tubuhmu. Hampir sehari semalam
kau tak sadarkan
diri. Tubuhmu panas sekali. Tapi
aku telah meminum-
kan kau akar obat. Kesehatanmu
dalam waktu tak la-
ma akan pulih kembali. Untunglah
tenaga dalammu
sangat tinggi, hingga kau tak
sampai tewas! Orang-
orang lembah terkutuk itu sangat
tinggi ilmunya. Kau
pasti terluka dalam. Tapi kalau
kau mau memban-
tunya dengan menyalurkan hawa
murni dari bagian
pusar, maka luka dalam itu akan
cepat sembuh kem-
bali...!"
Tak sampai menunggu lagi, Roro
melompat
bangkit dari pembaringan. Dan
dia telah jatuhkan tu-
buhnya berlutut di depan orang
tua itu, seraya berka-
ta.
"Ki Sembulur...!
terimakasih atas pertolongan
mu. Aku yang bodoh dan kurang
pengalaman ini ber-
hutang budi padamu..."
"Ah... bangunlah, cah
ayu...! Jangan banyak
peradatan. Cepat ikuti petunjuk
ku. Kau harus segera
menyembuhkan luka dalammu!
Gunakan cara seperti
yang kukatakan tadi!" kata
Ki Sembulur. Laki-laki tua
itu mengangkat bangun Roro Centil. Roro yang me-
mang saat itu merasa ada rasa
nyeri
Di bagian dalam dadanya, segera
duduk bersila,
dan pusatkan kekuatan batinnya
untuk menyalurkan
hawa murni dari pusar dan
menyebarkan ke segenap
saluran darah. Lalu mengurut
beberapa kali pada ba-
gian yang sakit. Tampak keringat
dingin membasahi
punggung dan keningnya. Selang
tak lama gadis itu
melompat bangun berdiri.
"Sekali lagi aku ucapkan
terimakasih padamu
Ki Sembulur...!" kata Roro.
Kemudian melanjutkan ka-
ta-katanya.
"Kau tentu telah mengetahui siapakah adanya
manusia-manusia gila yang bercokol
di lembah itu?"
tanya Roro, yang telah merasa
agak enakan, karena
rasa nyeri pada dadanya sebelah
dalam sudah agak
berkurang.
Ki Sembulur menghela napas, lalu
menyuruh
Roro duduk kembali. Sedangkan
dia sendiri menyeret
sebuah bangku beralas kulit
binatang, dan duduk dis-
udut ruangan pondok itu.
"Sebenarnya aku sudah
mendapat firasat bu-
ruk akan adanya malapetaka pada
hampir setahun
yang lalu..." katanya
membuka kisah lama. Roro terce-
kat hatinya. Telinganya dipasang
untuk mendengarkan
penuturan Ki Sembulur.
"Apakah kau mengetahuinya
sebelum lembah
itu dihuni orang-orang edan itu,
Ki Sembulur...?" Laki-
laki tua itu mengangguk.
Kemudian diapun menutur-
kan peristiwa lama itu, yaitu
sejak kemunculan se-
buah arca batu hitam yang
membawa maut...
Seperti dituturkan di bagian
depan, arca batu
pesanan Kebo Duwung lenyap entah
kemana, dan Ki
Sembulur mencari-cari ke seluruh
pelosok perbukitan
tapi tak menjumpai ada manusia
di sekitar tempat itu.
Akhirnya diapun pergi dengan
hati penuh kemasygu-
lan, bersama elang
peliharaannya.
Firasat laki-laki tua itu memang
benar! Kenya-
taannya dua orang telah menjadi
korban gara-gara ar-
ca aneh itu. Bagaimana sampai Ki
Sembulur mengeta-
hui adanya pesanan membuat patung
demikian yang
dipesan oleh Kebo Duwung?
Ternyata jauh sebelum itu
dia telah mendengar berita
adanya seseorang dari se-
berang lautan Hindia yang
mengakui dari kaki gunung
Himalaya, telah membawa
sebongkah batu hitam un-
tuk dijadikan sebuah arca.
Belakangan baru dia mengetahui
kalau orang
itu telah menjadi tetamu Kebo
Duwung. Ki Sembulur
tahu siapa Kebo Duwung dan orang
macam apa ma-
nusia itu. Dalam dunia Rimba
Persilatan Kebo Duwung
adalah manusia yang rakus akan
kesenangan duniawi.
Tak pandang bulu kalau
bertindak.
Boleh dibilang dia seorang tokoh
yang disebut
putih bukan putih, disebut hitam
bukan hitam. Asal
kesenangan terpenuhi maka
pekerjaan apapun dia
mau melakukannya.
Ternyata atas bantuan Raden Gayo
muridnya,
telah berhasil diketemukan
seorang pemahat bernama
MANGUNTO. Dan terciptalah patung
batu hitam yang
rupanya sampai saat ini dia tak
mengetahui. Sayang
dia datang terlambat, dan muncul
setelah arca itu se-
lesai dibuat. Jauh sebelum arca
pembawa maut itu
txt oleh
http://www.mardias.mywapblog.com
muncul, dia telah mendapat
firasat dari hasil semad-
hinya. Bahwa kelak akan muncul
huru-hara yang dis-
ebabkan dengan munculnya sebuah
arca. Wangsit itu
membisik di telinganya di saat
dia hampir tertidur da-
lam semadi yang dilakukan di
saat dia menyepi diri.
Patung itu lenyap dengan memakan
korban dua
manusia, yaitu Kebo Duwung
sendiri dan muridnya
Raden Gayo yang saling bunuh
karena persoalan yang
sebenarnya sangat sepele. Tapi
dari situ dapat diambil
kesimpulan bahwa suatu keanehan
telah terjadi, di-
mana Raden Gayo tak mampu
menahan dorongan ge-
jolak hawa nafsu amarah, hingga
dia menyerang gu-
runya sendiri...
Sejak dia pergi meninggalkan
bukit dimana ter-
jadinya pertumpahan darah itu,
tak ada berita lagi di-
dengarnya dimana adanya arca
batu hitam itu.
Tapi beberapa bulan kemudian dia
mendengar
ada seorang begal picisan
bernama BRONCO yang
mengatakan bahwa kawan
sejalannya telah berubah
menjadi sakti setelah terkena
sorotan cahaya aneh
yang keluar dari mata patung
batu hitam. Ternyata pa-
tung batu hitam itu telah dicuri
oleh dua orang begal
picisan itu. Kawan begal yang
terkena sorotan cahaya
aneh itu bernama DOKOH SIMBURU.
"Aku menduga Dewa suci yang
dipuja-puja dan
setiap bulan selalu meminta
korban darah seorang ga-
dis yang masih suci di lembah
terkutuk itu, adalah ar-
ca batu hitam itu!" kata Ki
Sembulur mengakhiri penu-
turannya. Sesaat lamanya Roro
tercenung. Kisah yang
dituturkan Ki Sembulur
kedengarannya sangat aneh.
Tapi tentu saja hal itu membuat
Roro penasaran kalau
tak membuktikannya.
"Apakah rencanamu Ki
Sembulur? Apakah kita
akan membiarkan perbuatan gila
itu terus berlanjut?
Sebagai orang yang telah banyak
pengalaman dan cu-
kup usia kukira kau bisa
menyusun rencana untuk
menumpas manusia-manusia lembah
edan itu!" kata
Roro.
Cetusan kata-kata Roro yang
polos dan lugu
sesuai dengan pembawaannya itu
membuat Ki Sembu-
lur tersenyum.
"Aku memang telah lama
mencari jalan untuk
menyelidiki. Akan tetapi aku
butuh bantuan
seorang yang berani. Ternyata
kau cocok untuk turut
membantuku!" kata laki-laki
tua ini.
"Baiklah! kukira tak perlu
tergesa-gesa. Seka-
rang istirahatlah dulu. Hm, dan
kau tak usah khawa-
tir. Tempat ini aman. Kita
berada di lereng gunung.
Pondok ini sudah hampir sebulan
ku diami.
Kau beristirahatlah, aku akan
membuatkan
makanan untukmu..."
Sebelum melangkah ke ruang
belakang pondok,
sesaat dia menoleh dan berkata.
"Senjatamu sepasang benda
yang berbentuk
aneh. Kau tentu Roro Centil, si
Pendekar wanita Pantai
Selatan itu...!"
"Ah...? kau telah..."
sentak Roro. Tapi Ki Sem-
bulur telah lenyap di pintu
dapur...
***
SEMBILAN
SATU BENTAKAN MENGGELEDEK
merubah
senyum Roro Centil menjadi
ternganga terkejut. Kare-
na berbarengan dengan bentakan
itu terdengar suara
bergedubrakan. Ruangan belakang
pondok itu hancur
berantakan seperti dihantam
petir. Roro terlompat dari
duduknya. Dan berkelebat
melompat keluar dari jende-
la.
Tubuh Ki Sembulur terlempar
keluar pondok
bercampur kepingan kayu.
Laki-laki ini cepat bangkit
dengan terhuyung. Lalu
berkelebat masuk ke dalam
pondok. Tak lama telah melompat
lagi dengan mencek-
al tongkatnya yang sejak tadi
disandarkan disudut
ruangan.
Keadaan Ki Sembulur tampak
sangat menge-
naskan. Hampir seluruh jubahnya
robek-robek dan
tampak hangus. Di saat itulah
dua sosok tubuh berke-
lebat dari balik tumpukan kayu.
Yang seorang adalah
laki-laki tua berjubah putih
dengan garis hitam.
Bertubuh kurus jangkung,
berkumis bagai mi-
sai. Melihat laki-laki tua ini
Ki Sembulur terkejut, ka-
rena dia mengenali orang itu.
"BARAMANTRA...!"
sentaknya dengan suara
berdesis. Ketika melihat
laki-laki yang satunya, sorot
mata laki-laki berjubah kelabu
berkepala botak dengan
seutas tasbih dibelitkan pada
kepala itu seperti meng-
hunjam jantung. Siapa adanya
laki-laki pendek itu dia
tak mengenali.
Tapi seketika hatinya menyentak.
"Ah, apakah
dia DOKOH S1MBURU? salah seorang
begal yang telah
mencuri patung batu hitam
belasan bulan yang lalu?"
Saat itu si kakek jangkung kurus
berkumis bagai misai
itu telah membentak dengan suara
dingin.
"Bagus! setelah
menyelamatkan gadis kurang
ajar yang telah berani mengotori
tempat suci kami di
lembah Dewa Suci, apakah kau
bisa menyelamatkan
jiwamu sendiri, Ki
Sembulur?"
"Baramantra! Sejak kapan
jadi pengikut orang-
orang lembah terkutuk?"
Balas membentak Ki Sembu-
lur. Walaupun keadaan tubuhnya
tampak sangat men-
genaskan, karena di beberapa
tempat pada tubuhnya
mengeluarkan darah, tapi
laki-laki tua ini bernyali ma-
can. Bahaya yang sudah di depan
mata itu tampaknya
sudah tak diacuhkan lagi karena
sudah kepalang
tanggung, dan dia tak mau
dianggap manusia penge-
cut.
"Mulutmu terlalu lancang,
tua bangka rudin!"
bentak Baramantra dengan mata
mendelik. Akan teta-
pi dia segera menyambung
kata-katanya dengan terta-
wa. "Haha...haha... tapi
biarlah! Toh tak lama lagi kau
bakal mampus! Sebelum kau
menemui kematian baik-
lah kukatakan tentang diriku.
Aku memang telah ber-
gabung dengan orang-orang Lembah
Dewa Suci, sejak
aku membenci orang-orang
Kerajaan! Karena partai
yang akan kami dirikan kelak
akan menghancurkan
pihak Kerajaan. Dan tentu saja
aku bakal mempunyai
kedudukan yang lebih lumayan
setelah kekuasaan Ke-
rajaan jatuh ke tangan partai
kami!"
Hampir meledak rasanya dada Ki
Sembulur
mendengar keterangan Baramantra
yang membongkar
rahasia pribadi orang itu
sendiri. Akan tetapi laki-laki
ini justru tertawa tergelak-gelak.
Suara tertawa yang
terdengar sangat menggiriskan
hati. Karena Ki Sembu-
lur tertawa tak sewajarnya.
Itulah suara tertawa cetu-
san dari kemarahan hatinya.
"Haha...haha...haha...
sudah kuduga hatimu
tak lebih busuk dari bangkai
yang paling busuk! Keti-
ka kau memorot uang kas Kerajaan
dari seorang pem-
besar Kerajaan yang menjadi kaki
tanganmu, dan kau
banyak menikmati kesenangan, kau
sering memuji dan
menyanjung Raja. Memuji tata
pemerintahannya. Men-
gatakan rakyat hidup makmur dan lain sebagainya.
Tapi setelah kelicikan dan
kebusukan itu terbongkar,
dan pembesar kaki tanganmu
ditangkap dan dihukum,
kini kau membenci orang-orang
Kerajaan. Dan kau
bergabung dengan manusia-manusia
pengkhianat
yang mau menghancurkan Kerajaan.
Menindas, meni-
pu dan menganiaya penduduk,
dengan Dewa pal-
sunya! Sudah lama aku mencium
kebiadaban itu, ter-
nyata kau termasuk diantara
manusia-manusia biadab
itu! Kau benar-benar manusia
terkutuk!"
Berubahlah paras muka
Baramantra. Akan te-
tapi ketika dia mau menerjang,
laki-laki berjubah ke-
labu di sebelahnya berkata
dengan suara dingin.
"Serahkan manusia tengik
ini padaku! Biar aku
yang mengantar nyawanya ke
Akhirat! Dan... kau
tangkaplah gadis kurang ajar
itu. Tapi jangan sampai
kau lukai. Aku
menginginkannya!"
Baramantra mengangguk. Tubuhnya
berkelebat
dari samping laki-laki pendek
jubah kelabu itu.
Saat itu Roro yang tengah
memperhatikan me-
reka dan pasang telinga serta.
waspada untuk meng-
hadapi segala kemungkinan, sejak
tadi sudah tak sa-
bar untuk menerjang kedua
manusia itu.
Akan tetapi dengan menyabarkan
hati, justru
dia dapat mengetahui siapa
adanya manusia bernama
Baramantra itu. Walau hatinya
tercekat dan lebih ba-
nyak memperhatikan si laki-laki
pendek jubah kelabu.
Sinar matanya tampak aneh,
seperti ada kekuatan
yang membuat jantung berdebar
bila beradu tatap
dengannya.
Kini melihat si laki-laki
jangkung Baramantra
berkelebat ke arahnya, Roro
segera siap untuk meng-
hadapinya.
"Haha.. nona cantik!
Nyalimu sungguh luar bi-
asa berani memasuki tempat suci
kami di lembah De-
wa Suci. Ternyata kau punya
cukup kepandaian dari
tidak mengecewakan! Dua orang
kami telah tewas,
maka sebagai gantinya ikutlah
padaku secara baik-
baik. Mudah-mudahan ketua partai
kami mau men-
gampuni perbuatanmu!"
berkata Baramantra dengan
tertawa menyeringai. Laki-laki
tua hidung belang ini
sambil berkata, matanya
menjuluri sekujur lekuk-
lekuk tubuh gadis di hadapannya.
Ketika melihat se-
pasang senjata aneh yang
tergantung di pinggang Ro-
ro, sesaat dia tertegun.
"Cuih...!" Roro
meludah. Matanya menatap
Baramantra dengan sorot tajam.
Mendadak so-
rot mata Roro berubah lunak. Hal
ini disebabkan ka-
rena Roro merencanakan suatu
siasat, karena menda-
dak dia teringat sesuatu. Yaitu
mengenai diri kawan-
nya Jabo Lalengga.
"Hm, di saat aku terkena
hantaman keras dan
terlempar keluar goa di lembah itu, sebelum aku tak
sadarkan diri, aku mendengar
suara teriakan Jabo La-
lengga yang memburu ke arah-ku.
Tapi kemudian sua-
ra itu berganti dengan suara
keluhan, kemudian aku
tak ingat apa-apa lagi.... Aku
menduga pemuda itu te-
lah ditawan oleh orang- orang
lembah itu. Kalau aku
berpura-pura menyerah, maka aku
bisa mengetahui
keadaan pemuda itu. Dan aku bisa
mengetahui kele-
mahan mereka. Juga siapa-siapa
yang telah terlibat
komplotan ini. Di samping itu
jalan untuk menumpas
bisa lebih sempurna..."
Di saat dalam keadaan terdesak begitu, Roro
memang tak punya jalan lain.
Akan tetapi dia tak bisa
membiarkan Ki Sembulur bertarung
sendirian. Tekad-
nya sudah bulat untuk
menghancurkan komplotan itu.
Dan satu hal akan dilakukannya
adalah memusnah-
kan arca batu hitam yang di
dewa-dewakan di lembah
Dewa Suci, yang disebut olehnya
sebagai lembah ter-
kutuk.
Melihat gadis itu diam terpaku,
Baramantra
kembali maju selangkah.
"Bagaimana, nona? apakah
telah kau pertim-
bangkan usulku?" katanya
dengan suara besar. Tapi
jawabannya adalah suara tertawa
Roro yang terkikik,
membuat laki-laki ini melengak heran.
Saat itu Ki Sembulur telah
menyilangkan tong-
katnya di depan
dada. Wajahnya tampak membesi.
Lawannya si laki-laki jubah
kelabu itu tersenyum si-
nis. "Kau masih kuberi
kesempatan untuk satu pena-
waran yang bagus. Kalau kau bisa
memilih mana yang
terbaik, tentu usiamu bisa
panjang. Tapi kalau kau sa-
lah memilih, maka haha...
silahkan berdo'a sebelum
kau mampus!" berkata
laki-laki kepala gundul berju-
bah kelabu itu.
"Huh! katakan siapa
sebenarnya kau ? Apakah
kau yang bernama DOKOH SIMBURU?"
bentak Ki
Sembulur tanpa menghiraukan
ucapan laki-laki itu
dengan segala macam penawaran.
"Bagus! aku memang Dokoh
Simburu! Dan ka-
lau kau mau lebih jelas, akulah
yang telah mencuri
area batu hitam pada belasan
bulan yang silam. Arca
itu kini menjadi Dewa yang kami
puja, karena dengan
perantaraannya-lah aku bisa
memiliki ilmu dan kesak-
tian. Dan kalau kau mau
mengetahui, akulah ketua
Partai Dewa Suci yang akan
menumbangkan kekua-
saan Raja. Lebih dari dua puluh
tokoh Rimba. persila-
tan telah bergabung dengan kami
di lembah Dewa Su-
ci!"
Tentu saja keterangan laki-laki
pendek itu
membuat Ki Sembulur tertegun.
Jantungnya melonjak
keras. "Gila! Jadi
firasat ku benar! Wangsit yang ku-
dengar dalam semadi ku itu
hampir mendekati kenya-
taan. Arca batu hitam itu
benar-benar pembawa mala-
petaka!" berkata Ki
Sembulur dalam hati. Saat itu Do-
koh Simburu, laki-laki bekas
begal picisan itu telah
meneruskan kata-katanya.
"Nah! kesempatanmu untuk
memperpanjang
hidupmu masih terbuka.
kalau kau mau bergabung dengan
kami, maka
ku ampuni kesalahanmu!"
Akan tetapi Ki Sembulur te-
lah menggembor keras dengan
kemarahan meluap...
Sebelah lengannya merentang
menghamburkan angin
pukulan berhawa dingin. Dan
tongkatnya menyambar
dengan dahsyat...
"Kau lebih mengingini
kematian rupanya!"
membentak dingin Dokoh Simburu.
Tubuhnya melesat
dua tombak menghindari sambaran
pukulan lawan.
Jubahnya mengibaskan menghantam
tongkat Ki Sem-
bulur.
Plak!
Laki-laki tua itu terhuyung
ketika sambaran
lengan jubah Dokoh Simburu
mengenai tongkatnya.
Nyaris saja senjatanya terlepas
dari genggaman tan-
gan. Akan tetapi dengan
menggeram, dia melompat ke-
belakang. Kini senjatanya digunakan untuk menusuk
ke arah leher. Gerakan
selanjutnya yang dilakukan la-
wan adalah miringkan tubuhnya
ke samping. Seraya
membentak sebelah kaki paderi
itu menghantam kese-
langkangan Ki Sembulur.
Tersentak kaget Ki Sembu-
lur.
Dia merasai sambaran berhawa
panas me-
nyambar ke arah bagian bawah tubuhnya. Namun
dengan gesit dia jatuhkan
tubuhnya berguling ke arah
kanan. Sementara tongkatnya
digunakan menusuk ke
arah lambung lawan.
Di luar dugaan si paderi justru
memapaki den-
gan sambaran ujung lengan
jubahnya. Terkejut Ki
Sembulur. Sambaran keras itu
membuat dia menarik
serangan, dan berguling ke
samping. Di saat yang sa-
ma sebelah lengan Dokoh Simburu
menghantam den-
gan pukulan maut. Cahaya biru
meluncur deras me-
rambas udara. DHESS!
Mau tak mau Ki Sembulur segera
menangkis
serangan dengan kedua lengan.
Hampir separuh tena-
ga dalamnya digunakan untuk
memapaki serangan
maut itu.
BHUMM...!
Uap putih dan ungu merambah
udara. Ki Sem-
bulur perdengarkan jeritan
panjang. Tubuhnya terlem-
par berjungkalan. Tongkatnya
terlepas dari tangannya.
Sebat sekali Dokoh Simburu
berkelebat menyambar
senjata yang melayang itu. Dan
dengan kecepatan tak
terduga, begitu tongkat itu
berada dalam cekalan tan-
gannya, melesatlah benda itu ke
arah Ki Sembulur
dengan kecepatan kilat!
Roro tersentak kaget. Tubuhnya
berkelebat dari
tempatnya berdiri. Ternyata
diam-diam dia telah mem-
perhatikan jalannya pertarungan.
Hatinya mencelos
melihat tongkat di tangan paderi
itu melesat ke arah Ki
Sembulur yang tampak dalam
keadaan terlentang...
Roro sempat hamburkan pukulan
jarak jauh
hingga membuat tongkat maut itu
terhantam, dan lu-
putlah laki-laki tua itu dari
maut.
Akan tetapi detik itu pula
Baramantra melihat
kesempatan baik yang tak
disia-siakan. Dengan kece-
patan kilat lengannya menotok
tubuh dara pantai sela-
tan itu...
Roro tersentak kaget, tapi
terlambat! Tubuhnya
jatuh terguling dengan sekujur
tubuh menjadi kaku.
Dara ini mengeluh.
"Celaka..."
"Celaka..."
Sebelum tubuhnya menyentuh
tanah, lengan
Baramantra dengan cepat telah
terulur menangkap
pinggangnya.
"Haha... ternyata menangkap
gadis pendekar
gagah ini sangat mudah."
kata Baramantra dengan wa-
jah girang. Ketika menoleh ke
arah pertarungan, dia
melihat sang ketua tengah
hantamkan pukulan susu-
lan yang mengakhiri pertarungan.
Ki Sembulur tak
sempat untuk berteriak lagi.
Kepalanya rengkah terke-
na hantaman pukulan maut yang
menghabisi jiwanya.
"Ketua! aku telah berhasil
menawan gadis ini
tanpa cidera, sesuai dengan
keinginan mu !"
"Haha... bagus! Mari kita
tinggalkan tempat ini!"
Kedua sosok tubuh itu berkelebat
bagaikan
bayangan meninggalkan lereng
gunung.
***
SEPULUH
JABO LALENGGA pentang mata
lebar-lebar ke-
tika sadar dari pingsannya. Dia
tersentak kaget meli-
hat dirinya berada dalam sebuah
ruangan pengap ber-
dinding batu. Sadarlah dia
dimana dia kini berada.
"Celaka! aku tertawan di
sarang manusia-
manusia lembah...!" keluh
pemuda ini sambil meraba
kepalanya yang terasa sakit
berdenyutan.
Jabo Lalengga teringat, ketika
dia melompat
memburu gadis bernama Roro yang
dilihatnya terkapar
di depan altar, tahu-tahu
kepalanya seperti dihantam
benda keras, dan dia tak ingat
apa-apa lagi.
Jabo Lalengga merangkak
mendekati jeruji besi
di bagian depan ruangan tahanan.
Dia melihat banyak
sekali lorong-lorong di dalam
goa.
Tahulah pemuda ini kalau dirinya
berada da-
lam goa dimana tempat itu
dijadikan markas segolon-
gan orang-orang lembah yang
dinamakan lembah De-
wa Suci itu.
Sesaat dia tercenung ketika
memikirkan nasib
gadis kawannya itu.
"Di manakah saat ini dia?
Apakah dia dalam
keadaan hidup atau
tewas...?" berkata pemuda ini da-
lam hati. Tiba-tiba telinganya
mendengar suara orang
bercakap-cakap dan suara langkah
mendekat. Cepat-
cepat dia melompat ke sudut
ruangan dimana dia tadi
menggeletak. Lalu baringkan
tubuhnya seperti semula
seolah-olah dia belum sadar dari
pingsannya. Suara
bercakap-cakap itu semakin
mendekat.
"Haha... gadis pendekar itu
menurut dugaanku
tak salah lagi, dialah Roro
Centil yang digelari si Pen-
dekar Wanita Pantai Selatan.
Belakangan ini berita
mengenai kemunculan gadis gagah
itu telah santar.
Pantaslah kalau dalam segebrakan
saja dia telah me-
newaskan dua orang kita!"
Yang bicara ternyata Baramantra,
sedangkan
kawan bicaranya tak lain dari
Dokoh Simburu, si pa-
deri pendek jubah kelabu.
"Bagus! Dengan demikian
orang-orang partai
kita telah bertambah lagi satu
orang! Hm, apakah to-
tokanmu cukup kuat, Baramantra?
Aku khawatir dia
bisa melepaskan diri sebelum aku
membawanya ke
kamar suci!"
"Jangan khawatir, ketua!
ilmu totokanku dapat
bertahan selama dua hari! Malam
ini juga ketua bisa
membawanya!" sahut
Baramantra. Pembicaraan mere-
ka terhenti ketika tiba di depan
ruang tahanan tempat
menyekap Jabo Lalengga.
"Bagaimana dengan pemuda ini,
ketua? Apakah
dia bisa dijadikan pembantu
perjuangan kita?" kata
Baramantra. Matanya menatap ke
arah Jabo Lalengga
yang terlentang disudut ruang
tahanan.
"Hm, biarkan dulu! Aku akan
melihat gadis
pendekar gagah itu lebih
dulu...!" sahut Dokoh Simbu-
ru. Kedua orang itupun lewat dan
lenyap di lorong ge-
lap dalam ruangan goa itu.
Ternyata Roro disekap di ruangan
tersendiri,
yaitu pada ruangan bawah tanah.
Dari sebuah lubang
persegi sebesar satu jengkal
tangan di atas ruangan
tahanan itu, mereka melihat
gadis itu masih tertelung-
kup tak bergerak.
"Berikan kunci kamar
tahanan itu padaku, dan
tinggalkan aku sendiri!"
kata Dokoh Simburu pada Ba-
ramantra.
"Baik ketua!" sahut
laki-laki ini. Setelah mem-
berikan serenceng anak kunci,
Baramantra segera me-
ninggalkan lorong itu.
Dokoh Simburu beranjak menuruni
anak tang-
ga batu. Tak lama dia telah berada di depan ruang
tempat menyekap Roro. Setelah
membuka gembok la-
ki-laki ini beranjak masuk, lalu
melangkah mendekati
Roro. Kira-kira tiga langkah di
dekat tubuh Roro terte-
lungkup, dia hentikan tindakan
kakinya. Sepasang
matanya menatap tubuh wanita itu
menjalari dengan
tatapan mata membinar dari ujung
rambut sampai ke
ujung kaki.
"Bagus! alangkah
beruntungnya aku dapat
mencicipi kehangatan tubuh
seorang dara perkasa
yang punya nama besar, dan
semulus ini. Haha... Do-
koh Simburu kini dapat berbuat
semaunya. Sang
JUTYA KALAMANDHU telah
memberikan segala-
galanya padaku. Aku harus segera
membawa ke kamar
suci!" berdesis Dokoh
Simburu dengan air liur menetes
melihat kepadatan tubuh si dara
pantai selatan, dan
kemulusan tubuh gadis itu,
hingga dia tak sabar un-
tuk menanti datangnya malam.
Roro mengutuk dalam hati karena
beberapa
kali dia berusaha membuka
totokan pada tubuhnya,
tetap saja dia tak mampu
membukanya. Tentu saja dia
mendengar suara desis Dokoh
Simburu. Tanpa diketa-
huinya laki-laki jubah kelabu
bertubuh pendek kekar
itu telah membaca
mantera-mantera. Entah mantera
apa. Yang jelas, tahu-tahu Roro merasakan
tubuhnya
bagai dihembus hawa aneh yang
membuat tubuhnya
menggigil.
Dokoh Simburu rentangkan kedua
lengannya
dengan kedua telapak tangan
terbuka ke arah Roro.
Dari kedua telapak tangannya
muncul uap biru yang
membungkus tubuh dara perkasa
pantai selatan itu.
Ternyata hawa dingin itu timbul
dari akibat meram-
basnya uap biru tersebut yang
membungkus tubuh-
nya.
Selanjutnya Roro merasa sekujur
tubuhnya le-
mah tak bertenaga sama sekali.
Dia tersentak kaget,
tapi dia cuma mampu mengeluh
dalam hati. Karena
sesaat kemudian tubuhnya telah
di pondong oleh laki-
laki itu.
***
SEBELAS
GADIS INI TELAH BEBERAPA KALI
SADAR, dan
beberapa kali pula pingsan
karena mengingat keadaan
dirinya. Kini untuk yang keempat
kalinya dia kembali
siuman. Sepasang matanya basah
bersimbah air mata.
Dia mendekapkan kedua lengannya
menutupi bagian
terlarang tubuhnya dengan
terisak-isak. Dalam be-
naknya masih teringat ketika
laki-laki berkepala gun-
dul bertubuh pendek kekar itu
membuka pakaiannya
dengan paksa. Dan... dia tak
berdaya ketika tubuh
yang berat itu menghimpitnya.
Dia cuma mampu men-
jerit dalam hati, betapa
dia harus dinodai laki-laki
yang menjijikkan itu? Mengapa
dia tak dikorbankan
dan dibunuh sekalian untuk
persembahan Dewa ber-
kepala kambing itu? Dia sudah
rela untuk memasrah-
kan jiwanya, demi lenyapnya
wabah penyakit di desa
sekitar lembah Dewa Suci itu.
Dan karena tak kuasa
menentang keputusan pak KUWU
yang menetapkan
dirinya sebagai calon korban
pada bulan ini.
Pembangkang keputusan hanya akan
menam-
bah korban sia-sia. Karena
seluruh keluarga calon
korban yang telah ditetapkan
akan tewas secara aneh
dan mengerikan. Seolah-olah
kematian itu direnggut
oleh para iblis, yang mencabut
nyawanya dengan men-
jadi gila terlebih dulu, lalu
membentur-benturkan ke-
pala hingga tewas. Hal itu sudah
diketahuinya dengan
mata kepala sendiri. Dia sudah
berniat meninggalkan
tempat kediamannya bersama
keluarganya. Tapi ter-
lambat! Pak Kuwu telah
menentukan dirinya sebagai
calon korban berikutnya. Selama
hampir satu bulan
dia disekap di tempat tahanan
dalam goa tersembunyi
dengan dijaga ketat oleh
orang-orang lembah.
Dia tak mengetahui lagi nasib
ayah dan ibunya.
Ketika dia dibawa ke dalam
lembah dengan di usung
dalam tandu, dia sudah pasrahkan
nasibnya karena
tiada daya yang bisa
diperbuatnya. Akan tetapi ketika
tandu digotong masuk dia masih
sempat mendengar
suara seorang laki-laki yang
dikenalnya. Yaitu suara
kakeknya. Dengan mengintip dari
tirai tandu dia meli-
hat kakeknya tewas dengan kepala
terpisah dari tu-
buhnya. Dia cuma melihat satu
bayangan berkelebat,
dan sang kakek terlempar dengan
leher terpotong pu-
tus.
Mengingat kejadian itu dia
kembali menangis
terisak-isak. Kini dia disekap
dalam kamar sempit ber-
dinding batu. Entah apa lagi
yang bakal terjadi pada
dirinya? Tapi tangisan sedihnya
segera lenyap. Toh
semua itu tak ada artinya..!
Sementara itu di satu ruangan
lain yang lebih
besar, diterangi dua buah obor
di kiri kanan ruangan,
tampak enam orang gadis dalam
keadaan menge-
naskan. Wajah-wajah pucat dan
sepasang mata yang
hampir setiap saat selalu basah
itu memandang keluar
jeruji besi di depan ruangan
dengan pandangan ham-
pa. Baru tadi malam seorang
kawan mereka dibawa
keluar kamar tahanan untuk
dikorbankan pada Dewa
sesembahan orang-orang lembah.
Biasanya beberapa hari kemudian
penghuni
ruang tahanan itu akan bertambah
seorang gadis lagi
sebagai pengganti gadis yang
telah dikorbankan. De-
mikianlah, mereka tak ubahnya
bagaikan sekawan
hewan yang dikurung dan diberi
makan, tapi suatu ke-
tika akan datang saat mereka
untuk menerima giliran
dipotong, atau dibunuh untuk
persembahan sang De-
wa sesembahan orang-orang lembah
itu.
Di saat itulah mereka
mendengarkan suara
aneh dari dinding ruang tahanan.
Suara seperti itu be-
rulang-ulang, sepertinya dinding
itu dipalu dari sebe-
lah luar. Apa yang menjadi
keheranan para gadis itu
ternyata adalah di ruangan
sebelahnya Jabo Lalengga
tengah menghantamkan lengannya
untuk menjebol
tembok yang terlihat retak di
sebelah belakang tempat
dia berbaring.
Dua tiga kali menghantam dia
berhenti untuk
melihat apakah ada penjaga yang
muncul. Akan tetapi
lorong itu tetap sunyi setelah
dua orang yang lewat ta-
di lenyap entah kemana. Kembali
dia menghantam
dengan pergunakan kekuatan
tenaga dalamnya. Dan...
BRAAK!
Tembok ruangan itu ambrol.
Terdengar suara
jeritan tertahan dari dalam
ruangan di sebelahnya.
Alangkah terperanjatnya Jabo
Lalengga ketika mene-
robos keluar dari rongga tembok
yang ambrol itu, me-
lihat beberapa orang wanita
disekap pula dalam ruan-
gan tersebut.
"Ah, kiranya ruangan
tahanan bersebelahan
dengan ruangan tempat tahanan
para gadis ini?" sen-
tak pemuda ini dengan melengak.
Niatnya untuk ka-
bur dari tempat terkutuk itu
jadi lumer, karena tetap
saja dia masih terkurung di dalam ruangan
tahanan
lain.
Cepat-cepat dia memberi isyarat
pada gadis-
gadis itu dengan jari
telunjuknya.
"Sssst! tenanglah! Aku
orang sendiri...! Aku di-
tawan di ruangan sebelah. Kita
harus mencari jalan
untuk meloloskan diri dari
tempat gila ini!"
"Namaku...JABO...!" kata Jabo Lalengga mem-
perkenalkan diri dengan nama
singkat. Mata pemuda
ini menatap keenam gadis itu.
Dia mencari-cari Roro.
Tapi tak ada diantara mereka.
Saat itu terdengar ada langkah
mendekat, seke-
tika pucatlah wajah keenam gadis
itu. Mereka saling
tatap, dan tatapan terakhir
ditujukan pada Jabo La-
lengga.
"Cepat kau sembunyi
diantara kami!" kata ga-
dis yang tadi memberi
keterangan, dengan berbisik pa-
da pemuda itu. Jabo Lalengga
cepat berjongkok menu-
tupi lubang. Keenam gadis itu
cepat menutupi tubuh
pemuda itu dengan sikap
masing-masing, seolah-olah
tak terjadi apa-apa. Yang muncul
ternyata Baraman-
tra. "Aku mendengar suara
gaduh, dan kalian berte-
riak... ada apakah?" tanya
laki-laki tua itu dengan me-
natap tajam.
"Tak ada apa-apa,
Gusti..." sahut salah seo-
rang. Untunglah cahaya dalam goa
itu tak seberapa te-
rang. Lampu obor memang sudah
mengecil. Cahaya
lampu itu tak cukup untuk
melihat jelas dari jarak
yang cukup jauh. Apalagi mata
Baramantra memang
sudah mulai agak mengabur.
"Heh! jangan bikin gaduh!
Nanti akan kuperin-
tahkan pada penjaga untuk mengawasi
kalian!" ancam
Baramantra dengan bersungut.
Lalu beranjak pergi.
Jabo Lalengga menghela napas.
"Untunglah dia
tak memeriksa ruangan tempat
menyekapku." berkata
dia dalam hati. Keenam gadis itu
sama menghela na-
pas lega. Akan tetapi ancaman
Baramantra membuat
mereka gelisah. Karena tak lama
lagi bakal ada penja-
ga muncul yang diperintahkan
laki-laki tua itu untuk
mengawasi mereka.
***
SEMENTARA ITU.... Dokoh Simburu
dengan
napas memburu dan hawa nafsu menggelegak,
me-
mondong tubuh Roro Centil
memasuki sebuah ruan-
gan khusus. Itulah ruangan yang
disebut sebagai tem-
pat suci baginya.
Tempat ini bersebelahan dengan
tempat mena-
ruh arca batu hitam yang pada
bagian depannya tam-
pak sebuah pedupaan mengepulkan
asap harum.
Dokoh Simburu letakkan tubuh
Roro di pemba-
ringan yang ada disudut ruangan.
Sesaat dia menatap
wajah dan sekujur tubuh si dara
pantai selatan yang
dalam keadaan tak berdaya.
Dengan dengus napas
memburu laki-laki pendek kepala
gundul ini lepaskan
jubahnya. Tampak tubuhnya yang
berkulit hitam pe-
nuh otot.
"Haha...hehe...he... nona
cantik! Kau tenan-
glah...! Aku akan membuat
sesuatu yang menyenang-
kan hatimu...!" berkata
laki-laki ini dengan suara ber-
desis. Dan... lengannya mulai
menjulur untuk merabai
sekujur tubuh Roro. Di saat itu
Roro pejamkan ma-
tanya. Saat yang menentukan bagi
nasibnya hanya ter-
letak pada pemusatan pikiran
pada satu titik. Yaitu
menyatukan kekuatan batin untuk
memusnahkan ke-
kuatan gaib yang telah membuat
sekujur tubuhnya
lemah tak berdaya. Selain itu
pula Roro masih belum
bisa melepaskan diri dari
pengaruh totokan Baraman-
tra.
BRET...!
Dokoh Simburu telah mencabik
pakaian atas
Roro. Sepasang benda kuning
langsat tersembul di ha-
dapannya. Laki-laki ini
tersenyum menyeringai. Ma-
tanya membinar. Dan lengannya
yang kasar segera
merabanya. Tubuh Roro
tergetar... "Keparat...! Paderi
palsu terkutuk!" makinya
dalam hati. Ketegangan da-
lam diri Roro telah membuat dia
buyar menyatukan
kekuatan batinnya.
Akan tetapi wajah Dokoh Simburu
berubah.
Benda yang dirabanya ternyata
begitu kerasnya seperti
dia memegang besi. Tahulah dia
kalau gadis itu men-
genakan pembungkus payudara yang
sangat mirip
dengan bentuk aslinya.
"Sial! kau benar-benar
pendekar wanita aneh!
tapi membuat aku semakin
geregetan padamu wong
ayu..!" desis Dokoh
Simburu. Sekali lengannya berge-
rak, dia telah membalikkan tubuh
gadis pendekar itu.
Lengannya mencengkeram
rantai pengikat benda itu.
Roro sudah hampir putus asa.
Akan tetapi di detik itu-
lah dia teringat pada sahabat
gaibnya si Harimau tu-
tul. Batinnya cepat membisik,
"TUTUL..! aku dalam
bahaya..! Bantulah aku..!"
Baru saja Dokoh Simburu akan
menyentakkan
rantai pengikat BH Roro.
Laki-laki itu terperanjat keti-
ka mendengar suara menggeram di
belakang pung-
gung. Secepat kilat dia balikkan
tubuhnya.
Alangkah terperanjatnya Dokoh
Simburu ketika
melihat seekor harimau tutul
tahu-tahu telah berada
di hadapannya.
Sebelum sempat dia sadar akan
bahaya, hari-
mau yang luar biasa besarnya
melebihi harimau biasa
itu telah menerkamnya.
"Grrrrr....!" CRAP...!
Dokoh Simburu memekik panjang.
Dia tak
sempat lagi mengelakkan terkaman
sang harimau itu.
BRRAK...!
Pintu kamar hancur berkeping
diterjangnya,
ketika dengan laki-laki itu
berusaha melepaskan diri
dari cengkeraman binatang itu.
Cengkeraman lepas. Akan tetapi tengkuknya
bersimbah darah, dan punggungnya
terluka mengelua-
rkan darah terkena guratan dalam
dari kuku-kuku si
harimau tutul. Terperangah Dokoh
Simburu. Terkejut-
nya tak alang kepalang.
Ketika harimau itu menerkam
lagi, cepat dia
guling tubuhnya ke samping.
Lengannya menghantam
dengan pukulan bertenaga dalam
penuh. BRASSH!
Harimau itu lenyap berubah jadi
segumpal
asap. Mata Dokoh Simburu
terbelalak lebar.
Bulu tengkuk laki-laki ini
meremang. Dia me-
lompat mendekati arca batu
hitam, sang Dewa Suci
yang di pujanya. Akan tetapi
tahu-tahu suara geraman
telah berada di belakangnya.
Lagi-lagi harimau itu
menjelma, dan tahu-tahu telah
menerkam punggung.
Berteriak Dokoh Simburu dengan
wajah pucat. Tu-
buhnya terguling ke tangga batu,
tepat di depan arca.
Di saat itulah cahaya aneh
berwarna ungu me-
nyorot dari mata arca. Harimau
tutul meraung kesaki-
tan. Tubuhnya terlempar bagai
dihempas oleh suatu
kekuatan gaib yang amat hebat.
Binatang itupun me-
lenyapkan diri menjadi gumpalan
asap.
Napas Dokoh Simburu
terengah-engah. Rasa
takut setengah mati nampak jelas
terlihat pada wajah-
nya yang pias. Barulah selama
hidup dia melihat ada
makhluk menyerupai harimau yang
demikian ganas
menyerangnya.
"Harimau siluman...?"
sentaknya dalam hati.
Dengan tubuh luka-luka bersimbah
darah dia
melompat ke depan arca berbentuk
manusia berkepala
kambing itu, lalu menyembah
dengan bersimpuh di
depan arca.
"Dewa Suci...! tolonglah
aku!" katanya dengan
suara bergetar.
"Kau telah melanggar aturan
dan pantangan,
Dokoh Simburu! Aku telah
mencabut kesaktian yang
kau miliki!" terdengar
suara tanpa rupa. Dan tampak
patung batu hitam itu bergetar.
Dari bagian mulutnya
keluar uap putih. Sepasang
matanya memancarkan
cahaya merah menyala. Sebentar
terang sebentar pa-
dam.
Membelalak mata Dokoh Simburu
mendengar
kata-kata tanpa ujud itu.
Sekujur tubuhnya bergetar.
Jantungnya melonjak keras.
Tahulah dia kalau Dewa
Suci yang di pujanya telah
murka.
Sebelum dia sempat mengetahui
bahaya maut
yang mengancam jiwanya.
Tiba-tiba dari mata arca ba-
tu itu menyembur cahaya merah
merambas tubuh Do-
koh Simburu.
Laki-laki menjerit panjang
mengerikan. Tubuh-
nya berkelojotan di tangga
altar. Dalam waktu tak la-
ma tampak si paderi palsu yang
memang berasal dari
seorang begal picisan itu
terkapar tak bergeming lagi,
dengan kulit tubuh mengelupas
menyembulkan tulang
belulangnya.
***
DUA BELAS
RORO CENTTL membelalakkan mata
melihat
kejadian di depan mata itu.
Ternyata Roro telah berha-
sil menyatukan kekuatan batin
dan melepaskan diri
dari semua pengaruh yang
meluluhkan segenap keku-
atan tubuhnya.
Bergidik hati Roro melihat
keadaan tubuh laki-
laki pendek kepala gundul itu
yang nyaris memperko-
sanya. Ada perasaan aneh,
mengapa sang Dewa yang
dipuja orang-orang lembah itu
malah membunuh ke-
tua itu sendiri? Namun walau
bagaimanapun arca ba-
tu itulah yang telah menimbulkan
bencana dan mala-
petaka. Roro salurkan segenap
kekuatan tenaga da-
lamnya pada sepasang lengannya.
Dan dengan mem-
perdengarkan suara teriakan
melengking panjang, da-
ra pantai selatan ini menghantam
arca batu hitam itu.
GLARRR!
Arca aneh berkepala kambing
bertubuh manu-
sia itu seketika hancur lumat
menjadi serpihan batu
kecil, dan sebagian menjadi
bubuk halus yang berteba-
ran dalam ruangan goa itu.
Saat itulah terjadi getaran pada
dinding-dinding
batu dalam goa itu, seakan-akan
telah terjadi gempa.
Roro tersentak kaget. Segera dia
teringat akan nasib
Jabo Lalengga yang telah
diketahuinya ditawan di da-
lam goa itu. Cepat dia
berkelebat memasuki lorong.
Sementara itu di dalam lorong
dalam goa... Ja-
bo Lalengga tersentak merasai
getaran pada dinding
ruangan tahanan. Batu-batu kecil
tampak meluruk
berjatuhan dari langit-langit.
Para gadis ini tersentak
kaget. Wajah-wajah mereka pucat
pias dan tampak
mereka sangat ketakutan.
"Apakah yang terjadi!
Apakah terjadi gempa?"
sentak pemuda ini. Sementara
goncangan-goncangan
semakin keras. Enam gadis dalam
kamar tahanan itu
mulai menjerit dan menangis.
Jabo Lalengga melompat
ke terali besi. Matanya melihat
kesana-kemari khawa-
tir ada penjaga yang datang. Apa
yang dilihatnya ter-
nyata beberapa orang di dalam
lorong justru berlari-
lari menerobos keluar dari
lorong dengan serabutan.
Sadarlah dia bahwa terjadi
gempa.
"Celaka! kita bisa mati
tertimbun! Goa batu ini
akan runtuh!" Tanpa sadar
Jabo Lalengga berteriak.
Makin ramailah para gadis itu
menjerit dan menangis.
Jabo Lalengga berkali-kali
menghantam gem-
bok dan membetot memutus rantai,
akan tetapi tak
berhasil. Dicobanya
merenggangkan jeruji besi. Tapi
besi tebal itu bergemingpun
tidak. Di saat dia hampir
putus asa itu, seseorang
berkelebat di depan ruangan
penjara. Apa yang dilakukannya
begitu cepat. Sebelah
lengannya menghantam
berturut-turut. Lalu sekali
mendorong, robohlah jeruji besi
penutup ruangan itu.
"Cepat ikut..!"
teriaknya. Orang itu tak keliha-
tan wajahnya, karena tertutup
kain hitam.
Jabo Lalengga cepat ucapkan
terimakasih. Lalu
dengan cepat membantu
gadis-gadis itu agar cepat ke-
luar dari ruangan itu. Dengan
mengikuti orang berto-
peng itu sebentar saja mereka
telah menerobos keluar
dari dalam goa.
Menghirup udara segar di dasar
lembah mem-
buat mereka menarik napas lega.
Gadis-gadis itu ber-
larian dengan wajah girang. Akan
tetapi si penolongnya
telah lenyap entah kemana....
Jabo Lalengga segera membawa
keenam gadis
itu ke tempat yang aman.
Sementara guncangan pada
dinding batu cadas di dasar
lembah itu semakin
menghebat. Beberapa paderi telah
berlompatan keluar
tanpa menghiraukan apapun,
asalkan dirinya sela-
mat...
BARAMANTRA terperanjat ketika
baru saja mau
melampiaskan nafsu bejatnya
pada gadis berada di
ruangan terpisah itu, tiba-tiba
mendengar suara ber-
gemuruh. Dinding ruangan
bergetar. Dia terlonjak ka-
get. Di saat itulah pintu
ruangan yang tak terkunci itu
menjeblak terbuka. Dan sesosok
tubuh yang menutu-
pi wajahnya dengan selembar kain
hitam telah melom-
pat ke dalam ruangan itu.
"Siapa kau?"
bentaknya, seraya melompat dari
pembaringan, dan menyambar
pakaiannya. Orang
yang dibentak tertawa dingin.
Melihat benda aneh yang
tergantung di pinggang orang
itu, segera dia mengenali
siapa adanya orang di
hadapannya.
"Kau.. kau..?"
sentaknya dengan wajah pias.
Akan tetapi terlambat. Si orang
bercadar itu telah me-
lepas pukulan maut dengan tenaga
dalam penuh. Tak
ada kesempatan lagi baginya
untuk menghindarkan di-
ri. Menjerit setinggi langit
Baramantra. Tubuhnya ter-
lempar membentur dinding
ruangan. Terdengar suara
tulang berderak. Dan tubuh itu
meluruk jatuh ke lan-
tai batu dengan tulang remuk,
dan nyawa melayang.
Gadis tanpa busana itu
membelalakkan ma-
tanya. Roro cepat balikkan
tubuh.
"Lekas tutupi tubuhmu..!
Dan cepat ikut aku
keluar dari neraka ini kalau kau
tak mau tertimbun re-
runtuhan batu!" kata Roro.
Gadis itu adalah gadis
yang disekap Dokoh Simburu. Tak
berayal lagi dia se-
gera menyambar pakaian seadanya.
Lalu berlari men-
gikuti orang yang telah
menolongnya. Lurukan batu di
bagian depan membuat langkah
mereka terhambat,
karena jalan lorong dalam gua
itu tertimbun.
Orang ini hantamkan lengannya ke
dinding se-
belah kanan.
BRRAAK!
Segera terbuka sebuah lubang
akibat hancur-
nya dinding tersebut. Orang ini
tampaknya melihat si-
tuasi kian gawat. Sekali sambar,
dia telah meraih
pinggang gadis itu. Lalu cepat
memondongnya dan
membawanya melompat keluar dari
lubang itu....
TEBING BATU ITU RUNTUH...
bagaikan digon-
cang oleh tangan raksasa.
Puluhan paderi yang tak
sempat melarikan diri lenyap
ditelan reruntuhan. Ta-
nah sebelah timur retak, dan
hampir sebagian tebing
itu melesak ke dalam tanah.
Di dalam lorong, belasan tokoh
persilatan yang
dikurung dalam ruang bawah tanah
nyaris teruruk.
Untunglah mereka menemukan
sebuah terowongan
rahasia. Ketika gempa dahsyat
itu sudah berlalu, me-
reka bersembulan dari sebuah
lubang, dua puluh tom-
bak dari tanah yang rengkah dan
tumpukan batu yang
menggunung.
Tak urung beberapa orang
mengalami luka-
luka, dan dua orang tewas
teruruk reruntuhan. Orang
bercadar hitam berkelebat kesana
kemari mencari ka-
lau-kalau ada orang yang bisa
ditolong.
Di saat itulah sesosok bayangan
putih berkele-
bat bagaikan angin dan muncul di
hadapan orang ber-
cadar itu.
"Siapa kau?" bentak
orang bercadar hitam den-
gan sikap waspada. Yang berdiri
di hadapannya ter-
nyata seorang laki-laki
berjilbab besar. Jenggot dan
kumisnya menyatu dengan cambang
bauknya yang le-
bat.
Laki-laki ini berkulit hitam,
hingga tampak jelas
antara kulit dan jubahnya yang
putih.
"Akulah yang bernama FAKIH
AL GHAULAM!
Asalku dari kaki gunung
Himalaya! Aku penganut ilmu
gaib yang datang ke wilayah ini
untuk mencari seorang
yang menamakan dirinya KI SONGGO
BHUWONO!
Akulah pembawa batu hitam yang
pada belasan bulan
yang lalu dipahat menjadi sebuah
arca! Kemudian arca
itu dijadikan sebagai sesembahan
oleh seorang yang
bernama Dokoh Simburu, bekas
seorang begal karena
dia terkena sorotan cahaya aneh
dari mata arca. Hing-
ga tiba-tiba dia menjadi seorang
yang sakti.
Akan tetapi dengan kesaktiannya
dia telah me-
nawan banyak kaum pendekar, dan
melakukan hal
yang sesungguhnya bukan atas
kehendak arca yang di
dewa-dewakan itu..! Semua itu
dilakukan untuk me-
lampiaskan hawa nafsunya
belaka!" "Tunggu!" orang
bercadar itu membentak nyaring.
Sekali lengannya menarik, maka
lepaslah cadar
penutup wajahnya. Orang bercadar
ini sudah dapat di-
terka dari suara maupun sepasang
benda aneh yang
tergantung di pinggangnya. Dia
tak lain dari si dara
perkasa pantai selatan Roro
Centil.
Sementara itu belasan
pendekar telah berlom-
patan ke tempat itu. Diantaranya
terdapat pula Jabo
Lalengga si pemuda sahabat Roro.
"Kalau kau orang
yang membawa batu hitam itu,
berarti kaulah manusia
yang telah membawa bibit
malapetaka! Siapa lagi
orangnya yang telah memberi
kekuatan gaib pada ma-
nusia bejat bernama Dokoh
Simburu itu kalau bukan
kau! Karena dengan ilmu gaib mu,
bisa saja kau ber-
buat sekehendak mu, memberi
kegaiban pada arca ba-
tu hitam itu!"
Kata-kata Roro yang tandas itu
telah membuat
wajah laki-laki brewok berkulit
hitam, bertubuh tinggi
besar itu mendelikkan mata.
Dengan pandangan matanya yang
tajam dia
memang telah mengetahui siapa
orang bertopeng itu.
Untuk itulah dia munculkan diri
di depan gadis itu.
Akan tetapi sesaat kemudian
Fakih Al Ghaulam
tertawa terbahak- bahak.
"Haha... haha... pantaslah
kau menjadi murid
si Manusia Banci, si nenek
Pantai Selatan! Watak mu
tak sabaran, ugal-ugalan dan
centil!"
Diam-diam Roro terkejut karena
orang itu men-
getahui gurunya. Dia menjawab
dengan ketus.
"Mau ugal-ugalan atau
centil, itu bukan urusan
mu! Apakah dengan kau mengenal
guruku, lalu kau
bisa mencuci dosa, melepaskan
diri dari kesalahan?
Hm, menghancurkan kejahatan
harus sampai ke akar-
akarnya. Kau tak akan kubiarkan
lolos lagi. Dan ka-
mi..." kata Roro seraya
menoleh pada belasan para
pendekar yang selamat dari
bencana. "Kami siap mem-
pertaruhkan jiwa untuk menumpas
kejahatan!"
Kata-kata Roro itu disambut
dengan seruan
kaum pendekar. Dan sekejap
kemudian mereka telah
berlompatan mengurung laki-laki
itu.
"Tahan dulu! Jangan
menambah korban! Aku
belum habis berbicara!"
bentak Fakih Al Ghaulam.
Kemudian dengan suara dingin dan
tampak tenang,
dia meneruskan kata-katanya.
"Aku memang penganut ilmu
gaib, tapi bukan
untuk kejahatan! Hal ini di luar
keinginanku. Ada roh
jahat yang telah memasuki arca
batu hitam itu! Roh
jahat itu telah kukalahkan!
Itulah sebabnya Dokoh
Simburu kubunuh. Dan aku
menggunakan arca yang
di dewa-dewakan itu untuk
membunuh manusia pe-
nyembahnya sendiri!"
Sebagai seorang gadis yang
berotak cerdas, Ro-
ro dapat menarik kesimpulan dengan kata-kata itu.
Mau tak mau dia membenarkan hal
itu. Suatu hal,
yang tak mungkin kalau tiba-tiba
arca yang menjadi
sesembahannya itu bukannya
menolong dirinya, tapi
justru melenyapkan jiwanya.
"Nah! seperti kataku,
tujuanku adalah untuk
mencari seseorang yang bernama
Ki Songgo Bhuwono.
Orang itu telah meminjam benda
gaib yang tak dapat
ku jelaskan pada kalian. Karena
mencari orang hingga
aku tak mengetahui kalau batu
hitam yang kutitipkan
pada seseorang yang bernama Kebo
Duwung, telah sa-
lah dipergunakan. Dan dibentuk
sebuah arca tanpa
sepengetahuanku! Kebo Duwung tak
kutemui di tem-
pat tinggalnya, dan kudengar
berita dia telah tewas
bertarung dengan muridnya
sendiri karena saling me-
nyalahkan karena lenyapnya arca
batu hitam itu.
Akhirnya aku mendengar berita
adanya sebuah
arca aneh yang di dewa-dewakan
di lembah Dewa Suci.
Hingga akhirnya aku mengetahui
apa yang telah terja-
di. Dan aku bersyukur padamu
gadis pantai selatan,
karena kau telah menghancurkan
penyebab malapeta-
ka itu...!"
Sampai disini lenyaplah keraguan
para pende-
kar, juga Roro pada laki-laki
bernama Fakih Al Ghau-
lam itu. Selagi semua terpaku,
tahu-tahu tubuh laki-
laki yang mengaku dari kaki
gunung Himalaya itu ber-
kelebat lenyap dari hadapan
mereka. Roro terperan-
gah. Dia hanya dapat melihat
sosok bayangan putih
yang melayang ke atas tebing.
Sedangkan jauh di arah
sana tampak sesosok tubuh
berjubah ungu berdiri di
atas batu tebing.
Roro gunakan kekuatan matanya
untuk meli-
hat dari jarak jauh. Segera
terlihat siapa adanya orang
berjubah ungu itu. Dan diam-diam
gadis ini segera
berkelebat menyusul.
"Nona Roro! Tunggu..!"
Teriakan di belakangnya
membuat Roro berhenti.
"Jabo Lalengga! Mari ikut
aku! kata Roro. Tak
berayal lagi pemuda itu segera
berlari menyusul dara
pantai selatan yang meneruskan
gerakan tubuhnya
berlari cepat mendaki tebing.
"KI SONGGO
BHUWONO...!"
Suara Fakih Al Ghaulam terdengar
berat me-
nyibak udara. Sekejap dia telah
berada di hadapan la-
ki-laki tua berjubah ungu itu.
"Sobat Fakih Al Ghau-
lam...! kau mencari-cari
ku?" menyahut kakek tua ren-
ta itu dengan suara datar.
"Haih! kau telah
menyusahkan aku, Songgo
Bhuwono! Aku mau meminta kain
sutera hitam yang
kau pinjam. Jauh-jauh aku datang
kemari untuk men-
carimu. Mengapa tak kau antarkan
kembali setelah le-
wat waktunya? Benda itu harus
kukembalikan ke
asalnya, karena aku khawatir
akan membuat malape-
taka! Apakah kau telah
mengetahui kalau diriku nyaris
jadi korban gara-gara
orang-orang lembah terkutuk
itu?" Laki-laki tinggi
besar ini menggerutu.
"Maafkan aku, sobat Fakih!
Usiaku sudah terla-
lu tua. Mungkin juga sifat pikun
telah mulai muncul
pada diriku. Aku melupakan
barang itu kalau aku te-
lah meminjamnya padamu, dan juga
harus mengem-
balikannya. Sekali lagi harap
kau memaafkan ku..."
Ki Songgo Bhuwono adalah si
kakek pemahat
yang telah mengajari Mangunto
memahat batu mem-
buat arca. Kakek ini tampaknya
menerima akan kesa-
lahannya.
Fakih Al Ghaulam
geleng-gelengkan kepala me-
nyesali dirinya sendiri, juga
keteledoran sahabatnya.
Tapi apakah dia bisa
menyalahkan?
"Sudahlah....! Mana benda
itu!" katanya memu-
tus.
Ki Songgo Bhuwono menoleh ke
belakang. Lalu
berkata.
"Mangunto! keluarlah kau
dari situ!"
Seorang laki-laki melompat
keluar dari balik
batu besar di belakang kakek
itu. Dialah si pemahat
patung batu hitam.
"Berikan padaku kain sutera
hitam yang kuti-
tipkan padamu!" ujarnya
pada Mangunto. Laki-laki ini
segera mengeluarkan lipatan
kecil kain sutera hitam
itu pada Ki Songgo Bhuwono.
"Apakah sampai saat ini kau
telah mengetahui
kegunaan kain yang kutitipkan
ini padamu?" tanya Ki
Songgo Bhuwono. Mangunto
tertegun tak mengerti,
dan menggelengkan kepala.
"Aku selalu membawanya
kemana pergi sejak
aku pergi mengembara.
Dan sampai saat ini aku tak
mengetahui apa-
kah kegunaannya? Aku tak berani
mengganggunya ka-
rena benda ini adalah
kenang-kenangan yang kau be-
rikan padaku....!" sahut
Mangunto. Wajah laki-laki tua
itu tampak lugu dan polos.
Ki Songgo Bhuwono tersenyum. Dia
menghela
napas.
"Tak apalah..! Kau memang
tak perlu mengeta-
hui..!" ujar kakek ini.
Kemudian mengambil benda itu
dari tangan Mangunto, dan
menyerahkannya pada Fa-
kih Al Ghaulam. Laki-laki dari
kaki gunung Himalaya
itu geleng-gelengkan kepala.
Tapi bibirnya tersenyum.
Begitu kain hitam itu
diterimanya, maka tubuh laki-
laki itupun gaib, sirna dari
pandangan mata.
Ki Songgo Bhuwono menoleh pada
Mangunto
yang membelalakkan mata melihat
orang tinggi besar
berkulit hitam itu lenyap dari
hadapannya.
"Nah! Mangunto..! kukira
akupun harus segera
pergi. Terimakasih atas
kesetiaanmu menjaga barang
titipan itu. Untunglah kau tidak
pikun seperti aku.
Aku punya firasat kau akan
menemukan kebahagiaan.
Nah, selamat tinggal
Mangunto..."
Selesai berkata, tubuh Ki Songgo
Bhuwono gaib
untuk kedua kalinya sejak gaib
pertama kali setelah
memberikan kain sutera hitam
belasan tahun yang la-
lu.
Mangunto termangu-mangu.
Kata-kata Ki
Songgo Bhuwono terngiang di telinganya yang di-
ucapkan sebelum lenyap dari
hadapannya tadi.
"Aku akan menemukan
kebahagiaan! Aneh! Ah,
Gusti Allah! Seandainya benar,
betapa senangnya ha-
tiku. Kebahagiaan macam apakah
yang akan ku jum-
pai?" berdesis laki-laki
ini.
Di saat itulah Roro melompat
keluar dari balik
sebongkah batu diikuti oleh Jabo
Lalengga. Mangunto
baru saja melangkahkan kaki
untuk menuruni lereng
tebing. Ketika tiba-tiba dia
mendengar suara orang
memanggil.
"Bapak tua...tunggu dulu!"
teriak Roro.
"Siapakah kalian cah ayu
dan anak muda ga-
gah?" tanya Mangunto seraya
menatap Roro dan Jabo
Lalengga dengan terheran.
"Aku Roro, dan ini kawanku
Jabo Lalengga!"
sahut Roro memperkenalkan diri,
kemudian menge-
nalkan pemuda sahabatnya.
"Bolehkah aku mengetahui
apa hubunganmu
dengan kakek sakti bernama Ki
Songgo Bhuwono itu?"
Roro langsung mengajukan
pertanyaan.
Laki-laki tua yang lugu ini
menjawab setelah
sesaat menatap dara itu.
"Dialah seorang yang baik
hati, dan orang yang
telah menghidupkan hatiku sejak
aku bagaikan gila
dan hampir putus asa mencari
anakku yang hilang tak
tentu rimbanya belasan tahun
yang lalu. Dia telah
mengajari aku cara memahat batu
membuat arca.
Dengan memiliki kepandaian
memahat akhirnya terhi-
bur hatiku, hingga aku melupakan
kesedihan hatiku.
Di bulan Suro pada kurang lebih
empat tahun yang la-
lu sebelum pergi Ki Songgo
Bhuwono memberikan se-
helai kain sutera hitam padaku.
Kain itu kusimpan
dengan baik, tanpa aku berani menggunakannya...!
Kini kain sutera hitam yang
dititipkan padaku itu telah
dipinta kembali oleh pemilik
yang sebenarnya..." tu-
turnya seraya menghela napas.
Roro manggut-manggut, kemudian
sambil ber-
kata dengan tersenyum.
"Marilah kita
bercakap-cakap sambil berjalan,
pak tua...!"
Mangunto mengangguk. Wajahnya
tampak ber-
seri gembira. Kepergian Ki
Songgo Bhuwono membuat
dia merasa kesepian lagi. Tentu
saja munculnya dua
orang muda itu membuat dia
gembira dan agak terhi-
bur hatinya dari kesedihan hati
yang kembali mengge-
rogoti perasaan dan jiwanya.
Demikianlah, sambil me-
nuruni tebing mereka
bercakap-cakap. Mendadak Jabo
Lalengga bertanya.
"Kudengar bapak tadi
menceritakan tentang
kehilangan seorang anak.
Siapakah nama anakmu,
dan berapa usianya?"
Mangunto menghela napas.
"Dia hilang ketika berusia
tujuh tahun. Anakku
bernama Praguno! Seorang bocah
laki-laki yang lucu
dan nakal..! Ah, kalau anakku
saat ini masih hidup
tentu sudah sebesar kau, anak
muda...!" sahut Man-
gunto seraya menatap pemuda itu
dengan pandangan
tajam. Sebaliknya Jabo Lalengga
pun menatap lekat-
lekat wajah laki-laki tua itu.
"Benarkah nama anakmu itu
PRAGUNO, pak
tua?" tanya pemuda ini.
"Ya! Nama itu kuberikan
padanya agar dia bisa
menjadi orang yang berguna di
kelak kemudian hari...!
Ada apakah dengan nama itu, anak
muda?" selesai
menjawab, Mangunto balik
bertanya.
"Praguno adalah namaku, pak
tua! Itulah nama
yang diberikan seorang laki-laki
ayahku, yang lenyap
tak ada beritanya.
Ketika terjadi peperangan, ibuku
kudapatkan
tewas... Dan aku pergi tak tentu
arah tujuan. Kemu-
dian aku berjumpa dengan seorang
laki-laki yang
sampai saat ini kuanggap sebagai
ayahku. Saat itu aku
masih berusia kurang lebih tujuh
tahun. Kemudian
namaku diganti dengan JABO
LALENGGA..!"
Tentu saja penuturan pemuda itu
membuat
Mangunto tersentak kaget.
"Siapa nama ayahmu, anak
muda?" tanyanya
dengan wajah agak memucat.
"Beliau bernama
Mangunto..." sahut Jabo La-
lengga.
"Kalau begitu..?"
sentak Mangunto dengan wa-
jah berubah kaget.
Akan tetapi dia segera berkata.
"Apakah kau memiliki tanda
goresan bekas lu-
ka sepanjang satu jari di atas
pusar?" tanya Mangunto
dengan tatapan tak lepas
merayapi sekujur tubuh dan
wajah pemuda itu:
Tak menunggu dua kali, Jabo
Lalengga segera
sibakkan bajunya.
Mata Mangunto membelalak lebar
hampir tak
percaya melihat tanda guratan
bekas luka itu memang
benar berada di atas pusar pada
bagian tubuh Jabo
Lalengga.
"Tak salah lagi...! kaulah
anakku...! Kaulah
PRAGUNO, anakku yang hilang
itu...!" teriak Mangunto
dengan wajah berubah girang.
Seketika air matanya
mengembang di pelupuk mata.
Jabo Lalengga menatap wajah
laki-laki itu den-
gan mata berkaca-kaca, dan bibir
bergetar mengelua-
rkan kata-kata.
"AYAH..!"
Dan keduanya segera saling
rangkul berpelu-
kan dengan erat dan dengan
terisak-isak. Mangunto
menciumi wajah pemuda itu dengan
air mata mengu-
cur deras. Tapi air mata adalah
air mata kebahagiaan.
"Anakku...! Benarlah
seperti yang dikatakan Ki
Songgo Bhuwono. Aku benar-benar
menemukan keba-
hagiaan seperti
firasatnya..."
"Ayah..! kita tak akan
berpisah lagi, bukan?"
Mangunto mengangguk dengan
terharu, dan
dipeluknya lagi pemuda itu
dengan air mata bersimbah
di pipinya yang mulai keriput.
Di saat pertemuan yang
mengharukan itu ter-
jadi, Roro Centil telah
berkelebat meninggalkan tempat
itu.....
TAMAT
Emoticon