bisnya meluruk, walaupun ia
sudah berkelebatan
menghindar. Hingga tak urung
betisnya kena juga ter-
panggang anak panah. Tak ampun
lagi wanita berbaju
hitam itu perdengarkan teriakan
tertahan. Dan roboh
terguling, dari atas wuwungan.
Tak sempat lagi ia me-
lompat ke dinding tembok untuk
melarikan diri. Segera
saja terdengar sorak-sorai
gemuruh. Dan belasan so-
sok, tubuh berkelebatan keluar
memburunya Sesosok
tubuh sudah melompat kehadapannya
seraya melem-
parkan jala untuk
meringkusnya.
Akan tetapi tiba-tiba asap hitam
telah mem-
bumbung dihadapannya. Namun jala
sudah dilempar.
Tak urung juga si wanita berbaju
hitam itu sudah ter-
jerat dalam kurungan jala.
Sorak-sorai semakin men-
jadi. Lebih dari tiga puluh
prajurit bersenjata tombak
dan panah mengurung sang korban
yang telah masuk
perangkap jala. Akan tetapi
mereka semua jadi terbela-
lak matanya, karena menyaksikan
yang masuk pe-
rangkap jala itu bukannya
seorang manusia, akan te-
tapi seekor harimau tutul yang
tubuhnya hampir sebe-
sar kerbau. Binatang siluman itu
perdengarkan suara
menggeram dahsyat. Tentu saja
jala sudah dilepas se-
ketika. Dan berhamburanlah para
prajurit itu dengan
ketakutan. Sekonyong-konyong
angin berdesir keras.
Dan hampir semua obor-obor yang
terpasang telah pa-
dam dengan mendadak. Keadaan
menjadi gempar. Tak
seorangpun berani mendekati
tempat tahanan itu.
Saat itu terdengar suara
bentakan, yang memerintah-
kan untuk memasang obor baru.
Berkelebatanlah para
prajurit untuk melaksanakan
tugas. Sebentar kemu-
dian keadaan kembali terang.
Bahkan puluhan obor
telah terpasang. Namun alangkah
kecewanya, mereka
melihat jala telah kosong. Dan
serentak mereka me-
nyebar untuk mencari si wanita
buronan. Akan tetapi
sia-sia. Ketika memeriksa tempat
tahanan, ternyata
tawanan mereka pun telah lenyap
tak berbekas. Hanya
tergeletak rantainya saja.
Dengan keadaan putus...
"Bodoh...!* Wanita itu
telah pergunakan ilmu
sihir..! Mengapa tak kalian
bunuh mampus saja hari-
mau itu..!" Memaki Lembu
Sura Sedangkan Datuk Ra-
ja Gur cuma bisa garuk-garuk
kepala dengan wajah
sebentar pucat sebentar merah,
terkena cahaya api
obor.
"Semua tolol..!"
Teriaknya menimpali Lembu
Sura. Semua para prajurit cuma
menunduk Dan satu
persatu ngeloyor pergi....
* * *
Roro Centil berkelebat cepat
meninggalkan ge-
dung itu melalui jalan belakang.
Gerakan lengannya
yang mengeluarkan angin keras,
telah menghembus
padam api-api obor yang
menerangi sekitar halaman
rumah tahanan itu. Hingga dalam
keadaan gelap gulita
itu telah membawa lari si wanita
buronan itu yang te-
lah ditotoknya. Bantuan si Tutul
Siluman Harimau
yang telah tunduk padanya itu
berhasil baik. Hingga
yang kena diringkus jala,
bukanlah wanita buronan
itu. Melainkan asap hitam yang
kemudian membentuk
menjadi harimau Tutul. Sedangkan
si wanita buronan
itu telah disambar Roro Centil,
bersamaan dengan ki-
txt oleh
http://www.mardias.mywapblog.com
basan lengan Roro memadamkan
api-api obor. Dan se-
lanjutnya sudah menggondolnya
pergi.
Malam pun terus merayap...
tampaknya waktu
memang berlalu dengan cepat
Karena tak berapa lama
kemudian cuaca pun
berangsur-angsur menjadi te-
rang. Keadaan di atas perbukitan
itu tampak sunyi.
Tapi sepagi itu sudah ada asap
mengepul di atas per-
bukitan itu tampak sunyi. Tapi
sepagi itu sudah ada
asap mengepul dibalik batu
tebing. Terlihatlah seorang
gadis ayu tengah asyik
memanggang daging Menjangan
kecil dengan seruas bambu. Gadis
ayu itu tak lain dari
Roro Centil si Pendekar Wanita
Pantai Selatan. Semen-
tara dibalik batu tebing yang
agak menjorok keluar,
tampak tergolek sesosok tubuh
wanita di bawahnya.
Tampaknya wanita itu masih pulas
mendengkur lirih.
Roro Centil cuma sekali-sekali
meliriknya. Baru harum
dari panggang Menjangan itu
agaknya membuat pela-
han-lahan si wanita muda berbaju
hitam itu membuka
kedua kelopak matanya. Kiranya
wanita muda itu tak
lain dari si wanita buronan yang
bernama Laras Jing-
ga. Roro telah membawanya ke tempat tersembunyi
itu;
"Oh... kau... kau... telah
menolongku..?!" Gu-
mam si wanita buronan itu.
Sementara ia sudah ge-
rakkan tubuhnya untuk bangkit.
Akan tetapi sedikit-
pun ia tak dapat gerakkan
tubuhnya. Roro palingkan
wajahnya, dan menatapnya
sekilas. Lalu teruskan
memanggang daging Menjangan.
"Harap kau bersabar dulu
untuk tidak berge-
rak. Kau telah mengalami
keracunan akibat panah
yang mengena di kakimu. Aku
telah membuang racun
itu, dan kau masih dalam
pengaruh totokanku..!"
"Hm..! Apa maksudmu
menolongku..! Dan siapa
kau sebenarnya..," Tanya
Laras Jingga. Suaranya ter-
dengar ketus. Akan tetapi Roro
menyahuti seenaknya.
"Aku Roro Centil..! Seorang
pengembara dari
seberang pulau. Tepatnya dari
tanah Jawa atau pulau
Kelapa..! Kau tanya aku begitu,
akupun bisa juga ber-
tanya; Apa maksudmu menolongku..
? Bukankah kau
terus menguntit, ketika aku
dijadikan tawanan?" Ber-
kata Roro seraya lirikkan
matanya. Wanita muda ini
terdiam. Lalu menghela napas.
Seperti merasa mele-
paskan beban yang menghimpit
dadanya.
"Entahlah..! Aku sendiri
tak tahu, mengapa aku
mau menolong orang yang bukan
kawan atau sanak
keluarga yang kukenal. Cuma aku
merasa berdosa, ka-
lau membiarkan orang yang tidak
bersalah dijebloskan
dalam penjara...!" Berkata
lirih si wanita buronan. Se-
mentara tiba-tiba matanya telah
menjadi basah. Diam-
diam Roro Centil terkejut juga,
melihat si gadis buro-
nan itu tiba-tiba menangis
dengan sepasang mata me-
natap ke depan dengan pandangan
kosong.
"Sudahlah... Mengenai hal
itu kita lupakan sa-
ja. Orang yang masih punya rasa
berdosa, tentu masih
punya hati bersih..! Kehidupan
ini memang pahit. Adik
tentu punya rahasia terpendam
yang sukar di utara-
kan! Kita bisa bersahabat, kalau
kau sudi menerimaku
sebagai sahabatmu..! Mungkin kau
memerlukan seo-
rang teman untuk mengadukan
nasib atau masalah
yang kau hadapi..!" Berkata
Roro seraya letakkan
panggangan ke atas batu.
Sementara api unggun itu
masih dibiarkannya menyala.
Segera Roro mendekati
wanita muda itu yang telah
terisak-isak menahan tan-
gis yang kian menjadi. Roro
tercenung sesaat. Lalu ge-
rakkan lengannya membuka totokan
di tubuh wanita
itu. Laras Jingga bangkit
berduduk. Ia sudah menyeka
kedua belah pipinya sudah
bersimbah air mata. Na-
mun agaknya ia mulai dapat
menahan perasaannya.
Roro Centil segera meraih
panggangahnya. Daging
Menjangan kecil itu cukup untuk
menangsal perut
berdua. Segera ia belah menjadi
dua bagian.
"Makanlah..! Aku lapar
sekali! Tentu kaupun
lapar..!" Berkata Roro,
seraya julurkan lengannya ke
depan si Wanita. Laras Jingga
menatap sejenak pada
potongan daging panggang
Menjangan itu, lalu mena-
tap Roro. Sepasang matanya
tampak berkaca-kaca.
"Ayolah..! Bukankah kita
telah bersahabat..!" Ujar Ro-
ro, seraya tampilkan senyum
manis. Tentu saja Laras
Jingga yang berwajah dingin itu
seketika tersenyum
cerah, dan menyambuti pemberian
itu.
Tak ayal lagi sudah segera
menyantap daging
panggang yang baunya harum itu.
Tampaknya benar
dugaan Roro. Wanita itu lapar
sekali, sampai terdengar
perutnya berkruyukan.
Roro agaknya tak mau membuat
wanita itu ter-
ganggu, segera ia beringsut
untuk duduk di atas batu
tak berapa jauh dari situ.
Sejenak ia menatap langit,
lalu sudah pentang mulut untuk
mengganyang daging
panggang Menjangannya.
Matahari sudah keluar dari balik
perbukitan.
Cahaya emasnya membersit
menerangi alam sekitar-
nya. Kedua wanita ini membasuh
wajah, dan rambut
serta kaki dan tangannya di air
yang memancur keluar
dari sela-sela batu. Laras
Jingga bersingsut untuk se-
gera duduk di atas batu dekat
air pancuran. Ia tak da-
pat bergerak bebas. Karena
sebelah kakinya masih te-
rasa ngilu. Roro memang telah
membalut lukanya den-
gan kain sobekan ikat kepalanya.
"Mari kita kembali..!"
Ajak Roro. Seraya mem-
bimbing Laras Jingga untuk naik
dari tempat batu-
batu yang terletak agak ke bawah
bukit itu. Wanita
muda berbaju hitam ini
tersenyum, ketika telah sam-
pai di atas.
"Terima kasih...!"
Ucapnya. "Disini tempatnya
indah. Bagaimana kalau kita
duduk disini saja sambil
bercakap-cakap.. ?" Sambung
Laras Jingga, seraya ta-
tap wajah Roro, dengan sepasang
mata redup.
"Baiklah, adik Laras..!
Akupun ingin sekali
mendengar kisah hidupmu..!"
Sahut Roro. Seraya
menggeser sebuah batu, untuk
duduk berhadapan.
Demikianlah... Laras Jingga
ceritakan riwayat hidup
nya yang kelabu. Hingga ia
menjadi seorang pembenci
laki-laki.
"Apakah belakangan ini kau
sudah berjumpa
lagi dengan ibumu..?" Tanya
Roro. Laras Jingga ge-
lengkan kepalanya. Tapi ia sudah
berkata lagi...
"Mungkin ibuku akan marah
besar, karena aku
telah mencuri catatan Ilmu Silat
yang kutemukan di
kamarnya..! Aku memang perlu
untuk menjumpainya,
untuk menanyakan tentang ayahku.
Apakah Panglima
Kerajaan yang dikatakan selir
Raja Bantar Alam seba-
gai ayahku yang sebenarnya itu
masih hidup..?"
Terkejut Roro Centil. Tapi ia
tidak tertarik men-
genai perihal ayah gadis itu.
Melainkan mengenai cata-
tan ilmu silat yang telah dicuri
dari kamar ibunya
"Catatan Ilmu
Silat...?" Tanya Roro dengan sua-
ra mendesis. Sepasang alisnya
tampak bergerak naik.
"Bolehkan aku melihatnya..?
Jangan khawatir.
Aku tak berniat
mempelajarinya". Ujar Roro Centil
sambil tersenyum. Laras Jingga
tampaknya tak merasa
keberatan. Segera sudah buka
lipatan bajunya. Dan
menarik keluar selembar kertas
yang sudah agak lu-
suh. Segera diberikannya pada
Roro.
"Aku baru mempelajarinya
sampai jurus keli-
ma...!" Tutur Laras Jingga.
Sengaja benda ini ku sem-
bunyikan dari mata guruku.
Karena aku khawatir ma-
nusia hidung belang itu
merampasnya..!" Roro tak
menjawab, tapi cuma
angguk-anggukkan kepala se-
raya membuka lipatan kertas
kulit itu. Terkejut Roro,
karena pada catatan itu yang
tertera adalah jurus-
jurus si Dewa Tengkorak. Yaitu
apa yang pernah ia pe-
lajari dari dalam gagang Tombak
Pusaka Ratu Sima,
milik mendiang si Dewa
Tengkorak, di dasar tebing
pantai Selatan. Itulah kesepuluh
Jurus Pukulan Kema-
tian. Hal itu sudah berlalu
sekitar empat tahun yang
silam. Semasa Gurunya masih
hidup. Walau Roro
tampak terkejut, tapi ia tak
menampakkan pada raut
wajahnya. Ia sudah melipat lagi
benda itu dan berikan
pada Laras Jingga.
"Sudah berapa lama kau
pelajari...?" Tanya Ro-
ro.
"Baru sekitar dua bulan
ini. Itupun aku pelajari
dengan sembunyi-sembunyi, tanpa
setahu guruku..!"
" Siapakah gurumu.. ?"
Tanya Roro lagi. Senga-
ja ia tak tergesa-gesa untuk
menyelidiki lebih lanjut
tentang ibunya.
"Beliau bernama Boma
Kasura!" Roro manggut-
manggut, seraya mengingat nama
itu. Kemudian ber-
tanya lagi;
"Ibumu tadi kau katakan
bernama Dewi Melur.
Tentunya juga seorang kaum
persilatan. Karena memi-
liki catatan ilmu silat yang
hebat, yang telah kau curi
itu. Siapakah gelar ibumu di
kalangan Rimba Hijau..?"
Kali ini pertanyaan Roro Centil
sudah mengarah pada
sasarannya. Diam-diam hati si
Pendekar Wanita Pantai
Selatan agak berdebar. Namun
buru-buru Roro mene-
nangkan lagi perasaannya. Tapi
jawabannya membuat
hati Roro jadi mencelos..
"Aku tak begitu akrab
dengan ibuku..! Sayang
sekali, aku tak mengetahui
banyak tentang itu. Mung-
kin orang yang mengaku paman ku
itu mengetahui
siapa julukan ibuku!" Wajah
Roro tampak kembali ce-
rah. Ia sudah cepat bertanya;
"Siapakah orang yang
mengaku pamanmu
itu..?"
"Dia bernama
Warakas..!" Selesai menjawab
pertanyaan, tiba-tiba tampak
sepasang mata Laras
kembali memancar tajam bagai
membersit sinarnya
seperti sepasang mata serigala.
Tampaknya Roro me-
nyadari hal itu. Segera ia
alihkan pembicaraan pada
hal-hal lain bahkan jauh
menyimpang dari sasaran.
Karena Roro ceritakan masa
kanak-kanaknya yang pe-
nuh kelucuan.
Hingga terkadang Laras Jingga
tertawa geli,
bahkan sampai
terpingkal-pingkal. Entah cerita sebe-
narnya, entah Roro cuma
mengarang saja. Tapi si Pen-
dekar Wanita ini memang pandai
menghibur hati
orang. Tanpa disadari Laras
Jingga sudah melupakan
kesedihannya. Kira-kira
setanakan nasi, percakapan
mereka tampaknya sudah terasa
cukup. Tiba-tiba Roro
teringat akan luka bekas terkena
anak panah pada be-
tis si wanita itu. Roro memang
pandai dalam hal pen-
gobatan, karena ia pernah
belajar dari seorang pendeta
asal Nepal di lereng Gunung
Wilis, yaitu Paderi Jayeng
Rana. Ia segera beranjak bangkit
dari duduknya, se-
raya berkata;
"Eh, adik Laras..! Maukah
kau tunggu aku se-
bentar. Aku akan mencari
daun-daun obat untuk ra-
muan. Luka di kakimu dapat cepat
sembuh, nantinya.
Kau percayakanlah padaku untuk
ku mengobatinya..!"
Laras Jingga cuma mengangguk,
sambil terse-
nyum. Dan setelah menatap
sejenak pada wanita mu-
da itu, Roro segera berkelebat
pergi. Sebentar saja te-
lah lenyap dibalik tebing batu
yang menonjol dihada-
pannya.
Roro berlari-lari menuju sisi
hutan di lereng
perbukitan itu. Sementara
sepasang matanya berkelia-
ran memandang tempat-tempat
rimbun, untuk menca-
ri dedaunan, yang dapat
dipergunakan untuk ramuan
obat luka.
Akan tetapi pada saat itu telah
terdengar suara
bentakan-bentakan suara seorang
wanita dikejauhan.
Terkejut Roro Centil, karena
suara itu datangnya dari
arah dimana ia meninggalkan
Laras Jingga. Tampak
Roro kerenyitkan alisnya.
"Suara siapakah..?"
Gumam Roro. Dan sekejap
kemudian ia telah melompat dan
berkelebat kembali ke
tempat Laras Jingga menunggu.
Sesaat antaranya dari balik batu
besar, ia telah
melihat adanya seorang wanita di
dekat gadis itu.
Tampak dilihatnya wanita muda
itu duduk menekuk
tubuhnya di hadapan seorang
wanita berbaju sutera
warna biru. Wanita itu usianya
sekitar 40 tahun.
Rambutnya tersanggul rapi. Cuma
sedikit saja yang
terlepas beriapan di belakang
lehernya. Didengarnya
wanita itu membentak dengan
kata-kata kasar;
"Anak tak tahu diri..!
Sejak kapan kau belajar
mencuri.? Aku tak merasa
mengajarimu untuk jadi
maling! Hm, kudengar dari
paman mu Warakas, kau
telah berguru dengan si Boma
Kasura. Kau ke mana-
kan catatan ilmu silat itu!
Apakah kau berikan pada si
tua Bangka Gila itu..?!"
Terdengar Laras Jingga berka-
ta lirih dengan suara gemetar...
"Ibu..! Memang ibu tak
pernah mengajari ku
mencuri..! Tapi selama ini
apakah ibu mengurus diri-
ku? Aku anakmu! Aku butuhkan
kasih sayang mu..!
Tapi yang kudapatkan adalah cuma
kehinaan bela-
ka..!"
"Apa maksud ucapanmu,
Laras..? Kau berani
berkata begitu pada ibu yang
telah melahirkan mu.. ?"
Membentak wanita itu. Tapi
jawaban Laras memang di
luar dugaan. Wanita muda itu
tiba-tiba tertawa. Suara
tertawanya mirip rintihan pedih.
Walau bibirnya terta-
wa, tapi sepasang matanya telah
bersimbah air mata.
"Hi hi hi... Apakah bila
seorang ibu telah mela-
hirkan anaknya, sudah cukup
tanpa harus mengurus
dan merawatnya..? Kelihatannya
lucu sekali! Adakah
seorang ibu yang rela memberikan
kehormatan anak
gadisnya, pada seorang laki-laki
hidung belang yang
mengaku ia adalah pamannya..?
Ternyata semua itu adalah atas
dasar imbalan
jasa..! Betapa terkutuknya
seorang manusia bila
mengharap jasa, tapi cuma untuk
memenuhi hawa
nafsunya belaka..! Dan ternyata
orang yang seharus-
nya kuhormati, ternyata juga
bukan manusia..! Jasad-
nya manusia, tapi hatinya adalah
iblis! Dia telah beri-
kan kehormatan dirinya, juga
kehormatan anak gadis-
nya pada manusia terkutuk
bernama Warakas itu..!
Sedang aku sendiri adalah anak
hasil dan hubungan
gelap! Anak yang sampai dewasa
begini tak mengenal
siapa ayahnya. Aku lahir dalam
keluarga nista...! Se-
muanya nista..!" Sampai
disini si wanita ibu dari Laras
Jingga ini sudah tak kuat
menahan kemarahannya.
Plak...! Satu tamparan keras
telah hinggap di
pipi gadis itu, yang segera
roboh terjungkal. Masih un-
tung sang ibu tak menggunakan
pukulan dengan te-
naga dalam. Hingga pipi gadis
itu cuma merah bengap
saja Laras Jingga bangkit untuk
duduk, seraya men-
gusap pipinya. Dan Dewi Melur
sudah membentak lagi
dengan kata-kata makian...
"Bocah keparat..! Mulutmu
terlalu lancang..!"
Apa yang terjadi kemudian di
hadapan mata
Roro Centil? Laras Jingga telah
bangkit berdiri. Rasa
sakit pada luka dibetisnya itu
seperti sudah tak dira-
sakan lagi. Sepasang matanya
tampak berapi-api me-
natap pada wanita dihadapannya.
Tiba-tiba ia telah ge-
rakkan tangannya ke dalam
lipatan bajunya. Dan ke-
luarkan secarik kertas kulit.
Benda itu sudah disodor-
kan pada ibunya seraya berkata;
"Inilah catatan ilmu silat
yang ku curi itu, ibu..!
Aku tak memerlukannya
lagi!" Dewi Melur menatap se-
jenak pada perubahan wajah anak
perempuannya. La-
lu gerakkan tangan untuk meraih
benda di tangan La-
ras Jingga. Akan tetapi pada
saat itu juga berkelebat
sebuah bayangan, dan sekejap
saja lipatan kertas itu
telah lenyap bagai di sambar
alap-alap. Bukan saja
Dewi Melur yang jadi terkesiap.
Akan tetapi Roro Centil
juga terkejut Segera terlihat
siapa yang telah menyam-
barnya. Ternyata seorang
laki-laki berbaju dan berce-
lana warna gelap. Bertubuh
jangkung. Wajahnya me-
nampilkan senyum, yang seperti
tak pernah berubah
walaupun dalam keadaan marah.
Tulang pelipisnya
agak menonjol keluar. Laki-laki
ini tanpa kumis.
Hanya ada sedikit jenggot
didagunya. Mirip jenggot
seekor kambing.
" Ha ha ha... ha ha...
Catatan ilmu silat ini ka-
lau sudah tak diperlukan anak
perempuanmu, biarlah
kupinjam dulu, Dewi
Melur..!" Terbeliak sepasang mata
wanita setengah umur itu. Ia
sudah lantas memben-
tak.
"Setan keparat..! Boma Kasura..!
Kembalikan
benda itu!" Seraya berkata,
Dewi Melur sudah melom-
pat untuk merampas kembali
catatan ilmu silat itu.
Akan tetapi laki-laki bernama
Boma Kasura itu sudah
melesat ke dekat Laras Jingga.
"Ha ha ha.. Sudahlah Dewi
Melur. Aku toh cu-
ma meminjam saja. Toh aku tak
akan pergi kemana-
mana..!" Selesai berkata,
ia berpaling pada Laras Jing-
ga.
"Eh, muridku..! mengapa kau
tak bilang-bilang
padaku kalau kau menyimpan
catatan ilmu silat ini?
Bukankah aku bisa membantumu
kalau kau mau
mempelajari...?" Laras
Jingga cuma bisa terdiam, tan-
pa berkata apa-apa. Melihat
sebelah pipi gadis ini tam-
pak merah bekas kena tamparan,
Boma Kasura sudah
berkata lagi.
"Aiii... Kau memang
keterlaluan Dewi Melur.
Aku amat menyayangi muridku ini.
Masakan kau
ibunya demikian tega
menamparnya? Kukira tiada sa-
lahnya kalau anakmu ingin
mempelajari ilmu silat wa-
risan si Dewa Tengkorak ini.
Akupun dapat mem
bantu Laras Jingga
mempelajari...!" sambil ber-
kata, Boma Kasura perlihatkan
sikap tersenyum. Se-
mentara Dewi Melur cuma
plototkan matanya saja. Ta-
pi ia sudah membentak.
"Tidak..! Benda itu tak
boleh jatuh ke tangan
siapa-siapa. Walaupun anakku
sendiri.. !"Teriaknya se-
raya kembali melompat tiga
tombak ke depan laki-laki
bernama Boma Kasura ini. Akan
tetapi Boma Kasura
bahkan tertawa terbahak-bahak.
"Haha haha... ha ha ha...
Sudah terlambat Peri
Gunung Dempo..! Laras Jingga
telah menguasainya
walaupun mungkin belum sempurna!
Ilmu warisan
kekasihmu itu memang ilmu yang
hebat. Jurus-
jurusnya amat mengerikan. Cuma
sayangnya ia masih
terlalu muda, dan belum banyak
pengalaman. Kini
anakmu ada dalam bahaya..!
Disamping ia menjadi
buronan orang Kerajaan. Ia juga
jadi incaran manusia-
manusia yang mengejar hadiah,
bagi yang dapat ma-
nangkapnya hidup atau mati..!
Kalau aku mau hadiah
besar, dengan mudah saja aku
membawanya pada
Panglima Agung Tunggal Sewu Seta
di Kota Raja. Akan
tetapi aku justru mau
melindunginya..!" Tentu saja ka-
ta-kata itu membuat Dewi Melur
jadi terkesiap, menge-
tahui keadaan anak perempuannya.
"Ada permusuhan apakah
anakku dengan
orang-orang Kerajaan?"
Tanya Dewi Melur.
"Ha ha ha... Ia telah
membunuh dua orang je-
jaka muda, anak Panglima Agung
Tunggal Sewu Seta.
Persoalannya tanyakan saja pada
Pembesar Kerajaan
Sriwijaya itu. Atau kalau perlu
kau dapat
mohonkan pengampunan buat anak perem-
puan mu..!" Selesai
berkata, Boma Kasura tiba-tiba ge-
rakkan lengannya untuk menotok
Laras Jingga. Dan
sekejap kemudian telah
memondongnya, untuk dibawa
melesat pergi. Terpaku Dewi
Melur, hingga tak tahu
akan apa yang harus dilakukannya
Sementara lapat-
lapat masih terdengar suara...
"Peri Gunung Dempo..! Kau
tak perlu khawatir
pada Laras Jingga. Aku akan
melindunginya. Sebaik-
nya kau fikirkan keselamatan
dirimu. Karena kuden-
gar ada seorang Pendekar Wanita
dari Pulau Jawa
yang telah lama mencari jejak
mu..!" Lagi-lagi Dewi Me-
lur terkesiap. Jantungnya jadi
berdetak keras. Hatinya
sudah lantas bertanya... Siapakah pendekar wanita
dari pulau Jawa itu..? Akan
tetapi wanita ini jadi terke-
jut bagai disambar geledek
ketika tiba-tiba terdengar
sebuah suara yang dingin
bagaikan es.
"Akulah yang tengah
mencarimu itu, Peri Gu-
nung Dempo...!" Dewi Melur
balikkan tubuhnya. Dan
tak terasa kakinya telah mundur
dua tindak. Sepasang
matanya telah menatap sesosok
tubuh dihadapannya.
Sosok tubuh seorang wanita muda
yang berwajah ayu.
Berbaju sutera, warna merah
muda. Rambut dan ikat
kepalanya yang cuma sesobek kain
kecil itu berkibaran
ditiup angin pegunungan
"Siapakah kau..!? Bentak
Dewi Melur. Sementa-
ra jantungnya berdetak semakin
keras. Yang ditanya
cuma tampilkan senyuman di
bibir. Tapi sepasang ma-
tanya menatap tajam, seperti mau
menembus jantung
manusia dihadapannya.
"Aku Roro Centil. Yang
dijuluki kaum Rimba
Hijau si Pendekar Wanita Pantai
Selatan! Hi hi hi...
Akhirnya dapat juga kutemukan
manusia pengecut,
yang telah mengeroyok Guruku
hingga menemui ajal-
nya..!"
Terkejut Dewi Melur mendengar
kata-kata itu.
Tapi ia sudah segera tersenyum
sinis.
"Hm, jadi kaulah murid si
Manusia Aneh Pantai
Selatan itu... ? Heh! Bagus..!
Tapi dari mana kau bisa
mengetahui aku telah mengeroyok
gurumu. Tanya De-
wi Melur alias si Peri Gunung
Dempo. Roro Centil per-
dengarkan dengusan di hidung.
"Perbuatan busuk macam
apapun pasti akan
tercium. Yang ingin kutanyakan,
apakah kesalahan
Guruku, yang sudah menutup diri
dari dunia Rimba
Hijau...?" Tanya Roro tanpa
harapkan pertanyaan
orang. Walaupun sebenarnya ia
tak mengetahui sendiri
pengeroyokan itu di pantai
Selatan, karena dapat den-
gar dari Joko Sangit,
sahabatnya.
"Kalau hal itu yang kau
tanyakan, jawabannya
mudah saja. Gurumu adalah
manusia tidak normal!
Lelaki bukan perempuan bukan.
Sejak aku ma-
sih berdiam di Pulau Jawa aku
memang telah mengen-
al gurumu. Si Dewa Tengkorak adalah boleh
dibilang
suamiku. Walaupun dia memang
mempunyai banyak
istri. Yang kukenal adalah si
Kupu-kupu Emas dan
Dewi Tengkorak. Tapi suamiku itu
banyak menyimpan
rahasia. Diantaranya ialah ada
berita dari si Kupu-
kupu Emas, bahwa si Dewa
Tengkorak menyimpan
harta karun, terdiri dari
perhiasan emas dan permata.
Disamping itu juga ada berita ia
telah
menyimpan catatan rahasia
mengenai ilmu silat
di dalam gagang Tombak Pusaka
Ratu Sima. Berita
lain yang kudengar dari kalangan
Rimba Hijau adalah
si Dewa Tengkorak telah tewas..!
Kami tiga orang is-
trinya segera bergabung.
Akhirnya mendengar berita
dari salah seorang anggota
Partai Pengemis di sisi Kota
Raja Kerajaan Medang, yang
mengatakan kematian si
Dewa Tengkorak adalah akibat
diperdayai oleh seorang
wanita di Pantai Selatan. Wanita
itu sakit hati, karena
cintanya ditolak oleh si Dewa
Tengkorak, hingga ia
mendendam sampai bertahun-tahun.
Tentu saja kami
jadi gusar. Wanita yang berdiam
di Pantai Selatan wak-
tu itu tak ada lain, selain si
manusia banci itu. Nah,
kami telah berhasil membalas
dendam mu..! Apakah
hal itu dapat
disalahkan...?" Demikian tutur si Peri
Gunung Dempo, yang diakhiri
dengan pertanyaan yang
seolah membela akan kebenaran
tindakan mereka.
Akan tetapi Roro telah membentak
keras."
"Dusta..! Dewa Tengkorak
tewas di depan mata
ku sendiri, ketika ia bertarung
dengan si Pendekar
Bayangan. Kematiannya memang
dikehendakinya sen-
diri. Ia mempergunakan kesepuluh
jurus ciptaannya
yang keji itu. Namun jurus
kesepuluh dari 10 Jurus
Pukulan Kematian telah
menewaskannya sendiri. Aku
yang menguburkannya di Bukit
Kera. Tombak Pusaka
itu memang berada di tangan
Guruku. Tapi beliau cu-
ma menyimpannya. Aku memang
telah mempelajari
sedikit dari ilmu pukulan 10
Jurus "Pukulan Kema-
tian" itu... Tapi mengenai
adanya ia menyimpan harta
karun aku tak
mengetahuinya..!"
Tampaknya penjelasan Roro
seperti tak digu-
bris oleh Dewi Melur.
"Heh! Kau kira akupun dapat
percaya dengan
penjelasan mu itu...? Sudahlah!
Hal itu sudah berlalu.
Kini kau mencariku apakah mau
membalas den-
dam..?"
"Kalau dikatakan memang
demikian, mungkin
terlalu kasar. Tapi jelasnya,
kau harus mempertang-
gung jawabkan
perbuatanmu..!"
"Baik...' Aku akan layani
kau. Hm. Kau kira
aku khawatir untuk bertarung
dengan bocah kemarin
sore semacam kau..? Walaupun kau
telah pelajari ilmu
10 Jurus Pukulan Kematian, aku
tak akan mundur
untuk melarikan diri..!"
Ujar Dewi Melur dengan suara
dingin.
"Bagus..! Aku tak akan menggunakan
sejurus-
pun dari ilmu si Dewa Tengkorak!
Pergunakanlah 10
Jurus Pukulan warisan suamimu
itu..! Atau akan per-
gunakan jurus-jurus lainnya yang
lebih ampuh..? Hi hi
hi... Terserahlah-.!"
Berkata Roro Centil. Dewi Melur
alias si Peri Gunung Dempo
tertawa hambar.
"Baik..! Kau telah berjanji
tak akan mengguna-
kannya! Jangan menyesal kalau
kau siang-siang akan
mampus..!" Seraya berkata
Peri Gunung Dempo telah
lakukan serangan kuat menghantam
Roro dengan te-
lapak tangannya.
Roro Centil sudah waspada, Ia
sudah segera
menghindar dengan melompat ke
atas batu besar. An-
gin pukulan si Peri Gunung Dempo
menghantam tem-
pat kosong. Wanita itu mendengus
dan tampakkan se-
nyum sinis. Tiba-tiba ia telah
tarik keluar dari dalam
lipatan bajunya dua buah benda
bulat. Ternyata dua
buah cermin kecil.
Diam-diam Roro membatin.. Apakah
yang akan
dilakukan wanita pembunuh
gurunya itu.. ? Namun
Peri Gunung Dempo telah kembali
melompat ke arah-
nya. Dan lakukan
serangan-serangan tangan kosong.
Gerakannya amat cepat. Kedua
lengannya meluncur
ke beberapa tempat mengarah ke
tubuh Roro, dengan
jari-jari lengan terkatup.
Inilah jurus Bangau Sakti, yang
telah dipergu-
nakan si wanita itu.
Gerakan-gerakan patukan itu
memang berbahaya Karena
membersitkan cahaya me-
nyilaukan mata. Barulah Roro mengerti. Kiranya cer-
min kecil yang tergenggam di
bawah lengannya itulah
yang membuat ia silau. Roro
Centil memang agak ke-
walahan. Dan ia bertarung sambil
mundur dengan
pergunakan kegesitannya
mengelakkan setiap seran-
gan. Lagi-lagi cahaya silau itu
menyambar ke arah ma-
tanya. Roro kembali melompat
mundur. Tapi tiba-tiba
ia telah keluarkan bentakan
keras. Tubuhnya mencelat
setinggi lima tombak. Dan
telapak tangannya telah
menyambar ke bawah. Membersit
angin keras melun-
cur ke arah si Peri Gunung
Dempo. Wanita ini berge-
rak lincah menghindari. Hingga
batu dan pasir beter-
bangan didekatnya.
Roro sudah jejakkan kakinya lagi
ke tanah. Ta-
pi lagi-lagi cahaya menyilaukan
itu menyambar ma-
tanya. Terpaksa ia gunakan
lengannya untuk menutu-
pi matanya, sambil bergerak
melompat ke kiri dan ka-
nan. Melihat orang sibuk
berlompatan itu, si peri Gu-
nung Dempo tertawa mengikik. Dan
mengejek.
"Hi hi hi... Mana
kehebatanmu Pendekar Wani-
ta Pantai Selatan..?" Dan
kata-katanya sudah barengi
dengan berkelebatan tubuhnya
mengimbangi gerakan
Roro. Sementara kedua cermin itu
selalu mengincar
sepasang mata Roro Centil.
Keruan Roro jadi men-
dongkol. Tapi justru ia menjadi
lengah. Karena tiba-
tiba...
BHUK..! Ia telah terkena
hantaman tendangan
kaki si Peri Gunung Dempo pada
punggungnya. Tak
ampun lagi, Roro sudah jatuh
terbanting. namun Pen-
dekar yang sudah cukup banyak
pengalaman, Roro
Centil jatuhkan diri dengan
cepat berjumpalitan. Hing-
ga sekejap ia sudah dapat
berdiri. Beruntung ia sudah
waspada sejak semula. Hingga
tendangan kilat itu cu-
ma menghantam kulit punggungnya
saja. Sedang ge-
rakan berjumpalitan itulah cara
yang dipergunakan
Roro untuk menghindari kilatan
cahaya yang me-
nyambar matanya. Selama
bertarung itu, diam-diam
Roro memikirkan bagaimana
caranya menghindari ca-
haya cermin yang selalu
menyambar ke arah matanya
itu. Dan segera ia sudah
dapatkan caranya. Pertarun-
gan pun kembali berlangsung
dengan seru. Roro Centil
telah putarkan sebuah Rantai
Genitnya. Suaranya
mendesing bagai ratusan tawon.
Gerakan Roro masih
seperti tadi. Yaitu dengan tubuh
selalu terhuyung, se-
perti mau jatuh. Sementara
sepasang mata telah me-
nyaksikan pertarungan seru itu
sejak tadi. Kiranya si
manusia bulat Alias si Dewa
Angin Puyuh. Entah men-
gapa sejak pernah bertemu dengan
Roro, dan melihat
gadis Pendekar itu tertawan, si
manusia bulat ini jadi
simpati pada Roro. Diam-diam ia
telah siapkan kipas
bututnya. Saat itu si Pergi
Gunung Dempo tengah lan-
carkan lagi jurus-jurus si Dewa
Tengkorak. Tubuhnya
berkelebat menerjang Roro
Centil. Tiga serangan dah-
syat kembali mengarah pada
tempat-tempat berba-
haya. Roro Centil berseru keras.
Tiba-tiba ia telah pa-
paki ketiga serangan itu.
Gerakan itu membuat kek-
hawatiran si Peri Gunung Dempo.
Karena ia sudah
mengetahui akan tenaga dalam
lawan yang member-
sitkan angin panas.
Keragu-raguan itu tentu saja men-
guntungkan Roro. Padahal Roro
sendiri sudah menge-
tahui kalau tiga serangan itu
adalah jurus ke enam
yang ia sudah tahu arahnya serta
juga mengetahui ke-
lemahannya. Ia hanya gunakan
gertak sambal belaka.
Tiba-tiba Roro telah rubah
gerakan memapaki itu den-
gan gerakan "Ikan Hiu
Menyambar Bayangan". Tubuh
Roro tiba-tiba meletik indah ke arah samping kanan
dan kiri. Lalu semakin maju
mendekati sang lawan Se-
konyong-konyong bergerak
memutar. Dan saat itulah
ia lancarkan serangan Rantai
Genitnya Benda itu me-
luncur menggubat kaki si Peri
Gunung Dempo. Sedang
sebuah lagi membersit keras bagai dengungan kum-
bang, meluncur deras ke arah
kepala lawan. Terkesiap
Dewi Melur. Ia sudah segera
menarik serangan Tiba-
tiba tubuhnya mencelat ke
belakang, dengan berjum-
palitan di udara. Itulah jurus
Naga Siluman Mengge-
liat. Satu Jurus menyelamatkan
diri yang hebat. Akan
tetapi terkesiap sang Peri
Gunung Dempo.
Karena ia yang sedianya sudah
dapat melompat
jauh tiga tombak, tapi entah
dari mana datangnya...
tahu-tahu segelombang angin
puyuh telah membuat
tubuhnya oleng, dan terbawa lagi
melayang ke depan.
Tak ampun lagi Roro Centil sudah
menghantam de-
ras...
BLUG! KRAK...! KRAK...!
Tiga serangan beruntun dari si
Rantai Genit tak
dapat terelakkan lagi olehnya.
Tak ampun lagi terden-
gar jerit si Peri Gunung Dempo.
Tubuhnya terlempar
lima enam tombak, dengan dada
kena dihantam ban-
dulan si Rantai Genit dengan
telak Dan kedua betisnya
terhantam sekaligus hingga
remuk, hancur. Kedua po-
tongan kakinya entah melayang
kemana.
Roro Centil sendiri sudah
melengak. Ia merasa
ada hal yang tidak beres. Akan
tetapi ia sudah tak da-
pat lagi. Karena. gerakan reflek
itu telah terjadi dengan
cepat. Tubuh si Peri Gunung
Dempo telah terbanting
keras ke atas tanah hingga
sampai hampir melesak di
tanah yang agak becek itu. Ia
menyeringai menahan
sakit yang amat sangat. Saat itu
tiba-tiba terdengar
suara tertawa berkakakan. Dan si
manusia bulat alias
si Dewa Angin Puyuh telah
melejit keluar dari balik ba-
tu. Melengak Roro Centil. Ia
sudah segera membentak;
"Dewa Angin Puyuh..! Siapa
suruh kau ikut
campur urusan orang..?"
Namun si manusia bulat ini
sambil cengar-cengir mengipasi
dadanya yang telan-
jang dengan kipas bututnya,
seraya berkata;
"Ha ha ha... Aku memang
sebal dengan si wani-
ta tengik itu. Biasanya ia
selalu menyambangiku. Tapi
sejak ia menyimpan seorang
pemuda gagah yang ma-
sih punya tenaga kuda, ia mulai
melupakan diriku. Ka-
lau aku ikut campur rasanya juga
tak dapat disalah-
kan..!" Sambil bicara,
sebelah mata si manusia bulat
itu selalu memain pada Roro,
dengan dikedipkan. Si-
kapnya memang genit, tapi boleh
juga di katakan lucu.
Karena dengan potongan tubuh
yang bulat bagai bola
itu, masih juga bermata
keranjang pada wanita yang
bukan timpalannya.
Sementara itu si Peri Gunung
Dempo menam-
pakkan wajah yang menyeramkan.
Sepasang matanya
membeliak, karena gusarnya.
Giginya telah ditekan
kuat pada bibirnya hingga
mengalirkan darah Sepa-
sang lengannya tampak terentang
ke arah Roro dan si
Dewa Angin Puyuh. Tampak asap
tipis bagai menguap
dari sepasang lengannya.
Terkejut Roro Centil, karena
itulah jurus kese-
puluh dari ilmu pukulan si Dewa
Tengkorak. Belum
lagi ia sempat berkedip, Dewi
Melur alias si Peri Gu-
nung Dempo telah lancarkan
serangan dahsyat itu ke
arahnya. Dalam pada itu si Dewa
Angin Puyuh dalam
keadaan membelakangi.
BHLARRRR...! Terdengar suara
menggeledek
Tanah tempat Roro berpijak telah
menyemburat ke
atas. Debu mengepul tebal.
Batu-batu beterbangan ke
udara. Terdengar seketika
suara-suara teriakan terta-
han. Tubuh Roro Centil dan si
manusia bulat melam-
bung tinggi ke udara. Ketika
asap tebal itu perlahan-
lahan lenyap, segera terlihat
keadaan yang mengeri-
kan. Tubuh si Peri Gunung Dempo
masih dalam posisi
menekuk lutut. Dengan sepasang
betis yang putus
hancur. Wajahnya menyeringai
menyeramkan. Dengan
sepasang lengannya terpentang
kaku. Namun wanita
itu sudah tak menampakkan gerak
kehidupan. Roro
Centil telah berdiri di atas
tempat ketinggian. Di hada-
pan wanita itu tampak sebuah
lubang besar dan da-
lam. Dengan tanah sekelilingnya
menghitam- hangus.
Suasana tampak sepi mencekam.
Perlahan-lahan Roro
Centil mendekati si Peri Gunung
Dempo. Akan tetapi
wanita memang sudah tak
bergerak-gerak lagi. Kea-
daannya dalam keadaan posisi
menyerang. Tahulah
Roro, kalau si Peri Gunung Dempo
telah tewas. Dalam
keadaan tercenung itu, sebuah
benda bulat mengge-
lundung kehadapannya Ternyata
si Dewa Angin
Puyuh. Kiranya manusia bulat ini
sudah berhasil me-
nyelamatkan diri dengan melompat
tinggi ke atas. Dan
hinggap di dahan pohon pada
jarak lima tombak dari
tempat itu.
Laki-laki bulat inipun cuma
memandang pada
si wanita yang telah menjadi
mayat itu dengan sepa-
sang mata seperti tak berkedip.
Akan tetapi sudah ter-
dengar suaranya dibarengi dengan
helaan napas.
"Hebat..! Tapi amat
mengerikan..! Jurus dari
ilmu pukulan itu telah menyedot
seluruh tenaga dalam
dan nyawanya. Agaknya kematian
baginya memang le-
bih baik. Seandainya ia dapat
hidup pun, akan menja-
di manusia yang tanpa daksa.
Yang cuma membuat ia
menderita..!" Berkata si
Dewa Angin Puyuh.
Agaknya Roro Centil malas
memberi komentar.
Ia cuma lirik laki-laki bulat
itu. Setelah simpan
sepasang senjatanya, Roro telah
segera berlalu... Dewa
Angin Puyuh sudah cepat
palingkan kepalanya, seraya
berteriak;
"Heiiii..!? Nona Pendekar!
Tungguuuu...!" Na-
mun Roro terus berkelebat tanpa
menoleh. Dewa Angin
Puyuh terus mengintil di
belakang Roro. Agaknya ia
seperti benar-benar kepincut
hatinya pada si Pendekar
Wanita Pantai Selatan itu.
* * *
Laras Jingga dengan sepasang
mata menatap
hampa cuma manda saja, ketika
tubuhnya dibawa
berkelebat oleh Boma Kasura
Selang tak berapa lama,
segera saja sudah terlihat
tempat tinggal sang Gurunya
itu. Yaitu sebuah pondok ditengah-tengah hutan jati.
"Muridku yang cantik..!
Tampaknya kau telah
terluka pada kakimu. Sebaiknya
kau menetap saja dis-
ini..!" Berkata Boma Kasura
setelah lepaskan totokan-
nya Mereka sudah duduk di lantai
papan, dalam ruan-
gan tengah. Laras Jingga hanya
anggukkan kepala
tanpa membuka suara. Selang
sesaat, ia sudah rebah-
kan tubuhnya di lantai papan
dengan berbantalkan
lengannya. Sepasang matanya
dipejamkan.
"Yah..! Sebaiknya kau
beristirahat dulu. Aku
akan cari makanan. Tak ada kau
di tempat ini, sega-
lanya menjadi sepi. Tak ada yang
menemaniku untuk
bercakap-cakap..!" Boma
Kasura lanjutkan kata-
katanya, seraya beranjak
bangkit. Dan langkahkan
kaki ke ruang belakang. Tak
berapa lama telah kembali
lagi sambil membawa setandan
pisang.
"Makanlah, untuk menangsal
perutmu. Seben-
tar lagi malam tiba. Sebentar
aku buatkan kau ramuan
obat untuk mengobati luka
di kakimu..!" Ujar Boma
Kasura, ketika melihat Laras
Jingga membuka kelopak
matanya. Gadis muda ini bangkit
berduduk. Dan ge-
rakkan tangannya untuk memotes
buah pisang yang
baru masak itu. Mengupasnya,
lalu masukkan ke da-
lam mulutnya untuk segera
mengunyahnya perlahan-
lahan. Boma Kasura tersenyum
memandang. Tampak-
nya ia begitu amat memperhatikan
akan keadaan sang
murid wanitanya.
Laki-laki berusia sekitar 50
tahun ini tampak
sudah bangkit lagi beranjak
untuk membawa sekendi
air minum, serta dua buah
cangkir kosong. Ia letakkan
di hadapan Laras Jingga. Seraya
mengisi kedua cang-
kir kosong. Ia letakkan di
hadapan Laras Jingga Se-
raya mengisi kedua cangkir
kosong itu, ia kembali ber-
kata;
"Sudahlah muridku. Jangan
kau fikirkan sikap
ibumu. Aku telah lama mengenal
ibumu, dan menge-
tahui wataknya. Dia memang
beradat keras sepertimu.
Besok kita pelajari catatan ilmu
silat ini. Bukankah
kau belum menamatkannya?"
"Aku tak berniat
mempelajarinya lagi. Cukup-
lah sudah apa yang telah
kumiliki!" Tiba-tiba Laras
Jingga buka suara, seraya
lengannya bergerak me-
nyambar cangkir dihadapannya.
Dan segera meneguk-
nya habis. Boma Kasura kerutkan
alisnya. Tapi ia su-
dah tak berikan komentarnya.
Iapun meneguk habis
isi cangkirnya.
Malam itu suasana agak mencekam
perasaan.
Karena dikejauhan terdengar
suara lolong srigala, yang
sayup-sayup terbawa angin.
Jengkerik dan binatang-
binatang malam sebangsanya
seperti membisu atau
agak enggan membunyikan
suaranya. Walau sesekali
terkadang kedengaran di tempat
kejauhan. Sementara
suara burung hantu di atas dahan
jati menyibak len-
gannya sang malam. Terkadang
membaur dengan sua-
ra kepak sayap-sayap kelelawar
dikerimbunan pohon
jambu, di belakang pondok
terpencil itu. Boma Kasura
duduk ditikar bersih di lantai
papan ruangan tengah.
Sepasang lengannya
membolak-balik lipatan kertas
kulit itu, dengan sepasang
matanya memperhatikan
setiap tulisan yang tertera
disana. Sementara sesekali
biji matanya bergerak melirik ke
sisi tirai kain yang
tersingkap di ruangan kamar
disebelahnya.
Duduknya tampak gelisah. Tulisan
yang tertera
di secarik kertas kulit itu
seperti tak terlihat jelas. Bo-
ma Kasura memang tengah
mempelajari gerakan-
gerakan dari jurus-jurus ilmu
pukulan si Dewa Teng-
korak. Tapi yang terbayang
dipelupuk matanya adalah
jurus-jurus ciptaannya sendiri.
Jurus demi jurus yang
diciptakan melalui otaknya,
semakin menggebu untuk
segera disatukan dengan indra
tubuhnya. Selang tak
lama ia keluarkan desahan
nafasnya. Lalu melipat lagi
kertas kulit itu dan selipkan
disaku bajunya. Lalu
bangkit berdiri. Kakinya
melangkah tiga tindak men-
dekati meja. Sementara sepasang matanya menatap
cangkir berisi obat ramuan yang
tadi telah ia sediakan
buat muridnya. Senja tadi ia
telah balurkan tumbukan
daun-daun obat dibetis si
cantik, muridnya Dan sedia-
kan pula secangkir ramuan untuk
di minum menjelang
tidur. Sudah diminumkah..?
Bertanya hatinya Ia su-
dah gerakkan kepalanya melongok
ke atas cangkir itu.
Ternyata isinya sudah kosong.
Bagus..! Berkata hatinya.
Seakan-akan terden-
gar lagi suara kata-katanya
senja tadi... "Kau harus
cepat sembuh, muridku..! Ramuan
ini akan menghan-
gatkan tubuhmu. Juga mampu
menolak setiap racun
yang masih tersisa di setiap saluran darah..!" Laras
Jingga telah pasrah dalam
penantian. Sepasang kelo-
pak matanya setengah terkatup.
Ia seperti sudah men-
dambakan kehadirannya sang
matahari. Bibirnya se-
tengah terbuka keluarkan
desahan-desahan kecil. Ra-
sa sakit pada luka dibetisnya
sudah tak terasa. Akan
tetapi pengaruh minuman yang
telah diminumnya,
membuat tidurnya seperti
gelisah. Hawa dingin di ma-
lam sepi itu seperti sudah
berubah menjadi panas. Se-
kujur tubuhnya sudah terbasuh
oleh peluh. Di luar
masih terdengar suara
lolong srigala, yang suaranya
seperti tangisan yang merintih.
Tapi Laras Jingga se-
perti sudah terhanyut dalam
mimpi.
Ramuan pemberian Boma Kasura
telah mem-
biusnya, hingga ia terbawa dalam
mimpi aneh yang
menakutkan. Jelas kini
dilihatnya di pembaringan
yang alas kainnya sudah kusut masai itu, tergolek
sang Guru seperti seorang bayi
lemah yang menunggu
sang ibu untuk menyelimutinya
Sekujur ku88 lit tu-
buhnya bermandikan peluh.
Sepasang matanya terpe-
jam. Hidungnya terlihat kembang
kempis dengan sua-
ra napas yang menggeros.
Sadarlah Laras Jingga,
bahwa ia telah berikan
kehangatan tubuhnya pada
manusia di hadapannya itu, untuk
yang kesekian ka-
linya. Betapa ia amat
membencinya. Betapa nistanya.
Betapa terkutuknya..! Tiba-tiba
Laras sudah rasakan
dirinya bagai seekor raja rimba
yang buas. Dan dengan
menggerung keras, ia telah
menerkam manusia diha-
dapannya. Sepasang lengannya
meluncur deras ke
arah leher Boma Kasura
Terdengarlah suara...
KRRAAKKK.! Darah segera saja
memuncrat
memercik ke bantal dan tilam.
Boma Kasura perdengarkan suara
bagai kerbau
digorok. Sepasang matanya
membeliak, seperti mau
melejit keluar dan kelopaknya.
Lidahnya terjulur men-
gerikan. Sementara sepasang
kakinya menggelinjang
berkelojotan. Sekejap antaranya
tubuh Boma Kasura
telah diam tak bergeming.
Nyawanya telah berpindah
ke alam akhirat. Dengan sepasang
mata tak berkedip.
Laras saksikan kematian gurunya
tanpa berubah sedi-
kit mimik wajahnya. Tampak
wanita muda ini lepaskan
cengkeramannya, pada leher Boma
Kasura yang telah
hancur.
Setelah memandang sejenak pada
sepasang
lengan yang kesepuluh jarinya
bersimbah darah, Laras
Jingga segera menyekanya dengan
kain selimut.
Selanjutnya ia telah kenakan
kembali pakaian-
nya... Suara lolong srigala
dikejauhan telah berhenti.
Namun suara burung hantu masih
sesekali ter-
dengar, namun semakin menjauh.
Lalu lenyap. Cuma
desah angin malam yang menyibak
dedaunan dan
membuat beberapa helai daun Jati
itu rontok jatuh ke
tanah. Tetapi dalam senyapnya
malam, sesosok tubuh
sudah keluar dari pondok
terpencil ditengah hutan jati
itu dengan berjingkat-jingkat.
Lalu lenyap di kegelapan
malam...
* * *
Beberapa pekan kemudian sejak
kejadian di-
tengah hutan jati itu... tiga sosok
tubuh tampak men-
datangi sebuah rumah dikelokkan
jalan desa Sekar
Wangi. Ketiganya tampak berjalan
dengan bergegas.
Salah seorang yang diapit oleh
kedua orang yang ma-
sih muda-muda itu adalah Kepala
Desa Sekar Wangi.
Laki-laki berusia sekitar 45
tahun itu bernama Klobot.
Sedang kedua orang yang
mengapitnya adalah dua
orang yang berpakaian seperti
perwira Kerajaan.
Sebentar saja mereka telah tiba
di depan pintu,
di bawah anak tangga rumah
panggung itu. Salah seo-
rang sudah segera melangkah menaiki
tangga unda-
kan. Dan pergunakan tangannya
mengetuk pintu.
Akan tetapi tiba-tiba pintu itu
telah menjeblak keluar
bagai diterjang dari dalam
sampai engselnya terlepas.
Tak ampun lagi si perwira
Kerajaan itu telah terlempar
menggelinding ke bawah tangga
batu, disertai teriakan
mengaduh kesakitan. Dan sebuah
bayangan hitam te-
lah melompat keluar dari
dalam... Kepala Desa berna-
ma Klobot itu jadi terkejut dan
ternganga. Sementara
perwira Kerajaan yang seorang
lagi di bawah tangga
sudah mengejar bayangan itu.
"Haiiii..!
Berhenti..!" Teriaknya seraya melompat
mengejar. Akan tetapi bayangan
hitam itu sudah le-
nyap dibalik semak. Perwira ini
sudah segera tiba di
tempat itu. Pedangnya segera
dicabut keluar dari se-
rangkanya di pinggang. Berindap-indap ia mendekati
semak lebat itu. Sementara
Klobot pak Kepala Desa
cuma memperhatikan dari depan
rumah panggung.
Perwira Kerajaan yang sial
itu sudah bangkit berdiri
sambil memegangi kepalanya yang
serasa pecah ter-
hantam daun pintu. Tampak
keningnya benjol sebesar
telur angsa Laki-laki inipun
sudah pentang sepasang
matanya melihat ke arah
kawannya. Sang Perwira Ke-
rajaan yang sudah mencabut
pedangnya itu terus me-
langkah hati-hati dengan
sepasang matanya jelalatan
mencari jejak bayangan hitam
itu. Jelas sekali bayan-
gan itu adalah sesosok tubuh
wanita.
"Keluarlah kau wanita ss...
si... siluman..!?"
Bentakan si Perwira Kerajaan ini
jadi kendur separoh
suaranya. Karena dihadapannya
telah berdiri orang
yang dicarinya. Tapi dalam
keadaan membugil bagian
atas tubuhnya. Sehingga sepasang
benda yang menon-
jol mulus itu membuat sepasang
matanya jadi terbe-
liak. Satu suara dingin bagaikan
es telah terdengar...
"Kau mau membunuhku Perwira
Kerajaan..?
Atau kau mau menangkapku
hidup-hidup? Hi hi hi...
Hayo! Kau tangkaplah
aku..!" Seraya berkata wanita
cantik yang menggiurkan itu
telah melangkah meng-
hampiri. Anehnya si Perwira
Kerajaan itu Cuma terpa-
ku di tempatnya menatap si
wanita, yang sepasang
matanya membersit tajam seperti
sepasang mata sriga-
la yang mau menerkam mangsanya.
Detik selanjutnya secepat kilat,
tahu-tahu se-
pasang lengan si wanita cantik
itu telah terjulur men-
cengkeram lehernya. Terdengar
seperti suara tulang
yang remuk. Darah segar sudah
memuncrat memba-
sahi semak. Perwira ini tak
sempat bersuara lagi. Keti-
ka tiba-tiba tubuhnya telah
terlempar keluar dari se-
mak belukar, dan jatuh berdebuk
di tanah. Selanjut-
nya tampak sang tubuh
berkelojotan sejenak, lalu di-
am terkulai. Terkejut si Kepala
Desa dan perwira ka-
wannya itu. Mereka sudah
berlompatan menghampiri.
Namun dapatkan si Perwira
Kerajaan itu telah tewas.
Pucatlah seketika wajah
keduanya. Si Perwira Kerajaan
ini sudah melangkah ke belakang
dua tindak. Dan su-
dah cabut pedangnya di pinggang.
Namun sekonyong-
konyong angin keras telah
menyambar tengkuknya.
Dan kembali terdengar suara
tulang leher yang remuk.
Ketika itu juga ia sudah
keluarkan teriakan parau.
Namun sebentar kemudian tubuhnya
telah jatuh ber-
debuk, disertai lenyapnya si
bayangan itu. Tinggal si
Kepala Desa yang terpaku dengan
sepasang mata ter-
belalak menyaksikan tubuh si
Perwira Kerajaan, yang
berkelojotan bagai ayam yang
baru disembelih. Namun
sekejap kemudian Perwira itu pun
tewas. Sang Kepala
Desa ini sebentar saja telah
putar tubuhnya, untuk
angkat langkah seribu. Keringat
dingin sudah mengu-
cur deras di sekujur tubuhnya.
Sementara si wanita
berbaju hitam itu telah
berkelebat pergi dengan cepat.
Sekejap antaranya bayangan
tubuhnya telah
lenyap. Rumah panggung dikelokkan jalan desa itu
kembali sunyi mencekam. Namun
tak berapa lama
kemudian telah datang dua orang
Perwira Kerajaan la-
gi dengan mengendarai kuda.
Segera mereka sudah
hentikan kedua kudanya di depan
rumah panggung
itu. Sigap sekali gerakannya.
Salah seorang sudah me-
lompat menghampiri kedua mayat
Perwira bawahan-
nya yang tergeletak bersimbah
darah Kematiannya
amat mengerikan, bagai habis
diterkam binatang buas.
Sementara seorang lagi telah
melompat masuk dengan
menjebolkan daun pintu.
Terdengar suara bergedubra-
kan. Dan seraya mencabut senjata
nya Perwira atasan
itu telah melompat ke tengah
ruangan.
"Wanita siluman..!
Keluarlah kau..! Aku Lembu
Sura yang akan mencincang
tubuhmu..!" Akan tetapi
setelah menanti sekian lama tak
ada tanda-tanda
mencurigakan kalau wanita yang
dicarinya berada di
dalam ruangan kamar. Sementara
si Datuk Raja Gur
telah pula melompat masuk.
Tampaknya ia bernyali
besar. Karena dengan berani ia
telah langsung menen-
dang pintu kamar, yang segera
menjeblak terbuka.
Dan ia sudah melompat ke dalam,
diikuti Lembu Sura.
Akan tetapi kedua perwira ini
jadi keluarkan teriakan
tertahan. Kedua pasang mata mereka jadi terbeliak
dan mulut ternganga Karena
melihat sesosok tubuh
membugil tergeletak di
pembaringan dalam keadaan
terlentang tak bernyawa, dengan
keadaan tulang leher
remuk. Dan darah kental
menggenang bermuncratan
membasahi bantal dan tilam.
Keadaannya sangat men-
gerikan. ternyata sosok tubuh
yang sudah menjadi
mayat itu tak lain dari Warakas.
"Kita terlambat datang,
kanda Lembu Sura..!
Laki-laki bernama Warakas ini,
sudah tewas dibunuh
si wanita cantik berdarah dingin
itu..!"
"Heh..! Sial! Kita tak bisa
tahu asal usul wanita
siluman itu. Karena hanya
Warakas yang mengeta-
hui..!" Berkata Lembu Sura.
"Ha ha ha... Jangan keburu
putus asa, kanda
Lembu Sura! Masih ada wanita
yang tahu siapa
adanya si wanita berdarah dingin
itu. Yaitu Roro Cen-
til, si Pendekar Wanita Pantai
Selatan..!" Tutur si Da-
tuk Raja Gur. Lembu Sura
kerutkan alisnya.
"Heh! Pendekar itu
bersekongkol dengan wanita
siluman itu. Mana mungkin ia
bisa memberitahu..?
Lagi pula mencari wanita
pengembara itu amatlah su-
lit!" Ujar Lembu Sura seraya
beranjak keluar dari ka-
mar yang timbulkan bau anyir
darah. Tiba-tiba terden-
gar satu suara wanita di luar...
"Hi hi... Tak perlu mencari
Roro Centil. Wanita
itu adalah bagianku untuk
membunuhnya..! Kalau
mau mengetahui siapa adanya si
wanita berdarah din-
gin itu, akupun dapat
menceritakannya..!" Keruan saja
kedua Perwira Kerajaan Sriwijaya
itu jadi terkejut, dan
segera sudah melompat keluar.
Segera di lihatnya seo-
rang wanita berusia antara 40
tahun. Memakai ikat
kepala berwarna kuning. Bahkan
pakaiannya pun
berwarna kuning keemasan. Lembu
Sura segera ber-
tanya;
"Siapakah anda..? Kami akan
berterima kasih
bila anda mau membantu
kami..!"
"Aku dijuluki si Kupu-kupu
Emas..! Marilah ki-
ta cari tempat yang enak dan
teduh. Agar aku dapat le-
luasa bercerita.."
Menyahuti si wanita.
Tentu saja kedua perwira
Kerajaan Sriwijaya itu
mengangguk gembira. Dan segera
tuntun kudanya,
untuk mengikuti di belakang si
Kupu-kupu Emas. Tak
berapa lama mereka sudah
dapatkan tempat teduh,
dan duduk di bawah pohon
rindang, beralaskan rum-
put tebal. Di hadapan mereka
adalah sebuah danau
kecil berair jernih.
"Nan, kalian dengarkanlah
ceritaku..." Berkata
si Kupu-kupu Emas
memulai pembicaraan. Selanjut-
nya si Kupu-kupu Emas telah
ceritakan bahwa wanita
berdarah dingin itu bernama
Laras Jingga. Ibunya
bernama Dewi Melur, permaisuri
dari Kerajaan Bungo
Mambang yang masih berdaulat
pada Kerajaan Sriwi-
jaya.
Sang Raja yang bernama Bantar
Alam, mem-
punyai beberapa orang selir.
Namun baik permaisuri
dan para selirnya tak mempunyai
keturunan. Hingga
ada berita kehamilan sang
Permaisuri yang ternyata te-
lah hamil bukan oleh baginda
Raja Bantar Alam, me-
lainkan oleh seorang Panglima
Kerajaan bernama Pan-
glima Sobrang..! Lahirlah Laras
Jingga. Akan tetapi ia
lahir di tempat pengungsian.
Karena sewaktu hamil,
sang permaisuri telah disuruh
bunuh oleh dua orang
prajurit Kerajaan. Akan tetapi
salah seorang prajurit
bernama Warakas itu telah
melindunginya. Hingga ter-
jadi pertengkaran dengan
kawannya yang bernama
Renggana Pati, yang
diakhiri dengan pertarungan
Renggana Pati terluka putus
sebelah lengannya, na-
mun ia berhasil melarikan diri
ke istana. Baginda Raja
Bantar Alam gusar, dan
perintahkan mencari sang
permaisuri dan perwira Kerajaan
itu. Akan tetapi me-
reka tak dapat ditemukan. Laras
Jingga terperangkap
dalam janji ibunya, untuk
membalas jasa pada Wara-
kas. Hingga ia diserahkan
kehormatan anak gadisnya
pada Warakas yang telah menolongnya.
Bahkan ia
sendiri sudah berhubungan sejak
lama dengan sang
Prajurit itu.
Ternyata sang Permaisuri bernama
Dewi Melur
itu bukan wanita baik-baik. Ia
tak pernah mengurus
anak gadisnya. Hingga Laras
Jingga tubuh dan dibe-
sarkan dalam lingkungan yang
tidak baik. Bahkan ia
telah berguru dengan seorang
yang juga bejat moral-
nya, yang juga menodainya
sebagai imbalan yang di
tuntutnya. Hal tersebut telah
membuatnya membenci
pada laki-laki. Hingga setiap
lelaki hidung belang pasti
di bunuhnya. Dengan memberikan
lebih dulu kehan-
gatan tubuhnya Demikianlah,
hingga ia menjadi buro-
nan orang Kerajaan Sriwijaya. Ia
memang telah mem-
pelajari ilmu keji yang hebat,
dari catatan ilmu silat
milik ibunya. Hingga ia menjadi
seorang gadis buronan
yang sukar ditangkap. Bahkan
gurunya sendiri telah
dibunuhnya. Kini menyusul
Warakas, orang yang pal-
ing dibencinya. Demikianlah si
Kupu-kupu Emas tu-
turkan perihal si wanita buronan
itu. Kedua perwira
Kerajaan itu jadi
manggut-manggut mendengarnya
"Mengenai Roro Centil si
Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan itu, tak ada
hubungannya sama sekali den-
gan tindakan si wanita buronan
bernama Laras Jing-
ga...! Harap kalian dari pihak
kerajaan membebaskan-
nya dari segala tuduhan..! Dia
adalah bagian ku! Aku
yang akan membunuhnya dengan
tanganku sendiri..!"
"Persoalan apakah gerangan
yang terjadi den-
gan anda..?" Tanya Lembu
Sura. Akan tetapi si wanita
bergelar Kupu-kupu Emas itu cuma
perdengarkan ter-
tawanya.
"Hal itu adalah rahasia
pribadiku..!" Sahutnya
datar. Lembu Sura kembali
manggut-manggut Tapi ia
sudah cepat berkata;
"Baiklah..! Mengenai
urusanmu aku tak akan
ikut campur. Akan tetapi aku
perlu bantuanmu me-
nangkap wanita buronan itu.
Kalau bisa menangkap-
nya hidup-hidup. Karena ada
perintah mendadak dari
Panglima Agung Tunggal Sewu
Seta, untuk tidak
membunuhnya..! Mengenai hal itu
tentu saja ada im-
balannya. Harap anda tidak perlu
khawatir..!"
"Hm! Tentang itu dapat
ku pikirkan nanti.
Sampaikan saja salamku pada
atasanmu itu..!" Ujar si
Kupu-kupu Emas. Kemudian segera
sudah bangkit
berdiri.
"Nah! Aku tak dapat
berlama-lama disini! Kau
tunggu saja kelak
kedatanganku..!" Selesai berkata,
wanita bergelar Kupu-kupu Emas
itu sudah segera
berkelebat pergi. Dan sekejap
saja sudah lenyap dian-
tara pepohonan. Kedua perwira
Kerajaan ini cuma bisa
menatapnya kagum. Tapi mereka
pun segera beranjak
menuju kuda-kudanya. Kemudian
tak berapa lama an-
taranya kedua perwira itu pun
sudah tinggalkan tem-
pat itu. Sementara si Kupu-kupu
Emas telah perguna-
kan lari yang luar biasa. Hingga
yang terlihat adalah
sinar kuning keemasan.
Berkelebat melewati beberapa
dusun. Selang tak berapa lama
wanita ini sudah hen-
tikan larinya, dan berjalan tak
begitu cepat. Agaknya ia
sudah hampir tiba di tempat yang
dituju. Sebuah tugu
perbatasan pun dijumpai. Disana
ada tiga jalanan ber-
cagak. Wanita ini hentikan
langkahnya untuk menen-
tukan pilihan arah jalan yang
bakal ditujunya. Setelah
termenung sesaat, ia mengambil
arah jalan yang sebe-
lah kanan. Dan teruskan
melangkah. Ternyata si Ku-
pu-kupu Emas ini seorang wanita
yang bertubuh pa-
dat dan sempurna. Disamping pakaiannya yang me-
nonjolkan bentuk tubuhnya, juga
memperlihatkan se-
bagian pahanya, bila melangkah.
Karena baju berwar-
na kuning keemasan itu mempunyai
sobekan atau be-
lahan memanjang di bagian sisi
pinggangnya. Ram-
butnya hitam berkilat, panjang
terjuntai sampai ke
punggung. Walaupun wajahnya
menampakkan kelan-
jutan usianya, akan tetapi
wanita ini memang masih
mempunyai kulit yang lembut dan
mempesona.
Tiba-tiba dari kejauhan telah
terlihat tiga orang
mendatangi. Ternyata ketiganya
adalah laki-laki yang
tampak masih muda-muda. Salah
seorang sudah ber-
kata;
"Selamat datang sang Ratu
Kuning..!" Seraya
ketiganya menjura hormat. Wanita
ini mengangguk
jumawa, dan tatap ketiga pemuda
dihadapannya. Se-
mentara langkah si wanita ini
tiba-tiba menjadi gontai
seperti mau jatuh. Tentu saja
hal itu membuat ketiga
pemuda itu jadi terkejut.
"Kenapakah kau
Ratu..?" Bertanya salah seo-
rang seraya maju setindak
seperti mau jatuh. Tentu
saja hal itu membuat ketiga
pemuda itu jadi terkejut.
"Kenapa kau Ratu..?"
Bertanya salah seorang
seraya maju setindak seperti mau
membantu meno-
long.
"Ah..! Tidak apa-apa. Aku
hanya terluka da-
lam... Tapi baru terasa
sekarang..! Tapi... aku perlu
bantuan kalian untuk
memondong ku sampai ke ru-
mah..!" Berkata si
Kupu-kupu Emas alias Sang Ratu
Kuning. Tentu saja dengan sigap
si pemuda yang maju
setindak itu sudah bicara,
dengan wajah menampilkan
kekhawatiran.
"Oh..!? Biarlah aku yang
memondong mu Ra-
tu..!" Seraya berkata,
pemuda yang bertubuh tegap ini
sudah melompat ke hadapan si
Kupu-kupu Emas. Dan
dengan sedikit bungkukkan tubuh, sepasang lengan-
nya sudah terjulur untuk meraih
pinggang wanita itu.
Sesaat kemudian sang Ratu Kuning
sudah dalam pon-
dongannya.
"Ayo, kita kembali..!"
Berkata si pemuda tegap
itu pada kedua kawannya. Dan ia
sudah mendahului
berjalan cepat setengah berlari,
kembali ke arah bela-
kang. Kedua pemuda kawannya
segera saja mengikuti
dengan menampakkan wajah cemas.
Sebentar saja di hadapannya
mereka telah ter-
lihat sebuah bangunan gedung
yang cukup besar.
Wuwungan terbuat dari genting
yang sudah berlumut.
Tampaknya gedung itu sudah
dibangun sejak lama. Di
kiri kanan bangunan itu terdapat empat buah area.
Memang mirip sebuah tempat
pemujaan. Akan tetapi
gedung itu ternyata ditempati
sebagai tempat berdiam.
Memasuki ruangan gedung itu, dua
orang penjaga
memberinya jalan untuk lewat
seraya menatap dengan
terkejut pada. wanita dalam
pondongan. Langsung saja
pemuda tegap itu membawanya
meniti tangga batu, ke
bawah, ditengah ruangan. Sedang
kawannya berhenti
di pintu depan Di bawah bertemu
lagi dengan dua pen-
jaga. Yang setelah menjura,
dengan terkejut salah seo-
rang sudah mengikuti. Untuk
selanjutnya mendahului
berlari ke arah sebuah ruangan.
Di ruangan ini terda-
pat sebuah kamar yang pintunya
tertutup. Segera ia
membukanya. Sementara sepasang
matanya menatap
dengan terkejut pada si wanita.
"Kenapa sang Ratu..!"
Bertanya penjaga ini.
"Beliau terluka
dalam.." Menyahuti si pemuda
kekar. Seraya langsung memasuki
kamar. Dan rebah-
kan tubuh sang Ratu di
pembaringan.
"Apakah titah Ratu selanjutnya?" Bertanya si
pemuda. Sang Ratu membuka
kelopak matanya, dan
tatap wajah si pemuda itu.
Tubuhnya tiba-tiba bagai
diserang demam hebat. Dan tampak
menggigil seperti.
kedinginan. Pemuda ini terkejut.
Lengannya sudah
bergerak meraba sekujur tubuh
sang Ratu, yang terasa
panas. Wanita ini tiba-tiba
mengeluh seraya pegangi
kepalanya
"Oh..! Pergilah tinggalkan aku. Eh..! Siapa na-
mamu..?" Tanya sang Ratu
tiba-tiba "Hamba... Kata
Bendana..!" Sahut si pemuda
seraya kerutkan
alisnya. Agak aneh ia melihat
sikap sang Ratu,
yang tak mengenali siapa
dirinya. Akan tetapi ia sadar
kalau sang Ketuanya sedang dalam
keadaan terluka
yang kelihatannya parah, hingga
mempengaruhi jalan
fikirannya. Apa lagi sejak tadi
ia lihat wajah ratunya
yang tampak pucat sekali.
"Aih..! Aku sampai lupa.
Kau tak perlu khawa-
tir, malam nanti aku sudah bisa
sembuh. Cuma inga-
tanku mendadak jadi sukar
mengingat. Agaknya hawa
pukulan musuhku mengandung uap
beracun, yang
mempengaruhi syaraf ku...!
"Hm! Kala Bendana. Coba kau
sebutkan siapa-
siapa saja orang yang menghamba
padaku..! Terkejut
Kala Bendana. Baru ia sadar
kalau keadaan otak sang
Ratu sedang kacau. Segera saja
ia sebutkan satu-satu
dari semua penghuni gedung itu
"Kesemuanya ada delapan
belas orang. Yang te-
rakhir menghamba adalah seorang
pemuda bernama
Gumarang. Mungkin Ratu memang
belum mengeta-
huinya, karena pemuda itu baru
sebulan yang lalu di-
antarkan oleh sahabat baik Ratu.
Yaitu yang berjulu-
kan Peri Gunung Dempo. Memang
beliau ada mena-
nyakan Ratu. Tapi telah hamba
katakan bahwa Ratu
berada di Kota Raja..!"
Tutur Kala Bendana. Si Kupu-
kupu Emas ini manggut-manggut,
seraya bertanya la-
gi.
"Bagaimana dengan pemuda
Gumarang itu?
Apa ia baik-baik saja?"
"Ia kami penjarakan
sementara di ruang bawah
tanah. Dia dalam keadaan baik.
Karena Peri Gunung
Dempo perintahkan kami untuk
menjaganya sampai
kedatangan Ratu..!" Ujar
Kala Bendana.
"Bagus..! Sebentar senja,
kau bawa ia mengha-
dap padaku..!" Perintah si
Kupu-kupu Emas. Lalu pe-
rintahkan Kala Bendana keluar,
karena ia akan segera
memulai bersemadi untuk
memulihkan luka dalam-
nya. Pemuda itu menjura hormat,
lalu beranjak keluar
kamar, serta tutupkan pintunya.
Kemudian terdengar
langkahnya berlalu menjauh.
Sementara si Kupu-kupu
Emas telah bangkit untuk duduk.
Terdengar suara he-
laan napas lega dari mulutnya.
Sang Ratu gerakkan
sepasang tangannya untuk meraba
wajahnya. Lalu
singkapkan rambut. Dan entah apa
yang dilakukan-
nya, ketika tiba-tiba ia telah
sentakan jari-jari tangan-
nya... Aneh! Kulit wajahnya
telah terbawa mengelupas.
Dan tersembulah sebuah wajah
ayu... Siapa lagi kalau
bukan Roro Centil. Ternyata ia
telah menyaru sebagai
si Kupu-kupu Emas. Dan berhasil
memasuki sarang-
nya. Apa yang terjadi dengan si
Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan ini? Baiklah kita
putar kisah belakangan
ini... Kiranya waktu Roro
berlalu tinggalkan mayat si
Peri Gunung Dempo yang dalam keadaan
tewas den-
gan posisi menyerang, ia terus
dibuntuti si Dewa Angin
Puyuh. Ternyata diam-diam Roro
Centil mengetahui,
namun membiarkan saja si manusia
bulat itu mengi-
kutinya. Ternyata kemudian Roro
menjumpai sebuah
kuil tua yang tak berpenghuni. Disana
Roro sengaja
berhenti untuk duduk
beristirahat. Dewa Angin Puyuh
tentu saja sudah segera melompat
menyusul... dan se-
kejap ia sudah tiba di depan
kuil.
"Nona Pendekar..! Harap
sudilah kau bersaha-
bat denganku, si Dewa Angin
Puyuh..! Aku bukan dari
golongan hitam. Tapi aku juga
bukan golongan kaum
putih, karena tak pernah orang
menyebutku sebagai
Pendekar. Walaupun sesekali aku
juga suka menolong
orang..! He he he..." Tak
angin tak hujan, si Dewa An-
gin Puyuh sudah pentang suara dengan lebih perke-
nalkan dirinya.
"Hm! Siapa yang melarang
orang untuk bersa-
habat? Di dunia ini mencari
sahabat amat sulit. Seper-
ti mencari jarum di dalam
laut..!" Ujar Roro tanpa me-
noleh.
"Bagus! Bagus! Betul
begitu..! Ah, senang sekali
kalau nona menerimaku..!"
Berteriak si Dewa Angin
Puyuh dengan wajah girang. Cuma
saja ia tak ber-
jingkrakan saking senangnya
dapat mendekati sang
Pendekar Wanita yang ayu
rupawan.
"Tapi sahabat sejati amat
sukar dicari. Banyak
orang mengaku sahabat, bila
dirinya memang amat
membutuhkan orang itu. Atau
tepatnya ada maunya..!
Hal itulah yang aku tak ingin.
Biasanya sahabat sema-
cam itu bagaikan seekor musang
berbulu ayam. Bila
ayam lengah, si musang bisa
menerkamnya..!" Berkata
lagi Roro Centil dengan
kata-kata yang tanpa tedeng
aling-aling. Tentu saja
kata-kata itu membuat si ma-
nusia bulat jadi melengak. Tapi
ia sudah berubah wa-
jah jadi tersenyum.
"He he he... Jangan
Khawatir, nona Pendekar.
Orang semacam ku bukan
semacam... semacam ayam
yang berbulu mu... mu..? Eh,
maksudku Musang yang
berbulu Ayam..!" Ujar si
Dewa Angin Puyuh agak ki-
kuk. Dan lanjutnya lagi.
"Aku memang termasuk
manusia segala doyan.
Akan tetapi aku bisa lihat-lihat
mana yang brengsek
dan mana yang tidak
brengsek..!"
"Kalau yang brengsek itu
yang bagaimana..?"
Tanya Roro.
"Yang brengsek adalah yang
mempermainkan
cinta laki-laki..!" Jawab
si manusia bulat. "Kalau yang
tidak brengsek... ?" Tanya
Roro lagi.
"Yang tidak brengsek adalah
yang cintanya su-
ci. Dan ditujukan pada satu
orang saja..!" Ujar si Dewa
Angin Puyuh, seraya keluarkan
kipasnya. Dan sambil
meram-melek ia duduk menyandar
di tiang penyangga
wuwungan Kuil. Roro Centil
kerutkan alisnya.
"Jadi aku, kau masukkan
dalam golongan yang
mana.. ?" Bertanya Roro.
"Entahlah..! Rasanya
diantara kedua golongan
itu, nona tidak termasuk dalam
kamus catatan di
otakku..!" Roro tersenyum,
manggut-manggut. Agak-
nya ia mengerti.
"Hm! Jadi kau baru bisa
menilai, kalau aku su-
dah meladeni kau seperti seorang
istri terhadap sua-
minya... Begitukah
maksudmu..?" Tanya Roro seraya
palingkan wajahnya pada si
manusia bulat, yang ma-
sih enak-enak duduk bersandar
sambil mengipasi da-
danya dengan kipas bututnya.
"He he he... Betul! Betul..!"
Jawab si Dewa An-
gin Puyuh.
"Tapi kalau aku tidak
bertepuk sebelah tan-
gan..!" Sambungnya lagi,
dengan senyum simpul. "Ba-
gaimana kalau kau bertepuk
sebelah tangan? Apakah
akan kau batalkan
persahabatan mu dengan ku..?"
Tanya Roro menegasi. Si manusia
bulat itu terdengar
menghela napas, namun wajahnya
menampilkan ke-
gembiraan... "Yah..! Apa
boleh buat, karena sudah ter-
lanjur..!" Ia telah
menjawab seenaknya. Tapi entah
mengapa dalam bertukar jawab
itu, si Dewa Angin
Puyuh tampak senang. Karena baru
kali ini ia temui
seorang dara cantik dan ayu yang
kenes dan pintar bi-
cara. Membuat ia betah untuk
mengobrol. Bahkan se-
lanjutnya si Dewa Angin Puyuh
jadi merasa sungkan,
ia menghormati si Pendekar
Wanita itu. Dan semakin
bersimpati manusia yang berwatak
agak ugal-ugalan
itu terhadap Roro.
Demikianlah... Beberapa hari
kemudian, tam-
pak keduanya sudah akrab. Bahkan
selama itu dima-
na ada Roro, pasti ada si Dewa
Angin Puyuh. Sepintas
orang menebaknya sebagai seorang
paman dengan ke-
ponakannya. Ternyata Roro pun
telah memanggilnya
dengan sebutan paman terhadap si
Dewa Angin Puyuh
itu. Yang tampaknya mempunyai
rasa kebahagiaan
tersendiri bagi si manusia bulat
itu. Siapa yang tak
bangga punya keponakan secantik
dan seayu Roro
Centil, yang selalu menjadi
incaran mata kaum muda-
muda bahkan tua bangka yang mata
keranjang...
Hal itu memang terjadi, ketika
suatu ketika si
Dewa Angin Puyuh mengajak Roro memasuki desa
yang ramai. Dan mengajaknya
singgah di sebuah ru-
mah makan yang paling laris
dikunjungi orang. Den-
gan bangga si manusia bulat
telah sebutkan Roro se-
bagai keponakannya, bila bertemu
dengan setiap orang
yang dikenalnya.
Dari si Dewa Angin Puyuh itulah,
Roro Centil
mengetahui tentang siapa adanya
wanita kaum Rimba
Hijau yang bernama julukan si
Kupu-kupu Emas. Se-
perti diketahui si Kupu-kupu
Emas adalah orang yang
tengah dicarinya. Dan terlibat
dalam pengeroyokan
atas gurunya, si Manusia Aneh
Pantai Selatan Yang
berakhir dengan kematian sang
Guru yang dicintainya
itu. Berita itu ia dapatkan dari
Joko Sangit, sahabat
baiknya.
Ternyata si Dewa Angin Puyuh
juga suka ber-
hubungan dengan Sang Ratu
Kuning, alias si Kupu-
kupu Emas itu. Bahkan ia memiliki
topeng kulit ma-
nusia, yang sering dipakai
wanita Rimba Hijau itu. En-
tah bagaimana si Dewa Angin
Puyuh berhasil mencu-
rinya. Demikianlah. Hingga Roro
Centil dapat menge-
tahui sarang si Kupu-kupu Emas,
dan bahkan dapat
mengelabuhi ketujuh belas
orang-orang bawahannya,
yang mengabdi padanya. Bahkan
tanpa sengaja usaha
mencari Gumarang, laki-laki muda
suami Retno Wulan
yang hilang tak tentu rimbanya
itu dapat diketahui ka-
lau ternyata berada di sarang si
Kupu-kupu Emas. Se-
telah entah beberapa bulan
disekap oleh si Peri Gu-
nung Dempo untuk melayani wanita
cabul itu memua-
skan hawa nafsunya.
* * *
Senja telah tiba, ketika pintu
kamar Roro Centil
diketuk orang. Roro cepat-cepat
pergunakan cadar dari
saputangannya untuk menutupi
wajahnya. Hingga
yang tampak adalah sepasang
matanya saja.
"Masuklah..!" Berkata
Roro Centil, seraya bu-
kakan pintu. Dan seorang pemuda
diantar dua pen-
gawal, segera melangkah masuk.
Ternyata Kala Ben-
dana tak ada bersamanya. Pemuda
bernama Guma-
rang ini berhenti untuk menatap
pada Roro yang wa-
jahnya terlihat sepasang matanya
saja berkilatan me-
mandangnya. Roro sudah segera
tutupkan kembali
pintu kamarnya. Gumarang
melangkah lesu... Kea-
daannya amat mengenaskan. Karena
tubuhnya tam-
pak agak kurus. Dengan sepasang
mata yang agak ce-
kung ke dalam. Wajahnya tak
menampilkan gairah hi-
dup. Tapi Roro harus mengakui
akan ketampanan wa-
jahnya. Pantas si Peri Gunung
Dempo menggilainya,
karena Gumarang memang punya
daya tarik luar bi-
asa untuk digandrungi kaum
wanita. Demikian pikir
Roro dalam hati. Tiba-tiba
laki-laki muda ini balikkan
tubuhnya, seraya berkata dengan
suara parau.
"Kaukah sang Ratu Kuning
itu..? Hm! Lebih
baik kau bunuh saja aku..! Aku
telah tak punya gairah
untuk wanita-wanita cabul macam
kalian. Sudah cu-
kup aku tersiksa oleh si Peri
Gunung Dempo, wanita
siluman itu, mengapa kau masih
memelihara aku
sampai saat ini..? Dan baru
sekarang kau panggil aku
untuk menghadap?" Seraya
berkata itu, sepasang mata
Gumarang tampak menyorot tajam
berapi-api. Betapa
ia sudah merasa bosan hidup
dalam tawanan. Dan ki-
ni lagi-lagi harus berhadapan
dengan manusia-
manusia bermoral bejat Yang tak
pernah merasa
puas..! Akan tetapi tiba-tiba
Roro Centil telah membu-
ka cadar penutup wajahnya. Dan
tempelkan jari telun-
juknya di atas bibir. Tentu saja
Gumarang jadi terke-
jut. Dan isyarat itu membuat
Gumarang kerutkan
alisnya hingga menyatu. Roro
sudah tarik pemuda itu
ke sisi pembaringan.
"Masih ingatkah kau
padaku..? Aku wanita
yang telah kalian anggap Dewi
Laut itu..?" Tanya Roro
bersisik. Gumarang bagai tak
berkedip menatap Roro.
Dan segera teringat ia akan
peristiwa setahun lebih
yang lalu, ketika ia dan Retno
Wulan dalam keadaan
dicengkeram maut. Karena ketika sepasang
sejoli ini
melarikan diri dengan
menggunakan perahu berlayar
di laut lepas, tahu-tahu
perahunya telah bocor berlu-
bang. Ternyata adalah perbuatan
begundalnya Tirta
Menggala.
Saat Tirta Menggala muncul
dengan perahu be-
sar menyusulnya, mereka berdua
cuma bisa menanti-
kan datangnya maut Karena
perahunya semakin
membenam, tanpa seorangpun
berniat menolong. Apa
lagi Tirta Menggala memang
menginginkan kematian
mereka. Karena ia memang
menginginkan Retno Wu-
lan, sang kekasihnya itu untuk
jadi istrinya. Tapi dito-
lak oleh sang gadis. Dan gadis
itu melarikan diri ber-
samanya.
Pada saat kegaduhan di perahu
besar yang di
tumpangi Tirta Menggala. karena
sekonyong-konyong
perahu Tirta Menggala berderak
bagai dihantam benda
keras. Dan sekejap sudah miring
mau tenggelam. Ka-
rena dinding perahunya telah
jebol. Saat itulah, se-
buah bayangan merah jambu
berkelebat menyambar
Gumarang dan Retno Wulan.
Ternyata Roro Centil
yang telah menyelamatkan
jiwanya. Dan dibawa mele-
sat ke arah pantai. Yang
akhirnya mereka terhindar
dari kematian ditelan ombak.
Gumarang tak dapat
berkata apa-apa selain bersujud
di hadapan Roro Cen-
til, namun mendesis juga
ucapannya perlahan...
"Pendekar Wanita Pantai
Selatan... Nona Roro
Centil..! Aku masih mengenalimu.
Oh, maafkan aku
yang salah menyangka..!"
Namun Roro sudah segera
angkat bahunya dan bisikkan
beberapa kalimat ten-
tang kedatangannya. Gumarang
mengangguk-angguk
mengerti. Lalu sekejap kemudian
Roro telah salurkan
hawa hangat ke sekujur tubuh Gumarang, dengan
menempelkan telapak tangannya
pada punggung pe-
muda itu. Selang sesaat Kekuatan
Gumarang telah pu-
lih kembali. Bahkan tenaga
dalamnya telah ditambah
oleh Roro Centil, dengan
menyalurkannya. tanpa
sungkan-sungkan.
Segera saja Roro pakai lagi
kedok mukanya.
Dan beranjak keluar diikuti
Gumarang. Tentu saja ke-
dua penjaga cuma tundukkan
kepala dengan menjura
hormat pada Roro. Akan tetapi,
sekali lengan wanita
ini bergerak kedua penjaga itu
telah berdiri kaku den-
gan keadaan tubuh tertotok juga
tanpa dapat kelua-
rkan suara lagi. Cuma sepasang
matanya saja yang
menatap lantai dengan
berkedip-kedip keheranan.
Selanjutnya beberapa penjaga
semuanya telah
juga ditotok oleh Roro. Bahkan
tiga orang yang datang
kehadapannya, termasuk Kala
Bendana, telah juga
mengalami nasib yang sama. Tentu
saja, dengan mu-
dah mereka segera keluar dari
gedung tempat sarang si
Kupu-kupu Emas itu. Akan tetapi
ketika mereka tiba
di pelataran, telah terdengar
bentakan disertai terjan-
gan hebat dari dua sosok tubuh.
Roro Centil perguna-
kan sepasang lengannya untuk
menyambuti. Terden-
garlah suara teriakan tertahan.
Dan dua sosok tubuh
itu telah terpental tiga tombak
ke belakang. Segera da-
pat dilihat siapa adanya kedua
orang itu. Ternyata me-
reka adalah dua orang wanita.
Yang satu seorang wa-
nita muda berbaju hitam, yang
tak lain dari si wanita
buronan Laras Jingga. Sedang
yang seorang lagi ada-
lah seorang wanita berusia
sekitar 40 tahun. Wajahnya
mempunyai bekas tanda luka
menggores. Akan tetapi
dapat diakui wanita ini dulunya
berwajah cantik. Wa-
nita ini bangkit berdiri, seraya
gulung lengan bajunya,
yang berwarna kuning keemasan,
hampir mirip dengan
pakaian Roro.
"Manusia kurang ajar..!
Buka topengmu..!" Ben-
taknya. Seraya cabut senjatanya
dari balik pakaian.
Yaitu sebuah kipas tipis dari
baja berkilat, berwarna
kuning emas, berbentuk sayap
kupu-kupu. Tahulah
Roro Centil, kalau wanita
dihadapannya ini adalah si
Kupu-kupu Emas. Segera ia telah
tarik robek kedok
mukanya.
Sepasang mata si Ratu Kupu-kupu
Emas itu
mendelik gusar. Ia memang sudah
mengetahui kalau
orang yang menyaru dirinya itu
adalah Roro Centil.
Akan tetapi baru kali ini ia
melihat wajahnya. Adapun
si wanita buronan, Laras Jingga
jadi terkesiap. Tapi
juga merasa kebetulan. Wajahnya
tampak menampil-
kan kemarahan luar biasa
terhadap Roro. "Manusia
keparat Roro Centil! Bagus!
kiranya kau berada disini.
Kau harus tebus kematian ibuku
dengan nyawamu..!"
Bentakannya telah diiringi
terjangan hebat ke arah Ro-
ro. Ternyata ia telah pergunakan
jurus-jurus si Dewa
Tengkorak. Akan tetapi dengan
pergunakan jurus Ta-
rian Bidadari Mabuk Kepayang,
Roro Centil sudah
berhasil menghindari. Bahkan
tampaknya Roro tak
mau berlama-lama untuk
menjatuhkan lawan. Ia su-
dah maklumi kemarahan Laras
Jingga akan kematian
ibunya alias si Peri Gunung
Dempo. Tiba-tiba tubuh
Roro telah berkelebat lenyap
dari pandangan wanita
muda itu. Akan tetapi tahu-tahu
Laras Jingga kelua-
rkan keluhan pendek. Tubuhnya
roboh terkulai kena
ditotok Roro. Dan dengan sigap,
Roro telah menyambu-
tinya. Kemudian dengan
memondongnya, Roro cepat
melompat ke arah Gumarang. Kejap
berikutnya, ia te-
lah berikan gadis yang telah
tertotok pingsan itu untuk
dipondong si pemuda.
Betapa gusarnya si Kupu-kupu
Emas. Memang
ia telah mengetahui adanya Roro
Centil dari kedua
orang Perwira Kerajaan
Sriwijaya, yaitu Lembu Sura
dan Datuk Raja Gur. Yaitu adanya
orang yang menya-
ru dirinya. Ia baru saja keluar
dari gedung Panglima
Agung Tunggal Sewu Seta. Yang
memang ada hubun-
gan baik padanya. Saat ia
lakukan pembicaraan seje-
nak dengan Panglima itu,
muncullah Lembu Sura dan
Datuk Raja Gur. Mereka segera laporkan pertemuan-
nya dengan si Kupu-kupu Emas.
Tentu saja Panglima
Agung Tunggal Sewu Seta jadi
terkejut. Terlebih-lebih
si wanita itu, karena Kupu-kupu
Emas adalah dirinya
sendiri.
Pada saat itulah muncul si Dewa
Angin Puyuh,
yang mengatakan bahwa si
Kupu-kupu Emas itu ada-
lah samaran dari Roro Centil,
yang tengah menyatroni
sarangnya. Kiranya si manusia
bulat itu memang sen-
gaja memancing wanita musuh
besar Roro itu untuk
kembali ke sarangnya. Bahkan si
Dewa Angin Puyuh
yang telah berpihak pada Roro,
berpura-pura mau
membantu wanita itu. Segera saja
mereka minta diri.
Dan berdua dengan si Dewa Angin
Puyuh, mereka se-
gera angkat kaki untuk segera
berangkat menuju tem-
pat Kediaman si Kupu-kupu Emas.
Diperjalanan mereka bertemu
dengan Laras
Jingga. Lantas saja si Kupu-kupu
Emas mengajaknya
turut serta, serta merasa
kebetulan sekali mendapat
teman untuk menempur Roro
Centil. Karena Laras
Jingga memang tengah mencari
pendekar wanita itu,
untuk membalas dendam atas
kematian ibunya. Ter-
nyata semua itu adalah hasil
rencana si Dewa Angin
Puyuh. Yang sudah mengatur
adanya pertemuan itu.
Demikianlah... Ketika terjadi
pertarungan, dan
berakhir sekejapan saja Laras
Jingga kena tertotok
oleh Roro Centil. Saat itu si
Dewa Angin Puyuh, cuma
asyik duduk menyandar di dahan
pohon sambil men-
gipas dengan kipas bututnya.
Kupu-kupu Emas sudah
berteriak membentaknya...
"Hei! Manusia bola..!
Mengapa kau tak turun
tangan membantuku..?!"
Teriaknya. Akan tetapi si ma-
nusia bulat itu bahkan pentang
mulutnya lebar-lebar,
alias menguap.
"Hoaeeemmm... Aku mengantuk sekali,
Kupu-kupu Emas. Sebaiknya aku
tidur dulu. Nanti bi-
la kau terdesak, dan sudah dekat
mau mampus, kau
bangunkanlah aku..!"
Berkata si Dewa Angin Puyuh,
seraya kipas bututnya sudah
diselipkan disela jubah-
nya. Kemudian setelah menguap
sekali lagi, sudah se-
gera pejamkan matanya untuk
tidur mendengkur.
"Setan..! Kunyuk..!"
Memaki si Kupu-kupu
Emas, seraya sudah arahkan
senjata kipas bersayap
Kupu-kupu itu ke atas tempat si
manusia bulat men-
dengkur. Tiba-tiba dari batang
kipasnya telah mem-
bersit belasan batang jarum
halus. Itulah senjata ra-
hasia yang mengandung racun.
Akan tetapi, dengan
cepat si manusia bulat itu tarik
keluar lagi kipas bu-
tutnya, seraya berkata
keras-keras...
"Hoaeeemmm..! Panasnya
bukan main..!" Hebat
akibatnya. Karena bam dengan
gerakan mengeluarkan
kipasnya saja, belasan batang
jarum itu telah buyar
kena hempasan angin kipas
bututnya. Dan ketika mu-
lutnya menguap. Belasan batang
jarum itu sudah ter-
hembus lenyap. Selanjutnya ia
sudah mengipas lagi.
Anehnya selama ia menghantam
buyar senjata-senjata
rahasia itu, ia tak pernah
membuka kelopak matanya.
Kupu-kupu Emas sudah tak
memperdulikan
lagi manusia bulat itu. Akan
tetapi ia telah palingkan
kepala pada Roro Centil seraya
membentak dengan
suara dingin.
"Bagus..! Kiranya murid si
Manusia Aneh alias
si banci gila asmara itu, memang
mencariku untuk
membalas dendam..! He he he...
kau hanya mengantar
nyawa saja, bocah bau
kencur..!"
Dan kata-katanya telah dibarengi
bentakan
dahsyat. Tubuhnya berkelebat ke
arah Roro, dengan
kelebatkan senjata kipas
Kupu-kupunya. Membersit
senjata yang bersisi tajam itu.
Bahkan ujungnya me-
matuk ke arah leher. Roro Centil
sudah berkelebat
menghindar. Tentu saja ia telah
waspada akan adanya
jarum di ujung gagang kipasnya.
Tampaknya Roro
Centil ingin mencoba menggunakan
jurus pemberian si
Mayat Hidup. Yang cuma terdiri
dari tiga jurus. Ketiga
jurus ilmu pemberian si Mayat
hidup itu adalah ber-
nama jurus Kucing Kurus Sambar
Ikan Asin. Segera
saja Roro lakukan
lompatan-lompatan bagai seekor
kucing. Ternyata membawa hasil
memuaskan Jurus-
jurus si Kupu-kupu Emas
selanjutnya semakin hebat.
Dan Roro Centil selalu dapat
menghindar dengan lom-
patan-lompatannya.
Membuat wanita ini jadi jengkel.
Tiba-tiba ki-
pasnya bergerak menyambar,
menimbulkan hempasan
dahsyat. Berbareng dengan
kelebatan tubuhnya me-
mutari Roro. Dan di saat yang
sudah ditentukan, ja-
rum-jarum mautnya sudah
membersit berkali-kali me-
luruk ke arah Roro. Namun dengan
kibaskan rambut-
nya, Roro berhasil menghalaunya.
Tiba-tiba Roro gerakkan tubuh
untuk menyam-
bar kaki. Lagi-lagi ia
pergunakan jurus Kucing Kurus
Sambar Ikan Asin warisan si
Mayat Hidup. membuat si
Kupu-kupu Emas melompat dua
tombak. Namun ge-
rakan Roro sudah mendahului.
Karena ia telah men-
duga kalau si wanita itu akan
berbuat demikian. Dan
begitu tubuh si Kupu-kupu Emas
tiba didekatnya, se-
kali lengan Roro bergerak...
lepaslah senjata Kipas Ku-
pu-kupu si wanita itu. Untuk
selanjutnya sebuah ge-
rakkan dari jurus Ikan Hiu
Menampar Ombak. Tak
ampun lagi wanita itu sudah
perdengarkan teriakan-
nya. Karena sebuah tendangan
telak telah menghan-
tam punggungnya di udara. Tubuh
Roro sudah kemba-
li menjejak tanah. Sementara tubuh lawannya baru
saja menyentuh ke bumi, Roro
Centil telah lemparkan
deras senjata kipas Kupu-kupu
itu ke arah si pemilik-
nya. Terkesiap si Ratu Kuning
itu. Namun sudah ter-
lambat... Karena benda itu telah
menabas langsung ke
arah dadanya, hingga lenyap tak
kelihatan lagi. Dan
tanpa dapat berteriak lagi, si
Kupu-kupu Emas cuma
menggeliatkan tubuhnya. Dan
nyawanya pun me-
layang seketika. Senjata Kipas
Kupu-kupu itu telah
membelah dadanya dan terus
melesak amblas ke da-
lam tanah. Pertarungan maut
itupun berakhir sudah.
Si Dewa Angin Puyuh tertawa
gelak-gelak. Dan
melompat turun dari atas dahan.
Sementara cuaca
semakin gelap. Karena malam akan
segera tiba.
* * *
Menjelang beberapa hari
kemudian, tampak ti-
ga sosok tubuh berlari dengan
tak tergesa-gesa, di atas
perbukitan yang menghijau itu.
Mereka adalah Roro
Centil, Gumarang dan si Dewa
Angin Puyuh. Ketiganya
dalam perjalanan menuju ke
tempat tinggal si Mayat
Hidup. Kiranya mereka baru saja
membereskan uru-
sannya menyerahkan si wanita
buronan alias Laras
Jingga, si cantik berdarah
dingin itu pada Panglima
Agung Tunggal Sewu Seta.
Ternyata di dalam ruangan
gedung itu tengah ada tetamu
dari Kerajaan Bungo
Mambang. Diantaranya terdapat
Raja Bantar Alam ser-
ta putra mahkota Pangeran
Kandaga. Serta juga seo-
rang panglima yang putus sebelah
tangannya, berna-
ma Renggana Pati. Terbukalah
tirai terselubung di hati
Panglima Agung Tunggal Sewu
Seta. Karena sebenar-
nya ia adalah seorang panglima
di Kerajaan Bungo
Mambang, bernama Sobrang. Yang
sebenarnya bukan
dihukum mati oleh Raja Bantar
Alam. Melainkan di-
pindahkan ke Kerajaan Sriwijaya.
Dan menjadi Pan-
glima di Kerajaan besar itu.
Laras Jingga adalah puteri
angkatnya yang te-
lah dicuri oleh Warakas. Sedang
kehamilan Dewi Melur
adalah perbuatan Warakas. Anak
hasil perbuatan me-
reka, ternyata tak berumur
panjang. Dan meninggal
ketika dilahirkan. Warakas
akhirnya dapat diketahui
tempat persembunyiannya. Namun
ketika Panglima
Sobrang alias Panglima Agung
Tunggal Sewu Seta itu
menyuruh menangkapnya. Ternyata
telah tewas oleh
Laras Jingga. Adapun kedua orang
anak pembesar Ke-
rajaan itu, yang bernama Lingga
dan Linggih, adalah
tipuan belaka. Karena Linggah
dan Linggih sebenarnya
tak ada hubungan apa-apa dengan
si Panglima. Perin-
tah membunuh mati itu ternyata
dihembuskan oleh
Warakas. Karena ia khawatir
wanita berdarah dingin
itu menyusahkannya kelak.
Tentu saja penuturan dari semua
orang-orang
Kerajaan Bungo Mambang itu telah
menguak kisah ri-
wayat hidup Laras Jingga. Si
cantik berdarah dingin
ini memeluk ayah angkatnya
dengan terharu dan mo-
hon maaf pada Roro Centil, yang
telah dianggapnya te-
lah membunuh ibunya. Padahal
Dewi Melur alias si
Peri Gunung Dempo itu tidaklah
ada hubungannya
sama sekali dengannya. Akhirnya
setelah mereka sa-
ma-sama saling maafkan, Roro,
Gumarang dan si De-
wa Angin Puyuh berangkat untuk
mengunjungi tempat
si mayat hidup. Akhir kisah,
Roro Centil dan si Dewa
Angin Puyuh cuma bisa memandang
terharu atas per-
temuan Gumarang kembali dengan
istrinya, Retno Wu-
lan.
"Dewa Angin Puyuh..! Kapan
kau akan kawin..?
Apa kau belum bosan membujang
sampai tua..!" Ber-
kata si Mayat Hidup.
Manusia bulat ini hanya
menyengir, sambil
mengipas dengan kipas bututnya.
Ia sudah lantas me-
nyahuti; Seraya tertawa
gelak-gelak...
"He he he... ha ha ha...
Kawin sih aku sudah
sering...! Cuma menikah yang aku
belum merasakan-
nya..!" Tentu saja semua
jadi tertawa geli. Roro Centil
sudah menggamit pundak si
manusia bulat itu seraya
berkata,
"Bagaimana kalau kau kawin
saja denganku..!"
"Ha...?" Si Dewa Angin
Puyuh jadi plototkan
matanya pada Roro. Tapi sudah
menyahuti; "Boleh..!
Boleh..! Tapi aku ingin tahu
dulu apa mas kawin-
nya..?" Sambil tersenyum
Roro menjawab;
"Tak perlu pakai mas
kawin..! Kalau kau mau
menungguku sampai 100 tahun,
biarlah kuterima la-
maranmu..!" Tentu saja si
manusia bulat ini sudah ter-
tawa terbahak-bahak. "Ha ha
ha... Saat itu kau sudah
jadi nenek-nenek bungkuk, dan
aku sudah jadi maka-
nan cacing di dalam kubur! Ha ha
ha..." Kembali si
Dewa Angin Puyuh tertawa
gelak-gelak. Diikuti semua
orang. Adapun tiba-tiba wajah
Roro jadi cemberut.
"Aku jadi nenek-nenek
bungkuk..? Huh! Siapa
bilang kalau aku sudah tua akan
jadi nenek-nenek
bungkuk..?" Sambil berkata
dengan wajah cemberut,
Roro Centil sudah balikkan tubuh
untuk berlalu. Ter-
kejut si Dewa Angin Puyuh.
Segera ia sudah mengejar,
dan berkata;
"Aiih... Keponakanku yang
manis, sudahlah,
jangan marah..!"
"Tidak sudi! Aku memang
marah..!" Ujar Roro.
Keruan saja si Dewa Angin Puyuh
jadi garuk-
garuk kepala, yang tidak gatal.
Akan tetapi ia sudah
berkata dengan suara agak
keras.
"Marah, ni
yeeee.....!".
TAMAT
Emoticon