Camar-camar laut itu beterbangan
di atas air,
dengan suaranya yang
bercuit-cuit.....Sepasang sayap-
nya terbentang lebar. Melayang
bersimpang siur seper-
ti bosan-bosannya mengintai ikan
kecil-kecil yang ter-
sembul di permukaan air.
Sesekali burung-burung laut
itu tampak menukik, untuk
menyambar mangsa. Ge-
rakannya amat gesit. Bila telah
melayang lagi ke atas,
tentu akan terlihat ikan kecil
terselip diantara paruh-
nya.
Sementara itu beberapa ekor
bangau menukik
turun, dan hinggap di pasir
berair. Ombak sesekali da-
tang menyambar kaki-kaki kecil
yang panjang itu. Be-
berapa ekor berlarian di pasir.
Dan di atas batu karang
bergerombol burung-burung lain
pemakan ikan.
Ketika batu kecil meluncur ke
arahnya, terden-
gar suara riuh. Dan
beterbanganlah mereka menjauh.
Sang bangaupun pentang sayap
untuk meluncur ter-
bang disertai pekik ketakutan.
Sebentar saja tempat
itu menjadi sunyi kembali.
Karang-karang telanjang itu
cuma membisu. Sementara itu
deburan-deburan om-
bak tiada henti menghantamnya.
Memuncratkan air
dan buih, yang seperti
menari-nari di bawahnya. Dua
sosok tubuh tampak berjalan
mendekati pantai. Sema-
kin dekat. semakin jelas siapa
mereka. Ternyata ada-
lah dua orang muda. Seorang
laki-laki cukup tampan,
dan seorang gadis berwajah
manis. Tampak si pemuda
membungkuk, untuk kembali
mengambil sepotong ba-
tu kecil. Dan lemparkan ke sisi
laut.
"Apakah kau sudah bulatkan
tekadmu untuk
pergi dari rumah orang
tuamu..?" Bertanya si pemuda.
Seraya palingkan kepala pada
gadis di sebelahnya. Ga-
dis berbaju putih itu
mengangguk. Akan tetapi si pe-
muda sebaliknya tampak jadi
serba salah. Sebatang
kayu rebah di tepi pasir itu
dihampirinya. Dan dengan
wajah menghadap laut, ia sudah
duduk disana.
Terdengar suaranya menghela
napas. Dan ada
kata-kata lagi mendesis dari
mulutnya. "Aku khawatir
akan terjadi hal yang bakal
berbuntut panjang kelak,
bila suatu saat kita diketahui
telah berdua..!" Berkata
si pemuda. Gadis manis itupun
duduk di sampingnya.
Sejurus ia termenung, lalu
berkata;
"Siapakah sudi bersuamikan
tua bangka beri-
stri banyak itu..? Apakah kau
akan biarkan aku jatuh
dalam pelukan kambing tua itu,
Gumarang...?" Tanya
si gadis.
"Tentu saja tidak Wulan..?
Akan tetapi aku tak
dapat memaksa kalau kau memang
harus menuruti
kehendak orang tuamu. Kupikir
kawin lari adalah ti-
dak baik. Bukankah anak yang
berbakti pada orang
tua kelak akan hidup bahagia?
Menolak keinginan
orang tua itu durhaka,
Wulan..?"
"Huh..! Perduli! Aku tak
dapat dipaksa. Aku bi-
sa memilih orang yang kucintai!
Mengapa tampaknya
kau ragu, Gumarang..?"
Tanya si gadis. Sementara su-
dah mengalir air mata di kedua
belah pipinya.
Buru-buru pemuda itu memeluknya.
Dan den-
gan jari-jarinya ia menyeka air
mata si gadis.
"Aku tidak ragu-ragu,
Wulan..! Kalau kau su-
dah tetapkan niatmu. Aku akan
membawamu pergi.
Akupun tak dapat berpisah
denganmu, sayang..! Na-
mun banyak resiko harus kita
hadapi. Hubungan kita
telah diketahui oleh begundalnya
si Tirta Menggala. Ki-
ta harus secepatnya meninggalkan
tempat ini..!" Ber-
kata si pemuda.
"Kita berangkat
sekarang..?" Bertanya gadis
yang bernama Retno Wulan itu.
Gumarang terdiam se-
jenak, lalu anggukkan kepala.
"Tak banyak lagi waktuku
untuk pulang men-
gambil pakaian. Tapi aku ada
bawa bekal cukup untuk
menyewa perahu. Kau sendiri
bagaimana? Apakah ada
rencana lain?" Tanya
Gumarang dengan menatap ta-
jam pada si gadis.
"Tidak! Justru aku kemari
selagi ada tetamu
datang..! Aku lewat jalan
belakang". Berkata Wulan.
"Apakah si Tirta
Menggala itu..?" Tanya lagi
Gumarang. Gadis ini cuma
gelengkan kepala dan ber-
kata;
"Entahlah! Aku tak tahu
pasti..!" Ujar Wulan
dengan datar. Sementara ia sudah
cekal lengan keka-
sihnya erat-erat.
"Sudahlah..! Ayo kita
berangkat pergi..! Aku
khawatir ada orang menyusul
kemari!" Sambung si ga-
dis. Gumarang menatap gadis
di hadapannya tajam-
tajam. Namun kali ini sudah
terlihat ketegasan di wa-
jahnya.
"Mart Wulan! Dan ia sudah
segera berdiri. Se-
pasang matanya menatap sejenak
ke belakang, lalu ke
sekelilingnya.
"Kita kesana..!"
Berkata Gumarang sambil men-
gangkat telunjuknya. Dan
bergegaslah keduanya be-
ranjak tinggalkan tempat
itu.
Di muara sungai itu seorang
tukang perahu ba-
ru saja mengikat perahunya,
ketika tiba-tiba ia paling-
kan kepalanya untuk menoleh.
Dilihatnya dua orang
muda berlarian ke arahnya. Laki-laki berusia sekitar
lima puluh tahun ini kernyitkan
keningnya.
Sebentar saja keduanya telah
berada di hada-
pannya, Gumarang langsung
berkata
"Bapak! Sudilah kau
mengantarkan kami ke pe-
labuhan besar..?" Ujar
Gumarang sambil tatap wajah
si tukang perahu. Dan laki-laki
itupun menatap tajam
pada mereka berganti-ganti.
"Kami akan berikan
sewanya. Asalkan bapak
dapat cepat mengantar kami
kesana..!" Berkata Retno
Wulan menambahi. Setelah terdiam
sejenak, laki-laki
tua ini menyahuti.
"Sebenarnya akan kemanakah
anak..?" Ber-
tanya si tukang perahu. Tampak
Gumarang jadi men-
dongkol sekali. Mengapa harus
mengetahui kemana
tujuan orang? Pikirnya. Namun
dengan sabar ia mem-
beri jawaban.
"Ah..! Kami hanya akan
pesiar saja. Bukankah
disana banyak tempat-tempat yang indah untuk dili-
hat!" Ujar Gumarang sambil
tersenyum. Akan tetapi si
tukang perahu itu sudah
mendengus, sambil berkata;
"Hm..! Bagiku uang sewa
adalah soal mudah!
Akan tetapi aku tak dapat
mengantar kalian kesana.
Karena Raden Tirta Menggala yang
berkuasa di sekitar
pantai sini, telah melarang
siapapun untuk mengan-
tarkan sepasang sejoli keluar
dari daerah pantai ini..!
Aku tak tahu apa maksudnya.
Namun larangan itu
amat keras. Dan berlaku sejak
dua hari ini..!" Terkejut
Gumarang dan Retno Wulan,
mendengar penuturan
itu. Diam-diam Gumarang sudah
dapat menduga siapa
adanya si tukang perahu ini.
"He ? Begitukah..? Kalau
demikian berikan saja
perahu mu. Aku akan membelinya.
Berapa kau mau
jual ?" Berkata Gumarang
dengan bertolak pinggang.
"Ha ha ha... ha ha... Apa
kau punya banyak
uang untuk membayar perahu
ku?" Kata si Tukang pe-
rahu dengan tertawa lebar.
"Apakah perlu kutunjukkan
uangku..?" Tanya
Gumarang kesal. Tapi ia tetap
tak menurunkan tan-
gannya dari kedua pinggang.
"Baiklah..! Kau boleh bayar
perahu ku sepuluh
ringgit perak! Murah bukan? Tapi
kau hanya boleh
pergi seorang diri. Tinggalkan
gadis itu..! Berkata si
tukang perahu. Gumarang jadi
pelototkan sepasang
matanya, dan menatap gusar.
"Kurang ajar..! Kau orang
tua memang tak pa-
tut dihormati orang-orang muda!
Apa hubungannya
kami berdua dengan si Tirta
Menggala itu, bah..!" Me-
maki Gumarang.
"Ha ha ha... Kura-kura
dalam perahu, pura-
pura tidak tahu..! Apakah kau
belum dengar kalau ga-
dis yang kau mau bawa kabur ini
telah dipinang oleh
Raden Tirta Menggala..?" Ujar si tukang perahu. Men-
dengar kata-kata orang tua itu,
wajah Retno Wulan ja-
di pucat pias. Ia sudah ajukan
pertanyaan.
"Dia sudah meminang ku..?!
Apakah telah di te-
rima pinangannya oleh
ayahku..?" Tanya Retno Wulan.
"Kalau tidak diterima mana
beliau mau usil
dengan kalian..?" Sahutnya.
Tapi Gumarang sudah
membentak keras.
"Mana boleh jadi melamar
orang bisa di terima,
kalau orang yang akan di
tanyainya tidak ada, dan tak
pernah mendengarnya. Dan boleh
kau tanyakan pada
gadis ini... Apakah jawabannya
tentang lamaran itu..!
Hingga kau tak beranggapan aku
membawanya ka-
bur..!" Si tukang perahu
balik menatap Retno Wulan.
"Bisakah kau sedikit
bercerita, anak..? Aku in-
gin mendengar lebih jelas
mengenai lamaran Raden
Tirta itu..!" Berkata si
tukang perahu. Retno Wulan tak
banyak berayal, segera sedikit
menceritakan tentang
keluarganya.
"Aku memang bisa dianggap
durhaka. Karena
melawan kehendak orang tua,
tapi... bisakah aku me-
nerima pinangan itu? Aku belum
memberi jawaban.
Ayahku diberi waktu satu bulan.
Selama itu aku mera-
sa selalu diawasi oleh
orang-orangnya Tirta Menggala.
Seandainya ayahku telah
menyetujui sekalipun, aku
tetap menolak. Karena cinta tak
dapat dipaksakan.
Cinta bukan barang dagangan,
yang bisa dibeli dengan
uang dan harta benda..! Apakah
sebagai manusia, aku
tak berhak mencintai seseorang
dengan bebas? Keba-
nyakan manusia memandang harta
dan kekuasaan itu
sebagai perisai, yang dengan
mudah mendapatkan apa
saja yang ia ingini. Tetapi hal
itu adalah sebagai tindak
kekerasan... Nah! Biarkan kami
pergi! Kami rasa bapak
pernah muda. Dan mengerti
bagaimana perasaan kami
menghadapi hal semacam
ini..!" Kata-kata gadis itu
terdengar lantang dan tegas.
Pertanda ia tetap akan
pergi dengan orang yang ia
cintai. Walaupun harus
menghadapi banyak rintangan
sekalipun. Tampak si
tukang perahu menatap kedua
sejoli itu silih berganti.
Ternyata pada wajahnya terlihat
rasa belas kasih. Dan
hal itu adalah di luar dugaan
Gumarang. Setelah
menghela napas sejenak, si
tukang perahu ajukan per-
tanyaan pada kedua sejoli
itu.
"Apakah kalian benar-benar
saling jatuh hati,
dan sudah bertekad bulat
menempuh resikonya..?"
Tanya orang itu dengan menatap
pada kedua wajah di
hadapannya. Hampir berbareng
keduanya mengang-
guk. Bahkan sudah terlihat
tangan keduanya saling
mencekal erat. Seperti sudah tak
mau untuk dile-
paskan lagi.
"Baiklah..! Kalau begitu.
Biarlah kau bawa saja
perahu ku. Terserah mau dibayar
berapa olehmu. Asal
cukup untuk ku membeli perahu
lagi." Berkata si tu-
kang perahu. Wajah Gumarang
berseri gembira. Demi-
kian juga Retno Wulan.
Sesungging senyum tersungg-
ing pada bibirnya. Segera saja
Gumarang mengelua-
rkan sepuluh ringgit uang perak,
dan memberikannya
pada si tukang perahu.
Orang tua itu menerimanya tanpa
berkata apa-
apa. Dan selanjutnya sudah
tinggalkan keduanya.
Adapun Gumarang dan Retno Wulan
setelah mengu-
capkan terima kasih, segera
berlari ke perahu. Debiran
ombak menerjang kaki-kaki
mereka. Gumarang telah
lepaskan tali yang menambatkan
perahu. Retno Wulan
segera lompat ke dalamnya.
Gumarang kerahkan tena-
ga sedikit untuk mendorong...
Dan bergeraklah perahu
meluncur ke tengah menerjang
ombak. Selanjutnya
pemuda itu sudah bekerja cepat.
Dan tak lama kemu-
dian sudah melaju ke tengah
gelombang....
Layar segera dipasang. Maka
perahu kecil itu
telah tinggalkan pantai, melaju
pesat makin maju jauh.
Ketika mereka layangkan
pandangan ke tepi pantai,
orang tua tukang perahu itu
sudah tak kelihatan lagi.
Perahu kecil itu meluncur terus
membelah ge-
lombang. Angin darat meniup
keras membuat mereka
tak perlu lagi menggunakan
dayung lagi. Gumarang
memainkan kemudi di buritan
perahu.
Sedang Retno Wulan duduk di
bagian depan,
menghadap pada pemuda itu.
Hatinya merasa lega.
Akhirnya mereka dapat
meninggalkan pantai itu. Wa-
laupun ada rasa haru dan pedih
meninggalkan kam-
pung halamannya.
"Apakah di pelabuhan besar
kita tak menemui
halangan nanti, Gumarang..
?" Tanya Retno Wulan.
Sementara jari-jari tangannya
memainkan air, yang be-
riak di sisi perahu. Pemuda itu
cuma tersenyum, dan
berkata;
"Kita telah membeli perahu
ini, mengapa harus
ke pelabuhan besar? Kita akan
pergi kemana saja,
yang penting tidak seorangpun
dari penduduk desa
mengetahui tempat kita..!" Tentu saja kata-kata itu
membuat Retno Wulan jadi naikkan
alis. Tapi ia sudah
tertawa kecil dan berteriak
memuji...
"Hi hi hi.... Bagus! Kau
memang kekasihku
yang pintar. Dan juga
tampan..!"
"Kalau tidak tampan, mana
kau bisa jatuh hati
padaku..?" Sahut Gumarang.
Dan keduanya sama-
sama tertawa. Tapi Gumarang juga
berkata;
"Dan kau... Retno Wulan!
Kau pun seorang ga-
dis yang berhati keras. Tapi
juga cantik bagai bidada-
ri..! Makanya aku jatuh hati
padamu.."
"Ah., kau...!"
Selanjutnya Retno Wulan sudah
alihkan pandangan ke laut lepas.
Hatinya terasa baha-
gia sekali. Siapa yang tak
bahagia dipuji oleh kekasih
hatinya? Akan tetapi kebahagiaan
itu seketika sirna.
Wajah Retno jadi pucat pias,
ketika matanya menatap
ke bawah. Air yang dingin telah
merendam jari-jari ka-
kinya. Tampak air. laut bergolak
masuk dari sela-sela
papan di bawah perahu.
"Oh..!? Celaka..! Perahu
kita bocor!" Teriak Ret-
no Wulan. Seketika wajah
Gumarang pun berubah pu-
cat. Ia sudah melompat ke tengah
perahu dan meme-
riksanya. Ia pun berteriak
kaget.
"Benar..! Kurang ajar!
Tukang perahu itu telah
sengaja melubanginya, agar kita
tak dapat pergi
jauh..!"
"Atau agar kita mati
tenggelam..!" Teriak Retno
Wulan. Keadaan segera berubah.
Kini keduanya tam-
pak panik. Gadis itu telah
mendekap si pemuda keka-
sihnya itu erat-erat. Air
matanya telah menitik jatuh.
"Tenanglah Wulan..! Kita
harus cari akal agar
dapat segera menepi..."
Akan tetapi tak sedikitpun di
tempat itu terlihat daratan,
selain air. Dan melulu air.
"Kita tak punya harapan
Gumarang! Biarlah
kalau kita harus mati. Aku rela
asal kan mati ber-
dua...!"Berkata Retno Wulan
dengan terisak. Sementa-
ra air makin naik hingga
setengah badan perahu. Pe-
rahu kecil itu kini mulai
tersendat jalannya. Pada saat
itulah tiba-tiba muncul di
kejauhan sebuah perahu
layar besar. Berseri wajah
Retno Wulan. Ia sudah le-
paskan pelukannya pada Gumarang,
seraya berte-
riak... "Kita selamat..!
Kita akan selamat. Tapi seko-
nyong-konyong wajahnya kembali
pias. Dan terdengar
suara mendesis dari bibirnya.
"Tapi... tapi perahu itu
apakah bukan perahu si
Tirta Menggala..?" Gumarang
tak dapat menjawab. Ta-
pi cuma tertegun menatap pada
perahu besar itu yang
makin melaju mendekat. Benarlah
dugaan Retno Wu-
lan. Perahu itu milik Tirta
Menggala. Dan manusianya
telah terlihat berdiri di atas
geladak bagian depan. Pa-
da saat itu juga terdengar suara
tertawa berkakakah.
"Hua ha ha ha., haha...
Anak muda..! Mau kau
bawa kabur kemana calon istriku
itu? Ha ha ha.. Ter-
nyata kaulah rupanya biang kerok
yang punya nyali
besar untuk menggagalkan
rencanaku..?" Bagus! Ba-
gus! Ingin kulihat apakah kau
mampu menyelamatkan
nyawa gadismu..?" Teriak
Tirta Menggala. Perahu besar
itu tidak terlalu mendekat. Akan
tetapi berhenti. Dan
menurunkan layar kira-kira dua
puluh kaki di hada-
pannya. Gumarang menggertak
gigi. Betapa geram ha-
tinya pada laki-laki di perahu
itu. Akan tetapi Retno
Wulan telah berteriak;
"Manusia jahanam..! Licik.
Kau rupanya telah
mengatur rencana busuk untuk
menjebak kami. Dapat
menolongku atau tidak, bukan
urusanmu..! Apakah
kaupun dapat menolong dirimu
sendiri bila kau dalam
keadaan seperti kami..!?"
Keadaan perahu kecil itu semakin
kritis. Kare-
na buritan perahu sudah mulai
tenggelam. Kedua mu-
da-mudi ini memang tak berdaya.
Akan tetapi pada
saat itu terdengarlah teriakan
keras dibalik perahu Tir-
ta Menggala. Dan dibarengi
dengan olengnya perahu
besar itu. Beberapa anak buah
Tirta Menggala telah
keluarkan teriakan kaget.
"Celaka..!? Perahu kita
bocor besar..!" Dan pa-
niklah seketika kelima orang
anak buah Tirta Mengga-
la. Sedang laki-laki itu sudah
melompat di sisi perahu
untuk melihat .Betapa
terkejutnya melihat air mengalir
deras dari sebuah lubang dinding
perahu. Ternyata
dinding perahunya telah
berlubang sebesar kepala
manusia. Seketika iapun jadi
panik. Wajahnya beru-
bah pucat.
"Celaka..!? Cepat putar
kemudi..! Pasang
layar..! Kita kembali sebelum
tenggelam..!" Segera ber-
lompatanlah anak-anak buahnya
untuk menjalankan
perintah. Ketika ia alihkan
pandangannya pada perahu
kecil itu, ternyata telah
tenggelam tak ada bekas-
bekasnya. Piaslah wajahnya
seketika. Ia teringat akan
kata-kata si gadis tadi.
Mampukah kau menyela-
matkan dirimu sendiri,
seandainya kau dalam keadaan
seperti kami.. ? Keringat dingin
seketika saja telah ber-
cucuran di sekujur tubuhnya.
Kini terlihatlah perahu
besar Tirta Menggala berlayar
pulang dalam keadaan
oleng. Akibat kebocoran besar
itu. Entah selamat en-
tah tidak, karena pada saat itu
gelombang besar telah
menghantamnya. Dan perahu itu
telah tak kelihatan
lagi...
Gumarang dan Retno Wulan cuma
dapat me-
mejamkan mata karena
sekonyong-konyong angin ke-
ras menerpa wajahnya. Terasa ada
sepasang tangan
menyambar pinggangnya dan
di saat perahu mereka
tenggelam, mereka terpaksa
menutup kedua mata. An-
gin kencang membersit menerpa
tubuh dan wajah me-
reka dari bagian depan. Dan
selang beberapa saat me-
reka telah rasakan kakinya
menginjak pasir. Baru me-
reka membuka matanya ketika
terasa lengannya aneh
itu melepaskan pinggangnya.
Terkejutlah Retno Wulan
dan Gumarang, menatap sesosok
tubuh telah berdiri di
hadapan mereka. Yaitu seorang
gadis cantik berbaju
sutera merah jambu. Sepasang
matanya bak bintang
Kejora. Bibirnya menampakkan
senyum menawan. Se-
dang rambutnya beriapan tertiup
angin. Ternyata ke-
dua sejoli itu telah tiba di
darat.
"Sss... ssiapakah anda..?
Apakah anda yang te-
lah menyelamatkan jiwa kami..
?" Bertanya Gumarang
hampir berbareng dengan Retno
Wulan. Gadis di ha-
dapannya itu tertawa kecil,
hingga tampak sebaris gigi
yang putih rata.
"Hihi... hi., hi... Aku
manusia biasa. Nah kalian
telah selamat..! Silahkan
teruskan perjalanan kalian..!"
Berkata gadis aneh itu. Akan
tetapi kedua remaja itu
telah segera berlutut di atas
pasir. Gumarang berucap
dengan suara gemetar.
"Anda pasti bukan seorang
manusia... Anda
pasti Dewi Laut..! Oh
terimakasih atas pertolongan mu
sang Dewi..!"
Melihat kedua sejoli itu
jatuhkan dan berlutut,
si gadis berbaju sutera merah
jambu itu cepat-cepat
angkat pundak kedua orang muda
itu. Aneh... Guma-
rang hanya rasakan pundaknya
disentuh telapak tan-
gan halus... Tahu-tahu tubuhnya
telah terangkat naik.
Dan memaksanya berdiri lagi. Demikian juga
Retno Wulan. Yang hampir tak
bisa mempercayai. Apa
lagi sosok tubuh di hadapannya
itu amat cantik luar
biasa. Dengan dapat
menyelamatkan jiwanya dari ten-
gah samudra tanpa sebuah perahu
pun, adalah bukan
perbuatan manusia... Pikirnya.
Akan tetapi kembali
gadis itu berkata. Kali ini
suaranya terdengar santar.
"Hm..! Sudah kukatakan, aku
adalah manusia
biasa..! Mengapa kalian tak
mempercayai? Kalian lihat-
lah! Apakah sepasang kakiku
tidak menginjak ta-
nah..?" Kedua pasang mata
segera menatap tubuh
gadis itu. Dan benarlah..!
Sepasang kaki sang peno-
longnya benar-benar menginjak
tanah. Berarti si peno-
long adalah manusia biasa.
Seketika mata mereka jadi
menatap tak percaya. Dan gadis
baju sutera merah
jambu itu sudah berkata lagi;
"Namaku Roro Centil..! Aku
datang dari sebe-
rang pulau. Apakah ini yang
namanya pulau Anda-
las..!" Tertegun sepasang
muda-mudi itu. Tapi Guma-
rang segera menjawab;
"Be... benar... Nono...
nona... jadi... jadi...?"
"Hi hi hi... hi hi hi...
Terima kasih..!" Belum lagi
Gumarang meneruskan
kata-katanya, sosok tubuh di
hadapannya telah berkelebat
lenyap.
Tentu saja hal itu membuat
Gumarang dan
Retno Wulan jadi melongo alias
ternganga. Mereka
hanya dapat melihat bayangan
warna merah jambu.
Dan sekejap sudah lenyap.
Roro Centil si Pendekar Wanita
Pantai Selatan,
injakkan kaki di padang rumput
yang menghijau.
Padang rumput itu amat luas.
Sedang jauh di
bagian depan terlihat perbukitan
yang memanjang, se-
perti tak ada putusnya.
Dikelilingi rimba lebat
"Kurasa diantara perbukitan
itu pasti terdapat
gunung..!" Berbisik Roro.
"Entah yang manakah gunung
Dempo?..." De-
sisnya lagi. Sementara ia sudah
mempercepat jalan-
nya, melewati padang rumput itu.
Nampaknya Roro
tak begitu tergesa-gesa. Namun
bagi orang biasa, lang-
kah kaki Roro memang termasuk
cepat. Sementara itu
tanpa diketahui oleh sang
Pendekar, dua sosok tubuh
berbaju hijau tampak mengintai
dari balik pepohonan.
Keduanya adalah dua orang
laki-laki yang bertampang
seram. Ikat kepalanya berbentuk
lancip pada bagian
sisinya. Keduanya tampaknya
bukan orang desa biasa.
Karena terlihat pada masing-masing
pinggangnya ter-
sembul gagang golok.
Begitu kira-kira jarak sepuluh
tombak, kedua
orang itu berkelebatan keluar.
Roro Centil tampaknya
tidak terkejut. Karena sebagai
orang Rimba hijau yang
telah cukup berkecimpung lama di
dunia persilatan,
telah dapat mengetahui
sebelumnya. Kedua orang itu
segera menjura hormat, dengan
bungkukkan tubuh.
Dan salah seorang sudah berkata;
"Anda pasti salah
seorang undangan dari Ketua
kami, Selamat datang di
daerah kekuasaan Perguruan
'Burung Hantu". Markas
besar kami berada di bagian
dalam. Silahkan anda ja-
lan terus..!"
Roro Centil jadi melengak. Akan
tetapi ia sudah
mengangguk setelah membalas
hormat. Tampak dari
kedua wajah orang itu tak
menampilkan kecurigaan
buat Roro. Sehingga diam-diam ia
membatin... Aneh..!
Datang-datang ke negeri orang,
sudah disambut baik.
Dan dianggap tetamu undangan.
Siapakah gerangan
Ketua dari Perguruan Burung
Hantu itu..? Pikir Roro.
Entah ada pertemuan apakah?
Pikirnya lagi. Namun
justru keanehan itu membuat Roro
jadi kepingin tahu.
Dan tanpa banyak bicara ia sudah
melangkah masuk
melewati kedua orang penjaga
itu. Ternyata pada kira-
kira tiga tombak, terlihat ada
dua tugu di kiri kanan
jalan. Roro segera menduga kalau
itulah pintu masuk
ke dalam markas Burung Hantu.
Tak berayal lagi Roro
sudah kelebatkan tubuh kesana.
***
Tirta Menggala dalam keadaan
panik... ketika
sebuah ombak besar tiba-tiba
menghantam pera-
hunya. Tak ampun lagi tiang
layar itu roboh tumbang
karena perahu sudah miring.
Teriakan-teriakan dari
para anak buahnya pun
terdengar... Tirta Menggala
mengeluh putus asa. Tubuhnya
segera terjungkal ma-
suk laut. Akan tapi di detik itu
juga berkelebat sebuah
bayangan bagai kilat, menyambar
tengkuk Tirta Meng-
gala. Dan tahu-tahu tubuhnya
telah melayang di atas
air. Cepat sekali rasanya ketika
angin deras menerpa
wajahnya. Dan beberapa saat
kemudian, ia telah tiba
di darat. Tersentak laki-laki
berusia lima puluh tahun
ini, ketika melihat siapa yang
telah menolongnya. Serta
merta segera ia bersujud dengan
khidmat.
"Guru..! Terima kasih, atas
pertolonganmu..!"
ucapnya dengan suara tergetar
girang, namun juga
terkejut sekali. Sosok tubuh
yang berdiri di hadapan-
nya itu ternyata seorang kakek
tua renta, bertubuh
kurus jangkung. namun agak
bungkuk. Akan tetapi
anehnya seluruh tubuhnya
berbulu. Walaupun tidak
terlalu lebat. Namun bulu-bulu
itu panjang-panjang
pada beberapa bagian tubuhnya,
berwarna pu-
tih. Pada bagian wajahnya, hanya
kening dan hidung
serta sedikit kedua belah
pipinya saja yang tak terda-
pat bulu.
Wajahnya menampilkan usia yang
sudah lan-
jut. Alisnya tebal menyatu.
Kumis dan jenggotnya ter-
juntai panjang sampai melebihi
pusar. Hidungnya agak
melebar. Sinar matanya menatap
bagai mengeluarkan
cahaya berwarna biru. Kakek tua
renta ini memakai
selapis jubah putih yang cukup
tebal. Ternyata ram-
butnya juga panjang memutih.
Terurai sampai ke
punggung. Terdengar si kakek
berkata. Suaranya mirip
dengan suara kera. Ternyata
giginya masih utuh, dan
menampakkan taring di kiri
kanannya.
"Muridku..! Kau terlalu
gegabah..! Apakah kau
tidak melihat bayangan merah
jambu yang berkelebat
mendekati perahu mu? Bayangan
merah jambu itulah
yang telah menghantam dinding
perahu mu, sehingga
mengalami kebocoran besar. Dan
Bayangan merah
jambu itu pula yang telah
menyelamatkan kedua orang
muda itu dari bahaya kematian..
Mendengar kata-kata
itu tentu saja Tirta Menggala
jadi terkesiap. Ia sudah
segera bertanya;
"Siapakah bayangan merah
jambu itu Guru...?"
Si kakek tua renta berbulu itu
keluarkan suara bag
menggeram.
"Gut... Menurut berita dari
Peri Gunung Dem-
po, di seberang pulau ada
seorang tokoh persilatan
terkenal yang berilmu tinggi.
Sayang Peri Gunung
Dempo tak berhasil menjumpainya
ketika empat bulan
yang lalu kesana. Namun Peri
Gunung Dempo berhasil
membunuh gurunya. Yaitu Manusia
Aneh Pantai Sela-
tan. Bayangan merah jambu itu
sudah pasti muridnya
yang bernama Roro Centil, alias
si Pendekar Wanita
Pantai Selatan. Pasti..! Karena
ia seorang wanita. Dan
mempunyai ilmu berjalan di atas
air..!"
Terkejut Tirta Menggala mendengar penuturan
gurunya Ternyata sejauh itu
sudah ada manusia lain
yang berilmu hebat. Pada hal
gurunya sendiri sudah di
anggap sebagai Dewa Siluman
Kera, yang pergi dan da-
tangnya bagaikan angin. Kini
Tirta Menggala menden-
gar lagi adanya seorang wanita
yang memiliki ilmu
yang hebat. Hampir-hampir ia
tidak percaya.
"Guru..! Ada apakah manusia
dari seberang
lautan itu datang kemari…?"
Tanya Tirta Menggala.
"Entahlah..! Tapi dugaanku
adalah mencari Peri
Gunung Dempo. Karena telah
membunuh Gurunya.
Tapi itu juga sebuah tantangan
berat bagiku. Karena
Pendekar Wanita itu termasuk
manusia yang suka
mencampuri urusan orang..!"
Berkata si kakek.
Melengak Tirta Menggala. Tapi
saat itu sang
guru sudah berkata lagi.
"Menggala..! Sebaiknya kau
tinggalkan dulu ke-
sibukan mu. Kau menetap dulu
di kediaman ku. Ku
kira kekuasaanmu tak dapat kau
pertahankan, bila
kau tak mempunyai secuil pun
kepandaian..!" Ujar si
kakek dengan sorot matanya yang
tajam menatap Tirta
Menggala. "Tapi... tapi..
Guru..! Aku perlu bantuanmu
dulu untuk... untuk..."
Tirta Menggala tak dapat mene-
ruskan kata-katanya karena
tubuhnya sudah disam-
bar oleh si kakek aneh itu untuk
dibawa melesat pergi.
Masih terdengar hardikannya
lapat-lapat;
"Bocah goblok..! Sejak
dulu-dulu sudah ku pe-
ringatkan. Pelajarilah
ilmu-ilmuku..! Kau cuma pikir-
kan kekuasaan dan perempuan
saja..!"
***
Gumarang dan Retno Wulan
meninggalkan
pantai itu untuk segera mendaki
bukit. Melalui jalan
setapak yang berputar-putar,
mereka tiba di sebuah
desa terpencil di tengah hutan
bambu.
"Kemana tujuan kita kini
Gumarang..!" Ber-
tanya Retno Wulan. Tampaknya ia
sudah lelah sekali.
Tubuhnya terasa penat. Dan
kakinya terasa pegal bu-
kan main.
"Kita singgah dulu di desa
ini beristirahat. Mu-
dah-mudahan disini tak ada
terdapat orang-orang si
Tirta Menggala..!" Jawab
Gumarang. Sementara len-
gannya membimbing kekasihnya
yang tampak sudah
sempoyongan.
"Sayang kita gagal untuk
pergi yang jauh seka-
li... Tapi kita harus bersyukur
pada Tuhan, karena
wanita aneh bernama Roro Centil
itu telah menyela-
matkan nyawa kita..!" Kata
Gumarang lagi.
"Tapi kita cukup jauh dari
desa tempat ting-
galmu, Wulan. Aku berharap kau
tak terlalu cemas.
Selesai istirahat kita susuri
bukit barisan, dan pergi
jauh terus ke utara..."
Hiburnya lagi.
"Apakah si kambing tua itu
tak akan dapat me-
nyusul kita lagi,
Gumarang?"
"Percayalah sayang..! Aku
akan menjaga mu
dengan taruhan jiwa raga ku!
Seandainya manusia ke-
parat itu dapat menyusul kita.
Eh!? Rasanya aku meli-
hat di kejauhan perahu si Tirta
Menggala itu seperti
oleng, dan bergerak tak
menentu..." Berkata Guma-
rang. "Bagus! Biarlah dia
mati tenggelam di dasar
laut..!" Maki Retno Wulan
dengan kesal.
Sebuah pondok yang paling dekat
mereka ham-
piri. Gumarang sudah mengucapkan
salam. Aneh Tak
ada orang menyahuti dari dalam.
Pintu depan memang
tak terbuka sedikit. Daun
jendela yang berada di si-
sinya bahkan terbuka separuh,
namun tampak miring.
Tak ada tanda-tanda ada
penghuninya di dalam. Hing-
ga sampai Gumarang mengucapkan
salam tiga kali, te-
tap saja tak ada yang menyahut.
Yakinlah mereka kalau rumah itu
kosong, alias
tak berpenghuni. Terbukti adanya
sarang laba-laba
pada pintu yang setengah
terbuka. Juga pada jendela
yang terbuka itu. Agak takut
keduanya untuk mema-
suki. Terpaksa Gumarang
membimbing Retno Wulan
untuk mencari pondok lainnya.
Beberapa rumah ia
hampiri. Namun kesemuanya kosong
melompong.
"Ternyata desa terpencil
ini sebuah desa mati..!"
Desis Gumarang. Retno Wulan
kerutkan alisnya. Ia
tampak mengeluh. Dan jatuhkan
tubuhnya ke tanah.
Penatnya bukan main. Dan ia
sudah tak sanggup ber-
diri lagi. Sementara saat itu
keadaan semakin mere-
mang. Pertanda hari sudah
menjelang senja. Terpaksa
Gumarang mengambil keputusan.
"Baiknya kita menginap di
pondok kosong ini
saja untuk bermalam. Aku
khawatir ada binatang buas
yang dapat menyusahkan
kita..!" Ujar Gumarang. Dan
ia sudah segera masuk ke dalam
salah satu pondok
kosong itu.
"Tunggulah sebentar Wulan.
Aku akan meme-
riksa keadaan di dalam..!"
Kate Gumarang. Sambil
menoleh sejenak pada Retno
Wulan, yang seperti su-
dah tak dapat bicara lagi.
Gumarang cepat memasuki
kamar demi kamar. Tampak pemuda
ini bersitkan wa-
jah girang. Ternyata masih ada
balai-balai kayu leng-
kap dengan tilamnya. Serta
bantal dan guling... Wa-
laupun banyak debu di atasnya,
tak menjadi soal. Se-
gera ia beranjak ke ruang
belakang. Sebuah dapur.
Yang ternyata masih komplit
dengan perabotannya.
Ah, beruntung aku..! Desis
Gumarang. Tapi aneh..!?
Mengapa pondok-pondok ini mereka
tinggalkan..? Ber-
fikir Gumarang. Ah, perduli..!
Yang penting kami dapat
bermalam disini, walaupun cuma
satu malam. Menga-
pa harus pusing-pusing
memikirkannya..? Desis pe-
muda ini dalam hati.
Segera ia kembali ke kamar dan bersihkan
tempat tidur. Sementara itu dengan
berjalan tertatih-
tatih Retno Wulan beranjak
memasuki pondok. Guma-
rang muncul dari ruang tengah.
Ketika dilihatnya Ret-
no Wulan, cepat ia melompat
menghampiri.
"Wulan..! Aku baru
bersihkan kamar dan tem-
pat tidur. Mari ku
pondong..!" Berkata Gumarang se-
raya peluk tubuh sang kekasih,
dan pondong ke da-
lam.
"Kita tak perlu khawatir
dengan keadaan disini.
Binatang buas masih dapat
dihindari, dari pada ma-
nusia jahat yang akan mengganggu
kita..!" Ujar pemu-
da itu. Dan tak lama ia sudah
baringkan tubuh Retno
Wulan di pembaringan.
"Kau jangan kemana-mana
Gumarang..! Aku
takut sendirian..!" Teriak
Retno Wulan seraya tarik
kembali lengan laki-laki itu.
Dan sudah didekapnya
erat-erat. Terasa oleh pemuda
itu detak jantung gadis
bergemuruh.
"Tenanglah, sayang ku..!
Jangan khawatir. Aku
takkan meninggalkanmu. Aku mau
menutup pintu du-
lu..!" Berkata lirih
Gumarang, seraya lengannya mem-
belai rambut dan mencubit hidung
Retno Wulan. Ke-
mudian segera beranjak cepat
keluar ruangan. Terden-
gar daun pintu bergerit, dan tak
lama kemudian Gu-
marang telah kembali masuk.
Pemuda itu segera du-
duk di sisi pembaringan.
Kepalanya bergerak untuk
meneliti ruangan, dengan
sepasang matanya yang
mencari-cari sesuatu. Di atas
meja disudut ruangan
itu tergeletak sebuah lampu
usang. Gumarang beran-
jak menghampiri.
"Bagus, masih ada minyaknya
sedikit. Lumayan
untuk penerangan. Sebentar lagi
malam akan tiba. Se-
baiknya aku pasang sekarang.
Cuaca gelap, seperti
mau turun hujan lebat..!"
Berkata Gumarang. Segera
ia merogoh sakunya. Dan nyalakan
lampu dengan ba-
tu geretan.
Sebentar kemudian ruangan kamar
itu menjadi
terang benderang. Kemudian ia
kembali duduk di sisi
Retno Wulan. Kini yang ia tatap
adalah wajah gadis
itu. Retno Wulan telah pejamkan
matanya. tampak ke-
ringat mengalir dari dahinya.
Segera Gumarang seka
peluh itu dengan ujung bajunya.
Dan dekap wajah itu
dengan sepasang lengannya. Satu
ciuman telah men-
darat di dahi gadis itu.
"Kau lapar tidak,
Wulan..?" Bertanya Guma-
rang. Gadis itu gelengkan
kepala. Dan perlahan buka
kelopak matanya. Sepasang mata
sang gadis menatap
redup wajah pemuda yang
dicintainya itu. Terdengar-
lah suara si gadis lirih.
Sementara lengannya sudah
bergerak memeluk tubuh Gumarang.
"Gumarang..! Oh... jangan
kau tinggalkan aku
untuk selamanya..!"
Desisnya lirih. Gumarang de-
katkan lagi wajahnya, dan bisiki
si gadis di telinganya.
"Tidak sayang ku..! Aku tak
akan tinggalkan
kau selama hayat dikandung
badan. Aku akan selalu
dekat padamu..!" Dan
keduanya pun tenggelam dalam
buaian asmara yang bergejolak.
Sementara d luar, po-
hon-pohon bambu terangguk-angguk
terkena tiupan
angin, yang mendesah. Gemerisik
bunyi daun-daun
bambu yang saling bergesekan. Gumarang rebahkan
tubuhnya di sisi sang gadis.
Yang segera lingkarkan
lengannya dada Gumarang.
Terdengar laki-laki muda
ini menghela napas. Seperti
merasa lega setelah bergu-
lat dengan berbagai rintangan
tadi siang.
Api pelita itu tampak
bergoyang-goyang terkena
hembusan angin malam yang masuk
dari sela-sela
dinding. Hujan rintik-rintik
mulai turun. Suasana
memang agak dingin, hingga Retno
Wulan semakin le-
lap mendekap tubuh Gumarang.
Napas pemuda ini terlihat agak
memburu. Te-
rasa sulit baginya untuk menahan
gejolak kelaki-
lakian nya. Apa lagi dalam
keadaan berdua-dua demi-
kian itu, tanpa ada seorang pun
yang tahu.. Benda-
benda lembut terasa menekan kuat
tubuhnya. Terasa
desah napas Retno Wulan seperti
meniup-niup daun
telinganya.
"Wulan..!" Gumarang berbisik perlahan. Dan
miringkan tubuh. Untuk kemudian
menggamit ping-
gang sang gadis. Dan
tenggelamlah mereka dalam ke-
rinduan. Tiba-tiba terdengar
petir menggelegar.
Namun tampaknya mereka seperti
tenggelam
dalam keasyikan memadu rintihan.
Tanpa perdulikan
sekitarnya. Tanpa perdulikan
apa-apa. Seperti juga in-
gin menghabiskan malam itu
sepuas-puasnya....
***
Roro Centil mengendus bau-bauan
aneh di
ruangan kamarnya. Bau asap
kemenyan, entah dari
mana datangnya bau orang
membakar kemenyan itu.
Malam itu Roro Centil memang menjadi tetamu yang
istimewa bagi si Ketua Perguruan
Burung Hantu. Ia
menempati sebuah kamar yang
bersih. Berdinding dan
berlantai papan. Ternyata si
Ketua seorang yang ra-
mah tamah. Walau sepasang
matanya memancarkan
sinar yang membersit tajam.
Mirip mata Burung Han-
tu.
Rumah Perguruan Burung Hantu
ternyata ter-
diri dari beberapa wuwungan. Dan
Roro menempati di
sebuah rumah yang paling besar.
Ternyata di samping
kedatangan Roro masih ada
berdatangan lagi tiga
orang tetamu. Yaitu seorang
wanita, dan dua orang la-
ki-laki. Dapat dilihat sepintas
oleh Pendekar Wanita
Pantai Selatan, ketiganya
bukanlah orang-orang yang
biasa-biasa saja. Karena dari
setiap gerakannya me-
nunjukkan ketiganya berilmu
tinggi. Ternyata si Bu-
rung Hantu itu telah mengundang
rekan-rekannya un-
tuk mengadakan pertemuan dengan
menyebar undan-
gan.
Adapun Roro yang bukan termasuk
salah satu
undangannya, ternyata tidak
masuk hitungan. Ketika
di adakannya pertemuan empat
pasang. mata. Sengaja
Roro diberi ruang terpisah.
Anehnya si Burung Hantu
sedikitpun tidak menanyakan hal
ihwal Roro. Mem-
buat Roro agak merasa aneh.
Sementara malam terus berlalu
merayap, Roro
tak bisa pejamkan mata. Bau asap
kemenyan itu
benar-benar membuat ia merasa
terganggu. Dia
diam ia telah membuka jendela,
dan melompat ke luar.
Keadaan di luar tampak sunyi.
Jarak antar tiap-tiap
rumah kira-kira tiga puluh
tombak. Pada bagian de-
pannya dipasangi dua obor. Roro
bergerak menyelidiki
setiap dinding kamar. Telinganya
dipasang tajam-
tajam. Demikianlah Roro mencoba
curi dengar dimana
adanya pertemuan empat pasang
mata antara si Bu-
rung Hantu dengan ketiga
tetamunya. Sementara se-
pasang biji matanya selalu
bergerak lincah. Karena
mengkhawatirkan ada penjaga yang
melihatnya.
Sayang di rumah besar itu tak
ada tanda-tanda
mencurigakan. Malam memang sudah
larut. Segera
Roro berkelebat ke rumah-rumah
berikutnya. Dan pa-
da sebuah rumah yang bentuknya
agak berbeda den-
gan yang lain itu, lapat-lapat
dapat didengarnya suara
orang bercakap-cakap. Walaupun
suaranya tidak terla-
lu keras, namun pada malam yang
sunyi itu, dapat
terdengar oleh Roro dengan
merapatkan telinganya ke
dinding rumah.
"Sebentar lagi di saat ayam
mulai kukuruyuk,
kita sudah segera bergerak
kesana!" Terdengar suara
sang Ketua Perguruan Burung
Hantu. Yang memang
berjulukan si Burung Hantu. Roro
bergerak perlahan
tanpa menimbulkan suara, mencari
celah yang dapat
ia pergunakan untuk mengintip. Dan
sudah dite-
muinya celah kecil di dinding
papan bangunan rumah
itu. Segera saja terlihat
keempat orang duduk berkelil-
ing. Sang Ketua membelakangi
Roro. Sedang dua laki-laki
tetamunya duduk
berhadapan dengan si Ketua. Dan
wanita satunya du-
duk di sebelah kiri si Burung
Hantu. Dari pembicaraan
rahasia yang didengarnya, Roro
segera dapat mengeta-
hui ketiga tetamu si Burung
Hantu itu. Kedua laki-laki
itu adalah yang berjulukan Dua
Iblis Sembilan Nyawa.
Yang masing-masing bernama Gajah
Dungkul dan Ka-
la Dungga. Gajah Dungkul
berperawakan tinggi besar.
Telinganya panjang dan bermuka
lebar. Sepasang ma-
tanya sipit dengan alis yang
tebal terjungkit ke atas.
Hidungnya agak melengkung, dan
berbibir tebal. Laki-
laki ini mengenakan pakaian
berwarna abu-abu. Tam-
pak di sisinya tergeletak
senjatanya sepasang piring ti-
pis, yang berbentuk mirip tutup
panci, mempunyai pe-
gangan pada bagian tengahnya.
Sedang yang bernama Kala Dungga
ternyata
seorang laki-laki berkulit
hitam. Berkepala lonjong.
Rambutnya hanya tebal bagian
atasnya saja. Hidung
dan mulutnya berdekatan sekali.
Giginya agak men-
cuat keluar. Dengan sepasang
mata yang besar. Kumis
dan jenggotnya tidak rata.
Usianya hampir sebaya
dengan si Gajah Dungkul. Yaitu
sekitar lima puluh ta-
hun. Orang ini memakai jubah
kuning. Senjatanya tak
terlihat di dekatnya. Sedangkan
si wanita mengenakan
baju warna merah. Dengan wajah
cukup cantik. Ber-
kulit sawo matang. Sebuah
tongkat hitam mirip ular
berada di pangkuannya. Wanita
ini sebentar-sebentar
tersenyum, kalau diajak bicara
si Burung Hantu.
Dan duduknya pun agak berdekatan
dengan si
tuan rumah. Ternyata si wanita
ini bergelar si Ular Ko-
bra Mata Merah. Sedang si Burung
Hantu sendiri, Roro
telah mengenal wajahnya. Yaitu
seorang laki-laki yang
bertubuh agak pendek. Berwajah
empat persegi. Ber-
hidung bagai paruh burung.
Alisnya kereng dan tebal
hampir menyatu. Telinganya
kecil, hampir tak keliha-
tan tertutup rambutnya. Malam
itu mengenakan man-
tel bulu burung yang tampak
berwarna hitam... Ada-
pun Roro terus mendengarkan
pembicaraan keempat
orang itu.
"Hmm, sobat Burung Hantu..!
Apakah kau ya-
kin penyergapan kita malam ini
tak akan gagal. Apa-
kah kita perlu membunuhnya
mampus saja. Dan kita
kuras harta bendanya..!"
Berkata Kala Dungga, si ju-
bah kuning.
"Benar..! Sebaiknya
demikian. Aku khawatir ka-
lau kita hanya menculik anak
gadisnya saja untuk
minta tebusan, akan membahayakan
kita. Terutama
perguruanmu. Bisa saja si
hartawan itu melaporkan
pada pihak Kerajaan untuk
menggulung markas mu."
Berkata Gajah Dungkul. Sedang si
wanita alias si Ular
Kobra Mata Merah cuma tinggal
diam. Karena usul
pertama itu dialah yang
memberikan. Adapun si Bu-
rung Hantu jadi tersenyum
mendengar saran-saran
kedua kawannya.
"He he he... Kalau cuma mau
menculik anak
gadisnya sih, aku sendiri juga
dapat melakukannya!
Makanya kupanggil kalian, karena
aku akan menum-
pasnya sekaligus. Kekuasaannya
akhir-akhir itu
semakin meluas. Dan kudengar si
hartawan itu
juga menyewa orang-orang
persilatan untuk melindun-
gi kekuasaannya. Agaknya ia mau
menyaingi si Tirta
Menggala..!" Berkata si
Burung Hantu dengan suara
agak ditekan.
"Tirta Menggala.. ? Hm,
kurasa diapun tak mau
disaingi begitu saja..! Apalagi
manusia itu pernah men-
jadi murid seorang pertapa tua,
yang berjulukan Dewa
Siluman Kera! Bila orang sakti
itu turun tangan, dalam
sekejap saja akan hancurlah
kekuasaan si hartawan
yang bekas pembesar kerajaan
Sriwijaya itu..!" Tiba-
tiba si Ular Kobra Mata Merah
ikut buka suara.
"Dan bila itu terjadi, kita
bisa kalah cepat kalau
tak buru-buru bertindak..!"
Menimbrung lagi Kala
Dungga. Si Burung Hantu jadi
tertawa bergelak-gelak.
"He he he... he he... Tak
usah terlalu mengkha-
watirkan si Tirta Menggala.
Manusia itu cuma tergila-
gila dengan wanita. Untuk
menjatuhkan
manusia semacam itu tidaklah
sulit. Kita tak
perlu saling jatuhkan. Bahkan
kita bisa bekerja sama
dengannya. Karena kita-bisa-bisa
berurusan dengan si
pertapa sakti Siluman Kera
Putih. Bisa-bisa akan te-
rancamlah jiwa kita..!"
"Benar..! Benar! Saran mu
itu bagus sekali Bu-
rung Hantu..! Kita, sesama
golongan hitam tak perlu
saling gontok-gontokan!"
Ujar Gajah Dungkul.
"Akan tetapi mengenai
rencana kita, baiknya
aku ambil kepastian. Nah
dengarkan baik-baik..!"
Sambung si Burung Hantu lagi.
Kemudian me-
reka pun mulai mengatur rencana
dan siasat... Semen-
tara Roro mendengarkan dari
balik dinding. Selesai
menetapkan keputusan, tiba-tiba
salah seorang dari
tamunya itu, yaitu si wanita
baju merah. Tiba-tiba ber-
tanya;
"Eh... kulihat sobat kita
ini sudah punya sim-
panan khusus... Cantik juga.
Bolehkan aku mengeta-
hui lebih dekat siapa wanita
piaraan mu itu?" Tentu
saja Roro Centil jadi merah
wajahnya. Diam-diam ia
memaki dalam hati... Setan
alas..! Aku di anggap wani-
ta piaraan si Ketua Kokok Beluk
ini! Sialan..!"
Adapun si Burung Hantu baru
sadar dan mera-
sa diingatkan oleh si wanita,
mengenai seorang ta-
munya.
"Aku sendiri belum
mengetahui siapa dia
adanya..!" Berkata si
Burung Hantu. Tentu saja ketiga
orang undangan itu jadi
melengak.
"Kau ini aneh, Burung
Hantu..! Bagaimana ka-
lau wanita itu ternyata seorang
mata-mata yang bisa
merusak rencana kita?"
Berkata Gajah Dungkul.
"Tampaknya ia bukan wanita
sembarangan..!
Apakah tak ada rencanamu untuk
mengikut sertakan
dalam penyergapan kita?"
Tanya kala Dungga. Si Bu-
rung Hantu ini tampak menghela
napas, lalu berkata
perlahan... Dan tuturkan asal
mulanya hingga ia keda-
tangan tetamu yang tak diundang.
"Sebenarnya ada rencanaku
untuk mengetahui
lebih jauh tentang siapa
dirinya, akan tetapi, datang-
nya sudah di luar dugaan. Mana
aku mampu menolak,
karena ia telah juga menjadi
tamuku? Aku telah tem-
patkan ia di rumah besar. Ada
dua orang pembantu
wanita disana untuk melayaninya.
Sengaja aku mena-
hannya agar menginap selama
beberapa hari. Tam-
paknya ia juga seperti orang
yang aneh..! Kalau ia tak
merasa diundang mengapa mau saja
datang untuk
menjadi tamuku?" Tutur si
Burung Hantu.
"Apakah kau tak lihat
adanya tanda-tanda
mencurigakan pada
sikapnya?" Tanya Kala Dungga la-
gi. Si Burung Hantu tampak
terdiam sejenak. Lalu me-
nyahuti.
"Rasanya tidak! Tampaknya
ia bukan pendu-
duk asal daerah kita. Seperti
berlogat bahasa dari se-
berang pulau. Mungkin juga ia
perantau dari Pulau
Jawa. Itulah sayangnya... karena
kedatangannya ju-
stru bertepatan dengan
pengaturan rencana kita, ma-
ka terpaksa ia ku tahan dulu
agar tinggal beberapa ha-
ri disini. Karena aku tak mau
melibatkan urusan ini
dengannya..! Baiknya kita tunggu
saja sampai sele-
sainya urusan kita malam ini.
Besok kita menemuinya
untuk lebih dekat
mengenalnya..!" Burung Hantu beri-
kan penjelasannya.
"Bagaimana kau bisa
menahannya, kalau cuma
ada dua pembantu wanita di rumah
besar tempat ia
menginap? Dia toh punya kaki.
Kapan waktu bisa dia
bisa berangkat pergi..!"
Menimbrung si wanita bertong-
kat ular. Akan tetapi si Burung
Hantu cuma menyerin-
gai, dan berkata perlahan.
"He he he., mengenai itu
adalah urusanku! Si
Burung Hantu bukan anak kemarin
sore yang harus
diberi petunjuk!" Jawabnya,
dan segera menyambar
gelas arak untuk selanjutnya
sudah menenggaknya
habis. Sementara yang lainnya
pun menuruti, mene-
guk sisa minumannya.
Tampaknya Roro sudah cukup untuk
mencuri
dengar. Segera ia berkelebat
pergi tanpa menimbulkan
suara. Sebentar kemudian ia
telah kembali memasuki
kembali kamarnya dengan lewat
jendela. Kemudian
menutupnya rapat-rapat. Roro
Centil jatuhkan tubuh-
nya di pembaringan. Dan
tercenung memikirkan apa
yang telah didengarnya:
Nama-nama yang diingatnya
adalah Tirta Menggala, murid
kakek pertapa Siluman
Kera Putih. Entah bagaimana
rupanya si kakek yang
kabarnya sakti itu. Dapat
diketahui Tirta Menggala
adalah seorang laki-laki yang
doyan dengan wanita
cantik. Adapun Hartawan yang
disebut-sebut itu ter-
nyata bekas orang Kerajaan.
Tentu saja kerajaan Sriwi-
jaya di tanah seberang ini.
Bahkan yang pernah menja-
jah kerajaan Medang dan
menguasai Pulau Jawa ham-
pir selama satu abad.
Sebenarnya ia tak mau turut
campur dengan
urusan si Burung Hantu, yang
ternyata juga bukan
orang baik-baik. Sayang
percakapan mereka tak me-
nyebut-nyebut tentang Peri Gunung
Dempo. Tampak-
nya Roro agak bingung untuk
mengambil putusan.
Apakah berdiam di rumah ini,
atau membuntuti mere-
ka yang akan melakukan
penyergapan malam ini? Ka-
lau membuntuti mereka, berarti
Roro jadi telah ikut
campur urusan orang. Dan akan
membela siapakah
ia? Berfikir Roro. Seandainya
terjadi ia menguntit si
Burung Hantu, apakah tidak ada
yang lebih baik selain
ia menjadi penonton saja?
Tapi... Berfikir lagi Roro
Centil. Mana ia tega membiarkan
orang dibunuh se-
mena-mena. Sudah jelas yang
jahat dan salah adalah
si Burung
Hantu dan ketiga konconya.
Walaupun si har-
tawan itu adalah bekas seorang
pembesar Kerajaan
yang pernah menjadi musuh
Kerajaan Medang di ta-
nah airnya. akan tetapi menolong
orang bukanlah
menjadi halangan. Apa lagi hal
ini bukanlah menyang-
kut urusan Kerajaan. Tapi adalah
urusan kemanu-
siaan. Berfikir demikian Roro
sengaja tak picingkan
mata untuk mendengar dimana
suara kokok ayam ter-
dengar, ia akan segera keluar
untuk menguntit mere-
ka. Akan tetapi ia juga ingin
tahu akan kata-kata si
Burung Hantu. Yang mengatakan
akan mampu mena-
hannya di rumah besar ini sampai
mereka kembali.
Diam-diam Roro Centil tersenyum
sendiri. Dan mem-
batin dalam hati.. Buktinya aku
sudah keluar jendela,
tanpa ada yang mengetahui. Kalau
benar ia dapat me-
nahanku mengapa tak ia sediakan
penjaga untuk
mengawasi aku..?
Tiba-tiba ia baru sadar lagi
kalau bau keme-
nyan itu semakin santar menusuk
hidung. Timbul
keinginannya untuk memeriksa
setiap ruangan. Bu-
kankah rumah ini cuma
ditempatkan dua pembantu
wanita? Berfikir Roro. Akan
tetapi baru saja ia akan
beranjak bangun, tiba-tiba pintu
kamarnya menguak
terbuka. Angin dingin terasa
menyelusuri sekitar tu-
buhnya. Benar-benar aneh. Roro
dibuatnya tertegun.
Dan sekonyong-konyong hawa
terasa mencekam. Dan
membuat bulu-bulu kuduk Roro
jadi bangun berdiri.
Sepasang matanya tak lepas
menatap ke pintu kamar
yang terbuka. Hampir tak masuk
di akal Roro, ketika
dilihatnya dari dalam ruangan
tengah itu terdengar
suara menggeram.
Sesosok bayangan hitam tiba-tiba
muncul di
pintu kamar. Entah bayangan apa.
Karena tidak ber-
bentuk. Sementara Roro cuma bisa
terpaku duduk di
pembaringan. Sepasang matanya
menatap tak berke-
dip pada bayangan hitam di
hadapannya. Tiba-tiba
bayangan aneh yang membersitkan
rasa seram itu be-
rubah jadi asap hitam yang
bergumpal-gumpal. Dan
detik selanjutnya, gumpalan asap
itu telah berbentuk
menyerupai seekor harimau yang
besar, hampir sebe-
sar kerbau. Terkesiap Roro bukan
buatan. Sampai-
sampai ia beringsut karena
terkejutnya.... Selama hi-
dupnya baru pertama kali ini ia
melihat kejadian aneh
seperti ini. Ia sudah gerakan
tangan untuk menghan-
tam makhluk Harimau Tutul itu.
Akan tetapi tena-
ganya terasa hilang musnah.
Mengangkat lengan saja
ia sudah tak sanggup lagi.
Sementara sepasang mata
si Harimau Tutul, pancarkan
sinar matanya yang se-
perti menyala menatap Roro. Akan tetapi anehnya
makhluk jejadian itu tidak
mengganggu. Ia cuma me-
langkah tiga-empat tindak
dan duduk di bawah di dekat
jendela. Dengan
menghadapkan kepala pada Roro
Centil. Sedang sepa-
sang matanya terus menatap sang
Pendekar wanita
Pantai Selatan tak berkedip.
Roro tampaknya dapat
bernapas lega. Akan tetapi ia
benar-benar tak dapat
berkutik. Pada saat itulah
terdengar suara orang me-
langkah mendekati pintu kamar
Roro dari ruangan da-
lam. Seraya terdengar suaranya;
"Mengapa pintu kamarmu
dibuka, nona..? Ada-
kah kau di dalam..?" Dan
tersembul sesosok tubuh
yang tak lain dari pembantu
wanita di rumah besar
itu. Begitu melihat Roro Centil
masih duduk di pemba-
ringan dengan sepasang matanya,
masih terbuka, ia
segera bicara lagi;
"Agaknya nona belum
mengantuk..! Tidurlah!
hari sudah jauh malam. Tak baik
bagi kesehatan..!
Daun pintu kamarmu jangan
sekali-kali dibiarkan ter-
buka tengah malam..!"
Sambungnya lagi seraya balik-
kan tubuh untuk kembali keluar.
Dan menutupkan
kembali daun pintu kamar Roro.
Lalu terdengar suara
langkahnya menuju ruangan dalam.
Agaknya seperti ia
baru terbangun dari tidur,
setelah siangnya merasa le-
lah bekerja.
Roro cuma bisa mengangguk,
ketika si pemban-
tu wanita bertanya. Selebihnya
ia cuma bisa tetap du-
duk terpaku tanpa bisa berbuat
apa-apa. Anehnya,
pembantu wanita itu tidak
melihat dan mengetahui
adanya seekor Harimau Tutul yang
amat besar di ka-
mar itu. Tentu saja hal itu
membuat Roro keluar ke-
ringat dingin. Benar-benar
aneh..!? Pikir Roro Centil.
Apakah mahkluk ini yang diutus
Burung Hantu untuk
menjaganya..? Demikian berkata
hatinya. Menyesal ju-
ga Roro kembali lagi ke kamar
ini. Kalau sudah begini,
Roro jadi benar-benar mati kutu.
Sementara tubuhnya
benar-benar seperti di lolosi
tulang belulangnya. Lemas
sekali. Bahkan otaknya pun tak
dapat berfikir jernih.
Akhirnya dengan beringsut-ingsut
ia rebahkan tubuh-
nya lagi di pembaringan. Dengan
menyandarkan pung-
gungnya pada bantal, ia tetap
selalu memperhatikan si
makhluk itu. Khawatir tiba-tiba
menyerangnya. Tapi
diam-diam ia berusaha menyatukan
segenap ilmu ba-
tinnya. Untuk memulihkan kembali
keadaan tubuhnya
yang menjadi lemah tak
bertenaga.
Malam itu adalah malam yang
paling tidak
enak buat Roro. Karena harus
diawasi sesosok mak-
hluk yang besar dan
menyeramkan....
Selang beberapa saat berlalu,
suara kukuruyuk
ayam jago pun terdengar. Keadaan
di Perguruan Bu-
rung Hantu sunyi mencekam. Akan
tetapi empat sosok
tubuh telah berkelebat keluar
dari salah sebuah ru-
mah. Dan selanjutnya kembali
lenyap di ujung jalan
desa. Gerakannya seperti
hati-hati agar tak menimbul-
kan suara. Ternyata keempat
sosok tubuh itu tak lain
dari si Burung Hantu dan ketiga
konconya. Yang me-
mang telah tiba saatnya untuk
berangkat pergi, sesuai
rencana.
Gedung tempat tinggal si
hartawan bekas pem-
besar Kerajaan itu berada di
daerah Gunung Putri. Ge-
dung baru yang baru beberapa
bulan diisinya, sejak ke
pindahannya dari tempat
tinggalnya yang lama. Si Har-
tawan itu bernama Datuk Sutan
Benggala Dewa. Ia
memang baru saja menambah
beberapa areal perke-
bunan merica dan kopi. Dan
menangani urusan per-
dagangan besar dengan orang
asing. Tentu saja usaha
itu mendapat izin dari pihak
Kerajaan, karena ia juga
bekas seorang pembesar yang
banyak membantu di
masa jabatannya. Dan Datuk Sutan
Benggala Dewa
juga orang yang tahu diri,
hingga tak lupa mengirim
upeti pada Raja setiap tahunnya.
Malam itu tampak empat sosok
tubuh menyeli-
nap masuk ke dalam pekarangan
Gedung yang luas
itu. Salah seorang bergerak memutar,
ke arah samping
kiri gedung. Sedang seorang lagi
dari samping kanan.
Di tempat yang luas itu ada
terdiri dari tiga wuwungan
rumah. Dan rumah gedung yang
paling besar itulah
tempat tinggal sang Datuk Sutan
Benggala Dewa. Se-
dang yang dua orang masuk dari
bagian depan dengan
gerakan hati-hati. Ternyata
ketuanya adalah si Burung
Hantu dan si Wanita bergelar
Ular Kobra Mata Merah.
Si Burung Hantu sudah membisiki
dengan melompat
menghampiri rekannya;
"Ssst..! Apa tidak
sebaiknya kau naik ke atas
membongkar genting..?" Si
wanita baju merah itu tam-
pak kerutkan alis sejenak, lalu
menyahuti.
"Baiklah… Dan ia segera
akan bergerak untuk
melompat ke atas genting, ketika
tiba-tiba terdengar
bentakan keras;
"Pencuri laknat..! Jangan
harap kalian dapat
pulang dengan selamat..!"
Dan tiba-tiba dari sebelah
sisi rumah petak itu telah
bermunculan tiga sosok tu-
buh. Rata-rata mereka berbaju
hitam. Sekejap saja te-
lah mengurung keduanya. Si
Burung Hantu cuma
memandang dengan senyum menghina
pada para pen-
gurungnya. Sekilas ia lirik si
wanita rekannya yang
tampak tersenyum padanya. Lalu
anggukkan kepala.
Sementara ketiga orang itu telah
menerjang maju. Sen-
jata-senjata yang
dipergunakannya adalah sebuah go-
lok besar, dan dua bilah pedang.
Melihat hal demikian
si Burung Hantu segera
berkelebat menghindar, seraya
perdengarkan dengusan di hidung,
dan cabut senja-
tanya.
Trang! Trang! Dua serangan
pedang telah di
sampok mental balik. Ternyata
yang ia pergunakan
adalah sebuah senjata aneh,
yaitu berbentuk sepasang
ruyung. Akan tetapi pada bagian
ujungnya terdapat ti-
ga buah rantai. Dengan
masing-masing pada bagian
ujungnya terdapat tiga buah
cakar besi mirip cakar
burung. Senjata hebat inilah
yang dinamakan si Cakar
Hantu. Kedua orang penjaga yang
menyerang si Bu-
rung Hantu itu terkejut sekali,
karena rasa tangan-
tangan mereka tergetar akibat
sampokan senjata Ca-
kar Hantu itu, dan kedua pedang
hampir terlepas dari
pegangan tangan masing-masing.
Akan tetapi segera
mereka maju menerjang lagi. Kali
ini tampak hati-hati.
Karena ketika si Burung Hantu
menyambut dengan
senjatanya, segera keduanya
menarik lagi serangan-
nya. Ternyata adalah Cuma
serangan dengan gerak ti-
puan. Adapun si wanita dengan
senjata tongkat ular-
nya cuma melayani si penyerang
bersenjata golok be-
sar itu dengan
senyum-senyum.
Beberapa serangan sang penjaga
itu cuma di-
anggap tak berarti. Dan dengan
mudah ia selalu dapat
mengelakkannya. Selang sepuluh
jurus, tiba-tiba si
Burung Hantu keluarkan suara
mirip burung Kokok
Beluk, tiga kali. Agaknya si
wanita rekannya itu men-
gerti. Dan tampak tongkat
ularnya bergerak memutar
bagai baling-baling... Si
penjaga bergolok besar itu ter-
kejut karena rasakan sampokan angin keras mener-
jang tubuhnya. Ia sudah melompat
tiga tombak men-
jauh. Akan tetapi bagaikan
bayangan, tongkat si wani-
ta mengejar. Terpaksa ia
menghantam dengan golok
besarnya, disertai
bentakan.
Terdengar si wanita tertawa
sinis. Tahu-tahu
tubuhnya berkelebat lenyap dari
hadapan si penjaga.
Dan di lain saat terdengarlah
teriakan ngeri sang pen-
jaga itu. Ternyata lehernya
telah ditembus oleh tongkat
ular si wanita. Darah segar
menyembur mengerikan.
Dan ketika si Ular Kobra Mata
Merah menarik kembali
senjatanya, maka robohlah si
penjaga dalam keadaan
tewas mengerikan. Dalam pada itu
si Burung Hantu
tengah melancarkan serangan maut
pada kedua la-
wannya. Kedua pedang ternyata
telah di sampok men-
tal, hingga terlepas dari tangan
sang lawan. Kini ba-
gaikan alap-alap menyambar
mangsa, ketiga buah Ca-
kar Hantu itu bagaikan
tangan-tangan setan saja me-
luncur deras mengarah leher dan
dada kedua penjaga.
Salah seorang tak dapat
mengelakkan diri lagi. Maka
terdengarlah jeritan ngerinya,
ketika cakar Hantu itu
berhasil mencengkeram
jantungnya, hingga daging-
dagingnya tercongkel keluar. D
an darah muncrat seketika, dan
robohlah si
penjaga itu. Adapun yang seorang
lagi ternyata berha-
sil mengelakkan serangan pada
lehernya, dengan
membuang tubuh ke samping. Dan
dengan berjumpa-
litan berhasil menjauh. Wajahnya
jadi pucat pias. Se-
gera ia enjot tubuh untuk
melarikan diri. Tampaknya
ia akan segera berhasil
menyelamatkan diri. Akan te-
tapi pada saat itu juga,
berkelebat tongkat si wanita.
Meluncur bagai seekor ular
terbang. Dan terdengar te-
riakan sang penjaga bernasib
naas itu. Punggungnya
telah tertembus tongkat ular
bermata merah... Am-
bruklah seketika ia, dan tampak
berkelojotan sebentar,
tewas seketika itu juga.
Mendengar ribut-ribut di luar
itu tentu sang
hartawan alias Datuk Sutan
Benggala Dewa jadi ter-
bangun. Tampak ia gelagapan. Dan
berlari kesana-
kemari dengan kebingungan. Ia
dapat segera menyada-
ri bahwa gedungnya telah
disatroni penjahat Segera
saja ia berteriak-teriak...
“Rampooook! Rampooook..!"
Dan ia sudah ber-
lari lagi ke ruangan depan. Tapi
tak lama kemudian
kembali lagi ke kamar. Sementara
sang istri cuma bisa
ketakutan menggulung tubuhnya
dengan selimut,
dengan tubuh menggigil
gemetaran. Tiba-tiba di kamar
sebelah terdengar suara
bergedubrakkan. Disertai sua-
ra jeritan wanita. Terkejut si
Hartawan. Ketika itu juga
ia teringat akan anak gadisnya.
"Ratna Dewi anakku..!"
Teriak si Hartawan. Ia-
pun berlari ke kamar anaknya.
Sementara istrinya pun
tiba-tiba melompat dari tempat
tidur, dan berlari ke
kamar putrinya. Akan tetapi pada
saat itu juga jendela
samping telah dicongkel terbuka.
Dan Kala Dungga
melompat ke dalam. Sekejap saja
telah terdengar jeri-
tan ngeri wanita istri hartawan
itu. Lehernya hancur di
cengkraman manusia telengas itu,
di sertai robohnya
sang tubuh ke lantai. Si
Hartawan terkejut bukan
main. Saat itu juga ia memekik
keras. Dan ia sudah
melompat menyambar sebuah tombak
di sudut dind-
ing ruangan. Wajahnya
menampilkan kemarahan luar
biasa, melihat tubuh sang istri
telah tergeletak di lan-
tai bersimbah darah. Akan tetapi
pada saat itu juga
berkelebat Gajah Dungkul dari
dalam ruangan kamar
anak gadis hartawan. Sebelah
lengannya telah berge-
rak, dan tahu-tahu tubuh
laki-laki berusia enam pu-
luh itu sudah roboh dengan
perdengarkan keluhannya.
Ternyata si Gajah Dungkul telah
menotoknya. Di lain
saat, terdengar suara pintu yang
pecah bergedubrak-
kan. Disertai melompatnya si
Burung Hantu dan si
Ular Kobra Mata Merah. Melihat
rekan-rekannya ber-
hasil masuk, Gajah Dungkul
tersenyum.
Bagus..! Hayo kalian geledah
seluruh isi kamar!
Anak gadisnya si tua bangka ini
telah ku totok! Ru-
panya hanya tiga orang penjaga
saja yang diandalkan
untuk menjaga gedungnya. He he
he..." berkata Gajah
Dungkul sambil tertawa. Dan ia
pun sudah berkelebat
masuk ke kamar. Ketika keluar
lagi sudah memondong
seorang gadis yang
berteriak-teriak. Tapi sudah tak bi-
sa menggerakkan tubuhnya lagi.
Si Burung Hantu
hanya nyengir, sambil segera
berkelebat memasuki
kamar. Disana ia mengobrak-abrik
lemari pakaian.
Bahkan kasur dan bantal di
aduk-aduk. Sedangkan si
Ular Kobra Merah memasuki kamar
anak gadis harta-
wan itu. Disana iapun
menggerayangi setiap tempat.
Sementara Kala Dungga mendekati
si gadis dalam
pondongan Gajah Dungkul.
Wajahnya tampak cengar-
cengir melihat gadis cantik.
"Eh, kakak, berikan aku yang memondong-
nya..!" Berkata Kala Dungga
seraya melompat mende-
kati. Gajah Dungkul tertawa
menyeringai, serta berka-
ta;
"Boleh! Tapi ingat, jangan
kau beri sisa mu..!"
Dan segera lemparkan gadis dalam
pondongannya itu.
Yang segera disambuti Kala
Dungga.
"Ha ha ha... Cantik juga
anak gadis si tua
bangka ini.." Dan ia sudah
mendaratkan ciuman di pi-
pi gadis bernama Ratna Dewi itu.
Adapun sang gadis itu sudah
menjerit-jerit ke-
takutan. Wajahnya sudah
bersimbah air mata. Ketika
tiba-tiba ia melihat ibunya yang
tergeletak bersimbah
darah, tanpa bergerak-gerak
lagi... seketika ia menjerit
panjang. Lalu jatuh pingsan.
Sementara si Hartawan
itu cuma bisa meringis pedih
melihat apa yang terjadi
di depan matanya. Tiba-tiba ia
telah keluarkan benta-
kan;
"Iblis-iblis keparat..!
Lepaskan anak gadisku!
Jangan kau ganggu dia..! Katakan
apa mau kalian?!
Mengapa kalian lakukan semua
ini? Aku merasa tak
bersalah apa-apa terhadap
kalian..!" Teriak Datuk Su-
tan Benggala Dewa. Sementara
diam-diam hatinya
mengutuk panjang pendek
orang-orang bayarannya
yang tak bisa diandalkan. Gajah
Dungkul tertawa ter-
kekeh sambil acungkan senjata
piring tipisnya di leher
si hartawan.
"He he he... kami mau
kepalamu tuan besar!
juga harta, dan... dan... anak
gadismu yang cantik
itu..!" Berkata Gajah Dungkul
dengan wajah jumawa,
sambil lirikan mata pada anak
gadis laki-laki itu yang
berada dalam pondongan adiknya.
Sementara itu si
Burung Hantu sudah melompat
keluar. Wajahnya me-
nampakkan kekecewaan. Seraya
berkata;
"Kurang ajar! Aku tak dapat
menemukan tem-
pat menyimpan uang dan harta
benda si kunyuk ini!
Hayo, Gajah Dungkul! Kau paksa
dia agar menunjuk-
kan tempat menyimpan harta
bendanya..!" Gajah
Dungkul melengak. Dan saat itu
si Ular Kobra Mata
Merah juga telah melompat
keluar.
"Aku cuma menemukan
ini..!" Desisnya. Seraya
menunjukkan seuntai kalung emas
bermata berlian.
Tiba-tiba ia sudah berkelebat ke
arah jenasah
istri si hartawan. Tampaknya ia
membungkuk. Dan
menyambar kalung emas, serta
membuka beberapa ge-
lang di tangan jenazah wanita
malang itu. Kemudian
membungkusnya dengan sapu
tangan. Dan selipkan
pada celah bajunya. Lalu
melompat lagi ke dekat tiga
rekannya.
Datuk Sutan Benggala Dewa cuma
bisa pejam-
kan mata. Tampak ada setitik air
bening mengalir ke-
luar dari sudut pelupuk matanya.
Tiba-tiba sudah ter-
dengar bentakan lagi. Ia rasakan
kepalanya terangkat
naik. Rambutnya terasa pedas
sekali. Ternyata si Ga-
jah Dungkul telah menjambak
rambutnya.
"Kunyuk..! Kau mau
pura-pura pingsan! Hayo
katakan dimana kau menyimpan
harta benda mu...!
Atau kau mau kutebas batang
lehermu? Teriaknya. Se-
raya tekan piring tipisnya ke
leher si Hartawan, yang
segera meringis kesakitan.
Terlihat ada sedikit darah
mengalir dari kulit lehernya
Tapi Datuk Sutan Bengga-
la Dewa tetap membungkam.
Membuat Gajah Dungkul
jadi berang.
"Ku hitung sampai tiga.
Kalau kau tetap tak
membuka mulut. Kepalamu akan
segera menggelind-
ing dalam sekejap..!"
Bentak Gajah Dungkul, seraya
menjambak rambut si hartawan
lebih keras. Hingga
laki-laki itu meringis lagi
kesakitan. Akan tetapi Kala
Dungga sudah menyambar bicara;
"Kalau dengan cara
demikian, bisa-bisa ia me-
milih mati. Atau bisa juga
berdusta. Sebaiknya kita
gunakan cara yang aku pakai
ini..!" Seraya berkata
demikian, ia telah letakkan
gadis yang pingsan itu di
lantai. Dan tanpa ragu-ragu
sudah membukai pa-
kaiannya...
"He he he... Bagus! Bagus!
Adikku..! Biarkan
aku yang mencicipinya dulu. Baru kau..! Atau
kalau
sobat Burung Hantu kepingin,
berikan gilirannya buat
dia..!" Tak berayal lagi
Gajah Dungkul segera akan
membuka juga pakaiannya.
Sementara si Ular Kobra
Mata Merah plengoskan wajahnya
dengan wajahnya
dengan wajah bersemu merah. Akan
tetapi pada saat
itu juga si hartawan sudah
berteriak;
"Jangan kalian ganggu
anakku...! Akan kuberi-
tahukan tempat menyimpan
uangku..!" Pakaian si ga-
dis yang baru dibuka separuhnya
itu sudah lantas di
tutup lagi.
"Bagus..! Berkata Kala
Dungga. Nah dimana
kau simpan uang dan harta benda
mu, tuan besar..!"
Berdesis si Gajah Dungkul.
Sementara si Burung Han-
tu cuma jadi penonton saja. Pada
saat itu juga tiba-
tiba terdengar suara mengeram.
Yang membuat semua
yang berada di tempat itu jadi
melengak. Dan tahu-
tahu di ruangan itu telah
menjelma seekor Harimau
Tutul yang hampir sebesar
kerbau, dengan didahului
keluarnya asap hitam yang tebal.
Tentu saja keempat
manusia jahat itu jadi
terkesiap. Terlebih-lebih si Bu-
rung Hantu. Karena Harimau
belang jejadian itu ada-
lah mahluk suruhannya, yang
telah disuruhnya men-
jaga Roro Centil.
Segera kesemuanya melompat
mundur. Se-
dangkan Burung Hantu segera
berkata dengan suara
gemetar;
"Datuk Siluman Raja
Hutan..!Kau..kau bukan-
kah telah disuruh menjaga wanita
itu di rumah besar,
melalui perantara nenek dukun
yang telah ku-
panggil di rumahku.. ?"
Akan tetapi sebagai jawaban-
nya sang harimau jejadian itu
bahkan menggeram le-
bih dahsyat. Hingga seluruh
ruangan itu terasa bergo-
lak. Akan halnya si Dua Iblis
Sembilan Nyawa alias Ka-
la Dungga dan Gajah Dungkul,
jadi kesal dan men-
dongkol dengan adanya harimau
jejadian itu. Walau-
pun ia memang agak ngeri dan
membuat bulu kuduk-
nya berdiri. Tampak kedua kakak
beradik itu segera
memberi isyarat. Dan dengan
berbareng telah mener-
jang dengan senjatanya. Gajah
Dungga menebas leher
sang harimau itu dengan sebuah
piring tipis yang ter-
buat dari baja berkilat itu. Dan
Kala Dungga telah ke-
luarkan senjatanya dari balik
punggung, yaitu sebuah
garpu sebesar lengan dengan lima
buah ujungnya yang
tajam. Dengan kecepatan kilat,
Kala Dungga menusuk
kepala makhluk itu.
Akan tetapi seketika makhluk itu
lenyap. Dan
yang membuat terkejut adalah si
Kala Dungga, karena
tiba-tiba saja ia
berteriak-teriak kesakitan sambil me-
megangi lehernya. Tampak,
seperti ia tengah berusaha
melepaskan cengkeraman pada
lehernya. Namun tak
kuasa... Hingga akhirnya ia
berkelojotan meregang
nyawa. Melihat demikian si Ular
Kobra Mata Merah ja-
di gemetar. Dan keluarkan
keringat dingin pada seku-
jur tubuhnya. Dan tanpa menunggu
lagi, segera me-
lompat pergi dari ruangan itu,
menerobos jendela, dan
melesat kabur menyelamatkan
diri. Si Burung Hantu
jadi serba salah. Iapun tak
dapat menahan diri lagi un-
tuk segera melarikan diri, sipat
kuping. Meninggalkan
gedung si Hartawan itu.
Sementara Gajah Dungkul
mencoba menarik tubuh adiknya
dengan mencekal ke-
dua kakinya, untuk dibawa keluar
ruangan. Akan te-
tapi tiba-tiba terdengar suara
menggeram... dan ia ter-
lempar jatuh bangun menabrak
pintu. Yang seketika
jadi jebol, dengan papan-papan
berantakan. Terkesiap
seketika laki-laki berperawakan
tinggi besar ini. Dan
dengan mengurutkan punggungnya,
terpincang-
pincang ia melarikan diri...
Tanpa mau tahu lagi akan
nasib adiknya.
Hingga dalam sekejapan saja,
ruangan kembali
menjadi sunyi. Kala Dungga
tergeletak di lantai tak
berkutik lagi. Keadaan tubuhnya
tampak mengerikan.
karena dari mata, telinga serta
hidungnya tampak
mengalirkan darah yang menganak
sungai... Sedang-
kan makhluk Siluman yang menyeramkan itu telah
menjelma lagi menjadi seekor
harimau tutul yang amat
besar.
Pada saat itu berkelebat sesosok
tubuh ramp-
ing berbaju merah jambu. Sekejap
ia telah berdiri di
dalam ruangan itu. Ternyata tak
lain dari Roro Centil
adanya. Melihat kedatangan Roro,
tiba-tiba harimau
tutul itu menghampirinya. Dan
tampak menggeram-
geram seperti melihat tuannya,
serta mengelilingi Roro.
Segera saja Roro memeluknya, dan
mengelus-elus be-
lakang kepalanya.
Si Tutul cuma kedip-kedipkan
sepasang ma-
tanya, dan menciumi lengan Roro
serta menggeser-
geserkan kepalanya dengan manja.
Tapi sebentar ke-
mudian Roro Centil segera
bangkit berdiri seraya ber-
kata;
"Tutul..! Tunggulah di
luar. Aku akan mengu-
rusi orang-orang di dalam ini.
Terima kasih atas ban-
tuanmu, Tutul..!" Tampaknya
sang harimau itu men-
gerti, dan dengan patuh sekali
ia melesat cepat keluar
pintu, dan lenyap.
Roro Centil segera membebaskan
totokan pada
tubuh si hartawan. Yang seketika
sudah menekuk lu-
tut di hadapan Roro, seraya
berucap...
"Oh..! Te... terima kasih
atas pertolongan anda,
nona..!" Roro Centil cuma
tersenyum dan mengangkat
bahu laki-laki tua itu.
"Tak usah banyak peradatan,
paman..! Lebih
baik kau urusi anak
gadismu..!" Mendengar demikian
si hartawan itu sudah lantas
memburu ke arah anak
gadisnya, seraya berteriak...
"Ratna Dewi... Ratna
Dewi...!" Dan ia sudah
mengguncang-guncang tubuh gadis
yang tergolek
pingsan itu. Beberapa saat
kemudian si gadis tampak
siuman kembali. Ia melompat
bangkit. Dan yang per-
tama-tama disebutnya adalah nama
ibunya! "Ibuuu..!
Ibuuuu..!" Dan wajahnya
dipalingkan ke beberapa
arah. Ketika terpandang akan
tubuh ibunya yang ter-
golek bersimbah darah itu.
Tiba-tiba ia perdengarkan
jeritannya. Seraya berlari
menubruk tubuh wanita
yang telah tewas itu.
"Ibuuuuuuu...!" Dan
selanjutnya ia sudah me-
nangis tersedu-sedu memeluki,
dan mengguncang-
guncang tubuh ibunya. Laki-laki
itu perlahan-lahan
menghampirinya. Seraya bersimpuh
di hadapan jena-
zah sang istri, disamping anak
gadisnya.
"Sudahlah anakku..! Ibumu
sudah tenang di
alam Baka. Jangan kau iringi dengan air mata. Kita
harus relakan
kepergiannya..!" Berkata lirih Datuk Su-
tan Benggala Dewa, sambil
mengangkat bahu anak ga-
disnya. Sebelah tangannya
membelai-belai rambut si
gadis yang amat disayanginya
itu.
Sementara itu telah berdatangan
para pegawai
sang hartawan dan beberapa
penduduk desa. Yang se-
gera memburu masuk ke dalam
gedung. Suasana pun
menjadi gaduh. Adapun si
hartawan, ketika menoleh
pada penolongnya, ternyata telah
lenyap, tak kelihatan
lagi. Kiranya hari telah
menjelang pagi. Keremangan
malam itu perlahan-lahan berubah
menjadi terang.
Gedung Datuk Sutan Benggala Dewa
pagi itu jadi ra-
mai oleh kerumunan penduduk Yang
segera memban-
tu menggotong mayat-mayat di
halaman. Beberapa
orang sudah memayang Ratna Dewi,
untuk dibawa ke
rumah gedung di sebelah.
Sementara beberapa orang
lagi sibuk mengangkat jenazah
istri si hartawan itu.
Jauh dari rumah Gedung Datuk
Sutan Bengga-
la Dewa, tampak berkelebat
sebuah bayangan merah
jambu cepat sekali. Mata manusia
biasa akan sulit
mengetahui bayangan apa itu.
Tapi bagi mata orang
berkepandaian tinggi, segera
dapat mengetahuinya.
Karena bayangan merah. jambu
yang berkelebatan
menjauh itu, adalah bayangan
tubuh Roro Centil. Si
Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Sungguh suatu hal
yang amat menakjubkan. Karena
Roro Centil ternyata
tengah menunggang di atas tubuh
seekor harimau tu-
tul yang amat besar. Makhluk itu
bergerak cepat seka-
li. Larinya bagaikan angin.
Entah kemana yang ditu-
junya...
Apakah gerangan yang telah
terjadi dengan Ro-
ro Centil, sehingga dapat
bersahabat dengan sang ha-
rimau jejadian itu? Dan bahkan
tampaknya sang ha-
rimau siluman itu telah tunduk
sama sekali padanya!
Baiklah kita kembali sejenak ke
belakang.
Ketika Roro Centil dalam keadaan
serba sulit
karena ditunggui oleh seekor
macam siluman yang
menakutkan itu, Roro tengah
berusaha menyatukan
segenap ilmu batinnya. Pada
saat-saat yang mena-
kutkan itulah, Roro Centil
teringat, dan tiba-tiba ter-
bayang akan wajah Gurunya. Si
Manusia Aneh Pantai
Selatan. Dan entah suara Gurunya
juga entah suara
batinnya. Karena pada saat itu
ada suara membersit
hatinya.
"Roro... Muridku! Kau
memang bocah tolol| Ta-
pi cerdik! Kalau kau menemui
keanehan, mengapa tak
kau lawan dengan keanehan pula.
Demikian suara itu
seperti terdengar berkali-kali.
Dan terus terngiang-
ngiang di telinganya.
Roro berfikir bolak-balik. Apakah
gerangan
makna yang telah membersit di
hatinya itu, berulang
kali terngiang-ngiang di
telinganya...
Segera ia pusatkan pikirannya
untuk mendapa-
ti keanehan apakah gerangan yang
harus diperguna-
kan untuk melawan makhluk
siluman di hadapannya
itu. Lama dan lama ia
mengingat-ingat. Sampai peluh
peluh di sekujur tubuhnya
bercucuran. Roro benar-
benar sulit untuk membuka tabir
keanehan dari suara yang
membersit di lubuk
hatinya. Gurunya tak memberi
bekal keanehan apa-
apa! Demikian pikirnya. Roro tampak
hampir putus
asa, karena tak juga berhasil
memikirkan makna kata-
kata itu. Hingga terdengar sudah
suara ayam berkuku-
ruyuk... Dimana si Burung Hantu
dan ketiga rekannya
sudah berangkat pergi. Roro
mulai agak gelisah. Beru-
lang kali ia tatap mata si
harimau siluman itu. Yang
selalu tak berkedip menentang
wajah kepadanya. Ka-
rena hawa aneh yang menyeramkan
itu seperti telah
melolosi tulang belulangnya...
Akan tetapi pada saat
itu juga Roro Centil teringat
akan kotak perhiasan mi-
lik Gurunya yang selalu
dibawanya. Yang masih tersisa
adalah sepuluh buah gelang emas,
bertatahkan ber-
lian. Dan sebuah cincin bermata
batu Merah Delima.
Mengingat akan cincin itu, Roro
Centil berfikir
sejenak. Dan diam-diam berkata
dalam hatinya...
Eh...!? Batu Merah Delima yang
berada pada cincin ku,
amat mirip sekali dengan
sepasang mata si makhluk
siluman ini. Merah bersinar!
apakah keanehannya ada
pada benda itu..? Demikian Roro
berfikir bolak-balik.
Dan perlahan-lahan ia sudah
keluarkan kotak
perhiasan itu dari balik
pakaiannya. Dibukanya kotak
kecil itu. Segera saja membersit
keluar cahaya merah
dari batu cincin itu. Juga
gemerlapan permata-
permata berlian dari kesepuluh
gelang warisan gu-
runya. Sebaiknya kupakai saja
semuanya! Pikir Roro.
Dan tanpa ayal lagi Roro
masukkan lima buah gelang
pada lengan kirinya. Dan lima
buah lagi di lengan ka-
nannya. Lalu pasangkan cincin
emas bermata batu
Merah Delima itu di jari manisnya. Aneh..! Kesemua
benda di lengannya itu jadi
lenyap sinar gemerlapnya.
Juga sinar merah dari batu Merah
Delima itu. Roro ja-
di penasaran. Tapi inilah
keanehannya. Memang...! Ro-
ro Centil sudah menemukan
keanehannya. Akan tetapi
harus berfikir seribu kali untuk
memecahkan keane-
han itu. Tampak Roro sudah tak
sabar lagi. Diam-diam
ia kerahkan tenaga dalamnya pada
sepasang lengan-
nya. Ia berpendapat kalau ia
berhasil menghimpun te-
naga dalam, maka sekali bergerak
untuk menghantam,
tamatlah riwayat si macan
siluman itu. Tampaknya
Roro berhasil... Akan tetapi
terkesiap ia ketika tahu-
tahu batu Merah Delima pada
cincinnya telah kembali
menyala, dan menyorot langsung
ke mata siluman ha-
rimau itu. Bahkan sepuluh gelang
bermata berlian itu-
pun bergemerlapan lagi
memancarkan cahaya yang
amat mempesona.
Aneh...! Sang harimau jejadian
itu tiba-tiba
mundur, dan menggeram lemah
seperti ketakutan. Me-
lihat demikian timbullah nyali
Roro. Segera saja ia te-
lah melompat bangkit. Sang
harimau siluman itu se-
makin mengkerutkan tubuhnya ketakutan.
Sinar ma-
tanya tampak semakin memudar.
Dan akhirnya le-
nyaplah cahaya merah dari
sepasang matanya. Tiba-
tiba tubuh makhluk itu
bergoyang-goyang...
Dan satu keajaiban segera
terjadi lagi. Tubuh
makhluk itu tiba-tiba berubah
mengecil. Semakin ke-
cil... dan terus mengecil,
hingga sebesar seekor kucing.
Suaranya pun telah berubah bagai
suara kucing. Na-
mun tetap tak berubah warnanya.
Roro jadi melengak.
Ia sudah mengucak-ucak sepasang
matanya, karena
hampir-hampir ia tidak percaya
pada penglihatannya.
Hingga tanpa ia sadari kakinya
telah melang-
kah mundur beberapa tindak. Dan
terhenyak duduk di
tepi pembaringan. Sementara
sepasang matanya Map
mengawasi perubahan aneh dari
makhluk di hadapan-
nya. Pada saat itulah
"kucing aneh" itu tiba-tiba me-
lompat ke pangkuannya, seraya
perdengarkan suara
mengeong.
Terasa copot jantung Roro. Namun
aneh..! ter-
nyata harimau kecil itu sudah
bagaikan seekor kucing
saja. Tampaknya jinak sekali.
Bahkan tampak men-
gendus-endus lengan Roro serta
menjilat-jilat lengan-
nya. Lenyaplah kekhawatiran Roro
seketika. Dan den-
gan beranikan diri ia
mengelus-elus tubuh sang hari-
mau kecil itu. Tampaknya
si" Kucing Aneh" itu mera-
sakan belaian halus lengan Roro.
Dan memejamkan
sepasang matanya, seraya
mengeong perlahan.
"Aneh..!?" Desis Roro
perlahan. Namun sepa-
sang bibirnya sudah tampak
senyum. Dan tiba-tiba sa-
ja ia telah peluk harimau kecil itu, seraya
menci-
uminya dengan penuh kasih
sayang. Entah mengapa
telah membersit di hati Roro
semacam ada daya tarik
untuk menganggapnya sebagai
sahabatnya. Selang be-
berapa saat, tiba-tiba pintu
kamar Roro kembali terbu-
ka. Dan sosok tubuh yang tak lain dari si pembantu
wanita di rumah itu sudah
berdiri diambang pintu. Be-
gitu sepasang matanya melihat ke
arah Roro, tiba-tiba
ia jadi beliakkan matanya. Dan
serta merta sudah ja-
tuhkan diri berlutut di hadapan
sang Pendekar Wanita
Pantai Selatan. Seraya berucap
dengan suara geme-
tar...
"Oh..!? Ampunilah hamba
Paduka Ratu Peri,
Hamba telah berbuat lancang
terhadap Paduka! Hu-
kumlah hamba Paduka Ratu Peri.
Hukumlah hamba..!
Hamba telah pergunakan makhluk
piaraan Paduka Ra-
tu untuk berbuat kejahatan
selama ini..!" Tampak tu-
buh si pembantu wanita yang
telah berusia lanjut itu
gemetar. Seluruh tubuhnya telah
mengeluarkan kerin-
gat dingin. Berkali-kali ia
bersujud. Dan terdengar
isaknya tersendat-sendat. Ada
pun Roro Centil jadi ter-
tegun tak mengerti. Lagi-lagi
keanehan..! Pikirnya. Ti-
dak angin tidak hujan, tahu-tahu
ia sudah dianggap
Ratu Peri. Sungguh aneh!
Demikian berfikir Roro. Na-
mun sekejap Roro Centil sudah
berfikir untuk meman-
faatkan kesempatan ini. Ia harus
berpura-pura benar-
benar seorang Ratu Peri, seperti
yang telah dianggap
oleh si pembantu wanita itu.
Yang sebenarnya wanita
itu tak lain dari seorang dukun
Yang telah dipanggil
datang oleh si Burung Hantu
untuk membantunya Ro-
ro segera berujar, dengan suara
dibuat keren, berwi-
bawa.
"Hm...! Sebenarnya kau
harus dihukum berat,
tetapi biarlah aku ampuni..!
Kini segera katakan pada
makhluk piaraan ku ini, agar
kembali menurut pada-
ku! Aku khawatir, karena sudah
sering kau suruh dia
berbuat kejahatan, lalu tidak
menurut lagi padaku..!"
Tampak wajah sang pembantu alias
dukun panggilan
ini, jadi berseri gembira. Dan
ia sudah merangkul kaki
Roro seraya menciuminya
berulang-ulang.
"Oh..! Te... terima kasih
paduka Ratu Peri..!"
Sesaat ia sudah segera berdiri
lagi. Sepasang matanya
yang bersimbah air mata itu
menatap si harimau kecil,
dan berkata;
"Tutul..! Kini aku tak
dapat mengasuh mu la-
gi..! Majikanmu sesungguhnya
adalah paduka Ratu
yang memangku mu ini..! Taatlah
pada perintahnya.
Dan jangan sekali-kali kau
membangkangnya..!" Sele-
sai berkata, tampak si wanita
tua ini membelai-belai
kepala harimau kecil itu. Lalu
kemudian palingkan wa-
jah pada Roro.
"Paduka Ratu... hamba mohon
diri untuk me-
ninggalkan tempat ini..!"
Ujarnya seraya membung-
kukkan tubuh dalam-dalam. Roro
Centil tersenyum.
"Pergilah..! Tinggalkan
tempat ini sejauh-
jauhnya. Dan jangan kembali
lagi!" Berkata Roro Centil
dengan suara tegas. Sepasang
matanya menatap tajam
pada si pembantu wanita tua ini.
Walau diam-diam da-
lam hati, Roro merasa ngeri, dan
bergidik seram meli-
hatnya. Karena sekonyong-konyong
tampak perubahan
pada bentuk tubuh sang pembantu
wanita itu. Wajah-
nya jadi berubah semakin tua,
berkeriput. Dan tubuh-
nya pun jadi berubah bungkuk.
Dengan suara bergetar
sang dukun itu berucap;
"Terima kasih, Paduka Ratu.
Hamba akan turu-
ti semua perintah
Paduka..!" Dan tak berlama-lama la-
gi, nenek tua itu sudah ngeloyor
pergi. Tak diketahui
kemana jalannya. Karena
tahu-tahu sudah lenyap...
Demikianlah peristiwa aneh yang
telah dialami
Roro Centil. Hingga tanpa
disengaja, ia telah menjadi
majikan sang harimau siluman itu. Ternyata pulau
Andalas adalah pulau aneh yang
penuh misteri..! Ber-
kata Roro dalam hati. Sementara
si Tutul semakin
jauh meluncur pesat. Dengan
tujuan barunya yaitu
Gunung Dempo.
***
Tirta Menggala tak tahu lagi
lamanya dalam
perjalanan, karena ia cuma
pejamkan mata saja tanpa
berani membuka... Ketika
dirasakan angin yang me-
nerpa wajahnya telah berhenti,
segera buka matanya.
Ternyata mereka telah sampai pada
sebuah
Goa batu yang penuh ditumbuhi
akar-akar. Sepasang
telinganya sudah menangkap
suara-suara kera, di se-
keliling tempat itu. Ketika ia
palingkan kepalanya ke
beberapa arah. Ternyata
berpuluh-puluh ekor kera
bergelayutan di dahan-dahan
pohon. Suaranya tampak
riuh. Dan beberapa ekor sudah
berloncatan ke hada-
pan Tirta Menggala. Tiba-tiba
terdengar suara suitan
nyaring yang diperdengarkan oleh
si kakek. Dan seke-
japan saja ratusan ekor kera
bermunculan. Suara-
suara binatang itu jadi semakin
riuh rendah. Hingga
Tirta Menggala jadi terpaku
tempatnya. Segera ia terin-
gat pada dua puluh tahun lebih
yang lalu, ketika ia
tinggal di tempat ini. Kera-kera
itu tak sampai demi-
kian banyaknya. Tapi kini sudah
mencapai ratusan
jumlahnya. Ketika ia melihat
adanya orang baru yang
dibawa majikannya, segera
kera-kera itu berjingkrakan
mengurungnya. Kesemuanya menampakkan wajah
bermusuhan. Tiba-tiba si kakek
itu berteriak-teriak
dan menggeram mirip kera-kera
itu, sambil melompat-
lompat dan menunjuk pada Tirta
Menggala. Aneh..!
Sekejapan saja ratusan kera itu
jadi menggelepoh di
tanah. Dan tundukkan kepala.
Tampaknya mereka se-
gera mengerti kalau orang baru
itu adalah sahabat ma-
jikannya. Wajah Tirta Menggala
yang semula berubah
pucat itu, kini kembali cerah.
Dan ia benar-benar amat
kagum dengan wibawa gurunya.
Tiba-tiba terdengar
lagi suitan nyaring... Kera-kera
itu segera tengadahkan
kepalanya. Dan terlihat sang
majikan gerakkan tong-
katnya tiga kali ke atas.
Sekejap saja binatang-binatang
itu berlompatan
lagi, masuk ke dalam hutan,
dengan suara riuh. Hing-
ga tinggal beberapa ekor saja
yang tampak masih ber-
keliaran di depan goa.
Sang kakek aneh itu sudah segera
beranjak
masuk ke dalam goa. Melihat
gurunya masuk, terpak-
sa Tirta Menggala pun
menurutinya. Di pintu goa ma-
sih sempat ia menengok keluar.
Tapi kemudian iapun
cepat-cepat masuk, dan tak
kelihatan lagi.
Goa itu terletak pada sebuah
lembah ngarai
yang amat curam adalah
tebing-tebing batu yang tinggi
menjulang ke langit. Ternyata di
dasar jurang itu ada
terdapat hutan rimbanya yang
amat luas. Di sanalah
kera-kera itu berdiam. Hari
pertama Tirta Menggala
sudah harus menjalani bersemadi
dengan tubuh tanpa
mengenakan pakaian secuilpun.
Tampaknya Tirta
Menggala tak dapat tenang dalam
bersemadi. Karena
hatinya selalu berkata-kata...
Celaka!? Beberapa bulan
saja aku disini, bisa-bisa aku
berubah menjadi kera
Oh!? Matilah aku..! Seluruh
tubuhku akan tumbuh
bulu..! Dan... dan akan tumbuh
pula ekor di belakang-
ku..! Hiiiiii..!" Laki-laki
ini bergidik seram. Hingga pe-
luh dingin membasahi sekujur
tubuhnya.
Hari kedua, semedinya tampak
semakin goyah.
Karena ia tidak betah kalau
harus bertelanjang bulat
Emoticon