"Oh, terimakasih... terima
kasih...! Kami
merasa senang sekali adik
Pendekar... Aku
akan rawat kuda pemberian ini
baik-baik,
dan akan selalu ingat akan
kebaikan budi
adik pendekar...!" Roro
Centil berusaha
tekan perasaannya, dan berkata
sambil
lepaskan pelukan si wanita murid
Naga
Seribu Racun yang telah tewas
itu...
"Pergilah berangkat... !
Ucapkan
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com
terimakasih pada kakek yang
telah berjasa
menikahkan kalian..."
Sambil berkata Roro
juga menatap Sentanu, yang
segera
anggukkan kepala dengan hormat.
Segera ia
bimbing lengan istrinya...
Tak dikisahkan lagi kelanjutannya.
Sepasang pengantin baru itu
tampak telah
meninggalkan gubuk itu dengan
langkah
kuda perlahan.
Betapa serasinya pasangan
pengantin
baru itu dengan menunggang kuda,
yang
satu berwarna hitam pekat,
sedang yang
satu lagi putih bersih; dengan
penung-
gangnya seorang wanita muda yang
cantik
berbaju merah. Didampingi
seorang laki-
laki yang gagah dan tampan. Roro
Dampit
putarkan tubuhnya, dan sebelah
lengannya
telah diangkat tinggi-tinggi
melambaikan
tangan pada sang Pendekar Wanita
Pantai
Selatan yang menatap dengan
terharu.
Tak berapa lama kemudian kedua
kuda
itu telah mencongklang dengan
cepat...
dan lenyap di balik tikungan
jalan;
sementara derapnya masih saja
terdengar
dari kejauhan... namun kemudian
suasana
kembali sunyi...
Tak terasa setitik air bening
tersembul di pelupuk mata Roro
Centil.
Air mata terharu juga bahagia,
melihat
kebahagiaan sepasang pengantin
itu ...
7
Tingngng...! Satu suara membuat ia
tersentak, dan sadar akan
dirinya yang
belum ketahuan nasibnya. Roro
Centil
lihat si kakek pemetik Kecapi
masih duduk
menyender pada tiang gubuk. Di
hadapan
papan kecapinya... sementara
sebelah
lengannya tampak asyik
mengelus-elus
jenggotnya yang cuma beberapa
lembar...
Segera ia tatap wajah orang
tajam-
tajam seraya berkata Roro Centil
"Maaf
kakek yang terhormat, sebelumnya
akupun
berterima kasih atas
pertolonganmu
menikahkan kedua sahabatku
tadi... Kini
ingin sekali aku mengetahui ada
urusan
apakah anda denganku...?
Sedangkan aku
pikir, aku merasa tak punya
permasalahan
apa-apa dengan anda...! Dan
bolehkah
kiranya aku yang rendah
mengetahui siapa
anda?..."
Tingngng...! Terdengar lagi
suara
dentingan tali kecapi.
Roro Centil yang bersikap
waspada
sejak tadi mengetahui betapa
kehebatan
irama Kecapi mautnya si kakek
berkulit
hitam ini.
Dan terdengarlah suaranya yang
serak parau, suara yang amat
berbeda
dengan yang tadi; "Hmm.
Nama Roro Centil,
Pendekar Wanita Pantai Selatan
itulah
yang membuat aku jauh-jauh datang dari
pantai Utara untuk mencarimu.
Kematian
Empat Iblis Kali Progo dengan
cara yang
amat mengerikan itu, beritanya
telah
bertiup sampai ke Pantai Utara.
Tentu
saja aku si Kecapi Maut ingin
sekali
berkenalan dengan Pendekar
Wanita yang
hebat dan keji itu. Tapi tak
dinyana,
ternyata yang aku jumpai adalah
seorang
bocah perempuan yang baru melek,
dan baru
lepas susu dari ibunya.... Huh!
Benar-
benar membuat aku jadi kesal ...
!"
Terkejutlah Roro Centil, ia tak
menyangka
akan hal yang sudah berlangsung lewat
setahun yang lalu itu, akan
berbuntut
panjang
Si kakek pemetik kecapi sudah
lanjutkan lagi bicaranya;
"Bukan
kematiannya yang aku sesalkan,
karena
siapa pun bisa saja mati. Entah
dia
seorang penjahat atau bukan.
Tapi cara
kematiannya itu yang sampai ke
telingaku,
sehingga aku perlu mengetahui
dan
hubungan apakah kau dengan si
Dewa
Tengkorak... Itulah yang perlu
kutanyakan. Dan apakah si iblis
keji itu
masih hidup? Apakah kau adalah
muridnya...?!" Pertanyaan
itu sudah tentu
dengan nada yang ditekan, karena
dapat
dilihat dari wajahnya, betapa ia
amat
membencinya.
Roro Centil menarik napas dalam-
dalam... segera ia teringat akan
kejadian
setahun yang lalu, di mana di
saat
pertarungan dengan si Empat
Iblis Kali
Progo ia telah mempergunakan
jurus keji
dari si Dewa Tengkorak, yang
dipelajari
dari Gurunya si Manusia Aneh
Pantai
Selatan yaitu salah satu dari
"10 Jurus
Pukulan Kematian", yang
cuma dikuasainya
tujuh jurus pukulan saja.
Segera ia menjawab dengan suara
datar seadanya; "Baiklah
kakek, akan
kujelaskan... Si Dewa Tengkorak
telah
mati sejak tiga tahun yang lalu.
Kematiannya adalah dengan sebab
akibat
dari 10 jurus Pukulan Kematian
yang ia
lontarkan sendiri disaat
bertarung dengan
Pendekar Bayangan...! Aku
bukanlah
muridnya, walau aku telah
menguasai
beberapa jurus ilmunya...!"
Demikian
jelas Roro polos.
Namun tiba-tiba terdengarlah
suara
si kakek pemetik kecapi...
"Bagus...!
Bagiku sama saja. Langsung atau
tidak
langsung kau adalah tetap murid
si iblis
tua itu...! Karena kau telah
mewarisi
ilmu-ilmu kejinya! Karena dengan
ilmu
kejinya itulah aku sampai
kehilangan
kedua belah kakiku
ini...!".
"Tapi tapi... " Belum
habis Roro
berkata satu sambaran angin
keras telah
menyerangnya dengan bersyiur
dahsyat.
Ternyata si kakek telah
mengibaskan
jubahnya yang lebar itu.
Terkejut Roro
bukan main ketika rasakan
sambaran
dahsyat yang mau menghantam
dada...
segera ia keluarkan teriakan
keras
tertahan, dan tubuhnya melesat
ke atas
menghindari serangan yang
datang. Dan
dengan beberapa kali
berjumpalitan di
udara ia kembali turun kira-kira
jarak
beberapa tombak.
Namun hebat akibat dari kibasan
lengan jubah itu. Karena baru saja Roro
turun menjejakkan kakinya ke
tanah,
terdengarlah suara bergedebukan.
Ternyata gubuk itu telah ambruk
terkena hempasan angin dari
kibasan jubah
si pemetik Kecapi, yang telah
melesat
keluar dengan melompat cepat.
Dan dengan sekali enjot ia telah
tiba di hadapan Roro dalam jarak
tidak
terlalu jauh. Belum sempat Roro
buka
suara untuk bicara lagi, telah
terdengar
petikan tali kecapi dengan nada
nyaring
yang menembus kesunyian di
tempat itu...
Roro terkesiap, dan cepat
salurkan
tenaga dalamnya pada telapak
tangan. Ia
tahu orang mau membunuhnya...
Maka dengan
berteriak keras ia telah
mengirim satu
pukulan ke arah si kakek kulit
hitam itu.
Terdengar suara tertawa
menghindar dari
si kakek dan sebelah lengannya
ia
pergunakan menangkis serangan
itu.
DEZZ...! Dua tenaga dalam yang
hebat
telah saling beradu.
Roro terhuyung tiga-empat
langkah... sedangkan si kakek
hampir
terjengkang.... namun
sambil berdiri
dengan dengkulnya ia telah
kibaskan lagi
kedua lengan jubahnya ... Syiuut
Syiuuut!... Angin keras yang
mengandung
tenaga dalam yang hebat
menerjang ke arah
Roro. Terasa bersyiur angin
panas. Cepat
ia pergunakan jurus Ikan Hiu
Balikkan
Ekor, dan memapaki kedua
serangan itu
dengan tenaga dalam Inti Es...
Hebat
akibatnya. Sambaran angin panas
yang
dahsyat itu tiba-tiba berbalik
menerjang
ke arah si pemetik Kecapi.
Terkejut si kakek ini bukan
kepalang. Segera ia sambar peti
Kecapinya
untuk menangkis, namun tiba-tiba
ia
urungkan, dan jatuhkan tubuh
bergulingan
sambil memeluk peti Kecapinya.
Terasa
angin panas dan dingin lewat
bersyiur.
BRAAAKKK! Terdengar suara keras.
Ternyata pohon besar di
belakangnya telah
hancur lumat kena hantaman angin
tenaganya sendiri.
Keringat dingin terasa mengalir
di
sekujur tubuh si pemetik kecapi.
Ia tahu
tenaganya sendiri yang hebat,
seandainya
ia tangkis dengan peti kecapinya
sudah
pasti akan hancur. Karena saat
itu ia
belum lagi menghimpun tenaga
dalam...
Roro Centil sudah cepat buka suara;
"Kakek Kecapi maut! Urusanmu
dengan si
Dewa Tengkorak adalah urusan
yang tak ada
hubungan dan sangkut pautnya
dengan aku.
Mengapa kau jadi berbalik mau
membunuh
ku...?". Jawabannya adalah
Tingng!
Tringng! Tingng!... Dan
seterusnya telah
terdengar nada santar yang
membawa maut,
berkumandang dengan irama yang
keras
tinggi, lalu merendah dengan
cepat, lalu
meninggi lagi... Dan akhirnya
yang
terdengar adalah nada-nada yang
kacau.
Roro tersentak. Segera ia tutup
indra
pendengarannya, ketika rasakan
darahnya
terasa bergolak mendengar irama
yang
mengandung tenaga dalam, yang
menyerang
melalui pendengaran yang
mengacau sirkuit
otaknya itu.
Sementara ia telah keluarkan
senja-
tanya sepasang "Rantai
Genit".
Ia berfikir lawan tidaklah
enteng,
sedangkan perjalanannya jadi tertunda
gara-gara mengurusi si Kecapi
Maut ini.
Yang bisa-bisa membuat ia cuma
tinggal
nama saja di dunia ini...
Sementara si kakek pemetik
Kecapi
terus membunyikan senjata
ampuhnya,
dengan nada-nada keras, rendah
dan tinggi
... namun sudah tentu irama yang
kacau
dan tak enak untuk didengar.
Tahu orang masih asik menari-
narikan jari tangannya pada
tali-tali
kecapinya, Roro Centil segera
goyangkan
pinggulnya dan gerak-gerakkan
tubuhnya
meliuk-liuk dengan cepat,
terkadang
gemulai... seolah tengah mengikuti irama
yang kacau ini dengan tarian
yang
disuguhkannya.
Sementara sepasang senjatanya ia
putar-putar sehingga terdengar
suara
mendengung mirip suara ratusan
lebah.
Jika saja Roro mengetahui akibat
dari
putaran si sepasang Rantai
Genitnya,
tentu ia akan kagum. Karena
sesungguhnya
suara berdengung itu telah
membuat
serangan tenaga dalam, melalui
petikan
tali kecapi itu menjadi buyar...
tersapu
angin putaran kedua benda itu.
Hal itu telah membuat si Kecapi
Maut jadi melengak. Matanya yang
sipit
itu jadi melotot agak lebar,
melihat di
hadapannya si Pendekar Wanita
Pantai
Selatan tengah menari-nari
dengan tubuh
meliuk-liuk sambil memutar-mutar
kedua
benda di kedua lengannya.
Tingng! Tingng! Tringng!
Ia pentil tali kecapinya dengan
keras, dan kemudian tiba-tiba
berhenti.
Segera ia tunggu reaksinya...
Namun
tunggu punya tunggu, Roro Centil
masih
terus menari-nari dengan lincah,
dan
terkadang gemulai... membuat ia
jadi
terheran-heran. Akhirnya tahulah
ia bahwa
serangan mautnya itu ibarat batu
yang
kecemplung ke laut.
Tiba-tiba terdengar ia berseru
keras... dan tubuhnya yang
tinggal tiga
perempat bagian itu telah
melesat ke arah
Roro. Peti kecapi mautnya telah
di pakai
menerjang menghantam orang.
Namun bagai tidak melihat
serangan
orang Roro telah berhasil
membuat
serangan itu lewat ke tempat
kosong.
Makin gusar si kecapi maut.
Beberapa
serangan ia lancarkan menyerang
leher,
dada dan perut. Tapi itu pun
lolos, cuma
dengan melangkah
melenggang-lenggok
meliuk ke sana-kemari, atau ke
atas dan
ke bawah...
"Bocah Keparat...!"
Teriaknya. Dan
ia sudah menerjang dengan
serangan-
serangan hebat yang mematikan.
Roro
terkejut juga lihat
serangan-serangan
yang berbahaya itu. Ternyata
kecapi telah
sedari tadi berhenti bermain...
Segera ia
buka indra pendengarannya sambil
tetap
pergunakan jurus istimewa
ciptaan Gurunya
itu, yang diberinya nama jurus
"Bidadari
Mabuk Kepayang".
Hasilnya memang mengagumkan,
karena
serangan-serangan si kakek
selalu saja
lolos. Karena yang diperhatikan
Si
pemetik kecapi itu adalah tubuh
lawannya
saja ia tak mengetahui ketika
tahu-tahu
senjata si Rantai Genit
tiba-tiba
meluncur deras ke kepalanya.
Terkesiap
seketika si kakek ini. Ia segera
pergunakan peti kecapinya
menangkis
melindungi kepalanya... Inilah
yang
diinginkan Roro Centil. BRAK!
Terdengar
suara keras dari peti Kecapi
Maut si
kakek yang hancur.
Belum sempat si kakek melompat,
sudah menyambar lagi bandulan
"Genit"
itu... BRAKK! Nyaris bandulan
itu
menembus peti yang bisa langsung
mengenai
kepala... kalau tidak
cepat-cepat ia
lepaskan peti kecapinya, yang
somplak dan
hancur tak terpakai lagi itu...
Dengan berteriak tertahanlah ia
cepat menggelinding menjauh, tatkala
satu
sambaran lagi kembali menyusul
menyerang
punggungnya. Rantai Genitnya
Roro Centil
seperti punya mata saja yang
terus ber-
gerak meluncur saling susul.
Brukk! Kecapi Mautnya sudah ter-
lempar dalam keadaan rusak
berat, dengan
tali-tali senarnya yang sudah
kusut
hampir putus semua.
Tiba-tiba terdengar teriakan
Roro
yang nyaring merdu, dan yang
terlihat
oleh si kakek berkulit hitam itu
adalah
berkelebatnya bayangan putih...
yang
kemudian lenyap.
"Hah!?" Tersentak
hatinya. Karena
tubuh sang gadis itu benar-benar
lenyap
tak berbekas ...
Ketika tiba-tiba... Rrrrt!
Secercah
sinar kuning telah berkelebat di
bawah
hidungnya, dan terasa ada benda yang
menjerat lehernya.
Terkesiap ia bukan buatan,
ketika
mengetahui itulah senjata aneh
si
Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Sementara
di atas kepalanya terdengar
suara mende-
ngungnya ratusan tawon.
Kiranya Roro Centil telah berada
di
belakang si pemetik Kecapi Maut,
dengan
sepasang senjatanya yang siap
mencabut
nyawa...
Terasa terbang sukma si kakek
tatkala ia mengetahui dirinya
sudah
dibawah kekuasaan lawannya. Dan
pada saat
itu juga terdengarlah suara yang
merdu
namun dengan nada menggertak...
"Hai
kakek yang sudah mau masuk liang
kubur!
Apakah kau masih juga mau
menjatuhkan
kesalahan padaku...?! Betapa
tadinya aku
amat mengagumi kepandaianmu
memetik
Kecapi, tapi alangkah kecewanya
ternyata
irama kecapimu adalah untuk
membunuh
orang...! Sungguh amat
disayangkan, anda
yang telah setua ini masih
memperturutkan
nafsu. Padahal nafsu itulah yang
akan
menghancurkan dirimu...!
Bukankah tadi
kau katakan siapapun dapat saja
mati.
Tapi kalau mau mati, maka
matilah yang
baik! Bukan mati konyol karena
memper-
turutkan hawa nafsu ..."
Tampak tubuh si kakek Kecapi
Maut
itu tergetar hebat. Tubuhnya
sekonyong-
konyong jadi lemah lunglai, dan
jatuh
terduduk. Terlihat ada air
bening menetes
turun membasahi jubahnya...
Getaran
tubuhnya makin terlihat tatkala
sepasang
lengan si kakek itu tiba-tiba
bergerak
menggeletar dengan jari-jari
yang
terbuka.
Tiba-tiba sepuluh jari tangan
itu
dipertemukan seperti orang mau
memberi
hormat. Namun apakah
kelanjutannya?...
sepasang lengan yang tergetar
itu tiba-
tiba bergerak, dan ... Krakk!
Krrakk!
Terdengar suara tulang yang
berklotakan.
Roro Centil terkejut bukan
main...
kiranya si pemetik Kecapi Maut
telah
meremas hancur kesepuluh
jari-jari
tangannya.
Segera ia kendurkan dan lepaskan
Rantai genitnya pada leher si
kakek...
dan melangkah ke samping dua
tindak.
Tampak keadaan kedua telapak
tangan
sang kakek yang dalam keadaan
yang
mengerikan karena serpihan
tulang-tulang
yang hancur itu bersimbah darah,
dan air
mata yang seperti membanjir
deras dari
kelopak matanya.....
"Kakek!?... kau... kau..." Hanya
itu yang keluar dari
kerongkongan Roro,
tatkala terdengar suara si kakek
yang
parau terputus-putus menahan
gejolak
perasaan dan rasa sakit yang tak
terhingga...
"Inilah... yang patut
kulakukan...
Jari-jari... tanganku ini telah
banyak
membunuh orang!"
Tampak si pemetik Kecapi Maut
berhenti berkata sebentar...
untuk
menyeka air matanya. Dengan
mengangkat
pangkal lengannya, dan dengan
memper-
gunakan kain jubah yang
dipakainya ia
menyapu wajahnya.
Sebentar kemudian ia telah
menerus-
kan kata-katanya... "Bocah
Pendekar,
betapa aku orang tua merasa
malu... malu
karena harus dinasihati oleh
seorang
bocah yang pantas menjadi cucuku
...
namun telah membuka mata hatiku
untuk
menyadari akan kekeliruanku...
Benar,
bocah Pendekar, menurutkan hawa
nafsu
adalah takkan ada habisnya
selama manusia
belum masuk ke liang kubur.
Kecuali
orang-orang yang dapat
mengendalikan hawa
nafsunya... Dia takkan terbawa
arus
gelombang nafsu yang melandanya,
karena
pada jiwanya telah tertanam
benih-benih
kesadaran dan iman yang
teguh..." Kembali
ia berhenti sejenak untuk
mengangkat
kedua lengannya yang terasa
nyeri. Dan ia
sudah meneruskan
kata-katanya;
"Kini aku serahkan
segalanya pada
nasib...! Kalau kau mau bunuh
aku
silahkan bunuh! Kalau kau mau
mengampuni
aku, aku sungguh-sungguh
bersyukur pada
Tuhan. Biarlah penderitaan ini
aku
jalani, dan kurasakan sebagai
penebus
atas segala dosaku... Aku telah
merasa
bersalah telah berniat membalas
dendam
pada orang yang justru tak ada
sangkut-
pautnya dengan urusan dendamku.
Dan aku
harus menyadari bahwa dendam itu
adalah
sesuatu yang harus dihilangkan
pada diri
manusia... "
Sampai di sini si kakek pemetik
Kecapi Maut berdiam menutup
mulut dan
mengatupkan kelopak matanya,
menunggu
tindakan apa yang akan diambil
gadis
Pendekar yang ada di
hadapannya...
Selang sesaat terdengar Roro
Centil
menghela napas. Dan terdengar
kata-kata
seperti terharu...
"Kakek...! Aku
bukanlah orang telengas yang
kejam.
Memang aku pernah gunakan jurus
telengas
si Dewa Tengkorak itu ketika
menumpas ke
empat Iblis Kali Progo. Tapi
percayalah
...! Hal itu di luar
kesadaranku... Aku
masih terlalu hijau untuk
berkecimpung di
dunia persilatan, dalam
meneruskan
perjuangan Guru-Guruku...
menegakkan
keadilan di atas bumi ini.
Baiklah, aku
berjanji tak akan mempergunakan
jurus
keji itu lagi... dan tentu saja
aku
hargai kesadaran yang telah kau
temukan
itu, kakek... Nah... rasanya aku
tak
dapat berlama-lama di sini,
karena aku
tengah dalam perjalanan memenuhi
undangan
orang dan perjalanan yang
kutempuh amat
jauh sekali... Selamat menempuh
duniamu
yang baru... kakek, dan selamat
tinggal...!"
Setelah berkata demikian Roro
Centil berkelebat pergi.....
tapi ketika
itu juga ia teringat akan
buntalan
pakaiannya. Segera ia melesat ke
gubuk
yang sudah roboh itu... Tak
terlalu sukar
ia sudah menemukan kembali
buntalannya,
dan selanjutnya tanpa menoleh
lagi ia
sudah enjot tubuhnya, dan
berlalu dari
tempat itu...
8
Biara "Welas Asih" di
lereng Gunung
Wilis adalah sebuah biara yang
tidak
begitu dikenal orang...
Namun penduduk sekitar Gunung
Wilis
mengetahui kalau di biara itu
terdapat
tiga orang paderi yang
bersaudara... yang
dikenal sebagai para tabib yang
pandai
mengobati orang
Namun sepandai-pandainya
manusia...
ada saja kelemahannya. Oleh
sebab itulah
tak semua orang yang datang
dapat
disembuhkan penyakitnya...
Manusia hidup memang tak luput dari
pelbagai masalah, juga tak dapat
menghindari yang namanya takdir.
Juga mati hidupnya manusia,
adalah
sudah ditakdirkan oleh Tuhan
Yang Maha
Esa. Sudah hampir 9 tahun paderi
Jayeng
Rana meninggalkan kuil atau
biara Welas
asih, yang sudah berpuluh tahun
dibinanya, kini telah berada
kembali di
biara Welas Asih, di lereng
Gunung Wilis.
Ia memang seorang paderi yang
berasal dari Nepal. Entah
mengapa ia amat
senang mengembara di masa
mudanya. Hingga
ia tiba di suatu daerah yang
amat subur
dengan tumbuh-tumbuhannya.
Terutama
kelapa. Akhirnya ia menganggap
bahwa
daerah atau pulau yang
diinjaknya itu
adalah pulau Kelapa.
Di Lereng
Gunung Wilis itulah ia
mendirikan sebuah kuil atau
biara yang
diberinya nama Welas Asih, yang
berarti;
kasih sayang ...
Memang sebenarnya watak dan
pribadi
dari paderi Jayeng Rana adalah
watak yang
tiada cela. Peramah, baik hati,
rendah
hati juga kasih sayang terhadap
siapa
saja. Pribadinya menarik,
membuat orang
akan merasa segan bila berbicara
atau
bertatap muka dengannya.
Sedikit kepandaian yang ia
miliki
ternyata dapat berguna bagi
masyarakat.
Menolong yang sakit, atau
memberi bantuan
pada yang susah adalah dasar
dari
kehidupan yang ditujunya...
Jarang orang menemui manusia
semacam paderi Jayeng Rana ini,
karena
kebanyakan manusia pada
kenyataannya
adalah menitik beratkan pada
kepentingan
pribadinya saja, tanpa mau
mengetahui
keadaan orang lain. Apakah
susah...?
Apakah perlu dibantu...? Apakah
perlu
ditolong...? Dan lain
sebagainya. Padahal
bagi orang yang mengerti apa
arti dan
maknanya kehidupan; pasti
menyadari
betapa Tuhan menciptakan manusia
ini tak
lain dan tak bukan adalah untuk
dapat
hidup saling berkasih sayang
dengan
sesamanya, dan hidup saling
tolong
menolong. Demikianlah...
berpuluh tahun
paderi Jayeng Rana bermukim di
biara
Welas Asih, di Lereng Gunung Wilis, ia
memang membawa tiga orang murid,
yang
telah mewarisi ilmu
kepandaiannya.
Sejak ia kembali ke Nepal 9
tahun
yang lalu, biara Welas Asih
diserahkan
pada ketiga orang muridnya. Yang
telah
dapat dipercaya untuk meneruskan
cita-
citanya yaitu beramal bakti pada
masya-
rakat, disamping harus bekerja
keras
untuk hidup. Karena manusia yang
baik
ialah, yang hidup tanpa harus
mengandal-
kan belas kasih orang lain, Atau
mengharap-harap hujan emas yang
jatuh
dari langit.
Tuhan takkan merobah nasib
setiap
manusia, kalau tidak manusia itu
sendiri
yang merobahnya... Demikian ia
selalu
camkan pada murid-muridnya.
Demikian juga
dengan akhlak dan budi pekerti
manusia...
apakah Tuhan akan merobah watak
manusia
yang sesat sekonyong-konyong
menjadi
orang baik yang berakhlak mulia?
Tidak!
Karena watak jahat akan tetap
saja jahat,
tak akan berubah menjadi baik
apa bila
tidak manusia itu sendiri yang
berusaha
merobahnya.
Juga watak yang baik, tentu saja
tidak akan selamanya baik. Kalau
manusia
itu tidak terus memupuknya;
ibarat kita
memelihara tanaman... kalau
tidak dirawat
dan disirami setiap hari akan
layulah
tanaman itu.
Bermacam nasihat telah
ditanamkan
di hati ketiga paderi muridnya
itu oleh
paderi Jayeng Rana si pendiri
biara Welas
Asih.
Ternyata kembalinya ke Nepal
adalah
untuk memperdalam ilmu
ketabibannya di
sana. Dalam waktu beberapa tahun
ia
berhasil menambah ilmu
kepandaiannya
dalam hal ilmu pengobatan itu,
yang
memang sudah menjadi
cita-citanya.
Hingga paderi Jayeng Rana
berhasil
membuat sebuah kitab, yang
berisikan
ilmu-ilmu tersebut. Tentu saja
dibuatnya
kitab itu adalah untuk dapat
diamalkan
dan dipelajari kelak oleh ketiga
orang
murid-muridnya. Demikianlah
setelah
selang beberapa tahun kemudian,
paderi
Jayeng Raya berangkat kembali ke
pulau
Kelapa dengan membawa kitab yang
telah
diciptakannya itu... Namun
karena satu
dan lain hal ia terpaksa tidak
bisa
langsung ke gunung Wilis.
Perjalanan jauh
yang ditempuhnya itu amatlah
melelah-
kannya.
Dan ia memang tidak berniat lagi
tinggal di pulau Kelapa itu,
karena ingin
menghabiskan sisa umur menjelang
hari
tuannya itu di tanah
kelahirannya.
Ia menitipkan Kitab Pusaka itu
pada
seorang bekas pembantunya yang
setia di
pesisir pantai Pulau Kelapa
(Pulau Jawa).
Pembantu yang setia itu tak lain
dari seorang laki-laki
berkebangsaan
India. Dialah yang bernama
Gurnam Singh.
Yang sejak kedatangannya dari
Nepal
sampai ke Pulau Kelapa dan
mendirikan
biara Welas Asih, selalu turut
ber-
samanya.
Gurnam Singh menikah dengan
seorang
gadis dari lereng Gunung Merapi.
Dan
menetap di pesisir pantai Pulau
Kelapa.
Setelah menitipkan Kitab Pusaka
tersebut untuk diberikan pada
ketiga
muridnya di biara Welas Asih...
Paderi
Jayeng Rana kembali ke Nepal.
Niat yang baik itu ternyata
banyak
sekali rintangannya; karena
kitab yang
sedianya akan segera diantarkan
itu telah
dicuri oleh seorang sahabat
Gurnam Singh.
Tentu saja betapa kecewanya sang
pembantu
yang setia itu...
Berbulan-bulan ia mencari, dan
mencari... ke mana perginya
sahabat licik
yang pandai berpura-pura itu.
Yang
bersifat bagaikan musang yang
berbulu
ayam. Tak dapat dibayangkan
betapa
masygulnya hati Gurnam Singh.
Hilangnya
Kitab Pusaka itu adalah tanggung
jawabnya
untuk dapat menemukannya
kembali. Sahabat
Gurnam Singh itulah yang bernama
Tonga.
Tonga memang seorang yang
berwatak licik.
Bila orang melihat perawakannya
tentu
akan timbul rasa iba. Wajah yang
memelas,
serta tubuh kecil yang kurus dan
bentuk
muka yang lancip... Rasanya akan
sulitlah
orang untuk menebak atau
menyangka Tonga
orang bejat. Karena
penampilannya
bagaikan seorang yang berakhlak
amat
baik. Inilah salah satu dari
keanehan
manusia di dunia.
Tonga telah membawa kitab itu
pada
Gurunya, yang juga berakhlak
sama
bejatnya dengan muridnya. Sang
Guru
ternyata orang dari Nepal juga.
Yang
berilmu tinggi namun sesat.
Kitab curian
itu ternyata tidaklah menarik
perhatiannya. Bahkan telah
timbul suatu
ilham bejat setelah membaca isi
Kitab
yang menerangkan tentang
ilmu-ilmu
ketabiban itu... Dengan ilham
yang
didapat dari Kitab Pusaka itu ia
telah
berhasil menciptakan suatu ilmu
sesat
yang hebat. Yang bila dipelajari
dan
dikuasai orang... maka akan
rusaklah
akhlak orang itu, walaupun ilmu
kedigjayaannya tinggi.
Ilmu-ilmu sesat hasil gubahannya
dari Kitab Pusaka ilmu ketabiban
itu
telah dituangkannya dalam sebuah
kitab
ciptaannya.
Sang Guru si laki-laki bernama
Tonga itu benar-benar merasa
puas telah
berhasil menciptakan sebuah
kitab yang
luar biasa sesatnya itu.
Bahkan saking gilanya, kulit
luar
dari kitab itu dibuat serupa dengan
kitab
ilmu ketabiban tersebut. Yaitu
terbuat
dari kulit ular.
Sayang... manusia berakhlak
rendah
itu tak menyadari bahwa
hakekatnya umur
manusia Tuhanlah yang
menentukan. Manusia
boleh sakti tapi janganlah lari
dari
kenyataan... Karena
sesakti-saktinya
manusia sakti di dunia ini yang
kesemuanya pun akhirnya MATI!
Karena
hakekatnya manusia hidup itu
adalah untuk
mati!
Itulah sebabnya bagi orang yang
memahami akan arti hidup; ia
akan
berusaha sebaik-baiknya mencari
bekal
orang yang memahami akan arti
hidup; ia
akan berusaha sebaik-baiknya
mencari
bekal untuk mati. Karena setelah
kematian, akan ada lagi
kehidupan yang
lebih sempurna dan kekal untuk
selama-
lamanya. Yaitu kehidupan
Akhirat.
Sayang sang Guru si laki-laki
bernama Tonga itu meninggal
dunia sebelum
sempat bertobat dan menanam amal
dalam
kehidupannya.
Kini Tonga yang menguasai kedua
Kitab Ular itu.
Kematian Gurunya dianggap wajar
saja. Dan ia berniat untuk
mempelajari
kedua kitab itu.
Ia tidaklah seperti gurunya yang
fanatik. Karena ia berpendapat
lebih
banyak ilmu adalah lebih baik.
Tanpa mau
tahu apakah ilmu itu sesat atau
ilmu yang
bermanfaat.
Sayang... belum lagi ia sempat
mempelajari, telah muncul Gurnam
Singh
yang telah mencarinya sekian
lama itu
akhirnya dapat mengetahui jejak
tempat
persembunyiannya. Dan merampas
kembali
kitab yang telah dicurinya.
Bahkan kedua
Kitab Ular itu berhasil dibawa
kabur.
Tentu saja Tonga dapat
mengetahui
ke mana Gurnam Singh membawanya...
yang
tentu saja ke biara Welas Asih
di lereng
gunung Wilis ...
Dugaan Tonga tidak salah. Gurnam
Singh si pembantu paderi Jayeng
Rana yang
setia itu memang membawanya ke
kuil atau
biara Welas Asih.
Di sana ia berikan kedua kitab
itu
yang ia tak tahu mana yang asli
pada si
ketiga paderi dan juga
menceritakan
kejadian yang dialaminya, hingga
ia
terlambat memberikan Kitab
Pusaka titipan
paderi Jayeng Rana guru mereka.
Setelah meneliti kedua kitab itu
segera mereka dapat mengetahui mana
yang
asli... Namun alangkah
terkejutnya ia
ketika mengetahui kitab yang satu lagi
adalah kitab yang berisikan
ilmu-ilmu
kedigjayaan yang sesat, dan amat
jahat.
Mereka segera kembalikan pada
Gurnam Singh, namun
ditolaknya... dan
mengatakan agar kitab itu
sementara
dititipkannya di biara tersebut.
Lalu
iapun kembali ke pesisir pantai
pulau
Kelapa.
Tonga menyusul ke biara Welas
Asih... Dan dengan segala macam
akal, ia
berhasil tinggal di biara itu
sebagai
seorang pembantu atau jongos.
Tentu saja ia berpura-pura
dirinya
adalah seorang yang berakhlak
baik.
Padahal diam-diam ia berniat
mencuri lagi
kitabnya yang segera dapat
diketahui
berada di ruangan tempat kitab.
Tak disangka telah terjadi
peristiwa... yaitu munculnya tiga
orang
yang berkepandaian tinggi yang
mau
merebut kitab pusaka paderi
Jayeng Rana,
yang disangkanya adalah kitab
ilmu
kedigjayaan yang amat tinggi.
Ternyata khabar Gurnam Singh
mencari seorang pencuri kitab
telah
tersiar ke setiap tempat... Dan
ketiga
penjahat itu mencium jejak
Gurnam Singh,
yang telah berhasil menemukan
kitab
titipan paderi Jayeng Rana itu
kembali.
Ketiga penjahat tak dikenal itu
merusak biara dan
mengobrak-abriknya,
karena sudah tentu mereka tak
dapat
memberikan kitab warisan guru
mereka...
Pertarungan terjadi. Namun
ketiga
Paderi tak ada daya untuk dapat
menang
dalam pertarungan itu...
Ketiganya
terjungkal mandi darah.
Tonga yang cari kesempatan baik
dalam kekeruhan itu, berhasil
masuk ke
ruangan kitab... Namun ia harus
sembunyi
di belakang lemari mengetahui
ketiga
penjahat itu memasuki ruangan.
Ketika keadaan sudah sepi, Kitab
Ular yang tengah diincarnya itu
telah
lenyap. Dengan segala daya
upaya, Tonga
akhirnya dapat mengetahui di
mana adanya
si ketiga penjahat itu, yang
telah
mencukur gundul kepalanya...
Mereka adalah Kuti, Kebo Ireng
dan
Lembu Alas. Ternyata Kuti pun
orang
Nepal, yang sudah lama berdiam
di tanah
Jawa ini... Ketika mengetahui
ketiga
paderi palsu itu ada berhubungan
dengan
Bupati Daeng Panuluh di daerah
Karang
Sembung; dengan modal wajahnya
yang
memelaskan hati, ia berhasil
mendekati
Bupati Daeng Panuluh untuk dapat
bekerja
di Gedung kuno tempat kediaman
si tiga
paderi Gunung Wilis yang palsu
itu.
Permohonannya dikabulkan. Dan ia
pun berhasil menjadi jongos di
sana.
Demikianlah hingga akhirnya ia
berhasil lagi merebut Kitab Ular
yang
berisikan ilmu-ilmu sesat dari
Gurunya
itu, dari tangan Roro Centil...
Rusaknya biara "Welas
Asih" membuat
terkejut paderi Jayeng Rana,
yang tidak
disangka-sangka muncul lagi di
Lereng
Gunung Wilis bersama Gurnam
Singh. Betapa
trenyuh hatinya menyaksikan
keadaan yang
menyedihkan itu.
Dijumpainya cuma tinggal seorang
muridnya yang masih tersisa...
Itupun
dalam keadaan cacat jasmani
akibat dari
ketelengasan dari si ketiga
penjahat,
yang juga diketahui salah
seorangnya
berasal dari Nepal.
Sudah beberapa hari ia berada di
biara itu lagi. Datangnya
seorang tetamu
yang tak diundang, telah membuat
paderi
yang sudah lanjut usia ini telah
menitahkan Gurnam Singh untuk
membawa
sepucuk surat undangan, untuk
diberikan
pada seorang Pendekar Wanita
agar segera
datang ke biara Welas Asih, di
lereng
gunung Wilis...
Sementara yang ditunggu-tunggu
masih dalam perjalanan... Dialah
Pendekar
Wanita Pantai Selatan... alias
Roro
Centil.
Tujuh buah sungai dan dua buah
Gunung telah ia lewati. Yang
satu adalah
gunung Merapi yang di sebelah
utaranya
terdapat juga sebuah gunung yang tidak
terlalu jauh yaitu Gunung
Merbabu, sedang
yang kedua adalah Gunung Lawu.
Ternyata tanpa memakai kuda
perjalanan Roro lebih cepat
beberapa kali
lipat. Karena dengan ilmu lari
yang
mengandalkan tenaga dalam yang
tinggi itu
lebih mudah ketimbang naik kuda,
yang
harus mencari jalan lebih dulu,
karena
sukarnya perjalanan yang harus
ditempuh.
Kedua puncak Gunung Wilis dan
Gunung Liman telah kelihatan.
Hati Roro Centil berdebar
girang...
Segera ia enjot tubuh untuk
segera tiba
di sana. "Gunung Wilis
adalah yang berada
di sebelah selatan Gunung Liman.
Aku akan
segera tiba di sana sebelum
tengah
hari...!" Guman Roro dengan
suara
mendesis dari bibirnya.
Sementara uap
putih tampak keluar dari hidung
dan mulut
si Pendekar Wanita ini. Hawa
memang
teramat dingin. Apa lagi dengan
mempergunakan ilmu lari cepat
itu Roro
telah pergunakan sepenuh
tenaganya.
Lewat tengah hari ia telah tiba
di
lereng Gunung Wilis. Roro
kendurkan
larinya untuk mengatur napas.
Perjalanan
sejauh ini baru pertama kali ia
alami
entah mungkin saat-saat dimuka
mungkin
akan lebih jauh lagi... Pikir
Roro
Centil, yang segera hentikan
larinya
ketika ia telah menemukan sebuah
desa.
Ternyata tidaklah sukar untuk
menanyakan
di mana adanya biara "Welas
Asih", karena
hampir semua penduduk desa itu
menge-
tahuinya.
Alangkah girang hatinya setelah
mendaki agak lebih ke atas lagi,
ia telah
melihat ada sebuah bangunan yang
bentuk
dan potongannya lain dari pada
yang lain.
Itukah biara Welas Asih...?.
Desis Roro
dalam hati. Baru saja ia
menginjakkan
kakinya di halaman biara, ia sudah
terkejut mendengar satu suara
yang
bernada lemah, namun terdengar
jelas di
telinganya.
"Omitohud...! Ah... Selamat
datang
di biara kami yang rusak nona
pendekar
Pantai Selatan...! Selamat
datang di
lereng Gunung Wilis! Ternyata
Tuhan
meramahmati kedatangan anda
dengan
selamat...!"
Segera Roro gerakkan tubuhnya
melesat ke arah pintu biara yang
lebar
dengan temboknya yang banyak
terdapat
ukiran-ukiran.
Dan terlihatlah seorang kakek
ber-
jubah putih. Kepalanya licin
plontos
dengan kumis yang terjuntai
hampir
menyatu dengan jenggotnya yang
putih,
yang panjangnya sebatas dada.
Roro segera
balas penghormatan orang,
sementara
matanya yang tajam dapat segera
melihat
adanya dua orang paderi yang
tengah
berduduk di lantai di atas
sehelai tikar
permadani ...
Segera ia sudah berkata;
"Andakah
yang bernama Paderi Jayeng
Rana... Ketua
biara Welas Asih ini...?"
Kakek berjubah
putih yang berkepala licin plontos
itu
kembali menjura sambil
menyahuti;
"Omitohud...! Benar nona
Pendekar...
silahkan masuk...!" Sambil
berkata
demikian ia telah membuka pintu
biara
lebar-lebar.
Roro langkahkan kaki untuk
bertindak masuk... dan duduk di
atas
tikar permadani. Di hadapannya
adalah dua
orang paderi yang usianya di
bawah paderi
Jayeng Rana. Bahkan tampak jauh
lebih
muda lagi dibanding keadaan
paderi ketua
biara itu. Keduanya terlihat
menjura, dan
Roro segera balas dengan
anggukkan
kepala. Namun sekilas Roro sudah
perhatikan keadaan orang...
Yang seolah adalah paderi yang
cacad jasmani, bahkan bekas luka
masih
tampak belum sembuh benar pada
bagian
leher yang menggurat panjang.
Sementara
matanya tertutup oleh sehelai
kain
pembalut berwarna putih bernoda
darah
yang sudah mengering. Sedang
sebelah
lengannya putus sebatas siku.
Tubuhnya
berperawakan kekar.
Berbeda jauh dengan paderi di
sebelahnya yang kecil kurus
dengan muka
yang lancip, dan tulang pelipis
menonjol.
Kepalanya licin plontos sekali
seperti
baru habis dicukur. Pelupuk
matanya
separuh tertutup, seperti agak
enggan
memandang wajah tetamunya.
Terkejut juga
Roro, ia seperti pernah melihat
wajah
itu. Sementara itu paderi Jayeng
Rana
tampak terus masuk ke dalam
setelah
mempersilahkan tetamunya untuk
duduk. Dan
tak lama kemudian telah keluar
lagi
sambil membawa sesuatu yang
terbungkus
kain.
Apa yang akan dilakukan paderi
ini...? Pikir Roro. Sementara ia
sudah
kembali meneliti wajah si paderi
kurus
itu. Roro jadi terkesiap bukan
main
ketika akhirnya ia mengenali
siapa paderi
kurus itu. "Pencuri
keparat! Kiranya kau
sembunyi di sini?" Teriak
Roro dalam
hati. Karena ia segera
mengetahui paderi
itu adalah si jongos tua Tonga
yang telah
mencuri kitab dalam buntalannya
berikut
kotak perhiasannya. Akan tetapi
ia segera
tahan diri ketika paderi Jayeng
Rana buka
suara; "Nona Pendekar
Pantai Selatan...
harap anda maafkan aku yang
telah jauh-
jauh mengundang anda datang ke
biaraku
ini. Tak lain dan tak bukan
adalah
untuk..." Paderi Jayeng
Rana tak
meneruskan kata-katanya karena
segera
buka buntalan di hadapannya.
Terkejutlah
Roro melihat isi buntalan kain
itu tak
lain adalah sebuah kitab yang
bersampul
dengan kulit Ular berikut sebuah
kotak
kecil terbuat dari perak. Itulah
kitab
yang dicuri oleh si jongos tua
Tonga juga
termasuk benda miliknya itu.
Ketika ia
pandang paderi kurus itu
ternyata paderi
itu makin menundukkan mukanya
dalam-
dalam. Paderi Jayeng Rana tahu
keadaan
orang. Segera cepat-cepat ia
perkenalkan
paderi kurus itu pada Roro;
"Oh, ya ...
ini adalah seorang paderi baru
di sini,
mungkin nona Pendekar telah
mengetahuinya. Namun kumohon
sudilah nona
Pendekar mendengar penuturanku...!"
Terpaksa Roro Centil manggut-
manggut sambil kerutkan alis tak
mengerti. Paderi Jayeng Rana
segera
menuturkan bahwa tujuannya
mengundang
Roro Centil datang, tak lain
adalah untuk
mengambil kembali benda
miliknya, yang
telah dicuri oleh paderi baru
bernama
Tonga itu.
Dituturkannya bahwa beberapa
hari
yang lalu, ketika ia baru saja
mengasoh
sejak tiba dari Nepal, telah
kedatangan
tamu. Yaitu seorang laki-laki
yang datang
sambil bercucuran air mata. Ia
telah
mengaku terus terang akan segala
dosanya.
Dan ingin bertobat untuk kembali
ke jalan
yang benar.
Lalu dituturkannya semua riwayat
asal kejadian tentang musibah
yang telah
menimpa biara "Welas
Asih". Hingga sampai
akhirnya diungkapkan tentang
tiga orang
paderi palsu yang telah mengaku
dari
gunung Wilis yang telah membawa lari
Kitab Ular.
Yang sebenarnya paderi-paderi
itu
adalah penjahat-penjahat
terkutuk, yang
telah merusak kewibawaan biara
Welas Asih
yang telah puluhan tahun
dibinanya. Kitab
Ular yang dirampas ketiga
penjahat itu
adalah kitab Ular yang palsu.
Yang berisi
ilmu-ilmu sesat, ciptaan seorang
tokoh
jahat yang bergelar si Setan
Arak.
Paderi Jayeng Rana telah lama
mengenal tokoh
asal Nepal itu, yang
menjadi guru si paderi baru Tonga.
Beruntunglah Tonga dapat sadar
dan cepat-
cepat datang ke biara Welas Asih
untuk
memberikan kitab ini, berikut
sekalian
mengembalikan kotak perhiasan
milik si
Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Tujuannya paderi Jayeng Rana
adalah
memohon bantuan akan keselamatan
biaranya
juga keselamatan si paderi Tonga
dari
kejaran orang-orang yang telah
mengetahui
ia mewarisi kitab sesat itu dari
si Setan
Arak gurunya.
"Nah, oleh sebab itu aku
mengundang
anda untuk datang
kemari..." Demikian
keterangan paderi Jayeng Rana.
Dan
sambungnya lagi; "Inilah
kotak perhiasan
milik anda, terimalah...!".
Roro segera
menerima benda itu, dan periksa
isinya.
Ternyata tak ada yang kurang.
Segera ia masukkan benda itu ke
dalam
buntalannya, seraya berkata;
"Terimakasih
kakek Paderi Jayeng
Rana...!" Dan iapun
palingkan kepala menatap paderi
Tonga,
lalu palingkan lagi wajahnya
menatap
Paderi Jayeng Rana. "Hm,
apakah anda
percaya penuh bahwa dia
benar-benar akan
bertobat... ?" Berkata Roro
dengan wajah
sinis.
Terlihat air muka Tonga dijalari
rona merah. Belum sempat si
ketua kuil
biara Welas Asih menjawab,
paderi baru
itu telah mendahului biara .
"Jika aku
berdusta biarlah aku tak diberi
hidup
lagi...!" Katanya tegas.
Namun Roro cuma perdengarkan
suara
di hidung. "Heh! Kebanyakan
orang baru
sadar setelah dirinya kepepet.
Dan di
saat sudah longgar biasanya lalu
berbalik
melawan arus seperti Klambang!
Apakah di
balik dinding bisa diketahui ada
cecaknya, kalau tak ada
bunyi...!".
Sengaja Roro ingin tahu isi hati
orang
sebenarnya.
Wajah Tonga kian memerah... tapi
pada saat itu paderi Jayeng Rana
telah
berkata "Sudahlah hanya
Tuhan yang tahu
apa yang ada di dalam dada...
Paderi baru
Tonga telah membawa kitab pusaka
warisan
gurunya ini adalah untuk
dimusnahkan di
hadapanku juga di hadapan nona
pendekar.
Maka sudilah nona Pendekar
menjadi saksi
akan kebenaran dan ketulusan
hati paderi
Tonga untuk benar-benar
bertobat. Karena
dengan musnahnya kitab Ular yang
sesat
ini, maka akan tertolonglah
bahaya pada
masyarakat khususnya dan pada
umat
manusia umumnya...!"
"Kalau untuk menjadi saksi
saja sih
aku tak keberatan...!"
Berkata Roro
Centil. "Omitohud...!
Terimakasih...!
Terimakasih...!" Wajah
paderi Jayeng Rana
menampilkan kegembiraan; ia
sudah segera
mau menyuruh paderi baru Tonga
untuk
segera memusnahkan
kitab yang berada di
hadapannya.
Namun sekonyong-konyong ia
teringat
pada Gurnam Singh yang belum
menampakkan
batang hidungnya.
Ia segera berkata; "Maaf,
mungkin
upacara peleburan Kitab Ular
yang sesat
ini harus ditunda dulu, karena
menunggu
seorang pembantuku Gurnam Singh
yang
belum datang".
"Apakah dia yang mengirim
undangan
padaku...?" Bertanya Roro
Centil.
"Benar!" menyahut
paderi Jayeng
Rana. "Apakah anda tak
memakai kuda
tunggangan?" ia balik
bertanya. Roro
tersenyum dan menjawab;
"Aku memang ada
disediakan kuda, tapi kudanya
telah
kuhadiahkan pada sahabatku yang
baru
melangsungkan
pernikahannya...!".
"Oooh...!?" Terdengar
suara paderi
Jayeng Rana. Keningnya tampak
dikerutkan
dan kemudian terlihat ia
manggut-manggut
sambil mengelus jenggotnya.
"Apakah anda mendapat
petunjuk
jalan...? Tiba-tiba paderi
Jayeng Rana
bertanya lagi. "Cuma di
sebuah desa...
seseorang telah memberitahukan
arah ke
lereng gunung Wilis ini! Eh, ya
apakah
orang, yang memberi petunjuk itu
adalah
Gurnam Singh...?" Roro
berbalik tanya
lagi pada paderi itu.
"Benar, tidak salah...! Dia
adalah
seorang pembantuku yang paling
setia dan
bertanggung jawab!"
Menyahut paderi
Jayeng Rana.
Sekonyong-konyong Roro Centil
teringat akan Gurunya (si
Manusia Aneh
Pantai Selatan) yang pernah
menceritakan
bahwa ia telah terkena pukulan
beracun
oleh ketiga paderi gunung Wilis.
Segera
ia menanyakan tentang itu, juga
apa
persoalannya. "Omi
tohud...! Itu bukan
pukulan! Apakah sampai sekarang
guru nona
masih menderita keracunan? Di
manakah dia
adanya...?"
Roro Centil segera tuturkan
keadaan
Gurunya, dengan panjang lebar.
Terkejutlah paderi Jayeng Rana,
mendengar si Manusia Aneh itu
telah
menjadi seorang tuna rungu dan
menutup
diri di Pantai Selatan.
Segera ia ceritakan
persoalannya.
Bahwa kira-kira dua belas tahun
yang
silam telah datang seseorang
dari Pantai
Selatan. Memang susah menerka
orang
itu... dikatakan laki-laki
bukan, perem-
puan pun bukan. Kedatangannya
adalah
untuk meminta tolong mengobati
penyakitnya, yaitu ia mengalami
keracunan
hebat, akibat telah salah makan
ramuan
dari bermacam rumput, yang
ternyata
mengandung racun.
Kisah yang dituturkan paderi
Jayeng
Rana itu adalah kisah dari
ketiga orang
paderi muridnya, yang telah
menceritakan
padanya.
Sementara si paderi berlengan
buntung itu manggut-manggut
mendengarkan
kisah yang akan diceritakan itu.
Si
ketiga paderi dengan suka rela
telah
menolong mengobatinya dengan
segala
usaha. Ternyata racun amat
ganas, yang
rasanya sulit untuk dibrantas
dalam waktu
cepat. Menurut pengamatan si
ketiga
paderi muridnya, racun itu akan
cepat
bisa terberantas seandainya ia
disamping
mengobati racun juga mengobati
jiwanya.
Maksudnya mengobati jiwanya adalah
menyadari akan takdir yang telah
dialaminya sebagai manusia yang
tidak
normal. Karena ia telah
membeberkan isi
hatinya pada ketiga paderi
tentang
keinginannya yang menggebu-gebu
untuk
menjadi seorang wanita tulen. Hal itu
telah merasak jiwanya. Sehingga racun
merembes ke hati ... Tidak
dinyana kata-
kata si ketiga paderi telah
"Memukul"
perasaannya. Karena rasa cintanya
yang
telah berurat berakar pada si Dewa
Tengkorak, tak dapat dihilangkan
begitu
saja. Bahkan semakin ia berusaha
untuk
menghilangkannya, semakin
menggebu-gebu
menyerang dirinya. Sehingga
ambisinya
untuk menjadi seorang wanita
tulen telah
membuat ia mempergunakan
cara-cara aneh.
Pernah suatu kali ia datang lagi
ke
biara Welas Asih dengan memperlihatkan
bentuk tubuh kewanitaannya.
Hal itu membuat si tiga paderi
berucap bahwa perbuatan semacam
itu
justru akan lebih mempercepat
kema-
tiannya.
Itulah satu "Pukulan"
hebat yang
telah mengena di jiwa si manusia
aneh
Pantai Selatan, yang telah
menganggapnya
sebagai satu "pukulan
beracun". Demikian-
lah, paderi Jayeng Rana
mengutarakan
kisah yang diceritakan muridnya
beberapa
tahun yang silam. Di mana belum
terjadi
musibah yang menyedihkan ini,
dan ketiga
paderi Gunung Wilis masih
komplit.
Kini ketiga paderi gunung Wilis
sudah hancur... cuma tinggal
seorang pun
sudah cacad, akibat perbuatan
penjahat-
penjahat keji yang merusak biara,
merusak
penghuninya, juga merusak nama
baiknya.
Roro Centil manggut-manggut me-
ngerti dan terdengar ia menghela napas
lega. Lega karena teka-teki
kata-kata
Gurunya telah terpecahkan.
"Pantas Guru telah pesan
wanti-
wanti padaku agar aku tak
membalaskan
dendam pada ke Tiga Paderi
Gunung Wilis,
yang telah mencelakainya dengan
pukulan
beracun. Ternyata pukulan beracun itu
adalah "Pukulan"
kata-kata, yang telah
mengena pada jiwanya dan telah
melukai
perasaannya". Menggumam
Roro dalam hati.
Dapat dimakluminya bahwa sang
Guru
sampai setua itu usianya masih
saja
tergila-gila pada si Dewa
Tengkorak. Dan
di saat orang yang dicintainya
itu tewas
di depan matanya, barulah reda
api asmara
yang menggebu-gebu dalam dadanya.
"Oh... Guruku yang
malang..." Desis
hatinya dengan haru.
Tiba-tiba Roro menatap wajah
paderi
Jayeng Rana dan berkata;
"Terima kasih
atas penuturan itu kakek paderi
Jayeng
Rana. Baru aku mengerti akan
arti makna
kata-kata Guruku...". Roro
berhenti
berkata sebentar untuk melirik
si paderi
Tonga. Dan lanjutnya
kata-katanya. "Soal
itu sudah kuanggap selesai,
tinggal kini
kita kembali kepada soal
peleburan kitab
Ular ini. Rasanya bisa
dilaksanakan
sekarang saja, tanpa harus
menunggu
kedatangan Gurnam Singh, yang
mungkin
akan terlambat datang... dapat
dimaklumi
karena dalam perjalanan yang
jauh
tidaklah mungkin terhindar dari
adanya
rintangan di tengah jalan.
Sehingga
membuat ia terlambat datang...
Dan bukan-
kah paderi Tonga hanya ingin
agar aku
dapat menyaksikan... ?"
Tampak paderi
Tonga manggut-manggut dengan
wajah
berseri.
Sedang paderi cacad di
sebelahnya
tak memberi reaksi apa-apa
selain
menundukkan kepala. Lain halnya
dengan
paderi Jayeng Rana, yang
mengelus-elus
jenggotnya sambil berkata;
"Omi tohud...!
Aku yang tua dan tak
berpengalaman hanya
menuruti saja apa yang dirasa
baik bagi
nona Pendekar. Walau anda
berusia muda
sungguh aku menghargai usul
itu...!"
"Terimakasih kakek paderi
Jayeng
Rana, namun..." Roro sudah
berkata lagi.
Dan setelah berhenti sebentar
untuk
menatap Kitab Ular, ia teruskan
kata-
katanya; "Alangkah baiknya
kalau aku
melihatnya terlebih dulu sebelum
dimusnahkan...!". Sayang
aku tak mengenal
huruf-huruf yang seperti cakar
ayam
itu... dan sayang kitab yang
berkulit
sebagus itu ternyata isinya
adalah amat
sesat...!" Kata Roro
lanjutkan ucapannya.
Paderi Jayeng Rana tak menjawab
melainkan menatap paderi Tonga
yang sudah
lantas mengangguk dan ucapnya;
"Aku yang
memiliki kitab itu, tentu saja
aku yang
memberi izin... Silahkanlah
periksa kitab
itu. Atau aku yang hina ini akan
sangat
berterimakasih kalau nona
Pendekar yang
memusnahkannya...!"
Kata-kata paderi Tonga terdengar
tandas dan amat terasa akan keikhlasan-
nya. Paderi Jayeng Rana
manggut-manggut
mendengarnya, dan terdengar
kata-katanya
yang lirih; "Omitohud....!
Sungguh
keikhlasan hati itu adalah
mutiara dalam
kehidupan manusia... ".
Setelah ucapan
kata-katanya paderi Jayeng Rana
segera
berikan Kitab Ular pada Pendekar
Wanita
Pantai Selatan.
Roro balik-balik dan buka
lembaran-
lembaran kitab yang tak tahu apa
isi dan
arti tulisannya. Selang sesaat
ia
berkata; "Hmm... baiklah
kalau aku yang
diberi izin untuk
memusnahkannya...".
Dan begitu selesai kata-katanya,
tiba-tiba kedua telapak
tangannya
bergerak meremas Kitab Ular,
yang sekejap
saja terdengar suara Krrrssssss!
Dan di lain kejap Kitab Ular itu
telah hancur jadi serpihan
kecil-kecil
yang meluruk jatuh dari
tangannya.
Terdengar paderi Tonga menghela
napas,
seperti merasa lega, dengan
lenyapnya
kitab sesat warisan dari Gurunya
si Setan
Arak.
Akan tetapi pada saat itu juga
terdengar suara bergedubrakan di
bagian
belakang gedung kuil. Semua yang
berada
di dalam ruangan jadi terkejut.
Roro Centil sudah sangkutkan
kembali buntalannya dan ikatkan
di
punggung. Segera berdiri pasang
indranya.
Diikuti paderi Jayeng Rana dan
paderi
Tonga. Cuma paderi cacad yang
kedua
matanya terbalut kain itu masih
tetap
duduk, walau ia kelihatan
gelisah karena
tak dapat mengetahui apa yang
terjadi.
Dalam keadaan mereka tengah
terkesima
itu, paderi Tonga mendahului
melompat ke
arah suara yang bergedubrakkan
di
belakang Gedung ...
Namun saat paderi Jayeng Rana
dan
Roro Centil segera akan bergerak
juga ke
sana, tiba-tiba terdengar satu ledakkan
keras di ruangan itu, hampir
bersamaan
dengan satu teriakan keras yang
memperingati, namun terlambat
sudah...
Ruangan biara itu telah ambrol
dengan
suara yang bergemuruh.
Puing-puing
beterbangan disertai runtuhnya
tembok dan
atap ruangan yang meluruk ambruk
ke
bawah...
Pada saat itu terlihat tubuh
seorang laki-laki di luar Biara
berdiri
dengan kedua lututnya, menatap
ke arah
ruangan depan biara yang baru
saja
hancur, dengan mata terbelalak
dan tubuh
gemetar mandi darah. Ternyata
dialah
Gurnam Singh adanya.
"Keparraaat! Jangan lari
kau iblis
keji..." Tiba-tiba
terdengar ia berteriak
keras ketika melihat sesosok
tubuh
berkelebat dari samping tembok
rerun-
tuhan. Dan tubuhnya dengan
sempoyongan
mengejar sosok tubuh itu.
"Perempuan iblis busuk...!
Pengecut
jahanam, berhenti kau...!"
Teriak Gurnam
Singh. Kira-kira sejauh dua
lemparan
tombak sosok tubuh berpakaian
serba hitam
itu tiba-tiba menghentikan
larinya.
Gurnam Singh sudah lantas enjot
tubuh dan
tiba di hadapannya...
Si wanita berpakaian serba hitam
itu ternyata adalah, wanita yang
beberapa
hari di belakang berada di Makam
Tua
bersama suaminya si bangsawan
yang
berpenyakit gagap itu. Ia telah
perdengarkan suara tertawanya
yang merdu.
Tatapan matanya yang genit
memandang pada
Gurnam Singh.
"Sudahlah... mengapa kau
masih juga
mengejarku...? Segalanya sudah
terlambat.
Mereka semua sudah pada
mampus... kukira
tak ada lagi persoalan. Kitab
Ular
musnah, berikut semua
orang-orang yang
berada di dalam gedung itu. Tapi
"Peta
Rahasia" Harta karun si
Setan Arak ada
bersamaku...! Hi hi hi... Aku
amat
memimpikan punya seorang suami
berkebang-
saan India, yang khabarnya... Hi
hi hi...
hi hi... " Wanita yang
boleh dikatakan
sudah hampir menjelang usia tua
itu tidak
meneruskan kata-katanya, karena
telah
tertawa geli mengikik sambil
menutupi
mulutnya.
Wajah Gurnam Singh bersemu
merah.
Tiba-tiba ia sudah berteriak
keras dan
menerjang dengan melancarkan
pukulan dan
tendangan-tendangan, menjejak
tubuh si
wanita baju hitam. Yang segera
bekele-
batan menghindari. Plak! Ia
menangkis
satu tendangan kilat yang
mengarah leher,
dengan sepasang lengannya.
Tampak tubuh
si wanita terhuyung dua tindak,
sementara
dengan berjumpalitan di udara
Gurnam
Singh kembali menjejakkan
kakinya ke
tanah.
Ia sudah bersiap akan
melancarkan
serangan lagi, tatkala si wanita
angkat
sebelah tangannya dan berkata
"Tunggu
dulu...! Harap kau berfikir dulu
baik-
baik. Untuk membunuhmu bagiku
adalah
tidak terlalu sukar. Tapi aku
sangat
menyayangkan nyawamu kalau mati
siang-
siang. Lebih baik kau bersatu
padu
denganku. Peta harta karun si
Setan Arak
ini kita selidiki
bersama"... Katanya
sambil mengeluarkan selembar
kulit yang
tipis dari balik bajunya. Dan
segera
lanjutkan ucapannya; "Terus
terang, aku
amat mendambakan pelukan dan
belaian
tanganmu, Gurnam Singh... Kita
akan
bahagia, kita akan kaya kelak
dengan
harta yang tak akan habis sampai
tujuh
turunan...!" Demikian
kata-kata rayuan
yang terdengarnya amat muluk
itu: Namun
dengan kata-kata yang serius
penuh
harapan agar Gurnam Singh
benar-benar
kepincut hatinya.
Namanya saja manusia... siapa
yang
tak inginkan harta? Kalau wanita
masih
bisa dicari dengan mudah tapi
kalau
harta... sungguhlah amat sulit
untuk
mencarinya. Tampak Gurham Singh
laki-laki
kekar dan tegap asal India itu
terdiam
sejenak. Walaupun boleh dikata iapun
sudah hampir memasuki usia tua,
namun
dari wajah dan perawakann
tubuhnya masih
boleh ditaksir oleh
wanita-wanita pencari
suami. Karena di samping tampan
wajahnya,
penampilannya pun tidak
mengecewakan.
Hidungnya yang mancung, dengan
jambang bauknya yang selalu
tercukur
bersih itu tampak menambah
ganteng wajah-
nya. Apa lagi melihat bulu-bulu
dada yang
tumbuh lebat yang terlihat dari
celah
bajunya yang terbuka... ck ck
ck... amat
menggairahkan bagi
perawan-perawan tua
yang genit yang sudah tujuh puluh kali
bulan purnama belum laku-laku...
Namun apakah jawaban Gurnam
Singh?
"Iblis perempuan Bejat!
Siapa sudi jadi
piaraanmu... ?! Aku tak inginkan
harta
karun apa pun. Yang aku inginkan
adalah
nyawa iblismu, jahanam! Kau telah
bunuh
semua orang-orang yang aku
hormati...!
Kuhancurkan kau...!!" Dan
ia sudah
kembali menerjang dengan
beringas.
Sambaran-sambaran kaki Gurnam
Singh
menyambar deras menghujani tubuh
si
wanita baju hitam yang agak
repot juga
menangkis dan mengelakkannya.
Tampak terlihat betapa geramnya
si
wanita telengas ini, terhadap
laki-laki
yang telah membuyarkan impian
dan hasrat
kewanitaannya.
Dari menangkis dan mengelak,
kini
telah berubah untuk balas
menyerang...
dengan bertubi-tubi. Hantaman
tangan kiri
dan kanan si wanita itu tak
dapat
dianggap main-main, karena
mengandung
tenaga dalam hebat.
Angin pukulannya membersit
mengarah
ulu hati dan kepala, disertai
suara
desisan dari mulutnya bagaikan
seekor
ular yang mau memagut
mangsanya... Plak!
Plak! Terdengar suara beradunya
tangan
dan kaki yang setiap beradu
selalu
kepulkan uap hitam. Terkejutlah
Gurnam
Singh... karena ia segera
menyadari
dirinya dalam bahaya. Ia lihat
telapak
tangan wanita itu telah berubah
jadi
hitam. Ketika sebuah pukulan
beruntun
dilancarkan ke arahnya,
segera menyambar
uap hitam. Terpaksa dengan
berteriak
tertahan dan gulingkan tubuh ia
selamatkan diri tanpa berani
menangkis.
"Heh! Segeralah kau
menyusul mereka
ke alam baka...!" Teriak
wanita itu, yang
segera memburu ke arah Gurnam
Singh.
Hssssss ... ! Hussssss !
Terdengar suara
mendesis ke arahnya. Tampak
kedua lengan
si wanita meluncur bagaikan ular
sendok
mengarah leher disertai
keluarnya uap
hitam yang keluar dari telapak
tangannya. Terkesiap Gurnam
Singh seke-
tika... Karena kedua kakinya
yang telah
beberapa kali beradu dengan
lengan wanita
itu telah keracunan dan
menggeletar tak
bisa digerakkan. Ia sudah nekat
untuk
menangkis serangan maut itu...
Akan tetapi pada saat itu juga
sebuah bayangan berkelebat,
dan... Plakk!
terdengar satu jeritan panjang
dari mulut
wanita itu. Tubuhnya terlempar
beberapa
tombak dan jatuh ke tanah dengan
suara
berdebuk.
Sementara sesosok bayangan telah
memburu berkelebat ke arah
wanita itu,
dan sekejap kemudian sudah
jejakkan kaki
di hadapan wanita itu lagi.
Tampak si wanita baju hitam
berusaha bangkit,... namun
ketika baru
saja ia angkat kepalanya, sudah
terdengar
suara.... "Bangunlah
isteriku yang
setia!". Terkesiap seketika
hati si
wanita itu mendengar suara dan
melihat
orangnya... Ternyata di
hadapannya telah
berdiri seorang laki-laki muda
berpakaian
mewah.
Siapa lagi kalau bukan si
laki-laki
bangsawan yang punya penyakit
gagap itu,
alias suaminya sendiri. Entah
bagaimana
asalnya sampai sang suami telah
dapat
menyusulnya sampai ke gunung
Wilis.
Terbeliak mata si wanita yang
kelopak matanya penuh dengan
pulasan
berwarna biru tua itu. Dan
terjungkit
alisnya yang hitam legam karena
ditambahi
dengan langes pantat dandang...
"Hah...!?
Kau... kau..." Teriak
wanita itu seperti
tak percaya pada
penglihatannya.
Tiba-tiba si pemuda bangsawan
yang
punya penyakit gagap itu jadi
tertawa
terbahak-bahak... "Ha ha ha
ha... ha
ha... ha ha ha... ".
Baru saja ia berhenti tertawa,
eh
nambah lagi; "Ha ha ha...
ha ha ha...
nana... ha ha". Dan
"Ha ha ha... nana...
nana... ha ha ha... "
Tentu saja membuat si wanita
terheran-heran. Bahkan seribu
heran
berada di benaknya...
"Apakah yang
terjadi?" Menggumam si
wanita istri si
laki-laki bangsawan itu. Baru
saja ia mau
bangkit berdiri sebuah bayangan
hijau
tiba-tiba berkelebat di
hadapannya. Tahu-
tahu telah berdiri sesosok tubuh
yang
padat gempal dan berpinggang
langsing,
dengan buntalan kecil yang
menggemblok di
punggungnya. Siapa lagi kalau
bukan Roro
Centil adanya...
Sekali gerakkan tangan pada
tubuh
laki-laki itu, segera saja suara
terta-
wanya berhenti. Dan tubuhnya
jatuh
menggelosor ke tanah.
Ternyata urat ketawanya telah
ditotok orang, hingga si
laki-laki itu
tertawa tak henti-hentinya.
Kalau dibiar-
kan terus bisa putus
nyawanya.
Saat itu si wanita baju hitam
telah
bangkit berdiri. Dan sekali
enjot tubuh
ia sudah bergerak untuk
melarikan diri.
Namun pada saat itu Roro sudah
berkelebat menghadang. "Mau
kabur ke mana
kau siluman licik...!"
Teriak Roro.
Betapa gemasnya ia pada
perempuan ini.
Kalau saja ia tak cepat
menyelamatkan
diri, tentu tubuhnya telah
hancur lumat
oleh ledakan dahsyat yang
meruntuhkan
ruangan biara tadi.
Kiranya sebelum mendengar suara
bergedubrakkan di belakang
gedung kuil,
Roro sudah waspada sejak
jauh-jauh karena
indranya yang peka dapat
menangkap adanya
suara ledakan yang jauh di bawah
lereng.
Selang beberapa saat terdengar lebih
jelas suara orang berlari saling
kejar.
Dan ketika terjadi suara
bergedubrakan di
belakang gudang, ia semakin waspada...
Pada saat itulah ia lihat Tonga
beranjak
cepat untuk melihat ke belakang.
Sekelebat ia lihat sekilas
adanya
bayangan yang berkelebat ke
sebelah kanan
tembok, yang terlihat
bayangannya dari
atas langit-langit ruangan.
Tiba-tiba
dari lobang angin yang terdapat
di sisi
tembok itu telah meluncur sebuah
benda
yang mendesis mengeluarkan asap.
Terkesiap Roro melihat benda yang
jatuh menggelinding tepat di
sebelah
paderi cacad itu, yang
mengeluarkan asap
makin banyak. Sekelebat hatinya
menduga
itu adalah asap racun. Tak
sempat ia
berfikir lagi, bahkan untuk
mengingat
paderi cacad itu pun tak
sempat... Hanya
saja sekilas ia ingat akan bunyi
ledakan
dikejauhan tadi yang didengarnya
lapat-
lapat.
Nalurinya mengatakan akan
terjadi
bahaya... Dan bersamaan dengan
terjadinya
ledakan itu, ia telah melompat
cepat dari
ruangan itu sambil lengannya
menyambar
jubah paderi Jayeng Rana... Dan
jatuh kan
diri bergulingan sambil peluk
tubuh
paderi Jayeng Rana, hingga
sampai ke
kolong meja di ruangan dapur.
Hebat akibat ledakan itu.
Separuh
gedung biara itu telah hancur...
Ambruk.
Sedangkan ruangan depan biara
sudah tak
berbentuk lagi, karena tertutup
oleh
reruntuhan puing-puing.... Dapat
diba-
yangkan bagaimana nasib si
paderi cacad
itu yang masih berada di ruangan
depan
itu...?.
Selang sesaat... Roro lihat
bayangan tubuh orang dari arah
ruangan
belakang yang terhalang oleh
selarik
tembok memanjang. Segera ia beri
isyarat
pada paderi Jayeng Rana agar
jangan
bergerak.
Bersyukur Roro karena tempat
mereka
menyelamatkan diri, terlindung
di bawah
meja hingga tidaklah nampak oleh
sosok
tubuh itu. Yang ternyata adalah
paderi
Tonga. Kecurigaan Roro pada
orang ini
makin besar, karena dengan
langkah tenang
seperti tak pernah terjadi
apa-apa ia
melangkah terus melewati ruangan
dapur.
Dan di tengah ruangan yang sudah
hancur
itu, ia berhenti menatap
reruntuhan
tembok yang telah menguruk
ruangan biara
bagian depan... yang tampak
masih
mengepulkan debu. Terdengar
suara mende-
sis dari mulutnya; "Heh!
Mampuslah kalian
semuanya! Pekerjaan si Ular
Beracun
berhasil dengan baik namun
hampir saja
nyawaku ikut melayang... He he
he... he
he... "
Belum habis suara tertawanya,
tahu-
tahu tubuh si paderi Tonga sudah
terjungkal roboh, dengan
keluarkan
teriakan parau yang cuma sesaat
saja
dibarengi dengan muncratnya
darah segar
merah putih.
Ternyata kepalanya telah hancur
bonyok, hingga sampai otaknya
berhamburan
keluar. Kiranya saking kesalnya
pada si
jongos licik itu, Roro Centil
telah
rasakan kepalanya berdenyutan...
entah
mengapa tiba-tiba di luar
kesadarannya ia
telah berkelebat cepat dari
kolong
meja... Dan sekali lengannya
bergerak, ia
telah hantam batok kepala orang
dengan
telapak tangannya sepenuh
tenaga.
Tamatlah riwayat manusia licik
yang
pandai berpura-pura itu.
Segera Roro lap tangannya,
bersih-
kan darah di jubah Tonga yang
matinya
menelungkup itu. Rasa penasaran
membuat
ia merogohi jubah dalam si
paderi bohong
itu setelah balikkan mayatnya.
Ternyata
telah ditemukan
lembaran-lembaran kulit
tipis, yang bertuliskan tak
terbaca oleh
Roro. Saat itu paderi Jayeng
Rana telah
menghampiri di belakangnya.
Cepat Roro
berdiri dan pandang wajah paderi
itu
seraya berkata; "Coba kakek
paderi
periksa, apakah ini bukan
lembaran-
lembaran isi Kitab Ular?"
Paderi Jayeng Rana raih
lembaran-
lembaran kulit tipis itu dari
tangan Roro
sesaat antaranya ia berucap
dengan wajah
menampilkan kemarahan...
"Omi tohud...!
Benar!... Heh!? Orang ini
sungguh
licik...! Ia telah mengelabui
kita dengan
menukar isi kitab itu terlebih
dulu,
sedangkan isinya telah ia copot
dan
selipkan pada jubahnya.
Pembunuhan ini
telah ia rencanakan terlebih
dulu dengan
orang yang berjulukan si Ular
Beracun
itu...! Omiitohud...! Sungguh
hati
manusia sukar diduga...!".
Bukan main geramnya hati Roro.
Ia
raih kembali lembaran-lembaran
kitab ular
ciptaan si Setan Arak itu, dan
remas
hancur sampai jadi bubuk.
Kemudian dengan sekali
berkelebat
ia telah keluar dari ruangan
itu.
Akan halnya paderi Jayeng Rana
pada
saat itu juga teringat akan
seorang sisa
muridnya, yang tadi tak sempat
menyelamatkan diri... Seketika
wajahnya
berubah pucat. Serta merta ia
sudah
memburu ke arah tumpukan
puing-puing
reruntuhan itu, dan
membongkarnya...
Namun ia hanya dapatkan keadaan
tubuh
sang murid yang telah hancur luluh...
"Omiitohud...! Segera ia
angkatkan kedua
lengannya, dan panjatkan do'a
untuk
arwahnya pada Tuhan.
Sementara dua tetes air bening
mengalir turun membasahi kedua
pipinya
yang telah keriput dimakan
usia...
Begitulah di saat ia keluar dari
sisa reruntuhan biara itu...
dikejauhan
ia telah dengar suara orang
bertempur.
Kembali ia berkelebat ke sana...
Sebentar
saja telah melihat seorang
wanita berbaju
hitam tengah melancarkan
pukulannya, pada
seorang laki-laki yang segera
dapat
mengetahui yaitu Gurnam Singh.
Baru saja ia mau gerakkan
tubuh...
sekonyong-konyong telah
berkelebat
sesosok tubuh yang memapaki
serangan itu,
hingga ia batalkan niatnya.
Dari ucapan si laki-laki
berpakaian
mewah itu, segeralah ia tahu
kalau kedua
orang itu suami istri. Ia lihat
keadaan
Gurnam Singh yang tampak
parah... Segera
ia berikan pertolongan. Yang
ternyata
kedua kakinya telah keracunan...
Terkejut
Roro... dalam keadaan bingung
karena tak
tahu cara mengobati orang, tanpa
pikir
panjang ia telah robek celana
orang
hingga sampai sebatas paha.
Segera ia
lihat kakinya yang matang biru
kehitam-
hitaman.
Roro memang belum banyak penga-
laman, namun otaknya cerdik.
Memikir
orang keracunan ia berpendapat
harus
mengeluarkan darah orang yang terkenal
racun itu.
Tiba-tiba saja tanpa pikir
panjang
ia telah gigit kedua jempol kaki
Gurnam
Singh yang tampaknya sudah tak
dapat
rasakan rasa nyeri lagi.
Begitu darah mengucur ia segera
pencet kaki orang dan urut ke
bawah
dengan salurkan hawa dingin
melalui
telapak tangannya. Segera saja
darah
membeku... karena kemudian yang
terlihat
keluar melalui luka yang
digigitnya itu
adalah darah kental yang
kehitam-hitaman.
Melihat usahanya berhasil,
segera
ia lakukan seperti tadi pada
kaki Gurnam
Singh yang sebelah lagi. Maka
selesailah
pertolongan pertama itu. Racun
tidak akan
terus mengalir naik, karena
sudah membeku
di kaki. Kalau tak dikeluarkan
paling-
paling cuma kakinya yang busuk.
Namun
jiwa orang sudah dapat tertolong.
Baru saja Roro menarik napas lega
sudah terdengar suara tertawa
yang tak
henti-hentinya itu, ternyata si
laki-laki
berpakaian mewah itulah yang
tertawa tak
putus-putus... Segera Roro
mengetahui
orang telah menotok urat
ketawanya. Namun
di situ cuma ada dua orang suami
istri
itu. Siapakah orang ketiga...!
memikir
Roro. Tak banyak ayal lagi ia
telah
berkelebat membebaskan totokan
pada tubuh
laki-laki bangsawan itu...
Demikianlah...
di saat si wanita berbaju serba
hitam itu
mau melarikan diri, Roro Centil
sudah
menghadangnya. "Kaulah
pasti yang
berjulukan si Ular Beracun...!
Hmm,
jangan harap kau dapat lolos
setelah kau
gunakan kekejianmu untuk
membinasakan
kami di biara...!"
Si Ular Beracun tatap wajah
orang
dengan wajah pucat... tiba-tiba
ia telah
keluarkan selembar kulit tipis
dari balik
bajunya... sambil mundur dua
tindak ia
berkata dengan tergagap,
"Ja... janganlah
kau bunuh aku no... nona
Pendekar.
Biarlah kuberikan peta harta
karun ini
padamu...! Namun berjanjilah kau
akan
mengampuni
nyawaku...".
Terkejut juga Roro Centil. Peta
harta karun siapakah? pikir
Roro. Namun
dengan suara keren ia sudah
membentak
dengan sinis. "Heh! Kau mau
tukar nyawamu
dengan harta karun orang lain...
? Bagus
sekali...!".
"Tidak! Harga Karun itu
adalah
milik paman angkatku sendiri, si
Setan
Arak. Aku... aku terpaksa
melakukan
perbuatan jahat itu karena...
karena
suruhan orang. Percayalah nona
Pendekar...!" Kembali
dengan terbata-bata
si Ular Beracun berkata menjelaskan.
"Hmmm..." Roro
kerutkan alisnya.
"Benarkah
demikian...?" Bertanya Roro.
"Percayalah nona
Pendekar... aku berani
bersumpah! Aku tidak
berdusta...!"
Menyahuti si Ular Beracun dengan
wajah
kusut seperti mau menangis.
"Darimana kau dapatkan peta
itu dan
siapa yang telah menyuruhmu
untuk
membunuhku bersama paderi-paderi
kuil
Welas Asih...! " Tanya lagi Roro dengan
serius. "Peta ini ada di
dalam Kitab
Ular... Aku telah menyobeknya
lebih dulu,
karena khawatir dikuasai murid
paman
angkatku, yaitu yang
bernama..."
"Lalu siapakah yang telah
menyuruhmu melakukan perbuatan
keji
itu...?" Bertanya lagi Roro
dengan tidak
sabar. Sementara otak Roro yang
cerdas
sudah memikir akan adanya satu
kejanggalan.
Tampak si Ular Beracun tidak
cepat
cepat menyahuti... tiba-tiba ia
berkata
dengan cepat; "Itulah
orangnya yang
berada di belakang nona
Pendekar...!"
Roro cepat balikkan tubuh untuk
melihat
ke belakang... Namun pada saat
itu dengan
cepat si Ular Beracun telah meroboh
"sesuatu" dari balik
bajunya, dan dengan
cepat menggigit tali yang
tergantung pada
benda itu.
Detik berikutnya ia telah
lemparkan
benda itu ke arah Roro Centil
sambil
gulingkan tubuh menjauh...
Terdengarlah
suara berdentum keras... Tanah
dan batu-
batu berhamburan bercampur
serpihan tubuh
manusia yang hancur lumat
menjadi
serpihan-serpihan yang
menyemburat ke
udara...
Pada saat itu juga terdengar
suara
teriakan paderi Jayeng Rana yang
memburu
ke arah di mana terjadi ledakan
dahsyat
itu, dan berucap;
"Omiitohud...!". Dan
dari arah lain juga berkelebat
sesosok
tubuh yang keluar dari tempat
persembunyiannya, dan berdiri
terpaku
memandang ke tempat ledakan
dahsyat itu.
Debu mengepul membumbung ke udara,
sementara di dekat lubang yang
hitam
bekas terjadinya ledakan tampak
serpihan-
serpihan serta potongan tubuh
manusia
yang telah hancur, berserakan...
bercam-
pur dengan cairan-cairan darah
yang sudah
menghitam.
Paderi Jayeng Rana terpaku
memandang apa yang terlihat di
depan
matanya.
Pandangan matanya adalah
pandangan
yang hampa.
Sementara Gurhan Singh yang
berada
tidak jauh dari ledakan itu
tampak
perlahan-lahan bangkit dengan
terhuyung-
huyung mendekati paderi Jayeng
Rana yang
segera memburunya untuk
memeluknya.
Tampak paderi yang telah berusia
lanjut
itu linangkan air mata seraya
berucap;
"Gurnam... kau selamat...?
Omiitohud...
Syukurlah." Dan pandangan
paderi tua itu
kembali pada bekas ledakan yang
asap
hitamnya mulai menipis, diikuti
oleh
Gurhan Singh yang melihat semua
yang
terlihat di hadapannya itu,
terasa bagi
bayangan fatamorgana yang
menghunjam ke
ulu hatinya.
Mengapa ini harus terjadi...?
Mengapa... Mengapa?!... Pekik
hatinya.
Tiba-tiba laki-laki setia yang
perkasa inipun titikkan air
mata.
Sekonyong-konyong hatinya
menjerit;
"T i d a a a a a a a a a
k...!".
Entah mengapa ia merasakan
adanya
satu ketidakadilan yang terasa
menghimpit
dada... ia merasa takdir itu
bukanlah
suatu keharusan... Haruslah...?! Tapi
akhirnya ia sadar. Inilah
kehidupan.
Inilah alam Fana...!
Wajahnya pun tertunduk...
Hatinya
kembali cair. Dan gemuruh yang
membludak
dalam dadanya pun sirna. Batin
bersihnya
pun membisik... "Tuhan
berkuasa atas
segalanya...!".
Senyap yang mencekam itu
berlangsung beberapa saat......
ketika
tiba-tiba satu suara merdu
menyibak
kesenyapan yang mencekam.
"Kakek paderi,
paman Gurnam Singh... janganlah
kalian
khawatirkan diriku. Aku tak
apa-apa...!".
Terkejut bukan main kedua orang
ini
ketika melihat si Pendekar
Wanita Pantai
Selatan dengan tersenyum-senyum
keluar
dari balik sebongkah batu besar,
dan
dengan berjalan santai mendekati
keduanya.
Yang bagaikan melihat seorang
Dewi
yang baru turun dari langit,
menatap tak
berkedip dengan mulut ternganga
kehe-
ranan.
Bahkan sesosok tubuh yang tadi
keluar dari balik semak itu pun
tengah
menatap padanya. Siapakah
gerangan
dia...?
Gerakan sosok tubuh yang
mendekati
ke arah mereka bertiga itu
membuat
ketiganya berpaling... Kalau
tadi yang
terkejut adalah paderi Jayeng
Rana dan
Gurnam Singh ketika melihat
kemunculan
Roro Centil, tapi kini Roro
Centil lah
yang terkejut melihat kemunculan
sosok
tubuh itu, yang tak lain adalah
si laki-
laki berpakaian mewah yang
berpenyakit
gagap itu.
Tentu saja Roro tak mengetahui
akan
penyakitnya. Yang ia ketahui
adalah laki-
laki itu suami si Ular Beracun
yang telah
tewas termakan oleh senjatanya
sendiri...
Kiranya sewaktu Roro Centil
menengok ke belakang untuk
melihat siapa
orang yang di belakangnya ... Ia telah
waspada akan gerak-gerik si Ular
beracun
yang kata-kata dan penjelasannya
jelas
ngawur. Namun ia pura-pura tak
begitu
memperhatikan.
Begitulah... ketika si Ular
Beracun
melempar granat tangannya ia
sudah
waspada. Ketika terasa sesuatu
bergerak
melayang ke arahnya, dengan gerakkan
lengan ke belakang ia sudah
menghantam
balik benda itu dengan angin
pukulannya.
Dan tentu saja sebelum si Ular
beracun sempat jauh bergulingan
untuk
menghindari ledakan, benda itu
telah
lebih dahulu mengenai
tubuhnya... dan
meledak.
Sedang Roro Centil begitu habis
menghantam balik benda pembawa
maut itu
telah berkelebat cepat ke balik
sebuah
batu besar.
Karena begitu cepatnya...
sampai-
sampai paderi Jayeng Rana yang
melihat
dari kejauhan, juga Gurnam
Singh, tak
dapat melihat gerakan tubuhnya.
Karena
bersamaan dengan terjadinya
ledakan
dahsyat itu.
Adapun si laki-laki bangsawan
itu
ternyata hanya berpura-pura saja
tertawa
sampai terpingkal-pingkal, yang
disangka
Roro adalah terkena totokan
orang.
Padahal dengan tertawa
sedemikian gelinya
itu adalah untuk menyalurkan tenaga
dalam, untuk mencegah
menjalarnya racun
pada kedua tangannya,
Akibat benturan keras dengan
lengan
si Ular Beracun yang di papaknya
di saat
menyelamatkan nyawa Gurnam
Singh.
Adapun di saat terjadi ledakan
dahsyat itu, tentu saja
sebelumnya ia
sudah mengetahui karena membaui
asap
mesiu... Segera ia berkelebat ke
semak-
semak bersamaan dengan
berkelebatnya
tubuh Roro ke balik batu. Hingga
keduanya
sama-sama tak melihat gerakan
orang
karena tengah berupaya
menyelamatkan
nyawa masing-masing pada detik
yang
kritis itu...
Penjelasan dari si laki-laki
bangsawan itu diungkapkan dalam
perja-
lanan meninggalkan lereng gunung
Wilis.
Tampak keduanya dengan
mempergunakan ilmu
lari cepat, bercakap-cakap
sepanjang
jalan yang dilaluinya.
Tentu saja yang bertindak
sebagai
penunjuk jalan adalah si
laki-laki
bangsawan itu, karena entah
mengapa Roro
agak simpati pada laki-laki yang
masih
boleh disebut pemuda itu, karena
usianya
baru sekitar dua puluh limaan
tahun.
Dibanding dengan Roro Centil
hanya
berbeda atau berselisih sekitar
tujuh-
delapan tahun saja...
Roro yang memang ingin menambah
pengalamannya, makanya ketika si
laki-
laki itu mengajaknya pergi ke
suatu
tempat, ia tak menolaknya.
Ternyata laki-laki bangsawan itu
bernama Joko Sangit. Sebuah
nama yang
aneh... Pikir Roro. Karena nama
itu kalau
diterjemahkan berarti Pemuda
Bau.
Joko adalah jejaka atau pemuda;
sedang sangit artinya gosong
atau hangus.
Jadi namanya mengartikan;
seorang pemuda
atau jejaka yang sudah hangus.
Roro
adalah Roro yang selama ia masih
penasaran, ia tak akan berhenti
menye-
lidiki. Tentu saja ia ingin
mengetahui
riwayat dan asal-usul si Joko
Sangit,
yang telah menempur istrinya
sendiri
yaitu si Ular Beracun, dengan
menyelamatkan nyawa Gurnam
Singh, si
pembantu paderi Jayeng Rana yang
setia
itu.
Bahkan kematian istrinya yang
tragis itu membuat ia senang
setengah
mati. Melihat orang mempunyai
ilmu aneh,
yaitu mengusir racun dengan
suara tertawa
agar racun tak menjalar ke
tempat yang
berbahaya Roro memikir untuk
mengenalnya
lebih dekat. Juga untuk menambah
pengala-
mannya di dunia persilatan.
Keanehan-
keanehan telah banyak ia alami
dengan
mengenal gurunya yang juga aneh
luar
biasa. Lalu tokoh hitam si Dewa
Tengkorak, yang wataknya pun
aneh. Kini
ia dapat berkenalan dengan
seorang yang
menamakan dirinya Joko Sangit,
yang
menurut pengamatannya juga
seorang yang
mempunyai keanehan...
"Ilmu lari cepatmu hebat
juga...
Til!" Bertanya Joko Sangit
sambil
mengimbangi kecepatan lari Roro
Centil.
"Hus!? Panggil namaku Roro
saja...!
Aku tak biasa dipanggil orang
dengan
sebutan demikian..."
Berkata Roro dengan
kerutkan alisnya.
"Oh, begitu...... Kalau aku
sih
sebenarnya cari panggilan yang
gampang
saja... Kalau kau senang
dipanggil
Roro, baiklah aku akan memanggilmu Roro
...
"Masih jauhkah perjalanan
kita...?"
Bertanya Roro, menyambung
pembicaraan
Joko Sangit. "Rasanya
tidak...!" Menyahut
Joko Sangit.
"Apakah sekarang ini kita
sedang
menuju ke Tuban?" Tanya
Roro lagi.
"Oh, tidak... aku belum
ingin
kembali ke sana. Nantilah, pasti
kau akan
kuajak ke Tuban setelah selesai
urusanku
..." Sahut Joko Sangit
berikan
penjelasan. Selesai berkata,
Joko sangit
tambah kecepatan larinya. Tentu
saja Roro
segera berkelebat menyusul. Dan
bayangan
tubuh kedua orang muda-mudi itu
melesat
cepat bagai anak-anak lepas dari
busurnya.
Hingga dalam waktu setengah
hari,
sejak keberangkatannya pada pagi
hari
dari biara Welas Asih di lereng
Gunung
Wilis; keduanya telah tiba di
dataran
yang berbukit-bukit...
Beberapa saat kemudian Joko
Sangit
menghentikan larinya seraya
berteriak;
"Stop! Kita berhenti di
sini...!". Segera
Roro pun menghentikan larinya.
Setelah teliti daerah
sekitarnya,
tampak Joko Singit mengeluarkan
sebuah
benda dari balik bajunya. Yang
ternyata
adalah selembar kulit tipis.
Tersentak hati Roro, ketika
melihat
benda yang tengah diteliti oleh Joko
Sangit adalah selembar peta,
yang mirip
dengan peta si Ular Beracun.
Yaitu peta
harta karun milik si Setan Arak.
Roro tak banyak bertanya, cuma
berfikir akan satu keanehan.
Bukankah
peta di tangan si Ular Beracun
itu telah
turut hancur berikut tubuh
wanita itu...?
Pikirnya.
"Inilah pegunungan
Kendeng...!"
Berkata Joko Sangit. Dan
lanjutnya;
"Kalau aku yang lebih dulu
menemukan
harta Karun si Setan Arak itu,
sudah
pasti kaupun akan kebagian,
Roro... Ha ha
ha. "Mari ikuti aku!"
Lanjutnya lagi.
Agaknya ia telah dapat
mengetahui
tanda-tanda pada peta itu.
Berkelebat tubuh Joko Sangit
diikuti Roro yang bagaikan
bayangannya
mengintil terus di belakang Joko
Sangit.
Setelah mendaki, menurun,
membelok
ke kanan dan ke kiri serta
seterusnya...
Tiba-tiba Joko Sangit angkat
lengannya
untuk berhenti.
Di bawah sana tampak ada satu
dataran yang curam... di bawah
lereng-
lereng batu bukit yang terjal.
Untuk
menuruni bukit terjal itu kalau
tidak
orang yang berkepandaian cukup
tinggi,
akanlah kesulitan untuk mencapai
ke
bawah.
Mengerti Joko Sangit akan
menuruni
lembah yang curam itu, Roro
Centil sudah
berkata; "Kita bersusah
payah turun ke
bawah, apakah sudah dipastikan
harta itu
masih ada...? Karena kulihat
peta itu
bukan hanya berada di tanganmu
saja, tapi
istrimu si Ular Beracun itu pun
memilikinya. Namun tentu saja
sudah
hancur lumat!" Joko Sangit
hanya
mendengus. "Perduli...!
Apakah peta harta
itu ada seratus pun aku tetap
akan
menyelidiki...!" Berkata ia
dengan ketus.
Mengingat ia tak mungkin
membatalkan niat
karena sebentar lagi mereka
dapat lihat
buktinya, siapa yang lebih cepat
dialah
yang dapat. Begitu pendapat Joko
Sangit.
Dan segera ia bergerak untuk
menuruni lereng terjal yang
curam itu.
Sedikit tergelincir, akan
tamatlah
riwayatnya sebagai manusia,
karena di
bawah sana menunggu batu-batu
lancip yang
bisa menembus tubuh mereka ...
Namun bagi kedua orang muda yang
berkepandaian tinggi itu tidak
berarti
apa-apa. Karena dalam beberapa
saat saja
keduanya telah tiba dengan
selamat sampai
di bawah sana ...
Namun alangkah terkejutnya Roro
Centil maupun Joko Sangit
mengetahui di
bawah dataran yang diinjaknya,
di sekitar
tempat itu banyak bergelimpangan
mayat-
mayat.... Apakah yang telah
terjadi...?
Berfikir Roro.
Ia segera bertindak lebih ke
dalam.
Di mana di sebelah dalam ada
terdapat
goa.
Di sini bangkai-bangkai manusia
bercampur dengan bangkai
srigala. Yang
terlihat berpuluh-puluh
banyaknya.
Dalam keadaan terpukau itu tiba-
tiba berkelebat sesosok tubuh.
Yang
membuatnya terkejut tentu saja
karena
sosok tubuh itu tak lain dari
paderi
Jayeng Rana.
Melengak seketika Roro maupun
Joko
Sangit. Akhirnya sadarlah Joko
Sangit,
bahwa paderi Jayeng Rana
ternyata berilmu
tinggi. Begitupun Roro Centil.
Karena
iapun seperti tak menduga kalau
ternyata
paderi Jayeng Rana lebih maklum
akan
kelicikan orang yang menjadi
tamunya.
Rahasia Tonga telah diketahui
sang
paderi Jayeng Rana dari Gurnam
Singh.
Bahkan peta rahasia itu adalah
akal
licik yang sudah dipersiapkannya
untuk
membunuh para jago-jago
Persilatan dengan
menjerumuskannya ke dalam lembah
yang
akan membuat mereka tak dapat
kembali
pulang dengan masih bernyawa.
Sekejap ketiganya saling berpan-
dang-pandangan... Dan tiba-tiba
Roro
Centil berteriak sambil menyebut
Guru
pada kakek tua paderi Jayeng
Rana ... Dan
serta merta menjatuhkan diri berlutut
di
hadapannya. "Kakek paderi
Jayeng Rana...
Terimalah aku sebagai
murid...!".
Paderi Jayeng Rana tersenyum
sendu
... sambil mengelus-elus
jenggotnya yang
panjang, seraya berkata;
"Omiitohud...!
Siapa yang dapat menolak
keberuntungan
untuk dapat memariskan ilmunya
pada
seorang pendekar wanita yang
berbudi dan
cantik di depan mata... ?"
Dan paderi Jayeng Rana segera
bimbing lengan kedua orang muda
itu untuk
dibawa melesat ke atas bukit,
keluar dari
lembah maut yang cuma menjadi kuburan
bagi orang yang rakus dan tamak
akan
harta duniawi... Betapapun harta
dan
benda tidaklah dapat membuat
orang
berbahagia, selama manusia belum
terlepas
dari hawa nafsu. Hanya
orang-orang yang
berhasil mengendalikan hawa
nafsunya
sajalah yang akan merasakan
kebahagiaan
dalam keadaan bagaimanapun
juga...
T A M A T
Emoticon