sedemikian itu. Ditambah lagi,
bermacam-macam fiki-
ran selalu membayang di matanya,
hingga ia tak bisa
tenang. Hari ketiga...
hampir-hampir ia berlari mening-
galkan tempat semedinya karena
ia ditemani oleh dua
ekor kera yang hampir sebesar
manusia. Namun ia be-
rusaha bersemedi dengan baik.
Karena khawatir Gu-
runya menjadi marah terhadapnya.
Hari ke empat dan
ke lima ia mulai bisa bersemadi
dengan baik. Walau-
pun terkadang kedua ekor kera
itu mengganggunya
dengan meraba-raba sekujur
tubuhnya. Hari keenam,
pandangan matanya mulai
berkunang-kunang, karena
selama itu ia tidak makan.
Kecuali hanya minum sege-
las air putih dalam setiap
harinya. Hari ke tujuh... Ke-
dua ekor kera itu dalam
pandangannya sudah bukan
kera lagi, karena seperti sudah
berubah jadi dua orang
gadis cantik dengan tubuh yang polos,
dan mulus
menggiurkan. Entah pengaruh air
yang diminumnya,
ataukah pengaruh hawa
lapar...
Karena Tirta Menggala memang
sebenarnya
seorang pemalas. Apa lagi selama
puluhan tahun ker-
janya cuma berfoya-foya saja.
Arak dan wanita cantik
seperti sudah menjadi bagian
dari kehidupannya. Be-
runtunglah pada hari ketujuh
itu, Tirta Menggala tidak
sampai menjadi batal dengan
semedinya. Otaknya ma-
sih cukup waras, karena ia masih
dapat membedakan
mana suara orang, dan mana suara
kera.
Tapi hari ke sepuluh. Tirta
Menggala sudah tak
mengetahui lagi antara suara
kera dan suara manusia.
Dan entahlah apa yang terjadi
selanjutnya pada hari
itu, karena tubuh Tirta Menggala
sudah tidak duduk
bersemadi lagi. Melainkan saling
bergumul dengan ke-
dua kera itu, silih berganti.
Hari ke lima belas, tampak
sepasang mata Tirta
Menggala berubah menjadi merah.
Tubuhnya semakin
kurus, karena kurang makan. Hari
ketiga puluh, Tirta
Menggala sudah tidak ingat siapa
lagi dirinya. Bahkan
suaranya pun sudah
meniru-nirukan suara kera. Dan
kedua kera itu sama sekali tak
pernah menolak untuk
diajak meladeninya....
Dalam waktu selama tiga puluh
hari itu, sang
kakek sering menempelkan telapak
tangannya pada
punggung Tirta Menggala.
Dan sudah dilakukannya
sebanyak lima belas kali. Dan
pada waktu kira-kira
sepenanakan nasi.
Itulah suatu penyaluran tenaga
dalam dari tu-
buh sang kakek pada muridnya.
Yang di lakukan seca-
ra bertahap, sedikit demi
sedikit. Setelah genap waktu
tiga puluh hari, Tirta Menggala diberi
makan buah-
buahan yang banyak terdapat di
hutan belantara di
lembah ngarai itu. Tampaknya
Tirta Menggala amat
rakus sekali memakannya. Maklum,
sudah sebulan
penuh tak mengenal yang namanya
makanan pengisi
perut. Dan anehnya kelakuannya
kini lebih mirip den-
gan binatang kera. Demikianlah.
Hari demi hari berla-
lu. Selama itu ia telah diberi
ilmu-ilmu aneh. Tirta
Menggala memang telah tak
mengenal dirinya lagi. Se-
lama di dalam goa itu tiba-tiba saja ia telah mempu-
nyai tenaga dalam yang amat
tinggi. Hingga batu gu-
nung pun bila di cengkeramnya,
pasti hancur jadi bu-
buk. Dalam waktu tiga bulan saja
Tirta Menggala telah
mempunyai gerakan selincah kera.
Walaupun pada tu-
txt oleh
http://www.mardias.mywapblog.com
buhnya tak ditumbuhi bulu. Juga
tak berekor. Namun
kelakuannya memang amat mirip
kera. Karena sehari-
hari bergaul dengan ratusan ekor
kera. Melompat dari
cabang-cabang pohon, bukan
rintangan lagi baginya.
Bila terdengar suitan nyaring
dari mulut si kakek aneh
yang bergelar Dewa Siluman Kera
itu, maka bergerom-
bol-gerombol binatang-binatang
itu berdatangan.
Diantaranya terdapat Tirta
Menggala. Yang
memang sudah bagaikan hewan
saja, tanpa mengena-
kan secuil pakaianpun. Kumis dan
jenggotnya kian
bertambah lebat. Mulutnya selalu
tampak menyeringai.
Sepasang matanya bersinar-sinar.
Dengan biji ma-
tanya yang seperti tak mau diam.
Mengerling kesana-
kemari. Sebentar-sebentar
mendengus, dan mengga-
ruk-garuk kepalanya. Atau
terkadang melompat-
lompat sambil berteriak-teriak
mirip suara kera. Bila
dilihat keadaannya memang sangat
mengenaskan. Su-
atu malam di bulan purnama,
Dewa Siluman Kera telah
menciptakan 100
ekor kera dengan ilmu sihirnya.
Tirta Menggala me-
mang tengah diuji kesaktiannya.
Seratus ekor kera itu
telah menyerangnya dari segala
jurusan. Hebat sekali
gerakan Tirta Menggala. Tubuhnya
sendiri ternyata te-
lah berubah jadi berpuluh-puluh
banyaknya. Dan den-
gan lincahnya berkelebatan
diantara bayangan-
bayangan ratusan ekor kera itu.
Sementara Tirta
Menggala dengan kekuatan
anehnya, telah menggem-
pur setiap penyerang yang
datang. Hingga dalam bebe-
rapa kali gebrakan saja ia telah
membuat seratus kera
ciptaan itu jadi kacau balau.
Setiap terkena pukulan Tirta
Menggala, tubuh
kera-kera ciptaan itu punah, dan
lenyap jadi gumpalan
asap. Diam-diam si Dewa Siluman
Kera tersenyum
puas. Demikianlah... tanpa terasa telah enam bulan
lamanya Tirta Menggala berdiam
di dasar jurang yang
dalam itu. Dan selama itu tentu
saja ilmu-ilmunya te-
lah semakin hebat. Karena Dewa
Siluman Kera me-
mang telah menurunkan hampir
semua ilmunya den-
gan waktu yang amat singkat.
Cuma saja dalam waktu
tiga bulan belakangan ini,
banyak peristiwa terjadi
akibat cara-cara keji si Dewa
Siluman Kera dalam
memberikan ilmu-ilmu hitamnya.
Hingga banyak kor-
ban terjadi di beberapa desa.
Memang Tirta Menggala
selalu diberi umpan untuk setiap
latihan dengan ilmu
sesat. Tentu saja hal itu
membuat Tirta Menggala jadi
ketagihan. Bahkan wataknya pun
telah berubah men-
jadi telengas dan kejam.
Umpan-umpan itu memang
sesuai dengan keinginan hatinya.
Dan si Dewa Silu-
man Kera yang mengetahui tentang
watak muridnya
itu, segera menyalurkan dan
memanfaatkannya seba-
gai bahan latihan amat digemari
sang murid. Juga me-
rupakan tontonan yang amat
mengasyikkan buatnya.
***
Lenyapnya Tirta Menggala membuat
gelisah be-
berapa orang istrinya Apa lagi
setelah ditunggu sampai
beberapa bulan, sang suami tak
pernah muncul. Se-
hingga mereka berpendapat bahwa
ia telah tewas. Ka-
rena ada berita juga, tentang
karamnya perahu yang
ditumpangi Tirta Menggala
beserta beberapa anak
buahnya, di tengah laut. Berita
itu membuat sebagian
anak-anak buah Tirta Menggala
menjadi gelisah. Kare-
na mereka hanya mengandalkan
gaji dari majikannya
itu. Akan tetapi sebagian lagi
diam-diam mengambil
kesempatan baik itu. Yaitu
mengambil alih kekuasaan
atasannya. Beberapa orang telah
membentuk kelom-
pok-kelompok sendiri-sendiri.
Tentu saja dalam hal ini
mereka melibatkan orang luar
yang berkepandaian
tinggi.
Puluhan perahu-perahu nelayan
milik Tirta
Menggala telah dikuasai oleh
tiga kelompok bekas
anak-anak buahnya. Bahkan
perkebunan cengkeh dan
palawija pun sudah mereka ambil
alih. Tidak jarang
terjadinya pemerasan yang kian
menjadi bisa diperas,
kini semakin mengeluh lagi para
nelayan dan pegawai-
pegawai perkebunan. Adapun
beberapa penduduk di
sekitar tempat itu yang tanah
perkebunannya tadinya
telah dirampas, atau dipaksa
untuk dijual dengan har-
ga murah oleh Tirta Menggala,
mulai memberontak.
Begundal-begundal bekas anak
buah Menggala tentu
saja tak dapat tinggal diam. Tak
jarang pembunuhan
dan pemerkosaan terjadi.
Kejahatan tampak semakin
merajalela.
Dan para penduduklah yang jadi
korbannya.
Belum lagi dari komplotan
Perguruan Burung Hantu,
yang mulai merajalela,
mengadakan aksi perampokan
di setiap tempat. Walaupun si
Ketua Perguruan Bu-
rung Hantu ini agak takut untuk
mengganggu daerah-
daerah milik si hartawan Datuk Sutan Benggala De-
wa, namun sasaran lain masih
banyak yang ia jadikan
korban. Para penduduk di setiap
desa semakin resah.
Apalagi banyak berita aneh, tapi
lama-kelamaan men-
jadi semakin nyata. Yaitu
lenyapnya beberapa orang
gadis, yang menurut kabar adalah
gadis-gadis yang hi-
lang itu adalah akibat murkanya
Dewa Siluman kera.
Karena kurangnya dalam memberi
sesajen dalam se-
tiap panen. Memang masih sangat
disayangkan, pada
waktu itu keadaan manusia belum
mengenal adanya
Tuhan. Sehingga banyak di antara
mereka menyembah
dan memuliakan para Dewa atau
Siluman sebagai se-
sembahan mereka.
Namun dalam beberapa pekan ini
wajah-wajah
para penduduk agak cerah, karena
dapat mendengar
berita adanya seorang Pendekar
Wanita (dari tanah se-
berang pulau, yang mulai
memberantas kejahatan di
setiap tempat itu. Pendekar
Wanita itu selalu memba-
wa serta seekor anak harimau
belang sebesar kucing.
Tentu saja tersiarnya berita itu
segera menyebar ke se-
tiap tempat, karena dibawa orang
dari mulut ke mulut.
Sementara di kalangan persilatan
lain lagi. Ka-
rena disamping adanya berita
munculnya seorang
Pendekar Wanita yang kabarnya
bernama Roro Centil.
Berasal dari daerah pulau Jawa.
Dan bergelar Siluman
Kera Putih.
Usaha Roro Centil mencari Peri
Gunung Dempo
ternyata tak membawa basil Bukan
s tak bertemu
orangnya, akan tetapi kabar
tentang dimana adanya
Peri Gunung Dempo tak pernah
didengarnya. Selama
beberapa bulan ia telah
mengitari, dan menetap di de-
sa-desa lereng Gunung Dempo,
untuk mendengar beri-
ta tentang wanita pembunuh
Gurunya itu. Selama itu
pula si Belang kecil selalu
menemaninya dengan setia.
Terkadang makhluk itu tak menampakkan diri. Tapi
bila Roro memanggilnya, maka
akan segera muncul
sahabatnya itu di dekatnya.
Dalam masa pengembaraannya itu
Roro telah
dapat berkenalan dengan beberapa
tokoh golongan pu-
tih. Diantaranya yang bergelar
Pendekar Selat Karima-
ta. Atau banyak orang
menamakannya dengan julukan
si Bujang Nan Elok. Memang
pendekar ini seorang pe-
muda yang tampan, dan gagah.
Disamping berperangai
halus dan ramah, juga se orang
berkepandaian tinggi.
Julukan Bujang Nan Elok itu
memang itu memang be-
rarti Pemuda Yang Tampan.
Si Pendekar Selat Karimata itu
mempunyai seo-
rang adik perempuan yang bernama
Sedayu. Gadis
manis ini memang seperti pinang
dibelah dua dengan
kakaknya. Dan tampaknya si Bujang Nan Elok amat
menyayangi dan memanjakannya.
Saat perkenalan
mereka adalah ketika Roro Centil
memasuki pasar.
Rupanya hari itu adalah hari
pasaran. Hingga pembeli
dan pedagang berlimpah ruah.
Sehabis mengisi perut-
nya, Roro bermaksud kembali ke
penginapan. Akan te-
tapi jadi terkejut ketika mendengar
suara orang berte-
riak-teriak. Dan suasana menjadi
gaduh. Beberapa
orang berlarian mengejar tiga
sosok tubuh yang mela-
rikan seorang wanita dalam
pondongan salah seorang
dari kawanan penculik itu. Dua
orang yang berilmu
cukup tinggi mengejar. Dan
berhasil mencegat keti-
ganya. Segera saja ketiga
penculik wanita itu meng-
hentikan larinya.
"Bangsat rendah..! Berikan
gadis itu, atau ka-
lian akan rasakan
pedangku..!" Teriak salah seorang.
Sementara keduanya telah
mencabut senjatanya. Dua
dari penculik itu tampak
mendengus. Wajahnya ber-
tampang seram. Kumisnya
melintang sebesar cerutu.
Tiba-tiba keduanya telah
membentak keras seraya me-
nerjang dengan dua kapaknya yang
berkilatan.
Trang! Trang! Terdengar suara
beradunya
empat senjata. Kiranya kedua
laki-laki berpe-
dang itu telah menangkisnya.
"Heh....! Sebutkan siapa
ketuamu penculik pici-
san... Kami Dua Pendekar Bukit
Rusa akan memberi-
mu pelajaran..!" Teriak
salah seorang dari laki-laki
berpedang itu dengan nada jumawa. Kedua penculik
itu tampaknya gusar main
dikatakan penculik picisan.
Salah seorang sudah lantas
membentak;
"Keparat..! Tak perlu kau
tahu guruku, atau ke-
tua kami segala. Pendekar tengik
yang masih bau ken-
cur macam kalian cuma besar
mulut saja; Terimalah
kematianmu...!"
Disertai bentakan keras.
Keduanya telah berge-
rak kembali menabas dengan kedua
kapaknya. Namun
dengan gesit kedua laki-laki itu
berhasil menghindar.
Segera terjadilah pertarungan
seru yaitu satu lawan
satu. Sedang salah seorang dari
si penculik itu, masih
tetap berdiri memanggul tubuh
seorang gadis. Namun
sebelah tangannya telah
menyiapkan senjatanya.
Agaknya sang gadis dalam keadaan
tertotok, dan ping-
san tak sadarkan diri. Tampak
mulutnya telah dijejali
sapu tangan. Sementara itu beberapa
orang sudah
berkerumun. Melihat demikian
kawannya yang me-
manggul gadis korbannya itu
segera berteriak:
"Cepatlah bereskan
kawan-kawan. Jangan
sampai banyak rintangan..!"
Mendengar teriak itu, ke-
dua penculik segera merobah
gerakan kapaknya Tam-
pak berkelebatan kedua
senjatanya mengurung lawan.
Tiba-tiba salah seorang
jatuhkan diri dengan disusul
kawannya.
Serrr..! Serrr..! Serangkum
jarum-jarum berbisa
telah meluruk ke arah tubuh ke
dua Pendekar Bukit
Rusa... Terkejut bukan main
kedua Pendekar itu. Na-
mun tak ada kesempatan untuk
meloloskan diri. Saat
kematian beberapa detik lagi
akan tiba. Tapi di detik
yang menegangkan itu, telah
bersyiur angin keras
menghantam buyar jarum-jarum
beracun itu. Bahkan
meluruk kembali pada
penyerangnya.
Tak ampun lagi segera terdengar
teriakan dari
kedua penculik itu. Kedua
kapaknya telah terlepas.
Tubuh itu berkelojotan meregang
nyawa. Na-
mun beberapa saat kemudian telah
tewas, dengan wa-
jah, dada dan lehernya mengeluarkan cairan berwarna
hitam. Kedua Pendekat Bukit Rusa
sudah melompat
mundur. Keringat dingin sudah
mengalir deras di se-
kujur tubuh. Mereka jadi
ternganga ketika itu juga
Ternyata di hadapannya telah
berdiri sesosok tubuh
wanita. Berbaju merah muda.
Rambutnya terurai pan-
jang. Dan sepasang lengannya
bertolak pinggang. Ter-
nyata Roro Centil telah
bertindak cepat sebelum ter-
lambat. Nyaris maut menjemput
kedua Pendekar muda
itu.
Adapun kawan si penculik itu
jadi terperanjat.
Hingga sampai-sampai ia
terkesima melihat kejadian
yang begitu cepat itu.
Dilihatnya di hadapannya telah
berdiri seorang wanita cantik,
ayu. Dengan mata me-
natap tajam padanya Sepasang
alisnya terjungkit me-
lengkung ke atas, bagai bulan
sabit. Sementara bibir-
nya telah bergerak, dan
keluarkan bentakan keras.
"Apakah kau mau buru-buru
pulang ke Akhi-
rat!? Mengapa tidak cepat kau
tinggalkan gadis itu..?"
Bentak Roro. Seperti dipagut
ular saja, kawan si pen-
culik itu jadi tersentak. Dan
cepat-cepat letakkan gadis
yang dipanggulnya ke tanah.
Selanjutnya sudah berlari
sipat kuping, tanpa menoleh
lagi. Akan tetapi tiba-tiba
berkelebat sesosok bayangan. Dan
tahu-tahu laki-laki
itu telah roboh terjungkal
dengan jeritan menyayat ha-
ti.
Ternyata dadanya telah tertembus
pedang. Dan
seorang pemuda tampan telah
berada disana. Tampak
pemuda gagah itu menatap si
penculik yang sudah tak
berkutik lagi di tanah. Lalu
dengan cepat ia telah se-
lipkan pedangnya kembali ke
dalam kerangka di pung-
gungnya, setelah terlebih dulu
membersihkan di baju
si penculik. Saat selanjutnya
orang itu sudah paling-
kan wajah pada kerumunan orang
banyak itu. Dengan
dua kali mengenjot tubuh, pemuda
tampan itu telah
berada di hadapan Roro.
Selanjutnya sudah menjura
hormat pada Roro Centil. Melihat
demikian si Dua
Pendekar Bukit Rusa pun
cepat-cepat menghaturkan
hormat seraya berucap.
"Terima kasih atas
pertolongan anda, nona
Pendekar. Bolehkah kami yang
rendah ini mengetahui
dengan siapakah kami
berhadapan..?" Seraya kedua
pemuda itu kembali mengangkat
mukanya dan mena-
tap Roro dengan tersenyum.
"Aiii..! Aku hanya
kebetulan saja bisa mengusir
jarum-jarum beracun itu. Aku
tidak bermaksud mem-
bunuhnya..! Aku seorang pengembara
rusa dari Pantai
Selatan. Dan bukan penduduk asli
Pulau Andalas ini.
Karena aku adalah dari seberang
lautan. Atau Pulau
Jawa. Kaum Rimba hijau
menyebutku Roro Centil.
Pendekar Wanita Pantai
Selatan..!" Demikian ujar Ro-
ro. Memang sengaja Roro perkenalkan
diri. Karena sia-
pa tahu kabar adanya ia di
daerah ini, akan membuat
musuh besarnya muncul
menampakkan diri suatu
saat. Selesai berkata itu Roro
melirik pada si pemuda
yang telah membunuh penculik
barusan.
Akan tetapi orangnya telah
menubruk gadis
yang tergolek pingsan itu,
seraya berteriak... "Sedayu..!
Oh! Kasihan kau..!" Dan ia
sudah segera berupaya me-
nyadarkan wanita itu, yang
ternyata ialah adiknya. Ro-
ro kerutkan alisnya. Segera ia
melompat mendekati.
Dan dengan beberapa kali mengurut
punggung dan
leher si gadis, terbebaslah
sudah ia dari pengaruh to-
tokan. Dan juga sekaligus
sadarkan diri. Gadis itu me-
rintih, sepasang matanya
terbuka, dan sudah mau
berteriak. Akan tetapi si pemuda
itu telah berkata;
"Sedayu..! Tenanglah! Kau
sudah selamat. Nona
Pendekar inilah yang telah
menolongmu. Hayo, lekas
kau ucapkan terima kasih
padanya..!" Gadis itu segera
tatap Roro Centil, dan serta
merta mengucapkan teri-
ma kasih dengan gugup. Dan
disambung oleh ucapan
pemuda kakaknya itu, yang
langsung perkenalkan diri.
"Aku yang rendah perantau
dari Selat Karima-
ta, mengucapkan terima kasih
atas pertolongan anda,
nona... Pendekar Pantai
Selatan!" Berkata pemuda ga-
gah itu.
"Terpaksa aku membunuh
kawan si penculik
itu. Manusia-manusia berbudi
rendah semacam itu tak
layak hidup di depan
mataku..!" Lanjutnya lagi.
Roro cuma tersenyum
mengangguk-angguk.
Mendengar pemuda itu adalah
Pendekar dari Selat Ka-
rimata, segera saja si Dua
Pendekar Bukit Rusa men-
jura hormat. Dan saling
perkenalkan diri. Adapun Roro
sudah berkelebat pergi.
"Haiii..! Tunggu..!"
Teriak si Pendekar "Selat Ka-
rimata. Dan ia sudah menyambar
lengan adiknya, un-
tuk selanjutnya mengejar ke arah
Roro Centil. Terpak-
sa Roro menahan lompatannya.
Saat berikutnya orang-
orang yang berkerumun itu cuma
bisa melihat berke-
lebatnya lima tubuh para
pendekar itu. Yang selanjut-
nya lenyap.
Demikianlah asal mula perkenalan
dengan
Pendekar Selat Karimata. Namun
selama sebulan ia
menetap di gedung tempat tinggal
si pendekar muda
itu. Telah terjadi kericuhan.
Kiranya diam-diam si Bu-
jang Nan Elok telah jatuh cinta
pada Roro. Sedang Ro-
ro yang selalu bersikap manis
terhadap siapa saja
membuat salah seorang sahabat si
Pendekar Selat Ka-
rimata tak canggung-canggung
bercakap-cakap atau
terkadang bercanda dengan Roro.
Pemuda sahabat baik si Bujang
Nan Elok tak
lain adalah Rahwanda. Rahwanda
seorang yang pe-
riang. Berperawakan kekar Dan
gagah. Memelihara
cambang bauk yang lebat. Berbeda
dengan si Pendekar
Selat Karimata, yang berkulit
putih. Berwajah halus
bagaikan wanita. Tanpa kumis dan
jenggot. Entah
mengapa kedua sahabat itu jadi
agak tegang. Dan ja-
rang berkumpul] bersama.
Terlebih-lebih sejak adanya
Roro. Sedayu adik si Bujang nan
Elok itu jadi seperti
memisahkan diri. Roro jadi serba
salah. Akhirnya ia-
pun mengetahui sebabnya. Kiranya
Rahwanda adalah
tunangan Sedayu. Dan suatu saat
yang amat membuat
Roro terkejut adalah si Pendekar
Selat Karimata telah
mengadakan pertemuan empat mata
dengan Rahwan-
da. Pertemuan empat mata itu
diadakan di pesisir Tan-
jung Lumut.
Tentu saja Roro dapat
mengetahui, karena ke-
tika malam itu ia melihat adanya
si Bujang Nan Elok
bersikap agak aneh.
Sebentar-sebentar ia menatap bu-
lan. Roro pura-pura sudah
mengantuk. Dan segera be-
ranjak menuju kamarnya. Senja
itu biasanya Rahwan-
da datang. Tapi entah apa
sebabnya laki-laki periang
itu tak melihat batang
hidungnya. Roro yang memang
tidur satu kamar dengan Sedayu,
dapat melihat gadis
itu sudah rebahkan dirinya sejak
sore tadi.
Akan tetapi baru saja ia
merebahkan diri, tiba-
tiba Sedayu balikkan tubuh, dan
berbisik di telin-
ganya.
"Kakak Roro Centil! Apakah
kau mencintai ka-
kakku..?" Tentu saja
pertanyaan itu membuat Roro ja-
di melengak.
"Apakah maksudmu adik
Sedayu? Mengapa
kau jadi bicarakan soal cinta?
Aku hanyalah bersaha-
bat saja, tak lebih dari itu. Hi
hi hi... Belum terpikirkan
oleh ku untuk bercinta-cintaan.
Ada apakah adik Se-
dayu? Tampaknya ada yang tidak
beres..!" Berkata Ro-
ro dengan suara perlahan. Akan
tetapi Sedayu sudah
tempelkan telunjuknya di bibir,
seraya katanya;
"Ssssst..! Jangan terlalu
keras bicara. Nanti
akan di dengar kakakku. Dia
masih berada di ruang
depankah..?" Bertanya
Sedayu. Roro mengangguk.
"Dengarlah kakak Roro
Centil. Apakah kau juga
tidak mencintai
Rahwanda..?" Tanyanya lagi dengan
wajah serius. Roro kerutkan
alisnya. Lalu dengan tegas
kembali gelengkan kepala. Tampak
Sedayu balikkan
kepala menengadah. Menatap
langit-langit kamar. Dan
terdengar ia menghela napas.
Lalu kembali balikkan
wajah menatap pada Roro. Kali
ini wajahnya tampak
cerah. Namun juga seperti
bersedih. Ia sudah berbisik
lagi. "Kakak Roro Centil!
Kini aku sudah jelas. Namun
aku butuh pertolongan mu,
kakak.."
"Apakah itu..?" Bisik
Roro. Tiba-tiba Sedayu
memeluk tubuh sahabatnya itu.
"Tolonglah aku, juga
mereka..! Telah terjadi ke-
salahan faham diantara mereka.
Rahwanda adalah tu-
nanganku. Kami memang telah
mengikat janji. Akan
tetapi sikap Rahwanda terhadap
Kakak Roro Centil te-
lah membuat kakakku menjadi
kesal. Aku pun tak
mengetahui, apakah Rahwanda
tiba-tiba berbalik men-
cintai kakak Roro..? Hal itu
telah
membuat kakakku jadi panas hati.
Dia seolah-
olah merasa dipermainkan oleh
Rahwanda. Dan malam
Purnama nanti, kakakku akan
mengadakan perte-
muan empat mata dengan Rahwanda.
Tempatnya ada-
lah di Tanjung Lumut. Berada di
pesisir pantai sebelah
barat dari tempat ini."
"Pertemuan empat mata.. ?
Aneh! Apakah yang
akan dibicarakan..? Dan aku
harus dengan cara ba-
gaimana aku menolongmu, atau
menolong mereka. . ?"
Roro sudah potong kalimat
Sedayu. Karena ia merasa
heran akan persoalan mereka yang
telah melibatkan
dirinya. "Begini, kakak
Roro Centil! Pertemuan itu bu-
kan sekedar pertemuan. Karena akan
diakhiri dengan
pertarungan di ujung senjata!
Yang akan kumintakan
tolong pada kakak adalah: Agar
kakak Roro Centil da-
pat menengahi mereka, dan
menggagalkan pertarun-
gan adu jiwa itu. Yang sudah
pasti akan membawa
korban. Dan kedua-duanya adalah
orang-orang yang
kucintai. Itulah yang ku mohon
padamu, kakak Pen-
dekar..!" Tercenung Roro
mendengar penuturan Se-
dayu. Akan tetapi tampaknya Roro
belum mengerti.
Entah pura-pura tidak mengerti.
Karena ia sudah me-
lakukan pertanyaan lagi;
"Mengapa bisa terjadi
pertarungan..? Bukankah
masalah itu bisa didamaikan di
rumah ini. Dengan
menjelaskan persoalan..! Ujar
Roro dengan berbisik.
Akan tetapi Sedayu cepat-cepat
gelengkan kepala.
"Tidak! Persoalan itu sukar
didamaikan tanpa
diselesaikan di ujung
senjata..!"
"Mengapa..?" Tanya
Roro.
"Karena kakakku telah jatuh
cinta padamu,
kakak Roro Centil. Itulah
sebabnya, kau harus je-
laskan pada mereka. Dan mau
tidak mau, memang
penjelasan dari kakak Pendekar
adalah amat meme-
gang peranan penting, sebelum
terjadi pertumpahan
darah!" Terkejut Roro
Centil. Barulah ia mengerti akan
sebabnya. Diam-diam dalam hati,
Roro membatin...
“Aiiih! Mengapa aku jadi
terseret dalam kancah
percintaan macam begini?” Akan tetapi Roro sudah
manggut-manggut tanda mengerti.
Dan katakan akan
kesanggupannya menyelesaikan
persoalan ini. Sedayu
tersenyum gembira. Tapi sudah
berkata lagi perlahan...
"Kakak Roro Centil!
Seandainya kau menjadi
kakak iparku... Oh! Alangkah
bahagianya hatiku.. Roro
balas tersenyum, dan peluk tubuh
Sedayu yang segera
menyumpal dalam dekapan.
***
Deburan-deburan ombak di pantai
Tanjung
Lumut, malam purnama itu seperti
musik yang beri-
rama syahdu. Angin malam
berdesir tidak terlalu ke-
ras... Udara memang amat dingin.
Terasa menusuk ke
tulang sumsum.
Akan tetapi sesosok tubuh sejak
tadi telah ber-
diri dengan dada telanjang di
atas pasir. Ternyata ada
lah Rahwanda. Si pemuda yang
memelihara cambang
bauk, sahabatnya si Bujang Nan
Elok. Purnama telah
berada di tengah antara kedua
tepi langit. Seperti ada
yang tengah dinantinya Memang!
Dan yang ditunggu,
tunggu itu dalang juga akhirnya.
Sesosok tubuh telah
berkelebat dengan gerakan ringan
dan hinggapkan ka-
ki di atas pasir. Sesosok tubuh
telah berkelebat dengan
gerakan ringan. Dan hinggapkan
kaki di atas pasir.
Tepat di hadapan pemuda itu.
Dialah si Bujang Nan
Elok. Alias si Pendekar Selat
Karimata. Laki-laki tam-
pan ini berdiri menatap
Rahwanda. Tali sutera di
ujung gagang pedangnya
berkibaran tertiup angin.
Pemuda tampan ini memang
menyoren pedang di
punggungnya. Sementara Rahwanda
juga menatapnya
dengan wajah kaku. Pendekar
Selat Karimata telah
langsung menyapa;
"Sudah lamakah kau menanti,
sobat Rahwan-
da..?"
"Cukup lama, Pendekar Selat
Karimata. Apakah
pertemuan empat mata ini sudah
dapat dimulai...?"
Jawab Rahwanda, seraya lakukan
pertanyaan. Si Bu-
jang Nan Elok tersenyum, seraya
menghampiri tiga
tindak. Tampaknya ia tak
sedikitpun menampilkan
permusuhan. atau dendam pada
sahabatnya itu. Tapi
sepasang matanya tak dapat
didustai. Karena panca-
ran sinar mata itu membersit
tajam. Seolah-olah mau
menembus jantung orang di
hadapannya.
"Baiklah..! Aku akan
memulainya. Pertama-
tama yang akan kutanyakan
adalah... ke terus teran-
gan mu, Rahwanda..! Yaitu
mengenai hubungan mu
dengan adikku Sedayu. Apakah
sudah ada rencana ka-
lian untuk segera menikah
?" Bertanya si Pendekar Se-
lat Karimata ini. Sedayu memang
telah berhubungan
cukup lama dengan Rahwanda. Akan
tetapi pemuda
ini selalu mengelak apabila
didesak untuk kapan akan
melangsungkan pernikahannya
dengan adiknya. Tam-
paknya Rahwanda tersenyum dan
akhirnya tertawa
terbahak-bahak. Lalu berkata;
"Sobatku, kita telah
bersahabat cukup lama.
Dan telah mengerti akan
keadaanku. Mengapa tam-
paknya kau kurang percaya
padaku? Apakah kau ta-
kut aku mempermainkan adikmu?
Seraya berkata
Rahwanda palingkan wajahnya
menatap laut.
"Hm... di depan mataku
sendiri kau sengaja
menyakiti hati adikku, apakah
hal itu tidak membuat
kurangnya kepercayaan ku
padamu..?" Rahwanda ter-
kejut juga kelihatannya. Tapi sudah kembali tertawa,
seraya manggut-manggut.
"Kalau aku dianggap
menyakiti hati adikmu
apakah alasannya? Aku jadi tidak
mengerti..! Apakah
karena gadis Pendekar Pantai
Selatan itu..? Tanya
Rahwanda.
"Kalau sudah tahu mengapa
tak sedari kemarin
kau minta maaf padanya?"
Membentak si Bujang Nan
Elok. Sementara dadanya tampak
berombak-ombak
menahan kemendongkolan hatinya.
"Dia selalu memisahkan
diri. Bagaimana aku
harus bicara? Dan kau juga
menyingkirkan diri. Hing-
ga aku jadi serba salah. Apakah
aku bersalah kalau
bercakap-cakap dengan gadis
Pendekar itu? Apakah
aku sudah jadi suami resmi
Sedayu? Aku punya hak
untuk bicara dan bergaul pada
siapa saja?" Berkata
Rahwanda dengan nada keras.
"Tapi kau
keterlaluan..." Bentak si Pendek; Se-
lat Karimata.
"Jadi apa maumu
sekarang..!" Tanya Rahwan-
da.
Yang seketika jadi naik darah.
Tiba-tiba si Bu-
jang Nan Elok ini telah mencabut
pedangnya. Seraya
membentak keras.
"Heh! Dalamnya laut dapat
diduga. Tapi dalam-
nya hati siapa yang tahu..?
Kini kita tentukan siapa
diantara kita yang ma-
sih bisa berdiri tegak di atas
pasir malam ini!" Men-
dengar kata-kata itu tampak
wajah Rahwanda jadi be-
rubah sinis. Dan dengan wajah
kaku, iapun mencabut
senjatanya yang terselip pada
ikat pinggang di pung-
gungnya. Ternyata adalah tiga
ruas ruyung besi. Yang
masing-masing ruas panjangnya
sejengkal. Ketiga ruas
ruyung besi itu dihubungkan satu
dengan lainnya
dengan seutas rantai, yang
panjangnya juga sejengkal
pada masing-masing rantai.
Senjata ruyung berantai
ini direntangkan di depan dadanya yang bidang. Se-
raya berucap;
"Kalau kau menghendaki
demikian mana aku
berani menolak..? Silahkan kau
memulai! Aku sudah
siap. Memang akupun ingin sekali
melihat kehebatan,
dan ketajaman mata pedang dari
seorang Pendekar Se-
lat Karimata..!"
WUTTT! WUTTT! Si pemuda tampan
ini sudah
menerjang dengan dua serangan maut.
Menabas ping-
gang dan dada. Rahwanda gerakkan
tubuh menghin-
dar dengan dua kali lompatan
salto. Akan tetapi seran-
gan ketiga terpaksa ia papaki
dengan ruyung rantai
besinya. Trang..! Trang..!
Trang..!
Ternyata si Bujang Nan Elok
telah mengguna-
kan jurus serangan ketiga
kalinya itu dengan jurus
Aksara Maut. Yaitu gerakan
pedangnya bagai tengah
menulis aksara, akan tetapi
adalah serangan hebat.
Karena satu serangan mendadak
bisa berubah menjadi
tiga serangan. Yang kesemuanya
adalah menjurus ke
arah tempat-tempat berbahaya.
Wajah Rahwanda tam-
pak berubah merah dan panas
terasa. Tiga serangan
berbahaya itu nyaris mencabut
nyawanya. Beruntung
ia dapat memainkan senjata
ruyung rantai besinya
dengan lihai. Ternyata pedang si
Pendekar Selat Kari-
mata adalah senja pusaka.
Sehingga gompal pun tidak
mata pedangnya. Bahkan rantai
dan ruyung Rahwan-
da tampak lecet-lecet dan
tergores pedang laki-laki ca-
lon iparnya itu.
Keparat..! Memaki Rahwanda dalam
hati. Tiba-
tiba ia melompat mundur tiga
tindak. Dan senjatanya
telah diputar kesana kemari.
Hingga terdengar sua-
ranya bagai angin ribut Dan
tubuh Rahwanda tertutup
sudah oleh baling-baling putaran
senjatanya. Membuat
si Bujang Nan Elok sukar mencari
tempat untuk me-
nyarangkan pedangnya ke tubuh
lawan. Tiba-tiba ter-
dengar suara suitan dari mulut
Rahwanda. Disusul
dengan meluncurnya ruyung-ruyung
berantai itu ba-
gaikan tak ada habisnya.
Menyerang dan menghantam
ke arah tubuh dan kepala si Pendekar
Selat Karimata.
Hal mana membuat si pemuda
tampan ini jadi
terkesiap. Terpaksa ia putarkan
pedangnya melindungi
kepala dan tubuhnya. Dan
terdengarlah suara bera-
dunya senjata bagai tak ada
hentinya.
Trang..! Trang..! Trang...!
Trang..! Hebat se kali
serangan Rahwanda. Karena
sebentar saja si Pendekar
Selat Karimata telah dibuat
sibuk, menangkis dan me-
lompat kesana kemari. Hingga
di malam yang dingin
itu ia telah bercucuran
keringat, yang mengalir deras
di sekujur tubuh. Dalam menyerang dengan gencar
itu. Rahwanda tak henti-hentinya
keluarkan suara se-
perti orang bersuit. Selang
beberapa saat tiba-tiba
tampak tubuhnya melejit ke atas tiga tombak. Dan
hantamkan telapak tangannya.
Pendekar Selat Karima-
ta terkejut. Terpaksa dengan
lutut ditekuk, ia pun me-
nahan hantaman keras itu dengan
sebelah lengannya.
Segera saja dua pukulan tenaga
dalam beradu.
Plak..! Dan.. Blug..! Blug..!
Keduanya telah ter-
lempar masing-masing lima-enam
tombak. Tubuh
masing-masing jatuh ke atas pasir. Ternyata tenaga
dalam mereka berimbang. Tampak
Rahwanda bangkit
lagi dengan gagah. Akan tetapi
terlihat ada darah me-
netes dari sudut bibirnya.
Sedang si Pendekar Selat
Karimata juga sudah bangkit
berdiri. Wajahnya tam-
pak pucat, nafasnya memburu.
Dari mulutnya juga
mengalirkan darah... Tampaknya
mereka sudah akan
saling gebrak lagi. Tapi pada
saat itu juga berkelebat
sesosok tubuh ke tengah-tengah
mereka. Terkesiaplah
seketika kedua pemuda itu.
Karena orang di hadapan-
nya itu tak lain dari Roro
Centil, Sang Pendekar Wanita
Pantai Selatan.
Ternyata Roro sudah sejak tadi
berada di tem-
pat itu. Tapi sengaja tak
munculkan diri. Karena me-
mang ingin sekali melihat
kepandaian masing-masing
dari kedua pemuda itu. Namun tetap
berjaga-jaga den-
gan segala kemungkinan yang akan
terjadi... Roro su-
dah berkata sambil
tepuk-tepukkan kedua belah tan-
gannya.
"Hebat...! Hebat..!
Ternyata Sobat Pendekar Se-
lat Karimata dan Sobat Pendekat
Ruyung Naga sama-
sama hebatnya. Mengapa kalian
berlatih malam-
malam begini tidak mengajak
aku.. ? Aiiih.. Sebaiknya
kita berlatih bersama-sama.
Bukankah lebih baik..!"
Berkata Roro Centil sambil
menjura pada kedua pe-
muda itu. Keruan saja Si Bujang
Nan Elok dan Rah-
wanda jadi melengak. Tapi
cepat-cepat si Pendekar Ka-
rimata berkata;
"Ah, Nona Roro Centil. Kami
merasa tingkat ke-
pandaian kami merasa jauh sekali
jika dibandingkan
dengan kehebatan dan ketinggian
ilmu kedigdayaan
anda. Makanya kami berlatih
secara sembunyi-
sembunyi..! Bukankah begitu adik
Rahwanda?" Keruan
saja Rahwanda yang dijuluki
Pendekar Ruyung Naga
itu jadi merubah wajahnya
menjadi senyum. Dan su-
dah menjawab;
"Benar sekali kata kakak
Sambu Ruci. Ma-
kanya kami sengaja mencari
tempat rahasia untuk
berlatih..!" Seraya berkata
ia sudah melompat ke sisi
untuk menyambar bajunya di atas batang pohon ro-
boh. Lalu cepat mengenakannya
kembali. Adapun si
Bujang Nan Elok pun sudah
masukkan lagi pedangnya
dalam serangka di punggung. Lalu
melangkah mende-
kati Roro. Sementara masih
sempat ia menyeka darah
yang mengalir dari bibirnya itu
dengan lengannya.
Sedang tak lama Rahwanda sudah
kembali me-
rapat diantara keduanya.
"Eh...!? Apakah nona Roro
datang bersama adik
Sedayu?" Tanya Rahwanda,
seraya tatap wajah Roro.
Roro Centil gelengkan kepalanya.
"Adik manis itu sudah
tidur, mana berani aku
mengganggunya. Oh, ya... apakah
kalian telah selesai
berlatih?" Tanya Roro lagi
selesai menjawab perta-
nyaan si pemuda bercambang bauk
itu, seraya mena-
tap pada kedua pemuda itu.
Tampak keduanya saling
pandang. Lalu berkata berbareng.
"Sudahlah! Kami kira cukup.
Kami hanya seke-
dar menguji sampai dimana
tingkat kemajuan ilmu ke-
pandaian kami..!" Sambung
si Pendekar Selat Karima-
ta.
"Bagus..!" Berkata
Roro. Dan lanjutkan lagi ka-
ta-katanya. "Kita kaum
golongan pendekar yang men-
junjung tinggi kebenaran, memang
harus selalu was-
pada. Kelemahan kita membuat
kaum golongan jahat
akan semakin tenang berbuat
keonaran. Akhir-akhir
ini aku mendengar adanya tokoh
keji yang menamakan
dirinya Siluman Kera Putih.
Siluman Kera Putih ini se-
lalu mengincar gadis-gadis
cantik untuk dijadikan kor-
bannya. Disamping itu pula
kebuasan tokoh Hitam
yang berjulukan si Burung Hantu
telah mulai tersiar.
Dengan mengadakan aksi
perampokan di setiap tem-
pat Juga banyak
penjahat-penjahat lainnya. Seperti ti-
ga orang penculik wanita yang
telah menculik adik Se-
dayu. Guru ketiga penculik itu
takkan tinggal diam.
Tentu ia akan melakukan balas
dendam mencari ke-
lengahan kita. Bukan tidak
mungkin mereka kaum hi-
tam akan bergabung untuk
menguasai kaum putih,
dan menumpasnya habis. Tugas
kita amat berat. Ka-
rena setiap saat nyawa kita
bisa melayang..! Nah! Oleh
sebab itulah aku kemari. Karena
sudah saatnya aku
berpamitan. Masih banyak urusan
yang belum ku se-
lesaikan. Aku berterima kasih
sekali pada saudara
Sambu Ruci, alias Pendekar Selat
Karimata. pada so-
bat Rahwanda. Karena selama ini
amat baik terha-
dapku. Semoga kelak kita bisa
jumpa lagi. Dan persa-
habatan kita dapat tetap
terjalin demi tegaknya panji-
panji kebenaran dimuka bumi
ini..!
Kedua pemuda itu jadi melengak,
dan terkejut
mendengar kedatangan Roro
ternyata adalah untuk
berpamitan. Akan tetapi Roro
sudah kembali berkata;
"Nah! Untuk perpisahan
kita. Mari kita ikrarkan
tali persahabatan kita..!"
Seraya berkata, Roro telah
ajak berjabat tangan pada si
Bujang Nan Elok. Yang
bagaikan berat mengangkat
tangannya, Pendekar Selat
Karimata ini segera
menyambutinya. Roro menoleh pa-
da Rahwanda. Tampaknya pemuda
ini pun mengerti.
Segera turut berjabat tangan.
tiga tangan mereka ber-
satu. Lama sekali lengan-lengan
mereka saling cekal.
Namun diam-diam Roro Centil
telah salurkan hawa
hangat dari tenaga dalamnya,
untuk membantu me-
nyembuhkan luka dalam
akibat benturan tenaga da-
lam tadi. Tiba-tiba Roro sudah
menyambar berkata la-
gi, lengan-lengan mereka
berlepasan.
"Aku yakin kalian akan
menjadi saudara yang
baik. Oh ya...! Sobat Rahwanda!
Jangan kau sia-siakan
cinta suci adik Sedayu..!
Sebaiknya kalian cepat meni-
kah. Dan sampaikan salamku
padanya..!" Rahwanda
tersenyum dan tertawa lebar.
"Tentu saja, nona Roro..!
Aku memang telah
merencanakan pernikahan itu satu
bulan mendatang.
Oh ya... selamat jalan. Semoga
anda selalu dalam ke-
selamatan..!" Si Pendekar
Selat Karimata pun mengu-
capkan salam perpisahan pada
Roro. Sementara diam-
diam hati pemuda ini jadi malu.
Ternyata Rahwanda
tidaklah seburuk sangkaannya.
Setelah mengucapkan
selamat tinggal. Berkelebatlah
Roro Centil dari tempat
itu. Dan sebentar saja telah
lenyap tak kelihatan lagi.
Keduanya cuma bisa terpaku. Tapi
selang sesaat, si
Pendekar Selat Karimata telah
memeluk pundak Rah-
wanda. Tampak terdengar ia
menghela napas. Dan
berkata lirih...
"Adik Rahwanda..! Marilah
kita pulang..!" Pe-
muda bercambang bauk itu
mengangguk. Dan sesaat
antaranya kedua tubuh itu telah
tinggalkan pantai
Tanjung Lumut Yang kembali
sunyi. Hanya tinggal de-
buran ombak saja yang terdengar.
Sementara rembu-
lan semakin menukik ke arah
cakrawala.
***
"Gumaraaaang..!"
Terdengar suara teriakan dari
sebuah lembah. Suara itu mirip
suara wanita. Suara
teriakan itu kembali menggema,
memantul dari dind-
ing-dinding terjal itu. Seorang
wanita tampak berlari-
lari dengan tubuh terhuyung.
Sementara kepalanya se-
lalu bergerak ke kiri dan kanan. Seperti mencari-cari
orang yang dipanggilnya.
Wajahnya tampak kusut. Pe-
luh telah bercucuran dari
sekujur tubuhnya.
"Gumaraaaang..!"
Kembali ia berteriak. yang
terdengar adalah suara pantulan
dari teriakannya sen-
diri. Tampaknya wanita ini
semakin cemas. Dan den-
gan tertatih-tatih ia berusaha
mendaki tebing itu. Akan
tetapi kembali merosot turun.
Siapakah wanita itu..?
Ternyata tak lain dari Retno
Wulan adalah Ga-
dis yang enam bulan yang lalu
telah melarikan diri dari
rumahnya bersama kekasihnya.
Keadaannya kini telah
berubah. Karena Retno Wulan tampak seperti tengah
mengandung. Entah apa yang
terjadi dengan wanita
yang dalam keadaan hamil muda
ini, hingga berada di
dasar lembah ngarai yang curam
itu..?
Usahanya untuk mendaki tebing
itu sia-sia be-
laka. Dan tampak ia jatuhkan
diri menggelepoh di ta-
nah. Sambil mengelus-elus
perutnya yang terasa sakit.
Kelopak matanya tampak mulai
basah. Dan
sudah terdengar ia terisak-isak
menangis. Sepasang
bibirnya tampak tergetar. Dan
desiskan kata-kata...
"Gumarang..! Dimanakah
kau..? Mengapa tiba-
tiba aku berada di tempat ini..?
Apakah yang telah ter-
jadi sebenarnya..?"
Demikian desisnya, tak lebih dari
pertanyaan-pertanyaan yang tiada
berjawab. Memang
sudah nasib kedua sejoli ini
yang selalu menemui rin-
tangan dalam pelariannya. Sejak
menemukan tempat
bermalam di desa tak berpenghuni
itu, mereka berdua
lanjutkan perjalanan tanpa arah
tujuan. Semata-mata
hanya menghindari dari kejaran
Tirta Menggala, dan
anak-anak buahnya. Hingga
tibalah mereka pada tepi
sebuah danau. Disana mereka
beristirahat untuk ke-
sekian kalinya. Agaknya Gumarang
berpendapat untuk
tinggal saja di tempat itu.
Beruntung darah itu adalah dekat
air. Guma-
rang dapat bercocok tanam
disekitar danau itu. Pikir
Retno Wulan. Dan keputusan
itupun disepakati. Gu-
marang memang berhati keras
bagai karang. Baginya
kehidupan yang bagaimanapun akan
ia lakukan demi
kebahagiaan mereka berdua.
Mulailah Gumarang me-
nebang kayu, untuk membuat
tempat berteduh. Retno
Wulan menganyam bambu untuk
dinding pondok me-
reka. Sedang daun-daun kelapa
dapat dipergunakan
untuk atapnya. Dalam waktu sebulan
lebih, selesailah
pondok sederhana itu Dan mereka
segera mendiami
tempat yang baru itu dengan
gembira.
Bila pagi menjelang, Gumarang
mengail ikan di
danau. Dan membakarnya untuk
bersantap. Guma-
rang juga telah mulai menanam
umbi-umbian atau se-
jenis ketela lainnya. Bahkan
juga menanam padi hu-
ma, yang entah bibitnya ia
dapatkan dari mana. Tam-
paknya mereka bahagia sekali.
Sayang mereka belum
menikah. Namun kandungan Retno
Wulan tampak
semakin membesar. Hal tersebut
membuat Gumarang
agak malu. Dan terkadang sering melamun sambil
mengail ikan.
Suatu hari datanglah seorang
kakek singgah di
pondoknya. Entah dengan cara
bagaimana, sang kakek
ternyata amat kasihan pada kedua
sejoli itu. Akhirnya
disaksikan sang kakek, mereka
meresmikan pernika-
hannya. Barulah hati Gumarang
merasa lega. Ternyata
sang kakek itu bukanlah orang
biasa. Karena diketa-
huinya adalah seorang yang
berilmu tinggi. Terbukti,
hanya dengan menggerakkan
telapak tangannya saja,
ikan-ikan di danau itu telah
berlompatan ke darat Se-
perti ada tenaga aneh yang
menyedotnya keluar dari
permukaan air.
Hal mana membuat Gumarang merasa
terkejut
dan girang sekali. Hingga tanpa
ragu-ragu ia mohon di-
jadikan muridnya. Tampaknya sang
kakek ini setuju
dengan Gumarang. Dan segera
menerima keinginan
laki-laki muda itu. Jadilah
Gumarang murid si kakek
itu. Yang ternyata sang kakek
bernama Ki Candra Lu-
gita. Yang di rimba persilatan
terkenal dengan julukan
si Mayat Hidup. Memang wajah
sang kakek itu amat
menyeramkan, mirip manusia yang
tinggal tulang. Tu-
buhnya kurus jangkung. Berkepala
gundul plontos.
Cuma kumis dan jenggotnya saja
yang panjang terjun-
tai.
Dalam waktu empat bulan saja
Gumarang su-
dah bukan Gumarang yang dulu lagi
Karena ia telah
memiliki ilmu kepandaian yang
boleh diandalkan. Apa
lagi ia telah diwarisi tenaga
dalam yang hebat, oleh Ki
Candra Lugita. Alias si Mayat
Hidup. Sayang sang ka-
kek itu cuma tinggal selama
empat bulan di tempat itu.
Karena sebagai orang rimba
persilatan, jarang dapat
berdiam di satu tempat.
Namun Gumarang sudah cukup puas.
Ia ting-
gal memperbanyak latihan saja.
Dan memecah jurus-
jurus ilmu silat yang telah
dikuasainya. Sedikit banyak
dengan ilmu di punyainya, akan
berguna untuk meno-
long diri dari bahaya.
Demikianlah. Selama hampir sa-
tu bulan, Gumarang selalu rajin
melatih diri memper-
dalam ilmu kepandaiannya.
Suatu ketika Gumarang tengah
berperahu ke
tengah danau mencari ikan. Retno Wulan tinggal di
pondok sendirian. Seperti
biasanya, setelah selesai
dengan pekerjaannya, Retno Wulan
selalu duduk-
duduk di balai-balai ruangan
depan. Memang pondok-
nya menghadap ke danau. Dan pada
tempat keting-
gian. Hingga dengan mudah ia
dapat layangkan pan-
dangan ke tengah danau. Bahkan Gumarang, sua-
minya dapat terlihat berada
di atas perahu di tengah
danau.
Ketika itu entah dari mana
datangnya. Tahu-
tahu seorang wanita telah berada
di depan pintu pon-
dok. Wanita ini memang tampak
cantik. Akan tetapi je-
las terlihat kecantikannya
adalah karena tebalnya pu-
lasan pada wajahnya. Bibirnya
merah. Dengan alis ma-
ta buatan melengkung ke atas.
Terjungkit lancip ham-
pir menyentuh rambut di sisi
dahi. Retno Wulan jadi
terkesiap. Ia sudah menganggap
wanita itu bukan se-
bangsa manusia. Melainkan
seorang peri. Karena da-
tangnya saja tanpa bersuara.
Akan tetapi barulah ia
yakin kalau wanita itu manusia
biasa. Karena sepa-
sang kakinya menginjak tanah.
Tentu seorang wanita
persilatan yang berilmu
tinggi..! Pikir Retno Wulan. Ia
sudah menyapa wanita itu. Akan
tetapi aneh... Sedi-
kitpun wanita itu tak
menyahutinya Bahkan menatap
wajahnya tajam-tajam Lalu
layangkan pandangan pa-
da suaminya di tengah danau.
Tiba-tiba terdengar
mengikik tertawa. Dan palingkan
wajahnya lagi mena-
tap padanya. Lalu tiba-tiba
telah berkelebat lenyap.
Retno Wulan jadi terpaku di
tempatnya. benar-
benar tak mengerti, siapakah
wanita itu..?. Demikian-
lah Ketika Gumarang pulang. la
segera menceritakan
tentang wanita itu. Gumarang
terkejut. Karena ia me-
rasa tidak mengenalnya. Namun
Retno tidak percaya.
Akhirnya mereka bertengkar.
Namun dengan berkata
sungguh-sungguh dan menyakinkan
pada istrinya,
akhirnya Retno Wulan pun yakin
bahwa Gumarang
memang tak mengenal akan wanita
itu. Apa lagi wanita
itu bila dibandingkan dengan
dirinya adalah jauh lebih
tua. Mungkin sudah dua kali
lebih tua dari umurnya.
Tak mungkin Gumarang berniat
main gila. Pikirnya.
Malam itu sepasang suami istri
itu menikmati kebaha-
giaannya. Sementara keadaan di
luar gelap pekat. An-
gin bersyiur agak keras. Namun
kedua insan itu telah
tidur lelap, tanpa mengetahui
apa-apa lagi Pada malam
itulah terjadi keanehan...
Karena di saat Retno Wulan
terbangun dari ti-
durnya, ia jadi terkejut Karena
dapatkan dirinya terge-
letak di rerumputan. Gumarang
sudah tak berada lagi
di sisinya. Dengan serta merta
ia bangun berdiri. Dan
pandang sekitarnya. Ternyata ia
berada di sebuah nga-
rai yang dalam. Di
sekelilingnya adalah tebing-tebing
batu yang menjulang tinggi.
Sedang di bagian sisi lain
tampak hutan rimba
yang lebat. Hingga akhirnya
Retno Wulan pagi itu telah
berteriak-teriak memanggil
suaminya. Keadaannya
sangatlah menyedihkan. Karena
sudah sekian kali be-
rusaha memanjat tebing, untuk
keluar dari ngarai
yang dalam itu. Namun tetap tak
berhasil. Karena sela-
lu merosot turun kembali. Hingga
banyak luka-luka
kecil di kulit tubuhnya.
Retno Wulan duduk menggelepoh
sambil teri-
sak-isak. Dan terbayanglah semua
apa yang telah di
alaminya sejak lari bersama
orang yang dicintainya.
"Mengapa nasibku malang
benar..? Oh Ayah..,
Ibu..! Maafkanlah anakmu ini..!
Gumarang..! Guma-
raaang..! Di manakah kau
gerangan.. ?" Demikianlah,
Retno Wulan meratapi nasibnya.
Akan tetapi tiba-tiba
ia jadi terkejut bukan main
ketika tiba-tiba sesosok
makhluk berada di hadapannya,
disertai suara terke-
keh-kekeh bagai suara kera.
Ketika ia mendongak. Ia
jadi menjerit kaget Begitu
takutnya Retno Wulan, dan
terkejut yang amat sangat
melihat sosok tubuh menge-
rikan di hadapannya. Hingga ia
seketika jatuh pingsan.
Ketika sadarkan diri lagi ia
tengah digumuli
oleh seekor kera besar. Tentu
saja Retno Wulan jadi
menjerit-jerit ketakutan. Dengan
sekuat tenaga ia be-
rusaha melepaskan diri. Namun
alangkah terkejutnya
ia, ketika mengetahui kera besar
itu tak lain dari Tirta
Menggala. Wanita ini melompat
mundur begitu berha-
sil lepaskan diri dari dekapan
"kera" besar itu. Tapi
dengan sekali melompat ia telah
berada didepannya la-
gi seraya menyeringai.
Tampaknya Tirta Menggala masih
mengenali
Retno Wulan, yang pernah akan
dipinangnya beberapa
bulan yang lalu. Tiba-tiba ia
menggeram bagai kera.
"Grrr... kau ... nguk!
nguk! grrr... kau Retno Wulan..?
He he he.... bagus! Bagus..! Kau
harus layani aku baik-
baik..! He he he...
Grrr..!" Tiba-tiba....
Bret! Bret! Brreeettt...!
"Auuuuww...! Tolooong!
Tidak! Tidak! Tidaaak!"
Retno Wulan berteriak-teriak.
Namun apa daya. Mak-
hluk itu telah menerkamnya. Dan
mencabik-cabik pa-
kaiannya. Dan sebuah tamparan
keras membuat wani-
ta itu kembali tak sadarkan diri
lagi. Hingga dengan le-
luasa Tirta Menggala
menggagahinya. Sementara pu-
luhan ekor kera tampak
berjingkrak-jingkrak mengeli-
linginya. Dengan keluarkan
teriakan gaduh. Kelakuan
Tirta Menggala memang sudah
bagaikan binatang liar
saja. Karena bibirnya tampak
sering mencibir. Dan hi-
dupnya mengendus-endus di sekujur tubuh korban-
nya. Semua perbuatan itu selalu
diperhatikan oleh di
Dewa Siluman Kera Seperti
menyenangi tontonan se-
macam itu. Tiba-tiba terdengar
bentakan keras meng-
geledak. Dan... WHUUUUT...!
Tirta Menggala telah
perdengarkan teriakannya
Dan terlempar delapan tombak,
terguling-guling. Dan
kera-kera yang mengelilinginya
seketika buyar dan ja-
tuh bergelimpangan. Sesosok
tubuh mirip mayat, telah
berada di tempat itu.
"Mayat hidup..!"
Teriak si Dewa Siluman Kera.
Dan ia sudah berkelebat ke
tempat itu. "Keparat..! Mau
apa kau turut campur urusan
muridku, Tua bangka..!
Grrrr..! Kukira kau sudah
mampus..! Kau berani me-
nyatroni kemari apakah mau
mengantarkan nyawa..?"
Bentak si Dewa Siluman Kera.
Kiranya si kakek Can-
dra Lugita, guru Gumarang itu
yang telah muncul di
situ. Tampaknya si Mayat Hidup
tak merasa ciut nya-
linya. Bahkan ia sudah berkata
dengan nada dingin
bagaikan es.
"Heh! Nyawaku masih ada
harganya, ketimbang
nyawa manusia-manusia binatang
macam kau dan
muridmu itu..! Hari ini aku tak
mau melayani kau ber-
tarung. Tunggulah satu bulan
lagi. Aku pasti datang
untuk bertarung denganmu sampai
seribu jurus..!"
Berkata si Mayat Hidup. Seraya
menyambar tubuh
Retno Wulan... Dan secepat kilat
telah membawanya
pergi.
Dewa Siluman Kera tampaknya
tidak berniat
mengejar. Akan tetapi hanya
keluarkan dengusan di
hidung. Lalu kelebatkan tubuh ke
arah muridnya Tirta
Menggala, alias Siluman kerah
putih. Sementara Tirta
Menggala tampak meringis-ringis
menahan sakit. Ia
sudah bangkit duduk. Tapi tampaknya terluka parah
akibat pukulan tenaga dalam si
Mayat Hidup. Darah
segar mengalir dari mulutnya.
Segera si kakek mene-
kan telapak tangannya pada
punggung muridnya.
Tampak uap tipis mengepul keluar
dari telapak tan-
gannya. Hanya sekejapan saja
sang murid telah kem-
bali melompat bangun. Dan
berjingkrakan seraya ber-
teriak-teriak menggeram-geram.
Tampaknya ia amat
kesal sekali pada orang yang
telah
mengganggunya.
Akan tetapi Dewa Siluman Kera
telah menjewer
telinganya. Dan menyeret masuk
muridnya ke dalam
goa.
***
Roro Centil telah memasuki lagi
sarang pergu-
ruan Burung Hantu. Langkahnya
tidak terlalu cepat.
Bahkan jalannya tampak
melenggang seenaknya. Se-
mentara dua orang penjaga di
belakangnya, tampak
masih tetap berdiri seperti
biasa. Seolah tak terjadi
apa-apa. Akan tetapi sebenarnya
kedua tubuhnya te-
lah tertotok kaku. Cuma kedua
pasang matanya saja
yang berkedip-kedip. Dan
mulut-mulut mereka yang
tak bisa mengeluarkan suara.
Tiga orang penjaga yang sedang
berdiri berca-
kap-cakap, tiba-tiba menoleh.
Dan salah seorang su-
dah berteriak.
"Celaka..! ? Wanita yang
kusangka tetamu dulu
itu datang lagi kemari...!"
Dan ia sudah lari kuping
tinggalkan kedua
kawannya...Sedangkan kedua ka-
wannya itu malah cengar-cengir
melihat seorang gadis
cantik mendatangi. Dengan
langkah gemulai.
"Ahii... Si tolol itu
mengapa jadi bodoh? Ada" te-
tamu tak diundang datang, eh...
malah lari..! "Berkata
salah seorang yang bertubuh agak
pendek.
"Mana cantik dan seksi
lagi..! Ck ck ck... "Bodi"
nya mek..! Selangit..!"
Mendesis suara kawannya. Se-
mentara sepasang matanya sudah
merayapi sekujur
tubuh Roro Centil, yang semakin
mendekat ke arah-
nya.
Salah seorang yang bertubuh
kekar, segera
mendekati. Tampak ia sedikit
bergaya, dengan merapi-
kan rambut dan ikat kepalanya
terlebih dulu.
"Selamat datang nona..! He
he he"... Apakah
nona mencari aku?" Bertanya
ia. Yang ditanya ternyata
cuma tersenyum... Dan melangkah
terus. Tentu saja
senyuman itu telah membuat ia
semakin berani. Se-
perti mendapat angin. Bahkan
tanpa ragu-ragu me-
rendenginya berjalan.
"Mau bertemu aku atau
ketua, nona..? Kalau
Ketua rasanya sedang sakit
encok. Percuma mene-
muinya..! Lebih baik dengan aku
saja. He he he... po-
koknya siiip..!" Berkata
lagi si orang bertubuh kekar
ini. Seraya mengurut-ngurut
kumisnya, yang besar
melintang. Adapun makanya ia
berani menyapa demi-
kian, karena dalam sepekan
selalu ada langganan yang
datang ke rumah perguruan itu
untuk menemui sang
ketua. Tentu saja si laki-laki
berkumis tebal itu me-
nyangka Roro salah seorang
langganan Ketuanya. Se-
mentara Roro sudah perlambat
langkahnya.
Ternyata semakin berani si kumis
tebal ini. Dan
sebelah lengannya telah
merangkul pinggang Roro dari
belakang. Tampaknya Roro tak
reaksi untuk mene-
piskan lengannya. Merasa bujukan
dan rayuannya
berhasil, si Kumis Tebal telah
mengajaknya membelok
ke sisi jalan. Dimana di bagian
sisi jalan itu adalah
semak lebat yang amat rimbun dan
gelap. Roro hanya
menuruti saja apa maunya sang
penjaga itu. Tiba-tiba
si kumis tebal telah palingkan
kepalanya pada sang
kawan yang masih ternganga di
tempatnya.
"Ssssssttt.!" Ia sudah
berikan kode pada si pen-
dek untuk tidak melapor pada
sang Ketua. Tampak
sang kawan manggut-manggut. Seraya iapun diam-
diam langkahkan kakinya untuk
menguntit. Tentu saja
untuk mengintip perbuatan
kawannya.
Sementara diam-diam hatinya
memaki.. Sia-
lan..! Si kunyuk telah untung
besar! Aku tak me-
nyangka kalau ia se jinak itu..!
Lama juga si pendek ini mencari
tempat men-
gintip yang aman. Karena
rimbunnya semak-semak.
Namun akhirnya ia sudah dapat
lihat dari celah-celah
daun. Segera ia pentang mata
untuk melihat lebih le-
bar. Dan yang tampak adalah
kedua kepalanya saja.
Tubuhnya belum terlihat. Segera
ia kuak lebih lebar
semak yang menghalangi...
"Hah..!?" Ia sudah
keluarkan desisan perlahan
dari mulutnya Yang seketika jadi
ternganga. Dan sepa-
sang matanya terbeliak makin
lebar. Ternyata si kumis
tebal tengah di bukai pakaiannya satu persatu. Len-
gan-lengan yang halus itu
seperti dua ekor ular yang
bergerak lincah kesana-kemari.
Dan sebentar saja ber-
sihlah "bulu-bulu"
yang melekat di tubuh si kumis
tebal. Sayang... belum lagi ia
mengetahui kelanjutan-
nya, telah terasa ada yang
menarik-narik celananya,
dari belakang. Ketika ia
menoleh. Terkesiaplah ia ba-
gaikan melihat malaikat maut
saja Karena pada semak
belukar di belakangnya tersembul
kepala seekor hari-
mau yang amat besar. Dan tengah
menggigit-gigit kain
celakanya, dengan gigi-gigi
taringnya yang runcing dan
tajam, Seketika saja pucat
piaslah wajahnya. Ia sudah
berteriak keras sekali. Namun
suaranya bagaikan le-
nyap di tenggorokan. Sekejapan
saja keringat dingin
sudah mengucur deras. Dan entah
mengapa, seko-
nyong-konyong nya bulu kuduknya
sudah merasa me-
remang. Pandangan matanya jadi
gelap. Tubuhnya
gemetaran bagaikan kena stroom.
Dan selanjutnya ia
sudah jatuh pingsan menggelosoh.
Kepala harimau
itupun lenyap.
Sementara itu penjaga yang tadi
berlari ketaku-
tan itu telah kembali lagi Ternyata telah turut
bersa-
manya sang Ketua. Yaitu si
Burung Hantu. Tampak
sang Ketua putarkan kepala dan
tubuh ke beberapa
arah untuk mencari sang
tetamunya yang tak di un-
dang. Sedang laki-laki, anak
buahnya itupun sudah
layangkan pandangan
kesana-kemari mencari-cari.
Tapi baik sang tetamu yang tak
di undang, maupun
kedua kawannya; kesemuanya tak
ada sepotongpun
yang terlihat.
"Tad... tad... tadi disini,
Pak Ketua! Kemanakah
mereka..?" Berkata si
penjaga dengan suara gemetar.
Tiba-tiba terdengar suara
berkrosakan dari arah sisi
jalan. Dan tersembullah sosok
tubuh di kumis tebal.
Keadaannya amat memalukan.
Karena ia dalam kea-
daan membugil. Ia sudah
menghampiri kedua orang di
hadapannya. Aneh..! Tampaknya si
kumis tebal seperti
tiada takut akan perbuatannya
pada sang Ketua. Bah-
kan sambil tertawa cengar-cengir
ia sudah bicara nga-
wur.
"Kurang ajar..! He,
Bendot..! Apa kau sudah tak
menghargai aku lagi? Kemana tamu
wanita itu? Apa
yang telah kau lakukan.. ?"
Akan tetapi yang di bentak
dan dicekal keras lengannya itu
cuma meringis-ringis.
Ketika dilepaskan. Kembali
tertawa geli, dan bahkan
segera berlalu sambil
bernyanyi-nyanyi
tak keruan. Tentu saja hal itu membuat
si Bu-
rung Hantu jadi melengak.
Tiba-tiba ia sudah kelua-
rkan bentakan keras...
"Keparat..!
Memalukan..!" Dan ia sudah han-
tamkan telapak tangannya ke
batok kepala anak
buahnya. Yang seketika jadi
hancur berantakan. Dan
tanpa dapat berteriak lagi tubuh
si kumis tebal yang
sudah hilang ingatan itu ambruk
ke bumi. Detik selan-
jutnya ia telah kelebatkan
tubuhnya ke balik semak.
Dan kembali hantamkan telapak
tangannya pada so-
sok tubuh yang terlihat kakinya
dibalik semak.
Tubuh itu terlempar berikut
semak belukar
yang tersemburat bagai diterjang
badai. Akan tetapi
terkejutlah si Burung Hantu.
Karena tubuh yang ter-
kena dihantamnya adalah tubuh
anak buahnya sendi-
ri. Pucat piaslah wajah sang
Ketua ini. Seketika bulu
tengkuk Burung Hantu jadi
meremang.
"Hi hi hi... hi hi hi...
Burung Hantu. Mengapa
kau bunuh anak buahmu
sendiri..?" Aneh..! Suara ter-
tawa terdengar, tapi orangnya
belum menampakkan
diri. Membuat si Burung Hantu
jadi gusar, walaupun
agak ciut juga nyalinya. Apakah
yang dilakukan Roro,
di saat di dalam semak belukar
itu? Kiranya si Pende-
kar Wanita Pantai Selatan itu
telah menotok tubuh si
kumis tebal yang kurang ajar
itu. Dan setelah melucuti
pakaiannya. Segera keluarkan
senjata Rantai Genit-
nya. Dengan menyalurkan tenaga
dalamnya yang su-
dah mencapai kesempurnaan itu,
Roro dapat membuat
benda aneh, yaitu bandulan
senjatanya yang berben-
tuk payudara itu menjadi lunak
bagaikan karet. Namun jadi
kepulkan asap ti-
pis. Tiba-tiba Roro telah
menghantamkan bandulan si
Rantai Genitnya pada kepala si
penjaga yang kurang
ajar itu. Roro memang hanya
bermaksud untuk mem-
buatnya kelengar saja. Akan
tetapi di luar dugaan. Ke-
pala si kumis tebal itu amat
kuat Bukannya jatuh
menggelosoh. Bahkan tetap
berdiri tegak. Ketika Roro
melepaskan totokannya, laki-laki
itu segera saja jadi
hilang ingatan. Dan ngeloyor
keluar semak dengan
mulut mengaco tak keruan.
Kiranya pukulan pada ke-
pala itu telah membuat ia jadi
gegar otak.
Mengapakah Roro Centil
menyatroni sarang da-
ri komplotan si Burung Hantu ini ? Kiranya
berita-
berita perampokan dan pembunuhan
serta pemerasan
yang dilakukan oleh si Burung
Hantu dan anak-anak
buahnya serta konco-konconya
semakin santar ter-
dengar. Keresahan para penduduk
semakin banyak di-
dengar, dan dilihat oleh Roro.
Tentu saja hal itu mem-
buat si Pendekar Wanita Pantai
Selatan ini merasa
berdosa kalau berdiam diri saja
melihat kebatilan di
depan matanya. Itulah sebabnya
maka Roro berniat
menumpas habis kejahatan dengan
menyatroni mar-
kas si Burung Hantu.
Kemanakah Roro gerangan Hingga
tak menam-
pakkan diri? Kiranya ia berada
di atas wuwungan ru-
mah perguruan. Sementara belasan
orang telah men-
gurungnya di bawah. Kabar bahwa
adanya seorang
pendekar wanita yang berilmu
tinggi dari daerah Pulau
Jawa, ternyata telah menyebar ke
setiap pelosok. Dan
nama Roro Centil sudah bukan
rahasia lagi. Melihat
anak-anak buahnya berkerumun
mengurung di sekitar
salah sebuah rumah perguruannya,
si Burung Hantu
segera mengetahui orang yang
dicarinya berada dis-
ana. Segera dengan berkelebat
cepat ia telah tiba di
bawah atap wuwungan
"Turunlah sobat, Pendekar
Wanita..! Lebih baik
kita bicara baik-baik! Apa maksudmu
mendatangi ke
markas tempat tinggalku..?
Persoalan dapat dibicara-
kan baik-baik..!"
"Hi hi hi... persoalan
telah terlihat jelas! Menga-
pa harus dibicarakan lagi.. ?
Kejahatanmu harus di-
hentikan. Kalau tidak maka akan
kacaulah dunia ini..!
Dan akan ku taruh dimana mukaku,
kalau aku tetap
biarkan saja kekejianmu yang
kian merajalela itu, Bu-
rung Hantu.. ?" Berkata
Roro Centil dengan suara lan-
tang.
Sementara itu diam-diam dua
belas anak buah
si Burung Hantu telah bergerak
dari salah sebuah ru-
mah perguruan di belakang Roro.
Dua belas busur pa-
nah telah terentang. Dan dua
belas anak panah den-
gan sasaran yang telah diincar
baik-baik segera saja
meluruk bagaikan hujan ke arah
Roro. Namun pada
saat itu membersit angin deras.
Dan kedua belas anak
panah itu sudah buyar
berantakan. Ternyata Roro
Centil telah putarkan senjata
Rantai Genitnya untuk
melindungi tubuh.
Akan tetapi di luar dugaan kedua belas anak
panah itu telah kembali lagi
meluncur ke arah para
penyerangnya. Tak ampun lagi
segera terdengar pekik-
kan dan teriakan-teriakan ngeri.
Dan sembilan orang
dari para pembokong itu telah
terjungkal tewas. Den-
gan dada dan leher terpanggang
anak panahnya sendi-
ri... Ternyata Roro telah
barengi dengan kebutan ram-
butnya untuk mengembalikan
anak-anak panah itu.
Serangkum angin segera bersyiur.
Dan anak-anak pa-
nah itu bagaikan dikendalikan,
telah meluncur kemba-
li ke bawah. Si Burung Hantu
jadi terkesiap kaget, juga
gusar bukan kepalang. Segera
saja ia telah cabut sen-
jatanya yaitu senjata yang
bernama Cakar Hantu. Roro
sudah melompat ke bawah.
Beberapa anak buahnya
yang coba-coba cari penyakit,
membokong Roro den-
gan serangan golok dan tombak.
Akan tetapi telah ro-
boh terjungkal. Hanya dengan Roro
kibaskan lengan-
nya. Namun angin bertenaga dalam
yang panas itu te-
lah membuat mereka berkelojotan. Dan tewas seketi-
ka. Semakin piaslah wajah si
Burung Hantu. Dan ia
sudah membentak keras...
"Minggir..! Biar aku yang
menghadapi gadis se-
berang pulau yang tengik
ini..!" Merasa Roro Centil tak
dapat diajak kompromi, si Burung
Hantu jadi nekat,
dan segera sudah dikirimkan
serangan pukulannya.
Dibarengi dengan serangan
senjata Cakar Hantunya
Tring! Tring! Tring..!
Tiga rantai berujung cakar besi telah
terpental
balik ke arah penyerangnya.
Sementara pukulan tan-
gan si Burung Hantu menemui
tempat kosong. Roro te-
lah lengkungkan tubuhnya
sedemikian rupa. Dan gu-
nakan si Rantai Genit menghantam
balik serangan itu.
Keruan saja si Burung Hantu
terkesiap. Namun den-
gan menjatuhkan tubuh, serangan
balik senjatanya
dapat ia hindari.
Burung Hantu telah cepat
melompat bangkit.
Dan kali ini ia sudah melompat
ke belakang tiga tom-
bak. Tiba-tiba tertawa keras
sekali hingga suaranya
terdengar berpantulan. Roro
kerenyitkan keningnya.
Entah apa yang akan dilakukan si
Burung Hantu ini.
Pikirnya. Tiba-tiba ia sudah
hentikan lagi tertawanya,
seraya berkata;
"Nona Pendekar..! Sebaiknya
kita berdamai..|
Aku sudah mengetahui dimana
adanya orang kau ca-
ri..? He he he... si Peri Gunung
Dempo itu aku tahu sa-
rang tempat tinggalnya!
Percayalah! Aku akan tunjuk-
kan padamu asalkan kau mau
kuajak berdamai..! Aku
memang sudah berniat merobah
jalan hidupku, nona
Pendekar. Apakah kau tak ingin
memberi kesempatan
padaku untuk kembali insyaf..
?" Mendengar kata-kata
si Burung Hantu Roro Centil
telah berkelebat lenyap.
Tentu saja membuat laki-laki
pendek berwajah empat
persegi, yang berhidung bagai
paruh burung itu jadi
melengak. Dan belum lagi ia
sempat putar tubuh, telah
terdengar bentakan di
belakangnya.
"Bagus, Burung Hantu..!
Hayo. cepat kau tun-
jukkan dimana sarang wanita
keparat itu! Tapi jangan
coba-coba kau berani mendustai
ku..!" Serasa hampir
terbang nyawanya. Karena senjata
Rantai Genit Roro
Centil telah menggubat lehernya
dalam sekejap.
"Bbbb... ba... baik...!
Baik..! Akan ku beritahu!
Sudahlah, simpan senjatamu. Mari
kita pergi bersama
ke sarangnya..!" Menjawab
si Burung Hantu.
Sementara keringat dingin sudah
merembes di
sekujur tubuh. Tak berayal, Roro
sudah lepaskan gu-
batan senjatanya di leher si
Kokok Beluk itu. Tampak
si Burung Hantu paksakan diri
untuk tersenyum. Ke-
mudian cepat-cepat simpan
senjatanya ke balik pung-
gung. Yang sebentar saja sudah
lenyap tertutup man-
tel bulu burungnya. Kemudian si
Burung Hantu men-
jura pada Roro Centil, seperti
sudah tak menganggap-
nya musuh lagi. Lalu berkata;
"Nona Pendekar Roro
Centil..! Marilah kita be-
rangkat kesana!"
"Hm... Baik..!" Jawab
Roro. Dan si burung Han-
tu segera beranjak lebih dulu
berkelebat Lalu Roro
menyusul dari belakang. Sebentar
saja dua tubuh
tampak berkelebatan melintas
hutan. Menembus rim-
ba. Bahkan meniti jalan-jalan
setapak. Juga melewati
beberapa anak sungai...
Sementara itu tanpa setahu
Roro dua sosok tubuh terus
mengikuti di belakang,
pada jarak dua puluh tombak.
Kira-kira perjalanan te-
lah ditempuh hampir sepertiga
hari. Akhirnya si Bu-
rung Hantu hentikan larinya. Di
hadapan mereka tam-
pak sebuah tebing batu yang
tinggi menjulang. Tam-
paknya si Burung Hantu ingin
beristirahat dulu ba-
rang sejenak. Roro sudah
bertanya seraya gerakkan
tangan ke atas dahan pohon.
"Masih jauhkan sarang si
Peri Gunung Dempo
itu? Aku sudah tak sabar untuk
melihat tampang wa-
jahnya..!" Berbareng dengan
pertanyaan sudah terden-
gar suara...
Whuutt..! Dan tampak dahan pohon
di atas Ro-
ro Bergoyang. Maka meluruklah
jatuh berdebukkan
buah pohon itu Lengan Roro sudah
bergerak menang-
kapnya. Dan tak lama telah asyik
mencicipi mangga
mengkal itu. Si Burung Hantu
naikkan alisnya, lalu
tersenyum melihat pada Roro.
"Tidak berapa lama lagi
kita akan segera sam-
pai..!" Menyahut si Burung
Hantu. Seraya memungut
mangga dekat kakinya. Dan iapun
segera mengga-
nyangnya. Tak berapa lama Roro
sudah bangkit berdi-
ri, dari duduknya.
"Ayolah, cepat kita
teruskan perjalanan..!" Ber-
kata Roro seraya melemparkan
biji mangga yang da-
gingnya telah habis digerogoti. Ternyata lemparan se-
perti seenaknya itu, berakibat
mengejutkan bagi kedua
sosok tubuh yang menguntitnya.
Nyaris saja leher si
penguntit dibalik semak kena
terhantam, ketika biji
mangga itu menerobos belukar.
Untung dapat terhin-
dar. Kiranya kedua sosok tubuh
di tempat persembu-
nyiannya itu tak lain dari si
Gajah Dungkul, dan si
wanita bertongkat ular alias si
Ular Kobra Mata Merah.
Tak banyak cerita segera si
Burung Hantu mendekati
tebing batu... Sebuah batu besar
telah ia geser meng-
gelinding. Dan terbukalah sebuah
lubang...
"Silakan Nona Pendekar
memasukinya. Inilah
pintu masuk ke sarang si Peri
Gunung Dempo!" Berka-
ta si Burung Hantu. Roro
kerutkan alisnya. Tampak-
nya ia tengah menimbang-nimbang
akan kebenaran
kata-kata si Kokok Beluk itu.
"Mengapa tak kau antarkan
aku sampai kesa-
na..?" Bertanya Roro. Tapi
si Burung Hantu telah ber-
kata dengan senyum jumawa.
"Bagi seorang Pendekar yang
termasyhur seper-
ti anda, kukira memang pantas
untuk mencurigaiku..!
Akan tetapi apakah tidak
melunturkan nama besar
anda?.... Kalau sampai didengar
kaum persilatan bah-
wa si Pendekar Wanita Pantai
Selatan Roro Centil ter-
nyata takut memasuki lubang
tikus..! He he he... Apa-
kah tidak malu?" Tentu saja
kata-kata itu membuat
Roro Centil merah wajahnya. Dan
ia sudah menyahuti.
"Baik..! Kau kira aku takut
untuk kau jebak di
dalam lubang? Hi hi hi... Justru
aku kepingin lihat ada
jebakan apakah di dalam..?"
Berkata Roro Centil, se-
raya sudah melompat masuk. Akan
tetapi pada saat
itu juga kaki si Burung Hantu
telah menendang se-
buah batu empat persegi di
dekatnya. Seraya mende-
sis;
"Heh..! Mampuslah kau di
bawah sana..!" Pada
saat itupun terdengar teriakan
kaget Roro Centil. Ka-
rena tahu-tahu batu dasar lubang
yang diinjaknya te-
lah menjeblos ke bawah. Maka tak
ampun lagi seketika
tubuhnya sudah meluncur deras ke
bawah. Roro tak
dapat melihat apa-apa lagi,
karena keadaan sekeliling-
nya gelap. Sementara itu di luar
goa, sudah berkelebat
menghampiri si Gajah Dungkul dan
si Ular Kobra Mata
Merah.
"Bagus..! Dengan jatuhnya
si Pendekar Wanita
itu ke tangan si Dewa Siluman
Kera. Maka akan aman-
lah kita beroperasi kemana saja.
Karena si Dewa Silu-
man Kera pasti akan membantu
setiap usaha kita,
dengan berjasanya kita
mengantarnya wanita Pendekar
itu padanya. He he he..."
Berkata si Gajah Dungkul
sambil tertawa menyeringai. Si
Wanita bertongkat ular
itupun tersenyum. Akan tetapi
telah desiskan sua-
ranya bernada mengolok-olok.
"Apakah kalian tak merasa
kecewa, membiar-
kan gadis secantik itu jatuh ke
tangan si Dewa Silu-
man Kera dan muridnya yang
dijuluki si Siluman Kera
Putih itu..?" Si Burung
Hantu dan Gajah Dungkul jadi
tertawa gelak-gelak. Dan si
Burung Hantu sudah men-
gerlingkan mata pada kawannya
yang bertubuh tinggi
besar itu.
"He he he... Agaknya Ular
Kobra yang cantik
kawan kita ini jadi
cemburu...?" "Apakah sobat Gajah
Dungkul alias si Iblis Sembilan
Nyawa tak berbaik hati
untuk memberikan sedikit nafkah
batin padamu, nona
Ular Kobra Mata Merah..?"
Ujar si Burung Hantu lagi,
seraya palingkan wajah pada si
wanita bertongkat.
Tentu saja kata-kata si Burung
Hantu membuat wajah
si wanita semakin merah.
Sementara Gajah Dungkul
tiba-tiba sudah berkata dengan
wajah serius.
"Sebaiknya aku menyusul ke
bawah... Siapa
tahu si Dewa Siluman Kera
memerlukan bantuan..!".
Dan tanpa menunggu jawaban, ia
sudah kelebatkan
diri pergi dari situ. Ternyata
Gajah Dungkul mengam-
bil jalan memutari tebing. Dan
disana ada jalan yang
menurun ke arah lembah ngarai
itu. Si Burung Hantu
cuma tertawa menyeringai.
Tiba-tiba lengannya sudah
menggamit pinggang si Ular Kobra
Mata Merah. Yang
tampaknya tidak menolak ketika
si Burung Hantu me-
narik tubuhnya ke balik batu
cadas. Selanjutnya...
cuma dengus-dengus nafas si
Burung Hantu saja yang
terdengar.
***
PRAKK..! Disertai dengan keluhan
panjang.
Benda bulat panjang itu
menggelinding, tinggalkan
bercak-bercak darah.
Tubuh si Burung Hantu dan si
Ular Kobra Mata
Merah tampak menggelinjang
beberapa saat, lalu di-
am... Dan sesosok tubuh telah
meloncat dari atas teb-
ing itu. Ternyata dia Roro
Centil. Tampak si Pendekar
Wanita Pantai Selatan ini
menatap ke dua tubuh yang
saling tindih dengan keadaan
mengerikan. Karena ke-
dua kepalanya telah hancur. Dan
otaknya berhambu-
ran muncrat bercampur darah,
yang tampak berlepo-
tan di dinding batu tebing itu.
"Manusia licik dan
berakhlak bejat macam ka-
lian memang sudah selayaknya
mampus siang-siang,
sebelum bertambah lagi dosa
kalian..!" Berkata Roro,
dengan suara mendesis. Lalu
kelebatkan tubuh memu-
tari tebing batu itu..
Apakah yang terjadi dengan Roro
Centil? Ki-
ranya ketika ia rasakan tempat
pijakan kaki menjeblak
ke bawah. Tubuh Roro memang telah
terbawa menjeb-
los. Akan tetapi kira-kira
sedalam dua kali tubuh ma-
nusia, Roro gunakan kaki dan
lengannya untuk mene-
kan sisi-sisi dinding lubang
rahasia itu. Yaitu dengan
merentangkan keempat anggota
tubuhnya. Sementara
batu tempatnya berpijak tadi,
terus meluncur deras ke
bawah Yang dalamnya entah berapa
kaki. Demikianlah
ia menunggu sesaat. Dan
sementara itu telinganya te-
lah mendengar pembicaraan ketiga
manusia di luar lu-
bang goa. Ketika si Burung Hantu
menggamit pinggang
si wanita tongkat ular itu,
kemudian tak terdengar lagi
suaranya. Barulah Roro naik ke
atas. Ternyata ia tak
keluar lagi dari tempat semula.
Tapi meneruskannya
menyusuri lorong gelap di dalam
goa itu. Yang ternyata
menembus sampai ke tebing. Dari
atas tebing itulah ia
dapat melihat si Burung Hantu
tengah saling berasyik
masyuk dengan si wanita
bertongkat, hingga dengan
rasa kesal bercampur sebal, ia
telah hantam keduanya
dengan batu bulat panjang yang
cukup besar dari atas
tebing. Maka tak ampun lagi
keduanya tewas.
Roro telah tiba di lembah ngarai
yang curam
itu, setelah menuruni lereng
terjal dari tebing batu
yang menjulang tinggi itu. Kini
di hadapannya adalah
rimba luas yang terbentang...
Ketika memandang ke
belakang, hanyalah tebing batu
yang untuk melihat
ujungnya harus dongakkan kepala
lebih dulu.
"Betapa curamnya lembah
ini..! Apakah benar
di lembah ini tempatnya si Dewa
Siluman Kera yang
mempunyai murid bergelar si
Siluman Kera Putih itu..
?" Berkata lirih Roro
seorang diri. Sementara diam-
diam ia jadi mendongkol pada si
Burung Hantu yang
telah menipunya.
Sementara diam-diam Roro telah
mencari arah
tembusan tempat lubang rahasia
di bawah tebing itu.
Akhirnya ia menemukan juga
lubang goa di celah batu
tebing. Akan tetapi ia jadi
terkejut, karena belasan
ekor kera telah mengelilinginya.
Berlompatan ke arah-
nya. Roro mulai bertindak
waspada. Tiba-tiba entah
dari mana telah terdengar suara
suitan panjang ber-
kumandang bagai membela bukit.
Suara suitan itu
berpantulan berkali-kali. Ketika
tiba-tiba ratusan ekor
kera tampak berbondong-bondong
keluar dari dalam
rimba di hadapannya. Seekor kera
yang lebih mirip
manusia, berkulit putih, tanpa
bulu dan ekor, telah
melompat ke hadapannya, seraya
tertawa menyeringai.
Keadaannya membuat Roro
melengak. Karena kera itu
memang bukan kera sebenarnya,
melainkan manusia
yang mirip kera.
Apakah ini si Siluman Kera Putih
itu..? Sentak
Roro dalam hati. Si Kera Putih
ini sudah menggeram-
geram melihat Roro. Tiba-tiba ia
telah mencengkeram
untuk menerkamnya. Gerakannya
gesit, Roro cepat
berkelit Akan tetapi di luar
dugaan sang "kera" telah
berjumpalitan cepat sekali. Dan
kembali menyambar
tubuhnya Tersentak juga Roro
melihat kegesitan mak-
hluk itu.
"Grrrr... nguk!
Nguk...!" Sang kera putih sudah
kembali perdengarkan suara
anehnya, seraya men-
gangkat-angkat tangannya
tinggi-tinggi. Dan melom-
pat-lompat. Entah itu suatu
isyarat. Entah memang
kelakuannya demikian... Akan
tetapi tiba-tiba ratusan
kera lainnya telah menyerbu
dengan suara riuh ren-
dah. Terpaksa Roro hantamkan
lengannya ke kiri dan
kanan. Terdengar jeritan-jeritan
binatang itu. Dan be-
lasan ekor kera terlempar tewas.
Namun bagai tak ada
habisnya, kera-kera itu kembali
mengerubuti Roro,
Terpaksa Roro tarik keluar
senjata Rantai Genitnya.
Dan tubuhnya berkelebat kian
kemari. Maka yang
tampak adalah kera-kera itu
jatuh bertumbangan ba-
gai diterjang oleh amukan
bayangan yang tak keliha-
tan. Segera saja bertumpuk-tumpuk
puluhan bangkai
kera berserakan.
Melihat demikian si kera putih
tampak gusar
sekali. Iapun maju merangsak.
Dan turut menerkam
Roro dari segala jurusan.
Tiba-tiba berkelebat pula ke-
sana sesosok tubuh yang tak lain
dari si Gajah Dung-
kul. Tokoh hitam yang bertubuh
tinggi besar itu tam-
pak terkejut sekali melihat Roro
berhasil lolos dari da-
lam jebakan. Tentu saja ia sudah
turut membantu
mengerubuti si Pendekar Wanita
itu. Tiba-tiba terden-
gar suara...
Brengngngng..! Brengngngng..!
Brengngng..!
Ternyata ia telah bunyikan
senjata anehnya. Yaitu dua
buah piling baja tipis. Yang
mengeluarkan suara me-
mekakkan telinga, akibat diadukannya kedua piring
baja tipis itu. Kera-kera
lainnya segera berlompatan
menjauh. Tubuh Roro tampak
bergoyang-goyang mau
jatuh. Suara keras itu seperti
telah membuatnya jadi
terpengaruh. Saat itu dua
terjangan senjata piring baja
itu sudah menghunjam ke arah
dada dan leher. Mem-
bersit suaranya bagai ular
mendesis... Namun si Gajah
Dungkul jadi terkesima, karena ia
tadinya sudah me-
rasa girang yang serangannya tak
bakal lolos. Tapi
dengan gerakan seperti orang
mabuk, Roro berhasil
menghindar. Sementara
cengkeraman si Siluman Kera
Putih kembali mencengkeram
angin. Karena Roro telah
gerakkan jurus Tarian Bidadari
Mabuk Kepayang. Sa-
lah satu jurus aneh warisan dari
gurunya.
Gajah Dungkul kembali menerjang
dengan ke-
cepatan kilat Sepasang
senjatanya bergerak menyilang
ke arah leher. Sedang satu lagi
mendesing untuk
membeset selangkangan. Serangan
pertama lolos, tapi
sudah disusul oleh serangan
berikutnya. Hingga Roro
tampaknya kewalahan. Dan
bergerak sempoyongan
kesana-kemari. Tapi bagi orang
yang mengerti, akan
memuji kagum. Karena itulah
jurus yang langka di
Dunia Persilatan. Dalam
mempergunakan jurus itu ti-
dak sembarangan orang dapat
melakukan. Karena ha-
ruslah orang nekat yang
mempergunakannya. Karena
cuma mengandalkan perasaan saja.
Sedang sepasang
mata tidak dipergunakan untuk
melihat Namun semua
terjangan maut dapat ia
hindarkan dengan baik. Tiba-
tiba terdengar suara melengking
tinggi dari mulut Roro
Centil. Tahu-tahu tubuhnya
lenyap... Dan pada detik
berikutnya, terdengar jeritan si
Gajah Dungkul. Tu-
buhnya terlempar dengan sepasang
lengannya hancur
remuk. Sedang senjatanya
terlempar entah kemana...
Kiranya Roro telah hantamkan
senjata Rantai Genitnya
menabas lengan lawan.
Tampak si Gajah Dungkul
terperangah menye-
ringai. Wajahnya pucat bagai
mayat Keringat dingin
sebesar-besar jagung mengalir di
dahinya. Rasa sakit
yang amat sangat itu membuatnya
jadi kalap. Tiba-tiba
ia telah kembali bangkit dan
menerjang hebat, disertai
teriakan paraunya. Ternyata
Gajah Dungkul keras se-
perti besi. Hal itu tidak
membuatnya bergeming. Gajah
Dungkul telah pergunakan
kekuatan Gajah Sakti
Menggempur Bukit Sekejap ia
telah putar tubuh, dan
bagaikan bayangan telah
menerjang Roro seperti su-
dah kesetanan. Roro coba menahan
dengan telapak
tangannya. Akan tetapi lengannya
terpental terkena
serudukan si Gajah Dungkul.
"Gila..!? Tenaganya tampak
semakin kuat."
Berdesis suara Roro Centil.
Berkali-kali Roro menghan-
tam kepala si Gajah Dungkul
dengan si Rantai Genit.
Namun hasilnya tetap membuat ia
semakin kehera-
nan. Karena sedikit pun tidak
luka, atau benjol... Apa
lagi hancur..! Bahkan tampaknya
kepala si Gajah
Dungkul semakin atos alias
keras. Sementara si Silu-
man Kera Putih terus mencoba
mencari kesempatan
untuk mencengkeram Roro. Ketika
itu dua terjangan
telah meluruk ke arah si
Pendekar Wanita Pantai Sela-
tan. Sepuluh jari lengan si
manusia kera itu tampak
kepulkan uap putih. Dan
lancarkan sergapan kilat Se-
dang si Gajah Dungkul menerjang
dahsyat Roro jatuh-
kan tubuhnya miring ke samping.
Tiba-tiba sebelah
kakinya menendang pantat si
Gajah Dungkul. Tak am-
pun lagi tenaga serudukannya
semakin bertambah.
Hingga batu tebing itulah yang
terseruduk hancur.
Akan tetapi di bawah tubuhnya
terjepit si Siluman Ke-
ra Putin, yang sudah benamkan
kesepuluh jari tan-
gannya mencengkeram jantung
tubuh yang menindih-
nya. Terdengarlah teriakannya
laksana membelah lan-
git Tubuh manusia tinggi besar
itu roboh ambruk. Dan
berkelojotan meregang nyawa.
Namun sesaat kemu-
dian telah terkulai... untuk
lepaskan "sembilan" nya-
wanya... Manusia berjulukan
Iblis Sembilan Nyawa itu
ternyata tak dapat
mempertahankan nyawanya, yang
ternyata hanya cuma
satu-satunya...!
"Grrrrhh..!? Nguk..!
Nguk...! Grrrrhhh..!" Tirta
Menggala alias si Siluman Kera
Putih itu menyeringai.
Sepasang matanya berbinar-binar
menatap Roro. Se-
mentara sepasang lengannya
terentang bersimbah da-
rah. Tampaknya ia terkejut
sekali, karena kematian si
Gajah Dungkul adalah di
tangannya sendiri. Pada saat
itulah terdengar suara di
kejauhan...
"Hebat..! Hebat..!"
Dan tahu-tahu sudah mele-
sat ke hadapan Roro sesosok
tubuh berambut putih
beriapan. Jenggot dan kumisnya
terjuntai bagai sapu.
"Siapakah anda..?"
Roro sudah lantas memben-
tak. Tampaknya si kakek
pendatang itu bukannya ma-
rah. Bahkan tertawa menyeringai.
Hingga yang terlihat
adalah dua buah giginya saja
yang tinggal bersemayam
dalam mulutnya.
"Heh heh heh... he he...
Akulah si Dewa Silu-
man Kera..! Ternyata Pendekar
Wanita Pantai Selatan
Roro Centil seorang wanita yang
cantik bagai bidada-
ri..!" Ujarnya.
"Sayang kalau buru-buru nyawanya ku
pulangkan ke akhirat..! Ilmu
kepandaian mu ternyata
boleh juga, bocah manis..! He he
he... sebaiknya kau
tinggal dulu bersama kami di
"istana" kediamanku..!
Heh heh heh heh he he.."
Sambungnya lagi. Dan men-
gekeh tertawa menyeramkan. Akan
tetapi tiba-tiba saja
wajah menyeringainya seketika
lenyap. Dan sebaliknya
kini, wajahnya jadi berubah
kaku. Sepasang matanya
menatap Roro seperti
mengeluarkan cahaya biru yang
membersit tajam. Sepasang
matanya menatap Roro se-
perti
mengeluarkan cahaya biru yang
membersit ta-
jam. Roro agak terpengaruh.
Namun segera sadar ka-
lau dirinya ada dalam bahaya. Ia
sudah mau satukan
segenap kekuatan batinnya untuk
menolak kekuatan
hebat dari sepasang mata si Dewa
Siluman Kera.. Akan
tetapi terlambat sudah. Si Dewa
Siluman Kera telah
membentak...
"ROBOH..!" Dan aneh...
Tiba-tiba Roro menge-
luh pendek. Dan jatuh lemas
menggeledak. Untuk se-
lanjutnya telah tak sadarkan
diri. Tampak wajah si
Dewa Siluman Kera kembali
menyeringai. Dan tertawa
kembali terkekeh-kekeh. Kemudian
terdengarlah suara
memerintah pada muridnya.
"Hehe... he he...he he...
Ayo muridku..! Kau ba-
walah ia ke dalam..! Masih
banyak waktu luang untuk
membunuhnya nanti..!" Dan
si Dewa Siluman Kera su-
dah kelebatkan tubuhnya terlebih
masuk ke dalam
goa. Lalu disusul oleh sang
murid, dengan memondong
tubuh Roro yang telah tak
berdaya itu. Akan tetapi pa-
da saat itu Roro telah buka
kembali matanya. Tiba-tiba
gerakkan kepalanya.
Sekonyong-konyong rambutnya
telah meluncur, menggubat leher
si Siluman Kera Pu-
tih. Selanjutnya lengan Roro
telah bergerak cepat me-
notok di beberapa tempat.
Sekejap saja tubuh Tirta
Menggala telah berubah kaku.
Sementara rambut Roro
telah membuat leher si manusia
kera itu tercekik. Ak-
hirnya meneteskan darah.
Terdengarlah bunyi...
Krraaakkk..! Dan ketika rambut
si Pendekar
wanita Pantai Selatan bergerak
menyentak. Kepala si
Siluman Kera Putih telah
terlempar menggelinding ke
tanah. Roro sudah melompat dari
pondongan si manu-
sia kera itu. Tubuhnya telah
kembali berkelebat me-
nyambar sepasang senjatanya yang
tergeletak di ta-
nah. Lalu balikkan tubuh
menghadap ke lubang Goa...
Segera saja sudah terlihat
senyumnya diantara kedua
belah bibirnya yang mungil.
Tampak ia tersenyum
puas melihat Siluman Kera Putih
yang tewas dalam
keadaan berdiri. Tanpa kepala...
Tiba-tiba terdengarlah
suara tertawanya yang mengikik
geli terpingkal-
pingkal. Dan sekejap tubuhnya
telah berkelebat lenyap
dari dasar tebing itu. Namun
suara tertawa itu masih
tersisa. Menggema berpantulan di
dasar lembah ngarai
yang penuh peristiwa itu.
Sementara burung-burung
bangkai telah bertebaran
mengitari lembah penuh mis-
teri itu, dengan suaranya
berkiak-kiak... Roro Centil
sudah tak menengok ke belakang
lagi. Masih banyak
waktu untuk menumpas si Dewa
Siluman Kera. Apa
lagi si Pendekar Wanita Pantai
Selatan ini rasakan ke-
lelahan sekali pada sekujur
tubuhnya. Ia memang be-
lum berhasrat pulang kembali ke Tanah
Jawa. Karena
masih belum ditemuinya juga
manusia pembunuh Gu-
runya. Yaitu Peri Gunung Dempo,
dan si kupu-kupu
Emas. Yang tak diketahuinya
berada di daerah mana.
Sambil berkelebatan itu, Roro
masih sempat memang-
gil sahabatnya yang penuh
misterius.
"TUTUL..! Adakah kau
mengikutiku..?" Dan se-
bagai jawabannya terdengar suara
menggeram di sebe-
lahnya. Roro Centil berseru
lagi...
"Bagus..! Hi hi hi... kau
memang sahabatku
yang setia..!" Tiba-tiba
Roro hentikan tindakan ka-
kinya, seraya berucap;
"Tutul...! Tampakkanlah
wujud mu. Aku penat
sekali..! Bawalah aku kemana kau
suka.." Selesai Roro
berkata. Segera saja seekor
harimau tutul yang tubuh-
nya hampir sebesar kerbau,
tampakkan diri.
Dan., bila mentari senja mulai menggelincir
ke
balik bukit, terlihatlah si
Pendekar Wanita Pantai Sela-
tan sudah berada di atas
punggung seekor harimau
Tutul yang amat besar... Yang
bergerak melompat ba-
gaikan angin. Entah kemana si
Pendekar Wanita itu
dibawanya... Tapi yang jelas ia
akan muncul lagi dalam
kisah petualangannya yang lain.
Sementara para pendekar lainnya
di atas bumi
ini, tetap berjuang, tegakkan
panji-panji kebenaran.
Tegakkan keadilan bagi kaum
lemah yang tertindas..
Namun entah kapan kejahatan itu
dapat lenyap dari
muka bumi ini? Walaupun demikian
semangat per-
juangan dari kaum Pendekar,
tetap menyala sepanjang
zaman.
TAMAT
Emoticon