Pendekar Gila 16 - Istana Berdarah(2)



"Hait! Hi hi hi...! Kalian tak ubahnya seperti tiga 
kerbo dungu. Tenaga saja yang besar, tapi otak kalian 
di dengkul," sambil tertawa-tawa, Pendekar Gila terus 
berkelit. Sementara mulutnya terus mengejek ketiga
lawannya yang semakin bertambah sengit. 
Ketiga lelaki berbadan tinggi tegap dan berpakaian 
hijau lumut itu kembali menghantamkan tangannya 
berbarengan ke kepala lawan. 
"Remuk kepalamu, Bocah Edan!" 
Wrrrt! 
"Aha! Belum, Sobat.... Hi hi hi!" Sena mengegoskan 
tubuhnya, ke samping sambil mengangkat kaki 
kanannya. Saat itu pula, salah seorang dari ketiganya 
yang menyerang tak mampu menarik serangannya. 
Tanpa ampun lagi.... 
Degkh! 
"Ukh...!" lelaki itu terpekik. Tubuhnya terhuyung 
huyung ke belakang, mendekat ke tepi sungai yang 
cukup dalam itu. Beruntung salah seorang dengan 
cepat mencekal tangannya. Kalau tidak, tubuh lelaki 
itu tentu tercebur dan terbawa arus, seperti temannya 
yang pertama. 
"Bedebah! Rupanya kau harus dihajar, Bocah 
Edan!" geram lelaki bercambang bauk lebat. Tangan-
nya yang mengepal terangkat ke atas. Kemudian 
bagaikan banteng, lelaki bercambang bauk itu 
menyeruduk. Tangannya bergantian menyerang tubuh 
Pendekar Gila. 
"Hi hi hi...! Gayamu persis kerbo, Sobat! Ah, lucu 
sekali!" dengan melompat ke sana kemari meng-
elakkan serangan lawan yang menyeruduk, Pendekar 
Gila terus menggoda dan berusaha membuat 
lawannya marah. 
"Hea!" 
Lelaki bercambang bauk lebat itu terus mencecar 
dengan hantaman-hantaman keras. Rerumputan dan 
tanah di tepi sungai berhamburan terkena hantaman-
hantaman tangannya. Dahsyat sekali jurus 'Banteng 
Menyelak' yang dilancarkan lelaki itu. Sehingga tepian 
sungai bagaikan diguncang gempa bumi. Pendekar 
Gila tak merasa gentar, bahkan dari mulutnya terus 
terdengar ejekan. Hal itu membuat lawan bertambah 
geram. Kedua temannya kini turut menggempur 
lawan dengan jurus yang tak kalah dahsyat. 
"Heaaa...!" 
Wrrrt! 
"Hi hi hi...! Bagus! Rupanya ada tiga kerbo yang 
ngamuk. Aha, kebetulan sekali," Sena segera me-
lentingkan tubuhnya ke atas, lalu dengan cepat 
menjejakkan kakinya di salah seorang. Dengan 
enaknya Sena berpijak di pundak lelaki berhidung 
besar dengan mulut lebar. Pijakan itu disertai 
tekanan yang kuat. Akibatnya kaki lawan amblas ke 
tanah sampai sebatas lutut. 
Menyaksikan tingkah laku pemuda gila yang 
menari-nari di atas pundak, kedua temannya ber-
tambah marah. 
"Bocah edan! Kubunuh kau! Heaaa...!" 
Kedua lelaki bertubuh besar menyerang dari 
samping kanan dan kiri secara bersamaan, dengan 
pukulan keras. 
"Heaaa...!" 
"Yeaaa...!" 
Ketika tangan keduanya melesat dan hampir 
sampai, dengan cepat. Pendekar Gila melompat ke 
atas. Dan... 
Jrot! 
"Wuaaa...!" 
Orang yang tadi dijadikan pijakan kedua kaki Sena, 
menjerit keras. Kepalanya terkena pukulan kedua 
temannya. Sampai-sampai kepalanya hancur 
berantakan, memuncratkan darah dan otak. 
Terbelalak mata kedua temannya yang menyerang, 
ketika menyadari apa yang terjadi. Sedangkan 
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil duduk 
di atas cabang pohon di tepi sungai. Tangannya 
menggaruk-garuk kepala. 
"Ha ha ha...! Lucu sekali kalian ini. Mengapa 
kepala teman kalian pukul?" ejek Sena sambil 
tertawa. 
"Bedebah! Turun kau, Bocah Edan!" bentak lelaki 
bercambang bauk lebat seraya menghantamkan 
pukulan jarak jauhnya yang disertai tenaga dalam 
yang kuat.  
"Heaaa...!" 
Wrrrt! 
"Hi hi hi...!" Sena segera melompat, berjumpalitan 
di udara mengelakkan serangan. Pukulan lelaki 
bercambang bauk menerjang pohon. 
Jlegar! 
Brakkk! 
Cabang pohon itu hancur, dan jatuh ke sungai. 
Sedangkan Pendekar Gila kini dengan tingkah laku 
seperti orang tolol telah berada di belakang mereka. 
"He he ha, apa yang kalian cari?" tanya Sena 
menyentakkan keduanya. 
Kedua lelaki tinggi besar berkepala botak itu 
membalikkan tubuh. Secepat itu pula Sena men-
dorong tubuh keduanya ke belakang. 
"Hea!" 
"Wua...!" 
Kedua lelaki berkepala botak itu terpekik 
ketakutan, karena tubuh mereka kini terdorong keras 
ke sungai. Keduanya berusaha menghentikan kaki 
agar tak tercebur. Namun dorongan tangan Sena 
sangat kuat, sehingga mereka tak mampu menahan 
kedua kaki mereka. Dan.... 
"Wuaaa!" 
Byurrr! 
Keduanya tercebur ke sungai yang sangat deras. 
Tangan keduanya berusaha menggapai-gapai, me-
minta tolong. Pendekar Gila hanya tertawa-tawa 
sambil berjingkrakan. 
"Ha ha ha...! Mandilah, biar badan kalian tak bau!" 
seru Sena. Kemudian dengan cepat Sena melesat 
meninggalkan tepian sungai, kembali masuk ke Desa 
Kembang Puan. 
*** 
Secara diam-diam, Sena berusaha menyelidiki apa 
yang hendak dilakukan orang-orang yang berkumpul 
di kedai. Tubuhnya segera melompat ke atas se-
batang pohon di samping kedai itu. Kemudian dengan 
cepat dikerahkan ilmu 'Penyadap Suara'nya agar 
dengan jelas dapat mendengar pembicaraan orang-
orang di kedai. 
"Bagaimana kalau kita melakukannya sekarang 
saja, Rama?" terdengar suara si Payung Sakti ber-
kata. Si Payung Sakti ternyata istri Rama Mangunda. 
Pendekar Gila berkerut keningnya, mendengar nama 
Rama disebut-sebut si Payung Sakti. 
"Hm, tentunya Rama itulah yang dimaksud lelaki 
bermuka codetan," gumam Sena sambil terus 
memasang pendengarannya untuk dapat mengikuti 
pembicaraan orang-orang di dalam kedai. 
"Kurasa kita harus sabar, tunggu perkembangan 
selanjutnya. Kita juga harus menunggu kabar dari Nyi 
Mas Lindri, bagaimana perkembangan di istana," kini 
terdengar suara lelaki tua yang dipanggil Rama. 
"Aha, ternyata lelaki tua berpakaian resi itulah 
yang bernama Rama," gumam Sena dalah hati, "Hm, 
siapakah Nyi Mas Lindri itu? Kudengar dia berada di 
dalam istana. Ah, celaka dua belas! Rupanya benar 
dugaanku, istana dalam kekuasaan para pem-
berontak. Tinggal menunggu saatnya, pemberontakan 
akan terjadi." 
"Hampir separo lebih prajurit kerajaan telah 
memihak pada kita. Kita tinggal bergerak saja, maka 
kekuasaan Aji Wardana dungu itu akan hancur. Ha ha 
ha...!" Rama Mangunda terdengar tertawa senang. 
Sepertinya dia merasa apa yang dicita-citakan akan 
terlaksana. 
Pendekar Gila semakin mengerutkan keningnya 
mendengar penuturan Rama Mangunda. Hatinya kian 
yakin, kalau kehancuran kekuasaan Baginda Aji 
Wardana kini berada di ambang pintu. 
"Aku harus menolong Baginda," bisik Sena lirih. 
"Anakku memang hebat, dia mampu menarik hati 
Aji Wardana, sampai-sampai raja tolol itu tidak tahu, 
siapa sesungguhnya Nyi Mas Lindri," kembali 
terdengar suara Rama Mangunda berkata bangga, 
merasa anaknya telah mampu menyusup ke Istana 
Telaga Mas bersama beberapa pengawalnya. Bahkan, 
mereka telah mampu mengajak para prajurit-prajurit 
Istana Telaga Mas, untuk ikut bersama mereka. 
Mereka kini siap untuk merebut kekuasaan Baginda 
Aji Wardana. 
Saat itu, dari arah timur nampak seorang wanita 
cantik berpakaian merah jambu melesat di atas 
kudanya yang putih polos. 
"Tentunya wanita ini yang bernama Nyi Mas Lindri. 
Kelihatannya wanita cantik ini hendak menuju ke 
kedai," gumam Sena dalam hati sambil terus 
memperhatikan kuda putih yang ditunggangi wanita 
itu. Langkah kuda semakin perlahan ketika men-
dekati kedai. 
"Hop!" Nyi Mas Lindri menghentikan lari kudanya, 
ketika matanya melihat seseorang berpakaian rompi 
kulit ular bertengger di atas pohon akasia. "Bocah 
edan! Rupanya kau dari tadi memata-matai kami!" 
Orang-orang yang ada di kedai berhamburan 
keluar ketika mendengar suara bentakan Nyi Mas 
Lindri. Mereka semakin bertambah marah, setelah 
melihat Pendekar Gila ternyata masih hidup. Bahkan 
kini tertawa terbahak-bahak di atas cabang pohon 
akasia. 
"Bocah setan! Kubunuh kau!" dengus si Payung 
Sakti sambil membuka payungnya yang terbuat dari 
kulit, kemudian melesat bermaksud menyerang 
Pendekar Gila. 
Brat! 
"Hea!" 
Payung itu diputar dengan cepat, menimbulkan 
angin yang keras, menderu ke arah Pendekar Gila.  
"Hi hi hi...! Genit sekali kau, Nyi! Sudah tua masih 
main payung. Bukankah tak ada hujan?" ejek Sena 
sambil melompat, mengelak dari hantaman Payung 
Sakti itu.  
Brak! Krak! 
Cabang pohon itu, hancur berantakan diterjang 
angin dahsyat dari payung. Kalau saja Sena masih 
berada di situ, mungkin tubuhnya ikut hancur 
terhantam payung di tangan si Payung Sakti. 
"Aha, payungmu seperti kapak saja, Nyi! Ah, kurasa 
kau juga termasuk penebang kayu yang hebat," ejek 
Sena cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk 
kepala. Hal itu membuat si Payung Sakti bertambah 
marah. 
"Bocah edan! Kubunuh kau! Heaaa...!" 
Wrrrt! 
Payungnya kembali dibuka lalu diputar, menimbul-
kan angin yang menderu keras menerpa ke 
sekelilingnya. Tapi Pendekar Gila malah tertawa 
terbahak-bahak. Tingkah lakunya masih konyol. 
Bahkan dalam keadaan kosong diserang begitu, 
mulutnya sempat mengejek. 
"Hi hi hi...! Kau mau main tari payung, Nyi?" Sena 
langsung membuang tubuh ke samping, meng-
elakkan serangan payung lawan yang menderu keras. 
Kemudian dengan cepat, tubuhnya bersalto di udara. 
Menyaksikan lawan dapat mengelakkan serangan-
nya, si Payung Sakti semakin beringas. Semakin 
kencang perempuan tua itu memutar payungnya, 
berusaha mengeluarkan angin lebih besar agar 
mampu menghantam Sena. 
Wrrr! 
Angin membadai keluar dari putaran payung di 
tangan si Payung Sakti. Daun-daun kering beterbang-
an. Pohon-pohon kecil bertumbangan, terhempas 
dah-yatnya angin dari Payung Sakti. 
"Ha ha ha, kau perusak lingkungan, Nyi! Payung 
bubutmu itu bagaikan hama saja," ejek Sena sambil 
berkelit cepat, ketika si Payung Sakti menyerang 
tubuhnya. Seketika itu pula, kakinya menendang ke 
punggung si Payung Sakti yang masih melesat maju. 
Perempuan tua itu tak mampu lagi mengelakkan 
tendangan. Tanpa ampun lagi.... 
Degkh! 
"Ukh!" 
Tubuh si Payung Sakti terhuyung-huyung ke depan, 
malah hampir tersungkur mencium tanah. Pendekar 
Gila tertawa terbahak-bahak sambil berjingkrak lan 
menggaruk-garuk kepala. 
Melihat hal itu, Nyi Mas Lindri yang sudah jengkel 
ejak pertama kali melihat Pendekar Gila di istana, 
segera memerintahkan anak buahnya untuk 
menyerang. 
"Serang dan tangkap hidup atau mati...!" 
Serentak semua orang yang ada di situ bergerak 
maju, berusaha menangkap Pendekar Gila. Pendekar 
Gila tersentak kaget, tapi dengan cepat segera 
melesat meninggalkan tempat itu. Hal itu membuat 
Nyi Mas Lindri dan anak buahnya semakin geram, 
mereka langsung mengejarnya. 
"Tangkap jangan sampai kabur!" perintah wanita 
cantik itu kepada anak buahnya agar mengejar 
Pendekar Gila. Dalam sekejap saja, tubuhnya telah 
menghilang. 
Nyi Mas Lindri semakin marah karena gagal 
menangkap Pendekar Gila. Matanya yang indah, 
mengawasi ke sekelilingnya, berusaha mencari 
Pendekar Gila. Namun tak juga menemukan pemuda 
berambut gondrong dengan pakaian rompi dari kulit 
ular itu. 
"Dia Pendekar Gila, Rama," sahut Nyi Mas Lindri. 
"Apa?!" 
Mata Rama Mangunda terbelalak kaget, ketika 
tahu siapa sebenarnya pemuda itu. Dia sering men-
dengar nama itu, tetapi tak pernah menyangka kalau 
Pendekar Gila ternyata masih sangat muda. 
"Sudah kuduga, kalau pemuda itu si Pendekar Gila. 
Tapi aku masih ragu," gumam Rama Mangunda 
sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Tapi, benarkah 
dia Pendekar Gila, Anakku?!" 
"Benar, Rama. Dialah Pendekar Gila," tutur Nyi Mas 
Lindri. 
"Pendekar Gila dari Goa Setan?" menegaskan 
Rama Mangunda.  
"Ya." 
"Hm, pantas. Pantas kalau begitu," gumam Rama 
Mangunda sambil menggaruk-garuk kepala. Tangan 
kanannya mengelus-elus jenggotnya yang putih. 
"Bagaimana, Ki? Apakah dengan adanya Pendekar 
Gila kita akan menghentikan semuanya...?" tanya si 
Payung Sakti. Didengar dari nada suaranya, wanita 
tua itu merasa gentar mendengar nama Pendekar 
Gila. Dia pun telah sering mendengar sepak terjang 
pemuda itu. Namun baru kali ini melihat orangnya. 
"Tidak! Kita harus meneruskan rencana untuk 
mencapai cita-cita. Kita harus bisa mempengaruhi 
semua prajurit, agar dapat berpihak pada kita. Dan 
yang penting, kau harus bisa mempengaruhi 
senapati, Anakku," tutur Rama Mangunda. 
"Baik, Rama. Aku akan tetap menjalankan tugasku 
dengan baik," sahut Nyi Mas Lindri, "Aku harus segera 
ke istana, untuk memberitahukan bahwa Pendekar 
Gila masih ada di wilayah ini. Kalian bersiap-siaplah! 
Lusa malam, kita akan melaksanakan semuanya." 
"Siap!" sahut anak buahnya serempak. 
Setelah menjura hormat kepada ayah dan ibunya 
Nyi Mas Lindri segera melompat ke punggung kuda 
lalu menggebahnya. Kuda putih polos itu pun 
seketika berlari kencang meninggalkan Desa 
Kembang Puan, untuk kembali ke Istana Telaga Mas. 
Dia harus mendahului Pendekar Gila, agar raja tak 
manaruh curiga padanya. 
*** 
Meski telah diancam akan dijebloskan ke penjara 
bawah tanah oleh Baginda Aji Wardana, jika 
kedapatan masih berada di sekitar Istana Telaga 
Mas, Pendekar Gila tetap nekat. Hal itu karena dirinya 
tak suka melihat kejahatan yang bakal menimpa 
keluarga istana. Hati Pendekar Gila tak tenang kalau 
belum memberi tahu pada Baginda Aji Wardana, 
mengenai rencana pemberontakan Rama Mangunda 
dan para pengikutnya. 
Dengan masih cengengesan dan bertingkah laku 
konyol, Pendekar Gila mendekat ke pintu gerbang 
Istana Telaga Mas. 
"He he he...! Selamat pagi!" sapa Sena masih 
cengengesan. 
Senapati Awong Purbo tersentak ketika melihat 
siapa yang menyapanya. Matanya terbelalak, dan 
jengkel dan kagum akan keberanian Pendekar Gila. 
Meski telah diancam, pemuda gila itu nekat datang. 
"Bocah edan! Mau apa lagi kau datang ke istana?!" 
bentak Senapati Awong Purbo dengan kepala meng-
geleng-geleng, melihat Pendekar Gila datang lagi ke 
istana. Padahal Baginda Aji Wardana telah meng-
ancamnya. 
"Aha, aku ingin bertemu dengan baginda," sahut 
Sena. 
"Bukankah kau sudah diancam akan dihukum jika 
berani datang kemari?!" dengus Senapati Awong 
Purbo semakin jengkel, soalnya saat itu istana tengah 
dalam suasana duka cita atas kematian putra 
mahkota. 
Pendekar Gila cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala, mendengar bentakan Senapati Awong 
Purbo. Sepertinya pemuda itu tak takut sama sekali 
akan ancaman yang bakal membuatnya masuk ke 
penjara bawah tanah. Niatnya telah bulat. Dia harus 
memberitahukan pada Baginda Aji Wardana, kalau 
akan terjadi pemberontakan di istana. 
"Aha, apa pun yang akan kuterima, aku telah siap. 
Aku hanya ingin memberitahukan pada baginda 
tentang sesuatu yang sangat berbahaya," tutur Sena 
dengan cengengesan. 
"Katakan padaku, kemudian cepat pergi!" perintah 
Senapati Awong Purbo tegas. "Aku tak ingin 
melihatmu masuk ke penjara bawah tanah." 
"Ha ha ha, sudah kukatakan. Aku tak takut 
dihukum, asalkan aku telah berjasa pada kerajaan, 
menyelamatkan baginda dan rakyat kerajaan yang 
tak berdosa." 
"Jadi kau memaksa ingin bertemu baginda, Bocah 
Edan?!" 
"Ya," jawab Sena tegas. 
"Hm, mencari penyakit!" dengus Senapati Awong 
Purbo. "Prajurit, jaga dia!" 
"Hi hi hi, aku tak akan lari, Senapati!" seru Sena 
sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-
garuk kepala. Senapati Awong Purbo, meninggalkan 
Pendekar Gila untuk melaporkan pada baginda. 
Tak lama kemudian, Senapati Awong Purbo telah 
kembali dengan muka kelihatan suram. Nampaknya 
lelaki bertubuh besar itu mendapatkan amarah dari 
Baginda Aji Wardana. 
"Tangkap dia!" perintah Senapati Awong Purbo 
pada prajurit-prajurit yang langsung bergerak 
menangkap Sena. 
"Aha, beginikah caranya orang-orang kerajaan 
memperlakukan seorang tamu...?" sindir Sena 
dengan mulut masih cengengesan, tanpa rasa takut 
sedikit pun. Bahkan ketika diseret para prajurit 
menghadap baginda, tingkahnya tetap konyol seperti 
orang gila. 
"Jangan bawanyak omong! Nanti bicara saja 
dengan baginda!" bentak Senapati Awong Purbo terus 
mengiringi kedua prajurit yang membawa Pendekar 
Gila masuk ke istana. 
Setelah berada di hadapan Baginda Aji Wardana, 
Senapati Awong Purbo menyembah. Kemudian 
menyurut mundur beberapa langkah, lalu duduk 
bersila. 
"Ampun Baginda Yang Mulia, pemuda inilah yang 
hamba maksud." 
Baginda Aji Wardana sesaat terdiam. Matanya 
menatap tajam wajah Pendekar Gila yang masih 
cengengesan, tanpa menunjukkan rasa takut sedikit 
pun. 
"Anak muda, masihkah kau ingat apa yang 
kukatakan beberapa hari lalu?" tanya Baginda Aji 
Wardana seraya menggerakkan tangan kanan 
memerintah prajurit melepaskan pegangan pada 
Pendekar Gila. 
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil 
cengengesan, kemudian menyembah sebagaimana 
layaknya menghadap seorang raja. Lalu dengan 
tindak-tanduk sopan. Sena duduk dengan rapi. 
Baginda Aji Wardana berkerut keningnya melihat 
sikap pemuda di hadapannya. 
"Ampun, Baginda! Apa yang Baginda sabdakan, 
hamba masih ingat," jawab Sena sambil menyembah. 
"Lalu, mengapa kau datang lagi?" 
"Ampun, Baginda! Kedatangan hamba, semata-
mata hendak memberitahukan pada Baginda, kalau 
pemberontakan akan segera terjadi. Dan kalau 
hamba diperkenankan memberitahukan siapa dalang 
dari semuanya, hamba bersedia menunjukkan." 
Baginda Aji Wardana semakin mengerutkan kening 
mendengar penuturan Pendekar Gila. Sepertinya dia 
tengah menimbang apa yang dikatakan pemuda gila 
itu. 
"Anak muda, jangan kau berkata sembarangan! 
Atau mungkin justru kaulah yang hendak membuat 
keonaran!" bentak Baginda Aji Wardana gusar. 
"Ampun, Baginda Yang Mulia! Kalau memang 
hamba pembuat keonaran, manalah sudi hamba 
menghadap Baginda?" kilah Sena masih menujukkan 
sikapnya yang sopan seperti orang sehat dan waras. 
Hal itu membuat Baginda Aji Wardana semakin heran 
menyaksikan tindak-tanduk pemuda itu yang telah 
dianggap gila. 
"Hm, kalau benar apa katamu, katakan siapa 
dalang pemberontakan yang akan terjadi?" tanya 
Baginda Aji Wardana tertarik ingin tahu. 
"Nyi Mas Lindri, Baginda," jawab Sena. 
"Apa?!" bentak Baginda Aji Wardana dengan mata 
terbelalak, karena merasa ucapan Sena hanyalah 
mengada-ada. "Prajurit, tangkap dan masukkan ke 
penjara! Jelas, dialah yang telah membunuh anakku!" 
"Tapi, Baginda...," Sena berusaha membela diri, 
tetapi kedua pranjurit telah menangkap dan menyeret 
tubuhnya meninggalkan ruangan itu. "Baginda, 
berhati-hatilah, karena pemberontakan akan terjadi!" 
"Phuih! Rupanya kaulah dalang dari semua 
kejadian ini, Bocah Edan! Pantas tingkah lakumu 
pura-pura gila!" dengus Baginda Aji Wardana marah. 
"Seret dia dan jebloskan ke penjara bawah tanah!" 
Kedua prajurit terus menyeret tubuh Sena dari 
hadapan baginda. Kemudian membawanya menuju 
penjara bawah tanah, tempat bagi orang-orang yang 
hendak berkhianat pada kerajaan. 
"Ini tempatmu, Bocah Edan!" bentak salah seorang 
prajurit sambil mendorong masuk tubuh Sena. 
Kemudian mengunci pintu yang terbuat dari besi. 
"Ha ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak sambil 
menggeleng-geleng kepala. Tanpa memperlihatkan 
rasa takut sedikit pun. "Prajurit pengkhianat! Kalian 
pantas dijuluki Tikus-tikus Busuk! Hua ha ha...!" 
Kedua prajurit seketika marah, mendengar ejekan 
Pendekar Gila. Namun, belum sempat mereka ber-
buat sesuatu, tiba-tiba muncul sesosok wanita 
berpakaian merah jambu. 
"Percuma kalian mengurusi bocah edan itu," ujar 
wanita cantik yang tak lain Nyi Mas Lindri. 
"O, Gusti Ayu! Apakah pertemuan sudah selesai?" 
tanya kedua prajurit hampir bersamaan. 
"Gara-gara bocah edan itu, semuanya berantakan. 
Tapi bersiaplah! Lusa malam, kita akan segera mulai. 
Beri tahu yang lain!" ujar wanita itu setengah berbisik, 
dengan mata melirik pada Pendekar Gila yang hanya 
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Sendika, Gusti Ayu," sahut kedua prajurit hampir 
bersamaan. 
"Pergilah!" 
"Daulat, Gusti Ayu." 
Keduanya segera menyembah, kemudian beranjak 
meninggalkan ruangan bawah tanah tempat 
menyekap Sena. Sepeninggal kedua prajurit, Nyi Mas 
Lindri mendekat ke pintu penjara tempat Sena 
berada. Bibir Nyi Mas Lindri mengurai senyuman 
menggoda. 
"Anak bagus, kalau kau mau jadi kekasihku, kau 
akan enak. Maukah kau mendampingiku, jika kelak 
aku duduk sebagai ratu...?" tanya Nyi Mas Lindri 
dengan bibir masih mengurai senyum. 
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak, mendengar 
ucapan Nyi Mas Lindri. Tangannya menggaruk-garuk 
kepala. Hal itu membuat wanita cantik itu semakin 
merekahkan senyum, menyangka kalau Pendekar 
Gila itu bersedia menerima tawarannya. 
"Ha ha ha, kau memang cantik, Nyi! Sayang, kau 
akan menjadi ratu maksiat. Hi hi hi...!" 
Terbelalak mata Nyi Mas Lindri, mendengar ejekan 
Pendekar Gila. Napasnya memburu, dilanda 
kemarahan. Seketika wajah wanita berpakaian merah 
jambu itu memerah. Gigi-giginya saling beradu, 
menahan geram yang meluap-luap. 
"Pemuda dungu! Dikasih hati, malah minta 
rempela! Huh, tunggu saja saatnya nanti! Kalau 
semua rencana berjalan lancar, kau akan men-
dapatkan ini...!" Nyi Mas Lindri menggorokkan 
tangannya ke lehernya. 
"Hua ha ha...! Kau mau pesta kambing guling, Nyi?" 
ejek Sena sambil tertawa cekikikan dengan kepala 
tergeleng-geleng. 
Mata wanita cantik itu semakin melotot garang. 
Namun melihat mata Nyi Mas Lindri yang melotot, 
Sena semakin mengeraskan suara tawanya. 
"Bocah edan! Tunggu saja saatnya nanti!" bentak 
Nyi Mas Lindri geram. 
"Ha ha ha...! Nyi Ayu, tunggu saja saatnya nanti! 
Tubuhmu yang elok, akan dijadikan santapan warga 
kerajaan!" balas Sena sambil tertawa berbahak-
bahak. Tangannya menggaruk-garuk kepalanya, 
sedangkan tubuhnya berjingkrakan seperti monyet. 
Nyi Mas Lindri menggeram sengit. Ingin rasanya 
menghajar mulut pemuda tampan itu. Namun niatnya 
diurungkan. Dia takut kalau membuka pintu itu, Sena 
akan keluar. Dan dapat membuat repot. Apalagi telah 
diketahui Pendekar Gila berilmu tinggi. Sulit baginya 
meladeni ilmunya. Meski selama ini keduanya belum 
pernah saling bentrok. 
"Hua ha ha...! Kalau marah, makin cantik saja kau, 
Nyi?" ejek Sena. "Sayang sekali, kau terlalu angkuh 
dan serakah!" 
"Tutup mulutmu, Pendekar Gila! Kau benar-benar 
cari penyakit! Kalau saja kau jadi kekasihku, aku 
yakin kau akan hidup bahagia!" ujar Nyi Mas Lindri 
masih berusaha merayu Pendekar Gila. 
"Aha, menyenangkan sekali tawaranmu, Nyi! Siapa 
yang tak tergiur mendengar tawaran dari wanita 
secantik kau? Sayang, kau melangkah di jalan yang 
kurang menyenangkan. Terlalu besar hasratmu, 
membuat gelap mata dan melawan arus yang telah 
digariskan Hyang Widhi," tukas Sena dengan 
cengengesan. 
"Huh, dasar bocah edan! Tak tahu barang enak...!" 
dengus Nyi Mas Lindri seraya melangkah meninggal-
kan Sena yang masih tertawa dan menggeleng-
gelengkan kepala. 
*** 
Malam datang membawa kegelapan yang kian 
mencekam. Angin malam yang bagaikan enggan 
bertiup, membuat suasana malam itu terasa panas. 
Sesosok bayangan tampak berjalan, mengendap-
endap menuju bangunan di samping kiri istana. 
Bayangan itu ternyata sesosok tubuh berpakaian 
merah jambu. Langkahnya tampak tenang, bagaikan 
tak merasa takut sedikit pun. Para prajurit yang 
tengah jaga malam seperti tak mempedulikan 
kejadian yang bakal terjadi. 
Sosok berpakaian merah jambu yang tak lain Nyi 
Mas Lindri terus melangkah, mengendap-endap 
menuju kamar anak-anak Baginda Aji Wardana yang 
tinggal dua orang lagi. Jika dua anak baginda Aji 
Wardana semuanya telah binasa, maka jalan untuk 
mendapatkan tahta kerajaan telah berada di ambang 
pintu. 
Nyi Mas Lindri terus mengendap-endap, semakin 
mendekat ke sebuah jendela kamar anak kedua 
Baginda Aji Wardana yang bernama Kindra Wasa. 
Setelah membuka jendela dengan pelan, wanita itu 
segera melompat masuk. Namun, tiba-tiba sesosok 
bayangan bergerak cepat dan menyergap tubuhnya. 
"Siapa kau?! Mau apa kau masuk ke kamar Raden 
Kindra Wasa?" 
Nyi Mas Lindri bukan takut, malah tersenyum 
manis ketika tahu orang yang menangkapnya. 
Dengan manja, wanita itu malah merapatkan 
tubuhnya ke tubuh Senapati Awong Purbo. 
"Kakangmas Senapati, tentunya kau kedinginan 
malam ini, bukan? Ikutlah denganku, aku bersedia 
jadi istrimu, Kakang," bisik Nyi Mas Lindri merayu 
sambil tangannya mengusap-usap dada Senapati 
Awong Purbo dengan lembut. Didongakkan 
kepalanya, dengan mata perlahan-lahan memejam. 
Senapati Awong Purbo kelabakan mendapat 
rayuan Nyi Mas Lindri. Darah kejantanannya meng-
gelegak, seakan mendidih dibakar gejolak nafsu 
birahi. Apalagi tangan lembut wanita cantik dan 
mempesona itu, kini merayap perlahan di dadanya, 
menambah deburan jantungnya semakin kencang. 
"Berjanjilah, Kakang! Berjanjilah, Kakang mau 
memihak padaku! Kalau Kakang mau, aku bersedia 
jadi istrimu, jika semua rencana ini telah selesai." 
Setelah berkata begitu, Nyi Mas Lindri mengajak 
Senapati Awong Purbo pergi dari tempat itu, menuju 
bangunan keputren yang terletak di sebelah kiri 
istana, tempat kamarnya berada. 
Senapati Awong Purbo bagai kerbau dicocok 
hidung, mengikuti langkah Nyi Mas Lindri. Pikirannya 
kini sudah tak terkendali lagi. Bagaimanapun dirinya 
tak dapat menolak tawaran wanita cantik selir sang 
Raja ini. Baginya ini satu kesempatan untuk dapat 
menikmati tubuh Nyi Mas Lindri yang montok dan 
bahenol itu. 
Keduanya masuk ke sebuah kamar yang ada di 
keputren. Nyi Mas Lindri segera mengunci pintu 
kamar, agar tak diketahui yang lainnya. 
Dengan langkah melenggok bak macan lapar, istri 
selir raja itu melangkah ke tempat tidur. Matanya 
yang bening dengan nakal menatap wajah Senapati 
Awong Purbo. Lelaki gagah itu tak berkedip 
memandang lenggak-lenggok tubuh Nyi Mas Lindri. 
Nyi Mas Lindri semakin menjadi-jadi setelah 
merasa Senapati Awong Purbo kini berada dalam 
perangkapnya. Satu persatu pakaiannya dibuka. Hal 
itu membuat mata lelaki itu semakin terbelalak lebar. 
Senapati Awong Purbo tak berkedip menatap tubuh 
yang mulus dan indah itu. 
"Ayolah, Kakang!" ajak Nyi Mas Lindri sambil 
merebahkan tubuhnya yang sudah telanjang, ke atas 
pembaringan. Mulutnya mendesah-desah. Matanya 
mengerjap-ngerjap, semakin mengundang birahi 
Senapati Awong Purbo. 
Sekuat apa pun iman Senapati Awong Purbo, 
digoda begitu rupa, akhirnya jatuh juga. Matanya tak 
berkedip, seakan takut kalau-kalau pemandangan 
menarik di depannya hilang. Kemudian kakinya 
melangkah mendekat ke ranjang tempat di mana 
tubuh Nyi Mas Lindri terbaring dengan keadaan 
telentang dan sangat menantang itu. 
"Gusti Asyu, mengapa kau lakukan ini?" desah 
Senapati Awong Purbo berusaha menyadarkan selir 
rajanya. 
Wanita itu tersenyum, mengulurkan kedua tangan-
nya untuk memeluk leher Senapati Awong Purbo. 
Melihat hal itu, senapati muda itu merundukkan 
kepala. Sehingga tangan Nyi Mas Lindri kini memeluk 
dan mulai membawa turun leher lelaki bertubuh 
gagah itu. 
"Kau mau membantuku, Kakang Senapati?" tanya 
Nyi Mas Lindri. 
"Apa rencanamu, Gusti Ayu?" 
"Berjanjilah dulu, Kakang! Jika kau telah berjanji, 
maka kelak aku bersedia jadi istrimu," bisik Nyi Mas 
Lindri sambil merapatkan tubuhnya. Ditekannya leher 
Senapati Awong Purbo, yang semakin bertambah 
dekat dengan wajahnya. 
"Baiklah, aku berjanji. Tapi aku harus jadi suami-
mu, jika semua yang kau cita-citakan terlaksana," 
jawab Senapati Awong Purbo. 
"Terima kasih, Kakang! Aku akan menjadi ratu, dan 
kelak kau menjadi raja di kerajaan ini. Bagaimana...?" 
Senapati Awong Purbo tersentak kaget mendengar 
penuturan Nyi Mas Lindri. Hampir saja lelaki itu 
terlonjak kalau saja tangan wanita itu tak menekan 
lehernya semakin mendekat ke wajahnya. 
"Bagaimana, Kakang?" 
"Kau tak main-main, Gusti Ayu?" 
"Tidak," sahut Nyi Mas Lindri dengan senyum 
semakin menawan, yang membuat hati Senapati 
Awong Purbo bertambah gemas ingin segera melumat 
bibirnya. 
"Apa telah kau pikirkan masak-masak?" 
"Sudah. Lusa, semuanya akan beres," sahut Nyi 
Mas Lindri sambil mendekap tubuh Senapati Awong 
Purbo yang seketika lekat dengan tubuh halus mulus 
itu. 
"Bagaimana dengan Pendekar Gila itu?" tanya 
Senapati Awong Purbo. "Dia sangat berbahaya." 
"Itu urusan gampang, Kakang. Jika semuanya 
sudah beres, kita singkirkan dia. Kita akan menjadi 
raja dan ratu, bukan?" Nyi Mas Lindri terus menciumi 
wajah Senapati Awong Purbo yang membuat lelaki 
bertubuh kekar itu bertambah nafsu. 
"Baiklah, aku berpihak padamu," jawab Senapati 
Awong Purbo membalas ciuman Nyi Mas Lindri. 
Kemudian tak begitu lama, keduanya telah membisu. 
Hanya rintihan dan lenguhan kenikmatan yang 
terdengar dari mulut Nyi Mas Lindri. 
Keduanya terus berpacu, berusaha menumpahkan 
nafsu yang telah menggelegak. Beberapa saat 
lamanya mereka bergelut, sampai akhirnya kedua 
tubuh tergeletak kelelahan. 
Di luar, ketika hawa malam semakin tak nyaman, 
sesosok bayangan berkelebat menuju bangunan 
sebelah kiri istana. Sosok bayangan itu terus 
melangkah menuju kamar anak Baginda Aji Wardana. 
Setelah mengawasi sekitarnya, sosok itu perlahan-
lahan membuka jendela kamar yang ditempati putra 
Baginda Aji Wardana. 
"Tentunya bocah ini masih tidur," gumam sosok 
yang dari suaranya ternyata seorang lelaki. Dengan 
cepat, lelaki itu bergerak menusukkan sebuah benda 
tajam berkilat ke tubuh yang masih terlelap di tempat 
tidurnya. 
Crab! 
"Aaakh...!" 
Pekikan tertahan terdengar dari mulut orang 
terbaring di tempat tidur. Sesaat tubuhnya 
mengejang, kemudian diam tanpa nyawa. Darah 
membasahi tempat tidur. Sosok pembunuh itu 
langsung melesat cepat meninggalkan kamar, lalu 
menghilang di kegelapan malam. 
Istana Telaga Mas geger oleh teriakan para prajurit 
jaga yang berlarian menuju kamar putra raja, setelah 
mendengar teriakan. 
*** 
Pendekar Gila disekap dalam penjara bawah tanah 
nampak tengah duduk bersila, mengheningkan cipta 
guna memusatkan hati dan pikiran. Kedua telapak 
tangannya saling menyatu diletakkan di depan dada. 
Matanya memejam rapat, memusatkan batinnya. 
Saat itu, tampaknya Pendekar Gila tengah 
mengerahkan telepati untuk menghubungi gurunya. 
Dia ingin meminta petunjuk sang Guru, bagaimana 
untuk dapat menebus dinding bawah tanah. Telah 
beberapa ilmu yang dimiliki dikerahkan, tapi tak 
mampu menghancurkan dinding penjara itu. 
"Ada apa kau memanggilku, Sena?" terdengar 
gema suara Singo Edan bertanya. 
"Guru, kau menerima panggilanku?" 
"Ya, ada apa?" 
"Aku mengalami kesulitan, Guru." 
"Jangan suka mengeluh, Sena! Bagi seorang 
pendekar, pantang untuk mengeluh. Nyawa seorang 
pendekar, merupakan taruhan bakti bagi kebenaran 
dari keadilan!" seru Singo Edan. 
"Ampun, Guru! Bukan aku mengeluh, tapi aku kini 
benar-benar dalam kesulitan," ujar Sena berusaha 
meyakinkan gurunya, kalau dirinya tengah dalam 
keadaan sulit. 
"Katakan, apa yang membuatmu begitu?!" 
"Kini aku dihadapkan pada sebuah masalah. Aku 
harus menolong keluarga Baginda Aji Wardana, yang 
dalam ancaman pemberontakan. Tapi kini aku dalam 
tahanan bawah tanah," tutur Sena. 
"Gunakan pukulan 'Gila Melebur Gunung 
Karangmu'." 
"Sudah, tak bisa." 
"Ajianmu 'Inti Api'?" 
"Sudah, Guru. Tetap tak bisa?" sahut Sena.  
"Inti Bayu'?" 
"Semua ajian telah kukerahkan. Tetapi dinding ini 
terlalu kuat untuk diruntuhkan," sahut Sena. 
"Hm," hanya suara gumam lirih yang terdengar. 
Sepertinya Singo Edan maupun Pendekar Gila tengah 
berpikir mencari jalan yang baik guna mengeluarkan 
Sena dari tahanan bawah tanah. 
"Apakah kau tak bermaksud menjebol pintu 
besinya?" tanya Singo Edan. 
"Percuma, Guru. Semua prajurit akan mendengar," 
jawab Sena. 
Suasana kembali hening. Singo Edan seakan 
tengah berpikir-pikir mencari jalan keluar guna 
membebaskan muridnya. Sedangkan Pendekar Gila 
masih melakukan semadi, menyatukan batinnya 
dengan sang Guru. 
"Apa kau sudah coba memanggil Naga Sakti?" 
tanya suara Singo Edan.   
"Belum, Guru. Tapi..., aha, aku ada akal! Aku akan 
memanggil Bocah Sakti itu," ujar Sena sambil tertawa 
cengengesan. 
"Bocah gila! Dalam kesulitan masih tertawa-tawa!" 
maki Singo Edan, "Siapa yang kau maksud Bocah 
Sakti itu?" 
"Anak angkat dan murid Paman Naga Brahma," 
jawab Sena. 
"Naga Brahma...?" terdengar suara Singo Edan 
bertanya setengah bergumam, "Hm, adik seperguruan 
Naga Sakti?" 
"Benar, Guru." 
"Kapan kau bertemu?" 
"Sudan agak lama, Guru. Sejak kejadian di Lembah 
Akherat," jawab Sena menuturkan (Untuk mengetahui 
kisah Bocah Sakti, ikuti serial Pendekar Gila dalam 
episode "Perjalanan ke Akherat"). 
"Hm, cobalah! Mumpung masih malam," seru Singo 
Edan. 
"Terima kasih, Guru!" 
Pendekar Gila segera memusatkan batinnya untuk 
memanggil adik seperguruannya, Supit Songong, yang 
ada di Pulau Karang Api di Danau Sambak Neraka. 
Srt! 
Pendekar Gila mencabut Suling Naga Saktinya. 
Kemudian dihujamkan ujung suling itu ke tanah.  
Crab! 
Setelah menghujamkan suling itu sampai berdiri di 
tanah, Sena pun segera kembali duduk bersila. 
Matanya kini menatap lekat ke kepala Naga Sakti. 
"Supit.., Supit.., datanglah!" bisik Sena, "Aku butuh 
bantuanmu!" 
Saat itu nun jauh di sebelah barat Gunung Kapur, 
terlihat air Danau Sambak Neraka bergejolak hebat. 
Dua Naga Api yang menghuni danau itu, muncul dari 
dalam air dengan suaranya yang menggelegar. 
Gerrr! 
Supit Songong dan Naga Brahma yang sedang 
melakukan semadi tersentak bangun, ketika tiba-tiba 
di hadapan mereka muncul seorang Naga Sakti. Naga 
yang berwarna emas dengan mahkota di kepalanya 
juga berwarna emas. 
"Kakang Naga Sakti, ada apa kau datang?" tanya 
Naga Brahma kaget 
"Aku memerlukan anak angkatmu, untuk mem-
bongkar penjara bawah tanah tempat Pendekar Gila 
disekap," jawab Naga Sakti. 
"Ah, bagaimana mungkin Pendekar Gila bisa 
berada di penjara bawah tanah, Kakang? Bukankah 
dia memiliki beribu macam akal dan kepandaian?" 
tanya Naga Brahma sepertinya tak yakin dengan apa 
yang disampaikan Naga Sakti. 
"Memang Pendekar Gila bisa saja menghancurkan 
penjara bawah tanah itu. Tetapi dia tak ingin 
kebebasannya mengundang perhatian orang banyak," 
ujar Naga Sakti. 
"Lalu apa yang harus kami perbuat, Kakang?"  
"Buatlah terowongan di malam ini, dari sini sampai 
Istana Telaga Mas yang ada di sebelah timur Gunung 
Kapur." 
"Akan kulakukan, Kakang."  
"Cepatlah, jangan sampai terlambat!" ujar Naga 
Sakti. 
"Baik, Kakang." 
Setelah Naga Sakti raib, menghilang dari 
pandangan mata Naga Sakti, ular naga besar itu 
dengan dibantu Supit Songong, segera melakukan 
perintah Naga Sakti. Membuat lubang yang akan 
tembus sampai penjara bawah tanah di Istana Telaga 
Mas. 
Suling Naga Sakti yang ditancapkan di tanah oleh 
Pendekar Gila kini nampak bergetar. Hal itu 
menandakan kalau sukma Naga Sakti telah kembali 
menyatu dalam suling mas itu. Dengan cepat Sena 
mencabut Suling Naga Saktinya. Kemudian 
menyelipkan ke pinggang, ketika nampak dua orang 
prajurit datang memeriksa tempat itu. 
"Masih ada, Kakang," terdengar suara seorang 
prajurit berkata pada kawannya. 
"Beres. Bocah itu sangat berbahaya," sahut yang 
lain. 
"Ayo kita pergi!" ajak prajurit pertama. Sepertinya 
mereka takut kalau-kalau Pendekar Gila keluar dan 
menyerang mereka. Kedua prajurit jaga itu pun 
kembali meninggalkan penjara bawah tanah. 
Sementara itu, Naga Brahma dan Supit Songong 
masih terus membuat lorong panjang, yang meng-
hubungkan penjara bawah tanah di Istana Telaga 
Mas dengan Pulau Karang Api. 
"Ayo Supit! Kita harus menyelesaikan pekerjaan 
malam ini juga," ujar Naga Brahma memberi 
semangat pada anak angkatnya, sekaligus muridnya. 
"Baik, Rama." 
Bocah kecil berusia sekitar sepuluh tahun yang 
sekujur tubuhnya ditumbuhi sisik itu terus menggali 
lubang, dibantu Naga Brahma. Supit Songong tak 
ubahnya seperti seekor tikus yang menggali lubang. 
Begitu cepat hingga dalam sebentar saja, lorong itu 
telah sampai di pertengahan jalan. 
Supit Songong yang merasa sudah sampai, segera 
merangkak naik untuk melihat sudah sampai di mana 
dia menggali lubang. Kini kepala bocah bersisik itu 
muncul di permukaan tanah, menimbulkan sebuah 
lubang di kaki Gunung Kapur. 
"Ah, belum sampai," gumamnya seraya turun lagi. 
"Bagaimana, Supit?" 
"Belum, Rama. Kita baru sampai di Gunung 
Kapur," jawab bocah kecil itu. 
"Berarti tinggal sedikit lagi. Ayo, kita harus cepat!" 
ajak Naga Brahma sambil terus bekerja membuat 
lubang besar dan panjang itu. 
Dos! 
Tanah yang menjadi dinding panjang bawah tanah, 
seketika jebol. Hal itu membuat Pendekar Gila 
tersentak kaget. Namun ketika tahu siapa yang 
datang, dengan senang disambutnya mereka. 
"Aha, Paman rupanya yang datang. Terimalah 
sembahku, Paman." 
"Ah, sudahlah, jangan buang-buang waktu! Kau 
harus segera keluar dari sini," sahut Naga Brahma. 
"Ikutiah aku!" 
"Baik, Paman." 
"Supit, tutup lagi terowongan ini dengan rapi, agar 
tak diketahui orang lain," perintah Naga Brahma pada 
anak angkatnya, si bocah bersisik dan berlidah ular. 
"Baik, Rama." 
Supit Songong segera bekerja dengan giat, 
menutupi kembali lubang yang telah dibuatnya. 
Dalam sekejap saja, dinding penjara bawah tanah itu 
kembali seperti semula bagaikan tak pernah terjadi 
apa-apa. 
*** 
Pendekar Gila dan Naga Brahma serta Supit 
Songong akhirnya sampai di Pulau Karang Api, 
tempat bersemayam Naga Brahma dan Supit 
Songong. 
"Wuah, segar sekali! Tiga hari aku terkurung di 
bawah tanah," gumam Sena sambil merentangkan 
kedua tangan menghirup udara terbuka yang terasa 
sangat segar. Mulutnya kembali cengengesan, 
dengan tangan tak luput menggaruk-garuk kepala. 
"Apa yang sebenarnya terjadi di Istana Telaga Mas, 
Sena?" tanya Naga Brahma ingin tahu. 
"Rumit, Paman," jawab Sena seenaknya sambil 
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. 
"Apanya yang rumit?" 
"Mungkin lusa, Istana Telaga Mas akan berdarah," 
desah Sena. "Pertumpahan darah tak akan bisa 
dihindarkan. Kasihan Baginda Aji Wardana." 
Naga Brahma dan Supit Songong terdiam, men-
dengar penuturan Pendekar Gila. Sedangkan 
Pendekar Gila, cengengesan sambil menggaruk-garuk 
kepala. Kemudian terdengar suara lenguhannya. 
"Ah, kasihan raja tua itu. Dia tak sadar, kalau 
musuh telah menyusup ke dalam istana," kembali 
Sena bergumam. 
"Bisakah kau menjelaskan, apa yang sebenarnya 
tengah berkemelut di Istana Telaga Mas, Sena?" pinta 
Naga Brahma. 
"Aha, dengan senang hati," jawab Sena. 
Pendekar Gila kemudian menuturkan apa yang 
telah terjadi di Istana Telaga Mas. Tentang selir raja 
yang berambisi merebut kekuasaan suaminya. Nyi 
Mas Lindri berhasrat dan begitu bersemangat untuk 
menjadi ratu. Hal itu karena wanita cantik itu seorang 
wanita cabul. Bila dirinya menjadi ratu, sudah dapat 
dipastikan, tak akan ada pemuda tampan yang 
berkeliaran. Para pemuda akan menjadi pemuas 
nafsunya. 
Nyi Mas Lindri dengan ayahnya, kini menghimpun 
kekuatan untuk menyerbu ke istana. Bahkan diduga 
pelaku pembunuhan terhadap dua orang anak 
Baginda Aji Wardana, tak lain orang-orang dalam 
istana sendiri. 
"Nah, begitulah kisahnya. Kini Istana Telaga Mas 
dalam bahaya, tinggal menunggu saatnya, istana itu 
akan berdarah. Pertumpahan darah akan terjadi di 
Sana," tutur Sena mengakhiri ceritanya. 
"Walah..., pertanda bahaya...!" gumam Naga 
Brahma turut merasa sedih mendengar apa yang 
bakal terjadi di Istana Telaga Mas. 
"Begitulah, Paman. Aku sendiri sedang bingung, 
harus bagaimana menolong Baginda Aji Wardana. Di 
pihak lain, tentunya aku harus menghadapi para 
pemberontak, yang nampaknya berjumlah besar," 
tukas Sena seperti ingin meminta pendapat Naga 
Brama 
"Selamatkan saja Baginda Aji Wardana! Mengenai 
pemberontak, biar Supit yang menghadapinya. 
Setelah menyelamatkan baginda, barulah kau 
membantu Supit. Bagaimana dengan cara itu, apa 
kau setuju dengan cara yang kukatakan?" tanya Naga 
Brahma. 
"Hm, betul juga. Baiklah kalau begitu, Paman. 
Memang jalan satu-satunya harus menyelamatkan 
Baginda Aji Wardana dan sisa kelurganya yang hidup, 
jika pemberontakan itu meletus," gumam Sena. 
"Bagaimana Supit, apakah kau siap?" tanya Naga 
Brahma. 
"Saya siap, Rama," jawab Supit Songong yang 
sedari tadi diam. 
"Bagus kalau memang begitu. Bantulah kakakmu, 
Supit!" 
"Baik, Rama. Bahkan jika Rama mengizinkan, ingin 
sekali aku ikut terus dengan Kakang Sena," kata 
bocah bersisik ular itu dengan senyum mengembang 
di bibirnya. Matanya memandang Pendekar Gila yang 
cengengesan sambil garuk-garuk kepala. 
"Aha, kalau aku tak keberatan, Supit. Tetapi, kau 
tentunya harus menyelesaikan dulu semua ilmu yang 
Paman turunkan! Bukan begitu, Paman?" 
"Ya, benar. Kau harus menyelesaikan semua ilmu 
yang Rama berikan, Supit." 
"Baik, Paman." 
"Kembali pada masalah yang tadi kau ceritakan, 
hanya menyelematkan Baginda Aji Wardana, jalan 
terbaik. Ajaklah Baginda Aji Wardana ke lorong itu. 
Lewat lorong itu, tak ada yang mengetahui. Para 
pemberontak pun tak mungkin dapat mengejar," 
saran Naga Brahma. 
"Wah, betul pendapatmu, Paman. Ah, ternyata aku 
semakin tolol saja," gumam Pendekar Gila sambil 
cengengesan dan menggaruk-garuk kepalanya. 
"Ah, kau terlalu merendah, Pendekar Gila. Mana 
mungkin Dewata memilihmu sebagai penegak 
kebenaran dan keadilan, jika kau tolol?" tanya Naga 
Brahma. "Hyang Widhi telah menggariskan, dirimu 
sebagai penegak kebenaran dan keadilan. Kurasa, 
Hyang Widhi tak seenaknya menurunkan seseorang 
untuk menjadi pendekar. Hyang Widhi telah memilih 
janin bayi yang akan keluar dari rahim manusia." 
"Aha, sungguh berharga sekali apa yang kau 
tuturkan, Paman. Ah, aku semakin bertambah kerdil 
dan bodoh di hadapanmu," gumam Sena dengan 
mulut cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala-
nya. 
"Jangan berkecil hati begitu, Sena! Jiwamu agung. 
Bayangkan abdimu adalah Kakang Naga Sakti, yang 
jika murka tak dapat seorang manusia atau dewa pun 
mampu menanggulanginya. Tapi di tanganmu, 
Kakang Naga Sakti begitu patuh dan setia. Bukankah 
itu pertanda kebesaranmu...?!" ujar Naga Brahma 
berusaha meyakinkan Pendekar Gila. 
"Benar, Kakang. Sungguh kau sangat beruntung, 
menjadi tuan dari Paman Naga Sakti," sambung Supit 
Songong. 
Pendekar Gila mengerutkan kening, mendengar 
penuturan Naga Brahma. Naga Sakti yang menjelma 
suling dan menjadi senjatanya memang sangat sakti. 
Tapi menurutnya, bukan karena dirinya yang sakti. 
Dibandingkan dengan Hyang Widhi, ilmunya belum 
seberapa. Itu pula yang menjadikan Pendekar Gila 
senantiasa sadar, bahwa apa yang semuanya terjadi 
tak luput dari pengamatan mata Hyang Widhi yang 
maha mengetahui. 
Keakraban telah terjalin antara mereka berdua. 
Meski Pendekar Gila manusia, sedangkan Naga 
Brahma seekor ular naga. Hal itu karena antara 
mereka ada hubungan kuat saling menghargai satu 
sama lain. Sifat saling hormat dan mencintai antar 
sesama makhluk ciptaan Hyang Widhi, membuat 
mereka bisa melakukan hubungan baik. 
Setelah bertukar pikiran sampai larut, Sena 
akhirnya meminta diri untuk tidur di dalam goa. 
Waktu itu Supit Songong telah tidur. Namun, cara 
tidur bocah bersisik itu aneh. Bukan merebah, 
melainkan berdiri dengan salah satu kakinya 
diangkat, bertengger di kaki yang lainnya. 
"Hai, sedang apa pula Adik Supit, Paman?" tanya 
Sena ketika melihat cara tidur Supit Songong. 
"Itulah cara tapa yang Paman ajarkan padanya. Dia 
bisa tidur sambil berdiri, dengan salah satu kakinya 
terangkat." 
"Aha, lucu sekali! Untuk apa hal itu dilakukan, 
Paman?" tanya Sena semakin ingin tahu, apa 
gunanya cara tidur sambil berdiri itu. 
"Dengan membiasakan tidur berdiri seperti itu, 
batinnya akan senantiasa mampu mengendalikan 
hawa nafsu. Selain itu dapat membedakan gerak 
benda sekecil apa pun dengan mata terpejam. Dia 
tahu, kau kini sedang berada di hadapannya, meski 
pun tertidur," tutur Naga Brahma menjelaskan. 
Pendekar Gila semakin terkagum-kagum men-
dengar penuturan Naga Brahma. Dia baru melihat, 
cara tidur yang aneh. Dengan cengengesan sambil 
menggaruk-garuk kepala, kakinya melangkah men-
dekat ke Supit Songong. Kemudian berusaha ikut 
melakukan hal seperti yang dilakukan Supit Songong. 
"Aha, enak juga, Paman!" ujar Sena dengan 
kekonyolannya. 
Naga Brahma tertawa terbahak-bahak menimbul-
kan suaranya yang menggelegar. 
Malam pun semakin jauh, membawa mereka ke 
dalam kegelapan bersama hawa dingin yang 
perlahan-lahan menyelimuti tubuh. Namun, karena 
telah terbiasa dalam keadaan begitu, mereka pun tak 
merasakan. Mereka segera tertidur nyenyak. 
Sementara itu, jauh di Istana Telaga Mas, malam 
itu kembali di istana gempar karena terbunuhnya 
anak bungsu Baginda Aji Wardana. Semua peristiwa 
itu sama. Korban ditusuk sebilah senjata yang 
menghujam dada, dalam keadaan tidur pulas. Hal itu 
membuat Baginda Aji Wardana bertambah marah dan 
putus asa. Bagaimanapun, kini ketiga anaknya telah 
tiada. Semua tewas terbunuh. Namun, sampai sejauh 
itu, belum juga diketemukan siapa pelaku dari semua 
peristiwa itu. 
"Geledah istana! Siapa pun pelakunya, harus 
dihukum mati!" seru Baginda Aji Wardana pada para 
prajurit. "Paman Path Arya Denta, kau kutugaskan 
membersihkan istana ini dari para pemberontak. 
Rupanya apa yang dikatakan pemuda gila itu benar 
adanya. Di sini telah kemasukan para pemberontak." 
"Daulat, Baginda. Segala titah yang Baginda 
sabdakan, akan hamba lakukan," jawab patih Arda 
Denta. "Prajurit, ikut aku!" 
Malam itu juga, Patih Arya Denta beserta para 
prajurit melaksanakan apa yang dititahkan Baginda 
Aji Wardana. Mereka langsung melakukan peng-
geledahan terhadap semua yang ada di Istana Telaga 
Mas dan sekitarnya. Namun mereka tak juga dapat 
menemukan tanda-tanda adanya pemberontakan 
yang menyusup di istana. 
"Penjagaan harus dilipatgandakan!" perintah Patih 
Arda Denta menegaskan. "Jelas pemberontak telah 
menyusup ke dalam istana. Siapa pun yang dicurigai, 
harus ditangkap untuk ketertiban dan keamanan!" 
Kini Istana Telaga Mas benar-benar berdarah, 
meski belum banjir. Tiga nyawa putra Baginda Aji 
Wardana, menjadi korban. Namun sejauh itu, belum 
juga didapat tanda-tanda akan terjadi pem-
berontakan. 
*** 
Istana Telaga Mas kini benar-benar dilanda 
ketegangan. Ancaman pemberontak bagaikan men-
cekam jiwa para penghuni istana yang setia pada 
sang Baginda Aji Wardana. Siang itu Baginda Aji 
Wardana, dan para sesepuh kerajaan serta Patih Arya 
Denta mengadakan pertemuan. Mereka membahas 
masalah pembunuhan yang telah merenggut ketiga 
putra Baginda Aji Wardana. Baginda semakin cemas 
terhadap keselamatan dirinya dan sang Permaisuri. 
Karena bagaimanapun, pembunuh biadab yang di-
duga orang dalam istana itu tentu ingin menyingkir-
kan raja dan permaisuri. 
Suasana ruang pertemuan yang dinamakan ruang 
Inggil Kepanggihan nampak hening. Tak ada seorang 
pun yang berani membuka mulut, seperti tercekam 
perasaan mereka sendiri, setelah kejadian pem-
bunuhan demi pembunuhan melanda putra-putra 
Baginda Aji Wardana. Apalagi kini baginda nampak 
bermu-am durja. Kilatan matanya, menggambarkan 
kemarahan yang terpendam. 
Lama suasana ruang Inggil Kepanggilan hening. 
Hanya desah napas yang terdengar. 
"Istana kini sudah tak aman lagi," kata Baginda Aji 
Wardana setengah mengeluh. "Sampai saat ini, 
belum juga diketemukan tanda-tanda dan jejak si 
pembunuh biadab itu!" 
Semua yang hadir pada persidangan itu tak ada 
yang menyahut. Mereka diam membisu, tak ada yang 
hendak membuka suara. Baik para sesepuh maupun 
para pembesar istana, seperti Patih Arya Denta, 
Senapati Awong Purbo, dan para hulubalang. Mereka 
yang sebenarnya tahu, pelaku dari pembunuhan-
pembunuhan keji itu, membungkam mulut. 
"Mungkin benar apa kata Pendekar Gila, kalau Nyi 
Mas Lindri terlibat di dalamnya," tutur Baginda Aji 
Wardana kemudian, setelah lama tak ada yang 
menyahut. 
Kembali baginda memandangkan matanya ke 
seluruh dewan sidang yang hadir. Tetapi semuanya 
kembali hanya diam, malah menundukkan kepala, 
ketika baginda menatap pada mereka. 
"Kenapa diam? Kalian sudah seperti kerbau 
dicocok hidungnya? Kalian sebagai prajurit, tak ubah-
nya seperti kerbau-kerbau dungu!" dengus Baginda Aji 
Wardana antara marah dan panik. 
Para prajurit tetap diam dan hanya tertunduk 
mendengar kemarahan sang Baginda. 
"Bawa pemuda gila itu ke tempat sidang!" perintah 
Baginda Aji Wardana pada prajurit pengawal. 
"Daulat, Baginda," kedua prajurit pengawal 
menyembah, kemudian melangkah meninggalkan 
ruang sidang. 
Wajah Baginda Aji Wardana kini benar-benar 
diliputi ketakutan dan rasa cemas. Dia bagaikan 
menerima siksaan batin yang sangat kuat. Namun, 
Baginda Aji Wardana sadar, kalau sampai dia jatuh 
sakit, tentunya para pemberontak akan dengan 
mudah merebut singgasana kerajaan. Pemberontak 
mungkin akan mengumumkan pada rakyat, bahwa 
raja mereka dalam keadaan tak berdaya dan anak-
anaknya terbunuh. 
Baginda Aji Wardana tak ingin kejadian itu ber-
langsung di kerajaannya. Hatinya tak ingin Istana 
Telaga Mas dikuasai orang-orang yang tak ber-
tanggung jawab. Orang-orang yang akan menyalah-
gunakan tanggung jawab dan wewenang. 
Sebenarnya Baginda Aji Wardana juga mau turun 
tahta. Namun karena dipandangnya belum ada yang 
pantas untuk menggantikan dirinya, maka tetap 
dipegangnya tampak pimpinan kerajaan. 
Dua orang prajurit yang diperintah untuk meng-
ambil Pendekar Gila dari tahanan bawah tanah, telah 
kembali dengan wajah nampak tegang. Hal itu 
membuat Baginda Aji Wardana mengerutkan kening. 
"Mana bocah itu?" tanya Baginda Aji Wardana. 
"Pendekar itu menghilang, Gusti." 
"Apa?! Apakah kau tak berdusta, Prajurit? Mana 
mungkin di penjara bawah tanah dapat lepas!" bentak 
Baginda Aji Wardana semakin marah, "Apakah telah 
kalian periksa, mungkin pemuda itu merusak 
sesuatu?" 
"Ampun, Baginda! Tak ada kerusakan sekecil apa 
pun. Anak muda itu benar-benar menghilang," jawab 
kedua prajurit itu setelah menyembah lagi. 
Terbelalak semua mata yang ada di tempat sidang 
mendengar laporan kedua prajurit. Baginda Aji 
Wardana semakin tegang, Pikirannya kini ber-
kecamuk dengan rasa takut yang mendera jiwanya. 
"Mungkinkah pendekar itu juga pemberontak?" 
tanya Baginda Aji Wardana dalam hati bimbang. 
"Ampun, Baginda Yang Mulia! Hamba rasa, pelaku 
pembunuhan itu Pendekar Gila." Senapati Awong 
Purbo, berusaha mengambil kesempatan baik itu 
untuk mengecohkan pikiran Baginda Raja Aji 
Wardana yang semakin kacau dan bimbang. 
"Hm, kalau memang benar dia bisa menghilang, 
kurasa benar apa katamu, Senapati. Cari pendekar 
itu, tangkap hidup atau mati!" perintah Baginda Aji 
Wardana. 
"Daulat, Baginda Yang Mulia. Hamba pamit 
mundur," pinta Senapati Awong Purbo sambil 
menyembah. Kemudian segera meninggalkan 
ruangan sidang. Sang Baginda yang duduk di atas 
singgasananya tampak hanya mengangguk. Sedang-
kan para sesepuh duduk diam di samping kanan dan 
kirinya. Patih Arya Denta duduk di sisi para sesepuh 
istana. Sedangkan para hulubalang dan petinggi 
istana, duduk bersila di bawah. 
"Paman Patih, Bagaimana menurut pendapatmu?" 
tanya Baginda Aji Wardana menatap wajah patihnya. 
"Ampun, Baginda! Hamba rasa Baginda harus 
berhati-hati. Jelas sekali, kalau para pemberontak 
telah menyusup dalam istana. Bahkan mungkin, para 
prajurit sebagian besar telah ditutup mulutnya agar 
tak memberitahukan pada kita," tutur Patih Arya 
Denta. 
Baginda Aji Wardana mengangguk-anggukkan 
kepala, menyetujui ucapan patihnya. 
"Ki Gede Mundu, bagaimana menurut pendapat-
mu?" tanya Baginda Aji Wardana kepada penasihat-
nya. 
"Ampun, Baginda! Menurut hamba, apa yang 
dikatakan Paman Path benar adanya. Baginda harus 
hati-hati, jangan terlalu sering mengadakan per-
temuan seperti ini! Karena mata-mata musuh, 
mungkin akan mendengar dan melaporkan pada 
pimpinan pemberontak." 
"Baiklah, sidang kububarkan," Baginda Aji 
Wardana pun menutup pertemuan itu, setelah 
merasa ucapan Patih Aya Denta dan Ki Gede Mundu 
dianggapnya benar. Mereka pun segera meninggal-
kan ruang sidang untuk kembali bekerja pada 
tempatnya masing-masing. 
*** 
Malam merangkak dengan suasana agak gelap. 
Bulan sabit tampak berada di langit sebelah barat. 
Angin malam bertiup semilir basah, membawa rasa 
dingin. Para prajurit tampak masih berjaga-jaga di 
sekitar Istana Telaga Mas. Mereka kini dilipat-
gandakan jumlahnya, agar sewaktu-waktu terjadi 
pemberontakan mereka telah siap. 
Di kejauhan lolongan anjing hutan terdengar 
menyayat, terasa kian mencekam. Angin terus 
menghembuskan hawa dingin yang menusuk tulang 
sum-sum. Juga membawa rasa kantuk. 
Para penjaga masih berusaha menahan rasa 
kantuk yang menyerang mata, ketika tiba-tiba 
terdengar suara pekikan dari luar benteng istana. 
"Serbuuu...!" 
"Seraaang...!" 
"Singkirkan raja tua tak berarti ituuu...!" 
Para prajurit segera bersiap. Mereka langsung 
menabuh kentongan untuk membangunkan prajurit 
lain. Namun para prajurit yang bermunculan dari 
belakang istana tiba-tiba menyerang dan membunuh 
prajurit jaga. Hal itu mengakibatkan suasana makin 
kacau. Banyak prajurit istana yang masih setia pada 
Baginda Aji Wardana tersentak kaget, melihat teman-
teman mereka banyak yang memihak kepada 
pemberontak. 
"Bedebah! Rupanya kalian pemberontak yang telah 
menyusup ke istana!" dengus para prajurit yang setia 
pada Baginda Aji Wardana. Kemudian dengan gagah 
berani tanpa merasa takut sedikit pun, prajurit 
pengikut Baginda Aji Wardana menghadang serangan 
dari luar dan dalam. 
"Hea!" 
"Tumpas pemberontak...!" teriak Patih Arya Denta 
yang baru bangun dari tidur, karena kaget mendengar 
teriakan para prajuritnya. 
"Patih keparat! Aku lawanmu!" tiba-tiba Senapati 
Awong Purbo menghadang. Hal itu membuat Patih 
Arya Denta membelalakkan mata. 
"Keparat! Rupanya kau pun biang pemberontak, 
Senapati! Kubunuh kau! Heaaa...!" 
"Hea!" 
Dengan senjata berupa keris di tangan mereka, 
kini patih dan senapati saling serang. Pertarungan 
antara pemberontak dengan pihak kerajaan pun 
semakin seru. 
"Hea!" 
Trang!' 
Pekikan-pekikan keras yang ditingkahi dentang 
senjata berbenturan kian memecah suasana malam. 
Crab!  
"Wua!" 
Pekikan-pekikan pun tak luput mulai terdengar dari 
prajurit yang gugur. Suasana di alun-alun Istana 
Telaga Mas yang semula sepi kini hiruk-pikuk dari 
suara-suara jeritan prajurit dan beradunya senjata. 
Pertarungan antara Patih Arya Denta melawan 
Senapati Awong Purbo berjalan dengan seru. Dengan 
senjata berupa keris, mereka terus berkelebat saling 
serang.  
"Hea!"  
"Yea!"  
Trang! 
"Mampuslah, Senapati Keparat!" dengus Patih Arya 
Denta seraya terus mendesak Senapati Awong Purbo 
dengan sabetan dan tusukan kerisnya. Senapati 
muda itu tampak kewalahan dan hanya bisa 
mengelak. 
"Celaka! Matilah aku...!" Pekik Senapati Awong 
Purbo dalam hati, agak ciut nyalinya menyaksikan 
serangan-serangan gencar yang dilakukan Patih Arya 
Denta. 
"Tamatlah riwayatmu, Pengkhianat! Heaaa...!" 
Patih Arya Denta beringas melakukan serangan. 
Keris di tangannya berkelebat cepat, menusuk ke 
dada lawan yang telah terdesak hebat 
"Mati aku...!" keluh Senapati Awong Purbo dengan 
mata terbelalak, ketika keris di tangan Patih Arya 
Denta semakin cepat menusuk ke dadanya. Tak ada 
kesempatan lagi baginya untuk dapat mengelakkan 
serangan lawan yang sangat cepat dan mematikan 
itu. Sesaat lagi, nyawa senapati pengkhianat itu 
hampir mati di tangan Patih Arya Denta. Namun, tiba-
tiba.... 
Trang! 
"Ukh!" Patih Arya Denta terpekik sambil melompat 
mundur, ketika senjatanya beradu dengan senjata 
berupa dua bilah pedang kembar di tangan orang 
asing berhidung betet "Siapa kau?! Kenapa kau ikut 
campur dalam pemberontakan ini, Orang Asing!" 
bentak Patih Arya Denta. 
"He he he...! Siapa aku sebenarnya, tak jadi 
masalah. Yang pasti, kau dan rajamu harus 
disingkirkan!" jawab lelaki berhidung betet yang 
bernama Takakira dengan mencibirkan bibirnya. 
"Keparat, kubunuh kau!" dengus Patih Arya Denta 
sengit sambil bergerak hendak menyerang. Namun 
mendadak terdengar teriakan seorang pemuda 
didahului gelak tawa membahana. 
"Hua ha ha...! Paman Patih, biarkan mereka! 
Adikku yang menghadapi! Kau bantulah baginda 
menyelamatkan diri!" seru Sena. 
Patih Arya Denta dan prajurit yang masih setia 
pada Baginda Aji Wardana, juga para pemberontak 
tersentak kaget, mendengar seruan Pendekar Gila. 
Apalagi Rama Mangunda serta si Payung Sakti dan 
Takakira yang telah tahu siapa pemuda itu. Mereka 
kaget melihat kehadiran Pendekar Gila yang secara 
tiba-tiba. 
"Bukankah dia berada dalam penjara?" tanya 
Rama Mangunda seperti bertanya pada diri sendiri. 
"Hi hi hi...! Lucu sekali kalian! Tikus-tikus Busuk! 
Rupanya kalian mencari mati! Hua ha ha...! Supit, 
hadapi mereka!" seru Sena sambil terus tertawa 
terbahak-bahak dengart tangan menggaruk-garuk 
kepala. 
"Baik, Kakang," jawab bocah bersisik ular yang tak 
lain Supit Songong. Semua orang yang ada di alun-
alun istana terbelalak melihat keanehan bocah kecil 
berusia sekitar sepuluh tahun itu. 
"Hadang mereka, jangan sampai mengejar kami, 
Supit," seru Sena lagi. 
"Baik, Kakang. Pergilah bersama Paman Patih! Biar 
kulabrak orang-orang itu," jawab Supit Songon sambil 
menyeringai geram menunjukkan lidahnya yang 
merah dan bercabang. Matanya yang merah mem-
bara, menatap tajam para pemberontak di bawah 
pimpinan Rama Mangunda. 
"Ayo Paman Patih, kita tak punya waktu!" ajak 
Sena. Dengan cepat Pendekar Gila melesat ke istana 
diikuti Patih Arya Denta. 
Takakira dan Senapati Awong Purbo hendak 
mengejar, tetapi bocah ular Supit Songong telah 
menghadangnya. Hal itu membuat keduanya ter-
sentak dan mengurungkan niat mengejar Pendekar 
Gila dan Patih Arya Denta. 
"Grrr! Hoarrr...!" 
Supit Songong mengeluarkan suaranya yang 
menggelegar, dan memekakkan telinga. Hal itu 
semakin membuat Senapati Awong Purbo dan 
Takakira tersentak. Mereka belum sempat melakukan 
serangan, bocah ular itu telah menyerangnya dengan 
cengkeraman tangan yang berkuku panjang dan 
tajam. 
"Grrr! Hoarrr!" 
"Awaaas...!" 
Wrt 
Tangan kecil berkuku runcing berkelebat ke muka 
kedua lawannya. Mereka tersentak kaget. Cepat-
cepat keduanya mengelit ke samping. Kemudian 
melepaskan pukulan ke tubuh Supit Songong. Namun 
dengan cepat, bocah sakti itu melentingkan tubuh ke 
atas. Dan dengan cepat pula, menukik menyerang 
dengan cengkeraman mautnya. 
"Grrr! Hoarrr...!" 
Kedua lawannya dibuat kalang kabut menghadang 
serangan-serangan bocah bersisik ular itu. Bocah 
yang matanya membara seperti api itu terus bergerak 
cepat menyerang kedua lawannya. 
*** 
Sementara itu, Pendekar Gila dan Patih Arya Denta 
telah masuk istana. Keduanya terus menerobos 
masuk ke kamar baginda. Firasat mereka mengata-
kan kalau Baginda Aji Wardana kini dalam ancaman 
Nyi Mas Lindri, terbukti wanita cantik berhati iblis itu 
tak tampak di luar. 
Brakkk! 
Pendekar Gila mendobrak pintu kamar. Saat itu 
pula Nyi Mas Lindri yang sedang menyerang Baginda 
Aji Wardana dan istrinya tersentak kaget. Matanya 
terbelalak, ketika melihat kehadiran Pendekar Gila. 
Bukan hanya Nyi Mas Lindri yang kaget atas 
kehadiran Pendekar Gila. Baginda dan permaisuri pun 
kaget. 
"Pendekar Gila...!" desis mereka barbarengan. 
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil 
menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan 
cengengesan dan menggeleng-gelengkan kepala 
melangkah mendekati Nyi Mas Lindri. 
"Pemberontak busuk! Ha ha ha, wajahmu cantik 
sekali, Nyi! Sayang, hatimu iblis! Kau harus ditangkap! 
Hi hi hi!" 
Sena bergerak hendak menangkap Nyi Mas Lindri, 
tetapi dengan cepat wanita cantik itu mengelak. 
Kemudian dengan menabrak jendela kamar serta 
melompati Baginda Aji Wardana, Nyi Mas Lindri 
melesat keluar. 
"Aha, mau lari ke mana kau, Iblis Betina! Hua ha 
ha...! Maaf, Baginda!" 
Pendekar Gila melesat mengejar Nyi Mas Lindri. 
Seperti tak ingin kehilangan buruannya yang cantik 
tetapi berhati iblis. 
Nyi Mas Lindri ternyata berlari ke alun-alun, 
bergabung dengan para pemberontak yang dipimpin 
ayahnya. Hal itu membuat Pendekar Gila semakin 
tertawa terbahak-bahak, karena memang itulah yang 
diharapkan. Dengan begitu, dia dapat leluasa meng-
gempur para pemberontak. 
"Paman Patih, selamatkan baginda! Biar aku dan 
Supit Songong yang menghadang mereka!" seru 
Sena, lalu melesat menuju alun-alun istana. Para 
prajurit yang masih setia dengan Baginda Aji Wardana 
serta para sesepuh istana menghadapi para 
pemberontak yang dipimpin Rama Mangunda. 
Pendekar Gila terus melesat dengan cepat, 
menuju alun-alun yang terletak di depan Istana 
Telaga Mas. Sementara Patih Arya Denta menye-
lamatkan baginda dan permaisurinya meninggalkan 
istana. 
"Hua ha ha...! Prajurit yang setia, serang terus! 
Tikus-tikus busuk itu memang harus dibasmi. Hi hi 
hi..!" dengan tingkah lakunya yang konyol, Pendekar 
Gila berjingkrakan sambil menggaruk-garuk kepala. 
Dia segera membantu para prajurit dan sesepuh 
istana yang masih terus berusaha menghadang 
serangan lawan. 
Dengan kehadiran Pendekar Gila dan bocah sakti 
membuat semangat para prajurit istana yang masih 
setia pada Baginda Aji Wardana kembali pulih. 
Mereka dengan gagah berani, terus berusaha 
menghadapi lawan. 
"Tumpas pemberontak...!"seru Ki Gede Mundu. 
"Aha, benar katamu, Ki. Tikus-tikus itu memang 
harus ditumpas dari muka bumi! Hi hi hi...!" dengan 
cengengesan, Pendekar Gila bergerak menghadang si 
Payung Sakti yang sedang mengamuk. Sedangkan Ki 
Gede Mundu dan keempat sesepuh istana lainnya 
menghadapi Nyi Mas Lindri dan Rama Mangunda. 
Sementara, Supit Songon semakin mendesak kedua 
lawannya. 
"Seraaang...!" perintah Ki Gede Mundu. 
Prajurit istana yang semula ciut nyalinya, kini 
makin bersemangat. Apalagi kini telah hadir dua 
orang sakti yang patut diandalkan. Seorang pemuda 
gila dan seorang bocah ular yang sakti. Dalam 
beberapa gebrakan saja mereka mampu mendesak 
lawan. 
"He he he! Supit, bereskan kedua tikus itu! Hua ha 
ha...!" seru Sena pada Supit Songong. Sedangkan dia 
kini bergerak menggempur si Payung Sakti. Tubuhnya 
meliuk-liuk, bagaikan menari-nari. Sesekali tangannya 
menepuk ke tubuh lawan. 
"Pendekar Gila! Kini akhir hidupmu! Heaaa...!" 
Si Payung Sakti memutar payungnya dengan cepat, 
menimbulkan angin yang menderu ke tubuh lawan. 
Dengan cepat Pendekar Gila melompat ke atas. Lalu 
menukik sambil menghantamkan pukulan tenaga 
dalamnya dengan jurus 'Gila Terbang Mencengkeram' 
"Hih!" 
"Akh!" si Payung Sakti tersentak kaget, men-
dapatkan serangan yang cepat dan tiba-tiba itu. 
Tubuhnya bergerak mengelak, tetapi payungnya ter-
hantam pukulan dahsyat Pendekar Gila. 
Jlegar! 
"Hi hi hi...! Payung bututmu kini seperti tubuhmu, 
Nyi!" ejek Sena sambil cengengesan dengan tangan 
menggaruk-garuk kepalanya. 
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Pendekar Gila! 
Terimalah ajian 'Garang Gati'ku. Heaaa...!" 
"Aha, mengapa gergaji kau bawa, Nyi? Hi hi hi...!" 
Wrt! 
Angin menderu kencang dari tangan si Payung 
Sakti. Pendekar Gila tetap diam, kedua tangannya 
disatukan. Kemudian dengan cepat dihempaskan 
kedua telapak tangannya ke arah muka. 
"Ini untukmu, Nyi! 'Inti Bayu', heaaa...!" 
Wesss! 
Segumpal angin kencang menderu keras ke tubuh 
lawan. 
Srt!  
Jret! 
"Akh...!" si Payung Sakti terpekik, ketika tubuhnya 
tersapu angin topan yang keluar dari tangan 
Pendekar Gila. Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak 
sambil menggaruk-garuk kepala dengan tubuh ber-
jingkrak-jingkrak, menyaksikan tubuh si Payung Sakti 
terlempar sapuan angin pukulannya. 
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Nyi! Kenapa kau 
main burung-burungan?!" ejek Sena terpingkal-
pingkal, dengan telunjuk menuding tubuh si Payung 
Sakti yang terus melayang ke belakang. Tubuh 
perempuan tua itu baru berhenti, setelah menerjang 
pepohonan di luar istana. 
 Brakkk!  
"Akh...!" 
Lolongan kematian terdengar memecah malam, 
ketika kepala si Payung Sakti pecah membentur 
batang pohon besar. 
"Pendekar Gila, aku lawanmu! Heaaa...!" Nyi Lindri 
melihat ibunya mati, semakin marah. Tangannya kini 
menyerang Sena dengan pukulan 'Gelap 
Ngampar'nya. Perempuan cantik berpakaian merah 
jambu itu penuh nafsu menyerang Pendekar Gila. 
Wrt! 
"Uts! Hi hi hi...!" 
"Gelap gulitamu masih mentah, Nyi!" ejek Sena 
sambil meliukkan tubuhnya mengelakkan hantaman 
ajian 'Gelap Ngampar'. 
Kekuatan ajian 'Gelap Ngampar' Nyi Mas Lindri 
mampu membuat suasana malam bertambah gelap 
Mendung di langit tiba-tiba menebal. Awan 
berarak-arak menutupi langit di atas Istana Telaga 
Mas. 
"Kubunuh kau, Pendekar Gila! 'Gelap Ngampar', 
yeaaa...!" 
Wrrr! 
Pendekar Gila yang diserang dengan ajian sakti 
'Gelap Ngampar' malah tertawa terbahak-bahak. 
Sepertinya sedikit pun tak terpengaruh pukulan-
pukulan yang mendatangkan kegelapan. Malah 
dengan berjingkrak-jingkraan, Pendekar Gila balas 
menyerang dengan jurus-jurus gilanya yang aneh dan 
mengandung kekuatan dahsyat. 
Pertarungan keduanya semakin seru. Sementara, 
para prajurit dan pemberontak yang tengah ber-
tempur merasa keder melihat suasana yang tiba-tiba 
berubah gelap gulita. Hanya Supit Songong yang 
masih terus menggempur kedua lawannya. 
"Grrr! Hoarrr...!" 
Wrt! 
Cakar-cakar tangan bocah bersisik ular itu melesat 
begitu cepat ke tubuh lawan. Dan....  
Crab, crab!  
"Wuaaa...!" 
Senapati Awong Purbo dan Takakira yang tak 
dapat mengelakkan cengkeraman kuku-kuku tajam 
Supit Songong, terpekik keras. Tubuh mereka 
menggelepar-gelepar dengan leher terkoyak 
berantakan terkena kuku-kuku tajam Supit Songong. 
Kemudian ambruk dengan nyawa melayang. 
Melihat kedua lawannya binasa, Supit Songo kini 
beralih menyerang Rama Mangunda. Pimpinan 
pemberontakan itu masih bertarung melawan kelima 
sesepuh istana yang nampak kewalahan dengan 
serangan-serangan lelaki tua itu. Apalagi dengan ajian 
'Gelap Ngampar' yang dilancarkan Nyi Mas Lindri, 
membuat kelima sesepuh istana itu bertambah 
kalang kabut. 
"Grrr! Oarrr...! Aku lawanmu, Pemberontak!" maki 
Supit Songong seraya bergerak menyerang Rama 
Mangunda yang tersentak kaget, melihat bocah ular 
itu tiba-tiba menyerang dirinya dengan cakaran-
cakaran mautnya. 
"Uts! Celaka...!" pekik Rama Mangunda kaget. 
Cepat-cepat tubuhnya dilempar, berusaha meng-
hindar. Namun, Supit Songong kembali memburunya. 
Hal itu membuat Rama Mangunda kian tersentak 
kaget, dan terus berusaha mengelak sambil 
melancarkan serangan-serangan balasan.  
"Heaaa...!" 
"Grrr! Goarrr!" 
Supit Songong mengelit, kemudian dengan cepat 
kembali menyerang. 
Di tempat lain, Nyi Mas Lindri semakin ciut 
nyalinya, melihat banyak korban di pihaknya. Apalagi 
Pendekar Gila kini bagaikan tak mempan terhadap 
serangan-serangan yang dilancarkannya. 
"Celaka! Rama sepertinya juga terdesak. Ah, tak 
ada pilihan lain, aku harus kabur dari tempat ini," 
desis Nyi Mas Lindri dalam hati. 
"Pendekar Gila, tunggulah pembalasanku! 
Heaaa...!" tangan Nyi Mas Lindri mengambil sesuatu 
dari balik bajunya. Kemudian dengan cepat 
melemparkannya ke depan Pendekar Gila, yang 
tersentak kaget. 
Jlegar! Jlegarrr...! 
Dua kali ledakan dahsyat menggelegar, 
 
menyentakkan Pendekar Gila yang langsung 
melompat ke belakang. Asap tebal mengepul 
menutupi pandangannya. 
"Aha, rupanya kau mau main-main petasan, Nyi!" 
ujar Sena. Kemudian dengan ajian 'Inti Bayu'nya, 
disapunya asap tebal itu sampai hilang. Seketika 
matanya terbelalak, melihat Nyi Mas Lindri telah 
menghilang dari pandangannya. 
Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil meng-
geleng-geleng kepala. Tangannya menggaruk-garuk 
kepala. 
"Hua ha ha, licik sekali kau, Nyi! Hm, ke mana pun 
kau pergi, akan kukejar. Tapi biarlah, aku harus 
membantu para prajurit menyelamatkan pem-
berontak itu," kata Sena sambil melangkah ke tempat 
para prajurit yang tengah bertempur, 
Dengan masuknya Pendekar Gila membantu para 
prajurit yang masih setia pada Baginda Aji Wardana, 
para pemberontak yang sudah ciut nyalinya karena 
pimpinan-pimpinan mereka kabur dan mati dan dapat 
didesak. 
Sementara itu pula Supit Songong yang meng-
gunakan jurus 'Cakar Naga Sakti'nya terus memburu 
Rama Mangunda. Tangannya bergerak cepat, men-
cakar ke muka dan dada lelaki tua itu. 
"Grrr! Heaaa...!" 
Wrt! 
"Uts! Anak setan!" maki Rama Mangunda sambil 
bergerak mengelak. Kemudian dengan cepat 
membalas serangan dengan jurus 'Sapu Buana'. 
Tangannya menghentak keras, mengeluarkan angin 
pukulan yang dahsyat. Namun Supit Songong 
bagaikan tak takut. Dengan cepat tubuhnya yang 
kecil melompat dan terbang, lalu menukik melakukan 
serangan balasan. 
"Grrr! Kau harus mati, Orang Tua! Heaaa...!" 
Supit Songong melesat cepat ke belakang tubuh 
Rama Mangunda. Kemudian dengan cepat kedua 
kakinya hinggap di pundak lelaki tua itu. Lalu secepat 
kilat, sebelum lawannya sempat berbuat sesuatu 
kedua tangan Supit Songong mencengkeram leher 
Rama Mangunda. Digigit leher itu dengan giginya 
yang tajam bertaring. 
Crab! 
"Aaakh...!" 
Rama Mangunda terpekik, dia berusaha menying-
kirkan Supit Songong dari pundaknya. Namun, bocah 
itu bagaikan tak peduli, terus mencengkeram dan 
menggigit leher Rama Mangunda. Hal itu membua 
orang tua itu kelojotan dengan mata melotot. Lalu 
tubuhnya menggelepar-gelepar bagaikan ayam 
disembelih, sebelum akhirnya ambruk dan mati. 
Melihat para pimpinannya mati, prajurit pem-
berontak pun segera menyerah. Mereka segera 
dilucuti senjatanya, lalu diperintahkan berkumpul di 
alun-alun istana. 
*** 
Dengan menyerahnya para pemberontak, 
Pendekar Gila segera menyusul Baginda Aji Wardana 
dan Patih Arya Denta yang mengungsi di Hutan 
Kalaspitung. Hari itu pula, baginda dan patih kembali 
ke istana, untuk kembali memegang tampuk 
pimpinan sebagai Raja Istana Telaga Mas. 
Pagi yang cerah, ketika mentari bersinar terang di 
ufuk timur, di alun-alun istana rakyat berbondong-
bondong. Mereka datang setelah mendengar kabar 
tentang pemberontakan yang dapat digagalkan. 
"Hukum gantung saja para pemberontak itu!" 
"Penggal saja kepala mereka...!"  
"Jangan dikasih ampun...!"  
Teriakan-teriakan rakyat Kerajaan Telaga Mas yang 
marah, memecah pagi. Baginda Aji Wardana yang 
duduk di singgasananya, menitikkan air mata. Sedih, 
bahagia, serta bermacam perasaan beraduk jadi satu 
di dadanya. Begitu pula dengan permaisuri tampak 
bersedih. 
"Hidup Baginda Aji Wardana...!" 
"Hidup Telaga Mas...!" 
"Gantung para pemberontak...!" 
Rakyat terus berteriak karena marah yang meluap-
luap. Bahkan ada beberapa warga yang berusaha 
memukul prajurit-prajurit pemberontak. Beruntung 
sesepuh kerajaan dan Patih Arya Denta segera 
melerainya. 
"Mana Nyi Mas Lindri! Gantung saja dia...!" 
"Ya, gantung saja!" 
"Gantung iblis jahanam ituuu...!" 
Baginda Aji Wardana masih mengurai air mata. 
Berdiri di samping kiri dan kanannya, Pendekar Gila 
dan Patih Arya Denta. Di samping Pendekar Gila yang 
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, berdiri 
bocah kecil yang tubuhnya dipenuhi sisi ular. 
"Tenang..., tenanglah, Rakyatku," kata Baginda Aji 
Wardana setelah lama terdiam. Rakyat kerajaan pun 
seketika menurut, tenang dan diam. "Kita harus 
bersyukur, karena Hyang Widhi masih mempercaya-
kan tampuk kerajaan ini padaku...!" 
"Hidup Baginda Aji Wardana...!" 
"Hidup Telaga Mas,..!" 
Teriak rakyat penuh bersemangat, memecahkan 
Kesunyian yang sekejap terjadi. 
"Rakyatku yang kucintai, kita harus berterima kaah 
pula atas pertolongan Hyang Widhi yang mengutus 
dua orang pendekar guna menumpas keangkara-
murkaan yang melanda kerajaan ini. Dialah Sena 
Menggala dan Supit Songong. Jika kalian rakyatku tak 
keberatan, aku bermaksud mengangkat Sena sebagai 
Senapati di Istana Telaga Mas ini," ujar Baginda Aji 
Wardana. 
"Setujuuu...!" sahut rakyat penuh semangat. "Hidup 
senapati baru...!" 
"Bagaimana, Sena? Rakyat Telaga Mas, meng-
harapkan kau bersedia jadi senapati di Istana Telaga 
ini," kata Baginda Aji Wardana seraya menoleh pada 
Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil 
menggaruk-garuk kepala. 
"Ampun, Baginda! Sungguh suatu kehormatan 
yang sangat tinggi bagi hamba, mendapat 
kepercayaan menjadi senapati. Namun, hamba rasa 
masih banyak yang lainnya. Apalah artinya hamba 
yang bodoh dan liar ini. Seorang pengembara yang 
tak pernah punya arah tujuan. Sekali lagi, hamba 
mohon ampun, dengan menyesal hamba menolak. 
Biarkanlah hamba mengabdi pada kehidupan ini. Lagi 
pula, hamba masih harus menyelesaikan tugas 
hamba, menangkap Nyi Lindri," ujar Sena dengan 
rendah hati. 
"Ya, kalau memang begitu, kami tak bisa 
memaksamu, Sena. Yang kuharapkan, bantuanmu, 
menangkap Nyi Mas Lindri hidup atau mati. Rasanya 
belum tenang kerajaan ini, jika wanita iblis itu masih 
berkeliaran," tutur Baginda Aji Wardana. 
"Akan hamba usahakan, Baginda. Sekarang juga, 
hamba mohon pamit!" pinta Sena. 
"Doaku dan seluruh rakyat Istana Telaga Mas, 
menyertaimu, Sena. Bagaimana dengan Anak Supit?" 
tanya Baginda Aji Wardana. 
"Adi Supit, akan kembali ke Pulau Karang Api lewat 
lorong di penjara bawah tanah," tutur Sena yang 
membuat baginda tersentak kaget. "Ampun, Baginda! 
Sebenarnya dulu bukanlah hamba menghilang. Tetapi 
Paman Naga Brahma dan Adi Supit-lah yang telah 
menolong hamba, membuat terowongan yang meng-
hubungkan kerajaan ini dengan Danau Sambak 
Neraka." 
"O, begitu...?" ujar Baginda Aji Wardana. "Bolehkah 
aku melihatnya?" 
"Dengan senang hati, Baginda," jawab Supit. 
Mereka pun mengantar Supit Songong ke penjara 
bawah tanah. Kemudian dengan disaksikan baginda 
serta yang lainnya, Supit Songong masuk ke penjara 
bawah tanah. Di situ, Supit Songong membuka 
terowongan yang tertutup. Lalu masuk ke lubang 
besar itu. Baginda Aji Wardana melongong bengong 
melihatnya. 
"Wahai rakyatku sekalian! Sejak saat ini, Ki Naga 
Brahma dan Anakmas Supit Songong, menjadi 
saudara kita!" sabda Baginda Aji Wardana, 
"Terowongan ini, sebagai lambang persaudaraan 
kita." 
"Hidup Baginda Aji Wardana...!" 
"Hidup Ki Naga Brahma...!" 
Sejak saat itu, antara Baginda Aji Wardana dan 
Naga Brahma serta Supit Songong resmi terjalin 
hubungan persaudaraan. Terowongan bawah tanah 
yang ada di kerajaan, tetap dipelihara. Bahkan 
Baginda Aji Wardana memerintah tenaga-tenaga ahli 
untuk memperbaiki penjara bawah tanah itu sebagai 
tempat yang indah. Tempat yang akan digunakannya 
untuk mengadakan pertemuan dengan Naga Brahma 
atau pendekar golongan putih yang lain. 
Nah, bagaimana dengan Nyi Mas Lindri? 
Mampukah Pendekar Gila menangkap wanita cantik 
berhati iblis itu? Untuk lebih jelasnya, ikuti lanjutan 
kisah "Istana Berdarah" ini dalam judul: 
"Pengkhianatan Joko Galing". 
SELESAI 
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com