Pendekar GIla 23 - Kemelut Di Karang Galuh(1)


Firman R 
Serial Pendekar Gila 
dalam episode 23: 
Kemelut di Karang Galuh
Senja itu cuaca tampak mendung. Kesunyian 
menyelimuti daerah sekitar Hutan Merawan. Angin 
yang menerpa dedaunan menimbulkan suara 
gemerisik. Di mana-mana tampak dedaunan kering 
berserakan. Langit gelap. Suasana kian mencekam 
ketika beberakali terdengar suara guntur meng-
gelegar, diiringi kilat-kilat petir yang menyambar. 
Pada sebuah tanah yang agak lapang di dalam 
hutan itu tampak seorang pemuda sedang bersila 
menghadapi dua buah kuburan yang nisannya 
nampak sudah rusak. Pemuda itu nampak sedang 
tepekur, wajahnya penuh kesedihan. Matanya me-
natapi kedua kuburan itu. Wajah pemuda itu belum 
begitu jelas, karena kepalanya yang masih tertunduk. 
Namun dilihat dari pakaian yang dikenakannya, tak 
salah lagi, pemuda itu adalah Sena Manggala atau 
yang dikenal dengan julukan Pendekar Gila. 
Kini Sena tampak bersujud di samping kuburan 
itu. Ternyata itulah kuburan tempat kedua orang-
tuanya bersemayam. Dalam hatinya pemuda itu me-
minta restu dan kekuatan serta keselamatan dalam 
menjalankan tugas kehidupan sebagai pendekar yang 
bertanggung jawab menegakkan kebenaran dan 
keadilan. 
“Maafkan anakmu ini, Ayah, Ibu...! Karena baru 
kali ini aku bisa datang kemari,” gumam Sena per-
lahan dengan perasaan sedih. Pendekar muda ber-
wajah tampan itu sepertinya berat untuk segera 
meninggalkan tempat itu, walaupun sudah hampir 
setengah hari dirinya bersila di samping kuburan 
kedua orang-tuanya. Seakan-akan tak dipedulikannya 
malam yang hampir tiba. Kalau saja tak ingat akan 
tugasnya yang masih perlu diselesaikan, mungkin 
Sena tak akan beranjak dari tempat itu. 
Perlahan-lahan Sena mulai berdiri. Namun mata-
nya tak lepas, terus menatap kedua kuburan itu. 
Sampai akhirnya ia berdiri tegak. 
“Kalau saja kedua orangtuaku masih hidup, 
alangkah bahagianya aku. Ayah, Ibu, lindungi dan 
berilah kekuatan pada anakmu ini!” ujar Sena dalam 
hati. Kemudian ditariknya napas dalam-dalam. 
Sementara itu langit mulai gelap. Petir sebentar-
sebentar menyambar permukaan bumi. Suaranya 
keras menyakitkan telinga. Angin pun semakin 
kencang tertiup menerpa dedaunan pohon dan wajah 
Sena. Rambutnya yang panjang sebahu tersapu 
angin, hingga sebagian menutupi wajah Sena. Namun 
pemuda berompi kulit ular itu membiarkannya. 
Matanya terus memandangi kedua nisan itu. 
“Aku pergi dulu, Ayah, Ibu...,” ucap Sena pelan 
sekali. 
Kemudian tubuhnya melesat pergi, bagai burung 
elang terbang ke udara. Rupanya Sena mengerahkan 
ilmu lari 'Sapta Bayu'. Hingga dalam waktu singkat 
pendekar muda itu sudah berada di luar Hutan 
Merawan. 
Di sebuah dataran luas yang sunyi Sena berjalan 
cepat ke arah timur. Saat itu malam pun mulai tiba. 
Terpaksa Sena harus mencari tempat untuk ber-
malam. Langkahnya semakin dipercepat agar segera 
sampai di desa terdekat. 
Malam makin sunyi dan sepi. Tidak ada seorang 
manusia pun yang berjalan di malam itu, kecuali 
Sena. 
Ketika Sena sampai di suatu jalan lurus yang di 
kanan kirinya terbentang sawah yang luas, hati Sena 
sedikit lega karena merasa yakin sudah dekat dengan 
daerah pedesaan. 
Sena memang merasa masih asing dengan daerah 
itu. Karena ketika dirinya datang mengunjungi 
kuburan orangtuanya, dia datang dari arah barat, Dan 
karena ingin melanjutkan petualangan ke timur Pulau 
Jawa maka Sena lewat jalan yang belum pernah 
dilaluinya. 
“Kurasa tak jauh lagi di depan sana ada desa,” 
gumam Sena dalam hati. 
Pemuda gagah itu terus melangkahkan kakinya 
dengan mantap dan lebih cepat lagi. 
*** 
Sena masih melangkah menyelusuri jalan 
pematang sawah, ketika tiba-tiba ada sosok 
bayangan berkelebat di depan matanya. Karena 
suasana malam gelap, bayangan itu hanya nampak 
hitam. Sena menghentikan langkahnya. Matanya 
memandang ke sekeliling mencoba mengawasi 
keadaan. Begitu pula telinganya, dipasang untuk 
mendengar. Namun sesaat kemudian pemuda 
berambut gondrong itu kembali mengayunkan 
langkah dengan mantap. Matanya memandang lurus 
ke depan, seakan tak menghiraukan apa pun yang 
baru saja dilihatnya. 
Ketika sampai perempatan jalan menuju desa, 
tiba-tiba matanya melihat lagi dua sosok bayangan 
berkelebat. Namun, Sena tetap tenang tak me-
nanggapi sedikit pun. Kakinya terus melangkah 
dengan mantap. Tangannya mulai menggaruk-garuk 
kepala dan mulutnya tersenyum-senyum cenge-
ngesan. 
“Hi hi hi...!” 
Sena mengambil jalan yang ke kanan. Di kanan-
kiri sepanjang jalan itu ditumbuhi pepohonan rindang 
dan semak belukar. 
“Berhenti...!” 
Suara bentakan keras tiba-tiba terdengar, disusul 
kemunculan dua sosok bayangan menghadang di 
depan Sena. 
Sena berhenti. Tangannya menggaruk-garuk 
kepala sambil cengengesan. Kilatan petir sekejap me-
nerangi tempat itu. Saat itu Sena dapat melihat 
kedua orang yang berdiri lima tombak di hadapannya. 
Wajah mereka seperti kera. Sedangkan pakaian 
keduanya serba hitam dengan ikat pinggang merah. 
Rambut mereka terurai panjang melewati bahu. 
Kedua sosok berwajah kera itu tampak memegang 
golok bergigi seperti gergaji di ujungnya. 
“Hah?! Manusia kera...!” gumam Sena setelah 
sempat mengamati kedua penghadang itu sambil 
menggaruk-garuk kepalanya. 
Dua penghadang itu dikenal dengan nama 
'Sepasang Manusia Kera' yang ditakuti orang-orang 
Kadipaten Singa Raja dan para tuan tanah. 
“Apa maksud tujuanmu memasuki daerah ini?” 
tanya salah seorang dari mereka yang bertubuh agak 
tinggi. 
“Hi hi hi...! Aku hanya ingin lewat, Kisanak,” jawab 
Sena dengan cengengesan, “Kalau boleh tahu, apa 
nama desa ini?” 
“Bohong! Apa maksud tujuanmu? Untuk apa kau 
datang kemari?! jawab!” bentak yang lebih pendek. 
Suaranya lebih kasar dan keras. 
“Hi hi hi lucu sekali! Bukankah sudah kukatakan, 
aku hanya ingin lewat. Aku tak punya maksud lain,” 
jawab Sena sambil cengengesan dan menggaruk-
garuk kepala. Melihat sikap Sena itu, orang yang 
bertanya menjadi geram, dan ingin segera 
menyerang. Namun kawannya segera melarang 
dengan merentangkan tangan kanan. 
“Orang gila! Sebaiknya kau bilang terus terang! 
Apa tujuanmu datang ke Desa Karang Galuh ini?” 
tanya manusia kera bertubuh tinggi, yang mencegah 
temannya, ketika hendak menyerang Sena. 
Sena tak langsung menjawab. Mulutnya cengar-
cengir sambil tangan kanannya menggaruk-garuk 
kepala. 
“Jawab! Sebelum hilang kesabaran kami...!” 
bentak orang yang bertubuh agak pendek. Dirinya 
memang berperangai lebih keras dibandingkan 
kawannya. 
“Hi hi hi...! Lucu sekali, Kisanak! Apa yang ku-
katakan tadi rasanya sudah jelas terdengar di telinga 
kalian,” sahut Sena agak sinis. Hal itu membuat 
kedua orang bermuka kera itu bertambah marah. 
Hampir bersamaan dengan suara geledek yang di-
dahului kilatan cahaya kedua orang berwajah kera itu 
melesat menyerang. Lompatan cepat yang mereka 
lakukan mirip kera. 
Sena terkesima sesaat, karena serangan kedua 
manusia kera itu begitu cepat. Jurus-jurusnya pun 
aneh, seperti gerakan kera. Kedua golok berkelebat 
cepat memburu di muka Sena. 
Wrt! Wrt! Wrt! 
“Hah?! Hi hi hi...!” 
Pendekar Gila cepat melompat mundur untuk 
mengelak, lalu membalas dengan tendangan kedua 
kakinya. 
“Hea...!”  
Degk! Degk!  
“Huk!”  
“Ukh!” 
Kedua manusia kera itu terhuyung dua tombak ke 
belakang terkena tendangan. Pendekar Gila kembali 
cengengesan. Kedua manusia kera itu makin geram 
dan marah, melihat tingkah laku lawan yang dianggap 
mengejek mereka. Cepat-cepat keduanya membenar-
kan kedudukan. Mata mereka yang tajam menatap 
penuh kegeraman. 
“Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah Edan!” dengus 
keduanya hampir bersamaan. 
Kedua manusia kera itu, kemudian mengeluarkan 
jurus-jurus pembukaan dengan gerakan mirip kera. 
Keduanya menggaruk-garuk ketiak sambil merunduk-
kan kepala. 
“Nguk...! Nguk...!” 
“Nguk...!” 
Sena mengerutkan kening, melihat jurus-jurus lucu 
dan aneh kedua manusia kera itu. Seakan-akan 
tengah memikirkan sesuatu. Kemudian cengengesan 
sambil meniru gaya mereka. Kedua manusia kera itu 
kembali menyerangnya dengan terus berteriak seperti 
kera. 
Dengan cepat kedua manusia kera melancarkan 
pukulan maut. Sebentar kemudian gerakan mereka 
berubah mencakar dan menendang ke tubuh Sena. 
“Nguk...!” 
“Nguk...!” 
Melihat serangan yang cepat dan membahayakan, 
dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala 
Pendekar Gila segera berkelit. Kemudian dengan 
jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat' segera me-
lancarkan serangan balasan.  
“Nguk...!” 
“Hi hi hi...! Hea...!”  
Plakkk! Brettt! 
Tangan mereka beradu, saling pukul dan tangkis 
dengan cepat. Salah seorang dari manusia kera mem-
babatkan goloknya ke kaki Pendekar Gila. Sedangkan 
satunya lagi menebas kepala. Kalau saja yang 
dihadapi bukan Pendekar Gila, golok-golok itu sudah 
memutuskan kaki dan kepala lawan. Namun dengan 
kecepatan yang sukar ditangkap mata biasa 
pendekar itu melenting ke udara sambil kakinya 
menendang kedua manusia kera itu. 
Degk! Degk! 
“Aaa...!” 
“Ukh...!” 
Kedua manusia kera itu terhuyung dua tombak ke 
belakang. Keduanya saling pandang. Lalu kembali 
membuat gerakan untuk menyerang Pendekar Gila. 
“Aha, Kisanak sebaiknya kita tak perlu adu 
kekuatan begini! Aku tak bermaksud jahat, 
percayalah!” ujar Pendekar Gila berusaha untuk tak 
melanjutkan bentrokan dengan kedua lawannya. 
Namun rupanya kedua manusia kera itu tak meng-
hiraukan ucapan Pendekar Gila. Mereka kembali 
menyerang dengan jurus-jurus maut. Kedua manusia 
kera itu membabatkan golok mereka dengan cepat. 
Golok itu bagaikan kipas diputar, kemudian ditusuk-
kan ke tubuh Pendekar Gila. 
Wrttt! 
“Hea...!” 
Wrttt! 
“Aits! He he he...!” 
Pendekar Gila mengelak dengan melompat ke atas 
dan bersalto di udara. Kemudian Pendekar Gila 
mendaratkan kakinya lima tombak dari kedua 
manusia kera yang kini berada di belakang Pendekar 
Gila. 
“Nguik...! Ger!” 
“Heaaa...! Herrr!” 
Kedua manusia kera itu pun berbalik cepat 
dengan berjumpalitan di tanah. Keduanya bagai 
seekor kera, bergulingan di tanah sambil menyerang. 
Suara mereka yang keras seperti kera sedang 
ngamuk. 
Wuttt! Wuttt! 
Kedua manusia kera itu membabatkan golok 
menyerang lawan. 
Pendekar Gila mengelak dengan merundukkan 
kepala, kemudian dengan cepat kedua kakinya 
direntangkan lebar-lebar ke tanah. Sehingga 
serangan lawan melewati kepalanya. Pada saat 
kedua manusia kera itu berada di atasnya, dengan 
cepat Pendekar Gila melancarkan serangan dengan 
pukulan 'Gila Menari Menepuk Lalat'. 
Deg! Deg! 
“Aaa...!” 
“Hrrr...!” 
Kedua manusia kera itu terpekik. Tubuh mereka 
terdorong ke belakang, lalu bergulingan sampai 
akhirnya membentur batang pohon besar. 
Brak! 
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil 
menggaruk-garuk kepalanya. 
“Hi hi hi...! Ha ha ha...! Lucu...! Lucu sekali...!” 
Darah meleleh di sela bibir kedua manusia kera 
itu. Keduanya merasakan sesak di dada. Namun, 
seperti tak menghiraukan keadaan, mereka segera 
bangkit berdiri. Dengan geram mata kedua manusia 
kera itu menatap Pendekar Gila yang masih 
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepalanya. 
“Jangan kau anggap kami tak dapat menangkap-
mu, Pemuda Gila!” dengus salah seorang dari 
manusia kera itu sambil membuat kuda-kuda untuk 
menyiapkan jurus lain. Kedua tangan mereka 
menjulur ke depan. Sedang kedua kaki mereka ber-
geser, bersamaan bergerak ke depan. Tangan-tangan 
terbalur pakaian hitam itu bergerak-gerak bagaikan 
menari. Kemudian bersamaan dengan hentakan 
keras kaki mereka terdengar teriakan keras meng-
gelegar....  
“Hea...! Hrrr...!”  
Wusss! Wusss! 
Serangan angin ganas, datang dari telapak tangan 
kedua manusia kera itu. Itulah jurus 'Topan Beracun', 
Ilmu andalan kedua manusia kera itu. Pendekar Gila 
nelompat ke udara. Serangan itu dapat dihindari. 
Namun keduanya segera mengejar Pendekar Gila 
dengan melompat pula ke udara. Terjadilah per-
tarungan di udara beberapa saat lamanya. Kedua 
manusia kera itu mengapit di sebelah kanan dan kiri 
Pendekar Gila.  
“Hea...!”  
“Grrr. .!” 
Setelah saling pukul dan tangkis. Pendekar Gila 
akhirnya sempat memasukkan pukulan ke dada 
kedua manusia kera itu. 
Degk! 
“Akh..!”  
“Akh...!” 
Bersamaan dengan terdengarnya pekikan 
panjang, tubuh kedua manusia kera terlempar jauh 
dan bergulingan di tanah. Dengan cepat Pendekar 
Gila meluncur. Dengan ringan kakinya mendarat di 
atas tanah. Mulutnya cengengesan sambil meng-
garuk-garuk kepala. 
“Aha, Kisanak sekalian! Kurasa antara kita tak ada 
urusan apa-apa,” ujar Pendekar Gila dengan tingkah 
lakunya yang masih konyol. 
Belum sempat kedua manusia kera itu berkata, 
Pendekar Gila telah melesat meninggalkan tempat 
itu. Saat itu petir menyambar-nyambar, dengan 
kilatnya yang menerangani bumi. Kedua manusia 
kera menggeram, merasa kecewa atas kekalahan 
mereka dengan pemuda bertingkah laku seperti 
orang gila. Kedua manusia kera itu masih mematung 
dengan mata menatap ke arah melesatnya Pendekar 
Gila. Seakan mereka tengah bertanya-tanya, siapa 
sebenarnya pemuda gila itu. 
“Dimas Anila, siapa sebenarnya pemuda itu? Rasa-
rasanya aku pernah mendengar namanya yang 
disebut-sebut banyak orang.” 
“Maksud Kakang Anggada...?” tanya Anila dengan 
kening berkerut. 
“Aku pernah mendengar namanya. Nama gelarnya 
yang sama dengan tingkah lakunya,” tutur Anggada. 
“Maksud Kakang, Pendekar Gila?”  
“Benar.” 
“Kurasa juga begitu, Kang.”  
“Kau yakin, Dimas Anila?” tanya Anggada. 
“Entahlah,” sahut Anila.  
“Kalau begitu, kita selidiki saja!”  
“Ayo, Kakang!”  
Kedua manusia kera yang ternyata bernama Anila 
dan Anggada segera melesat dari tempat itu. 
Keduanya menembus kegelapan malam yang 
nampaknya akan segera turun hujan. 
*** 
Pagi nampak sangat cerah. Seperti biasa, Desa 
Karang Galuh yang aman dan subur itu mulai nampak 
sibuk. Penduduk desa berlalu-lalang dengan ke-
sibukan masing-masing. Di desa itu udara cukup 
sejuk, karena terletak di kaki Gunung Anjasmara. 
Sena nampak tengah duduk di serambi depan 
sebuah rumah bilik cukup besar, yang terletak agak di 
tengah desa. Tidak jauh dari rumah tempat Sena 
berada, ada sebuah kedai nasi. Di kedai itu nampak 
empat lelaki sedang bersantap. 
“Aku sangat berterima kasih padamu, Ki. Karena 
kau telah sudi menerimaku bermalam di rumah ini...,” 
ucap Sena dengan sopan dan kalem. Tidak me-
nunjukkan tingkah lakunya yang seperti orang gila. 
“Ah...! Itu biasa bapak lakukan pada orang yang 
membutuhkan, Nak. Asal kau bermaksud baik,” 
jawab Ki Praba, yang tak lain Kepala Desa Karang 
Galuh itu. 
“Terima kasih, Ki!” ucap Sena sambil meng-
anggukkan kepala, “Saya sangat senang melihat desa 
yang aman tenteram seperti Desa Karang Galuh ini. 
Tentunya semua ini tak luput dari kepemimpinan Ki 
lurah sebagai kepala desa...” 
Ki Praba hanya mengusap-usap jenggotnya yang 
tak begitu panjang. Wajahnya nampak kalem, penuh 
kebapakan tapi tegas. Dari bentuk tubuh dan 
pancaran sinar matanya, menyiratkan bahwa dirinya 
memiliki ilmu silat yang cukup lumayan. Meski begitu, 
lelaki tua itu sangat ramah. Dan itu sebabnya 
penduduk Desa Karang Galuh sangat menghormati 
dan menyegani Ki Praba. 
“Ah, bisa saja, Nak Sena. Sebenarnya bukan 
bapak saja yang membuat desa ini aman dari 
gangguan orang-orang jahat,” tutur Ki Praba dengan 
polos. 
“Oh... jadi, siapa yang membantu Bapak dalam 
mengamankan desa ini?” tanya Sena ingin tahu 
sambil mengangguk-anggukkan kepala. 
“Ada dua saudara. Sanjaya dan Purnama yang 
selalu membantuku,” jawab Ki Praba. Sena meng-
angguk-anggukkan kepala perlahan. Mulutnya ter-
senyum ramah menggambarkan rasa kagum ter-
hadap lelaki tua, kepala desa itu. 
“Ah, beruntung Ki Praba memiliki warga desa 
seperti mereka berdua. Aku ikut senang men-
dengarnya. Sayang aku belum bisa berkenalan 
dengan mereka,” ujar Sena dengan ramah. Mulutnya 
tersenyum dengan tangan menggaruk-garuk kepala. 
“Biasanya Sanjaya dan Purnama datang kemari, 
jika ada sesuatu masalah. Keduanya selalu minta 
pendapat padaku,” tutur Ki Praba dengan tenang. 
“Selamat pagi, Ki...?” 
Terdengar suara dari samping rumah. Ki Praba 
menoleh untuk mengetahui siapa yang baru saja 
memberi salam. 
“Selamat pagi! Nah, ini dia orang yang kukatakan 
tadi, Sena,” kata Ki Praba dengan wajah gembira, lalu 
menyilakan kedua bersaudara Sanjaya dan Purnama. 
Sejenak Sanjaya dan Purnama menatap wajah 
Sena dengan pandangan penuh selidik. Seakan 
keduanya menaruh curiga pada tamu Ki Praba. 
Sena yang merasa dicurigai hanya tersenyum-
senyum. Sebentar kemudian berubah cengengesan 
sambil tangannya menggaruk-garuk kepala. Sikapnya 
itu membuat, Sanjaya dan adiknya mengerutkan 
kening. Matanya semakin tajam menatap wajah 
Sena. Kemudian kedua lelaki yang memakai pakaian 
serba kuning itu saling pandang. Tampaknya mereka 
merasa tak senang menyaksikan tingkah laku Sena 
yang konyol itu. 
“Hhh!” Sanjaya yang berkumis tebal dengan 
blangkon hitam mendesah. Sementara adiknya hanya 
menarik napas dalam-dalam. Sepertinya Purnama 
berusaha sabar. 
Memang di antara kedua kakak beradik itu, ada 
perbedaan. Kalau Sanjaya berwatak keras dan cepat 
marah, sebaliknya Purnama agak penyabar. 
Keadaan semakin kaku di antara mereka. 
Beruntung Ki Praba cepat tanggap. 
“Ayo, duduklah! Kebetulan kami sedang mem-
bicarakan kalian berdua...,” kata Ki Praba sambil 
menggeser duduknya di dekat Sena. Mereka duduk di 
bale-bale lebar beralaskan tikar pandan. 
Mendengar ucapan Ki Praba, kedua bersaudara itu 
saling pandang. Keduanya seakan kurang senang. 
Namun karena Ki Praba sudah dianggap seperti 
orang-tua sendiri, Sanjaya dan Purnama menurut. 
Mereka duduk di sebelah kiri Ki Praba, berhadapan 
dengan Sena. 
“Nak Sena ini, ingin berkenalan dengan kalian. 
Tadi kuceritakan sedikit tentang kalian berdua. Nak 
Sena merasa ikut senang desa ini aman karena 
kalian berdua...,” tutur Ki Praba membuka per-
cakapan. 
“Terima kasih, Kisanak! Kami berdua juga ingin 
berkenalan dengan Kisanak,” sambut Sanjaya sambil 
menatap Sena dengan pandangan menyelidik. 
Sena yang ditatap begitu hanya tersenyum-senyum 
sambil menggaruk-garuk kepala. Sementara Purnama 
yang lebih tenang hanya diam menundukkan kepala. 
“Namaku Sanjaya, dan ini adikku Purnama...,” 
kata Sanjaya memperkenalkan diri. 
“Aku Sena. Senang aku dapat bertemu dan ber-
kenalan dengan kalian berdua. Sebab orang-orang 
macam kalian sangat dibutuhkan oleh orang-orang 
yang lemah dan perlu pertolongan, untuk ke-
tenteraman desanya,” kata Sena bernada memuji. 
“Terima kasih...,” sahut Sanjaya datar, “Namun 
kalau boleh aku tahu, apa tujuan Kisanak datang ke 
Desa Karang Galuh ini...?” 
“Nak Sena hanya menumpang nginap di rumah ini 
tadi malam,” sela Ki Praba. “Kebetulan semalam Nak 
Sena ini ketemu bapak di kedai sebelah. Dia perlu 
tempat untuk bermalam. Dan bapak tahu, Nak Sena 
bukan orang jahat. Percayalah, Sanjaya...!” 
Sanjaya manggut-manggut. Namun tatapannya 
masih menunjukkan perasaan curiga. Sena melawan 
tatapan mata Sanjaya. Sesaat keduanya saling tatap 
dengan tajam. Namun, akhirnya Sanjaya mengalihkan 
pandangannya ke wajah Ki Praba. 
“Ki Lurah, sudah waktunya aku mohon pamit 
Terima kasih atas segala kesediaan dan keramahan 
dalam menerimaku untuk bermalam di sini,” kata 
Sena tiba-tiba, “Aku harus segera pergi. Masih banyak 
tugas yang harus saya kerjakan.” 
Sena bangkit dari duduknya.  
“Lho, kok buru-buru...? Bapak tak keberatan kalau 
Nak Sena mau tinggal di desa ini satu dua hari lagi...,” 
sahut Ki Praba dengan penuh persahabatan. Lelaki 
tua itu lalu berdiri dari duduknya serta diikuti Sanjaya 
dan Purnama. 
“Mungkin kisanak ini ada tugas yang sangat 
penting, Ki,” sindir Sanjaya dengan nada sinis. 
“Ah, kamu ini...,” ujar Ki Praba sambil memegang 
bahu Sanjaya. 
Sena hanya nyengir kuda mendengar ucapan 
Sanjaya. Hatinya sudah mengerti apa maksud ucapan 
Sanjaya itu. Namun dirinya membalas dengan 
senyuman sambil menggaruk-garuk kepala. 
“Terima kasih, Ki! Mungkin lain waktu aku mampir 
kemari. Aku mohon diri...,” kata Sena sambil 
menyalami tangan Ki Praba. Kemudian mengangguk 
pada Sanjaya dan Purnama yang memandanginya 
dengan pandangan agak sinis. 
Baru saja Sena melangkahkan kakinya dua tindak, 
tiba-tiba.... 
“Tolong...! Tolong...! Tolong...!” 
Terdengar teriak seorang wanita setengah baya 
yang berlari ketakutan menuju rumah Ki Lurah Praba. 
Sena menghentikan langkahnya. Matanya mem-
perhatikan wanita setengah baya yang berlari 
mendekati Ki Praba. Sanjaya dan Purnama nampak 
sedikit cemas. Matanya terus menatap tajam pada 
Sena. 
“Tolong, Ki! Tolong, Ranti dibawa oleh Raden 
Kumbara bersama anak buahnya!” kata wanita itu 
sambil menangis. 
“Raden Kumbara?! dari mana kau tahu, kalau dia 
Kaden Kumbara?” tanya Ki Praba, kaget. 
“Lelaki muda itu menyebutkan namanya! Mem-
bawa Ranti dengan kereta kuda. Mereka juga mem-
bunuh suamiku, Ki!” ujar Nyi Karti sambil terus 
menangis. 
Kontan Sanjaya dan Purnama melesat cepat bagai 
terbang, tanpa permisi dulu pada Ki Praba. 
Sena segera mendekati Ki Praba yang masih 
berusaha menenangkan Nyi Karti. Wanita setengah 
baya itu terus menangis. Hal itu karena mencemas-
kan anak gadisnya, yang pasti tidak akan kembali 
lagi. Dirinya tahu kalau Ranti, anaknya akan dijadikan 
gundik setelah direnggut keperawanannya oleh 
Raden Kumbara. 
“Ki Lurah, kalau boleh aku bertanya, siapakah 
Raden Kumbara itu? Dari kadipaten atau kerajaan 
mana?” tanya Sena ingin tahu. 
“Hm...! Dia sebenarnya bukan raden. Dia manusia 
yang berkhianat!” jawab Ki Praba dengan suara 
sedikit bergetar, menunjukkan kemarahannya. 
Mendengar ucapan Kepala Desa Karang Galuh itu 
Sena mengerutkan kening, tak mengerti. 
“Apa maksud Ki Lurah...?” tanya Sena dengan 
mulut cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. 
“Panjang ceritanya, Nak Sena. Sebaiknya kita 
menyusul Sanjaya dan Purnama dulu!” ajak Ki Praba. 
Sena masih merasa heran. Kenapa tiba-tiba desa 
yang katanya aman dan tenteram ini, tiba-tiba saja 
kacau karena ulah seorang yang disebut Raden 
Kumbara. 
“Siapa Raden Kumbara itu?” tanya Sena dalam 
hati. 
“Nyi Karti tunggulah di sini! Biar aku menyusul 
mereka...,” ujar Ki Praba berusaha menenangkan hati 
Nyi Karti yang masih terus menangis sedih. “Nyimas, 
tolong jaga Nyi Karti!” seru Ki Praba kepada istrinya 
yang keluar ketika mendengar tangis Nyi Karti. Wanita 
itu hanya menganggukkan kepala.  
“Ayo, Nyi!” ajak Nyi Praba sambil membimbing 
masuk wanita berusia lima puluh tahun itu. 
Dengan langkah cepat, Ki Praba segera pergi 
diikuti Sena menuju utara desa, arah yang dituju 
Sanjaya dan Purnama. 
*** 
Kereta kuda yang membawa Ranti dipacu kencang 
oleh sang Kusir. Di belakang kereta itu enam orang 
penunggang kuda mengiringi. Mereka semua ber-
pakaian hijau-hijau dengan blangkon yang juga ber-
warna hijau. Keenam pengawal itu bersenjata golok 
berukuran panjang, terselip di pinggang. Tampang 
mereka garang, semuanya berkumis tebal. 
Sesampai di jalan yang cukup lapang menuju 
pantai, tiba-tiba kereta kuda itu berhenti. Kuda-kuda 
yang menarik kereta itu mengangkat kedua kaki 
depan sambil meringkik. 
Dua orang lelaki yang tak lain Sanjaya dan 
Purnama, menghadang lajunya kereta kuda. Hal itu 
membuat kusir kereta kuda itu terkejut, hingga jatuh 
bergulingan ke tanah. 
Sedangkan di dalam kereta itu terdengar teriakan 
Ranti yang meratap ketakutan. 
“Tolong...! Tolong...!”. 
Sanjaya yang berwatak lebih keras dan cepat naik 
darah dibandingkan Purnama, segera membabatkan 
goloknya ke kusir kuda itu. 
“Mampus kau! Heaaa...!” bentak Purnama. 
Wrt! 
Crak! 
“Aaa...!” 
Seketika kusir kereta kuda itu terkapar tewas ber-
lumuran darah. Golok Sanjaya mendarat telak di 
lehernya. Tidak lama kemudian keluarlah lelaki muda 
bertampang culas dengan sedikit kumis di bibirnya, 
wajahnya yang bengis menunjukkan jiwanya yang 
licik. 
“Bedebah! Siapa yang telah berani melawanku!” 
dengus lelaki berpakaian hitam yang baru keluar dari 
kereta. 
“Kami!” bentak Sanjaya gusar. Matanya menatap 
tajam wajah Raden Kumbara, seakan menyimpan 
kebencian yang meluap-luap. Gigi-giginya saling 
gemerutuk menahan kegeraman. 
Lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun, bermuka 
bengis yang di tangannya memegang keris, seketika 
memandang kedua kakak beradik itu. Mata lelaki 
yang mengaku sebagai Raden Kumbara itu ter-
belalak, selelah tahu siapa yang menghadangnya. 
“Hai..., Cecurut-cecurut..! Jangan coba-coba men-
dekatiku. Wanita ini akan kugorok lehernya...!” ancam 
Raden Kumbara dengan pongahnya, sambil men-
dekap Ranti dengan menempelkan keris di leher 
gadis cantik itu. 
“Biadab kau, Kumbara! Pengkhianat...!” dengus 
Sanjaya dengan geram dan marah, “Dimas Purnama, 
Kita harus menggunakan siasat untuk menghadapi-
nya, dia sangat licik!” 
Purnama mengangguk. Matanya terus menatap 
tajam wajah Raden Kumbara yang mulai melangkah 
mundur, membawa Ranti dengan ancaman akan 
membunuhnya. 
Enam orang anak buah Raden Kumbara segera 
mengepung Sanjaya dan Purnama dengan senjata 
terhunus. 
“Tunggu apa lagi...! Habisi kedua monyet busuk 
itu!” perintah Raden Kumbara pada anak buahnya 
yang menunggu perintahnya. 
Keenam anak buahnya langsung menyerang 
Sanjaya yang masih dengan tenang berdiri di tempat-
nya. 
“Serang...!” teriak pimpinan dari keenam anak 
buah Raden Kumbara itu. 
“Heaaa...!” 
Trang! Trang! Trang! 
Senjata mereka saling beradu. Sanjaya nampak 
dengan tenang menghadapi keenam anak buah 
Raden Kumbara. Dirinya hanya berkelit ke kiri dan ke 
kanan, serta melompat mundur dan menangkis 
serangan mereka. Kemudian sesekali melancarkan 
serangan balik yang mematikan. 
“Heaaa...!” 
“Aaa...!” 
“Ukh...!” 
Maka terdengarlah teriakan kematian dari anak 
buah Raden Kumbara yang ilmu silatnya memang 
jauh di bawah Sanjaya. Sehingga hanya dalam be-
berapa gebrakan Sanjaya sudah dapat menghabisi 
empat orang. 
Sementara itu Purnama melenting ke udara sambil 
bersalto, mencoba menghadang Raden Kumbara 
yang  berusaha lari dari tempat itu menuju pantai. 
“Heaaa...!” 
Raden Kumbara terkejut ketika ia berbalik ter-
nyata Purnama sudah ada di hadapannya. Dituding-
kan kerisnya lurus ke arah Purnama yang dengan 
tenang melangkah mendekati. Lelaki berpakaian 
serba hitam itu melangkah mundur sambil meng-
ancam Purnama. 
“Ha ha ha...! Kau mau jadi pahlawan untuk gadis 
ini, hah?! Gadis ini akan jadi gundikku. Tak ada 
seorang pun yang bisa menghalangiku! He he he...!” 
ujar Raden Kumbara sambil menempelkan keris ke 
leher Ranti yang sudah makin pucat wajahnya. 
Karena begitu ketakutan gadis itu nampak seperti 
pasrah, tak berdaya. 
Raden Kumbara terus mundur menuju pantai. Di 
sana terlihat sebuah perahu berukuran besar 
tertambat di pinggiran pantai. 
“Rupanya bangsat ini sudah menyiapkan perahu 
untuk membawa Ranti ke Pulau Neraka itu...!” 
gumam Purnama dalam hati. 
Raden Kumbara terus menyeret Ranti dengan 
kasar menuju perahu itu. Purnama pun terus 
mengawasi gerak-gerik Raden Kumbara sambil 
menahan rasa geram. 
Sementara itu Sanjaya terus berusaha melumpuh-
kan dua pengawal Raden Kumbara yang ilmu silatnya 
lumayan tangguh. Dengan cepat Sanjaya membabat-
kan golok bergigi itu ke perut kedua lawannya. 
“Heaaa...! Mampus kau...!” seru Sanjaya dengan 
penuh kegeraman. 
Wret! Jrabs! 
“Aaakh...!” 
“Aaa...!” 
Perut kedua pengawal Raden Kumbara terkoyak 
lebar terbabat senjata Sanjaya. Namun orang keper-
cayaan Kepala Desa Karang Galuh itu tampaknya 
belum puas. Dengan bengis kembali dibabarkan 
goloknya ke leher kedua lawan. 
Crak! Crak! 
“Aaa...!” 
Darah segar muncrat dari leher kedua pengawal 
Raden Kumbara yang terjungkal ke tanah. Mereka 
langsung tewas seketika dengan leher putus. 
Sanjaya tertawa puas, kemudian melesat mening-
galkan dua mayat tersebut. 
*** 
Baru saja Sanjaya pergi, Ki Praba dan Sena tiba di 
tempat itu. 
“Ya, Tuhan...!” gumam Ki Praba ketika melihat 
keenam pengawal Raden Kumbara yang mati dengan 
keadaan mengerikan. Apalagi ketika melihat dua di 
antara enam mayat itu kepalanya putus. 
Sena menggaruk-garuk kepala melihat mayat-
mayat tergeletak di jalan itu, Ki Praba tiba-tiba 
melesat cepat meninggalkan Sena. Melihat kepala 
desa itu telah hilang dari dekatnya, Sena 
cengengesan. 
“Hebat juga lelaki tua itu...,” gumamnya dalam 
hati. 
Kemudian Sena pun melesat dengan ilmu lari 
'Sapta Bayu'-nya. Bagai terbang Sena melesat dari 
tempat itu. 
Sementara itu di tepi Pantai Karang, Raden 
Kumbara sudah berada di atas perahu. Namun ketika 
siap membawa kabur Ranti, tiba-tiba saja lelaki muda 
itu terpekik keras. Bersamaan dengan itu Ranti 
terlepas dari pegangannya. Gadis malang itu terjatuh 
di dalam perahu. Rupanya senjata rahasia yang 
sempat dilontarkan Purnama mendarat telak di bahu 
Raden Kumbara. 
Ranti yang terbebas dari ancaman Raden 
Kumbara dengan ketakutan berusaha lari meninggal-
kan pesisir. 
Raden Kumbara yang kesakitan, tak mampu 
mengejar Ranti, sehingga gadis itu dengan aman 
berlari berusaha menjauhi perahu Raden Kumbara. 
Kesempatan itu dipergunakan Purnama dengan 
baik. Tubuhnya melesat bagai seekor elang menuju 
perahu untuk menyelamatkan Ranti. Namun sial 
baginya, Raden Kumbara rupanya telah mengetahui 
maksud Purnama. Maka..., 
“Heaaa...!” 
Bukkk! Plakk! 
Purnama tak menyangka kalau Raden Kumbara 
akan dapat menyerangnya setelah terkena senjata 
rahasianya. Sehingga dirinya tak mampu melakukan 
gerakan untuk menghindar ketika pukulan telapak 
tangan Raden Kumbara mendarat di dadanya. 
“Huk!” 
Purnama terhuyung ke belakang lalu terjengkang 
ke pasir pantai. Sambil merintih, tangannya meraba 
dada yang berbekas telapak tangan biru kehitaman. 
Seketika mata Purnama terbelalak kaget. 
“Hah?! Pukulan 'Tapak Maut'!” gumam Purnama 
sambil menahan sakit 
Tepat ketika Purnama menghadapi keadaan 
bahaya, Sanjaya datang. Melihat adiknya dalam 
keadaan terluka parah Sanjaya langsung menyerang 
Raden Kumbara dengan sabetan dan tusukan 
goloknya. 
Raden Kumbara yang sudah berada di pasir pantai 
dengan cepat melakukan lompatan untuk mengelak 
sambil balas menyerang dengan sebatang kerisnya 
ke rusuk Sanjaya yang berada di sebelah kirinya. 
Sanjaya tersentak kaget mendapat serangan balik 
dari Raden Kumbara. 
“Heaaa...!” 
Bret! 
Baju Sanjaya tersambar keris Raden Kumbara. 
Robek! Kalau saja Sanjaya terlambat mengelak ke 
belakang, tak pelak lagi rusuknya akan tergores 
senjata tajam itu. 
“Bangsat! Hampir igaku remuk!” gumam Sanjaya 
dalam hati. 
Kemudian Sanjaya kembali dengan kuda-kudanya 
untuk siap melakukan serangan dengan jurus maut-
nya. Kaki kanan dan kirinya bergerak perlahan ke 
kanan dan ke kiri. Sedang tangannya yang memegang 
golok dipermainkan dengan cepat, diputarnya hingga 
golok itu bagai kipas. 
Wukkk! Wukkk! 
Sementara itu, Raden Kumbara tak mau kalah. 
Dirinya juga mempersiapkan kuda-kuda yang mantap. 
Kaki kirinya diangkat sambil ditekuk, kemudian 
diturunkan kembali dengan mantap bersama dengan 
gerakan tangannya yang memegang keris. Tampak-
nya lelaki berpakaian serba hitam itu hendak menge-
rahkan jurus ampuhnya. 
Mata kedua lelaki ini saling tatap dengan tajam. 
Tak berkedip sedetik pun. Sebab sekali berkedip saja 
serangan lawan dapat membuyarkan dirinya. Setelah 
cukup lama mereka berpandangan dan memper-
siapkan kuda-kuda, tiba-tiba keduanya saling me-
mekik keras. 
“Heaaa...!”  
“Heaaa...!”  
Trangngng! 
Keduanya sama-sama menyerang maju, dan saling 
papak. Golok dan keris beradu. Saling tebas dan 
tusuk. Sanjaya kemudian melenting ke udara sambil 
membabatkan goloknya ke kepala Raden Kumbara. 
Wrettt! 
“Ukh...!” pekik Raden Kumbara. 
Blangkonnya rusak dan terlepas dari kepala. 
Sehingga rambutnya terurai. Belum lagi Raden 
Kumbara sempat melancarkan serangan balik, 
Sanjaya sudah mendahului dengan tendangan keras 
ke punggungnya 
“Heaaa...!” 
Bluk! 
“Akh...!” 
Raden Kumbara terhuyung-huyung hingga me-
nabrak perahu yang masih berada di atas pasir 
pantai. Sanjaya yang sudah sangat marah dan benci 
terhadap Raden Kumbara, kembali melancarkan 
serangan susulan. 
“Heaaa...! Sekarang mampus kau, Pengkhianat!” 
teriak Sanjaya sambil melompat ke tubuh Raden 
Kumbara yang berusaha mengelak serangan Sanjaya. 
Namun, karena Raden Kumbara sudah terluka, 
babatan golok Sanjaya yang cepat bagai kilat 
menyambar leher Raden Kumbara.... 
Jrabs! 
“Aaa...!” 
Leher Raden Kumbara terkoyak hampir putus! 
Namun tak hanya sampai di situ. Sanjaya yang sudah 
kalap dan dihinggapi oleh kebencian yang mendalam 
menghujani tusukan ke perut dan membabat tangan 
kanan Raden Kumbara yang masih menggenggam 
keris. 
Crak! Crakkk! 
Darah segar muncrat ke wajah dan pakaian 
Sanjaya. Raden Kumbara mati dengan keadaan 
mengerikan. Tangan kanannya putus dengan masih 
menggenggam keris. Sanjaya tertawa terbahak-
bahak. Hatinya benar-benar merasa puas. 
Kemudian diambilnya keris dalam genggaman 
tangan Raden Kumbara yang sudah kaku itu dengan 
jalan memotong jari-jarinya dengan bengis dan sadis 
sekali. Diselipkan keris itu ke pinggang dengan 
tangan kirinya. Sanjaya mengangkat goloknya hendak 
memotong kepala Raden Kumbara.  
“Tunggu...!” 
Terdengar seruan dari seorang lelaki! Suara itu 
begitu berwibawa. Sanjaya mengurungkan niatnya. 
Kepalanya menoleh ke belakang. Ternyata Ki Praba 
yang berseru tadi. Di belakangnya nampak Sena 
tengah menggaruk-garuk kepalanya, sambil me-
mandangi mayat Raden Kumbara yang tergeletak di 
dekat perahu dengan leher hampir putus. 
“Aku tak menyangka kalau kau akan melakukan 
semua ini dengan keji, Sanjaya,” ucap Ki Praba 
dengan nada suara agak marah. 
“Dia pantas mendapat ganjaran seperti ini, Ki. 
Sudah banyak harta, nyawa, serta kemerdekaan kita 
diinjak-injak oleh kelompok orang-orang yang 
mengaku seorang raden, ini. Yang sebenarnya adalah 
pengkhianat-pengkhianat Kadipaten Singa Raja,” 
jawab Sanjaya dengan napas terengah-engah. 
Dadanya naik turun pertanda kemarahannya yang 
menggelegak. 
“Aku mengerti. Tapi bagaimana nantinya, jika 
terdengar ayah Raden Kumbara bahwa putranya mati 
oleh orang Karang Galuh!” ujar Ki Praba sambil 
menunjuk ke wajah Sanjaya. Lalu bergeleng kepala, 
“baru berjalan lima bulan ini desa kita aman.... Kini 
kembali akan menjadi neraka bagi kita...,” tambahnya 
sambil terus menggeleng-gelengkan kepala. 
Sementara itu Sena sedang menolong Purnama 
yang sudah nampak pucat dan agak kebiruan. Lelaki 
berpakaian kuning itu terkena racun keris Raden 
Kumbara. Sena berusaha menyembuhkan dan meng-
hilangkan racun itu dengan ilmu 'Penawar Racun 
Ungu'. 
Tangan Sena menotok bagian tubuh tempat racun 
itu bersarang. Tubuh Purnama bergoncang bagai 
kena setrum bertegangan tinggi. Mulutnya berteriak-
teriak keras, mendengar itu, Sanjaya dan Ki Praba 
segera mendekati Sena yang sedang mengobati 
Purnama. 
“Hai...! Kau! Mau kau apakan adikku?! Kau 
rupanya orang-orang dari Pulau Neraka itu...!” bentak 
Sanjaya marah dan ingin menyerang Sena. Namun Ki 
Praba cepat melarang dengan menahan Sanjaya. 
Sanjaya tak berani melawan, karena Ki Praba sudah 
seperti orangtuanya sendiri. Karena sejak Sanjaya 
dan Purnama jadi anak-anak yatim, Ki Praba yang tak 
mempunyai keturunan, mengangkat mereka sebagai 
anak angkat. 
Sanjaya hanya dapat menahan rasa cemas, 
khawatir terhadap keadaan adiknya. 
Setelah beberapa lama Sena mengobati, Purnama 
yang tadinya pucat, kini nampak mulai sehat kembali. 
Wajahnya sudah kembali berubah segar. Bahkan 
sesaat kemudian Purnama tertidur dengan tenang. 
Sanjaya menarik napas lega. Begitu pula Ki Praba. 
Lelaki tua itu menyalami Sena. 
“Nak Sena..., kalau ada kata-kata yang lebih ber-
harga dari terima kasih, itulah yang akan kuucapkan 
kepadamu...,” ujar Ki Praba dengan wajah gembira. 
“Ah, sudah kewajiban bagiku menolong sesama 
manusia, Ki. Bukan hanya Purnama, tapi semua 
orang yang perlu pertolongan... “ jawab Sena dengan 
santai sambil mengusap wajahnya yang berkeringat, 
setelah mengeluarkan tenaga dalam cukup banyak. 
“Begitu mulia hatimu, Nak Sena...!” puji Ki Praba 
lagi sambil menepuk-nepuk bahu Sena yang hanya 
cengar cengir. 
“Jangan terlalu memujiku, Ki! Aku hanyalah 
manusia biasa yang bisa saja melakukan kesalahan. 
Semua ini kehendak Yang Maha Kuasa. Tanpa 
bantuan dan kehendak-Nya, tak mungkin aku bisa 
menyembuhkan Purnama...,” ujar Sena dengan 
mantap. 
Ki Praba manggut-manggut sambil memegangi 
jenggotnya. Lelaki tua itu nampak begitu kagum akan 
jawaban Sena yang tulus dan polos itu. 
“Baru kali ini kudengar ucapan anak muda seperti 
ini.... Siapa sebenarnya pemuda gagah ini. Walaupun 
tingkah lakunya terkadang seperti orang sinting, 
gila..., tapi...,” ujar Ki Praba dalam mulai bertanya-
tanya sendiri. 
Sanjaya pun mulai sadar, bahwa Sena bukanlah 
pemuda sembarangan. Dan dirinya pun tak lupa 
mengucapkan terima kasih pada Sena, dan ber-
jabatan tangan erat, menunjukkan bahwa keduanya 
mengikat persahabatan yang dalam. 
Ki Praba memandangi dengan hati penuh gembira 
dan haru. Lelaki tua itu tersenyum-senyum. 
“Jaya...,” panggil Ki Praba pada Sanjaya. 
“Ya, Ki...” 
“Sebaiknya kita kubur dulu mayat Raden Kumbara 
itu...! Biar pun jahat, pernah melukai hati dan 
memeras kita, dia juga manusia.... Ayo!” perintah Ki 
Praba lalu melangkah mendekati mayat Raden 
Kumbara, diikuti Sanjaya dan Sena. 
“Oh, ya. Ke mana si Ranti...?” tanya Sanjaya yang 
tiba-tiba teringat gadis anak Nyi Karti itu. 
“He he he...! Kulihat gadis itu tadi sudah pergi 
meninggalkan tempat ini,” sahut Sena dengan 
cengengesan. 
“Iya. Mungkin dia tak tega menyaksikan tindakan-
mu, Sanjaya,” ujar Ki Praba. 
Setelah mengubur mayat Raden Kumbara tak jauh 
dari pantai itu, Sena dan Sanjaya menggotong 
Purnama yang belum sadarkan diri. 
*** 
Malam-itu suasana Desa Karang Galuh yang biasanya 
tenang, seketika diselimuti ketegangan. Semenjak 
kejadian tadi pagi, yang menyebabkan tewasnya 
Raden Kumbara, para penduduk terutama Ki Praba 
justru tak tenang. Hal itu karena mereka takut kalau-
kalau pimpinan Raden Kumbara yang tiada lain Kala 
Bendana akan kembali memerintah anak buahnya 
untuk membuat kekacauan di Desa Karang Galuh. 
Malam itu, di rumah kepala desa, nampak masih 
ada tiga orang berkumpul. Dua duduk di bale-bale, 
sedangkan seorang lagi ngobrol bersama Ki Praba di 
dalam. Kedua orang yang duduk di bale-bale, tak lain 
Purnama dan Sena, sedangkan yang tengah ber-
bincang di dalam bersama Ki Praba, tiada lain 
Sanjaya. 
Purnama bersandar di dinding rumah, duduk 
bersila. Sedangkan Sena duduk di sebelah kanannya. 
“Hhh...! Aku telah berhutang budi padamu,” desah 
Purnama lirih dengan penuh perasaan terima kasih. 
Wajahnya menoleh kepada Sena yang cengengesan 
sambil menggaruk-garuk kepala. 
“Aha, mengapa kau bicara begitu, Kisanak?” tanya 
Sena seraya menggeleng-gelengkan kepala. 
“Ya, jika tidak kau tolong, mungkin aku sudah 
mati.” 
“Aha, tidak juga, Kisanak. Kurasa, aku bukan apa-
apa. Semua hanya karena Hyang Widi semata,” ujar 
Sena dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk 
kepala. 
“Ya, aku tahu. Tapi kalau tak ada kau dan Ki 
Praba, tak mungkin ada orang yang bisa menyem-
buhkan dan membunuh racun keris milik Raden 
Kumbara,” kata Purnama masih tetap berkeyakinan, 
kalau semua perbuatan Sena merupakan budi baik 
yang tak terhingga. 
“Aha, lupakanlah!” 
Beberapa saat kemudian, keduanya terdiam. 
Hanya perasaan dan pikiran mereka yang berbicara. 
Keduanya saling tatap penuh persahabatan. 
Kemudian di bibir keduanya mengurai senyum. 
“Ah, tak kusangka, kalau pemuda bertingkah laku 
gila ini memiliki budi pekerti yang luhur,” gumam 
Purnama dalam hati, “Sungguh bukan sembarangan 
pendekar. Betapa berdosanya aku, yang semula 
menaruh syak wasangka yang tak baik kepadanya.” 
“Aha, kau termenung, kenapa...?” tanya Sena 
sambil mengambil bulu burung yang terselip di ikat 
pinggang. Kemudian dikorek telinganya dengan bulu 
burung. Tampak mulutnya cengar-cengir kegelian. 
Matanya merem-melek memandang wajah Purnama 
yang menggeleng-geleng kepala sambil mendesah 
berat. 
“Tidak..., tidak apa-apa,” sahut Purnama lirih, ber-
usaha menutupi apa yang sebenarnya berkecamuk 
dalam pikirannya. 
“Ah ah ah...! Kurasa tak baik melamun, Kisanak,” 
seloroh Sena sambil terus mengorek telinga. Mulut-
nya cengengesan, membuat Purnama tersenyum 
menggeleng-gelengkan kepala. 
Purnama benar-benar tersindir mendengar 
selorohan yang diucapkan Sena. Namun hatinya 
senang, karena tiba-tiba merasa terhibur kelucuan 
Sena. 
“Aha, kalau boleh kutahu, mengapa kakakmu 
Sanjaya begitu benci pada Raden Kumbara? Sampai-
sampai tadi pagi Sanjaya seperti hendak melumatkan 
Raden Kumbara. Sepertinya ada dendam di hati-
nya...,” tanya Sena berusaha ingin tahu. 
Tersentak Purnama mendengar ucapan Sena. 
Keningnya mengerut, matanya menyipit memandang 
Sena dengan agak menyelidik. Namun Sena nampak 
masih tenang, cengengesan sambil menggaruk-garuk 
kepala. 
“Aha, janganlah berprasangka buruk, Kisanak! Aku 
hanya ingin tahu. Mungkin kita sejalan, karena aku 
pun tak senang pada penindasan dan pemerasan 
terhadap kaum lemah,” ujar Sena sebelum Purnama 
menyahut. Sena melihat tatapan mata Purnama agak 
menaruh prasangka tak baik terhadap dirinya. 
Purnama tercenung diam. Sepertinya dia tengah 
berpikir dan menerka-nerka siapa Sena sebenarnya. 
Setelah yakin kalau Sena bukan orang yang patut 
dicurigai, dengan helaan napas panjang, Purnama 
menuturkan apa yang sebenarnya telah terjadi pada 
dirinya dan Sanjaya. 
“Baiklah, sahabat. Aku akan menceritakan pada-
mu mengenai kami berdua, juga mengenai desa ini. 
Karena semua kejadian ini ada sangkut pautnya,” 
ujar Purnama. 
*** 
Lima tahun yang silam, Sanjaya dan Purnama 
pulang dari mencari kayu di hutan. Hal itu dilakukan 
mereka setiap tiga hari sekali. Istri Sanjaya yang 
bernama Lestari, anak Tumenggung Kalisewu, selalu 
menyambut kedatangan suami dan adik iparnya 
dengan senyum manis dan ramah. Hal itu menjadikan 
rasa lelah kedua kakak-beradik itu hilang. 
Antara Sanjaya dan Lestari sangat saling men-
cintai. Hal itu dibuktikan Lestari, yang sudi me-
ninggalkan ketumenggungan dan kekayaan untuk 
hidup miskin bersama lelaki yang sangat dicintainya. 
Namun, hubungan mereka tidak direstui orangtua 
Lestari. 
Setelah kabur dari ketumenggungan, Sanjaya dan 
istri serta adiknya hidup di lereng bukit yang jauh dari 
keramaian. Hal itu dimaksudkan agar orang-orang 
ketumenggungan tak ada yang tahu tempat mereka. 
Di lereng Bukit Kadal, mereka hidup bersama dua 
tetangga lain. Beruntung kedua tetangga mereka 
sangat baik, bahkan menganggap anak pada mereka. 
Hari demi hari kehidupan mereka tenang, terlepas 
dari perasaan was-was. Hal itu karena mereka terlarut 
dalam suasana kekeluargaan yang erat, yang satu 
sama lain tolong-menolong. Hingga sampai pada 
suatu hari.... 
“Purnama,” panggil Sanjaya pada adiknya.  
“Ada apa, Kang?” 
“Aku tiba-tiba mendapat firasat tak baik,” desah 
Sanjaya dengan wajah diluputi kecemasan. Seperti-
nya ada sesuatu yang sedang dipikirkan. Hal itu 
membuat Purnama mengerutkan kening, menatap 
pada kakaknya dengan perasaan tak mengerti. 
“Tentang apa, Kang?” tanya Purnama ingin tahu. 
“Duduklah dulu!” perintah Sanjaya. 
Purnama menurut duduk di samping kakaknya 
yang tampak murung. Beberapa kali Sanjaya menarik 
napas dalam-dalam, atau terkadang menengadah ke 
atap rumahnya. Seakan-akan hatinya sangat berat 
untuk berbicara. 
“Katakanlah, Kang!” pinta Purnama. 
“Aku mendapat firasat, kalau orang-orang jahat 
akan datang ke tempat kita,” desah Sanjaya setelah 
termenung agak lama. Mendengar ucapan itu 
Purnama tersentak kaget. 
“Maksudmu, Kang!” tanya Purnama semakin 
penasaran. 
“Entahlah, sejak kakakmu melahirkan, perasaanku 
mengatakan bencana akan datang.” 
“Mungkin itu hanya perasaanmu, Kang. Karena 
kau sangat menyanyangi Mbakyu Lestari,” tukas 
Purnama berusaha menghibur Sanjaya dari ke-
gelisahan. 
“Mungkin juga,” tukas Sanjaya, “Kuharap tak ada 
apa-apa.” 
“Begitu juga denganku, Kang.” 
“Ah, sudahlah! Hari sudah larut, bukankah kita 
besok akan mencari kayu?” ujar Sanjaya meng-
ingatkan adiknya. 
“Biarlah aku saja yang pergi, Kang! Sementara 
Kakang tetap di rumah saja menjaga mbakyu,” kata 
Purnama mengusulkan. Dirinya tak ingin Lestari yang 
baru tiga bulan melahirkan harus ditinggal seorang 
diri. Meski di tempat itu ada Ki Praba dan Nyi Bawok 
serta suaminya. Namun alangkah baiknya jika 
Sanjaya menjaga istri dan bayinya. 
“Itu gampang. Sekarang tidurlah.” 
Purnama menuruti kata-kata kakaknya. Dia pun 
berlalu meninggalkan Sanjaya yang masih duduk 
termenung memikirkan firasatnya. 
*** 
Purnama menarik napas dalam-dalam, seakan-
akan berusaha mengisi rongga paru-parunya yang 
kering. Sedangkan Pendekar Gila nyengir dengan 
tangan menggaruk-garuk kepala. Matanya melihat 
perubahan wajah Purnama, yang tengah mengenang 
kejadian pahit yang pernah dialami. 
“He he he...!” Sena tertawa terkekeh-kekeh. 
Purnama mencoba tersenyum, meski senyuman-
nya terasa sangat hambar. Matanya menatap wajah 
Pendekar Gila yang bertingkah laku konyol. Kemudian 
Purnama tersenyum-senyum. Ada perasaan senang, 
bisa berteman dengan pemuda lucu yang mampu 
menghibur hatinya di kala duka seperti itu. 
“Aha, lalu bagaimana selanjutnya?” tanya Sena 
ingin tahu. Purnama tersenyum. 
“Baiklah, kurasa tak ada salahnya kau mengetahui 
semuanya.” 
Setelah menarik napas dalam-dalam, Purnama 
pun melanjutkan ceritanya. 
Pagi itu, Purnama melihat kebimbangan di wajah 
kakaknya. Hal itu membuat Purnama mengerutkan 
kening. Dirinya yang sudah siap mencari kayu, 
melangkah menghampiri Sanjaya. 
“Kang, kalau Kakang bimbang, biarlah aku saja 
yang pergi mencari kayu!” pinta Purnama. 
Sanjaya menghela napas panjang, kemudian ia 
menggelangkan kepala sambil memandang wajah 
adiknya. 
“Tidak, Adikku. Aku akan turut bersamamu.” 
“Tapi, Kang. Bagaimanapun Kakang harus men-
jaga mbakyu dan Ragil. Mereka baru tiga bulan lepas 
dari perjuangan hidup,” Purnama berusaha men-
cegah niat kakaknya. “Lagi pula, bukankah Kakang 
merasa ada firasat tak enak?” 
Sanjaya menarik napas dalam-dalam. Seolah-olah 
dirinya masih dalam kebimbangan. Saat itu Nyi Tarsih 
dan suaminya datang. Seperti biasanya, kedua suami 
istri itu setiap pagi berkunjung untuk menjenguk bayi 
Sanjaya. Keduanya memang sangat menyayangi 
Ragil, dan menganggap cucu mereka sendiri. 
Sanjaya menuturkan pada Nyi Bawok dan suami-
nya, bahwa dia dalam keadaan bimbang untuk pergi 
mencari kayu. Hal itu karena dia masih memikirkan 
istri dan anaknya. 
“Ah, Nak Sanjaya tak perlu khawatir. Biarlah kami 
yang menjaga mereka! Pergilah mencari kayu! 
Percayalah, kami akan menjaga keduanya dengan 
sebaik mungkin!” saran Nyi Bawok berusaha me-
nenangkan hati Sanjaya. 
Sanjaya tercenung. Sepertinya tengah memper-
timbangkan saran Nyi Tarsih. 
“Baiklah kalau begitu, Nyi. Tolong jaga mereka!” 
ujar Sanjaya. 
Kemudian Sanjaya melangkah mendekati Lestari 
yang sedang menidurkan bayinya. “Diajeng, hati-hati, 
ya! Kakang pergi mencari kayu.” 
“Kakang juga harus hati-hati,” sahut Lestari. 
Pagi itu juga, Sanjaya dan Purnama pergi untuk 
mencari kayu bakar. 
*** 
Dari kedua belah mata Purnama, nampak meleleh 
air mata. Sepertinya Purnama merasa duka, jika 
mengingat kejadian yang pernah dialaminya. 
Melihat hal itu, Sena meringis. Tangannya meng-
garuk-garuk kepala. Disimpannya bulu burung di ikat 
pinggang. Wajahnya pun turut berduka. 
“Oh, kenapa kau sedih, Kisanak?” tanya Sena 
dengan wajah sedih. Namun secepat itu pula, kembali 
pada tingkahnya yang konyol. Cengengesan sambil 
menggaruk-garuk kepala. 
Melihat tingkah laku Sena yang lucu, meski 
menangis Purnama tersenyum juga. Dirinya benar-
benar tak mengerti, mengapa Sena yang tadi ber-
sedih tiba-tiba tersenyum-senyum.  
“Benar-benar gila!” pikir Purnama dalam hati 
sambil menggeleng-gelengkan kepala. 
“Aha, kurasa tak sebaiknya menangis, Kisanak. Hi 
hi hi...! Zaman ini memang aneh. Hi hi hi... lucu 
sekali,” gumam Sena dengan cengengesan sambil 
menggaruk-garuk kepalanya. 
Purnama menarik napas dalam-dalam. Disekanya 
air mata yang meleleh. Bibirnya semakin melebarkan 
senyum, geli menyaksikan ucapan dan tingkah laku 
pemuda mirip orang gila di sampingnya. Baru kali ini 
Purnama melihat tingkah laku konyol itu. 
“Ah, kau memang benar-benar mampu menghibur 
orang yang sedang sedih, Kisanak,” ujar Purnama 
polos, memuji Sena yang semakin cengengesan 
sambil menggaruk-garuk kepala. 
“Ah ah ah...! Memang aku gila. Tetapi, kurasa ada 
yang lebih gila. Ya, orang-orang yang berhasrat besar 
dengan keduniaan. Hi hi hi...! Bukankah begitu, 
Kisanak?” tanya Sena masih cengengesan. 
“Ya, kau benar, Pendekar.” 
“Aha, mengapa kau panggil aku pendekar? Sebut 
saja kawan atau Sena. Hi hi hi...!” 
“Baiklah,” sahut Purnama. 
“Aha, lalu apa yang terjadi selanjutnya?” tanya 
Sena ingin tahu. 
Purnama tak langsung bercerita. Lama dirinya 
terdiam dengan mata menatap lepas ke depan. 
Dihelanya napas dalamnya. 
“Kejadian keji itu kami tak tahu. Tapi kami men-
dengarnya dari Ki Kerta, yang masih hidup dan 
menyaksikan kejadian itu dengan sembunyi.” 
Purnama menarik napas dalam-dalam. Kemudian 
menceritakan apa yang diceritakan Ki Kerta kepada-
nya. 
Sore itu Lestari merasa tak betah diam di rumah, 
badannya terasa tambah lemas kalau tak bekerja. 
Maka dirinya segera membawa bakul berisi pakaian 
kotor untuk dicuci di sungai. 
“Lho...! Mau ke mana kamu Lestari...?” tanya Nyi 
Bawok yang sedang memberesi kayu-kayu bakar di 
halaman rumahnya. 
“Mau mencuci pakaian kotor, Nek...!” jawab 
Lestari lemah sambil melangkah mendekati wanita 
tua itu. 
“Sudah...! Sudah...! Cari penyakit. Kamu kan sudah 
dipesan sama suamimu? Agar jangan ke mana-
mana,” kata Nyi Bawok mengingatkan Lestari. “Dan 
lagi anakmu di dalam sendirian..., walah Tari, Tari...? 
Bagaimana kamu ini. Ayo, jangan pergi, nanti aku 
kena salah kalau kamu pergi... Sana masuk lagi...!” 
kata Nyi Bawok dengan nada memerintah pada 
Lestari. 
“Tapi Nek... saya juga ingin mandi. Badan terasa 
panas dan tak enak rasanya. Sebentar kok Nek.... 
Tolong jagakan si Ragil ya, Nek...!” kata Lestari. 
Nyi Bawok menghela napas panjang dan meng-
gelengkan kepala, tanda tak menyetujui maksud 
Lestari. Namun Lestari dengan manjanya meminta 
agar N Bawok mau memberikan izin untuknya. 
“Kamu ini memang bandel Tari! Tapi Nenek juga 
kasihan. Baiklah..., tapi jangan lama-lama! Tuh, lihat 
mendung...!” ujarnya pada Lestari sambil menunjuk 
ke atas. Langit memang mulai mendung. Walaupun 
biasanya sinar matahari masih dapat menerangi 
bumi. 
Lestari tertawa senang karena Nyi Bawok meng-
izinkannya. 
“Terima kasih, Nek...!” 
Selesai berkata demikian, Lestari segera berlalu 
meninggalkan Nyi Bawok sambil membawa bakul 
tempat pakaian kotor. Perempuan muda itu menuju 
sungai yang ada di bawah bukit, tak berapa jauh dari 
rumahnya. 
Kaki Lestari menuruni jalan setapak yang 
berumput. Langkah kakinya cepat. Dan tak lama 
kemudian Lestari sudah sampai di sungai yang tak 
begitu besar. Airnya jernih dan bersih. Di pinggir 
sungai itu ada batu-batu hitam. Di situlah Lestari 
mencuci pakaian-pakaian kotor itu. Selesai mencuci 
Lestari mulai mandi dengan hanya mengenakan kain 
sarungnya. 
Tanpa disadarinya sepasang mata mengamati 
tubuh mulus yang sedang mandi itu dari balik semak-
semak di seberang sungai. 
Lestari masih asyik mandi dengan tenang sambil 
bersenandung kecil, menggosoki tubuh dan wajah-
nya. Kemudian dibenamkan wajahnya ke air sungai 
yang jernih itu. Lalu timbul lagi dengan menggerak-
gerakkan kepalanya ke kiri dan kanan, meremas-
remas rambutnya yang panjang dengan kedua belah 
tangannya. 
Setelah merasa cukup segar merendam di air 
sungai itu, Lestari segera mengeringkan tubuhnya 
dengan kain kering. Menggelung rambut sedemikian 
rupa, lalu melangkah meninggalkan tempat itu. 
Wajahnya nampak puas, karena merasa segar 
habis mandi. Kembali Lestari melangkahkan kakinya 
di jalan setapak yang berumput itu. Namun kali ini ia 
menaiki jalan yang menanjak menuju rumahnya. 
Tanpa dia sadari, ada langkah-langkah kaki mengikuti 
jejaknya. Dan ketika Lestari ingin mencapai bukit, 
kakinya tiba-tiba menginjak duri pohon.  
“Aaa...!” 
Lestari memekik lirih, lalu menghentikan langkah 
dan mengangkat kaki kirinya yang menginjak duri 
tadi. Darah keluar tak begitu banyak ketika duri di 
telapak kaki dicabutnya. 
“Aneh, tak biasanya ada duri di jalan...?!” gumam 
nya dalam hati. 
Setelah selesai mengikat kaki yang terkena duri 
dengan sobekan kain bekas mengeringkan badan 
tadi, Lestari kembali melanjutkan langkah menuju 
rumah. 
“Hah...?!” 
Lestari sangat terkejut ketika melihat kandang 
ayam dan tempat penyimpanan kayu bakar 
berantakan. Segera Lestari berlari menuju rumahnya. 
Dengan, perasaan cemas dan khawatir. 
Benar, ketika Lestari masuk rumah, anaknya tak 
ada di tempat tidurnya. Dengan panik Lestari kembali 
keluar. 
“Nek...! Nek Bawok...!” panggil Lestari sambi ber-
lari menuju rumah Nyi Bawok yang tak jauh dari 
rumahnya. Karena ia pikir bayinya pasti ada di rumah 
Nyi Bawok. 
Namun apa yang dilihatnya sangat mengejutkan. 
Nyi Bawok bersama suaminya Ki Harja telah mati 
dengan leher terbabat senjata tajam. Kedua orang itu 
terkapar di lantai pondoknya. 
“Hah?! Aaaa..!” 
Lestari menjerit karena ketakutan dan kaget. 
Kakinya segera berlari ke luar sambil berteriak minta 
tolong. 
Pada saat itu Ki Kerta yang sejak tadi bersembunyi 
di semak-semak, ingin menolong dan mem-
beritahukan Lestari. Namun dirinya takut. Karena 
empat orang lelaki tak dikenal telah membunuh Nyi 
Bawok dan Ki Harja.... Serta menyandera bayi Lestari 
yang baru berumur tiga bulan itu. 
Ketika Lestari ingin kembali ke rumahnya, tiba-tiba 
muncul lelaki muda berwajah culas dengan kumis 
tipis di atas bibirnya. Matanya menatap penuh birahi 
sambil tertawa terbahak-bahak. Di tangan kirinya 
menjinjing bayi Lestari. 
“Siapa kau?! Kembalikan anakku...!” bentak 
Lestari dengan marah. Lalu mencoba merebut anak-
nya lari tangan lelaki muda itu. Namun lelaki itu mem-
permainkan Lestari dengan tertawa-tawa men-
jauhinya sambil menjinjing anak yang tak berdosa itu. 
“Ha ha ha...!” lelaki muda itu tertawa-tawa diikuti 
ketiga temannya yang berpakaian serba hijau dengan 
ikat kepala hitam. Wajah ketiganya tak sedap di-
pandang alias buruk rupa. Salah seorang bermata 
juling. Ketiganya bersenjatakan tombak. 
Lelaki yang menjinjing bayi Lestari rupanya 
pimpinan mereka. Dilihat dari pakaiannya, lebih 
bagus. 
Kepalanya ditutupi blangkon hitam. Rambutnya 
dibiarkan lepas sepanjang bahu. Sedang bajunya 
yang hitam berlengan panjang. Kancing bagian atas 
sengaja dibuka, hingga terlihat dadanya yang penuh 
bulu itu, terselip sebilah keris di pinggangnya. 
“Kau tentunya sangat sayang dengan anakmu ini, 
bukan...? He he he...!” ejek lelaki muda itu. 
Lestari menangis sambil terus berusaha men-
dapatkan bayinya. Wanita itu mencakar dan me-
mukuli lelaki muda itu. Namun tiba-tiba Lestari 
didorongnya dengan kasar, hingga terhuyung dan 
jatuh. Kainnya yang hanya diikatkan sampai ke dada 
dengan mudah terlepas dan terselip. Tubuh kuning 
dan kedua paha, serta betisnya yang mulus jelas 
terlihat oleh keempat lelaki itu. 
Mata mereka membelalak melihat keindahan 
tubuh Lestari yang cantik itu. Keempatnya menelan 
ludah. Lestari yang sadar kalau kainnya terlepas, 
dengan cepat merapikannya kembali. Lalu lari ke 
dalam rumah bermaksud ingin mengambil golok. 
Ketika Lestari keluar memegang golok, salah seorang 
berpakaian hijau yang bermata juling merenggutnya 
dengan kasar. Lestari berontak sambil berteriak-
teriak. Karena lelaki itu lebih kuat usaha Lestari sia-
sia. Namun karena didorong tekadnya untuk 
menyelamatkan diri dan mengambil anaknya, wanita 
itu akhirnya berhasil, digigitnya lengan lelaki juling itu. 
Lalu dengan cepat membabatkan goloknya sem-
barangan menyerang lelaki juling itu. 
“Aaa... ukkk!” pekikan panjang terdengar dari 
lelaki juling. Perutnya ternyata tergores golok Lestari. 
Dan melihat wanita itu mulai kalap. Lelaki lainnya 
segera melompat dan mengepung Lestari. Karena 
Lestari tak punya ilmu silat, dalam sekejap wanita itu 
dapat dijinakkan oleh kedua lelaki berpakaian hijau. 
Kaki Lestari dipegang kedua lelaki berbaju hijau 
yang berhasil menangkapnya, kemudian direntang-
kan lebar-lebar dengan paksa. Kedua tangannya 
direntang pula, lalu diikat di tanah. Lestari berusaha 
memberotak, tapi sia-sia. Sambil menjinjing bayi, 
lelaki muda berpakaian hitam melangkah dengan 
pongah mendekati tubuh Lestari yang sudah terikat di 
tanah itu. Kedua anak buahnya memegangi kaki 
Lestari. Lelaki juling yang dilukai Lestari memegangi 
kedua tangan wanita itu sambil menjulurkan lidah, 
serta mengancam Lestari dengan tombaknya. 
“Lepaskan! Lepaskan...! Tolooong, tolooong...!” 
teriakan Lestari tak ada yang mendengar. Karena 
tempat itu sangat terpencil dari desa mana pun. 
Akhirnya wanita malang itu hanya menerima 
kenyataan yang sangat menyedihkan. 
Lelaki muda itu menyetubuhi Lestari sepuas-puas 
hatinya. Setelah puas, ketiga anak buahnya pun 
diberi kesempatan menikmati secara bergantian. 
Sampai akhirnya Lestari pingsan. Dengan darah terus 
mengucur dari kedua selangkangan. 
Setelah itu Lestari dilepas begitu saja. Dan bayi 
yang tak berdosa itu ditaruh di dekat ibunya yang tak 
berdaya. Namun, entah dari mana Lestari men-
dapatkan kekuatan, tubuhnya menggeliat bangkit lalu 
menyerang salah seorang berpakaian hijau dengan 
menusukkan golok yang sempat dipungut di tanah.  
Jrabs!  
“Aaa...!” 
Tusukan Lestari yang sepenuh tenaga itu tembus 
ke dada lelaki itu. Ambruklah tubuh lelaki berpakaian 
hijau itu. Namun, ketika Lestari hendak mem-
babatkan pedang lagi, tiba-tiba sebuah pukulan keras 
mendarat di dadanya. 
“Akh...!” 
Lestari terpekik keras dan tubuhnya langsung 
roboh ke belakang. Dan menindih bayinya! Kontan 
bayi itu mati. 
Melihat Lestari mati bersama bayinya, lelaki muda 
itu memerintahkan anak buahnya agar segera pergi. 
“Ayo, kita segera kembali ke seberang! Tapi kita 
perlu mengambil hadiah pekerjaan ini. Lalu kita habisi 
sekalian tumenggung bodoh itu...!” perintah lelaki 
muda bertampang culas itu. 
“Ya...! Kita habisi Tumenggung Kalisewu itu 
bersama seluruh anak buahnya. Kita kuras harta 
mereka! Ha ha ha...!” sahut si juling dengan tertawa 
terbahak-bahak. 
Dengan cepat mereka meninggalkan tempat itu. 
Ki Kerta yang sejak tadi menyaksikan kejadian itu, 
tak mampu berbuat apa-apa. Sekujur tubuhnya 
gemetaran. Rasanya tak kuat berdiri. 
Sementara itu langit makin gelap, awan hitam 
bergulung bagai ombak laut. Dan sebentar-sebentar 
geledek dan petir menyambar. Seakan langit akan 
runtuh! Angin pun bertiup sangat kencang. Hingga 
pondok Lestari dan lainnya bagai hendak roboh 
terkena tiupan angin yang sangat kencang itu. 
Ki Kerta masih saja bersembunyi di tempatnya, 
dengan tubuh gemetaran. Matanya menatap mayat 
Lestari yang tertelungkup di tanah menindih bayinya. 
Ki Kerta berusaha berdiri, tapi terasa berat. Mungkin 
karena rasa takut yang berlebihan, serta kesedihan 
melihat kejadian mengenaskan dan biadab tadi. 
Kembali petir menyambar, diiringi suara guntur 
mengelegar. Awan hitam berarak-arakan tertiup angin 
semakin menambah suasana yang mencekam saat 
itu. 
Dari arah barat tampak dua lelaki memanggul 
kayu bakar berjalan menuju rumah Lestari. Kedua 
orang itu tak lain Sanjaya dan Purnama. Wajah 
mereka nampak kelelahan. Keringat membasahi 
kening dan mukanya, walaupun udara saat itu dingin 
karena hembusan angin yang kencang. 
Ketika Purnama dan Sanjaya memasuki pagar 
halaman rumah, mereka tersentak kaget bukan 
kepalang. Sanjaya menatap tubuh wanita yang begitu 
dikenalnya tertelungkup dengan darah di bagian 
perut. 
“Lestari...! Tari...?!” teriak Sanjaya setelah sadar 
kalau yang dilihat ternyata istrinya. 
Dengan gemetaran Sanjaya membalikkan tubuh 
Lestari yang telah mati. Dan... 
“Hah...?! Anakku, anakku...?!” Sanjaya makin 
membelalakkan mata ketika melihat bayinya telah 
mati tertindih tubuh Lestari. 
“Hah...?! Setan, Iblis siapa yang berani berbuat 
semua ini! Aaahhh...! Oh, Gusti! Gusti...! Kenapa tidak 
diriku saja yang menjadi korban kebiadapan manusia 
itu...! Keluar kau Iblis, dedemit...! Ayo hadapi akuuu..., 
keluaaar...!” 
Sanjaya berteriak-teriak karena marah, jengkel, 
menyesal, dan kecewa. Bagai orang gila, lari ke sana 
kemari dengan memegang golok terhunus. Purnama 
berusaha mencegahnya. Namun justru dipukul dan 
ditendangnya. 
“Sabar, Kang! Sabarlah...!” Purnama coba me-
nenangkan kakaknya. Namun Sanjaya tetap saja 
ngamuk, semua yang ada di depannya ditendang dan 
dihancurkan. Matanya merah bagai banteng marah. 
Giginya beradu, bergemeretakan. Dadanya naik turun 
dengan cepat. Menandakan lelaki itu sangat marah. 
Saat itu muncul Ki Kerta dari balik semak-semak. 
“Nak Purnama... tolong! Tolooong saya..., Nak 
Purnama...!” seru Ki Kerta yang berusaha berdiri, tapi 
jatuh lagi. Purnama menoleh ke asal suara panggilan 
itu, setelah mencari sebentar, muncul kembali kepala 
Ki Kerta dari balik semak-semak. 
“Hah?! Ki Kerta...?!” pekik Purnama lirih, lalu 
melompat. 
Dalam sekejap Purnama telah sampai di dekat Ki 
Kerta. Purnama segera menggotong Ki Kerta. 
Sementara itu Sanjaya masih mengamuk. Setelah 
hujan mulai turun, barulah Sanjaya agak sadar. Diri-
nya berlutut di dekat mayat Lestari. Dipeluknya tubuh 
Lestari lalu digendongnya sang Bayi yang tak berdosa 
itu. Sungguh hancur hati dan perasaan Sanjaya. Di-
ciuminya pipi bayi itu berulang-ulang. 
“Oh, Gusti..., tunjukkan siapa yang melakukan 
semua ini! Aku harus membuat pembalasan...! Oh, 
anakku! Maafkan ayahmu...!” Sanjaya memeluk 
bayinya penuh kasih sayang dan kembali menciumi. 
Purnama yang telah membawa masuk Ki Kerta ke 
pondok, kembali keluar menghampiri Sanjaya. Kaki-
nya ikut berjongkok, memandangi kakaknya dengan 
perasaan iba. 
“Kang, sebaiknya Mbakyu Lestari kita bawa 
masuk! Kasihan dia...,” ucap Purnama kemudian 
dengan suara pelahan. 
Sanjaya tak menjawab dan tidak menoleh sedikit 
pun. Lelaki yang malang itu terus saja menciumi 
bayinya. Lalu memandangi mayat istrinya yang cantik 
dan berhati mulia itu. 
“Kalau saja aku tak membawanya pergi..., tak 
mungkin semua ini terjadi! Aku telah berdosa,” 
gumam Sanjaya lirih sekali. 
Hujan semakin deras. Petir menyambar, me-
nambah suasana makin keruh dan mencekam. Langit 
semakin gelap oleh awan hitam yang bergayut. 
Segelap hati Sanjaya saat itu. 
“Kang, kasihan istrimu. Hujan semakin deras...,” 
ajar Purnama lagi. Namun Sanjaya tetap diam, hanya 
memandangi wajah istrinya yang telah menjadi mayat 
itu. 
Purnama yang merasa tak tahan melihat mayat 
kakak iparnya tergeletak dan basah diguyur hujan, 
segera mengangkatnya. Dibawanya tubuh basah 
berlumur darah itu ke dalam pondoknya. 
Sanjaya rupanya kaget dan sadar. Dengan meng-
gendong mayat bayinya, Sanjaya pun berdiri dan 
melangkah pelahan ke pondoknya. Sehari setelah 
penguburan Lestari, Sanjaya suka menyendiri. Setiap 
hari duduk melamun di makam istrinya. Nafsu 
makannya berkurang, tidak mau kerja lagi kecuali 
termenung dan menyendiri. Keadaan seperti itu 
berjalan hampir sebulan. Untung Ki Praba datang 
ketika mendengar peristiwa itu. 
“Jaya..., sebaiknya kau lupakan peristiwa itu! Kalau 
terus-menerus begini tak akan ada habisnya,” nasihat 
Ki Praba dengan nada berat. “Sekarang, sebaiknya 
kau mulai memperdalam ilmu silatmu. Untuk mem-
balas dendammu demi istri dan anakmu,” lanjut Ki 
Praba. 
Sanjaya yang masih duduk bersila di atas 
potongan batang pohon besar di dalam pondoknya 
hanya menghela napas panjang. 
“Menurut keterangan Ki Kerta, sebelum mereka 
pergi menyebutkan kata ke seberang. Dan menyebut 
juga Tumenggung Kalisewu, orangtua istri kakakmu 
bukan begitu Purnama?!” tanya Ki Praba sambil 
menoleh ke Purnama. 
“Benar, Ki,” jawab Purnama perlahan sambil 
mengangguk. 
“Jelas sudah. Setelah aku mendengar berita itu 
aku dan beberapa penduduk desa menyelidiki ke-
adaan Ketumenggungan Kalisewu. Ternyata Ke-
tumenggungan Kalisewu telah musnah porak 
poranda. Pangeran Cakra dan Tumenggung Rogo 
Kusuma, ayah Lestari mati terbunuh!” tutur Ki Praba 
tegas. 
“Hah?! Mati...?” gumam Sanjaya kaget dan tak 
mengerti. Matanya terbelalak menatap Ki Praba dan 
Purnama bergantian. Dengan kening berkerut mulut-
nya terbuka sepertinya ingin menanyakan sesuatu, 
tapi tak bisa keluar suaranya. 
“Kau tentu heran, dan bertanya siapa pembunuh 
itu, bukan?” ujar Ki Praba tiba-tiba, “Pembunuhnya 
tak lain orang yang dibayar oleh orangtua Lestari 
untuk membunuhmu!” sambung Ki Praba. 
Sanjaya kembali terkejut, matanya terbelalak 
lebar. Dadanya naik turun dengan cepat, menahan 
amarah. Dirinya masih belum bisa mengeluarkan 
kata-kata. 
“Tapi karena kau tak ada, dan melihat istrimu yang 
cantik itu. Manusia-manusia biadab itu membunuh 
Lestari setelah menggauli Lestari,” sejenak Ki Praba 
menghentikan kata-katanya. Lelaki itu tahu kalau hati 
Sanjaya sedang menahan marah dan dendam yang 
amat besar. 
“Dan Lestari yang juga sudah kuanggap sebagai 
anakku akhirnya menemui ajalnya. Karena ia kena 
pukulan lelaki itu, setelah Lestari berhasil membunuh 
salah satu dari mereka...!” ucap Ki Praba lagi 
mengakhirinya. 
“Siapa lelaki itu, Ki?” tanya Sanjaya dengan suara 
bergetar. 
Ki Praba tak segera menjawab. Lelaki itu menatap 
sejenak wajah Sanjaya. Kemudian mengalihkan 
pandangan ke tempat lain seraya menghela napas 
panjang. 
“Beruk Ireng! Salah satu dari tiga bersaudara 
dalam kelompok Serigala Hitam! Rupanya orang-
orang yang dibayar oleh Tumenggung Rogo Kusuma, 
mertuamu itu berkhianat! Mereka menghancurkan 
ketumenggungan itu dengan licik dan keji....” 
“Beruk Ireng!” Sanjaya geram. Giginya ber-
gemeretak. Sedang matanya membeliak tajam. 
Jemari tangannya mengepal kuat, seakan menahan 
amarah yang menggelegak. 
*** 
Selesai bercerita panjang lebar, Purnama lalu 
bergerak turun dari bale-bale. Kemudian melangkah 
mendekati tiang penyangga rumah bilik itu. Kedua 
tangannya dilipat di dadanya. Matanya menatap jauh 
kegelapan malam. Ditariknya napas dalam-dalam. 
Seakan-akan hatinya kembali sedih teringat peristiwa 
lima tahun silam. 
Sena manggut-manggut, lalu menggaruk-garuk 
kepalanya. 
“Ah mengharukan.... Lalu bagaimana nasib dan 
kelanjutan Ketumenggungan Kalisewu...?” tanya 
Sena lagi. 
Purnama menoleh ke wajah Sena, lalu kembali 
memandang ke depan. 
“Ketumenggungan itu dikuasai kelompok Serigala 
Hitam bersaudara. Karena dendam kami yang 
membara. Maka aku dan Kakang Sanjaya, dibantu 
penduduk desa, melawan mereka. Kami serang 
mereka ketika tengah mengadakan pesta gila! 
Tengah malam, Ketika mereka mabuk dan tertidur 
karena minuman tuak, kami menyerang. Dengan 
mudah kami dapat membasmi manusia-manusia 
pengkhianat dan pemeras itu. Beruk Ireng yang 
terbangun mendengar ribut-ribut, keluar dari sebuah 
kamar dalam keadaan mabuk. Dan Kakang Sanjaya 
yang melihatnya tak memberikan kesempatan! 
Dihabisi si Beruk Ireng dengan memenggal kepala-
nya. Kemudian tubuhnya dicincang. Habis...!” 
Purnama menghentikan kata-katanya sejenak, 
ditariknya napas panjang. “Kalau saja Beruk Ireng 
dalam keadaan sadar, tak mungkin Kakang Sanjaya 
dapat mengalahkannya. Sebab ilmu Beruk Ireng 
cukup tinggi! Namun sayang, kami tak dapat 
menemukan Raden Kumbara dan saudara tertuanya, 
yaitu Kala Bendana! Ilmunya sangat tinggi. Dan dialah 
dalang semua kejahatan ini!” 
“Jadi sejak itu mereka lalu mencari tempat di 
seberang? Atau...,” tanya Sena ingin tahu. 
“Ya. Mereka tinggal di pulau seberang sana. Dan 
orang-orang rimba persilatan menjuluki dengan nama 
Pulau Neraka,” jawab Purnama. 
“Tapi bagaimana tadi dia mendapatkan kereta 
kuda dan beberapa kuda? Dan kenapa Raden 
Kumbara tiba-tiba muncul dengan sengaja me-
mancing kekeruhan lagi?!” tanya Sena. 
Mendengar pertanyaan Sena, Purnama jadi 
berpikir. Dirinya sendiri merasa agak aneh. Lalu 
Purnama menoleh ke wajah Sena dan melangkah ke 
bale-bale lagi, lalu duduk di pinggirnya. 
“Aku sendiri masih mencari-cari jawabannya,” 
sahut Purnama dengan nada datar. 
“Dan aku heran, mengapa baru sekarang mereka 
membalas dendam itu. Semestinya kalau mereka 
memang orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi, 
akan segera membalas kalian!” ujar Sena mencoba 
memberi pendapat pada Purnama. 
Purnama manggut-manggut sambil memegang 
keningnya. Pemuda itu masih berpikir keras. 
“Mungkinkah mereka menyusun kekuatan! Karena 
semua antek-anteknya telah kami habisi. Tinggal 
Raden Kumbara dan Kala Bendana yang saat itu tak 
kami temukan. Sebenarnya mereka tak memiliki ilmu 
silat yang tinggi. Hanya keberanian dan kelicikan yang 
membuat mereka disegani dan dianggap jago di 
rimba persilatan...!” ujar Purnama setelah men-
dapatkan jawaban dan dugaan. Purnama kembali 
berdiri dan mondar-mandir dengan kedua tangannya 
di belakang. Kepalanya tertunduk menatapi lantai 
tanah. 
“Aha! Pendapatmu agak masuk akal. Tapi kita 
harus tetap waspada. Dan perlu aku beritahukan, 
kemarin malam ketika aku hendak memasuki Desa 
Karang Galuh ini, aku dicegat dua manusia yang mirip 
kera! Apakah mereka itu orang Serigala Hitam...?” 
tanya Sena. 
Mendengar keterangan Sena, Purnama merasa 
kaget. Segera dibalikkan tubuhnya menghadap ke 
Sena. Matanya menatap wajah Sena seakan 
menyelidik. Lalu kembali membuang muka dan 
mondar-mandir. 
Melihat sikap Purnama, Sena tercenung. Kening-
nya tampak terkemyit, dan menggaruk-garuk kepala 
dengan tangan kanan. Kemudian cengar-cengir 
sendiri. 
“Apakah pertanyaanku tadi menyinggung perasa-
annya? Atau...,” gumam Sena lirih. Sambil terus 
menggaruk-garuk kepalanya. 
Pada saat itu keluarlah Ki Praba dari dalam 
rumah. 
“Rupanya kalian berdua sangat akrab. Apa yang 
sedang kalian obrolkan...?” tanya Ki Praba seraya 
tersenyum. 
“Kami hanya bercerita tentang masa lalu, Ki. 
Untuk menghilangkan kantuk. Sebab kita harus 
berjaga-jaga. Siapa tahu orang-orang Serigala Hitam 
menyerang kita,” jawab Purnama sambil menunduk-
kan kepala. Purnama maupun Sanjaya sangat meng-
hargai kepala desa yang telah dianggap orangtua 
mereka. 
Mendengar jawaban Purnama, Ki Praba hanya 
manggut-manggut sambil memegangi jenggotnya. 
“Bagus! Malam ini memang terasa panjang bagi 
kita. Seakan tak akan berganti pagi. Ini semua 
merupakan cobaan dan ujian bagi kita semua. Benar 
kan, Nak Sena...?” tanya Ki Praba kemudian. Matanya 
menatap Sena. 
“Benar, Ki,” jawab Sena singkat. Ki Praba ter-
senyum. Lalu kembali masuk ke rumahnya. Kali ini 
Purnama yang mengikutinya. 
“Sebentar aku ambilkan minum di dalam...!” kata 
Purnama pada Sena yang masih duduk bersila di 
bale-bale. Sena hanya menganggukkan kepala. 
“Kenapa Purnama tampak terkejut dan gelisah 
ketika aku tanya tentang kedua manusia kera?” kata 
Sena dalam hati. “Ada apa sebenarnya? Atau...?” 
Sena lalu kembali cengengesan sendiri sambil 
menggeleng-gelengkan kepala. 
*** 
Malam terlewati tanpa kejadian apa-apa. Suasana 
di Desa Karang Galuh tampak sepi dan sunyi. Tak 
seperti hari-hari sebelum kejadian penculikan Ranti 
anak Nyi Karti. 
Sore harinya ketika penduduk tampak sibuk 
dengan pekerjaan masing-masing. Ki Praba, Sena, 
Sanjaya, dan Purnama tengah terlibat dalam per-
bincangan di serambi depan rumah kepala desa itu. 
Tiba-tiba terdengar derap kaki-kaki kuda me-
masuki Desa Karang Galuh. Sepuluh orang pe-
nunggang kuda, lengkap dengan senjata tombak 
menggebah kuda mereka memasuki mulut desa. 
Pakaian mereka beraneka ragam. Ada yang coklat, 
hitam, merah, hijau, dan abu-abu! Tampang mereka 
yang tampak garang terhias kumis tebal. Semua 
mengenakan ikat kepala berwarna-warni. 
Ketika memasuki desa, sepuluh orang berkuda itu 
berpencar. Dengan teriakan-teriakan keras mereka 
mengobrak-abrik rumah para penduduk! Melukai 
orang yang berlarian ketakutan. Mereka tak segan-
segan membabat dan menusuk, serta memukulkan 
tombak masing-masing ke tubuh penduduk desa yang 
berpapasan. Tak peduli lelaki atau perempuan. 
Dengan bengis mereka dibunuh dan dilukai. 
Jeitan dan teriakan orang-orang desa didengar Ki 
Praba, Sena, dan Purnama. Keempat orang itu ter-
kejut. Namun Sena tampak lebih tenang. Sena tak 
segera bangkit. Bahkan justru menggaruk-garuk 
kepalanya seperti merasa gatal. 
Ki Praba, Sanjaya, dan Purnama melesat keluar 
dari serambi rumah. 
Crak! Crak! 
“Aaa...!” 
“Ukh...!” 
“Tolooong...! Tolooong...!” 
Teriakan dan jeritan kematian terdengar di sana-
sini. Dan orang-orang berkuda itu seperti kesetanan, 
tanpa belas kasihan sedikit pun. Mereka terus 
memporak-porandakan desa itu. 
“Heaaa...!” 
Sanjaya dan Purnama segera melompat sambil 
bersalto ke tempat orang-orang berkuda. Sanjaya dan 
Purnama menghadang mereka sambil membabatkan 
goloknya dengan geram dan ganas! 
Crakkk! Jrabs! 
“Aaakh...!” 
“Ukh...!” 
Dua orang dari gerombolan itu terpelanting dari 
punggung kuda ketika golok Sanjaya dan Purnama 
membabat perut mereka. Kedua kakak-beradik itu 
kemudian berpencar, sama-sama menghadapi lawan. 
Ketika Sanjaya sedang bertarung dan berhasil men-
jatuhkan salah seorang dari kuda, tiba-tiba dari 
belakang, seorang lawan yang lain melarikan kudanya 
dengan kencang. Tampaknya lelaki bersenjata 
tombak itu hendak menerjang Sanjaya. 
“Heaaa...!” 
Namun belum sempat orang berkuda itu me-
nerjang dan menusukkan tombaknya tahu-tahu 
terpekik keras. Tubuhnya terjungkal dengan kepala 
pecah membentur tanah. 
Sanjaya yang baru sadar, menoleh cepat. Dilihat-
nya orang itu sudah mati. Lalu dengan cepat lelaki 
muda berpakaian serba kuning itu menghadapi 
lawannya yang sudah terluka sabetan goloknya. 
“Manusia macam kalian ini mesti mampus...!” 
dengus Sanjaya. Dengan geram orang kepercayaan 
kepala desa itu melesat menyerang. Tombak dan 
golok saling beradu. 
Trang! Trang! Trang!  
Dukkk! 
“Ukh...!” 
Orang itu terpekik ketika tinju Sanjaya mendarat 
telak dirusuknya. Seketika tubuhnya terhuyung-
huyung ke belakang dengan mulut meringis 
kesakitan. Sanjaya tak ingin memberi kesempatan 
pada lawannya. Tangannya kembali membabatkan 
goloknya dengan sekuat tenaga. 
Jrab! Jrabs! 
Perut dan leher penjahat itu hampir putus! Darah 
segar muncrat membasahi sekujur tubuhnya yang 
telah terkapar tak bernyawa. Melihat lawannya telah 
roboh Sanjaya mengalihkan perhatian ke tempat 
pertempuran lain. Tampak Purnama, adiknya tengah 
berusaha menghadapi dua orang lawan. 
“Heat...!” 
Trak! Trakkk! 
Dengan gesit dan tangkas Purnama menghadang 
serangan dua lawannya yang sudah turun dari kuda. 
Golok Purnama beradu keras, dengan dua tombak 
lawan. Lalu dengan cepat sekali kakinya menendang 
perut lawan sambil berputar. 
“Hea...!” 
Bluk! Bluk! 
“Aaakh...!” 
Kedua lawan itu terhuyung, namun segera kembali 
memasang kuda-kuda dan siap menyerang secara 
bersamaan. 
“Heaaa...!” 
“Heaaa...!” 
“Heh?!” 
Kedua penjahat itu tersentak kaget, ketika melihat 
Purnama tiba-tiba melenting ke udara. Tubuh terbalut 
pakaian serba kuning itu melesat cepat sambil mem-
babatkan goloknya ke leher kedua lawan. 
Jrab! Brettt! 
“Aaakh...!” 
Pekikan keras terdengar dari kedua lelaki itu 
ketika golok Purnama membabat telak leher mereka. 
Telah lima orang dari gerombolan berkuda tewas di 
tangan kedua kakak-beradik itu. 
Tak jauh dari rumah kepala desa, tampak Ki Praba 
tengah menghadapi dua lawan yang masih berada di 
punggung kuda. Ki Praba yang memiliki ilmu silat 
cukup lumayan dapat mengimbangi kedua lawannya. 
“Hah?! Mampus kau, Kakek Tua!” seru salah 
seorang penunggang kuda sambil menusukkan 
tombak ke dada Ki Praba. Kepala Desa Karang Galuh 
itu menoleh sambil tetap mencekal kuat tombak 
lawan yang lain. 
Wuttt! 
Ki Praba mengelak dengan merebahkan badan 
disertai tarikan kuat tangan kanannya yang mengunci 
tombak lawan. Sehingga tombak itu dapat dikuasai Ki 
Praba. 
Melihat Ki Praba telentang di tanah sambil me-
megang tombak, penjahat yang gagal mencederai 
lelaki tua itu bergerak. Dengan cepat ditancapkan 
tombaknya ke dada Ki Praba. 
Namun bersamaan dengan itu tiba-tiba sesosok 
bayangan berkelebat cepat merenggut tubuh kepala 
desa itu dari ancaman maut. 
Entah kapan sosok penolong Ki Praba itu me-
lancarkan serangan. Gerakannya yang begitu cepat 
tak tertangkap mata biasa. Ki Praba sendiri tersentak 
kaget melihat lawannya tiba-tiba telah ambruk 
dengan dada hangus seperti terbakar. 
Ternyata Sena yang menolong Ki Praba dari 
bahaya kematian. Pemuda berompi kulit ular itu 
mengamankan kepala desa di serambi rumahnya. 
Lalu dengan cepat kembali melesat ke arena per-
tempuran. 
Gerombolan itu kini tinggal tiga orang. Nampaknya 
ketiganya memiliki ilmu yang tak boleh diremehkan. 
Nyatanya Sanjaya dan Purnama yang menghadapi 
mereka nampak terus terdesak dan kewalahan. 
Permainan tombak mereka tampak begitu 
sempurna. Dibabatkan ke sana kemari dengan cepat 
dan terkadang diputar-putarnya tombak itu hingga 
seperti baling-baling. 
“Heaaa...!” 
“Hah...!” 
Wuttt! Wuttt! 
Trang! Trang! Trang! 
Dentang nyaring terdengar beberapa kali ketika 
senjata mereka saling beradu keras. 
“Aaa...!” tiba-tiba Purnama terpekik. Ternyata 
rusuknya terserempet ujung tombak lawan. Darah 
segar mengucur. Namun pemuda itu kembali 
menyerang dibantu kakaknya yang mengetahui 
bahwa Purnama terluka. 
Namun ketiga lawan tampaknya mampu membaca 
serangan yang dilancarkan kedua kakak-beradik 
berpakaian kuning itu. Sehingga tanpa menemui 
kesulitan, ketiga orang jahat itu mematahkan 
serangan Purnama dan Sanjaya. 
“Heaaa...!” 
“Heaaa...!” 
Teriakan-teriakan keras menggelegar mengiringi 
serangan mereka. 
Trang! Trang! Trang! Crabs! Jrabs!  
“Hukh..!”  
“Aaa...!” 
Pekikan keras terdengar susul-menyusul. Dada 
Sanjaya tertusuk tombak lawan. Begitu pula yang 
dialami Purnama. Wajahnya tersambar tombak 
hingga robek dan mengucurkan darah. Pada saat 
kedua bersaudara ini sudah mulai terhuyung-huyung 
menahan sakit, ketiga orang itu secara serentak 
melancarkan serangan, tanpa memberi ampun. 
“Heaaa...!” 
“Heaaa...!” 
Ketiga anggota gerombolan itu melompat cepat ke 
udara untuk menghabisi nyawa Sanjaya dan 
Purnama. Namun tanpa diduga sama sekali sesosok 
bayangan berkelebat begitu cepat memapak 
serangan dahsyat mereka. 
Pletak! 
Blukkk! 
“Akh...!” 
“Aaa...!” 
Kejadian itu berlangsung begitu cepat. Dalam 
sekejap mata ketiga anggota gerombolan jahat telah 
bergelimpangan tewas di tanah. Di antara ketiga 
mayat itu berdiri seorang pemuda berpakaian rompi 
dari kulit ular. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Gila. 
Sanjaya dan Purnama yang telah terluka sempat 
tersentak kaget. Apalagi ketika mata mereka melihat 
benda yang digenggam pemuda bertingkah laku aneh 
itu. Sena tersenyum lucu sambil memegangi Suling 
Naga Saktinya. 
Keterkejutan pun dialami Ki Praba. Kepala desa 
itu tengah memegangi tangannya yang terluka karena 
terinjak kaki-kaki kuda, ketika tadi menjatuhkan diri 
menghindari serangan musuh. Dari serambi rumah-
nya Ki Praba sempat melihat senjata Sena yang tadi 
dipergunakan untuk menghabisi ketiga lawannya. 
Sebuah suling berkepala ular naga! 
“Sudah kuduga dari semula.... Pemuda gagah ini 
bukan pemuda biasa. Benda yang digenggamnya itu 
menunjukkan siapa Nak Sena sebenarnya. Nak Sena 
ini...,” gumam Ki Praba lirih sambil manggut-manggut. 
Nampaknya lelaki tua itu telah tahu, kalau Sena tak 
lain si Pendekar Gila dari Goa Setan. Murid Singo 
Edan yang sudah kesohor di dunia persilatan. 
Sepuluh mayat nampak bergeletakan di sana-sini. 
Sena masih berdiri di tempatnya. Matanya me-
mandangi mayat-mayat dengan perasaan tak karuan. 
Hatinya merasa iba pada penduduk desa yang lemah, 
menjadi korban para durjana tak dikenal itu. 
“Apa ini ada hubungannya dengan kematian 
Raden Kumbara...?!” gumam Sena dalam hati. 
Ketika Sanjaya dan Purnama mendekatinya, Sena 
menyelipkan kembali Suling Naga Sakti ke pinggang. 
“Terima kasih... Pendekar...,” ucap Sanjaya dengan 
lemah. 
Sena yang disebut pendekar tampak mengerutkan 
kening. Lalu menggaruk-garuk kepalanya. 
“Ah ah ah...! Kenapa kau menyebutku 
pendekar...?!” tanya Sena sambil menggeleng-geleng 
kepala dan cengengesan. 
“Kau pantas disebut, pendekar, Sena...!” 
Terdengar suara Ki Praba yang berjalan mendekati 
mereka. 
Sena dan Sanjaya, serta Purnama menoleh pada 
Ki Praba. Sena kembali menggaruk-garuk kepala 
sambil cengengesan. Hal itu membuat Ki Praba 
makin yakin terhadap dugaannya. 
“Bukan saja karena Nak Sena telah membantu 
dan menolong kami. Tapi karena benda yang terselip 
di pinggangmu itu. Aku mengenal benda itu milik 
seseorang yang sangat kukagumi sampai saat ini. 
Dan kaulah Pendekar Gila dari Goa Setan, murid 
Singo Edan!” ucap Ki Praba jelas dan mantap. 
“Ah ah ah...! Ki Praba mungkin salah. Aku hanya 
seorang pemuda biasa dan bodoh!” sahut Sena 
sambil cengengesan. 
Lanjut