"Bagus...! Ketahuilah,
ayahmu Ki Demang telah
tewas, juga ibumu...! Kasihan
orang tua itu, karena ga-
ra-gara kau membunuh Adipati
Banu Rekso, mereka
telah dijatuhi hukuman gantung
oleh Tumenggung
Kadipaten...!". Ujar si
orang bertudung.
"Oh...!? Ayah, ibu....
!?" Terkesiap Ratih Dewi.
Seketika wajahnya berubah pucat.
Kemudian terden-
garlah isaknya tersendat. Betapa
hancur hatinya men-
dengar berita itu. Selang
beberapa saat setelah tangis-
nya mereda gadis ini dongakkan
wajahnya menatap
sang guru, seraya berkata.
txt oleh
http://www.mardias.mywapblog.com
"Guru...! Ajarilah aku ilmu
kepandaian. Aku...
aku..." Tak mampu Ratih
Dewi meneruskan kata-
katanya, karena kembali dia
terisak, dengan air mata
bercucuran.
"Kau mau menuntut balas,
bukan?. Hahaha...
Bagus! Kau memang anak yang
berbakti pada kedua
orang tua! Nah, tinggallah di
sini sampai kau berhasil
mempunyai ilmu kepandaian.
Jangan khawatir, aku
SILUMAN MUKA SERIBU akan
menurunkan ilmu-ilmu
yang hebat padamu...!".
Ujar si orang bertudung den-
gan suara berwibawa.
"Oh, terima kasih, guru!
Terima kasih...!". Te-
riak Ratih Dewi dengan girang,
seraya jatuhkan diri la-
gi untuk berlutut beberapa kali.
000O000
E M P A T
TIGA TAHUN berlalu sudah, sejak
kejadian di
dalam goa itu. Di pertengahan
musim kemarau... langit
tampak amat bersih membiru tak
berawan. Udara
siang itu amat cerah. Seorang
gadis cantik tampak
berdiri di ujung bukit. Di
bawahnya mengalir sebuah
sungai berair jernih
berbatu-batu. Itulah sungai yang
bernama Kali Kendil. Sedang
bukit yang dipijaknya
adalah dataran tinggi di mana
jauh di sebelah sana te-
gak menjulang Gunung Bromo
dengan megahnya. An-
gin pegunungan yang menerpa
membuat rambut si ga-
dis ayu tersibak beriapan. Dia
memakai pakaian persi-
latan berwarna hijau lumut. Ikat
pinggangnya terbuat
dari kulit ular. Sementara ikat
kepalanya yang terjun-
tai juga berkibaran, yang juga
berwarna hijau.
Siapa lagi gadis ayu yang
bertubuh semampai
itu kalau bukan RORO CENTIL
adanya. Seulas senyum
tampak terlihat pada bibirnya
yang merah ranum keti-
ka menatap ke arah sungai yang
mengalir di bawah
bukit. Lain pandangan matanya
beralih ke sebelah ba-
rat sungai, di mana terlihat
satu dua wuwungan ru-
mah penduduk di sela-sela
pepohonan. Pasti di bagian
sebelah dalamnya terdapat
perkampungan. Berkata
sang Pendekar Wanita Pantai
Selatan ini dalam hati.
Sesaat kemudian tubuhnya sudah
berkelebatan
menuruni bukit. Bagi mata
manusia biasa yang tak
mempunyai kekuatan ilmu batin,
akan merasa aneh
melihatnya. Karena sang gadis Pendekar ini tampak-
nya seperti tengah duduk dengan
kaki terjuntai, tapi
tubuhnya meluncur pesat ke bawah
bukit yang seke-
jap saja sudah tiba di tepian
sungai. Padahal bagi yang
dapat melihat dengan mata batin,
akan mengetahui
kalau gadis ini telah menunggang
seekor macan Tutul
yang amat besar yang tak tampak
oleh mata biasa. Itu-
lah si TUTUL sahabatnya Roro
Centil, yang selalu setia
menemani kemanapun majikannya
pergi. Tapi satu
keanehan si makhluk siluman ini,
adalah tak bisa ber-
tindak sendiri tanpa
diperintah.
Kini Roro Centil sudah tak
gunakan kata-kata
biasa lagi untuk menitahnya
kalau sedang diperlukan.
Akan tetapi mempergunakan
kata-kata batin yang tak
diucapkan dengan mulut,
melainkan dengan hati yang
disalurkan lewat kekuatan batin.
Roro Centil tatapkan
sepasang matanya ke arah seberang sungai. Tampak
ada tiga buah pondok yang jarak
antara satu dengan
lainnya tak begitu jauh.
Tiba-tiba gadis pendekar ini
kerutkan alisnya. Nalurinya yang
peka telah mengata-
kan ada sesuatu terjadi di
seberang sungai. Kejap se-
lanjutnya adalah, tubuh sang
gadis sudah melesat un-
tuk melompat ke seberang sungai.
Sementara itu di dalam sebuah
pondok yang
berada paling ujung, memang
telah terjadi sesuatu
yang mengerikan. Tampak empat
sosok tubuh terkapar
bersimbah darah... Sekejap Roro
sudah berada di mu-
ka pondok. Terkejut bukan main
gadis ini. Sekali ber-
gerak melompat, dia sudah tiba
di dalam. Roro tegak
berdiri di depan mayat-mayat,
memasang telinganya
untuk mengetahui ada tidaknya
orang di dalam. Tapi
ternyata sudah kosong ketika
Roro memeriksanya. Se-
lanjutnya dia segera periksa
keempat mayat, yang ter-
nyata sudah tewas cukup lama.
"Apakah yang sudah
terjadi? Siapakah pembunuh
mereka ini...?". Desis Ro-
ro.
Sekejap Roro sudah melompat
keluar lagi. Kini
tubuhnya sudah memasuki lagi
pondok-pondok di se-
berang sungai itu. Ternyata di
sini pun banyak mayat-
mayat berserakan. "Gila...!
Apakah di dalam perkam-
pungan pun semua penduduk
tewas?". Desis
Roro, seraya berkelebat terus
semakin masuk
ke dalam daerah yang merupakan
perkampungan pen-
duduk di wilayah sekitar kaki
bukit itu.
Tiga-empat rumah penduduk
kembali dijumpai.
Tidak semua terdapat mayat,
karena ada juga yang
sudah kosong melompong. Tampak
Roro keluar den-
gan wajah lesu. Dia berdiri di
depan pondok. Kepa-
lanya mendongak ke atas, dengan
sepasang mata ter-
pejam. Sementara hatinya bergemuruh menahan lon-
jakan-lonjakan kuat dari dalam
dadanya. Rasa gusar,
marah, sedih berkumpul menjadi
satu. Dia harus te-
mukan si pelaku pembantaian ini.
Tiba-tiba terdengar
suara tertawa gadis Pendekar
ini. Tertawa yang mengi-
kik geli. Semakin lama semakin
keras, dan terdengar
seperti berkumandang di beberapa
tempat dan arah.
Bahkan seperti ada ratusan orang
yang tertawa, kare-
na suara tertawa itu tak
putus-putusnya berpantulan.
Tapi anehnya, dalam tertawa ini
tampak air mata si
dara bercucuran. Inilah satu
kekuatan tenaga dalam
yang amat hebat menakutkan.
Karena akibat suara
itu, keadaan sekitar tempat itu
telah jadi berubah...
Beberapa buah genting telah
merosot dari atas
wuwungan rumah yang berada di
belakang Roro. Bu-
rung-burung kecil yang sembunyi
di daun-daun po-
hon, serentak beterbangan dengan
suara bercuit-cuit
ketakutan. Kira-kira hal itu
berlangsung tiga kali se-
peminuman teh hangat, tiba-tiba
terdengar suara ben-
takan keras dari ujung jalan
desa. "Kurang aja ...! Ber-
henti! Hentikan tertawa itu
bocah keparat...!" Disusul
dengan munculnya
sesosok tubuh yang berjalan den-
gan sempoyongan, menekan kedua
daun telinganya.
Itulah tubuh seorang laki-laki
berjubah, hitam. Di len-
gannya tercekal sebuah tongkat
yang ujungnya berca-
gak. Tiga buah gigi yang
besar-besar menonjol keluar
dari mulutnya. Sebelah matanya
tak berbiji lagi.
Roro sudah hentikan tertawanya.
"Hi!? Bocah
cantik, siapa kau?"
Bentaknya dengan garang. Wajah-
nya menampakkan kegusaran. Roro
perhatikan orang
sekilas, tapi tiba-tiba sudah
berlalu tinggalkan orang
itu. Melengak si laki-laki berjubah,
yang tak lain dari si
SETAN HITAM adanya. Sebagai
tokoh yang sudah ka-
wakan, dan punya nama besar,
serta ditakuti di seki-
tar wilayah tempat itu, tentu
saja perbuatan Roro itu
seperti menghinanya. Di samping
heran, karena justru
suara tertawa yang membuat
telinganya menjadi sakit,
tak lain dari suara tertawa
seorang gadis cantik jelita.
Dari pengaruh yang dirasakannya
jelaslah ka-
lau gadis itu berilmu tinggi dan
bertenaga dalam hebat,
karena getarannya mengandung
kekuatan hebat yang
menggetarkan jantung dan syaraf.
Laki-laki tua jubah
hitam ini sudah julurkan
lengannya menyambar teng-
kuk orang, disertai bentakan
keras.
Gerakan menyambar ini bukan
sembarangan,
karena jangankan tubuh manusia,
batu pun akan
hancur kena cengkeraman
tangannya. Inilah salah sa-
tu jurus kejinya si Setan Hitam,
yang sengaja di per-
gunakan untuk menyerang lawan
yang berilmu tinggi.
Tenaga dalam yang tersalur dalam
tangannya bisa me-
remukkan tulang leher Roro,
kalau gadis ini tak guna-
kan rambutnya mengepret ke
belakang.
Terkejut si Setan Hitam, namun
segera dia bu-
ru-buru tarik kembali
serangannya. Dilihatnya gadis
itu menolehpun tidak kepadanya,
membuat wajah si
Setan Hitam jadi semakin merah
dan panas. Jelas ga-
dis yang berilmu tinggi! Pikir
si Setan Hitam. Tapi ting-
kah lakunya yang aneh itu justru
membuat dia jadi
semakin penasaran. Apalagi
melihat caranya berjalan
untuk berlalu tinggalkan tempat
itu, seperti santai saja
kelihatannya.
"Hihihi... banyak mayat
yang kujumpai di tiap
rumah, ternyata cara
pembunuhannya kurang kejam!
Entah setan atau iblis mana yang
memperbuatnya?.
Benar-benar membuat malu aku si
Ratu Segala
Iblis!".
"Hei! Perempuan sinting!
Baru aku mendengar
ada julukan Ratu Segala Iblis!
Kalau kau benar orang-
nya, coba tunjukkan padaku cara
bagaimana membu-
nuh orang dengan kejam?!".
Roro hentikan tindakan
kakinya. Sepasang matanya memang
tidak terbuka se-
luruhnya, karena mirip orang
mengantuk. Seperti la-
gak orang baru bangun tidur,
Roro kucak-kucak ma-
tanya yang masih mengembang
bekas air mata.
"Siapakah yang
bertanya...?". Tanyanya juma-
wa. Justru dia tak memandang
sama sekali pada si
kakek jubah hitam di hadapannya.
Diam-diam Setan
Hitam mendongkol bukan main.
Rasanya sudah mau
menghantamkan tongkatnya saja ke
kepala gadis aneh
itu. Akan tetapi dengan menahan
sabar, dia menjawab.
"Heh! Ketahuilah, aku si
SETAN HITAM yang
bercokol dan menguasai di lima
wilayah ini! Harap kau
buka lebar-lebar matamu, untuk
melihatku! Agar kau
ketahui yang bagaimana wajah si
Setan Hitam!". Akan
tetapi setelah mendengar
penjelasan orang^ justru Ro-
ro Centil malah tertawa geli.
"Hihihi... hihi... Pantas!
pantas! Setan Hitam
keroco yang baru kenal kejahatan
kemarin sore, mana
bisa menandingi ketelangasan ku,
si Ratu Segala Iblis?
Hi hi hi... hihi...". Tentu
saja merah wajah si Setan Hi-
tam bagaikan kepiting direbus.
Tubuhnya tampak ter-
getar hebat. Tiba-tiba dia
berteriak keras. Lengannya
bergerak menghantam tanah di
hadapannya, yang se-
ketika jadi hangus. Lalu
hantamkan lagi ke kiri dan ke
kanannya. Terdengar suara
batang-batang pohon yang
batangnya patah berantakan, dan
roboh dengan suara
gemuruh.
Melihat orang unjuk kepandaian
di depan ma-
tanya, Roro cuma perhatikan
dengan mata meram me-
lek, dan bibir unjukkan senyum
tipis.
"Kau tunggulah di sini,
akan kutunjukkan ke-
kejaman ku di hadapanmu".
Teriak si Setan Hitam. Ti-
ba-tiba tubuhnya berkelebat
lenyap. Apakah yang dila-
kukannya?. Ternyata dia telah
berkelebatan meng-
hantami semua pondok penduduk di
sekitar tempat itu
dengan pukulan dahsyatnya, yang
membuat kobaran
api segera membakar setiap
wuwungan atau dinding
rumah. Hingga sebentar saja api
berkobar di setiap
penjuru. Membakar dan menambus
mayat-mayat yang
banyak berkaparan di dalamnya.
Selang sesaat sudah
kembali lagi ke hadapan Roro.
Tapi kini di lengannya
sesosok tubuh kecil dari seorang
anak laki-laki yang
dijambak rambutnya.
"Hehehe... hehe... kau lihat!
Aku akan beset-
beset bocah ini sampai jadi tiga
belas bagian. Apakah
aku si Setan Hitam masih kurang
kejam?. Seraya ber-
kata lengannya sudah bergerak
untuk membeset tu-
buh anak kecil itu menjadi dua
bagian. Akan tetapi
pada saat itu sudah terdengar
bentakan halus.
"Tunggu...!". Suara
bentakan itu datangnya dari
mulut Roro. Gadis pendekar yang
aneh ini tolak ping-
gang di depan si Setan Hitam.
Suara bentakan itu cu-
kup berpengaruh untuk urungkan
niat keji si Setan
Hitam.
"Heh. Bukankah kau mau aku
tunjukkan ca-
ranya berbuat kejam?. Cara
kekejamanmu untuk
membeset tubuh bocah itu jadi
tiga belas bagian ada-
lah cara kuno! Mana bisa
dikatakan kejam?. Bisa-bisa
aku tertawa sampai
terkentut-kentut! Apakah kau mau
ku anggap sebagai penjahat
keroco?, atau iblis kema-
rin sore...?". Berkata
Roro. Selanjutnya dia sudah lan-
jutkan kata-katanya.
"Berikan padaku bocah itu!
Segera akan kutun-
jukkan bagaimana caranya berbuat
yang paling ke-
jam!". Dengan sebelah mata
melotot, si Setan Hitam
lemparkan bocah itu pada Roro.
Diam-diam hatinya
semakin mendongkol, karena tetap
saja apa yang di-
perbuatnya tidak merupakan
kekejaman yang berhasil
membuat si gadis aneh itu
mengambil perhatian.
"Nah, aku akan melemparkan
bocah ini sejauh-
jauhnya. Sebelum tubuhnya
menyentuh tanah, aku
akan menghantam dengan pukulanku
yang sekaligus
akan membuat tubuh bocah ini
hancur berserpihan.
Itu baru yang kuanggap kejam.
Asalkan kau sanggup
lebih dulu menghantam, bukan
saja aku mengakui ke-
kejamanmu, akan tetapi juga
menganggapmu bukan
sebangsa iblis keroco yang baru
lahir kemarin sore!
Sanggupkah kau?". Berkata
Roro, setelah menyambuti
tubuh si bocah itu.
"Baik...! Hehehe... agaknya
kau menganggap
aku tak mampu. Kau teramat meremehkan
aku, bocah
perempuan!" Berkata si
Setan Hitam dengan mendong-
kol.
SIUUUUT...! Roro sudah
melemparkan tubuh
anak kecil itu, yang segera saja
meluncur ke udara.
Dan berkelebatanlah dua tubuh
itu mengejar... Akan
tetapi terkejut si Setan Hitam,
karena tahu-tahu bocah
itu lenyap. Bukannya bocah itu
saja yang lenyap, ka-
rena si gadis aneh itu pun
lenyap entah ke mana.
Merah padam wajah orang tua
berjubah ini. Dia
benar-benar merasa dipecundangi.
Bukan saja dia te-
taplah sebagai seorang iblis
keroco, tapi juga sudah di-
buat malu yang luar biasa oleh
gadis aneh yang men-
gaku berjulukan si Ratu Segala
Iblis.
"Haiiii...! Ratu Segala
Iblis! Tampakkan diri mu.
Akan kubuat tubuhmu lumat
menjadi tiga belas ba-
gian...!" Teriaknya dengan
marah. Namun tetap saja
Roro tak menampakkan diri.
Akhirnya dia pun berke-
lebat tinggalkan tempat itu.
Ke manakah gerangan Roro Centil?
Dan ke ma-
na lenyapnya bocah kecil itu?.
Baiklah kita ikuti apa
yang terjadi sebenarnya. Kiranya
sewaktu bocah itu di-
lemparkan, Roro Centil telah
bisikkan kata-kata, mela-
lui batinnya. Yaitu perintahkan
si Tutul menyela-
matkan nyawa bocah itu. Hingga
ketika si bocah itu
melayang dalam jarak lemparan
sekitar dua puluh
tombak di atas pepohonan, detik
itu pula si harimau
siluman telah menyambarnya
terlebih dulu. Dan mem-
bawanya berkelebat lenyap.
Sementara Roro Centil ternyata
langsung berge-
rak menuju ke setiap rumah yang
terjadi kebakaran.
Dengan pergunakan hantaman
telapak tangan yang
berhawa dingin, sekejap api-api
yang baru menjilati
wuwungan setiap rumah segera
punah padam. Berke-
lebatanlah tubuh pendekar wanita
yang aneh itu un-
tuk memusnahkan api di setiap
tempat.
Dalam pada itu sesosok tubuh
telah memper-
hatikannya dengan sepasang mata
menatap terbelalak.
Itulah sepasang mata dari
sesosok tubuh, laki-laki
yang berdiri di ujung jalan
desa. Sepasang mata pe-
muda ini mengagumi kehebatan
ilmu pukulan
Roro, juga kecantikannya yang
membuat dia
terpesona.
Akan tetapi di satu tempat,
sepasang mata jeli
juga tengah menatap pemuda itu
dengan tatapan Ke-
cemburuan yang amat besar.
Dialah si gadis bernama
Ratih Dewi. Di samping cemburu,
tapi juga tertegun.
Karena tak menyangka dia dapat
menjumpai pemuda
itu lagi, yang disangkanya sudah
tak ada di dunia ini
lagi.
Tiga tahun sudah Ratih Dewi
berguru dengan si
orang laki-laki bertudung yang
misterius, yang dijum-
painya di saat memberikan
pelajaran ilmu padanya.
Selama itu Ratih Dewi telah
melupakan PRAMANA, ke-
kasihnya. Sang kekasih yang
sudah dilupakannya, se-
jak dia mencari dan mencari di
mana ada kesempatan.
Namun tak pernah dijumpai...
kini tahu-tahu telah be-
rada di depan mata. Berdiri
dengan gagah. Menyoren
pedang di punggung.
Oh, Pramana, aku masih mencintai
dirimu
sampai kapan pun! Kau adalah
milikku! Dan kau tak
boleh jatuh ke tangan lain
wanita, sejak ku menjumpai
mu! Desis Ratih Dewi dalam hati.
Wajahnya member-
sitkan kecemburuan, betapa
pemuda itu menatap den-
gan kagum pada gadis aneh
berbaju hijau itu. Akan te-
tapi dia tak mau buru-buru
bertindak. Ingin dilihatnya
apakah yang akan dilakukan si
Pramana itu setelah
menatap pada dara baju hijau
itu? Pikir Ratih Dewi.
"Siapakah anda, sobat
berpedang....? Tampak-
nya ada sesuatu yang aneh
padaku. Mengapa kau me-
natapku tak
lepas-lepas...?". Tanya Roro dengan berja-
lan melangkah ke hadapannya.
Tentu saja gerakan
langkah seenaknya. Namun hal
demikian itu justru
membuat sepasang mata Ratih Dewi
jadi melotot kian
lebar. Gadis Centil... ! Makinya
dalam hati.
Laki-laki itu menjura hormat.
Sikapnya amat
sopan sekali. Lalu terdengar
suaranya berkata;
"Ah, maafkan kelancanganku,
nona Pendekar!
Namaku WIRATMANA...! Entah
siapakah gerangan no-
na yang berilmu tinggi
ini...!".
Roro Centil naikkan alisnya.
Segera saja bibir-
nya terulas satu senyuman manis.
Melihat penampilan
orang di hadapannya amat sopan
santun, Roro tak te-
ga untuk mempermainkan. Apa lagi
dari wajah pemu-
da di hadapannya itu menampakkan
kejujuran hati,
serta sikap yang gagah
berwibawa.
"Aih, anda terlalu
memujiku, sekedar ilmu pen-
jinak api yang tak berarti itu
mengapa pujianmu bu-
kan main? Hihihi... namaku
Roro!". Ujar Roro Centil
singkat. Selanjutnya mereka
telah tampak akrab berbi-
cara. Terutama mengenai keadaan
di tempat itu yang
penuh dengan mayat-mayat
manusia.
"Nona Roro, terus terang
aku datang ke wilayah
ini adalah karena mendengar
berita dari beberapa ke-
luarga yang telah berhasil
melarikan diri dari "neraka"
di tempat ini, bahwa adanya
seorang tokoh keji yang
menguasai wilayah ini. Dia
berbuat semaunya saja.
Membunuh, merampas, menganiaya,
memperkosa wa-
nita, dan lain-lain perbuatan
kejam. Seperti kau lihat
sendiri banyak mayat berserakan
di pelbagai tempat.
Di rumah-rumah penduduk, di
sawah, di kebun atau
di sembarang tempat akan
terjumpai satu dua mayat.
Kalau tidak yang masih baru,
tentu yang sudah mem-
busuk. Semua itu adalah ulah
perbuatan Manusia keji
itu... ".
"Apakah tokoh keji itu kau
maksudkan si SE-
TAN HITAM?" Tanya Roro
dengan kerutkan keningnya.
"Ah, rasanya bukan...?
Menurut yang kudengar
adalah bergelar si SETAN
CENGKRONG!" Ujar Wirat-
mana. Tentu saja Roro Centil
jadi tercenung. Tadi dia
lihat sendiri si Setan Hitam
membakari rumah dengan
ilmu pukulan hawa panasnya yang
mengeluarkan api.
Juga di hadapannya telah siap
membeset tubuh seo-
rang anak kecil menjadi tiga
belas bagian. Kakek ber-
jubah hitam, berwajah seram itu
sudah dipastikan Ro-
ro, kalau semua perbuatan kejam
itu adalah perbua-
tannya. Karena ketika Roro
Centil mengaku bergelar si
Ratu Segala Iblis, manusia itu
menampilkan kekeja-
man di hadapan matanya dengan
tanpa kenal peri ke-
manusiaan. Kini mendengar
di sebutnya satu tokoh
bergelar si Setan Cengkrong,
adalah baru didengarnya.
Hal mana membuat Roro jadi
terheran dan melengak.
Sementara di tempat
persembunyiannya Ratih
Dewi mendengarkan pembicaraan.
Sayang Ratih Dewi tak begitu
memperhatikan
saat si pemuda itu memperkenalkan namanya tadi.
Kata-kata Wiratmana kedengaran
olehnya adalah
PRAMANA. Siapakah sebenarnya
laki-laki bernama Wi-
ratmana itu?. Dialah saudara
kembar Pramana yang
justru kemunculannya adalah di
samping mencari si
Setan Cengkrong, juga mencari
jejak adiknya yaitu
Pramana, di manapun dia jejakkan
kakinya. Adanya
berita kejahatan di wilayah itu
yang menurut yang di-
dengarnya adalah perbuatan si
Setan Cengkrong,
membuat dia merasa penasaran
untuk mengetahui
manusia keji yang membuat
keonaran itu. Adapun Ro-
ro Centil rupanya telah
mengetahui adanya sesosok
tubuh yang sembunyi mendengarkan
pembicaraan.
Segera dia berkata;
"Di manakah adanya
penginapan yang paling
besar di tempat ini?".
Tanya Roro setelah manggut-
manggut. Mendengar penuturan
Wiratmana tentang
tokoh yang bernama Setan
Cengkrong itu.
"Apakah anda mau menginap
di sana?. Kebetu-
lan akupun menginap di tempat
itu. Penginapan itu
cukup jauh dari sini. Kalau anda
bersedia mari kuan-
tar. Kita bersama-sama ke sana.
Kukira kita bisa ber-
cakap-cakap dengan leluasa. Ada tiga orang kawanku
di sana. Mereka bergelar si Tiga
Pendekar Ular Mas!".
Setelah, berfikir sejenak, Roro
Centil menjawab.
"Sebenarnya aku masih punya
urusan lain.
Tunjukkan saja di arah mana
letaknya, aku akan ke
sana menjelang senja
nanti!".
"Baiklah, kalau begitu!
Silahkan anda berjalan
ke utara. Tak jauh dari batas
wilayah Kadipaten, anda
menjumpai satu penginapan yang
lumayan besarnya.
Penginapan itu bernama
Penginapan Sindu Rejo". Ujar
Wiratmana menjelaskan.
"Ya, ya...! Aku akan
mencarinya nanti! Nah so-
bat, kukira aku harus tinggalkan
tempat ini. Kelak kita
jumpa di penginapan tersebut...
!".
Selesai berkata Roro Centil
kelebatkan tubuh-
nya dengan cepat. Dan sekejap
kemudian segera le-
nyap di balik pepohonan.
Wiratmana menatap ke arah
lenyapnya tubuh Roro, dengan
pandangan kagum.
Tampak bibirnya menggumam lirih.
"RORO...! Ah, nama yang
indah seindah orang-
nya...!".
Akan tetapi baru saja dia mau
balikkan tubuh-
nya untuk berlalu, tiba-tiba
berkelebat sesosok tubuh
ramping di hadapannya dari arah
samping.
Terkejut Wiratmana, karena
lagi-lagi muncul
seorang gadis yang cukup cantik.
Berbaju kembang-
kembang sewarna daun. Rambutnya
berkepang dua,
yang satu dengan lainnya diikat
menjadi satu di bela-
kang. Mengenakan pita berwarna
kuning. Di ping-
gangnya tersoren pedang yang tak
seberapa panjang,
namun melengkung bagai bulan
sabit. Siapakah ge-
rangan gadis ini? Pikir
Wiratmana.
Sementara sang dara telah
menatapnya dengan
tajam. Bibirnya tampak bergetar
seperti mau mengu-
capkan kata-kata. Dan satu
keanehan adalah dari se-
pasang matanya yang nampak galak
itu, tampak ber-
kaca-kaca memandang kepadanya.
"Eh, siapakah anda nona?
Apakah ada yang
anda cari.. ?". Tanya si
pemuda. Dengan suara gemetar
Ratih Dewi menjawab, sementara
wajahnya sudah me-
nunduk seperti menyembunyikan
air matanya yang
mulai menggenang.
"Kau... kau sudah tidak
mengenali diriku lagi,
PRAMANA... ?". Sahutnya
pendek. Pramana...? Kata-
kata itu hampir membuat si
pemuda itu telonjak kare-
na terkejutnya. Jelas itu adalah
nama adik kembarnya.
"Aku... aku..." Pemuda
ini berkata tergagap. Ta-
dinya dia mau menyebut kata-kata
bahwa dirinya ada-
lah bukan Pramana. Akan tetapi
tiba-tiba diurungkan
lagi. Karena rasa ingin tahu
siapa gerangan sang dara
ini. Juga Wiratmana ingin
mendengar di mana geran-
gan adik kembarnya itu.
Sementara dia sudah punya
dugaan kalau adiknya berada di
sekitar wilayah ini.
Tak dinyana kalau tiba-tiba sang
gadis sudah
berlari ke arahnya, dan
tahu-tahu sudah memeluknya.
Mendekapnya erat-erat sambil
terisak-isak bersimbah
air mata.
"Pramana...! Kau... oh,
betapa aku menang
gung rindu padamu, kasihku! Aku
sengsara lahir ba-
tin. Aku ingin mati saja di
hadapanmu, Pramana...!".
Tercenung Wiratama. Dalam
keadaan serba salah, ter-
paksa dia biarkan saja gadis itu
memeluki dan menci-
umi wajahnya. Hingga air mata
sang gadis membasahi
wajah pemuda berbaju putih itu.
Perlahan-lahan Wira-
tama mendorong tubuh gadis itu,
sesaat setelah isak-
nya agak mereda. Gadis ini
lepaskan pelukannya dan
berdiri membelakangi pemuda itu.
Terdengar suara he-
laan nafasnya lirih di antara
isaknya yang tinggal satu-
satu.
"Kuakui Pramana,... kau
agak canggung karena
aku bukan lagi Ratih Dewi kekasihmu
yang dulu. Aku
telah jadi istri Adipati Banu
Rekso, walau cuma sema-
lam dan walau tanpa berhasil aku
digagahi, karena
aku telah membunuh suamiku.
Membunuhnya dengan
kejam! Aku telah membantainya
dengan keri pusa-
kanya sendiri! Tak ada seorang
pun yang mengetahui.
Kukira hanya dugaan orang saja
yang mengira aku te-
lah membunuhnya. Juga
dugaan-dugaan lain yang te-
lah membuat kau disangka yang
melakukan perbuatan
keji itu, dan melarikan aku.
Aku banyak berdosa pada semua
orang...! Ke-
pada suamiku, kepada kedua orang
tuaku, juga kepa-
da orang-orang Perguruan ELANG
PUTIH! Karena se-
mua mereka tewas di tangan Rekso
Jiwo...!". Berkata
Ratih Dewi dengan wajah
tertunduk. Sebelah lengan-
nya bergerak mengusap air
matanya, dan dia sudah
duduk mendeprok di tanah.
Wiratmana tercenung
mendengarkan. Tiba-tiba dia
sudah memberanikan diri
bicara.
"Siapakah Rekso Jiwo
itu...?". Ujarnya lirih.
Sementara pelahan dia sudah
mendekati sang dara
dan ikut duduk di sebelahnya.
"Rekso Jiwo adalah anak
Adipati Banu Rek-
so...!". Sahutnya. Dan
segera Ratih Dewi ceritakan
panjang lebar tentang nasib
dirinya hingga jatuh ke
tangan seorang tokoh sakti
misterius yang bernama ge-
lar si IBLIS MUKA SERIBU.
Wiratmana semakin berani
bertanya panjang
lebar pada sang dara, yang
ternyata tetap belum men-
getahui kalau laki-laki di
sebelahnya itu bukanlah
Pramana. Sayang Wiratmana tak
mengetahui kalau di
belakangnya telah berdiri
sesosok tubuh berwajah
mengerikan mirip tengkorak.
Rambutnya putih beria-
pan. Memakai jubah warna ungu.
Keadaan tubuhnya
ternyata tidak sempurna, alias
cacat.
Sebelah lengannya melengkung
kaku menekuk
ke bawah, dengan jari-jari
terentang. Dan sebelah ka-
kinya putus sebatas lutut.
Lengannya yang satu me-
megang sebuah tongkat kayu.
Tiba-tiba saja telah ge-
rakkan tongkatnya menotok tubuh
Wiratmana, yang
selanjutnya sudah disambar untuk
dibawa berkelebat
pergi. Tentu saja membuat Ratih
Dewi terkejut melen-
gak. Dia melompat untuk mengejar
seraya membentak
keras.
"Heiii...! Berhenti keparat
...!". Namun gerakan
si manusia cacat itu amat cepat,
Ratih Dewi perguna-
kan ilmu larinya mengejar. Akan
tetapi sia-sia, karena
manusia cacat itu punya gerakan
secepat angin yang
sekejap saja sudah lenyap tak
kelihatan lagi.
Dalam keadaan dibawa berlari
cepat itu, Wi-
ratmana benar-benar terperanjat,
karena tak mengeta-
hui siapa adanya orang yang
telah menotoknya. Na-
mun masih sempat lakukan
pertanyaan dengan suara
tergagap.
"Eh, siapakah kau, mengapa
menotok ku?. Mau
dibawa ke mana aku
ini...?". Orang itu cuma menden-
gus di hidung tak menjawab
pertanyaan Wiratmana.
Bahkan mempercepat larinya yang
berkelebat bagai-
kan terbang.
Sementara Ratih Dewi berdiri
tertegun menatap
ke depan. Hatinya jadi mencelos
karena dia sudah da-
pat menduga siapa adanya manusia
cacat itu. Benar
saja! Karena tiba-tiba
telinganya telah mendengar satu
suara menyusup ke telinganya
yang dilontarkan dari
jarak jauh, dengan menggunakan
kekuatan tenaga da-
lam.
"Eh, nona manis istri
Adipati Banu Rekso, si-
lahkan datang ke Bukit Kelelawar
kalau kau inginkan
kekasihmu ini tetap hidup... !
Aku si Setan Cengkrong
menanti kedatanganmu...!".
"Benar.... . ! Dia si Setan
Cengkrong!" Desis Ra-
tih Dewi. Dan tak ayal ia sudah
gerakkan kaki untuk
tinggalkan tempat itu.
Sementara itu sesosok tubuh
berbaju hijau te-
lah berkelebat mengejar si
manusia cacat itu, dan
membuntutinya dengan diam-diam.
Ternyata adalah
Roro Centil adanya. Hati gadis
pendekar ini tercekat
untuk terus mengikuti si manusia
cacat itu hingga
sampai mengetahui siapa gerangan orangnya. Bagai-
mana Roro Centil bisa mengetahui
munculnya si Setan
Cengkrong itu?. Kiranya sewaktu
Roro berkelebat pergi
tinggalkan Wiratmana, Roro telah
bergerak memutar.
Tujuannya adalah ingin mengetahui
siapa adanya wa-
nita yang mengintai di belakang
Wiratmana. Hingga
akhirnya dia berhasil mengutip
pembicaraan kedua-
nya. Satu keanehan adalah si
gadis itu telah mengang-
gap Wiratmana adalah
PRAMANA.
Tengah Roro menduga-duga apa
latar bela-
kangnya sang gadis menyebut sang
pemuda demikian,
tiba-tiba bersyiur angin halus
di sebelahnya. Dan ta-
hu-tahu telah menotok Wiratmana,
serta membawanya
berkelebat pergi. Tentu saja
Roro mengetahui keadaan
tubuh orang yang cacat itu. Cuma
karena membela-
kanginya, Roro tak dapat lihat
jelas wajahnya. Dan di
saat Wiratmana dilarikan, Roro
sudah berkelebat men-
gikutinya...
Bukit Kelelawar ternyata adalah
sebuah bukit
yang sudah terkenal di wilayah
itu, karena memang di
sana banyak kelelawar bergelantungan
di siang hari
pada pepohonan. Agaknya memang
merupakan tempat
yang menjadi sarang
binatang-binatang itu.
Wiratmana sudah berada di dalam
goa, saat si
manusia cacat itu membuka
totokannya. Kini dengan
sepasang mata terbeliak, dia
memandang pada orang
di hadapannya. "Apa yang
kau inginkan diri ku, dan
siapakah kau ini... ?".
Tanya Wiratmana.
"Hm, aku adalah orang yang
tengah kau cari
itu, sobat! Orang yang kau tuduh
melakukan kejaha-
tan. Bukan saja kau, akan tetapi
semua pendekar ten-
gah mencariku, karena khabar
cerita amat santer
bahwa aku adalah orang yang
telah melakukan berma-
cam perbuatan keji...!".
Ujar si manusia cacat.
"Jadi kau... kau si SETAN
CENGKRONG itu?".
Tanya Wiratmana terkejut.
"Benar! Aku memang yang
dijuluki demikian,
akan tetapi semua perbuatan itu
bukan perbuatan
ku!"
"Tidak mungkin...!"
Bentak Wiratmana. Len-
gannya sudah bergerak mencabut
pedangnya yang ter-
soren di punggung, dan sudah
menghunusnya dengan
wajah tegang. Pada saat itu
tiba-tiba berkelebatan be-
berapa sosok tubuh memasuki
mulut goa, disertai ben-
takan-bentakan keras menggema.
Sebentar saja lebih
dari dua puluh orang telah
mengurung si Setan
Cengkrong. Rata-rata mereka
telah menghunus senja-
tanya yang bermacam-macam.
"Hahaha... Setan Cengkrong!
Kali tak dapat me-
larikan diri! Kau telah
terkepung! Tak ada jalan keluar
lagi bagimu selain
kematian...". Teriak seorang yang
bersenjatakan tombak bermata
tiga. Dialah yang diju-
luki si Tombak Malaikat.
Sementara dua orang yang
berpakaian kulit harimau
berkepala botak adalah si
Dua Macan Kembar. Dan tiga orang
lagi yang berpa-
kaian warna merah adalah yang
berjulukan Tri Tung-
gal Cemeti Alam. Senjata yang
dipergunakan adalah
cambuk yang ujungnya
berduri-duri. Serta beberapa
tokoh lainnya yang tak begitu
terkenal.
Ruangan goa Kelelawar memang
sangat luas,
namun kini sudah dipadati oleh
puluhan manusia,
membuat jadi penuh sesak.
Masing-masing mulai be-
ranjak membuat lingkaran. Hingga
tak memungkinkan
si Setan Cengkrong dapat
meloloskan diri. Karena
ruangan goa itu cuma mempunyai
satu pintu, akan
sukarlah kiranya si Setan
Cengkrong meloloskan diri.
Namun hal itu tak membuat si
manusia cacat ini jadi
gentar, bahkan tak terlihat
wajahnya berubah pucat
sedikitpun.
Sementara Wiratmana sudah
melompat mun-
dur. Ternyata si Setan Cengkrong
membiarkannya saja
tanpa menoleh.
"Biarlah kami yang akan
meringkusnya terlebih
dulu...!". Teriak salah
seorang dari para pendekar yang
berbaju merah. Dan berkelebatlah
tiga sosok tubuh ke
hadapan si Setan Cengkrong.
Memang bila dilihat se-
pintas adalah tak masuk akal
kalau seorang manusia
yang sudah cacat, dengan sebelah
lengan melengkung,
sebelah kaki putus dan tubuh
yang agak membungkuk
itu harus dikepung sedemikian
rupa. Akan tetapi ke-
nyataannya adalah demikian.
"Setan Cengkrong... ! Kami
Tri Tunggal Cemeti
Alam, cuma menjalankan perintah
untuk menangkap
mu dari Adipati Rekso Jiwo! Tetapi
entah kawan-
kawanku akan mengampuni nyawamu
atau tidak, aku
tak mengetahui...! Kalau kau
menyerah secara suka-
rela adalah hal yang
memungkinkan akan memperpan-
jang umurmu untuk beberapa
waktu! Pertimbangkan-
lah baik-baik, sebelum
terlambat..!" Berkata salah seo-
rang dari Tri Tunggal Cemeti
Alam yang tertua.
Akan tetapi yang ditanya cuma
berdiam diri
termenung. Kalau saja mau
diperhatikan lebih jelas,
akan tampak setitik air bening
yang tersembul di su-
dut mata yang cekung itu. Akan
tetapi wajahnya me-
mang tak menampakkan perubahan.
Terdengar bibirnya
berkemak-kemik, entah apa
yang digumamkan. Akan tetapi
Wiratmana telah men-
dengarnya, karena itulah suara
si Setan Cengkrong
yang khusus ditujukan padanya.
"Wiratmana...! Tampaknya
sulit bagiku menje-
laskan pada semua orang, karena
kau sendiripun tak-
kan mempercayai kata-kataku. Tak
apalah, namun
seandainya aku panjang umur,
kelak kau akan keta-
hui semuanya... Ya,
semuanya...!".
Tercenung Wiratmana. Sepasang
matanya me-
natap pada wajah si Setan
Cengkrong yang menunduk
menatap tanah. Ketika dia
palingkan wajahnya ke seki-
tar, terlihat wajah-wajah garang
yang sudah siap men-
gantarkan kematian si manusia
cacat itu.
"Setan Cengkrong! Kesabaran
ada batasnya!
Rupanya kau lebih ingin memilih
cepatnya kematian
mu! Baiklah, jangan kau
menyesal...!". Seraya berkata,
si orang tertua dari tiga
pendekar ini sudah melu-
ruskan cambuk berdurinya.
Selanjutnya mereka memutari si
Setan
Cengkrong yang masih berdiri
terpaku tak bergeming.
Dan... tiga utas cambuk berduri
itu sudah meluncur
meluruk ke arah si tubuh cacat.
CTARRR...!
CTARRR...!
CTARRR...! Hampir berbareng
suara keras
menggema memekakkan telinga.
Tubuh si Setan
Cengkrong tiba-tiba berkelebat
menghindar. Gerakan-
nya ternyata amat tak terduga,
karena seperti bayan-
gan putih yang melesat ketiga
arah. Sementara lingka-
ran semakin diperbesar, hingga
masing-masing orang
hampir merapat ke dinding goa.
Namun kini sudah tak
beraturan lagi, karena harus siap
menjaga kemungki-
nan si Setan Cengkrong
meloloskan diri.
Dalam enam jurus saja keadaan
sudah beru-
bah Kini si Setan Cengkrong
merubah gerakannya. Ki-
ni tubuhnya bergelindingan cepat
di antara kaki-kaki
ketiga orang lawannya. Tiba-tiba
terdengar suara te-
riakan tertahan, ketika
tiba-tiba satu persatu dari keti-
ga tokoh bercambuk duri itu
keluarkan teriakan terta-
han, dan masing-masing roboh
terguling. Kiranya
tongkat si Setan Cengkrong telah
menghantam tulang
keringnya. Beruntung hantaman
itu tidak terlalu ke-
ras, hingga mereka cuma meringis
kesakitan meme-
gangi tulang keringnya yang
benjol sebesar telur ang-
sa. Otomatis ketiga cambuknya
terlepas. Bahkan den-
gan satu gerakan aneh, ketiga
cambuk si Tri Tunggal
Cemeti Alam telah di sampok
mental ke arah puluhan
orang yang mengelilinginya.
Keruan saja keadaan jadi
berubah kacau.
Akan tetapi pada saat itu
berkelebat dua orang
berbaju macan loreng. Mereka
adalah si Macan Kem-
bar, yang berkepala gundul klimis
alias botak. Lang-
sung saja menerjang si Setan
Cengkrong dengan sepa-
sang lengan masing-masing yang
memakai kuku besi
sepanjang satu jengkal. Kuku-kuku ini mengandung
racun yang mematikan. Dibarengi
bentakan keras, me-
reka gunakan cakar besinya untuk
menyerang si Setan
Cengkrong.
"BRET....! BRET...! Dua
serangan dengan men-
dadak itu membawa hasil cukup
mengejutkan, karena
jubah si Setan Cengkrong kena
dijambret hingga robek
hampir separuhnya. Menggerung
keras si Setan
Cengkrong. Tubuhnya melejit naik
dengan tongkat
menempel di tanah. Tiba-tiba si
Setan Cengkrong ge-
rakkan tubuh memutar bagai
gasing. BUK! BUK! Se-
rangan mendadak itu membuat si
Macan Kembar ter-
perangah, tak sempat lagi mereka
mengelakkan diri.
Kedua dada manusia ini terkena
hantaman kaki si Se-
tan Cengkrong dengan telak. Tak
ampun lagi keduanya
jatuh ngusruk menubruk
kawan-kawannya. Keadaan
kembali gaduh dan kacau.
Dengan gunakan kegesitan
tubuhnya yang me-
lompat-lompat, disertai sambaran
tongkatnya yang
terkadang berputar bagai
baling-baling, dia terus me-
rangsak hebat. Tiga pedang yang
meluruk ke arahnya
terpental ke atas, bahkan salah
satunya menancap di
pundak salah seorang yang
mengepungnya. Terdengar
suara teriakan di sana-sini, disertai
beberapa tubuh
terlempar keluar goa. Pada saat
itu si Setan Cengkrong
telah gelindingkan tubuhnya
dengan cepat menerobos
kepungan.
Namun begitu kakinya menjejak di
tanah, bebe-
rapa sosok tubuh sudah lompat
menghadang. Kini gili-
ran si Tombak Malaikat yang
menerjang terlebih dulu.
Ujung tombak. bermata tiganya
menghunjam
ke dada, nyaris menembus
jantungnya, kalau dia tak
cepat menangkis dengan
tongkatnya yang disilangkan
di depan dada.
"Kau tak akan dapat meloloskan diri Setan
Cengkrong...!" Membentak si
Tombak Malaikat. Senjata
tombak bermata tiganya mencecar
terus si Setan
Cengkrong yang dalam keadaan
rebah di tanah, segera
putarkan tongkatnya.
TRANG...! Terkejut si Tombak
Malaikat. Tom-
baknya terpental balik. Telapak
tangannya terasa ter-
getar. Kiranya yang menangkis
adalah Wiratmana. Pe-
muda ini tak tega membiarkan si
Setan Cengkrong da-
lam keadaan mengkhawatirkan
sedemikian rupa. Be-
debah! Kau
menolongnya...?". Teriak si Tombak Malai-
kat. Sepasang matanya mendelik
gusar.
"Berilah kesempatan dia
untuk bicara!" Teriak
Wiratmana dengan suara santar
berwibawa. Pemuda
ini berdiri dengan gagah
melintangkan pedang di atas
tubuh si Setan Cengkrong. Lalu
berputar ke sekeliling-
nya.
"Aku Wiratmana akan
melindungi jiwanya, dan
membunuh mampus siapa yang
menolak untuk diajak
berdamai. Orang ini telah
mengatakan padaku bahwa
semua perbuatan keji yang
terjadi selama ini di bebe-
rapa wilayah adalah bukan
perbuatannya!" Melengak
semua orang yang berada di situ,
yang segera mereng-
gang beberapa langkah, serta
saling pandang dengan
kawannya. Wiratmana sudah
menatap kembali pada si
Setan Cengkrong seraya berkata.
"Bangunlah sobat!
Bicaralah...! Kau dapat beri-
kan bantahan atas tuduhan
mereka, dan berikan ala-
sanmu..!".
Namun pada saat itu terdengar suara tertawa
terbahak-bahak, disertai
munculnya sesosok tubuh.
"Hahaha.. .haha... Iblis
perusuh sudah tertangkap dan
terkepung, mengapa tak dibunuh
mampus segera?".
Semua kepala segera berpaling ke
arahnya. Ternyata
yang datang adalah Adipati Rekso
Jiwo.
Terkejut semua orang, dan
serentak mundur
memberi jalan seraya menjura
hormat Wiratmana pun
menjura, seraya berkata.
"Maaf, Gusti Adipati. Bukan
hamba mau mem-
bela penjahat, akan tetapi orang
ini telah lakukan pe-
nyangkalan atas dirinya yang
tidak bersalah. Hamba
kira ada baiknya kita memberi
kesempatan untuk dia
membela diri..."
Termenung sejurus sang Adipati.
Semua jadi
hening ketika sang Adipati
tengah merenung. Lalu ter-
dengar bicaranya.
"Sebenarnya aku takkan
pernah menerima sa-
ran dari siapa pun, tapi kali ini biarlah. Kau
berani
melindungi tentu punya hubungan
baik dengan manu-
sia ini. Berikan padaku
pedangmu, kau kini jadi san-
dera ku. Dan kuberi waktu si
Setan Cengkrong untuk
membela diri!". Seraya
berkata lengan sang Adipati su-
dah terjulur cepat merampas
pedang di tangan Wirat-
mana.
Tentu saja gerakan tak terduga
itu yang dila-
kukan dengan cepat, membuat
Wiratmana terkejut.
Namun! pedangnya sudah kena
dirampas. Dan satu
tenaga keras tahu-tahu telah
mendorong tubuhnya
terhuyung ke belakang. Pada saat
itu terdengar benta-
kan keras sang Adipati.
"Ringkus dia...!".
Serentak saja tiga orang su-
dah bergerak menangkap kedua
lengan Wiratmana.
Bahkan selanjutnya sang Adipati
sudah lemparkan
seutas tali untuk mengikat tubuh
pemuda itu. Tak ayal
segera saja Wiratmana sudah
diikat erat. Namun di
saat semua mata mengarah pada
Wiratmana, tiba-tiba
si Setan Cengkrong bergerak
melompat. Sebelah ka-
kinya telah digunakan menghantam
dada sang Adipati.
BUK..! Terjangan kaki itu telak
mengenai dada Adipati
Rekso Jiwo, yang membuat
tubuhnya terhuyung. Tapi
dengan cepat pedang di lengannya
sudah dipakai me-
nabas. WUT..! Sayang serangan
dalam keadaan tubuh
limbung itu tak membawa hasil.
Karena si Setan
Cengkrong sudah menggelinding
cepat. Sebelah len-
gannya menyambar sebuah tombak di tangan salah
seorang yang sedang terpukau,
dan selanjutnya den-
gan gesit sudah gunakan tombak
itu untuk melompat
pergi.
"Kejarrrr...!" Teriak
Adipati Rekso Jiwo dengan
gusar. Sementara sebelah
lengannya masih memegangi
dadanya yang terasa sesak akibat
hantaman kaki si
Setan Cengkrong. Namun semua
orang masih terpaku
melihat kecepatan serta
kegesitan manusia cacat itu.
Saat mana si Setan Cengkrong
sudah berkelebat le-
nyap.
"Bodoh...!". Maki sang
Adipati. Akan tetapi pada
saat itu terdengar satu suara
menyusup ke telinganya.
"Rekso Jiwo...! Manusia
licik, pengecut! Aku
sudah tahu! Semua perbuatan keji
itu kau dan guru-
mu si Setan Hitam yang
melakukan! Tunggulah pem-
balasanku..."
"Hehe, Setan Cengkrong!
Kuberi waktu kau se-
lama tiga hari, seandainya kau
tak datang, sahabatmu
ini akan kubunuh mampus!
Datanglah ke Goa Lembah
Pelangi, aku akan nantikan kau
untuk menerima tan-
tanganmu...!"
Terkesiap si Setan Cengkrong.
Tampak manu-
sia cacat ini menggeram amat.
marahnya. Akan tetapi
dia sudah berkelebat pergi
tinggalkan tempat keting-
gian itu. Akan halnya kata-kata
dalam pengiriman su-
ara jarak jauh itu, tak
seorangpun dari kaum tokoh-
tokoh persilatan yang
mendengarnya. Namun ternyata
Roro Centil telah mendengar
dengan jelas. Tentu saja
si Pendekar Wanita Pantai
Selatan itu bisa mendengar,
karena secara kebetulan dia berada
tak jauh dari si Se-
tan Cengkrong di tempat
persembunyiannya. Karena
ketika terjadi pertarungan hebat
di dalam goa, Roro
berada di tempat itu, hingga
sampai kelanjutannya
muncul sang Adipati Rekso Jiwo.
"Hm, jelaslah sudah! Kalau
begitu biang kerok-
nya adalah si Setan Hitam dan
Rekso Jiwo! Setan
Cengkrong cuma jadi korban
kelicikan adipati itu. En-
tah ada permusuhan apakah dengan kedua manusia
itu...!". Desis Roro
perlahan.
Sementara itu sang Adipati telah
perintahkan
Wiratmana segera dibawa, sebagai
tawanan. "Bawa dia
ke Kadipaten! Dia merupakan
jaminan nyawa si Setan
Cengkrong.!", Tiga orang
anak buah sang Adipati sege-
ra menggusurnya jalan. Sedangkan
Adipati Rekso Jiwo
yang berilmu tinggi itu, sekali
berkelebat segera lenyap
dari situ. Para kaum Rimba Hijau
yang lainnya pun se-
gera angkat kaki, dengan
wajah-wajah yang menam-
pilkan kekecewaannya.
Ratih Dewi berjalan cepat menuju
bukit Kelela-
war. Sementara hatinya berdebar
tak keruan karena
mengkhawatirkan keselamatan Wiratmana,
yang di
sangkanya Permana. Akan tetapi
Ratih Dewi menemui
kesulitan untuk mencari bukit
itu, karena disamping
dia jarang turun gunung sejak
selama tiga tahun ber-
guru dengan si manusia misterius
yang berjulukan Ib-
lis Muka Seribu, dia juga belum
hafal situasi daerah
itu. Tujuan yang sebenarnya
adalah membawa tugas
dari gurunya si Iblis Muka
Seribu untuk mengambil
perbekalan yang telah
disediakan, di desa Atas Angin.
Hal demikian memang sering
dilakukan satu bulan se-
kali.
Sekalian untuk menguji ilmu
kekuatan lari ce-
pat yang dipelajarinya. Dan juga
merupakan ujian bagi
dirinya, apakah akan melarikan
diri atau merasa betah
berdiam di goa tersembunyi itu.
Perjumpaan dengan
gurunya boleh dibilang hanya
berkisar dalam pelajaran
ilmu kedigjayaan saja, yang
dilakukan secara aneh.
Yaitu Ratih Dewi diperintahkan
menghapal se-
tiap gerakan. Dan pada menjelang
malam dia harus
sudah siap menerima serangan
mendadak dari sesosok
tubuh yang tak diketahuinya
apakah gurunya, atau-
kah orang lain. Demikianlah
hingga selama tiga tahun
itu Ratih Dewi tak pernah
mengetahui wajah gurunya.
Terkadang dia menduga sang guru
adalah seorang
yang cacat mukanya, hingga tak
ingin menampakkan
wajahnya.
Demikianlah, hingga ketika
giliran mengambil
perbekalan, Ratih menjumpai
banyak mayat bergelim-
pangan di mana-mana. Hal
tersebut menimbulkan per-
tanyaan dirinya. Sebulan yang
lalu dia memang telah
mendengar adanya tokoh
persilatan yang berjulukan si
Setan Cengkrong. Ratih Dewi
memang punya dugaan
kalau hal itu perbuatan si Setan
Cengkrong, yang me-
nurut apa yang didengar dari
gurunya bahwa ada to-
koh golongan hitam yang sengaja
membuat keonaran.
Padahal Ratih Dewi sendiri tak
mengetahui entah Gu-
runya dari golongan mana? Bila
melihat dari julukan-
nya, tentu akan menyangka tokoh
golongan hitam, tapi
tindak-tanduk terhadap dirinya
amat baik. Itulah ke-
misteriusan si Iblis Muka Seribu
yang memang amat
misterius.
Sementara diam-diam hati sang
dara ini sema-
kin kebat kebit. Disamping
mengkhawatirkan nasib
sang kekasihnya, juga takut
kalau kepergok sang guru
karena menyeleweng dari
tugasnya.
Kekhawatirannya menjadi
kenyataan, ketika ti-
ba-tiba terdengar suara tanpa
ada orangnya. "Ratih
Dewi..! Sebaiknya kalau kau
memang mau menunda
tugasmu tak menjadi soal. Akan
tetapi urungkan
niatmu ke bukit Kelelawar.
Kembalilah segera...!". Ter-
kejut bukan main Ratih Dewi,
seketika wajahnya beru-
bah pucat Akan tetapi dia sudah
menyahut...
"Ba... baik guru!".
Dan tak ayal lagi dara ini su-
dah putar tubuh untuk
selanjutnya tancap kaki berlari
cepat tinggalkan tempat itu.
Sementara hatinya sema-
kin kebat-kebit. Entah hukuman
apa yang akan dite-
rimanya nanti. Perjalanan yang
ditempuh cukup jauh
dan melelahkan, namun dia terus
berlari, dan berlari,
untuk segera sampai di tempat
tujuan.
Tak dikisahkan perjalanannya...
Ratih Dewi te-
lah sampai di mulut goa di mana
selama ini menetap.
Ternyata sang guru sudah berada
di dalam goa, duduk
di atas batu seperti biasa
dengan topi tudung yang
menutupi wajahnya. Suara si
Iblis Muka Seribu sudah
terdengar bernada dingin
mencekam.
"Silahkan masuk, muridku.
Dan kembali ke
kamar...!". Ratih Dewi
mengangguk dan beranjak ma-
suk dengan wajah menunduk. Dara
ini rebahkan tu-
buhnya di pembaringan dengan
tubuh letih lesu. Se-
mentara hatinya berdebaran tak
keruan rasa. Hawa
panas yang cukup membuat tubuh
sang dara ini man-
di keringat, membuat dia
lepaskan pakaian luarnya,
untuk duduk sambil mengipas.
Saat itulah terdengar
satu suara yang tak asing lagi
baginya, yaitu suara
sang guru yang didengarnya di
balik dinding kamar.
"Ratih Dewi, kau tahu
hukuman apa bagi mu-
rid yang menyeleweng dari
tugasnya?" Pucat seketika
wajah dara ini. Segera dia
menyahuti dengan suara
bergetar.
"Aku memang bersalah, guru!
Silahkan beri
hukuman padaku! Aku ... aku akan
menerimanya!".
"Bagus ..Sahut sang guru,
yang tahu-tahu so-
sok tubuhnya sudah berdiri di
depan pintu ruangan
kamarnya.
Terperangah Ratih Dewi, ketika
baru untuk
pertama kalinya dia melihat
wajah sang guru adalah
ternyata seorang laki-laki yang
gagah dan cukup tam-
pan.
"Hukumanmu adalah melayani
gurumu murid
ku...! Tiga tahun waktu yang
cukup untuk aku mendi-
dikmu menjadi pewaris
ilmu-ilmuku. Kau pernah ber-
janji tak menolak syarat-syarat
yang ku ajukan. Ini
adalah salah satu syarat itu,
yang merupakan juga
hukuman atas penyelewengan
mu...! Apakah kau be-
rani menolaknya...?". Tanya
si Iblis Muka Seribu. Pu-
cat pias wajah Ratih Dewi, akan
tetapi dia sudah men-
jawab dengan suara tergetar.
"Ti... tidak,
guru...!". Tersenyum si Iblis Muka
Seribu seraya berucap.
"Bagus! Kau memang seorang
murid yang ber-
bakti terhadap gurumu...".
Sementara di luar goa telah
terdengar suara
orang tertawa terkekeh-kekeh yang
sudah berkelebat
masuk. Ternyata tak lain dari si
Setan Hitam.
"Hehehe... hehe... Iblis
Muka Seribu, aku bawa
seekor kelinci putih yang
montok. Apakah kau tak
mengilar untuk
menyantapnya?". Berkata si Setan Hi-
tam. Kakek jubah hitam ini
memang membawa seekor
kelinci di tangannya, yang
segera beranjak masuk ke
dalam. Akan tetapi karena tak
ada sahutan, dia sudah
berkata sendirian seraya membawa
kelincinya ke bela-
kang.
"Hmm...! Biarlah aku akan
memasaknya, kau
tinggal menyantapnya saja nanti,
hehehe...."
Dasar orang kejam dan telengas,
si Setan Hitam
bukannya memotong dulu kelinci
itu, baru menguli-
tinya. Akan tetapi langsung saja
menguliti tanpa me-
motong terlebih dulu. Keruan
saja binatang itu menci-
cit-cicit setengah mati. Keadaan
di belakang goa ter-
nyata adalah sebuah bukit yang
penuh tumbuh rum-
put ilalang. Cuaca tidak begitu
bagus. Angin sesekali
berhembus menyibak daun-daun
ilalang. Agaknya sen-
ja sudah tiba. Mentari mulai
membenam di ufuk barat,
si Setan Hitam dengan
tertawa-tawa menyeringai asyik
dengan pekerjaannya....
Selang tak lama sudah tercium
bau wangi dari
sedapnya daging kelinci
panggang. Ketika sosok tubuh
si Iblis Muka Seribu muncul di
muka pintu ruang be-
lakang, kelinci itu sudah matang
keseluruhannya. "Ah,
kebetulan...! Boleh aku
mencicipinya, guru...?" Berkata
si Iblis Muka Seribu yang tak
lain adalah Rekso Jiwo
alias sang Adipati.
"Hehehe... silahkan!
silahkan...". Berkata si Se-
tan Hitam, seraya angkat daging
kelinci dari pang-
gangnya. Selanjutnya sudah
membelahnya menjadi
dua bagian. Dan tak berapa lama
mereka sudah meng-
gayamnya panas-panas.
* * *
Mentari sudah hampir masuk ke
peraduannya,
ketika di lembah dekat lereng
perbukitan yang menghi-
jau itu terjadi kegaduhan. Enam
belas orang bergerak
mengejar sesosok tubuh semampai
yang berambut
panjang beriapan. Di pundaknya
memanggul sesosok
tubuh yang kedua lengannya
terikat. Sosok tubuh itu
tak lain dari RORO CENTIL
adanya. Kiranya ketika
sang adipati berkelebat
meninggalkan anak buah dan
kaum persilatan, Roro melihat
Wiratmana diseret dan
didorong oleh tiga anak buah
sang adipati itu untuk
dibawa ke Kadipaten. Diam-diam
Roro mengikuti. Tapi
ternyata bukan Kadipaten yang
dituju, melainkan ada-
lah Lembah Pelangi.
Di tengah perjalanan dekat
sebuah candi pe-
ninggalan Kerajaan Sriwijaya
telah dijemput oleh tiga
belas orang yang berpakaian
rata-rata berwarna gelap.
Ternyata adalah orang-orangnya
Adipati Rekso Jiwo.
Dua orang yang menunggang kuda
menaikkan Wirat-
mana ke punggung salah seekor
kuda, lalu memba-
wanya lebih dulu melalui satu
lembah rumput. Semen-
tara yang lainnya mengiringi di
belakang. Perjalanan
tidak begitu cepat, sehingga ke
empat belas orang lelu-
asa mengikuti di belakang. Tentu
saja Roro sudah
mengetahui kalau tujuannya
adalah ke Lembah Pelan-
gi. Namun karena tak mengetahui
di mana adanya
lembah tersebut, sengaja Roro
menguntitnya.
Menjelang cuaca agak redup di
mana matahari
mulai terbenam mereka sudah tiba
di Lembah Pelangi.
Terkejut Roro Centil melihat
situasi keadaan di lembah
tersebut dari kejauhan. Karena
nampaknya di tempat
itu seperti keadaan di dalam
kota tua. Terlihat banyak
prajurit-prajurit lengkap dengan
tombaknya, mondar-
mandir di depan sebuah goa yang
sekilas mirip sebuah
bangunan gedung yang ada undakan
tangga batu di
bagian depannya.
Mengetahui keadaan akan lebih
gawat, bila
sampai Wiratmana tertawan di Goa
Lembah Pelangi,
segera Roro bertindak menyelamatkan
Wiratmana...
Sementara Roro Centil terus
tancap kaki den-
gan kerahkan ilmu lari meninggalkan kawasan Lem-
bah Pelangi. Selang tak lama
segera hentikan larinya,
ketika memasuki mulut sebuah
desa. Segera Roro Cen-
til lepaskan ikatan pada lengan
si pemuda. Sementara
Wiratmana sudah hampir tak
sadarkan diri, karena
sepanjang jalan sesekali
tangan-tangan iseng sering
melayang ke arah tubuh dan
kepalanya. Sepasang ma-
tanya sudah berkunang-kunang.
Ketika tahu-tahu te-
rasa ada sebuah lengan yang menyambar
tubuhnya,
dan melarikannya dengan cepat.
Terkejut Wiratmana, karena
dirinya telah dito-
long oleh dara yang baru
beberapa saat dikenalnya.
Dengan sepasang mata menatap
seperti hampir tak
percaya, dia melihat dara jelita
itu tersenyum padanya
seraya berucap.
"Sobat Wiratmana. Sukurlah
aku bisa menye-
lamatkan dirimu. Hingga kau
bukan lagi sandera yang
dapat dipermainkan seenaknya
saja oleh si Adipati
itu...!".
"Oh, terima kasih atas
pertolongan anda, nona
Roro! Aih, membuat aku jadi malu
karena laki-laki di-
tolong oleh seorang
wanita...!".
"Hihihi... hihi...
memangnya kenapa?" Roro ter-
tawa mengikik tampakkan sebaris
giginya yang putih.
Membuat hati Wiratmana tergetar.
Oh, indahnya wa-
jahnya, dan kedua lesung pipit
di pipi itu...
Roro yang memang berniat
mengunjungi pengi-
napan Sindu Rejo, yaitu tempat
di mana Wiratmana
menginap, segera mengajak pemuda
itu ke sana. Tentu
saja Wiratmana setuju, bahkan
berlega hati, karena di
sana dia bisa menjumpai ketiga
orang kawannya yang
tengah menantinya. Yaitu yang
bergelar si Tiga Pende-
kar Ular Mas.
Penginapan Sindu Rejo adalah
satu-satunya
penginapan di daerah itu, yang
amat ramai baik siang
mau pun malam. Memang rata-rata
penginapan selalu
menyediakan ruang untuk makan,
yang dijadikan res-
toran di bagian bawahnya. Begitu
juga pada siang hari
itu. Penginapan Sindu Rejo
tampak ramai dikunjungi
orang. Terutama pada
restorannya. Karena letaknya di
kota yang ramai, tak jarang dari
para pengunjung yang
datang adalah orang-orang terpandang,
pembesar
pembesar Keraton dan juga tak
sedikit para kaum per-
silatan. Juga rakyat biasa.
Dua meja makan yang berada di
sudut ruangan
tampak telah terisi oleh lima
orang tokoh persilatan.
Mereka tak lain dari si Tiga
Pendekar Ular Mas, Roro
Centil, dan Wiratmana. Kelima
orang itu asyik dalam
pembicaraan yang dilakukan tidak
terlalu keras mem-
buka suara. Semua kursi telah
penuh. Cuma ada satu
bangku kosong di belakang
Wiratama, yang sengaja
kursinya ditarik mendekat dengan
para sahabatnya
untuk mengobrol sambil menikmati
hidangan.
Ketika tiba-tiba masuk seorang
laki-laki berusia
kira-kira 40 tahun lebih,
diikuti delapan orang kawan-
nya. Laki-laki ini tak lain dari
Sentani. Kedatangannya
disambut oleh si pemilik
restoran dengan terbungkuk-
bungkuk menjura.
"Oh, selamat datang Kanjeng
Tumenggung.
Aduuh, sayang sekali tak ada
meja yang kosong. Harap
maafkan. Mungkin sebentar
lagi...."
Belum lagi habis bicara si
pemilik Restoran,
sudah terdengar bentakan keras,
dibarengi dengan
disambarnya baju di dada orang
tua itu.
"Aku bukan mau makan di
restoran mu, tua
bangka! Tapi akan menyita rumah
Penginapan ini be-
rikut semua isinya...!"
"Hah!?". Terkejut si
pemilik Restoran. Wajahnya
jadi pias berubah pucat, dan
tubuhnya gemetaran.
Dengan tergagap-gagap orang tua
itu berkata...
"Oh, apakah kesalahanku
Kanjeng Tumeng-
gung...! Me... mengapa bisa
demikian...?".
"Kau telah menyembunyikan
penjahat di Pengi-
napan mu! Kesalahan ini tak
dapat diampuni!".Bentak
Sentani, seraya menghempaskan si
Pemilik Restoran
itu, hingga jatuh ngusruk
mencium lantai. Ketika
bangkit lagi mulutnya
mengucurkan darah. Ternyata
giginya sudah tanggal dua buah.
Tentu saja kejadian
itu membuat panik para tetamu
yang sedang makan.
Tiba-tiba dua orang dari
orang-orang bawahannya te-
lah menunjuk pada Wiratmana dan
Roro Centil. Seraya
salah seorang berteriak.
"Itulah dia manusianya!
Keduanya memang
sembunyi di tempat
ini...!".
Ke delapan orang itu sudah
mengurung mere-
ka, seraya mencabut pedang dari
pinggang dan meng-
hunusnya. Sementara si pemilik
restoran sudah me-
nyingkir dengan wajah pucat
ketakutan.
Roro Centil maju ke tengah
seraya menjura pa-
da Sentani.
"Maaf, apakah anda
Tumenggung yang mengu-
asai wilayah ini?". Tanya Roro.
"Pakai tanya-tanya segala!
Menyerahlah kau,
nona! Kau telah melindungi dan
membawa lari sandera
Adipati Rekso Jiwo! Aku bawa
surat perintah dari Kan-
jeng Sultan. Beliau
memerintahkan kami untuk me-
nangkapmu berdua!".
Melengak Roro Centil dan Wiratmana.
Adapun
si Tiga Pendekar Ular Mas tampak
tampilkan wajah
pias, dan saling pandang pada
kawannya. Juga mena-
tap
Roro dan Wiratmana. Tumenggung
Sentani
mengeluarkan segulung kertas
dari balik bajunya.
Akan tetapi pada saat itu
berkelebat bayangan putih
memasuki Restoran. Tahu-tahu
terdengar bentakan
keras...
"Surat Palsu ...!".
Begitu terdengar bentakan
itu, tahu-tahu Tumenggung
Sentani membeliak sepa-
sang matanya. Karena tiba-tiba
punggungnya telah ter-
tembus tongkat kayu hingga ke
dadanya. Selanjutnya
sudah roboh dengan berkelojotan
meregang nyawa.
Delapan orang lainnya terkejut,
dan serentak paling-
kan kepalanya. Akan tetapi ke
delapan orang itu ham-
pir serentak bertumbangan satu
persatu ketika tong-
kat si pendatang itu
berkelebatan menabas leher me-
reka. Seketika ramai-lah suara
teriakan dari orang-
orang yang sekarat.
Bergelinjangan tubuh-tubuh itu
meregang nyawa. Namun sesaat
mereka sudah tewas
dengan darah membanjir menganak
sungai.
Ternyata di hadapan mereka telah
berdiri seso-
sok tubuh dengan satu kaki, dan
sebelah lengannya
melengkung ke dada. Wajahnya
mengerikan mirip
tengkorak. Siapa lagi kalau
bukan si Setan Cengkrong
adanya. Terkejut Wiratmana, juga
Roro dan si Tiga
Pendekar Ular Mas. Sebelum
mereka ucapkan kata-
kata, si Setan Cengkrong telah
mendahului bicara.
"Tumenggung yang kubunuh
mampus ini ada-
lah Tumenggung palsu! Mereka
semua adalah begun-
dalnya si Rekso Jiwo!".
Selesai berkata, sepasang mata
si Setan Cengkrong tiba-tiba
beralih menatap pada Wi-
ratmana. Di balik wajahnya yang
kaku menyeramkan
itu, sepasang mata si Setan
Cengkrong seperti mem-
bersitkan sinar aneh. Lalu
alihkan menatap pada Roro,
dan si Tiga Pendekar Ular Mas.
"Sukurlah, kalian telah
menyelamatkan
,sahabat ku itu dari sandera si
Rekso Jiwo. Ketahuilah,
Adipati palsu itu sebenarnya
tengah dalam kejaran
Gusti Kanjeng Sultan Hadibowo
dari Kasepuhan. Dia
tak berhak menggantikan ayahnya,
Adipati Banu Rek-
so yang tewas dibunuh! Karena
dia cuma anak angkat
dari istri pertamanya. Namun dia
telah memanfaatkan
jabatan sebagai Adipati selama
hampir tiga tahun,
tanpa memberi laporan pada
Kanjeng Sultan!". Tutur si
Setan Cengkrong. Akan tetapi
pada saat itu, terdengar
bentakan keras.
"Setan Cengkrong! Manusia
keparat...! Berani
kau memalsukan diriku?!
Keluarlah untuk menerima
kematian...!". Terkejutlah
lima pasang mata dari para
pendekar ini, termasuk Roro
Centil. Karena di luar ter-
lihat pula manusia cacat yang
bertubuh dan berwajah
serupa dengan Setan Cengkrong
yang berada di dalam.
"Kaulah yang memalsukan
diriku, manusia be-
jat!". Teriak Setan
Cengkrong yang berada di dalam.
Dan sekejap saja dia sudah
berkelebat keluar. Tak ayal
Roro Centil-pun menyusul
melompat keluar di susul si
Tiga Pendekar Ular Mas dan
Wiratmana.
Tiba-tiba si Setan Cengkrong
yang tadi berada
di luar telah tarik keluar
sebilah pedang berwarna hi-
tam legam. Itulah Pedang Setan.
Tentu saja membuat
sekonyong-konyong si Tiga
Pendekar Ular Mas terke-
siap. Seraya sudah maju melompat
dengan berbareng
ke tengah kalangan.
"Darimana kau dapatkan
Pedang Setan itu!".
Bentak salah seorang yang paling
tua dari kedua ka-
wannya.
"Hahaha... aku merampasnya
dari gurunya si
Setan Cengkrong palsu
itu!".
Melengak si Tiga Pendekar Ular
Mas. Seraya
sudah balikkan tubuh menatap si
Setan Cengkrong sa-
tunya lagi.
"Gurunya adalah yang
berjulukan si SETAN HI-
TAM!". Setan Cengkrong
lanjutkan kata-katanya.
"Bedebah! Laknat...! Itulah
gurumu... manusia
setan!". Teriak si Setan
Cengkrong yang satu ini. Se-
mentara diam-diam hatinya
mengeluh. Bedebah laknat
ini sengaja mau mengkambing
hitamkan aku lagi! Ce-
laka, semua orang telah
terpedaya dengan pengaruh
ilmu SIHIR HITAMNYA! Memikir
demikian si Setan
Cengkrong yang satu ini terpaksa
mengambil keputu-
san untuk menyelamatkan diri,
karena bisa-bisa se-
mua kaum pendekar yang berada di
situ akan mem-
bunuhnya. Segera saja dia
berkelebat melompat ke
samping rumah penginapan, dan
lenyap.
Saat itu si Setan Cengkrong
sudah keluarkan
bentakannya untuk selanjutnya
melompat mengejar.
Akan tetapi sebelum kakinya
bergerak, sudah berkele-
bat ke hadapannya sesosok tubuh
ramping. Ternyata
Roro Centil.
Dengan tertawa genit, Roro
Centil sudah angkat
sebelah lengannya, seraya
berkata.
"Maaf...! aku menahan anda
sebentar, sobat Se-
tan Cengkrong!".
Tentu saja melenguk si Setan
Cengkrong yang
baru ini. Akan tetapi melihat
yang menghadang adalah
seorang gadis muda yang amat cantik, membuat dia
sejenak tertegun. "Apakah
keperluanmu, adik manis?
Ah, gara-gara kau menahanku si
manusia yang me-
nyaru diriku itu bisa
kabur!". Ujar si manusia cacat
ini.
Akan tetapi kata-kata itu justru
membuat Roro
jadi tertawa terpingkal-pingkal.
Membuat si Setan
Cengkrong jadi plototkan matanya
dengan tatapan
aneh.
"Eh, adik! Siapakah kau
adanya? Mengapa kau
tertawa geli...?".
Tanyanya.
"Hihihi... hihi... kau
mengatakan bahwa dia te-
lah menyamar sebagai dirimu! Itulah
yang membuat
ku tertawa! Kau adalah seorang
manusia yang bertu-
buh normal, mengapa kau katakan
dia menyaru seba-
gai dirimu? Bukankah
aneh..!". Berkata Roro. Tentu
saja hal itu membuat si Setan
Cengkrong ini jadi ter-
kesiap. Hatinya segera membatin.
Celaka! Gadis ini te-
lah memunahkan ilmu SIHIR HITAM
KU!???.
Terkejut bukan main si Setan
Cengkrong palsu
ini, yang dirinya tak lain
adalah Rekso Jiwo adanya.
Kekuatan ilmu SIHIR HITAM yang
luar biasa
hebatnya, ternyata telah
berhasil menyaru menyerupai
si Setan Cengkrong yang
sebenarnya.
Bahkan telah pula merubah wajah
dan perawa-
kan menjadi seorang tokoh
persilatan yang berjulukan
si Iblis Muka Seribu. Seperti
diketahui Iblis Muka Seri-
bu telah menjadi guru Ratih
Dewi, yang sampai kini
dara itu sedikitpun tak
mengetahui kalau gurunya
sendiri itu adalah musuh
besarnya. Karena kedua
orang tuanya, yaitu Ki Demang
Harya Winangun dan
istrinya telah dibunuh mati oleh
Rekso Jiwo, alias gu-
runya sendiri.
Kekuatan ilmu SIHIR HITAM itu
cuma berlaku
sampai satu pekan, atau tujuh
hari. Beberapa bulan
belakangan ini Rekso Jiwo telah
meminjam wajah dan
perawakan si manusia cacat, yang
sebenarnya berju-
lukan si Cengkrong. Karena sejak
kemunculannya be-
berapa bulan yang lalu, si orang
cacat yang berilmu
tinggi itu banyak berbuat
kebajikan menolong orang.
Rekso Jiwo segera dapat
mengetahui siapa adanya
orang cacat itu, yang tak lain
adalah PRAMANA. Seper-
ti yang pernah diceritakan,
Pramana adalah kekasih
Ratih Dewi, juga salah seorang
murid Penambahan Ga-
lih Kumitir, yang telah tewas
dibunuhnya, berikut ke-
lima belas murid-muridnya. Cuma
Pramana yang dibe-
rinya hidup, dan dibuatnya
menjadi orang cacat tanpa
daksa. Saat Rekso Jiwo
mengetahuinya adalah dengan
menguntitnya, ketika pemuda itu
berhasil menggagal-
kan maksudnya merampok kereta
kuda berisi barang
upeti yang diperuntukkan buat
kerajaan Medang yang
sudah berganti dengan nama
MATARAM.
Dengan mengetahui siapa adanya
si manusia
cacat yang dijuluki si Cengkrong
itu, serta mengetahui
pula siapa gurunya, maka Rekso
Jiwo pergunakan il-
mu sesatnya menyaru sebagai
Pramana. Hingga ber-
macam kejahatan itu jatuhkan
nama si manusia cacat
alias Pramana yang terakhir
dijuluki si SETAN
CENGKRONG. Demikianlah,
terkadang Rekso Jiwo
menjadi Adipati, terkadang
menjadi si Setan
Cengkrong. Juga terkadang
menjadi guru Ratih Dewi
yang bergelar si Iblis Muka
Seribu......
Kini mengetahui adanya seorang
gadis yang tak
terkena pengaruh ilmu SIHIR
HITAMnya, membuat
Rekso Jiwo jadi terkejut bukan
main. Padahal Roro
sendiri sebenarnya tetap dalam
pengaruh ilmu Sihir
Hitam Roro Centil memang sudah
berusaha menggu-
nakan kekuatan batinnya untuk
melihat siapa ujud
asli si Setan Cengkrong yang
belakangan ini.
Itulah sebabnya Roro Centil bisa
mengatakan
bahwa tubuh si "Setan
Cengkrong" di hadapannya itu
normal. Sungguh tak dinyana
kata-kata Roro itu seka-
ligus membuat punahnya ilmu
SIHIR HITAM-nya Rek-
so Jiwo. Terlihat secara nyata
tubuh si Setan
Cengkrong berangsur-angsur
berubah ujud. Dan kem-
bali ke asal ujudnya sebagai
Rekso Jiwo yang memang
bertubuh Normal. Sayangnya hal
itu tak disadari oleh
Rekso Jiwo sendiri. Tentu saja
kejadian aneh itu mem-
buat semua mata jadi terbeliak,
termasuk juga Roro
Centil. Juga tak kurang dari dua
puluh pasang mata
dari orang-orang yang menonton
mengelilingi dari tem-
pat yang agak jauh, melihat
perubahan aneh itu.
"Oh, maafkan aku, sobat
Setan Cengkrong! Aku
hanya main-main saja. Kakimu
memang cacat, kok...!
Siapa yang bilang kau orang
normal...? Hihi hi... hi-
hi..." Seraya berkata,
tiba-tiba Roro Centil telah gerak-
kan kakinya menghantam kaki
Rekso Jiwo hingga ber-
derak hancur.... Dan dua kali
lengannya bergerak se-
cara hampir berbareng membuat
Rekso Jiwo terlempar
lima tombak, dengan perdengarkan
jeritannya.
Keadaannya lebih parah lagi dari
si Setan
Cengkrong yang sebenarnya.
Karena berkali-kali Rekso
Jiwo berdiri, berkali-kali jatuh
lagi. Sebabnya karena
telah terlepas sambungan tulang
lututnya, hingga tak
bisa berdiri lagi walau dengan
satu kaki. Saat Rekso
Jiwo tengah berjingkrakan jatuh
bangun itulah berke-
lebat sesosok tubuh menghantam
dada Rekso Jiwo
dengan telak.
Laki-laki itu kembali berteriak
parau. Kali ini
kekuatan tenaga dalamnya telah
punah sebagian,
hingga dia terjungkal dengan
semburkan darah dari
mulutnya. Si penerjang itu tak
lain dari Setan
Cengkrong, yang telah kembali
muncul secara tiba-
tiba. Ternyata Setan Cengkrong memang masih sem-
bunyi di sekitar tempat
itu.
"TAHAN...!" Satu
teriakan menggema ketika si
Setan Cengkrong gerakkan
tongkatnya disertai lompa-
tan tubuhnya, menusuk dada Rekso
Jiwo.
Akan tetapi teriakan itu
terlambat sudah...
Tongkat si Setan Cengkrong telah
meluncur deras tak
tertahankan lagi. Dan menembus
amblas ke dada Rek-
so Jiwo. Terdengar lagi teriakan
mengerikan Rekso Ji-
wo. Tubuhnya menggeliat dengan
wajah me nyeringai
kesakitan. Sementara kedua
lengannya telah mencekal
tongkat yang amblas ke dadanya.
Ternyata yang berte-
riak adalah Ratih Dewi.
"Guruuu...!".
Teriaknya, seraya melompat ke-
hadapan Rekso Jiwo. Sepasang
mata gadis ini bersim-
bahkan air mata. Ternyata Rekso
Jiwo belum tewas.
Melihat kemunculan Ratih Dewi
sepasang matanya
bersinar kembali. Bahkan masih
sempat dia memak-
sakan diri untuk tersenyum. Dan
berkata dengan sua-
ra lirih.
"Murid... ku! Aku
me...nyesal mem... bunuh ke-
dua... orang...
tua...mu..."
Selesai mengatakan demikian,
terkulailah kepa-
la Rekso Jiwo. Nafasnya telah
putus dan kembali
menghadap Tuhan. Tentu saja
kata-kata itu bak petir
yang menggelegar didengar Ratih
Dewi. Hatinya tak ke-
ruan rasa. Gurunya sendiri
ternyata adalah pembunuh
ke dua orang tuanya
Pada saat itulah tiba-tiba
berkelebat sebuah
bayangan hitam ke arah mayat
Rekso Jiwo. Ternyata
tak lain dari si Setan Hitam.
Tampak lengannya men-
cabut tongkat kayu di tubuh
Rekso Jiwo dengan cepat.
Dan di luar dugaan telah melemparkannya ke arah
Pramana. Terkejut bukan
main Roro Centil yang tak
sempat memperhatikan lemparan
mendadak itu. Saat
itu Pramana memang tengah
membelakangi si Setan
Hitam. Akan tetapi di saat yang
amat gawat itu, Ratih
Dewi telah berseru keras.
Dibarengi dengan berkele-
batnya sang tubuh ke arah
Pramana.
"Awas!. Serangan
gelap!". Tujuan Ratih yang
memperingati Pramana, yang
tadinya bermaksud men-
dorong tubuh pemuda itu,
ternyata membawa kema-
tian pada dirinya sendiri.
Karena sekejap antaranya
Ratih Dewi perdengarkan jeritan
menyayat hati, ketika
tongkat kayu milik Pramana alias
si Cengkrong itu
menghunjam tepat ke
jantungnya.....
Sukar untuk diceritakan
bagaimana Ratih Dewi
meregang nyawa di saat sekarat
itu. Semua orang jadi
terkesima. Sementara Roro Centil
telah keluarkan ben-
takan keras mengejar si Setan
Hitam, yang telah me-
nyambar tubuh Rekso Jiwo untuk
dibawa berkelebat.
Di lain kejap si Tiga Pendekar
Ular Mas juga telah ber-
kelebatan mengejar.
"Berhenti.. !" Bentak
Roro Centil yang sudah
melompat menghadang di depan si
Setan Hitam.
"Hihihi... hihi... kita
ketemu lagi Setan Hitam
eh, Setan Hitam! Mau kau bawa
kemana rongsokan
itu? Dijualpun takkan
laku!". Ujar Roro seenaknya.
Melotot mata si kakek tonggos
ini. Namun juga terke-
jut, karena tak menyangka kalau
mereka bisa berjum-
pa lagi di tempat ini. Di
samping mendongkol, akan te-
tapi juga hatinya kebat-kebit.
Karena dilihatnya sang
dara genit itu telah keluarkan
sebuah pedang dari be-
lakang punggungnya. Itulah
Pedang Setan miliknya.
Yaitu Pedang yang berada di
tangan Rekso Jiwo
sang murid. Pedang Pusaka yang
telah didapatnya
dengan susah payah itu kini
berada di tangan seorang_
dara cantik yang berjulukan Ratu
Segala Iblis. Roro
Centil memang pernah
mempergunakan julukan demi-
kian pada si Setan Hitam, ketika
mereka saling berte-
mu.
Melihat benda pusaka itu, si
Setan Hitam su-
dah berkata bengis.
"Berikan padaku pedang itu!
Itu punyaku...!"
Sebelah lengannya bergerak
dengan telapak tangan
tertelentang ke arah Roro.
Sementara Roro Centil ter-
kejut bukan main karena tahu-tahu
pedang yang dice-
kalnya itu seperti tersedot
keras sekali oleh segelom-
bang tenaga yang tak terlihat.
Akan tetapi sebagai tokoh yang
sudah cukup
lama berkecimpung di Rimba
Hijau, Roro Centil segera
keluarkan ilmu dari lembar daun
lontar, warisan gu-
runya. Yaitu ilmu tenaga dalam
yang dinamakan Ajian
Sari Rapet.
Apakah yang terjadi?....
Kalau tadinya Roro Centil tampak
agak kewala-
han menahan pedangnya agar
jangan sampai kena ter-
sedot, tapi kini tampak
tenang-tenang saja. Sementara
genggaman tangannya semakin
rapat seperti sudah
menempel saja menjadi satu
dengan gagang pedang.
Tentu saja melihat sang dara
tampaknya enak saja
menahan kekuatan tenaga dalam
yang menyedot dah-
syat itu, si Tiga Pendekar Ular
Mas jadi menatap ka-
gum. Ternyata Ketiga Pendekar
itu sudah berhasil me-
nyusul keduanya yang tengah adu
kekuatan, menarik
dan menahan.
Dilihatnya si Setan Hitam sampai
keluarkan air
liur dari mulutnya yang tonggos
alias giginya tersem-
bul keluar. Kekuatannya ditambah
lagi seperempat ba-
gian. Namun Roro tetap
tenang-tenang saja. Membuat
si Setan Hitam jadi
terheran-heran, tetapi juga penasa-
ran. Saat itu dengan sebelah
lengannya yang lain, Roro
Centil loloskan sebuah senjata
Rantai Genitnya. Tentu
saja hal itu tak luput dari
sepasang mata tuanya yang
masih tajam.
Terkejut juga aneh, si Setan
Hitam melihat
ujung rantai yang terdapat
bandulan bentuknya mirip
payudara wanita. Belum lagi dia
mampu menarik Pe-
dang Setan, selanjutnya Roro
telah memutarkan si
Rantai Genit di atas kepala.
Segera saja mengeluarkan
suara yang berdengung bagaikan
suara ratusan atau
ribuan tawon. Hal mana amat
mengganggu konsentrasi
si Setan Hitam. Namun dengan
kerahkan kekuatan
menyedot tenaga yang ditambah
secara tiba-tiba, dia
berhasil membuat pedang di
tangan Roro terlepas.
Akan tetapi terkejutnya bukan
alang kepalang, karena
justru Pedang Setan terlalu
deras meluncur ke arah
tubuhnya. Mana mampu dia
menangkapnya dengan
tenaga yang terlalu berlebihan
demikian?
Kecepatan jari-jari tangannya
untuk menang-
kap, ternyata lebih cepat sang
Pedang Setan yang me-
luncur deras ke arah lambungnya,
Tak ampun lagi pe-
dang pusaka itu telah lewat
nyeplos menembus tu-
buhnya. Menyembur darah segar
dari lambung dan
punggung si manusia berjubah
hitam itu. Sementara
Pedang Setan yang nyeplos itu
telah menancap amblas
di batu gunung sampai tak
kelihatan lagi.
Bersamaan dengan robohnya tubuh
si Setan
Hitam itu, teriakan parauhya pun
terdengar santar.
Tubuh manusia itu berkelojotan
meregang
nyawa yang jatuhnya saling
tindih dengan mayat Rek-
so. Saat itu si Tiga Pendekar
Ular Mas cuma bisa ter-
paku saja melihat kejadian yang
berlangsung begitu
cepat.
Akan tetapi di luar dugaan si
Tiga Pendekar
Ular Mas telah hantamkan
lengannya dengan berba-
reng ke batu gunung di belakang
si Setan. Hitam yang
tengah sekarat. Terdengar suara
bagai ledakan.
Saat mereka menunggu asap
menipis seraya
menjauh untuk memperhatikan ke
mana melayangnya
sang pedang, saat itu pula Roro
Centil sudah berkele-
bat lenyap. Ketika mereka
melihat ke tempat kejadian
pertarungan, cuma dapatkan tubuh
si Setan Hitam
yang sudah kaku tak bergeming.
Sementara sang dara
yang bernama Roro itu sudah tak
kelihatan lagi batang
hidungnya.....
T A M A T
Emoticon