Lima Wajah Seribu Dendam
* Copyright naskah ini di tangan penerbit
LOKAJAYA,
hak cipta pengarang dilindungi
undang-undang.
* Dilarang mengutip, tanpa
seizin penerbit.
* Menterjemahkan karya ini dalam
bahasa Asing, ha-
rus seizin penerbitnya lebih
dahulu.
1
PELANGI di ujung bukit itu
seperti melukis lan-
git setengah lingkaran...
Mega-mega telanjang meman-
dang terpukau akan keindahannya.
Mentari mengorak
senyum di lereng gunung, dengan
sinarnya yang mulai
melemah. Sesaat lagi ia akan
kembali keperaduan-
nya... Sementara lenguh
kerbau-kerbau pak tani ter-
dengar di kejauhan.
Beriring-iringan menuju pulang ke
kandang. Untuk esok kembali
bekerja membajak sa-
wah. Kerja keras yang hanya
berupa seonggok rumput,
namun cukup membuat mereka
senang. Dan bekerja
giat membantu sang majikan.
Gembala-gembala kecil
itu dengan tubuh lesu dan penat
tiduran di atas pung-
gung kerbaunya. Sekali-kali
masih terdengar canda
dan tawanya. Sementara jauh di
belakang, orang-orang
tua mereka menyandang pacul, dan
alat bajak, me-
langkah lunglai. Namun dengan
semangat terpencang
di dada. Esok atau lusa kelak
berharap panen akan le-
bih baik lagi.
Sebuah telaga kecil berair
jernih di sisi sungai
yang berbatu-batu itu masih
terdengar suara beberapa
gadis bersenda gurau. seperti
enggan untuk beranjak
dari tempat mandi yang berair
sejuk itu.
"Aku sudah ah, nanti
kemalaman sampai di
rumah. Bisa-bisa aku kena
marah..!" Berkata salah
seorang dari kelima gadis itu.
Dan serta merta beran-
jak untuk menyambar pakaiannya.
Gadis itu bernama
Sekar Tanjung. Gadis yang paling
cantik di antara me-
reka. Melihat itu, yang lainnya
pun bergegas naik ke
darat.
"Benar..! Terlalu asyik
kita mandi sampai tak
sadar hari hampir gelap..!"
Berkata salah seorang yang
terlihat lebih tua diantara
mereka. Yang dua orang ter-
nyata masih juga bercanda,
hingga salah seorang ber-
teriak :
"Awas, siapa yang paling
belakang tentu akan
digondol hantu Sendang. Siapa
yang dapat menolong?"
Terkejutlah keduanya, dan dengan
berteriak sambil si-
lih pegangan mereka cepat-cepat
beranjak ke darat.
Sampai-sampai salah seorang lupa
dimana menaruh
pakaiannya. Tentu saja
gadis-gadis lainnya jadi terta-
wa cekikikan saking lucunya
melihat sang kawan yang
bertelanjang bulat, sibuk kesana-kemari
mencari ba-
junya.
"Wah..! Pasti bajumu
disembunyikan hantu
Sendang..!" Teriak
kawannya.
"Ah, jangan main-main kau.
Aku takut! Siapa
yang sembunyikan? Awas nanti
kuhajar pantatnya..!"
Teriaknya sambil berjongkok
kedinginan.
"Aku tidak tahu..!"
Menyahut salah seorang.
"Aku juga tidak..! Berani
sumpah. aku tidak
menyembunyikan! Berkata kawannya
yang seorang la-
gi. Dan berturut-turut semuanya
tak ada yang menge-
tahui dimana kawannya ini
meletakkan pakaiannya.
Sekar Tanjung ternyata telah bergegas
berangkat lebih
dulu setelah mengenakan
pakaiannya. Empat pasang
mata segera beralih padanya.
"Eh... Sekar! Tunggu dulu.
Apakah kau tahu
dimana Serandil meletakkan
pakaiannya. Atau kau te-
lah menyembunyikannya..?!"
Teriak Siti Jenang, gadis
yang paling tua itu. Sekar
Tanjung menoleh, dan hen-
tikan tindakan kakinya.
"Aiii! Kalian jangan sembarangan menuduh
orang. Apa tidak terhanyut
terbawa air..?" Menyahut
Sekar Tanjung.
"Aku benar-benar tak
menyembunyikannya..!"
Tambahnya lagi. Sementara itu
Serandil sudah mau
menangis. Tubuhnya sudah
menggigil kedinginan. Pa-
da saat itulah terdengar suara
benda tercebur ke da-
lam air telaga atau Sendang.
Semuanya jadi terkesiap.
Dan salah seorang berbisik:
"Celaka..!? Jangan-jangan
hantu Sendang yang
mengganggu..!" Dan ia sudah
mendahului lari dengan
wajah pucat bagai kertas. Tentu
saja yang lainpun ber-
lari bubar ketakutan, tanpa
menghiraukan lagi pada si
gadis yang masih bertelanjang
bulat itu. Serandil ber-
teriak-teriak sambil menangis, berlari
kesana kemari
kebingungan. Sementara
kawan-kawannya sudah tak
kelihatan lagi. Akhirnya
Serandil cuma bisa menelung-
kup menutup wajahnya dengan
terisak-isak. Tak tahu
akan apa yang harus
diperbuatnya.
Senja terus merayap... Cuaca
berangsur-angsur
menjadi gelap. Beberapa orang
laki-laki termasuk seo-
rang lelaki tua yang berada di
bagian paling depan,
tampak berjalan dengan tubuh
layu... Wajahnya me-
nampilkan kebingungan. Lelaki
tua itu membawa se-
perangkat pakaian wanita.
Tampaknya ia ayah dari si
gadis bernama Serandil itu.
"Aku bukan mengkhawatirkan
akan adanya
hantu Sendang itu." Berkata
laki-laki tua bernama Ke-
bo Pawon itu. Dan lanjutnya:
"Tapi yang ku khawatirkan
adalah ulah perbua-
tan pemuda atau laki-laki iseng.
Siapa tahu ia memang
bermaksud buruk terhadap
anakku..!"
"Siapa kira-kira orang yang
bapak curigai..!
Jangan khawatir, pasti akan
kuberi hajaran dia.." Ber-
kata salah seorang bertubuh
tegap. Usianya sekitar ti-
ga puluh tahun. Dialah yang
bernama Telo Moyo. Bo-
leh dikatakan juga seorang
jagoan di desa Blimbing
Wuluh itu. Namun laki-laki tua
itu hanya terdiam. Pi-
kirannya telah terbenam dalam
keruwetan. Serandil
tak dapat dijumpai di sisi
telaga. Bahkan sudah seke-
liling tempat itu diperiksa.
Setiap semak lebat di sing-
kap dan dibabat, oleh keempat
laki-laki muda yang tu-
rut serta bersamanya. Namun
sosok tubuh Serandil
tak kelihatan. Ada dugaan ia
tenggelam di telaga, na-
mun tak ada yang berani untuk
menyelam. Ditambah
hari sudah gelap, dan suasana di
tepi Sendang itu
memang agak seram. Akhirnya
mereka pulang dengan
tangan hampa. Serandil lenyap
tak berbekas...
Sepekan sudah berita tentang
lenyapnya seo-
rang gadis di tepi telaga itu
sudah menyebar ke pelba-
gai pelosok desa Blimbing Wuluh.
Bahkan sampai pula
ke desa-desa lainnya. Serandil
memang hilang secara
misterius. Bahkan mayatnya pun
tak kelihatan. sean-
dainya ia tenggelam ke dalam
Sendang. Dugaan se-
mentara orang adalah pada
seorang pemuda bernama
Jembawan. Karena berbareng
dengan lenyapnya Se-
randil. Pemuda bernama Jembawan,
yang berasal dari
desa Nongko Jajar, yang tak
berapa jauh dari desa
Blimbing Wuluh itupun ternyata
lenyap. Beritanya ba-
ru diketahui oleh penduduk
Blimbing Wuluh dua hari
kemudian... Telo Moyo
beranggapan bahwa Jembawan-
lah yang telah membawa lari si
gadis bernama Serandil
itu. Rasa simpatinya pada Kebo
Pawon, membuat ia
bersama tiga orang kawannya
segera melacak ke ber-
bagai tempat. Mencari jejak
Jembawan dan Serandil.
Hampir setiap desa yang di
jumpai mereka. tentu dita-
nyakan akan adanya sepasang
sejoli yang menghilang
itu. Namun hampir semua yang
ditanyai menggeleng-
kan kepala... Ketiga orang
kawannya mengusulkan un-
tuk kembali saja. Terpaksa Telo
Moyo tak dapat meno-
lak keputusan itu walaupun
hatinya masih penasaran.
Namun ketika kembali ke desa
Belimbing Wuluh. beri-
ta baru membuat mereka terkejut.
Yaitu lenyapnya Se-
kar Tanjung, seorang gadis anak
seorang Kuwu kem-
bali lenyap dengan misterius...
Gemparlah keadaan de-
sa Belimbing Wuluh. Beberapa
pemuda desa dikerah-
kan untuk melacak ke pelbagai
tempat. Pak Kuwu
sendiri memimpin pelacakan itu.
Pertama-tama yang
dituju adalah desa Nongko Jajar.
Karena disana dike-
tahui seorang laki-laki bernama
Jembawan, yang juga
telah menghilang tak berbekas.
Tentu saja kedatangan
pak Kuwu yang bernama Bendoro
Kelud itu, mendapat
sambutan yang kurang baik dari
orang tua Jembawan.
Walaupun Jembawan adalah anak
angkat, namun te-
tap sudah menjadi bagian dari
kehidupannya.
"Maaf. pak Kuwu..! Aku
sendiri tak mengetahui
kemana anak itu pergi. Akupun
tak mengetahui ten-
tang hubungannya dengan
gadis-gadis dari desa Be-
limbing Wuluh. Apakah ada
hubungannya peristiwa
hilangnya dua gadis itu dengan
anakku..?" Aku sendiri
tak mengetahui..! Tapi janganlah
asal menuduh saja
pada anak orang. Karena biarpun
aku orang miskin,
aku punya harga diri. Aku
mengenal betul watak
anakku. Kalau dia bersalah pasti
aku yang akan
menghajarnya. Aku sendiri telah
mengirim orang un-
tuk melacak kemana perginya si
Jembawan itu..!" De-
mikianlah ujar Sugita. Tampak
wajah laki-laki tua
yang berumur lima puluhan tahun
itu merah padam.
Bendoro Kelud tak dapat berbuat
apa-apa. Memang ia
tak mempunyai tuduhan kuat untuk
dapat menyangka
Jembawanlah yang telah melarikan
kedua gadis dari
desa Belimbing Wuluh itu. Dengan
agak malu, segera
Bendoro Kelud meninggalkan desa
Nongko Jajar. di
ikuti pemuda-pemuda desanya.
Disaksikan beberapa
penduduk dengan bibir mencibir.
"Enak saja menuduh anak
orang. Memangnya
anak orang apaan..?"
Berkata salah seorang tetua di
desa itu sepeninggal pak Kuwu.
Sementara Sugita sen-
diri tercenung dengan wajah
murung. Ia sendiri sedang
memikirkan nasib Jembawan.
Kemanakah gerangan
perginya anak itu..? Gumamnya
dalam hati.
2
Tiga pekan sudah berlalu. Dan
pencarian ketiga
orang itupun menemui jalan
buntu. Tak seorangpun
yang mengetahui kemana lenyapnya
satu pemuda dan
dua gadis dari dua desa itu...
Puncak Mahameru yang tersembul
dibalik
awan itu bagaikan kepala raksasa
yang tegak menju-
lang dengan megahnya. Mentari
pagi masih merah di
ufuk timur. Pancarkan sinarnya
yang masih lemah.
Namun sesaat demi sesaat terus menggelinding
ke atas
dengan sinarnya yang kuning
keemasan. Kicau bu-
rung-burung tampak semarak
menyambut munculnya
si Raja Siang itu. Petani
mulai kembali berangkat ke
sawah memanggul paculnya.
Walaupun kekalutan itu
masih menghantui desa itu. namun
mereka tetap ha-
rus bekerja demi hidupnya. Di
kejauhan tampak seo-
rang gadis berjalan seenaknya.
Pakaiannya berbeda
dengan pakaian gadis-gadis desa
umumnya. Karena ti-
dak umum dikenakan oleh seorang
gadis biasa. Baju
atasannya berwarna merah jambu.
berlengan panjang.
Dengan ikat kepala yang juga
berwarna merah jambu.
melambai-lambai ditiup angin
pegunungan. Sedang
kan bagian bawahnya memakai
celana pangsi berwar-
na hitam. Dengan sabuk terbuat
dari kulit ular. Pada
kedua belah pinggangnya tampak
tergantung dua
buah benda berbentuk aneh. Yaitu
bentuknya seperti
payudara, yang tergantung pada
seutas rantai pada
kedua belah pinggangnya.
Sepasang kakinya memakai
sepatu rumput yang terbelit
dengan seutas tali menja-
lin betisnya hingga sampai ke
ujung celana pangs hi-
tam itu. Yang juga dibeliti oleh
tali dari sepatu rumput
itu. Sepintas saja orang dapat
mengenalnya, kalau ga-
dis itu adalah orang dari
kalangan Rimba Persilatan.
Wajah gadis itu ternyata amat
cantik. Walaupun tanpa
dipulas oleh pupur atau gincu.
Alisnya lentik menju-
lang ke atas. Melengkung bagai
bulan sabit. Wajahnya
bulat telur, dengan sepasang
mata yang bening. Hi-
dung yang tak terlalu mancung.
Sedangkan sepasang
bibirnya bagaikan gondawa. Dan
seperti menampak-
kan senyuman menawan... Wajahnya
menampilkan
seperti seorang gadis yang lugu.
Namun ayu, dan
luwes. Sepintas saja orang
memandang pasti tak akan
puas untuk memperhatikan lagi.
Rambutnya panjang
terurai berwarna hitam legam.
dan ikal bak mayang te-
rurai... Ternyata dialah RORO
CENTIL si Pendekar
Wanita Pantai Selatan. Yang
telah menginjakkan ka-
kinya didaerah itu. Langkahnya
tidak terlalu cepat.
Bahkan kadang-kadang berhenti
untuk melihat dan
mengagumi pemandangan alam
disekitarnya. Angin
gunung yang lembut itu sesekali
menyibak rambutnya,
membuat ikat kepala dan ujung
bajunya melambai-
lambai diterpa angin.
"Roroooo..!" Sebuah
suara telah memanggilnya
dari kejauhan. Segera ia
palingkan wajahnya ke arah
suara itu. Tampak alisnya agak
menyatu melihat seso-
sok tubuh dikejauhan yang
bergerak mendatangi. Da-
lam beberapa kejap saja orang
itu telah tiba di-
hadapan Roro Centil. Dan sudah
lantas berkata lagi.
"Roro,! Kau ada disini..?
Ujarnya dengan wajah
berseri-seri. Pemuda itu
berwajah tidak terlalu tampan.
Memakai pakaian warna putih,
tapi berperawakan ga-
gah. Sepasang matanya membersit
tajam menatap Ro-
ro Centil.
"Haii..! Kau rupanya
Ginanjar..! Angin apa yang
meniupmu sampai kemari..?"
Bertanya Roro dengan
menampilkan wajah terkejut, juga
kelihatan senang
sekali.
"Kaupun angin apa yang
meniupmu sampai
kemari..?" Balik bertanya
pemuda murid mendiang si
Pendekar Bayangan Bayu Seta itu,
dengan mata tak
lepas menatap wajah ayu
dihadapannya. Seperti ingin
rasanya ia untuk membelainya.
Roro cuma tersenyum.
Diam-diam iapun menatap dan
memperhatikan wajah
orang. Hingga dua pasang mata
beradu saling tatap.
Ternyata sepasang mata si pemuda
bernama Ginanjar
itu kalah dalam hal
tatap-menatap. Karena sekonyong-
konyong hatinya jadi berdebaran
tak keruan rasa.
Tenggorokannya entah mengapa,
tahu-tahu terasa se-
perti kering. Ia cepat
mengalihkan pandangannya ke
arah lain seraya alihkan
pembicaraan.
"Pemandangan disini
indah-indah, tentu saja
telah menarik perhatianmu untuk
datang kemari, bu-
kankah begitu Roro? Karena
akupun amat mengagumi
keindahan, makanya juga datang
kemari.." Ujar Ginan-
jar, memancing pembicaraan.
Karena ia tiba-tiba juga
kaku untuk bicara apa. Roro
Centil kembali menam-
pakkan senyumnya. Tapi kali ini
bibirnya terbuka le-
bar hingga menampakkan sederetan
gigi yang putih
bersih bak sederet mutiara. Roro
Centil tertawa kecil
sambil manggut-manggut dan
berkata:
"Benar! Aku memang tertarik
melihat peman-
dangan indah didaerah ini. Tapi
juga tertarik dengan
kisah aneh yang beritanya
terdengar dari desa sekitar
Gunung Slamet ini..!"
Ginanjar palingkan kepalanya
menatap lagi pada si cantik.
"Kisah apakah itu..?"
Berkata si pemuda den-
gan wajah serius.
"Kisah hilangnya dua orang
gadis dan seorang
pemuda secara misterius dari
kedua desa..!" Ujar Roro.
Sementara sepasang matanya
memandang sekitarnya.
"Nah..! Itu ada sebuah
dangau tempat mene-
duh. Mari kita kesana untuk
mengobrol..!" Kata-
katanya sudah dibarengi dengan
gerakkan tubuhnya
yang melesat ke arah bawah.
Ginanjar segera mengiku-
tinya dengan rasa ingin tahu.
Sebenarnya ia baru saja
tiba setelah berjalan semalam
suntuk dari Lebak Ba-
rang mencari obat-obatan. Karena
susahnya pengina-
pan dan desa. Ia terpaksa
menginap diperjalanan. Na-
mun karena ingin cepat-cepat
tiba di tempat yang ditu-
ju, ia telah melakukan perjalanan semalam suntuk.
Pagi subuh baru ia tiba di desa
Baturaden. Beruntung
ada orang yang baik hingga ia
bisa menumpang tidur
dalam beberapa kejap. Dan di
saat ia keluar, matahari
baru menggelincir dari lereng
Gunung Slamet. Saat ia
keluar untuk menghirup udara
segar itulah, ia men-
jumpai Roro Centil.
Sebentar saja. kedua orang
muda-mudi itu te-
lah duduk berhadapan di bawah gubuk
kecil tempat
beristirahat para petani atau
peladang itu. Segera Roro
Centil menuturkan apa yang telah
didengarnya dari
seorang penduduk di sebuah desa,
mengenai peristiwa
aneh itu.
"Aku beranggapan hal itu
adalah bukan perbu-
atan pemuda bernama Jembawan
itu. Pasti ada orang
lain yang memang sengaja
memancing kekeruhan..!"
Tutur Roro Centil dengan pasti.
Sementara Ginanjar
manggut-manggut dengan penuh
perhatian. Tampak-
nya ia serius benar untuk
mendengarkan penuturan
Roro itu namun sesungguhnya
fikirannya entah mene-
rawang kemana. Karena bukan
cerita itu yang ia dala-
mi, namun ia cuma memperhatikan
gerak-gerik gadis
ayu dihadapannya. Dan bibir
mungil itu yang terbuka
dan terkatup mempesonakan...
Bahkan sekali-sekali
Ginanjar menelan ludah saking
terpesonanya. Entah
dari mana tahu-tahu seekor lalat
telah mampir ke mu-
lut pemuda itu, yang agak
setengah terbuka.
"Ahk! Ahk!... Kurang
ajar..!? Setan alas..!" Me-
maki Ginanjar sambil
terbatuk-batuk. Namun rupanya
sang lalat telah masuk tertelan
kedalam tenggorokan-
nya. Karuan saja Roro Centil
jadi mengikik geli, hingga
terpingkal-pingkal saking
lucunya. Wajah Ginanjar jadi
tampak merah karena malunya. Dan
tiba-tiba saja ia
telah muntah-muntah karena tak
tahan menahan rasa
mual diperutnya.
"Hi hi hi... hi hi.. Lucu
sekali..! Makanya jangan
terlalu lebar buka mulutnya,
jadi.. jadi... Hi hi hi... hi
hi...." Kembali Roro
terpingkal-pingkal. Hingga gubuk
kecil itu bergoyang-goyang.
Dasar memangnya dangau
itu sudah tua, maka tiba-tiba
saja terdengar suara
berkreotan. Dan...
Brruaaak..! Robohlah dangau tua
itu dengan
seketika. Roro Centil sudah
melompat keluar. Namun
Ginanjar yang sedang
mengurut-ngurut perutnya itu,
tak sempat lagi untuk memikirkan
akan kejadian
mendadak itu. Hingga tak ampun
lagi ia sudah tertin-
dih oleh tiang-tiang bambu dan
atap alang-alang.
"Celaka..!?" Terpekik
pemuda itu. Namun sudah
terlambat. Tubuhnya sudah
teruruk oleh alang-alang.
Ketika muncul lagi wajahnya
hampir tak terlihat kare-
na penuh dengan jerami. Karuan
saja Roro Centil ter-
pingkal-pingkal saking lucunya.
Menyadari akan kebo-
dohannya. tiba-tiba Ginanjar
melesat cepat dari tempat
itu. Hingga sebentar saja ia
sudah tak kelihatan. Roro
Centil segera hentikan tertawanya
Mendadak kelucuan
itu segera sirna, melihat
kepergian laki-laki dihada-
pannya.
"Aih. Roro..! Kau terlalu
sekali sih menertawa-
kannya..!" Gumam Roro
Centil.
Habis lucu sekali..! Aku
terpaksa tak dapat me-
nahan tertawa..! Bantah hatinya.
Akhirnya Roro cuma
bisa menatap ke arah mana
kepergian pemuda yang
masih saudara seperguruannya itu
ketika di lereng Ro-
gojembangan. Roro Centil menduga
bahwa Ginanjar
pasti akan marah atau malu untuk
menjumpai dia la-
gi, karena ditertawakan sampai
keterlaluan. Sampai
nasib sial pagi-pagi sudah
menyambangi. Sudah terte-
lan lalat, kerobohan atap gubuk
lagi... Biarlah, nanti
aku akan cari dimana ia
menginap. Aku yakin ia tidak
pergi buru-buru dari sekitar
daerah ini. Dan aku akan
minta maaf..! Berfikir Roro
Centil. Memikir demikian
Roro segera beranjak dari tempat
itu.
Hari sudah menjelang tengah hari
ketika Roro
tiba disebuah pasar. Sengaja ia
berputar-putar di seki-
tar daerah itu untuk menyelidiki
keadaan. Entah bebe-
rapa desa ia masuki. Untuk
mencari dengar adanya
tanda-tanda yang dapat memberi
petunjuk tentang hi-
langnya ketiga orang desa yang
misterius itu. Ketika
menampak adanya sebuah rumah
makan. Ia segera
memasuki. Rumah makan itu cukup
besar. Dan agak-
nya hari itu banyak
pengunjungnya. Sepasang mata
Roro mencari-cari tempat yang
masih kosong. Tampak
ia tersenyum, karena disudut
ruangan itu, masih ada
sebuah meja dengan dua kursi
yang masih kosong. Se-
gera ia sudah beranjak kesana.
Menampak adanya
pengunjung yang berwajah ayu ini, beberapa pasang
mata sudah lantas melotot kagum.
Sampai-sampai
terdengar suara orang
batuk-batuk, karena terselak
oleh sayur pedas yang masuk
hidung. Keruan saja be-
berapa lelaki jadi berceloteh
dengan kata-kata yang tak
enak.
"Hati-hati bung..!"
Makanya mata jangan terlalu
lebar kalau melihat
orang..!" Dan bermacam kata-kata
lainnya lagi, yang diselingi
gelak tawa. Sedang kan Ro-
ro Centil sudah menggeser bangku
untuk duduk, den-
gan diiringi seorang pelayan
yang segera mendatangi
mejanya.
"Mau pesan apa
nona..?" Berkata sang pelayan.
Tapi belum lagi Roro menyahut
telah terdengar suara
dari meja sebelah depan.
"Eh, pelayan, kau
keterlaluan... Coba kesini du-
lu..!" Pelayan tua itu
cepat menoleh. Ternyata seorang
laki-laki brewok tengah
menggapainya. Karena yang
menggapainya itu tampak melotot,
tentu saja ia buru-
buru meninggalkan meja tamunya,
untuk segera ter-
buru-buru beranjak. Namun masih
sempat juga berka-
ta:
"Maaf, nona... Sebentar aku
datang lagi..!"
"Coba kau lihat meja ini!
Masak kotornya bu-
kan main. Apa begini caranya kau
melayani tamu... ?"
Berkata si brewok dengan keras,
sambil menunjuk pa-
da mejanya. Tentu saja tiga
lelaki disekelilingnya jadi
senyum-senyum ditahan. Karena
mereka tahu, si bre-
wok sengaja menumpahkan nasi dan
sedikit sayur
yang diacak-acak di atas meja.
"Apakah tadi kau tak
mengelap mejanya? Kalau aku
tidak merasa lapar se-
kali sejak tadi aku tak mau
duduk disini..!" Sambung-
nya lagi.
"Oh, maaf... Dan, aku tak
melihatnya..!" Berka-
ta si pelayan, dan cepat-cepat
mengambil kain untuk
mengelapnya. Tapi diam-diam
hatinya memikir: Ra-
sanya ada sesuatu yang aneh?
Sementara si brewok
sudah lantas beranjak dari
bangkunya.
"Biarlah aku pindah saja ke
tempat yang lebih
baik..!" Berkata si brewok
seraya berpesan untuk
membawakan minuman baru lagi
ke pada sang pe-
layan. Tentu saja kata-kata itu
dengan bisikan perla-
han. Roro tak palingkan wajahnya
sedikitpun. Tapi di-
am-diam ia tersenyum. la sudah
mengetahui akal
orang. Dan benar saja ternyata
saat itu si brewok tam-
pak mendatangi mejanya. Menyeret
kursi dan duduk
dibangku kosong dihadapan Roro
Centil.
"Boleh aku duduk disini,
ngng... nona..?" Ber-
kata si brewok sambil
tersenyum-senyum. Sementara
sepasang matanya merayapi wajah
orang dihadapan-
nya. Roro anggukkan kepala
sambil matanya menatap
tajam pada si brewok. Laki-laki
ini walaupun tam-
pangnya kasar, tapi cukup hormat
juga dan tidak ku-
rang ajar.” Berfikir Roro.
"Pesan apa..?"
Bertanya lagi si brewok setelah
berfikir sebentar.
"Belum sempat..!"
"Ooooh..!?" Laki-laki
brewok itu menyongkan
mulutnya, hingga kumisnya yang
berbulu kasar itu ja-
di ikut terbawa kedepan. Roro
sengaja menahan dari
rasa gelinya, karena ia melihat
orang itu agak lucu.
"Pelayan..!" Ia sudah
keluarkan bentakannya
dengan suara keras. Hingga semua
orang jadi menoleh
padanya. Tergopoh-gopoh sang
pelayan yang memang
tengah melangkah kesana, jadi
mempercepat jalannya
seperti setengah berlari. Namun
kembali memperlam-
bat jalannya, kalau tak ingin
gelas yang berisi kopi pa-
nas itu menjadi tumpah. Tampak
si brewok geleng-
gelengkan kepala. seraya
berkata:
"Kalau jadi jongos harus
kerja dengan cepat
dan gesit. Jadi pengunjung tak
kecewa..!" Si pelayan
tua itu hanya angguk anggukkan
kepala.
"Non... nona pesan
apa..?" Berkata si pelayan
setelah meletakkan segelas kopi
yang dibawanya itu
dihadapan si lelaki brewok.
"Pesanlah apa saja yang kau
mau, nona. Biar
nanti aku yang bayar..!" Si
brewok sudah mendahului
berkata. Sementara tiga orang
kawannya dimeja depan
terdengar tertawa geli tertahan.
Tiba-tiba entah dari
mana telah terdengar suara
suitan. Si brewok ini agak
melengak dan wajahnya berubah
merah. Belum lagi ia
berbuat sesuatu telah terdengar
tepukan ramai dari
meja disudut kanan, disertai
teriakan...
"Hidup, Warok Brengos, si
Pisau Terbang dari
Madura...!" Dan suara riuh
tepukan tangan pun kem-
bali terdengar.
"Sayang pisaunya cuma
tinggal satu..! Tumpul
lagi..!" Terdengar suara
teriakan santar dengan suara
nyaring, dibarengi dengan suara
mengikik tawa dari
dua orang wanita yang baru turun
dari ruang atas. Ke-
ruan saja semua mata tertuju pada
kedua wanita itu.
Mata Warok Brengos seperti mau
melompat keluar me-
lihat siapa adanya kedua wanita
itu.
"Perempuan-perempuan tengik
itu selalu cari
gara-gara..." Menggumam si
brewok, tapi ia kembali
duduk. Walaupun banyak orang
tertawa mendengar
kata-kata yang agak kurang sopan
itu.
"Maaf, nona... Rupanya
disini banyak kecoa-
kecoanya yang mengganggu aku.
Nanti selesai minum
akan kuberi pelajaran orang yang
telah kurang ajar
itu..!" Eh.. Mana pelayan
itu..? Apakah kau sudah pe-
san makanan, nona..?"
Bertanya Warok Brengos den-
gan terkejut. Karena ia tak
melihat ada pelayan disitu.
"Sudah..! Aku sudah pesan
sejak tadi!" Menya-
hut Roro. Rupanya di saat suara
teriakan den tepukan
macam-macam itu. Roro sudah
bisiki ditelinga si pe-
layan untuk membawakan
pesanannya. Dan sang pe-
layan segera pergi. Namun karena
merasa mendongkol
pada para pengunjung di dalam kedai itu, ia sampai
tak melihat lagi kalau si
pelayan sudah ngeloyor lewat
dihadapannya. Sementara itu,
begitu dua wanita itu
turun. Segera saja dua buah
kursi dikosongkan orang.
Dan seorang laki-laki yang
usianya sekitar empat pu-
luh tahun, berpakaian mewah,
tampak mengajaknya
bercakap-cakap. Diselingi gelak
tawa cekikikan kedua
wanita itu... Dua orang yang
ternyata adalah murid la-
ki-laki itu segera beranjak
keluar. Diam-diam Roro
Centil terkejut juga. Sekilas
saja ia sudah dapat perha-
tikan bahwa para pengunjung
restoran atau boleh dibi-
lang kedai besar itu, adalah
kebanyakan dari orang-
orang kaum Rimba Persilatan. Ada
apakah mereka bi-
sa berkumpul di tempat ini..?
Membatin Roro Centil.
Sambil menunggu hidangan, Warok
Brengos sengaja
mengajak bercakap-cakap pada
Roro dengan suara
agak keras. Dan lagak si
laki-laki brewok ini mendadak
berubah seperti tak perduli pada
semua orang yang
berada di situ.
"Nona pesan apa? Ko' lama
sekali..? Berkata
Warok Brengos.
"Tentu saja, aku pesan
seratus tusuk sate... Sa-
tu gelas kopi susu, dan dua
piring nasi putih..!"
"Ha..! ?" Seratus
tusuk.. ?! Apakah kau bisa
habiskan sebanyak itu... atau
kau mau bawa pulang,
nona..?" Berkata Warok
Brengos dengan kaget, hingga
sampai terlonjak dari kursinya.
Diam-diam ia menghi-
tung uang dalam saku di benaknya. Mati aku..! Ua-
ngku tak cukup untuk membayar
sebanyak itu..! Ber-
kata ia dalam hati. Roro agaknya
telah memaklumi
akan kegelisahan orang. Maka ia
sudah lantas mau
berkata.. tapi sudah terdengar
suara orang yang berka-
ta:
"Jangan khawatir nona..!
Aku yang bayar se-
mua termasuk kawanmu itu. Ha ha
ha... baru seratus
tusuk sate sih bukan
apa-apa..!" Dan terdengar geme-
rincing bunyi uang dalam kantung
yang diguncang-
guncang. Ternyata yang berkata
adalah laki-laki ber-
pakaian mewah disudut dekat
tangga itu. Yang duduk
bertiga dengan dua wanita tadi.
Wajah Warok Brengos
merah padam. Ia merasa terhina
sekali. Apalagi diden-
garnya suara dua orang wanita
yang tertawa cekikikan.
Membuat telinga si brewok jadi
panas. Saat itu si pe-
layan telah datang dengan
tergopoh-gopoh membawa
pesanannya. Dan dengan cepat
segala pesanan Roro
sudah terhidang di atas meja.
Warok Brengos menelan ludahnya.
Bau sate
kambing yang sedap itu telah
merangsang hidungnya,
hingga terlihat kembang-kempis.
Roro meneguk sedikit kopi
susunya. Lalu ber-
kata berbisik pada si brewok:
"Eh, sobat Warok..! Ayo kau
santap makanan
gratis ini. Aku memang sengaja
memesan sebanyak ini
untuk kita berdua.." Tentu
saja suara Roro tak terden-
gar oleh siapa-siapa, karena
Roro telah memperguna-
kan tenaga dalamnya, hingga cuma
si brewok itu yang
mendengarnya. Mata si brewok
jadi mendelik kaget,
karena hal itu di luar
dugaannya. Tapi Roro sudah ke-
dipkan mata untuk jangan
sungkan-sungkan. Tam-
paknya si brewok ini mengerti
dengan tanda itu. Dan
tanpa komentar lagi ia sudah
seret kursinya lebih de-
kat. Mencuci tangannya.
Mengelapnya dengan serbet.
Dan tak ayal lagi langsung
mengganyang santapan itu
tanpa malu-malu. Terdengarlah
suara riuh tepuk tan-
gan, dan teriakan-teriakan
Disertai oleh gelak tawa
terpingkal-pingkal dari
sekelilingnya. Namun Warok
Brengos sudah tak perduli lagi.
Setelah kenyang sampai beberapa
kali berta-
hak. Warok Brengos mengurut-urut
perutnya yang
buncit, terdengar ia berkata
keras:
"He he he... Terimakasih
sobat Guriswara..! Ka-
lau tidak karena nona ini, tak
nantinya kau mentraktir
aku. Ha ha he he he..!"
Terdengar beberapa orang me-
muji pada sikap si Brewok itu
yang tanpa malu-malu
menyantap makanan yang justru
tadinya ia yang mau
mentraktir orang... malah kini
berbalik di traktir oleh
si laki-laki berpakaian mewah
itu. Sementara ketiga
kawan si Brewok yang tadi semeja
dengannya, tampak
seperti mengiri akan nasib
orang. Yang sebentar saja
tampak sudah akrab dengan gadis
cantik yang lugu
itu.
"Eh, terimakasih atas
jasamu itu, nona..! Ngng..
kau sudah tahu namaku, tapi aku
sendiri belum men-
genalmu. Kalau boleh tahu
siapakah nona ini? Dan
akan kemana tujuannya?"
Berbisik Warok Brengos.
"Ah, namaku sangat jelek.
Apa perlu diberita-
hu..?" Berkata. Roro.
Sementara suara teriakan yang
hingar bingar itu sudah lenyap
lagi. Dan beberapa
orang sudah tampak keluar dari
kedai besar itu.
"Memangnya kenapa ?"
Apa khawatir aku
mengkambing hitamkan namamu ?
Aku tak ada ber-
maksud jahat padamu nona.
Percayalah! Aku orang
baik-baik..!" Berbisik si
Brewok. Sementara sudut ma-
tanya menatap ke arah laki-laki
bernama Guriswara.
yang mentraktir sate itu.
"Tapi kau harus hati-hati pada
orang yang
membayarkan makananmu. Dia sudah
kesohor hidung
belang terhadap wanita
cantik..!" Bisik lagi Warok
Brengos. Roro cuma
mengangguk-anggukkan kepala
sambil leletkan lidah. Dan
basahkan bibirnya dengan
beberapa teguk air putih. Lalu
keluarkan sapu tan-
gannya, untuk mengelap sepasang
bibir mungil itu.
"Namaku Roro
Centil..!" Segera Roro perkenal-
kan namanya dengan singkat.
"Tujuanku adalah mencari
tahu tentang peris-
tiwa lenyapnya dua orang gadis
dan satu pemuda ber-
nama Jembawan. Ketiga orang itu
telah hilang secara
misterius... Sambung Roro dengan
perlahan. Tampak
wajah Warok Brengos berubah
kaget, dan tampaknya
ia terkejut sekali.
"Hah? Ja.. jadi nona adalah
si Pendekar Wanita
Pantai Selatan itu..? Oh...
Maafkan aku yang bodoh
ini, nona Pendekar. Tak tahu
kalau Gunung Mahame-
ru berada didepan mata..!"
Berkata Warok Brengos
sambil menjura hormat.
"Aih... sobat Warok,
mengapa kau terlalu me-
nyanjung namaku? Aku jadi malu
hati menerima hor-
matmu..! Tukas Roro dengan wajah
tersenyum, namun
diam-diam ia terkejut juga
karena nama Roro Centil
ternyata telah dikenal disetiap
pelosok. Pada saat itu
ketiga dari kawan Warok Brengos
telah menghampiri.
Sambil cenger-cengir merubung di
kiri kanan dan be-
lakang si Brewok.
"He..Warok! Bagi-bagi aku
kalau dapat rejeki,
jangan dimakan sendiri..!"
Berbisik yang dibelakang.
Sementara yang dua orang tampak
melihat Roro den-
gan kagum, seperti memandang
sebuah boneka saja.
Tiba-tiba saja si Brewok bangkit
dari kursinya, seraya
memberi isyarat untuk segera
mengikutinya. Tentu sa-
ja ketiganya jadi terheran, dan
dengan cepat mengiku-
tinya. Ketika tiba-tiba
diluar...
"Hm, dengarlah kalian
sobat-sobatku. Bicara-
mu jangan terlalu kurang ajar.
Apakah kau tak menge-
tahui kalau nona yang ada
didekatku itu adalah si
Pendekar Wanita Pantai Selatan
Roro Centil..?!" Ter-
nyata Warok Brengos telah bicara
dengan suara keras.
"Hayo, segera kau minta
maaf padanya..! Ber-
kata Warok lagi. Adapun ketiga
orang kawannya jadi
terkejut bukan main mendengar
penjelasan itu. Dan
tak lama kemudian mereka segera
kembali ketempat
duduk Roro... Akan tetapi mereka
jadi terkejut, karena
tahu-tahu bangku disudut itu
telah tak ada orangnya.
Alias kosong. Sang Pendekar
Wanita Pantai Selatan itu
ternyata telah lenyap tak
berbekas.
"Heh..?! Kemana nona
Pendekar itu..? Wah!
Wah! Tentu sudah pergi dengan
diam-diam. Agaknya
tak ingin banyak orang melakukan
penghormatan pa-
danya. Enam orang yang berada
dimeja sebelah kanan,
juga telah menghampiri. Ternyata
keenamnya juga
termasuk kawan-kawan Warok
Brengos.
"Apa kalian tak lihat
kemana perginya Pendekar
Roro Centil, yang tadi duduk
bersamaku..?" Bertanya
si Brewok.
"Entahlah... Tadi begitu
kau keluar kami semua
melihat kearahmu. Ketika kami
berpaling lagi, nona itu
telah lenyap..!" Menuturkan
salah seorang.
"Hah..? Jadi dia Pendekar
Wanita yang kesohor
aneh dan berkepandaian tinggi
itu..? Menyesal tak se-
dari tadi kami tahu..."
Berkata kedua dari enam orang
kawan si Warok Brengos.
Gemparlah semua orang
yang berada direstoran.
Masing-masing membicarakan
nona pengunjung yang telah
lenyap itu. Bahkan ada
juga yang bercerita sempai
berlebih-lebihan mengenai
kehebatan si Pendekar Wanita
Pantai Selatan, Roro
Centil. Kemanakah perginya Roro
Centil..? Ternyata di
saat Warok Brengos meninggalkan
mejanya. Sebuah
benda melayang cepat sekali ke
arah Roro Centil, dari
arah jendela. Dengan terkejut
Roro menyambar cepat
dengan gerakan tangannya.
Ternyata benda itu adalah
segulung kertas kecil yang
bertulisan. Roro belum
membuka seluruhnya, tapi
tubuhnya telah bergerak
melesat keluar dari jendela.
Masih terlihat siapa yang
telah melemparkan benda itu.
Yaitu sesosok tubuh
yang berkelebat cepat ke ujung
pasar. Dan membaur
dengan simpang siurnya manusia
yang berbelanja. Ro-
ro agak susah untuk menyusulnya.
Dan ia benar-
benar telah kehilangan jejak.
ketika lorong-lorong bun-
tu membuatnya kikuk untuk
mengambil arah. Akhir-
nya ia melompat ke atas genting
sebuah bangunan.
Dari sana ia dapat memandang ke
sekelilingnya. Na-
mun tak ada tanda-tanda
mencurigakan. Segera ia me-
lompat lagi kebawah. Dan
berkelebat ketempat yang
agak sunyi. Disana ia perhatikan
dulu keadaan seki-
tarnya. Baru ia membuka kertas
kecil bertulisan itu.
Dan apa yang tertulis dikertas
itu membuat ia terkejut.
RORO...! Aku telah menemui jejak
tiga orang
aneh yang mencurigakan.
Pergilah ke arah sebelah barat.
Disana dapat kau jum-
pai sebuah kuburan kuno yang
besar.
Dihadapannya ada terdapat patung
katak raksasa.
Hati-hatilah...!
GINANJAR
Demikianlah isi surat dikertas
kecil itu. Roro
kerutkan keningnya. Dan segera
remas surat kecil itu.
Hatinya membatin: Hm... Kiranya
Ginanjar masih mau
juga turut membantuku. walaupun
tak mau bertemu
muka. Tampak wajah Roro
menampilkan senyuman-
nya. Dan tiba-tiba ia sudah
berkelebat cepat mening-
galkan tempat itu.
3
Kuburan kuno di lereng Mahameru
itu memang
sebuah tempat yang tersembunyi.
Rimba belantara
dan bukit terjal terdapat
disekelilingnya. Pelataran ku-
buran kuno itu ternyata amat
luas. Berlantai putih.
namun agak kotor tak terawat.
Sedang pada sisi sebe-
lah kanan terdapat patung seekor
katak besar yang
tengah mengangakan mulutnya.
Tiga sosok tubuh
tampak duduk bersila dihadapan
patung katak yang
tampak menyeramkan itu. Dua
orang wanita, yang sa-
tu adalah seperti seorang gadis
yang sudah kadalu-
warsa, alias perawan tua. Sedang
yang seorang lagi
adalah seorang gadis yang
berwajah pucat. Sedangkan
orang ketiga adalah seorang
pemuda yang cukup tam-
pan, umurnya sekitar dua puluh
lima tahun. Ketiganya
tampak tengah bersemadi dengan
khusuknya... Se-
mentara itu dari kejauhan tampak
terlihat dua orang
telah berkelebat mendatangi
kuburan kuno itu. He-
bat..! Ternyata kedua orang itu
adalah orang cacad.
Yang seorang sebelah kakinya
putus sebatas paha.
Dan pergunakan sebuah tongkat
kayu untuk me-
nyangga tubuhnya. Namun ternyata
dapat berlari den-
gan cepat seperti itu adalah
luar biasa. Sedangkan
yang seorang lagi kedua belah
lengannya yang bun-
tung. Tapi gerakan larinya tidak
merasa menjadi ham-
batan baginya. Sebentar saja
kedua sosok tubuh itu
telah tiba di pelataran makam
yang luas itu. Ternyata
kedua manusia itu berwajah amat
buruk, seperti bekas
terluka, Atau terkena goresan
goresan senjata tajam.
Bahkan yang seorang lebih
menyeramkan lagi. Karena
lubang hidungnya sudah growong.
dan bibirnya terbe-
lah dua. Mendengar ada orang
mendatangi, ketiga
orang yang tengah bersemadi itu
segera membuka ma-
tanya. Si gadis kadaluwarsa itu terlebih dulu berdiri
dan menjura hormat pada kedua
pendatang itu. Serta
beranjak menghampiri seraya
berkata:
"Ah! Kakang Kala Munget dan
Kala Wesi..! Ba-
gaimana dengan pengintai si
pencari rumput itu? Apa-
kah kalian berhasil
membunuhnya?" Salah seorang
tampilkan wajah kecewa, dan
berkata dengan kesal:
"Bocah keparat itu berhasil
lolos! Dia telah me-
nerjunkan dirinya ke sungai,
hingga kami yang tak da-
pat berenang, terpaksa
membiarkan ia melarikan diri
keseberang. Huh! Setan
alas..!"
Tampak si gadis kedaluwarsa itu
naikkan alis-
nya, dan menghela napas.
"Sayang..! Aku khawatir dia
dapat membocor-
kan tempat rahasia kita...
sebelum waktunya!" Berkata
si gadis kedaluwarsa itu.
"Hm, kapan kau bisa
dapatkan kulit yang cocok
dengan kami? Rasanya aku sudah
tak sabar lagi..!"
Berkata si bibir terbelah alias
Kala Wesi. Tampak si
gadis kedaluwarsa itu tersenyum,
dan sahutnya:
"Sabarlah, kakang! Tidak
terlalu mudah menca-
ri ukuran wajah, dan darah yang
sama seperti yang di
inginkan! Hari ini aku akan
pergi mencarinya. Tapi aku
harus menunggu perintah ketua
dulu..!"
"Aku harus segera menghadap
beliau. Hal ini
harus kulaporkan dengan
segera!" Berkata Kala Mun-
get yang berwajah seperti
dicakar kuku-kuku tajam
tak keruan rupa.
"Ah! ? Jangan dulu, kakang
Kala Munget..! Be-
liau sedang.. sedang.." Si
gadis kadaluwarsa ini tak te-
ruskan kata-katanya, karena
sekonyong-konyong wa-
jahnya berubah merah.
"Sedang apa..?"
Bertanya Kala Munget. Semen-
tara si bibir terbelah Kala Wesi
tampak menyeringai
mulutnya. dan berkata:
"Sudahlah! Aku tahu..!
Pokoknya sedang "Ber-
semadi". begitu! Iya kan..?" Si gadis kadaluwarsa ini
manggut-manggut dan menjelaskan
lebih jauh bahwa
sang Ketua tidak mau diganggu.
Pada saat itu kedua
laki-laki dan wanita yang duduk
bersemadi itu telah
melompat menghampiri. Keduanya
memang cukup
tampan dan cantik. Membuat Kala Munget dan Kale
Wesi jadi mengiri.
"Hm! Siti Jenang..! Kau
harus dapatkan wajah
yang tampan untuk aku, dan adik
Kala Wesi ini..! Ber-
kata Kala Munget.
"Hi hi hi... Jangan
khawatir. Pasti tak lama lagi
akan kudapatkan. Asal kalian mau
bersabar menung-
gu..!" Menyahuti si gadis
kadaluwarsa, yang bernama
Siti Jenang. Selanjutnya mereka
duduk bercakap-
cakap dengan suara perlahan.
Entah apa yang dibica-
rakan. Namun sekali sekali Siti
Jenang selalu merah
mukanya. Dan ketiga orang itu
tertawa. Sementara itu
dibalik semak, enam sosok tubuh
tengah mengintai
keempat orang yang sedang duduk
bercakap-cakap
itu. Ternyata tak lain dari Telo
Moyo. Jagoan dari desa
Belimbing Wuluh, bersama lima
orang lainnya. Tapi
yang kedua orang tampaknya bukan
orang sembaran-
gan. Karena kedua laki-laki itu memang dua tokoh
persilatan yang cukup punya nama
dikalangan Rimba
persilatan. Sedangkan yang tiga
orang lagi adalah
Bendoro Kelud. alias pak Kuwu
desa Belimbing Wuluh.
Kebo Pawon. Dan Sugita, dari
desa Nongko Jajar. Ter-
nyata pelacakan tentang
lenyapnya tiga orang pendu-
duk desa Belimbing Wuluh dan
desa Nongko Jajar te-
rus dilakukan. Dua tokoh
persilatan yang berilmu
tinggi itu adalah sahabat baik
Telo Moyo. Yang sengaja
disambangi untuk mencari jejak
ketiga orang yang hi-
lang secara misterius itu.
Karena adanya berita baru
dari seorang penduduk yang
membuka dua mayat te-
rapung disungai. Sayang mayat
itu kulit mukanya te-
lah terkelupas mengerikan.
Hingga tak dapat dipasti-
kan siapa adanya...
Telo Moyo yang penasaran segera
mengajak tiga
orang yang kehilangan anak itu untuk membuktikan
siapa kedua mayat tersebut. Tapi
dengan terlebih dulu
menghubungi kedua tokoh
persilatan itu. Sayang, me-
reka tak dapat menemukan kedua
mayat tersebut,
yang mungkin telah terhanyut.
Namun pelacakan te-
rus dilakukan hingga ke hulu sungai, di lereng Gu-
nung. Kedua laki-laki tokoh
Rimba Persilatan itu ter-
nyata mempunyai pendengaran yang
hebat. Ia dapat
mengetahui adanya orang yang
tengah berlari tak jauh
dihadapannya. Ternyata benarlah.
Ketika ia berkelebat
untuk melihat. Ternyata seorang
laki-laki dengan pa-
kaian basah kuyup tengah berlari
tidak terlalu cepat
mendatangi. Orang itu ternyata
Ginanjar adanya. Yang
baru saja berhasil meloloskan
diri dari kejaran Kala
Munget dan Kala Wesi. Mengetahui
orang-orang itu
adalah hendak mencari jejak tiga
orang penduduk desa
yang hilang misterius, Ginanjar
jadi terkejut. Karena ia
memang telah melihat ciri-ciri
yang diberitahukan Ro-
ro mengenai ketiga orang yang
hilang itu. Dan dua di-
antaranya ia dapat mengenali.
Sayang pengintaiannya
telah diketahui oleh Kala Munget
dan Kala Wesi... Gi-
nanjar yang memang tengah
mencari rumput-rumput
obat-obatan di lereng Gunung
itu. secara tak sengaja
telah menemukan sebuah kuburan
kuno di tempat
tersembunyi itu. Kedua tokoh
persilatan itu yang ter-
nyata berjulukan Pendekar
Kembar, jadi terkejut men-
dengar penuturan Ginanjar. Dan
tanpa dapat dicegah
lagi. mereka berniat
menyelidiki. Sedangkan Ginanjar
yang memang berniat menghapus
malu terhadap Roro
Centil, menemukan jalan yang
bagus. Ia segera menca-
ri si Pendekar Wanita Pantai
Selatan itu. Dan berhasil
menjumpainya. Dan melalui
jendela rumah makan itu,
ia melemparkan surat petunjuk
padanya.
Demikianlah... Hingga keenam
orang itu berha-
sil menemukan kuburan kuno di
tempat yang tersem-
bunyi itu. Dan beberapa pasang
mata segera meneliti
wajah-wajah kelima orang yang
tengah duduk berca-
kap-cakap dipelataran makam kuno
itu, dekat sebuah
patung seekor katak besar. Yang
terlebih dulu bicara
adalah Kebo Pawon.
Sepasang matanya tak lepas dari
wajah seorang
wanita yang duduk dekat si gadis
kadaluwarsa itu.
"Ah..! ? Benar, tak salah.
Gadis itu wajahnya
mirip benar dengan Serandil anak
gadisku yang hilang
itu... Tapi, apakah benar
dia..?" Desis Kebo Pawon per-
lahan. Sedangkan Sugita yang
dari desa Nongko Jajar,
ternganga mulutnya karena ia
telah melihat adanya
Jembawan. Anak laki-lakinya yang duduk bercakap-
cakap. Adapun Telo Moyo terkejut
bukan main, karena
melihat adanya Siti Jenang, si
gadis kadaluwarsa alias
perawan tua. Yang ternyata juga
berada diantara me-
reka. Dan pak Kuwu alias Bendoro
Kelud tampak ke-
cewa, karena tak dapat melihat
adanya anak gadisnya
yang bernama Sekar Tanjung, di
antara kelima orang
itu. Pendekar Dewa Kembar
memberi isyarat pada
keempat orang kawannya agar
hati-hati berbisik. dan
tidak terlalu gaduh. Akan tetapi
Kebo Pawon sudah tak
dapat menahan sabarnya lagi...
Tiba-tiba ia telah me-
lompat keluar dari tempat
persembunyiannya seraya
berteriak:
"Serandiiiil! Oh! Serandil
anakku..!" Dan den-
gan berlari-lari jatuh bangun ia
merosot turun dari
tempat ketinggian itu untuk
mendatangi kelima orang
itu. Pendekar Dewa Kembar dan
yang lainnya jadi ter-
kejut. Namun sudah terlambat.
Kebo Pawon telah tiba
di pelataran Kuburan Kuno itu.
Tentu saja kelima wa-
jah yang sedang bercakap-cakap
itu jadi terkesiap.
Dan serentak sudah melompat
bangun.
"He!? Orang tua dari mana
kau bisa datang ke
tempat ini?!" Bentak Kala
Wesi. Namun Kebo Pawon
tak menghiraukan bentakan itu.
Ia sudah berlari un-
tuk menubruk gadis disebelahnya Siti Jenang, berte-
riak dengan air mata bercucuran.
"Serandil..! Kau ada disini
anakku..?" Tapi tiba-
tiba laki-laki tua itu jadi terhenyak.
Dan menahan
langkahnya. Wajahnya menampakkan
keraguan.
"Tubuhmu tampak berbeda
anakku..? Dan mu-
ka mu agak pucat! Apakah kau
bukan Serandil? Tapi..
tapi.." Kebo Pawon tak
dapat meneruskan kata-
katanya. karena satu tendangan
keras membuat tu-
buhnya terjungkal keluar
pelataran. dengan teriakan
ngeri... Kurang ajar! Kau harus
dibunuh mampus, be-
rani menginjakkan kaki ketempat
ini..!" Bentak Kala
Wesi. Ternyata ia telah
mengayunkan kakinya ke arah
dada laki-laki tua itu.
Akibatnya ternyata amat menge-
rikan. Kebo Pawon terkapar
ditanah dengan darah me-
nyembur dari mulutnya. Namun ia
masih berusaha
bangkit. Bibirnya menyeringai
menahan sakit sepasang
matanya mendelik menatap kelima
orang di hadapan-
nya. Namun tak berapa lama ia
sudah roboh kembali
ke bumi, untuk melepaskan
nyawanya. Terkejutlah si
Pendekar Kembar dan ketiga orang
di tempat persem-
bunyiannya. Perbuatan keji yang
berlangsung didepan
mata itu, benar-benar membuat
mereka tersentak ka-
get. Tentu saja hal demikian
membuat kelima orang di
pelataran makam itu segera
mengetahui adanya bebe-
rapa orang yang mengintai.
Terdengarlah bentakan da-
ri Kala Munget. Tubuhnya sudah
berkelebat cepat ke
arah tempat persembunyian
mereka. Tidak itu saja.
Keempat orang kawannya sudah
berkelebatan ketem-
pat itu. Kini lima pasang mata
dari penghuni Kuburan
Kuno itu telah menatap dan
menyapu wajah wajah
orang dihadapannya. Melihat Kala
Munget dan Kala
Wesi yang bertubuh cacad, dan
bertampang buruk itu,
terkejutlah si Pendekar Kembar.
Sedari tadi iapun ten-
gah mengingat-ingat akan siapa
adanya kedua orang
bertampak buruk yang menyeramkan
itu. Adapun Su-
gita, laki-laki tua berbaju
putih dari desa Nongko Jajar
segera terpekik melihat adanya
Jembawan ditempat
itu.
"Jembawan..! Apakah kau
tidak mengenali ayah
mu lagi, anakku..?"
Teriaknya, walaupun sepintas ia
agak aneh menatap sikap anak
laki-lakinya yang tam-
pak pucat itu. Lengannya
menunjuk pada laki-laki
berbaju hitam yang tampan itu.
Yang ditanya terse-
nyum kaku. Terdengar dengusan
dari hidungnya.
Agaknya ia tak mau memberikan
jawaban. Tapi pa-
lingkan wajahnya pada Siti
Jenang disebelahnya.
"Hi hi hi... Agaknya kau
orang tuanya laki-laki
yang bernama Jembawan..!"
Berkata Siti Jenang. Dan
sambungnya lagi:
"Wajah kawanku ini memang
mirip dan sama
dengan Jembawan anakmu, orang
tua. Tapi sayang..
dia bukan Jembawan!" Telo
Moyo melompat kedepan
dengan menghunus golok besar
yang dibawanya. Wa-
jahnya menampilkan kemarahan Dan
ia sudah mem-
bentak dengan suara keras...
"Siti Jenang..! Jangan kau
main sandiwara. Apa
artinya semua ini..? Kau kira
aku tak dapat mengena-
limu! Aku memang agak curiga
dengan tindak tan-
dukmu..! Bukankah kau anak
angkatnya Manguni ?
Asal-usulmu tidak jelas. Kau
pernah akrab dengan pa-
ra gadis remaja. Dan sering
mengajak mandi di Sen-
dang, di desa Belimbing Wuluh.
Aku yakin kau pasti
terlibat dengan hilangnya tiga
orang penduduk dari
kedua desa. Kini dua diantara
orang yang hilang itu
ada disini..! Tapi adalah aneh
kalau sampai keduanya
tak mengenali lagi kedua orang
tuanya. Apakah artinya
semua ini..?"" Mulut
Telo Moyo nyerocos tak terben-
dung. Memang orangnya berwatak
kasar, dan bekas
seorang penjahat yang sudah
kembali sadar. Siti Je-
nang tampak perlihatkan wajah
tenang. Namun Kala
Wesi sudah membentak dan
melangkah tiga tindak.
Clik! Clik! Dua buah pisau
berkilatan telah ter-
sembul dari masing-masing ujung
sepatunya, yang
terbuat dari besi. Tapi Siti
Jenang telah cepat-cepat
berkata:
"Biarlah kuberikan
penjelasan pada manusia
manusia yang bakal mampus ini,
Kala Wesi.." Kala
Wesi palingkan kepala pada Siti
Jenang. Terdengar ia
mendengus, namun segera
melangkah lagi mundur
dua tindak.
"Hm. baik..! Aku akan
jelaskan kalau kalian in-
gin mengetahui..! Aku memang
telah menculik ketiga
orang dari dua desa di bawah
bukit itu. Dua dianta-
ranya telah ku kuliti mukanya.
Dan seperti kalian li-
hat. Kulit-kulit wajah kedua
laki-laki dan wanita itu te-
lah terpasang pada orang-orang
disebelahku.! Hi hi
hi.." Tutur Siti Jenang
dengan suara tegas. Penjelasan
itu membuat semua orang dari
pihak pelacak itu jadi
terkesiap. Adapun Sugita, orang
tua Jembawan dari
desa Nongko Jajar itu seketika
jadi mendeprok lemas.
Lututnya gemetaran. Sepasang
matanya memancar be-
rapi-api. Dan tampak air bening
mengalir turun dari
sepasang matanya yang sudah
mulai menggayut ke-
bawah. Bendoro Kelud alias pak
Kuwu tiba-tiba berte-
riak:
"Perempuan iblis..! Kau..
kau apakan anakku
Sekar Tanjung..?! Kau juga telah
menguliti wajah-
nya..?!" Tubuh laki-laki
yang masih tampak keker ini
tergetar hebat. Ia sudah
melangkah dua tindak mena-
tap Siti Jenang.
"Hi hi hi... Sekar Tanjung
tak akan dikuliti. Ka-
rena ia teramat cantik, dan
diingini Ketua kami! kin se-
lama beliau masih menyukai, akan
tetap hidup. Entah
kalau sudah bosan... Mungkin
segera menyusul yang
lainnya ke Akhirat..!"
"Keparat..! Jadi dua mayat
yang mengambang
di sungai itu adalah mayat dari
Jembawan dan Seran-
dil..?!" Teriak si Pendekar
Kembar hampir serentak.
"Hm..! Sudah kuduga. Aku
memang mencurigai
asal-usulmu Siti Jenang. Entah
kau ini sebangsa ma-
nusia ataukah iblis, dapat
berbuat sekeji itu..!" Berkata
Telo Moyo. Dan ia sudah memberi
isyarat pada si Pen-
dekar Kembar untuk menerjang.
"Hi hi hi... Aku hanya
menjalankan perintah..!
Kami memang para iblis yang
sebentar lagi akan men-
cabut nyawa kalian..!" Ujar
Siti Jenang dengan wajah
sinis. Telo Moyo tak dapat
menahan kemarahannya,
Dengan menggerung bagai harimau
ia telah menerjang
si gadis kedaluwarsa itu.
Disertai teriakannya...
"Kucincang tubuhmu
perempuan setan..!" Dan
golok besarnya berkelebat
membabat pinggang Siti Je-
nang. Namun sepasang tangan dari
laki-laki berwajah
Jembawan itu telah bergerak
menangkap. Terdengar-
lah suara berdenting keras.
Trang..! Golok besar Telo Moyo
bagai menghan-
tam benda keras. Hingga pada
bagian yang tajamnya
telah gompal alias somplak
lebar.
"Hah!?" Telo Moyo
tersentak kaget. Dan mun-
dur dua tindakan. Sepasang
matanya berganti-ganti
menatap senjatanya dan sepasang
tangan laki-laki
berwajah Jembawan itu. Segera
dapat diketahui kalau
sepasang tangan lawan, sebatas
sikunya terbuat dari
besi. Yang memang mirip dengan
tangan manusia,
namun agak kaku.
"He he he... Aku dijuluki
si Kelelawar Besi! Dulu
kedua lenganku ini telah
dihancurkan orang dari go-
longan putih. Aku tak dibunuh,
tapi telah disiksa se-
tengah mati, yang menjadikan aku
orang cacad seu-
mur hidup..! Dendamku takkan
pernah habis sebelum
melenyapkan setiap golongan kaum
putih. Dan orang
pertama akan kubunuh adalah kau
Telo Moyo. Aku
mengenalmu dulu sebagai seorang
perampok. Tapi
nyatanya kau telah berpindah
golongan. Bagus.! Aku
akan buat kau menderita terlebih
dulu seperti aku,
yang telah kehilangan kedua
lenganku, dan rusaknya
wajahku..! He he he.."
Berkata si laki-laki berwajah
Jembawan. Adapun Telo Moyo jadi
terperanjat. Seketi-
ka wajahnya berubah pias.
"Hah!?" Apakah kau
Sawunggeni..?" Teriak Telo
Moyo dengan suara tertahan.
"He he he... Benar! Nah!
Bersiaplah kau untuk
segera merasakan saat
sekaratmu!" Dan kali ini si ke-
lelawar Besi telah mendahului
menerjang Telo Moyo
dengan terjangan ganas. Kakinya
menjejak tanah, dan
tubuhnya melesat dengan lengan
terpentang menyam-
bar tubuh laki-laki bekas
perampok itu.
Trang! Trang! Telo Moyo melompat
kesisi sambil
hantamkan dua serangan goloknya
sekaligus Namun
lagi-lagi goloknya terpental
balik. Dan kembali bertam-
bah gompalnya.
Saat ia gugup itu, tiba-tiba
sebuah kepalan tin-
ju besi telah menghantam
dadanya. Terbeliak Telo
Moyo bagaikan tak percaya,
karena lengan si Kelelawar
Besi itu dapat mulur satu setengah
depa. Ia tak sem-
pat berkelit lagi. Dan roboh
terjungkal. Telo Moyo per-
dengarkan keluhannya. Namun
sekejap ia telah bang-
kit lagi dengan
terhuyung-huyung... Dan otot-ototnya
kembali tegang. Ia telah. dapat
menahan dan memu-
lihkan lagi kekuatannya. Walau
terasa dadanya agak
nyeri sedikit.
"He he he... Telo Moyo!
Lebih baik kau serahkan
saja sepasang lenganmu itu untuk
kuhancurkan..! Ke-
lelawar Besi mengejek dengan
senyum iblis.
"Keparraaat!" Teriak
Telo Moyo. Dan kembali ia
menerjang bagel kemasukan setan.
Goloknya memba-
bat kiri dan kanan menabas
pinggang lawan. Namun
kemana saja senjatanya
berkelebat, selalu dapat ter-
tangkis oleh sepasang lengan
besi si Kelelawar. Semen-
tara itu Pendekar Kembar telah
mencabut pedangnya
dengan serentak. Dua sinar hijau
segera terlihat dari
kedua benda ditangan si Pendekar
Kembar. Kedua
manusia cacad berwajah buruk itu
melompat mundur
tiga tumbak. Sepasang matanya
menatap kedua pe-
dang bersinar hijau ditangan
laki-laki berwajah hampir
serupa itu.
"Heh! Pedang Mustika
Hijau..!" Desis Kala Mun-
get yang berkaki satu.
"Benar..! Sepasang pedang
itulah yang telah
membuat cacad kaki dan tangan
kita..! Desis Kala We-
si yang kedua tangannya buntung.
"He he he... bagus! Kalian
pasti murid si Sepa-
sang Rajawali Putih. Pucuk di
cinta ulam tiba..! Kami
tak jauh-jauh lagi mencari musuh
yang telah membuat
kami cacad seumur hidup!"
Teriak Kala Wesi dengan
wajah semakin seram. Saat itu
terdengar desisan sua-
ra Siti Jenang: dibarengi dengan
gerakan tubuhnya
yang melompat mendekati kedua
orang cacad itu.
"Awas hati-hati dengan
lawanmu, kakang Kala
Munget dan Kala Wesi. Aku dapat
lihat sepintas. tam-
paknya kedua wajah pendekar ini
cocok dengan uku-
ran wajah kalian. Hati-hati
jangan sampai rusak. Dan
jangan sampai terbunuh. Siapa
tahu darahnya cocok
dengan darah kalian. Hi hi hi...
Aku jadi tak payah-
payah mencarinya..!" Kala
Munget dan Kala Wesi
manggut-manggut, dan tampak
tersenyum menyerin-
gai.
"Ha ha ha... Boleh juga!
Cukup tampan dan ke-
lihatan gagah!" Bisik Kala
Munget pada saudaranya.
"Dan sepasang Padang
Mustika Hijau itu bisa
jatuh ketangan kita..!"
Bisik Kala Munget lagi. Wajah-
nya berseri girang.
"Betul! Hayo kita
menangkapnya hidup-hidup!"
Berkata Kala Wesi. Dan ia sudah
tarik keluar kedua
lengan jubahnya, yang terbelit
dipinggang. Sementara
si Pendekar Kembar telah
melompat dua tombak keha-
dapannya.
"Dua Siluman buntung..! Kiranya kalianlah
yang telah membantai habis
orang-orang perguruan
Rajawali di Gunung Suket. Kami
Gambir Anom dan
Gambir Sepuh memang murid dari
Sepasang Rajawali
putih. Sayang kau terlalu
pengecut. Dan bertindak keji
selagi tak ada kedua Guruku.
Bagus..! Hari ini jangan
harap kau berdua dapat
meloloskan diri..!" Akan tetapi
kata-kata si Pendekar Kembar
tersebut telah disambut
dengan gelak tawa terpingkal-pingkal oleh Kala Mun-
get dan Kala Wesi.
Sementara itu telah terdengar
teriakan dari Telo
Moyo disebelah sana. Keadaan
amat mengerikan. Ka-
rena kedua lengannya telah
hancur terkena cekalan te-
lapak tangan besi si Kelelawar
Besi.
"He he he... Kini biji
matamu akan kukorek ke-
luar. Biar kau rasakan
sakitnya..!" Teriak Sawunggeni
yang berwajah Jembawan itu. Dan
kedua lengan be-
sinya terjulur ke arah Telo Moyo
yang terkapar menge-
rang kesakitan. Tapi pada saat
itu, telah berkelebat si-
nar hijau menyambar sepasang
lengan keji itu.
Whusss! Sambaran pedang salah
seorang dari si Pen-
dekar kembar itu menemui tempat
kosong. Karena si
Kelelawar Besi telah menarik
lagi sepasang lengannya.
Di lain pihak, Kala Wesi dan
Kala Munget masing-
masing telah bergerak ke arah
Pendekar Kembar. Men-
dengar bersyiurnya angin
dibelakang punggung, Gam-
bir Anom yang baru saja
menggagalkan niat keji si Ke-
lelawar Besi itu, segera
balikkan tubuh. Ternyata Kala
Wesi telah pergunakan lengan
jubahnya menyambar
pinggang. Dengan berteriak keras
ia menghantam den-
gan pedang Hijaunya.
"Wesss! Kilatan sinar hijau
berkelebat bagai
bayangan kilat. Namun lengan jubah
Kala Wesi telah
berubah arah menyambar kaki.
Kembali Gambir Anom
sambarkan pedangnya, sambil
melompat tiga tombak.
Sebelah lengannya telah ia
arahkan ke kepala Kale
Wesi. Segera menyambar angin
keras yang disertai te-
naga dalam hebat. Kala Wesi cuma
perdengarkan den-
gusan di hidung. Dan gunakan
lengan jubahnya men-
gebut ke arah serangan pukulan
lawan. Akibatnya ter-
dengar teriak tertahan Gambir
Anom. Tenaga dalam-
nya ternyata jauh di bawah Kala
Wesi dua tingkat. Tak
ampun lagi tubuhnya terlempar
beberapa tombak.
Namun dengan berjumpalitan di
udara, ia berhasil
menjejakkan kakinya kembali ke
tanah. Sementara itu
Gambir Sepuh telah menyambuti
serangan tongkat
bercagak Kala Munget. Hebat
serangan Kala Munget.
Karena nyaris saja kedua kaki Gambir
Sepuh terbabat
putus, kalau ia tak cepat
menyelamatkan diri. Demi-
kianlah... sebentar saja suasana
pertarungan berjalan
dengan seru dan tegang. Akan
halnya Sugita dan Ben-
doro Kelud, mengetahui keadaan
gawat. Segera diam-
diam menyelinap untuk menyelamatkan
diri. Tak ada
keberanian dari kedua penduduk
desa itu untuk maju
turut menempur. Karena tanpa
kepandaian yang be-
rarti, samalah dengan
mengantarkan nyawa saja. Akan
tetapi tiba-tiba berkelebat
sesosok tubuh kurus langs-
ing ke arah mereka. Dan kedua
laki-laki tua itu per-
dengarkan teriakan ngeri...
Tubuhnya terjungkal dua
tombak. Dan saat berikutnya
kedua orang yang ma-
lang itu telah tewas seketika.
Dengan kulit punggung
hangus bergambar telapak tangan.
Ternyata si gadis
berwajah Serandil itu yang telah
menghantamnya dari
belakang.
"Bagus adik Rimba Wengi.!
Hi hi hi... Kalau tak
dibinasakan akan bertambah wabah
ditempat kita ini."
Berkata Siti Jenang, yang juga
telah kelebatkan tu-
buhnya ke tempat itu.
Sementara itu di dalam sebuah ruangan yang
remang-remang. Tampak dua sosok
tubuh manusia
bergerak-gerak di atas sebuah
batu persegi, beralas ti-
kar pandan. Yang berada di
bagian atas ternyata ada-
lah sesosok tubuh wanita,
berambut panjang. Walau-
pun keadaannya tidak begitu
terang. Namun dapat ter-
lihat kalau wanita itu bertubuh
padat dan berparas
cantik. Rambutnya terjuntai ke
bawah. Ketika mengge-
rek-gerakkan kepala dan
tubuhnya... Sementara yang
berada di bagian bawah adalah
sesosok tubuh laki-laki
yang boleh dikatakan seperti
orang tak berdaya. Kare-
na hanya tampak menggeliat
geliat saja bagai merasa-
kan sesuatu. Sementara
keluhan-keluhan terlontar da-
ri mulutnya dengan suara yang
samar tidak begitu je-
las. Akan tetapi anehnya wanita
di atasnya itu terisak-
isak hingga air matanya sampai
bercucuran menetes
deras. Selang beberapa saat
tampak gerakan tubuhnya
semakin perlahan... Dan jatuhlah
ia terjerembab diser-
tai keluhannya.
Sekonyong-konyong sepasang lengan
telah mendekapnya erat, hingga
ia terasa sukar berna-
pas. Dan detik selanjutnya kedua
tubuh itu telah sa-
ma-sama terdiam. Hanya desah
menggebu itu yang
terdengar kian melirih.
Semilir angin dari lubang
dinding ruangan yang
agak pengap itu menyeruak masuk.
Hawa pengap itu
berubah agak sejuk.
Perlahan-lahan wanita itu mero-
sot dari tubuh yang tergolek
seperti mati itu. Seonggok
pakaian yang berada disudut batu
persegi itu telah
disambarnya. Dan dengan cepat
telah dikenakannya
kembali.
"He he he... Hebat! Jarang
aku menjumpai ke-
hebatan semacam ini..! Kau cukup
memuaskan hatiku
bocah ayu..!" Terdengar
suara serak bercampur tawa
terkekeh. Dan laki-laki berkumis
serta berjanggut yang
hampir semuanya memutih itu.
bangkit dari batu per-
segi. Ternyata sepasang kakinya
buntung sebatas lu-
tut. Tapi lebih aneh lagi adalah
sepasang matanya mi-
rip mata Serigala. Dengan pinggiran yang cekung me-
nyipit. Melihat laki-laki itu
telah bangun duduk. Si
wanita cepat mendekati. Tampak
ia sempat menyeka
air matanya, dengan lengan
bajunya.
"Sudahlah... Jangan
menangis! Aku tak akan
membunuhmu selama kau mau
melayaniku. Kelak
kau boleh tinggalkan tempat ini
kalau aku sudah tak
membutuhkanmu lagi..!"
Berkata laki-laki itu dengan
suara dingin. Sementara dengan
menahan isaknya si
wanita memakaikan jubah si
laki-laki itu, yang seperti
manja saja. Suara teriakan dan
bentakan dari orang
yang bertarung diluar ruangan
seperti tak dihiraukan-
nya. Kiranya mereka berada
didalam ruangan bawah
tanah di Kuburan Kuno itu.
Laki-laki ini adalah yang
berjulukan si Mata Iblis. Ketua
dari kelima orang yang
tengah bertarung diluar itu.
"Heh heh heh...
Murid-muridku dalam beberapa
gebrakan saja akan dapat
menumpas tikus-tikus bu-
suk yang coba menyatroni
kemari..!" Terdengar gu-
mamnya seorang diri.
4
Beralih sejenak pada perjalanan
Roro Centil,
yang setelah mendapat petunjuk
dari Ginanjar telah
berkelebat pergi dengan cepat.
Namun baru antara tiga
puluhan kali kakinya menyentuh
tanah. Pada sebuah
tempat yang datar. sesosok tubuh
telah berkelebat
menghadang. Terpaksa Roro Centil
hentikan tindakan-
nya. Dan segera dapat melihat
siapa yang mengha-
dang. Ternyata tak lain dari si
orang yang berpakaian
mewah, yang telah mentraktirnya
makan sate bersama
Warok Brengos. Dari kata-kata si
Brewok tadi ia dapat
mengetahui orang ini bernama
Guriswara. Baru ia da-
pat menegasi wajahnya. Yang
ternyata ia seorang laki-
laki seusia 40 tahun. Berkulit
putih. Wajahnya licin
tanpa cambang bauk. Namun
alisnya hitam tebal.
Dengan sepasang mata yang agak
kemerahan menyo-
rot tajam. Bibirnya agak lebar.
Dan wajahnya hampir
persegi empat. Anehnya laki-laki
ini memakai kalung
mutiara seperti wanita. Bahkan
juga sebelah anting
anting di telinganya. Ketika
membuka ,segera tampak
barisan giginya yang
besar-besar. Walau usianya su-
dah cukup larut. namun ia
kelihatan masih sangat
muda.
"Ha ha ha... Kita belum
sempat berkenalan,
mengapa anda terburu-buru untuk
pergi nona Pende-
kar Pantai Selatan..?"
Berkata Guriswara.
"Aku Guriswara..! Kaum
persilatan memberiku
gelar si Pemabuk
Dermawan..!" Boleh aku mengenalmu
lebih dekat, nona.. ngng... Roro
Centil?" Berkata
Guriswara dengan kata-kata yang
terdengarnya
amat memikat hati.
"Mengapa tidak boleh..?
Julukanmu si Pema-
buk, apakah kau tukang
mabuk?" Bertanya Roro.
Tampaknya Roro sengaja meladeni
apa maunya orang.
Guriswara tertawa terbahak-bahak
dan menyahuti:
"Ah..! Itu hanya julukan
saja. Eh agaknya nona
Roro Terburu-buru. Apakah ada
yang memang penting
harus ditemui..?" Bertanya
Guriswara.
"Cukup penting juga. Tapi
boleh aku menanya-
kan sesuatu pada anda, sobat
Pemabuk?" Tampak si
Pemabuk Dermawan kerutkan
alisnya. Sejenak benak-
nya memikir. Pertanyaan apakah
yang akan diajukan
oleh nona Pendekar ini? Tapi ia
sudah lantas berkata:
"Silahkan! Silahkan! Tanya
apapun boleh..! Pas-
ti kujawab...!"
"Baiklah! Yang akan
kutanyakan adalah masa-
lah sederhana? Yaitu.. Aku telah
melihat di rumah
makan tadi banyak tokoh-tokoh
persilatan. Entah dari
golongan mana saja? Dan ada
apakah maka sampai
bisa berkumpul di tempat itu..?" Tanya Roro Centil.
Mendengar pertanyaan itu si
Pemabuk Dermawan ter-
tawa agak hambar.
"Hm... Sebenarnya pertemuannya
itu masih la-
ma. Masih kira-kira satu bulan
lagi. Namun beberapa
tokoh hitam maupun putih, telah
berdatangan. Karena
hal yang menarik itu tentu saja
mengundang perhatian
kaum persilatan..!"
"Pertemuan apakah..? Dan
apanya yang mena-
rik..?" Tanya Roro dengan
penasaran.
"Di puncak Gunung Mahameru
akan diadakan
pertandingan adu kekuatan.
Menurut berita yang
sampai ke telingaku.
Pertandingan itu adalah untuk
menentukan siapa di antara kaum
persilatan yang pal-
ing kuat. Dialah yang akan dijadikan
pemimpin dari
kaum persilatan. Dengan tak
mengecualikan golongan
apa saja. Hal semacam ini memang
selalu diadakan se-
tiap dua puluh tahun sekali.
Ketua dari kaum rimba
persilatan yang lama adalah Ki
Dharma Tungga. Seo-
rang dari golongan kaum putih.
Namun tak ada lagi
kabar beritanya sama sekali.
Bahkan tak seorangpun
dari kaum rimba persilatan yang
mengetahui dimana
dan kemana adanya Tokoh Sakti
yang pernah menjadi
ketua kaum Rimba Persilatan itu.
Sebagian orang
mengatakan Ki Dharma Tungga
telah wafat." Roro
manggut-manggut mendengar
penuturan si Pemabuk
Dermawan.
"Apakah masa jabatan Ketua
Ki Dharma Tung-
ga telah habis, hingga diadakan
lagi pertemuan untuk
pemilihan Ketua yang Baru..? Dan
siapakah yang me-
nyelenggarakan untuk mengadakan
pertemuan kaum
rimba Persilatan ini..?"
Tanya Roro.
"Mengenai hal itu, aku tak
mengetahui sama
sekali. Undangan itu disebarkan
secara misterius dis-
ertai ancaman. Seandainya tidak
hadir, tidak akan di-
akui sebagai orang Rimba
Persilatan serta dianggap
pengecut! Dan bila tidak ada
yang datang, maka si pe-
nyelenggara akan mengangkat
dirinya menjadi ketua
Rimba Persilatan yang
baru..!" Tutur Guriswara. Dan
selama memberikan penjelasan itu
sepasang matanya
dengan rajin menatap setiap
lekuk liku pada tubuh
sang Pendekar Wanita Pantai
Selatan. Roro Centil ter-
pukau mendengar berita aneh itu,
yang benar-benar ia
baru mendengarnya. Diam-diam ia
membathin... Gila..!
Hal itu benar-benar bukan
pertemuan resmi, karena
merupakan tantangan serta
penghinaan terhadap
kaum Rimba Persilatan. Apa lagi
si penyelenggara tak
mau memperkenalkan namanya...
Pantas saja banyak
orang yang jadi penasaran
untuk berdatangan kema-
ri..!? Pikir Roro.
"Baiklah. Terima kasih atas
penjelasan anda
sahabat Pemabuk
Dermawan..." Roro sudah akan me-
lanjutkan kata-katanya, namun
Guriswara telah cepat
cepat memotong. "Ngng..
Nona Pendekar Pantai Sela-
tan... Nama besar anda telah
membuat aku yang ren-
dah ini menjadi kagum. Ternyata
lebih kagum lagi
memandang orangnya!"
Mendengar kata-kata itu Roro
tersenyum. Ia sudah menduga akan
hal itu. Dan su-
dah mengetahui siapa adanya
Guriswara, dari peringa-
tan yang telah dibisikkan oleh
Warok Brengos.
"Aih, sahabat Guriswara..!
Anda terlalu meren-
dah. Apalah artinya
kepandaianku? Orang terlalu me-
lebih-lebihkan diriku. Padahal
aku sendiri merasa tak
enak hati..." Roro Centil
menyahuti dengan suara da-
tar. Akan tetapi baru saja putus
bicaranya sudah ber-
kelebat dua sosok tubuh ramping
kehadapannya. Ter-
nyata yang datang adalah dua
orang wanita. Yang satu
berbaju hijau dengan rambut
dikepang dua. Sedang
yang seorang lagi bersanggul,
dengan tusuk konde
yang berbentuk kipas. Berbaju
ungu. Anehnya kedua
orang wanita itu menatap Roro
seperti wajah orang
cemburu...
"Hm, inikah gerangan sang
Pendekar Wanita
Pantai Selatan itu..? Ternyata
cukup cantik juga..! Tapi
sayangnya bermata keranjang!
Begitu muncul sudah
berkata tajam si wanita berbaju
ungu itu. Sepasang
matanya bersinar tajam, dengan
bibir tersenyum sinis.
Sedangkan yang berambut dikepang
terus saja me-
nimpali.
"Baru saja kenalan sama si
brewok Brengos. eh!
sekarang sudah mau menggaet lagi
orang lain..!" Se-
mentara Guriswara tampaknya jadi
serba salah, dan
menggaruk-garuk kepala. Adapun
Roro Centil melihat
gelagat tidak baik itu bukannya
membela diri. bahkan
tertawa mengikik geli.
"Hi hi hi... hi hi...
Siapakah yang melarang
orang jatuh cinta..? Apakah kalian
ini istri-istrinya si
Pemabuk Dermawan..?"
Bertanya Roro. Hampir berba-
reng keduanya menyahuti:
"Kalau benar, mengapa kau
tak lekas-lekas
menyingkir..?" Tukas si
baju ungu.
"Apakah mengandalkan nama
besar yang cuma
digembar-gemborkan pada cecunguk
itu, telah mem-
buat kau besar kepala..?! Dan
lantas dengan seenak-
nya saja sambar kiri sambar
kanan..? Huh! Benar-
benar tak ada muka..!"
Sambar si baju hijau yang
rambutnya dikepang dua. Roro
terdiam sejenak seperti
berfikir, sementara ia lihat Guriswara
tengah menatap
padanya. Tiba-tiba Roro Centil
tersenyum dan ke-
dipkan matanya pada si laki-laki
berbaju mewah itu.
Keruan saja kedua wanita itu
jadi jengkel setengah ma-
ti.
"Heh! Sekarang aku tahu.
Rupanya bukan
gayung yang mendekati gentong air,
tapi gentong air
yang mendekati gayung. Pantas ia
sampai melupakan
kami berdua. Rupanya kau telah
memeletnya..!" Berka-
ta si baju hijau berkepang dua,
dengan wajah semakin
memerah. Namun pada saat itu
Roro Centil sudah be-
rujar:
"Sudahlah, kalau kalian
menginginkan aku
menyingkir. Akupun secepatnya
akan pergi..!" Sambil
berkata demikian Roro sudah
langkahkan kaki untuk
beranjak dari situ. Tak dikira
kedua wanita itu telah
membentak dengan garang.
"Tunggu..! Enak saja kau
bicara! Sudah berte-
mu dan main mata pada laki
orang. mana bisa urusan
bisa habis sampai
disini..?!" Dan sekejap kedua wanita
itu telah melorot senjatanya
dari pinggang.
"Kami si Dua Dewi Kenari
ingin mencoba keli-
hayan senjata si Rantai Genit,
yang katanya kesohor
itu..! Hi hi hi... Melihat dari
sepasang senjatamu yang
menggiurkan mata laki-laki itu,
sudah dapat dipasti-
kan kau seorang wanita
kotor..!" Teriak si baju ungu
yang telah putarkan senjatanya.
Yaitu tiga buah roda
bergigi. sebesar piling yang
amat tipis. Terbuat dari ba-
ja putih yang berkilat-kilat.
Akan tetapi pada saat ka-
ta-kata si Dewi Kenari baru saja
habis, telah terdengar
makian dengan suara keras.
"Hai! Dewi Kenari! Apakah
kalian berdua men-
ganggap diri sendiri orang
baik-baik, dan bukan orang
kotor..?!" Teriakan itu
dibarengi dengan munculnya se-
sosok tubuh yang berkelebat
ketempat itu. Kedua wa-
nita ini melengak. dan palingkan
kepala. Segera terli-
hat Warok Brengos, laki-laki
brewok yang tadi berada
di rumah makan. Ternyata ia
telah juga menyusul
sampai ketempat itu. Namun yang
dipandang bahkan
membuang muka, dan tampak
terlihat tampilkan wa-
jah girang melihat Roro
Centil. seraya menjura dan
ucapkan kata...
"Nona Pendekar Roro,
sebaiknya tak usah men-
gotorkan tangan, meladeni
manusia-manusia macam
begini..!"
"Monyet sebrang pulau!
Menyingkirlah kau...!"
Teriak salah seorang dari Dewi
Kenari. Dan bersamaan
dengan bentakannya, sebuah kilatan menyambar ke-
pala. Ternyata roda baja itu
telah menyerangnya.
TRINNG..! Lengan Warok Brengos
bergerak. Ia
telah menangis dengan gagang
pisau yang telah di ca-
butnya, seraya miringkan kepala
ke samping. Senjata
itu terhantam balik. Dan sekejap
telah disambut kem-
bali oleh si Dewi Kenari. Pada
saat itu Roro Centil telah
berkelebat sepuluh tumbak.
Begitu akhirnya mengin-
jak tanah, telah terdengar
bentakan si Dewi Kenari,
yang telah juga melesat untuk
menyusul.
"Mau kemana kau Roro
Centil! Hayo mengadu
kekuatan denganku..!"
"Baik! Kalau kau memang
menginginkan. Mana
kawanmu? Bertarung melawan
sebelah Dewi mana
enak..! Bukankah kalian berjuluk
Dua Dewi Kenari..?"
Ujar Roro. Seorang dari Dewi
Kenari yang berkepang
itu ternyata tengah menerjang
pada Warok Brengos.
Senjata yang dipergunakan adalah
sebuah kipas baja,
berujung runcing. Namun agaknya
si Brewok enggan
melayaninya. Hingga yang
terlihat laki-laki itu cuma
mengelak saja kesana-kemari. Hal
demikian ternyata
membuat si kepang dua yang
bernama Sawur Seri itu
jadi membentak keras. Gerakan
kipasnya jadi semakin
gencar. Terpaksa Warok gunakan
pisaunya untuk me-
nangkis setiap serangan.
Sementara Guriswara telah
lenyap entah kemana... Pada saat
itu si Dewi Kenari
berbaju ungu yang bernama Kili
Cantrik sudah menye-
rang Roro Centil dengan
roda-roda bajanya.
"Awas serangan..!"
Bentaknya. Dan dua buah
roda bergigi itu meluncur deras
menyambar leher dan
pinggang.
Wessss! Wessss! Bersyiur angin
tatkala kedua
benda itu dapat dielakkan Roro,
dengan sedikit menge-
gos miringkan tubuh. Tapi tak
urung beberapa lembar
rambut Roro terbabat putus.
Terkejut juga si Pendekar
Wanita Pantai Selatan. Ia memang
tak menyangka ka-
lau roda-roda baja itu dapat
terhalau. Adapun puku-
lan-pukulan tangan kosong si
Dewi Kenari, sengaja ia
papaki dengan mempergunakan
sepertiga tenaga da-
lamnya untuk memapaki. Namun hal
itu ternyata di-
luar dugaan membuat Roro
terhuyung beberapa tin-
dak.
"Hi hi hi... Baru sebelah
Dewi saja kau sudah
sempoyongan. Apalagi kalau kami
maju bersama!"
Berkata Kili Cantrik dengan
jumawa. Sementara se-
rangan-serangannya semakin
gencar mengurung Roro.
Tapi diam-diam si Dewi Kenari
ini terkejut dan kagum
juga, karena tampaknya Roro
Centil dengan mudah sa-
ja dapat mengelakkan serangan
ganasnya. Tapi ia ber-
girang hati juga, karena tenaga
dalam lawan berada
dibawahnya. Berfikir Dewi
Kenari.
"Ayo tunjukkan senjata
Rantai Genit mu yang
lucu itu. Apakah kau mampu
menghalau serangan-
ku..?" teriak Kili Cantrik.
Tiba-tiba Roro Centil melom-
pat mundur tiga tombak. Sepasang
matanya menatap
tajam pada si Dewi Kenari.
Otaknya bekerja cepat saat
itu. Hm, jangan-jangan kejadian
ini sudah diatur agar
memperlambat tujuan ke Kuburan
Kuno itu. Berfikir
Roro. Karena sedari tadi tak
menampak adanya Guris-
wara. Kalau ia berniat menyudahi
pertarungan, den-
gan meninggalkannya... bisa saja
ia perbuat. Tapi ia
akan mencoba sampai dimana
kesombongan si Dewi
Kenari ini, dengan senjata Roda
Bajanya. Saat itu Roro
sudah berkata keras:
"Baik! Agar kau tidak
menyesal dan penasaran,
akan kupergunakan senjata si
Rantai Genitku. Tepi
dengarlah kata-kataku Dewi
Kenari..! Aku bukan dari
jenis manusia kotor seperti
kalian!" Roro sudah melo-
loskan sebuah Rantai Genitnya,
seraya berteriak: "Li-
hat serangan..!" Dan
tubuhnya telah berkelebat ke
arah si Dewi Kenari. Sedang
senjatanya diputar keras.
hingga menimbulkan suara
berdengung seperti ratu-
san tawon. Dewi Kenari agak
terkesiap. Tapi segera
lancarkan serangan kilat ke arah
pinggang dan leher.
Sedang satu lagi ia pakai
menerjang maju. Sebelah
lengan menghantam, sebelah lagi
menyerang dengan
senjatanya... Aneh akibatnya.
Dua roda Baja itu seperti
sehelai kertas melayang ke
samping semua
seperti berkejaran. Dan
terjangan Dewi Kenari
menemui tempat kosong, karena
dengan berteriak ke
arah Roro kelebatkan tubuh.
mengejar kedua roda.
Dengan melangkahi kepala Dewi
Kenari setinggi tiga
tombak. Ternyata roda baja
bergerak memutar kebela-
kang sang majikan. Namun sebelum
si Dewi Kenari ba-
likkan tubuh untuk menangkap.
Roro Centil telah
menghantam kedua benda itu dari
atas.
TINGNG! TINGNG..! dan Bles!
Hampir berba-
reng kedua roda itu telah
meluncur kebawah. Dan am-
blas kedalam tanah. Dewi Kenari
balikkan tubuh, dan
terkejutlah melihat senjatanya
lenyap. Tiba-tiba ia me-
lompat mundur lima tombak.
Begitu menjejakkan kaki,
ia segera berteriak:
"Sawur Sari..! Hayo kita
pergi dari sini..!" Dan ia
sudah mendahului berkelebat.
Sawur Sari yang tengah
menerjang Warok Brengos segera
hentikan serangan.
Dan berkelebat menyusul
kakaknya. Warok Brengos
tatap kedua wanita itu yang
berkelebat pergi.
"Nona Roro...!
Aiiih..!?" Teriak Warok Brengos
terkejut. Karena batu saja ia
menoleh. Ketika melihat
ke arah Roro Centil, ternyata
sudah tak ada ditempat-
nya lagi.
5
"ROROOOOOOO...!" Suara
itu terdengar dike-
jauhan lapat-lapat... Roro
kertak gigi untuk segera
mempercepat larinya bagai
terbang. Namun tetap saja
ia tak mampu menyusul sosok
tubuh itu, yang berke-
lebat cepat bagaikan melebihi
kecepatan angin. Namun
tetap Roro Centil semakin
penasaran untuk menyusul.
Aku tak boleh sampai kehilangan
jejak..! Gumamnya
mendesis. Beruntung ia telah
mewarisi ilmu lari si
Pendekar Bayangan Bayu Seta.
Hingga tanpa rasa le-
lah, tubuhnya terus meluncur
bagai enak panah men-
gejar sosok tubuh
dihadapannya... Ternyata dikala si
Dewi Kenari melarikan diri, Roro
Centil tak mau ber-
lama-lama untuk segera
meneruskan perjalanannya ke
lereng Gunung. Mencari kuburan
Kuno, seperti yang
dikatakan Ginanjar dalam surat.
Akan tetapi betapa
terkejutnya Roro, ketika melihat
pemuda itu tengah
bertarung seru melawan seorang
kakek tua renta, yang
berpakaian mirip pengemis. Roro tadinya berniat
membantu pemuda itu, tapi segera
ia urungkan. Kare-
na sudah sejak lama sekali ia
tak mengetahui, sampai
dimana kemajuan ilmu kedigjayaan
saudara sepergu-
ruannya itu. Sang kakek pengemis
tua renta itu me-
makai jubah putih yang sudah
bertambalan di sana-
sini. Bahkan dibeberapa bagian
telah sobek saking tu-
anya. Kelihatannya bagai orang
yang tak bertenaga
sama sekali. Tapi ternyata mampu
mengelakkan setiap
serangan pedang Ginanjar. Bahkan
jenggotnya yang
putih memanjang terjuntai
didagunya, dapat dibuat
sebagai senjata. Karena
sekonyong-konyong dapat me-
negang. Serta mampu menghantam
balik pedang pe-
muda itu. Hebat! Memuji Roro
dalam hati dari tempat
persembunyiannya. Kini
terlihatlah kehebatan permai-
nan pedang Pendekar lereng
Rogojembangan itu. Roro
menahan napas ketika melihat
segulung sinar perak
membungkus tubuh Ginanjar
menjaga serangan si ka-
kek pengemis yang telah
pergunakan tiga batang lidi
aren untuk menyerang lawan.
Suara bersiutan terden-
gar semrawut mengacaukan
telinga. Terlihat Ginanjar
mulai terpengaruh oleh suara
yang mengganggu itu.
Tiba-tiba ia berteriak keras.
Sebelah lengannya meng-
hantam dada sang kakek. Dapat
dipastikan dada yang
tipis, dengan seketika akan
remuk dihantam lengan
kekar pemuda Ginanjar. Namun
aneh. Begitu meng-
hantam dada, terdengar Ginanjar
keluarkan keluhan.
Sedang pedangnya yang telah siap
membelah kepala
lawan itu jadi berhenti ditengah
jalan. Apa yang terja-
di..? Kiranya tubuh Ginanjar
telah berubah jadi kaku
dengan posisi menyerang...
Segera saja tubuh itu lim-
bung untuk ambruk ke bumi. Roro
Centil keluarkan
teriakan tertahan dan melompat
keluar. Namun ber-
samaan dengan bergeraknya tubuh
Roro. Sang kakek
telah menyambar tubuh pemuda
itu. Dan sekejap telah
berada di atas bahunya.
"Hm, kau pasti si Roro
Centil, bocah Pantai Se-
latan itu...! Mengapa tak sedari
tadi kau bantu ka-
wanmu ini..?" Bertanya sang
kakek tanpa palingkan
kepalanya. Terkejut Roro, belum
melihat orangnya, ta-
pi telah mengetahui siapa
dirinya. Aneh..!? Menggu-
mam Roro. Tapi ia sudah melompat
untuk mengha-
dang dihadapan pengemis itu.
"Kakek pengemis..! Apakah
kesalahannya maka
ia kau totok sedemikian rupa ?
Dan akan kau bawa ke
mana dia..?!" Bentak Roro. Melihat
sang kakek itu su-
dah mau angkat kaki. Tapi sang
kakek itu dengan wa-
jah tak berubah telah menyahuti:
"Huh! Apa perdulimu dengan
segala urusanku?
Apakah dia kekasihmu...? Mengapa
kau begitu
mengkhawatirkan sekali
padanya..?" Tanya si kakek
pengemis. Seketika wajah Roro
jadi berubah merah.
"Dia... dia.. saudara
seperguruanku! Mengapa
kau harus melarangku, kalau aku
mau mencegah mu
untuk membawanya!?" Ujar
Roro dengan wajah meng-
kal.
"He he he... Dia mau ku
kawinkan dengan cucu
perempuanku..! Nah! Kalau dia
bukan kekasihmu,
minggirlah! Beri aku
jalan..!" Berkata si pengemis tua
renta.
"Tidaaak! Aku tak mau kau
kawinkan dengan
cucu perempuanmu!! Lepaskan
aku..!" Tiba-tiba Gi-
nanjar berteriak. Namun tetap
saja ia tak dapat ber-
geming sedikitpun. Terkejut Roro
Centil mendengar-
nya. Entah mengapa hatinya jadi
seperti orang kehi-
langan. Dan detak jantungnya
terasa berdegup lebih
keras. Mau dikawinkan..? Sentak
Roro dalam hati.
Disamping agak lucu. tapi juga
aneh. Pikirnya... Men-
gapa mau mengawinkan cucu orang
harus memaksa
orang untuk jadi menantunya..?
Gila! Maki Roro di ba-
thin.
"Roroooo..! Tolonglah kau
bunuh pengemis bau
ini! Aku tak mau kawin dengan
cucu perempuannya.
Bisa-bisa aku ketularan
bau..!" Teriak Ginanjar lagi.
Dalam hati Roro agak geli juga
mendengar ucapan Gi-
nanjar. Tapi tampaknya pemuda
itu benar-benar keta-
kutan sekali. Sang kakek
tiba-tiba tertawa terkekeh-
kekeh geli sekali. Hingga sampai
tubuhnya terguncang
guncang.
"He he he... he he... Cucu
perempuanku cantik
sekali. Dibanding dengan gadis
didepanmu masih se-
belas kali lebih cantik. Kalau
masalah bau sih sudah
umum. Pokoknya kau tak akan
penasaran..!" Berkata
sang kakek sambil kembali
terkekeh-kekeh. Panes hati
Roro Centil. Wajahnya tampak semakin
merah hingga
melebihi merah bajunya.
Tiba-tiba Roro gerakkan tan-
gan bertolak pinggang seraya
berkata keras dengan
nada pedas:
"He! Kakek tua renta yang
sudah mau masuk
liang kubur..! Apakah kau tidak
dengar kalau dia tidak
mau? Walau cucu perempuanmu
cantiknya 212 kali
lebih cantik dari diriku, kalau
dia tetap tidak mau
apakah harus kau paksa..?!"
Mendengar kata-kata Ro-
ro, Ginanjar berteriak lagi.
"Bagus Roro, dia memang
tidak tahu malu.
Memaksa orang untuk kawin
seenaknya. Aku tak akan
pernah jatuh cinta pada gadis
lain Roro..! Karena aku..
aku hanya mencintaimu..!"
"Hah..! ?" Tersentak
Roro Centil mendengar ka-
ta-kata Ginanjar. Seketika
wajahnya menjadi dingin
bagai disiram air es... Tapi
hatinya mendadak jadi ber-
gemuruh tak keruan rasa. Akan
tetapi pada saat itu
terdengar suara sang kakek:
Emoticon