SATU
LAKI-LAKI ITU BEKERJA TEKUN
SEKALI...
Mata pahatnya menetak batu hitam
memben-
tuk patung aneh berbentuk
seorang manusia berkepa-
la kambing. Patung terbuat dari
batu hitam itu adalah
pesanan seseorang yang
dikerjakannya dengan upah
cukup besar.
"Hehe... hampir selesai!
Tak lama lagi aku akan
menerima upah ku sebagian
lagi!" bergumam MAN-
GUNTO dengan bibir
tersenyum-senyum. Tapi sambil
lengannya tak berhenti menetak
batu membuat ukiran
pada bagian kepala arca,
Mangunto berkata dalam ha-
ti.
"Hm, entah untuk apa Raden
GAYO memesan
patung demikian aneh....? Huh!
tapi tak perduli untuk
apa. Yang penting aku telah
membuatkan-nya, dan
aku menerima upah cukup lumayan
untuk menyam-
bung hidupku..."
Mangunto terus bekerja dengan
tekun. Dan dua
hari kemudian, maka selesailah
arca batu hitam aneh
itu.
Mangunto membungkus arca
berbentuk manu-
sia berkepala kambing dalam
sikap bersila itu dengan
selembar kain kasar berwarna
hitam. Kain itu sudah
lama disimpan dalam lemari
pakaiannya. Kain kuno,
tapi kuat. Sejenak Mangunto
teringat dari siapa kain
hitam itu.
"Haih! Melihat kain ini aku
jadi teringat pada
jaman aku masih muda..."
desis Mangunto. Saat itu
Mangunto memang telah berusia
sekitar empat puluh
tahun lebih. Zaman dimana
Mangunto masih muda
adalah masa yang sangat
mengesankan bagi hidupnya.
Dia hidup sederhana disamping
isterinya yang
sangat dicintainya. Wanita itu
bernama PRAMITA. Se-
bagai menantu seorang
Tumenggung, tentu kehidupan
mereka cukup layak. Mangunto
sendiri bekerja sebagai
petani yang rajin menggarap
sawah. Sehingga hasilnya
melimpah, disamping dia dan
isterinya sangat hemat
dan pandai menabung.
Mangunto dan isterinya
dikaruniai seorang
anak laki-laki. Kehadiran
PRAGUNO si kecil itu me-
nambah kebahagiaan rumah tangga
mereka.
Bila sepulang dari sawah,
Mangunto bergegas
untuk melihat anak laki-lakinya
itu. Praguno ditimang-
timang dengan tertawa-tawa
gembira. Terkadang dia
menyanyikan lagu Kidung untuk
anaknya. Lagu Ki-
dung itu berupa syair yang
menguraikan tentang isi
kehidupan. Juga rasa syukur pada Ilahi atas karu-
niaNYA yang telah dilimpahkan
pada mereka.
Bila Mangunto selesai
menyanyikan lagu Ki-
dung, maka tak lama si kecil
Praguno akan tertidur le-
lap. Tampaknya dia senang sekali
mendengar ayahnya
menyanyikan senandung Kidung
itu.
Perang memang kejam! Ketika
terjadi pembe-
rontakan, semua kebahagiaan itu
lenyap. Isterinya te-
was membunuh diri, karena
mempertahankan kesu-
cian dirinya. Dan anak
laki-lakinya lenyap entah ke-
mana. Desa-desa dibumihanguskan.
Pemberontakan
liar itu padam setelah memakan
banyak korban. Tu-
menggung Brajananta tewas dalam
pertarungan mela-
wan pemberontak. Dan... dia
hanya terpaku dengan
mata membelalak, menemukan rumah
tempat tinggal-
nya telah jadi puing.
Ketika terjadi peristiwa itu,
Mangunto sedang
pergi ke seberang lautan.
Mangunto memang telah me-
rencanakan untuk membuka hutan
di tanah seberang.
Tapi ketika kembali untuk
membawa anak isterinya ke
tanah seberang yang telah di
tinjaunya, ternyata kea-
daan telah berubah!
Mangunto pergi meninggalkan
desanya untuk
mencari jejak Praguno, si kecil
yang baru berusia tu-
juh-delapan tahun itu. Dalam
pengembaraannya dia
berjumpa dengan seorang pemahat
batu, bernama Ki
SONGGO BHUWONO. Mangunto
tertarik untuk mem-
pelajari cara memahat dan mengukir batu. Ternyata
dia berbakat! Dan jadilah dia
seorang pemahat patung.
Walau hasilnya tak seberapa,
tapi karya-karyanya ba-
nyak didapati di candi-candi
sekitar tanah jawa.
Selama itu Mangunto tetap tak
dapat menemu-
kan jejak PRAGUNO. Laki-laki itu
pasrah pada nasib!
Dia tak lagi memikirkan anaknya
yang hilang tak tentu
rimbanya. Kini dengan bekal
kepandaiannya dia bisa
hidup untuk sekedar mengisi
perut dan menyambung
hidup, disamping bertambahnya
pengalaman hidup-
nya.
Kain hitam itu adalah pemberian
Ki Songgo
Bhuwono. Orang tua itu
memberikannya pada Man-
gunto sebagai kenang-kenangan.
Sebelum dia pergi
sempat berkata. "Mangunto!
Simpanlah kain ini untuk
kenang-kenangan dariku. Siapa
tahu nanti ada gu-
nanya!"
Mangunto mengucapkan
terimakasih, seraya
berkata.
"Bapak Songgo Bhuwono...!
Budi baikmu tak
dapat kulupakan seumur hidupku.
Dengan aku bisa
memahat, membuat arca adalah
karena bimbingan
mu. Dengan kesibukan itu, aku
dapat melupakan ke-
sedihan ku selama ini. Entah bagaimana aku dapat
membalasnya? Haih...! semoga
Yang Maha Kuasa
membalas budimu dan kau selama
dalam perjala-
nan..."
"Sudahlah Mangunto...
jangan pikirkan apa-
apa! Kau telah membalas budi ku
dengan Kidung mu!
Syair Kidung mu bagus, menggugah perasaan dan
membangkitkan semangat hidup!
Karena itulah aku
senang mengajari kau cara
memahat membuat arca.
Tapi hanya itu yang bisa aku
wariskan padamu. Nah,
selamat tinggal, Mangunto!
Semoga Tuhan Membimb-
ing setiap langkahmu..."
Mangunto manggut-manggut dengan
setitik air
bening mengembang di sudut
pelupuk mata. Dan... Ki
Songgo Bhuwono tahu-tahu gaib.
Lenyap dari pandan-
gan mata.
Tentu saja hal itu membuat
Mangunto terbela-
lak, dan tertegun mematung
seperti tak percaya pada
penglihatannya.
"Aneh...!? Siapakah
sebenarnya Ki Songgo
Bhuwono itu? Apakah dia seorang
Dewa yang turun ke
bumi? Atau... ah, aku tak
tahu... Tapi kain hitam ini
akan kusimpan sebagai tanda
kenang-kenangan seu-
mur hidupku..." bergumam Mangunto. Diciuminya
kain pemberian Ki Songgo Bhuwono
itu dengan air ma-
ta haru dan bahagia.
Demikianlah, Mangunto menyimpan
kain hitam
itu hingga sampai saat ini. Dan
baru hari ini dipergu-
nakannya untuk membungkus patung
aneh yang di-
buatnya, untuk dibawa ke rumah
si pemesan...
Mangunto tersadar dari
lamunannya ketika me-
lihat Matahari telah mulai
condong ke arah barat. Ber-
gegas dia merapikan buntalan
kain hitam berisi patung
manusia berkepala kambing itu.
Kemudian menggem-
bloknya di belakang punggung.
Setelah menutup pintu
rumah, dan menguncinya sekalian,
Mangunto segera
melangkah keluar halaman.
"Mudah-mudahan Raden Gayo
tak sedang be-
pergian. Aku bisa terima bayaran
malam ini juga...!
Dan malam ini juga aku akan
menginap di BALURAN.
Haha... sudah lama aku tak
mengecap dan mencium
wanginya arak mak Gembrot!"
Mangunto tersenyum-
senyum membayangkan acara malam
nanti.
Lalu melangkah cepat ke arah
timur menyusuri
jalan setapak....
***
DUA
SUATU KEANEHAN TERJADI PADA DIRI
MAN-
GUNTO... Karena mengejar waktu
agar dapat tiba di
Baluran tak terlalu malam,
Mangunto mempercepat
langkahnya. Akan tetapi aneh!
Dia merasa langkahnya
ringan. Bahkan beban berat yang
menggemblok di
punggungnya terasa ringan
seperti memanggul sebun-
talan kapas saja. Hal itu belum
terasakan oleh Man-
gunto, karena benaknya terus
memikir mengenai lang-
kah-langkah selanjutnya.
Dia telah merasa bosan menetap
di wilayah itu.
Mendadak saja ketika melintasi
sebuah belokan di sisi
hutan, dua sosok tubuh
berkelebat dari semak belu-
kar, dan menghadang
langkahnya.
"Berhenti!"
Bentak salah seorang dengan
menyilangkan se-
batang golok besar bermata
lebar. Laki-laki ini bertu-
buh gempal, berkumis tebal
mengenakan baju dan ce-
lana warna gelap. Sedangkan yang
seorang lagi bertu-
buh agak pendek, berkepala
botak. Tubuhnya lebih
kekar dari laki-laki kawannya.
"Siapa kalian?" tanya
Mangunto dengan kehe-
ranan, karena tahu-tahu dua
orang telah mengha-
dangnya. Langkahnya terhenti,
dan kakinya agak me-
nyurut mundur.
Si laki-laki pendek berkepala
gundul tertawa
menyeringai sambil
menggaruk-garuk kepalanya yang
plontos. Dari bagian belakang
punggungnya tersembul
gagang senjata.
"Hehehe... tinggalkan
buntalan yang kau bawa
itu. Dan kau boleh pergi dengan
aman!" menyahut la-
ki-laki ini.
"Benar! tak usah banyak
tanya-tanya segala!
Turut kata-kata kawanku kalau
kau sayang jiwamu!"
timpal si kumis tebal dengan
memutar-mutar golok be-
sarnya.
Tentu saja Mangunto mendelikkan
matanya,
seraya membentak marah.
"Huh! kalian ini rupanya
tukang-tukang begal
bermata buta! Barang dalam
buntalan ini bukan ba-
rang berharga, dan tak ada
gunanya buat kalian. Lebih
baik kalian minggir dan beri aku
jalan...!"
"Haha... barang apapun
dalam buntalan kain
hitam itu, bukan soal. Yang
penting segera tinggalkan
buntalan itu, dan kau boleh
pergi dengan aman!" ber-
kata si laki-laki kumis tebal
dengan tertawa dingin.
"Gila orang-orang
ini?" sentak Mangunto dalam
hati. Melihat kilatan cahaya
golok besar yang melin-
tang di hadapannya hati Mangunto
mencelos. "Apakah
aku harus menunjukkan bahwa
buntalan ini berisi pa-
tung yang tak berguna buat
mereka?"
Sementara itu dua laki-laki itu
mulai tak sabar,
dan kembali membentak.
"Cepat tinggalkan barang
itu, atau golokku
yang akan bicara?" bentak
si kumis tebal.
"Biar aku yang memberi
pelajaran pada manu-
sia bandel ini!" kata si
pendek kepala botak. Dan...
dengan langkah lebar dia maju
mendekati Mangunto
yang berubah pucat wajahnya.
"Tunggu! Akan kubuka
buntalan ini di hadapan
kalian, agar kalian mengetahui
apa isinya!" kata Man-
gunto.
Sesaat kedua laki-laki itu
saling pandang.
Tampaknya si laki-laki pendek
kepala botak minta
pendapat kawannya. Si kumis
tebal melintang itu
memberi isyarat dengan kedipan
mata pada si pendek
gundul.
Laki-laki ini tersenyum, seraya
berkata. "Baik-
lah ! Kuberi kesempatan kau
membuka buntalan kain
itu. Apakah isinya benar-benar bukan
barang berhar-
ga?"
Tanpa ayal segera Mangunto
membuka kain
buntalannya.
Dua laki-laki pembegal itu
tampak tertegun me-
lihat sebuah arca terbuat dari
batu hitam berbentuk
aneh yang berada dalam buntalan
kain tersebut.
"Hm, akan kau bawa kemana
benda itu?" tanya
si pendek heran.
"Aku akan mengantarnya
ke rumah Raden
Gayo!" sahut Mangunto
sambil membungkus kembali
patung batu hitam itu. Kemudian
bangkit berdiri.
"Nah! berilah aku jalan!
Kalian sudah melihat
bahwa barang yang kubawa tak
berguna buat kalian!"
kata Mangunto dengan hati penuh
kemenangan. Dua
laki-laki pembegal itu tak
berkata apa-apa. Mereka
membiarkan Mangunto lewat dengan
langkah lebar.
"Eh. DOKOH SIMBURU! Kau
dengar tadi dia
menyebut-nyebut nama Raden
GAYO?" bertanya si
kumis tebal pada si pendek
kepala gundul.
"Ya! aku dengar! Bukankah
Raden Gayo yang
dimaksud adalah orang ternama
yang tinggal di Balu-
ran?" tukas si pendek.
"Kukira begitu..."
menyahut si kumis baplang
kawannya. Si pendek kepala
gundul berpikir sebentar.
Lalu berkata dengan berbisik.
"Hm, kalau patung itu
barang pesanan Raden
Gayo, tentu barang
berharga. Dan kalau barang ber-
harga tentu bukan sedikit
imbalannya..." Keduanya
kasak-kusuk beberapa saat. Tak
lama si kumis bap-
lang tersenyum menyeringai.
"Bagus! Barang itu tak
boleh kita lewatkan be-
gitu saja!"
"Benar! Mari kita kejar
dia...!" tukas si pendek
botak.
"Baik! langsung saja kita
habisi dia. Dan kita
yang mengantar benda itu ke
rumah Raden Gayo!" ka-
ta si kumis tebal.
Dan... berkelebatlah kedua
pembegal ini menge-
jar Mangunto.
Saat itu Mangunto sedang
tersenyum-senyum
selepas lolos dari cengkeraman
dua orang begal. Dia
tak mengetahui kalau bahaya maut
kembali mengejar-
nya. Tahu-tahu terdengar
bentakan di belakangnya.
"Berhenti!"
Tentu saja bentakan itu membuat
Mangunto
terlonjak kaget. Seketika
wajahnya berubah pucat pias,
karena dua pembegal tadi
tahu-tahu telah berada di
belakangnya.
"Apa yang kalian
inginkan?" tanya Mangunto
dengan suara agak menggetar.
Kedua laki-laki pem-
begal itu tertawa menyeringai.
"Haha!.. aku inginkan benda
itu!" kata si pen-
dek gundul.
"Hah!? bukankah ..."
Tapi kata-kata Mangunto
terputus, ketika den-
gan gerakan cepat si laki-laki
pendek kepala gundul
mencabut senjatanya dari balik
punggung, dan kilatan
mengandung maut menyambar ke
arah lehernya.
Suatu hal yang aneh tiba-tiba
saja dialami
Mangunto. Tahu-tahu si pendek
kepala gundul menje-
rit panjang. Tubuhnya terlempar
bagaikan terdorong
oleh suatu tenaga yang tak
kelihatan. Hingga laki-laki
itu terlempar berguling-guling.
Tentu saja hal itu
membuat Dokoh Simburu tersentak
kaget. Laki-laki
pendek kepala botak ini merasa
satu tenaga dahsyat
berhawa panas telah menyambar
tubuhnya. Badik di
tangannya nyaris terlepas dari
genggaman tangannya.
***
Sebaliknya Mangunto sendiri
terheran-heran.
Karena di saat bahaya maut
mengancam jiwanya, dia
sudah pasrahkan dirinya pada
nasib. Bagi orang yang
tak berkepandaian apa-apa
seperti dirinya, mana bisa
mengelakkan serangan yang
demikian tiba-tiba? Akan
tetapi aneh! Mengapa tahu-tahu
si pendek kepala gun-
dul tahu-tahu terlempar
bergulingan?.
Lain halnya dengan si kumis
tebal bernama
BRONCO. Dia tertegun beberapa
saat. Sungguh tak
disangkanya sama sekali kalau
Mangunto yang tam-
pak tak punya kepandaian apa-apa
itu memiliki tenaga
dahsyat yang mampu membuat
terlempar tubuh ka-
wannya.
Detik itu juga dia mencabut
golok besarnya.
Wajahnya berubah merah padam.
"Bagus! ternyata kau
memiliki ilmu kepan-
daian? Tapi kau tak akan lolos
dari kematian!" bentak-
nya menggeledek.
Golok besarnya menyambar ke arah
Mangunto.
Mangunto terkesiap kaget. Tanpa
disadari kakinya me-
langkah menghindar. Dan di luar kemauannya tahu-
tahu kakinya menendang.
PLAK!
BRONCO terkejut. Sambaran kaki
Mangunto
meluncur seperti kilat.
Tahu-tahu dia berteriak kesaki-
tan. Pergelangannya. terasa
dibentur oleh sebuah palu
besi. Tubuhnya terhuyung ke
belakang, dan golok ter-
lempar mencelat ke udara.
Lagi-lagi Mangunto terkejut.
Hatinya tersentak
kaget.
"Aneh...!? mengapa bisa
terjadi begini?" berkata
Mangunto dalam hati. Akan tetapi
Mangunto tak ber-
pikir lebih jauh lagi. Segera
dia balikkan tubuh dan
berjalan cepat meninggalkan dua
orang itu yang dalam
keadaan terlongong saling
pandang, dengan wajah pu-
cat.
"Sial benar nasib kita!
Ternyata dia bukan ma-
kanan empuk!" berkata si
kumis baplang dengan me-
nyeringai sambil mengurut pergelangan
tangannya
yang bengkak dan tampak membiru.
"Sial apanya!" gerutu
si pendek kepala botak.
"Masih untung dia tak
turunkan tangan membunuh
kita!" Laki-laki ini
kebutkan bajunya yang kotor.
"Hayo, kita pergi dari
sini?" katanya.
"Tunggu...!" sahut
Bronco, seraya beranjak
menjumput goloknya yang
tertancap disela batu. Ke-
mudian kedua begal apes itu
segera lenyap dari tempat
itu...
***
TIGA
RADEN GAYO TERSENYUM GIRANG..
Arca ba-
tu hitam berbentuk manusia
berkepala kambing itu
dibawanya masuk ke dalam
kamarnya. Benda itu dile-
takkan di atas meja.
"Bagus! cocok dengan
pesanan Guru...! Hm, be-
sok segera kubawa ke tempat
Guru. Ya! besok! Kukira
sudah terlalu lama Guru
memesannya, dan baru hari
ini pesanan itu selesai
dibuat...!" Raden Gayo meng-
gumam sendiri, sementara matanya
tak puas-puas
mengamati arca batu berbentuk
aneh itu.
Sesaat antaranya laki-laki muda
berusia antara
dua puluh lima tahun ini
beranjak menuju ke
lemari kayu jati berukir disudut
ruangan kamar. Dari
dalam laci lemari dia menjumput
sebuah buntalan
kain kecil yang memperdengarkan
bunyi gemerincing
ketika lengannya menjumputnya.
"Aku telah menyediakan
separuh lagi upah
buat pak Mangunto. Dan dia akan
menerima upah je-
rih payahnya...!" kata
Raden Gayo dalam hati.
Tak lama dia beranjak melangkah
keluar dari
ruangan kamar. Dilihatnya
Mangunto masih duduk
menanti di teras depan gedung
sambil menopang dagu.
Lengannya memegang kain hitam
bekas pembungkus
patung yang telah dilipatnya.
Melihat kemunculan Raden Gayo,
laki-laki be-
rusia lima puluhan tahun ini
bangkit berdiri. Wajah-
nya menampilkan kecerahan. Dan
seulas senyum ter-
sungging disudut bibirnya.
CRING!
Raden Gayo meletakkan bungkusan
kain kecil
berisi uang logam itu di depan
Mangunto, seraya ber-
kata.
"Terimalah sebagian lagi
upah mu, pak Man-
gunto!"
"Ah, terimakasih,
Raden..." sahut Mangunto se-
raya ulurkan tangannya menjumput
uang dalam bun-
talan kecil di hadapannya.
Mangunto masukkan kan-
tong uang itu ke sela bajunya,
berikut kain hitam be-
kas pembungkus patung. Kemudian
bungkukkan tu-
buh menjura.
"Aku tak lama,
Raden..."katanya mohon pamit.
"Hari sudah malam. Apakah
kau tak sebaiknya
menginap saja, pak Mangunto? Di
belakang ada kamar
kosong kalau kau mau menginap
kata Raden Gayo.
"Terimakasih, Raden...! Aku
ada sedikit keper-
luan. Biarlah aku puking
saja!" sahut Mangunto meno-
lak. Dia sudah berniat
mengunjungi kedai Mak Gem-
brot di kota Baluran. Rasanya wangi arak telah ter-
cium di ujung hidungnya, dan dia
sudah merencana-
kan untuk menginap di kedai yang
sekaligus juga tem-
pat penginapan itu. Mangunto
memang pernah tinggal
di kota itu selama beberapa
bulan.
Raden Gayo tak bisa menahan
lagi. Dia men-
gangguk dan berkata.
"Kalau begitu, baiklah...!
Oh, ya! harap kau
berhati-hati. Kalau ada apa-apa
laporkan saja pada-
ku!"
Mangunto mengucapkan
terimakasih. Kemu-
dian segera beranjak keluar
gedung dan meninggalkan
tempat itu dengan langkah cepat.
Raden Gayo menatap kepergian
laki-laki tua itu
hingga lenyap dari pandangan
matanya. Lalu beranjak
masuk ke ruang dalam...
***
NIAT MANGUNTO UNTUK menginap dan
mi-
num arak di kedai Mak Gembrot
disudut kota Baluran
diurungkan. Mangunto teringat
kejadian siang tadi ke-
tika dirinya dihadang oleh dua
orang begal-yang men-
ginginkan patung yang dibawanya.
Di kedai itu jelas
bukan sedikit orang-orang yang
berkunjung. Dianta-
ranya tentu terdapat pula dua
begal itu. Seperti dike-
tahuinya, kedai Mak Gembrot
memang terkenal den-
gan arak wanginya, dan menjadi
tempat persinggahan
pelbagai golongan manusia.
Mangunto melupakan Mak Gembrot
dan ke-
dainya. Dia bergegas melangkah
menyusuri jalan un-
tuk kembali pulang ke rumahnya.
Di langit sepotong
bulan mengambang. Cuaca agak
remang, cukup lu-
mayan untuk menerangi jalan yang
dilaluinya.
Sementara dalam melangkah
benaknya memi-
kir. "Hm, aku khawatir dua
begal itu berada disana.
Kalau mereka melihatku tentu
besar resikonya.
Manusia seperti mereka banyak kawannya,
dan... kalau terjadi keributan
belum tentu aku bisa
menolong diriku. Apakah kekuatan
aneh yang telah
menyelamatkan diriku itu bisa
muncul lagi?"
Mangunto bingung memikirkan,
dari mana asal
nya kekuatan aneh yang mampu
membuat kedua
pembegal tadi terlempar. Dan
suatu hal yang sangat.
aneh adalah tahu-tahu kakinya
menendang tanpa dia
sendiri berniat menggerakkan
kaki.
Mendadak angin berhembus keras.
Awan hitam
bergulung-gulung di langit.
Dalam beberapa saat saja
cahaya bulan lenyap. Dan
kegelapan merambah alam
sekitar tempat itu. Langitpun
gelap pekat!
Mangunto bergegas setengah
berlari memper-
cepat langkahnya. Ada perasaan
aneh menyelinap di
hati Mangunto. Hatinya berkata.
"Cuaca tiba-tiba berubah
sedemikian cepat.
Apakah akan turun hujan
lebat?" Mangunto berlari-lari
di jalan setapak menembus
kegelapan...
***
SEMENTARA ITU keadaan di rumah
kediaman
Raden GAYO... Suatu kejadian
aneh telah terjadi di
kamar laki-laki muda anak
seorang saudagar kaya
yang masih famili orang Kerajaan
itu. Ketika Raden
Gayo tertidur pulas di kamarnya,
sesuatu telah terja-
di...
Ketika Raden Gayo tengah asik
memperhatikan
patung batu hitam berbentuk aneh
itu, tiba-tiba hati
laki-laki ini tersentak. Cuaca
buruk di luar telah
menghempaskan daun jendela yang
belum sempat di-
tutupnya.
"Ah, angin bertiup keras
sekali...! Aku lupa me-
nutup jendela !" desisnya,
seraya beranjak cepat ke sisi
ruangan. Lalu menutup jendela
dan menguncinya.
"Cuaca di luar gelap
sekali. Apakah mau turun
hujan?" berkata Raden Gayo
dalam hati. Di saat laki-
laki itu menutupkan jendela
kamar, ada angin bersyiur
yang menyusup masuk ke ruangan
kamarnya.
Syiuran angin itu lenyap di
sekitar meja, dima-
na Raden Gayo meletakkan patung
aneh pesanan Gu-
runya.
Sesuatu telah terjadi! Patung
aneh itu tampak
bergetar. Dan sebersit sinar
tampak memancar pada
mata arca. Tapi cuma sesaat.
Cahaya aneh pada mata
arca batu hitam itu lenyap,
ketika Raden Gayo memba-
likkan tubuh setelah menutupkan
daun jendela, dan
beranjak lagi ke arah meja.
Karena besok akan pergi
mengantarkan arca
itu, Raden Gayo bersiap-siap
untuk tidur. Dia men-
gambil selembar kain dari dalam
lemari, kemudian di-
pergunakan untuk membungkus patung
itu.
Ada perasaan aneh menyelinap
di hati Raden
Gayo. Entah mengapa jantungnya
berdebar ketika
membungkus benda itu. Darahnya
seperti mengalir le-
bih cepat.
Sepertinya benda itu punya
pengaruh hebat
yang membuat darahnya bergolak.
Raden Gayo tak
menyadari hal itu. Dia cuma
menyadari keadaan di-
rinya dalam ketegangan.
Karena besok harus mengantar
benda itu pada
gurunya. Peristiwa apa yang
bakal dihadapi besok dia
tak mengetahui. Yang jelas
dengan patung itu gurunya
telah merencanakan sesuatu untuk
suatu kepentin-
gan.
Kepentingan apakah yang
direncanakan gu-
runya itu hanya akan diketahui
besok, setelah dia
mengantarkan arca berbentuk aneh
itu.
Raden Gayo lemparkan tubuhnya ke
pembarin-
gan. Hawa dingin menebar dalam
ruangan kamar. An-
gin keras di luar masih
menghempas-hempas. Pemuda
ini tarik kain selimut dan
membuntal tubuhnya.
Tak berapa lama kemudian sudah
terdengar
dengkurnya...
***
EMPAT
SIANG ITU UDARA PANAS TERIK...
ketika seo-
rang penunggang kuda lewat di
jalan desa dengan se-
cepat terbang, meninggalkan debu
mengepul di bela-
kangnya. Siapa adanya si
penunggang kuda itu adalah
Raden Gayo adanya. Pemuda ini
tampaknya tak mau
berlama-lama untuk mengantar
area aneh itu. Benda
dalam buntalan kain warna kuning
itu diikatkan di
punggung kuda.
Tak berapa lama Raden Gayo sudah
tiba di sisi
perbukitan. Dia terus membedal
kuda bagai di kejar
setan, dan terus menuju ke arah
timur... Seekor elang
mendadak muncul dari balik
tebing batu. Burung
elang itu tiba-tiba menyambar
Raden Gayo dengan
memperdengarkan suara mengiyak.
Tentu saja hal itu membuat
laki-laki ini terpe-
ranjat setengah mati. Secara tak
sengaja dia telah me-
nahan gerakan lari kudanya.
Binatang tunggangannya
meringkik panjang dengan
mengangkat kedua kaki de-
pan. Raden Gayo bungkukkan
tubuhnya menghindari
sambaran elang ganas yang
menyerangnya secara tiba-
tiba.
"Burung keparat!" maki
Raden Gayo dengan
wajah berubah merah. Detik itu
juga dia telah melom-
pat dari punggung kuda.
Burung elang itu terbang
memutar. Kemudian
kembali menukik, dan menyambar
kepala Raden Gayo.
Akan tetapi laki-laki ini telah
siap. Sebelah lengannya
bergerak menghantam dengan
diiringi bentakan gusar.
"Mampuslah kau
keparat!" Akan tetapi puku-
lannya mengenai tempat kosong, karena binatang itu
telah melesat ke samping. Tahu-tahu menukik me-
nyambar dari arah belakang.
Sepasang kakinya siap
mencengkeram ke leher.
Raden Gayo terkesiap. Dia
balikkan tubuh dengan ce-
pat. Lagi dia hantamkan
pukulannya dengan berteriak
marah.
Untuk kedua kalinya serangannya
luput...! Bi-
natang itu terbang membumbung.
Lalu terbang berpu-
tar-putar. Raden Gayo mengikuti
putaran burung
elang itu. Burung Elang itu
cukup besar dan tampak-
nya melebihi besarnya elang
biasa. Putaran elang se-
makin cepat, dan semakin dekat.
Mendadak kembali
burung elang meluncur menyambar.
Gerakan samba-
ran yang begitu cepat itu dan
secara tiba-tiba mem-
buat Raden Gayo tersentak. Kali
ini Raden Gayo me-
nyerang dengan beruntun. Dua
sambaran keras melu-
ruk ke arah burung Elang itu.
Serangan pertama lolos,
tapi serangan berikutnya tak
mungkin kalau tak men-
genai sasaran.
Akan tetapi sebelum pukulan
Raden Gayo
menghantam elang itu, tahu-tahu
ada hembusan an-
gin yang menyambar, dan...
selamatlah binatang itu
dari kebinasaan. Karena pukulan
tenaga dalam pemu-
da itu tersampok mental ke arah
samping.
Terdengar suara suitan panjang
dua kali. Bu-
rung Elang yang terbang
membumbung itu menukik
ke balik batu di atas tebing.
Alangkah terkejutnya Ra-
den Gayo ketika melihat seorang
kakek berjubah me-
rah berkepala botak berdiri di
atas batu besar. Elang
itu menukik dan hinggap di atas
pundak kakek itu.
"Keparat! Siapa kau?"
bentak Raden Gayo den-
gan marah. Segera dia mengetahui
kalau elang itu mi-
lik orang itu.
Laki-laki tua jubah kelabu itu
tak menjawab,
tapi tertawa terkekeh, dan
tubuhnya berkelebat me-
lompat turun dari atas batu
besar di atas tebing. Gera-
kan melompatnya sangat ringan,
seperti sehelai suara.
Jelas orang ini memiliki tenaga
dalam sangat tinggi.
Raden Gayo perhatikan wajah
kakek ini. Ter-
nyata orang itu walau tampak
dari jauh berkepala
gundul, tapi masih tampak
sedikit rambut di bagian
belakang kepala. Kumis dan
jenggotnya lebat menyatu
dengan cambang bauknya. Usianya
tak lebih dari
enam puluhan tahun. Lengannya
mencekal tongkat
berbentuk aneh, yaitu di bagian tengahnya ada kayu
berbentuk bulat sebesar buah
semangka.
"Heheh...heh... maafkan
kekurangan ajaran bi-
natang piaraan ku, anak
muda...!"
Raden Gayo mendelikkan matanya
dan mem-
bentak marah.
"Huh ! kalau kau tak
menyuruh menyerangku,
masakan dia berbuat seperti
itu?" Si kakek kembali
tertawa mengekeh. Lalu berkata.
"Aku tak menyuruh
menyerangmu, anak muda!
Tapi agaknya dia melihat kau
seperti musuhnya. Tam-
paknya kau membawa sesuatu yang
membuat dia
menjadi marah. Apakah isi
buntalan kain kuning di
atas punggung kudamu?"
"Heh! alasanmu tak masuk
akal! Kau cuma
berdalih saja, dan maksudmu
sebenarnya adalah
hanya untuk menanyakan benda apa
yang ku bawa!"
kata Gayo dengan sikap tak
senang. Lalu sambungnya
dengan ketus.
"Adapun yang berada dalam
buntalan kain
kuning itu, dan benda apa yang
aku bawa bukanlah
urusanmu! Yang jelas kau hampir
saja mencelakai di-
riku! Katakanlah apa maksudmu
sebenarnya!"
"Hehe... baik! baiklah aku
akan mengatakan
maksudku sebenarnya padamu, anak
muda! Apakah
kau yang bernama Raden
Gayo?"
"Kalau kau sudah
mengetahui, mengapa pura-
pura bertanya?" sahut Raden
Gayo ketus. Si kakek la-
gi-lagi tertawa. Jawaban ketus
Raden Gayo tak mem-
buat dia marah, tapi malah
tertawa geli mengekeh.
"Heheh... aku memang telah
mengetahui kau
Raden Gayo, anak BARAMANTRA!
Tapi mata ku sudah
agak mulai lamur, hingga aku
menanyakan padamu
agar lebih jelas!" kata
kakek ini. Raden Gayo tak me-
nyahut. Dia hanya perdengarkan
suara di hidung. Tapi
dalam hati diam-diam dia
terkejut, karena dia tak per-
nah mengenal kakek itu. Tapi
orang tua itu mengenali
ayahnya. "Siapakah
sebenarnya kakek ini...?" berkata
dalam hati Raden Gayo.
"Aku memang sengaja
menahanmu, dan me-
nyuruh burung elang menyerangmu.
Dengan demikian
kau akan berhenti. Sejak kau
masih di
bawah bukit
aku sudah melihatmu. Kau
menjalankan kuda seperti
tergesa-gesa. Dan kulihat
di punggung kudamu ada
buntalan kain kuning. Tentu saja
aku ingin mengeta-
hui apa isi buntalan kain yang
kau bawa itu?" kata si
kakek.
"Kau terlalu ikut campur
urusan orang, tua
bangka! Walaupun kau kenal
ayahku, tapi apa hubun-
gannya dengan barang yang aku
bawa?"
Berubahlah paras muka kakek
jubah merah.
Dia mengetukkan tongkatnya
ke tanah. Lalu berkata
dengan suara dingin.
"Hm, aku mendapat firasat benda
yang kau ba-
wa adalah benda pembawa
malapetaka ! Oleh karena
itu aku telah menghadangmu
di tempat ini untuk
menghancurkan barang pesanan
gurumu !"
Membelalak mata Raden Gayo. Dia
membentak
dengan marah.
"Huah! lagi-lagi kau
gunakan alasan! Kau orang
tua mengenal ayahku, siapakah
kau sebenarnya?"
"Hm, apakah ayahmu
Baramantra tak menceri-
takan tentang aku? Heh... heh...
he..., alangkah bo-
dohnya ayahmu! Ternyata dia
lebih mementingkan is-
teri-isterinya saja dan banyak
bersenang-senang den-
gan harta-benda, tanpa menyadari
kalau anak laki-
lakinya terjerumus ke dalam
jurang kesesatan! Akulah
yang bernama Ki SEMBULUR! Dalam Rimba persila-
tan orang mengenal ku dengan
gelar si Pendekar Usil!"
sahut laki-laki tua ini.
"Pantas kau suka usil dengan
urusan orang!"
bentak Raden Gayo dengan marah,
tapi juga terheran
mendengar julukan aneh laki-laki
tua itu. Ayahnya
memang tak pernah menceritakan
tentang orang di
hadapannya itu. Dan nama serta
gelarnya pun baru
kali ini mendengarnya. Ki Sembulur
lanjutkan kata-
katanya.
"Aku kenal ayahmu sejak dua
puluh tahun
yang silam. Sejak dia masih jadi
gembel, hingga kini
menjadi seorang Raja Kecil yang
hidup dari sokongan
seorang pembesar kerajaan!"
"Keparat! kau menghina ayah
dan keluargaku?"
bentak Raden Gayo dengan wajah
merah padam. Da-
danya terasa hampir meledak
karena gusarnya. Tapi Ki
Sembulur meneruskan
kata-katanya.
"Aku juga kenal baik dengan
gurumu! Dia tak
lebih dari manusia setali tiga
uang dengan ayahmu!"
Sampai disini Raden Gayo tak
dapat menahan
kemarahannya.
Tubuhnya bergetar. Dan tiba-tiba
dia meng-
gembor keras dibarengi dengan
gerakan tubuhnya me-
nerjang kakek itu.
***
LIMA
DARI SISI LAMPING BUK1T tersebut
dua sosok
tubuh... Siapa adanya dua orang
ini tak lain dari dua
begal bernama Dokoh Simburu dan
Bronco. Keduanya
pentang mata lebar-lebar
menyaksikan pertarungan
seru antara seorang laki-laki
muda melawan seorang
kakek berjubah merah
bersenjatakan tongkat aneh.
Tapi pandangan mata mereka
sebentar melihat ke arah
pertarungan, sebentar melihat ke
arah kuda. Ternyata
yang menjadi incaran dua orang
begal adalah bungku-
san kain kuning yang berada di
atas punggung kuda.
Si pendek Dokuh Simburu berikan
isyarat pada
Bronco kawannya yang berkumis
baplang. Kemudian
dengan berindap-indap menuruni
tebing mendekati ke
arah kuda yang berada di bawah
bukit.
Sementara itu pertarungan dua
orang itu masih
berlangsung dengan Serunya.
Raden Gayo telah men-
cabut senjatanya sepasang ruyung
berujung runcing.
Dengan kemarahan meluap dia
menerjang. Dua batang
ruyung di tangannya seolah-olah menjadi puluhan
ruyung yang menempur lawannya
dengan tusukan-
tusukan mengandung maut. Akan
tetapi si kakek ju-
bah merah dengan tongkat anehnya
menangkis sam-
baran-sambaran berbahaya itu.
Lewat tiga belas jurus tiba-tiba
si kakek berna-
ma Ki Sembulur itu perdengarkan
bentakan keras. Tu-
buhnya tahu-tahu telah
terbungkus oleh putaran
tongkatnya. Syiuran angin dari
putaran tongkat mem-
buat setiap kali serangan ruyung
Raden Gayo terpental
balik. Bahkan tubuh pemuda itu
terhuyung ke kanan
dan ke kiri. Di saat itulah
tiba-tiba terdengar bentakan
menggeledak. Dan sesosok
bayangan berkelebat mun-
cul diiringi sambaran angin
keras ke arah punggung Ki
Sembulur.
Kakek ini tersentak kaget
merasai angin panas
menyambar di belakang tubuhnya.
Ki Sembulur henti-
kan putaran tongkatnya.
Secepat kilat dia balikkan
tubuh. Dengan tela-
pak tangannya dia menghantam ke
depan. DESS!
Angin pukulan terhantam dan
mental balik.
Tapi tubuhnya terhuyung ke
belakang beberapa lang-
kah. Namun dengan gerakan sebat
dia telah memper-
gunakan aji Pasak Bumi. Hingga
tubuhnya berdiri te-
gak lagi.
Kini sepasang matanya melihat
siapa adanya
orang yang menyerang barusan.
"Bagus! kukira kau tak akan
muncul, tua
bangka KEBO DUWUNG!"
berkata Ki Sembulur dengan
suara dingin. Laki-laki tua
berjubah kelabu berambut
putih ikal dan tampak semrawut
itu membentak ma-
rah.
"Ki Sembulur si Pendekar
Usil! Kau boleh usil
dengan lain orang, tapi jangan
usil dengan urusanku!"
bentaknya menggeledek.
"Hehe...he... belasan tahun
tak bertemu ternya-
ta kau telah banyak kemajuan!
Muridmu cukup hebat!
Aku hanya mengujinya saja! Ternyata
kau mendidik-
nya cukup baik. Tapi apa yang
akan kau buat dengan
patung pesananmu? Aku punya
firasat buruk, bahwa
benda itu akan membawa
malapetaka!" berkata Ki
Sembulur dengan sikap tenang.
"Hm, arca itu pesanan
seorang sahabatku yang
saat ini menjadi tetamu ku. Dia
datang dari kaki gu-
nung Himalaya!" sahut Kebo
Duwung dengan tak ka-
lah dingin, Lalu menyambung
kata-katanya.
"Benda itu dibuat dari batu
hitam yang langka!
Yang dibawa dari seberang
samudera! Aku mendapat
penjelasan, bahwa benda itu
kelak akan dijadikan se-
bagai patung pemujaan, atau
sebagai lambang Dewa
yang dianutnya! Mengenai urusan
itu, bukanlah uru-
san kita orang. Kalau kau turut
usil mencampuri uru-
san, bukankah sama dengan kau
mencari permusu-
han?"
Sejenak Ki Sembulur tertegun.
Akan tetapi se-
gera dia berkata.
"Baik! hal itu memang bukan
urusanku. Tapi...
aku mendapat firasat benda itu
akan membawa mala-
petaka! Itulah sebabnya aku
menahan murid mu, dan
dengan sangat menyesal sekali
terpaksa aku harus
menghancurkan benda itu!"
Berubahlah seketika wajah Kebo Duwung. Ma-
tanya membeliak lebar. Gigi
gerahamnya gemerutuk.
Kumis dan jenggotnya bergetar.
"Firasat gila ! Bilang saja
kau mengingini benda
itu! Kalau begitu aku si tua
Kebo Duwung akan mem-
pertahankannya dengan taruhan
nyawaku!" bentak la-
ki-laki tua ini dengan
menggeram.
Akan tetapi ketika mereka siap
untuk baku
hantam, mendadak terdengar suara
teriakan Raden
Gayo.
"Celaka! patung itu dicuri
orang!"
Tentu saja teriakan itu membuat
kedua kakek
ini jadi terkesiap kaget.
Serentak mereka berkelebat
memburu ke arah
Raden Gayo yang telah berada di
dekat kuda tunggan-
gannya.
Bungkusan kain kuning di atas
pelana kuda
memang telah lenyap!
"Bodoh! apakah kau tak
melihat ada orang be-
rada di sekitar tempat
ini?" bentak Kebo Duwung den-
gan suara tinggi parau.
"Aku... aku tak
melihatnya...!" sahut Raden
Gayo. Untuk pertama kalinya dia
dimarahi oleh sang
Guru. Hal itu telah membuat
wajahnya berubah me-
rah, dan terasa panas. Apalagi
kata-kata "bodoh" itu
diucapkan dengan suara kasar dan
keras. Entah men-
gapa timbul satu keanehan pada
diri dan jiwa laki-laki
muda itu. Darahnya bergolak dan
aliran darahnya se-
rasa deras. Urat lehernya
menggembung, juga urat
yang berada di bagian kening berubah memerah dan
menggaris kening dengan nyata.
"Siapakah yang bodoh, Guru?
Aku atau kau?
Huh! seenaknya saja kau
memakiku! Aku sudah beru-
saha, membawa patung pesananmu
untuk kuberikan
padamu! Setelah hilang kau menyalahkan
aku! Heh!
Selama ini apakah yang
kudapatkan darimu? Cuma
ilmu memainkan sepasang ruyung
yang tak ada ar-
tinya. Kalau aku tak memberikan
imbalan yang terlalu
layak buatmu, atas
permintaanmu... Hm, mungkin
kau tak menghiraukan aku! Selama
ini aku cuma dipe-
ras saja olehmu. Nyatanya kau
berani memakiku. Pa-
dahal ayahku sendiri belum
pernah memakiku!"
Tentu saja kata-kata Raden Gayo
yang nyerocos
itu membuat Kebo Duwung
melengak. Dia tak me-
nyangka kalau pemuda muridnya
itu akan tersinggung
hatinya karena dia telah
membentaknya dengan kasar.
"Muridku... mengapa
kau...?" berkata Kebo
Duwung dengan heran. Akan tetapi
jawabannya adalah
pemuda itu menerjangnya dengan
beringas.
Sepasang ruyung menyambar ke
arah jantung
dan leher kakek itu.
Tentu saja membuat Kebo Duwung
terperanjat
kaget. Serangan tak terduga itu
begitu cepatnya. Kebo
Duwung berteriak tertahan. Walau
dia
berhasil mengelakkan serangan,
tapi tak urung
salah satu ujung ruyung telah
menancap di dada ki-
rinya. Membelalak mata kakek ini
melihat darah me-
mancur dari luka di dadanya yang
membasahi kain ju-
bahnya. Dengan menyeringai
menahan rasa perih ka-
rena lukanya, Kebo Duwung
rentangkan tangan. Me-
nyambarlah angin pukulan ke arah
Raden Gayo. Puku-
lan tenaga dalam mengandung maut
itu luput, karena
pemuda itu dengan gerakan sebat
telah gulingkan tu-
buhnya menghindari serangan.
Di saat pertarungan itu terjadi, Ki Sembulur
yang sejenak terpana melihat
pertarungan antara guru
dan murid itu, segera berkelebat
pergi dari tempat itu.
Beberapa kali dia gerakan tubuh
melompat, memeriksa
sekitar perbukitan. Matanya
jelalatan memperhatikan
kalau-kalau dia dapat melihat
ada bayangan manusia
di sekitar tempat itu.
"Gila! siapa yang telah
mencuri patung itu?"
berkata Ki Sembulur dalam hati.
Di saat dia tengah
menyelidiki sekitar tempat itu,
tiba-tiba dia mendengar
suara jeritan merobek udara di
kejauhan. Hatinya ter-
sentak. "Edan! Apa yang
telah terjadi dengan pertarun-
gan guru dan murid itu?"
sentak Ki Sembulur. Tubuh-
nyapun berkelebat kembali kea
rah dimana kedua
orang itu tengah Saling baku
hantam.
Tampak suatu pemandangan yang
menyayat
hati terpampang di matanya.
Raden Gayo dalam kea-
daan terkapar dengan kepala
remuk. Sedangkan kakek
jubah kelabu Kebo Duwung
terhuyung-huyung dengan
wajah pucat pias. Sebuah ruyung
muridnya menancap
di dadanya hingga menembus ke
punggung.
"Murid setan... ke... pa...
rrat...!" memaki Kebo
Duwung.
Bersamaan dengan makian itu,
tubuh Kebo
Duwung terjungkal roboh. Darah
menyembur dari lu-
kanya, ketika dia mencabut
ruyung yang tertancap di
dada. Nyawa laki-laki tua itupun
melayang ... Menyu-
sul arwah Raden Gayo yang telah
berangkat lebih dulu
akibat terkena hantaman pukulan
pada batok kepa-
lanya.
Ki Sembulur terpaku menatap tak bergeming.
Tak lama terdengar dia menghela
napas, seraya berka-
ta lirih.
"Benarlah seperti
firasat ku, benda itu akan
membawa malapetaka! Nyatanya
saat ini sudah dua
orang yang menjadi korban
malapetaka itu!" Ki Sembu-
lur balikkan tubuhnya, lalu
berkelebat pergi mening-
galkan perbukitan itu. Seekor
elang terbang melayang
dari atas batu tebing.
Itulah elang peliharaan Ki
Sembulur yang sejak
tadi cuma mengikuti kemana
laki-laki itu pergi. Meli-
hat Ki Sembulur berkelebat,
binatang itu melayang ce-
pat mengejar, dan mengikuti laki-laki itu dengan ter-
bang di atasnya.
***
ENAM
BEBERAPA BULAN TELAH LEWAT... bahkan
telah hampir setahun sejak
lenyapnya arca batu hitam
berbentuk aneh itu, dan kematian
Raden Gayo serta
gurunya Kebo Duwung telah hampir
dilupakan orang.
Seorang gadis menunggang kuda
dengan lang-
kah perlahan menuruni bukit. Dia
seorang wanita ber-
paras cantik. Rambutnya tergerai
di belakang pung-
gung. Mengenakan baju dari
sutera kuning. Wajah ga-
dis yang menampakkan keluguan
itu sangat sedap di-
pandang. Siapa adanya gadis ini?
Dialah RORO CEN-
TIL, si gadis aneh yang dikenal
dengan julukan si Pen-
dekar Wanita Pantai Selatan.
Roro alunkan satu tembang dari
mulutnya. Su-
ara tembang yang mensyairkan
kata-kata memuji
keindahan alam, serta kehidupan
manusia yang tente-
ram dan damai.
Ketika tiba di bawah bukit,
mendadak Roro
hentikan senandung tembangnya.
Matanya menatap
ke arah depan. Tampak puluhan orang muncul dari
sela tebing dimana di sebelah
belakangnya adalah se-
buah perkampungan. Puluhan orang
itu berjalan berir-
ing-iringan. Hampir rata-rata
mereka mengenakan pa-
kaian selembar kain putih yang
dibelitkan ke tubuh,
dan di bagian ujungnya
disampirkan ke bahu.
Yang membuat aneh Roro adalah di
bagian de-
pan tampak empat orang
menggotong sebuah tandu
yang dihiasi dengan bunga-bunga
beraneka warna.
"Siapakah orang dalam tandu
itu... dan akan
dibawa kemana?" berkata Roro
dalam hati. Rasa ingin
tahu segera menyelinap dalam
hatinya.
Roro bedal kudanya untuk
menyusul iring-
iringan itu. Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara me-
manggil di belakangnya.
"Nona RORO...!"
Roro menahan kendali kudanya,
dan menoleh
ke belakang.
Tampak seekor kuda putih
berpenunggang seo-
rang laki-laki yang juga
berpakaian putih dengan ikat
kepala kain hitam membedal cepat
menyusulnya.
Setelah dekat segera dia
mengenali siapa pe-
nunggang kuda itu.
"Nona Roro! tunggu
dulu...!" kata laki-laki itu,
"Ah, kiranya kau sobat JABO
LALENGGA! Ada apa kau
menyusul ku...?" Laki-laki
baju putih itu menjura, lalu
menyahut.
"Aku baru saja dari
Lamongan, menjenguk
ayah angkatku. Ada berita beliau
sakit keras. Salah
seorang saudara angkatku telah menyusulmu
memberi
khabar mengenai keadaan ayah
angkatku. Dan... se-
kembalinya dari sana secara tak
sengaja aku melihat-
mu ketika melintasi lembah Dewa
Suci ini!"
"Lembah Dewa Suci...?"
sentak Roro terkejut.
"Jadi lembah ini bernama
demikian?" berkata Roro
dengan kening mengerenyit.
"Benar ! Lembah ini
merupakan tempat suci
bagi penduduk sekitarnya.
Kebetulan saat ini tengah
ada acara pengorbanan! Kalau kau
masuk kesana
dengan mengendarai kuda, tentu
akan dimaki orang.
Atau bisa juga kau akan
dilempari batu, karena diang-
gap mengotori tempat suci!"
kata Jabo Lalengga.
"Oh...!? aku memang mau
melihat siapakah
orang dalam tandu itu, dan
apakah yang tengah mere-
ka lakukan !" Roro
ternganga mendengar keterangan
pemuda itu.
"Hm, mari kita tinggalkan
tempat ini. Akan ku-
ceritakan nanti mengenai lembah
Dewa Suci ini.
Mungkin kau belum pernah
mendengarnya...!" kata
Jabo Lalengga. Roro manggutkan
kepala. Tapi masih
menatapkan pandangan ke arah iring-iringan orang
pembawa tandu itu yang menuju ke
tengah lembah.
Pemuda itu putar kuda
tunggangannya, lalu
membedalnya terlebih dulu. Roro
menggumam perla-
han.
"Lembah aneh...!"
Kemudian putarkan ku-
danya, dan membedalnya dengan
cepat menyusul pe-
muda itu.
Jabo Lalengga ternyata banyak
mengetahui ja-
lan di tempat itu. Kudanya
memutar ke arah barat, la-
lu mendaki sebuah bukit. Dalam
waktu singkat mere-
ka telah berada di atas lembah.
Pemuda itu hentikan kudanya.
Lalu melompat
turun. Roro Centil menuruti
pemuda itu melompat tu-
run dari punggung kuda.
"Tempat yang bagus!"
kata Roro sambil layang-
kan pandangannya ke bawah. Dari
sini masih keliha-
tan iring-iringan orang pembawa
tandu itu, dan nam-
pak kecil dari kejauhan. Tapi cukup
jelas.
"Bagaimana kau bisa tahu
lembah itu tempat
suci?" bertanya Roro.
Jabo Lalengga jatuhkan pantatnya
ke atas ba-
tu. Sesaat matanya menatap Roro,
kemudian menya-
hut.
"Sebulan yang lalu aku
pernah menghadiri
upacara pengorbanan di lembah
itu, diajak oleh salah
seorang sahabatku di desa
sekitar lembah ini. Sayang,
aku tak dapat menunjukkan
tempatnya. Dia tinggal di
kaki bukit itu!" kata Jabo
Lalengga sambil menunjuk.
Roro melihat ke arah yang
ditunjuk pemuda itu.
"Apa yang kau ketahui di lembah
itu? Dan bi-
natang apakah yang
dikorbankan?" tanya Roro. Pemu-
da itu tertawa.
"Binatang...?" katanya
menukas. "Haha... bu-
kan binatang yang dijadikan
korbannya, akan tetapi
manusia!" sahutnya.
"Manusia...?" sentak
Roro. Terkejut dan heran
Roro menatap pemuda di hadapannya dengan mata
membelalak.
"Benar! Dewa Suci yang
menjadi sesembahan
orang-orang di sekitar lembah
itu membutuhkan darah
seorang gadis yang masih
suci!" Lagi-lagi Roro Centil
terpana mendengar keterangan
Jabo Lalengga.
"Edan! benar-benar gila!
Masakan ada persem-
bahan kepada Dewa dengan cara
semacam itu?" kata-
Roro dengan wajah berubah.
"Tapi kenyataannya memang
demikian! Setiap
satu bulan pasti ada acara
pengorbanan. Dan seperti
yang kau lihat, hari ini adalah
bulan yang keenam se-
perti yang diketahui dari
sahabatku, acara pengorba-
nan segera akan
dilaksanakan...!"
"Kapankah akan dimulai
upacara itu?" tanya
Roro. Hatinya tersentak, dan
wajahnya berubah agak
pucat. Roro melihat di dasar lembah puluhan orang
pembawa tandu telah berkumpul di
depan sebuah goa.
"Upacara akan dimulai
setelah hari gelap. Kira-
kira sepenanak nasi, akan
terdengar suara gong dipa-
lu. Dan tandu akan digotong ke
dalam oleh beberapa
orang berpakaian seperti
pendeta. Di bagian sebelah
atas di luar goa ada pancuran
tempat mengucurkan
darah gadis yang dikorbankan. Darah itu ditampung
dalam kuali. Kemudian akan
dicampur oleh air kelapa
yang telah direndam dengan
bermacam kembang. Air
itulah yang dibagi-bagikan pada
setiap orang yang
menginginkan keselamatan dan
lain-lain, terserah
keinginan apa yang dimaui oleh
orang turut nadir da-
lam upacara itu!" tutur
Jabo Lalengga.
"Darah itu
untuk diminum?" sentak Roro.
Pemuda itu mengangguk. Roro
belalakkan matanya.
"Kau... kau juga
meminumnya?" tanya Roro se-
tengah berteriak.
Tapi Jabo Lalengga menggelengkan
kepala, se-
raya menyahut dengan mimik wajah bersungguh-
sungguh.
"Syukurlah aku tak
meminumnya. Cairan da-
rah bercampur air kelapa itu aku
buang secara diam-
diam..." Roro jumput sebuah
batu sebesar kelapa. Ti-
ba-tiba dia melemparkan batu itu
hingga melesak ke
dalam tanah.
"Gila! apa yang telah
dilakukan di dasar lembah
itu tak dapat dibenarkan! Itu
suatu perbuatan terku-
tuk! lembah itu bukanlah lembah
suci, tapi lembah
terkutuk!" maki Roro dengan
napas tersengal dan tam-
pak dadanya turun naik. Sebagai
seorang wanita yang
juga masih gadis, apa yang
diutarakan mengenai upa-
cara pengorbanan di lembah Dewa
Suci itu tentu saja
membuat kengerian pada hati
Roro. Roro merasa
kaumnya telah diperbuat sesuka
hati oleh sekelompok
manusia yang mengadakan persembahan pada sang
Dewa Suci yang mereka puja-puja.
Entah macam apakah Dewa yang
mereka sem-
bah dan haus darah gadis-gadis
yang masih suci itu?
Roro merasa kepalanya
berdenyutan memikirkan upa-
cara aneh yang malam nanti bakal
berlangsung di da-
sar lembah itu.
***
TUJUH
CUACA TELAH BERUBAH GELAP...
Keadaan di
dasar lembah tampak terang
benderang karena bela-
san orang berpakaian mirip
paderi telah berdiri menge-
lilingi para pembawa korban
persembahan dengan
memasang obor-obor. Selang tak
berapa lama terden-
gar suara gong dipukul dari
dalam goa.
Empat orang laki-laki berkepala
gundul berju-
bah kuning keluar dari dalam
goa. Dan kelompok pen-
gantar dan pembawa tandu segera
menyingkir membe-
ri jalan. Tak lama tandu segera
digotong masuk ke da-
lam goa.
Di saat itulah di kejauhan, kira-kira sepuluh
tombak dari tempat itu terdengar
suara teriakan seo-
rang laki-laki tua. Dia
berlari-lari jatuh bangun dengan
sangat mengenaskan sekali.
"Tidaaak! cucuku jangan
dijadikan korban! Le-
paskan cucuku...!"
teriaknya dengan suara parau
menghiba. Para penggotong tandu
sesaat menghenti-
kan langkahnya. Tapi segera
terdengar bentakan dari
dalam goa.
"Jangan hiraukan siapa pun.
Cepat bawa ke
dalam. Tak ada calon korban yang
harus dibatalkan!"
suara bernada besar itu sangat
berpengaruh, hingga
tak ayal keempat paderi itu
cepat menggotongnya ma-
suk. Sesaat antaranya laki-laki
tua telah tiba di depan
mulut goa, dimana puluhan
manusia berkerumun. Be-
lasan paderi membawa obor tak
satupun yang berani
bergerak tanpa ada perintah.
Di saat itulah dua orang paderi
berjubah abu-
abu keluar dari dalam goa.
Dengan langkah lebar ke-
duanya mendekati laki-laki itu.
"Tua bangka! kau telah
berani melanggar pera-
turan. Tahukah kau apa
hukumannya?" bentak salah
seorang.
"Dia... dia cucuku....
Mengapa dia harus dijadi-
kan korban persembahan?"
berkata laki-laki tua ini
dengan wajah pucat dan suara
gemetar.
"Seret dia ke depan
altar!" satu suara berpenga-
ruh terdengar tanpa terlihat
orangnya yang
bicara. Sekali gerakkan lengan,
salah seorang
paderi jubah kuning menjambak
rambutnya. Laki-laki
tua itu menjerit kesakitan. Tapi
kedua pengawal tem-
pat pemujaan itu tak
memperdulikan. Mereka menye-
ret orang itu ke depan altar.
Ternyata di depan goa ada
tangga undakan yang pada bagian
ujungnya terdapat
asap pedupaan yang mengepulkan asap
kerbau harum
menusuk hidung. Keduanya
menyeretnya ke depan
tangga undakan.
Satu totokan yang dilakukan
salah seorang pa-
deri jubah kuning telah membuat
laki-laki tua itu ter-
paku diam dalam keadaan menekuk
lutut di tangga
batu. Terdengar suara tanpa rupa
yang bersuara besar
seperti tadi.
"Kau telah melanggar aturan
di tempat suci.
Maka hukumannya adalah potong
lengah!" Mendengar
kata-kata itu laki-laki tua ini
pucat wajahnya. Tapi dia
segera berkata.
"Potonglah lengan atau
kakiku, atau bunuhlah
aku. Asalkan cucuku
dibebaskan!"
"Kau benar-benar telah
mengotori tempat suci.
Maka hukumannya adalah penggal
kepala!" Terdengar
lagi suara dari dalam goa.
Laki-laki tua itu berteriak
kalap.
"Kalian semua manusia-manusia
biadab! Kalian
benar-benar iblis! Kelak kalian
akan mendapat balasan
setimpal dengan perbuatan gila
ini!" Akan tetapi teria-
kan laki-laki tua itu terputus.
Mendadak tubuhnya ter-
lempar dari depan altar. Para
pengantar korban menje-
rit kaget dengan wajah pucat.
Ketika tubuh laki-laki
tua itu menyentuh tanah di depan
goa ternyata leher-
nya telah putus!
Di saat itulah tiba-tiba sebuah
bayangan berke-
lebat diiringi bentakan nyaring.
"Manusia-manusia terkutuk!
Sungguh perbua-
tan biadab!"
Dua paderi jubah kuning yang
berdiri di kiri
kanan altar tiba-tiba menjerit
dan terjungkal roboh.
Gemparlah seketika puluhan orang
di depan goa itu.
Ternyata dua pengawal upacara
itu telah tewas seketi-
ka.
Dua belas paderi pembawa obor
terkejut meli-
hat kejadian itu. Dilihatnya
seorang wanita berbaju
kuning telah berdiri di depan
altar. Siapa adanya wani-
ta ini tiada lain dari Roro
Centil. Ternyata dengan di-
am-diam pendekar wanita itu
telah menyusup masuk
ke tempat di adakannya upacara
di mulut goa, di dasar
lembah itu.
Puluhan penduduk yang melihat
munculnya
seorang gadis berambut panjang
mengurai di tempat
itu cuma bisa ternganga dengan
menelan ludah.
Siapa lagi yang telah membunuh
dua orang
pengawal upacara kalau bukan
dara itu? Sementara
Roro dengan langkah lebar
melangkah masuk ke mu-
lut goa.
Keberanian yang ugal-ugalan itu
membuat ter-
kesiap seseorang yang berada
disudut celah tebing ba-
tu. Dengan mata membelalak dia
melihat kejadian di
depan mata.
"Ah, gadis pendekar itu
terlalu berani...! Ilmu
kepandaiannya memang hebat. Tapi dengan mencari
gara-gara di tempat yang
dianggap tempat suci oleh
segolongan manusia-manusia
di lembah itu, justru
akan menyulitkan
dirinya...!" mendesis pemuda ini
yang tak lain dari Jabo
Lalengga.
"Apakah yang harus
kuperbuat...?" berkata Ja-
bo Lalengga dalam hati.
Di saat pemuda itu tengah
kebingungan men-
gambil keputusan, karena
walaupun dia punya kebe-
ranian cukup, tapi untuk
mengambil resiko turut
mendampingi gadis pendekar yang
bersikap ugal-
ugalan itu terlalu berat
baginya. Setidak-tidaknya dia
toh masih sayang nyawanya.
Di saat itulah tiba-tiba
terdengar jeritan me-
lengking merobek udara berbareng
dengan terlempar-
nya tubuh dara ugal-ugalan itu
dari dalam goa.
"Nona Roro...!"
teriaknya secara tak sadar. Dan
tubuhnya telah berkelebat
melompat keluar dari tem-
pat persembunyiannya.
Akan tetapi baru saja dia akan
memburu tubuh
yang tergeletak di tangga
undakan altar, tahu-tahu
berkelebat bayangan putih...
Sebelum Jabo Lalengga sadar apa
yang terjadi,
tahu-tahu kepalanya seperti
dihantam benda keras.
Tubuh pemuda itu roboh
terguling, dan selanjutnya
dia sudah tak ingat apa-apa
lagi...
***
DELAPAN
RORO CENTIL TERHERAN-HERAN...
Tahu-tahu
dia telah berada di sebuah
tempat asing. Ketika me-
mandang ke sekeliling Roro
tersentak melihat ratusan
ular berbisa besar dan kecil
mengelilingi dirinya pada
jarak dua-tiga tombak. Sedangkan
dia sendiri berdiri
dengan pakaian sudah tidak utuh
lagi.
"Oh, dimana aku...?"
sentaknya dengan wajah
pucat.
Keadaan di sekelilingnya gelap
pekat, tak terli-
hat cahaya secuil pun. Ketika
dia mencoba mengge-
rakkan kaki dan tangan, terasa
sukar. Aneh! dia mera-
sa tenaganya lenyap sama sekali.
Di saat itulah dari arah
kegelapan di sekitarnya
bermunculan sosok- sosok tubuh
yang membuat kaki
Roro menyurut mundur. Itulah
sosok-sosok tubuh la-
ki-laki bertubuh kekar setengah
telanjang. Wajah-
wajah kasar dengan mulut
menyeringai dan mata
membinar-binar melangkah
mendekatinya. Roro ter-
sentak kaget. Sekujur pembuluh
darahnya terasa ter-
sumbat. Roro merasa tubuhnya
lemah tak bertenaga
sama sekali. Ketika dibalikkan
tubuh belakang terlebih
dahulu lagi terkejutnya.
Ternyata belasan manusia
menyeramkan itu telah
mengurungnya.
Sadarlah Roro kalau dirinya tak
mungkin lagi
menghindarkan bahaya di depan
matanya lagi. Semen-
tara dilihatnya manusia-manusia
bermata jalang den-
gan mulut menyeringai itu
melangkah semakin dekat.
Kini lengan-lengan kasar penuh
urat bertonjolan itu
berjuluran untuk menjamah
tubuhnya. Wajah Roro
pucat pias bagai tak berdarah.
Kengerian terbayang di
depan matanya. Apakah yang akan
diperbuat manu-
sia-manusia lembah itu terhadap
dirinya?
"Gila! Edan....! tempat apa
ini? Dimana aku...?
Apa yang akan mereka lakukan
terhadap diri ku...?"
sentak Roro dengan wajah semakin
pias. Rasa takut
yang luar biasa agaknya baru
pertama kali inilah yang
di rasakan Roro. Keringat dingin
mengucur di sekujur
tubuh, dan otak Roro serasa
kacau...
Ketika Roro merasa lengan-lengan
kasar itu
menjamah sekujur tubuhnya,
menjeritlah Roro sekuat-
kuatnya....
"Tidaaak...!"
Dan di detik itulah Roro Centil
terlonjak kaget,
karena ketika membuka matanya
bayang-bayang so-
sok manusia yang menyeramkan itu
lenyap sirna.
Roro terheran karena dapatkan
dirinya terbar-
ing di balai-balai bambu
bertilam sehelai tikar pandan.
Ketika memandang ke arah sebelah
kiri, tampak seo-
rang laki-laki tua berjubah
hitam yang ujungnya dis-
ampirkan di pundak, menatapnya
dengan tersenyum.
"Si...siapa kau...?"
sentak Roro dengan suara
parau. Tapi mendadak kepalanya
terasa berat. Berat
sekali.... Dan ketika dia
berteriak tadi ada rasa nyeri
pada dadanya di sebelah dalam.
"Haih... sukurlah, kau
sudah sadar dari ping-
san mu, cah ayu...!" Suara
itu begitu lembut, membuat
Roro kembali bertanya heran.
"Kau... kau siapakah orang
tua ? Dan di mana-
kah aku ? Apa yang telah terjadi
dengan diriku...?"
Yang ditanya tersenyum, lalu
menyahut.
"Keberanianmu sungguh luar
biasa, cah ayu!
Tapi kau telah bertindak
sembrono! Untunglah aku
berhasil menyelamatkan dirimu
dari orang-orang lem-
bah terkutuk itu...! Namaku
SEMBULUR. Panggillah
aku Ki SEMBULUR!" Roro
belalakkan matanya.
"Jadi aku tadi
bermimpi...?" berkata Roro den-
gan suara menggumam.
"Hm, kau mimpi apakah cah
ayu? Kudengar ta-
di kau menjerit keras sekali
ketika aku menyelimuti
Emoticon