1
TIGA orang gadis itu masih
berjongkok di sisi sebuah
kuburan yang
masih baru ... Keadaan di tempat
itu
kembali sunyi hening mencekam.
Tukang-
tukang gali kubur sudah
berangkat pulang
dengan membawa cangkulnya
masing-masing,
dengan girang karena persenannya
hari itu
cukup besar.
"Gadis yang baju merah itu
royal
sekali ... Upah untuk kita
bertiga ini
cukup untuk kita makan dua
pekan" ...
Salah seorang berkata. "Ha
ha ha ...
Benar Kang, agaknya ia membawa banyak
uang!" Menyahut kawannya
yang berhidung
melengkung bagai paruh burung
betet.
Sementara yang seorang lagi
agaknya sudah
tidak sabar untuk menerima
pembagian
upahnya. "Sudahlah kita
bagi di sini
saja, aku mau terus pulang
menemui anak
istriku ...!"
Yang memegang uang hasil upah
mereka bertiga itu tiba-tiba
palingkan
kepalanya pada kawannya, sambil
ter-
senyum. "Aha ... Rupanya si
Jasiman sudah
kangen betul pada maknya si
Blotong di
rumahnya...!" Katanya sambil picingkan
mata pada si hidung betet di
sebelahnya
yang jadi tertawa ngakak. Keruan
saja
muka Jasiman yang bertubuh kurus
itu jadi
merah padam dan terasa panas
mendengar
dirinya ditertawakan.
"Sudahlah cepat
Gento, kau berikan jatahnya...
kasihan
kan, nanti kalau memble di sini
kan bisa
gawat! Ha ha ha ... ha ha ...
"
Si hidung betet kembali
menggoda.
Tampaknya si pemegang uang yang
bernama
Gento itu pun tidak mau menggoda
lebih
jauh. Segera ia berikan jatah
buat
kawannya itu.
"Nah, ini bagianmu Jasiman,
cepatlah pulang, dan ... eh
tunggu dulu
... " Tiba-tiba Gento sudah
berteriak
lagi ketika Jasiman dengan cepat
menyambar uang upahnya itu, dan
sudah mau
ngeloyor pergi. "Kencangkan
dulu tali
celanamu jangan sampai kedodoran
di
jalan, nanti di rumah baru pelan-pelan
kau lepaskan! Ha ha ha... ha
ha...".
Jasiman tampak mendongkol
sekali, segera
tanpa perdulikan ejekan itu ia sudah
putar tubuh dan bergegas pergi
tanpa
menoleh lagi, diikuti suara
tertawa kedua
kawannya itu yang
terbahak-bahak...
Seekor kuda berjalan dengan
perlahan meniti jalan setapak
itu...
dengan penunggangnya seorang
laki-laki
tampan dan gagah, namun wajahnya
menam-
pilkan kemurungan. Pakaiannya berwarna
putih dan terbuat dari bahan
yang kasar.
Ketika melihat kedua orang diha-
dapannya, ia segera percepat
jalan
kudanya. Sementara kedua tukang
gali
kubur yang belum beranjak pergi
dari
situ, jadi arahkan mata untuk
melihat
kedatangannya.
"Maaf pak. Apakah jalan ini
bisa
terus tembus ke Makam...?"
Ia segera
bertanya setelah memberhentikan
langkah
kudanya. "Oh, benar
Den,...! Berjalanlah
terus. Nanti di ujung jalan ini
membeloklah ke kanan. Makam itu
segera
akan terlihat ...!"
Menyahuti si hidung
betet, dan segera minggir untuk
memberi
jalan.
"Terima kasih, pak....
tapi..."
Laki-laki ini tidak terus
langkahkan
kudanya, karena sambil berkata
ia telah
melompat turun dari kudanya.
"Namaku
Sentanu...!" Ternyata ia
telah perkenal-
kan dirinya pada kedua orang
itu, yang
segera menyambuti uluran
tangannya.
"Apakah Raden masih sanak
famili
yang meninggal ... ?"
Bertanya lagi si
hidung betet.
"Oh, bukan ... aku hanya
sahabatnya
... !" Kata laki-laki itu,
yang segera
sudah menyambung kata-katanya
lagi.
"Maaf, pak. Harap tidak
memanggilku
Raden. Aku orang biasa saja
seperti juga
bapak-bapak".
Si hidung betet
mengangguk-angguk,
diikuti oleh Gento ketika mata
Sentanu
singgah pada wajahnya.
"Apakah bapak-
bapak baru saja selesai menggali
kubur...?" Bertanya lagi si
penunggang
kuda itu. Kedua orang itu dengan
berbareng sama-sama anggukkan
kepala.
"Oh, ya ... maaf! Masih
adakah orang di
sana ...?" Bertanya lagi
ia, yang segera
disahuti oleh Gento cepat.
"Masih ki
sanak! Ada tiga orang wanita
lagi di
sana. Sedang yang dua orang
sudah
berangkat pergi... !"
"Apakah kedua orang yang
pergi itu
wanita juga?". Tanyanya
lagi.
"Rasanya sih laki-laki dan
wanita.
Kata orang yang wanita itu
adalah si
Pendekar Wanita Pantai Selatan,
yang
bernama Roro Centil".
Menjelaskan Gento.
Laki-laki bernama Sentanu ini
tampak kerenyitkan alisnya,
sementara
bibirnya menggumam perlahan...
"Pendekar
Wanita Pantai Selatan ...
?". Namun ia
sudah cepat-cepat bertanya.
"Dari manakah
bapak-bapak mengetahuinya?"
Gento agak aneh juga didesak
dengan
pertanyaan-pertanyaan itu, namun
ia tak
mau mengecewakan orang muda di
hadapannya
itu. Segera ia menyahuti.
"Aku mendengar-
nya secara kebetulan saja dari
dua orang
yang sedang bercakap-cakap
ketika lewat
di sebelah kami...! Mereka
berbisik-bisik
membicarakan gadis yang di
sebelah pemuda
itu, ketika keduanya tengah
mengantar
jenazah untuk dibawa ke
Makam...!"
Kini berbalik Sentanu yang
manggut-
manggut sambil berkata:
"Baiklah...!
Terimakasih atas penjelasan bapak-bapak
berdua!" Laki-laki itupun
meminta diri
dan segera melompat ke atas
punggung
kudanya yang segera mencongklang
cepat
dari situ. Si kedua tukang gali
kubur itu
tampak berbisik-bisik dan tak
lama
kemudian menyelinap pergi
...
"Gagal...!" Terdengar
samar-samar
suara Gento dari kejauhan.
Ketika
mendengar suara kaki kuda
memasuki makam
itu, ketiga gadis yang berada di
sisi
kuburan yang masih baru tersebut
menoleh,
dan mengarahkan pandangan
matanya pada
Sentanu. Laki-laki ini segera
tinggalkan
kudanya di sisi makam, dan
menghampiri
mereka. Yang dua orang segera
berdiri
menyambut. Sedangkan yang
seorang lagi
masih berjongkok di sisi
gundukan tanah
itu. Tampak sepasang matanya
masih
merembeskan air mata. Si
laki-laki ini
tampak menjura terlebih dulu
sambil
berkata; "Maafkan aku
datang terlambat
sehingga tak sempat menghadiri
pemakaman
nya!" Dan kata-katanya itu
telah
disambungnya lagi dengan
memperkenalkan
diri pada kedua gadis itu, yang
dibalas
dengan anggukan kepala oleh si
baju
merah.
Dan lantas katanya; "Kami
memang
tengah menanti kedatangan anda
sobat
Sentanu ... "
Terkejut juga laki-laki tampan
ini,
namun si gadis baju merah itu
telah
menyambung kata-katanya sambil
melirik
pada gadis yang masih berjongkok
di situ
seperti tengah terhanyut dengan
kesedi-
hannya. "Tentu saja kami
mendengar pesan
almarhum itu ... semoga anda
dapat
menjaganya dengan baik. Kami
yakin anda
pasti tidak ingin almarhum
kecewa di alam
baka bukan ...?"
Ucapan itu sudah dibarengi
dengan
deheman yang membuat Marni gadis
itu
segera menoleh, dan wajah yang
baru
dilanda kesedihan itu jadi
berubah merah.
Ia memang sudah mengetahui keda-
tangan laki-laki itu, namun mana
ia tahu
pesan kakaknya Mandra almarhum
sebelum
ajal tiba, kecuali kedua gadis
itu yang
merahasiakannya. Tentu saja
kata-kata itu
telah membuatnya mengerti.
Marni memang telah mengenal
Sentanu
yang pernah berdiam di desa
Karang
Sembung, selama beberapa bulan.
Laki-laki
yang pernah difitnah oleh ayah
angkatnya
bahwa telah menodai dirinya ...
Padahal
ayah angkatnya sendirilah yang
telah
mengumpankannya pada Bupati
Daeng Panuluh
dengan imbalan uang.
Kini ia hidup sebatang kara.
Kakak
kandungnya Mandra telah tewas
oleh ketiga
paderi cabul yang mengaku dari
Gunung
Wilis.
Dari kata-kata si gadis baju
merah
ia segera mengetahui bahwa
kakaknya telah
berpesan untuk menjaga dirinya,
entah
sebagai adik atau sebagai
istri.
Apakah kedatangan Sentanu adalah
untuk mewujudkan pesan kakaknya
Mandra
almarhum?. Berfikir Marni,
sementara
kesedihan nya belum lagi sirna.
Tiba-tiba terbersit di hatinya
perasaan malu pada laki-laki
bernama
Sentanu. Marni merasakan dirinya
bukanlah
seorang gadis lagi. Ia takut bila
Sentanu
mau mengambilnya sebagai seorang
istri
hanya karena terpaksa. Apakah
mungkin
Sentanu dapat merasa puas
beristrikan
nya? Rasa malu itu bergelut
dalam
jiwanya, dan sekonyong-konyong
ia merasa
rendah diri... Tiba-tiba Marni
bangkit
berdiri, dan tanpa berpaling
lagi ia
telah berlari cepat dari tempat
itu
sambil menutup wajahnya.
Hal demikian yang tiba-tiba itu
telah membuat mereka bertiga
jadi
terpaku. Lebih-lebih Sentanu
yang jadi
tak mengerti apa sebabnya.
Tiba-tiba ia
sudah bergerak mau mengejarnya.
Namun si
gadis baju merah telah berkata:
"Rasanya
tak perlu anda mengejarnya sobat
Sentanu,
itu akan menambah luka di
hatinya".
Selanjutnya si gadis baju merah
menjelaskan akan sifat seorang
wanita
yang bila telah bersikap
demikian,
berarti ia merasa rendah diri
untuk
berhadapan dengan seorang
laki-laki yang
telah berniat untuk menjaganya.
Kata-kata
menjaga itu tentu saja mempunyai
arti
yang amat dalam
Sejurus Sentanu jadi termenung
dan
serba salah. Tiba-tiba pada saat
itu adik
seperguruan si gadis baju merah yang
bernama Surti ini berkata;
"Kak Roro
Dampit, biarlah aku menyusulnya,
kasihan
ia. Aku akan menemaninya atau
mungkin
juga menjaganya sebagai adikku
sendiri.
Karena nasibnya adalah tidak
berbeda
dengan nasibku sendiri ...
"
Si gadis baju merah yang
ternyata
bernama Roro Dampit ini
tercenung
sejenak, tapi kemudian;
"Pergilah Surti!
Agaknya kita pun harus berpisah.
Aku tak
dapat menemanimu karena aku
punya urusan
sendiri seperti kau juga. Guru
kita telah
tiada, dan kaupun cuma saudara
seper-
guruan denganku. Mulai hari ini
kita
ambil jalan sendiri-sendiri...
Setujukah
kau?"
Tentu saja ucapan itu membuat
Surti
jadi terhenyak ... namun ia
segera dapat
membaca fikiran orang. "Hm,
baiklah kalau
kau menginginkan demikian, kak
Roro
Dampit. Asal saja kau tak
melupakanku
kalau berjumpa di jalan
..." Jawab Surti
sambil sudut matanya bergerak
sekilas
melirik pada Sentanu yang masih
tercenung
di situ mendengarkan pembicaraan
orang.
Si gadis baju merah ini
tiba-tiba
tertawa hambar dan katanya;
"Aih adik
Surti, siapa yang mau melupakan
orang...?
Walau bagaimanapun kita masih
satu
saudara seperguruan... !"
Dan sambungnya lagi;
"Pergilah
susul dia, nanti kau kehilangan
jejak."
Surti anggukkan kepalanya, dan
tatap wajah kakak
seperguruannya, kemu-
dian mengalihkannya pada Sentanu
yang
cuma anggukkan kepala ... Dan
selanjutnya
ia sudah balikkan tubuh, lalu
tubuhnya
berkelebat cepat menyusul ke
arah mana
Marni berlari. Kini tinggal
mereka berdua
di tempat itu.
Hening kembali mencekam... Si
gadis
baju merah dan Sentanu sama-sama
membisu.
Sentanu sendiri seperti bingung
akan apa
yang akan ia lakukan. Tiba-tiba
Roro
Dampit terdengar berkata memecah
kehe-
ningan; "Kemanakah tujuan
anda sobat
Sentanu...?"
Laki-laki ini seperti baru
tersadar
dari lamunannya, ia cepat-cepat
menjawab
... "Entahlah ... mungkin
juga aku akan
pergi jauh...!"
"Mengembara...?" Si
gadis bertanya
lagi sambil kerutkan alisnya.
Sentanu
anggukkan kepalanya, dan
terdengar ia
menghela napas.
"Apakah anda telah tak
punya sanak
famili lagi ... ?"
"Ada! Seorang paman".
Sahutnya.
"Siapa...? Tinggal di mana?
Mengapa
anda tak ke sana saja ...
?" Tanya gadis
itu beruntun.
Tiba-tiba Sentanu angkat
wajahnya
menatap gadis baju merah itu
"Kuharap
janganlah membicarakannya!"
Katanya
dengan nada agak ketus.
Tentu saja hal itu membuat Roro
Dampit jadi terhenyak, dan
tundukkan muka
ke tanah. "Maafkan kalau
hal itu
menyinggung perasaanmu. Aku tak
tahu ada
ganjalan apa anda dengannya. Dan
akupun
tak akan menanyakan lagi...
"
Tiba-tiba kini Sentanu yang
balik
bertanya; "Dan anda akan ke
mana... ?"
"Entahlah, aku sendiri tak
tahu!"
Si gadis menjawab seenaknya.
Selang sejenak tiba-tiba Sentanu
berkata "Baiklah, maaf aku
pergi dulu..."
Dan ia sudah melangkahkan
kakinya
menuju ke tempat kudanya
menunggu.
"Bolehkah aku ikut dengan
anda...?
Akupun ingin merantau. Alangkah
senangnya
kalau ada teman
seperjalanan".
Laki-laki ini tak menjawab, dan
ia
sudah segera melompat ke
atas punggung
kudanya. Tampak ia seperti
sedang
mempertimbangkan. Tapi belum
lagi ia
mengambil keputusan, si gadis
tiba-tiba
telah melompat ke atas punggung kuda
dan
enak saja telah duduk di
belakangnya.
Terkesiap juga ia akan
keberanian
gadis baju merah itu yang belum
mendapat
jawaban sudah berani taruh
pantat
seenaknya di belakang
punggungnya. Belum
lagi ia tarik kendali kudanya
untuk
memutar, si gadis telah
hentakkan kakinya
pada perut kuda sambil
berteriak;
"Heaaa! Ayoh cepat kak
Sentanu, aku
sudah ingin segera meninggalkan
tempat
seram ini...!" Keruan saja
sang kuda jadi
terkejut dan angkat kedua
kakinya tinggi-
tinggi sambil perdengarkan suara
ringkikan panjang. Kalau Roro
Dampit tak
cepat memeluk tubuh laki-laki
itu tentu
ia sudah terlempar dari punggung
kuda.
Segera Sentanu dapat menguasai
binatang
tunggangannya itu, yang segera
diputar
arah. Dan sang kuda sudah
mencongklang
cepat meninggalkan makam itu
melalui
jalan setapak... Sentanu
geleng-gelengkan
kepalanya. Agak mendongkol juga
ia atas
kenakalan gadis baju merah itu.
Namun
hatinya jadi berdebar karena
merasakan
dua benda lembut menempel pada
punggungnya. Ternyata gadis itu
telah
memeluknya erat sekali.
2
Senja sebentar lagi akan lewat
dan
berganti dengan malam ... Telaga
yang
berair jernih itu menampakkan
dua
bayangan sosok tubuh, namun
tidak jelas
karena air telaga
bergoyang-goyang
terkena hembusan angin. Ternyata
sang
angin terus menghembus ke darat
dan
menyibak segerumbul
rumput alang-alang
yang segera terdengar bunyi
berkeresekan.
Kedua sosok tubuh itu ternyata
berada di tempat itu, terlindung
semak
lebat yang banyak tumbuh di sisi
telaga... Keduanya dalam jarak
yang dekat
sekali, sehingga saling menempel
tubuh
yang satu dengan lainnya.
"Ayolah, buka pakaianmu ...
"Salah
seorang berbisik.
"Tunggu dulu sampai.
agak gelap, aku takut ada orang
melihat
kita. Menyahut yang seorang.
"Aih ... Percayalah, tempat
ini
tersembunyi. Tak kan ada orang
yang
melihat kita!" Yang seorang
agaknya sudah
tak sabar lagi menunggu, dan
segera
membukai pakaiannya ... Terpaksa
iapun
menuruti membuka pakaiannya satu
persatu.
Dan tak lama kemudian kedua
sosok
tubuh itu sudah dalam keadaan
bugil.
Sementara cuaca semakin gelap.
Rembulan
sisa kemarin malam belum lagi
muncul.
Terdengar yang seorang mendesah
... "Oh,
dinginnya".
"Hmm... nanti setelah kita
berenang
pasti akan menjadi hangat, percayalah!"
Berkata sosok tubuh yang
disebelahnya.
Dan sebelum kata-kata itu
disahuti, sosok
tubuh yang berada di sebelahnya
telah
berkata;
"Lihatlah...!".
Sebuah benda hitam panjang
meluncur
ke luar dari balik semak!
Bergerak-gerak
dedaunan yang kena tersenggol
benda
tersebut. Mata sosok tubuh yang
melihat
keluarnya benda itu jadi menatap
tak
berkedip. Dan tak lama kemudian
...
"Ayo... doronglah sedikit
lagi,
tekan agak kuat... ! Nah,
begitu... !"
Terdengar suara. Dan terlihatlah
dengan
jelas sebuah rakit melaju ke
tengah
telaga yang dikemudikan oleh
seorang
wanita setengah umur dengan
mempergunakan
sebatang bambu panjang untuk
pengayuhnya.
Dari seberang telaga itu
terdengar
lagi suara seorang wanita;
"Cepat kau
tarik rakit itu ke pinggir, dan
ikatkan
yang kuat dengan rakitmu!"
Si wanita itu tak menyahuti
karena
sibuk menancapkan batang bambu
panjang
itu ke dalam air. Bila telah
menyentuh
dasar, segera menekannya dan
mendorong
rakitnya yang diarahkan pada
rakit yang
terapung di tengah telaga itu.
Sebentar kemudian kedua rakit
itu
telah merapat. Segera si wanita
itu
mengikatnya kuat-kuat pada ujung
kedua
rakit itu dengan tali yang telah
disediakan. Dan selanjutnya ia
sudah
mengayuh lagi rakitnya untuk
kembali lagi
ke seberang telaga ...
Terdengar si wanita itu
menggumam
sendiri.
"Heran?! Entah rakit siapa
yang
hanyut sampai ke mari...
!".
Sementara kedua sosok tubuh yang
telah membugil itu jadi saling
pandang
dan garuk-garuk kepala.
"Huh!? Pembantu-
pembantu tua itu telah
menggagalkan
rencana kita!" Berkata yang
seorang. "Ini
semua adalah gara-garamu, yang
tidak
mengikat rakit dengan kencang,
hingga
hanyut ke tengah...!". Kata
yang seorang
lagi mendesis. Ternyata kedua
orang itu
adalah si tukang gali kuburan,
yaitu
Gento dan si hidung betet. Yang
sudah
mengatur rencana untuk
menyeberang dengan
rakit yang telah disembunyikan
di balik
semak, namun ikatannya terlepas
dan
hanyut ke tengah telaga.
Si hidung betet tak bisa
menjawab,
namun hatinya diam-diam memikir;
Rasanya
sudah ku ikat cukup kuat... tapi
entahlah! Karena waktu itu aku
tergesa-
gesa takut dilihat orang. Dan
entah galah
bambunya itu hanyut ke mana.
Berfikir
lagi ia.
Rasa sakit pada pangkal pahanya
dan
gatal-gatal pada punggungnya
membuat si
hidung betet berteriak tertahan;
"Aduh!"
Dan terdengarlah suara Plak!
Plok! ketika
lengannya bergerak ke
sana-kemari
memukuli tubuhnya. Ternyata
nyamuk-nyamuk
rawa telah menggigit tubuhnya
yang
telanjang bulat... Dan mulai
menyerbu
menyantap darah yang dihidangkan
untuknya...
Segera saja cepat-cepat ia
mengenakan pakaiannya lagi
dengan
terburu-buru. Begitu juga Gento
yang
mulai diserbu binatang-binatang
penghisap
darah itu, segera sambar pakaiannya
...
Sementara mulutnya terus
menggerutu
mempersalahkan kawannya. Belum
lagi dua
pekan kedua sahabat itu yang
kerjanya
cuma sebagai kuli suruhan orang,
telah
tidak mempunyai uang lagi.
Rupanya Gento mempunyai kelakuan
yang tidak baik, yang telah
menyeret si
hidung betet... untuk mencuri
pada salah
sebuah rumah gedung di seberang
telaga
itu. Rakit bambu sudah sejak
siang-siang
mereka sediakan untuk
menyeberang.
Rencana sudah diatur matang
sejak tadi
siang. Gedung itu memang di
samping
letaknya agak terpencil, juga
bagian
belakangnya sudah bolong-bolong.
Hingga
mengundang orang untuk berniat
jahat.
Mereka sengaja menyeberang tidak
terlalu
malam, karena di belakang gedung
itu ada
tempat untuk bersembunyi, sambil
melihat
situasi untuk segera mereka
melaksanakan
niatnya nanti malam. Tapi apa
lacur sang
rakit telah hanyut ke tengah...
Mereka
sudah membukai pakaiannya untuk
dibawa
berenang ke sana, ternyata telah
keduluan
munculnya pembantu-pembantu
rumah gedung
itu yang kini tengah menarik
rakitnya
dibawa langsung ke seberang.
Gagallah
rencana jahatnya... Tak berapa
lama
kemudian keduanya sudah kembali
menyuruk
ke semak-semak untuk segera
meninggalkan
tepian telaga tersebut.
Ketika kedua bayangan sosok
tubuh
kedua tukang gali kubur itu
sudah lenyap
di kejauhan, sesosok tubuh
muncul dari
balik pohon di tempat yang agak
ketinggian itu. Ternyata dia
Roro
Centil...
Terlihat senyumnya yang menawan
tatkala sang gadis Pendekar
Pantai
Selatan itu menatap rakit terapung
yang
sudah ditarik sampai ke
seberang... Dan
terdengar gumamnya puas.
"Heh! Biar kau
rasakan kegagalanmu
maling-maling picisan
..."
Ternyata yang melepaskan rakit
kedua tukang gali kubur itu
adalah hasil
perbuatan Roro, yang rencananya
telah ia
ketahui.
Ternyata pertemuannya dengan
Ginanjar telah menambah
pengalamannya ...
Roro makin teliti dengan keadaan
ling-
kungannya.
Beberapa keping uang pemberian
Pak
Ronggo Alit cukup untuk makan
tidur
beberapa pekan, dan membeli satu
setel
pakaian laki-laki bekas di pasar
loak.
Entah akan dipergunakan untuk
apa.
Roro Centil baru saja kembali
dari
Kota Raja ... entah mengapa ia
ingin
sekali mengetahui di mana tempat
tinggal
pemuda itu yang masih terhitung
saudara
seperguruannya. Ternyata orang
yang
bernama Ronggo Alit itu, seorang
yang
amat ramah tamah. Berumur
kira-kira lima
puluh tahun. Di rumah pak Ronggo
Alit
itulah Ginanjar tinggal selama
ini. Usaha
pak Ronggo Alit ternyata amat
maju pesat
sebagai penjual
obat-obatan. Toko nya
yang besar itu dilengkapi dengan
beberapa
orang pembantu. Menurut
penuturannya baru
setahun inilah usaha itu
dikembangkan.
Gadis bernama Kasmini itu yang
pernah
ditolongnya, ternyata berada di
sana.
Juga bekerja sebagai pelayan di
toko itu
...
Banyak kisah menarik yang Roro
dengar dari tokoh bekas pejuang
dari
Partai Pengemis, yang bersahabat
baik
dengan Ki Bayu Seta atau si
Pendekar
Bayangan almarhum. Dan tentu saja iapun
menceritakan tentang kematian
Pendekar
Besar itu, yang masih termasuk
Guru Roro,
karena iapun mewarisi beberapa
jurus ilmu
kepandaiannya.
Hampir dua pekan ia berada di
gedung sederhana tempat tinggal
pak
Ronggo Alit itu ... selama
berada di sana
banyak berita baik yang
didengarnya.
Yaitu ditumpasnya Partai
Pengemis Baru
yang telah muncul dan mengacau
oleh pihak
Kerajaan. Partai Pengemis lama
pun telah
dibubarkan ... agar tidak
terjadi lagi
hal-hal yang dikhawatirkan akan
menim-
bulkan kericuhan.
Kini orang-orang Partai Pengemis
lama yang pernah bersatu padu
dengan
pihak Kerajaan Medang dalam
menumpas
pemberontak, dapat bernapas lega
...
Sekembalinya dari Kota Raja,
Roro
menginap pada sebuah penginapan
sederhana
di dekat pasar... Malam baru
saja
merayap... Ketika Roro kembali
ke
tempatnya. Udara panas, seperti
mau turun
hujan. Rembulan pun terlihat
dari sela-
sela jendela agak meredup
tertutup
awan... Begitu tiba di kamarnya
ia sudah
lemparkan tubuhnya ke
pembaringan empuk
itu, yang segera berderit
mengusik
kelengangan.
Seperti biasa ia tak lupa untuk
berserah diri pada Tuhan ... dan
segera
pejamkan mata. Rasa panas mulai
berkurang
ketika ada angin bertiup di
luar. Kamar
bagian atas tepat Roro bermalam
itu cuma
ada tiga kamar. Dan kebetulan
malam itu
tak ada lagi tamu yang menginap
selain
Roro. Dapat dilihat olehnya tadi
sewaktu
melewati kedua kamar itu yang
terlihat
kosong ... Iapun dapat bernafas
lega,
karena sebagai seorang wanita
selalu ada
saja rasa khawatir terhadap
keselamatan
dirinya ...
Suara burung Perkutut yang telah
dikerek persis dekat jendela
kamarnya itu
membuat ia segera mendusin ...
Ternyata
hari sudah agak siang. Karena
jelas
terlihat sorot panas matahari
yang
menyemprot dari sela-sela
jendela.
Bergegas ia bangun dan gerakkan
tubuh untuk memulihkan lagi
otot-otot
yang kendur, dan melancarkan
darah serta
pernafasannya melalui beberapa
gerakan
khusus, mirip sebuah tarian yang
diajarkan oleh si manusia banci
Gurunya.
Selesai itu ia pun bergegas
turun
untuk mandi, setelah membuka
terlebih
dahulu jendela kamarnya, serta
melirik
sekejap pada seekor Perkutut
yang sedang
asyik manggung. Namun tersentak
dan
terhenti sejenak, karena
terkejut melihat
jendela yang sekonyong-konyong
terbuka...
3
Makam yang berada di sebelah
barat
daerah Karang Sembung adalah makam yang
paling lama, dan paling jauh ...
Sehingga karena lamanya orang
kadang-kadang tidak ingat lagi
kalau di
sana ada terdapat sebuah makam
kuno.
Kuburan di makam itu tidak
banyak.
Cuma aja beberapa belasan gunduk
tanah,
yang nisannya terlihat sudah
banyak yang
lapuk dimakan usia dan rayap.
Namun bila
diperhatikan dan disengaja untuk
menghitung, maka akan terlihat
ada tujuh
buah kuburan yang sungkup dan
nisannya
terbuat dari batu.
Bentuk ketujuh kuburan itu
hampir
mirip satu sama lain baik sungkup dan
batu nisannya. Sayang, karena
lamanya dan
sudah tidak dirawat lagi, banyak
semak
belukar yang tumbuh rapat hingga
sukar
bila orang datang mau berziarah
ke makam
tersebut... Ternyata makam tua
yang
hampir sudah tak di ingat orang
lagi itu,
masih ada juga yang mau
mengunjunginya...
Dua sosok tubuh tampak
mendatangi
ke arah makam. Gerakannya ringan
sekali.
Yang seorang bertubuh langsing
berbaju
dan berpakaian serba hitam.
Ternyata ia
seorang wanita, yang dari kerut
dan
potongannya ia bekas seorang
yang cantik.
Berkulit sawo matang, dengan
usia sekitar
empat puluh tahun. Namun
tidaklah
mengurangi kecantikannya, yang
memang
dapat dilihat bahwa ia seorang
wanita
yang pandai merawat tubuh dan
merias
diri.
Yang seorang lagi adalah
laki-laki
dengan perawakan sedang, tinggi
tidak,
pendekpun tidak. Usianya sudah
dapat
dipastikan adalah lebih muda si
laki-laki
itu, yang kelihatannya dari
golongan
bangsawan atau orang-orang
berada.
Ketika tiba di ujung makam, si
wanita baju hitam sudah hentikan
lang-
kahnya yang ringan dan cepat.
Tak berapa
lama disusul oleh si laki-laki
bangsawan
itu yang tertinggal jauh di
belakang.
Begitu si laki-laki bangsawan
itu
tiba di belakang si wanita
kira-kira
sepuluh langkah lagi, ia sudah
jatuhkan
pantatnya ke tanah; dengan napas
yang
memburu dan wajah penuh
keringat. Si
wanita cuma melirik saja sambil
tersenyum, sedangkan ia
tampaknya tak
merasa lelah sama sekali...
Akan tetapi tiba-tiba si
laki-laki
bangsawan itu telah perdengarkan
seruan
tertahan; "Hah!? Apa-apaan
kau istriku
... masakan mengajak aku
jalan-jalan ke
kuburan!?". Dan seketika
saja wajahnya
telah berubah menampilkan
perasaan takut.
Memang suasana makam tua itu
terlihat
agak menyeramkan ...
Namun si wanita baju hitam cuma
tertawa saja. Sengaja suara
tertawanya ia
bikin keras yang mengikik
panjang. Keruan
saja bulu tengkuk si laki-laki
bangsawan
yang memang pengecut itu jadi
terbangun
semua. Tubuhnya terasa berubah
jadi panas
dingin, karena suara tertawa
sang istri
persis suara Kuntilanak. Hingga
bukannya
takut terhadap setan, tapi takut pada
istrinya sendiri, yang memang
kebetulan
berpakaian serba hitam, dan
rambutnya
beriapan — kusut. Sedangkan
berdirinya di
pojokan dekat sebuah batu nisan
yang
sudah doyong di bawah pohon ...
Persis
Hantu kuburan!
Tiba-tiba si wanita menghentikan
tertawanya dan berkata
"Katanya kau cinta
banget padaku ... Cinta yang
dulu kau
katakan sangat ngebet! Kau
berkata bahwa
akan sehidup semati.... Tapi
nyatanya
baru dibawa jalan-jalan ke
kuburan aja,
kau sudah ketakutan setengah
mati,
suamiku... ! Hi hi hi... hi
hi... "
Kembali disambung dengan suara
mengikik yang tertahan.
"Sudahlah, jangan kau
tertawa lagi,
aku benar-benar takut mendengar
suara
tertawamu itu!" Sang suami
berkata dengan
hati amat mendongkol pada
istrinya.
"Oooo, jadi kau takut padaku ya,
bukan pada setan penunggu makam
tua
ini!?". Bertanya sang istri
dengan ketus.
Tentu saja suaminya jadi
kelabakan untuk
menjawabnya ... "Bu ...
bukan ... ! Yang
kutakutkan suaramu, mirip ...
"
"Mirip setan,
begitu!?" Sang istri
sudah menyambung kata-kata
gagap
suaminya yang dirasa terlalu
lambat
bicara. Tampak sang suami
mengangguk-
angguk, agaknya penyakit
gagapnya sudah
mau kumat lagi, hingga mulutnya
saja yang
menganga tapi yang menjawab
adalah
anggukan kepala.
Tiba-tiba istrinya telah berdiri
bertolak pinggang di hadapannya
dengan
wajah cemberut, dan berkata;
"Jadi
jelasnya kau takut aku apakah
takut
setan...?!".
"Ya takut setan...?"
Jawabnya
dengan lancar.
"Apa? Buktinya kau takut
aku!"
Berkata lagi ia dengan ketus.
"A ... aku
... a... a... a... "
"Hm, kumat lagi ... !"
Gerutu si
wanita baju hitam kesal.
Akhirnya ia
berkata "Sudahlah, tak usah
kita teruskan
debat. Menunggu bicaramu selesai
saja
kesabaranku rasanya sudah mau
naik sampai
kepala...! Saking kesalnya
menunggu bisa-
bisa aku benar-benar jadi setan karena
pegalnya hatiku!".
Si wanita sudah lanjutkan lagi
bicara; "Dengarlah suamiku
... Makam tua
ini dulunya adalah bekas istana
raja-raja
pulau seberang yang berkuasa di
tanah
Jawa. Kerajaan-kerajaan kecilnya
banyak
tersebar di seluruh Jawa,
kecuali Madura.
Tapi tetap berdaulat pada
kerajaan besar
yaitu Kerajaan Medang, yang
pernah
dikuasai berpuluh tahun...
"
Sang suami manggut-manggut
mende-
ngar penuturan itu. Diam-diam
hatinya
memuji kepintaran pengetahuan
sang istri,
yang mengerti sejarah. "Aku
mengetahui
dari ayahku, karena ayahku
adalah orang
tanah seberang... Namun ayah
tidak
terlibat dengan urusan kerajaan.
Di waktu
terjadi peperangan besarpun ayah
tetap
berdiam di sini. Karena
kedatangannya ke
tanah Jawa adalah karena ingin
merantau."
Demikianlah, tanpa dipinta sang
istri telah bercerita mengenai
keluarganya. Kalau ditinjau dari
kata-
katanya dan juga gerak-gerik
suaminya
yang lebih muda, tampaknya
mereka belum
lama menjadi suami istri, dan
terbukti
dengan kata-katanya;
"Suamiku, aku ingin
kau adalah suami yang terakhir
... Kalau
kau sudah janji padaku janji
sehidup
semati, ya sudah... Dan kau
harus benar-
benar buktikan kata-katamu itu
... !"
Sejurus si wanita baju hitam itu
berhenti
bicara dan menatap wajah
suaminya yang
mirip adik atau bahkan anak
sendiri
Yang ditatap jadi cengar-cengir
dan
manggut-manggut sambil berkata;
"Baiklah
istriku sayang.. aku kini tidak
takut
setan lagi. Walaupun kau ajak
aku untuk
masuk ke lubang kuburan
sekalipun aku
akan turuti kau demi cintaku
padamu...!".
Mendengar kata-kata suaminya itu
bukan main girangnya si wanita
baju
hitam. Segera ia tarik lengan
suaminya
dan kepit dengan ketiaknya
sebelah kiri,
sehingga mirip tengah di rangkul
dari
belakang. Sementara lengannya
sendiri pun
menyeruak mencari jalan dari belakang
baju sang suami, dan berhenti di
pinggang
kanannya. Dengan saling
berangkulan
begitu mereka memasuki makan tua
tersebut
... Sudah tentu sang suami
menurut saja
ke mana ia "diseret"
sang istri.
Makin ke dalam... dan makin ke
dalam lagi. Kini rangkulannya telah
mereka lepaskan karena jalanan
sempit dan
penuh semak belukar. Namun
cekalan tangan
sang suami tak mau lepas dari
tangan
istrinya. Bahkan mencekal makin
kuat.
Sementara hatinya
berdebar-debar. Namun
rasa takut itu tak ditampakkan
pada
istrinya. Bahkan ia berkata;
"Wah, kalau
kita membangun gedung di tengah
makam ini
orang pasti akan memuji
keberanian
kita...!
"Hm, itu sih belum
seberapa... Aku
maunya membangun di dalam
kuburan... !"
"Hah... !?". Tentu
saja jawaban
sang istri membuat ia mati kutu
tak bisa
bicara lagi. Untung saja ia tak
bicara.
Kalau ia berani teruskan,
niscaya
penyakit gagapnya akan kumat
lagi.
"Eh, ngomong-ngomong kau
mau ajak
ke mana aku ...?" Berkata
ia sambil
menahan perasaan takutnya yang
sudah
sedari tadi menggelutinya.
"Mengajakku untuk masuk ke
dalam
kuburan...!" Dengan tenang
saja si wanita
baju hitam menyahuti. Namun
sudah membuat
hati si bangsawan itu jadi
kebat-kebit,
dan tubuhnya sudah mulai panas
dingin.
Istrinya kalau becanda
keterlaluan?
Pikirnya.
"Kau tunggu di
sini...!" Tiba-tiba
ia kibaskan lengannya dari
pegangan
tangan sang suami. Dan segera
enjot
tubuhnya ke tengah makam. Lalu
dengan
berhati-hati ia meneliti setiap
gunduk
kuburan yang mempunyai sungkup
atau tutup
lubang serta nisannya dari
batu. Tiba-
tiba ia telah berkelebat lagi ke
sisi
makam. Di sana ia berhenti.
Setelah
meneliti tempat sekitarnya, ia
segera
melangkah menuju semak. Dengan
menyingkap
semak sebuah batu berbentuk
kerucut yang
tertutup semak belukar itu
segera
terlihat olehnya. Sementara si
laki-laki
bangsawan masih berdiri di sana.
Di hadapan sebuah kuburan tua
yang
batu-batunya penuh berlumut. Ia
benar-
benar tak mengerti apa yang
tengah
dilakukannya istrinya. Ketika
tiba-tiba
kuburan yang berada di
hadapannya
bergerak tergetar...
"Hah!? ... To ... to ...
tto ...
ttttto ..." Gagapnya
langsung saja kumat
lagi. Ketika bersamaan dengan
menjeblos-
nya kuburan batu itu ke bawah,
terdengar
bunyi Blug! Ketika si wanita
baju hitam
menoleh... ternyata sang suami
telah
jatuh pingsan, karena takutnya
melihat
kejadian yang berlangsung di
depan
matanya. Kiranya ketika batu
berbentuk
kerucut itu diputar, justru yang
bergerak
adalah kuburan batu yang berada
di
hadapan suaminya ...
Segera saja ia berkelebat ke
sana.
Ia jadi garuk-garuk kepala yang
tidak
gatal melihat sang suami yang
terkapar di
sisi kuburan ...
Namun ia segera sudah alihkan
matanya memandang ke lubang
kuburan yang
sudah menganga itu. Tadinya ia
sudah mau
melompat ke lubang, kalau saja
ia tidak
kasihan pada sang suami. Namun
ia segera
urungkan niatnya. Segera ia
sudah
melompat lagi ke sisi makam.
Langsung
masuk ke semak, dan menyingkap
batu
kerucut itu serta memutarnya
lagi. Maka
segera saja batu sungkup kuburan
itupun
mumbul lagi ke atas.
Segera ia kembali lagi... Ia
pandang sejenak suaminya dengan
diam-diam
ia membatin. Seandainya ia tidak
pingsan
tentu ia sudah ketakutan
setengah mati
kalau tahu ia benar-benar mau
dibawa
masuk ke dalam kuburan!
Memikir demikian ia benar-benar
bersyukur dengan kejadian itu.
Segera ia seret sang suami dan
letakkan di atas batu kuburan.
Dengan
tubuh menyender
pada batu nisan yang
cukup besar itu. Dan dengan
cepat ia
melesat kembali ke sisi makam.
Memutar
batu kerucut itu ...
Dan perlahan-lahan tubuh si
laki-
laki bangsawan itu turut amblas
ke dalam
lubang. Sementara ia sudah
segera kembali
ke tempat itu.
Tak berapa lama iapun melesat
masuk
ke dalam ... Saat selanjutnya
kira-kira
sepeminuman teh, tiba-tiba
sungkup batu
kuburan itu telah naik ke atas,
dan
kembali seperti sedia kala.
Suasana makam tua itu kembali
sunyi
lengang dan misterius ...
4
Roro Centil kembali ke
kamarnya...
ia sudah merencanakan untuk
mengurus
kotak perhiasannya yang dicuri
di jongos
tua Tonga, yang bersembunyi di
kuburan
misterius di makan tua itu.
Kalau
dibiarkan terlalu lama ia
khawatir benda-
benda warisan Gurunya itu akan
lenyap.
Hal itu akan membuatnya kecewa,
disamping
rasa jengkelnya pada si
pencuri...
Berfikir demikian ia segera
berkemas-
kemas ... Namun alangkah
terkejutnya ia
ketika di atas meja ada
tergeletak sebuah
kertas yang dilipat. Sebuah
suratkah...?
Siapa yang meletakkannya...
Pikir Roro.
Segera ia menyambarnya...
membuka
lipatannya, dan membacanya.
Ternyata surat itu ditujukan
padanya, yang tulisannya
berbunyi: "Nona
Pendekar! Sudilah anda datang ke
lereng
Gunung Wilis. Kedatangan anda
sangat kami
harapkan. Kami menanti di biara
Welas
Asih". Dan pada bagian
bawahnya ada
tertulis kata-kata: Ketua biara;
Paderi
Jayeng Rana.
Tercenung seketika Roro membaca
surat itu. Siapakah yang telah
menaruhnya
di sini? Berfikir ia. Namun segera ia
lipat kembali kertas itu dan
selipkan
pada BH-nya yang baru saja
dipakainya.
Tiba-tiba terdengar suara orang
naik ke
atas, dan berhenti tepat di
depan pintu
kamarnya. Suara ketukan segera
terdengar,
dibarengi dengan satu suara;
"Kakak, tadi
ada seorang laki-laki di bawah
yang telah
memberikan sepucuk surat, dan
suruh aku
mengantarkan pada kakak. Karena
kuketahui
kakak sedang mandi, aku telah
menaruhnya
di atas meja...!"
Segera Roro mengetahui ia anak
si
pemilik penginapan ini. Cepat ia
menyahuti dari dalam; "Oh,
ya ... sudah
kutemukan, ... ng ...
Terimakasih dik!"
Terdengar lagi suara mengiyakan,
lalu
suara langkah kaki pun terdengar
melangkah turun dari atas loteng
itu ...
Dan Roro Centil meneruskan
berkemas.
Cepat benar sang waktu ...
Sebentar
saja hari sudah menjelang tengah
hari.
Pak Wiro si pemilik penginapan
itu merasa
agak aneh pada tamunya, karena
sampai
siang begini tak keluar dari
kamarnya.
Juga tak terdengar suara apa-apa
di
loteng kamarnya. Padahal hanya
ia seorang
yang berada di atas.
Apakah tidur lagi sehabis
mandi...?
Berfikir ia.
Apakah ia tidak lapar... dan
memesan makanan? Kembali ia
memikir.
Karena biasanya setiap tamunya
pasti
makan atau minum di tempatnya,
karena
selain menyewakan tempat
bermalam ia juga
menyediakan makanan. Sebab di
bawah
dipergunakan juga untuk
berjualan nasi
serta lauk-pauknya.
Segera ia panggil anak gadisnya
untuk melihat. "Coba nduk,
lihat tetamu
kita...! Tampaknya kok aneh. Tak
ada
kedengaran suaranya. Apakah ia
tidur,
atau... mungkin sakit...!? Tapi
tadi pagi
habis mandi, dan tampaknya segar
bugar..." Menyahut sang
anak.
Segera sang anak bergegas naik
ke
loteng ... Namun tak lama
kemudian sudah
kembali lagi, dan mengatakan
bahwa
tamunya sudah tak ada di
kamarnya. Dan di
atas meja ditemukan beberapa
keping uang
receh sebagai pembayaran uang
sewa
menginap. Segera ia berikan uang
itu pada
ayahnya.
Pak Wiro jadi geleng-geleng
kepala
karena baru sekali ini mendapat
tamu yang
aneh. Dari mana ia keluarnya...?
Demikian
pikirnya. Apakah ia melompat
dari jendela
kamar yang setinggi itu ...?
Membatin ia.
Namun ia tak dapat untuk terus
memikirkannya karena beberapa
orang telah
datang ke warungnya. Ia segera
cepat-
cepat melayani para langganannya
...
* * * *
Suara kecapi yang dimainkan oleh
seorang kakek berkulit hitam di
bawah
pohon di sisi jalan itu amat
enak sekali
kedengarannya.
Berdenting-denting mengalunkan
ira-
ma tembang yang mengasyikkan,
membuat
orang yang lewat pasti akan
menoleh dan
kagum. Karena belum pernah
didengarnya
irama kecapi yang seindah itu,
yang
dimainkan dengan enak saja oleh
si kakek.
Jari-jarinya yang lincah itu
bergerak
kesana-kemari seperti sudah
punya mata
saja, karena memainkannya tanpa
dilihat
lagi.
Tiba-tiba empat orang laki-laki
berpakaian putih hitam muncul di
tikungan
jalan. Agaknya suara kecapi yang
enak
didengar itu telah membuat
mereka pergi
mencari dari mana sumber suara
itu.
Segera terlihat oleh mereka
adanya
seorang kakek yang berumur
kira-kira enam
puluhan tahun. Berwajah seperti
orang
yang mengantuk. Dengan rambut
separuh
putih, namun amat tipis, bahkan
pada
bagian atasnya sudah boleh
dikatakan
botak. Kumisnya pun tipis
terjuntai bagai
ekor tikus. Tulang pelipisnya
menonjol
keluar, dengan kulit muka yang
kasar.
Dialah yang dijuluki si
"Kecapi
Maut". Seorang tokoh
persilatan dari
Pantai Utara. Entah angin apa
yang telah
meniupnya hingga ia datang
jauh-jauh ke
daerah yang hampir dekat ke
Pantai
Selatan ini ... Keempat
laki-laki itu
tampaknya dari satu perguruan,
karena
warna dan potongan-potongan
pakaiannya
sama. Sebentar saja mereka telah
sampai
ke bawah pohon, di mana sang
kakek tengah
asyik memainkan kecapinya.
Melihat yang
memainkannya seorang kakek kumal
dengan
pakaian rombeng yang bertambal
di sana-
sini itu, salah seorang sudah
buka suara
...
"Eh, kakek.... coba
perdengarkan
padaku lagu dengan irama yang
lain...
Lagu itu membuat mataku jadi
mengan-
tuk...!" Katanya, sambil
segera merogoh
sakunya mengeluarkan sekeping
uang receh,
dan dilemparkan ke hadapan si
kakek.
Kepingan uang logam itu persis
jatuh di
papan Kecapi yang tengah asyik
dimainkan.
Suara Klotak! pun terdengar. Dan
sekonyong-konyong suara
dentingan tali
kecapi itu terhenti
Namun mata si kakek kumal itu
masih
tetap seperti tadi, terbuka pun
tidak.
Melihat orang tetap berdiam,
yang seorang
berkata; "Eh, kakek tua!
Bukalah matamu.
Apakah uang sedekah itu
kurang... ?
Mainkanlah dulu. Nanti kalau
lagunya enak
didengar aku yang tambahi ...
!". Tiba-
tiba terdengar suara tertawa
dari kedua
temannya ... "Ha ha ha ...
he he he ...
Kau mau tambahi pakai batu...?
Macam kau
mana pernah pegang uang...! Ha
ha ha..."
Salah seorang berkata, dan
ditimpali
suara tertawa yang
memperolok-olokkannya.
Tiba-tiba si kakek telah membuka
matanya yang memang sipit,
hingga masih
mirip orang meram saja.
Terdengar
suaranya yang
serak; "Siapakah kalian
ini...?"
Yang melempar uang itu segera
berkata dengan membusungkan
dadanya;
"Hmm... Agaknya kau belum
tahu?... Kami
adalah murid-murid dari
perguruan Gelap
Ngampar! Yang di daerah ini punya nama
disegani orang...! Nah, petiklah
keca-
pimu, kakek!"
Si kakek tampak manggut-manggut
dan
tersenyum, tapi senyumnya adalah
senyum
sinis. Terdengar ia
bertanya lagi;
"Siapakah Guru
kalian?".
Si laki-laki yang melempar uang
tadi tiba-tiba jadi plototkan
matanya.
"Apakah kami harus
memperkenalkan juga
pada seorang pengamen tua macam
kau...!"
Berkata ia.
"Baiklah, akupun tak begitu
ingin
untuk mengetahuinya...! Nih!
Ambil lagi
uangmu!" Si kakek pemetik
Kecapi ini
tiba-tiba goyangkan peti
Kecapinya...
Hebat akibatnya. Uang logam
receh
di atas peti itu
sekonyong-konyong
melesat ke arah laki-laki itu,
yang jadi
terkejut. Untung ia bermata
awas. Sekali
lengannya bergerak ia telah
dapat
menangkap kembali uang logam
recehnya.
Seketika keempat murid-murid
pergu-
ruan "Gelap Ngampar"
itu jadi terkesiap.
Sadarlah mereka bahwa si kakek pemetik
Kecapi itu bukanlah orang
sembarangan.
Belum sempat mereka buka suara,
si
kakek berkulit hitam itu telah
perdengar-
kan suara kata-katanya;
"Baiklah! Akan
kuperdengarkan pada kalian
sebuah lagu
yang lain dari pada yang
lain!" Dan
selanjutnya suara dentingan
tali-tali
Kecapi telah berkumandang di
telinga
mereka.
Iramanya memang terdengar lain,
ketika jari-jari sang kakek
kembali
menari-nari di atas tali
Kecapinya. Nada
itu terkadang rendah dan
tiba-tiba
berubah meninggi dengan suara
yang makin
keras... Tapi tahu-tahu merendah
lagi
dengan suara yang hampir tak
terdengar.
Lalu sekonyong-konyong beralih
lagi
dengan nada tinggi yang keras.
Tiba-tiba
nadanya berubah makin cepat...
dan
semakin cepat, tapi suaranya
sudah tak
beraturan lagi. Keempat
laki-laki itu
tampak kerutkan alisnya. Suara
itu tidak
enak didengar... bahkan membuat
telinga
terasa sakit.
Salah seorang tampak sudah
menutup
telinganya, sementara yang tiga
orang
lagi berteriak-teriak agar si
kakek
segera menghentikan
permainannya.
Jari-jari si kakek berhenti
menari..., Namun akibatnya
ternyata lebih
fatal, karena suara dentingan
yang kacau
tadi seperti berdengung-dengung
di teli-
nga mereka.
Tahu-tahu tubuh mereka telah
sempoyongan limbung. Dan
alangkah terke-
jutnya keempat murid-murid
perguruan
Gelap Ngampar itu karena
mengetahui
masing-masing telinganya telah
menge-
luarkan darah...
"Kurang ajar kau....!"
Salah
seorang segera melangkah maju,
siap
mengirim tendangan pada si
pemetik
Kecapi... Tapi pada saat itu ...
TINGNGNG! Satu petikan bernada
keras
telah terdengar. Apakah
akibatnya?...
Keempat laki-laki itu tiba-tiba
berteriak
keras, dan terjungkal roboh.
Setelah
meregang nyawa, beberapa saat
kemudian
tubuh keempat murid perguruan
Gelap
Ngampar itu telah tergeletak tak
bergeming lagi. Kematian yang
dialaminya
ternyata amat aneh dan
menggiriskan,
karena dari telinga, mata dan
hidungnya
telah mengalirkan darah segar.
Kejadian
itu ternyata tidak luput dari
mata
seorang laki-laki bertudung yang
menyan-
dang buntalan di punggungnya,
dengan tali
buntalan yang diikatkan erat
pada dadanya
melalui pundak dan bawah
ketiaknya.
Diam-diam laki-laki ini jadi
terkesiap mengetahui ilmu
permainan
kecapi yang mengandung maut itu.
Dalam
jarak satu lemparan tombak ia
dapat
mengetahui kalau si pemetik
Kecapi itu
seorang kakek berpakaian kumal
yang penuh
tambalan di sana-sini, dengan
kepala yang
hampir tidak berambut.
Dalam jarak sejauh itu ternyata
suara dentingan tali-tali Kecapi
itu
telah membuat ia terkesiap,
karena
mengandung tenaga dalam yang
hebat, yang
dikirimkan melalui suara petikan
Kecapinya. Segera ia satukan
panca indra-
nya, hingga suara Kecapi itu
seperti tak
terdengar olehnya.
Namun alangkah terkejutnya ia
melihat kejadian yang dialami
keempat
orang itu. Siapakah kakek
pemetik Kecapi
itu? Pikirnya. Namun tampaknya
ia tak mau
berurusan dengan orang. Segera
ia
berkelebat pergi, angkat kaki
dari situ.
5
Beberapa saat kemudian ia telah
memasuki sebuah desa. Laki-laki
bertudung
yang wajahnya hampir tak
terlihat karena
seperti terbenam oleh tudungnya
yang
lebar itu tampak celingukan ke
beberapa
arah. Dan pandangan matanya
terhenti pada
sebuah kedai di tengah desa.
Segera ia
melangkah ke sana... Kiranya
sebuah kedai
nasi yang ditujunya. Terdengar
suaranya
yang serak ketika ia memesan
makanan.
"Dibungkus nang...?" Terdengar
suara warung berkata dengan nada
heran.
Yang segera disahutinya pendek.
"Tampak-
nya anak mau melakukan
perjalanan
jauh...?" Berkata lagi ia
sambil
membungkus nasi dan lauk pauk
pesanan itu
dengan rapi, serta sekalian
mengikatnya.
"Benar mbok...!"
Menyahut si laki-
laki bertudung itu.
"Kemanakah tujuan anak ...
?"
"Ke... ,Gunung Wilis!
Apakah simbok
dapat menunjukkan aku ke mana
arah yang
menuju ke sana?". Jawaban
itu tentu saja
membuat si tukang warung jadi
terkejut,
dan tatap wajah orang seperti
tak
percaya. "Anak mau Ke
sana....?" Tanyanya
lagi mengulang seperti ingin
jelas.
"Ya.... Apakah jalan ke
sana jauh,
mbok?" Sambungnya lagi.
Perempuan tua itu
tampak menggeleng-gelengkan
kepala sambil
berkata; "Oalaaaah nang...!
Bukannya jauh
lagi, tapi terlalu jauuuuh
sekali! Ada
keperluan apa anak jauh-jauh mau
ke sana
... ?"
Tanyanya lagi, sambil memberikan
bungkusan nasi yang telah rapi
diikatnya.
"Ke tempat famili...
!" Sahut laki-laki
itu pendek. Dan balikkan tubuh
untuk
segera berjongkok, dan buka
ikatan ujung
buntalannya di dada. Selanjutnya
meraih
bungkusan nasi itu dan selipkan
pada
buntalannya.
Tak berapa lama kemudian ia
sudah
keluar lagi dari kedai nasi itu.
Tiba-
tiba ia merandek karena
mendengar suara
di belakangnya;
"Berjalanlah lurus sampai
ke ujung desa ini. Lalu membelok
ke
kiri... Itulah arah timur. Bila
mau ke
Gunung Wilis teruslah menghadap
ke timur.
Setelah melewati dua buah
gunung, maka
Gunung ketiga itulah gunung
Wilis yang
berdekatan dengan sebuah gunung,
yang
bernama Gunung Liman. Tapi
jangan
salah... karena Gunung Wilis
tidaklah
setinggi Gunung Liman, dan
berada di
sebelah selatan Gunung Liman ...
!".
Ternyata yang berkata adalah
seorang laki-laki setengah tua
tanpa
membalikkan tubuhnya. Dan tanpa
menoleh
lagi ia telah bergegas pergi
dengan
langkah lebar menuju ujung desa.
Sebentar saja ia telah tiba di
sana
... Ketika membelok ke kiri
tiba-tiba ia
hentikan langkahnya merandek
sejenak.
Karena di hadapannya telah
berdiri seekor
kuda putih yang kekar, lengkap
dengan
pelana dan tali kendalinya.
"Aneh...!? Kuda
siapakah?" Terde-
ngar ia bergumam. Tampak ia
palingkan
kepalanya ke perbagai arah.
Ternyata di
situ tak ada sepotong manusia
dan sebuah
pondok pun. Tersentaklah
hatinya. Apakah
kuda itu diperuntukkan buat
dirinya...?
Tiba-tiba terdengar suara yang
mendesis dari bibirnya.
"Setan alas! Aku
sudah menyamar, toh masih
ketahuan...!"
Dan sekonyong-konyong ia telah
lemparkan
topi tudungnya. Segera saja
terurai
rambutnya yang panjang ... Dan
ketika
lengannya bergerak ke arah
wajahnya, ia
telah menarik selembar kulit
tipis yang
melekat pada wajahnya.
Terlihatlah wajah
aslinya... Sepasang mata yang
bulat indah
dengan bulu matanya yang lentik
panjang.
Hidung yang tidak terlalu
mancung dengan
bibir tipis bagaikan busur panah
yang
melengkung kemerahan. Wajah yang amat
cantik dari seorang gadis muda
yang baru
meningkat dewasa... Siapa lagi
kalau
bukan Roro Centil, si Pendekar
Wanita
Pantai Selatan.
Segera ia simpan kedok kulit
muka
itu, dan terdengar suara
tertawanya yang
merdu. Tiba-tiba sekali
berkelebat ia
telah melesat ke dekat kuda
putih itu
berdiri. Setelah lepaskan tali
kendali
yang mengikat binatang itu pada
sebatang
pohon kecil, ia sudah enjot
tubuhnya
melayang ke atas punggung kuda.
Ternyata kuda putih itu seekor
kuda
yang jinak. Binatang itu
perdengarkan
ringkikan perlahan dan
berputar-putar di
situ. Roro baru sadar kalau ia
baru
sekali ini naik kuda. Dengan
hati-hati ia
mencoba tarik dan kendurkan tali
kendalinya. Biarlah!
Hitung-hitung sambil
belajar naik kuda. Pikirnya.
"Hus! Hus! Heaaaaaa ...
!" Ia coba
berteriak sambil hentakkan
kakinya pada
perut kuda, dan keprakkan tali
kendali
ketika sang kuda telah menghadap
ke arah
timur.
Dan dengan segera binatang itu
bergerak lari ke arah itu ...
tapi tiba-
tiba Roro telah tarik
kendalinya.
Sekonyong-konyong binatang itu
segera
tahan larinya, dan terdengar
ringkikan-
nya. Ketika berhenti, sepasang
kaki
depannya tiba-tiba terangkat ke
atas ...
Nyaris Roro terjungkal ke
belakang.
Untung tubuhnya tertahan oleh
tali
kendali yang menyangkut pada
mulut bina-
tang itu.
Setelah berputar-putar beberapa
kali mengelilingi pohon kecil
itu dengan
berulang-ulang menarik ke kiri
dan ke
kanan ... Roro pun fahamlah
caranya untuk
mengendalikan kuda dengan baik.
Selanjutnya ia telah keprak tali
kendalinya sambil berteriak;
"Heaaa-
aaaaa!" Dan sang kuda
dengan patuh segera
mencongklang dengan cepat ke
arah timur.
Tubuh Roro Centil tampak
terangguk-angguk
di atas punggung si Putih yang
mencongklang dengan cepat. Tapi
tampaknya
Roro sudah lengket pantatnya di
atas
pelana. Ia tinggal mengikuti saja
gerakan-gerakan punggung
binatang itu
tanpa kikuk lagi. Debu mengepul
yang
ditinggalkannya makin menipis...
dan
akhirnya punggung Roro sudah tak
kelihatan lagi karena sudah
semakin jauh
Di tepi sebuah sungai tampak
terlihat seekor kuda hitam yang
bulunya
berkilat-kilat ditimpa cahaya
matahari
sore yang cerah, tertambat pada
sebatang
pohon tua yang tumbuh di tepi
sungai yang
berair jernih.
Seonggok pakaian berwarna merah
tampak tidak jauh dari kaki kuda
itu,
berada di atas sebuah batu di
tepi
sungai.
Sepasang kaki tersembul dari
permukaan air, bersamaan dengan
terlihat-
nya sepasang betis yang berkulit
halus...
terdengar suara air menyibak
muncrat.
"Kang Sentanuuuu...! Apakah
kau tidak
ingin mandi? Oh, segar sekali
rasa-
nya...!" Satu suara merdu
segera terde-
ngar dari tengah sungai yang
berair tidak
terlalu dalam itu. Ternyata itu
adalah
suara Roro Dampit yang tengah
berkecimpung di air sungai
mempertun-
jukkan kebolehannya berenang,
pada
seorang laki-laki tampan yang
tampak
menuruni tepi sungai yang berbatu-batu.
Namun ia tidaklah menoleh pada
suara itu,
melainkan terus membasuh wajah
serta
tangan dan kakinya ketika tiba
di tepi
air. Tiba-tiba persis di
hadapannya
sebuah kepala tersembul di
permukaan air.
Diselingi suara tertawa ... dan
sebagian
tubuhnya segera tersembul semua.
"Idiiih,
nggak mandi! Malu ah..."
Demikian kata
Roro Dampit sambil menutupi
sebagian
tubuhnya yang entah disengaja
entah
tidak, ujung dua bukit kembar
itu sedikit
terlihat. Membuat mata Sentanu
mau tak
mau merayap ke sana...
Seketika laki-laki ini
cepat-cepat
palingkan wajahnya, sementara
jantungnya
kembali berdegup cepat. Ia akui
memang
akan kecantikan orang, namun
justru
ingatannya bahkan tertumpu pada
Ratu Laut
Nyai Roro Kidul. Yang pernah
digandrungi
setengah mati. "Puaskanlah
mandimu,
sebentar lagi setelah istirahat
kita
lanjutkan perjalanan!"
Berkata ia sambil
balikkan tubuh, dan melangkah
pergi dari
situ. Ternyata yang ditujunya
adalah ke
bawah sebatang pohon rindang. Di
sana ia
menjatuhkan pantatnya untuk
duduk di akar
pohon.
Sementara pandangan matanya
tertuju
lagi pada tempat di mana gadis
itu mandi
berkecimpung ... Terdengar suara
helaan
napasnya yang berat seperti ia
tengah
berusaha melepaskan tekanan
perasaan
dalam dadanya.
Bukannya wajah Roro Dampit yang
berkelebatan pada wajahnya. Tapi
wajah si
Pendekar Wanita Pantai Selatan,
yaitu
Roro Centil. Yang akhirnya
barulah
disadari bahwa Ratu Dongeng Nyai
Roro
Kidul itu bukanlah seorang Dewi
lautan,
melainkan seorang wanita
Pendekar yang
berilmu tinggi. Hingga
sampai-sampai ia
tak percaya bahwa seorang
manusia dapat
bermain di atas ombak dengan
gelombang
yang besar-besar itu. Betapa
tingginya
ilmu pendekar wanita yang
menamakan
dirinya Roro Centil itu.
Membatin
hatinya.
Pantas kalau ketika paderi cabul
Gunung Wilis itu berhasil
ditumpasnya.
Demikianlah sambil duduk di akar
pohon
itu, sebentar pikirannya
tertumpu pada si
gadis pendekar itu, namun
sebentar
tertuju pada gadis yang asyik
mandi di
hadapannya... yang sama-sama
mempunyai
nama depan yang sama yaitu
RORO. Cuma
berbeda pada ujungnya saja.
Sesaat ia teringat akan dirinya
yang tak mempunyai kepandaian
apa-apa,
cuma sekedar ilmu yang boleh
dikatakan
tak berarti bila dibandingkan
dengan para
pendekar yang pernah didengar
namanya,
seperti; si Maling Sakti atau
Pendekar
Bayangan. Memikir demikian ia
merasa
menyesali kebodohannya selama
ini
Saking jauhnya ia melamun,
sampai-
sampai ia tak menyadari kalau si
gadis
teman seperjalanannya itu telah
selesai
mandi. Dan telah pula selesai
mengenakan
pakaiannya kembali. Bahkan
langkah-
langkah tindakan kaki di
belakangnya ia
tak mendengarnya karena memang
si gadis
baju merah itu dengan berjalan
memutar,
telah berada di belakang
Sentanu. Dan
dengan langkah hati-hati ia
menghampiri
laki-laki itu. Sentanu yang tak
menyadari
tiba-tiba jadi terkejut karena
sepasang
lengan yang dingin telah
merangkul
lehernya dari belakang...
Dibarengi
terdengarnya suara "Kak
Sentanu, kau
melamun saja... apa sih yang
dilamunkan...?"
Tentu saja ia jadi gelagapan.
Untuk
meronta adalah hal yang sulit
rasanya
karena tak sesuai dengan hatinya
yang
lembut dan mengerti perasaan
orang.
Terpaksa ia mandah saja ketika
sepasang
benda lunak yang lembut menindih
pada
punggungnya, dan ketika benda
yang
menimbulkan rangsangan itu
menggeser ke
atas, pipi yang terasa dingin
namun
hangat itu telah menempel pada
pipinya...
Terdengarlah bisikan lembut pada
telinganya "Kak Sentanu...
aku... aku
cinta padamu... "
Suara yang mendesis pada
telinganya
itu benar-benar membuat hatinya
terge-
tar... Jantungnya berdetak lebih
cepat.
Rangsangan yang kuat itu mulai
mempengaruhi jiwanya. Apa lagi
di goda
terus menerus selama beberapa
hari dalam
perjalanan yang tak menentu itu,
yang
Sentanu tak mengetahui arahnya.
Bahkan si
gadis baju merah itulah yang
menunjuki
arah ke mana ia membawa kudanya.
Alhasil
ia cuma pegang tali kendali,
namun urusan
berhenti, belok kiri atau belok
kanan
adalah atas perintah dan
keinginan si
gadis di belakang punggungnya,
yang ia
tinggal menuruti saja ke mana
yang
dimauinya!
Rasa benci pada pamannya
Senapati
Wira Pati itu, dan rasa sedih
dengan
kematian ibunya membuat ia ingin
pergi
sejauh-jauhnya entah ke mana ia
tak tahu
...
Memang selama ini ia selalu
berusaha menjauhi hal-hal yang
bertentangan dengan hati
kecilnya. Ia
menyadari betapa tidak baiknya
berjalan
dengan seorang gadis. Apalagi
teman
seperjalanannya berada pada satu
kuda. Di
samping menarik perhatian orang,
juga
kurang leluasa baginya karena
walaupun
bagaimana ia mengkhawatirkan
hal-hal yang
tak diingininya.
Pernah ia hampir berniat mening-
galkan gadis baju merah itu
dengan diam-
diam, di saat malam menjelang,
dan mereka
bermalam pada sebuah pondok
petani. Roro
Dampit dengan berani telah
mengatakan
bahwa mereka berdua adalah suami
istri
yang kemalaman di jalan. Tentu
saja ia
jadi melengak. Seandainya ia tidak
diserobot lebih dulu untuk memberikan
penjelasan, tentu tak akan
terjadi mereka
berdua menginap dalam satu
kamar.
Untunglah malam demi malam
selama dalam
perjalanan itu Sentanu selalu
dapat
menguasai diri ... Namun
tindakan Roro
Dampit semakin berani ... dan
yang
terakhir ini lebih berani lagi,
dengan
membisikkan kata-kata cinta yang
sudah
dikatakannya dengan
terang-terangan,
tanpa malu-malu lagi. Bahkan
kali ini
sang gadis telah jatuhkan
tubuhnya pada
pangkuan Sentanu .. . Laki-laki
ini cuma
bisa pejamkan mata menahan gejolak
hatinya yang memburu ...
Tiba-tiba saja
ia sudah tak bisa berfikir
jernih lagi,
ketika lengan-lengan halus Roro
Dampit
mulai merayapi wajahnya ... lalu
turun ke
bawah mengusap lehernya ... ke
bawah lagi
... mengusap dadanya. Bukan itu
saja
bahkan mulai membukai
kancing-kancing
bajunya.
Bagaikan seekor ular saja lengan
yang halus dan jari-jari yang
lembut itu
merayapi hampir sekujur
tubuhnya. Tubuh
Sentanu bagian atasnya entah
bagaimana
telah terbuka seluruhnya ...
Entah cara
apa yang dilakukan ular-ular
lembut itu,
hingga pakaian atas si laki-laki
itu bisa
merosot ke bawah. Kelanjutannya
... ular-
ular lembut itu merayap lagi ke
atas. Dan
berhenti menggantung pada
lehernya. Bagai
seekor kerbau yang dicocok
hidungnya
dengan tali, ia merendah saja
akan apa
yang dilakukan gadis itu
padanya...
Sentanu tak dapat menahan
kepalanya untuk
menunduk dalam-dalam, karena
sepasang
ular lembut itu telah
mengganduli
lehernya dengan berat. Tahu-tahu
ia
merasa bibirnya telah dipagut
oleh seekor
ular yang mendesis-desis
bagaikan mau
menyantap bibirnya dan
menelannya bulat-
bulat hingga ia rasakan napasnya
sesak,
karena hidungnya tertindik benda
lunak
yang mengeluarkan angin
mendesah-desah...
Dan rasa hangat segera merayapi
sekujur
tubuhnya ketika sepasang benda
lunak yang
lembut itu menempel erat
menindih
dadanya, seperti mau menutup
bunyi degup
jantungnya yang semakin cepat
berdetak...
Dua ekor anak anjing yang
terpisah
dari induknya yang berada di
seberang
sungai itu tiba-tiba tampak
saling terkam
dan saling gigit dengan seru ...
bahkan
ketika salah seekor jatuh
terguling,
kaki-kaki yang sigap dari salah
satu
anjing itu telah kembali
menerkam. Dan
moncongnya telah dipergunakan
menggigit
leher kawannya yang
meronta-ronta manja
dengan keluarkan
keluhan-keluhan.
Tak lama gigitannya pun
terlepas...
dan keduanya bergumul semakin
seru...
Saling tindih dan saling
terkam...
Selang beberapa saat tampak
seekor
kupu-kupu yang hinggap pada
ranting kayu
telanjang ... telah keluarkan
telurnya
yang melekat pada ranting yang d
hinggapi
nya. Dengan harapan atau memang
tak
begitu dirisaukannya si telur
mau menetas
atau tidak... Sementara kedua
anjing di
seberang sungai itu rupanya
tergeletak
saling tindih, dengan napas yang
terendah
engah. Namun
"perkelahian" itu benar-
benar mencapai kepuasan bagi
keduanya ...
6
Matahari makin condong ke arah
barat. Ketika seekor kuda putih
mencong-
klang cepat, namun terkadang
harus
berhenti untuk membelok atau
memutar,
dikarenakan jalan yang
dilaluinya banyak
rintangan.
Tiga sungai telah dilintasi,
yang
terpaksa harus mencari air yang
agak
dangkal untuk melintasinya...
Sementara
cuaca semakin meredup, karena
sang
mentari seolah tertutup
rimbunnya
pepohonan.
Si punggung kuda putih itu tak
lain
dari Roro Centil.
Yang dalam perjalanannya menuju ke
Gunung Wilis. Surat yang dikirim
padanya
dengan melalui seseorang yang
tak
diketahuinya itu, telah membuat
ia harus
menempuh perjalanan yang teramat
jauh
itu. Semata-mata karena
terdorong rasa
kewajiban untuk datang karena
undangan
aneh yang tak diketahui
maksudnya itu.
Disamping rasa ingin tahu pada
si
pengundangnya, yang menurut yang
tertera
di surat adalah dari ketua Biara
"Welas
Asih". Di lereng Gunung
Wilis, yang
bernama; Paderi Jayeng Rana.
Siapakah
paderi Jayeng Rana itu, dan
apakah
hubungannya dengan si Tiga
paderi Gunung
Wilis yang telah ditumpasnya
itu?...
Serta satu hal yang membuat ia
ingin tahu
adalah ada permusuhan dan
persoalan
apakah paderi-paderi Gunung Wilis itu
dengan Gurunya, yang menurut
penuturan
sang Guru adalah beliau terluka
terkena
pukulan beracun dari
Paderi-Paderi Gunung
Wilis.
Namun apakah sebabnya ia tak
boleh
membalas dendam... itulah yang
ia ingin
ketahui ... Sedangkan tiga
paderi Gunung
Wilis itu nyata-nyata telah
ditumpasnya.
Mengapa masih ada lagi paderi
Gunung
Wilis yang lain ... ? Manakah
yang benar?
Itulah yang membuat Roro
terpaksa menunda
pengejarannya pada si jongos tua
yang
telah melarikan atau mencuri
kotak
perhiasannya. Namun telah
diketahui
tempat persembunyiannya...
Di hadapannya kini telah
melintang
lagi sebuah sungai... entah
sungai yang
keberapa kali yang harus
dilintasi. Namun
sebentar lagi hari akan gelap,
maka Roro
urungkan niatnya untuk
menyeberang. Dan
mencari saja tempat bermalam,
sambil
bersantap. Karena khawatir nasi
yang
telah dibelinya itu jadi mubazir
tak
termakan... Segera ia putar
kudanya untuk
mencari jalan ke arah desa
terdekat...
yang ia yakin pasti ada di
sekitar situ.
Benarlah, tak berapa lamanya
setelah menempuh jarak kurang
lebih dua
lemparan tombak. Dari jauh,
dilihatnya
ada asap mengepul. Pasti sebuah
pondok.
Pikir Roro. Dan bergegas ia ke
sana. Dan
yang tampak ternyata benar-benar
di luar
dugaan, karena di situ, hanya
terdapat
sebuah gubuk tanpa dinding.
Sedangkan di
bawah atap itu terlihat dua
sosok tubuh,
laki-laki dan wanita tengah
asyik
memanggang sesuatu entah daging
apa...
yang baunya sedap dan wangi
sekali.
Sedangkan pada tiang gubuk itu
tertambat
seekor kuda hitam yang tengah
asyik makan
rumput.
Segera Roro dapat mengetahui
kalau
yang wanita itu adalah murid si
Naga
Seribu Racun. Sedangkan yang
laki-laki ia
dapat mengenalinya yaitu
laki-laki yang
telah menemukan kalungnya. Benda
itu
sudah tergantung di lehernya,
namun
dengan orangnya baru hari ini
dapat ia
jumpai lagi...
Melihat si gadis baju merah cuma
sendiri, tanpa adiknya... dan
kini di
tempat sunyi begini telah
berdua-dua
dengan laki-laki. Segeralah Roro
mengerti
pasti ada apa-apa dengan kedua
orang itu.
Mendengar langkah-langkah kuda
mendekati, tentu saja kedua
orang yang
tengah asyik dengan
panggangannya itu
jadi menoleh, dan terkejut
melihat siapa.
Orang yang menunggangnya.
"Nona Pendekar Roro
Centil... !?
Oh, angin apa yang telah membawa
anda
sampai kemari...?" Berseru
si wanita baju
merah itu, sambil bangkit
berdiri, dan
menghampiri lebih dulu.
Sentanu pun cepat-cepat
bangkit....
segera ia tatap wajah orang,
yang
ternyata dua pasang mata telah
bentrok,
karena saat itupun Roro tengah
menatap
padanya.
Adegan sekilas itu tak luput
dari
mata Roro Dampit... Walaupun
cuma
sekilas, namun mempunyai arti
yang
mendalam bagi pandangan hatinya.
Memang
bisa dimaklumi bagi seorang
wanita yang
sedang dimabuk cinta seperti
dirinya.
Namun ia tak perdulikan semua
itu,
dan cepat menyalami Roro yang
baru saja
melompat turun dari kudanya.
Sentanu pun segera keluar dari
gubuk, dan menjura hormat pada
si
pendatang yang pernah
digandrungi dan
disangka Peri atau Dewi laut
Pantai
Selatan. Tak dikisahkan obrolan
mereka
bertiga, yang sama-sama terkejut
karena
dapat berjumpa dengan tidak
sengaja di
tempat itu.
Selanjutnya terlihat mereka
asyik
bersantap dengan nikmatnya
daging kelinci
yang baru saja ditangkap oleh
Roro
Dampit. Dan disaat daging
matang, muncul
Roro yang memang membawa bekal
nasi yang
cukup banyak beserta lauknya.
Tentu saja suatu kebetulan yang
jarang ada. Maka ketiganya terus
saja
bersantap. Tak dikisahkan
malamnya, dan
obrolan-obrolan Roro Centil dan
Roro
Dampit, yang tidur satu selimut berdua.
Kedua Roro itu dapat tidur pulas
... cuma
Sentanu yang jadi serba kikuk.
Hingga
semalam-malaman ia tak dapat
memicingkan
matanya. Kegelisahan membuat ia
cuma
duduk menghadap api unggun
sampai
menjelang pagi. Roro Dampit
dapat tidur
nyenyak karena ia telah
mengetahui jelas
tentang hubungan Roro Centil
pada
Sentanu. Yang tenyata tak ada
hubungan
apa-apa. Cuma mengenai seuntai
kalung
yang telah ditemukan Sentanu
sepuluh
tahun yang lalu. Yang ternyata
adalah
milik Roro Centil. Dan Roro cuma
ingin
bertemu muka saja pada orang
yang telah
menemukannya, tanpa ada
embel-embel yang
lainnya, apalagi kisah asmara.
Karena
ucapan terimakasih akan terasa
lebih
akrab bila dengan menjumpai
orangnya.
Bila dilihat usia, agaknya Roro
Centil lebih muda dibandingkan
dengan
umur Roro Dampit. Namun Roro
Centil
ternyata mempunyai kelebihan
kecerdasan
dibanding Roro Dampit. Dan
perbedaan
watak kedua wanita itu adalah;
Roro
Dampit lebih mementingkan diri
sendiri.
Sedangkan Roro Centil lebih
cenderung
mementingkan urusan orang lain
ketimbang
dirinya. Roro Centil tahu diri
orang
sedang dimabuk cinta, makanya
pagi-pagi
sekali ia sudah berkemas untuk
segera
meneruskan perjalanan.
Namun Roro Dampit dengan memelas
memohon agar jangan berangkat
dulu...
Heran juga Roro Centil, mengapa
si gadis
baju merah begitu berkeras untuk
menahannya...? Pada sat itu
Sentanu
muncul. Rupanya ia baru saja
selesai
mandi di sungai yang memang
tidak berapa
jauh. Melihat munculnya Sentanu,
tiba-
tiba lengan Roro Centil segera
ia tarik
untuk menjauh dari gubuk itu.
Tentu saja membuat si Pendekar
Wanita Pantai Selatan ini jadi
makin
keheranan. Ia cuma bisa mandah
saja tanpa
bicara apa-apa. Sekalian
ingin tahu ada
rahasia apakah di antara mereka
berdua
yang tak boleh diketahui
Sentanu...?
Roro Dampit mengajaknya duduk di
bawah sebatang pohon. Dan
selanjutnya ia
sudah berbicara dengan suara
perlahan.
Sementara Sentanu cuma melirik
kelakuan
kedua wanita itu, seolah tak memper-
dulikan atau juga berpura-pura
tak
mengetahui. Ia melangkah
mendekat kudanya
yang bernama Antasena itu. Dan
membersihkan bulu-bulu binatang
kesaya-
ngannya itu dengan tangannya.
Tiba-tiba terdengar suara
tertawa
Roro Centil yang agak keras.
Suara merdu
yang membuat Sentanu menoleh.
Lapat-lapat
di dengarnya suara si Pendekar
Wanita
itu. Sementara Sentanu pasang
telinga
baik-baik sambil pura-pura
membersihkan
sepatu kaki kudanya...
"Jadi aku mau kalian
jadikan
Penghulu untuk menikahkan
kalian? Hihihi
... alangkah lucunya!"
Sentanu terkejut juga mendengar
kata-kata yang didengarnya
lapat-lapat
itu. Telinganya segera ia pasang
lagi
baik-baik. "Aku tak tahu
caranya
menikahkan orang... Sebaiknya
kalian cari
saja orang yang mengerti ...
" Terdengar
lagi suara Roro Centil.
"Tidak ... ! Aku ingin kau
yang
menjadi Penghulunya nona
Pendekar...! Aku
sudah yatim piatu, dan dia ...
dia juga
sama halnya denganku. Kurasa tak
ada
halangannya kau menikahkan kami
nona
Pendekar ... Kasihanilah
aku!" Terdengar
Roro Dampit menyahuti dan
berkata seperti
meratap. Trenyuh juga hati
Sentanu
mendengarnya. Ia telah merasa
berbuat
kekhilafan, dan ia harus
bertanggung
jawab atas perbuatannya.
Cuma saja ia masih teringat akan
pesan Mandra, sahabatnya yang
telah
memohon padanya untuk menjaga
adiknya,
Marni. Yang kini tak
diketahuinya di
mana, karena memang bukan
kesalahannya
untuk tidak menepati janji atau
pesan
terakhir itu, melainkan Marni
yang telah
mendahului pergi karena tak mau
berjumpa
dengannya. Kini semua itu
bukanlah
masalah... Ia harus tunjukkan
dirinya
sebagai laki-laki yang
bertanggung jawab!
Demikian pikirnya dengan matang.
Memikir demikian, tiba-tiba ia
bangkit berdiri..., pandangan
matanya ia
arahkan pada kedua wanita yang
tengah
bersitegang itu.
Yang satu mohon dengan memaksa,
sedangkan yang satu menolak
dengan
mengarahkan pada jalur yang
benar.
Sentanu merasa ia harus berpihak
pada Roro Dampit yang dilihatnya
begitu
memelas mengharapkan si Pendekar
Wanita
Pantai Selatan itu untuk
menikahkan
mereka. Segera ia langkahkan
kaki ke sana
dengan cepat...
Melihat kedatangan Sentanu Roro
Dampit sudah tutup mulutnya
berhenti
bicara. Roro Centil cepat
bangkit
berdiri, diikuti Roro Dampit,
yang
memandang wajah Sontanu segera
menunduk.
Sentanu segera menjura... dan
berkata; "Maafkan, aku
telah mengganggu
pembicaraan kalian berdua ...
!"
"Oh, tidak mengapa, kami
hanya
membicarakan...
"Aku sudah dengar apa yang
kalian
bicarakan." Sentanu
memotong pembicaraan
orang. Agaknya ia sudah tak
sabar untuk
memulai berkata.
Roro Centil yang memang sengaja
agak mengeraskan suara tadi,
cuma
tersenyum. Ia memang sudah
menyangka
pasti Sentanu akan mendengar
pembica-
raannya.
"Maaf aku telah memotong
kata-
katamu, nona Pendekar ... "
Kembali Roro
Centil tersenyum dan lirikan
matanya pada
Roro Dampit yang masih tundukkan
wajahnya.
"Ah, tak mengapa...
Silahkan anda
bicara, biarlah aku dan kak Roro
Dampit
yang ganti mendengarkan".
Sela Roro
Centil, dengan kata-kata yang
menghargai
orang.
Segera Sentanu ungkapkan
perasaan
hatinya yang ada bersamaan
dengan
keinginan Roro Dampit, yang ia
bersedia
menyuntingnya, serta tak lupa
mengemukakan alasan-alasannya.
Tentu saja
pernyataan itu kembali membuat
Roro
Centil jadi geleng-gelengkan
kepala, dan
berkata; "Aiiiii ... Kalian
ini agaknya
telah sepakat untuk mengangkatku menjadi
wali, juga penghulu kalian
berdua...
Entah kapan
berundingnya...?"
Lain halnya dengan Roro Dampit,
yang begitu mendengar kata-kata
Sentanu
yang ternyata di luar dugaan
adalah laki-
laki yang berani bertanggung
jawab. Ia
telah menjadi kegirangan
setengah mati.
Tadinya ia mengira Sentanu pasti
tidak
akan menghiraukannya kalau ada
terjadi
apa-apa terhadap dirinya.
Kecemburuannya
pada Marni sudah pasti ada,
karena ia
menduga Sentanu kelak akan
mencari juga
di mana adanya Marni, demi
menunaikan
janjinya pada Mandra disaat
pesan
terakhirnya sebelum tewas.
Ketika
mendengar penjelasan bahwa ia
kelak cuma
akan menjaga Marni sesuai dengan
janjinya, namun tidak sebagai
istri...
melainkan sebagai adik
angkatnya.
Tentu saja ia girang bukan
main...
karena ia benar-benar amat
mencintai
Sentanu. Itulah sebabnya tadi ia
sengaja
diam-diam minta dinikahkan
cepat-cepat
pada sang Pendekar Wanita.
Dengan harapan
Sentanu tidak akan menyeleweng
lagi bila
telah menikah. Apa lagi
dinikahkannya
oleh Pendekar Wanita Pantai Selatan,
sudah pasti Sentanu akan mati
kutu ...
Kini segalanya telah menjadi
terang. Sentanu pun justru ingin
cepat-
cepat menikah demi menghindari
dosa yang
ditakutkan akan berkelanjutan.
Mendengar Sentanu pun
menginginkan
si wanita Pendekar itu menjadi wali
mereka sekaligus menikahkannya,
Roro
Dampit segera bergerak memeluk
Sentanu,
yang balas memeluknya sambil
mengusap-
usap rambutnya.
Sekonyong-konyong kedua-
nya telah berjongkok memberikan
penghormatan pada Roro Centil.
Bahkan
Roro Dampit telah bersujud
mencium
kakinya. Keruan saja si Pendekar
Wanita
ini jadi terkesiap. Buru-buru ia
angkat
bahu orang dengan satu hentakan
tenaga
dalam, karena ia yakin keduanya
pasti
akan susah untuk dibangunkan.
"Bangunlah, tak layak
kalian
berbuat begitu...!
Usiaku masih sangat muda, bahkan
kalian berdua justru lebih tua.
Kita
bicaralah yang baik.
Marilah..." Satu
kekuatan tenaga dalam telah
membuat
keduanya unjuk rasa kaget,
karena bagai
disedot oleh besi sembrani
mereka tahu-
tahu telah bangkit berdiri.
Segera Roro
Centil bimbing mereka ke dalam
gubuk.
"Seperti telah kukatakan
tadi, aku
tetap tak bisa menikahkan kalian . ...
karena aku tak tahu cara
menikahkan
orang. Biarlah aku menjadi saksi
saja
atas pernikahan kalian nanti.
Sedangkan
untuk mengesyahkan kalian
menjadi suami
istri, aku akan carikan orang
yang memang
kerjanya menikahkan
orang..." Dan lanjut-
nya lagi; "Kalian tunggulah
di sini. Aku
akan cari di beberapa desa, dan
bawa
kemari untuk menikahkan kalian
dengan
resmi. Bagaimanakah... Apakah
kalian
setuju?" Kedua sejoli itu
tak keluarkan
sepatah kata selain
mengangguk-angguk.
Sementara Roro Dampit sudah
basahi
pelupuk matanya dengan genangan
air mata.
Entah air mata sedih atau
bahagia... Roro
Centil segera berdiri dan
beranjak keluar
gubuk ... Akan tetapi pada saat
itu
terdengar satu suara...
"Kalau cuma untuk
menikahkan saja
mengapa harus cari orang
jauh-jauh? Aku
pun sanggup...!".
Tentu saja suara itu membuat
ketiganya jadi terkejut. Roro
Centil
segera pasang mata, dan pusatkan
panca
indra untuk mengetahui di mana
adanya
sumber suara itu. Sedangkan Roro
Dampit
tiba-tiba bangkit berdiri sambil
mengha-
pus air matanya, dan melompat
keluar
gubuk sambil palingkan kepalanya
ke sana
kemari dengan mata liar menatap
ke
beberapa arah.
Sementara Roro Centil telah
mengetahui di mana adanya orang
yang
bersuara itu, dan tentu saja ia
jadi
terkesiap karena yang terlihat
adalah
ujung sebuah peti kayu ...
"Hah!? Si
pemetik Kecapi Maut...!"
Roro keluarkan
desisan dari bibirnya. Dan pada
saat itu
juga telah berkumandang suara
petikan
tali-tali kecapi dengan lagu
yang enak
sekali bernada lembut membuat
orang akan
segera terkenang masa yang
si-lam...
Wajah Roro Dampit tampilkan
senyum girang
... segera ia sudah melompat ke
arah mana
suara Kecapi itu.
Roro Centil tak dapat mencegah
karena orang sudah cepat sekali
memburu
ke balik pohon di belakang gubuk
itu.
Sementara Roro Dampit telah
berada di
hadapan si pemetik kecapi itu
yang segera
telah menghentikan permainannya.
Melihat
seorang kakek berkulit hitam
yang entah
dari mana datangnya dan
tahu-tahu sudah
berada di situ, Roro Dampit
terkejut
juga. Namun mengetahui orang
bisa menjadi
penghulu untuk menikahkannya,
Roro Dampit
sudah cepat-cepat buka suara;
"Oh...
Benarkah kakek bisa menikahkan
kami...?"
Si kakek pemetik kecapi itu
dengan
terkekeh-kekeh tertawa segera
menjawab;
"Jangankan untuk menikahkan
manusia di
dunia, menikahkan manusia untuk
di
Akhirat pun aku bisa...!"
Roro Dampit melengak juga
mendengar
kata-kata itu, namun ia tak
begitu
memperdulikan ucapan yang
seperti bernada
sombong itu. Karena
pikirannya sudah
tertuju pada resminya pernikahan
mereka
berdua, ia sudah sambung
kata-kata si
kakek; "Aku yang akan
menikah Kek, kami
memang tengah mencari orang yang
pandai
dan mengerti akan hal itu.
Saksinya pun sudah ada. Beliau
adalah Pendekar Wanita Pantai
Selatan,
Roro Centil..." Ketika
mengucapkan
demikian Roro Dampi bicara
dengan nada
bangga, dan palingkan kepala
melirik pada
Roro Centil yang masih berdiri
di samping
gubuk dengan hati kebat-kebit.
Ia agak
menyesal kesembronoan Roro
Dampit yang
telah memperkenalkan dirinya
dengan nama
sanjungan itu
Sementara Sentanu sudah mau
bergerak menyusul ke sana...
namun Roro
segera menahannya karena sudah
terdengar
lagi suara Roro Dampit
"Mari kek,
kupersilahkan anda ke gubuk. Di
sana enak
kita dapat duduk
bercakap-cakap..."
Segera Roro Dampit melangkah
lebih dulu.
Dan tampak sang kakek sudah
angkat peti
kecapinya dan sangkutkan di
pundaknya.
Namun alangkah terkejutnya
ketiganya
ketika mengetahui si pemetik
kecapi tidak
berdiri, melainkan berjalan
dengan
menggunakan kedua lengannya
untuk
melompat dari balik pohon itu.
Ternyata kedua kakinya buntung
sebatas paha, yang tertutup oleh
jubahnya
yang berwarna abu-abu. Roro
Centil
kerutkan kening, dan dalam hati
ia diam-
diam berdoa
agar tak terjadi sesuatu,
betapa ia amat memikirkan nasib
kedua
sejoli itu ....
Tak dikisahkan lagi bagaimana
upacara berlangsung. Akhirnya
resmilah
pernikahan kedua sejoli itu,
dengan
disaksikan oleh sang Pendekar
Wanita
Pantai Selatan. Tampak Roro
Dampit
kucurkan air mata bahagia.
Segera Sentanu
peluk istrinya dengan terharu
...
Roro Centil menundukkan
wajahnya...
Entah apa yang terasa di
hatinya... tapi
yang jelas iapun turut merasakan
kebahagiaan mereka berdua.
Sementara si pemetik kecapi
sudah
lantas buka suara, dan palingkan
kepalanya pada Roro Centil, yang
segera
angkat wajahnya.
"Upacara sudah selesai...
Kini
suruhlah sepasang pengantin ini
cepat-
cepat pergi, karena kini tinggal
lagi
urusan "Kita" yang
belum lagi
diselesaikan...!" Terkesiap
seketika Roro
Centil mendengar kata-kata itu.
Urusan
apakah? sentak hatinya. Ia
merasa tak
punya urusan apa-apa dengan
kakek pemetik
kecapi ini? Demikian hatinya
bertanya-
tanya. Namun dalam saat-saat
suasana
bahagia seperti itu, Roro tak
mau
mengusik kebahagiaan sepasang
sejoli yang
sedang bertangisan itu. Iapun
diam-diam
memuji kebaikan hati sang kakek
yang
tidak mau melibatkan sepasang
sejoli yang
baru jadi pengantin itu. Segera
ia
bangkit berdiri, dan berkata;
"Sobat
Sentanu, dan Roro Dampit...
maaf,
bukannya aku mengusir kalian,
tapi
kumohon dengan sangat karena
sudah
selesainya urusan pernikahan
kalian;
segeralah kalian teruskan
perjalanan
seperti rencana tujuan kalian
semula..."
Roro hentikan bicaranya sebentar,
dan melangkah keluar dari
gubuk... itulah
isyarat agar kedua mempelai
mengikutinya.
Segera sepasang sejoli ini turut
bangkit berdiri sejenak keduanya
saling
tatap. Namun segera melangkah
keluar
gubuk mengikuti sang Pendekar
Wanita
Pantai. Selatan itu ...
Roro Centil telah berdiri
disamping
kuda putihnya. Dan saat kedua
mempelai
itu tiba, segera ia angkat
bicara lagi;
"Aku tak dapat memberikan
apa-apa untuk
tanda mata atau kado buat kalian
berdua... tapi harap kalian tak
menolak
jika kuberikan kudaku ini
sebagai hadiah
untuk kalian...!"
Roro Dampit sudah lantas peluk
Roro
Centi dengan tiba-tiba, sambil
berkata
Emoticon