
aku yang akan mengurungi anak
gadis si Tu-
menggung itu berikut si Tunggul
pengkhianat!"
Pragola anggukkan kepalanya, dan
setelah kem-
bali menutup topeng wajahnya,
iapun beranjak
keluar dari ruangan itu. Tak
lama sepeninggal
Pragola, sang Ketua kembali
tepukkan tangan
dua kali, yang selanjutnya kedua
pengawal itu se-
gera dengan cepat menghampiri.
Entah apa yang
diperintahkan. Karena sesaat
ketika kedua pen-
gawal itu pergi, telah kembali
lagi dengan menye-
ret seorang gadis, yang baru
saja di keluarkan da-
ri dalam kerangkeng. Mata sang
ketua tampak ke-
luarkan sinar berkilat menatap
gadis dihadapan-
nya. Sebelah lengannya segera
bergerak memberi
tanda. Dan ia sendiri telah
melangkah memasuki
sebuah lorong yang ada selarik
undakan yang
menuju keatas. Segera kedua
pengawal menyeret
si gadis tawanan itu untuk
mengikuti sang Ketua.
Tentu saja gadis itu
meronta-ronta dengan berte-
riak teriak.
"Tidak!?... Tidaaak!
Lepaskan aku... lepas-
kaaaaan...!" Teriaknya.
Namun apa artinya ron-
taan itu, karena tenaga kedua
pengawal itu amat
kuat dan dengan segera ia sudah
diseret keatas,
melalui undakan batu di lorong
tersebut. Semen-
tara tanpa diketahui oleh
pengawal-pengawal
lainnya yang berada disetiap
sudut ruangan goa
itu, sepasang mata tampak
mengintip dari celah
batu, didinding goa. Sepasang
mata yang menam-
pakkan sinar kemarahan. Sementara teriakan-
teriakan di ruangan atas terus
terdengar. Dan tak
berapa lama antaranya, kedua
pengawal tadi te-
lah tampak menuruni tangga batu
itu, yang ke-
mudian kembali berjaga di tempat
semula.
***
Sepasang mata itu tiba-tiba
lenyap, dari
lubang kecil pada dinding goa
itu. Sesosok tubuh
dengan gerakan lincah tampak
menyelinap dari
batu ke batu di lereng bukit
itu... lalu berhenti di
tempat yang tersembunyi.
Terdengar suara desi-
san dari mulutnya
"Komplotan Siluman Hitam itu
bersarang di Gunung Butak ini rupanya. Heh!
Benar-benar biadab..!"
"Roro...!" Satu suara
terdengar di bela-
kangnya dengan teriakan halus
yang tidak begitu
keras. Segera ia menoleh. Sebuah
kepala tersem-
bul dari balik sebongkah batu
besar. Ia jadi terke-
jut melihatnya, dan cepat
melompat kesana.
"Kak Sentanu... kau
menyusul kemari?
Aiii... berbahaya..!"
Berkata ia dengan suara per-
lahan. Sedang yang ditatap cuma
tersenyum.
"Aku mengkhawatirkan
keselamatanmu, is-
triku..." Menyahuti
laki-laki tampan yang berku-
mis kecil dihadapannya. Ternyata
mereka adalah
sepasang suami istri, yang amat
saling mencinta.
"Ah, kak Sentanu... Aku
Cuma menyelidik
saja, tanpa bertindak apa-apa,
tapi senang juga
kau datang, suamiku..."
Ucap wanita muda yang
cantik berbaju merah itu sambil
menggelendot
manja. Dan.... Cup! Sebuah
ciuman di pipi ia be-
rikan pada sang suami. Kiranya
wanita itu tak
lain dari Roro Dampit.
Perkawinan mereka baru
berlangsung beberapa bulan,
tentu saja sepasang
sejoli itu masih berbulan madu.
Sebentar saja ke-
dua insan itu sudah berpelukan
erat di balik batu
tanpa menyadari kalau mereka
berada ditempat
yang berbahaya.
"Kau kangen sepekan tak
bertemu!"
"Tentu saja...!"
"Kau cuma balas kecup
pipiku saja, tidak
bibirku!"
"Kau mau...?"
"Hmmm... hhhmmm..."
Dan selanjutnya cuma suara nafas
saja
yang terdengar saling pacu
disertai keluhan-
keluhan manja penuh nikmat.
Dunia saat itu cu-
ma milik mereka berdua. Selang
sesaat...
"Eh..? Buntalan apa yang
kau sembunyi-
kan dibelakangmu...?"
Bertanya Roro Dampit.
Agaknya ia baru menyadari kalau
di belakang
punggung suaminya ada tergeletak
sebuah bunta-
lan kain berwarna hitam.
"Sssst..! Nanti aku
ceritakan, ayo kita ting-
galkan tempat berbahaya ini! Dan
saat berikutnya
sepasang sejoli itu dengan
berindap-indap berke-
lebat dari batu ke batu, dan
dari semak-ke semak
menuruni lereng perbukitan
Kapur. Sementara
Gunung Butak di belakangnya
tegak berdiri den-
gan segala kemisteriusannya.
Dua ekor kuda ditempat yang
tersembunyi
dibawah bukit itu masih berada
di sana dengan
aman. Tampak kedua sejoli itu
segera mendekati
dan dengan sebat telah
mencemplak kudanya
masing-masing.
"Ayo, Antasena... kita
berangkat pulang..!"
Berkata Sentanu pada kuda hitam
kesayangan-
nya. Sedangkan Roro Dampit telah
berada di
punggung kuda putihnya,
pemberian Roro Centil
si Pendekar Wanita Pantai
Selatan. Saat berikut-
nya kedua kuda putih dan hitam
itu telah dipacu
cepat untuk segera tinggalkan
tempat itu. Namun
sepasang mata yang bersinar
telah mengetahui
adanya kedua sejoli yang menyelundup,
dan be-
rangkat pergi dengan kedua kuda
itu.
***
Sepasang mata yang terpancar,
dari se-
buah lubang menganga di dinding
Gunung Butak
itu. Itulah sepasang mata dari
si ketua dari kom-
plotan "Siluman
Hitam". Sebuah komplotan terse-
lubung yang misterius. Lorong
dari bawah goa di
sisi Gunung itu ternyata
menembus sampai kea-
tas, kira-kira tiga ratus
undakan dari batu. Ter-
nyata di sana ada lagi sebuah
ruang, dengan be-
berapa lubang jendela di celah
dinding Gunung.
Gadis itu tampak berdiri dengan
tangan dan kaki
terpentang, terikat oleh rantai,
yang menempel di
dinding ruangan. Kedua pengawal
tadi baru saja
turun kembali melalui undakan
batu itu. Sang
Ketua tampak mendekati gadis itu
yang perli-
hatkan wajah ketakutan. Seluruh
tubuhnya telah
bercucuran dengan peluh,
sementara lengan dan
kakinya meronta-ronta berusaha
melepaskan diri
dari belenggu rantai itu. Namun
semua itu tak be-
rarti apa-apa... Akhirnya gadis
itu cuma pasrah
dengan nasib apa yang akan
menimpanya.
Bret! Bret! Bret!
"Aaaahh..!? Aaauuuu..!
Aaaauuuu...!" Ga-
dis itu perdengarkan
teriakannya, ketika lengan
sang ketua telah mencabik dan
merobek seluruh
pakaiannya.
Dalam keadaan demikian itu,
sepasang
lengan segera saja merayapi
lehernya. Ia cuma be-
lalakan matanya saja, yang
kemudian terpejam...
betapa takutnya ia melihat wajah
berselubung to-
peng hitam dihadapannya. Ia
sudah tak kuasa
menanti akan apa yang bakal
terjadi. Namun
sang ketua sudah kembali
melangkah kesisi dind-
ing. Dicelah batu terlihat
sebuah besi hitam, yang
panjangnya dan besarnya sebesar
lengan manu-
sia. Tampak lengan sang Ketua
mencekal benda
itu dan menggerakkannya kebawah.
Tiba-tiba si
gadis buka kedua matanya dengan
terbelalak, ka-
rena batu disebelah sisi dekat
kakinya tiba-tiba
bergeser terbuka, sebuah lubang
segera mengan-
ga. Yang kemudian terasa hawa
panas keluar dari
dalam lubang itu. Itulah hawa
dari kobaran api
yang berasal dari bawah lubang.
Keringat segera
saja mengucur kian deras ke
sekujur tubuhnya.
Gadis itu terkulai lemah, dan
makin lemah... se-
lanjutnya ia sudah tak sadarkan
diri lagi. Saat se-
lanjutnya sang ketua telah
melangkah lagi keluar
ruangan. Sebuah besi sepanjang
lengan, kembali
ia gerakkan. Dan terdengar suara
gemuruh dari
sebuah pintu batu yang bergeser
dan menutup
ruangan itu, memisahkan dirinya
dari ruangan
itu yang segera tertutup rapat.
Saat berikutnya sang Ketua
segera beran-
jak pergi menuruni kembali anak
tangga atau un-
dakan dari batu itu, dan kembali
ke ruangan se-
mula. Kembali ia bertepuk tangan
dua kali. Dan
dua pengawal segera datang
kehadapannya.
"Perintahkan untuk bunyikan
tanda. Bah-
wa upacara pengorbanan pada Dewa
Api tengah
berlangsung..." Kedua
pengawal mengangguk, dan
segera berangkat pergi. Tak
berapa lama kemu-
dian terdengar suara mengaum
panjang dari atas
Gunung Butak yang terdengar jauh
sampai ke se-
kitar tempat itu. Itulah tanda
dari berlangsung-
nya upacara Korban persembahan
untuk Dewa
Api. Yang di anut oleh para
komplotan "Siluman
Hitam".
3
TUMENGGUNG HARYA ANABRANG mema-
suki desa Magasari. Para
penduduk tampak ber-
larian keluar mendengar derap
langkah kuda di
jalan desa. Segera saja
seseorang telah datang
menyambut kedatangannya.
"Selamat datang Ndoro Gusti
Tumeng-
gung... hamba Kilaras Podang,
Carik desa. Silah-
kan ke pondok hamba..!"
Berkata laki-laki yang
sudah menginjak usia tua itu.
Pakaiannya dari
batik lurik bergaris-garis
hitam. Memakai celana
pangsi biru dengan sarung yang
berbelit pada
pinggangnya. Sebuah blangkon
batik melekat di
kepalanya. Tumenggung Harya
Anabrang tanpa
berkata sepatah kata cuma
anggukkan kepala,
dan mengikuti laki-laki Carik
desa itu. Sementara
beberapa penduduk sudah saling
bisik-bisik, me-
lihat kedatangannya, yang segera
memberi peng-
hormatan ketika sang Tumenggung
lewat. Wajah
para penduduk yang tadinya sudah
berseri gem-
bira itu, mendadak lenyap lagi
cahaya cerah pada
wajahnya, ketika mengetahui
Tumenggung hanya
datang seorang diri, tanpa
pasukan. Selang sesaat
tampak Tumenggung Harya Anabrang
berbin-
cang-bincang dengan Carik
Kilaras Podang di ru-
mahnya. Namun tidak terlalu
lama, sang Tu-
menggung kembali keluar dan
melompat lagi ke
atas kudanya. Serta memacunya
cepat ke arah
timur dengan dipandangi pasang
mata penduduk
desa Nagasari. Mereka pun tahu
kalau sang Tu-
menggung tengah menuju ke desa
Tepus. Harya
Anabrang memacu kudanya dengan
cepat. Penje-
lasan yang datang dari Carik
desa Nagasari men-
guatkan dugaan pada orang bernama
Tunggul tu-
rut terlibat perkara penculikan
anak gadisnya.
Bukan saja anak gadis bernama
Sawitri itu saja
yang membuat ia amat khawatir.
Tapi juga kese-
lamatan anak kandungnya sendiri,
yaitu Prasetyo.
Namun apa yang dijumpainya di
desa Tepus ada-
lah hal yang di luar dugaan
karena dirumah tem-
pat kediaman pak Kuwu banyak
orang berkeru-
mun. Ia keprak kudanya dengan
cepat untuk me-
nuju ke sana. Kerumunan orang,
disertai suara
tangis yang amat memilukan itu
benar-benar
membuat hatinya terpukul. Karena
beberapa
mayat tertutup tikar telah
berjejer didepan rumah
pak Kuwu. Dengan wajah pucat
pias ia menero-
bos, menyeruak dari kerumunan
orang-orang de-
sa, yang segera memberinya
jalan, begitu menge-
tahui akan kedatangan Tumenggung
Harya Ana-
brang. Satu persatu tikar
penutup mayat segera
dibuka. Tersentak ia melihat
mayat pak Kuwu
ada diantaranya. Bahkan Mbok
Kuwu tengah me-
nangis disisi jenazah suaminya.
Paniklah ia seke-
tika.
"Apakah yang terjadi.. ?!
Apa yang telah
terjadi...! Dimana Sawitri!
Dimana anakku Pra-
setyo...?!" Berteriak
Tumenggung dengan mata
memancar tajam, menyapu pada
semua pendu-
duk yang berada ditempat itu.
Namun semua ter-
diam sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Mere-
ka tak ada yang mengetahui dimana
anakku...?
Gila! Sentak hati Tumenggung.
Tiba-tiba ia sudah
berkata lagi dengan nada santar.
"Siapa diantara kalian yang
mengetahui
dimana adanya Tunggul..!?"
Apakah kalian juga
tidak mengetahui...?!"
Namun jawabannya hanya-
lah gelengan kepala. Semua yang
tertatap ma-
tanya oleh sang Tumenggung terus
menunduk.
Suasana tiba-tiba menjadi
hening. Harya Ana-
brang terdiam beberapa saat,
lalu katanya dengan
nada suara yang mengendur.
"Baiklah! Kini ceritakanlah
apa yang telah
terjadi...! Kemana
penculik-penculik itu mela-
rikan diri..!" Kembali
matanya mengitari orang-
orang disekelilingnya. Mereka
mulai kasak kusuk,
rupanya tak ada yang berani
bicara, atau men-
gantarkan sang Tumenggung ke
arah perginya
sang penculik-penculik itu.
Namun pada saat itu
seseorang di ujung kerumunan
orang-orang desa,
tampak memberi isyarat dengan
gerakan tangan.
Segera saja ia bergerak untuk
mengikuti orang
itu, yang tanpa menunggu
kedatangannya, telah
mendahului bergerak dengan
langkah cepat. Ter-
paksa sang Tumenggung tinggalkan
kudanya dan
bergerak cepat untuk terus
menyusul si pemberi
isyarat. Dengan penasaran sang
Tumenggung te-
rus mengikuti orang itu, yang
setelah melewati
beberapa tombak, tampak si
pemberi isyarat
menghentikan larinya, untuk
menunggu kedatan-
gannya. Dari jauh ia sudah dapat
menebak orang
pemberi isyarat itu, seorang
wanita. Walaupun ia
memakai topi capil atau tudung kepala, untuk
membungkus rambutnya. Dan benar
saja. Ia se-
gera dapat melihat adanya
seorang wanita muda,
yang boleh dikatakan seorang
gadis cantik telah
berdiri dihadapannya. Siapa lagi
gadis cantik itu
kalau bukan Roro Centil adanya.
"Aku dapat memberikan
sedikit informasi,
yang mungkin berguna buat
anda..!" Berkata Roro
mendahului. Sambil jatuhkan pantatnya
untuk
duduk di atas sebuah batu yang
segera diikuti
oleh Tumenggung Harya Anabrang,
yang segera
menggeser sebuah batu agak
besar, untuk duduk
berhadapan dengannya.
"Boleh aku mengetahui siapa
anda nona...
?" Bertanya Harya Anabrang
dengan menatap ta-
jam orang dihadapannya.
"Mengapa tidak..? Aku boleh
anda panggil
dengan nama Roro...Centil!"
Menyahut Roro den-
gan mata menatap jauh ke atas
bukit Kapur di-
hadapannya. Tampak Tumenggung
Harya Ana-
brang manggut-manggut. Namun
tiba-tiba sepa-
sang alisnya yang hampir separoh
memutih itu
bergerak ke atas, ketika ia
mengernyitkan da-
hinya... seraya berkata,
"Hah...? Apakah aku ber-
hadapan dengan Pendekar Wanita
Pantai Sela-
tan?"
"Ahh... itu hanya julukan
dari orang, orang
yang terlalu menyanjung
namaku!" Berkata Roro
Centil merendah. Memang
sebenarnya ia sendiri
agak heran, mengapa banyak orang
mengenal
nama julukan yang diberikan
orang padanya itu?
Namun Tumenggung Harya Anabrang
sudah lan-
tas menjura memberi hormat,
seraya katanya lagi.
"Oh, beruntung sekali aku
dapat berkena-
lan dengan anda, nona Pendekar.
Nama anda
yang harum, yang telah banyak
menumpas tokoh-
tokoh jahat pengganggu keamanan,
telah tersiar
di daerah pesisir Utara. Jangan-jangan
yang telah
turut menumpas para pembajak si
Slukan adalah
anda?!"
"Ah... bantuan sekecil itu,
mana berani aku
menyombongkan diri di hadapan
seorang Tu-
menggung yang hebat, dan berilmu
tinggi seperti
anda?" Berkata Roro Centil
sambil balas menjura.
"Hebat! Tak dinyana
Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan, bukan saja seorang
yang berilmu
tinggi, namun juga seorang yang
amat rendah ha-
ti dan ternyata adalah seorang
gadis yang masih
muda dan cantik!" Memuji
Harya Anabrang. Dipu-
ji sedemikian rupa Roro Centil
jadi merah wajah-
nya. Namun hanya sesaat, karena
wajahnya kem-
bali telah serius, untuk segera
mulai mencerita-
kan apa yang sebenarnya telah
terjadi. Dengan
mengawalinya dari kisah dirinya
hingga sampai
ketempat itu, dan dapat
mengetahui adanya
komplotan "Siluman
Hitam" yang menjadi momok
di desa sekitarnya.
***
Kiranya setelah beberapa bulan
ia berguru
pada si paderi Jayeng Rana asal
Nepal, di lereng
Gunung Wilis... Roro berangkat
seorang diri den-
gan tujuan ke Tuban.
Perpisahannya dengan pa-
deri Jayeng Rana amat
mengharukan, karena pa-
deri yang telah berusia lanjut
itu merencanakan
akan kembali ke Nepal. Namun ia
telah merasa
puas dapat mewariskan sedikit
ilmu kedigjayaan,
dan ilmu ketabiban pada sang
Pendekar Wanita
Pantai Selatan, Roro Centil.
Biara Welas Asih ru-
panya harus punah, karena tak
adanya lagi pene-
rus yang dapat meneruskan
cita-citanya di pulau
Kelapa yang subur makmur itu.
Dan sudah tentu
Gurnam Singh pun sudah kembali
ke pesisir pan-
tai selatan Pulau atau Pulau
Jawa, karena disana
tempat kediaman anak dan
isterinya.
Adapun Joko Sangit, hanya
sebulan berada
disitu, karena ia kurang penuju
dengan ilmu ke-
tabiban sang Paderi. Dan ia
berangkat ke Tuban
terlebih dulu. Demikianlah, Roro
Centil tetap ber-
diam di lereng Gunung Wilis
menunggu sampai
selesai ia menamatkan ilmu-ilmu
ketabiban yang
di pelajarinya, dan berjanji
akan mampir ke Tu-
ban untuk menyambangi tempat
kediaman Joko
Sangit.
Joko Sangit mengajaknya pesiar
kemana-
mana, kesetiap tempat. Tuban
adalah kota pela-
buhan yang ramai. Saudagar-saudagar kaya ba-
nyak terdapat di sana. Yang
rata-rata mempunyai
kapal-kapal dagang, sampai kapal
pesiar yang in-
dah. Puas juga Roro diajak
berkeliling pulang ba-
lik sampai ke selat Madura.
Pantai dan laut
menghidupkan kenangannya kembali
ketika se-
lama tiga tahun ia berada di
pantai Selatan, di-
masa ia berguru dengan si
Manusia Aneh Pantai
Selatan.
Suatu ketika mereka menumpang
sebuah
kapal pesiar milik seorang
saudagar... Ketika me-
lewati Tanjung Awar-awar telah
diserang oleh se-
gerombolan perompak, yang
menggunakan kapal
berbendera Hitam dengan simbul
kepala tengko-
rak. Terjadilah pertarungan
seru... Ternyata di
tempat itu adalah sarang dari
pada perompak-
perompak laut yang ganas. Sudah
banyak korban
yang lenyap tanpa ada yang
kembali hidup. Ru-
panya itu adalah hari naas,
bagi sang saudagar,
yang kapalnya ditumpangi Roro...
Disaat kekaka-
cauan itu Joko sangit terpisah
dengannya. Karena
kebetulan pada saat itu tengah
terjadi juga perta-
rungan di darat, dimana
Tumenggung Harya Ana-
brang baru saja menyerbu ke
sarang perompak.
Banyak korban jiwa terjadi,
karena perompak-
perompak itu rata-rata
berkepandaian tinggi. Na-
mun berkat adanya Roro, mereka
berhasil di
tumpas, dan beberapa orang dapat
tertawan.
Dengan mempergunakan ilmu sakti
warisan Gu-
runya, Roro dapat berjalan atau
berlari di atas
air. Dan turut membantu
pertarungan didarat.
Roro Centil memang bekerja
sembunyi-sembunyi.
Gerombolan para perompak
terpukul buyar. Dan
berlarian sampai ke Gunung
Lasem. Pengejaran
terus dilakukan oleh Tumenggung
Harya Ana-
brang. Dan ia sendiri tidak
terus ikut bergerilya,
karena disamping turut serta
membantu para
prajurit Tumenggung itu, iapun
berusaha mencari
jejak Joko Sangit. Hingga ia
mengembara sampai
kepelosok-pelosok.
Hingga akhirnya ia sampai
beberapa pekan
tinggal di desa-desa. Dan
mengetahui adanya se-
kelompok Komplotan terselubung
yang membuat
resah penduduk desa sekitar
Gunung Butak.
***
Seperti telah diceritakan di
bagian depan,
ketika salah seorang dari
komplotan Siluman Hi-
tam, telah membantai para
penyerbu yang terdiri
dari para penduduk desa Tepus.
Yang mengejar
para penculik gadis, bernama
Sawitri itu. Namun
kemudian berbalik menyerang, dan
membantai
kawan kawannya sendiri. Orang
itu tak lain dari
pada Tunggul adanya ternyata
berbalik menyela-
matkan gadis Sawitri, dan
seorang yang putus
kakinya, yaitu Prasetyo.
Namun tanpa diketahuinya salah
seorang
dari ketujuh kawannya yang
dibantai itu, yang
ternyata tidak tewas, telah
menguntitnya. Yaitu
yang bernama Pragola. Saat
itulah Roro yang da-
tang terlambat hingga terjadinya
pertumpahan
darah yang tak diketahuinya itu,
berhasil mem-
buntuti Pragola. Dan dapat
mengetahui dimana
adanya Tunggul dan Sawitri serta
laki-laki yang
putus kakinya. Selanjutnya Roro
telah menguntit
Pragola hingga mengetahui dimana
adanya sarang
komplotan Siluman Hitam itu.
"Kalau yang anda cari
adalah seorang gadis
dan seorang pemuda, aku dapat
menunjukkan.
Namun mengenai benar tidaknya ia
bernama Sa-
witri dan Prasetyo, aku tak
mengetahui...!" Demi-
kianlah Roro Centil mengakhiri
penuturannya.
Tercekat hati Tumenggung Harya
Anabrang, men-
dengar Roro mengetahui jejak
disembunyikannya
seorang gadis, dan seorang
pemuda yang putus
kakinya oleh seseorang di satu
tempat. Ia sudah
dapat menduga gadis itu Sawitri
adanya. Namun
mengenai pemuda yang putus kaki itu ia masih
ragu-ragu kalau ia Prasetyo,
walaupun diam-diam
hatinya berdebar kencang. Segera
saja ia berucap.
"Terimakasih atas penuturan
anda Nona
Pendekar, baiknya sekarang saja
anda mengan-
tarku kesana. Aku ingin tahu,
siapa orang yang
telah berbalik menyelamatkan
gadis korban pen-
culikan itu, yang ternyata
adalah orang dari go-
longan komplotan Siluman Hitam
itu sendiri....!"
"Kalau begitu marilah kita
kesana..." Ber-
kata Roro, sambil segera bangkit
berdiri. Diikuti
oleh Tumenggung Harya Anabrang.
Dan beberapa
saat kemudian dua sosok tubuh
mereka, telah
berkelebatan meninggalkan tempat
itu.
4
SAWITRI menangis
tersedu-sedu, meli-
hat orang yang dikasihinya masih
tergeletak ping-
san tak sadarkan diri. Sementara
sebelah kakinya
yang putus itu dipandanginya
dengan penuh kei-
baan.
"Prasetyo... Ah,
Prasetyo... kau berkorban
demi aku. Kalau orang tuamu tak
mengizinkan
kita menikah, biarlah aku rela
pergi jauh bersa-
mamu. Asal selalu
bersamamu...". Menggumam si
gadis itu dengan air mata
bercucuran. Sementara
tangannya membelai-belai rambut
pemuda itu.
Tak berapa lama Tunggul telah
muncul lagi den-
gan membawa segenggam dedaunan.
Ia melirik
sesaat ke arah Sawitri, yang
segera hentikan be-
laiannya dengan tersipu Tunggul
meletakkan de-
daunan yang dibawanya diatas
batu dan menum-
buknya dengan sebuah batu kecil.
Yang tak bera-
pa lama kemudian, telah beranjak
lagi mengham-
piri ke tempat Sawitri dan
Prasetyo yang masih
pingsan itu. Tanpa mengucapkan
sepatah kata-
pun, ia segera buka balutan luka
pada kaki yang
putus sebatas betis. Sawitri
palingkan wajahnya,
dengan menahan isak yang
memenuhi dadanya.
Tak kuasa ia melihat darah yang
masih mengucur
dari bekas tebasan itu. Tunggul
membalurkan
tumbukan daun-daun obat itu pada
sekitar luka,
dan kemudian kembali
membungkusnya dengan
hati-hati. Lalu beranjak lagi
untuk duduk diatas
batu. Tampak Prasetyo
menggeliat... Agaknya rasa
perih dari baluran pada lukanya
itu, membuat ia
segera tersadar dari pingsannya.
Pelupuk mata
Prasetyo tampak kelihatan
bergerak, dan pelupuk
matanya terbuka. Ia gerakkan
kepalanya untuk
menatap kesekelilingnya, dengan
tatapan ma-
tanya yang berkilatan. Dan
terdengar desis lirih
keluar dari bibirnya, ketika
melihat gadis itu yang
berada di dekatnya.
"Sawitri... kau
selamat..!?"
"Ya... Prasetyo..! Aku
selamat, dan kaupun
selamat..." Ucap Sawitri
yang segera alihkan tata-
pan pada Tunggul.
"Kita telah ditolong oleh
Kang Tunggul.
Ayo, ucapkan terima kasih
padanya..." Sambung
Sawitri dengan wajah cerah,
namun titik air ma-
tanya turun membasahi pipinya.
Prasetyo paling-
kan kepala untuk menatap
Tunggul, dan gerak-
kan tubuhnya untuk bangkit
duduk. Sesaat ia
pandang kakinya yang putus,
seperti ia baru me-
nyadari. Lalu alihkan lagi
pandangannya pada
Tunggul, yang masih duduk
berdiam diatas batu.
Sementara ia mengernyitkan
alisnya, seperti ten-
gah mengingat-ingat kejadian
yang baru saja di-
alaminya.
"Seingatku, salah seorang
dari komplotan
bertopeng itulah, yang telah
menolongku. Apakah
orang itu kau adanya kakang
Tunggul?" Berkata
Prasetyo dengan nada heran.
Sedangkan yang di-
tanya hanya tundukkan kepalanya,
lalu paling-
kan wajahnya ke lain arah. Dan
terdengar ia
menghela napas. Sesaat ia sudah
berkata dengan
lirih.
"Benar, Prasetyo...! Aku
adalah salah seo-
rang dari komplotan bertopeng
itu, yang telah
membunuh semua kawan-kawanku,
dan juga
semua para penyerbu dari desa
Tepus.... kecuali
kau, Prasetyo...!"
Pernyataan Tunggul membuat
kedua muda-mudi itu belalakan
matanya. Terle-
bih-lebih Sawitri. Ia hampir tak
percaya akan ka-
ta-kata Tunggul, karena ia
memang tak melihat
apa yang telah terjadi. Yang ia
ketahui cuma pak
Kuwu, ayahnya, yang terjungkal
roboh mandi da-
rah, tanpa ia ketahui siapa yang
telah membu-
nuh, juga pembantaian yang
lain-lainnya.
"A., apakah yang membunuh
ayahku, ka...
kau juga...?!" Bertanya
Sawitri dengan penasaran.
"Benar, Sawitri... tapi aku
sungguh-
sungguh tak sengaja. Bahkan
perintah dari sang
Ketua, adalah tidak
diperkenankannya kami
membunuh. Kecuali,
menculikmu!" Sawitri tun-
dukkan kepalanya dengan wajah
kembali tampil-
kan kesedihan yang luar biasa.
Sementara Tung-
gul sudah lanjutkan lagi
kata-katanya.
"Pak Kuwu bukanlah ayahmu,
Sawitri..!
Dan ibumu adalah ibu Prasetyo.
Kalian adalah
saudara satu ibu. Aku mengetahui
kalian saling
mencinta. Hal itu tak boleh
terjadi..! Apakah ka-
lian telah
mengetahui...?"
Terperanjatlah Sawitri dan
Prasetyo laksa-
na disambar petir, karena ia
sama sekali tak me-
nyangka akan hal itu. Kedua
muda-mudi itu se-
ketika saling bertatapan, namun
kemudian sama-
sama menunduk.
"Jadi siapakah
ayahku...?" Bertanya Sawi-
tri. Namun belum lagi
pertanyaannya dijawab,
Tunggul tiba-tiba berkelebat
cepat, dengan bebe-
rapa kali lompatan ia sudah
lenyap dari tempat
itu. Membuat Sawitri dan
Prasetyo jadi ternganga.
Belum lagi hilang terkejutnya,
sekonyong-
konyong telah berkelebatan dua
sosok tubuh ke
tempat yang tersembunyi itu. Hal
mana membuat
Prasetyo segera keluarkan
teriakan kaget dari
mulutnya.
"Ayah...!?" Dan
dibalas dengan teriakan pu-
la oleh sosok tubuh
dihadapannya.
"Prasetyo.....!? Kau...
kau..." Hanya bebera-
pa patah kata yang diucapkannya.
Sosok tubuh
itu yang tak lain dari pada
Tumenggung Harya
Anabrang, segera melompat ke
arah pemuda itu,
memeluknya. Dan terdengar lagi
suaranya yang
menggeletar menahan perasaan.
"Anakku... apa yang terjadi
denganmu...?
Siapa yang melakukan semua ini?!
Katakan
anakku! Akan kucincang sampai
lumat tubuh-
nya...! Oh,
Prasetyooo...."
Selanjutnya sang Tumenggung
telah ku-
curkan air mata, bahkan terharu
dan terpukul
hatinya melihat keadaan anaknya
yang tergolek
menggelepoh ditanah, dengan
sebelah kakinya
yang putus. Sementara Sawitri
memandang sang
Tumenggung, dan Prasetyo
berganti-ganti. Ia tak
tahu apa yang harus ia lakukan.
Tiba-tiba ia pa-
lingkan kepalanya pada sesosok
tubuh yang juga
berada disitu, yang saat itu
tengah memandang
kepadanya. Siapakah lagi gadis
cantik dihada-
pannya ini? Berfikir Sawitri.
Yang ditatap ternyata
telah bergerak menghampirinya.
"Kaukah yang bernama
Sawitri...?" Ber-
tanya Roro Centil sambil
berjongkok dihadapan-
nya. Sawitri mengangguk, sambil
lebih perhatikan
wajah orang.
"Kemanakah orang yang telah
menolong-
mu...?" Tanya Roro lagi.
Sawitri palingkan wajah-
nya ke arah belakang tubuh Roro,
sambil beru-
cap.
"Dia baru saja berangkat
pergi"
"Apakah kau mengetahui
siapa yang telah
menolongmu?" Tiba-tiba
Tumenggung Harya Ana-
brang turut bertanya, sambil
palingkan kepala
kearahnya. Sawitri anggukkan
kepala dan kata-
kan dengan tegas!
"Dia orang yang kami kenal,
bernama
Tunggul..!" Tiba-tiba sang
gadis balik ajukan per-
tanyaan pada Harya Anabrang.
"Paman Tumenggung,
seharusnya paman
berterus terang mengenai diriku,
atau setidak-
tidaknya paman menceritakan pada
Prasetyo
bahwa kami bersaudara...
Walaupun aku tidak
lagi diakui oleh ibuku, atau ibu
Prasetyo, namun
tidaklah harus menutupi rahasia
itu pada semua
orang agar aku tak mengetahui
siapa diriku. Apa-
kah hal ini adalah kemauan paman
Tumenggung,
atau keinginan ibuku..?"
Pertanyaan disertai pen-
gungkapan yang diucapkan
Sawitri, benar-benar
membuat Harya Anabrang terkejut.
Ia baru me-
nyadari akan kesalahannya, juga
menyesali tin-
dakan isterinya yang tak menutup
rahasia itu.
Hingga saat ia tercenung, ketika teringat kata-
kata Punta. Rasanya tidak aneh
kalau Tunggul
menceritakan hubungan Den
Prasetyo dengan
Sawitri. Ia segera menyadari,
kalau keteledoran-
nya, juga kesalahan isterinya
itu telah berakibat
fatal.
"Maafkan paman, Sawitri...
dan juga kau
anakku..!" Berkata Harya
Anabrang dengan suara
rendah. Dan lanjutnya.
"Kesalahan ini ada pada
pihak kami berdua
walaupun yang merahasiakan semua
ini adalah
ibu kalian. Namun aku merasa hal
ini termasuk
kesalahanku juga. Aku terlalu
banyak bertugas,
hingga tak mengetahui dan kurang
memperhati-
kan kalian. Walaupun kau,
Sawitri... bukanlah
hasil dari perkawinanku dengan
ibumu, aku telah
menganggap kau adalah anakku.
Sayangku pa-
damu sama dengan sayangku pada
Prasetyo. Na-
mun kesemuanya kurang mendapat
perhatian da-
riku, disebabkan terlalu banyak
aku mengurusi
pekerjaanku..." Tumenggung
Harya Anabrang ter-
diam sejenak... sementara Roro
Centil anggukkan
kepala beberapa kali.
"Syukurlah telah ada yang
memberitahu-
kan hal ini pada kalian karena
aku telah menge-
tahui kalian saling mencinta.
Apakah si Tunggul
itu pula yang
memberitahukannya...?" Tiba-tiba
sang Tumenggung telah ajukan
pertanyaan lagi,
dengan menatap pada Sawitri dan
Prasetyo. Ke-
duanya sama-sama mengangguk. Dan
bersamaan
dengan anggukan kedua muda-mudi
itu, tiba-tiba
sesosok bayangan tampak berkelebat,
dengan
mengeluarkan suara berkrosokkan.
Tentu saja
hal itu membuat mereka terkejut.
Roro Centil ti-
ba-tiba gerakkan tubuhnya
melompat dari tempat
itu, dan cepat berkelebat
mengejar ke arah suara
itu, dengan dibarengi bentakan.
"Haiii! Jangan
lari...!" Dan terlihatlah oleh
Roro sesosok bayangan yang
berkelebat cepat me-
larikan diri. Kembali ia enjot
tubuh untuk me-
lompat cepat, mengejar sosok
tubuh itu yang
hanya terlihat bentuk tubuhnya,
yang keseluru-
hannya hitam. Kini diatas
perbukitan Kapur itu
tampak dua sosok bayangan
berkelebatan, seperti
tengah main kejar-kejaran. Roro
Centil dengan
hati penasaran terus mengejar
sosok tubuh hitam
itu. Ia sudah menduga kalau
orang itu adalah sa-
lah seorang komplotan Siluman
Hitam. Gerakan
larinya memang benar-benar mirip
siluman. Se-
bentar kelihatan, sebentar
hilang. Juga karena
berkelebatannya bayangan tubuh
itu selalu mem-
belok ke kiri atau ke kanan...
yang kadang-
kadang memutar, membuat Roro
susah untuk
mengejarnya. Tiba-tiba Roro
Centil punya akal.
Ketika sosok tubuh itu membelok
kekiri, dan hi-
lang diantara pepohonan dan
semak. Ia bahkan
sengaja membelok kekanan. Dan
pergunakan
lompatannya untuk cepat tiba di
tempat yang ber-
jarak sama. Benar saja
dugaannya, karena segera
tubuh si bayangan hitam itu
tersembul disitu.
"Bangsat licik..!"
Teriak Roro Centil sambil
arahkan telapak tangan, dan
menghantam den-
gan pukulan jarak jauh.
Plak!
Terdengar beradunya kedua
pukulan yang
ternyata sosok tubuh hitam
itupun telah berbalik
dengan terkejut, dan gunakan
tangannya untuk
menangkis.
Bruk!......
Tubuh siluman hitam itu
terlempar bebe-
rapa tombak dan jatuh ke
semak-semak. Segera
Roro berkelebat ke arah dimana
terjatuhnya so-
sok tubuh itu. Sebelah lengannya
telah disiapkan
untuk melakukan serangan lagi,
menjaga dari se-
gala kemungkinan. Akan tetapi
terkejut Roro Cen-
til, karena tubuh siluman hitam
itu tak kelihatan
disitu. Sedang ia terkesima
tiba-tiba bayangan itu
muncul lagi bersiur di sebelah
kirinya. Segera ia
hantamkan pukulannya. Namun tak mengenai
sasaran.
Brak...!
Batang pohon disebelahnya
tumbang kena
hantaman angin pukulan Roro,
yang jengkel
hingga keluarkan tenaga
semaunya. Segera ia li-
hat bayangan hitam itu
berkelebat masuk ke da-
lam hutan bambu.
"Pengecut licik...! Kau
kira dapat melo-
loskan dirimu...!" Teriak
Roro dengan kesal. Dan
kelebatkan tubuh mengejar.
Kembali terjadi kejar-
kejaran seperti tadi...
Tiba-tiba tampak olehnya
sosok tubuh itu terjatuh
bergulingan.
"Bagus..!" Desis Roro
Centil. Dan sekali
lompat ia kejar kesana. Tapi...
apakah yang terja-
di ketika ia menginjakkan
kakinya...?
Brrussss..!
Roro perdengarkan seruan kaget.
Namun
sudah terlambat. Karena kakinya
telah menyen-
tuh serat-serat halus. Ketika
tiba-tiba tubuhnya
terangkat lagi ke atas... ia
sudah terjerat dalam
sebuah jala yang membungkus
tubuhnya. Belum
sempat ia berbuat apa-apa, tubuh
hitam itu telah
berkelebat cepat menotoknya,
hingga ia tak ber-
kutik lagi di dalam jala sutera
itu. Tubuhnya te-
rayun-ayun setinggi tubuh
manusia tergantung
dengan seutas tali pada ujung
batang bambu.
"Ha., ha., ha.... Selamat
beristirahat nona
yang sok usil dengan urusan
orang.... Tunggu,
nanti aku akan
menjemputmu!" Terdengar sua-
ranya yang serak. Dan selanjutnya
ia sudah kele-
batkan diri pergi dari situ.
5
SEMENTARA itu seperginya Roro
Centil
mengejar sosok tubuh hitam tadi,
telah muncul
lagi sesosok tubuh berperawakan
tidak begitu
jangkung, memakai topeng
tengkorak pada wa-
jahnya. Tentu saja kedatangannya
yang secara ti-
ba-tiba itu telah membuat
Tumenggung Harya
Anabrang terkesiap. Hingga
Sawitri perdengarkan
jeritannya. Namun orang itu
telah berkata dengan
cepat.
"Sebaiknya anda segera
tinggalkan tempat
ini Tumenggung..! Putrimu dalam
bahaya. Ia mau
dijadikan korban buat Dewa
Api...!"
"Hah..!? Siapakah
anda...?" Bertanya Harya
Anabrang dengan wajah pias.
Namun baru saja ia
berkata, tiba-tiba si orang
berkedok tengkorak itu
perdengarkan teriakan ngeri.
Tubuhnya terjung-
kal roboh. Bukan main
terkejutnya Harya Ana-
brang, ia putar kepalanya
berkeliling namun tak
terlihat ada bayangan tubuh si
penyerang. Ketika
ia periksa mayat orang itu,
segera diketahuinya si
orang berkedok tengkorak itu
telah terkena senja-
ta rahasia pada leher dan
punggungnya. Cepat ia
balikan tubuh itu, dan buka
kedok mukanya.
Terkejutlah Tumenggung Harya
Anabrang, karena
sosok tubuh dihadapannya itu tak
lain dari pada
Punta. Abdi dalem pembawa
berita, alias orang
kepercayaannya, yang sudah
dititahkan untuk
berangkat ke Sulang.
"Gila...! Benar-benar gila!
Ada apakah den-
gan semua ini...? Aku
benar-benar tidak menger-
ti." Desis Harya Anabrang
dengan wajah pucat.
Segera saja tanpa membuang waktu
ia telah ang-
kat tubuh Prasetyo, dan
palingkan kepala pada
Sawitri, seraya berkata.
"Sawitri... cepatlah kau
ikuti aku! Kita ting-
galkan tempat berbahaya
ini..!" Namun baru saja
Tumenggung Harya Anabrang
membelakangi tu-
buh gadis itu, tiba-tiba
terdengar teriakan Sawitri.
Karena sekonyong-konyong
tubuhnya telah dis-
ambar oleh sesosok bayangan
hitam, yang berke-
lebat cepat sekali. Dan ketika
Harya Anabrang
menoleh, ia cuma dapat melihat
tubuh sang gadis
yang dilarikan oleh sesosok
bayangan hitam... Ce-
laka..! Sentak hati sang Tumenggung.
Ia tak sem-
pat lagi untuk bergerak
mengejar. Karena sekele-
batan saja sosok tubuh hitam itu
telah berkelebat
lenyap dibalik semak lebat,
tertutup pepohonan.
Entah beberapa lama Roro Centil
terayun-
ayun di dalam jala sutera ia tak
mengetahui lagi.
Ketika tahu-tahu tubuhnya
meluncur ke bawah
dan terasa ada yang
menyanggapnya. Cuaca yang
agak gelap, membuat ia pentang
mata lebar-lebar
tanpa dapat berbuat apa-apa.
Totokan itu ternya-
ta amat hebat. Baru kali ini
Roro terkena perang-
kap aneh, dan tak berdaya tanpa
dapat berbuat
apa-apa. Terlihat lagi dua sosok
tubuh bertopeng,
dan berpakaian serba hitam,
setelah membabat
putus tali yang menggantung
tubuhnya. Salah
Emoticon