Itulah kisah pertemuannya dengan
Ki Rek-
sa Permana, Si Pendekar Pedang
Sakti Bermata
Delapan yang kini telah tiada.
Tampak si gadis
Pendekar itu menghela napas.
Terasa trenyuh ha-
tinya, mengingat akan kisah
hidup Pendekar Tua
itu, yang akhirnya menemui
kematian dengan ca-
ra yang amat mengenaskan.
Perjalanan yang ditu-
junya adalah mencari tempat
tinggal Ki Reksa
Permana, yang seperti telah
diceritakan oleh al-
marhum, ia mempunyai seorang
puteri hampir
sebaya dengannya, bernama
Sumirah. Walaupun
sang Pendekar Tua itu tak
meninggalkan pesan
disaat kematiannya, Roro
bermaksud mencari ta-
hu tentang Sumirah itu, apakah
ia berada disana,
ataukah juga telah tewas. Karena
memang dida-
pati ada seorang wanita yang
juga tewas dengan
keadaan yang mengerikan. Namun
wanita itu ti-
daklah dapat dikatakan masih
sebayanya. Dan
tentu saja untuk memberikan
pedang Pusaka Ki
Reksa Permana itu pada si gadis,
sebagai pewaris
pusaka orang tuanya...
Bulan sepotong yang seperti
menempel di-
langit itu masih tetap seperti
tadi, ketika si Pen-
dekar Wanita Pantai Selatan
mulai gunakan ilmu
larinya mencari jalan, untuk
dapat menjumpai
sebuah desa. Seeker kelelawar
tampak terkejut di
sebuah pohon rimbun, dan
mengepakkan sayap-
nya untuk terbang menjauh,
tatkala Roro berlalu
dibawahnya...
Padepokan Cemara Kandang yang
cuma
tinggal dua belas orang itu, tampak berkumpul
disatu ruangan. Masih terdengar
suara orang ber-
cakap-cakap dengan perlahan.
Namun kesemua-
nya tampaknya dilanda
kegelisahan.
"Tak ada seorangpun dari
murid utama
yang kembali pulang... Apakah
mereka telah da-
pat membekuk si makhluk Cebol
itu, ataukah te-
lah tewas..?" Berkata salah
seorang dengan suara
berdesis perlahan. Salah seorang
yang paling ter-
tua menyahuti.
txt oleh
http://www.mardias.mywapblog.com
"Yah, kita hanya dapat
berdo'a saja akan
keselamatannya. Kasihan
Jatmiko... anak dan is-
trinya jadi korban si makhluk
biadab itu. Aku
berkeyakinan, mereka pasti telah
tewas. Kare-
na..." Tampaknya si murid
tertua itu tak tega un-
tuk menceritakannya. Dan
sekonyong-konyong
rasa takut menghantuinya.
"Hm... Sudahlah, jangan
fikirkan yang su-
dah terjadi. Sebaiknya kita
tunggu saja kedatan-
gan Guru kita, atau Jeng
Sumirah... yang tengah
melacak kemana perginya si
makhluk keji itu."
Dan semua pun terdiam. Suasana
kembali men-
cekam, membuat kedua belas
pemuda yang ber-
kumpul satu ruangan itu saling
berdesak dengan
wajah yang gelisah.
"Sampurasuuuun..!"
Terdengar suara
memberi salam diluar.
"Rampeees..!" Hampir
berbareng kedua be-
las sisa murid di Padepokan itu
menyahuti salam
itu. Salah seorang sudah berkata
pada kawannya:
"Siapa? Jeng Sumirah
kah..?"
"Entahlah! Tak biasanya
Jeng Sumirah
mengucapkan salam
demikian..!" Menyahuti ka-
wannya.
Sementara beberapa orang sudah
segera
membukakan pintu ruangan, dengan
hati was-
was. Segera terlihat sesosok
tubuh yang telah
berdiri di depan Padepokan.
Sinar cahaya bulan
dan terangnya cahaya lampu yang
menyorot ke-
luar dari dalam ruangan itu,
segera dapat melihat
siapa adanya yang datang.
"Siapa gadis ini..?"
Salah seorang cepat
berbisik pada kawannya.
"Ssst. Diamlah..!"
Menyahuti sang kawan
yang bertubuh agak jangkung.
Lalu dengan sege-
ra menghampiri si wanita itu,
yang tak lain dari
Roro Centil. Tanpa menunggu
pertanyaan Orang,
Roro segera berucap :
"Maaf... Boleh aku tahu,
apakah disini
tempat tinggal Ki Reksa
Permana?" Terkejut si
jangkung dan juga beberapa
kawannya karena
sang tetamu ternyata mengenai
nama Guru me-
reka. Si murid tertua yang juga
turut keluar, se-
gera menjawab pertanyaan itu...
"Benar, nona..! Padepokan
Cemara Kan-
dang ini adalah tempat tinggal
beliau. Dan Ki
Reksa Permana adalah Guru kami.
Siapakah no-
na..? Bolehkah hamba tahu, dan
ada keperluan
apakah anda datang
kemari..." Jawaban si murid
tertua dibarengi dengan
pertanyaan pula, dengan
menatap wajah sang tamu
tajam-tajam, seperti
tengah menegasi wajah orang.
"Aku ada membawa berita
tentang Guru
kalian. Dan selain itu juga
untuk menyampaikan
benda ini pada puterinya yang
bernama Sumi-
rah..!" Berkata Roro Centil
sambil menunjukkan
pedang tipis Ki Reksa Permana.
Terkejutlah me-
reka seketika. Dan serta merta mempersilahkan
Roro untuk masuk. Sementara
beberapa orang
murid segera berdesakan untuk
mengetahui beri-
ta itu, juga ingin melihat siapa
adanya si gadis
cantik yang datang itu.
Demikianlah, Roro Centil
segera perkenalkan dirinya. Dan
menceritakan
kejadian yang telah dijumpainya.
Setelah sebe-
lumnya menceritakan
perjalanannya hingga sam-
pai dapat menjumpai Padepokan
Cemara Kan-
dang...
5
TAK ada peristiwa lain yang amat
menye-
dihkan selain
kesedihan mendengar berita ten-
tang tewasnya Guru mereka yang
amat mereka
cintai. Adapun mengenai Sumirah,
puteri sang
Guru almarhum mereka sendiri tak
dapat mem-
berikan keterangan. Karena
menurut dugaan,
pasti puteri sang Guru mereka
itu telah menyusul
ayahnya mencari jejak si makhluk
Cebol itu. Da-
lam suasana haru itu, Roro
Centil termenung...
Yang akhirnya terdengar menghela
napas. Ia juga
turut berduka cita dengan tewasnya Ki Reksa
Permana. Namun sebagai seorang
tetamu, juga
seorang Pendekar yang telah
kebal dengan pende-
ritaan, Roro tak menampakkan
kedukaannya.
Bahkan memberi semangat pada
murid-murid
mendiang Ki Reksa Permana agar
tetap tabah
menghadapi cobaan berat yang
telah menimpa
mereka. Karena bukan mereka saja
yang menga-
lami kesedihan. Penduduk desa
dan masyarakat
juga telah banyak yang mengalami
musibah besar
semacam itu. Kehilangan anak dan
istri, serta
lain-lain musibah, sejak
kemunculan makhluk
Cebol gentayangan itu... Bahkan
semua ini ada-
lah tanggung jawab mereka semua,
yaitu para
pendekar penegak hukum, pembela
si tertindas,
penolong yang lemah, dari segala
macam kekejian
yang berada diatas permukaan
bumi ini untuk
menumpasnya.
Namun sebagai orang yang telah
cukup ju-
ga dengan pengalaman, Roro
Centil dapat mema-
hami akan sia-sianya pengorbanan
mereka. Kare-
na telah dapat diduganya si
makhluk Cebol itu
berkepandaian amat tinggi dan
telengas. Hingga
dengan segala senang hati Roro
Centil menerima
usul mereka untuk menetap dulu
selama bebera-
pa hari di Padepokan itu. Sambil
mencari kabar
mengenai berita dimana adanya
Sumirah, juga
mencari tahu jejak si manusia
iblis penyebar
maut itu.
Berdiamnya Roro Centil di
Padepokan itu
ternyata membuat murid-murid
mendiang Ki
Reksa Permana tampak timbul lagi
semangatnya.
Apalagi mengetahui Roro Centil
adalah seorang
tokoh yang pernah diceritakan
kehebatan ilmunya
oleh mendiang Gurunya pada
mereka.
Berita yang mengejutkan terjadi
di sekitar
desa. Tampaknya seperti
tenang-tenang saja. Ka-
bar tentang Sumirah yang telah dilacak
ke perba-
gai desa oleh murid-murid
mendiang si Pendekar
Tua itu tak membawa hasil.
Sumirah lenyap tak
berbekas. Roro Centil tak dapat
berdiam lebih la-
ma... Akhirnya iapun mohon diri
untuk mening-
galkan Padepokan Cemara Kandang, dengan tu-
juan mencari jejak Sumirah. Demi
rasa tanggung
jawabnya, dan rasa simpati
sebagai sesama pen-
dekar.
Demikianlah... Dengan hati
berat, kedua
belas murid Ki Reksa Permana itu
melepas keper-
giannya. Bahkan ada diantara
mereka yang ber-
sedia ikut bersama mencari jejak
puteri Gurunya
itu. Namun dengan halus Roro
Centil mengu-
capkan terima kasih. Dan
menyuruh mereka te-
tap berada didesa. Menjaga dari
segala hal atau
kemungkinan yang bisa saja
terjadi kericuhan.
Walaupun bukan perbuatan si
makhluk Cebol itu.
6
RORO CENTIL langkahkan kakinya
untuk
segera meninggalkan Padepokan
Cemara Kan-
dang... Dan sesaat kemudian
telah berkelebat le-
nyap dari pandangan kedua belas
murid-murid
mendiang Ki Reksa Permana. Yang
jadi ternganga
kagum. Matahari pagi itu
bersinar cerah... Dere-
tan awan-awan putih bagaikan
kapas terlihat di-
ujung cakrawala. Semilir angin
bersyiur lembut
dari arah utara terasa membuat
tubuh menjadi
sejuk. Namun tidaklah membuat
sejuknya hati
Roro Centil, yang entah mengapa
amat mengkha-
watirkan nasib Sumirah.
Beruntung Roro telah
dapat mengetahui akan
tanda-tanda dan raut wa-
jah si gadis yang tengah
dicarinya itu, dari penje-
lasan yang ia dapati. Sehingga
ia akan dapat
mengenali seandainya dapat
menjumpainya.
Roro Centil telah tiba pada
sebuah tempat
yang berpemandangan indah.
Bunga-bungaan
disekitar situ terawat dengan
rapi... Hampir dis-
etiap tempat terdapat rumpun
bambu kuning,
yang berkelompok-kelompok yang
juga terawat
dengan baik. Beberapa kolam
kecil berair jernih
terdapat juga disekitar tempat
itu.
Tempat apakah ini..? Seperti
sebuah taman
saja layaknya..! Berfikir Roro.
Sementara kakinya
terus melangkah melalui jalan
kecil yang mengeli-
lingi taman berpagar bambu
kuning yang tampak
semakin rapat dibagian depan.
Tiba-tiba dikejau-
han terdengar suara orang
bercakap-cakap. Roro
kerutkan alisnya, dan cepat
menyelinap ke balik
semak disebelah kiri jalan.
Sementara sepasang
matanya menatap ke ujung jalan.
Tak berapa la-
ma segera terlihat siapa yang
tengah bercakap-
cakap itu. Yaitu seorang wanita setengah tua,
dengan dandanan yang amat
menyolok. Wajahnya
masih boleh dikatakan cukup
cantik. Tiga untai
kalung mutiara tergantung pada
lehernya. Wanita
ini berkulit putih. Memakai
sanggul diatas kepala,
dengan tusuk konde emas terselip
pada sanggul-
nya. Sedangkan lawannya
bercakap-cakap adalah
seorang laki-laki yang agak
bungkuk. Kepalanya
agak besar, yang mengenakan ikat
kepala bersu-
lam benang emas. Berbaju dan
celana yang ber-
warna hitam, yang juga tersulam
dengan benang
emas. Kain sarungnya terbuat
dari sutera yang
indah berwarna biru langit.
Mengenakan ikat
pinggang yang besar. Laki-laki
yang agak bung-
kuk ini membawa sebuah pipa
cangklong yang
panjang, terbuat dari gading.
Bergagang perak,
yang tampak berkilat.
Sebentar-sebentar ia
menghisap pipanya, dan
menghembuskan asap
tembakau dari mulutnya. Usianya
sekitar lima
puluhan tahun. Dapat dipastikan
orang ini ada-
lah seorang bangsawan atau
hartawan.
"Apakah kau sudah yakin aku
akan panuju
dengan orang barumu itu..?"
Terdengar suara bi-
caranya dengan nada angkuh.
Wanita setengah
tua disebelahnya tampak
tersenyum sambil lirik-
kan matanya yang agak genit.
"Aku tak tahu pasti, tapi
menurutku kau
tak akan kecewa..!" Berkata
si wanita itu. Tampak
si bangsawan bungkuk itu hisap
pipa cangklong-
nya dalam-dalam, dan hembuskan
asap tebal dari
mulut dan hidungnya ke udara.
"He he he... walaupun sudah
tua begini,
aku Raden Mas Guntoro sudah
banyak pengala-
man, tak akan dapat kau dustai
untuk yang ke-
dua kalinya...!" Kata-kata
itu membuat si wanita
jadi tersenyum masam, namun
segera terdengar
suara tertawanya yang disambung
dengan kata-
kata :
"Hi hi hi... Yang sudah
lalu itu pasti tak
akan terulang lagi,
Ndoro..!" Tampak si wanita itu
sengaja menyanjungnya dengan
kata-kata seperti
seorang abdi pada majikannya.
Dan selanjutnya
yang terdengar adalah suara
cekikikan dan terta-
wa terkekeh, kekeh dari
keduanya. Tiba-tiba si
bungkuk bercangklong itu
hentikan suara terta-
wanya. Sebelah lengannya
sekonyong-konyong
bergerak ke arah semak disebelah
kirinya, seraya
membentak :
"Siapa disitu..!" Dan
serangkum angin ke-
ras menyambar ke semak-semak,
membuat daun-
daun semak itu buyar dan
beberapa batangnya
rebah. Roro Centil telah melesat
dari tempat per-
sembunyiannya. Ia heran juga,
yang si orang
bungkuk itu mengetahui adanya ia
disitu. Namun
akhirnya Roro dapat mengetahui,
yaitu sinar pe-
dang tipis yang cahayanya
terpantul kena sorotan
Matahari itulah yang menyebabkan
orang menge-
tahui tempat persembunyiannya.
Baru saja ia
menjejakkan kakinya ke tanah,
sudah terdengar
lagi bentakan keras. Dan
berkelebatannya seso-
sok bayangan, yang tak lain dari
si wanita genit
itu.
"Kuntilanak..! Apa yang kau
kerjakan di-
tempat ini..!" Sebentar
saja Roro telah lihat si wa-
nita itu berada dihadapannya.
Sepasang matanya
menatap tajam padanya. Sementara
kedua len-
gannya bertolak pinggang. Si
orang bungkuk ber-
cangklong panjang itupun telah
melompat ke
tempat itu. Tapi, tiba-tiba
wajahnya jadi berubah
menyeringai...
"He he he... Kalau macam
begini sih ra-
sanya aku amat penuju sekali.
Eh, Walet Kenca-
na! Apakah kaupun tidak
mengenalnya..?" Ber-
tanya si bungkuk itu, sementara
sepasang ma-
tanya telah merayapi setiap
lekuk tubuh Roro dari
kepala sampai kekaki. "Aku
sih tidak kenal, tapi
mungkin salah seorang muridku
mengenalnya..!"
Selesai berkata tiba-tiba ia
telah masukkan dua
jarinya kebawah lidah. Dan
terdengarlah suara
suitan panjang keluar dari
mulutnya. Selang be-
berapa saat terdengar suara
gaduh dari beberapa
orang wanita. Dan selanjutnya
telah muncul lima
orang murid wanita yang segera
menjura hormat
pada si wanita yang dijuluki si
Walet Kencana.
Adapun Roro Centil begitu
mendengar nama Wa-
let Kencana itu, segera teringat
akan si wanita
pembegal yang telah kena
dipecundangi. Dan di-
telanjangi bulat-bulat untuk
diumpankan pada
ratusan semut rangrang beberapa
bulan yang la-
lu. Wanita pembegal itu bernama
julukan si Elang
Alap-alap, yang menyebut-nyebut
nama Walet
Kencana sebagai gurunya.
"Eh, murid-muridku..!
Apakah salah seo-
rang dari kalian mengenal
perempuan di hada-
panku ini.. ?" Salah
seorang dari mereka ternyata
ada yang telah menatap amat
tajam dari balik ca-
dar tipis yang dikenakannya.
Wajahnya tampak
terpulas dengan bedak tebal.
Namun tetap saja
bekas luka-luka gigitan semut
rangrang pada wa-
jah dan seluruh tubuhnya masih
menampakkan
bintik-bintik kecil yang
menghitam. Ia sudah lan-
tas berkata :
"Guru..! Kalau guru dapat
memaklumi ke-
bodohanku, kuntilanak inilah
yang telah mengga-
galkan pekerjaanku. Dan telah
menyiksaku den-
gan perbuatan kejinya..."
Tampak sang Guru alias
si Walet Kencana itu cuma
tersenyum.
"Hm, tak usah kau berkecil
hati. Kalau kau
ingin balas menyiksanya, baiklah
akan kutang-
kapkan ia dihadapanmu. Namun
sebelumnya kau
harus mengalah dulu pada paman
Guntoro Kecut
ini. Setujukah...?" Si
wanita bercadar itu men-
gangguk. Roro segera dapat
mengenalinya kalau
wanita itu tak lain dari si
Elang Alap-alap.
"Kau pernah ceritakan
padaku kalau si Wa-
let Kencana, ialah aku telah
dihina sedemikian
rupa oleh budak ini yang
mengatakan aku akan
tunduk bersujud dihadapannya.
Nah, gadis can-
tik, cobalah kau perbuat aku
untuk tunduk pa-
damu..!" Sambil berkata ia
kembali palingkan wa-
jah pada Roro Centil. Tiba-tiba
berkelebat sesosok
tubuh berbaju kuning ke tempat
itu, yang sudah
lantas berkata santar :
"Kakak..! Bolehkah aku
bicara sebentar
dengan si Pendekar wanita
ini..?" Si wanita seten-
gah tua itu sudah palingkan
kepalanya pada si
pendatang. Namun ia hanya
perdengarkan den-
gusan hidungnya.
"Ken Wangi..! Jangan kau
mencampuri
urusanku. Sudah kukatakan hitam
tetaplah hi-
tam. Aku tak mau lihat mukamu
lagi, walau kau
adalah adikku sendiri!"
Semua mata jadi beralih
menatap pada wanita berbaju
kuning itu. Namun
si wanita baju kuning itu
tersenyum sinis, dan
dengan monyongkan mulutnya ia
menyahuti.
"Huh! Siapa yang sudi akui
kau kakak kandung-
ku lagi.. ? Namun perbuatanmu
semakin brutal
tetap akan kutentang. Kalau
tidak, akan habislah
gadis-gadis suci yang
cantik-cantik kau umpan-
kan pada para hidung belang
macam si Raden
Mas Guntoro Kecut itu.."
Tampak wajah si Walet
Kencana berubah merah padam.
Tiba-tiba ia pa-
lingkan kepala pada kelima
muridnya.
"Murid-muridku..! Segeralah
kau usir dia
dari tempat ini. Atau kalau
perlu kau bunuh
mampus!" Mendengar perintah
gurunya itu, sege-
ra kelima orang wanita itu
mengurungnya.
"Heh! Lima orang kuntilanak
kau suruh
menggempurku.. ?! Apakah tidak
sekalian kau
suruh keluar semua orang-orangmu
untuk mem-
bunuhku!" Berkata si wanita
berbaju kuning yang
bernama Ken Wangi itu. Namun
kata-katanya su-
dah segera terhenti, karena
dengan berbareng ke-
lima wanita itu telah menerjang
untuk mering-
kusnya. Sebentar saja di taman
itu telah terjadi
pertarungan seru. Suasana yang
tadi sunyi men-
dadak jadi ramai oleh suara
bentakan-bentakan
keras. Adapun Roro Centil segera
berkelebat men-
jauh. Ia tak mau jadi sasaran
pukulan dari mere-
ka, yang bertarung didekatnya.
"Tunggu..! Kau tak dapat
pergi dengan be-
gitu saja. Penghinaanmu terhadap
muridku, dan
meremehkan pada diriku, harus
kau pertanggung
jawabkan!" Membentak si
Walet Kencana, seraya
berkelebat mengejar ke arah
Roro.
"Aiiii..?! Siapa yang mau
melarikan diri..?
Bukankah kau ingin menangkapku
hidup-hidup,
untuk kau serahkan pada si tua
bangka bungkuk
itu. Nah, tangkaplah aku, siapa
tahu aku dapat
membuktikan kata-kataku membuat
kau bersu-
jud mencium kakiku. Hi hi
hi...." Berkata Roro
Centil dengan seenaknya. Saat
itu si Raden Mas
Guntoro Kecut sudah berlari
mendatangi.
"Walet Kencana! Awas,
jangan sampai kau
lukai tubuhnya... Aku pasti akan
membayar
mahal untuknya..! Teriak Raden
Mas Guntoro Ke-
cut, sambil menghisap pipa
cangklongnya. Si Wa-
let Kencana cuma tersenyum
jumawa seraya ber-
kata :
"Jangan khawatir Ndoro,
hamba pasti per-
sembahkan seutuhnya buat Ndoro
tanpa cacat
secuilpun..!" Namun sebelum
si wanita itu bertin-
dak lebih lanjut, Roro telah
berlalu ke arah si
Bangsawan bungkuk itu.
Langkahnya seperti
orang yang tak merasa khawatir
sedikitpun. Ten-
tu saja si orang bungkuk
bercangklong panjang
itu jadi ternganga, karena
gerakan langkah Roro
amat memikat hatinya. Memang
Roro Centil sen-
gaja berjalan dengan goyangkan
pinggul, yang
membuat orang jadi tercengang..
Apalagi bagi si
hidung belang macam Raden Mas
Guntoro Kecut.
Hal itu telah membuatnya amat
kagum, seraya
geleng-gelengkan kepala dan
leletkan lidah, den-
gan mata yang nyalang merayapi
indahnya tubuh
gadis dihadapannya.
"Kalau tak ingin membuat
tubuhku menja-
di lecet, sebaiknya tak usah kau
payah-payah un-
tuk menangkapku Walet Kencana.
Lebih bagus
biar Ndoro mu Raden Mas Guntoro
Kecut ini saja
yang menangkapku...!"
Mendengar kata-kata itu
tentu saja si bangsawan bungkuk
itu jadi terbe-
liak matanya, dan tiba-tiba
telah tertawa terke-
keh-kekeh hingga sampai
terbatuk-batuk.
"He he he., he he... Bagus!
Bagus! Bocah
ayu..! Mengapa tidak sedari tadi
kau katakan?
Tentunya aku tak akan keluar
biaya mahal untuk
menyuntingmu..!" Sambil
berkata tiba-tiba sepa-
sang lengannya telah memeluk
tubuh sang gadis
dihadapannya. Roro Centil yang
memang berwa-
tak aneh sukar diterka itu,
ternyata membiarkan
tubuhnya dipeluk orang. Bahkan
ia tersenyum
manja sambil menggelendot di
dada si bangsawan
tua itu. Adapun hal itu telah
membuat si Walet
Kencana jadi garuk-garuk kepala
tidak gatal. Dis-
amping rasa mendongkol, namun
juga aneh yang
amat luar biasa.
Apakah perempuan ini memang agak
tidak
waras..? Berfikir si Walet
Kencana. Belum lagi ia
banyak berfikir melihat sikap
orang yang aneh
itu, Roro Centil telah berkata
dengan suara ber-
nada memerintah :
"Walet Kencana, segera kau
suruh orang-
orangmu menyediakan kamar yang
bersih untuk
aku menginap beberapa malam
bersama Ndoro-
mu ini..." Tentu saja si
wanita setengah tua yang
menjadi majikan ditempat ini,
jadi melengak.
Orang luar dihadapannya telah
berani berkata
sedemikian enaknya. Seolah-olah
dialah majikan-
nya. Namun tetap saja ia
menyahuti, karena me-
mandang pada si orang Bangsawan
bungkuk itu
yang juga tengah menatap padanya.
"Kamar yang bersih sudah
selalu tersedia
setiap saat. Atau baiklah aku
periksa lagi akan
kebersihannya..!" Berkata
ia sambil segera mele-
sat lebih dulu ke arah depan.
Ketika sesaat ia
menoleh kebelakang, segera
terlihat Raden Mas
Guntoro Kecut telah memondong si
gadis cantik
yang aneh itu. Benar-benar ia
seperti tidak mem-
percayai penglihatannya.
Muridnya mengatakan
gadis itu adalah yang berjulukan
si Pendekar Wa-
nita Pantai Selatan. Dengan
telah berhasil menga-
lahkan si Elang Alap-alap dan dapat
menggagal-
kan pekerjaannya membegal barang
upeti yang
berharga, sudah dipastikan ia
berilmu tinggi. Wa-
laupun terasa aneh akan sikap
orang, namun te-
tap saja ia bercuriga pada Roro.
Hingga diam-
diam ia telah mengatur rencana
untuk dapat
membekuknya. Cuma saja ia harus
mengalah du-
lu pada tetamunya Raden Mas
Guntoro Kecut,
yang akan memberi pinjaman uang,
juga salah
seorang yang menjadi sumber
pemasukan yang
tidak kecil. Sebentar saja Roro
Centil sudah diba-
wa berlari dengan cepat, mengikuti
di belakang si
Walet Kencana.
Sebuah rumah gedung mungil
segera tam-
pak dibagian depan. Sedangkan
dibelakang ge-
dung itu ada terlihat juga satu
wuwungan yang
memanjang. Ternyata dikatakan
mungil, gedung
itu amat luas dibagian dalamnya.
Selang sesaat
Roro sudah berada didalam
ruangan gedung yang
amat bersih dan rapi itu. Temboknya berwarna
kuning, sedang bagian bawahnya
berlantai mar-
mer yang indah. Didepan pintu
ruangan wanita
itu tiba-tiba membalikkan
tubuhnya. Seraya me-
natap pada Roro yang masih
berada dalam pon-
dongan sang tamu.
"Hm, Aku agak sangsi dengan
sikapmu,
nona..! Sebaiknya agar tidak
menaruh kecuri-
gaanku, harap kau lepaskan
benda-benda yang
membelit dan tersangkut di
pinggangmu..!" Roro
kerutkan alisnya dan berfikir
sejenak, lalu sudah
lantas berkata, sambil menoleh
pada orang yang
memondongnya.
"Bagaimana pendapatmu,
sayang..? Aku
sih terserah padanya!"
Berkata Roro sambil pa-
lingkan wajah menatap lagi pada
si Walet Kenca-
na.
"He he he... Jangan
khawatir, apakah
orang macam aku, masih perlu kau
beri peringa-
tan? Siang-siang aku telah
menotoknya. Walau-
pun ia hanya pura-pura saja toh
sudah tak ber-
daya apa-apa..." Seraya
berkata ia telah lepaskan
pondongannya. Hingga tak ampun
lagi tubuh Ro-
ro Centil jatuh terlentang
diatas lantai. Masih un-
tung bagian atas tubuhnya tidak
dilepaskan,
hingga hanya kaki dan pantatnya
saja yang
menggasruk ke lantai. Tampak
Roro perlihatkan
wajah meringis. Namun sekejap
sudah berpindah
lagi dalam pondongan Raden Mas
Guntoro Kecut.
Melihat kenyataan didepan mata,
wajah si Walet
Kencana tampak perlihatkan wajah
berseri, se-
raya berucap :
"Hi hi hi... Bagus!
Silahkan kalian berse-
nang-senang. Aku akan
menyelesaikan urusanku
dengan adik keparatku dulu.
Ingat, jangan kau
coba-coba buka totokanmu, Raden
Mas Guntoro
Kecut...!" Dan setelah
berkata demikian, ia segera
melesat keluar gedung. Sementara
si Bangsawan
tua itu sudah pondong tubuh Roro
ke dalam ka-
mar. Namun saat berikutnya yang
terdengar ada-
lah suara keluhan Raden Mas
Guntoro Kecut.
Yang disusul dengan terdengar
suara tempat ti-
dur yang berderit, ketika tubuh
si bangsawan itu
jatuh ke pembaringan. Sementara
Roro Centil
berdiri di sisi pembaringan
tengah menatap laki-
laki bungkuk itu sambil
tersenyum.
"Kau..? Ka.. kau...."
Terdengar suara Raden
Mas Guntoro Kecut, tapi hanya
desisnya saja
yang keluar di tenggorokan.
Sedangkan sepasang
matanya menatap Roro dengan
melotot gusar, ju-
ga heran. Karena
sekonyong-konyong ia telah ra-
sakan tubuhnya jadi kaku.
Bukannya ia yang
lemparkan tubuh gadis itu diatas
kasur, bahkan
ia sendiri yang terlempar ke
atas pembaringan.
Itulah akibat ulah perbuatan
Roro Centil, yang te-
lah gerakkan tangannya untuk
menotok didalam
pondongan. Bukan saja menotok
tubuh orang, ju-
ga menotok urat suara si
bangsawan bungkuk
itu, hingga tak bisa
mengeluarkan suara. Dalam
keadaan kaku begitu, Roro sudah
segera merosot
dari pondongannya. Dan dorong
tubuh laki-laki
tua itu ke pembaringan. Mengapa
tiba-tiba Roro
dapat terlepas dari totokan si
Raden Mas Guntoro
Kecut itu? Kiranya sewaktu
berjalan dengan
goyangkan pinggulnya ke arah si
bangsawan tua
itu tadi, diam-diam Roro telah
salurkan tenaga
dalam ke seluruh tubuh untuk
menjaga dari be-
berapa kemungkinan yang tak
terduga. Sebagai
pewaris ilmu si Manusia Aneh
Pantai Selatan,
tentu saja Roro mewarisi
keanehan watak Gu-
runya. Bahkan Roro telah
bertambah lagi il-
munya, ketika ia berjumpa dengan
seorang laki-
laki bernama Joko Sangit. Yang
mengajarinya il-
mu mengeluarkan racun dengan
suara tertawa....
Demikianlah, disaat si bangsawan
bungkuk itu
menotoknya dengan diam-diam
melalui gerakan
tangan ketika memeluknya, Roro
Centil telah ter-
hindar dari pengaruh totokan...
Rupanya Roro
Centil telah berani menempuh
jalan lain yang cu-
kup berbahaya, dari pada
bertempur. Karena
dengan demikian ia bisa leluasa
bergerak untuk
menyelidiki dimana adanya
Sumirah. Seperti te-
lah didengarnya tadi dari si
wanita pendatang
bernama Ken Wangi, yang ternyata
adik kandung
si Walet Kencana sendiri... Sang
kakak ternyata
seorang Germo, yang boleh
dibilang penculik ga-
dis-gadis cantik. Yang tentu
saja untuk kepentin-
gan usahanya. Juga didengarnya
dari percakapan
si Walet Kencana dengan si
bangsawan tua, yang
menyinggung-nyinggung tentang
adanya seorang
gadis yang telah dipersiapkan
untuk di persem-
bahkan pada si bungkuk hidung
belang itu. Ma-
kanya Roro telah mengambil jalan
yang cukup
unik, namun dengan perhitungan yang
sudah di-
pikir masak masak.
Demikianlah dengan cepat ia
telah keluar
kembali dari kamar. Ruangan
tengah itu tampak
sunyi... Hingga tanpa mengalami
kesulitan ia ber-
hasil memasuki setiap ruangan
untuk mencari
dimana adanya si gadis Sumirah.
Dengan gerakan
cepat, namun dengan
sembunyi-sembunyi. Tanpa
ragu-ragu Roro membukai setiap
pintu yang ter-
tutup, dan melongok ke arah
kamar yang terbu-
ka. Akan tetapi pada salah
sebuah pintu kamar
yang tertutup, terdengar suara
laki-laki dan wani-
ta. Untung pintu tak terkunci.
Segera saja ia buka
pintu kamar dengan cepat, dan
melompat ke da-
lam. Tampak satu pemandangan
yang membuat
darahnya berdesir... Karena dua
orang manusia
berlainan jenis bagaikan dua
orang bayi yang ba-
ru dilahirkan dari perut ibunya,
saling berangku-
lan di pembaringan. Walaupun
pemandangan itu
membuat darahnya tersirap, namun
mengingat
waktu sangat sempit, Roro telah
berkelebat cepat
untuk segera menotoknya, hingga
kedua manusia
itu tak dapat berkutik lagi. Dan
serta-merta telah
perhatikan wajah si wanita.
Namun tampaknya ia
sudah melompat lagi keluar
kamar, dan tutupkan
pintu. Kembali ia berkelebat ke
lain ruangan. Pa-
da sebuah ruangan yang terbuka
ia dapat dengar
suara beberapa wanita... Segera
ia merandek un-
tuk mendengarkan.
"Cepatlah kau melarikan
diri...! Mumpung
belum terlambat..! Nyonya
majikanku tengah ber-
tarung dengan adik kandungnya,
bersama kelima
orang murid-muridnya....'"
Terdengar berkata sa-
lah seorang wanita.
"He...? Kau mau mati?
Pergilah kalau me-
mang sudah tak inginkan hidup!
Si Walet Kenca-
na tak akan membiarkan orang
bawahannya un-
tuk kabur begitu saja. Hmh,
rupanya diam-diam
kau mau jadi penghianat, ya!
Awas kau Laras..!
Akan aku adukan perbuatanmu pada
Ndoro Pu-
tri!" Ancam seorang wanita
yang suaranya terden-
gar agak santar.
"Huh, kau memang
keterlaluan Katrijah.
Aku hanya merasa kasihan padanya
kalau sam-
pai ia jadi korban bangsawan
hidung belang. Jadi
pemuas hawa nafsu manusia-manusia
yang su-
dah tak mengenal batas
kesusilaan..! Apakah tak
tersirat dihatimu untuk juga
lepaskan diri dari
tempat terkutuk ini..?"
Menyahuti lagi wanita
yang bernama Laras itu dengan
tak kalah sengit-
nya. Dan kata-katanya sudah
terdengar disam-
bung lagi...
"Apakah kalian semua juga
sudah betah
berdiam ditempat najis seperti
ini..?"
Tampak sejenak suasana jadi
hening. Ter-
dengar salah seorang menghela
napas, entah sia-
pa.
"Sebenarnya bukan kami tak
mau mening-
galkan tempat maksiat ini, tapi
kami takut untuk
melarikan diri. Kami takut
tertangkap lagi. Dan
akan besar akibatnya. Bukankah
pernah salah
seorang teman kita yang
coba-coba melarikan di-
ri, telah kau lihat sendiri
penyiksaan atas dirinya.
Yang akhirnya menemui
kematian..!" Kembali se-
mua terdiam, namun salah seorang
terdengar
berkata dengan suara lemah :
"Aku tak dapat tinggalkan
pembaringan-
ku... Tubuhku terasa lemah tak
bertenaga ...! Aku
memang lebih baik mati dari pada
berdiam di-
tempat celaka ini..!" Suara
itu dibarengi dengan
suara isak tersendat. Tersentak
seketika Roro
Centil. Segera ia sudah dapat
menebak siapa
adanya wanita itu... Dengan
segera ia sudah ge-
rakkan tubuh melompat masuk ke
dalam kamar.
Kemunculan Roro membuat beberapa
sosok tu-
buh melangkah mundur. Dan
beberapa pasang
mata-mata yang jeli menatap
tajam ke arahnya.
Roro sudah lantas berkata :
"Aku akan menolong kalian
semua keluar
dari neraka ini. Segera
bersiaplah untuk minggat
tinggalkan tempat celaka ini..!"
Dan kata-katanya
telah dibarengi dengan melangkah
cepat ke arah
seorang gadis yang terbaring di
pembaringan.
Yang juga tengah menatap
padanya.
"Apakah kau yang bernama
Sumirah..?
Bertanya Roro. Gadis ini segera
berusaha bangkit
untuk duduk. Tampak memang
tubuhnya lemah
sekali. Segera Roro ulurkan
tangan memban-
tunya. Bahkan dengan
gerakan-gerakan tangan-
nya ia telah mengurut di
beberapa tempat bagian
tubuh gadis itu. Tampak si gadis
tampilkan wajah
girang. Ia segera telah dapat
bangkit berdiri. Dan
dengan memandang kagum pada
orang dihada-
pannya, tanpa ragu-ragu ia telah
peluk tubuh Ro-
ro sambil linangkan air mata.
"Be., benar! Aku Sumirah..!
Siapakah ka-
kak..?" Bertanya ia sambil
lepaskan pelukannya.
Roro tampak menarik napas lega.
"Aku Roro Centil, sahabat
ayahmu Ki Rek-
sa Permana.." Tutur Roro
sambil tepuk-tepuk
pundak gadis itu dengan terharu.
"Oh... ?! Andakah Pendekar
Wanita Pantai
Selatan yang diceritakan ayahku
itu?" Sumirah
belalakkan sepasang matanya
dengan mulut
ternganga. Roro angguk-anggukkan
kepalanya.
Dan tiba-tiba ia telah loloskan
pedang tipis Ki
Reksa Permana dari pinggangnya,
serta berikan
benda itu pada si gadis.
"Cepatlah kau terima pedang
pusaka
ayahmu ini. Jangan banyak
bertanya..! Ayo, sege-
ra ikuti aku..!"
Selanjutnya ia telah tarik lengan si
gadis keluar dari kamar.
Sembilan wanita yang
berdesakan dikamar itu tanpa
dikomandokan lagi
turut mengikuti dibelakang. Cuma
salah seorang
yang bernama Katrijah itu
tiba-tiba hentikan tin-
dakannya. Ia agak ragu untuk
turut melarikan di-
ri. Namun salah seorang telah
menarik lengan-
nya, hingga terpaksa iapun
berlari menyusul yang
lainnya.
"Aku tahu pintu keluar yang
baik..!" Teriak
Laras. Yang segera mendahului ke
arah depan
Roro, yang tidak gunakan
gerakkan terlalu cepat,
karena harus menunggu
wanita-wanita lain dibe-
lakangnya. Dengan sebat Laras
sudah berlari un-
tuk menuju ke arah pintu
belakang. Dua orang
pembantu terperanjat melihat
orang-orang diha-
dapannya berlarian, hingga ia
berdiri dengan wa-
jah kebingungan.
"Sssst, Awas kau! Jangan
berani laporkan
kepergian kami..!" Laras
cepat tempelkan jari te-
lunjuk pada bibirnya, sambil
plototkan mata pada
kedua pembantu itu. Namun sekali
Roro berkele-
bat, kedua pembantu itu sudah
perdengarkan ke-
luhannya dan jatuh menggeloso,
tanpa bisa kelu-
arkan suara lagi. Kira-kira
sepeminum teh, sete-
lah rombongan wanita-wanita itu
melewati pintu
belakang gedung, suasana di
gedung itu kembali
sunyi. Kedua pembantu itu cuma
bisa gerakkan
kepalanya saling berpandangan.
Namun sama se-
kali ia tak dapat menggerakkan
tubuhnya. Apala-
gi bersuara. Karena Roro telah
menotok urat sua-
ranya.
Pertarungan antara si wanita
pendatang
bernama Ken Wangi itu dengan
kelima orang mu-
rid wanita, merangkap primadona
di gedung ber-
taman indah milik si Walet
Kencana itu, tampak
berjalan dengan seru. Suara
bentakan dan teria-
kan-teriakan terdengar santar,
diantara bera-
dunya senjata-senjata tajam.
Tiga wanita pergu-
nakan pedangnya untuk menusuk
dengan berba-
reng... Namun si wanita berbaju
kuning alias Ken
Wangi itu cuma mendengus, dan
putarkan tong-
katnya untuk menyampok mental
terjangan ke
arahnya. Dua wanita yang satu
gunakan sabuk
sutera untuk belitkan pada
tongkat Ken Wangi,
sedang satu lagi adalah si Elang
Alap-alap, yang
sudah gerakan tangannya
menyerang dengan pa-
ku-paku beracun, senjata rahasia
andalannya.
"Perempuan-perempuan
bejat..!" Teriak
Ken Wangi. Dengan tiba-tiba ia
telah sentakkan
tongkatnya dengan keras, hingga
tubuh si wanita
yang telah berhasil menggubat
tongkatnya itu me-
luncur ke arahnya. Hal yang
diluar dugaan itu te-
lah membuat si wanita bersabuk
sutera terkesiap,
terlebih-lebih si Elang
Alap-alap... Karena saat itu
telah meluncur tiga paku beracun
ke arah depan.
Namun sudah terlambat. Segera
saja terdengar je-
rit si wanita bersabuk sutera
itu yang roboh ter-
sungkur. Tampak tubuhnya
berkelojotan bagai
ayam baru disembelih. Namun
sekejap kemudian
telah terkulai tewas. Kiranya
tiga paku beracun
itu telah mengenai leher dan
punggungnya. Tiga
wanita berpedang melompat
mundur, seraya pa-
lingkan muka ke arah si Elang
Alap-alap.
"Kau...!?" Hampir
berbareng mereka berteriak
sambil plototkan mata pada si
Elang Alap-alap,
yang seketika wajahnya berubah
pias.
"Aku tak menyangkanya, akan
terjadi de-
mikian..!" Berkata si
wanita bercadar tipis itu
membela diri. Dan tiba-tiba ia
telah berkelebat ke
arah Ken Wangi untuk menempurnya
dengan ter-
jangan-terjangan kaki dan
tangannya. Pada saat
itulah muncul si Walet Kencana,
yang segera ke-
luarkan bentakan keras.
"Menyingkir semua..! Biar
aku yang meng-
hajar bocah kurang ajar
ini.,!" Serentak ketiga
wanita berpedang yang telah siap
untuk kembali
menempur itu, melompat ke
belakang begitu li-
hat, munculnya sang guru mereka.
Si Elang Alap-
alap pun segera melompat mundur.
Namun se-
saat sudah kembali melesat untuk
memondong
mayat saudara seperguruannya.
Dan dibawa me-
nyingkir ke sisi.
"Murid-murid kerocomu itu
baiknya kau
ajari memasak Walet Kencana..!
Mengapa hanya
kau ajari membunuh orang dan
melayani laki-laki
hidung belang saja...?"
Merah padam wajah si
Walet Kencana.
"Kuntilanak..! Hitam kataku
tetap hitam.
Kau sudah bunuh orangku, maka
tak salah jika
aku turunkan tangan keji
terhadapmu..!" Dan se-
kejap ia sudah lompat
menerjang... Kedua belah
tangannya telah bergerak
menghantam ke arah
Ken Wangi. Tersentak wanita itu,
yang segera
berkelebat menghindar, namun tak
urung samba-
ran angin panas itu telah
membuat kulitnya kena
terserempet.
Busss!
Tanah tempatnya berpijak muncrat
ber-
hamburan, dan tampak berubah
hitam, hangus.
Sementara sebelah lengan Ken
Wangi telah jadi
melepuh, akibat serempetan hawa
panas yang
menyambar dahsyat itu.
"Keparat! Arwah orang tua
kita pasti me-
nangis, bila dapat melihat
kekejianmu Walet Ken-
cana! Manusia sepertimu, sudah
tak mengenal la-
gi akan jalan yang benar. Kau
mau turunkan tan-
gan keji untuk membunuhku? Baik!
Aku akan
adu jiwa denganmu...!"
Segera saja terdengar te-
riakan santar Ken Wangi, yang
dengan beringas
telah menerjang dengan
tongkatnya.
Wuss! Wuss! Dua hantaman keras
secara
beruntun meluncur ke arah
tenggorokan dan ke-
pala si Walet Kencana. Namun
wanita setengah
tua ini cuma keluarkan dengusan
di hidung. Dan
dengan sedikit mengegos ia
berhasil menghin-
dar...
Plak!
Sebuah hantaman telapak tangan
dengan
telak telah mengenai dada Ken
Wangi. Yang sege-
ra perdengarkan teriakannya.
Tubuhnya terlem-
par beberapa tombak... Begitu
menyentuh tanah
telah menggelogok darah kental
berwarna hitam,
keluar dari mulutnya. Terlihat
baju kuningnya te-
lah berubah jadi hitam hangus.
Segera saja kain
itu menjadi serpihan lapuk
ketika lengan Ken
Wangi merabanya. Terpaksa Ken
Wangi biarkan
payudaranya terbuka, yang tampak
kedua da-
gingnya menjadi berubah
kehitaman. Betapa sa-
kitnya Ken Wangi merasakannya,
namun lebih
sakit lagi hatinya...
Perlahan-lahan ia sudah
bangkit lagi. Tongkatnya telah
kembali disilang-
kan ke depan dada. Sepasang
matanya menatap
tajam bersinar-sinar pada kakak
kandungnya,
yang telah tega berbuat
sedemikian pada adiknya
sendiri.
"Kau terlalu mencampuri
urusanku, Ken
Wangi! Sudah kukatakan sejak
dulu. Jangan kau
sok menasihati aku. Ambillah
jalanmu sendiri.
Dan biarkan aku mengambil jalan
yang kutem-
puh sendiri..!"
"Keparat! Begitu hina dan
rendahnya jalan
fikiranmu! Mana aku bisa
berpeluk tangan meli-
hat laku lampahmu...? Kau bukan
lagi manusia.
Ken Huma..! Kau memang
ibliiiiiss..!" Dan dengan
berteriak keras ia telah kembali
menerjang. Kali
ini tongkatnya telah diputar
sedemikian rupa
hingga sesaat Walet Kencana agak
sulit menya-
rangkan pukulannya untuk
menangkis putaran
tongkat. Namun senjata sang adik
tiba-tiba telah
berubah ganas. Tolakan dari
tangkisan itu mem-
buat putaran tongkatnya
terhenti. Namun gera-
kan selanjutnya bahkan lebih
hebat. Setiap puku-
lan mengandung tenaga dalam.
Batu dan ranting
beterbangan hancur, terkena
sambaran tongkat
Ken Wangi. Ia sudah tak
menghiraukan lagi akan
nyawanya... Serangan-serangan
ganas itu sudah
saling susul menghantam si Walet
Kencana.
Plak! Plak!.... Buk!
Kembali terdengar teriakan
kesakitan dari
Ken Wangi. Tubuhnya telah
terlempar lagi bergul-
ing-guling. Kali ini bajunya
pada bagian pung-
gung yang terlihat hangus.
Menampakkan serpi-
han-serpihan kain yang hancur,
menyingkapkan
kulit punggung wanita itu yang
terlihat mengelu-
pas. Dengan menahan rasa perih
pada pung-
gungnya, juga tanpa menghiraukan
darah yang
mengalir hitam dari bibirnya....
Kembali ia bang-
kit untuk menerjang. Namun Ken
Huma alias si
Walet Kencana sudah menerjangnya
kembali den-
gan hantaman yang sudah
dipastikan akan me-
renggut nyawa sang adik... Akan
tetapi pada saat
dan detik yang membawa maut itu,
telah terden-
gar bentakan keras.
"Iblis keji..!" Dan
bersyiurlah angin keras
yang menggelombang, menghantam
balik pukulan
si Walet Kencana.
"Aiiiiii..!? Terdengar si
Walet Kencana me-
mekik. Segera ia sudah lemparkan
tubuhnya ber-
gulingan.
Bhusss..! Batu dan semak
dibelakangnya
buyar berantakan disertai
jeritan ketiga murid si
Walet Kencana yang tak sempat
menghindar. Ter-
nyata hantaman angin yang
bergelombang dah-
syat itu telah menghantam balik
pukulan dahsyat
si Walet Kencana. Tak ampun lagi
ketiga murid-
nya telah perdengarkan jerit
kematian, karena se-
ketika tubuhnya telah berubah
hangus... Terbe-
liak sepasang mata si Walet
Kencana, menyaksi-
kan ketiga murid wanitanya berkelojotan
mere-
gang nyawa. Ternyata ia telah
mengumbar hawa
amarahnya untuk menghancur
leburkan tubuh
Ken Wangi. Hingga ia hantamkan
kedua telapak
tangannya dengan menyalurkan
tenaga dalamnya
dengan tenaga penuh. Akibatnya
yang menjadi
korban adalah ketiga orang
muridnya sendiri. Wa-
jahnya seketika berubah pias
bagai kertas, ketika
sesosok tubuh tahu-tahu telah
muncul dihada-
pannya. Siapa lagi kalau bukan
Roro Centil. Ki-
ranya setelah mengamankan
wanita-wanita seka-
pan didalam gedung maksiat itu,
ia kembali ke
taman... Karena tiba-tiba ia
teringat akan seorang
pendatang wanita berbaju kuning
yang tengah
bertarung dengan kelima wanita
murid si Walet
Kencana. Memang ia telah
mendengar si wanita
pendatang itu bernama Ken Wangi
yang entah
akan bicara apa padanya...
Disamping mengkha-
watirkan keselamatan dirinya.
Dari kata-katanya
ia sudah mengambil kesimpulan
bahwa Ken Wan-
gi berada di pihak yang benar.
Yang telah menda-
pat tantangan keras dari sang
kakak.
Ken Wangi tampakkan wajah gembira
me-
lihat kedatangan Roro, ia sudah
segera mau ber-
gerak menghampiri... namun
tiba-tiba kembali ia
muntahkan darah hitam kental
dari mulutnya.
Sekonyong-konyong ia rasakan
matanya berku-
nang-kunang. Pandangan matanya
menjadi gelap.
Dan dengan keluhan lemah, ia
jatuh terjungkal...
Namun sebelum hal itu terjadi,
Roro telah berke-
lebat untuk menyangganya. Dilain
kejap ia telah
pondong tubuh Ken Wangi ke
tempat yang aman.
"Celaka..? Keadaan tubuhnya
luka pa-
rah..!" Menggumam Roro,
dengan suara berdesis.
Sepasang alisnya mengkerut ke
bawah. Dan tak
ayal lagi ia gunakan tenaga
dalamnya untuk me-
nyalurkan hawa hangat, pada
tubuh Ken Wangi.
Namun napas Ken Wangi tinggal
satu-satu... De-
tak jantungnya kian melemah.
Tiba-tiba wanita
itu telah buka kelopak matanya,
menatap pada
Roro.
"An... anda kah si
Pendekar... Wanita Pan-
tai Selatan i... itu...?"
Dengan megap-megap wani-
ta itu berusaha buka suara.
Sementara wajahnya
tampak semakin memucat. Aliran
tenaga dalam
Roro cuma mampu membuat dia
bertahan bebe-
rapa saat. Karena begitu Roro
Centil mengang-
gukkan kepala dengan memandang
terharu, tam-
pak si wanita malang itu
tersenyum padanya.
Tangannya tiba-tiba bergerak
menggapai lemah...
Segera Roro cepat menangkapnya
dan terasa pilu
hatinya ketika dengan kekuatan
terakhir Ken
Wangi mencekal keras tangannya,
seperti tengah
menjabat tangan tanda gembiranya
akan perte-
muan yang pertama kalinya dengan
sang Pende-
kar Wanita itu tetapi juga
pertemuan yang terak-
hir... Karena cekalan tangannya
perlahan-lahan
mengendur. Dan kembali jatuh
terkulai bersama
hembusan nafasnya yang terakhir.
Ken Wangi te-
lah wafat dengan bibir
tersungging senyuman, di-
hadapan Pendekar Wanita Pantai
Selatan, Roro
Centil.
Menitik air mata sang Pendekar
ini. Betapa
banyak orang harus berkorban
jiwa, hanya demi
tegaknya kebenaran... Apakah
kebhatilan yang
harus tegak dimuka bumi ini..?
Teriak hati Roro.
Tapi sudah tersentak lagi
hatinya untuk memban-
tah. Tidak..! Kebhatilan harus
punah dari muka
bumi ini! Setan Cebol masih
hidup bergentayan-
gan. Dan kini sejenisnya tengah
menanti dengan
penuh kebencian untuk
menghancurkan kebena-
ran. Tiba-tiba terdengar suara
lengkingan panjang
dari Roro Centil. Pertanda ia
melepaskan kejeng-
kelannya, akan manusia-manusia
yang hanya
membuat kericuhan diatas jagat
ini... Dan detik
itu juga tubuh Roro telah
melesat ke arah dimana
si Walet Kencana berada. Wanita
itu telah bangkit
berdiri. Wajahnya memerah
menandakan kegusa-
rannya, melihat ketiga muridnya
yang telah tewas
akibat munculnya orang yang
telah menyela-
matkan jiwa Ken Wangi. Baru saja
ia mau gerak-
kan tubuh untuk melesat ke arah
Roro Centil.
Namun sudah keburu si gadis itu
yang berkelebat
kehadapannya. Ia sudah keluarkan
bentakannya :
"Heh!? Kiranya kau si bocah
aneh itu! Su-
dah kuduga, kau hanya
berpura-pura saja..! Wa-
laupun ilmumu setinggi langit,
jangan harap kau
dapat lolos
dari kematian. Benarkah kau yang
bernama Roro Centil itu?"
Kata-katanya sudah
disambung dengan pertanyaan.
Seperti juga ku-
rang yakin akan penglihatannya.
"Kalau kukatakan benar,
apakah kau mau
terus berlutut mencium
kakiku...?" Balik bertanya
Roro dengan lagak yang masih
bernada jumawa.
Terbeliak mata si Walet Kencana
karena gusar-
nya, dan tiba-tiba saja ia telah
perdengarkan te-
riakan keras, untuk segera
lancarkan serangan.
Plak! Terdengar benturan kedua
telapak
tangan. Tubuh Roro hanya
tergeser beberapa
langkah. Namun si Walet Kencana
telah memekik
keras, karena arus balik
tenaganya sendiri yang
menyerangnya. Terhuyung-huyung
ia mundur
beberapa langkah ke belakang.
Tampak ia telah
pegangi dadanya. Sementara darah
kental me-
netes dari bibirnya. Ternyata
Roro tak mau ba-
nyak gunakan waktu untuk bertempur,
dan telah
gunakan jurus Ikan Hiu Balikkan
Ekor. Jurus
langka yang diwarisinya dari
Pantai Selatan. Se-
hingga tenaga dalam serangan si
Walet Kencana
berbalik menyerang sendiri.
Lagi-lagi si Walet
Kencana dibuat tak habis
mengerti. Ia pandangi
orang dihadapannya masih
tenang-tenang saja
seperti tak terjadi apa-apa.
Sementara ia segera
kerahkan tenaga dalam untuk
menormalkan
kembali keadaan tubuhnya. Dilain
kejap, ia telah
loloskan sabuk Kencana yang
membelit pada
pinggangnya. Inilah senjata
ampuh yang telah
membuat ia terkenal dengan nama
julukan si Wa-
let Kencana. Senjata ini memang
ada dibalik pa-
kaian tertutup baju. Benda yang
panjangnya satu
meter lebih itu adalah logam
yang lemas, yang
panjangnya mempunyai tiga ruas.
Terbelit oleh
sebuah rantai berbentuk bulatan.
Sedang bagian
kepalanya berbentuk burung walet
yang tengah
membentangkan sayapnya. Warnanya
kuning
emas. Ketika benda panjang itu
diputarkan, sege-
ra membersit suara seperti
burung walet yang
mencicit tiada hentinya.
Melihat orang keluarkan senjata
pusa-
kanya. Roro dengan senyum masih
menghias bi-
bir, segera loloskan sepasang
Rantai Genit dari
pinggangnya. Dan segera saja
iapun memutar se-
buah senjatanya, sedang sebuah
lagi tetap terpe-
gang ditangan kiri. Detik
selanjutnya segera ter-
dengar suara mendengung bagaikan
suara ratu-
san tawon yang menandingi suara
cicit burung
walet.
"Bocah jumawa..! Kau
rasailah kehebatan
Sabuk Kencana ku...!" Dan
berbareng dengan su-
ara bentakannya, si Walet
Kencana telah mener-
jang ke arah Roro Centil. Hebat
dan ganas seran-
gan itu, segera saja bagai
ratusan walet yang ber-
kelebatan. Ujung Sabuk
Kencana si wanita ber-
nama Ken Huma itu telah
mengurung Roro. Se-
bentar sebentar walet-walet yang
bercicitan itu
mematuk ke setiap jalan darah
yang berbahaya
ditubuh sang Pendekar Wanita.
Hal mana mem-
buat Roro Centil juga terkesiap,
tak menyangka
akan kehebatan senjata lawan.
Dengan berteriak
keras ia segera putar tubuh dan
berkelebatan un-
tuk menghindar. Sementara ia
sudah gunakan
sepasang senjatanya untuk
menangkis setiap da-
tangnya serangan.
Tring! Tring! Tring!
Tiga patukan yang mematikan
telah berha-
sil ia tangkis dengan si Rantai
Genit. Tampak si
Walet Kencana gertak gigi, dan
dengan menden-
gus ia telah robah gerakan
senjatanya. Kali ini se-
rangannya membuat gerakan
menyilang yang
membingungkan lawan. Ratusan
walet segera
berserabutan menyerang Roro dari
berbagai arah.
Terkadang menukik dengan
tiba-tiba. Atau me-
luncur deras mengarah
tenggorokan. Senjata Sa-
buk Kencana ini memang aneh,
bisa menjadi le-
mas seperti ular, tapi bisa juga
menjadi keras ba-
gaikan sebatang tombak. Nyaris
saja dadanya ter-
koyak oleh sepasang sayap walet
yang tiba-tiba
mencicit dengan menukik tajam.
Untung ia telah
pergunakan gaya orang mabuk.
Sehingga loloslah
serangan berbahaya itu. Gerakan
orang mabuk
itu ternyata banyak menolongnya.
Sehingga se-
rangan menyilang yang serabutan
itu bisa terha-
lau dengan mudah.
Tampak si Walet Kencana seperti
kehabi-
san akal. Tiba-tiba ia memekik
keras, seraya len-
gannya yang sebelah telah
mencabut sebuah se-
ruling yang pendek. Dan detik
berikutnya sudah
terdengar suara yang melengking
tinggi rendah
membisingkan telinga. Roro
Centil leletkan lidah.
Baru untuk kesekian kalinya ia
menjumpai
orang-orang lihai, yang kali ini
harus berlaku ha-
ti-hati. Salah-salah nyawanya
bisa terbang ke Ak-
hirat. Melihat orang sudah
keluarkan senjata lagi,
yang ternyata cukup mempengaruhi
konsentra-
sinya, Roro pergunakan cara
lain, inilah memang
cara yang aneh. Cara yang jarang
dipunyai oleh
sembarang tokoh persilatan...
Karena akal yang
cerdik saja yang bisa
mempergunakannya. Tiba-
tiba saja Roro telah melompat
mundur tiga-empat
tombak. Dan begitu ia sudah
dapat menarik na-
pas untuk istirahat sejenak,
tiba-tiba terdengar
suara tertawa Roro yang mengikik geli. Tertawa
yang terpingkal-pingkal itu
membuat si Walet
Kencana jadi melengak, dan
membuatnya ber-
tanya-tanya dalam benaknya.
Ada apakah yang lucu..? Pikir si
Walet
Kencana. Sementara tanpa
disadari tiupan serul-
ing pendeknya jadi berhenti.
Demikian juga ter-
jangannya mendadak ia hentikan.
Hal itu juga
membuatnya mengambil keuntungan.
Karena na-
pasnya memang sudah Senin-Kemis
akibat terlalu
gencar menyerang. Apalagi ia
telah terluka dalam
akibat balikan tenaga pukulannya
sendiri...
"Hi hi hi... Mengapa
berhenti menyerang
Walet Kencana..? Apakah kau
sudah menyerah
kalah..! Kalau begitu bukankah
dengan baik-baik
segera bersujud mencium
kakiku..! Atau aku ha-
rus perintahkan kau untuk
melakukannya..? Hi
hi hi... hi hi.." Kembali
ia tertawa mengikik geli.
Merah seketika wajah si Walet
Kencana. Bocah
Centil dihadapannya benar-benar
membuatnya
menjadi bertambah jengkel. Belum
lagi ia mem-
bentak, Roro sudah menyambung
lagi kata-
katanya: "Baiklah! Mungkin
sepasang sepatuku
ini sudah bau, hingga kau tak
berani mencium
kakiku. Nah, tunggulah kubuka
dulu..!" Seraya
berkata, ia telah cepat buka
sepatu rumputnya.
Dan saat berikutnya sepasang
sepatu Roro benar-
benar telah dibuka.
"Uhh..." Pantas,
baunya amit-amit..!" Roro
sudah lantas mencium ujung
sepatunya. Dan ti-
ba-tiba telah ia lemparkan ke
atas.... seraya ber-
kata sambil mendongak.
"Nah! Terbanglah yang
tinggi wahai sepa-
tuku yang sudah butut..!"
Aneh, memang... Men-
gapa tahu-tahu si Walet Kencana
ikut-ikutan
mendongak ke atas. Padahal sudah
sedari tadi ia
gregetan pada si gadis, yang
sudah mau dilabrak-
nya itu, namun ia agak merasa
ngeri akan akal li-
cik yang dipergunakannya.
Makanya dengan sa-
bar ia menahan kemarahannya,
juga ingin tahu
apa yang akan diperbuat si orang
aneh dihada-
pannya. Sepasang sepatu meluncur
ke atas demi-
kian tinggi... Namun tanpa
menunggu kembali
benda itu jatuh, si Walet
Kencana sudah tak sa-
bar untuk membentak. Namun
alangkah terke-
jutnya begitu ia lihat ke depan,
ternyata tubuh si
centil dihadapannya telah
lenyap.
"Bocah keparat..!"
Memaki si Walet Kenca-
na. Ia segera putar tubuh untuk
mencari dimana
adanya si gadis yang menyebalkan
itu. Tapi tak
menampak batang hidungnya.
Bahkan yang ter-
dengar adalah suara tertawa yang
mengikik geli,
seperti ada di berbagai tempat.
Tentu saja ia tak
dapat melihat Roro, karena jika
si Walet Kencana
putar tubuh ia segera mengikuti
dibelakangnya.
Pada saat itulah sebuah benda
tiba-tiba berkele-
bat disebelahnya. Membentak si
Walet Kencana,
seraya menghantamnya.
Brak..! Benda itu hancur jadi
beberapa
keping, yang ternyata hanya
sebuah batu.
"Tampakkan dirimu bocah
keparat..!" Te-
riak si Walet Kencana. Akan
tetapi kembali melu-
ruk deras dari atas dua buah
benda ke arah kepa-
lanya.
"Edan..!" Ia segera
mendongak ke atas un-
tuk menyampok jatuh benda itu.
Tapi terkesiap
ia, karena dua benda itu adalah
sepasang sepatu
Roro yang tadi dilemparkan ke
atas, dan baru ja-
tuh setelah sekian lama... Pada
saat itulah ter-
dengar suara.
Tring! Tring! Dan tanpa
disadarinya sepa-
sang senjata si Rantai Genit,
telah menyambar ke
arah kedua senjatanya. Yang tak
ampun lagi se-
gera terlepas dari genggamannya.
Sabuk Kencana
itu terlempar seketika, yang mau
tak mau telah
dilepaskan karena getaran hebat
yang menggetar-
kan tangannya hingga menjadi
kesemutan. Se-
dangkan suling pendeknya telah
jadi remuk, dan
juga terlepas dari genggamannya.
Belum lagi hi-
lang rasa terkejutnya, sebuah
hantaman keras te-
lah mendarat di kepalanya.
Seketika matanya jadi
berkunang-kunang. Tubuhnya
sekonyong-
konyong jadi limbung. Dan
jatuhlah ia dengan
menekuk lutut. Ia tak dapat lagi
melihat sekeli-
lingnya karena pandangan matanya
telah menjadi
gelap.
"Nah! Kau ciumlah kakiku..!
Bagus! Hi hi
hi... Mengapa tak sedari tadi
kau lakukan..?" Ter-
dengar suara Roro Centil
dihadapannya. Yang te-
lah membuat hampir hilang
sukmanya. Tahu-
tahu kepalanya telah ditekan
kebawah, hingga
benar-benar ia terasa mencium
sepasang kaki
yang masih ada sisa bau
kecutnya.
"Bocah keparat..!"
Bentak si Walet Kenca-
na. Namun tiba-tiba ia telah
perdengarkan jeritan
ngeri, karena saat itu juga Roro
telah gerakkan
kakinya untuk mencongkel tubuh
si Walet Ken-
cana, hingga sang tubuh
melambung ke udara.
Pada saat itulah terdengar
bentakan yang mem-
buat terkejut Roro Centil.
"Bocah Centil..! Penipu
tengik! Kubunuh
kau..! Sebuah sambaran benda
panjang bersyiur
dibelakang Roro. Itulah serangan
mematikan yang
mengarah kepala dari sebuah pipa
cangklong si
bangsawan bungkuk alias Raden
Mas Guntoro
Kecut. Ternyata ia telah
berhasil melepaskan diri
dari pengaruh totokan Roro
Centil. Dengan gera-
kan secepat kilat, Roro Centil
gulingkan tubuhnya
ke tanah. Tak ada jalan lain
selain mengambil ke-
putusan dengan cepat. Saat
itulah sebelah kaki
sang Pendekar Wanita itu telah
bergerak me-
nyampok mental pipa cangklong.
Itulah gerakkan
reflek yang ia telah lakukan.
Namun dengan sam-
pokan yang telah ia perhitungkan
dengan cermat.
Karena itulah jurus ilmu Meninju
Tongkat Memu-
kul Anjing. Salah satu jurus
dari gurunya si Mal-
ing Sakti dari lereng Gunung Rogojembangan.
Akibatnya memang amat fantastis,
karena segera
terdengar jerit mengerikan, ketika dengan deras
pipa cangklong itu meluncur
untuk segera me-
nembus tubuh si Walet Kencana
yang masih be-
rada di udara... Dan selanjutnya
detik berikutnya,
tubuh wanita yang sial itu jatuh
berdebuk ke bu-
mi. Kejadian itu begitu cepat,
hingga membuat
Raden Mas Guntoro Kecut jadi
terbeliak. Dilihat-
nya si Walet Kencana menggeliat
untuk kembali
bangkit. Sepasang matanya
terlihat seperti merah
menyala, menatap Roro.
"Bocah kepar...
rrrratt..." Hanya itu yang
bisa ia ucapkan, karena
selanjutnya ia sudah ter-
kulai lagi untuk segera melepaskan nyawanya.
Melihat kematian si Walet
Kencana. Si bangsawan
bungkuk itu jadi menggigil
ketakutan. Bukannya
menerjang ke arah Roro yang
sedang membela-
kangi, tapi dengan diam-diam ia
berusaha kabur
untuk mengambil langkah seribu.
Akan tetapi Ro-
ro Centil sudah perdengarkan
suara tertawanya.
Dan tiba-tiba sebuah benda yang
tak lain dari si
Rantai Genit, telah meluncur
deras ke belakang si
manusia berakhlak bejat itu.
Prak! Terdengar suara kepala
yang beradu
keras dengan bandulan Rantai
Genit itu... Dan
terdengar teriakan keras,
disertai terjungkalnya
tubuh Raden Mas Guntoro Kecut.
Dan tanpa ber-
kelojotan lagi si bangsawan
bungkuk hidung be-
lang itu sudah tewas dengan
batok kepala pecan.
Roro sudah enjot tubuhnya untuk
kembali me-
nyambar senjatanya. Setelah
bersihkan pada baju
sang mayat ia sudah segera
gerakkan tangannya
untuk menyelipkan kembali sepasang
Rantai Ge-
nit nya pada kedua sisi
pinggangnya.
"Hmh, orang semacam kau
lebih bagus
siang-siang pulang ke akherat,
sebelum bertam-
bah lagi dosamu..! Menggumam
Roro.
7
MATAHARI semakin tinggi diatas
kepala...
burung-burungpun seperti enggan
untuk me-
nampakkan diri, di panas terik
itu. Mereka ber-
lindung di balik dedaunan yang
rimbun sambil
membentangkan sayapnya. Yang
terkadang men-
gibas-ngibas untuk membersihkan
kotoran yang
melekat pada bulu-bulunya.
Sementara beberapa
ekor merpati itu tampak tengah
asyik mencari ku-
tu-kutu dengan paruhnya...
Roro Centil rebahkan tubuhnya
terlentang
dibawah pohon itu. Semilir angin
sesekali mem-
buat kesejukan pada tubuhnya. Ia
sudah pejam-
kan matanya, dengan berbantalkan
lengan. Se-
lang sesaat saja ia telah
terlena pulas, karena di-
hembus angin yang sepoi-sepoi
membuat sepa-
sang matanya jadi mengantuk.
Sehingga tanpa ia
ketahui sepasang mata dengan
tajam penuh ke-
bencian, memandang ke
arahnya.... Itulah sepa-
sang mata si wanita bercadar
tipis, alias si Elang
Alap-alap. Wanita yang telah
menjadi sakit hati
terhadapnya. Tampak ia telah
bertindak dengan
pelahan-lahan menghampiri, tapi
sebentar kemu-
dian ia merandek sejenak... Ia
sudah keluarkan
tiga buah paku beracun. Dan digenggam
erat pa-
da tangannya. Namun tampaknya ia
urungkan
niatnya... dan masukkan lagi
senjata rahasia itu
ke dalam sakunya. Sepasang
matanya beralih pa-
da sebuah batu besar didekatnya.
"Aku ingin lihat dia mati
menggeletak den-
gan kepala hancur..!" Terdengar
ia berdesis den-
gan amat pelahan sekali. Dan
saat selanjutnya
batu besar itu, diangkatnya
dengan pelahan-
lahan. Cukup berat untuk
meremukkan kepala
orang yang amat dibencinya itu.
Berfikir ia dalam
hati. Dan kembali ia melangkah
dengan langkah
hampir tak terdengar. Kini ia
telah berada di ba-
gian ujung kepala Roro Centil
yang masih tak ter-
lihat bergeming. Hanya napasnya
saja yang keli-
hatan turun naik. Sepasang
matanya masih ter-
katup rapat... Inilah saatnya
kau mampus..! Ber-
sorak hati si Elang Alap-alap.
Dan ia telah angkat
batu besar itu tinggi-tinggi
diatas kepala Roro...
Namun wanita itu lupa, bahwa
pasir-pasir halus
yang berjatuhan dari bawah batu
itu telah melun-
cur turun mengenai wajah, dan
pelupuk mata Ro-
ro dibawahnya. Dan hal itulah
yang telah mem-
buat Roro Centil membuka
matanya. Nalurinya
yang peka telah mengatakan bahwa
ada apa-apa
terjadi diatas kepalanya. Tepat
pada detik itu, ba-
tu besar itu telah melayang
turun ke arah kepa-
lanya. Terkesiap Roro Centil
bukan kepalang me-
lihat bahaya didepan matanya...
dengan berteriak
tertahan ia telah gulingkan
tubuhnya ke samping.
Buk! Terdengar batu besar itu
jatuh berde-
bum menimpa tanah. Namun Roro
Centil sudah
selamat dari maut... Adapun si
Elang Alap-alap
tak menyangka sama sekali akan
hal yang ber-
langsung begitu cepat. Saat ia
terpaku, tiba-tiba
sepasang lengan telah
mencengkeram kakinya.
Disertai bentakan Roro yang
bagaikan geledek
disiang hari terdengar santar
ditelinganya. "Pen-
gecut licik...!" Dan
tahu-tahu tubuhnya telah ja-
tuh terbanting, tepat diatas
batu besar yang baru
saja berhenti menggelinding...
Terdengarlah teria-
kan ngeri dari mulut si Elang
Alap-alap. Karena
dengan keras, kepalanya telah
menghantam batu
besar itu. Tak ampun lagi ia
telah jatuh mengge-
loso. Namun ia masih berusaha
untuk bangkit,
walau terlihat ada darah
mengalir dari belakang
kepalanya. Pandangan matanya
memang telah
berkunang-kunang, dan rasa sakit
pada kepa-
lanya terasa ngeri bukan
kepalang. Tapi sebelum
ia dapat gerakkan tubuhnya,
entah apa yang ter-
jadi, karena tahu-tahu batu
besar itu telah meng-
gelinding ke tubuhnya. Dan
terdengarlah pekik
mengerikan disertai terdengarnya
suara remuk-
nya tulang dada, dan tengkorak
kepala yang ber-
krotakan. Terlihat sepasang kaki
si Elang Alap-
alap mengejang, dan
bergerak-gerak... Namun se-
kejap kemudian gerakkan kaki itu
terhenti untuk
selamanya.
Sang Pendekar Wanita Pantai
Selatan sege-
ra tinggalkan tempat itu dengan
wajah murung...
namun membersitkan rasa
bersyukur pada Tu-
han atas keselamatannya. Seperti
terlihat pada
wajahnya yang kembali tampakkan
kecerahan,
ketika ia mendongak ke langit
sambil pejamkan
mata. Semilir angin sepoi-sepoi
yang berhembus,
membuat leganya hati dan
sejuknya perasaan...
Dan detik selanjutnya sudah
terdengar suara
lengkingan Roro Centil, seperti
melepaskan kele-
gaan hatinya. Dan detik
selanjutnya ia telah ber-
kelebat cepat sekali, yang
sesaat antaranya sosok
tubuh Pendekar Wanita itupun
lenyap...
***
"Dalam sepekan ini aku
perlukan empat
orang wanita atau gadis, tentu
saja yang bertu-
buh mulus, dan berwajah cukup
cantik..! Terden-
gar suara bernada serius dari
balik air terjun itu.
Yang sudah ditimpali dengan
suara kata-kata se-
perti suara burung gagak, namun
agak besar se-
dikit.
"Benar! Wanita yang
bertubuh mulus, pasti
jantung dan hatinya pun akan
mulus! Sudah tiga
hari ini aku tak makan sarapan
yang amat men-
guatkan tubuh itu, apakah tidak
sebaiknya kau
berangkat mencarinya, dan
membawanya kema-
ri..? Aku khawatir,
jangan-jangan aku bisa mengi-
lar untuk mengorek hati dan
jantungmu, Dewi
Tengkorak!" Itulah suara si
Setan Cebol dan si Ib-
lis Tertawa dihadapan seorang
wanita yang cuma
bisa tampakkan wajah murung.
Sejurus anta-
ranya wanita ini yang tak lain
dari si Dewi Teng-
korak adanya, berdiam tanpa buka
suara. Tiga
hari ditempat sekapan yang
tersembunyi itu
membuat ia tak bisa berkutik
apa-apa. Dan sela-
ma tiga hari itu, tenaganya
hampir habis, karena
harus melayani kehendak si Iblis
Tertawa, dan si
Setan Cebol berganti-ganti.
Membuat ia mau me-
larikan diri saja dari sarang
kedua iblis dan setan
itu... Namun apalah artinya..?
Dua butir pel yang
telah dijejalkan pada mulutnya,
membuyarkan
keinginannya. Walaupun ia bisa
saja tinggalkan
pergi tempat itu, namun ia amat
membutuhkan
obat penawar dari racun yang
sudah masuk pe-
rutnya... Untuk membunuhnya adalah
terlalu su-
lit. Apalagi pengaruh rasa takut
akan kematian,
membuat ia hilang semangatnya.
Dan terpaksa ia
harus menerima tugas dari kedua
iblis dan setan
jahat itu, mencarikan korban
yang dimauinya.
"Baiklah, demi obat penawar
itu, aku akan
turuti perintah kalian. Namun
aku khawatir aku
cuma dijadikan budakmu saja. Dan
nanti bila te-
lah tiba saatnya satu bulan, aku
kau biarkan
mampus keracunan..!"
Berkata si Dewi Tengko-
rak. Meledaklah tertawa si Setan
Cebol, diikuti si
Iblis Tertawa, yang terdengar
berkakakan didalam
ruangan goa dibalik air terjun
itu.
"Ha ha ha., ha ha... Kami
berdua tak akan
berdusta, dan pasti akan kau
terima obat pemu-
nahnya sebelum waktu satu
bulan..! Jangan
khawatir nona manis..! Bukankah
begitu sobat
Setan Cebol..!?"
"He he he... Benar! Kalau
aku sedang tidak
malas, buat apa aku menyuruhmu?
Aku hanya
tengah mengajar adat padamu,
agar jangan terla-
lu sombong jadi manusia..! Ha ha
he he he..!" Ujar
si Setan Cebol, yang kembali
tertawa berkakakan.
"Baiklah, aku akan
berangkat sekarang..!"
Berkata si Dewi Tengkorak,
seraya bergerak ke
arah pintu goa.
"Bagus..! Agak cepatlah
sedikit. Hati-hati,
buaya-buaya di rawa itu suka
naik ke darat. Aku
khawatir kau dicaploknya..!
Teriak si Iblis Terta-
wa. Namun Dewi Tengkorak, sudah
tak menghi-
raukan lelucon yang tidak lucu
itu. Ia segera me-
langkah keluar dari ruang Goa
dibalik air terjun
itu. Tapi dasar wanita yang
sudah matang, dan
berpengalaman, ia tidak terus
berangkat pergi...
melainkan berdiri disamping batu
Goa. Telin-
ganya dipasang untuk
mendengarkan suara dis-
ebelah dalam. Benarlah apa yang
telah didu-
ganya. Karena segera terdengar
suara tertawa si
Muka Bocah alias si Iblis
Tertawa itu...
"Ha ha ha...ha ha... Kalau
saja ia tahu te-
lah aku bohongi, pasti
siang-siang ia sudah ming-
gat tak balik lagi. Pel yang
kujejalkan dimulutnya
itu adalah obat perangsang yang
pengaruhnya
hebat luar biasa..! Buktinya ia
mampu berperang
tanding sampai menggebu-gebu
melawanku! He
he he... ha ha ha..."
Terkejutlah si Dewi Tengko-
rak. Namun juga diam-diam ia
bergirang hati
yang telah dapat mendengar
celoteh si Iblis Ter-
tawa. Segera ia sudah melesat
cepat untuk ting-
galkan Goa yang telah membuat ia
tersiksa seten-
gah mati itu.
Huh! Buat apa aku turuti
keinginannya..
Lebih bagus aku kabur dari
daerah kekuasaan
kedua setan dan iblis keparat
itu! Berkata si Dewi
Tengkorak dalam hati. Dan dengan
beberapa kali
ia mengenjot tubuh, sebentar
saja sudah lenyap
dari tempat yang sunyi mencekam
itu.
Menjelang malam baru saja
merangkak,
Roro Centil sudah berada lagi
dimuka pintu Pa-
depokan Cemara Kandang. Belum
lagi ia mengu-
capkan salam, telah berteriak
seorang gadis, yang
telah memburunya keluar. Dialah
si gadis Sumi-
rah itu.
"Kakak Pendekar Roro
Centil..! Aiii..!? Se-
lamat datang ditempat
kediamanku!" Dan sang
gadis itu sudah lantas
memeluknya. Roro pun
sudah balas memeluk si gadis itu
dengan terharu.
Tampak terdengar suara isak
tersendat dari mu-
lut Sumirah. Dan terasa air
hangat membasahi
lengan Roro, ketika ia tengah
membelai wajahnya.
"Kakak Roro... Mengapa
semua ini terjadi
pada diriku? Pada kami
orang-orang Padepokan
Cemara Kandang..? Benarlah
dugaanku, ayah
pasti tak akan mampu melawan si
Iblis Cebol
itu..?" Terdengar
kata-katanya yang tersendat.
"Sudahlah dik Sumirah.
Segalanya me-
mang sudah takdir Tuhan. Buat
apa kau tangisi
kematian orang yang sudah tiada?
Sebaiknya ta-
wakallah. Dan jangan terlena
oleh kesedihan. Aku
berdiam di rumahmu sampai keadaan
menjadi
kembali aman..!" Sumirah
tiba-tiba lepaskan pe-
lukannya, dan tatap wajah Roro
dalam-dalam.
Wajahnya kembali menampilkan
kecerahan.
"Benarkah demikian kakak
Roro..? Oh, te-
rima kasih! Aku amat senang
sekali..!" Dan selan-
jutnya ia telah bimbing lengan
Roro Centil untuk
diajak masuk ke dalam ruang
padepokan. Semen-
tara beberapa murid laki-laki
mendiang Ki Reksa
Permana tampak berdatangan
menyambutnya
sambil menjura hormat.
Malam semakin larut... namun
masih juga
terdengar suara orang
bercakap-cakap didalam
ruang Padepokan itu. Ternyata
mereka berdua
tengah saling menceritakan
pengalaman hidup-
nya. Dengan didengarkan pula
oleh ke dua belas
orang murid laki-laki di
Padepokan itu. Hingga
saat menjelang tengah malam,
barulah Rumah
Besar Padepokan Cemara Kandang
kembali sunyi
senyap. Semua orang telah
tertidur. Hanya Roro
Centil, yang masih duduk
dihadapan Sumirah
yang telah menggeros kelelahan.
Tidurnya demi-
kian pulas. Sampai nyamuk yang
hinggap di pi-
pinya sudah tak terasa lagi.
Roro jentikkan jari te-
lunjuknya untuk membuat
terpental mati sang
nyamuk itu. Dan dengan
bersidakep, Roro pejam-
kan matanya... Ia tidak tidur,
walaupun matanya
meram. Karena ia tengah
bersemadi memulihkan
kekuatannya lagi. Pertarungan
tadi siang telah
banyak menguras tenaganya...
Demikianlah, malam berganti
siang. Dan
siang berganti malam... Roro
tinggal atau mene-
tap di Padepokan itu. Dengan
diam-diam telah
pula melatih ilmu pedang
Sumirah. Dan turunkan
beberapa jurus ilmu ampuh
padanya. Bahkan ke-
dua belas murid laki-laki di
padepokan itupun
mempelajari juga beberapa jurus
ilmu yang ia da-
pati dari Paderi Jayeng Rana.
Hari kedua dan ke-
tiga Roro Centil tak mendapat
berita mengenai si
makhluk Cebol Itu. Tapi pada
hari keempat, dua
orang murid Ki Reksa Permana,
tampak berlari-
lari menghadap pada sang
Pendekar Wanita Roro
Centil.
"Ada apakah yang
terjadi..?" Bertanya Roro
yang telah melompat kehalaman
Padepokan.
Tampak terlihat kedua orang
pemuda itu teren-
gah-engah. Sekujur tubuhnya
bercucuran kerin-
gat.
"Celaka, Guru... Makhluk
Cebol itu tengah
mengamuk dan membantai penduduk
dan orang-
orang Ki Demang, di desa Duren
Sawit... Bersama
seorang kawannya, yang telah
menawan tiga
orang gadis..!" Terkesiap
seketika Roro Centil.
Jantungnya berdetak keras karena
terkejutnya.
Saat itupun muncullah Sumirah,
dengan sepa-
sang Trisula dipinggang dan
pedang tipis terbelit
dipinggang. Ternyata iapun baru
saja masuk dari
pintu belakang Padepokan.
"Guru..! Mari kita
berangkat ke Desa Duren
Sawit sebelum makhluk Cebol dan
kawannya itu
kabur dengan membawa
korban..!" Roro Centil
palingkan kepalanya.
"Kaupun baru pulang
menyelidiki?" Ber-
tanya Roro. Sumirah anggukkan
kepalanya. Roro
tatap kedua murid laki-laki itu
seraya berkata :
"Kalian tetaplah berada
disini. Kemana
yang lainnya?" Bertanya
Roro Centil.
"Empat orang berada disana,
yang lainnya
entah. Guru. Mungkin berada
dilain tempat..!"
Menyahut salah seorang.
"Baiklah. Kalau mereka
kembali, jangan
menyusul kesana. Tetaplah
berdiam di Padepo-
kan!" Perintah Roro, yang
ternyata telah diangkat
sebagai Guru oleh murid mendiang
Ki Reksa Per-
mana dan Sumirah. Yang mau tak
mau terpaksa
Roro menerimanya. Selesai ia
berkata, segera ia
berpaling pada Sumirah yang
tampaknya seperti
tak sabar menunggu sang Guru
lagi.
"Ayo Sumirah, kita
berangkat...!" Dan ber-
kelebatlah dua tubuh dengan
gerakan cepat me-
ninggalkan Padepokan Cemara
Kandang...
Saat itu di Desa Duren Sawit
tengah terjadi
pertarungan seru. Beberapa sosok
tubuh tampak
telah tergeletak mandi darah.
Itulah orang-
orangnya Ki Demang Gombal Manik,
yang telah
menyerbu kedua iblis itu.
Ternyata di desa itu
dengan diam-diam telah dipasang
beberapa mata-
mata utusan Ki Demang. Dan
bahkan ada pula
dua orang pendekar suami istri
yang mau turut
membantu menumpas si Setan Cebol
yang ka-
barnya semakin tersiar luas.
Hingga keadaan dis-
ekitar Gunung Merbabu sebenarnya
telah diper-
kuat dengan penjagaan dari
beberapa golongan
kaum Pendekar. Termasuk juga
orang pemerinta-
han, yang dipimpin langsung oleh Ki Demang
Gombal Manik. Gerakan rahasia
itu memang di-
atur secara diam-diam dan
dipasang di beberapa
tempat yang rawan. Hingga ketika
terjadi penculi-
kan dan pembunuhan oleh kedua
tokoh persila-
tan yang keji itu. Berita segera
tersebar dengan
cepat. Dan terkurunglah si Setan
Cebol bersama
kawannya itu, yang tak lain dari
si Iblis Tertawa
yang amat rakus pada wanita
cantik. Dikurung
rapat sedemikian rupa, kedua
manusia keji itu
bahkan tertawa-tawa, dan tampak
senang dapat
membunuhi setiap orang yang
menerjangnya.
Hingga korban-korban pun jatuh
bergelimpangan.
Betapa gusarnya dua orang
pendekar sua-
mi istri yang melihat kekejian
dua makhluk itu.
Terlebih-lebih si makhluk Cebol
itu, yang sambil
memanggul seorang gadis,
mulutnya tak pernah
berhenti mengunyah jantung dan
hati manusia
yang telah dibunuhnya...
Sedangkan si Iblis Ter-
tawa dengan tertawa berkakakan
juga mengepit
sesosok tubuh wanita yang sudah
terkulai ping-
san. Sementara sebelah tangannya
menghantam
para penyerangnya yang
ragu-ragu karena kha-
watir mengenai tubuh wanita yang
dikepitnya itu.
Tampak seorang yang
bersenjatakan tombak itu
roboh terjungkal dengan
perdengarkan jerit kema-
tian.
"Iblis Pengecut..! Lepaskan
wanita itu! Ha-
dapilah pedangku. Jangan kau
buat ia sebagai
perisai..!" Bentak seorang
wanita berbaju merah,
yang sudah melompat turun dari
kudanya.
"Ha ha ha... he he...
Payah-payah aku
mencarinya, masa mau kulepaskan
begitu saja.
Jangan khawatir, aku akan
menjaganya jangan
sampai mengenai pedangmu,
nona..!"
"He...! Muka Bengkak!
Berikan padaku...
Jangan khawatir kau tak
kebagian. Aku telah
simpan tiga orang di Goa..! Biar
itu bagianku..!"
Berteriak si Setan Cebol. Dan
serta merta ia telah
lemparkan gadis di pundaknya.
Ternyata keadaan
wanita itu telah membuat orang
berteriak ngeri.
Karena isi perutnya telah
terburai keluar. Semen-
tara sebelah lengannya telah
mengunyah sesuatu
yang penuh berlepotan darah.
"Baik! Terimalah
ini..!" Teriak si Iblis Ter-
tawa seraya lemparkan korbannya.
Namun sebe-
lum si Setan Cebol menyambutnya,
telah berkele-
bat sesosok tubuh dengan
kecepatan kilat, yang
menyambar tubuh sang
wanita.
"Iblis keji..!"
Terdengar satu bentakan. Dan
sesosok tubuh berbaju putih
telah menyerangnya
dengan pedang, disaat si Setan
Cebol ternganga...
Sret! Tergoreslah punggungnya.
Walaupun
ia telah lompat menghindar. Segera
ia dapat meli-
hat siapa penyerangnya. Yang tak
lain dari Sumi-
rah adanya.
"Iblis keparat...! Kau telah bunuh dengan
keji ayahku..! Kini terimalah
kematianmu..!" Te-
riak si gadis, yang kemudian
telah menerjang
dengan gerakan pedang yang
menyambar-
nyambar. Namun si Setan Cebol
telah waspada.
Dengan muka meringis ia telah
berkelebat meng-
hindar, dan lompat menjauh tiga
tombak.
"Bagus..! Kiranya kau
anaknya si Pedang
Sakti Bermata Delapan...! He he
he... Beruntung
sekali aku. Terkabullah niatku
untuk menumpas
habis keluarga manusia yang
telah membunuh
Guruku..! Namun amat disayangkan
kalau kau
harus mati siang-siang...'"
Berkata si Setan Cebol,
dengan sepasang matanya
berbinar-binar mena-
tap Sumirah. Betapa marahnya
Sumirah melihat
manusia yang menatapnya sambil
terus mengu-
nyah jantung dan hati manusia
itu. Ia sudah me-
lompat lagi untuk menerjang.
Tapi kali ini si Se-
tan Cebol telah gerakkan
tangannya memukul
pergelangan tangan Sumirah.
Terlepaslah pedang
tipis itu. Saat berikutnya
sepasang tangannya te-
lah bergerak untuk menotok dan
merangkul gadis
itu. Terdengarlah keluhan
Sumirah. Tubuhnya te-
lah terkulai, dan sekejap
kemudian telah berpin-
dah ke atas pundaknya.
"He he he... Ayo manis,
kita tinggalkan saja
tempat ini..!" Berkata si
Setan Cebol, dan saat be-
rikutnya ia telah berkelebat
pergi dengan cepat.
"Kejaaar!" Teriak Ki
Demang yang menga-
wasi pertarungan. Beberapa orang
yang mengejar
itu cuma bisa melongo saja
karena si Setan telah
lenyap dengan cepat sekali...
Sesosok tubuh kerdil yang
memanggul tu-
buh seorang wanita itu, telah
memasuki Goa di
sela air terjun... Itulah si
Setan Cebol, yang den-
gan tertawa berkakakan telah
membawa korban-
nya, yaitu si gadis Sumirah. Tak
banyak cerita ia
sudah lemparkan tubuh gadis itu
ke pembarin-
gan. Sumirah perdengarkan
keluhannya. Ia cuma
bisa tatap orang yang telah
membunuh ayahnya
itu, tanpa ia bisa berbuat
apa-apa.. Berteriakpun
ia sudah tak sanggup. Harapan
hidupnya sudah
punah. Namun hati baja sang
gadis telah mem-
buat ia menguatkan seluruh
perasaannya agar ti-
dak menjatuhkan air mata.
Biarlah aku mati, ka-
lau memang sudah ditakdirkan
untuk mati. Pikir
gadis itu... Bukankah demikian
wejangan sang
Guru barunya si Pendekar Wanita
Roro Centil?
Kematian memang tak perlu
ditakutkan. Berkata
ia didalam hati. Apalagi sudah
didepan mata. Ke-
tabahan untuk menghadapi
kematian secara keji
memang telah terpampang di depan
mata Sumi-
rah. Namun ia benar-benar tabah,
karena ia ber-
pendapat dengan kematiannya tak
mungkin kalau
para pendekar akan membiarkan
kebhatilan terus
merajalela dimuka bumi. Suatu
saat akan datang
masa kehancurannya. Karena
memang tidak
layak kebhatilan itu berdiam
diatas bumi ini...
Bret! Bret! Bret! Terdengar
sobekan kain
pakaian yang dikenakan Sumirah,
ternyata si Se-
tan Cebol telah melakukannya
tanpa berlama-
lama lagi. Sumirah pejamkan
matanya. Ia sudah
tak hiraukan lagi akan dirinya.
Semuanya ia pa-
srahkan pada Yang Maha Kuasa.
Sepasang tan-
gan yang dingin telah
menyelusuri sekujur tu-
buhnya yang terasa dingin dan
panas berganti-
ganti. Keringat dingin telah
mengucur deras di-
kening dan punggungnya. Namun
tetap ia pejam-
kan mata dan gigit bibirnya agar
tidak menjerit
ketakutan. Terasa benda berat
telah menindih tu-
buhnya... dengan dengus napas
yang terasa me-
nyambar wajahnya.
"He he he... Selesai ini
segera akan kuma-
kan jantungmu, nona manis...
Mumpung belum
datang si Muka Bengkak itu, yang
telah aku bo-
hongi..!" Saat yang akan
menghancurkan pera-
saan itu sekejap lagi akan tiba.
Tapi apalah ar-
tinya... Karena semua itupun
akan diiringi den-
gan kematiannya..? Berfikir
Sumirah. Terdengar-
lah si Setan Cebol itu tertawa
lagi terengah-engah
karena menahan nafsu yang
menggelora, namun
anehnya tubuh yang telah
menindihnya itu bah-
kan menggelinding ke sisi
disertai keluhannya.
Ketika ia buka kelopak matanya.
Terbelalaklah
sepasang matanya, karena disitu
telah berdiri
sang Pendekar Roro Centil.
Ternyata Roro telah
menotok tubuh si Setan Cebol
itu, yang telah
muncul bagaikan malaikat saja...
Plak! Sebuah hantaman telah
membuat tu-
buh si Setan Cebol terguling ke
bawah.
"Uuuuh..!? Sss.. sssiapa
ka.. kau..?" Berka-
ta si Setan Cebol dengan
meringis. Kepalanya te-
lah dibuat bertambah
benjolannya. Hingga pada
kepala yang rambutnya bagai ijuk
itu telah ada
dua benjolan.
"Hi hi hi... Aku orang yang
akan mengirim
nyawamu ke Neraka..!
Kebiadabanmu telah be-
rakhir Setan Cebol!" Seraya
berkata Roro telah
tempelkan telapak tangannya pada
punggung si
Setan Cebol. Terlihatlah asap
tipis yang menge-
pul. Menjeritlah si manusia
terkutuk ini. Tulang-
tulangnya terdengar berkriutan,
dan lenyaplah
kekebalan tubuhnya. Punahlah
segala kekuatan-
nya. Karena Roro telah
pergunakan jurus keji dari
Sepuluh Jurus Kematiannya si
Dewa Tengkorak.
Si Setan Cebol ini memang hebat.
Ia masih beru-
saha untuk merangkak. Sepasang
lengannya ber-
gerak mengulur dengan kesepuluh
jarinya untuk
mencengkeram kaki Roro Centil.
Namun tena-
ganya memang telah punah...
Kembali sepasang
lengan itu terkulai. Dan
terlihat napas yang
memburu. Tapi sepasang matanya
masih terlihat
merah menyala seperti menahan
dendam yang
amat sangat pada orang
dihadapannya. Roro Cen-
til sudah bergerak lagi untuk
membebaskan toto-
kan pada tubuh Sumirah. Gadis
ini menatapnya
dengan sepasang mata terbelalak
seolah tak per-
caya akan apa yang terlihat
dihadapannya. Dan
sekonyong-konyong ia sudah
memekik dengan
isak tersendat. Pekik girang
haru yang tak terlu-
kiskan lagi. Seolah-olah Roro
Centil adalah bukan
siapa-siapa lagi. Seolah ibunya
sendiri yang ten-
gah menatapnya.
"Guruuuuu..!" Dan
tenggelamlah ia dalam
pelukan sang Guru yang
mengelus-elus pung-
gungnya dengan penuh kasih
sayang. Tampak air
bening yang menetes dari pelupuk
sang Pendekar
Wanita Pantai Selatan ini. Roro
Centil memang
seorang Pendekar Wanita yang
aneh. Melihat Su-
mirah roboh tertotok, dan jatuh
ke tangan si Se-
tan Cebol. Ia tampak
tenang-tenang saja. Karena
ia telah mendengar dan
mengetahui bahwa tak
mungkin si Setan Cebol akan
membunuhnya
dengan sekejap mata. Apalagi ia
telah mendengar
kata-katanya tadi, yang
mengatakan adanya tiga
wanita lagi yang telah ia sekap
didalam Goa. Ma-
kanya ia biarkan saja si Setan
Cebol itu mening-
galkan tempat itu. Tapi dengan
diam-diam ia te-
lah menguntitnya. Adapun pedang
tipis yang ter-
pental dari tangan Sumirah,
dengan cepat ia me-
nyambutinya. Demikianlah...
Hingga ia berhasil
memasuki Goa dengan diam-diam.
Ia memang
mengetahui si Setan Cebol itu
pasti berilmu san-
gat tinggi. Namun seperti
wejangan Gurunya si
Manusia Aneh Pantai Selatan,
yang telah menga-
takan bahwa: Tingginya suatu
ilmu adalah tak
ada batasnya. Karena diatas
langit masih akan
ada lagi langit. Tapi
"kecerdikan" adalah diatas
segalanya. Oleh sebab itulah ia
telah pergunakan
kecerdikannya untuk menjatuhkan
si manusia ib-
lis Setan Cebol. Hingga
berakhirlah kebiadaban-
nya.
Sejenak Roro Centil menatap pada
Sumi-
rah, yang telah membenahi lagi
pakaiannya. Lalu
beralih menatap pada si manusia
kerdil itu yang
tampak amat menjijikkan. Tubuh
telah tak berte-
naga lagi, bagaikan seonggok
daging yang sudah
tak bertulang... tengah menatap
padanya dengan
mata bersinar mengandung
kebencian. Sementara
giginya yang runcing-runcing itu
tampak menye-
ringai mengerikan. Mengeluarkan
suara geraman
seperti seekor serigala.
"Sebaiknya manusia ini
diberikan huku-
man yang setimpal atas
kebiadabannya..!" Berka-
ta Roro Centil. Dan setelah
berfikir sejenak, sege-
ra ia berkata pada Sumirah,
seraya palingkan wa-
jahnya pada gadis itu.
"Ayolah, kau ikuti aku...
untuk menyaksi-
kan hukuman apa yang akan aku
berikan pada
manusia iblis ini..!"
Selesai berkata Roro telah
jambak rambut si Setan Cebol,
dan menggusur-
nya keluar dari goa itu.
Ternyata Roro Centil telah
membawa tubuh si Setan Cebol
pada sebuah
tempat ketinggian, dimana
dibawahnya terdapat
rawa-rawa yang diairi serta
menyambung dengan
air sungai disebelahnya. Belasan
ekor buaya tam-
pak berkeliaran dibawahnya. Ada
yang tengah
berjemur diri pada panas
Matahari dengan men-
gangakan mulutnya. Ada yang
tengah saling kejar
dengan kawannya. Serta terlihat
pula yang baru
saja naik ke darat, dan merayap
ke tengah-tengah
rawa-rawa yang amat luas itu.
Ketika mereka menatap pada si
Setan Ce-
bol, tampak seketika pucat dan
pias wajahnya.
Berteriak-teriaklah si manusia
biadab ini ketaku-
tan, melihat beberapa ekor buaya
yang telah
mengangakan mulutnya ke arah
mereka. Ru-
panya bau manusia telah membuat
buaya-buaya
ini berkerumun dibawah tempat
ketinggian itu.
Roro dan Sumirah saling
berpandangan, dan sa-
ma-sama tersenyum. Dan tanpa
menunggu waktu
lama lagi Roro telah lemparkan
tubuh si Setan
Cebol ke arah makhluk-makhluk
melata itu, yang
segera saja telah menyerbunya
dengan moncong-
moncong yang menganga
memperlihatkan giginya
yang runcing-runcing. Terdengar
jeritan si Setan
Cebol yang menyayat hati. Dan
hanya sesaat, ka-
rena segera tubuhnya telah
diterkam dan diren-
cah dengan rakus oleh
binatang-binatang buas
itu yang tampak saling
berebutan. Hingga sekejap
saja tubuh manusia kerdil itu
telah terbeset jadi
beberapa bagian...
Sumirah palingkan wajahnya untuk
tidak
melihat kejadian itu, terasa
ngeri ia memandang-
nya. Namun sesaat kemudian Roro
telah tarik
lengan gadis itu untuk diajak
berlalu dari tempat
itu... Segera saja tampak kedua
tubuh wanita itu
berkelebatan dengan tidak
terlalu cepat mening-
galkan rawa-rawa yang telah
mengubur mayat si
manusia iblis penyebar maut itu
didalam perut
buaya-buaya penghuni rawa itu.
Ternyata keda-
tangannya telah disambut oleh Ki
Demang Gom-
bal Manik dengan suka cita. Juga
pendekar sua-
mi istri itu, yang tak lain dari
Sentanu dan Roro
Dampit. Kiranya si Iblis Tertawa
itupun ternyata
telah menemui kematiannya
ditangan sepasang
pendekar itu yang ternyata telah
bertambah il-
munya.
Suasana di lereng Gunung Merbabu
kini
telah menjadi cerah. Petani dan
pedagang sibuk
dengan pekerjaannya seperti
biasa, tanpa harus
mengkhawatiri akan adanya
manusia Iblis yang
akan mengganggu ketentraman
disetiap desa di
lereng gunung itu. Ki Demang
Gombal Manik
menjamu tamu-tamunya dengan
gembira, Bah-
kan sampai beberapa hari Roro
dan Sumirah ser-
ta sepasang pendekar suami istri
itu berada di-
rumah besar Ki Demang. Hingga
suasana pun
kembali sepi, ketika satu
persatu mohon diri, un-
tuk kembali pulang ketempatnya
masing-masing.
Roro Centil terpaksa memenuhi
permin-
taan Sumirah untuk menetap
sementara di Pade-
pokan Cemara Kandang. Gadis
manis itu ternyata
telah tampak bergairah lagi
dalam hidupnya, ber-
kat adanya Pendekar Wanita
Pantai Selatan itu.
TAMAT
Emoticon