S A T U
ANGIN malam membersit keras
menyibak de-
daunan di malam senyap itu...
Daun-daun kering ber-
guguran ke tanah. Tak tampak
sepotong rembulan pun
di atas langit yang hitam pekat.
kebisuan mencekam
ketika sesosok tubuh
berindap-indap meninggalkan
gedung Kadipaten. Dua orang
penjaga yang tertidur le-
lap menyandar di pintu pendopo
itu, tak melihat
adanya sesosok tubuh yang
melewatinya. Dengkurnya
terdengar saling bersahutan.
Dengan gerakan hati-hati sosok
tubuh itu me-
lewati pintu penjagaan ruangan
pendopo. Kini bergerak
lagi untuk melewati taman. Di
sini dia berhenti sejenak
untuk berpaling, melihat ke
sekitar yang agak remang.
Rupanya suasana aman untuk
meneruskan langkah-
nya. Tak berapa lama sudah tiba
di muka pintu. Ca-
haya lampu yang temaram dari
obor kecil di sudut
tembok itu menerangi wajahnya.
Ternyata dia seorang gadis
berwajah cantik.
Akan tetapi raut wajahnya tampak
pucat dan tegang...
Rambutnya kusut masai, dengan
pakaian yang me-
nyingkap di sana-sini. Sepasang
matanya tampak me-
mancar redup seperti habis
menangis.
Kembali sejenak dia berpaling ke
belakang.
Dengkur kedua penjaga itu masih
terdengar dari ke-
jauhan. Cepat-cepat gadis ini
palingkan wajahnya un-
tuk menatap ke arah api obor,
dan segera beranjak un-
tuk meniupnya. Lalu cepat-cepat
melangkah ke depan
pintu. Membuka palang pintunya
dan meletakkannya
dengan hat-hati di tanah. Lalu
ia membuka daun pintu
secukupnya. Selanjutnya dia
sudah menyelinap ke-
luar.
Beberapa saat kemudian gadis,
itu sudah berla-
ri cepat meninggalkan gedung
Kadipaten itu, dan le-
nyap di kegelapan malam.
Gadis itu berlari, dan terus
berlari... Sesekali
terdengar suara isaknya menyibak
lengangnya malam.
Akan tetapi isak tersendat itu
seperti ditahannya. Ja-
tuh bangun dia berlari dan
berjalan cepat tersaruk-
saruk. Hingga sebentar kemudian
telah berada jauh
dari gedung Kadipaten itu. Kini
di hadapannya terben-
tang anak sungai. Tertegun
sejenak gadis itu. Tapi
dengan menggigit bibir dan
singsingkan kainnya, sege-
ra beranjak menuruni. Terdengar
suara air menyibak.
Tubuh si gadis terendam sampai
separuhnya. Ada ter-
sirat rasa seram di hati si
gadis, akan tetapi dia terus
melangkah untuk menyeberanginya.
Beruntung da-
lamnya cuma sebatas dada. Selang
sesaat si gadis su-
dah sampai di seberang. Ketika
beranjak ke darat..
menggigil tubuh itu kedinginan.
Namun dengan meng-
gigit bibir dia teruskan langkah
kakinya. Ke mana tu-
juannya sebenarnya dia sendiri
tak mengetahui, kare-
na yang penting adalah
meninggalkan Gedung Kadipa-
ten itu sejauh-jauhnya.
Fajar mulai menampakkan diri,
ketika gadis itu
melangkah terhuyung. Hampir
semalam suntuk dia
berjalan tak pernah berhenti.
Hawa dingin yang men-
cengkeram tubuh serta luka-luka
pada telapak ka-
kinya sudah tak dirasakan lagi.
Namun di wajah gadis
ini tersungging satu senyuman.
Dia sudah bebas bagai
seekor burung yang terlepas dari sangkarnya. Walau
kebebasan itu cuma untuk
sementara, karena orang-
orang Kadipaten tentu akan
memburunya.
Walau demikian dia sudah dapat
menarik nafas
1ega. Dijatuhkannya sang tubuh
untuk duduk di rum-
putan. Di hadapannya adalah
padang ilalang dari se-
buah lembah yang hijau.
Sementara Mentari pagi su-
dah bersitkan sinarnya dari
balik punggung bukit.
Wajah gadis ini tampilkan senyum
berseri. Se-
pasang matanya menatap ke atas
perbukitan. Ada ca-
haya cerah terpancar dan sedikit
harapan tampak dari
tatapannya.
"Ah, PRAMANA...! Mengapa
kejadiannya jadi
begini... !?" Gumam gadis
ini lirih. Sementara wajah-
nya kembali tertunduk menatap
rerumputan. Seperti
terbayang lagi wajah pemuda itu
di pelupuk matanya.
Pemuda yang dicintainya. Akan
tetapi nasib telah me-
renggutnya untuk tidak berjodoh
dengan pemuda itu.
Nasib telah merenggut dirinya
yang jatuh ke dalam pe-
lukan Adipati BANU REKSO.
Gadis ini bernama RATIH DEWI. Ia
adalah pu-
teri seorang Demang di desa Guci
Alit. Hubungan yang
dibinanya secara diam-diam
dengan seorang pemuda
bernama PRAMANA akhirnya
diketahui juga oleh ke-
dua orang tuanya.
"Ratih, anakku...!"
Suatu hari ibunya berkata,
ia duduk berhadapan.
"Bukan ibu melarangmu
bergaul dengan PRA-
MANA! Ibu memberi kebebasan
padamu untuk bersa-
habat dengan siapa saja! Akan
tetapi..."
"Tetapi apa, bu... ?".
Tanya Ratih Dewi dengan
alis dinaikkan. Tersirat di
wajah gadis ini satu perta-
nyaan yang membuat ia tercenung,
karena dilihatnya
si ibu termangu memandang jauh
keluar jendela.
"Tunggulah kedatangan ayahmu. Beliau
baru
dipanggil oleh Kanjeng Adipati.
Mungkin sebentar lagi
akan pulang....!". Menyahut
perempuan tua itu, seraya
menghela napas. Lalu beranjak
meninggalkan Ratih
Dewi yang cuma terpaku dalam
kebingungan. Kata-
kata ibunya yang cuma sepotong
itu cukup membuat-
nya merasa risau. Malamnya Ratih
Dewi sudah berada
di hadapan kedua ayah dan
ibunya. Kali ini terasa jan-
tung Ratih Dewi berdebaran.
Terasa ada keganjilan
pada sikap sang ayah, yang
menatapnya tajam-tajam.
Akan tetapi jelas terlihat kalau
sang ayah pun amat
berat untuk mengatakannya,
karena sampai sekian
lama mereka tetap terpaku.
Terdengar Ki Demang Harya
Winangun ini
menghela napas. Tatapannya
sekali-sekali dilayangkan
keluar jendela. Lalu tertunduk
lagi.
Ki Demang menyulut pipa
tembakaunya, serta
menghisapnya dalam-dalam. Lalu
hembuskan asapnya
seperti membuang keresahan hati
yang menggeluti sa-
nubarinya. Kemudian terdengar
kata-katanya;
"Ratih Dewi anakku. Terlalu
berat bagiku untuk
mengatakannya padamu, akan
tetapi apa boleh buat.
"Kau anakku satu-satunya.
Kau pasti tidak akan men-
gecewakan orang tuamu. Aku amat
yakin akan priba-
dimu. Nah. Dengarlah...".
Demikianlah dengan hati be-
rat Ki Demang menceritakan bahwa
kedatangannya ke
Kadipaten adalah karena sang
Adipati bermaksud me-
lamar Ratih Dewi. Pembicaraan
mereka adalah untuk
yang ketiga kalinya. Kali ini
Adipati Banu Rekso sudah
tak dapat menahan gejolak
hatinya. Dan meminta
anak gadis Ki Demang dengan
terang-terangan.
Bagaikan ada petir menggelegar
di telinga, Ra-
tih Dewi terkejut bukan
kepalang. Wajahnya seketika
pucat pias. Benarkah atau hanya
main-main kata-kata
ayahnya itu?. Adipati Banu Rekso
sudah beristri em-
pat. Mungkinkah kalau dia mau
mempersuntingnya
pula..?. Terhenyak Ratih Dewi
seketika.
"Kau...kau... menerimanya
ayah...?" Tanya Ra-
tih Dewi.
"Yah...! Tak ada jalan
lain. Aku mengetahui wa-
tak sang Adipati Banu Rekso.
Kalau kutolak besar ba-
hayanya buat kedudukanku. Semua
ini kuterima den-
gan terpaksa!". Ujar Ki
Demang.
Hancur luluh seketika hati Ratih
Dewi. Air ma-
tanya sudah segera menetes
keluar dari pelupuk ma-
tanya. Kandaslah sudah
harapannya. Tiba-tiba di ja-
tuhkannya dirinya ke pangkuan
sang ibu, dan menan-
gislah gadis itu terisak-isak.
Sang ibu cuma linangkan
air mata dengan menunduk sedih.
Wanita ini menge-
tahui betapa kehancuran hati
anak gadisnya. Hati wa-
nita inipun menangis. Sebagai
wanita dia dapat
merasakan kepedihan hati Ratih
Dewi, namun
mana bisa ditentang keinginan
sang Adipati?. Sepa-
sang lengan wanita tua ini cuma
bisa mengelus-elus
rambut anak gadis yang
dicintainya.
Sejak itu Ratih Dewi tak pernah
keluar rum ah.
Sia-sia kedatangan Pramana untuk
menjumpainya.
Pemuda ini pun maklum sudah. Dia
cuma bisa meng-
hela napas tanpa berdaya untuk
bisa menentang ke-
hadiran sang Adipati di rumah Ki
Demang. Cuma bisa
tatapkan mata melihat dari
kejauhan, tatkala Ratih
Dewi diboyong oleh Adipati Banu
Rekso. Sepasang ma-
ta Pramana berkaca-kaca menatap
tandu yang men-
gangkut Ratih Dewi, dengan
dikawal oleh beberapa
prajurit dari Kadipaten.
Sementara kedua orang tua-
nya cuma terpaku memandang.
Upacara pernikahan
berlangsung sederhana saja di
rumah Ki Demang. Se-
lesai upacara itu, Ratih Dewi
segera diboyong.
Seperti nanar tatapan mata
Pramana melihat
apa yang terpampang di depan
matanya. Ternyata ki-
sah cinta mereka putus di tengah
jalan. Tak ada lagi
harapan yang rasanya lebih baik bagi Pramana. Saat
itu juga dia kembali ke pondok.
Mengemasi pakaian-
nya. Lalu menghadap gurunya,
Panembahan Kumitir.
Tentu saja membuat Panembahan
Galih Kumi-
tir terheran-heran. Namun saat
itu Parta Kendala sang
murid tertua Perguruan Elang
Putih membisiki di te-
linga sang Panembahan, yang
membuatnya segera
manggut-manggut.
"Pergilah tenangkan hatimu,
Pramana. Memang
sebaiknya kau turun gunung...!
Kelak kalau menemui
kesulitan jangan segan-segan
untuk kemari...!". Berka-
ta sang Guru. Agaknya orang tua
ini maklum akan ke-
patahan hati pemuda muridnya
itu.
"Terima kasih. Guru....!
Kakang Parta Kendala,
Guru...! Hamba mohon
diri!". Kedua orang itu pun
mengangguk. Pramana segera
tinggalkan padepokan
yang selama beberapa tahun
didiaminya. Juga tempat
dia digembleng dengan berbagai
ilmu kedigjayaan oleh
Panembahan Galih Kumitir.
Di sana pula tempat terpautnya
hati pada seo-
rang gadis jelita, puteri Ki
Demang Harya Winangun.
Demang yang menguasai wilayah
Desa Guci Alit dan
sekitarnya. Namun di sana pula
kandas cintanya, ka-
rena direnggut oleh sang Adipati
Banu Rekso. Adipati
yang punya wewenang besar di
wilayah itu. Adipati
yang keinginannya tak dapat
dibantah. Juga Adipati
yang menghancurkan harapannya.
Sementara Ratih Dewi cuma bisa
titikkan air
mata di dalam tandu yang
memboyongnya untuk ting-
gal di rumah Gedung sang Adipati
Banu Rekso.
Ternyata Ratih Dewi sudah
mempunyai renca-
na yang tersirat dalam benaknya.
Rencana yang hanya
dia saja yang mengetahui. Cinta
memang bisa mem-
buat orang jadi nekat. Cinta
memang tak dapat dipak-
sakan.
Ratih Dewi tak mampu untuk
menolak lamaran
sang Adipati yang sudah diterima
ayahnya. Dia telah
berusaha menjadi seorang anak
yang berbakti terha-
dap kedua orang tuanya, akan
tetapi ternyata dia tak
berhasil mendustai dirinya
sendiri. Ratih Dewi tak da-
pat menerima kehadiran sang
Adipati Banu Rekso.
Adipati yang serakah! Pikirnya.
Seorang pembesar
yang mementingkan dirinya
sendiri tanpa mau tahu
akan penderitaan orang lain.
Berdebar hati Ratih Dewi kala sang Adipati te-
lah memasuki kamarnya. Saat itu para tamu sudah
pulang. Acara pesta di gedung
Kadipaten sudah usai.
Tiga orang istrinya
masing-masing telah pamit untuk
mengundurkan diri ke bilik
masing-masing. Cuma istri
pertamanya yang paling tua tak
terlihat menampakkan
diri. Wanita berusia sekitar 40
tahun itu cuma bisa
menghela nafas berat. Betapa pun
ia cumalah seorang
istri yang tak punya wewenang
apa-apa terhadap sang
Adipati. Wanita ini mempunyai
tempat tinggal, sebuah
gedung yang terpisah agak jauh
dari gedung Kadipa-
ten. Tak seorang pun mengetahui
kalau sebenarnya di
hati wanita tua itu terpendam
kepedihan. Walau ia su-
dah tawar akan artinya kehidupan
sebagai seorang is-
tri Adipati, yang pada
kenyataannya adalah melulu
penderitaan batin belaka yang
harus dialami. "Kau be-
lum mengantuk dinda...?".
Tanya sang Adipati seraya
menghampiri Ratih Dewi. Sebelah
lengannya mengga-
mit pinggang istrinya yang
sedari tadi tetap duduk
dengan setia di sisi pembaringan
yang berbau harum
itu.
Kedua belah pipi Ratih Dewi
segera mendapat
ciuman mesra dari laki-laki
berusia 50 tahun itu. Ratih
Dewi tersenyum manis seraya
tundukkan wajahnya
yang tiba-tiba terasa panas.
Detak jantungnya semakin
cepat. Tak berani dia menatap
wajah sang Adipati itu,
walau rasanya ingin dia menampar
wajah kasar itu se-
kuat-kuatnya.
"Aku menantikan kakanda...
Kanjeng Adipa-
ti...!" Ujar Ratih Dewi
lirih.
"Oh...? Begitukah ...? Ha
ha ha... kau memang
seorang gadis ayu yang
menggairahkan, istriku...! Kau
berbeda dengan yang lainnya.
Pantas kalau aku tergi-
la-gila padamu. Kau cantik, ayu
dan kenes, Ratih De-
wi...!". Berkata sang
Adipati.
Selanjutnya sang Adipati Banu
Rekso telah
mendekapnya erat-erat, akan
tetapi Ratih Dewi cepat-
cepat mendorongnya seraya
berkata.
"Mengapa terlalu tergesa
kakanda...? Bukalah
pakaianmu dulu, dan simpan dulu
keris pusaka itu.
Aku ngeri
menyentuhnya...!".
"Oh, ya aku lupa, maafkan
aku istriku...!".
Menyahut Banu Rekso seraya
lepaskan pelu-
kannya. Dan menyingkirkan benda
pusaka itu dari
punggungnya. Lalu meletakkannya
di atas meja. Ratih
Dewi sudah beranjak menghampiri.
Meraih keris pusa-
ka sang Adipati, lalu
menyimpannya dalam lemari pa-
kaian. Banu Rekso cuma
tersenyum.
"Kau takut dengan senjata
pusaka itu, sayang
ku...?". Tanya Banu Rekso.
Ratih Dewi cuma
mengangguk, seraya menghampiri
lagi sang
Adipati. Di lengannya sudah
tersedia handuk. Semen-
tara sang Adipati telah selesai
menyingkirkan apa yang
menjadi penghalang. Cepat-cepat
Ratih Dewi belitkan
handuk pada tubuh sang Adipati.
"Tubuhmu berkeringat,
kakanda kanjeng Adi-
pati. Mandilah segarkan badanmu
lebih dahulu. Bu-
kankah akan lebih bergairah
untuk malam pertama ini
bagi hamba...!".
"Oh...? Baik. Baiklah...!
Ha ha ha... Kau me-
mang benar-benar seorang istri
teladan. Sebentar aku
sudah bebas dari bau keringat,
sayang ku...!". Berkata
Adipati Banu Rekso. Ia tampaknya
amat penurut seka-
li, padahal keinginannya sudah
tak ter bendung lagi.
Banu Rekso beranjak meninggalkan
kamar, dan menu-
tup pintunya kembali.
Ratih Dewi sudah baringkan
tubuhnya di pem-
baringan, berselimutkan kain
sutera tip is yang mem-
buat samar-samar tampak bayangan
tubuh sang pen-
gantin jelita itu. Sementara
Ratih Dewi menanti dengan
hati berdebar. Degup jantungnya
serasa berdeburan
keras. Namun dia masih bisa
menahan ketegangan.
Rencana itu tak boleh gagal,
pekik hatinya. Sepasang
mata laki-laki tua itu sudah
merayapi setiap lekuk liku
di balik tirai sutera tipis di
hadapannya. Senyumnya
terlihat melebar. Sementara
sepasang kakinya telah
melangkah mendekati.
Ratih Dewi pejamkan kelopak
matanya. Hatinya
terasa hancur berkepingan. Kala
dia biarkan juluran
lengan nakal sang bandot tua itu
menelusuri sega-
lanya. Akan kuberikanlah apa
yang ada semuanya un-
tuk si manusia keparat ini... ?
Tersentak hati sang pelanduk
ketika sesuatu
yang ditakutkan itu sesaat lagi
akan terjadi. Akan
mandahkah dia untuk berdiam
pasrahkan diri?. Hati
sang pelanduk menjerit, akan
tetapi wajahnya tetap
tak menampakkan reaksi. Beberapa
kali lengannya
sudah bergerak ke sisi
pembaringan, di mana di bawah
tilam telah dia siapkan sepucuk
keris berlekuk tujuh.
Keris telanjang yang telah
ditaruh di situ adalah keris
pusaka milik sang Adipati. Namun
beberapa kali pula
dia urungkan niatnya, karena
khawatir akan menga-
lami kegagalan. Gagal berarti
mautlah yang justru
akan menimpa dirinya.
Beruntung sang Adipati sudah
keluarkan kelu-
hannya. Wajahnya menampilkan
kekecewaan. Kemu-
dian gulingkan tubuhnya ke sisi.
Terlihat sekujur tu-
buhnya bermandikan peluh. Ratih
Dewi menarik nafas
lega. Puncak kengerian itu sudah
terlewati... Kebulatan
hati Ratih Dewi telah tertanam
untuk tak bisa diha-
puskan lagi. Di saat laki-laki
tua itu sudah terdengar
mendengkur di sebelah tubuhnya,
saat itu pula Ratih
Dewi telah sibakkan kain tilam
di sisi pembaringan.
Segera lengannya sudah
menggenggam sepucuk keris
berlekuk tujuh yang sudah
telanjang itu. Di tatapnya
sejenak wajah sang Adipati Banu
Rekso. Lengan Ratih
Dewi menggeletar. Akan tetapi
keris itu sudah di hun-
jamkan berkali-kali ke dada dan
lambung laki-laki
bandot tua itu. Tak sempat lagi
Adipati Banu Rekso
untuk berteriak. Tubuhnya sudah
menggelinjang ber-
kelojotan mandi darah. Namun
sesaat kemudian sege-
ra mengejang untuk lepaskan
nyawanya melayang ke
akhirat.
Selanjutnya segera beranjak
keluar kamar.
Ternyata dia harus menunggu
sampai semua orang
tertidur, dan barulah dengan
berindap-indap keluar,
yang untuk seterusnya berhasil
meloloskan diri.
Demikianlah awal kisah dari
kejadian yang me-
nimpanya. Sepasang mata Ratih
Dewi kembali jatuh-
kan air mata yang mengalir ke
pipi. Isaknya kembali
terdengar... Ratih Dewi menekap
wajahnya dengan ke-
sepuluh jari tangannya. Air mata
itu mengalir turun
lewat sela jemarinya yang
lentik. Namun selang sesaat
dia sudah kembali dapat
menguasai diri lagi. Setelah
menghapus air matanya, kemudian
bangkit berdiri.
Sepasang matanya menatap ke atas
perbukitan di ma-
na cahaya mentari baru pancarkan
sinarnya. Lalu be-
ranjak melangkah lagi untuk
kembali meneruskan per-
jalanannya...
* * *
Sepasang pemuda bertubuh kekar,
berpakaian
dari sutra warna biru yang
mahal. Ikat kepalanya ber-
warna merah, dengan sabuk
terbuat dari baja tipis
yang melingkar di pinggang.
Sikapnya amat gagah.
Berwajah garang dan angkuh,
namun boleh dibilang
cukup tampan. Tampak tengah
ayunkan kakinya ber-
jalan cepat menuju ke tengah
desa. Dia bernama REK-
SO JIWO. Pemuda ini baru pulang
dari berguru, yang
kedatangannya ke desa ini adalah
untuk yang ketiga
kalinya sejak satu tahun yang
lalu. Siapakah adanya
Rekso Jiwo ini... ? Pemuda yang
umurnya berkisar an-
tara 23 tahun itu adalah
putera sang Adipati Banu
Rekso.
Tampak dia sudah tiba di tengah
desa. Bebera-
pa orang yang mengenalinya
segera menyapa dengan
menjura hormat.
"Raden...! Oh, anda baru
datang lagi Salah seo-
rang dari yang menyapa adalah
seorang laki-laki beru-
sia 40 tahun yang bernama Sentani.
"Benar, paman! Tampaknya
wajah-wajah kalian
menampilkan kesusahan?. Ada
apakah yang terjadi ...!
Apakah orang-orang ELANG PUTIH
menantang kalian
lagi...?". Bertanya Rekso
Jiwo. Kedua lengannya sudah
bertolak pinggang. Setahun yang
lalu ketika Rekso Ji-
wo datang ke desa ini, tengah
terjadi keributan antara
beberapa orang anak-anak buah
Sentani dengan
orang-orang Perguruan Elang
Putih. Persoalannya ka-
rena beberapa murid Perguruan
Elang Putih turut
campur dalam urusan perbuatan
Sentani dan anak-
anak buahnya.
Tindakan Sentani yang semaunya
menguras
harta benda penduduk, tentu saja
membuat kegusaran
beberapa anak murid Perguruan
Elang Putih. Seperti
di ketahui, Sentani adalah orang
kepercayaan Adipati
Banu Rekso. Dan mendapat pula
dukungan dari Rekso
Jiwo. Tentu saja jadi besar
kepala, dan bertindak se-
maunya memeras penduduk,
terutama para pedagang
dan petani, serta melakukan
bermacam perbuatan ter-
cela lainnya. Bentrokan pun
terjadi. Namun segera di-
tengahi oleh Ki Demang Harya
Winangun.
Rekso Jiwo yang mengetahui Ki
Demang mem-
punyai anak gadis cantik yang
diam-diam tengah diin-
carnya, terpaksa tak turut
campur. Padahal diam-diam
Rekso Jiwo mendongkol sekali,
karena memang dia tak
menyenangi adanya Perguruan
Elang Putih berada di
wilayah itu. Dia menganggap
ilmu-ilmu kedigjayaan
Perguruan Elang Putih adalah
kelas rendah. Justru
itulah Rekso Jiwo tak berniat
berguru di Padepokan
tersebut. Bahkan dia telah
menepuk dada di hadapan
kawan-kawannya bahwa kelak akan
dijatuhkannya
wibawa Perguruan Elang Putih
olehnya. Selanjutnya
Rekso Jiwo akan mendirikan satu
Perguruan sendiri
yang punya wibawa besar. Apa
lagi dengan dibawah
naungan kekuasaan ayahnya yang
sebagai Adipati,
serta mempunyai wewenang besar
di beberapa wilayah.
Kedatangannya kali ini adalah
untuk menun-
jukkan serta membuktikan apa
yang telah dicapainya
selama berguru lebih dari tiga
tahun. Disamping me-
mang perlu menjumpai ayahnya,
karena Rekso Jiwo
punya satu gagasan yang lebih
baik dalam mengelola
pemerintahan ayahnya di sekitar
wilayah yang dikua-
sai. Gagasan itu memang perlu
dibicarakan pada sang
Adipati Banu Rekso. Tentu saja
bagi seorang yang ber-
watak kurang baik, akan menelorkan satu gagasan
yang tidak baik pula. Mungkin
baik bagi si pengelola,
akan tetapi amat merugikan bagi
rakyat.
"Mengapa kalian diam
semua?!". Tiba-tiba Rek-
so Jiwo membentak, karena
dilihatnya Sentani dan
anak-anak buahnya terpaku dengan
wajah menunduk.
Wajah-wajah mereka seperti
menampakkan sesuatu
kesusahan yang sukar
disampaikan.
Mendengar bentakan itu tentu
saja mereka jadi
terkejut. Sentani pelahan
mengangkat wajahnya. Lalu
tiba-tiba jatuhkan diri berlutut
di hadapan Rekso Jiwo.
"Kami... kami tengah
berkabung. Juga semua
rakyat di wilayah Kadipaten tengah berkabung, Ra-
den... ! Ramanda Raden, Kanjeng
Gusti Adipati telah
berpulang...!".
"HAH...!?". Terkejut
seketika Rekso Jiwo. Sepa-
sang matanya menatap pada
Sentani, lalu alihkan pa-
da keenam orang anak buah
Sentani itu. Mereka se-
mua menundukkan wajah tanpa ada
yang berani men-
gangkatnya.
"Ramanda wafat...!?".
Gumam Rekso Jiwo.
Tampak laki-laki ini tertunduk
lesu. Sentani sudah
bangkit berdiri, lalu berkata,
setelah menatap sejenak
pada Rekso Jiwo. "Sebaiknya
Raden segera ke Kadipa-
ten. Ataukah mau mendengarkan
penuturan hamba
terlebih dulu...?"
"Ceritakanlah...!
Tuturkanlah apa yang menjadi
penyebab kematian ayahku! Sudah
berapa harikah
menjelang kematian
beliau?". Berkata Rekso Jiwo.
"Baiklah Raden. Mari kita
bicara di bawah po-
hon itu, di sana udara
sejuk!". Ujar Sentani seraya
menunjuk pada sebuah pohon
rindang kira-kira sepu-
luh tombak di sebelah mereka.
Tak berapa lama mereka sudah
berkumpul di
tempat itu. Mulailah Sentani
membuka kisah penutu-
rannya. Setelah menghela nafas
sejenak segera mulai
bicara.
"Sebenarnya kejadian itu
tak ada yang menge-
tahui, akan tetapi banyak dugaan
orang memperkuat
siapa pelaku dari pembunuhan
itu... Kejadian itu ber-
langsung sudah dua hari ini,
yaitu pada malam pen-
gantinnya Kanjeng Gusti
Adipati..."
Rekso Jiwo beliakkan matanya
mendengar
ayahnya ternyata telah kawin
lagi untuk yang kelima
kalinya. Siapakah pengantin
wanitanya...? Berkata
Rekso Jiwo dalam hati, akan
tetapi dia tak hendak
memutuskan cerita Sentani.
Hingga Sentani terus be-
rikan penuturannya panjang lebar
pada Rekso Jiwo.
Tentu saja dengan beberapa
dugaan yang dia berikan
semaunya saja mengenai pelaku
pembunuhan itu.
Sementara Rekso Jiwo
mendengarkan dengan wajah
sebentar pucat sebentar merah.
"Tak mungkin rasanya Ratih
Dewi yang mela-
kukannya. Dia seorang wanita
Lemah. Dugaanku ada-
lah ada orang kedua di belakang
Ratih Dewi, yang sen-
gaja melenyapkan nyawa Gusti Kanjeng
Adipati dan
membawa kabur gadis itu...
!" Ujar Sentani setelah
mengakhiri penuturannya.
"Maksudmu siapa...?".
Tanya Rekso Jiwo. Sepa-
sang alisnya bergerak menyatu
dengan mata membela-
lak menatap Sentanu.
"Heh! Siapa lagi kalau
bukan PRAMANA...! Pe-
muda murid Panembahan Galih
Kumitir Ketua Pergu-
ruan ELANG PUTIH itu adalah
kekasihnya. Buktinya
begitu ramanda mu tewas, si
Pramana itu lenyap tak
ketahuan ke mana
perginya...!". Ujar Sentani.
"Bedebah...! Benar paman,
dugaanmu pasti tak
akan meleset. Tunggu kelak
kedatanganku orang-
orang Elang Putih!". Teriak
Rekso Jiwo dengan kema-
rahan luar biasa. Selanjutnya
mereka segera bubar.
Rekso Jiwo kelebatkan tubuhnya
untuk segera be-
rangkat menuju gedung Kadipaten.
* * *
Panembahan Galih Kumitir duduk
di tengah
ruangan padepokan. Sementara
lima belas orang mu-
rid-muridnya duduk bersimpuh di hadapannya.
Para Kendala murid tertuanya
berada di sebe-
lah kiri ketua Perguruan Elang
Putih itu. Tampaknya
ada sesuatu yang tengah
dibicarakan oleh sang Pa-
nembahan. Laki-laki tua yang
berusia lebih dari seten-
gah abad itu tampak duduk
merenung dengan sepa-
sang mata terpejam. Sementara
jari-jari tangannya
mengelus-elus jenggotnya yang
panjang memutih. Ke-
palanya terbungkus dengan
belitan kain kasar berwar-
na putih. Memakai jubah warna
abu-abu yang tidak
terlalu bagus, tetapi bersih.
Terdengar sang ketua
Elang Putih itu menghela napas,
lalu berujar;
"Kita dalam kesulitan
murid-muridku. Karena
orang-orang Kadipaten menganggap
kita telah terlibat
dalam perkara pembunuhan Adipati
Banu Rekso ...!".
Terkejut kelima belas
murid-murid sang Pa-
nembahan. Mereka tatapkan
pandangan pada gurunya
dengan wajah pucat. Beberapa
orang saling pandang
dengan kawannya.
"Mengapa demikian Guru...?
Kita tak mengeta-
hui masalah pembunuhan itu,
mengapa kita bisa terli-
bat...?" Bertanya salah
seorang yang duduk paling de-
pan.
"Hm, semua ini adalah
karena kesalahan yang
sengaja dijatuhkan pada
kita!"
"Apakah kita tak patut
mencurigai juga, guru!
Bisa saja Pramana dianggap yang
telah mem-
bunuh Adipati dan melarikan
Ratih Dewi, karena gad
is anak Ki Demang itu adalah
kekasihnya! Cinta terka-
dang bisa membuat orang jadi
kejam, dan merubah fi-
kiran sehat menjadi tidak
waras...!". Berkata Parta
Kendala, si murid tertua sang
Panembahan.
"Tidak...! Aku tak
sependapat. Aku tahu watak
serta pribadinya. Sejak selama
empat tahun dalam
gemblengan ku, tak nantinya dia
berhati telengas! Tin-
dakan itu pasti telah difikirkan
sebelumnya, karena
dengan berbuat demikian berarti
dia telah membawa
Perguruan Elang Putih ke ambang
kehancuran...! Ja-
lan terbaik adalah kau Parta
Kendala segera pergi ber-
sama beberapa orang saudara
seperguruanmu mencari
di mana adanya Pramana
...!" Akan tetapi terlambat
sudah, karena pada waktu itu
juga sudah terdengar
suara teriakan di luar
padepokan..
"Orang-orang Elang Putih!
Keluarlah kalian...!
Aku REKSO JIWO akan menuntut
balas kematian
ayahku...!". Terkejut semua
yang hadir termasuk sang
Panembahan Galih Kumitir. Parta
Kendala sudah me-
lompat ke luar diikuti lima
belas orang murid-murid
sang Panembahan.
"Bagus...! Mana Tua bangka
keparat gurumu si
Ketua Elang Putih. Suruh dia
menghadapku...!".
Teriak laki-laki tegap di luar padepokan itu.
Ternyata di sisi Rekso Jiwo,
tegak berdiri seorang ka-
kek berjubah hitam berwajah
kaku, dengan sebelah
matanya meram. Giginya
besar-besar menonjol keluar.
Pada lengannya tergenggam sebuah
tongkat bercagak
dua, berwarna hitam. Semua
murid-murid Perguruan
Elang Putih segera pentang mata
untuk melihat ke
arah kedua orang itu. Parta
Kendala belum menjawab,
namun sang Panembahan Galih
Kumitir telah berada
di muka pintu padepokan. Tampak
wajah sang Pa-
nembahan tampilkan perubahan
melihat si kakek ber-
jubah hitam itu.
Tak salah lagi, dia si Setan
Hitam! Ada apakah
dia muncul di sini...? Gumam
sang Panembahan Galih
Kumitir dalam hati. Akan tetapi
dia sudah mengetahui
kalau manusia itu adalah Gurunya
Rekso Jiwo, anak
Adipati Banu Rekso itu.
"He he he... he he...
Bagus! Bagus... ! Selamat
berjumpa Elang Putih. Kiranya
baru sekarang kita ber-
jumpa setelah hampir sepuluh
tahun tak bertemu. Tak
dinyana kau kini sudah jadi
ketua Perguruan dan
punya kewibawaan di desa
ini...!" Terdengar suara si
kakek jubah hitam yang ditujukan
pada sang Panem-
bahan Galih.
"Angin apakah yang telah
meniup mu datang
kemari, Setan Hitam?. Kami
merasa tak mempunyai
kesalahan, mengapa datang-datang
Raden Rekso Jiwo
muridmu ini mau menuntut balas
kematian ayahan-
danya... ?".
"Bedebah...! Tua bangka
keparat... ! Muridmu
yang bernama Pramana itulah yang
telah melakukan
perbuatan keji. Masakan aku akan
tinggal diam?. Ka-
lau muridnya pembunuh dan juga
telah melarikan istri
orang, tentu Gurunya yang harus
bertanggung ja-
wab...!". Teriak Rekso Jiwo
dengan wajah berang.
"Tutup mulutmu Rekso
Jiwo...! Kau menuduh
orang yang belum jelas
kesalahannya. Belum tentu itu
perbuatan saudara
seperguruanku!". Teriak Parta
Kendala. Laki-laki ini amat
gusar, karena Gurunya di-
maki-maki seenaknya.
"Hoh...! Aku telah
kehilangan ayahanda ku, ju-
ga seluruh rakyat di wilayah ini
telah kehilangan pe-
mimpinnya. Kalau tak kutumpas
biang keladi pembu-
nuhnya, serta meratakan
padepokan ini dengan tanah
janganlah aku bisa meram
tidur...! Kini tunjukkan di
mana adanya si bedebah Pramana
itu. Kalian kira den-
gan menyembunyikan pemuda itu,
kalian akan
aman....?. Huh! Jangan kalian
harap...!". Merasa kata-
katanya diremehkan, Parta
Kendala jadi naik pitam.
Tubuhnya sudah melompat ke
hadapan Rekso Jiwo.
"Maaf, sobat Rekso Jiwo!
Perguruan kami tak
menerima kedatangan tetamu yang
tak tahu adat!
Silahkan kalian keluar...!
Pramana sudah turun
gunung sebelum terjadi kejadian
pembunuhan itu. Ka-
lau kau menganggap saudara
seperguruanku itu yang
melakukan, tentu saja kami tidak
terima...!". Kata-kata
pedas Parta Kendala membuat alis
Rekso Jiwo naik ke
atas, lalu bergerak turun
menyatu. Sepasang matanya
menatap Parta Kendala dengan
sinar kemarahan. Tiba-
tiba Rekso Jiwo sudah keluarkan
teriakan keras. Sebe-
lah lengannya bergerak
menghantam dada laki-laki itu.
PLAK...! Parta Kendala cepat
silangkan lengan
untuk menangkis. Tampak tubuh
kedua pemuda itu
terhuyung. Dalam segebrakan
saja, mereka telah sal-
ing menjajal kekuatan tenaga
dalam lawan.
"Bagus...! Urusan tak perlu
berlama-lama mu-
ridku. Manusia-manusia yang cuma
menyebalkan ini
sebaiknya cepat-cepat
disingkirkan dari wilayah
mu...!". Berkata si Setan
Hitam dengan nada sinis.
Tentu saja kelima belas
murid-murid perguruan Elang
Putih tak tinggal diam. Segera
sudah mengurung me-
reka.
"Kalian mencari keributan
tanpa sebab dan
bukti yang kuat, kami akan
mempertahankan kebena-
ran. Karena kami yakin kejadian
itu bukan perbuatan
saudara seperguruan
kami...!" Berkata salah seorang
dari tiga murid utama Panembahan
Galih.
Yaitu yang bernama Subala. Pada
saat itu su-
dah berkelebat tubuh sang
Panembahan ke dalam pa-
depokan.
"Tahan...! Sebaiknya kita
bermusyawarah. Atau
kalau perlu kami akan berusaha
mencari Pramana,
untuk membuktikan kebenaran
tuduhanmu itu, raden
Rekso Jiwo!".
Akan tetapi jawabannya adalah
serangan hebat
yang dilancarkan si Setan Hitam.
Satu pukulan keras
bertenaga dalam telah menghantam
dada sang panem-
bahan secara tak terduga.
BUK...! Terdengar laki-laki tua
itu mengeluh.
Tubuhnya terdorong ke belakang
beberapa langkah.
Gusarlah sang Panembahan.
Pukulan itu cukup membuat dada
sang pa-
nembahan terasa sesak. Beruntung
tidak terlalu keras,
karena si Setan Hitam itu
sengaja menguji kekuatan
lawan.
"He he he... Sebaiknya kita
bermusyawarah di
atas pertarungan, Elang Putih!
Ingin kulihat sudah
sampai di mana kehebatan ilmu
silatmu sejak sepuluh
tahun ini...!". Teriak si
kakek berjubah hitam. "Huh...!
Kalian memang sengaja mencari
keributan...! Baik!
Aku akan hadapi kau... Setan
Hitam!". Berkata sang
panembahan. Selanjutnya dia
sudah mengirim satu
pukulan dengan jurus Elang Sakti
Menyambar Mang-
sa. Hebat pukulan itu, yang
ternyata dibarengi dengan
cengkeraman yang mengarah ke
batok kepala si Setan
Hitam. Suara angin menderu keras
ketika lengan-
lengan si Elang Putih itu
bergerak ke arah lawan. Na-
mun dengan berseru keras, si
Tongkat Setan Hitam te-
lah sambarkan tongkatnya, yang
bersitkan hawa din-
gin.
Tubuh Elang Putih berbalik untuk
menukik.
Sepasang lengannya telah ditarik
lagi. Kini telah jejak-
kan kaki di tanah. Cuma sekejap,
karena selanjutnya
sudah hantamkan telapak tangan
mengarah dada. In-
ilah jurus pukulan Menghantam
Bukit. Terkejut si Se-
tan Hitam. Akan tetapi dengan
tertawa dingin sudah
disambutnya serangan itu. Justru
anehnya dia tak
menggerakkan tangan untuk
menangkis.
BUK...! Hantaman itu telah
mengenai sasaran-
nya dengan telak. Terkejut sang
Panembahan, karena
lengannya seperti menghantam
kapas... Tenaga puku-
lannya seperti lenyap tak
berbekas.
Pada saat itulah tongkat si
Setan Hitam berke-
lebat menyambar kaki. Disertai
lengan jubahnya ber-
gerak menghantam kepala lawan.
Dalam posisi demikian ternyata
cukup sulit un-
tuk menghindar. Namun dengan
gulingkan tubuhnya
serta lakukan salto beberapa
kali, ternyata si Elang
Putih telah mampu menyelamatkan
diri. Namun tak
urung jubahnya kena disambar
robek.
"Bagus...! Masih lincah
juga kau, Elang Pu-
tih...!" Teriak si Setan
Hitam. Dia tidak mengejar. Akan
tetapi bahkan berkelebat ke arah
pertarungan, di ma-
na tiga orang murid utama si
Elang Putih tengah ber-
tarung dengan Rekso Jiwo.
"Celaka Guru...! Kita tak
akan dapat menang melawannya..
!". Berkata sang Mu-
rid. Tercenung sang panembahan.
Dilihatnya satu per-
satu para muridnya dibantai
habis oleh Rekso Jiwo.
Pemuda itu cuma pergunakan
lengan kosong saja, tapi
mampu mematahkan setiap serangan
yang datang.
Bahkan bila sepasang lengannya
bergerak, tentu akan
jatuh bertumbangan tubuh para
muridnya dengan da-
da remuk.
"Iblis telengas! Hadapilah
aku...!". Sang panem-
bahan gusar bukan main melihat
keadaan para mu-
ridnya. Dengan menggerung keras
dia sudah hantam-
kan pukulannya bertubi-tubi.
Dengan tertawa jumawa
si kakek jubah hitam itu
putarkan tongkatnya meng-
halau serangan. Sebentar saja
pertarungan kedua to-
koh yang sudah kawakan dan telah
lama tak bertemu
itu terjadi dengan hebatnya. Dua
puluh jurus telah
berlalu, akan tetapi si Elang
Putih tetap tak mampu
menembus bentengan hitam yang
melindungi tubuh si
Setan Hitam. Bentengan hitam itu
seperti mengelua-
rkan hawa aneh yang dinginnya
luar biasa, yaitu dari
putaran tongkat si Setan Hitam.
Sementara Parta Kendala sudah
pula melompat
untuk menerjang Rekso Jiwo.
Pemuda ini tertawa si-
nis. Merasa ada sambaran angin
di belakangnya, dia
sudah balikkan tubuh secepat
kilat dan lancarkan
hantaman lengannya memapaki
serangan.
WUT! WUT! Kedua pukulan
masing-masing di
elakkan oleh mereka. Akan tetapi
tenaga pukulan telah
membuat ikat kepala Rekso Jiwo
terlepas. Pemuda ini
tampak gusar. Tiba-tiba dia
telah cabut keluar senja-
tanya. Yaitu sebuah pedang
berwarna hitam. Terkejut
Parta Kendala karena sinar dari
pedang itu membuat
hawa mengantuk pada sepasang
matanya.
Empat orang sisa para murid sang
Panemba-
han terkejut melihat sinar hitam
yang telah membuat
tubuhnya bergidik, karena pedang
itu keluarkan hawa
dingin yang aneh. Ketika senjata
itu digerakkan berpu-
tar, segera membersit keluar
suara bagaikan hantu-
hantu yang tertawa cekikikan,
disertai hawa mengan-
tuk yang menyerang mereka.
"Ilmu Sihir
Hitam...!". Terperangah seketika
Parta Kendala. Dia pernah
mendengar dari Gurunya
akan adanya Pedang Setan ini
yang telah lenyap dua
puluh tahun yang lalu. Tak
dinyana kalau benda pu-
saka itu akan muncul lagi. Dan
anehnya berada
di tangan Rekso Jiwo. Sementara
pada saat itu
sang Panembahan Galih Kumitir
dalam keadaan terde-
sak. Namun masih sempat melihat
ke arah Parta Ken-
dala yang tengah terperangah
menatap pada Rekso Ji-
wo yang keluarkan Pedang Pusaka
berwarna hitam itu.
Terkejut pendekar tua ini,
karena segera dia sudah
mengenali senjata langka itu.
Celaka...! Parta Kendala
harus cepat-cepat menyingkir
pergi sebelum terlambat.
Pikir sang Panembahan. Akan tetapi justru terpecah-
nya perhatian, membuat
kesempatan baik tak disia-
siakan oleh si Setan Hitam. Satu
serangan ke arah da-
da dengan gerak tipuan, membuat
si Elang
Putih melompat menghindar.
Lompatan yang
sudah diperhitungkan itu
ternyata adalah kesempatan
yang paling baik untuk
menghantamkan tongkatnya.
BUK...! Terdengar suara teriakan
keras sang
Panembahan, tubuhnya terjungkal
dan menggelinding
beberapa kali. Ketika berhenti tampak jubahnya ba-
gian dada telah sobek hangus.
Wajah sang panemba-
han tampak pucat pias, karena
terasa dadanya remuk
terhantam tongkat si Satan
Hitam. Akan tetapi dia su-
dah berteriak untuk memperingati
murid tertuanya.
"Parta Kendala, muridku...
Pergilah cepat. Se-
lamatkan dirimu... Suaranya
putus seketika, berba-
reng dengan berkelebatnya
tongkat si Setan
Hitam yang menembus dadanya.
Detik itu, Par-
ta Kendala sudah segera sadar
akan apa yang harus
dikerjakan. Sekejap, sang murid
tertua panembahan
Galih Kumitir itu sudah
berkelebat cepat untuk ting-
galkan padepokan. Gerakan yang
tak terduga itu
membuat Rekso Jiwo tak sempat
untuk mengejar. Se-
mentara dilihatnya sisa empat
orang dari murid-murid
Perguruan Elang Putih itu
beranjak untuk melarikan
diri.
Kemendongkolan hatinya jadi
ditumpahkan pa-
da mereka. Terdengar suara
bentakannya, dan ketika
tubuh Rekso Jiwo berkelebat,
segera sinar pedang
yang memukau itu telah membuat
mereka berhenti
berlari. Selanjutnya sudah
terdengar jeritan-jeritan
mengerikan, ketika dada dan
leher mereka terkoyak
oleh tebasan pedang.
Bertumbanganlah keempat tubuh
murid-murid
sang Panembahan, untuk roboh
mandi darah. Setelah
berkelojotan, kemudian tewas.
"Bagus, muridku...!
Menumpas musuh harus
sampai akarnya. Kelak harus kau
cari satu orang yang
tadi melarikan diri. Dan cari si
Pramana itu...!" Berkata
si Setan Hitam, yang sudah
mencabut tongkatnya dari
hujamannya di dada sang
Panembahan Galih Kumitir
alias si Elang Putih.
"He he he ... kekalahan 10
tahun yang lalu te-
lah tertebus, muridku...! Si
Ketua Perguruan ELANG
PUTIH ini dulunya manusia yang selalu
ikut campur
urusan orang. Dia dulu
berjulukan si Pendekar Elang
Putih. Beberapa orang saudara
seperguruanku tewas
di tangannya. Cuma aku yang
berhasil lolos. Namun
sejak aku memperdalam ilmu
silatku hingga ku berha-
sil memiliki Pedang Setan di
tanganmu itu, dia sudah
bukan apa-apa lagi bagiku. He he
he... kelak kau boleh
dirikan lagi Perguruan yang
pasti sebentar akan mem-
buat kewibawaan mu terkenal ke
setiap penjuru...!".
Rekso Jiwo manggut-manggut
dengan terse-
nyum, lalu sarungkan lagi Pedang
Setannya ke bela-
kang
punggung. Kedatangan sang Guru
memang
amat di harapkan oleh Rekso
Jiwo, yang memang me-
merlukan bantuan untuk
melenyapkan sang Panem-
bahan Galih Kumitir. Ternyata
justru datang dengan
membawa Pedang Setan yang
diberikan padanya...
Sementara diam-diam Rekso Jiwo
bergirang ha-
ti juga, karena dengan kematian
ayahnya kelak dia bi-
sa menggantikan kedudukan
sebagai Adipati yang
menguasai beberapa wilayah,
serta punya wibawa.
Namun walau bagaimana tetap saja
dia merasa
kehilangan, atas kematian sang
Adipati Banu Rekso
ayahnya...
D U A
PRAMANA sudah jauh meninggalkan
kawasan
perguruan Elang Putih.
Tatapannya tak bergairah me-
natap ke depan. Berkali-kali
terdengar dia menghela
nafas. Ditatapnya burung-burung
elang di angkasa,
dan seketika teringatlah dia
akan Gurunya sang Pa-
nembahan Galih Kumitir yang
bergelar Pendekar Elang
Putih itu. Terasa trenyuh
hatinya. Orang tua itu sudah
menggemblengnya dengan pelbagai
ilmu kedigjayaan
selama lebih dari empat tahun.
Kini dia meninggalkan
Perguruan karena semata-mata
buat melipur hatinya
yang terluka. Karena untuk terus
berdiam di sana cu-
ma akan membuat hatinya semakin
pedih. Cintanya
terlalu besar pada Ratih Dewi.
Kepergiannya justru un-
tuk menenangkan perasaan hatinya
yang kalut.
Beberapa saat kemudian dia telah
tiba di sisi
sebuah muara sungai yang di
kiri-kanannya banyak
tumbuh rumput ilalang, serta
pohon-pohon rimbun.
Keadaan di sini memang lebih
menyenangkan. Peman-
dangan yang cukup bagus! Pikir
Pramana. Dia pun
mengambil keputusan untuk
menetap di sekitar hutan
itu.
Pramana adalah anak yatim piatu.
Ketika kejadian perampokan dua
belas tahun
yang lalu dia masih kecil. Tak
banyak yang diketahui
dengan kematian kedua orang
tuanya. Cuma yang di-
ingatnya adalah dia mempunyai
seorang saudara kem-
bar yang bernama WIRATMANA.
Wiratmana terhitung kakaknya,
karena lahir
lebih dulu. Namun sejak kejadian
mengerikan yang
menimpa keluarganya, Pramana tak
mengetahui ke
mana gerangan sang kakak.
Seingatnya adalah, dia
ikut bersama seorang laki-laki
tua yang dipanggilnya
paman WANGSIT.
Ketika Pramana berusia lima
belas tahun, pa-
man Wangsit meninggal karena
usia tua dan serangan
penyakit yang dideritanya.
Sayang paman Wangsit tak
pernah bisa menceritakan
peristiwa kematian orang
tuanya, karena paman Wangsit
adalah orang yang tu-
nawicara alias gagu. Pramana
pergi mengembara ke
mana saja sepembawa kakinya.
Lalu berjumpa dengan
seorang tua bernama Galih
Kumitir. Demikianlah,
hingga dia menetap di padepokan
ELANG PUTIH, ber-
sama gurunya Panembahan Galih
Kumitir itu.
Telah beberapa hari ini Pramana
merasa ha-
tinya tak enak. Lama-lama merasa
bosan juga dia ting-
gal di hutan rimba itu. Suatu
hari terkejut ketika ten-
gah berburu mengejar pelanduk,
telah mendengar sua-
ra jeritan seorang wanita. Suara
itu seperti berteriak
minta tolong, yang nampaknya
amat ketakutan sekali.
Apakah yang terjadi...? Sentak
hati pemuda itu.
Sekejap tubuhnya sudah berkelebat
melompat untuk
mencari di mana arah suara itu.
Dengan pergunakan indra
pendengarannya
yang cukup tajam, Pramana
menyusup ke semak be-
lukar. Suara teriakan itu
semakin jelas. Lalu bergegas
melompat ke sebatang pohon. Dari
atas cabang segera
dia dapat menyaksikan kejadian
di bawahnya.
Ternyata seorang gadis tengah
berteriak-teriak
dikejar beberapa orang laki-laki
yang menyoren senjata
di pinggang. Bahkan salah
seorang sudah berhasil
memenangkannya. Siapakah
mereka...?. Dan siapa pu-
la gadis itu...?. Sentak Hati
Pramana.
Dengan gerakan ringan Pramana
melompat tu-
run. Jarak di hadapannya masih
sekitar dua puluh
tombak. Tak berapa lama dia
sudah mengintai di balik
semak belukar.
"Tidaak...! Tidaak...!
Jangan ganggu aku! To-
looong...!". Teriak gadis
itu.
"Ha ha ha... berteriaklah
sekuatmu, manis. Di
tempat ini tak ada pendekar yang
nyasar, untuk meno-
longmu!". Berkata salah
seorang, yang tak lain dari
SENTANI. Beberapa orang anak
buahnya telah berhasil
meringkus wanita itu.
Sementara itu di tempat
persembunyiannya,
Pramana jadi terkejut, karena
gadis itu tak lain dari
RATIH DEWI. Istri Adipati Banu
Rekso, alias bekas ke-
kasihnya sendiri. Pramana
menahan diri untuk tetap
di tempat persembunyiannya.
Sepasang matanya me-
natap dengan berbagai pertanyaan
memenuhi benak-
nya. Apakah yang terjadi dengan
Ratih Dewi...?. Apa-
kah dia melarikan diri dari
Kadipaten?.
"Hahaha... haha... Aku akan
mendapat hadiah
besar bila membawamu ke
Kadipaten, bocah ayu...!
Kau telah membawa bencana besar, dengan
terbunuhnya Adipati Banu Rekso.
Katakanlah, siapa
yang telah lakukan pembunuhan
itu...!". Tanya Senta-
ni seraya mencekal dagu Ratih
Dewi. Gadis ini so-
rotkan wajah ketakutan, akan
tetapi segera menjawab
setelah kuatkan hati. Toh dia
akan mati setelah usa-
hanya melarikan diri gagal. Dan
kini tertangkap di tan-
gan orang-orang bayaran dari
kadipaten! Pikir Ratih
Dewi.
"Heh! Baik aku katakan!.
Akulah yang membu-
nuhnya, karena aku tak sudi
menjadi istri kelima Adi-
pati itu. Aku bukan ayam yang
dapat diperbuat se-
maunya. Manusia itu telah
merenggutkan diriku dari
orang yang kucintai, yaitu
Pramana! Nah! Jelaslah su-
dah! Kini bunuhlah aku sekarang
juga. Tak perlu kau
bawa aku ke Kadipaten...!
Bunuhlah! Bunuh...!". Te-
riak sang dara, yang dengan mata
beringas menantang
wajah Sentani. Kata-kata itu
membuat Sentani jadi
melengak, akan tetapi dia sudah
tertawa lebar seraya
berkata.
"Hahaha... Bagus! Tapi
apakah kata-katamu itu
bisa dipercaya...?. Aku tak yakin
kau yang membu-
nuhnya! Akan tetapi biarlah,
lupakan saja mengenai
siapa yang melakukannya. Namun
untuk membu-
nuhmu siang-siang adalah amat
disayangkan. Kau
masih pengantin baru, dan... kau
memang amat mem-
pesonakan. Pantas kalau mendiang
Adipati Banu Rek-
so menginginkan kau jadi
istrinya...!".
Tampak sepasang mata Sentani
semakin binal.
Juluran lengannya semakin turun
ke leher, yang ke-
mudian meraba ke dada.
Menggelinjang tubuh Ratih
Dewi untuk meronta. Wajahnya
merah padam dan te-
rasa jantungnya berdebar keras.
Untuk menghadapi
kematian tak ditakutinya, akan
tetapi justru satu hal
yang seperti sudah terbayang di
depan matanya saja
yang dikhawatiri. Ketika
tahu-tahu lengan Sentani te-
lah menotok tubuhnya. Ratih Dewi
perdengarkan ke-
luhan, dan seketika
tulang-tulang persendiannya tera-
sa lemah. Kepalanya terkulai
menunduk.
"Ha ha ha... Tinggalkan
wanita ini, dan kalian
boleh beristirahat agak
jauhan...!"
Berkata Sentani pada anak
buahnya. Tiga
orang yang mencekal tubuh si
dara itu segera mere-
bahkan tubuh yang sudah tak
berdaya itu di rerumpu-
tan. Lalu cepat-cepat menghilang
pergi ke balik semak.
Sementara beberapa orang lainnya
sudah melangkah
pergi menjauh. Namun tidak
terlalu jauh, sudah ber-
henti untuk palingkan tubuhnya.
Tentu saja berpa-
sang-pasang mata dari anak buah
Sentanu, menatap
ke arah sang ketuanya.
BRET! BRET...!
BREEET... ! Lagi-lagi lengannya
bergerak untuk
menyibakkan kain penutup tubuh
yang putih mulus
itu... Segera saja satu
pemandangan yang mendebar-
kan membuat sepasang mata
Sentani semakin melebar
bulat, seolah kedua biji matanya
mau meloncat keluar
dari kelopaknya. Napas Sentani
semakin menggebu.
Bibirnya terbuka menyeringai
meneteskan air liur. Se-
lanjutnya dia sudah gerakkan
lengannya membuka
kancing bajunya, yang seperti
sekejap saja sang baju
bagian atasnya telah diloloskan
terbuka. Golok pan-
jang yang tersoren di pinggang
segera di copotnya ter-
lebih dulu berikut sarungnya.
Tampaknya Sentani su-
dah tak sabar untuk menerkam.
Akan tetapi pada saat
itu juga, tiba-tiba terdengar
sebuah bentakan keras.
Satu hantaman kaki telah membuat
tubuh Sentani ja-
tuh tersungkur ke sebelah kiri.
Terjangan hebat itu
membuat seketika tubuhnya
menggelinding sejauh
empat tombak. Bukan saja Sentani
yang terkejut, akan
tetapi juga anak buahnya. Karena
segera mereka meli-
hat di tempat itu telah berdiri
tegak sesosok tubuh,
yang tak lain dari Pramana.
"Setan Alas...! Kiranya kau
bersembunyi di si-
ni...?. Bagus! Anak-anak.
ringkus dia...! Dia si PRA-
MANA...!". Teriak Sentani
dengan wajah merah padam.
Beberapa anak buahnya yang tadi
terkesima,
seketika sadar kembali. Serentak
mereka bergerak
mengurung Pramana dengan
mencabut senjatanya
masing-masing.
Pertarungan pun segera terjadi.
Pramana telah
mencabut keluar pedangnya untuk
menangkis seran-
gan-serangan gencar para anak
buah Sentani. Prama-
na dan kawan-kawannya memang
pernah bentrok
dengan Sentani dan anak-anak
buahnya setahun yang
lalu, yang dilerai oleh Ki
Demang. Kini untuk kedua
kalinya Pramana berhadapan
dengan orang-orang Sen-
tani dengan lain persoalan.
Kalau dulu adalah karena membela
seorang
pedagang yang uang dan dagangannya dikuras habis
oleh begundal-begundal ini, akan
tetapi sekarang ada-
lah karena membela kehormatan
seorang wanita yang
adalah bekas kekasihnya sendiri.
Suara benturan-benturan senjata
tajam, serta
teriakan-teriakan dan bentakan
segera mengoyak ke-
sunyian di mulut hutan itu.
Dua orang roboh terjungkal
terkena tebasan
pedang Pramana. Untuk
pertarungan ini Pramana te-
lah keluarkan jurus-jurus
permainan pedangnya yang
berkelebatan hebat. Tiga orang
merangsak maju den-
gan berteriak membentak. Tiga
buah golok berkeleba-
tan menabas pemuda itu.
Nyaris memapas pinggangnya,
kalau Pramana
tak cepat berkelit. Selanjutnya
kembali terjadi perta-
rungan dua lawan satu. Pramana
terus merangsak la-
wan-lawannya. Jelas ilmu pedang
dari jurus-jurus
Elang Putih cukup membuat
anak-anak buah Sentani
agak gentar. Namun khawatir
dibentak oleh ketuanya
mereka terpaksa dengan
bersemangat kembali maju
menempur. Delapan orang anak
buah Sentani kini
tinggal enam orang. Dua orang
sudah terkapar tak
bernyawa.
Setahun belakangan ini ternyata
membuat ke-
pandaian Pramana maju pesat,
tapi dengan menge-
royok bersama rasanya tak
mungkin kalau tak dapat
meringkusnya...! Demikian pikir
Sentani. Tiba-tiba dia
sudah melompat untuk turut
menempur Pramana!
Menghadapi empat orang anak buah
Sentani ditambah
lagi dengan kedatangan si Ketua
begundal-begundal
itu, ternyata membuat Pramana
cukup kewalahan ju-
ga. Di samping satu keteledoran
telah membuat len-
gannya terluka.
"He he... Bagus! Ayo,
serang terus... !". Teriak
Sentani memberi semangat pada
anak buahnya. Meli-
hat darah semakin mengucur di
lengan Pramana. Sen-
tani tertawa gelak-gelak.
"Ha ha ha... Semua senjata
anak buahku telah direndam
dengan racun. Kau harus
hati-hati dengan lukamu Pramana,
karena lebih ba-
nyak bergerak racun akan cepat
menjalar!" Teriak Sen-
tani.
Terkesiap juga hati Pramana
mendengar teria-
kan Sentani. Padahal
Sentani hanya menggertaknya.
Namun hal itu telah membuat
gerakannya tidak lagi
terarah. Permainan ilmu
pedangnya agak kacau. justru
hal itu yang diinginkan Sentani.
Pramana mengeluh panjang,
tubuhnya jatuh
bergulingan tanpa dapat dicegah
lagi. Saat itu Sentanu
kembali lancarkan serangan
ganasnya. Goloknya me-
luncur deras menyambar tubuh
Pramana. Akan tetapi
pada saat yang genting itu
berkelebat sesosok tubuh
menghalau serangan ganas
Sentani.
TRANG...! Terdengar suara
beradunya dua sen-
jata tajam. Terkejut Sentani.
Benturan keras itu mem-
buat tubuhnya terhuyung ke
belakang beberapa tin-
dak. Terasa telapak tangannya
tergetar, yang nyaris
saja membuat goloknya terlepas
dari tangannya. Be-
lum lagi diketahui siapa yang datang, sang
penolong
itu sudah berkelebat menyambar
lengan pemuda itu
untuk ditariknya pergi. Dalam
beberapa kejap saja su-
dah lenyap di balik semak
belukar.
"Sudahlah! Tak usah
dikejar. Mari kita kembali
...!". Sentani sudah
mendahului melompat ke arah aw-
al pertarungan tadi. Akan tetapi
terkejut Sentani kare-
na tak mendapatkan tubuh Ratih
Dewi di tempatnya
lagi.
"Hah...! Kemana perempuan
itu...?!". Teriak
Sentani dengan kepala berpaling
ke beberapa arah. Dia
cuma dapatkan sisa-sisa sobekan
kain dan baju wani-
ta itu saja yang berceceran di
rerumputan, serta ba-
junya sendiri yang tadi
dilepaskan. Apakah wanita itu
dapat melepaskan diri dari
pengaruh totokannya?. Bu-
kankah dia tadi dalam keadaan
pingsan?. Berfikir Sen-
tani dalam benaknya.
Tiba-tiba Sentani telah melompat
ke arah se
orang anak buahnya yang terluka.
"Kau tidak
melihatnya...?". Tanyanya dengan
plototkan sepasang mata pada si
anak buah.
Laki-laki yang terluka itu cuma
gelengkan ke-
pala dengan lemah. Sementara
bibirnya tampak me-
nyeringai menahan sakit dari
luka goresan pedang di
dadanya.
"Bodoh! Goblok: Dungu...
!" Berteriak Sentani
memaki. Lalu palingkan kepala
pada keempat anak
buahnya.
"Hayo kalian cari perempuan
itu Serentak
hampir berbareng mereka
menyahuti, dan sege-
ra berkelebatan mencari dengan
berpencar. Sementara
Sentani sendiri duduk mendeprok
sambil menggaruk-
garuk kepalanya yang tidak
gatal. Namun tak berapa
lama, satu persatu sudah kembali
lagi, seraya memberi
laporan nihil.
* * *
PRAMANA mengikuti orang yang
menarik len-
gannya itu untuk berlari cepat
menembus hutan rimba
belantara. Beberapa saat
antaranya mereka sudah
hentikan larinya. Terkejut juga
girang hati Pramana
mengetahui orang itu tak lain
dari kakak sepergu-
ruannya, yaitu Parta Kendala.
"Terima kasih kakang...!
Kalau tak ditolong mu
mungkin aku sudah celaka!".
Berkata Pramana. Parta
Kendala tak menyahut, tapi
balikkan tubuhnya untuk
menatap ke arah lain. Wajahnya
kaku tak menampak-
kan senyum secuilpun. Kedua
tangannya tampak ter-
kepal, dan sesaat sudah
tundukkan kepala disertai
terdengarnya suara helaan napas.
"Kakang...!? Kenapakah kau?
Kalau kau tak
mau dengar ucapan terima kasihku
mengapa kau to-
long aku?". Berkata
Pramana. Tiba-tiba Parta Kendala
balikkan tubuhnya, dengan wajah
memerah. Sepasang
matanya tampak berkaca-kaca
menatap pada adik se-
perguruannya. Terkejut Pramana
melihatnya. Hatinya
tersentak seketika. Pasti ada
apa-apa yang terjadi, pi-
kirnya.
"Kakang Parta Kendala!
Maafkanlah aku. Kata-
kanlah kakang, apa gerangan yang
membuatmu ber-
sedih? Apakah karena aku dituduh
orang-orang Kadi-
paten telah membunuh Kanjeng
Adipati Banu Rek-
so...?". Tanya Pramana
dengan suara lembut. Sang ka-
kak seperguruan tak menjawab,
tapi menggelengkan
kepalanya.
"Bukan itu yang jadi
masalah, Pramana!". Ak-
hirnya Parta Kendala bicara
juga. "Akan tetapi..." Sam-
bung kata-katanya; dan seterusnya segera tuturkan
peristiwa di Padepokan Perguruan
Elang Putih bebera-
pa hari yang lalu.
Serasa mendengar petir
menggelegar di siang
hari layaknya, Pramana terkejut
bukan main. Sepa-
sang matanya membeliak seperti
tak percaya. Dadanya
tergetar menahan kepedihan yang
amat luar biasa.
"Aku cuma bisa melihat
kematian Guru dari ke-
jauhan. Semua saudara-saudara
seperguruan kita tak
satupun yang hidup! Kalau aku
tak menuruti perintah
Guru waktu itu untuk
menyelamatkan diri, mungkin
akupun sudah tak hidup lagi di
Dunia ini!" Ujar Parta
Kendala mengakhiri penuturannya.
"Kakang Parta Kendala...!
Ini semua adalah ga-
ra-gara kepergianku! Hingga aku
dituduh Rekso Jiwo
melarikan Ratih Dewi dan
membunuh sang Adipati.
Maafkanlah aku, kakang! Kini apa
yang harus
kita perbuat?". Berkata
Pramana. Wajah Parta Kendala
kini menampakkan senyum, walau
sepasang matanya
masih berkaca-kaca. Seraya
ujarnya;
"Kau tak bersalah, Pramana.
Mungkin kesala-
han itu terletak pada nasib. Dan
berpangkal pada ke-
nekadan Ratih Dewi, yang nekad
melenyapkan jiwa
Adipati Banu Rekso, suaminya!
Kukira titik kesala-
hannya adalah pada kekasihmu
itu, Pramana!".
"Akan tetapi hal itu tak
bisa menjadikan orang-
orang ELANG PUTIH kehilangan
segala-galanya. Teriak
Pramana, yang secara tak sadar
telah keluarkan suara
keras. Wajahnya tampak merah
padam, dadanya tu-
run-naik. Pramana tak dapat
menerima alasan yang
dilontarkan Rekso Jiwo, sebagai
dalih untuk menum-
pas habis Perguruan Elang Putih.
"Aku akan menuntut
balas kematian Guru dan saudara-saudara sepergu-
ruan kita itu, kelak...!".
Berkata Pratama dengan
menggeram. Kedua lengannya
terkepal, namun tiba-
tiba dia mengeluh seraya
memegangi lengannya yang
terluka.
"Oh, aku terkena tabasan
golok yang mengan-
dung racun. Apakah kau punya
obat pemunah racun,
kakang?". Tanya Pramana
dengan khawatir. Parta
Kendala terkejut, serta sudah
melompat untuk meme-
riksa lengan Pramana. Akan
tetapi selang sesaat, tiba-
tiba telah tertawa geli.
"Hahaha... Rupanya kau kena
dibohongi si Sen-
tani itu. Lukamu biasa, tak beg
itu membahayakan.
Tapi kau obatilah, sebentar rasa
nyerinya akan hilang!"
Ujar Parta Kendala seraya
berikan obat berupa serbuk
halus.
Tiba-tiba pada saat itu
terdengar suara tertawa
dingin disertai berkelebatnya
dua sosok tubuh. Bukan
main terkejutnya Parta Kendala,
karena keduanya ada-
lah si Setan Hitam yang datang
beserta muridnya. Yai-
tu Rekso Jiwo.
"Hah...?" Pucat bias
seketika wajah Parta Ken-
dala. Sementara Pramana segera
mengetahui siapa
yang datang. Melihat wajah pucat
saudara sepergu-
ruannya ketika menatap pada si
kakek berjubah hi-
tam, tahulah Pramana kalau orang
itu adalah yang
berjuluk si Setan Hitam.
"Hahahehe... hehe....
Menumpas musuh harus
sampai ke akar-akarnya, muridku!
Kini keduanya su-
dah berada di depan mata!
Segeralah kau turun tan-
gan...!". Si kakek jubah
hitam yang berwajah menye-
ramkan, dengan gigi besar-besar
mencuat keluar serta
mata yang tinggal sebelah itu
berkata se-enaknya. Su-
aranya seperti tempayan rengat,
tak enak didengar,
dan membuat daun telinga jadi
gatal seperti dikilik-
kilik.
Kalau Parta Kendala wajahnya
seketika menjadi
pucat, akan tetapi sebaliknya
Pramana men jadi gusar
dan kertak gigi melihat
kedatangan kedua musuh yang
telah membinasakan Gurunya ini.
"Bagus... ! Macam beginikah
tampangnya ma-
nusia-manusia keji yang telah
membunuhi orang-
orang yang tak punya kesalahan
di Padepokan Elang
Putih?". Berkata Pramana
dengan sepasang mata me-
lotot tajam.
"He!? Besar juga nyalimu,
bocah! Apakah kau
tak takut mati?". Bentak si
Setan Hitam. Akan tetapi
jawabannya justru membuat si
kakek jubah hitam ini
jadi melengak.
"Cuih...! Siapa yang takut
akan mati. Bagiku
mati atau hidup sama saja tak
ada bedanya.
Cuma yang berbeda adalah hidup
seperti anjing hina
dan mati sebagai pahlawan,
kukira lebih berharga ke-
matian!".
"Bedebah! Kunyuk...!
Kurcaci semacammu lebih
baik dibuat mati tidak hiduppun
tidak, barulah kau
bisa hilangkan
kesombonganmu!" Bentak Rekso Jiwo.
"Bagus! Bagus! Kau buatlah
dia cacat seumur
hidup, muridku. Biar lebih
sengsara hidupnya melebihi
sengsaranya anjing kudisan! He
he he he...". Selesai
membentak Rekso Jiwo sudah
mencabut keluar Pe-
dang Setan dari sarangnya.
Segera hawa dingin menyi-
bak membuat hawa aneh yang
menjadikan mata seper-
ti mengantuk. Juga membuat
semangat orang bisa
menghilang punah.
Sepasang mata Pramana terpaku
menatap pe-
dang berwarna hitam legam itu.
Adapun Parta Kendala
sudah segera salurkan kekuatan
batinnya untuk me-
nolak kekuatan ilmu Hitam dari
Pedang Setan. Namun
saat itu pedang dilengan Rekso
Jiwo telah berkelebat
menabas ke arah leher.
WUT! Nyaris membuat putus
menggelinding
kepala Parta Kendala kalau dia
tak cepat membuang
diri ke samping. Akan tetapi
sepasang matanya jadi
nanar, karena Rekso Jiwo telah
putarkan pedangnya
membuat hawa aneh menyerang
semakin hebat. Parta
Kendala hampir-hampir jatuh
karena mengantuk, tak
kuat menahan tubuhnya. Saat
itulah berkelebat kem-
bali beberapa kilatan Pedang
Setan, yang tahu-tahu
Parta Kendala tak mampu lagi
mengelakkannya.
DES! DES! Terdengar jeritan
menyayat hati dari
Parta Kendala. Keadaan tubuhnya amat mengerikan,
karena kedua tangannya terpapas
putus. Dan di saat
tubuh laki-laki itu terhuyung
limbung, satu kilatan
Pedang Setan yang berkelebat
terlalu cepat telah
menghunjam di dada Parta
Kendala. Robohlah sang
murid tertua Panembahan Galih
Kumitir dengan kea-
daan yang mengerikan. Tubuhnya
bersimbah darah
yang menyemburat dari kedua luka
lengannya yang
putus sebatas pundak.
Setelah meregang nyawa beberapa
saat, maka
putuslah nyawa laki-laki murid
ketua Perguruan
ELANG PUTIH itu. Pramana
beliakkan sepasang ma-
tanya dengan mulut ternganga.
Tubuhnya terguncang
gemetaran.
"Aku akan adu jiwa
denganmu, IBLIS...!". Te-
riaknya lantang. Suaranya
bagaikan hendak membuat
runtuhkan langit layaknya,
saking gusarnya yang ba-
gai sudah tak terbendung lagi.
PLAK! PLAK...! WESS...! Beberapa serangan
dahsyat Pramana mendapat
tangkisan telak dari len-
gan Rekso Jiwo, yang
mempergunakan satu jurus he-
bat. Itulah jurus Tiga Iblis
Membendung Lautan, yang
sudah matang dipelajarinya.
Serangan yang bagaima-
napun lihainya akan punah dengan jurus itu. Karena
saat menerjang itu Pramana
sendiri terheran. Seko-
nyong-konyong tubuh Rekso Jiwo seperti berubah jadi
tiga. Tentu saja serangannya
lolos. Tahu-tahu terasa
lengannya kena terhantam di saat
posisinya dalam
keadaan tak menguntungkan. Qua
kali hantaman itu
membuat tubuh Pramana berpusing
atau memutar
beberapa kali. Dan saat
berikutnya satu tendangan te-
lak telah menghantam dada
Pramana, yang seketika
terjungkal dengan teriakan
tertahan.
"Hahaha... hehehe... Bagus!
Bagus, muridku.
Ilmu Bayangan Sepuluh Iblis itu
telah sempurna betul
kau kuasai! Ayolah cepat jangan
membuang waktu.
Kau buat dia orang yang cacat
tanpa daksa seumur
hidup!". Berkata si Setan
Hitam dengan suara sember
yang membuat lubang telinga
gatal.
"Baik, guru...! Aku memang
akan membuatnya
mati tidak hiduppun tidak. Dan
kelak aku akan ada-
kan satu permainan hebat di
hadapannya. Hahaha...
haha...". Begitu habis
suara tertawanya, kesepuluh tu-
buh bayangan Rekso Jiwo telah
semakin rapat mengu-
rungnya. Mengamuklah Pramana
sejadi-jadinya, den-
gan menerjang kesana-kemari
dengan pukulan-
pukulan dahsyatnya. Akan tetapi
semuanya seperti
menemui tempat kosong. Bahkan
kali ini Pramana tak
dapat lagi menghindar ketika
Rekso Jiwo gerakkan
lengannya menotok tubuhnya.
Pemuda keluarkan ke-
luhannya. Baru saja tubuhnya
terhuyung roboh, telah
terasa tengkuknya dicekal orang.
Tahu-tahu dia rasa-
kan tubuhnya telah melayang di
udara. Kiranya Rekso
Jiwo telah melemparkannya ke
atas.
Pemuda ini mengeluh ketika
rasakan tubuhnya
sudah meluncur turun kembali ke
bawah. Dan selan-
jutnya terdengar suara
tulang-tulang yang berderak
pat ah. Pramana keluarkan
jeritannya yang menyayat
hati.
"Hehehe... Berikan padaku
bocah itu, murid
ku... !". Teriak si Setan
Hitam tiba-tiba. Entah menga-
pa manusia ini jadi kepingin
ikut-ikutan menyiksa.
"Baik, guru...! Sambutlah!
Tapi jangan kau bu-
nuh dia, guru!" Teriak
Rekso Jiwo. Sekali gerakkan
tangan, tubuh Pramana kembali
melayang ke udara.
Akan tetapi sebelum si Setan
Hitam sempat menang-
gapinya, tiba-tiba berkelebat
sebuah bayangan dengan
gerakan bagaikan kilat menyambar
tubuh pemuda itu.
Dan selanjutnya dengan gerakan
yang sekali, telah
membawanya berkelebat cepat
sekali. Hingga sebentar
saja sudah lenyap.
Adapun si Setan Hitam jadi
terkejut bukan
main, karena tahu-tahu tubuhnya
terhuyung dua tin-
dak. Kiranya di saat lengannya
sudah bergerak untuk
menyambuti tubuh pemuda itu,
tiba-tiba segelombang
angin halus tapi bertenaga
besar, telah membuat tu-
buhnya terdorong. Dan berbareng
dengan itu, satu
bayangan putih berkelebat
menyambar tubuh Prama-
na. Tadinya dia sudah gerakkan
kaki untuk mengejar,
akan tetapi telah terdengar satu
suara halus yang diki-
rim dari jarak jauh. Padahal
orangnya sudah tidak ke-
lihatan.
"Setan Hitam telengas....!
Kelak akan datang
masanya kalian menyesali
perbuatan keterlaluan ka-
lian...!". Suara itu cuma
si Setan Hitam yang menden-
garnya.
"Siapa kau...?".
Bentak kakek tonggos ini den-
gan suara berkumandang. Akan
tetapi tiada jawaban
apa-apa. Semuanya berlalu
seperti angin lewat saja.
Kini di tempat itu kembali
sunyi. Rekso Jiwo cuma sal-
ing pandang dengan gurunya.
Namun tak berapa lama
kemudian kedua sosok tubuh guru
dan murid itu telah
berkelebat pergi meninggalkan
tempat tersebut.
T I G A
PELAHAN LAHAN si gadis mulai
membuka ke-
lopak matanya. Kelihatannya dia
telah tersadar dari
pingsannya akibat pengaruh
totokan. Gadis itu tak lain
dari Ratih Dewi. Terkejut sang
gadis ini mengetahui di-
rinya berada dalam sebuah
ruangan yang gelap. Seke-
lilingnya adalah cuma dinding
yang terbuat dari batu
bertonjolan, yang ternyata
adalah sebuah Goa. Dia
sendiri ter baring pada sebuah
balai-balai beralasan ti-
kar rumput kering.
"Dimanakah aku ini... ? Dan
tempat apakah
ini...?". Gumam Ratih Dewi
berdesis. Dilihatnya samar-
samar di ujung ruangan ada
bayangan sesosok tubuh
membelakangi. Tak jauh di
dekatnya ada sebuah meja,
yang di atasnya terpasang sebuah
lampu minyak ta-
nah. Siapakah orang itu?. Tanya
Ratih Dewi dalam ha-
ti. Sementara dia mulai
mengingat-ingat peristiwa di-
rinya. Terkejut Ratih Dewi
ketika dapatkan tubuhnya
telanjang bulat. Dan dia cuma
berselimutkan selembar
kain tipis yang tak seberapa
panjang. Barulah dia sa-
dar akan apa yang dialami,
karena seingatnya dia telah
terjatuh dalam cengkeraman
orang-orang Kadipaten.
Terutama ada laki-laki bernama
Sentani itu yang telah
berbuat kurang ajar terhadapnya,
ketika menjadi ta-
wanan. Ratih Dewi memang sudah
tak mengharapkan
hidup. Akan tetapi tetap saja
dia mengkhawatirkan na-
sibnya kalau harus terpaksa
melayani nafsu bejat. la-
ki-laki itu.
Tapi kini dia berada di tempat
lain. Entah sia-
pakah orang itu. Apakah
Sentani...?. pikirnya dalam
benak.
Karena Ratih Dewi cuma melihat
punggungnya
saja, dia tak mengetahui siapa
adanya sosok tubuh itu.
Namun dia sudah memastikan orang
itu adalah Sen-
tani, karena siapa lagi kalau
bukan manusia itu, yang
telah menodainya.
Perlahan dia bangkit. Sepasang
matanya me-
mancar tajam menatap punggung
orang itu. Kebera-
nian Ratih Dewi memang luar
biasa. Tiba-tiba matanya
telah melihat sepotong kayu
tergeletak di sudut ruang
yang samar-samar itu. Diraihnya
benda itu. Lalu den-
gan berjingkat-jingkat beranjak
mendekati orang yang
tengah duduk membelakangi. Entah
apa yang tengah
dilakukan sosok tubuh itu, yang
tampaknya seperti
tengah bersemadhi. Ketika itu
Ratih Dewi telah tiba di
belakangnya dengan langkah tak
menimbulkan suara.
Potongan kayu itu sudah
diangkatnya tinggi-tinggi siap
untuk dihantamkan ke kepala
orang itu. Akan tetapi
orang itu menoleh... Segera
terlihat wajahnya yang ter-
tawa menyeringai.
"HAH...!?".
Terperanjat Ratih Dewi. Sepasang
matanya hampir-hampir tak
percaya, karena orang itu
adalah ayahnya. Alias Ki Demang
Harya Winangun.
Akan tetapi wajah itu tampak
pucat, dan menyeringai
menyeramkan. Membuat gadis ini
tersentak kaget. dan
melangkah mundur dua tindak.
Sebelah lengannya
memegangi kain yang membungkus
tubuhnya sebatas
dada.
"Hehehe... Ratih Dewi,
anakku... kau sudah sa-
dar, sayang...?". Suara
sang "ayah" ini kedengarannya
begitu mesra. Tiba-tiba cepat
sekali tubuhnya telah
melompat ke dekat sang gadis.
Tahu-tahu lengannya
sudah menangkap pinggang Ratih
Dewi.
"Ayah...!? Kau... kau...
Akan tetapi selanjutnya
gadis itu sudah perdengarkan
teriakannya, karena se-
konyong-konyong wajah ayahnya
itu telah berubah
menakutkan. Giginya besar-besar
menonjol keluar.
Matanya cuma sebelah. Rambutnya
yang panjang se-
batas bahu berwarna putih
beriapan itu bergerak-
gerak bagaikan cacing-cacing
kecil yang berjuntaian.
"Hah!? Kau bukan ayah?.
Si... siapa kau... ? Ti-
daak! Tidaaak! Lepaskan
aku!" Berteriak Ratih Dewi.
Akan tetapi sosok tubuh itu
telah memondongnya den-
gan tertawa terkekeh-kekeh. Lalu
diletakkan di pemba-
ringan beralaskan tikar rumput
itu. Kain penutup tu-
buhnya telah melayang lagi entah
ke mana.
Ratih Dewi serasa bermimpi yang
amat mena-
kutkan. Akan tetapi seperti
sungguhan. Anehnya dia
berada di tengah hutan dalam
keadaan telanjang bu-
lat, dan tubuh basah kuyup
disiram hujan. Tak men-
gerti dia sama sekali akan semua
itu. Segera dia berlari
untuk mencari tempat meneduh.
Tubuhnya menggigil
bukan main. Akan tetapi mau cari
selimut atau pa-
kaian kemari? Hampir gila, dan
seperti sudah hilang
akal wanita ini.
Pada saat itulah terdengar suara
menyeramkan
di telinganya. Suara tertawa
yang membuat bulu teng-
kuknya meremang berdiri.
Tiba-tiba angin bersiur ke-
ras. Hawa dingin semakin merasuk
ke tubuh menem-
bus ke tulang. Bergetaran tubuh
gadis ini. Di samping
rasa takut, tapi juga karena
hawa dingin yang tak ter-
tahankan.
"Hoaha... hahaha... anak
manis...! Kau akan
kutolong dari kesusahanmu,
asalkan kau menerima
beberapa syaratku. Hoahaha...
haha...! Kalau kau tak
bersedia, kau akan mati dengan ketakutan dan ke-
sengsaraan... !". Terdengar
suara orang berkata. Terpe-
rangah seketika Ratih Dewi.
Suara itu berkumandang
di sekitarnya, akan tetapi tak
ada orangnya. Setankah?
Makhluk haluskah...?. Pikir
dalam benaknya. Ratih be-
lum memberikan jawaban. Ketika
pada saat itu kilatan
petir membuat cuaca gelap itu
terang sekilas. Terlihat
di hadapannya sesosok tubuh
berdiri menatap ke
arahnya. Siapakah...?. Tak pikir
panjang Ratih Dewi
sudah gerakkan tubuh untuk
berlutut. Seraya berka-
ta;.
"Bapak yang berada di
hadapanku! Tolonglah
aku segera dari kesusahan, dan
kekalutan fikiranku
ini. Apapun syarat itu akan aku
kabulkan asalkan aku
terlepas dari kesusahan ini...
Baru saja selesai kata-katanya
sudah terdengar
suara tertawa lagi
terbahak-bahak. Tahu-tahu hujan
deras serta angin yang
menderu-deru menerpa tubuh-
nya itu sirna. Cuaca
pelahan-lahan berubah kembali
terang. Akan tetapi sudah
terdengar bentakan keras
"Anak manis, cepat tutup
matamu! Kalau tidak cuaca
akan kembali berubah seperti
tadi...! Dan ingat, jangan
dibuka sebelum aku
memerintahkanmu...!". "Oh,
baik... ! Baik, aku akan menutup
mataku!". Ujar Ratih
Dewi. Padahal baru saja dia
ingin melihat siapakah
orang di hadapannya. Tahu-tahu
terasa tubuhnya me-
layang cepat sekali. Namun dia
benar-benar tak berani
membuka matanya. Terasa ada
lengan yang mencekal
pinggangnya. Selang sesaat
tiupan angin telah mereda,
dan dirasakannya tubuhnya
menyentuh alas rumput
kering. Lengannya sudah meraba
sebuah selimut ker-
ing yang hangat. Tak ayal segera
dipakainya untuk
membungkus tubuhnya yang
menggigil kedinginan.
Ketika Ratih Dewi diperintahkan
membuka matanya,
di hadapannya telah berdiri
sesosok tubuh menatap-
nya. Sesosok tubuh laki-laki
berbadan tegap, namun
wajahnya tak terlihat jelas,
karena memakai topi tu-
dung yang menutupi sebagian
wajahnya.
Ikutlah aku...!". Berkata
orang itu. Ratih Dewi
terpaku sejenak.
"Andakah yang telah
menolongku...?". Tanya
Ratih Dewi. Orang itu tak
menyahut, karena tubuhnya
telah melompat ke depan ruangan
goa yang luas itu.
Pada bagian ujungnya ada
terdapat sebuah batu besar,
yang tingginya hampir setinggi
manusia. Kesanalah
orang itu melompat, dan sekejap
sudah duduk di atas
batu.
"Kalau di sini tak ada lain
orang selain aku,
siapa lagi yang melakukan
pertolongan padamu...?.
Heh, seandainya kubiarkan dirimu tanpa kusela-
matkan, niscaya kau sudah
dijadikan pelampias nafsu
manusia bejat yang bakal
membawamu ke tiang gan-
tungan! Kini cepatlah kau duduk
di hadapanku!".
Tak ayal lagi Ratih Dewi sudah
berucap dengan
suara tergetar takut dan girang
menjadi satu. Ratih
Dewi cuma bisa mengangguk.
Selanjutnya sudah ter-
dengar lagi suara orang
bertudung itu dengan nada
suara dingin.
"Bagus! Kau harus bersedia
menjadi muridku!"
Terkejut Ratih Dewi
mendengarnya, akan tetapi dia
sudah segera bersujud di hadapan
orang itu.
"Oh, terima kasih, guru...!
Aku benar-benar me-
rasa amat senang sekali!".
Ujarnya dengan wajah gi-
rang.
Emoticon