Pendekar Gila 17 - Pengkhianatan Joko Galing(1)



Firman Raharja
Serial Pendekar Gila
dalam episode:  Penghianatan Joko Galing


1

Pagi yang cerah, langit tampak bersih tanpa
mega. Angin pegunungan berhembus sejuk. Di dalam
sebuah rumah bilik yang berada di lereng Pegunungan
Panalu, pagi itu nampak seorang lelaki tua berusia tu-
juh puluh tahun dengan pakaian serba merah duduk
di atas sebuah batu persegi. Di hadapan lelaki tua itu,
seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun du-
duk bersila.
"Segala ilmu yang aku miliki telah kuturunkan
pada dirimu, Joko," lelaki berjenggot serta berambut
putih terurai itu berkata kepada muridnya. "Kini wak-
tumu untuk mengamalkan segala ilmu yang kau mili-
ki."
Lelaki muda yang dipanggil Joko Galing hanya
diam saja, menundukkan kepala mendengarkan penuh
perhatian ucapan sang Guru. Lima tahun sudah Joko
Galing menjadi murid Ki Mandra. Selama itu pula dia
dididik dan digembleng dalam asuhan orang tua sakti
itu, hingga kini menjadi seorang pemuda yang memiliki
ilmu dan kemampuan tinggi.
Ki Mandra memandangi Joko Galing, lalu ber-
kata,
"Berjalanlah sesuai dengan apa yang selama ini
aku ajarkan pada dirimu!"
Joko Galing menengadahkan kepala sambil
berkata,
"Baik, Guru. Akan kulaksanakan semua yang
Guru petuahkan dan ajarkan kepadaku."
Ki Mandra mengangguk-anggukkan kepala,
dengan bibir menyunggingkan senyum. Tampaknya le-
laki tua berambut putih itu mengerti apa yang di-
ucapkan sang Murid.

"Guru.... Kalau boleh aku ingin bertanya," ujar
Joko Galing kemudian.
"Tentang apa, Joko?"
Joko Galing terdiam sesaat, lalu menarik napas
dalam-dalam.
"Guru, apakah benar orangtua ku  mati dibu-
nuh Panca Iblis?"
Ki Mandra tak menyahuti, tapi dari anggukan
kepalanya bisa diartikan kalau sang Guru menjawab
pertanyaan sang Murid. Kemudian ditatapnya wajah
Joko Galing.
"Bolehkan aku menuntut balas, Guru?"
Ki Mandra tersenyum, menggelengkan kepala.
"Sebagai seorang pendekar, kau tak boleh me-
nyimpan dendam, sekecil apa pun, Joko. Melangkah-
lah di jalan lurus. Kalau ingin menumpas Panca Iblis,
kau harus mendasarkan tindakanmu pada kepentin-
gan umum,  dengan tujuan menegakkan kebenaran
dan keadilan. Bukan karena dendam kesumatmu.
Memang kebiadaban Panca Iblis telah banyak merugi-
kan orang. Tumpaslah keangka-ramurkaan yang me-
reka lakukan. Itulah sebenarnya jalan yang lurus bagi
seorang pendekar. Kau mengerti, Joko?"
Joko Galing tidak segera menjawab. Ditariknya
napas panjang, lalu menganggukkan kepala perlahan.
"Bagus."
Ki Mandra bangkit dari duduknya, lalu melang-
kah meninggalkan sang Murid seorang diri, menuju
kamarnya. Tak lama kemudian lelaki tua itu kembali
keluar dan mendekati Joko Galing. Tangannya meng-
genggam sebilah pedang. Ditatapnya wajah Joko Gal-
ing yang duduk bersila di hadapannya.
"Joko, pedang pusaka ini sengaja kusimpan
baik-baik," ujar Ki Mandra setelah menatap wajah mu-
ridnya. "Dulu Pedang Lembayung Merah ini sempat

menggegerkan dunia persilatan. Barang siapa mem-
pergunakan pedang ini, dan memiliki ilmu pukulan
'Lembayung Merah', dia akan menjadi pendekar yang
sulit dikalahkan. Kau memang tak memiliki pukulan
'Lembayung Merah' tapi kau menguasai ilmu 'Serat
Kendali', yang berguna sebagai pengendali nafsu ang-
kara murka. Pakailah pedang ini untuk kebaikan. Jan-
gan kau gunakan dalam tindak kejahatan," saran Ki
Mandra.
Joko Galing terdiam menundukkan kepala, be-
rusaha meresapi apa yang dikatakan gurunya.
Hatinya merasa bangga, karena yakin kalau
pedang sakti ini akan menjadi miliknya. Dan setelah
memiliki Pedang Lembayung Merah, dia akan menjadi
pendekar yang sakti.
"Terimalah pedang ini, Joko."
Ki Mandra mengulurkan tangannya, menyerah-
kan Pedang Lembayung Merah pada Joko Galing. Pe-
muda itu segera menyambut dengan mengulurkan ke-
dua telapak tangannya ke atas. Setelah sampai di tan-
gan, segera diciumnya pedang pusaka itu. Kemudian
dililitkan tali pedang ke tubuhnya, hingga senjata itu
tersandang di punggung Joko Galing.
"Ingat, Joko! Pedang itu hanya untuk membela
kebenaran dan keadilan. Jangan kau gunakan dalam
tindak kejahatan! Jika kau lakukan hal itu, celakalah
dirimu. Kau akan menerima siksa dari pedang itu," tu-
tur Ki Mandra memperingatkan Joko Galing yang telah
menyandang senjata pusaka itu.
"Baik, Guru! Selalu kuingat segala pesanmu,"
sahut Joko Galing sambil menundukkan kepala.
"Joko, jika kau sudah turun gunung, carilah
seorang pendekar yang bisa membantumu. Mintalah
petunjuk, dan bila perlu mengabdilah padanya!" saran
Ki Mandra lagi.

"Siapakah dia, Guru?" tanya Joko Galing ingin
tahu.
"Aku sendiri kurang tahu namanya. Tapi di ka-
langan dunia persilatan dia dikenal dengan julukan
Pendekar Gila. Tingkah lakunya memang seperti orang
gila," jawab Ki Mandra.
Sesaat Joko Galing terdiam, dengan kening
mengerut. Hatinya bertanya-tanya siapa sebenarnya
Pendekar Gila. Dihelanya napas dalam-dalam, seakan-
akan berusaha menenangkan perasaannya. Ingin seka-
li dia seperti Pendekar Gila, yang sangat kesohor dan
disegani di kalangan dunia persilatan.
"Siapakah Pendekar Gila itu, Guru? Dan men-
gapa dia disegani tokoh-tokoh persilatan?" dengan
agak ragu, akhirnya Joko Galing bertanya.
"Hm..., dia seorang pendekar berbudi luhur. Il-
munya sangat tinggi, tetapi tidak sombong dan merasa
besar. Bahkan, sering merendahkan diri," jawab Ki
Mandra.
Joko Galing terdiam. Kepalanya mengangguk-
angguk, seakan mengerti. Namun perasaan hatinya
yang iri pada Pendekar Gila, tak dapat ditepiskan. Dia
ingin seperti pendekar itu yang tersohor bahkan sangat
ditakuti.
"Ada apa lagi, Joko? Tampaknya kau bimbang,"
tukas Ki Mandra dengan mata menatap tajam ke wajah
Joko Galing. Tatapan lelaki tua itu seperti tengah me-
nyelidik apa yang dipikirkan sang Murid.
"Ah! Tidak, Guru! Aku mengerti."
"Bagus kalau begitu."
Ki Mandra sesaat menghela napas pelan. Ma-
tanya masih menatap wajah sang Murid. Kepala lelaki
tua itu mengangguk-angguk. Tangan kirinya membe-
lai-belai jenggotnya yang panjang dan putih.
"Berangkatlah! Amalkan semua ilmu yang telah

kau peroleh, untuk membela kebenaran dan keadilan!"
perintah Ki Mandra, setelah sesaat terdiam menatapi
wajah muridnya.
"Baik, Guru! Aku mohon pamit," pinta Joko
Galing sambil menyembah. Kemudian dengan diikuti
tatapan mata sang Guru, Joko Galing melangkah me-
ninggalkan rumah gurunya.
Lima tahun terasa begitu cepat berlalu. Joko
Galing tak pernah lupa pada peristiwa mengenaskan,
yang menimpa keluarganya. Kedua orang tuanya  di-
bantai Panca Iblis.
Joko Galing menengadahkan wajah meman-
dang ke langit biru. Dihelanya napas panjang-panjang,
menghirup udara pagi yang sejuk.
Hm, kini aku telah punya kemampuan. Akan
kubalas kematian keluargaku. Tunggulah pembala-
sanku, Panca Iblis! Hutang nyawa harus dibayar nya-
wa pula, batin Joko Galing penuh dendam. Tangannya
memegang gagang Pedang Lembayung Merah yang ter-
sampir di punggung.
Srt!
Dicabutnya Pedang Lembayung Merah dari wa-
rangka. Seketika tubuhnya tergetar hebat. Seakan pe-
dang itu mengandung kekuatan sangat dahsyat yang
disertai keluarnya cahaya merah menyilaukan mata.
"Ukh! Akh...!"
Joko Galing mendesah. Tubuhnya mengucur-
kan keringat dingin, ketika mengerahkan tenaga dalam
untuk dapat menguasai kekuatan pedang itu.
"Ukh! Akh...! Pedang ini seperti menyedot selu-
ruh kekuatanku," keluh Joko Galing merasakan geta-
ran yang teramat kuat. Sehingga dirasakan tenaganya
terkuras habis.
Pedang itu terus tergetar dengan hebat. Sema-
kin keras getaran yang ditimbulkan, semakin terang

sinar merah yang keluar.
"Ukh! Akh...!"
Joko Galing terus melenguh. Tenaganya sema-
kin lama terkuras. Wajahnya memucat, bagaikan tak
berdarah. Rasa gentar seketika menjalar di hatinya,
menyaksikan kedahsyatan Pedang Lembayung Merah
di tangannya. Dia menyangka, kalau kekuatan pedang
itu hebat sekali.
"Oh, tenagaku hampir habis!" keluh Joko Gal-
ing dengan wajah kian memucat dan tegang, merasa-
kan getaran pedang masih tetap kuat.
"Joko, Anakku. Kau tak akan mampu mengen-
dalikan kekuatan pedang itu, jika batinmu belum te-
nang. Hatimu diliputi rasa dendam. Dendam adalah
setan. Gunakanlah ilmu 'Serat Kendali' yang kau mili-
ki. Dengan ilmu itu kau akan mampu memegang Pe-
dang Lembayung Merah'," terdengar suara gurunya
memberi tahu.
"O, ampunkanlah aku, Guru. Aku telah terlena
melupakan petuahmu," keluh Joko Galing.
Kemudian dengan memejamkan mata, Joko
Galing mengerahkan ilmu 'Serat Kendali'. Dibuangnya
perasaan marah. Dan segera disatukan segenap rasa
dan indra pada ketenangan jiwanya. Saat itu pula, Pe-
dang Lembayung Merah mulai melemah. Getaran dan
sinar merah yang menyilaukan mata tampak mereda.
Napas Joko Galing tersengal-sengal, seperti ha-
bis berlari kencang ribuan tombak. Keringat masih
mengucur, membasahi sekujur tubuhnya. Perlahan-
lahan ditariknya napas panjang mencoba mengatur pe-
rasaan.
"O, betapa hebat pedang ini!" gumam Joko Gal-
ing lirih.
"Hati-hatilah, Anakku. Berangkatlah dengan
ketenangan jiwamu! Jiwa seorang pendekar," suara Ki

Mandra gurunya kembali terdengar.
"Baik, Guru. Terima kasih atas jasamu selama
ini!" sahut Joko Galing.
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tu-
buh, pemuda itu melesat meninggalkan tempat itu.
Tubuhnya dalam sekejap saja sudah menghilang di ba-
lik pepohonan hutan yang dilaluinya.
Kini tujuan Joko Galing hanya satu, mencari
Panca Iblis yang telah membantai keluarganya. Juga
telah membuat kesengsaraan penduduk Desa Kalasan.
Kemudian yang kedua, mencari Pendekar Gila seperti
yang disarankan sang Guru.
"Hea! Heaaa...!"
Tubuh Joko Galing terus melesat menggunakan
ilmu lari yang bernama 'Gerak Sewu". Sebuah ilmu lari
yang mengandalkan kecepatan gerakan kaki. Sehingga
kaki Joko Galing seperti ada seribu, karena begitu ce-
pat gerakannya. Dalam sekejap saja pemuda itu telah
sampai di bawah Gunung Panalu.
"Hih...!"
Joko Galing menghela napas. Matanya meman-
dang lepas ke atas, seolah-olah hendak melihat sang
Guru yang berada di lereng gunung itu. Teringat kem-
bali lima tahun yang lalu dia ditolong lelaki tua itu dari
kematian yang telah merenggut keluarganya.
"Guru, sungguh besar jasamu padaku," desah
Joko Galing ketika teringat kebaikan Ki Mandra yang
telah mengasuhnya selama ini. Tanpa adanya lelaki
tua itu, mungkin dia sudah mati pula di tangan Panca
Iblis.
Baiklah, untuk mengetahui siapa sebenarnya
Joko Galing kita kembali ke lima tahun yang silam. Ki-
ta akan mengikuti sejenak bagaimana sampai Joko
Galing menjadi murid Ki Mandra.


***

Lima tahun yang lalu, Desa Kalasan yang di-
pimpin oleh Ki Santanu diserang lima orang yang me-
namakan dirinya Panca Iblis dari Suwelang. Dengan
menunggang kuda mereka menuju Desa Kalasan. Pan-
ca Iblis membunuh setiap orang yang di-jumpai di ja-
lan.
"Ha ha ha...! Katakan pada Ki Santanu, setiap
bulan purnama warga Desa Kalasan harus menyetor-
kan upeti pada kami!" seru lelaki bertubuh besar ber-
pakaian ungu. Kumis panjang melintang dan cambang
bauk menghiasi wajahnya. Dialah Gaja Polo, pemimpin
Panca Iblis.
"Ya! Jangan sesekali berani melawan! Kami tak
segan-segan membunuh kalian!" sambung lelaki beru-
sia sekitar empat puluh tahun, yang berbadan gemuk
dan pendek. Wajahnya bersih dari kumis dan cambang
bauk. Lelaki berpakaian kuning gading itu bernama
Barda, orang kelima dari Panca Iblis.
Warga Desa Kalasan yang ketakutan melihat
sepak terjang Panca Iblis tak satu pun yang berani me-
lawan. Semua diam membisu, meski dari pancaran
mata mereka tergambar kebencian yang mendalam.
"Katakan pada Ki Santanu, agar disiapkan pes-
ta meriah! Kami akan datang ke rumahnya!" seru Gaja
Polo.
"Hai, jawab...! Kalian seperti orang bisu!" ben-
tak Ranguwalang, lelaki bertubuh tinggi dan kurus,
mengenakan pakaian biru kehitaman. Lelaki berambut
kaku dan hidung pesek itu, orang ketiga dari Panca Ib-
lis. Namun para warga desa yang ketakutan itu tak
mampu menjawab bentakan keras itu.
"Kurang ajar! Kalian rupanya mencari mam-
pus!" maki Sartakulir, orang kedua dari Panca Iblis.

Rambutnya yang panjang terurai, dengan ikat kepala
kain coklat.
Crang!

Sartakulir mencabut pedangnya. Kemudian di-
jalankan kudanya mendekat ke kerumunan penduduk
yang tak berani pergi dari tempat itu. Karena jika per-
gi, melayanglah nyawa mereka.
"Ayo, jawab! Apa kalian ingin pedang ini yang
bicara?!" bentak Sartakulir sambil mengancung-
acungkan pedang di depan warga desa yang semakin
ketakutan. Namun tiba-tiba...
"Pengecut! Kalian hanya berani dengan orang-
orang lemah!" terdengar bentakan keras dari belakang.
Ketika Sartakulir menolehkan kepala, dilihat-
nya dua orang berbadan tegap dengan muka tak kalah
garang, telah  berdiri sekitar sepuluh tombak di bela-
kangnya. Kedua lelaki berpakaian sama hitam dengan
loreng-loreng merah itu, tak lain tangan kanan Ki San-
tanu.
"Heh...! Siapa kalian?!" bentak Gaja Polo. "Be-
rani benar menantang Panca Iblis!"
"Hm, apa yang mesti kami takutkan?! Sepasang
Clurit dari Simolawang, tak pernah gentar!" sahut Ker-
to Badru. Lelaki berbadan tinggi tegap dengan kumis
melintang tebal.
"Kurang ajar! Rupanya kau mencari mampus,
Centeng Tolol!" bentak Gaja Polo. Matanya membelalak
lebar diliputi amarah.
"Hm, kuharap kalian jangan sesekali berani
menginjakkan kaki di desa ini!" kata Kerto Wala. Wa-
jahnya pun menunjukkan keangkeran, seolah ingin
menunjukkan pada kelima Panca Iblis kalau mereka
bukan orang-orang sembarangan.
"Kurang ajar! Singkirkan mereka!" perintah Ga-
ja Polo pada keempat rekannya.

"Biar aku saja yang menyingkirkan centeng to-
lol itu!" sahut Barda sambil melompat dari punggung
kudanya. Dengan langkah tegap sambil membusung-
kan dada, Barda berjalan perlahan mendekati kedua
tangan kanan Ki Santanu. Tangannya memegang golok
besar yang tersandang di punggungnya.
Kedua tangan kanan Ki Santanu segera menca-
but senjata masing-masing yang berbentuk clurit. Ma-
ta keduanya menatap tajam lelaki berpakaian kuning
gading yang melangkah semakin dekat.
"Bersiaplah kalian untuk mampus!" dengus
Barda sambil menarik goloknya dari warangka.
Srt!
"Hea!"
"Yea!"
Barda segera merangsek dengan kibasan golok
besarnya. Kerto Badru dan Kerto Wala seketika ber-
lompatan mundur mengelakkan babatan golok lawan.
Kemudian dengan cepat keduanya balas menyerang
dengan sambaran cluritnya.
"Hea!"
"Yea!"
Wuttt!
Dalam sekejap, pertarungan telah berjalan den-
gan seru. Namun tampaknya kemampuan Kerto Badru
dan Kerto Wala berada setingkat di bawah lawannya.
Dalam beberapa gebrakan saja, Barda mampu mengu-
asai keadaan. Golok besarnya terus berkelebat cepat
memburu kedua lawannya.
"Mampuslah kalian!" bentak Badra.
Wrt!
Golok besar itu berkelebat cepat
Jreb! Jreb!
"Wuaaa...!"
Kedua lawan Badra menjerit kesakitan ketika

golok besarnya membabat tubuh Kerto Badru dan Ker-
to Wala. Kedua ambruk dengan mata terbelalak. Se-
saat keduanya mengejang kesakitan, kemudian tewas.
Badra tersenyum mencibirkan bibirnya. Kemu-
dian dengan angkuh didepaknya kedua tubuh tangan
kanan Ki Santanu yang sudah menjadi mayat.
"Lihat! Apakah kalian ingin seperti mereka?!"
seru Badra pada warga Desa Kalasan yang semakin ke-
takutan setelah menyaksikan kedua tangan kanan Ki
Santanu dalam beberapa gebrakan saja telah tewas.
"Cepat katakan pada Ki Santanu, siapkan pe-
nyambutan kami!" perintah Gaja Polo.
Warga desa yang sudah ketakutan itu pun me-
nurut. Mereka segera meninggalkan tempat itu, untuk
memberi tahu Ki Santanu tentang kedatangan Panca
Iblis.
Ki Santanu yang tak suka kalau orang-orang
jahat menginjakkan kaki di desanya, dengan tegas me-
nolak kedatangan Panca Iblis. Mendengar penolakan
kepala desa itu. Panca Iblis itu mengamuk, mereka
membakari rumah-rumah penduduk dan membantai
orang-orang Desa Kalasan. Bahkan keluarga Ki Santa-
nu dibantai habis. Namun tanpa diduga, ketika pem-
bantaian keji itu tengah berlangsung, tiba-tiba sesosok
tubuh berkelebat cepat dan merenggut tubuh Joko
Galing dari amukan Panca Iblis.
Sosok itu ternyata Ki Mandra. Sejak saat itu,
Joko Galing diangkat sebagai murid orang tua sakti
itu.
Joko Galing menarik  napas panjang-panjang,
setelah membayangkan kembali kejadian yang menge-
naskan lima tahun silam. Entah bagaimana keadaan-
nya Desa Kalasan saat ini, pikir pemuda itu.
"Hm," Joko Galing menggumam tak jelas, ke-
mudian melesat menuruni lereng gunung. Tujuannya

hanya satu, ke Desa Kalasan.


***

2

Desa Kalasan kini benar-benar bagaikan desa
mati! Sepi, seperti tak berpenghuni. Sore hari pintu-
pintu rumah telah tertutup, pagi dan siang tiada seo-
rang anak pun yang tampak bermain-main di luar ru-
mah. Kehidupan bagai tercekam rasa takut. Apalagi se-
jak Ki Santanu sebagai Kepala desa Kalasan mati di-
bunuh Panca Iblis,
Segala sesuatu yang diperintahkan Panca Iblis
harus dilaksanakan. Selama lima tahun Desa Kalasan
di bawah kekuasaan orang-orang durjana.
Namun akhir-akhir ini warga bertambah resah
dengan kedatangan seorang wanita muda dan cantik
yang telah mampu mengalahkan Panca Iblis. Wanita
itu menghendaki agar para pemuda tampan harus me-
relakan dirinya sebagai kekasihnya. Mereka dijadikan
pemuas nafsu wanita cantik itu.
"Kabarkan kepada semua penduduk, agar se-
tiap malam menyerahkan anak lelaki mereka kepada-
ku. Kalian mengerti...?!"
"Daulat, Nyi Mas," jawab kelima orang yang
menamakan dirinya Panca Iblis yang telah takluk pada
wanita cantik itu.
"Bila ada warga atau pemuda yang membantah,
tumpas! Jangan beri ampun!" kembali wanita cantik
berpakaian merah jambu itu berkata.
"Daulat, Nyi Mas!" jawab orang-orang Panca Ib-
lis serempak.

"Barda, coba kau cari anak Ki Santanu!"
Barda mengerutkan kening mendengar perintah
wanita yang dipanggil Nyi Mas itu.
"Untuk apa, Nyi Mas? Bukankah anak itu nanti
akan merepotkan kita?!"
"Jangan membantah, Barda!" bentak wanita
cantik itu yang ternyata Nyi Mas Lindri.
Barda terdiam. Segala perintah pimpinannya
memang harus dilaksanakan dan tak seorang pun
yang berani membantah.
"Daulat, Nyi Mas. Saya akan mencarinya," ja-
wab Barda setelah terdiam beberapa saat. "Namun,
apabila kelak anak itu membahayakan kita, Nyi Mas
jangan menyesali dan menyalahkanku!"
"Semua tanggung jawabku, Barda!" suara Nyi
Mas Lindri meninggi, pertanda marah. Kelima lelaki
yang duduk di hadapannya menundukkan kepala, tak
berani bertatap pandang.
Nyi Mas Lindri memang seorang wanita cantik,
tapi ilmunya di atas kelima Panca Iblis.
Barda yang tahu gelagat, segera minta pamit.
Lelaki berpakaian kuning gading itu beranjak pergi un-
tuk mencari Joko Galing. Walau tak tahu apa sebenar-
nya maksud sang Ketua, Barda tak berani membantah
apalagi menentangnya. Dengan perasaan kurang enak,
Barda melangkah pergi.
"Aneh! Bukankah dulu dia yang menyuruh agar
dibunuh semua keturunan Ki Santanu?! Kenapa seka-
rang malah menyuruhku mencari anaknya yang hi-
lang?" Barda bertanya-tanya sendiri. "Hm.... Untuk apa
anak itu? Ah, memang susah bekerja sama dengan
wanita!"
Barda telah melangkah jauh meninggalkan Hu-
tan Gendis tempat Panca Iblis berada. Namun pikiran-
nya masih bingung harus menuju arah mana untuk

mencari anak Ki Santanu, yang entah berada di mana.
Tapi ketika Barda tengah berjalan memasuki  sebuah
hutan, tiba-tiba....
"Manusia keparat..! Tungguuu...!"
Barda tersentak, lalu memalingkan wajah ke
arah suara itu. Dilihatnya segerombolan orang berla-
rian mengejar Barda. Dua puluh lima orang yang men-
genakan ikat kepala bergambar tanduk merah itu ter-
nyata anak buah Begal Setan Tanduk Merah. Sebuah
perkumpulan begal yang akhirnya terdesak kedudu-
kannya di Hutan Gendis setelah kedatangan Panca Ib-
lis, apalagi semenjak Panca Iblis dipimpin Nyi Mas Lin-
dri.
Siapa mereka...? Tanya Barda dalam hati. Apa
urusan mereka denganku?
Barda yang belum yakin apa maksud gerombo-
lan itu nampak terdiam menunggu kedatangan mere-
ka. Namun Barda tersentak kaget, ketika melihat tan-
gan orang-orang itu menggenggam senjata terhunus,
seperti tengah memburu musuh.
"Siapa kalian?" tanya Barda belum mengerti.
Ketua Begal Setan Tanduk  Merah tersenyum
sinis mendengar pertanyaan Barda. Bagi dia ucapan
Barda adalah ucapan seorang pengecut. Pertanyaan
seseorang yang tengah ketakutan.
"Ha ha ha...! Kenapa harus berpura-pura, Bar-
da? Apa kau tak ingat dengan kami yang telah kau hi-
na dulu? Setahun yang lalu. Kau dan teman-temanmu
telah memaksa kami harus menyingkir dari Hutan
Gendis," ujar Pimpinan Begal Setan Tanduk Merah
yang bernama Mangala.
Barda kembali mengerutkan kening. Dia benar-
benar tak mengerti siapa sebenarnya mereka. Bertemu
saja baru kali ini.
"Kedatangan Panca Iblis, telah menyebabkan

kami sengsara. Kekuasaan kami di wilayah Desa Kala-
san lenyap. Maka itu, kami akan menuntut balas! Nah,
kini kematianmu menandai awal perjuangan kami!
Anak buah, seraaang...!" perintah Mangala.
Mendengar perintah pimpinannya, seketika ke-
dua puluh orang anggota Begal Setan Tanduk Merah
segera mengepung Barda yang masih berusaha tenang.
Semua anggota Begal Setan Tanduk Merah te-
lah siaga tanpa menyerang, semua menunggu perintah
dari pimpinan mereka. Mata mereka terus menatap ta-
jam pada wajah Barda.
Barda menyunggingkan senyum.
Kesempatan, akan aku dului mereka, gumam
Barda membatin.
Srt!
"Yeaaa...!"
Secepat kilat Barda mencabut golok besarnya,
lalu secepat kilat dibabatkan ke tubuh musuh-musuh
yang merangsek dirinya.
"Awaaas...!" pekik Mangala mengingatkan pada
anak buahnya. Namun serangan Barda ternyata da-
tang begitu cepat. Sehingga....
Bret! Bret! Bret...!
"Aaakh...!"
"Wuaaa...!"
Tiga orang anak buah Begal Setan Tanduk Me-
rah terpekik, ketika perut mereka terbabat golok besar
Barda. Mereka tak dapat berbuat apa-apa kecuali
mengerang kesakitan. Sesaat ketiganya kelojotan  lalu
akhirnya roboh dengan tubuh berlumuran darah.
"Bangsat! Kau telah membunuh anak buahku.
Kau harus mampus di tangan kami. Seraaang...!" pe-
rintah Pimpinan Begal Setan Tanduk Merah.
Gerombolan itu langsung menyerang dengan
senjata mereka.

Wrt!
"Yeaaa...!"
Pedang dan golok di tangan anggota Begal Se-
tan Tanduk Merah berkelebat memburu tubuh Barda.
Dengan cepat Barda mengelak sambil memapakai se-
rangan dengan kibasan golok besarnya.
Wrt!
Trang! Trang...!
Prak!
Terdengar beberapa kali benturan keras. Pe-
dang dan golok kedua lawan yang menyerang patah.
Kedua anak buah Begal Setan Tanduk Merah tersentak
dan melompat mundur menghindari babatan golok
Barda.
Wrt!
"Hap...!"
Dua orang yang lain merangsek maju.
"Hiyaaat...!"
"Heaaa...!"
Teriakan-teriakan keras mengiringi serangan
yang dilakukan anak buah Mangala.
Wrt! Srap!
Pedang dan tombak berkelebat mengarah ke
tubuh Barda. Segera Barda kembali mengibaskan go-
loknya.
"Heaaa...!"
Wuttt!
"Mampus kau Barda...!" pekik orang memegang
tombak seraya menyodokkan ujung tombak yang runc-
ing dan beracun ke tubuh Barda.
"Uts!" Barda tersentak, lalu melompat mundur
mengelakkan serangan lawan.
Wrt!
"Ihhh...!"
Tombak  lawan terus mencecar tubuh Barda.

Namun dengan cepat Barda bergerak ke samping dan
melompat mundur mengelakkan serangan itu.
Aku harus menghalau serangannya, pikir Bar-
da. Golok besar itu dikibaskan ketika tombak lawan
kembali melesat ke perutnya.
Wrt!
Trang!
Dentangan keras pun terdengar ketika golok
besar di tangan Barda berhasil membabat tombak la-
wan.
Prak!   
"Hah...?!"
Terbelalak mata orang yang menyerang Barda,
ketika ujung tombaknya patah tersambar golok besar
Barda. Belum sempat hilang rasa kagetnya, Barda te-
lah kembali merangsek sambil membabatkan golok.
Wrt!
"Ahhh...! Bangsat!"
Orang itu tersentak kaget karena merasa mati
langkah. Golok di tangan Barda berkelebat cepat ke
tubuhnya. Hampir saja nyawanya melayang, kalau ka-
wan yang lain tak segera membantu.
"Minggir...! Heaaa...!"
Wuttt!
Serangan cepat pedang lawan sempat membuat
tersentak Barda. Namun kemudian-dengan cepat pula
golok besarnya dikibaskan. Dan....
Trang!
"Mampus kau!" bentak Badra. Golok besarnya
terus berkelebat memapak dan melancarkan serangan
ke tubuh lawan. Namun belum sempat golok itu men-
genai sasaran, tiga orang melesat cepat memapak se-
rangan Barda dengan trisula. Mereka dikenal dengan
julukan Trisula Setan.
"Hea!"

"Yea!"
Teriakan-teriakan terdengar, mengiringi seran-
gan ganas mereka.
Trang, trang!
Badra tersentak kaget lalu segera menarik se-
rangan ke belakang dengan mata terbelalak kaget. Se-
dangkan tiga orang bersenjata trisula itu tersenyum,
mengejek Barda yang sejenak tampak kewalahan.
Ketiga Trisula Setan itu, merupakan penjajak-
kan terakhir bagi Gerombolan Begal Setan Tanduk Me-
rah. Jika ketiganya terdesak, maka Gerombolan Begal
Setan Tanduk Merah akan menyerang secara serentak.
"Kami lawanmu, Barda," ujar lelaki berkepala
botak dan bertubuh besar. Matanya menatap tajam
wajah Barda. "Nah, kini hadapilah Trisula Setan!"
"Hea...!"
"Yea...!"
"Hea...!"
Tanpa menunggu jawaban dari Barda. Trisula
Setan segera menggebrak dengan serangan. Trisula di
tangan mereka langsung mencecar secara bergantian
ke tubuh Barda dengan jurus 'Kembang Mayang Kara'.
Melihat serangan beruntun yang dilakukan ke-
tiga lawannya. Barda segera melompat menghindar
sambil membabatkan golok besarnya untuk menangkis
serangan.
Wuttt!
Srt!
"Hah...!"
Barda tersentak kaget, ketika goloknya terjepit
di ujung trisula lawan. Tangan Barda menarik dengan
kuat, berusaha melepaskan golok besar itu. Namun
trisula yang lain langsung merangsek dan ikut menje-
pit senjata Barda.
Krek!

Trang!
Mata Barda membeliak kaget. Keringat dingin
mengucur deras dari tubuhnya. Seluruh tenaga dalam
yang ada telah dikerahkan untuk membebaskan go-
loknya dari jepitan trisula lawan
"Matilah kau, Barda...!" satu lagi Trisula Setan
melesat, tapi tak seperti kedua rekannya. Lawan yang
ketiga kini mengarahkan trisulanya ke mata Barda.
Srt!
"Ahhh...!" sentak Barda sambil mengerakkan
kepala, mengelakkan serangan yang hampir menusuk
matanya. Lalu dengan cepat Barda bergerak melompat
ke belakang dan melepaskan goloknya. Nyawanya ter-
lepas dari maut, namun senjata andalannya kini ber-
pindah ke tangan lawan.
"Hah...!"
Mata Barda membelalak. Tubuhnya semakin
terdesak serangan lawan yang terus memburu. Dengan
hati diliputi rasa cemas. Barda terus melompat ke sana
kemari, mengelakkan serangan lawan. Dia tak mau
mati begitu saja di tangan anak buah Begal Setan Tan-
duk Merah.
Sementara trisula di tangan lelaki bertubuh ku-
rus terus memburu Barda.
"Ha ha ha...! Kini mampuslah kau, Barda!" seru
Mangala, pimpinan Begal Setan Tanduk Merah sambil
tertawa terbahak-bahak. "Kau harus memberitahukan
di mana kelemahan Panca Iblis pada kami!"
"Bedebah! Sampai mati pun tak akan kuberita-
hu, Kunyuk!" dengus Barda sengit.
Mangala mencibirkan bibir mengejek Barda. La-
lu sambil mengibaskan tangan sebagai isyarat kepada
Trisula Setan agar segera membereskan lawannya,
pimpinan Begal Setan Tanduk Merah melangkah mun-
dur dengan masih tertawa terbahak-bahak.

"Selamat berpisah, Barda! Hua ha ha...! Mam-
puslah kau...!"
Tanpa senjata Barda terpaksa harus mengha-
dapi Trisula Setan yang terus menyerang dengan ga-
nas. Meskipun gerakannya untuk mengelak terus di-
percepat. Namun Barda tetap semakin terdesak dan
tampak kewalahan. Dia tak mampu lagi melakukan se-
rangan, kecuali hanya bergerak menjauh dari ketiga
lawan tangguhnya itu.
"Hea...!"
"Yea...!"
Teriakan-teriakan keras terus terdengar, mengi-
ringi serangan yang kian ganas dari Trisula Setan.
Wrt! Srt!
Ketiga trisula itu terus membabat dan menusuk
ke tubuh Barda yang kian mengendur pertahanannya.
Hingga....
Wuttt!
Bret!
"Aaakh...!"
Barda terpekik ketika perutnya tersambar trisu-
la di tangan salah seorang lawan.
Trisula Setan terus mengejar tubuh Barda yang
kian melemah tubuhnya. Namun tiba-tiba sesosok tu-
buh berkelebat cepat Dan....
Wrt!
Trang, trang, trang...!
"Aaa...!"
Ketiga Trisula Setan itu terpekik. Ketiganya me-
rasakan ada hawa panas menjalar lewat tangannya,
ketika senjata mereka berbenturan keras dengan se-
buah suling yang tiba-tiba memapaki serangan ke tu-
buh Barda.
"Aha...! Rasanya tak adil, Kisanak! Satu orang
harus menghadapi keroyokan...," ujar pemuda berompi

kulit ular yang telah menangkis serangan Trisula Se-
tan. Mulutnya cengengesan sambil menyelipkan suling
ke pinggang.
"Setan...! Berani benar kau ikut campur?!" maki
Mangala. Matanya seketika menatap seorang pemuda
bertingkah laku seperti orang gila yang berdiri di
samping Barda. "Bedebah! Kau rupanya mencari
mampus, Anak Muda! Kau berani menolong penjahat!"
Pemuda yang tak lain Sena atau yang berjuluk
Pendekar Gila itu tertawa terbahak-bahak mendengar
ucapan pimpinan Begal Setan Tanduk Merah.
"Apakah kalian bukan penjahat? Hi hi hi...!"
"Bangsat! Siapa kau, Bocah Gila!" dengus Man-
gala marah. "Katakan, sebelum anak buahku ini men-
cincang tubuhmu!"
"Hi hi hi.... Lucu! Aku katakan juga  percuma,
Kisanak! Nah, kalau kalian manusia, hendaknya me-
melihara rasa kemanusiaan. Mengapa kalian mau
membunuh orang yang sudah tak berdaya? Hi hi hi..!"
sahut Sena.
"Bocah edan! Jangan menggurui kami! Anak
buah, serang keduanya jangan beri ampun...!"
"Hiaaat..!"
Gerombolan Begal Setan Tanduk Merah segera
melaksanakan perintah pimpinannya. Mereka serentak
mengepung dan menyerang Pendekar Gila yang beru-
saha melindungi Barda.
"Sobat, apa kau bisa menjaga diri?" tanya Sena
sambil cengengesan, tangannya menggaruk-garuk ke-
pala. Padahal lawan-lawannya siap untuk melakukan
serangan. Hal itu membuat Barda terheran-heran me-
lihat tingkah laku pemuda yang menolongnya. Seakan
pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu, belum
siap untuk melakukan pertarungan.
"Aku akan berusaha," sahut Barda.

"Aha, bagus! Kita akan main-main dengan me-
reka, Kisanak!" ujar Sena sambil cengengesan.
"Bocah edan! Rupanya kau mencari mampus!"
dengus lelaki berkepala botak, salah seorang dari Tri-
sula Setan.
"Hi hi hi...! Mampus...? Aha, rupanya kau su-
dah tak betah hidup, Botak..!" ujar Sena, semakin
membuat orang-orang Begal Setan Tanduk Merah ber-
tambah marah.
"Kurang ajar! Kupecahkan kepalamu...!" dengus
Mangala.
"Hiaaa...!"
"Heit! He he he...!"
Dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat' Pen-
dekar Gila bergerak mengelakkan serangan lawan, se-
kaligus melindungi Barda.
"Hea...!"
"Yea...!"
Menyaksikan jurus yang dilancarkan Pendekar
Gila, anak buah Begal Setan Tanduk Merah bertambah
marah dan beringas. Jurus yang sepintas kelihatan
lemah dan pelan itu, mengundang mereka untuk terus
melakukan serangan-serangan gencar. Mereka men-
ganggap pemuda bertingkah laku gila itu tak memiliki
kemampuan ilmu silat.
"Kucincang tubuhmu, Bocah Edan!" maki Man-
gala seraya mengayunkan pedang membabat Pendekar
Gila. Namun, dengan jurus 'Gila Menari Menepuk La-
lat', tubuh Sena meliuk. Kemudian sambil cengenge-
san, tangannya bergerak menepuk ke dada lawan.
"Hi hi hi...! Kurang tepat, Kisanak! Hih...!"
Pimpinan Begal Setan Tanduk Merah tersentak
kaget, ketika tangan Pendekar Gila tiba-tiba hampir
menghantam dadanya. Padahal gerakan Pendekar Gila
tampak pelan dan lemah.

"Edan! Jurus edan...!" maki Mangala sambil
melompat mundur, mengelakkan serangan yang dilan-
carkan Pendekar Gila. Matanya terbelalak, seperti tak
percaya dengan apa yang terjadi. Tubuhnya hampir sa-
ja terhantam telapak tangan Pendekar Gila, kalau saja
tak segera mencelat ke belakang.
"Hi hi hi...!"
Dengan cengengesan, Pendekar Gila kembali
bergerak. Tubuhnya diputar ke arah kiri. Kemudian
dengan tangan diangkat ke atas, tubuhnya mengitari
Barda. Sedangkan tangannya yang telah memegang
Suling Naga Sakti, kini bergerak memukul lawan-
lawannya yang hendak menyerang.
"Tenang, Kisanak! Kau harus memusatkan ji-
wamu agar tidak pusing," saran Sena, mengingatkan
pada Barda agar tidak terpengaruh gerakan dari jurus
'Gila Melepas Lilitan Benang'. Sebuah jurus yang
membuat lawan terbelalak keheranan.
"Jurus edan!" maki Mangala, pimpinan Begal
Setan Tanduk Merah, merasa sangat sulit baginya dan
anak buahnya untuk dapat menembus pertahanan
Pendekar Gila.
"Cuih! Anak-anak, pergi...!"
Pimpinan Begal Setan Tanduk Merah segera
menggerakkan tangan kanan, memerintah anak buah-
nya agar cepat meninggalkan tempat itu. Seketika itu
pula, anak buah Begal Setan Tanduk Merah berlarian
meninggalkan Hutan Galadema, tempat pertarungan
mereka berada.



***



3

"Hai, jangan lari...!" teriak Barda sambil beru-
saha mengejar Gerombolan Begal Setan Tanduk Me-
rah. Namun, Pendekar Gila segera mencegahnya.
"Aha, biarkan saja gerombolan itu pergi, Kisa-
nak! Tak usah kau kejar. Sia-sia saja kau mengejar
mereka," ujar Pendekar Gila sambil melangkah mende-
kati Barda yang segera menghentikan langkahnya.
"Tapi mereka sangat berbahaya, Kisanak," ujar
Barda cemas.
"Hi hi hi...! Kecemasan hanya ada di hati orang
yang berbuat dosa dan salah...," tutur Pendekar Gila
dengan cengengesan sambil tangannya menggaruk-
garuk kepala. Seakan-akan berbicara pada diri sendiri.
Mendengar ucapan Pendekar Gila, Barda ter-
sentak. Dia tidak menyangka, kalau pemuda tampan
yang bertingkah laku seperti orang gila itu mampu
berbicara seperti layaknya seorang guru besar.
Pendekar Gila melangkah sambil menengadah-
kan wajah ke langit. Dilihatnya mendung berarak-arak
berkumpul jadi satu. Seakan-akan mendung itu mem-
beri suatu petunjuk kepada dirinya.
"Ah, mendung berkumpul. Langit tampak se-
makin gelap. Mungkin akan turun hujan," gumam Se-
na.
Barda turut mendongak ke atas, memandang
mendung yang kian menebal itu. Hatinya tersentuh ju-
ga mendengar penuturan Pendekar Gila. Dia turut
membenarkan ucapan pemuda aneh di hadapannya.
Dihelanya napas dalam-dalam, seolah ingin mene-
nangkan perasaan hatinya.
"Kisanak, tutur ucapanmu sangat menyentuh
hatiku. Kalau boleh ku tahu, siapakah Kisanak sebe-

narnya?" tanya Barda dengan bola mata menatap ta-
jam wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat
Barda bertambah mengerutkan kening. Mata Barda
semakin tak berkedip menatap pemuda itu.
"Ha ha ha, siapa pun diriku, kurasa tak pent-
ing. Aku manusia biasa sepertimu. Hanya saja, mung-
kin keadaan kita yang berbeda," tutur Sena dengan
cengengesan persis orang tolol.
Barda menghela napas panjang-panjang. Entah
mengapa, kini dia merasakan kebenaran ucapan pe-
muda di hadapannya. Dan tanpa sadar, hatinya yang
selama ini gelap, tiba-tiba bagaikan diterangi cahaya.
Kesadaran Barda mulai timbul, bahwa segala yang
pernah dilakukan selama ini salah.
"Mungkinkah pemuda ini tokoh yang dijuluki
sebagai Pendekar Gila?" tanya Barda dalam hati, beru-
saha menduga-duga. "Dilihat dari tindak tanduk dan
ilmunya, jelas merupakan ciri-ciri Pendekar Gila. Hm,
Mungkin dialah orangnya."
"Aha, apa yang kau pikirkan, Kisanak?" tiba-
tiba  Sena bertanya, menyentakkan Barda dari lamu-
nannya. "Dan mengapa gerombolan tadi mengatakan
kau orang jahat?"
Barda kembali menghela napas. Kini Barda me-
rasa seperti tengah dihadapkan pada dewa yang se-
dang mengadilinya. Tak bisa lagi berdusta di hadapan
pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu. Seakan
ada sesuatu yang mendorong untuk menceritakan se-
mua tingkah laku hidupnya selama ini;
"Apa yang mereka katakan memang benar, Ki-
sanak. Aku salah seorang anggota Panca Iblis. Tapi se-
jak Panca Iblis dikalahkan Nyi Mas Lindri, hatiku sela-
lu ingin meninggalkan mereka...," desah Barda seakan
berusaha menghilangkan beban yang mengganjal ji-

wanya.
"Aha, lalu mengapa kau tak meninggalkan me-
reka?" tanya Sena.
"Aku tak mampu," sahut Barda setengah men-
geluh, "Nyi Mas Lindri bukan orang sembarangan. Dia
memiliki ilmu tinggi, hingga kami tak mampu menga-
lahkan. Panca Iblis harus tunduk dan patuh pada se-
tiap perintahnya.."
"Hm...," gumam Sena tak jelas. Mulutnya nyen-
gir, lalu tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Tadi pun, aku harus menuruti perintahnya un-
tuk mencari anak Ki Santanu. Nyi Mas Lindri bukan
hanya kejam, dia semakin menambah penderitaan
warga Desa Kalasan...," lanjut Barda menceritakan.
"Maksudmu...?" tanya Sena.
Barda menarik napas dalam-dalam. Ditatapnya
mendung yang semakin menebal di langit.
"Nyi Mas Lindri tak hanya menuntut upeti dari
warga Desa Kalasan. Tapi lebih dari itu, dia juga seo-
rang wanita cabul yang doyan anak muda. Dengan il-
munya yang tinggi, dia memaksakan kehendak untuk
memuaskan nafsu. Warga yang memiliki anak lelaki
muda diharuskan menyerahkannya pada Nyi Mas Lin-
dri sebagai pemuas nafsu birahinya."
"Ha ha ha, tak boleh dibiarkan!" gumam Sena.
"Apa selama ini tak ada yang menentang?"
"Siapa yang berani Kisanak?" sahut Barda balik
bertanya.
Pendekar Gila nyengir sambil menggaruk-garuk
kepala. Tingkah lakunya tetap seperti orang gila. Hal
itu membuat Barda mengerutkan kening keheranan.
"Aha, lalu apa Kisanak tetap mau mencari anak
Ki Santanu itu?" tanya Sena.
"Entahlah. Kejadian ini membuat jalan pikiran-
ku mulai terbuka. Aku ingin kembali hidup di jalan

yang benar, meninggalkan duniaku yang gelap," jawab
Barda sepertinya benar-benar hendak meninggalkan
dunia hitamnya.  Dunia yang selalu membuat dirinya
bagai dikejar-kejar rasa takut dan cemas. Perasaan do-
sa dan musuh yang banyak.
"Benarkah kau ingin meninggalkan dunia hi-
tammu?" tanya Pendekar Gila berusaha meyakinkan.
"Ya," tegas Barda. "Mulai saat ini aku bertekad
untuk kembali ke jalan lurus."
"Aha, bagus! Kurasa memang secepatnya kau
harus menyadari semuanya, Kisanak."
"Terima kasih! Kini bolehkah aku bertanya, sia-
pa kau sebenarnya Anak Muda?"
"Namaku Sena. Tetapi orang biasa memanggil-
ku dengan sebutan Pendekar Gila," jawab Sena yang
membuat mata Barda terbelalak semakin lebar.
"Sudah kuduga," desis Barda dalam hati. "Ka-
lau memang Pendekar Gila. Ah, beruntung sekali aku
bisa bertemu dengannya. Pantas, tutur katanya begitu
arif dan bijaksana."

"Aha, kau kembali termenung, Kisanak. Lalu
siapa kau sebenarnya? Aku memang telah mendengar
Panca Iblis. Tapi aku belum pernah bertemu dengan
kalian," ujar Sena.
"Namaku, Barda," sahut Barda memperkenal-
kan diri, "Kalau Kisanak tak keberatan, ingin rasanya
aku menyertaimu. Aku ingin jauh dari mereka."
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak men-
dengar permintaan dan ucapan Barda. Mulutnya cen-
gengesan sambil menggeleng-geleng kepala, seakan-
akan hendak mengatakan sesuatu.
"Ha ha ha, mengapa kau takut, Kisanak! Kebe-
naran akan senantiasa dilindungi Hyang Widhi. Tak
perlu Kisanak takut pada mereka!" ujar Sena. Namun,
Barda nampaknya belum yakin pada dirinya sendiri.

Hatinya masih dilanda rasa takut menghadapi Nyi Mas
Lindri.
"Tapi, Nyi Mas Lindri sangat kejam, Kisanak.
Dia tak akan membiarkanku begitu saja," ujar Barda
cemas. "Izinkanlah aku mengikutimu! Bukan hanya
Nyi Mas Lindri yang akan menghukumku, tapi mung-
kin anak Ki Santanu yang masih hidup. Anak itu pasti
akan membalas dendam atas kematian keluarganya."
Mendengar penuturan Barda, Pendekar Gila
hanya berdiam. Dihelanya napas dalam-dalam. Dia
memahami kekhawatiran yang melanda hati lelaki di
hadapannya. Apalagi setelah mengetahui tekad Barda
untuk meninggalkan dunia hitamnya.
"Aha, baiklah! Kalau begitu kita berangkat ke
tempat tinggal Panca Iblis!" ajak Sena dengan cen-
gengesan.
Terbelalak mata Barda mendengar ajakan Pen-
dekar Gila. Keningnya berkerut merasa heran dan tak
mengerti mengapa Pendekar Gila justru mengajaknya
ke tempat tinggal Panca Iblis.
"Untuk apa...?" tanya Barda.
"Aha, bukankah mereka orang-orang yang ha-
rus ditumpas?" tanya Sena yang membuat Barda se-
makin tersentak.
"Jadi...?"
Belum sempat Barda selesai berkata, Pendekar
Gila dengan masih cengengesan menyahut cepat.
"Kurasa warga Desa Kalasan harus segera di-
bebaskan dari penderitaan yang mereka timbulkan.
"Kau akan menyerang mereka?"
"Aha, kurasa tidak, selama mereka bersedia se-
cara baik-baik meninggalkan Desa Kalasan," jawab Se-
na, sambil menatap wajah Barda dengan mulut cen-
gengesan.
"Kenapa? Bukankah kau sendiri ingin bebas

dari mereka?"
"Benar."
"Aha, kita harus segera ke sana, Barda!" sentak
Sena."
"Aku tak yakin, apa kita mampu menghadapi
mereka," gumam Barda lirih, tampaknya dia meragu-
kan kemampuan Pendekar Gila yang masih muda itu.
"Aha, apa yang membuatmu ragu, Kisanak?"
tanya Sena sambil menatap wajah Barda. Barda ter-
diam, lalu menghela napas dalam-dalam. Sepertinya
ada sesuatu kebimbangan yang bergayut di hatinya.
"Aku masih ragu, apakah kau mampu menga-
lahkan Nyi Mas Lindri? Karena ilmunya jauh di atas
ilmuku," ujar Barda setengah mendesah lirih.
Pendekar Gila tertawa sambil menggaruk-garuk
kepala. Kemudian dihelanya napas panjang-panjang.
Matanya memandang lepas ke langit yang tertutup
mendung.
Barda turut terdiam, dengan perasaan yang
masih diliputi kebimbangan.
Mungkinkah pemuda yang bergelar Pendekar
Gila ini mampu menghadapi Nyi Mas Lindri yang sakti
itu? Tanya Barda dalam hati. Telah banyak tokoh per-
silatan tua dan berpengalaman menghadapi Nyi Mas
Lindri. Namun, belum ada yang mampu mengalahkan-
nya.
Barda memperhatikan Pendekar Gila dengan
seksama, seakan masih berusaha meyakinkan dirinya
akan kemampuan pemuda yang bertingkah laku gila
itu.
"Aha, keraguan akan membuat langkah ter-
hambat. Mengapa kau masih ragu, Barda? Bukankah
mati untuk membela kebenaran dan keadilan itu tekad
orang ksatria?" tanya Sena, berusaha mendorong se-
mangat Barda yang masih diliputi rasa takut dan tak

percaya diri.
"Baiklah, aku mengikutimu."
"Aha, bagus! Kita harus segera ke sana. Ayo!"
ajak Sena.
Keduanya segera melesat meninggalkan Hutan
Galadema. Tak lama kemudian hujah lebat pun meng-
guyur hutan ini.

***

Sementara itu, Joko Galing yang hendak menu-
ju Desa Kalasan, kini telah sampai di Desa Sangga
Lumajang di kaki Gunung Panalu. Ketika kakinya se-
dang menyelusuri Desa Sangga Lumajang tiba-tiba ma-
tanya melihat lelaki tua tengah diseret empat orang le-
laki bertampang garang.
"Hm, permainan apa lagi yang hendak dipertun-
jukkan orang-orang itu...?" dengus Joko Galing sambil
menghentikan langkah, dan menatap tajam ke lima le-
laki yang menyeret lelaki tua itu.
"Aduh... ampun!" ratap lelaki tua kurus yang
bertelanjang dada itu.
"Kalau  kau minta ampun, katakan di mana
anak lelakimu kau sembunyikan!" bentak lelaki berwa-
jah garang yang duduk di punggung kuda.
"Sungguh, Tuan! Hamba tak menyembunyikan.
Anak hamba telah pergi sebelum Tuan datang," jawab
lelaki tua itu.
"Setan! Kau kira kami bisa dibohongi, heh?!"
bentak lelaki berkuda itu sambil mempercepat langkah
kudanya.
Lelaki tua itu menjerit kesakitan. Tubuhnya lu-
ka-luka tergores tanah jalanan.
"Aduh...! Ampuuun...!" teriak lelaki tua itu. Tu-
buhnya yang terkapar di tanah kelojotan kesakitan.

Joko Galing yang menyaksikan kejadian itu,
merasa trenyuh. Tubuhnya segera melesat. Kemudian
dengan gerakan yang sangat cepat, Joko Galing men-
cabut pedangnya. Lalu dalam sekejap saja, Pedang
Lembayung Merah di tangannya telah membabat tali
yang mengikat tangan orang tua itu.
Srt!
Bret!
Tali itu putus. Sementara, kuda penarik lelaki
tua itu tiba-tiba menjadi liar. Tampaknya kuda coklat
itu ketakutan, melihat Pedang Lembayung Merah yang
mengeluarkan sinar merah.
Belum sempat lenyap rasa kaget mereka, Joko
Galing dengan cepat mengelebatkan pedangnya me-
nyerang keempat lelaki yang terperangah menyaksikan
gerakannya.
"Kalian harus mampus! Hih...!"
Wrt!
Dengan mata terbelalak, keempat lelaki berusia
sekitar tiga puluh tahun itu melompat mundur. Mere-
ka semakin  terperanjat menyaksikan gerakan cepat
Joko Galing. Namun....
Wuttt!
Jrab! Jrab!
Pedang Lembayung Merah di tangan Joko Gal-
ing berhasil membabat lawan.
"Akh...!"
"Wua...!"
Dua orang terpekik keras, ketika Pedang Lem-
bayung Merah membabat perut mereka. Mata kedua
orang itu terbelalak tegang. Seketika darah menyem-
bur keluar dari luka yang menganga. Sesaat tubuh ke-
duanya mengejang, kemudian ambruk dan tewas.
"Bangsat! Siapa kau?! Berani sekali melawan
Panca Iblis!"

Lelaki berkuda itu marah ketika menyaksikan
dua orang temannya dalam sekali gebrakan saja telah
tewas di tangan pemuda itu.
"Aku Joko Galing. Aku datang untuk menum-
pas kalian, para begundal yang telah membuat warga
menderita. Heaaa...!"
Joko Galing yang diliputi dendam kesumat tan-
pa banyak kata segera  mengamuk bagaikan banteng
terluka. Pedang Lembayung Merah di tangannya berge-
rak cepat, menyerang kedua orang lawannya.
Wrt!
Cras!
"Wua...!"
Kedua orang itu terpekik ketika Pedang Lem-
bayung Merah membabat perut mereka. Sesaat tubuh
keduanya mengejang kemudian ambruk dan tewas.
Terbelalak mata lelaki yang duduk di atas
punggung kuda, menyaksikan kehebatan ilmu pedang
lawan. Hanya dengan dua kali gebrakan saja, keempat
kawannya telah tewas. Merasa dia pun tak bakal sang-
gup menghadapi pemuda itu, lelaki penunggang kuda
yang ternyata anak buah Panca Iblis segera mengge-
bah kudanya.
"Mau lari ke mana kau?!" bentak Joko Galing.
Kemudian dengan cepat pemuda itu melesat, membu-
ru lelaki berkuda itu.
Dengan menggunakan ilmu 'Gerak Sewu', da-
lam sekejap saja Joko Galing mampu menghadang le-
laki berkuda itu.
"Ah!"
Lelaki bermuka garang itu tersentak kaget me-
lihat Joko Galing telah berdiri menghadang di hada-
pannya
"Mau lari ke mana, Bajingan?!" bentak Joko
Galing geram. Matanya melotot, menatap tajam wajah

lelaki yang masih duduk di punggung kuda itu.
"Minggir! Jangan halangi aku!" sentak lelaki
berpakaian biru tua, yang ternyata bernama Rawanda.
Joko Galing tersenyum sinis. Dengan pedang di
tangan kanannya. Pemuda itu melangkah mendekati
Rawanda yang masih duduk di atas punggung kuda.
Menyaksikan Joko Galing melangkah mende-
kat, Rawanda mengerutkan kening. Perasaan cemas
dan takut seketika menyelimuti jiwanya. Dia tahu ba-
gaimana kehebatan pedang di tangan pemuda itu, ke-
tika membantai keempat kawannya.
"Kau pun harus mampus, Bajingan! Tapi untuk
kali ini, aku mengampunimu. Biar salah satu kuping-
mu kupenggal. Katakan pada Panca Iblis, Joko Galing
anak Ki Santanu akan menuntut balas," suara Joko
Galing terasa tenang dan dingin sekali. Matanya yang
membuka lebar, menatap tajam wajah Rawanda yang
kini pucat pasi mendengar ucapan Joko Galing.
"Tidak! Jangaaan...! Ampunilah nyawaku," ra-
tap Rawanda ketakutan.
"Aku tak akan membunuhmu. Aku hanya ingin
minta kenang-kenangan darimu. Setelah itu, cepatlah
minggat dari hadapanku," usai berkata demikian, Joko
Galing melompat. Tubuhnya bersalto beberapa kali di
udara, kemudian dengan cepat membabatkan Pedang
Lembayung Merah ke telinga Rawanda.
"Jangaaan...!" pekik Rawanda ketakutan.
Wrt!
"Akh...!"
Lelaki berkuda itu terpekik keras, memegangi
kuping sebelah kirinya yang putus. Darah bercucuran
membasahi pakaiannya. Sementara kuping yang putus
itu telah berada di tangan Joko Galing.
"Enyahlah dari sini! Katakan pada pimpinan-
mu, Joko Galing akan datang! Siapkan nyawa mereka!

Hea...!" Joko Galing  memukul pantat kuda itu, yang
seketika lari dengan tunggang-langgang.
Joko Galing tertawa melihat kejadian lucu tadi.
Sebentar kemudian pemuda itu segera melesat, me-
nyusul lari kuda yang ditunggangi Rawanda.


***

4

Di bawah pimpinan Nyi Mas Lindri, Panca Iblis
semakin menancapkan kuku kekuasaan, mencengke-
ram warga Desa Kalasan dan desa-desa lain di sekitar
Hutan Gendis. Selama itu, belum ada seorang warga
pun yang berani menentang kekuasaan Nyi Mas Lindri
Siang itu, Nyi Mas Lindri dan empat tokoh dari
Panca Iblis berkumpul di sebuah ruang pertemuan
yang juga merupakan kamar khusus Nyi Mas Lindri.
Wanita cantik bertubuh sintal itu berbaring di
dipan dari kayu jati berukir. Di belakangnya, empat
pemuda tampan bertelanjang dada tampak memijati
tubuhnya yang mulus. Sesekali mereka men-ciumi tu-
buh Nyi Mas Lindri yang hanya tertutup pakaian tipis
dan tembus pandang berwarna merah jambu. Matanya
yang lembut tapi tajam menatap keempat lelaki tangan
kanannya.
"Barda belum juga pulang. Mungkinkah dia
mendapat kesulitan di jalan...?" gumam Nyi Mas Lin-
dri. Tubuhnya menggeliat kenikmatan ketika keempat
pemuda tampan itu membelai dan menciumi sekujur
tubuhnya.
"Kurasa Barda tak mungkin menemukan anak
Ki Santanu, Nyi Mas. Lagi pula untuk apa bocah itu

dicari?  Bukankah hanya akan membuat repot kita?"
tanya Gaja Polo, yang tampaknya tak setuju dengan
rencana Nyi Mas Lindri.
"Huh! Kau tahu apa, Gaja Dungu! Menurut pe-
tunjuk yang kuperoleh, justru anak Ki Santanu yang
bakal membantuku mencapai cita-cita menundukkan
dunia persilatan," tegas Nyi Mas Lindri.
Gaja Polo terdiam. Dia tak berani lagi memban-
tah ucapan sang Pimpinan. Bagaimanapun, kemam-
puannya tak sanggup menghadapi Nyi Mas Lindri yang
berilmu tinggi. Ilmu wanita cantik itu, jauh berada di
atasnya.
"Kalian tahu, jika aku bisa menjadikan anak Ki
Santanu sebagai kekasihku, maka cita-citaku menjadi
ratu persilatan akan terlaksana. Itu kata petunjuk
yang kuterima," tutur Nyi Mas Lindri sambil terus me-
nikmati rabaan dan ciuman keempat pemuda tampan
yang telah menjadi budak nafsunya.
"Apakah tak akan sebaliknya, Nyi Mas?" tanya
Saratakulir.
"Kalian takut anak itu balas dendam atas ke-
matian kelurganya?"
"Ya," sahut Sartakulir. "Itu yang selalu kuce-
maskan."
Nyi Mas Lindri tertawa terkekeh sambil mengge-
leng-gelengkan kepala. Wanita cantik itu bangkit dari
pembaringan, lalu duduk di dipan berukir itu dengan
senyum mengembang di bibirnya. Seakan hendak me-
nunjukkan kecantikannya.
"Selama masih ada aku, tak mungkin dia ber-
buat begitu," katanya sombong, menjadikan keempat
lelaki dari Panca Iblis mengerutkan kening. Mereka se-
perti belum yakin dengan apa yang diucapkan Nyi Mas
Lindri.
"Sungguhkah itu, Nyi Mas?" tanya Gaja Polo in-

gin tahu.
Nyi Mas Lindri kembali tersenyum, lalu bangkit
dari duduknya, melangkah mendekati Gaja Polo  dan
ketiga kawannya. Matanya yang lentik, menatap tajam
pada keempat tangan kanannya itu.
"Kita buktikan saja nanti! Selama Nyi Mas Lin-
dri ada bersama kalian, tak mungkin dia berkutik,"
ujar Nyi Mas Lindri meyakinkan. Kemudian matanya
memandang lepas keluar, Hutan Gendis tampak ter-
hampar dengan pepohonan besar mengelilingi  tempat
tinggal mereka.
Keempat lelaki di hadapannya hanya mampu
diam. Meski mereka belum yakin dengan apa yang di-
katakan sang Pimpinan, mereka tak berani untuk me-
nentang. Mereka tak ingin mati sia-sia di tangan wani-
ta cantik berhati iblis yang sadis itu. Tak peduli siapa
pun jika tak disukai, Nyi Mas Lindri akan membunuh
dengan pukulan mautnya yang bernama 'Gelap Ngam-
par'.
Ketika mereka tengah membicarakan masalah
Barda yang belum juga datang. Tiba-tiba....
"Nyi Mas Lindri, aku datang...!"
Dari luar terdengar suara teriakan seseorang
yang sangat dikenalnya. Suara Barda yang sepertinya
mengandung permusuhan itu, membuat Nyi Mas Lin-
dri dan keempat Panca Iblis membelalak kaget
"Barda!" seru Nyi Mas Lindri. "Sejak kapan dia
berteriak seperti itu?!"
"Nyi Mas Lindri, keluar kau!" kembali terdengar
suara Barda berteriak menantang. Baik Nyi Mas Lindri
maupun keempat anak buahnya belum percaya teria-
kan Barda.
"Kurang ajar! Lancang sekali mulutnya!"  den-
gus Nyi Mas Lindri sengit. Kemudian dengan penuh
amarah wanita cantik itu melesat keluar diikuti keem-

pat Panca Iblis.
Seketika mata mereka terbelalak, melihat Barda
yang didampingi pemuda bertingkah laku seperti orang
gila, berdiri menantang. Hal itu membuat Nyi Mas Lin-
dri semakin bertambah marah, merasa telah ditantang
anak buahnya.
"Barda keparat! Rupanya kau sudah bosan hi-
dup!" dengus Nyi Mas Lindri geram.
"Hm, hidup matiku bukan di tanganmu, Wanita
Iblis!" balas Barda tak mau kalah, "Aku datang untuk
menghentikan sepak terjangmu yang kelewat biadab!"
"Hi hi hi...! Cantik sekali kau, Nyi. Sayang, di
hatimu bersarang iblis...," gumam Sena sambil cen-
gengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Barda keparat! Rupanya Bocah Edan itu yang
membuatmu berani menantangku!" dengus Nyi Mas
Lindri dengan mata melotot garang menatap Pendekar
Gila.
"Hua ha ha...! Nyi Mas Lindri, kucari-cari ak-
hirnya kutemui kau di sini," gumam Sena dengan cen-
gengesan sambil tangan menggaruk-garuk kepala. "Se-
telah gagal menyingkirkan  keluarga Baginda Aji War-
dana, tak bosan-bosannya kau berbuat kejahatan,
Nyi!"
"Cuih! Rupanya kau memang mencari mampus,
Pendekar Gila! Kau selalu saja mencampuri urusan-
ku!" dengus Nyi Mas Lindri sengit, karena selama ini
Pendekar Gila senantiasa menghalangi maksudnya.
Rencananya menggulingkan Baginda Aji Wardana gag-
al juga karena campur tangan Pendekar Gila (Untuk
mengetahui lebih jelas siapa sebenarnya Nyi Mas Lin-
dri, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode
"Istana Berdarah").
"Aha, kurasa kaulah yang mencari penyakit.
Perempuan Busuk!" balas Sena. "Kucari kau ke mana-

mana untuk mempertanggungjawabkan pemberonta-
kanmu yang gagal. Ternyata kau ada di sini, Nyi!"
"Kurang ajar! Bunuh dia...!" perintah Nyi Mas
Lindri sambil menggerakkan tangan kanan pada
keempat anak buahnya yang sejak tadi hanya mampu
diam. Mereka tak tahu harus berbuat apa.
Mendengar perintah Nyi Mas Lindri, keempat
lelaki yang tergabung dalam Panca Iblis, seketika men-
cabut senjata mereka dan langsung menggebrak Pen-
dekar Gila.
"Yea...!"
"Hi hi hi...! Mengapa tikus-tikus ini yang kau
ajukan, Nyi...?" ejek Sena sambil tertawa cengengesan
dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Pendekar Gila masih tenang. Bahkan tingkah
lakunya semakin gila. Dengan melompat-lompat sam-
bil menggaruk-garuk kepala seperti seekor monyet,
Pendekar Gila mengelakkan serangan lawan.
"Hea!"
"Heit! Barda, bersiaplah! Kita akan main-main
dengan tikus-tikus ini," ujar Sena sambil bergerak me-
liuk-liukkan tubuhnya, mengelakkan serangan-
serangan yang dilancarkan empat orang dari Panca Ib-
lis. Dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat', Pende-
kar Gila bergerak mengelakkan serangan-serangan la-
wan.
Barda yang telah bertekad kembali ke jalan lu-
rus, tak mau tinggal diam. Dia segera membantu Pen-
dekar Gila, menghadapi serangan yang dilancarkan
keempat bekas kawannya. Dengan golok besar di tan-
gan, Barda yang semakin yakin pada kebenaran dan
keadilan, bagaikan macan lapar. Tangannya dengan
cepat membabatkan golok besarnya.
"Hiaaa...!"
Wrt!

Trang!
Benturan keras senjata terdengar memecahkan
suasana sepi Hutan Gendis.
"Yea!"
"Barda! Keparat, kubunuh kau!" geram Gaja Po-
lo, melihat temannya kini berpihak pada Pendekar Gila
yang seharusnya dimusuhi. Pedang di tangannya ber-
kelebat menyerang Barda. Namun, dengan cepat Barda
bergerak mengelak, seraya membabatkan golok besar-
nya.
"Yea!"
Wrt!
Trang!
Gaja Polo semakin marah menyaksikan bekas
kawannya tak gentar sedikit pun menghadapinya.
Dengan jurus 'Kalamandaka' Gaja Polo berusaha me-
nekan pertahanan Barda. Pedangnya menderu deras
menusuk dan membabat ke tubuh Barda.
"Yea!"
"Haits!"
Melihat Gaja Polo menyerang dengan jurus an-
dalannya, Barda pun tak mau tinggal diam. Kakinya
melompat dua tombak ke belakang. Kemudian dengan
jurus 'Genta Caragata', Barda membabatkan golok be-
sarnya.
"Hea!"
Wrt!
Angin menderu keras, ketika golok di tangan
Barda membabat ke tubuh Gaja Polo. Golok itu mam-
pu mengeluarkan angin yang sangat keras. Gerakan-
nya sangat cepat, melebihi serangan yang dilancarkan
lawan.
"Hea!"
Teriakan keras terus terdengar mengiringi se-
rangan yang kian ganas dan cepat.

Wrt!
Trang!
"Ukh...!" Mata Gaja Polo terbelalak kaget, ketika
pedangnya berbenturan dengan golok besar Barda.
Tangannya dirasakan bergetar dan kesemutan. Namun
kakinya segera melompat ke belakang, berusaha men-
jauhi serangan lawan.

***


Suasana di Hutan Gendis yang semula tenang,
kini terdengar suara teriakan-teriakan pertarungan
mereka. Selain itu beberapa pohon tumbang terbabat
senjata dan terhantam pukulan. Rerumputan morat-
marit terinjak kaki mereka. Bahkan binatang hutan
tampak berlarian ketakutan.
Pendekar Gila yang menghadapi keroyokan tiga
orang lawan, masih tampak tenang. Dengan jurus 'Gila
Melempar Batu', Pendekar Gila berusaha menggempur
pertahanan ketiga lawannya.
"Hea!"
"Hi hi hi...! Kalian benar-benar seperti tikus sa-
wah,"  ejek Sena sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Kemudian tangannya kembali bergerak, seperti me-
lemparkan batu menyerang lawan-lawannya. Ketiga
lawannya tersentak kaget, ketika dari gerakan melem-
par yang dilakukan Pendekar Gila melesat gumpalan
angin menderu keras ke tubuh mereka. Angin kencang
itu, seketika menahan serangan ketiga lawannya.
"Ilmu edan!" maki Sartakulir. Dia berusaha me-
nerobos  serangan  yang dilancarkan Pendekar Gila.
Namun, angin yang menderu ke tubuhnya dirasakan
begitu kuat. Sulit bagi Sartakulir untuk menembus
pertahanan Pendekar Gila. "Benar-benar ilmu edan!"
"Hi hi hi...! Kalian persis tikus sawah. Hua ha

ha!"
"Bocah edan, kubunuh kau!" maki Wadas Ka-
pul. Lelaki bertubuh gemuk dengan alis tebal dan hi-
dung mancung itu tampak marah karena tak mampu
berkutik, terkurung angin topan dari tangan Pendekar
Gila.
"Hua ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak.
Tubuhnya melompat ke sana kemari seperti monyet,
sambil menggaruk-garuk kepala. "Lucu sekali ..! Kalian
seperti tikus sawah dikejar kucing. Hi hi hi...!"
"Bedebah! Bocah edan itu harus segera kusing-
kirkan!" maki Nyi Mas Lindri, melihat ketiga tangan
kanannya terdesak, dan tak mampu berbuat apa-apa.
Wanita itu segera melesat memburu Pendekar Gila,
Kemudian dengan jurus 'Sapuan Topan'nya, dia meng-
halau pukulan yang dilemparkan Pendekar Gila.
"Hancur tubuhmu, Bocah Edan! Hih...!"
"Aha, kebetulan sekali kau ikut campur, Nyi! Hi
hi hi...!"
Dengan melompat seperti monyet, Pendekar Gi-
la mengelakkan pukulan yang dilontarkan Nyi Mas
Lindri
Wrt!
Jlegarrr...!
Ledakan dahsyat terdengar, mengakibatkan ta-
nah yang terkena hantaman pukulan Nyi Mas Lindri
hancur dan berhamburan. Hawa panas seketika me-
nyelimuti suasana di hutan ini. Beberapa pohon besar
ikut hancur dan tumbang terkena pukulan dahsyat
itu.