Hawa dingin yang luar biasa di
pagi subuh itu
menyelimuti sekitar lereng
perbukitan. Di mana kabut
tampak masih tebal. Di antara
keremangan cuaca dan
tebalnya kabut, tampak terlihat
sebuah bangunan be-
sar. Ternyata sebuah kuil. Kuil
itu bernama KUIL IS-
TANA HIJAU. Memanglah sebenarnya
kuil itu amat be-
sar dan luas, hingga menyerupai
sebuah istana saja
layaknya. Di sekeliling kuil itu
dikelilingi oleh pagar
tembok tebal, yang tampak luas.
Bagian depannya ter-
dapat pintu gapura dengan daun
pintu dari terali besi.
Sedangkan bangunan itu sendiri
keseluruhannya ber-
cat hijau. Kecuali atap
gentingnya.
Cuaca yang remang-remang itupun
berangsur-
angsur terang. Sementara kabut
sedikit demi sedikit
mulai lenyap. Akan tetapi dalam
hawa yang sebegitu
dinginnya ternyata telah ada
orang yang keluar rumah.
Bahkan tanpa selimut menutupi
tubuhnya. Dia seso-
sok tubuh yang berpinggang
ramping, berambut pan-
jang beriapan.
Dalam keremangan kabut yang
semakin meni-
pis, sudahlah dapat diterka
kalau sosok tubuh itu ada-
lah sosok tubuh seorang wanita.
Angin yang bertiup sepoi di pagi
remang itu te-
lah membawa bau amisnya darah.
Hingga menyebar
sampai ke sebuah desa, yang
terletak sejauh kurang
lebih enam belas kali lemparan
tombak dari kuil Istana
Hijau.
Hal tersebutlah yang membuat
wanita itu telah
keluar dari rumah. Dan berlari
cepat menuju arah an-
gin bertiup. Tepat di saat
keremangan mulai lenyap,
sosok tubuh itu telah tiba di
satu tempat berdataran
tinggi. Di hadapannya adalah
sebuah perbukitan yang
memanjang. Dan tak jauh dari
lereng perbukitan itulah
terlihat berdiri dengan megahnya
dari kejauhan ban-
gunan kuil Istana Hijau.
Siapakah gerangan Wanita itu?
Dia ternyata tak
lain dari si Pendekar Wanita
Pantai Selatan, alias RO-
RO CENTIL.
Baru saja ia menginap semalam di desa yang
bernama Lubuk Batang itu,
Kedatangannya adalah
atas undangan seseorang dari
kalangan Rimba Hijau,
yang berjulukan si Bangau Putih.
Roro sendiri heran,
karena ia tidak mengenal akan
nama itu. Namun men-
gingat dirinya sudah dikenal
orang Persilatan, ia men-
duga si pengundang tentu
membutuhkan bantuan.
Karena di samping si Pendekar
Wanita ini seorang
yang gemar berpetualang, juga
undangan itu dianggap
kesempatan baik untuk mengetahui
ada hal apakah
gerangan, maka ia telah diundang
melalui surat raha-
sia, juga ia berkeinginan
mengetahui siapa gerangan
adanya si Bangau Putih itu.
Sejak senja kemarin ia te-
lah tiba di tempat tujuan. Akan
tetapi menunggu keda-
tangan si Bangau Putih di sebuah
penginapan yang te-
lah ditentukan, harus-nya
menggunakan kesabaran.
Kesempatan itu tidak di
sia-siakan
Roro Centil, untuk melihat-lihat
keadaan desa
yang ramai itu. Ternyata desa
Lubuk Batang terletak di
sisi sebuah sungai, di sisi
bukit. Rumah-rumah pen-
duduk berderet-deret memanjang
di sisi sungai yang
berair jernih itu. Sampan dan
jukung berseliweran di
permukaan air. Ada yang sekedar
bermain perahu. Ada
juga yang memang mempunyai
keperluan tertentu.
Bahkan di antaranya ada yang
menggunakan sampan
untuk berdagang. Ternyata di
samping rumah-rumah
yang berdiri di daratan, ada
juga rumah-rumah yang
berdiri di atas air. Setelah
puas melihat-lihat, Roro
kembali ke penginapan.
Tempat yang digunakan untuk
bermalam ada-
lah sebuah rumah penginapan yang
hanya satu-
satunya di tempat itu. Jendela
kamarnya menghadap
ke arah tepian sungai yang di
belakangnya adalah ba-
risan bukit yang memanjang.
Pemandangan di tempat
itu memang indah.
Hingga sampai malam ia
mondar-mandir keluar
kamar. Namun tak terlihat adanya
orang yang men-
gundangnya. Diam-diam gadis
pendekar ini tersenyum
sendiri. Mengapa ia tak menanyakan
saja pada si pe-
milik penginapan, barangkali
saja ia mengenal si Ban-
gau Putih.
Segera ia temui pemilik
penginapan yang pada
saat itu tengah duduk di
belakang mejanya. Laki-laki
tua ini tampak tengah asyik
menikmati asap temba-
kaunya. Sambil duduk bertumpang
kaki di kursi ma-
las. Sementara sepasang matanya
seperti mengantuk.
"Maaf paman....! Apakah paman
mengenal se-
seorang yang menyebut dirinya si
Bangau Putih...?"
bertanya Roro.
Laki-laki ini membuka sepasang
kelopak ma-
tanya. keningnya dikernyitkan.
Segera kepalanya men-
dongak untuk menatap si penanya.
"Apakah maksud nona si
paderi Kuil Istana Hi-
jau itu...?" Balik bertanya
si pemilik penginapan. Roro
yang memang tak mengetahui,
cepat-cepat saja men-
ganggukkan kepala. Tapi
diam-diam Roro terkejut, tapi
juga bersyukur. Yang akhirnya
mengetahui siapa
adanya si Bangau Putih itu.
"Kalau dia yang nona
tanyakan, sayang sekali
orangnya sudah berangkat pergi.
Memang sudah sejak
tiga hari yang lalu, paderi itu
menginap di sini. Tam-
paknya ia tengah menunggu
seseorang. Apakah nona
yang sedang ditunggunya?"
Ujar laki-laki tua, seraya
bertanya. Sementara kembali ia
menghisap dalam-
dalam pipanya. Dengan kelopak
mata yang dika-
tupkan. Sikapnya seperti santai
saja dalam berbicara.
Terpaksa Roro mengangguk. Walau
sebenarnya ia tak
ingin berterus terang, dan
berkata:
"Benar, paman.... Sejak
kapan dia pergi? Dan di
manakah letaknya Kuil Istana
Hijau itu....?"
Tanya Roro. Si pemilik
penginapan itu buka
kembali kelopak matanya, dan
hembuskan asap tem-
bakaunya dengan mendesis.
"Baru tadi pagi....! Sayang
pertanyaan nona
mengenai di mana adanya Kuil
Istana Hijau itu aku
tak mengetahui. Karena aku
memang tak pernah ke
mana-mana selain duduk di kursi
kawan setia ku ini,
ditemani pipa cangklong ku. Di
rumah penginapan mi-
likku ini memang banyak
disinggahi para tetamu dari
pelbagai kalangan Rimba Hijau.
Aku dapat mengeta-
huinya tentu saja dari buku
tamu...!" Ujar laki-laki tua
ini, seraya tepukkan tangannya
memanggil seorang
pegawainya yang duduk di
belakang meja yang berada
di sudut ruangan. Sang pegawai
laki-laki itulah yang
telah mencatat nama-nama setiap
pendatang yang
mau menginap, juga termasuk nama
Roro Centil.
"Coba kulihat buku tamu itu
sebentar...!" Ber-
kata si pemilik penginapan,
ketika si pegawainya telah
bergegas datang. Laki-laki itu
kembali beranjak pergi
untuk segera mengambilnya. Dan
tak lama kemudian
telah menyerahkan buku catatan
yang besar itu pa-
danya. Roro Centil cuma bisa
berdiri diam berpeluk
tangan. Si pemilik penginapan
merogoh saku bajunya
untuk mengeluarkan sebuah kaca
mata. Setelah ber-
sihkan kacamata bulatnya dengan
ujung baju, segera
ia mulai membuka lembaran buku
tamu.
"Nah, kau lihat...! Di sini
tertera nama si Ban-
gau Sakti paderi Kuil Istana
Hijau. Yang orangnya su-
dah berangkat pergi. Dan pada
malam ini yang telah
menginap adalah: Barong Segoro
si Naga Hitam, Sito
Resmi si Dewi Rembulan. Dan yang
terakhir adalah
nona sendiri .... Apakah nona
bernama Sakuntala...?"
Ujar laki-laki tua itu seraya
lakukan pertanyaan pada
Roro. Tentu saja Roro Centil
mengangguk sambil ter-
senyum. Orang tua itu pun
manggut-manggut seraya
menutup lagi buku tamunya.
Roro cepat-cepat menghaturkan
terima kasih
seraya berlalu untuk kembali ke
kamarnya. Sementara
diam-diam gadis ini tersenyum
sendiri, karena ia me-
mang sengaja memakai nama palsu
yang ditulis di bu-
ku tamu penginapan itu. Tapi
telinga gadis ini telah
menangkap suara bisikan si
pegawai penerima tamu
pada majikannya. Yang membisiki
bahwa kedua ta-
munya si Naga Hitam dan Dewi
Rembulan, juga telah
berangkat pergi tadi siang. Roro
Centil kerutkan alis-
nya, dan masuk kamar untuk
segera menutupnya
kembali dan sekaligus
menguncinya. Gadis ini jatuh-
kan tubuhnya di pembaringan.
Sepasang matanya
berkedap kedip, seperti tengah
memikir serius. Akhir-
nya Roro mengambil keputusan
untuk tidur. Dan esok
pagi akan berangkat mencari di
mana adanya Kuil Is-
tana Hijau. Ia menduga si Bangau
Sakti tentu telah
kembali ke tempatnya. Karena
menduga tamu undan-
gannya tak datang.
Sayang aku terlambat datang
kemari...! Ternya-
ta sudah tiga hari si Bangau
Putin menginap di tempat
ini...! Menggumam Roro dalam
hati. Tapi satu hal lagi
membuat Roro harus merenung
sebelum berangkat ti-
dur. Yaitu memikirkan adanya dua
orang tokoh Rimba
Hijau yang juga telah menginap
di sini.
Apakah si Naga Hitam dan Dewi
Rembulan itu
juga datang atas undangan si
paderi Kuil Istana Hijau,
si Bangau Putih itu? Pikir Roro
Centil. Ia tak bisa men-
jawab pertanyaannya sendiri. Dan
karena merasa tak
perlu memikirkan siapa
orang-orang yang belum dike-
nalnya itu, juga telah berangkat
pergi, Roro Centil se-
gera pejamkan mata dan tarik
selimutnya untuk tidur.
Tengah malam ketika si Pendekar
Wanita Pan-
tai Selatan itu tengah pulas,
sesosok tubuh berendap-
endap mendekati pintu kamarnya.
Dengan mengguna-
kan kunci, bayangan sosok tubuh
itu berhasil mem-
buka pintu kamar Roro. Akan
tetapi mendengar suara
menggeram seekor harimau, orang
yang menggunakan
topeng wajahnya itu kembali
mundur. Dan cepat-cepat
keluar lagi, seraya mengunci
kembali pintu kamar itu.
Serta bergegas menyelinap pergi.
Dan menghi-
lang di balik tembok rumah.
Kiranya Roro Centil telah
waspada. Ia telah menyuruh
binatang siluman yang te-
lah tunduk padanya itu yaitu si
Macan Tutul untuk
menjaganya di muka pintu kamar.
Kala menjelang pagi dinihari,
Roro. Centil su-
dah terbangun. Setelah mencuci
muka, ia kembali ke
kamar untuk membuka jendela.
Hidung si pendekar
Wanita ini mencium bau amisnya
darah yang terbawa
angin. Di tengah hawa dingin
yang menyeruak masuk
ke dalam kamar. Udara masih
remang-remang. Dan
kabut terlihat menutupi
pemandangan di seberang
sungai.
Roro merasa perlu untuk
menyelidiki dari mana
sumber bau amis darah itu.
Sebagai seorang pendekar
gemblengan beberapa guru yang
berilmu tinggi, Roro
Centil semakin dewasa dalam
berfikir. Nalurinya yang
tajam mengatakan ada sesuatu
telah terjadi. Segera,
setelah membenahi buntalan
pakaiannya yang disang-
kutkan rapi di belakang
punggung. Ia sudah melompat
dari jendela. Namun tak lupa
Roro Centil telah sedia-
kan beberapa keping uang perak
di atas meja, sebagai
pembayaran sewa kamarnya.
Melalui jalan kecil di sisi
penginapan, Roro berindap-indap
meninggalkan tem-
pat penginapan itu. Selanjutnya
ia telah pergunakan
kelihaian ilmu meringankan tubuh
untuk melompat ke
atas genting. Dan seterusnya
berlompatan dari satu
wuwungan ke wuwungan lain.
Sekejap antaranya Roro
telah jauh tinggalkan penginapan
itu.
***
Kini di hadapannya adalah
hamparan hijau dari
padang rumput, yang masih samar
tertutup kabut Ga-
dis pendekar ini pergunakan ilmu
lari cepat untuk me-
nyongsong arah angin. Bau amis
darah itu semakin
santar setelah lewat beberapa
belas kali lemparan
tombak dari rumah penginapan
itu, kini terlihat sudah
di hadapannya sebuah bangunan
besar yang mirip is-
tana. Dengan membaca ukiran
huruf pada pintu gapu-
ra bangunan itu, segera ia
mengetahui kalau itulah
bangunan Kuil Istana Hijau.
Apa lagi kini terlihat nyata
tiang-tiang dan Kuil
serta keseluruhan bangunan itu
yang berwarna hijau.
Sementara saat itu kabut sudah
menipis sekali.
"Hm, inilah kiranya Kuil
Istana Hijau....!", Bau
amis darah agaknya berasal dari
sini. Ada apakah ge-
rangan yang telah
terjadi..?". Desis suara Roro perla-
han. Sementara ia sudah
melangkah masuk melalui
pintu gapura. Dan tiba-tiba saja
sepasang mata Roro
telah melihat sosok-sosok tubuh
yang bergelimpangan,
berserakan di sekitar halaman,
dan tangga batu unda-
kan kuil ini. Tercenung Roro
seketika. Sang Pendekar
Wanita ini telah berkelebat
cepat untuk memeriksa
dengan menghampiri sesosok mayat
yang melintang di
tangga batu undakan. Ternyata
mayat seorang paderi.
Beberapa mayat ditelitinya.
Ternyata juga paderi-
paderi yang telah tewas dengan
mengerikan, yaitu den-
gan dada terbelah robek, bagai
disayat benda tajam.
Keadaan di sekitar itu sunyi
mencekam. Roro Centil
kembali tercenung sejenak.
Apakah gerangan yang te-
lah terjadi...? Siapa yang telah
membunuh paderi-
paderi ini? Gumam Roro dalam
hati. Seraya kemudian
Roro melesat untuk memasuki
ruangan demi ruangan
di dalam kuil itu. Kembali ia
melihat pemandangan
yang mengharukan. Karena di
dalam ruangan pun pe-
nuh dengan mayat yang
bergelimpangan. Bau amis da-
rah semakin santar pada ruangan
dalam ini. Benar-
benar membuat Roro bergidik. Ia
menduga telah terjadi
satu pertarungan di Kuil Istana
Hijau ini.
Akan tetapi yang amat di herankan, tak satu-
pun ia menjumpai sosok tubuh
yang bergeletakan itu
dari orang lain, selain para
paderi.
"Aku harus mencari salah
seorang yang masih
hidup, untuk bisa memberi
keterangan mengenai pe-
ristiwa ini.. !" Desis
Roro.
Heh! Jangan-jangan si Bangau
Putih pun telah
turut tewas! Kukira paderi itu
sengaja mengundangku
untuk aku membantunya. Namun aku
terlambat da-
tang! Entah siapa orangnya, dan
dari kelompok mana
gerangan yang telah membantai
para paderi Kuil Ista-
na Hijau ini...! Gumam Roro
dalam hati. Seraya ia su-
dah segera meneliti setiap
ruangan. Dan memerik-
sanya, kalau-kalau ada terdapat
orang yang masih hi-
dup, untuk diajak bicara.
Saat itu juga Roro Centil
kembali berkelebatan
di dalam ruangan Kuil besar itu.
Setiap ada tubuh
yang menggeletak, tentu
diperiksanya. Akan tetapi
keadaan paderi itu sudah tidak
bisa ditanya lagi. Kare-
na orangnya telah tewas. Bahkan
darah yang mengalir
dari dada yang robek tersayat
itu telah kental, hampir
mengering. Menandakan kematian
paderi-paderi itu
sudah dalam waktu satu hari satu
malam. Di tengah
ruangan yang paling besar juga
terdapat beberapa
mayat yang tergeletak. Gadis
Pendekar ini layangkan
pandangannya memeriksa sekitar
ruangan. Ternyata di
altar paling depan itu terdapat
sebuah arca Budha
yang telah hilang kepalanya.
Berwarna kuning keema-
san. Roro kelebatkan tubuhnya ke
sana. Arca Budha
ini tingginya hampir dua kaki.
Ketika Roro memerik-
sanya, ternyata terbuat dari
perunggu yang dilapisi
emas. Aneh...! Menggumam Roro.
Kalau ada arca yang
hilang kepalanya, sudah pasti
ada yang merusak. Pi-
kirnya. Dan Roro memang melihat
jelas adanya bekas-
bekas benda tajam yang masih
baru pada bagian leher
arca. Semakin yakin hati Roro,
bahwa kepala arca itu
telah copot orang dengan paksa.
Tapi memikir bahwa
arca itu terbuat dari perunggu
yang dilapis emas, buat
apa orang mencurinya? Demikian
fikir gadis Pendekar
ini.
Tersirat di hati Roro bahwa
adanya mayat-
mayat di dalam dan di luar kuil
itu adalah karena para
paderi bertarung melawan pencuri
arca Budha itu, dan
berusaha mempertahankannya. Pada
saat itu tiba-tiba
terdengar bentakan hebat disusul
berkelebatnya se-
buah bayangan yang menghantamkan
pukulan ke
arah Roro.
"Pencuri busuk..! Pembunuh
keparat! Mampus-
lah kau...!". Gadis ini tak
sempat untuk menoleh lagi,
karena angin pukulan telah
bersiur di belakangnya….
BLAK...! Terpaksa ia gunakan
lengannya untuk
serangan bokongan itu. Tampak
tubuh Roro Centil
terhuyung dua tindak ke
belakang. Roro terkejut juga
mengetahui tenaga dalam si
penyerang begitu besar.
Ternyata si penyerangnya adalah
sesosok tu-
buh dari seorang paderi yang
memakai jubah kuning.
Paderi inipun terkejut bukan
main ketika merasakan
lengannya seperti beradu dengan
besi panas saja. Dan
tenaga tolakan dari bantu ran
lengan itu telah mem-
buat tubuh laki-laki ini
terjengkang dua tombak.
Roro sudah balikkan tubuh dan
melompat ke
hadapan si penyerangnya. Dan
menatap tajam paderi
itu.
"Kau orang tua seharusnya
bertanya dulu! Jan-
gan main tuduh sembarangan...! Aku baru saja me-
masuki ruangan Kuil ini, dan
lihat mayat-mayat berge-
limpangan. Bagaimana mungkin aku
kau anggap pen-
curi dan membunuh...?".
Bentak Roro berang. Paderi
itu segera bangkit berdiri, dan
mengusap-usap jubah-
nya yang kotor. Seraya menatap
pada Roro.
"Apakah omongan mu bisa
dipercaya? Aku per-
lukan bukti, baru aku bisa
mempercayaimu...!", Mem-
bentak lagi si paderi tua ini,
yang usianya sekitar 50
tahun. Wajahnya menampilkan
ketidakpuasan. Kumis
dan jenggotnya yang cuma sedikit
itu bergerak-gerak
kala berbicara. Sementara
sepasang matanya yang
masih tajam itu membersitkan
hawa kemarahan pada
Roro. Sejenak Roro Centil
tercenung mendengar kata-
kata si Paderi tua itu. Segera
saja terpikir kalau ia
menggembol buntalan. Pasti
disangkanya kepala arca
Budha yang disembunyikan.
"Hm! Baiklah kalau kau
perlu bukti! Kau orang
tua tentu mencurigai isi
buntalan di belakang pung-
gungku ini, bukan...?. Nah!
Segera akan ku tunjuk-
kan!" Berkata Roro seraya
dengan cepat melepaskan
buntalan di punggungnya, serta
membukanya di ha-
dapan si paderi berjubah kuning.
Sepasang mata paderi itu menatap
isi buntalan
itu dengan seksama. Tentu saja
ia jadi melengak, ka-
rena isi buntalan itu adalah
beberapa perangkat pa-
kaian wanita. Juga sehelai
selimut tebal. Selesai me-
nunjukkan isi buntelannya, Roro
Centil kembali mera-
pikannya, dan sangkutkan lagi di
belakang punggung-
nya. Seraya sebentar kemudian ia
telah bangkit berdiri
lagi. Tampaknya urusan sudah
selesai. Akan tetapi si
paderi ternyata masih belum
puas, terbukti dengan se-
pasang matanya melirik ke arah
benda yang terbung-
kus kain sutera hitam, yang
tergantung di pinggang
Roro.
"Apakah selain kepala Arca
Budha yang kau
curigai aku yang mencurinya,
masih kau khawatir aku
mencuri benda lain di kuil
ini?"., Bertanya Roro. Se-
raya tanpa menunggu jawaban ia
telah lorot benda
yang tergantung di pinggangnya.
Dan keluarkan isinya.
Melengak si paderi jubah kuning
seraya berucap;
"Benda apakah gerangan
itu?" Walau-suaranya
lirih, namun Roro cukup jelas
mendengarnya.
"Inilah sepasang senjataku,
orang tua..!' Senja-
ta yang kunamakan si Rantai
Genit! Apakah anda juga
menyangka senjata ini barang
curian...?", Tanya Roro
lagi.
"Tentu tidak, nona...!
Paderi-paderi Kuil Istana
Hijau tak memiliki, atau
menyimpan benda aneh se-
macam itu!" Berkata si
paderi dengan suara datar.
Namun tampaknya ia sudah tak
mencurigai Roro lagi.
"Baiklah ...! Aku percaya
kau bukan si pembu-
nuh dan pencuri kepala Arca
Budha itu. Kau telah
memeriksa semua ruangan, apakah
menjumpai salah
seorang paderi yang masih
hidup?. Aku perlukan kete-
rangan siapa yang melakukan
perbuatan keji ini...!".
Berkata si paderi tua itu seraya
menghela napas. Se-
mentara lengannya bergerak untuk
mengelus jenggot-
nya yang sudah berwarna dua.
Roro selipkan kedua senjata di
pinggang, dan
lepaskan bungkusan kain sutra
hitam, yang segera
diselipkan ke balik pakaiannya.
Seraya kemudian ia
menyahuti;
"Sayang! Aku tak menjumpai
seorang pun yang
masih hidup. Bolehkah aku tahu
siapa gerangan pa-
man yang terhormat ini?"
Ujar Roro.
"Aku bernama Sapta Dasa
Griwa, yang mendu-
duki tempat sebagai ketua dua di
Kuil Istana Hijau ini.
Kepergianku untuk suatu urusan
tiga hari yang lalu,
ternyata telah membawa bencana
tanpa kuketahui di
kuil ini. Benar-benar membuat
aku menyesal setengah
mati. Aku akan cari pembunuh
keji dan pencuri itu
untuk kucincang sampai
lumat...!". Tutur si paderi tua
itu yang diakhiri dengan rasa
geram pada manusia
yang telah merusak binasakan
kuil, dan para penghu-
ninya. Roro Centil
manggut-manggut, dan termenung
sesaat seperti tengah berfikir.
Lalu katanya:
"Siapakah Ketua satunya,
maksudku Ketua
Utama di Kuil Istana Hijau
ini?".
"Ketua Utama adalah Ki
Dharma Setha ...!"
Menjawab Paderi Sapta Dasa
Griwa. "Itulah yang aku
sesalkan...! Ki Dharma Setha
memang untuk sementa-
ra menyerahkan tampuk pimpinan
padaku, sejak ke-
berangkatannya ke pulau Kelapa.
Berkenaan dengan
kunjungannya ke beberapa Kuil di
daerah tanah Jawa
itu. Justru di saat beliau tidak
ada telah terjadi musi-
bah besar seperti ini...!".
Berkata paderi Ketua Dua ini
dengan nada sedih, seraya
tundukkan wajahnya mena-
tap lantai. Genangan darah
terlihat di mana-mana.
Bau amis dari darah manusia
menyebar menusuk hi-
dung. Pada saat itu terdengar
suara rintihan dari seso-
sok tubuh yang bergelimpangan
itu dari sudut ruan-
gan. Terkejut Roro Centil. Tapi
baru ia akan bergerak
untuk melihat, paderi Sapta Dasa
Griwa telah mence-
lat terlebih dulu ke sana.
Terlihat seorang paderi beru-
saha bangkit dengan keadaan tubuhnya
yang terluka
parah. Paderi Ketua Dua itu
telah segera menanyainya.
Lengannya bergerak mencengkram
jubah di bagian da-
da paderi itu.
"Katakan cepat...! Apa yang
telah terjadi? Siapa
yang melakukan pembunuhan keji
dan pencurian ke-
pala arca Budha?". Berkata
Sapta Dasa Griwa dengan
keras. Suaranya berkumandang ke
seluruh ruangan
yang sunyi mencekam itu. Roro
Centil cepat membu-
runya untuk melihat. Akan tetapi
begitu ia tiba, paderi
yang terluka parah itu justru
telah terkulai kepalanya.
Nafasnya telah putus. Dengan
sepasang mata yang me-
lotot seperti kematiannya penuh
dengan kekecewaan.
"Dia sudah tak kuat hidup
lagi...!". Berkata pa-
deri berjubah kuning itu seraya
melepaskan cekalan
pada jubahnya. Dan iapun bangkit
berdiri, menatap
Roro dengan tatapan kosong.
Terdengar suaranya
menghela napas.
"Kita tak punya saksi hidup
yang bisa ditanyai
untuk menjelaskan kejadian ini.
Apakah nona bersedia
membantu kami untuk menyelidiki
siapa gerangan
manusia terkutuk yang telah
melakukan pembantaian
keji ini...?". Bertanya
sang paderi Ketua Dua. Roro ce-
pat anggukkan kepala seraya
berkata:
"Tentu...! Ini adalah
masalah kemanusiaan.
Siapa pun akan tergerak hatinya
untuk menangkap si
pelakunya. Sebenarnya
kedatanganku adalah atas un-
dangan seorang paderi yang
berjulukan si Bangau Pu-
tih. Yang menurut apa yang
kudengar ternyata adalah
paderi dari Kuil Istana Hijau
ini. Apakah kau orang tua
mengenal akan paderi itu?"
"Bangau Putih...? Hm...!
Aku tak mengenalnya!
Aku sebagai wakil pimpinan di
Kuil ini tentu mengenali
semua para paderi bawahanku.
Akan tetapi paderi
yang bergelar si Bangau Putih
itu, baru aku menden-
garnya?". Berkata Sapta
Dasa Griwa.
Aneh...!?. Desis Roro dalam
hati. Tetapi si pemi-
lik penginapan itu mengatakan si
paderi Bangau Putih
itu adalah paderi Kuil Istana
Hijau...! Bahkan namanya
pun tertulis di buku tamu!
Demikian fikir si gadis Pen-
dekar Pantai Selatan yang jadi
kerutkan alisnya.
Seperti dapat membaca fikiran
Roro saja, si pa-
deri Ketua Dua Kuil Istana Hijau
itu sudah berkata la-
gi;
"Siapapun dapat mengaku
dirinya sebagai seo-
rang paderi. Nona belum mengenal
siapa orangnya,
mengapa mudah saja mempercayai?
Siapa tahu manu-
sia yang menamakan dirinya si
Bangau Putih itu ada
kaitannya dengan peristiwa
ini...!".
Roro tak dapat menjawab. Akan
tetapi masalah
ini adalah masalah yang memang
serius untuk diseli-
diki. Dan Roro Centil telah
bertekad untuk menyelidi-
kinya.
"Oh, ya...! Nona telah
mengetahui siapa adanya
aku, bolehkah aku orang tua
mengetahui siapa no-
na...? Tentunya seorang Pendekar
yang punya nama di
Rimba Hijau...!". Bertanya
paderi Ketua Dua, Sapta
Dasa Griwa.
"Ah, anda bisa saja...!
Namaku Roro Centil."
Sahut Roro, tanpa menyebutkan
julukan yang diberi-
kan kaum Rimba Hijau padanya.
Akan tetapi ternyata
si Paderi Ketua Dua Kuil Istana
Hijau itu justru telah
melengak. Dan serta merta telah
segera menjura hor-
mat pada Roro.
"Ah.....!?. Kiranya sang
Pendekar Wanita Pantai
Selatan yang punya nama harum
semerbak. Maafkan
aku orang tua yang tak
mengetahuinya sama sekali.
Aku memang sudah menduga
sebelumnya, tapi tak ra-
gu. Karena belum pernah bertatap
muka. Sepak ter-
jang anda terhadap kaum
penjahat, dan golongan se-
sat yang merajalela, yang
berhasil anda tumpas, mem-
buat aku orang tua amat kagum.
Pantas tenaga dalam
nona Pendekar amat hebat. Jarang
aku menjumpai
gadis seusia nona mempunyai
kehebatan tenaga dalam
yang luar biasa. Ternyata di
atas langit masih ada lagi
langit...!". Berkata Sapta
Dasa Griwa dengan tampak-
kan wajah berseri.
Roro Centil jadi tersipu melihat
penghormatan
orang, segera iapun merendahkan
diri. Demikianlah...
Akhirnya Roro Centil berjanji
akan membantu untuk
menyelidiki, atau membekuk siapa
pelaku keji di Kuil
Istana Hijau, yang juga telah
mencuri kepala arca
Budha itu. Kemudian si Pendekar
Wanita Pantai Sela-
tan segera mohon diri. Serta
sebelumnya akan usaha-
kan mencari orang untuk membantu
penguburan para
jenazah.
*****
Roro Centil berkelebat
meninggalkan Kuil Ista-
na Hijau .... Sementara hati si
Pendekar wanita itu di-
liputi bermacam pertanyaan.
Siapakah gerangan
adanya si Bangau Putih? Ada
rahasia apakah pada ke-
pala arca Budha yang dicuri
orang itu? Namun Roro
sudah injakkan kaki di satu
perkampungan terdekat
Segera
ia sebarkan berita mengenai
malapetaka di Kuil
Istana Hijau. Yang sebentar saja
penduduk berdatan-
gan ke sana untuk melihat, serta
membantu mengang-
kuti jenazah. Sementara Roro
Centil yang memang tak
kuat mencium amisnya darah,
segera berkelebat lagi
menuju arah hutan rimba.
Ternyata itulah arah ke sisi
bukit. Kira-kira waktu sepenanak
nasi, Roro hentikan
langkahnya. Tempat itu cukup
tenang. Dengan suasa-
nanya yang dapat menenangkan
hati. Ada sungai be-
rair jernih mengalir di bawah
lereng bukit Roro sudah
gerakkan kakinya melompat ke
sana. Sebentar kemu-
dian ia telah berada di tepian
sungai yang berbatu-
batu. Suara gemericiknya air
membangkitkan gairah
sang gadis Pendekar ini untuk
menyiram tubuhnya. Ia
sudah lepaskan buntalan
pakaiannya dari punggung,
dan letakkan dekat kakinya
"Tutul...! Adakah kau di
sampingku .. ?". Berbi-
sik Roro pada makhluk siluman
yang telah tunduk pa-
danya. Dan terdengar suara
menggeram di belakang-
nya.
"Bagus...! Tolong kau jagai
pakaianku...!". Ujar
Roro dengan suara lirih. Segera
saja terlihat asap tipis
mengepul, lalu menjelma seekor
anak harimau tutul
sebesar kucing. Yang segera
mendekam di sela akar
pohon. Roro tersenyum, seraya
lepaskan pakaiannya
satu persatu. Dan lemparkan ke
atas akar pohon rin-
dang di sisi sungai itu. Selanjutnya Roro segera me-
langkah turun dan melompat ke
atas batu besar di
tengah sungai. Gadis yang ayu
rupawan ini memang
memiliki potongan tubuh yang
semampai serta padat
berisi. Terdengar suara
berdebur, ketika Roro terjun-
kan tubuhnya ke permukaan air. Selanjutnya, ia su-
dah berkecimpung di air sungai
yang jernih itu. Tam-
pak ia lepaskan kedua benda dari
logam tipis warisan
Gurunya si Manusia Banci dari
kedua tempat di tu-
buhnya. Dan letakkan kedua benda
itu di atas batu.
Selanjutnya ia telah kembali
menyelam ke dalam air.
Dan tak lama kemudian sudah
tersembul lagi. Air sun-
gai tidak begitu dalam. Bahkan
hanya sebatas dada.
Sementara sepasang mata telah
memperhatikan dari
seberang sungai. Itulah sepasang
mata dari seorang
seorang laki-laki berperawakan kurus seperti kurang
gizi. Wajahnya melengkung ke
dalam. Hingga tampak
dahinya lebih menonjol. Tentu
saja ia tak mengetahui
adanya seekor anak harimau tutul
yang menjaga pa-
kaian Roro. Karena letak
seberang sungai itu kira-kira
dua puluh tombak. Namun untuk
melihat kemulusan
tubuh wanita muda di hadapannya
kiranya tak luput
dari sepasang matanya yang
berbinar-binar.
"Luar biasa...!"
Mendesis suara laki-laki itu per-
lahan, yang keluar tanpa
disadari. Sementara kepa-
lanya bergerak untuk terangkat
lebih tinggi. Karena
ada ranting pohon yang
menghalangi pandangannya.
Akan tetapi gerakan itu justru
telah membuat Roro
Centil mengetahui adanya orang
yang bersembunyi
mengintai di seberang sungai.
Tiba-tiba Roro Centil menyelam
lagi. Kali ini
lama timbulnya. Tapi sebenarnya,
ia tengah berenang
di dalam air untuk enjot
tubuhnya ke seberang sungai.
Lalu sembulkan kepala dengan
pelahan ke sisi batu
besar. Segera saja terlihat
kepala seorang laki-laki
yang berambut sudah dua warna,
tengah pentang ma-
ta ke seberang.
Inilah manusianya yang suka
iseng terhadap
wanita yang sedang mandi...!
Menggumam Roro dalam
hati. Tiba-tiba lengan Roro
sudah bergerak menangkap
seekor kepiting di seta batu.
Binatang itu ia lemparkan
ke arah laki-laki yang mata
keranjang itu. Terdengar
suara mengaduh, tatkala sang
kepiting yang meluncur
deras itu memasuki celah
bajunya. Yang rupanya
langsung saja mencapit kulit
yang tipis di antara tu-
lang iga yang bersembulan itu.
Segera ia sudah lompat
berdiri. Dan tampak kelabakan
membuka pakaiannya.
Binatang itu masih menempel di
kulit dada. Lengannya
sudah bergerak menyambar
binatang itu, dan dengan
menyeringai kesakitan ia
melemparkannya entah ke
mana. Binatangnya telah lenyap,
tinggal capitnya yang
masih menempel kuat. Karena
saking kerasnya men-
capit, ketika dicengkeram untuk segera
dilemparkan,
ternyata bahkan capitnya putus.
Kembali ia kiprat-
kipratkan lengannya menampar
dada. Hingga si capit
kepiting itu pun terlepas. Namun
kulit dadanya sudah
terluka mengeluarkan darah.
Melihat kejadian yang lu-
cu itu, Roro tak dapat menahan
gelinya. Sehingga ia
sudah tertawa
terpingkal-pingkal.
Adapun si laki-laki yang berusia
sekitar 50 ta-
hun itu jadi melengak. Namun
seketika wajahnya su-
dah berubah merah. Dilihatnya
gadis yang sedang di
intipnya itu justru berada di
dekatnya. Keruan saja,
sepasang matanya jadi melotot
lebar menatap Roro.
Merasa dipergoki, dan bahkan di
jaili oleh si gadis, se-
gera saja ia telah angkat
langkah seribu melarikan diri.
Roro Centil tambah
terpingkal-pingkal mener-
tawakan larinya yang lucu.
Selang sesaat, Roro sudah
kembali beranjak
naik, setelah kenakan kembali
dua benda penutup tu-
buhnya. Dan dengan menggunakan
ilmunya Roro Cen-
til telah langsung melompat
kembali ke darat. Roro
memberi isyarat pada si anak
harimau Tutul itu untuk
melenyapkan diri. Yang segera
tak lama kemudian
makhluk jejadian itupun lenyap.
Segera Roro Centil
membuka buntalannya, dan
keluarkan isinya. Ditarik-
nya keluar seperangkat pakaian
yang berwarna kuning
emas. Lalu dikenakannya. Pakaian
ini mempunyai so-
bekan atau belahan panjang
sebatas paha. Yaitu pa-
kaian yang pernah dipergunakan
menyamar menjadi si
Kupu-kupu Emas. Yaitu si wanita
istri Dewa Tengko-
rak yang telah tewas.
Dengan pakaian ini memang Roro
tampak se-
perti seorang gadis genit yang
nakal. Setelah selesai
membenahi diri, Roro kembali
rapikan buntalannya,
dengan memasukkan pakaian kotor
Roro ke dalamnya.
Lalu sangkutkan lagi ke belakang
punggungnya. Sepa-
sang senjata si Rantai Genit
tergantung di sisi ping-
gang kirinya, dengan kedua
bandulannya yang satu
agak tinggi dan satu lagi lebih
rendah. Lalu si sepa-
sang Rantai Genit ini telah
ditutupi lagi oleh secarik
kain sutra hitam. Setelah
merenung sejenak Roro su-
dah kelebatkan diri pergi dari
tempat itu.
*****
Sesosok tubuh berjubah putih
tampak berjalan
tergesa-gesa di
tengah padang rumput yang menghi-
jau. Sebentar bentar tampak ia
menoleh ke belakang.
Ternyata ia seorang laki-laki
berusia setengah abad.
Laki-laki ini memakai tudung
lebar di kepalanya.
Hingga sepintas ia memang mirip
dengan petani desa.
Wajahnya menampakkan rasa cemas,
Seperti khawatir
ada orang yang mengejarnya.
Sementara itu matahari telah
jauh condong ke
sebelah barat. Padang rumput itu
telah dilaluinya
hampir separuhnya. Tinggal
separuh padang rumput
lagi, ia akan tiba di hutan
lebat. Tinggal kira-kira jarak
sepuluh atau dua belas kali
lemparan tombak yang ha-
rus ditempuhnya. Kini ia tengah
melewati jalan seta-
pak, yang di kiri kanannya
tumbuh rumput alang-
alang setinggi dada.
Ketika baru beberapa belas
tindak ia melang-
kah, tiba-tiba laki-laki ini
merandek untuk hentikan
langkahnya. Keningnya tampak
berkerut, dengan se-
pasang alisnya yang segera
menyatu. Tiba-tiba saja se-
sosok tubuh telah bersembul dari
rumput alang-alang
di hadapannya yang langsung saja
menerjang laki-laki
itu dengan sabetan padang yang
menyambar ganas.
Disertai bentakan keras.
TRANG...! Satu benturan keras
dari beradunya
sepasang senjata segera
terdengar di tengah kesunyian
padang rumput. Ternyata si
laki-laki bertudung telah
mencabut keluar senjatanya. Dan
berhasil menangkis
serangan mendadak itu.
Tubuhnya sudah melompat bersalto
ke bela-
kang. Kini di hadapannya
bersembulan tiga sosok tu-
buh yang memakai topeng berwarna
hijau, yang mem-
bungkus seluruh kepalanya.
"Kau tak dapat melarikan
diri, Bangau Putih...!
Kecuali kau tinggalkan
nyawamu!" Membentak salah
seorang. Segera saja ketiga
sosok tubuh itu mengu-
rung si laki-laki bertudung.
Mengetahui penyamaran-
nya sudah ketahuan, si laki-laki
bertudung segera
membuka tudung lebarnya. Dan
lemparkan ke sisi. Ki-
ni terlihat wajah laki-laki itu
lebih jelas. Kiranya ia seo-
rang paderi yang berkumis dan
berjenggot pendek.
Ketiga orang yang mengurungnya
itu rata-rata
menggunakan pedang. Sedangkan si
laki-laki yang ber-
juluk si Bangau Putih itu
terlihat memakai senjata
yang berbentuk ruyung, dengan
berujungkan kepala
burung bangau yang berparuh
tajam, Senjata itu ter-
buat dari baja putih. Yang
memancarkan sinar berkila-
tan, terkena cahaya Matahari.
Serentak ketiga laki-laki
bertopeng hijau itu menerjang
dengan berbareng. Pe-
dang-pedang telanjang telah
berkelebatan meluruk un-
tuk memanggangnya, disertai
bentakan-bentakan ke-
ras yang merobek keheningan.
Terpaksa si Bangau Putih
berkelit ke sana-
kemari menyelamatkan nyawanya,
Berkali-kali terden-
gar suara berdentingan ketika
senjata-senjata saling
beradu.
Kemanapun si Bangau Putih
melompat, tentu
pedang-pedang telanjang itu akan
memburunya. Rum-
put alang-alang setinggi dada
itu sudah porak-poranda
terkena tabasan dan injakan
kaki.
"Bukalah topeng-topeng
kalian, biar aku men-
getahui siapa kalian...!".
Berteriak si Bangau Putih, se-
raya pergunakan ruyungnya
menangkis dua serangan
berbahaya.
TRANG...! TRANG...! Kali ini
laki-laki paderi itu
mulai unjukkan tenaga dalamnya.
Tampak dua orang
bertopeng itu terkejut, karena
nyaris saja pedang-
pedangnya terlepas dari tangan
mereka,
"Kalau kau sudah mampus,
baru akan kubuka
topeng wajah kami...!". Membentak
salah seorang se-
raya mengirim dua serangan
beruntun.
PRAS! PRASS..! Alang-alang tebal
itu yang kena
terbabat putus beterbangan,
karena si Bangau Putih
telah melompat tinggi tiga
tombak. Begitu turun, telah
gerakkan senjatanya menghantam
kepala lawan.
WUUTTT...! Nyaris kepala si
laki-laki bertopeng
itu bonyok, bila ia tak segera
jatuhkan diri bergulin-
gan. Selanjutnya dua orang
kawannya telah menerjang
lagi dengan tabasan-tabasan ke
arah kaki dan dada.
"Keparrrat...!".
Memaki si Bangau Putih. Kali ini
ia telah putarkan senjatanya,
setelah berhasil loloskan
diri dari dua serangan
berbahaya.
Ketiga orang lainnya yang telah
kembali men-
gurung itu, tampak renggangkan
lagi kurungannya,
karena mereka tampaknya agak
jerih melihat senjata si
Bangau Putih, yang berputar
bagai baling-baling. Tiba-
tiba tampak putaran senjata si
Bangau Sakti, berubah.
Kini berkelebatan dengan arah
yang simpang siur.
Hingga yang tampak adalah kepala
bangau berparuh
runcing itu berkelebatan
mematuk, mencecar ketiga
laki-laki bertopeng itu.
Tampaknya gerakan menyilang
itu agak membingungkan lawan.
Karena serangan-
serangan si Bangau Putih seperti
berserabutan. Tiba-
tiba si Bangau Putih telah
keluarkan bentakan keras.
Hal itu digunakan untuk membuat
gentar lawan. Be-
nar saja! Di saat mereka tengah berfikir untuk me-
nembus bentengan si Bangau Putih
yang kuat itu, ta-
hu-tahu patukan-patukan ruyung
berkepala bangau
itu telah membuat gerakan-gerakan menukik dengan
cepat
CRAS! CRAS! PRRAKKK...! Dua
patukan telak
yang meluncur deras, serta satu
hantaman yang terla-
lu cepat, sudah tak dapat mereka
hindarkan lagi. Sege-
ra terdengar teriakan-teriakan
ngeri. Disusul dengan
robohnya ketiga pengeroyok itu. Darah
segar bermun-
cratan membasahi
rerumputan........
Si Bangau Putih ini sudah segera
memburu tu-
buh salah seorang dari mereka.
Dan membuka topeng
laki-laki yang sudah tewas itu.
Tampak terlihat paderi
ini terkejut karena ternyata
laki-laki bertopeng itupun
seorang paderi dari Kuil Istana
Hijau. Segera ia berge-
rak melompat untuk membuka
topeng yang lainnya.
Yang kemudian dapat diketahuinya
ketiga manusia itu
paderi-paderi Kuil Istana Hijau.
Sejenak tercenung si Bangau
Putih. Keningnya
terlihat semakin berkerut Lalu
ia membungkuk untuk
bersihkan ujung senjatanya. Dan
selipkan lagi dibalik
jubahnya. Selanjutnya ia telah
teruskan langkahnya
tinggalkan tempat itu.
Kali ini ia pergunakan ilmu lari
cepat. Hingga
tak berapa lama kemudian telah
tiba di ujung padang
rumput Segera saja ia berkelebat
untuk memasuki hu-
tan. Tapi, lagi-lagi ia merandek, seraya
mencabut ke-
luar lagi senjatanya.
"Keluarlah Kalau kalian
mengingini jiwaku. Dan
bertarung secara ksatria!"
Membentak si Bangau Putih
dengan sepasang matanya menatap
lurus ke depan.
Terdengar suara tertawa
gelak-gelak, yang disusul
dengan berkelebatnya dua sosok
tubuh di hadapan-
nya, dari balik semak belukar.
Ternyata keduanya adalah seorang
laki-laki dan
wanita. Yang seorang memakai
baju dari kulit Serigala.
Berusia sekitar 40 tahun.
Bertubuh kekar, dengan wa-
jah penuh dengan cambang bauk
yang lebat. Sedang
seorang lagi ternyata seorang
wanita yang berparas
cukup cantik. Berusia sekitar 35
tahun. Rambutnya
dililit oleh benang sutera warna
keemasan. Wanita ini
mengenakan pakaian berwarna
ungu, dengan kem-
bang-kembang berwarna putih.
Sepasang matanya
membersitkan sinar tajam menatap
si paderi bergelar
Bangau Putih. Tampak iapun
tertawa, memperlihatkan
sebaris giginya yang tidak rata.
Wanita inilah yang di-
juluki si Dewi Rembulan di Rimba
Hijau. Sedang yang
seorang lagi, yaitu laki-laki
berbaju kulit Serigala ada-
lah Barong Segoro, alias si Naga
Hitam. Perlu diketahui
kedua tokoh ini pernah menginap
di penginapan di de-
sa Lubuk Batang. Di mana Roro
pernah menginap juga
di sana.
"Hi hi hi... Kami hanya
bertugas menawan mu!
Kalau mau membunuhmu pun kami
kira tidaklah su-
kar. Sebenarnya kalau kami tidak
terlambat datang,
sudah dapat membekuk mu di
penginapan itu. Sayang
kau sudah berangkat pergi!
Sebaiknya kau serahkan
dirimu saja Bangau Putih...!
Agar cepat selesai tugas
kami...!". Berkata Sito
Resmi, alias si Dewi Rembulan.
"Benar...! Biar kami bisa
segera mengaso, bu-
kankah begitu Dewiku.. ?".
Berkata si Naga Hitam. Se-
raya lirikkan matanya pada si
wanita di sebelahnya,
yang jadi tersenyum genit. Tapi
sudah menyambar bi-
cara lagi yang ditujukan pada si
Naga Hitam.
"Hm...! Baru kenal dua hari
sudah mulai ganjen
kau Barong Segoro...! Siapa sudi
mengaso bersama-mu
lagi?. Ternyata kau bukan orang
baik-baik...!" Kata -
kata itu membuat si laki-laki
jambros ini tertawa ber-
kakakan, seraya ujarnya;
"Ha ha ha... Barong Segoro
bukanlah si Naga
Hitam, kalau tak berhasil
menundukkan Rembulan...!
Kau lihat saja nanti, apakah kau
bisa betah tidur sen-
dirian?. Ha ha ha.. ".
Kembali si Naga Hitam tertawa
gelak-gelak. Akan tetapi sekejap
telah berhenti. Sepa-
sang matanya menatap pada si
Bangau Putih, dan ter-
dengar suaranya membentak keras.
"Bangau Putih...! Kalau kau
membangkang un-
tuk serahkan dirimu, terpaksa
aku akan lakukan ke-
kerasan padamu...!". Seraya
berkata, Barong Segoro te-
lah gerakkan lengannya ke atas
dan ke bawah. Segera
terlihat oto-ototnya yang
bersembulan. Dan perdengar-
kan suara berkrotakan. Ternyata
ia tengah menyalur-
kan tenaga dalamnya. Dengan
segera sepasang len-
gannya berubah menghitam.
Kini dengan sepuluh jari yang
sudah terentang,
ia siap melakukan serangan.
Adapun si Bangau Putih
ternyata tak mau menyerahkan
diri begitu saja, Diam-
diam uap halus berwarna putih.
Sementara si Dewi
Rembulan cuma berpeluk tangan
saja. Bahkan telah
berkata;
"Hm, ku ingin lihat apakah kau mampu me-
nangkapnya hidup-hidup, Barong
Segoro! Biarlah se-
mentara aku jadi penonton dulu.
Hihi... hi... hi..."
Ucapnya seraya tertawa.
"Sebelum aku kalian
tangkap, bolehkah aku
tahu siapa yang telah membayar
kalian untuk peker-
jaan ini?". Tiba-tiba si
Bangau Putih ajukan perta-
nyaan.
"Heh! Kau akan lihat dan
ketahui sendiri, nanti
setelah kau kubawa menghadap
padanya...!". Menya-
hut si Naga Hitam. Tampak si
paderi berusia 50 tahun
ini, termenung sejenak, seperti
tengah mempertim-
bangkan usul untuk menyerahkan
diri. Tapi ia berfikir,
toh akhirnya ia akan mati di
hadapan orang yang telah
diketahuinya.
Hal tersebut adalah sia-sia
belaka, Pikirnya la-
gi. Berfikir demikian, si Bangau
Putih segera berkata;
"Baik...! Kau boleh tawan
aku kalau sudah tiada ber-
daya...!". Tentu saja
kata-kata itu membuat si Naga Hi-
tam jadi plototkan matanya.
"Bagus...! Kalau begitu
bersiaplah untuk meng-
hadapiku...!" Seraya
berkata, Naga Hitam sudah lan-
carkan serangan dengan sepasang
lengannya bergerak
mencengkeram ke arah leher si
Bangau Putih. Tentu
saja paderi ini sudah hantamkan
senjatanya mengha-
lau serangan. Sepasang lengan
yang meluncur deras
dengan sepuluh jari terbuka itu
telah bergerak teren-
tang. Akan tetapi tiba-tiba
merubah serangan menjadi
terpecah dua jurusan. Yang satu
meluncur untuk me-
nangkap senjata Ruyung, sedang
satu lagi mengarah
untuk menyambar dada. Terkejut
si Bangau Putih. Ce-
pat-cepat ia tarik kembali
senjatanya. Dan secepat ki-
lat telah mengenjot tubuh untuk melambung
dua tom-
bak.
Ruyung berkepala bangau itu kini
digunakan
menghantam ke arah kepala si
Naga Hitam. Membersit
suara senjatanya, disertai
kilatan sinar perak melun-
cur deras ke arah kepala Naga
Hitam perdengarkan
suara di hidung. Tiba-tiba telah
gunakan lengannya
untuk menangkis serangan.
THAK...! Terdengar suara
seperti menghantam benda keras.
Tubuh si Bangau
Putih terpental ke atas lagi
satu tombak, Paderi in! ter-
kejut bukan main, karena
senjatanya seperti meng-
hantam basi saja layaknya.
Bahkan tenaga dalamnya
terasa mental balik menghantam
kembali ke tubuhnya,
Sehingga ia terlempar ke atas.
Namun dengan gesit, ia
telah lakukan salto di udara,
dan kembali jejakkan ka-
ki ke tanah. Melihat orang
terkejut. Si Naga Hitam
agaknya mengetahui. Tampak ia
perlihatkan sikap
angkuh. Seraya berkata;
"Heh...! Kiranya si Bangau
Putih mulai tahu
siapa adanya si Naga Hitam!
Sebaiknya kau lekas-
lekas serahkan dirimu, sebelum
kau jadi rusak ca-
cat...!".
Tampak wajah si paderi jadi
berubah merah.
Tiba-tiba ia telah berteriak
keras, seraya putarkan sen-
jata Ruyungnya. Terdengar suara
bersiutan. Sinar pe-
rak berkelebatan di hadapan si Naga Hitam. Sekejap
kemudian telah menerjang ke arah
laki-laki kekar itu.
Tampaknya si Bangau Putih telah
bertindak kepalang
basah. Kini dialah yang
merangsak hebat. Kepala ban-
gau dari Ruyungnya berkelebatan
mematuk, mengarah
tempat-tempat yang berbahaya.
Disertai hantaman-
hantaman deras. Bahkan sebelah
lengan si Bangau
Putih pun turut pegang peranan
menghantam dengan
tenaga dalam yang telah
dikeluarkan lebih dari sepa-
ruhnya.
Naga Hitam terkejut juga. Dan
terlihat mulai
kewalahan. Tangkisan-tangkisan
lengannya ternyata
selalu dihindari oleh paderi
itu. Hal mana membuat ia
jadi memaklumi kelihayan lawan.
Namun sukar bagi si
Naga Hitam untuk menembus
benteng lawan, yang
lindungi tubuhnya dengan
kelebatan sinar perak. Seo-
lah benteng baja yang sukar
ditembus. Dalam pada itu
tiba-tiba terdengar suara
tertawa si Dewi Rembulan.
Tubuhnya telah mencelat untuk
sambarkan tali Jerat
Suteranya ke arah kaki si Bangau
Putih.
RRRTT...! Bangau Putih tak
menyangka sama
sekali si Dewi Rembulan akan
menyerang ke arah kaki.
Karena saat itu ia tengah
lancarkan serangan berun-
tun ke arah si Naga Hitam.
Karena ia terpengaruh ge-
rak luncuran Jerat Sutera si
Dewi Rembulan, tentu sa-
ja serangan beruntunnya agak
lamban. Saat itu diper-
gunakan oleh si Naga Hitam untuk
menangkap senjata
si paderi hingga terlepas ketika
disentakan.
Belum lagi si Bangau Putih
menyadari kela-
laiannya, tali Jerat Sutera Sito
Resmi telah membelit
kakinya. Bahkan telah meluncur
lagi tali Jerat Sutera
yang dilepas oleh wanita itu.
Tak ampun lagi sebelah
lengannya pun telah kena
terbelenggu. Hingga sekejap
kemudian tahu-tahu tubuhnya
telah meluncur deras
ke arah depan, dibetot oleh si
Dewi Rembulan, yang
gunakan tenaga dalam untuk
menariknya.
Pada saat itulah si Naga Hitam
lakukan totokan
telak. Hingga tubuh si Bangau
Putih terjerembab ke
tanah untuk tak bisa. berkutik.
Dewi Rembulan ter-
nyata telah bekerja cepat.
Hingga sekejap, kaki dan
tangan si Bangau Putih kena
diringkus tali Jerat Sute-
ranya
"Bagus...! Kalau sejak tadi
kau membantuku,
tentu aku tak payah-payah
keluarkan tenaga, Dewi
ku...!"
"Huuu ...! Naga Hitam
ternyata terlalu lamban,
membuat aku tak sabar meringkus
bangau kurus ini!
Orang macam kau mau taklukkan
Rembulan?. Hi hi
hi..." Berkata si wanita,
dengan tertawa mengejek laki-
laki di sebelahnya. Akan tetapi
bukannya marah, si
Naga Hitam, bahkan tertawa
bergelak. Seraya berkata;
"Ha ha ha.. ha ha... Aku
akan taklukkan rem-
bulan bukan dengan kekerasan
dengan pertarungan
seperti ini. Tapi akan kugunakan
cara hebat, yang
akan membuat kau kagum dan
bertekuk lutut menye-
rah tanpa syarat...!"
"Hm, sudahlah...! Ayo kau
panggul dia! Dan
bawa pergi dari sini...!".
Teriak si Dewi Rembulan, se-
raya sudah mendahului melangkah.
Naga Hitam tak
berayal lagi, segera ia sudah
angkat tubuh si Bangau
Putih, untuk seterusnya diletakkan
di atas pundaknya
yang lebar. Kemudian dibawanya
berlari mengejar Sito
Resmi, alias si Dewi Rembulan...
Saat itu satu bayangan kuning
telah berkelebat
mengikutinya. Gerakannya lincah
sekali. Bagaikan
seekor kijang saja, yang
membuntuti kedua manusia di
hadapannya. Ketika bayangan itu
berhenti sejenak un-
tuk melihat ke arah mana kedua
orang yang dikuntit-
nya, segera diketahui siapa
gerangan dia. Kira-nya tak
lain dari Roro Centil, si
Pendekar Wanita Pantai Sela-
tan. Tampak ketika berjongkok,
belahan panjang putih
mulus. Wajahnya tampilkan senyum
di bibir. Pertanda
hatinya senang. Karena Roro
Centil mulai mengetahui
siapa adanya si Bangau Putih.
Pelacakan mencari jejak
pelaku peristiwa di Kuil Istana
Hijau mulai terungkap,
sedikit demi sedikit. Sengaja ia
tadi tak turun tangan
menolong si paderi yang telah
mengundangnya itu. Ka-
rena Roro inginkan keterangan
lebih jelas mengenai
penyelidikannya. la mengambil
kesimpulan, bahwa da-
ri kedua orang yang berjulukan
si Dewi Rembulan dan
Naga Hitam itu akan banyak
membantunya menying-
kap tabir misteri pembantaian di
Kuil Istana Hijau.
Demikianlah sehingga Roro segera
terus membuntu-
tinya. Kini dilihatnya kedua
orang di hadapannya
membelok ke sisi kiri untuk
mendaki bukit.
"He? Kau akan ke mana...?.
Kita harus menuju
terus ke barat, bukan ke
selatan". Terdengar si Dewi
Rembulan berkata.
"Haha.. ha ha... Tenang
sajalah Dewiku...! Aku
ada cara lebih baik untuk
mendapat keuntungan me-
lebihi hadiah yang bakal kita
terima Paderi tolol ini
akan membawa keberuntungan buat
kita...! Bertanya
ia. Namun kakinya terus
melangkah untuk mengikuti
si Naga Hitam.
"Ikuti saja aku. Sebentar
lagi kita sudah sam-
pai...!". Menyahut si Naga
Hitam. Yang sudah segera
menuruni bukit. Di bawah
terlihat ada air sungai men-
galir berair jernih. Ternyata di
situ ada terdapat se-
buah terowongan. Yaitu pada
kelokan sungai. Tak la-
ma kemudian mereka sudah tiba di
sebuah goa yang
tersembunyi.
"Hm. Tempat ini masih belum
berubah, seperti
tiga tahun yang lalu. Agaknya
memang tak pernah ada
orang mengetahui kalau di sini
ada tempat persembu-
nyian yang aman...!".
"Kau pernah singgah
kemari...?". Bertanya Sito
Resmi.
"Sering..!".
"Sudah berapa kali...?". Tanya lagi si
Dewi Rembulan.
"Yah...! Mungkin sudah
belasan kali. Aku lupa
lagi, tak sempat
menghitungnya!" Menyahut si Naga
Hitam seraya hentikan
langkahnya. Dan lemparkan
tubuh si Bangau Putih ke sudut
goa. Sementara ia su-
dah mendongak untuk melihat
cahaya merah di langit
sebelah barat.
"Sebentar lagi malam tiba.
Sengaja kubawa kau
singgah di tempat kenangan ku
ini. Kita bisa bermalam
di sini. Menunggu besok, untuk
mengambil keputusan.
Apakah perlu kita antarkan si
paderi tolol ini, atau kita
bunuh mampus saja
sekalian...!" Berkata si Naga Hi-
tam. Sementara ia sudah segera
jatuhkan pantatnya
untuk duduk di atas batu. Dewi
Rembulan lagi-lagi
melengak. Sepasang alisnya jadi
bergegas menyatu.
Akan tetapi ia sudah berkata;
"Terserahlah! Kalau hal itu
lebih baik dan
menghasilkan keuntungan lebih
besar, aku akan man-
dah saja...! Eh, ya... Kau
sering kemari belasan kali,
apakah keperluanmu? Tiba-tiba si
Dewi Rembulan su-
dah bertanya lagi ingin tahu.
"Ah, aku hanya melatih diri
untuk menggerak-
kan Otot-Otot tubuhku. Waktu itu
baru bisa mengua-
sai beberapa jurus silat yang ku
peroleh dari mencuri.
"Mencuri...? Bagaimana
caranya...?" Bertanya
lagi si Dewi Rembulan.
"He hehe... Caranya ialah dengan
mengintip
orang bermain silat!".
Menegaskan si Naga Hitam.
Tampak Sito Resmi
manggut-manggut.
"Apa kau tak punya
guru?". Tanyanya lagi.
Akan tetapi si Naga Hitam sudah
garuk-garuk kepa-
lanya yang tidak gatal seraya
ujarnya;
"Wah, wah, wah...Pertanyaanmu
tiada hentinya.
Nantilah kita teruskan
bercakap-cakap kalau mau ti-
dur. Kini carilah persiapan
untuk merebahkan diri. Ti-
dur beralas tanah begini mana
enak. Bisa gatal kulit
tubuh!".
"Carilah sendiri untukmu,
aku tak akan ti-
dur...!" Berkata si Dewi Rembulan. Tampaknya ia se-
perti menggoda si Naga Hitam.
Laki-laki ini cuma ter-
senyum, tapi sudah beranjak
melompat keluar goa se-
raya berkata;
"Baiklah...! Tolong kau
jaga si paderi tolol itu,
jangan sampai ia bisa lepaskan
diri...!". Dewi Rembu-
lan tak memberi sahutan.
Menunggu tak berapa lama,
si Naga Hitam sudah kembali lagi
dengan membawa
daun-daun asam di pundaknya.
Sebentar kemudian ia
telah jadikan dedaunan itu alas
tubuh yang empuk.
Sementara cuaca pun berubah
berangsur-
angsur menjadi gelap. Untunglah
ada cahaya rembu-
lan yang sebentar lagi akan
terlihat sinarnya yang
memantul di air. Sementara si
Bangau Putih cuma bi-
sa berdiam diri tanpa dapat
berbuat apa-apa. Bahkan
bersuarapun ia tak dapat.
Dewi Rembulan melangkah ke sisi
sungai. Dan
bersihkan muka dan anggota
tubuhnya dengan sira-
man air sejuk. Sebentar kemudian
ia telah kembali
duduk di atas batu.
"Eh, bagaimana caranya kau
akan mengambil
keuntungan pada si paderi tolol
ini?". Tiba-tiba ia su-
dah bertanya lagi.
Naga Hitam segera menghampiri
wanita ini, se-
raya berkata;
"Caranya adalah soal yang
gampang, dan bisa
belakangan dilakukan, akan
tetapi keuntungannya bi-
sa dilakukan sekarang...?".
Tentu saja si Dewi Rembu-
lan lagi-lagi melengak.
"Bagaimana caranya...?". Ta-
nyanya lagi secara tak sadar,
karena lagi-lagi ia laku-
kan pertanyaan yang tak ada
putusnya
"Caranya adalah...
begini...!". Si Naga Hitam te-
lah menyahuti, seraya tiba-tiba
gerakkan lengannya
menotok tubuh si Dewi Rembulan.
Tentu saja gerakan
tak terduga itu membuat ia tak
bisa elakkan diri. Wa-
nita ini mengeluh perlahan, dan
sekejap ia sudah tak
bisa berkutik lagi. Bahkan
ketika lengan si Naga Hitam
telah terjulur menelusuri setiap
lekuk dibagian tubuh-
nya, ia cuma bisa mandah saja.
Tapi sepasang
matanya telah melotot gemas pada
si Naga Hi-
tam. Seraya bibirnya keluarkan
suara perlahan tapi
penuh kemendongkolan. Beruntung
laki-laki itu tak
menotok urat suaranya. Naga
Hitam! Beginikah me-
nundukkan ku...? Apakah tak ada
cara lain yang lebih
baik?" "Segudang cara
ada padaku...! Dan yang ini
adalah salah satu cara untuk
membuatmu berhenti
bertanya...! Ha ha... Bukankah
dengan sekejap aku te-
lah dapat membuatmu tunduk
padaku...!" Naga Hitam
menyahut seenaknya, tanpa
hentikan remasan Cakar
Naganya di kedua bukit lunak
berlapis kain sutera itu.
Karena merasa tak ada gunanya
bertarung bi-
cara dengan manusia yang mau
menang sendiri, ak-
hirnya si Dewi Rembulan sudah
tak memperdulikan-
nya lagi. Bahkan sudah katupkan
kelopak matanya.
Tahu-tahu si Dewi Rembulan sudah
rasakan tubuhnya
seperti melayang. Lalu meluncur
turun perlahan, dan
mendarat di atas hamparan
dedaunan.
Terasa dengusan nafas yang
membersit di telin-
ganya. Sementara si Naga Hitam
sudah singkirkan se-
gala sesuatu yang menghalangi
pandangan mata.
Cuaca semakin remang di luar
goa. Akan tetapi
cahaya bulan sudah segera
membersitkan pantulan-
nya dari atas permukaan air.
"Setan alas...!"
Memaki Roro Centil di tempat
persembunyiannya. Lalu palingkan
wajah untuk me-
mandang ke lain arah.
Roro Centil masih berada di
tempat persembu-
nyiannya, kesabaran seorang
wanita memang berbeda
dengan laki-laki. Demi mencari
keterangan yang lebih
lengkap, mengenai hal-ikhwal
kejadian di Kuil Istana
Hijau, terpaksa Roro tak
meninggalkan tempat per-
sembunyiannya Sementara si
Bangau Putih, cuma bisa
pejamkan mata, tanpa bisa
menghalangi pendenga-
rannya. Tentu saja segala desah
angin dan gemericik-
nya air sungai yang mengalir tak
luput dari pendenga-
rannya Secara diam-diam ia telah
mencoba lepaskan
diri dari pengaruh totokan. Akan
tetapi selama sekian
saat itu, usahanya sia-sia
belaka.
Naga Hitam baringkan tubuhnya di
samping si
Dewi Rembulan. Sepasang matanya
terlihat mengatup.
Seperti ia enggan untuk bangun.
Rasanya sudah mau
terus tidur saja, karena terasa
tubuhnya lelah sekali.
Sementara si Dewi Rembulan
bahkan bangkit berdu-
duk. Tiba-tiba lengannya
terjulur ke tubuh si Naga Hi-
tam. Tapi secepat kilat,
laki-laki itu sudah menangkap
pergelangan tangannya Seraya
langsung menariknya
dengan cepat, hingga sekejap si
Dewi Rembulan sudah
kembali berada dalam dekapannya.
Naga Hitam terta-
wa menyeringai.
"Ha ha ha... kau mau balas
menotok ku, bu-
kan...? Sudahlah Dewiku... Naga
Hitam sudah tun-
dukkan Rembulan. Dia telah
temukan pasangannya
yang serasi. Rembulan dan Naga
harus bersatu...! Ka-
lau kelak sudah berhasil dengan
tujuannya, pastilah
akan merupakan pasangan yang
hebat...!" Ujar si Naga
Hitam seraya lengannya membelai
sang Rembulan.
Tampaknya Rembulan benar-benar telah tunduk pada
si Naga Hitam. Ia memang harus
mengakui kejantanan
si Naga Hitam yang telah
menunaikan janjinya.
Selanjutnya yang terdengar
adalah bisikan-
bisikan mesra saja, bagi kedua
insan yang memadu
kasih. Roro Centil tetap
bersabar menunggu tersing-
kapnya tabir pembantaian dan
pencurian kepala arca
Budha di Kuil Istana Hijau.
Selang beberapa saat si Naga
Hitam sudah ra-
pikan lagi baju kulit Serigala.
Kini ia bangkit berdiri
untuk segera menghampiri si
Bangau Putih.
Sementara Sito Resmi beranjak
menuju sungai.
Ternyata di malam yang dingin
itu, justru ia mandi ke-
ringat. Hingga ia merasa perlu
membasuh tubuhnya
dengan siraman air sejuk. Lengan
si Naga Hitam sudah
bergerak membuka totokan. Hingga
si paderi ini kelua-
rkan suara keluhannya. Sepasang
matanya menatap
pada si Naga Hitam.
"Apa yang kau inginkan
dariku, Naga Hitam?
Mengapa tak kau bawa aku
menghadap Ketuamu...?"
Bertanya si Bangau Putih.
"Hm...! Aku mau ajukan
pertanyaan padamu.
Siapakah orang yang kau undang
untuk datang ke
Penginapan? Dan apa hubunganmu
dengan si Ketua
Utama Kuil Istana Hijau?"
"Apakah aku perlu
memberitahukannya pada-
mu?" Tanya lagi si paderi.
"Jelas...! Kau jawablah
dulu dua pertanyaan-
ku!" Ucap si Naga Hitam,
seraya gerakkan lengannya
membuka totokan di tubuh si
Bangau Putih. Hingga
tampak si paderi tua ini bisa
beranjak duduk dengan
menyandar di dinding batu goa.
Sementara kaki dan
tangannya masih tetap terikat
dengan tali Jerat Sutera.
"Baiklah...! Kuberikan atau
tak kuberitahu toh
sama saja. Akhirnya aku akan
mati juga! Kalau tidak
di tanganmu, tentu di tangan si
manusia yang mempe-
ralat mu!" Berkata si
Bangau Putih seraya menghela
nafas. Akan tetapi Naga Hitam
jadi tertawa gelak-gelak,
seraya berkata;
"Heh! Aku merasa tak
diperalat oleh siapapun.
Aku bekerja sendiri demi untuk
satu keuntungan. yai-
tu mencari SEPASANG PEDANG
SILUMAN. Kabarnya
senjata Pusaka itu disimpan di
dalam arca Budha.
Sayang aku datang terlambat.
Karena cuma bisa men-
jumpai mayat-mayat yang
berserakan dari para paderi
Kuil Istana Hijau.
Sepasang Pedang Siluman telah
lenyap dicuri
orang terlebih dulu, dengan
memotong kepala arca.
Bahkan potongan kepala area itu
sendiripun lenyap
entah kemana...!"
Bangau Sakti jadi kerutkan
alisnya. Saat itu si
Dewi Rembulan telah datang
menghampiri dan berdiri
bertolak pinggang di belakang si
Naga Hitam.
Paderi ini menatap wanita itu.
Seraya berkata;
"Lepaskan tali Jerat Sutera
mu nona...! Aku
berjanji tak akan mencoba
melarikan diri. Seandainya
kulakukan toh aku tak bisa lepas
dari cengkeraman
kalian!"
Tampak si wanita saling tatap
dengan si Naga
Hitam, yang sudah segera
mengangguk. Selanjutnya si
Dewi Rembulan segera saja
membuka ikatan tali Jerat
Suteranya. Hingga si Bangau
Putih bisa menarik nafas
lega. Kini ia dapat duduk dengan
enak menyandar di
dinding batu. Dengan sepasang
lengan terjalin kesepu-
luh jarinya.
"Sebenarnya aku tak
tahu-menahu dengan
adanya Sepasang Pedang Pusaka
itu, yang berada di
dalam arca Budha. Ki Dharma
Setha si Ketua Utama
Kuil Istana Hijau meminta
kesedian ku untuk bantu
menjaga Kuil, sebulan yang lalu.
Berkenaan dengan
kepergiaannya ke Pulau Jawa. Ki
Dharma Setha ada-
lah saudara tuaku. Tentu saja
aku membawa surat
bukti dari Ketua Kuil Istana
Hijau untuk bisa diterima
para paderi di sana. Terutama
pada paderi Ketua Dua,
Sapta Dasa Griwa. Karena dia tak
mengenaliku. Sapta
Dasa Griwa baru menjabat di sana
sekitar dua tahun
yang lalu. Sedang aku sudah
lebih dari lima tahun
tinggalkan Kuil Istana Hijau.
Dan membangun Kuil
sendiri di pantai pesisir
sebelah timur. Tepatnya di
Tanjung Kait, dekat ibukota
Kerajaan Sriwijaya.
Diperjalanan aku mendengar
berita adanya ke-
kacauan di Kuil Istana Hijau.
Dan desas-desus lolos-
nya seorang tawanan dari penjara
besi. Tawanan itu
adalah bekas seorang paderi,
yang ketahuan berbuat
kejahatan. Hingga Ki Dharma
Sheta telah memenjara-
kannya. Bahkan dialah si
pencipta, yang membuat ar-
ca Budha dari perunggu berlapis
emas di Kuil Istana
Hijau itu. Entah siapa yang
telah melepaskannya. Aku
menduga adanya kerjasama dengan
orang dalam. Da-
lam perjalanan itu aku mendengar
khabar adanya seo-
rang gadis bernama Roro Centil
yang bergelar Pende-
kar Wanita Pantai Selatan. Gadis
Pendekar itu pernah
menjadi sahabat baik Paderi
Jayeng Rana, yaitu seo-
rang paderi asal Nepal yang
pernah mendirikan Kuil di
Lereng Gunung Wilis.
Bahkan pernah juga ia menjadi
murid Paderi
Sakti itu, dan menumpas tiga
orang paderi cabul yang
mencemarkan nama baik
paderi-paderi Kuil Welas
Asih di Lereng Gunung Wilis.
Oleh swab itulah aku
mengundangnya, dengan melalui
surat rahasia. Aku
berangkat terlebih dulu, dan menunggunya di Pengi-
napan desa Lubuk Batang. Tentu
saja maksud undan-
ganku kesatu; Aku ingin
berkenalan dengan Pendekar
Wanita yang terkenal itu yang
sepak terjangnya adalah
membasmi kaum penjahat. Kedua
aku memerlukan
bantuannya untuk mengatasi
kerusuhan di Kuil Istana
Hijau...!" Demikian tutur
si paderi Bangau Sakti Yang
kemudian hentikan penuturannya
untuk menyeka ke-
ringat di dahinya.
"Apakah kau mengetahui
siapa pencuri arca
Budha itu, dan juga pembantaian
para paderi di Kuil
istana Hijau ...?" Bertanya
Dewi Rembulan.
"Samasekali tidak! Dalam
keadaan kacau demi-
kian yang sudah kudengar, aku
tak berani masuki
Kuil. Cuma aku telah lakukan
penyamaran sebagai pe-
tani desa, dan dari luar pintu
sudah kulihat mayat-
mayat bergelimpangan!"
Menjelaskan si Bangau Putih.
"Mengenai lenyapnya kepala
arca Budha dan lenyap-
nya sepasang Pedang Siluman di
dalam arca itu mana
aku mengetahui...?"
Sambungnya lagi, seraya mengu-
sap-usap jenggotnya.
"Apakah kau mengetahui seluk-beluk
Kuil Ista-
na Hijau...?" Bertanya lagi
Sito Resmi. Pertanyaan itu
telah membuat si Bangau Putih
jadi menghela nafas.
Tapi tetap menyahuti. Seraya
ujarnya;
"Memang pada lima tahun
yang lalu di bawah
Kuil ada ruangan rahasia. Akan
tetapi telah ditutup
oleh Ki Dharma Sheta. Bahkan
melihatpun aku belum
pernah. Karena aku cuma
mendengarnya saja dari Ke-
tua Utama Kuil Istana Hijau, Ki
Dharma Sheta. Men-
genai keadaan sekarang mana aku
mengetahui? Kare-
na walaupun aku masih ada
pertalian saudara, akan
tetapi aku sudah termasuk tidak
mengurusi keadaan
di dalam dan di luar kuil Istana
Hijau. Boleh dibilang
sekarang aku adalah termasuk
orang yang tidak tahu
apa-apa...! Tampak Dewi Rembulan
seperti sudah tak
ingin lakukan pertanyaan lagi.
Sementara si Naga Hi-
tam termenung sesaat, seperti
berfikir. Bangau Putih
ternyata telah menyambung bicara
lagi.
"Sudahlah...!, Kukira tak
ada gunanya kalian
menawan ku lama-lama. Aku memang
sedang bernasib
sial. Mengundang orang untuk
bisa membantu ku,
ternyata orangnya pun tak
kelihatan batang hidung-
nya. Sebaiknya kau bunuh saja
sekarang. Toh sama
saja...! Sekarang mati, nanti
pun akan mati di tangan
Ketua kalian yang tak kuketahui
siapa!" Berkata si
Bangau Putih seraya lagi-lagi
mengusap dahinya yang
berkeringat. Akan tetapi si Naga
Hitam telah tertawa,
seraya berkata;
"Heh! Justru aku tak akan
membunuhmu. Ka-
rena kupikir kau bisa kuajak
bekerja sama. Aku akan
selidiki siapa gerangan si
Topeng Perunggu, yang telah
bersedia memberikan upah 100
tail perak untuk me-
nawan mu. Aku menduga kuat kalau
si Topeng Pe-
runggu itu adalah si pencuri
sepasang Pedang Silu-
man. Kukira nilai pedang pusaka
itu lebih tinggi dari
100 tail perak...!".
"Apa rencanamu, Naga
Hitam...?" Bertanya De-
wi Rembulan.
"Ha ha ha... Kurasa dengan
kekuatan kita ber-
tiga, akan dapat merobohkan dan
menawan si Topeng
Perunggu. Aku percaya kau akan
berhasil meringkus-
nya dengan Jerat Sutera
mu?" Dengan memaksanya
untuk bicara, kita akan tahu
siapa gerangan dia. Dan
kalau ternyata pedang pusaka itu
ada padanya, bu-
kankah satu keuntungan di depan
mata? Dan.... ha ha
ha... kita berdua akan menguasai
Sepasang Pedang Si-
luman dengan mudah. Setelah itu
adalah Urusan si
Bangau Putih untuk membekuknya.
Kalau ternyata
dia manusianya yang melakukan
pembantaian, tinggal
meringkusnya saja...!
Adapun mengenai urusan di Kuil
Istana Hijau
selanjutnya, bukan urusan kita
untuk mencampuri
...!" Tampak si Dewi
Rembulan tersenyum, dan mang-
gut-manggut. Tapi seperti
penasaran atau memang tak
mengerti, sudah bertanya lagi;
"Jadi bagaimana
caranya...?". Naga Hitam jadi
mendongkol, tapi segera
menjawab.
"Memang wanita di manapun
selalu cerewet.
Nah, dengarkan...! Si Bangau Putih
ini pura-pura jadi
tawanan kita. Lalu kita bawa
menghadap pada si To-
peng Perunggu. Bereslah
urusannya...!" Barulah si
Dewi Rembulan manggut-manggut.
"Mau tanya lagi Rembulan..
?" Naga Hitam su-
dah mendahului bicara.
"Cukuplah! Aku sudah benar-benar
mengerti
sekarang...!" Menyahut si
wanita seraya beranjak un-
tuk duduk di atas batu kira-kira
lima-enam langkah
dari situ. Akan tetapi pada saat
itu telah terdengar su-
ara tertawa berkakakan diiringi
kata-kata bernada din-
gin.
"Hoa ha ha... ha ha...
Bagus! Naga Hitam! Kau
rupanya mau berkhianat! Hm!
ketahuilah setiap perin-
tang ku tak ada lain jalan,
selain Kematian...!" Begitu
suaranya habis, satu bayangan
hitam telah berkelebat
ke hadapan si Naga Hitam.
Kejadian itu terlalu cepat,
karena belum lagi si Naga Hitam
ini menyadari, se-
rangkum senjata rahasia segera
meluruk ke arahnya.
Terkesiap laki-laki ini. Secepat
kilat ia segera bergulin-
gan menyelamatkan diri. Ia
berhasil lolos dari serangan
tiba-tiba itu, akan tetapi rangkuman
jarum berbisa itu
terus meluncur ke arah si Bangau
Putih. Tampaknya
paderi itu tak akan mampu
menghindari.
Akan tetapi satu bayangan kilat
telah menyam-
bar tubuh paderi itu. Dan
membawanya berkelebat
dengan cepat. Entah bayangan
siapa, karena Roro
Centil pun ternyata masih berada
di tempat persem-
bunyiannya. Adapun sosok tubuh
berjubah hitam ini,
cuma bisa terpaku saja. Tapi ia
tak segera mengejar
karena sepasang matanya
ditujukan pada si Naga Hi-
tam. Terkejut laki-laki itu
melihat sosok tubuh di ha-
dapannya.
"Hah!?... To...Topeng
Perunggu...!" Teriak si Na-
ga Hitam dengan suara tertahan.
Tiba-tiba lengannya
sudah bergerak mencekal lengan
si Dewi
Rembulan, seraya berbisik;
"Hayo, cepat kita kabur...!
Akan tetapi sungguh
di luar dugaan, justru si Dewi
Rembulan secepat kilat
telah ulurkan tangan menotoknya.
Terkesiap si Naga
Hitam. Namun tubuhnya sudah
roboh terguling. Ter-
dengar si Dewi Rembulan tertawa
mengikik. Seraya be-
ranjak mendekati si Topeng
Perunggu, lalu sandarkan
punggungnya pada si Jubah Hitam
itu.
"Hi hi hi... Naga Hitam!
Ternyata kau tak dapat
tundukkan Rembulan. Kau adalah
laki-laki yang pal-
ing bodoh di Dunia ini!".
Seraya berkata, tiba-tiba ia te-
lah luncurkan Jerat Sutranya,
yang segera membelit
kaki si Naga Hitam. Detik
berikutnya tubuh si laki-laki
itu telah melayang ke udara.
Terdengar suara tulang
yang remuk, ketika tubuh si Naga
Hitam beradu den-
gan langit-langit batu Goa.
Diiringi suara jeritan ngeri,
tubuh laki-laki itu jatuh
berdebuk ke tanah. Tampak
tubuhnya menggeliat sejenak,
lalu mengejang untuk
tidak bergerak lagi. Ternyata
kepalanya telah remuk
dengan darah bermuncratan dua
warna.
"Hm, bagus...! Kau memang
wanita yang cerdik
dan hebat, bibi...!"
Berkata si Topeng Perunggu dengan
memuji.
"Hi hi hi... manusia macam
begini memang su-
dah selayaknya mati! Bukankah
demikian Tugangga
...!" Berkata si Dewi
Rembulan seraya menggamit len-
gan si Topeng Perunggu.
Topeng Perunggu hanya mendengus
di hidung.
Lalu pegang pinggang si Dewi
Rembulan. Sekejap ke-
mudian telah berangkat pergi
dengan berkelebat. Ma-
sih terdengar suara cekikikan si
wanita itu dari kejau-
han.
"Wanita kejam!" maki
Roro Centil perlahan. Be-
tapa ia jadi mendongkol melihat
si wanita itu yang ter-
nyata seorang yang kejam dan
telengas. Tiba-tiba ia-
pun kelebatkan tubuhnya untuk
cepat menguntit. Ro-
ro Centil merasa mempunyai
kesempatan untuk men-
getahui di mana sarang si Topeng
Perunggu itu.
Ternyata si Topeng Perunggu
telah memondong
si wanita itu. Bahkan dalam
perjalanan itu topengnya
telah dilepaskan oleh si Dewi
Rembulan. Tampak sete-
lah beberapa kali berkelebat, si
Topeng Perunggu hen-
tikan langkah larinya. Dan dua
buah kepala itu sudah
saling pagut dalam keremangan
sinar Rembulan.
Selang sesaat... si laki-laki
yang telah tak men-
genakan topeng itu. telah
turunkan tubuh si Dewi
Rembulan dari pondongannya.
Ternyata ia seorang la-
ki-laki berusia sekitar 30
tahun. Bertubuh jangkung,
dengan rambut lurus yang agak
gondrong. Bermata le-
bar dan terlihat jalang.
Hidungnya agak pilih meleng-
kung. Mereka segera duduk di
rumput saling berdeka-
tan. Sinar bulan yang agak
hampir bulat itu cukup
menerangi sekitar tempat itu.
"'Aku cemburu dengan si
Naga Hitam itu, bi-
bi...! Aku menyangka bibi
benar-benar mencin-
tainya...." Berkata
laki-laki bernama Tugangga itu, se-
raya sudah kembali mendekap
wanita itu ke dadanya.
Terdengar si Dewi Rembulan
tertawa kecil, seraya
menggamit leher laki-laki itu
dan menggelendot manja.
"Hi hi... Sudah lah
jangan ingat dia lagi. Toh
orangnya sudah mampus! Kini apa
rencanamu setelah
kau berhasil keluar dari penjara
si paderi tua Dharma
Sheta". Berkata si Dewi
Rembulan seraya jatuhkan ke-
palanya ke pangkuan si laki-laki
Topeng Perunggu.
Sementara lengannya bergayut di
leher.
"Apakah kau akan menguasai
Kuil Istana Hijau,
atau akan malang melintang lagi
di Rimba Hijau den-
gan Sepasang Pedang
Siluman...?" Sambung si Dewi
Rembulan dengan suara berbisik.
Karena dilihatnya
Tugangga tetap termenung belum
menjawab. Selang
sesaat baru laki-laki itu
tertawa seraya ujarnya,
"Ha ha ha... Mungkin juga
aku akan malang
melintang lagi di Dunia
Persilatan. Selama tiga tahun
dipenjarakan di Penjara Besi
oleh Ki Dharma Sheta,
aku telah menciptakan Dua belas
jurus ampuh dari
Sepasang Pedang Siluman. Namun
tanpa bantuan bibi
mungkin aku belum bisa keluar
dari Penjara Besi yang
telah mengurung ku. Tentu saja
sekali lagi aku meng-
haturkan terimakasih atas
pertolongan itu..."
"Hi hi... Tanpa aku bekerja
sama dengan si Pa-
deri —
Sapta Dasa Griwa, mungkin aku tak tahu di
mana kau dipenjarakan. Biarkan
dia dengan kemelut-
nya sendiri. Cuma sangat
kusesalkan lolosnya si Ban-
gau Putih. Aku menduga orang
yang telah menolong-
nya itu orang kosen yang
berkepandaian tinggi. Atau
jangan-jangan dia pula yang
telah mengirim berita-
berita pada si Bangau Putih.
Apakah kau punya du-
gaan siapa gerangan
dia...?" Bertanya si Dewi Rembu-
lan.
"Heh! Kalau ku berniat
mengejarnya, tentu su-
dah ku bekuk dia hidup-hidup.
Akan tetapi waktu itu
aku sedang cemburu padamu,
bibi...! Mana aku ber-
niat mengejarnya, selain untuk menguliti si Naga
Hi-
tam di depan matamu...!".
"Hi hi hi... lagi-lagi kau
cemburu! Kau memang
mirip pamanmu dulu sewaktu masih
hidup. Sayang ia
menemui kematiannya dengan cara
yang menyakitkan!
Aku telah bersumpah akan
menuntut balas kematian-
nya. Cuma waktu itu aku harus
bersabar menunggu
waktu. Si Pendekar Gentayangan
itu kini usianya telah
mencapai 100 tahun. Kabarnya ia
mempunyai seorang
murid laki-laki yang usianya
hampir seusia mu!" Ujar
si Dewi Rembulan bernama Sito
Resmi itu. Sepasang
matanya memancarkan dendam yang
tak pernah kun-
jung padam. Mendengar demikian
Tugangga segera
menghiburnya.
"Sabarlah bibi...! Waktunya
untuk membalas
dendam sudah dekat! Kita tinggal
menunggu khabar
tibanya si paderi Ketua Dharma
Sheta. Sementara kita
menetap dulu di Ruang Bawah
tanah Kuil Istana Hi-
jau. Biar si paderi Sapta Dasa
Griwa menguasai Kuil
dan berbuat seperti tak ada
kejadian apa-apa.
Paderi itu telah berjasa pada
kita. Seandainya
ia menjadi Pimpinan Utama Kuil
itu kelak, tentu akan
menjadi salah seorang dari rekan
kita. Akan mudah
bagi kita kelak bila
sewaktu-waktu memerlukan perto-
longan. Selain itu pula kita
harus bertindak tak kepa-
lang, untuk menghancurkan setiap
perintang. Teruta-
ma membantu si paderi Sapta Dasa
Griwa mele-
nyapkan Ki Dharma
Sheta...!" Ujar si Manusia Topeng
Perunggu. Lalu lanjutkan lagi,
setelah termenung se-
saat.
"Sebenarnya menghilangnya
aku dari Rimba Hi-
jau, adalah karena menyelamatkan
diriku dari kejaran
musuh-musuhku. Dengan menyamar
sebagai seorang
yang tolol, aku diterima sebagai
paderi di Kuil Istana
Hijau oleh Ki Dharma Sheta.
Dengan Kepala gundul
plontos, aku tak akan dikenali
lagi oleh setiap musuh-
ku. Terutama oleh si Pewaris
Sepasang Pedang Silu-
man. Karena mereka tetap memburu
ku...!"
"Siapakah si Pewaris
Sepasang Siluman itu...?"
Tanya Sito Resmi.
"Dialah yang bernama GIRI
MAYANG alias si
Kelabang Kuning. Aku mencurinya
dari ruang pusaka
di Rumah Perguruan Tri Mukti.
Ternyata adalah milik
si Ketua Perguruan itu. Dan
merupakan sepasang
benda keramat yang berusia lebih
dari 100 tahun.
Ketua Perguruan itu bernama TUN
PARERA,
yaitu guru dari si Kelabang
Kuning, alias Giri Mayang.
Begitu aku jadi buronan, segera
aku menyamar jadi
paderi di Kuil Istana Hijau.
Ternyata kepandaianku da-
lam membuat arca mendapat pujian
dari Ki Dharma
Sheta. Hingga ia telah meminta
ku membuat kan se-
buah Arca Budha dari Perunggu
berlapis Emas. Peng-
ganti arca lama yang telah
rusak, yang terbuat dari ba-
tu. Tapi diam-diam telah ku sembunyikan Sepasang
Pedang Siluman di dalam arca
itu, dengan harapan
suatu saat akan dapat kuambil
lagi. Ternyata perbua-
tanku selama menjadi paderi yang
kuperbuat dengan
sembunyi-sembunyi, telah membuat
murka -Paderi Ke-
tua Ki Dharma Sheta. Hingga aku
dipenjarakan di Pen-
jara Besi di ruang bawah tanah.
Hal itu adalah sudah
menjadi rencanaku. karena dengan
demikian, aku dapat mempelajari
12 Jurus Il-
mu Pedang, yang terdapat
tulisannya pada dua gulung
kertas kulit di dalam kedua
gagang pedang. Dengan
masing-masing enam jurus pada
setiap gulungnya. Ki-
ni aku telah menguasai ke 12
Jurus Ilmu Pedang itu.
Dan saatnya aku munculkan diri
lagi di Rimba Hijau
...!". Ujar Tugangga,
seraya tertawa puas.
Sementara itu Roro Centil telah
mendengarkan
dari tempat persembunyiannya. Dan kini terungkap-
lah sudah misteri peristiwa di
Kuil Istana Hijau. Ter-
nyata hilangnya potongan kepala
arca Budha itu me-
mang benar ada hubungannya
dengan Sepasang Pe-
dang Siluman, seperti yang telah
diungkapkan oleh si
Naga Hitam. Saat itu si Dewi
Rembulan telah mende-
kap tubuh si manusia bertopeng
perunggu, yang to-
pengnya telah dilepaskan dan
tampak tergeletak di de-
katnya. Terdengar wanita yang
ternyata menggandrun-
gi keponakannya sendiri itu
berbisik dengan suara
berdesis....
"Bagus Tugangga. Kau bisa
balaskan sakit ha-
tiku pada si Pendekar
Gentayangan. Kau belum beri-
kan jawabanmu mengenai siapa
kira-kira yang telah
menolong si Bangau Putih itu.
Agaknya kita harus
waspada setiap saat. Karena akan
banyak para Pende-
kar yang membantu si Bangau
Putih untuk mencari si
pembantai para paderi di Kuil
Istana Hijau! Kudengar
si Bangau Putih itu meminta
bantuan pada seorang
yang bernama Roro Centil, yang
bergelar si Pendekar
Wanita Pantai Selatan. Entah
orangnya apakah yang
pernah menginap di Penginapan
desa Lubok Batang
...? Karena dari mata-mata yang
kupasang di sana, ga-
dis itu mencari si Bangau Putih.
Sayang mata-mataku
datang memberitahu setelah gadis
itu berangkat pergi.
Ia katakan gadis itu amat aneh,
karena ketika pada
malam hari, saat ia
menggerayangi ke kamar, telah
melihat seekor harimau Tutul
yang amat besar yang
menjaganya Cepat-cepat ia
mengunci lagi pintu kamar.
Lalu bergegas untuk
menyembunyikan diri....!". Tutur
si Dewi Rembulan dengan serius.
Laki-laki ini termenung. Tapi
segera keluarkan
pendapatnya,
"Mengenai si penolong
paderi Bangau Putih itu,
aku kurang bisa mengira-ngira
siapa adanya dia. Tapi
kalau gadis yang kau katakan
tadi, aku mengambil ke-
simpulan adalah si Pendekar
Wanita itu ...!". Ujar Tu-
gangga.
"Mengenai harimau Tutul
itu, aku mengira, ga-
dis pendekar itu mempunyai
semacam ilmu hitam ...!"
Ujar Tugangga lagi.
"Mungkin juga! Justru itu
kita harus lebih hati-
hati lagi, karena bukan mustahil
kita akan banyak
menghadapi banyak musuh".
Berkata si Dewi Rembu-
lan.
"Sudahlah...! Itu urusanku
nanti. Kini apa ren-
canamu? Apakah kita bermalam di ruang bawah ta-
nah, ataukah akan bermalam di
sini..,? Tampaknya
bibi terlalu lelah setelah
berpacu tadi!". Kata-kata Tu-
gangga terdengar seperti menyindir.
Tentu saja mem-
buat si Dewi Rembulan jadi merah
wajahnya. Syukur
tak kentara, karena cuaca memang
tak begitu terang
seperti pada siang hari.
"Ih, laki-laki kau cemburu
..! Seandainya si
manusia tolol itu tak menotok
ku, mana mungkin aku
bisa mandah saja... Walau
bagaimana aku tetap bera-
da di urutan paling atas
Tugangga. Aku masih sanggup
untuk melayanimu sepuluh
jurus!",
"Ha haha... bibi memang
hebat! Aku akan
membuktikannya!". Ujar
Tugangga, seraya bersiap pa-
sang kuda-kuda. Sementara jubahnya
telah ia lempar-
kan ke rumput.
"Aku akan buktikan
kehebatanku! Kau baru
meyakini...!" Ujar si Dewi
Rembulan, Seraya sibakkan
perintang-perintang yang
menghalangi pertarungan.
Sepasang mata Tugangga cuma bisa
berkilatan me-
mandang daun-daun pohon
penghalang yang berjatu-
han.
"Bibi benar-benar masih
mampu melayani be-
berapa jurusku?". Ujar
Tugangga seraya tertawa me-
nyeringai.
Sementara itu Roro Centil
lagi-lagi harus mem-
buang muka melihat pertarungan
gila yang bakal ter-
jadi. Akan tetapi pada saat itu
gadis ini mengeluh, ka-
rena saat ia dalam keadaan tak
waspada, sesosok tu-
buh telah berindap-indap
mendekati. Gerakannya ba-
gaikan kucing mengintai
mangsanya. Dan tahu-tahu
telah gerakkan tangan menotok.
Hingga tak ampun la-
gi tubuh Roro terkulai.
Selanjutnya satu bekapan sapu
tangan, telah membuat ia tak
mampu keluarkan sua-
ra.
Dan saat selanjutnya Roro cuma
rasakan kepa-
lanya pusing, karena bau harum
dari saputangan yang
menempel pada hidungnya. Hingga
sekejap, gadis ini
sudah terkulai tak sadarkan
diri. Roro cuma rasakan
tubuhnya seperti melayang... Dan
ia tak menge-
tahui kalau ketika itu ia tengah
dibawa berkelebat oleh
sesosok tubuh, yang
memondongnya.
*****
Sementara itu pertarungan yang
boleh diang-
gap "latihan" oleh
kedua manusia di atas rumput di si-
si bukit itu, segera akan
berlangsung.
"Keluarkan jurus-jurus yang
kau pelajari sela-
ma ini, Tugangga! Aku akan
melayani sepenuh hati,
agar kau benar-benar tak
kecewa...!".
"Ha ha ha... walau dua
tahun aku disekap, tapi
untuk jenis jurus-jurus selain
12 Jurus Ilmu Sepasang
Pedang Siluman, aku mempunyai
bermacam jurus,
yang segera kau akan
mengetahuinya...!", Berkata Tu-
gangga, seraya sudah hantamkan
pukulannya ke arah
kaki. Menghadapi permainan yang
menarik ini, tam-
paknya si Dewi Rembulan begitu
senang. Segera ia
lompat ke udara tiga tombak.
Gerakannya indah,
mempertontonkan bentuk liukkan
yang mempesona.
Tugangga berseru kagum. Sepasang
matanya berbinar.
Tiba-tiba ia sudah melompat
cepat di bawah si Dewi
Rembulan. Sepasang lengannya
terpentang. Terkejut si
Dewi Rembulan, lihat Tugangga
berada di bawahnya.
Dan saat itu tubuhnya telah
meluncur turun. Namun
dengan segera ia telah merobah
posisi dengan sepa-
sang kaki terpentang untuk
menjepit leher.
"Awas! Jaga leher mu,
Tugangga...!" Teriak Dewi
Rembulan. Tugangga menyeringai.
Ternyata ia tak be-
rusaha mengelak. Namun sepasang
lengannya
berhasil menangkap sepasang
lengan si Dewi
Rembulan. Jepitan sepasang kaki
itu ternyata tak
mampu membuat untuk melepaskan
cekalan pada
lengannya. Bahkan kini si Dewi
Rembulan yang kelua-
rkan Suara keluhan. Tubuhnya
segera bergelinjan-
gan.....
Saat itu seekor kelelawar yang
telah berhasil
menggondol buah masak, telah
melumat dan menyan-
tapnya dengan rakus. Terlalu
sulit untuk menikmati,
segera ia bawa dan tempelkan ke
batang pohon. Dan di
sana ia menikmati kelezatannya.
Pada jurus pertama itu, setelah
bergulat untuk
mencoba lepaskan diri, akhirnya
si Dewi Rembulan
berhasil jejakkan kaki ke pundak
Tugangga. Sementa-
ra lengannya telah berhasil
menangkap dahan pohon.
Laki-laki itu jatuh bergulingan.
Namun dengan sebat
sambil bergulingan di rumput,
lengannya berhasil me-
raih Jerat Sutera si wanita itu.
Belum lagi si Dewi
Rembulan sadar akan serangan
selanjutnya dari si
Manusia Topeng Perunggu,
tahu-tahu jerat sutera itu
telah menyambar kakinya.
Mengeluh si Dewi Rembu-
lan. Ia tak menyangka kalau
keponakannya ini, ternya-
ta berwatak kasar. Tapi ia
memang ingin menguji sam-
pai di mana kehebatan Tugangga.
Ia segera lepaskan pegangan
tangannya pada
dahan. Akan tetapi justru
tubuhnya roboh terguling,
karena sebelah kakinya telah
kena Jerat Suteranya
sendiri. Detik berikutnya, satu
totokan telah membuat
ia tak berkutik. Tahu-tahu ia
rasakan tubuhnya telah
melayang naik lagi. Ternyata
Tugangga telah melompat
ke atas dahan pohon, dan menarik
Jerat Suteranya,
hingga tubuhnya menggelantung di
dahan pohon den-
gan kaki terikat. Detik selanjutnya
kedua kakinya te-
lah terikat kuat dengan
terentang di dahan pohon. De-
wi Rembulan cuma bisa
ternganga... karena gerakan
Tugangga begitu cepat. Tahu-tahu
ia sudah tergantung
di dahan pohon, dengan kepala
berada di bawah.
"Tugangga! Apa yang kau mau
lakukan? Kau
mau menguliti aku?". Teriak
si Dewi Rembulan. Diam-
diam wanita ini ngeri juga.
Karena Tugangga ternyata
lebih buas dari si Naga Hitam.
Khawatir juga ia kalau-
kalau laki-laki itu berubah
fikiran, dan membunuhnya.
Karena sejak beberapa tahun ia
baru berjumpa dengan
keponakannya ini. Akan tetapi
wanita ini segera terse-
nyum, karena dari tingkah laku
Tugangga dan sepa-
sang matanya yang liar, ia
mengetahui laki-laki kepo-
nakannya ini cuma melampiaskan
kemendongkolan
hatinya saja. Seolah-olah iapun
sanggup menunduk-
kannya. Seperti melebihi
kesanggupan si Naga Hitam,
yang telah tewas.
*****
Cahaya purnama tampak semakin
tinggi. Ber-
sitkan sinar yang menyebar rata
ke seluruh perbuki-
tan. Tugangga berdiri bertolak
pinggang dengan mena-
tap pada si Dewi Rembulan yang
tergantung jungkir
balik. Sepasang matanya
menelusuri perbukitan dan
lembah-lembah ilalang di
hadapannya Lalu tertawa
menyeringai.
"Aku bukan akan
menguliti mu, bibi...! Tapi
akan tunjukkan satu jurus
Kelelawar mencaplok Rem-
bulan. Satu jurus istimewa dari
jurus-jurus yang ba-
nyak aku pergunakan dulu. Kala
aku masih jadi pe-
tualang dari lembah ke
lembah...!".
Seraya berkata ia sudah segera
beranjak meng-
hampiri. Namun diam-diam Dewi
Rembulan telah ber-
hasil bebaskan diri dari
pengaruh totokan. Saat itu
seekor kelelawar kembali telah
menyambar buah-buah
yang bergelantungan. Buah buahan
yang ranum di su-
suri dengan moncongnya. Angin
malam berdesir agak
keras mengguncang seekor
kelelawar betina yang
menggantung itu hingga
bergelinjangan. Tatkala mon-
cong kelelawar yang susuri
buah-buah ranum itu te-
mukan buah yang masak, segera
merengkuhnya den-
gan lahap. Dua ekor kelelawar
itu bagai bergelut untuk
saling merengkuh. Sementara
desis angin malam bagai
kan nafas yang mendesah desah
menerpa.... Kelelawar
jantan ternyata mulai semakin
bernafsu melihat buah-
buah yang ranum itu. Segera terbang ke atas dahan
yang lebih tinggi. Dan dengan
menggelantung di da-
han, lengannya sudah
mencengkeram. Sementara
moncongnya merengkuh buah-buah
yang ranum itu
berganti-ganti. Kelelawar betina
cuma bisa ngangakan
moncongnya dengan suara cicitnya
yang seperti men-
desis. Seperti masih ingin ia
melumat yang sudah ter-
lepas dari moncongnya. Sementara
kelelawar jantan te-
lah keluarkan kepandaiannya
melumat apa yang bera-
da di depan moncongnya.
Sementara itu segera Tugangga
telah keluarkan
suara berdesis di telinga.
"Inilah jurus-jurus dari Kele-
lawar mencaplok
Rembulan...!". Satu pukulan perla-
han itu ternyata telah membuat
si Dewi Rembulan,
menggelinjang dengan keluhan
keluar dari bibirnya. Ia
telah menangkis dengan sepenuh
hati. Namun bebera-
pa kali serangan beruntun itu, telah membuat ia se-
perti rasakan tubuhnya jadi
bergetaran.
Kedua tubuh kelelawar yang
bergantung itu te-
rayun-ayun, kala angin bertiup
mendesah-desah. Se-
pintas tampaknya seperti tengah
bercanda. Karena
sayap-sayapnya saling rangkul
dengan kuat. Terdengar
suara cicitnya di antara desah
angin yang menerpa...
Dan selang sesaat mereka sudah
seperti tidur lelap,
karena kekenyangan menyantap...
Saat itu memang
Tugangga telah mengakhiri
jurus-jurus yang di pertun-
jukkannya pada si Dewi Rembulan.
"Jurus-jurusmu memang hebat
Tugangga...!.
Aku memang tak mampu mengungguli
mu ...!" Berkata
Sito Resmi seraya buka kelopak
matanya. Seraya ter-
tawa, Tugangga letikkan tubuh
untuk kembali melom-
pat ke atas dahan. Lalu dengan
cepat membuka kem-
bali tali Jerat Sutera yang melilit
kaki Sito Resmi. Lalu
tarik tubuh si Dewi Rembulan ke
atas. Selanjutnya su-
dah berada kembali disamping
Tugangga dengan du-
duk di dahan menyandar di dada
laki-laki itu.
"Kekuatan tenaga dalammu
luar biasa Tugang-
ga. Tenagaku sampai tersedot habis
..!" Keluh si Dewi
Rembulan, Tugangga hanya
tertawa, lalu tempelkan te-
lapak tangannya di punggung Sito
Resmi. Hingga tak
lama kemudian Sito Resmi sudah
merasa segar lagi.
Rembulan semakin tinggi
menggantung di lan-
git. Malam terus merayap, kala
dua sosok tubuh itu
tinggalkan lereng bukit, untuk
berlalu dari tempat
yang telah menguras tenaga itu.
Akan tetapi mereka
tampak dalam kepuasan dalam
pertarungan barusan
Siapakah sosok tubuh yang telah
menotok Roro Centil,
dan membuat ia tak berdaya itu?
Mari kita ikuti siapa
gerangan dia.......
Sosok tubuh itu mengenakan
topeng hitam pa-
da wajahnya. Bertubuh kekar,
dengan rambut awut-
awutan. Setelah beberapa saat
lamanya berlari-lari
dengan cepat. Sosok tubuh itupun
hentikan larinya. Di
hadapannya adalah sebuah
rawa-rawa. Seandainya
orang yang belum tahu jalan,
sudah pasti akan terje-
rumus ke dalam rawa yang dalam
itu. Ternyata ia
mengambil jalan memutar. Lalu
temukan jalan lurus
berbatu-batu. Seperti memang jalan
yang sengaja di-
buat untuk menyeberangi rawa
itu. Meniti jalan lurus
itu, segera sudah terlihat
sebuah bangunan di tengah
rawa. Di atas tanah ketinggian,
kira-kira tiga kali lem-
paran tombak lagi.
Emoticon