Pendekar Gila 19 - Murka Sang Iblis(1)



Firman Raharja 
Serial Pendekar Gila 
dalam episode: Murka Sang Iblis

Senja  itu  di  Desa  Pakis  tengah  terjadi 
pertarungan seru antara Ki Angkara, seorang bekas 
penduduk desa itu, melawan Kepala Desa Pakis, Ki 
Lurah Padri. Ki Angkara yang juga dikenal sebagai 
seorang lintah darat itu melampiaskan dendam pada 
Ki Lurah Padri, karena kepala desa itu memberikan 
anak gadisnya kepada Kandanu. 
Kejadian  itu  dirasa  memang  aneh,  karena 
ketika  Ki  Angkara  datang  ke  Desa  Pakis,  warga 
desa  menyambut  dengan  gembira.  Lelaki  tua  itu 
dianggap  orang  baik,  karena  banyak  membantu 
mereka  yang  lemah,  dengan  memberi  pinjaman. 
Namun,  lama  kelamaan  warga  banyak  yang  merasa 
keberatan.  Jika  dalam  kurun  waktu  yang  telah 
ditentukan,  mereka  tak  mampu  mengembalikan 
pinjaman, maka dikenakan bunga yang tinggi 
Kian  hari  warga  yang  berhutang  pada  Ki 
Angkara  kian  menderita  dan  sengsara.  Bukan  saja 
karena perekonomian warga semakin tertekan. Jika 
warga tak mampu membayar utang, Ki Angkara pun 
tak segan- segan menyiksa. 
Apalagi  ketika  pembelian  hasil  panen 
dilakukan  secara  ijon,  penderitaan  warga  Desa 
Pakis  semakin  hebat.  Sampai  ketika  seorang 
pemuda  bemama  Kandanu  kembali  ke  Desa  Pakis. 
Kandanu  yang  tahu  orang  tuanya  juga  korban  Ki 
Angkara,  dengan  gigih  berusaha  menumpas 
kekejaman Ki Angkara. 
Kemarahan  Kandanu  semakin  memuncak, 
setelah tahu bahwa Ki Angkara yang menyebabkan 
kematian  orang  tuanya  Apalagi  ketika  mendengar 
Ki  Angkara  hendak  memperistri  Murti  Dewi, 
kekasihnya. 
Mengetahui  Kandanu  membenci  lelaki  tua 
yang Juga berjuluk Iblis Berkedok Dewa itu, warga 
menjadi  berani.  Mereka  segera  angkat  senjata 
berusaha mengusir Ki Angkara. 
Sore  itu  Ki  Angkara  tsngah  membabi  buta, 
melabrak serta membunuh setiap orang yang berani 
melawan dan menghalanginya. 
'Heaaa..!" 
Bukkk! 
Plak! 
Pukulan  dan  tsndangan  keras  Ki  Angkara 
terus  menghajar  orang-orang  yang  berani  melawan 
dan menghalangi. 
"Aaakh...!" 
Pekikan  keras  terdengar  menyayat,  disusul 
tubuh- tubuh bergelimpangan berlumuran darah. Di 
Sana  sini  yang  dilewati  Ki  Angkara  tampak  mayat-
mayat terkapar mengenaskan. Ki Lurah Padri yang 
juga  memiliki  llmu  silat  cukup  lumayan  pun  tak 
mampu  menghalangi  tindakan  Ki  Angkara  yang 
penuh dendam itu. 
Lima orang keamanan desa yang memiliki ilmu 
silat  tinggi,  dengan  sekali  gebrak  saja  tak  berdaya 
menghadapi keganasan Iblis Berkedok Dewa itu. 
Darah  berceceran  di  mana-mana, 
menimbulkan  bau  anyir.  Korban  semakin  banyak 
yang  bergelimpangan,  mati  dalam  keadaan 
mengenaskan.  Ada  yang  terbabat  lehemya  sampei 
putus,  ada  yang  kepalanya  terbelah,  dan  ada  pula 
yang  dadanya  hangus  terbakar  surtn  berbakas 
telapak tangan Ki Angkara. Karena lelaki bengis itu 
menggunakan ilmu 'Pukulan Iblis Berbisa'. 
Ki  Lurah  Padri  hampir  saja  menjadi  korban, 
kalau tak segera melompat mundur. 
"'Pukula Iblis Berbisa'," desah Ki Lurah Padri 
dengan mata menatap nanar pada Ki Angkara. 
Ki Lurah Padri lalu mengambil tindakan untuk 
mengamankan diri Hal itu dilakukan bukan  karena 
takut  mati,  tapi  karena  merasa  harus  segera 
memberi  kabar  pada  Kandanu,  menantunya  yang 
saat itu berada di istana kerajaan. 
"Karto...!"  seru  Ki  Lurah  Padri  memanggil 
seorang pemuda yang hendak turut mengeroyok Ki 
Angkara. Pemuda itu segera menghampiri Ki Lurah 
Padri  yang  berada  di  belakang  sebuah  rumah 
penduduk. 
Kau  segera  ke  istana  dan  beri  tahu 
Kandanu..., cepat'" 
Karto  segera  berlari  menjalankan  perintah 
kepala desanya. Ki Lurah Padri agak lega, pemuda 
itu  telah  melesat  pergi  dari  Desa  Pakis,  menuju 
istana  untuk  memberi  tahu  Kandanu  tentang 
kejadian itu. 
Mendung  yang  sejak  tadi  bergayut  di  langit 
kian menebal, membuat suasana Desa Pakis semakin 
tercekam.  Apalagi  sebentar-sebentar  suara  petir 
terdengar seakan hendak memecahkan bumi. 
Pembantaian  masih  terus  berlangsung.  Iblis 
Berkedok  Dewa  semakin  merajalela  membunuh 
orang- orang desa. 
"Mampus  kalian...!  Heaaa...!"  geram  Ki 
Angkara  dengan  mata  melotot  memancarkan  sinar 
kebencian.  "Kemana  lurahmu  yang  tukang  bohong 
itu...?!" 
Sambil  berkata  begitu,  Ki  Angkara  terus 
menghajar  dan  menghantam  orang-orang  yang 
mengeroyoknya.  Golok  dan  senjata  lain  dengan 
mudah dipatahkan, lalu dihantamkan ke pemiliknya. 
"Aaakh...!" 
"Wuaaa...!" 
Sementara  itu,  Ki  Lurah  Padri  tengah 
berusaha  mcnyelamatkan  putrinya,  Murti  Dewi, 
yang sedang hamil muda. 
"Cepat,  Murti....  Kita  harus  segera  pergi. 
Cepat...!  Sebelum  iblis  itu  menangkap  kita.  Ayo, 
cepat..!"  perintah  Ki  Lurah  Padri  cemas  pada 
anaknya. 
Murti  Dewi  dengan  perasaan  tegang  terus 
berlari  mengikuti  ayahnya.  Ki  Lurah  Padri  cepat 
memegang  lengan  Murti  Dewi  yang  nampak 
ketakutan.  Mereka  terus  berlari  menembus  hujan 
lebat, berusaha menjauhi rumah yang akan disatroni 
Ki Angkara. 
Hujan pun turun semakin deras, bagai disiram 
dari atas. Pembantaian masih berlangsung. Teriakan 
dan  jeritan  panjang  tiada  henti,  terdengar  di  sana 
sini. Dan kini Ki Angkara telah sampai dekat rumah 
Ki  Lurah  Padri  yang  telah  sepi.  Beberapa  wanita 
tua  muda  berlarian  sambil  menangis  dan  menjerit 
mencari  suami  atau  anak  mereka  yang  mungkin 
tewas dalam pertempuran menghadapi keberingasan 
Iblis Berkedok Dewa. 
Iblis  Berkedok  Dewa  memasuki  rumah  Ki 
Lurah  Padri  dengan  cara  menghancurkan  pintu 
rumah itu. Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba dari 
arah  timur  nampak  beberapa  lelaki  penunggang 
kuda  memasuki  Desa  Pakis.  Derap  kaki-kaki  kuda 
bergemuruh,  seakan  bersaing  dengan  suara  hujan 
lebat.  Sepuluh  prajurit  dengan  seragam  kerajaan 
berwama  kuning  menggebah  terus  kuda  mereka. 
Seolah-olah mereka tak sabar untuk segera sampai 
di Desa Pakis. 
Kuda  putih  yang  berada  paling  depan 
ditunggangi  seorang  lelaki  gagah  perkasa.  Dilihat 
dari  pakaiannya,  lelaki  itu  adalah  seorang  senapati 
atau  panglima  perang  kerajaan.  Dialah  Senapati 
Kandanu yang juga berjuluk Macan Kaligis. 
Ki  Angkara  yang  mengetahui  kedatangan 
pasukan  prajurit  kerajaan,  segera  melesat  pergi 
dengan hati geram dan marah. Lelaki tua beijubah 
merah darah itu terus melesat menembus lebatnya 
hujan. 
Senapati  Kandanu  memerintahkan  anak 
buahnya  untuk  memeriksa  rumah  Ki  Lurah  Padri. 
Ternyata  rumah  besar  itu  telah  kosong.  Beberapa 
peralatan rumah tampak hancur berantakan. 
Mengetahui  keadaan  sepi  di  rumah 
mertuanya,  Senapati  Kandanu  melompat  dari 
punggung  kuda.  Kemudian  mencoba  masuk  ke 
rumah. 
"Kau temukan istriku dan Ki Lurah...?" tanya 
Senapati  Kandanu  pada  anak  buahnya  yang  telah 
memeriksa dalam rumah. 
"Tidak  seorang  pun  di  dalam  rumah  ini, 
Senapati," jawab prajurit itu. 
Mendengar  jawaban  itu,  Senapati  Kandanu 
tersentak  kaget  dan  cemas.  Sejenak  dia  berpikir, 
lalu  segera  memerintahkan  anak  buahnya  untuk 
mencari ke seluruh penjuru desa. 
"Kau  beri  tahu  yang  lain,  cari  sampai 
ketemu...!" perintah Senapati Kandanu kepada anak 
buahnya agar memberi tahu prajurit lain yang tidak 
ikut ke rumah Ki lurah Padri. 
"Baik, Senapati!" 
Setelah  prajurit  itu  pergi,  Senapati  Kandanu 
masih memutar pikiran, ke mana istri dan mertuanya 
pergi.  Hatinya  semakin  diliputi  kecemasan,  karena 
sang Istri tengah hamil. 
"Keparat  tua  bangka  itu!  Kubunuh  kau, 
Iblis...!" 
Kemudian  dengan  hati  diliputi  amarah  dan 
kecemasan,  Senapati  Kandanu  menggebah  kuda, 
meninggalkan  rumah  Ki  Lurah  Padri,  untuk 
menyusul  para  anak  buahnya  yang  telah  menyebar 
mengejar Iblis Berkedok Dewa. 
Iblis Berkedok Dewa ternyata memang sengaja 
membuat keonaran di Desa Pakis. Hal itu dilakukan 
dengan  tujuan  untuk  membuat  malu  Senapati 
Kandanu  yang  telah  mempersunting  Murti  Dewi. 
Lelaki  tua  itu  pun  telah  lama  menyimpan  dendam 
dan  amarah  pada  Kepala  Desa  Pakis.  Ki  Lurah 
Padri dianggapnya telah berkhianat dan berbohong 
padanya. 
Dahulu,  sebelum  Murti  Dewi  yang  menjadi 
Kembang  Desa  Pakis  dipinang  Senapati  Kandanu, 
Iblis  Berkedok  Dewa  yang  juga  lintah  darat  itu 
telah beberapa kali mempengaruh] Ki Lurah Padri 
agar  menyerahkan  putrinya  untuk  dijadikan  istri. 
Berulang  kali  bujukan  dilakukan,  tapi  Ki  Lurah 
Padri  selalu  menolak  dengan  halus.  Alasannya, 
putrinya  belum  berminat  menikah  atau  berumah 
tangga. 
Ki  Angkara  rupanya  mengerti  dan  tetap 
bersedia  menunggu.  Namun  manakala  mendengar 
bahwa orang yang diharapkan ternyata dipersunting 
Senapati  Kandanu,  Ki  Angkara  marah  bukan 
kepalang.  Dendamnya  semakin  membara  setelah 
Murti  Dewi  dinikahi  Senapati  Kandanu.  Itulah 
sebabnya setelah menghilang dari Desa Pakis,  Iblis 
Berkedok  Dewa  selalu  membuat  keonaran  di  desa 
yang dipimpin Ki Lurah Padri itu Berulangkali lelaki 
tua itu selalu lolos dari kejaran Senapati Kandanu 
dan prajurit kerajaan. 
Belakangan  diketahui  kalau  Ki  Angkara 
menjadi  mata-mata  Kerajaan  Kelabang  Sewu, 
sebuah  kerajaan  yang  berada  di  bawah  kekuasaan 
Kerajaan Mandra Kulawa. Kerajaan Kelabang Sewu 
ingin  memisahkan  diri  dari  kekuasaan  Kerajaan 
Mandra  Kulawa.  Namun  cita-cita  itu  selalu 
terkubur, apalagi setelah panglima perang Kerajaan 
Mandra  Kulawa  dipegang  Senapati  Kandanu,  si 
Macan Kaligis! 
Malam  telah  tiba,  tapi  hujan  belum  reda. 
Seakan-  akan  hendak  turut  menyembunyikan  jejak 
Iblis  Berkedok  Dewa.  Sementara  itu,  Senapati 
Kandanu atau Macan Kaligis hampir putus asa. Di 
wajahnya  nampak  kecemasan  bercampur  amarah 
terhadap tindakan Iblis Berkedok Dewa. 
Namun,  ketika  Senapati  Kandanu  baru  saja 
memerintahkan  para  anak  buahnya  untuk  kembali 
berkumpul, tiba-tiba dari arah selatan tampak dua 
orang berlarian menembus hujan. Keduanya menuju 
para  prajurit  kerajaan  yang  dipimpin  Senapati 
Kandanu. Kedua orang itu ternyata Ki Lurah Padri 
dan  Murti  Dewi,  yang  tampak  pucat  dan  basah 
kuyup. 
Melihat siapa yang datang, Senapati Kandanu 
segera  menghambur  menyambut  istrinya. 
Dipeluknya  wanlta  yang  tengah  hamil  muda  itu 
dengan  kelegaan  hati  dan  rasa  kasih  sayang. 
Sementara,  dua  orang  prajurit  membimbing  Ki 
Lurah  Padri  membawa  ke  rumahnya.  Senapati 
Kandanu  pun  segera  menuntun  istrinya,  masuk  ke 
rumah. 
"Maafkan  Kakang,  Murti...,"  bisik  Senapati 
Kandanu  pada  Murti  Dewi.  Lalu  direbahkannya 
sang  istri  di  ranjang.  Dikeringkan  sekujur  tubuh 
istrinya  yang  masih  pucat  dan  lemas.  Tak  lama 
kemudian wanita cantik itu tertidur kelelahan. 
Malam  terus  merangkak.  Di luar  hujan  mulai 
reda. Murti Dewi pun mulai kembali sehat setelah 
tertidur pulas cukup lama. Senapati Kandanu yang 
menunggui selama sang Istri tidur, segera mendekat 
dan duduk di tepi ranjang. 
"Kakang...!  Kakang...!"  suara  Murti  Dewi 
terdengar lirih dan lembut memanggil suaminya. 
"Ya,  Diajeng.  Ini  Kakang,"  sahut  Senapati 
Kandanu  sambil  mengusap  lembut  kepala  Murti 
Dewi  dengan  penuh  kasih  sayang.  Bibirnya 
tersenyum  gembira  melihat  istrinya  tampak  mulai 
segar. 

"Aku  takut,  Kakang...,"  desah  Murti  Dewi 
sambil meremas tangan Senapati Kandanu. 
"Tenang,  Diajeng!  Yang  penting  kau  selamat. 
Kakang  yang  salah.  Maafkan  Kakang...!  Sekarang 
tak  perlu  kau  takut  dan  khawatir.  Kakang  akan 
selalu  bersamamu,  Diajeng...,"  Senapati  Kandanu 
mencoba  menenangkan  istrinya  yang  tampak  masih 
diliputi kecemasan. 
Murti  Dewi  tersenyum  manis  seraya 
memegangi  pipi  sang  Suami  dengan  jari  tangannya 
yang halus. Senapati Kandanu lalu mencium lembut 
kening  Murti  Dewi.  Wanita  cantik  itu  tersenyum 
bahagia. 
"Kakang, mudah-mudahan bayi dalam perut ini 
lahir  dengan  selamat..!  Aku  khawatir  nanti...," 
Murti  Dewi  tak  meneruskan  ucapannya  karena 
Senapati  Kandanu  menutup  bibirnya  dengan  jari 
telunjuk  sambil  tersenyum  serta  menggelengkan 
kepala. Kemudian dipeluknya erat-erat tubuh sang 
Istri dengan penuh kasih sayang. 
"Jangan  kau  mempunyai  perasaan  begitu, 
Diajeng.  Percayalah  pada  Hyang  Widhi,  bayi  itu 
akan  lahir  dengan  sehat,  tanpa  kekurangan  apa 
pun...!" Senapati Kandanu menghibur istrinya. 
Murti  Dewi  takut  akan  keselamatan  bayinya, 
karena  dirinya  mengalami  jatuh  dua  kali  sewaktu 
tadi berlari untuk bersembunyi di luar desa. Itulah 
yang kecemasan dan ketakutan di hatinya, jika sang 
Bayi kelak lahir. 
Senapati  Kandanu  memeluk  dan  menciumi 
sang  Istri  dengan  penuh  kasih,  terus  berusaha 
menenangkan hati Murti Dewi. Sementara, di luar 
malam  semakin  larut.  Kegelapan  menyelimuti  Desa 
Pakis.  Hujan  rintik-rintik  menambah  suasana 
mencekam  di  desa  yang  baru  saja  mengalami 
pembantaian oleh seorang tokoh sakti durjana. 
Di tengah kegelapan malam dan rinai gerimis, 
tampak  para  warga  desa  dibantu  para  prajurit 
kerajaan  inulai  mengumpulkan  mayat-mayat  yang 
tewas oleh nmukan Iblis Berkedok Dewa. 
Malam  itu  juga  mereka  menguburkan  para 
korban  diiringi  derai  tangis  dan  air  mata  seluruh 
warga Desa Pakis. Obor-obor bambu terpancang di 
sekitar pemakaman, seakan turut menyaksikan duka 
cita warga Desa Pakis. 
*** 
Semenjak peristiwa mengenaskan itu, Senapati 
Kandanu  memutuskan  untuk  lebih  sering 
mengunjungi  Desa  Pakis,  menjenguk  istrinya  yang 
tengah hamil. Atau kadang kadang, kalau terpaksa 
dirinya  tak  bisa  datang  karena  urusan  di  istana 
kerajaan,  terpaksa  mengutus  beberapa  prajurit 
untuk mengawasi Ki Lurah Padri dan Murti Dewi, 
istrinya. 
Tak  terasa  beberapa  purnama  telah  berlalu. 
Kini kandungan  Murti Dewi telah sampai waktunya 
untuk melahirkan. Sore itu, Senapati Kandanu pun 
datang  ke  rumah  mertuanya,  Ki  Lurah  Padri. 
Setelah  menemui  Istrinya  yang  berada  di  kamar 
ditemani  Nyi  Ipah,  seorang  dukun  bayi,  Senapati 
Kandanu  berbincang-  bincang  dengan  Ki  Lurah 
Padri di serambi depan rumah. 
"Aku  ikut  bersalah,  Nak  Senapati.  Aku  tak 
berte rus terang pada Ki Angkara waktu itu. Tapi 
apa  aku  juga  bersalah  kalau  menolak  permintaan 
lelaki  tua  itu  meminang  Murti...?"  ujar  Ki  Lurah 
Padri  membuka  permasalahan  yang  telah  lama 
terpendam  di  hati.  Wajahnya  nampak  muram, 
cemas. 
"Tidak, Rama. Menolak atau menerima adalah 
hak  Rama.  Ki  Angkara  memang  manusia  berhati 
iblis  yang  periu  ditumpas  Aku  telah  berjanji  dan 
bersumpah  untuk  membunuhnya,  bila  tertangkap 
nanti.  Dia  telah  berani  membuat  onar  di  desa  ini 
dengan  ilmu  hitamnya.  Aku  harus  menangkapnya, 
cepat  atau  lambat..!"  ujar  Senapati  Kandanu 
sungguh-sungguh. 
Ki  Lurah  Padri  diam.  Dihisapnya  rokok 
kawungnya,  kemudian  perlahan-lahan  dihembuskan 
asapnya.  Senapati  Kandanu  pun  diam.  Keadaan 
sejenak hening. 
Waktu  berputar  begjtu  cepat,  malam  pun 
datang  menyelimuti  bumi.  Awan  hitam  menutupi 
bulan  yang  bersinar  terang.  Bumi  berubah  redup, 
menambah sua- sana mencekam. 
Malam  itu  Senapati  Kandanu  dan  Ki  Lurah 
Padri kembali meneruskan pembicaraan mereka. Nyi 
Ipah yang memang masih kerabat dekat dengan Ki 
Lurah Padri malam itu tetap menjaga Murti Dewi. 
Perempuan  tua  itu  mengeluarkan  minuman  dan 
makanan  untuk  Ki  Lurah  Padri  dan  menantunya, 
Senapati Kandanu. 
"Sampai di mana obrolan kita tadl..?" tanya Ki 
Lurah Padri pada Senapati Kandanu. 
"Ng...,  soal  ilmu  yang  dimiliki  Ki  Angkara, 
Rama," jawab Senapati Kandanu. 
"Hm..., ya. Aku tak habis pikir, dari mana dia 
mendapatkan ilmu aneh itu." 
"Ya,  begitulah,  Rama.  Yang  jelas  Ki  Angkara 
telah  menguasai  ilmu  sesat  itu  Namun  sedikit  pun 
aku tak takut. Apalagi kini pihak Kerajaan Mandra 
Kulawa  telah  mendengar  bahwa  si  Iblis  Berkedok 
Dewa  itu  merupakan  mata-mata  dari  Kerajaan 
Kelabang  Sewu.  Berarti  Ki  Angkara,  jelas  musuh 
Kerajaan  Mandra  Kulawa.  Dan  sebagai  senapati 
yang  bertanggung  jawab  atas  keamanan  dan 
ketenteraman  rakyat,  aku  harus  menangkap  hidup 
atau mati Ki Angkara!" 
Ki  Lurah  Padri  manggut-manggut,  tanda 
mengerti clan membenarkan ucapan menantunya. 
"Ya,  ya.  Tapi  Nak  Senapati  tetap  harus 
waspada  dan  hati-hati,  menghadapi  manusia  licik 
seperti  Ki  Angkara  itu.  Manusia  seperti  dia  itu 
pandai  mengutamakan  berbagai  tipu  muslihat. 
Apalagi  kudengar  dia  juga  pandai  menyamar,"  ujar 
Ki Lurah Padri, tampak mencemaskan menantunya. 
Senapati  Kandanu  nampak  tak  langsung 
menjawab, la sedikit kaget mendengar penjelasan Ki 
Lurah Padri. Dia tampak berpikir sejenak. 
"Hmm... , aku justru belum tahu tentang itu, 
Rama.  Namum  plhak  kerajaan  telah  memutuskan 
untuk  membinasakan  Iblis  itu.  Aku  sendiri  turut 
merasa  berdosa  terhadap  penduduk  Desa  Pakis 
yang  telah  banyak  menjadi  korban  kebiadabannya. 
Untuk itu, aku pertaruhkan nynwa demi menangkap 
Ki  Angkara...!"  ujar  Senapati  Kandanu  yang  telah 
diliputi  amarah,  dan  malu,  akibat  ulah  Iblis 
Berkedok Dewa. 
Ya.. ya..  Aku memaklumi perasaanmu, sebagai 
seorang abdi Kerajaan Mandra Kulawa. Tapi sekati 
lagi,  aku  berpesan  agar  kau  lebih  tenang 
menghadapi  masalah  iril.  Dengan  ketenangan  jiwa 
kau  akan  lebih  inampu  mencari  siasat  untuk 
menaklukkan  manusia  iluijana  seperti  Ki  Angkara. 
Semoga Hyang Widhi berpihak pada kita....!" 
"Terima  kasih,  Rama!  Aku  akan  mencoba 
melaksanakan  nasihat  Rama...,"  jawab  Senapati 
Kandanu  sambil  mengangguk  penuh  rasa  hormat 
terhadap mertuanya. 
Sejenak  keduanya  kembali  diam.  Suasana 
hening  menyelimuti  malam.  Hanya  bunyi  jangkrik 
dan  sesekali  celetukan  burung  hantu  terdengar 
memecah  keheningan.  Ki  Lurah  Padri  meneguk 
kopinya.  Sementara  Senapati  Kandanu  nampak 
tengah memikirkan sesuatu. 
*** 
Air  hujan  yang  mengguyur  Desa  Pakis  sejak 
sore,  membuat  desa  yang  indah  itu  seketika 
bagaikan mati. Kesunyian terus mencekam bersama 
datangnya  hawa  dingin  yang  menusuk  tulang 
sumsum.  Sesekali  hujan  berhenti,  tapi  kemudian 
tercurah kembali. 
Sementara itu di dalam kamamya, Murti Dewi 
tengah berjuang mati-matian menghadapi kelahiran 
anaknya. 
"Aduh,  Nyi!  Oh,  sakit  sekali...!"  keluh  Murti 
Dewi. 
Wanita  cantik  itu  terus  mengeluh  dan 
mengaduh  kvwkltan.  Napasnya  tersengal-sengal. 
Keringat  membanjiri  sekujur  tubuhnya,  meskipun 
hawa  dingin  menyelimuti  malam  itu.  Namun 
perasaan dan upayanya untuk mampu mengeluarkan 
jabang  bayi  di  dalam  perut  telah  membuat  tubuh 
wanita cantik itu basah kuyup. 
"Sabar,  Murti...!  Sabar...!"  bisik  Nyi  Nipah, 
sang  dukun  bayi,  sambi  terus  berusaha  membantu 
Murti  Dewi  mengeluarkan  bayi  dalam 
kandungannya. 
"Ayo,  Murti...!  Cepat  sedikit...,  ayo...!"  Nyi 
terus  memberi  semangat,  agar  Murti  Dewi 
menghempaskan  napasnya  karena  kepala  bayi  itu 
telah mulai keluar. 
"Hmh , ahhh! Ohhh...!" Murti Dewi menurut, 
segera  dikerahkan  seluruh  tenaganya  untuk  dapat 
mengeluarkan  sang  bayi  yanq  sudah  mulai  keluar 
kepalanya. 
"Terus,  Mur!  Ayo,  terus!"  seru  Nyi  Nipah 
memberi  semanyat,  supaya  Murti  Dewi  tak 
menghentikan hempasan tenaganya. 
Wajah  wanita  muda  itu  kini  nampak  tegang 
dan  pucat.  Keringat  terus  membanjiri  selurah 
tubuhnya. Meskipun tubuhnya tampak letih, Murti 
Dewi terus berusaha mengeluarkan jabang bayinya. 
Dihempaskan tenaganya dan.... 
"Oaaa...! Oaaa...!" 
Terdengar  suara  bayi  memecah  keheningan 
malam,  seakan  hendak  membelah  kegelapan  malam 
dan suara hujan. 
Seketika  Senapati  Kandanu  berucap  syukur 
kepada Sang Hyang Widhi. Hatinya diliputi perasaan 
bahagia yang tak terkira. Wajah Senapati Kerajaan 
Mandra  Kulawa  itu  tampak  ceria,  karena  sang 
Anak yang ditunggunya telah lahir dengan selamat. 
"Nak  Senapati,  ke  sini!  Lihat  anakmul  Besar 
dan  tampan,  bukan?"  tanya  Nyi  Nipah  sambil 
menimang  bayi  yang  masih  dengan  ari-arinya.  "Aku 
melihat ada kelebihan pada bayi ini." 
"Ah,  Nyi  Nipah  ada-ada  saja...,"  sahut 
Senapati Kandanu seraya tersenyum. 
"Nak Senapati ini dikasih tahu orang tua tidak 
percaya. Cobalah perhatikan anakmu...." 
"Benar  kata  Nyi  Nipah,  Nak  Kandanu,"  Ki 
Lurah Padri menimpali. 
Senapati  Kandanu  hanya  menyunggingkan 
senyum. Bagi dirinya, mempunyai keistimewaan atau 
tidak,  yang  jelas  anaknya  kelak  harus  dapat 
mewarisi  watak  yang  baik  Dalam  hatinya,  Senapati 
Kandanu  berharap  anaknya  kelak  akan  menjadi 
orang  yang  dapat  diandalkan.  Anak  yang  berbakti 
kepada orang tua, negara, dan Hyang Widhi. 
"Semuanya  saya  serahkan  pada  Hyang  Widhi, 
Rama," ujar Senapati Kandanu menanggapi ucapan 
mertuanya. 
Ki  Lurah  Padri  dan  Nyi  Nipah  mengangguk-
anggukkan  kepala.  Dalam  hati,  mereka  merasa 
bangga  akan  kerendahan  hati  Senapati  Kandanu. 
Meskipun seorang pendekar dan punya kedudukan 
tinggi  di  kerajaan,  lelaki  muda  itu  tak  pemah 
angkuh dan tinggi hati.  
Senapati  Kandanu  memang  sangat  dihormati 
dan dihargai penduduk Desa Pakis. Maklum, karena 
dialah  satu-satunya  orang  Desa  Pakis  yang  mampu 
membuat harum nama desanya. Dan pembangunan 
Desa Pakis ini kian maju semenjak Kandanu menjadi 
pembesar diKerajaan Mandra Kulawa. 
Kini Desa Pakis bukan desa yang terbelakang 
seperti satu atau dua dasawarsa silam. Desa Pakis 
kini  merupakan  desa  yang  ramai,  tidak  sedikit 
saudagar kaya bertempat tinggal di desa yang aman 
dan  tentram  itu.  Ketenteraman  dan  keamanan 
Desa  Pakis  .  dan  sekitarnya  itu  tak  dapat 
dilepaskan  dari  jasa  Senapati    Kandanu  yang 
mengirim  pasukan  prajurit  ke  desa  itu  empat  kali 
dalam satu purnama. 
Senapati  Kandanu  menikah  dengan  Murti 
Dewi  dua  tahun  yang  silam,  tepatnya  ketika 
Senapati  Kandanu  kembali  ke  Desa  Pakis.  Mulai 
saat  itu  pula  Desa  pakis  mengalami  banyak 
perubahan. 
Ketenangan  dan  ketenteraman  warga  Desa 
Pakis kian bertambah pula semenjak menghilangnya 
Ki  Angkara.  Lintah  darat  yang  kejam  itu  kini  tak 
hanya  dimusuhi  warga  desa  Pakis,  tapi  merupakan 
musuh  Kerajaan  Mandra  Kulawa.  Iblis  Berkedok 
Dewa  itu  kini  menjadi  buronan  para  prajurit 
kerajaan. 
Betapa  bangga  dan  bahagia  seluruh  warga 
Desa  Pakis.  Mereka  semakin  bangga  dan  kagum 
terhadap Senapati Kandanu. 
Sementara  itu,  tanpa  sepengetahuan  warga 
Desa  Pakis  yang  sedang  dilanda  kebahagiaan  dan 
baru  menyambut  kelahiran  bayi  pertama  dari 
pasangan  yang  sangat  dipuja-puja,  Iblis  Berkedok 
Dewa masih berupaya terus mencari cara membalas 
dendam pada Ki Lurah Padri. 
Iblis  Berkedok  Dewa  belum  puas  sebelum 
mampu membalas dendam terhadap Ki Lurah Padri 
dan  Senapati  Kandanu.  Lelaki  tua  itu  terus 
berupaya  mencari  cara  membuat  malu  Senapati 
Kandanu di mata rakyat Kerajaan Mandra Kulawa. 
Meskipun  untuk  melaksanakan  maksud  itu  Ki 
Angkara  harus  menghadapi  rintangan  berat, 
menghadapi  para  prajurit  kerajaan  di  bawah 
pimpinan Senapati Kandanu. 
Kemarahan  Iblis  Berkedok  Dewa  semakin 
menjadi-jadi  setelah  salah  seorang  anak  buahnya 
memberi kabar bahwa Murti Dewi telah melahirkan 
anak  Kandanu.  Mendengar  berita  tidak 
menyenangkan  itu,  Ki  Angkara  segera  memeras 
otak,  mencari  jalan  untuk  membuat  keonaran. 
Sementara  Ki  Angkara  sendiri  mulai  kesal  setelah 
menyadari bahwa dirinya menjadi buronan Kerajaan 
Mandra Kulawa. 
"Mungkinkah  ini  tanda-tanda  kelak  ia  akan 
menjadi  orang  besar  seperti  ayahnya?"  ujar  Nyi 
Nipah.  Pertanyaan  itu  seperti  ditujukan  pada  diri 
sendiri.  "Cobalah  Kakang  Padri  pegang  tulang 
belakang anak ini yang tampak begitu kokoh." 
Sebagai  seorang  kakek,  Ki  Lurah  Padri  pun 
menu  rut  memegang  tubuh  cucunya.  Dielusnya 
perlahan bagian belakang tubuh bayi itu. 
"Benar apa katamu, Nyi!" seru Ki Lurah Padri 
girang. 
"Sudah  kuduga,  bahwa  bayi  ini  kelak  akan 
menjadi  seorang  pemuda  yang  bakal  menyamai 
ayahnya." 
Senapati  Kandanu  hanya  tersenyum-senyum 
mendengar  ucapan  kedua  orang  tua  itu.  Walau 
begitu dalam hatinya memang mengharapkan bahwa 
anaknya kelak akan menjadi orang yang baik, paling 
tidak akan dapat mampu menggantikan dirinya. "Oh, 
Hyang  Widhi,  puji  syukur  hamba  panjatkan  ke 
hadiratMu," bisik Senapati Kandanu berdoa dalam 
hati. 
Senapati  Kandanu  sebenarnya  ingin  sekali 
menimang  bayinya,  tapi  merasa  belum  mampu, 
karena  terlalu  kasar  dirinya  untuk  ukuran  tubuh 
seorang bayi. 
'Nyi Nipah, apa boleh aku menengok istriku?" 
tanya Senapati Kandanu. 
"Ya,  boleh.  Memangnya  kenapa?"  Nyi  Nipah 
balik bertanya. 
"Ah,  tldak  apa-apa.  Aku  hanya  takut  kalau-
kalau nanti akan membuat istriku lemah saja." 
Kau  ini  ada-ada  saja,  Nak  Kandanu.  Justru 
istrimu  akan  bertambah  semangat  bila 
didampingimu," tukas Nyi Nipah. 
Senapatl  Kandanu  tersipu-sipu  melihat  Nyi 
Nipah  menyunggingkan  senyum  menggoda. 
Kemudian dia segera meninggalkan ruangan tengah 
dan masuk ke kamar Muill Dewi. 
Breeet 
Pintu kamar terbuka. 
“Kakang..” desis Murti Dewi lirih. 
Senapati  Kandanu  tersenyum,  lalu 
melangkahkan    kakinya  perlahan  menghampiri 
istrinya  yang  masih  berbaring.  Wajah  Murti  Dewi 
tampak  letih,  setelah  susah  payah  berjuang 
melahirkan  sang  Bayi.  Menurut  orang  tua, 
melahirkan sama saja dengan berjuang menentukan 
hidup  atau  mati.  Nyawa  sebagai  taruhan  dalam 
melahirkan.  Hal  itu  juga  dialami  Murti  Dewi,  yang 
saat itu baru pertama kali melahirkan. 
Senapati  Kandanu  mendekat,  lalu  perlahan 
duduk  di  tepi  ranjang  tempat  istrinya  terbaring. 
Murti Dewi menatapnya dengan pandangan sayu. 
"Hm, kau sudah melihat anak kita, Kakang?" 
"Sudah." 
"Bagaimana, Kakang?" 
Senapati  Kandanu  tidak  menjawab,  hanya 
tersenyum.  Perlahan  dengan  lembut  diciuminya 
kening  Murti  Dewi.  Matanya  menatap  penuh 
pancaran kasih sayang pada istrinya. 
"Anak  kita  laki-laki,  mirip  denganku,"  jawab 
Kandanu  dengan  bangga,  membuat  Murti  Dewi 
mencibir. "Hm, kau tak percaya, Diajeng?" 
"Bukan  tak  percaya,  Kakang.  Aku  percaya, 
kok." 
Senapati  Kandanu  tersenyum,  begitu  juga 
Murti Dew. Keduanya nampak sangat bahagia. 
Kemudian  keduanya  terdiam,  seakan  hanya 
dengan tatapan mata sudah cukup bagi suami istri 
itu  untuk  menyatakan  apa  yang  ada  dalam  hati 
masing- masing. 
"Oaaa...! Oaaa...!" 
"Dengarlah tangisnya, Diajeng." 
"Ya. Tangisnya keras. Dia ingin .menunjukkan 
bahwa dirinya mampu," jawab Murti Dewi. 
"Kelak,  mungkin  dia  akan  melebihiku, 
Diajeng,"  ujar  Senapati  Kandanu  seraya 
menggeleng-gelengkan kepala. 
"Ya. Semoga saja, Kakang...." 
Untuk  kedua  kalinya  suami  istri  itu  terdiam 
tanpa  kata,  dan  hanya  napas  mereka  saja  yang 
terdengar mendesah berat. 
Sementara  itu  di  luar  tamu-tamu  tampak 
berda- tangan walau hujan masih belum reda. 
Kedatangan  para  tamu  membuat  pembantu-
pembantu Ki Lurah Padri bertambah repot. Namun 
begitu,  di  wajah  para  pelayan  nampak  keceriaan  . 
Karena  dengan  begitu  mereka  akan  turut 
menikmati segala macam makanan yang belum tentu 
tiap hari mereka rasakan. 
"Wah,  kini  kau  telah  dlpanggil  kakek,  Adi 
Padri,"  ujar  Ki  Purba,  seorang  sesepuh  desa,  yan 
masih saudara seperguruan dengan Ki Lurah Padri. 
"Usiamu kini makin bertambah, tapi telah ada calon 
penerusmu." 
"Ah,  Kakang  Purba  bisa  saja,"  gumam  Ki 
Lurah  Padri  mencoba  berkelakar.  "Bukankah 
memang seharusnya begitu, Kakang?" 
'Tepat. Sebagai orang tua, kita memang harus 
menyadari  bahwa  sudah  dekat  dengan  masa 
istirahat kita. Jangan seperti Ki Angkara yang kini 
entah di mana rimbanya." 
"Maksudmu, Kakang?" tanya Ki Lurah Padri. 
"Kau  toh  mengerti,  Adi  Padri.  Ki  Angkara 
dulu  pemah  tergila-gila  pada  putrimu.  Bayangkan 
saja, kalau hal itu terjadi...." 
Ki Lurah Padri menarik napas dalam-dalam. 
"Memang,  Ki  Angkara  sepertinya  tak 
menyadari  usia.  Seharusnya  di  usia  yang  setua  itu, 
Ki Angkara sadar, bahwa dirinya tak akan lama lagi 
hidup di dunia."  , 
Percakapan  dua  orang  seperguruan  itu 
terhenti, ketika nampak rombongan dari kelurahan 
lain  datang.  Di  antara  mereka  tampak  Ki  Lurah 
Rejo  Sari,  Muntilan,  Ki  Serono,  serta  lurah-lurah 
lainnya  yang  semua  merupakan  kawan-kawan  Ki 
Lurah Padri. 
Namun  kedatangan  mereka  bukan  semata-
mata  karena  Ki  Lurah  Padri,  melainkan  karena 
Macan  Kaligis.  Sebagai  lurah  yang  desanya 
termasuk dalam wilayah Kerajaan Mandra Kulawa, 
sudah sepantasnya mereka datang menjenguk, dan 
turut menyatakan rasa bahagia atas kelahiran putra 
Senapati Kandanu. 
"Eh, ada tamu jauh...? Apa kabar semuanya?" 
tanya  Ki  Lurah  Padri  menyambut  para  tamu. 
"Bagaimana keadaan rakyat di desa kalian. Mudah-
mudahan selalu dalam kemuliaan." 
"Regitulah  seperti  apa  yang  kau  lihat,  Ki 
Padri,"  jawab  Lurah  Muntilan.  "Kami  datang 
sebagai  pernyataan  rasa  suka  cita  atas  kelahiran 
cucumu, Ki." 
"Terima  kasih.  Sungguh  kalian  merupakan 
kawan- kawan yang selalu memberikan bantuan dan 
memberikan kebahagiaan." 
Ki  Lurah  Padri  segera  mempersilakan  kelima 
lurah  agar  duduk  di  kursi  yang  telah  disediakan. 
Sementara dirinya pun harus segera menemui para 
tamu  yang  lainnya.  Kelima  lurah  itu  pun  dijamu 
dengan ditemani sesepuh Desa Pakis, Ki Purba. 
Namun kedatangan para tamu itu tampaknya 
cukup mengherankan tuan rumah. Entah siapa yang 
telah memberitahukan pada mereka, bahwa Maean 
Kaligis  telah  mempunyai  putra.  Memang  rasa-
rasanya tidak masuk akal kalau mereka tahu sendiri, 
karena  kebanyakan  para  tamu  datang  dari  jauh. 
Dari  tempat  yang  harus  menempuh  peijalanan 
mungkin  sehari  penuh.  Kabar  itu  layaknya 
disampaikan sehari atau dua hari yang lalu. 
"Kalau  boleh  aku  bertanya,  kapankah  Ki 
Lurah sekalian mendengar kabar suka cita  ini?"  Ki 
Purba  yang  cerdik,  mencoba  mencari  keterangan 
dari kelima  lurah  yang  kini ditemaninya.  Lelaki  tua 
itu  berharap  akan  mampu  menjawab  dugaan 
hatinya. Karena dia telah menduga adanya sesuatu 
yang kurang berkenan di hatinya. 
Kelima  lurah  itu  saling  pandang,  sepertinya 
kaget mendengar pertanyaan itu. 
"Kami  diberi  tahu  seorang  lelaki  tua  yang 
mengaku  mempunyai  hubungan  dekat  dengan  Ki 
Padri," jawab Ki Lurah Sura Gading. 
Mendengar jawaban itu, Ki Purba tercengang. 
Seketika keningnya berkerut karena heran. 
"Lelaki tua...?" desis Ki Purba kaget. 
"Benar,"  sahut  Ki  Lurah  Muntilan.  "Dia 
mengatakan  bahwa  dirinya  masih  ada  hubungan 
saudara dengan Ki Padri." 
"Ah...!" pekik Ki Purba lirih. 
"Kenapa,  Ki?  tanya  Ki  Reja  Sanga,  melihat 
keterkejutan Ki Purba. "Apa ada yang tidak beres, 
Ki?" 
Ki  Purba  menganggukkan  kepala  membuat 
kelima lurah itu seketika membeliakkan mata. 
"Jadi semua omongan orang itu dusta?" tanya 
kelimanya serentak. 
"Tidak semuanya," jawab Ki Purba. 
Kelima lurah itu makin tak mengerti. Ki Purba 
yang  tahu  gelagat,  saat  melihat  kelimanya  terkejut 
segera menerangkan maksudnya. 
"Memang benar apa yang dikatakan orang itu. 
Akan  tetapi  orang  itu  bukanlah  sanak  saudara 
kami." 
"Heh?!  Mengapa  Ki  Purba  berkata  begitu?" 
tanya  Ki  Lurah  Reja  Sanga  tak  yakin.  "Sedangkan 
orang  itu  mengatakan  bahwa  dirinya  adalah  sanak 
saudara Ki Padri." 
Ki  Purba  terdiam,  sulit  untuk  menerka  siapa 
sebenarnya  orang  itu.  Bersamaan  dengan 
ketidakmampuan  Ki  Purba  menjawab  segala 
pertanyaan  kelima  lurah  itu,  dari  dalam  tampak 
Macan  Kaligis  keluar.  Serta  merta  para  tamu 
bangkit  dari  tempat  duduk  Tanpa  diperintah, 
mereka menjura hormat. 
"Salam sejahtera dan suka cita kami ucapkan, 
Kanjeng Senapati!" 
"Oh,  selamat  datang  Ki  Lurah  sekalian! 
Terima  kasih  atas  segalanya!"  sambut  Senapati 
Kandanu sadar bahwa dirinya jauh lebih muda bila 
dibandingkan kelima lurah itu. Sepantasnya dirinya 
menaruh hormat pada mereka. "Silakan duduk!" 
Kelima  lurah  itu  pun  kembali  duduk.  Kali  ini 
kelimanya  ditemani  langsung  orang  yang  mereka 
hormati,  Senapati  Kandanu.  Mereka  kini  diam. 
Tiada  seorang  pun  di  antara  mereka  yang  berani 
membuka  kata  terlebih  dulu  untuk  mengawali 
pembicaraan.  Di  mata  kelima  lurah  itu,  Senapati 
Kandanu  merupakan  orang  yang  amat  disegani. 
Padahal  bagi  Senapati  Kandanu  sendiri  merekalah 
yang  sepantasnya  dihormati.  Pertama  mereka 
sebagai  tamu,  kedua  mereka  orang-orang  tua  yang 
mempunyai  pengalaman  serta  wawasan  yang  jauh 
lebih  banyak  djbanding  dengan  dirinya.  Hanya 
karena soal nasib yang membedakan dirinya dengan 
kelima lurah tersebut. 
"Ki  Lurah  sekalian,  kalau  ini  tidak 
menyinggung  hati  Ki  Lurah,  saya  ingin  bertanya," 
akhirnya  Senapati  Kandanu  membuka  keheningan 
yang menyelimuti mereka. 
"Tentang  apakah,  Kanjeng  Senapati?"  Ki 
Lurah Purwa Jati yang menimpali balik bertanya. Ki 
Purwa Jati memang orang yang paling tua di antara 
kelimanya.  "Katakanlah  kalau  memang  itu  sangat 
penting bagi Kanjeng Senapati." 
Senapati  Kandanu  terdiam  sejenak, 
mengerutkan kening. 
"Maaf!  Kalau  boleh  aku  tahu,  dari  siapa  Ki 
Lurah  sekalian  tahu,  istriku  hari  ini  melahirkan?" 
tanya  Senapati  Kandanu  setelah  memandang 
kelimanya satu persatu. 
Kelima  lurah  itu  tak  segera  menjawab. 
Mereka  menghela  napas  dalam-dalam  lalu  saling 
pandang sejenak. 
"Kami diberi tahu seorang lelaki tua," jawab Ki 
Purwa Jati. 
"Orang tua?" Senapati Kandanu balik bertanya 
dengan kening berkerut. 
"Ya!"  jawab  Ki  Purwa  Jati.  "Orang  tua 
berjubah merah!" 
Senapati  Kandanu  dan  Ki  Purba  tersentak 
mendengar  penuturan  Ki  Purwa  Jati.  Mata 
keduanya  terbelalak.  Mereka  nampak  seperti  tak 
percaya pada ucapan Ki Purwa Jati. 
"Bagaimana  mungkin  Ki  Angkara  berani 
lancang menampilkan diri?" tanya Senapati Kandanu 
dalam  hati.  "Mungkinkah  ia  menyamar?  Ah,  tak 
mungkin!" 
"Kapan berita itu sampai Ki Lurah?" tanya Ki 
Purba kemudian. 
"Dua malam yang lalu," jawab Ki Purwa Jati.   
Senapati  Kandanu  terdiam.  Pandangan 
matanya dllemparkan pada Ki Purba. Ki Purba yang 
menangkap tatapan itu, sepertinya juga tidak tahu 
harus berbuat apa. Lelaki tua itu tak mengerti apa 
yang  harus  dilakukan.  Untuk  menangkap  Ki 
Angkara, jelas dia tak tahu keberadaannya. 
"Ki  Lurah  sekalian!  Kalau  kalian  tahu  orang 
itu,  harap  tangkap.  Bukankah  Ki  Lurah  telah 
mendengar  pengumuman  dari  kerajaan?"  tanya 
Senapati Kandanu. 
Kelima  lurah  dan  beberapa  tamu  yang 
mendengar ucapan Maean Kaligis, tersentak kaget. 
"Jadi...?"  Ki  Purwa  Jati  hendak  bertanya 
ketika dengan cepat Senapati Kandanu menyahut. 
"Ya!  Dialah  Ki  Angkara,  orang  yang  kini 
tengah diburu pihak kerajaan setelah berbuat onar 
di  sini  dan  terbuka  kedoknya  sebagai  mata-mata. 
Dia  juga  sering  disebut  Iblis  Berkedok  Dewa," 
papar Senapati Kandanu. 
Kelima  lurah  itu  mengangguk-anggukkan 
kepala. 
"Bila Ki Lurah sekalian mampu menangkapnya 
hidup  atau  mati,  akan  mendapatkan  imbalan  dari 
Kanjeng Gusti Galih Waskita." 
Kelima  lurah  itu  nampak  gembira  mendengar 
imbalan yang dijanjikan raja bila mampu menangkap 
Ki  Angkara.  Mereka  telah  membayangkan 
bagaimana  mereka  akan  memperoleh  kedudukan 
yang lebih tinggi bila dapat melaksanakan tugas itu 
"Baiklah,  akan  kami  perhatikan  apa  yang 
Kanjeng  Senapati  katakan,"  jawab  Ki  Purwa  Jati 
yang diikuti keempat lurah lain. 
"Kami  juga  tak  dapat  lama-lama  di  sini!" 
tambah Ki Sura Gendring.   
"Oh,  mengapa  mesti  buru-buru?"  Senapati 
Kandanu mencoba mencegah. 
"Maafkan  kami!  Kami  harus  mengurus  apa 
yang  kami  lakukan  menjelang  kunjungan  Kanjeng 
Gusti  Galih  Waskita  untuk  memeriksa  desa  kami!" 
Ki Purwa Jati kembali menjawab. 
"Baiklah!  Hati-hatilah,  dan  ingat  Ki  Lurah, 
bahwa  sudah  menjadi  tugas  kita  menangkap 
penjahat kerajaan!" tegas Senapati Kandanu. 
"Akan  kami  perhatikan,  Kanjeng  Senapati," 
jawab kelimanya serempak. 
Kelima lurah itu segera mohon pamit, pada Ki 
Padri  dan  Ki  Purba.  Setelah  menimang  sang  Bayi 
yang nampak tenang, mereka menjura hormat pada 
Senapati Kandanu, lalu meninggalkan rumah Kepala 
Desa Pakis. 
*** 
Kelima lurah yang pulang dari rumah Ki Lurah 
Padri tampak beijalan diiringi para pengawal mereka 
masing  masing.  Rombongan  itu  baru  saja  melewati 
ta- pal batas Desa Pakis. 
"Bagaimana menurutmu, Kakang Purwa Jati?" 
tanya Ki Reja Sanga. 
"Apa maksudmu, Adi Sanga?" 
"Itu,  mengenai  Ki  Angkara  yang  menjadi 
buronan  kerajaan.  Apakah  kita  tak  ikut  mencari? 
Siapa  tahu  kita  yang  beruntung  mendapatkan 
imbalan Itu, Kakang." 
Ki  Purwa  Jati  terdiam  memikirkan  pendapat 
Ki  Reja  Sanga.  Sebenarnya  dalam  hati  Ki  Purwa 
Jati  tak  punya  keinginan  untuk  mendapatkan 
kedudukan  yang  lebih  tinggi,  seperti  yang 
diharapkan keempat lurah lainnya. Memang bagi Ki 
Purwa  Jati  yang  sudah  tua,  apalah  arti  jabatan 
tinggi.  Bahkan  dirinya  merasa  sudah  pantas 
melepaskan segala urusan duniawi. 
"Sebenarnya  aku  juga  tertarik,  tapi  usiaku 
tidaklah  memungkinkan  untuk  terus  memegang 
Jabatan yang lebih tinggi. Untuk jabatan lurah saja, 
kurasa sudah terlalu berat bagiku," jawab Ki Purwa 
Jati  polos.  "Tapi,  aku  akan  berusaha  membantu 
kalian." 
"Kalau  begitu,  Kakang  Purwa  bersedia 
membantu kami," kata Ki Sura Gandring. 
"Aku  akan  berusaha,"  jawab  Ki  Purwa  Jati. 
"Karena  ini  menyangkut  urusan  kerajaan.  Sekalian 
membantu jika kalian benar-benar berminat dengan 
tugas Int." 
"Ah, terima kasih sebelumnya, Kakang Purwa!" 
ujar Ki Kuncara, yang paling muda di antara kelima 
lurah itu. 
Kelimanya  terus  melangkah  menyusuri  jalan 
becek, hingga alas kaki mereka kotor oleh lumpur. 
Kelima  lurah  itu  terdiam.  Tak  satu  pun  yang 
berbicara.  Begitu  juga  kesepuluh  orang  pengawal 
mereka.  Semua  membisu,  seakan-akan  tengah 
hanyut  dalam  pikiran  masing-masing.  Hanya  suara 
langkah  kaki  mereka  yang  terdengar  di  tengah 
kegelapan malam yang dingin. 
Tiba-tiba  sesosok  bayangan  berkelebat  di 
hadupan  mereka.  Kelima  belas  orang  itu  tampak 
tersentak  kaget,  ketika  mendadak  sesosok  tubuh 
telah menghadang langkah mereka. 
"Hah! Siapa kau...?!" bentak Ki Sura Gandring 
seraya menghentikan langkah. 
"Ha ha ha...! Ternyata kalian orang-orang yang 
sangat  menghormati  senapati  kerajaan  itu.  Ha  ha 
ha...l  Tentunya  kalian  telah  membuktikan  bahwa 
Senapati  Kandanu  benar  telah  mendapat 
keturunan,  bukan?"  terdengar  suara  keras  dari 
sosok yang berdiri di depan kelima lurah itu. 
Tampak  di  depan  mata  kelima  lurah  itu, 
seorang lelaki tua berjubah merah darah. Pancatan 
sinar  matanya  menunjukkan  bahwa  lelaki  tua  itu 
memiliki ilmu tinggi. 
"Tentunya  kalian  mendapat  petuah-petuah 
dari Senapati Kandanu, bukan?" 
"Hm!  Kau...!  Kau  Iblis  Berkedok  Dewa!"  Ki 
Reja Sanga tersentak. 
"Kebetulan!  Kebetulan  sekali  kau  muncul, 
Iblis!" lambah Ki Kuncara. 
"Haaa...!  Apa  maksudmu,  Ki  Lurah?!"  tanya 
lelaki berjubah merah yang temyata Iblis Berkedok 
Dewa. Matanya melotot tajam pada Ki Kuncara. 
"Kami hendak mencarimu untuk ditangkap...!" 
jawab Ki Purwa Jati. 
"Menangkapku?! Hua ha ha...! Kalian ini lucu 
dan  aneh,"  sahut  Iblis  Berkedok  Dewa  dengan 
menyipitkan  mata  seraya  tertawa  seenaknya.  "Apa 
aku tak salah dengar?" 
"Tidak!  Kau  tak  salah  dengar!  Kami  memang 
akan  meringkusmu  untuk  diserahkan  pada 
kerajaan!"  jawab  IS  Purwa  Jati  tenang.  "Kau 
merupakan musuh keraaan!" 
"Ha ha ha...! Gila..., gila! Kalian temyata benar- 
benar  orang  lucu  dan  aneh.  Kalian  anjing  penjilat 
raja...!"  dengus  Ki  Angkara  dengan  membelalakkan 
mata menatap tajam kelima lurah itu. 
"Bangsat!  Lancang  kau,  Iblis!"  maki  Ki 
Kuncara  geram.  "Manusia  busuk!  Lintah  darat! 
Seraaang...!" 
Ki  Kuncara  tampaknya  tak  sabar  untuk 
bertele-tele mengadu mulut. Tangannya dikibaskan, 
memberikan  isyarat  pada  kesepuluh  pengawalnya 
agar  menyerang,  Melihat  perintah  itu,  kesepuluh 
pengawal melesat maju mengepung si Iblis Berkedok 
Dewa. 
"He  he  he...!  Mengapa  meski  cecunguk-
cecunguk  ini  yang  maju?!  Bukankah  lebih  baik 
kalian?"  Ki  Angkara  terkekeh,  seolah-olah  tak 
memandang  sebelah  mata  pun  pada  kesepuluh 
pengawal lima lurah itu. Bahkan ucapan Ki Angkara 
itu seakan engejek pada kelima lurah itu. 
"Dasar manusia iblis! Belum sepantasnya kami 
maju..!"  gertak  Ki  Kuncara  marah.  Sementara 
keempat  lurah  lain  masih  tampak  tenang  tanpa 
tanggapan.  Mereka  hanya  mengawasi  gerak-gerik 
Iblis Berkedok Dewa. 
"Pintar...!  Pintar  sekali  kalian.  He  he  he...! 
Baik, kalau itu yang kalian inginkan! Hiaaa...!" 
Tanpa  banyak  kata  lagi,  Ki  Angkara  melesat 
menyerang  kesepuluh  pengawal  itu.  Kaki  dan 
tangannya  bergerak  begitu  cepat,  sepertinya  ingin 
segera  menjatuhkan  kesepuluh  pengawal  lurah. 
Namun  kesepuluh  pengawal  lurah  itu  tampaknya 
bukan  orang-orang  sembarangan.  Gerakan  mereka 
tampak lincah dan gesit 
Tangan  Iblis  Berkedok  Dewa  menyodok  ke 
depan,  bergerak  ke  kanan  dan  kiri.  Itulah  jurus 
'Sapuan  Iblis'.  Dari  pukulan  dan  tendangan  yang 
cepat  menimbulkan  deru  angin  keras.  Bersamaan 
dengan  serangan-serangan  yang  keras  dan  cepat 
tubuh  lelaki  berjubah  merah  itu  tampak  bergerak 
ke  sana  kemari  menghindari  para  pengawal  lurah 
itu. 
"Mampus kau...!" seru Ki Angkara. 
Wut...!" 
"Belum,  Iblis  Laknat!"  sahut  Sawar  seraya 
tangannya bergerak mencengkeram ke tubuh lawan. 
Wret! 
Iblis  Berkedok  Dewa  rupanya  tahu  gerakan 
lawan.  Sehingga  dengan  cepat  tangannya  ditarik 
sambi! menyikut musuh di belakangnya yang hendak 
menyerang. Sementara kaki kanannya mengayun ke 
depan,  menggantikan  tangan  yang  ditatik  ke 
belakang.  Gerakan  Iblis  Berkedok  Dewa  ini  begitu 
cepat,  sehingga  kedua  orang  yang  diserangnya  tak 
sempat  bergerak  menghindar.  Keduanya  nampak 
mati  langkah,  sehingga  gerakan  mereka  nampak 
kaku dan lambat. Hal Itu membuat kedua pengawal 
itu tak mampu mengelak. Dan.... 
Wuttt! 
Bukkk! Bukkk...!" 
"Aaa...!" 
"Wuaaa...!" 
Sawar  dan  Parmin  terpekik  keras,  ketika 
tangan dan kaki lawan mendarat telak di wajah dan 
bawah  perut  mereka.  Kedua  pengawal  lurah  itu 
terhuyung-huyung dengan mulut meringis kesakitan. 
Melihat  kedua  kawan  mereka  mendapat 
serangan  lawan,  kedelapan  pengawal  lain  segera 
melompat  me-  nyerang  secara  serempak.  Dengan 
kemampuan yang ada, mereka melakukan serangan. 
Empat  orang  menyerang  dari  depan,  sedangkan 
empat  orang  lain  siap  menggempur  Iblis  Berkedok 
Dewa dari belakang. 
"Heaaa...!" 
"Yeaaa...!" 
Empat pasang tangan dari keempat pengawal 
lurah bergerak menyerang. Meskipun serangan yang 
dilancarkan  tampak  cepat  dan  ganas,  tapi  Iblis 
Berkedok  Dewa  dengan  enak  berkelebat  ke  sana 
kemari mengelakkan pukulan-pukulan gencar itu. 
"Yeaaa...!" 
Wut! 
Kembali  empat  orang  lainnya  menyerang 
dengan  cakaran  tangan.  Namun  seperti  empat 
rekannya  yang  mendahului  menyerang,  mereka  tak 
mampu  mendaratkan  serangan  ke  tubuh  lawan. 
Bahkan  kini  Iblis  Berkedok  Dewa  mampu 
melancarkan  serangan  balasan  dengan  tendangan 
dan pukulan secara cepat dan beruntun. 
Jurus  yang  digunakan  Iblis  Berkedok  Dewa 
sungguh  aneh,  tampak  kaku  dan  tak  beraturan. 
Namun  dalam  setiap  gerakan  mampu  menimbulkan 
desir  nngin  keras.  Hal  itu  menandakan  kekuatan 
tenaga  dalam  yang  dikerahkan  dalam  setiap 
serangan. 
"Heaaa...!" 
Wut! 
Tangan  Iblis  Berkedok  Dewa  menjulur  ke 
depan. ltulah jurus 'Cakar Iblis', sebuah jurus yang 
sukar  untuk  diikuti  karena  kecepatan  gerakannya. 
Tidak ketinggalan, kedua kakinya nampak menekuk 
agak rendah, membuat tubuh lelaki beijubah merah 
itu selalu lepas dari serangan lawan. 
"Mampus  kau...!"  bentak  Ki  Angkara  seraya 
menjulurkan  tangan  kanannya  agak  panjang  ke 
depan. 
Wret! 
Flak! Plak! 
"Akh...!" 
Pekikan  tertahan  terdengar  dari  dua 
pengawal  lurah  yang  terhantam  serangan  tangan 
Iblis  Berkedok  Dewa.  Dirasakan  hawa  panas 
menjalar ke tubuh mereka yang seketika membeliak. 
Bahkan  kemudian  dirasakan  tulangnya  bagaikan 
remuk. 
"Heaaa...!" 
Ki  Angkara  kembali  melancarkan  serangan 
keras dengan pukulan tangan. Dengan cepat kedua 
orang  yang  terluka  itu  melompat  ke  belakang 
mengelakkan serangan. Kemudian dua pengawal lain 
telah melesat menggantikan serangan kedua teman 
mereka yang terluka. 
Kelima  lurah  yang  menyaksikan  pertarungan 
para  pengawal  mereka  melawan  Iblis  Berkedok 
Dewa  tampaknya  merasa  khawatir.  Mereka  mulai 
menyadari  bahwa  lelaki  berjubah  merah  itu  bukan 
lawan sembarangan. 
"Rasanya  kita  harus  turun  tangan,  Kakang!" 
ujar Ki Reja Sanga pada Ki Purwa Jati. 
"Hm...!  Kau  benar.  Kalau  kita  tak  segera 
turun  tangan,  aku  yakin  mereka  tak  mampu 
mengalahkan  manusia  iblis  itu...,"  sahut  Ki  Purwa 
Jati. 
"Tapi,  apa  tak  sebaiknya  kita  serang 
sekarang?"  tanya  Ki  Kuncara,  menimpali.  "Kurasa 
dalam  keadaan  seperti  sekarang  ini  kita  sangat 
tepat untuk menyerangnya." 
"Nanti kita akan dibilang pengecut," sahut Ki 
Sura Gandring. 
"Alaaah...!  Mengapa  Kakang  Sura  berpikir 
sampai  sejauh  itu?  Dalam  menghadapi  musuh 
seperti  itu,  kita  tak  perlu  banyak  memikirkan 
pengecut atau tidak," Ki Serana yang dari tadi diam 
kini ikut menimpali. Hatinya sudah tak sabar untuk 
segera  membekuk  Ki  Angkara.  "Ayo  kita  serang! 
Hiaaat...!" 
Keempat  lurah  tersentak  melihat  Ki  Serana 
telah mendahului menyerang. 
"Ha  ha  ha...!  Hebat!  Kalau  begini  aku  suka. 
Ayo  yang  lain,  maju  agar  aku  kirim  kalian  ke 
neraka...!" 
Sambil berteriak begitu, tangan Iblis Berkedok 
Dewa  bergerak  menyambar.  Sementara  kaki 
kanannya menendang ke belakang. 
Dukkk! Bukkk! 
"Aaah...!" 
Pekikan  keras  kembali  memecahkan 
keheningan  malam  ketika  dua  orang  pengawal 
terhantam  serangan  Iblis  Berkedok  Dewa. 
Keduanya  mengerang  kesakitan,  lalu  jatuh  ke 
tanah. 
Melihat  hal  itu,  kelima  lurah  segera 
melancarkan  serangan.  Kini  Iblis  Berkedok  Dewa 
harus  menghadapi  orang-orang  yang  mungkin 
ilmunya  lebih  tinggi  dibanding  kesepuluh  pengawal 
mereka. 
Kelima  lurah  secara  serentak  melakukan 
serangan  gencar.  Hal  itu  membuat  Iblis  Berkedok 
Dewa terkesiap kaget. 
"Heaaa...!" 
Wut! 
Ki Purwa Jati mengibaskan tangan ke depan, 
mencoba  membabat  wajah  lawan.  Namun  gerakan 
cepat  itu  tampak  tak  lepas  dari  perhatian  Iblis 
Berkedok  Dewa.  Lelaki  tua  berjubah  merah  itu 
segera melompat ke belakang mengelakkan pukulan 
Ki Purwa Jati. 
Melihat  lawan  bergerak  mundur,  para 
pengawal  lurah  segera  merangsek  dari  belakang. 
Namun Iblis Berkedok Dewa begitu awas matanya. 
Dengan  cepat  kedua  tangannya  dikibaskan  untuk 
memapak serangan dari para pengawal. 
Wut! 
Plak! Plak...! 
"Akh...!" 
"Wuaaa...!" 
Enam  orang  pengawal  lurah  terpekik  keras. 
Tangan  mereka  melepuh  seperti  terbakar.  Hawa 
panas  seketika  menjalar  ke  seluruh  tubuh.  Entah 
ilmu  macam  apa  yang  dikeluarkan  Ki  Angkara. 
Keenam  pengawal  lurah  itu  mengerang  menahan 
sakit  sambil  melangkah  mundur.  Sementara  itu 
kelima lurah langsung menggebrak dengan serangan 
gencar. 
"Heaaa...!" 
Teriakan,keras  mengiringi  serangan  gencar 
kelima lurah. 
Wret! 
Bukkk! 
"Aaah...!" 
Ki  Reja  Sanga  teipekik  keras.  Tubuhnya 
sempoyongan  ke  belakang  ketika  tangan  Iblis 
Berkedok  Dewa  menghantam  telak  dadanya. 
Seketika  dadanya  dirasakan  panas  dan  perih.  Dia 
semakin  tersentak  kaget  dengan  mata  terbelalak 
ketika  di  dadanya  menggurat  hitam  bekas  tangan 
Iblis Berkedok Dewa. 
'"Pukulan Iblis Berbisa'...," desis Ki Reja Sanga 
pelan. 
"He  he  he...!  Kau  tahu  juga,  Ki  Lurah! 
Sebaiknya kalian segera minggat dari sini!" 
Ki  Angkara  tertawa  mengejek  sambil 
tangannya terus bergerak memapak dan menyerang. 
Sementara keempat lurah lain tampak lebih berhati-
hati  meng-hadapi  lelaki  berjubah  merah  itu.  Iblis 
Berkedok  Dewa  ternyata  bukan  lawan 
sembarangan,  melainkan  seorang  yang  sangat 
berbahaya dengan ilmu 'Pukulan Iblis Berbisa'nya. 
Wut! 
"Awas...!" Ki Purwa Jati memperingatkan pada 
ketiga rekannya untuk hati-hati. 
Keempat  lurah  dengan  cepat  melompat 
mundur.  Namun  ternyata  serangan  Iblis  Berkedok 
Dewa hanya tipuan belaka. Serangan itu sebenarnya 
ditujukan  kepada  keenam  pengawal  yang  telah 
kembali  menyerang.  Sungguh  suatu  gerakan  yang 
sukar  diduga.  Begitu  cepat  lelaki  betjubah  merah 
itu  memutar  tubuh  sambil  memapak  serangan 
lawan. 
Keenam  pengawal  lurah  tersentak  kaget 
mendapati  serangan  cepat  dan  tiba-tiba  itu. 
Mereka  berusaha  mengelak,  tapi  gerakan  tangan 
Iblis  Berkedok  Dewa  ternyata  datang  lebih  cepat. 
Sehingga.... 
"Heaaa...!" 
Buk! Buk! 
"Aaa...!" 
"Wuaaa...!" 
Jeritan  kematian  terdengar  susul-menyusul, 
ketika  dada  keenam  pengawal  terhantam  tangan 
Iblis  Berkedok  Dewa.  Tubuh  mereka  terlontar 
beberapa langkah ke belakang, dengan dada hangus 
bagai terbakar. Lalu terbanBng beberapa tombak di 
depan  Ki  Angkara.  Mulut  keenam  lelaki  muda  itu 
mengerang-erang.  Sejenak  mereka  berkelojotan, 
tapi kemudian diam dan mati. 
Kini  tinggal  kelima  lurah  yang  masih  mampu 
bertahan.  Mata  mereka  menatap  nanar  pada 
keenam  pengawal  yang  terkapar  tak  bemyawa  lagi. 
Belum  sempat  rasa  kaget  mereka  lenyap,  tiba-tiba 
Iblis  Berkedok  Dewa  telah  melesat  melakukan 
serangan. 
"Terimalah 'Pukulan Iblis Berbisa'ku. Hiaaa...!" 
"Bedebah!  Kubunuh  kau,  Keparat!"  geram  Ki 
Purwa Jati. "Seraaang...!" 
Keempat  lurah  segera  menyerbu  melakukan 
serangan. Sementara itu Ki Reja Sanga yang terluka 
dadanya tidak ikut melakukan serangan. 
"Hiaaat..!" 
Wuttt" 
Wret! 
Tangan  dan  kaki  keempat  lurah  secara 
serentak  melakukan  serangan.  Sementara  Iblis 
Berkedok  Dewa  tampak  lebih  berwaspada 
menghadapi  keempat  lawannya.  Tubuhnya 
berkelebat ke kanan dan kin berusaha mengelakkan 
serangan gencar yang terus mencecar ke tubuhnya. 
“Hiaa….” 
"Plak! 
“Buk! 
Ki  Purwa  Jati  dan  Ki  Kuncara  berhasil 
mendaratkan  dua  pukulan  telak  ke  tubuh  Iblis 
Berkedok  Dewa.  Seketika  tubuh  lelaki  berjubah 
merah  itu  terhuyung-huyung  beberapa  langkah  ke 
samping, lalu terjatuh ke tanah. Dua pukulan lawan 
mendarat  telak  di  dada  dan  IhVlian  rusuknya. 
Namun  dengan  cepat  tubuhnya  telah  kembali 
bangkit  berdiri.  Tampak  tangannya  meraba  dada 
dan tulang rusuk yang dirasakan amat nyeri 
"Kurang  ajar!  Kalian  berani  menentangku, 
Cecunguk!"  geram  Iblis  Berkedok  Dewa.  Lalu 
tubuhnya  melesat  berusaha  membalas  serangan 
keempat lurah. 

Melihat  kegeraman  Iblis  Berkedok  Dewa, 
keempat  lurah  tampak  tenang.  Dengan 
mengandalkan jurus- jurus ringan, mereka bergerak 
untuk  mengelakkan  serangan  membabi-buta  lawan. 
Namun  sesekali  mereka  masih  mampu  melakukan 
serangan ke tubuh lelaki berjubah merah itu. 
"Hiaaa...! Kubunuh kalian...!" 
Wret! 
Dengan kedua tangan membentuk cakar, Iblis 
Berkedok  Dewa  melesat  melakukan  serangan 
dahsyat Yang dituju Ki Purwa Jati. Lelaki berjubah 
merah  itu  tampaknya  mampu  membaca  bahwa 
kekuatan lawan berada pada Ki Purwa Jati. 
Sementara itu, Ki Purwa Jati pun mengetahui 
gelagat  lawan.  Maka  dengan  cepat  dia  melakukan 
gerakan  untuk  mengatasi  serangan  Iblis  Berkedok 
Dewa. 
"'Laksa Genta'...! Hiaaa...!" 
Dengan  jurus  'Laksa  Genta'  Ki  Purwa  Jati 
melen  ting  ke  udara  untuk  melakukan  serangan 
dahsyat Ketiga lurah yang lain segera menyusul. Kini 
keempat sekawan itu melayang di udara. 
"Hiaaa...!" 
"Yeaaah...!" 
Iblis Berkedok Dewa yang segera mengetahui 
bahaya  bakal  mengancam  dirinya,  dengan  cepat 
mencelat untuk mengatasi serangan lawan. 
Tampaklah  lima  sosok  tubuh  melesat  begitu 
cepat  dan  melayang  di  udara.  Seketika  lima 
kekuatan tenaga dalam bertemu dan saling beradu. 
Glarrr...! 
Seketika  itu  pula  sebuah  ledakan  keras 
mengge-  legar  terdengar  memekakkan  telinga, 
ketika keempat kekuatan beradu dengan kekuatan 
Iblis  Berkedok  Dewa.  Keempat  tubuh  lurah 
melayang  tak  tentu  arah,  lalu  terjatuh  sekitar 
delapan  tombak  dari  tempat  pertarungan. 
Keempatnya  tak  mampu  lagi  bangkit,  karena 
seketika itu pula nyawa mereka telah melayang dari 
raga.  Di  dada  masing-masing  tergambar  tanda 
telapak tangan Iblis Berkedok Dewa. 
"Huk...l  Huaaak...,  akhhh...!"  Iblis  Berkedok 
Dewa  memuntahkan  darah,  seolah-olah  hendak 
membuang rasa sakit yang mendera sekujur tubuh. 
Setelah  muntah,  lelaki  berjubah  merah  itu  segera 
bangkit  berdiri  lalu  melesat  meninggalkan  kelima 
belas mayat yang terkapar di tanah basah. 
Angin  malam  menderu,  hujan  makin  deras, 
seakan-akan  turut  menyaksikan  kejadian 
mengenaskan yang dialami lima lurah dan kesepuluh 
pengawal mereka. 
*** 
Pagi  terasa  sangat  sejuk.  Angin  yang  bertiup 
lembut,  membelai  dedaunan.  Di  antara  kicauan 
burung-  burung  di  pepohonan  terdengar  suara 
suling  mengalun  merdu  menyeruak  memecahkan 
suasana  pagi  itu.  Alunan  itu  seakan-akan  ditiup 
seseorang  yang  hatinya  tengah  hanyut  dalam 
penghayatan terhadap keindah- an atam. 
Di  sebelah  barat,  tampak  seorang  pemuda 
berpakaian rompi kulit ular tengah duduk di bawah 
sebuah  pohon  rindang,  pada  sebatang  akar  yang 
mencuat di atas tanah. Pemuda yang tak lain Sena 
Manggala,  atau  lebih  dikenal  dengan  julukan 
Pendekar  Gila  itu  nampak  begitu  asyik  meniup 
Suling  Naga  Saktinya.  Melantunkan  lagu  merdu, 
lagu pujaan terhadap indahnya alam. 
Akar  pohon  tempat  duduk  Pendekar  Gila 
berada  di  tepi  sebuah  telaga,  di  sekitar  Hutan 
Randu  Kembar.  Karena  begitu  jerruh  air  telaga 
yang  tak  seberapa  luas  itu  tampak  berkilauan 
ditimpa  sinar  matahari  pagj.  Menciptakan  sebuah 
panorama  indah  laksana  pelangi,  menghiasi  sekitar 
hutan itu. 
Mei Lie 
Andai kau ada di sampingku 
Ingin aku bercerita 
Tentang indahnya dunia ini   
Tentang sepinya hatiku ini 
Itulah  bait-bait  syair  yang  tengah 
didendangkan  Pendekar  Gila,  sebagai  pelipur  sepi 
hatinya.  Kemudian  ditiupnya  kembali  Suling  Naga 
Sakti,  mengalunkan  irama  lembut  mendayu  sukma. 
Seakan  burung  pun  turut  terharu,  mendengar 
nyanyian  yang  dialunkan  suling  itu.  Alam  hening, 
angin  semilir  lembut,  seakan  turut  merasakan  pilu 
hati Pendekar Gila. 
Namun  tiba-tiba  dari  kejauhan  tampak  lima 
orang  penunggang  kuda  berlari  menuju  telaga 
tempat Pendekar Gila berada. Dilihat dari pakaian 
yang  dikenakan,  kelima  orang  itu  adalah  para 
prajurit  Mereka  terburu-buru,  menggebah  kuda 
tunggangan agar terus berlari. Wajah para prajurit 
itu lampak diliputi kecemasan, seakan ada sesuatu 
yang terjadi. 
"Hai,  sepertinya  mereka  prajurit  Kerajaan 
Mandra Kulawa. Ada apa mereka nampak terburu-
buru...?"  gumam  Sena  seraya  menghentikan  tiupan 
sulingnya.  Matanya  memperhatikan  lima  prajurit 
Kerajaan  Mandra  Kuwala  yang  semakin  dekat 
dengan telaga tempat dirinya berada. 
"Hop! Kita istirahat di sini dulu..!" seru salah 
seorang prajurit yang bertubuh tinggi tegap dengan 
kumis  tebal.  Dilihat  dari  pakaian  yang 
dikenakannya, lelaki ini tentu sebagai pimpinan dari 
keempat prajurit lainnya. 
Kelima  prajurit  itu  pun  menghentikan  kuda 
mereka.  Kemudian  segera  turun  dari  punggung 
kuda,  lalu  melangkah  mendekat  ke  arah  Pendekar 
Gila  yang  masih  duduk  sambil  meniup  Suling  Naga 
Sakti. 
"Kisanak, suara sulingmu merdu sekali. Terasa 
sejuk  dan  menyentuh  jiwa,"  ujar  pimpinan  prajurit 
dengan  bibir  tersenyum.  Pimpinan  prajurit  itu 
melangkah,  lalu  duduk  di  samping  Pendekar  Gila 
yang segera menghentikan tiupan sulingnya. 
"Aha,  terima  kasih!  Hanya  begitulah  yang 
dapat  kulakukan,"  sahut  Sena  sambil  menggaruk-
garuk kepala, sedangkan mulutnya nyengir.  Hal itu 
membuat  pimpinan  prajurit  mengerutkan  kening, 
sepertinya kaget melihat tingkah laku pemuda yang 
persis orang gila itu. 
"Hai,  kaukah  yang  sering  disebut  sebagai 
Pendekar Gila, Kisanak...?" tanya pimpinan prajurit 
Matanya  menatap  tajam  wajah  Pendekar  Gila, 
seakan  hendak  meyakinkan  kalau  pemuda  di 
hadapannya memang Pendekar Gila. 
Pendekar Gila cengengesan sambil menggaruk- 
garuk kepala. Dimasukkan Suling Naga Sakti ke ikat 
pinggangnya.  Lalu  dengan  tersenyum-senyum  lucu 
mi rip orang gila, Sena bangkit dari duduknya. 
"Ah  ah  ah,  terlalu  tinggi,  Tuan  Senapati! 
Namaku  Sena.  Hanya  orang-orang  sering 
menyebutkan  Pendekar  Gila.  Hi  hi  hi...!  Mungkin 
karena aku gila," ujar Sena sambil menggaruk-garuk 
kepala. 
"O,  sungguh  tak  kusangka!  Terimalah  salam 
kami,  Pendekar  Gila!  Maaf  jika  kami 
mengganggumu!"  ujar  pimpinan  prajurit  itu  sambil 
menjura  hormat  Tindakan  itu  membuat  keempat 
prajurit  lain  turut  melakukan  hai  yang  sama. 
"Janganlah  Tuan  Pendekar  sebut  diriku  sebagai 
Tuan  Senapati!  Karena  sesungguhnya  aku  ini 
sebagai  senapati  rendah.  Masih  ada  seorang 
senapati di atasku. Namaku Braja." 
"Ah ah ah, sudahlaK Tak perlu kalian berlaku 
begitu!"  ujar  Sena  sambil  menggaruk-garuk  kepala. 
"Seharusnya  akulah  yang  memberi  hormat  pada 
kalian. Bukan malah sebaliknya." 
Melihat  sikap  ramah  yang  ditunjukkan 
Pendekar Gila, kelima prajurit itu langsung berubah 
sikap.  Lalu  mereka  duduk  di  samping  Pendekar 
Gila, sambil menikmati keindahan pagi yang sejuk. 
"Pagi ini sangat indah," gumam Senapati Braja 
sambil  melepaskan  pandang  ke  telaga  yang  aimya 
jemih.  "Sungguh,  pagi  akan  semakin  bertambah 
in¬dah,  jika  kau  mau  mendendangkan  irama 
sulingmu, Tuan Pendekar. Kudengar suara sulingmu 
sangat  merdu.  Cocok  sekali  dengan  suasana  pagi 
ini." 
Pendekar  Gila  hanya  cengengesan  dengan 
tangan  kembali  menggaruk-garuk  kepala.  Matanya 
turut  memandang  ke  telaga  yang  tampak  tenang. 
Lalu  tangannya  memungut  sebuah  kerikil  dan 
langsung  dilemparkan  ke  telaga.  Seketika, 
gelombang air melingkar- lingkar di tepinya. 
"Aha, kurasa tiupan sulingku sangat sumbang, 
Tuan Senapati. Apalah artinya aku yang bodoh ini," 
jawab Sena berusaha merendahkan diri. 
"Ah,  kau  terlalu  merendahkan  diri,  Sena," 
tukas Senapati Braja. "Apa salahnya, jika sekali lagi 
kami mendengamya?" 
Pendekar  Gila  tertawa  sambil  menggaruk-
garuk  kepala  mendengar  ucapan  Senapati  Braja. 
Lalu  kaki  nya  melangkah  menuju  akar  pohon  yang 
menonjol tempat duduknya tadi. Diambilnya Suling 
Naga  Sakti,  lalu  kembali  ditiupnya,  mengalunkan 
irama merdu mendayu-dayu. 
          Senapati  Braja  dan  keempat  prajuritnya 
mengangguk-anggukkan  kepala  menikmati  irama 
merdu  yang  ditiupkan  Pendekar  Gila.  Mereka 
bagaikan  diajak  untuk  menghayati  indahnya  alam, 
sampai-sampai  ini  mereka  lupa  akan  tujuan  yang 
sebenarnya.  Sukma  mereka  bagai  hanyut,  bersama 
alunan irama suling Pendekar Gila. 
"Aha, kiranya Tuan Senapati ada kepentingan. 
Mengapa harus bersantai-santai di sini?" tanya Sena 
mencoba mengingatkan Senapati Braja. 
"O,  benar.  Aha,  mendengar  irama  sulingmu, 
membuatku  terhanyut  dan  lupa  akan  tugas  yang 
tengah  kuemban,"  gumam  Senapati  Braja  sambil 
tersenyum dengan kepala menggeleng-geleng. Kalau 
saja  Pendekar  Gila  tidak  segera  menyadarkan, 
sudah pasti dirinya dan keempat prajurit lain akan 
tetap berada di tepi telaga itu. 
"Hi  hi  hi...!  Tuan  Senapati,  kalau  boleh  aku 
tahu,  hendak  ke  mana  tujuan  Tuan?"  tanya  Sena, 
tanpa mengurangi rasa hormatnya. 
"Aku  hendak  mengunjungi  Desa  Pakis, 
terutama ke rumah Ki Lurah Padri. Ini merupakan 
tugas semenjak istri Senapati Kandanu melahirkan," 
jawab Senapati Braja. 
"Aha,  jadi  Kanjeng  Senapati  Kandanu  telah 
dikaruniai putra...?" tanya Sena, agak terkejut. 
"Begitulah, Tuan Pendekar." 
"O...,  aku  turut  bersuka  cita  kalau  begitu. 
Kuharap  putranya  kelak  akan  jadi  anak  yang  baik. 
Anak  yang  menuruni  sifat  ksatria  ayahnya,"  ujar 
Sena setengah bergumam. 
"Terima  kasih,  semoga  begitulah  anak  itu 
kelak!"  sahut  Senapati  Braja.  "Apakah  Tuan 
Pendekar  berkenan  berangkat  ke  sana  bersama 
kami?" 
Sena  masih  cengengesan  sambil  menggaruk-
garuk  kepala.  Matanya  memandang  ke  langit  yang 
bening, biru menghampar luas. 
"Ah ah ah, terima kasih! Gampang, nanti aku 
menyusul," jawab Sena, menolak secara halus. 
"Baiklah  kalau  begitu,  kami  berangkat 
sekarang!  Semoga  Hyang  Widhi  mempertemukan 
kita  kembali,"  kata  Senapati  Braja  sambil  menjura 
hormat,  diikuti  keempat  prajurit  lainnya.  Lalu 
setelah  Pendekar  Gila  membalas  menjura,  kelima 
prajurit  Kerajaan  Mandra  Kulawa  itu  melangkah 
menuju ke kuda mereka yang sedang merumput di 
tepi telaga. 
Pendekar Gila berdiri mematung, memandangi 
kelima  prajurit  itu.  Tangannya  menggaruk-garuk 
kepala,  dengan  mulut  cengengesan.  Suling  Naga 
Saktinya dimasukkan ke ikat pinggangnya kembali. 
"Hati-hati, Senapati!" seru Sena mengingatkan. 
"Terima  kasih!"  sahut  Senapati  Braja  sambil 
naik  ke  kudanya.  Kemudian  dengan  melambaikan 
tangan, kelima prajurit itu menggebah kuda mereka 
meninggalkan tepi telaga, menuju ke barat. 
Pendekar Gila tersenyum sambil mengangguk- 
anggukkan kepala melepas kepergian kelima prajurit 
Kerajaan Mandra Kulawa. 
Pendekar  Gila  kembali  duduk  sambil 
memandang  ke  telaga.  Sesaat  dirinya  termenung. 
Ingatannya melayang pada Mei Lie, gadis Cina yang 
sangat dicintainya, tapi kini jauh di mata. 
"Ah,  Mei  Lie....  Mungkinkah  kau  rindu 
padaku?"  gumam  Sena  dengan  masih  termenung, 
membayangkan saat-saat indah bersama gadis Cina 
itu.  Entah  mengapa  kini  tiba-tiba  ingatannya  pada 
Mei  Lie  meng-  gugah  persaannya,  membangkitkan 
kerinduan yang sangat dalam. 
Belum  lenyap  ketermenungan  Pendekar  Gila, 
tiba-tiba  telinganya  mendengar  derap  langkah  kaki 
kuda  dari  arah  barat.  Sena  tersentak,  ketika 
melihat  seorang  prajurit  datang  dengan  wajah 
diliputi rasa takut 
"Aha,  ada  apa,  Kisanak?  Di  mana  Senapati 
Braja  ?"  tanya  Pendekar  Gila  dengan  kening 
berkerut,  merasa  rasa  heran  karena  kedatangan 
prajurit yang tidak bersama temannya. 
"Tuan  Pendekar,  tolong!  Tolong...,  Senapati 
Braja ..." 
"Aha, kau begitu gugup. Ada apa...?" 
Prajurit  berusia  sekitar  empat  puluh  tahun 
itu  menghela  napas  dalam-dalam,  berusaha 
menenangkan  perasaannya.  Beberapa  kali  hal  itu 
dilakukan,  tapi  jantungnya  tetap  berdegup  keras 
dengan napas tersengal-sengaL 
"Kami  dihadang  seorang  lelaki  tua  yang 
mengaku  bemama  Iblis  Berkedok  Dewa.  Dia...,  dia 
menyerang  kami.  Kini,  dia  masih  bertarung  dengan 
Senapati Braja dan teman-taman," tutur prajurit itu 
dengan  suara  terbata-bata,  dan  napas  tersengal-
sengal. 
"Aha, yang menurut cerita Senapati Kandanu, 
si  lintah  sawah  itu?  Hi  hi  hi...!"  Sena  tertawa 
cekikikan sambil menutupi mulutnya. 
"Lintah darat, Tuan Pendekar!" sahut prajurit 
itu, akan-akan ingin membenarkan ucapan Pendekar 
Cilia 
"Aha, benar! Lintah darat. Ah ah ah! Rupanya 
dia masih suka menghisap darah. Hi hi hi...!" kembali 
IVndekar  Gila  tertawa  cekikikan  sambil  menutupi 
mulut dengan telapak tangannya. 
"Cepatlah,  Tuan  Pendekar!  Aku  khawatir 
teman-  teman  dan  Panglima  tak  mampu 
menghadapinya!"  desak  prajurit  itu  tak  sabar. 
Wajahnya  tampak  semakin  tcgang  mencemaskan 
keempat kawannya. 
"Aha, ayolah!" 
"Naik kudaku, Tuan!" 
"Aha, terima kasih." 
Pendekar  Gila  langsung  melompat.  Dan 
setelah  bersalto  beberapa  kali,  dengan  ringan 
hinggap di punggung kuda yang tinggi besar warna 
coklat tua itu. 
"Hap!" 
Trep! 
"Heaaa...!" 
Kuda  itu  melesat,  membawa  Pendekar  Gila 
dan  prajurit  kerajaan,  menuju  ke  tempat  Senapati 
Braja  dan  ketiga  prajuritnya  sedang  bertarung 
melawan Iblis Berkedok Dewa. 
"Hea...! Cepat lari, Puyuh! Hea...!" prajurit itu 
terus  menggebah  kudanya,  dengan  harapan  segera 
sampai di tempat tujuan. 
"Hua ha ha...! Mana bisa kuda ini lari kencang, 
Prajurit?  Dia  keberatan,"  ujar  Sena.  "Kasihan  dia! 
Dia pun punya perasaan." 
'Tapi  kita  harus  segera  sampai,  Tuan 
Pendekar." 
"Aha, terserah kau saja, Prajurit." 
"Hayo, Puyuh. Cepat sedikit! Hea he...!" 
Kuda bernama Puyuh itu bagaikan memahami 
perintah  tuannya.  Seketika  larinya  bertambah 
kencang, terus melesat ke arah barat. 
Sementara  itu  di  tengah  Hutan  Randu 
Kembar nampak sebuah pertarungan sengit tengah 
berlangsung  seru.  Seorang  lelaki  tua  berjubah 
merah  tengah  menghadapi  empat  orang  prajurit 
Kerajaan Mandra 
Kulawa. 
"Kalian harus mampus, Cecunguk!" bentak Ki 
Angkara sambil bergerak mencakar Senapati Braja. 
Wrt! 
"Hits!" 
Senapati  Braja  segera  menarik  tubuh  ke 
belakang,  lalu  dengan  cepat  kerisnya  dibabatkan, 
untuk  memapak  tangan  lawan  yang  berkelebat  di 
depan  wajah.  Lalu  diteruskan  dengan  tusukan  ke 
dada lawan. 
"Heaaa...!" 
Wrt! 
"Eits!  Kuhancurkan  kepalamu,  Senapati 
Keparat! Hih...!" 
Iblis  Berkedok  Dewa  kembali  bergerak 
menghindar,  sambil  melancarkan  tendangan  keras 
ke  depan.  Kemudian  dengan  cepat,  disambung 
sebuah  hantaman  tangan  kanan  ke  dada  Senapati 
Braja. 
"Celaka!"  pekik  Senapati  Braja,  karena 
tersentak kaget mendapatkan serangan yang begitu 
cepat Dia berusaha mengelakkan serangan dengan 
membabatkan  kerisnya.  Namun  serangan  lawan 
datang terlalu cepat untuk dielakkan. 
Wrt! 
"Heaaa...!" 
Tangan  Ki  Angkara  hampir  saja 
mencengkeram dada Senapati Braja. Namun dengan 
cepat  para  prajuritnya  yang  telah  terluka  dalam 
akibat hantaman Iblis Berkedok Dewa bangkit dan 
dengan  tombak  menyerang  lelaki  tua  beijubah 
merah itu. 
"Heaaa...!" 
Wrt! 
"Haps!  Kurang  ajar!  Rupanya  kalian  cari 
mampus! 
Hih...!" 
Karena  serangannya  pada  Senapati  Braja 
gagal,  Iblis  Berkedok  Dewa  langsung 
menghantamkan  pukul-an  jarak  jauh  kepada  tiga 
prajurit Kerajaan Mandra Kulawa. 
Srtt 
Bruk! 
"Aaa...!" 
"Wuaaa...!" 
Ketiga  prajurit  itu  terpekik  keras,  ketika 
tubuh mereka hangus terhantam pukulan jarak jauh 
Iblis  Berkedok  Dewa.  Kenyataan  itu  membuat 
Senapati  Braja  bertambah  marah.  Matanya 
membelalak  penuh  amarah,  dengan  napas 
mendengus. 
"Bedebah!  Kupertaruhkan  nyawaku  untuk 
membunuhmu, Iblis! Heaaa...!" 
Dengan  amarah  yang  meluap-luap,  Senapati 
Braja  kembali  melesat  menyerang.  Keris  di 
tangannya  ditusukkan  ke  dada  lawan,  kemudian 
disabetkan  ke  samping  kiri  dan  kanan.  Hal  itu 
membuat  Ki  Angkara  harus  melompat  ke  sana 
kemari, guna mengelitkan serangan cepat itu. 
Senapati Braja terus mencecar lawan dengan 
tusukan dan sabetan keris. Namun kemarahan yang 
tak  terkendali,  membuat  serangan-serangannya  tak 
tera-  rah.  Sabetan  dan  tusukan  keras  senjatanya 
tak  menemukan  sasaran.  Bahkan  Ki  Angkara  kini 
tampak semakin berada di atas angin karena mampu 
membaca serangan lawan. 
"Heaaa...!" 
Wut..! 
Senapati  Braja  benar-benar  tak  mampu 
menguasai  keadaan.  Dia  terus  menyerang  dengan 
membabi-buta,  bagaikan  tak  memperhitungkan 
tenaganya.  Walau  uslanya  masih  lebih  muda 
dibandingkan  dengan  Kl  Angkara,  ilmu  silat  dan 
tenaga  dalam  yang  dimiliki  belumlah  sebanding 
dengan Iblis Berkedok Dewa. Hal ini nampaknya tak 
diperhatikan,  sehingga  Senapati  Braja  semakin 
ganas  melakukan  serangan  dengan  mengerahkan 
tenaga dalam. 
Melihat  kemampuan  lawan  yang  semakin-
goyah, Iblis Berkedok Dewa tampak begitu mudah 
bergerak  kesana  -  kemari  mengelakkan  serangan. 
Selain  itu,  dalam  beberapa  kesempatan  lelaki  tua 
itu  mampu  melancarkan  serangan  balasan  dengan 
jurus 'Pukulan Cakar Iblis'. 
"Heaaa...!" 
Wret! Alts!" 
Senapati Braja berusaha mengelitkan serangan 
lawan.  Kakinya  melompat  ke  samping  kanan,  lalu 
dengan repat tangan kin memapaki cakaran tangan 
lawan 
Wrt! 
Trak! 
Akh...!" 
Senapati  Braja  menjerit,  ketika  pergelangan 
tangan  klrlnya  terasa  patah  akibat  berbenturan 
dengan  tangan lawan. Senapati Braja melompat  ke 
belakang dengan mata mendelik kaget. Seakan-akan 
dirinya  tak  percaya,  tangannya  yang  kokoh  dan 
besar  dapat  patah  akibat  henturan  dengan  lelaki 
tua itu. 
"Klnl  saatnya  kau  mampus,  Senapati  Busuk!" 
dengus  Iblis  Berkedok  Dewa  sambil  melesat,  siap 
melakukan  serangan  pamungkas  untuk  mengakhiri 
pertarungan itu. "Heaaa ..!" 
Tubuh  Iblis  Berkedok  Dewa  berkelebat,  lalu 
dengan  cepat  melakukan  serangan  dahsyat  ke 
tubuh  Senapati  Braja.  Jurus  'Pukulan  Arang 
Neraka'  yang  dikerahkan  Ki  Angkara  mampu 
membuat  tangan  lelaki  tua  itu  tampak  hitam 
bagaikan  arang.  Lalu  tiba-tiba  dari  telapak 
tangannya keluar asap seperti bekas pembakaran. 
"Heaaa...!" 
Wrt! 
"Celaka!  mati  aku...!"  pekik  Senapati  Braja 
dengan  mata  terbelalak  nanar,  menyaksikan  lawan 
telah  dekat  dengan  tubuhnya.  Kerongkongannya 
bagaikan  kering,  tak  setetes  ludah  pun  yang 
membasahi. 
"Heaaa...! Mampuslah kau, Senapati Keparat! 
Hih!" 
Degk! 
"Aaakh...!"  Senapati  Braja  menjerit  keras. 
Tubuhnya  terpental  deras  ke  belakang,  melayang 
bagaikan  terbang.  Saat  itu  pula,  sesosok  bayangan 
berkelebat menangkap tubuh Senapati Braja. 
Trep! 
"Pendekar Gila! Kubunuh kau! Hih...!" 
Iblis  Berkedok  Dewa  melihat  Pendekar  Gila 
yang menolong Senapati Braja, segera mengirimkan 
pukulan  jarak  jauhnya  yang  bernama  'Kelabang 
Iblis'. 
Wrets! 
"Haits! Hi hi hi...!" 
Sambil  memondong  tubuh  Senapati  Braja, 
Pendekar Gila beijumpalitan mengelakkan serangan 
yang  dilancarkan  Iblis  Berkedok  Dewa.  Sehingga 
pukulan jarak jauh itu melesat lewat bawah kakinya. 
Dan.... 
Brak! 
Suara  berderak  keras  terdengar  ketika 
pukulan itu menghantam sebatang pohon. 
Belum sempat mendaratkan kakinya di tanah, 
Pendekar  Gila  sempat  melancarkan  sebuah 
serangan dengan jurus 'Si Gila Melempar Batu'. 
Wret! 
"Celaka! Aku harus pergi! Hih..!" 
Ki Angkara melesat ke samping, mengelakkan 
hantaman  angin  yang  dilancarkan  Pendekar  Gila. 
Kemudian balas menyerang sambil melompat mening 
galkan tempat itu. 
"Hih!" 
"Aha, mau lari ke mana kau, Lintah Sawah! Hi 
hi hi...!" 
Pendekar  Gila  beijumpalitan,  kemudian 
dengan  cepat  mengelakkan  serangan  lawan.  Sinar 
biru melesat beberapa jengkal di bawahnya. Dan ... 
Glarrr...! 
Suara  menggelegar  keras  terdengar,  ketika 
sinar  biru  dari  tangan  Iblis  Berkedok  Dewa 
menghantam  sebatang  pohon  randu  besar  hingga 
tumbang.  Pendekar  Gila  terus  melesat  berusaha 
mengejar,  tapi  lelaki  tua  beijubah  merah  itu  telah 
menghilang dari Hutan Ran¬du Kembar. 
"Bukan  main!  Cepat  sekali  lintah  itu  pergi!" 
maki  Sena  sambil  melangkah  ke  tempat  semula. 
"Aha, kenapa kau diam saja, Prajurit? Turunlah dari 
kuda- mu!" 
Prajurit  itu  pun  menurut  turun,  lalu 
membantu  Sena  mengurusi  Senapati  Braja  yang 
terluka  parah.    Pendekar  Gila  segera  membuka 
pakaian  Senapati  Kerajaan  Mandra  Kulawa  itu, 
setelah  memeriksa  detak  jantungnya,  ternyata 
masih ada. 
"Aha,  pukulan  iblis!"  gumam  Sena  setelah 
melihat  bekas  pukulan  yang  membekas  di  dada 
Senapati  Braja.  Sebuah  gambar  telapak  tangan 
berwarna hitam legam bagaikan terbakar. 
Pendekar Gila cengengesan sambil menggaruk- 
garuk kepala. Sedangkan prajurit itu tampak masih 
cemas.  Matanya  menatap  ke  sekeliling  Hutan 
Randu  Kembar.  Seakan-akan  merasa  takut  kalau-
kalau  Iblis  Berkedok  Dewa  akan  muncul  lagi  dan 
menyerang mereka. 
"Aha,  kenapa  kau  masih  bengong,  Prajurit? 
Cepat  carikan  daun  randu  kuning.  Hanya  dengan 
daun itu nyawa Senapati Braja dapat diselamatkan," 
kata Sena sambil menggaruk-garuk kepala. 
Prajurit itu masih bingung dan takut, sehingga 
hanya bisa diam dan bengong. Di wajahnya tergurat 
kecemasan  dan  rasa  takut  kalau-kalau  Iblis 
Berkedok Dewa akan muncul dan menyerang. 
"Aha,  mengapa  kau  seperti  kerbau  dungu, 
Prajurit!  Cepatlah  kau  cari  daun  randu  itu.  Atau 
kau  jagalah  Senapati,  blar  aku  yang  mencarinya," 
ujar  Sena  agak  jengkel,  melihat  prajurit  itu  hanya 
diam. 
"Ba...,  baik!  Aku  akan  mencarinya,"  sahut 
prajurit  itu  menggeragap.  Kemudian  segera 
melangkah  meninggalkan  Pendekar  Gila  dan 
Senapati Braja untuk mencari daun randu kuning. 
*** 
Pendekar Gila menoleh ke sana kemari sambil 
cengengesan  dan  menggaruk-garuk  kepala,  karena 
prajurit  yang  disuruh  mencari  daun  randu  kuning 
belum juga datang. 
"Ah,  ke  mana  prajurit  itu?"  gumam  Sena 
merasa heran dengan prajurit yang disuruh mencari 
daun  randu  kuning.  Padahal  keadaan  Senapati 
Braja sudah sangat mengkhawatirkan Lelaki berusia 
hampir  setengah  baya  itu  hanya  mampu  merintih 
lirih, merasakan sakit hebat. Tubuhnya pun sangat 
panas, bagaikan dipanggang di atas perapian. 
Pendekar Gila benar-benar merasa gelisah, me- 
nyaksikan  keadaan  Senapati  Braja.  Keringat  terus 
membanjir,  membasahi  keningnya.  Hal  itu 
menandakan  betapa  panas  tubuh  Senapati  Braja. 
Namun  prajurit  yang  mencari  daun  randu  kuning 
belum juga muncul. Padahal sudah lama Pendekar 
Gila menunggunya. 
"Aha,  ke  mana  dia  pergi...?"  gumam  Sena 
sambil  menggaruk-garuk  kepala.  Sesekali  dilihatnya 
Senapati  Braja  yang  masih  mengerang-erang 
kesakitan.  Untung  Pendekar  Gila  telah  menotok 
tubuh  senapati  itu.  Sehingga  rasa  sakit  pun  agak 
berkurang. Kalau saja tubuh Senapati Brzga masih 
dalam keadaan terbebas, tak akan mampu menahan 
rasa sakit yang tiada taranya itu. 
Sena  kembali  mengawasi  ke  sekelilingnya, 
berusaha  mencari  prajurit  itu.  Namun  belum  ada 
tanda-  tanda  akan  muncul.  Hal  itu  membuatnya 
semakin  kebingungan,  merasa  heran  dengan  apa 
yang  terjadi.  Kalau  tetjadi  sesuatu,  prajurit  itu 
tentu  menjerit,  meminta  tolong.  Namun  dari  tadi 
tidak didengamya suara apa pun. Lagi pula menurut 
dugaannya  Iblis  Berkedok  Dewa  pasti  telah 
meninggalkan Hutan Randu Kembar itu. 
"Serahkan senapati itu pada kami!" 
Pendekar  Gila  tersentak  kaget,  ketika  tiba-
tiba  terdengar  suara  seseorang  membentak  dari 
belakangnya.  Dengan  cepat,  sambil  menggendong 
tubuh  Senapati  Braja,  tubuhnya  cepat  dibalikkan 
ke  belakang.  Matanya  membelalak  kaget  ketika 
melihat  dua  orang  berkepala  botak  dengan  tubuh 
gemuk  dan  bersenjatakan  kapak  besar  telah 
menyandera sang Prajurit 
"Hua ha ha.... Rupanya ada dua ekor babi yang 
datang tanpa diundang," seru Sena sambil tertawa 
terbahak-bahak.  Hal itu tentu saja membuat mata 
kedua lelaki berkepala botak itu mendadak marah. 
Dua lelaki berusia empat puluh lima tahunan 
itu mendengus geram. Mata mereka melotot penuh 
kemarahan.  Sambil  menekan  gigi  karena  geram, 
hingga terdengar suara bergemeretuk keras. 
"Kurang  ajar!  Jangan  main-main  dengan 
Sepasang Jalak Neraka, Bocah Edan!" bentak Jalak 
Kuning,  yang  di  lehernya  terikat  kain  kuning 
keemasan. Matanya semakin melotot lebar, dengan 
tangan  kanan  memegang  senjata  kapak  besar.  Hal 
itu  membuat  prajurit  yang  ditahannya  semakin 
ketakutan. 
Mendengar  bentakan  itu,  Pendekar  Gila 
justru  tertawa  kian  keras.  Masih  memondong 
tubuh Senapati Braja, Sena menggaruk-garu kepala 
denga tangan kiri dan mulutnya cengengesa 
"Aha rupanya aku sedang berhadapan dengan 
dua jalak botak! Hi hi hi...!" 
"Kurang  ajar!"  dengus  Jalak  Biru  geram. 
"Rupanya  kau  ngin  kami  menggorok  leher  prajurit 
ini, Bocah!" 
"Wawww,  jangan  ..!  Lebih  baik,  kalian  gorok 
leher kalian sendiri. Hi hi hi...!" Sea kembali tertawa 
meledek.  Tentu  saja  Sepasang  Jalak  Neraka 
bertambah marah. 
"Kurang  ajar!  Kau  berani  menghina  Sepasang 
Jalak Neraka, Bocah Edan! Apa kau sudah memiliki 
nyawa rangkap, heh?!" bentak Jalak Kuning dengan 
napas  mendengus  keras.  Gigi-giginya  saling  beradu, 
menimbulkan  suara  bergemerutuk  keras.  Tangan 
kirinya  yang  menjepit  leher  prajurit,  semakin 
ditekankan. 
“Aduh  sakit!  Oh,  Tuan  Pendekar.  Tolonglah 
saya!"  ratap  prajurit  itu,  dengan  wajah  pucat 
ketakutan. 
"Kau  dengar,  Bocah  Edan!  Temanmu  ini 
meminta tolong padamu! Cepat, serahkan senapati 
itu  pada  kami.  Atau  nyawa  prajurit  ini  akan 
melayang!"  bentak  Jalak  Biru  mengancam.  Mata 
kapak  besar  yang  tajam  itu  ditempelkan  ke  leher 
sang Prajurit yang semakin ketakutan. 

Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil 
menggeleng-gelengkan  kepala,  melihat  ketakutan 
sang  Prajurit.  Seakan  tak  peduli  dengan  perasaan 
yang dialami prajurit itu. 
"Aha,  silakan  kalian  berbuat  sesuka  hati 
terhadap prajurit itu Hi hi hi...! Bukankah memang 
prajurit  itu  tak  ada  artinya?"  tanya  Sena  yang 
membuat  prajurit  llu  bertambah  membelalakkan 
matanya.  Wajahnya  memucat  bagaikan  tak 
berdarah, mendengar ucapan Pendekar Gila. 
Sepasang  Jalak  Neraka  tersentak  kaget, 
merasa telah dipecundangi pemuda gila di hadapan 
mereka.  Memang  benar,  prajurit  itu  tak  berarti 
sama sekali bagi mrreka. 
"Pintar  juga  bocah  edan  ini!"  gumam  Jalak 
Kuning  dalam  hati.  Bukankah  Senapati  Braja  yang 
dibutuhkan  mereka?  Untuk  apa  seorang  prajurit 
yang  tak  ada  artinya.  Namun  Sepasang  Jalak 
Neraka  tak  mau  kalah  gertak.  Mereka  menatap 
tajam  wajah  Pendekar  Gila  yang  masih  tertawa 
cengengesan sambil menggaruk garuk kepala dengan 
tangan kirinya. 
"Hua  ha  ha...!  Ambillah  nyawanya  untuk 
kalian!"  seru  Sena  sambil  masih  tertawa  terbahak-
bahak,  kemudian  memonyongkan  mulutnya  ke 
depan. 
Brut! 
Pendekar GBa kembali tertawa keras. Melihat 
ledekan  itu,  Sepasang  Jalak  Neraka  bertambah 
marah. Gigi-glgi mereka beradu, mengeluarkan suara 
gemenitukan menahan geram. 
"Kurang  ajar!  Kubunuh  kau,  Bocah  Edan!" 
dengus  Jalak  Biru  seraya  maju  menyerang.  Kapak 
besar yang bergagang panjang dibabatkan ke tubuh 
Pendekar Gila. 
Wrets...! 
"Aha,  aku  bukan  pohon,  Jalak  Botak!  Hi  hi 
hi...!" sambil menggoda, Pendekar Gila melompat ke 
atas  dengan  tetap  memondong  tubuh  Senapati 
Braja. "Eittss…" 
Jalak biru yang sudah marah segera memburu 
ke mana Pendekar Gila melesat. Kemudian kembali 
kapak  besarnya  dibabatkan  menyerang  Pendekar 
Gila. 
Wret! 
"Putus lehermu, Bocah Edan!" 
"Eits! Aha, tak segampang itu, Jalak Botak! Hi 
hi hi...!" 
Pendekar  Gila  kembali  melompat  ke  atas, 
sehingga  kapak  besar  itu  menderu  di  bawahnya. 
Tubuhnya lalu hinggap pada sebuah cabang pohon 
randu.  Mulutnya  tetap  tertawa-tawa  sambil 
menggoda dengan menjulur-julurkan lidah. 
"Setan!" 
Melihat  Pendekar  Gila  berada  di  atas,  Jalak 
Kuning mendorong tubuh prajurit ke depan sampai 
tersuru'k  dan  jatuh  mencium  tanah.  Lalu  dengan 
penuh  amarah,  lelaki  berpakaian  kuning  itu 
melompat ke atas. 
"Heaaa! Kucincang tubuhmu, Bocah Edan!" 
Tubuh  Jalak  Kuning  melesat  ke  atas,  tetapi 
dengan  cepat  Sena  melompat  ke  cabang  pohon 
randu  yang  lain  sambil  menunggingkan  pantatnya, 
disertal  suara  kentut  yang  keluar  dari  mulutnya. 
Lalu  kembali  tertawa  terbahak-bahak,  yang 
membuat Sepasang Jalak Neraka semakin marah. 
"Bocah edan! Kubunuh kau! Heaaa...!" 
Jalak  Kuning  kembali  melesat  sambil 
mengayungkan  kapak  besarnya,  membabat  tubuh 
Pendekar  Gila.  Namun  lagi-lagi  dengan  cepat 
Pendekar  Gila  telah  melesat  pergi  dari  cabang 
pohon  itu.  Sehingga  yang  menjadi  sasaran  kapak 
Jalak Kuning cabang pohon itu. 
Wrt! 
Crak! 
"Akh...!" 
Jalak  Kuning  terpekik,  karena  keseimbangan 
tubuhnya  seketika  hilang  Tubuhnya  meluncur 
dengan kepala di bawah. Hal itu membuat Pendekar 
Gila tertawa terbahak-bahak, menyaksikan kejadian 
lucu  itu.  Beruntung  Jalak  Kuning  segera  dapat 
menguasai  diri.  Tubuhnya  bersalto  tiga  kali  di 
udara,  lalu  dengan  ringan  menapakkan  kedua 
kakinya di atas tanah. 
Jleg! 
"Hua  ha  ha...!  Makanya,  punya  badan  jangan 
seperti kerbau...!" ujar Sena berolok-olok. 
"Cuih! Kurang ajar! Turun kau, Bocah Edan!" 
dengUus Jalak Biru sengit. 
"Aha, naiklah! Bukankah kalian tak bisa naik? 
Hi hi hi...! Tubuh kalian yang gembrot itu, tak akan 
dapat  naik,"  goda  Sena  sambil  tertawa  terbahak-
bahak.  Kemudian  mulutnya  dimonyongkan, 
sedangkan ta¬ngan kirinya melambai-lambai "Wek...!" 
"Kurang ajar! Kuhancurkan kepalamu, Bocah 
Edan! Heaaa...!" 
Jalak  Biru  meiesat  ke  atas,  memburu 
Pendekar Gila. Kapak besar di tangannya, menderu 
membabat ke tubuh Pendekar Gila. 
Wrt! 
"Eits!" 
Pendekar Gila melompat meninggalkan cabang 
pohon  itu  dan  betjumpalitan  sambil  memanggul 
tubuh  Senapati  Braja.  Tangannya  memberi  isyarat 
pada prajurit agar segera berlalu pergi. 
"Mau  lari  ke  mana,  Prajurit  Tolol!  Hih...!" 
bentak  Jalak  Kuning  sambil  mencengkeram  leher 
prajurit itu. Lalu... 
Tuk! Tuk! Tuk! 
Tiga kali jari telunjuk Jalak Kuning menoto'k 
punggung  sang  Prajurit.  Seketika  membuat  tubuh 
prajurit Itu tak mampu bergerak. Pendekar Gila kini 
merasa  harus  berjuang  untuk  dapat  membebaskan 
prajurit itu dari totokan. 
"Hm,  sulit  juga.  Prajurit  itu  tertotok. 
Sedangkan  Senapati  Braja  dalam  keadaan  luka," 
gumam  Pendekar  Gila  dalam  hati  sambil  terus 
mengawasi  kedua  lawannya  yang  semakin  bernafsu 
ingin  cepat  membunuhnya.  Tak  ada  jalan  lain,  aku 
harus menggunakan barang ini. 
Srt! 
Pendekar Gila segera meloloskan Suling Naga 
Sakti dari ikat pinggangnya. Kemudian dilemparkan 
ke bawah, dekat Sepasang Jalak Neraka. 
Glarrr...! 
Ledakan  dahsyat  menggelegar  terdengar, 
disertai asap kuning tebal. Sekelika Sepasang Jalak 
Neraka  melangkah  mundur.  Dari  gumpalan  asap 
kuning Itu, samar-samar tampak sesosok ular besar 
berwarna kuning keemasan. 
"Szzz...!" 
"Wuaaa! Tolooong...!" 
Sepasang  Jalak  Neraka  serta-merta  lari 
terbirit-  birit,  ketika  tiba-tiba  di  hadapan  mereka 
telah  muncul  seekor  ular  naga  besar  berwarna 
kuning  keemasan  yang  mulutnya  membuka  lebar 
seakan hendak mene lan keduanya. 
Pendekar  Gila  tertawa  terbahak-bahak, 
kemudian dengan tenaga dalam tangannya menarik 
Suling  Naga  Sakti  yang  berubah  kembali  menjadi 
suling.  Setelah  itu  sambil  tertawa,  Pendekar  Gila 
melayang turun. 
Tuk! Tuk! Tuk!   
Tiga  kali  Pendekar Gila  membuka  totokan  di 
tubuh  sang  Prajurit,  sehingga  prajurit  itu  bisa 
bergerak seperti sedia kala. Tetapi baru saja sadar, 
prajurit itu terkulai kembali, pingsan dengan wajah 
pucat. Rupanya kehadiran Naga Sakti, menjadikan 
jiwanya terguncang. 
Pendekar  Gila  hanya  menggeleng-gelengkan 
kepala, kemudian direnggutnya tubuh sang Prajurit 
dan  dibawanya  pergi  meninggalkan  Hutan  Randu 
Kembar yang rusak akibat pertarungan tadi. 
*** 
Sena terus berlari membawa dua sosok tubuh 
di pundaknya. Dengan menggunakan ilmu lari 'Sapta 
Bayu', dalam sekejap saja dia telah berada jauh. Kini 
dia  telah  sampai  di  depan  pintu  gerbang  Kerajaan 
Mandra Kulawa. 
"Berhenti! Siapa kau? Dan ada keperluan apa 
kau  ke  istana?"  tanya  prajurit  jaga  sambil 
menyilangkan  tombaknya,  menghalangi  langkah 
Sena. 
"Hi  hi  hi...!  Aha,  apakah  kalian  tak  melihat 
kedua  teman  kalian  dalam  keadaan  luka  dalam?" 
tanya Sena sambil cengengesan. 
Keempat  prajurit  jaga  pintu  gerbang 
mengerutkan  kening,  lalu  memeriksa  dua  tubuh 
yang berada di atas pundak Sena. 
"Senapati  Braja  dan  Tamtama  Galatra...!" 
pekik  keempat  prajurit  jaga  dengan  mata 
membelalak kaget. 
"Apa yang terjadi pada mereka? Di mana yang 
lainnya?"  tanya  prajurit  yang  bertubuh  gemuk  dan 
berwajah bulat.  
"Aaakh...! Aduh, panaaas...!" 
"Aaakh...!"  Senapati  Braja  menjerit,  ketika 
daun  randu  kuning  dioleskan  di  lukanya.  Asap 
mengepul, keluar dari luka di dada sebelah  kiri itu 
Tubuh  Senapati  Braja  menggeliat-geliat  kesakitan. 
Namun  Pendekar  Gila  tak  menghiraukannya.  Kini 
telapak tangannya disatukan di dada Senapati Braja 
yang terluka.