SATU
DESAH angin malam itu semakin
semilir me-
nyentuh kulit. Udara semakin
dingin menembus ke tu-
lang. Gelapnya cuaca malam itu
sesekali menyibak,
menampakkan cahaya terang
gemerlapan, manakala
kilat menyambar membelah langit.
Selang tak lama
anginpun membersit semakin
keras. Batang-batang
pohon bergoyangan
menghempas-hempas, terbangkan
daun-daun kering yang
berhamburan. Suara guruh
mulai terdengar sahut menyahut,
yang sesekali diwar-
nai dengan menyambarnya
halilintar.
Gluduk...gIuduk...gluduk...!THARRRR...!
Alam
telah berubah gegap-gempita.
Titik-titik air mulai tu-
run membasahi bumi, yang tak
lama berselang hujan
pun turun seperti dicurahkan
dari langit.
Di antara desah angin yang
menghempas-
hempas dan siraman hujan lebat,
tampak sesosok tu-
buh berlari-lari menerjang
lebatnya hujan dan badai.
Bila kilatan-kilatan petir
berkredepan menyibak
kegelapan, terlihat jelas sosok
tubuh yang ternyata
adalah seorang wanita, rambutnya
panjang terurai. Ja-
tuh bangun dia berlari
tersaruk-saruk menembus pe-
katnya malam. Pakaiannya sudah
basah kuyup dan
belepotan lumpur. Namun tanpa
perdulikan semua itu,
dia terus berlari dan berlari...
Terkadang harus me-
rangkak mendaki tanah becek
berlumpur, meraih
akar-akar pepohonan, merayap ke
tempat ketinggian.
Untuk kemudian terus
berlari dengan tubuh sem-
poyongan.
"Ibuuu..! ibuuu...! Aku
telah dihinakan ibuuu...!
Aku sakit hati..! Aku... aku...
hu.. hu.. hu...hu..." Ter-
dengar ratap tangisnya yang
memilukan. Kemanakah
gerangan yang ditujunya?
Ternyata wanita itu menuju
ke arah sebuah Makam Tua. Makam
Tua di atas bukit
itu. Makam yang sejak 10 tahun
yang lalu tak pernah
dikunjungi orang. Ke sanalah dia menuju dengan
langkah yang tertatih-tatih
semakin lemah. Ketika tiba
di hadapan segunduk tanah
berumput tebal dengan
nisan dari kayu yang sudah
keropos, dia jatuhkan diri
berlutut seraya menangis
terisak-isak.
"Ibuuu...! ibuuu..! hu...
hu... hu..." kembali dia
mengangguk dalam tangis yang
teramat pilu. Air ma-
tanya yang bersimbah sudah
bercampur dengan air
hujan. Di pelukinya kuburan itu dan diremas-
remasnya rumput dan tanah yang
basah, serta yang
sesambat, seperti orang yang
sudah hilang akal.
"Ibu! Tak dengarkah kau
suaraku? Tak dengar-
kah kau ratapan ku? Aku telah
dihina, Ibu...! Aku tak
rela, aku tak kuat
mendengarnya...! Bangkitlah ibu da-
ri tidurmu! Bangkitlah
...!!!" Teriak wanita itu sambil
menghentak-hentakkan lengannya
menggebuki gun-
dukan tanah itu.
Kelakuannya sudah seperti orang
yang kurang waras. Kembali dia
mengguguk dalam
tangis pilu. Namun lama-kelamaan
tangisnya semakin
lirih, semakin perlahan... dan
akhirnya berhenti sama
sekali. Wanita itu telah jatuh
pingsan karena tak kuat
menahan gejolak perasaannya
serta keletihan yang
amat sangat. Sementara hujan
terus mengguyur tu-
buhnya tiada henti. Sesekali
petir menyambar menam-
pakkan kilatan-kilatan di
langit.
Tiba-tiba satu kilatan dari
langit menyambar ke
arah gundukan tanah itu, perdengarkan suara keras...
THARRRR...! Wanita itu terkejut
ketika rasakan
tanah kuburan terguncang
bergetar. Sementara asap
membumbung di hadapannya.
Kiranya kilatan petir te-
lah mengenai patok kayu lapuk
itu yang seketika han-
gus terbakar disertai
menyemburnya tanah berlubang
di hadapannya.
Terperangah wanita ini, dengan
sepasang mata
terbeliak lebar. Seketika saja
dia sudah tersadar dari
pingsannya.
Tiba-tiba dia bangkit berdiri.
Hawa dingin
membuat tubuhnya gemetaran
menggigil. Tapi dia su-
dah berkata lantang...
"Ibu...;! Kalau kau tak
maju bangkit dari tidur-
mu, biarlah..! Akan tetapi
katakanlah, apakah kau
pernah melahirkan aku! Aku
dihina, ibu...! Aku dis-
isihkan dari suamiku! Karena aku
tak mampu mela-
hirkan anak! Aku dikatakan
mandul! Dan tak akan
pernah mempunyai anak sampai
ubanan, karena aku
adalah keturunan dari seorang
perempuan setengah
siluman! Benarkah itu, ibu? Ujar
wanita itu dengan te-
risak. Suaranya menggeletar
menahan kesedihan serta
dinginnya tubuh. Lalu lanjutnya
lagi.
"Ibu...! Aku sakit hati
mendengar fitnah keji itu!
Aku tak ada harapan punya anak.
Dan suamiku Prabu
Gurawangsa telah mengambil tiga
orang selir! Mereka
amat diperhatikan oleh suamiku.
Terutama yang ber-
nama Nawangsih! Karena wanita
itu kini tengah men-
gidam. Dia bakal punya anak,
yang kelak akan meng-
gantikan kedudukan Prabu
Gurawangsa sebagai Raja
Kerajaan MATYSPATI.
Kalau ibu adalah manusia
setengah siluman,
dan aku keturunannya, apakah
ayah seorang silu-
man..?" Berkata wanita itu
dengan suara serak parau.
Betapa batinnya amat tertekan.
Sementara dia sudah
kembali jatuhkan air mata. Hujan
masih turun mem-
basahi bumi, dan malam semakin
melarut. Tubuh
sang wanita semakin menggigil
kedinginan. Namun dia
tetap berdiri tegak sambil
menutupi wajahnya yang
bergoyang-goyang.
Tak ada sahutan secuilpun dari
dalam kuburan
itu. Akan tetapi wanita ini
tetap membandel untuk te-
tap berdiri di situ.
"Ibu...!" Ujarnya
lagi.
"Aku tak dapat menerima
penghinaan ini. Den-
dam ku telah bersatu dengan PETIR dan GUNTUR!
Aku tak akan mengingini lagi
kebahagiaan di Istana.
Aku cuma ingin punya anak! Aku
ingin sekali hamil,
dan merasakan bagaimana
rasanya orang mengidam!
Bagaimana rasanya aku melahirkan
anak...! Aku iri..!
Iriiii...! Mengapa aku mandul
hingga sampai sepuluh
tahun tak dikaruniai keturunan
seorangpun!"
THARRRR...! Kilatan petir
kembali menyambar,
nyaris mengenai tubuhnya. Tanah
disebelahnya han-
gus terbakar, menimbulkan lubang
besar. Akan tetapi
wanita itu tetap berdiri tegak
tak bergeming.
Lapat-lapat terdengar suara
tanpa ujud menyu-
sup ke telinganya.
"Durgandini...! Kau tak
layak berkata demikian!
Kau menentang takdir Tuhan!
Sadarlah apa yang akan
kau inginkan! Bertawakallah
dengan cobaan yang kau
terima!"
Akan tetapi wanita ini sudah
berteriak.
"Tidaaaak...! Aku tak dapat
menerima takdir
itu. Ibu...! Bukankah kau
manusia setengah siluman
seperti yang kudengar. Tolonglah
aku! Bantulah
aku...!"
THARRRR...! Kembali kilatan
petir menyambar
dahsyat membuat kilatan yang
menerangi alam semes-
ta. Selanjutnya guruh terdengar
sahut menyahut di
angkasa. Di antara kilatan
cahaya petir itu tampak se-
sosok tubuh berjubah putih
kira-kira sepuluh tombak
di belakang si wanita itu.
Ternyata seorang kakek tua
renta. Tampak bibirnya berkemak-kemik membuat
kumis dan jenggotnya yang putih
terjuntai itu berge-
rak-gerak. Aneh dan amat
menakjubkan, karena jubah
sang kakek sedikitpun tak basah
oleh siraman hujan.
Sementara di telinga si wanita
itu telah terden-
gar lagi suara tanpa ujud.
Itulah sebenarnya suara si
kakek misterius yang aneh itu.
"Durgandini! Cucuku...!
Kembalilah dari kese-
satan hatimu! jangan kau ingkari
takdir Tuhan!".
Tiba-tiba dia telah balikkan
tubuhnya. Dan se-
pasang matanya telah dapat
melihat kakek berjubah
putih itu di hadapannya.
"Siapa
kau..?"'Bentaknya dengan suara keras.
Wajah wanita itu tampak kaku
menatap dengan tajam.
Sementara hujan sudah mulai
menipis. Dan cuaca
yang gelap sudah
berangsur-angsur menjadi terang.
"Aku Resi JENGGALA MANIK
dari Pertapaan
GOA KISKENDA. Masih termasuk
kakek mu. Panggil-
lah aku Eyang...!" Sahut
sang kakek berjubah putih.
"Hm, bagus...! Kalau kau
masih termasuk ka-
kekku, tentu kau dapat
menolongku, Eyang Resi! Men-
gapa kau justru menyuruhku
kembali pulang? Itu ar-
tinya sama saja membiarkan aku
menderita! Tidak!
Aku sudah muak tinggal di
istana! Aku benar-benar te-
lah sakit hati! Aku dihina,
disisihkan, dan aku telah
memendam sejuta dendam di
hatiku!". Teriak si wanita
dengan suara lantang.
"Aku tak berdaya menentang
takdir Tuhan, cu-
cuku...! Bersabarlah! Itu jalan
yang terbaik dan berta-
wakal serta berdo'a kepadaNYA.
Perjalanan hidup ma-
nusia teramat pendek. Hilangkanlah
dendam di hati-
mu!" Ujar sang Resi.
"Tidak! Aku akan meminta
pertolongan Siluman
atau setan! Mereka tentu dapat mengabulkan kehen-
dakku...!". Teriak wanita
itu.
Mendadak cuaca kembali gelap
gulita. Petir
menyambar-nyambar di langit.
Bumi terasa bergon-
cang. Terkejut sang Resi
Jenggala Manik. Wajahnya
berubah pucat.
"Celaka..!? Cucuku
bertobatlah! Jangan kau
tersesat seperti ibumu...!"
Akan tetapi wanita itu bah-
kan tertawa mengikik. Seraya
katanya.
"Hihihi...Kau tahu tentang
ibuku? Bagus!
Aku memang mau mengikuti
jejaknya! Aku
bahkan menyesal, mengapa ibu tak
mewariskan il-
munya padaku...?" Pada saat
itu juga satu kilatan petir
telah menyambar tepat mengenai
kuburan itu.
THARRRR...! Ledakan keras itu
telah disusul dengan
membumbungnya asap hitam ke
udara, lalu lenyap.
Namun satu keajaiban telah
terjadi. Tiba-tiba
tampak kuburan itu bergetar
keras, terguncang. Se-
mentara si wanita cuma tertegun melihatnya dengan
mata tak berkedip. Dan.... segera
saja terjadi sesuatu
yang hampir tak masuk di akal.
Karena tiba-tiba tanah
kuburan itu merengkah... dan
dari dalam lubang ku-
buran tersembul sesosok tubuh
yang mengerikan. Itu-
lah tubuh dari jenazah TRI AGNI
yang telah kembali
bangkit dari dalam kubur. Tubuh
dari seorang wanita
yang berwajah kaku mengerikan,
"Ibuuu...!? Jerit
Durgandini, dengan sepasang
mata terbelalak menatap sosok
tubuh mengerikan itu.
Terbeliak sepasang mata sang
Resi, sementara bibirnya
telah berkomat-kamit membaca
mantera.
"TRl AGNI...! Kau tak layak
hidup lagi! Kau su-
dah mati..! Kembalilah!
Kembalilah ke alammu...!".
Terdengar satu suara halus,
lirih mengandung kekua-
tan hebat untuk mencegah
kebangkitan yang menye-
ramkan itu. Akan tetapi mayat
wanita yang berbau bu-
suk itu telah tertawa
menyeringai.
"Hihihi... hihi... paman
Jenggala Manik, kau lu-
pa! Aku menguasai aji
RAWARONTEK. Kau dengarlah
kata-kata anakku? Dendamnya
telah bersatu dengan
PETIR dan GUNTUR! Kau tak dapat
menghalangi ke-
bangkitan ku...!
Menyingkir-lah!"
Terperangah Resi Jenggala Manik.
Tampak wa-
jah kakek tua renta itu berubah
pucat pias. Seluruh
kekuatannya dikerahkan untuk
mencegah kebangkitan
manusia Setan itu. Akan tetapi
sia-sia. Wanita seten-
gah siluman itu telah menerkam tubuh Durgandini,
dan membawanya berkelebat pergi
dari situ. Terhenyak
seketika sang Resi, dan
memandang dengan wajah pu-
cat. Tapi tak lama berkelebat
tinggalkan Makam Tua
itu. Terdengar suaranya yang
menggumam lirih terba-
wa angin. "Celaka..! Akan
banyak korban berjatuhan,
kelak..! Aku tak berdaya
mencegahnya. Makam Tua di
atas bukit itu kembali sunyi
mencekam.
"Ibu...! Mau di bawah
kemanakah aku...?" Ber-
tanya Durgandini yang dipanggul
di pundak wanita se-
tan itu.
"Hihihi.... tenanglah
anakku, kau lihat pohon
besar di depan itu? Kita akan ke
sana,..". Cuma bebe-
rapa saat saja si wanita setan
telah tiba di bawah po-
hon angsana yang besar dan
rindang itu. Ternyata po-
hon yang dimaksud adalah masih
berada di atas bukit
di mana 'Makam Tua itu berada.
"Kau tidak takut padaku,
anakku?". Bertanya si
wanita setan, seraya tersenyum
menyeringai tampak-
kan giginya yang
runcing-runcing. Ternyata Tri Agni
seorang wanita berperawakan
tubuh semampai. Ram-
butnya putih beriapan, akan
tetapi wajahnya terlihat
tak begitu tua. Cuma yang
mengerikan adalah sepa-
sang matanya yang seperti sudah
tak mempunyai bu-
latan hitam lagi di bagian
tengahnya. Kulit wajah serta
tubuhnya tampak pucat kaku
seperti tak dialiri darah.
Sementara lengannya berkuku
panjang-panjang, juga
kuku di kakinya, keadaannya
memang amat mengeri-
kan. Karena di samping
pakaiannya yang sudah tidak
utuh. lagi, tubuhnya juga
menyebarkan bau busuk
yang memuakkan.
Durgandini menggelengkan
kepalanya, menatap
pada wajah wanita setan itu.
"Tidak, bu,..! Aku tidak
takut! Aku gembira ibu
bisa bangkit lagi dari
kubur!" Selanjutnya Durgandini
sudah kembali terisak-isak
dengan mengalirkan air
mata yang membasahi pipi.
"Kau tak perlu menangis
lagi. Durga! anakku!
Katakanlah apa yang telah
terjadi, tentu aku akan be-
rusaha untuk
menolongmu..!". Ujar Tri Agni dengan
suara dingin. Durgandini
cepat-cepat menyeka air ma-
tanya, lalu dengan bersitkan
wajah girang, ia berkata.
"Terima kasih, bu...!
Benarkah kau akan mem-
bantuku..?". Tanyanya.
Sang ibu mengangguk dengan
senyum menye-
ringai. Dan segera saja dengan
panjang lebar Durgan-
dini, ceritakan lagi kejadian
yang menimpanya seperti
yang telah dikatakannya di
bagian depan.
"Begitulah, bu! Aku sudah
tak berhasrat lagi
menginginkan hidup di Istana.
Aku sakit hati pada su-
amiku, juga pada ketiga
selirnya. Terutama pada wani-
ta yang bernama Nawangsih, selir
yang paling di
sayangnya, karena kini dia
tengah mengidam. Aku iri
dengan para wanita lain, bu?
Mengapa aku mandul?
Mengapa aku tak bisa mempunyai
keturunan? Kata-
kanlah, bu! Bagaimana caranya
agar aku bisa boleh
keturunan..! Hanya, itu, bu...!
Aku ingin anakku kelak
yang membalas penghinaan ini!
Mereka, menghinaku,
bu...! Juga menghinamu, yang
mengatakan ibu adalah
wanita yang 'setengah manusia'
dan setengah siluman!
Benarkah itu, ibu...?".
Setelah menuturkan panjang le-
bar, sang ibu dihujani
bertubi-tubi dengan pertanyaan,
yang seperti bergemuruh di dada
sang ibu yang men-
dengarkannya.
"Hihihi...benar, anakku!
Tuduhan mereka tidak
salah! Aku boleh dikatakan
manusia setengah silu-
man, karena aku memiliki aji
Dasajiwa. Sepuluh tahun
aku terkubur di makam ini tanpa
dapat lepaskan diri
dari "kematian semu",
yang membuat aku terpaksa ha-
rus tidur sepanjang tahun!
Beruntung kau datang,
anakku! Dan telah menjadi
penyebab kebangkitan ku
lagi!". Ujar wanita setan
itu seraya tersenyum menye-
ringai. Lalu teruskan
kata-katanya. "Tetapi.."
"Tuduhan bahwa kau bukanlah
anakku; dan
bukan lahir dari rahim ku adalah salah! Kau darah
daging ku! Cuma kau lahir di
luar pernikahan. Ayah-
mu adalah guruku sendiri, yang
sudah ku bunuh
mampus ketika kau berusia lima
tahun..?"
Terkejut Durgandini.
"Oh! Apakah kesalahannya,
ibu...?" Tanya Dur-
gandini.
"Karena dia tak menyetujui
aku menuntut ilmu
dari aji Dasajiwa".
"Lalu bagaimanakah
kelanjutannya, ibu?"
Tanya Durgandini penasaran. Akan
tetapi sang ibu
cuma tertawa mengikik, seraya
membelai rambut Dur-
gandini.
"Hihihi... kelak akan
kuceritakan selengkapnya.
Kini aku mau bertanya padamu!
Apakah kau benar-
benar ingin mempunyai
anak?" Tanya Tri Agni, seraya
tatap wajah anak perempuannya
itu dengan sepasang
matanya yang seperti putih
polos.
"Tentu, ibu.. Aku amat
mendambakannya seka-
li!!". Ujar Durgandini
girang. Tercenung sang ibu seje-
nak, tapi sudah lantas berkata.
"Asalkan kau sanggup
menderita, serta meme-
nuhi syarat-syarat, kukira
cita-cita mu akan terlaksa-
na..!".
"Sanggup, ibu..! Aku akan
menyanggupi semua
syarat apa pun yang dibebankan
padaku, asalkan ter-
kabul keinginanku...".
"Bagus...! Hihihi.. aku tak
mengetahui syarat-
syarat apa yang harus kau penuhi
untuk mewujudkan
keinginanmu itu, anakku! Akan
tetapi aku cuma bisa
mengantarmu ke satu tempat, di
mana kau bisa pa-
parkan niatmu itu pada
Junjunganku!"
"Baik! bawalah aku ke sana,
ibu..! Aku sudah
bulatkan niatku itu, ibu!".
"Kau tak akan menyesal,
kelak anakku...?" "Ti-
dak!". Sahut Durgandini
dengan pasti. "Walau kau ke-
lak akan masuk ke
Neraka..?". Tanya sang ibu. '!
"Ya! Walau harus masuk
Neraka sekalipun...!",
jawab Durgandini lantang.
"Yah! Apa boleh buat!
Agaknya keturunan ku
telah mengikuti jejak ku! Aku telah jadi orang sesat,
karena mempersekutukan Tuhan,
tak dinyana kau
pun akan meneruskan jejak ku!
Baiklah!
Ibu akan menurunkan Aji Dasajiwa
padamu...!
"Oh? Begitulah, bu? Ah,
te...terima kasih, bu... Teri-
makasih!".
"Nah, kini pejamkan kedua
matamu! Jangan
kau buka sebelum aku menyuruhmu membukanya!
Dan kau tak boleh Berkata
apa-apa bila melihat suatu
keanehan!".
"Baik, ibu...!".
Lanjut Durgandini, seraya segera
memejamkan matanya.
Durgandini rasakan tubuhnya
seperti melayang
entah ke mana, ketika sang ibu
selesai berkomat-kamit
membaca entah mantera apa yang
tak begitu jelas di-
dengarnya. Tampak asap kabut
bergulung-gulung di
hadapannya, yang dilihatnya
dalam pandangan mata
batin. Karena sepasang matanya
masih terpejam.
Ketika asap kabut itu lenyap,
segera terlihat di
hadapannya sebuah Kerajaan yang
amat asing ba-
ginya. Di manakah ini? Oh?
Kerajaan apa ini...? Sentak
hatinya. Akan tetapi Durgandini
tak berani bertanya.
Terasa lengannya digamit oleh
sang ibu, untuk diajak
beranjak meniti sebuah jalan
lurus yang amat panjang.
Jalanan yang lurus panjang itu
adalah jalan menuju
ke Istana Misterius yang aneh
itu. Terkejut Durgandini
ketika bertemu dengan penjaga
yang berwajah menye-
ramkan. Setelah di persilahkan
masuk. Segera sang
ibu menggamit lengannya untuk
terus memasuki ha-
laman istana. Hingga tak lama
muncul dua orang pen-
jaga kembali menghadang. Sang
ibu tampak memberi
isyarat pada penjaga akan maksud
kedatangannya
menghadap, yaitu dengan menunjuk
dirinya. Tak lama
salah seorang penjaga masuk
untuk memberi laporan
pada Baginda Raja tentunya.
Tak lama sudah keluar lagi,
seraya menyilah-
kan dia dan ibunya masuk. Segera
tanpa ayal kedua
wanita itu memasuki pintu gapura
ruangan kerajaan.
Tak lama kemudian sudah berada
di hadapan seorang
Raja yang amat menakutkan.
Karena tak lain dan tak
bukan sang Baginda Raja di Alam
Gaib itu adalah se-
sosok mahluk yang menyerupai
seekor ular besar yang
duduk melingkar di singgasana.
Sang ibu mengajaknya duduk
bersimpuh di
hadapan sang Raja. Dan terdengar
suara ibunya ber-
kata.
"Ampunilah hamba Gusti
Junjungan hamba,
hamba datang untuk
menghadap...!"
"Apakah maksud
kedatanganmu, Tri Agni...?"
Ujar sang Baginda Raja yang
berujud ular besar
itu. Suaranya seperti desis yang
bernada parau. Se-
mentara Durgandini terperangah,
hatinya membatin.
Raja yang aneh!? Apakah ini
Kerajaan Silu-
man...? Sentak hatinya. Namun ia
sudah tundukkan
wajahnya dengan peluh terasa
merembes dari sekujur
tubuh. Tri Agni sudah menyentuh
lengannya seperti
menyuruh Durgandini bicara,
memaparkan maksud-
nya. Tampaknya Durgandini
mengerti maksud sang
ibu. Kemudian dengan suara
gemetaran, segera dipa-
parkan maksud tujuannya pada
sang Raja Siluman.
"Hahaha..hah... Syaratnya
amat berat anak
manusia..! Akan tetapi kalau kau
menyanggupi tak ter-
lalu sukar bagiku untuk
mengabulkan permintaan-
mu...!". Berkata sang Raja
Siluman dengan suara pa-
rau berdesis bagai ular.
"Aku sanggup memenuhi
syarat-syarat apapun,
Gusti Junjungan...! Asalkan aku
peroleh keturunan.
Yaitu seorang anak laki-laki
yang aku idam-idamkan!".
"Baiklah!". Ujar sang
Raja Siluman. Lalu beri-
kan persyaratan pada Durgandini,
yang tanpa banyak
perhitungan lagi telah
menyanggupi beberapa syarat
yang telah diberikan pada sang
Raja Siluman Ular.
"Nah, kini kembalilah,
kalian pulang! Kelak bila
ada satu keanehan menimpa dirimu
janganlah kau be-
rani menolaknya!" Ujar sang
Raja Siluman Ular.
"Terima kasih Gusti
Junjungan...!" Ujar Dur-
gandini, yang secara tak sadar
telah membuka ma-
tanya. Akan tetapi alangkah
terkejutnya dia tatkala
dapatkan dirinya berada dalam
satu lubang yang lem-
bab. Hawanya amat menyesakkan
napas. Bermacam-
macam binatang berbisa dari
sebangsa Kala, Kelabang,
ular, tampak berserakan di
sisi-sisi relung lubang. Pu-
luhan ular-ular menggelantung di
sana-sini. Dalam
keadaan terkejut, sang ibu telah
menggamitnya untuk
meninggalkan tempat itu. Aneh,
tampaknya Tri Agni
berjalan biasa saja menempuh
jalan yang lurus pan-
jang tanpa kesukaran. Namun
sebaliknya Durgandini
terpaksa harus merangkak di
dalam liang berhawa
lembab, serta penuh dengan
binatang-binatang yang
berbisa. Tentu saja keadaannya
amat menyengsarakan
sekali. Setelah sekian lama
memasuki lorong-lorong
sempit yang membuat sesak
pernapasan, akhirnya tiba
juga di mulut lubang. Terasa
napas Durgandini sudah
megap-megap kepayahan. Kakinya
sudah lemas tak
bertenaga, dan jatuh terduduk.
Dalam keadaan demi-
kian terdengar suara sang ibu.
"Anakku, Durga! Nah,
sekarang kau boleh buka
matamu...!". Akan tetapi
Durgandini memang tak perlu
membuka lagi matanya, karena
mereka sudah sampai
ke tempat tadi setelah meniti
jalan melalui liang di be-
lakang pohon Angsana. Tampaknya wajah sang ibu
tampilkan perobahan, melihat
keadaan Durgandini
yang kepayahan.
"He!? Apakah yang terjadi?
Apakah kau telah
membuka matamu sebelum
kuperintahkan...?". Tanya
Tri Agni.
"Benar, ibu...! Oh, tubuhku
terasa sakit se-
mua...!" Keluh Durgandini,
seraya menarik napas lega.
Walau bagaimanapun dia telah
berhasil ke luar dari
lubang sempit yang menyesakkan
pernapasan itu.
"Aih! Mengapa tak kau
turutkan larangan ibu-
mu...?". Gumam sang ibu
menyesali. Tak lama hari
pun menjelang pagi. Suara burung
berkicauan, di da-
han-dahan pohon. Durgandini
menyandarkan tubuh-
nya di batang pohon. Tampaknya
dia tengah tertidur
pulas kelelahan. Sementara si
wanita setan itu diam-
diam tinggalkan tempat itu
dengan berkelebat menu-
runi bukit, tempat Makam Tua
itu.
Bau busuk segera menyebar,
tatkala si Wanita
Setan Tri Agni memasuki sebuah
desa terdekat. Den-
gan berindap-indap Tri Agni
mendekati sebuah pondok
yang berada paling ujung.
Terdengar suara bunyi me-
nangis di pagi subuh itu. Cuaca
masih tampak re-
mang-remang.
***
"Bangunlah, kang....!
Tolong masakkan air! Aku
menyusukan anakmu ini
dulu...!" Terdengar suara seo-
rang wanita berkata. Tercekat si
wanita setan.
"Nanti, ah! Aku masih
dingin...!" Ujarnya.
"Uuuu...dasar pemalas!
Bukan anaknya yang
kolokan, eh, bapaknya..!"
Ujar sang istri.
Akan tetapi si wanita tiba-tiba
mencium bau
busuk yang menusuk hidung.
"Hoak..! Uuuh, bau busuk
apa ini? Adduuuh,
nggak tahan baunya...!"
"Uh!? benar...! baunya
bukan main! Apakah
bukan bau bangkai
tikus...?". Tanya sang suami. "En-
tahlah...!" ho...ho...
hoaaak..!". Kembali si wanita mau
muntah. Dan akhirnya benar-benar
muntah. Si laki-
laki cepat bangkit berdiri, dan
bergegas ke luar kamar.
Hidungnya ditekannya kuat-kuat,
terasa tak sanggup
dia menahan bau busuk yang
menyebar di dalam ka-
mar. Pada saat itulah terdengar
suara...
BRAKKK....! Daun jendela kamar
itu telah pe-
cah berantakan. Dan sesosok
tubuh melompat masuk.
Lalu terdengarlah jeritan
seorang wanita menyayat ha-
ti, menyibak keheningan di pagi
buta, Si laki-laki sua-
mi ibu muda itu jadi terkejut.
Dia baru mau menyala-
kan api di dapur untuk memasak
air. Sementara be-
naknya bertanya-tanya, entah bau
busuk dari mana di
dalam kamar, yang membuat
kepalanya pusing dan
perutnya mual mau muntah. Ketika
sekonyong-
konyong mendengar suara gaduh
dalam kamar. Dan
selanjutnya terdengar jeritan
istrinya.
HAH? Apakah yang terjadi...?
Sentak hatinya.
Bergegas laki-laki itu kembali
ke kamar. Alangkah ter-
kejutnya laki-laki itu ketika
melihat sesosok tubuh
wanita berambut putih, berwajah
menyeramkan ten-
gah mencengkeram dada mulus
istrinya. Belum lagi
dia sempat mencegah, sudah
terdengar suara...
JROSSS...BREL! Darah segera
memuncrat ke
luar dari dada sang istri,
disertai jeritan menyayat hati.
Ternyata si wanita setan telah
benamkan lengannya
yang berkuku panjang-panjang itu ke tubuh si ibu
muda. Dan ketika kembali
mencabutnya, darah me-
nyembur keluar. Sementara di
lengannya telah meme-
gang segumpal hati yang masih
segar.
"Oh!? Tidaaak!
tidaaaak..!". Teriaknya seraya
menghambur ke arah istrinya
dengan jantung terasa
berhenti berdenyut. Akan tetapi
...BUK...!
BRRUAKK..! Tubuhnya sudah
terpental kembali
menabrak dinding papan kamar
yang pecah beranta-
kan, ketika kaki si wanita setan
telah menjejaknya.
Menggelegak darah kental dari
mulut laki-laki ini. Se-
pasang matanya mendelik.
"Iblis...! kka...kau bunuh
is...tri...ku...!?
Aakh...hh...h..". Hanya
sampai di situ teriakannya
yang tersangkut di tenggorokan.
Selanjutnya laki-laki
itu sudah terkulai lepaskan
nyawa.
Terdengar suara tertawa mengikik
yang mem-
buat bulu tengkuk meremang.
Suara tangis bayi yang
terjaga dari tidurnya mendadak
berhenti. Selang tak
lama tubuh si wanita setan itu
telah melesat ke luar,
meninggalkan bau busuk yang
menyengat hidung me-
nyebar ke mana-mana.
Gemparlah seketika penduduk se
isi desa itu,
ketika mengetahui di rumah salah seorang penduduk
dijumpai tiga sosok tubuh
terkapar tak bernyawa den-
gan keadaan tubuh yang sudah tak
karuan. Siapa
yang tak bergidik melihat
kekejaman luar biasa itu, ka-
rena wanita ibu muda yang baru
saja menjelang 40 ha-
ri kelahiran bayinya telah tewas
dengan keadaan da-
danya jebol bersemburan darah.
Tubuh suaminya ter-
kapar tak bernyawa. Juga
perutnya jebol. Dan tubuh si
jabang bayi yang tak berdosa itu
dalam keadaan tidak
utuh lagi anggota badannya.
"EDDAN! Gila..! Benar-benar
bukan perbuatan
manusia...! Siapakah yang telah
melakukan pembu-
nuhan keji ini...?". Teriak
seorang laki-laki bertubuh
kekar. Dadanya berbulu lebat,
dengan cambang bauk
serta kumis melintang tebal di
bawah hidungnya. Laki-
laki ini adalah jagoan di desa
itu. Bernama BENDOT.
"Apakah bukan perbuatan
binatang buas...!?.
Mak...maksudku anu...ma...
macan!". Berkata salah
seorang kawan Bendot dengan
tergagap. Wajahnya
tampak pucat pias. Ngeri sekali
melihat keadaan tubuh
ketiga mayat itu.
"Tidak mungkin..! Di daerah
sini tak ada macan
atau anjing serigala". Ujar
Bendot dengan keras. Se-
mentara sepasang matanya
mencari-cari jejak di ta-
nah. Tiba-tiba terdengar dia
berteriak.
"Coba lihat! Ada tapak
bekas kaki...!" Beberapa
orang segera memeriksa.
"He...? Benar! Ini bekas
telapak kaki manusia!
Akan tetapi aneh!?".
"Apanya yang aneh..?"
Tanya salah seorang
yang masih berkerudung sarung.
"Kau lihat! Kalau tapak
kaki manusia tidak se-
panjang ini! Dan pada bagian
ujungnya tampak mem-
bekas lima guratan panjang,
seperti bekas kuku!"
Seketika semua orang tertegun.
"Benar..!" Ujar
Bendot. Dengan penasaran dia
mengikuti bekas-bekas
telapak kaki itu hingga lenyap
di semak-semak. Teka-
teki adanya makhluk aneh yang
telah meminta korban
tiga jiwa di desa itu tak
terpecahkan. Namun mereka
segera bergegas mengurusi ketiga
jenazah keluarga
yang making itu. Sementara yang
lainnya sibuk men-
gurusi ketiga jenazah,
Bendot segera mengumpulkan
beberapa orang
kawannya yang berani, untuk
diajak menyelidiki jejak
makhluk pembunuh keji itu. Segera
saja sembilan
orang telah mengiringi di
belakang Bendot, dengan
senjata siap di tangan ada yang
membawa tombak, go-
lok, dan belencong. Rata-rata
yang turut dalam penye-
lidikan itu adalah orang-orang
muda yang nyalinya be-
sar.
"Kita tak boleh membiarkan
kejadian ini, begitu
saja! Aku mengkhawatirkan
makhluk aneh itu akan da
tang lagi untuk meminta korban
lainnya!" Berkata
Bendot.
"Betul..! Kalau bertemu,
akan kucincang sam-
pai jadi lembuuuut
sekali...!" Berkata Karta dengan
gemas.
"Kalau sudah lembut buat
apa, Ta...?" Tanya
Werid kawan baiknya, yang
bertubuh agak pendek.
"Hehehe.... akan kubuat
perkedel, lalu... ku jejalkan ke
dalam mulutmu!" Sahut Karta
mendongkol. "Setan,
kau..!" Teriak Werid seraya
meludah. Dan sekonyong-
konyong. "HOAAAKK..!".
Werid serasa perutnya jadi
mual, sementara hidungnya sudah
mencium bau bu-
suk.
Beberapa orang tertawa melihat
Werid yang
mendelik-delik matanya, mau
muntah. Akan tetapi se-
ketika mereka pun merasakan
perutnya menjadi mual.
Kiranya bau busuk semakin santar
tercium hidung.
Cepat-cepat beberapa orang sudah
menekan hidung-
nya masing-masing.
"Celaka, bau apa ini..?
Hoaaakh..! Cuah...!" Te-
riak salah seorang disamping
Bendot. Sementara laki-
laki tegap itu telah perhatian sekitarnya.
Dalam pela-
cakan mencari jejak makhluk
pembunuh keji itu, me-
reka telah sampai ke sebuah
tempat yang banyak
tumbuh pohon Angsana. Tidak
seperti lainnya Bendot
dapat menahan napas tanpa
menekap hidung. Tampak
Bendot memperhatikan dari mana
datangnya arah an-
gin.
"Ssssst....! Tahan napas
kalian! Kita berputar
ke arah timur! Ayo, ikut
aku!" Bisik Bendot. Seraya
sudah mendahului berjalan di
antara semak belukar.
Ke sembilan kawan-kawannya
segera mengikuti di be-
lakang Bendot yang telah
menyusup ke semak-semak.
Setelah memutar ke arah timur,
bau busuk sudah
berkurang, dan lenyap. Ternyata
Bendot menghindari
arah angin. Kini di hadapan mereka adalah sebuah
bukit. Sebuah pohon Angsana yang
besar tampak ter-
lihat di tempat ketinggian itu.
Bendot memberi isyarat agar
berhati-hati. Se-
mentara sepasang matanya tak
lepas menatap berkali-
kali ke arah bukit. Sementara
salah seorang sudah
berbisik di telinga Bendot.
"Eh, Kang Bendot! Apa kau
mau mengajak kami
naik bukit itu? Hiii...aku tak
berani. Di atas bukit itu
adalah tempat sebuah Makam Tua
yang sudah tak
pernah dikunjungi orang! Katanya
tempat itu ang-
ker...!"
"Bodoh!" Desis Bendot.
Laki-laki kekar bertam-
pang seram itu plototkan
sepasang matanya.
"Justru kita mau mencari
jejak makhluk pem-
bunuh keji itu! Siapa tahu
bersembunyi di Makam Tua
itu! Aku curiga dengan bau busuk
yang menyebar! Aku
mengira datangnya dari arah
bukit itu!"
Bejo tiba-tiba menghampiri, dan
menimbrung.
"Benar, kakang Bendot! Aku
baru ingat kalau
telah mencium bau busuk yang
serupa, ketika aku
pertama melihat keadaan di dalam
rumah Gempol!".
Ujarnya serius.
"Kalau begitu kita atur
siasat! Separuh dari ka-
lian dari arah selatan, dan
separuh lagi mengikutiku
dari arah utara. Kita merayap
naik ke atas!". Bisik
Bendot. Semua mengangguk tanda
setuju. Segera tak
lama kemudian mereka berpencar
dengan menyusup
hati-hati di antara semak
belukar.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar
wanita setan ini
mendengus di hidung. Ternyata
dia telah mengetahui
akan kemunculan beberapa orang
yang mendaki bukit
Makam Tua itu.
Tiba-tiba berhamburanlah
beberapa sosok tu-
buh yang segera mengurung mereka
dengan memben-
tak keras. Bendot sudah tak
tahan menyaksikan ke-
biadaban manusia di depan
matanya. "Manusia, atau
ibliskah kalian...? Kiranya
bersembunyi di sini...!"
Teriakan Bendot diiringi dengan
berlompatan
beberapa tubuh kawan-kawannya
yang bermunculan
dengan golok dan tombak
terhunus. Sekejap saja me-
reka sudah mengurung kedua
wanita itu.
"Hihihi... hihi..! Kiranya
kalian mau mengan-
tarkan nyawa datang kemari?
Terdengar suara tertawa
si wanita setan, diiringi dengan
suara dingin yang
membuat bulu tengkuk meremang.
Tri Agni sudah
berdiri dari duduknya. Sementara
Durgandini jadi ter-
kejut. Sepotong jari lengan bayi
itu terlepas lagi dari
mulutnya yang berlepotan darah.
"Iblis-iblis terkutuk!
Biadab! Kubunuh ka-
lian...!". Teriak Bendot
seraya lompat menerjang ke
arah Durgandini. Goloknya yang
besar itu berkelebat
menabas tubuh Durgandini. Wanita
ini terkesiap, den-
gan sepasang mata terbeliak.
Akan tetapi sebelum go-
lok itu berhasil menabas tubuh
Durgandini, terdengar
laki-laki kekar itu berteriak
parau, karena sekonyong-
konyong sebuah batu kecil telah
menghantam golok-
nya.
TINGNG...! Terkejut Bendot,
ketika rasakan
lengannya tiba-tiba kesemutan.
Dan golok besarnya te-
lah lepas terpental.
BUK... Tahu-tahu rasakan dadanya
kena ben-
turan keras. Tak ampun lagi
Bendot terjungkal dengan
berteriak kaget, dan jatuh
ngusruk mencium tanah be-
cek. Glogok!...! glogok...! Dia
sudah muntahkan darah
kental dari mulutnya.
Seketika wajahnya berubah pucat.
Namun
Bendot sudah mampu bangkit lagi
seraya menyambar
lagi goloknya yang terlempar di dekatnya.
Sementara
tiga orang kawan Bendot telah
perdengarkan jeritan
ngeri ketika tubuh si wanita
setan itu berkelebatan
menghantam dengan terjangan
kakinya yang amat ge-
sit. Bahkan sekali hantam telah
membuat dada seo-
rang kawannya ambrol,
perdengarkan suara berderak
tulang rusuk yang patah-patah.
Tiga prang kawan Bendot segera
saja berkelojo-
tan meregang nyawa, yang tak
lama kemudian telah
melepaskan nyawa.
Ternyata Karta, Werid dan Bejo
telah melayang
nyawanya ke Akhirat dengan
sekejapan saja. Bringas-
lah wajah Bendot. WHUK! WHUK!
WHUK! Laki-laki ja-
goan desa itu telah menerjang,
dan babatkan goloknya
yang menimbulkan suara angin.
"Hihihi... kau masih belum
kapok rupanya! Bu-
kannya lekas-lekas menyingkir
selamatkan jiwa...!"
Ujar Tri Agni dengan suara
dinginnya. Tiga serang-
kaian serangan Bendot luput
mengenai sasaran. Se-
mentara empat orang kawan
laki-laki kekar telah ne-
kad menerjang Durgandini yang
cuma terpaku mena-
tap pertarungan itu.
Terkejut si wanita Setan. Mana
dia mau biar-
kan anak perempuannya jadi
mangsa senjata keempat
orang desa itu?. Tri Agni
mengetahui kalau Durgandini
tak mampu berbuat apa-apa,
karena dia memang tak
menurunkan ilmu kedigjayaan pada
sang anak, Tiba-
tiba wanita setan itu membentak
keras. Tanpa menghi-
raukan serangan Bendot,
lengannya bergerak menga-
rah pada keempat orang itu.
DWESSS..! Serangan angin keras
bergelombang
dahsyat telah menghantam ke arah
mereka. Tak am-
pun lagi terdengar suara.
teriakan-teriakan ngeri, keti-
ka tubuh ke empat orang itu
terlempar beberapa tom-
bak..Suaranya lenyap ketika
tubuh-tubuh mereka ber-
jatuhan dari atas bukit Makam
Tua. Akan tetapi Tri
Agni tak dapat menghindari
tabasan kilat golok Ben-
dot,
DES..! DES...! DES...!
"Ibuuu...?" Teriakan
Durgandini menyibak lagi,
ketika dengan sepasang mata terbelalak dia melihat
kedua lengan sang ibu
berpentalan putus. Bahkan te-
basan yang ketiga kalinya dari
golok besar Bendot te-
lah memapas pinggang si wanita
setan itu, hingga tu-
buhnya ambruk menjadi dua
potongan. Darah segar
bermuncratan di tanah becek, di
atas bukit itu. Tam-
pak Bendot menyeringai buas,
seraya menatap hasil
serangan hebatnya. ...
"Hehehe...he... he...
modarlah kau sekarang
manusia iblis!". Tiba-tiba
dia sudah palingkan kepa-
lanya pada Durgandini. Tampak
golok besarnya ber-
lumuran darah wanita itu.
Terperangah Durgandini.
Wajahnya berubah pucat pias.
"Bagus, kang Bendot!
Tinggal satu lagi wanita
iblis ini! Yang mampus itu
mungkin ibunya! Kita balas
dendam kematian kawan-kawan
kita...!". Teriak salah
satu dari dua orang kawan Bendot
yang masih tinggal
hidup. Empat orang kawannya
terlempar ke bawah
bukit tak dapat dipastikan lagi
mati hidupnya. Seren-
tak kedua orang kawannya ini
melompat ke arah
samping kiri dan kanan
Durgandini. Satu memegang
tombak, satu mencekal blencong.
"Sikat kang Bendot! Bikin
tubuhnya jadi empat
belas potong..!" Teriak
sang kawan dengan gigi berke-
reot menahan geram. Bendot
tertawa menyeringai, dan
melompat ke hadapan wanita
permaisuri Raja itu. Go-
lok besarnya yang sudah berubah
menjadi merah tersi-
ram darah itu dipegang dengan
kedua tangan. "He-
hehe... hahaha... ha.. ha..
ha.." Bendot tertawa menga-
kak.
"Hari ini Bendot si Raja
Golok akan mena-
matkan dua manusia iblis yang
telah menyebar maut!"
Berkata laki-laki kekar berwajah
penuh cambang bauk
itu, seraya kembali melangkah
dua tindak. Sementara
Durgandini gemetaran menatap ke
arah Bendot. Len-
gan bayi yang jari-jarinya sudah
ludas dikremusnya itu
masih dipegangnya.
"Tidak! tidaaak!? Jangan
bunuh aku...!
Ja...jangan...!" Akan
tetapi mana Bendot mau men-
gampuni nyawa manusia yang telah
banyak membuat
korban itu? Apalagi jelas
manusia di hadapannya ada-
lah manusia setan, yang doyan
daging manusia. Sege-
ra saja Bendot sudah kibaskan
golok besarnya untuk
merencah tubuh wanita itu jadi
belasan potong. Akan
tetapi tiba-tiba berkelebat
sebuah bayangan, disertai
bersyiurnya angin busuk.
Tahu-tahu laki-laki kekar itu
terjungkal roboh, dengan
teriakan parau. Sementara
goloknya telah berpindah tangan.
Darah menyembur
dari punggungnya yang ambrol,
ditembus sebuah len-
gan berkuku runcing. Siapa lagi
kalau bukan perbua-
tan wanita setan Tri Agni. Tanpa
berkelojotan lagi Ben-
dot langsung tewas tertelungkup
di atas batu. Piaslah
seketika kedua orang kawan
Bendot. Sepasang mata
mereka masing-masing terbeliak
menatap pada manu-
sia di hadapannya. Seperti
tidak. percaya pada pengli-
hatannya, mereka mengucap-ucak
matanya.
"Hah..!? Dia... di... dia
hidup la... lagi...??"
Teriak salah seorang dengan
suara gemetar.
Sementara kedua lututnya
mendadak jadi lemas. Un-
tungnya yang seorang cepat
sadar, dan menggamitnya.
"Celaka..!? Cepat kita lari
selamatkan jiwa....!"
Berkata sang kawan seraya
menarik lengan
kawannya. Akan tetapi baru saja
mereka beranjak
membelakangi, Tri Agni telah
lepaskan pukulan tan-
gannya.
BLUG..! Terlemparlah kedua tubuh
orang sial
itu ke bawah tebing, dengan
perdengarkan teriakan
menyayat hati. Lalu lenyap
suaranya di bawah sana.
"Ibuuuu...!?? Oh!?
kau...kau...". Teriak Durgan-
dini terperangah bercampur
girang. Seraya berlari un-
tuk kemudian memeluk kaki sang
ibu.
"Hihihi.. hihi...bangunlah,
anakku! Tak usah
terkejut inilah kehebatan Ajian
Dasajiwa!" Ujar
Tri Agni dengan tersenyum
menyeringai.
"Oh, betapa hebatnya ilmu
itu, ibu...!". Berkata
Durgandini seraya bangkit
berdiri. "Hm, sabarlah
anakku! Kelak aku akan wariskan
'ilmu itu padamu,
bila urusanku sudah
selesai...!". Berkata si wanita Se-
tan dengan nada angker.
"Oh, terima kasih,
ibu...!" Sahut Durgandini
dengan tersenyum. Sementara
matanya telah menatap
pada lengan bayi yang belum
habis dimakannya.
"Nah, teruskan memakan...!
Bukankah kau in-
gin merasakan mengidam,
mengandung dan punya
anak?". Ujar sang ibu
seraya beranjak untuk duduk di
akar pohon.
"Tentu, ibu...! Aku sudah
tidak merasa jijik la-
gi...!".
"Hihihi... bagus! Sebentar
malam aku akan ber-
semadhi untuk memohon pada Gusti
Junjungan agar
mempercepat terkabulnya
keinginanmu..!" Durgandini
mengangguk-angguk seraya
mengkremus lagi sepotong
lengan bayi itu, dan
mengunyahnya tanpa segan-
segan.
Malam mulai menyelimuti alam
sekitarnya.
Tri Agni duduk di bawah pohon
Angsana besar
itu dengan bersidakep tak
bergeming. Tampak bibirnya
berkemak-kemik membaca mantera.
Kiranya dia ten-
gah memohon pada Sang Raja
Siluman Ular untuk
mengabulkan permohonannya,
mempercepat kehami-
lan anaknya. Durgandini duduk
bersimpuh di hadapan
sang ibu. Tundukkan wajahnya,
dengan hati yang su-
dah dikosongkan. Dia telah
jalani syarat utama yang
merupakan jalan untuk
diterimanya permohonan itu.
Syarat-syarat selanjutnya adalah
di belakang had bila
kelak sudah terkabul dan
terlaksana apa yang diidam-
idamkannya. Sepotong bulan
mengambang di langit
kelam. Beberapa ekor kelelawar
terbang melewati bukit
tempat Makam Tua itu. Selang tak
lama, tiba-tiba an-
gin berhembus keras merontokkan
dedaunan. Hawa
sekonyong-konyong berubah jadi
dingin mencekam.
Dan sepotong bulan itu tiba-tiba
lenyap tertutup kabut
hitam. Durgandini tak berani
membuka matanya.
Dengan tekun tetap dia duduk
bersimpuh mengosong-
kan pikirannya.
Tiba-tiba terdengar suara di
atas kepala Dur-
gandini. Terkesiap wanita ini.
Tadinya dia sudah mau
melihat ke atas, akan tetapi
diurungkan. Karena sege-
ra teringat akan kata-kata Sang
Raja Siluman, agar dia
tak perlu terkejut bila
menghadapi satu keanehan.
Saat itu di atas kepala Durgandini,
kira-kira jarak lima
kaki tampak asap hitam
bergulung-gulung melakukan
beberapa kali putaran. Putaran
asap hitam itu sema-
kin cepat, dengan diiringi suara
berdesis Ular Siluman.
Lama-kelamaan asap itu pun
membentuk seekor ular
raksasa. Tiba-tiba ekornya
menjulur ke bawah...
Dan selanjutnya telah membelit
tubuh Durgan-
dini. Saat berikutnya, dengan
sekali sentakan tubuh
Durgandini telah melayang ke
atas. Lalu disambut lagi
oleh belitan Ular Raksasa itu,
yang kemudian kembali
berubah menjadi asap hitam yang
berputar-putar. Lalu
lenyap. Dan bersamaan itu,
sepotong bulan di langit
kembali menampakkan diri. angin
berhenti meniup,
dan cuaca kembali berubah
seperti sediakala...
Tri Agni pelahan-lahan membuka
matanya, dan
melihat Durgandini sudah tak
berada lagi dihadapan-
nya. Tampak wanita setan ini
tampilkan senyuman
menyeringai. Dan terdengar suara
helaan napasnya,
disertai suara bergumam lirih.
"Ohh..! Sukurlah!
permohonanku terkabul. Te-
rima kasih, Gusti Junjungan...!''.
Tak berapa lama dia
sudah bangkit berdiri. Wajahnya
mengadah menatap
ke langit, lalu alihkan pada
rembulan sepotong. Ter-
dengar suara tertawanya
mengikik. Tak lama dia su-
dah berkelebat pergi, melesat
cepat menuruni bukti
Makam Tua itu. Dan tubuhnya
lenyap di keremangan
malam....
***
DUA
Kita ikuti dulu satu kejadian
mengerikan di se-
buah lembah yang terletak di
wilayah sebelah barat
Kerajaan MATSYAPATI.
Burung-burung elang tampak
berseliweran di angkasa. Di mana
di bawahnya ada se-
buah lembah yang luas. Inilah
yang bernama Lembah
Tengkorak. Ternyata keadaan di
lembah itu tengah
berlangsung satu pertarungan
seru yang telah mem-
bawa banyak korban jiwa.
Hampir tiga puluh orang terdiri
dari beberapa
belas orang kaum persilatan, dan
sisanya adalah
laskar dari pasukan Kerajaan
telah banyak yang tewas.
Sisa-sisanya tinggal belasan
orang saja. Mayat-mayat
bergelimpangan di sana-sini.
Sementara belasan orang
tampak tengah mengurung sesosok
tubuh berambut
panjang beriapan, yang bila
sepasang lengannya berge-
rak, akan membawa korban. Siapa
gerangan manusia
sakti yang demikian tangguh itu?
Ternyata tak lain da-
ri TRI AGNI, si wanita setan
yang memiliki Ajian RA-
WARONTEK. Sejak kebangkitannya
kembali, Tri Agni
menyebar maut di mana-mana.
Kedatangannya ke
Lembah Tengkorak adalah mencari
si TANGAN KILAT,
yang pada 10 tahun belakangan
telah berhasil mem-
bunuhnya. Namun Tri Agni masih
bisa hidup berkat
Ajian RAWARONTEK yang
dimilikinya. Ternyata si
Tangan Kilat tak menyangka akan
menjumpai wanita
setan itu lagi, karena dia sudah
mendengar kabar ke-
matian Tri Agni. Bahkan sudah
lebih 10 tahun dia hi-
dup tenang di lembah itu. Dan
bahkan si Tangan Kilat
sudah mendirikan sebuah
Perguruan yang cukup be-
sar dan terkenal di lembah
Tengkorak, dengan mem-
punyai belasan orang murid. Tak
dinyana saat laki-laki
berusia 50 tahun itu tengah
melatih tenaga dalam di
ruang padepokan, didengarnya
beberapa orang anak
buahnya tengah ribut-ribut
dengan seseorang. Terak-
hir didengarnya beberapa
teriakan ngeri. Ketika dia
melompat keluar, ternyata tiga
orang anak buahnya te-
lah tewas terkapar.
Hihihi... hihi... Tangan Kilat!
Aku datang untuk
menagih nyawamu...!".
Terkejut Ketua Perguruan Lem-
bah Tengkorak ini, ketika
mengenali TRI AGNI si wani-
ta setan itu. Celaka..!? Sentak
hatinya Segera saja dia
telah keluarkan suitan keras
memanggil para anak
buahnya. Sebentar saja belasan
anak-anak buahnya
sudah berdatangan. Dan tanpa
diberitahu sudah sege-
ra mengurung Tri Agni, karena tiga orang mayat ka-
wannya yang menggeletak mandi
darah sudah menan-
dakan adanya pembunuhan. Kalau
di tempat itu ada
sesosok tubuh yang kedua
lengannya berlepotan da-
rah, siapa lagi kalau bukan
wanita itu pembunuhnya.
Belasan senjata segera terhunus.
Dan serentak
saja terjadilah pertarungan yang
membawa banyak
korban bergelimpangan. Pada saat
terjadi pertarungan
itu, kebetulan melintas di jalan
ke lembah itu sepasu-
kan Kerajaan yang dipimpin oleh
seorang Tumeng-
gung. Kiranya adalah Tumenggung
dari Kerajaan
MATSYAPATI, yang bernama KI
MERANGGI. Sang Tu-
menggung adalah utusan dari
Kerajaan, yang kedatan-
gannya ke lembah itu adalah
untuk menjumpai si Tan-
gan Kilat. Yaitu untuk meminta
bantuan tokoh Rimba
Hijau itu untuk menjaga keamanan
di Kota Raja. Ka-
rena Kota Raja dalam keadaan
genting. Ki Meranggi
adalah saudara tua si Tangan
Kilat yang menjadi orang
Kerajaan. Tak dinyana
kedatangannya bertepatan den-
gan kejadian itu. Segera saja
Tumenggung Meranggi
perintahkan lasykarnya membantu
meringkus wanita
yang mengamuk dan telah banyak
menewaskan anak
buah si Tangan Kilat.
Demikianlah, hingga terjadi per-
tarungan maut di lembah itu yang
meminta banyak
korban jiwa. "Wanita iblis,
rasakan tanganku...!".
WHUT!
WHUT! WHUT! Tiga serangan
beruntun mema-
pas bagaikan kilat ke arah tubuh
Tri Agni. Namun
dengan perdengarkan suara
tertawa dingin tubuh Tri
Agni memutar keras, dan...
BLUK! Satu tendangan mengenai
punggung si
Tangan Kilat. Laki-laki bertubuh
agak pendek itu men-
geluh, disertai terhuyungnya
sang tubuh. Akan tetapi
hal itu tak membuatnya cidera.
Tenaga dalamnya telah
terlatih, dan semakin tua
semakin berisi. Segera si
Tangan Kilat pasang jurus-jurus
andalan yang selama
ini telah diperdalam di Lembah
Tengkorak- Sementara
Ki Meranggi telah membaca mantera.
Tiba-tiba keris-
nya berubah memancarkan sinar
berwarna biru.
Selesai berkomat-kamit,
laki-laki Tumenggung
ini membuat satu lompatan ke
atas tubuh Tri Agni, in-
ilah satu jurus dari lima jurus
sakti yang dimilikinya.
Yaitu jurus Gagak Dewa mematuk
Naga. Keris bersinar
biru itu membuat kilatan yang
menyilaukan mata Tri
Agni. Dan rasakan kelumpuhan
pada syarafnya. Se-
mentara tujuh kali kilatan di
depan mata itu, salah sa-
tunya berhasil menancap di mata
Tri Agni. CRASS...!
Darah segar menyemburat, dan
biji mata wanita setan
itu tersontek mental. Pada saat
yang bersamaan si
Tangan Kilat telah lompat
menerjang dengan memutar
ke arah belakang, seraya
lancarkan serangan jurus Li-
dah Kilat Menyambar.
"HUSSSSH...! Punggung Tri
Agni robek hangus.
Tubuhnya terpental bergulingan
delapan tombak, ber-
bareng dengan melejitnya sebelah
biji matanya.
Pada saat tubuh Tri Agni
terlempar bergulingan
itu, tiba-tiba si Tangan Kilat
telah bergerak melompat
menyusulnya. Lengannya menyambar
sebilah golok
yang tergeletak di tanah.
Dan....
GRAS! CRAS! CRAS!
CRAS!.....CRAS! Entah be-
rapa kali dia membacok. Nyatanya
tubuh si wanita si-
luman telah di cincangnya sampai lumat, hingga tak
berbentuk lagi. Tidak sampai di
situ saja. Tiba-tiba tu-
buhnya berkelebat ke arah
samping, dan menyambar
sebuah batu gunung yang besarnya
sepemeluk. Selu-
ruh tenaganya dikeluarkan untuk
mengangkat batu
besar itu, hingga sampai
otot-ototnya bersembulan.
Dan selanjutnya, sudah beranjak
cepat mendekati
mayat Tri Agni.
BRUGG!!! Enam orang laskar Tumenggung Ki
Meranggi dan tiga orang anak
buah si Tangan Kilat pa-
lingkan wajahnya, tak kuat
melihat adegan ngeri itu.
Karena kepala si wanita setan
itu telah hancur luruh
tak kelihatan lagi, membenam
ke dalam tanah. Se-
dangkan batu besar itu sendiri
hampir separuhnya
melesak.
"Hehehe... hehehe...
modarlah kau perempuan
siluman!". Terengah-engah
si Tangan Kilat menatap
mayat lawannya. Tenaganya
seperti terkuras habis.
Diam-diam laki-laki ini
menyadari akan keletihan tu-
buhnya, karena perbuatan barusan
telah dilakukan-
nya dengan penuh emosi. Hingga
mengeluarkan ba-
nyak tenaga berlebihan. Namun
dia tampak puas, dan
bersyukur dapat melumatkan tubuh
si wanita setan,
yang telah bangkit kembali sejak
10 tahun kematian-
nya. Sementara Ki Meranggi sudah
melompat mende-
katinya.
"Alangkah berbahayanya
wanita keji ini!. Sia-
pakah dia adikku..?". Tanya
Tumenggung Ki Meranggi.
"Dialah wanita siluman TRI
AGNI yang pernah
kuceritakan beberapa tahun yang
silam padamu, ka-
kang..!
"Hah!? Wanita itulah ibunya
Permaisuri DUR-
GANDINI yang lenyap entah
kemana! Aku baru menge-
tahui setelah diceritakan oleh
Senapati SATRYO..!".
Sentak sang Tumenggung, wajahnya
seketika berubah
pucat. "Apakah dia tak akan
bangkit lagi?"
"Mudah-mudahan tidak!"
sahut si Tangan Kilat
terengah.
"Kedatanganku adalah justru
man mengabari
kau agar segera datang ke Kota
Raja, atas perintah Ba-
ginda!". Tutur Ki Meranggi.
"Ada kerusuhan apa di Kota
Raja..?". Tanya si
Tangan Kilat, seraya duduk
mendoprok. Tampak dia
berusaha menghilangkan
keletihannya. Dan seko-
nyong-konyong perutnya terasa
sakit. Cepat-cepat dia
mengatur pernapasan untuk
menghimpun kembali te-
naga dalamnya yang terkuras
habis. Ki Meranggi ke-
rutkan keningnya, dan masukkan
kembali kerisnya ke
dalam kerangka di belakang
punggungnya. Segera dia
berjongkok, dan bantu memulihkan
kekuatan si Tan-
gan Kilat, adiknya itu. Namun
cepat-cepat laki-laki itu
menolaknya.
"Sudahlah, aku tak apa-apa,
kakang..! Cerita-
kanlah. ada kejadian apa di
Kota Raja....!". berkata si
Tangan Kilat.
"Kejadiannya sukar
diceritakan! Yang jelas, ba-
nyak kejadian pembunuhan tanpa
diketahui siapa
pembunuhnya!" Ujar sang
Tumenggung.
"Akan tetapi... nantilah
aku ceritakan. Kita ha-
rus mengebumikan dulu para
korban ini!". Ujar sang
Tumenggung, yang telah layangkan
pandangan ke se-
putar tempat itu. Memandang
mayat-mayat dari para
anak buah si Tangan Kilat dan
belasan lasykarnya
yang berserakan tumpang tindih.
Segera Ki Meranggi
menggapai pada sisa enam orang
anak buahnya yang
bersatu mengumpul dengan tiga
orang anak buah
adiknya itu. Lalu perintahkan
mereka bantu menggali
lubang. Kira-kira pada gelincir
Matahari sore barulah
selesai pekerjaan mengebumikan
para jenazah itu,
yang dipendam dijadikan satu
dalam sebuah lubang
besar.
Tampak wajah Tumenggung Ki
Meranggi me-
nampilkan keharuan. Walau
bagaimanapun mereka
adalah pahlawan-pahlawan yang
sudah gugur dalam
menjalankan tugas. Pekerjaan
terakhir adalah memba-
kar mayat TRI AGNI si wanita
setan itu, yang ternyata
memang tak mampu untuk bersatu
kembali jasad yang
sudah hancur cerai berai itu.
Bahkan bagian kepa-
lanya telah remuk redam
terhantam batu besar itu,
yang melesak amblas ke dalam
tanah. Sisa-sisa tu-
buhnya yang kelihatan itulah yang dibakar musnah,
menimbulkan bau sangit yang
menyengat hidung. Se-
lang tak lama, mereka segera
tinggalkan Lembah
Tengkorak, untuk menuju ke Kota
Raja. Lenyap sudah
satu masalah, dengan musnahnya
Tri Agni si wanita
setan itu. Akan tetapi mereka
akan banyak menghada-
pi masalah lain, yaitu munculnya
pembunuh misterius
yang menggegerkan wilayah Kota
Raja.
Akan tetapi mereka tak akan
pernah menyang-
ka kalau sesuatu yang sudah
dianggapnya tak mung-
kin terjadi, ternyata telah
terjadi lagi. Lembah Tengko-
rak yang dianggapnya adalah
tempat yang menjadi ku-
buran kematian Tri Agni si
wanita setan itu, ternyata
masih menimbulkan bencana.
Karena di saat api dan
asap yang membakar
serpihan-serpihan tubuh Tri Agni
padam, angin telah berhembus
kencang ke arah lem-
bah itu. Udara mendadak menjadi
gelap. Petir mengge-
legar di angkasa, memancarkan
lidah-lidah yang ber-
kredepan. Tiba-tiba batu besar
itu terguncang-
guncang, seperti terungkit
keluar dari dalam tanah,
Batu yang melesak hampir
separuhnya itu tiba-tiba
benar-benar terungkit. Dan
menggelinding dari lubang
bekas melesaknya.
Apakah yang terjadi? Ternyata
kepala TRI AGNI
yang sudah hancur lumat itu
menyatu kembali. Bah-
kan selembar rambut pun tak
ketinggalan untuk kem-
bali melekat di kulit kepala
manusia setan itu. Semen-
tara di bekas pertarungan tadi
telah melesat cepat se-
kali sesuatu yang bergerak.
Ternyata adalah sebelah
biji mata Tri Agni yang tadi
tercongkel keris bertuah
sang Tumenggung. Lalu kembali
menyatu, membenam
lagi dalam kelopak mata wanita
setan itu. Cuma sisa-
sisa tubuhnya yang terbakar itu
sajalah yang tetap tak
dapat kembali ke asal. Sekejap
antaranya sebuah ke-
pala sebatas leher telah
meluncur keluar dari dalam
lubang itu. Tampak kepala wanita
setan itu berputar-
putar mencari bagian-bagian tubuhnya
yang lain.
Akan tetapi tak ditemukan.
"Keparat...! Mereka telah
membakar tubuhku!
Tunggulah pembalasanku Tangan
Kilat, dan kau Tu-
menggung serta penghuni Istana
Kerajaan MATSYAPA-
TI....! Hihihi.....hihi....
termasuk juga manusia-manusia
yang telah menghancurkan
kebahagiaan anakku....!"
Selanjutnya kepala si manusia
setan itu sudah melesat
cepat meninggalkan lembah
Tengkorak. Sementara cu-
aca kembali seperti sediakala.
Kita lihat kembali keadaan di
atas bukit di ma-
na terdapat Makam Tua.... Durgandini
ternyata telah
berada lagi di bawah pohon
Angsana besar itu.
"Eh, kemanakah gerangan
ibu....?H. Gumam-
nya seraya palingkan wajahnya ke
sana ke mari. "Hihi-
hi... ibu pasti sedang
mencarikan makanan untukku
lagi! Tapi aku... aku sudah tak
sabar rasanya! Aneh,
mengapa aku jadi mengilar untuk
meminum darah?
Apakah aku tengah
mengidam.?". Desisnya lirih. Tiba-
tiba di kejauhan dia melihat
sebuah benda melayang
ke arahnya. Cepat sekali menukik
ke bukit Makam Tua
itu. Dan segera telah tiba di
hadapan Durgandini Ter-
nyata adalah kepala si
wanita setan TRI AGNT..
Keduanya jadi sama-sama
terkejut. Durgandini
hampir tak percaya melihat siapa
adanya kepala putus
yang melayang di hadapannya, dan
berhenti menggan-
tung di udara menatap ke
arahnya.
"I... ibu...??! Kau...
kau...?!? Apakah yang telah
terjadi dengan mu itu?!"
Teriak Durgandini tergagap,
juga terperangah melihat sang
ibu yang sudah tak ber-
tubuh lagi itu.
Bukannya menjawab, sang ibu
bahkan mena-
tap dengan bercucuran air mata.
"Ibu! Katakanlah! Siapa
manusianya yang telah
memperlakukan kau hingga
demikian?". Teriak Dur-
gandini dengan sepasang mata
linangkan air mata.
Namun tak lama si wanita setan
ini sudah tertawa
mengikik, seraya berkata.
"Nantilah ibu ceritakan!
Kau sudah kembali
anakku?" Tanya Tri Agni
seraya tampilkan wajah gi-
rang.
"Sudah ibu...! bahkan aku
rasanya seperti ten-
gah mengidam?". Sahut
Durgandini dengan senyum
dipaksakan. Sementara dia sudah
buru-buru menyeka
air matanya yang menitik.
"Oh, syukurlah! Sesuai dengan janji ku, ibu
akan mewariskan Ilmu Ajian
RAWARONTEK pada mu,
anakku...!". Ujar Tri Agni
dengan menatap tajam pada
sang anak.
"Se...sekarang,
ibu...?". Tanya Durgandini kehe-
ranan, tapi juga girang.
"Ya! Sebentar, ibu harus
memohon petunjuk le-
bih dulu pada Gusti
Junjungan...!". Ujar Tri Agni, se-
raya kepalanya melayang ke balik
pohon Angsana. La-
lu lenyap. Sementara Durgandini
cuma terpaku bin-
gung. Banyak sudah keanehan
telah dialami. Sejak dia
dibawa melayang oleh Raja
Siluman Ular ke alam yang
penuh kegaiban. Dan Durgandini
memang harus me-
lakukan persanggamaan dengan
seekor ular besar
yang diperkirakan adalah Raja
Siluman Ular itu sendi-
ri. Tak memakan waktu lama,
karena tahu-tahu Dur-
gandini telah berada kembali di
bawah pohon Angsana
besar itu menjelang siang hari.
Dan dapatkan ibunya
telah tak berada di tempatnya
lagi.
Juga satu keanehan yang
dirasakan Durgandi-
ni adalah dia telah merasakan
dirinya mengidam. Ya!
mengidam untuk minum darah.
Terasa menggebu-
gebu untuk segera melampiaskan
keinginannya yang
sukar tertahankan. Tengah
Durgandini termangu-
mangu itu tiba-tiba dari balik
pohon Angsana besar itu
membersit keluar sebuah cahaya
merah. Cahaya itu
meluncur ke arahnya... Dan
tahu-tahu lenyap. Namun
anehnya Durgandini rasakan
tubuhnya jadi berubah.
Seperti ada sesuatu yang
menjelma dalam gua gero-
baknya. Cahaya apakah itu? Pikir
Durgandini. Akan
tetapi tak lama berselang dia
sudah mendengar satu
suara halus. Halus sekali.
Itulah suara ibunya, yang
membisik di relung hatinya.
"Durga, anakku! Sukma ibumu
telah berada
dalam tubuhmu...! Berarti kau
telah memiliki segala
kesaktian ibu! Dan ilmu Ajian
Dasa Jiwa dengan sen-
dirinya telah berpindah ke dalam
tubuhmu! Lakukan
apa yang menjadi kehendakmu..!
Jangan khawatir!
Kau takkan kehilangan ibumu!
Karena sewaktu-waktu
ibu bisa keluar kalau kau
memerlukan bantuan ibu!
Hihihi...hihi.. nah! bukankah
kini kau tengah mengi-
dam, bukan? Carilah apa yang kau
hasrat kan itu! Ke-
lak tentu ibu akan membimbingmu
untuk mele-
nyapkan manusia-manusia yang kau
benci, untuk me-
lepaskan sakit hati dan dendam
kesumatmu! Hihi-
hi...hihi..."
Terkesiap Durgandini akan tetapi
juga girang
dan terharu. Dengan suara menggelegar
menahan ke-
haruan perasaannya Durgandini
menyahuti suara di
relung hatinya itu.
"Terima kasih, ibu...! Oh,
terima kasih juga pa-
da Gusti Junjungan...!".
Selesai berujar, tiba-tiba Dur-
gandini tertawa mengikik yang
membuat bulu tengkuk
meremang. Tak lama tubuhnya
sudah berkelebat dari
atas bukit Makam Tua itu.
Melesat cepat bagaikan
hembusan angin.
***
TIGA
Seorang pemuda berbaju putih
yang kumal,
tampak tengah berjalan di satu
lereng bukit. Peman-
dangan di sekitar tempat itu
memandang indah. Po-
hon-pohon nyiur berderet-deret
di sepanjang jalan. Me-
lihat dari tampangnya, pemuda
ini baru berusia sekitar
dua puluh tahun. Wajahnya tidak
terlalu tampan,
akan tetapi memang boleh
dibilang tak sedap dipan-
dang. Karena penuh daki tak
terurus. Namun juga tak
bisa dibilang jelek. Cukup gagah
walau pakaiannya lu-
suh. Dari sikapnya yang sering
memandang berkelil-
ing, sudah dapat diduga kalau
pemuda ini seorang pe-
rantau yang baru datang ke
daerah ini.
Bahkan sebuah buntalan yang
terbuat dari ba-
han kasar yang sudah bertambal
tergantung di sebelah
bahunya. Namun dapat dipastikan
pemuda ini bukan-
lah pemuda biasa, karena pada
bahu sebelah kanan-
nya tersembul keluar sebuah
gagang pedang. Rambut-
nya yang agak ikal itu dibalut
dengan ikat kepala war-
na putih yang juga sudah kumal.
Panas terik yang
membakar bumi siang itu membuat
kepala si pemuda
beberapa kali menengadah ke
atas, ke puncak pohon
kelapa. Membersit keluar air
liurnya. Namun kakinya
terus juga melangkah. Kini sudah
memasuki sebuah
jalan yang rata.
"Heh, jalan ini pasti
menuju ke desa! Halusnya
bukan main...! Entah siapa
pemilik kebun kelapa
ini...!" Menggumam pemuda
ini, seraya memandang
pada deretan pohon-pohon kelapa
yang berjajar di kiri-
kanan jalan. Ketika tiba-tiba...
Bulk! Sebutir buah ke-
lapa telah jatuh di dekatnya.
"Ha!?" Kebetulan!
Hashanah...! Sentak pemuda
itu dengan wajah membersit
girang. Seraya beranjak
melompat untuk mengambilnya.
Mudah-mudahan ke-
lapa muda! Pikirnya. Nasib baik
rupanya, karena kela-
pa yang jatuh itu memang kelapa
muda yang masih hi-
jau. Tentu saja girangnya bukan
kepalang. Segera saja
dia telah mencabut pedang yang
tersoren di punggung.
Dan... Cras! Cras! Cras! Cepat
sekali gerakan pedang-
nya mengupas sebagian buah
kelapa muda itu. Dan
sebentar kemudian ujung
pedangnya sudah dipergu-
nakan untuk membolongi bagian
yang sudah terkelu-
pas kulitnya itu. Kemudian masukkan kembali pe-
dangnya dalam kerangka di
punggungnya. Dan tak ay-
al, segera sudah menenggaknya
sampai ludas.
"Haahaheheh... segar!"
Ujarnya, seraya melem-
parkan buah kelapa yang sudah
tak berair itu ke tepi
jalan. Akan tetapi pada saat itu
sudah terdengar ben-
takan keras, diiringi
berkelebatnya beberapa sosok tu-
buh dari balik semak.
"Kurang ajar! Enak saja kau
mencuri buah ke-
lapa! Memangnya milik bapak
moyangmu?". Teriak sa-
lah seorang yang berada di
hadapan pemuda itu. Lima
orang laki-laki berpakaian hitam
dengan wajah-wajah
seram, dan kumis melintang telah
mengurung pemuda
itu. Masing-masing menyoren
senjata di pinggang. Me-
lihat dirinya dikurung
sedemikian, si pemuda ini tam-
paknya tidak terkejut. Bahkan
dengan tertawa-tawa
dia berkata, sambil lirikkan
matanya kekiri dan kanan.
"Hahaha...hahaha... apakah
memungut kelapa
yang jatuh sama dengan
mencuri?". Tanya pemuda itu
sambil berpeluk tangan.
"Mana ada kelapa muda yang
jatuh dari pohon?
Otakmu kurang waras barangkali
anak muda! Kalau
ada kelapa muda yang jatuh, berarti
ada yang meme-
tiknya!". Teriak
orang-orang yang berada di sebelah kiri
jalan. Laki-laki ini bertubuh
jangkung dengan baju hi-
tam dan celana lurik. Di
pinggangnya terselip sebuah
golok yang bergagang ukiran
kepala burung.
"He!? benar juga! Tapi toh
aku tidak mencuri...!
Aku cuma memungutnya di
tanah!" Berkata si pemuda
membela diri.
"Tidak bisa! Kau telah
mencuri juga walaupun
memungut di tanah atau di atas
pohon!" Bentak laki-
laki di hadapan si pemuda itu
yang berkumis baplang.
"Ketahuilah, kebun kelapa
ini adalah milik Ra-
den Mas Cucak Ijo!".
Ujarnya lagi dengan wajah bengis.
Tampak si pemuda jadi melengak.
"Siapakah Raden Mas Cucak
Ijo Itu...?". Kata si
pemuda dengan wajah seperti
orang tolol.
"Beliau adalah penguasa di
daerah ini! yang te-
lah mendapat kepercayaan dari
Gusti Patih BUNTA-
RAN!" Sahut laki-laki
berkumis baplang alias tebal itu.
"Ooo..." Ujar si
pemuda dengan manggut-
manggut. Akan tetapi seperti tak
perduli siapa pemilik
kebun kelapa itu, dia sudah
menyahut seenaknya.
"Hm, kalau begitu
biarkanlah aku lewat! kata-
kan pada Gusti Patih kalian
bahwa aku telah memun-
gut kelapanya sebutir!"
ujarnya.
Terjungkat alis si kumis tebal.
Berani benar
anak muda ini bicara
sembarangan?
"Tunggu! Kau sebutkan dulu
siapa namamu!
Mulutmu terlalu lancang bicara,
anak muda! Punya
andalan apakah kau di daerah
ini! Majikan kami Ra-
den Mas Cucak Ijo telah kau
anggap sepi, bahkan be-
rani lancang bicara untuk
laporkan pada Gusti patih
segala...!". Berkata si
kumis tebal. Kiranya dia inilah
yang tadi telah pergunakan
sebutir batu kecil me-
nyambut gagang kelapa muda di
atas pohon. Tentu sa-
ja si pemuda ini telah
mengetahui sejak tadi. Juga
adanya beberapa sosok tubuh yang
sembunyi di balik
semak. Namun tampaknya dia hanya
berpura-pura ti-
dak mengerti. Karena jelas kalau
mereka ini memang
sengaja mencari gara-gara.
"Hahaha... sudahlah, aku
mau lewat! Katakan
pada Patih atau pada si
majikanmu Cucak Ijo sama sa-
ja! Apakah memungut sebutir
kelapa bisa mendapat
hukuman penggal leher!?".
Ujar si pemuda dan me-
langkah seenaknya, tanpa rasa
takut dan perdulikan
orang yang menghadang di depan.
"Kunyuk dekil ini rupanya
mau mampus! Tak
perlu jauh-jauh untuk kau mengantarkan
kepalamu!
Akulah yang akan memenggal
lehermu..!" Bentak laki-
laki berkumis tebal itu, yang
ternyata adalah pemim-
pin dari lima orang anak
buahnya. Dan segera saja la-
ki-laki itu telah mencabut golok
tipisnya dari pinggang.
"Heh, agaknya kau punya
nyali juga, anak mu-
da! Sebutkan siapa namamu, dan
apa keperluanmu
memasuki daerah terlarang
ini!". Bentaknya kasar. La-
ki-laki pemimpin kelima orang
itu adalah yang berna-
ma Jebul Ireng. Seorang yang
berilmu tinggi yang men-
jadi pengawas di perkebunan
kelapa itu.
Sementara kelima orang yang
mengurung pe-
muda itu pun masing-masing sudah
mencabut keluar
senjatanya, yang rata-rata
adalah sebilah golok.
"Aii, apakah namaku cukup
berarti buat ka-
lian?!" Tanya si pemuda
yang segera menahan lang-
kahnya.
"Hehehe... dari gagang
pedangmu yang terukir
bagus itu, sudah dapat kulihat
kau tentu bukan orang
sembarangan! Juga tadi telah
kulihat kau mengupas
kelapa, bahwa pedangmu itu
memang bukan pedang
biasa! Kalau kau mau serahkan
pedangmu sebagai ja-
minan, aku akan perkenankan kau
lewat! Kelak bila
telah selesai urusanmu, silahkan
kembali ke mari un-
tuk kau mengambil
kembali!". Ujar si kumis tebal ber-
nama Jebul Ireng.
Lagi-lagi pemuda itu naikkan
alisnya. Bagi seo-
rang petualang rimba Persilatan hal demikian adalah
termasuk satu penghinaan. Karena
pedang dan pemi-
liknya adalah ibarat kulit
dengan daging. Kalau tadi
wajah pemuda ini tampak
biasa-biasa saja, akan tetapi
kini sepasang matanya membersit
tajam menatap
orang di hadapannya. Seraya
tiba-tiba keluarkan suara
tertawa dingin. ,
"Hahaha... bagus! Aku sudah
tak ingat namaku
sendiri! Dan aku memang tak
punya gelaran apa-apa!
Kalau kalian semua menginginkan
pedang pusaka ini,
silahkan ambil dari tanganku!"
Berkata si pemuda.
Aneh, sura itu seperti
mengandung satu kekuatan te-
naga dalam, yang terdengarnya
bagaikan membuat
jantung seperti tergetar.
Diam-diam Jebul Ireng terke-
jut juga. Akan tetapi mana
jagoan ini mau unjukkan
wajah kaget di hadapan seorang
pemuda dekil yang be-
lum diketahui namanya? Bahkan
menimpali dengan
kata-kata sebagai jawabannya.
"Hahahehe...tak tahunya
cuma seorang pemu-
da linglung yang kesasar dari
kuburan! Gembel sema-
cammu masih berani jual lagak di
depan tuan besarmu
Jebul Ireng si Lutung
Dewa...!" Hahehehehe.. benar-
benar keterlaluan..!"
Kata-kata ejekan itu tentu saja
membuat kawan-kawan lainnya jadi
tertawa berkaka-
kan. Akan tetapi bukannya marah, justru si pemuda
itu tiba-tiba ikut tertawa.
"Hohahaha...hahaha.. ya!
ya! kini aku baru in-
gat siapa gelaranku! Itulah si
DEWA LINGLUNG! Orang
Rimba Hijau menyebutku
demikian!". ujar si pemuda
dengan wajah menampilkan
kegirangan. Tentu saja
semua yang tertawa jadi terdiam
seketika bagaikan su-
ara jengkerik terinjak.
Sementara Jebul Ireng jadi me-
lengak. Karena dia merasa
berhadapan dengan seorang
pemuda tolol yang aneh.
Jangan-jangan orang sinting
yang ku ladeni ini! Pikir Jebul
Ireng.
"Hahaha...haha terima
kasih, terima kasih! Kau
telah mengingatkan kembali
julukanku, Lutung
Ireng...!". Merah seketika
wajah Jebul Ireng, karena
Lutung Dewa telah dirubah
seenaknya saja menjadi
Lutung Ireng. Namun agaknya
laki-laki ini masih bisa
menahan sabar. Dan bahkan
memberi isyarat pada
anak buahnya untuk bertindak
terlebih dulu.
"Eh, Dewa Linglung yang
nyasar dari kuburan!
Boleh ku coba merebut pedangmu
itu!?" Teriak salah
seorang dari anak buah Jebul
Ireng, seraya mene-
baskan goloknya ke arah
pinggang. Akan tetapi cepat
sekali gerakan pemuda itu,
ketika tahu-tahu...
Tuk! seraya diiringi kata-kata.
"Hahaha... boleh!
boleh...!Namun tiba-tiba si
penyerang itu mendadak
tebaskan goloknya seraya
menjerit kesakitan, Lalu ber-
jingkrakan memegangi lengannya
yang jadi terkulai
sebatas pergelangannya. Ternyata
telah terlepas sam-
bungan tulangnya. Tentu saja
sakitnya bukan main.
Tampak tadi dengan cepat sekali
si pemuda miringkan
tubuhnya, seraya gerakkan
sebelah lengannya meno-
tok pergelangan si penyerang
itu.
Melihat demikian keempat
kawannya segera
maju berbarengan mengirim
serangan goloknya mas-
ing-masing, diiringi,
bentakan-bentakan keras. Akan
tetapi sekali si pemuda itu
putarkan tubuh, ke empat
penyerang itu kembali
perdengarkan jeritan keras den-
gan masing-masing goloknya
terlempar berpentalan.
Kali ini bukan masing-masing
lengan mereka
yang lepas sambungannya, akan
tetapi masing-masing
gigi mereka yang rontok
berhamburan. Karena dengan
gerakan memutar tubuh itu,
lengan dan kaki si pemu-
da itu telah bergerak cepat
sekali menghantam dagu ke
empat penyerang itu. Hingga tak
ampun lagi mereka
jatuh bergulingan ke empat
penjuru. Betapa terkejut
dan gusarnya si Lutung Dewa
melihat kejadian itu.
Dengan bentakan keras
menggeledek tubuhnya men-
dadak melompat ke arah pemuda
itu, diiringi serang-
kaian tebasan golok tipisnya
yang bersuara bersiutan.
WHUT! WHUT! WHUT! WHUT! Akan
tetapi
semua serangan itu menemui
tempat kosong.
Karena tubuh si Dewa Linglung
ini ternyata telah ber-
kelebatan cepat sekali
menghindari terjangan-
terjangan beruntun itu.
Ser! Ser! Ser! Serangkum senjata
rahasia segera
dilepas si Lutung Dewa. Akan
tetapi tampak pemuda
itu kibaskan buntalan buntutnya,
yang seketika mem-
buat belasan paku-paku beracun
itu berseliweran ke
beberapa arah. Bahkan
selanjutnya telah terdengar
suara teriakan-teriakan parau
dari tiga orang anak
buahnya yang jadi sasaran
paku-paku berbisa si Lu-
tung Dewa. Tentu saja ketiga
orang anak buahnya itu
berkelojotan bagai ayam
dipotong. Lalu sekejap kemu-
dian tewas. Melihat demikian
membeliak sepasang ma-
ta Lutung Dewa. Sementara
sisa-sisa anak buahnya
tanpa diperintah lagi, sudah
kabur angkat langkah se-
ribu.
"Keparat! Kau cari mampus
anak muda!" teriak
si Lutung Dewa. Tiba-tiba saja
dia telah keluarkan sa-
tu senjata berupa cambuk berduri
dari pinggangnya.
WHUK! WHUT! WHUT...! Lutung Dewa
telah segera
lancarkan serangan.
"Huh! mengurusi orang
semacammu membuat
aku malas saja!" Bentak si
Dewa Linglung. Tiba-tiba...
Whuusss...! ZBUK! PRAKK...!
Terdengarlah jeritan pa-
rau menyayat hati. Tubuh si
Lutung Dewa telah ter-
jungkal 10 tombak bergulingan.
Lalu terkapar tak ber-
kutik lagi. Ternyata kepalanya
telah remuk dan da-
danya ambrol dengan beberapa
tulang iganya yang pa-
tah. Darah merembes ke tanah
menggelogok dari balik
pakaiannya. Ternyata si Dewa
Linglung telah kelua-
rkan pukulan angin bertenaga
dalam yang membuat si
Lutung Dewa jadi gelagapan, dan
cambuknya me-
layang entah ke mana. Saat
tubuhnya terhuyung-
huyung itulah si Dewa Linglung
lancarkan dua seran-
gan sekaligus. Satu jejakkan
kaki dan sebuah tinju
menghantam dada dan kepala.
Hingga nyawa Jebul
Ireng tak ketolongan lagi.
"Hahahahahehe... hehe...
Kunyuk! Setan! Bede-
bah! Manusia-manusia kentut
semacam kalian tak
pantas jadi begundal! Mengganggu
orang lewat saja...!"
Memaki si Dewa linglung dengan
berteriak-teriak. Na-
mun selang tak lama tubuhnya
sudah berkelebat me-
masuki wilayah perkebunan kelapa
itu. Namun ketika
menempuh jalan di tengah perkebunan kira-kira se-
perminuman teh, di ujung jalan
menampak seekor ku-
da tengah berdiri dengan
penunggangnya di tengah ja-
lan. Pemuda ini terkejut, dan
segera memperlam-
batkan langkahnya.
"He!? Seorang wanita...?
Siapakah...? Ah, bu-
kan...! bukan dia...!" Gumamnya lirih. Sesaat dia su-
dah tiba di hadapan Wanita itu.
"Siapa anda...? Mengapa
menghalangi jalan
tempat orang lewat?". Si
Dewa Linglung sudah ajukan
pertanyaan. Sementara di atas
punggung kuda, seo-
rang wanita duduk bertolak
pinggang menatap si pe-
muda dengan sunggingkan
senyuman. Ringan sekali
gerakan wanita muda yang cantik
itu, melompat dari
kudanya. Pakaiannya dari sutera
yang mahal, rambut-
nya tergerai ke depan. Terhiasi
bunga cempaka merah
jambu yang terselip di sisi
telinganya. Ketika melang-
kah membuat paha sang wanita itu
menyingkap dari
celah belahan kainnya.
"Selamat datang di wilayah
tapal batas Kera-
jaan MATSYAPATI, sobat
muda!" Sapa wanita itu, se-
raya menatap dengan pandangan
kagum. Ada pun si
pemuda ini jadi jengah sendiri,
karena jelas dari wanita
itu tak menampakkan sikap
permusuhan. Bahkan se-
perti seolah menyambut tetamu
terhormat. Siapakah
wanita genit ini? Pikir Si Dewa
Linglung. Namun cepat,
cepat dia menjura, walau
sebenarnya ada rasa; malu
menghadapi wanita. Atau memang
itulah rupanya ke-
lemahan di Dewa Linglung ini.
Karena hatinya sudah
berkata... Aih, seandainya
Wanita ini adalah DIA...ah,
betapa girangnya aku...! Akan
tetapi dia sudah cepat-
cepat berkata.
"Eh, aku tak mengenal anda?
Mengapa me-
nyambut aku seperti menyambut
kedatangan keka-
sih?". Enak saja pemuda itu
bicara. Namun kata-
katanya adalah wajar dan apa
adanya. Karena me-
manglah demikian apa yang telah
diperlakukan oleh si
wanita itu dalam menyambutnya.
Sambil mengerling
genit si wanita itu menyahuti.
"Ah, sobat muda yang tampan
begini mana
mungkin kalau tak diperlakukan
sebagai seorang ke-
kasih! Apalagi aku sudah lihat
kehebatanmu membu-
nuh si Jebul Ireng alias si
Lutung Dewa. Makin kagum
dan simpati saja aku pada anda,
sobat muda!" Melen-
gak si pemuda kumal ini. Edan!
Mukaku tak keruan
begini, bahkan sudah tiga hari
aku tak mandi-mandi.
Di tambah pakaianku yang dekil,
kumal dan baunya
bikin orang mabok...eh, masih
dibilang tampan? be-
nar-benar dunia sudah terbalik!
Gerutunya dalam hati.
Akan tetapi diam-diam pemuda ini
terkejut juga kare-
na wanita ini mengetahui
kejadian tengah jalan perke-
bunan kelapa tadi, Heran!? Dia
telah mengetahui keja-
dian tadi, mengapa tidak
menyambut ku dengan sikap
bermusuhan?" Apakah anda
putrinya atau mungkin
juga istrinya si Raden Cucak Ijo
itu?". Serampangan
saja Pemuda ini bicara. Tentu
saja membuat wanita itu
jadi tertawa cekikikan.
"Hihihi... tebakanmu salah,
sobat muda! Aku
adalah aku! Nanti pun kau akan
mengetahuinya. Kini
kau telah jadi tetamu ku! Walau kau punya urusan
lain, tapi karena telah memasuki
wilayah yang juga di
bawah pengawasanku, kuharap kau
tak menolak un-
tuk kuajak mampir ke
tempatku......” Ujar wanita itu
dengan pandangan mata yang
berbinar-binar menatap
si pemuda. Sementara diam-diam
di hati wanita ini
membatin. Ah, seandainya
wajahnya tak kotor berde-
bu, sudah dapat dipastikan dia
seorang pemuda yang
gagah. Bertubuh kekar berisi,
penuh berotot, dan ber-
tenaga kuat...! Apa lagi
tampaknya bukan pemuda
sembarangan. Sudah kulihat
sendiri kehebatan ilmu
silatnya. Tanpa mencabut
pedangpun telah sanggup
membuat kematian si Jebul Ireng.
Seandainya ku
manfaatkan tentu banyak
gunanya...!
Demikian pikir si wanita- Hingga tanpa sadar
dia telah menatapnya dengan tak
lepas-lepas.
Tampaknya si pemuda dekil ini
berfikir sejenak,
namun tak lama sudah tertawa
terbahak-bahak, se-
raya selanjutnya berkata;
"Hahaha...Baik...!baik! aku
setuju! Apakah di
rumahmu ada tempat mandi? Aku
sekalian mau man-
di, dan..."
"Mengganti pakaianmu yang
bau apek itu, bu-
kan? Hihihi... jangan khawatir
semuanya sudah terse-
dia...!" Ujar wanita itu
sambil tampilkan senyuman
menawan, Tak aral lagi si wanita
sudah balikkan tu-
buh seraya menyambar tali les
kuda, dan berkata:
"Apakah kau ingin naik
kuda, atau jalan ber-
sama sambil menuntun kuda? Kita
bisa berjalan sam-
bil bercakap-cakap...!"
Ujar si wanita, seraya palingkan
wajahnya.
"Silahkan anda terlebih
dulu ke Pesanggrahan
ku, sobat muda! Senja nanti
kalau aku menemuimu,
tentu kau sudah segar, bersih
dan tidak bau lagi. Hi-
hihi..." Berkata si wanita
dengan suara halus, akan te-
tapi terdengarnya seperti meniup di telinga pemuda
itu. Sadarlah si Dewa Linglung
kalau wanita baju hijau
itu bukan wanita sembarangan.
Namun hal demikian
justru amat menarik sekali,
membuat pemuda itu in-
gin mengetahui kelanjutannya.
"Hahaha...baik! Baik...!
Hus! Hus...! Hayo, ce-
patlah sedikit larinya! Tubuhku
sudah gatal-gatal ra-
sanya kepingin mandi, dan salin
pakaian!" ujarnya, se-
raya menghentakkan kaki ke perut
kuda. Keruan saja
kuda itu berlari lebih cepat
mendahului si gadis yang
memegang tali les. Namun dengan
satu teriakan halus,
si dara itu sudah kelebatkan
tubuh mengikuti, bahkan
mampu mengendalikan ke mana arah
yang dituju.
Demikianlah, keenam dara baju
merah itu membawa si
Emoticon