Pendekar Gila 22 - Kutukan Berdarah(1)



Firman Raharja  
Serial Pendekar Gila  
dalam episode:  
Kutukan Berdarah

Padepokan Goa Naga yang terletak di lereng 
Gunung Bromo, meskipun cukup besar, bentuk ban-
gunannya tampak sederhana. Dindingnya terbuat dari 
kayu, yang mungkin berasal dari pepohonan di sekitar 
lereng gunung itu. 
Padepokan itu hanya dihuni dua orang, guru 
dan murid. Sang Guru yang bernama Ki Pramanu be-
rusia sekitar tujuh puluh tahun. Sedangkan murid sa-
tu-satunya berusia sekitar dua puluh lima tahun, ber-
nama Sugali. 
Saat itu, di dalam padepokan, Ki Pramanu ten-
gah duduk menjalani semadi. Lelaki tua berkumis dan 
berjenggot panjang itu, nampak duduk bersila di atas 
sebuah batu datar. Matanya terpejam rapat Tampak-
nya kakek berjubah merah itu, benar-benar memu-
satkan hati dan pikirannya. Hikmat dan begitu tenang. 
Ketika Ki Pramanu sedang khusyuk semadi, 
Sugali masuk. Kedatangan sang Murid membuat Ki 
Pramanu menghentikan semadinya. 
"Ada apa, Gali? Kulihat wajahmu gelisah. Aku 
tahu hatimu tak tenang," gumam Ki Pramanu seraya 
menatap wajah Sugali. 
"Hhh...! Aku akan mencari Pendekar Gila, 
Guru," jawab Sugali dengan dada naik turun, seperti 
tengah menahan kemarahan. Dendamnya pada Pende-
kar Gila berkobar-kobar laksana api. Dendam seorang 
anak yang ingin menunjukkan bakti kepada kedua 
orang-tuanya. Tak mampu dilupakan kematian orang-
tuanya di tangan seorang pendekar pembela kebena-
ran dan keadilan yang tak lain Sena Manggala atau 
Pendekar Gila. 
Ki Pramanu masih terdiam, belum memberi 
tanggapan. Matanya memperhatikan wajah Sugali yang 
gelisah. 
"Dia telah membunuh kedua orangtua ku." 
"Hm... aku tahu, Sugali. Namun apa kau telah 
tahu masalah sebenarnya...?" tanya Ki Pramanu. Lela-
ki tua itu seakan menyatakan ketidaksetujuannya ter-
hadap rencana sang Murid. Dirinya tahu benar siapa 
Sena Manggala sebenarnya. Lebih dari itu, Ki Pramanu 
tahu benar apa sebenarnya yang telah terjadi pada ke-
dua orangtua Sugali. 
"Sudah, Guru," dengus Sugali penuh amarah, 
yang membuat Ki Pramanu hanya mampu mendesah 
panjang. 
Sebenarnya sang Guru tak menghendaki murid 
satu-satunya itu harus bermusuhan dengan Pendekar 
Gila. Namun nampaknya keadaan menghendaki lain. 
Sugali memang anak sepasang tokoh beraliran sesat. 
Ayahnya bernama Prikada. Sedangkan sang Ibu yang 
juga sealiran dengan suaminya bernama Dripadi. 
"Tapi kedua orangtua mu yang salah dalam hal 
ini, Sugali." 
"Memang kedua orangtua ku yang salah," Suga-
li menghela napas berat 
"Nah, mengapa engkau mesti memperuncing 
permasalahan...?" tanya Ki Pramanu. 
"Sebagai seorang anak yang berbakti, tentunya 
aku harus membela kedua orangtua ku," ujar Sugali 
masih dengan perasaan marah. 
"Walau itu tindakan yang salah?" tanya Ki Pra-
manu. 
"Ya!" tegas Sugali. 
"Oooh...!" sang Guru mendesah panjang. Dige-
lengkan kepala, seakan hendak membuang beban be-
rat dalam benaknya. "Sungguh kau tak memikirkan 
akibatnya, Gali!" ujar Ki Pramanu. 
"Aku sudah memikirkannya, Guru," sahut Su-
gali ketus. "Aku sudah mempersiapkan segala akibat-
nya yang bakal terjadi...." 
"Heh, kau memang pemberani! Tetapi kebera-
nianmu tidak pada tempatnya," gumam Ki Pramanu. 
"Seharusnya kau bersyukur, ayah dan ibumu dapat 
mati dengan sempurna. Kalau tanpa bantuan Pende-
kar Gila, kedua orangtua mu akan menjadi hamba se-
tan untuk selamanya!" 
"Guru membela dia?" tanya Sugali dengan nada 
tak suka. 
Ki Pramanu kembali menarik napas panjang. 
Ucapan sang Murid seakan menusuk tajam, menghu-
jam di lubuk hatinya. Kini lelaki tua itu, merasa seperti 
dalam keadaan yang serba salah. Padahal dirinya 
memperingatkan sang Murid, karena tak ingin Sugali 
menjadi korban Pendekar Gila. Cukup kedua orangtu-
anya saja yang menjadi korban. 
Sebenarnya Ki Pramanu pun menyimpan den-
dam terhadap Pendekar Gila. Namun bila dirasa, den-
dam tak akan pernah habis. Dendam kesumat seperti 
itu hanya akan menyebabkan pertumpahan darah. Bi-
la ingat dan sadar akan hal itu, maka lelaki tua itu 
pun segera menguburkannya dalam-dalam. 
Kini, Ki Pramanu kembali diingatkan pada ma-
salah adik seperguruannya, yang mati di tangan Pen-
dekar Gila. Namun, seperti  kedua orangtua Sugali, 
adiknya pun merupakan tokoh aliran sesat. Ya, Datuk 
Raja Beracun adalah orang sesat. Maka sewajarnyalah 
kalau Pendekar Gila menumpasnya. 
Bukan dirinya merasa takut terhadap pendekar 
muda itu, tapi percuma saja. Bukan kemenangan yang 
akan diperolehnya, melainkan kebinasaan yang sia-sia. 
Ilmu pendekar itu sangat tinggi. Jangankan tokoh se-
perti dirinya. Para datuk dan siluman pun akan bin-
gung bila harus menghadapi Pendekar Gila, apalagi ka-
lau pendekar yang bertingkah laku seperti orang  gila 
itu telah mengeluarkan senjatanya, berupa suling. 
"Aku bukan membelanya, Gali," ujar Ki Prama-
nu dengan suara lemah. Dirinya sadar kalau Sugali 
bukan anak-anak lagi. Muridnya kini telah dewasa. 
Berhak menentukan sendiri jalan hidupnya. Namun, 
bila sang Murid salah melangkah, apakah harus ber-
diam diri begitu saja? Guru macam apakah dia? "Aku 
hanya ingin mengingatkan padamu, siapa sebenarnya 
Pendekar Gila." 
Sugali terdiam mendengar ucapan Ki Pramanu. 
Seakan ucapan sang Guru menyentakkan dirinya un-
tuk kembali berpikir. Memang kalau dipikir benar-
benar, kedua orangtuanya yang salah dalam hal ini. 
Kedua orangtuanya yang telah menyebabkan Pendekar 
Gila melakukan tindakan itu. Karena bila tidak, ben-
cana akan mengancam kehidupan manusia. 
Kedua orangtuanya telah bersekutu dengan Bu-
to Ijo, iblis yang mampu memberi kehidupan. Buto Ijo 
itu dapat memberi kekayaan untuk mencukupi bagi 
kehidupan pemujanya. 
Sebuah persekutuan dengan iblis yang saling 
keterkaitan. Kedudukan orangtua Sugali harus selalu 
menyediakan korban yang disebut tumbal untuk sang 
Buto. Sementara orangtuanya pun mendapatkan imba-
lan berupa harta kekayaan yang datang sendiri bila te-
lah mempersembahkan tumbal. 
Bila hal itu berjalan terus-menerus, kekayaan 
orangtua Sugali makin menumpuk. Sementara manu-
sia  akan makin berkurang, dibunuh sebagai tumbal 
persembahan bagi Buto Ijo. 
Kalau saja Sugali berpikir jauh, bukankah 
adiknya sendiri telah dijadikan tumbal pertama? Tum-
bal untuk menentukan kuat tidaknya Prikada dan Dri-
padi menghadapi ujian. Tumbal inilah yang  akhirnya 
menyebabkan kedua orangtua Sugali itu kuat dan ta-
han terhadap jeritan kematian para tetangga atau 
anak-anaknya ketika dimangsa sang Buto Ijo. 
Bila mengingat itu semua, seketika Sugali me-
nangis. Menangis meratapi kesesatan yang dilakukan 
orangtuanya, 
"Tapi mereka melakukan juga karena aku," 
gumam Sugali dalam hati. "Ya, karena akulah kedua 
orangtua ku harus menyimpang dari keadaan sebe-
narnya. Aku memang yang menginginkan kedua 
orangtua ku kaya. Aku malu, bila mendengar segala 
cemooh dari tetangga yang tak menginginkan diriku 
main dengan anak-anaknya karena aku miskin. 
Oooh...!" 
"Sepertinya engkau mengenang sesuatu, Gali?" 
tanya sang Guru yang melihat perubahan di wajah 
muridnya. "Apa yang tengah engkau pikirkan?" 
Sugali tersentak kaget. Dengan secara tak sen-
gaja matanya menatap wajah tua di hadapannya. Wa-
jah lelaki tua yang seakan mengandung ribuan goresan 
pengalaman hidup, baik yang senang maupun susah. 
Seraut wajah gurunya, yang terselubung dengan ke-
misteriusan. 
Sampai sekarang pun sebenarnya Sugali belum 
mengenal siapa dan dari mana Ki Pramanu. Nama 
sang Guru, seakan tiada melekat. Aneh memang. Se-
lama lima tahun dirinya berguru pada lelaki tua renta 
berambut serba putih itu, tapi tak pernah sekalipun 
mengetahui siapa sebenarnya sang Guru. Sepertinya 
sang Guru sengaja selalu menyembunyikan jati di-
rinya. Atau barangkali Ki Pramanu menyimpan rasa 
takut sehingga menyembunyikan jati dirinya. Namun, 
takut pada siapa gurunya? Bukankah lelaki tua itu be-
rilmu tinggi? 
"Guru, apakah aku bersalah jika membela 
orangtua ku?" tanya Sugali. "Apakah salah jika aku 
mendendam pada orang yang telah membinasakan ke-
dua orangtua ku?" 
Ki Pramanu kembali tercenung diam. Hatinya 
menjerit, mendengar pertanyaan Sugali. Dirinya men-
dadak merasa bersalah, telah mengangkat manusia 
pendendam dan picik sebagai murid. Seorang anak 
yang telah tega menjerumuskan kedua orangtuanya, 
untuk melangkah di jalan yang salah. Jalan yang se-
sat. Manusia angkuh yang hanya mementingkan diri 
sendiri, walaupun harus mengorbankan saudaranya 
sendiri. 
"Ooo...!" keluh Ki Pramanu dalam hati. Tak dis-
adari, wajahnya kini nampak muram. Segala ingatan 
pada Datuk Raja Beracun kembali melintas, menguak 
kalbu untuk mengenang kembali kejadian yang me-
nimpa adik seperguruannya itu. 
Adik seperguruannya pun sesat, karena menu-
ruti hasratnya. Datuk Raja Beracun, akhirnya mati di 
tangan Pendekar Gila setelah malang-melintang di 
rimba persilatan, sebagai datuk sesat yang banyak 
membuat keonaran. 
"Ya, kau memang salah. Kesalahan pada tinda-
kanmu yang hanya menuruti nafsu setan belaka," ujar 
Ki Pramanu dengan tegas. "Kalau saja dulu kau tak 
merengek-rengek agar kedua orangtua mu kaya, tentu 
keadaannya tak seperti ini. Hhh...! Nasi sudah menjadi 
bubur. Segalanya kini kuserahkan kepadamu. Kaulah 
yang berhak menentukan. Aku tak bisa membantu-
mu." 
Sugali terpaku diam, tak dapat berkata apa-
apa. Harapan agar sang Guru bersedia membela dan 
membantunya menghadapi Pendekar Gila, seketika 
pupus. Meski begitu Sugali bertekad harus menghada-
pi Pendekar Gila. Dirinya harus membalas dendam 
terhadap Pendekar Gila yang telah membunuh kedua 
orangtuanya. 
*** 
Lama guru dan murid itu terdiam dengan piki-
ran masing-masing. Sugali masih berusaha merenung-
kan kata-kata yang tadi diucapkan Ki Pramanu. Ha-
tinya masih bertanya-tanya, "Mungkinkah sang Guru 
akan membiarkan diriku bertarung dengan Pendekar 
Gila? Nampaknya Ki Pramanu sendiri enggan, bahkan 
ada rasa takut untuk berhadapan dengan Pendekar Gi-
la." 
"Mengapa guru sepertinya takut pada Pendekar 
Gila?" tanya Sugali dalam hati, merasa heran karena 
gurunya seperti takut pada Pendekar Gila. 
"Apakah Guru mengizinkan ku mencari dia?" 
tanya Sugali. 
"Apakah Guru mengizinkan aku menuntut ba-
las terhadap Pendekar Gila?" ulang Sugali mene-
gaskan. 
"Tidak!" sahut Ki Pramanu tegas. 
"Kenapa...?" Sugali menatap wajah lelaki tua itu 
penuh keheranan. 
Untuk sekian kalinya, Ki Pramanu menarik na-
pas panjang. Berat rasanya untuk menjawab perta-
nyaan sang Murid. Dirinya serba terjepit. Ke mana ia 
melangkah, jelas akan mendapatkan kesalahan. Mem-
bela muridnya, jelas dan pasti akan menghadapi kesa-
lahan besar yang berbuntut harus berhadapan dengan 
Pendekar Gila. Bila diam saja, apa artinya seorang 
guru yang membiarkan sang Murid harus menghadapi 
segala masalah hidupnya sendiri. 
"Bagaimana, Guru?" desak Sugali. 
"Apakah tak ada jalan lain, Sugali?" 
"Tidak ada." 
"Hm...!" gumam Ki Pramanu. "Rupanya kau 
hanya berpikir pada satu jalan, Muridku. Aku kira, ada 
jalan lain agar kita tak harus bentrok dengannya." 
"Yang Guru maksudkan, kita damai?" tukas 
Sugali. 
"Ya!" jawab Ki Pramanu.  
"Ah...!" 
"Kenapa, Gali?" 
"Tidak! Aku tidak mau!" 
"Lalu apa yang kau mau, Gali?" 
"Kematian! Dia atau aku yang harus mati," Su-
gali menyeringai, seolah-olah tengah memberikan tan-
da pada sang Guru, bahwa dirinya telah siap menang-
gung akibat. 
"Ah...!" pekik Ki Pramanu kaget. 
"Rupanya Guru takut menghadapinya," sindir 
Sugali dengan nada sinis. "Hm, tak kusangka kalau 
guruku sepengecut itu!" 
"Sugali! Lancang kau bicara!" bentak Ki Prama-
nu marah. 
Sugali hanya mencibirkan mulut, seakan me-
mang benar-benar ingin mengejek gurunya yang pena-
kut. Sugali sungguh tak menyangka kalau gurunya se-
pengecut itu. Ki Pramanu yang telah dianggapnya 
orang paling sakti, ternyata takut menghadapi Pende-
kar Gila. 
"Aku bicara benar, Guru! Kalau Guru memang 
tak mau dianggap pengecut, tentunya Guru mau 
membantuku." 
"Bukankah selama lima tahun aku telah mem-
bantumu?!" bentak Ki Pramanu geram. 
"Mendidik maksudmu?" Sugali kembali menci-
bir. 
"Ya...!"  
"Itu sudah kewajiban. Seorang guru wajib men-
didik muridnya!" Sugali nampak ngotot bicara, tak 
mempedulikan dengan siapa dirinya berbicara. 
Ki Pramanu tersentak kaget mendengar ucapan 
muridnya yang sangat keterlaluan. Hatinya kini terba-
kar amarah yang dinyalakan muridnya. Mata lelaki itu 
menatap tajam wajah Sugali, seakan-akan hendak 
menelan bulat-bulat tubuh sang  Murid. Nafasnya 
mendesah berat, terasa sesak di dalam dada. Sebagai 
seorang guru, jelas dirinya tak mau menerima hinaan 
seperti itu dari sang Murid 
"Bagaimana? Apa engkau masih memungkiri?" 
tanya Sugali, dengan senyum sinis. 
Makin terasa menyesak dada Ki Pramanu men-
dengar ucapan Sugali. 
"Murid celaka! Kau tak ubahnya seperti iblis!" 
dengus Ki Pramanu marah. 
"Kaulah yang celaka, Orang Tua!" bentak Sugali 
tak mau kalah. 
"Sekali lagi kau berkata begitu, maka tak se-
gan-segan aku menghajarmu, Gali!" ancam Ki Prama-
nu. 
Ki Pramanu benar-benar marah mendengar 
ucapan muridnya yang dirasa sangat menjengkelkan. 
"Kalau engkau mau menghajarku, lakukanlah 
bila berani!" tentang Sugali. 
"Iblis!" rutuk Ki Pramanu semakin marah. 
"Hm, kau tak berani bukan?" ujar Sugali sinis, 
melihat gurunya yang sudah mengangkat tangan na-
mun diurungkan. 
"Bedebah! Kau berani menentangku, Gali?" 
"Huh, kaulah yang mendahului." 
Ki Pramanu tak mampu menahan amarah. Na-
fasnya makin memburu. Marah dan kesal melanda ha-
tinya. Mata tuanya kini nampak memerah, seakan 
hendak menghujam ke dalam kalbu Sugali 
"Minggat kau dari sini!" seru Ki Pramanu, meli-
hat Sugali masih tersenyum mencibirkan bibir. 
"Kau yang harus minggat!" 
Tak kalah geram, Sugali membentak Ki Prama-
nu. Kini, kedua murid dan guru itu telah sama-sama 
berdiri. Di wajah mereka tergambar ketegangan. Mata 
ke-duanya saling menatap tajam, seakan tak seorang 
pun yang mau mengalah untuk mengakhiri perselisi-
han itu. Sugali merasa dirinya telah mampu dan men-
jadi seorang pendekar. Kini berani merendahkan gu-
runya yang telah lima tahun mendidik dan membim-
bingnya sebagai anak dan murid. 
"Apa hakmu, Anak Iblis!" bentak Ki Pramanu 
geram. 
"Kalau tak minggat secepatnya, jangan salah-
kan aku menghajarmu, Orang Tua!" ancam Sugali. 
Gusar dan marah hati Ki Pramanu mendengar 
ucapan muridnya yang kurang ajar itu. Sebagai seo-
rang guru, apalagi sebagai orang tua, jelas dirinya tak 
mau diperlakukan sekasar itu. Perlakuan yang dirasa-
kan telah menginjak-injak kehormatan sekaligus harga 
dirinya. 
"Setan! Kalau aku tak mau, kau mau apa, Mu-
rid Durhaka?" 
Sugali tersenyum sinis. Matanya yang merah 
menatap tajam Ki Pramanu. 
"Tua bangka cerewet! Kalau kau tetap tak mau, 
maka kematian untukmu!" 
Tersentak Ki Pramanu ketika melihat Sugali 
mencabut pedang yang tergantung di dinding padepo-
kan. Pedang Dewa Naga miliknya yang merupakan pe-
dang pusaka itu, kini tengah ditimang-timbang di tan-
gan Sugali. 
"Kau...!" pekik Ki Pramanu dengan mata mem-
belalak kaget, melihat muridnya telah memegang Pe-
dang Dewa Naga. 
"Ya! Kau boleh memilih, menurut denganku 
atau selembar nyawa tuamu harus melayang dari ra-
gamu yang telah bau tanah?!" ancam Sugali dengan 
tersenyum sinis. 
Ki Pramanu menyurut mundur, ketika Pedang 
Dewa Naga diacungkan ke tubuhnya. Matanya nampak 
membeliak. Mata tua itu sepertinya menyiratkan rasa 
takut yang teramat sangat. Bayang-bayang kematian 
akibat Pedang Dewa Naga kembali tergambar di pelu-
puk matanya. Kalau sudah keluar dari warangkanya, 
Pedang Dewa Naga itu mau tak mau harus merenggut 
nyawa. 
Ki Pramanu terus menyurut mundur, ketika 
Pedang  Dewa Naga di tangan Sugali semakin diarah-
kan ke tubuhnya. Di telinganya terdengar seruan seo-
rang lelaki tua yang jelas-jelas dikenalnya. Suara itu 
seperti mengejeknya. Pemilik suara itu tak lain Daeng 
Susukan, Pendekar Tanah Toraja. Seorang daeng ali-
ran lurus, yang dibunuhnya ketika dirinya masih bera-
liran sesat 
"Pramanu, bukankah pembalasan itu akhirnya 
datang? Beruntung kini engkau telah lurus. Kalau tidak, 
niscaya engkau akan menjadi orang celaka di alam ke-
matian. Alam tempatku kini berada. Terimalah sega-
lanya Pramanu. Karena semua harus berjalan dengan 
semestinya. Hukum karma akan selalu berbicara. Dulu 
aku mati di Pedang Dewa Naga milikku. Kini kau pun 
mengalami hal yang serupa," suara itu terus terngiang-
ngiang di telinga Ki Pramanu. Ucapan Daeng Susukan 
itu telah mengingatkan kembali tentang hukum karma 
di dunia ini. 
Ki Pramanu makin ketakutan. Dia semakin 
mundur, setapak demi setapak menjauhi Pedang Dewa 
Naga di tangan Sugali. Kemudian, setelah sampai di 
pintu, dengan cepat lelaki tua itu melompat dan berlari 
keluar dari padepokannya. 
"Mau lari ke mana, Tua Bangka?!" seru Sugali. 
Dengan Pedang Dewa Naga masih di tangan, Sugali te-
rus mengejar gurunya. "Ke mana pun kau lari aku 
akan mengejarmu!" 
Ki Pramanu terus berlari tanpa menghiraukan 
ucapan Sugali. Rasa takut terus membayang di wajah-
nya. Apalagi suara Daeng Susukan terus terngiang-
ngiang di telinganya. Pendekar dari Tanah Toraja itu 
seakan-akan terus mengejarnya. Karena rasa takut itu, 
Ki Pramanu tak memperhatikan di depannya. Sebuah 
batu sebesar kepala terbentur kakinya. Seketika tubuh 
lelaki tua berjubah merah itu tersuruk dan jatuh. 
Blukkk! 
"Aduh...!" 
"Hua ha ha...! Kini kematianmu sudah di am-
bang pintu, Tua Bangka!" seru Sugali sambil tertawa 
terbahak-bahak. 
Sugali melangkah mendekati tubuh Ki Pramanu 
yang masih tergeletak di tanah. Di bibirnya masih ter-
sungging senyum sinis. Pedang Dewa Naga diangkat 
tinggi-tinggi, siap menghujam ke tubuh Ki Pramanu. 
Namun, pedang itu terus menggantung, seakan ada 
sesuatu kebimbangan di hati Sugali. 
"Jangan lakukan, Gali!" seru sebuah suara 
yang ada di dalam hatinya, "Kau akan menyesal jika 
melakukannya! Dia gurumu, yang telah berjasa pada-
mu!" 
"Bodoh, jika kau tak melakukannya!" seru sua-
ra lain. "Kalau dia masih hidup, senantiasa akan men-
jadi penghalang niatmu! Lakukanlah agar kau bebas 
dari-nya! Dengan Pedang Dewa Naga, kau akan menja-
di tokoh sakti!" 
Sugali nampak masih bimbang. Terlebih ketika 
menyaksikan gurunya ketakutan, meratap agar dirinya 
tak melakukan pembunuhan terhadapnya. Namun bi-
sikan iblis untuk membunuh, terus menggelitik batin 
Sugali. 
Melihat muridnya masih dalam kebimbangan, 
Ki Pramanu tak menyia-nyiakan kesempatan. Lelaki 
tua berjenggot putih itu segera bangkit berdiri, kemu-
dian dengan cepat bergerak menyerang Sugali. 
"Mampuslah, Murid Durhaka! Hea...!" 
Sugali yang tak menyangka kalau gurunya 
akan menyerang, tersentak kaget. Dirinya berusaha 
berkelit dari serangan Ki Pramanu. Namun gerakannya 
terlambat. Tanpa ampun lagi, sebuah pukulan keras 
yang dilancarkan lelaki tua berjubah merah itu menda-
rat telak di bawah pundak sebelah kirinya. 
Degk! 
"Ukh...!" keluh Sugali dengan tubuh terhuyung-
huyung mundur. Mulutnya meringis kesakitan. Ma-
tanya terbelalak menatap Ki Pramanu. Dari sela bibir-
nya, meleleh darah segar. "Keparat! Kubunuh kau, Tua 
Bangka Keparat! Hea...!" 
Dengan amarah yang meluap-luap, Sugali sege-
ra membabatkan Pedang Dewa Naga ke tubuh Ki Pra-
manu. 

Wrt! 
"Aits! Heg...!" 
Dengan cepat Ki Pramanu melompat ke bela-
kang, mengelakkan sabetan pedang di tangan murid-
nya. Kaki kanannya ditekuk, sedangkan kaki kiri ber-
gerak cepat menendang ke dada Sugali. 
Wrt! 
"Yeaaa...!" 
Melihat gurunya menyerang, Sugali yang sudah 
marah segera merangsek. Pedang Dewa Naga di tan-
gannya bergerak menusuk, kemudian membabat. Se-
mentara tangan kiri dan kaki kanannya pun tak ting-
gal diam, turut melakukan serangan dengan pukulan 
dan tendangan. 
"Hea!" 
Pertarungan antara guru dan murid itu sema-
kin seru. Keduanya tak ingin menyia-nyiakan waktu. 
Mereka saling mengeluarkan jurus-jurus andalan, 
yang bernama 'Belitan Naga'. 
"Hea!" 
"Yea!" 
Jika sama-sama bertangan kosong, Ki Pramanu 
mampu mengimbangi serangan muridnya. Bahkan 
mungkin dapat mengalahkannya dalam waktu tak ter-
lalu lama. Namun kini Sugali memegang Pedang Dewa 
Naga, yang memiliki kekuatan tersendiri bagi peme-
gangnya. Pedang itu seakan mampu menambah keku-
atan daya serang pemegangnya. Terbukti Ki Pramanu 
kelihatan mulai terdesak, karena tebasan dan tusukan 
yang dilancarkan Sugali.  
"Hea!" 
"Celaka! Dia benar-benar ingin membunuhku," 
keluh Ki Pramanu sambil berusaha mengelitkan sabe-
tan-sabetan Pedang Dewa Naga yang mampu mengelu-
arkan hawa panas. 
Wrt! 
Wuttt! 
"Aits!" Ki Pramanu melompat mundur, menge-
lakkan serangan yang dilancarkan Sugali. Kemudian 
dengan sebisanya, Ki Pramanu balas menyerang lewat 
tendangan kaki kanannya ke dada lawan, "Hea!" 
"Mampuslah, Tua Bangka Keparat! Hea...!" sete-
lah berhasil mengelitkan tendangan gurunya, dengan 
beringas dan diliputi hawa membunuh, Sugali kembali 
menyerang. Pedang Dewa Naga di tangan kanannya 
menyambar-nyambar laksana seekor ular naga yang 
berusaha mematuk mangsanya. Dari setiap samba-
rannya, keluar angin panas yang menderu-deru. 
"Hah?! Celaka...!" Ki Pramanu kembali dike-
jutkan serangan beruntun dan cepat, yang dilancarkan 
muridnya. Dirinya berusaha menghindari sabetan dan 
tusukan pedang Sugali. Namun ke mana tubuhnya 
bergerak mengelak, Sugali terus memburunya. Seakan 
pemuda itu tak ingin melepaskan gurunya begitu saja. 
"Mampuslah kau, Orang Tua Tolol! Hea...!" Su-
gali dengan segenap tenaganya memburu tubuh Ki 
Pramanu. Pedang di tangannya bergerak cepat, mene-
bas dan menusuk. 
"Aits! Hyang Widi, haruskah aku mati di tangan 
murid durhaka ini?!" desis Ki Pramanu sambil terus 
berusaha mengelakkan babatan pedang Sugali yang 
memburu cepat ke tubuhnya. 
"Hea!" 
Wuttt! Wrt! 
Sugali terus merangsek dengan jurus 'Naga 
Mengamuk Mengarungi Samudera'. Pedang di tangan-
nya bergerak cepat, memburu dengan babatan dan tu-
sukan maut. Kedahsyatan serangan itu membuat hati 
Ki Pramanu semakin bertambah kecut. Apalagi piki-
ran-nya terus dibayangi suara Daeng Susukan, yang 
seperti tertawa kegirangan menyaksikan kutukannya 
bakal terjadi. 
"Pramanu...! Kini tiba saatnya bagimu, menerima 
hukuman atas perbuatanmu dulu!"  terdengar suara 
Daeng Susukan yang membuat Ki Pramanu bertambah 
tegang. 
"Hea!" 
Sugali terus memburu dengan pedangnya, 
mendesak ke tubuh Ki Pramanu. Hal itu membuat le-
laki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun itu kian ter-
jepit. Sehingga ketika Sugali kembali melancarkan se-
rangan, Ki Pramanu telah terpojok. Tubuhnya mem-
bentur tebing batu tinggi yang ada di tempat itu. 
"Uuuh, matilah aku...!"'keluh Ki Pramanu den-
gan menatap ngeri Pedang Dewa Naga yang melesat ke 
tubuhnya. 
"Mampuslah kau, Orang Tua! Hea...!"  
Tidak...! Jangan...!" 
Bagaikan kesetanan, Sugali terus memburu 
dengan tusukan pedangnya ke tubuh Ki Pramanu yang 
terkulai ke bawah ketakutan. Dan.... 
Wrt! 
Crab! 
"Akh...!" Ki Pramanu menjerit setinggi langit, 
ketika Pedang Dewa Naga menghujam punggungnya, 
tembus sampai ke dada. Darah menyembur keluar, ke-
tika Sugali mencabut pedang itu. "Kau..., kau benar-
benar iblis, Sugali! Kelak kau akan menyesal! Mukamu 
akan hancur oleh Pendekar Gila...! Kau..., kau akan 
hidup dengan muka yang hancur. Sampai akhirnya, 
kau akan mati di tangan seorang wanita jago pe-
dang...." 
Tubuh Ki Pramanu terkulai dengan nyawa me-
layang. Darah yang keluar dari dadanya membasahi 
jubah merah lelaki tua itu. 
Sugali sesaat terdiam, memandangi tubuh gu-
runya yang telah binasa. Kemudian disekanya darah 
yang membasahi Pedang Dewa Naga dengan pakaian 
gurunya. Lalu setelah memasukkan pedang itu ke wa-
rangka, pemuda bengis berpakaian merah lengan pan-
jang itu melangkah meninggalkan mayat gurunya. Tu-
juannya hanya satu, mencari teman guna melawan 
Pendekar Gila. 
*** 
Selang beberapa waktu kemudian, dari arah 
timur nampak dua sosok manusia melangkah menuju 
tempat tubuh Ki Pramanu tergeletak. Sepasang anak 
muda itu, tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila 
dengan kekasihnya, Mei Lie yang juga berjuluk Bidada-
ri Pencabut Nyawa. Keduanya melewati tempat itu, da-
lam perjalanan menuju Goa Setan tempat kediaman 
guru Pendekar Gila. 
Pendekar Gila hendak menyerahkan Kitab Ajian 
Dewa yang telah didapatnya kembali, setelah puluhan 
tahun berada di tangan Kerto Pati. Kitab itu telah dija-
dikan rebutan kaum rimba persilatan yang tergabung 
dalam Partai Kera Hitam. (Untuk lebih jelasnya, Ikuti 
serial Pendekar Gila dalam episode: "Kitab Ajian De-
wa"). 
"Kakang, lihat...!" seru Mei Lie tiba-tiba sambil 
menunjuk ke tempat sesosok tubuh tua berjubah me-
rah tergeletak. 
Pendekar Gila mengarahkan pandangan ma-
tanya ke tempat yang ditunjuk Mei Lie. Sikapnya yang 
semula cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala 
seketika berhenti. Keningnya mengerut, matanya me-
mandang tajam ke arah yang ditunjuk Mei Lie. 
"Orang tua itu sepertinya mati terbunuh, Ka-
kang," tutur Mei Lie. 
"Aha, benar, Mei Lie. Ayo kita dekati!" ajak Sena 
sambil menggandeng tangan Mei Lie untuk mendekat 
ke tempat tubuh lelaki tua yang di sekitarnya terdapat 
genangan darah. "Hyang Jagat Dewa Batara, dia be-
nar-benar terbunuh!" 
"Ya! Kejam sekali orang yang membunuhnya, 
Kakang," ujar Mei Lie agak geram, turut merasa sedih 
menyaksikan orang tua terbunuh dengan punggung 
tembus. 
Kening Pendekar Gila terkerut. Lalu segera 
membalikkan tubuh orang tua itu. Seketika matanya 
terbelalak kaget, setelah mengenali siapa sebenarnya 
orang tua itu. 
"Ki Pramanu...!" desis Sena kaget sambil mem-
perhatikan wajah mayat itu. 
"Kau kenal dengannya, Kakang?" tanya Mei Lie 
ingin tahu. 
"Ya!" jawab Sena sambil menggaruk-garuk ke-
pala. "Dia adalah kakak seperguruan Datuk Raja Bera-
cun." 
"Siapa Datuk Raja Beracun, Kakang?" tanya 
Mei Lie semakin ingin tahu. 
"Aha, seorang datuk sesat yang kejam," tutur 
Sena. 
Kemudian pemuda berpakaian rompi dari kulit 
ular itu bercerita tentang petualangannya ketika me-
ninggalkan Mei Lie, bahwa ia pernah bertemu dengan 
Datuk Raja Beracun. Datuk yang sangat  kejam dan 
bengis. Datuk itu suka menculik anak perawan, yang 
katanya untuk menambah kesaktiannya. Datuk Raja 
Beracun dendam pada sang Guru, yang telah menga-
lahkannya. Dengan darah tujuh perawan, Datuk Raja 
Beracun akan sakti. Dan setelah sakti nanti, dia akan 
mencari Pendekar dari Goa Setan. 
Akhirnya Pendekar Gila bertemu dengan Datuk 
Raja Beracun. Keduanya bertarung, sampai akhirnya 
Datuk Raja Beracun kalah. Namun dasar Datuk Raja 
Beracun pengkhianat. Dirinya mengingkari janji. Da-
tuk itu kembali membuat onar, menculik anak gadis. 
Hasratnya untuk mendapatkan tujuh gadis hampir ter-
laksana. Namun, ketika gadis terakhir hendak diper-
sembahkan sebagai korban, Pendekar Gila datang. Ke-
duanya kembali bertarung sampai akhirnya Datuk Ra-
ja Beracun mati. 
"Begitu ceritanya, Mei Lie," ujar Sena mengak-
hiri ceritanya, tentang Datuk Raja Beracun yang juga 
adik Ki Pramanu serta pernah bertarung melawan 
Pendekar Gila. Datuk sesat itu bercita-cita ingin men-
jadi penguasa rimba persilatan. Dan untuk memenuhi 
hasratnya, Datuk Raja Beracun menculik gadis untuk 
tumbal ilmunya yang sesat. 
Mei Lie terdiam, mendengar penuturan Sena. 
Matanya masih memandangi mayat Ki Pramanu yang 
keadaannya sangat menyedihkan. Pikirannya mendu-
ga, "Pasti orang tua itu dibunuh dengan pedang, kare-
na lukanya sampai tembus ke dada. Lukanya pun se-
lebar mata pedang." 
"Hm.... Siapa yang telah begitu tega membu-
nuhnya?" gumam Mei Lie bertanya. 
Pendekar Gila masih terdiam. Mulutnya cen-
gengesan dengan mata memandangi mayat lelaki tua 
itu. Tangannya menggaruk-garuk kepala, seakan ingin 
berusaha memahami apa yang sebenarnya telah me-
nimpa pemilik Pedang Dewa Naga itu. 
"Entahlah, Mei Lie," desah Sena lemah. Diten-
gadahkan wajahnya memandang langit, seakan ingin 
bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. "Hidup, 
mati, jodoh, dan rizki ada di tangan Hyang Widi. Hi hi 
hi...! Semua orang akan mendapatkan semuanya, ter-
masuk kau dan aku, Mei," jawabnya kemudian dengan 
wajah tampak bersungguh-sungguh. 
Mei Lie terpaku diam, mendengar penuturan 
kekasihnya. Ditundukkan kepalanya dalam-dalam, 
seakan tengah menghayati ucapan Sena. Memang apa 
yang dikatakan pendekar itu benar adanya. 
"Ah ah ah, manusia memang aneh!" gumam 
Sena. "Kadang kala, manusia itu seperti orang gila. Hi 
hi hi..! Mereka yang mengaku sehat, berlaku tak wa-
ras. Membunuh, memperkosa, mencuri, dan seba-
gainya." 
"Apa maksudmu, Kakang?" tanya Mei Lie ingin 
tahu ungkapan yang baru saja diucapkan Pendekar 
Gila. Mata gadis Cina yang sipit itu, memandang den-
gan penuh arti ke wajah pemuda tampan namun ber-
tingkah laku seperti orang gila di depannya. Pemuda 
yang senantiasa mengisi lubuk hatinya paling dalam. 
Pemuda yang sangat dicintainya, pemuda yang akan 
membuat tenang jika berada di sampingnya. 
"Hi hi hi., ya, lucu! Lucu sekali perilaku manu-
sia di dunia ini," gumam Sena sambil cengengesan 
dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala. Pan-
dangannya kini menyapu ke sekeliling Padepokan De-
wa Naga yang tampak sepi. Kemudian matanya tertuju 
lekat ke bangunan yang terbuat dari kayu itu. Seper-
tinya ada sesuatu yang menarik hati Pendekar Gila da-
ri bangunan tersebut 
Mei Lie turut mengarahkan pandangannya ke 
bangunan dari kayu itu. Keningnya mengerut, me-
mandang bangunan padepokan yang seakan turut me-
rasakan kesedihan atas kematian Ki Pramanu.... 
"Apa yang kau perhatikan, Kakang?" tanyanya. 
"Aha, mungkin di dalam padepokan itu, kita 
dapat menemukan petunjuk," jawab Sena seraya me-
langkah menuju bangunan padepokan, diikuti Mei lie 
yang belum mengerti maksud kekasihnya. 
Pendekar Gila membuka pintu padepokan yang 
tak terkunci. Matanya menyapu ke dalam padepokan 
yang sunyi dan sepi. Hanya sebuah batu persegi ada di 
dalam bangunan itu, dengan sebuah benda terbuat da-
ri kayu berbentuk kotak. Tak ada sesuatu baginya un-
tuk dapat menemukan jejak kematian Ki Pramanu. 
"Bagaimana, Kakang? Apa kau menemukan se-
suatu yang mencurigakan?" tanya Mei Lie dengan ken-
ing mengerut, menyaksikan Sena yang masih cen-
gengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya 
masih memandangi sekitar ruangan yang sepi itu. 
"Aha, rupanya Ki Pramanu habis ribut, Mei Lie. 
Ada seseorang yang datang ke ruangan ini," tutur Sena 
setelah melihat keadaan ruangan yang agak teracak, 
sepertinya di ruangan itu awal dari keributan. 
Pendekar Gila melangkah mendekati peti kayu 
yang panjang dan lebarnya sedepa, serta tinggi seten-
gah lengan. Dengan kening mengerut, Sena mengawasi 
kotak itu. Lalu membukanya. Di dalam peti kayu itu, 
hanya terdapat benda-benda terbuat dari kain. Ten-
tunya pakaian. Sena mengaduk-aduk pakaian itu. Se-
ketika matanya membeliak, melihat selembar daun 
lontar. 
Pendekar Gila mengambil daun lontar itu. Ter-
nyata terdapat tulisan berisi pesan yang keras. Nam-
paknya ketika menulis, orang itu dalam amarah yang 
meluap-luap. 
Mei Lie segera mendekat, kemudian turut 
membaca tulisan pada lontar yang kini dipaparkan 
oleh Sena. 
"Ayah dan Ibu! Aku tahu dan telah mendengar, 
bahwa kematian kalian oleh Pendekar Gila. Mesti Ayah 
dan Ibu yang salah, sebagai anak aku tak akan tinggal 
diam. Aku akan menuntut balas terhadap Pendekar Gi-
la. Nampaknya guru tak merestui, bahkan guru seperti 
membela Pendekar Gila. Kalau sampai benar guru 
membelanya, aku tak akan segan-segan menyingkirkan 
dia! Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa! Hu-
tang pati, harus dibayar dengan pati! Tunggulah pemba-
lasanku, Pendekar Gila! Tunggulah...!" 
Anakmu, Sugali 
Pendekar Gila dan Mei Lie tercengang, memba-
ca surat itu. Keduanya saling pandang. Kini keduanya 
tahu siapa pembunuh Ki Pramanu. Mereka tak habis 
pikir, "Mengapa murid Ki Pramanu sampai hati mem-
bunuh gurunya. Pendekar Gila pun tak tahu, siapa se-
benarnya Sugali dan mengapa mendendam padanya?" 
"Kakang kenal dengan Sugali?" tanya Mei Lie. 
"Hi hi hi...! Lucu sekali...! Mendengar namanya 
saja baru kali ini," ujar Sena sambil menggaruk-garuk 
kepala. "Ah ah ah, dendam.... Dendam adalah setan. 
Dendam akan menyeret manusia ke dalam kenistaan." 
"Cobalah Kakang ingat siapa yang dimaksud 
oleh Sugali dengan orangtuanya...!" ujar Mei Lie, beru-
saha mengingatkan Sena pada kejadian yang kini ber-
buntut dengan dendam. 
Pendekar Gila terdiam sambil mengerutkan 
kening. Tangannya menggaruk-garuk kepala.  Dirinya 
berusaha mengingat-ingat kejadian apa yang pernah 
dialaminya, hingga menyebabkan seorang anak ber-
nama Sugali mendendam padanya. Namun pikirannya 
tetap tak ingat dengan kejadian itu. Hatinya juga me-
rasa tak pernah bentrok dengan Sugali. 
"Hi hi hi..! Lucu... lucu sekali! Dendam memba-
bi-buta! Ah ah ah, sudahlah...! Kita kebumikan saja, Ki 
Pramanu. Setelah itu kita kembali meneruskan perja-
lanan," ujar Sena pada Mei Lie. 
Kemudian keduanya kembali melangkah keluar 
untuk mengubur mayat Ki Pramanu. 
Setelah mengubur mayat Ki Pramanu, Pendekar 
Gila dan Mei Lie memberi penghormatan pada orang 
tua itu. Ki Pramanu sendiri pernah menjadi orang se-
sat. Namun, sebelum ajalnya tiba dirinya telah menjadi 
orang lurus dan bahkan berusaha mengarahkan sang 
Murid. Itu sebabnya Pendekar Gila dan Mei Lie merasa 
perlu memberi penghormatan pada orang tua malang 
itu. 
Pendekar Gila dan Mei Lie baru saja hendak 
melangkah meninggalkan makam Ki Pramanu, ketika 
tiba-tiba terdengar suara tua memanggil namanya. 
"Sena...! Pendekar Gila...!" 
Pendekar Gila menghentikan langkahnya, ke-
mudian membalikkan tubuh, ke tempat asal suara itu. 
Matanya seketika membelalak, menyaksikan 
dari kuburan Ki Pramanu muncul sebuah bayangan le-
laki tua itu. 
"Ki Pramanu...!" desis kedua pendekar muda itu 
hampir bersamaan. 
Kedua pendekar itu segera menjura hormat, 
menyaksikan arwah Ki Pramanu. 
"Terima kasih, kalian telah mengubur ragaku. 
Aku hanya ingin memberi pesan pada kalian," tutur 
arwah Ki Pramanu dengan suara datar dan pelan. 
"Aha, pesan apakah itu, Ki?" tanya Pendekar 
Gila dengan tingkah lakunya yang konyol. Tangannya 
kembali menggaruk-garuk kepala. Mulutnya cengenge-
san. Sedangkan Mei Lie, terdiam dengan mata menatap 
bayangan arwah Ki Pramanu. 
"Hati-hatilah! Ku restui kalian sebagai pasan-
gan yang diberkati oleh Hyang Widi," ujar Ki Pramanu 
sambil mengangkat tangan kanannya dengan telapak 
terbuka. "Pendekar Gila, masih ingatkah kau pada dua 
orang suami-istri yang bersekutu dengan Buto Ijo?" 
Pendekar Gila terdiam dengan tangan mengga-
ruk-garuk kepala. Keningnya  mengerut, berusaha 
mengingat-ingat kejadian yang pernah dialami dengan 
sepasang suami-istri yang memuja Buto Ijo. 
"Aha, yang kau maksud Ki Prikada dan Nyi Dri-
padi?" tanya Pendekar Gila dengan mulut cengenge-
san, setelah ingat tentang kedua orang tua itu. 
"Benar, Pendekar Gila," sahut Ki Pramanu. "Ki-
ni anak mereka mencarimu." 
Pendekar Gila terdiam. Ingatannya kembali 
menerawang pada kejadian yang menghubungkan 
dengan apa yang dikatakan arwah Ki Pramanu. 
Tiga bulan yang lalu, dia memang pernah ben-
trok dengan Ki Prikada dan istrinya, Nyi Dripadi. Ke-
dua suami-istri itu, telah banyak memakan korban un-
tuk tumbal persembahan. Banyak anak-anak kecil 
yang dijadikan korban. Mendengar berita itu, Pendekar 
Gila akhirnya datang ke Desa Tambak Sari. Dan di-
rinya pun bentrok dengan raksasa-raksasa siluman 
milik Ki Prikada dan istrinya. Dengan Suling Naga Sak-
ti, Pendekar Gila mampu memusnahkan siluman Buto 
Ijo. Namun, sebagai akibatnya yang mati justru kedua 
orangtua Sugali. 
"Aha, jadi Sugali itu anak mereka, Ki?" tanya 
Sena ingin memastikan. 
"Benar, Pendekar Gila. Hati-hatilah, Pendekar! 
Semoga kalian senantiasa dilindungi oleh Hyang Widi!" 
usai berkata begitu, arwah Ki Pramanu menghilang. 
Pendekar Gila dan Mei Lie kembali menyembah, 
lalu keduanya meninggalkan Padepokan Dewa Naga. 
Angin sore berhembus, menerpa dedaunan yang geme-
risik. Mentari merangkak turun untuk kembali ke-
peraduannya. 
*** 
Suasana malam melingkupi bumi, dengan an-
gin dinginnya yang berhembus pelan. Seorang lelaki 
muda berwajah tampan tapi matanya mencerminkan 
kebengisan, melangkah melintasi Hutan Parang Pasi-
sir. Pemuda berbadan tegap dengan dada bidang itu, 
bagaikan tak takut melangkah di kegelapan malam da-
lam hutan yang kelihatan angker. Matanya yang tajam, 
menatap lurus ke depan.  
Krek! 
"Hm, ada juga kecoa busuk yang berani meng-
gangguku!" geram Sugali dalam hati. Langkahnya ber-
henti, kemudian mengawasi tempat ke sekeliling den-
gan tajam. Telinganya pun di pasang dengan tajam, 
sehingga suara sekecil apa pun akan didengarnya. 
Pemuda berpakaian lengan panjang warna me-
rah itu, terus mengawasi sekelilingnya dengan mata ta-
jam. Telinganya yang tadi mendengar suara ranting 
kering patah, terus dipasang, berusaha mendengar su-
ara di sekelilingnya yang sepi. 
"Hm, mungkinkah binatang hutan?" tanya Su-
gali dalam hati dengan  mata dan telinga masih dipa-
sang tajam. "Kurasa bukan. Jelas itu suara kaki ma-
nusia menginjak ranting kering. Tak mungkin binatang 
berbuat begitu. Kalau binatang tak akan berhenti begi-
tu saja. Tapi ini tidak. Jelas ini manusia!" 
Kresek! Kresek! 
Suara itu kembali terdengar dari kanan dan ki-
rinya. Hal itu membuat Sugali semakin yakin, kalau 
yang sedang mengintainya pasti manusia. Tangannya 
segera meraba gagang Pedang Dewa Naga. Pedang ber-
gagang kepala naga itu, seakan memberi keyakinan 
padanya dan rasa percaya diri. 
Srt! 
"Kalau kalian manusia, keluarlah!" seru Sugali 
menantang. Pedang Dewa Naga yang mengeluarkan si-
nar hijau, kini telah tergenggam di tangannya. Dari 
mata pedang itu, keluar sinar hijau yang menerangi 
sekelilingnya. 
"Hea...!" 
"Yea...!" 
Dari balik  rimbun pepohonan dan semak-
semak, tiba-tiba berlompatan lima sosok tubuh. Wajah 
sosok-sosok bertubuh tinggi dan tegap itu ditutup ke-
dok warna-warni. Pakaian mereka masing-masing ber-
beda. 
"Siapa kalian?!" bentak Sugali dengan mata 
memandangi satu persatu kelima orang yang berdiri ti-
ga tombak di hadapannya. 
Lelaki yang berkedok hitam melangkah dua 
tindak ke depan. Lalu terdengar suara tawa membaha-
na keluar dari mulutnya yang tertutup kedok. 
"Seharusnya kami yang bertanya, bukan kau, 
Tikus!" bentak lelaki berkedok hitam dengan mata ta-
jam menatap Sugali yang tersenyum kecut. "Siapa 
kau?! Dan untuk apa kau masuk Hutan Parang Pasisir 
ini?!" 
"Namaku Sugali. Aku ingin lewat untuk menuju 
pulau karang," sahut Sugali dengan tanpa rasa takut 
sedikit pun. Dengan Pedang Dewa Naga di tangannya, 
Sugali merasa percaya diri. Pedang di tangannya bu-
kanlah pedang sembarangan, melainkan pedang pusa-
ka. Hal itu dapat dirasakan dari getarannya. Getaran 
yang menuntutnya untuk membunuh. 
"Untuk apa kau ke pulau karang?!" tanya Ke-
dok Biru. 
"Itu urusanku. Bukan urusan kalian!" sahut 
Sugali gusar. Matanya merah membara, terpengaruh 
kekuatan Pedang Dewa Naga yang tergenggam di tan-
gan. 
"Kurang ajar! Berani kau lancang di daerah ke-
kuasaan kami, Anak Muda?!" bentak Kedok Coklat ma-
rah. "Rupanya  kau belum kenal dengan Lima Hantu 
Berkedok!" 
"Huh! Kalian kira aku anak kecil, yang bisa di-
gertak?!" bentak Sugali sengit. "Jangankan hanya ka-
lian, Pendekar Gila pun aku tak takut!" 
"Sombong! Aku ingin tahu, sampai di mana 
ucapanmu, Anak Sombong!" dengus Kedok Ungu. "Se-
rang dia...!" 
"Hea...!" 
Kelima Hantu Berkedok serentak mencabut 
senjata mereka yang beraneka ragam. Kedok Hitam 
memegang senjata berupa ranting kayu kecil dengan 
ujung bercabang tiga. Kedok Biru bersenjatakan se-
buah gading gajah yang aneh. Gading gajah itu juga 
bercabang dua. Kedok Coklat dengan senjatanya beru-
pa bulatan gerigi yang diikat dengan sebuah tali pan-
jang. Kedok Ungu dan Kedok Kuning, bersenjatakan 
pedang bergerigi dan golok bercabang dua. 
"Hea...!"   
Dari lima arah, mereka menggebrak Sugali den-
gan senjata masing-masing. Nampaknya Lima Hantu 
Berkedok merupakan orang-orang yang haus darah. 
Sehingga tak segan-segan menyerang dengan ganas. 
Sugali merundukkan kepala dengan cepat. Ke-
mudian secara cepat tangannya memutar Pedang De-
wa Naga dengan jurus 'Dewa Naga Menebar Maut' 
"Hea!" 
Pedang Dewa Naga di tangan Sugali berputar 
begitu cepat memapaki senjata kelima lawannya, yang 
menderu ke tubuhnya. 
Wrt! 
Trang! Trang! Trang...!  
Prak! Prak! Prak...! 
Suara berdentang dan bergemeretak terdengar 
keras ketika Pedang Dewa Naga membentur senjata-
senjata Lima Hantu Berkedok. 
"Heh?!" 
"Heh?!" 
Kelima Hantu Berkedok tersentak kaget sambil 
melompat mundur, ketika dirasakan senjata mereka 
patah terbabat pedang di tangan Sugali. Mata kelima 
lelaki bertubuh tegap itu terbelalak kaget, tak percaya 
pada apa yang telah terjadi. Selama ini, senjata mereka 
belum pernah dapat dipatahkan seperti sekarang ini. 
Bahkan dengan senjata tajam apa pun. Baru kali ini, 
mereka merasa bertemu senjata yang memiliki kekua-
tan luar biasa. 
"Hua ha ha...! Sudah kukatakan, jangankan ka-
lian. Pendekar Gila pun belum tentu dapat mengalah-
kan aku!" seru Sugali sombong. 
Kelima lawannya terdiam. Mereka sating pan-
dang dengan perasaan takut menyaksikan kehebatan 
pedang di tangan Sugali. 
"Kini,  bersiaplah kalian untuk mati!" dengus 
Sugali, yang membuat Lima Hantu Berkedok tersentak 
kaget. Keringat dingin keluar dari kening mereka. 
"Ampun..., ampunilah kami! Kami siap men-
gabdi padamu," pinta mereka sambil berlutut mencium 
tanah. Mereka mengaku kalah, meratap ketakutan. 
Hal itu membuat Sugali yang memang tengah mencari 
kawan untuk melawan Pendekar Gila tersenyum se-
nang. 
"Bagus! Memang aku ingin teman seperti ka-
lian! Sejak saat ini, kalian harus memanggilku Ketua! 
Mengerti?!" bentak Sugali sambil menyarungkan kem-
bali Pedang Dewa Naganya. 
"Kami mengerti...," sahut kelimanya bersama. 
"Hm, bagus! Kalian dengar baik-baik! Mulai se-
karang hutan ini menjadi markas kita. Dan aku adalah 
pimpinan kalian!" 
"Baik, Ketua," sahut kelimanya serentak. 
"Di mana tempat kalian?" tanya Sugali semakin 
bertambah pongah, setelah dapat mengalahkan dan 
menaklukkan Lima Hantu Berkedok. 
"Mari, kami tunjukkan...!" kata Kedok Hitam 
sambil melangkah mengajak Sugali yang kini menjadi 
ketua mereka. Sugali pun menurut, mengikuti kelima 
anak buahnya yang baru. Di hatinya, semakin terta-
nam dendam pada Pendekar Gila. 
Tidak lama kemudian, Sugali dan anak buah-
nya telah sampai di markas Lima Hantu Berkedok. Se-
buah bangunan terbuat dari papan, dengan keadaan 
yang agak kotor. Nampaknya selama itu, Lima Hantu 
Berkedok tak mengurus tempat tersebut 
"Ini tempat kami, Ketua," kata Kedok Hitam. 
"Hm!" gumam Sugali dengan mata memperhati-
kan bangunan dari papan. Kepalanya mengangguk-
angguk, seakan merasa senang. "Bagus! Tapi besok, 
kuperintahkan pada kalian untuk membersihkannya. 
Aku akan mencari Datuk Raja Karang. Dia akan kua-
jak bekerja sama." 
"Baik, Ketua...!" jawab kelimanya serentak. 
Sugali dengan diikuti kelima anak buahnya 
yang baru kini melangkah memasuki bangunan mar-
kas itu. Seketika dari dalam, muncul lima orang gadis 
cantik jelita. Hal itu membuat Sugali mengerutkan 
kening. Wajahnya menoleh pada kelima anak buahnya. 
"Siapa mereka?" tanyanya. 
"Ampun, Ketua! Mereka pelayan kami," jawab 
Kedok Hitam. 
"Pelayan...?" tanya Sugali keheranan. "Pelayan 
secantik mereka? Hai, katakan siapa mereka?!" 
"Ampun Ketua, mereka...." 
Belum habis ucapan Kedok Hitam, Sugali telah 
memotongnya. 
"Aku tahu. Tentunya mereka pemuas nafsu ka-
lian!" 
"Benar, Ketua...," sahut kelimanya takut-takut 
"Bagus! Mulai sekarang, kalian jangan berani 
mengganggu mereka. Kini mereka menjadi pelayanku, 
mengerti?!" bentak Sugali tegas. 
"Mengerti, Ketua," sahut kelimanya bareng. 
Sugali tertawa terbahak-bahak. Kemudian tan-
gannya direntangkan. Diajaknya kelima gadis cantik 
yang hanya memakai kain sebatas dada itu ke dalam 
sebuah kamar. Kemudian dengan keras ditutupnya 
pintu kamar. Tinggallah Lima Hantu Berkedok yang 
hanya saling pandang dengan wajah menggambarkan 
kejengkelan. Namun untuk melawan, mereka tak be-
rani. Kelima lelaki berkedok itu hanya bisa memejam-
kan mata, ketika terdengar rintih dan erangan dari da-
lam kamar. 
*** 
Angin pagi menghembuskan hawa sejuk, me-
nerpa dedaunan. Ombak laut pun turut bergerak, 
menggulung dan menepiskan sampah yang ada di Laut 
Selatan. Pagi itu, Sugali nampak melangkah ke selatan 
menuju tempat kediaman Datuk Raja Karang. Di Pulau 
Karang Sundulan, Datuk Raja Karang bersembunyi 
dari keramaian setelah terjadinya peristiwa di Lembah 
Lamur. (Untuk lebih jelasnya, ikuti serial Pendekar Gi-
la dalam episode: "Titisan Dewi Kawan Im"). 
Saat itu Sugali sampai di Desa Gedang Gajah 
yang terletak di tepi Laut Selatan. Sejenak matanya 
memandang ke laut yang membentang luas, berusaha 
mencari Pulau Karang Sundulan yang dihuni Datuk 
Raja Karang. Namun dia tak melihat adanya pulau ka-
rang di laut itu. 
"Hm, di manakah tempat Datuk Raja Karang?" 
gumam Sugali sambil terus memandang ke lautan. 
Namun tetap dirinya tak melihat pulau karang yang di-
jadikan markas Datuk Raja Karang. 
Sugali terus menyapukan pandangannya ke 
laut, berusaha mencari pulau karang yang dimaksud 
orang-orangnya sebagai tempat persembunyian Datuk 
Raja Karang. Kini pandangannya diarahkan ke arah 
barat daya. Tiba-tiba mulutnya tersenyum, ketika ma-
tanya melihat sebuah pulau karang di tengah-tengah 
lautan. "Hm, tentunya pulau itu tempatnya," gumam 
Sugali. Kemudian dia pun berlari ke barat. Sesaat Su-
gali terdiam. Dirinya nampak bingung untuk menyebe-
rangi lautan yang luas itu. "Hm, bagaimana aku harus 
menyeberangi lautan yang luas ini?" 
Belum juga Sugali menemukan cara untuk me-
nyeberangi laut, tiba-tiba dari Pulau Karang Sundulan 
terdengar suara gelak tawa membahana. Gelak tawa 
itu, mampu menimbulkan angin yang kencang dan te-
rasa memekakkan telinga. 
"Hua ha ha...! Hua ha ha...!" 
Sugali tersentak kaget ketika dirasakan telin-
ganya sakit dan berdenyut keras. Sungguh tak disang-
ka, kalau suara tawa itu akan mampu membuat gen-
dang telinganya terasa sakit. Bahkan pohon kelapa 
yang tumbuh di sekitar pesisir, bagaikan diterpa angin 
badai. Banyak buah kelapa yang berjatuhan. Daun-
daunnya berserakan, berterbangan tertiup angin yang 
ditimbulkan suara tawa penghuni Pulau Karang Sun-
dulan itu. 
"Ukh!" Sugali memekik. Dirinya berusaha ber-
tahan dari suara tawa yang terus mendesak gendang 
telinganya. Dikerahkan tenaga dalamnya, untuk melin-
dungi suara menggelegar itu. Namun suara tawa itu 
ternyata lebih kuat dari tenaga dalamnya.  
"Eh! Uh...!" 
"Hua ha ha...! Bagaimana, Anak Muda?! Masih-
kah kau belum percaya kehebatanku?!" terdengar sua-
ra Datuk Raja Karang berseru dari kejauhan. Rupanya 
Datuk Raja Karang telah mengetahui kedatangan Su-
gali. Bahkan maksud kedatangannya. 
"Aku percaya!" sahut Sugali. "Itu sebabnya aku 
datang, untuk mengajakmu bersama-sama menghada-
pi Pendekar Gila!" 
"Hua ha ha...! Bagus! Memang itu yang kuha-
rapkan. Kau memang pemberani, Anak Muda! Tidak 
seperti gurumu yang pengecut!" seru Datuk Raja Ka-
rang dari tempat kediamannya. "Gurumu memang tia-
da gunanya. Dia memang pantas kau singkirkan!" 
"Seperti dirinya tak pengecut saja," rutuk Sugali 
dalam hati, setelah mendengar kata-kata Datuk Raja 
Karang. "Buktinya kau bersembunyi dari kejaran Pen-
dekar Gila!" 
"Anak muda, kenapa kau masih di situ? Kema-
rilah...!" seru Datuk Raja Karang. 
"Aku tak tahu bagaimana untuk menyeberang 
ke tempatmu!" seru Sugali. 
"Hua ha ha...! Tolol! Kau memang pemberani, 
tetapi tolol! Gunakan otakmu! Cari ranting kayu! Bu-
kankah kau memiliki tenaga dalam? Atau gunakan pe-
dang di punggungmu!" seru Datuk Raja Karang mem-
beritahukan bagaimana caranya untuk dapat menga-
rungi lautan yang luas itu. 
Kening Sugali mengerut, mendengar seruan Da-
tuk Raja Karang. Kemudian tangannya menarik Pe-
dang Dewa Naga. Dipandangi pedang itu sesaat. Na-
mun belum mengerti, bagaimana caranya mengguna-
kan pedang pusaka itu untuk menyeberangi lautan. 
"Anak muda, kau pemberani tapi tolol. Menga-
pa kau hanya memandangi pedang pusaka itu? Lem-
parkan pedang pusakamu ke laut, maka kau akan da-
pat menyeberangi lautan ini!" seru Datuk Raja Karang 
memberitahukan kegunaan pedang itu. 
Sugali menurut Dilemparkan Pedang Dewa Na-
ga ke lautan. Seketika itu pula, terjadi sebuah keane-
han. 
Air laut bagaikan membeku. Seakan-akan be-
rubah menjadi daratan yang terbuat dari air. 
"Heh?!" Sugali terperangah menyaksikan keja-
dian aneh itu. Tak pernah dirinya menyangka kalau 
Pedang Dewa Naga ternyata sehebat itu. Lama sekali 
Sugali terkesima, menyaksikan keanehan itu. Hatinya 
baru tersentak sadar, ketika terdengar seruan Datuk 
Raja Karang. 
"Bocah tolol! Jangan hanya mematung di situ, 
kemarilah cepat!" serunya. "Waktumu hanya sebentar. 
Seperminum teh, air itu akan kembali cair!" 
Mendengar seruan itu, Sugali segera mengambil 
pedangnya. Kemudian dengan menggunakan ilmu la-
rinya yang bernama 'Turangga Sekti', Sugali melesat 
menuju Pulau Karang Sundulan. Tidak lama kemu-
dian, pemuda berpakaian merah itu telah sampai di 
tepi pulau karang. Tiba-tiba.... 
Srt! Srt! Srt! 
Puluhan senjata rahasia melesat dari dalam ta-
nah, menyerang Sugali. 
"Heh?!" dengan masih kaget, Sugali segera me-
lenting dan bersalto di udara, mengelakkan serangan 
senjata-senjata maut itu. Pedang Dewa Naga diba-
batkan memapak puluhan senjata rahasia yang hen-
dak menyerangnya. "Hea...!" 
Wrt wrt wrttt..! 
Trak! Trak! Trak! 
Puluhan senjata rahasia terpotong-potong, ter-
kena sambaran Pedang Dewa Naga. Senjata-senjata 
rahasia itu berpentalan ke tanah. 

"Hebat! Hebat..!" seru Datuk Raja Karang yang 
tahu-tahu telah berada di hadapan Sugali. Lelaki tua 
berjubah hitam dengan rambut terurai lepas berwarna 
hitam keputihan itu bertepuk tangan. Dari mulutnya 
terdengar suara tawanya yang lepas. 
Sugali segera bersalto, kemudian mendarat 
dengan ringan tiga tombak di hadapan lelaki tua ber-
muka garang dan bercambang bauk tebal itu. Lelaki 
berusia sekitar tujuh puluh tahun itu, tersenyum-
senyum sambil mengangguk-anggukkan kepala. 
"Terimalah hormatku, Datuk!" ujar Sugali sam-
bil menjura. 
"Tak usah pakai peradatan, Anak Muda! Kata-
kan, apa maksudmu yang sebenarnya!" pinta Datuk 
Raja Karang. 
"Bukankah Datuk sudah tahu?" tanya Sugali 
sambil menyarungkan pedang pusakanya ke warang-
ka. 
"He he he...! Jadi kau benar-benar ingin mem-
balas kematian kedua orangtua mu pada Pendekar Gi-
la?" tanya Datuk Raja Karang. 
"Begitulah!" 
"Hm, bagus! Itu baru seorang anak yang baik. 
Lalu apa keperluanmu datang ke tempatku?" tanya 
sang Datuk lagi, seakan merasa belum jelas. 
"Aku memerlukan bantuanmu, untuk mengha-
dapi Pendekar Gila," sahut Sugali dengan wajah penuh 
dendam. Matanya berkilat tajam, seakan menyimpan 
bara api. Tangannya mengepal, seakan hendak mere-
mukkan kepala Pendekar Gila. 
"He he he...! Bagus..., bagus! Kau memang te-
pat datang ke tempatku. Baiklah kalau itu keinginan-
mu, Anak Muda. Aku memang mengharapkan bisa 
menghadapi Pendekar Gila. Selama ini, aku telah 
memperdalam ilmu-ilmuku, yang sengaja kuper-
siapkan untuk menghadapinya," dengus Datuk Raja 
Karang dengan senyum sinis. "Dengan ajian 'Betara 
Karang', Pendekar Gila tak akan mampu mengalahkan 
aku!" 
Datuk Raja Karang menggeram. Tangannya 
mengepal keras. Kemudian terdengar suara tawanya 
yang membahana. Diikuti oleh Sugali. Sehingga Pulau 
Karang Sundulan yang biasanya sepi, seketika bagai-
kan hendak pecah karena suara tawa kedua tokoh itu. 
"Anak Muda, kau harus tahu. Selama kau men-
jalin persahabatan denganku, kau harus mengikuti 
apa yang kukatakan...," ujar Datuk Raja Karang sete-
lah diam dari tawanya. 
"Apa itu, Datuk?" 
"Pertama, kau harus mencarikan aku wanita." 
"Akan ku carikan," jawab Sugali. 
"Kedua, kau harus membuat keonaran dengan 
merampok. Dengan cara itu, kita memancing Pendekar 
Gila, sekaligus dapat menumpuk kekayaan. Kelak 
akan kita gunakan kekayaan itu untuk mendirikan 
suatu perkumpulan besar. Perkumpulan yang tak 
akan terkalahkan siapa pun...," ujar Datuk Raja Ka-
rang menyampaikan gagasan cita-citanya. 
"Akan kulakukan," sahut Sugali. 
"Dan yang terakhir. Jika Pendekar Gila telah 
dapat kita binasakan, aku menjadi Raja Diraja. Kau 
harus mengakui, kalau aku rajamu. Raja rimba persi-
latan!" lanjut Datuk Raja Karang dengan tegas. 
"Baik, aku akan menuruti," tegas pula jawaban 
Sugali. "Kapan akan kita mulai?" 
"Hari ini juga! Siapkan gadis itu...!" perintah 
Datuk Raja Karang. Mata Sugali membelalak. Bagai-
mana mungkin dia harus mempersiapkan permintaan 
sang Datuk dalam waktu singkat, hanya sehari? Ra-
sanya tak masuk di akal. Mencari seorang gadis, bu-
kanlah pekerjaan yang enteng. Lebih enteng merampok 
atau membunuh manusia. "Bagaimana, Anak Muda? 
Apa kau sanggup?!" 
"Aku sanggup!" jawab Sugali. 
"Bagus! Laksanakan segera! Kemudian bawalah 
gadis itu kemari!" perintah Datuk Raja Karang. 
"Baiklah." 
Usai menjura, Sugali pun melangkah mening-
galkan Datuk Raja Karang. Dilemparkan pedangnya ke 
air laut yang seketika membeku diam. Kemudian sete-
lah mengambil Pedang Dewa Naga, tubuhnya melesat 
meninggalkan Pulau Karang Sundulan, diikuti tatapan 
mata Datuk Raja Karang. Lelaki tua berjubah hitam itu 
menyunggingkan senyum penuh kepuasan. 
*** 
Siang panasnya terasa sangat menyengat. Ma-
tahari yang terik seakan hendak membakar bumi. An-
gin berhembus kencang, seakan-akan hendak menya-
pu semua yang ada di bumi ini. Daun-daun kering 
berguguran, turut berterbangan terkena tiupan angin 
siang itu. Sepasang muda-mudi yang tengah melang-
kah melintasi Desa Keligisan harus menutupkan tan-
gannya di wajah, agar terhindar dari terpaan debu dan 
daun kering yang berterbangan ditiup angin. 
"Aha, sebentar lagi akan musim penghujan," 
gumam Pendekar Gila dengan tingkah lakunya yang 
konyol. Tangan kanannya menutupi muka, sedangkan 
tangan kiri menggaruk-garuk kepala. 
Gadis cantik yang sikapnya tenang namun agak 
galak di sampingnya hanya memandangi dedaunan 
kering berterbangan ditiup angin. Kemudian pandan-
gannya beralih ke wajah pemuda bertingkah laku aneh 
yang tak lain Pendekar Gila. 
"Dari mana Kakang tahu...?" tanya Mei Lie 
sambil menatap wajah kekasihnya. 
"Aha, itu sudah kebiasaan orang-orang Jawa. 
Mereka menghitung musim dari angin. Hi hi hi...!" Se-
na tertawa cekikikan. Tangannya masih menggaruk-
garuk kepala. Sedangkan matanya memandang wajah 
Mei Lie. Gadis itu tersenyum-senyum melihat tingkah 
laku kekasihnya yang kadang menggemaskan dan ko-
nyol. 
"Bagaimana caranya, Kakang?" tanya Mei Lie 
tertarik ingin tahu. 
"Hi hi hi...! Kau ingin tahu...?" goda Sena sam-
bil cengengesan dengan tangan masih  menggaruk-
garuk kepala. Hal itu menjadikan Mei Lie kembali ge-
mas melihatnya. "Aha, semakin kau cemberut, sema-
kin bertambah cantik saja...." 
Mei Lie yang semula hendak cemberut, seketika 
mengurungkan niatnya setelah mendengar selorohan 
Sena. Kini di bibirnya tampak terurai senyum yang be-
gitu manis. Senyum yang mampu membuat hati Pen-
dekar Gila senantiasa ingin terus bersama gadis Cina 
itu. 
Sambil melangkah menyelusuri Desa Keligisan, 
kedua pendekar sejoli itu bercengkerama. Kadang ber-
canda ria, ngobrol, dan bermanja-manja. Sepertinya 
mereka tak ingin membuang kesempatan pertemuan 
itu begitu saja. Karena setelah keduanya sampai di 
Goa Setan, maka Mei Lie akan dititipkan pada Eyang 
Guru Singo Edan. Sekaligus agar Mei Lie dapat menda-
lami ilmu-ilmu silat dengan tenang, tanpa harus ter-
ganggu suasana dunia persilatan. 
"Ayolah, katanya mau menceritakan tentang 
bagaimana orang Jawa menghitung musim dengan 
berpedoman pada angin," desak Mei Lie 
Sena masih cengengesan dengan tangan kiri 
menggaruk-garuk kepala. Ditatapnya wajah gadis Cina 
yang menjadi kekasihnya itu, Mei Lie pun memandang 
wajahnya dengan muka cemberut, merasa digoda oleh 
Pendekar Gila. 
"Aha, baiklah akan kuceritakan," sahut Pende-
kar Gila sambil cengengesan dengan tangan masih 
menggaruk-garuk kepala. Matanya masih memandang 
wajah Mei Lie yang masih menunjukkan cemberutnya. 
"Ayo, mau ceritakan tidak...?" desak Mei Lie se-
tengah merengek, menjadikan Sena semakin cen-
gengesan dengan tangan kian keras menggaruk-garuk 
kepala. 
"Aha, baiklah akan kuceritakan, tetapi kita ha-
rus mencari kedai dahulu, karena perutku sudah min-
ta diisi. Hi hi hi...!" 
Tanpa membantah, Mei Lie pun menurut me-
langkah seiring dengan kekasihnya untuk mencari se-
buah kedai. Di samping perut mereka memang lapar, 
keduanya juga ingin meneduh agar terhindar dari rasa 
panas yang menyengat. Debu yang berterbangan pun 
terasa sangat mengganggu perjalanan mereka. 
*** 
Setelah makan, Pendekar Gila dan Mei Lie be-
ristirahat sambil melepas lelah. Suasana siang itu ma-
sih terasa panas. Terik matahari sepertinya tak men-
genal ampun. Angin siang yang berhembus pun bagai-
kan tak ada artinya sama sekali. Meskipun berhembus 
kencang tak mampu mengusir hawa panas yang terasa 
menyengat tubuh. 
"Ouw...!" Sena menguap karena serangan rasa 
kantuk yang disebabkan terik matahari  bercampur 
hembusan angin. 
Mei Lie yang duduk di samping Pendekar Gila 
hanya mampu memperhatikan tingkah laku kekasih-
nya yang konyol. Gadis itu tersenyum sambil mengge-
leng-gelengkan kepala. 
"Kakang, masih jauhkah Goa Setan dari sini...?" 
tanya Mei Lie. Matanya memandang ke luar kedai. Di 
sekitar kedai itu pepohonan menghijau nampak sangat 
subur. Gemerisik angin yang menerpa dedaunan ter-
dengar sampai dalam kedai. 
"Aha, rupanya kau sudah ingin bertemu dengan 
eyang. Hi hi hi...! Lucu sekali! Eyang galak sekali, Mei 
Lie," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Di bi-
birnya masih tersenyum cengengesan. 
"Ah, kurasa eyang tak sekonyol dirimu, Ka-
kang...," desah Mei Lie dengan mata masih meman-
dang keluar kedai. 
"Tolong...! Tolong...!" 
Tiba-tiba terdengar suara jeritan seorang wani-
ta. 
"Heh...?!" 
"Heh!" 
Mei Lie dan Pendekar Gila yang sedang istira-
hat, tersentak kaget. Keduanya langsung bangun dari 
tempat duduk. Mata mereka memandang keluar. Ke-
mudian Pendekar Gila telah melangkah keluar diikuti 
Mei Lie. 
"Tolong...!" dari arah timur, nampak lima orang 
lelaki berkedok sedang menyeret dan memaksa seo-
rang gadis agar ikut bersama mereka. Gadis itu meron-
ta-ronta, berusaha melepaskan diri dari lelaki berke-
dok hitam yang membopong tubuhnya. Namun tena-
ganya yang tidak kuat, membuat dirinya tak mampu 
lepas dari tangan lelaki berkedok hitam. 
"Aha, rupanya ada lima tikus pemalu yang mau 
menculik seorang gadis. Hi hi hi..., lucu sekali," gu-
mam Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala. 
Hal itu membuat kelima lelaki berkedok yang memba-
wa tubuh gadis cantik jelita berambut panjang, seketi-
ka menghentikan langkah mereka. 
"Siapa kau...?!" bentak lelaki berkedok hitam. 
"Aha, siapa pun aku, yang pasti aku tak suka 
dengan perbuatan kalian!" sahut Pendekar Gila sambil 
menggaruk-garuk kepala. Sedangkan Mei Lie nampak 
masih tenang. Namun, sorot matanya sangat tajam, 
menatap penuh kebengisan. 
"Kurang ajar! Apa kau tak tahu kalau tingkah 
lakumu yang seperti orang gila itu akan membuatmu 
menderita?!" bentak Kedok Merah dengan nada tajam 
dan keras. 
"Gila...? Aha, memang dunia ini sudah gila. Di 
mana-mana orang bertingkah laku aneh-aneh!" ujar 
Sena dengan tingkah lakunya yang seperti orang gila. 
Mulutnya cengengesan, dengan tangan masih mengga-
ruk-garuk kepala. 
"Pemuda gila, minggirlah! Jangan sampai hilang 
kesabaran kami!" bentak Kedok Hitam dengan garang. 
"Enak saja kalian ngomong!" bentak Mei Lie 
yang sudah tak dapat lagi menahan amarah, menden-
gar kelima lelaki berkedok itu meremehkan Pendekar 
Gila. "Kami mau minggir, asalkan kalian turunkan ga-
dis itu." 
Kelima lelaki berkedok itu saling pandang, 
mendengar ucapan Mei Lie. Mereka tak menyangka, 
kalau gadis Cina yang di punggungnya tersandang pe-
dang itu akan berani membentak begitu tajam dan ke-
tus. 
"Siapa kau, Nini? Berani benar kau pada kami," 
dengus Kedok Ungu geram. Belum pernah ada seorang 
wanita berani membentaknya seperti itu. 
Mei Lie tersenyum sinis, mendengar ucapan le-
laki berkedok ungu. Begitu juga dengan Pendekar Gila, 
mulutnya tampak cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. 
"Aha, kenapa kalian tak menculik temanku sa-
ja? Bukankah temanku lebih cantik? Hi hi hi..!" ujar 
Sena dengan mulut cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. Hal itu membuat kelima lelaki berkedok 
semakin bertambah marah. Sedangkan Mei Lie kini 
nampak melototkan mata, membuat Sena semakin ke-
ras menggaruk-garuk kepala dengan mulut nyengir. 
"Pemuda gila! Lancang sekali mulutmu!" dengus 
Kedok Hitam gusar, sambil menggerakkan tangan kiri 
memerintah keempat temannya. "Bereskan mereka...!" 
Keempat lelaki berkedok lainnya segera maju 
mengepung Mei Lie dan Pendekar Gila yang telah siap 
menghadapi serangan lawan. 
"Hi hi hi...! Mei Lie, rupanya kita akan main-
main dengan para cecunguk itu," ujar Sena sambil 
menggaruk-garuk kepala. Matanya memandang den-
gan sudut mata, seperti orang bermata jereng. Sedang-
kan mulutnya masih cengengesan. "Aha, apa kau telah 
siap, Mei...?" 
"Untuk cecunguk macam mereka, aku siap, 
Kakang," sahut Mei Lie dengan mata menatap tajam 
pada keempat lawannya yang telah siap untuk menye-
rang. 
"Heaaa...!" dua orang menggebrak Mei Lie den-
gan tebasan pedang dan golok. Namun secara cepat 
Mei Lie berkelit dengan membuka kaki kiri ke samping. 
Tubuhnya dirundukkan sambil kepalanya bergerak ce-
pat. Serangan mereka meleset, hanya beberapa jari da-
ri kepala Mei Lie. 
Rupanya semenjak senjata mereka yang ber-
bentuk ranting bercabang, patah terbabat Pedang De-
wa Naga, kini mengganti senjata mereka dengan pe-
dang dan golok. Hal itu karena mereka menyesuaikan 
diri dengan senjata milik sang Pemimpin, Sugali yang 
menggunakan ilmu pedang. Tampaknya Sugali pun 
sebagai pemimpin telah mulai menurunkan ilmu pe-
dangnya kepada kelima anak buah. 
"Heaaa...!" dengan cepat Mei Lie menarik kaki 
kanan ditekuk ke atas, lalu dengan tendangan 
'Bidadari Menyapu Awan', gadis itu menendang kedua 
lawannya dengan cepat. Hal itu membuat kedua la-
wannya tersentak kaget 
"Heh?! Awas...!" seru Kedok Ungu berusaha 
memperingatkan temannya, agar mengelak dari seran-
gan lawan. 
"Hah?!" Kedok Merah tersentak kaget. Dirinya 
berusaha menghindar dengan cara menyurutkan kaki 
kanan ke belakang. Sementara tubuhnya dimiringkan 
ke kiri. 
"Heaaa...!" 
Mei Lie terus menggebrak, masih dengan men-
gandalkan tangan kosong. Namun begitu, serangan 
Mei Lie yang menggunakan jurus-jurus 'Bidadari Sakti' 
mampu membuat kedua lawan yang menyerang nam-
pak kewalahan. Mereka harus menguras tenaga, agar 
dapat mengelakkan serangan-serangan yang cepat dan 
sangat berbahaya itu. 
"Uts! Celaka! Ternyata gadis ini bukan gadis 
sembarangan," gumam Kedok Merah setengah menge-
luh, sambil terus berusaha mengelakkan serangan-
serangan yang dilakukan Mei Lie. Mata Kedok Merah 
membelalak, hampir tak percaya melihat gebrakan 
yang dilancarkan Bidadari Pencabut Nyawa yang san-
gat cepat dan berbahaya. 
"Kedok Merah, rupanya kita menghadapi wanita 
bukan sembarangan," ujar Kedok" Ungu yang juga me-
rasa kaget, menyaksikan serangan Mei Lie. Dengan pe-
dang di tangan, dirinya tak mampu mendesak Mei Lie 
yang hanya menggunakan tangan kosong. Gadis itu 
sangat gesit dalam mengelak maupun melakukan se-
rangan. 
"Heaaa...!" 
Tangan Mei Lie dengan jurus 'Bidadari Melepas 
Himpitan Karang' bergerak menyerang. Tangan kanan 
bergerak memukul ke tubuh Kedok Ungu, sementara 
tangan kiri direntangkan ke atas, lalu memukul Kedok 
Merah. 
Wrt! 
Kedok Ungu dan Kedok Merah benar-benar ke-
walahan menghadapi serangan yang dilakukan Mei Lie. 
Keduanya terus berusaha mengelak dan balas menye-
rang. Namun rupanya Mei Lie tak mudah untuk dide-
sak. Bahkan keduanya yang terpaksa harus berjumpa-
litan mengelakkan serangan gencar yang dilancarkan 
Mei Lie.  
*** 
"Heaaa...!" Mei Lie terus  menggebrak dengan 
pukulan dan tendangan yang mengandung tenaga da-
lam. 
"Aits! Celaka...! Dia benar-benar bukan gadis 
sembarangan," keluh Kedok Ungu sambil mengibaskan 
tangannya, berusaha menangkis serangan Mei Lie yang 
cepat dan sangat membahayakan. Kedok Ungu segera 
melakukan salto ke udara, kemudian dengan masih 
melayang Kedok Ungu berusaha menyerang Mei Lie 
dengan sabetan goloknya. 
Wrt! 
"Haits...!" 
Dengan merundukkan tubuh, Mei Lie mengelak 
dari babatan golok lawan. Kemudian dengan cepat, 
tangan kanannya  meraba gagang pedang yang ber-
tengger di pundak. 
Srt! 
Wrt! 
Secepat kilat Bidadari Pencabut Nyawa mengi-
baskan pedang, memapak serangan lawan.  
Trang!  
Prak! 
"Ikh...!" Kedok Ungu tersentak kaget, dengan 
tubuh melompat ke belakang. Matanya membelalak 
kaget, tak percaya kalau goloknya patah terbabat pe-
dang yang mengeluarkan sinar kuning kemerahan di 
tangan gadis itu. "Celaka, dia bukan gadis sembaran-
gan Gila...!" 
Kedok Merah yang juga melihat kenyataan itu, 
agak ciut juga nyalinya. Dirinya sungguh tak menduga, 
kalau gadis Cina itu memiliki ilmu silat yang tinggi. 
"Heaaa...!" Mei Lie kembali menyerang dengan 
jurus 'Bidadari Merentang Selendang'. Kedua tangan-
nya bagaikan sepasang selendang, mengibas-ngibas 
memburu Kedok Merah. Bukan hanya tangannya yang 
melakukan serangan. Kakinya juga turut bergerak ce-
pat menyerang dengan sapuan dan tendangan keras. 
"Aits!" Kedok Merah segera melompat sambil 
berjumpalitan mengelak dari serangan yang dilancar-
kan Mei Lie. Hampir saja sambaran kaki dan tangan 
Mei Lie mendarat di dada dan wajah Kedok Merah, ka-
lau saja Kedok Ungu tak segera membantunya. Seran-
gan bantuan Kedok Ungu membuat Mei Lie harus 
mengalihkan perhatian kepadanya. 
Sementara itu, Pendekar Gila yang sedang 
menghadapi dua orang berkedok lainnya pun nampak 
masih bertarung. Dengan mulut cengengesan, Sena 
melayani dengan menggunakan jurus yang dirasa aneh 
bagi kedua lawannya. Dengan jurus 'Gila Menari Me-
nepuk Lalat' Sena terus berkelebat mengelakkan se-
rangan. Tubuhnya meliuk-liuk seperti menari disertai 
dengan tepukan-tepukan tangannya yang aneh. Meski 
pukulan telapak tangannya kelihatan pelan, tenaga 
yang keluar sangat menyentakkan kedua lawannya.  
Plak!  
"Aits...!" 
"Heh?!" 
Kedua lawannya langsung berlompatan mun-
dur, mengelakkan serangan yang dilancarkan Pende-
kar Gila. Mata keduanya membelalak kaget, menda-
patkan serangan yang sangat aneh itu. Mereka seakan-
akan tak percaya dengan jurus yang dilancarkan la-
wan. Jurus itu sepertinya hanya main-main. Namun 
ternyata sangat berbahaya. Pukulan telapak tangan 
yang kelihatan pelan, tahu-tahu mampu mengeluarkan 
tenaga dalam yang sangat kuat 
"Hi hi hi..! Kalian lucu sekali! Tentunya kalian 
bermuka buruk, sehingga harus bersembunyi di balik 
kedok. Hi hi hi...!" Pendekar Gila tertawa cekikikan 
sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan 
tingkah laku seperti seekor kera, Pendekar Gila kemba-
li bergerak menyerang kedua lawannya yang masih ke-
heranan. 
"Awas, Kedok Biru...!" seru Kedok Kuning men-
gingatkan temannya, yang dengan segera melompat ke 
samping mengelak dari serangan Pendekar Gila. Lalu 
dengan cepat Kedok Biru dan Kedok Kuning balas me-
nyerang. Pedang dan golok mereka berkelebat cepat 
memburu Pendekar Gila. 
"Heaaa...!" 
"Yeaaa...!" 
Pedang dan golok kedua lawannya menderu ce-
pat Namun dengan tak kalah cepat Pendekar Gila sege-
ra berkelit. Dirundukkan tubuh, lalu sambil meliuk di-
tepukkan tangan kanannya ke samping. Sedangkan 
tangan kirinya, ditepukkan ke depan. 
"Heaaa...!" 
Wrt! 
"Hah! Celaka...!" pekik Kedok Kuning kaget, 
sambil menggeser kaki ke kiri. Kemudian dengan me-
mutar tubuh setengah lingkaran, Kedok Kuning mem-
babatkan pedangnya ke tubuh Pendekar Gila. 
"Yeaaa...!" 
Wrt! 
Merasa ada desiran angin babatan pedang la-
wan, Pendekar Gila yang sedang menyerang Kedok Bi-
ru, cepat menjatuhkan tubuh ke tanah. Sementara 
tangannya bergerak menyambar kaki Kedok Biru, ka-
ki-nya menendang ke dada Kedok Kuning. 
"Heaaa...!" 
Wrt! 
Blukkk! 
Plakkk! 
Tanpa ampun lagi, Kedok Biru yang kakinya 
disambar, langsung jatuh terlentang. Sedangkan Ke-
dok Kuning yang terkena tendangan, tampak ter-
huyung ke belakang dengan mata  melotot. Dari sela-
sela bibirnya, melelehkan darah. 
"Ukh...!" keluh Kedok Kuning sambil memegan-
gi dadanya yang sakit, akibat tendangan kaki Pendekar 
Gila. Nafasnya tersengal-sengal. Matanya menatap ta-
jam Pendekar Gila yang cengengesan. Sepertinya Ke-
dok Kuning tengah berusaha meyakinkan hatinya, 
dengan siapa dia kini berhadapan. 
"Hi hi hi...! Lucu..., lucu sekali kalian! Mengapa 
kalian seperti orang-orang yang habis sakit?" tanya 
Pendekar Gila sambil menggeleng-gelengkan kepala. Di 
bibirnya masih tersungging senyuman. 
Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala 
yang mendongak menatap langit biru. 
Kedua lawannya yang menyaksikan tingkah la-
ku Pendekar Gila semakin mengernyitkan kening kehe-
ranan. 
"Pemuda gila, aneh!" gumam Kedok Kuning 
sambil terus memegangi dadanya yang terasa sakit, 
akibat tendangan kaki kiri Pendekar Gila. Kedok Kun-
ing masih belum mengerti, siapa sebenarnya pemuda 
tampan bertingkah laku gila tapi berilmu tinggi itu. 
"Hati-hati, Kedok Kuning. Dia bukan pemuda 
gila sembarangan," ujar Kedok Biru mengingatkan te-
mannya yang nampak terkesima melihat tingkah laku 
Pendekar Gila. 
"Hm, kau benar, Kedok Biru. Dia memang bu-
kan sembarangan pemuda seperti apa yang sering kita 
temui," sahut Kedok Kuning sambil terus mengawasi 
tingkah Pendekar Gila, yang persis orang gila. Tertawa-
tawa dan cengengesan sendiri. Kemudian menggaruk-
garuk kepala dengan tangan, atau mengambil sebuah 
bulu burung di pinggangnya, lalu mengorek kuping 
dengan mulut cengar-cengir. 
"Pemuda gila, kami harap jangan turut campur 
dengan urusan kami...!" seru Kedok Hitam yang juga 
kaget, menyaksikan dalam sekali gebrak saja kedua 
rekannya dapat dijatuhkan. Kedok Hitam sempat meli-
hat bagaimana Pendekar Gila melakukan serangan. 
Kalau Pendekar Gila mau, dalam sekali gebrak saja 
mereka akan dibuat tak bernyawa lagi. Alias mati! 
"Aha, bagaimana aku tak ikut campur, Kedok 
Hitam. Hi hi hi..., lucu sekali kau! Enak sekali kau me-
larangku ikut campur. Sedangkan kau telah mencam-
puri ketenangan keluarga gadis yang kau culik itu," tu-
tur Sena dengan tingkah laku  yang semakin bertam-
bah konyol. Tatapannya tampak tak acuh, memandang 
ke langit lepas. Sepertinya Pendekar Gila, tak peduli 
dengan lawan-lawannya. 
"Bocah edan, tak tahu diuntung!" bentak Kedok 
Hitam gusar, mereka telah gagal mengajak Pendekar 
Gila damai. 
"Hi hi hi.., Lucu sekali kau! Kurasa bukan aku 
yang tak tahu diuntung, melainkan kalian!" tukas Se-
na seenaknya sambil memonyongkan mulutnya, mem-
buat Kedok Hitam menggeram. 
"Kurang ajar!" dengan gusar Kedok Hitam sege-
ra melepas tubuh gadis yang diculiknya. Kemudian 
dengan cepat, tanpa berkata-kata, tangan Kedok Hitam 
bergerak cepat melempar beberapa senjata rahasia ke 
tubuh Pendekar Gila. "Ini untukmu, Bocah Edan! 
Hih...!" 
Swing! Swing...! 
Puluhan senjata rahasia menderu ke tubuh 
Pendekar Gila, dengan suaranya yang membisingkan 
telinga. 
"Aha, beginikah tindakan seorang pengecut?!" 
ejek Pendekar Gila sambil melentingkan tubuh ke atas. 
Kemudian dengan cepat, dikebutkan Suling Naga Sakti 
memapak puluhan senjata rahasia yang memburu tu-
buhnya. 
Wrt! 
Trang! Trang! Trang! 
Puluhan senjata rahasia yang dilemparkan Ke-
dok Hitam, terbabat habis Suling Naga Sakti. Senjata-
senjata rahasia itu langsung berpentalan jatuh ke bu-
mi dan berpatahan. Hal itu tentu saja membuat Kedok. 
Hitam dan kedua rekannya membelalakkan mata, tak 
percaya dengan apa yang dilihat. Hanya sebuah suling, 
mampu menghancurkan senjata-senjata rahasia yang 
terbuat dari logam murni. 
"Hi hi hi...! Masih adakah mainanmu?" ejek Se-
na sambil memasukkan Suling Naga Sakti ke ikat 
pinggang. Kemudian sambil menggaruk-garuk kepala, 
Sena tertawa terbahak-bahak. Sepertinya ada hal yang 
lucu, dan menggelikan. Sikap Pendekar Gila membuat 
Kedok Hitam dan kedua rekannya kembali membela-
lak. 
"Heaaa...!" 
Sebelum ketiga lawannya sempat berbuat sesu-
atu, dengan cepat Pendekar Gila melompat mendekati 
gadis yang tadi diculik Kedok Hitam. Lalu dengan ge-
rakan cepat, jari telunjuk Sena membuka totokan pada 
bagian tubuh gadis itu. 
Tuk! Tuk! Tuk! 
Gadis itu pun lepas dari belenggu totokan. 
Dengan bergerak perlahan dia bersembunyi di bela-
kang Pendekar Gila. Merasa kalau pemuda bertingkah 
laku seperti orang gila itu dapat menolongnya. 
"Tuan, tolonglah saya!" pinta gadis itu dengan 
mata penuh harap menatap wajah Pendekar Gila yang 
masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Aha, tenanglah, Dik! Kurasa mereka hanya ke-
coa-kecoa yang suka mengganggu. Hi hi hi...!" Sena 
kembali tertawa cekikikan dan dengan seenaknya ber-
celoteh. Hal itu membuat ketiga lawannya semakin 
bertambah berang. 
"Bocah gila, kurang ajar! Kuremukkan batok 
kepalamu!" dengus Kedok Hitam. Tanpa banyak kata, 
lelaki berpakaian hitam disertai kedua temannya lang-
sung menggebrak Pendekar Gila. Ketiganya menyerang 
dari tiga arah. 
"Heaaa...!" 
"Yeaaa...!" 
Kedok Hitam dengan senjatanya yang berupa 
ranting bercabang, menyerang dari depan. Sedangkan 
Kedok Kuning bersiap menggebrak dari belakang. Dan 
Kedok Biru menyerang dari samping kiri. 
Mendapatkan serangan serentak dari tiga orang 
lawan, tak membuat Pendekar Gila kebingungan. Bah-
kan dengan masih bertingkah laku konyol sambil cen-
gengesan, Pendekar Gila mengelakkan serangan ketiga 
lawan dengan lincah. Meski gerakan meliuknya nam-
pak lamban, Pendekar Gila mampu mengelakkan se-
rangan cepat yang dilancarkan ketiga lawannya. Bah-
kan ketiganya tersentak kaget, ketika tiba-tiba tangan 
Pendekar Gila bergerak menepuk ke tubuh mereka.  
"Hea...!"  
Wuttt! 

"Gila!" seru Kedok Hitam sambil menarik mun-
dur serangannya, lalu melompat ke belakang dengan 
tubuh agak gontai. Matanya semakin membelalak, tak 
percaya kalau tepukan yang tampak pelan bagaikan 
tak bertenaga itu, mampu menyentakkannya. Hampir 
saja tubuhnya terkena tepukan Pendekar Gila, kalau 
tak segera melompat ke belakang. "Hm, siapa pemuda 
gila ini?" 
Kedok Biru dan Kedok Kuning kini nampak ke-
walahan menghadapi serangan-serangan yang dilan-
carkan Pendekar Gila. Hal itu menjadikan Kedok Hi-
tam semakin yakin, kalau pemuda gila itu bukan la-
wan sembarangan. Di sisi lain, matanya melihat Kedok 
Merah dan Kedok Ungu pun nampaknya terdesak he-
bat menghadapi gadis Cina yang jelita itu. Pedangnya 
mengeluarkan sinar kuning kemerahan. 
"Celaka kalau dibiarkan!" gumam Kedok Hitam, 
merasa khawatir terhadap keempat rekannya yang kini 
dalam desakan kedua anak muda, yang berilmu bera-
da di atas mereka. "Tak ada pilihan lain, kecuali harus 
meninggalkan tempat ini. Mundur...!" 
Mendengar seruan Kedok Hitam, serentak 
keempat rekannya yang dalam keadaan terpepet, lang-
sung ambil langkah seribu. Mereka tak memikirkan 
gadis yang mereka culik, lari tunggang-langgang. Hal 
itu menjadikan Pendekar Gila yang konyol berteriak 
menyoraki. 
"Hea haaa...! Hi hi hi..!" Sena tertawa-tawa 
sambil menggeleng-gelengkan kepala, menyaksikan ke-
lima manusia berkedok itu lari tunggang-langgang ke-
takutan. 
Mei Lie melangkah mendekati Pendekar Gila, 
setelah kedua lawannya turut kabur. Dimasukkan Pe-
dang Bidadari ke dalam sarungnya. Bibirnya mengurai 
senyum, melihat kelakuan sang Kekasih yang persis 
orang gila. Meski begitu, hatinya sangat mencintai 
Pendekar Gila. 
"Terima kasih, Tuan Pendekar! Terima kasih!" 
ucap gadis cantik berusia sekitar dua puluh empat ta-
hun yang tadi diculik kelima lelaki berkedok. Gadis itu 
berlutut di hadapan Pendekar Gila dan Bidadari Pen-
cabut Nyawa. 
"Aha, kurasa kami bukan Dewa, Dik," kata Se-
na. 
"Benar, Diajeng. Bangunlah, jangan berlaku se-
perti itu pada kami. Kami bukanlah Dewa yang patut 
disembah. Kami manusia biasa," sambut Mei Lie sam-
bil membangunkan gadis itu, agar tidak melakukan 
sembah. 
"Tapi..., tapi Tuan berdua telah menolong saya," 
ujar gadis itu masih berusaha menyembah. 
"Eee..., sudahlah, tak perlu kau risaukan masa-
lah itu! Saling menolong merupakan kewajiban setiap 
manusia. Oh ya, siapa namamu...?" tanya Sena. 
"Nama saya, Sulandri. Saya berasal dari desa 
ini, saya anak Ki Lurah Riwanda," tutur gadis itu men-
jelaskan dirinya. 
"O, rupanya kau anak Ki Lurah. Hm, pulanglah! 
Kau telah bebas. Berhati-hatilah!" ujar Mei Lie sambil 
memegang pundak Sulandri sebelah kiri. Mei Lie beru-
saha menenangkan hati gadis itu. 
Sulandri menatap kedua penolongnya. Semen-
tara Pendekar Gila dan Mei Lie tersenyum sambil men-
ganggukkan kepala. 
"Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih," ujar 
Sulandri sambil menjura hormat pada kedua pendekar 
muda itu. 
Sulandri dengan berat hati berlari-lari kecil 
meninggalkan Pendekar Gila dan Mei Lie yang tetap 
tersenyum, memandang Sulandri yang sebentar-
sebentar menoleh. Sulandri melambaikan tangan ting-
gi-tinggi. Mei Lie menyambutnya dengan senyum 
"Aha! Mari kita teruskan perjalanan kita!" ajak 
Sena kemudian. 
"Kau belum menjelaskan bagaimana orang Ja-
wa memperhitungkan musim dengan patokan angin, 
Kakang," desak Mei Lie. 
"Aha, sudahlah! Bukankah hal itu tak menjadi 
persoalan bagimu?" sahut Sena sambil menggandeng 
tangan Mei Lie, melangkah meninggalkan tempat itu. 
*** 
Lanjutannya ⇢⇢