seorang telah menyanggapnya ...
dan memon-
dongnya diatas bahu, serta
membawa tubuhnya
entah kemana. Kedua orang itu
larinya tak berapa
cepat. Karena wajahnya tertutup
topeng, cuma
matanya saja yang tersembul dari
kedua lubang
di bagian depan itu, Roro tak
dapat mengetahui
wajah orang. Mereka berdua tak
mengeluarkan
suara, hanya memakai bahasa
isyarat saja. Akan
tetapi Roro dapat mengetahui
orang yang me-
manggul tubuhnya itu, seorang
wanita. Tiba-tiba
ia mendengar suara bentakan
keras... dan tahu-
tahu tubuhnya telah jatuh bergulingan.
Entah
apa yang terjadi. Kiranya pada
saat itu muncul
lagi sesosok tubuh, yang juga
bertopeng dan ber-
pakaian serba hitam. Dan telah
menyerang kedua
orang bertopeng itu. Mengapa
mereka saling ter-
jang... ? Pikir Roro, yang dapat
melihat dari sela-
sela jala. Tubuh wanita yang
memanggul tubuh-
nya itu tampak telah berdiri
lagi. Ternyata orang
bertopeng yang tadi menyerang
kedua orang yang
menolongnya, adalah yang tadi
telah menjebak
Roro. Dapat diketahuinya dari
ujung topengnya
yang lancip seperti kukusan.
"Heh! Kalian kira dapat
mengelabui mataku
dengan menyamar sebagai anggota
Siluman Hi-
tam..?" Terdengar si Topeng
lancip menggertak
dengan suara keras. Kedua orang
yang tadi meno-
longnya itu tampak telah saling
beradu pung-
gung, siap dengan senjata
ditangan.
"Kita telah
ketahuan..." Terdengar salah
seorang berdesis.
"Benar, buat apa kita
memakai topeng..!"
Kata salah seorang, yang suara
keduanya itu se-
perti berbisik-bisik. Dan serentak
saja mereka ti-
ba-tiba melepaskan kedua
topengnya. Terkejut
Roro Centil ketika mengetahui
siapa adanya ke-
dua orang itu. Yang ternyata
adalah, Sentanu dan
Roro Dampit. Kiranya mereka
telah menyaru se-
bagai orang dari komplotan
Siluman Hitam. Sepa-
sang suami isteri itu tampaknya
tidak merasa
gentar dengan orang bertopeng
lancip dihadapan-
nya. Tidak menunggu terlalu lama
lagi Roro Dam-
pit telah lakukan serangan
menerjang orang di-
hadapannya, dengan pedang
telanjang.
Plak! Des!
Hanya dua kali gerakkan tangan,
pedang
ditangan Roro Dampit telah
terlempar... Sedang-
kan sebuah pukulan telah membuat
tubuh Roro
Dampit terlempar lima enam
tombak. Sentanu
cepat memburunya dengan
terkejut. Ia yang il-
munya masih jauh dibawah
isterinya, mana
mungkin menghadapi orang sakti
dihadapan-
nya...? Roro pun mengerti akan
laki-laki itu, yang
boleh dikatakan tidak memiliki
tenaga dalam,
hanya kepandaian biasa saja.
Kelebihan Sentanu,
adalah keberaniannya, serta
kepandaiannya da-
lam taktik bertempur. Karena
memang Sentanu
bekas seorang prajurit Kerajaan,
dan anak seo-
rang Senapati. Tapi menghadapi
si manusia ber-
topeng lancip, yang telah
berhasil menjebak Roro
Centil itu, rasanya akan bisa
bernasib naas. Oleh
sebab itulah diam-diam Roro Centil
mengirim su-
txt oleh
http://www.mardias.mywapblog.com
ara melalui tenaga dalamnya ke
telinga kedua
orang suami isteri itu.
Mendengar peringatan Roro, dari
dalam ja-
la sutera, seketika keduanya
saling berpandan-
gan.
"Ssst! Kak Sentanu, sebaiknya
kita turuti
saja usulnya. Melawanpun tak
guna. Aku yakin
Pendekar Roro Centil dapat
membebaskan diri...!"
Berbisik Roro Dampit. Sentanu
hanya anggukkan
kepala. Dan sekejap kemudian
keduanya telah
bergerak melompat menyelamatkan
diri. Tampak-
nya si topeng lancip yang tak
lain dari ketua Si-
luman Hitam itu, tak berniat
mengejar. Ia hanya
perdengarkan dengusan hidungnya.
Dan berkele-
batlah ke arah dimana Roro
Centil masih mering-
kuk di dalam jala dengan keadaan
tertotok. Sekali
sambar ia telah angkat
tawanannya ke atas pun-
dak, dan dibawa melesat pergi.
***
Tumenggung Harya Anabrang
larikan ku-
danya dengan cepat. Penduduk
desa Tepus cuma
bisa tatapkan matanya saja,
melihat sang Tu-
menggung yang membawa pulang
anak laki-
lakinya dalam pangkuannya.
Tinggalkan derap
kaki-kaki kuda yang semakin
menjauh. Wajahnya
tampak merah padam. Kuda dipacu
bagai dikejar
alap-alap dengan tujuan Sulang.
Sementara Pra-
setyo cuma bisa berdiam
diri dengan menahan
sakit pada kakinya yang putus.
Tak dikisahkan dalam perjalanan.
Gedung
sang Tumenggung telah kelihatan
dari kejauhan
berada di tengah desa. Ketika
derap kaki-kaki
kuda terdengar memasuki halaman
gedung, bebe-
rapa orang sudah berlari
menyambutnya.
"Selamat datang Kanjeng
Gusti..." Salah
seorang sudah berikan kata-kata
penyambutan
dengan hormat. Namun segera
terkejut melihat
keadaan Prasetyo.
"Hah..!? Apakah yang telah
terjadi..?" Ber-
teriak salah seorang dari
penjaga-penjaga gedung
itu. Yang dengan segera
menurunkan dan me-
mayang tubuh pemuda itu, untuk
selanjutnya di-
bawa masuk ke dalam gedung.
Tumenggung
Harya Anabrang sudah berikan
perintahnya.
"Kalian rawatlah,
dia...." Berkata ia dengan
wajah masih tampilkan kelelahan.
Dan selanjut-
nya ia telah melangkah cepat ke
dalam gedung.
Pertama yang ia temui adalah
seorang pembantu
wanita tua, yang cepat-cepat
membungkukkan
tubuh di hadapannya memberi
hormat.
"Mana Ndoromu..."
Bertanya sang Tumeng-
gung. Yang dijawab dengan suara
tergagap oleh si
pembantu wanita tua itu.
"Hamba... hamba tidak
mengetahui kema-
na perginya Kanjeng
Gusti..."
Terbeliak mata sang Tumenggung
menden-
gar jawaban itu. Segera saja ia
telah melangkah
cepat memeriksa kedalam kamar.
Dan terlihatlah
keadaan pembaringan yang
berantakan dengan
kasur dan bantal serta sprei
yang tidak beratu-
ran. Terbersit satu dugaan yang
membuat wajah-
nya semakin merah, dan terasa
panas. Tiba-tiba
ia telah bergerak melangkah ke
arah tempat me-
nyimpan perhiasan. Ternyata
kotak berukir itu te-
lah terbuka diatas rak dinding.
Sedangkan isinya
telah lenyap... Begitu pula uang
perak dan emas
di bawah kasur telah ludes.
"Keparrat...!"
Teriaknya geram. Tiba-tiba ia
telah melompat keluar. Segera saja
ia telah ceng-
keram sang pembantu pada baju di
tengkuknya,
dan membentak keras.
"He...!? Mbok Kinah..! Apa
kau benar-benar
tak mengetahui...?" Tentu
saja hal itu membuat
sang pembantu ketakutan setengah
mati. Tiba-
tiba belum sempat sang pembantu itu
menjawab.
Telah terdengar satu teriakan
dari kamar Pra-
setyo. Sang Tumenggung terkejut,
ia sudah mau
bergerak melompat. Namun segera
ia batalkan
maksudnya karena memikir tentu
anaknya pasti
tengah sedang diobati lukanya.
Namun alangkah
terkejutnya ketika melihat sang
pembantu yang
baru saja dilepaskan cekalannya
itu telah terkulai
dilantai dengan mulut keluarkan
busa... Dan tu-
buhnya menggoser-goser ditanah,
seperti tengah
sekarat. Ketika Tumenggung Harya
Anabrang
memeriksa dan mengguncang-guncang
tubuhnya,
ternyata pembantu wanita tua itu
telah tewas. Ki-
ranya ketika tadi sang
Tumenggung memeriksa
kamarnya, sang pembantu wanita
tua itu telah
masukkan sesuatu pada mulutnya.
Rupanya itu-
lah pel racun. Terkesiap
seketika sang Tumeng-
gung Harya Anabrang. Kepanikan
yang luar biasa
terbayang pada raut wajahnya.
Bagaikan gila, ia
telah kembali melompat ke kamar
Prasetyo dan
tendang pintu yang tertutup.
Namun yang dili-
hatnya adalah benar-benar
membuat ia hampir
gila saking terkejutnya. Pemuda
yang putus ka-
kinya itu tampak tergeletak
dengan kepala terjun-
tai disisi pembaringan.
Sedangkan darah segar
tampak mengalir dari mata, mulut
dan hidungnya
yang masih terus mengucur ke
lantai.
"Prasetyooo...!"
Berteriak Harya Anabrang
menyaksikan kejadian itu. Segera
ia telah melom-
pat untuk memeluk anaknya. Dan
mengguncang-
guncangkan tubuhnya. Namun
seperti juga sang
pembantu tua itu, Prasetyo telah
tewas. Gemuruh
detak jantung sang Tumenggung
seperti mau me-
ledak dadanya. Rasa terkejut,
sedih dan murka
bertumpuk menjadi satu. Kali ini
tak ada air mata
mengalir turun dari pelupuk
matanya. Namun se-
ketika wajahnya telah berubah
menjadi beringas
menakutkan. Sekonyong-konyong ia
telah berte-
riak sekeras-kerasnya. Suaranya
terdengar serak
menakutkan. Dan tiba-tiba ia
telah mencabut ke-
ris berlekuk tujuh dari
pinggangnya. Dan ia su-
dah melompat dari jendela yang
terbuka itu.
Tampak olehnya beberapa sosok
tubuh baru saja
menyelinap dari sisi gedung.
Bagaikan seekor sin-
ga terluka ia telah berkelebat
mengejar. Dan yang
tampak, adalah orang-orangnya
sendiri, alias
pengawal-pengawal yang ia
percayakan untuk
menjaga gedung sepeninggalnya.
"Iblis-iblis keparat...!
Jangan harap kalian
dapat tinggal hidup didepan
mataku, kubunuh
kalian semua...!" Berteriak
ia bagaikan halilintar.
Dan menerjang beringas dengan
kerisnya. Tak
ampun lagi terdengar jeritan
ngeri dari para anak
buahnya sendiri itu. Ketika
dengan melompat ba-
gaikan kilat, ia telah dapat
mencegat ke arah me-
reka yang mencoba menyelamatkan
diri. Tiga so-
sok tubuh itu terjungkal.
Gerakan Tumenggung
Harya Anabrang memang di luar
dugaan, karena
dengan cepat telah mengejar ke
arah ujung tem-
bok, dimana mereka lenyap...
namun tiba-tiba ia
lompat kembali ke belakang. Dan
sekali enjotkan
tubuh ia telah berada di atas
tembok pagar ge-
dung. Dugaannya tepat. Mereka
ternyata mem-
pergunakan cara main
kucing-kucingan, dan
kembali lagi ke arah semula di
samping tembok.
Tak dinyana Tumenggung Harya
Anabrang telah
berpengalaman. Ia sudah putar
tubuh terlebih
dulu... dan dari atas tembok
pagar itu ia dapat li-
hat tegas orang-orangnya sendiri
yang bergegas
menyelamatkan diri. Saat itulah
ia telah kelua-
rkan bentakan menggeledek. Dan
bagaikan seekor
kucing yang menerkam mangsanya,
keris berle-
kuk tujuh yang telah telanjang
itu segera dis-
arungkan ke setiap leher dan
dada para iblis-iblis
pembunuh itu. Saat selanjutnya
ia telah melom-
pat lagi keatas tembok
pagar gedung, dan putar
kepala untuk melihat
sekelilingnya. Tiba-tiba
tampak olehnya beberapa sosok
tubuh berkeleba-
tan disekitar gedung.
Sosok-sosok tubuh hitam
itu terlihat mengenakan topeng
pada wajahnya.
Terkesiap hatinya seketika. Dan
teringat ia akan
ucapan Punta sebelum tewas.
"Keparat...! Mereka pasti
komplotan Silu-
man Hitam itu. Apakah mereka
telah menculik is-
terinya dan juga yang telah
menguras harta ben-
daku...?" Desisnya dengan
wajah pucat. Baru saja
mau melompat turun tiba-tiba
berkelebat sesosok
bayangan hitam, sambil
melemparkan sesuatu
yang menancap pada tembok
dibawah kakinya.
Ternyata sebuah paku, yang pada
ujungnya ter-
dapat lipatan kertas. Sosok
tubuh itu telah lenyap
lagi ketika ia palingkan
wajahnya. Cepat ia ber-
jongkok untuk mencabut paku
itu. Kembali ia
tersentak, karena paku panjang
itu adalah senja-
ta rahasia yang telah membunuh
Punta. Tanpa
pikir panjang ia telah melompat
turun. Segera ia
buka lipatan kertas itu.
Ternyata isinya sebagai
berikut :
"Tumenggung Harya Anabrang!
Rasakanlah
kehancuranmu...! Isteri dan
"anak" gadismu bera-
da d Gunung Butak! Mereka akan
segera jadi kor-
ban-korban persembahan untuk
Dewa Api! Silah-
kan datang untuk menyaksikan
upacaranya..!"
"Keparrraaat!"
Berteriak sang Tumenggung
karena marahnya. Tiba-tiba saja
ia telah melihat
adanya api yang menyala dari
dalam ruangan ge-
dung. Dan berturut-turut di
beberapa tempat te-
lah berkobar api, yang membakar
gedung milik-
nya di beberapa penjuru.
Tersentak lagi hati sang
Tumenggung. Segera ia berkelebat
masuk melalui
pintu belakang. Tampak beberapa
sosok bayan-
gan hitam berseliweran di antara
ruangan, dan
kembali menghilang tanpa bekas.
Brak!
Sesosok bayang hitam yang telah
melompat
dari sebuah ruangan, menabrak
jendela. Segera ia
melompat mengejar. Dan
terjadilah kejar-kejaran
yang mengelilingi setiap penjuru gedung. Geram
luar biasa Tumenggung, karena
yang dikejarnya
benar-benar bagaikan bayangan
siluman. Seben-
tar lenyap dibalik pintu.
Tahu-tahu muncul di be-
lakangnya. Ia kejar ke belakang,
telah lenyap lagi,
dan muncul di samping jendela.
Gemeretak gigi
Harya Anabrang dibuatnya.
Sementara itu api te-
lah kian membesar melalap
tiang-tiang bangunan
gedung yang merambat terus ke
atas wuwungan.
Tak berapa lama setiap kamar,
dan ruangan telah
dikelilingi api. Tersentak hati
Tumenggung Harya
Anabrang, ketika ia ingat akan
jenazah Prasetyo,
ia sudah gerakkan tubuh untuk
melompat ke
arah kamar puteranya. Akan
tetapi sekonyong-
konyong terdengar suara tertawa
berbareng di be-
lakangnya. Cepat ia palingkan
kepala. Dan terli-
hatlah delapan sosok tubuh telah
berdiri berbaris
di belakang gedung. Kesemuanya
bertopeng dan
berpakaian serba hitam.
"Keparat....! Kuhancurkan
kalian iblis-iblis
laknat..!" Ia sudah
melompat lagi mengejar. Tapi
sekali bergerak, mereka telah
kembali berpencar.
Namun kali ini ia telah
menggerung keras, bagai
singa terluka.
"Moddar..!" Teriaknya,
ketika itu juga keris
berlekuk tujuh itu telah minta
korban lagi
Brug...!
Salah seorang dari
manusia-manusia ber-
topeng itu cuma perdengarkan
teriakan pendek,
ketika tubuhnya roboh
terjungkal. Dan ternyata
punggungnya telah tertancap
keris sang Tumeng-
gung. Segera ia berkelebat
melompat ke arah ro-
bohnya orang itu. Ia putarkan
dulu kepalanya ke-
beberapa arah di samping
gedungnya. Dan den-
gan cepat telah mencabut kembali
kerisnya. Tiba-
tiba dengan gerak cepat ia telah
buka topeng wa-
jahnya, dan betapa terkejutnya
ia melihat siapa
adanya orang itu, yang tak lain
dari salah seorang
tamtama yang mengawalnya tadi
siang. Ia dapat
mengenalinya dari sebuah tompel
sebesar jempol
di bawah pipinya.
Kedua tamtama itu memang dititah
oleh Ki
Demang Pamotan untuk
mengawalnya.
"Setan laknat...!"
Berteriak Harya Ana-
brang. Ia benar-benar tak
mengerti akan semua
ini. Saking kesalnya ia telah
sambar tengkuk
mayat itu. Tak dinyana tenaganya
terlalu besar,
sehingga baju hitam si orang
bertopeng itu koyak
terbuka. Lagi-lagi ia dibuat
terkejut, karena meli-
hat sebuah "tato" pada
punggung si tamtama. Yai-
tu yang menggambarkan lambang
kepala tengko-
rak. Itulah lambangnya dari para
perompak-
perompak di Tanjung alap-alap.
Yang belum lama
berselang dan baru beberapa
pekan ini ia baru
kembali dari menumpas para
komplotan pemba-
jak tersebut disarangnya.
Tak habis pikir Tumenggung Harya
Ana-
brang, akan kenyataan-kenyataan
semua ini.
Namun ia tak dapat berfikir
lebih jauh, karena ia
jadi terkesiap melihat api yang
telah berkobar se-
makin membesar membumbung
tinggi, memba-
kar gedungnya. Detik itu juga ia
segera teringat
akan jenazah Prasetyo. Ia sudah
segera akan me-
lompat ke sana. Namun terlambat
sudah... Api
yang kian membesar itu telah
menambus seluruh
ruangan, termasuk kamar
Prasetyo. Terkesiap ha-
ti sang Tumenggung. Seketika
dengkulnya terasa
lemas. Tatapan matanya
dialihkannya ke tanah.
Sementara dua tetes air mata
telah menitik turun
membasahi pipinya. Harapannya
untuk menye-
lamatkan jenazahnya saja sudah
punah. Apalagi
nyawanya. Yang telah melayang
terlebih dulu.
"Oh. Tuhan... Apakah dosaku
geran-
gan...?!" Berteriak ia
sekuat-kuatnya. Namun sua-
ranya seperti tersekat di
kerongkongan. Laki-laki
perkasa ini tertunduk menggebrak
tanah. Ia cuma
bisa pandangi api... dan api!
Yang melulu terlihat,
dengan suara gemeretak melalap
atap gedungnya.
Hawa panas yang luar biasa
terasa membuat tu-
buhnya seperti terpanggang.
Keringat mengucur
semakin deras membasahi sekujur
tubuhnya. Lu-
luh lantak hatinya... dan hancur
lebur perasaan-
nya, seolah ia sudah tak
berpijak lagi di atas bu-
mi, memandang kenyataan itu.
Isteri... anak..
harta benda... Dan semua yang
jadi kebanggaan-
nya telah punah dalam sekejap
mata...! Langit se-
perti berubah merah, karena
cahaya merah dari
kobaran api, yang tengah melalap
habis gedung
sang Tumenggung. Percikan lelatu
seperti ribuan
kunang-kunang yang berterbangan
di udara. Na-
mun sang Tumenggung sudah tak
memperhati-
kan itu lagi. Ia balikkan tubuhnya
untuk melang-
kah pergi. Entah mungkin
seandainya orang-
orang bertopeng itu muncul
menyerangnya, ia
pun tak akan lagi mengetahui,
juga memperduli-
kannya. Karena tatapan matanya
adalah tatapan
hampa. Langkahnya adalah langkah
gontai. Keris
berlekuk tujuh ditangannya sudah
jatuh tanpa ia
mengetahuinya lagi.
Beberapa pasang mata penduduk
yang
berkerumun melihat kebakaran
besar itu, sudah
tak diperhatikan lagi. Seekor
kuda tiba-tiba mun-
cul dari balik semak di sisi
jalan yang dilalui...
yang ringkikkan sang kuda itu
seperti menyadar-
kan ia akan dirinya. Nyaris saja
menabrak sang
Tumenggung. Akan tetapi pada
saat itu terdengar
suara teriakan seseorang.
"Aiiiii..!" Ia telah
menabrak jatuh sang Tu-
menggung, yang lagi-lagi
bernasib sial. Tampak si
dara jadi terkejut, dan cepat
menghampiri untuk
menolong membangunkan orang.
Seraya berucap
dengan kata-kata tergagap:
"Oh, maaf... aku tak
sengaja... Ka..Kanjeng
Ttt... Tu. Tumenggung...!"
Segera ia sudah men-
gusap-usap pakaian sang Tumenggung,
dan men-
gebutinya dengan selendang yang
ia tarik dari le-
hernya. Kemudian tampak si dara
montok itu
kembali menjura beberapa kali,
sambil sang-
kutkan kembali selendangnya pada
leher. Dan tak
ayal sudah putar tubuh untuk
mengejar kudanya
yang mencongklang lari. Sang
Tumenggung hanya
pandangi punggung si dara itu
dengan geleng-
gelengkan kepala, sedang
dihatinya ia memba-
thin. Mengapa berturut-turut ia
bernasib naas.
6
PENJARA BERTALI itu cukup luas.
Berde-
ret memanjang menghadap ke dalam
ruangan goa
yang luas itu. Dinding-dinding
wanita di dalam
kerangkeng besi itu, cukup
membuat mereka ber-
jejalan, karena dua ruangan
masih kosong. Me-
mang ada tiga kerangkeng di
dalam ruangan itu,
yang cuma terpisah oleh jeruji
besi. Masing-
masing satu pintu, dengan rantai
gembok yang
membelit pada setiap pintu.
Empat orang berto-
peng tiba-tiba masuk ke dalam
ruangan goa, di-
ikuti seorang lagi yang membawa
sesosok tubuh
terbungkus jala. Ketika tiba
dimuka kerangkeng,
segera keempatnya terpecah
menjadi dua bagian.
Dengan dua ke sisi kanan, dan
dua ke sisi kiri,
seperti memberi jalan pada orang
bertopeng yang
berada di belakangnya. Salah
seorang yang berdi-
ri dekat sisi kerangkeng itu
cepat bergerak untuk
membukakan pintu terali besi itu
dengan kunci
yang selalu dipegangnya.
Orang yang memanggul sosok tubuh
ter-
bungkus jala itu bertindak
masuk, dan segera
melemparkan tubuh orang yang
terbungkus jala
itu ke dalam kerangkeng.
Selanjutnya telah ber-
tindak keluar lagi. Dan kembali
si penjaga penjara
itu merantai pintu, dan
menguncinya. Roro tahan
sakit pada tubuhnya yang
menggabruk ke lantai
batu di dalam kerangkeng itu.
Sementara belasan
pasang mata dari kerangkeng di
sebelahnya me-
natap kearahnya. Perlahan-lahan
Roro putar ke-
palanya untuk memandang keadaan
sekeliling-
nya. Terkejut ia melihat
gadis-gadis seusia den-
gannya tampak tengah tatapkan
pandangan kea-
rahnya. Mata yang memancarkan
harapan kosong
yang gemerlapan terkena cahaya
api obor dari ke-
dua sudut dinding ruangan,
dimuka kerangkeng
itu. Belum beberapa lama
antaranya telah di-
panggul lagi masuk sesosok tubuh
yang terbung-
kus di dalam jala. Upacara
dilakukan seperti tadi,
yaitu masuk terlebih dulu empat
orang bertopeng,
yang memberi jalan lalu sang
penjaga penjara
membukakan pintu kerangkeng.
Selanjutnya su-
dah melemparkan lagi sosok tubuh
yang terbung-
kus jala itu. Dan kembali sang
penjaga meran-
tainya. Roro Centil pentang mata
melihat siapa
orang yang terbungkus jala seperti
dirinya itu.
Yang persis menggabruk di
sebelah depan tubuh-
nya. Membelakangi kerangkeng di
hadapannya.
Ternyata orang itupun tengah
pentang mata me-
natapnya. Begitu orang-orang
bertopeng itu be-
ranjak pergi, tiba-tiba tubuh
orang disebelahnya
itu gulingkan tubuhnya lebih
dekat pada Roro,
seraya terdengar bisikannya.
"Sssst... Aku akan
menolongmu... nona Ro-
ro..!"
Tapi yang diajak bicara cuma
kerutkan
alis, karena Roro memang tak
mengenal gadis
disebelahnya. Walaupun ia coba
mengingat-ingat
sekian banyak wajah yang dikenal
akrab maupun
di jalanan. Memang ada sekilas
ia teringat akan
seseorang, yang wajahnya hampir
mirip dengan-
nya. Apakah ia saudaranya..?
Berfikir sesaat Roro
Centil, namun ia sudah
perlihatkan senyumnya
sambil manggut-manggut dan
menyahuti sambil
berbisik.
"Terimakasih... Eh,
siapakah anda...?" Roro
sambung bisikannya dengan
pertanyaan. Namun
gadis di hadapannya sudah
tempelkan telunjuk di
bibirnya sebagai jawaban, karena
pada saat itu ia
telah melihat seorang bertopeng
yang berujung
lancip di bagian atas kepalanya.
Entah dari mana
munculnya telah berada di ujung
ruangan, dide-
pan kerangkeng dengan tongkat
kepala tengkorak
di tangannya. Itulah sang ketua
komplotan Silu-
man Hitam. Namun Roro belum
mengetahui akan
siapa adanya orang itu. Pelahan
digerakkan kepa-
la untuk melihat ke arahnya dari
sela-sela benang
jala. Sepintas memang sang Ketua
itu mirip den-
gan hantu saja layaknya. Karena
dengan jubah
yang serba hitam, serta topeng
yang menutupi
dan membungkus seluruh kepala
sampai keram-
but yang cuma tongolkan kedua
matanya saja da-
ri kedua lubang pada bagian
muka. Tampak ia te-
lah ketukkan tongkatnya pada
batu tiga kali, dan
terdengar suaranya yang serak
bernada bengis.
"Mengapa tawanan yang
paling istimewa
belum juga dibawa
masuk...?!" Suara yang santar
itu terdengar sampai ke luar
goa. Lapat-lapat ter-
dengar seperti suara orang
menggerutu, yang di-
dengar oleh Roro dari sebelah
dinding bagian be-
lakang penjara. Suasana memang
hening, yang
tadinya agak ramai dengan suara
keluhan dan
tangis kecil dari penjara
disebelahnya, begitu me-
lihat adanya orang bertopeng
lancip ini.
"Apakah yang dimaksud
Ketua, tawanan
yang ini...? " Terdengar
suara lapat-lapat itu.
"Mungkin juga... kenapa tak
dibawa masuk
sekalian, malah ditinggal ke
belakang!" Gerutu
suara lapat-lapat itu.
"Paling-paling dia kebelet
untuk pergi
buang air, makanya ia tinggalkan
tawanannya
disini, bikin kerjaan buat orang
saja..!" Gerutu
dari salah seorang lagi.
Kemudian kembali hen-
ing. Dan selang beberapa saat,
tampak salah seo-
rang dari orang bertopeng itu
memasuki ruang
goa dengan memanggul tubuh
seorang gadis lagi.
Sudah tentu diawali dengan keempat
orang ber-
topeng yang lebih dulu masuk.
Dan seperti tadi
upacaranya gadis yang tertotok
pingsan itupun
dilemparkan masuk ke dalam
ruangan atau pen-
jara disebelahnya, yang masih
kosong. Inikah ta-
wanan yang dikatakan istimewa
itu...? Berfikir
Roro. Yang segera ia mengetahui
gadis itu tak lain
dari Sawitri adanya. Tentu saja
hal itu membuat
Roro Centil jadi terkejut, dan
keluarkan desisan
dari mulutnya. "Aiiih...
Dia pun tertangkap oleh
siluman-siluman keparat di
Gunung Butak ini.
Entah bagaimana nasib si
Tumenggung, dan pe-
muda bernama Prasetyo
itu.." Roro Centil yang
memang masih belum dapat
membebaskan pen-
garuh totokan ditubuhnya, segera
cepat berfikir.
Dan selanjutnya telah berbisik
lagi pada si gadis
disebelahnya.
"Katanya kau mau
menolongku... Cepatlah
kau bebaskan totokanku...!"
"Aku... aku... hihi..
hi..." Tiba-tiba si gadis
di sebelahnya itu malah tertawa
cekikikan.
"He...? Kenapa kau? Apanya
yang lucu...?"
Berkata Roro dengan suara
perlahan. Sementara
alisnya berkerut, tiba-tiba ia
merasa agak menge-
nali suara tertawa itu. Gadis
terbungkus jala itu
sudah menyahuti.
"Aku memang mau menolongmu,
tapi aku
sendiri perlu
pertolonganmu..." Berbisik si gadis
itu. Tentu saja kata-kata itu
membuat Roro jadi
mengkal hatinya. Mau menolong
orang, tapi ia
sendiri perlu pertolongan orang!
Adalah sama
dengan bohong...! Memaki Roro
dalam hatinya.
Akan tetapi ia sudah ajukan
pertanyaan.
"Hmm, tadi kau belum jawab
pertanyaanku
siapakah kau sebenarnya, dan
dari siapa kau ta-
hu namaku..?!" Desis Roro
dengan suara mende-
sis, karena takut terdengar oleh
sang penjaga.
Sementara ia dapat lihat si
orang bertopeng lancip
yang memakai jubah, dengan
tongkat kepala
tengkorak itu sudah tak
kelihatan lagi. Gadis dis-
ebelahnya itu cuma tersenyum
saja, dan tidak
lantas menjawab. Ternyata ia
adalah si dara mon-
tok yang tengah mengejar kudanya
yang terlepas,
tadi siang... Dan menabrak jatuh
sang Tumeng-
gung Harya Anabrang, di Sulang.
Saat itu me-
mang dapat dikatakan sudah
menjelang sore.
Namun keadaan di dalam ruangan
goa itu, masih
tetap terang benderang, karena
cahaya dari api-
api obor, tetap menyala di
kiri-kanan dinding
ruangan goa.
Waktu makin terus merayap....
Pegunun-
gan Kapur seperti raksasa yang
tengah tidur pu-
las, disinari cahaya mentari
yang sudah mulai
condong. Keadaan di ruang atas
yang tertutup
dengan pintu batu itu, ternyata
masih tampak se-
perti tadi. Tubuh sang gadis itu
telah terkulai.
Sementara sepasang mata sejak
tadi telah terus
mengikuti dari sebuah ruang,
tepat didepan sang
korban untuk sang Dewa api.
Itulah sepasang
mata dari seorang wanita, yang
berumur kira-kira
35 tahun. Tampak ia seperti
turut tersiksa den-
gan melihat kejadian di depan
matanya. Tiba-tiba
sebuah lubang persegi empat yang
panjang dan
lebarnya sama telah terbuka dari
balik dinding
ruangan dimana ia berada.
Sesosok tubuh tiba-
tiba muncul dari dalam lubang di
dinding itu,
yang orang hanya dapat masuk
dengan mem-
bungkukan tubuh terlebih dulu.
Itulah sang Ke-
tua Siluman Hitam yang bertopeng
lancip dengan
sebuah tongkat berkepala
tengkorak berada di
tangannya.
"Bagaimana dengan
persembahan untuk
sang Dewa Api itu, nyonya
Tumenggung...? Suatu
pertunjukkan yang sangat menarik
bukan? Ha ha
ha., ha.... ha.... Itu baru
pertunjukkan yang bi-
asa. Masih ada kelanjutannya.
Nanti disaat ia su-
dah mau sekarat, akan ada lagi
satu pertunjuk-
kan yang lebih
menegangkan!" Berucap sang Ke-
tua dengan diselingi tertawa
sinis. Ternyata wani-
ta di dalam ruangan itu adalah
isteri Tumenggung
Harya Anabrang. Didalam ruangan
itu penuh ber-
ceceran uang emas, dan perak.
Bahkan tumpu-
kan-tumpukan buntalan dengan
berbagai macam
perhiasan berserakan di tempat
itu. Agaknya
ruangan itu adalah tempat
penyimpanan Harta
Rampokan
"Nah, waktunya telah
tiba...! Dewa Api se-
bentar lagi akan menerimanya
sebagai korban!"
Berkata sang Ketua. Entah apa
yang telah dilaku-
kannya, karena tahu-tahu telah
menganga lagi
sebuah lubang di dinding ruangan
itu. Dan segera
saja ia telah melompat ke celah
pintu batu yang
bergerak itu. Dan selanjutnya,
pintu batu itu
kembali menutup.
Kini sang Ketua Siluman Hitam
telah bera-
da di ruangan tempat gadis itu
terkulai dengan
tangan dan kaki terikat rantai
belenggu. Tampak
wajah wanita itu terbelatak lagi
lebih lebar. Kare-
na dilihatnya sang Ketua Siluman
Hitam telah
buka jubahnya. Tampak
punggungnya yang ber-
tato kepala Tengkorak. Dan
ketika ia lepaskan to-
peng wajahnya, kemudian balikkan
tubuhnya.
"Hah..!? Kau... kau..."
Terdengar suara wa-
nita itu yang seperti terkejut.
"Benar...! Aku...! Aku
adalah sang suami
yang telah kau tinggalkan! Kau
tinggalkan, kare-
na aku orang yang miskin dan
hina dina. Sehing-
ga tak berharga lagi aku
dimatamu...! Dimata seo-
rang terhormat. Dimana kau
adalah anak seorang
Pendekar Besar...! Aku tak dapat
membahagia-
kanmu, makanya kau pergi delapan
belas tahun
yang silam. Pergi tanpa kabar
berita! Ternyata be-
nih dariku itu kau berikan pada
si Maling Sakti.
Hingga ia tak menyangka kalau
anaknya yang la-
hir adalah anakku...!"
Rupanya kau kurang puas
juga dengan suamimu. Entah apa
yang membuat
kau kurang puas, hingga kudengar
kau tinggal-
kan lagi suamimu. Lima betas
tahun aku menca-
rimu, ternyata kau sudah hidup
senang dengan
suamimu yang baru. Yaitu si
Harya Anabrang!
Heh! Seandainya ia tak merusak
usahaku di Tan-
jung Awar-awar beberapa pekan
yang lalu, mung-
kin aku telah dapat melupakan
dendam yang
berkecamuk belasan tahun itu di
dadaku. Aku
adalah Ketua dari Komplotan Bajak
Laut yang
sudah menguasai daerah pesisir
pantai Utara itu.
Gunung Butak adalah markas
besarku..! Aku da-
pat berbuat apa saja tanpa ada
yang dapat mena-
hanku. Aku sudah suruh bakar
habis Gedung
kebanggaan suamimu. Dan Prasetyo
anak dari
hasil pelarianmu dengan si
Tumenggung itu juga
sudah kuterima laporannya. Ia
sudah dibunuh
dan terbakar mayatnya.
Lihatlah... Aku banyak
harta. Aku sepuluh kali lipat
lebih hebat dari su-
amimu itu. Ha ha ha... ha
ha..." Tampak wajah
sang Ketua itu merah padam.
"Lihatlah kini sang Dewa
Api akan meneri-
ma korbannya...!" Berkata
laki-laki itu yang su-
dah seperti bayi yang baru
dilahirkan. Saat selan-
jutnya ia telah geluti sang
korban. Panas api se-
perti menjilat-jilat tubuhnya
namun Siluman Hi-
tam tampak tarikan tari maut,
diantara peluh dan
darah. Manusia dapat lebih kejam
dari pada see-
kor binatang, yang paling buas
hanya karena
dendam dan sakit hati. Tiba-tiba
terdengar teria-
kannya.
"Keparat..!" Dan
sebelah lengannya meng-
hantam ke arah lubang di dinding
ruangan. Ter-
dengar suara mengerikan. Dan dua
sosok tubuh
terjungkal kebawah. Sebentar
saja ia telah benahi
jubahnya. Dan melesat untuk
melongok ke lu-
bang jendela. Terlihatlah di
bawah sana dua so-
sok tubuh terkapar di bawah
dinding batu Gu-
nung.
Pada saat itu terdengar suara
hiruk pikuk
di ruangan bawah. Sang ketua ini
cuma perden-
garkan dengusan di hidung.
Sejenak ia tatap kor-
bannya yang sudah tak bergeming,
karena nya-
wanya telah terbang dari
jasadnya. Tanpa berkata
apa-apa, ia telah buka belenggu
rantai di tangan
dan kaki sang korban. Untuk
selanjutnya segera
ia pondong, dan lemparkan ke
dalam lubang ber-
hawa panas itu. Terdengar si
wanita terpekik nge-
ri, melihat kebiadaban orang di
hadapannya.
Tampak sepasang mata wanita itu
sudah bersim-
bah peluh dan air mata. Bibirnya
terkatup. Bah-
kan ia sudah gigit bibirnya
sampai berdarah. Per-
nyataan laki-laki dihadapannya
itu benar-benar
mengguncang perasaannya. Terasa
ia hampir gila
mendengar disebutnya Prasetyo
sudah tewas di-
bunuh, dan dibakar mayatnya
berikut gedung su-
aminya. Tiba-tiba ia berteriak
histeris.
"Syiwo Langit! Kau bunuhlah
aku...! Biar
kau puas. Jangan kau siksa aku
di ruangan ini...!
Bunuhlah aku Syiwo
Langit...!" Namun sang Ke-
tua Siluman Hitam itu hanya
tertawa sinis. Sepa-
sang matanya memancarkan dendam
yang amat
luar biasa.
"Justru aku tak akan
membunuhmu. ka-
rena aku akan tunjukkan lagi di
depan matamu
satu pertunjukkan serupa...! Aku
ingin lihat apa-
kah, kau lebih cinta harta, atau
lebih cinta anak-
mu... Sawitri...!"
"Hah!? Apa yang akan kau
lakukan lagi
dengan anak itu...?"
Terkesiap si wanita itu seke-
tika. Ia merasa benar-benar
tengah berhadapan
dengan seorang iblis. Namun
lagi-lagi sang Ketua
yang dipanggil Syiwo Langit itu
sudah kenakan
lagi topeng wajahnya. Dan dengan
segera ia su-
dah gerakkan besi panjang di
sisi pintu batu. Se-
gera saja bergerit pintu itu
terbuka, dan terlihat
undakan batu dibawahnya.
***
Sementara itu keadaan di ruang
goa diba-
wa, tangga batu yang tiga ratus
undakan itu telah
terjadi kericuhan. Kericuhan itu
tak lain dari para
tawanan wanita yang terkumpul
satu kerangkeng.
Kiranya seorang tawanan wanita,
kembali telah
dimasukkan ke penjara berterali
besi itu. Walau
tidak adanya Sang Ketua. Upacara
untuk mema-
sukkan sang tawanan tetap
didahului oleh empat
orang bertopeng. Hanya gerakan
dan susunan ba-
risan orang bertopeng itu amat
berbeda dengan
yang tadi. Kalau tadi dua orang
dari keempat
orang pengawal itu kesisi kiri,
dan dua lagi ke sisi
kanan. Kini keempatnya berdiri
berbaris ke sisi
kiri semua. Memberi jalan pada
seorang kawan-
nya lagi yang memondong seorang
gadis berbaju
merah. Terkejut Roro, dan awasi
wanita itu.
"Ah!? Roro Dampit telah
tertawan juga..!?"
Berkata Roro Centil dalam hati.
Sang penjaga
penjara agaknya tak
memperhatikan akan ke-
janggalan itu, ia sudah beranjak
dari tempatnya
berdiri, dan cepat membuka
rantai gembok pada
pintu penjara yang terisi ke
tiga belas wanita itu.
Namun begitu si pembawa tawanan
memasuki
pintu, tiba-tiba keempat orang
pengawal itupun
turut masuk. Salah seorang
dengan gerakan ce-
pat telah merampas kunci di
tangannya.
Brug..!
Sang penjaga tersungkur kedalam
karena
di dorong oleh salah seorang
dari para pengawal
itu, yang telah merampas
kuncinya. Akibat keja-
dian itu, tentu saja telah
terdengar jeritan ketaku-
tan dari para tawanan wanita
sehingga menim-
bulkan kegaduhan. Salah seorang
dari pengawal
itu kembali menutup pintu dengan
cepat, namun
tidak menguncinya. Dan kembali
menyuruk ma-
suk ke dalam sehingga kembali
terdengar jeritan
beberapa wanita. Suasana segera
menjadi gaduh.
Namun keempat orang pengawal
itu, juga si pem-
bawa tawanan dan si penjaga
penjara, Sudah ter-
lindung tubuhnya dari luar, oleh
karena tertutup
oleh ketiga belas wanita itu.
Pada saat riuh itu, Roro
tiba-tiba dibisiki
oleh si dara montok, yang
menggulingkan tubuh-
nya lebih dekat pada Roro
Centil.
"Sssst...! Cepat kau tolong
aku dulu. Nanti
aku akan menolongmu melepaskan
totokan di tu-
buhmu..!" Berbisik si dara
montok. Lagi-lagi Roro
Centil dibuat heran dengan
kelakuan orang. Na-
mun sang dara montok itu telah
berkata lagi.
"Apakah jari-jari tanganmu
dapat kau ge-
rakkan..." Roro cepat
menjawab.
"Kalau jari tangan, aku
masih bisa untuk
menggerakkannya. Namun kalau
tangan dan kaki
aku tak dapat menggerakkan.
Karena pengaruh
totokan orang bertopeng yang
menawanku amat
aneh. Bahkan aku sedang mencari
jalan untuk
membukanya..!" Si dara
montok sudah menjawab
lagi.
"Bagus. Yang lainnya tidak
begitu perlu.
Cepatlah kau gerak-gerakkan jari
tanganmu un-
tuk menggelitik tubuhku pada
bagian ping-
gang...!"
"Haa...?" Ternganga
Roro, mendengar kata-
kata si dara montok. Segera saja
ia sudah dapat
menerka siapa dara montok di
hadapannya.
"Jadi... jadi kau Joko
Sangit...?" Bertanya
Roro dengan belalakan matanya.
Si dara montok
cuma cengar-cengir sambil
berkata:
"Kalau kau sudah tahu ya
sudah... Hi hi
hi..." Tertawa sang
"dara" yang kenes ayu itu.
Tampakkan giginya dari sela-sela
jala.
"Pencuri kau ya... ? BH ku
kau curi. Dan
kotak perhiasanku pun kau bawa
lari. Kemana
kau sembunyikan buntalan
pakaianku...? Awas,
kalau tidak kau kembalikan tahu
rasa kau." Ber-
kata lagi Roro Centil sambil perengutkan
wajah-
nya.
"Aiiiiii... Kau sabarlah,
sayangku... Semua
ini akan ku kembalikan. Tapi
cepatlah kau turuti
perintahku, kalau kau tak mau
dijadikan korban
buat si Dewa Api..!" Namun
Roro sudah gerakkan
jari-jarinya untuk mencubit
punggung orang.
"Adoooow..! Bukan kusuruh
cubit, nona
manis... Tapi di gelitik!"
Berkata si "dara" montok
itu, yang tak lain dari Joko
Sangit adanya. Dan
detik selanjutnya sudah
terdengar sang "dara
ayu" itu telah tertawa
cekikikan karena pinggang-
nya di gelitik Roro Centil.
Tentu saja suara terta-
wa gelinya tak begitu kentara,
karena disebelah-
nya tengah terjadi kegaduhan.
Kiranya si penjaga
penjara itu tengah dikerubuti
oleh para wanita
tawanan itu sambil
berteriak-teriak histeris. Be-
berapa orang sudah mengetahui
kalau kerang-
keng itu tidak terkunci lagi,
dan sudah berdesa-
kan untuk keluar. Akan tetapi
pada saat itu.
Enam penjaga ruangan telah
berkelebat ke depan
penjara. Mereka telah mengetahui
akan adanya
warga Siluman Hitam palsu yang
membuat keri-
cuhan. Segera salah seorang
telah keluarkan ben-
takan.
"Heh! Penyaru-penyaru
busuk! Kalian telah
masuk ke sarang siluman. Akan
sulit bagi kalian
untuk bisa pergi dengan
selamat...!" Namun ga-
dis-gadis tawanan itu sudah
menyerbu keluar
dengan teriakan-teriakan riuh.
Mereka berusaha
menyelamatkan diri untuk berlari
keluar ruan-
gan. Akan tetapi dengan mudah,
keenam penjaga
ruangan itu telah bergerak untuk
menangkap
kembali para tawanannya. Pada
saat itulah
keempat penyaru itu sudah
lepaskan topeng pada
wajahnya. Dan menerjang ke enam
pengawal
pengawal itu. Segera terjadi
pertempuran. Semen-
tara si penjaga penjara itu
tampak telah tewas.
Karena lehernya di jepit oleh
sepasang ruyung-
nya. Dalam kerusuhan itu,
ternyata telah mem-
buat kesempatan Joko Sangit yang
telah memper-
gunakan ilmu tertawanya, dapat
terlepas dari
pengaruh totokan. Yang segera
saja dengan cepat
ia menjebol jala yang membungkus
tubuhnya.
Dan cepat ia bergerak untuk
membebaskan toto-
kan di tubuh Roro Centil. Yang
segera turut meni-
ru Joko Sangit, menjebol jala
sutera. Beruntung
tidak menemui kesukaran. Roro
segera perguna-
kan tenaganya untuk membuka
paksa pintu pen-
jara, dengan menendang pintu
terali itu. Yang
langsung jebol dengan suara yang
berisik. Roro
Dampit sudah terdengar
berteriak:
"Adik Pendekar...!
Syukurlah kau telah ter-
bebas..!" Dan iapun
menerobos ke luar kerang-
keng dengan cepat. Roro Centil
cepat menghampi-
ri. Dan akan halnya Roro Dampit,
sudah segera
memeluknya dengan terharu seraya
berbisik.
"Adik Pendekar..! Rindu
sekali aku pada-
mu, adik.." Roro
tepuk-tepuk pundak sahabat
baiknya, seraya berucap.
"Mana Sentanu...?"
Yang segera Roro Dam-
pit palingkan kepala pada
pertarungan. Satu sui-
tan nyaring telah ia
perdengarkan, dengan mema-
sukkan dua jari tangan
kemulutnya. Dan tiba-
tiba salah seorang dari
orang-orang yang berpa-
kaian hitam itu, segera melompat
ke arah mereka.
Orang itu memang Sentanu
adanya. Segera ia
menjura hormat pada Roro Centil.
Akan tetapi be-
lum lagi Roro membalas, ia sudah
gerakkan tan-
gan untuk menghajar jatuh
seorang pembokong
di belakangnya. Terdengar
teriakan ngeri, diba-
rengi dengan ambruknya tubuh di
belakang laki-
laki itu. Jerit dari para wanita
yang berhamburan
menyelamatkan diri itu, ditambah
dengan beri-
siknya suara beradunya senjata,
dan suara ben-
takan-bentakan, membuat suasana
amat gaduh.
Dilain saat si dara montok itu,
tiba-tiba telah me-
lompat ke dalam ruang yang agak
gelap dimuka
penjara, dimana di sana ada anak
tangga yang
menuju ke atas. Namun sebelumnya
sempat bi-
sikkan kata-kata pada Roro
Centil.
"Aku akan lihat ke ruangan
atas. Apakah
dua orang kawanku berhasil masuk
kesana dari
luar dinding gunung..!"
Roro Centil cuma ke-
rutkan alis, tapi belum ia
mengangguk, orangnya
sudah melesat ke sana. Akan
tetapi, yang Roro li-
hat adalah telah terjadi ledakan
tepat di hadapan
si Joko Sangit, dimana ledakan
itu telah menim-
bulkan asap tebal. Sehingga
keadaan di ruangan
itu dipenuhi asap kabut, yang
membuat tidak ter-
lihatnya lagi sosok-sosok tubuh.
Dan pada saat
selanjutnya terlihat oleh Roro
dari kesamaran
asap kabut itu, yang bergerak ke
arahnya. Orang
itu sudah berkata seperti
memberi perintah atau
petunjuk.
"Hayo cepat kau tolongi
wanita-wanita yang
lainnya untuk mengeluarkan dari
ruangan ini..!
Aku akan menyelamatkan
Sawitri...!" Berkata
orang itu. Tersentak Roro Centil
begitu melihat
orang yang dikenal itu, ialah
yang bernama Tung-
gul. Yaitu yang telah
menyelamatkan Sawitri dan
Prasetyo. Sementara itu tanpa
ada yang mengeta-
hui, sesosok tubuh dengan
diam-diam telah me-
nyelinap masuk ke dalam sebuah
ruang gelap di
dinding goa. Ia telah lepaskan
topeng wajahnya,
karena mengganggu penglihatan
matanya. Dida-
lam ruang itu segera ia dapat
lihat sebuah lubang
yang hanya pas untuk meloloskan
tubuh satu
orang. Tampak ia celingukan,
sejenak seperti ta-
kut perbuatan diketahui orang.
Dari seberkas ca-
haya sinar obor yang menempel di
dinding goa
itu, yang samar-samar agak
menerangi wajahnya,
diantara asap yang mulai agak menipis, segera
dapat diketahui siapa adanya
orang itu. Yang tak
lain dari Pragola. Pragola
adalah salah seorang
dari ketujuh orang bertopeng
yang selamat dari
pembantaian orang-orang Siluman
Hitam, yang
dilakukan oleh Tunggul. Yaitu
kawannya sendiri
yang telah berkhianat. Setelah
dirasa keadaan
aman, cepat ia loloskan tubuhnya
pada lubang
sempit itu. Yang segera tampak
kembali menutup.
7
RORO CENTIL kali ini tak
terkecoh. Ia se-
gera payang dua orang wanita
untuk dibawa ke-
luar ruangan. Asap memang kian
menipis. Lalu
kembali lagi untuk menyambar
lagi dua wanita,
yang dengan gerakan sebat
kembali ia bawa me-
lompat keluar. Sementara Roro
Dampit baru saja
terbebas dari asap yang
menghalangi matanya.
Begitu lihat Roro Centil, segera
turut berbuat se-
perti ia. Yang kemudian dituruti
juga oleh Senta-
nu. Segera masing-masing telah
dapat mengenali
siapa kawan dan siapa lawan.
Entah apa yang
terjadi. Karena dalam kekacauan
itu, sang lawan-
pun ada juga yang turut membawa
seorang gadis
untuk dibawa keluar. Tentu saja
Roro Centil ke-
rutkan keningnya. Dan biarkan
orang lewat di de-
katnya. Namun kakinya sudah
memain. Dengan
sedikit julurkan ujung kakinya,
si pembawa gadis
itu jatuh tersungkur. Namun
sebelum tubuhnya
menggabruk mencium tanah, ia
telah menyambar
tubuh sang gadis terlebih dulu.
Keruan saja si
pengawal, alias orang Siluman
Hitam itu jatuh
tersungkur sendirian. Dan ketika
ia berusaha un-
tuk bangkit. Dengan satu jejakan
kaki Roro Centil
membuat tubuhnya terlempar
keluar beberapa
tombak, dengan perdengarkan teriakan keras.
Saat itu Sentanu dan Roro Dampit
muncul den-
gan masing-masing menenteng dua
orang wanita
pada kedua lengannya. Segera
Roro Centil men-
dahului keluar. Dan lepaskan
tubuh gadis di len-
gannya. Begitu mereka berdua
tiba didekatnya
Roro Centil segera berkata:
"Terimakasih atas bantuan
kalian berdua.
Namun kumohon, segeralah kalian
selamatkan
dulu sebahagiaan dari para
tawanan ini ke tempat
yang aman. Sementara biar aku
yang mengurusi
yang lainnya...!" Kedua
orang suami isteri itu
anggukkan kepala. Dan terus
berkelebat keluar.
Sentanu setengah menyeret dua
orang gadis yang
diselamatkan itu. Untuk
selanjutnya mereka se-
perti tengah menggiring ternak
saja layaknya,
menarik dan mengajak mereka
untuk selamatkan
diri ke tempat yang aman.
Gadis-gadis atau wani-
ta-wanita yang tampak kesemuanya
masih muda-
muda itu, segera berlarian ke
satu arah yang di
pelopori oleh kedua suami isteri
itu. Adapun Roro
Centil kembali berkelebat masuk.
Tampak dua
orang telah bertarung melawan
empat orang ber-
topeng. Sedangkan dua orang lagi
telah terkapar
bermandikan darah, bercampur
dengan tubuh-
tubuh beberapa lawan yang
berkaparan. Roro
yang mengetahui kalau ada empat
orang kawan
dari Roro Dampit dan Sentanu
yang menyamar
sebagai anggota komplotan
Siluman Hitam itu se-
gera dapat mengenalinya dari
topeng yang tak di-
kenakannya lagi. Namun baru saja
ia mau bertin-
dak membantu, sudah didengarnya
teriakan si
dara montok, yang tak lain dari
si Joko Sangit.
"Hai Roro, cepat kejar si
penculik itu...!"
"Siapa....?" Roro
sudah berkelebat ke dekat
Joko Sangit.
"Penculik siapa...?!"
Roro Centil mengulangi
pertanyaan.
"Penculik gadis bernama
Sawitri itu...!" Ja-
wab si "dara montok"
dengan cepat. Dan ia sudah
bergerak mendahului memasuki
sebuah celah di
dinding goa itu, yang entah
sejak kapan telah ter-
buka. Roro Centil berkelebat
mengejar Joko San-
git, dan turut loloskan tubuh
pada celah dinding
goa. Segera ia sudah lihat kawan
di arah depan.
"Haiii! Tunggu
dulu..!" Teriak Roro.
Joko Sangit menoleh sambil
hentikan tin-
dakan kakinya.
"Apa maumu nona manis...!?"
Berkata Joko
Sangit, dengan menatap
keheranan. Adapun yang
ditatapnya juga tampilkan wajah
heran. Yang se-
gera saja Roro berujar:
"Sawitri telah diselamatkan
oleh seseorang
bernama Tunggul! Dia adalah
kawan, bukan la-
wan. Karena aku tahu, dia adalah
yang pernah
menyelamatkan Sawitri dari para
penculik gadis
itu. Ia memang orang komplotan
dari Siluman Hi-
tam. Tapi telah berbalik
memusuhi mereka!" Ka-
ta-kata Roro terdengar tegas.
Membuat Joko Sangit kerutkan
keningnya.
Tampak ia palingkan kepala ke
arah yang akan
mengejar. Namun sudah terdengar
ia menggeru-
tu.
"Huuu..! Makhluknya pun
sudah lenyap!"
Katanya seperti orang mengeluh.
"Kau tidak tahu.. dialah
yang telah melem-
parkan benda yang mengeluarkan
asap itu, ketika
aku akan ke ruang atas...!"
Berkata lagi Joko
Sangit. Terhenyak seketika Roro
Centil, sejenak ia
berfikir dengan kerutkan alis.
Lalu berujar: "Se-
baiknya kita menyelamatkan dulu
wanita-wanita
yang lainnya. Dan membantu
pertarungan ka-
wan-kawan si wanita berbaju
merah itu." Roro
hentikan kata-katanya sebentar,
dan cepat me-
lanjutkan:
"Eh... apakah kau telah
mengenal wanita
baju merah itu?" Bertanya
Roro.
"Maksudmu kedua suami
isteri itu...?" Sa-
hut Joko Sangit. Roro Centil
anggukkan kepala,
dengan menatap wajah orang.
Karena menduga ia
telah mengetahui kedua sejoli
itu. Sementara Jo-
ko Sangit telah jatuhkan
pantatnya diatas batu.
"Aku sebenarnya tidak
mengenal suami is-
teri itu, tapi mengetahui
rencana yang telah dis-
usunnya. Yaitu mengajak empat
orang kawannya
untuk menyaru sebagai komplotan
Siluman Hi-
tam. Dengan berpura-pura membawa
tawanan.
Padahal yang dibawa sebagai
tawanan itu adalah
istrinya sendiri, oleh sang
suami. Aku memang
ada punya maksud tertentu dengan
melibatkan
diri masuk ke dalam sarang
komplotan Siluman
Hitam. Sengaja aku umpankan diri untuk bisa
tertawan... Tak dinyana yang
menawanku bukan
saja menjeratku ke dalam jala,
bahkan menotok
jalan darah pada tubuhku, hingga
aku benar-
benar tak dapat berkutik..."
Bertutur Joko Sangit.
Tapi segera ia sudah sambung
kata-katanya.
"Oh, ya... Kukembalikan
dulu benda mi-
likmu ini..!" Ujarnya,
seraya merogoh celah ba-
junya, dan mengambil sesuatu
yang terselip pada
ikat pinggangnya, pada bagian
perut. Roro plen-
goskan wajahnya, karena Joko
Sangit memang
agak keterlaluan, yang menyibak
belahan bajunya
dari dada sampai ke bawah pusar,
untuk mero-
goh benda itu. Yang rupanya agak
merosot ke
bawah. Bahkan sepasang penutup
payudara itu-
pun terlihat olehnya. Yang karena
bentuknya
memang mirip dengan yang asli,
mau tak mau
Roro sempat juga tersenyum.
Dalam hatinya di-
am-diam membathin, pantas ia
tidak mengena-
linya, karena disamping wajahnya
memang berpo-
tongan bulat telur, juga
berkulit putih dan halus.
Tentu saja mirip wanita. Apalagi
ditambahi den-
gan gincu pemulas bibir, dan
warna hitam untuk
penambah alis. Juga dengan dada
yang montok
menonjol. Entah rambut palsunya
ia dapat dari
mana. Karena setahu Roro, Joko
Sangit berambut
tidak terlalu panjang.
Segera Joko Sangit berikan benda
itu, yang
ternyata adalah kotak
perhiasannya, yang me-
mang lenyap berikut buntalan
pakaiannya. Keja-
dian itu adalah ketika kapal
pesiar yang ditum-
pangi Roro dan Joko Sangit,
diserang oleh para
perompak di Tanjung Awar-awar.
Bahkan ia men-
duga benda miliknya itu sudah
hilang tenggelam,
atau turut dirampok oleh para
perompak laut
waktu itu. Tidak tahunya dicuri,
atau mungkin
juga diselamatkan oleh Joko
Sangit. Tadi sewaktu
di dalam kerangkeng, sengaja ia
menggertak laki-
laki itu, dengan menuduhnya
telah mencuri bun-
talan pakaiannya. Karena
berdasarkan Joko San-
git telah memakai BH pemberian
Gurunya, yang
entah mengapa ia agak malas
memakainya. Ter-
nyata benarlah apa yang
diduganya, tentu saja
diam-diam ia bersyukur, dapat
menemukannya
kembali.
"Yang ini aku tak dapat
mengembalikannya
sekarang..!" Berkata Joko
Sangit, sambil menun-
juk ke dadanya.
"Nanti aku kembalikan
semuanya, dan ku-
ceritakan peristiwanya, hingga
kau tidak menu-
duhku sebagai pencuri... Mau
kannnn..?" Lanjut-
nya, sambil kedipkan sebelah
matanya pada Roro
Centil.
"Iiih... Genitnya minta
ampun! Amit-amit..."
Berkata Roro Centil sambil
tersenyum. Dan den-
gan cepat tanpa harus periksa
lagi isinya. Roro
Centil selipkan kotak perhiasan
itu ke balik ba-
junya. Tiba-tiba Joko Sangit
cepat berdiri, dan
berkata:
"Ayo, kita bantu
menyelamatkan wanita-
wanita itu...!" Seraya
beranjak untuk kembali ke
celah dinding batu gunung itu.
Roro yang me-
mang tadi berniat demikian, jadi
teringat kalau
pekerjaannya tertunda. Segera
merekapun berge-
rak ke sana.
Roro Dampit dan Sentanu membawa
para
tawanan wanita itu, yang telah
dapat disela-
matkan ke tempat yang aman. Yang
ditujunya
adalah desa terdekat. Ketika
melewati sebuah
tempat, mata si wanita baju
merah yang jeli itu
dapat melihat sesuatu di sebelah
kanannya kira-
kira tujuh delapan tombak. Ia
yang memang be-
rada di bagian belakang, dalam
iring-iringan wa-
nita itu, segera bisikkan
perintah pada seorang
gadis didepannya.
"Cepatlah kalian berjalan.
Sebentar lagi
sudah tiba di desa yang
aman!" Yang segera gadis
itu kembali berlari menyusul
yang lainnya. Se-
mentara ia sendiri berkelebat
mendahului, mem-
buru ke tempat Sentanu yang
berada di bagian
depan. Sebentar kemudian ia
telah tiba disana.
"Kak Sentanu... Kau
teruslah bawa mereka
ke tempat yang aman dimuka
sana...! Aku akan
mengurusi sesuatu dulu. Sebentar
aku akan me-
nyusul." Berkata Roro
Dampit. Sentanu tampak
kerutkan keningnya tapi segera
mengangguk. Wa-
lau tadinya ia mau bertanya
tentang urusan yang
akan di selesaikan isterinya
itu. Segera saja tu-
buh Roro Dampit berkelebat cepat
kembali ke be-
lakang. Ketika tiba ditempat
tadi, ia mengambil
jalan memutar dengan mata tetap
ia arahkan pa-
da sesuatu yang tergeletak
disana, pada jarak tu-
juh atau delapan tombak itu.
Keadaan ditempat
itu memang tidak rata, karena
ada tempat yang
rendah dan tinggi. Ditambah,
hari sudah hampir
gelap. Tempat tergeletaknya benda
dari sesuatu
yang mencurigakan itu adalah di
bawah lamping
batu terjal, sedang pada bagian
bawahnya tempat
lebat oleh semak dan pepohonan.
Dengan gerak
kucing mengintai tikus, ia telah
tiba di tempat itu,
yang dengan merayap sedikit, ia
telah raih benda
itu. Itulah secarik kain yang
sobek. Ia segera pa-
lingkan kepala ke beberapa
tempat. Dan kembali
terlihat sobekan pakaian, di
sebelah agak ke ba-
wah. Cepat, namun tanpa
menimbulkan suara ia
merangkak kesana. Dan benarlah
dugaannya. Ka-
rena dibalik lamping batu itu
sudah terdengar
dengus napas yang seperti suara
orang habis di-
kejar setan. Dan memanglah orang
itu sendiri se-
tannya. Karena seekor srigala
yang tengah men-
dengus liar tengah menyantap
korban. Sepasang
kakinya yang berbulu lebat itu
bergerak-gerak,
membuat Roro Dampit tahan
napasnya. Pelahan
lahan ia sudah cabut keluar
sepasang ruyungnya.
Sementara darahnya seperti
mendidih melihat
kebiadaban makhluk srigala
dihadapannya.
Tiba-tiba terdengar teriakan
yang lemah la-
lu sepasang kaki pelanduk yang
kecil itu tampak
bergerak mengejang, lalu
terhentak-hentak seper-
ti tengah menahan kesakitan yang
amat sangat,
atau juga tengah menghadapi
sekarat. Tersentak
Roro Dampit, ketika melihat
sepasang kaki pelan-
duk itu terkulai. Dan sang
srigala tampak bangkit
dengan gigi dan taring-taringnya
berlepotan darah
segar.
"Biadab..!" Terdengar
teriakan keras Roro
Dampit. Dan....
Crep...!
Sepasang ruyungnya telah
meluncur deras
dan menancap kedua-duanya pada
tengkuk dan
punggung sang srigala buas itu
hingga menembus
ke leher dan dada. Terdengar
suara menggerung
keras. Hanya sekejap Roro Dampit
telah menca-
but kembali sepasang ruyungnya.
Maka terden-
garlah lengkingan sang serigala
yang suaranya
terdengar bagai mau menembus
langit. Dibarengi
dengan ambruknya tubuh sang
srigala, dengan
darah segar berhamburan
memuncrat... memer-
cik ke atas batu dan semak.
Tampak sepasang
mata Roro Dampit telah kucurkan
air mata, yang
meleleh di pipinya. Tapi
alangkah terkejutnya ke-
tika tiba-tiba ia mendengar
suara tertawa di bela-
kangnya.
Segera ia palingkan kepala untuk
melihat.
Tampak tiga orang yang
berpakaian dan berto-
peng hitam telah berdiri
berjajar seperti tengah
menyaksikan kejadian yang seru
itu, dan mem-
biarkannya berlangsung di depan
mata. Salah
seorang sudah berkata dengan
mendengus, tata-
pan matanya berkilat-kilat.
"Heh...! Singa betina ini
agaknya lebih baik
dibanding dengan seekor kancil
yang kemarin kita
dapatkan...!"
"Betul, sobat..! Aku setuju
bila kita ingin
permainan yang unik dengan singa
liar ini..! Setu-
juu...?" Berkata seorang
lagi sambil membuka to-
peng wajahnya. Ternyata ia
seorang bertampang
seram, karena dari bibirnya
tersembul dua buah
gigi yang mencuat ke atas. Yang
dua orang lagi
segera ikut membuka topengnya.
Segera terlihat.
Yang seorang hidungnya somplak
sebelah. Sedang
seorang lagi lebih seram. Karena
ada goresan me-
lintang dari pipi sampai ke
ujung dahi. Seperti
bekas luka bacokan senjata
tajam. Tembusan lu-
ka itu sampai melewati biji
matanya, yang tampak
melejit keluar. Roro Dampit
bergidik ngeri melihat
wajah-wajah ketiga orang itu. Ia
sudah bersiap-
siap dengan sepasang ruyungnya
untuk mengha-
dapi segala kemungkinan. Tampak
si gigi men-
cuat mengeluarkan sebuah cambuk
dari kulit
kerbau. Sedang yang dua orang,
satu mengelua-
rkan tambang yang digulung
beberapa lingkaran,
dan satu lagi mengeluarkan
clurit, yang tampak
berkilat terkena cahaya matahari
di ujung bukit.
Karena jalan ke atas telah
tertutup oleh ketiga
orang seram itu, Roro Dampit
segera putar tubuh
untuk melompat ke bawah. Namun
ketiga orang
itu dengan serempak telah
berkelebatan menge-
jarnya.
"He he he... Mau lari
kemana kau singa
liar...!" Si hidung somplak
yang bersuara di hi-
dung itu lebih dulu mengejarnya.
Tiba-tiba gulun-
gan tambangnya meluncur bagaikan
tali laso saja
yang dipergunakan untuk menjerat
kuda liar.
Rrrrrt...!
Roro Dampit tak menyangka kalau
tali itu
yang telah meluncur. Karena
jalan yang menurun
itu agak curam, ia tak bisa
leluasa untuk melom-
pat menghindar. Sehingga cuma
sebentar saja ia
sudah kena terjerat tambang. Dan
tanpa ampun
lagi tubuhnya telah terbanting
ke tanah bergulin-
gan. Ketiga orang itu bagai baru
menangkap see-
kor binatang buruan mengejar
hasil buruannya
dengan suara tertawa yang tak
enak untuk diden-
gar.
"Hebat, kau Ludira! Ayo
cepat kau ringkus
dia..!" Berteriak si gigi
mencuat sambil melompat
lebih dulu. Roro Dampit dengan
menggertak gigi
berusaha bangkit, untuk lepaskan
tali yang men-
jerat tubuhnya. Namun satu
sabetan cambuk te-
lah membuat ia kembali
terjungkal dengan peki-
kan menyayat
"Iblis keparat..! Lepaskan
aku..!" Berteriak
Roro Dampit, sambil ayunkan
ruyungnya mem-
babat kaki si gigi mencuat.
Namun sekali ia lom-
pat, ia telah dapat menghindar.
Tiba-tiba....
Rrrrrt..!
Kembali tambang laso si hidung
somplak
menyambar lengannya. Tak ampun
lagi Roro
Dampi terpekik karena sebelah
lengannya yang
memegang ruyung telah kena terjerat lagi. Ter-
nyata tambang itu mempunyai dua
penjerat pada
kedua ujungnya. Belum sempat ia
berbuat sesua-
tu, si hidung somplak telah
berkelebat turun un-
tuk selanjutnya ia telah
berhasil meringkus Roro
Dampit, yang cuma bisa
berteriak-teriak dengan
wajah pucat pias. Selanjutnya ia
telah pondong
tubuh sang korban meluncur turun
ke bawah, di-
ikuti si muka codet yang tertawa
berkakakan. Pa-
da sebatang pohon dibawah
lamping bukit itu Ro-
ro Dampit di ikat dengan tangan
ke belakang.
Dan kaki terpentang. Seperti
orang tengah men-
jagal seekor kambing saja
layaknya.
Bret! Bret!
Dua kali tangan si codet
bergerak ia telah
merobek pakaian si pengantin,
yang baru berbu-
lan madu itu.
"Tidak..! Tidaaak..!
Lepaskan aku!?... Le-
paskaaaan..!" Roro Dampit
berteriak dengan wa-
jah pias. Sementara jantungnya
berdetak keras.
Ia sudah tahu apa yang bakal
terjadi dengan di-
rinya. Segera saja air matanya
membanjir mem-
basahi kedua pipinya. Tampak ia
seperti menyes-
al, mengapa ia tak menjadi
seorang yang berke-
pandaian tinggi...? Mengapa...?
Mengapa...?! Me-
mekik hatinya. Namun semua itu
sudah terlam-
bat. Kenyataan itu telah ia
hadapi.
Brat..!
Kembali satu sentakan tangan si
muka co-
det, telah membuat segala yang
menghalangi
menjadi agak cerang. Dan satu
sentakan sekali
lagi, dua bukit yang tegak
menjutang melambai
untuk dijamah petani. Tangan si
muka codet su-
dah mau bergerak lagi untuk
membabat habis
ranting penghalang. Namun saat
itu telah terden-
gar suara si gigi mencuat untuk
menahannya.
"Tunggu dulu sobatku..!
Cukup dulu sam-
pai di sini. Aku mau lihat
kekuatan singa liar ini.
He he he., he he..."
Segera si muka codet menyingkir.
Dan si
gigi mencuat telah
putar-putarkan cambuknya di
udara. Selanjutnya...
Ctarrrr...!
Terdengar suara keras yang
memekakkan
telinga. Roro Dampit
menjerit histeris, ketika
ujung cambuk itu menjilat
tubuhnya.
Ctarrrr...!
Kembali ia menggeliat menahan
sakit. Dua
garis memanjang tampak terlihat
memerah dari
leher sampai ke bawah dada dan
sebuah lagi me-
nyilang ke sisi... Terdengar si
gigi mencuat terta-
wa berkakakan diikuti kedua
kawannya.
"Aduuh... kau keterlaluan
Trimbil, masa
batu pualam yang mahal harganya
ini kau coret-
coret begini..? Biarlah aku yang
menghapusnya..!"
Berkata ia sambil leletkan
lidah. Roro Dampit ter-
pekik dengan belalakkan mata.
Lidah yang terju-
lur itu ternyata benar-benar
telah menghapus
semua impian indahnya bersama
Sentanu.
"Tidaaak..! Tidaaak..!
Tidaaak..!" Teriakan
Roro Dampit bagaikan auman
seekor singa yang
mengerung kesakitan. Saat
selanjutnya sudah
terdengar lagi suara iblis-iblis
yang tertawa ber-
kakakan. Diiringi menggeletarnya
suara ujung
cambuk yang menyentuh kulit.
8
Pekik mengerikan segera
terdengar ketika
tubuh Pragola terlempar dari
jendela diatas
ruang, yang tingginya tiga ratus
undakan itu. Wa-
laupun tubuhnya terlapis dengan
pelat baja tipis,
yang anti bacokan senjata tajam.
Namun ia tak
dapat menahan terbangnya sang
nyawa karena
sekejap saja batu-batu terjal
dibawah dinding gu-
nung itu telah memangsa tubuhnya
yang bagai-
kan mengkremus mentah-mentah
tulang-
tulangnya. Tunggul memandang ke
bawah dengan
geram. Sementara matanya menatap
ceceran
uang emas dan perak, yang nyaris
saja ludes di-
gondol si pencuri licik, yang
memang sudah lama
mengincar "harta
karun" di ruangan itu. Sean-
dainya ia tak memakai
jalan-jalan rahasia, yang
dapat mencapai arah ke ruang
atas, tak nantinya
ia dapat memergoki Pragola, yang
telah berada di
ruangan itu. Dan tengah bergegas
mengumpulkan
benda-benda berharga! Sementara
wanita isteri
Tumenggung Harya Anabrang, cuma
terpaku ba-
gai patung, berdiri di sudut
ruangan.
Betapa terkejutnya si wanita ini
tadi, ketika
mendengar pintu batu berderit.
Dan sesosok tu-
buh telah bergerak masuk ke
dalam ruangan
tempat ia terkurung, ia mengira
yang datang ada-
lah Syiwo Langit. Tapi di luar
dugaan, yang mun-
cul itu seorang laki-laki
berambut keriting, yang
tak lain dari Pragola. Ia tak
mengenal laki-laki itu,
yang hanya sekejap saja menatap
padanya, tapi
selanjutnya sepasang matanya
telah beralih pada
tumpukan harta benda, dan
ratusan keping uang
mas, yang tercecer dalam ruangan
itu. Sepasang
mata Pragola jadi bersinar
gemerlapan. Bagaikan
mau melejit saja biji matanya
keluar, ketika kila-
tan-kilatan uang logam emas dan
perak dan tum-
pukan permata mutu manikam yang
menyilaukan
pandangannya itu, seperti telah
menyihirnya un-
tuk segera meraih dengan
tangannya. Seperti hi-
lang akal ia segera meraup
keping-keping berhar-
ga itu dengan tangan
gemetaran... Dan jejalkan
pada saku bajunya. Setumpuk
perhiasan yang
gemerlapan itu cepat ia raup
dengan kedua tan-
gannya yang sebelum ia masukkan
ke dalam ba-
junya, telah ia pandang terlebih
dulu, seperti ten-
gah mengagumi akan keindahannya.
Sehingga ia
tak mengetahui kalau pada saat
itu sesosok tu-
buh telah muncul di pintu batu
yang masih ter-
buka. Sesosok tubuh yang
memanggul seorang
gadis. Yang tak lain dari
seorang laki-laki berna-
ma Tunggul. Pelahan-lahan ia
kembali menyeli-
nap dari pintu batu itu. Tapi
hanya sesaat... ka-
rena sudah muncul lagi.
Namun tanpa si gadis pada
pundaknya. Ti-
ba-tiba sebelah lengannya
terjulur menyambar
tengkuk Pragola, yang jadi
tersentak kaget bagai-
kan orang terkena Strom saja
layaknya. Namun
hanya sekejap. Karena sebelah
lengan Tunggul
kembali telah bergerak untuk
menotoknya, se-
hingga Pragola hanya mampu
berteriak tergagap,
dengan tubuh tergetar hebat.
Seluruh persendian
tubuhnya telah lemah lunglai.
Brug..!
Ia telah bantingkan tubuh
Pragola ke lan-
tai, yang sudah tak dapat
berkutik lagi dan jatuh
menggeloso bagai sehelai kain.
Sementara sang
isteri Tumenggung cuma bisa
katupkan bibir,
dengan tubuh gemetar berdiri di sudut ruang.
Tampak tubuh Tunggul telah
menyelinap kembali
ke pintu batu. Yang sekejap
kemudian telah kem-
bali lagi dengan memanggul tubuh
gadis tadi,
yang tak lain adalah Sawitri.
Sekali ia mengge-
rakkan tangan untuk menggeser
sebuah batu
persegi yang menempel di dinding
ruangan, pintu
itu kembali menutup. Tiba-tiba
wanita ini perden-
garkan suaranya yang menggeletar
menatap siapa
gadis yang telah digeletakkan di
hadapannya itu,
oleh Tunggul. Yang segera ia
merangkulnya den-
gan isak tertahan sementara air
matanya mulai
lagi menetes, mengalir dari
pipinya. Tiba-tiba ia
dongakkan kepalanya pada
laki-laki berkumis
dan berjenggot hitam legam itu
untuk menatap-
nya seraya berkata:
"Syiwo Langit...! Apa yang
kau mau laku-
kan pada anakku....?"
"Hm...! Kau dapat
melihatnya nanti nyonya
Tumenggung...!"
Seraya berkata ia telah kembali
gerakkan
tangan untuk membuka sebuah
lubang pada
dinding ruangan. Sebuah lubang
yang hanya
muat untuk masuk tubuh manusia
dengan me-
rangkak. Selanjutnya ia telah
seret tubuh Pragola,
yang berteriak-teriak bagai
orang kesurupan.
Namun laki-laki berhati keras,
dan berdarah din-
gin ini mana mau mendengar
teriakannya...? Ge-
merincing uang mas dan perak
berhamburan ke-
luar dari saku baju Pragola,
yang terus diseretnya
hingga ke bawah jendela di
dinding ruangan yang
berhawa panas itu. Pragola
menangis bagai anak
kecil... Sesambat memohon ampun.
Namun ba-
gaikan seorang yang tuli,
Tunggul telah mengang-
kat tubuh Pragola keatas jendela.
Dan tanpa ber-
kedip, ia telah lemparkan
tubuhnya keluar. Ter-
dengar teriakan yang menyayat
hati. Tubuh Pra-
gola melayang, meluncur deras
dari tempat ke-
tinggian itu untuk segera
menemui kematiannya.
Demikianlah... peristiwa yang
tadi telah
terjadi. Dan saat berikutnya
Tunggul sudah me-
langkah lagi untuk masuk, dan
merangkak keda-
lam ruangan.
"Tidak..! Tidaaak..!?
Jangan kau lakukan
itu pada anakku...!
Jangaaaaaan..!" Berteriak wa-
nita itu sekuat-kuatnya sambil
memeluki tubuh
Sawitri yang tergolek pingsan.
Tunggul cuma per-
dengarkan suara di hidung.
Sepasang matanya
menatap perempuan itu tak
berkedip. Tiba-tiba ia
telah perdengarkan suara
tertawanya.
"Ha ha ha... ha ha ha....
Mengapa kau me-
larang apa yang akan aku
lakukan...? Bukankah
kau lebih menyayangi harta dari
pada anakmu..?
Kau titipkan Sawitri pada orang
lain tanpa kau
mau mengakui ia adalah anakmu..!
Apakah kau
merasa telah membesarkannya
dengan sumban-
gan-sumbangan pangan yang kau
berikan selama
ini dengan hartamu...? Dengan
harta suamimu,
yang kau bangga banggakan
itu...? Heh..! Tidak!
Ia besar dan tumbuh dengan
sendirinya. Walau-
pun kau tak berikan sumbangan
sepeserpun! Ka-
rena Tuhan yang telah
membesarkannya..! Ia
memang tumbuh karena ia masih
ditakdirkan un-
tuk hidup dan menjadi besar..!
Tapi ia tumbuh
tanpa kasih sayang. Kasih sayang
seorang ibu
kandung yang telah
menyisihkannya dari geli-
mang kemewahan. Dan juga telah
menyisihkan-
nya dari ayah kandungnya. Semua
itu kau laku-
kan karena ayahnya telah jadi
seorang hina papa,
sejak musibah menimpa
kehidupannya..! Apakah
dia harus menyalahkan perang...?
Menyalahkan
keadaan tanah air..? Menyalahkan
Kerajaan..?!
Menyalahkan manusia-manusia
rakus yang me-
rampok seluruh harta bendanya...
hanya karena
ia dianggap pemberontak! Padahal
semua itu ada-
lah fitnah keji dari seorang
pembesar Kerajaan
yang berhati srigala berbulu
domba. Yang mem-
pergunakan siasat memancing ikan
di air keruh,
dengan mencari kesempatan dalam
kesempitan.
Mempergunakan pangkat hanya
untuk memper-
kaya diri sendiri..." Suara
Tunggul menggema
santar di ruangan itu. Dengan
nada yang semakin
parau, karena iapun tengah
menahan kepedihan
yang teramat sangat. Kepedihan
dari penderitaan,
yang telah merobahnya menjadi
seorang yang
berhati keras bagaikan batu, dan
merobah ji-
wanya menjadi seorang yang
berdarah dingin.
"Aku sadar, kalau kau hanya
mengejar ke-
mewahan! Mengejar duniawi yang
tak ada kepua-
sannya. Kau bukan mencintai
diriku, tapi men-
cintai hartaku..! Kau tinggalkan
aku setelah aku
tak punya apa-apa lagi! Kau bawa
lari benih dari-
ku untuk kau berikan pada
seorang laki-laki yang
juga kau cintai karena hartanya.
Laki-laki itu Ja-
rot Suradilaga alias si Maling
Sakti. Hingga lahir-
nya anak yang telah kau beri
nama Sawitri....
Anak yang dianggap oleh ayahmu
si Pendekar
Bayangan yang bernama Bayu Seta
adalah cu-
cunya, yang mutlak dari hasil
pernikahanmu
dengan Jarot. Padahal benih itu
berasal dariku..!
Kau dustai Jarot...! Kau dustai
ayahmu..! Kau
dustai dirimu sendiri...! Kau
tutup rahasia pada
Sawitri, siapa ayahnya... siapa
ibunya..! Juga kau
tutup rahasia itu pada Prasetyo
anakmu, hasil
dari suamimu si Tumenggung itu.
Sehingga kedua
bocah itu hampir saja terjerumus
untuk saling
mencinta..! Kini semua ape yang
kau banggakan
itu sudah musnah! Suamimu sudah
jatuh mela-
rat! Aku telah memberinya berita
untuk datang
kemari ternyata ia belum
memunculkan diri.
Akan kusuruh ia saksikan upacara
pengorbanan
isteri dan anak gadisnya walaupun
anak itu ada-
lah anakku. Namun aku tahu ia
amat menyayangi
Sawitri. Aku tahu semua itu dari
Punta. Sayang
Punta turut campur urusanku,
sehingga terpaksa
aku membunuhnya..!" Sampai
disini Tunggul
hentikan kata-katanya lagi.
Tampaknya sepasang
matanya merah seperti menyala.
Wajahnya yang
kaku itu seperti menampilkan
kekerasan hatinya.
Sementara suara isak tersendat
terdengar dari
wanita isteri Tumenggung itu
yang masih tun-
dukkan wajah dengan memeluk anak
gadisnya.
Air matanya sejak tadi terus
mengalir membasahi
pipi, dan jatuh ke dada sang
anak. Tiba-tiba
Tunggul alias Syiwo Langit telah
berkata lagi: "Ki-
ni pilihan diantara dua....
Apakah kau lebih cinta
anakmu, ataukah lebih mencintai
harta benda...?
Akan kuberikan semua harta yang
ku kumpulkan
ini semuanya untukmu. Kau boleh
cari lagi si
Tumenggung itu, untuk kau
teruskan hidup ba-
hagiamu dengannya. Tanpa harus
kau takutkan
aku mengganggumu. Karena aku tak
akan meng-
ganggu walau selembar rambut
kalian! Nah beri-
kanlah anakmu. Dan biarkanlah ia
kuperbuat se-
suka hatiku. Karena dia adalah
darah daging-
ku..!" Berkata Tunggul
sambil membungkuk un-
tuk meraih tubuh Sawitri. Akan
tetapi si wanita
itu telah menjerit histeris.
"Tidaaak..! ? Tidaaaak...!
Jangan kau sen-
tuh dia..! Jangan kau pisahkan
ia dari sisiku lagi,
Syiwo Langit. Ampunilah
kasalahanku... Ampuni-
lah dosaku..! Dia anakku...! Dia
darah dagingku..!
Dia.. dia... anak kita...!
Sawitri anak kita..!" Tam-
pak Tunggul kembali berdiri, dan
tegak bagai ar-
ca, tak bergeming. Kata-kata itu
seperti nyanyian
indah yang membisik di
telinganya. Begitu menye-
jukkan.... Begitu meresap ke
dalam kalbu.
Alangkah indahnya kata-kata
itu..! Membi-
sik hatinya. Kata-kata yang ia
dambakan hampir
separuh dari hidupnya. Kata-kata
yang membuat
jiwanya yang panas menggelegak,
seperti tersiram
air sejuk.
"Dia anak kita...! Sawitri
anak "KITA"...!"
Suara yang menghiba itu amat
menyayat hati,
dan berulang-ulang menggema di
telinganya. Te-
gakah ia berbuat senaib itu pada
darah dagingnya
sendiri...? Tegakah ia lakukan
perbuatan terku-
tuk itu hanya karena untuk
membuktikan keke-
rasan jiwanya. Membuktikan bahwa
iapun seo-
rang laki-laki. Yang dapat
berbuat apa saja, di
hadapan bekas isterinya, yang
masih syah seba-
gai isterinya! Yang semua itu
harus ditebus oleh
pengorbanan sang anak.
Pengorbanan yang tidak
mutlak. Pengorbanan yang akan
membawa murka
Tuhan. Karena perbuatan itu
adalah perbuatan
yang amat terkutuk. Tampak ada
air bening me-
netes dari pelupuk mata Tunggul.
Air mata suci
yang keluar dari dorongan hati
nurani yang masih
bersih. Seekor binatang yang
paling buas sekali-
pun tak akan memangsa anaknya
sendiri. Namun
bila hal itu bisa juga
terjadi.... Maka manusia itu
lebih rendah martabatnya dari pada
seekor bina-
tang...! Padahal manusia
diciptakan Tuhan ada-
lah sebagai insan yang paling
mulia. Melebihi
makhluk-makhluk lain yang telah
diciptakanNya.
Hanya karena dorongan hawa nafsu
sajalah, yang
membuat manusia lupa akan harkat
kemanu-
siaannya. Hawa nafsu yang
datangnya dari Sye-
tan! Dari Iblis...! Yang merasuk
pada hati manu-
sia. Menguasai akal sehatnya.
Sehingga manusia
terbuai oleh bisikan-bisikan
nafsu lahiriahnya
yang sudah ditunggangi oleh para
Syetan dan Ib-
lis!
Tubuh Tunggul tampak tiba-tiba
tergetar
hebat. Ia seperti sebuah arca
yang sudah mau
runtuh ke bumi. Kekerasan hati
dan jiwanya
tampak luluh. Tulang-tulang
persendian lemah,
seperti sudah tak kuat untuk
menyangga sang
tubuh untuk terus berdiri tegak.
Dan tiba-tiba sa-
ja tubuh Tunggul meluncur turun
untuk jatuh
menekuk lutut. Kepalanya
tertunduk dengan se-
pasang mata yang terpejam namun
penuh ber-
simbah air mata. Ada suara yang
didengarnya.
Suara dari seorang wanita yang
telah kembali sa-
dar akan kesalahan dan dosanya.
Suara yang
lembut penuh kasih sayang...
"Kakang Syiwo Langit...!
Maafkan segala
kesalahanku yang telah membuat
kau menderita.
Membuat jiwa jadi berubah kejam,
karena me-
mendam sakit hati dan dendam
karena ulahku....
Maafkanlah aku kakang..."
Dan terasa oleh Tung-
gul tubuhnya telah dipeluk
orang. Karena me-
mang wanita isterinya itu telah
memeluknya den-
gan menciuminya pada wajahnya,
sehingga air
mata mereka bercampur menjadi
satu. Ternyata
bukan hanya air mata mereka saja
yang menjadi
satu, tapi hati merekapun telah
kembali bersatu.
Tunggul biarkan wajahnya diciumi
sepuas hati.
Dan biarkan wajahnya menjadi
basah bersimbah
air mata. Karena ia telah
menenangkan segala pe-
rasaannya menenangkan hatinya
yang berkeca-
muk oleh berbagai perasaan.
Bahagiakah ia? Se-
dihkah ia...? Tunggul tak tahu
akan semua yang
ia harus ia ungkapkan. Namun
Tunggul bukanlah
Tunggul yang berhati bagai batu
karang lagi. Bu-
kan pula yang berjiwa telengas
dan kejam lagi.
Karena semua itu seperti telah
terpupus dengan
kenyataan yang tak dapat ia
bantah. Ia masih
mencintai wanita itu. Ia masih
mendambakan ka-
sih sayang... dan kehidupan
bahagia bersama
anak yang dikasihinya Sawitri.
Dan sekonyong-
konyong Tunggul balas memeluknya.
Sementara
tanpa mereka mengetahui, sang
anak sudah sejak
tadi pentang mata untuk melihat
kejadian di de-
pan matanya. Telinganya sudah
sejak tadi men-
dengar apa yang telah
diungkapkan oleh ayahnya.
Namun Sawitri memang berhati
keras ia bertahan
untuk tidak bergeming, dengan
menahan pera-
saan hatinya. Kini melihat kedua
orang dihada-
pannya tengah saling
berangkulan, bertangisan.
Gadis ini yang sudah sejak tadi
melelehkan air
mata, tiba-tiba telah
perdengarkan teriakannya.
"Ibuuuuu.! Ayaaaaah..!"
Dan serta merta ia
telah bangkit untuk segera
memeluk kedua orang
tuanya. Yang segera saja
ramailah suara orang
bertangisan di dalam ruangan
itu. Sawitri seperti
juga baru sadar dari sebuah
mimpi. Karena baru
untuk pertama kalinya ia merasakan
pelukan dari
kedua ayah dan ibunya, yang
menangisinya den-
gan penuh keharuan. Sementara di
luar langit
yang terlihat dari jendela di
dinding ruangan itu
tampak memerah... Terlihat
begitu indah. Ru-
panya sang matahari sebentar
lagi akan tengge-
lam.... seolah untuk sejenak
beristirahat. Yang
segera menggantikan datangnya
malam. Untuk
kembali bersinar pada esok pagi.
Dimana ia akan
berikan sinarnya untuk
kehidupan. Untuk keten-
traman pada semua makhluk diatas
dunia...
9
JERITAN-JERITAN parau disengaja
itu
membuat burung-burung yang sudah
mencari
tempat untuk tidur didahan-dahan
dan ranting
pepohonan jadi buyar
berhamburan... dan berter-
bangan dengan ketakutan. Suara
jeritan itu da-
tangnya dari lamping bukit
terjal itu. Tampak tiga
orang berpakaian serba hitam
dengan wajah wa-
jah seram itu telah terjungkal
roboh bermandikan
darah. Ternyata saat-saat yang
mengerikan buat
Roro Dampit, telah terhapus
sekejap mata. Den-
gan munculnya Roro Centil pada
saat yang tepat.
Sehingga perbuatan terkutuk yang
akan menimpa
dirinya itu dapat di gagalkan.
Roro Centil mema-
pah tubuh Roro Dampit dengan
terharu. Berun-
tung Joko Sangit mau memberikan
pakaian wani-
tanya pada wanita malang itu.
Sehingga mereka
dapat segera meneruskan langkah
untuk menuju
desa. Menyusul Sentanu. Dari
jauh terlihat Sawi-
tri mengejar mereka. Wajahnya
tampak cerah, se-
cerah langit yang masih
tampakkan sinar merah-
nya. Sambil berjalan ia
ceritakan pada Roro Centil
bahwa keluarganya telah kembali
bersatu. Ia te-
lah menemukan kedua orang tuanya
yang sebe-
narnya. Dan ia ada mendengar
bahwa harta yang
amat banyak, yang dikumpulkan
ayahnya yang
bernama Tunggul itu akan di
bagi-bagikan untuk
orang-orang miskin. Tentu saja
Roro Centil terta-
wa gelak-gelak... dan peluk
tubuh Sawitri. Ia su-
dah dengar semua kejadian di
atas ruangan goa
itu dari balik pintu batu. Ia
dengarkan bersama
Joko Sangit... Yang tadinya
berniat mengangkangi
harta itu. Namun bukannya segera
merampas
harta, bahkan menangis cucurkan
air mata. Ma-
sih untung ia tidak menangis
dengan keluarkan
suara. Kalau itu terjadi, bisa
jadi Roro bertepuk
tangan menyoraki. Walaupun Roro
Centil sendiri
sudah basah semua pipinya
mengalirkan air ma-
ta. Karena ia segera tahu siapa
mereka. Siapa
Sawitri. Yang tak lain adalah
masih cucunya si
Pendekar Bayangan. Yaitu mertua
Gurunya di le-
reng Gunung Rogojembangan. Namun
kini ia
mengetahui kalau Sawitri adalah
bukan anak dari
si Maling Sakti, Gurunya.
Melainkan anak dari
Tunggul alias Syiwo Langit.
Seorang bekas kepala
perompak yang bermarkas di
Gunung Butak.
"Nanti ayah dan ibu akan
menyusul kema-
ri, katanya sih besok
pagi..!" Berkata Sawitri.
Yang disahuti oleh Joko Sangit
dengan pren-
gutkan wajahnya.
"Aiiih, rupanya sang Dewa
Api mau bera-
duhai dulu dengan sang
permaisuri, sehingga ia
buru-buru suruh anak gadisnya
menyusul ki-
ta...!" Tentu saja semua
jadi tertawa... Tiba-tiba
Roro Centil ajukan pertanyaan
pada Sawitri
"Eh, adik..! Bagaimana
kalau tiba-tiba ada
seorang "jejaka tua"
yang mau melamarmu...?
Apakah kau terima...?"
Berkata Roro Centil sam-
bil melirik pada Joko Sangit.
Tentu saja yang dili-
rik jadi plototkan matanya pada
Roro Centil, den-
gan wajah marah... Karena ia
tahu orang tengah
menyindirnya. Namun di luar
dugaan Sawitri
dengan polos telah menyahuti:
"Kalau orangnya baik, dan
mengerti hati
wanita, aku sih penuju
saja..." Karuan saja wajah
Joko Sangit semakin merah bagai
kepiting dire-
bus. Dan kembali terdengar suara
tertawa geli,
bahkan Roro Dampit yang baru
saja terlepas dari
musibah ikut tersenyum. Saat
selanjutnya mere-
ka sudah mempercepat perjalanan.
Sementara
beberapa wanita yang sudah
terbebas dari ceng-
keraman orang-orang komplotan
Siluman Hitam
itu tampak bergegas untuk cepat
kembali mene-
mui sanak keluarganya.
Beberapa pekan sudah berlalu,
sejak le-
nyapnya komplotan Siluman Hitam
di daerah
Tambak Boyo dekat Tuban, tampak
terlihat seo-
rang laki-laki tua yang berambut
kusut dan pa-
kaian compang-camping terlihat
sering mondar-
mandir di tepi pantai. Orang
sudah tak menge-
nalnya lagi kalau ia adalah
bekas seorang bang-
sawan ternama yang berpangkat
Tumenggung.
Karena penduduk di sekitar
pantai cuma menge-
nalnya sebagai orang yang sudah
hilang ingatan.
Yang sering duduk-duduk di tepi
pantai.... atau
kadang-kadang berlari-lari
seperti tengah mema-
cu kudanya, dengan mempergunakan
pelepah
daun kelapa sebagai
tunggangannya. Dan berte-
riak-teriak seperti tengah
menyerbu musuh. Teta-
pi kadang-kadang ia tertawa dan
menangis seperti
anak kecil. Atau
berteriak-teriak, dengan berlari-
tari di tapi pantai.
"Api... api.... Cepat
selamatkan dirimu
anakku..! Cepat lari...!
Lari..!" Demikian ia berte-
riak-teriak, seperti melihat
laut bagaikan telah be-
rubah menjadi lautan api. Entah
siapa anaknya
yang selalu diingatnya itu, tak
ada yang tahu. Bila
ia sekejap kembali sadar. Ia
duduk bersimpuh di-
atas pasir sambil menangis.
Namun sebentar ke-
mudian telah tertawa-tawa
kembali seperti orang
yang baru menang dalam
peperangan. Dialah
Tumenggung Harya Anabrang.
Seorang manusia
yang juga jadi korban dari apa
yang namanya
Cinta. Korban dari api dendam
yang telah mem-
bakar Cinta. Dari seorang anak
manusia. Takdir
adalah takdir...! Yang manusia
tak mampu untuk
menolaknya. Apapun bisa terjadi
di atas dunia
ini, selama masih adanya nafsu.
Namun nafsu
pun tak akan pernah sirna di
atas jagat ini seperti
juga Cinta. Karena nafsu
memang dibutuhkan
oleh manusia. Seperti juga
manusia membutuh-
kan Cinta...! Tapi bagi manusia
yang mengerti,
dan dapat mempergunakan akalnya
ia akan dapat
selalu mengendalikan hawa
nafsunya. Karena da-
ri nafsu yang terkendali,
manusia dapat mewu-
judkan Cinta Kasih yang murni...
Yan bebas dari
pengaruh hawa nafsu yang telah
di tunggangi
Syetan. Tiada peperangan yang
lebih besar, selain
peperangan melawan hawa nafsunya
sendiri. Ka-
rena Syetan akan terus menggoda
hati manusia
agar terus mengikuti hawa
nafsunya, sampai ia
terseret semakin jauh semakin
jauh...! Hingga ter-
jerumus ke dalam jurang yang
paling dalam.
TAMAT
Emoticon