Pendekar Gila 21 - Kitab Ajian Dewa(1)



Firman R 
Serial Pendekar Gila 
dalam episode 21: 
Kitab Ajian Dewa

Di pagi buta yang dingin suasana tampak remang-
remang. Kabut merayap menyelimuti bumi. Dari 
kejauhan terdengar beberapa kali ayam jantan 
berkokok. Sementara itu pula, samar-samar ter-
dengar derap langkah kaki-kaki kuda menembus 
keheningan pagi. 
“Hea...! Hea...! Heaaa...!” 
Dari suara teriakan sang Pengendali, kuda-kuda itu 
tampaknya terus dipacu agar berlari lebih kencang. 
Gemuruh kaki-kaki kuda itu semakin jelas ter-
dengar. Ternyata dari arah timur tampak samar-
samar sebuah kereta tengah melintas di jalan ber-
batu, menuju Pegunungan Sasakan. 
“Hea..., hea...!” 
Kusir kereta itu terus menggebah kuda-kudanya 
agar berlari semakin kencang. Lelaki berusia sakitar 
empat puluh lima tahun dengan wajah nampak lugu 
itu, sesekali menoleh ke belakang. Seakan ada 
sesuatu yang ditakutkan. 
Kuda-kuda penarik kereta yang sedang merangkak 
di jalan menanjak itu sambil terus berlari, nampak 
kepayahan. Sesekali terdengar ringkikannya yang 
keras sambil terus berlari perlahan-lahan. 
“Hea, hea, hea...!” 
Sang Kusir terus berteriak sambil menghentak-
hentakkan tali kekang di tangannya. Kereta beroda 
empat itu ternyata mengangkut seorang wanita 
berusia sekitar tiga puluh tahun yang memangku 
putranya. Wajah wanita cantik berpakaian merah 
jingga itu menggambarkan kedukaan yang bercampur 
dengan rasa takut. Seolah-olah ada sesuatu yang 
tengah dicemaskan dalam hatinya. 
“Hhh...! Aku tak habis pikir, kenapa ketiga lelaki itu 
menghabisi nyawa suamiku secara kejam,” gumam 
wanita itu dalam hati. “Tapi, kalau aku tak salah 
dengar, tadi mereka menanyakan tentang sebuah 
kitab. Kitab...? Kita apa yang mereka ributkan itu...? 
Setahuku Kakang Karto Pari tak pernah berbuat 
jahat. Suamiku lelaki yang baik...” 
Wanita itu terus bergelut dengan pikirannya 
sendiri. Semetara itu kereta berkuda yang tengah 
melintas di jalan terjal dan berbatu-batu, tampak 
terguncang ke kanan dan kiri. 
“Nyi...! Nyi Ambar...!” terdengar suara sang Kusir 
memanggil wanita di dalam kereta itu. 
“Ada apa, Kakang Trenggana...?” sahut wanita 
yang dipanggil Nyi Ambar. Wanita itu masih memeluk 
bocah berusia lima tahunan di pangkuannya. “Ya, 
ya..., aku tahu! Aku masih mengawasi terus ke 
belakang,” ujarnya. 
Ambar Sari memang tetap terus mengawasi ke 
belakang. Hatinya khawatir kalau para lelaki yang 
telah membunuh suaminya akan mengejar kereta itu. 
“Ibu, hendak ke manakah kita?” tanya bocah kecil 
itu sambil menatap wajah ibunya penuh perhatian. 
“Entahlah, Purbaya... Mungkin Trenggana akan 
membawa kita ke rumah pamanmu,” jawab sang Ibu 
lirih dengan tatapan penuh kasih. 
“Masih jauhkah rumah paman dari sini, Bu...?” 
tanya bocah kecil yang ternyata bernama Purbaya itu. 
Wajahnya yang mungil tampak cemas, seperti juga 
sang Ibu yang terus memeluknya penuh kasih. 
“Masih, Anakku! Mungkin setengah hari perjalanan 
lagi,” sahut Ambar Sari. 
Ambar Sari masih memeluk anaknya sambil 
sesekali menoleh ke belakang dengan pandangan 
cemas. Hatinya takut kalau ketiga orang yang 
mengejarnya akan terus mengikuti. 
Di depan, kusir kereta bernama Trenggana itu 
terus beruaha menjalankan kereta melalui jalan yang 
menanjak. 
Kini kereta itu melaju, menelusuri jalanan yang 
tidak rata. Jalanan berbatuan yang sangat sulit untuk 
dilintasi. Tetapi Trenggana terus berusaha mengen-
dalikan kuda-kuda itu dengan sebaik mungkin. Di 
wajahnya masih tergambar perasaan takut, kalau 
ketiga orang yang mengejarnya akan dapat menyusul 
kereta mereka. 
“Hea, hea, heaaa...!” 
“Kakang Trenggana, tak dapatkah kau percepat 
sedikit lagi lari keretanya?” tanya Ambar Sari sambil 
membelai-belai rambut Purbaya, ketika tiba-tiba 
matanya melihat tiga lelaki penungang kuda tengah 
mengejar kereta itu. Seketika hatinya tersetak kaget 
“Kakang Trenggana..., lihatlah di belakang! Mereka 
mengejar kita, Kang.” 
Tanpa banyak kata, Trenggana segera menghentak 
tali kekang kuda. Setelah dicambuk dua kali 
binatang-binatang itu langsung berlari lebih kencang. 
“Hea, hea, heaaa...!” 
Trak! Trak...! 
Ketika sampai di jalan yang agak rata, kuda-kuda 
penarik kereta itu berlari kian kencang. Sementara itu 
ketiga lelaki berwajah beringas yang memburunya, 
terus menggebah kuda-kuda tunggangan mereka. 
“Hea, hea...!” 
Suara teriakan mereka terdengar ditingkahi 
gemuruh dan bunyi gemeretak bebatuan kecil, 
tersepak kaki-kaki kuda. Kabut tipis yang menyelimuti 
jalan berbatu di Pegunungan Sasakan serta hawa 
dingin yang menusuk tulang sumsum tak mereka 
hiraukan. Ketiga lelaki berwajah beringas itu terus 
menggebah kuda mereka, mengejar kereta yang 
sudah mulai tampak di depan. 
Kereta yang ditarik dua ekor kuda itu terus melaju 
dengan cepat. Kini kereta itu tampak semakin 
bertambah cepat, karena jalanan mulai menurun. 
“Hea, hea...!” 
Namun kenyataan pahit tetap harus dialami 
keluarga Kerto Pati. Betapapun kuda-kuda penarik 
kereta itu dapat berlari kencang, tetap tak mampu 
menandingi kecepatan ketiga kuda di belakang. 
Sehingga, pada sebuah tikungan jalan yang cukup 
tajam ketiga lelaki yang mengejar berhasil menyusul. 
Bahkan akhirnya mereka menghadang di depan 
kereta itu. 
“Hop...!” 
“Ha ha ha...!” 
“Kenapa kalian menghadang kami?!” tanya Ambar 
Sari dengan suara membentak. Matanya melotot 
menatap ketiga lelaki bermuka garang yang masih 
duduk di punggung kuda. 
“He he he...! Kau tampak semakin cantik jika 
marah begitu, Ambar. Hm...! Menyenangkan sekali. 
Mungkin di atas ranjang pun kau akan segalak itu. He 
he he...!” gumam lelaki berkepala botak dan ber-
hidung mancung. Alis matanya yang tebal bergerak-
gerak ke atas. Dengan senyum nakal lelaki bernama 
Watu Gunung itu menatap penuh nafsu pada Ambar 
Sari. 
“Ambar! Katakan, di mana kau simpan Kitab Ajian 
Dewa?” tanya lelaki bertubuh gempal. 
“Orang-orang tua tak tahu malu!” suara bentakan 
terdengar dari mulut Purbaya yang masih dalam 
pelukan sang Ibu. Bocah kecil itu sepertinya tak 
merasa takut sama sekali. Bahkan matanya yang 
indah tampak menatap penuh kebencian pada ketiga 
lelaki garang di depan keretanya. “Telah kalian bunuh 
ayah. Kini, kalian menghadang kami! Apa sebenarnya 
yang kalian inginkan dari kami?!” 
Ketiga lelaki berwajah garang itu tersentak kaget 
mendengar bentakan Purbaya. Mereka tak 
menyangka, kalau bocah sekecil itu akan berani. 
Bahkan sedikit pun tak tampak rasa takut di wajah 
mungil bocah itu. 
“He he he...! Kau terlalu berani, Bocah?” sentak 
lelaki bermata sipit dan berkumis melintang. Lelaki 
berpakaian seperti kulit harimau itu melotot tajam 
pada Purbaya. 
“Ambar! Katakan, di mana kitab itu kau simpan! 
Atau anakmu akan kulempar ke dasar jurang itu!” 
ancam lelaki berkepala botak yang ternyata bernama 
Sodra. 
Mendengar pertanyaan Sodra, seketika Ambar Sari 
terdiam. Dia berusaha mengingat-ingat kitab macam 
apa. Dia memang pernah mendengar dari Kerto Pati, 
suaminya tentang sebuah kitab yang dititipkan oleh 
Pendekar Gila, yang katanya kitab itu harus diberikan 
pada murid dari Pendekar Gila itu. Sejak saat itulah, 
Pendekar Gila menghilang. 
“Mungkinkah kitab itu yang ditanyakan mereka?” 
tanya Ambar Sari dalam hati. 
“Aku tak tahu!” sentak Ambar Sari sengit 
“He he he...! Kami tak percaya. Bagaimanapun, 
kau istri Kerto Pati. Kau tentu tahu di mana suamimu 
menyimpan kitab itu!” tukas Lombang lelaki berusia 
empat puluhan yang mengenakan pakaian ungu. 
“Terserah kalian! Yang pasti, aku tak tahu tentang 
kitab yang kalian kehendaki itu!” bentak Ambar Sari 
tanpa rasa takut sedikit pun. Tangannya mendekap 
tubuh Purbaya, berusaha melindungi sang Anak dari 
ancaman ketiga lelaki bertampang beringas itu. 
“Ha ha ha...!” 
Ketiga lelaki bermuka garang itu tertawa terbahak-
bahak. Kemudian melompat dan segera mendekati 
kereta. 
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan. 
Trenggana yang tak ingin majikannya celaka tampak 
geram dan marah. Dengan berani, kusir kereta itu 
melompat lalu menatap wajah Sodra. 
“Hea!” 
Sodra yang tak menduga akan mendapat serangan 
mendadak itu tersetak kaget Dia berusaha meng-
elakkan serangan dengan memiringkan tubuh ke 
samping kiri. Namun tak urung dagunya terkena 
tendangan Trenggana. 
Begkh! 
“Ukh! Setan! Kau mencari mati, Kusir Keparat!” 
dengus Sodra dengan tubuh terhuyung-huyung ke 
belakang. Mulutnya meringis kesakitan. 
Melihat temannya diserang dengan dahyat, 
Lombang dan Watu Gunung menggeram sengit. 
Keduanya segera berlari mengejar Trenggana yang 
telah siap berdiri tegak. 

“Kusir keparat! Rupanya kau mencari mampus!” 
dengus Lombang geram. Mata lelaki berpakaian 
seperti kulit macan itu melotot marah. 
“Kupecahkan batok kepalamu, Kusir Keparat!” 
bentak Watu Gunung sambil melesat melancarkan 
pukulan tangan kanan ke tubuh Trenggana. 
“Hih?! Uts...!” dengan cepat Trenggana menggeser 
kaki kanan ke samping. Kemudian diikuti dengan me-
miringkan tubuh. Namun hampir bersamaan dengan 
gerakan itu Trenggana melancarkan sebuah ten-
dangan kaki kiri. 
Wut! 
“Uts!” dengan cepat Watu Gunung mengelit. 
Sementara itu kaki kirinya melancarkan sebuah 
tendangan keras, dilanjutkan dengan jotosan tangan 
kanan ke dada Trenggana.  
“Hih! Heaaa...!” 
Pertarungan Trenggana melawan ketiga orang 
yang mengeroyoknya bertambah seru. Ternyata kusir 
kereta itu bukan orang sembarangan. Badannya yang 
kurus, dengan gesit berkelebat ke sana kemari meng-
elakkan serangan ketiga lawannya. 
Melihat Trenggana memberi isyarat agar Ambar 
Sari dan anaknya pergi. Wanita itu tak menyia-
nyiakan waktu. Diajaknya Purbaya pergi meninggal-
kan tempat itu. 
“Ayo Purbaya, kita harus secepatnya meninggalkan 
tempat ini!” ajak Ambar Sari sambil menggandeng 
tangan anaknya pergi meninggalkan tempat itu. 
“Bagaimana dengan Paman Trenggana, Bu? 
Kasihan dia sendirian. Nanti dibunuh ketiga orang 
jahat itu,” ujar Purbaya berusaha berhenti. Tetapi 
Ambar Sari terus menarik tangannya. Bocah itu terus 
menoleh ke belakang, meyakinkan pertarungan 
antara Trenggana dengan ketiga lelaki bermuka 
bengis itu sampai di mana. 
“Biarlah, Purbaya! Paman Trenggana telah 
menyuruh kita segera pergi,” kata Ambar Sari sambil 
terus menggandeng tangan anaknya agar mengikuti 
langkahnya. 
“Tapi, Bu. Kita harus menolongnya!” 
“Tidak mungkin, Anakku. Kita tak memiliki 
kekuatan untuk melawan mereka. Ayo cepat...!” ajak 
Ambar Sari sambil menarik tangan Purbaya yang 
hendak berhenti. 
Dengan masih menoleh ke tempat pertarungan 
antara Trenggana dan ketiga orang bermuka bengis 
itu, Purbaya pun mengikuti langkah kaki ibunya. 
Kedua ibu dan anak itu dengan tergesa-gesa berlari. 
Kaki Purbaya tampak terseret-seret mengikut langkah 
sang Ibu. Mereka terus berlari ke selatan menuju 
hutan belantara Gandracupa yang membentang 
seperti menutupi Pegunungan Sasakan. 
*** 
Pertarungan antara Trenggana melawan ketiga 
orang pengeroyoknya masih berjalan seru. Sang Kusir 
yang nampak lugu dan bodoh, ternyata mampu 
bertahan dari gempuran ketiga lelaki bengis itu. 
Malah terkadang dia mampu balas menyerang 
dengan tak kalah cepat. Tangannya bergerak 
memukul ke sana kemari. Disusul dengan tendangan-
tendangan keras kedua kakinya. 
Ketiga lawannya yang tidak menyangka akan 
menemukan lawan cukup tangguh itu, tersentak 
kaget. Mereka tak menduga sama sekali kalau kusir 
kereta itu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. 
“Kurang ajar! Punya isi juga kau, Kusir Keparat!” 
dengus Sodra sengit. Kemudian dengan cepat, 
direntangkan kedua tangannya ke atas dengan jari-
jari membentuk paruh menghadap ke bawah. Itulah 
jurus 'Paruh Gagak Mematuk'. Sesaat kemudian 
kedua tangan yang masih membentuk paruh itu 
bergerak begitu cepat menyerang ke seluruh bagian 
tubuh Trenggana. 
Namun, Trenggana yang mendapat serangan 
ganas itu tak tampak gugup. Dengan cepat diegoskan 
kakinya dan memiringkan tubuh ke kanan dan kiri 
menghindari serangan yang dilancarkan Sodra. 
Wrt! 
“Hait! Hih...?!” dengan cepat Trenggana melancar-
kan tendangan keras yang menjadikan lawan ter-
sentak kaget. Sodra berusaha mengelit, tetapi 
dengan cepat Trenggana kembali melancarkan 
serangan dengan kaki kirinya. Begitu cepat 
tendangan susulan itu, membuat Sodra tersentak 
kaget. Lelaki berpakaian merah tua hendak bergerak 
menghindar tetapi terlambat. Tendangan kaki kiri 
Trenggana yang tak terduga, menghantam telak di 
janggutnya.  
Degkh! 
“Ukh!” Sodra terpekik. Kepalanya terdongak ke 
belakang dengan darah meleleh dari sela bibirnya. 
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan 
mulut meringis-ringis menahan sakit. 
“Kurang ajar! Kubunuh kau, Kusir Keparat!” 
dengus Watu Gunung seraya melesat maju 
menyerang dengan pukulan telapak tangan kanan 
yang disebut 'Telapak Naga'.  
“Heaaa...!” 
Tangan kanan Watu Gunung bergerak cepat, 
menyerang ke dada Trenggana. Namun, dengan 
cepat Trenggana memiringkan tubuh ke samping kiri. 
Lalu dengan cepat pula, menangkis dengan tangan 
kanan. Bersamaan dengan itu kaki kanannya me-
lancarkan tendangan keras. 
“Hea!” 
Trak! 
Wrt! 
Tendangan kaki kanan Trenggana melesat ke dada 
lawan. Namun dengan cepat Watu Gunung segera 
mundur selangkah. Kemudian digerakkan tangan 
kirinya memapak serangan, disusul sebuah pukulan 
keras tangan kanan ke dada lawan. 
Prak! 
“Hea!” 
“Hih!” 
Melihat lawan bergerak cepat memapak serangan-
nya, Trenggana tak tinggal diam. Tangannya segera 
menangkap serangan balasan yang dilakukan Sodra. 
Wrt! 
Trep! 
Tangan keduanya saling pegang, berusaha 
menarik tubuh lawan. Namun kekuatan keduanya 
tampak berimbang. Keduanya segera melanjutkan 
serangan dengan kedua kaki. Sementara tangan 
mereka masih saling berpegangan, lalu men-
cengkeram pergelangan tangan lawan masing-
masing. 
“Hea!” Trenggana berusaha membetot tangannya 
yang berada dalam cengkeraman Watu Gunung. 
Sedangkan kaki kanannya bergerak menendang. 
Namun dengan kuat, Watu Gunung tetap men-
cengkeram tangan lawan. Sementara itu kaki kirinya 
bergerak memapaki tendangan kaki Trenggana.  
“Hea!”  
Trak! 
Dua kaki saling beradu, namun keduanya masih 
terus mencengkeram tangan. Trenggana berusaha 
menghentakkan sikunya ke muka Watu Gunung. 
Namun Watu Gunung segera balas menyikut ke wajah 
Trenggana. 
Melihat keduanya masih terus bertarung dengan 
cara seperti itu. Sodra dan Lombang yang sudah tak 
sabar segera mencabut pedang dari warangkanya. 
Mata mereka menatap penuh kebengisan pada 
Trenggana. 
Srt! Srt! 
“Mampuslah kau, Kusir Keparat! Heaaa...!” Sodra 
melesat dengan pedang siap menusuk ke punggung 
Trenggana. Sedangkan Lombang kini bergerak dari 
arah samping. Pedang di tangan kanannya, menebas 
ke leher Trenggana. 
Melihat kedua lawannya melakukan serangan dari 
belakang, Trenggana sekali lagi berusaha melepas-
kan cengkeraman tangan Watu Gunung. Kaki-kakinya 
terus bergerak menendang kaki Watu Gunung. 
Namun nampaknya Watu Gunung tak mau melepas-
kan cengkeramannya pada tangan Trenggana. 
Sementara kakinya juga terus menangkis tendangan 
Trenggana. 
Trak! 
“Hih! Heaaa...!” sambil berteriak keras Trenggana 
berusaha membanting tubuh lawan sambil mem-
bungkuk. Namun pertahanan lelaki berpakaian ungu 
itu, tampak begitu kuat. Sehingga meskipun telah 
mengerahkan seluruh kemampuannya Trenggana tak 
berhasil membanting tubuh Watu Gunung. Tubuhnya 
mulai basah karena keringat yang bercucuran. 
Sementara kedua lawannya yang lain telah berada 
semakin dekat untuk melakukan serangan. 
“Yeaaa...!” 
“Heaaa...!” 
Sodra dan Lombang telah siap melakukan 
serangan dengan pedang di tangan masing-masing. 
“Celaka...!” pekik Trenggana semakin tegang, 
menyaksikan kedua lawannya semakin bertambah 
cepat memburu dirinya. Pedang di tangan mereka 
yang berkilat tajam, bagaikan siap memenggal kepala 
serta tubuhnya. Dikerahkan seluruh tenaga dalam-
nya, tetapi cengkeraman Watu Gunung benar-benar 
kuat. 
“Heaaa...!” 
Wrt! 
Sodra dan Lombang melancarkan serangan cepat 
dengan membabatkan pedang.  
Cras! Jrab! 
“Akh...!” tanpa ampun lagi, leher dan punggung 
Trenggana tertebas dan tertusuk pedang kedua 
lawannya. Kusir yang malang itu, limbung dengan 
darah mengucur membasahi tubuhnya. Sesaat 
kemudian tubuhnya ambruk dan tak berkutik lagi. 
“Hm, akhirnya mampus juga kusir tolol ini,” dengus 
Watu Gunung sambil menendang tubuh Trenggana 
yang terkulai berlumuran darah. 
Ketiga lelaki berwajah beringas itu tertawa ter-
bahak-bahak, menunjukkan kesombongan. Mereka 
seperti melupakan Ambar Sari dan Purbaya yang lari 
dari tempat itu. Dengan kuat Watu Gunung me-
nendang mayat Trenggana ke jurang. 
“Hua ha ha...! Kini tak ada lagi yang menghalangi 
kita untuk menanyai Ambar,” ujar Lombang. Namun 
seketika matanya membelalak, ketika mengawasi ke 
dalam kereta yang telah kosong. “Hai, ke mana 
Ambar?!” 
“Hah?! Dia telah pergi. Kurang ajar...! Kita harus 
cari dia!” dengus Sodra seraya melesat pergi ke timur 
diikuti kedua tangannya. Mereka hendak mengejar 
Ambar Sari dan anaknya. 
*** 
Ambar Sari yang menggandeng Purbaya terus berlari 
berusaha menyelamatkan diri dari kejaran orang-
orang jahat yang telah membunuh Kerto Pati. Wanita 
cantik berpakaian merah jingga itu seperti tak kenal 
lelah, terus menggandeng tangan anaknya. Padahal 
napasnya telah tersengal-sengal setelah menempuh 
perjalanan yang cukup jauh. 
“Ayo Purbaya! Kita harus cepat agar mereka tak 
dapat mengejar kita,” ajak Ambar Sari terus menyeret 
tangan anaknya. Sementara Purbaya yang masih kecil 
itu tampak terengah-engah dan kelelahan mengikuti 
lari sang Ibu yang terus menyeretnya, karena 
ketakutan. 
“Bu, kenapa sih mereka mengejar kita dan mem-
bunuh ayah?” tanya Purbaya dengan suara tersengal-
sengal sambil terus berlari. Wajah bocahnya tampak 
penasaran. Hatinya bingung kenapa para penjahat itu 
membunuh sang Ayah lalu mengejar ibunya. 
“Mereka memang orang jahat, Anakku. Cepatlah, 
jangan banyak tanya dulu tentang hal itu yang penting 
kita harus segera sampai di rumah pamanmu,” ajak 
Ambar Sari sambil terus menggandeng tangan 
Purbaya. Kedua ibu dan anak itu kini tengah melintasi 
semak-semak di hutan yang membentang di kaki 
Pegunungan Sasakan. 
“Mengapa mereka jahat terhadap kita, Bu? Bukan-
kah kita tak pernah bersalah pada mereka?” tanya 
bocah berpakaian rompi biru tua itu sambil terus 
melangkah. Bocah kecil itu menatap wajah sang Ibu 
yang tampak diliputi rasa cemas. Kening Purbaya 
mengerut, karena belum juga mengerti, mengapa 
ibunya tampak ketakutan. Dalam hatinya terbersit 
sebuah pertanyaan. Mengapa orang-orang itu mem-
bunuh ayahnya dan kini mengejar mereka? 
“Kau belum mengerti, Anakku. Mereka memang 
orang jahat yang sangat kejam. Sudahlah, ayo kita 
teruskan!” ajak Ambar Sari sambil terus meng-
gandeng tangan anaknya. 
“Tapi, Bu. Kakiku sakit sekali. Aku ingin istirahat 
dulu di sini,” pinta Purbaya sambil meringis menahan 
rasa sakit. Ternyata telapak kakinya tertusuk onak 
dan duri. Tampak darah menetes dari telapak kaki 
bocah itu. 
Ambar Sari semakin bingung. Bagaimanapun diri-
nya harus segera meninggalkan tempat itu. Namun, 
anaknya nampak sangat letih, setelah berjalan 
hampir setengah hari. 
Mata Ambar Sari menatap ke sekelilingnya, takut 
kalau ketiga orang penjahat itu mengejarnya. 
“Hhh...! Haruskah aku memberi tahu, di mana 
Kitab Ajian Dewa berada?” gumam Ambar Sari dalam 
hati. “Tetapi Kangmas Kerto Pati menyuruhku agar 
tidak memberitahukannya. Namun jika aku tidak 
memberi tahu, aku takut mereka akan terus 
mengejarku.” 
“Bu, mengapa Ibu termenung? Ibu memikirkan 
ayah...?” tanya Purbaya dengan mata menatap tajam 
wajah ibunya. Bocah kecil itu seakan merasa kasihan 
melihat kesedihan dan ketakutan sang Ibu karena 
kematian ayahnya. 
“Ah, tidak..., Ibu tidak apa-apa. Kita lanjutkan ya, 
Sayang?” ajak sang Ibu sambil menggandeng tangan 
Purbaya untuk meneruskan perjalanan. 
“Bagaimana dengan Paman Trenggana, Bu?” 
“Entahlah. Kita harus memikirkan nasib kita, 
Anakku.” 
“Apakah paman juga dibunuh seperti ayah, Bu?” 
“Entahlah, Anakku. Ibu tak tahu yang penting 
harus selamat. Itu yang ibu pikirkan. Ayo...!” ajak 
Ambar Sari sambil terus menggandeng tangan anak-
nya. 
Bocah kecil itu menurut. Meski kakinya sakit 
lertusuk onak dan duri, Purbaya tetap saja me-
langkah. Sepertinya anak itu mengerti keadaan. 
Namun baru beberapa langkah keduanya berjalan, 
tiba-tiba.... 
“He he he...! Mau lari ke mana kau, Ambar?!” di 
hadapan mereka, telah berdiri tiga lelaki bermuka 
garang. 
“Orang jahat! Mengapa kalian mengejar kami?!” 
bentak Purbaya lantang. Bocah kecil itu sepertinya 
tak takut sama sekali pada ketiga orang yang meng-
hadangnya. Matanya menatap tajam wajah ketiga 
lelaki di hadapannya. 
“Bocah sontoloyo! Lancang mulutmu. Kalau saja 
kau sudah besar. Hhh...! Kurobek mulutmu!” bentak 
Watu Gunung garang. Gigi-giginya bergemerutuk 
menahan marah, mendengar bentakan bocah kecil 
itu. 
“Sabar, Watu Gunung! Kita tidak perlu mereka. 
Yang kita perlukan hanya Kitab Ajian Dewa,” tukas 
Lombang berusaha menenangkan Watu Gunung. 
Kemudian dengan bibir mengurai senyum yang 
dibuat-buat. Lelaki berpakaian kulit harimau itu 
melangkah mendekati Ambar Sari.  
“Ambar, katakan-lah di mana suamimu menyim-
pan Kitab Ajian Dewa!” ujarnya perlahan. 
“Sudah kukatakan, aku tak peduli dengan kitab 
yang kau maksudkan. Aku tak tahu!” jawab Ambar 
Sari sambil memegangi tangan Purbaya, agar anak itu 
tak jauh-jauh dari dirinya. 
Ketiganya tertawa terkekeh-kekeh. Mata mereka 
yang garang, menatap tajam kedua ibu dan anak 
yang masih berdiri sekitar tiga tombak di hadapannya. 
Sementara Ambar Sari dan Purbaya menatap 
penuh kebencian pada ketiga lelaki beringas itu yang 
telah membuat mereka menderita. 
“He he he...! Masihkah kau tak mau mengatakan 
di mana kitab itu disimpan, Ambar?” tanya Sodra 
dengan senyum sinis mengembang di bibirnya. Lelaki 
itu kemudian memerintahkan dengan isyarat kepala 
pada kedua temannya agar menangkap Purbaya. 
Purbaya yang melihat kedua orang jahat itu 
hendak menangkap dirinya, segera melepaskan diri 
dari genggaman ibunya. Kemudian dia mendahului 
memburu kedua orang yang hendak menangkap. 
Ingatan Purbaya kembali melayang pada sang Ayah 
yang pernah mengajarinya ilmu silat. Sehingga bocah 
kecil yang cerdas itu, berusaha melakukan apa yang 
pernah diajarkan Kerto Pati. Apalagi saat ini, dirinya 
dalam keadaan terancam bahaya. Nalurinya sebagai 
seorang bocah, seakan menuntunnya untuk nekat 
melakukan sesuatu. 
“Bocah setan!” maki Watu Gunung geram, ketika 
secara tak terduga Purbaya menyeruduk ke tubuhnya. 
Hampir saja dirinya terjengkang, kalau tidak dengan 
segera mengelit ke samping kiri. Kemudian dengan 
penuh kegeraman, Watu Gunung dan Lombang 
segera memburu bocah kecil itu. 
“Hea!” 
Purbaya dengan cepat menubruk kedua lelaki yang 
hendak menangkap tubuhnya. Sehingga Watu 
Gunung dan Lombang saling bertubrukan satu sama 
lain. 
Brukkk!  
“Aduh!”  
“Akh...!” 
Tubuh kedua lelaki itu terjengkang dengan mulut 
meringis kesakitan. Melihat Purbaya yang tampak 
tersenyum dan cengengesan Watu Gunung dan 
Lombang semakin geram dan marah. 
“Bocah setan! Kuhancurkan kepalamu!” dengus 
Lombang seraya bangkit dari duduknya. Lalu dengan 
menggeram. Lombang dan Watu Gunung kembali 
memburu Purbaya. Kedua lelaki bertampang seram 
itu tampak sangat bemafsu untuk menangkap bocah 
kecil yang berani mengejek mereka. 
Sementara itu, Sodra tampak mendekati Ambar 
Sari. Matanya yang beringas, menatap tajam wajah 
Ambar Sari yang semakin ketakutan. Mata lelaki 
berpakaian ungu itu tak hanya menggambarkan 
keberingasan semata, tetapi juga diliputi nafsu yang 
membara terhadap kecantikan Ambar Sari. 
“He he he...! Sebentar lagi anakmu akan mati di 
tangan kedua temanku. Dan kau..., he he he...! Kau 
akan bersenang-senang denganku, Ambar. Tetapi jika 
kau mau mengatakan di mana Kerto Pati menyimpan 
Kitab Ajian Dewa, maka kau dan anakmu akan 
selamat,” ujar Sodra seraya tertawa terkekeh-kekeh. 
Kakinya melangkah mendekati Ambar Sari. Wanita 
cantik itu melangkah mundur dengan mata menatap 
penuh kebencian pada Sodra. 
“Jangan...! Jangan lakukan itu!” pinta Ambar Sari 
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya 
yang sayu tampak membelalak ketakutan. Apalagi 
ketika melihat Purbaya yang masih diburu kedua 
lelaki yang tampak begitu marah dan bernafsu 
meringkusnya. 
“He he he...! Kau dan anakmu akan kami lepas-
kan, asalkan kau mau mengatakan di mana Kitab 
Ajian Dewa itu disembunyikan suamimu,” Sodra 
dengan mulut masih menyeringai, tersenyum sinis 
dan memandang dengan tatapan garang. 
“Sungguh, aku tak tahu.” 
“Bohong!” bentak Sodra sambil terus melangkah 
mendekati Ambar Sari yang kian mundur ketakutan. 
Matanya terpicing memandang wajah wanita 
cantik yang kian merasa tegang itu. “Kau istrinya, kau 
tentu tahu di mana Kerto Pati menyimpan kitab itu!” 
“Kitab itu bukan milik kalian! Kitab itu memiliki si 
Gila yang dititipkan pada suamiku yang akan 
disampaikan pada murid atau cucu murid si Gila dari 
Goa Setan,” tukas Ambar Sari berusaha menjelaskan, 
bahwa Sodra dan kedua temannya tak berhak atas 
kitab pusaka itu. 
“He he he...! Kau tahu kalau kitab itu milik si Gila. 
Bukankah Kerto Pati yang memberi tahu? Suamimu 
pun tentu memberi tahu, di mana kitab itu dia 
sembunyikan, bukan...?” tanya Sodra sambil terus 
melangkah mendekati Ambar Sari. Wanita itu 
semakin melangkah mundur ketakutan. Matanya 
membelalak tegang, ketika menyadari dirinya telah 
berada di tepi jurang yang sangat dalam. 
Melihat Ambar Sari dalam keadaan tegang, Sodra 
semakin terkekeh. Dia tahu kalau wanita itu kini 
dalam keadaan panik, karena kakinya telah berada di 
tepi jurang. 
“He he he...! Mau ke mana kau, Manis? Sebaiknya 
kau katakan di mana kitab sakti itu,” pinta Sodra 
dengan senyum sinis masih menghias di bibirnya. 
Matanya melotot menatap dengan menelengkan 
kepala meledek Ambar Sari yang tampak semakin 
ketakutan. 
“Tidak! Aku tidak tahu...!” seru Ambar Sari sambil 
menggeleng-gelengkan kepala. Rasa tegang dan 
panik, tergambar jelas di wajahnya yang kuning 
langsat dan bersih. Kepalanya sesekali menoleh ke 
belakang. Tampaklah jurang dalam dan terjal mem-
bentang. Lalu kembali menatap wajah Sodra yang 
masih berdiri lima tombak di hadapannya. 
Namun sepertinya Sodra merasa khawatir, kalau 
Ambar Sari akan nekat terjun ke jurang. Kalau hal itu 
terjadi, tak ada lagi kesempatan baginya untuk 
menikmati tubuh bahenol wanita itu. Dan yang jelas 
dia akan kehilangan jejak untuk mencari Kitab Ajian 
Dewa yang disembunyikan Kerto Pati. 
Sementara itu, Purbaya masih terus berusaha 
melepaskan diri dari kejaran kedua orang yang terus 
berusaha menangkapnya. Anak itu semakin ber-
tambah jauh dari Ambar Sari, sang Ibu yang bagaikan 
telor di ujung tanduk. Berdiri membelakangi jurang 
terjal yang dalam. Sementara di hadapannya Sodra, 
bagaikan harimau lapar yang siap menerkam 
mangsa. 
Lombang dan Watu Gunung terus berlari mengejar 
Purbaya yang lari ke selatan, jauh dari Hutan 
Gandracupa. 
“Mau lari ke mana, Bocah Setan!” dengus Watu 
Gunung sambil terus mengejar Purbaya yang terus 
berlari berusaha menyelamatkan diri. Kini ketiganya 
sampai ke Lembah Karangkati. Lembah yang sangat 
angker dan terkenal sebagai lembah maut. Banyak 
tulang-belulang tampak berserakan di sana-sini, 
menambah suasana Lembah Karangkati semakin 
menyeramkan. 
Dengan sekuat tenaga Purbaya terus berlari. 
Dirinya tak peduli dengan pemandangan yang tampak 
di depan mata. Baginya yang penting dapat 
menyelamatkan diri dari pengejaran kedua lelaki 
jahat itu. Bocah kecil itu bagaikan tak merasa takut 
sedikit pun. Hanya sesekali kakinya tampak ber-
jingkat, setiap kakinya menendang atau menginjak 
tulang-belulang yang berserakan. Kemudian dengan 
telapak tangan, Purbaya menutup hidungnya dari bau 
busuk yang menyengat sambil terus menelusuri 
Lembah Karangkati. 
“Heh?! Bocah itu lari ke Lembah Karangkati!” 
pekik Lombang dengan mata membelalak. 
“Bocah setan! Berani sekali dia lari ke lembah itu. 
Huh, mampuslah kau di situ, Bocah!” dengus Watu 
Gunung dengan mata tak kalah membelalaknya. 
Dirinya tahu kalau lembah itu merupakan tempat 
yang angker. Lembah yang dihuni entah makhuk 
seperti apa. Yang jelas selama ini belum ada orang 
yang bisa selamat di lembah itu. 
“Apakah tidak kita kejar saja bocah itu, Kakang?” 
tanya Lombang bimbang. Matanya tak lepas 
mengawasi Lembah Karangkati yang terbentang di 
bawahnya. Sedangkan si bocah kecil Purbaya terus 
berlari ke tengah-tengah lembah. 
“Huh, mau mencari mampus! Biarkan saja bocah 
setan itu mampus di sana! Ayo kita temui Sodra!” ajak 
Watu Gunung sambil melangkah meninggalkan Bukit 
Katesan yang memisahkan Hutan Gandracupa 
dengan Lembah Karangkati di bawahnya! 
*** 
“He he he...! Anakmu sudah mati, Ambar Sari. 
Menyerahlah! Lebih baik kau mau jadi istri ketua 
kami. Ketua kami tentu akan merasa senang jika kau 
menjadi istrinya,” ujar Sodra berusaha membujuk 
Ambar Sari. Maksudnya agar wanita itu tak nekat 
bunuh diri terjun ke jurang. 
“Tidak! Tidak mungkin...! Oh, Purbayaaa..., hu hu 
hu...! Kalian jahat! Kalian bajingan! Bunuh aku 
sekalian! Bunuuuh...!” Ambar Sari berteriak sejadi-
jadinya, setelah mendengar anaknya mati. Seketika 
tubuhnya lemas. Gairah untuk hidup kini hilang. 
Baginya tak ada lagi artinya hidup, kalau sudah tak 
punya siapa-siapa lagi. Tak punya suami. Tak punya 
anak yang sangat dicintai dan menjadi tumpuan 
hidup setelah sang Suami tewas terbunuh. 
Ambar Sari merasakan dunia tiba-tiba berubah 
gelap. Tanah yang dipijaknya serasa bergoyang cepat. 
Tubuhnya limbung. Namun, sebelum tubuhnya jatuh, 
dengan cepat Sodra melompat menangkapnya. Maka 
Ambar Sari pun jatuh pingsan dalam pelukan lelaki 
berpakaian merah itu. 
“Bagaimana anak itu?” tanya Sodra. 
“Dia lari ke Lembah Karangkati,” sahut Watu 
Gunung. 
“Hm... Mencari mati,” gumam Sodra.  
“Apakah tidak kita buktikan lagi?” tanya Lombang. 
“Untuk apa? Kita tak perlu bocah itu. Yang kita 
perlukan Kitab Ajian Dewa. Dan yang tahu hanya 
Ambar Sari. Lagi pula, Wanara pasti akan senang jika 
kita beri Ambar Sari sebagai istrinya,” tutur Sodra 
sambil tersenyum. Matanya memperhatikan seluruh 
lekuk tubuh wanita cantik itu dengan penuh nafsu. 
Apalagi ketika menatap bibir ranum milik Ambar Sari. 
Jantungnya terasa berdebar keras. Hasrat kelelakian-
nya bergejolak hebat bagaikan air mendidih. 
“Sebelum diserahkan pada Wanara, sebaiknya kita 
dulu yang mencicipinya, Sodra!” usul Watu Gunung 
sambil meleletkan lidahnya. Dirinya pun merasakan 
gejolak birahi yang menggelegar di dalam liwanya. 
“Benar! Lebih baik kita dulu yang mencicipinya!” 
sambung Lombang. 
Ketiganya tertawa terkekeh-kekeh. Kemudian 
mereka pun menggarap tubuh Ambar Sari di tempat 
yanga sepi dan tidak memungkinkan untuk dilalui 
orang. Mereka bergantian melakukannya dengan 
kepuasan. 
Ambar Sari yang diperkosa ketiga lelaki itu, hanya 
dapat mengeluh dan merintih kesakitan. Sampai 
akhirnya, tubuhnya kembali terkulai pingsan. 
Setelah puas memperkosa tubuh Ambar Sari 
dengan gelak tawa Sodra, Watu Gunung, dan 
Lombang segera menggebah kuda meninggalkan 
Pegunungan Sasakan. Mereka membawa Ambar Sari 
untuk diserahkan kepada Wanara. 
Sementara itu, Purbaya yang berada di Lembah 
Karangkati nampak kebingungan. Dari empat penjuru 
angin, muncul kabut hitam yang pekat. Kemunculan 
kabut-kabut hitam itu diikuti hembusan angin 
kencang dan dingin serta suara-suara yang sangat 
aneh. Hal itu membuat bocah itu ketakutan. Matanya 
terbelalak menatap ke sekelilingnya yang kini 
semakin menyeramkan. 
“Oh, apa yang akan terjadi di sini? Semuanya 
gelap. O, Jalan yang tadi kulalui, kini tertutup kabut. 
O, ibu, apa yang terjadi padamu?” keluh Purbaya 
kebingungan. Matanya semakin membeliak tegang, 
menatap kabut hitam yang seperti mengepung 
tubuhnya. 
“Hua ha ha...! Nyem nyem nyem...!” dari dalam 
kabut-kabut hitam itu, keluar suara tawa keras 
menggelegar. Suara tawa yang membuat bulu kuduk 
Purbaya meremang berdiri. Tengkuknya terasa dingin, 
kaku karena takut. 
Mata Purbaya terus mengawasi dengan rasa takut 
ke sekitarnya tampak sunyi mencekam. Hanya kabut 
hitam saja yang terus mendekat dan mengepung 
dirinya. Seakan kabut-kabut hitam yang tadi 
mengeluarkan suara itu, hendak mencengkeram 
tubuhnya yang kecil. 
“Makhluk yang ada di dalam kabut, kalau kau mau 
memangsaku, mangsalah! Mangsalah aku...!” tantang 
Purbaya. Dirinya nekat memberanikan diri karena 
merasa telah terjepit. Matanya yang semula nampak 
redup dan tegang, kini menatap beringas. “Aku sudah 
tak punya ayah dan ibu. Kalau kau mau, mangsalah 
aku! Ayo..., makanlah tubuhku!” 
“Hua ha ha...! Nyem nyem nyem...!” kembali suara 
menyeramkan itu terdengar bergema. Seolah-olah 
berasal dari semua arah. Namun Purbaya seperti tak 
merasa takut sedikit pun. Bocah kecil itu menatap 
tajam ke sekelilingnya. Kabut hitam itu terus 
mengepung dirinya. 
“Hoi...! Makhluk yang ada di dalam kabut, keluar-
lah! Makanlah aku, kalau kau ingin memangsaku! 
Ayo...!” tantang Purbaya dengan lantang. Matanya 
terus menatap tajam ke sekeliling. Kabut hitam itu 
tampak semakin tebal dan berarak-arak bergerak 
mengepung tubuh bocah itu. 
“Hua ha ha...! Kau berani menginjakkan kaki di 
lembah ini, Bocah! Maka kau memang akan menjadi 
mangsaku!” suara bergema yang berasal dari balik 
kabut-kabut hitam kembali terdengar. 
“Mangsalah! Aku tak takut...!” tantang Purbaya 
dengan berani. Matanya kini mengawasi kabut hitam 
yang datangnya dari arah selatan. Hatinya yakin, 
suara itu berasal dari selatan. 
“Bocah bandel! Kau benar-benar minta mati...!” 
dengus suara berat bergema menyeramkan itu. 
“Ya! Kalau kau memang mau memangsaku, 
mangsalah! Aku kini hanya sebatang kara. Ayah dan 
ibuku mati dibunuh orang-orang jahat! Untuk apa lagi 
aku hidup...?! Tak ada gunanya aku hidup!” seru 
Purbaya dengan lantang. 
“Hm...! Nyem nyem nyem...!” kabut-kabut itu ber-
gerak semakin mendekat. Dari dalam kabut hitam 
yang kini mengapung mendadak muncul sebuah 
tangan hitam legam dan besar. Tangan itu menjulur 
keluar hendak menangkap tubuh bocah itu. Namun 
Purbaya tampak tetap tenang. Tak ada rasa gentar 
menghadapi ancaman maut itu. 
Tangan hitam legam berkuku panjang dan runcing 
itu, semakin dekat dengan tubuh Purbaya. Hampir 
saja, tangan-tangan hitam besar berkuku tajam 
menyeramkan itu mencengkeram dan mungkin akan 
mencabik-cabik tubuh Purbaya. Namun tiba-tiba 
sebuah bayangan putih berkelebat menerobos kabut 
hitam sambil melontarkan pukulan beruntun ke arah 
kedua tangan hitam legam yang keluar dari kabut itu. 
Wrt! 
Glar! Glarrr...!  
Wrt! 
Suara ledakan menggelegar terdengar, ketika 
sosok bayangan putih itu berkelebat sambil meng-
hantamkan serangan cepat. Seketika itu pula 
bayangan putih yang ternyata seorang lelaki bertubuh 
bungkuk dan berjubah putih menyambar tubuh 
Purbaya. Secepat kilat lelaki itu melesat ke barat 
meninggalkan Lembah Karangkati. 
*** 
Sudra, Watu Gunung, dan Lombang telah sampai 
di Hutan Selapetir, tempat kediaman pimpinan 
mereka. Di hutan itu Wanara tengah menunggu hasil 
pekerjaan anak buahnya mencari Kitab Ajian Dewa. 
Dari luar terdengar suara derap langkah kaki kuda 
menuju markas tempat Wanara menunggu ketiga 
anak buahnya. Dengan cepat Wanara melangkah 
keluar, untuk menemui ketiga anak buahnya. 
“Siapa yang kalian bawa?!” tanya Wanara. 
Wanara ternyata manusia bermuka kera. Tubuh-
nya yang besar mengenakan jubah hitam. Matanya 
tampak berwama merah, dengan hidung agak pesek. 
“Istri Kerto Pati!” sahut Watu Gulung. 
“Benar, Ketua. Kami membawanya, dengan 
harapan ketua sudi menerimanya,” sambung Sodra. 
“Bodoh! Tolol...! Yang kubutuhkan bukan wanita, 
tetapi Kitab Ajian Dewa!” bentak Wanara sengit 
dengan mata membara merah. Mulutnya yang 
menyeringai, menunjukkan gigi-giginya yang kuning-
kekuningan. Di kanan dan kiri mulutnya tampak 
sepasang taring. 
Ketiga anak buahnya terdiam. Tak seorang pun 
yang berani menjawab bentakan Wanara. Bahkan 
beradu pandang pun mereka tak berani. Ketiganya 
menundukkan kepala, seperti ketakutan. 
Wanara memperhatikan wanita cantik di punggung 
kuda yang ditunggangi Watu Gunung. Matanya 
bersinar-sinar, ketika melihat bagian pakaian Ambar 
Sari tersingkap. Kejantanannya seketika menyeruak. 
Napasnya mendengus, bergolak penuh nafsu. 
“Bawa dia ke kamar!” perintahnya. Ketiga anak 
buah Wanara segera melompat. Watu Gunung meng-
angkat tubuh Ambar Sari melangkah masuk ke kamar 
tempat tidur Wanara. Tak lama kemudian, Watu 
Gunung telah kembali keluar. 
“Sudah, Ketua,” ujar Watu Gunung. 
“Bagaimana hasil kalian?!” tanya Wanara. 
“Tak berhasil, Ketua. Wanita itu lebih baik memilih 
mati, daripada mengatakan tempat penyimpanan 
kitab tersebut. Itu sebabnya kami membawanya 
kemari. Bukankah jika Ketua yang menangani siapa 
tahu dia akan membuka mulut?” ujar Lombang 
sambil tersenyum-senyum. 
“Diam! Bodoh...! Menghadapi seorang wanita saja 
kalian tak becus!” maki Wanara. “Lalu bagaimana 
anaknya?” 
“Mungkin mati, Ketua,” jawab Sodra dengan 
kepala masih menunduk. 
“Hm, dari mana kalian tahu?!” 
“Bocah itu lari ke Lembah Karangkati, Ketua,” 
sahut Sodra. 
Wanara mengangguk-anggukkan kepala. Kemudi-
an dengan mengegoskan kepala, Wanara memerin-
tahkan pada ketiga anak buahnya untuk me-
ninggalkan tempat itu. Setelah ketiga anak buahnya 
berlalu, Wanara segera masuk ke kamar di mana 
tubuh Ambar Sari dibaringkan. 
Setelah menutup pintu kamar Wanara menatap 
tubuh Ambar Sari. Lelaki berwajah mirip kera itu 
tampaknya terpukau kecantikan Ambar Sari. Mulut 
Wanara menyeringai. Matanya semakin bersinar-sinar 
penuh nafsu melihat paha Ambar Sari yang 
tersingkap. Paha mulus itu sangat menggairahkan 
dan menantangnya. 
“Hm, benar-benar menggiurkan!” gumam Wanara 
sambil melangkah mendekati tempat tidur di mana 
tubuh Ambar Sari masih terbaring diam. Dipandangi 
sekujur tubuh Ambar Sari, kemudian dengan buas 
tangannya yang berkuku panjang merenggut pakaian 
Ambar Sari. 
Bret! 
“Auh!” Ambar Sari tersentak kaget. Matanya mem-
belalak, melihat manusia bermuka kera dengan mata 
penuh nafsu menatap tubuhnya. Wanita itu menyurut 
mundur ketakutan.  
“Tiga orang anak buah manusia bermuka kera itu 
telah memperkosaku. Kini manusia bermuka kera ini 
pun hendak memperkosaku,” pikir Ambar Sari sambil 
menyurut mundur ketakutan. 
“He he he...! Tak kuduga, kalau tubuhmu sangat 
menggiurkan, Manis...,” ujar Wanara sambil mem-
buka pakaiannya sendiri, yang menjadikan Ambar 
Sari semakin ketakutan. 
“Jangan! Tidaaak...!” teriak Ambar Sari sambil 
terus menyurut mundur. 
“He he he...! Suamimu sudah mati. Sebaiknya kau 
menjadi istriku!” ujar Wanara sambil melangkah, 
mendekati Ambar Sari yang semakin ketakutan. 
“Tidak! Jangaaan...!” pekik Ambar Sari berusaha 
menolak, ketika Wanara dengan buas menubruknya. 
Namun karena Ambar Sari lemas, Wanara dengan 
mudah dapat menubruknya. Kemudian dengan buas 
lelaki berwajah kera itu menggeluti tubuhnya dengan 
diselingi bisikan merayu. 
“Cah Ayu, kalau kau mau menjadi istriku. Kau akan 
enak. Katakanlah, di mana Kerto Pati menyimpan 
Kitab Ajian Dewa itu,” bisik Wanara sambil terus 
menggeluti tubuh Ambar Sari yang terus berusaha 
berontak dan meronta. 
“Tidak! Lepaskan...! Aku tak tahu! Aku tak mau...!” 
teriak Ambar Sari sambil terus berusaha melepaskan 
diri dari dekapan Wanara. Namun karena tubuhnya 
lemas dan kehabisan tenaga tak mampu melawan. 
“He he he...! Baiklah, Cah Ayu. Mungkin kali ini kau 
tak mau mengatakan di mana kitab itu berada. Tapi 
suatu saat, kau harus mengatakannya,” kata Wanara 
semakin buas menggeluti tubuh Ambar Sari yang 
telah telanjang. 
Ambar Sari masih berusaha memberontak, tetapi 
tetap tak mampu. Akhirnya Ambar Sari hanya bisa 
merintih dan menangis, menyesali nasibnya yang 
malang. Suami mati, anak entah bagaimana nasib-
nya. Dirinya pun harus menjadi budak pemuas nafsu 
manusia-manusia keji itu. 
Ambar Sari masih menangis, ketika Wanara 
dengan tertawa senang berlalu meninggalkan kamar 
dan menutup pintunya setelah terlebih dahulu 
berkata kalau sejak saat itu Ambar Sari dijadikan 
istrinya. 
Ingin Ambar Sari berontak, tetapi tak kuasa. Dia 
hanya seorang wanita yang lemah, yang tak dapat 
berbuat apa-apa untuk melepaskan cengkeraman 
tangan para penjahat itu. 
*** 
Waktu berjalan terus. Musim demi musim terlewati. 
Dua puluh tahun telah berlalu sejak terbunuhnya 
Kerto Pati. Sampai saat ini Wanara dan ketiga 
rekannya masih terus berusaha mencari Kitab Ajian 
Dewa yang belum juga dapat ditemukan. Bahkan kini 
mereka telah membentuk sebuah perkumpulan besar 
dengan nama Partai Kera Hitam, yang diketuai 
Wanara. 
Partai Kera Hitam tidak hanya berusaha mencari 
Kitab Ajian Dewa semata. Kumpulan itu pun me-
lakukan aksi yang biadab dan keji. Merampok, 
menculik para gadis, membunuh dan macam-macam 
tindakan sesat. Tak tanggung-tanggung, hampir 
seluruh wilayah Desa Kranggan dan sekitarnya di-
kuasai Partai Kera Hitam. Nama gerombolan itu, 
menjadi momok yang menyeramkan bagi warga Desa 
Kranggan dan sekitarnya. 
Di Hutan Selapetir, tempat markas Partai Kera 
Hitam berada, saat itu Wanara tengah duduk di atas 
singgasana, didampingi gadis-gadis cantik. Di 
hadapannya, duduk bersila para anak buahnya. 
Mereka duduk berderet. Di depan, tiga orang lelaki 
bermuka garang dengan pakaian merah, biru, dan 
loreng harimau. Mereka tiada lain Sodra, Lombang, 
dan Watu Gunung. 
Ketiga lelaki beringas itu, kini bukan lagi orang dua 
puluh tahun silam. Ilmu mereka telah banyak 
mengalami perkembangan. Sejalan dengan per-
tambahan usia, ilmu mereka semakin tinggi dan 
sempurna. Ketiganya menjadi tangan kanan Wanara 
sejak lebih dari dua puluh tahun Silam. Hal itu juga 
dialami Wanara. Manusia berwajah mirip kera itu 
dalam usianya yang telah mencapai enam puluh lima 
tahu merupakan tokoh tua yang sakti. Ilmu kedig-
dayaannya sulit dicari tandingan. Tak mengherankan 
kalau kedudukannya sebagai Pimpinan Partai Kera 
Hitam semakin kuat. 
Sore itu, nampaknya mereka tengah mengadakan 
pertemuan membahas masalah lama, mengenai 
Kitab Ajian Dewa yang sampai saat ini belum juga 
diketemukan. Ambar Sari yang telah menjadi istri 
resmi bahkan sebagai permaisuri Wanara, masih 
tetap bungkam. Dia selalu menolak jika ditanya 
tentang kitab tersebut. 
“Sodra, Lombang, dan kau, Watu Gunung. 
Sebarkan pengumuman ke segenap penjuru wilayah 
Kadipaten Banureja. Siapa yang tahu rumah Rupaksi, 
harus melapor ke sini! Juga kuperingatkan pada 
kalian semua, cari orang yang bernama Rupaksi...!” 
“Untuk apa, Ketua...?” tanya Sodra dengan kening 
mengerut. 
“Bodoh! Kudengar, dialah yang dititipi Kerto Pati, 
Kitab Ajian Dewa,” sentak Wanara dengan suara 
keras. Sodra seketika menundukkan kepala. “Bawa 
beberapa orang anak buah! Sementara kau, 
Lombang. Tanyakan pada Ki Lurah Janur Biru, apakah 
dia sudah bosan hidup! Kalau dia masih ingin hidup, 
perintahkan agar segera membayar upeti dari 
pertanian!” 
“Baik, Ketua. Akan saya laksanakan,” sahut 
Lombang sambil menganggukkan kepala. 
“Bawa sepuluh orang untuk mengobrak-abrik Desa 
Kecipir, jika Ki Lurah Janur Biru masih saja 
membandel!” perintah Wanara dengan tegas. 
“Akan saya laksanakan dengan baik,” jawab 
Lombang. 
“Bagus...! Watu Gunung, kau kuperintahkan untuk 
mengundang tokoh-tokoh hitam rimba persilatan. 
Sekaligus menyebar udangan dan pemberitahuan 
mengenai Kitab Ajian Dewa. Tulis dalam 
pengumuman itu, kalau kitab tersebut milik kita!” 
“Baik, Ketua! Akan segera saya laksanakan,” 
jawab Watu Gunung. Tubuh lelaki berkepala botak itu 
tampak semakin gempal. Kumis dan jenggot tebal, 
membuat tampangnya semakin seram dan garang. 
“Yang lainnya, kuperintahkan tetap bekerja seperti 
biasa! Kumpulkan harta sebanyak mungkin, untuk 
mendirikan sebuah partai besar! Selama Wanara 
masih menjadi pimpinan kalian, Partai Kera Hitam tak 
akan dapat tertandingi perguruan maupun partai 
lainnya. Tundukkan semua perguruan dan partai yang 
ada di wilayah Kadipaten Banureja!”  
“Hidup Ketua...!”  
“Hidup Kera Hitam...!”  
“Hidup Ketua Wanara...!” 
Anak buah Partai Kera Hitam yang berjumlah 
puluhan, seketika berteriak-teriak menyerukan 
sanjungan. Hal itu membuat Wanara semakin tertawa 
bangga. Dipeluknya gadis-gadis cantik di samping 
kanan dan kirinya. Gadis-gadis itu menurut, seperti-
nya malah senang diciumi lelaki bermuka kera itu. 
Mereka semua merupakan gadis-gadis culikan. 
Sebenarnya mereka benci pada Wanara dan anak 
buahnya. Namun mereka tak mampu berbuat banyak, 
karena lemah. Jangankan mereka yang hanya wanita, 
orang lelaki saja banyak yang menjadi korban 
keganasan Wanara dan anak buahnya. Itu sebabnya 
gadis-gadis itu hanya pasrah, membiarkan tubuh 
mereka menjadi pemuas nafsu Wanara. Hanya ada 
satu harapan bagi mereka, yang penting tidak 
disingkirkan atau dengan kata lain dibunuh. 
Dari luar, seorang gadis muda berusia sekitar dua 
puluh tahun melangkah masuk. Gadis berambut 
panjang diikat ekor kuda yang di punggungnya 
tersandang golok, melangkah dengan mantap. 
Matanya yang tajam menatap tajam para anak buah 
Partai Kera Hitam. Mendadak mereka semua terdiam. 
Seluruh anak buah Partai Kera Hitam tak ada yang 
berani untuk beradu pandang dengan gadis itu. 
“Ada apa, Seruni?” tanya Wanara pada gadis 
berpakaian merah jingga yang melangkah mantap 
sambil menatap tajam ke sekeliling ruangan itu. 
“Ayah, ada dua orang lelaki yang mau menghadang 
Ayah,” ujar Seruni, “Mereka katanya ingin bergabung 
dengan partai kita.” 
“Hm, begitu. Di mana mereka?” tanya Wanara. 
“Mereka ada di luar.” 
“Suruh mereka masuk.” 
“Baik, Ayah.” 
Gadis cantik serta muda belia namun ilmu 
goloknya yang tinggi itu menjura hormat, yang dibalas 
dengan anggukan kepala serta senyum di bibir 
Wanara. Kemudian Seruni melangkah keluar, untuk 
menemui kedua tamunya. 
Di pintu gerbang Partai Kera Hitam, nampak dua 
orang berusia sekitar tiga puluh tahun berdiri dengan 
sabar menunggu. Satu lagi seorang lelaki bermuka 
bulat dengan badan agak pendek dan gemuk. 
Satunya lagi berbadan tegap, dengan wajah tampan 
namun sinis. Yang bertubuh gemuk, rambutnya diikat 
ekor kuda. Di punggungnya tersandang caping lebar. 
Dia bernama Sungo Karu. Sementara yang tampan 
namun sinis, yang di punggungnya terdapat sebuah 
tongkat terbuat dari kayu cendana, bernama 
Ketawang 
Seruni nampak kelaur dari bangunan utama 
markas Partai Kera Hitam. Gadis itu langsung 
menemui kedua lelaki muda berusia sekitar tiga 
puluh tahunan yang tersenyum melihat kedatangan-
nya. 
“Bagaimana, Ni?” tanya Sungo Karu. 
“Ayahku menerima kalian. Kalian dipersilakan 
masuk,” jawab Seruni dengan wajah acuh. 
“Terima kasih,” sahut keduanya sambil melangkah 
masuk, setelah kedua penjaga pintu gerbang mem-
buka tombak yang semula disilangkan. Mata kedua-
nya menatap ke sekeliling bangunan utama yang 
nampak megah. Seakan ada sesuatu yang menjadi 
perhatian mereka. 
“Mampukah aku melakukan tugas ini?” tanya 
Ketawang dalam hati. Matanya masih mengawasi 
sekeliling bangunan markas Partai Kera Hitam yang 
dijaga ketat. “Semua penjuru dijaga ketat. Hm, tapi ini 
semua tugas dari guru. Aku harus menyelidiki, apakah 
Nyi Ambar Sari masih hidup.” 
Sambil terus melangkah, Ketawang yang sebenar-
nya murid Resi Rupaksi terus berusaha mempelajari 
tempat itu. Matanya mengawasi dan mencari-cari 
jalan yang digunakan untuk lari kalau saat kepergok. 
Namun tampaknya lingkungan ini tertutup rapat. 
Semua jalan dijaga ketat empat orang prajurit. 
Seperti halnya Ketawang, Sungo Karu pun tengah 
berpikir unguk mencari jalan keluarnya jika 
penyusupan yang mereka lakukan ini terbongkar. 
“Celaka! Semua tempat di sini dijaga ketat. Hm, 
apakah aku dan Ketawang mampu menambus 
benteng Partai Kera Hitam yang kokoh ini? Guru, 
kami mengharap doa darimu, agar kami berhasil 
menunaikan tugas,” gumam Sungo Karu dalam hati. 
Dia merasa kecut juga menyaksikan pertahanan dan 
penjagaan di lingkungan markas Partai Kera Hitam. 
Tak lama kemudian keduanya sampai di pelataran 
markas Partai Kera Hitam. Tiba-tiba dari dalam 
muncul para anak buah Wanara yang bermuka 
berangasan membuat lingkaran besar. Sepertinya 
mereka telah diperintahkan untuk mengurung kedua 
orang tamu itu.  
“Hm, apa-apaan ini, Nisanak?” tanya Ketawang tak 
mengerti, melihat puluhan anak buah Partai Kera 
Hitam telah mengurung mereka. Mata Ketawang 
mengawasi orang-orang berpakaian rompi merah 
yang di tangan mereka telah siap senjata berupa 
golok dan pedang. 
Seruni tersenyum, sepertinya tak peduli dengan 
kekagetan Ketawang dan Sungo Karu. 
“Untuk menjadi anggota Partai Kera Hitam, kalian 
harus mendapatkan ujian dulu,” ujar Seruni tenang. 
Bibirnya yang merah mengurai senyum dingin. “Apa 
kalian siap?” 
Ketawang dan Sungo Karu saling pandang, 
kemudian keduanya beralih menatap wajah Seruni 
yang masih tersenyum dingin. 
“Kalau memang ini caranya kami siap!” sahut 
Ketawang. 
“Bagus!” dari dalam terdengar seruan keras, diikuti 
kemunculan seorang lelaki berusia sekitar enam 
puluh lima yang berwajah mirip kera. Di belakang 
lelaki berjubah hitam yang tak lain Wanara itu 
melangkah. Tiga lelaki yang berusia sebaya dengan 

Pimpinan Partai Kera Hitam itu tak lain, Sodra, Watu 
Gunung, dan Lombang. 
Wanara dan ketiga anak buahnya terbahak-bahak. 
Mereka menatapi dua lelaki muda berpakaian 
kembar hijau lumut panjang sampai lutut yang telah 
dikepung anak buah Partai Kera Hitam. Keempatnya 
kemudian mendekati Ketawang dan Sungo Karu yang 
berusaha tenang. 
“Sebutkan nama kalian!” perintah Wanara. 
“Namaku Ketawang. Orang sering menyebutku si 
Toya Sakti,” sahut Ketawang memperkenalkan diri 
sambil menjura hormat. 
“Tentunya manusia bermuka kera inilah yang ber-
nama Wanara,” gumam Ketawang dalam hati. “Dia 
berilmu tinggi. Menurut guru, ilmu silumannya mampu 
menjelmakan diri menjadi seekor kera raksasa.” 
“Hua ha ha...! Nama yang bagus, dan tentunya 
ilmumu pun tidak mengecewakan,” gumam Wanara 
sambil tertawa terbahak-bahak, hingga tampaklah 
gigi-giginya yang dihiasi sepasang taring tajam. 
“Sekarang namamu, Bogel?!” 
“Namaku, Sungo Karu. Orang biasa menyebutku si 
Caping Maut,” jawab Sungo Karu sambil menjura 
hormat. 
“Hua ha ha...! Seharusnya namamu bukan Sungo 
Karu, tetapi Bulus...!” ejek Wanara sambil tertawa 
terbahak-bahak, diikuti ketiga tangan kanannya. 
“Kurang ajar!” maki Sungo Karu dalam hati. 
“Sayang, guru memesanku harus hati-hati terhadap 
keempat orang ini. Tentunya ketiga orang itu tangan 
kanan Wanara. Yang tinggi itu, tentunya Sodra. Yang 
berkepala botak di tangan, pasti Watu Gunung, dan 
yang bertubuh kekar pasti yang bernama Lombang. 
Hm, mereka bukanlah tokoh sembarangan. Sayang 
Kitab Ajian Dewa tak dapat kami pelajari. Kalau saja 
Kitab Ajian Dewa dapat kami pelajari, sudah 
kuhancurkan partai tekutuk ini!” 
Meski di dalam hati mencaci maki pada keempat 
tokoh tua itu Sungo Karu tak dapat berbuat apa-apa. 
Di samping sedang menyamar, dirinya juga menyadari 
kalau ilmunya belum tentu bisa menandingi keempat 
lelaki kejam dan sadis itu. Itu sebabnya Sungo Karu 
hanya menundukkan kepala, membiarkan Wanara 
dan ketiga tangan kanannya mengejek. 
“Jadi kalian telah siap untuk diuji..?” tanya 
Wanara. 
“Kami siap!” sahut kedua kakak beradik seper-
guruan dengan mantap sambil menganggukkan 
kepala. Kemudian mata mereka mengedarkan 
pandangan memperhatikan puluhan lelaki berwajah 
beringas, yang telah siap menunggu perintah. 
“Bagus..., bagus!” seru Wanara sambil meng-
anggukkan kepala. “Untuk ujian pertama, kalian 
harus mampu menghadapi lawan sebanyak lima 
orang!” 
“Kami siap!” sahut keduanya hampir bersamaan. 
“Bagus!” Wanara segera menggerakkan kepala, 
memerintah pada sepuluh orang anak buahnya untuk 
maju. “Terserah kalian mau memakai cara apa. Kalau 
perlu gunakan senjata kalian.” 
“Terima kasih. Kami coba menggunakan tangan 
kosong,” jawab Ketawang, yang membuat Wanara 
dan ketiga tangan kanannya membelalak. Mereka tak 
menyangka, kalau kedua lelaki muda itu berani 
menghadapi lima anak buah Partai Kera Hitam yang 
terkenal beringas dan kejam hanya dengan meng-
andalkan tangan kosong. 
“Hua ha ha...! Hebat! Apakah kalian telah berpikir 
masak-masak? Ingat, nyawa bagi Partai Kera Hitam 
tak ada artinya sama sekali!” ujar Wanara mencoba 
mengingatkan pada calon anggota barunya. “Jika 
kalian kalah, nyawa sebagai taruhan dalam uji coba 
ini. Untuk itu, pikirkan sekali lagi.” 
“Kami sudah siap dengan tangan kosong,” tegas 
Sungo Karu. 
“Hua ha ha! Baiklah kalau begitu.” 
Setelah memberi isyarat pada kesepuluh anak 
buahnya, Wanara segera mundur bersama ketiga 
tangan kanannya serta anaknya. 
*** 
Sepuluh orang anak buah Partai Kera Hitam telah 
mencabut golok dan pedang mereka. Kini kesepuluh 
orang itu terbagi dua kelompok. Lima orang 
mengepung Ketawang, sedang lima orang lagi 
mengepung Sungo Karu. Namun Ketawang dan 
Sungo Karu tampak masih tenang. Dengan tajam 
mata keduanya mengawasi setiap gerak-gerik kelima 
lawannya.  
“Heaaa!”  
Wrt! 
Kesepuluh anak buah Partai Kera Hitam memulai 
menyerang dengan senjata. Golok dan pedang di 
tangan mereka, membabat dan menusuk tubuh 
lawan. Namun Ketawang dan Sungo Karu dengan 
gesit bergerak mengelit. Tubuh keduanya melesat 
cepat, disusul dengan tendangan dan pukulan 
tangan. 
“Hea!” 
“Yea!” 
Ketawang dan Sungo Karu sengaja tak 
mengeluarkan jurus 'Elang Sakti', karena jurus itu 
tentunya sudah dikenal keempat tokoh utama Partai 
Kera Hitam. Karena mereka pernah bentrok dengan 
paman seperguruan mereka, Kerto Pati. 
Ketawang dan Sungo Kartu kini bergerak meng-
atasi serangan lawan dengan jurus 'Walang Keket'. 
Sebuah jurus ciptaan sang Guru yang dipersiapkan 
untuk keduanya, sebelum ditugaskan menyusup ke 
markas Partai Kera Hitam. 
Tangan dan kaki kedua lelaki berpakaian hijau itu 
bagaikan kaki-kaki dan sayap belalang. Gerakan 
mereka gesit dan lincah. Sebentar melesat 
menyerang dengan cakaran dan hantaman, 
kemudian melejit mengelak. 
Wanara dan ketiga tangan kanannya dibuat kagum 
dengan jurus yang dipakai Ketawang dan Sungo Karu. 
Meski tubuh Sungo Karu seperti kura-kura besar 
gemuk dan pendek, namun dengan jurus 'Walang 
Keket', Sungo Karu ternyata mampu bergerak cepat. 
Tubuhnya melompat ke sana kemari, dengan sesekali 
menendang dan mencakar ke dada lawan-lawannya 
Degkh! 
Crat! 
“Akh...!” jeritan keras terdengar susul-menyusul 
dari kelima anak buah Partai Kera Hitam. Muka 
mereka tergores cakaran tangan Ketawang dan 
Sungo Karu. Sementara lawan yang terhantam 
tendangan kaki terpental ke belakang dengan mulut 
meringis kesakitan. 
Plok! Plok! Plok...! 
Wanara bertepuk tangan, diikuti seluruh anak 
buahnya. Lelaki bermuka kera itu menyeringai 
senang, melihat kehebatan ilmu kedua lelaki muda 
itu. Hanya dalam beberapa gebrakan, keduanya 
mampu menjatuhkan ke lima anak buah Partai Kera 
Hitam. 
“Hebat...! Hebat! Kalian memang bukan orang 
sembarangan. Hm, tapi itu ujian pertama. Ada dua 
ujian yang akan kalian hadapi. Bagaimana, apa kalian 
telah siap dengan ujian terakhir?” tanya Wanara 
seraya tersenyum menatap kedua tamunya itu. 
“Kami siap!” sahut Ketawang yakin. 
“Ayah, biar aku yang menguji mereka!” usul Seruni. 
Matanya menatap tajam wajah kedua lelaki di 
hadapannya. Bibirnya yang merah menyunggingkan 
senyum meremehkan. 
“Nah, dengar! Kalian akan berhadapan dengan 
anakku. Apakah kalian siap...?” tanya Wanara sambil 
tersenyum. 
“Siap!” sahut Sungo Karu. 
“Baik! Seruni...!” seru Wanara seraya meng-
gelengkan kepala memerintahkan putrinya itu. 
“Baik, Ayah.” 
Seruni maju dua tindak, berhadap-hadapan 
dengan kedua lawannya. Ketawang dan Sungo Karu 
masih belum tahu, siapa gadis cantik muda belia di 
hadapannya. Menurut cerita guru mereka, Ambar Sari 
hanya memiliki seorang anak lelaki yang entah hidup 
atau mati. Tetapi kini keduanya berhadapan dengan 
seorang gadis yang menyebut ayah terhadap Wanara. 
Padahal Wanara hanya kawin dengan Ambar Sari. 
Gadis-gadis lain, hanya sebagai pemuas nafsu 
belaka. 
“Kalian telah siap?” tanya Seruni. 
“Ya!” sahut Ketawang. 
“Apa yang kalian inginkan? Tangan kosong, atau 
senjata?” tantang Seruni. 
“Tangan kosong!” jawab Sungo Karu. 
“Baik. Sebagai tamu dan akan menjadi anggota 
baru, kalian boleh menyerang lebih dahulu sekaligus 
berdua!” 
Ketawang dan Sungo Karu tersentak kaget men-
dengar tantangan itu. Mereka tak menduga, kalau 
Seruni akan berani menantang mereka langsung 
berdua. 
“Benar-benar nekat dan sombong gadis ini,” 
gumam Ketawang dalam hati. Matanya menatap 
tajam wajah Seruni, seolah-olah tak percaya kalau 
gadis belia itu akan berlaku gegabah terhadap 
mereka berdua. 
“Kenapa kalian diam? Ayo, lakukanlah!” tantang 
Seruni dengan angkuhnya. Gadis itu seakan meng-
anggap kedua lelaki di hadapannya tak berarti sama 
ekali. Bahkan sikapnya tampak sangat meremehkan 
Ketawang dan Sungo Karu. 
“Baiklah. Jangan menyesal jika tubuhmu yang 
mulus tersentuh tangan kami!” jawab Ketawang 
sambil bergerak maju menyerang Seruni dengan jurus 
'Walang Keket Mencolek Daun'. Tangannya bergerak 
laksana kaki belalang yang menyibak dedaunan, 
menyerang dada gadis cantik itu. 
“Cabul!” maki Seruni seraya berkelit ke samping, 
kemudian dengan cepat gadis itu mengeluarkan jurus 
'Tarian Bius Seribu'. Tubuhnya bergerak gemulai tapi 
cepat. Tangannya meliuk-liuk seperti melakukan 
gerakan tari Bali. Matanya melotot dan bergerak-
gerak dengan lincah. 
Dari jurus-jurus mirip tarian itu, menimbulkan 
rangkaian gerakan yang menantang dan merangsang. 
Hal itu membuat Ketawang dan Sungo Karu tersentak 
kaget. Mata mereka melotot, dengan jakun turun 
naik. 
Melihat kedua lawannya terpengaruh gerakannya, 
Seruni tersenyum. Memang hal itulah yang di-
kehendaki. Karena dengan begitu, dirinya akan 
mudah menjatuhkan kedua lawannya. 
Ketawang tersentak kaget, ketika sebuah 
hentakan keras dilakukan Seruni. Dengan cepat 
Ketawang melompat mundur. Matanya membelalak, 
tak percaya dengan apa yang baru saja dialami. 
Sementara Sungo Karu yang masih terpengaruh 
gerakan tubuh gemulai itu, tak mampu lagi meng-
elakkan tamparan tangan kiri Seruni. Tanpa ampun 
lagi, tangan mulus milik Seruni yiang disaluri tenaga 
dalam menghantam pipi kanan. 
Prat! 
“Akh!” Sungo Karu terpekik. Tubuhnya yang gemuk 
dan bulat seperti kura-kura, terhuyung ke belakang 
dengan mata melotot kaget. Dari sela bibirnya, 
meleleh darah segar. 
“Hi hi hi...!” Seruni tertawa cekikikan. Hatinya puas 
telah dapat mempecundangi salah seorang dari 
kedua lawannya. Gadis itu kini berdiri dengan sikap 
angkuh. Senyum sinis menghias di bibirnya, seakan 
menantang kedua lawan untuk kembali maju. 
“Hati-hati, Sungo! Ternyata jurusnya mengandung 
bius yang akan membuat kita terpengaruh. Kita harus 
membuat pandangan ke tempat lain. Mari kita serang 
lagi! Heaaa...!” Ketawang kembali bergerak dengan 
jurus 'Walang Keket Merentang Sayap'. Kedua 
tangannya direntangkan, kemudian secara bergantian 
menyerang tubuh Seruni dengan cepat dan beruntun. 
Sungo Karu yang sudah terkena tamparan Seruni, 
tak mau tinggal diam. Dengan jurus 'Walang Keket 
Menggigit Daun' dirinya bergerak menyerang. Kedua 
tangannya bagaikan mulut seekor belalang yang 
hendak menggigit daun. 
Mendapat serangan beruntun dari kedua lawan, 
Seruni kembali melakukan gerakan jurus 'Tarian Bius 
Seribu'. Tubuhnya meliuk-liuk seperti menari. Namun 
Ketawang dan Sungo Karu yang sudah tahu 
kehebatan jurus itu, tak mau menatap tubuh Seruni. 
Sambil membuang pandangan ke tempat lain, 
keduanya terus menyerang. 
Seruni tersentak kaget karena tak menyangka, 
kalau lawan telah tahu kelemahan jurusnya. Dengan 
cepat Seruni melentingkan tubuh ke atas. Setelah 
bersalto beberapa kali akhirnya mendarat dengan 
ringan di tanah. 
“Cukup!” seru Wanara, “Kalian telah lulus! Kini 
kalian resmi menjadi anggota Partai Kera Hitam.'' 
“Terima kasih,” jawab keduanya sambil menjura 
hormat 
“Sebagaimana biasanya, maka hari ini kita akan 
merayakan penerimaan anggota baru! Mari...!” 
Hari itu, Partai Kera Hitam pun mengadakan pesta 
untuk merayakan masuknya anggota baru. Semua 
anggota Partai Kera Hitam bergembira. 
Hanya seorang wanita berusia sekitar lima puluh 
tahun yang tampak termenung seorang diri. Wanita 
tengah baya yang masih menampakkan kecantikan-
nya itu, tiada lain Ambar Sari. 
Dari kedua mata wanita setengah baya itu, 
mengalir mata. Hatinya sedih jika melihat anaknya, 
Seruni yang adat dan kesombongannya menyerupai 
sang ayah, Wanara. Ingatannya kembali melayang 
pada anak lelakinya, Purbaya. Yang entah hidup atau 
mati. 
*** 
Goa Kalong yang terletak di Pegunungan Kapur pagi 
itu terasa dingin. Namun seorang pemuda berambut 
putih keperakan nampak masih menggelantung di 
dinding goa dengan kaki di atas, tak ubahnya seperti 
seekor kelelawar. Tubuh pemuda itu sangat kekar. 
Wajahnya tampan dan bersih. Dari tubuhnya yang 
menggelantung dengan tangan bersidekap, menetes 
air bening turun lewat kaki ke rambutnya yang putih 
perak. 
Ketika itu dari dalam goa, muncul seorang lelaki 
tua berusia sekitar tujuh puluh lima tahun. Lelaki 
berjubah seperti pakaian resi warna putih sesaat 
berdiri memperhatikan pemuda yang menggelantung 
di atasnya. Lelaki tua berambut putih itu, tak lain Resi 
Turangga Weni. Salah seorang resi sakti yang puluhan 
tahun silam namanya sejajar dengan Pendekar Gila 
dari Goa Setan, guru dari Sena. 
“Purbaya, sudah cukup kau melakukan semadi. 
Empat puluh hari lamanya kau melakukan hal seperti 
itu. Sekarang bangunlah, Anakku!” perintah Resi 
Turangga Weni. 
Perlahan-lahan mata pemuda berambut keperakan 
yang dipanggil Purbaya membuka, kemudian me-
mandang Resi Turangga Weni. 
Resi Turangga Weni tersenyum. 
“Turunlah, Cucuku! Hari ini, semuanya telah 
selesai. Dua puluh tahun sudah kau berada di Goa 
Kalong ini.” 
“Eyang menyuruhku?” tanya Purbaya. 
“Benar. Turunlah!” 
Purbaya berjumpalitan sesaat di udara, kemudian 
dengan ringan mendarat di depan gurunya sambil 
melakukan sembah. Hal itu membuat Resi Turangga 
Weni tersenyum semakin senang melihat tingkah laku 
muridnya yang sopan. 
“Ada gerangan apa Eyang Guru membangunkan 
semadiku?” tanya Purbaya setelah melakukan 
sembah. 
Resi Turangga Weni memegang pundak Purbaya 
yang bertelanjang dada. Di bibirnya masih mengurai 
senyum kekagumam pada sang Murid. Dielus-elusnya 
pundak Purbaya yang masih berlutut di hadapan sang 
guru. Ada gambaran rasa cinta kasih di wajah lelaki 
tua itu. 
“Cucuku, dua puluh tahun sudah kau berada di 
Goa Kalong. Semua ilmu yang kuajarkan, telah kau 
serap semua. Bahkan ajian 'Rambut Api' yang selama 
ini belum pernah kuperdalami. Tetapi syukurlah, 
akhirnya kau yang berjodoh dengan ajian itu!” tutur 
Resi Turangga Weni sambil terus membelai-belai 
pundak Purbaya. Wajahnya ditengadahkan, me-
mandang ke langit-langit goa yang meneteskan air 
bening dan menebarkan hawa dingin. “Kini saatnya 
bagimu turun gunung, mengamalkan semua yang 
telah kau peroleh di sini!” ujarnya dengan suara 
pelan. 
“Tapi, Eyang...?” Purbaya hendak menolak apa 
yang disarankan eyang gurunya. Sepertinya pemuda 
itu tidak ingin berpisah dengan Resi Turangga Weni, 
juga Goa Kalong yang telah dua puluh tahun menjadi 
tempat tinggalnya. 
Resi Turangga Weni tersenyum sambil meng-
geleng-gelengkan kepala. Tangannya masih 
membelai-belai rambut pemuda tampan yang ber-
warna putih keperakan itu. 
“Kau tidak bisa begitu, Cucuku. Ada pertemuan, 
tentu ada perpisahan. Ada kehidupan, pasti ada 
kematian. Cepat atau lambat, usia manusia akan 
terus bertambah. Jangan sia-siakan usiamu! 
Gunakanlah kesempatan hidup yang hanya sebentar 
ini. Untuk mengabdi pada kebenaran dan keadilan,” 
tutur Resi Turangga Weni menasihatkan.  
“Saya mengerti, Eyang.”  
“Syukurlah kalau begitu!” ujar Resi Turangg Weni 
dengan mengangguk-anggukkan kepala, “Sekarang 
mandilah dulu di telaga. Aku telah mempersiapkan 
pakaian untukmu.”  
“Baik, Eyang.” 
Purbaya pun segera melangkah keluar dari Goa 
Kalong untuk mandi di telaga yang tak jauh dari goa 
itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Purbaya yang 
sudah empat puluh hari tak mandi, langsung 
menceburkan diri ke telaga. Dia mandi sepuas-
puasnya. 
Dari dalam goa, Resi Turangga Weni keluar mem-
bawa setumpuk pakaian warna putih dengan ikat 
pinggang merah menyala. 
“Ini pakaianmu, Purbaya. Setelah mandi, pakailah! 
Kemudian temui aku di dalam!” perintah Resi 
Turangga Weni. Ditaruhnya pakaian itu di tepi telaga 
kemudian lelaki itu kembali melangkah meninggalkan 
telaga, menuju goa. 
Resi Turangga Weni duduk di atas sebuah batu 
besar dan rata dalam Goa Kalong itu. Tidak lama 
kemudian, dari luar muncul Purbaya yang telah 
mengenakan jubah putih terbuat dari serat benang 
sutera. Ikat pinggangnya yang merah menyala, 
semakin menambah kegagahan pemuda tampan itu. 
“Duduklah!” 
“Terima kasih, Eyang.” Purbaya pun segera duduk 
bersila di hadapan Resi Turangga Weni. Rambutnya 
yang putih keperakan dibiarkan terurai panjang. 
Udara di dalam Goa Kalong seketika terasa segar. 
Ada sesuatu yang keluar dari rambut keperakan 
pemuda tampan itu. Sehingga membuat suasana di 
dalam Goa Kalong terasa segar, seakan dari rambut 
Purbaya, menghembuskan hawa hangat yang mampu 
menekan hawa dingin. 
“Purbaya, Cucuku. Kurasa tak banyak yang akan 
kusampaikan padamu, sebagai bekal perjalananmu. 
Hanya satu pesanku. Janganlah dirimu menjadi 
sombong dan takabur. Kesombongan dan 
ketakaburan akan membuat kita celaka. Menurut 
kabar yang kudengar, ibumu masih hidup. Tapi entah 
di mana...,” tutur Resi Turangga Weni. 
Mendengar ucapan sang Guru, Purbaya seketika 
tersentak kaget. Matanya terbelalak seakan-akan tak 
percaya pada apa yang baru didengarnya. “Ibu masih 
hidup?” 
“Benar, Anakku. Itu yang pernah kudengar.” 
“O, syukurlah! Ingin sekali aku bertemu dengan-
nya. Apakah mungkin ibu juga tahu kalau aku masih 
hidup, Eyang?” tanya Purbaya ingin tahu. 
“Entahlah, Cucuku. Tapi kau memiliki kalung ini. 
Tentunya jika ibumu melihat, dia akan ingat. Kini, 
berangkatlah! Tegakkan kebenaran dan keadilan. Tak 
ada yang dapat Eyang berikan padamu untuk bekal. 
Hanya doa Eyang yang akan menyertaimu...,” tutur 
Resi Turangga Weni. 
''Terima kasih, Eyang. Aku mohon pamit!” pinta 
Purbaya sambil melakukan sembah. Sedangkan Resi 
Turangga Weni dengan penuh kasih membelai 
rambutnya. 
“Hati-hatilah, Cucuku!” 
Dengan menahan perasaan sedih Purbaya 
melangkah meninggalkan Resi Turangga Weni dan 
Goa Kalong. Dalam hatinya berjanji, akan menegak-
kan kebenaran dan keadilan di muka bumi ini. 
Namun, kini tujuan utama akan mencari sang Ibu 
yang menurut berita masih hidup. 
“Di manakah ibu?” gumam Purbaya, sambil terus 
melangkah keluar dari dalam goa. Sesaat pemuda itu 
berdiri mematung di depan mulut goa, menatap ke 
langit yang biru dan bening. Kemudian setelah 
menoleh ke belakang memandang Goa Kalong. 
Purbaya kembali meneruskan langkah menuruni 
Pegunungan Kapur. 
Dengan langkah mantap dan pasti, pemuda 
berambut panjang putih keperakan itu terus 
melangkah menelusuri lereng Pegunungan Kapur. 
Dirinya tak tahu harus ke mana, hanya mengikuti ke 
mana kaki melangkah. Rasa rindu ingin bertemu 
ibunya, membuat langkah Purbaya semakin mantap. 
Dengan berlari-lari kecil, pemuda itu terus menuruni 
lereng Pegunungan Kapur yang tampak putih dan 
kering tertimpa terik matahari. 
Pegunungan Kapur memang tandus. Di sana sini 
yang tampak hanya bebatuan kapur dan granit. 
Hanya di sekitar Goa Kalong tumbuh pepohonan yang 
tak begitu rimbun, karena tanah di situ memang agak 
subur. Maka jika dilihat dari kejauhan, Pegunungan 
Kapur hanya sebagian puncaknya yang ditumbuhi 
pepohonan rimbun, sedangkan lainnya hanya 
bebatuan kapur dan gramit. 
Sesampainya di bawah lereng Pegunungan Kapur, 
Purbaya sesaat berhenti. Dirinya nampak bingung 
harus melangkah ke mana, karena belum pernah 
tahu di mana Desa Kranggan, tempat kelahirannya. 
Desa yang akan senantiasa diingat. Di mana dirinya 
dan kedua orangtuanya tinggal, hidup aman sejahtera 
dan berbahagia sampai akhirnya para penjahat itu 
datang mengacau dan membunuh ayahnya, Kerto 
Pati. 
Empat orang lelaki, yang salah satunya bermuka 
kera datang ke rumahnya. Mereka mengeroyok 
ayahnya, setelah menanyakan Kitab Ajian Dewa. Sang 
Ayah, akhirnya mati, di tangan keempat lelaki jahat 
itu. 
Ingatan Purbaya kembali melayang. Semua 
kejadian semasa dirinya berusia lima tahun, kembali 
terlintas dalam benaknya. Dari kematian sang Ayah, 
sampai kematian kusir kereta yang bernama 
Trenggana dan entah bagaimana nasib ibunya. 
“Ibu, mungkin kau menyangka aku telah mati. O, 
ingin sekali aku bertemu denganmu, Bu. Kerinduan 
selama dua puluh tahun kupendam, karena aku tak 
tahu harus berbuat apa,” desah Purbaya lirih sambil 
menghela napas dalam-dalam. Ditatapnya sinar 
mentari pagi yang terasa hangat. Kemudian mata 
pemuda tampan berambut putih keperakan itu 
menatap ke sekeliling. 
Di kejauhan tampak desa-desa kecil terhampar di 
bawah. Pepohonan tumbuh subur menutup desa-
desa yang tampak di sebelah utara, barat, dan timur. 
Seketika itu pula pikiran Purbaya kembali teringat 
Desa Kranggan yang dua puluh tahun lalu ditinggal-
kan. Entah seperti apa desa itu kini. 
Setelah menghela napas dalam-dalam, kini 
Purbaya kembali meneruskan langkahnya untuk 
mengembara dan mencari ibunya yang menurut 
Eyang Resi Turangga Weni masih hidup. Sekaligus 
mencari pembunuh sang Ayah yang dianggapnya 
telah membuat kehancuran keluarganya. 
*** 
Siang itu suasana terasa aneh, matahari sangat 
panas, menyengat dan seakan hendak memanggang 
seluruh makhluk bumi. Tampak para peladang mulai 
berteduh di bawah pepohonan di sekitar ladang 
mereka. Terik matahari siang itu, juga dirasakan 
penduduk Desa Kranggan. Mereka mulai menghenti-
kan pekerjaan dan pulang ke rumah masing-masing. 
Berkumpul kembali dengan anak istri mereka, dan 
berlindung dari terik matahari yang begitu panas. 
Di tengah suasana panas itu nampak seorang 
pemuda berambut panjang keperakan tengah 
melangkah dengan tenang. Pemuda berjubah putih 
itu seakan-akan tak merasa kepanasan sedikit pun. 
Tak ada keringat yang keluar dari tubuhnya. Matahari 
yang begitu terik sepertinya tak berarti baginya. 
Pemuda yanga tiada lain Purbaya itu, terus 
melangkah menelusuri jalan tanah yang membelah 
Desa Kranggan untuk mencari kedai. Perutnya yang 
empat puluh hari melakukan tapa, terasa begitu 
lapar. Tadi ketika dia hendak meninggalkan Goa 
Kalong, dirinya lupa untuk mengisi perut. 
Purbaya masih melangkah, tak menghiraukan 
panas terik yang menyengat. Ternyata seluruh tubuh-
nya memang tak merasakan hawa panas sedikit pun. 
Hal itu dikarenakan pengaruh dari rambutnya yang 
seperti mengandung air serta mengeluarkan hawa 
sejuk dan segar. 
Tak jauh dari tempat Purbaya berada, tampak 
sebuah kedai yang ramai pengunjungnya. Semua 
orang yang melihat pemuda itu melangkah bagaikan 
terkesima. Mata mereka kini tertuju pada pemuda 
berambut keperakan tampak segar. Tanpa keringat 
bercucuran, tanpa rasa lelah dan kepanasan. 
Padahal, terik matahari bagaikan hendak 
memanggang. 
Di antara para penduduk Desa Kranggan yang 
tengah berteduh di dalam kedai itu, tampak seorang 
pemuda berambut gondrong memakai rompi kulit 
ular. Pemuda bertingkah laku aneh itu tak lain Sena 
Manggala atau yang lebih dikenal dengan julukan 
Pendekar Gila. Di sampingnya berdiri seorang gadis 
cantik berpakaian hijau daun. Pendekar Gila tampak 
mengerutkan kening sambil cengengesan menatap 
Purbaya. 
Gadis di samping Pendekar Gila yang ternyata Mei 
Lie tampak heran. Orang-orang di kedai itu semakin 
heran, tak terkecuali Pendekar Gila dan Mei Lie ketika 
Purbaya berada semakin dekat dengan mereka. Hal 
itu karena tiba-tiba ada hawa sejuk berhembus dari 
rambut keperakan milik pemuda itu.  
“Aha, kau merasakan sesuatu keanehan, Mei Lie?” 
tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala dengan 
mulut cengengesan sambil menoleh pada wajah Mei 
Lie. 
“Ya, aku merasakan hawa yang sejuk. Kurasa 
pemuda itulah sumbernya. Lihat, Kakang! Rambutnya 
seperti berair,” gumam Mei Lie. 
''Ya ya ya, kurasa memang dialah yang penyebab-
nya. Aha, baru kali ini kulihat orang yang mampu 
mengeluarkan hawa sejuk,” gumam Sena dengan 
tangan tetap menggaruk-garuk kepala. Mulutnya 
cengengesan, dengan mata menatap Purbaya yang 
kini semakin bertambah dekat dengan kedai. 
“Kurasa dia bukan orang sembarangan, Kakang,” 
tukas Mei Lie sambil terus memperhatikan Purbaya 
yang tampak mulai dikerumuni orang-orang desa. 
Pemuda berambut keperakan itu kini berada di depan 
kedai lalu duduk di dipan bambu. 
Melihat orang-orang bertambah banyak 
mengerumuni Purbaya, Pendekar Gila bangkit dari 
duduknya, lalu melangkah mendekati kerumunan itu. 
“Aha, bubarlah semua...! Bubar...!” perintah Sena 
pada orang-orang yang mengerumuni Purbaya. 
Mereka menganggap pemuda berambut keperakan 
itu orang aneh yang patut ditonton. 
Para warga desa dan anak-anak yang berkumpul 
mengelilingi Purbaya seketika bubar meninggalkan 
kedai. Mereka bersorak-sorai, mengolok-olok 
Purbaya. Namun pemuda berambut keperakan itu 
sepertinya tak marah. Justru tampak tersenyum-
senyum. 
“Hush! Pergi-pergi...!” bentak Mei Lie dengan mata 
melotot, membuat anak-anak kecil yang tadi masih 
berolok-olok langsung bubar meninggalkan tempat 
itu. 
“Aha, kurasa lebih baik kita ke dalam, Kisanak!” 
ajak Sena dengan tingkah lakunya yang persis orang 
gila. “Kulihat kau pun lapar. Ayolah...! Ah ah ah...!” 
“Terima kasih. Kau baik sekali, Kisanak. Namaku 
Purbaya,” ujar Purbaya memperkenalkan diri. Kening-
nya mengerut menyaksikan tingkah laku Pendekar 
Gila yang aneh itu. 
“Aha, namaku Sena Manggala. Dan temanku ini 
bernama Mei Lie,” Pendekar Gila memperkenalkan 
diri dan nama kekasihnya. 
“Hm, sudah kuduga, kalau Nini Mei Lie orang 
Cina,” tukas Purbaya berseloroh. 
“Aha, tepat sekali. Dia memang dari Cina. Tetapi 
sekarang hidup di dusun. Hi hi hi...!” Sena menimpali 
seloroh Purbaya yang membuat Mei Lie melotot 
sengit. 
Ketiganya tersenyum. 
“Aha, mari masuk!” ajak Sena sambil membimbing 
Purbaya melangkah masuk ke kedai. Kemudian 
pemuda itu diajak duduk di sampingnya. “Pelayan, 
beri Kisanak ini makanan yang enak!” 
“Baik, Tuan.” 
Pelayan kedai segera mengambil makanan yang 
dipesan Pendekar Gila. Tidak lama kemudian, 
pelayan itu telah kembali dengan membawakan 
makanan. 
“Ini pesanan, Tuan.” 
“'Terima kasih. Taruhlah di sini!” perinta Sena yang 
segera dilaksanakan pelayan kedai itu. “Silakan, 
Kisanak!” 
“Kalian...?” tanya Purbaya. 
“Kami baru saja,” jawab Mei Lie sambil tersenyum 
menganggukkan kepala. “Bersantaplah yang enak!” 
“Terima kasih.” 
Purbaya pun menyantap makanan itu dengan 
lahap. Sehingga dalam waktu sebentar saja makanan 
telah habis tak tersisa. 
“Mau tambah, Kisanak?” tanya Sena. 
“Ah tidak, terima kasih,” sahut Purbaya sambil 
tersenyum. 
“Aha, kalau kau memang masih lapar, nambahlah! 
Biar aku yang membayar semuanya,” ujar Sena 
ramah. 
''Terima kasih. Cukup! Kalau nambah, kurasa 
perutku tak akan sanggup menampungnya,” jawab 
Purbaya sambil tersenyum, membuat Sena dan Mei 
Lie turut tersenyum. 
“Maaf, ng..., Purbaya. Kalau boleh kami tahu, 
hendak ke manakah tujuanmu?” tanya Mei Lie. 
Purbaya terdiam sesaat. Ditariknya napas dalam-
dalam. Kemudian diedarkan matanya ke sekeliling 
kedai, seperti tengah mencari sesuatu. Kemudian 
dengan helaan napas panjang, pemuda itu men-
ceritakan tujuannya. 
“Aku ingin mencari kampung halamanku, sekaligus 
mencari ibuku yang kabarnya masih hidup. Lalu yang 
kedua, aku bermaksud mencari Kitab Ajian Dewa 
yang dahulu dititipkan Pendekar Gila pada ayahku. 
Entah di mana kitab itu berada sekarang. Aku 
khawatir orang-orang jahat yang membunuh ayahku 
berhasil mendapatkannya,” tutur Purbaya. Wajah 
pemuda itu menyiratkan kepedihan dalam hatinya. 
“Pendekar Gila...?” tanya Mei Lie dengan kening 
mengerut, sepertinya hendak meyakinkan pen-
dengarannya. 
''Ya!” sahut Purbaya. “Dulu, ketika ayahku masih 
hidup, ayahku pernah bercerita tentang seorang 
pendekar yang tingkah lakunya persis orang gila. Itu 
sebabnya dia dikenal dengan sebutan Pendekar Gila. 
Antara ayahku, dengan Pendekar Gila saling ber-
sahabat. Pada masa hendak menghilang dari rimba 
persilatan, Pendekar Gila menitipkan Kitab Ajian 
Dewa pada ayahku. Dia berpesan agar ayah mem-
beritahukan kitab itu kepada murid atau keturunan-
nya kelak.” 
Mei Lie semakin mengernyitkan kening, men-
dengar penuturan Purbaya. Kemudian matanya 
menatap wajah Pendekar Gila yang tampak 
cengengesan, sepertinya tak peduli penuturan 
pemuda berambut keperakan di hadapannya. 
“Apakah Nini Mei Lie kenal dengan pendekar sakti 
itu?” tanya Purbaya seraya menatap wajah gadis 
cantik itu. 
“Ya.” 
“O, syukurlah! Aku ingin meminta maaf atas nama 
ayahku, yang tidak bisa menjaga barang titipannya. 
Tetapi mungkin juga masih disimpan ayahku. Hanya 
ibuku yang tahu, di mana kitab itu disimpan,” ujar 
Purbaya. “Kalau boleh saya tahu, di mana pendekar 
itu?” 
“Bukankah ada di sampingmu?” tanya Mei Lie 
sambil menoleh dan tersenyum pada Pendekar Gila 
yang hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk 
kepala. 
Seketika Purbaya membelalakkan mata kaget. 
Hatinya hampir tak percaya kalau orang yang di 
sampingnya ternyata Pendekar Gila. Pemuda itu 
segera menoleh dan menatap wajah Sena yang 
tampak tersenyum-senyum. 
“O, maafkanlah kebutaanku, Tuan Pendekar! 
Sungguh tak pernah kusangka, kalau aku bisa 
bertemu dengan Pendekar Gila,” ujar Purbaya sambil 
menjura 
“Aha, kau salah, Kisanak. Mungkin yang dimaksud 
ayahmu adalah guruku. Memang semua pendekar 
yang keluar dari Goa Setan, akan dijuluki orang 
sebagai Pendekar Gila. Eyang guru, guruku, dan 
aku...,” tutur Sena menjelaskan. “Semua mendapat 
julukan Pendekar Gila.” 
Purbaya mengangguk-anggukkan kepala, men-
dengar penuturan Sena tentang gelar Pendekar Gila. 
Namun meski dulu yang menjadi sahabat ayahnya 
adalah guru Sena. Purbaya tetap merasa, tak salah 
jika minta maaf pada Sena. Karena dirinya merasa 
Kitab Ajian Dewa yang hingga kini belum di-
ketemukan, merupakan hak Sena sebagai murid 
Pendekar Gila. 
“Meskipun kau muridnya, aku merasa sepantas-
nya minta maaf, karena kitab itu belum bisa 
kuberikan padamu,” ujar Purbaya. 
“Aha tak menjadi masalah, Kisanak. Bukankah kita 
bisa mencarinya bersama-sama?” sahut Sena ber-
usaha meyakinkah Purbaya, agar pemuda berambut 
keperakan itu tenang dan tidak merasa bersalah. 
“Terima kasih atas kebaikanmu, Pendekar.” 
“Aha, mengapa kau sebut pendekar? Namaku 
Sena?” ujar Sena dengan cengengesan sambil 
tangannya menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat 
Mei Lie melotot gemas dan mencubit pinggang 
kekasihnya. Pendekar Gila terpekik karena kesakitan. 
Sementara Purbaya tampak tersenyum-senyum 
melihat tingkah keduanya. 
“Dasar gila!” sungut Mei Lie. 
“Hi hi hi...! Bukankah aku gila karenamu?” goda 
Sena yang semakin membuat Mei Lie melotot gemas. 
Ketika mereka tengah bercanda, tiba-tiba.... 
“Tolong...! Tolooong...!” 
Tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita dari 
arah barat.  
“Heh?!” 
“Aha, ada apa gerangan?” gumam Sena. 
“Pasti gerombolan Partai Kera Hitam!” sahut 
pemilik kedai. Mendengar hal itu Sena, Mei Lie, dan 
Purbaya mengerutkan kening. 
“Gerombolan Partai Kera Hitam? Apa maksudmu, 
Ki?” tanya Mei Lie ingin tahu. 
“Gerombolan kejam yang selalu berusaha ingin 
berkuasa dan mencari seseorang di desa ini,” tutur 
pemilik kedai menjelaskan. Baik Pendekar Gila, Mei 
Lie, maupun Purbaya sama-sama tercengang men-
dengar penjelasan pemilik kedai itu. 
“Tolong...! Tolooong...!” suara teriakan itu pun ter-
dengar lagi, bahkan semakin dekat dari kedai. Hal itu 
membuat Purbaya, Pendekar Gila, dan Mei Lie 
langsung melesat keluar ingin tahu apa yang terjadi. 
*** 
Dari arah barat, nampak segerombolan lelaki 
berwajah garang berpakaian rompi merah menyala. 
Mereka tengah mengejar seorang gadis cantik jelita 
berpakaian biru laut. Gadis itu berlari terbirit-birit 
ketakutan, karena sepuluh lelaki beringas terus mem-
burunya, tanpa menghiraukan jeritan ketakutan. 
“'Tolong...! Tolooong...!” 
Semua warga Desa Kranggan yang semula berada 
di jalanan atau di sawah, seketika langsung ber-
sembunyi. Mereka tidak berusaha menolong gadis 
yang tengah dicekam rasa takut itu, melainkan 
bersembunyi. Hal itu karena para penduduk tahu 
gerombolan itu adalah Partai Kera Hitam. 
Gadis cantik berambut panjang itu terus berlari 
semakin ketakutan, karena tak seorang pun warga 
desa yang menolongnya. Sambil menjerit-jerit 
ketakutan dia terus berlari, berusaha meninggalkan 
pengejarnya. 
“Tolong...! Tuan, tolong...!” seru gadis itu ketika 
melihat tiga orang di depan kedai. Hatinya benar-
benar berharap pertolongan dari ketiga orang yang 
tidak bersembunyi seperti warga desa lainnya. 
“Aha, ada tikus-tikus yang sedang memburu 
mangsa! Hi hi hi...! Lucu sekali!” gumam Sena dengan 
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. 
“Tolong Tuan! Mereka mau menangkapku,” ratap 
gadis cantik itu pada Pendekar Gila. 
Ingatan Mei Lie seketika melayang pada suatu 
peristiwa ketika dia baru tiba di Tanah Jawa Dwipa. 
Saat itu dirinya dikejar-kejar gerombolan Segara 
Wedi. 
Kemarahannya seketika meledak. Harga dirinya 
sebagai seorang wanita, bagaikan memberontak. 
Matanya menatap garang pada kesepuluh lelaki yang 
berlari-lari menuju kedai. 
“Nisanak, siapa mereka?” tanya Mie Lie. 
“Mereka gerombolan Partai Kera Hitam. Tolonglah 
saya...! Saya tak mau dijadikan budak nafsunya. 
Tolonglah saya, Ni Pendekar,” ratap gadis cantik itu 
pada Mie Lie. 
“Mundurlah, biar aku yang menghadapi mereka!” 
ujar Mei Lie geram. 
Sementara Pendekar Gila dan Purbaya masih 
tenang. Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil 
menggaruk-garuk kepala. Sepertinya merasa tenang, 
melihat kekasihnya kini melangkah maju. Hatinya tak 
merasa khawatir terhadap Mei Lie, karena paham 
benar gadis cantik yang mempunyai julukan angker 
'Bidadari Pencabut Nyawa Iblis' itu. 
“Tuan Pendekar..., mengapa kita berdiam diri? Kita 
harus membantu Nini Mei Lie,” ujar Purbaya, merasa 
heran melihat Pendekar Gila cengengesan sambil 
menggaruk-garuk kepalanya. 
“Aha, biarkan saja, Kisanak! Kita lihat saja dulu,” 
sahut Pendekar Gila sambil tersenyum-senyum, 
melihat Mei Lie melangkah mantap menghadang 
kesepuluh lelaki bermuka beringas. 
“He he he...! Kawan-kawan, rupanya kita melepas-
kan burung merpati, kini dapat burung merak indah,” 
teriak pimpinan gerombolan dari Partai Kera Hitam 
pada rekan-rekannya yang terbahak-bahak melihat 
gadis cantik berada di depan mereka. 
“Hm, kau menginginkan aku?” tanya Mei Lie 
sambil tersenyum dan mengerlingkan mata. 
“Bukan hanya kami. Pimpinan kami pun tentu 
senang, jika kami dapat membawamu ke markas,” 
sahut lelaki bertubuh tinggi tegap dengan wajah 
ditumbuhi cambang bawuk lebat itu. 
“Baik, tangkaplah aku kalau kalian sanggup!” 
tantang Mei Lie sambil tersenyum mengejek. Namun 
matanya menatap garang anak buah Partai Kera 
Hitam. 
“He he he..., apa susahnya menangkap burung 
merak seindah dirimu, Nini?” sahut Kuncupala, 
pimpinan gerombolan itu sambil terkekeh. Lelaki 
bercambang bauk itu meremehkan Mei Lie. Kalau 
saja dirinya tahu siapa gadis Cina itu, tentunya akan 
berpikir seribu kali untuk menghadapinya. 
“Hm, begitu? Tangkaplah kalau bisa!” tantang Mei 
Lie dengan senyum sinis di bibirnya. 
“He he he...! Tangkap burung merak itu!” perintah 
Kuncupala pada anak buahnya. 
“Hea!” 
Lima orang segera mengepung Mei Lie. Kemudian 
dengan beringas, langsung menubruk Mie Lie. 
Namun, dengan cepat Mie Lie melompat ke atas, 
sehingga kelimanya saling berbenturan satu sama 
lain. 
Brukkk! 
“Aaa...!” 
“Ha ha ha...!” Mei Lie tertawa terbahak-bahak 
melihat kelima lelaki yang hendak menangkapnya 
saling bertabrakan. Tampak tiga orang mengusap-
usap kepala karena benjol. “Kalian seperti 
menangkap kodok. Ha ha ha...!” 
“Hi hi hi...! Lucu..., lucu sekali!” gumam Sena 
sambil menggaruk-garuk kepala, melihat kejadian itu. 
Purbaya pun yang semula diam dan tegang, takut 
kalau-kalau Mie Lie tertangkap kini tertawa terbahak-
bahak. 
“Ah, rupanya aku yang belum berpengalaman ini, 
mesti belajar banyak dari kalian, Tuan Pendekar,” 
gumam Purbaya sambil menggeleng-geleng kepala 
kagum pada Mei Lie. Matanya yang tajam me-
mandang sambil menertawakan kelima anak buah 
Partai Kera Hitam yang meringis-ringis kesakitan. 
Merasa ditertawakan oleh Pendekar Gila, Purbaya, 
dan Mei Lie. Kuncupala sang Pimpinan gerombolan 
tampak semakin marah. 
“Kurang ajar! Kubunuh kalian! Ayo..., habisi 
mereka!” perintahnya sambil menggerakkan tangan. 
Para anak buahnya segera merangsek dan 
menyerang Pendekar Gila dan Purbaya. 
“Aha, kita akan main-main Mei Lie, minggirlah 
dulu! Atau masuklah ke dalam kedai, biar kami main-
main dengan cecurut-cecurut ini!” seru Sena sambil 
tersenyum cengengesan dengan tangan menggaruk-
garuk kepala. 
“Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Pemuda 
Gila! Bunuh mereka...!” teriak Kuncupala sambil 
melesat. Para anak buahnya segera mencabut 
pedang masing-masing. 
Srt! Srt! 
“Hi hi hi...!” Sena tertawa cekikikan, melihat tiga 
orang dari anak buah Partai Kera Hitam menghunus 
pedang dan mengurung Pendekar Gila. 
“Hea!” 
Wrt! Wrt! 
Ketiga anak buah Partai Kera Hitam langsung 
menggebrak dengan sabetan dan babatan pedang 
mereka ke tubuh lawan. Namun dengan masih 
cengengesan Pendekar Gila segera bergerak meng-
elak. Tubuhnya dirundukkan, lalu meliuk. Bersamaan 
dengan gerakan itu kaki kirinya menyapu ke kaki 
lawan. 
Wrt! 

Ketiga orang yang menyerang melompat ke 
belakang, mengelakkan tendangan Pendekar Gila. 
Mereka saling pandang sesaat, lalu melesat 
melancarkan serangan lagi. Ketiga pedang tampak 
berkelebatan dan berputar serta membabat tubuh 
Pendekar Gila.  
“Hea!” 
“Putus lehermu, Pemuda Gila! Hih...!”  
Wrt! 
“Uts! Aha, kurang tepat, Tikus Busuk! Hih...!” 
Sena langsung bergerak dengan jurus 'Gila Menari 
Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari 
sambil cengengesan, kemudian disusul dengan 
tepukan tangannya ke dada lawan. Sedangkan kaki 
kirinya menyerang dengan gerakan menebas dada 
lawan yang menyerang. 
Ketiga lawannya yang menyerang terkesima 
melihat gerakan ilmu silat pemuda bertingkah laku 
gila. Mereka menyangka gerakan lambat dan lemah 
yang dilancarkan Pendekar Gila akan mudah mereka 
tembus. Dengan cepat mereka merangsek masuk, 
membabatkan pedang ke tubuh Pendekar Gila. 
“Yea!” 
Wrt! Wrt! 
“Uts! Hi hi hi...! Ini untukmu, Kecoa!” Pendekar Gila 
kembali meliuk, kemudian tangan kanan dan kirinya 
dihentakkan ke samping melakukan tepukan. 
Dua orang yang menyerangnya tersentak kaget. 
Mereka tak menyangka kalau gerakan yang kelihatan 
pelan dan lemah, ternyata memiliki kekuatan dan 
kecepatan luar biasa. 
“Celaka!” 
“Heits...!” 
Ketiga orang anggota Partai Kera Hitam yang 
menyerang Sena tersentak kaget dengan mata 
membelalak tegang. Mereka berusaha mengelakkan 
tepukan dan sapuan kaki lawan. Namun ternyata 
gerakan yang dilancarkan Pendekar Gila datang 
begitu cepat. Sehingga.... 
“Akh...!” 
Dua orang terpekik. Tubuh mereka terpental deras 
ke belakang, bagaikan terdorong suatu kekuatan 
dahsyat. Tubuh keduanya terus melayang ke 
belakang, sampai akhirnya menerjang pohon pinang. 
Brak! 
“Ukh...!” terdengar erangan dari mulut mereka 
yang tampak mengeluarkan darah. Sementara 
seorang lagi, kini terpelanting akibat kakinya ter-
sambar tendangan keras Pendekar Gila. Orang ini pun 
meringis-ringis. Tulang pantatnya bagaikan remuk, 
karena tubuhnya bagaikan dibanting dengan keras. 
“Hi hi hi...! Kenapa kau meringis, Kisanak? Aha, 
sakit...?” tanya Sena meledek. Kemudian tertawa 
terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala. 
Lelaki berwajah beringas itu membelalakkan mata 
melihat tingkah Pendekar Gila. 
“Pendekar Gila...!” pekiknya kaget. 
“Hi hi hi...! Gila? Aha, kau gila rupanya, Kisanak. 
Pantas..., pantas, kau meringis-ringis kesenangan. 
Padahal kau tentu sakit. Tetapi kau tampak girang,” 
gumam Pendekar Gila sambil masih cengengesan 
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. 
Melihat sikap Sena, lelaki berwajah beringas itu 
tampak tegang, takut kalau Pendekar Gila akan 
membunuhnya. 
Melihat Pendekar Gila semakin mendekati dirinya 
orang itu kian tegang. Sehingga dengan cepat kakinya 
melangkah mundur tapi terasa sakit. Matanya 
melotot karena tegang dan panik. 
“Jangan...! Jangan...!” teriak lelaki bertubuh tinggi 
dengan hidung besar dan berambut kumal. Dirinya 
terus beringsut menggeser pantat yang kesakitan. 
Matanya masih menatap nanar pada Sena yang 
hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, 
melangkah mendekat lelaki berhidung besar itu. 
“Aha, kau seperti kesenangan, Kisanak. Hi hi hi..., 
lucu sekali! Lucu...!” tukas Pendekar Gila sambil terus 
melangkah maju, membuat lawannya bertambah 
tegang. Perasaan takut yang terus mendera jiwanya, 
membuat lelaki tinggi kurus dengan hidung besar itu 
nekat. 
“Heaaa...!” 
Diiringi teriakan keras, lelaki itu melompat 
menyerang dengan mengayunkan pedang. Namun 
dengan cepat, Pendekar Gila merundukkan tubuh 
dengan kepala dan sebagian badan condong ke 
muka. Hal itu mengakibatkan serangan lawan 
meleset. Kemudian, dengan cepat ditangkapnya kaki 
lawan yang tengah melayang di atasnya. 
Trap! 
“Heaaa...!” dengan pengerahan tenaga dalam 
dilemparkan tubuh lawan ke angkasa.  
Wrt! 
“Akh...! Tolong...!” teriak lelaki berhidung besar itu 
ketakutan. Tubuhnya melenting tinggi sekali. 
Kemudian menukik ke bawah dengan deras. Sampai 
akhirnya, jatuh dengan kepala menancap di tanah 
persawahan yang basah dan berair. 
Jrot! 
“Hi hi hi...! Ha ha ha...!” Pendekar Gila tertawa-
tawa sambil menggaruk-garuk kepala, melihat 
kejadian yang dianggapnya sangat lucu. Kemudian 
dengan tenang melangkah ke bangku di depan kedai, 
lalu duduk dengan santai sambil meniup Suling Naga 
Sakti. Dialunkan lagu sendu dan mendayu biru. 
Sementara pertarungan antara Mei Lie dan 
Purbaya melawan ketujuh anak buah Partai Kera 
Hitam masih berjalan seru. Mei Lie dan Purbaya 
masih mengandalkan tangan kosong, membiarkan 
lawan menyerang dengan senjata. Sejauh itu mereka 
tampak hanya mengelak sambil sesekali balas 
menyerang dengan tangan kosong 
“Hea!” 
Wrt! 
Sebuah babatan pedang menderu ke kepala 
Purbaya. Hal itu membuat pemuda itu segera 
memutar kepala untuk mengelak. Namun sungguh di 
luar dugaan, tiba-tiba rambut panjang keperakan di 
kepala Purbaya mengeluarkan sinar putih keperakan. 
Sinar itu langsung melesat menerjang orang yang 
hendak menyerang dari belakang. 
Sudah barang tentu orang-orang tersentak kaget 
melihat kejadian itu. Bahkan Pendekar Gila yang 
sedang santai dengan meniup Suling Naga Saktinya 
terlonjak dengan mata melotot. Seakan-akan dirinya 
tak percaya, kalau rambut Purbaya yang keperakan 
itu dapat mengeluarkan sinar keperakan. 
Srattt...! 
Bret! 

Lanjutannya ⇢⇢