DUA PULUH TAHUN yang lalu....
Sebuah Kera-
jaan kecil di Pulau Andalas
bernama Bungo Mambang
tegak berdiri. Tentu saja
kerajaan ini berdaulat pada
Kerajaan Sriwijaya. Yang memang
adalah sebuah Kera-
jaan yang paling besar pada masa
itu. Raja yang ber-
kuasa disana bernama Sri Baginda
Bantar Alam.
Kekuasaannya meliputi tiga
wilayah. Yaitu an-
tara sekitar Gunung Kerinci,
gunung Sumbing dan gu-
nung Talang. Raja Bantar Alam
memang seorang yang
bertindak adil terhadap
rakyatnya. Sehingga rakyat
amat menyukainya. Bantar Alam
mempunyai seorang
permaisuri dan beberapa selir.
Sayang, permaisuri Ra-
ja bijaksana itu tak mempunyai
keturunan. Bahkan
dari selir-selirnya sekalipun.
Sang permaisuri agaknya
merasa takut tersisihkan oleh
Raja, karena lagi-lagi
Raja telah menambah lagi
selirnya, seorang gadis can-
tik asal lereng Gunung Kerinci.
Terbersit di hati per-
maisuri untuk mencari akal agar
dapat cepat beroleh
keturunan. Tentu saja hal yang
ditempuhnya adalah
jalan kotor. Diam-diam ia
berhubungan dengan seo-
rang panglima Kerajaan. Hal itu berlangsung terus
tanpa setahu Raja. Hingga
akhirnya benih yang terta-
nam di tubuh permaisuri, tumbuh
dengan subur. Per-
maisuri bernama Dewi Melur
itupun hamil...
Hal mana tentu saja membuat Raja
jadi bergi-
rang hati. Tapi bersamaan dengan
itu selir terakhir da-
ri Raja Bantar Alam pun tengah
mengandung.
Baginda Raja berpendapat, anak
dari permaisu-
ri yang pertamalah yang berhak
menggantikannya se-
bagai Raja kelak. Namun
sayang... rahasia hubungan
permaisuri dengan Panglima
Sobrang tercium oleh Ra-
ja. Marahlah Raja Bantar Alam..
dan serta merta
menghukum Panglima Sobrang
dengan hukuman mati.
Dan Dewi Melur diusir keluar
dari istana, serta dipe-
rintahkan untuk dibunuh di tengah hutan belantara.
Dua orang perwira Kerajaan
segera membawanya den-
gan mengendarai kuda. Dewi Melur
tak berdaya. Dan
pada malam yang sunyi itu telah
tiba di tengah hutan
belantara. Namun salah seorang
dari perwira Kerajaan
tak tega untuk menjalankan
tugas. Apalagi Dewi Melur
dalam keadaan hamil. Tentu saja
hal itu salah seorang
dari perwira Kerajaan itu
menjadi serba salah... Na-
mun kawannya tetap mengambi1
keputusan untuk
membunuh wanita itu. Terjadilah
pertengkaran, yang
kemudian beralih menjadi
pertarungan seru Karena
masing-masing berlainan
pendapat. Salah seorang ter-
luka putus lengannya oleh pedang
kawannya. Segera
laki-laki bernama Warakas itu
berniat membunuhnya.
Sayang kawan perwira yang
terluka itu sempat melari-
kan diri. Dan kembali ke
istana... Warakas terpaksa
bertindak mengambil keputusan
nekat.
Kembali berarti mati. Dan
membunuh Dewi Me-
lur pun sudah terlambat, juga
tak mungkin ia tega un-
tuk melakukannya. Maka segera
Warakas membawa
Dewi Melur untuk menyembunyikan
diri. Raja Bantar
Alam gusar bukan main,
mendengar berita itu. Dan
perintahkan lasykarnya untuk
mencari kedua orang
itu hidup atau mati. Namun
Warakas dan Dewi Melur
telah lenyap bagai ditelan bumi.
Delapan belas tahun kemudian..
Raja Bantar
Alam sakit keras: Agaknya tak
ada pilihan lain bagi Ra-
ja untuk mengangkat Kandaga,
putera dari selir terak-
hirnya menjadi Raja bagai
penggantinya. Kandaga ada-
lah pemuda gagah, yang berparas
tampan. Berkulit
coklat dan bertubuh kekar. Dan
keputusan pun tak
dapat lagi dibantah! Kandaga
memegang tampuk pe-
merintahan di Kerajaan Bungo
Mambang! mengganti-
kan ayahandanya. Hal mana sudah
berlangsung bebe-
rapa bulan. Bantar Alam ternyata
masih berumur pan-
jang. Namun ia memang sudah
mengundurkan diri da-
ri kepemimpinannya...
* * *
Senja itu berkelebat sesosok
tubuh langsing.
Gerakannya amat cepat sekali
bagaikan burung walet.
Dan sebentar saja ia telah
berada di halaman istana.
Karena ... tubuh itu memasuki
halaman dari sisi tem-
bok pagar istana yang tidak terjaga. Maka
pengawal-
pengawal Kerajaan tak seorang
pun melihatnya.
Sayang... baru saja ia mau
berkelebat masuk ke pintu
samping. Dua orang penjaga telah
melihatnya.
"Haiii...!" Siapa
kau...?" teriak salah seorang se-
raya melompat menghadang dengan
tombak dan pe-
dang terhunus. Ternyata sosok
tubuh itu adalah seo-
rang wanita alias gadis cantik.
Hidungnya mancung.
bermata agak sipit. Beralis mata
indah melengkung ke
atas. Wajahnya memang boleh
dikatakan cantik, den-
gan tahi lalat di bawah hidungnya. Cuma sepasang
matanya tampak bersinar aneh..!
Karena tatapannya
mengandung hawa seram. Seperti
seakan mau me-
nembus jantung kedua penjaga
istana itu.
"Heh..! Aku mau mencari si
Kandaga..! Akan
kucincang tubuhnya sampai
lumat..!" Mendesis suara
wanita itu. Tentu saja hal itu
membuat kedua penjaga
itu jadi terkesiap. Dan sudah
lantas membentak.
"Kurang ajar...! Kau mau
membunuh baginda
Raja..?! Keparat..! Mampuslah
kau..!" Dan segera saja
keduanya telah melakukan
serangan. Tombak dan pe-
dang sudah meluncur deras untuk
memanggang tu-
buhnya. Akan tetapi...
Plak..! Plak..! Kedua terjangan
itu telah disam-
buti dengan hantaman sepasang
lengannya. Dan aki-
batnya tombak dan pedang sang
penjaga itu sudah
terpental, karena
sekonyong-konyong si wanita berbaju
hitam itu telah menggerakkan
tangannya cepat sekali.
Belum lagi hilang terkejutnya,
si kedua penjaga itu te-
lah perdengarkan teriakan ngeri.
Dan sekejap kedua
tubuh itu roboh terjungkal.
Dengan leher di cengkeram
kesepuluh jari-jarinya... Darah
segar menyembur
muncrat. Dan dengan tubuh
berkelojotan, kedua pen-
jaga itu telah tewas seketika.
Mendengar kegaduhan di halaman istana, be-
berapa penjaga lainnya sudah
berdatangan. Dan
alangkah terkejutnya menyaksikan
dua orang kawan-
nya tewas secara mengerikan.
Segera saja mereka
mengurung si wanita cantik
berbaju hitam itu. Tam-
paknya si gadis ini tak merasa
gentar. Bahkan dengan
tersenyum sinis memandang
orang-orang di sekeliling-
nya. Adapun para penjaga istana
sudah segera berte-
riak membentak, dan menerjang
manusia di hadapan-
nya. Berkelebatlah tubuh si
wanita menghindari. Ge-
rakannya gesit sekali. Hingga
yang terlihat hanyalah
bayangan tubuhnya saja.
Lagi-lagi terdengar teriakan-
teriakan santar, diiringi
ambruknya beberapa penjaga
istana itu. Masing-masing dengan
leher kena dicengke-
ram hancur. Hingga beberapa
orang sudah tampak
melompat mundur dengan keluarkan
keringat dingin,
dan pandangan menatap ngeri.
Hati mereka jadi men-
celos terkejut. Melihat betapa
tingginya ilmu wanita di
hadapannya itu. Tiga orang
panglima Kerajaan sudah
melompat ke hadapan wanita itu.
"Ada permusuhan apakah anda
mengamuk di
Kerajaan kami..? Kalau memang
ada yang perlu dibica-
rakan, mengapa tidak bicara
dengan baik-baik saja...?"
Bertanya salah seorang. Yang
tampaknya seorang laki-
laki yang berusia sekitar 45
tahun. Wanita ini menatap
pembicara itu dengan wajah
sinis. Senyum dari sepa-
sang bibirnya yang tipis itu
bagaikan sepasang mata
pedang yang mau mengiris
jantung.
"Heh..! Aku mau bertemu
dengan Rajamu! Ma-
na si Kandaga itu..!"
Berkata si wanita dengan suara
tajam membersit.
"Ada perlu apakah anda
menemui beliau..?
Sayang baginda sedang tidak ada.
Boleh kami tahu
siapa anda..?" Bertanya
lagi panglima tua itu dengan
sabar. Sementara diam-diam
hatinya berdebar keras.
Ia tak dapat memastikan siapa
adanya wanita itu.
Akan tetapi sinar-matanya
mengandung dendam yang
amat hebat. Wanita ini tiba-tiba
tertawa mengikik. Su-
aranya membuat getaran yang
mempengaruhi jantung.
Dan ia sudah berkata dengan suara dingin bagaikan
es.
"Hi hi hi... Kandaga anak
dari selir baginda Raja
Bantar Alam. Mengapa dia bisa
diangkat menjadi pute-
ra mahkota? dan menjadi
pengganti Baginda Raja Ban-
tar Alam..? Hi hi hi... Aku
adalah puteri Baginda Raja
Bantar Alam dari Permaisuri Dewi
Melur. Akulah yang
berhak menjadi Raja, atau Ratu
pengganti ayahku,
bukan dia..!" Terkejut
ketiga perwira itu. Lebih-lebih si
panglima tua Karena panglima
itulah yang bernama
Renggana Pati. Dua puluh tahun
yang silam ialah yang
diperintahkan oleh Raja Bantar
Alam untuk membu-
nuh permaisuri di tengah hutan.
Ketika itu permaisuri
Dewi Melur tengah hamil.
Akhirnya ia berselisih den-
gan Warakas, kawannya. Yang
waktu itu mereka ma-
sih prajurit. Renggana Pati tak
terasa memegang sebe-
lah lengannya yang putus sebatas
siku. Warakas ber-
hasil menabas putus sebelah
lengannya. Namun tak
berhasil membunuhnya. Renggana
Pati melarikan diri
kembali ke istana, dan
melaporkan kejadian itu pada
Raja Bantar Alam. Namun Dewi
Melur dan Warakas,
lenyap tak berbekas, walaupun
telah dicari ke setiap
penjuru tempat. Kini seorang
gadis mengakui adalah
puteri dari permaisuri baginda
Raja Bantar Alam. Ten-
tu saja hal itu membuat Renggana
Pati jadi terkesiap.
Pada saat itulah muncul seorang
wanita berparas can-
tik, walaupun usianya telah
sekitar empat puluhan ta-
hun. Si wanita itu sudah lantas
membentak,
"Kurang ajar..! Iblis
perempuan dari mana kau.
datang-datang mengamuk membunuhi
orang istana..?
Hai! Para panglima..! Mengapa
kalian tidak segera me-
ringkus perempuan ini..!?"
Teriak wanita itu seraya
menatap tajam pada ketiga
perwira dan si gadis ber-
ganti-ganti. Mendengar kata-kata
itu si gadis cuma ter-
tawa sinis. Sepasang matanya
membersit tajam mena-
tap wanita di hadapannya.
"Hi hi hi... kau pasti
selirnya ayahku, Baginda
Raja Bantar Alam. Dan ibunya si
Kandaga..!" Berkata
wanita berbaju hitam itu dengan
suara dingin.
"Benar..! Anakku Pangeran
Kandaga berhak
penuh atas kerajaan Bungo
Mambang ini! Bukan kau.
! Ketahuilah..! Ibumu si Dewi
Melur telah main gila
dengan Panglima Sobrang,
beberapa tahun yang silam.
Mengapa kau mengakui dirimu anak
keturunan Ra-
ja..? Sudah jelas ayahmu si
Sobrang itu secuilpun kau
tak ada hak untuk menjadi
pewaris Kerajaan..!" Berka-
ta sang selir, yang tampaknya
jadi naik darah melihat
kemunculan wanita muda itu.
Tentu saja perkataan itu
membuat si wanita berbaju hitam
menjadi pucat wa-
jahnya. Tampak wajahnya sebentar
pucat sebentar
merah. Tubuhnya seperti
menggigil bahwa gusarnya
mendengar penghinaan ini. Namun
ia tak dapat ber-
tindak apa-apa selain tiba-tiba
menutup mukanya.
Dan sekonyong-konyong berlari
dengan tubuh ter-
huyung-huyung. Dari kejauhan
masih terdengar suara
isak tertahan. Dan sesaat
kemudian sang gadis itu te-
lah berkelebat lenyap... Ketiga
panglima yang menatap
tampak sama-sama menghela nafas.
Sementara wanita
istri Bantar Alam itu sudah
kembali memasuki istana.
Wanita bernama Gendari itu sudah
menjadi ibu suri di
istana Kerajaan Bungo Mambang.
"Untung baginda Pangeran
Kandaga sedang ti-
dak ada..!" Berkata salah
seorang panglima. Renggana
Pati mengangguk-angguk, lalu
beranjak masuk, sete-
lah diperintahkan beberapa
pengawal mengurus jena-
zah para penjaga istana yang
tewas. Selesai para pen-
gawal membersihkan halaman
istana dari ceceran da-
rah, Renggana Pati memerintahkan
segenap prajurit
untuk menambah kewaspadaan, dan
memperketat
penjagaan.
* * *
Wanita berbaju hitam itu berlari
dan berlari...
dengan hati serasa remuk redam.
Sementara hatinya
seperti ditusuk-tusuk oleh
jarum. Betapa sakit dan
malunya ia, dikatakan bahwa ia
adalah anak hasil dari
perbuatan serong ibunya terhadap
seorang panglima
Kerajaan bernama Sobrang.
"Benarkah demikian..?
Benarkah aku bukan
anak dari Baginda Raja Bantar
Alam?" Mendesis suara
tersendat dari kerongkongannya.
Bibirnya bergerak-
gerak menahan tangis.
Sebaris giginya sudah segera
menggigitnya hingga berdarah.
Aku harus tanyakan
pada paman Warakas peristiwa
sebenarnya. Atau aku
harus menunggu sampai ibu datang
dari seberang..!
Berkata si gadis dalam hatinya.
Segera tubuhnya ber-
kelebatan cepat meninggalkan
tempat itu. Sementara
malam mulai merayap. Di langit cuma ada sepotong
bulan.
Rumah yang ditujunya telah
kelihatan. Akan
tetapi gadis ini tidak segera
pulang. Disana ia terpaku
menata bulan. Ternyata di
hatinya telah timbul pepe-
rangan hebat.
Aku tidak mengerti... manakah
yang benar?
Penjelasan paman Warakas,
ataukah kata-kata selir
baginda Raja Bantar Alam...?
Kalau benar aku anak
seorang panglima Kerajaan
bernama Sobrang, lalu di
manakah ayahku.. ? Apakah aku
harus menjumpai
baginda Raja Bantar Alam untuk
memohon penjelasan
ini..? Tapi aku telah menanam
permusuhan, dengan
membunuh beberapa prajurit
Kerajaan. Mana sudi ia
bicara padaku..? Beberapa
pertanyaan memenuhi be-
nak si gadis cantik. Akhirnya
pelahan-lahan ia bangkit
berdiri, dan beranjak dari situ.
"Ah... seandainya ibu sudah
datang." Gumam-
nya. Sampai disini ia sudah
berkelebat cepat untuk
mendatangi rumah panggung
di kelokan jalan itu.
Akan tetapi lagi-lagi ia
hentikan langkahnya. Karena
didengarnya ada suara-suara
perlahan terdengar dari
balik dinding. Segera ia pasang
telinga. Bahkan, sudah
dapat melihat keadaan di dalam kamar tempat tidur
pamannya.
Suara seorang wanita..!
Ibukah..? Sepasang
matanya sudah terbentur dengan
dua sosok tubuh
yang tengah bicara perlahan.
Benarlah..! Kedua ibu
dan pamannya. Namun keadaannya
bukanlah seperti
dua orang saudara kandung. Atau
dua orang kakak
beradik. Karena kedua tubuh
mereka saling berhimpi-
tan. Kalau saja dalam keadaan
siang hari, tentu akan
terlihat wajah si gadis ini
berubah menjadi merah.
Tidak salahkah
penglihatannya...? Tapi kenya-
taannya itu memang sudah
terpampang di depan ma-
tanya. Segera sudah ia tutup
kelopak matanya. Dan
ada terdengar lagi suara lirih
ibunya... "Warakas...?
Kau dapat apa yang kau
inginkan... sebagai balas jasa
atas pertolonganmu padaku.
Sebenarnya aku amat
bersedih, karena walau bagaimana
Laras Jingga tetap-
lah anakku..!" Terkejutlah
gadis yang sedang menden-
garkan memasang telinga itu.
Jantungnya berdetak ke-
ras. Dan ia sudah mendengarkan
lagi dengan menahan
nafas.
"Ha ha ha... kau memang
bekas seorang per-
maisuri yang tahu membalas budi
Bukan dirimu saja
yang kau berikan padaku. Tapi
bahkan anak gadismu
sendiri juga kau korbankan demi
balas jasa...! Aku be-
nar-benar mengagumimu, Dewi
Melur." Berkata Wara-
kas. laki-laki bekas prajurit
itu Yang kini telah mengin-
jak usia sekitar 40 tahun.
Tubuhnya tegap dengan da-
da berbulu. Ia memang seorang
laki-laki yang gagah,
berkumis tebal, rambutnya sudah
terdapat dua warna,
putih dan hitam. Dewi Melur yang
berusia sekitar 35
tahun itu memang masih sangat
cantik. Sepasang len-
gan Warakas membelai rambut dan
wajah Dewi Melur.
Wanita ini tampak pejamkan matanya.
Tiba-tiba ia su-
dah berkata lagi seraya menghela
napas.
"Semua itu adalah karena
perjanjian yang telah
aku ikrarkan delapan belas tahun
yang lalu. Demi
nyawaku. Dan demi anak dalam
kandungan ku. Walau
kau adalah bekas hamba sahayaku,
seorang prajurit
yang seharusnya menghormatiku
sebagai seorang
permaisuri Raja. Akan tetapi aku
memang harus men-
gakui kelicikanmu, Warakas..!
Dan kau memang telah
membuatku jatuh, walau syarat
yang kau berikan itu
amat berat. Kini semuanya telah
kau dapatkan. Bu-
kankah kau telah puas..?"
Tiba-tiba Warakas memeluk
kencang seraya bisikkan di telinga Dewi Melur "Yah
aku telah puas...! Akan tetapi
aku sulit menjatuhkan
Laras Jingga. Ia seorang gadis
berhati keras..! Kejatu-
hannya yang pertama itu tanpa
disadari olehnya. Tapi
ia mulai menjauhi diriku..!
Walau tak berani menu-
duhku..! Aku memang telah
berjanji membuka rahasia
siapa dirinya sebenarnya. Aku
telah katakan padanya
bahwa ia seorang puteri raja
yang berhak atas Kera-
jaan Bungo Mambang. Bukankah kau
pun mengingin-
kan ia menjadi pengganti baginda
Raja Bantar Alam,
dan melenyapkan
musuh-musuhmu..?" Berkata Wara-
kas seraya hentikan gerakannya.
Dewi Melur sempai
kerutkan keningnya Akan tetapi
sepasang lengannya
sudah mencengkram punggung
laki-laki itu, seraya
desiskan suara dari bibirnya..
"Ah... sudahlah. jangan
bicara lagi kepadaku,
aku pusing. Aku baru saja
kembali.." Bisik Dewi Melur
lirih. Dan ucapnya lagi.
"Aku rindukan kau Warakas..."
Selanjutnya suara wanita itu
sudah lenyap. Karena ia
sudah memagut leher Warakas
untuk membenamkan-
nya ke dadanya. Sementara ia
sudah perdengarkan ke-
luhan mendesis. Matanya setengah
terpejam...
Laras Jingga sudah berlari
meninggalkan ru-
mah panggung itu. Hatinya terasa
remuk redam meli-
hat apa yang didengar dan
dilihatnya... Dunia ini sera-
sa gelap. Ia berlari dan
berlari... tanpa arah tujuan,
menyibak kelamnya malam.
Tubuhnya berkelebat ce-
pat sekali, hingga yang tampak
hanya bayang-bayang
hitam menembus di kegelapan.
Entah beberapa saat ia
berlari-lari... hingga ke-
tika rasakan kakinya lelah,
barulah ia berhenti. Se-
mentara air matanya tak hentinya
bersimbah mengalir
di pipinya. Tempat itu adalah
sebuah tebing batu. na-
mun di sebelah baratnya terdapat sebuah bangunan
gedung tidak seberapa besar.
Namun tampak gelap gu-
lita. Segera ia berkelebat
kesana.
Setelah diperhatikan ternyata
adalah sebuah
kuil yang kosong tak berpenghuni. Mendapat tempat
untuk beristirahat, Laras Jingga
merasa kebetulan.
Dan ia sudah duduk menggabruk di
sudut lantai. Lan-
git-langit bagian depan kuil itu
terbuat dari tembok
tebal. Dengan empat buah tiang
beton menyangganya.
Dengan menyandarkan tubuhnya di
tiang beton, Laras
Jingga termenung memikirkan
nasibnya. Seolah ter-
dengar lagi kata-kata pamannya.
Kata-kata yang
membuat darahnya jadi bergolak,
dan luapkan kema-
rahan yang tak terhingga.
Kini terbuka sudah bahwa Warakas
bukanlah
pamannya, melainkan bekas
seorang prajurit. Entah
pertolongan apa pada ibunya
hingga sampai Warakas
menuntut janji. Dan sang ibu
rela memberikan kehor-
matannya pada Warakas. Bukan itu
saja, bahkan rela
berikan kehormatan anak gadisnya
pada si prajurit
bernama Warakas itu.
Pelupuk mata gadis kembali menjadi
basah...
Diantara kelopak matanya masih
terbayang jelas keti-
ka sang paman menggaulinya. Saat yang menge-
naskan, dan di malam yang buruk itu, Laras Jingga
seperti biasa meneguk minuman
dalam air kendi di
atas meja di dalam kamarnya. Air
itu memang tidak
bening seperti biasanya. Akan
tetapi ia tidak bercuriga.
Dan karena rasa dahaganya, ia
sudah meminumnya
sampai segelas habis. Dan
selanjutnya ia sudah re-
bahkan diri di pembaringan.
Begitu cepatnya, ia terle-
lap... hingga sudah tak tahu
apa-apa lagi. Cuma dian-
tara sadar dan tiada, Laras
Jingga rasakan benda be-
rat menindih tubuhnya.
Selanjutnya ia cuma rasakan
seperti dalam mimpi. Beberapa
saat berlalu, ketika ia
sadarkan diri ia rasakan
kelainan pada tubuhnya. Sa-
darlah Laras Jingga akan apa
yang terjadi. Dari balik
pintu kamar ia mengintip ke dalam ruangan depan.
Terlihat sang paman masih
enak-enak duduk seperti
tak pernah terjadi apa-apa.
Laras Jingga bantingkan
tubuhnya ke tempat tidur, dan terisak-isak menekap
wajahnya di bantal. Dan malam
itu juga ia telah pergi
dari rumah itu. Ia memang tak
dapat berbuat apa-
apa.... Namun hatinya jadi
membenci sang paman.
Dan diam-diam ia mengancam akan
mengadukan hal
itu pada ibunya bila kembali.
Kejadian itu berlangsung
setengah tahun yang lalu. Dan
sejak saat itu ia jarang
pulang ke rumah. Ternyata
diam-diam Laras Jingga te-
lah mempelajari ilmu kedigjayaan
dengan seseorang,
yang belakangan telah pula
menjerumuskannya pula
ke dalam dekapan sang Guru.
Laras Jingga sudah tak tahu lagi
akan dirinya.
Apa lagi sejak ia berusia
sepuluh tahun, sang ibu me-
mang jarang berada di rumah.
Selama itu memang ia
tak mengenal siapa ayahnya.
Untuk kedua kalinya ter-
paksa Laras Jingga menerima
kehadiran Warakas.
Dengan janji akan memberitahukan
siapa dirinya se-
benarnya. Hingga ia melabrak ke
Kerajaan Bungo
Mambang. Di sana ia menumpahkan
kejengkelan ha-
tinya. Kini diketahuinya bahwa
sang ibu bahkan me-
mang bersedia mengorbankan anak
gadisnya, juga se-
mata-mata karena janji
memberikan imbalan.
Benar-benar terkutuk...! Jerit
hatinya. Betapa
ia telah dilahirkan secara
hina... Dari seorang ayah
yang tidak syah menurut hukum.
Selama ini yang ter-
pampang di depan mata tak lain dari lingkungan
orang-orang terkutuk. Warakas,
ternyata manusia be-
jat Ibunya Dewi juga bukan
wanita baik-baik, walau-
pun bekas seorang permaisuri
Raja. Gurunya tak lebih
dari manusia durjana, yang
memberi ilmu, namun
mengharapkan imbalan..! Gila..!
Benar-benar gila..!
Memekik hati Laras Jingga. Dan
tiba-tiba di malam
yang sunyi kelam itu ia telah
menjerit sekeras-
kerasnya. Hingga bergetaran
suaranya seperti mau
meruntuhkan tembok tebal kuil
itu. Selanjutnya ia su-
dah kembali menangis
terisak-isak menekap wajahnya.
Sepotong bulan yang masih
mengambang di langit,
cuma terdiam, seperti juga turut
merasakan kekalutan
hati dan hancurnya perasaan si
wanita muda itu. Se-
mentara desir angin malam
membuat tubuh agak
menggigil. Malampun terus
melarut. Laras Jingga ma-
sih tetap duduk terpaku di teras
depan kuil seperti ar-
ca.
* * *
Pertarungan di dasar lembah yang
penuh den-
gan kera itu berlangsung seru...
Dua sosok tubuh sa-
ma-sama berjenggot dan berkumis
panjang, yang ter-
juntai memutih itu saling gebrak
dengan hebatnya. Pu-
luhan ekor kera telah
bergeletakan di sekelilingnya tak
bernyawa. Sementara sisa-sisanya
melarikan diri ma-
suk hutan. Pasir dan debu
beterbangan. Batu-batu di
sekitarnya hancur luluh terkena
terjangan dari mas-
ing-masing serangan. Tampaknya
kekuatan mereka
hampir berimbang. Bentuk tubuh
kedua manusia itu
memang agak mirip. Cuma bedanya
yang seorang ke-
palanya gundul plontos. Dan
seorang lagi berambut
panjang bagai wanita.
Saat itu sesosok tubuh
berkelebat di atas teb-
ing, dan berhenti untuk
memandang ke bawah. Ter-
nyata dia seorang wanita muda.
Dengan rambut pan-
jang terurai. Wajahnya amat
cantik dan ayu rupawan.
Dengan pakaian dari sutera merah
jambu. Bermata jeli
dengan alis mata yang melengkung
bagai busur panah.
Siapa lagi gadis muda itu kalau
bukan Roro Centil. Si
Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Dari atas tebing itu
Roro perhatikan jalannya
pertarungan. Segera ia men-
getahui siapa yang bertempur di
bawah sana itu. "Ba-
gus..! Jarang aku menyaksikan
pertarungan dua orang
tokoh Rimba Hijau kaum tua
seperti ini..! Aku bisa
menontonnya dengan asyik!"
Desis Roro seraya berke-
lebat turun. Gerakannya lincah,
bagai seekor burung
seriti. Yang berkelebat dari
ujung-ujung batu tebing
yang menonjol, melompat-lompat
seperti tidak merasa
gamang atau ngeri tergelincir.
Tentu saja bagi Roro hal
semacam itu bukanlah hal yang
aneh lagi. Karena se-
bagai seorang yang berkepandaian
tinggi, jurang da-
lam, bukit dan gunung bukanlah
merupakan rintan-
gan lagi baginya.
Sebentar saja ia telah mendapat tempat yang
cocok untuk menikmati
pertarungan hebat yang jarang
ada itu. Si kakek berambut
panjang berjubah putih
itu, Roro Centil telah mengenalnya.
Yaitu si Dewa Si-
luman Kera. Sedang yang seorang
lagi, yaitu si kakek
yang bertubuh kurus dan
berkepala gundul plontos itu
memang Roro baru mengenalnya
sebulan yang lalu.
Yaitu di saat ia singgah di
sebuah danau. Dimana Roro
melihat seorang kakek kurus
tengah mengail ikan. Ca-
ra mengail yang aneh itu tentu
saja telah menarik per-
hatian Roro. Karena hanya
mempergunakan sebuah
bambu kecil, tanpa tali. Tapi
bila disentakkan akan
terbawa beberapa ekor ikan
meluncur kepermukaan
air. Dengan sebat, ia sudah
menangkapnya. Dari meli-
hat keanehan itu Roro sudah
dapat pastikan bahwa
kakek aneh itu seorang yang berilmu tinggi. Diam-
diam ia menguntit si kakek aneh
itu. Yang membawa
serenceng ikan segar, sambil
berkelebat dengan cepat.
Ternyata sang kakek sudah
waspada kalau di-
rinya dikuntit orang. Segera ia
balikkan tubuh. Dan
tahu-tahu dua ekor ikan telah
melesat menyambar Ro-
ro. Terkejut melihat kecepatan
dua ekor ikan itu yang
menyambar ke arahnya. Namun
dengan kecepatan ki-
lat, ia telah menangkap kedua
ekor ikan itu. Seraya
berucap.
"Hi hi hi... Terima kasih
atas pemberian dua
ekor ikan segar ini, kakek..!
Aku memang sedang la-
par. Dan memang berniat meminta
beberapa ekor ikan
ini, untuk dipanggang. Tentu
akan terasa sedap, dan
dapat mengurangi rasa lapar ku..!" Akan tetapi jawa-
bannya adalah sebuah serangan
hebat menghantam
Roro. Kali ini adalah satu angin
pukulan yang berhawa
panas menyambar ke arah sang
pendekar Wanita. Ter-
kejut juga Roro, karena angin
pukulan itu belum tiba,
hawa panasnya telah menyerang
terlebih dulu. Akan
tetapi lagi-lagi Roro berhasil
menghindar dengan letik-
kan tubuhnya. Dan angin pukulan
itu lewat di bawah
kakinya. Terdengarlah suara
seperti ledakan...
DHERRRR...! Hantaman dahsyat itu
tepat
menghantam pohon di belakangnya. Yang seketika
tumbang hangus. Baru saja ia
jejakkan kakinya, telah
datang lagi serangan. Akan
tetapi anehnya tidak di tu-
jukan padanya. Melainkan pada
batang pohon yang
tumbang hangus itu. Terdengar
suara mengguruh dan
batang pohon itu telah terbakar
hangus. Timbulkan
api besar. Roro Centil jadi
keheranan.
tapi ketika ia berpaling, si
kakek aneh itu telah
lenyap berkelebat. Dalam
keheranan itu lapat-lapat
terdengar suara di kejauhan...
"Bocah ayu... Silahkan kau
panggang ikan mu.
Kalau kau sudah kenyang
menikmati, silahkan datang
ke tempat ku di gubuk reyot, di
kaki bukit sebelah ba-
rat..!" Tentu saja Roro
jadi melengak. Tapi tiba-tiba ia
telah kirim kembali suaranya
dengan jarak jauh den-
gan mempergunakan tenaga
dalamnya.
"Hi hi hi... Terima kasih
sekali lagi kakek
aneh..! Aku pasti akan datang
menyambangimu..!"
Disamping bergirang hati, namun
diam-diam Roro ter-
kejut juga. Karena seandainya ia
kena terhantam, da-
pat dibayangkan bagaimana rupa
dan bentuk tubuh-
nya. Namun tak berayal lagi ia
sudah bersihkan dua
ekor ikan mas yang cukup besar
itu. Dan dengan se-
buah ranting, ia sudah mulai
memanggang ikannya.
Tak berapa Roro sudah duduk
menikmati santapan le-
zatnya. Hingga sampai
meram-melek karena nikmat-
nya. Sayang ia belum punya
mertua.. Berfikir Roro.
Seandainya sudah pun pasti tak
akan ditawari. Karena
memang lezatnya amat luar
biasa.
Selesai bersantap, Roro segera
beranjak untuk
bangun. Terasa kenyang perutnya.
Namun ketika te-
ringat akan janjinya untuk
singgah ke tempat si kakek
aneh itu, tanpa tunggu lama-lama
lagi Roro sudah ce-
pat tinggalkan tempat itu.
Demikianlah... Roro Centil
dapat berkenalan dengan si kakek
aneh itu yang ter-
nyata berjulukan si Mayat Hidup.
Ternyata di pondok
kecil itu menetap pula seorang
wanita muda yang baru
saja melahirkan seorang jabang
bayi. Dan baru berusia
beberapa hari. Terkejut Roro
karena mengenali wanita
muda itu lak lain dari gadis
yang pernah ditolongnya,
yaitu Retno Wulan. Tentu saja
mereka menjadi sangat
akrab. Walaupun Retno Wulan
memang sudah agak
lupa siapa penolongnya itu.
Kedatangan Roro seperti memang
tengah diha-
rapkan. Karena ia dapat membantu
merawat atau
menjaga sang bayi. Yang bagi
gadis muda itu belumlah
pandai untuk mengurusnya. Maklum
bayi yang perta-
ma kalinya. Dari Retno Wulan
itulah Roro mendengar
kisah aneh yang dialami si
wanita itu. Hingga mem-
buat Roro Centil tercenung.
Kiranya kisahnya demi-
kian... Retno Wulan telah
kehilangan seorang suami
bernama Gumarang, di saat
kandungannya baru berja-
lan beberapa bulan. Dimana
ketika siang hari ia seper-
ti biasa duduk dimuka pondoknya
yang menghadap ke
arah danau Sang suami tengah
mencari ikan dengan
berperahu di tengah danau itu.
Tiba-tiba telah datang
seorang wanita berbaju putih
tahu-tahu muncul di-
muka pintu pondok. Retno Wulan
terkejut sekali. Dan
menanyakan siapa adanya ia,
serta apa keperluannya.
Akan tetapi si wanita itu tak
menyahutinya. Bahkan
menatap tajam padanya. Lalu
alihkan tatapannya ke
arah danau.
Setelah perdengarkan tertawanya
si wanita itu-
pun kembali lenyap. Retno Wulan
benar-benar tak
mengerti siapa adanya wanita
itu. Walaupun hatinya
merasa was-was, ia bersyukur
karena si wanita aneh
itu tak mengganggunya. Ketika
Gumarang ( suaminya )
pulang, Retno menceritakan serta
menanyakan ten-
tang wanita itu. Ternyata
Gumarang pun tak menge-
nalnya. Sampai jauh malam Retno
Wulan tak dapat ti-
dur. Tapi akhirnya ia pulas juga
tertidur sampai agak
kesiangan. Akan tetapi alangkah
terkejutnya Retno
Wulan ketika mengetahui dirinya
telah berada di se-
buah lembah yang curam. Sedang
suaminya sama se-
kali tak kelihatan. Retno Wulan
cuma bisa menangis,
karena setelah berusaha keluar
dari lembah itu, tak
membawa hasil. Hingga tahu-tahu
ia telah ditawan
oleh seorang yang mirip kera.
Bahkan nyaris saja ia
jadi korban manusia kera itu
kalau tak datang si ka-
kek yang bergelar si Mayat Hidup
itu menolongnya.
Demikianlah hingga sampai
melahirkan bayinya. Na-
mun sampai saat ini suaminya
belum juga dapat dite-
mukan. Walaupun si kakek Mayat
Hidup sudah beru-
saha mencarinya. Gumarang lenyap
tak berbekas. Dan
anggapan Retno Wulan, suaminya
sudah tak ada lagi
di dunia ini...
Terenyuh juga hati Roro
mendengarnya. Tapi
diam-diam Roro berfikir lain
tentang wanita si penculik
aneh itu. Karena bisa saja yang
melakukan adalah sa-
lah seorang dari musuh besarnya
yang tengah dica-
rinya. Karena wanita penculik
itu berkepandaian ting-
gi... Demikianlah, sampai satu
bulan Roro menetap di
pondok kecil itu, sambil
membantu Retno Wulan men-
gurus bayinya. Dan ia berjanji
pada Retno Wulan kelak
akan membantu mencari suaminya
bernama Guma-
rang, yang telah lenyap secara
misterius itu. Ternyata
si kakek berjuluk si Mayat Hidup
itu telah pula berbaik
hati mewariskan tiga jurus ilmu
pada Roro. Ternyata
mendengar Roro Centil adalah
pernah menjadi murid
Ki Bayu Sela alias si Pendekar
Bayangan, orang tua itu
amat simpati padanya. Karena
almarhum si Pendekar
Bayangan pernah menjadi
sahabatnya ketika semasa
hidupnya puluhan tahun yang
silam ketika si Mayat
Hidup masih mengembara di tanah
Jawa alias Pulau
Kelapa.
Entah mengapa hari itu si Mayat
Hidup berpe-
san agar turut menjaga Retno
Wulan. Atau setidak-
tidaknya mencarikan tempat yang
aman baginya. Si-
kapnya agak aneh. Membuat Roro
jadi kepingin tahu.
Ternyata benarlah... ada suatu
rahasia yang disembu-
nyikan si kakek itu. Yaitu
perjanjian dengan si Dewa
Siluman Kera, untuk bertarung
sampai seribu jurus di
lembah yang penuh dengan kera
itu. Diam-diam Roro
menguntit. Agaknya si Mayat
Hidup tak ingin urusan-
nya dicampuri Roro. Namun Roro
Centil mana bisa
berdiam diri. Sifat ingin tahunya
membuat ia berhasil
mengetahui tempat pertarungan
itu. Walaupun keda-
tangannya agak terlambat. Karena
pertarungan kedua
kakek sakti itu telah
berlangsung ratusan jurus. Di
tempat persembunyiannya Roro
menyaksikan kedua
tokoh tua Rimba Persilatan itu
saling baku hantam.
Satu pukulan telak rupanya tak
dapat dihin-
darkan oleh si Dewa Siluman
Kera. Ketika di saat si
Dewa Siluman Kera menghantam
tempat kosong, hing-
ga batu-batu berhamburan, Pada
saat si Mayat Hidup
menerjang dengan dua hantaman
sekaligus. Tampak si
Dewa Siluman Kera bergulingan
menghindar. Akan te-
tapi ia kecele, karena dua
hantaman pukulan itu ada-
lah gerak tipu saja. Dan si
Mayat Hidup sudah mendu-
ga Dewa Siluman Kera akan
bergerak ke samping. Se-
gera saja jurus Halilintar
menyambar Bukit ia pergu-
nakan menghantam tubuh si Dewa
Siluman Kera. Aki-
batnya pukulan telak itu tak
dapat dihindarkan lagi.
Namun Tubuh si Dewa Siluman Kera
memang kuat
bagai dilindungi selapis perisai
baja. Hantaman itu
hanya membuat tubuhnya terlempar
bergulingan dua
puluh tombak. Akan tetapi telah
kembali berdiri den-
gan sebat. Gerakannya bagai
seekor kera yang berge-
rak lincah. Tampak si Mayat
Hidup melengak. Ia sudah
mengharapkan akan cepat
menyudahi pertarungan itu
tak berapa lama lagi.
Karena sekujur tubuhnya telah
lelah, dan men-
gucurkan keringat Akan tetapi
anehnya si Dewa Silu-
man Kera bahkan semakin lama
semakin kuat. Kini
dengan sepasang mata beringas
menatap tajam pada
sang lawan, Dewa Siluman Kera perdengarkan
suara
menggeram bagai gorila. Sepasang
lengannya tiba-tiba
bergerak memutar. Bibirnya
berkemak-kemik bagai
membaca mantera. Roro sendiri
tertegun melihatnya.
Diam-diam ia sudah membatin...
Ilmu apakah geran-
gan yang akan dilakukannya..?
Berfikir Roro Centil.
Dilihatnya si Mayat Hidup cuma
mengawasi dengan
sepasang matanya yang cekung.
Tiba-tiba terdengar
bentakan dahsyat, seperti mau
membelah bukit layak-
nya. Segelombang asap hitam
bergulung-gulung me-
nyebar disekeliling tubuh si
Dewa Siluman Kera yang
tahu-tahu gelombang asap hitam
itu meluncur ke arah
si Mayat Hidup yang jadi seperti
terpaku di tempatnya.
Sebentar saja lenyap sudah tubuh
si Mayat Hidup se-
perti dibungkus gelombang asap
hitam itu. Terdengar
si Dewa Siluman Kera berteriak
santar...
"HUJAN...! TAUFAN...!
PETIR...!" Disertai teria-
kan-teriakan itu, tubuh si Dewa
Siluman Kera tiba-tiba
sudah amblaskan kakinya sampai
sebatas betis. Inilah
tenaga dalam yang paling hebat
yang tengah ia kum-
pulkan.
Sepasang lengannya bergerak
bergetaran. Ki-
ranya tenaga dalam itu bercampur
dengan saluran il-
mu batin yang sudah mencapai
tingkat tinggi. Yang te-
lah disalurkan melalui asap
hitam dan lengan serta
suara bentakannya, untuk
mempengaruhi si Mayat
Hidup. Hebat akibatnya. Tampak
si Mayat Hidup se-
perti terperangah, tubuhnya
seperti sudah tak berte-
naga lagi. Roro Centil tiba-tiba
telah melompat bangun
dan keluar dari tempat
persembunyiannya. Tampak ia
katupkan sepasang matanya agak
merapat, setengah
terbuka. Roro tengah menyalurkan
segenap ilmu ba-
tinnya untuk menolak kekuatan
batin si Dewa Siluman
Kera. Sekejap saja tubuhnya
telah berubah kepulkan
uap putih. Hingga sampai ke
ubun-ubun rambutnya.
Sepasang kakinya pun telah
amblas ke dalam bumi.
Sementara sepasang lengannya
disilangkan ke depan
dada. Dan tampak bergetaran
dengan hebat. Tiba-tiba
terdengar suara teriakan Roro
Centil melengking tinggi.
Dan disusul dengan hentakan
hebat yang berkuman-
dang ke sekeliling lembah.
"HUJAN LENYAP...! PETIR
LENYAP...!
TAUFAN...!" Hebat sekali
kekuatan batin Roro Centil
yang disalurkan melalui getaran
suara itu. Seketika
angin taufan yang menghembus.
Hujan yang deras dan
petir yang menyambar-nyambar
tubuh si Mayat Hidup
itu lenyap. Tampaknya si Mayat
Hidup telah tertolong.
Dan ia sudah menyadari akan
keadaan dirinya yang
dalam keadaan berbahaya. Tiba-tiba ia sudah mem-
bentak keras, seraya menghantam
buyar asap hitam
yang mengelilingi tubuhnya.
Terkejut bukan main si
Dewa Siluman Kera. Akan tetapi
segenap tenaga dalam
telah ia salurkan pada kedua
lengannya. Sebelum si
Mayat Hidup menyadari, ia sudah
lakukan hantaman
hebat, disertai lompatan
tubuhnya ke arah sang lawan.
Akan tetapi pada saat itu
berkelebat sebuah bayangan
merah jambu. Yang telah memapaki
hantaman tenaga
pukulan si Dewa Siluman Kera.
Terdengarlah suara...
BHLARRRRR.....! Asap tebal
berwarna putih
dan hitam tampak membumbung ke
udara. Terdengar
dua teriakan yang hampir
bersamaan. Dan dua sosok
tubuh terlempar belasan tombak.
Dewa Siluman Kera
terpental ke belakang dengan
deras. Akibatnya fatal...
Karena tepat di belakangnya
adalah dinding tebing ba-
tu. Hingga tak ampun lagi
terdengar suara...
PRAKKK...!
Dan terlihat darah merah dan
putih kental,
memuncrat seketika. Dibarengi
dengan ambruknya tu-
buh si Dewa Siluman Kera ke
bawah. Yang tanpa ber-
kelojotan lagi tubuh si manusia
kera itu sudah meng-
geloso bagai sehelai kain, tak
berkutik. Ternyata batok
kepalanya telah pecah
berantakan... Sedangkan Roro
Centil terlempar beberapa tombak
lalu jatuh bergulin-
gan. Tubuh si Pendekar Wanita
Pantai Selatan itu ma-
sih bisa bergerak untuk bangkit,
tapi detik berikutnya
kembali roboh terkapar.
Adapun si Mayat Hidup terkejut
bukan main. Ia
sudah segera memburu ke arah tubuh Roro. Sekilas
saja ia telah dapat mengetahui
bahwa yang telah me-
nolong jiwanya adalah si gadis
pendekar itu. Karena ia
telah melihat bayangan merah
jambu berkelebat me-
nahan serangan dahsyat yang tak
terduga, dan terlalu
sulit untuk ia dapat menghindar.
"Bocah ayu...!?" Ia
sudah bergerak melompat
untuk memburunya. Akan tetapi ia
sendiri sudah ter-
jungkal, karena
sekonyong-konyong baru terasa tu-
buhnya menjadi terhuyung
limbung. Cepat-cepat si
Mayat Hidup bangkit kembali dan
duduk
bersila. Sebentar kemudian ia
telah kembali
normal. Agaknya pengaruh ilmu
batin yang dilontar-
kan si Dewa Siluman Kera telah
termakan pada seku-
jur tubuhnya. Beruntung ia
mendengar bentakan-
bentakan menggeledek, yang
membuat serangan hebat
itu seketika punah. Terbersit
seketika di hatinya bah-
wa yang menolong dirinya dari
pengaruh serangan il-
mu batin si Dewa Siluman Kera
itu juga si bocah wani-
ta di hadapannya. Kali ini si
Mayat Hidup sudah putih
kembali tubuhnya Dan sekejap ia
telah berada di ha-
dapan Roro Centil. Tak ayal sang
kakek tua ini segera
memeriksa pernafasannya. Tampak
ia menghela na-
pas. Wajah pucat si kakek ini
kembali agak cerah.
"Dia cuma pingsan..! Akan
tetapi bisa memba-
hayakan jiwanya. Aku harus cepat
menolongnya sebe-
lum terlambat..!" Desis si
Mayat Hidup. Dan sudah
pondong tubuh Roro Centil pada
pundaknya. Sepasang
matanya masih sempat melihat ke
tubuh si Dewa Si-
luman Kera. Bergidik tubuh si
Mayat Hidup, melihat
batok kepala Tokoh Hitam itu
yang sudah hancur tak
berbentuk lagi. Sedang di
sekelilingnya tampak berge-
limpangan bangkai-bangkai kera
yang sudah tak terhi-
tung banyaknya.
Binatang-binatang itu adalah korban
terjangan si Mayat Hidup. Karena
si Dewa Siluman Ke-
ra mempergunakan
binatang-binatang itu sebagai la-
sykarnya.
Sesaat antaranya si kakek Mayat
Hidup itu su-
dah berkelebat tinggalkan lembah
yang telah memba-
wa kisah tragedi kematian si
Dewa Siluman Kera, guru
si Siluman Kera Putih. Beberapa
kedip berikutnya so-
sok tubuh sang kakek yang
memanggul tubuh Roro,
sudah lenyap tak kelihatan lagi
Lembah itu kembali
mencekam... Sementara
burung-burung pemakan
bangkai berputar-putar di udara
membaui bau amis-
nya darah yang memang sangat
menusuk hidung....
* * *
Roro tergolek di balai-balai
bambu di pondok si
Mayat Hidup. Kakek tua itu
menggeleng-gelengkan ke-
palanya seraya menggumam.....
"Hebat..! Bocah aneh...!?
Dalam usia begini
muda, tetapi telah mempunyai
kekuatan tenaga dalam
berlipat ganda. Benar-benar luar
biasa...!" Laki-laki tua
ini menatap wajah gadis
dihadapannya, yang tampak
mulai mempunyai kekuatan tenaga
yang tampak mulai mengeluarkan
butiran-
butiran keringat. Tersenyum si
Mayat Hidup. Tadi ia
sudah salurkan tenaga dalam
berhawa hangat untuk
membantu memulihkan pernafasan.
Tampak nafas Ro-
ro mulai turun naik dengan
teratur. Ia sudah suruh
Retno Wulan memasak akar
Ginseng. Dan ramuan ob-
at itu sudah disiapkan dalam
mangkuk. Sesaat anta-
ranya Roro Centil sudah
mengeluh, dan perlahan-
lahan buka kelopak matanya
"Kakek.. kau
selamat...!?" Berkata Roro dengan
suara lirih. Dan bibirnya
tersungging senyuman, meli-
hat laki-laki tua itu berada
dihadapannya. Mayat Hi-
dup mengangguk dengan tak terasa
setitik air mata
menggenang di pelupuk matanya.
Siapa yang tidak
trenyuh hatinya. Karena gadis
dihadapannya itu bu-
kan memikirkan keadaan dirinya,
akan tetapi bahkan
masih juga mengkhawatirkan nasib
orang lain lagi.
Suara tangis bayi Retno Wulan
membuat ia tertawa
kecil, Ia berusaha untuk
bangun... Akan tetapi ia men-
geluh, dan rebahkan lagi
tubuhnya.
"Jangan banyak bergerak
dulu, bocah ayu....!
Tubuhmu masih lemah. Kau perlu
beristirahat lebih
banyak. Sebentar lagi perutmu
harus segera diisi den-
gan bubur hangat. Kini minumlah
ini dulu..." Ujar si
Mayat Hidup, seraya meraih
mangkuk berisi ramuan
akar gingseng. Dan memberikan
pada Roro. Sebelah
tangan si kakek itu bergerak
membantu mengangkat
punggung Roro. Dan tanpa ayal
atau sungkan-
sungkan segera Roro meneguk
ramuan akar itu. bau
harum obat itu terasa
menyegarkan. Hingga sampai
habis Roro menghirupnya.
Selesai minum, perlahan-
lahan Roro kembali rebahkan
tubuhnya dibantu oleh
si Mayat Hidup.
Selang tak lama antaranya Retno
Wulan masuk
membawa semangkuk bubur hangat.
Tampaknya Roro
sudah mulai kuat untuk
berbangkit. Dan dibantu Ret-
no Wulan, Roro hanya mandah saja
ketika wanita itu
menyuapinya. Bahkan meniupi
bubur hangat itu lebih
dulu sebelum disuapkan ke dalam
mulutnya. Diam-
diam Roro Centil jadi merasa
geli sendiri. Persis seperti
anak bayi saja aku ini..!
Berkata Roro dalam hati. Se-
mangkuk bubur hangat telah masuk
perut Roro. Retno
Wulan menemaninya duduk sambil
membawa bayi
mungilnya. Sementara si kakek
Mayat Hidup telah
ngeloyor ke belakang dengan
senyum girang terlukis di
wajahnya. Agaknya Roro Centil
sudah mulai merasa
pulih lagi kesehatannya.
Tubuhnya telah terasa kege-
rahan. Ia pun sudah segera
bangkit duduk. Bahkan
berdiri. Lalu gerak-gerakkan
tubuhnya, hingga terden-
gar tulang-tulangnya berbunyi
klatak-klutuk. Selang
sesaat Roro sudah berjingkrak
kegirangan. Ia benar-
benar telah merasa sehat sama
sekali. "Eh, adik Ret-
no..! Mari aku yang gendong
bayimu, hi hi hi... lu-
cunya..!" Berkata Roro
seraya mau meraih si bayi dari
lengan ibunya. Akan tetapi si
bayi sedang menyusu Ke-
tika bibir mungilnya terasa
copot dari pentil susu sang
ibu, sudah lantas menangis. Akan
tetapi cepat-cepat
Roro menghiburnya.
"Aiiiih, adik manis... diamlah sayang..
Aduuuh, kasihan sekali..! Nang
ning nang ning ning
guuuung...! Lekas besar lekas
jangkung! Sudah besar
jangan murung. Biar jadi orang
beruntung..! Hi hi hi..."
Dinyanyikan sedemikian rupa,
agaknya si bayi seperti
mengerti lalu terdiam. Dan
selanjutnya sudah tertawa
lucu digoda Roro. Sementara
Retno Wulan turut ter-
senyum. Tapi tak terasa sudah
linangkan air mata. Ka-
rena sekonyong-konyong ia
teringat pada sang suami.
Ah..! seandainya ada Gumarang!
betapa akan terasa
bahagianya..! Bisik wanita muda
ini dalam hati. Na-
mun cepat-cepat ia sembunyikan
kesedihannya. Den-
gan buru-buru seka air matanya.
Namun tak urung
Roro sempat melihat
"Kau menangis... adik
Retno.. ?" Bertanya Roro
dengan kerutkan alisnya.
"Ah..! Tidak kakak Roro..!
Aku hanya girang
dan terharu sekali, kau telah
kembali sembuh. Tadinya
aku amat khawatir akan
keadaanmu. Tahukah kau be-
rapa saat kau tak sadarkan
diri...?" Tukas Retno Wu-
lan seraya perlihatkan wajah
gembira.
"Berapa lama aku tak sadar
diri..?" Tanya Roro
kepingin tahu. Retno Wulan
tersenyum, lalu menja-
wab;
"Hampir satu hari satu
malam..!" Roro Centil
terkejut. Sampai-sampai ia jadi
ternganga keheranan.
Selama itukah..?Pikirnya. Dan ia
dapat membayang-
kan tentu selama itu akan
membuat orang menjadi re-
pot mengurusnya. Roro jadi
geleng-geleng kepala tapi
diam-diam amat bersyukur sekali
dirinya telah sehat
kembali....
Demikianlah... tinggal selama
beberapa hari di
tempat terpencil itu, Roro
benar-benar merasa keseha-
tannya telah pulih benar-benar.
Dari si kakek Mayat
Hidup, Roro dapat mengetahui
bahwa si Dewa Siluman
Kera telah tewas, akibat
benturan tenaga dalam den-
gannya. Tapi seandainya di
belakang si Dewa Siluman
Kera bukan dinding batu tebal,
belum dapat dipasti-
kan kematian tokoh hitam yang
hebat itu. Agaknya
memang sudah ajal dan hari naas
si manusia kera itu
untuk tewas dengan kepala pecah,
karena terhantam
batu. Roro cuma menghela nafas
panjang... Entah
mengapa ia terlalu berani bertindak demi menyela-
matkan si Mayat Hidup. Padahal
belum tentu ia mam-
pu menahan serangan dahsyat itu,
mengukur akan
tingkat ilmu tenaga dalamnya
yang ia tak tahu mengu-
kur kekuatan lawan. Waktu itu
Roro memang bertin-
dak tanpa mau tahu resikonya.
Akan tetapi ia sendiri
keheranan, karena toh akhirnya
sang lawan si Mayat
Hidup bisa tewas. Barulah ia
sadar, bahwa kematian
dan kehidupan manusia adalah di
tangan Tuhan. Se-
tinggi-tingginya ilmu manusia,
tidaklah ia dapat mela-
wan takdir. Dan tiada seorangpun
yang mampu mela-
wan ajal, bila Tuhan telah
menghendaki kematian-
nya...
* * *
PAGI ITU CUACA CERAH.... Mentari
pagi men-
gorak senyum. Butir-butir embun
menghias dedaunan,
penaka butiran intan yang
berkilauan terkena cahaya
sinar sang Surya. Burung-burung
terdengar berkicau
menyambut hadirnya si Raja
Siang.
Kala itu Roro Centil sudah
lakukan lagi perja-
lanannya. Rasa penasarannya
untuk mencari tahu di-
mana adanya si Peri Gunung Dempo
dan si Kupu-
Kupu Emas, tetap menggebu di
dadanya. Disamping
itu ia perlu mencari dimana
adanya Gumarang. Si laki-
laki yang pernah ditolongnya
itu. Laki-laki gagah dan
tampan yang diharapkan
kehadirannya oleh Retno Wu-
lan.
Setengah hari sudah Roro lakukan
perjalanan.
Dua desa telah ia singgahi,
namun tak ada tanda-
tanda kedua orang musuh besarnya
di tempat itu. Ak-
hirnya Roro memutuskan untuk
mengunjungi Kota Ra-
ja, ia punya dugaan, bahwa bagi
orang persilatan yang
senang hidup bermewah-mewahan,
tentu akan memi-
lih tempat yang banyak
keramaian. Karena bermacam
hiburan terdapat disana.
Segera ia sudah berkelebat
meninggalkan desa
terakhir yang disinggahinya.
Akan tetapi baru bebera-
pa kali ia berkelebat,
telinganya mendengar suara te-
riakan-teriakan santar dari
ujung perkampungan.
Roro kerutkan alisnya, dan
secepat itu juga su-
dah memburu ke arah suara itu.
Terkejut Roro Centil melihat
seorang gadis ber-
baju hitam tengah dikurung oleh
belasan orang ber-
senjata pedang dan golok.
Rata-rata para pengurung-
nya adalah laki-laki berambut
gondrong. Tampaknya
wanita itu tak bersenjata sama
sekali. Akan tetapi su-
dah terlihat dua orang
tergeletak tak bernyawa ber-
simbah darah, tak jauh dari kaki
si gadis muda itu.
Roro menyelinap ke balik pohon
dengan cepat. Kini ter-
lihat wajah gadis itu. Ia
seorang gadis yang masih mu-
da. Berumur antara 18 tahun.
Wajahnya cukup cantik,
tanpa pemoles muka. Dengan
sebuah tahi lalat di ba-
wah hidungnya. Ternyata gadis
itu adalah Laras Jing-
ga. Entah mengapa sampai terjadi
hal demikian ini.
Baiklah kita tengok kisah di
belakangnya...
Kiranya sewaktu Laras Jingga
semalam-
malaman duduk terpaku di depan
kuil tak berpenghu-
ni itu, sepasang mata telah
memperhatikannya. Seso-
sok tubuh yang memperhatikan itu
sudah lantas ber-
kelebat lenyap. Namun kembali
lagi dengan membawa
serta dua orang pemuda.
Tampaknya kedua pemuda
itu laki-laki ceriwis dan
berhidung belang. Melihat wa-
nita cantik duduk sendirian,
tentu saja jadi berniat
mengganggu. Adapun infonya ia
dapatkan dari seorang
anak buahnya. Setelah
memberitahu, si pembawa info
sudah cepat-cepat angkat kaki.
Tentu saja ia telah me-
nerima persen yang lumayan.
Kala itu hari malam memang
semakin melarut.
Tapi cuaca tidak begitu gelap.
Kedua pemuda itu su-
dah segera melompat ke hadapan
si gadis. Salah seo-
rang sudah menyapa dengan wajah
berseri dan se-
nyum menghias bibir.
"Selamat malam, nona..!
Aih... kasihan sekali.
Mengapa nona bermalam di tempat
seram begini.. ?
Kami adalah dua bersaudara
Linggah dan Linggih. Se-
nang sekali kalau kami dapat
mengajak nona berma-
lam di tempat penginapan kami.
Jangan khawatir, ka-
mi adalah orang-orang terhormat.
Tentu nona akan
mendapat perlindungan dari kami.
Tampak Laras
Jingga palingkan wajahnya.
Segera ia sudah dapat me-
lihat wajah kedua pemuda
dihadapannya. Walaupun
dalam kesamaran cahaya bulan.
Tak dinyana si pemu-
da itu mendapat sambutan. Gadis
cantik itu bangkit
berdiri seraya berkata;
"Terima kasih... Kalau anda
berdua menawar-
kan jasa baik, mengapa harus
kutolak?" Terhenyak se-
ketika kedua pemuda Lingga dan
Linggih. Benar-benar
mereka bernasib mujur malam itu.
Karena dapat me-
mancing seorang gadis muda yang
cantik, untuk pe-
muas nafsunya. Tentu saja Lingga
yang tadi menyapa
jadi girang sekali.
"Bagus..! Siapa yang mau
menolak ajakan dua
orang pangeran muda, yang punya
kedudukan ter-
hormat..? Ha ha ha... Mari..!
Mari nona. Kita segera be-
rangkat..!" Berkata Lingga
seraya saja sudah merang-
kul pinggang Laras Jingga, yang
tak menolaknya keti-
ka pemuda itu membimbingnya
untuk meninggalkan
tempat itu. Dalam beberapa saat
saja se
telah memasuki desa Segera
terlihat sebuah
penginapan yang masih buka.
Tempat itu memang ti-
dak jauh dan pusat kota. Dan
merupakan jalan hidup
yang paling ramai. Apa lagi
malam itu adalah malam
panjang. Banyak para laki-laki
iseng yang berkantong
tebal, mencari hiburan. Kedua
orang pemuda itu ada-
lah dua orang anak pembesar
Kerajaan. Yang sudah
terkenal sebagai orang-orang
yang disegani. Karena be-
rurusan dengan mereka, berarti
sama dengan mencari
penyakit.
Ketika kedua tuan muda ini
kembali memasuki
penginapan, dengan membawa serta
seorang gadis
cantik, segera sebuah meja telah
cepat dikosongkan.
Kiranya di malam yang sudah
larut itu masih banyak
para pengunjung penginapan, yang
juga membuka res-
toran sederhana di bagian
depannya.
Bau arak dan minuman keras sudah
segera
menyambar hidung. Meja kosong
itu segera mereka isi.
Seorang pelayan sudah segera
menghampiri.
"Berikan dua botol arak
Dan... Nona pesan
apa...?" Tanya Lingga
seraya memagut lengan Laras
Jingga. Yang seperti orang
melamun.
"Apapun bolehlah..."
Sahutnya. Lingga dan
Linggih tertawa.
"Bagus! Tapi aku khawatir
nona... eh, siapa?
Sedari tadi aku sampai lupa
menanyakannya...!" Ujar
Lingga. Sementara sepasang mata
pemuda ini, tak
hentinya menatap sang gadis
dihadapannya.
"Panggil saja
Laras..!" Sahut si gadis dengan
suara datar. Seperti tiada
berperasaan apa-apa atas
segala sikap kedua pemuda itu.
"Baiklah... ngng... nona
Laras, aku khawatir
nona tak menyukai arak. Biarlah
ku pesan saja susu
hangat untukmu. Dan juga
sediakan makanan kecil
buat kami..!" Ujar si
pemuda seraya menatap pada
sang pelayan. Tapi ia sudah
kedipkan mata pada laki-
laki pelayan itu.
"Baik..! Baik tuan muda..!
Tunggulah. Sebentar
kami antarkan..!" Menyahuti
si pelayan. Seraya ang-
guk-anggukkan kepalanya. Tentu
saja ia mengerti
akan isyarat Lingga Karena bukan
hal aneh lagi ba-
ginya Kedua anak pembesar
Kerajaan Sriwijaya itu su-
dah menuang araknya pada gelas
masing-masing. Se-
lanjutnya sudah meneguknya. Tak
berapa lama sang
pelayan sudah membawa segelas
susu hangat dan
makanan kecil. Tanpa ragu-ragu
Laras sudah meng-
hangatkan perutnya, menghirup
air suguhan dan me-
makan hidangan kecil yang ada di
atas meja.
Selang beberapa saat, tetamu
satu persatu mu-
lai berkurang. Tapi ada yang
menginap di tempat pen-
ginapan itu. Tampaknya Laras
Jingga sudah mulai
mengantuk. Karena sudah beberapa
kali menguap.
Tentu saja Lingga segera bimbing
gadis itu ke kamar-
nya. Sementara Linggih tetap
berada di kursinya. Ling-
gih yang mengerti akan isyarat
kakaknya hanya perli-
hatkan senyum serta angggukan
perlahan. Dan ia te-
ruskan menghirup araknya hingga
sepasang matanya
tampak mulai merah.
Kira-kira sepenanak nasi....
tiba-tiba Laras
Jingga muncul dengan wajah
pucat, dan rambut kusut
masai. Sepasang matanya setengah
terpejam. Dengan
terhuyung ia menghampiri meja
Linggih, pemuda itu
tersenyum, dan sudah bertanya;
"Aii... nona Laras..! Kau
belum tidur? Mana ka-
kakku Lingga...!" Bertanya
Linggih seraya menuang la-
gi araknya pada dua gelas kecil.
"Ah..! Kakakmu itu sudah
tidur pulas di ka-
marnya. Biarlah jangan diganggu.
Aku belum lagi
mengantuk. Oh, dinginnya malam
ini...'" Berkata Laras
Jingga seraya membetulkan baju
di dadanya yang ter-
singkap. Sepasang mata Linggih
telah melirik sekilas.
Dan perlihatkan sorot mata
binal.
"Kau minumlah arak ini...
untuk penghangat
tubuh..!" Berkata Linggih,
seraya menyodorkan segelas
arak yang baru dituangkannya.
Gadis cantik ini tanpa
segan-segan menyambutnya. Dan
langsung memi-
numnya. Ternyata isi gelas kecil
itu cuma sekali teguk
sudah kosong. Terkejut juga
Linggih. Serta merta ia
sudah mengisinya lagi. Dan hal
yang sama pun teru-
langi. Tampaknya Laras Jingga
cukup kuat untuk mi-
num beberapa gelas. Hal itu
membuat Linggih semakin
girang. Hingga beberapa gelas
sudah si gadis meneguk
minuman yang ia suguhkan.
"Ha ha ha... Jangan
khawatir, nona Laras..!
Uangku masih cukup banyak utuh
membeli beberapa
botol arak! Agaknya nona Laras
juga menyukai minu-
man keras ini..!" Segera si
pemuda tepukkan tangan,
memanggil pelayan. Dan pesan
lagi dua botol arak. Se-
dang kedua botol arak
dihadapannya telah kosong tak
berisi sama sekali. Si pelayan
mengangguk. Dan cepat
beranjak pergi. Tak berapa lama
telah kembali mem-
bawa dua botol arak baru. Tak
ayal lagi Linggih segera
membuka tutupnya. Dan langsung
tuangkan isinya.
"Ha ha ha... silahkan nona
Laras..!" Ujar Ling-
gih. Laras Jingga dengan
sepasang mata semakin me-
redup, menyambar gelas arak yang
sudah penuh berisi
itu. Dan langsung menghirupnya,
serta menegaknya
sampai habis. Kini tampaknya
gadis dihadapannya ini
mulai merasakan kepalanya
berdenyutan. Gerakan
lengannya sudah agak gemetar.
Dan celotehnya mulai
ngawur. Tapi ia sudah sodorkan
lagi gelas kosongnya,
seraya berkata;
"Tambah lagi... hi hi hi...
nikmat sekali..! Oh..!
Kau memang hebat Lingga..!"
Pemuda bernama Linggih
ini kerutkan alisnya, tapi sudah
segera menuangkan
lagi isi botol, yang segera
memenuhi gelas kosong itu.
Tapi belum lagi Laras Jingga
mengangkat gelasnya,
arak dalam gelas itu telah tumpah
membasahi meja.
Tampaknya Laras sudah tak kuat
untuk menahan tu-
buhnya yang telah terhuyung ke
kiri dan kanan.
"Sudahlah, nona Laras....
Sebaiknya kau beris-
tirahat..!" Berkata
Linggih, seraya bangkit dari kur-
sinya. Dan meraih pinggang Laras
Jingga. Untuk se-
lanjutnya sudah dipapah menuju
kamar di ruangan
dalam. Satu isyarat kepala
membuat si pelayan yang
telah mengerti, segera beranjak
ke dalam terlebih dulu
untuk menyediakan kamar. Tentu
saja Linggih bergi-
rang hati, karena ternyata masih
ada kamar kosong
untuknya. Dan sesaat antaranya
mereka sudah me-
masuki ruangan kamar, yang
berhadapan agak jauh
dengan kamar tempat Lingga
menginap. Memang ta-
dinya mereka menginap berdua
dalam satu kamar
dengan kakaknya.
Laras Jingga biarkan Linggih
menggerayangi
tubuhnya. Bahkan ketika ia
rasakan bibirnya dipagut,
tidaklah Laras Jingga
menolaknya.
Detik demi detik terus
berlalu... Laras Jingga
cuma dapat mendengar degup
jantung Linggih yang
semakin memburu. Terasa hembusan-hembusan
angin
bagai mengguruh di telinganya.
Sementara samar-
samar dari arah ruangan tamu,
terdengar suara orang
mendengkur. Dengan nafasnya yang
panjang pendek
mendesah-desah.
Satu persatu benda-benda yang
menjadi peng-
halang telah mereka singkirkan.
Laras Jingga bagaikan
seekor kuda putih yang jinak
namun binal. Pandangan
matanya yang meredup seperti
membakar birahi si
pemuda anak pembesar Kerajaan
itu.
CRASS..! Kesepuluh jarinya telah
membenam
ke dalam leher si pemuda bernama
Linggih itu. Tam-
pak pemuda itu beliakkan
sepasang matanya. Tubuh-
nya meronta menahan rasa sakit
yang luar biasa. Se-
pasang kakinya menggelinjang
seperti berusaha mena-
han sesuatu yang mau meronta
keluar dari raganya.
Lidahnya sudah segera terjulur.
Tidak berapa lama ge-
rakan kaki dan gelinjang
tubuhnya mulai mengendur...
dan selanjutnya sudah semakin
lemah. Sesaat kemu-
dian tubuh itupun terdiam tak
bergeming untuk sela-
ma-lamanya. Laras Jingga
lepaskan terkaman jari-jari
tangannya di leher Linggih.
Segera memancur deras
darah merah bagaikan menggelegak
tiada henti. Seke-
jap saja bantal dan tilam itu
telah menjadi merah ber-
simbah darah. Bibir wanita muda
ini tampilkan se-
nyum dingin. Wajahnya tak
berubah sedikit pun. Ke-
mudian dengan cepat ia sudah
beringsut turun dari
pembaringan. Dan sambar kain
selimut untuk mem-
bersihkan jari-jari lengannya.
Sebat sekali ia telah ra-
pihkan kembali pakaiannya. Lalu
berdiri dan bereskan
rambutnya. Kelambu sutera segera
ia tutupkan menu-
tupi tubuh Linggih yang sudah
menjadi mayat itu. Ke-
mudian setelah tatap sebentar
tubuh laki-laki itu, ia
segera beranjak menghampiri
jendela kamar. Dengan
gerakkan tangannya, jendela
sudah segera terbuka.
Sekejap kemudian tubuh wanita
muda itu telah berge-
rak melompat keluar, dan
berkelebat lenyap dikere-
mangan malam yang semakin
melarut...
* * *
Menjelang pagi di penginapan itu
telah terjadi
kegaduhan. Karena pelayan
penginapan telah da-
patkan Lingga dan Linggih kedua
anak pembesar Kera-
jaan itu, telah tewas menjadi
mayat, dengan keadaan
mengerikan. Dengan leher
berlubang serta tulang yang
remuk. Seperti dicengkeram
jari-jari tangan. Berita se-
gera menyebar ke setiap pelosok.
Betapa gusarnya
sang pembesar kerajaan
mengetahui kematian kedua
anak laki-lakinya. Segera
menitahkan kepada pengaw-
al Kerajaan untuk menangkap
gadis yang ciri-cirinya
telah diketahui. Beberapa
maklumat tertulis dengan
huruf-huruf besar untuk
menangkap hidup atau mati
wanita bernama Laras Jingga. Yang ciri-cirinya dida-
patnya dari si pelayan
penginapan itu. Bahkan bebera-
pa orang yang menginap di
penginapan itupun telah
mengenal siapa adanya wanita
berbaju hitam itu. Ten-
tu saja ada imbalan besar bagi
siapa yang dapat mem-
bawa hidup-hidup atau bangkainya
sekalipun.
Demikianlah... Hingga tatkala
Roro Centil meli-
hat seorang wanita tengah di
kurung oleh belasan
orang bersenjata telanjang itu,
Laras Jingga memang
sedang di incar nyawanya demi
merebut hadiah bagi
siapa yang dapat menangkap
hidup-hidup atau mem-
bawa bangkainya... untuk
dipersembahkan pada sang
Pembesar Kerajaan Sriwijaya.
Empat orang tampak
mulai menerjang maju. Golok dan
pedang meluncur
deras dari beberapa jurusan.
Akan tetapi gerakan si
wanita itu memang lincah. Dengan
wajah kaku dan
sepasang mata seperti tak
berkedip. ia mengegos kesa-
na-kemari. Dibarengi gerakan
lengannya berkelebat.
Sekejap saja terdengar
teriakan-teriakan ngeri... Dan
keempat penyerangnya telah roboh
terjungkal dengan
leher-leher kena dicengkeram
hancur. Dalam sesaat
saja keempat penyerangnya itu
telah berkelojotan me-
regang nyawa.
"Hebat..!" Mendesis
Roro Centil dengan suara
perlahan. Gerakan wanita berbaju
hitam itu membuat
ia terkejut, karena seperti ia
telah mengenal gerakan
dari jurus keji itu. Karena itu
adalah salah satu dari
jurus si Dewa Tengkorak. Yaitu
pecahan dari "Sepuluh
Jurus Pukulan Kematian".
Ada hubungan apakah wanita muda
ini dengan
si Dewa Tengkorak.? Berkata Roro
dalam hatinya.
Ia sudah menduga bahwa si wanita
itu adalah
salah seorang dari musuh
besarnya. Karena siapa lagi
yang diwarisi jurus-jurus keji
itu kalau bukan gundik-
gundiknya si Dewa Tengkorak..?
Tapi Roro memang berfikir agak
panjang. Kare-
na melihat gadis itu masih
berusia sangat muda, Roro
jadi ragu. Sekiranya ia adalah
salah satu dari gundik si
Dewa Tengkorak, sudah pasti
usianya dua kali lipat
usia gadis dihadapannya ini.
Mungkin pula gadis ini
murid salah satu gundiknya si
Dewa Tengkorak. Tapi
belum dapat dipastikan kalau
guru gadis itu adalah
pembunuh dan pengeroyok gurunya.
Demikianlah...
Roro Centil belumlah bertindak
untuk keluar dari tem-
pat persembunyiannya. Ia cuma
perhatikan dari balik
pohon.
Sementara itu, melihat lagi-lagi
empat orang
kawan dan para pengeroyok itu
roboh dan tewas seca-
ra mengerikan, yang lain-lainnya
mulai merasa gentar.
Akan tetapi sebaliknya si gadis
berbaju hitam itulah
yang menerjang mereka seraya
keluarkan bentakan-
bentakan keras yang menggetarkan
jantung... Hebat
akibatnya Karena ketujuh orang
pengeroyokannya itu
jadi seperti terkesima. Dan
belum lagi mereka sadar
akan apa yang terjadi, tahu-tahu
tubuh si wanita itu
telah berkelebatan menerjang
kesana-kemari. Dan tak
ampun lagi, terdengarlah
teriakan-teriakan ngeri yang
berkumandang di siang hari itu.
Batang-batang tubuh
mereka bertumbangan bagai
batang-batang pohon
yang ditebang. Dan jatuh
berkelojotan meregang nya-
wa. Darah memuncrat disana-sini.
Di mana bayangan
hitam itu berkelebat, pasti akan
terdengar pekik men-
gerikan. Hingga dalam beberapa
saat saja, ketujuh
orang pengeroyoknya sudah
bergelimpangan tak ber-
nyawa.
Roro terpaku di tempatnya.
Diam-diam hatinya
membatin... Ada permusuhan
apakah si wanita muda
ini dengan para pengeroyoknya..?
Aku dapat berpihak
pada siapa-siapa, karena belum
mengetahui persoa-
lannya..! Demikian berfikir Roro
Centil. Akan tetapi
pada saat itu menoleh ke
belakang. Tampak debu
mengepul dari kejauhan. Semakin
lama semakin de-
kat. Tiba-tiba sekali memutar
tubuh, si gadis berbaju
hitam itu sudah berkelebat pergi
ke arah sebelah ti-
mur. Roro Centil melompat untuk
mengejar. Tapi su-
dah terdengar bentakan, dan
disusul oleh berhambu-
rannya anak-anak panah meluruk
ke arahnya. Ter-
paksa Roro menggunakan kibasan
rambutnya meng-
hantam jatuh puluhan anak-anak
panah itu. Yang se-
gera berhamburan terpental,
patah-patah.
"Kurang ajar..! Jangan
harap kau dapat melari-
kan diri, perempuan
siluman..!" Terdengar bentakan
keras. Dan disusul oleh
berkelebatnya dua sosok tu-
buh menghadang di depan Roro.
Kedua orang itu berpakaian
perwira Kerajaan.
Yang seorang bertubuh tinggi
kekar, dengan kumis
tebal menutupi mulutnya. Seorang
lagi berwajah ber-
sih, tanpa kumis dan jenggot.
Usianya sekitar 40 ta-
hun. Salah seorang sudah
mencabut senjatanya, yaitu
sebuah tombak pendek, dengan
ujungnya seperti se-
buah golok tipis, yang pada
bagian sisinya terdapat ti-
ga lekukan berujung runcing,
mirip mata gergaji, se-
dang pada bagian sebelahnya lagi
berbentuk meleng-
kung pipih. Itulah bagian yang
tajamnya. Pada pang-
kalnya terdapat seuntai
benang-benang merah. Itulah
senjata yang dinamakan Tombak
Naga Dewa. Si pemi-
liknya bernama Lembu Sura,
seorang panglima kera-
jaan Sriwijaya yang termasyhur.
Laki-laki tanpa kumis
dan jenggot, bertubuh jangkung
kurus itu sudah
membentak dengan suara dingin.
"He..! Bocah perempuan..!
Pantas kau sudah
punya nyali macan. Rupanya ada
berilmu juga kau!
Hmm... sebutkan siapa dirimu,
sebelum kau kutang-
kap untuk mempertanggungjawabkan
perbuatan do-
samu..!" Sementara si kumis
tebal itupun sudah men-
geluarkan senjatanya sebuah
kebutan, yang bergagang
runcing. Sedang kebutan itu
sendiri panjang dan te-
balnya sangat mirip dengan ekor
kuda. Orang inipun
bukan orang sembarangan. Karena
ialah yang dijuluki
si Kebutan Dewa Maut. Namanya
sendiri adalah Datuk
Raja Guru. Roro Centil agaknya
ingin tahu juga akan
kedua orang perwira Kerajaan
ini. Tentu saja ia tidak
takut, karena tak merasa
bersalah. Ia sudah lantas
berkata; "Aku yang rendah
bernama Roro Centil..!
Kaum rimba Hijau menyebutku
Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan..! Ada urusan apakah
gerangan kalian
orang-orang Kerajaan memusuhi
ku...? Herannya aku
sendiri tak mengetahui apa
kesalahanku..!" Tentu saja
kedua orang dihadapannya itu
jadi melengak.
Sementara itu sepuluh orang
prajurit berpanah,
telah mengurung Roro, dengan
panah-panah siap dile-
paskan dari busurnya. Mereka
membentuk lingkaran,
dengan masing-masing berada di
atas punggung kuda.
Roro Centil cuma palingkan
sedikit kepalanya ke kiri
dan kanan. Dan tampak ia
perlihatkan senyum juma-
wa. Lembu Sura yang
bersenjatakan tombak Naga De-
wa itu tampak kerutkan alisnya,
seraya berujar...
"Roro Centil Pendekar
Wanita Pantai Selatan.. ?
Hm..." Tampak Lembu Sura
manggut-manggut. Dan
teruskan kata-katanya. Juga
perkenalkan siapa di-
rinya. "Aku Lembu Sura dan
kawanku ini Datuk Raja
Gur...!"
"Kau dari tanah Jawa,
bukan..? Aku banyak
mengetahui nama-nama di pulau
Kelapa itu. Tapi aku
jadi tetap curiga padamu,
nona..! Jangan-jangan kau
bersekongkol dengan iblis
perempuan yang kucari itu.
Memang dari tanda-tandanya, kau
bukanlah wanita
buronan yang sedang dicari hidup
atau mati itu. Akan
tetapi kecurigaan ku
beralasan..!"
"Apakah alasannya..
?!" Tanya Roro memotong
kalimat.
"Di tempat ini hanya ada
kau seorang. Dan
bangkai-bangkai manusia ini
sudah suatu bukti besar
untuk menuduh mu. Karena mereka
ini adalah orang-
orang yang diutus oleh Panglima
Kerajaan Sriwijaya,
itu Panglima Agung Tunggal Sewu
Seta. Kalau bukan
kau pembunuhnya, bisa juga
wanita buronan itu, yang
sengaja kau sembunyikan di
belakangmu..!" Berkata
Lembu Sura.
Roro Centil jadi melengak juga
mendengar tu-
duhan itu. Tapi ia tetap
bersabar untuk lakukan per-
tanyaan. Karena akal cerdik Roro
segera berkembang.
Keadaan yang membahayakan
dirinya itu, justru akan
diambilnya keuntungan hingga ia
dapat mengetahui
persoalan sebenarnya.
"Hi hi hi... Alasan itu
memang dapat diterima.
Mencurigai orang itu memang
boleh. Akan tetapi jan-
gan menuduh dulu sebelum
terbukti. Bolehkah aku
tahu, apakah kesalahan wanita
buronan itu..?" Tanya
Roro.
"Hm... kabar sudah santar terdengar.
Masakan
kau tak mengetahuinya ? Wanita
itu telah membunuh
dua orang pemuda bernama Lingga
dan Linggih. Kedu-
anya adalah putera Panglima
Agung Tunggal Sewu Se-
ta...!" Menyahuti Datuk
Raja Gur alias si Kebutan De-
wa Maut. Lembu Sura
manggut-manggut, seraya tatap
wajah Roro dengan tajam. Adapun
Roro Centil agaknya
belum merasa puas dengan jawaban
itu.
"Membunuh orang, tentu ada
alasannya. Seper-
ti kalian juga yang mau
menangkapku, tentu memakai
alasan atau dalih atas kesalahan
dari orang yang akan
kalian tangkap. Tentunya
tuan-tuan yang terhormat
dapat membeberkan dengan dalih
apakah maka sam-
pai terjadi pembunuhan
itu..!" Berkata Roro dengan
tandas dan tegar. Tentu saja
wajah kedua orang perwi-
ra Kerajaan itu jadi merah.
karena mana mungkin me-
reka menceritakan peristiwa di
penginapan itu.
Yang tentunya akan menjatuhkan
nama pan-
glima Agung Datuk Sewu Seta.
Pada saat itulah ter-
dengar suara serak bagai
tempayan rengat, diiringi
dengan suara tertawa terkekeh-kekeh.
"He he he... he he... Siapa
yang tidak kepincut
melihat seekor kuda putih
bertahi lalat di bawah hi-
dung, untuk menungganginya.. ?
Dua orang pemburu
yang gagah berani itu telah
mengajaknya berlayar ke
pulau Nirwana. Kalaupun harus
membayarnya dengan
nyawanya, rasanya juga tidak
penasaran...'"
Tentu saja kedua perwira
Kerajaan itu jadi ter-
kejut bukan main. Ketika mereka
palingkan kepala,
ternyata seorang kakek bertubuh
bulat mirip bola se-
dang enak-enak duduk
ongkang-ongkang kaki di atas
dahan pohon yang tinggi.
Roro memang sudah mengetahui
adanya ma-
nusia di atas pohon itu, sejak
ia sembunyi dibalik po-
hon tadi. Akan tetapi ia
pura-pura tak mengetahui.
Tapi diam-diam sudah waspada.
Ada di pihak mana-
kah si manusia yang nangkring di
atas dahan itu. Pi-
kirnya. Lembu Sura sudah
keluarkan bentakannya.
Walaupun diam-diam hatinya jadi
mencelos... karena
ia tak mengetahui akan adanya
manusia di atas pohon
didekatnya. Seandainya seorang
musuh, dan membo-
kongnya, tentu ia tak dapat
berbuat apa-apa. Tapi di-
am-diam ia memaki juga dalam
hati, akan ketidak je-
lian mata ke sepuluh prajurit
yang di bawahnya, yang
sejak siang-siang juga tak
mengetahuinya.
"Kurang ajar...! Turunlah
kalau mau bicara...
sobat...!" Tampak Lembu
Sura mengangkat tangannya.
Dan serentak sepuluh anak panah
berlepasan melun-
cur bersiutan ke atas dahan.
Manusia bulat itu meng-
gelinding jatuh bagai nangka
busuk dari atas pohon.
Akan tetapi bagaikan bola karet,
sepasang kakinya te-
lah menotol tanah... dan di lain
kejap ia sudah berdiri
tegak dihadapannya. Dengan
melompati dua orang
prajurit berkuda. Sementara
kesepuluh anak-anak pa-
nah itu menancap di batang
pohon. Roro perhatikan
wajah manusia bulat itu yang
memakai jubah warna
hijau, dengan dada terbuka.
Menampakkan daging di
dadanya yang menggembung bagai
payudara. Ternyata
orang ini berusia sekitar lima
puluhan tahun. Kepa-
lanya hampir disebut gundul,
karena cuma ada bebe-
rapa helai rambut yang melekat
di kulit kepalanya. Ro-
ro tak menyangka kalau si bulat
ini menampilkan wa-
tak laki-laki hidung belang.
Terbukti sebelah matanya
dikerenyitkan genit pada Roro.
Namun Roro Centil me-
nanggapinya dengan tersenyum.
Sementara itu diam-
diam Roro Centil mengucapkan
terimakasih dalam ha-
ti, yang si manusia bulat ini
telah membeberkan masa-
lah pembunuhan itu.
"Siapa kau..!? Mengapa kau
berani bicara sem-
barangan..!" Bentak Lembu
Sura. Si manusia bulat ini
cuma cengar-cengir seraya
keluarkan kipas butut clan
anyaman bambu, dan sambil
mengipas, ia menjawab
seenaknya.
"Ah, aku orang tak
penting..! Mengapa harus di-
tanya nama segala. Akan tetapi
memandang kipas bu-
tut dan anyaman bambu itu Lembu
Sura dapat menge-
tahui siapa orang bertubuh bulat
bagai bola itu.
"Hm... kiranya anda yang
berjulukan si Dewa
Angin Puyuh itu? Bagus..! Aku
ingin bertanya. Apakah
yang membuat anda mencampuri
urusan ini..?" Tanya
Lembu Sura. Yang ditanya cuma
tersenyum jumawa,
seraya sahutnya;
"Ah, sebenarnya bukan aku
mau mencampuri
urusan tuan-tuan sekalian. Akan
tetapi mulutku telah
jadi gatal untuk bicara, dan
menjelaskan hal yang se-
benarnya. Apakah fakta yang aku
katakan tadi menya-
lahi undang-undang? Hal seperti
itu sudah tidak aneh
lagi. Jangan kata baru anak
seorang Pembesar Kera-
jaan. Walaupun anak Raja
sekalipun bisa saja terjadi
berbuat hal yang memalukan.
Mengapa harus ditutup-
tutupi..? Mengenai tuduhanmu
pada gadis ayu ini,
adalah tidak beralasan tepat
menurut pendapatku!
Aku tidak berpihak pada
siapa-siapa. Tapi berdasar-
kan fakta dari apa yang kulihat.
Karena sedikitpun ga-
dis ini tak ada hubungannya
dengan wanita buronan
bernama Laras Jingga itu. Kalau
aku mau sejak tadi
sudah kutangkap gadis berdarah
dingin yang jadi bu-
ronan pihak Kerajaan itu. Akan
tetapi aku memang tak
mau mencampuri urusan
siapa-siapa saja. Aku orang
bebas, tak berhak seorang pun
mengatur aku. Seperti
juga sesuai dengan nama
julukanku si Dewa Angin
Puyuh. Angin puyuh bebas
bergerak. Tidak terikat oleh
apapun juga... He he he..!"
Melengak Lembu Sura
mendengar kata-kata si Dewa
Angin Puyuh. Tampak-
nya Lembu Sura tak mau berurusan
dengan manusia
bulat ini. Ia sudah berkata
tegas.
"Baik..! Ku cabut
tuduhanku..! Akan tetapi ha-
rus ada syarat yang harus
dipenuhi!"
"Apakah itu ..?"
Bertanya Roro, yang sedari tadi
cuma jadi pendengar saja.
Perwira Kerajaan ini berpal-
ing menatap Roro Centil.
"Syarat itu ialah, kau
harus buktikan bahwa
kau tidak bersekongkol dengan
wanita buronan itu.
Yaitu dengan bertarung melawan
kami sampai sepuluh
jurus. Kalau dalam sepuluh jurus
itu kau dapat jatuh-
kan senjata kami, barulah kau
kuanggap bebas dari
segala macam tuduhan. Dan hal
ini tak boleh ada
orang lain yang ikut
campur..!" Berkata Lembu Sura.
Ternyata dalam hal main politik,
perwira Kerajaan ini
sudah terkenal licin dan lihai.
Sehingga pantas saja
kalau ia menjadi orang terkenal.
Yang dengan senja-
tanya yang bernama Tombak Naga
Dewa itu, pernah
ditakuti lawan, dan dikagumi
kawan. Entah berapa
nyawa sudah melayang di dalam
setiap peperangan...
"Wah..!? Syarat itu terlalu
berat, apakah tidak
bisa diganti..?" Berkata si
manusia bulat alias si Angin
Puyuh. Akan tetapi Roro Centil
sudah menyahuti.
"Baiklah! Aku terima syarat
itu..!". Si Dewa An-
gin Puyuh jadi garuk-garuk
kepala tanpa bisa berbuat
apa-apa. Lembu Sura perlihatkan
senyum dingin, se-
raya berkata;
"Bagus..! Tapi ingat,
nona..! Kalau kau tak da-
pat lulus dari persyaratan ini,
kau harus jadi tawanan
kami. Dan bersedia dibawa ke
Kota Raja untuk diha-
dapkan pada Panglima Agung
Tunggal Sewu Seta..!"
"Baik...!" Menyahut
Roro Centil. Dan segera ia
sudah melompat mundur dua
tindak. Lingkaran diper-
besar. Bahkan si manusia bulat
Dewa Angin Puyuh
pun melompat ke sisi.
"Bersiaplah, Nona..!"
Berkata Lembu Sura. Dan
ia sudah memberi isyarat pada
Datuk Raja Gur alias si
Kebutan Dewa Maut. Yang segera
bersiap dengan sen-
jatanya.
"Awas serangan..!"
Teriak Lembu Sura. Dan
senjata Tombak Naga Dewa telah
meluncur deras men-
garah leher. Sedang si Datuk
Raja Gur menerjang den-
gan kebutan mautnya. Roro Centil
pergunakan keta-
jaman indranya. Serangan
mengarah leher itu dapat ia
egoskan dengan lekukkan tubuhnya
ke belakang. Tapi
di belakang telah menyambar
kebutan si Datuk Raja
Gur. Terpaksa Roro doyongkan
tubuh ke samping.
Dengan gerak tarian
"Bidadari Mabuk Kepayang". Dan
serangan jurus pertama itu
gagal. Tapi di luar dugaan
sambaran kebutan si Datuk Raja
Gur meluncur lagi
membersit ke arah pinggang.
Ujung-ujung dari kebu-
tan ekor kuda itu
sekonyong-konyong jadi mengeras
bagai kawat-kawat baja. Merasai
adanya angin bersiut
disamping tubuhnya, Roro Centil
telah gerakkan kepa-
lanya. Seketika saja rambutnya
yang panjang itu telah
menyambar bahkan langsung
menggubatnya. Datuk
Raja Gur perlihatkan senyumnya.
Ia memang telah li-
hat kehebatan rambut Roro
sewaktu menghantam
buyar anak-anak panah. Ia
sengaja biarkan gubatan
pada kebutannya. Akan tetapi
tiba-tiba ia telah sen-
takkan senjata kebutannya. Ia
merasa yakin akan da-
pat menarik jatuh tubuh Roro.
Akan tetapi alangkah
terkejutnya. karena justru ia
sendiri yang kena ditarik.
Tentu saja ia tak mau lepaskan
kebutannya. Hingga
detik itu juga tubuhnya telah
terbawa melayang me-
mutar. Lembu Sura ternganga
Tombak Naga Dewanya
segera membabat ke arah kaki
Roro.
WESSS..! Terpaksa Roro lepaskan
gubatan
rambutnya, untuk segera melompat
menghindar. Pin-
tar juga si Lembu Sura ini..!
Berfikir Roro Centil. Kare-
na kalau ia tak lepaskan gubatan
rambutnya pada ke-
butan si Datuk Raja Gur,
bisa-bisa ia jatuh terbanting.
Karena terbawa putaran...
Mengetahui gubatannya le-
pas, si Datuk Raja segera
imbangi tubuhnya yang me-
layang itu untuk dapat segera
jatuh dengan kaki men-
jejak tanah terlebih dulu. Si
manusia bulat Dewa An-
gin Puyuh menahan napas. Bahkan
kesepuluh prajurit
itu seperti terkesima akan
pertarungan tegang baru-
san.
"Hebat..!" Desis Lembu
Sura. Ia sudah mengi-
rim lagi beberapa serangan
beruntun. Ujung mata
tombaknya bagaikan
kilatan-kilatan petir yang me-
nyambar, mengurung Roro.
Sementara kawannya su-
dah melompat lagi ke tengah
kancah pertarungan. Ro-
ro tampaknya agak terdesak,
diserang sedemikian ru-
pa. Tubuhnya doyong ke kiri dan
ke kanan menghin-
dari rangsakan hebat itu. Tapi
anehnya setiap seran-
gan tak ada yang mengena pada
tubuhnya. Sementara
si manusia bulat itu diam-diam
jadi memuji kagum.
Karena ia sudah mengetahui kalau
yang di lakukan
Roro adalah satu jurus tarian
yang amat langka. Dan
baru kali ini ia melihatnya.
Melihat si gadis itu berge-
rak sempoyongan tentu saja
membuat girang si Datuk
Raja Gur. Ia sudah sambarkan
kebutannya untuk me-
notok dua kali. Tampaknya Roro tak mampu menge-
lak. Dan ia sudah terkena totokan kebutan itu yang
sekonyong-konyong ujung kebutan
itu menyatu. Ter-
dengar suara Roro Centil
berteriak...
"Tahan..! Aku mengaku
kalah..!" Tentu saja
Lembu Sura menghentikan serangan
Juga kawannya
si Kebutan Dewa Maut.
"Bagus..! Kini kau tak
dapat menolak untuk
menjadi tawanan kami..!"
Teriak Lembu Sura. Sedang
si Datuk Raja Gur tertawa
terbahak-bahak, seraya ka-
tanya...
"Ha ha ha... ha ha ...
kiranya hanya demikian
saja kehebatan bocah perempuan
bernama Roro Cen-
til. Julukannya sih bukan
main... Pendekar Wanita
Pantai Selatan..! Tak tahunya
dengan totokan Kebutan
Maut ku sudah mengaku menyerah.
Ha ha ha... Sean-
dainya aku tak kasihan, dan
mematuhi undang-
undang hukum, Pasti sudah
kutotok jalan darah ke-
matianmu..!" Sambil
sesumbar demikian si Kebutan
Dewa Maut ini bertolak pinggang
di hadapan Roro.
Dan ia sudah lantas berpaling
pada para prajurit ber-
kuda itu. "Hayo! Tunggu apa
lagi..! Ringkus dia..!" Se-
rentak saja dua orang melompat
dari atas punggung
kuda. Salah seorang membawa tali
laso. Dan selanjut-
nya Roro sudah diborgol
tangannya ke belakang.
Si manusia bulat cuma bisa
bengong, menyak-
sikan semua itu. Tadinya ia
sudah memuji kehebatan
jurus aneh yang dipertunjukkan
gadis ayu itu, akan
tetapi mengapa jadi berbalik ia
kena totok dengan mu-
dah..? Ia jadi tak mengerti.
Sementara Lembu Sura
cuma mendengus melihat si
manusia bulat itu. Dan
tanpa berkata apa-apa segera
giring Roro Centil untuk
dinaikkan ke atas kuda. Dan
selanjutnya sudah ter-
dengar aba-aba. Derap kaki-kaki
kuda segera terden-
gar. Kesepuluh prajurit Kerajaan
itu bergerak memutar
kuda-kudanya, mengikuti salah
seorang prajurit, yang
naik berdua dengan Roro, yang
berada di bagian depan
dengan lengan terikat erat.
Lembu Sura dan Datuk Ra-
ja Gur mencemplak kudanya
masing-masing. Kemu-
dian memacunya untuk menyusul
dari arah samping.
Dan mengapit Roro dari
kiri-kanan. Si manusia bulat
itu cuma bisa menatap rombongan
pasukan Kerajaan
itu dengan terpaku. Terdengar
suaranya mendesis...
"Sayang... sungguh
sayang..!" Namun tak bera-
pa lama kemudian si Dewa Angin
Puyuh itupun sudah
berkelebat lenyap entah
kemana...
Matahari semakin condong ke arah
perbukitan,
ketika iring-iringan itu tiba di
pintu gapura gedung be-
sar. Ternyata itulah gedung
tempat tinggal Panglima
Agung Tunggal Sewu Seta. Roro
sudah dibawa masuk
menghadap sang pembesar Kerajaan
Sriwijaya itu. Se-
mentara sepuluh orang prajurit
itu telah turun dari
kuda-kudanya, untuk
beristirahat. Dengan diapit oleh
kedua perwira Kerajaan itu, Roro
digiring masuk ruan-
gan. Dua orang penjaga
memberinya jalan. Seraya me-
lakukan penghormatan, pada
keduanya. Tak berapa
lama Roro sudah berhadapan
dengan pembesar Kera-
jaan itu.
"Hmm! Bagus..! Inikah
gerangan Iblis perem-
puan itu...?? Tanya si Pembesar
Kerajaan. Sikapnya
tampak garang. Wajahnya merah
padam seperti terba-
kar panas matahari.
"Duli tuan ku Panglima..!
Hamba belum dapat
memastikan apakah wanita ini
pembunuh berdarah
dingin itu. Akan tetapi hamba
curiga padanya. Maka
terpaksa hamba tangkap dan kami
bawa menghadap
tuan ku Panglima..!"
Sepasang alis pembesar Kerajaan
berkerut menyatu. Ia sudah
melangkah dua tindak un-
tuk memperhatikan wajah Roro.
Tiba-tiba ia bertepuk tangan
tiga kali. Segera
saja seorang pengawal datang
menghadap. "Pengawal..!
Coba bawa kemari tahanan
sementara itu!" Berkata
sang Pembesar.
"Duli tuan ku..." Dan pengawal itupun cepat
beranjak ke ruang dalam. Tak berapa lama sudah
kembali dengan membawa seorang
laki-laki berusia
sekitar 35 tahun Ternyata
laki-laki ini adalah si pe-
layan penginapan itu
"He..! Pelayan
penginapan..! Coba kau lihat dan
perhatikan baik-baik. Apakah
wanita ini yang mengi-
nap di tempat penginapan
mu..?" Tanya si Pembesar
Kerajaan. Tampak laki-laki itu
menghampiri Roro. Lalu
dengan seksama memperhatikan
wajahnya. Selang tak
berapa lama ia bungkukkan tubuh
pada Panglima
Agung Tunggal Sewu Seta, seraya
berkata;
"Ampun tuan ku...! Wanita
ini bukanlah orang-
nya..! Hamba berani bersumpah
dan bersedia menda-
pat hukuman bila hamba
berdusta..!" Sang Pembesar
Kerajaan ini menatap Lembu Sura
dan Datuk Raja
Gur, kedua bawahannya itu. Akan
tetapi Lembu Sura
sudah melangkah tiga tindak
menghampiri si Pembe-
sar Kerajaan, seraya berbisik
perlahan. Tampak Pan-
glima Agung Tunggal Sewu Seta
manggut-manggut. La-
lu perintahkan membawa kembali
saksi tahanan se-
mentara itu. Lalu ia perintahkan
dua orang pengawal
untuk memasukkan Roro ke dalam
kamar tahanan.
Segera Roro Centil diapit untuk
digusur ke kamar ta-
hanan. Diam-diam Roro Centil
perhatikan setiap ruan-
gan yang dilewatinya. Sementara
kedua perwira Kera-
jaan itu segera menuturkan
jalannya penangkapan
atas tawanan itu. Ternyata Lembu
Sura punya rencana
yang sudah diaturnya. Tampak si
atasannya itu mang-
gut-manggut sambil tersenyum,
dan menepuk-nepuk
bahu Lembu Sura seraya berujar;
"Bagus..! Bagus...! Kau
memang berotak cerdas,
Lembu Sura. Baik..! Sebentar
senja segera atur renca-
na itu. Dan aku serahkan semua
pekerjaan ini pada-
mu..!"
"Hamba yakin pasti akan
menampak hasil-
nya..!" Berkata Lembu Sura.
Sang Panglima manggut-
manggut sambil tersenyum. Dan
kedua perwira itupun
mohon diri.
Dalam keadaan lengan masih
terikat. Roro di-
jebloskan dalam penjara. Gadis
pendekar ini tampak-
nya tetap tenang-tenang saja.
Ruang penjara itu bera-
da di bagian samping gedung. Dan
punya wuwungan
terpisah. Namun sekelilingnya
adalah tembok tebal
yang tinggi. Menjelang malam,
tampak obor-obor mulai
dipasang.
Sementara diam-diam Roro
membatin. Hm...
Aku yakin si wanita buronan
bernama Laras Jingga itu
akan datang kemari..! Agaknya
apa yang aku fikirkan
matang-matang itu, ternyata sama
dengan rencana
yang diatur si Lembu Sura,
perwira Kerajaan itu. Dan
ia sudah mempersiapkan
kedatangannya untuk me-
nangkap wanita buronan itu. Tapi
aku terpaksa harus
melindunginya. Karena kalau
sampai ia tewas, akan
sulitlah aku mencari jejak musuh
besar ku..! Titik-titik
terang sudah kudapatkan. Dan
wanita buronan itu
adalah harapanku..! Demikian
kata hati Roro.
"TUTUL..! Adakah kau
disini..?" Desis suara Ro-
ro. Dan terdengar suara
menggeram di belakangnya.
Roro tersenyum, dan berkata
perlahan;
" Bagus...! Kelak aku
memerlukanmu..! Kini bi-
arlah kau tak perlu menampakkan
diri..!" Seraya ber-
kata, Roro sudah salurkan tenaga
dalamnya pada ke-
dua lengan. Dan sekejap rantai
belenggu yang mengi-
kat tubuhnya sudah putus.
Kiranya tali laso yang
mengikat Roro telah diganti
dengan rantai besi agar ti-
dak khawatir ia terlepas. Tapi
nyatanya, sudah diganti
pun masih percuma saja.
Keadaan di luar tampak sunyi.
Seperti seolah
tak ada seorangpun penjaga di
tempat itu. Saat itulah
melesat sebuah bayangan hitam.
Yang dengan berin-
dap-indap mendekati rumah
tahanan tempat Roro
Centil disekap. Gerakannya
ringan bagai burung
walet. Kiranya benarlah, yang
datang itu tak
lain dari Laras Jingga, si
wanita buronan itu. Tampak-
nya gadis muda ini merasa aman
melihat situasi seki-
tar tempat itu. Akan tetapi
begitu ia injakkan kaki di
pekarangan yang berhadapan
dengan pintu kamar ta-
hanan. Tiba-tiba berhamburanlah
anak-anak panah
meluruk ke arahnya.
Keruan saja Laras Jingga jadi
terkesiap. Ia su-
dah segera bergerak melompat
menyelamatkan diri.
Akan tetapi anak-anak panah itu
bagaikan tiada ha-
Emoticon