pemuda ke Pesanggrahannya si
wanita baju hijau itu.
Sedang wanita itu sendiri telah
berkelebat lenyap dari
tempat itu.
Sementara itu kita lihat satu
kejadian di Kota
Raja... Tampak pagi itu puluhan
manusia berkerumun
di sudut pinggiran kota.
Kesemuanya memandang ke
atas sebuah dahan pohon dengan
pandangan ngeri.
Apakah gerangan yang terjadi?
Kiranya tiga sosok tu-
buh wanita telah tergantung di
sana dengan keadaan
telanjang bulat. Lidah terjulur
dan sepasang mata
membeliak mengerikan. Tak ada
seorang pun dari ke-
rumunan wanita dan laki-laki
yang bergerak turun
tangan untuk menurunkan ketiga
mayat wanita yang
tergantung itu.
Sementara kira-kira tiga puluh
kaki dari tempat
kejadian terhalang sebuah sungai
yang membelah le-
reng perbukitan, dibatasi oleh
deretan pohon-pohon
kelapa, tampak sebuah kedai
sederhana berlantai pa-
pan tengah dikunjungi beberapa orang tetamunya.
Ternyata sebuah kedai tuak
(arak). Beberapa orang la-
ki-laki dan tiga orang gadis
berada di tempat itu. Hari
itu adalah hari kesepuluh, sejak
diadakan pengangka-
tan Permaisuri NAWANGSIH, yang
tadinya selir bagin-
da Raja Prabu Gurawangsa. Rakyat
sekitar Kota Raja
memang masih dalam keadaan
pesta. Akan tetapi di
luar Kerajaan, ternyata banyak
terjadi kericuhan.
Hingga diam-diam Raja
memerintahkan Senapati SA-
TRYO menjaga keamanan. Ternyata
diam-diam Ki Pa-
tih BUNTARAN telah pula
mengerahkan beberapa
orang kaum Rimba Hijau untuk
berjaga di setiap tem-
pat. Siang itu panas amat
teriknya. Namun kedai Tuak
di seberang sungai itu tampak
ramai di kunjungi bebe-
rapa orang, yang ternyata adalah
orang-orang Kaum
Rimba Hijau.
"Hahahehe...hehe...
Pelayan! Tambah lagi tuak-
nya! Aku sanggup menghabiskan
sepuluh kendi lagi...!
Berkata seorang laki-laki brewok
bertampang gagah.
Dadanya yang bidang dan berbulu
itu dibiarkan terbu-
ka., Bajunya berlengan buntung
sebatas bahu. Terbuat
dari bahan kulit binatang.
Berambut gondrong tak te-
rurus. Sedang ikat pinggangnya
terbuat dari kulit ha-
rimau, dengan celana pangsi
warna hitam. Semua
orang yang berada di tempat itu
telah mengenal siapa
adanya laki-laki gagah itu. Dialah
si JOKO SANGIT
adanya. Yaitu murid si Pendekar
Gentayangan Ki Ja-
gur Wedra. Tiga wanita di dalam
kedai adalah tiga dara
baju merah yang berwajah cantik
dan genit. Dua orang
ada dalam pelukan seorang
laki-laki gendut bermata
sipit. Dialah yang bernama Raden
Mas CUCAK IJO.
"Hehehe...hehe...Pelayan!
Berikan pesanannya
Semua ini tanggungjawab
ku!" Berkata laki-laki beru-
sia 40 tahun ini, sambil sebelah
lengannya meremas
dua bukit daging di dada si
wanita baju merah.
"Hihihi... Laki-laki muda
itu apa sanggup
txt oleh
http://www.mardias.mywapblog.com
menghabiskannya, Gusti
Raden!?" tanya si wanita di
sebelahnya, yang lengannya tak
mau diam memijit-
mijit bahu Raden Mas Cucak Ijo
itu. Sementara ping-
gangnya dalam pelukan lengan
laki-laki gendut itu.
Akan tetapi matanya menatap pada
gadis baju merah
di sebelah kiri laki-laki
gendut, yang tengah mengge-
liat-geliat manja menyumpalkan
kepalanya di dada
Raden Mas Cucak Ijo. Kalau dalam
keadaan siang be-
gini dan di tengah orang ramai,
Raden Mas Cucak Ijo
berani berbuat demikian,
tentulah dia seorang yang
berpengaruh. Tampaknya dia
memang tengah menja-
mu laki-laki bernama JOKO SANGIT
itu.
Hehe... pergilah kau bantu
membawakan 10
kendi tuak kepadanya!"
Berkata Cucak Ijo pada wanita
yang bertanya tadi, seraya
mendorong tubuhnya. Den-
gan melenggang genit, wanita itu
"ngeloyor" ke arah
ruang tempat penyimpanan Tuak.
Memang sudah dilihatnya si
pelayan itu tengah
sibuk membawa 10 kendi tuak.
Segera dia membantu
membawa beberapa kendi. Dan tak
lama di hadapan
Joko Sangit telah berjajar lagi
10 kendi tuak. Sedang
beberapa botol kosong di
hadapannya segera diangkat
untuk disingkirkan.
"Hahaha...haha bagus!
bagus! Terima kasih so-
bat Cucak Ijo!" Ayoh, siapa
yang mau bertanding den-
ganku, menghabiskan 10 kendi
tuak ini! Biarlah lima
kendi untukku, dan lima kendi
untuk lawanku!" teriak
Joko Sangit.
Empat orang laki-laki berkulit
putih dengan
empat pedang di belakang
punggung, tampak saling
pandang. Mereka adalah Empat
Hantu Gunung Ci-
reme. Akan tetapi tampaknya
mereka tak berniat un-
tuk maju seorang pun. Tiba-tiba
lengan si Joko Sangit
menarik lengan gadis baju merah
itu ke dekatnya.
"Hahaha... cantik juga kau!
Siapa namamu?
tanya Joko Sangit. Sementara
dengan giginya dia telah
mulai membuka gabus penutup
kendi tuak.
"Aku... Pintani...!Apakah
anda yang bernama
Joko Sangit...?" tanya
gadis itu. Seraya meneguk tuak-
nya, Joko Sangit menyahuti yang
sebelumnya meneng-
gak habis satu kendi arak itu
dengan beberapa kali te-
gukkan.
"Heh heh heh... betul! Aku
datang ke kota Raja
ini mencari seorang yang telah
mencuri kitab pusaka-
ku...!" sahutnya. Sementara
sepasang matanya tampak
sudah memerah akibat pengaruh
tuak. Padahal tadi
sudah tiga kendi arak yang
diminumnya. Kini ditam-
bah satu kendi lagi, jadi
kesemuanya sudah empat
kendi masuk ke perut pemuda itu.
"Kitab pusaka...!?
tanya gadis itu, sambil melirik
pada Cucak Ijo. Tampak
laki-laki gendut itu memberi
isyarat dengan anggukan
kepala.
"Oh, kau mulai mengaco
agaknya, sobat Joko
Sangit! Sebetulnya kau tak usah
habiskan tuak-tuak
itu! Aku bisa membawamu untuk
beristirahat!". Bisik
si wanita di telinga laki-laki
itu. Namun juga telah
tempelkan hidungnya di pipi Joko
Sangit. Akan tetapi
lengan pemuda itu sudah bergerak
menyingkirkan ga-
dis itu ke tepi.
"Hehehahaha... siapa yang
mengaco? Aku ma-
sih sanggup minum, tapi
manusia-manusia di sini ru-
panya keroco semua! Tak
seorangpun yang berani me-
nerima tantanganku!
Huh...!" ujarnya dengan berdiri
dari duduknya.
Tentu saja kata-kata itu
tampaknya membuat
panas seorang laki-laki berbaju
kuning yang duduk di
sudut ruangan kedai. Dia adalah
yang berjulukan si
Setan Muka Kuning sedangkan tiga
orang lagi yang
berpakaian hitam-hitam dengan
memakai topi tudung
yang disebut capil itu adalah si
Tiga Petani Gunung
Kumbang. Tiga tokoh ini adalah
para perantau yang
juga telah berada di wilayah
Kota Raja atas undangan
Ki Patih Buntaran di Kerajaan
Matsyapati ini. Tentu
saja kata-kata adanya si pemuda
bernama Joko Sangit
itu yang tengah memburu orang
pencuri Kitab Pusaka
miliknya, cukup menjadi
perhatian mereka.
Setelah saling mengangguk, salah
seorang tam-
pak segera bangkit berdiri. Namun
keduluan dengan si
Setan Muka Kuning yang sudah
melompat ke depan
meja Joko Sangit. Karena itu
terpaksa dia duduk lagi.
"Eh, sobat Joko Sangit!
Dugaanmu salah kalau
di sini cuma orang-orang keroco
saja yang ada!
Entahlah kalau mereka-mereka
ini...!" ujar si
Setan Muka Kuning, seraya
memutar wajah menatap
pada semua orang Terutama pada
si Tiga Petani Gu-
nung Kumbang.
Kembali pada Raden Mas Cucak Ijo
itu saja si
Siluman Muka Kuning menjura.
Tentu saja membuat
si Tiga Petani Gunung Kumbang
jadi melotot gusar.
Ketiganya sudah melompat ke
depan meja Joko Sangit.
"Huh! Siluman, Muka Kuning!
Kami si tiga Pe-
tani Gunung Kumbang pun bukan
manusia-manusia
keroco! Aku sanggup menerima
tantangan si anak mu-
da ini!". Berkata salah
seorang yang agaknya menjadi
orang tertua dari kedua saudara
seperguruannya. "he-
hehe...Baiknya sebelum kalian
melawan aku! Kalian
cobalah. berdua mengadu kekuatan
dulu? dan siapa
yang kalah baru lawan aku?"
berkata Joko Sangit. Ke-
dua orang itu sekejap saling
berpandangan.
"Baik! Akan tetapi bukan
mengadu minum
tuak! Aku kepingin lihat, apakah
Tiga Petani Gunung
Kumbang ini sudah boleh
diandalkan kelihayannya
untuk bantu menangkap
penjahat...?"
"Alangkah sombongnya kau,
Muka Kuning! Wa-
lau Kami belum pernah bertarung,
akan tetapi kami
sudah mengenalmu! Juga sepak
terjangmu! Hari ini
mungkin akan lenyap
kesombonganmu...!" ujar si Tiga
Petani Gunung Kumbang yang sudah
mendahului ke-
luar melompat dari dalam kedai.
Siluman Muka Kun-
ing tertawa jumawa, seraya turut melompat keluar.
Dan selanjutnya mereka sudah
berdiri berhadapan.
"Majulah kalian bertiga!
Aku sih memang ke-
mana-mana selalu sendiri!".
Mendelik mata si ketiga
lawannya, yang tak ayal segera
lancarkan serangan
dengan berbareng. Hingga
sebentar saja pertarungan-
pun terjadi dengan seru.
Beberapa tetamu kedai itu
pun dengan sendirinya menonton
pertarungan itu.
Kecuali Joko Sangit, yang masih
berdiri di de-
pan mejanya. Sementara gadis
bernama Pintani itu
sudah mendekatinya, seraya
menggelendot manja di
dada laki-laki itu.
"Kakang Joko Sangit!
Gara-gara kau, mereka
jadi bertarung...! Apakah tak
sebaiknya kau beristira-
hat saja ke Pesanggrahan tempat
tinggalku? Kau tam-
paknya sudah mabuk
sekali...!" ujarnya. Seraya len-
gannya merayap membelai dada
berbulu laki-laki ga-
gah itu. Laki-laki itu tak
menjawab, akan tetapi cuma
mendesis dengan tubuh terhuyung.
Sementara diam-
diam di hati Joko Sangit sudah
mengeluh. Celaka...!
Aku memang benar-benar mabuk!
Apakah dalam arak
telah diberi racun? Pikirnya
dengan mengambang.
Namun pada saat itu tiba-tiba
lengan si wanita telah
bergerak menotok tubuhnya.
Karena dalam keadaan
mabuk luar biasa, juga ditambah
totokan si gadis baju
merah itu, Joko Sangit tak mampu
berbuat apa-apa
selain jatuh menggeloso. Namun
sudah disangga si
wanita itu pada pundaknya.
Selanjutnya melalui jalan
belakang kedai, segera
membawanya
lenyap dibalik pondok. Adapun
Raden Mas Cu-
cak Ijo, telah perdengarkan
suara lirih, seraya bangkit
berdiri, Si pelayan kedai itu
adalah ternyata pemilik
kedai itu sendiri. Tampak; dia
berbisik-bisik pada Ra-
den Mas Cucak Ijo. Lalu
buru-buru menutup kedainya,
dan menghilang di belakang
pondok menyusui dua
wanita baju merah yang membuntut
di belakang Cu-
cak Ijo. Sementara pertarungan
berlangsung semakin
seru.
Setan Muka Kuning ternyata bukan
tokoh sem-
barangan. Disamping licik juga
telengas. Tiga serangan
beruntun si Tiga Petani dapat
dihindari dengan mem-
bungkus tubuhnya oleh putaran
senjata anehnya yang
berbentuk Tongkat pendek
berkepala Tengkorak.
Tengkorak di ujung tongkatnya
itu adalah sen-
jata yang amat berbahaya. Karena
pada bagian kepala
tengkorak terdapat sebuah liang
yang sewaktu-waktu
bisa keluarkan asap beracun,
tapi bisa juga member-
sitkan belasan jarum berbisa.
Dua puluh jurus berlalu.
Tiba-tiba terdengar bentakan si
Setan Muka Kuning.
Gerakannya berubah jadi cepat
sekali. Dengan lengan
sebelah menghantamkan tongkat,
sebelah lagi memu-
kul dengan kepalan, yang bisa
berubah jadi cakaran
maut. Jelas terlihat lengan
orang ini, yang kehitaman
sebatas pergelangannya. Dapat
diduga cakar lengan-
nya itupun mengandung racun.
Tiga petani mainkan senjata tiga
cangkul kecil
yang menyerang ganas. Namun menghadapi peruba-
han gerakan silat si Setan Muka
Kuning memang tam-
pak ketiganya terdesak. Di saat
mereka ayal atau len-
gah, asap hitam telah menerjang
muka mereka mem-
buat ketiganya terhuyung mundur.
Namun mau tak
mau asap racun sudah terhisap.
Pandangan mata me-
reka mendadak jadi gelap oleh
asap. Dan di saat itulah
terdengar tiga rangkaian jeritan
maut. Karena setelah
berdesir senjata jarum berbisa
menghujam ke tubuh
mereka, telah dibarengi pula
oleh tiga rangkaian han-
taman telak yang membuat kepala
mereka berbunyi
rengat. Tak ampun lagi, ketiga
tubuh si Petani terjung-
kal berkelojotan. Namun sekejap
kemudian tewas, me-
lepaskan nyawa. Terkejut si
Empat Hantu Gunung Ci-
reme. Mereka sudah melompat
menghadang di depan
si Setan Muka Kuning.
"Mohon penjelasan! Mengapa
anda membunuh
mereka...? Bukankah mereka kawan
sendiri?" akan te-
tapi si Setan Muka Kuning
tertawa terkekeh.
"Heh heh heh... Mereka
justru harus dibunuh
mampus! Mereka adalah
mata-matanya Senapati SA-
TRYO...!" Melengak seketika
si Empat Hantu Gunung
Cireme.
***
EMPAT
Kita tunda dulu keadaan di muka
kedai di se-
berang sungai itu, untuk melihat
apa yang terjadi di
tempat orang berkerumun tadi.
Yaitu di tempat adanya
tiga orang wanita digantung di
atas dahan pohon den-
gan keadaan tubuh telanjang.
Tampak dan sosok tu-
buh berkelebat ke arah tempat
itu....
"Hah!??? Benar-benar
perbuatan biadab! He!?
Kalian semua tak ada yang berani
naik untuk menu-
runkan mayat...?
Keterlaluan...!" Bentak laki-laki ber-
pakaian Perwira Kerajaan itu,
yang ternyata tak lain
dari Senapati SATRYO..
Si Pendekar Wanita Pantai
Selatan, RORO
CENTIL. Entah bagaimana kisahnya
sampai Roro ada
bersama sang Senapati Satryo
itu. Melihat keadaan ti-
ga wanita yang digantung
sedemikian sadisnya, bah-
kan dengan keadaan yang
memalukan, membuat Roro
harus cepat bertindak
menurunkan. Lengannya berge-
rak menjumput sebutir batu
kecil, yang segera disam-
bitkan ke arah tambang pengikat
leher wanita di atas
dahan tinggi itu. TES...!
Tambang putus. Dan tubuh
wanita itu meluncur ke bawah
dengan deras. Selanjut-
nya Roro sudah bergerak untuk
menangkapnya. Selan-
jutnya dua butir batu kerikil
kembali melesat sekaligus
memutuskan tambang-tambang yang
lainnya. Roro ce-
pat menyambar salah satu tubuh
wanita itu, sedang
yang seorang lagi sang Senapati
Satryo lah yang me-
nyangga.
"Lepaskan sarung
kalian...!" membentak Roro
Centil, yang tiba-tiba
berkelebat ke arah tiga orang la-
ki-laki yang cuma berdiri saja
di tempat yang agak
jauhan.
Tentu saja membuat ketiganya
jadi terkejut, ka-
rena datangnya mendadak, dan
bentakannya pun ti-
dak disangka. Terburu-buru
mereka melepaskannya.
Sekejapan saja sebelum tubuh
tiga wanita tanpa aurat
itu dapat dipentang orang
banyak, Roro Centil telah
menutupinya. Adapun sung
Senapati Satryo jadi ter-
henyak menatap salah seorang
dari wanita itu, yang
tak lain dari istrinya sendiri.
Berbarengan dengan ditu-
tupinya tubuh perempuan itu,
terdengar suara jeritan
Senapati Satryo.
"Pratini...!?? Pratinii...!?
kau...kau...eehh...hh..."
menangislah laki-laki
ini terisak-isak, setelah meng-
guncang-guncang tubuh mayat
wanita muda itu. Dan
memeluknya dengan bersimbah air
mata. Tentu saja
membuat semua orang jadi
terpaku, terkejut dan bela-
lakkan mata. Termasuk Roro
Centil. Sungguh dia tak
menduga kalau salah seorang dari
mayat wanita itu
adalah istri sang Senopati itu
sendiri. Tiba-tiba tampak
sekejap laki-laki itu telah
tengadahkan lagi kepalanya.
Wajahnya tampak membesi.
Lengannya bergerak me-
nyeka air mata yang membasahi
kedua pipi. Sementa-
ra bibirnya telah digigit
kencang hingga berdarah. Sang
Senapati telah berusaha menahan
tangis kesedihannya
dengan sekuat tenaga. Kini yang
ditatap adalah mayat
kedua wanita itu, yang tak jauh
diletakkan Roro di de-
kat mayat istri Senapati Satryo.
Perlahan dia bangkit,
dan melangkah mendekati.
Tiba-tiba kembali berjong-
kok. Wajahnya menunduk haru.
"Oh!? aku tak mengerti!
Mengapa hal ini dapat
terjadi? Namun seandainya memang
bisa terjadi men-
gapa istriku juga harus jadi
korban...?" Gumam Sena-
pati Satryo. Roro cuma
termangu-mangu mendengar
kata-kata gumaman laki-laki
orang Kerajaan itu.
Mengapa Roro Centil dapat sampai
ke tempat
ini...?
Dan juga mengenal pada Senapati
Satryo...?
Cukup panjang kisahnya. Akan
tetapi akan dipapar-
kan sedikit riwayat mengenai
perjalanannya.
Perbuatan jahat, licik juga
keji, ternyata me-
mang selalu membuat Roro Centil
membencinya. Apa-
lagi terhadap rakyat jelata.
Penduduk desa yang le-
mah, yang diperlakukan
sewenang-wenang oleh orang-
orang yang berkuasa".
Membuat kepala si gadis Pen-
dekar Selatan ini jadi seperti
gatal tanpa kuku. Kalau
belum membuat mampus atau menyiksanya sampai
setengah mati lalu menyuruhnya
bertobat, tentu tak
akan puas hatinya. Bahkan kalau
sudah kehilangan
sabar sang Pendekar Wanita
beradat aneh ini, jangan
harap kalau bisa diberi
hidup...! Paling untuk dibuat
miring otaknya, atau kehilangan
salah satu anggota
badannya. Itulah watak aneh Roro
Centil, si Pendekar
Wanita Pantai Selatan.
Akan tetapi satu peristiwa
belakangan ini nya-
ris saja membuat dia terkurung
seumur hidup di da-
lam kerangkeng gaib, yang tak
dapat Roro melepaskan
diri. Roro jumpai seorang
laki-laki tua-renta terkapar
di tengah jalan. Panas terik
yang membakar bumi
membuat orang itu akan mati
haus, karena kepana-
san. Nalurinya yang tajam
mengatakan pasti ada apa-
apa yang tidak beres di daerah
ini. Segera Roro tanpa
berayal menolongnya. Kebetulan
sepasang senjata
RANTAI GENlT-nya baru saja diisi
oleh air pancuran di
kaki gunung yang tadi dilewati.
Cepat ditariknya sebuah Bandulan
aneh ber-
bentuk bulat macam payudara itu
ditimbang-
timbangnya sejenak, lalu ujung
putiknya diputar. Ke-
mudian dengan tanpa laki-laki tua
itu yang tengadah-
kan kepala laki-laki tua itu
yang kepalanya diletakkan
di atas pangkuannya. Ketika
bandulan si RANTAI GE-
NIT itu dibalikkan dan ujung
putiknya dijejalkan pada
mulut laki-laki tua itu, maka
mengucurlah airnya.
Tentu saja dengan lahap, sang
kakek malang itu me-
minumnya, hingga sampai
megap-megap. Tak lama
Roro sudah simpan lagi
"buah dada" nya ke balik ping-
gang.
Akan tetapi terkejut Roro Centil
ketika meme-
riksa tubuh orang tua itu,
ternyata tulang-tulang
iganya telah patah lima buah.
Juga tulang lutut yang
hancur. Bahkan kedua lengannya
sudah patah sama
sekali. Akan tetapi tiada darah
setetes pun keluar dari
tubuh atau anggota badan
laki-laki itu.
Sementara di sebuah pondok, tak
jauh dari mu-
lut desa Lamtoro, tengah terjadi
satu pemandangan
yang membuat bulu tengkuk
meremang. Karena di da-
lam rumah besar itu tengah terjadi kebiadaban dari
manusia-manusia yang bermartabat
rendah, berhati
binatang dan bernafsu setan.
Empat wanita tergeletak
dalam keadaan dikerubuti lebih
dari sepuluh orang la-
ki-laki yang sudah bagaikan
harimau yang lepas kulit-
nya. Akan tetapi pada saat itu
tampak sebuah bayan-
gan berkelebat masuk melalui
jendela. Gerakannya
ringan bagaikan bayangan tanpa
mengeluarkan suara.
Tiba-tiba terdengarlah suara
jeritan-jeritan menyayat
hati, dan teriakan-teriakan
parau menggema bersahu-
tan. Dibarengi suara berderak
dan bergedubrakan ba-
gaikan ada angin prahara
mengamuk di dalam rumah
panggung itu. Apakah yang
terjadi? Sukar diceritakan
kejadian di dalam rumah panggung
milik kepala desa
itu. Karena dari luar yang
terlihat adalah terlemparnya
beberapa sosok tubuh menembus
wuwungan rumah.
Menjebol atap genting, yang
diiringi suara berderakan.
Genting- genting rumah itu hancur
beterbangan.
Dan delapan sosok tubuh jatuh
berdebuk ke
tanah, dengan keadaan hancur
seluruh tulang-
belulangnya, dan mati seketika.
Bahkan ada pula yang
membentur batang pohon kelapa,
dengan tubuh ber-
puncratan darah.
Tampak dua orang laki-laki berlari
jatuh ban-
gun, setelah melompat keluar
dari salah sebuah jende-
la yang tertutup. Ditabraknya
hingga daun jendelanya
lepas berpentalan. Tampaknya dua
orang ini berhasil
meloloskan diri. Akan tetapi
ketika tiba dijalan desa,
telinga kedua ini mendengar
suara berdengung di be-
lakangnya. Terkejut bukan main
kedua laki-laki ini ke-
tika melihat sesosok tubuh
dengan rambut beriapan
berada di belakangnya. Tahu-tahu
salah seorang dari
laki-laki itu telah menjerit,
ketika sebuah benda meng-
hantam kepalanya.
Tampak laki-laki itu berkelojotan
memegangi kepalanya yang
mengepulkan asap putih.
Tak lama sudah jatuh terduduk,
dengan mata mende-
lik, dan lidah terjulur
mengalirkan air liur yang tiada
hentinya mengucur. Tentu saja
membuat laki-laki ini
jadi gemetaran, menatap
kawannya. Sudah sejak tadi
dia jatuh terjerembab, dan belum
sempat bangun, ka-
rena kedua lututnya seakan telah
lumpuh tak bertena-
ga. Kini dilihatnya seorang gadis cantik dengan sepa-
sang mata bagaikan mata serigala
menatap ke arah-
nya. Sementara sebelah lengan
wanita cantik berbaju
hitam itu memutar-mutarkan
sebuah benda berantai
yang mengeluarkan suara bagaikan
ratusan tawon
yang berdengung. Itulah Roro
Centil, yang barusan sa-
ja menghantamkan bandulan si
Rantai Genit ke kepala
kawan laki-laki ini. Setelah
mengamuk di dalam ru-
mah panggung tadi Roro telah
mengejar kedua orang
ini. Tak seorang pun dari para
manusia biadab itu di-
biarkan meloloskan diri.
"Am.. ampuuun..! Ampun..!
ja.. jangan bunuh
aku, no.. nona..!Aku tak
ikut-ikutan memperkosa!
Aku... cuma membunuh seorang
nenek-nenek saja..
ohh.. hh.. hhh ..."
Membeliak sepasang mata Roro
Centil. Lengan-
nya bergerak menyambar rambut
laki-laki itu, yang
sudah dicengkeramnya hingga
tubuhnya terbawa ber-
diri.
"Setan alas...? Dan sekali
sentak, rambut kepa-
la lelaki itu telah terlepas
jebol dari kulit kepalanya.
Tubuh laki-laki itu terhuyung ke
depan, dan ja-
tuh ngusruk, diiringi jerit
kesakitan. Selanjutnya dia
sudah berjingkrakan
meraung-raung memegangi kepa-
lanya yang botak berlumuran
darah pada bagian atas
ubun-ubunnya. Roro lemparkan
gumpalan rambut di
tangannya yang dibanting ke
tanah sampai melesak
lenyap. Tiba-tiba lengannya
sudah bergerak menjewer
telinga laki-laki itu, yang
kembali terbawa berdiri.
"A... aaammpuuuun..!
ampuuunn..! aduuuh..
aku tobat tak mau ikut-ikutan
berbuat kejahatan lagi!
Ampunilah nyawaku, no.. nona
pendekar..." rintihnya
dengan wajah menyeringai
ketakutan.
"Hm, katakan siapa pemimpin
kalian! Dan apa
yang terjadi sebenarnya di desa
ini..! Kalau kau tak
menjelaskan, terpaksa akan ku
kuliti tubuhmu dengan
segera!" ancam Roro dengan
wajah sengit.
"Kami... kami anak buahnya
Raden Mas Cucak
Ijo, nona pendekar! Kami memang
bertindak keterla-
luan... tapi... tapi aku cuma
terbawa-bawa, saja...". tu-
tur laki-laki itu. Roro Centil
naikkan alisnya.
"Siapa Raden Mas Cucak Ijo
itu..!" bentak Roro
lagi.
"Be.. beliau adalah ket..
ketua kami, nona pen-
dekar! Ya, ket... ketua
kami..."
"Setan alas..! Aku sudah
tahu dia itu ketuamu,
goblok! Maksudku apakah dia
penguasa di sini, atau
kepala rampok, atau orang
suruhan dari Kerajaan,
atau..."
WHUSSSS..! Roro sudah lemparkan
orang. itu
ke atas genting sebuah rumah.
Dan... BRAKK! Tubuh,
laki-laki itu langsung menjeblos
menembus genting,
hingga tak nampak lagi. Cuma
kedengaran suara men-
gerangnya tapi sesaat kemudian
lenyap tak kedenga-
ran suara apa-apa lagi.
DES...! Kaki Roro telah melayang
lagi menen-
dang pantat laki-laki yang
seorang. Laki-laki yang se-
dang duduk dengan kepala
mengepulkan asap, dan li-
dah terjulur mengalirkan air
liur ini terjungkal jatuh
bergulingan. Akan tetapi
tendangan itu tak mengguna-
kan tenaga dalam. Hingga
laki-laki itu dapat bangkit
kembali dengan tubuh
terhuyung-huyung, namun
keadaannya jadi seperti orang
tidak waras. Karena
tampak setelah menjerit kesakitan, lalu tertawa-tawa.
"Hehehe... hehe...
Pangkatku Perwira Kerajaan!
Si Komang dan Kempot jadi
pengawal istana...! Haha-
ha... hehe... Kanjeng Gusti
Patih menjadi Raja! Hoho-
ho... aku mau cari bini yang
bahenol! Anak bangsawan
yang kaya..! Kalau gadisnya
menolak lamaranku, he-
hehe... akan kugorok batang
lehernya..! Haha.. haha-
ha..." Sambil mengoceh tak
keruan, laki-laki yang su-
dah rusak otaknya itu tertawa
dan menari-nari sambil
terpincang-pincang meninggalkan
tempat itu. Tentu
saja membuat Roro jadi
tersenyum, dan manggut-
manggut sendiri. Mengertilah dia
kini.
Akan tetapi pada saat itu
terdengar suara ter-
tawa terkekeh-kekeh menyeramkan
membuat Roro
Centil tersentak kaget. Namun
segera dia sudah was-
pada menghadapi apa yang bakal
terjadi. Sebuah
bayangan warna hijau berkelebat,
dan tahu-tahu seo-
rang nenek bongkok telah berada
di hadapannya.
"Hihih. hihi..! bocah
cantik! Siapa namamu,
wong manis? Senjatamu aneh dan
lucu! Coba pinjami
aku sebentar..!". Seraya
berkata lengannya bergerak
menyambar ke arah lengan Roro
yang masih mencekal
sebuah senjata dari sepasang
Rantai Genitnya. Terke-
jut Roro Centil. Segera saja
tubuhnya bergerak mem-
buat satu gerakan dari jurus
aneh yang dimilikinya,
yaitu jurus Langkah Bidadari
Mabuk. Ternyata gera-
kan terhuyung itu mampu membuat
sambaran lengan
si nenek bongkok itu luput. Akan
tetapi satu sedotan
kuat dari lengan si nenek
bongkok itu membuat Roro
terkejut. Nyaris saja si Rantai
Genit terlepas, kalau tak
buru-buru Roro Centil gunakan
Ajian Sari Rapet.
Hingga senjatanya seperti
melengket kuat dari ceka-
lannya tanpa bisa terlepas lagi.
Namun tentu saja Roro
tak dapat menahan tubuhnya yang
ikut tersedot oleh
tenaga dalam si nenek bongkok
yang amat kuat. Se-
mentara satu serangan melalui
batinnya telah mem-
pengaruhi Roro. Tenaga batin
nenek bongkok ini
punya daya aneh, yang membuat
Roro sukar mela-
wannya.
"Hihihi... kau pasti
muridnya si Manusia Banci
dari Pantai Selatan. Hehehehe...
ayo, kemarilah anak
manis!" Setengah sadar Roro
terpaksa membiarkan tu-
buhnya terbawa sedikit demi
sedikit. Dan melangkah
semakin dekat. Namun di saat
hampir mendekat, Roro
Centil kembali sadar. Tersentak
Roro Centil ketika ta-
hu-tahu terasa tubuhnya dibelit
oleh seutas tali gaib
yang tak kelihatan. Tahu-tahu
Roro rasakan tubuhnya
tak mampu bergerak lagi. Ketika
itulah lengan si nenek
bongkok telah bergerak
menotoknya. Roro cuma bisa
mengeluh.
Tamatlah riwayatku! Sentaknya
dalam hati.
Pandangan Roro sekonyong-konyong
menjadi gelap.
Ingatannya mengabur. Dan Roro
cuma bisa rasakan
tubuhnya dibawa berkelebat cepat
sekali di atas pun-
dak si nenek bongkok itu. Ketika
dia sadarkan diri lagi,
Roro terkejut, karena kini
tubuhnya telah berada di sa-
tu ruangan berbau pengap. Di
manakah aku? Pikir Ro-
ro. Setelah diteliti ternyata
berada dalam satu ruangan
goa yang luas. Di atas
langit-langit goa terdapat satu
lubang besar. Dari lubang itulah
cahaya matahari ma-
suk. Cuma lubang itu terlalu
tinggi, hingga tetap saja
hawa di situ berbau pengap.
Namun Roro kini rasakan
tubuhnya sudah tak terbelenggu
lagi. Aneh, kemana-
kah nenek bongkok itu? Mengapa
membawaku ke
tempat ini?. Pikir Roro dalam
benaknya. Setelah mene-
liti setiap dinding, Roro
menampak sebuah lubang
yang tertutup batu.
"Heh! Itu pasti sebuah
pintu keluar!" Desis Roro
perlahan, seraya beranjak
melangkah. Akan tetapi...
tiba-tiba... DUK! Terkejut Roro
karena kepalanya te-
rantuk oleh sebuah benda.
Beruntung dia cuma me-
langkah, kalau dia melompat,
bisa berakibat fatal pada
kepalanya. Atau setidak-tidaknya
kepalanya benjol.
Namun anehnya di tempat
kepalanya terantuk, tak ada
apa-apa. Sedangkan dinding goa
masih jauh belasan
langkah lagi di hadapannya.
Penasaran telah membuat
Roro meraba ke arah depan.
Terkejutlah sang gadis
Pendekar ini, karena rasa
lengannya menyentuh terali
besi.
"Aneh!?" Gumam Roro.
Karena setelah merayapi
keadaan di sekitarnya dengan
rabaan tangannya. Roro
Centil berada dalam sebuah
kerangkeng besi yang tak
kelihatan oleh mata. Itulah
kerangkeng gaib agaknya.
Karena sama halnya dengan keadaan
Roro sewaktu
tubuhnya terkena jeratan tali
gaib, yang juga tak terli-
hat mata. Semakin mengeluh Roro
Centil, karena ter-
nyata kekuatan tenaga dalamnya
telah punah. Apapun
yang dilakukan tak membawa hasil
untuk menerobos
keluar dari kerangkeng gaib itu.
Bahkan bagian atas-
nya pun dipagari terali aneh
itu.
"Celaka...! Siapakah nenek
bongkok itu?. Apa
maksudnya menawan ku di tempat
ini?. Mengapa tak
membunuhku sekalian?. Dan yang
membuat Roro
Centil terkejut adalah, sepasang
senjatanya si Rantai
Genit telah lenyap dari lengan
dan belitan pinggang-
nya. Akhirnya gadis Pendekar itu
cuma bisa jatuhkan
pantatnya untuk duduk di tanah.
***
LIMA
Entah berapa lama Roro tak
mengetahui. Tapi
keadaan di dalam ruangan itu
berangsur-angsur men-
jadi gelap. Tahulah Roro kalau
malam akan segera ti-
ba.
"Keparat! Setan Alas!"
Memaki Roro dengan
kesal. Akan tetapi tiba-tiba
Roro mendengar suara
menggeram di arah sudut goa.
Tersentak Roro Centil.
Seketika wajahnya menampilkan
perobahan girang.
Dan cepat berseru dengan
menggunakan suara melalui
batin.
"TUTUL! Di mana kau?
Tolonglah aku. Aku ratu
mu yang sedang dalam
bahaya...!". Akan tetapi suara
menggeram itu tetap tak
terdengar mendekati. Bahkan
tak juga menampak tubuh Harimau
Tutul di hadapan-
nya.
"Celaka..! Jangan-jangan si
Tutul pun terjerat
dalam kerangkeng gaib seperti
aku!" Desis Roro. Kem-
bali Roro Centil terpaku dan
tercenung memegangi te-
rali gaib yang amat kuat sekali.
Tak mampu dia men-
dobraknya. Jalan satu-satunya adalah menunggu
sampai si nenek bongkok itu
muncul. Entah ada uru-
san apakah si nenek peot itu
usil padaku! Pikir Roro
dengan wajah jengkel.
Selang kira-kira sepenanak nasi.
Karena kesal-
nya Roro Centil telah menjerit
sekuat-kuatnya. Bahkan
di antara jeritannya itu
dibarengi pula dengan suara
tertawa aneh. Dan lengannya
kembali bergerak ke kiri
kanan, menghantamkan
pukulan-pukulannya untuk
mendobrak kerangkeng gaib itu.
"Haiiii...! nenek bongkok
yang sudah mau ma-
suk liang kubur! Keluarlah kau!
Mayo mengadu kesak-
tian sampai seribu jurus! Aku
Roro Centil mengantar
nyawamu ke liang
Akhirat!!". Teriak Roro Centil.
WHUUK! WHUK! WHUK! WHUK! Bunyi
angin
pukulan dan tendangan Roro Centil
terdengar santar.
Akan tetapi kerangkeng gaib itu
mana mampu dihan-
curkan, karena kekuatan gaib tak
bisa dilawan dengan
kekuatan wujud. Walaupun tenaga
dalam si Pendekar
Wanita Pantai Selatan ini tidak
punah sekali pun, tak
ada gunanya. Akhirnya setelah
berteriak-teriak dan
tertawa aneh yang histeris itu,
kembali Roro terdiam.
Tiba-tiba di kejauhan terdengar
lapat-lapat satu suara
lirih, yang menyusup ke
telinganya.
"Roro.! Kekuatan apa pun
yang dimiliki seseo-
rang walaupun teramat tingginya
tetap akan ada ba-
tasnya. Dan pasti ada
kelemahannya. Dan kecerdikan
akan mengalahkan segalanya!
Mengapa tak kau guna-
kan kecerdikan mu untuk
melepaskan diri dari kekua-
tan gaib yang telah
membelenggu mu? Di atas langit
memang masih ada langit!
Tingginya suatu ilmu tak
ada batasnya! Kekuatan lawan
bisa bertambah berlipat
ganda, dengan kepanikan mu dalam menghadapi ke-
nyataan yang menimpamu! Lembar
ke tujuh belas dari
17 lembar daun lontar yang
kutitipkan padamu mela-
lui pemuda bernama JOKO SANGIT,
murid si Pendekar
Gentayangan alias Ki Jagur Wedha
rupanya belum se-
lesai kau pelajari. Di lembar ke
tujuh belas itu ada
makna kata-kata yang belum
sempat kau pecahkan!
Aku percaya kau bukanlah seorang
murid yang akan
membuat kecewa gurumu! Karena
itulah setiap sepak
terjang mu aku selalu mengikuti!
Nah! kukira kau pa-
ham mendengar penjelasanku,
bukan? Kini berusaha-
lah sebisa akalmu. Aku percaya,
walau pun kau ada-
lah seorang bocah yang tolol,
tapi ...cerdik!"
Terperangah seketika Roro
Centil. Jelas sekali
kalau suara gurunya si manusia
banci. Akan tetapi dia
sudah mendengar berita dari Joko
Sangit, laki-laki sa-
habatnya itu, bahwa sang guru
telah tewas. Apakah
yang bicara adalah arwahnya..?
Sentak hati Roro Cen-
til. Seketika tanpa sadar Roro
sudah berteriak keras.
GURUUU..!!. Cepat sekali,
tiba-tiba air matanya telah
membersit keluar membasahi
pipinya. Akan tetapi tak
ada sahutan lagi. Keheningan
mencekam sekitar lu-
bang goa yang mulai
remang-remang. Suara kepak ke-
lelawar dan cicitnya terdengar
ramai di sudut goa. Dis-
ertai beterbangannya binatang
itu keluar melalui lu-
bang di atas goa. Saat malam
sebentar lagi akan tiba,
dan binatang-binatang itu sudah
masanya keluar un-
tuk mencari makanan. Tercenung
Roro Centil. Jelas
tadi adalah kata-kata gurunya.
Kalau ada suaranya
pasti ada orangnya. Demikian
Roro Centil. Akan tetapi
suara itu telah lenyap kembali.
Mungkinkah arwah
orang yang sudah mati bisa
bicara padanya? Tanya
Roro pada dirinya sendiri. Namun
kesedihannya men-
dadak jadi sirna ketika kembali
diingat-ingatnya kata-
kata sang guru tadi.
Cepat-cepat di hapusnya air
matanya. Roro ma-
sih ingat akan kata-kata pada
lembar ke tujuh belas
dari 17 lembar daun lontar
warisan gurunya itu, yang
maknanya memang belum
terpecahkan. Kali ini adalah
satu-satunya jalan untuk
memecahkan makna kata-
kata itu. Memikir demikian,
segera Roro Centil bersi-
dakep mengosongkan fikiran.
Menyempurnakan dirt ke
alam batin, dengan satu tujuan,
adalah mengingat pa-
da Yang Maha Esa. Selang
beberapa saat, tampaklah
satu ketenangan yang amat luar
biasa pada Roro. Dia
tidak lagi mengkhawatirkan nasib
dirinya. Mengapa
harus khawatir? Bukankah setiap
nasib manusia ada
pada kekuasaanNYA?. Manusia
boleh berusaha, akan
tetapi Tuhan yang menentukan
segalanya. Kini Roro
tidak lagi gelisah. Ketenangan
telah berhasil dikua-
sainya dengan secara total.
Barulah Roro segera me-
mulai untuk mengingat kata-kata
makna pada daun
lontar di lembar ke tujuh belas
itu.
Bidadari membuka perutnya.
Tangis bayi mengumbar suara.
Dua bait kata-kata itu seperti
sebuah sajak,
akan tetapi mengandung arti yang
amat dalam.
Tercenung Roro Centil memikirkan
maksudnya.
Setelah berfikir bolak-balik tak
menemukan juga mak-
na dari kata-kata itu, akhirnya
Roro mencoba mencari
ilham dari apa yang dapat
dilihatnya. Segera sepasang
matanya jelalatan memutari
sekitar gua yang remang-
remang itu. Akan tetapi cuma
satu dinding batu melu-
lu. Cuma satu dinding yang
celahnya agak renggang,
dan Roro merasa yakin kalau
itulah pintu keluar dari
goa, yang ditutupi sebongkah
batu.
"Heh, akan ku coba untuk
menghancurkan ba-
tu itu dengan jarak jauh!"
Bergumam Roro dengan se-
pasang mata menatap tajam pada
bongkah batu itu.
Akan tetapi baru tersadar Roro,
kalau tenaga dalam-
nya telah punah. Aku harus
memulihkan terlebih dulu
tenaga dalamku, mudah-mudahan
bisa kembali seperti
semula! Pikir Roro. Segera saja
Roro mulai mengerah-
kan hawa murni dari tubuhnya.
Sulit sekali menghim-
pun hawa murni, yang bertitik
pusat pada pusar itu.
Karena berkali-kali Roro menemui
kegagalan. Akan te-
tapi tekadnya sudah bulat.
Kembali dia mencoba, dan
mencoba.. hingga peluhnya
bercucuran di sekujur tu-
buh. Pada saat itulah Roro
Centil teringat akan kata-
kata di daun lontar lembar ke
tujuh belas itu, yang ada
pada bait kedua. Yaitu
kata-kata: Tangis bayi men-
gumbar suara. Heh?! Apakah aku
harus menangis se-
perti seorang bayi?. Pikir Roro.
Justru mengingat de-
mikian membuat Roro jadi
terpingkal-pingkal geli sen-
diri. Guruku memang aneh!
masakan aku harus berte-
riak-teriak seperti seorang
bayi! pikirnya. Tapi Roro
Centil tak menyadari. Justru di
saat dia tertawa tadi,
hawa murni tengah memutar
kencang di sekitar pusar.
Dan ketika tertawa
terpingkal-pingkal itulah hawa
murni dalam tubuhnya bergolak
membuka jalan-jalan
darah yang telah mampat di
sekujur tubuh. Hingga be-
gitu Roro berhenti tertawa,
segera rasakan perubahan
pada tubuhnya. Eh..!? Aneh! Aku
seperti telah berhasil
menghimpun hawa pada pusar!
Sentak Roro di hati.
Memang tadi dia telah rasakan
pergolakan hawa di se-
kujur tubuh. Dan Ketika kembali
mencoba menghim-
pun hawa murni untuk yang ke
sekian kalinya ternya-
ta mudah saja bagi Roro
melakukan-nya. Hingga seke-
jap saja Roro telah berhasil
menghimpun kembali ha-
wa murni, yang segera dengan
mudah disalurkan pada
kedua telapak tangannya. Akan
tetapi baru saja dia
berniat menghantam batu
pengganjal lubang di hada-
pannya, tiba-tiba Roro urungkan
niatnya. Kini dia ber-
pikir lagi. Hm, untuk apa
membuka lubang itu, kalau
toh aku tak bisa lepas dari
kerangkeng gaib ini?
Memikir demikian, segera Roro
mengulang lagi
kata-kata dua bait mirip syair
itu untuk dipecahkan
maknanya. Setelah berfikir
beberapa saat, tiba-tiba Ro-
ro Centil tertawa mengikik geli
tiada henti. Seraya
menggumam sendiri, bahkan
memaki-maki dirinya.
"Hihihi... hihihi...
hihi... tolol!! dasar aku me-
mang tolol! Kalau begitu syair
itu maknanya demikian?
Hihihi... pasti demikian! Heh!
Akan ku coba sekarang".
Tak berayal Roro Centil
benar-benar membuka ba-
junya. Bahkan lepaskan pula
celananya. Kecuali B.H.
dan celana dalam dari besi aneh
yang memang mirip
persis dengan orang yang tak
berpakaian sama sekali.
Karena mempunyai bentuk yang
telah dirancang oleh
seorang manusia banci. Hingga
tidak aneh lagi bila dia
bisa ciptakan benda aneh
sedemikian rupa. Kecuali
pada sisi celana dalam besi itu
yang terdapat beberapa
gelang rantai, sukarlah bagi
orang membedakan kalau
tidak dengan meraba. Ada pun
B.H. penutup payudara
demikian juga halnya, karena
amat mirip dengan buah
dada. Kecuali pada bagian
belakangnya, yang terdapat
rantai. Namun tentu saja takkan
terlihat, karena tertu-
tup dengan rambutnya yang
panjang terurai. Selanjut-
nya Roro benar-benar membuat
gerakan menari. Tentu
saja yang dipergunakan adalah
tarian Bidadari Mabuk
Kepayang. Sementara dalam menari
itu, Roro Centil
sebarkan hawa murni ke seluruh
tubuh. Hingga tam-
pak seluruh tubuhnya
mengeluarkan uap putih, ba-
gaikan uap yang ke luar dari
batu es. Bahkan dari mu-
lut sang gadis ini yang terbuka
dan tengah mengelua-
rkan suara tertawa itupun
mengeluarkan uap putih.
Bayi diibaratkan adalah hawa
murni itu. Karena jelas
seorang bayi adalah seorang yang
masih murni. Se-
dangkan tarian itu adalah
membuat terbukanya lu-
bang pori-pori, hingga hawa
murni dapat keluar me-
nyebar. Dan ketika Roro gerakkan
tangannya mereka
ke sekeliling kerangkeng,
seketika saja setiap jeruji be-
si yang tak kelihatan itu musnah
bagaikan kertas yang
dimakan api. Hingga hawa murni
yang keluar dari tu-
buh Roro Centil telah berhasil
membuat kerangkeng
gaib itu lenyap musnah. Kini
Roro sudah melompat da-
ri tempat di mana kakinya
berpijak. Dan selanjutnya
lengannya bergerak menggeser
batu besar penutup lu-
bang. Hawa segar segera masuk
dari lubang yang telah
menganga sebesar dua kali tubuh
manusia itu. Akan
tetapi baru saja Roro mau
melompat pergi, tiba-tiba
terdengar suara menggeram si
harimau Tutul. Terkejut
Roro Centil ketika teringat akan
nasib harimau silu-
man sahabatnya itu.
"Tutul! Tampakkanlah
dirimu..!". Selesai Roro
berkata, segera terlihat seekor
harimau Tutul yang ber-
tubuh sebesar kerbau berada
disudut goa dalam kea-
daan tak bisa berkutik kaki
tangannya karena telah
terkena jeratan tali gaib si
Nenek Bongkok. Tak ayal
lagi Roro sudah melompat untuk
menolongnya. Tentu
saja ketika tubuhnya membentur
kerangkeng gaib, se-
ketika kerangkeng aneh itu
lenyap musnah, dan segera
saja sudah berhasil melepaskan
tali gaib yang membe-
lit sekujur tubuh si harimau
Tutul. Dan sekejap ke-
mudian sudah terbebas kembali.
Demikianlah
Roro Centil langsung menuju Kota
Raja. Namun
di tengah perjalanan telah
berpapasan dengan seorang
bocah yang ditaksir Roro berusia
sekitar antara lima
enam tahun. Seorang bocah
laki-laki berkulit hitam,
berambut tebal kaku, dengan
sepasang mata yang
memancar menyeramkan. Bocah
hitam itu tengah
mempermainkan dua buah benda
berantai. Terkejut
Roro Centil, karena mengetahui
kedua benda itu ada-
lah sepasang senjatanya si
Sepasang Rantai Genit. Tak
berayal dengan sekali
menggerakkan tangan, Roro te-
lah menyambar kembali senjata si
Rantai Genit itu,
yang kembali berada dalam
genggaman tangannya.
Tampak wajah si bocah hitam itu
menampilkan kegu-
saran. Akan tetapi ketika Roro
menyapa dan mena-
nyakan namanya, bocah hitam itu
tiba-tiba berkelebat
cepat bagaikan seekor rusa hitam
saja, yang segera se-
kejap kemudian lenyap di balik
semak belukar. Terke-
jut Roro Centil, dan karena rasa
ingin tahu segera
mengejarnya. Dengan pergunakan
kelincahan serta il-
mu melompat tingginya, Roro
Centil melompat dari da-
han ke dahan mengejar dan
mencari jejak bocah aneh
itu.
Akhirnya dapat diketahui ke mana larinya bo-
cah hitam itu, yang ternyata
menuju ke sebuah bukit.
Diam-diam Roro Centil terus
membuntuti hingga sam-
pai ke atas bukit, yang ternyata
kemudian lenyap di
balik pohon angsana besar di
sekitar makam tua, Ber-
putar-putar Roro Centil mencari
kemana lenyapnya si
bocah aneh itu di sekitar makam,
namun tetap tak di-
jumpai. Entah kemana lenyapnya
si bocah hitam itu.
Terasa keadaan di sekitar tempat
itu amat sunyi men-
cekam, membuat tengkuk Roro
terasa dingin dan
membangunkan bulu roma. Akhirnya
Roro melesat
pergi meninggalkan bukit aneh
yang menimbulkan
hawa seram itu. Dan kembali
teruskan tujuannya ke
Kota Raja Hingga kemudian
berjumpa dengan Senapati
SATRYO. Dan tanpa liku-liku,
Roro Centil telah berke-
nalan pada laki-laki Perwira
Tinggi Kerajaan Masyapati
itu. Tentu saja Roro Centil
ceritakan kejadian yang di-
alaminya. Juga tentang kata-kata
seorang anak buah
Raden Mas Cucak Ijo yang jadi
gila akibat hantaman
bandulan si Rantai Genit-nya
Roro Centil. Diam-diam
Senapati Satryo amat bersimpati
pada Roro. Apalagi
setelah mengetahui kalau Roro
adalah seorang tokoh
Rimba Hijau yang sudah terkenal
nama dan julukan-
nya di setiap penjuru. Membuat
Senapati Satryo me-
merlukan bantuannya untuk
mengatasi kericuhan di
Kota Raja. Karena
mengkhawatirkan akan terjadinya
pemberontakan terselubung. Dan
berita dari Roro me-
mang telah membuat sang Senapati
semakin bercuriga
pada Ki Patih BUNTARAN. Karena
selalu mengambil
cara sendiri tanpa diperintah
Raja. Bahkan terhadap
dirinya seperti tak memandang
mata. Seolah mere-
mehkan bahwa penjagaan ketat
yang dipimpinnya ber-
sama para laskar kerajaan tak punya kekuatan apa-
apa.
Kini jelaslah kalau Ki Patih
BUNTARAN mau
berkhianat. Bahkan sengaja
mempersenjatai diri den-
gan mengumpulkan para tokoh
hitam dan kaum Rim-
ba Hijau untuk memperkuat
pertahanannya. Tentu sa-
ja. sang Patih mengatakan
pengumpulan para tokoh-
tokoh itu,
adalah demi menjaga keutuhan Kerajaan
dari bahaya pembunuhan misterius
yang tengah terja-
di di Kota Raja. Bahkan yang
membuat aneh, adalah
setelah menghilangnya Permaisuri
Durgandini, bebe-
rapa pekan kemudian lenyap pula
NAWANGSIH, sang
selir Raja, yang baru beberapa
hari ini diangkat men-
jadi Permaisuri secara syah,
membuat Baginda Raja
Prabu Gurawangsa jadi semakin
tenggelam dalam ke-
kalutan.
Hingga secara tak langsung, sang
Patih Bunta-
ran lah yang pegang peranan.
Demikianlah singkat cerita dari
kisah Roro yang
berlalu di belakang peristiwa
ini. Kini Roro tengah ter-
paku menatap pada sang Senapati
Satryo yang tengah
tercenung menatap kedua mayat
wanita di hadapan-
nya.
"Mayat siapa pulakah ini,
sobat Senapati...?".
Tanya Roro. Senapati Satryo
membisik lirih. Keduanya
adalah selir dari baginda
Raja...!" Baru saja habis uca-
pan sang Senapati, tiba-tiba
terdengar suara orang
berteriak.
"Ada keributan....! Ada
keributan di seberang
sungai! Lihatlah tengah terjadi
pertarungan di sana!"
Berteriak seorang tukang sampan,
yang masih
memegang sebuah dayung di
bahunya. Tak ayal, Roro
Centil sudah berkelebat untuk
melesat ke arah yang
ditunjuk orang itu... Tak lama
Roro menjadi dua telah
mengikuti jalannya pertarungan
antara si Tiga Petani
Gunung Kumbang dengan si
laki-laki berjulukan Setan
Muka Kuning sejak dia menyelinap
ke sana. Bahkan
sempat pula sesosok tubuh
dipayang di dalam kedai
oleh seorang wanita baju merah
yang berusaha meno-
toknya. Tentu saja Roro segera
mengenali siapa adanya
laki- laki itu. Yaitu si pemuda
jembros yang bernama
Joko Sangit. Roro melihat pula
adanya seorang laki-
laki gendut yang diapit oleh dua
orang gadis cantik
berbaju merah, yang dengan
terburu-buru segera me-
nyelinap ke ruang belakang
kedai. Kemudian dilihat-
nya juga si pelayan atau si
pemilik kedai itu dengan
tergesa-gesa menutup pintu
kedainya. Dan juga den-
gan terburu-buru segera
menyelinap ke ruang bela-
kang kedainya. Semua itu Roro
perhatikan dari sebuah
jendela kecil yang tak sempat si
pelayan kedai itu me-
nutupnya. Sementara Roro sudah
palingkan kepala la-
gi untuk menatap ke arah
pertarungan. Akan tetapi
tak berapa lama sudah terdengar
jeritan maut si Tiga
Petani Gunung Kumbang yang kena
serangkaian se-
rangan keji, setelah terlebih
dulu si Setan Muka Kun-
ing menghembuskan asap
beracunnya dari tongkat
pendek berkepala Tengkorak yang
juga bersitkan pu-
luhan jarum berbisa.
***
ENAM
"Hehehehe… Mereka justru harus dibunuh
mampus! Mereka adalah mata-matanya Senapati SA-
TRYO...! Berkata si Setan Muka
Kuning, sebagai jawa-
ban atas pertanyaan si Empat
Hantu Gunung Cireme.
Melengak keempat tokoh Rimba
Hijau itu. Pada saat
itulah terdengar suara bentakan
keras, disertai berke-
lebatnya dua sosok tubuh.
"Bangsat keparat! Kiranya
kalian begundal-begundalnya Ki
Patih Buntaran...!".
Dan sesosok tubuh berjubah telah
berada di tempat
itu. Yang tak lain dari Resi
Jenggala Manik. Sementara
yang seorang lagi adalah Tangan
Kilat adanya. Roro
yang sudah mau turun tangan
terpaksa batalkan niat-
nya.
"Heh heh heh...! Selamat
jumpa Resi Jenggala
Manik, dan anda si Tangan
Kilat!" Berkata Si Setan
Muka Kuning. Tampak wajahnya
berubah agak pucat.
Akan tetapi dengan mengumbar
tertawa dan
kata-kata, dia telah menutupi
rasa terkejutnya..
"Iblis keparat!... Jangan
harap kau dapat du-
duk enak di Kerajaan! Aku telah
mengetahui
pengkhianatan Patih
Buntaran!" Tiba-tiba terdengar
satu suara. Disertai munculnya
Senapati Satryo. Ter-
kejut si Setan Muka Kuning, akan
tetapi sudah men-
gumbar kembali tertawa nya.
"Heh he he... Senapati
gagah! Mengapa tak kau
ratapi dulu kematian istrimu
yang sudah kukirim
nyawa nya ke Akhirat, bersama
kedua selir Rajamu
itu?"
"Iblis...! Jadi kaulah yang
telah melakukan per-
buatan terkutuk itu?".
Bentak Senapati Satryo. Dan
tubuhnya sudah berkelebat ke
arah si Setan Muka
Kuning, seraya dibarengi dengan
ditariknya keluar pe-
dangnya dari pinggang.
WUTIWUT! Dua kilatan pedang
menabas ke
arah pinggang dan leher manusia
itu. Akan tetapi....
TRANG! Buk! Satu tangkisan dan
hantaman telapak
tangan membuat, yang mengenai
dada Perwira Tinggi
Kerajaan itu membuat tubuh
laki-laki itu terlempar ti-
ga tombak. Akan tetapi di saat
Setan Muka Kuning
mau menghantamkan tongkat, dengan berkelebat
memburu sang Senapati Satryo.
Akan tetapi Resi
Jenggala Manik mana mau
membiarkan muridnya ke-
na dihantam tongkat si Setan
Muka Kuning.
WHUUK...! Kakek berjubah putih
ini telah ki-
rimkan serangan tenaga dalam ke
arah tubuh si Setan
Muka Kuning. Terkejut manusia
ini, namun segera
lontarkan tongkatnya disertai
mengepulnya uap bera-
cun dari ujung tongkat berkepala
tengkorak.
Namun dengan kebutuhan ujung
lengan ju-
bahnya, uap beracun telah
disampok buyar seketika.
Sementara itu si Empat Hantu Gunung Cireme mas-
ing-masing telah cabut senjata
mereka dari balik
punggung. Ternyata adalah empat
buah pedang yang
mempunyai gerigi pada kiri
kanannya. Pedang ini pun
mengandung racun jahat. Karena
sesuai dengan julu-
kan mereka si Empat' Hantu
Gunung Cireme. yang da-
tang atas undangan Ki Patih
Buntaran. Tentu saja
dengan janji akan mendapat
kedudukan istimewa,
atau setidak-tidaknya imbalan
yang bukan sedikit bila
usaha pemberontakan itu menemui
keberhasilan, Se-
rentak setelah saling memberi
isyarat, mereka segera
lakukan pengeroyokan pada Resi
Jenggala Manik. Em-
pat pedang beracun segera meluncur dari beberapa
penjuru mengarah ke tubuh sang
Resi. Hal demikian
membuat Roro tak dapat tinggal
diam. Sekejap dia su-
dah loloskan sepasang Rantai
Genit-nya. Dan.... tu-
buhnya sudah berkelebat seraya
putarkan senjatanya
yang berdengung bagai ribuan
tawon.
Trang! Trang! Trang.,.! Tiga
pedang berhasil di
sampok mental. Namun yang sebuah
lagi rupanya te-
lah keburu ditangkis oleh sang
Resi Jenggala Manik.
Bret! Beruntung hanya lengan
jubah kakek itu
saja yang kena terserempet.
Terkejut si Empat Hantu
Gunung Cireme melihat kemunculan
Roro Centil. Apa
lagi telah berhasil menyampok
mental pedang-pedang
beracun mereka. Ternyata
orangnya adalah seorang
gadis cantik yang bersenjata
aneh mirip sepasang
payudara. Mereka saling memberi
isyarat, dan kini
keempat orang itu telah berbalik
menerjang Roro. Ada-
pun si Tangan Kilat yang memang
telah mengetahui si
dara perkasa itu berada di
pihaknya tak segan-segan
segera turut membantu.
"Tahan! Aku si Tangan Kilat
harap diberi bagian
menggebuk manusia-manusia
panggilan gila pangkat
ini!" Teriaknya, seraya
menerjang maju. Kedua lengan-
nya adalah senjata andalannya.
Karena bisa di pergu-
nakan menabas tubuh lawan
menjadi dua potong BET!
BET! BET! WHUT... DUK! Tiga
hantaman telah dilan-
carkan memapaki serangan Tiga di
antara si Empat
Hantu Gunung Cireme itu, seraya
mengelakkan seran-
gan. Akan tetapi tak urung
perutnya kena dihantam
oleh tendangan orang keempat.
Membuat dia menga-
duh, dan terlempar bergulingan.
Pada saat itulah si Se-
tan Muka Kuning yang tengah
bertarung dengan Resi
Jenggala Manik lancarkan
serangan tiba-tiba, menge-
prak kepala si Tangan Kilat.
Untung Ki Jenggal Manik
cepat mengirim serangan telapak
tangannya hingga se-
rangan itu mencong ke sisi. Tapi
tak dinyana belasan
jarum berbisa telah terlebih
dulu meluruk ke tubuh
Tangan Kilat. Hingga tak ampun
laki-laki dari Lembah
Tengkorak itu menjerit ngeri.
Tubuhnya berkelojotan,
lalu tewas dengan seluruh kulit
tubuh berubah hitam.
"Manusia laknat!"
Membentak sang Senapati
Satryo. Seraya lakukan serangan
dari belakang pung-
gung si Setan Muka Kuning. Akan
tetapi lagi-lagi dia
harus menghindar dari asap
beracun yang dikebutkan
ke arahnya.
"Mundurlah muridku! Biar
aku yang memberi
hajaran manusia andalan Ki Patih
Buntaran ini!" Ber-
bareng dengan kata-katanya tubuh
Resi Jenggala Ma-
nik telah berkelebatan bagaikan
bayangan putih, yang
berada di simpang siurnya asap
beracun. Namun...
PRAKK...! Lengan sang Resi telah
berhasil membuat
kepala tongkat beracun itu
hancur terkena pukulan
tenaga dalamnya yang dahsyat.
Dan saat berikutnya
laki-laki berpakaian serba
kuning itu telah keluarkan
teriakan ngeri, karena satu
hantaman lagi membuat
kepalanya seketika rengat.
Kini ganti si Setan Muka kuning
yang berkelojo-
tan, berteriak-teriak meregang
nyawa. Dan pada saat
itulah tiba-tiba berkelebat
sesosok tubuh hitam yang
mencengkeram perutnya.
BRROLLL...! Menggeliat si
Setan Muka Kuning. Lalu sekejap
kemudian tewas.
Terkejut sang Resi maupun
Senapati Satryo. Sesosok
tubuh hitam itu adalah seorang
bocah kecil berkulit hi-
tam yang kini menata keduanya
dengan sepasang ma-
ta mendelik liar., Kedua
lengannya bersimbahkan da-
rah. Adapun Roro Centil agak
terkejut melihat datang-
nya makhluk kecil itu, karena
mengingatkan pada pe-
ristiwa belakangan, ketika dia
menemukan sepasang
senjatanya berada pada bocah
hitam itu. Namun ke-
sempatan itu rupanya telah
dipergunakan keempat
Hantu Gunung Cireme itu untuk
melesat kabur. Bu-
kan main mendongkolnya Roro.
Tiba-tiba lengannya
telah meraih segenggam batu
kerikil. Dan... SERRR...!
Belum lagi jauh si Empat Hantu
Gunung Cireme itu,
telah terdengar suara teriakan
paraunya. Tubuh
keempat orang itu jatuh ngusruk,
untuk segera berke-
lojotan. Namun tak lama sudah
menggeliat untuk se-
gera lepaskan nyawa. Karena
masing-masing pung-
gung dan lehernya telah
tertembus batu-batu kerikil
yang dilontarkan Roro, yang
langsung membawa nya-
wanya ke akhirat.
BRET..! Tahu-tahu si bocah hitam
itu sudah
menyerang sang Resi Jenggala
Manik, yang jadi terke-
jut. Kelitan tubuhnya tak
berhasil dihindarkan. Karena
bahunya sudah kena dicengkeram
kuku si bocah hi-
tam itu, hingga jubahnya robek
sampai melukai kulit
pundaknya. Terperangah sang Resi
dan Roro maupun
Senapati Satryo. Sang Senapati
ini sudah melompat ke
hadapan gurunya.
"Awas! Hati-hati sobat
Senapati! Biar aku yang
menghadapi!" Teriak Roro.
Dan tubuhnya sudah berke-
lebat ke arah bocah aneh itu.
"He!? Siapakah namamu, anak
kecil? Siapa
ibumu... dan siapa ayahmu?"
tanya Roro. Ini adalah
pertanyaan yang kedua kali dilakukannya sejak Roro
menemukan bocah hitam itu. Akan
tetapi jangankan
menyahut, mendesis pun tidak
bocah hitam ini. Cuma
sepasang matanya saja yang
mendelik menatap Roro
Centil. Terutama pada senjata
sepasang Rantai Genit
di tangan sang Pendekar wanita
itu. Pada saat itulah
berkelebat sesosok tubuh
disertai suara tertawa yang
mencekam hati. Dan diiringi
munculnya sesosok tubuh
wanita yang berambut beriapan.
"Hihihi... hihi... anakku!
Ke sinilah sayang!"
ujar wanita berambut beriapan
itu. Terkejutlah sang
Senapati karena mengetahui
wanita itu adalah DUR-
GANDINI, alias permaisuri
Baginda Raja Kerajaan Mat-
syapati, yaitu Prabu Gurawangsa.
Yang membuat aneh
adalah wanita itu menyebut anak
pada si bocah hitam
itu. Sekali berkelebat, si bocah
hitam itu sudah men-
dekati Durgandini.
Apakah sebenarnya yang terjadi
dengan Dur-
gandini? Mengapa secepat itu
telah mempunyai seo-
rang anak yang ditaksir berusia
sekitar lima enam ta-
hun?
Kiranya sudah menjadi kenyataan
bagi Dur-
gandini, yang harus segera
melahirkan dalam waktu
yang amat singkat. Cuma beberapa
pekan saja dia
mengandung. Dan tiga-empat hari
kemudian selisih-
nya sejak lenyapnya NAWANGSIH,
sang selir yang su-
dah diresmikan sebagai
Permaisuri Raja, Durgandini
telah melahirkan seorang bayi
aneh. Karena keluarnya
dengan bentuk asap, yang
kemudian menjelma menja-
di seorang bocah berkulit hitam,
namun mirip seperti
bocah yang berusia lima-enam
tahun.
Seperti telah diceritakan di
bagian depan, di
mana ketika kepala TRI AGNI yang
putus telah me-
layang dari Lembah Tengkorak,
kembali ke bukit Ma-
kam Tua. Lalu masuk ke dalam
tubuh Durgandini dan
bersenyawa dengan sang anak
perempuannya itu. Saat
itulah Durgandini telah
kemasukan segala kesaktian
yang dipunyai Tri Agni ibunya.
Dan Ajian DASA JIWA
dengan sendirinya berpindah
padanya. Durgandini
langsung merasakan dirinya
mengidam. Akan tetapi
mengidamnya adalah keinginannya
untuk menghirup
darah manusia. Demikianlah,
ketika itu juga tubuhnya
berkelebat untuk mencari darah.
Dan seorang petani
menjadi korbannya, yang
dibunuhnya di tengah sa-
wah. Lalu dihisap darahnya.
Demikianlah, beberapa hari
selanjutnya Dur-
gandini selalu mencari korban
penduduk desa yang di-
lakukan dengan sembunyi-sembunyi.
Hingga selang
beberapa pekan kemudian perutnya
semakin membe-
sar. Walaupun Durgandini amat
heran karena baru
berjalan mengidam selama tiga
hari, tahu-tahu keeso-
kan hari di hari keempat,
perutnya sudah kelihatan
menggembung kecil. Semakin hari semakin
membesar.
Dan selama itu Durgandini selalu
menyantap makanan
yang sudah tidak asing lagi
baginya. Tentu saja setelah
membunuhnya, terlebih dulu
mengambil sejumput
jantung dan paru-paru. Bila
sudah berhasil mencuri,
tentu sisa-sisa tubuh bayi yang
sebagian sudah ber-
pindah dalam perutnya itu,
dilemparkan wanita itu
dimana saja. Hingga tak jarang
di setiap tempat ba-
nyak ditemukan mayat-mayat bayi
yang sudah tidak
utuh lagi. Hal mana membuat
penduduk di beberapa
tempat jadi ketakutan. Berita
adanya makhluk pema-
kan daging manusia dan peminum
darah telah terse-
bar ke desa-desa terdekat.
Terutama berita itu dibawa
dari desa asal kejadian, yaitu
desa dimana adanya seo-
rang jagoan desa bernama Bendot.
Namun beberapa
pekan sejak Bendot dan beberapa
kawannya mencari
jejak si pembunuh keluarga
seorang penduduk desa,
Bendot dan kawan-kawannya tak
pernah muncul lagi.
Tentu saja membuat para
keluarganya menjadi resah.
Penduduk nekat mencari mereka.
Pencarian yang be-
lum tentu membawa hasil bahkan
ketika mereka yang
dipimpin oleh kepala desa itu
berangkat, desa Lamtoro
telah kemasukan manusia-manusia
begundalnya Ra-
den Mas Cucak Ijo. Seperti
diketahui Raden Mas Cu-
cak Ijo itu adalah manusia
cecunguk yang jadi orang
kepercayaannya Ki Patih
Buntaran.
Manusia-manusia bejat itu enak
saja melaku-
kan pemerkosaan para wanita di
desa yang hampir ko-
song itu. Bahkan rumah kepala
desa dijadikan tempat
"pertarungan" di atas
pusar dan tubuh-tubuh mulus
sang perawan desa. Seperti telah
diceritakan, Roro
Centil telah mengamuk di dalam
rumah panggung mi-
lik kepala Desa itu. Dan
melenyapkan nyawa belasan
manusia bejat yang tengah
berpesta-pora dengan sega-
la kebrutalannya.
Beberapa pekan kemudian perut
Durgandini
semakin besar. Dan akhirnya pada
suatu malam yang
mencekam. Rembulan tak
menampakkan diri. Angin
membersit keras disertai
hawa dingin yang menusuk
ke tulang sumsum. Durgandini
berjalan tertatih-tatih
di malam gelap itu. Sementara di
angkasa berkali-kali
membersit ,cahaya kilat menyibak
gelapnya malam.
Tenaga Durgandini entah mengapa
seperti hilang le-
nyap.
"Oh, aku harus cepat tiba
di Makam Tua..!"
gumam Durgandini. Sementara dia
tengah melangkah
terhuyung melewati satu kebun
jagung milik seorang
petani. Perutnya terasa semakin
mulas. Dan tubuhnya
gemetaran, disertai hawa panas
yang bergolak di da-
lam perutnya. Apakah bayiku akan
segera lahir? Ber-
kata Durgandini dalam hatinya.
Wanita ini mencoba
mengerahkan kekuatan pada
kakinya untuk berjalan
lebih cepat,
atau kalau mungkin mengerahkan
tenaga un-
tuk melesat dengan ilmu kesaktian yang telah dimili-
kinya. Akan tetapi tenaganya
memang telah punah.
Dia cuma bisa melangkah dengan
kaki tersaruk-saruk
dan tubuh terhuyung.
Dalam pada itulah Durgandini
mendengar sua-
ra-suara mendekati ke arahnya.
Dan puluhan obor se-
gera menyala, diiringi dengan
tersembulnya beberapa
sosok tubuh yang segera
mengurungnya dengan senja-
ta-senjata terhunus. Kiranya
mereka adalah orang-
orang desa yang telah lama
mengincarnya. Karena
lambat laun toh diketahui juga
kalau banyaknya terja-
di bayi-bayi yang hilang, yang
mendapatkan sudah
mati dengan keadaan tubuh sudah
tidak utuh lagi,
adalah perbuatan seorang wanita
hamil yang gen-
tayangan ke beberapa desa.
"Kau tak dapat lagi
melarikan diri, wanita se-
tan..!w bentak salah seorang
yang tiba-tiba melompat
ke arah depan.
"Oh, apa salahku..?"
bela Durgandini. Padahal
hatinya berdebaran keras, karena
dia merasa telah tak
berdaya. Bahkan telah
berkali-kali dipanggilnya sang
ibu yang telah menyusup sukmanya
ke dalam tubuh-
nya, akan tetapi tak ada
tanda-tanda sang ibu menya-
huti kata-katanya.
"Bedebah! Aku lihat sendiri
kau menculik seo-
rang bayi, ketika bertamu ke
rumah pak Suko! Bukan-
kah kau menumpang menginap di
rumah Carik Desa
itu? Pak Suko yang kasihan
melihat wanita hamil ber-
jalan sendirian di sisi desa
untuk pulang ke rumahnya
yang jauh, segera mempersilahkan
kau menginap! Dan
tidur dengan istri pak Carik!
Tapi paginya kedapatan
istri Pak Suko telah mati! Dan
bayinya lenyap! Malam
itu aku meronda sampai pagi! Dan
aku memergoki kau
si wanita setan tengah memakan
mayat bayi itu..!"
berkata laki-laki bertubuh
jangkung itu, yang bernama
Sentul. Memang dialah yang telah
memergoki Durgan-
dini ketika tengah menyantap
makanan yang sudah
menjadi santapannya kebiasaannya
itu. Seketika pucat
piaslah wajah Durgandini.
"Bunuh saja...! Sudah,
jangan banyak buang
waktu, cincang sampai
lumat"! teriak salah seorang
yang sudah tak sabar lagi.
"Ya! Bunuh! Jelas dia bukan
manusia...!" teriak
seorang lagi yang kain sarungnya
kedodoran. "Tapi,
kakinya kenapa menginjak tanah!
Tuh, lihat...!" "gi-
tuan"nya anakmu yang sering
nongkrong di pinggir
kebun masih jelas terbawa di
kakinya!" berbisik seseo-
rang pada kawannya. Segera
menyahut seorang yang
pipinya tembam. "Iya, ya...
Tapi kalau manusia men-
gapa doyan makan daging bayi...?
Hiii... perempuan ini
jelas sebangsa si...
siluman...!? eh, ssi..."
"Si Mulan sih keponakanku,
monyong...!? Kalau
yang ini adalah SILUMAN!"
menjelaskan kawannya
yang bermata juling. "Oh,
ya... si Mulan" kata si pipi
tembam. Tapi dilihatnya si mata
juling justru nyengir-
kan mulutnya. Seraya ujarnya.
"Si... lu... man! Begitu
monyong! yang barusan
salah kau menyebutkan!"
"Ya, ya... sekarang aku
tahu! Jadi jelasnya dia
ini wanita Si.. lu.. man yang
gentayangan cari korban?"
kata si pipi tembam, seraya
menatap pada kawannya
agak ragu-ragu takut kalau
sebutannya salah di
ucapkan.
Mendelik mata si laki-laki mata
juling, dan se-
gera menyambar berkata lagi.
"Bodoh! Lagi-lagi salah
menyebutnya! Si.. Mu-
lan! Begitu yang betul! Masakan
menyebut si.. mat..
mul.. ng.. uud..?
Simalmulan."
"Ya, ya... terserah
kamulah!?" ujar si pipi tem-
bam yang sudah mengaku bodoh.
Karena mendadak
kepalanya jadi pusing memikirkan
sebutan itu. Semen-
tara salah seorang di depannya
telah mengangkat go-
lok tinggi-tinggi untuk menebas
kepala Durgandini.
Akan tetapi diantara rombongan
itu ada yang berteriak
mencegah.
"Jangan dibunuh dulu! Siapa
tahu dia manusia
biasa. Sebaiknya ditangkap saja!
Dan kita bawa ke Ko-
ta Raja! Siapa tahu dialah
penyebab kerusuhan di sa-
na! Selain kita berhasil
meringkus wanita keji ini, kita
juga bakal dapat penghargaan
dari pihak kerajaan!"
"Benar! Kita antarkan ke
rumah Tumenggung
Ki Meranggi! Aku tahu
rumahnya!" berkata salah seo-
rang lagi yang wajahnya cemong
kena asap obor. Akan
tetapi pada saat itu terdengar
suara tertawa mengikik
menyeramkan. Muncullah seorang
nenek-nenek bong-
kok, yang tahu-tahu sudah
berkelebat menyambar tu-
buh Durgandini. Dan membawanya
berkelebat lari.
Tentu saja mereka terkejut bukan
main, dan serentak
segera mengejar. Beberapa batang
tombak sudah me-
luncur deras ke belakang
punggung si nenek bungkuk
itu. Akan tetapi dengan sebat si
nenek bungkuk sudah
melesat ke arah hutan, lalu
lenyap di kegelapan ma-
lam.
Demikianlah, Durgandini malam
itu melahirkan
bayinya dengan didukuni si nenek
bongkok itu. Dan
melahirkan bayi aneh, yang
keluar dari dalam rahim
adalah darah yang berbau busuk
dan asap hitam yang
mengepul. Lalu menjelma jadi
seorang bocah yang ber-
kulit hitam. Demikianlah, ketika
beberapa hari kemu-
dian Roro menjumpai si bocah
hitam itu tengah me-
mainkan sepasang senjatanya si
Rantai Genit, yang
kemudian dirampas kembali oleh
Roro. Dan ketika di-
kejar, bocah hitam itu lenyap di
atas bukit dimana ter-
dapat Makam Tua. Mengenai si
nenek bongkok itu te-
lah lenyap lagi entah ke mana,
setelah memberikan
"mainan" aneh itu pada
si bocah hitam anak Durgan-
dini.
"Durgandini...!?"
sentak Resi Jenggala Manik.
Akan tetapi tiba-tiba sang Resi
sudah membentak ke-
ras. "Nini BLENGOH...!
Iblis siluman bongkok Gunung
Setan! Kiranya kau..!"
Dan... WHHUKKK..! Sang Resi
telah menerjangnya dengan angin
pukulan keras. Se-
gelombang angin panas menerjang
Durgandini. Ada-
pun Durgandini cuma mengikik
tertawa, seraya me-
mapaki serangan sang Resi.
BUNGGH..! Dua tenaga dalam hebat
yang amat
tinggi telah sating beradu
dengan timbulkan hawa pa-
nas dan suara berdentum keras.
Tampak sang Resi
terhuyung delapan tindak.
Sedangkan Durgandini me-
nyurut ke belakang lima-enam
tindak. Akan tetapi se-
kejap tubuh Durgandini telah
berubah menjadi si Ne-
nek Bongkok yang pernah menawan
Roro Centil den-
gan tali jerat gaib, dan
membelenggunya di kerangkeng
gaib di dalam goa. Terkejut
seketika Roro Centil. Ada-
pun Senapati Satryo jadi
belalakkan sepasang ma-
tanya.
"Hah!? teriak Senapati
Satryo.
"Hihihik.. hik hik hik...
Satryo! Satryo..! Dur-
gandini sudah mampus. Setelah
melahirkan bayi silu-
man ini! Bahkan Ilmu DASA JIWA
milik ibunya kini te-
lah berpindah pada bocah ini!
Hihihi... dia adalah bo-
cah andalanku, karena aku telah
menguasainya...!"
berkata si Nenek Bongkok alias
Nini BLENGOH itu.
Terkejut Senapati Satryo. Juga
Sang Resi Jeng-
gala Manik maupun Roro Centil.
Roro memang sudah
mendengar adanya Ilmu DASA JIWA
yang dimiliki seo-
rang wanita pada puluhan tahun
yang silam bernama
TRI AGNI. Tapi dia tak menyangka
kalau ilmu itu be-
rada pada Permaisuri yang lenyap
pertama kali itu,
yaitu Durgandini. Bahkan menurut
si Durgandini pal-
su, kini Ilmu Dasa Jiwa telah
berpindah pada tubuh si
bocah hitam, yang ternyata
adalah anak Durgandini.
Roro yang mengetahui dari
Senapati Satryo akan man-
dulnya Permaisuri Durgandini,
jadi terkejut, karena
Durgandini telah melahirkan
bayi, alias si bocah hitam
itu Sedangkan orangnya sendiri
menurut si nenek
Bongkok telah tewas sejak
melahirkan bayinya.
"Mengapa begitu
cepat?" desis Roro. Tak masuk
akal di benak Roro Centil.
Karena diketahuinya dari
Senapati Satryo, kalau
Durgandini baru beberapa pe-
kan ini lenyap dari istana.
Begitupun dengan Satryo
dan Resi Jenggala Manik, yang
tahu betul pada Dur-
gandini. Akan tetapi memang tak
ada kesempatan un-
tuk mencari bukti bahwa bocah
itu anak Durgandini.
Karena tiba-tiba si nenek Bongkok telah menerjang
dengan pukulan lengannya. Seraya
berujar pada bocah
hitam. "Hihihik... bikin
mampus mereka, cucuku!" ten-
tu saja Resi Jenggala Manik
harus hati-hati mengha-
dapi si nenek bongkok, yang
sudah jelas bertenaga da-
lam di atasnya. Namun Resi
Jenggala Manik pun bu-
kan tokoh Rimba Persilatan
golongan rendah. Ilmu ba-
thin yang dimiliki telah
sedemikian tinggi, hingga tak
berhasil si nenek bongkok menipu
pandangan matanya
dengan tubuh Durgandini.
Adapun Roro Centil segera
berkelit ketika tahu-
tahu si bocah siluman itu
menerjangnya. Senapati Sa-
tryo tabaskan pedangnya.
CRAS...! CRAS...! CRAS...!
Gerakan kejutan yang
dilancarkannya membawa hasil
secara cepat dan memuaskan.
Tubuh si bocah siluman
itu terpental jadi tiga potong
Roro juga agak terkejut,
karena tak menyangka Senapati
Satryo bertindak ce-
pat dengan melompat ke samping.
Mengirim serangan
pedangnya dengan gerakan kilat.
Potongan tubuh si
anak hitam jatuh berdebuk di
tanah. Akan tetapi se-
lang sekejap Roro dan Sang
Senapati jadi belalakkan
matanya. Karena bukannya ketiga
potongan tubuh itu
menyambung lagi, akan tetapi
tiga potongan tubuh itu
berubah menjadi tiga tubuh bocah
hitam. Hingga kini
di hadapan mereka ada tiga orang
bocah siluman yang
menatap tajam dengan tiga pasang
matanya yang ber-
kilatan. Terperangah Roro
Centil. Seumur hidupnya
baru mengetahui ada tiga potong
tubuh yang telah pu-
tus bisa menjelma lagi.
"Bocah Iblis...!" bentak Roro
Centil. Dan senjata Rantai
Genitnya berkelebat... Akan
tetapi sudah terdengar satu
bentakan keras.
***
TUJUH
Sementara kita beralih pada si
Dewa Linglung,
yang sudah jatuhkan pantatnya di
atas kasur empuk.
Bahkan beberapa kali dia
gerak-gerakkan tubuhnya
hingga mumbul-mumbul di kasur
kapuk bertilam kain
sprei merah jambu. Pembaringan
yang berbau harum
semerbak kembang Melati.
"Heeii! Nona-nona pelayan!
Mana pakaian
pengganti untukku?" bentak
si Dewa Linglung. Karena
sejak tadi ditunggu-tunggu di
kamar Pesanggrahan itu,
tak juga muncul satu pun dari,
enam pelayan baju me-
rah yang tadi mengantarkan ke
tempat mandi. Tubuh
pemuda ini hanya terbungkus kain
selimut saja. Dan
dalam kamar itu tak ada sebuah
pun lemari pakaian.
Buntalan pakaiannya yang berisi
dua stel pakaian ko-
tor yang sudah bau itu pun entah
di mana adanya. Se-
dangkan baju yang tadi dipakai
sudah dibawa oleh pe-
layan baju merah untuk direndam.
Kesal si Dewa Lin-
glung menanti sekian lama tak
ada orang yang mun-
cul. Dasar pemuda linglung,
sampai-sampai dia tak
tahu di mana dia telah menaruh
pedangnya. Kini si
pemuda yang boleh dikatakan tolol
itu cuma bisa non-
gkrong di pembaringan menunggu
sang pelayan datang
bawakan pakaian salin untuknya.
Ketika hampir habis
kesabarannya, tiba-tiba pintu
kamar Pesanggrahan
terbuka berderit. Dan yang
muncul bukannya para pe-
layan, baju merah, akan tetapi
si dara cantik baju hi-
jau... Tertegun si pemuda itu.
Karena si dara baju hi-
jau setelah rapatkan pintu
kamar, segera loloskan pa-
kaiannya.
"Kau... kau ... bukankah
mau mandi...?" tanya
si Dewa Linglung.
"Ya...! tentu saja
Dewa ku yang gagah perka-
sa...! Aii..? hari rupanya sudah
menjelang malam! Se-
gera akan ku ambilkan pakaianmu...!". Menyahuti si
dara, yang segera menyambar
handuk. Dan tak lama
segera melangkah berlenggang
keluar pintu kamar
yang barusan dibukanya. Wajahnya
masih sempat
berpaling. Dan sepasang matanya berikan kerlingan
genit pada si Dewa Linglung.
Sedang sang bibir mungil
itu telah sunggingkan senyum
penuh arti. Senyum
yang mengandung madu, namun madu
itupun men-
gandung pula racun.
Pesanggrahan itu telah dikepung
ketat oleh
laskar Kerajaan di
bawah pimpinan Senapati Satryo
dan Tumenggung Ki Meranggi.
Beberapa pentolan
kaum golongan hitam berhasil
ditumpas, yang se-
dianya akan dipergunakan Ki
Patih Butaran untuk
niatnya memberontak merebut
kerajaan Matsyapati.
Akan tetapi diluar dugaan sarang
komplotan Ki Patih
Buntaran telah dicium jejaknya
oleh beberapa tokoh
golongan putih yang berpihak
pada Kerajaan. Ternyata
diantara para tokoh itu terdapat
juga Ki Jagur Wehd-
ha, guru Joko Sangit. Tentu saja
si laki-laki itu kena
damprat habis-habisan oleh
gurunya. Yang sudah tak
mempunyai kaki lagi. Akan tetapi
tokoh yang bergelar
Pendekar Gentayangan itu masih
hebat luar biasa, wa-
lau usianya telah lebih dari 100
tahun.
Sementara itu para gadis baju
merah segera di
tawan. Dan Ki Patih Buntaran tak
bisa berkutik lagi
menyerahkan diri. Ternyata otak
dari pembunuhan-
pembunuhan keji itu adalah
akibat dari ulah perbua-
tannya, yang dibantu oleh
tokoh-tokoh kaum Rimba
Hijau dari golongan hitam.
Sementara itu pertarungan
seru melawan bocah siluman
ternyata dapat segera be-
rakhir dengan munculnya sang
guru Roro Centil. Alas
si manusia BANCI. Alias si
Manusia Aneh Pantai Sela-
tan. Namun kemunculannya
tetaplah menjadi teka-teki
bagi Roro. dan bagi semua kaum
Rimba Hijau. Karena
menurut berita yang tersebar,
adalah wanita Banci itu
telah tewas oleh ketiga istri si
Dewa Tengkorak di sa-
rangnya sendiri... Roro Centil
walaupun bergirang,
namun juga bersedih. Karena tak
dapat bertemu muka
dengan gurunya. Kemunculan
"wanita" kosen itu cuma
kelebatan tubuhnya saja, dan
suara bisikan pada te-
linga Roro agar dengan tekun
terus memperdalam il-
munya. Karena bertambah banyak
tokoh-tokoh kosen
dari golongan hitam yang terus
bermunculan. Adalah
menjadi tugas kewajibannya
menegakkan keadilan dan
kedamaian di atas jagat ini.
Cuma ada satu hal. Yaitu ke
manakah lenyap-
nya Nawangsih, selir Baginda
Raja Prabu Gurawangsa
itu? Mungkin anda pernah
mendengar nama GIRI
MAYANG? Dialah orangnya. Wanita
itu bisa membuat
perutnya menjadi gembung seperti
mengandung tiga
bulan atau lebih. Dia telah
melenyapkan diri karena
mengetahui kemunculan Roro
Centil. Giri Mayang
mempunyai dendam sakit hati pada
Roro sedalam lau-
tan. Namun belum masanya untuk
dia bertarung me-
lawan si Pendekar Wanita Pantai
Selatan itu. Dan dia
melenyapkan diri dalam keadaan
kerajaan menjadi ga-
duh. Namun dia sudah rasakan
nikmatnya menjadi
seorang permaisuri Raja.
***
Adapun si pemuda tolol yang
digelari si DEWA
LINGLUNG itu tahu-tahu sudah
lenyap dari kamar Pe-
sanggrahan. Dia tak akan pernah
tahu kalau wanita
baju hijau itu adalah Giri
Mayang. Dan tak akan per-
nah tahu kalau wanita baju
hijau
itu adalah NAWANGSIH. Karena
orangnya su-
dah melenyapkan diri, menghilang
tak tentu rimbanya.
Ketika panas terik kembali
membakar bumi,
tampak pemuda itu tengah
berjalan dengan tubuh
sempoyongan. Dan anehnya dia
sudah tak menyan-
dang lagi pedang dan
buntalannya. Karena dia me-
mang sudah linglung lagi, tak
tahu kalau pedangnya
sudah lenyap. Melewati satu
lembah yang berumput
tebal, sesosok tubuh telah
berkelebat melompat,
menghadangnya. Kiranya Roro
Centil.
"Eh!? Kau... kau...
bukankah GINANJAR...?"
tanya Roro dengan wajah kaget,
dan girang. Ginanjar
adalah saudara seperguruan Roro
Centil, yang telah
dikenalnya sejak Roro berguru
pada si Maling Sakti
alias Jarot Suradilaga, di
lereng gunung Rogojemban-
gan. Dan Ginanjar adalah murid
mertuanya Jarot,
yang juga gurunya si Maling
Sakti itu. Jadi boleh dibi-
lang masih satu saudara
seperguruan. Namun Roro
Centil memang banyak mengalami
peristiwa dan pen-
galaman hidup hingga sejak
berpisah sudah mempu-
nyai bayang guru terutama si
Manusia Aneh Pantai Se-
latan alias si Manusia Band.
Bahkan pernah menjadi
murid paderi asal Nepal bernama
Paderi Jayeng Rana
di lereng gunung Wilis.
Mengetahui ada gadis cantik
mencegat di hadapannya dan
memanggil dengan sebu-
tan nama yang terasa asing
baginya itu, membuat dia
tetap wajah orang lekat-lekat.
"Hahaha... apakah namaku
Ginanjar, aku sen-
diripun tak ingat! Tapi wajah
nona seperti kukenal! Ya,
wajah itu sering berada dalam
mimpi ku...! Kau me-
mang gadis satu-satunya yang
kucintai di Dunia ini.
Tak aku tak tahu lagi namamu!
Eh, nona cantik, keka-
sihku ,! Juwita ku...!
Sebutkanlah siapa namamu,
atau... ya, gelarmu pun boleh!
Tapi Oh, sebaiknya dua-
duanya! Namamu dan gelarnya
sekaligus! Haha...
hehe... hehe... baru aku
puas!" ujar si pemuda linglung
itu.
Terkejut seketika Roro Centil.
Jelas sudah tak
mungkin salah, kalau pemuda ini
adalah Ginanjar.
Akan tetapi mengapa kelakuannya
jadi sedemikian
aneh? Apakah yang terjadi?
Pemuda itu sudah tak in-
gat akan dirinya sendiri. Dan
tak lagi mengenali siapa
gadis di hadapannya. Namun ingat
kalau wajah di ha-
dapannya sering muncul di alam
mimpi. Roro terpe-
rangah seperti tak percaya.
"Ginanjar...! sadarlah,
aku.. aku RORO! Aku
Roro Centil! Masakah kau tak
ingat aku? Aku dijuluki
orang si Pendekar wanita Pantai
Selatan! Aku RORO.!.!
aku RORO...!" berkali-kali
Roro Centil menyebutkan
nama dirinya. Akan tetapi si
Pemuda sudah benar-
benar linglung. Dia tampak
tercenung lama, memikir.
"Rorro,..?" ucapnya
dengan lidah terasa aneh
untuk mengucapkannya.
"Apakah benar kekasihku
yang dulu itu berna-
ma... RO...RO...?" gumannya
sendiri, Akhirnya si pe-
muda itu berkata, seperti
mengeluh.
"Entahlah! Aku tak mampu
mengingatnya lagi!"
ucapnya. Terkejut Roro Centil.
Diam-diam Roro geli ju-
ga, akan tetapi memang lebih
banyak anehnya. Justru
Roro sendiri tak menyadari kalau
dirinya juga terma-
suk orang yang aneh. Tiba-tiba
Roro Centil tertawa
mengikik geli, bahkan
terpingkal-pingkal.
"Hihih...hih...hihihi...
Mengapa kau jadi lin-
glung begini?"
"Hei!? baru
kuingat...aku...akulah si DEWA
LINGLUNG! Ya, aku dijuluki
demikian oleh orang Rim-
ba Persilatan!" Tentu saja
membuat Roro hentikan ter-
tawanya. Sepasang matanya
menatap tajam-tajam pa-
da pemuda itu. Tapi kini
sepasang mata itu telah ber-
kaca-kaca. Sebentar lagi tentu
akan turun mengalir air
bening dari kelopak mata gadis
Pendekar ini, kalau tak
buru-buru dia palingkan
wajahnya.
Namun sebelum air mata itu
turun, tubuh sang
dara itu sudah berkelebat lenyap
dari hadapan si Dewa
Linglung. Saat itu rupanya
barulah membuat si pemu-
da tersadar. Dan mendadak
ingatannya pulih. Sayang
dia sudah kehilangan jejak orang
yang selalu dirin-
duinya itu, namun lupa namanya.
Akhirnya dia balik-
kan tubuh mengejar, seraya
terdengar suara teriakan-
nya.
"ROROOO...!
ROROOOOOOOOO...!” suaranya
terdengar berkumandang ke setiap
penjuru. Akan te-
tapi Roro Centil sudah
berkelebat jauh sekali. Dan di-
antara desah angin ketika
tubuhnya berlari, air mata
gadis itu pun sudah menitik
terbang terbawa angin.
Masih terdengar si Dewa
Linglung.
"Rorooooooooo...! Aku
mencintaimu...! aku
mencintaimu....!" aku
mencintaimu.....!" Namun suara
teriakan pemuda itu pun lenyap
juga akhirnya. Dan
Roro Centil cuma bisa menghela
napas. Sementara ha-
tinya berbisik. Roro! Entah
kapan kau mau mencintai
seorang laki-laki? Dan dari
relung hatinya yang paling
dalam ada jawaban. Entahlah!
Mungkin 10 tahun lagi,
mungkin juga 100 tahun, atau
mungkin juga 1000 ta-
hun lagi, aku tak tahu: Ya, aku
memang tak mengeta-
hui.....
Tapi ada satu bisikan dari hati
yang sadar, na-
mun begitu trenyuh...
"Dewa Linglung...! ah,
betapa malangnya nasib
mu..."
TAMAT
Emoticon