Pendekar Gila 20 - Tragedi Berdarah Di Ponorogo(2)



"Dua hari kita bersama, tetapi selama ini aku 
belum tahu siapa kau sebenarnya," gumam Ki Lampit 
dengan tarikan nafasnya  yang berat. "Semenjak kau 
berada di sini, aku merasa aneh."
"Aha, apa yang kau anggap aneh, Ki?" tanya 
Sena seraya bangun dari pembaringan. Mulutnya cen-
gengesan. Lalu tangannya mengambil bulu burung di 
ikat pinggangnya. Kemudian dikorek telinga kanannya 
dengan bulu burung itu. Mulut nyengir merasa kenik-
matan. 
"Gerombolan itu, biasanya datang tujuh hari 
sekali. Tetapi semenjak kau datang, mereka tidak da-
tang. Sepertinya, kehadiranmu membuat mereka ta-
kut" 
Pendekar Gila tertawa mendengar penuturan Ki 
Lampit yang dianggapnya terlalu mengada-ada. Ba-
gaimana mungkin orang tahu dirinya di Desa Ngadire-
ja. Lagi pula, mengapa gerombolan itu harus takut ter-
hadapnya. Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepa-
la, dengan tangan kiri menggaruk-garuk kepala. 
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Ki. Bagaimana 
mungkin mereka takut pada orang gila sepertiku? Ah 
ah ah, aneh sekali! Lagi pula, apa yang harus dita-
kutkan atas diriku?" tanya Pendekar Gila sambil 
menggeleng-gelengkan kepala. 
Ki Lampit terdiam. Mata tuanya yang tertutup 
alis mata panjang, menatap dalam keremangan cahaya 
lampu pelita ke arah Pendekar Gila yang kembali men-
gorek telinga dengan bulu burung. 
"Mungkinkah kau Pendekar Gila itu, Anak Mu-
da?" tanya Ki Lampit setengah menerka. Dari suara 
tampak keragu-raguan pertanyaan itu diucapkan. Ma-
tanya tetap memperhatikan pemuda di sampingnya 
yang tengah cengengesan. 
"Aha, terlalu tinggi sebutan itu untukku, Ki. 
Aku hanyalah pemuda gila yang hidup sebatang kara. 
Kerjaku mengembara tak tentu arah. Hanya orang-
orang saja yang menganggapku begitu," sahut Pende-
kar Gila. Mendengar jawaban itu Ki Lampit tersentak 
kaget. Matanya terbelalak, menggambarkan rasa takut 
yang mendadak muncul. 
"Jadi?!" 
"Kau tak perlu takut, Ki! Memang orang menye-
butku Pendekar Gila. Tetapi aku bukanlah pimpinan 
kecoa-kecoa busuk yang kau ceritakan," tutur Sena 
berusaha meyakinkan Ki Lampit 
"Jadi benar kau yang bergelar Pendekar Gila, 
Anak Muda?" 
"Aha, begitulah. Sekali lagi, kau tak usah takut 
Ki! Aku memang sengaja menginap di tempatmu, kare-
na ingin tahu macam apa kecoa-kecoa yang telah 
membuat namaku cemar," ujar Pendekar Gila dengan 
setengah mendengus. Dirinya merasa marah atas tin-
dakan para begundal yang telah mengaku-aku sebagai 
anak buahnya. 
"Jadi kau tak punya anak buah, Pendekar?" 
"Aha, Untuk apa, Ki? Aku bukanlah pimpinan. 
Dan kurasa, aku tak pantas jadi seorang pemimpin. 
Lucu sekali..., dunia ini semakin lucu dan aneh," gu-
mam Pendekar Gila sambil menggeleng-gelengkan ke-
pala. Di bibirnya terurai senyum dan cengengesan. Se-
dangkan tangan kirinya menggaruk-garuk kepala. 
Ki Lampit turut menghela napas, mendengar 
penuturan Pendekar Gila. Hatinya merasa kagum atas 
budi pekerti luhur Pendekar Gila. 
"Benar juga apa yang dikatakan. Aneh! Tingkah 
lakunya seperti orang gila, tetapi tutur katanya seperti 
orang yang berpendidikan," gumam Ki Lampit dalam 
hati. Diperhatikan lagi dengan seksama pemuda ber-
tingkah laku aneh di hadapannya. Tetap saja tak terli-
hat adanya kekejaman di wajah pemuda gila itu. 
"Pendekar Gila, apa kau belum mendengar ka-
bar tadi pagi?" 
"Aha, tentang apa gerangan, Ki?"  
"Desa Ponorogo, kini dilanda bencana," tutur Ki 
Lampit. 
"Bencana? Ah ah ah...! Bencana macam apa, 
Ki?" tanya Pendekar Gila ingin tahu. Wajahnya yang 
semula cengengesan nampak berubah serius memper-
hatikan wajah Ki Lampit. 
Ki Lampit menarik napas dalam-dalam, sebe-
lum menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di Po-
norogo. Matanya masih menatap ke wajah Pendekar 
Gila, yang kini nampak bersungguh-sungguh memper-
hatikannya. Sepertinya Pendekar Gila ingin tahu, apa 
yang akan diceritakan. 
"Calon-calon kepala desa, satu persatu dikete-
mukan mati. Dan yang membuat  semua  warga desa 
Ponorogo membuka mata, karena di samping mayat 
terdapat tulisan pada selembar daun lontar yang men-
gatasnamakan Pendekar Gila," tutur Ki Lampit 
Pendekar Gila tersentak mendengar cerita Ki 
Lampit Bahwa namanya dijadikan sebagai biang keladi 
pembunuhan itu. Kemudian sambil cengengesan, dita-
riknya napas dalam-dalam. Ada perasaan marah dan 
jengkel dalam hatinya. 
"Hi hi hi..., lucu sekali! Mengapa orang-orang 
semakin suka melakukan hal-hal aneh? Lucu sekali...!" 
gumam Pendekar Gila sambil menggeleng-gelengkan 
kepala. Dirinya merasa tak habis pikir mengapa penja-
hat lebih suka menggunakan gelarnya untuk melaku-
kan aksi kejahatannya. 
"Kau tak takut, Pendekar?" tanya Ki Lampit. 
"Hi hi hi..., takut? Mengapa harus takut? Hyang 
Widhi akan senantiasa melindungi orang yang benar, 
Ki. Kalau kita tak salah, mengapa harus takut?" Sena 
balik bertanya dengan masih cengengesan. 
"Ah, kau memang sangat bijaksana, Pendekar. 
Sungguh jahat orang-orang yang telah mencemarkan 
nama baikmu. Mereka tidak ubahnya iblis!" dengus Ki 
Lampit, sepertinya turut jengkel mendengar berita 
Pendekar Gila dijadikan kedok kejahatan. 
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil 
menggaruk-garuk kepala, seakan-akan melihat kelu-
cuan. Namun dilihat dari sinar matanya, jelas hatinya 
benar-benar marah. Merasa telah dipermainkan see-
naknya oleh para durjana. 
"Ini tidak bisa didiamkan. Para warok pun tentu 
menuduh aku pelakunya," gumam Pendekar Gila da-
lam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala. 
"Ah, sudahlah, Ki! Malam telah larut. Tidurlah 
dahulu, nanti kau sakit!" ujar Sena kepada Ki Lampit 
agar segera tidur. Dirinya tak ingin orang tua sebatang 
kara itu akan mengalami sakit. 
"Kau...?" 
"Hi hi hi..., nanti aku pun tidur," sahut Pende-
kar Gila. 
Ki Lampit pun segera merebahkan tubuh. Per-
lahan-lahan dipejamkan matanya. Dan tidak lama ke-
mudian, lelaki tua itu telah pulas dalam tertidur. Se-
dangkan Pendekar Gila nampak masih duduk sambil 
menyandarkan tubuh pada dinding. Mulutnya masih 
cengengesan, dengan tangan menggaruk-garuk kepala. 
Benaknya masih memikirkan tentang semua kejadian 
yang mengaitkan julukannya. 
Pendekar Gila menengadahkan wajah ke atas, 
seakan hendak mencari sesuatu. Dihelanya napas da-
lam-dalam, berusaha menenangkan perasaannya. 
"Hyang Jagat Dewa Batara, semoga Engkau 
memberi kekuatan pada hambamu ini!" desahnya lirih, 
sambil memejamkan mata perlahan. 
Malam semakin larut suasana pun bertambah 
sepi. Tiba-tiba dari arah barat terdengar suara jeritan 
memecah keheningan malam. Disusul suara gelak ta-
wa. 
"Tolong...! Rampok...!" 
"Hua ha ha...! Jangan melawan! Kami anak 
buah Pendekar Gila. Percuma kalian melawan...!" 
Sena yang mendengar gelarnya disebut tersen-
tak kaget. Dengan bibir tersenyum, tubuhnya melesat 
cepat meninggalkan kamar bilik di kedai Ki Lampit 
"Hi hi hi...! Pucuk dicinta ulam tiba. Rupanya 
apa yang dikatakan Ki Lampit benar. Aha, malam ini 
aku akan berburu kecoa-kecoa busuk!" dengus Pende-
kar Gila sambil terus melesat menuju tempat asal jeri-
tan. 
*** 
Segerombolan lelaki dengan wajah separo tertu-
tup kain merah nampak sedang melakukan gerakan-
nya, membuat keonaran di rumah penduduk Desa 
Ngadireja. Hiruk-pikuk  memecah kesunyian malam. 
Jeritan ketakutan terus terdengar kian jelas, disusul 
pekik kematian yang menyayat hati. 
"Aaakh...!" 
"Tolong...! Tolong...!" 
Seorang wanita muda dengan hanya memakai 
angkin penutup dada nampak berusaha melepaskan 
diri dari cengkeraman tangan dua lelaki berpakaian 
serba hitam. Wanita muda dan cantik itu, terus beru-
saha meronta-ronta. Namun, kedua lelaki bermata ga-
rang itu tak menghiraukannya. Keduanya terus me-
nyeret wanita berusia sekitar dua puluh dua tahun itu. 
"Lepaskan! Tolong...!" 
"Percuma saja kau menjerit, Ayu Wuni! Ayahmu 
yang lurah pun takkan mampu menolongmu. Salah 
seorang dari keduanya yang berambut pendek dengan 
ikat kepala warna jingga membentak. Matanya yang ta-
jam dan beringas, menatap penuh nafsu pada gadis 
cantik yang memakai angkin hijau pupus itu. 
"Lepaskan, Bajingan! Lepaskan aku...!" gadis 
cantik yang ternyata bernama Ayu Wuni itu terus ber-
teriak dan memberontak. Kedua lelaki itu terus mem-
bawanya  ke tempat semak-semak di bawah pohon 
bambu yang sepi. 
"He he he...! Di sini kita akan berpesta, Manis. 
Ayolah! Jabil, pegangi dia!" perintah lelaki berambut 
panjang terurai. Kepalanya diikat dengan kain batik 
yang membentuk segi tiga ke bawah di kening. 
"Beres. He he he...!" Jabil segera memegangi 
tangan gadis cantik yang terus meronta-ronta dari pe-
gangan keduanya. 
Lelaki berpakaian hitam dan berambut panjang 
terurai itu segera membuka kain yang menutup wa-
jahnya. Kini nampaklah seraut wajah tampan dengan 
kumis tipis menghias di wajahnya. Namun, matanya 
yang menyimpan bara nafsu, menatap beringas gadis 
cantik itu. 
"Lepaskan! Tidak...! Tolong...!" 
"He he he...! Jangan harap ada yang berani 
menghalangi anak buah Pendekar Gila, Anak Manis! 
Ayolah...!" pemuda tampan berkumis tipis yang ternya-
ta Caraka Wanda terus mendekatkan tubuhnya. Ke-
mudian dengan disertai nafsu birahi yang menggebu-
gebu, direnggutnya pakaian yang menutupi tubuh ga-
dis malang itu. 
Bret! 
"Auh! Tidak...! Tolong...!" anak Kepala Desa 
Ngadireja itu terus berteriak-teriak. Sementara di per-
kampungan, terdengar hiruk-pikuk orang-orang berla-
rian ketakutan. Sementara gerombolan manusia dur-
jana yang mengaku anak buah Pendekar Gila, dengan 
ganas terus membantai penduduk desa yang melawan. 
Crab! 
"Akh...!" 
"Jangan kalian berani menentang kami! Kalian 
tak akan mampu menghadapi Pendekar Gila!" terden-
gar ancaman seseorang dari anggota-gerombolan. 
Nampaknya masih ada warga desa yang berani menen-
tang, sehingga kembali terdengar suara tebasan pe-
dang yang disusul dengan jerit kematian.  
"Heaaa!"  
Crab! 
"Akh...!" 
Sementara warga desa masih hiruk-pikuk keta-
kutan ditingkahi dengan suara jerit kematian, di tem-
pat yang sepi Caraka Wanda nampak semakin berin-
gas. Matanya menyala-nyala menatap tubuh gadis can-
tik yang kini setengah telanjang. 
"Lepaskan aku! Tolooong...!" 
"He he he...! Jangan takut, Manis! Kita akan 
menikmati indahnya malam ini," ujar Caraka Wanda 
sambil berusaha menggeluti tubuh gadis cantik kem-
bang Desa Ngadireja. Namun tiba-tiba..., 
"Hua ha ha...! Begitukah tingkah anak buah 
Pendekar Gila? Ah ah ah, lucu sekali. Kecoa-kecoa bu-
suk mengaku anak buah Pendekar Gila...!" dari kege-
lapan, terdengar suara tawa susul menyusul, Pendekar 
Gila. 
Caraka Wanda dan Jabil tersentak kaget. Ke-
duanya langsung menoleh ke tempat datangnya suara 
pemuda itu. Mata mereka membelalak tegang. Apalagi 
Caraka Wanda yang telah kenal siapa pemilik suara 
itu. 
"Pendekar Gila...?!" desis Caraka Wanda dengan 
mata membelalak tegang. 
"Dia ada di sini?!" tanya Jabil tak kalah kaget 
dan tegang, setelah tahu siapa yang tertawa itu. 
"Aha, apa kabar, Ki Sanak...?" tahu-tahu Pen-
dekar Gila telah berdiri berjarak satu tombak di samp-
ing mereka. Hal itu semakin membuat keduanya ter-
lonjak kaget karena tak tahu kapan dan dari mana da-
tangnya. Gadis yang hendak diperkosa bangkit dan 
langsung berlari ke belakang Pendekar Gila. Tetapi Ayu 
Wuni pun kelihatannya masih takut, setelah tahu sia-
pa pemuda bertingkah laku gila itu.  
"Kau...? Kau Pendekar Gila...?!" tanyanya den-
gan mata terbelalak ketakutan. 
"Hua ha ha...! Jangan takut, Ni Sanak! Aku 
memang Pendekar Gila, tetapi bukan pimpinan para 
kecoa busuk itu! Hi hi hi...! Lucu sekali. Rupanya ke-
coa-kecoa busuk kini pada bertingkah," gumam Pen-
dekar Gila sambil cengengesan dengan tangan meng-
garuk-garuk kepala. 
Ditatapnya kedua lelaki bermata jalang itu den-
gan tajam. Kemudian dengan cengengesan, tangannya 
menggaruk-garuk kepala. Lalu dipandangi gadis cantik 
yang berpakaian telah compang-camping akibat reng-
gutan tangan Caraka Wanda. 
"Aha, tak kusangka, kalau anak seorang warok 
berbuat sekeji ini. Hi hi hi... lucu sekali. Dunia ini 
memang semakin lama semakin bertambah gila," gu-
mam Pendekar Gila dengan mulut masih cengengesan. 
Sedangkan tangannya tetap menggaruk-garuk kepala. 
Lalu diambil Suling Naga Sakti. Ditiupkan dengan 
merdu, mendendangkan nyanyian tentang seekor anak 
domba yang berusaha menjadi serigala. Anak domba 
itu terus berusaha agar bisa jadi serigala. Sampai ak-
hirnya, anak si domba membabi buta. 
"Cuih! Lancang sekali kau, Pendekar Gila!" ben-
tak Cakra Wanda dengan napas mendengus, "Jangan 
kira aku tak mengerti nyanyian sulingmu!" 
"Hi  hi hi...! Ah, baguslah kalau kau mengerti. 
Rupanya kau anak warok yang pintar. Sayang..., 
sayang sekali perbuatanmu tak sesuai dengan pribadi 
orang-tuamu," ujar Pendekar Gila sambil tertawa ceki-
kikan dengan kepala menggeleng-geleng, seakan san-
gat menyesalkan atas perbuatan Caraka Wanda. 
"Cuih!" Caraka Wanda membuang ludah jeng-
kel. 
Kemudian matanya menatap tajam wajah Pen-
dekar Gila yang masih cengengesan sambil mengga-
ruk-garuk kepala. Sesekali Pendekar Gila menengok ke 
belakang, tempat gadis cantik itu berada. "Jangan kau 
gurui aku, Pendekar Gila! Ayahku adalah ayahku, se-
dangkan aku tetap saja aku!" 
Pendekar Gila kembali tertawa terbahak-bahak 
sambil menggaruk-garuk kepala. Ditimang-timangnya 
Suling Naga Sakti lalu dipukul-pukulkan ke telapak 
tangan kirinya. Kemudian masih dengan cengengesan, 
diselipkan kembali Suling Naga Sakti ke ikat ping-
gangnya. 
"Ah ah ah, hebat! Hebat sekali...!" gumamnya li-
rih dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala. 
"Sayang, kepribadianmu tak lebih dari seekor domba 
buta. Sehingga membuat dirimu melangkah di jalan 
yang salah." 
"Bedebah! Sudah kukatakan, jangan menggurui 
aku!" bentak Caraka Wanda semakin marah dan sen-
git, merasa Pendekar Gila telah banyak berbicara hing-
ga membuatnya marah. Matanya yang tajam dan ma-
rah menatap wajah Pendekar Gila yang hanya cen-
gengesan sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Aha, aku tidak mengguruimu, Domba Malang. 
Aku hanya ingin mengingatkanmu, kalau kau telah sa-
lah jalan," sahut Pendekar Gila diikuti suara tawanya, 
yang membuat Caraka Wanda semakin marah. 
"Kurang ajar...! Kubunuh kau Pendekar Gila! 
Serang dia...!" perintah Caraka Wanda dengan sengit. 
Dengan cepat tangannya mencabut pedang di pung-
gungnya. 
Srt! 
"Hea...!" disertai pekikan  menggelegar, Caraka 
Wanda dan Jabil melesat menyerang Pendekar Gila. 
Pedang di tangan mereka berkelebat cepat, membabat 
dan menusuk ke tubuh Pendekar Gila.  
Wrt! 
"Yea...!" 
"Hi hi hi...!" sambil tertawa cekikikan Pendekar 
Gila segera bergerak cepat menarik tubuh untuk men-
gelakkan serangan kedua lawannya yang gencar den-
gan babatan pedang. Kemudian dengan memonyong-
kan mulut, dirinya mengejek setelah berhasil menge-
lakkan serangan kedua lawan.  
"He he he...! We...!" 
"Kurang ajar! Kubunuh kau..., Gila! Serang...!" 
Caraka Wanda kembali berteriak memerintah teman-
nya untuk terus menyerang. Kemudian dengan jurus 
'Satuan Pedang Memanggang' mereka bergerak cepat 
menyerang dari dua arah. Caraka Wanda menyerang 
dari kanan, sedangkan Jabil dari kiri. 
"Hea!" 
"Yea!" 
"Hi hi hi...!"  
Pendekar Gila masih cekikikan sambil mengga-
ruk-garuk kepala, seakan tak takut menghadapi se-
rangan yang gencar dan cepat itu. Dengan membuka 
jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' tubuhnya meliuk-
liuk laksana penari, dengan sesekali menepuk ke arah 
lawan. 
Setelah mengetahui gerakan yang dilakukan 
Pendekar Gila, Ayu Wuni sedikit merasa agak tenang. 
Hatinya mengatakan kalau pemuda bertingkah gila itu 
ternyata bukan pemuda jahat dan sembarangan. Ha-
tinya mengharap, semoga Pendekar Gila dapat meme-
nangkan pertarungan itu. Bahkan Ayu Wuni mengha-
rap, Pendekar Gila mau menumpas para penjahat itu, 
agar Desa Ngadireja aman. 
Mata Ayu Wuni terus memperhatikan pertarun-
gan itu dengan harap-harap cemas. Takut kalau-kalau 
pemuda tampan bertingkah gila kalah. 
"Heaaa...!" 
Wret! Wret! 
Pedang di tangan Caraka Wanda dan Jabil 
menderu dengan cepat ke tubuh Pendekar Gila. Tetapi 
dengan cepat pula, Pendekar Gila mundurkan kaki 
kanan. Kemudian menggeser kaki kiri agak merentang 
sambil meliukkan tubuh. 
"Celaka...!" pekik kedua lawannya kaget, karena 
pedang mereka tetap belum berhasil bersarang di tu-
buh lawan. Bahkan pedang itu kini melesat ke tubuh 
temannya. Mata keduanya terbelalak tegang, menyada-
ri gerakan masing-masing yang kacau. 
Melihat kedua lawannya dalam keadaan mati 
langkah, sambil menggaruk-garuk kepala Pendekar Gi-
la menendangkan kaki kanan ke tubuh Jabil. Semen-
tara tangan kiri, menghantam tubuh Caraka Wanda. 
"Hi hi hi...! Hea...!" 
Caraka Wanda dan Jabil yang mati langkah, 
tersentak kaget. Keduanya kebingungan. Kalau mene-
ruskan membabatkan pedang dapat membahayakan 
kawannya. Sedang kalau berhenti jelas gerakan Pen-
dekar Gila akan lebih leluasa menyerang. 
"Hea!" 
Dalam kebingungan dan kagetnya, Caraka 
Wanda melentingkan tubuh ke belakang untuk menge-
lak. Sehingga Jabil yang terlambat, tak ampun lagi 
menjadi sasaran tendangan kaki Pendekar Gila. 
Begk! 
"Akh...!" Jabil memekik keras. Tubuhnya terlon-
tar deras ke belakang, bagaikan didorong sebuah ke-
kuatan yang dahsyat. Tubuh itu baru berhenti, ketika 
menghantam pepohonan bambu.  
Gosrak!  
"Akh!" 
Tanpa ampun lagi, Jabil terjepit batang-batang 
bambu. Sesaat Jabil meregang, kemudian terkulai ma-
ti. 
Menyaksikan temannya tewas, Caraka Wanda 
bertambah beringas. Dengan napas mendengus keras, 
lelaki muda itu kembali bergerak menyerang. Jurus, 
'Semilir Angin Meniup Daun Kering' segera dikelua-
rkan. Nampaknya Caraka Wanda sudah tak sabar lagi 
untuk membinasakan Pendekar Gila. 
"Heaaa...!" 
Wrt! Wrt...! 
Pedang di tangan Caraka Wanda bergerak lak-
sana angin yang bertiup semilir. Kelebatannya sangat 
halus dan pelan. Hal itu karena Caraka Wanda meng-
gunakan tenaga dalam yang cukup tinggi, juga penge-
rahan batin yang sempurna. Kakinya melangkah seca-
ra beraturan, seperti memakai hitungan-hitungan ter-
tentu. 
Melihat jurus yang dilakukan Caraka Wanda, 
seketika Pendekar Gila mengerutkan kening. Dengan 
memandang lewat sudut mata sambil nyengir, pikiran-
nya berusaha mengingat-ingat gerakan yang dilakukan 
Caraka Wanda. 
"Hm, bukankah itu gerakan Macan Barong 
yang kulihat di Ponorogo?" tanya Pendekar Gila dalam 
hati berusaha mengingat-ingat gerakan-gerakan yang 
dilakukan Caraka Wanda. "Aha, benar! Itu gerakan 
yang dilakukan Macan Barong. Hm, kalau begitu yang 
menjadi Macan Barong tentunya pemuda ini." 
"Pendekar Gila, kau harus mampus! Bersiap-
lah!" dengus Caraka Wanda. 
"Hua ha ha...! Hi hi hi...! Lucu sekali. Bukan-
kah itu tarian Macan Barong! Lucu sekali...!" ejek Pen-
dekar Gila dengan tertawa terbahak-bahak sambil 
menggeleng-gelengkan kepala. 
"Kurang ajar! Hea...! Kau harus mati dengan ju-
rus 'Semilir Angin Meniup Daun Kering'. 
Tubuh Caraka Wanda bergerak cepat. Pedang 
di tangannya pun semakin lama bergerak semakin ce-
pat. Sehingga pedang di tangan Caraka Wanda lenyap 
bentuk aslinya. Kini yang tampak hanya sebuah 
bayangan putih, berkelebat begitu cepat memburu tu-
buh Pendekar Gila. 
Melihat lawan telah mengeluarkan jurus pe-
mungkas yang sangat berbahaya jika dihadapi dengan 
tangan kosong, Pendekar Gila segera mencabut Suling 
Naga Saktinya. 
Srttt! 
"Heaaa!" 
*** 
Dengan memegang Suling Naga Sakti, Pendekar 
Gila melesat memapaki serangan lawan. Jurus 'Gila 
Menari Menepuk Lalat' segera dikeluarkan, untuk 
mengelakkan serangan lawan. Sedangkan tepukan 
tangannya, diganti dengan Suling Naga Saktinya. 
"Yea!" 
"Heaaa...!" 
Keduanya berkelebat laksana terbang. Caraka 
Wanda membabatkan pedangnya ke leher lawan. Na-
mun dengan cepat Pendekar Gila merundukkan tubuh 
diikuti dengan sabetan Suling Naga Saktinya ke atas. 
Trang! 
Auh...!" Caraka Wanda tersentak kaget, pe-
dangnya beradu dengan Suling Naga Sakti di tangan 
Pendekar Gila. Tangannya terasa gemetar kesemutan. 
Tubuhnya melayang dan bersalto di udara, kemudian 
meluncur ke bawah. Bibirnya tampak menyungging 
senyum sinis. 
Dari arah perumahan penduduk segerombolan 
lelaki berpakaian merah seperti yang dipakai Caraka 
Wanda memburu-tempat pertempuran itu. 
"Caraka, kau terluka...?" tanya seorang pemuda 
berwajah agak pucat dan berambut panjang terurai di-
ikat kain batik 
"Dia Pendekar Gila, Dimas Surotama," tutur 
Caraka Wanda sambil meringis menahan sakit di tan-
gan. Sementara Pendekar Gila tampak tengah cen-
gengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Suling Naga 
Sakti dipukul-pukulkan ke telapak tangan kiri, lalu 
mulutnya menyeringai seperti seekor kera. 
"Jadi pemuda edan ini yang dijuluki Pendekar 
Gila?" tanya pemuda yang dipanggil Surotama. Ma-
tanya menatap tajam pada Pendekar Gila yang masih 
bertingkah laku persis orang gila. Wajahnya menggam-
bar-kan kesadisan. 
"Benar, Dimas. Hati-hati...!"  
"Hm, bunuh dia...!" perintah Surotama tiba-
tiba, dengan menggerakkan tangan kanan. Seketika itu 
pula, gerombolan berpakaian rompi merah menyerang 
Pendekar Gib. Pedang dan golok tampak berkilatan di-
acungkan ke atas siap merejam lawan. 
"Hea!" 
"Hi he he...! Rupanya kalian kecoa-kecoa busuk 
yang bodoh! Lucu sekali...!" gumam Pendekar Gib. Ke-
mudian dengan masih cengengesan, ditunggingkan 
pantatnya ke arah kesembilan lawannya yang menye-
rang. 
"Bocah Edan!  Kubunuh kau! Hea...!" seorang 
anak buah Surotama membabatkan golok ke tubuh 
lawan yang sedang menungging. Namun dengan jurus 
'Gila Mabuk Mencabut Rumput' Pendekar Gila segera 
bergerak mengelit. Tubuhnya seperti orang gila yang 
sedang mabuk. Jempalitan ke sana kemari, dengan 
tangan bergerak mencengkeram dan memukul. Se-
dangkan kedua kakinya bergerak melakukan serangan 
dengan lutut dan tendangan. 
"Hi hi hi! Heaaa...!" 
Dugk! 
"Ukh...!" orang yang berada di belakang ter-
jengkang, karena terkena tendangan kaki kiri Pendekar 
Gila. Mulutnya meringis kesakitan dan tampak darah 
mengalir dari sela bibir. Tangannya memegangi dada 
yang terasa nyeri hebat. Bahkan dirasakan pukulan 
keras tadi meremukkan tulang rusuknya. 
Pertarungan semakin seru. Gerombolan itu 
langsung mengeroyok Pendekar Gila. 
"Hea!" 
Wuttt! 
"Uts! He he he...!" Pendekar Gila tertawa terke-
keh sambil terus bergerak dengan jurus 'Gila Mabuk 
Mencabut Rumput' digabung dengan jurus 'Gila Mena-
ri Menepuk Lalat'. Suling Naga Sakti di tangannya, 
bergerak dengan cepat menangkis serangan lawan. Di-
lanjutkan dengan memukul ke dada, dan punggung 
lawan yang terdekat. 
"Mampus kau, Pendekar Gila! Hea...!" 
Wuttt! 
"Uts! He he he...! Ini bagianmu, Kecoa Tolol!" 
Pendekar Gila mengelakkan serangan lawan dengan 
meliuk ke samping. Kemudian bergerak ke belakang 
tubuh lawan dengan cepat sambil memukulkan Suling 
Naga Sakti ke punggung lawan.  
Begk! 
"Akh...!" pekikan tertahan terdengar ketika seo-
rang lawan terpukul Suling Naga Sakti. Tulang pung-
gungnya dirasakan remuk. Mulutnya meringis.  Dari 
sela bibirnya meleleh darah. Kemudian tubuh orang itu 
ambruk ke tanah. 
Pertarungan semakin seru. Sepertinya gerom-
bolan Caraka Wanda dan Surotama tak takut sedikit 
pun. Mereka terus menyerang dengan sabetan dan tu-
sukan pedang serta golok 
"Hea!" 
Wuttt! Wuttt! 
"Haiiit..!" 
Dengan cepat Pendekar Gila mengelit dengan 
merundukkan tubuh. Kemudian dengan cepat pula di-
pukulkan Suling Naga Saktinya ke tubuh lawan. 
Wuttt! 
"Heh?!" orang itu tersentak kaget dengan mata 
membeliak. Dirinya berusaha menghindar tetapi gerak 
yang dilancarkan Pendekar Gila sangat cepat. Sehing-
ga, 
Begk! 
"Wua...!" 
Korban kembali jatuh dengan tulang iga remuk 
akibat gebukan Suling Naga Sakti. Kenyataan itu 
membuat Caraka Wanda dan Surotama bertambah 
marah dan beringas. 
"Kubunuh kau, Pendekar Gila...!" Surotama me-
lompat ke depan. Dengan jurus ‘Serimpi Kipasan Maut’ 
Surotama membabatkan pedangnya ke tubuh Pende-
kar Gila. 
Wuttt! Wuttt! 
"Uts! He he he...!" sambil tertawa, Pendekar Gila 
mengelakkan serangan lawan. Tubuhnya meliuk ke 
samping dengan gemulai. Kemudian tangan kirinya 
dengan jari-jari terbuka menyambar rusuk kanan la-
wan. Sedangkan Suling Naga Sakti di tangan kanan-
nya, memukul ke punggung Surotama. 
"Heh?!" Surotama tersentak kaget Lalu segera 
bergerak membalikkan tubuh disertai tendangan ke 
tubuh Pendekar Gila. Namun dengan cepat Pendekar 
Gila menarik pukulan tangan kirinya, sedangkan Sul-
ing Naga Sakti terus disabetkan ke tubuh lawan. 
Wrt! 
Trakkk! 
Krakkk! 
"Ukh...!" Surotama terpekik. Tubuhnya ter-
huyung beberapa langkah ke belakang. Tangan dan 
kakinya yang terpukul Suling Naga Sakti dirasakan 
remuk. Di pergelangan tangan dan di tulang kering ka-
ki kanannya, melembung dan terasa berdenyut-denyut 
"Dimas Surotama!" seru Caraka Wanda dengan 
mata terbelalak, menyaksikan Surotama nampak ke-
sakitan dengan wajah yang semakin pucat. "Pendekar 
Gila Keparat! Kubunuh kau! Hea...!" 
Caraka Wanda yang sudah marah, dengan be-
ringas kembali mengeluarkan jurus pemungkasnya 
'Semilir Angin Meniup Daun Kering'. Bagaikan tak 
meng-hiraukan kalau dirinya dalam keadaan terluka, 
Caraka Wanda menyerang membabi buta. Hal itu 
membuat Pendekar Gila semakin enak saja bergerak 
dengan jurus ‘Gila Menari Menepuk Lalat’. Tubuhnya 
meliuk-liuk lemah gemulai, kemudian dengan cepat di-
tepukkan tangan kiri ke dada lawan 
"Hih!" 
Degk! 
"Akh...!" tubuh Caraka Wanda terpental deras 
ke belakang, ketika pukulan telapak tangan kiri Pen-
dekar Gila mendarat di dadanya. Tubuhnya terus me-
layang, dan baru berhenti ketika menghantam seba-
tang pohon. 
Brak! 
"Akh!" Caraka Wanda terbanting ke tanah den-
gan kepala hancur terbentur pohon. Dari mulutnya 
menyembur darah segar. Sesaat tubuhnya menggele-
par-gelepar lalu diam tak berkutik. 
"Kurang ajar! Kupertaruhkan nyawaku untuk 
membunuhmu, Gila! Hea...!" 
Dengan kemarahan yang memuncak, Surotama 
melakukan serangan. Hatinya yang telah terbakar kini 
kalap. Menyaksikan Caraka Wanda tewas. Pedangnya 
diayun-ayunkan cepat membabat ke tubuh lawan. 
Tampak keenam kawannya turut membantu menge-
royok Pendekar Gila. 
Wrt! 
"Hea!" 
"Hi hi hi...!" sambil tertawa cekikikan Pendekar 
Gila bergerak ke sana kemari mengelakkan serangan 
lawan-lawannya.  Sedangkan tangan kanan yang me-
megang Suling Naga Sakti berkelebat menangkis senja-
ta lawan yang menyerang. 
Trang! 
"Hih!" 
"Ukh...!" 
Pertarungan semakin seru. Semak belukar di 
sebelah barat Desa Ngadireja tampak hancur beranta-
kan. Beberapa batang pohon bambu pun tumbang ter-
hantam oleh babatan pedang. Malam yang dingin dan 
sepi, terpecah hiruk-pikuk pertarungan dan jeritan-
jeritan kematian. 
Warga Desa Ngadireja yang semula merasa ta-
kut, akhirnya mendatangi tempat pertarungan menyer-
tai kepala desa. Mereka langsung membantu Pendekar 
Gila yang dianggap telah menyelamatkan desa mereka. 
Gerombolan penjahat yang menjarah Desa 
Ngadireja akhirnya terjepit. Bahkan kini, Pendekar Gila 
dengan cepat menggebukkan Suling Naga Sakti ke 
punggung Surotama. 
Bukkk! 
"Akh...! Ukh...!" 
Tubuh Surotama menggeliat-geliat karena 
punggungnya remuk terhantam Suling Naga Sakti. Da-
ri mulutnya muncrat darah segar. Sesaat lamanya mu-
lut lelaki muda itu mengerang-erang sebelum akhirnya 
mati. 
Melihat pimpinan mereka mati, keenam anggota 
gerombolan yang masih hidup, semakin panik. Dalam 
sekejap mata, mereka dapat didesak para warga Desa 
Ngadireja. 
"Mampuslah kalian! Hea...!" 
Jrab! 
Jrabs! 
"Akh...!" lengkingan kematian, seketika terden-
gar susul-menyusul. Dengan ganas karena marah para 
warga Desa Ngadireja membantai habis anggota ge-
rombolan yang mengatasnamakan Pendekar Gila seba-
gai pimpinan. 
Ki Lampit tertatih-tatih mendekati Pendekar Gi-
la. Di bibirnya tersungging senyuman. Orang tua yang 
sebenarnya Kepala Desa Ngadireja itu merasa senang 
atas kemenangan mereka. 
"Kau, Ki?" Pendekar Gila terkejut melihat Ki 
Lampit yang semula tua renta kini tampak wajah as-
linya, setelah membuka kedok. Ki Lampit ternyata seo-
rang lelaki bertubuh tegap, berusia sekitar lima puluh 
tahun. Wajahnya cukup tampan terhias jenggot dan 
kumis tipis. 
"Terima kasih atas pertolonganmu, Tuan Pen-
dekar!" 
"Aku tak mengerti, siapa kau sebenarnya, Ki?" 
tanya Pendekar Gila dengan mulut nyengir serta tan-
gan menggaruk-garuk kepala. 
Ki Lampit memegang pundak Pendekar Gila, la-
lu sambil melangkah lelaki setengah baya itu menceri-
takan siapa dirinya. Diceritakan, mengapa harus me-
nyamar, karena dirinya takut kepergok Pendekar Gila 
yang kabarnya menjadi pimpinan gerombolan itu. Ki 
Lampit merasa tak akan mampu menghadapi Pendekar 
Gila yang kesohor dengan kesaktiannya. 
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil 
menggeleng-gelengkan kepala. Tetapi tiba-tiba tawanya 
terhenti, ketika matanya melihat sesosok bayangan 
kuning berkelebat mencurigakan. Mata yang lain 
mungkin tak melihat karena suasana gelap. 
"Hai, tunggu...!" teriak Pendekar Gila. Kemu-
dian dengan menggunakan ilmu larinya segera menge-
jar sosok bayangan kuning itu. Dalam sekejap saja 
Pendekar Gila telah berhasil menghadang orang itu.  
"Aha, mau lari ke mana kau? Hi hi hi...!" 
"Ampun, jangan bunuh saya!" ratap lelaki mu-
da berpakaian kuning sambil bersujud di depan Pen-
dekar Gila. "Saya hanya diperintah tiga warok Ponoro-
go." 
"Kau juga anggota mereka?" tanya Pendekar Gi-
la. 
"Be... benar." 
"Jadi kalian diperintah tiga warok Ponorogo un-
tuk membuat keonaran di desa ini?" tanya Pendekar 
Gila tegas, walau mulutnya masih cengengesan. 
"Be..., benar." 
"Katakan pada ketiga warok yang mengutus 
mu! Aku, Sena Manggala akan menemui mereka," ujar 
Pendekar Gila tegas. "Tak kusangka, ketiga warok Po-
norogo yang seharusnya menjadi panutan malah ber-
buat kejam!" 
"Ba... baik, Tuan Pendekar. Akan saya sampai-
kan pada Warok Singo Lodra dan kedua rekannya," 
sahut pemuda bertubuh agak pendek itu. 
"Pergilah sekarang! Katakan, aku akan mene-
mui mereka," perintah Pendekar Gila. Seketika itu pu-
la, lelaki muda berpakaian rompi kuning melesat me-
ninggalkan Desa Ngadireja. 
Pendekar Gila menghela napas, sementara itu 
tangannya menggaruk-garuk kepala. Dirinya merasa 
tak habis pikir  mengapa Warok Singo Lodra, Warok 
Sura Pati, dan Warok Sito Kuta berbuat kejam. Kemu-
dian sambil cengengesan kakinya melangkah mende-
kati Ki Lampit dan para warga Desa Ngadireja. 
*** 
Betapa gusar dan marah ketiga warok sesepuh 
Ngadireja, setelah mendengar kabar tentang dua orang 
anak mereka yang mati di tangan Pendekar Gila. Bah-
kan Ranukoya, lelaki muda berpakaian rompi kuning 
yang menjadi utusan Warok Gandu Pala melebih-
lebihkan ceritanya. Dikatakan, kalau Pendekar Gila 
menantang mereka untuk bertarung. 
"Apakah kau tak berdusta, Ranukoya?!" bentak 
Warok Singo Lodra geram. Matanya menatap tajam 
Ranukoya yang duduk bersila dengan menundukkan 
kepala. 
"Ampun Ki Warok. Mana berani saya berdusta?" 
kata Ranukoya dengan kepala masih menunduk. 
"Bahkan, Pendekar Gila mengatakan jangankan hanya 
tiga warok Ponorogo. Seluruh warga Desa Ponorogo 
pun dia tak akan gentar." 
"Cuh! Setan Laknat!" dengus Warok Sura Pati 
sengit sambil meludah ke tanah. "Kurang ajar! Pende-
kar Gila keparat! Dia telah berani membunuh anakku. 
Bahkan lancang menantangku!" 
"Hhh! Akan kuremukkan batok kepalanya, se-
bagai balasan atas tindakannya!" Warok Sito Kuta pun 
tak kalah sengitnya menggeram. Tangan kanannya 
mengepal. Dan matanya memandang lepas ke depan. 
Warok Singo Lodra tercenung diam. Pikirannya 
kira benar-benar kacau. Baru kemarin putrinya, Sekati 
kedapatan hamil, Sekati muntah-muntah ngidam. Ke-
tika ditanya siapa yang telah menghamili, Sekati men-
gaku Pendekar Gila yang melakukannya. 
Perlahan-lahan, bayangan kejadian kemarin 
tergambar kembali dalam benak Warok Singo Lodra. 
Dirinya baru saja pulang dari kebun, ketika 
langkahnya tiba-tiba terhenti saat telinganya menden-
gar suara Sekati muntah-muntah. Dengan kening 
mengerut, Warok Singo Lodra melangkah mendekati 
anaknya yang sedang muntah di samping rumah. 
"Sekati, kenapa kau?" 
Sekati tersentak kaget. Dengan mata meman-
dang takut, gadis itu bangun dari jongkoknya. Lalu 
kakinya melangkah mundur dengan wajah pucat kare-
na takut. 
"Anakku, kau tak perlu takut pada ayah. Kata-
kan, apa yang sebenarnya terjadi...?" tanya Warok Sin-
go Lodra dengan suara pelan, berusaha menenangkan 
sang Anak. 
Sekati langsung menangis. Dipeluknya erat-erat 
tubuh sang Ayah. Hal itu membuat hati Warok Singo 
Lodra terenyuh dan luluh. Dengan lembut, dibelai-
belainya rambut Sekati. 
"Anakku, ceritakanlah apa yang telah terjadi!" 
pinta Warok Singo Lodra dengan tangan masih mem-
belai-belai rambut anaknya. 
Perlahan-lahan Sekati mendongak. Ditatapnya 
dalam-dalam wajah sang Ayah. Tangisnya masih ber-
derai, bahkan semakin sesenggukan. Hati Warok Singo 
Lodra pun luluh-lantak dan merasa kasihan. Dibim-
bingnya  sang Anak masuk ke rumah. Kemudian di-
ajaknya duduk. 
"Ceritakanlah, Anakku!" 
"Apakah Ayah tak akan marah?" tanya Sekati 
takut. 
Warok Singo Lodra berusaha tersenyum. Dige-
leng-gelengkan kepalanya, berusaha meyakinkan sang 
Anak agar mau menceritakan apa sebenarnya yang ter-
jadi. 
"Sekati hamil, Ayah." 
"Apa?!" bagaikan disengat kalajengking Warok 
Singo Lodra terbelalak kaget. Lelaki tua itu tersentak 
bangkit dari duduknya. Dengan napas tersengal me-
nahan perasaan marah dan terkejut mata Warok Singo 
Lodra menatap tajam anaknya. Sementara Sekati 
hanya mampu menangis dengan menundukkan kepala 
dalam-dalam. "Siapa yang menghamili mu, Sekati? 
Akan kulabrak dia!" 
"Pendekar Gila, Ayah!" 
"Hah?!" semakin membelalak mata Warok Singo 
Lodra, mendengar jawaban anaknya. Dihelanya napas 
dalam-dalam lalu dihembuskan dengan kuat. Kedua 
tangannya mengepal keras sambil menggemeretakkan 
gigi menahan geram. 
Warok Singo Lodra melangkah bimbang dengan 
hati dilanda amarah. Tangan kanannya masih men-
gepal. Matanya memandang tajam pada anaknya yang 
masih menangis sambil menundukkan kepala. 
"Kapan hal itu terjadi?" tanya Warok Singo Lo-
dra. 
"Tiga bulan yang lalu, Ayah," jawab Sekati den-
gan masih menangis sambil menundukkan kepala. 
"Kurang ajar! Pendekar Gila keparat!" maid Wa-
rok Singo Lodra geram. Napas tuanya kian memburu, 
bagaikan harimau marah. Matanya semakin memerah 
karena marah, "Sekati, kau tidak berbohong?!" 
"Sungguh, Ayah. Sekati rela mati, jika berdus-
ta," jawab gadis cantik berbaju kuning muda itu sambil 
terisak-isak. 
"Pendekar Gila, telah cukup aku menahan 
amarah. Ternyata kau menggunakan nama besarmu 
untuk perbuatan terkutuk! Tak akan kubiarkan kau 
mempermainkan wanita! Kau harus bertanggung ja-
wab atas semuanya!" dengus Warok Singo Lodra ge-
ram. 
Warok Singo Lodra menarik napas dalam-
dalam. Bayangan tentang anaknya yang dihamili Pen-
dekar Gila, bagaikan mencambuk amarahnya. Ma-
tanya memerah bagaikan mengandung api. Helaan na-
fasnya  sangat keras, menandakan hatinya tengah di-
landa amarah yang meluap-luap. 
"Ki Singo, apa kita akan tinggal diam terus-
menerus?" tanya Warok Sura Pati geram. "Anakku di-
bunuhnya. Bukan itu saja, Pendekar Gila kini menga-
cau Desa Ngadireja. Warga desa kini dilanda ketaku-
tan. Dan menurut kabar, Pendekar Gila telah menco-
reng nama baik warok." 
"Hm, benar! Kita harus segera mencarinya!" sa-
hut Warok Singo Lodra. 
"Kita harus memberi pelajaran padanya, Ki!" 
ujar Warok Sito Kuta. 
"Ya! Jangan kira hanya dia yang sakti! Meski-
pun dia sakti setinggi langit. Warok Singo Lodra tak 
akan gentar menghadapinya. Dia harus diberi pelaja-
ran!" dengus Warok Singo Lodra. Matanya yang mem-
bara penuh amarah, memandang lepas ke depan. 
Warok Singo Lodra menarik napas dalam-
dalam, berusaha menenangkan perasaan yang gundah 
dilanda amarah. Jika ingat semua yang terjadi, hatinya 
semakin geram saja. Selama ini dirinya berusaha me-
nahan sabar, tetapi Pendekar Gila semakin melunjak 
dan bertambah nekat. Rasa percayanya pada Pendekar 
Gila sebagai pendekar pembela kebenaran dan keadi-
lan, pudar sudah.  Kini yang tumbuh dalam jiwanya, 
sebuah kemarahan dan dendam kesumat. Apalagi kini 
mendengar anak-anak rekannya terbunuh di tangan 
Pendekar Gila. Semakin bertambah menggelegak ke-
marahannya. 
"Kita cari Pendekar Gila sampai ketemu!" den-
gus Warok Singo Lodra semakin marah dan sengit. 
"Kapan kita berangkat, Ki?" tanya Warok Sito 
Kuta. 
"Secepatnya," sahut Warok Singo Lodra. 
"Baik, Ki. Kami akan mempersiapkan sega-
lanya," ujar kedua warok lainnya. 
"Ranukoya, kau boleh pergi!" perintah Warok 
Singo Lodra. 
Ranukoya yang dengan segera menjura hormat, 
kemudian bergegas meninggalkan tempat itu. Sedang-
kan Warok Singo Lodra nampak masih mengulum bi-
bir, berusaha menenangkan pikirannya yang tengah 
diliputi kemarahan. 
*** 
Sementara di Hutan Palapiring, tempat Warok 
Gandu Pala dan para pengikutnya berada, siang itu 
nampak semua berkumpul. Di rumah bilik yang bera-
da di dalam Hutan  Palapiring, Warok Gandu Pala 
nampak gelisah dan marah. Kakinya melangkah mon-
dar-mandir dengan tangan mengepal seperti menahan 
geram. 
Para anak buahnya duduk dengan kepala me-
nunduk, tak seorang pun berani membuka mulut. Se-
muanya terdiam tanpa kata, membiarkan Warok Gan-
du Pala yang tengah dilanda perasaan gelisah. 
"Kurang ajar! Pendekar Gila telah membuat 
anggota kita semakin berkurang!" dengus Warok Gan-
du Pala sengit. Kemudian kakinya melangkah menuju 
kursi rotan yang ada di ruangan itu. "Ah, tapi biarlah! 
Bukankah dengan begitu, ketiga warok tua bangka itu 
akan memusuhi bahkan membunuh Pendekar Gila?" 
Warok Gandu Pala tertawa terkekeh-kekeh, me-
rasa senang setelah mendengar ketiga warok tua yang 
juga sesepuh di Desa Ponorogo itu akhirnya dapat juga 
diadu domba. 
Semua anak buahnya mengerutkan kening, tak 
mengerti mengapa Warok Gandu Pala tertawa-tawa. 
Padahal banyak anak buahnya yang mati di tangan 
Pendekar Gila. Nampaknya para pengikutnya tidak 
memahami jalan pikiran yang telah direncanakan sang 
Ketua. 
"Nanti malam, kita kembali mengadakan gera-
kan. Bunuh kedua calon lurah yang masih ada!" perin-
tah Warok Gandu Pala sambil tertawa terbahak-bahak. 
"Kalau mereka sudah lenyap semua, bukankah aku 
yang akan menduduki kursi kepala desa?" 
Semua anak buahnya yang tersisa lima belas 
orang itu tertawa mengikuti pimpinannya yang juga 
tertawa terbahak-bahak. 
"Benar, Ketua! Kalau Ketua menjadi Kepala De-
sa Ponorogo, kita akan enak...," ujar Sumogiri, "Bukan 
begitu teman-teman?" 
"Benar!" sahut keempat belas rekannya, terma-
suk Sekati yang juga berada di tempat itu. Gadis itu 
nampak lebih banyak diam, semenjak hamil. Hal itu 
mungkin karena hatinya merasa berdosa, telah mem-
bohongi sang Ayah. Juga terhadap Pendekar Gila yang 
telah difitnahnya. 
Hati nurani Sekati mulai tergugah. Batinnya 
yang semula tertutup, kini terbuka. Dirinya merasa, 
semua tindakannya selama ini suatu perbuatan yang 
salah. Begitu berani menentang sang Ayah. Juga Pa-
man Warok Sura Pati dan Warok Sito Kuta. 
"O, mengapa aku seperti ini? Mengapa harus 
menuruti setiap ucapan Paman Warok Gandu Pala?" 
keluh Sekati dalam hati, merasakan kesalahannya se-
lama ini. Kini dirinya bagaikan baru terbuka mata ha-
tinya yang selama ini tertutup kabut gelap. Selama ini, 
Sekati terpengaruh janji-janji muluk dan rayuan gom-
bal Warok Gandu Pala. Sampai akhirnya, peristiwa itu 
terjadi. Ketika semua anak buah tengah menjalankan 
perintah tinggallah mereka berdua. Warok Gandu Pala 
menggagahinya. Mulanya Sekati berusaha melawan, 
tetapi ketika matanya beradu dengan mata Warok 
Gandu Pala, tiba-tiba hatinya luluh. Dibiarkan tubuh-
nya digeluti orang yang mengaku sebagai pamannya 
sendiri. 
Semenjak itu, Warok Gandu Pala selalu beru-
saha mendapatkan kepuasan dari Sekati. Dan aneh-
nya, gadis itu bagaikan tak mampu melawan. Sekati 
pasrah, membiarkan kehormatannya direnggut. Mem-
biarkan tubuhnya dijadikan pelampiasan nafsu lelaki 
yang dianggap sebagai paman sendiri, karena sesama 
warok seperti ayahnya. 
Sampai akhirnya, Sekati hamil. Semula hatinya 
sangat takut, lalu mengadukan kehamilannya pada 
Warok Gandu Pala. Namun tanggapan Warok Gandu 
Pala justru membuat hatinya sakit Warok Gandu Pala 
menyuruhnya untuk memfitnah Pendekar Gila dan 
mengadukan pada ayahnya, kalau kehamilan itu per-
buatan Pendekar Gila. 
"O, kasihan Pendekar Gila. Dia tak tahu apa-
apa, terlalu polos, dan tak mengerti apa yang terjadi," 
keluh Sekati dalam hati. Lamunannya terus mengalir, 
teringat akan Pendekar Gila yang bertingkah laku ko-
nyol  dan persis orang gila. "Mengapa harus dia yang 
menjadi korban fitnah? Tentunya ayah tak akan mem-
biarkan pemuda itu. Ayah pasti akan melabrak Pende-
kar Gila." 
Sekati tak mempedulikan pertemuan yang ten-
gah berlangsung. Benaknya terus hanyut dalam lamu-
nan, memikirkan apa yang bakal terjadi terhadap Pen-
dekar Gila. Sementara, di sini, Warok Gandu Pala ter-
tawa dengan kemenangannya. Sudah dapat dibayang-
kan, kalau Pendekar Gila akan bertarung dengan keti-
ga warok itu. Mereka sama-sama sakti. Mereka sama-
sama disegani. 
Tiga warok itu bersenjata cambuk yang sakti. 
Cambuk mereka mampu mengeluarkan api, halilintar, 
dan angin yang membadai. 
Mustahil kalau Pendekar Gila akan mampu 
menandingi ketiga warok sakti itu. 
Pikiran Sekati terus bergejolak, seakan tak da-
pat melupakan apa yang bakal terjadi. Pertarungan an-
tara Pendekar Gila melawan ayah serta kedua paman-
nya, tentu akan berakhir dengan kematian. Mungkin 
mereka mati semua, atau mungkin ayah dan paman-
nya yang mati. Atau juga Pendekar Gila yang akan ma-
ti. 
Sekati merasakan kepalanya sakit sekali. Otak-
nya berdenyut-denyut memikirkan apa yang bakal me-
nimpa Pendekar Gila atau ayah dan kedua pamannya. 
Mereka orang-orang sakti. Jika mereka bertempur, ten-
tu harus ada yang mati. 
"Tidaaakkk...!" tiba-tiba Sekati memekik keras 
dengan tangan memegangi kepalanya yang terasa pen-
ing. Tubuhnya limbung, kemudian ambruk. Hal itu 
membuat semua mata langsung menoleh pada Sekati. 
Warok Gandu Pala segera membopong tubuh Sekati, 
membawanya masuk ke sebuah kamar. Sementara pa-
ra anak buahnya, hanya mampu terbengong-bengong 
tak mengerti apa yang dialami Sekati. 
Warok Gandu Pala pun nampak kebingungan, 
tak mengerti apa yang dialami Sekati. Dirinya berusa-
ha menyadarkan Sekati dari pingsannya, tetapi tak 
mampu. Gadis itu masih saja pingsan. Keringat men-
galir deras dari tubuh Sekati, sehingga pakaian gadis 
itu basah kuyup. Hal itu menyebabkan lekuk tubuh 
gadis itu nampak jelas menantang. 
Warok Gandu Pala menelan ludah berkali-kali, 
melihat pemandangan menggiurkan dan membuat naf-
sunya terbangkit. Nafasnya  memburu liar, bagaikan 
habis berlari menempuh jarak yang sangat jauh. 
"Hm, semakin menggiurkan saja kau, Manis," 
gumam Warok Gandu Pala. Matanya tak berkedip, me-
natap lekat tubuh Sekati yang masih terkulai pingsan. 
Warok Gandu Pala benar-benar tak tahan meli-
hat tubuh Sekati. Tubuh yang hamil muda itu, sema-
kin menggiurkan. Lekuk tubuhnya begitu jelas, sema-
kin menambah gairah kelelakiannya. 
Tangan Warok Gandu Pala perlahan-lahan mu-
lai merayap meraba-raba sekujur tubuh Sekati. Na-
mun tiba-tiba gadis itu tersentak bangun. Matanya 
menatap tajam wajah Warok Gandu Pala, seakan me-
mendam kebencian yang dalam. 
"He he he...! Mari kita nikmati sore yang indah 
ini, Manis! Bukankah sebentar lagi kau akan menjadi 
istri Lurah Gandu Pala. He he he...!" Warok Gandu Pa-
la terkekeh-kekeh, sambil tangannya terus merayapi 
sekujur tubuh Sekati. 
"Huh!" Sekati menepiskan tangan Warok Gandu 
Pala dengan kasar. Matanya semakin tajam menatap 
wajah Warok Gandu Pala. Lelaki setengah baya itu ter-
sentak kaget, tak menyangka kalau Sekati akan berani 
berbuat kasar padanya. 
"Kenapa kau, Manis? Mengapa kau galak..?" 
tanya Warok Gandu Pala masih berusaha tersenyum. 
Tangannya hendak kembali membelai tubuh Sekati, te-
tapi lagi-lagi gadis itu menyentakkan tangan dengan 
kasar. 
"Kau...?! Kau benar-benar lelaki tak tahu diri!" 
dengus Sekati geram. Kemudian gadis itu bangkit dari 
pembaringan. Matanya masih menatap kian garang 
wajah Warok Gandu Pala. Lelaki bertubuh gagah itu 
mengernyitkan kening, tak mengerti mengapa tiba-tiba 
Sekati berubah garang. Padahal ketika pertama kali 
mereka melakukan persetubuhan, gadis itu sangat bi-
nal dan sepertinya menerima dengan senang hati. 
Bahkan perbuatan-perbuatan selanjutnya, Sekatilah 
yang memintanya. 
"Sekati, kenapa kau?!" bentak Warok Gandu 
Pala seraya menatap tajam wajah Sekati. 
"Huh, Lelaki bejat! Lelaki tak tahu diri! Kau adu 
ayahku dengan Pendekar Gila! Pengkhianat! Licik..!" 
maki Sekati sengit. Mendengar makian Sekati, Warok 
Gandu Pala tentu saja tak dapat menahan amarahnya. 
"Kurang ajar! Lancang sekali kau berkata begi-
tu, Sekati!" bentak Warok Gandu Pala sengit. Tangan-
nya diangkat tinggi-tinggi, siap menampar pipi Sekati. 
"Lakukan! Ayo lakukan...!" tantang Sekati ba-
gaikan tak takut sedikit pun. Bahkan kini diajukan 
mukanya dan menyuruh agar Warok Gandu Pala me-
namparnya. Matanya yang semakin garang menatap 
penuh kebencian ke wajah Warok Gandu Pala yang 
tertegun, tak menyangka kalau Sekati akan berani be-
gitu. 
"Hhh, kalau saja aku tak ingat siapa kau. Ku-
robek mulutmu!" dengus Warok Gandu Pala geram. Di-
tariknya napas dalam-dalam, berusaha menenangkan 
gejolak amarahnya yang meluap-luap dalam dada. Se-
lama ini, belum pernah ada seorang wanita pun yang 
begitu berani menantangnya. 
"Robek! Ayo lakukan...!" tantang Sekati semakin 
garang, dengan mata tajam menatap wajah Warok 
Gandu Pala. 
Warok Gandu Pala mendengus, kemudian tan-
pa menghiraukan Sekati, segera melangkah ke luar 
meninggalkan gadis itu yang seketika menangis. Sekati 
sepertinya menyesali semua yang telah terjadi atas di-
rinya. 
Malam datang dengan kegelapan yang menye-
limuti Desa Ponorogo. Suasana sunyi dan sepi terasa 
mencekam. Apalagi kini ketiga warok yang ditakuti dan 
disegani di Desa Ponorogo pergi mencari Pendekar Gi-
la. 
Rumah Ki Banjar Guling dan Ki Jali, nampak 
sepi. Mereka sepertinya tak berani mengadakan kera-
maian di malam hari, setelah mengetahui kalau ketiga 
warok sedang mencari Pendekar Gila. Mereka tak mau 
menanggung beban, kalau-kalau Pendekar Gila akan 
datang dan membuat keonaran. 
Sementara itu segerombolan lelaki berpakaian 
serba hitam tampak bergerak dari arah selatan. Mere-
ka terdiri dari tiga belas orang. Tujuh membelok ke 
arah barat, sedangkan enam orang lagi membelok ke 
arah timur. Nampaknya mereka hendak menuju ru-
mah Ki Banjar Guling dan Ki Jali. 
Tujuh orang dipimpin  Sumogara sedangkan 
enam orang dipimpin Sumogiri. Mereka seperti bi-
asanya, mendapatkan tugas dari Warok Gandu Pala, 
untuk menyingkirkan calon kepala desa yang kini ting-
gal dua orang lagi. 
Pemilihan kepala desa tinggal dua hari lagi, 
sangat mendesak Kalau kedua orang itu tidak segera 
dihabisi dan disingkirkan, tentunya akan merepotkan 
Warok Gandu Pala dan akan mempersulitnya untuk 
menjadi kepala desa. 
Enam orang yang dipimpin Sumogiri telah 
mendekat ke rumah Ki Jali. Begitu sampai mereka se-
gera mengepung rumah itu. Sementara itu Sumogiri te-
lah berdiri di depan pintu. 
Tok! Tok! Tok! 
"Ki Jali...! Buka pintu...!" seru Sumogiri beru-
saha membangunkan Ki Jali dari tidurnya. 
Tak ada jawaban. Rupanya penghuni rumah itu 
telah terlelap dalam tidur. Bahkan lampu di dalam 
rumah tak menyala, mungkin sengaja dimatikan. 
"Ki Jali, buka pintu!" kembali Sumogiri berusa-
ha membangunkan penghuni rumah. Namun ternyata 
tak juga ada sahutan dari dalam rumah. Keadaan di 
rumah itu masih tetap sepi, tak ada suara jawaban da-
ri dalam. 
Sumogiri mendengus geram, karena belum juga 
ada jawaban dari dalam rumah. 
"Kurang ajar! Rupanya kau minta dikasari, Ki!" 
dengan geram didobraknya pintu rumah Ki Jali. 
Brak! 
Sumogiri segera masuk. Tetapi baru saja dia 
melangkah tiga langkah, sebuah pukulan keras meng-
hantam dadanya. Seketika tubuh Sumogiri terpental 
deras ke belakang hingga keluar rumah. 
"Hukkk!" 
Tubuh Sumogiri terbanting ke tanah, menjadi-
kan kelima rekannya seketika berlarian ke arah Sumo-
giri. Mereka membelalak kaget, melihat pimpinannya 
terjatuh bagaikan dilemparkan dari dalam rumah. 
"Kenapa, Giri?" tanya salah seorang rekannya 
dengan kening mengerut, menyaksikan pimpinannya 
terjatuh.  
"Kurang ajar! Rupanya di dalam ada orang yang 
mau menjual lagak di depan anak buah Pendekar Gi-
la!" dengus Sumogiri seraya bangun dari jatuhnya. 
"Hua ha ha...! Lucu... lucu sekali. Ada juga ke-
coa busuk yang mengaku-aku sebagai anak buah Pen-
dekar Gila. Aha, hebat sekali ucapanmu, Kecoa Bu-
suk!" bentak seorang pemuda dari dalam rumah Ki Jali 
sambil tertawa terbahak-bahak. Kemudian dari dalam, 
nampak sesosok tubuh pemuda berpakaian rompi ku-
lit ular dengan mulut cengengesan. Tangan pemuda 
tampan berambut gondrong agak ikal itu menggaruk-
garuk kepala. 
"Pendekar Gila...!" pekik keenam orang anak 
buah Warok Gandu Pala dengan mata membelalak ka-
get, setelah melihat siapa pemuda itu. 
*** 
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak dengan 
tingkah lakunya yang masih seperti orang gila. Tan-
gannya menggaruk-garuk kepala, dengan mulut cen-
gengesan. Hal itu membuat keenam orang anak buah 
Warok Gandu Pala semakin membelalakkan mata, tak 
percaya kalau Pendekar Gila yang sedang dicari-cari 
Warok Singo Lodra dan kedua warok lainnya berada di 
rumah Ki Jali. 
"Hi hi hi...! Lucu sekali, ada kecoa-kecoa busuk 
macam kalian yang mengaku anak buah Pendekar Gi-
la," gumam Pendekar Gila sambil melangkah mendeka-
ti keenam kawanan berpakaian hitam yang telah men-
cabut pedang. Mereka kini siaga, sepertinya siap untuk 
melakukan penyerangan. 
"Pendekar Gila, kuharap kau jangan ikut cam-
pur dengan urusan kami!" bentak Sumogiri dengan 
mata garang, menatap tajam pada Pendekar Gila yang 
masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepa-
lanya. 
"Aha, sayang sekali! Sayang sekali kalau itu 
permintaan kalian. Bagaimanapun, kalian telah men-
cemarkan nama baikku. Ah ah ah, siapa sebenarnya 
yang memerintah kalian berbuat seperti itu?" tanya 
Pendekar Gila dengan masih cengengesan sambil 
menggeleng-gelengkan kepala. 
"Cuih! Jangan bertingkah di Ponorogo, Pende-
kar Gila! Apa kau tak tahu, kalau kau akan mengha-
dapi Tiga Warok Sakti dari Ponorogo jika berani turut 
campur dengan urusan kami!" sentak Sumogiri. Di-
rinya pun telah siap dengan pedang di tangan, untuk 
menyerang Pendekar Gila. 
"Aha, benarkah tiga warok yang mengutus ka-
lian?" tanya Pendekar Gila sepertinya belum yakin. 
"Ya! Maka itu, kuharap kau jangan jual lagak di 
sini!" dengus Sumogiri sengit. Matanya menatap sema-
kin tajam pada Pendekar Gila. 
"Hi hi hi...! Lucu sekali. Hi hi hi...! Tadi kalian 
mengaku anak buahku. Mengapa sekarang kalian 
mengaku sebagai anak buah Tiga Warok Sakti dari Po-
norogo?" gumam Sena sambil menggeleng-gelengkan 
kepala. Bibirnya masih cengengesan kemudian tan-
gannya menggaruk-garuk kepala. Tingkah lakunya 
semakin konyol dan gila. 
"Jangan banyak omong! Serang dia...!" perintah 
Sumogiri sambil menggerakkan tangannya, memerin-
tah pada kelima temannya untuk menyerang. 
"Yea!" 
"Hea!" 
Tanpa diperintah kedua kalinya, kelima anak 
buah Sumogiri langsung merangsek dan menyerang 
Pendekar Gila. Pedang di tangan mereka, bergerak ce-
pat. Mereka langsung mengepung Pendekar Gila, den-
gan serangan-serangan tusukan dan tebasan pedang 
mereka. 
Wrt! Wrt! 
"Hi hi hi...!" sambil tertawa cekikikan, Pendekar 
Gila segera merundukkan tubuh untuk mengelak. Ke-
mudian bergerak meliuk-liuk seperti penari. Lalu dis-
usul dengan tepukan telapak tangan kiri ke dada la-
wan, dibarengi kaki kanannya menendang ke belakang 
dan samping. 
Dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat' Pen-
dekar Gila bergerak laksana menari. Tubuhnya meliuk-
liuk, diikuti dengan tendangan kaki dan tepukan tan-
gannya lurus ke dada lawan. Hal itu membuat keenam 
lawannya tersentak kaget, karena tak menyangka ka-
lau gerakan lemah lembut dan gemulai yang dilakukan 
Pendekar Gila mampu mengelitkan serangan mereka. 
Bahkan tepukan tangan yang kelihatan main-main cu-
kup menyentakkan keenam lawannya. 
"Heh?! Ilmu siluman...!" pekik Sumogiri dengan 
mata membelalak kaget, menyaksikan bagaimana Pen-
dekar Gila bergerak seperti orang menari. Dirinya be-
rusaha merangsek dengan tebasan pedangnya. Na-
mun, dengan enaknya Pendekar Gila bergerak meng-
hindar. Kemudian tangannya menepuk ke salah seo-
rang anak buahnya yang ada di depan. Sedangkan ka-
ki kirinya, menendang ke belakang. 
Plak! 
"Akh...!" lawan yang terkena pukulan telapak 
tangan Pendekar Gila, seketika mencelat ke belakang. 
Tubuhnya bagaikan didorong dengan keras, hingga 
melesat cepat 
Brak! 
"Akh...!" tubuh orang itu membentur gapura di 
depan rumah Ki Jali. Gapura itu roboh, bersamaan 
dengan remuknya kepala orang tersebut 
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Pendekar Gila! 
Kau berani menantang pimpinan-pimpinan kami, Tiga 
Warok dari Ponorogo!" dengus Sumogiri sambil meng-
gebrak serangan dengan babatan pedang ke arah kepa-
la. Namun dengan cepat Pendekar Gila meliukkan tu-
buh mengelak. Sedangkan kakinya menjejak ke arah 
dada lawan yang ada di sampingnya sambil melakukan 
serangan ke tubuh lawan. 
"Hi hi hi...! Ini bagianmu, Kecoa Busuk! Hea...!" 
Gerakan yang dilakukan Pendekar Gila mem-
buat lawan yang diserang tersentak kaget. Lelaki ber-
pakaian hitam itu berusaha membabatkan pedang gu-
na menangkis tendangan lawan, tetapi ternyata kaki 
Pendekar Gila lebih dulu menghantam dadanya. 
Degk! 
"Wua...!" pekikan keras terdengar ketika lelaki 
berpakaian hitam itu terhantam tendangan Pendekar 
Gila. Tubuhnya terpental deras ke belakang. Dari mu-
lutnya menyemburkan darah segar hingga penutup 
kepalanya lepas. Tubuh itu menghantam jendela ru-
mah Ki Jati hingga menerobos masuk, lalu terbanting 
di tanah dan tewas. Kemudian ambruk tanpa nyawa. 
Menyaksikan dua orang kawannya mati dalam 
keadaan mengerikan Sumogiri bertambah marah. Pa-
dahal Pendekar Gila bam mengeluarkan satu jurus, be-
lum jurus-jurus gila lainnya yang lebih dahsyat 
"Bunuh dia...!" teriak Sumogiri, sepertinya tak 
peduli lagi kalau keadaan seperti itu akan dapat men-
gundang warga Desa Ponorogo jika mendengar se-
ruannya. 
"Hea!" ketiga anak buah Sumogiri bergerak te-
rus menyerang Pendekar Gila dengan tebasan-tebasan 
pedangnya, dibantu Sumogiri sendiri yang semakin be-
ringas melakukan serangan dengan tusukan dan baba-
tan pedang. 
"Hi hi hi...!" 
Dengan masih tertawa tawa, Pendekar Gila 
kembali berkelebat mengelakkan serangan-serangan 
keempat lawannya yang ganas. Kini tubuhnya berpu-
tar cepat ke arah kiri. Dengan menggunakan jurus 
'Gila Melepas Lilitan Benang' Pendekar Gila bergerak 
menyerang keempat lawannya. 
"Hi hi hi...! Kenapa kalian bengong? Ini hadiah 
untuk kalian!"  
Wrt! 
Plak! Plak! 
"Akh!" 
Dua kali tamparan keras mendarat di wajah 
dua orang yang seketika mental ke belakang. Kepala 
mereka bagaikan dipelintir. Dari mulut keduanya me-
nyemburkan darah segar. Sesaat kedua tubuh berpu-
tar cepat, kemudian ambruk tanpa nyawa. 
Sumogiri semakin geram. Dirinya dan seorang 
temannya terus membabatkan pedangnya itu ke tubuh 
Pendekar Gila yang masih berputar cepat laksana gas-
ing, dengan tangannya turut bergerak menampar dan 
menghantam. 
Sulit bagi Sumogiri dan seorang rekannya un-
tuk dapat menyerang, karena tubuh lawan bagai 
menghilang. Keduanya hanya terbengong-bengong, 
menyaksikan gerakan lawan yang aneh. Sehingga keti-
ka Pendekar Gila kembali menampar, Sumogiri dan re-
kannya tak dapat mengelakkan serangannya. 
Plak! Plak! 
"Akh...!" 
"Wua...!" 
Sumogiri dan rekannya  memekik, ketika tam-
paran keras menghantam wajah mereka. Tubuh kedu-
anya berputar cepat dengan mulut menyemburkan da-
rah. Mata mereka melotot, kemudian ambruk dan ma-
ti. 
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak, me-
nyaksikan keenam lawannya telah mati. Tingkah la-
kunya yang seperti gila, semakin menjadi-jadi. Diam-
bilnya bulu burung yang diselipkan di ikat pinggang, 
kemudian dengan tenang mengorek telinga. Mulutnya 
cengengesan, merasa geli. 
"Hi hi hi...! Ha ha ha...!" 
Lalu sambil tertawa-tawa, Pendekar Gila me-
ninggalkan rumah Ki Jali. Dari dalam rumah, Ki Jali 
dan istri muncul. Keduanya hanya terperangah, tak 
tahu apa yang telah terjadi. Keduanya tak menyangka, 
kalau ucapan pemuda gila itu benar. Bahwa rumahnya 
akan didatangi para begundal. 
"Nyi, lihat! Bukankah itu mayat warga Desa Po-
norogo?" tanya Ki Jali seakan belum percaya dengan 
penglihatannya. 
"Benar, Ki. O, rupanya ada orang yang sengaja 
memerintah mereka membunuh calon kepala desa, Ki. 
Beruntung pemuda gila itu memberi tahu pada kita, " 
gumam istri Ki Jali. 
"Siapa pemuda gila itu ya, Nyi?" tanya Ki Jali 
berusaha mereka-reka, "Mungkinkah dia yang disebut 
Pendekar Gila?" 
"Mungkin, Ki." 
"Kalau begitu, orang-orang ini tentu bukan 
utusannya. O, tak kusangka, ada orang yang tega me-
nyebar fitnah padanya. Padahal dia pemuda baik. 
Sayang dia gila...!" gumam Ki Jali sambil menggeleng-
gelengkan kepala. Dihelanya napas dalam-dalam, sea-
kan ingin membuang beban jiwanya. "Kalau saja tak 
ada Pendekar Gila, tentunya kita sudah mati seperti 
calon kepala desa lainnya, Nyi." 
"Benar, Ki. O, kasihan sekali Pendekar Gila. 
Tentunya dia akan berhadapan dengan Ketiga Warok 
Sakti, " keluh Nyi Jali seakan menyesali kejadian yang 
telah membuat nama Pendekar Gila tercemar. Sehing-
ga Tiga Warok Sati itu kini mencarinya. 
"Kita ikuti dia, Nyai...," ajak Ki Jali, "Bagaima-
napun, kita harus mencegah terjadinya pertarungan 
antara ketiga warok itu dengan Pendekar Gila." 
"Tapi ke mana kita harus mencarinya, Ki?" 
Ki Jali hanya mampu mematung diam, tanpa 
tahu harus berbuat apa. Di wajahnya, tergambar ba-
gaimana nantinya kalau Pendekar Gila sampai berte-
mu dengan Tiga Warok Sakti dari Ponorogo yang se-
dang mencarinya. 
"Semoga saja orang yang telah menyebar fitnah 
cepat tertangkap! Sehingga Tiga Warok Sakti tak jadi 
bertarung dengan Pendekar Gila," gumam Ki Jali. 
"Aku pun berharap begitu, Ki. Kasihan Pende-
kar Gila! Dia sangat baik. Kalau dia jahat, mana mau 
menasihati kita agar bersembunyi?" gumam Nyi Jali 
sambil menggeleng-gelengkan kepala. 
Kedua suami istri calon lurah itu, hanya mam-
pu memandang ke timur, arah  yang dituju Pendekar 
Gila. Ada perasaan kasihan dan iba membayang di wa-
jah keduanya, jika teringat bagaimana kalau sampai 
antara ketiga warok itu bertemu dengan Pendekar Gila. 
Mereka tak habis pikir dan bertanya-tanya da-
lam hati. Apa mungkin, pendekar yang baik hati dan 
suka menolong itu menghamili anak Warok Singo Lo-
dra? Rasanya tak masuk akal. Namun, keduanya tak 
dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya rakyat biasa, 
yang tak mampu mencegah pertarungan orang-orang 
sakti itu. 
*** 
Pendekar Gila masih menyelusuri jalanan yang 
membelah Desa Ponorogo, ketika dari arah timur nam-
pak tiga orang warok melangkah dengan tergesa-gesa. 
Di wajah mereka, tergambar kemarahan. Rupanya ke-
tiganya pun baru saja membantai tujuh orang anak 
buah Warok Gandu Pala yang telah membunuh  Ki 
Banjar Guling. 
Tiga lelaki tua sakti dengan senjata cambuk 
yang kini masih di tangannya, melangkah semakin ce-
pat. Sepertinya mereka tak sabar lagi, untuk segera 
bertemu dengan Pendekar Gila. 
"Hua ha ha...! Aha, kalian nampaknya tergesa-
gesa. Seakan ada  sesuatu yang ingin kalian laku-
kan...!" seru Pendekar Gila sambil tertawa terbahak-
bahak. Dengan jari kelingking, mengorek telinga sebe-
lah kiri, seraya menggetar-getarkan kepalanya karena 
geli. 
Ketiga Warok Sakti tersentak, mendengar se-
ruan itu. Mata mereka membelalak lebar, antara kaget 
dan marah setelah tahu siapa yang telah menghadang 
mereka. 
"Kebetulan sekali. Akhirnya kau yang kami 
tunggu muncul juga, Pendekar Gila!" dengus Warok 
Singo Lodra dengan muka mencerminkan kemarahan. 
Matanya yang tua dan tertutup alis putih, menatap ta-
jam ke wajah Pendekar Gila. 
"Aha, begitu pula denganku. Kebetulan sekali, 
akhirnya aku dapat bertemu dengan kalian!" balas 
Pendekar Gila masih cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. 
Ketiga Warok Sakti itu mengerutkan kening, 
mendengar ucapan Pendekar Gila. Sepertinya Pende-
kar Gila juga tengah mencari mereka. 
"Pendekar Gila, kau harus bertanggung jawab 
atas hamilnya anakku!" seru Warok Singo Lodra den-
gan geram. Cambuk di tangan kanannya, dimain-
mainkan ke telapak tangan kirinya. Matanya menatap 
tajam wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan 
sambil menggaruk-garuk kepala. Namun tiba-tiba Pen-
dekar Gila terdiam dengan mata mendelik kaget, men-
dengar tuduhan yang baru saja dilontarkan Warok 
Singo Lodra. 
"Kau benar-benar terkutuk, Pendekar Gila! Kau 
bunuh anakku. Kau kotori nama baik warok!" dengus 
Warok Sura Pati tak kalah marahnya. 
"Ya! Kau bunuh calon kepala desa. Kau benar-
benar laknat! Telah lancang dan berani memakai nama 
warok untuk perbuatan-perbuatan burukmu!" sambut 
Warok Sito Kuta. 
"Mungkin kalau hanya hamilnya anakku dan 
kematian kedua anak rekanku, belum seberapa. Tetapi 
pembunuhan terhadap calon kepala desa dan meram-
pok di Desa Ngadireja, sungguh perbuatan yang me-
malukan! Begitukah perbuatan seorang pendekar yang 
dikenal  sebagai penegak kebenaran dan keadilan?!" 
bentak Warok Singo Lodra. Pendekar Gila semakin 
mengerutkan kening. Dirinya baru saja hendak menu-
duh ketiga warok itu dengan tuduhan-tuduhan yang 
dilontarkan ketiganya. 
"Hi hi hi...! Kalian lucu sekali. Mengapa kalian 
orang-orang tua bertingkah aneh? Seharusnya akulah 
yang menuduh kalian telah melakukan kekejian itu?!" 
ujar Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepala den-
gan tertawa cekikikan. 
"Cuih! Jangan berlagak bodoh, Pendekar Gila!" 
dengus Warok Singo Lodra geram, semakin bertambah 
marah mendengar ucapan Pendekar Gila.  
"Telah banyak bukti, yang menunjukkan kalau 
semua perbuatan terkutuk itu kau pelakunya!" 
"Hua ha ha... hi hi hi...! Lucu sekali. Kalian 
menuduhku begitu. Apakah kalian kira aku pun tak 
punya bukti, yang memberatkan kalian?" tanya Pende-
kar Gila dengan tertawa terbahak-bahak sambil meng-
garuk-garuk kepala.  
"Kurang ajar! Kau kira mudah untuk lari dari 
tanggung jawabmu, Pendekar Gila!" bentak Warok Su-
ra Pati semakin marah, mendengar ucapan Pendekar 
Gila. 
"Aha, kalian pun jangan kira akan mudah me-
lempar batu sembunyi tangan. Baru saja di rumah Ki 
Jali gerombolan kalian hampir membunuh Ki Jali. 
Apakah kalian mau mungkir...?" tanya Pendekar Gila 
sambil cengengesan. Ucapan itu membuat mata ketiga 
warok semakin membelalak kaget. Ketiganya saling 
pandang dengan kening mengerut, sepertinya tak per-
caya kalau di rumah Ki Jali pun terjadi hal yang seru-
pa dengan kejadian di rumah Ki Banjar Guling. 
"Rupanya di rumah Ki Jali pun habis terjadi 
pembunuhan, Sura," bisik Warok Singo Lodra. 
"Hm, apakah tidak mungkin memang dia pela-
kunya?" tanya Warok Sura Pati berbisik 
"Mungkin juga. Hm, kita tak boleh lengah. Dia 
bukan pemuda gila sembarangan," gumam Warok Sin-
go Lodra mengingatkan kedua temannya. 
"Pendekar Gila, kami kira tak ada lagi ampunan 
bagimu. Kau telah banyak berbuat dosa," kata Warok 
Sito Kuta sambil melepas 'Cambuk Braja Indra' di tan-
gan kirinya. Begitu juga dengan kedua rekannya. Keti-
ga Warok Sakti itu, tak ingin gegabah menghadapi 
Pendekar Gila. 
"Bersiaplah untuk mati, Pendekar Gila!" dengus 
Warok Sura Pati. 
"Hi hi hi...! Rupanya kalian memang pelaku-
pelaku utama dari semuanya. Aha, kukira dengan be-
gini, kalian ingin lepas dari tanggung jawab! Baik, un-
tuk kebenaran dan keadilan, aku layani tantangan ka-
lian," sambut Pendekar Gila sambil melolos Suling Na-
ga Saktinya dari ikat pinggang. 
Wuttt!  
Wuttt! 
Tiga Warok Bercambuk Sakti kini memutar 
cambuk mereka ke atas, siap melakukan serangan. 
Sedangkan Pendekar Gila, kini dengan tenang meniup 
Suling Naga Saktinya. Suara Suling Naga Sakti, men-
galun merdu. Namun sebenarnya alunan suara suling 
itu hanya ditujukan untuk menangkal suara putaran 
cambuk yang sangat memekakkan telinga.  
"Hea!" 
"Remuk tubuhmu, Pendekar Gila!" seru Warok 
Singo Lodra sambil melecutkan 'Cambuk Braja Ge-
ni'nya yang seketika berubah menjadi api. 
Cletar! 
"Uts! He he he...!" Pendekar Gila segera melom-
pat ke samping, mengelakkan cambuk Warok Singo 
Lodra dengan jurus 'Dewa Mabuk Membelenggu Suk-
ma'. Gerakannya yang seperti orang mabuk, membuat 
ketiga lawannya merasa yakin akan dapat mencambuk 
tubuhnya. Dari arah kiri, Warok Sura Pati menya-
betkan cambuknya yang bernama 'Cambuk Braja 
Bayu'. 
Wsss! 
Cletar! 
Angin menderu kencang laksana membadai, 
menyerang ke tubuh lawan. Dengan cepat, Pendekar 
Gila bersalto. Kemudian segera berputar sambil me-
musatkan 'Inti Bayu'-nya ke kedua telapak tangan. La-
lu dengan tenaga dalam kuat, dihempaskan kedua te-
lapak tangan ke arah angin yang menderu. 
"Hea!" 
Wsss! 
Jlegar! 
Ledakan dahsyat terdengar, membuat suasana 
di tempat itu bagaikan diguncang gempa. Pepohonan 
bertumbangan terhempas angin kencang. Tanah ber-
hamburan dan beterbangan terhantam dua kekuatan 
angin yang dahsyat. Baik Pendekar Gila maupun Wa-
rok Sura Pati, melompat dua tombak ke belakang. Ma-
ta mereka saling pandang dengan tajam. Lalu Pende-
kar Gila tertawa terbahak-bahak, sedangkan Warok 
Sura Pati menggumam sengit! 
"Kini giliranku, Pendekar Gila! Hea...!" Warok 
Sura Pati memutar 'Cambuk Braja Indra'-nya. Seketika 
suara menggelegar laksana petir disertai kilatan-
kilatan keluar dari cambuk itu. 
Melihat serangan lawan, dengan cepat Pende-
kar Gila kembali meniup Suling Naga Saktinya. Kini 
suara suling itu bukan lagi mengalun merdu, melain-
kan melengking keras. Sepasang mata Suling Naga 
Sakti, di arahkan ke ujung cambuk Warok Sito Kuta. 
Dari sepasang mata Naga Sakti, melesat sepasang si-
nar merah memapaki kilatan petir dari ujung cambuk 
Slats! 
Srt! 
Crak! Jlegar...! 
Ledakan kembali terdengar, diikuti suasana 
malam yang berubah menjadi panas membara. De-
daunan layu. Angin malam laksana terhenti. Warok Si-
to Kuta terdorong mundur dengan mata membelalak 
tegang, menatap tajam wajah Pendekar Gila yang ma-
sih nyengir sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Kurang ajar! Kau memang hebat, Pendekar Gi-
la! Tetapi kau tak akan kami biarkan. Hadapi kami se-
kaligus!" dengus Warok Singo Lodra geram sambil me-
mutar cambuknya. 
Hampir saja pertarungan itu terjadi, tetapi dari 
arah selatan Desa Ponorogo terdengar teriakan seorang 
wanita yang membuat ketiga warok itu menghentikan 
putaran cambuk mereka. 
"Hentikan...! Jangan teruskan...!" 
Baik Pendekar Gila dan Ketiga Warok Sakti, se-
ketika menoleh ke arah datangnya suara wanita itu. 
Mata mereka membelalak, setelah tahu siapa yang da-
tang. Terlebih-lebih Ketiga Warok Sakti. 
"Sekati...! Dari mana kau?!" tanya Warok Singo 
Lodra  kaget, setelah melihat anaknya yang datang 
sambil menangis. 
"Jangan teruskan, Ayah. Maafkan Sekati. Sebe-
narnya bukan Pendekar Gila yang melakukan semua-
nya, " ujar Sekati sambil menangis. Mendengar ucapan 
Sekati itu, Tiga Warok Sakti semakin membelalakan 
mata. Mereka semakin bingung, apa sebenarnya yang 
telah terjadi pada Sekati. 
"Apa maksudmu, Sekati?" bentak Warok Singo 
Lodra. "Jangan kau membuatku marah!" 
"Maafkan Sekati, Ayah. Selama ini, Sekati telah 
gelap mata. Selama ini, Sekati telah terpengaruh Pa-
man Gandu Pala," desah Sekati di sela isak tangisnya. 
Ketiga Warok Sakti itu kembali saling pandang tak 
mengerti. Kemudian ketiganya menatap wajah Pende-
kar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. 
"Katakan apa yang terjadi, Sekati!" bentak Wa-
rok Singo Lodra geram, tak sabar lagi untuk segera 
mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di Ponorogo. 
Dengan masih menangis, akhirnya Sekati men-
ceritakan semuanya. Tentang kehamilannya yang se-
sungguhnya atas perbuatan Warok Gandu Pala. Juga 
tentang rencana Warok Gandu Pala mengadu domba 
antara Pendekar Gila dengan Tiga Warok Sakti itu, ser-
ta pembunuhan-pembunuhan terhadap calon kepala 
desa 
"Semua, Paman Gandu Pala yang merencana-
kan, Ayah. Oh, Sekati tak tahu, mengapa Sekati begitu 
terpengaruh. Aku pasrah, waktu Paman Gandu Pala 
merenggut semua milikku," tangis gadis itu semakin 
mengisak sedih. "Bunuhlah aku, Ayah! Bunuhlah 
anakmu yang tiada arti lagi ini!" 
Warok Singo Lodra dan kedua rekannya hanya 
mampu menggeram sengit, setelah tahu siapa sebe-
narnya dalang malapetaka ini. Ketiganya benar-benar 
merasa malu pada Pendekar Gila, yang telah mereka 
tuduh dengan keji. 
"Gandu Pala, Keparat! Kuhancurkan kepala-
mu!" dengus Warok Singo Lodra seraya mengepalkan 
tangan kirinya ke atas. Kemudian tanpa menghiraukan 
semuanya, Warok Singo Lodra melangkah ke selatan 
ke tempat yang ditunjukkan anaknya. 
Melihat Warok Singo Lodra melangkah pergi, 
kedua warok lainnya dan Pendekar Gila serta Sekati 
mengikutinya. 
*** 
Saat menjelang pagi suasana di Hutan Palapir-
ing masih remang-remang. Dari kejauhan suara kokok 
ayam jantan terdengar. Angin malam menjelang pagi, 
menghembuskan hawa dingin sekali, hingga terasa 
menusuk tulang sumsum. Di sebuah rumah terbuat 
dari bilik, nampak Warok Gandu Pala dengan ditemani 
seorang pengawal tengah kebingungan. Hal itu karena 
sampai menjelang pagi, Sumogiri dan Sumogara serta 
rekan-rekannya belum ada yang pulang. Ditambah la-
gi, dengan lolosnya Sekati dari tempat itu, semakin 
membuat hatinya cemas. 
"Bagaimana menurut pendapatmu, Ranukoya! 
Apa Pendekar Gila dapat mengalahkan ketiga warok 
itu?" tanya Warok Gandu Pala pada Ranukoya yang 
masih duduk bersila, menunggu perintah dari pimpi-
nannya. 
"Kurasa, mereka akan mati, Ketua," jawab Ra-
nukoya. 
"Hua ha ha...! Bagus! Itu yang kuharapkan! Ka-
lau mereka mati, bukankah kita akan...," belum juga 
habis ucapan Warok Gandu Pala, tiba-tiba dari luar 
terdengar suara gelak tawa menggelegar yang sangat 
dikenali Warok Gandu Pala. 
"Hua ha ha...! Sayang sekali, keinginanmu tak 
tercapai, Warok Keparat!" seru Pendekar Gila dari luar. 
Warok Gandu Pala tersentak kaget dengan mata terbe-
lalak. Sedang Ranukoya terjingkat dari duduknya den-
gan mata membeliak pula. 
"Pendekar Gila...!" pekik keduanya hampir ber-
samaan. 
"Dia masih hidup," desis Warok Gandu Pala. 
"Hi hi hi., ha ha ha...! Bukan hanya aku yang 
masih hidup, Gandu Pala. Warok Singo Lodra, Warok 
Sura Pati, dan Warok Sito Kuta, semua dalam keadaan 
selamat. Aha, keluarlah! Kedokmu telah terbongkar...!" 
seru Pendekar Gila. Suaranya menggema seperti ber-
putar-putar di sekitarnya. 
"Gandu Pala Keparat! Keluar kau...!" teriak Wa-
rok Singo Lodra geram tak sabar lagi ingin melabrak 
Warok Gandu Pala yang telah mengotori nama warok. 
Apalagi jika ingat kehamilan anaknya yang karena 
perbuatan Warok Gandu Pala, semakin marah Warok 
Singo Lodra. 
"Gandu Pala, keluar kau, Bajingan! Atau 
'Cambuk Braja Bayu'-ku akan menyapu hutan ini!" 
ancam Warok Sura Pati. Cambuk di tangan kanannya 
diputar dengan cepat ke udara, menimbulkan angin 
puting beliung membadai yang menjadikan dedaunan 
beterbangan. 
"Kau telah terkepung, Gandu Pala! Kami harap 
kau menyerah!" seru Warok Sito Kuta. Tangannya pun 
telah memutar 'Cambuk Braja India'-nya, yang menja-
dikan petir menggelegar disertai kilatan-kilatan cahaya 
perak. 
"Aha, apakah kau ingin dipanggang hidup-
hidup di dalam gubuk itu, Warok Murtad!" seru Pen-
dekar Gila. Tangannya memegang Suling Naga Sakti. 
Suling itu dimain-mainkan di tangan kirinya. Sedang-
kan tangan kanannya, menggaruk-garuk kepala. 
Rumah gubuk dari bilik, tempat Warok Gandu 
Pala berada memang telah terkepung dari empat pen-
juru. Pendekar Gila berada di belakang rumah dengan 
jarak sepuluh tombak Warok Singo Lodra di depan, se-
dangkan Warok Sura Pati dan Warok Sito Kuta mas-
ing-masing di samping rumah. 
Nampaknya tak ada lagi jalan bagi Warok Gan-
du Pala untuk dapat lari dari rumah itu. Semua arah 
telah dikepung keempat orang sakti yang telah siap 
dengan senjata masing-masing. 
"Gandu Pala, keluar kau!" Warok Sito Kuta 
kembali berseru. Namun nampaknya Warok Gandu Pa-
la tak menggubrisnya. Dirinya masih berada di dalam 
gubuk. "Gandu Pala, kalau kau tak segera keluar. Jan-
gan salahkan kalau kami menghancurkan gubuk ber-
sama tubuhmu!" 
Tak ada sahutan. Sehingga Ketiga Warok Sakti 
menjadi geram. Dengan cepat, mereka menghantam-
kan cambuk saktinya ke gubuk. 
Cletar! 
Cletar! 
"Akh...!" dari dalam gubuk terdengar jeritan se-
seorang. Gubuk pun seketika terbakar, kemudian ter-
sapu angin puting beliung setelah hancur menjadi de-
bu akibat hantaman 'Cambuk Braja Indra'. 
"Hua ha ha...! Apakah kalian kira mudah mem-
bunuhku?!" ejek suara Warok Gandu Pala yang belum 
tampak sosoknya. Hal itu membuat keempat orang 
yang mengepungnya tersentak. Mereka mengira kalau 
suara kematian tadi, terdengar dari mulut Warok Gan-
du Pala. Tetapi kini nampaknya Warok Gandu Pala 
masih hidup. 
"Dia masih hidup. Hm, di mana dia...?" gumam 
Warok Singo Lodra agak kaget, karena tak menyangka 
Warok Gandu Pala akan kebal terhadap hantaman ke-
tiga cambuk sakti mereka. 
"Hi hi hi...! Ilmu iblis? Aha, kiranya kau bukan 
manusia, Gandu Pala," gumam Pendekar Gila sambil 
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. 
Meski yang ada di hadapannya hanya asap hitam ber-
gulung, tetapi melalui bisikan batin yang diterima dari 
Naga Sakti, dirinya tahu kalau asap hitam itu merupa-
kan wujud Warok Gandu Pala. 
Ketiga Warok Sakti dengan cambuk saktinya, 
tersentak kaget mendengar ucapan Pendekar Gila. Me-
reka sama sekali tak tahu, kalau Warok Gandu Pala 
masih ada di tempat itu. Karena yang mereka lihat, 
hanyalah asap hitam bergulung bekas bakaran gubuk. 
"Aha, meski kau rubah wujudmu menjadi asap 
sekalipun, tetap saja percuma, Gandu Pala. Hi hi hi:..!" 
Pendekar Gila kembali tertawa cekikikan. "Kau me-
mang harus dimusnahkan, Gandu Pala. Hi hi hi...!" 
"Pendekar Gila, kuharap kau jangan ikut cam-
pur urusan ini, kalau kau tak ingin nyawamu kuca-
but!"  bentak Warok Gandu Pala mengancam, yang 
menjadikan Pendekar Gila semakin tertawa terbahak-
bahak. Menganggap ucapan Warok Gandu Pala sangat 
lucu. 
"Hua ha ha...! Lucu sekali ucapanmu, Gandu 
Pala! Kau bukanlah Hyang Widhi yang bisa menentu-
kan hidup dan matinya seseorang. Ah ah ah, lucu se-
kali...!" gumam Pendekar Gila sambil cengengesan 
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. 
Ketiga Warok Sakti hanya mampu bengong. Me-
reka benar-benar kaget, menyaksikan Warok Gandu 
Pala telah menghilang dan kini berubah menjadi asap 
hitam. 
"Bedebah! Kalian memang harus mati! Hea...!"  
Wsss! 
Asap hitam jelmaan Warok Gandu Pala bergu-
lung cepat laksana gasing, serta menebarkan bau bu-
suk bangkai yang menyengat. Asap itu semakin mem-
besar. Makin lama, semakin besar. Dari dalam asap hi-
tam  itu, keluar ribuan tangan-tangan menyeramkan 
yang menyerang keempat lawannya. 
Prak! 
"Akh...!" 
Warok Singo Lodra dan kedua orang rekannya 
tersentak kaget. Tubuh mereka terhuyung-huyung, 
terkena tamparan tangan-tangan menyeramkan yang 
keluar dari asap hitam  itu. Mata mereka membelalak 
lebar, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dari se-
la bibir mereka, meleleh darah. 
"Hi hi hi...! Kau semakin bertambah lucu, Gan-
du Pala! Hanya bocah cilik saja yang takut pada per-
mainan sihirmu! Hea...!" dengan jurus 'Gila Terbang 
Me-nyambar Mangsa' Pendekar Gila melesat menge-
lakkan serangan lawan. Kemudian sambil menukik 
tangannya menyodokkan Suling Naga Sakti ke bawah. 
Wrt! 
Wsss! 
Warok Gandu Pala segera mempercepat puta-
ran tubuhnya yang masih berbentuk asap hitam, be-
rusaha mengelakkan sodokan Suling Naga Sakti. Teta-
pi suling itu tiba-tiba bagaikan hidup. Suling Naga 
Sakti memanjang lalu meliuk-liuk dengan kepala naga 
besar yang terus memburu lawan. 
Crak! 
Bret! 
Suara keras disertai percikan cahaya terdengar, 
ketika kepala Naga Sakti menghantam sesuatu dalam 
gulungan asap hitam. Saat itu pula, sesosok tubuh 
mencelat keluar dari gulungan asap hitam. Tubuh itu 
langsung menempel di pohon, lalu bergerak naik den-
gan punggungnya. Melihat kejadian itu ketiga warok 
terbelalak keheranan bercampur kagum. 
"Pendekar Gila, kau memang hebat! Tapi aku 
belum kalah! Tunggulah pembalasanku!" ancam Warok 
Gandu Pala sambil terus merayap naik ke atas dengan 
punggungnya. Kemudian sampai di atas, Warok Gandu 
Pala hendak melesat pergi, tapi Warok Singo Lodra se-
cepat kilat bersama kedua rekannya melecutkan cam-
buk mereka ke tubuh Warok Gandu Pala yang me-
layang. 
Jlegar! 
Jlegar! 
"Akh...!" Warok Gandu Pala terpekik keras keti-
ka tiga cambuk sakti menghantam tubuhnya yang ten-
gah melayang. Sekejap saja tubuh Warok Gandu Pala 
terbanting di tanah dan hancur berantakan. Ketiga 
Warok Bercambuk Sakti tersenyum, melihat tubuh 
Warok Gandu Pala hancur berantakan. Namun tiba-
tiba mereka tersentak dengan mata terbelalak, ketika 
tubuh Warok Gandu Pala yang hancur tiba-tiba berge-
rak berkumpul satu sama lainnya. Lalu sempalan-
sempal-an tubuh itu, kembali membentuk wujud Wa-
rok Gandu Pala. 
"Hua ha ha...! Warok Gandu Pala tak akan ma-
ti! Hua ha ha...!" seru Warok Gandu Pala sambil me-
lompat bangun. Kemudian bergerak menyerang dengan 
pukulan ke arah tiga warok yang tadi menyerangnya. 
"Hea...!" 
Wusss! 
Ketiga Warok Bercambuk Sakti yang tak men-
duga akan mendapat serangan begitu cepat, tersentak 
kaget. Selarik sinar ungu yang keluar dari telapak tan-
gan Warok Gandu Pala, melesat begitu cepat, 
"Celaka!" pekik Warok Singo Lodra dengan mata 
membelalak tegang, menyaksikan sinar ungu melun-
cur cepat memburu mereka. "Awas...! Hea...!" 
Ketiganya segera bersalto ke samping, sedang-
kan Warok Singo Lodra melompat ke atas.  
Jlegar! 
Tanah yang terhantam sinar ungu, hancur dan 
berhamburan ke atas. Pepohonan tumbang, bahkan 
hampir saja menjatuhi tubuh ketiga warok itu. 
Melihat ketiga lawannya dapat lolos dari seran-
gannya, Warok Gandu Pala semakin beringas. Dirinya 
kembali menyerang dengan ajian 'Seketi Iblis Neraka'. 
Sinar ungu terus melesat menggempur Tiga Warok 
Bercambuk Sakti, yang kewalahan menghindar ke sa-
na kemari. 
"Mampus kalian! Hea...!" 
Wusss! 
Jlegar! 
"Hua ha ha...! Lucu sekali...! Ah ah ah, permai-
nan anak-anak kau tunjukan, Gandu Pala! Hi hi hi...! 
Permainan kentut busuk!" ejek Pendekar Gila sambil 
menunggingkan pantatnya, menggoda  Warok Gandu 
Pala. Kemudian dari mulutnya terdengar suara kentut, 
"Brut..! Hua ha ha!" 
Melihat tingkah laku konyol Pendekar Gila, hi-
langlah kesabaran Warok Gandu Pala. Meskipun di-
rinya tahu siapa sebenarnya tokoh muda yang gila itu. 
Namun kemarahan yang memuncak telah membuat-
nya mata gelap. Dengan menggeram keras, Warok 
Gandu Pala menghantamkan ajiannya menyerang 
Pendekar Gila yang masih nungging meledeknya. 
"Mampuslah kau, Pendekar Gila! Hea...!" 
Wusss! 
"He he he...!" sambil terkekeh, Pendekar Gila 
segera berdiri dan langsung mengerahkan pukulan te-
naga dalamnya dengan ajian 'Inti Bayu'. Seketika sela-
rik sinar ungu, yang melesat memburunya, dihadang 
angin kencang membadai  dari pukulan 'Inti Bayu'. 
Namun Pendekar Gila tersentak kaget, ketika pukulan 
'Inti Bayu'-nya ternyata tak mampu mengatasi sinar 
biru dari Warok Gandu Pala. 
"Eit! Celaka...!" dengan cepat Pendekar Gila 
bersalto ke samping kanan mengelakkan serangan itu. 
Sehingga... 
Glarrr...! 
Brakkk...! 
Ledakan keras menggelegar terdengar meme-
kakkan telinga, ketika beberapa batang pohon besar 
terhantam sinar biru itu. Pohon-pohon itu tumbang 
dan hangus bagai terbakar. 
Suasana Hutan Palapiring di pagi buta itu men-
jadi riuh. Keadaan morat-marit karena beberapa pohon 
hancur dan bertumbangan. Binatang-binatang liar 
penghuni hutan itu berlarian karena ketakutan. 
"Hi hi hi...! Belum, Gandu Pala. Aku belum ma-
ti," ledek Pendekar Gila dengan cengengesan sambil 
tangannya menggaruk-garuk kepala. Tentu saja Warok 
Gandu Pala bertambah marah bukan kepalang. 
"Cuih! Kali ini kau harus mati! Hea...!" 
"Hi hi hi!" sambil tertawa cekikikan, Pendekar 
Gila segera memasang kuda-kuda yang kokoh. Kemu-
dian dengan cepat ditiupnya Suling Naga Sakti, lalu 
dihadapkan kepala Naga Sakti dengan sinar ungu yang 
melesat ke tubuhnya. Dari tiupan yang melengking itu, 
keluarlah sinar merah membara yang besar dari mulut 
Naga Sakti. Sinar merah itu langsung menerjang sinar 
ungu yang dilancarkan Warok Gandu Pala. 
Wusss! 
Srt! 
Sinar merah yang keluar dari mulut Naga Sakti, 
terus mendorong sinar ungu. Menggiring sinar ungu 
balik ke asalnya. Hal itu membuat Warok Gandu Pala 
terbelalak kaget. 
"Celaka!" pekik Warok Gandu Pala. Kemudian 
dengan cepat tubuhnya melompat ke samping menge-
lakkan serangan balik itu. Namun bersamaan dengan 
itu, Tiga Warok Bercambuk Sakti menghantamkan 
cambuk secara bergantian. 
Jlegar! Jlegarrr...! 
"Akh...!" Warok Gandu Pala memekik. Tubuh-
nya hancur lebur menjadi debu. Namun keanehan 
kembali terjadi. Debu itu tiba-tiba menyatu, lalu mem-
bentuk sosok tubuh manusia. 
"Heh?!" sentak Warok Singo Lodra dengan mata 
terbelalak 
"Hah?!" 
"Ilmu Iblis! Kita hajar lagi!" ajak Warok Sito Ku-
ta sambil menghantamkan cambuknya ke tubuh Wa-
rok Gandu Pala yang hendak membentuk lagi, diikuti 
oleh kedua rekannya. 
Wrt! Wrertt! 
Jlegar! 
Berkali-kali Tiga Warok Bercambuk Sakti 
menghantamkan cambuk. Beberapa kali pula tubuh 
Warok Gandu Pala hancur menjadi debu. Namun kem-
bali utuh seperti sedia kala. Sampai akhirnya, Ketiga 
Warok Sakti itu kelelahan karena tenaga dalam mereka 
terkuras habis. 
"Hua ha ha...! Tak akan mungkin kalian mam-
pu membunuhku! Hua ha ha...!" ujar Warok Gandu 
Pala sambil tertawa terbahak-bahak. 
"Hi hi hi...! Ha ha ha...!" Pendekar Gila turut 
tertawa terbahak-bahak  sambil menggaruk-garuk ke-
pala, "Lucu sekali...! Kau memang pintar melucu, Gan-
du Pala. Hi hi hi...!" 
"Kurang ajar...! Kubunuh kau, Pendekar Gila! 
Hea...!" dengan penuh amarah, Warok Gandu Pala me-
nyerang Pendekar Gila. Dibiarkannya Tiga Warok Ber-
cambuk Sakti yang kehabisan tenaga setelah berkali-
kali menyerangnya. Tujuannya kini menghabisi Pende-
kar Gila, karena jika tokoh ini masih hidup, dirinya 
akan sulit untuk membunuh Tiga Warok Bercambuk 
Sakti. Tetapi jika Pendekar Gila sudah dapat dibinasa-
kan, maka untuk membunuh ketiga warok tua itu ba-
gaikan membalik telapak tangan belaka. 
Dengan ajian 'Kapila Putung' tubuh Warok 
Gandu Pala melesat laksana terbang. Tangannya seba-
tas siku, membara merah. Wajahnya pun memerah 
bagaikan terbakar api. Sehingga di tengah gelapnya 
malam menjelang subuh itu tubuh Warok Gandu Pala 
tampak seperti gumpalan bara api melayang di udara. 
Melihat lawan telah mengeluarkan ajian pe-
mungkasnya, Pendekar Gila tak tinggal diam. Menggu-
nakan Suling Naga Sakti yang dipadukan dengan jurus 
pamungkas 'Tamparan Sukma'. Tubuhnya melesat ke 
atas memapaki serangan lawan. Ditiupnya Suling Naga 
Sakti dengan suara melengking. Kemudian ketika tu-
buhnya telah berada dekat dengan Warok Gandu Pala, 
dengan cepat Pendekar Gila melakukan sebuah tampa-
ran pelan. 
"Hea!" 
"Yea!" 
"Jlegar!" 
"Akh...!" lolongan panjang terdengar dari mulut 
Warok Gandu Pala. Tubuhnya terpecah menjadi dua, 
bagaikan dibelah golok tajam. 
Melihat tubuh Warok Gandu Pala melayang ke 
bawah, dengan cepat Pendekar Gila melesat mengejar. 
Tangannya  segera menangkap belahan tubuh Warok 
Gandu Pala yang sebelah kiri, sedangkan yang sebelah 
kanan dibiarkan jatuh ke tanah. 
"Ki Singo, cepat kalian kubur belahan itu! Yang 
ini biar kubawa!" seru Pendekar Gila sambil menye-
lipkan Suling Naga Sakti ke ikat pinggangnya. 
Tiga Warok Bercambuk Sakti yang belum pulih 
benar kekuatan tubuh mereka, tidak segera beranjak 
melakukan perintah itu. Mereka seperti belum menger-
ti maksud Pendekar Gila. 
"Aha, masihkah kalian belum sadar, kalau dia 
memiliki ajian 'Panca Sena'? Ajian yang dimiliki Rah-
wana, jika tubuhnya menyentuh tanah, akan hidup la-
gi," ujar Pendekar Gila yang memahami kebingungan 
mereka bertiga. Tangan terus memegangi bagian tubuh 
Warok Gandu Pala sebelah kiri. 
Ketiga Warok Bercambuk Sakti membelalakkan 
mata. Kemudian tanpa diperintah lagi, Warok Sito Ku-
ta melecutkan cambuknya ke tanah. Seketika itu, lu-
bang besar terbentuk dari hantaman cambuk itu. Ke-
mudian ketiga warok itu dengan cepat memendam ba-
gian tubuh Warok Gandu Pala. 
"Aha, kurasa aku pun harus segera membuang 
bangkai ini ke laut, Ki. Semoga Desa Ponorogo menjadi 
tenang dan damai. Pilihlah kepala desa yang baik!" 
usai berkata begitu Pendekar Gila melesat meninggal-
kan Ketiga Warok Bercambuk Sakti. Ketiganya diam 
mematung menyaksikan kepergian Pendekar Gila. 
"Pendekar Gila, tunggu...!" Sekati yang sejak 
tadi bersembunyi, berusaha mengejar. Namun Pende-
kar Gila telah melesat cepat meninggalkannya. "Sebe-
narnya, aku ingin minta maaf padanya, Ayah," 
"Sudahlah, Anakku. Bagaimanapun kita me-
mang harus bersyukur karena semuanya telah berak-
hir. Biarlah bayi yang kau kandung itu tumbuh. Kelak 
dia jika lahir, didiklah dengan baik! Kalau mungkin, 
biarlah Pendekar Gila yang mendidiknya," tutur Warok 
Singo Lodra. 
"Ayah...!" Sekati menangis sambil memeluk tu-
buh ayahnya. 
Pagi telah datang. Sinar matahari menerobos di 
balik rimbun pepohonan. Tiga Warok Bercambuk Sakti 
dan Sekati melangkah meninggalkan Hutan Palapiring. 
Mereka menuju utara, kembali ke Desa Ponorogo. 
SELESAI 
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa