SATU
Laki-laki itu bernama RAKA
RUMPIT. Ram-
butnya gondrong sebatas bahu.
Berperawakan te-
gap, dan berwajah tampan.
Mempunyai sepasang
alis yang tebal hitam dengan
sepasang mata yang
agak sipit. Tebing di mana
laki-laki yang ditaksir
masih berusia muda itu adalah
tebing batu bukit
terjal. Di bagian bawahnya
mengalir anak sungai
yang bercabang dua. Persis di
bagian atas muara
sungai itulah, si pemuda bernama
Raka Rumpit
ini berdiri untuk memandang ke
sekitar. Dan di
bawah kakinya itu adalah tempat
tinggalnya, di
mana terdapat sebuah goa batu
yang menghadap
ke arah sungai. Barusan saja dia
naik ke atas bu-
kit dengan pergunakan
kelincahannya mendaki.
"Rumpiiiit...! Kau
kembalilah dulu, bocah
gendeng! Atau aku hajar pantatmu
dengan tong-
kat ini!" Terdengar suara
teriakan suara seorang
wanita yang parau dari bawah
tebing. Pemuda ini
tampak menampilkan senyuman
melebar, seraya
menoleh ke bawah.
"Hahaha... haha... Aku
malas turun lagi, ne-
nek peot! Kau sajalah naik ke
atas! Aku sudah
hampir bosan tinggal di dalam
sarang tikus yang
berbau pengap itu!" Pemuda
ini menyahuti see-
naknya saja, tanpa perdulikan
kalau yang me-
manggil adalah gurunya.
"Bocah kurang ajar! Aku
segera akan naik ke
atas! Dan jangan harap kau dapat
selamatkan
pantatmu dari gebukan
tongkatku...!" Teriak sua-
ra dari bawa seperti bernada
gusar. Akan tetapi si
pemuda ini cuma cengar-cengir
mendengarnya.
Sebuah bayangan berkelebat dari
bawah bu-
kit. Dan sekejapan saja di atas
lamping bukit ba-
tu itu sudah berdiri seorang
nenek tua renta yang
bungkuk. Berwajah menyeramkan,
karena me-
mang mirip dengan tengkorak. Di
lengannya ter-
cekal sebuah tongkat hitam legam
yang meleng-
kung bagai ular meliuk. Melihat kemunculan si
nenek bongkok itu, si pemuda ini
cuma nyengir
sambil garuk-garuk kepala. Si
nenek bongkok
tampilkan wajah gusar. Sepasang
matanya mem-
bersitkan sinar tajam menatap si
pemuda murid-
nya itu.
"Eh, bocah gendeng! Apa kau
bilang tadi? Kau
sudah bosan tinggal di lubang
tikus tempatku
ini...?" Ujarnya dengan
suara lantang. Tentu saja
pemuda ini jadi gelagapan karena
dilihatnya sang
guru seperti benar-benar marah
dan tersinggung
mendengar kata-katanya. Segera
dia buru-buru
menjawab.
"Bukan begitu, nenek...
Akan tetapi aku me-
mang memerlukan menghirup udara
segar di
luar! Maksudku... aku... aku
ingin turun gunung
barang sebentar!" Ucap Raka
Rumpit dengan ter-
senyum nyengir, dan garuk-garuk
kepala yang ti-
dak gatal. Memandang tingkah si
pemuda murid-
nya itu yang agak lucu, rupanya
mengundang ra-
sa geli si nenek bongkok.
Membuat dia jadi terse-
nyum, dan tertawa mengikik.
Akan tetapi suara tertawanya
kembali hilang,
karena kembali dia keluarkan
suara bentakannya
dengan sepasang mata melotot
menatap si pemu-
da.
"Bocah edan! Aku mau tanya,
apakah kau te-
lah menggeratak ke tempat
tidurku...? Ada satu
barang yang hilang! Kalau benar
kau yang men-
curi, aku tak akan puas kalau
belum menggebuk
pantatmu!" Berkata si nenek
bongkok.
"Apanya yang hilang,
nek...? Pantatmu...?
Eh... ma... maaf! Maksudku
anu... apa yang telah
hilang dari wilayah tempat
tidurmu...?" Tanya
Raka Rumpit latah.
"Whoalah! Bocah edan! masih
muda sudah la-
tah!" memaki si nenek bongkok.
"Aku telah kehilangan salah
satu barang pu-
saka! Yaitu sebuah cincin perak
berbatu "com-
bong", apakah kau telah
mengambilnya?" Ta-
nyanya.
Pemuda itu jadi cengar-cengir,
dan teruskan
garuk-garuk kepalanya. Akan
tetapi dia memang
telah mengakui perbuatannya.
"Hahaha... benar, nek!
Kalau itu yang kau ta-
nyakan, aku yang mengambilnya!
Pas benar di ja-
ri tanganku! Aku menyenanginya,
dan memang
sudah ada niatku untuk
memintanya!" Ujar Raka
Rumpit seraya memperlihatkan
cincin yang dipa-
kainya. "Kapan kau berniat
memintanya?" "Ya...
sejak aku mencurinya...!"
Sahut si pemuda den-
gan nyengir.
"Bocah ganjen! Kalau begitu
pantatmu me-
mang patut dihajar...!"
Berteriak si nenek bong-
kok dengan geram, dan sudah
mengangkat tong-
katnya.
"Ampun, nek... Ampuuun...!
Jangan gebuk
pantatku!" Berteriak Raka
Rumpit sambil berlon-
cat-loncatan memegangi
pantatnya. Tentunya
dengan wajah cengar-cengir
menggoda sang guru.
"Bocah edan...!"
Teriak si nenek gemas. Dan
tubuhnya berkelebat....
"Ampun, nek! Jangan gebuk
pantatku...!" Te-
riak si pemuda seraya kembali
pasang wajah cen-
gar-cengir.
"Bocah edan! Kau kira kau
akan berhasil me-
nyelamatkan pantatmu yang tepos
itu? Hehe-
hehe... jangan mimpi!"
Mendengus si nenek bong-
kok.
Tiba-tiba tongkatnya diangkatnya
tinggi-
tinggi. Sementara bibirnya
berkomat-kamit mem-
baca mantera. Sedangkan sepasang
matanya me-
natap tajam pada si pemuda
muridnya itu, seperti
telah menahan tubuh sang murid
agar tetap ber-
diam di tempat. Terkejut Raka
Rumpit. Karena
tahu-tahu kakinya seperti terasa
berat untuk di-
gerakkan. Seolah lengket dengan
tanah yang dipi-
jaknya. Sementara hatinya jadi
mencelos melihat
tongkat yang diangkat
tinggi-tinggi oleh sang
guru, bergerak memutar dan
meluncur ke arah-
nya.
"Ah, celaka...!? Aku tak
berhasil menolong
pantatku lagi!" Desis si
pemuda.
Benarlah apa yang dikhawatirkan
pemuda
itu, karena tahu-tahu tongkat si
nenek bongkok
sudah menukik ke belakang
tubuhnya. Dan....
Plak! Plok! Plak! Plok!... Plak!
Plok! Plak! Plok!
Berteriak-teriaklah si pemuda itu dengan me-
nyengir-nyengir kesakitan,
ketika merasai tongkat
itu menggebuki pantatnya.
"Ampun, nek! ampuun...
guru! Adoow! kena
bisulnya tuh!? sudah, nek!
sudaaah...! adududu-
duh ... aduuh..."
Aneh! dan amat menakjubkan
sesekali, kare-
na tampak si nenek bongkok cuma gerak-
gerakkan tangannya saja di
kejauhan. Sedangkan
tongkatnya bagaikan mempunyai
mata dan bagai
bernyawa saja, telah menggebuki
pantat Raka
Rumpit beberapa kali. Dan
pukulan terakhir ada-
lah mengarah sepasang kaki anak
muda itu, yang
tak ampun membuat tubuh si anak
muda jatuh
terjengkang.
Mengeluh pemuda ini, akan tetapi
si nenek
bongkok justru tertawa mengekeh
dan ber-
jingkrakan kegirangan.
"Hehehehe... hehehe...
asyiiik! Baru kau tahu
rasa, bocah edan!" Tampak
lengan si nenek bong-
kok seperti bergerak untuk
menarik kembali te-
naga anehnya. Dan tongkat hitam
yang mirip ular
meliuk itu memutar ke atas, lalu
meluncur kem-
bali ke arahnya. Sekejap sudah
kembali tercekal
di lengannya.
Setelah mengusap-usap pantatnya,
pemuda
ini bangkit melompat berdiri.
Diam-diam hati ber-
syukur, karena gebukan tongkat
yang dilakukan
gurunya itu tak seberapa keras.
Dan cuma gebu-
kan biasa saja. Seandainya sang
guru memper-
gunakan pukulan bertenaga dalam,
bukan mus-
tahil kalau sang pantat akan
hancur luluh. Di
samping mendongkol, tapi diam-diam dia juga
bergidik ngeri. Karena khawatir
sang guru ketele-
pasan tangan. Entah cincin perak
bermata batu
"combong" itu apakah
khasiatnya, hingga tampak
si nenek jadi sewot dan
uring-uringan mengetahui
"barang"-nya lenyap
dicuri sang murid.
"Aku akan kembalikan cincin
milikmu ini,
nek...!" Berkata Raka
Rumpit. Seraya melompat
ke hadapan si nenek bongkok. Dan
pergunakan
tangannya untuk membuka kembali
cincin batu
combong yang dipakainya. Akan
tetapi si nenek
tampak menahannya seraya
berkata;
"Sudahlah! Kalau kau memang
senang me-
makainya, pakailah! Kau memang
ada bakat jadi
pencuri, bocah ganjen!
Hehehehe... suatu saat,
bukan benda lagi yang kau curi,
pasti banyak
wanita akan kau curi
hatinya...!" Ucap si nenek
dengan tertawa mengekeh hingga
sampai terselak,
dan batuk-batuk dengan hebat.
"Jadi... jadi benda ini
boleh aku pakai, nek?"
Tanya Raka Rumpit seperti kurang
percaya.
"Bocah kolokan! Aku sudah
bilang pakai, pa-
kailah! Mengapa masih banyak
tanya segala?"
Bentak sang guru dengan
plototkan matanya.
"Hahaha... haha... terima
kasih! terima kasih,
nenek! Kau memang guruku yang
paling manis,
paling lihay, dan... paling
pe... eh, paling cantiiik
sekali!" Berkata Raka
Rumpit. Tadinya dia sudah
mau katakan paling peot, akan
tetapi segera di-
urungkan, karena khawatir si
nenek menjadi ma-
rah lagi. Dan bahkan tahu-tahu....
CPLOK! CPLOK...! Sang murid
telah mengha-
diahi ciuman pada kedua pipi si
guru. Tentu saja
membuat sepasang mata nenek
bongkok itu jadi
membeliak tertegun. Akan tetapi
segera terdengar
suara tertawanya mengekeh.
"Hehehe... hehe... bocah
ganjen! Kalau mau
pergi, pergilah! Tapi jangan
berlama-lama! Bebe-
rapa bulan lagi kau harus sudah
menamatkan pe-
lajaran mu! Apakah kau tak ingin
menguasai ilmu
menggebuk pantat dengan
tongkat...?" Ujar si ne-
nek.
"Tentu saja mau, guru...!
Baiklah! Aku berjan-
ji tak akan lama turun gunung!
Nah aku berang-
kat, nenek manis...!"
Berkata Raka Rumpit. Se-
raya perlihatkan senyumannya,
dan berkelebat
cepat tinggalkan tempat itu. Si
nenek bongkok
cuma menatapnya dengan sinar
mata memancar
tajam.
"Aiiih, tak kusangka bocah
edan itu membuat
aku jadi gregetan! Dan... dan
aneh! Mengapa aku
sudah jatuh cinta padanya?"
Tak terasa dia sudah
kembali tertegun seraya
mengusap-usap ke-
dua belah pipinya bekas ciuman
sang murid yang
konyol itu.
"Aiiih, Rumpit! Rumpit...!
Mungkin bukan hati
para gadis saja yang akan kau
taklukkan, tetapi
hatiku pun nyatanya sudah kau
taklukkan...!"
Desis suara si nenek perlahan.
Dan amat perla-
han hampir tak terdengar. Namun
tak lama tu-
buhnya sudah berkelebat kembali
menuruni teb-
ing. Dan melesat masuk lagi ke
dalam goa "lobang
tikus"-nya....
***
DUA
Prabu GURAWANGSA masih termangu-
mangu duduk di kursi kebesarannya. Wajahnya
menampilkan kesedihan, walaupun dalam bebe-
rapa hari ini baru saja usai
mengadakan pesta
meriah menyambut para tamu
undangan. Tentu
saja dalam rangka
"selamatan" atas terhindar-
nya Kerajaan
MATSYAPATI dari bencana kehan-
curan. Karena berhasilnya
ditangkap biang keladi
kerusuhan di Kota Raja, dan
terbukanya kedok
pengkhianatan Patih BUNTARAN.
Para tamu un-
dangan itu tak lain dari para
Pembesar Kerajaan,
dan tokoh-tokoh kaum Rimba Hijau
yang turut
membantu menumpas kaum perusuh.
Kesedihan baginda Raja tak lain
karena pe-
nyesalannya telah menyia-nyiakan
Permaisuri
Durgandini. Bahkan telah
mengutus pula orang-
orang bayaran untuk membunuh
sang Permaisu-
ri. Semua itu adalah atas
hasutan Patih Bunta-
ran. Dengan dalih akan
membahayakan Kerajaan.
Karena dengan adanya sang Prabu
Gurawangsa
mengambil tiga selir sekaligus,
dan satu di anta-
ranya telah hamil. Sang
Permaisuri Durgandini
telah melarikan diri dari
Istana, tanpa ketahuan
ke mana perginya. Entah mati
atau masih hidup
sampai kini masih menjadi
teka-teki bagi sang
Prabu Gurawangsa.
Calon bayi yang akan lahir dari
selir bernama
NAWANGSIH itu adalah yang kelak
berhak meng-
gantikan sebagai pengganti Raja
keturunan Prabu
Gurawangsa. Akan tetapi ternyata
Nawangsih
adalah seorang wanita penipu,
yang cuma menga-
caukan keadaan di dalam keluarga
sang Raja.
Nawangsih adalah SRI MAYANG,
alias si Kelabang
Kuning. Seorang toko Rimba
Persilatan yang cu-
ma mengingini kehidupan sebagai
selir Raja. Ke-
hamilannya adalah cuma permainan
belaka, ka-
rena Sri Mayang memang punya
keahlian meng-
gembungkan perut.
Di saat Kerajaan dalam kalut
atas terjadinya
pembunuhan-pembunuhan terhadap
orang-orang
pihak Kerajaan, bahkan dua orang
selir baginda
Raja pun tewas digantung berikut
istri Senapati
SATRYO, saat itulah Sri Mayang
unjukkan dirinya
bahwa dia tidak mengandung.
Tentu saja mem-
buat Prabu Gurawangsa
terperanjat.
"Hihihi... suamiku! Aku
adalah wanita petua-
lang! Terima kasih atas
kesediaanmu selama ini
memperhatikan diriku, namun aku
memang ha-
rus pergi dari sisimu. Aku sudah
cukup puas me-
rasakan bagaimana rasanya
menjadi selir seorang
Raja. Kerajaanmu saat ini ada
dalam ambang ke-
hancuran, Prabu Gurawangsa!
Pengkhianatnya
tak lain adalah Patihmu sendiri!
Nah, selamat
tinggal!"
Setelah mengucap demikian Nawangsih
alias
Sri Mayang berkelebat pergi dan
lenyap dari
ruang Istana. Terperangah Prabu
Gurawangsa,
seperti petir menyambar di siang
hari mendengar
pengakuan wanita selirnya itu.
Namun kenyataan
pahit itu memang telah
dialaminya. Dalam kea-
daan kalut itulah muncul Satryo,
sang Senapati
yang menghadap dengan membawa
berita kema-
tian kedua selir. Juga istri
sang Senapati Satryo
sendiri turut jadi korban.
Tertegun sang Prabu
Gurawangsa. Namun dengan bekal
pengakuan
dari Nawangsih alias Giri
Mayang, Baginda Raja
telah mengetahui biang kerusuhan
itu. Dan perin-
tahkan menangkap Patih Buntaran.
Demikianlah, dengan bantuan Kaum
Rimba
Hijau yang bermunculan, para
Tumenggung dan
Senapati
Satryo beserta lasykarnya
berhasil membekuk
Patih Buntaran, si pengkhianat
Kerajaan itu. Dan
menewaskan para pembantunya,
yang terdiri dari
para kaum Rimba Hijau golongan
Hitam yang te-
lah diundangnya.
Kini para tokoh itu sudah
meninggalkan Kota
Raja. Kerusuhan sudah usai. Dan
pelaksanaan
hukuman gantung pada Patih
Buntaran telah se-
lesai. Bahkan sudah dilaksanakan
sejak tertang-
kapnya. Tinggallah kini sang
Baginda Raja Kera-
jaan MATSYAPATI ini memikirkan
calon pengganti
Patih di Kerajaannya. Juga
beberapa jabatan
pembantu Kerajaan yang perlu
diadakan peng-
gantian dan perombakan.
Namun agaknya Kerajaan
Matsyapati sudah
mendekati di ambang kehancuran.
Karena Prabu
Gurawangsa sendiri ternyata
meninggalkan Ista-
na. Setelah beberapa hari
termenung tanpa men-
gambil keputusan musyawarah
dengan para Pen-
gagung Istana, Prabu Gurawangsa
dengan diam-
diam telah menyediakan
perbekalan seperlunya.
Dan tengah malam sang Raja yang
dalam kea-
daan hati kalut tanpa berhasrat
meneruskan Pe-
merintahannya, telah mengendarai
kudanya me-
ninggalkan Istana. Entah ke mana
perginya. Tak
seorang pengawal pun diberitahu
atau mengeta-
huinya.
Senapati SATRYO perintahkan para
Tumeng-
gung mencarinya. Namun sampai beberapa hari
tak membawa hasil. Ya, Prabu
Gurawangsa telah
lenyap tanpa bekas. Wilayah
Istana menjadi sepi.
Namun atas perintah Senapati
Satryo, Istana di-
jaga ketat. Apa mau keadaan yang
memang sudah
kacau itu ternyata membuat
kesempatan para
Pembesar Kerajaan yang tak mau
mengundurkan
diri dengan tangan hampa, mencari
keuntungan.
Orang-orang dalam dan dibantu
kaum penjahat
bayaran segera menggerayangi
Istana. Terjadi
pertempuran-pertempuran kecil,
perampokan pa-
da sisa-sisa harta milik
Kerajaan. Dan bermacam
kekalutan terjadi di Kota Raja.
Siapa yang dapat
menguasai kekalutan demikian?
Karena masing-
masing mencari keuntungan
pribadi tanpa mau
tahu urusan orang. Dalam keadaan
kacau itulah
Senapati Satryo melarikan
kudanya menuju Ma-
taram. Dan melaporkan kejadian
pada Raja
Agung Kerajaan Mataram, yang baru
saja memin-
dahkan pusat Pemerintahannya ke
Jawa Timur.
Segera berdatangan para
Tumenggung dan Sena-
pati utusan Raja Agung Kerajaan
Mataram untuk
membersihkan kerusuhan. Dan
untuk sementara
Kerajaan Matsyapati diambil alih
oleh Kerajaan
Pusat yang berkuasa penuh di
seluruh Pulau Ja-
wa waktu itu; yaitu Kerajaan
Mataram. Dan sejak
saat itu pulalah Kerajaan Kecil
bernama MAT-
SYAPATI itu dinyatakan punah.
Dalam arti tidak
lagi berfungsi sebagai pusat
pemerintahan di wi-
layah itu. Segalanya diatur oleh
Penguasa dari
Kerajaan Mataram.
Istana bekas Kerajaan Matsyapati
diperguna-
kan sebagai gedung atau Istana
tempat peristira-
hatan Baginda Raja Agung
Kerajaan Mataram.
Dan tertutup buat siapa saja.
Ke manakah gerangan perginya
Raja yang lari
dari singgasananya itu? Tak
seorang pun menge-
tahui. Akan tetapi pagi itu
seekor kuda dengan
penunggangnya seorang laki-laki
berpakaian se-
derhana berwarna putih, dengan
ikat kepala
membungkus hampir seluruh
rambutnya, yang
juga berwarna putih, tampak
mendatangi sebuah
tempat sunyi di lereng
perbukitan sebelah utara.
Suara derap langkah kaki kuda
yang memang ja-
rang terdengar di sekitar tempat
itu, membuat
empat orang laki-laki berjubah
abu-abu segera
menyongsongnya untuk melihat
siapa yang da-
tang. Sebentar saja si
penunggang kuda telah
hentikan binatang tunggangannya
di hadapan
keempat laki-laki itu.
"Siapa anda? Dan dari
mana...? Serta ada ke-
perluan apakah kiranya
mengunjungi pertapaan
Goa Kiskenda?" Tanya salah
seorang setelah men-
jura hormat. Laki-laki berusia
lima puluhan ta-
hun itu melompat turun dari
punggung kuda.
"Apakah anda murid-murid
Resi Jenggala
Manik?" Tanya laki-laki
itu, tanpa menjawab per-
tanyaan salah seorang dari empat
laki-laki berju-
bah itu.
"Benar!" Sahut mereka
hampir serempak. La-
ki-laki ini melirik ke arah
pintu Goa yang tampak
resik dan sedap dipandang mata.
Tampak wajah
laki-laki ini tampilkan
senyuman. Seperti tak sa-
bar dia sudah berkata:
"Beritahukan pada sang
Resi, ada tamu dari
Istana...!" Ujarnya.
Terbelalak keempat pasang
mata laki-laki murid Resi
Jenggala Manik, dan se-
rentak sudah menjura. Seraya
salah seorang ber-
kata:
"Maafkan hamba Raden! Kami
tak mengeta-
hui kalau anda tetamu Agung guru
kami...!" Dan
selesai berkata keempat murid
sang Resi itu su-
dah beranjak untuk memasuki
pintu Goa. Akan
tetapi pada saat itu sang Resi
sudah muncul di
pintu Goa. Suaranya terdengar
ramah menyam-
but kedatangan laki-laki itu.
"Selamat datang di
Pertapaan Goa Kiskenda
Kanjeng Gusti Prabu...! Ah,
sungguh satu kehor-
matan besar, Kanjeng Gusti mau
menginjakkan
kaki datang ke tempat sunyi
ini...!" Ujar pertapa
tua itu yang telah membungkuk
menjura hormat.
Melengak keempat murid sang
Resi. Karena sege-
ra mengetahui kalau yang datang
adalah Baginda
Raja Prabu Gurawangsa. Raja
Kerajaan Matsya-
pati. Cepat-cepat mereka duduk
bersimpuh ketika
laki-laki itu dengan menuntun
kudanya beranjak
menghampiri.
"Ah, selamat jumpa Resi...!
Aih, bangunlah
kalian adik-adikku! Aku tak
layak menerima
penghormatan berlebih-lebihan!
Justru aku ini
sudah menjadi orang biasa!
Kedatanganku ada-
lah...."
"Silahkan anda berbicara di
dalam, Kanjeng
Gusti Prabu...!" Ujar Ki
Jenggala Manik memotong
kata-kata Prabu Gurawangsa.
Keempat murid
sang Resi cepat menuntun kuda
untuk ditam-
batkan. Dan Raja Kerajaan
Matsyapati ini men-
jumput perbekalannya, lalu
mengikuti sang Resi
memasuki ruangan Goa.
Tak lama mereka sudah berada di
dalam Goa,
dan duduk berkeliling untuk
bercakap-cakap.
Ternyata keempat murid sang Resi
telah dipersi-
lahkan Prabu Gurawangsa untuk
turut menden-
garkan percakapan mereka.
Terkejut Resi Jenggala Manik
mengetahui
sang Prabu Gurawangsa akan
menetap di perta-
paan Goa Kiskenda. Dan
menuturkan bahwa dia
berkeinginan untuk menjadi
pertapa. Berbagai
nasihat yang diberikan sang Resi
pada Prabu Gu-
rawangsa untuk kembali memimpin
Kerajaan,
ternyata tak mampu melunturkan
keinginan sang
Raja ini. Keinginannya sudah
bulat untuk me-
ninggalkan kepemimpinannya, dan
menjadi Per-
tapa. Tiada lagi gairah di
hatinya untuk mene-
ruskan memerintah Kerajaan.
Demikianlah, akhirnya Resi
Jenggala Manik
tak dapat mencegah keinginan
Prabu Gurawangsa
untuk menjadi pertapa. Dan
menetap di Goa
Kiskenda. Tentu saja Prabu
Gurawangsa telah
berpesan wanti-wanti agar
merahasiakan tentang
adanya dia di pertapaan Goa
Kiskenda, tempat
tinggal sang Resi itu. Sang Resi
dan keempat mu-
ridnya cuma bisa manggut-manggut
tanpa dapat
berbuat apa-apa. Beberapa pekan
berselang Se-
napati Satryo singgah di
pertapaan Goa Kiskenda.
Tentu saja kedatangannya adalah
untuk me-
nyambangi gurunya. Seperti
diketahui sang Resi
Jenggala Manik adalah guru dari
Senapati Satryo,
semasa belum menduduki jabatan
Senapati.
Terkejut Senapati Satryo
mengetahui sang
Baginda Raja Prabu Gurawangsa
berada di perta-
paan. Akan tetapi bekas Raja itu
menyambutnya
dengan gembira, mendengar
penuturan Satryo
atas Kerajaan Matsyapati yang
diambil alih oleh
Kerajaan Mataram.
"Senapati...! Aku merasa
lebih tenteram bera-
da di pertapaan ini. Jauh dari
kemelut kehidu-
pan. Jauh dari keruwetan
mengatur rakyat. Dari
ketidakpuasan yang terkadang
membuat mata
menjadi gelap. Aku adalah
contoh, satu dari pu-
luhan Kerajaan Kecil yang gagal
meneruskan ke-
pemimpinannya. Namun aku sadar,
bahwa keten-
teraman dalam rumah tangga amat
besar artinya
bagi keutuhan sebuah Kerajaan.
Aku sadar, bahwa sudah gagal
segala-
galanya. Aku merasa kurang layak
memegang
tampuk kepemimpinan. Apalagi
tanpa adanya ke-
turunan! Itulah yang membuat aku
enggan mene-
ruskan kepemimpinanku!"
Ujar Prabu Gurawang-
sa, yang kini bergelar Resi
Netra Wangsa sejak
memutuskan menjadi pertapa di
Goa Kiskenda.
"Akupun telah mengundurkan
diri dari jaba-
tan Senapati. kakang Netra
Wangsa...!" Ujar Sa-
tryo yang memanggil kakang serta
gelar barunya,
menurutkan keinginan Prabu
Guriawangsa sendi-
ri.
"Walau dari pihak Kerajaan
Mataram telah
menawarkan jabatan untukku,
namun rasanya
aku pun ingin memulai kehidupan
sebagai rakyat
jelata lagi!"
"Apakah kau pun akan
menetap di sini....?"
Tanya sang Resi Jenggala Manik
hampir berba-
reng
"Tidak, kakang Resi, dan
Resi Guru...! Hamba
akan pergi mengembara entah ke
mana, menu-
rutkan ibu jari kaki hamba! Ya,
mungkin mencari
di mana adanya ketentraman hati!
Hamba hanya
akan menurutkan perasaan dan
kemauan hati
hamba!" Sahut Satrya dengan suara terdengar
hambar. Cahaya matanya seperti
memudar. Ke-
dua Resi itu memaklumi, karena
Satryo baru ha-
bis kematian istrinya.
Pemberontakan Patih Bun-
taran telah merobah segalanya.
***
TIGA
SATRYO memacu kudanya
meninggalkan Per-
tapaan Goa Kiskenda.... Sejenak
dia berhenti, dan
putar kudanya. Lalu lambaikan
tangan pada ke-
dua Resi dan empat orang murid
Pertapaan. Me-
reka segera balas lambaikan
tangan pada laki-laki
ini. Sepasang mata Satryo tampak
seperti berka-
ca-kaca. Entah mengapa tiba-tiba
hati laki-laki ini
jadi terasa trenyuh memandang
sang Resi Netra
Wangsa. Bekas Senapati ini
merasa kejadian telah
berubah begitu cepat. Dari
seorang Raja telah
menjadi seorang Resi pertapa.
Dan dirinya yang
tadinya mempunyai jabatan
Senapati yang men-
guasai pimpinan dua ratus
lasykar Kerajaan, kini
telah menjadi rakyat biasa.
Semua itu karena pengunduran
diri sang
Prabu Gurawangsa sebagai Raja.
Akan tetapi dia
memang tak dapat menyalahkannya.
Benar seper-
ti kata Prabu Gurawangsa, rumah
tangga ternyata
mempunyai pengaruh besar dalam
sebuah Kera-
jaan. Raja Kerajaan Matsyapati
tak tahan dengan
kemelut dalam rumah tangganya.
Dan kehadiran
seorang Putera Mahkota yang
didambakannya
ternyata sia-sia. Hal tersebut
menimbulkan keen-
ganannya meneruskan tampuk
kepemimpinan.
Dan sang Raja meninggalkan
kekuasaannya. Me-
mang amat Tragis! Tapi hal yang
seperti ini jan-
ganlah menjadi contoh untuk
ditiru Kerajaan lain.
Walau bagaimana pun manusia
tetaplah manu-
sia, yang di samping punya
kekuatan, akan tetapi
banyak kelemahannya. Dan
kepunahan sebuah
Kerajaan adalah semata cuma
kejadian yang lo-
gis. Karena memang kelanggengan
tidaklah selalu
menyertai seterusnya dalam
setiap Kerajaan.
Laki-laki ini putarkan lagi
kudanya, dan sege-
ra keprak tali kendalinya untuk
seterusnya me-
macu cepat meninggalkan
pertapaan .... Burung-
burung elang di atas bukit
berseliweran, seperti
mengantar kepergian laki-laki
penunggang kuda
bekas Senapati itu.
***
TRISULA DEWA yang tengah
berlatih di lereng
bukit Karang Tunggul, cuma bisa
ternganga meli-
hat putri sang Guru mereka yang
dilarikan orang.
Mereka tak menyangka kalau pagi
itu akan men-
dapat musibah. MAHESANI putri
sang Ketua Per-
guruan Trisula Dewa, sudah
hampir sepekan ini
mewakilkan sang guru mereka
melatih ilmu silat.
Kepergian Ketua Perguruan
Trisula Dewa berke-
naan dengan urusannya, telah mewakilkan
pada
putri tunggalnya yang sudah
mewarisi hampir
semua ilmu kedigjayaan sang ayah
untuk melatih
kedua puluh para murid Perguruan
tersebut. Tak
dinyana pada latihan baru saja
dimulai, telah
muncul seorang laki-laki muda
berambut gon-
drong berbaju hitam.
Begitu muncul langsung
menghampiri Mahe-
sani. Gadis berusia 20 tahun itu
jadi naikan alis-
nya menatap pada laki-laki muda
yang meng-
hampiri dengan unjukkan wajah
cengar-cengir.
"Eh, sobat...! Siapakah
anda? Apakah ada
urusan dengan aku...?"
Tanya Mahesani. Semen-
tara dalam hati gadis ini amat
mendongkol meli-
hat sikap pemuda berambut
gondrong itu. Walau
bertampang gagah, namun sikapnya
yang kurang
ajar membuat orang tidak senang.
Apalagi mene-
mui orang di kala sedang
latihan.
"Hahaha... namaku RAKA
RUMPIT! Tentu saja
kedatanganku untuk mengenal
lebih dekat siapa
adanya gadis cantik berilmu
tinggi macam kau
yang punya murid segini
banyaknya. Membuat
aku jadi kagum! Bolehkah aku
tahu namamu,
nona...? Dan apa gerangan nama
dari Perguruan
ini?" Tanya pemuda murid si
nenek bongkok ber-
muka tengkorak itu, yang
ternyata kepergiannya
turun gunung telah menyambangi
ke tempat
rombongan orang berlatih
ini. Walau kata-
katanya memang cukup sopan, akan
tetapi hal
tersebut sudah membuat para anak
buahnya sal-
ing berbisik-bisik. Agaknya
merasa tak senang
dengan kedatangan orang yang
mengganggu ja-
lannya latihan. Dengan agak
mendongkol Mahe-
sani menyahuti juga.
"Maaf, sobat! Sebenarnya
anda telah mem-
buat, latihan kami menjadi
terganggu, akan tetapi
tak apalah, aku jawab
pertanyaanmu!" Ujar Ma-
hesani.
"Aku bernama MAHESANI!
Perguruan ini ber-
nama Trisula Dewa, yang dipimpin
oleh ayahku
BAYU WIJAYA, bergelar si
Pendekar Trisula Emas!
Aku adalah putri tunggalnya,
yang sementara
mewakilkan beliau mengajar
beberapa jurus ilmu
dari apa yang aku bisa, dan
telah aku pelajari da-
ri ayahku...!" Raka Rumpit
tampak manggut-
manggut sambil cengar-cengir dan
garuk-garuk
kepala.
"Oh, oh... amat
mengagumkan...! Tapi amat
disayangkan sekali, karena ...
apakah nona Ma-
hesani tak menyayangkan kulitmu yang mulus,
dan wajah yang cantik itu kena
goresan senjata
tajam? Kukira pelajaran ilmu
silat adalah pelaja-
ran keras yang dikhususkan buat
kaum laki-laki!
Sebaiknya kau berhenti saja jadi
wakil ayahmu!
Aku Raka Rumpit amat berkenan
padamu! Ba-
gaimana kalau aku melamar mu
untuk jadi istri-
ku...? Apa kira-kira kau
menolak? Hahaha... ku-
kira aku cukup tampan untuk
menjadi suami-
mu...!" Berkata Raka
Rumpit. Seraya berkata len-
gannya bergerak untuk menggamit
dagu mungil
sang gadis.
Tentu saja sikap kurang ajar,
dan kata-kata si
pemuda itu menimbulkan kemarahan
Mahesani.
Ketika lengan pemuda itu
bergerak menggamit
dagunya, dengan cepat lengannya
sudah bergerak
menepis, dibarengi bentakannya.
"Sobat! Mulutmu terlalu
kurang ajar! Dan bu-
kan tempatnya kau berkata
demikian! Kami se-
dang berlatih! Menyingkirlah,
sebelum anak-anak
buah kami menjadi marah! Dan aku
sendiri pun
bisa bertindak keras, kalau kau
tak menghargai
orang!" Ujar Mahesani,
dengan menahan sabar.
Sepasang matanya mendadak
menjadi menatap
tajam pada pemuda di hadapannya
itu. Diam-
diam hatinya menggumam. Pemuda
dari mana-
kah gerangan yang amat berani,
dan kurang ajar
ini...? Sementara wajah gadis
ini sudah memerah
karena mau tak mau sikap kurang
ajar tersebut
telah membuatnya malu. Apalagi
dilakukan di
hadapan para anak buahnya. Kalau
dia tak mem-
beri pelajaran pada pemuda
kurang ajar ini di ha-
dapan para murid ayahnya,
rasanya memang
amat penasaran. Namun sebisa-bisa sang gadis
mencoba menahan diri. Mengingat
tugasnya be-
lum selesai.
"Hahaha... baiklah, aku
akan menyingkir ka-
lau kau bisa menjatuhkan aku
dalam tiga jurus!
Sekalian menguji apakah nama
besar Perguruan
Trisula Dewa bukannya nama
kosong belaka...!"
Ucap si pemuda dengan
cengar-cengir menatap
pada Mahesani. Habislah sudah
kesabaran sang
gadis putri Ketua Perguruan
Trisula Dewa ini.
"Den ayu...! Biarkan aku
yang menghajar ma-
nusia edan ini!" Tiba-tiba
berkelebat seorang anak
buahnya ke hadapan Raka Rumpit.
"Wahaha... hahaha... kau
bukan tandingan-
ku, anak mas...!" Berkata
Raka Rumpit tanpa
memandang sedikitpun. Tentu saja
membuat la-
ki-laki itu menggertak gigi
karena geramnya. Ke-
dua lengannya bergerak
terpentang, lalu kembali
menyatu. Terlihat otot-ototnya
bersembulan. Wa-
jahnya menampilkan kemarahan
luar biasa. Laki-
laki ini bernama Gasir Ireng.
Dia adalah murid
Perguruan Trisula Dewa pada
tingkat pertama.
Bertenaga besar, dan juga
memiliki
tenaga dalam yang tak boleh
dianggap enteng.
Karena Perguruan Trisula Dewa
menitik beratkan
juga pada kekuatan tenaga dalam,
sebagai dasar
kekuatan inti.
"Jangan menyesal dengan
kesombonganmu,
manusia tengik!" Berkata
Gasir Ireng dengan dada
menggembung. Dan dibarengi
dengan bentakan
keras, kedua lengannya bergerak
beruntun
menghantam dada dan kepala Raka
Rumpit.
WHUT...! PLAK...!
BRRUUKKK...! Tubuhnya tepat
menimpa ka-
wan-kawannya yang tengah
berkumpul hingga ja-
tuh bangun beberapa orang yang
kena tertimpah
tubuh sang kawannya ini. Gasir
Ireng mengerang
parau, dan muntahkan darah segar
menggelogok
dari mulutnya. Lalu menggeliat,
dan tubuhnya di-
am tak bergeming.
"Iblis...! Kau... kau...
telah membunuhnya...!?"
Teriak beberapa orang hampir
berbareng.
"Hahaha... mengapa salahkan
aku? Bukan-
kah dia sendiri yang
mengantarkan nyawa...?"
Berkata Raka Rumpit dengan
bertolak pinggang.
Pada saat itu Mahesani sudah membentak
keras:
"Manusia keparat! Kau
sungguh keterla-
luan...!" Dan diiringi
bentakannya Mahesani su-
dah lompat menerjang.
"Aha...! Masih dua jurus
lagi, adik manis...!
Silahkan pakai senjata! Dan
pilih kulitku yang
empuk!" Berkata pemuda itu
menantang. Semen-
tara diam-diam Mahesani sudah
menyiapkan satu
jurus andalan dari perguruan
Trisula Dewa. Tiba-
tiba tubuh gadis itu
berjumpalitan ke arahnya,
tahu-tahu kakinya meluncur
mengarah leher la-
wan. Inilah jurus Naga Sakti
Menggulung Awan.
Terkejut Raka Rumpit, karena
serangan itu me-
mang tak terduga, juga amat
cepat. Tadinya len-
gannya sudah bergerak untuk
memapaki seran-
gan, akan tetapi khawatir
membuat gadis ini ter-
luka, dia kelitkan tubuh ke
belakang. Saat itulah
satu terjangan sepasang lengan
sang gadis me-
luncur, dengan tenaga dalam
keras. Segelombang
angin menerjang terlebih dulu.
Dibarengi dengan
meluncurnya kedua ujung telapak
lengannya
mengarah ulu hati dan lambung.
Tenaga dalam Mahesani yang sudah
dikerah-
kan di kedua lengan itu luar
biasa ampuhnya.
Karena seandainya mengena pada
batu karang,
niscaya batu itu akan amblas
tertembus lengan.
Merasa hawa angin menggulung
tubuhnya, Raka
Rumpit telah keluarkan ilmu
hitamnya yang baru
dipelajari. Yaitu Tameng Iblis.
Hebat akibatnya,
karena tiba-tiba tubuh pemuda
itu seketika telah
terbungkus dengan asap hitam.
Ketika kedua len-
gan Mahesani menembus asap,
terdengar suara
teriakan tertahan gadis ini,
karena bagai menum-
buk bayangan hitam, yang membuat
tubuhnya
menggigil. Dalam pandangannya
pemuda itu su-
dah berubah menjadi makhluk
hitam berbulu,
yang terkena hantaman tangannya
tak bergeming
sama sekali.
Namun dia masih sempat meronta,
dan terle-
pas dari cekalan tangan makhluk
hitam berbulu
itu. Lengannya sudah bergerak
mencabut senjata
Trisula di pinggang. Didahului
hantaman lengan-
nya bertenaga dalam sepertiga
bagian. Senjata
Trisulanya berkelebat menusuk.
Aneh, makhluk
itu tak berupaya mengelak.
Bahkan terlihat ter-
tawa menyeringai perlihatkan gigi-giginya
yang
runcing. Sepasang matanya merah
menyala se-
perti mempengaruhi dan mematikan
daya kekua-
tan sirkuit otaknya. Seketika
syaraf dara perkasa
ini tegang, dan dia memang
kehilangan daya na-
lurinya. Gerakan menusuknya
berubah lambat.
Selanjutnya Mahesani sudah tak
mengetahui
lagi apa yang terjadi. Ketika
tahu-tahu tubuh si
pemuda itu sudah berkelebat
menepiskan senja-
tanya. Dan sepasang lengan yang
kuat telah me-
notok, dan meraih pinggangnya.
Sekejap kemu-
dian tubuh Mahesani sudah berada
di pundak
Raka Rumpit. Terpaku semua anak
buah sang
gadis itu menyaksikan kejadian
aneh itu, dan di saat mereka
tersadar, tubuh
putri Ketua mereka itu telah
dibawa berkelebat
lenyap di balik hutan rimba di
arah sana.
"Celaka...! Kejaaar...!
Kejaaaarrr...!" Teriak sa-
lah seorang yang baru tersadar
dari pengaruh
yang membuatnya bagai kena
tenung. Serentak
berlompatanlah mereka mengejar.
Akan tetapi
sudah kasip. Karena orang yang
diburuhnya su-
dah tak kelihatan batang
hidungnya dengan
membawa kabur putri Ketuanya.
***
EMPAT
Matahari yang baru saja
menggelincir naik itu
tampak agak meredup sinarnya,
karena segumpal
awan hitam telah menutupnya.
Dari balik bukit
itu tiba-tiba meluncur sebuah
titik hitam. Makin
lama tampak semakin membesar,
dan semakin je-
las kelihatan apakah adanya
benda yang me-
layang keluar dari belakang
bukit itu.
Kiranya adalah sebuah kepala
tanpa tubuh.
Ya, kepala dari seorang wanita
yang berambut
panjang beriapan. Itulah kepala
dari si manusia
setan Tri Agni. Ketika melayang
ke atas sebuah
bukit yang permukaannya agak
datar, kepala
tanpa tubuh itu bergerak
memutari bukit itu be-
berapa kali, lalu menukik turun.
Itulah kiranya
bukit di mana adanya MAKAM TUA
Persis di ma-
na tumbuh sebatang pohon Angsana
besar di atas
bukit itu, si kepala tanpa tubuh
berhenti tepat di
bawah pohon rindang itu. Lalu
meluncur perla-
han semakin ke bawah dan tepat
di atas akar ke-
pala itu berhenti. Di sana dia
diam untuk bebera-
pa saat. Dan tak lama tampak
sepasang mata
makhluk itu yang tadinya
membelik biji matanya,
kini terkatup dengan wajah agak
merunduk. Ter-
lihat bibirnya berkemak-kemik
entah membaca
mantera apa.
Selang sesaat, tiba-tiba angin
keras member-
sit merontokkan dedaunan. Langit
menjadi gelap.
Kilat menyambar-nyambar. Tak
berapa lama se-
gera terlihat di atas pohon
Angsana tua itu seben-
tuk asap hitam yang memutari
pohon bergulung-
gulung. Sementara kepala wanita
setengah silu-
man itu masih tetap merunduk
dengan mata ter-
katup, dan bibir komat-kamit.
WHHUUUUSSS...! Asap hitam yang
bergu-
lung-gulung itu menjelma menjadi
makhluk rak-
sasa. Yaitu seekor ular yang
amat besar. Mulut-
nya menganga, dan keluarkan
suara mendesis
yang amat dahsyat. Tampak wanita
kala putus itu
membuka kelopak matanya.
Wajahnya segera
bersitkan senyuman girang,
senyum menyeringai.
"Oh, Selamat datang Gusti
Junjungan hamba!
Hamba membawa berita duka Gusti
Junjungan!
Yaitu kematian cucuku, si bocah
hitam! Mungkin
kau dapat merasakan betapa
hancurnya hatiku!
Setelah anakku Durgandini
melahirkan bayinya
atas anugerah darimu, dia
kemudian mati! Kini
giliran cucuku...! Baru sedang
senang-senangnya
memperoleh cucu, ternyata mati
oleh musuh-
musuhku...! Tolonglah hamba
Pukulun...! Apakah
Ilmu Dasa Jiwa itu sudah punah,
bila tubuh
makhluk apapun yang memiliki
telah terkena
MANTERA SUCI...?" Berujar
Tri Agni, si wanita se-
tengah siluman itu.
"Sedangkan niat anakku
adalah mempunyai
seorang anak yang dapat
membalaskan dendam
dan sakit hatinya..."
Tolonglah hamba Gusti Jun-
jungan! Masih banyak manusia
musuhku yang
belum kubunuh! Bahkan kini
bertambah lagi,
dengan musnahnya cucuku
pemberianmu itu,
Pukulun...!"
"Hoahahaha... hahaha...
cucumu si bocah hi-
tam itu masih bisa menjelma
lagi, hambaku Tri
Agni! Bahkan anakmu si
Durgandini itupun ma-
sih dapat kubangkitkan lagi
kalau kau mengingi-
ni! Cuma harus ada beberapa
syarat yang harus
kau penuhi! Adapun MANTERA SUCI memang
dapat memusnahkan ilmu Dasa Jiwa
yang kau
miliki, yang telah berpindah
pada cucumu si bo-
cah hitam melalui anakmu
Durgandini! Itulah se-
babnya cucumu pemberianku,
terpaksa aku tarik
lagi ke alam ghaibku!"
Terdengar suara ular besar
itu yang perdengarkan suaranya
bagai mendesis.
Sementara kilatan petir tak
hentinya menyambar
di angkasa yang telah berubah
menjadi gelap pe-
kat.
Tri Agni tampak manggut-manggut
mengerti,
lalu ujarnya:
"Apakah yang harus hamba
perbuat Puku-
lun...? Dendamku belum terlampiaskan!
Dan te-
lah menjadi satu dengan dendam
anakku Dur-
gandini...! Hamba belum puas
mengharungi kehi-
dupan di dunia ini, Pukulun...!
Ingin hamba me-
rasakan menjadi Ratu yang sakti
dengan segala
kekuasaannya! Namun keadaan
hamba telah se-
perti ini! Apakah Pukulun dapat
meluluskan per-
mohonan hamba...?" Berujar
Tri Agni dengan na-
da sedih. Bahkan air matanya
sampai bercucuran
keluar.
"Hoahaha... hahaha...
sabarlah hambaku!
Tanpa dapat kau melenyapkan si
pemilik MAN-
TERA SUCI, kau tak akan tenang
mengharungi
kehidupan yang kau inginkan!
Karena kau sudah
bukan manusia wajar lagi, kau
memang takkan
mampu berbuat sekehendakmu! Akan
tetapi kau
dapat melakukan kehidupan baru
dengan men-
gadakan
"penitisan"...! Akan tetapi penitisan itu
hanya dapat kau lakukan di saat
seorang manu-
sia tengah dirasuk dendam
kesumat! Namun
apabila manusia itu telah
kembali sadar, kau
akan merasakan panasnya api yang
amat luar bi-
asa! Itulah saatnya kau
tinggalkan jasad manusia
titisanmu!" Terdengar lagi
suara mendesis parau
dari mulut sang ular raksasa.
Tampak Tri Agni
beliakkan sepasang matanya lebih
besar lagi.
Alisnya mencuat ke atas.
Penjelasan dari semba-
hannya si Raja Siluman Ular itu
telah membuat
dia amat girang akan tetapi juga
terkejut.
"Oh, terima kasih Pukulun,
Junjungan Ham-
ba! Kini hamba mengerti! Akan
tetapi apakah Il-
mu Dasa Jiwa itu masih dapat
hamba miliki?"
"Menitislah kau pada salah
seorang tubuh
manusia yang baru mati! Dan
bertapa selama se-
ratus hari! Untuk bekal tapamu
tentu kau me-
merlukan darah untuk
kehidupanmu! Bahkan
untuk selanjutnya memang
kehidupanmu harus
memerlukan darah!"
Nah! Kukira sudah cukup
penjelasanku! Apa-
kah masih ada keinginanmu yang
lain...?" Ber-
tanya si Ular Raksasa penjelmaan
Raja Siluman
Ular. Tercenung sejenak Tri
Agni, namun tak la-
ma dia sudah berkata
cepat-cepat.
"Ada, Pukulun...! Hamba
masih menginginkan
penjelmaan anakku Durgandini!
Dan juga cucuku
si bocah hitam itu!" Ujar
Tri Agni. Tampaknya dia
amat berhasrat sekali dengan
permintaannya
yang terakhir ini.
"Hohoho... Hosssy! Hosssy!
Untuk permin-
taanmu itu, kau laksanakanlah
dulu tapamu dan
kesempurnaan jasadmu! Kelak
keinginanmu itu
akan terlaksana!"
"Oh, hamba mengerti! Terima
kasih Pukulun!
Terima kasih atas kesediaanmu
menolong diri-
ku...!" Ucap Tri Agni. Dan
bersamaan dengan itu
sang Ular Raksasa itu pun
lenyap! Barulah men-
jadi segumpal asap hitam, yang
selanjutnya kem-
bali berputar-putar
bergulung-gulung. Semakin
lama semakin meninggi, dengan
menimbulkan
suara bergemuruh dan desis
menyeramkan. Tak
lama kemudian gumpalan asap
hitam itu pun sir-
na. Kilat sambung-menyambung di
angkasa, di-
barengi dengan bertiupnya angin
keras.
Namun tak lama cuaca pun
berangsur-angsur
kembali terang benderang. Angin
keras kembali
sirna, dan petir yang berkilatan
di angkasa pun
melenyap. Keadaan kembali
seperti sedia kala.
Wanita kepala tanpa tubuh ini
tersenyum menye-
ringai. Dan bahkan tertawa
mengikik hingga sua-
ranya terdengar ke sekitar
perbukitan Makam Tua
itu. Tak lama kepala tanpa tubuh
Tri Agni melesat
keluar dari bukit
Makam Tua, dan melenyap...
***
"Bocah edan itu sudah
kembali lagi...?" Ter-
dengar suara menggumam dari
dalam sebuah goa
di bawah tebing dekat muara
sungai itu. Seorang
nenek tua yang bongkok berwajah
mirip tengko-
rak, tampak tengah duduk bersila
di dalam ruan-
gan. Tempat di mana dia duduk adalah sebuah
batu persegi. Di sebelah kirinya
ada lubang batu
di dinding goa, hingga sinar
matahari menerangi
ruangan itu. Kepalanya agak
dimiringkan seperti
tengah mendengarkan lebih jelas
suara orang
yang datang. Ternyata sepasang
matanya masih
mengatup, dan bahkan hebatnya,
adalah orang
yang didengarnya datang itu
ternyata masih be-
rada jauh sekali di bawah bukit.
Menandakan
pendengaran si nenek bongkok ini
amat luar bi-
asa.
"Hahaha... sabarlah
manisku, aku akan cari-
kan tempat yang sejuk dan
nyaman! Tentu akan
aku buka totokanku bila kau
tidak rewel!" Semen-
tara gadis yang berada di atas
pundaknya itu cu-
ma bisa menggigit bibir menahan
geram. Akan te-
tapi dia sudah mengeluh, karena
tak mampu ber-
buat apa-apa.
"Hm, goa tempat tinggalku
terlalu pengap!
Juga aku tak mau si nenek peot
itu mengganggu
ku!" Desis suara si pemuda.
Tiba-tiba Raka Rum-
pit sudah melompat cepat ke arah
sebelah timur
perbukitan seraya perdengarkan
desisannya.
"Ahay... aku tahu tempat
yang nyaman...!"
Seraya selanjutnya sambil
bernyanyi-nyanyi
kecil, dia sudah tiba di satu
tempat. Di bawah pe-
pohonan rimbun di sisi sungai
itu, Raka Rumpit
hentikan langkah kakinya. Lalu
jatuhkan beban-
nya ke atas rumput tebal yang
banyak tumbuh di
sekitarnya.
Kini sepasang mata pemuda ini
sudah menja-
di liar menelusuri wajah dan
sekujur tubuh gadis
bernama Mahesani itu.
Butiran-butiran keringat
mengalir turun dari dahi sang
gadis, bahkan se-
kujur tubuhnya sudah mandi
keringat. Akan te-
tapi keringat itu adalah
keringat dingin. Karena
hawa takut yang amat luar biasa.
Keputusasaan
telah terpampang di wajah
Mahesani. Tak ada
daya lagi dia untuk dapat
melepaskan diri dari
cengkeraman pemuda bernama Raka
Rumpit ini.
Sementara lengan si pemuda sudah
mulai
nakal menelusuri setiap lekuk
liku di tubuh sang
dara.
BRET...! BRET! BREETT...! Sekonyong-
konyong lengannya sudah bergerak
merobek pa-
kaian ketat si gadis.
Terperangah seketika Mahe-
sani. Dan cuma dengan berapa
kali menyibak sa-
ja dia sudah rasakan hawa dingin
dari sekujur
tubuhnya. Karena sekejap apa
yang melekat di
tubuhnya sudah lenyap;
Terpekik dara ini dengan suara
tersekat di
tenggorokan. Tentu saja, karena
Raka Rumpit te-
lah menotok pula urat suaranya.
Hingga Mahesa-
ni tak dapat mengeluarkan suara
kecuali desisan.
"Iblis keparat! Lepaskan
aku! Tidak! Tidaak...!
Akan kubunuh kau Iblis! Kau...
kau manusia
edan!" Teriak suara
desisnya. Akan tetapi suara
itu. memang tak keluar. Desisnya
tersangkut di
tenggorokan. Cuma terlihat
napasnya yang turun-
naik dengan cepat. Dan sepasang
mata yang ter-
beliak, serta bibir setengah
terbuka. Usahanya
untuk meronta membebaskan diri
dari pengaruh
totokan, cuma sia-sia belaka.
Sementara lengan
Raka Rumpit mulai menelusuri
sekitar perbuki-
tan dan lembah. Pandangan
matanya semakin
liar. Bahkan desah napasnya
mulai seperti orang
dikejar setan.
Akan tetapi tiba-tiba pemuda ini
terpandang
pada cincin peraknya yang
berbatu "combong".
Hm, apakah kegunaan khasiat
cincin ini untuk
menaklukkan hati wanita? Pikir
Raka Rumpit.
Tak terasa dia sudah tarik
kembali lengannya.
"Akan kucoba!" Desis
suara Raka Rumpit. Ka-
rena segera teringat akan
kata-kata gurunya. Su-
atu saat bukan benda lagi yang
kau curi! Pasti
banyak wanita akan kau curi
hatinya! Pasti kata-
katanya mempunyai maksud yang
berhubungan
dengan benda ini! Bisik hatinya.
Dan... tiba-tiba
dia mulai salurkan kekuatan bathinnya untuk
menatap pada cincin bermata batu
Combong itu.
Pemuda gemblengan si nenek
bongkok ini ternya-
ta mempunyai kelebihan dalam hal
kekuatan
bathing. Tidaklah aneh, karena
gurunya sendiri,
si Nenek Bongkok Muka Tengkorak
itu dengan
kekuatan bathinnya mampu membuat
tongkatnya
bergerak memukul pantat sang
murid.
Selang tak lama batu cincin di
jari tangannya
itu keluarkan sinar berwarna
biru. Terkejut Raka
Rumpit. Akan tetapi wajahnya
sudah menampil-
kan kegirangan. Mendadak dia sudah hentikan
kekuatan tenaga batin yang disalurkan melalui
pancaran matanya. Kini dia
berbalik menatap pa-
da Mahesani. Lengannya yang
berbatu cincin
combong itu bergerak ke arah
wajah gadis itu.
Tentu saja sinar biru yang
memancar dari batu
cincin Raka Rumpit amat menarik
perhatian Ma-
hesani. Sepasang matanya menatap
sinar biru
yang terpancar di jari tangan si
per muda. Dan...
tampak satu perubahan mendadak,
terjadi pada
gadis di hadapannya. Kalau tadi
Mahasani mena-
tap dengan wajah ketakutan pada
Raka Rumpit.
Dengan sepasang mata membeliak
marah serta
bibir menganga gelisah.
"Ahaha... ahaha...
ahahay... si bocah edan
ternyata telah berhasil
menaklukkan hati wanita,
guru...! Terima kasih nenek
manis atas pemberian
"jimat"-mu ini!"
Berkata pemuda itu dengan men-
gakak tertawa girang. Sementara
lengannya su-
dah bergerak membuka totokan
pada tubuh sang
gadis. Begitu merasa totokannya
terbuka, dan tu-
buhnya dapat digerakkan lagi,
segera Mahesani
melompat bangun. Dan...
tiba-tiba saja sepasang
matanya sudah berubah menjadi
liar. Bibirnya
berdesahan, dengan napas
menggebu. Tahu-tahu
sudah memeluk Raka Rumpit dengan
gairah ber-
kobar.
***
"Bocah edan...!" Terdengar
suara lirih memaki
di balik semak. Dan sebuah
kepala seorang nenek
bermuka tengkorak tersembul di
antara dedau-
nan. Sepasang matanya
berbinar-binar melihat
adegan di depan matanya. Tampak
tubuhnya ber-
getar seperti menahan satu
gejolak rangsangan
yang amat kuat menghimpit
dadanya. Terasa ada
sesuatu yang membuat napasnya
menjadi sesak.
Betapa tidak, lebih dari 10
tahun dia tak pernah
disentuh oleh laki-laki. Dan
sejak tiga tahun dia
mengambil Raka Rumpit menjadi
murid. Selama
itu dia sudah menekan
perasaannya. Terkadang
tatapan mata si pemuda muridnya
itu seperti
menghunjam ke lubuk hati.
Dan... entah mengapa
tiba-tiba di benaknya
timbul rasa mengiri, atau boleh
disebut rasa cem-
buru yang begitu besar.
Tiba-tiba nenek bongkok itu
pejamkan sepa-
sang matanya. Bibirnya
berkemak-kemik seperti
membaca mantera. Tak lama
terjadilah keanehan.
Dari ubun-ubun kepalanya
tersembul segumpal
uap putih. Akan tetapi tak lama
telah berubah
menjadi hitam. Uap hitam itu
menjulur menem-
bus semak belukar, dan meluncur
ke arah kedua
orang yang tengah tenggelam
dalam gelimang bi-
rahi.
Uap hitam itu sekonyong-konyong
menelusup
ke ubun-ubun kepala Raka
Rumpit.... Saat mana
si pemuda tengah mengecupi leher
sang "keka-
sih"nya yang kembali
membuat dirinya terang-
sang. Bergelinjangan tubuh
Mahesani yang dalam
keadaan telanjang bulat itu
menghimpit tubuh-
nya. Pemuda ini mendengus bagai
kerbau yang
mulai kembali liar. Sepasang
matanya mulai
membinar. Dan... kepalanya sudah
menelusup di
antara belahan sepasang benda
lembut berputik
kemerahan. Mendesah-desah sang
gadis merasa-
kan kenikmatan.... Serta segera
balikkan tubuh-
nya menghimpit kuat-kuat tubuh
Mahesani di
bawahnya. Terperangah wanita
muda ini. Tubuh-
nya seketika bergelinjangan
merasakan nikmat
bercampur rasa sakit yang
menyesakkan jalan
pernapasannya. Meronta-ronta
gadis itu dalam
himpitan Raka Rumpit, dan
sia-sia lengannya
menepiskan cengkeraman jari-jari
tangan pemuda
itu yang telah mencekik lehernya....
Tubuh mulus tanpa sehelai benang
itu meng-
geliat meregang nyawa. Suara
teriakannya telah
tersangkut di tenggorokan, yang
telah menyumbat
pernapasannya. Akhirnya setelah
beberapa saat
meregang maut dalam membaurnya
kenikmatan,
tubuh dara itu pun terkulai
lemah untuk tak ber-
kutik lagi. Lidahnya terjulur
memanjang, dengan
sepasang mata yang membeliak.
Dia telah mati
dicekik si pemuda bernama Raka
Rumpit itu.
"Bocah edan...! Kau
pulanglah! Aku tak akan
menggebuk pantatmu...!" Terkejut pemuda ini,
karena segera mengetahui kalau
itu adalah suara
gurunya si nenek bongkok muka
tengkorak. Sege-
ra dia bergegas memakai
pakaiannya. Tak lama
sudah melompat pergi dari sisi
sungai itu. Sesaat
matanya masih sempat menatap
mayat sang ga-
dis, akan tetapi dia memang
sudah tak menga-
cuhkannya lagi.
"Ah, ah...! Mahesani!
Agaknya umurmu terla-
lu pendek untuk menjadi
isteriku!" Dan berkele-
batlah tubuhnya menuju arah ke
tempat tinggal-
nya, yaitu goa "lobang
tikus" yang berbau pengap
dan sudah amat menjemukan
hatinya itu. Tiupan
angin lirih mengiringi
kepergiannya.
Sementara itu di mana dua sosok
tubuh ber-
kelebat, yang satu adalah si
nenek bongkok yang
mendahului berkelebat kembali
menuju goanya,
sedang yang satu lagi adalah
tubuh Raka Rumpit.
Saat itulah muncul sebuah kepala
tanpa tubuh
yang baru menampakkan diri.
Dengan mulut ter-
senyum menyeringai kepala si
manusia setengah
siluman itu melayang mendekati
tubuh Mahesani.
"Hihihi... hihi... bagus!
Beruntung sekali aku
menjumpainya! Mayat gadis ini
masih segar, dan
baru saja mati!" Mendesis
suara Tri Agni, dan ke-
palanya bergerak memutari tubuh
telanjang bulat
yang terbujur itu.
"Aii, sungguh seorang gadis
yang cantik dan
masih amat muda! Hihihi... walau
baru habis di-
perkosa tak apalah...! Wah,
wah... sungguh mulus
tubuhnya! Entah siapa nama gadis
ini, akan teta-
pi inilah saatnya aku menitis
padanya!" Selesai
berkata tiba-tiba kepala Tri
Agni melenyap sirna,
dan tanpa terlihat oleh mata
biasa, secercah sinar
putih melesat cepat memasuki
gua garba Mahe-
sani melalui ubun-ubun
kepalanya. Mendadak
terjadi keanehan pada alam
sekitar, karena tiba-
tiba cuaca berubah menjadi
gelap. Angin bersyiur
keras merontokkan dedaunan. Di
langit tampak
kilat sambung-menyambung
membersitkan si-
narnya disertai suara
ledakan-ledakan keras.
Dan... pada saat itu juga tampak
sesuatu telah
terjadi pada mayat Mahesani.
Mayat si gadis re-
maja itu tiba-tiba telah
bergerak bangun. Tak la-
ma sudah berdiri dengan
perdengarkan suara ter-
tawa aneh. Karena Mahesani tidak
bersuara de-
mikian. Itulah suara Tri Agni si
manusia setengah
siluman, yang telah menitis
padanya.
"Hihihi... hihi... ow, enak
sekali tubuh ini di-
pakainya! Aku dapat menggerakkan
lagi lengan
dan kaki! Dan aiih, benar-benar
menyenangkan!
Kini aku sudah mempunyai tubuh
putih mulus,
dan montok! Buah dadaku pun
masih padat beri-
si! Pinggangku ramping, dan
pinggul... ow! Be-
saar! Paha dan betis amat
serasi! Jari tangan dan
kaki lentik memanjang...! Dan...
dan... hmm le-
batnya...!"
Tri Agni tersenyum-senyum
menatap tubuh-
nya, seraya berjalan
melenggang-lenggok. Ram-
butnya dibiarkan terurai. Namun
tak lama dia
sudah hentikan tingkahnya. Kini
merenung seje-
nak, seperti memikir akan apa
yang harus diper-
buatnya.
"Hm, aku harus mencari
pakaian penutup tu-
buh ku! Ya, dengan mencuri
tentunya!" Gumam-
nya perlahan. Dan Mahesani yang
sudah berbeda
nyawa itu pun beranjak dari
tepian sungai itu.
Ternyata gerakannya amat gesit,
seperti Tri Agni
ketika masih
bertubuh utuh beberapa bulan
yang lalu.
Dengan berjumpalitan di udara,
Mahesani sudah
melesat menyeberangi sungai dan
tiba di sebe-
rang. Injakkan kaki dengan
ringan di atas tanah.
Seekor babi hutan yang tersesat
ke sisi sun-
gai, mengguik dan berlari
ketakutan masuk ke
rumpun lebat. Mahesani tertawa
mengikik, lalu
palingkan wajahnya ke arah
depan. "Hm, di hilir
sungai ini pasti banyak orang
mencuci pakaian!"
Desisnya agak santar. Dan berkelebatlah
dia me-
lompat-lompat lincah menyusuri
tepian sungai.
***
ENAM
"Sudah selesai kau
mencucinya, Tantri...?"
"Ah, belum, yu... masih dua
potong lagi!" Sa-
hut gadis muda berkulit putih
ini, seraya meno-
leh. Sementara lengannya masih
bekerja cepat
menggilas pakaian di atas batu.
Gadis ini menge-
nakan selembar kain yang dilipat
ujungnya seba-
tas dada, sementara tubuhnya
terendam air seba-
tas pinggang. Wanita kawannya
ini lebih tua sedi-
kit usianya, yang tampaknya
sudah selesai men-
cuci. Dan segera pergi mandi.
Tak terlalu lama,
dia sudah beranjak naik, dengan
menyambar pa-
kaiannya yang diletakkan di atas
batu. Tampak-
nya dia bergegas mengenakan
pakaiannya. Seben-
tar-sebentar memandang ke atas
melihat langit.
Matahari tampak tertutup awan
hitam. Dan hari
memang sudah menjelang sore,
karena bayangan
tubuh yang samar-samar itu sudah
memanjang.
Tak berapa lama dia sudah
selesai berpakaian,
dan merapikan rambutnya dengan
menggelung-
nya ke atas.
Sementara gadis muda bernama
Tantri itu te-
rus mencuci, namun dipercepat
karena melihat
kawannya sudah rapi berpakaian.
"Cepatlah, Tantri...!
Kukira sudah mau turun
hujan! Tadi kulihat cuaca gelap
sekali! Petir berki-
lauan di arah hulu sungai! Tapi... tapi memang
aneh? Tahu-tahu cuaca kembali
terang bende-
rang! Dan kini lihatlah! Awan
hitam sudah menu-
tupi matahari lagi!" Ujar
wanita itu. Dia bernama
Tomblok.
"Aiih, yu Tomblok! Mengapa
kau tampak ke-
takutan sekali!? Tak seperti
biasanya! Kalau kau
mau pulang duluan, pulanglah...!
Akupun masih
bisa pulang sendiri! Pakaian
suamiku ini masih
kotor! Dakinya terlalu tebal!
Kau tahukan sifat
suamiku? Dia akan mengomel kalau
aku mencuci
tak bersih!" Sahut Tantri
ketus.
"Tapi... tapi aku memang
takut, Tantri...!" Sa-
hut Tomblok yang tampaknya
memang agak geli-
sah. Entah mengapa hatinya jadi
berdebaran.
Dan tengkuknya sudah meremang
sejak tadi.
"Takut apa...?" Tanya
Tantri seraya menatap
pada kawannya.
"Anu... takut... takut
kehujanan!" Sahut wani-
ta ini tergagap.
"Hihihi... hihi... yu
Tomblok! yu Tomblok...!
Kau ini memangnya sebangsa
kambing, atau ma-
sih keturunan kambing? Masakan
takut sama
hujan! Hawa begin! mana mungkin
hujan? Hm,
sudahlah, kau pulanglah lebih
dulu! Kau memang
cari-cari alasan saja!" Ujar
Tantri seraya teruskan
lagi mencuci.
"Kalau begitu baiklah! Aku
pulang duluan, ya
Tantri!" Ucap Tomblok
seraya menyambar bakul
cuciannya, lalu tanpa menoleh
lagi sudah beran-
jak menaiki tanjakan
berbatu-batu di sisi sungai
itu. Langkahnya terlihat amat
tergesa. Gadis ber-
kulit putih ini cuma mendengus,
dengan wajah
cemberut. Hatinya amat
mendongkol pada kawan
mencucinya itu. Diam-diam
bibirnya mendesis
seperti memaki.
"Huh, dasar janda sudah
gatel! Bilang saja
sudah tak sabar menemui Kangmas
barunya...!"
Mencuci sendiri di sungai dengan
situasi sepi
mencekam seperti itu memang
tidak enak. Di
samping ada rasa was-was, juga
tidak tenang pe-
rasaan rasanya. Namun apa mau
dikata, dengan
hati mendongkol wanita muda ini
teruskan peker-
jaannya. Akan tetapi kini sudah mulai terasa
adanya hawa aneh, yang membuat
tengkuknya
meremang. Dan dia baru
merasakan-nya, bebera-
pa saat setelah kawannya
berangkat pulang. Eh,
aneh...! Tak seperti biasanya
hawa begini dingin!
Tadi tak terasa apa-apa padaku!
Hm, apakah cu-
ma perasaanku
saja...? Gumam si wanita muda
dalam hati.
Dan makin bergegaslah dia
menyelesaikan
pekerjaannya. Bahkan niatnya
untuk mandi pun
telah diurungkan. Pakaian yang
masih belum
bersih digilasnya itu,
cepat-cepat diperasnya. Lalu
dilemparkan ke dalam bakul.
Untuk selanjutnya
mencopot kain penutup tubuhnya.
Diperasnya
pada bagian yang basahnya saja.
lalu cepat dima-
sukkan ke bakul cucian.
Selanjutnya lengannya
sudah bergerak untuk menyambar
pakaian ke-
ringnya yang bersih, di atas
batu.
Akan tetapi belum lagi lengannya
menjamah,
tahu-tahu bersyiur angin
keras.... Dan onggokan
pakaiannya telah lenyap.
"Hah!?" Tersentak
wanita muda ini. Sepasang
matanya membeliak lebar. Tak
ketahuan ke mana
"terbang"nya sang pakaian,
karena tahu-tahu su-
dah lenyap begitu saja dari atas
batu di hadapan-
nya. Belum lagi hilang rasa
terkejutnya, tiba-tiba
terdengar suara tertawa mengikik
yang tak keta-
huan di mana arahnya. Serasa
berdiri semua
rambut di kepalanya, wanita ini
menjerit ketaku-
tan. Dan tak ayal sudah melompat
ke darat, lalu
lari jatuh bangun dengan keadaan
tubuh telan-
jang bulat. Semakin gencarlah
suara tertawa
mengikik itu, seperti
terpingkal-pingkal. Namun
tak berapa lama satu bayangan
sudah berkelebat
muncul, dan suara tertawa
mengikik itu pun ter-
henti.
Terperangah wanita muda ini,
karena tiba-
tiba di hadapannya telah berdiri
sesosok tubuh
telanjang bulat. Dan seonggok
pakaian miliknya
telah berada di cekalan lengan
gadis tanpa busa-
na itu.
"Hihihi... hihi... jangan
pergi adik manis...!
Aku amat memerlukanmu...!
Hihihi... ya, memer-
lukan darahmu!" Berkata
Mahesani.
"Hah!? Toloong! Tidaaak...!
Ja... jangaaan...!"
Berteriak wanita ini dengan
wajah pucat ketaku-
tan. Dan dia sudah putar tubuh
untuk melarikan
diri. Akan tetapi sekali
Mahesani mengangkat
tangan, segelombang angin keras
bersyiur mener-
pa tubuh wanita itu. Sekejap
saja dia sudah ro-
boh dengan mengeluh.
Selanjutnya ketika Mahesani
membungkuk-
kan tubuh... terdengarlah
jeritan wanita muda
itu. Tubuhnya berkelojotan
meregang nyawa. Ter-
nyata Mahesani telah menerkam
lehernya dengan
giginya, menggigit leher sang
korban. Darah me-
nyemburat memancur, dan dengan
lahap Mahe-
sani telah menghisapnya. Tak
berapa lama tubuh
wanita muda yang telanjang bulat
itu sudah ter-
kulai lemah. Sepasang matanya
membeliak. Dan
sesaat antaranya Mahesani sudah
lepaskan ceng-
keramannya, lalu bangkit
berdiri. Tampak wajah-
nya menyeringai menyeramkan.
Karena wajah
cantik gadis itu penuh
berlumuran darah pada
bagian mulutnya.
"Hihihi... darahmu manis,
seperti orangnya...
hihihi... hihi..." Mahesani
gerakkan lengannya
menyeka mulut. Sementara
sepasang matanya
menatap menjalari sekujur tubuh
polos si wanita
muda yang sudah tak bergeming
lagi. Karena
nyawanya telah lepas
meninggalkan tubuhnya.
Tak berapa lama, setelah selesai
mengenakan
pakaian yang dirampasnya,
Mahesani alias Tri
Agni segera berkelebat pergi
tinggalkan tempat itu
dengan diiringi suara tertawa
mengikik yang me-
nyeramkan.
***
Sebulan sudah sejak kejadian
lenyapnya Ma-
hesani, puteri Ketua Perguruan
Trisula Dewa. Le-
reng bukit tempat berlatih para
anak buah Pergu-
ruan tersebut sudah tak dipakai
lagi untuk berla-
tih. Rumah Perguruan Trisula
Dewa tampak di-
landa kemuraman. Tiada lagi
gelak tawa dan can-
da dari para anak buahnya.
Sedangkan sang Ke-
tua Perguruan yang bergelar si
Pendekar Trisula
Emas tampak jarang keluar dari
kamarnya. Ber-
ganti-ganti diutus dari para
anak buahnya untuk
mencari jejak si pemuda bernama
RAKA RUMPIT
yang melarikan Mahesani. Akan
tetapi tak mem-
bawa hasil.
Hari itu tampak rumah Perguruan
Trisula
Dewa kedatangan dua orang tamu.
Mereka adalah
seorang wanita berusia sekitar
50 tahun dan seo-
rang pemuda dewasa yang
kira-kira berusia lebih
dari dua puluh tahun. Si wanita
tua itu memakai
pakaian persilatan, bertubuh
agak pendek, den-
gan rambut digelung di atas,
memakai tusuk
konde emas, berbaju sutera warna
jingga. Se-
dangkan laki-laki remaja itu
memakai pakaian
warna abu-abu, dengan ikat
kepala berwarna me-
rah. Di punggungnya terselip
sebatang tombak
pendek bermata tiga. Yaitu di
kiri kanan dua ma-
ta kapak, dengan bagian tengahnya
mata tombak.
"Katakan pada Ketuamu, bahwa Pendekar
Lembah Bunga datang
bertamu...!" Berkata si
wanita tua itu dengan suara
gagah. Penjaga yang
menyambut kedatangannya itu
mengangguk
hormat, lalu bergegas beranjak
untuk memberi
laporan. Sementara belasan anak
buah lainnya
hanya menatap dari kejauhan,
sambil bertanya-
tanya siapakah tetamu dia orang
yang datang menyambangi
padepokan mere-
ka? Tak berapa lama....
"Ah, selamat datang di
tempatku, sobatku
Pendekar Lembah Bunga...!"
Dan diiringi suara
kata-katanya, segera muncul sang
Ketua Pergu-
ruan Trisula Dewa yang bernama
Bayu Wijaya itu.
"Ahihi... mana anak
gadismu, si Mahesani?
Tentunya sudah berubah jadi
gadis dewasa yang
cantik rupawan!" Berkata si
wanita tua Pendekar
Lembah Bunga. Tercenung sesaat,
Bayu Wijaya.
Mendadak wajahnya menjadi muram.
Akan tetapi
cepat-cepat dia menjawab dengan
tersenyum,
bahkan perdengarkan tertawanya
yang hambar.
"Hahaha.... Diajeng
Rukmita...! Agaknya kau
sudah terlalu rindu, hingga sudah
menanyakan-
nya! Ehm, apakah anak muda ini
muridmu yang
pada belasan tahun yang lalu itu
masih kecil dan
bandel?" Tanya Bayu Wijaya
mengalihkan pembi-
caraan di luar Padepokan itu.
"Tentu saja! Siapa lagi
kalau bukan si Ma-
hendra! Anakku ini tak pernah
berguru pada sia-
pa-siapa selain ibunya
sendiri...!" Menyahuti si
Pendekar Lembah bunga seraya
berkata:
"Hayo, anakku segera beri
hormat pada calon
mertuamu ini...!" Pendekar
Lembah Bunga lan-
jutkan kata-katanya seraya
menoleh pada sang
anak.
Tentu saja si pemuda bernama
Mahendra itu
cepat-cepat menjura dengan
membungkuk di ha-
dapan Bayu Wijaya seraya mencium
tangan orang
tua itu. Akan tetapi cepat-cepat
Bayu Wijaya me-
nepuk pundaknya.
"Sudahlah, anak mas...!
Jangan terlalu ba-
nyak peradatan! Marilah kalian
segera masuk!
Tempatku masih begini saja tanpa
perobahan!"
Ujar Bayu Wijaya merendah.
Sementara wajahnya
sebentar pucat sebentar merah.
Hatinya berdeba-
ran, akan bicara bagaimanakah
dia nanti di ha-
dapan calon besannya ini? Seperti
telah direnca-
nakan, memang sejak masih
sama-sama berusia
tujuh-delapan tahun, Mahesani
dan Mahendra te-
lah ditunangkan. Akan tetapi dia
memang tak
menyangka kalau kedatangan
Rukmita alias si
Pendekar Lembah Bunga ini akan
datang mene-
pati janji. Dan kedatangannya
sudah pasti untuk
melamar anak gadisnya. Namun
kedatangan sang
calon besan ini sudah terlambat
karena Mahesani
telah lenyap entah ke mana.
Mau tak mau Bayu Wijaya memang
harus
menceritakan apa yang telah
terjadi.... Tentu saja
membuat si Pendekar Lembah Bunga
jadi terpe-
ranjat. Bahkan seketika menjadi
lemas sekujur
tubuhnya.
"Menurut yang kudengar,
pemuda itu berna-
ma RAKA RUMPIT! Entah dari mana
kedatangan-
nya! Justru waktu terjadinya
penculikan itu aku
sedang tak ada di tempat!
Latihan para murid
kami memang setiap sepekan
sekali mengadakan
latihan di lereng bukit Karang
Tunggal, tak sebe-
rapa jauh dari sini!" Ujar
Bayu Wijaya dengan na-
da sedih. "Telah kuutus
beberapa kelompok un-
tuk menyebar, mencari jejak
Mahesani, akan te-
tapi sia-sia! Mereka pulang
tanpa membawa hasil!
Pencarian jejak itu sudah sampai
sebulan ini! Aku
memang sudah hampir putus asa
Diajeng...!
***
TUJUH
Termenung si Pendekar Lembah
Bunga, wa-
jahnya menampilkan kekecewaan
hatinya. Akan
tetapi jelas membuat kemarahan
luar biasa pada
si pemuda bernama Raka Rumpit,
yang telah
menculik calon menantunya.
Sementara Mahen-
dra cuma bisa termangu-mangu
tanpa bisa berka-
ta apa-apa. Melihat pun wajah
tunangannya sejak
sama-sama dewasa, dia belum
pernah. Masa kecil
dalam usia sekitar tujuh-delapan
tahun adalah
masa di mana belum bisa
mengingat wajah orang,
walaupun mereka pernah saling
jumpa.
Selama itu Mahendra hanya
mengetahui seki-
tar
lembah, yang dinamakan Lembah
Bunga. Di
mana dia digembleng oleh sang
ibu yang merang-
kap sebagai gurunya. Setelah
terdiam sejurus,
akhirnya Pendekar Lembah Bunga
memohon
tinggal sementara di Padepokan
Trisula Dewa, se-
kalian menyelidiki di mana adanya
si pemuda
penculik bernama Raka Rumpit,
dan mencari je-
jak Mahesani. Tentu saja Bayu
Wijaya tak meno-
laknya. Bahkan dengan adanya
Mahendra di pa-
depokan, dia dapat leluasa
mencari anak gadis-
nya.
Demikianlah, hari itu juga
Mahendra diperke-
nalkan pada seluruh dari anak
buah Perguruan
Trisula Dewa. Bahkan beberapa
hari di padepo-
kan itu, ternyata Mahendra amat
disenangi dalam
pergaulan. Bahkan terjadi saling
menguji ilmu.
Kedua calon besan itu cuma
memandang sambil
tersenyum.
"Diajeng...! Tampaknya
jurus-jurus ilmu Lem-
bah Bunga amat hebat! Kaukah
yang telah men-
ciptakan jurus-jurus baru
itu?"
"Hm, benar! Sebenarnya
masih serumpun
dengan jurus-jurus dari ciptaan
guru kita! Aku
hanya mengadakan perombakan, dan
menambah
beberapa jurus baru hasil
ciptaanku!" Sahut si
Pendekar Lembah Bunga. Bayu
Wijaya tersenyum
seraya manggut-manggut.
Sementara diam-diam
hatinya agak tergetar berdekatan
dengan wanita
yang pernah menjadi saudara
seperguruannya
itu. Sudah sejak lama Bayu
Wijaya hidup mendu-
da, sejak istrinya minggat
bersama laki-laki lain,
dan entah ke mana perginya.
Meninggalkan Ma-
hesani sejak masih kanak-kanak.
Rumah tang-
ganya memang tidak harmonis, dan
mengalami
perpecahan, karena sang istri
ternyata seorang
wanita yang tak mengenal puas.
Sedangkan si Pendekar Lembah
Bunga adalah
juga seorang janda, yang
ditinggal mati suaminya.
Dan tidak berhasrat menikah
lagi. Sebagai dua
orang dari satu guru, mereka
tetap bersahabat.
Dan masing-masing telah
mengetahui akan ri-
wayat hidup rumah tangganya,
yang sama-sama
berantakan. Entah, apakah di
hati Rukmita alias
si Pendekar Lembah Bunga itu
masih ada cinta?
Bayu Wijaya tak dapat
menduganya. Namun nya-
tanya hati Bayu Wijaya memang
sudah kena ter-
jerat asmara, di masa tua ini.
Seakan ingin dia
mengembalikan masa remajanya
yang sudah le-
wat puluhan tahun.
Sayang kemelut lenyapnya anak
gadisnya
membuat Bayu Wijaya lebih banyak
menekan pe-
rasaannya. Adapun si Pendekar
Lembah Bunga
seperti tak mengetahui apa yang
terkandung di
hati saudara seperguruannya itu.
"Ah, seandainya jurus-jurus
Lembah Bunga
dipadukan dengan jurus dari
Perguruan Trisula
Dewa, tentu akan merupakan
kombinasi yang he-
bat!" Berkata perlahan
Rukmita. "Jurus-jurus cip-
taanmu pun tak kalah hebatnya,
kakang Bayu...!"
Lanjut ucapannya.
"Yah. kukira memang bisa
jadi! Akan tetapi
aku merasa jurus-jurus ciptaanku
teramat lemah!
Terbukti anakku Mahesani tak
mampu menja-
tuhkan pemuda bernama RAKA
RUMPIT itu da-
lam tiga jurus! Dan bahkan dapat
diculik begitu
saja...!" Berkata Bayu
Wijaya dengan wajah mu-
ram, seperti menyesali
kebodohannya. Rukmita
berpaling menatap wajah Bayu
Wijaya. Laki-laki
yang ditatapnya tundukkan
kepala. Sementara ja-
ri-jari lengannya bergerak
memilin jenggotnya
yang masih hitam berkilat.
"Kakang Bayu...!" Ucap
wanita tua itu lirih.
Seraya kembali berpaling
mengarahkan pandan-
gan ke pelataran Padepokan.
"Kukira kau akan
sependapat, kalau kita
mencari Mahesani berdua! Urusan
di Padepokan
Trisula Dewa kita serahkan saja
pada murid ter-
tuamu! Bukankah ada Mahendra,
yang bisa
membantu bekerja dan turut
menjaga untuk se-
mentara!" Berkata Rukmita
dengan kata-kata lirih
serius. Tercenung Bayu Wijaya,
seolah tak per-
caya, karena justru dia memang
amat mengha-
rapkan hal demikian. Akan tetapi
Bayu Wijaya tak
menampakkan wajah girangnya.
Bahkan terden-
gar menghela napas, seolah
mengkhawatirkan se-
suatu.
"Akupun berpendapat
demikian, diajeng...!
Namun apakah tak menjadi
gunjingan orang, ka-
rena kita sama-sama duda dan
janda...?"
"Hm, mengapa harus berpikir
sejauh itu? Kita
adalah pernah menjadi saudara
seperguruan! Dan
layak kalau kita pergi bersama untuk mencari
Mahesani, sekalian menyelidiki
siapa adanya bo-
cah kurang ajar yang telah
menculiknya...! Perse-
tan dengan segala macam
gunjingan!" Ucap Ruk-
mita dengan kata-kata tegas.
"Kalau begitu, baiklah...!
Bilakah kita akan
berangkat?" Tanya Bayu
Wijaya.
"Mengapa harus buang waktu?
Lebih cepat
adalah lebih baik!"
"Sampai berapa waktu kita
mencarinya...?"
"Heh! Ya, sampai ketemu...!
Aiiih, kakang Bayu!
Apakah kau akan mandah saja anak
gadismu di-
jadikan permainan orang? Walau
entah apa yang
terjadi dengan anakmu itu, aku
tetap tak mero-
bah keputusan untuk
menjodohkannya dengan
Mahendra!" Ucapnya tegas.
Dan kata-kata si Pen-
dekar Lembah Bunga itu memang
tidak main-
main, karena terlihat jelas di
sudut matanya
menggenang setitik air bening.
Dan sepasang ma-
tanya sudah berkaca-kaca...
Akhirnya wanita itu
pun tundukkan wajahnya seraya
menahan isak
yang tersendak di dadanya.
"Aku memang seorang ayah
yang tak becus
Emoticon