Pendekar Gila 14 - Misteri Gadis Bisu(2)



Pedang Ki Kalawuku begitu cepat membabat ke 
arah Ki Wulung. Rasanya sulit bagi laki-laki tua itu 
untuk dapat mengelakkan babatan pedang Ki Kalawuku. 
"Mampuslah kau, Ki!"
Ki Wulung berusaha mempercepat lentingan 
tubuhnya agar dapat lepas dari sabetan pedang lawan. 
Namun gerakannya terasa sulit, karena pedang di tan-
gan Ki Kalawuku lebih cepat membabat ke segala arah. 
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba.... 
Trang! 
"Ukh!" 
Ki Kalawuku mengeluh. Tubuhnya terhuyung 
ke belakang dengan mulut meringis menahan sakit. 
Matanya terbelalak, menatap penuh kemarahan pada 
Pendekar Gila yang tertawa tergelak-gelak sambil 
menggaruk-garuk kepala. Di tangan Pendekar Gila te-
lah tergenggam Suling Naga Sakti. Suling itulah yang 
tadi digunakan untuk menangkis pedang Ki Kalawuku 
yang hampir saja membunuh Ki Wulung. 
"Aha, kau kira dirimu tak lebih keji dari si 
pembunuh itu, Ki?! Kurasa tak seimbang jika kau 
menggunakan pedang, sedangkan lawanmu tangan 
kosong," kata Sena. 
"Cuih! Jangan banyak omong! Kalau kau me-
mang ingin membelanya, kau pun boleh menghadapi-
ku!" dengus Ki Kalawuku dengan gusar. Matanya melo-
tot penuh amarah. Nafasnya memburu, bagaikan ban-
teng terluka. 
"Hi hi hi...! Lucu sekali ucapanmu, Ki. Aha, kau 
terlalu sombong karena kehebatanmu. Sayang, aku tak 
ada waktu untuk menerima tantanganmu. Mari Ki, 
Nyi...!" ajak Sena pada Ki Wulung dan istrinya. 
"Kurang ajar! Berani kau menghinaku, Bocah 
Edan! Anak-anak. serang dia dan jangan biarkan hi-
dup...!" perintah Ki Kalawuku yang sudah marah. 
Kesepuluh anak buahnya serentak menyerang 
kembali, walau hati mereka telah ciut setelah menda-
pat jitakan Pendekar Gila. 
"Heaaat...!" 
Merasa tak sempat memberi nasihat pada 
orang-orang Desa Kembang Tebu, Pendekar Gila segera 
memerintah Ki Wulung dan istrinya pergi dari tempat 
itu. 
"Kalian  pergilah dulu, nanti aku menyusul! 
Kerbau-kerbau dungu itu memang harus dibereskan. 
Hua ha ha...!" sambil tertawa tergelak-gelak, Pendekar 
Gila melesat cepat, memapaki sepuluh anak buah Ki 
Kalawuku yang menyerangnya. 
Namun, belum sampai Pendekar Gila mengha-
dang mereka, tiba-tiba.... 
Swing! Swing...! 
Jlep! Jlep...! 
Puluhan pisau kecil tiba-tiba melesat cepat 
menghunjam di tubuh sepuluh pengikut Ki Kalawuku. 
Hal itu membuat Pendekar Gila dan Ki Kalawuku ter-
sentak kaget. Keduanya dengan cepat melompat men-
gelakkan serangan gelap itu. 
Kesepuluh anak buah Ki Kalawuku menggelepar 
bagaikan ayam disembelih. Pisau-pisau kecil tajam 
itu menghajar leher dan dada mereka. Sesaat tubuh 
mereka meregang, kemudian ambruk tanpa nyawa. 
"Hups! Setan alas!" maki Ki Kalawuku sambil 
berjumpalitan menghindari serangan-serangan gelap 
yang entah dari mana asalnya. 
Pisau-pisau kecil itu melesat di bawah kaki Ki 
Kalawuku, lalu menghunjam di pepohonan.  
Jlep, jlep...! 
"Huh! Aneh sekali. Sepertinya ada seseorang 
yang berusaha membungkam mereka," gumam Sena 
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Matanya 
memandang Ki Wulung dan istrinya yang tiba-tiba te-
lah lenyap. "Hei, mereka menghilang!" 
"Kini kau telah jelas, bukan?! Masihkah kau tak 
percaya dengan kata-kataku, Bocah Edan!" bentak Ki 
Kalawuku jengkel, merasa Pendekar Gila penyebab da-
ri kegagalannya menangkap Ki Wulung dan istrinya. 
"Aha, jangan cepat marah, Ki. Kurasa ada se-
suatu yang menjadi teka-teki. Lihat, ada surat yang 
menempel di gagang belati," tunjuk Sena. 
Ki Kalawuku menghampiri pisau-pisau kecil 
yang tertancap pada batang pohon. Dia segera berusa-
ha mencabut salah satu pisau yang di gagangnya ter-
dapat surat 
"Wih!" Ki Kalawuku harus mengerahkan tenaga 
untuk bisa mencabut pisau itu, karena pisau itu me-
nancap dalam di pohon. Namun yang dapat diambilnya 
hanya gulungan daun lontar berisikan surat 
Ki Kalawuku segera membukanya, kemudian 
dengan mata membelalak dibacanya isi surat itu. 
Hati-hatilah! Kalian dalam ancaman bahaya. 
Ki Kalawuku mengerutkan kening ketika mem-
baca baris pertama, begitu pula dengan Pendekar Gila. 
Keduanya saling pandang, tak mengerti maksud se-
sungguhnya pengirim surat itu. 
"Hei, apa maksudnya?" tanya Ki Kalawuku se-
perti ditujukan pada diri sendiri. 
"Hm...," Sena menggumam tak jelas. "Aha, ku-
rasa dia bermaksud baik. Bacalah lagi yang lainnya." 
Ki Kalawuku yang semula benci pada Pendekar 
Gila segera menurut membaca tulisan di surat itu. Ma-
ta Ki Kalawuku semakin membelalak, ketika kembali 
membaca isi surat itu. 
Jika kalian ingin tahu siapa aku, teruslah berja-
lan ke barat. Hati-hati, karena bahaya tengah mengintai 
kalian. Khususnya para pendekar di Desa Kembang 
Tebu. 
Ki Kalawuku benar-benar heran membaca tuli-
san itu. Ditatapnya Pendekar Gila yang masih cen-
gengesan, sepertinya mengerti semua yang terjadi. Dan 
ketika lebih dalam lagi Ki Kalawuku mengamati pemu-
da gila itu, seketika tuduhannya hilang. 
Pemuda gila! Gumam Ki Kalawuku dalam hati. 
Hm, siapakah pemuda ini? Mungkinkah dia yang ber-
juluk Pendekar Gila? 
"Hi hi hi...! Aneh sekali! Masih ada juga orang 
yang baik hati pada para pendekar, khususnya pende-
kar di Desa Kembang Tebu," gumam Sena sambil 
menggaruk-garuk kepala. 
"Anak muda, kaukah yang berjuluk Pendekar 
Gila?" tanya Ki Kalawuku. 
"Hi hi hi...!" Sena tertawa dengan mulut nyen-
gir. "Namaku Sena, Ki. Hi hi hi...! Hanya orang-orang 
saja yang menyebutku gila. Ah, memang aku gila." 
Terbelalak mata Ki Kalawuku mendengar pe-
muda bertingkah laku gila itu. Kini hatinya yakin, ka-
lau Sena memang orang yang dijuluki Pendekar Gila. 
"Pendekar Gila, kurasa kau mengerti apa mak-
sud  tulisan ini. Bagaimana pendapatmu...?" tanya Ki 
Kalawuku. 
"Hi hi hi...! Aha, mudah saja. Mengapa tak kita 
ikuti sarannya? Bukankah dengan begitu kita akan ta-
hu siapa orang yang telah mengirim surat itu?" 
Sesaat Ki Kalawuku terdiam. Sepertinya dia 
tengah memahami kata-kata dalam tulisan itu. Kalau 
memang benar bahwa para pendekar Desa Kembang 
Tebu dalam ancaman, berarti ada orang-orang yang 
sengaja hendak menghancurkan Desa Kembang Tebu. 
Gumam Ki Kalawuku dalam hati. Siapakah, dan apa 
tujuan orang itu membuat keonaran di Desa Kembang 
Tebu? 
"Baiklah, Pendekar Gila. Mari kita ikuti apa 
kemauannya!" ajak Ki Kalawuku kemudian. 
"Aha, kurasa ada baiknya begitu," sahut Sena 
dengan mulut cengengesan dan tangan menggaruk-
garuk kepala. 
"Ayolah! Kita harus segera tahu siapa sebenar-
nya orang yang mengirim berita ini!" ajak Ki Kalawuku. 
"Aha, bagaimana dengan mayat-mayat itu?" 
tanya Sena, seraya menunjuk sepuluh anak buah Ki 
Kalawuku. 
"Biarkan saja," sahut Ki Kalawuku. 
Keduanya segera melesat cepat meninggalkan 
Hutan Waradas menuju arah barat, sesuai petunjuk 
yang diberikan pembunuh gelap itu. 
*** 
Setelah tidak mendapatkan orang yang dica-
rinya, Ki Soma dan orang-orangnya kembali ke desa. 
Mereka nampaknya tak berminat untuk meneruskan 
pencariannya. Apalagi setelah mereka menemukan ke-
sepuluh mayat anak buah Ki Kalawuku di tengah hu-
tan. Ditambah lagi hilangnya Ki Kalawuku yang entah 
ke mana, semakin membuat warga desa pengikut Ki 
Soma ciut nyalinya. 
Ki Soma akhirnya memutuskan kembali ke De-
sa Kembang Tebu yang letaknya tak jauh dengan Hu-
tan Waradas. Bahkan tepi hutan itu berdekatan den-
gan batas Desa Karang Tebu. 
"Setan alas! Rupanya ada yang bermaksud 
menggagalkan rencana kita, Diajeng...," dengus Ki So-
ma sambil melangkah mondar-mandir di depan is-
trinya yang masih duduk di  atas pembaringan. Mata 
Nyi Writampi tak lepas menatap suaminya yang tam-
pak gelisah serta marah. 
Malam itu Ki Soma benar-benar marah, karena 
akhir-akhir ini terdengar kabar ada dua orang anak 
muda aneh. Yang satu seorang pemuda dengan ting-
kah laku gila, sedangkan lainnya seorang gadis bisu 
dengan tingkah laku seperti gembel serta berbadan 
bungkuk 
"Siapakah, Kakang?" tanya wanita cantik beru-
sia sekitar empat puluh tahun dengan rambut sasak 
lebar. 
"Entahlah. Ada orang yang selalu mendahului 
setiap maksud kita. Dia seorang gadis muda bertubuh 
bungkuk," jawab Ki Soma masih menunjukkan wajah 
penuh amarah. "Sepertinya dia selalu tahu apa yang 
bakal kita rencanakan." 
Nyi Writampi terdiam, hanya matanya saja yang 
masih memandang lekat ke arah suaminya. Wajah wa-
nita itu pun melukiskan ketegangan, mendengar penu-
turan suaminya. Bibirnya digigit, seakan turut mera-
sakan kejengkelan suaminya.  
"Kalau begini terus-menerus, bisa-bisa rencana 
kita terbongkar, Diajeng," tukas Ki Soma cemas. 

"Lalu apa yang harus kita lakukan, Kakang?" 
Ki Soma terdiam, melangkah ke jendela kamar-
nya. Perlahan dibukanya jendela kamar, lalu ditatap-
nya rembulan yang tergantung di langit. Bulan itu 
membentuk sabit, dengan cahaya redup. 
"Malam ini mungkin akan leluasa kita bergerak, 
Diajeng. Kita harus  segera menyelesaikan semuanya 
dengan cepat, sebelum orang-orang mengetahui," gu-
mam Ki Soma sambil menoleh dan menatap istrinya 
yang masih duduk di atas tempat tidur. "Kita harus se-
cepatnya menyingkirkan Kakang Legok Menggo yang 
dungu dan tak bisa apa-apa." 
"Tapi, Kakang...." 
"Ada apa, Diajeng? Kau sepertinya merasa ra-
gu...?" 
"Benar, Kakang. Apakah jika kita terburu-buru 
tak akan membuat orang curiga? Bukankah lebih baik 
kita menggunakan Srindi lebih dahulu? Dengan begitu, 
orang tentu tak akan menyangka kalau kitalah pelaku 
semuanya," saran Nyi Writampi. 
Ki Soma tersenyum mendengar saran istrinya. 
Kemudian dengan mengangguk-anggukkan kepala, is-
trinya dihampiri. 
"Kau benar, Diajeng. Srindi memang telah ba-
nyak membantu kita. Dan orang-orang menyangka ka-
lau pelaku semuanya adalah orang lain. Hm, benar! 
Sekarang ini, memang dialah yang pantas untuk me-
nyingkirkan satu persatu para pendekar di Desa Kem-
bang Tebu ini. Dengan begitu, orang akan menyangka 
ini pembalasan arwah keluarga Gagar Blarak," ujar Ki 
Soma dengan bibir semakin tersenyum lebar. 
"Apakah malam ini pun dia akan kita utus, Ka-
kang?" 
"Ya! Malam ini giliran Anggastra. Bukankah ta-
di sore telah diberikan tanda silang merah?" tanya Ki 
Soma. 
"Benar, Kakang." 
"Hm, semua orang akan semakin kebingungan. 
Dan jika semua warga telah tak percaya lagi pada Ka-
kang Lenggok Menggo, maka akulah yang akan meng-
gantikan kedudukannya," gumam Ki Soma senang. 
"Kalau begitu, kita harus menghubunginya," 
ujar Nyi Writampi. 
"Ya. Cepatlah!"  
Nyi Writampi mengendap-endap meninggalkan 
rumahnya lewat pintu belakang untuk menghubungi 
Srindi. 
*** 
Malam sudah jatuh menyelimuti Desa Kembang 
Tebu. Kesunyian begitu terasa di desa ini. Tak seorang 
pun yang terlihat di luar. Dan rumah-rumah tampak 
tertutup rapat pintu dan jendelanya. Hanya cahaya re-
dup dari pelita kecil yang terlihat dari kisi-kisi pintu 
dan jendela setiap rumah. Namun, keadaan terang-
benderang terlihat di rumah Ki Anggastra. Bahkan be-
berapa obor terpancang di setiap sudut halaman ru-
mahnya. Suasana rumah Ki Anggastra seperti tengah 
mengadakan suatu pesta, tapi hanya para pendekar 
yang tampak di sana.  
Sementara di dalam salah satu kamar, Ki Ang-
gastra belum juga bisa merebahkan tubuhnya. Hatinya 
gelisah, setelah menerima tanda silang merah sore ta-
di. Ketika dia tengah duduk-duduk di serambi, tiba-
tiba melesat ke arahnya sebilah pisau kecil dengan ga-
gang terdapat ikatan daun lontar. Hampir saja pisau 
itu membunuhnya, kalau Ki Anggastra tak cepat ber-
gerak mengelak. Ki Anggastra membuka lipatan daun 
lontar yang ada di gagang pisau. Ternyata daun lontar 
itu bergambar tanda silang merah! 
Ki Anggastra tak tahu isyarat apa tanda silang 
merah itu. Tapi malam ini dia benar-benar gelisah, ber-
jalan mondar-mandir di dalam kamar. Beberapa kali 
terdengar tarikan nafasnya yang panjang, disertai 
hembusan napas yang terasa begitu berat.  
"Hhh...!"  
Bruk!  
"Heh...?!" 
Tiba-tiba saja Ki Anggastra tersentak kaget, ke-
tika mendengar suara seperti orang terjatuh. Cepat-
cepat lelaki berusia empat puluh tahun dan bercam-
bang le-bat itu melompat ke jendela kamarnya. Tapi 
belum juga sampai, mendadak sesosok bayangan biru 
berkelebat cepat memasuki kamar melalui jendela yang 
terbuka lebar. 
"Heii...!" 
Hampir saja Ki Anggastra terlanda bayangan bi-
ru itu, kalau saja tak cepat-cepat melompat ke bela-
kang. Dua kali lelaki itu berputar di udara. Lalu den-
gan manis sekali mendarat di lantai yang keras dan li-
cin. Saat itu, seorang bertubuh ramping sudah berdiri 
membelakangi jendela. Seluruh tubuhnya tertutup ba-
ju biru yang ketat. Sementara seluruh kepalanya juga 
terselubung  kain biru pekat. Hanya dua lubang kecil 
pada matanya yang terlihat. 
"Siapa kau...?" bentak Ki Anggastra. Tangan 
kanan Ki Anggastra cepat menyambar pedang yang 
tergeletak di atas meja, tak jauh di sebelah kanan. Be-
gitu teraih, pedang itu cepat dipindahkannya ke tan-
gan kiri. Sedangkan orang bertubuh ramping yang 
mengenakan pakaian biru tetap berdiri tegap, tak ber-
geming sedikit pun. Dari dua lubang di bagian mata, 
terlihat sorot matanya yang begitu tajam, menusuk 
langsung ke bola mata pendekar Desa Kembang Tebu 
ini. Dari bentuk tubuhnya sudah dapat dipastikan ka-
lau dia seorang wanita. 
"Uuu...!" wanita itu berseru. Tiba-tiba saja wa-
nita berbaju biru yang ternyata bisu itu melompat se-
cepat kilat, menerjang Ki Anggastra. Begitu cepat gera-
kannya, sehingga membuat Ki Anggastra terhenyak se-
saat. Namun, dengan cepat pula lelaki setengah baya 
itu melompat ke samping, sambil meliukkan tubuhnya, 
menghindari pukulan yang melayang cepat itu.  
"Hup! Yeaaah...!" 
Begitu lepas dari serangan, Ki Anggastra cepat 
melepaskan satu  tendangan keras menggeledek, den-
gan tubuh agak miring ke kiri. Tendangannya yang be-
gitu cepat, mengarah langsung ke dada wanita ini. 
"Uuu...!" 
Tanpa diduga sama sekali, wanita bisu berbaju 
biru itu malah menghentakkan tangan kirinya, mema-
pak tendangan Ki Anggastra. Hingga tak pelak lagi, 
tangan dan kaki itu beradu keras. 
Plak! 
"Uuu...!" 
"Hup!" 
Ki Anggastra terpekik kecil. Lalu dengan cepat 
dia melompat beberapa langkah ke belakang. Sedang-
kan wanita bisu itu juga cepat melompat beberapa kali 
ke belakang. Mereka kini kembali berdiri saling berha-
dapan, berjarak beberapa langkah. 
"Hiyaaa...!" 
"Uuu...!" 
Wanita berpakaian biru kembali melompat me-
nyerang dengan kecepatan luar biasa. Beberapa puku-
lan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam 
tinggi, dilepaskan secara beruntun. Akibatnya, Ki Ang-
gastra terpaksa berjumpalitan menghindarinya. Maka 
pertarungan di dalam kamar yang cukup luas ini pun 
tak terelakkan lagi. 
"Hup! Hiyaaa...!" 
"Uuu...!" 
Begitu memiliki kesempatan, Ki Anggastra ce-
pat melenting ke udara. Lalu, cepat sekali tangannya 
mengibas ke kepala wanita yang terselubung kain biru 
dengan jurus 'Tepisan Dewa Mengebut Angin'. Dengan 
gerakan kepala yang begitu manis, wanita bisu itu 
mampu mengelakkan sambaran tangan lawan. 
"Yeaaa...!" 
"Uuu...!" 
Dengan gerakan yang tak terduga dan cepat, Ki 
Anggastra memutar tubuhnya. Dan secepat itu pula di-
lepaskannya satu tendangan keras menggeledek den-
gan tubuh berputar cepat. Begitu cepatnya serangan 
yang dilakukan Pendekar Kembang Tebu ini, sehing-
ga.... 
Begk! 
"Uuukh...!" 
Wanita bisu itu terpekik keras agak tertahan. 
Tendangan yang mendarat tepat di dadanya begitu ke-
ras, membuatnya terpental deras ke belakang. Lonta-
ran tubuhnya baru berhenti ketika menghantam dind-
ing kamar, hingga bergetar hendak roboh. 
Brak! 
Wanita bisu itu cepat menguasai diri dan kem-
bali berdiri tegak, sambil memegangi dada yang terke-
na tendangan keras lawan. Matanya menyorot tajam ke 
arah Ki Anggastra. 
*** 
"Hiyaaa...!" Ki Anggastra langsung melompat 
menyerang, sambil mengayunkan pedangnya dengan 
jurus 'Gelar Babat Yudha'. 
"Hih! Yeaaah...!" Wanita bisu itu segera menca-
but senjata badiknya. Kemudian secepat kilat dike-
butkannya untuk menangkis sabetan pedang lawan. 
Trang! Terdengar dua senjata berbenturan. 
"Hiyaaa...!"  
"Uuu...!" 
Ki Anggastra langsung  melompat menyerang, 
sambil mengayunkan pedangnya yang tergenggam di 
tangan kanan. Dan secepat itu pula pedangnya dike-
butkan ke arah kepala wanita aneh berbaju biru itu 
dengan jurus 'Gelar Babat Yudha'. 
"Hih! Yeaaah...!" 
"Uuu...!" 
Wanita bisu itu segera mencabut senjatanya 
yang berupa pisau menyerupai badik dari pinggang-
nya. Kemudian secepat kilat dikebutkannya untuk 
menangkis sabetan pedang lawan. 
Trang! 
"Akh!" 
Ki Anggastra tersentak kaget setengah mati. 
Cepat-cepat pedangnya ditarik, lalu melompat ke bela-
kang beberapa langkah. Hampir dia tak percaya den-
gan apa yang terjadi barusan. Senjata menyerupai ba-
dik kecil di tangan gadis itu ternyata mampu menahan 
pedangnya yang besar dan kuat. Bahkan tangannya 
tadi sampai tergetar hebat. 
"Hap!" 
"Uuu...!" 
Ki Anggastra cepat menyilangkan pedangnya di 
depan dada. Perlahan kakinya bergeser beberapa lang-
kah ke samping. Kemudian cepat sekali tangan kirinya 
bergerak mengebut ke depan. Saat itu juga, terlihat 
beberapa benda bulat berwarna putih melesat cepat 
dari tangan kiri Ki Anggastra.  
"Hup!"  
"Uuu...!"  
Bersamaan dengan lompatan wanita berpa-
kaian biru dalam menghindari senjata-senjata rahasia 
itu, Ki Anggastra sudah lebih cepat lagi melesat ke 
udara. Dan secepat kilat pula pedangnya dibabatkan 
ke lambung lawan. Tapi, wanita bungkuk itu cepat 
menarik tubuhnya ke belakang. Sehingga tubuhnya 
agak ter-bungkuk. Dan pada saat itu, Ki Anggastra 
mengibaskan tangan kirinya menyambar kepala lawan. 
Bret! 
"Ukh...!" 
Wanita bungkuk itu terpekik, ketika kain biru 
penyelubung kepalanya terampas tangan kiri Ki Ang-
gastra. Cepat-cepat tubuhnya meluruk ke bawah sam-
bil berputaran beberapa kali. Tampak di balik selu-
bung, seraut wajah yang sangat menyeramkan. Tepat 
pada saat kaki wanita itu menjejak lantai, Ki Anggastra 
juga mendarat manis sekali. Namun saat itu juga ma-
tanya terbelalak tegang. 
"Kau...?!" 
"Uuu!" 
Bet!    
Begitu cepat dan tiba-tiba wanita itu memba-
batkan senjatanya yang berupa pisau menyerupai ba-
dik ke leher Ki Anggastra. Sehingga.... 
Cras! 
"Aaakh...!" 
Ki Anggastra terpekik keras. Darah langsung 
muncrat dari lehernya. Hanya sebentar Ki Anggastra 
masih bisa berdiri, kemudian tubuhnya limbung dan 
ambruk menggelepar di lantai kamarnya. Lalu tak ber-
kutik. Mati! 
"Uuu...!"  
Slap! 
Sambil meninggalkan suara lengkingan yang 
mengerikan, wanita berpakaian biru itu melesat cepat 
meninggalkan kamar melalui jendela yang masih ter-
buka. Begitu cepat kelebatannya, hingga dalam seke-
jap tubuhnya telah menghilang ditelan kegelapan ma-
lam. 
*** 
Pendekar Gila dan Ki Kalawuku yang mengikuti 
petunjuk dari seseorang penyerang gelap, akhirnya 
menemui tempat yang mereka tuju. Sebuah gubuk be-
sar yang terletak di balik Bukit Candra Buana. Jarak 
antara bukit itu dengan Desa Kembang Tebu sebenar-
nya tak terlalu jauh. Namun karena keadaannya sulit 
untuk dicapai, menjadikan gubuk itu seperti tak per-
nah dikunjungi orang. 
"Hm.... Nampaknya gubuk itulah tempatnya," 
gumam Ki Kalawuku. 
"Aha, benar katamu, Ki. Aneh sekali, ada gubuk 
di balik bukit. Hi hi hi...!" tawa Sena memecah kesu-
nyian pagi itu. 
"Ayo kita ke sana!" ajak Ki Kalawuku. 
Keduanya dengan berlari-lari kecil menuju gu-
buk besar itu. Mereka harus menaiki bukit itu, agar 
dapat leluasa melihat ke sekeliling kaki bukit, tempat 
gubuk besar itu berada. 
"Aha, indah sekali suasana di sini!" gumam Se-
na sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Ya! Bukit ini indah, tapi tak seorang pun yang 
datang ke tempat ini," gumam Ki Kalawuku. "Seper-
tinya ada sesuatu yang tersembunyi di balik keindahan 
bukit ini." 
Pendekar Gila cengengesan sambil masih 
menggaruk-garuk kepala. Matanya menyapu pandang 
ke bawah bukit, ke sekitar tempat gubuk itu berada. 
Dari dalam gubuk besar itu tiba-tiba muncul Ki 
Wulung dan istrinya yang langsung memandang ke 
atas bukit di mana Pendekar Gila dan Ki Kalawuku be-
rada. 
"Aha, mereka ada di sini!" seru Sena. 
"Hm, rupanya benar dugaanku, kalau Ki Wu-
lung dan istrinya mengenal pembunuh gelap itu," gu-
mam Ki Kalawuku. "Tapi apa maksud orang itu me-
manggil kita ke tempat ini?" 
"Hi hi hi...! Apakah tak sebaiknya kita turun?" 
ajak Sena. 
"Ya ya, mari!" 
Keduanya segera melompat ke bawah dan tahu-
tahu telah berdiri di hadapan Ki Wulung dan istrinya 
yang tersenyum. Suami istri itu sepertinya tak takut 
lagi menghadapi Ki Kalawuku. 
"Selamat datang di tempat ini!" sapa Ki Wulung 
dengan bibir tersenyum dan menjura hormat. 
"Aha, di manakah orang yang mengundang ka-
mi, Ki?" tanya Sena dengan tingkah lakunya yang ko-
nyol persis orang gila. Tangannya menggaruk-garuk 
kepala. Sedangkan mulutnya masih cengengesan. 
Dari dalam gubuk itu seketika keluar seorang 
wanita cantik diikuti gadis berusia sekitar lima belas 
tahun. Pendekar Gila mengerutkan kening melihat ga-
dis berpakaian kumal dan bertubuh bungkuk itu. 
"Aha, kita bertemu lagi!" seru Sena. "Tak ku-
sangka, kalau akhirnya kita bertemu di sini." 
"Selamat datang di gubuk kami, Pendekar Gila!" 
sapa  wanita cantik berusia sekitar tiga puluh tahun 
perpakaian kuning yang tak lain Suriwarni. 
"Uuu uuu...!" 
Gadis bisu yang bertubuh bungkuk dan berpa-
kaian biru kehitaman itu menggerak-gerakkan tan-
gannya, seperti hendak menyapa Pendekar Gila dan Ki 
Kalawuku. 
"Terima kasih, Nini. Ada apa sebenarnya kami 
dipanggil ke tempatmu?" tanya Ki Kalawuku. 
"Masuklah dahulu! Kita bicara di dalam saja," 
ajak Suriwarni sambil merentangkan tangan kanannya 
mempersilakan kedua tamunya masuk. 
"Hi hi hi...!" Sena tertawa tergelak-gelak. Kemu-
dian diikuti Ki Kalawuku dia melangkah masuk ke ru-
mah gubuk besar tempat tinggal gadis bungkuk dan 
Suriwarni. 
Mereka duduk di atas tikar dari daun pandan 
yang cukup lebar.  
"Aha, seperti ada pertemuan penting," gumam 
Sena. Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan 
mulut masih cengengesan. 
"Nini, ada perlu apa sebenarnya?" tanya Ki Ka-
lawuku tak sabar. 
"Sabarlah, Ki! Kita belum saling kenal satu sa-
ma lainnya. Apakah tak sebaiknya kita saling menge-
nai? Baru setelah itu kita menuju ke pokok masalah-
nya," sahut Suriwarni dengan bibir mengurai senyum. 
Semakin menambah kecantikan wanita muda itu. 
"Aha, memang benar apa yang kau katakan, 
Nini. Baiklah, kami terima usulmu," kata Sena dengan 
cengengesan sambil tangannya masih menggaruk-
garuk kepala. 
"Terima kasih atas kesabaran serta kedatangan 
kalian! Baiklah, aku sebagai tuan rumah akan mem-
perkenalkan diri. Namaku Suriwarni, atau orang biasa 
memanggilku si Bayangan Bidadari," kata Suriwarni 
memperkenalkan dirinya. 
"Aha, sungguh beruntung sekali aku dapat ber-
temu dengan Bayangan Bidadari," gumam Sena. "Tak 
kusangka, kalau Bayangan Bidadari masih muda dan 
cantik." 
Suriwarni tersipu-sipu mendengar kata-kata 
Pendekar Gila. Sampai-sampai kedua pipinya bersemu 
merah! Perlahan kepalanya menunduk, dengan bibir 
tersenyum malu-malu. 
"Uh uh uh...!" 
Gadis bisu terdengar berkata, tangannya berge-
rak memperagakan gerakan. Sepertinya dia ingin men-
jelaskan siapa dirinya. 
"Oh, rupanya kau hendak memperkenalkan di-
ri, Dik," sahut Sena. "Katakanlah, aku mungkin bisa 
membantumu." 
"Uh uh uh," gadis bisu dengan keadaan meme-
las itu kembali menggerak-gerakkan tangannya, men-
gatakan dengan bahasa isyarat siapa dirinya. 
"Aha, kau sebenarnya warga Desa Kembang Te-
bu. Kau anak dari salah seorang yang menjadi korban 
kebiadaban seseorang yang kini tengah kau cari," Sena 
menterjemahkan setiap gerakan yang dilakukan gadis 
bisu itu. "Hm, jadi ayahmu tak salah? Ah, siapakah 
yang dimaksudkannya?" 
"Itulah yang hendak kami bahas, Pendekar Gi-
la," sahut Suriwarni. 
"Maksud dia, Ki Gagar Blarak?" tanya Ki Kala-
wuku. 
"Benar, Ki. Dia memang putri Ki Gagar Blarak. 
Sejak melihat kematian ayah, ibu serta kakaknya, 
Murni langsung menjadi bisu," tutur Suriwarni. 
"Jadi anak Ki Gagar Blarak masih ada yang hi-
dup?" tanya Ki Kalawuku dengan mata membelalak, 
seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya. 
"Bukankah dulu seluruh keluarga Ki Gagar Blarak ma-
ti terbakar?" 
"Tidak, Ki. Hanya Ki Gagar Blarak dan istri ser-
ta kakak Murni yang terbakar, sedangkan Murni sen-
gaja kuselamatkan untuk menjadi saksi hidup," tutur 
Suriwarni. 
"Saksi hidup...?" tanya Ki Kalawuku semakin 
berlipat keningnya. 
"Ya, saksi hidup," jawab Suriwarni. 
"Apa maksudmu...?" tanya Ki Kalawuku. 
"Nanti akan kujelaskan, Ki. Kini, sepantasnya-
lah kita saling berkenalan lebih dahulu. Kalau Pende-
kar Gila, aku sudah kenal. Siapakah kisanak sebenar-
nya...?" tanya Suriwarni pada Ki Kalawuku. 
"Namaku Kalawuku, dan selama ini menjadi 
jawara Ki Legok Menggo," jelas Ki Kalawuku memper-
kenalkan dirinya. 
Bayangan Bidadari mengangguk-anggukkan 
kepala mendengar penuturan Ki Kalawuku. Dihelanya 
napas dalam-dalam. Matanya memandang lepas ke 
atas. 
"Kita semua menjadi korban dari kebiadaban 
seseorang. Kita juga hendak diadu domba olehnya," 
desah Suriwarni lirih dengan wajah masih menenga-
dah. 
Kening Ki Kalawuku mengerut, mendengar pe-
nuturan Suriwarni. Matanya membelalak, menatap ta-
jam wajah Bayangan Bidadari. Sepertinya, dia hendak 
menegaskan betul tidaknya kata-kata itu. 
"Maksudmu, Nini...?" 
"Ya, tanpa kita sadari, selama ini kita telah di-
adu domba orang yang memiliki hasrat besar menggu-
lingkan Ki Legok Menggo," desah Suriwarni. 
"Aku semakin tak mengerti," tukas Ki Kalawu-
ku.  
"Aha, aku juga, Ki. Hi hi hi.... Kalau boleh ku 
tahu, bisakah Nini menjelaskan apa yang sebenarnya 
telah menimpa Desa Kembang Tebu?" pinta Sena den-
gan tangan menggaruk-garuk kepala. 
Bayangan Bidadari menghela napas dalam-
dalam. Pandangannya kini beralih ke wajah Murni 
yang hanya diam tenang duduk di sampingnya. 
"Bocah malang inilah sebagai saksi utama. Tapi 
baiklah, agar kalian tak bingung, aku akan mencerita-
kan semua yang sebenarnya terjadi...." 
Semua terdiam menarik napas dalam-dalam. 
Lalu Suriwarni pun membuka ceritanya. 
Lima tahun yang silam, hiduplah keluarga yang 
tenang dan damai. Keluarga Gagar Blarak dan istrinya 
yang bernama Dewi Gendri Meni itu memiliki dua 
orang anak. Yang satu lelaki bernama Trajusati dan 
seorang lagi, gadis yang waktu itu berusia sekitar se-
puluh tahun, bernama Murni. 
Kebahagiaan keluarga Gagar Blarak, rupanya 
membuat orang yang dengki berusaha menghancur-
kannya. Gagar Blarak tiba-tiba difitnah sebagai anggo-
ta Gerombolan Bajul Ireng. Padahal dia sebenarnya 
pendekar yang gigih dalam menegakkan kebenaran 
dan keadilan. Hanya saja Gagar Blarak tidak sombong, 
sehingga dalam bergerak selalu sembunyi-sembunyi, 
dengan harapan tak seorang pun tahu kalau dirinya 
seorang pendekar. 
Pada mulanya tak seorang pun tahu kalau Ga-
gar Blarak seorang pendekar. Hanya Bayangan Bida-
dari yang memang sebagai kerabat dekat mengeta-
huinya. Namun lama kelamaan, ternyata kependeka-
rannya tercium seorang yang sebenarnya anggota Ge-
rombolan Bajul Ireng. 
Seorang anggota Gerombolan Bajul Ireng yang 
perkumpulannya dibubarkan dan diobrak-abrik Gagar 
Blarak, berusaha membalas dendam. Dengan usa-
hanya yang licik, Gagar Blarak akhirnya dapat difit-
nah. Semua orang menuduh Gagar Blarak anggota Ge-
rombolan Bajul Ireng. Keluarga Gagar Blarak dihukum 
bakar. Beruntung Murni yang bersembunyi dapat dis-
elamatkan Bayangan Bidadari. 
"Begitulah ceritanya," ujar Suriwarni mengenai 
Gagar Blarak dan gadis bisu bertubuh bungkuk. "Apa-
kah kalian sudah jelas?" 
"Kurang ajar sekali," gumam Ki Kalawuku. 
"Siapakah yang telah melakukan semuanya?" 
"Itu yang sedang kami selidiki," sahut Suriwar-
ni. 
*** 
Keheningan melintas di antara mereka ketika 
pembicaraan dihentikan sesaat. Hanya tingkah laku 
Pendekar Gila yang menjadi perhatian kelima orang di 
ruangan gubuk itu. Tingkah laku Pendekar Gila me-
mang mengundang hati mereka tersenyum, karena lu-
cu dan konyol. 
"Aha, aku ada akal!" seru Sena tiba-tiba, me-
nyentakkan semua yang ada di tempat itu. Seketika 
mata mereka kembali menatap Pendekar Gila yang 
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. "Kita 
harus memancing orang laknat itu keluar dari Desa 
Kembang Tebu." 
"Hm, usul yang bagus," sambung Ki Wulung. 
"Ya, hanya dengan cara itu kita bisa tahu siapa 
sebenarnya biang dari semua kejahatan di Desa Kem-
bang Tebu," sambung Ki Kalawuku. "Aku akan mem-
bantu. " 
"Ya. Kau memang sangat diperlukan, Ki. Kare-
na menurut pengamatanku, kini jahanam itu hendak 
bertujuan menggulingkan Ki Legok Menggo," tutur Su-
riwarni. 
Mata Ki Kalawuku terbelalak, mendengar penu-
turan Bayangan Bidadari. Sama sekali tidak disang-
kanya kalau Ki Legok Menggo menjadi sasaran utama 
pembunuhan di desanya. 
"Benarkah apa yang kau katakan, Nini?" tanya 
Ki Kalawuku memastikan. 
"Tak ada gunanya aku berdusta, Ki." 
"Hm, kurang ajar sekali. Jelas ini tak boleh di-
biarkan!" geram Ki Kalawuku sambil mengepalkan tan-
gan kanannya. "Kalau saja aku tahu siapa orangnya, 
ingin rasanya lehernya kupuntir!" 
Bayangan Bidadari tersenyum sambil mengge-
leng-gelengkan kepala, mendengar ucapan Ki Kalawu-
ku. 
"Tak mungkin, Ki. Aku tahu bagaimana sak-
tinya Ketua Gerombolan Bajul Ireng. Sulit bagi orang 
seperti kita menghadapinya. Entah jika Pendekar Gila 
turut serta," desis Suriwarni. 
"Jadi, dia Ketua Gerombolan Bajul Ireng...?" Ki 
Kalawuku terkejut. Matanya membelalak, memandang 
wajah Suriwarni yang menganggukkan kepala.   
"Itu sebabnya aku selalu berusaha mencari 
Pendekar Gila. Bukannya aku merendahkan kepan-
daianmu, Ki. Tapi menurut kata-kata guruku; orang 
yang sebanding dengan Ketua Gerombolan Bajul Ireng 
hanyalah Pendekar Gila," tutur Suriwarni. 
"Hi hi hi.... Kau terlalu menyanjung nama Pen-
dekar Gila, Nini Ah ah ah.... Kurasa tak sepantasnya 
aku menerima sanjungan yang terlalu berlebihan itu. 
Aku belum seberapa dibandingkan dengan kalian yang 
namanya cukup kondang," kata Sena merendah. 
"Terima kasih atas kebaikanmu, Pendekar Gi-
la!" desah Suriwarni. "Namun aku berkata sejujurnya, 
sesuai dengan pesan mendiang guruku yang mengata-
kan, bahwa satu-satunya orang yang mampu menan-
dingi ilmu Bajul Ireng hanyalah Pendekar Gila, yang 
tentunya Kakang." 
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil 
menggaruk-garuk kepala. Mulutnya cengengesan, ke-
mudian kepalanya menggeleng-geleng 
"Baiklah, kini kita teruskan pembicaraan kita!" 
ajak Sena mengalihkan pembicaraan ke pokok masa-
lah semula. 
Bayangan Bidadari menghela napas panjang. 
Kemudian pandangan matanya diarahkan pada Ki Wu-
lung dan istrinya, membuat lelaki tua dan istrinya ter-
tunduk. 
"Perlu juga kuperkenalkan pada kalian, sebe-
narnya Ki Wulung dan Nyi Wulung ini teman-temanku. 
Keduanya memang sengaja tinggal di Desa Kembang 
Tebu untuk menyelidiki masalah Gerombolan Bajul 
Ireng. Ki Wulung sebenarnya berjuluk Pendekar Lu-
tung Sakti. Sedangkan Nyi Wulung tiada lain Dewi Te-
ratai Ungu." 
Pendekar Gila tersentak, apalagi Ki Kalawuku, 
setelah mendengar siapa sebenarnya dua orang tua 
yang tampaknya lemah dan tak berdaya itu. Mereka 
ternyata dua orang tokoh persilatan yang cukup ter-
kenal dan disegani. 
"Aha, sungguh mataku yang masih muda ru-
panya telah lamur," gumam Sena. "Ada gunung menju-
lang tinggi di hadapanku, sampai aku tak tahu. Teri-
malah hormatku, Pendekar Lutung Sakti." 
"Ah, tak apa. Aku lebih suka dipanggil Ki Wu-
lung," sahut Ki Wulung dengan bibir mengurai se-
nyum. 
"Maafkan segala kesalahanku, Pendekar Lutung 
Sakti," ujar Ki Kalawuku. 
"Ah, semua telah ku maafkan. Semua memang 
bukan salah kita. Seandainya tak ada si Bajul Ireng, 
tak mungkin kita akan dalam keadaan seperti ini. Tapi 
selama ini, belum juga aku dapat menemukannya," 
gumam Ki Wulung. 
"Ya, mereka memang sengaja berpura-pura se-
perti orang tak waras dan lemah. Hal itu untuk mena-
rik perhatian Bajul Ireng, sehingga tak merasa dimata-
matai. Namun rupanya Bajul Ireng sangat cerdik dan 
licik, dia mampu melihat keadaan...," gumam Suriwar-
ni. 
"Aha, aku ada pendapat. Hi hi hi...!" Sena ter-
tawa cekikikan. 
"Apakah itu?" serentak mereka bertanya. 
"Hi hi hi.... Lucu sekali! Mengapa kita tiba-tiba 
menjadi orang bodoh...?" tanya Sena, membuat semua 
mata kembali memperhatikannya. "Kita benar-benar 
bodoh, melebihi kerbau! Hua ha ha...!" 
Kening kelima orang yang berada di tempat itu 
berkerut mendengar kata-kata Pendekar Gila. Mata 
mereka menyipit, tak mengerti maksud ucapan Pende-
kar Gila. 
"Pendekar Gila, katakanlah apa maksudmu?" 
selak Suriwarni, mengharap Pendekar Gila mau menje-
laskan maksud ucapannya. 
Pendekar Gila tertawa cekikikan. Tangannya 
kembali menggaruk-garuk kepala. 
"Hi hi hi...! Selama ini kalian memang telah di-
perdaya dan hendak diadu domba Bajul Buntung. Eh, 
Bajul Ireng. Hi hi hi.... Lucu sekali." 
Kelima orang yang hadir di tempat itu semakin 
mengerutkan kening. Mereka belum juga memahami 
apa maksud Pendekar Gila sebenarnya. 
"Apakah kalian tak ingat, kejadian yang telah 
melanda Desa Kembang Tebu akhir-akhir ini...?" tanya 
Sena sungguh-sungguh. 
"Hei, benar...!" seru Ki Wulung. 
"Ya ya, aku ingat," sambut Ki Kalawuku. 
"Aha, syukurlah! Nah, kematian demi kematian 
terus melanda Desa Kembang Tebu. Dan selalu saja 
kalian tak dapat menangkap pelakunya, bukan?" 
"Benar," jawab Ki Kalawuku. "Bukankah pela-
kunya yang selalu menolong Ki Wulung?" 
"Aha kurasa tidak. Kupikir ada orang yang 
memperalat seseorang untuk melakukan semuanya...," 
tutur Sena. 
"Ah, benar!" seru Nyi Wulung atau Dewi Teratai 
Ungu. "Kudengar pelaku pembunuhan itu gadis bung-
kuk dan bisu yang mengenakan pakaian sama dengan 
yang dipakai Murni. Aku pun sempat bingung juga 
dengan apa yang kudengar, karena kukira Murni pela-
kunya." 
"Hi hi hi..... Lucu...!" gumam Sena. "Aha, kita 
kini telah menemukan jalannya. Kita tinggal memanc-
ing gadis bisu yang kurasa diperalat seseorang. Kalau 
kita bisa menangkapnya, kurasa rahasia gadis bisu 
akan tersingkap." 
Semua mengangguk-anggukkan kepala, seperti 
membenarkan gagasan Pendekar Gila. Memang mereka 
pun mendengar kalau pelaku dari semuanya tak lain 
seorang gadis bisu bertubuh bungkuk. 
"Bagaimana kalau nanti malam kita mengada-
kan penyelidikan?" tanya Ki Kalawuku. 
"Tepat!" sambut Suriwarni. "Ki Kalawuku sebi-
sanya menjaga Ki Legok Menggo dari ancaman maut 
Bajul Ireng. Aku dan Murni akan berusaha mengha-
dang gadis bisu. Sedangkan Pendekar Gila dan Ki Wu-
lung serta Nyi Wulung, kami harap kalian bersiap-
siap!" 
"Aha! Tanpa diminta, aku telah siap. Hi hi hi...! 
Nanti malam kita akan pesta memburu Bajul Buntung. 
Hua ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak dengan tan-
gan menggaruk-garuk kepala. 
"Ya! Kita harus cepat, agar jangan sampai Bajul 
Ireng mendahului kita. Korban kekejiannya sudah cu-
kup banyak," gumam Ki Wulung. 
"Aku tak habis pikir, mengapa masih saja ada 
orang yang bermaksud buruk pada Ki Legok Menggo. 
Padahal Ki Legok Menggo baik dan bijaksana. Hanya 
sayang, dia dapat dipengaruhi adik sepupunya." 
Tersentak semuanya mendengar penuturan Ki 
Kalawuku. Lebih-lebih Pendekar Gila. 
"Aha, kini sudah jelas!" 
"Apa maksudmu, Pendekar Gila?" tanya Suri-
warni. 
"Tentunya Bajul Buntung itu tak lain adik se-
pupu Ki Legok Menggo." 
"Maksudmu Soma...?" hampir serentak mereka 
menegaskan. 
"Hi hi hi.... Ternyata otak kalian masih encer, 
tidak seperti kerbau. Hua ha ha...!" 
Semua mata terbelalak, kemudian saling pan-
dang mendengar penuturan Pendekar Gila. Lalu mere-
ka turut tertawa, setelah membenarkan apa yang dika-
takan Pendekar Gila. 
"Hm, kita harus hati-hati menghadapi Soma," 
ujar Ki Kalawuku. "Pantas.... pantas kalau dia selalu 
berusaha mengatur semuanya." 
"Nanti malam, kita harus bergerak. Ingat apa 
yang telah kukatakan," tegas Suriwarni. 
"Ya!" sahut semuanya, hampir bersamaan. 
*** 
"Celaka, Diajeng. Kita tak mungkin terus-
menerus menahan sabar...," ujar Ki Soma dengan 
langkah cepat masuk ke rumahnya. Wajahnya diliputi 
amarah. Nafasnya mendengus bagaikan banteng terlu-
ka. 
"Ada apa lagi, Kakang?" tanya Nyi Writampi 
yang baru keluar dari dalam rumah ketika mendengar 
suara suaminya. 
"Kudengar kabar, kalau Ki Kalawuku hilang. 
Hm, ini sangat berbahaya, Diajeng. Rencana kita bisa 
gagal," desis Ki Soma masih kelihatan gelisah. "Terpak-
sa kita harus melakukannya sekarang." 
"Sabar, Kakang! Memang tak ada orang yang 
bisa mengalahkan kita. Namun apakah tindakan kita 
tak membuat orang tahu kalau kita yang telah meren-
canakan semua ini?" tanya Nyi Writampi berusaha 
menyabarkan suaminya. 
Wanita berusia empat puluh tahun yang masih 
tampak cantik itu mencoba tersenyum. Dia berusaha 
menenangkan kegelisahan dan kemarahan suaminya. 
Hatinya memang membenarkan apa yang dikatakan Ki 
Soma. Dengan lenyapnya Ki Kalawuku, bukan tak 
mungkin rahasia mereka dapat terbongkar. Hal itu jika 
Ki Kalawuku memang masih hidup dalam sandera pi-
hak yang tak menyukai mereka. 
"Apakah kau sudah yakin kalau Ki Kalawuku 
masih hidup?" tanya Nyi Writampi dengan tangan ber-
gelayut di pundak suaminya. Matanya yang lentik, 
memandang penuh arti ke wajah Ki Soma.  
"Ya." 
"Kau sudah menyelidikinya?" 
"Ya. Di hutan tak kutemukan mayatnya. Yang 
ada hanya sepuluh pengikutnya," jawab Ki Soma. 
Nyi Writampi terdiam, dengan mata masih me-
natap tajam wajah suaminya. Kemudian dihelanya na-
pas panjang. Kakinya melangkah meninggalkan sua-
minya, lalu duduk di kursi ruang tamu. Matanya kem-
bali menatap pada Ki Soma. 
"Kurasa dia tak akan sepintar itu, Kakang," ka-
tanya setengah bergumam. 
"Maksudmu...?" tanya Ki Soma seraya memba-
likkan tubuh dan melangkah mendekati kursi tempat 
istrinya duduk dan tersenyum manis. Senyum yang 
membuat Ki Soma mabuk kepayang. Lelaki berusia se-
tengah baya itu pun segera menarik kursi di depan is-
trinya, lalu duduk. Wajahnya tampak masih belum te-
nang. 
Nyi Writampi tersenyum lebar. Kepalanya dige-
leng-gelengkan, seakan mengatakan kalau dirinya tak 
yakin Ki Kalawuku mengetahui rahasia mereka. Sebab 
Ki Kalawuku merupakan orang baru di Desa Kembang 
Tebu. 
"Kau harus ingat, Kakang. Dia orang baru di 
Desa Kembang Tebu ini. Bagaimana mungkin Ki Kala-
wuku tahu semuanya?" ungkap Nyi Writampi dengan 
bibir tersenyum dan kepala menggeleng-geleng, tak ya-
kin dengan pendapat suaminya. 
Ki Soma terdiam, dia pun berpikiran begitu. 
Namun entah mengapa dari pagi hatinya gelisah. Se-
pertinya ada sesuatu yang ditakutkan. 
"Yang perlu kita pikirkan sekarang, Ki Anom 
Purbo. Dialah yang telah mengetahui siapa kita, Ka-
kang." 
"Hm...," gumam Ki Soma tak jelas. Kepalanya 
manggut-manggut, seperti memahami ucapan istrinya. 
"Memang benar, dialah yang tahu semuanya. Aku pun 
mengkhawatirkan Ki Anom Purbo akan membuka ra-
hasia kita." 
"Bukankah dia telah kita ancam? Lagi pula, an-
tara kita dengannya masih ada sangkut paut yang tak 
mungkin dilepaskan begitu saja. Kau ingat, Ki Anom 
Purbo bersumpah pada leluhur kita untuk tak saling 
menjatuhkan...?" ujar Nyi Writampi berusaha mene-
nangkan hati suaminya. 
"Hhh...! Namanya manusia, Diajeng. Manusia 
tak bisa dipercaya," dengus Ki Soma. 
"Jadi, apa yang harus kita lakukan, Kakang?" 
"Kita singkirkan Ki Anom Purbo, sebelum raha-
sia kita terbongkar!" 
"Kau takut rahasia kita terbongkar?" 
"Takut...? Hua ha ha...! Bajul Ireng tak pernah 
takut pada siapa pun, Diajeng." 
"Kalau memang tak takut, mengapa kau geli-
sah? Empat orang pendekar yang memihak pada Legok 
Menggo telah kita singkirkan. Kini tinggal bagaimana 
kita menyusun rencana selanjutnya," tutur Nyi Wri-
tampi. 
"Hm, benar apa yang kau katakan, Diajeng. Ki-
ta tinggal menyusun rencana selanjutnya. Dan satu 
orang lagi yang harus kita singkirkan, tinggal Ki Anom 
Purbo," dengus Ki Soma. 
"Bagaimana  kalau secepatnya saja, Kakang?" 
saran Nyi Writampi. 
"Maksudmu?" 
"Kita bagi kerja kita. Kau bereskan Ki Legok 
Menggo, dan aku bersama Srindi menyingkirkan Ki 
Anom Purbo! Bagaimana, Kakang?" tanya Nyi Writampi 
masih dengan senyum mengembang di bibirnya. 
"Benar juga pendapatmu, Diajeng. Itu memang 
cara yang paling baik. Kita memang harus segera me-
nyingkirkan mereka. Aku setuju dengan pendapatmu," 
sahut Ki Soma tersenyum bangga, merasa istrinya 
memiliki pikiran yang pintar. 
"Kalau begitu, sebaiknya kita persiapkan semu-
anya, Kakang!" 
"Ya! Panggil Srindi," perintah Ki Soma. Nyi Wri-
tampi segera berlalu meninggalkan ruang tamu, me-
langkah masuk ke sebuah kamar yang pintunya tertu-
tup rapat. Perlahan-lahan dibukanya pintu kamar. Se-
ketika bau kemenyan dan aroma kayu cendana me-
nyengat hidungnya...  
Kamar itu gelap, sehingga sulit untuk melihat 
apa yang di dalam. Namun Nyi Writampi tampaknya 
sudah terbiasa masuk ke dalam kamar itu. Perempuan 
berusia hampir setengah baya ini tahu persis letak se-
tiap benda yang ada di kamar itu. Itu sebabnya Nyi 
Writampi tak menabrak sesuatu apa pun, walau me-
langkah dalam keadaan gelap gulita, tanpa setitik ca-
haya.  
"Srindi...!" desis Nyi Writampi memanggil seseo-
rang. 
"Uuu...!" 
Terdengar suara keluhan panjang dari dalam 
kamar itu, yang tampaknya berasal dari tempat tidur. 
Kemudian nampak kilatan sepasang mata menatap 
wajah Nyi Writampi. 
"Srindi, kau bersiaplah! Nanti malam kita akan 
melakukan semua rencana kita. Kau dan aku me-
nyingkirkan Ki Anom Purbo. Sedangkan Kakang Soma 
akan menyingkirkan  Legok Menggo tolol itu. Dan se-
bentar lagi kita pun akan menjadi orang yang bebas. 
Kita akan dapat berbuat sesuka hati...." 
"Uuu...!" 
Belum habis ucapan Nyi Writampi, tiba-tiba 
Srindi melolong. 
"Ada apa, Srindi?" tanya Nyi Writampi.  
"Uuu! Ha ha...! Uuu...!"  
Blug, blug, blug! 
Sosok yang dipanggil Srindi menepuk dadanya, 
seolah-olah bermaksud mengatakan sesuatu. 
"Oh, maaf. Aku lupa, Srindi! Aku tak ingat ka-
lau kau bukan manusia," pinta Nyi Writampi. 
"Uh uh uh...!" 
Kembali terdengar suara makhluk yang dipang-
gil Srindi. Matanya yang berkilatan bagaikan menyim-
pan api dari neraka, kini berbinar-binar. 
"Ya ya ya...! Meskipun kau bukan manusia, 
kami menganggapmu sebagai kerabat, Srindi. Kaulah 
yang telah banyak membantu kami. Maka itu, kami 
begitu menyayangimu. Kau bersiaplah, nanti sore kita 
harus siap!" 
"Uuu...!" 
Setelah memberitahukan pada makhluk yang 
dipanggil Srindi, Nyi Writampi ke luar. Ditutupnya pin-
tu kamar itu rapat-rapat, lalu melangkah ke ruang de-
pan, menemui suaminya. 
"Bagaimana, Diajeng?" tanya Ki Soma. 
"Dia siap, Kakang." 
"Bagus! Kita memang harus secepatnya menye-
lesaikan tugas kita." 
Suami istri itu tertawa-tawa senang, mem-
bayangkan apa yang kelak akan terjadi. Membayang-
kan bagaimana mereka akan menjadi Kepala Desa 
Kembang Tebu yang ditakuti dan disegani penduduk. 
"Tercapailah cita-cita kita. Dengan begitu, bu-
kankah kita akan terlepas dari pengejaran pihak kera-
jaan?" gumam Ki Soma dengan wajah ceria. 
"Benar, Kakang. Akhirnya kita dapat terbebas 
dari kejaran pihak kerajaan. Legok Menggo tolol, sejak 
kapan kita jadi adik sepupunya? Hi hi hi...!" tawa Nyi 
Writampi mengikik menyeramkan. 
*** 
Waktu bergulir dengan cepat. Tanpa terasa, 
malam telah menggantikan siang. Suasananya pun be-
rubah, terik mentari yang terang-benderang berganti 
dengan kegelapan yang disertai hawa dingin. 
Di tengah kegelapan, melesat cepat tiga sosok 
tubuh. Satu menuju selatan, sedangkan dua lainnya 
melesat ke timur Desa Kembang Tebu. Ketiga bayan-
gan yang tak lain Ki Soma dan istrinya serta Srindi itu 
bermaksud menjalankan rencana mereka. 
Ki Soma kini melesat ke rumah Ki Legok Meng-
go. Sedangkan Nyi Writampi dan Srindi berlari ke ru-
mah Ki Anom Purbo. 
Sementara itu, Pendekar Gila dan rekan-
rekannya pun telah mempersiapkan diri. Pendekar Gila 
telah siap dengan Ki Wulung berjaga di sekitar rumah 
Ki Legok Menggo. Sebelumnya Ki Kalawuku telah kem-
bali dan memberitahukan pada Ki Legok Menggo agar 
waspada. 
Malam ini udara terasa sangat dingin. Dan pen-
jaga rumah Ki Legok Menggo menggigil, merasakan 
hawa dingin yang terasa menusuk tulang sumsum. 
Di dalam rumah, Ki Legok Menggo dan Ki Kala-
wuku belum tidur. Keduanya kini tengah berbincang-
bincang di ruang depan. 
"Tak kusangka, kalau Soma akan berbuat keji," 
gumam Ki Legok Menggo setelah mendengar penutu-
ran Ki Kalawuku. Matanya memandang dengan tata-
pan  sendu. "Jadi Soma itu Ketua Gerombolan Bajul 
Ireng?" 
"Benar, Ki," sahut Ki Kalawuku. 
"Dari mana kau tahu, Kalawuku?" 
"Pendekar Gila yang memberitahukan padaku."  
"Pendekar Gila?" pekik Ki Legok Menggo kaget.  
"Benar, Ki." 
"Jadi Pendekar Gila ada di sini...?" tanya Ki Le-
gok Menggo dengan kening berkerut. 
"Benar, Ki." 
"Untuk apa...?" tanya Ki Legok Menggo belum 
mengerti. 
"Mulanya hanya lewat. Tapi setelah mengetahui 
di desa ini ada sesuatu yang tak beres, Pendekar Gila 
pun menyelidiki dan berusaha mengetahui  apa yang 
sebenarnya terjadi. Sampai akhirnya dia melihat se-
buah bayangan gadis bungkuk yang habis membunuh 
Ki Prastabu," tutur Ki Kalawuku. 
"Bukankah pelakunya orang yang menjadi sa-
habat Ki Wulung?" 
"Bukan, Ki. Ki Wulung dan Nyi Wulung ternyata 
Pendekar Lutung Sakti dan Dewi Teratai Ungu." 
"Apa?! Mereka ada di sini?! Jadi mereka tokoh-
tokoh persilatan?" gumam Ki Legok Menggo dengan 
mata semakin membelalak, setelah mendengar penu-
turan Ki Kalawuku. "Tak kusangka kalau Bajul Ireng 
berada di desa ini. Pantaslah kalau tokoh-tokoh persi-
latan banyak yang datang ke desa ini."  
"Begitulah keadaannya, Ki."  
"Di mana mereka?" tanya Ki Legok Menggo.  
"Mereka sedang berjaga di sekitar rumah ini, 
Ki."  
"Hm...," gumam Ki Legok Menggo seraya men-
ganggukkan kepala. 
Tiba-tiba  keduanya tersentak ketika terdengar 
suara jeritan menyayat dari dua orang penjaga.  
"Aaakh...!"  
"Wuaaa...!" 
Mata Ki Legok Menggo membelalak tegang, 
mendengar jeritan kematian dari dua penjaga rumah-
nya. 
"Dia datang, Ki!" 
"Siapa...?" tanya Ki Legok Menggo dengan mata 
masih membelalak. 
"Soma," jawab Ki Kalawuku. 
"Bangsat! Rupanya dia mencari mati!" dengus 
Ki Legok Menggo sambil melesat keluar hendak mene-
mui Ki Soma, diikuti sang Jawara. 
"Ha ha ha...! Akhirnya semuanya akan berak-
hir, Legok Menggo! Malam ini, kau harus kusingkirkan 
ke akherat!" kata Ki Soma dengan pongah dan som-
bong. Matanya memandang tajam wajah Ki Legok 
Menggo dan Ki Kalawuku yang mendengus sengit.  
"Keparat! Rupanya kaulah iblis busuk itu!" 
dengus Ki Legok Menggo marah. "Jangan kira semu-
dah itu kau menyingkirkanku, Siluman Busuk!"  
"Ha ha ha...! Apa susahnya menyingkirkanmu, 
Orang Tua Tolol! Seperti membalikkan telapak tangan 
saja, bukan?!" seru Ki Soma dengan suara angkuh. 
"Hua ha ha...!" 
Tiba-tiba terdengar suara tawa menggema, 
mengiringi habisnya perkataan Ki Soma, membuat Ki 
Soma tersentak kaget. 
Kemudian terdengar lagi ucapan mengejek. 
"Jadi, inikah orangnya yang berjuluk Bajul Buntung 
itu? Hua ha ha...!" 
Ki Soma tersentak kaget, lalu membalikkan tu-
buh menatap ke asal suara itu. Dari pepohonan yang 
tumbuh di sekeliling rumah Ki Legok Menggo, melom-
pat dua sosok bayangan yang dalam sekejap telah ber-
diri di hadapan Ki Soma. 
"Selamat datang, Pendekar Gila," sapa Ki Kala-
wuku setelah melihat Sena dan Ki Wulung yang sejak 
tadi sore telah berjaga-jaga dan mengawasi sekeliling 
rumah Ki Legok Menggo. 
"Kau...?!" membelalak mata Ki Soma menden-
gar sapaan Ki Kalawuku, karena tahu kalau Pendekar 
Gila ada di tempat itu. Matanya menatap dua orang 
yang telah berada di hadapannya. Seorang lelaki tua 
bertubuh kecil pendek dengan kumis lebat. Sedangkan 
yang satu seorang pemuda tampan dengan pakaian 
rompi kulit ular, yang bertingkah laku seperti orang gi-
la. 
"Hi hi hi...! Lucu sekali wujudmu, Bajul Bun-
tung! Mengapa tidak berekor? Hua ha ha...!" Sena ter-
tawa tergelak-gelak dengan badan terbungkuk-
bungkuk. Tangannya menunjuk wajah Ki Soma yang 
kian me-merah. 
"Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Bocah!" 
bentak Ki Soma marah. Matanya semakin lebar melo-
tot sengit menatap Pendekar Gila yang masih tertawa-
tawa dengan suara yang menggema di sekeliling tem-
pat itu. 
"Hua ha ha...! Aneh..., aneh sekali! Ada bajul 
buntung yang berbentuk manusia. Padahal dari dulu, 
yang namanya bajul bentuknya seperti buaya! Hi hi 
hi...!" Sena berusaha memancing amarah Ki Soma agar 
benar-benar marah. Tangannya menggaruk-garuk ke-
pala sambil berjingkrakan seperti seekor kera kegiran-
gan. 
"Bocah edan! Kubunuh kau! Kubunuh kalian! 
Heaaa...!" 
Sambil menggemerutukkan gigi karena marah, 
Ki Soma merangsek Pendekar Gila. Kedua tangannya 
terangkat dengan kuku membentuk cakar yang kuat. 
"Hi hi hi...! Minggir, Ki!" 
Sambil cekikikan, Pendekar Gila bergerak men-
gelakkan serangan yang dilancarkan Bajul Ireng. Tu-
buhnya melenting ke udara, berjumpalitan sebentar, 
kemudian mendarat ringan di tanah. 
Ki Wulung pun melakukan hal yang sama, ber-
jumpalitan seperti seekor lutung, kemudian dengan 
enak dan ringan mendarat di tanah. 

"Hi hi hi..!" Sena tertawa-tawa sambil mengga-
ruk-garuk kepala. "Hati-hati, Ki." 
"Oho, izinkan aku main-main sebentar dengan 
Bajul Ireng ini, Pendekar Gila!" pinta Ki Wulung. 
"Aha! Silakan, Ki!" sahut Sena. 
"Bajul Ireng, akulah lawanmu!" seru Ki Wulung 
seraya melompat menghadang di depan Ki Soma. 
*** 
Merasa diremehkan Ki Wulung dan Pendekar 
Gila, Ki Soma semakin bertambah marah. Dengan 
mendengus marah, Ki Soma pun melesat menyerang Ki 
Wulung. 
"Orang tua edan! Kau harus kubunuh! 
Heaaa...!" 
Dengan jurus 'Bajul Membuka Mulut Mener-
kam Lawan' Ki Soma melesat menyerang Ki Wulung. 
Kedua tangannya yang membentuk cakar, bergerak 
susul-menyusul, berusaha mencakar dan mengoyak-
ngoyak tubuh Ki Wulung. 
Wut! 
"Ets!" 
Dengan cepat Ki Wulung melompat ke samping 
kiri, kemudian dengan mengegoskan tubuh, kaki ka-
nannya diangkat dan menendang dada lawan. Gerakan 
kaki Ki Wulung sangat cepat, menimbulkan desisan 
angin yang terasa menyentak. 
Wrt! 
"Hups!" 
Ki Soma tersentak kaget. Dengan cepat dia me-
lompat mundur, lalu segera memburu Ki Wulung. Tan-
gan kanannya kini membentuk pukulan, sedangkan 
tangan kirinya dengan jari-jari menyatu membentuk 
tusukan yang keras. Itulah jurus 'Grah Brada', sebuah 
jurus yang mengandalkan kekuatan pukulan dan tu-
sukan jari-jari tangan. 
"Heaaa...!" 
Susul-menyusul gerakan tangan Ki Soma me-
nyerang ke bagian tubuh Ki Wulung. Pukulan dan tu-
sukan tangannya begitu cepat dan beruntun. Hal itu 
membuat Ki Wulung harus melompat dan berjumpali-
tan di udara untuk mengelakkan serangan-serangan 
yang dilakukan Ki Soma. Dengan menggunakan jurus 
'Lutung Mabuk' Ki Wulung terus bergerak mengelak-
kan serangan-serangan gencar yang dilancarkan Ki 
Soma. 
"Hancur tubuhmu, Tua Bangka Edan! Hih...!" 
Ki Soma semakin bernafsu untuk segera mem-
bunuh Ki Wulung. Pukulan-pukulan serta tusukan jari 
tangannya deras menghunjam ke tubuh lawan dengan 
tenaga dalam yang tinggi. Angin pukulan dan tusukan 
tangannya terdengar menderu, menyentakkan Ki Wu-
lung yang seketika membelalakkan mata. 
Wrt! 
"Edan!" maki Ki Wulung sambil melompat ke 
belakang. 
Namun Ki Soma yang sudah gelap mata dan 
marah tak mau melepaskan lawannya begitu saja. Se-
rangannya terus memburu Ki Wulung yang tampak 
semakin kewalahan. 
Baru angin pukulannya saja, Ki Wulung mera-
sakan hawa panas yang menyengat. Apalagi jika terke-
na pukulan atau tusukan tangan Ki Soma. Tentunya 
tubuh Ki Wulung yang kecil dan kurus itu dapat re-
muk tulang-belulangnya. 
"Heaaa...!" 
"Heits!" 
Ki Wulung semakin terdesak hebat menghadapi 
gempuran-gempuran beruntun yang dilancarkan Ki 
Soma. Orang tua itu kini hanya bisa berkelit ke samp-
ing atau bersalto ke belakang. Tidak ada kesempatan 
baginya untuk dapat membalas serangan-serangan 
yang dilancarkan Ki Soma. 
"Tamatlah riwayatmu, Orang Tua Gila!" dengus 
Ki Soma sambil memburu tubuh Ki Wulung yang kian 
bertambah terdesak. Tangan kanannya memukul den-
gan kekuatan tenaga dalam penuh ke tubuh Ki Wu-
lung. 
"Celaka!" pekik Ki Wulung dengan mata melo-
tot, menyaksikan pukulan lawan yang deras dan cepat. 
"Mati aku...!" 
Wrt! 
Ki Wulung benar-benar dalam ancaman maut. 
Keadaannya semakin tak menguntungkan lagi untuk 
mengelak. Serangan Ki Soma begitu gencar dan susul-
menyusul, tak memberi kesempatan sedikit pun kepa-
da Ki Wulung. Jangankan untuk membalas serangan, 
mengelak pun kini rasanya semakin sulit bagi Ki Wu-
lung. 
"Heaaa...!" 
"Mati aku!" 
Pukulan yang dilancarkan Ki Soma menderu 
keras ke arah Ki Wulung. Ketika pukulan itu hampir 
saja menghantam dada Ki Wulung. Tiba-tiba....  
"Heaaa...!" 
Pendekar Gila melesat cepat memapak seran-
gan tangan Ki Soma.  
Wut!  
Plak...! 
Benturan keras terjadi, ketika tangan Ki Soma 
yang hampir mendarat di dada Ki Wulung dipapak 
tangan Pendekar Gila. Tubuh Ki Soma seketika terdo-
rong beberapa langkah ke belakang.  Nafasnya  men-
dengus geram menyaksikan serangannya yang hampir 
saja menewaskan Ki Wulung digagalkan Pendekar Gila. 
"Kurang ajar! Kau benar-benar mencari mam-
pus, Bocah Gila!" dengus Ki Soma sengit. 
"Hua ha ha...! Begitu marahnya kau, Bajul 
Buntung!" ejek Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk 
kepala. 
"Bedebah! Kau memang harus secepatnya kuki-
rim ke akherat, Bocah Edan! Yeaaa...!" 
"Hi hi hi...!" sambil tertawa-tawa Pendekar Gila 
berkelit ke samping, tubuhnya meliuk laksana menari. 
Kemudian tangannya bergerak menepuk ke dada la-
wan. 
"Hih...!" 
"Eits! Yeaaa...!" 
Ki Soma semakin beringas. Gempurannya se-
makin cepat dengan disertai tenaga dalam yang kuat, 
menimbulkan angin menderu dan menyentak keras. 
Melihat serangan maut itu, Pendekar Gila bergerak ce-
pat mengelak.  
"Hea!" 
"Hits! Hi hi hi...! Tidak kena, Bajul Buntung!" 
ledek Sena sambil terus bergerak mengelakkan seran-
gan-serangan yang dilancarkan Ki Soma. 
Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' 
Pendekar Gila bergerak mengelakkan serangan-
serangan gencar dan cepat yang dilancarkan Ki Soma. 
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, sambil sesekali 
kedua tangannya bergantian menepuk ke dada Ki So-
ma. 
"Yeaaa...!"  
Wrt! 
"Heits!" Ki Soma mengegos ke samping, kemu-
dian kaki kiri diangkat dan ditendangkan ke tubuh 
Pendekar Gila disertai tenaga dalam penuh. 
"Eits! Hi hi hi...!" 
Pendekar Gila meliuk-liukkan tubuhnya, men-
gelakkan serangan-serangan Ki Soma yang cepat. Te-
lapak tangannya menepuk ke dada lawan, sedangkan 
kakinya menyapu dengan cepat ke kaki Ki Soma. 
"Yeaaa...!"  
"Eits!" 
Ki Soma melompat ke atas, kemudian dengan 
agak menunduk tangannya mencakar ke wajah Pende-
kar Gila. Gerakan yang tak terduga itu, membuat Pen-
dekar Gila tersentak kaget 
"Edan!" maki Sena dengan mata membelalak. 
Segera dia melompat mundur, lalu dengan berputar 
cepat kaki kirinya menendang ke arah lawan. Kemu-
dian disusul dengan tepukan keras ke dada lawan.  
Plak!  
Degk! 
Pendekar Gila tersentak kaget. Kakinya menyu-
rut dua tindak ke belakang dengan mata membeliak. 
Hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat 
itu. 
"Hah?!" 
Mulut Sena melongo bengong. Kepalanya dige-
leng-gelengkan, tak percaya dengan pandangannya. 
Tepukan tangannya yang mampu memecahkan kepala 
banteng, kini bagaikan tak berarti sama sekali. Ki So-
ma masih berdiri tegak, bahkan kini tersenyum me-
nyeringai menunjukkan kesombongannya. 
Bukan hanya Pendekar Gila yang kaget me-
nyaksikan pukulannya tak mempan, tapi semua yang 
melihat pun turut terperangah dengan mata membe-
liak. Pukulan Pendekar Gila yang terkenal sakti dan 
mampu menerbangkan orang, kini bagaikan tak berarti 
apa-apa bagi Ki Soma. 
"Ha ha ha...! Masih adakah ilmumu yang lebih 
hebat Bocah Gila...?" tanya Ki Soma sombong. 
"Huh! Hua ha ha...!" Sena ikut tertawa dengan 
tangannya menggaruk-garuk kepala. "Hebat! Hebat 
kau, Bajul Buntung! Kurasa kau melebihi seekor ker-
bau. Hi hi hi..!" 
"Kurang ajar! Kupecahkan kepalamu, Bocah 
Edan!" dengus Ki Soma marah. Nafasnya  mendengus 
marah. Kemudian dengan cepat kembali menyerang.  
"Hi hi hi...!" 
Sambil tertawa cekikikan dan menggaruk-garuk 
kepala, Pendekar Gila bergerak cepat mengelakkan se-
rangan yang dilancarkan lawan. Tubuhnya berputar ke 
kiri. Kedua tangannya bergerak mencakar ke tubuh 
lawan. Gerakannya yang cepat, disertai angin pukulan 
keras. Itulah jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'. 
"Yeaaa...!" 
Wrrr! 
"Haps!" 
Ki Soma langsung merundukkan kepala, ketika 
kedua tangan Pendekar Gila berkelebat cepat mende-
kat. Kemudian dengan cepat pula dia balas menye-
rang. Tangannya digerakkan memukul ke dada Pende-
kar Gila. Sedangkan tangan kirinya kini mencengke-
ram ke wajah Pendekar Gila. 
Dengan jurus 'Amukan Bajul Melanda Bumi', Ki 
Soma terus menyerang gencar Pendekar Gila. Tubuh-
nya agak merunduk, memukul serta mencengkeram 
dengan cepat dan susul-menyusul. Kakinya pun berge-
rak liar, menendang dan menyapu ke kaki Pendekar 
Gila. 
"Heaaa...!" 
"Yeaaa....!" 
Ki Soma melontarkan pukulan keras ke dada 
Pendekar Gila, disusul dengan cakaran tangan kirinya. 
Dengan cepat Pendekar Gila bergerak memutar bagai-
kan melepaskan lilitan tambang. Tangannya bergerak 
menyambar kepala dan dada lawan. 
Trap! 
"Uts!" 
"Hih!" 
Tangan mereka saling berpegangan, bergerak 
cepat ke samping kiri dan saling menyerang. Tapi tetap 
saja tangan lawan mampu menangkap. Ki Soma tiba-
tiba melakukan cakaran ke wajah Pendekar Gila. Na-
mun dengan cepat pula Pendekar Gila menangkapnya. 
Bergantian keduanya saling serang dan tangkis dengan 
tangan bergenggaman. 
"Heaaa!" 
"Hih!" 
Trap! 
Bukan hanya tangan yang saling serang dalam 
jarak dekat. Tapi kedua kaki mereka pun bergerak ce-
pat, berusaha menyapu kaki lawan. 
"Hea!" 
Prak! 
"Hih!" 
Trap! 
Tiga lelaki yang menyaksikan jalannya perta-
rungan antara Pendekar Gila dan Ki Soma hanya dapat 
melongo bengong. Mata mereka membelalak lebar. Ke-
tiganya berusaha ingin membuktikan dan meyakinkan 
dengan apa yang mereka lihat. Selama ini belum per-
nah mereka menyaksikan pertarungan dalam jarak ra-
pat dan cepat 
"Benar-benar bukan pendekar sembarangan," 
gumam Ki Legok Menggo dengan mata melotot me-
nyaksikan bagaimana Pendekar Gila dengan lincah 
bergerak mengimbangi serangan yang dilakukan Ki 
Soma. Keduanya kini tampak bukan manusia, melain-
kan seperti seekor buaya dan monyet yang bertarung! 
Tubuh keduanya terus bergerak semakin cepat 
ke kiri, dengan tangan dan kaki saling bergantian me-
nyerang dan mengait kaki lawan. Sedangkan tangan 
mereka yang berpegangan dan saling kait, kini berge-
rak menyikut dan menangkis setiap serangan. Sebuah 
gerakan ilmu silat tingkat tinggi kini mereka tunjukkan 
di hadapan Ki Legok Menggo, Ki Kalawuku, dan Ki Wu-
lung, yang hanya mampu bengong menyaksikan perta-
rungan kedua orang itu. 
"Wah, bukan main! Baru kali ini kulihat jurus-
jurus silat yang hebat dengan gerakan-gerakan yang 
lincah dan cepat," gumam Ki Wulung sambil mengge-
leng-gelengkan kepala, merasa kagum. 
Kedua orang yang bertarung kini bergulingan di 
tanah dengan tangan masih saling kait. Hanya kedua 
kaki mereka yang bergerak saling tendang dan tangkis. 
Tanah di halaman rumah Ki Legok Menggo se-
ketika beterbangan tersapu kaki Ki Soma dan Pende-
kar Gila. Pepohonan banyak yang tumbang. Malam 
yang semula sepi, kini riuh oleh pekikan dan teriakan-
teriakan membelah kesunyian. 
*** 
Sementara itu, di rumah Ki Anom Purbo pun 
tengah berlangsung pertarungan seru antara Ki Anom 
Purbo yang dikeroyok dua wanita. Yang satu wanita 
cantik berusia sekitar empat puluh tahun, sedangkan 
satunya lagi makhluk mengerikan berwajah buaya dan 
bertubuh agak bungkuk. 
"Uuu...!" 
"Yeaaa...!" 
Dua makhluk itu melesat cepat, bergerak me-
nyerang Ki Anom Purbo dengan sengit. Sementara Ki 
Anom Purbo yang tak mau mati sia-sia, dengan cepat 
berkelit. Lalu dengan cepat pula lelaki tua itu balas 
menyerang dengan pukulan dan babatan pedangnya 
dalam jurus 'Menyapu Gelombang'. 
"Yeaaa...!" 
Wrt! 
Pedang di tangan Ki Anom Purbo bergerak ce-
pat, membabat dan menusuk dua lawannya. Tapi ge-
rakan kedua lawannya sangat cepat, sehingga seran-
gan yang dilancarkan Ki Anom Purbo hanya membabat 
tempat kosong. Malah ketika keduanya balas menye-
rang, Ki Anom Purbo tampak kelabakan. 
"Yeaaa!" 
"Uuu...!" 
Wrt! 
"Hih!" 
Ki Anom Purbo berusaha mengelakkan seran-
gan-serangan kedua lawannya. Tubuhnya yang agak 
gemuk  bergerak melompat sambil merunduk, kemu-
dian balas menyerang dengan pukulan tangan kiri 
yang disusul dengan sabetan pedangnya. 
"Hih!" 
Wrt! 
Meski Ki Anom Purbo telah mengerahkan selu-
ruh kepandaiannya, tapi menghadapi dua orang lawan 
yang ilmunya setingkat di atasnya membuat lelaki be-
rusia sekitar lima puluh tahun itu kewalahan. Bahkan 
serangan-serangannya tak satu pun yang menemui sa-
saran, semua dengan mudah dielakkan kedua lawan-
nya. 
"Heaaa...!" 
"Uuu...!" 
Wrt, wrt...! 
Kedua lawan Ki Anom Purbo semakin beringas 
menyerang. Keduanya bergerak serentak, dengan tan-
gan membentuk cakar menyerang dari depan dan be-
lakang. Hal itu membuat Ki Anom Purbo semakin ke-
walahan menghadapinya. Dan.... 
Wrt! 
Dugk! 
"Ukh...!" 
Ki Anom Purbo mengeluh pendek ketika da-
danya terkena pukulan telak tangan Nyi Writampi. Tu-
buhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan bibir 
meleleh-kan darah. Matanya membeliak, nafasnya ter-
sengal-sengal. 
"Terimalah kematianmu, Orang Tua Tolol! 
Heaaa...!" 
Nyi Writampi dan Srindi bergerak bersamaan 
hendak mencengkeram Ki Anom Purbo yang masih 
terhuyung-huyung merasakan sakit di dadanya. 
"Hyang Widhi, mungkinkah malam ini kema-
tianku...?" desis Ki Anom Purbo setengah mengeluh. 
Dadanya masih terasa sakit, sehingga sulit baginya 
untuk bergerak selincah tadi.  
"Heaaa!" 
"Uuu...!" 
Dua lawannya terus melesat cepat dengan ju-
rus 'Bajul Ireng Menghantam Karang' Sebuah pukulan 
maut yang siap merenggut nyawa Ki Anom Purbo. Tan-
gan keduanya bergerak semakin cepat. Sesaat lagi 
nyawa Ki Anom Purbo tentunya melayang terkena pu-
kulan-pukulan maut yang dilancarkan kedua lawan-
nya. Tapi.... 
Sesosok bayangan melesat cepat memapaki se-
rangan yang dilancarkan kedua anggota Gerombolan 
Bajul Ireng itu. 
"Heaaa...!"  
Prak, prak! 
"Uuu...!" 
"Aaakh...!" 
Nyi Writampi dan Srindi terpekik seraya me-
lompat mundur menarik serangannya, ketika tiba-tiba 
sesosok bayangan memapaki serangan mereka. Mata 
keduanya terbelalak, menatap penuh kebencian pada 
sesosok wanita cantik yang ternyata Suriwarni alias 
Bayangan Bidadari. Sosok wanita itu berdiri di samp-
ing Ki Anom Purbo. 
"Menyingkirlah, Ki! Biar aku yang menghajar 
kedua makhluk iblis itu," kata Suriwarni sambil mena-
rik pedang dari warangkanya. 
Srrrk! 
"Akulah lawan kalian!" dengus Suriwarni.  
"Bedebah! Rupanya kau mencari mampus!" 
dengus Nyi Writampi dengan penuh amarah. Matanya 
melotot merah, seperti diliputi api membara. 
"Uuu...!" 
Srindi yang makhluk buaya pun nampaknya 
marah, merasa ditantang perempuan cantik yang telah 
menggagalkan serangan mereka. Matanya memerah, 
menyorotkan sinar api yang menyilaukan. 
"Heaaa...!" 
"Uuu...!" 
"Yeaaat...!" 
Menyaksikan kedua lawannya menyerang, Su-
riwarni tak tinggal diam. Dengan cepat, tangannya 
bergerak menyerang dan memapaki serangan kedua 
lawannya. Pedang di tangan kanannya digerakkan 
dengan cepat, membabat dan menusuk ke tubuh ke-
dua lawannya. 
Wuttt! 
Glarrr! 
"Heaaa.,.!" 
Ledakan-ledakan dahsyat menggelegar terden-
gar, ketika jurus-jurus sakti mereka keluarkan. Diikuti 
suara yang membisingkan telinga. Malam itu di hala-
man rumah Ki Anom Purbo bagaikan membara karena 
hawa panas yang mengurung. 
*** 
Sementara itu, di halaman rumah Ki Legok 
Menggo pertarungan antara Pendekar Gila melawan Ki 
Soma semakin seru. Tampak tubuh keduanya melent-
ing ke udara, melayang bagai terbang. Jurus-jurus 
tingkat tinggi telah mereka keluarkan untuk menja-
tuhkan lawannya. 
"Heaaa...!"  
"Hih! Yeaaah...!" 
Pendekar Gila dengan jurus 'Si Gila Terbang 
Menyambar Ayam' menukik. Kedua tangannya mem-
buat cengkeraman sekuat baja. Tubuhnya melayang 
dari atas dengan kepala di bawah, menukik memburu 
lawan. 
"Yeaaa...!" 
Menyaksikan lawan menyerang dari atas, Ki 
Soma pun tak tinggal diam. Dia segera melesat ke atas 
menggunakan ilmu meringankan tubuh. Tangannya 
membentuk sebuah cakaran yang tak kalah kerasnya. 
Bergerak saling bergantian menyerang, mencakar ke 
arah Pendekar Gila. 
Dengan jurus 'Bajul Sakti Meremukkan Tulang' 
Ki Soma berusaha mendahului menyerang. Kedua tan-
gannya direntang lebar-lebar, kemudian dengan men-
gerahkan tenaga dalam, jari-jarinya menghentak ke 
tubuh Pendekar Gila. 
"Yeaaa...!" 
Wut!     
"Ikh! Setan!" maki Sena sambil menarik tubuh-
nya ke belakang. Serangan Ki Soma pun hanya men-
genai angin kosong. 
Glarrr! 
Ledakan yang disertai kilatan cahaya merah ke-
luar dari kedua telapak tangan Ki Soma. Bergidik se-
mua orang yang menyaksikan kejadian itu. Mata ketiga 
lelaki yang menonton, terbelalak tegang dan ngeri. Me-
reka tak dapat membayangkan, bagaimana jika tubuh 
manusia yang terkena sasarannya. Pasti tubuh manu-
sia akan hancur menjadi debu. Mengerikan sekali! 
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Bajul Buntung! 
Kenapa nyamuk kau tepuk...?" ejek Sena, membuat Ki 
Soma bertambah marah. 
"Kurang ajar! Kuremukkan tubuhmu menjadi 
debu, Bocah Gila! Yeaaa...!" 
Dengan amarah meluap-luap, Ki Soma kembali 
melesat menyerang Pendekar Gila dengan jurus yang 
sama. Jurus yang dikerahkan dengan tenaga dalam 
tinggi, sehingga mampu mengeluarkan ledakan dah-
syat dan kilatan api. 
"Yeaaa...!" 
"Hi hi hi...!" 
Dengan masih tertawa sambil menggaruk-garuk 
kepala, Pendekar Gila pun bergerak memapaki seran-
gan lawan. Kali ini dengan jurus 'Si Gila Melebur Gu-
nung Karang', Pendekar Gila menyerang. 
"Hiaaa...!" 
Tubuh keduanya melesat cepat, semakin lama 
semakin dekat. Pendekar Gila merentangkan kedua 
tangannya ke atas, kemudian menariknya ke dalam 
dan meletakkan kedua tangannya di pinggang. 
Ki Soma pun tak tinggal diam. Tangannya dige-
rakkan membentuk lingkaran di atas kepalanya. Ke-
mudian dengan jari-jari terbuka, kedua tangannya di-
letakkan di pinggang. 
"Yeaaa...!"  
"Hiaaa...!" 
Tubuh keduanya bergerak semakin cepat dan 
bertambah dekat. Kemudian setelah dekat, dengan 
mengerahkan tenaga dalam mereka menghentakkan 
kedua tangannya. 
"Yeaaa...!" 
"Heaaa!" 
Wusss...! 
Kedua tangan mereka yang mengerahkan tena-
ga dalam tingkat tinggi kini melesat maju, berusaha 
saling dorong dengan kekuatan tenaga yang mereka 
miliki. 
Prak! 
Glarrr!  
"Ukh...!" 
"Akh!" 
Baik Pendekar Gila maupun Ki Soma kini ter-
lempar ke belakang. Lalu keduanya bersalto di udara 
beberapa kali sebelum mendarat dengan tubuh agak 
terhuyung ke belakang. Mata mereka saling pandang, 
seperti berusaha mengukur kekuatan lawan masing-
masing. 
"Ukh!" 
Ki Soma mengeluh lirih, dadanya terasa sakit 
akibat benturan tenaga dalam tadi. Sementara Pende-
kar Gila tergetar sesaat. 
"Pendekar Gila, kini ajalmu akan tiba! Bersiap-
lah...!" seru Ki Soma. 
"Hua ha ha...! Enak sekali kau bicara, Bajul 
Buntung! Hi hi hi...! Kau kira mudah mencabut nyawa 
orang?" ejek Sena. 
"Bersiaplah untuk mampus, Pendekar Gila! 
Ghrrr...!" 
Ki Soma terdiam dengan telapak tangan dile-
takkan menyatu di depan dada. Matanya terpejam, 
dengan mulut komat-kamit membaca sesuatu mante-
ra. 
Wusss! 
Perlahan-lahan tubuh Ki Soma berubah wujud. 
Mulanya dari pantatnya keluar ekor yang pendek. Ke-
mudian semakin lama bertambah panjang. Ekornya 
berduri-duri. Lalu kedua kakinya perlahan-lahan dipe-
nuhi sisik-sisik tebal dan keras. 
Kini wujud Ki Soma benar-benar telah berubah 
menjadi Bajul Ireng. Wujud buaya menyeramkan! 
"Heh?!" 
"Ah! Ilmu siluman!" pekik Ki Wulung. 
"Iblis! Rupanya dia iblis!" seru Ki Legok Menggo 
dengan mata terbelalak, menyaksikan Ki Soma kini te-
lah berbentuk seekor buaya. 
"Uaaa...!" 
Dengan mengeluarkan suara yang menyeram-
kan, Bajul Ireng kini melesat menyerang Pendekar Gi-
la. Tangannya yang berkuku runcing mencakar. Mu-
lutnya membuka lebar, menunjukkan gigi-giginya yang 
runcing dan tajam. Ekornya bergerak, menyabet ke 
sana kemari, menimbulkan ledakan-ledakan dahsyat. 
Wuttt! 
Glarrr! 
Suasana di halaman rumah Ki Legok Menggo 
seketika berubah panas. Dari lecutan-lecutan ekor Ba-
jul Ireng, mengeluarkan hawa panas yang menyengat 
"Ilmu iblis!" rutuk Ki Kalawuku. 
"Kita harus menjauh!" ajak Ki Wulung. 
"Bagaimana dengan Pendekar Gila...?" tanya Ki 
Kalawuku cemas. 
"Jangan khawatirkan dia! Yang penting kita ha-
rus segera menjauh dari sini," ajak Ki Wulung sambil 
melompat menjauh dari halaman rumah Ki Legok 
Menggo. 
"Hm, ilmu iblis!" gumam Sena masih berusaha 
tenang menghadapi makhluk jejadian itu. Sudah bera-
pa kali Pendekar Gila menghadapi lawan seperti itu. 
Kelelawar Iblis Merah juga merupakan lawannya yang 
memiliki ilmu siluman. Kini dia tak gentar sama sekali 
menghadapi hal semacam itu. "Hi hi hi...! Lucu sekali 
wujudmu, Bajul Buntung! Hua ha ha..!" 
"Ghrrr!  Ku makan  tubuhmu, Pendekar Gila! 
Ghrrr...!" 
Bajul Ireng menyerang dengan sabetan ekor 
dan cakaran tangannya ke tubuh Pendekar Gila. Na-
mun, dengan cepat Pendekar Gila melesat, mengelak-
kan serangan lawan. Kemudian dengan cepat balas 
menyerang dengan pukulan ‘Si Gila Melebur Gunung 
Karang’ 
"Heaaa...!" 
Glarrr! 
Ledakan dahsyat menggelegar, menghantam 
tubuh makhluk jejadian yang menyeramkan itu. Tu-
buh Bajul Ireng terpental ke belakang, namun tak 
mengalami luka-luka. Bahkan kini semakin garang 
menyerang. 
"Ghrrr...!" 
"Setan! Ilmu setan...!" maki Sena. 
Sret! 
Pendekar Gila mengeluarkan Suling Naga Sakti 
dari ikat pinggangnya, setelah merasa ilmu-ilmunya 
tak mempan sama sekali menghadapi Bajul Ireng. 
Dengan melompat laksana terbang, Pendekar Gila me-
nyerang Bajul Ireng. Suling Naga Saktinya bergerak 
memukul ke arah lawan. 
"Heaaa...!" 
"Ghrrr...!" 
Pletak! 
Bajul Ireng semakin marah, merasakan sakit 
akibat gebukan Suling Naga Sakti. Geramannya sema-
kin keras. Cakaran dan sabetan ekornya pun kian 
mengganas. 
"Ghrrr...!" 
Bajul Ireng kini kian membabi-buta menyerang. 
Halaman rumah Ki Legok Menggo seketika porak-
poranda. Ekor Bajul Ireng menghantam ke sana kema-
ri, menimbulkan ledakan-ledakan dahsyat menggele-
gar. 
Glarrr...! 
Brak! 
Bummm...! 
"Heit! Setan...!" maki Pendekar Gila sambil men-
gelakkan serangan ekor Bajul Ireng.  
Glarrr...!  
Brak! 
Bummm...!  
Halaman rumah Ki Legok Menggo seketika po-
rak-poranda. Ekor Bajul Ireng menghantam ke sana 
kemari, menimbulkan suara menggelegar! 
Pepohonan banyak yang roboh terkena sabetan 
ekor Bajul Ireng. Sedangkan Pendekar Gila terus me-
lompat ke sana kemari, mengelakkan sabetan-sabetan 
ekor lawan. Namun ekor Bajul Ireng bagaikan memiliki 
mata. Ke mana Pendekar Gila melesat, ke situ  pula 
ekor Bajul Ireng memburu. 
Celaka aku kalau begini terus! Keluh Sena da-
lam hati. Tak ada jalan lain. Hanya Suling Naga Sakti-
lah lawannya. Ilmuku tak mampu menghadapi Bajul 
Ireng itu. 
Pendekar Gila kembali melompat mengelakkan 
serangan ekor Bajul Ireng  yang menghantam ke tu-
buhnya. 
"Heit! Setan....!" maki Sena. 
Pletak! 
Brak! 
Bummm...! 
Rumah Ki Legok Menggo hancur, terkena han-
taman ekor Bajul Ireng. 
"Bajul Buntung! Aku di sini!" tantang Pendekar 
Gila sambil melompat ke depan, agar dapat berhada-
pan dengan Bajul Ireng yang semakin garang menye-
rang. 
"Ghrrr...!" 
Ketika Bajul Ireng hendak kembali melompat, 
Pendekar Gila segera meniup Suling Naga Sakti dan 
mengarahkan mata kepala naganya ke mata lawan. 
Suara Suling Naga Sakti melengking. Dan saat 
itu pula dari kedua mata Naga Sakti keluar dua larik 
sinar merah dan melesat ke mata Bajul Ireng. 
Slarts! 
Crot! 
"Wuaaa...!" 
Lolongan kematian seketika terdengar dari mu-
lut Bajul Ireng. Tubuh makhluk jejadian itu menggele-
par-gelepar dengan asap hitam mengepul keluar dari 
tubuhnya. Kemudian tubuh Bajul Ireng diam tanpa 
nyawa. Perlahan-lahan berubah menjadi onggokan de-
bu yang membentuk sosok manusia! 
*** 
Bertepatan dengan musnahnya Bajul Ireng, di 
halaman rumah Ki Anom Purbo tampak Nyi Writampi 
dan Srindi mengalami kejadian yang aneh. Tiba-tiba 
tubuh mereka lemah. Gerakan silat mereka kacau. Hal 
itu cukup menguntungkan bagi Suriwami, yang tak 
menyia-nyiakan keadaan.  
"Heaaa...!" 
Wrt! 
Cras! Cras!  
"Aaakh...!" 
"Uuukh...!"  
Jeritan-jeritan kematian melolong dari mulut 
Nyi Writampi dan Srindi, ketika pedang Suriwarni 
membabat leher mereka.  
Sesaat keduanya terhuyung meregang nyawa, 
lalu ambruk dengan darah hitam membanjir keluar 
dari goresan di leher mereka. 
Tidak terasa pagi telah datang kembali men-
jemput alam persada. Pendekar Gila, Ki Legok Menggo, 
Ki Wulung dan Ki Kalawuku segera berangkat ke ru-
mah Ki Anom Purbo. Mereka khawatir dengan kesela-
matan Suriwami. Namun seketika wajah mereka kem-
bali cerah, ketika melihat Suriwarni dan Nyi Wulung 
serta Murni yang bisa kembali berbicara masih dalam 
keadaan selamat. 
"Terima kasih atas pertolonganmu, Pendekar 
Gila, " kata Murni yang telah kembali bisa berbicara. 
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil 
menggaruk-garuk kepala. 
"Hua ha ha...! Lucu sekali! Hua ha ha...!" 
Pagi yang masih buta, seketika terpecahkan 
oleh suara gelak tawa Pendekar Gila. Sedangkan Murni 
hanya tersipu-sipu malu. Tubuh gadis itu tak bungkuk 
lagi, bahkan kecantikannya semakin jelas. 
"Sebenarnya Murni memang dalam pengaruh-
ku. Sengaja dia kubuat bisu, agar orang tak curiga pa-
danya," tutur Suriwami menjelaskan pada Pendekar 
Gila dan lainnya. 
"Aha, pintar sekali!" gumam Sena. 
"Nisanak, tentunya kau tahu siapa sebenarnya 
Ki Soma? Dan dari mana asalnya?" tanya Ki Legok 
Menggo. 
"Masalah itu, Ki Anom yang tahu," Suriwarni 
melemparkan pertanyaan itu pada Ki Anom Purbo. 
"Baiklah, akan kuceritakan siapa mereka sebe-
narnya, termasuk gadis bisu dan bungkuk itu," ujar Ki 
Anom Purbo. Kemudian, setelah terbatuk-batuk kecil, 
Ki Anom Purbo pun menceritakan siapa sebenarnya Ki 
Soma dan istrinya. 
"Ki Soma dan istrinya tak lain Siluman Bajul 
Ireng. Sebetulnya adik sepupu Ki Legok Menggo telah 
tewas di tangan Ki Soma dan istrinya. Keduanya juga 
yang memimpin Gerombolan Bajul Ireng, yang diburu 
pihak Kerajaan Sempangga. Untuk menghindari keja-
ran pihak kerajaan, keduanya menjelma menjadi Soma 
dan Writampi yang telah hilang dibantai mereka." 
Ki Anom Purbo menghentikan ceritanya sesaat 
untuk menghela napas. Keningnya berkerut, seolah-
olah tengah mengingat kejadian yang cukup lama itu. 
"Kedua anggota Gerombolan Bajul Ireng itu 
menggunakan ilmu 'Pangling Rupa' yang mereka pero-
leh dari seorang lelaki tua renta bernama Angkara Se-
ta. Mereka mendapat ilmu itu ketika menuntut ilmu di 
Goa Lawa di Pantai Selatan. Sedangkan gadis bungkuk 
dan bisu berwajah  buaya itu masih tetap seperti wu-
judnya. Dia tak bisa mengubah wujudnya menjadi ma-

nusia, karena ilmunya belum setinggi ilmu ‘Pangling 
Rupa’ yang dimiliki Soma dan Writampi." 
Kembali Ki Anom Purbo menghentikan ceri-
tanya. Ditatapnya wajah-wajah yang ada di depannya 
untuk, mengetahui tanggapan mereka. 
"Karena Soma tahu kalau Ki Gagar Blarak 
orang kerajaan dan banyak membunuh anggota ge-
rombolannya, dia memfitnah dan menuduh Ki Gagar 
Blarak sebagai pimpinan Gerombolan Bajul Ireng. Se-
dangkan aku diancam. Karena aku memang pernah 
berhutang budi pada Bajul Biru, orangtua Soma dan 
Raja Bajul. Itu sebabnya aku tak dapat menolong ayah 
Murni. Begitulah ceritanya," desah Ki Anom Purbo 
dengan mata berkaca-kaca, mengingat penderitaan 
yang dialami Murni. Kalau kau mau, biarlah kau kua-
ngkat menjadi anakku, Murni!" 
"Terima kasih, Paman," jawab Murni. "Aku su-
dah bersama Bibi Suriwarni." 
"Ah, syukurlah kalau begitu! Yang penting, se-
muanya kini telah berlalu," gumam Ki Legok Menggo. 
"Aku sangat berterima kasih pada kalian. Entah den-
gan apa aku kelak dapat membalas. Tanpa bantuan 
kalian, mungkin desa ini akan menjadi desa yang di-
huni iblis-iblis." 
"Aha! Bagiku bukan masalah, Ki. Semua yang 
kulakukan untuk membela kebenaran dan keadilan. 
Kini, yang paling utama bagaimana membangun desa 
ini kembali." 
"Pintar juga pikiranmu, Pendekar Gila," sahut 
Ki Kalawuku. 
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak menyak-
sikan keceriaan di wajah mereka. Terlebih-lebih Murni, 
gadis cantik berusia lima belas tahun itu tersipu malu, 
ketika Pendekar Gila memandang wajahnya. Begitu 
pun Suriwarni alias si Bayangan Bidadari. 
Samar-samar dari arah timur nampak cahaya 
kuning kemerahan membias, pertanda pagi telah da-
tang. 
SELESAI 
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa