menjaga anak, diajeng! Ah,
maafkanlah aku!
Gembira sekali kalau kita bisa
jalan bersama-
sama! Jadi teringat lagi pada
masa kita remaja!
Sayangnya aku tak berjodoh
denganmu!" Ujar
Bayu Wijaya sambil tersenyum.
Namun tak urung
air matanya pun membersit
keluar.
***
Pada pertengahan musim kemarau
seorang
penunggang kuda tampak
mendatangi sebuah
perkampungan di daerah utara
itu. Laki-laki itu
berpakaian sederhana. Ikat
kepalanya yang ter-
buat dari bahan kasar berwarna
kuning, tampak
berkibaran tertiup angin.
Kudanya berbulu coklat
dan tampak kekar. Tiba di mulut
desa, laki-laki
ini hentikan lari kudanya dan
berjalan perlahan.
Sementara sepasang matanya
merayapi keadaan
sekitar daerah itu.
Ternyata laki-laki ini tak lain
dari Satryo, be-
kas Senapati Kerajaan Matsyapati
yang sudah
punah. Satryo memang telah
mengembara menu-
rutkan sepembawa kakinya. Nama
desa yang dis-
inggahinya itu pun dia tak tahu.
Empat bulan su-
dah waktu berlalu, dengan kuda
tunggangannya
yang tak pernah berpisah
darinya. Tiba-tiba laki-
laki ini hentikan langkah
kudanya, karena telin-
ganya segera menangkap suara
jeritan, dan suara
orang berteriak. Bahkan tak lama
terdengar se-
perti suara orang bertarung,
dengan diiringi ben-
takan-bentakan keras. Apakah
yang terjadi? Sen-
tak hatinya. Dan tanpa ayal lagi
dia sudah keprak
kudanya untuk mencongklang cepat
ke arah ten-
gah desa.
Sesosok mayat wanita membugil
tampak ter-
juntai di pintu rumah panggung,
dan seorang
pemuda bertelanjang dada, tampak
tengah meng-
hadapi serangan dua orang laki-laki
yang mener-
jang hebat dengan golok-golok
telanjang.
"Bocah keparat! Kau berani
main gila dengan
anak menantuku? Kubunuh kau
bangsat!" Orang
tua itu menerjang kalap.
Goloknya menebas ke
kiri-kanan dan membacok ganas ke
tubuh si pe-
muda. Akan tetapi dengan
tertawa-tawa pemuda
itu telah melompat-lompat
menghindar. Gerakan
mengelakkannya ternyata santai
saja, namun se-
rangan-serangan ganas laki-laki
tua itu ternyata
luput dengan mudah. Sementara
laki-laki yang
hampir seumur dengannya itu melompat
mener-
jang dengan bentakan keras, dan
berteriak-teriak
kalap. Agaknya dialah suami
wanita bugil yang
terjuntai di pintu rumah
panggung.
"Aku akan adu jiwa
denganmu, setan pemer-
kosa wanita!" Dan dengan
menggerung keras dia
sudah lakukan terjangan hebat
dengan golok pan-
jangnya.
"Ahahaha... aku tidak
memperkosa! Boleh
kau tanyakan pada istrimu! Kami
melakukannya
mau sama mau!" Ujar pemuda
itu dengan menge-
lak dari sambaran ganas golok
panjang si laki-laki
suami wanita itu. Dan...
BLUGH...! Dia telah kirimkan
satu hantaman
telak di dada orang. Tak ampun
laki-laki itu ter-
lempar keras hingga menabrak ke
anak tangga
bambu rumah panggung itu.
BRRAKK...! Tangga bambu itu
patah berde-
rak. Dan laki-laki itu meringis
menyeringai kesa-
kitan. Dia masih berusaha
bangkit, namun segera
terbatuk-batuk, dan darah kental
berwarna hitam
menggelogok keluar dari
mulutnya.
"Hahaha... sebaiknya kau
menyusul istrimu
ke Alam Baka! Bukankah
kematiannya adalah di
tanganmu sendiri? Siapa suruh
kau membunuh-
nya...?" Berkata pemuda itu
dengan tertawa me-
nyeringai.
"Iblis keparat...! Kau...
kau..." Membeliak se-
pasang mata laki-laki itu. Akan
tetapi sebelum dia
dapat bangkit berdiri, tubuhnya
telah terhuyung
limbung. Dan kata-katanya
terputus, karena se-
ketika nyawanya sudah melayang.
Ambruklah tu-
buh laki-laki itu dengan tidak
bergeming lagi. Pu-
kulan keras pada dada laki-laki
itu ternyata telah
mengantarkannya pada jalan
kematian. Dan dia
memang benar-benar tewas
menyusul istrinya,
yang telah dibunuhnya.
Laki-laki itu mendapat laporan
dari salah seo-
rang kawannya tentang adanya
seorang pemuda
yang bertamu ke rumahnya di saat
dia tidak be-
rada di rumah. Dan sang istri
ternyata menerima
tetamu nya itu untuk
menghormati. Tak dinyana
telah terjadi satu perbuatan
mesum di rumahnya.
Hal mana diketahui oleh sang
kawan yang telah
mengintip perbuatan mereka.
Tentu saja dengan
kemarahan meluap dia berlari
pulang. Di jalan
berjumpa dengan ayahnya. Secara
singkat dia ce-
ritakan pada sang ayah. Dan
melompat geram ke
arah rumahnya. Golok panjang
yang selalu diba-
wanya itu dipakai menoreh pintu
jendela yang ter-
tutup. Dan segera terpampang
jelas di depan ma-
tanya sang istri yang tengah
bercumbu dengan
pemuda asing itu. Melompatlah
dia ke dalam.
Sementara si pemuda asing sudah
merapihkan
sebagian pakaiannya, dan
melompat keluar. Laki-
laki ini muncul di kamar
istrinya. Dilihatnya sang
istri bukannya ketakutan melihat
suaminya me-
mergoki perbuatannya, bahkan
tersenyum-
senyum menatap padanya dengan
rambut awut-
awutan, dan tubuh telanjang
bulat.
Betapa geramnya dapat
dibayangkan hati
sang suami. Dia berpikir sang
istri sudah keterla-
luan. Dan sengaja memanasi
hatinya. Tak ampun
lagi dia sudah seret tubuh
istrinya, keluar pintu.
Dan golok panjangnya
"berbicara" menghabisi
nyawa wanita itu.
Bocah iblis...! Kau telah bunuh
anakku...?
Kucincang tubuhmu manusia edan...!" Dan si
orang tua itu sudah menerjang
beringas dengan
goloknya. Tubuh laki-laki tua
ini menggeletar he-
bat. Betapa dengan kejam si
pemuda asing itu te-
lah membunuh anak laki-lakinya.
WUT! WUT! WHUT...! Kembali
serangan-
serangan ganas itu dielakkan
dengan mudah, se-
raya berkata dengan wajah
cengar-cengir. "Ah,
sudahlah pak tua! Kau urusi saja
mayat anak dan
menantumu aku malas
membunuhmu...!" Akan
tetapi mana mau si laki-laki tua
itu diamkan ma-
nusia pembunuh itu di depan
matanya? Kembali
dia menerjang bringas. Goloknya
membabat dan
menabas kepala pemuda konyol di
hadapannya.
"Heh, kau rupanya memilih
mampus! Baiklah!
Jangan sesalkan aku...!"
Tiba-tiba tubuh pemuda
itu berkelebat melompat,
lengannya bergerak
menghantam kepala laki-laki tua
itu...
WHHUUKK... DHESS...! Terkejut
pemuda itu
ketika merasai angin bersyiur ke
arah punggung-
nya. Dan belum lagi dia sempat
menghantamkan
lengannya, tubuhnya telah
terlempar beberapa
tombak. Namun dengan lincah si
pemuda ini ber-
jumpalitan di udara, dan
jatuhkan kakinya men-
ginjak tanah. Hatinya memikir.
Siapa yang telah
menyerangnya?
Untunglah dia sudah lindungi
tubuhnya den-
gan hawa sakti yang dengan cepat
disalurkan ke
punggung. Hingga hantaman telak
itu tak mem-
buatnya cidera. Saat itu juga
telah berkelebat se-
buah bayangan tubuh manusia. Dan
seorang la-
ki-laki gagah berpakaian
sederhana telah berada
di situ. Ternyata Satryo yang
barusan menggagal-
kan serangan maut pemuda konyol
itu.
"Manusia dari manakah yang
telah tega ber-
buat keji, dan bertindak
semaunya mengumbar
kelakuan jahat...!" Ujar
Satryo dengan kedua len-
gan terentang. Sepasang matanya
menatap pada
pemuda yang juga telah
menatapnya. Sementara
diam-diam Satryo terkejut juga
karena hantaman
angin pukulannya tadi ternyata
tak membuat pe-
muda itu cidera. Atau
setidak-tidaknya luka da-
lam. Pemuda bertelanjang dada
itu bahkan masih
bisa berdiri dengan keadaan
segar bugar.
"Bapak tua! Menyingkirlah
kau! Manusia keji
ini bukan lawanmu...!"
Berkata Satryo. Sementara
di belakangnya terdengar suara ringkikan
ku-
danya. Tak ayal si laki-laki tua
itu sudah me-
nyingkir, dan berlari menubruk
mayat anak laki-
lakinya dengan menangis bagai
anak kecil. Se-
dangkan keadaan di lingkungan
desa itu, seketika
menjadi ramai dengan
berdatangannya orang-
orang desa melihat kejadian.
"Aha...! Ada jagoan rupanya
yang datang ber-
kuda! Hahaha... satu kehormatan
buatku untuk
menjajal kepandaian!"
Berkata pemuda itu den-
gan tertawa jumawa. Dan
melangkah lebar men-
dekati Satryo.
"Heh! Siapakah kau, sobat!
Apa kesalahan ke-
luarga rumah ini, hingga kau
turunkan tangan
keji!" Ujar Satryo dengan
kening berkerut mena-
tap orang.
"Hm, aku tak pernah
menyembunyikan na-
maku. Namaku RAKA RUMPIT! Dan
mengenal
urusanku, kau tak perlu ikut
campur! Kecuali
memang mau menjajal ilmu!
Bukankah telah kau
lihat sendiri kalau ternyata
pukulanmu barusan
tak berarti apa-apa padaku!
Ahahaha... Baiknya
kau pulang dulu untuk berguru
pada kakekmu!
Barulah boleh berlagak jadi
pahlawan!" Ucap pe-
muda yang tak lain dari Raka
Rumpit itu adanya.
"Manusia sombong!"
Mendengus Satryo. Se-
lama hidupnya baru dia menjumpai
seorang pe-
muda yang keterlaluan dan
bertingkah konyol be-
gitu. Akan tetapi Satryo dapat
menahan kesaba-
rannya. Sementara diam-diam Raka
Rumpit su-
dah membaca mantera dengan bibir
berkemak-
kemik. Sepasang matanya menatap
tajam pada
Satryo. Terkejut bekas Senapati
itu, karena mera-
sai tatapan mata Raka Rumpit
telah bersitkan si-
nar tajam yang mempengaruhi
bathinnya. Selang
sesaat, tampak dalam
pandangannya tubuh Raka
Rumpit berubah jadi segumpal
asap hitam. Dan
gumpalan asap itu membentuk
sesosok tubuh hi-
tam berbulu dengan wajah
menyeramkan.
"Hah!? Edan...! Manusia
apakah si Raka
Rumpit ini?" Desis Satryo
tersentak kaget. Ter-
paksa dia gunakan kekuatan
bathinnya untuk
menindih kekuatan lawan yang
mempengaruhi
pandangannya. Akan tetapi
sia-sia. Makhluk hi-
tam berbulu itu semakin dekat
melangkah. Satryo
mundur dua tindak.
***
DELAPAN
AKAN TETAPI PADA SAAT ITU...
terdengar sa-
tu bentakan keras, dengan
diiringi berkelebatnya
dua sosok tubuh ke hadapan
mereka.
"Bocah keparat...! Akhirnya
berhasil juga ka-
mi menjumpaimu!" Raka
Rumpit hentikan lang-
kahnya, serata tatap wajah kedua
orang penda-
tang itu. Ternyata yang muncul
tak lain dari Bayu
Wijaya dan si Pendekar Lembah
Bunga.
"Walah... siapakah kalian
ini, datang-datang
memaki orang?" Tanya Raka
Rumpit. Pemuda ini
tak menampakkan perubahan
tubuhnya dalam
pandangan kedua orang tokoh
persilatan itu. Se-
mentara Satryo tersentak lagi,
karena segera me-
lihat tubuh makhluk hitam
berbulu dengan wajah
menyeramkan itu berangsur-angsur
melenyap,
dan kembali berubah dalam bentuk
aslinya.
"Heh? Ilmu Hitam...!"
Desisnya tertahan.
"Setan tengik! Hm,
bocah...! Kau sembunyi-
kan di mana anak gadisku yang
bernama Mahe-
sani! Kau... kau telah
menculiknya ketika dia ten-
gah melatih para anak buahku
hampir empat bu-
lan yang lalu di lereng bukit
Karang Tunggal. Bu-
kankah kau bernama RAKA
RUMPIT...?" Bentuk
Bayu Wijaya si Pendekar Trisula
Emas. Tercenung
sejenak Raka Rumpit. Namun
segera perdengar-
kan tertawanya.
"Oh, hahaha... haha...
kalau begitu kaukah
yang bergelar si Pendekar
Trisula Emas, ketua
Perguruan Trisula Dewa
itu...?"
"Benar! Perbuatan
terkutukmu ini benar-
benar menghinaku, bocah! Kau ke
manakan anak
gadisku itu! Dan siapakah
gurumu?" Bentak lagi
Bayu Wijaya. Baru saja Raka
Rumpit mau men-
jawab, tiba-tiba telah menelusup
ke lubang telin-
ganya satu suara halus.
"Raka Rumpit...! Kau
pulanglah...! Ada hal
penting yang akan aku katakan
padamu! Aku te-
lah kedatangan tetamu
istimewa...! Kedatangan-
mu amat kuharapkan
secepatnya...!" Terkejut
pemuda ini karena itulah suara
sang guru, si Ne-
nek Bongkok Muka Tengkorak.
"Hm, maafkan aku para
Pendekar Tua! Aku
tak bisa menjawab sekarang! Aku
harus kembali
secepatnya!!" Seraya
berkata tubuh Raka Rumpit
sudah berkelebat melesat. Dan
melompat pergi
dari situ.
"Kurang ajar...! Hei? Kau
tak dapat melarikan
diri lagi manusia tengik!"
Membentak Rukmina si
Pendekar Lembah Bunga. Tubuhnya
mencelat
menyusul bayangan tubuh Raka
Rumpit. Tiba-
tiba lengannya bergerak
mengibas.
WHUSSSSS!
Ser! Ser! Ser...! Enam kuntum
bunga kering
meluncur deras ke arah belakang
punggung Raka
Rumpit, yang telah tersusul tiga
tombak di bela-
kangnya. Hebat senjata bunga
kering yang dilon-
tarkan wanita Pendekar Lembah
Bunga ini. Kare-
na mengarah keenam bagian jalan
daerah lawan.
Bila salah satu saja yang
mengena, tentu akan
membuat lawan tertotok roboh.
"Edan...! Bocah itu punya
ilmu siluman! Pan-
tas kalau anakmu si Mahesani
bisa dikalah-
kan...!" Desis Rukmita si
Pendekar Lembah Bun-
ga.
"Keparrrat...! Entah siapa
guru si bocah edan
itu...!" Memaki Bayu
Wijaya. Di lengannya telah
tergenggam senjata Trisula
Emas-nya. Akan tetapi
belum lagi dipergunakan, pemuda
penculik anak-
nya itu sudah merat menjadi
segumpal asap. Sa-
tryo mendehem seraya mendekati
kedua orang
itu. Lalu menjura hormat ketika
keduanya meno-
leh.
"Paman Bayu Wijaya...!
Apakah anda masih
mengenalku?" Bertanya
Satryo. Terkejut laki-laki
tua ini. Seraya mengelus
jenggotnya, dia menatap
pada laki-laki dewasa di
hadapannya dengan kre-
nyitkan keningnya. Diperhatikan demikian,
Sa-
tryo tersenyum. Lalu segera
perkenalkan diri.
"Ah, agaknya anda pangling,
sobat Bayu Wi-
jaya! Aku Satryo!"
"Hah!? Anda... anda
Senapati Satryo...? Oh,
maafkan mata tuaku ini,
Senapati!" Ucap Bayu
Wijaya dengan tersipu. Dan
segera beranjak ulur-
kan lengannya menjabat tangan
laki-laki itu.
"Ah, jangan panggil aku
Senapati lagi, paman
Bayu Wijaya. Kerajaan Matsyapati
sudah punah!
Dan aku telah berhenti dari
jabatanku!" Ucap Sa-
tryo pendek. Laki-laki tua yang
masih bertubuh
kekar itu tercenung sejenak,
lalu manggut-
manggut mengerti. Agaknya berita
diambil alihnya
kekuasaan Kerajaan Matsyapati yang sudah di-
tinggal pergi oleh Rajanya itu
telah sampai juga ke
telinganya. Selang sesaat,
tiba-tiba Bayu Wijaya
berkata:
"Oh, adik Senapati... eh,
Satryo...!" Berkata
Bayu Wijaya seraya menatap
berganti-ganti pada
Rukmita dan Satryo.
"Aku bernama Rukmita, yang
digelari si Pen-
dekar Lembah Bunga! Kami masih
saudara seper-
guruan...!" Ucap si
Pendekar Lembah Bunga
mendahului bicara, karena
tampaknya Bayu Wi-
jaya agak tergagap untuk
memperkenalkan di-
rinya pada laki-laki bekas
Senapati itu. Laki-laki
tua ini cuma manggut-manggut
dengan terse-
nyum. Dan cepat-cepat Satryo
menjura lagi.
Secara singkat Bayu Wijaya
ceritakan tentang
musibah yang telah menimpanya
pada Satryo.
Dan mereka berdua memang tengah
mencari jejak
pemuda bernama Raka Rumpit itu,
di samping
mencari ke mana lenyapnya
Mahesani, anak ga-
disnya.
"Kakang Bayu, aku akan coba
cari jejak pe-
muda edan itu, kukira tak berapa
jauh di sekitar
sini...!" Seraya berkata
Rukmita telah berkelabat
melompat tanpa menunggu lagi
jawaban si Pen-
dekar Trisula Emas. Melengak
laki-laki tua ini,
seraya berteriak:
"Diajeng Rukmita!
Tungguuu...!" Dan dia su-
dah palingkan lagi wajahnya
menatap Satryo.
"Maaf, adik Satryo, aku...
aku harus segera mem-
bekuk manusia jahanam itu
sebelum dia berlari
jauh!" Satryo cuma terpaku
dan cepat mengang-
guk. Dan tak ayal Bayu Wijaya
sudah berkelebat
menyusul si Pendekar lembah
Bunga. Satryo cu-
ma menatap dengan tercenung. Dan terdengar
suara helaan napasnya.
"Pemuda bernama Raka Rumpit
itu memiliki
ilmu siluman...! Ah, Rimba Hijau
ternyata di pe-
nuhi orang-orang muda yang
berilmu tinggi!
Sayang dipergunakan untuk
menyebar kejaha-
tan...!" Gumam laki-laki
bekas Senapati ini. Dan
dia pun segera berkelebat untuk
menjemput ku-
danya. Tak lama sudah
mencongklang cepat me-
ninggalkan desa yang dilanda
musibah itu...
Sementara itu sesosok tubuh
berkelebat cepat
menuju ke arah bukit. Dan meniti tebing dekat
muara sungai di bawahnya. Tak
lama sesudah
memasuki sebuah lubang goa.
Terdengar suara
tertawa mengekeh, dan di dalam
ruangan goa itu
telah berdiri sesosok tubuh
bongkok, yang tak
lain dari si nenek bongkok
bermuka tengkorak.
"Hihihi... si Rumpit bocah
edan itu benar-
benar keterlaluan! Membuat aku
cemburu seten-
gah mati! Rasanya menunggu
sampai tamatnya
pelajaran ilmu yang kuberikan,
aku sudah tak
sabar lagi...!" Menggumam
si nenek bongkok se-
raya duduk di atas batu di
tengah goa. Tak lama
dia sudah beranjak bangkit dan
melangkah me-
nuju ke ruangan kamar tempat
samadinya. Akan
tetapi belum lagi lebih dari
lima langkah, sudah
terdengar di kejauhan suara
tertawa mengakak,
dan saat berikutnya tahu-tahu si
pemuda murid-
nya itu telah muncul di mulut
goa. Terhenyak si
nenek bongkok.
"He!? Begitu cepat kau
datang...?" Berkata si
nenek. Dia agak heran karena tak
mendengar su-
ara pemuda muridnya itu dari
kejauhan. Bi-
asanya telinga si nenek bongkok
sudah dapat
menangkap dari kejauhan, kalau
anak muda mu-
ridnya itu akan pulang. Bahkan
walau masih be-
rada di kaki bukit. Akan tetapi
kedatangannya ki-
ni adalah memang di luar
dugaannya. Dia tadi te-
lah sengaja berdusta dengan
mengatakan ada te-
tamu istimewa di goa tempat
tinggalnya.
"Hahaha... bukankah aku
telah mempelajari
ilmu ASAP SETAN! Mana kau mampu
mengetahui
kedatanganku lagi, nenek
manis..!" Ucap Raka
Rumpit dengan tertawa, dan
memasuki goa den-
gan langkah lebar.
"Bocah gendeng..."
Memaki si nenek. Akan te-
tapi seperti baru tersadar dia
berkata. "He!? Apa
katamu tadi? Kau telah berhasil
menguasai ilmu
ASAP SETAN...?"
Pemuda ini mengangguk sambil
nyengir ter-
tawa, dan lengannya
menggaruk-garuk dadanya
yang telanjang berkeringat.
Rambutnya yang se-
makin gondrong tanpa ikat kepala
itu dikibas-
kibaskannya seperti mengusir
hawa panas dalam
goa. Melengak si nenek bongkok.
Sepasang ma-
tanya membeliak. Tiba-tiba saja
dia sudah angkat
tongkatnya menunjuk,
"Kau... kau... Jadi kau
sudah berhasil mena-
matkan pelajaranmu...? Bocah
gendeng...! Pantas
aku tak mendengar suara
kedatanganmu! Dan...
sejak kapan kau telah menguasai
ilmu ASAP SE-
TAN itu?" Tiba-tiba si
nenek bongkok ajukan per-
tanyaan.
"Baru dua-tiga hari
belakangan ini, guru! Aku
memang sengaja tak
memberitahukan padamu!"
Jawab Raka Rumpit dengan
melompat mendekati
si nenek.
"Ha...?! Aiii... dasar
bocah edan! Aku sudah
menyangka kau tak akan mampu
menguasai se-
cara cepat karena kulihat otakmu
bebal! Dugaan-
ku dalam sepekan lagi baru kau
bisa mengua-
sai..." Ujar wanita muka
tengkorak ini tertegun.
Akan tetapi tiba-tiba sang guru
sudah keluarkan
bentakan.
"Bocah edan! Coba kau
tunjukkan padaku...!"
Agaknya si nenek bongkok merasa
kurang yakin.
"Hm, baiklah, nenek
manis.!" Ucap Raka
Rumpit. Dan segera mulutnya
berkemak-kemik
membaca mantera. Seluruh
kekuatan bathinnya
sekejap sudah tersalur untuk
membentuk daya
khayal yang berada di otaknya.
Tak berapa lama
tampak tubuh pemuda itu berubah
jadi segumpal
asap hitam. Namun sekejap
gumpalan asap itu te-
lah membentuk sesosok tubuh yang
merangkak
di tanah itu. Dan...
"GRRRRRRAUUUUMMMHHH...!"
Sekejap tubuh Raka Rumpit telah
berubah
jadi seekor harimau belang yang
luar biasa be-
sarnya. Binatang ini membuka
mulutnya menam-
pakkan gigi-gigi dan taringnya
yang runcing ta-
jam. Terperanjat si nenek
bongkok dengan mata
terbelalak. Akan tetapi
tiba-tiba telah mengkikik
tertawa.
"Hihihi... hihi... hebat!
hebat...! bagus sekali!
Kau benar-benar telah
menguasainya dengan
baik, bocah edan! Ooooh, mengapa
kau baru
mengaku sekarang?"
"Grrrrh...! Hahaha... aku
memang sengaja
mau membuat kejutan, guru!
Berkata si harimau
jejadian itu dengan
mendengus-dengus serta
mendekam mengejap-ngejapkan
matanya. Nenek
bongkok muka tengkorak julurkan
tongkat hi-
tamnya mengetuk tubuh sang
macan.
"Sudahlah! Pergilah kau
mandi! Bukankah
kau mau kupertemukan dengan
seorang tamuku
yang istimewa?" Berkata si
nenek.
"He, ya...! Mana dia
tetamunya?" Bertanya
Raka Rumpit, yang sekejap telah
berubah kembali
menjadi manusia asalnya.
"Sudah kukatakan! Pergilah
mandi, bersihkan
tubuhmu! Bukankah kau baru
mengotori tubuh-
mu dengan keringat wanita? Aku
tak suka tu-
buhmu bau wanita...!"
***
SEMBILAN
SEMENTARA Raka Rumpit pergi
mandi, baik-
nya kita menengok dulu kelain
tempat. Udara ce-
rah hari itu... seorang gadis
berbaju ungu tampak
berjalan santai memasuki sebuah
Padepokan,
atau rumah perguruan yang tampak
agak sunyi
itu. Sementara di sepanjang
jalan yang dilaluinya
beberapa pasang mata telah
menatapnya dengan
mata tak berkedip. Mereka adalah
beberapa orang
anak buah perguruan Trisula
Dewa. Akan tetapi
mereka cuma menatap dengan aneh,
karena me-
lihat perobahan pada gadis muda itu yang tak
mengenalnya. Bahkan telah pula
bertanya di ma-
na adanya sebuah Perguruan Silat
bernama Tri-
sula Dewa.
Tentu saja dengan tergagap
mereka menun-
jukkan Perguruan Trisula Dewa
yang tak sebera-
pa jauh dari situ. Bahkan nama
Ketuanya pun di-
tanyakan. Adalah aneh, kalau
seorang gadis yang
menjadi puteri dari Ketua
Perguruan Trisula De-
wa menanyakan rumah perguruan
tempat ting-
galnya, dan menanyakan ayahnya
sendiri, seperti
orang yang belum mengenal sama
sekali.
Dengan langkah lebar gadis itu
melewati pen-
jaga pintu padepokan yang tak
sempat menegur,
karena mulutnya sudah ternganga
dengan tubuh
kaku. Karena entah apa salahnya,
ketika tahu-
tahu laki-laki penjaga yang
sudah siap menyam-
butnya dengan girang itu mendadak
ditotok pada
bagian lehernya. Sekejap
tubuhnya jadi berdiri
kaku dengan mulut ternganga dan
sepasang mata
membeliak. Tampak dari mata,
mulut dan hi-
dungnya mengeluarkan tetesan
darah. Ternyata
belum lagi sempat berteriak,
nyawanya sudah me-
layang.
Melihat munculnya
seorang gadis di depan
pintu ruangan pendopo padepokan
itu, semua
yang berada di dalam terkejut
Beberapa orang
anak buah Bayu Wijaya sudah
berteriak seraya
melompat berdiri.
"Ah, Den Ayu Mahesani...!
anda... anda sudah
datang...?". Serentak
berlompatanlah mereka
dengan wajah girang disertai
sorak-sorai kawan-
kawannya. Akan tetapi bersamaan
dengan itu
terdengar satu bentakan keras
disusul dengan
berkelebatannya tiga sosok tubuh
berkepala gun-
dul.
"Wanita iblis! Kiranya kau
anaknya si Bayu
Wijaya...? Heh jangan harap kau
dapat melo-
loskan diri...! Hadapi kami si
Tiga Paderi Kuil Na-
ga...!" Terperangah semua
anak buah Bayu Wi-
jaya. Serentak mereka telah
menghambur mengu-
rung tiga paderi itu.
"Hei, tiga orang botak!
Apakah kesalahan pu-
teri Ketua kami? Kalian melabrak
seenaknya me-
masuki rumah perguruan tanpa
permisi lagi!"
Bentak seorang murid dari
tingkat utama Pergu-
ruan Trisula Dewa ini.
Tiga paderi ini rata-rata masih
muda. Berpa-
kaian jubah warna kuning. Pada
punggungnya
masing-masing terselip sebuah
tongkat kayu jati
yang lebar pipih.
"Heh, kalian serahkan gadis
siluman ini un-
tuk mempertanggung jawabkan
perbuatannya di
hadapan ketua kami! Dia telah
main gila dengan
lima orang saudara
seperguruanku. Dan membu-
nuhnya dengan melemparkan
mayat-mayat sau-
dara seperguruan kami di
belakang kuil. Perbua-
tan keji itu harus kami balas
dengan setimpal,
yaitu dengan menghukumnya!
Mengenal urusan
hukuman itu tergantung ketua
kami! Akan tetapi
kami memang telah diperintahkan
untuk mem-
bawanya hidup atau mati!"
Berkata salah seorang
yang lebih tua dari ketiga
paderi muda itu.
Terperangah semua anak buah Bayu
Wijaya.
Mereka seperti tak percaya
mendengar keterangan
si paderi muda. Karena tak
mungkin hal itu dila-
kukan oleh anak gadis puteri
Ketua mereka.
Sementara Mahendra yang berada
di antara
murid-murid perguruan itu jadi
terpaku tak ber-
geming. Baru saja dia melihat
tampang sang ca-
lon istrinya itu, ternyata sudah
mendengar berita
demikian. Tentu saja membuat
wajahnya menjadi
merah tanpa bisa bicara apa-apa.
"Hihihi... paderi-paderi
tengik macam kau ini
mengapa memfitnah orang
seenaknya? Aku be-
lum pernah mengunjungi Kuil
Naga! Letak tem-
patnya pun aku tak mengetahui!
Kau telah bikin
malu aku di hadapan anak-anak
buah ayahku...!"
Saat itu beberapa orang anak
buah Perguruan
yang tadi berada di luar telah
masuk ke pelataran
dengan menggotong mayat penjaga
pintu.
"Hah, apa yang
terjadi?" Melompat seorang
kawannya yang turut mengurung
ketiga paderi
itu.
"Kimung telah tewas! Entah
siapa yang mem-
bunuhnya...!" Menyahut
kawan yang memondong
mayat si penjaga pintu
Padepokan.
"Huh! Siapa lagi yang telah
membunuh, kalau
bukan tiga kunyuk gundul
ini?" Tiba-tiba Mahe-
sani berkata dengan suara
dingin.
"Hayo, kalian bunuhlah
pengacau-pengacau
ini! Mengapa didengar ocehannya
yang mengaco
itu? Masakan aku dituduh
seenaknya saja!". Sua-
ra Mahesani yang bernada aneh,
dan agak asing
itu memang membuat murid-murid
perguruan itu
agak memikir sejenak. Akan
tetapi perintah itu
seperti punya pengaruh, karena
memang mereka
amat mematuhi setiap perintah
putri ketuanya
ini. Serentak beberapa orang
sudah menghunus
senjata. Dan tak ayal lagi
beberapa orang sudah
menerjang dengan
bentakan-bentakan keras.
Trang! Trang! Trang!
Terdengar suara beradunya
senjata-senjata.
Karena ketiga paderi muda itu
masing-masing te-
lah mencabut tongkat kayu
jatinya. Ternyata
tongkat mereka adalah berisikan
sebatang pe-
dang, yang dari luar hanya mirip
tongkat biasa.
Segera saja terjadi pertarungan
seru. Tiga paderi
ini mau tak mau memang harus
melayani seran-
gan gencar mereka, kalau tak
ingin nyawa mereka
melayang.
Adapun Mahesani dengan senyum di
bibir se-
gera melompat ke dalam. Mahendra
berkelebat
menyusul ......
"No.. nona
Mahesani...!" Berteriak Mahendra
memanggil. Dan sang gadis segera
menoleh se-
raya hentikan langkahnya.
"Siapakah kau...?"
Bertanya Mahesani, yang
sebenarnya adalah Tri Agni.
Yaitu si manusia se-
tengah siluman yang menitis pada
badan kasar
Mahesani yang telah mati dicekik
Raka Rumpit,
akibat pengaruh kekuatan ghaib
gurunya.
"Aku... aku Mahendra! Masih
ingatkah kau?
Kita pernah bertemu semasa masih
kanak-kanak!
Ibu ku bergelar si Pendekar
Lembah Bunga! Apa-
kah ayahmu tak pernah bercerita
tentang aku?"
Tutur Mahendra seraya menatap
wajah orang Ga-
dis baju hijau bernama Mahesani
itu memang ga-
dis yang cantik. Bertubuh mulus,
berkulit putih
dengan perawakan tubuh semampai.
Rambutnya
hitam bergelombang. Mahesani
menggeleng se-
raya tatap wajah pemuda di
hadapannya. Tentu
saja membuat Mahendra jadi
melengak, karena
sedikit pun gadis itu tak ingat
akan dirinya.
"Kemanakah ayahku?"
Bertanya Mahesani
dengan suara kaku. Segera
Mahendra bercerita
singkat tentang ibunya, dan ayah
gadis itu yang
pergi mencari jejak penculik
serta mencari tahu di
mana adanya sang gadis.
"Sudah hampir empat bulan
ini beliau tak
kembali, juga ibuku!" Eh,
kita harus membantu
mengusir tiga paderi itu! Aku
khawatir akan ba-
nyak korban berjatuhan!" Tiba-tiba Mahendra
berkata, seraya berpaling ke
arah pintu ruangan,
didengarnya suara-suara jeritan
terdengar dari
kalangan pertarungan. Akan
tetapi sekali lengan
Mahesani bergerak, lengan Mahesa
sudah dice-
kalnya.
"Aku amat rindu padamu...
ngng... Mahen-
dra!" Tiba-tiba Mahesani
ucapkan kata-kata den-
gan suara lirih mendesis. Lengan
Mahesani berge-
rak mengibas. Dan tahu-tahun
pintu ruangan di
mana mereka berada menutup
terhempas terkena
sambaran angin yang bersyiur
dari kibasan len-
gannya. Dan.... ketika
jari-jemari lentik Mahesani
bergerak lincah, tahu-tahu baju
bagian atas dara
itu sudah tersibak menyembulkan
sepasang buah
dadanya yang putih ranum
membuntat padat,
dengan kedua buah putiknya yang
memerah jam-
bu kecoklatan.
AHH...? Tersentak Mahendra
dengan sepa-
sang mata membeliak. Tubuhnya
tergetar hebat.
Dan napasnya sekonyong-konyong
jadi memburu.
Mahesani sandarkan punggungnya
di dind-
ing, dan lengannya sudah
menggamit leher pe-
muda itu, serta sebelah lagi
membelai rambutnya.
Dan tahu-tahu kepalanya sudah
ditekan ke arah
dada. Sekejap saja wajah
Mahendra sudah me-
nempel di kedua buah benda
lembut itu. Dengus
napasnya semakin memburu,
berdesahan me-
mantul balik dari hidungnya. Dan
mau tak mau
bibirnya yang sudah bersentuhan
dengan putik
memerah yang lunak itu, segera
menganga terbu-
ka. Dan.... tanpa harus disuruh
lagi direngkuh-
nya benda lunak itu untuk
dilumat. Bergelinjan-
gan tubuh sang dara itu dengan
keluarkan desa-
han dari mulutnya.
Sementara di luar, pertarungan
semakin men-
jadi dengan serunya. Dua orang
anak buah Per-
guruan itu telah roboh terkena
tebasan pedang si
tiga paderi muda. Ternyata
permainan ilmu pe-
dang si tiga paderi muda itu
cukup hebat. Mereka
bertarung dengan tempelkan rapat
punggung
masing-masing, dan menghadapi
terjangan-
terjangan gencar dari belasan
anak buah Bayu
Wijaya. Namun tak urung mereka
juga sudah ter-
luka terkena goresan pedang
lawan, karena lawan
yang dihadapi lebih banyak. Dan
juga bukannya
orang-orang keroco, karena
didikan dari seorang
tokoh persilatan yang cukup
terkenal dan berilmu
tinggi
Pertumpahan darah mungkin akan
bertam-
bah lagi, seandainya tak datang
berkelebat seso-
sok tubuh semampai, berambut
panjang terurai.
Dan satu bentakan nyaring
bersuara merdu ter-
dengar....
"Hentikan...!". Suara
teriakan itu amat ber-
pengaruh, karena seperti menusuk
ke ulu hati,
mendebarkan jantung. Serentak
mereka sudah
sama-sama melompat untuk hentikan pertarun-
gan. Segera terlihatlah siapa
yang datang. Ternya-
ta seorang gadis muda yang amat
rupawan. Ber-
baju sutera tipis berwarna hitam
gemerlapan. Ikat
pinggangnya terbuat dari
kulit ular, di mana di
kedua sisi pinggangnya
tergantung dua buah
benda mirip
"payudara", dengan dua utas rantai
yang membelit pinggang. Itulah
senjata si Rantai
Genit. Dan siapa lagi si pemilik
senjata aneh yang
mempunyai bentuk lucu itu, kalau
bukan RORO
CENTIL.
Gadis ini tatap mata semua yang
berada di si-
tu dengan pandangan tajam.
"Hm, boleh aku tahu ada
persoalan apakah
kalian bertarung?" Tanya
Roro dengan bertolak
pinggang. Segera tiga paderi
muda melompat ke
hadapan dara ini seraya salah
seorang berkata;
"Nona Pendekar Roro Centil!
Oh, beruntung
sekali anda datang...!" Dan
ketiga paderi muda itu
segera menjura hormat
"Hm, kalian bukankah
murid-murid si manu-
sia bulat Kipas Angin
Puyuh?" Tanya Roro ketus.
"Ada apa kalian mengamuk di
sini? Kalau ku-
adukan pada gurumu, tentu
telinga kalian akan
dijewer sampai putus!"
Bentak Roro.
Roro Centil memang sudah
mengenali dari ju-
bah warna kuning dengan strip
hitam di bagian
sisinya, bahwa ketiga paderi
muda itu adalah mu-
rid-murid dari Kuil Naga. Ketua Kuil Naga yang
bergelar si Dewa Angin Puyuh
memang sudah di-
kenalnya ketika masih berada di
Pulau Andalas.
Ternyata pada beberapa bulan
belakangan ini Ro-
ro telah menjumpainya berada di
sebuah Kuil
yang baru beberapa bulan
dibangun di sebelah
selatan daerah wilayah utara
Pulau Jawa ini.
Tentu saja pertemuan itu membuat
si Dewa
Angin Puyuh girang setengah
mati. Karena me-
mang sejak mereka pernah
berjumpa dan bersa-
habat di Pulau Andalas, paderi
bertubuh gemuk,
pendek dan boleh dikata bulat
itu pernah sama-
sama turut menumpas musuh. Yaitu
seorang wa-
nita cabul dari tokoh Rimba
Hijau dari Golongan
Hitam, bergelar si Kupu-kupu
Emas. (baca: Kisah
Dara Cantik Berdarah Dingin).
Dengan mengumbar tawa bergelak
si Dewa
Angin Puyuh menyambut kedatangan
Roro Centil,
yang menyebut si paderi bulat
itu dengan sebutan
paman. Karena memanglah
keinginan si Dewa
Angin Puyuh demikian, bahkan
telah mengakui
Roro Centil sebagai
keponakannya. Tinggal di sa-
na beberapa hari, Roro dijamu
makan minum
oleh paderi Ketua Kuil Naga yang
baru didirikan-
nya itu. Bahkan telah memesan
pada tukang jahit
pakaian yang khusus didatangkan,
dan mengu-
kur tubuh Roro. Ternyata sang
Pendekar Wanita
Pantai Selatan ini di beri
seperangkat pakaian su-
tera warna hitam, yang gemerlap
bagai ditaburi
permata.
Tentu saja selama itu Roro telah
mengenal
dengan murid-murid si Dewa Angin
Puyuh. Na-
mun baru beberapa hari saja dia
meninggalkan
Kuil Naga, ternyata melihat satu
pertarungan di
sebuah padepokan. Dan amat
terkejut ketika
mengetahui tiga orang paderi
muda murid-murid
dari Kuil Naga, tengah bertarung
dengan belasan
orang anak-anak buah sebuah
Perguruan.
Roro menatap wajah ketiga paderi
muda itu
dengan satu pertanyaan, yaitu
persoalan apakah,
hingga ketiga paderi melabrak ke
Perguruan
orang.
"Kami mengejar si pembunuh
orang-orang
kami di Kuil Naga!" Ujar
salah seorang, dan sege-
ra beberkan peristiwanya dengan
singkat. Dan ce-
ritakan bahwa ketika kejadian
itu, guru mereka
sedang tak berada di tempat.
"Wanita itu ternyata anak
gadis si Ketua Per-
guruan Trisula Dewa ini! Dia...
dia bukan manu-
sia! Seandainya manusia tentu
berilmu iblis, ka-
rena kelima saudara kami telah
dilempar mayat-
nya dalam keadaan membugil. Dan
masing-
masing lehernya terluka bekas
gigitan. Darahnya
telah tersirap habis!"
Berkata si paderi paling tua
dengan suara agak keras.
Terperanjat semua
orang dari anak buah
Perguruan Trisula Dewa
yang turut mendengar penuturan
paderi muda
itu. Sedangkan Roro Centil
sendiri pun terkejut
mendengarnya.
"Tidak mungkin...! Dusta!
Kau paderi sialan
telah mengaco seenak perutmu
menuduh orang!
Nona Mahesani puteri Ketua kami
bukan sebang-
sa manusia siluman yang doyan
menghisap darah
orang! Dan tak mungkin dia
melakukan perbua-
tan keji itu yang tak wajar
dilakukan manusia!"
Membentak salah seorang anak
buah Bayu Wi-
jaya.
"Mau apa aku mendustai
kenyataan itu? Huh!
Kukira tak ada untungnya!"
Membentak lagi si
paderi muda yang paling tua itu,
dengan mata
melotot tajam. Akan tetapi pada
saat itu, Roro
Centil sudah palingkan wajahnya menatap pada
semua anak buah Padepokan itu.
Sementara be-
berapa orang anak buah Padepokan
tampak ten-
gah kasak-kusuk membicarakan
tingkah yang
aneh dengan keadaan Mahesani,
puteri sang Ke-
tua mereka.
"Hm, baiklah! Kini aku mau
bertemu dengan
nona kalian itu, bisakah kalian
panggil keluar?"
Tanya Roro.
"Kami tak berani..! Beliau
sedang bersama...
raden Mahendra!" Berkata
salah seorang. Karena
dia memang melihat Mahendra
masuk ruangan,
menyusul Mahesani.
"Siapakah Mahendra
itu?" Tanya Roro dengan
kesal.
"Dia... dia
TUNANGANNYA!" Menyahut si mu-
rid tertua Perguruan itu dengan
tegas, akan tetapi
dia juga merasa aneh dengan
sikap Mahesani.
Kenapa justru meninggalkan
mereka bertempur
tanpa memunculkan diri, Roro
yang tak sabar,
segera berucap.
"Heh! kalau begitu biar aku
yang memeriksa!
Kalian boleh ikut aku!"
Berkata Roro seraya me-
nunjuk pada tiga orang di
hadapannya. Tiga
orang itu mengangguk, seraya
berlari mengikuti
Roro, yang sudah berkelebat
melompat ke ruan-
gan pendopo.
BRRAAKKK...! Sebuah pintu yang
tertutup di
terjangnya hingga menjeblak
terbuka Dan...
terkejutlah ketiga orang anak
buah Bayu Wijaya
maupun Roro. Karena segera
terlihat satu pe-
mandangan menjijikkan. Dua sosok
tubuh berte-
lanjang bulat saling
bergelutan... Ternyata Mahe-
sani dan Mahendra yang tengah
bergelinjangan di
lantai. Akan tetapi segera
terlihat wajah Mahen-
dra menyeringai kesakitan.
Sementara wajah Ma-
hesani terbenam ke leher pemuda
itu. Nyaris Roro
Centil tinggalkan ruangan itu, kalau tak melihat
darah mengalir dari leher si
pemuda itu. Dan ke-
tika si wanita mengangkat
kepalanya, tampak
mulutnya menyeringai penuh
darah.
Tersentak Roro Centil, hingga
tak terasa ka-
kinya sudah menindak dua langkah
ke belakang.
Tiba-tiba Mahesani gerakkan
lengannya memukul
ke depan. Bersyiur angin keras
menerjang ke arah
Roro dan ketiga anak buah Bayu
Wijaya yang be-
rada di muka pintu ruangan. Roro
Centil gerak-
kan cepat lengannya mendorong
tubuh ketiga
orang murid Perguruan Trisula
Dewa itu hingga
terpental jatuh, sedangkan
tubuhnya sudah ber-
gerak melompat menghindari
terjangan angin ke-
ras.
WHUUK...!
BRRAAAKK...!
Angin deras bertenaga dalam itu
lewat di ba-
wah kaki Roro dan langsung
menghantam tiang
pendopo di luar ruangan hingga
patah berderak.
"Manusia iblis penghisap
darah! Kiranya be-
narlah kau adanya...!"
Membentak Roro Centil,
seraya melompat ke atas berpegang pada tiang
penglari. Namun pada saat itu si
gadis titisan wa-
nita setengah siluman itu telah
bangkit berdiri.
Lengannya bergerak menyambar
pakaiannya, dan
berkelebat keluar dengan
perdengarkan tertawa
mengikik menyeramkan. Sementara
itu Mahendra
tengah berkelojotan meregang
nyawa. Dari leher-
nya yang terluka menganga,
mengucur darah
yang menggelogok. Setelah
beberapa saat meng-
geser-geser tubuh laki-laki
itupun mengejang, dan
diam tak bergeming. Karena
nyawanya telah me-
layang saat itu juga.
Roro Centil cuma menatap
sekilas, tubuhnya
sudah melesat turun dari tiang
penglari, dan me-
lompat mengejar keluar. Namun
Mahesani sudah
lenyap dengan perdengarkan suara
tertawa
mengkiknya di kejauhan.
Ketiga paderi muda itu
tercengang sesaat ke-
tika sesosok tubuh telanjang
bulat melompat ke-
luar dari dalam ruangan
Padepokan. Jelas sudah
itulah Mahesani. Dan tentu saja
belasan or ang
murid-murid Padepokan yang
melihat kenyataan
itu jadi terperangah dengan mata
terbelalak lebar.
Karena kini telah jelas bahwa
Mahesani puteri Ke-
tuanya itu memang amat
memalukan, dan meng-
herankan sekali. Tubuh telanjang
bulat itu begitu
tiba di luar langsung melesat
cepat meninggalkan
pelataran Padepokan. Lalu lenyap
dengan perden-
garkan suara tertawa mengikik
yang jelas bukan
suara Mahesani.
Ketiga paderi muda itu cuma bisa
terpaku
dengan palingkan wajahnya
menatap semua mu-
rid-murid Perguruan Trisula
Dewa. Salah seorang
mendengus dengan wajah
mendongkol. Lalu beri-
kan isyarat pada kedua kawannya.
Dan ketiga
paderi muda itupun berkelebatan
meninggalkan
tempat itu tanpa menoleh lagi...
Sementara Roro
Centil cuma menatap saja dari
ruang Pendopo.
Sedangkan ketiga orang yang terpental didorong
Roro segera cepat-cepat menjura
mengucapkan
terima kasih. Roro Centil cuma
mengangguk, lalu
tatapkan mata pada para murid
Perguruan Trisu-
la Dewa dengan senyum sinis.
"Nah! Kini kalian lihat
buktinya, bahwa nona
besar kalian itu ternyata
seorang manusia iblis
penghisap darah! Dia telah
menjadi manusia PA-
LASIK!" Ucap Roro dengan
suara keras. “Kawan-
mu yang di dalam itu telah mati,
dengan keadaan
sama seperti kematian lima orang
paderi kawan
ketiga paderi tadi! Kalian
lihatlah sendiri...!" Lan-
jut Roro seraya beranjak
meninggalkan Padepo-
kan itu dengan langkah lebar.
Keruan saja semua
para murid Perguruan Trisula
Dewa segera berla-
rian memasuki ruangan Padepokan.
Dan terpe-
rangah mereka dengan berteriak
tertahan, karena
segera menjumpai keadaan
Mahendra yang telah
membugil menjadi mayat, dengan
leher terkoyak
bekas gigitan.
Roro Centil sudah tak
perdulikan lagi kea-
daan para murid Padepokan itu,
dan segera kele-
batkan tubuhnya tinggalkan
tempat itu.
***
RORO CENTIL memang telah
mendengar
adanya manusia palasik penghisap
darah, yang
sejak beberapa pekan ini
bergentayangan mencari
mangsa. Kemunculannya adalah
memang untuk
menguntit si manusia Palasik
yang menggempar-
kan itu. Akan tetapi Roro telah
kehilangan jejak
lagi setelah diketahuinya siapa
adanya si manusia
palasik itu. Berkelebatan tubuh
Roro menuju ke
arah barat. Roro hanya
menduga-duga saja men-
cari kemana arah wanita
penghisap darah itu
perginya.
Sementara di balik semak belukar
itu adalah
terdapat dua orang berlainan
jenis yang tengah
berkasih-kasihan.
"Kakang Bayu...! Benarkah
kau... kau men-
cintaiku?" Terdengar suara
seorang wanita den-
gan suara pelahan hampir tak
terdengar disela
rintihannya.
"Mengapa kau ragu,
diajeng...? Apakah kau
malu kalau kita menikah?"
"Ya...! Kita sudah tua! Dan
aku sudah hampir
keriput begini, apakah tak akan
malu dengan
orang-orang muda? Terutama anakku
Mahendra!
Dan kita belum juga berhasil
menjumpai Mahe-
sani! Apakah tak sebaiknya kita
pulang?" Desis
suara wanita itu lagi, seraya
lengannya memeluk
kencang laki-laki tua bertubuh
kekar yang meng-
himpit tubuhnya.
"Kau masih cantik, diajeng!
Dan... ah, sudah-
lah..." Terdengar laki-laki
itu menyahuti lirih se-
raya menggerakkan tubuhnya,
membuat dahan
dan ranting kecil di sebelahnya berguncangan.
Sementara suara desah napas
terdengar santar
bercampur rintihan kecil yang
terdengar pelahan
sekali. Namun tak lama segera
melenyap, seperti
semak belukar itu tiada yang
menghuni. Selang
beberapa saat, tampak sebuah
lengan terjulur
menggapai seonggok pakaian yang
tergeletak di
rerumputan. Dan suara-suara
tertawa kecil pun
terdengar dibarengi timpalannya
suara laki-laki
yang terdengar agak parau.
Roro Centil sembulkan kepalanya
di satu se-
mak yang agak lowong. Sepasang
matanya jadi
membelalak. Setan Alas! Memaki
gadis Pendekar
ini dalam hati. Dan dia sudah
palingkan wajah-
nya yang memerah. Tiba-tiba
terdengar suara ter-
tawa mengikik di kejauhan. Roro
cepat-cepat me-
nyelinap. Tak berapa lama segera
muncul sesosok
tubuh berpakaian warna ungu,
dengan rambut
terurai beriapan. Hampir melejit
mata Roro, kare-
na melihat sosok tubuh itu pasti
tak salah lagi si
wanita Palasik penghisap darah.
Baru saja dia
berniat melompat keluar.
Ternyata sudah didahu-
lui dua orang di balik semak itu
yang berkelebat
berlompatan.
Sekejap kemudian telah
menghadang di de-
pan wanita palasik itu. Seolah
tak percaya laki-
laki tua itu yang tak lain dari
Bayu Wijaya, mena-
tap pada si wanita muda di
hadapannya. Dan sa-
tu suara tergetar segera
terlompat dari bibirnya.
"A...anakku... Ma..
.Mahesani! Kaukah
adanya? Oh, betapa aku amat
mengkhawatirkan
nasibmu...!" Bayu Wijaya
menatap wanita muda
di hadapannya dengan mata tak berkedip. Akan
tetapi gadis muda itu bahkan
mengikik tertawa
dengan suara aneh yang amat
asing didengarnya.
"Hihihi... siapakah kau?
Eh, ya... kau ayahku!
Aku memang Mahesani, anakmu!
Kalian sedang
apa di sini ayah? Dan siapa
wanita jelek ini?"
Tentu saja kata-kata demikian
tak pernah di-
ucapkan oleh Mahesani
sebenarnya. Dan mem-
buat Bayu Wijaya jadi ternganga
heran. Sementa-
ra si wanita tua yang tak lain
dari si Pendekar
Lembah Bunga itu jadi terkejut
dengan wajah te-
rasa panas.
Apakah yang telah terjadi dengan
anakku?
Mengapa sikapnya jadi berubah
demikian...? Sen-
tak hati Bayu Wijaya. Dan dia
sudah saling tatap
dengan Rukmita si Pendekar
Lembah Bunga itu.
Tiba-tiba di kejauhan terdengar
suara derap lang-
kah kaki kuda mendekat. Tak lama
segera terlihat
empat orang berpakaian
pengawal-pengawal Kera-
jaan. Ternyata salah seorang
adalah Tumenggung
Meranggi, yang telah berpakaian
perwira kerajaan
Mataram. Kiranya sang Tumenggung
itu tak mau
menganggur begitu saja begitu
lepas dari jabatan
dengan punahnya Kerajaan
Matsyapati, yang di-
ambil alih kekuasaannya oleh
Kerajaan Pusat.
Yaitu Mataram. Segera dia
memasuki keperwiraan
di Kerajaan Mataram, yang
kemudian bertugas
justru masih berada di sekitar
bekas kekuasaan
Kerajaan Matsyapati.
Begitu hentikan kuda-kudanya,
keempat
orang perwira itu berlompatan
turun dari ku-
danya.
"Manusia iblis! Kau tak
akan dapat melarikan
diri lagi!" Membentak Ki
Meranggi seraya menca-
but keluar Keris Pusakanya.
Terkejut Bayu Wijaya
juga si Pendekar Lembah Bunga,
karena tahu-
tahu keempat Perwira Kerajaan
Mataram itu telah
mengurung.
"Tunggu...!" Teriak
Bayu Wijaya, yang tiba-
tiba telah bergerak melompat
seraya mengangkat
kedua belah tangannya. Tubuhnya
memutar den-
gan sepasang mata menatap pada
keempat perwi-
ra Kerajaan itu.
"Apakah gerangan yang telah
terjadi, hingga
kalian menuduh anakku sebagai
iblis keji?". Te-
riak Bayu Wijaya dengan ketus.
Ki Meranggi plo-
totkan matanya. Segera dia sudah
mengenali laki-
laki itu.
"Huh! Kiranya perempuan ini
anak gadismu,
sobat Bayu Wijaya? Kami petugas penjaga ling-
kungan di wilayah Kerajaan
Mataram ini merasa
berhak menangkap atau membunuhnya,
karena
dia telah melakukan pengacauan
di beberapa
tempat! Bahkan dia telah
membunuh bekas Raja
Kerajaan Matsyapati Prabu
Gurawangsa di Goa
Kiskenda!" Terperanjat Bayu
Wijaya bukan kepa-
lang, dan dengan mata terbelalak
menatap pada
anak gadisnya.
"Aku adalah bekas
Tumenggung Kerajaan
Matsyapati! Masih ingatkah kau
padaku Bayu Wi-
jaya? Aku Ki Meranggi, yang kini
sudah menjadi
orang Kerajaan Mataram!"
"Ya! Aku dapat mengenalimu Tumenggung!
Akan tetapi benarkah tuduhanmu
itu? Anakku ini
baru saja kutemukan setelah
menghilang selama
empat bulan! Dia diculik seorang
pemuda yang
mengaku bernama Raka Rumpit,
selagi aku se-
dang tidak ada!"
"Hihihi... Dia memang
anakmu, Bayu Wijaya,
akan tetapi telah kemasukan roh
jahat! Dia telah
menjadi iblis wanita penghisap
darah! Dia telah
menjadi manusia palasik!"
Tiba-tiba Roro Centil
berkelebat keluar dengan
mengumbar kata-kata.
Terkejut semua orang yang segera
berpaling ke
arah gadis Pendekar itu. Dan Ki
Meranggi tiba-
tiba berteriak girang.
"Nona Pendekar Roro
Centil!.... Ah, kebetulan
sekali anda datang...!"
Bekas Tumenggung Kera-
jaan Matsyapati ini memang telah
mengenal Roro
ketika dia diperkenalkan oleh
Senapati Satryo di
Ksatrian. Roro Centil waktu itu
memang banyak
membantu pihak Kerajaan
Matsyapati, di saat ter-
jadinya pengkhianatan Patih
Buntaran.
Menampak dirinya telah dikepung
sedemikian
rupa, Mahesani jadi tertawa
mengikik.
"Hihihi... hihi.... aku
memang bukannya Ma-
hesani! Raga kasar gadis ini
kutemukan sudah
mampus, setelah habis diperkosa
seorang pemu-
da! Mungkin dialah si pemuda
bernama Raka
Rumpit itu! Dan aku... hihihi...
aku adalah TRI
AGNI! Masih ingatkah kau
Tumenggung, ketika
kau membunuhku dengan keris
pusakamu itu?"
Terperangah seketika Ki
Meranggi. Sepasang ma-
tanya jadi menatap pada Mahesani
dengan terbe-
lalak. Sementara tampak satu
kejadian aneh, ka-
rena samar-samar wajah Mahesani
memudar dan
berganti rupa dengan wajah Tri
Agni, si wanita se-
tengah Siluman itu.
"Hihihi... kau masih hapal
dengan wajahku?
Kini aku inginkan nyawamu,
Meranggi!" Wajah
dan kepala Tri Agni pun kembali
berubah menjadi
kepala Mahesani lagi. Sementara
si Pendekar
Lembah Bunga dan Bayu Wijaya
jadi terperanjat
melihat kejadian itu. Barulah
mereka percaya ka-
lau wanita itu bukan lagi
Mahesani.
Pada saat itu Roro telah
menimbrung bicara.
"Hm, sobat Bayu Wijaya!
Wanita palasik ini telah
masuk ke dalam Rumah
Perguruanmu! Dan dia
juga telah meminta korban
membunuh kekasih-
nya sendiri, dengan menghisap
darahnya! Menu-
rut yang kudengar kekasihnya itu
bernama MA-
HENDRA!"
"Hah...! dia... dia
membunuh a... anakku!??.
Bedebah! Iblis keparat! Kau
harus ganti nyawa
anakku!" Teriak Rukmita si
Pendekar Lembah
Bunga, dan seraya menggerung
keras segera me-
nerjang si wanita setan itu. Sepasang lengannya
bergerak menghantam.
BUK! BUK!
Tubuh Mahesani terlempar
terhuyung-
huyung, dan saat itu keempat
perwira Kerajaan
Mataram segera gerakkan
senjatanya menerjang.
Keris Ki Meranggi telah
keluarkan sinar berwarna
biru bergerak menabas. Dan
ketiga tombak si tiga
Perwira Kerajaan meluruk dengan
berbareng.
CRAS...!
BLES! BLES! BLES!
Sekejap saja keadaan telah
berubah jadi men-
gerikan, karena tubuh Mahesani
telah terpang-
gang oleh tiga tombak perwira
menembus pung-
gung dan dada. Sedangkan Keris
Pusaka Ki Me-
ranggi telah menabas kepala
Mahesani hingga
terpisah dari tubuhnya...
"Ahhh...!?" Berteriak
Bayu Wijaya dengan ma-
ta membeliak. Walau bagaimana
pun dalam pan-
dangannya tubuh anak gadisnyalah
yang telah
terbunuh dengan cara mengerikan
seperti itu.
"Mahesaniiii...!" Dan
dia sudah memburu tu-
buh tanpa kepala itu dengan
wajah pucat. Akan
tetapi diluar dugaan kepala
Mahesani yang jatuh
menggelinding itu telah melayang
ke arah Bayu
Wijaya dengan cepat.
Dan.....
Terkesiap semua orang, karena
sekejap tam-
pak Bayu Wijaya telah
berkelojotan meregang
nyawa. Karena kepala Mahesani
telah berubah
menjadi kepala Tri Agni yang
berwajah menye-
ramkan dengan rambutnya yang
berwarna putih
beriapan. Kiranya kepala makhluk
itu telah me-
nyusup ke leher Bayu Wijaya dan
ngangakan mu-
lutnya, serta menggigit leher
laki-laki tua itu.
BRELL ...! Kepala Tri Agni
menyentak. Dan...
darah segera menyembur dari
leher laki-laki ma-
lang itu. Sesaat setelah
bergelinjangan, tubuh
Bayu Wijaya pun terkulai
lepaskan nyawa...
"Iblis...! Kuhancurkan
kepalamu...!" Memben-
tak Rukmita. Lengannya bergerak
melemparkan
bunga-bunga keringnya ke arah
kepala Tri Agni.
Akan tetapi makhluk itu gerakkan
kepalanya
memutar. Rambut putihnya
tiba-tiba bergerak
menghantam bunga-bunga kering
hingga terhem-
pas jatuh. Tahu-tahu kepala
makhluk itu menyu-
sup ke bawah, bergerak memutar
ke belakang si
Pendekar Lembah Bunga. Terpekik
wanita tua itu,
karena segera lehernya kena
dicengkeram mak-
hluk kepala itu.
Berguling-gulingan tubuh Rukmi-
ta, lengannya berusaha bergerak
untuk mele-
paskan diri dari gigitan wanita
setan itu. Namun
kepala Tri Agni telah berhasil
merobek leher
Rukmita dengan gigitannya. Darah
pun menyem-
burat memancur. Dan tubuh si
Pendekar Lembah
Bunga itu berkelojotan meregang
nyawa, namun
sesaat kemudian terkapar tak
berkutik lagi.
Terperangah Ki Meranggi dan
ketiga Perwira.
Mereka sudah melompat mundur
dengan senjata
siap dipergunakan.
"Hihihi... Meranggi!
Pergunakan lagi keris Pu-
sakamu itu! Hehehihi...
hihi..." Selesai berkata,
tiba-tiba kepala Tri Agni
bergerak ke arah tubuh
Mahesani dan melekat lagi pada
tubuh tanpa ke-
pala itu. Sekejap kemudian
kepala dan tubuh itu
telah menyatu kembali. Dan...
saat berikutnya
Mahesani telah bangkit berdiri.
Sementara pela-
han-lahan kepala wanita setengah
siluman itu
kembali berganti wujud menjadi
kepala Mahesani
lagi.
Ki Meranggi memberi isyarat
untuk mener-
jang pada ketiga kawannya. Namun
saat itu Roro
Centil sudah mendahului mengirimkan tendan-
gan kakinya. Dhesss...! Tubuh
Mahesani terlem-
par bergulingan beberapa tombak. Keempat Per-
wira Kerajaan itu segera
memburunya. Akan teta-
pi Mahesani telah kembali
berdiri dengan lengan
terentang. Sepasang matanya
menatap pada
keempat Perwira Kerajaan itu,
lalu terhenti pada
Ki Meranggi. Sementara Roro
Centil tercenung se-
saat Benaknya memikir. Heh!
wanita siluman ini
akan sulit dimusnahkan, karena
sama saja den-
gan melawan siluman.
"Siluman harus dilawan
dengan siluman...!"
Desis Roro. Dan segera bibirnya
berbisik me-
manggil sahabatnya si Harimau
Tutul. Segera saja
segumpal asap hitam muncul di
hadapan Roro.
Gumpalan asap itu melenyap, dan
membentuk
sesosok tubuh Harimau Tutul
sebesar kerbau.
Binatang ini mendengus dan
keluarkan suara
menggerung mengaum. Tampakkan
gigi-gigi dan
taringnya yang runcing-runcing.
Lalu mengibas-
ngibaskan ekornya mengelilingi
Roro Centil me-
nunggu perintah. Namun pada saat
itu sudah
terdengar jeritan Ki Meranggi.
Ketika Roro Centil
menatap. Ternyata laki-laki
Perwira Kerajaan Ma-
taram itu dadanya telah terkena
cengkeraman
lengan Mahesani, yang menembus
sampai ke
punggung.
Darah menyemburat keluar ketika
lengan
Mahesani disentakkan. Dan tubuh
Ki Meranggi
berkelojotan meregang nyawa.
Lalu sekejap ke-
mudian tewas. Ketiga Perwira ini
menerjang den-
gan tombaknya. Percuma saja, karena
sekali
menggerakkan tangan tiga batang
tombak terlem-
par. Dan di saat ketiga tubuh
Perwira itu ter-
huyung, Mahesani alias Tri Agni
telah berkelebat
menerjang.....
Akan tetapi Roro Centil sudah
mendahului ki-
rimkan hantaman lengannya. Kali
ini pukulan
berhawa panas menerjang Tri
Agni, si wanita se-
tan itu.
WHUSSSS...! Terpekik wanita
setan itu. Seke-
tika tubuhnya terbakar hangus.
Namun pada saat
itu dari dalam tubuh yang
terbakar itu telah me-
lesat ke luar dua gumpal asap
hitam. Dan, bukan
kepalang terkejutnya Roro
Centil, karena dua
gumpal asal itu telah menjelma
menjadi dua so-
sok tubuh. Sosok tubuh yang satu
adalah seorang
bocah kecil berkulit hitam.
Sedangkan sosok tu-
buh yang satunya adalah seorang
wanita yang be-
rambut hitam beriapan. Ternyata
mereka itulah si
Bocah Siluman, cucu si wanita
setan itu. Dan si
wanita satunya adalah ibu bocah
berkulit hitam
itu, yaitu DURGANDINI.
***
Raka Rumpit baru saja selesai
mandi. Dan
dengan bernyanyi-nyanyi kecil
dia memasuki goa,
lalu beranjak ke ruangan
kamarnya. Baru saja
dia mau bergerak masuk ke pintu,
sudah terden-
gar suara tertawa kecil sang
guru.
"Hihihi... hihi.. silahkan masuk, muridku
yang gagah!" Satu suara
lembut terdengar. Itu
memang suara gurunya. Akan
tetapi amatlah
aneh, dan asing pada pendengaran
pemuda ini,
karena tak biasanya sang guru
berkata selembut
itu. Mengapa tidak pakai bocah
edan! atau bocah
gendeng? Bisik hati Raka Rumpit.
Dan segera saja
terpampang di matanya sesosok
tubuh mulus
berselimutkan kain sutera tipis.
Berwajah cukup
cantik, walaupun tidak seperti
gadis muda. Ram-
butnya tergerai hitam di antara
sebelah dadanya.
Tubuh wanita itu dalam keadaan
setengah terbar-
ing di pembaringannya.
Ternganga Raka Rumpit menatap
wanita itu.
Wajahnya jelas bukan wajah
gurunya, akan tetapi
suaranya memang mirip suara sang
guru, alias si
nenek bongkok yang galak itu.
"Guruku kah kau
ini...?" bertanya Raka Rum-
pit.
"Ataukah kau... tetamu
guruku si nenek
bongkok muka tengkorak?"
Tambahnya lagi den-
gan tertegun menatap wanita itu,
serta matanya
merayapi ke sekujur tubuh yang
setengah terbar-
ing itu.
"Hihihi... aku memangnya si
nenek bongkok
gurumu itu, tapi juga tetamu
yang akan me-
nyambut mu!" Berkata wanita
itu dengan terse-
nyum perlihatkan giginya yang
putih berderet, se-
raya bangkit berdiri.
"Kau lihatlah! Apakah
tubuhku kini masih
bongkok? Dan kulitku keriput,
juga wajahku mi-
rip tengkorak?" Berkata
lirih si wanita itu.
"Aku selama ini memakai
alat-alat ini!" Ujar si
wanita itu, seraya meraih sebuah
bungkusan
yang segera dibukanya. Segera
terlihat kelotokan
kulit muka semacam topeng, serta
kulit-kulit tipis
lainnya yang membungkus seluruh
tubuh wanita
itu. Ternyata diam-diam di saat
Raka Rumpit per-
gi mandi, si nenek bongkok telah
"mengupas" ku-
lit muka dan seluruh kulit
pembungkus tubuh-
nya. Hingga bagaikan ular yang
baru berganti ku-
lit, si nenek tua renta itu
kembali menjadi muda.
Ada pun rambut putihnya adalah
tetap memutih.
Namun dia telah gunakan cairan
hitam dari obat
ramuan yang telah lama
disediakan untuk me-
nyemir kembali rambutnya. Hingga
dalam bebe-
rapa saat saja si nenek telah
berubah kembali
menjadi muda. Dan segera sambar
pakaian tipis-
nya untuk segera masuk ke kamar
sang murid.
Raka Rumpit barulah percaya
kalau wanita
itu gurunya sendiri. Melihat
keadaan sang guru
itu tentu saja Raka Rumpit agak
jengah, namun
sebagai manusia tetap saja tak
luput dari hawa
nafsu. Hingga ketika sang guru
menggamitnya
untuk dibawa merebahkan diri ke
pembaringan,
dia memang tak dapat menolak.
"Aku telah beri-
jab-kabul, muridku... bahwa
kalau kau telah ber-
hasil menamatkan pelajaranmu,
kau harus men-
jadi suamiku! Ya, aku amat
mencintaimu, bocah
gagah. Kau pinjamkanlah Cincin
batu Combong-
mu...! Aku ingin memakainya!
Sudah lebih dari
sepuluh tahun aku tak pernah
mengenakan cin-
cin warisan guruku ini!"
Seraya berkata lengan
sang guru bergerak menjelari
dadanya yang bi-
dang dan mempermainkan bulu-bulu
dadanya.
Raka Rumpit cuma tersenyum
mengangguk
dan segera copotkan cincinnya
untuk berikan
benda itu. Sang guru julurkan
jari-jari lengannya
dan segera saja sang murid
memasukkannya ke
jari lengan sang guru.
Sinar biru yang membersit dari
cincin aneh
itu ternyata telah menimbulkan
hawa rangsangan
hebat padanya. Kalau dulu adalah
wanita yang
tergila-gila pada Raka Rumpit,
namun kini dia
sendirilah yang di mabuk asmara.
Tiba-tiba dari dalam ruangan
kamar di dalam
goa itu, terdengar suara
teriakan tertahan, seperti
suara yang tersangkut di
tenggorokan.
"Aaaaakh...! Aaaarkkh...!
Hek! Ahh...! uuh.!"
BLAG..!
BUKK!BRRAKKK...!
"Huaaaaakh...! Terdengar
suara-suara berge-
dubrakan setelah terdengar
sebelumnya suara ke-
luhan dan pekik kesakitan tersendat di kerong-
kongan. Terakhir adalah
suara teriakan Raka
Rumpit. Apakah yang terjadi di
ruangan kamar
dalam goa itu? Kiranya satu
pergumulan tengah
terjadi. Sekonyong-konyong Raka
Rumpit telah
mencekik leher gurunya sendiri.
Meronta-ronta
sang guru dengan berteriak
julurkan lidah. Len-
gan sang murid itu dengan ganas
telah menceng-
keram lehernya.
***
DUA BELAS
TERENGAH-ENGAH sang guru
memperta-
hankan nyawanya dari cekikan
maut lengan si
murid. Akhirnya satu hantaman
lengan sang guru
telah berhasil membuat terlempar
anak muda itu.
Tubuhnya membentur dinding goa,
yang segera
ambrol dengan suara
bergedubrakan.
"Ka... kau... kau... bocah
edan!" Teriak si wa-
nita jelmaan si nenek bongkok.
Tubuhnya bangkit
dari pembaringan dengan
terhuyung. Sebelah
lengannya mencekal lehernya yang
mengucurkan
darah.
"Kubunuh kau... bocah
gendeng! Kau... kau
mau membunuh dirimu
sendiri?" Akan tetapi ti-
ba-tiba Raka Rumpit telah
tertawa bergelak, se-
raya bangkit berdiri.
"Hahaha... haha... kau
memang harus kule-
nyapkan, guru! Aku tak
memerlukan kau lagi!"
Tiba-tiba wajah Raka Rumpit
telah berubah jadi
bengis. Dan ...
sekonyong-konyong tubuhnya be-
rubah jadi segumpal asap hitam.
Dan segera saja
menjelma menjadi makhluk hitam
berbulu. Ber-
mata besar, lidah terjulur dan
mulut menyeringai
menampakkan giginya yang
runcing-runcing.
"Edan...!" Memaki sang
guru, dan dengan
bentakan menggeledek dia telah
melompat mener-
jang makhluk itu. Sedangkan
makhluk berbulu
itu pun sudah menerjang dengan
suara mengge-
ram menyeramkan. Sekejap saja
terjadilah per-
gumulan seru. Tubuh sang guru
yang dalam kea-
daan membugil itu seketika
hampir lenyap dalam
pelukan ketat si makhluk
berbulu. Hantaman-
hantaman lengannya seperti tak
dirasakan mak-
hluk itu. Hingga saat berikutnya
pergumulan di-
lakukan dengan bergulingan.
Sementara darah
terus mengalir dari leher si
wanita jelmaan si ne-
nek bongkok itu yang terluka
bekas cekikan. Se-
lang sesaat terdengar lagi suara
jeritan menyayat
hati. Taring-taring si makhluk
berbulu itu telah
membenam lagi di lehernya.
Bergelinjangan tubuh
polos itu menghentak-hentak.
Sepasang kakinya
terpentang menjejak ke sana ke
mari. Namun te-
riakannya semakin melirih. Dan
gelinjangannya
semakin melemah. Akhirnya
terkulai... tak berte-
naga lagi. Ketika makhluk
berbulu itu mele-
paskan cengkeraman
taring-taringnya, darah se-
perti membasuh wajahnya. Dengan
kakinya si
makhluk itu balikkan tubuh si
wanita gurunya,
yang ternyata telah tewas.
Makhluk berbulu itu tampakkan
suara meng-
geram senang, lalu berubah
menjadi suara gelak
terbahak. Dan beberapa kejap
antaranya mak-
hluk berbulu itu pun kembali
berubah menjadi
Raka Rumpit.
"Hahaha... hahaha...
haha... Kini aku bebas!
Tak ada yang harus kuturuti
perintahnya! Dan
aku bebas bergerak ke mana aku
suka! Hahaha...
terima kasih, guru atas warisan
ilmu hitammu!
Semoga kau tenang di alam
baka!"
Selesai berkata, Raka Rumpit
menghampiri
tubuh gurunya, dan segera
membungkuk untuk
mencopot kembali cincin batu
Combong itu dari
jari tangan sang guru. Tak lama
dia sudah kena-
kan lagi di jari tangannya.
Setelah kenakan pa-
kaiannya beberapa saat antaranya
Raka Rumpit
sudah beranjak keluar dari dalam
kamar ruangan
goa yang sudah berantakan itu. Sejenak Raka
Rumpit memandang ke ruangan goa
itu. Tiba-tiba
sepasang lengannya bergerak
menghantam langit-
langit ruangan batu goa itu.
BRRUAAAS...!
BLAARRRR...! Sekejap saja
ruangan atas goa
itu sudah ambruk meruntuhkan batu-batu ba-
gaikan hujan, berdebukan jatuh
menguruk ruan-
gan kamar itu berikut tubuh
gurunya. Sedangkan
pemuda edan itu ternyata telah
melesat keluar
goa sebelum goa menjadi ambruk
tertutup batu-
batuan. Keadaan lereng tebing
itu kini sudah be-
rubah berantakan, karena hampir
sebagian melu-
ruk ke bawah, menimbun goa di
bawahnya.
Sedangkan Raka Rumpit saat itu
sudah ber-
kelebatan mendaki tebing, dan
sekejap kemudian
melesat lenyap meninggalkan
suara tertawa ber-
kakakan...
***
"Bocah siluman...?!"
Desis Roro dengan wajah
tegang. Tentu saja Roro
terkejut, karena beberapa
bulan berselang dia baru saja
menghadapi mak-
hluk kecil yang buas ini. Pada
waktu itu telah
muncul sebuah bayangan mirip
sekali dengan
guru Roro Centil yaitu si
Manusia Banci, yang di-
dahului dengan mengikiknya suara
tertawa tokoh
Rimba Hijau itu. Bayangan itu
mirip arwah saja
dan menghantam buyar ke empat
makhluk kecil
berkulit hitam itu yang berubah
jadi gumpalan
asap. Lalu melenyap sirna. (pada
waktu itu tubuh
si bocah siluman telah memecah
menjadi empat,
setelah tertabas tubuhnya
menjadi empat potong
oleh pedang Senapati Satryo).
Kini Roro Centil terkejut sekali
dengan bisa
muncul dan menjelma lagi si
bocah siluman itu.
Bahkan bersama seorang wanita
yang berkulit
putih bagaikan kapas. Kedua
makhluk itu meng-
hampiri Roro. Sementara ketiga
Perwira cuma bi-
sa menatap dengan terperangah
dan mata mem-
beliak. Akan tetapi pada saat
itu terdengar suara
ringkik kuda, dan derap mendatangi.
Dan mun-
cullah Satryo. Laki-laki ini
hentikan kudanya
dengan cepat, lalu melompat
turun.
"Nona Pendekar Roro Centil!
Anda berada di
sini..?". Teriak laki-laki
itu. Roro tersenyum se-
raya mengangguk cepat, dan
berkata;
"Bagus! Kau bantulah aku
menumpas kedua
makhluk ini!"
"Dia bukan lagi manusia,
Satryo...!" Tiba-tiba
terdengar suara lirih disusul
dengan berkelebat-
nya sebuah bayangan putih. Dan
di tempat itu te-
lah berdiri seorang tua
berjenggot dan berkumis
panjang terjuntai. Ternyata tak
lain dari Resi
Jenggala Manik.
"Resi Guru...!" Teriak
Satryo dengan wajah gi-
rang. Satryo sudah mau beranjak
melompat ke
arahnya. Akan tetapi sang Resi
mengangkat sebe-
lah lengannya.
"Sudahlah, Satryo! Tak usah
banyak perada-
tan! Kita hadapi kedua makhluk
siluman ini!" Se-
lesai berkata, laki-laki tua
berjubah putih ini pe-
jamkan sepasang matanya.
Bibirnya berkemak-
kemik seperti membaca do'a pada
Yang Maha Ku-
asa. Sekejap kemudian tampak
tubuh sang Resi
bergoncangan. Kedua lengannya,
yang menyilang
di depan dada itu tiba-tiba
bergerak terbuka. Se-
pasang matanya menatap pada
kedua makhluk
itu. Kedua makhluk itu tampak
mundur beberapa
langkah, seperti tak kuat
menahan tatapan mata
sang Resi. Sementara itu Roro
Centil sudah tak
sabar, dan perintahkan si Tutul
yang barusan
melenyap untuk menerjang kedua
makhluk silu-
man itu. Segera segumpal asap
hitam meluncur
ke arah si bocah siluman dengan
suara mengge-
ram dahsyat. Dan selanjutnya
yang terlihat ada-
lah tubuh anak hitam itu jatuh
bergulingan, tapi
tubuhnya seperti tak menyentuh
tanah. Tak lama
segera ujud sang Harimau Tutul
pun terlihat. Dan
tengah menerkam ganas dengan
kuku dan ta-
ringnya.
Sementara tengah terjadi
pergumulan seru itu
antara sama-sama makhluk
siluman, Durgandini
yang telah menjadi makhluk halus
itu tiba-tiba
menerjang Satryo... Terkejut
laki-laki ini yang se-
gera menghindar melompat ke
samping. Resi
Jenggala Manik telah berkelebat
dari tempatnya.
Bibirnya telah membacakan MANTERA
SUCI. Ke-
dua lengan sang Resi menghantam
ke arah mak-
hluk wanita bekas permaisuri
Raja Matsyapati itu, seraya
berucap.
"Maaf, Durgandini!
Kembalilah kau ke "Alam"
mu! Tak layak lagi kau muncul di
alam fana!".
Terdengarlah suara meletup dahsyat.
BHUSSSSS...!
Dan tubuh Durgandini lenyap jadi
gumpalan
asap, yang kemudian sirna.
Sementara itu perta-
rungan sang Harimau Tutul dengan
si bocah si-
luman masih berlangsung seru.
Namun tak bera-
pa lama kepala si anak hitam itu
sudah lenyap
menjadi asap ketika sang Harimau
Tutul berhasil
membuka mulutnya, dan merencah
kepala mak-
hluk kecil itu. Selang sesaat
seluruh tubuh si bo-
cah siluman itupun sudah
melenyap menjadi
asap, lalu sirna tanpa bekas.
Sang Harimau Tutul perdengarkan
suara au-
mannya, lalu melompat kembali ke
arah Roro
Centil. Kemudian melenyapkan
diri. Satryo yang
melihat kejadian itu cuma
tertegun dengan mulut
ternganga, sedangkan ketiga
Perwira Mataram se-
dari tadi cuma bisa menyaksikan
pertarungan
semacam itu.
Tiba-tiba pada saat itu juga
cuaca berubah
gelap. Angin keras membersit
bersiutan dan di
angkasa terlihat kilatan-kilatan
petir yang kemu-
dian terdengar suaranya yang
menggelegar.
Terperangah semua orang yang
berada di si-
tu. Akan tetapi Resi Jenggala
Manik tetap tenang.
Dia mengangkat kedua belah tangannya, teren-
tang ke arah langit. Bibirnya
komat-kamit mem-
baca do'a.
THARRRRRR...! Satu kilatan petir
menyambar
tubuh Mahesani yang sudah hangus
terkapar di
tanah. Tubuh wanita itu lenyap
jadi gumpalan
asap putih. Dan
sekonyong-konyong menjelma
menjadi kepala Tri Agni, si
manusia palasik. Ke-
pala tanpa tubuh yang berambut
putih beriapan
itu membumbung naik ke atas,
dengan perden-
garkan suara tangisan pilu
menyeramkan. Tiba-
tiba segumpalan asap hitam
bergerak memutar di
atasnya. Lalu meluncur turun
menyambar kepala
wanita setan itu. Dan dibawahnya
naik lagi ke
atas. Gumpalan asap hitam itu
semakin mem-
bumbung terus ke atas, diterangi
cahaya kilatan
petir yang berkredepan.
Sementara angin keras
terus membersit tak kunjung
henti.
Sekejap antaranya asap hitam
itupun mele-
nyap. Angin yang meniup keraspun
mulai terhen-
ti, kembali sepoi-sepoi. Dan
cuaca lambat laut be-
rubah kembali menjadi terang-benderang. Mata-
hari yang sudah menggelincir ke
arah barat kem-
bali tampakkan sinarnya. Mereka
segera dapat
melihat kembali satu sama lain.
Terlihat sang Re-
si sudah menurunkan lengannya,
dan mengu-
sapkan ke wajahnya tiga kali.
Terdengar kemu-
dian suara menghela napas laki-laki
pertapa itu.
"Hm, sukurlah bahaya bagi
umat manusia telah
bisa teratasi. Mudah-mudahan
makhluk siluman
itu takkan kembali lagi mengacau
di dunia!" Ber-
kata sang Resi dengan suara
lirih. Semua yang
berada di situ menarik napas
lega. Sementara itu
ketiga Perwira Kerajaan Mataram
sudah melom-
pat ke depan mereka. Lalu
menjura pada sang
Resi dan Roro Centil. Juga pada
Satryo. Seraya
salah seorang berucap:
"Terima kasih atas usaha
kalian semua mem-
bantu kami melenyapkan kerusuhan
yang telah
mengganggu wilayah Kerajaan
Mataram ini! Jasa
dan bantuan kalian yang amat tak
ternilai ini
akan kami sampaikan pada baginda
Raja Mata-
ram!" Dan belum lagi sang
Resi atau Roro dan Sa-
tryo menyahut, ketiga Perwira
Kerajaan Majapahit
itu sudah balikkan tubuh, untuk
segera beranjak
ke arah mayat Ki Meranggi bekas
Tumenggung
Kerajaan Matsyapati yang sudah
punah itu. Den-
gan menggotongnya bertiga,
segera beranjak pergi
tinggalkan tempat itu. Tak lama
sudah terdengar
suara ringkik kuda, dan derapnya
yang semakin
menjauh. Dan cuma menampak
punggung-
punggung ketiga Perwira Kerajaan
itu yang men-
gendarai kudanya tinggalkan itu.
***
Tak dikisahkan perpisahan ketiga
tokoh itu.
Namun sekitar tempat pertarungan
tadi sudah
bersih dari
mayat-mayat. Cuma tinggalkan sisa-
sisa percikan darah di
rerumputan.
Ketika matahari mulai membenam
di lereng
gunung, tampak sesosok tubuh
melangkah perla-
han meniti lereng bukit. Baju
sutera warna hi-
tamnya masih terlihat gemerlapan
terkena cahaya
layung warna merah. Dialah Roro
Centil sang
Pendekar Wanita Pantai Selatan,
yang sudah me-
nyelesaikan tugasnya sebagai
Pendekar Penegak
Keadilan. Entah pengalaman apa
lagi yang akan
dihadapinya di hari mendatang
Kita serahkan sa-
ja pada Pengarangnya. O. K.
TAMAT
Abu keisel
convert txt :
http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon