Pendekar Gila 14 - Misteri Gadis Bisu(1)



MISTERI GADIS BISU 
Oleh Firman Raharja
Pagi telah hadir bersama munculnya sang Men-
tari dari peraduannya, menyinari jagat raya. Angin pagi 
bertiup dengan lembut, menambah suasana pagi tera-
sa sejuk. Burung-burung berkicau riang, turut me-
nikmati kehangatan mentari. 
Desa Kembang Tebu yang terletak di sebelah 
utara Gunung Kapuran telah ramai. Terlebih di Pasar 
Gembreng, para pedagang telah memenuhi lingkungan 
pasar yang hanya dibatasi pagar bambu. Riuh suasana 
pasar dari suara tawar-menawar antara para pembeli 
dan penjual. 
Di tengah keramaian orang di Pasar Gembreng, 
nampak seorang gadis berusia sekitar lima belas tahun 
melangkah agak sempoyongan. Badannya sedikit 
membungkuk. Tubuhnya kotor berdebu. Pakaian biru 
kehitaman yang melekat di tubuhnya kumal dan com-
pang-camping. Begitu pula dengan rambutnya yang 
kemerahan tampak kusut masai. 
"Uhk uhk uhk...!" gadis itu mengeluarkan suara 
seperti batuk. 
Orang-orang di pasar seketika menepi, saat ga-
dis berbadan bungkuk dengan keadaan menyedihkan 
itu lewat. Bau tubuhnya yang menyengat itu membuat 
orang-orang langsung menepi. Mereka seolah tak ingin 
tersentuh tubuh gadis itu. 
"Uhk uhk uhk...!" 
Gadis yang tampak seperti gelandangan itu ter-
nyata bisu. Barulangkali mulutnya mengeluarkan sua-
ra batuk yang terdengar kering. Tangannya dijulurkan 
meminta belas kasihan. Ada juga orang yang memberi, 
tapi kebanyakan mendengus penuh kebencian. Bah-
kan terkadang ada yang mencaci-maki. 
Gadis itu tak menghiraukan semua cacimaki 
dan kebencian orang. Kakinya terus melangkah tersa-
ruk-saruk. Setiap bertemu dengan orang, tangannya 
dijulurkan meminta belas kasihan.  
"Uhk uhk uhk...!" 
"Kasihan," gumam seorang pemuda berpakaian 
rompi kulit ular berambut gondrong yang tingkah la-
kunya seperti orang gila. Tangannya menggaruk-garuk 
kepala. Wajahnya tampak muram, merasa iba me-
nyaksikan gadis seusia itu telah menjadi gelandangan. 
Pemuda tampan bertingkah laku seperti orang tolol 
yang ternyata Pendekar Gila itu menghampiri gadis bi-
su yang tengah menjulurkan tangan pada seorang wa-
nita yang dilihat dari dandanannya tentu orang kaya. 
"Uhk uhk uhk...!" gadis itu mengeluarkan batuk 
sambil mengulurkan tangannya di depan wanita beru-
sia sekitar empat puluh tahun dengan dandanan yang 
penuh gemerlapan permata. 
"Apa...?!" bentak wanita itu melotot. "Muak se-
kali aku melihatmu!" 
Wanita setengah baya yang rambutnya disasak 
konde dan mengenakan baju hijau itu hendak melang-
kah pergi. Namun gadis bisu itu seketika menghadang 
di hadapannya.  
"Uhk uhk uhk...!"  
Gadis bisu itu kembali mengulurkan tangan, 
mengharap wanita setengah baya yang berwajah ga-
rang itu mau memberinya sedikit uang. 
"Bocah tak tahu diri! Cuh...!" wanita setengah 
baya yang wajahnya nampak judes itu menyemburkan 
ludah ke wajah si gadis. 
"Uhhh...!" gadis bisu itu mengeluh panjang. 
Pendekar Gila yang melihatnya merasa iba. Sementara 
gadis itu segera menyeka ludah bekas semburan wani-
ta setengah baya yang telah berlalu pergi meninggal-
kannya. 
"Dik, sudahlah. Jangan kau terus memaksa 
orang yang tak mau memberi padamu. Ini untukmu," 
Sena segera mengeluarkan tiga keping uang emas pada 
gadis bisu itu. 
"Uhk uhk uhk...!" gadis bisu itu menatap Pen-
dekar Gila sambil menggerak-gerakkan tangannya ke 
kiri dan kanan. Sepertinya berusaha menolak uang 
pemberian Sena. Kemudian  kepalanya mengangguk-
angguk, seakan mengucapkan terima kasih. Lalu gadis 
itu dengan tak acuh berlalu meninggalkan Pendekar 
Gila dan pemberiannya.  
"Hi hi hi...! Lucu sekali gadis kecil itu," gumam 
Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Wajahnya 
nyengir dengan tangan kiri menimang-nimang uang 
yang ditolak gadis bisu itu. 
Pendekar Gila benar-benar tak mengerti melihat 
tingkah laku gadis bisu itu. Dia meminta-minta pada 
semua orang yang berpapasan dengannya. Bahkan 
sampai diludahi, tapi setelah diberi malah menolak. 
"Hm! Aneh...!" kembali Sena menggumam. 
"Aneh sekali gadis itu. Hei, tunggu...!" Kini Sena benar-
benar seperti orang gila. Sambil tertawa cekikikan ka-
kinya melompat-lompat mengejar gadis bisu yang ber-
lalu dari hadapannya. Namun, dalam sekejap saja, ga-
dis bisu itu telah menghilang di tengah-tengah kera-
maian orang. 
"Hi hi hi...! Lucu sekali. Benar-benar bocah 
edan. Eh! Hi hi hi.... Bukankah aku juga gila? Hua ha 
ha...!" Sena tertawa-tawa membuat semua orang di pa-
sar itu memperhatikannya. Sena segera meninggalkan 
pasar. Tubuhnya melesat melompat-lompat dengan 
tangan menggaruk-garuk kepala. 
"Bocah edan...!" gumam salah seorang yang me-
lihatnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. 
"Tumben, hari ini di pasar ada dua bocah aneh. 
Yang satu bisu, yang lain gila..,!" sambut lelaki berusia 
sekitar lima puluh lima tahun. Tubuhnya pendek ku-
rus dengan kumis panjang menghias atas bibirnya. 
Namun wajahnya menggambarkan ketenangan dan ke-
sabaran. "Pertanda apakah kemunculan bocah-bocah 
aneh itu?" 
Usai bergumam lirih sambil menggeleng-
gelengkan kepala, lelaki bertubuh pendek yang berna-
ma Ki Wulung itu menghela napas panjang. Lelaki tua 
itu termasuk orang bijak dan adil di Desa Kembang 
Tebu. 
Namun Ki Wulung tampaknya tidak dihiraukan 
orang-orang di desanya. Semua orang menjauhi  di-
rinya, menganggap bahwa Ki Wulung orang tak waras. 
Dahulu Ki Wulung datang bersama istrinya, ke-
tika akan terjadi pembakaran terhadap keluarga Gagar 
Blarak. Sebetulnya dia orang suruhan seseorang untuk 
mengawasi Desa Kembang Tebu. Tingkah lakunya 
yang seperti orang aneh itu, membuat penduduk Desa 
Kembang Tebu menjauhi dan mengasingkan mereka. 
Meski belum tahu siapa kedua bocah aneh itu, Ki Wu-
lung merasakan ada sesuatu di dalam diri kedua bo-
cah aneh itu. 
"Pemuda gila itu, kurasa bukan orang semba-
rangan. Tubuhnya kekar berisi. Jelas dia pernah men-
jalani gemblengan berat dan latihan-latihan yang cu-
kup lama. Kurasa dia bukan pemuda gila biasa," gu-
mam Ki Wulung sambil melangkah meninggalkan pa-
sar. 
Ki Wulung yang telah banyak makan asam ga-
ram kehidupan, nampaknya tak mau begitu saja 
membuang pikiran mengenai kedua bocah yang baru 
saja dilihatnya. Bocah yang aneh, dengan tingkah laku 
yang aneh pula. Satu bertingkah laku seperti orang gi-
la sedangkan satunya lagi bertingkah laku seperti 
gembel.  
Gadis itu..., mungkinkah dia benar-benar bisu. 
Tapi. Tanyanya dalam hati. Mungkin dia memang bisu. 
Tapi, tampaknya dia bukan gadis sembarangan pula. 
Buktinya dalam sekejap saja, telah menghilang. Ah, 
pertanda apakah kemunculan kedua bocah aneh itu? 
Tiada henti Ki Wulung bertanya-tanya dalam 
hati. Kakinya melangkah semakin cepat menuju ru-
mahnya yang berada di sebelah timur Pasar Gembreng. 
Meski tubuhnya kurus dan pendek, dibebani belanjaan 
yang banyak, Ki Wulung melangkah begitu ringan. Hal 
itu menunjukkan kalau lelaki berusia lima puluh lima 
tahun itu bukan orang biasa. Setidaknya dia memiliki 
ilmu silat yang tidak bisa dianggap remeh. Itu jelas ter-
lihat dari gerakan langkahnya, tampak ringan meski-
pun beban berat belanjaan bergayut di tubuhnya.  
"Coba nanti aku lihat di kitab primbon. Siapa 
tahu primbonku ada terdapat dua bocah aneh itu!" 
Gumam Ki Wulung dalam hati sambil terus melangkah 
menuju rumahnya. Pikirannya terus membayangkan 
kedua bocah aneh yang sempat dilihatnya di pasar. 
Ki Wulung semakin mempercepat langkahnya. 
Hatinya berharap ingin cepat sampai di rumah dan se-
gera melihat kitab primbon untuk mengetahui siapa 
kedua bocah itu dan pertanda apa kedatangan ke-
duanya di Desa Kembang Tebu. 
*** 
Sebuah rumah kecil dari bilik bambu yang ter-
lihat di tengah kebun jagung dan singkong itulah ru-
mah Ki Wulung. Kebun jagung itu berada di sebelah 
timur Desa Kembang Tebu. Di situ tidak ada rumah 
lain kecuali rumah Ki Wulung. 
Di tengah-tengah kebun singkong dan jagung, 
terbentang jalan menuju pintu rumah bilik milik Ki 
Wulung. 
"Nyi!  Nyi...!" seru Ki Wulung ketika sampai di 
depan pintu rumahnya. Belanjaan yang sejak tadi 
membebani pundaknya diturunkannya. 
Dari dalam rumah kecil itu, muncul seorang 
wanita berusia sebaya dengan Ki Wulung. Pakaiannya 
abu-abu dengan rambut digelung kecil ke atas. Wanita 
tua itu tak lain istri Ki Wulung. Sosoknya lebih tinggi 
dibandingkan dengan suaminya. 
"Ada apa sih, Ki? Teriak-teriak kayak anak kecil 
saja?" sungut Nyi Wulung yang merasa terganggu den-
gan seruan suaminya. "Sampai-sampai aku kaget!" 
"Lho, lho...! Suami capek, bukannya mengambil 
minum malah ngedumel. Tak baik lho, Nyi...," canda Ki 
Wulung. 
"Iya iya, aku tahu. Mau teh atau kopi...?" tanya 
Nyi Wulung. 
Ki Wulung tersenyum menggoda. 
"Kalau boleh, kopi dengan jagung bakar," pinta 
Ki Wulung. 
"Huh,  enaknya," wajah Nyi Wulung cemberut. 
Ki Wulung nyengir. 
Nyi Wulung berlalu meninggalkan suaminya 
yang kini duduk di dipan bambu di emperan rumah bi-
lik itu sambil mengipas-ngipas tubuhnya dengan kain 
ikat mirip blangkon yang tadi menutupi kepalanya. 
"Huh, capek sekali," gumam Ki Wulung masih 
mengipasi tubuhnya. Matanya memandangi pohon ja-
gung dan singkong yang memenuhi sekeliling rumah-
nya. Pohon-pohon jagung telah berbuah. Dan tampak-
nya tak lama lagi sudah dapat dipetik. Begitu juga po-
hon singkong. Sebentar  lagi dapat dicabut untuk di-
ambil hasilnya. 
"Ah, lumayan juga hasilnya," gumam Ki Wu-
lung, berbicara pada diri sendiri. 
Dari dalam muncul Nyi Wulung membawa se-
cangkir kopi dan piring yang berisi lima bonggol jagung 
bakar. 
"Hm, sedap...!" gumam Ki Wulung menggoda 
sambil mengendus-endus, mencium aroma jagung ba-
kar dan kopi pahit yang disuguhkan istrinya. 
"Huh, tua bangka masih kayak anak kecil! Su-
dah, aku sedang memasak. Apa saja yang kau beli, 
Ki?" tanya Nyi Wulung sambil membuka bungkusan 
daun pisang yang tadi dibawa suaminya. 
"Lihat saja sendiri!" jawab Ki Wulung sambil 
menyeruput kopi pahitnya. Kemudian diambilnya se-
bonggol jagung bakar yang masih panas, lalu ditiup-
nya. 
"Aku masak dulu, Ki."  
"Eh, tunggu, Nyi." 
"Ada apa lagi?" tanya Nyi Wulung dengan ken-
ing  berkerut, sambil menghentikan langkahnya dan 
memandang suaminya. 
"Tolong ambilkan primbon."    
"Untuk apa, Ki? Tidak bosan-bosannya kau 
dengan primbon kuno itu. Apa kau tak jemu dianggap 
orang tak waras? Yang kerjanya hanya membuka-buka 
primbon, kemudian bertutur yang bukan-bukan...!" 
omel Nyi Wulung. 
Kedua orang tua itu memang dikucilkan dari 
pergaulan, karena keduanya dianggap sudah tak waras 
lagi. Hal itu disebabkan Ki Wulung senantiasa berpe-
doman dan percaya pada kitab primbonnya. 
"Alaaah...! Bukankah ramalan primbonku ba-
nyak yang benar? Kau ingat akan apa yang terjadi lima 
tahun lalu, ketika Gagar Blarak dan anak-istrinya di-
bakar?" tanya Ki Wulung. 
"Ya!" sahut Nyi Wulung masih! kurang senang. 
"Nah, siapa yang pertama kali tahu? Bukankah 
aku? Dulu kau tak percaya dan mengatakan kalau Ga-
gar Blarak orang baik-baik. Kau baru percaya setelah 
pembakaran hidup-hidup itu, bukan?" 
"Iya, iya...," sungut Nyi Wulung. 
"Ambilkan ya, Nyi!" 
"Untuk apa lagi...?" tanya Nyi Wulung masih 
merungut tak senang. "Apakah kau tak  bosan-
bosannya dikucilkan orang banyak?" 
"Pokoknya ada. Persetan dengan mereka yang 
mengucilkan aku. Yang pasti, aku tak pernah berbuat 
jahat pada mereka. Aku hanya ingin membantu mere-
ka. Mengenai bagaimana tanggapan mereka terhadap 
diriku, itu urusan mereka," kilah Ki Wulung. 
Nyi Wulung dengan merengut berlalu mening-
galkan suaminya yang tengah menikmati kopi pahit 
dan jagung bakar sambil memandangi kebun jagung 
dan singkongnya yang nampak subur. Dan kelihatan-
nya akan menghasilkan buah yang banyak.  
Tidak lama berselang, Nyi Wulung telah kemba-
li muncul membawa kitab primbon yang diminta sua-
minya. 
"Nih...!"  
Nyi Wulung hendak berlalu pergi, namun sua-
minya dengan cepat menahannya. "Tunggu, Nyi!"  
"Apa lagi...?" 
"Duduklah dulu!" ajak Ki Wulung sambil meng-
geser duduknya ke samping kiri. 
Dengan wajah merengut tak senang, karena 
suaminya selalu mengotak-atik dan membuka lembar 
demi lembar kitab primbon, akhirnya Nyi Wulung pun 
menurut duduk. Sedangkan suaminya kini membuka 
lembar demi lembar kitab tebal terbuat dari daun lon-
tar. Kitab itu berisi coretan-coretan mengenai berbagai 
macam ramalam. 
"Tadi di pasar aku melihat dua anak muda 
aneh, Nyi," tutur Ki Wulung. 
Nyi Wulung tak menyahut 
"Kau tahu, mengapa aku mengatakan kedua-
nya aneh?" tanya Ki Wulung melanjutkan ceritanya. 
"Mana aku tahu?" sahut Nyi Wulung sengit, 
merasa ucapannya tak pernah digubris suaminya. Du-
duknya pun kini tak menghadap ke arah suaminya, 
melainkan memandang lepas ke depan tanpa tujuan. 
"Nah, dengar ceritaku!" ujar Ki Wulung berusa-
ha membuat istrinya tersenyum. Namun Nyi Wulung 
tak juga tersenyum, malah mencibirkan bibir. Hal itu 
membuat Ki Wulung cengengesan, lalu melanjutkan 
ceritanya. 
"Kedua bocah itu aneh. Satu seperti pemuda gi-
la, tapi pakaiannya terbuat dari kulit ular tanpa len-
gan. Wajahnya tampan, dan bersih. Rambutnya gon-
drong bergelombang diikat kulit ular...." 
Ki Wulung membuka lagi lembaran buku prim-
bonnya. Diminumnya kopi, kemudian dia meneruskan 
ucapannya. 
"Di primbon ini, dikatakan kalau pemuda se-
perti itu adalah pemuda digdaya. Tentunya dia seorang 
pendekar. Lalu, satu lagi seorang gadis berusia sekitar 
lima belas tahun. Tubuhnya agak bungkuk, pakaian-
nya compang-camping berwarna biru kehitaman-
hitaman. Dia bisu, namun dari tindak-tanduknya, dia 
bukan gadis biasa. Nah, bagaimana pendapatmu, 
Nyi...?" tanya Ki Wulung meminta pendapat istrinya. 
"Huh, untuk apa aku berpendapat?" balik Nyi 
Wulung. 
"Lho, siapa tahu pendapatmu benar, Nyi?" 
"Kurasa mereka akan membuat bencana saja. 
Huh!" 
"Kurasa tidak, Nyi," bantah Ki Wulung seraya 
menggerak-gerakkan tangan kanannya. 
"Alaaah, sok tahu! Jelas mereka pura-pura gila 
dan tak saling kenal. Pasti ada maksud-maksud ter-
tentu yang hendak membuat onar desa ini," dengus 
Nyi Wulung. 
Ki Wulung sesaat terdiam. Sepertinya dia ber-
pikir dengan pendapat yang dikatakan istrinya. 
"Ah, tidak! Dalam kitab primbon ini dikatakan 
kalau keduanya hendak bertujuan baik," tukas Ki Wu-
lung berapi-api, menentang pendapat istrinya yang 
berlawanan dengan pendapatnya. 
"Dari mana kau tahu mereka baik?"  
"Dari primbon." 
"Huh! Mana buktinya...?"     
Nyi Wulung merebut kitab primbon yang ada di 
tangan suaminya dan berusaha melihat tulisan atau 
gambaran pada primbon itu mengenai kedua anak 
muda aneh yang dikatakan suaminya. 
"Mana...!"  
Nyi Wulung melemparkan kitab primbon itu ke 
arah suaminya.   
"Lho, kamu tak melihat, Nyi?" 
"Melihat apa? Hanya tulisan dan gambar-
gambar begini?" rungut Nyi Wulung. 
"Nah, itu buktinya." 
"Bukti apa?" 
"Bukti mereka bertujuan baik. Mereka akan 
menolong kita, Nyi." 
"Sontoloyo! Mana ada orang asing menolong ki-
ta, Aki Peot?! Aku pikir mereka malah bertujuan me-
nyengsarakan kita!" bantah Nyi Wulung tak mau ka-
lah. 
"Tidak juga, Nyi. Jelas mereka orang baik-baik. 
Sayang, istri Soma menanggapinya kurang enak...," 
gumam Ki Wulung dengan wajah tiba-tiba berubah 
murung,  menjadikan Nyi Wulung mengerutkan ke-
ningnya. 
"Memangnya kenapa dengan istri Soma, Ki?" 
tanya Nyi Wulung tak mengerti. 
"Hhh.... Dia meludahi si gadis," gumam Ki Wu-
lung setengah mendesah. 
"Lho, bukankah Nyi Writampi orang baik? Ba-
gaimana mungkin dia berbuat kasar begitu...?" bantah 
Nyi Wulung. 
"Itu yang tak ku mengerti," gumam Ki Wulung 
dengan wajah masih menggambarkan kemurungan. 
Lelaki tua itu merasa sedih ketika melihat gadis bisu 
itu diludahi Nyi Writampi yang dianggapnya baik dan 
memang sehari-hari selalu baik terhadap siapa pun. 
"Atau mungkin kebaikan Nyi Writampi kalau 
berada di depan kakaknya saja, Ki?" tanya Nyi Wulung. 
Yang dimaksud olehnya tiada lain Ki Legok Menggo, 
Kepala Desa Kembang Tebu. 
"Entahlah, Nyi. Sungguh tak kusangka, kalau 
Nyi Writampi tega melakukan hal itu. Mungkin dia se-
dang marah," gumam Ki Wulung disertai helaan napas 
panjang. "Ah, sudahlah! Perutku lapar sekali. Lagi pu-
la, masih banyak yang harus kukerjakan. Sebentar la-
gi, jagung dan singkong itu panen, Nyi." 
"Ya! Tentunya kita akan mendapat uang yang 
cukup lumayan, Ki." 
"Ya ya ya.... Sayang, kita belum punya anak," 
keluh Ki Wulung membuat istrinya merengut dan ber-
lalu meninggalkan suaminya. 
Ki Wulung hanya menggeleng-gelengkan kepala 
perlahan, dengan mata masih menyapu ke kebunnya. 
Dilihatnya singkong dan jagung yang tumbuh subur 
mengelilingi pekarangan rumah gubuknya. 
Waktu bergulir cepat, seirama dengan perputa-
ran bumi. Tak terasa, pagi terus merayap, lalu menghi-
lang dan berganti malam. Terik mentari yang siang tadi 
begitu menyengat, berganti tiupan-angin malam yang 
sejuk dan menyentuh perasaan syahdu. 
"Kuk, kuk, kuuuk...!" 
Suara burung hantu terdengar pilu, seakan me-
ratapi kegelapan malam yang semakin sepi dan men-
cekam. Gesekan daun bambu yang tertiup angin terasa 
mengiris hati. 
Tepat tengah malam, terlihat sesosok tubuh 
berkelebat cepat dari satu rumah ke rumah lain. Gera-
kannya begitu cepat dan ringan, hingga tak menimbul-
kan suara sedikit pun. Sosok tubuh itu berhenti. Ke-
mudian cepat menyelinap ke balik sebatang pohon be-
sar di pinggir jalan, ketika terlihat dua orang lelaki ber-
tubuh tinggi tegap berjalan ke arahnya sambil berca-
kap-cakap. Mereka adalah dua orang pengawal Ki Le-
gok Menggo, Kepala Desa Kembang Tebu. 
"Panas sekali malam ini, Kakang Badri," ujar 
salah seorang. 
"Benar! Tidak seperti biasanya," sahut orang 
yang bernama Badri. "Sebaiknya kita beristirahat saja 
dulu di bawah pohon itu, Adi Sardi!" 
Orang yang dipanggil Sardi melirik pohon di 
pinggir jalan yang ditunjuk Badri. Kemudian, kepa-
lanya terangguk. Tampaknya, dia menyetujui ajakan 
itu. Mereka terus melangkah mendekati pohon yang 
cukup besar, berdaun lebat dan rimbun sekali. Tapi 
sedikit pun tak terlihat adanya gerakan pada daun-
daun pohon itu. Memang, angin pun rasanya tak ber-
hembus malam itu.  
"Uh...!"  
Sardi mengeluh pendek begitu duduk di atas 
akar yang menyembul keluar dari dalam tanah. 
"Ada apa kau ini, Sardi?" tegur Badri. 
"Aku merasa tak enak malam ini, Kang," sahut 
Sardi seraya mendesah pendek. 
"Ada yang kau pikirkan?" 
"Entahlah...," desah Sardi. 
Kening Badri berkerut melihat Sardi tampak 
begitu gelisah. Duduknya pun tak tenang, seperti be-
rada di atas bara api yang setiap saat bisa membakar 
sampai jadi arang. Mereka terdiam, tak bicara lagi se-
dikit pun. Perlahan Sardi bangkit berdiri sambil meng-
hembuskan napas panjang. Badri ikut berdiri, dan te-
rus memandanginya dengan kelopak mata agak me-
nyipit. 
"Ayo, kita pulang saja, Kakang! Perasaanku se-
makin tak karuan malam ini," ajak Sardi. 
"Baiklah," sahut Badri. 
Tapi baru saja mereka akan melangkah me-
ninggalkan pohon di pinggir jalan itu, mendadak....  
Slap! 
"Heh?!"  
"Hah...?!" 
Kedua orang pengawal kepala desa itu tersen-
tak kaget ketika tiba-tiba saja berkelebat sesosok 
bayangan dari balik pohon. Begitu cepatnya kelebatan 
itu sehingga tahu-tahu di depan mereka telah berdiri 
seseorang yang membuat mata keduanya terbelalak 
kaget. 
"Kau...?!" tersekat suara Bardi. 
Bet! 
Belum juga mereka bisa berbuat sesuatu, tiba-
tiba saja orang itu sudah bergerak begitu cepat. Na-
mun, kedua pengawal kepala desa itu cepat menyada-
ri. Mereka langsung berlompatan memisah diri meng-
hindari serangan cepat itu.  
"Hiyaaa...!" 
Baru saja Sardi menjejakkan kakinya di tanah, 
orang aneh itu sudah kembali bergerak begitu cepat 
bagai kilat. Pada saat itu, terlihat kilatan cahaya kepe-
rakan berkelebatan begitu cepat menuju leher lelaki 
bertubuh tegap dan berotot ini. Karena begitu cepat, 
Sardi tidak sempat menghindar. Ditambah lagi rasa 
keterkejutan dan keseimbangan tubuhnya belum sem-
pat terkuasai. Sehingga.... 
Crasss! 
"Aaakh...!" Sardi menjerit melengking. 
Seketika tubuhnya jatuh menggelepar dengan 
leher hampir putus. Hanya sebentar Sardi mampu 
menggelepar seperti ayam disembelih, sesaat kemudian 
sudah mengejang kaku. Lalu, diam tak bergerak-gerak 
lagi. Mati. 
"Sardi...!" pekik Badri tertahan. 
Pada saat yang sama, orang aneh itu sudah 
bergerak cepat memutar tubuhnya. Dan kembali kila-
tan cahaya keperakan terlihat berkelebat begitu cepat 
"Heh...?! Hups!" 
Cepat-cepat Badri melompat ke belakang, 
menghindari tebasan senjata yang secepat kilat itu. 
Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu mendarat 
manis sekali di tanah. Karena begitu ringan hingga tak 
menimbulkan suara. Namun, baru saja bisa mengua-
sai keseimbangan tubuhnya, satu serangan secepat ki-
lat kembali meluruk ke tubuhnya. 
"Hup! Hiyaaa...!" 
Badri kembali melenting ke udara, dan berpu-
taran beberapa kali. Tapi tanpa diduga sama sekali, 
orang aneh itu melesat cepat mengejarnya. Seketika itu 
pula tangan kanannya kembali dikibaskan, kemudian 
disusul cahaya kilat keperakan berkelebat begitu cepat 
mengarah ke dada lelaki bertubuh tinggi tegap itu. 
Begitu cepat serangan orang aneh ini, sehingga 
membuat Badri yang berada di udara tak sempat me-
lakukan gerakan untuk menghindar. Dan... 
Bret! 
"Akh...!" 
Begkh! 
Satu tendangan yang begitu keras mendarat 
membuat tubuh Badri terbanting ke tanah. Darah 
muncrat dari dadanya yang terbelah, seperti tersabet 
pedang. Namun, Badri masih bisa bangkit berdiri, 
meskipun terhuyung. Darah semakin banyak mengu-
cur dari dadanya yang terbelah cukup lebar itu. 
"Yeaaah...!" 
Sebelum, Badri mampu menguasai keseimban-
gan tubuhnya, orang aneh itu sudah meluruk lagi den-
gan kecepatan luar biasa. Sementara, Badri hanya ter-
belalak kaget dengan mulut ternganga.  
Bet! 
Cras! 
Senjata berupa pisau mirip badik di tangan 
orang aneh yang ternyata gadis bisu itu menebas ke 
leher Badri. 
"Aaakh...!" 
Kembali terdengar jeritan panjang melengking 
tinggi. Sesaat kemudian tubuh Badri limbung. Tubuh-
nya yang berlumuran darah ambruk ke tanah dengan 
luka menganga lebar di lehernya. Seketika itu juga, da-
rah menyembur deras sekali dari lehernya. 
Sementara, si gadis bisu berdiri tegak meman-
dangi. Sebentar kemudian, tubuhnya melesat secepat 
kilat, hingga dalam sekejap mata saja tubuhnya telah 
lenyap. 
Pada saat itu pula rumah-rumah di sekitar per-
tarungan tampak terbuka pintunya. Lampu-lampu 
yang tak begitu terang pun terlihat sinarnya menye-
ruak lewat pintu-pintu yang terbuka. Sesaat kemudian 
bermunculan para penduduk Desa Kembang Tebu. 
Suara pertempuran yang hanya sebentar itu membuat 
para penduduk terbangun dari tidur. Mereka bermun-
culan hendak mengetahui keributan yang terjadi 
hanya beberapa saat itu. Namun, begitu mengetahui 
ada dua orang yang tergeletak di tengah jalan, tak seo-
rang pun yang menghampiri. Terlebih lagi setelah tahu, 
siapa yang tergeletak berlumuran darah di tengah ja-
lan. 
Sementara tak jauh dari jalan itu, terlihat Nyi 
Wulung dan suaminya keluar dari rumah. Tempat per-
tarungan itu memang tak jauh dari rumah mereka. 
Sehingga mereka melihat jelas dua orang pengawal ke-
pala desa yang terkapar tak bernyawa dengan keadaan 
mengerikan. 
"Malapetaka apa lagi ini...?" desah Ki Wulung, 
bertanya pada diri sendiri. 
"Rupanya sang Hyang Widhi sudah memperli-
hatkan kebesarannya," gumam Nyi Wulung pelan, sea-
kan berkata pada diri sendiri. 
Suami istri berusia lima puluh lima tahun itu 
segera masuk kembali ke rumahnya. Tak seorang pun 
berani mendekati mayat kedua pengawal kepala desa 
itu. 
Mereka takut kalau-kalau dituduh sebagai 
pembunuh, atau akan dianggap mengetahui kejadian 
itu. Dengan begitu mereka akan mengalami kesulitan. 
Paling tidak akan menghadapi pertanyaan yang justru 
dapat memojokkan mereka. 
Malam semakin sepi. Angin menghembuskan 
hawa dingin dan basah yang menyelimuti Desa Kem-
bang Tebu. 
*** 
Kematian dua orang pengawal Ki Legok Menggo 
yang belum diketahui pelakunya, membuat suasana 
Desa Kembang Tebu jadi gempar. Semua orang berbi-
cara masalah kematian keduanya. Namun sejauh itu 
mereka belum dapat mengetahui siapa pelakunya. 
"Bagaimana pendapatmu, Ki? Apakah kau ma-
sih tetap yakin kalau kehadiran dua anak muda itu 
membawa berkah...?" Nyi Wulung bertanya sinis pada 
suaminya. 
Ki Wulung terdiam sambil menghela napas da-
lam-dalam. Matanya menatap lepas ke depan. 
"Kok diam? Mana bukti primbonmu...?" sinis 
Nyi Wulung, semakin membuat Ki Wulung bertambah 
membisu. "Makanya, jangan percaya dengan primbon!" 
"Lalu apa menurutmu kejadian ini, Nyi?" tanya 
Ki Wulung tiba-tiba. Matanya menatap sang istri yang 
kini duduk di dipan panjang dalam rumahnya. 
Nyi Wulung menarik napas dalam-dalam. Se-
pertinya wanita berusia lima puluh lima tahun itu ten-
gah memikirkan tentang kejadian-kejadian yang menu-
rutnya berhubungan dengan peristiwa yang menimpa 
keluarga Gagar Blarak. 
"Kurasa kejadian ini ada hubungannya dengan 
pembakaran keluarga Gagar Blarak, Ki." 
"Maksudmu, Ki Gagar Blarak hidup lagi?" tanya 
Ki Wulung dengan kening berkerut. 
"Mungkin." 
"Akh!" pekik Ki Wulung tertahan. Matanya me-
mandang lekat wajah istrinya. 
"Kau tak percaya, Ki?" tanya Nyi Wulung den-
gan pandangan kurang senang. 
"Bukan itu maksudku, Nyi..., Tapi, jelas sekali 
kita melihat kejadian itu. Keluarga Gagar Blarak mati 
terbakar," gumam Ki Wulung. 
"Apa tidak mungkin arwahnya, Ki?" 
"Ah! Kau jangan mengada-ada, Nyi." 
"Lho, siapa tahu, Ki."  
Ki Wulung tersenyum dengan kepala mengge-
leng-geleng mendengar perkataan istrinya. Bagaima-
napun juga, rasanya tak masuk akal kalau manusia 
sudah terbakar kini hidup dengan utuh membunuh 
dua orang pengawal Ki Legok Menggo. 
"Rasanya tidak mungkin, Nyi."   
Nyi Wulung menarik napas dalam-dalam. Dia 
pun tak tahu siapa yang telah membunuh kedua pen-
gawal kepala desa itu. Dulu, ketika seluruh keluarga 
Gagar Blarak mendapat hukuman, hatinya mengata-
kan kalau sebenarnya keluarga itu tidak bersalah. Tapi 
dia tak dapat berbuat apa-apa. Dia hanyalah seorang 
wanita tua yang terkucil dari semua orang. Para pen-
duduk menganggap dia dan suaminya orang-orang 
sinting, tak patut untuk didekati. 
"Tapi menurutku, ada sangkut paut antara ke-
jadian semalam dengan peristiwa beberapa tahun yang 
lalu, Ki." 
Kini gantian Ki Wulung yang terdiam. Dihe-
lanya napas dalam-dalam, seperti ada sesuatu yang 
membebani pikirannya. Ki Wulung bangkit dari du-
duknya, melangkah ke kebun yang ada di sekeliling 
rumahnya. 
"Tangkap dia...!" 
Ki Wulung tersentak kaget, ketika tiba-tiba ter-
dengar suara perintah menangkap dirinya. Lelaki tua 
itu melihat ke asal suara itu. Seketika matanya terbe-
lalak, ketika melihat beberapa orang warga desa yang 
dipimpin jawara Desa Kembang Tebu ini. 
Lelaki berusia tiga puluh tahun yang bertubuh 
tinggi besar dengan wajah garang itulah yang tadi me-
neriakkan perintah penangkapan. Kumisnya melintang 
menghias bibirnya. Dan rambutnya yang terurai, beri-
kat kepala kain coklat. 
"Ki Wulung, kami diperintahkan untuk me-
nangkapmu!" seru jawara desa itu lantang. 
"Menangkapku...?" tanya Ki Wulung dengan 
mata menyipit dan kening berkerut. 
"Ya!" 
"Apa salahku, Ki Majal...?" tanya Ki Wulung. 
"Kami tak tahu. Kami hanya menjalankan pe-
rintah menangkapmu!" sahut jawara Desa Kembang 
Tebu yang ternyata bernama Ki Majal itu. 
"Hm, enak sekali kau berkata! Kalau aku bersa-
lah, aku menuruti kata-katamu. Tapi kalau tidak, jelas 
aku menolak! Walaupun Ki Legok Menggo sendiri yang 
datang kemari!" dengus Ki Wulung. 
"Orang gila! Kami datang dengan menghargai-
mu. Kalau kau tetap bersikeras begitu, jangan salah-
kan jika kami menangkapmu dengan kekerasan!" ben-
tak Ki Majal sengit. 
"Hm, kalian orang-orang yang tak tahu adat! 
Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba hendak me-
nangkap orang!" dengus Ki Wulung tak mau kalah. 
"Kurang ajar...! Tutup mulutmu, Orang Sinting! 
Tangkap dia!" perintah Ki Majal sambil menggerakkan 
tangan kanannya, memberi isyarat pada warga desa 
yang patuh padanya, untuk menangkap Ki Wulung. 
Serentak lima orang warga desa yang menjadi 
anak buah Ki Majal memburu Ki Wulung. Kelimanya 
dengan tangan kosong berusaha menangkap lelaki tua 
yang mereka anggap orang sinting. 
"Kalian benar-benar iblis!" dengus Ki Wulung 
geram. Tubuhnya segera melompat ke samping. 
Gusrak! 
Kelima warga desa yang memburu Ki Wulung, 
seketika tersuruk mencium dipan, ketika mereka me-
lompat hendak menangkap Ki Wulung. 
"He he he...! Kuwalat kalian...!" seru Ki Wulung 
terkekeh-kekeh, menyaksikan kelima anak buah Ki 
Majal harus tumpang tindih karena menubruk angin. 
"Orang tua gila! Rupanya kau benar-benar 
mencari penyakit! Tangkap dia...! Masa' kalian berlima 
harus kalah dengan orang tua peot?!" dengus Ki Majal 
marah, menyaksikan kelima anak buahnya diperma-
inkan Ki Wulung. 
Kelima warga desa itu segera bangun, meski-
pun merasakan sakit di wajahnya karena mencium di-
pan. Kelimanya kembali merangsek Ki Wulung. Kali ini 
mereka bergerak menyebar, mengepung dari lima arah. 
"Kuwalat! Kalian akan kuwalat, berani sama 
orang tua!" bentak Nyi Wulung yang baru keluar dari 
dalam rumahnya. Wanita tua itu nampak sengit, me-
nyaksikan suaminya dikeroyok lima lelaki muda warga 
desa. 
"Diam kau! Jangan turut campur!" bentak Ki 
Majal sambil bergerak cepat mendekati Nyi Wulung. 
Kemudian dengan gerakan cepat lelaki berbadan kekar 
dan berwajah garang itu menangkap kedua tangan Nyi 
Wulung. 
"Setan! Lepaskan aku...!" maki Nyi Wulung 
sambil berusaha berontak dari pegangan tangan Ki 
Majal. Matanya melotot sengit, memandang penuh ke-
bencian. 
Ki Majal tak peduli dengan pelototan mata wa-
nita tua itu. Lelaki kekar itu tenis memegangi tangan 
Nyi Wulung, malah memelintirnya ke belakang ketika 
wanita tua itu berontak. Nyi Wulung pun meringis ke-
sakitan. 
"Kurang ajar! Kuwalat kau, Majal!" 
"Aku tak peduli! Kau pun harus ditangkap!" 
"Cuh! Enak sekali kau berkata, Setan!" maki 
Nyi Wulung sambil terus berusaha berontak. Namun 
gerakannya lemah karena cengkeraman tangan Ki 
Majal begitu kuat 
"Ki Wulung! Menyerahlah! Jangan sampai aku 
berbuat keji terhadap istrimu!" ancam Ki Majal sambil 
mencabut golok dari pinggangnya. 
Sret! 
Golok tajam itu ditempelkan di leher Nyi Wu-
lung, untuk mengancam Ki Wulung agar menghenti-
kan pertarungannya dengan kelima anak buahnya. 
Namun Ki Wulung seperti tak peduli melihat is-
trinya dalam ancaman Ki Majal. Dia terus menggebrak 
lima orang lawannya yang menyerang. 
"Kalian memang iblis! Sepantasnya kalian di 
neraka!" dengus Ki Wulung sambil menggerakkan tan-
gannya, memukul lawan. 
Pletak! 
"Aduh!" 
"Nih bagianmu! Hia...!"  
Pletak! 
"Aaakh...!"  
Pekik kesakitan terdengar ketika sekali gebra-
kan saja Ki Wulung mampu memukul kelima lawan-
nya. Kelima lelaki warga Desa Kembang Tebu itu me-
megangi kepala dan wajah yang terkena pukulan Ki 
Wulung. 
"Kurang ajar! Kau benar-benar menginginkan 
istrimu mati, Orang Tua Gila!" maki Ki Majal sambil 
mengayunkan goloknya hendak menghunjamkan ke 
perut Nyi Wulung. "Mampuslah istrimu, Orang Tua Gi-
la! Hih...!" 
Golok Ki Majal melesat cepat ke dada wanita 
tua itu. Hampir saja ujung golok menghunjam dada 
Nyi Wulung, ketika tiba-tiba sebuah bayangan berkele-
bat cepat mendahului gerakan golok jawara desa itu. 
Bret! 
"Aaakh...!" Ki Majal terpekik ketika sebuah 
benda tajam menyerupai badik menghujam lehernya. 
Seketika lehernya yang terkoyak lebar memuncratkan 
darah segar. Sesaat kemudian, tubuh jawara Desa 
Kembang Tebu itu mengejang lalu roboh tak bernyawa. 
Semua mata terbelalak, menyaksikan kejadian 
yang begitu cepat. Mereka tak tahu siapa yang telah 
melontarkan senjata itu. Hanya bayangan biru kehita-
man yang melesat meninggalkan tempat kejadian itu. 
Tak satu pun yang melihat dengan jelas, karena orang 
itu cepat gerakannya. 
Sementara kelima orang anak buah Ki Majal 
kini lari tunggang langgang, menyaksikan pimpinan 
mereka telah mati dibunuh seseorang yang belum di-
ketahui. 
*** 
Kematian Ki Majal yang tanpa diketahui pela-
kunya, semakin membuat penduduk Desa Kembang 
Tebu bingung dan tak mengerti tentang apa sebenar-
nya yang terjadi di desa itu. Orang-orang yang diang-
gap baik, telah ditemukan tewas. Pertama kedua pen-
gawal kepala desa. Lalu menyusul jawara desa. Kema-
tian mereka sama, tergores sebuah benda tajam. Tidak 
diketahui siapa pelakunya. 
Warga Desa Kembang Tebu kini dilanda kere-
sahan dengan adanya peristiwa-peristiwa pembunuhan 
itu. Sejauh ini, para pendekar Desa Kembang Tebu be-
lum mendapatkan jawaban, siapa pelaku pembunuhan 
terhadap kedua pengawal kepala desa itu. 
Ki Legok Menggo benar-benar dibuat bingung 
dengan kejadian-kejadian yang menimpa desanya. Le-
laki tua yang pribadi dan sikapnya selalu tenang itu 
tak dapat berbuat apa-apa. Dia memang agak lemah 
dalam menghadapi permasalahan di desanya. Hampir 
semua tugas lebih banyak dipegang adik sepupunya 
yang bernama Ki Soma. Bahkan masalah hukuman 
pada Gagar Blarak pun Ki Soma yang memutuskan, 
bukan dirinya. 
Sore itu, nampak seorang gadis berusia sekitar 
lima belas tahun dengan keadaan memelas melangkah 
menyelusuri jalanan di Desa Kembang Tebu. Gadis itu 
berhenti di depan rumah seorang penduduk yang pin-
tunya terbuka. 
"Uhk uhk uhk...!" suara gadis cantik berpa-
kaian biru kehitaman itu, seakan bermaksud menga-
takan sesuatu. Matanya memandang ke sekelilingnya, 
seperti ada sesuatu yang sedang dicari. 
Dari dalam rumah keluar seorang wanita muda. 
Kening wanita berpakaian merah jambu dengan ram-
but digelung ke atas itu mengerut. Matanya meman-
dang ke sekelilingnya, seakan ada sesuatu yang dik-
hawatirkan.  
"Masuk," ajaknya setelah melihat sekelilingnya 
sepi. 
Gadis bisu itu kembali mengedarkan pandan-
gannya ke sekeliling tempat itu. Dan ketika tahu di se-
kelilingnya tak ada orang yang melihat, gadis bisu itu 
pun melangkah masuk. 
Wanita cantik berpakaian merah jambu segera 
menutup pintu rumahnya setelah gadis bisu itu ma-
suk. Kemudian, diajaknya menuju ke sebuah kamar 
yang ada di rumah itu. 
"Hati-hatilah, jangan sampai orang-orang men-
curigaimu, Murni! Dengan terbunuhnya dua orang 
pengawal Ki Legok Menggo dan Ki Majal, kini semua 
orang waspada. Warga desa kini menuduh Ki Wulung 
dan istrinya," ujar wanita cantik berusia sekitar tiga 
puluh tahun itu. 
"Uhk uhk...!" gadis bisu yang ternyata bernama 
Murni menganggukkan kepalanya, pertanda mengerti. 
"Kau harus mendapatkan dalang dari semua 
kejadian ini. Aku yakin, pasti ada hubungannya den-
gan pembakaran kedua orang tuamu," kembali wanita 
cantik yang bernama Suriwarni menegaskan. 
"Uhk uhk uhk...!" jawab Murni seraya men-
gangguk-anggukkan kepala. Tangannya digerak-
gerakkan, seakan hendak memberitahukan sesuatu. 
Tangannya bergerak dan menempel di keningnya me-
nyilang. Kemudian digerakkan menggaruk-garuk kepa-
lanya dengan mulut nyengir. 
"Hm, pemuda gila...," gumam Suriwarni. "Sia-
pakah pemuda gila itu?" 
"Uhk uhk uhk...!" 
Kembali Murni menggerakkan tangan kanan-
nya, mengatakan kalau dia tidak tahu. Namun dia 
berpikir, kalau pemuda gila itu tampaknya bukan pe-
muda sembarangan. Gadis itu menyimpulkan dari pa-
kaian yang dikenakan serta gerakannya yang cepat 
dan gesit. 
"Hm, aku mengerti. Tak perlu takut, karena 
kau bertujuan baik. Kau hendak membuka kedok sia-
pa sebenarnya orang yang telah melakukan semuanya 
di desa ini. Biar aku yang akan memberitahukan pe-
muda gila itu jika aku bertemu," kata Suriwarni. 
Murni mengangguk-anggukkan kepala dengan 
mulut tersenyum. Sepertinya gadis itu merasa senang 
atas bantuan Suriwarni selama ini. Telah lima tahun 
lebih dirinya dibantu dan diasuh Suriwarni. Bahkan 
nyawanya pun diselamatkan Suriwarni yang dalam 
dunia persilatan dikenal dengan julukan Bayangan Bi-
dadari. 
"Uhk uhk uhk...!" 
"Ya, ya.... Tak usah kau pikirkan. Aku meno-
longmu dengan tulus. Kau harus bisa menunjukkan 
kebenaran yang ada. Aku yakin, ada sesuatu yang tak 
beres di desa ini."  
Selesai menjura, gadis bisu itu pun melangkah 
meninggalkan rumah Suriwarni untuk meneruskan 
penyelidikannya guna membuka tabir yang menyeli-
muti Desa Kembang Tebu. 
*** 
Kematian kedua pengawalnya dan seorang ja-
waranya, menyebabkan Ki Legok Menggo sedih. Lelaki 
berusia lima puluh tahunan itu termenung memikir-
kan kejadian-kejadian yang terjadi di desanya. Orang 
yang dianggap sebagai momok kejahatan di Desa Kem-
bang Tebu telah disingkirkannya. Namun kini muncul 
lagi orang lain yang sepak terjangnya melebih Ki Gagar 
Blarak. 
"Hhh...!" desah Ki Legok Menggo yang duduk di 
kursinya seorang diri. Pikirannya tak lepas dari peris-
tiwa yang baru saja terjadi, kematian Ki Majal. "Kalau 
begitu, kurasa bukan Ki Wulung dan istrinya.  Lalu 
siapa...?" 
Ki Legok Menggo masih termangu di kursinya, 
mencoba menerka-nerka siapa pelaku dari pembunu-
han-pembunuhan yang dalam sehari telah memakan 
tiga korban. 
Tengah Ki Legok Menggo termangu di atas kur-
sinya, dari luar nampak seorang lelaki masuk. 
"Ada apa, Soma?" tanya Ki Legok Menggo, me-
noleh ke adik sepupunya yang bernama Ki Soma. 
Lelaki berwajah agak pucat dengan kumis tipis, 
berpakaian kuning lengan panjang itu menghela na-
pas, lalu duduk di hadapan Ki Legok Menggo. Wajah-
nya yang pucat dengan mata agak sipit menggambar-
kan kemurungan. Sepertinya merasakan duka atas 
kematian tiga orang tangan kanan Ki Legok Menggo. 
"Kulihat wajahmu murung, ada apa...?" kembali 
Ki Legok Menggo bertanya. Matanya menatap lekat wa-
jah adik sepupunya yang tampak gelisah, hingga beru-
langkali membetulkan duduknya. 
"Aku khawatir dengan keselamatanmu, Ka-
kang," sahut Ki Soma. 
Ki Legok Menggo tersenyum sambil mengge-
leng-gelengkan kepala. 
"Apa yang kau khawatirkan, Soma?" tanya Ki 
Legok Menggo penuh kesabaran. Senyumnya masih 
mengembang di bibir, seakan pasrah dengan apa yang 
terjadi. "Kau mengkhawatirkan aku dibunuh orang 
aneh itu?"  
"Benar, Kakang. Dan kurasa orang itu telah ki-
ta kenali." 
"Siapa...?"  
"Ki Wulung." 
"Ah! Jangan asal menuduh, Soma! Apakah kau 
melihat buktinya...?" tanya Ki Legok Menggo berusaha 
mengingatkan adik sepupunya. Lelaki tua itu bangkit 
berdiri dari duduknya, lalu melangkah menuju jendela. 
"Rasanya sulit kalau kita menuduh orang aneh itu. La-
gi pula, bukankah kau begitu akrab dengannya? Men-
gapa kini malah menuduh dia?" 
Ki Soma terdiam, tapi wajahnya masih meng-
gambarkan kegelisahan. Tampaknya ada sesuatu yang 
sedang dipikirkannya.  
"Tapi dilihat dari gerak-geriknya yang aneh, ku-
rasa dialah orangnya, Kakang. Atau setidaknya dia 
mengenai orang yang telah menolong dirinya tadi pagi," 
tukas Ki Soma berusaha meyakinkan kakak sepu-
punya. 
Ki Legok Menggo menghela napas dalam-dalam. 
Tubuhnya berbalik, kembali menatap wajah Ki Soma. 
"Kau yakin itu, Soma?" tanya Ki Legok Menggo 
menegaskan. 
"Ya! Mana ada orang yang menolong tanpa pa-
mrih dan tidak saling kenal?" Ki Soma balik bertanya. 
"Hanya pendekar saja yang berbuat begitu." 
"Mungkin pembunuh yang belum kita ketahui 
itu pendekar, Soma." 
Ki Soma tersenyum sinis, kemudian mengge-
leng-gelengkan kepala. Sementara Ki Legok Menggo 
terdiam. Pikirannya kembali dilanda seribu macam 
pertanyaan mengenai ucapan adik sepupunya itu. 
"Benar juga katamu, Soma. Hm, tapi apakah 
mungkin Ki Wulung mempunyai niat buruk seperti 
itu...?" tanya Ki Legok Menggo.  
"Mengapa tidak? Dalamnya laut bisa diduga, 
Kang. Tapi dalamnya hati, kita tak tahu." 
Ki Legok Menggo termangu-mangu mendengar 
ucapan adik sepupunya. Seakan apa yang dikatakan 
adik sepupunya disetujuinya. 
"Lalu apa rencanamu, Soma?" 
"Hm...," gumam Ki Soma tak jelas. Matanya 
memandang lepas ke pintu, seakan tengah memikirkan 
jalan apa yang sepantasnya dia lakukan untuk lang-
kah selanjutnya. "Kalau Kakang memberi izin, bagai-
mana jika para pendekar di desa ini mencari Ki Wu-
lung dan istrinya, yang tiba-tiba menghilang semenjak 
terbunuh-nya Ki Majal?" 
Sejenak Ki Legok Menggo terdiam. Tangannya 
menopang dagu. Kakinya melangkah menuju meja 
tempat adik sepupunya masih duduk sambil terse-
nyum. Sepertinya merasa yakin kalau apa yang diren-
canakan akan terlaksana. 
"Hhh...!" Ki Legok Menggo menarik kursinya, 
duduk di hadapan Ki Soma yang masih sabar me-
nunggu keputusan kakak sepupunya. "Kalau memang 
itu yang kau anggap baik untuk mengatasi semuanya, 
aku setuju saja." 
"Beres, Kakang. Di tanganku, semua akan 
beres. Kakang tinggal menunggu hasilnya," kata Ki 
Soma berusaha meyakinkan hati kakak sepupunya. 
"Ya, ya.,.. Aku percaya dengan gagasanmu, So-
ma...," sambut Ki Legok Menggo sambil tersenyum. Le-
laki tua itu merasa, setiap urusan yang ditangani Ki 
Soma selalu cepat beres. Hal itu telah dibuktikan den-
gan tertangkapnya Gagar Blarak, karena dianggap se-
bagai biang keladi dari kejadian yang banyak memba-
wa korban. 
"Hua ha ha...! Selama aku berada di samping-
mu, tak akan ada orang yang berani usil menggang-
gumu, Kakang! Bukan begitu...?" tanya Ki Soma sambil 
tertawa tergelak-gelak. Ki Legok Menggo pun turut ter-
tawa senang mendengar ucapan adik sepupunya itu. 
"Ya ya...! Kau memang benar, Soma. Selama 
kau ada di sampingku, kedudukanku tak akan mung-
kin tergeser oleh orang-orang yang bermaksud jahat. 
Tak percuma sejak kecil kau ku asuh," tukas Ki Legok 
Menggo turut senang. 
"Baiklah, Kakang. Aku permisi dulu untuk 
mengundang mereka." 
Setelah menjura hormat pada Ki Legok Menggo, 
Ki Soma pun melangkah meninggalkan tempat itu. 
Namun, baru saja beberapa tindak Ki Soma melang-
kah, tiba-tiba.... 
Swing! Swing! 
"Awas, Kakang!" pekik Ki Soma sambil melent-
ing dan bersalto, mengelakkan serangan-serangan ge-
lap yang melesat ke tubuhnya. 
Jlep, jlep! 
"Aaakh...! 
"Wuaaa...!" 
Dua orang penjaga rumah Ki Legok Menggo ter-
pekik keras ketika senjata-senjata rahasia itu mener-
jang tubuh mereka. 
Ki Soma dan Ki Legok Menggo dengan gesit 
mengelak. Sehingga senjata-senjata rahasia itu melesat 
di atas kepala dan bawah kaki mereka lalu menghun-
jam di dinding rumah Ki Legok Menggo. 
Jlep, jlep...! 
"Kurang ajar!" maki Ki Soma gusar. Dengan ce-
pat lelaki itu memburu keluar mencari asal datangnya 
senjata-senjata rahasia itu. Namun sesampainya di 
luar, dia tidak menemukan siapa-siapa. Yang dapat di-
lihatnya hanya dua orang penjaga rumah Ki Legok 
Menggo yang tergeletak mati dengan leher terhunjam 
senjata-senjata berbentuk pisau kecil berwarna putih. 
Dengan wajah merengut, Ki Soma kembali ma-
suk menemui kakak sepupunya. 
"Kau temui?" tanya Ki Legok Menggo. 
"Setan! Dia begitu cepat berlalu," dengus Ki 
Soma. Matanya menatap tajam dua pisau kecil yang 
menancap di dinding. Di gagang pisau kecil itu terda-
pat lipatan surat. 
Ki Soma menggeram sengit. Dengan penuh ke-
bencian, dihampirinya pisau-pisau kecil itu. Kemudian 
dicobanya untuk mencabut pisau kecil yang terdapat 
surat di gagangnya.  
"Hih!" 
Mata Ki Soma terbelalak, ketika mencabut pi-
sau-pisau kecil itu. Ternyata pisau itu cukup kuat dan 
menancap dalam. Sehingga Ki Soma harus mengerah-
kan tenaganya untuk dapat mencabut pisau itu. 
"Setan alas! Keras sekali pisau ini!" dengus Ki 
Soma sambil kembali berusaha mencabut pisau kecil 
yang menancap di dinding rumah.  
"Hhh...!"  
Prut!       
Hampir saja tubuh Ki Soma terjengkang, ketika 
pisau dapat dicabutnya dari dinding. Diamatinya pisau 
kecil itu, kemudian dibukanya lipatan surat yang ada 
di gagang pisau. 
"Kau kenal siapa pemilik pisau-pisau ini, Ka-
kang?" tanya Ki Soma sambil menyerahkan pisau kecil 
dan surat yang telah dibuka dari gagang pisau. 
"Entahlah," sahut Ki Legok Menggo. 
Dibukanya lipatan surat, kemudian dengan ha-
ti-hati dibacanya isi surat itu. Seketika mata Ki Legok 
Menggo membelalak, ketika membaca tulisan di daun 
lontar itu. 
Ki Legok Menggo, kalau kau memang tak becus 
memimpin, kuharap kau pergi saja dari Desa Kembang 
Tebu. Biar aku yang menggantikan mu. Kau tak ada ar-
tinya sama sekali di desa ini! 
Ki Wulung. 
"Kurang ajar! Rupanya tua bangka itu benar-
benar ingin membuat keonaran di desa ini, Kakang!" 
geram Ki Soma. 
Ki Legok Menggo terdiam. Tatapan matanya ko-
song. Meskipun surat itu ditujukan pada dirinya, dan 
jelas merupakan hinaan yang menyakitkan, tapi dia 
tak dapat berbuat apa-apa. Dia belum bisa menentu-
kan jalan apa yang harus dilakukan untuk menangga-
pi isi surat itu. 
"Kakang, kita tak boleh diam saja! Jelas dia be-
nar-benar menantangmu. Sebagai seorang adik, aku 
tak bisa membiarkan hinaan yang pahit ini," Ki Soma 
masih terus menggeram sengit. Tangannya mengepal 
dengan gigi-gigi bergemerutuk menahan amarah. 
"Hhh...," desah Ki Legok Menggo lirih. Diku-
lumnya bibir dalam-dalam. Kakinya melangkah menu-
ju pintu rumahnya. Dilihatnya dua sosok penjaga ru-
mahnya tewas dengan keadaan yang mengenaskan. Di 
leher mereka, terhunjam pisau-pisau kecil berwarna 
keperakan. 
"Jelas yang dimaksud adalah Kakang. Mengapa 
Kakang masih diam?" desak Ki Soma, mengharap Ki 
Legok Menggo segera memutuskan untuk menghadapi 
hinaan itu. "Kalau Kakang tak ambil tindakan, berarti 
tak khawatir kedudukan Kakang akan tergoyah oleh-
nya. Kakang harus ingat, bagaimana susahnya dulu 
Kakang mendapatkan kedudukan ini!" 
Ki Soma terus mendesak kakak sepupunya 
agar segera mengambil keputusan untuk melakukan 
tindakan. 
"Kini semua sudah jelas, pasti Ki Wulung 
orangnya. Mengapa mesti bingung? Kita harus sece-
patnya menangkap Ki Wulung!" tegas Ki Soma berapi-
api. Matanya berkilat, karena terbakar amarah yang 
me-luap-luap. 
"Baiklah, Soma. Kini kuserahkan semua pada-
mu," akhirnya Ki Legok Menggo membuat keputusan. 
"Perintahkan pada para pendekar Kembang Tebu un-
tuk menangkap Ki Wulung. Cari dia sampai dapat!"  
"Baik, Kakang." 
Ki Soma pun segera beranjak meninggalkan 
rumah Ki Legok Menggo. 
Tidak lama kemudian, terdengar suara kenton-
gan memberi isyarat agar warga Desa Kembang Tebu 
berkumpul. 
"Ada apa, ya?" tanya seorang lelaki berusia se-
kitar empat puluh tahun dengan tubuh gemuk pada 
rekannya. 
"Mana aku tahu. Yang jelas kita harus segera 
berkumpul di rumah Ki Legok Menggo," sahut lelaki 
bertubuh kurus dan berkumis lebat. 
Berbondong-bondong warga Desa Kembang Te-
bu menuju rumah Ki Legok Menggo. Di wajah mereka 
tergurat ketidak mengertian akan apa yang terjadi. Su-
dah tiga kali ini mereka diperintahkan kumpul di ru-
mah Ki Legok Menggo. 
"Mungkin ada yang menjadi korban lagi," gu-
mam seorang lelaki berkepala botak. 
"Iya! Kemarin juga begitu," sambung lelaki ber-
tubuh pendek. 
"Kematian kok seperti pisang goreng saja," gu-
mam lelaki bertubuh tinggi dan berwajah garang. "Ka-
lau memang tak becus memimpin, bukankah lebih 
baik menyerahkan saja kekuasaannya." 
Dari langkah para warga Desa Kembang Tebu 
terdengar gerutuan beberapa orang. Tampaknya mere-
ka merasa terganggu. Ketenangan yang selama ini di-
rasakan, tiba-tiba harus mendengar ribut-ribut ten-
tang pembunuhan. Meskipun begitu akhirnya mereka 
berkumpul di halaman luas depan rumah Ki Legok 
Menggo. 
Tidak begitu lama, Ki Legok Menggo keluar me-
nyambut warga desa yang berdatangan ke rumahnya, 
setelah mendengar suara kentongan dipukul. Wajah 
mereka menggambarkan ketidakmengertian serta keti-
daksenangan atas undangan yang beruntun selama 
beberapa hari ini. 
"Ada apa lagi, Ki Legok Menggo?" tanya lelaki 
bertubuh tinggi tegap dengan suara lantang. "Hampir 
setiap hari kami diundang. Dan hampir setiap hari 
kami dengar kematian. Sampai kapan keributan ini 
akan terjadi?!" 
"Tenang, Saudara! Aku tahu perasaan kalian. 
Aku pun sebenarnya tak menghendaki lagi ada pem-
bunuhan. Tapi, semua terjadi begitu mendadak, tanpa 
seorang pun yang tahu. Dan sore ini pun kembali dua 
orangku mati. Namun, kini aku telah mengetahui siapa 
sebenarnya pelaku dari bencana ini..." 
"Siapa...?!" 
"Katakan saja, Ki!" 
"Biar kami cari!" 
"Hukum gantung...!" 
Teriakan warga desa yang memang sudah jemu 
dan marah dengan kejadian-kejadian itu semakin ra-
mai dan keras. Halaman rumah Ki Legok Menggo be-
rubah hiruk-pikuk. Para warga Desa Kembang Tebu 
semakin tidak sabar untuk mengetahui pelaku tindak 
kekejian itu. 
"Dengar semua! Orang yang telah berusaha me-
rongrong kedudukan Kakang Legok tak lain Ki Wu-
lung...!" seru Ki Soma, dari arah belakang penduduk. 
"Dia malah telah berani mengirim surat hinaan pada 
Kakang Legok! Ini suratnya...!"  
Serentak warga desa membalikkan tubuh me-
natap Ki Soma yang menunjukkan surat itu. Seketika 
itu, para warga yang marah berteriak-teriak semakin 
garang. 
"Cari dia!"       
"Pancung kepalanya!" 
*** 
Malam datang menyelimuti bumi, membawa 
suasana berbeda dari biasanya. Suasana yang penuh 
misteri di tengah kegelapan yang menyelubungi bumi. 
Suasana yang terasa lebih mencekam dan menyeram-
kan. 
Suara angin yang menerpa dedaunan, serta su-
ara binatang malam, seperti mengalunkan tembang-
tembang aneh yang membuat tubuh merinding. Mem-
bawakan syair-syair yang mengiris jiwa. Bulan sabit 
pun mengintip di balik awan, sepertinya enggan me-
nampakkan wujudnya. 
Malam itu Desa Kembang Tebu bagaikan mati. 
Tak seorang manusia pun yang masih berada di luar 
rumah dalam malam gelap dan sunyi itu. Sepertinya 
penduduk Desa Kembang Tebu telah terlelap dalam ti-
dur. Begitu pula yang dirasakan Ki Rumbayung, salah 
seorang pendekar Desa Kembang Tebu yang malam itu 
tak mampu memejamkan matanya. 
Ki Rumbayung merasakan kegelisahan yang 
mencekam, setelah tadi sore dia mendapatkan sebuah 
tanda yang aneh. Ketika dia sedang duduk-duduk di 
serambi depan rumahnya, tiba-tiba sebilah pisau belati 
kecil melesat ke arahnya. Hampir saja pisau belati itu 
mengenai lehernya, kalau saja Ki Rumbayung tak sege-
ra berkelit ke samping dengan cepat. 
Ki Rumbayung pun melompat bangun dan be-
rusaha mengejar pelaku yang telah melemparkan pi-
sau kecil itu. Namun dalam sekejap saja, pelaku telah 
menghilang entah ke mana. Tinggal Ki Rumbayung 
seorang diri yang menggerutu marah. 
Dengan masih bersungut-sungut, lelaki berusia 
empat puluh tahun dan bertubuh gemuk itu melang-
kah ke serambi rumahnya di mana pisau kecil itu be-
rada. Lelaki gemuk berambut bergelombang sebatas 
bahu itu segera mencabut pisau kecil yang menghun-
jam di dinding papan rumahnya. 
Ketika Ki Rumbayung membuka lipatan kertas 
di gagang pisau, matanya membelalak. Di lipatan itu, 
tertera gambar silang merah. 
Ki Rumbayung benar-benar tak mengerti, siapa 
sebenarnya pelempar pisau kecil itu. Dia juga tak 
mengerti apa maksud dari tanda silang merah itu. 
Ki Rumbayung masih nampak gelisah. Hatinya 
tak tenang setelah mendapatkan isyarat silang merah. 
Lelaki berusia hampir setengah baya itu berjalan mon-
dar-mandir di kamarnya. Sesekali terdengar tarikan 
nafasnya panjang-panjang, dengan hembusannya yang 
terasa berat. Ketika kegelisahan masih mendera ji-
wanya, tiba-tiba....  
Brak! 
"Hei?!"        
Ki Rumbayung tersentak kaget, ketika terden-
gar sesuatu jatuh. Mata Ki Rumbayung menyapu ke 
sekelilingnya dengan pandangan tajam. Tangannya 
siap untuk menyerang jika terjadi sesuatu yang tak 
terduga. 
Wrrr...! 
Sebuah senjata melesat cepat ke arah Ki Rum-
bayung. Cepat-cepat lelaki gemuk berpakaian ungu itu 
melompat ke samping, mengelakkan serangan gelap 
itu. 
"Uts!" 
Wrrr!  
Jlep! 
"Kurang ajar! Siapa kau...?!" bentak Ki Rum-
bayung geram. Cepat-cepat dia melompat ke jendela, 
berusaha melihat siapa yang tadi menyerangnya. Na-
mun belum juga sampai, tiba-tiba sebuah bayangan 
biru kehitam-hitaman telah mendahului masuk ke 
kamar dengan cepat dan langsung menyerang Ki Rum-
bayung. 
Wuttt! 
"Uts! Setan alas! Siapa kau...?!" bentak Ki 
Rumbayung sambil mengelakkan serangan yang da-
tangnya secara mendadak dan cepat itu. Tubuhnya 
dimiringkan ke samping, kemudian dengan tubuh agak 
rendah Ki Rumbayung berusaha membalas serangan 
lawan. 
Srt! 
Tangan Ki Rumbayung menarik pedang yang 
tersampir di pundaknya, setelah serangan balasannya 
dapat dielakkan lawan. Dengan jurus 'Sempalan Ka-
rang', Ki Rumbayung bergerak menyerang lawan. Pu-
kulan tangannya menimbulkan suara menderu dari 
angin yang menyertainya. 
"Heaaa...!" 
"Uhk uhk uhk!" 
Wanita berpakaian biru kehitam-hitaman itu 
tampaknya masih muda, tapi tak bisa berbicara. 
Hanya gerakan-gerakan anggota tubuhnya memberi 
isyarat yang mengatakan kalau Ki Rumbayung harus 
bersiap untuk mati. 
Ki Rumbayung tersentak kaget, lalu menyurut 
mundur ke samping dengan mata tajam menatap gadis 
bertubuh agak bungkuk. Kini gadis itu berada di de-
pannya dan berkata dengan bahasa isyarat kalau lelaki 
di depannya harus mati. 
"Siapa kau?! Rupanya kau bisu, Bocah. Apa 
maksudmu mengatakan aku harus mati?!" bentak Ki 
Rumbayung bersikap waspada. Pedang telah siap di 
tangan kanannya. 
"Uuuhk...!" 
Gadis bisu berusia sekitar lima belas tahun 
berpakaian kumal dan tubuh agak bungkuk itu melo-
long panjang. Kemudian dengan cepat tubuhnya berge-
rak menyerang Ki Rumbayung. Gadis itu menggeng-
gam sebilah pisau yang menyerupai badik panjang dan 
tajam. Pisau itu dibabatkan ke leher Ki Rumbayung 
dengan cepat. 
Wut..! 
"Hiaaa...!" 
Ki Rumbayung tersentak kaget menyaksikan 
kecepatan serangan gadis bisu itu. Dengan cepat Ki 
Rumbayung melompat ke samping, kemudian dengan 
cepat pula melancarkan serangan. 
"Hop! Yeaaa...!" 
Ki Rumbayung terus bergerak meliukkan tubuh 
dengan sesekali balas menyerang. Pedangnya bergerak 
cepat, membabat ke tubuh lawan yang gencar melaku-
kan serangan. Namun lawan yang bertubuh bungkuk 
itu sangat gesit. Sehingga sulit bagi Ki Rumbayung un-
tuk dapat menempatkan serangannya pada sasaran 
yang tepat. 
Dengan jurus 'Buaya Memburu Lawan' gadis 
bisu itu terus merangsek Ki Rumbayung. Serangan-
serangannya datang begitu cepat. Sehingga Ki Rum-
bayung pun kewalahan. 
"Heaaa...!"  
"Ukh!" 
Gadis bisu dan bungkuk yang mengenakan pa-
kaian biru kehitam-hitaman itu semakin mengganas. 
Dia melompat cepat. menerjang ke arah Ki Rum-
bayung. Begitu cepat gerakannya, hingga membuat Ki 
Rumbayung tersentak kaget. 
Edan! Bocah semuda ini memiliki ilmu yang 
tinggi. Hm, siapa sebenarnya bocah bisu ini? Dan 
mengapa dia menyerangku? Tanya Ki Rumbayung da-
lam hati sambil bergerak ke samping dengan disertai 
liukan tubuhnya, mengelakkan sabetan pisau dan 
hantaman tangan kiri gadis bisu itu. 
"Uts! Hih...!" 
Begitu lepas dari serangan, Ki Rumbayung se-
gera melepaskan satu jotosan keras ke tubuh lawan. 
Disusul dengan tebasan pedangnya yang tak kalah ce-
pat, memburu gadis bisu yang dengan ringan bergerak 
ke samping dan melompat ke belakang. 
"Uhk uhk...!" 
Gadis bisu itu bersalto dua kali di udara. Ke-
mudian dengan enteng, tubuhnya melayang di udara. 
Bersamaan dengan itu tangannya menghantam ke 
arah Ki Rumbayung. Hal itu membuat Ki Rumbayung 
tersentak kaget. Cepat-cepat lelaki tua itu memapaki 
pukulan lawan dengan tangan kirinya.  
Plak! 
"Uhk!" 
"Hup! Uts...!" 
Ki Rumbayung membelalakkan mata, meman-
dang tajam gadis bisu di hadapannya dengan kening 
berkerut. Tubuhnya terhuyung ke belakang, setelah 
berbenturan dengan tangan gadis itu. Dia tak me-
nyangka kalau gadis semuda itu ternyata mampu 
mengimbangi tenaga dalam yang dimilikinya. 
"Uuu...!" gadis itu melolong panjang. Matanya 
menatap tajam Ki Rumbayung. Seolah-olah ada sesua-
tu yang tersimpan pada sorot matanya. 
"Siapa kau sebenarnya, Bocah?! Mengapa da-
tang-datang menyerangku...?" tanya Ki Rumbayung. 
"Uuu...!" 
Gadis bisu bertubuh bungkuk itu menggerak-
kan tangannya, seperti hendak memberitahukan siapa 
dirinya. Ditunjuk dengan telunjuk tangannya, kalau 
dirinya semata-mata untuk mencari pembunuh orang-
tuanya dan membalas  dendam atas kematian kedua 
orangtuanya. 
"Siapa nama orangtuamu, Bocah?!" bentak Ki 
Rumbayung. 
"Uuu...!" gadis bisu itu kembali menggerak-
gerakkan tangannya, mengatakan bahwa kedua orang-
tuanya tak lain yang dulu dibakar Ki Rumbayung ber-
sama para pendekar Desa Kembang Tebu lainnya.     
"Heh...?! Kau anak Gagar Blarak...?" 
"Uuu...!" seru gadis bisu itu sambil mengang-
guk-anggukkan kepalanya. Kemudian dengan cepat 
gadis itu kembali menyerang Ki Rumbayung. Gerakan 
yang dilakukan begitu cepat. Sabetan dan pukulannya 
mengandung tenaga dalam tinggi, membuat Ki Rum-
bayung terpaksa berjumpalitan untuk dapat menge-
lakkan serangan gencar itu.  
"Hups! Heaaa...!" 
"Uhk...!" 
Wut! 
Pertarungan di dalam kamar yang cukup luas 
itu tak terelakkan lagi. Keduanya saling serang dengan 
jurus-jurus andalan mereka. 
Gerakan gadis bisu itu sangat cepat, menyerang 
ke seluruh bagian tubuh Ki Rumbayung. Tangan ka-
nannya yang memegang pisau mirip badik, bergerak ke 
leher lelaki setengah baya itu. 
Wut! 
Trang! 
"Hih!" 
Begitu mendapat kesempatan, dengan jurus 
'Gelombang Pasang' Ki Rumbayung segera menyerang 
lawan. Tubuhnya melenting ke udara laksana gelom-
bang, kemudian menukik ke bawah dengan pedang 
siap menusuk kepala lawan. 
"Yeaaa...!" 
Wuttt! 
"Uuu...!" 
Gadis bisu yang melihat serangan lawan segera 
menggeser kakinya dua tindak ke belakang. Lalu den-
gan cepat senjatanya yang mirip badik dibabatkan, 
memapak serangan Ki Rumbayung. 
"Uuu...!" 
"Heaaa...!" 
Trang! 
Ki Rumbayung dengan cepat menarik pedang-
nya. Lalu dengan cepat pula dia bergerak ke belakang 
tubuh lawan. Kakinya digerakkan menendang ke arah 
punggung lawan. 
"Heaaa!" 
Gadis bisu itu tersentak kaget, dia berusaha 
berbalik dan memapaki serangan lawannya. Namun 
ternyata tendangan Ki Rumbayung lebih cepat, hing-
ga... 
Degk! 
"Uuukh...!" 
Gadis bisu itu terpekik keras, tubuhnya ter-
huyung ke depan hampir mencium tanah. Untung sa-
ja, keseimbangannya dapat dikuasai, hingga tidak te-
rus meluncur. Tubuhnya berbalik, menatap bengis pa-
da Ki Rumbayung. 
"Uuu...!" 
Setelah melolong panjang, gadis bertubuh 
bungkuk itu dengan cepat kembali menyerang. Pisau 
yang menyerupai badik di tangannya bergerak cepat, 
membabat ke leher lelaki setengah baya itu. 
Ki Rumbayung tersentak kaget. Pedangnya se-
gera digerakkan untuk mengimbangi serangan yang di-
lancarkan gadis itu. Sesekali tangan dan kakinya ber-
gerak memukul dan menendang ke dada dan perut la-
wan. 
"Yeaaa...!" 
"Uuu...!" 
Trang! 
Tangan Ki Rumbayung bergetar hebat, ketika 
beradu dengan senjata di tangan si gadis bisu. Mata Ki 
Rumbayung membelalak lebar, memandang dengan te-
gang ke arah gadis bisu yang juga menatap wajahnya 
penuh kebencian. 
"Uuu...!" 
Gadis bisu itu melolong panjang, kemudian 
kembali menyerang Ki Rumbayung. Tangan kanannya 
yang memegang senjata mirip badik bergerak ke leher 
Ki Rumbayung. Sedangkan tangan kirinya kini melan-
carkan pukulan-pukulan yang mengandung tenaga da-
lam begitu kuat. 
"Uuu...!" 
Wut! 
"Heit! Edan...!" maki Ki Rumbayung, sambil 
bergerak mengelak ke samping. Sehingga pukulan la-
wan yang mengandung tenaga dalam tinggi lewat bebe-
rapa jari di samping tubuhnya. 
Gadis bisu yang merasa serangannya dapat di-
elakkan lawan nampak semakin beringas. Serangan 
yang dilakukannya semakin cepat dan menggunakan 
tenaga dalam tinggi. Sedangkan tangan kanannya ber-
gerak menyabetkan senjata ke leher lawan 
Wut! 
"Ikh!" Ki Rumbayung tersentak kaget, tak me-
nyangka kalau serangan lawan begitu cepat. Dengan 
cepat Ki Rumbayung melompat ke belakang, menge-
lakkan sabetan senjata lawan. Namun, rupanya gadis 
bisu itu bagaikan tak mau memberikan harapan dan 
kesempatan pada lelaki setengah baya itu. Dia kembali 
memburu ke arah Ki Rumbayung dengan cepat. 
"Uuu...!" 
Wut! Wut! 
Gadis bisu bertubuh bungkuk yang mengaku 
anak Gagar Blarak itu semakin beringas menyerang. 
Gerakannya liar, sulit untuk diterka ke arah mana dia 
menyerang. Hal itu cukup membuat Ki Rumbayung 
kewalahan. Lelaki berusia setengah baya itu harus ber-
jumpalitan ke sana kemari untuk dapat menghindari 
sabetan dan pukulan lawan. 
"Eits! Heaaa...!" 
Baru saja Ki Rumbayung mengelakkan seran-
gan, tiba-tiba tangan gadis itu merogoh sesuatu dari 
balik pakaiannya. Kemudian dengan cepat tangan ki-
rinya dikibaskan. Saat itu juga.... 
Swing! Swing! 
Lima bilah pisau kecil berwarna perak melesat 
dari tangannya. Ki Rumbayung kaget melihat benda-
benda meluncur ke tubuhnya. 
"Hup!" 
Dengan cepat Ki Rumbayung bergerak. Tubuh-
nya melenting, mengelakkan pisau-pisau kecil itu. 
Tangannya mengebutkan pedangnya. 
Trang! Trang! 
Jlep! 
"Akh...!" Ki Rumbayung terpekik ketika pa-
hanya terhunjam sebilah pisau kecil yang dilemparkan 
gadis bisu itu. Mulutnya meringis menahan rasa sakit. 
"Uuu...!" 
Gadis bisu itu melolong panjang. Kemudian 
tanpa menghiraukan Ki Rumbayung yang menahan 
rasa sakit, tangannya berkelebat menyerang dengan 
sabetan senjata berupa pisau mirip badik ke leher Ki 
Rumbayung. 
Wret! 
Cras! 
"Aaa...!" Ki Rumbayung menjerit dengan leher 
hampir putus. Darah langsung muncrat. Sesaat Ki 
Rumbayung meregang, kemudian ambruk tanpa nya-
wa. 
"Uuu...!" gadis bisu itu melolong panjang. Se-
saat kemudian tubuhnya melesat meninggalkan tem-
pat itu, menembus kegelapan malam yang sunyi men-
cekam. 
*** 
Ki Soma dan para pengikutnya yang tengah 
mengejar Ki Wulung bersama istrinya, kini telah sam-
pai di Hutan Waradas. Hutan ini terletak di sebelah 
barat Desa Kembang Tebu. Sejauh itu, mereka belum 
menemukan jejak lelaki tua yang dianggap sebagai 
orang tak waras. Juga dianggap teman dari orang yang 
telah membunuh dua orang pengawal Ki Legok Menggo 
dan seorang jawara Desa Kembang Tebu. 
"Hm.... Menurut petunjuk warga, Ki Wulung 
dan istrinya lari ke hutan ini," gumam Ki Soma. 
"Benar, Ki," sahut Ki Kalawuku, seorang lelaki 
berusia sekitar tiga puluh tahun bertubuh kekar den-
gan sorot mata tajam. Rambutnya terurai lepas, den-
gan ikat kepala kain merah. Lelaki ini juga jawara Desa 
Kembang Tebu 
"Sebaiknya kita bagi dua saja! Sebagian ikut 
aku, dan sebagian lagi ikut kau," usul Ki Soma. 
"Baiklah," sahut Ki Kalawuku. 
Setelah dibagi, kedua kelompok yang masing-
masing dipimpin Ki Soma dan Ki Kalawuku menyebar. 
Satu ke arah selatan sedangkan yang satunya lagi ke 
arah utara. 
Dengan diikuti sepuluh orang. Ki Kalawuku 
menerobos hutan. Namun tiba-tiba langkah kakinya 
terhenti, ketika telinganya mendengar suara gelak tawa 
dari dalam hutan. Kening Ki Kalawuku berkerut dalam 
"Hi hi hi...! Lucu sekali kalian. Mengapa kalian 
harus lari-lari seperti dikejar setan? Hua ha ha...!"  
"Hei, sepertinya ada orang di dalam hutan ini, 
selain Ki Wulung dan istrinya," gumam Ki Kalawuku. 
"Didengar dari suaranya, tentunya orang yang 
tertawa itu masih muda. Suaranya aneh, seperti orang 
gila saja." 
Ki Kalawuku menggerakkan tangan kanannya 
memberi perintah pada sepuluh anak buahnya untuk 
menerobos masuk dan melihat siapa pemuda yang se-
perti orang gila itu. 
Mata Ki Kalawuku dan kesepuluh pengikutnya 
terbelalak, ketika melihat seorang pemuda berpakaian 
rompi kulit ular tengah tertawa tergelak gelak. Di ha-
dapannya duduk dengan kaki ditekuk Ki Wulung ber-
sama istrinya. 
"Hua ha ha...! Orang-orang aneh," gumam pe-
muda berpakaian rompi kulit ular yang tak lain Sena 
sambil menggaruk-garuk kepala. "Kalau kalian tak sa-
lah, mengapa mesti lari?" 
"Sungguh.  Tuan. Kami tak salah.... Kami tak 
tahu apa-apa dengan kejadian di desa kami," jawab Ki 
Wulung dengan kepala menengadah, menatap wajah 
Pendekar Gila yang masih cengengesan. 
"Bagus! Rupanya kalian ada di sini! Kami cari-
cari, akhirnya kami temukan juga...!" 
Tiba-tiba Sena dikejutkan oleh suara bentakan 
dari utara. Cepat Sena memandang ke asal suara itu. 
Nampaklah seorang lelaki tinggi tegap berkumis melin-
tang diikuti sepuluh orang penduduk desa. 
"Aha, siapa lagi kalian?" tanya Sena masih den-
gan gerik-geriknya yang seperti orang gila. Tangannya 
kembali menggaruk-garuk kepala. Mulutnya nyengir 
kuda. 
"Bocah edan! Seharusnya kami yang bertanya, 
bukan kau?!" bentak Ki Kalawuku. "Siapa kau dan dari 
mana kau serta hendak apa kau ke desa kami?" 
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Ki? Hua ha ha...!" 
Sena tertawa tergelak-gelak sambil berjingkrakan se-
perti kera. 
Sementara Ki Wulung dan istrinya bertambah 
tegang, menyaksikan kedatangan Ki Kalawuku dan ke-
sepuluh pengikutnya. Mereka menyadari, kalau Ki Ka-
lawuku dan kesepuluh orang itu tentu akan menang-
kapnya. 
Menghadapi sepuluh orang warga Desa Kem-
bang Tebu dan Ki Kalawuku, mungkin Ki Wulung ma-
sih sanggup. Tapi jika pemuda bertingkah laku seperti 
orang gila itu ikut membantu, mungkin Ki Wulung 
akan kelabakan juga. 
"Tuan, sungguh  kami tak tahu masalahnya." 
ujar Ki Wulung mengharap pengertian Pendekar Gila. 
Sena tertawa terbahak-bahak. 
"Aha, aku tak tahu apa yang tengah terjadi 
dengan kalian. Tapi baiklah, kurasa ada baiknya kita 
ngobrol. Hi hi hi...," Sena tertawa cekikikan. "Namaku 
Sena, aku hanya ingin lewat di desa kalian." 
"Aku tak peduli siapa dirimu. Aku hanya ingin 
menangkap kedua orang itu!" bentak Ki Kalawuku. 
"Serahkan kedua orang tua itu, kemudian kuharap 
kau cepat pergi dari tempat ini!"  
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak menden-
gar ucapan Ki Kalawuku. Tangannya kembali mengga-
ruk-garuk kepala. Dengan mulut nyengir, matanya 
memandang ke langit. 
"Aha, sungguh berartikah kedua orang tua ini 
bagi kalian?" tanya Sena. 
"Ya! Keduanya harus kami tangkap!" 
"Hi hi hi...! Enak sekali kalian hendak menang-
kap orang! Ah ah ah.... Apakah kalian punya bukti 
yang memberatkan mereka bersalah?" tanya Sena. 
"Ya! Keduanya bersekutu dengan orang yang te-
lah membuat keonaran di desa kami," tukas Ki Kala-
wuku. 
Pendekar Gila menatap wajah Ki Wulung yang 
masih terdiam di belakangnya. 
"Aha, benarkah itu, Ki?" tanya Sena. 
"Tidak! Kami tak tahu apa-apa dengan masalah 
itu," jawab Ki Wulung. 
"Aha, lalu apa yang sebenarnya terjadi?" 
"Desa kami akhir-akhir ini diteror seseorang 
yang telah membunuh beberapa orang," tutur Ki Kala-
wuku menjelaskan. 
"Hi hi.hi..! Apakah kedua orang tua ini orang 
baru di desa kalian...?" tanya Sena. 
"Kami lama di desa itu, Tuan. Malah sebelum 
mereka datang, kami telah lebih dulu tinggal di Desa 
Kembang Tebu," selak Nyi Wulung. 
"Hm, aneh...! Kurasa keduanya tak salah, Ki. 
Mengapa kalian memburu mereka?" tanya Sena. 
"Huh, bagaimanapun juga, kami tak mungkin 
dibohongi olehmu, Orang Tua Gila! Bukankah pembu-
nuh gelap itu selalu menolongmu?!" dengus Ki Kala-
wuku gusar. "Dan kuminta padamu, Bocah. Jangan 
ikut campur urusan kami!" 
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak men-
dengar ancaman Ki Kalawuku. Tingkah lakunya yang 
seperti orang gila, semakin menjadi-jadi. Ki Kalawuku 
yang tak sabar kian bertambah jengkel. 
"Tangkap kedua orang tua itu...!" perintah Ki 
Kalawuku pada kesepuluh anak buahnya yang seren-
tak maju hendak menangkap Ki Wulung dan istrinya. 
Melihat kesepuluh anak buah Ki Kalawuku ma-
ju hendak menangkap Ki Wulung, Pendekar Gila yang 
melihat kalau kedua orang tua itu tampaknya tak ber-
salah, segera menghadang mereka. 
"Aha, mengapa kalian berbuat seenaknya sen-
diri? Kurasa kalian telah salah sangka...." 
"Tutup mulutmu, Bocah Edan!" bentak Ki Ka-
lawuku. Kemudian pandangannya beralih pada anak 
buahnya. "Dialah yang telah membuat desa kita terce-
kam ketakutan. Mungkin pemuda itulah pelaku pem-
bunuhan itu! Serang dia...!" 
"Yeaaa...!" 
"Hiaaa...!" 
Dengan golok-golok terhunus, sepuluh pengi-
kut Ki Kalawuku segera merangsek maju, bermaksud 
menangkap Pendekar Gila dan kedua suami istri itu. 
"Aha, rupanya kalian benar-benar berkepala 
batu! Baik.... Mari kita main-main. Yeaaa...!" 
Dengan  jurus  'Si Gila Menari Menepuk Lalat', 
Sena segera memapaki serangan sepuluh anak buah 
Ki Kalawuku. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, 
dengan sesekali disertai tepukan tangan ke dada la-
wan. 
Merasa ada yang membela, Ki Wulung pun tak 
mau tinggal diam. Lelaki tua itu segera bergerak guna 
menghadapi sepuluh anak buah Ki Kalawuku. 
"Yeaaa...!" 
"Kurang ajar! Rupanya kalian mencari mam-
pus!" dengus Ki Kalawuku gusar. Dengan pedang siap 
di tangan, Ki Kalawuku melesat menyerang Ki Wulung. 
"Terimalah kematianmu, Tua Bangka!"  
Wut! 
"Uts! Hup...!". 
Ki Wulung memiringkan tubuhnya ke kanan, 
mengelakkan serangan yang dilancarkan Ki Kalawuku. 
Kakinya diangkat dengan lutut menekuk. Kemudian 
dengan keras dihantamkan ke pinggang lawan. 
"Hih!"  
Ki Kalawuku segera menarik serangannya dan 
melompat ke belakang dengan cepat. Kemudian den-
gan cepat pula dia kembali menyerang. Pedang di tan-
gannya bergerak cepat menggunakan jurus ‘Walang 
Jaga Turi’ membabat dan menusuk tubuh lawan 
Wut! 
"Heaaa...!" 
Melihat serangan lawan disertai tenaga dalam 
yang cukup tinggi, Ki Wulung pun lebih berwaspada. 
Kakinya segera menjejak ke samping, berlompatan se-
bentar kemudian kembali menyerang dengan jurus 
‘Lurung Merangsek Mencakar Lawan’. Gerakannya se-
perti seekor lutung. Tangannya membuat cengkeraman 
kuat dan memburu Ki Kalawuku.  
"Hiaaa...!" 
Tangan kanan Ki Wulung maju mencengkeram 
ke wajah lawannya dengan cepat, disusul dengan sa-
puan kaki kanannya yang menendang ke kaki lawan. 
Wrrrt! 
Di pihak lain, Pendekar Gila yang menghadapi 
keroyokan sepuluh anak buah Ki Kalawuku nampak 
tenang. Gerakan Sena tampak baru sekadar untuk 
memapak dan bertahan, belum mulai melancarkan se-
rangan. Tepukan-tepukan tangannya tidak sekuat se-
perti biasanya. 
"Hi hi hi...! Hua ha ha...!" 
Pendekar Gila tertawa-tawa sambil tubuhnya 
meliuk-liuk. Sesekali tangannya merenggut pakaian 
lawan, kemudian menggaruk-garuk kepalanya. Setelah 
itu tubuhnya melenting dan berjumpalitan seraya 
menggaruk-garuk pantat 
Suasana Hutan Waradas seketika menjadi riuh 
oleh jeritan dan pekikan dari mulut mereka yang me-
lakukan serangan. Banyak pepohonan kecil tumbang 
terinjak dan terbabat senjata tajam. 
*** 
"Hi hi hi...! Kalian memang lucu dan aneh. 
Mengapa kalian kebingungan? Nih untuk kalian...!" se-
ru Sena sambil menunggingkan pantatnya ke arah la-
wan-lawannya. Lalu dari mulutnya terdengar suara se-
perti kentut  
Brut...! 
"Hi hi hi! Enak bukan?!" 
"Setan alas! Jangan biarkan pemuda gila itu lo-
los! Serang dia...!" seru Ki Kalawuku sambil melesat 
menyerang Ki Wulung dengan babatan pedangnya 
yang cepat. 
Serentak sepuluh orang anak buah Ki Kalawu-
ku merangsek maju, membabat Pendekar Gila dengan 
golok terhunus. Serangan datang dari segenap penjuru 
dan secara bersamaan. 
"Ku rencah tubuhmu, Bocah!" 
"Kubikin sate tubuhmu. Hih...!" 
Pendekar Gila dengan tertawa-tawa segera me-
lentingkan tubuh ke udara, lalu dengan cepat tangan-
nya menjitak kepala orang-orang yang menyerangnya. 
Pletak! 
"Aduh!" 
"Hi hi hi...! Enak bukan?" Sena terus bergerak, 
menjitaki kepala mereka. Tubuhnya berkelebat melent-
ing ke atas, bersalto, dan kembali menjitaki kepala la-
wan. 
Pletak! 
"Akh!" 
Jeritan kesakitan seketika terdengar susul-
menyusul dari mulut kesepuluh orang yang menyerang 
Pendekar Gila. Bagaikan ayam terkena penyakit, mere-
ka berputar-putar dengan tangan memegangi kepala 
yang terasa sakit dan benjol akibat jitakan tangan 
Pendekar Gila. 
"Hua ha ha...! Lucu sekali kalian. Dunia seperti 
berputar, bukan?! Hua ha ha...!" Sena tertawa terge-
lak-gelak sambil menggaruk-garuk  kepala, menyaksi-
kan kesepuluh pengeroyoknya memegangi kepala se-
perti orang ayan. 
"Waduh! Tolong...!" 
Sementara itu, Ki Wulung melakukan serangan 
gencar. Jurus-jurus lutungnya sangat cepat. Kini den-
gan jurus 'Lutung Berayun Menendang Lawan', Ki Wu-
lung melenting ke atas, kedua kakinya bergerak me-
nendang. 
"Heaaa...!" 
Wrt! 
"Ups! Hup! Hih...!" 
Ki Kalawuku segera berkelit dengan membuang 
tubuh ke samping kiri. Kemudian dengan cepat pula 
pedangnya dibabatkan ke atas, terarah ke tubuh Ki 
Wulung yang berada di atasnya. 
Wut!